Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tarian liar naga sakti by marshall (jilid 3)

2


Demikianlah sambil berkelahi, Mei Lan mencoba-coba mengingat apa yang harus dilakukan. Sementara sang lawan sudah bertarung bagai lupa diri. Karena gerakan, sorot mata, suara dibibirnya, sudah bukan lagi suara manusia normal. Tapi memang begitulah Toh Ling kini, semakin tidak normal justru menjadi semakin berbahaya gerakan, suara maupun pukulannya. Itulah yang memaksa Mei Lan memutar otak dan kemudian secara terpaksa melepaskan pukulan Ban Hud Ciang (selaksa tapak Budah). Tetapi itupun, dia hanya sanggup untuk membuat mereka bertempur seri. Dan fakta ini membuat Toh Liang menjadi semakin marah dan meradang. Hebatnya semakin dia marah dan meradang membuat dia menjadi semakin hebat. Dan ini memaksa, Liang Mei Lan untuk juga terus menerus meningkatkan Ban Hud Ciang hingga ke jurus-jurus selanjutnya.

Pertempuran keduanya menjadi semakin hebat. Tetapi Mei Lan masih terus terbenam dalam keraguan untuk melepas ilmu barunya yang memagari arena pertarungan mereka. Keraguannya timbul karena dia merasa belum berkeyakinan untuk mampu melakukannya. Padahal, jika mampu melakukannya, dia akan menyelamatkan banyak murid Bu Tong Pay yang sebagian besar menjadi kehilangan dirinya karena betotan suara Toh Ling. Memang sesekali mereka sadar dengan suara pujian Budha, tetapi berganti-ganti seperti itu, justru membuat mereka dalam bahaya, dan sangat mungkin harus beristirahat beberapa minggu baru menemukan pikiran normalnya kembali.

Dengan kecepatan tinggi Mei Lan melepaskan pukulan telapak tangan ke udara dalam jurus ke Telapak Budha Mendorong Awan. Sebagai akibatnya gelanggang kembali dipenuhi telapak tangan yang diiringi oleh bunyi-bunyian memuji nama Budha, sementara Toh Ling tetap dengan gerakan-gerakan kacau balau untuk menghalau puluhan telapak yang mengejar-ngejarnya. Kondisi ini pada akhirnya membuat Toh Ling tiba pada puncak kegarangan dan kemarahannya. Sekaligus puncak kegilaan dan kekurangwarasannya. Pada titik inilah biasanya bakalan terakumulasi semua kekuatan yang telah diwarisinya dari kedua gurunya Thian Tee Siang Mo (Sepasang Iblis Langit Bumi).

Sambil menghindar, memukul dan menepis telapak tangan yang mengejarnya, secara tiba-tiba bukan hanya tenaga serangan Toh Ling, tetapi kini dari sekujur tubuhnya mulai menyebar bau busuk yang sangat khas. Khas dan sekaligus sangat menusuk hidung. Mei Lan yang secara langsung diserang oleh hawa busuk itu tidak cukup siap untuk menepisnya. Akibatnya dia kehilangan tempo yang sangat penting dan berharga untuk menyadari bahwa lawan telah menyiapkan ilmu puncaknya yang bukan hanya beracun, tetapi bahkan dipenuhi hawa kematian dan hawa busuk yang sangat mujijat.

Dari semua, hanya seorang Thian San Giokli yang cepat menyadari betapa berbahayanya situasi Mei Lan. Sebetulnya dia sadar dan tahu bahwa Mei Lan membekal ilmu yang akan sanggup melindungi dirinya sendiri. Tetapi, sayangnya selain kurang memahami kemujijatan ilmu lawan, Mei Lan juga kehilangan waktu yang sangat berharga ketika mencoba menghalau bau busuk yang dikiranya adalah bau biasa. Mei Lan kurang menyadari jika bau itu berasal dari pengerahan tenaga dalam dan tenaga sihir yang sangat tinggi tingkat dan takarannya itu. Dia kurang menyadari bahaya yang mengancamnya.

Untungnya, bersamaan dengan meluncurnya hawa pukulan mujijat Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) dari Toh Ling, Thian San Giokli sudah dengan cepat maju dan berseru:

“Nona, mundurlah. Pukulan itu tidak dapat ditahan dengan pukulan biasa .....” ketika mendengar seruan Thian San Giokli, barulah Mei Lan sadar bahwa bau busuk yang menyerangnya memiliki kekuatan aneh yang susah untuk ditolaknya. Tetapi sayang, dia sudah terlambat menyadari dan mempersiapkan penangkalnya. Untung saja meskipun begitup, ginkangnya yang maha tinggi masih mampu menyelamatkannya dari pukulan busuk mujijat yang dilontarkan lawannya. Selain itu, karena secara bersamaan Nenek Sakti Thian San Giokli juga tidak mau terlambat sekali lagi, dan telah ikut melepas pukulan Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin).

Tidak sampai sedetik waktu yang dimiliki Mei Lan, tetapi itupun dia berhasil dengan ginkang Te hun Thian untuk melejit ke-atas. Dan ketika berada di udara, kakinya bagaikan memanjat tangga berkali-kali melejit, melejit dan akhirnya turun jauh dari arena pertempuran. Sementara itu, benturan hebat terjadi antara Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) yang dilepas Toh Ling dengan Thian San Giokli dalam Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin). Hawa luar biasa dingin dalam ilmu Thian San Giokli meredam keangkeran hawa busuk mujijat yang dilepaskan Toh Ling, sekaligus meredam dan membekukan racun jahat dalam hawa pukulan itu.

Benturan tersebut sama sekali tidak memperdengarkan benturan keras dan dahsyat. Sebaliknya malah biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tetapi secara tiba-tiba dari benturan mereka bagaikan sebuah balon gas besar pecah, berpendarlah dan menghamburlah kesamping kiri, kanan dan bahkan ke atas kekuatan keduanya yang saling berbenturan itu. Dan akibatnya, murid-murid Bu Tong Pay yang sebenarnya berada cukup jauh dari arena menjadi korban. Ada yang terkena semburan angin busuk dan langsung tewas di tempat karena angin busuk tersebut adalah hawa pukulan beracun. Tetapi, ada pula mereka yang terkena butiran-butiran salju yang melayang dalam kecepatan tinggi dan memukul roboh beberapa orang hingga tidak ketahuan mati hidupnya.

Sementara itu, Mei Lan kaget menyaksikan akibat benturan seorang Nenek yang memperingatkannya dengan lawannya yang telah menyerang dengan ilmunya yang mujijatnya. Maka sebagai persiapan, diapun akhirnya kini mempersiapkan ilmu pamungkasnya, Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Tetapi disana, baik Toh Ling maupun Nenek Thian San Giokli juga telah bersiap untuk kembali mengadu kekuatan dengan ilmu pukulan yang sama. Kedua ilmu pukulan yang sudah seratus tahunan tidak muncul lagi di dunia persilatan. Bisa dipastikan, bakalan lebih dahsyat lagi benturan tersebut, dan korban akan semakin banyak.

Dalam kondisi yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar sebuah suara: ”Lan Moi tahan dan mundur pukulan itu sungguh beracun, biar aku mencobanya. Thian San Giokli, maafkan aku perlu menahannya sebelum semakin banyak korban” dan seiring dengan itu arena pertempuran tiba-tiba dilingkupi oleh awan putih yang dengan cepat memagari si pendatang baru berjubah hijau dengan Toh Ling. Sementara Nenek Thian San Giokli terperangah melihat kondisi yang berubah sangat cepat itu dan kemudian berkelabat untuk kemudian bergabung bersama dengan Mei Lan. Mereka berdua tetap berada dalam arena dan nampaknya juga mengerahkan kekuatan untuk mengitari diri mereka dengan kekuatan tenaga pelindung badan (khikang).

Dan hebat luar biasa, awan pelindung arena seperti terhembus oleh kekuatan dahsyat yang berbenturan dan terlontar kemana-mana di dalam arena tersebut. Tetapi, kekuatan-kekuatan yang berbenturan di dalam tidak sanggup menerobos keluar dan melukai orang-orang disekeliling arena sebagaimana benturan sebelumnya antara Thian San Giokli dan Toh Ling. Pagar awan putihpun perlahan-lahan lenyap dan di dalam arena orang-orang kemudian mulai dapat menyaksikan bagaimana Toh Ling yang terdorong sampai 5-6 langkah ke belakang dari mulutnya nampak merembes keluar darah. Dan bisa dipastikan dia terluka. Sementara itu lawannya ternyata adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau Kiang Ceng Liong, seorang tokoh muda berjubah hijau yang sengaja membenturnya.

Duta Agung yang masih muda itu juga terdorong ke belakang sampai 4 langkah, tetapi dengan cepat dia mampu memulihkan dirinya. Dia juga sedikit terluka di dalam tubuhnya akibat benturan tersebut. Tetapi kehebatan Giok Ceng Sinkangnya menunjukkan diri. Ceng Liong memang telah mampu dan sanggup melakukan pengobatan sendiri dalam 2-3 kali tarikan nafasnya, dan dengan cara tersebut dia memulihkan kekuatan sinkangnya yang sempat terguncang hebat barusan.

“Engkau hebat anak muda, tapi Toh Ling belum kalah. Dia belum sempurna dengan ilmu warisan gurunya, dia pasti akan datang kembali suatu saat nanti ...... hahahaha – hehehehehe .......”

Suara Toh Ling yang berkelabat pergi terdengar atau diperdengarkan berulang-ulang sampai kemudian hilang dengan sendirinya. Sebuah pameran kekuatan tenaga dalam yang luar biasa, padahal orang itu sudah terluka. Sementara itu Thian San Giokli yang dengan penuh rasa heran telah mendekati Kiang Ceng Liong dan kemudian bertanya:

“Anak muda, engkau tidak apa-apa”?

“Koko, engkau baik-baik saja kan”? juga terdengar suara Liang Mei Lan, suara yang penuh kekhawatiran dan tidak lagi menyembunyikan rasa kasihnya.

“Syukurlah Nenek, aku memang sempat terluka, tetapi kini sudah sembuh seperti sedia kala, sudah tiada halangan lagi”, sahut Ceng Liong dan dari wajahnya memang kelihatan jika dia sudah tidak berhalangan sedikitpun. Kepada Mei Lan diapun berkata: “Sudah tidak ada halangan lagi Lan Moi, orang tadi memang sungguh luar biasa”

Thian San Giokli dan Mei Lan menarik nafas lega. Lega karena mendapati anak muda itu tidak berhalangan lagi. Bersamaan kemudian mendekat Kwi Beng, Kwi Song dan Sian Eng Cu.

“Hahaha, Duta Agung, kini engkau main rahasia-rahasiaan denganku ya ....” Sian Eng Cu telah menyadari jika yang menggebah ketiga manusia berjubah hijau tadi sore di jalur masuk utara gunung Bu Tong San sudah pasti adalah Ceng Liong, tidak akan salah lagi.

“Maaf kan aku locianpwee, sebetulnya alasannya sudah jelas. Lembah Pualam Hijau telah menarik diri dari dunia persilatan, tetapi rasa hormat suhu dan Lembah Pualam Hijau kepada Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan yang mulia tetap mewajibkan kami untuk datang”

“Hahaha, terima kasih, terima kasih Duta Agung” Sian Eng Cu tentu saja paham apa yang menjadi keputusan Kiang Ceng Liong di markas utama Thian Liong Pang begitu mereka menaklukkan Thian Liong Pang. Dia berada disana dan menjadi saksi hidup. Oleh karena itu, dia sangat berterima kasih jika Lembah Pualam Hijau yang telah menarik diri tetapi tetap datang untuk memberikan penghormatan kepada Bu Tong Pay mereka, datang guna memberi penghormatan terakhir kepada suhu mereka yang mulia Pek Sim Siansu.

“Saudara Ceng Liong, kami bersaudara mohon maaf karena diperam suheng di Poh Thian sehingga tidak menerima kabar dukacita dari Lembah Pualam Hijau” adalah Kwi Beng yang datang menyapa dan mohon maaf kepada Ceng Liong.

“Ach saudara Kwi Beng, Kwi Song, amanat suhu sebenarnya kami tidak akan mengundang siapapun. Tetapi, entah bagaimana Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan selalu punya hubungan khusus dengan suhu dan mampu membaca getaran terakhir hidup suhu. Jadi, memang Lembah Pualam Hijau tidak mengabarkan berita itu kemanapun” jelas Ceng Liong sambil menepuk pundak Kwi Beng penuh rasa persahabatan. Sekaligus menunjukkan rasa kangen dan rindu atas pertemanan mereka selama beberapa tahun terakhir ini.

Sementara itu, Thian San Giokli nampak ingin menegaskan sesuatu. Dia kembali mendekati Ceng Liong dan berujar:

“Sungguh hebat anak muda, ilmu mujijat Thian Tee Siang Mo bukanlah ilmu yang dapat dengan mudah dihadapi. Tetapi engkau, nampaknya telah memiliki kekuatan yang sanggup menahan dan menaklukkan Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Ilmu perguruankupun hanya sanggup menahannya, tetapi tidak sanggup menaklukkannya jika kekuatan dua orang tergabung dalam diri satu orang seperti Toh Ling. Dia mewarisi kekuatan kedua gurunya sekaligus Thian Tee Siang Mo, karena itu aku tak akan sanggup menaklukannya, tetapi engkau nampaknya sanggup anak muda, sungguh luar biasa” penuh kekaguman Thian San Giokli memandang Kiang Ceng Liong.

“Terima kasih Nenek, tetapi akupun ikut terluka meski lukanya masih jauh lebih berat dibandingkan aku”

“Tetapi, nampaknya engkau telah menguasai Giok Ceng Sinkang secara sempurna. Hmmm, kakek guruku pernah menyinggung Giok Ceng Sinkang sebagai salah satu ilmu tenaga dalam pusaka yang memiliki kemampuan menyembuhkan diri sendiri dalam waktu relatif singkat jika telah dengan sempurna menguasainya. Dan, itupun masih ditambah satu syarat, yakni pernah setidaknya setahun berbaring di ranjang pualam hijau. Jika aku tidak salah, ranjang pualam hijaupun sudah ditemukan oleh Lembah Pualam Hijau, benarkah”?

“Ach Nenek, sungguh engkau memahami keadaan Lembah Pualam Hijau dengan sangat baik, memang begitulah keadaannya”

“Hmmmm, jika demikian meskipun Toh Ling masih akan terus berkembang karena dia belum sempurna memadukan kedua kekuatan gurunya, tetapi sudah ada yang akan menandinginya kelak. Anak muda, dipandang dari sinar matamu yang sesekali bersinar kehijauan dan memantulkan sinar giok hijau sesekali, adalah tanda penguasaan tingkat tertinggi Sinkang istimewa itu”

“Jangan takut Nenek, sebetulnya Lan Moi dann beberapa orang lainnya juga telah disiapkan menghadapi ilmu mujijat tersebut. Bahkan .......” Belum sempat Ceng Liong menyelesaikan kalimatnya terdengar seruan kaget dari dalam kuil. Seruan itu diikuti dengan kegemparan luar biasa tanda sesuatu yang sangat mengejutkan terjadi. Mei Lan dengan cepat berkelabat diikuti Sian Eng Cu, sebagai tamu Ceng Liong dan Thian San Giokli, Kwi beng dan kwi Song memiliki keterbatasan kecuali jika memang diundang oleh tuan rumah. Karena itu, mereka tetap tinggal diam di halaman dan tidka bergerak, menunggu perkembangan.

Dan tidak sampai menunggu lama, kabar mengejutkan datang dari dalam. Seorang murid keluar dari ruangan dalam dan bergumam: “Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin terbunuh .........”

Ciangbundjin (Ketua) dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay, masing-masing Ci Hong Todjin dan Ci Sion Todjin terbunuh. Bagaimana mungkin? Tetapi itulah faktanya. Entah bagaimana kejadiannya, tepat ketika pertarungan di halaman berakhir dengan perginya Toh Ling yang hebat itu, murid-murid Bu Tong Pay, terutama pelayan ruangan khusus Ketua Bu Tong Pay menemukan Ketua dan Wakil Ketua mereka telah terbujur kaku, meninggal dunia.

Thian San Giokli, Kiang Ceng Liong, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song berempat menjadi tegang, tetapi mereka harus menunggu ijin dari orang dalam Bu Tong Pay baru bisa memasuki ruangan dalam kuil itu. Di perguruan manapun terdapat aturan masing-masing yang berlaku dan harus dihormati. Dan sudah tentu ke-empat tokoh sakti ini memahami adanya aturan tersebut. Karena itu, meski tegang menanti, tetapi mereka tetap tidak beranjak dari tempatnya, menunggu perkembangan lebih jauh dan lebih lanjut dari dalam.

Dan mereka tidak menunggu lama, karena kemudian Jin Sim Todjin nampak berjalan mendekati mereka dan berkata:

“Saudara-saudara, bencana menimpa Bu Tong Pay, Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin kami. Atas nama Bu Tong Pay kami mengundang Duta Agung dan kawan-kawan ber-empat untuk meninjau ke ruangan tersebut”

Dengan mengikuti Jin Sim Todjin, Ceng Liong, Thian San Giokli, Kwi Beng dan Kwi Song kemudian berjalan masuk ke dalam kuil Bu Tong Pay. Rupanya, Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay terbunuh tidak di dalam ruang atau kamar samadhi ataupun kamar kerja mereka yang sangat dirahasiakan. Tetapi, terbunuh di tempat mereka biasa menerima tamu. Itulah sebabnya Ceng Liong dan kawan-kawan bisa diundang masuk, karena ruang tersebut bukanlah ruangan terlarang bagi orang-orang luar.

Dari petinggi Bu Tong Pay, masih tersisa Jin Sim Todjin yang mampu memimpin dan mengendalikan keadaan. Karena angkatan Ciangbundjin Bu Tong Pay, yakni dari angkatan Ci, tinggal tersisa 4 orang – yakni Ci Song Todjin yang bertugas di bagian hukuman dan Ci Bun Todjin yang bertugas di ruang pusaka Bu Tong Pay. Selain mereka berdua, masih ada dua orang lainnya dari angkatan Ci, yang menjadi suheng Ciangbundjin Bu Tong Pay tetapi mereka telah lama menyucikan diri dan bertapa dengan tidak lagi mencampuri urusan Bu Tong Pay. Mereka adalah Ci San Todjin dan Ci Sin Todjin, keduanya telah berumur di atas 80 tahunan.

Ciangbundjin Bu Tong Pay Ci Hong Todjin masih duduk di kursi yang memang biasa ditempatinya jika menerima tamu. Sementara Wakil Ciangbundjin Ci Siong Todjin terkapar di belakangnya dengan memegang sebatang pedang. Namun, tidak ada bekas apapun yang tertinggal di pedang itu, hingga besar kemungkinan Ci Siong Todjin belum sekalipun menggunakannya tetapi sudah terbunuh. Satu-satunya petunjuk adalah di tangan Ciangbundjin Bu Tong Pay ada sobekan kain berwarna “hijau” yang kemungkinan besar berasal dari si pembunuh. Karena jubah Ciangbundjin dan wakil Ciangbundjin berwana kelabu.

Sian Eng Cu dan Liang Mei Lan yang menjadi warga Bu Tong Pay sudah dengan segera menduga kepada komplotan manusia berjubah hijau. Apalagi, karena di tangan Ciangbundjin memang ada sobekan kain berwarna hijau, sejenis dengan kain jubah hijau yang dikenakan manusia berjubah hijau yang menyerang di pintu utara beberapa waktu sebelumnya. Tetapi, meskipun demikian, mereka masih menahan pandangan masing-masing karena pada saat itu jenasah Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin sudah sedang dipindahkan setelah diteliti banyak tokoh. Terutama menyelidiki ruangan, posisi mayat dan semua detail yang berada di dalam ruangan tersebut.

Bu Tong Pay benar-benar sudah jatuh ketiban tangga pula. Belum usai perkabungan buat menghormati sesepuh mereka Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, kini menyusul kematian Ciangbundjin mereka bahkan sekaligus dengan wakil Ciangbundjin. Sungguh pukulan bertubi-tubi yang membuat semua tokoh dan semua murid Bu Tong Pay tenggelam dalam kesedihan mendalam. Bahkan tokoh-tokoh tamupun bersimpati besar kepada musibah yang di alami Bu Tong Pay dan menyatakan akan tetap berada di Bu Tong Pay mengikuti penghormatan terakhir kepada Wie Tiong Lan dan Ciangbundjin serta Wakil Ciangbundjin yang harinya akhirnya ditetapkan 2 hari kedepan.

Tapi kini orang-orang mulai bertanya-tanya. Pertanyaan terbesar adalah: Siapakah sebenarnya yang membunuh Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay? Benarkah yang membunuh mereka adalah kelompok manusia berjubah hijau yang menurut Kiang Ceng Liong adalah kelompok Lamkiong Sek, Naga Pattinam dan kawan-kawan mereka yang sakit hati atas kekalahan di Markas Utama Thian Liong Pang hampir 6 bulan sebelumnya? Siapa pula Toh Ling yang begitu perkasa, apa ada kaitannya dengan pembunuhan Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay? Apakah motif utama pembunuhan tersebut?

Seperti biasanya, menghadapi pergolakan dunia persilatan, maka adalah Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau yang memimpin sekaligus mengambil keputusan atas nama rimba persilatan. Dan, meskipun awalnya Kiang Ceng Liong menolak untuk mengikuti dan apalagi memimpin pertemuan itu, tetapi setelah diberi pengertian oleh Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, akhirnya diapun setuju untuk bergabung. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali inipun Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila yang mengambil inisiatif untuk memimpin pertemuan 4 Perkumpulan Silat utama di Tionggoan itu. Tetapi, karena suasana di Bu Tong Pay yang masih berduka maka Pengemis Tawa Gila yang lebih banyak berperan.

Malam, di ruangan pertemuan Bu Tong Pay, tempat kejadian dimana beberapa jam sebelumnya Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay terbunuh, telah berkumpul beberapa orang. Mereka bukan orang-orang biasa. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal di dunia persilatan. Mereka adalah – Siauw Lim Sie Ciangbundjin Kong Sian Hwesio yang ditemani oleh suhengnya Kong Hian Hwesio serta Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song; Sian Eng Cu dan Liang Mei Lan mewakili Bu Tong Pay, karena Jin Sim Todjin sedang mengurus banyak sekali urusan dalam Bu Tong Pay; Pengemis Tawa Gila, Ciu Sian Sin Kay dan Liang Tek Hoat mewakili Kay Pang; dan terakhir satu-satunya utusan Lembah Pualam Hijau adalah Kiang Ceng Liong, sang Duta Agung.

Meski demikian, di luar penjagaan yang dilakukan sudah dibagi dengan tokoh-tokoh sahabat Bu Tong Pay. Bahkan Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau yang selalu menemani kemanapun Duta Agung pergi, ditempatkan menemani Kwee Siang Le meski di luar ruang persemayaman jenasah. Murid-murid Kay Pang dan Siauw Lim Sie juga telah diperbantukan menjaga jalur utara dan timur yang selalu berusaha diterobos musuh. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh tingkat dua, angkatan di bawah angkatan CI, juga sudah bersiaga penuh. Pendeknya Bu Tong Pay benar benar dalam kondisi siaga dengan menjaga seluruh sudut dan pelosok yang mungkin diterobos musuh.

Sementara di luar keadaannya begitu menegangkan dan bahkan terkesan sangat mencekam, di dalam ruang pertemuan Bu Tong Pay, juga tidak kurang seriusnya dalam membahas kondisi terakhir. Adalah Pengemis Tawa Gila yang membuka pertemuan dengan menggambarkan kondisi terakhir, terutama posisi terbunuhnya Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay yang kemudian dilanjutkan oleh Sian Eng Cu.

“Saudara-saudara, sebetulnya ketegangan di Bu Tong Pay jika diteliti lebih jauh bermula dari munculnya daftar 10 pesilat top Tionggoan. Karena itu, kami di Bu Tong Pay dengan segala macam cara mencoba meningkatkan penjagaan. Karena maklum pastilah banyak tokoh yang ingin mengambil keuntungan dari pertemuan yang banyak dihadiri tokoh-tokoh puncak. Boleh dibilang, ketegangan yang dihadirkan daftar 10 pesilat top itu memuncak seiring dengan kedatangan orang orang ke Bu Tong Pay. Dan di tengah kondisi itulah muncul gangguan-gangguan dari manusia berjubah dan berkedok hijau” demikian penjelasan awal dan singkat dari Sian Eng Cu.

“Jika demikian, apakah bisa dipastikan jika pelaku pembunuhan tersebut adalah kelompok manusia berjubah hijau itu? Apalagi di lengan mendiang Ciangbundjin juga terdapat sobekan kain berwarna hijau, kain yang sejenis dengan yang dikenakan manusia-manusia berjubah hijau itu” Pengemis Tawa Gila menanggapi secara serius.

“Jika mencermati proses sejak hari-hari sebelumnya, maka sangat mungkin itu dilakukan oleh manusia-manusia berjubah hijau itu. Apalagi, mereka memang telah membunuh beberapa murid Bu Tong Pay” tegas Sian Eng Cu yang membuat banyak orang dalam ruangan itu mulai menyimpulkan bahwa pembunuh memang kalangan manusia berjubah dan berkedok hijau itu.

“dan lagi ..... menurut Duta Agung, kawanan manusia berjubah hijau itu adalah bekas-bekas kawanan Thian Liong Pang yang pastinya bersakit hati dengan pihak kami Bu Tong Pay serta kawan-kawan lain dari Siauw Lim Sie, Kaypang dan Lembah Pualam Hijau” sambung Sian Eng Cu yang membuat sebagian orang memalingkan pandangan ke arah Ceng Liong. Tetapi, Ceng Liong sendiri masih memutuskan untuk berdiam diri dan belum mengeluarkan pendapatnya.

“Siancay .... siancay, apakah Duta Agung bisa menjelaskan kepada kita semua apakah memang benar bahwa kawanan manusia berjubah hijau itu adalah pentolan-pentolan Thian Liong Pang yang dahulu itu?” bertanya Kong Hian Hwesio, seorang tokoh besar asal Siauw Lim Sie dan bahkan masih suheng Kong Sian Hwesio, Ciangbundjin Siauw Lim Sie saat ini.

Pertanyaan yang tepat. Karena semua orang memang menunggu penegasan serta penjelasan Kiang Ceng Liong mengenai hal tersebut. Tuntutan dan pertanyaan Kong Hian Hwesio mau tidak mau membuat Kiang Ceng Liong ikut memberikan tanggapan maupun penjelasan:

“Bisa dipastikan seperti itu. Mereka yang menyerbu masuk di jalur utara adalah Bouw Lek Couwsu dan dia telah bertarung dengan Sian Eng Cu Tayhiap. Sementara dua orang manusia berjubah hijau lainnya adalah Bu Hok Lokay (Kakek Tua Tanpa Perasaan) serta Hiong Say Tiang Pek San (Singa Jantan dari Tiang Pek). Kedua tokoh tua ini hanya berselisih sangat tipis dengan Naga Pattinam yang sakti itu, dan mereka berdualah yang datang bersama seorang tokoh lain di jalur timur. Kita belum mengetahui siapa tokoh yang satunya lagi, tetapi bisa dipastikan mereka adalah tokoh-tokoh pentolan Thian Liong Pang. Secara tidak disengaja dalam perjalanan menuju Bu Tong Pay ini, aku menyaksikan dan menyadap percakapan di antara mereka bertiga” demikian jawaban Ceng Liong, tegas dan jelas bagi semua.

“Duta Agung, apakah bisa dipastikan jika orang ketiga itulah yang membunuh Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin kami”? bertanya Sian Eng Cu penasaran. Tetapi sepertinya Kiang Ceng Liong belum sampai pada kesimpulan tersebut, atau setidaknya masih ragu untuk menyimpulkannya. Tetapi, tetap dia memberikan tanggapannya setelah berpikir beberapa saat:

“Pertama, menurut Lan Moi, dia menangkap adanya pergerakan tokoh ketiga itu di jalur timur, tetapi tidak sanggup menjumpainya. Dengan kemampuan ginkang Lan Moi dewasa ini, sulit membayangkan adanya tokoh yang takkan dapat dikejarnya di kawasan Bu Tong Pay yang sangat dikenalnya ini. Dapat dipastikan, tokoh ketiga ini adalah tokoh yang sangat lihay, mungkin melebihi Bu Hok Lokoay dan Hiong Say Tiang Pek San. Tetapi, apakah tokoh ini kemudian naik ke Bu Tong San dan melakukan pembunuhan, masih sulit kupastikan”

“Di hitung dari waktu dia melenyapkan diri di jalur timur, sampai pada saat pertarunganku dengan Toh Ling, seharusnya dia memiliki lebih dari cukup waktu untuk melakukan pembunuhan itu” Mei Lan yang penasaran memberikan pandangan dan pendapatnya.

“Benar, tetapi jika mengikuti pemeriksaan Jin Sim Todjin dan juga Duta Agung, kematian Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin justru terjadi hampir satu jam sebelum pertempuran antara Nona Mei Lan dengan Toh Ling. Artinya, ketika terjadi bentrokan pertama, si pembunuh sudah berada di kawasan dalam kuil Bu Tong Pay. Dan jika kondisinya seperti ini, maka manusia berjubah hijau di jalur timur masih tetap bisa kita masukkan dalam daftar orang yang dicurigai sebagai pembunuh” tambah Pengemis Tawa Gila.

“Jika melihat keadaan Wakil Ciangbundjin yang belum sempat mempergunakan pedangnya, maka dapat dipastikan tokoh yang membunuh mereka adalah tokoh yang sangat hebat. Pukulan yang membunuh Ciangbundjin dan Wakil Ciangbundjin sangatlah halus dan hanya dapat dilakukan tokoh-tokoh sekelas Naga Pattinam ataupun Lamkiong Sek. Tetapi, dari percakapan yang kusadap, kali ini Lamkiong Sek dan Naga Pattinam konon sedang menuntaskan pekerjaan terakhir mereka. Dan mereka berdua tidak ikut dalam operasi di Bu Tong San. Maka sangat sulit memperkirakan siapa pembunuhnya. Untuk sementara Hiong Say Tiang Pek San dan Bu Hok Lokay (Kakek Tanpa Perasaan) dapat dihapus dari daftar pembunuh, karena mereka memang langsung pergi setelah terpukul di jalur utara” Ceng Liong mengemukakan argumentasi lain yang membuat daftar masalah terasa menjadi semakin memusingkan.

“Hanya saja, suhu dan juga mendiang locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan pernah mengingatkanku dulu hari menjelang kematian mendiang suhu, bahwa keadaan bisa sangat berbahaya jika Bouw Lek Cowsu dapat mengundang paman gurunya yang usianya sebaya dengannya dari Tibet. Entahkah tokoh ketiga itu adalah paman guru Bouw Lek Couwsu? Masih sulit kupastikan. Hanya, menurut mendiang suhu dan mendiang locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, kehebatan paman guru Bouw Lek Couwsu justru jauh mengatasi guru Bouw Lek Couwsu sendiri. Dengan kata lain, dia memiliki kapasitas yang sama dengan Lamkiong Sek dan Naga Pattinam untuk menjadi pembunuh di Bu Tong Pay ini. Hanya, apakah benar dia”? tambah Ceng Liong.

“Siancay, siancay ... awalnya puncho berpandangan bahwa ketegangan di dunia persilatan akan sedikit mereda setelah Thian Liong Pang diatasi. Tetapi, nampaknya pandangan puncho keliru” terdengar Ciangbundjin Siauw Lim Sie bergumam. Dan belum lagi ada yang melanjutkan memberi tanggapan, Ciangbundjin Siauw Lim Sie telah menambahkan:

“Penjelasan Duta Agung sangat tepat. Dulu ketika Bouw Lek Couwsu dan kelompok pemberontak mereka di Tibet bergerak, paman gurunya itu masih sedang bertapa. Dan informasi dari kawan-kawan di Tibet menerangkan bahwa telah muncul seorang tokoh baru yang sangat luar biasa tetapi yang gerakannya tidak dapat diikuti. Hanya sekali dia bentrok dengan wakil Dalai Lhama yang sangat sakti itu. Mereka berkesudahan tanpa pemenang, tapi tak ada yang mengenali tokoh itu siapa karena mengenakan kedok wajah. Dan beberapa saat kemudian dia tidak pernah muncul lagi di Tibet. Menghilang begitu saja. Maka sangatlah mungkin jika tokoh ini benar adalah Thay Pek Lhama yang dulu itu, hanya entah sekarang jika dia telah berganti nama apa”

Mendengar penjelasan terakhir dari Ciangbundjin Siauw Lim Sie, nampaknya banyak orang mulai bercuriga jika Thay Pek Lama adalah manusia berkerudung hijau ketiga yang tidak sempat ditemukan Mei Lan. Dan bersamaan dengan itu, semakin mengerucut kenama tersebut sebagai pelaku pembunuhan di Bu Tong Pay. Apalagi, Bouw Lek Couwsu sendiri memang telah teridentifikasi sebagai salah seorang manusia berjubah dan berkedok hijau yang telah membunuh 4 anak murid Bu Tong Pay di jalur masuk sebelah utara. Hanya saja, tetap masih menimbulkan tanda tanya dan persoalan besar, apakah memang benar-benar Thay Pek Lhama yang membunuh di Bu Tong Pay?

“Satu keberatan yang terlampau telanjang dan dibuat-buat adalah adanya sobekan kain hijau di tangan Ciangbundjin. Jika memang dia tokoh hebat, maka sulit membayangkan dia membiarkan jubah hijaunya sobek, dan lebih menggelikan lagi membiarkan sobekan itu berada di tangan korbannya. Karena itu, salah satu pemikiran yang sangat mungkin adalah, adanya orang atau kelompok lain yang mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingannya sendiri. Hanya saja, sejauh ini masih sulit membayangkan pihak lain tersebut” terdengar Ceng Liong kembali melontarkan pandangannya.

Pandangan yang membuat orang kembali mengernyitkan keningnya. Karena memang benar, untuk apa pula seorang tokoh pembunuh yang hebat tetapi meninggalkan jejak secara sangat konyol. Kecuali, jika jejak pembunuh itu secara sengaja ditinggalkan. Tapi dalam kasus kali ini di Bu Tong Pay, sungguh sulit menemukan tali temali dengan pihak lain, selain tetap dalam tuduhan semula, yakni bahwa pembunuhnya adalah kawanan berjubah hijau yang adalah bekas pentolan Thian Liong Pang. Karena, pertama mereka punya motif yang kuat – yakni membalas dendam atas kekalahan Thian Liong Pang. Kedua, fakta bahwa mereka telah mengganggu Bu Tong Pay beberapa hari sebelum terjadinya pembunuhan. Ketiga – Bu Tong Pay dengan mereka memiliki ikatan dendam yang cukup dalam, baik antar perguruan maupun antyar tokoh yang sudah saling bertarung sampai beberapa kali sebelumnya.

“Setidaknya untuk saat ini, kita punya kecurigaan bahwa kita sedang menghadapi lawan lama. Maka menjadi tugas kita bersamalah untuk melakukan penyelidikan lebih jauh. Cuma untuk penyelidikan itu nampaknya harus mengandalkan kita-kita semua, terlebih khusus generasi kita yang lebih muda” Pengemis Tawa Gila akhirnya menyimpulkan.

“Siancay, siancay ...... Siauw Lim Sie akan menugaskan Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song untuk melakukan penyelidikan. Terutama melacak siapa tokoh ketiga yang berjubah hijau itu, benarkah Thay Pek Lhama ataukah bukan” sambil berkata demikian Kong Sian Hwesio memandang ke arah Kwi beng dan Kwi Song. Dan kedua anak muda itu dengan cepat menyahut:

“Terima kasih Ciangbundjin, kami menerima perintah ....”

“Baiklah, jika demikian meskipun Kaypang sedang disibukkan dengan rencana pemilihan Pangcu Kaypang yang baru dalam 6 bulan kedepan, tetapi tetap akan mengutus Liang Tek Hoat untuk melakukan penyelidikan. Terutama meyakinkan sampai dimana pergerakan manusia berjubah hijau itu nantinya”

“Baik, tecu menerima perintah Hu Pangcu...” Tek Hoat juga dengan segera menyatakan kesiapannya.

“Kami dari Bu Tong Pay masih akan menunggu penetapan Ciangbundjin Bu Tong Pay yang baru dan kemudian mengutus orang untuk melakukan penyelidikan. Hanya, siauw sumoy Liang Mei Lan adalah yang paling tepat melakukannya” Sian Eng Cu Tayhiap buka suara untuk dan atas nama Bu Tong Pay. Dan Mei Lan sudah menyatakan kesediaannya untuk melakukan penyelidikan atas nama Bu Tong Pay dengan catatan setelah masa berkabung Bu Tong Pay lewat.

Setelah Bu Tong Pay, semua orang kini memandang Kiang Ceng Liong. Bukan rahasia jika Lembah Pualam Hijau sedang berusaha menahan diri melibatkan Lembah Pualam hijau dalam kekisruhan rimba persilatan. Terutama setelah ternyata salah satu tokoh utama Thian Liong Pang adalah keluarga Lembah Pualam Hijau, meski melakukannya dalam kondisi tertekan. Saat itu, semua ingin mendengarkan apa keputusan Ceng Liong terkait dengan kejadian di Bu Tong Pay. Dan Ceng Liong sadar, kalau dia harus mengatakan sesuatu:

“Lembah Pualam Hijau akan ikut membantu penyelidikan dan mengutus seseorang ke luar lembah untuk kebutuhan tersebut” singkat saja kalimatnya, tetapi melegakan semua tokoh. Karena semua sadar, keputusan Ceng Liong juga bukan keputusan mudah, hanya demi persaudaraan ke-4 perguruan utama itulah sampai Ceng Liong harus bertoleransi mengutus orang ke luar Lembah.

“Satu hal lagi ..... “ Pengemis Tawa gila melanjutkan percakapan: “Toh Ling menurut Nenek Thian San Giokli telah hadir di rimba persilatan membekal ilmu sepasang iblis yang hidup pada 100 tahun lalu, Thian Tee Siang Mo. Bahkan, kekuatan Toh Ling yag mampu mengimbangi Nona Mei Lan dan Nenek Thian San Giokli, berpotensi menghadirkan kekisruhan di dunia persilatan. Karena itu, sebaiknya kitapun awas dan berhati-hati dengan tokoh ini”

“Siancay, siancay ...... menurut cerita para sesepuh partai kami dahulu, Thian Tee Siang Mo membekal ilmu tenaga yang sangat mujijat dan beracun. Apakah tokoh kali ini, Toh Ling juga membekal ilmu tersebut”? tanya Ciangbundjin Siauw Lim Sie Kong Sian Hwesio heran sambil memandnag Pengemis Tawa Gila.

“Nona Mei Lan mungkin bisa menjawabnya ...” Pengemis Tawa Gila memalingkan pandangan ke arah Mei Lan yang memang sempat bertempur seru dengan Toh Ling di halaman Bu Tong Pay.

“Nampaknya iya, memang demikian. Meksi kami tidak saling bentur secara hebat, tetapi harus kuakui jika memang kemampuan Toh Ling tidak berada di sebelah bawah kemampuanku” jawab Mei Lan.

“Dan lagi, Duta Agung juga telah menyaksikan, tenaga dalamnya memang busuk mujijat dan sangatlah beracun” tambah Mei Lan sambil mengerling Kiang Ceng Liong yang manggut-manggut membenarkan.

“Padahal, menurut kisah para tetuah kami, ilmu busuk mujijat Thian Tee Siang Mo nyaris tidak ada lawan pada masanya. Hanya Koai Todjin seorang yang sanggup menghadapi mereka, itupun setelah bertarung seharian penuh baru bisa dan mampu mengekang kedua iblis sakti itu. Dan konon, hanya ilmu dingin Koai Todjin yang mampu melawan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Terutama hawa beracunnya itu” Tambah Kong Hian Hwesio

“Tapi, Duta Agung telah sanggup mengundurkannya tadi. Nampaknya dia terluka oleh benturan dengan Duta Agung, dan setelah itu Toh Ling melarikan diri sambil mengeluarkan ancaman untuk suatu saat akan kembali” Mei Lan menambahkan informasi pertarungan Ceng Liong dengan Toh Ling yang berakhir di terlukanya dan kaburnya Toh Ling. Jelas, suara Mei Lan berisi nada kebanggaan akan kehebatan kekasihnya itu. Dan itu wajar.

“Siancay, benarkah demikian Duta Agung”? bertanya Kong Hian Hwesio

“Memang benar demikian ....” terdengar Souw Kwi Song yang nyeletuk. “Karena kamipun berada di arena tersebut” tambahnya.

“Hmmmm, luar biasa, jika demikian kita tidak perlu terlalu menakuti tokoh yang satu ini” desis Kong Hian Hwesio lebih jauh.

“Losuhu, kali ini mungkin biarlah aku memberitahu sesuatu” Ceng Liong bersuara, kali ini memberitahu sesuatu mengenai Toh Ling.

“Nenek Sakti Thian San Giokli hidup selama puluhan tahun menjaga agar ilmu jahat Thian Tee Siang Mo tidak hadir lagi di dunia persilatan. Dan menurutnya, dia dan kedua sumoynya telah gagal, bahkan kedua sumoynya terbunuh di tangah Toh Ling. Menurut Thian San Giokli, Toh Ling mewarisi gabungan tenaga kedua Iblis itu dan lebih berbahaya ketimbang kedua gurunya. Jika dia kalah melawanku tadi, itu lebih karena dia masih belum tuntas menggabungkan gabungan kekuatan gurunya. Toh Ling akan tuntas jika telah mampu mengeluarkan pukulan itu, tanpa didahului oleh semburan hawa berbau busuk”

“Itu artinya, Toh Ling masih akan berkembang dan menjadi lebih hebat ke depan”? kali ini Pengemis Tawa Gila bertanya dengan nada terkejut.

“Menurut Nenek Thian San Giokli memang demikian” kalem jawaban Ceng Liong.

“Benar, menurut yang kami ketahui, puncak kekuatan ilmu busuk itu akan dicapai jika bau busuk tersebut justru tidak lagi tercium lawan. Dan jika Toh Ling mencapainya, maka keruwetan kita bertambah jauh lebih memusingkan lagi” Kong Hian Hwesio menambahkan.

“Hanya, menurut mendiang suhu, semua murid-murid 4 Manusia Dewa telah disiapkan untuk mengantisipasi persoalan ini. Apakah memang benar demikian adanya”? Tanya Sian Eng Cu sambil memandang Ceng Liong, Mei Lan, Tek Hoat dan kedua Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie. Dan satu persatu ke-5 pemuda dan pemudi itu menganggukkan kepala membenarkan apa yang disampaikan oleh Sian Eng Cu. Selebihnya, Tek Hoat kemudian bersuara:

“Jika tidak salah, kami masing-masing memang menerima pelajaran terakhir dari locianpwee Kolomoto Ti Lou yang memandang kedepan bahwa kerumitan akan memuncak dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, kami masing masing sempat berdiskusi dengan orang tua itu sebelum dia menghilang setelah urusan di markas utama Thian Liong Pang selesai.”

Ucapan Tek Hoat dibenarkan oleh ke-4 anak muda lainnya. Nampaknya, sekali lagi ke-5 anak muda ini memang sengaja disiapkan oleh tokoh-tokoh sepuh yang mereka kenal untuk mengatasi persoalan yang dihadapi rimba persilatan Tionggoan. Hanya saja, lawan merekapun semakin lama semakin kuat, semakin hebat dan yang bahkan memiliki kemampuan yang mendekati kehebatan guru-guru mereka semasa masih hidup. Dan setelah kematian Wie Tiong Lan, maka habislah generasi 4 Manusia Dewa Tionggoan, meninggalkan murid-murid mereka untuk menggantikan tugas mengamankan rimba persilatan dari generasi pengganggu yang lain.

“Siancay, siancay ..... seperti itulah kehidupan. Kehilangan satu – kedatangan yang lain. Anak-anakku, memang sudah saatnya tanggungjawab itu beralih ke tangan kalian, biarlah kami yang tua-tua memberikan doa dan restu agar perjuangan kalian dengan tantangan yang semakin berat akan berhasil ........Amitabha” terdengar Ciangbundjin Siauw Lim Sie memberikan restunya.

Hal yang kemudian juga diikuti oleh Sian Eng Cu, Pengemis Tawa Gila dan tokoh-tokoh tua lainnya di tempat itu. Inilah pertemuan formal pertama, pertemuan resmi ke-4 Perguruan Utama setelah generasi 4 Manusia Dewa Tionggoan habis “masa edar”nya. Dan dari sinilah tanggungjawab dialihkan secara resmi, meski dibayangi dengan betapa hebat lawan-lawan yang bertumbuh dan berkembang di luar sana. Apakah mereka akan sanggup? Sebuah pertanyaan yang masih harus dibuktikan dan dijawab kedepan.

“Baiklah, jika demikian, biarlah apa yang mesti dikerjakan oleh kita 4 Partai utama ini dilimpahkan kepada kalian berlima. Masing-masing tetap akan bertanggungjawab hanya saja, tanggungjawab penyelidikan kita serahkan kepada kalian berlima. Termasuk upaya untuk meredam efek dari daftar 10 tokoh top Tionggoan yang pastinya akan sangat mengganggu. Baik kalian berlima maupun perguruan kita akan mengalami banyak kerepotan akibat ulah iseng orang yang membuat dan mengedarkan daftar tersebut. Malam ini, baiklah percakapan kita seputar masalah kedepan kita akhiri .....” Pengemis Tawa Gila akhirnya menutup percakapan pada malam itu, tepat tengah malam.

Tetapi pertemuan ke-4 perguruan utama itupun masih sempat berlanjut untuk urusan-urusan lain yang lebih ringan serta saling menukar informasi. Hanya saja tidak berlangsung lama karena harus memberi kesempatan kepada Sian Eng Cu dan Liang Mei Lan untuk bergabung bersama tokoh-tokoh Bu Tong Pay guna melanjutkan kesiapan akhir upacara penghormatan kepada Wie Tiong Lan dan Ci Hong Todjin serta Ci Siong Todjin. Tiga tokoh utama Bu Tong Pay yang meninggal dunia dalam waktu yang tidak terlampau jauh jaraknya.

Sementara itu, ke-4 pendekar muda lainnya juga masih sempat berbincang-bincang dengan Ceng Liong seperti biasa ditempatkan sebagai pemimpin mereka. Tetapi karena Mei Lan tidak bergabung, mereka tidak banyak bertukar pikiran dan pada akhirnya masing-masing minta diri untuk beristirahat. Tepat tengah malam, selain aktifitas anak murid Bu Tong Pay, tokoh-tokoh lain terlelap dalam istirahat. Tentu dengan tidak menanggalkan kewaspadaan mereka masing-masing, apalagi setelah mengalami kejadian-kejadian yang sangat tidak mengenakkan beberapa waktu belakangan ini.

Sementara itu, waktupun terus berlangsung. Penjagaan ketat diberlakukan di Bu Tong Pay dengan melibatkan Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau. Dan selama beberapa hari, sampai pada hari penghormatan terakhir, tidak ada lagi gangguan-gangguan berarti di Bu Tong Pay. Karena itu, upacara penghormatanpun berlangsung secara hikmat, lancar dan tidak mengalami satupun gangguan lagi, bahkan gangguan kecil sekalipun. Bahkan mereka-mereka yang berhasrat untuk menantang tokoh dalam daftar 10 pendekar top, juga hilang selera begitu melihat tingkat keseriusan dan ketegangan yang ditampilkan Bu Tong Pay dan dukungan Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang tidak banyak menampilkan diri.

Dan setelah upacara penghormatan terakhir, pada hari itu juga rombongan yang meninggalkan Bu Tong Pay mulai berkurang satu demi satu. Hal itu disebabkan mereka memperpanjang masa kunjungan setelah Ketua dan Wakil Ketua Bu Tong Pay ikut terbunuh. Karenanya, segera setelah upacara penghormatan, banyak tamu yang mulai minta diri dari Bu Tong Pay, yang perlahan-lahan kembali mulai menemukan hari-hari seperti biasanya yang hilang selama hampir 10 hari terakhir.
(Bersambung)
 
nyeduh kopi dulu ah...kale aja kopi beres apdet udah ada
 
BAB 5 Rahasia Lain Lembah Pualam Hijau
1 Rahasia Lain Lembah Pualam Hijau


Pagi menjelang tiba. Sudah hampir 3 hari berlalu sejak upacara penghormatan terakhir bagi Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, Ci Hong Todjin dan Ci Siong Todjin dilaksanakan. Bu Tong Pay masih dalam suasana duka, tetapi aktifitas sehari-hari sudah mulai berlangsung normal. Bahkan, menghadapi situasi yang nampak semakin mencemaskan, Bu Tong Pay sudah mulai merencanakan melaksanakan pemilihan Ketua (Ciangbundjin) yang baru.

Suasana di pesanggrahan yang diperuntukkan buat tamu-tamu istimewa Bu Tong Pay juga sudah semakin senyap. Keramaian beberapa hari sebelumnya dimana pesanggrahan itu terisi penuh oleh sejumlah besar tamu, berangsur-angsur senyap. Karena tetamuan tersebut satu persatu pergi meninggalkan Bu Tong Pay dan sampai pagi hari itu, tinggal tersisa beberapa kamar belaka yang masih ditinggali tamu-tamu penting Bu Tong Pay.

Di salah satu ruangan yang paling pojok dan tersendiri terletak memepet tebing gunung sebelah selatan Bu Tong Pay, dimana sampingnya pemandangan indah ke bawah Gunung Bu Tong San, ada salah satu kamar yang masih berpenghuni. Kamar tersebut memang terletak paling pojok dan dihari-hari sebelumnya, meskipun berisi orang, tetapi tidak banyak orang mengetahui siapa penghuni kamar itu yang sebenarnya. Karena penghuninya tidak pernah menampakkan diri dan lebih banyak berada di dalam kamar, atau jikapun keluar hanya beberapa gelintir manusia belaka yang tahu dan ditemuinya.

Kamar terpencil itu memang ditempati seorang tokoh yang lebih banyak menghindari pertemuan dengan banyak orang. Dia adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Orang yang kehadirannya meski banyak orang tahu, tetapi hanya beberapa orang belaka yang sering bertemu dengannya. Hal ini dikarenakan keputusan Lembah Pualam Hijau untuk menarik diri dari kekisruhan rimba persilatan (Bu-Lim). Bahkan dengan mengembalikan kepercayaan kaum Bu Lim bagi Lembah Pualam Hijau untuk menjadi Bu-Lim Bengcu.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itupun Kiang Ceng Liong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau tidak nampak melakukan aktifitas di luar ruangan. Tetapi, di luar ruangan, terdapat 6 orang yang menyoren pedang, juga duduk dalam keadaan samadhi. Di dalam ruangan, Kiang Ceng Liong sendiri juga sedang dalam posisi samadhi, bahkan sepertinya sedang tenggelam dalam kesenyapan suasana disekitarnya. Atau bahkan mungkin sedang berlatih ilmu-ilmunya sebagaimana kebiasaannya di Lembah Pualam Hijau.

Hanya, jika dilihat lebih dekat lagi, Ceng Liong sebenarnya tidak sedang tenggelam dalam samadhinya. Lebih tepat dia sedang merenung, bahkan terlihat sedang berpikir keras. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan membuatnya mau tidak mau harus memeras otaknya. “Padahal, beberapa bulan terakhir aku tenggelam dalam kesenyapan, kedamaian dan mencapai kemajuan yang luar biasa dalam latihan ilmu silatku” desis Ceng Liong seperti menyesali kerumitan yang kini kembali merusak hari-hari damai yang dikecapinya di Lembah Pualam Hijau.

Sudah pasti. Siapa gerangan tokoh Bu Lim dewasa ini yang berani mengusik ketenangan Lembah Pualam Hijau? Disana, bukan hanya ada Duta Agung Lembah Pualam Hijau Kiang Ceng Liong dan Barisan 6 Pedangnya. Melulu Duta Agung dan Barisan ini saja, sudah sulit menemukan tandingan yang setimpal. Apalagi, di dalam Lembah itu masih ada Kiang Cun Le dan Kiang In Hong yang sekarang bergelar Liong-i-Sinni. Kehebatan kedua orang kakak beradik ini tidak usah dipercakapkan lagi, karena nama besar dan kehebatan mereka sudah lama mengangkasa di dunia persilatan. Mereka berdualah yang mewarisi dan melanggengkan prestasi besar Lembah Pualam Hijau setelah Kiang Sin Liong mundur sebagai Duta Agung.

Selain itu, masih ada juga Kiang Hong dan Tan Bi Hiong suami istri yang juga sangat lihay sekaligus ayah dan ibu dari Kiang Ceng Liong. Adalah Kiang Hong ini yang menjadi Duta Agung sebelum Kiang Ceng Liong. Hanya saja, akibat tertawan Thian Liong Pang selama beberapa tahun, tugas itu kemudian dialihkan kepada Kiang Ceng Liong. Setelah kekisruhan Thian Liong Pang mereda, Kiang Ceng Liong berkehendak mengembalikan jabatan itu kepada ayahnya, tetapi ayah dan semua sesepuh Lembah Pualam Hijau tidak menyetujuinya. Jadilah Ceng Liong tetap melanjutkan tugasnya sebagai Duta Agung, Pemilik Lembah Pualam Hijau.

Selain itu, disana juga masih terdapat Topeng Setan, Kiang Liong yang kepandaian serta kehebatannya meningkat pesat setelah sembuh dari “penyakit gilanya”. Hanya saja, setelah kesembuhannya, Topeng Setan Kiang Liong jadi lebih banyak tenggelam dalam latihan ilmu silatnya. Terutama latihan-latihan ilmu dalam guna menguasai dirinya. Kehadiran Liong-i-Sinni bibinya, sangat banyak membantu Topeng Setan dalam memahami diri, kehidupan dan sudah tentu kemampuan ilmu silatnya. Karena itu, Kiang Liong sendiri diam-diam tumbuh menjadi tokoh lihay di Lembah Pualam Hijau.

Masih banyak tokoh-tokoh lihay lainnya. Seperti Kiang Li Hwa yang sebelumnya adalah Majikan Kerudung Putih dan sempat dididik oleh Wisanggeni serta terakhir Nenek Durganini. Kemampuan Li Hwa telah meningkat begitu jauh dan membuatnya terdaftar sebagai jago peringkat terakhir dalam daftar 10 jago top di dunia persilatan. Fakta ini saja menunjukkan jika gadis ini memiliki kemampuan yang tidak perlu diragukan lagi. Seterusnya masih ada Thio Su Kiat, murid yang mewarisi kepandaian khas Lembah Pualam Hijau dari Kiang Tek Hong, bekas Pangcu Thian Liong Pang. Dan sudah tentu, masih ada Kiang Tek Hong, tokoh yang bertarung seimbang dengan Kiang Ceng Liong di markas utama Thian Liong Pang.

Dengan bermukimnya tokoh-tokoh maha sakti ini di Lembah Pualam Hijau, siapa lagikah yang berkeberanian untuk mengganggu ketenangan Lembah Pualam Hijau? Dan dunia persilatan maklum belaka, jika dewasa ini Lembah Pualam Hijau adalah tempat nomor satu, tempat yang dimalui. Bahkan kehebatan mereka melampaui kemasyuran Bu Tong Pay, Siauw Lim Sie serta juga Kaypang untuk tahun-tahun belakangan. Karenanya wajar jika tempat itu tidak menginginkan kehadiran tamu tertentu, akan selalu dalam keadaan tenang dan damai. Dan situasi serta kondisinya yang seperti itulah yang dikenangkan dan dirindukan kembali oleh Kiang ceng Liong setelah menemukan banyak keruwetan 6 bulan setelah dia menikmati kesenyapan itu di Lembah Pualam Hijau.

Apa sebetulnya yang menghadirkan kerisauan Kiang Ceng Liong sampai begitu mengganggu dan melenyapkan ketenangan di pagi harinya? Kita perlu mundur beberapa hari ke belakang.

Karena kedatangan yang serba rahasia meski telah banyak orang yang mengetahui kehadirannya, maka Ceng Liong meminta kepada pihak Bu Tong Pay agar tempat istirahatnya dirahasiakan. Selain itu, diapun dengan sangat meminta tempat yang jika memungkinkan tidak banyak berhubungan dengan banyak orang. Itulah sebabnya Ceng Liong memperoleh tempat atau kamar istirahat yang paling pojok menyendiri, yang biasanya digunakan tokoh-tokoh khusus jika mengunjungi Bu Tong Pay. Tempat itupun hanya beberapa kali digunakan tamu-tamu agung Bu Tong Pay dan keadaannya tidak menyolok mata.

Hanya, Ceng Liong keliru jika dia dapat beristirahat dengan tenang. Karena ada beberapa tokoh yang tidak perlu bertanya ke pihak Bu Tong Pay untuk mengetahui dimana keberadaannya. Seperti siang hari itu, keesokan hari setelah Ceng Liong menggebah pergi Toh Ling. Mengira dia bisa beristirahat, Ceng Liong kemudian sebagaimana biasanya, menggunakan banyak hari-hari terakhirnya untuk terus mendalami ilmu-ilmunya, termasuk menciptakan beberapa ilmu baru. Tetapi, tiba-tiba ketenangannya rada terganggu oleh sebuah suara yang sangat halus dan lunak memasuki telinga batinnya:

“Anak muda, bolehkah kita berbincang-bincang sejenak”? dari suaranya, meski belum begitu kenal, tetapi Ceng Liong yakin jika yang menggugahnya adalah seorang wanita tua. Seorang Nenek. Dan dia memastikan adalah Nenek Sakti Thian San Giokli. Diapun kagum dan menghormati Nenek itu, karenanya diapun segera mengirimkan isyarat menerima kehadiran si Nenek untuk berbincang dengannya. Dan benar saja, tidak butuh waktu beberapa lama tiba-tiba dalam ruangan tersebut telah bertambah dengan seorang wanita tua sakti bernama Thian San Giokli. Luar biasa cara bergerak nenek itu.

“Terim kasih untuk kesediaanmu anak muda ....... atau dengan apakah sebaiknya aku memanggilmu? Duta Agung ataukah”?

“Silahkan duduk Thian San Giokli, apalah artinya panggilan itu. Mandat Bu Lim Bengcu sudah kukembalikan, karena itu kehadiranku lebih karena hubungan baik dengan Bu Tong Pay. Nenek boleh memanggilku dengan panggilan apa saja” sambut Ceng Liong sambil mempersilahkan Thian San Giokli duduk. Dalam ruangan itu, memang terdapat sejumlah kursi yang biasa digunakan untuk menerima tamu. Dan Nenek Sakti Thian San Giokli tidak risih untuk segera mengambil tempat duduk sambil mengucapkan terima kasih

“Terima kasih Duta Agung, mudah-mudahan aku yang tua ini tidak akan membuatmu merasa terganggu dan tidak akan banyak mengganggu waktumu yang sangat berharga ini ....”

“Accccchhhhh, bukan begitu Nek. Akupun mengerti, jika bukan sesuatu yang sangat penting, tidak mungkin Nenek akan meminta bertemu dengan cara yang luar biasa”

“Engkau terlampau cepat berterus terang Duta Agung. Tapi memang benar, ada beberapa hal yang sangat ingin kubicarakan denganmu. Beberapa hal yang sudah bertahun-tahun ada dalam pikiranku dan entah mengapa sejak semalam, aku seperti mendekati jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut”

Alis mata Ceng Liong mengerut, tanda heran. Karena bagaimanapun dia belum mengenal Nenek ini, meskipun dia berkeyakinan jika Nenek ini selain amat sakti, juga berdiri di jalan lurus. Inilah yang membuatnya menghargai nenek ini dan meluluskan keinginan si Nenek untuk bertemu dan berbincang dengannya. Tetapi, Thian San Giokli yang melihat meski sedikit saja “tanda-tanya” di sinar muka Ceng Liong telah sadar, jika dia harus memperkenalkan diri terlebih dahulu:

“Duta Agung, pernahkah engkau mendengarkan nama Koai Todjin”? bertanya Nenek Thian San Giokli.

“Koai Todjin, Koai Todjin, hmmmmm ........ benar, aku ingat Nek. Kiang Sin Liong Suhu pernah menceritakan seorang aneh bernama Koai Todjin yang menjagoi Bu Lim lebih 100 tahun silam. Tokoh itukah yang nenek maksudkan”? Kiang Ceng Liong bertanya sambil menatap si Nenek. Thian San Giokli tersenyum mendengar jawaban Ceng Liong dan berkata:

“Benar Duta Agung, apa sajakah yang engkau tahu tentang Koai Todjin”?

“Selain menjagoi Bu-Lim waktu itu, Koai Todjin adalah seorang pendekar aliran lurus yang kemudian menyepi di Gunung Thian San. Sayang, waktu beliau merantau tidaklah terlampau lama, tetapi menurut Suhu, kepandaian beliau sungguh luar biasa. Memiliki kemampuan ilmu silat serta ilmu dalam yang sempurna dan mengatasi semua tokoh-tokoh hitam yang sangat lihay dan buas pada masanya” Ceng Liong menjelaskan sambil mengingat-ingat penjelasan gurunya dulu. Tetapi, Koai Todjin memang salah satu tokoh yang diceritakan gurunya dahulu dengan penuh kekaguman. Dan Thian San Giokli nampaknya gembira meski tidak tergambarkan dari sinar matanya.

“Duta Agung, Koai Todjin itu sebetulnya adalah kakek guruku ....” demikian akhirnya Nenek Thian San Giokli buka kartu memperkenalkan dirinya. Dan Kiang Ceng Liong otomatis terkejut ketika si Nenek akhirnya menimpali perkataannya dengan kemudian memperkenalkan dirinya.

“Ach, maafkan jika aku yang muda kurang hormat Nek. Bahkan guruku sangat menghormati Koai Todjin dan membicarakannya dengan nada kagum yang tak disembunyikan. Kiranya Nenek adalah cucu murid tokoh hebat itu” ucap Ceng Liong sambil memberi hormat kepada si Nenek.

“Sudahlah Duta Agung, yang hebat toch adalah kakek guruku, bukannya aku yang sudah tua ini” tolak si Nenek Thian San Giokli ketika Duta Agung Kiang Ceng Liong berkeras memberi dia penghormatan.

“Bagaimana kisah sebenarnya Nek ....?” tanya Ceng Liong akhirnya setelah duduk bersila kembali.

“Kisahnya panjang Duta Agung. Hanya intinya, Kakek Guru malu dengan musibah yang disebabkan saudara kandungnya yang sangat berbakat dan lihay seperti dirinya tetapi gila. Setelah berhasil mengekang adik seperguruan itu, kakek guru akhirnya mengurungnya di sebuah lembah di Thian San dan menamakan lembah itu sebagai Lembah Salju Beryanyi. Sejak itulah Kakek guru lenyap dari rimba persilatan. Murid-muridnya selanjutnya wajib menjaga Lembah itu, termasuk menjaga tempat rahasia dimana dia menahan adik kandungnya serta beberapa tokoh sesat pada jaman itu”

“Sungguh luar biasa pengorbanan orang tua itu .....” desis Ceng Liong semakin kagum dengan nama besar Koai Todjin.

“Duta Agung, jarang orang tahu kecuali kami murid-murid keturunan Koai Todjin, bahwa kakek guru kami itu memiliki kemampuan lain yang luar biasa ....” lanjut Thian San Giokli tetapi tidak langsung membeberkan kemampuan apa gerangan. Tetapi, Ceng Liong tidak mengejarnya, karena sadar, nenek itu akan segera melanjutkan kisahnya itu. Dan benar juga:

“Salah satu kemampuannya baru saja terbukti beberapa waktu sebelumnya. Yaitu dengan lolosnya Toh Ling dengan ilmu busuknya yang luar biasa itu. Kakek Guru Koai Todjin memang memiliki bakat aneh yang sama hebatnya dengan adik kandungnya. Hanya, adik kandungnya menjadi gila ilmu dan gila kedudukan dan kemudian merusaknya. Kakek Guru sadar dan menempuh jalan agama hingga bisa menekan nafsu liar dalam dirinya. Puluhan tahun kemudian, dia mengasah kemampuan meramalnya, dan sejumlah ramalan yang dibuat Kakek guru dalam sebuah kitab kecil ternyata menjadi kenyataan”

“Sungguh hebat Koai Todjin itu ....” bergumam Ceng Liong

“Benar Duta Agung. Kami Lembah Salju Bernyanyi terisolasi dari dunia luar selama 100 tahun akibat kalah bertaruh dengan Kakek Dewa Pedang. Hanya saja, melalui kitab catatan ramalan Kakek Guru, kamu mampu mengetahui apa gerangan yang terjadi di luar sana” ...

“Maksud Nenek ....”? Ceng Liong terkejut dan semakin tertarik dengan informasi yang melibatkan banyak tokoh tua di masa lalu itu. Karena itu, dia memotong penjelasan si Nenek.

“Beberapa tahun setelah Kakek Guru meninggal, anaknya yang hanya mewarisi sebagian kepandaiannya berambisi angkat nama di Rimba Persilatan dan mengalahkan banyak tokoh termasuk mencederai banyak tokoh aliran lurus. Untuk mengekangnya, Kakek Dewa Pedang menantangnya bertarung dengan taruhan siapa yang kalah harus mengisolasi diri selama 100 tahun. Dan supekku itu kalah setengah jurus dari Kakek Dewa Pedang setelah bertarung sehari semalam, dan akhirnya, kamipun tenggelam selama 100 tahun dalam isolasi sebagai akibat kekalahan itu”

“Ini rupanya penyebab mengapa Lembah Salju Bernyanyi seperti sebuah nama baru bagiku. Maafkan aku Nek ....”

“Bukan salahmu Duta Agung. Memang ini murni kekeliruan leluhur perguruanku. Tetapi, bukan menceritakan dan memperkenalkan Lembah Salju Bernyanyi yang menjadi maksud kedatanganku mengganggumu Duta Agung”

“Sudah tentu, sudah tentu. Akupun yakin, pasti ada sesuatu yang sangat penting yang ingin dibicarakan Nenek denganku” tanggap Ceng Liong cepat.

“Seperti kukatakan tadi, Koai Todjin Kakek Guruku sangat hebat meramal dan menuliskannya dalam sebuah buku. Sayangnya, tidak semua angkatan perguruanku senang membaca. Hanya beberapa yang gemar melakukannya termasuk suboku dan aku sendiri. Dan akhirnya kami menemukan sebuah kitab berisi ramalan ramalan kakek guru. Dari buku itulah kami mengenali Kakek Dewa Pedang, mengenali Lembah Pualam Hijau, mengenali Kiang Sin Liong, Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, Kiong Siang Han dan Kian Ti Hosiang. Kami mengenali keadaan dunia persilatan dari catatan Kakek Guruku itu. Hanya saja, catatan rinci itu berakhir sampai pada generasi Duta Agung ....”

“Apa ....”? Kiang Ceng Liong meski bersikap tenang, tetapi tetap tergerak juga ketika mendengar ramalan Kakek Koai Todjin justru mencakup hingga ke angkatannya.

“Benar Duta Agung, rincian tentang apa yang akan terjadi terhenti di angkatan Duta Agung dengan satu catatan tambahan .....”

“Hmmm, bagaimana catatan tambahan itu Nek ...”? Ceng Liong bertanya antara percaya dan tidak percaya.

“Catatan tambahan itu berbunyi: MEREKA BERHADAPAN DENGAN BADAI PERSOALAN YANG LEBIH BERAGAM DAN BERAT”, sambil mengucapkannya si Nenek memandang tajam ke arah Kiang Ceng Liong. Dia sadar, Ceng Liong berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya.

“berhadapan dengan masalah yang beragam dan berat ... “, Ceng Liong mengulangi catatan penutup yang ditambahkan Nenek Thian San Giokli tadi.

“Benar Duta Agung. Jika di angkatan sebelumnya Kakek Guru menulis cukup rinci apa masalahnya, di catatan setelah angkatanmu relatif kosong. Dan hanya ada catatan itu saja. Sejujurnya, kami mengikuti keadaan dunia persilatan dari buku catatan tersebut. Termasuk kedatanganku kali ini ke perguruan Bu Tong Pay, salah satunya untuk membuktikan catatan tentang kematian Ciangbundjin Bu Tong Pay, wakilnya serta terutama Pek Sim Siansu. Padahal, Lembah Salju Bernyanyi baru beberapa bulan sebelumnya bebas dari isolasi 100 tahun”

“Apakah hanya itu saja maksud kedatanganmu Nek ...”? Ceng Liong bertanya

“Engkau teliti Duta Agung. Terus terang kedatanganku ke Bu Tong Pay, meski tidak mengenal banyak tokoh rimba persilatan, tetapi juga untuk beberapa urusan yang ditulis oleh Kakek Guruku. Dan itu jugalah sebabnya mengapa aku yang tua ini memintamu untuk berbicara pada hari ini ....” kalimat ini membuat Ceng Liong menjadi tambah terkejut.

“Baiklah Nek, aku percaya bahwa Koai Todjin memang manusia luar biasa. Suhu juga telah menjelaskannya kepadaku. Apa gerangan yang Nenek inginkan dariku dalam percakapan ini”, Ceng Liong mulai masuk dalam percakapan lebih langsung dan menjurus ke maksud utama si Nenek.

“Duta Agung, meski jauh berada di Thian San, tetapi kakek guruku telah mencium adanya tokoh sakti yang tak sanggup ditembusnya identitas aslinya. Tetapi, dia mencium jika masalah di Bu-Lim banyak terkait dengan tokoh asing yang hebat tersebut. Tidak, dia tidak mengakibatkan masalah secara langsung, tetapi dari pihaknyalah masalah itu datang. Sebagaimana masalah selanjutnya secara tidak langsung datang dari Lembah Salju Beryanyi” kali ini si Nenek tidak lagi sembunyi sembunyi menjelaskan maksudnya. Bahkan masalah yang ternyata bersumber dari Lembah Salju Bernyanyi. Ceng Liong tetap serius dan terpaku mendengarkan, lupa memberi komentar:

“Meski tidak merinci semuanya, tetapi Koai Todjin meninggalkan catatan penutup dan petunjuk yang mengantarku ke tempat ini, di Bu Tong Pay. Yakni, menurut catatan itu: “ketika manusia dewa terakhir pergi, bintang baru muncul mengalahkan beberapa sumber masalah besar yang salah satunya lahir dari Lembah sunyi di Thian San”. Dan jika benar catatan kakek guruku, maka orang yang dia maksudkan adalah Duta Agung yang membantuku mengusir manusia berjubah dan berkedok hijau serta Toh Ling yang dibesarkan di Lembah Salju Bernyanyi” sampai disini Thian San Giokli kembali jeda dan berdiam diri sambil menatap Kiang Ceng Liong.

“Bahwa masalah akan berlarut dan tambah rumit, Guruku, locianpwee Kolomoto Ti Lou dan Pek Sim Siansu locianpwee, memang telah memperhitungkannya. Sungguh luar biasa jika Koai Todjin ternyata telah menghitung kejadiannya sejak 100 tahun silam. Nek, ada lagikah pesan lain yang disampaikan Koai Todjin terkait dengan masalah ke depan ini”? Ceng Liong nampak berpikir keras dengan informasi dari Thian San Giokli ini.

“Duta Agung, Kakek Guru memang menuliskannya untuk kami secara sangat sederhana namun mudah dipahami, seperti ini: “Lembah sunyi akan bertahan jika membantu dan dibantu sang bintang baru”. Awalnya kami kurang memahaminya, bahkan suboku juga tidak memahaminya sampai saat kematiannya. Tetapi, setelah Lembah Salju Bernyanyi terlepas dari isolasi dan mengalami banyak bencana, maka akupun akhirnya memahami apa maksud utamanya”

“Nek, apa maksudmu dengan membantu dan dibantu? Dan pemahaman apa yang Nenek peroleh dari kejadian-kejadian terakhir yang dimaksud”? Ceng Liong bertanya karena memang tidak mengenal dan tidak mengerti dengan kondisi dan keadaan Lembah Salju Bernyanyi.

“Dutra Agung, begitu lepas dari isolasi, Lembah Salju Bernyanyi menyerbu Thian San Pay mencari Kakek Dewa Pedang atau muridnya. Disana, terjadi perkelahian dan menewaskan 50 anak murid Thian San Pay dan Lembah Salju Bernyanyi kehilangan 3 tokoh utamanya. Lembah Salju Bernyanyi kemudian tersusupi oleh manusia berkedok hijau, persis dengan yang Duta Agung temui di pintu utara Bu Tong Pay. Selanjutnya, tiba-tiba Toh Ling muncul dan membunuh kedua orang sumoyku yang menjaga liang penjagaan dimana adik kandung kakek guru dan Thian Tee Siang Mo di tahan oleh kakek guru. Kondisi Lembah Salju Bernyanyi sangat rawan saat ini, baik menghadapi Thian San Pay maupun menghadapi manusia berkedok hijau yang tidak dimengerti apa maunya”

“Mereka juga mengganggu hingga ke Lembah Salju Bernyanyi? Jika demikian, pasti ada maksudnya manusia berjubah hijau itu menyusup ke Lembah Salju Bernyanyi. Keadaan nampaknya berkembang menjadi lebih rumit” demikian Ceng Liong bergumam dan merasa heran karena kawanan manusia berjubah hijau juga mengenali keadaan di Lembah Salju Bernyanyi. “Mengapa dan apa maksud mereka menyusup ke Lembah Salju Bernyanyi?” sungguh pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan segera.

“Duta Agung, benar sekali. Nampaknya mereka mengerti keadaan di Lembah Salju Bernyanyi dan sangat mungkin mereka mengincar dan menduga bahwa Thian Tee Siangmo ataupun adik kakek Guru meninggalkan murid atau sesuatu yang mungkin mereka gunakan. Itulah alasan satu-satunya mereka menyusup memasuki Lembah Slaju Bernyanyi” analisa Thian San Giokli cukup masuk akal. Dan nampaknya Ceng Liong menerima alasan tersebut.

“Nek, aku mengerti kalau kedepan memang persoalan akan semakin beragam dan rumit. Padahal, aku masih harus menghadapi pertarungan tahunan dengan Lam Hay, Thian Tok dan Bengkauw. Sekarang, muncul masalah Toh Ling, Manusia berjubah hijau dan satu lagi, pembunuh Ketua Bu Tong Pay yang kuyakini berbeda dengan kawanan manusia berjubah hijau. Masalah memang cukup banyak dewasa ini, bahkan mungkin masih akan bertambah dengan pertikaian Lembah Salju Bernyanyi dengan Thian San Pay” meski tidak lagi menjadi Bu Lim Bengcu, tetapi jelas Ceng Liong tetap peduli dengan dunia persilatan.

“Duta Agung, justru karena masalah-masalah ini, dan juga masalah Lembah Salju Bernyanyi maka aku mohon bertemu dan bertukar pikiran denganmu. Itupun jika Duta Agung berkenan mendengar apa yang akan kukatakan selanjutnya” Thian San Giokli menawarkan kerjasama namun mencoba masuk secara sangat halus dan nampaknya Ceng Liong senang dengan gaya bicara si Nenek yang memang sopan dan menghargainya meski beda usia mereka cukup jauh.

“Silahkan Nek, aku akan mencoba mendengar dan memahaminya” sahut Ceng Liong mempersilahkan si Nenek memulai.

“Duta Agung, aku atas nama Lembah Salju Bernyanyi akan memohon bantuanmu untuk meredakan pertikaian dengan Thian San Pay. Secara pribadi, setelah mendengar laporan anak murid kami yang menyerang Thian San Pay aku merasa sangat curiga. Apalagi, diantara penyusup, ada yang memiliki kekuatan sihir yang sangat luar biasa yang mampu mengendalikan anak murid kami dan mengantarkannya masuk ke Lembah Salju Bernyanyi” si Nenek berhenti sejenak memandang Ceng Liong yang segera menyahut.

“Untuk urusan mendamaikan atau meredakan rasanya bukanlah sebuah pekerjaan yang maha sulit. Tetapi, aku perlu mendengarkan kesaksian dan keterangan kedua belah pihak. Artinya, jika memang terdapat kekeliruan yang fatal hendaknya masing masing harus rela untuk menerima hukuman. Jika dalam posisi seperti itu, maka secara pribadi aku bersedia melakukannya” jawab Ceng Liong tegas dan membuat Nenek itu mau tidak mau mengaguminya.

“Baiklah, akupun setuju dengan pandanganmu Duta Agung. Jika memang anak murid kami melakukan kesalahan fatal, maka akupun bersedia untuk menghukum mereka sesuai aturan perguruan” mau tidak mau si Nenek menegaskan pendiriannya juga.

“Jika memang begitu, aku bersedia secara pribadi untuk menengahi pertikaian antara Lembah Salju Bernyanyi dengan Thian San Pay” tegas Ceng Liong.

“Baiklah, terima kasih untuk kesediaanmu Duta Agung” si Nenek tidak lupa berterima kasih atas kesediaan Ceng Liong.

“Hanya, diperlukan waktu untuk mendengarkan dari kedua belah pihak dan untuk selanjutnya menganalisa kejadian sebenarnya. Baru setelah itu aku akan berusaha untuk mempertemukan kedua perguruan membahas persoalannya” tambah Kiang Ceng Liong.

“Kita tetapkan demikian Duta Agung, adil bagi keduanya” tambah si Nenek. Dan kedua tokoh itupun tersenyum satu dengan yang lain. Dan setelah menikmati kesepakatan menggembirakan itu selama beberapa saat, si Nenek kemudian akhirnya melanjutkan:

“Hal yang kedua, Duta Agung, jika engkau berkenan akupun masih ada sebuah permohonan yang lain. Mudah-mudahan Duta Agung bisa menimbangnya secara lebih baik dan cermat”

“Masalah apakah itu Nek”? tanya Ceng Liong

“Satu hal yang masih belum kupastikan, nampaknya Kakek Guru sangat mengenal dari dekat Lembah Pualam Hijau. Hal itu juga ditegaskan oleh subo semasa hidupnya dulu” demikian si Nenek memulai, tetapi meski dia memberi jedah bagi Ceng Liong untuk menyela tetapi Ceng Liong diam saja seperti membenarkan. Karena sebetulnya, Ceng Liong juga heran dengan pengetahuan si Nenek yang cukup jelas mengenai Giok Ceng Sinkang dan ranjang pusaka Pualam Hijau yang menjadi rahasia dalam Lembah Pualam Hijau. Karena itu, Ceng Liong tertarik untuk mendengarkan lebih jauh.

“Kakek guru bukan hanya memiliki catatan tentang keadaan di dalam Lembah Pualam Hijau, bahkan juga membuat beberapa catatan yang terus terang tidak dapat kupahami. Dan kelihatannya, catatan itu adalah catatan mengenai Giok Ceng Sinkang. Pengetahuan mengenai Lembah Pualam Hijau, kudapatkan dari catatan Kakek Guru, tetapi catatan khusus yang berisi beberapa kalimat, sungguh tidak dapat kumengerti. Hanya, menurut Kakek guru, Giok Ceng Sinkang memang salah satu ilmu pusaka yang sangat tangguh dan ampuh. Keterangannya itu ditutup dengan 5 kalimat rahasia yang entah ada atau tidak ada hubungan dengan Giok Ceng Sinkang. Karena dalam catatan itu Kakek guru sedang menjelaskan Lembah Pualam Hijau dan Giok Ceng Sinkang. Sayangnya, tidak ada lagi informasi lebih jauh mengenai hal tersebut, termasuk penjelasan apa hubungan kakek guru dengan Lembah Pualam Hijau”

“Hmmm, ini informasi baru yang sungguh menarik Nek. Sejujurnya, leluhurku memang menemukan Lembah Pualam Hijau lengkap dengan Giok Ceng Pit Kip yang memuat pelajaran sinkang Giok Ceng dan Giok Cap Sha Sin Kun, serta juga Ranjang Pusaka Giok Ceng. Semua keturunan keluarga Kiang, pasti diwajibkan melatih sinkangnya di atas ranjang tersebut” jawab Ceng Liong.

“Tahukah Duta Agung khasiat utama ranjang itu”? tanya si Nenek

“Selain memperkuat dasar Sinkang juga mempermudah penguasaannya, terlebih jika secara rutin melakukannya di atas ranjang itu. Dan jika setidaknya mampu dan sanggup selama setahun tidur di atas ranjang pusaka itu, maka kemampuan penguasaan sinkang itu secara sempurna terjamin dimasa depan” jawab Kiang Ceng Liong.

“Tepat sekali Duta Agung, hanya ada satu catatan lain dari Kakek Guru, entah Duta Agung tahu ataukah tidak. Menurut Kakek Guru, kelima kalimat rahasia itu akan terbaca jika telah mencapat tingkatan seperti Duta Agung dewasa ini. Yakni ketika dari sorot mata ataupun wajah pemilik Sinkang itu telah timbul selapis hawa hijau. Maka ketika bersamadhi di atas ranjang pusaka itu, kelima kalimat itupun akan muncul dengan sendirinya, itulah sebabnya Kakek Guru menuliskannya di catatan itu” tambah si Nenek dan membuat Ceng Liong terkejut. Siapa sebenarnya Kakek Aneh Koai Todjin itu?

“Hmmmm, sungguh aneh, tapi aku akan mencobanya kelak Nek. Terima kasih atas informasi ini. Akan sangat menyenangkan jika suatu saat Nenek bisa memberitahu kami hubungan Koai Todjin dengan Pemilik Lembah Pualam Hijau pada masa lalu. Jika ditelaah, sangat mungkin keduanya memiliki hubungan khusus, hal yang membuatku sangat ingin berkunjung ke Lembah Salju Bernyanyi suatu saat” Ceng Liong mengutarakan perasaan hatinya secara langsung.

“Tentu kami akan bergembira menerima kedatangan Duta Agung suatu saat. Dan soal hubungan Kakek Guru dengan Pemilik Lembah Pualam Hijau, biarlah sepulang dari Bu Tong Pay ini akan kuusahakan membaca beberapa kitab peninggalan kakek guru lainnya, siapa tahu ada penjelasan mengenai hal itu disana”

“Terima kasih banyak Nek”

“Nach, berkaitan dengan permohonanku yang kedua Duta Agung, terdapat dalam kalimat rahasia tadi: “Lembah Sunyi akan bertahan jika membantu dan dibantu sang bintang baru”. Suboku tidak berhasil memahaminya hingga meninggal, tetapi aku bisa memahaminya karena ternyata ini adalah persoalan setelah Lembah Salju Bernyanyi lepas dari isolasi 100 tahun. Dan menjadi lebih mengerti lagi ketika kemudian membaca sebuah catatan lain kakek guru yang diberinya judul “Sang Bintang Baru”. Disanalah dia menjelaskan mengenai siapa Bintang Baru dengan petunjuk kejadian di Bu Tong Pay ini, dan beberapa halaman terakhir tidak bisa kubuka dan kubaca. Tetapi dibagian akhir dari catatan itu yang bisa dibaca tertulis : “Hanya Bintang Baru yang bisa membuka dan membacanya”, itulah sebabnya aku tidak pernah berusaha membuka dan membaca isinya. Jika Duta Agung bersedia membantu, maka permohonanku yang kedua adalah kiranya Duta Agung bersedia membuka dan membaca catatan tersebut” si Nenek Thian San Giokli menutup kalimat-kalimatnya dengan permohonan yang mengagetkan Ceng Liong. Tenryata permohonan kedua, hanya membuka dan membaca catatan peninggalan Koai Todjin. “Apa susahnya”? pikir Ceng Liong yang kemudian telah menerimanya dan berkata:

“Baiklah Nek, jika memang hanya mencoba membuka dan membaca peninggalan kakek Koai Todjin, aku akan sangat bersedia. Apakah Nenek membawa catatan peninggalan beliau tersebut”? tanya Ceng Liong.

“Sudah tentu, aku akan menyerahkannya jika Duta Agung memenuhi permohonan tadi” jawab si Nenek cepat dan lugas.

“Jika memang untuk kepentingan banyak orang, aku bersedia untuk membuka dan membaca catatan tersebut” Ceng Liong mengiyakan dan si Nenek nampak gembira luar biasa. Karena diapun sudah lama ingin mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan dalam catatan khusus kakek gurunya itu. Maka si Nenek kemudian mengeluarkan dari balik jubahnya sebuah buku catatan yang terlihat sudah usang, kumal dan tua. Catatan itu dibungkusnya secara sangat berhati-hati dengan sebuah kain berbahan sangat halus dan rupanya dibawanya serta dalam perjalanan ke Bu Tong Pay kali ini.

Kemudian secara perlahan si nenek membuka kain halus yang membungkus catatan Kakek Aneh Koai Todjin, dan perlahan hingga akhirnya muncul sebuah kertas yang sudah berwarna kumal kekuning-kuningan. Di bagian depan kertas kumal tersebut hanya ada tulisan sederhana dengan judul: Catatan Koai Todjin. Bahan kertas luar dan kertas dalamnya adalah sama, tidak berbeda dan semua sudah sama kumal dan kuning. Buku catatan itu tidaklah tebal, paling ditilik dari ketebalan kertas, mungkin hanya ada 15 sampai 20 lembar belaka. “Apa hebatnya gerangan catatan itu”? Ceng Liong berpikir ketika si Nenek meletakkan catatan itu di atas meja dihadapannya.
“Apakah aku diijinkan untuk membuka dan melihatnya sekarang Nek”? Ceng Liong bertanya sambil memandang ke arah si Nenek yang memperlakukan catatan itu dengan hikmat dan hormat. Dan terlihat si Nenek setelah menghormat ke catatan itu kemudian memandang Ceng Liong dan mengangguk sambil berkata:

“Silahkan Duta Agung”

Maka Ceng Liong kemudian turun dari tempat dia bersila tadi, secara perlahan mendekati meja dimana catatan itu diletakkan. Kemudian, meniru si Nenek Sakti, Ceng Liong menghormat ke arah buku tersebut, diiringi senyuman tanda senang atas penghormatan Ceng Liong dari si Nenek. Dan setelah menghormat, secara perlahan Ceng Liong mendekati catatan itu dan kemudian mengulurkan tangan untuk memegang dan membuka catatan tersebut. Tetapi, karena sudah usang dan kumal, Ceng Liong batal memegang, tetapi langsung membelai catatan tersebut, mengusapnya di bagian cover catatan dan kemudian secara perlahan dia membuka catatan tersebut. Ada beberapa saat waktu yang digunakannya untuk membaca halaman-halaman awal dan membuatnya mengangguk-angguk hormat serta bahkan nampak kaget dan kagum. Sementara si Nenek yang telah membaca catatan awal, hanya mengikuti dari tempatnya duduk dan mengawasi Ceng Liong.

Setelah membaca sekitar 5 halaman catatan tersebut, nampak Ceng Liong kaget dan terkejut. Entah apa yang dibacanya, namun minatnya meneruskan membaca nampak sangat besar, sementara si Nenek hanya terus mengawasinya tanpa bermaksud mengganggu ataupun mengajak bicara. Tetapi, setelah halaman kelima, nampak perubahan dalam diri Ceng Liong, dia tiba-tiba bersedekab, bahkan dari dalam dirinya mulai muncul uap putih kehijau-hijauan. Keadaannya sangatlah berwibawa, sementara si Nenekpun mengawasinya dengan takjub tanpa tindakan apapun yang diambilnya.

Beberapa gerakan tangan dilakukan Ceng Liong, bahkan beberapa kali lengannya bermain-main di atas catatan tersebut, tetapi herannya catatan itu tidaklah bergerak sedikitpun. Dan Ceng Liong sendiri setelah beberapa saat, kemudian menarik kembali pengerahan kekuatannya, dan dari pelipisnya nampak mengalir keringat yang lumayan banyak. Artinya, sebelumnya dia memang mengerahkan kekuatan dalam takaran yang tidak kecil. Tetapi, sesaat setelah dia menarik kekuatannya, lima lembar dari catatan Koai Todjin itu perlahan-lahan bagai bunga yang layu, gugur perlahan tertiup angin.

Si Nenek terkejut dan memandang ke arah Ceng Liong. Tetapi Ceng Liong tersenyum ke arahnya sambil berkata:

“Menurut locianpwee Koai Todjin, nenek bakal tahu apa sebabnya lima halaman awal catatan ini luruh menjadi debu dan tertiup angin”

‘Ach, Duta Agung, ternyata dugaanku bahwa engkau telah mencapai tingkatan maha luar biasa tidak salah. Kakek Guru yang sudah wafat puluhan tahun bahkan lebih tahu dibanding aku yang berhadapan denganmu muka dengan muka. Luar biasa, sungguh luar biasa. Jika demikian, engkau sudah mampu membuka catatan utamanya Duta Agung”? tanya si Nenek sambil terus menatap takjub kearah Kiang Ceng Liong.

“Aku sudah bisa membuka dan membacanya Nek, bahkan halaman pertama yang merupakan petunjuk membaca halaman selanjutnya sudah kubaca. Aku bisa memberitahumu Nek, bahwa Kakek Gurumu, Kakek Koai Todjin ternyata memang memiliki sedikit hubungan dengan Pendiri Lembah Pualam Hijau. Tepatnya, Koai Todjin adalah cucu murid paling berbakat dari adik seperguruan termuda pendiri Lembah Pualam Hijau. Karena tidak memiliki penerus, sesepuh pendiri Lembah Pualam Hijau menitipkan pengetahuan mengenai 5 kalimat rahasia kepada kakek Koai Todjin. Hanya dengan penguasaan tertinggi ilmu Giok Ceng Sinkang sajalah maka catatan rahasia ini bisa dibuka” Ceng Liong menjelaskan dengan penuh sukacita, sekaligus takjub dengan pengetahuan barunya tentang siapa pendiri Lembah Pualam Hijau.

“Luar biasa, luar biasa. Kakek Guru memang manusia luar biasa. Dan ternyata beliau memiliki hubungan denganmu anak muda, meski tidak sangat dekat” tutur si Nenek masih takjub dengan apa yang disaksikannya dan apa yang kemudian diketahuinya setelah sangat lama menyimpan rahasia tersebut. Tetapi setidaknya, diapun masih memiliki hubungan perguruan dengan Lembah Pualam Hijau, hal yang membuatnya gembira.

“Benar Nek, kita sebenarnya masih memiliki hubungan perguruan, meskipun tingkatannya sudah sulit diketahui lebih jauh” tegas Ceng Liong.

“Syukurlah, jika demikian Kakek Guru tidak menyuruhku meminta bantuan kepada orang luar. Toch, Duta Agung masih keluarga perguruan sendiri” si Nenek nampak bersyukur dengan kenyataan yang dihadapinya.

“Benar Nek, betapapun kita masih keluarga perguruan yang sama. Jika Kakek Koai Todjin menyimpan erat rahasia ini bagi Lembah Pualam Hijau, maka sudah patut jika selaku Duta Agung Lembah Pualam Hijau juga melakukan sesuatu bagi keluarga perguruan kakek Koai Todjin” tegas Ceng Liong dengan penuh semangat. Hal yang sangat menggirangkan Thian San Giokli.

“Baiklah Duta Agung, aku gembira akhirnya seperti ini. Tahu seperti ini hasilnya, aku tidak akan keberatan untuk turun gunung dan melaksanakan tugas Kakek Guru. Hanya, apakah gerangan isi dari lembar terakhir peninggalan kakek guru”? si nenek bertanya penasaran.

Bukannya menjawab, Kiang Ceng Liong mengeluarkan sebuah medali pualam hijau, tiruan dari Medali Pualam Hijau lambang Bu lim Bengcu, dan menyerahkannya kepada si Nenek. Seterusnya Ceng Liong berkata:

“Nek, aku menunggu ke-3 murid Nenek untuk datang ke Lembah Pualam Hijau. Tanpa tanda pegenalku ini, mereka tidak akan mungkin memasuki Lembah Pualam Hijau. Menurut Kakek Koai Todjin, aku perlu membuka catatan ini di atas Ranjang Pusaka – dan kemudian mengembalikan penguasaanku atas isi catatan ini kepada ke-tiga murid Nenek”

“Ach, tidak kusangka Kakek Guru telah mengatur semuanya dengan begitu detail. Aku memang menyangka dia meninggalkan sesuatu bagi murid-muridku, sekaligus penerus Lembah Salju Bernyanyi, hanya tak kusangka dia melakukannya melalui garis perguruannya dari jalur berbeda” si Nenek bergumam kagum atas pengaturan Kakek gurunya.

“Nek, Kakek Koai Todjin menemukan cara yang dicatatnya ini dengan memeriksa kemampuannya dan kemampuan Giok Ceng Sinkang, dan menurutnya hanya ada beberapa orang yang sanggup mengerti dan menguasai catatannya ini” tambah Ceng Liong yang semakin hormat kepada Koai Todjin yang ternyata masih punya hubungan perguruan dengan dirinya.

“Iya, aku mengerti Duta Agung. Karena Kakek Guru memang telah berpesan, bahwa kebangkitan kembali ilmu Thian Tee Siangmo bakal lebih dahsyat dibandingkan pendahulunya. Bahkan aku hanya akan sanggup bertahan tanpa berkemampuan mengalahkannya jika dia sudah sempurna membaurkan kekuatan kedua gurunya kedalam dirinya. Dan ketiga muridkupun, hanya akan sanggup bertahan tanpa mampu mengalahkannya jika mereka berjumpa pada puncak kemampuan suatu saat. Dan ternyata Kakek Guru telah menemukan engkau Duta Agung sebagai lawan bagi Thian Tee Siang Mo dan keturunannya. Baiklah, jika memang demikian aku akan bergegas kembali ke Thian san, ke Lembah Salju Bernyanyi. Dalam waktu paling lambat 2 bulan, ke-3 muridku akan menemuimu di Lembah Pualam Hijau. Duta Agung, terima kasih atas perhatian dan bantuanmu. Salamku Thian San Giokli kepada keluarga Lembah Pualam Hijau”

“Baiklah Nek, aku akan menunggu mereka. Dan salam nenek akan kusampaikan”

“Baiklah Duta Agung, segera setelah upacara besok, aku akan meninggalkan tempat ini kembali ke Lembah” ujar si Nenek sambil berdiri. Tetapi, belum lagi dia minta diri terdengar sebuah suara:

“Sebentar Nek ...” dan belum lagi suara itu hilang, dalam ruangan tersebut telah bertambah dengan seorang, bukan tetapi dua orang gadis cantik yang kedatangan mereka sungguh bagaikan bayangan hantu belaka. Dalam ruangan tersebut telah bertambah Liang Mei Lan dengan seorang gadis cantik lainnya, inilah Siangkoan Giok Lian, gadis Bengkauw yang menjadi sahabat akrab Mei Lan. Mereka masuk ke ruangan tepat ketika si Nenek sudah akan berlalu.

“Ada apa jiwi-siocia ..... astaga, sungguh banyak orang muda berkepandaian luar biasa sekarang ini” sambil bertanya si Nenek takjub memandang kedua Nona manis yang datang bagai setan dan hantu itu. Mereka masuk dengan pameran ginkang yang sungguh mengagumkan; “nampaknya tidak berada di sebelah bawah kemampuanku” pikir si Nenek.

“Nek, kita telah berjumpa kemaren. Namaku Liang Mei Lan, murid penutup dari suhu Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan” Mei Lan memperkenalkan diri dan disambut kekaguman si Nenek.

“Guru harimau, masakan beranak ayam? sungguh hebat, sungguh hebat. Dan siapa engkau gadis muda”? sambil bertanya kepada Giok Lian
 
2



“Siangkoan Giok Lian murid Bengkauw Nek ....” Giok Lian juga ikut memperkenalkan dirinya sendiri sambil menghormati si Nenek.

“Wah, keturunan orang hebat ........ mari Nona, ada keperluan apakah denganku”

“Nek, aku ingin menyampaikan sebuah pesan suhu almarhum sebelum beliau meninggal” Mei Lan berkata

“Pesan apa gerangan dari Pek Sim Siansu Wie Tion Lan locianpwee”? si Nenek terkejut mendengar penyampaian Mei Lan.

“Sebenarnya akupun tidak tahu maksudnya Nek, tapi guru hanya berpesan kepadaku dan berkata: “Jika suatu saat bertemu Thian San Giokli, sampaikan kepadanya bahwa bahaya yang lebih mengerikan lagi masih berada di dalam liang itu”. Hanya itu yang disampaikan Suhu, dan menurut Suhu yang mulia, Nenek akan mengerti dengan sendirinya” tegas Mei Lan.

“Hmmmm, suhumu benar Nona. Aku memang mempertaruhkan banyak hal, tetapi keselamatan Lembah Salju Bernyanyi juga penting. Karena itu aku memilih datang kemari sebelum kemudian kembali menjalankan tugas yang kulakukan menjaga liang tersebut. Nona, aku sudah menjaga liang itu selama lebih dari 60 tahun”

“Syukurlah jika demikian Nek. Aku telah menyampaikan pesan suhu yang mulia, mudah-mudahan Nenek boleh berjaga-jaga”

“Tentu, tentu Nona. Aku tahu siapa Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, dan jika dia menitipiku pesan di penghujung usianya, artinya pesan itu sangatlah penting. Aku akan kembali menjalankan tugasku sekembalinya ke Lembah Salju Bernyanyi. Baiklah, jika demikian aku mohon diri .....”, Tetapi belum lagi Thian San Giokli keluar dari pintu ruangan itu, dia kembali berbalik dan sambil menatap Mei Lan dan Ceng Liong dia berkata:

“Atas nama perguruanku dan Kakek Guru Koai Todjin aku mengijinkan engkau Nona muda untuk ikut mengetahui isi catatan yang kutinggalkan kepada Duta Agung. Anggaplah hadiah kenang-kenangan untuk Nona atas keramahan penyambutan di Bu Tong Pay ini. Kuharap engkau akan lebih mampu menandingi Toh Ling suatu saat .....” dan tanpa menunggu persetujuan Ceng Liong maupun Mei Lan, Nenek Thian San Giokli kemudian telah melesat keluar meninggalkan ruangan.

=================

Tetapi kerisauan Kiang Ceng Liong bukan hanya masalah yang di ajukan Thian San Giokli. Bukan semata soal menjadi penengah antara Lembah Salju Bernyanyi dengan Thian San Pay. Juga bukan hanya masalah potensi kekisruhan yang bakal dihadirkan Toh Ling yang sudah mewarisi kemampuan 2 iblis maha buas pada masa silam – Thian Tee Siang Mo. Juga bukan hanya persoalan titipan catatan Kakek Koai Todjin yang ternyata masih memiliki hubungan perguruan dengan Lembah Pualam Hijau. Masalah-masalah itu, sudah cukup menghadirkan kerutan dan keruwetan baginya, karena bagaimanapun Lembah Pualam Hijau sedang menarik diri dari kerumitan rimba persilatan.

Hanya karena memikirkan dan mengetahui bahwa Kakek Koai Todjin ternyata memiliki hubungan perguruan dengan Lembah Pualam Hijau yang membuat dia sedikit tentram. “Bagaimanapun membantu Lembah Salju Bernyanyi sama saja dengan membantu keluarga perguruan sendiri” begitu dia mencoba menghibur diri sendiri. Tapi, bagaimanapun, keruwetan tersebut pasti akan menyeret dirinya untuk kembali mencampuri urusan dunia persilatan. Padahal, menurut ramalan gurunya, Lembah Pualam Hijau sendiri bakal disatroni orang dan karenanya sebelum meninggal gurunya meminta semua tokoh Lembah Pualam Hijau untuk tidak berkelana selama masa waktu 2 tahun.

Masalah yang membebani Ceng Liong lebih dari yang disampaikan Thian San Giokli tadi. Karena selain masalah tersebut, masih ada persoalan manusia berjubah dan berkedok hijau yang digebahnya di jalur utara Bu Tong Pay dan yang ternyata sempat membunuh beberapa anak murid perguruan itu. Dan masalah manusia berjubah hijau itu, masih bisa ditambah dengan pembunuhan misterius di Kuil Bu Tong Pay. Tidak main-main, yang terbunuh adalah Ciangbundjin dan wakil Ciangbundjin Bu Tong Pay. Tidak diragukan, Bu Tong Pay pasti akan mengerahkan semua tenaganya untuk melacak siapa pembunuh sebenarnya segera setelah pengganti Ciangbundjin ditetapkan.

Namun, terkait dengan misteri pembunuhan itu, Ceng Liong masih meragukan apakah pelakunya adalah manusia berjubah hijau. Meski beberapa pihak termasuk Bu Tong Pay cenderung menuduh mereka, tetapi Ceng Liong memiliki pertimbangan berbeda. Dan masalah tersebut perlahan-lahan harus dibuktikan ke depan. Bu Tong Pay sudah pasti akan memburu pembunuhnya, karena betapapun peristiwa tersebut menampar nama baik dan nama besar Bu Tong Pay. Hampir bisa dipastikan, para pendekar preman Bu Tong Pay pasti akan dilibatkan dalam penyelidikan dan upaya balas dendam tersebut. Hal ini sudah mulai dirasakan oleh Kiang Ceng Liong selama beberapa saat terakhir.

Selain semua persoalan tersebut, masih ada hal lain yang mengganggu Kiang Ceng Liong. Hal tersebut terjadi beberapa hari sebelumnya, hari yang sama ketika dia bercakap dengan Thian San Giokli. Setelah ditinggal oleh Thian San Giokli, Ceng Liong sempat bercakap-cakap tetapi tidak lama dengan Mei Lan dan Giok Lian. Karena Liang Mei Lan harus terlibat dalam persiapan akhir upacara duka, maka percakapan mereka berlangsung singkat. Hanya saja, sepeninggal ke dua gadis manis itu bukan berarti Ceng Liong mendapat waktu istirahat.

Hanya kurang lebih 30 menit dia beroleh ketenangan, karena tidak lama kemudian ketenangannya kembali diusik oleh orang lain. Orang yang mengusik dan minta bertemu dengannya, juga bukan tokoh-tokoh biasa. Melainkan mereka yang namanya sudah lama menjulang tinggi diangkasa rimba persilatan. Mereka adalah Siangkoan Tek, Kauwcu Bengkauw yang hadir di Bu Tong Pay guna menghormati Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Bersama dengannya adalah Tocu Lam Hay Bun, Lamkiong Bu Sek. Mana bisa Ceng Liong menolak kehadiran mereka?

Tetapi, bukan soal menolak atau menerima kehadiran mereka yang dipikiran Kiang Ceng Liong, melainkan untuk urusan apa mereka menemuinya? Karena, meski kedudukan mereka memang sederajat setelah Ceng Liong menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau, tetapi betapapun usia mereka jauh di atasnya. Dari segi usia, Kauwcu Bengkauw masih seangkatan dengan kakeknya, sementara Lamkiong Bu Sek, Tocu Lam Hay Bun meski jauh lebih muda usia dari kakeknya, tapi tetap saja jauh lebih tua usia darinya.

Karena itu, meski keheranan dengan kedatangan kedua tokoh tersebut, tetapi Ceng Liong dengan cepat dan hormat meski tidak meninggalkan kewibawaannya sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau telah mengiyakan permohonan mereka. Bahkan dengan diapun mengeluarkan suara gembira sekaligus mempersilahkan kedua tokoh itu untuk masuk:

“Silahkan Kawucu Bengkauw dan Tocu Lam Hay Bun, tapi maafkan jika ruangan tamuku terasa kurang memadai” sambut Ceng Liong sambil kemudian berdiri guna menyambut kedatangan kedua tokoh dari dua perguruan yang tidak kurang masyurnya dengan Lembah Pualam Hijau itu. Dan benar saja, tidak berapa lama dihadapannya telah berdiri kedua tokoh besar dengan dandanan khasnya masing-masing. Tentu saja dandanan yang melambangkan perguruan yang dipimpin oleh masing-masing tokoh tersebut.

“Mari, mari, selamat datang dan silahkan duduk jiwi locianpwee” sambut Kiang Ceng Liong segera setelah kedua pimpinan dua perguruan besar itu hadir dalam ruangan itu. Dan adalah Siangkoan Tek, Kauwcu Bengkauw yang memang sangat dekat dengan Kiang Cun Le yang tertawa sambil berkata:

“Hahaha, sungguh tidak keliru Toako Kiang Cun Le mewariskan kedudukan Duta Agung Lembah Pualam Hijau kepadamu. Selamat berjumpa Duta Agung” sambil berkata demikian Siangkoan Tek telah merangkap tangan dan menyambut ucapan salam Kiang Ceng Liong. Tapi jangan salah, Kakek yang mengenakan kopiah berlambang bulan dan matahari, sebuah tanda berunsur terang yang menutupi hingga jenggot panjangnya yang semua telah memutih tidak sekedar menyampaikan salam. Dia telah mengerahkan kekuatan iweekangnya untuk mencoba kekuatan Ceng Liong yang didengarnya memiliki kesaktian melebihi kakeknya Kiang Cun Le. Bahkan selain itu, si Kakek berkopiah ini penasaran, mengapa anak muda ini yang ditempatkan di tempat teratas daftar 10 peringkat pendekar top di Tionggoan.

Serangannya sama sekali tidak mengeluarkan suara desisan sedikitpun. Tetapi Kiang Ceng Liong yang menjadi Duta Agung, bukanlah anak kemarin sore lagi. Kepekaannya serta juga urat-urat syarafnya telah demikian waspada dan sanggup mengiriminya sinyal jika sedang diserang. Tetapi, Ceng Liong yang maklum akan perangai kakek tinggi besar berkopiah bulan dan matahari ini, telah menggunakan sinkang halusnya. Dan akibatnya serangan coba-coba Kauwcu Bengkauw itu seperti tenggelam begitu saja dan tidak mendatangkan efek apapun. Hebatnya Kauwcu Bengkauw sendiri tidak merasakan sedikit apapun selain serangannya tenggelam begitu saja dan tidak membawa efek baik baginya maupun bagi Ceng Liong. Diam diam kakek itu menarik nafas panjang dan kagum akan kehebatan Ceng Liong yang dari caranya menghadapi serangan “menghormatnya”, menandakan bahwa kekuatan tenaga dalamnya sudah sangat sulit untuk dijajaki.

“Luar biasa, luar biasa .....” hanya itu yang digumamkan Kauwcu Bengkauw sambil kemudian dia berbalik dan menuju kursi yang berada di tengah ruangan tersebut. Sementara pada saat bersamaan, Kakek yang satu lagi, lebih muda usianya, telah menggantikannya memberi hormat kepada Duta Agung. Dan sepertinya, diapun mengidap penyakit yang sama dengan Kakek tinggi besar satunya, si Ketua atau Kauwcu Bengkauw.

Kakek yang satu ini mengenakan Topi aneh menyerupai ikan hiu dengan jubah biru cemerlang yang ditempeli dengan beragam jenis mutiara. Dan kakek inipun menghormat persis seperti Kauwcu Bengkauw, hormat dan salam yang diiringi dengan serangan tenaga iweekang untuk mengukur kemampuan Duta Agung yang masih sangat muda usianya ini. Tetapi, sebagaimana juga Kauwcu Bengkauw, Tocu Lam Hay Bun inipun tenggelam tenaga serangannya seperti ke dasar laut dan tidak menghadirkan efek sedikitpun bagi dirinya dan bagi Ceng Liong. Dia mengalami kekagetan yang sama dengan Kauwcu Bengkauw dan karena itu, sambil menggumamkan kata-kata atau kalimat-kalimat pujian atas kehebatan Ceng Liong, diapun kemudian berbalik dan menuju kursi yang lainnya lagi berendengan dengan Kakek Ketua atau kauwcu bengkauw.

Setelah kedua tamunya duduk, Ceng Liongpun dengan tidak mengungkit sedikitpun hasil dari benturan tenaga sambil menghormat, kemudian menuju ke kursi satunya lagi dan jadinya berhadapan dengan kedua tokoh besar itu di meja tengah ruangan tempatnya menginap. Dengan tidak meninggalkan sikap hormat serta tentu wibawanya sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau, Ceng Liong kemudian menyapa sambil membuka percakapan:

“Terima kasih atas kunjungan yang terhormat Kauwcu Bengkauw dan Tocu Lam Hay Bun. Ada urusan apakah gerangan hingga jiwi locianpwee berkenan untuk mengunjungi aku di tempat ini”?

“Hahahahaha, Duta Agung, tidak perlu merendahkan diri. Dengan berada di puncak daftar pendekar rimba persilatan dan menjadi pemilik Lembah Pualam Hijau, serta kekuatanmu menahan seranganku tadi, membuktikan jika Duta Agung bukanlah nama kosong belaka. Dengan kata lain, kakekmu Kiang Cun Le benar-benar telah menemukan penerus yang sepadan di Lembah Pualam Hijau” sambil tertawa gembira Kauwcu Bengkauw memuji serta memandang kagum ke arah Kiang Ceng Liong. Benar, dia penasaran dengan daftar 10 pendekar top Tionggoan, tetapi setelah mencoba Duta Agung ketika bertemu tadi, dia mendapati kenyataan bahwa anak muda itu memang tidak bernama kosong. Bahkan sepertinya malahan memang melebihi kakeknya sendiri, Kiang Cun Le.

“Acccchhhh, Kauwcu Bengkauw terlampau memuji ...” Ceng Liong menukas sambil merendahkan diri. Bagaimanapun dia sadar dengan siapa dia berhadapan. Yakni dengan tokoh-tokoh puncak rimba persilatan Tionggoan yang sudah angkat nama puluhan tahun.

“Ah, sudahlah Duta Agung. Siangkoan Kauwcu memang benar, betapapun dalam kedudukanmu sebagai Duta Agung kita berdiri sama tinggi di rimba persilatan. Karena itu, tidak perlu engkau terlampau merendahkan diri dalam menghadapi kami-kami ini. Meskipun memang usia kami jauh lebih tinggi dari pada Duta Agung” Lamkiong Bu Sek bersuara mendukung Siangkoan Tek, Kauwcu Bengkauw. Dan ternyata suaranya sangatlah besar, mungkin sama besar dengan tubuhnya yang memang juga jangkung dan tinggi besar itu.

“Terima kasih, terima kasih jiwi locianpwee. Jika demikian, maafkan jika selaku Duta Agung aku berlaku kurang layak”

“Sebetulnya, bukan soal kurang layak. Justru sebaliknya, kami berdua memutuskan untuk menemui Duta Agung karena menemukan sejumlah persoalan dan keanehan beberapa waktu belakangan ini” ujar Kauwcu Bengkauw sambil mengelus-elus jenggotnya yang semua sudah memutih tersebut. Ucapan Kauwcu Bengkauw yang tiba-tiba menjadi serius ini sedikit menggelitik dan menghadirkan rasa heran bagi Ceng Liong. Meskipun demikian sambil terus menatap kedua tokoh itu, Ceng Liong tetap bersikap menunggu penjelasan selanjutnya mengenai persoalan yang mereka informasikan tersebut.

Diamnya Duta Agung membuat Kauwcu Bengkauw dan Tocu Lam Hay Bun saling pandang. Nampaknya keduanya sedang berusaha menyepakati siapa gerangan yang akan menjadi “juru bicara utama” dalam menjelaskan masalah yang mereka bawa kepada Duta Agung. Keduanya saling tatap untuk sampai pada pengertian bahwa keduanya akan saling menguatkan. Sementara Ceng Liong memandangi keduanya sampai akhirnya Kauwcu Bengkauw kembali buka suara:

“Duta Agung, sebelum menemukan kasus terbunuhnya Ciangbundjin Bu Tong Pay, kami belum akan membuka persoalan ini. Tetapi, setelah melihat korban juga menyentuh hingga ke Bu Tong Pay, kami menjadi gelisah karena efeknya sangat mungkin melebar kemana-mana” demikian sang Kauwcu memulai. Akan tetapi, baru sampai di titik ini, Kiang Ceng Liong segera menjadi sangat tertarik dan terlihat sangat antusias. Bahkan, karena penjelasan lebih jauh agak terlambat, Ceng Liong telah menukas lebih dahulu:

“Apakah hal ini mengartikan bahwa jiwi-locianpwee sebenarnya mengetahui siapa gerangan tokoh yang melakukan pembunuhan tersebut”? sambil menatap kedua tokoh dihadapannya menanti reaksi dan jawaban mereka.

“Tahan sebentar Duta Agung. Karena persoalannya bukan semata korban di Bu Tong Pay, tetapi bahkan juga anak murid Lam Hay Bun, Bengkauw dan beberapa pendekar dalam perjalanan menuju Bu Tong Pay ini. Jika dihitung dari korban di sekitar laut selatan hingga ke Bengkauw dan perjalanan ke Bu Tong Pay, maka pembunuhan tersebut telah berlangsung selama hampir 2 bulan terakhir ini”

“Astaga, tapi apakah kematian mereka semua mirip dengan kematian Ciangbundjin Bu Tong Pay dan wakilnya itu”? Ceng Liong bertanya secara serius. Tetapi, bukannya menjawab pertanyaan itu, Tocu Lam Hay Bun justru sebaliknya bertanya kepada Ceng Liong:

“Duta Agung, apakah engkau pernah sedikit saja mendengarkan cerita mengenai salah satu imu pukulan yang dirahasiakan dan bernama Ilmu Cit Sat Sin Ciang (Ilmu Pukulan Sakti Tujuh Gerakan)”?

“Maksud Tocu, Ilmu rahasia Lam Hay Bun yang telah lenyap kurang lebih 150 tahun terakhir ini”? Ceng Liong balik bertanya

“Tepat sekali, ilmu itu yang kumaksudkan”

“Hanya sekilas, suhu memang pernah menjelaskan kepadaku. Tetapi, secara lebih rinci mengenai jenis serta kekuatan dan kehebatan ilmu pukulan tersebut, suhu sama sekali tidak memberitahuku”

“Duta Agung, jika kami tidak keliru, kita sedang menghadapi kemunculan kembali ilmu rahasia Lam Hay Bun. Dan celakanya, Ciangbundjin Bu Tong Pay, tidak salah lagi telah menjadi korban dari ilmu pukulan rahasia yang telah lama hilang tersebut” tegas Tocu Lam Hay Bun

“Mengapa Tocu sampai seyakin itu .... ”? Ceng Liong bertanya keheranan.

“Karena sebagaimana korban-korban sebelumnya, termasuk korban-korban awal di seputar laut selatan, semuanya tidak menunjukkan adanya sedikitpun kerusakan maupun terluka di bagian luarnya. Tapi jika diperiksa lebih teliti, organ-organ dalam dari orang-orang tersebut telah rusak berat. Disinilah ampuhnya sekaligus kejinya ilmu rahasia tersebut. Satu tanda lagi yang tidak bakal keliru, semua korban binasa dengan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dan semua korban yang kami periksa, menunjukkan tanda-tanda yang sama” jawab Tocu Lam Hay yang nampaknya sangat yakin bahwa penyebab kematian para korban termasuk Ciangbundjin Bu Tong Pay adalah pukulan rahasia perguruannya yang telah dinyatakan lenyap ratusan tahun silam. Sebelum Ceng Liong bereaksi, Kauwcu Bengkauw telah menyambung:

“Konon keampuhan pukulan tersebut adalah, meski hanya terdiri dari tujuh gerakan biasa, tetapi setiap gerakan yang menyusul secara otomatis membawa kandungan tenaga yang 2 kali lebih besar dari gerakan sebelumnya. Dan jika seseorang telah sanggup memainkannya sampai gerakan ke-7 berarti orang itu telah sanggup menguasainya secara sempurna. Fakta bahwa semua korban menunjukkan gejala yang sama mengartikan, kita sedang berhadapan dengan seorang yang telah sempurna meyakinkan Cit Sat Sin Ciang tersebut. Dan terus terang saja Duta Agung, bahkan Tocu Lam Hay Bun dan Kauwcu Bengkauw sendiripun masih bukan tandingan orang tersebut”, jelas sekali bukan hanya nada, tetapi ekspressi wajah Kauwcu Bengkauw ketika mengucapkan kalimat terakhir sangat-sangat prihatin dan bahkan terlihat begitu menyedihkan.

Menampak kerut dan keprihatinan di wajah kedua tokoh tersebut, Kiang Ceng Liong terkejut dan segera maklum jika persoalan tersebut bukanlah perkara kecil. Kesombongan dan kegemaran akan nama baik dari ke-dua orang ini sudah sangat dikenal olehnya, termasuk kakeknya. Tetapi, bahwa mereka berdua sampai merendah dan mengatakan tidak akan sanggup menghadapi manusia yang membekal Cit Sat Sin Ciang, sungguh mengagetkannya. Karena itu diapun segera bertanya sekaligus berusaha menepis kepenasarannya:

“Jiwi-Locianpwee, apakah memang Ilmu pukulan tersebut sangat dahsyat dan tidaklah terlawan? Bagaimanakah jika dibandingkan dengan ilmu pukulan lainnya yang bernama Thian Tee Siang Mo yang bernama Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang)?

Kauwcu Bengkauw Siangkoan Tek menarik nafas panjang sambil kemudian menjawab pertanyaan tersebut:

“Duta Agung, pada lebih 150 tahun sebelumnya, ada 5 ilmu pukulan jahat yang menjagoi dunia persilatan. Ke-5 ilmu pukulan tersebut adalah Cit Sat Sin Ciang dari Lam Hay, Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) milik guru dari sepasang Iblis Langit Bumi, Ilmu Ceng Wua Hua Liat Ciang Hoat (llmu pukulan Penggetar Urat Nadi) milik dari Nenek Hoa Ciu Nio yang masih merupakan Bibi Guru dari Kakek Guruku, Ilmu Hian Men It Goan Kong Ki (Tenaga Dalam Dahsyat yang melumpuhkan Lawan) milik Sek-mo (iblis cabul) Jit-sim-ang dan terakhir Ilmu Pukulan Si Sesat Tidak Sesat Lurus Tidak Lurus Nenek Buyung Siok Sing yang bernama ilmu sakti Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga)”

“Aku sudah pernah mendengar kisah 5 pukulan sakti tersebut, tetapi kehebatan dan detail dari masing-masing ilmu tersebut sungguh-sungguh aku tidak mengerti Kauwcu” Ceng Liong kembali bertanya ketika Kauwcu Bengkauw berhenti sejenak. Dan atas pertanyaan Ceng Liong, dia kembali melanjutkan penjelasannya:

“Nenek Buyung Siok Sing mungkin adalah yang paling lemah dari mereka berlima, tetapi Ilmunya Ciat Lip Jiu (Tangan Sakti Penerus Tenaga) membuatnya mampu melawan tokoh yang lebih lihay darinya. Pukulan sehebat apapun akan sanggup digiringnya untuk diadu dengan pukulan orang lain, atau ditumbukkan ke benda keras disekitarnya. Jika kemampuan iweekang berimbang, dia bahkan akan sanggup mengembalikan pukulan lawan tersebut lebih kuat dari yang dilontarkan. Karena itu, meski iweekangnya lebih lemah, asal tidak kalah sampai lebih dari setengah bagian, maka akan sulit memukulnya. Disinilah letak keampuhan Ciat Lip Jiu. Hanya sayangnya, Nenek antik ini sudah lama menghilang bersama dengan ilmu ampuhnya tersebut. Ke-4 ilmu lain, sebagaimana kabar di dunia persilatan memiliki keampuhan yang sama dengan tingkat kekejian yang hampir sama. Karena itu, sebetulnya yang tepat bukan 5 pukulan jahat, tetapi 4 pukulan jahat, karena yang benar-benar jahat dan keji adalah 4 ilmu pukulan tersebut. Sementara Nenek Buyung Siok Sing sulit di terka apakah dia tokoh sesat ataukah tokoh lurus, berbeda dengan ke-4 tokoh lainnya yang memang benar-benar jahat dan sadis”

Ceng Liong nampak manggut-manggut mendengarkan penjelasan tersebut. Sementara itu, Kauwcu Bengkauw nampak beristirahat sebentar dan melirik Tocu Lam Hay untuk melanjutkan:

“Cit Sat Sin Ciang hanya bisa dilontarkan jika seseorang telah menguasainya secara sempurna, jika tidak baru sampai di pukulan kelima, pemiliknya bakal terkapar binasa kehabisan tenaga. Sebagai perbandingan Duta Agung, dengan tingkat kepandaianku sekarang ini, aku baru bisa memadai untuk mulai belajar Cit Sat Sin Ciang. Sayangnya, ilmu tersebut telah raib bersama dengan hilangnya Lamkiong Hok setelah sama-sama terluka dalam pertempuran segi-lima di tepi pantai Timur. Setelah pertempuran tersebut, Lamkiong Hok lenyap bersama ilmu tersebut dan tidak pernah muncul kembali hingga 150 tahun kemudian. Ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) baru akan disebut sempurna jika dalam mengeluarkan ilmu tersebut tersiar hawa harum menggantikan bau busuk. Sepanjang pemilik ilmu tersebut belum menguasai secara sempurna, maka bau busuk yang akan keluar dari pemilik ilmu tersebut. Sejauh pengetahuanku, Thian Tee Siang Mo belum sampai pada tingkat ini kecuali guru mereka. Dan ilmu inipun sudah raib bersama Thian Tee Siang Mo”

“Tetapi, ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) sudah munculkan dirinya beberapa hari sebelumnya di Bu Tong Pay ini” Ceng Liong menyela, dan melanjutkan: Hanya saja, bau yang tersiar dari tubuh Toh Ling yang menguasai ilmu itu masih bau busuk”

“Benar, sebetulnya kami berduapun heran, bagaimana bisa seorang anak muda menguasai ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) tersebut. Memang sangatlah mungkin dia adalah murid pewaris dari Thian Tee Siang Mo” jawab Tocu Lam Hay

“Tepat sekali, Toh Ling nampaknya membekal ilmu tersebut dari Thian Tee Siang Mo” tegas Ceng Liong teringat penjelasan Thian San Giokli

“Engkau yakin sekali dengan pandangan itu Duta Agung”? Kauwcu Bengkauw bertanya heran.

“Beberapa waktu lalu, seorang locianpwee baru saja memberitahuku asal-usul Toh Ling dan siapa gurunya” jawab Ceng Liong sambil memandang Kakek tinggi besar berkopiah bulan dan matahari itu.

“Siapakah tokoh tua tersebut Duta Agung”? bertanya Kauwcu Bengkauw sambil menatap tajam ke arah Ceng Liong

“Dia adalah Thian Sat Giokli, tokoh tua dari Lembah Salju Bernyanyi dimana Thian Tee Siang Mo di kalahkan dan disekap oleh pemilik lembah itu Koai Todjin sejak 100 tahun silam” jawab Ceng Liong.

“Ach, kiranya tokoh aneh itu yang mengalahkan dan menyekap sepasang iblis yang sangat ganas itu” bergumam Kauwcu Bengkauw, heran dan takjub akan informasi terakhir itu. Sekaligus prihatin dengan munculnya salah satu dari 4 pukulan jahat yang mengganas 150 tahun silam.

“Bagaimana dengan ke-2 ilmu pukulan jahat lainnya” Ceng Liong kembali bertanya sambil memandang Tocu Lam Hay

“Kedua ilmu jahat lainnya yakni Ilmu Ceng Wua Hua Liat Ciang Hoat (llmu pukulan Penggetar Urat Nadi) milik dari Nenek Hoa Ciu Nio dan Ilmu Hian Men It Goan Kong Ki (Tenaga Dalam Dahsyat yang melumpuhkan Lawan) merupakan ilmu-ilmu pukulan jahat yang memiliki keistimewaan berbeda. Jika Ceng Wua Hua Liat Ciang Hoat dikerahkan dengan kekuatan penuh, maka sekali saja menerobos pertahanan sinkang kita, dipastikan urat nadi kita akan tergetar pecah. Jika sudah demikian, maka sulit menghindari cacat atau bahkan kematian. Sementara Hian Men It Goan Kong Ki merupakan lontaran tenaga dalam yang sama dengan Bu-siang-te-im-hu-kut mengandalkan hawa racun dan kekuatan tenaga dalam. Kelihatannya ke-lima tokoh sesat pada masa lalu ini semuanya terluka berat karena setelah pertempuran mereka di pantai timur, selanjutnya tiada seorangpun juga yang masih menjumpai mereka hingga saat ini”

“Tetapi, faktanya sekarang ini kita justru sedang menghadapi 2 dari 4 pukulan jahat pada masa lalu. Dan jika memang benar demikian, kedua ilmu pukulan jahat itu telah muncul di Bu Tong Pay” Ceng Liong menyimpulkan sambil memandang ke dua tokoh dihadapannya.

“Benar Duta Agung, justru karena menyadari gejolak yang sangat mungkin akan segera kita hadapi, maka kami berdua mencoba menyampaikannya dan bertukar pikiran dengan Duta Agung. Karena, di sela menghadapi ancaman dunia persilatan oleh kehadiran ke dua ilmu pukulan itu, kita masing-masing sedang sibuk memikirkan pertarungan antara kita satu tahun setengah kedepan” ujar Tocu Lam Hay yang mana di wajahnya nampak benar kecemasan yang tak tersembunyikan.

“Bagaimana menurut jiwi-locianpwee? Ancaman tersebut sudah pasti memang harus ditanggulangi, sementara janji pertemuan kita ke depan juga sudah kita tunda sekali. Jika memang jiwi-locianpwee punya pendapat, aku yang muda akan sedia untuk mendengarkannya” ucap Ceng Liong sambil mengembalikan ide pertarungan mereka kepada kedua tokoh Bengkauw dan Lam Hay tersebut.

“Duta Agung, sebagaimana telah disepakati dalam beberapa pertarungan terakhir, pertemuan ataupun pertarungan antara Pendekar Tionggoan yang diwakili Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kaypang dengan kami Lam Hay Bun, Bengkauw dan Thian Tok telah berubah jauh maknanya. Jika dahulu aroma memperebutkan nama masih sangat kental, maka akhir-akhirnya lebih sebagai ajang uji kemampuan menakar sejauh mana kemampuan dan kemajuan masing-masing perguruan. Karena itu, kami ingin usulkan bagaimana sekiranya pertemuan berikut dilaksanakan di salah satu peserta dari 7 perguruan yang terlibat? Kalau selama ini dilakukan di wilayah Tionggoan, maka kami ingin mengusulkan Lam Hay sebagai tempat pertempuran berikutnya. Bagaimana kiranya pandangan dan pendapat Duta Agung”? Ide dan usul yang diajukan Kauwcu Bengkauw ini sangatlah menarik. Dan tentu saja Ceng Liong setuju dengan makna pertempuran nantinya, yakni sebatas uji kemampuan dan kemajuan masing-masing. Hanya, tempat pelaksanaan di Lam Hay Bun, kelihatannya Ceng Liong tidak berani mengambil keputusan sendiri. Karena itulah diapun berkata sambil berpikir sejenak:

“Jiwi-locianpwee, rasanya sayapun secara pribadi sangat sepakat dengan makna pertempuran itu nantinya. Semua pihak rasanya tidak berkeberatan jika itu dilakukan sebatas mengenali kemajuan dan kemampuan masing-masing. Hanya, ijinkan aku mencoba menjajaki keinginan kawan-kawan Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan juga Kaypang. Dalam waktu dekat kami akan menyampaikan keputusan terkait undangan untuk melakukan pertemuan dan pertarungan di Lam Hay Bun” ujar Ceng Liong, meski tidak memberi jaminan persetujuan, tetapi nampaknya dia pribadi setuju dengan ide Bengkauw dan Lam Hay. Hal itu membuat kedua tokoh besar di hadapannya tersenyum dan manggut-manggut.

“Jika memang Duta Agung memandang penting untuk membicarakan masalah tersebut dengan Siauw Lim Sie, Bu Tong dan Kaypang, maka kami mengucapkan terima kasih. Hanya, perlu kami tegaskan, karena keterlibatan salah seorang sesepuh Lam Hay Bun dalam huru-hara Thian Liong Pang, serta munculnya ilmu jahat yang dahulunya dipergunakan salah seorang tokoh Lam Hay Bun, maka kami ingin mengundang tokoh-tokoh Tionggoan untuk berkunjung dan lebih mengenal Lam Hay Bun dan pulau kami di lautan selatan. Pertemuan selanjutnya, kamipun sangat setuju jika dilakukan di salah satu tempat Siauw Lim Sie, Lembah Pualam Hijau, Bu Tong Pay ataupun Kaypang” demikian Tocu Lam Hay Bun menjelaskan alasan undangannya ke Lam Hay Bun.

“Ide tersebut memang sangat menarik, karena itu dengan senang hati kami akan bicarakan dan mudah-mudahan akan disetujui sahabat-sahabat lainnya” Ceng Liong mengungkapkan rasa senangnya yang tak tersembunyikan dari raut wajahnya. Percakapan merekapun berjalan jauh lebih santai dan menyenangkan, meskipun masalah-masalah yang diajukan sebetulnya adalah masalah-masalah peka yang sedang terjadi di rimba persilatan dewasa ini.

Dan ketika akhirnya percakapan mereka akan diakhiri, saat kedua kakek tersebut sudah berdiri dari kursi yang mereka duduki, Kiang Ceng Liong teringat suatu masalah yang dititipkan oleh kakeknya:

“Kauwcu, maafkan jika aku melupakan sesuatu. Kakek sempat membisikkan satu pesan untuk disampaikan kepada Kauwcu, yakni berkaitan dengan perjodohan Nona Siangkoan Giok Lian dengan Liang Tek Hoat” Ceng Liong berkata sambil ikut berdiri, sementara Kauwcu Bengkauw mendengar berita tersebut telah dengan gembira membalikkan badan dan kembali menghadap Kiang Ceng Liong. Dari mulutnya segera terdengar permohonan berita selanjutnya dari Ceng Liong:

“Apakah gerangan berita itu adalah berita gembira Duta Agung”? sang Kauwcu tidak menyembunyikan nada gembira dari suaranya.

“Menurut kong-kong, pihak keluarga Pangeran Liang dan Kaypang telah menyetujui perjodohan Liang Tek Hoat dengan Non Siangkoan Giok Lian. Namun, menurut saudara Tek Hoat dan tadipun telah kubicarakan dengan nona Giok Lian, mereka menunda hari bahagia mereka sampai setelah pertemuan antara Perguruan Tionggoan dengan Lam Hay, Bengkauw dan Thian Tok. Dengan demikian, hari bahagia mereka akan dilangsungkan lebih satu setengah tahun kedepan” berkata Ceng Liong sambil tersenyum.

“Hahahaha, aku tahu jika toako tidak akan mengecewakanku. Terima kasih, terima kasih Duta Agung, sampaikan salamku kepada kakekmu itu” tawa gembira spontan terdengar dari mulut Kauwcu Bengkauw, dan karena lepas tak ditahan-tahan, orang di luarpun pasti mendengarkan tawa kakek tinggi besar ini.

“Kionghi, kionghi Kauwcu. Jangan lupa mengundang Lam Hay di hari bahagia cucumu itu kelak” Tocu Lam Hay memberi ucapan selamat. Dan seterusnya diapun menghadapi Ceng Liong sambil berkata:

“Duta Agung, akan ada saatnya aku yang tua ini memohon bantuanmu buat cucu cucuku nanti, hahahaha” Tocu Lam Hay ikut bergirang, sekaligus diapun ingin mengikat janji Ceng Liong untuk membantu mencarikan jodoh bagi putra-putri atau cucu-cucunya kelak. Sudah tentu Ceng Liong meski sekedar berbasa-basi tidaklah akan menolak permohonan ini:

“Sudah tentu, jika memang berkesanggupan untuk membantu, aku akan sangat senang melakukannya locianpwee. Dan aku menunggu kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi Tocu Lam Hay Bun”

“Hahahaha, baiklah terima kasih Duta Agung. Biarlah kami menunggu jawabanmu dalam beberapa hari ini sebelum kami kembali ke Bengkauw dan Lam Hay”, Tocu Lam Hay Bun kemudian ikut berbalik dan menyusul Kauwcu Bengkauw yang telah berjalan ke pintu keluar.

“Terima kasih atas kunjungan Jiwi-Locianpwee” Ceng Liong memberi hormat sambil menghantarkan kedua tokoh besar itu ke luar ruangan dan mengucap terima kasih atas kunjungan kedua tokoh besar itu.

“Baiklah, sampai berjumpa pula Duta Agung” dan belum hilang nada suara itu, kedua manusia tinggi besar itu sudah jauh berada di luar ruangan. Meninggalkan Duta Agung Kiang Ceng Liong sendirian dalam ruangan tersebut.

=================

Dan, persoalan-persoalan itulah yang kembali memenuhi pikirannya. Beberapa urusan telah dikerjakannya beberapa hari ini. Pertama, meminta pandangan Siauw Lim Sie, Kaypang dan Bu Tong Pay tentang usulan pertemuan setahun lebih ke depan untuk dilaksanakan di Lam Hay Bun. Dan, ternyata baik Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay maupun Kaypang menyatakan persetujuan atas usulan tersebut, terlebih karena disertai alasan “guna lebih saling mengenal” dan bukan semata urusan “pibu atau adu kepandaian”. Karena itu baik Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay maupun Kaypang telah dengan besar hati kembali memberi kepercayaan kepada Ceng Liong untuk menyampaikkan persetujuan atas pertemuan yang ditetapkan akan dilaksanakan pada musim semi nanti.

Dengan demikian, untuk urusan yang pertama Ceng Liong telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan, sebelum Tocu Lam Hay Bun dan Kauwcu Bengkauw meninggalkan Bu Tong Pay, Ceng Liong telah menyampaikan perihal persetujuan mereka untuk mengunjungi Lam Hay Bun pada musim semi satu setengah tahun ke depan. Dan hal itu disambut dengan sangat gembira oleh masing-masing Kauwcu Bengkauw, terlebih Tocu Lam Hay Bun. Merekapun pulang dengan hati gembira.

Selain urusan itu, Ceng Liong juga telah mempercakapkan persoalan munculnya pewaris 2 ilmu pukulan jahat pada 150 tahun silam, yakni ilmu Cit Sat Sin Ciang (Tangan Pengendali tenaga) dari Lam Hay Bun dan juga ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Kiang Ceng Liong sekaligus juga mengingatkan baik pihak Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kaypang untuk jauh lebih awas dan waspada terhadap munculnya Toh Ling dengan kemampuan ilmu Bu Siang Te Im Hu Kut yang kabarnya masih belum sempurna. Tetapi belum sempurnapun sudah mampu mengimbangi Mei Lan dan Kwi Song. Bagaimana jika sudah mampu menyempurnakan ilmunya?

Sekaligus, Ceng Liong juga meminta agar semua awas dengan munculnya pewaris Cit Sat Sin Ciang yang untuk saat ini nampaknya malah lebih berbahaya. Karena Ciangbundjin Bu Tong Pay sudah menjadi korban. Selain itu, pewaris pukulan ini tidak akan muncul jika belum sempurna menguasai ilmu tersebut. Karena itu, kewaspadaan harus sangat ditingkatkan, sekaligus upaya penyelidikan harus dilakukan secara bersama-sama. Pertemuan merekapun menyepakati semua, baik Lembah Pualam Hijau, Kaypang maupun Siauw Lim Sie akan ikut membantu penyelidikan pembunuhan Ciangbundjin Bu Tong Pay.

Akan tetapi, khusus Lembah Pualam Hijau, dalam komitmen bersama 4 perguruan baru akan mulai bergerak setelah 2 bulan kedepan. Hal inipun hanya akan terbatas kepada pergerakan Duta Agung karena kebersamaan dengan 4 perguruan besar Tionggoan. Jangka waktu 2 bulan, karena dalam waktu dua bulan ini Lembah Pualam Hijau sedang mempersiapkan hari pernikahan Nenggala dengan Duta Dalam Lembah Pualam Hijau, Kiang Li Hwa. Kesempatan itu juga Ceng Liong menyampaikan undangan kepada 4 perguruan, dan hanya mereka undangan di luar Lembah Pualam Hijau. Tidak ada undangan lain yang dilayangkan dan upacara pernikahan inipun tidaklah disiarkan di dunia persilatan.

Sayangnya Kiang Ceng Liong sama sekali tidak memperhatikan, karena memang sama sekali tidak tahu jika ada salah seorang peserta pertemuan yang terpukul dengan kabar gembira itu. Disudut, Souw Kwi Beng nampak tertunduk lesu, dan hanya seorang Kwi Song belaka, saudara kembarnya, yang mengerti benar mengapa kokonya tiba-tiba berubah begitu lesu dan tidak bersemangat. Kabar gembira dan undangan dari Ceng Liong merupakan berita buruk dan melesukan bagi seorang Kwi Beng. Dan kabar itu telah membuka lembaran baru yang akan ditempuh seorang Kwi Beng ke depan. Apa dan bagaimanakah itu?

Setelah mengatur kesepakatan dengan ke-empat perguruan Tionggoan, pada hari kedua setelah upacara duka, Ciangbundjin Siauw Lim Sie dan rombongannyapun meninggalkan Bu Tong Pay. Hampir bersamaan waktunya dengan keberangkatan Tocu Lam Hay Bun dan Kauwcu Bengkauw. Banyaknya tamu yang meninggalkan Bu Tong pada hari kedua, hampir sama banyaknya dengan yang berangkat pada hari pertama. Karena itu, menjelang malam hari, Bu Tong Pay sontak menjadi jauh lebih sepi dibandingkan hampir 8 hari sebelumnya yang begitu ramai dikunjungi ratusan atau mungkin ribuan tamu pelayat.

Pada malam hari kedua itulah Ceng Liong kembali mengajak bertemu ke-4 pendekar muda, kawan seangkatannya untuk membicarakan kesiapan mereka menghadapi gejolak baru rimba persilatan. Pada kesempatan itu, Ceng Liong mengingatkan bahaya 2 ilmu pukulan rahasia yang sangat berbahaya dan sekaligus berdiskusi bersama bagaimana upaya menanggulanginya. Baik Kwi Song maupun Mei Lan mengugkapkan jika tingkat kemampuan Toh Ling tidak berada di sebelah bawah kemampuan mereka. Dan ketika mengetahui bahwa Toh Ling bahkan belum sempurna menguasai ilmunya, semua segera sadar jika lawan sungguh-sungguh sangat berbahaya. Itulah sebabnya Kiang Ceng Liong menanyakan kembali kemampuan kawan-kawannya setelah beberapa bulan terakhir kembali melatih diri di perguruan masing-masing.

Dan hampir semua gembira karena ternyata peninggalan Kolomoto Ti Lou bagi mereka semua sudah mendekati tingkat akhir penguasaan tahap kedua dari lembaran sakti Kolomoto Ti Lou. Hanya saja, mereka masing-masing memperdalam dari jalur berbeda-beda setelah kemungkinannya dibuka oleh Kolomoto Ti Lou. Baru pada pertemuan itulah mereka mengerti dan tahu, bahwa masing-masing mereka, terutama Kwi Beng, Kwi Song dan Tek Hoat telah diajak berdiskusi secara mendalam oleh tokoh aneh itu guna mencapai tahap kedua berdasarkan ajaran ilmu perguruan masing-masing. Dan nampaknya, selain Kiang Ceng Liong, ke-4 pemuda lainnya sudah hampir sanggup menguasai tahapan kedua tersebut.

Pada akhirnya semua sepakat, bahwa menguasai tahapan kedua nampaknya akan memadai untuk tidak kalah melawan Cit Sat Sin Ciang maupun ilmu busuk Toh Ling. Dan berarti, mereka masing-masing masih harus giat berlatih untuk beberapa waktu ke depan baru bisa merasa cukup memadai untuk melaksanakan tugas atas nama perguruan masing-masing. Dan setelah pertemuan tersebut, Kwi Beng yang sejak awal memang kurang bersemangat tetapi tidak kentara karena memang orangnya pendiam, langsung mohon diri untuk berangkat meninggalkan Bu Tong Pay besok pagi harinya bersama adiknya Kwi Song. Sementara Tek Hoat masih akan bertahan selama sehari atau dua hari menemani adiknya Mei Lan, selain juga masih harus bicara dengan Siangkoan Giok Lian, kekasihnya, yang juga masih bertahan untuk sehari dua hari kedepan.

====================

Demikianlah, hari ketiga setelah upacara duka, sebagian besar tamu sudah meninggalkan Bu Tong Pay. Penjagaan sudah berkurang jauh dan karena itu Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau sudah kembali berada bersama Duta Agungnya. Di Bu Tong Pay, selain Kiang Ceng Liong yang sengaja di tahan bukan oleh Mei Lan, tetapi oleh Sian Eng Cu Tayhiap dan Kwee Siang Le yang konon memang diminta oleh suhu mereka untuk minta bantuan dari Kiang Ceng Liong untuk satu urusan tertentu; juga masih terdapat Liang Tek Hoat, kakak Liang Mei Lan, serta juga Siangkoan Giok Lian.

Pagi hari yang cerah dilalui Ceng Liong dengan mengenangkan kembali betapa banyak kekisruhan yang dijumpainya hanya sekitar 6 bulan setelah dia tidak sekalipun beranjak dari Lembah Pualam Hijau. Sayangnya, tidaklah mungkin dia benar-benar berlalu dari dunia persilatan karena masih terikat persahabatan dengan beberapa perguruan terbesar di Tionggoan. Selain itu, diapun memiliki beberapa sahabat yang lama sehati dalam berjuang melawan Thian Liong Pang beberapa waktu sebelumnya. Semua fakta ini membuatnya sangat kesulitan untuk menarik diri dan tidak terlibat dengan urusan dunia persilatan.

Dan, nampaknya hari ketiga inipun Ceng Liong tetaplah tidak akan kekurangan tamu. Ketika matahari mulai beranjak lebih tinggi, dia mendengar di luar ada lagi tamu yang ingin bertemu dengannya. Dari suaranya, dia mengetahui jika yang datang berkunjung ada 3 orang, Tek Hoat, Giok Lian dan kekasihnya Mei Lan. Dan benar saja, Barisan 6 Pedang yang mengenal ke-tiga pendekar muda ini telah membiarkan ketiganya menemui Ceng Liong.

Ke-empat orang ini memang memiliki hubungan yang akrab, karena itu mereka tidak berbasa-basi untuk langsung duduk. Sementara Ceng Liongpun sudah turun dari tempat dia biasanya bersamadhi jika tidak tidur dan menyambut kedatangan ketiga orang sahabatnya itu. Tetapi, Ceng Liong yang baru kali ini berhadapan langsung dan dengan cermat memandangi Giok Lian sedikit terkejut dengan getaran kekuatan yang luar biasa dari sorot mata gadis itu. Karena terkejut, Ceng Liong segera menegurnya dengan halus:

“Lian Moi, nampaknya engkau tidak lagi berada di bawah kemampuan Lan Moi, dan kawan-kawan lainnya. Kemajuanmu dan kekuatanmu nampaknya menghadapi kemajuan luar biasa jika aku tidak salah”

“Ach, matamu sungguh sulit untuk dibohongi untuk urusan kesaktian Liong ko. Semua adalah jasa dari mendiang suhu yang terhormat, Bhiksu Chundamani yang mengangkatku menjadi murid penutupnya saat-saat terakhir menjelang kematian datang menjemputnya”

“Ach, tepat seperti perkiraan suhu. Bahwa dalam waktu berdekatan beliau, locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan dan Bhiksu Chundamani akan berpulang. Selain karena usia tua, juga karena penggunaan tenaga dalam dan tenaga batin yang kelewat besar pada pertarungan di markas Thian Liong Pang. Mereka memang menggunakan tenaga-tenaga tersisa dan membuat batas usia mereka menjadi lebih cepat” ujar Ceng Liong

“Tepat, suhu juga mengucapkan hal yang sama Liong ko. Itulah sebabnya dia berkeras mengajarku dengan metode yang sangat aneh, tetapi yang diakuinya juga pasti dilakukan oleh Locianpwee Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan dan Kolomoto Ti Lou. Bahkan konon, menurut suhu, mereka memang akhirnya bersepakat menempuh cara ini sebagai cara atau jalan terakhir melihat mara bahaya di depan” tambah Giok Lian.

“Benar, suhu juga memang menyebutkan hal yang sama” Mei Lan juga nimbrung, karena memang cara yang aneh dan luar biasa yang ditempuh gurunya untuk mempersiapkan mereka ber-empat saudara seperguruan. Setahunya, cara tersebut memang luar biasa dan terhitung mempercepat batas usia suhunya untuk datang mengakhiri kehidupannya.

Sementara Tek Hoat tidak banyak bicara. Bukan karena tidak berani menyela kekasihnya bicara, tetapi karena gurunya sudah beberapa tahun sebelumnya meninggal. Tetapi, sedikit banyak dia mengerti apa yang dibicarakan Ceng Liong, kekasihnya Giok Lian dan adiknya Mei Lan. Karena Kolomoto Ti Lou telah memberitahunya dan telah membuka pintu selebar-lebarnya baginya untuk mampu meningkat lebih jauh bersama dengan Kwi Beng, Kwi Song, Mei Lan dan Ceng Liong. Namun, lebih detail dia sulit berbicara.

Sementara itu, berbeda dengan pertemuan sebelumnya, Ceng Liong yang kaget dan terkejut dengan kemampuan yang terpancar kuat dari sorot mata Siangkoan Giok Lian telah berkata:

“Lian moi, bolehkah engkau menahan seranganku ini .....” sambil berkata demikian Ceng Liong mengibaskan lengannya secara perlahan. Bersamaan dengan itu sejalur angin pukulan yang sama sekali tidak mengeluarkan suara telah dengan cepat mengarah ke Giok Lian. Dan seperti dugaan Ceng Liong, Giok Lian tidak menjadi gugup, tetapi dengan tenang dan penuh percaya diri telah mendorongkan lengannya menyambut pukulannya. Dan hasilnya, keduanya terkejut tetapi keduanya juga nampak tersenyum senang.

“Luar biasa, engkau telah mampu membaurkan Bu Sing Sinkang (Tenaga Sakti Tiada Tara) aliran Budha dari Bhiksu Chundamani kedalam iweekang perguruanmu Lian moi, kionghi, kionghi. Engkau bahkan sudah berada setengah langkah di depan kawan-kawan lainnya dengan menguasai tahapan kedua dengan bantuan Bhiksu Chundamani yang sakti itu”

“Ach, semua berkat jasa suhu. Beliau bahkan mengajariku Sam Ciang Khay Thian Loan Te (Tiga Jurus Membuka Langit Mengacau Bumi), ilmu mujijat bermuatan kekuatan sihir ala Thian Tok. Beliau bekerja keras selama dua bulan terakhir sebelum selesai menciptakannya. Tetapi engkaupun sungguh luar biasa Liong ko, nampaknya meski aku telah maju sangat jauh, tetapi aku belum mampu menang melawanmu. Tangkisanku bagaikan tenggelam di dasar samudera luas”

“Ach, tingkatan kita tidaklah jauh berbeda Lian moi, sebagaimana juga Tek Hoat dan Lan moi. Hanya, kita masih harus bekerja keras agar sanggup menghadapi persoalan di depan yang nampak lebih rumit itu” Ceng Liong tetap merendah, meski sejujurnya dia kaget dengan kemajuan Giok Lian yang demikian pesat itu. Dalam perkiraannya, Giok Lian nampaknya telah lebih dahulu menguasai tingkatan yang sejajar dengan tahapan kedua ilmu Kolomoto Ti Lou yang sedang diadaptasi oleh teman-teman lainnya. Dia tahu, Mei Lan, Tek Hoat, Kwi Beng dan Kwi Song sudah sangat dekat dengan penguasaan tahapan itu. Dengan Mei Lan ditaksirnya sebentar lagi akan segera menguasainya dengan baik.

Dengan kondisi Giok Lian dan Mei Lan seperti sekarang membuat Ceng Liong merasa lebih tenang untuk menghadapi gejolak dunia persilatan kedepan. Menghadapi Toh Ling yang masih akan menyempurnakan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) maupun menghadapi Cit Sat Sin Ciang yang sudah makan korban Ciangbundjin Bu Tong Pay. Tetapi, ketika mengingat salah satu korban adalah “CIANGBUNDJIN BU TONG PAY”, tiba-tiba naluri Ceng Liong seperti bergetar. Bukan tidak mungkin sasaran lainnya adalah Pangcu Kaypang ataupun Ciangbundjin Siauw Lim Sie selain dirinya sendiri? Sontak diapun berpaling ke arah Tek Hoat dan bertanya:

“Tek Hoat, kapan rombongan Kaypang meninggalkan Bu Tong Pay”?

Tek Hoat yang kaget atas pertanyaan tiba-tiba dari Ceng Liong sudah dengan cepat menjawab pertanyaan tersebut:

“Kurang lebih sudah setengah harian, karena mereka berangkat tadi pagi-pagi benar. Suheng memberitahuku ketika akan berangkat, dan jika tidak salah mereka telah berpamitan semalam, bukankah demikian Lan Moi”? sambil melirik Mei Lan yang membenarkan sambil menganggukkan kepala.

“Ada apa sebenarnya Liong ko”? Mei Lan bertanya, mewakili kepenasaran yang sama dengan pertanyaan yang terkandung di benak Tek Hoat.

“Jika disini Ciangbundjin Bu Tong Pay yang menjadi korban, bukan tidak mungkin Cit Sat Sin Ciang mengincar tokoh-tokoh utama dari 4 perguruan besar yang tercantum dalam daftar itu. Tek Hoat ...... kurasa ..... kurasa” Ceng Liong tidak menyelesaikan kalimatnya. Tetapi kelanjutan kalimat itu sudah cukup jelas bagi semua mereka yang berada di dalam ruangan itu.

“Benar, dugaanmu sangat mungkin. Dan jika benar dugaan tentang Cit Sat Sin Ciang, maka rombongan Kaypang dan Siauw Lim Sie berada dalam bahaya” dugaan Tek Hiat tepat sekali.

“Pendekar Kembar, Kwi Beng dan Kwi Song telah menyusul rombongan Siauw Lim Sie. Tek Hoat sebaiknya bersama Nona Giok Lian cepat menyusul rombongan Kaypang. Aku merasakan firasat yang kurang baik” Ceng Liong menatap Tek Hoat dan Giok Lian bergantian, dan tak terasa baik Tek Hoat maupun Giok Lian menjadi seram sendiri melihat cahaya dan sinar mata Kiang Ceng Liong yang berubah menjadi begitu berwibawa itu. Belum lagi Tek Hoat dan Giok Lian memberi persetujuan, Ceng Liong telah berkata:

“Sebaiknya kalian berdua cepat pergi, urusan nanti kita bicarakan belakangan”

Tek Hoat dan Giok Lian saling berpandangan dan kemudian keduanya saling mengangguk. Sejenak kemudian kedua tubuh anak muda itu telah melesat pergi. Menyusul rombongan Kaypang.

(Bersambung)
 
semakin seru..semakin panas..suhu andi jangan lama2 ya updetenya :berat: ini cersil kesukaanku :haha:
 
BAB 6 Ada Yang Pergi .... Ada Yang Datang
1 Ada Yang Pergi .... Ada Yang Datang




Tidak lama setelah Tek Hoat dan Giok Lian berlalu, Sian Eng Cu datang menemui Ceng Liong. Begitu memasuki ruangan, Sian Eng Cu menjadi kaget menemukan dalam ruangan itu juga sudah ada Liang Mei Lan siauw sumoynya. Tetapi kedua orang dalam ruangan itu, yakni Ceng Liong dan Mei Lan sedang berdiri tegak dan sepertinya sedang mengalami ketegangan. Karena itu, sambil mengeluarkan suara “ehm”, Sian Eng Cu kemudian memasuki ruangan itu:

“Duta Agung, siauw sumoy, ada apakah gerangan”?

Adalah Ceng Liong yang lebih dahulu menguasai dirinya. Dan dengan cepat dia menyambut kehadiran Sian Eng Cu dan mempersilahkannya duduk:

“Ach, maafkan kami lupa menyambut locianpwee. Mari, mari silahkan duduk”

“Tapi mengapa kalian berdua sepertinya sangat tegang tadinya”? Sian Eng Cu bertanya keheranan namun tidak beranjak ke tempat duduk yang tersedia di tengah ruangan tersebut.

“Kami sedang membicarakan Cit Sat Sin Ciang (Ilmu Silat Tujuh Gerakan), suheng. Karena Ilmu itulah yang ternyata menjadi penyebab kematian dari Bu Tong Ciangbundjin” Mei Lan menjawab setelah akhirnya diapun berhasil untuk mengatasi rasa tegangnya barusan.

“Apanya dari Cit Sat Sin Ciang yang membuat kalian begitu tegangnya” Sian Eng Cu masih berpenasaran.

“Locianpwee, beberapa saat sebelumnya, ketika sedang membicarakan kemunculan kembali Ilmu Cit Sat Sin Ciang dan penyebab kematian Bu Tong Pay Ciangbundjin, tiba-tiba aku memperoleh firasat buruk. Karena, jika Ciangbundjin Bu Tong Pay menjadi sasaran, mengapa tidak dengan petinggi Kaypang dan juga Siauw Lim Sie? Karena firasat itu, aku telah meminta Tek Hoat dan nona Giok Lian untuk segera menyusul rombongan Kaypang. Untuk Siauw Lim Sie, tadi subuh Kwi Beng dan Kwi Song telah menyusul rombongan Siauw Lim Sie. Selain itu, Ciangbundjin Siauw Lim Sie masih ditemani suhengnya serta 3 rombongan pendekar Siauw Lim lainnya. Tetapi, harap saja tidak terjadi sesuatu yang berada di luar harapan kita”

Mendengar penjelasan Ceng Liong, Sian Eng Cu sendiripun tertular rasa tegang yang sama. Tetapi tidak berlangsung lama. Pertam, sudah beberapa hari terakhir dia tenggelam dalam ketegangan yang luar biasa setelah kematian gurunya. Kedua, karena memang kedatangannya adalah untuk menjemput Kiang Ceng Liong atas sebuah pesan gurunya. Dan urusan ini dirasakannya sangatlah penting. Entah bagaimana dia berfirasat ada sebuah urusan besar di balik pesan gurunya untuk dibuka bersama Ceng Liong. Apa gerangan? Maka diapun kemudian berkata:

“Duta Agung, sebagaimana sudah kukatakan sebelumnya dan mungkin siauw sumoy telah memberitahumu, sebelum meninggal suhu meninggalkan pesan terkait denganmu. Yakni agar kami membawamu memasuki ruangan dimana suhu biasanya samadhi dan melatih ilmunya. Kamipun saudara seperguruan tidak memahami apa maksud utama mendiang suhu. Melihat bahwa Duta Agung masih memiliki banyak urusan lainnya, maka bersama toa suheng dan ji suheng telah menyepakati. Biarlah setelah semua kesibukan telah berlalu, hari ini kami akan membawa Duta Agung memasuki ruangan suhu tersebut. Bagaimana, apakah sudah bisa kita menuju kesana Duta Agung”?

“Baiklah, akupun sudah siap sejak pagi tadi locianpwee, silahkan” sambil berdiri Ceng Liong memberi jalan dan menunjukkan bahwa memang dia telah siap untuk mengikuti Sian Eng Cu untuk menuju ruang khusus yang biasanya digunakan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan.

Sian Eng Cu telah dengan sigap ikut berdiri dan seterusnya menoleh kepada Liang Mei Lan sambil berkata:

“Sumoy, mari”

Maka berangkatlah mereka bertiga. Keluar dari ruangan tempat Ceng Liong menginap dan dengan dipimpin Sian Eng Cu dan Liang Mei Lan. Dari arah yang dituju nampaknya mereka mengarah ke bagian belakang kuil Bu Tong Pay. Dan tepat di pintu belakang kuil tersebut, yakni akses untuk menuju ke belakang gunung Bu Tong San yang dirahasiakan dan tidak sembarang orang boleh masuk, Jin Sim Todjin telah menunggu. Dan dengan hikmat dia menjura ke arah Duta Agung Kiang Ceng Liong sambil berkata:

“Mari, Duta Agung”

Dan ke-empat orang itupun melanjutkan perjalanan menuju ke bagian belakang Kuil yang kebetulan juga menuju pinggang gunung yang sangat terpencil dan sulit didatangi orang. Sebagaimana hari-hari biasa, jalan menuju ruangan yang dikhususkan bagi Wie Tiong Lan harus ditempuh tanpa bersuara. Karena itu, keempat orang itupun berjalan tanpa ada yang bersuara. Semua dalam diam dan tenggelam dalam pikiran masng-masing. Dan tak lama kemudian mereka sampai di pinggang gunung. Di bagian tanah yang agak tinggi, nampak sebuah pintu masuk kedalam sebuah Goa yang sudah ditata sedemikian rupa. Tidak salah lagi, itulah nampaknya ruangan khusus bagi Wie Tiong Lan yang memang dirancang sesuai dengan keinginan sesepuh Bu Tong Pay itu semasa masih hidup.

“Toa suheng, Duta Agung telah ada bersama kami” demikian Jin Sim Todjin buka suara untuk memberitahu Kwee Siang Le, murid tertua Wie Tiong Lan, bahwa Kiang Ceng Liong sudah berada di depan pintu masuk ruangan tersebut. Dan benar saja, tidak menunggu sampai berapa lama, gua yang telah memiliki pintu sebagaimana ruangan dalam rumah biasa, telah perlahan-lahan terbuka. Dan dari dalam muncullah seorang lelaki bertubuh sedang, berwajah penuh wibawa dan hanya berpakaian ala kadarnya seperti kalangan pertapa. Dia berdiri tepat di pintu masuk, dan setelah memandangi semua orang yang datang, tokoh itupun kemudian berkata dengan hormat:

“Selamat datang Duta Agung, terima kasih atas kesediaanmu membantu kami memenuhi pesan mendiang suhu. Mari silahkan masuk” sambil menjura memberi salam dan hormat kepada Kiang Ceng Liong. Dan begitu Ceng Liong membalas penghormatan dan beranjak mulai bergerak, orang tua itupun, Kwee Siang Le murid kepala Wie Tiong Lan menoleh kearah kedua sutenya dan sang sumoy:

“Ji-sute, sam-sute dan sumoy, mari silahkan ikut masuk ke dalam” dan mendahului semua, memimpin di depan Kiang Ceng Liong yang telah bergerak, tokoh yang menjadi murid tertua Wie Tiong Lan itu, yakni Kwee Siang Le telah memimpin mereka semua masuk secara perlahan-lahan ke dalam ruangan. Di-ikuti oleh Ceng Liong dan berturut-turut masuk adalah Jin Sim Todjin, murid kedua Wie Tiong Lan, Sian Eng Cu murid ketiga dan Liang Mei Lan, murid terakhir atau penutup dari sesepuh Bu Tong Pay itu.

“Silahkan Duta Agung ....” Kwee Siang Le selaku murid tertua Wie Tiong Lan kemudian mempersilahkan Kiang Ceng Liong untuk maju ke depan. Dalam ruangan itu memang terdapat 4 tempat duduk tetapi bukan kursi, melainkan tempat khusus bagi orang untuk bersila dengan alas benda yang nampak lunak. Nampaknya memang disediakan untuk ke-4 murid Wie Tiong Lan setiap kali datang menghadapnya. Karena ke-empat tempat duduk bersila itu, terdapat di hadapan sebuah tempat bersila atau bersamadhi yang sedikit agak ke atas. Sebagaimana masa hidupnya, Pek Sim Siansu memang tokoh yang sederhana. Tidak nampak kesan mewah di ruangannya, tetapi tempat itu tertata secara rapih dan bersih. Dan ke-tempat yang sedikit agak ke atas, nampaknya tempat biasanya Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan samadhi, Ceng Liong di arahkan untuk duduk. Setelah semua dalam posisinya, Kwee Siang Le selaku murid tertua telah berkata:

“Duta Agung, menurut amanat suhu, kami diminta agar Duta Agung bersedia untuk membantu kami. Urusan ini terkait sebuah peninggalan suhu yang kami berempat sebagai muridnya, tak seorangpun yang mengerti apakah gerangan itu. Karena itu, silahkan Duta Agung ......” Kwee Siang Le berbicara atas nama adik-adik seperguruannya sambil mempersilahkan Kiang Ceng Liong untuk menduduki tempat dimana biasanya Wie Tiong Lan samadhi.

Dalam keadaan biasa, hal tersebut sebetulnya sangatlah terlarang. Karena tempat dimana suhu biasanya samadhi dan melatih diri, terlarang bagi orang-orang luar. Hanya saja, keadaan ini justru dipesankan oleh Wie Tiong Lan sesaat sebelum dia meninggal. Karena itu, semua murid, ke-empat muridnya tidak ada yang berani membangkang. Mereka telah menyepakati untuk memberikan kesempatan kepada Ceng Liong untuk duduk di tempat itu. Karena toch hal itu berdasarkan atas pesan terakhir guru mereka.

Tetapi Kiang Ceng Liong sendiri sebetulnya masih belum paham betul apa yang diinginkan Wie Tiong Lan. Hanya saja ketika kemudian dia disuruh untuk menduduki tempat dimana Wie Tiong Lan biasanya berlatih dan samadhi, diapun segera sadar bahwa ternyata seperti suhunya, Wie Tiong Lan telah mempersiapkan sesuatu sebagai peninggalan bagi murid-muridnya. Tetapi entah apa gerangan peninggalan tersebut, Ceng Liong masih belum mampu meraba secarra keseluruhan, tetapi dia telah dapat menerka bagaimana dan apa gerangan peninggalan tersebut.

Karena diapun telah diberitahu bahwa baik Suhunya, Wie Tiong Lan dan Bhiksu Chundamani telah menciptakan ilmu ajaib bersama Kolomoto Ti Lou begitu menyadari bahwa batas usia mereka sudah menjelang datang. Ilmu yang mereka ciptakan diberi nama Thian Liong Heng Khong (Naga Langit Jalan di Udara), sejenis pewarisan kekuatan atau kepandaian melalui medium “udara”. Hanya orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi yang sanggup melakukan pewarisan semacam ini. Baik Bhiksu Chundamani, Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan maupun Kolomoto Ti Lou menciptakan ilmu ajaib ini dari skema utama yang dikembangkan di Thian Tok, yakni sebuah ilmu bernama – Memindahkan Hawa Mengisi Kosong Menjadi Penuh. Model ini adalah model pemindahan kekuatan dengan cara sesat dengan resiko yang dihadapi juga sangat besar.

Menurut Bhiksu Chundamani, ada satu Ilmu Sesat yang sangat terkenal di Thian Tok namun yang diketahuinya telah punah. Ilmu tersebut memampukan seseorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam penguasaan ilmu silat dan ilmu kebatinan termasuk ilmu sihir, sanggup memindahkan hawa tenaganya kepada orang lain. Tetapi, menurut sepengetahuannya, proses itu membutuhkan kerjasama minimal 2 tokoh berkemampuan sama namun akan mengorbankan salah satu dari kedua tokoh itu. Atau, jikapun hanya dilakukan satu orang, maka syaratnya sangat berat. Setelah pewarisan, maka orang yang mewariskan hawa akan binasa. Tetapi, juga bisa dilakukan dengan dibantu benda-benda atau barang-barang pusaka, hewan-hewan pusaka berhasiat mujijat ataupun obat-obatan yang teramat langka dan sangat sulit untuk ditemukan. Si penerima manfaat, akan menjadi seperti “manusia baru”, namun sekaligus akan mengalami gangguan-gangguan. Bisa gangguan fisik ataupun bahkan gangguan kejiwaan.

Ilmu rahasia yang hanya menjadi issue di Thian Tok ini, justru ditemukan oleh Bhiksu Chundamani dari catatan Naga Pattinam yang tertinggal ketika terjadi pertempuran di markas utama Thian Liong Pang beberapa bulan silam. Nampaknya mereka, para tokoh pentolan yang sudah sepuh itu, sedang menyelidiki dan mempelajari ilmu tersebut ketika mengalami penyerbuan. Dan dalam ketergesaan, terutama menghadapi pertarungan antar “tokoh tua” kedua kelompok, mereka terpukul kalah dan mundur dengan meninggalkan catatan tersebut. Dan dari catatan itulah Bhisku Chundamani bersama Kolomoto Ti Lou, Kiang Sin Liong dan Wie Tiong Lan meramu sebuah ilmu baru. Ilmu tersebut dibentuk dari fondasi dasar Ilmu-ilmu keagamaan, terutama melalui Bhiksu Chundamani dan Wie Tiong Lan – yang kemudian dipertajam oleh Kolomoto Ti Lou dan Kiang Sin Liong. Jadilah ilmu “Thian Liong Heng Khong”, sebuah pemindahan hawa maupun tenaga kepada orang-orang yang memiliki jalur atau fondasi tenaga iweekang atau sinkang yang sama.

Khusus bagi Bhiksu Chundamani maupun Wie Tiong Lan, karena landasan iweekang mereka memang berdasarkan jalur keagamaan (Budha dan Tao), maka mereka mampu melakukan pewarisan ke orang lain sejauh masih berada di jalur tenaga dalam lurus. Fungsinya lebih ke “memperkuat” daripada “menambahkan”. Hal yang tak mampu dilakukan oleh Kiang Sin Liong – sebab dia hanya mampu untuk “menambahkan” atau “memperkuat” murid-murid ataupun cucu-cucu muridnya semata. Dan inilah yang dialami oleh Kiang Tek Hong yang kepandaiannya sudah musnah, tetapi beroleh pengampunan dari kakeknya, meski untuk itu dia harus bersumpah tidak akan lagi meninggalkan Lembah Pualam Hijau dengan alasan apapun. Sementara Kiang Ceng Liong sendiri hanya menerima warisan yang bersifat “memperkuat” karena Sin Liong telah melihat bagaimana murid sekaligus cucu buyutnya itu banyak mengalami kemajuan di tangan Kolomoto Ti Lou. Selain, Ceng Liong sendiri memperoleh manfaat besar lainnya. Yakni, sebagai orang yang dipilih mereka ber-empat menjadi “medium” atau “pihak” yang membantu ke-4 anak muda lainnya melalui pewarisan beberapa ilmu mujijat lainnya.

Skema kasar ilmu rahasia inilah yang kemudian dikembangkan bersama 4 tokoh sakti ini untuk menandingi kemungkinan bahaya yang dilakukan oleh pentolan Thian Liong Pang yang masih berkeliaran. “Naga langit (Thian Liong) diibaratkan “tenaga sakti” – dan “tenaga sakti ini bisa berpindah tempat melalui medium udara” atau Heng Khong (jalan di udara). Akibat dari memikirkan dan menciptakan ilmu ini ke-empat tokoh sakti itu terpaksa mengorbankan beberapa tahun usia mereka. Terutama karena mereka harus mempertahankan unsur “lurus” dari proses pemindahan agar tidak mencelakakan murid yang kepada mereka tenaga sakti itu diwariskan. Bhiksu Chundamani dan Wie Tiong Lan karena aliran iweekang mereka memang dari aliran Budha atau keagamaan (Tao), maka tenaga mereka tersebut akan sangat membantu “penerima” menjadi jauh lebih kuat. Karena tenaga dalam aliran mereka bersifat memperkuat tenaga dalam manapun sejauh beraliran lurus. Berbeda dengan Giok Ceng Sinkang milik Kiang Sin Liong yang beraliran lurus, namun bukan dari aliran hud (Budha) maupun to (tao). Inilah sebabnya Kiang Sin Liong lebih dahulu kehabisan “bensin” dan lebih dahulu menghadapi batas usianya, karena tenaga dan pikiran yang digunakan kelewat banyak dan besar.

Tetapi, ilmu Thian Liong Heng Khong (Naga Langit Jalan di Udara) dilakukan oleh seorang yang masih hidup. Dan nampaknya Giok Lian telah mengalaminya dengan Bhiksu Chundamani, sebagaimana Sian Eng Cu dan Mei Lan sebelum kematian guru mereka. Bagaimana jika seseorang telah meninggal? Dan inilah untungnya Ceng Liong ketika disiapkan oleh Kolomoto Ti Lou ber-empat dalam pertemuan dan percakapan terakhir mereka sebelum Kolomoto Ti Lou kembali ke tanah asalnya. Lewat pertemuan tersebut Ceng Liong beruntung karena ditempah dengan Cing-peng-kang-khi atau ilmu ketenangan jiwa dan Ceng Thian Sin Ci (Telunjuk Sakti Penggetar Langit). Ilmu Cing Peng Kang Khi adalah dasar kebatinan guna menolak dan mengembalikan kekuatan-kekuatan hitam dan kekuatan sihir, tetapi sekaligus menjadi landasan untuk membantu penyaluran “tenaga sakti lewat udara”. Hanya, untuk membantu penyalurannya, dalam hal si pemilik tenaga telah meninggal dan mengumpulkan tenaganya untuk disalurkan, maka dibutuhkan ilmu Ceng Thian Sin Ci (telunjuk sakti penggetar langit) untuk menjadi alat penggerak kekuatan tersebut.

Berdasarkan ilmu-ilmu terakhir inilah Ceng Liong kemudian menciptakan beberapa ilmu baru, termasuk memperkuat kemampuannya dalam ilmu “Tatapan Naga Sakti”. Dan tanpa disadarinya, dia kembali telah melakukan lompatan yang sangat jauh dalam penguasaan ilmu silatnya. Dan karena itu, maka Ceng Liong telah mengerti apa yang akan dilakukannya ketika Kwee Siang Le menyuruhnya menduduki tempat dimana Wie Tiong Lan biasa bersamadhi. Dan seterusnya dihadapannya, duduk dan bersila ke empat murid Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, menghadapnya dengan wajah yang keheranan dan kebingungan. Karena bagaimanapun mereka masih kurang memahami apa maksud utama guru mereka.

Begitu menduduki tempat yang memang disediakan untuknya, sekujur tubuh Ceng Liong bergetar sejenak. Tetapi dia segera sadar jika tempat disekitar dia duduk adalat tampat utama yang disiapkan Wie Tiong Lan untuk mengumpulkan warisan tenaganya buat murid-muridnya. Hanya, karena inipun pengalaman pertama bagi Ceng Liong, otomatis diapun sedikit tergetar dan tegang. Dia memang belum pernah menggunakan Cing Peng Kang Khi maupun Ceng Thian Sin Ci setelah melatihnya berulang-ulang belakangan ini. Hanya, yang dirasakannya ilmu-ilmu tersebut seperti memudahkan dirinya dalam mengatur ketenangan batin serta memperkuat ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya saat ini.

Tetapi sebelum dia memulai proses tersebut, Ceng Liong merasa perlu untuk memberi penjelasan terkait dengan apa yang akan dia lakukan. Hal ini penting guna menghindari gangguan-gangguan akibat ketidak-tahuan atas proses yang nanti berlangsung secara berbeda tersebut. Dan, proses itu selain masih baru baginya, juga relatif masih baru bagi ke-empat murid Wie Tiong Lan yang sekarang sedang bersila dan bersiap dihadapannya. Apalagi, karena diapun baru pertama kalinya melakukan dan mempraktekkan ilmu-ilmu yang diterimanya dari ke-empat guru besar itu. Seandainya terjadi gangguan dari pihak penerima, maka akibatnya bakal sangat fatal bagi mereka semua. Bukannya beroleh keuntungan, malah sebaliknya. Karena itu, Ceng Liong kemudian berkata:

“Para locianpwee dan Lan moi, proses hari ini nantinya bakalan sangat rumit dan menguras banyak tenaga fisik dan batin kita semua. Karena itu, ketenangan dan keselamatan kita semua benar-benar harus terjamin dan kita semua sama sekali tidak boleh diganggu orang luar. Selain itu, kita semua harus melakukan samadhi, dan jangan sekali-sekali melawan ataupun mengeluarkan tenaga menolak untuk apa yang akan kulakukan nantinya. Yang harus dilakukan adalah membuka semua saluran hawa dalam tubuh, sehingga kita semua sanggup mengetahui apa gerangan yang dimaksudkan locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Harap kita semua bersiap-siap, aku akan memulainya .....”

“Jangan takut Duta Agung, tanpa perintah dan gerakanku, tidak akan mungkin ada siapapun yang mampu menerobos kemari” Kwee Siang Le memberikan jaminan untuk keselamatan mereka.

“Baiklah, jika demikian mari kita mulai”

Setelah melihat semua sudah bersiap, Kiang Ceng Liongpun kemudian mulai berkonsentrasi. Dengan penguasaan Cing Peng Kang Khi yang malahan sudah setingkat di atas pengerahan kekuatan batinnya tempo hari, kini Ceng Liong sudah mampu mencapai tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dan jauh lebih cepat. Bahkan, dengan ilmu yang dituntunkan oleh Kolomoto Ti Lou itu, dia sanggup menahan gempuran-gempuran kekuatan yang berlandaskan sihir, kekuatan batin, maupun kekuatan-kekuatan yang tidak nampak oleh mata. Dia telah mampu menguasai ketenangan yang luar biasa meskipun mengalami gangguan atau serangan melalui mata, telinga ataupun mata batinnya.

Dan benar sesuai dugaannya. Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan telah meninggalkan petunjuk baginya. Ketika dia akhirnya memasuki kondisi “ketenangan jiwa”, dimana dia sanggup berkomunikasi dengan pihak lain lewat kekuatan batin, tiba-tiba dia merasakan sebuah getaran yang menyentuhnya untuk berkomunikasi. Dia cepat sekali sadar jika Guru Besar Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan pastilah yang berusaha untuk memberinya petunjuk. Dan benar, segera setelah dia mengenangkan serta membayangkan Pekk Sim Siansu Wie Tiong Lan serta mengerahkan “Cing Peng Kang Khi” segera menyusup ke telinganya sejenis suara yang mengambang namun sangat jelas. Suara itu berbicara dan memasuki “telinga batinnya”, dan dengan mudah dia memahami karena di eja perlahan-lahan seakan takut Ceng Liong tak akan mampu mengingatnya kembali:

“Anakku, terima kasih atas bantuanmu. Karena ini adalah percakapan satu arah setelah aku meninggalkan badan kasarku, maka engkau hanya bisa mendengarkan pesan-pesan dan petunjukku satu kali saja. Hal-hal mendasar pastilah telah ditinggalkan suhumu dan Kolomoto Ti Lou. Hanya ada beberapa hal yang perlu kusampaikan kepadamu dalam waktu yang singkat ini: Pertama, engkau pasti telah mendengar dan melatih Ilmu Thian Liong Heng Khong (Naga Sakti Jalan diudara) dan telah dibekali Cing peng kang khi dan Ceng thian sin ci oleh Kolomoto Ti Lou, Bhiksu Chundamani dan suhumu. Aku tidak meragukan kemampuanmu saat ini. Nah, inilah satu pesanku untukmu dan beberapa hal yang perlu kamu lakukan: Pertama, Ilmu Ceng Thian Sin Ci (Telunjuk Sakti Penggetar Langit) adalah peninggalan tokoh tua ratusan tahun lalu yang kutemukan lebih 80 tahun lalu. Tetapi, karena sedang berlatih banyak ilmu Bu Tong, ilmu tersebut yang kutemukan dari rangka seorang tua dalam bentuk kitab tipis, tidak pernah kulatih. Selain itu, aku terikat sumpah kepada mendiang guruku untuk tidak akan melatih ilmu lain di luar Bu Tong Pay dan ilmu yang kuciptakan sendiri. Tak disangka, Kolomoto Ti Lou mengetahui kalau ilmu dalam kitab tipis itu konon adalah ilmu sakti Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga) yang sudah ratusan tahun lenyap. Kitab tipis itupun, memang tidak menuliskan nama ilmu yang tercatat didalamnya, nampaknya ditulis tergesa ketika tokoh tua itu menjelang ajalnya. Nach, kuminta engkau menurunkan ilmu itu kepada murid bungsuku karena kitab tipis itu luruh ketika kami ber-empat membukanya beberapa waktu lalu. Kolomoto Ti Lou dan Kiang Sin Liong telah meramunya menjadi Ceng Thian Sin Ci (Jari Sakti Penggetar Langit), tetapi bagi Lan-ji dan jika Li Koan berjodoh lebih tepat tepat dengan ilmu Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga). Caranya mudah anakku, cukup dengan pengerahan hawa penarik, penolak, penggetar, pembalik, penggiring, penghantar ke “lengan” dan bukan sepertimu ke”jari”, dan seterusnya suara mengambang dan perlahan itu menjelaskan kouwkoat atau teori Ilmu Ciat Lip Jiu kepada Ceng Liong.

Dan selesai dengan menurunkan kouwkoat itu, kembali suara mengambang yang ditinggalkan Wie Tiong Lan sebelum meninggal itu melanjutkan: “kuharap engkau menaati sumpahku kepada pemilik kitab itu, yakni tidak menurunkan ilmu tersebut kepada lebih dari 3 orang. Dan sebagai pemilik ilmu itu sekarang ini, engkau memiliki hak untuk melarang orang mewariskannya kepada siapapun sebelum minta ijinmu. Dan kedua, hal selanjutnya adalah Ceng Thian Sin Ci digubah dengan saat engkau menggunakan Cing Peng Kang Khi – tanpa paduan dan kombinasi itu, maka proses pemindahan hawa dan tenaga sakti tidak akan terjadi, karena aku sudah meninggal. Dalam posisimu sekarang, getarkan kekuatan penarik pada ujung jarimu untuk kemudian setelah kekuatan sudah memadai dan sesuai dengan yang ingin engkau pindahkan, maka kombinasikan dengan menggunakan Thian Liong Heng Khong untuk dipindahkan kepada murid-muridku. Anakku, karena kebutuhan untuk mempertahankan Bu Tong Pay, maka setengah kekuatan tenaga yang kupupuk kutinggalkan kepada Tong Li Koan Sian Eng Cu. Murid bungsuku, dengan menerima Ilmu Ciat Lip Jiu (tangan sakti penerus tenaga) dan sepuluh persen kekuatanku sudah lebih dari cukup. Selain itu, diapun dengan warisan itu akan bisa dengan segera menyempurnakan tahapan kedua sesuai skema Kolomoto Ti Lou dalam jalur ilmu ciptaanku. Kepada murid kepala dan murid keduaku, engkau membaginya secara merata, karena mereka memiliki tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Dan terakhir anakku, engkau akan mengalami kelelahan yang luar biasa, tetapi menggunakan semua ilmu mujijat pada kesempatan ini adalah latihan yang mungkin takkan pernah lagi engkau alami kedepan. Untungnya, Giok Ceng Sinkangmu sudah nyaris mendekati kakek buyutmu hingga tidak akan lama engkau memulihkan diri. Baik-baiklah menjaga dirimu dan kepadamu kutitipkan Lan ji”

Dan suara mengambang yang masuk ke telinga batin Ceng Liong itupun perlahan-lahan sirna, dan Ceng Liong sadar jika pesan itu sudah disampaikan dan kekuatan penyanggahnya secara otomatis musnah. Suara itupun hilang dan takkan pernah muncul lagi sampai kapanpun. Tetapi, semua pesan itu sudah sangat jelas diserap Ceng Liong, termasuk kouwkoat Ilmu Ciat Lip Jiu yang secara sangat aneh, ternyata sudah puluhan tahun berada di tangan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Hanya karena sumpah kepada gurunya, maka ilmu itu terpendam selama 80 tahunan dan baru ketika diingatkan Kolomoto Ti Loulah dia mengingatnya kembali. Untungnya, meski sudah sangat usang, kumal dan nyaris rusak, tetapi dia masih mampu membacanya dan kemudian menggubahnya bersama-sama teman-temannya hingga melahirkan Ceng Thian Sin Ci dengan disempurnakan bersama dengan Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou serta bahkan juga Bhiksu Chundamani.

Karena mereka berempat, yakni para tokoh tua itu, sudah sedang menghadapi saat akhir kehidupan, tiada lagi jarak dan rasa risih untuk saling mengetahui apa dan bagaimana ilmu itu. Tetapi, mereka menghormati sumpah Wie Tiong Lang dan karena itu, Ceng Liong tidak bulat-bulat menerimanya. Namun, toch akhirnya kouwkoat itu diturunkan juga kepadanya untuk dicarikan paling banyak 3 orang sebagai “muridnya” dalam ilmu tersebut. Dan harus atau hanya Wie Tiong Lan seorang yang memiliki hak untuk menurunkan ilmu ajaib tersebut.

Pesan terakhir Wie Tiong Lan, kembali adalah penegasan tentang seorang muridnya, murid penutupnya Liang Mei Lan. Dan ini jelas adalah pesan dan amanat seorang yang telah meninggal, menguatkan kembali kesepakatan antara suhunya Kiang Sin Liong dengan Wie Tiong Lan. Sudah tentu Ceng Liong sangat gembira dan sangat setuju, hanya, tetap saja dia harus jelas lebih dahulu dengan Siangkoan Giok Hong. Dan, batas yang diberikan dan disepakatinya dengan Mei Lan adalah setelah pertemuan antara Pendekar Tionggoan menghadapi Bengkauw, Thian Tok dan Lam Hay Bun. Ceng Liong tidak banyak memikirkan urusan perjodohan itu, karena toch antara dia dengan Mei Lan sudah sepakat, begitu juga kedua keluarga masing-masing. Maka diputuskannya untuk melanjutkan kerjanya:

Sekarang, secara perlahan Ceng Liong mengerahkan tenaga penarik dari Ceng Thian Sin Ci. Benar saja, ketika dia mengerahkan tenaga tersebut, jarinya bergetar tanda kekuatan yang sangat besar berkumpul di ujung jarinya. Secara otomatis, tenaga “penarik” itu dia kombinasikan dengan “tenaga pengumpul”, namun tenaga yang tertarik masih terus dan terus bertambah. Namun, Ceng Liong masih belum terbebani dengan pertambahan tenaga yang sangat besar itu. Ketika kemudian secara perlahan, tenaga yang ditariknya mulai berkurang volume pertambahannya bahkan kemudian berhenti, dia tahu bahwa saatnya mengerahkan Thian Liong Heng Khong. Awalnya dia bingung di arahkan kemana, tetapi setelah mengingat urut-urutan yang dijelaskan Wie Tiong Lan tadi, dia sadar kekuatan yang sangat besar di ujung jarinya harus di arahkan kepada Sian Eng Cu. Yang membuat Ceng Liong memeras tenaganya adalah menahan tenaga tersebut di ujung jarinya untuk kemudian mengerahkannya bergerak ke arah Sian Eng Cu. Namun sebelumnya dia mengirim suara dalam “percakapan batin satu arah” kepada Sian Eng Cu, dan hanya Sian Eng Cu seorang yang mampu mendengarkannya:

“Locianpwee, buka saluran hawa dan sekali-sekali jangan mengeluarkan tenaga menolak, karena kita akan celaka bersama nantinya. Ini adalah sebagian besar warisan inti tenaga locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan guna menjaga Bu Tong Pay selaku Ciangbundjin .....”

Benar saja, Sian Eng Cu yang menerima kiriman suara itu telah membuka saluran hawanya dan berada dalam posisi “pasrah” dan “terbuka”. Beberapa saat kemudian dia merasa tubuhnya tergetar hebat, karena posisinya memang membuka diri dan saluran hawa. Ceng Liong pada saat bersamaan menarik Thian Liong Heng Khong dan mengganti dengan “tenaga memindahkan” dari Ceng Thian Sin Ci. Maka semakin bergetarlah sekujur badan Sian Eng Cu karena secara bersamaan warisan tenaga gurunya mengalir deras ke tubuhnya. Dia bahkan nyaris dia tak sanggup menerima warisan tenaga yang sangat besar itu jika Ceng Liong tidak dengan cepat mengerem dan memperlambat proses pemindahan. Pada saat memperlambat ini, Ceng Liong terpaksa harus mengerahkan sebagian besar kekuatan sinkangnya. Perlambatan itu tepat waktunya, karena Sian Eng Cu sudah nyaris gelagapan untuk menyatukannya dengan hawa tenaga dalam tan-tiannya. Tetapi akhirnya, perlahan-lahan proses itupun berlangsung hingga usai. Saat itu, bahkan sejak pertengahan hingga proses berakhir, banjir keringat melanda keduanya. Dan tubuh Sian Eng Cu sempat bergetar-getar dan bergoyang-goyang oleng kekiri maupun kekanan akibat penuhnya hawa yang masuk ketubuhnya dan tidak segera dapat dipadukan dan disatukan ke tan-tian.

Beberapa waktu kemudian Ceng Liong melihat tubuh Sian Eng Cu mulai normal dan berarti apa yang dia lakukan sebelumnya sudah sangat tepat. Diapun kemudian mengerahkan tenaga “penyembuh” (self healing) yang menjadi keistimewaan sinkangnya, Giok Ceng Sinkang dan beberapa saat kemudian diapun kembali pulih. Saat dia pulih, dia menyaksikan Sian Eng Cu sudah tenggelam dalam proses penting, yakni meleburkan tenaga suhunya dengan tenaganya sendiri. Tubuhnya tidak lagi bergetar-getar, tetapi telah tenggelam dalam diam. Begitupun Sian Eng Cu sama sekali tidak sadar jika kekuatannya sekarang ini sudah menyamai atau nyaris menyamai kemampuan siauw sumoynya sekarang ini. Melihat Sian Eng Cu sudah memasuki proses tersebut, maka Ceng Liong kemudian memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sesuai pesan Wie Tiong Lan maka giliran selanjutnya adalah Liang Mei Lan. Murid terakhir Pek Sim Siansu, sekaligus yang menjadi jodoh sesuai kesepakatan guru-guru mereka. Untungnya mereka berdua saling mencintai.

Namun berbeda dengan Sian Eng Cu, proses dengan Liang Mei Lan berlangsung relatif jauh lebih mudah. Selain karena tenaga yang diwariskan lebih kecil, juga daya terima dan kesiapan Mei Lan memang berada di atas sam suhengnya. Karena itu, Ceng Liong tidak banyak menguras tenaganya. Yang melelahkannya adalah, karena pada saat bersamaan dia mengerahkan kekuatan batin dan kekuatan sinkangnya. Itulah sebabnya setelah proses kedua, Ceng Liong mengalami keletihan, terutama keletihan tenaga batinnya yang terkuras banyak. Namun demikian kemauan keras dan keinginan membantu membuatnya mampu bertahan dan mampu secepatnya memulihkan diri. Dan tak lama kemudian, diapun kembali melanjutkan pekerjaannya membantu anak murid Wie Tiong Lan ini.

Dan sebagaimana proses dengan Mei Lan, upayanya membantu Kwee Siang Le dan Jin Sim Todjin, juga tidak berlangsung berat. Selain karena sudah mengalami proses dua kali pemindahan tenaga dengan Sian Eng Cu dan Mei Lan, Ceng Liongpun sudah lebih memahami penggunaan ilmu-ilmu tersebut. Tanpa disadari Ceng Liong, ilmu Ceng thian Sin Ci (Jari Penggetar Langit) yang dikuasainya menjadi semakin mantap penguasaan serta penggunaannya. Bahkan, diapun telah mampu merancang skema ilmu baru dengan memanfaatkan Ceng Thian Sin Ci sebagai ilmu pukulan dan ilmu totokan. Meski memang lebih ringan, tetapi waktu yang dibutuhkan Ceng Liong dalam empat kali pemindahan pewarisan hawa sakti, berlangsung sama lamanya untuk setiap murid Wie Tiong Lan itu. Lebih 4 jam lamanya Ceng Liong tenggelam dalam Cing Peng Kang Khi serta menggunakan berganti-ganti Ceng Thian Sin Ci dan Thian Liong Heng Khong.

Setelah proses tersebut selesai, mereka berlima, Ceng Liong bersama dengan ke-4 saudara seperguruan tersebut tenggelam dalam samadhi. Mereka berempat, para murid Wie Tiong Lan Melebur warisan kekuatan guru mereka kedalam kekuatan masing-masing. Dan juga sekaligus melanjutkan dengan memeriksa dan melatih kembali kekuatan mereka yang telah bertambah maju karena warisan tenaga murni guru mereka. Masing-masing tak ada yang tahu berapa banyak dan berapa besar warisan tenaga yang mereka peroleh. Hanya Ceng Liong seorang yang memahami dan diapun berpendapat bahwa adalah jauh lebih baik menutup mulut dan tidak mengemukakannya. Dan memang seperti itu selanjutnya. Ke-empat saudara seperguruan itu telah paham bahwa masing-masing menerima pesan dan tugas yang berbeda dari guru mereka, dan tak seorangpun yang berniat membangkang. Itulah sebabnya tak satupun yang berusaha saling tahu berapa besar kekuatan yang mereka terima dari suhu mereka itu.

Satu hal yang pasti, keempatnya terharu dengan pengorbanan guru mereka yang sampai saat terakhir masih mengumpulkan tenaga murninya untuk diwariskan kepada mereka. Sang guru memang telah berpesan jika apa yang dilakukannya, semata untuk kejayaan dan masa depan Bu Tong Pay. Dan saat itu, guru mereka telah menyelesaikan tugasnya, kini adalah masa mereka untuk melanjutkan tugas sang suhu. Menjaga dan melanjutkan kejayaan Bu Tong Pay. Bahkan juga bersiaga untuk sebuah petaka yang sangat mungkin datang menghampiri Bu Tong Pay pada masa mendatang sebagaimana ramalan sang Guru Besar.

Hampir 6 jam kelima orang itu berada di ruangan yang dikhususkan bagi Wie Tiong Lan semasa hidupnya. Dan ruangan itu, selanjutnya akan diwarisi oleh Kwee Siang Le, murid yang menerima peritah gurunya untuk melanjutkan penyempurnaan ilmu-ilmu warisan sang guru. Dan itu berarti murid pertama ini akan selalu berada di Bu Tong Pay, menempati ruangan gurunya dan melatih murid-murid terpilih Bu Tong Pay. Sama dengan Jin Sim Todjin yang diminta untuk memperdalam dan mengembangkan ilmu-ilmu dalam Bu Tong Pay berdasarkan dasar tenaga dalam guru mereka yang dari jalur agama tao (to). Dan Jin Sim Todjin akan berada di kuil Bu Tong Pay menjaga pesanggrahan perpustakaan, karena disana terdapat semua buku pusaka Bu Tong Pay. Selain disana memang terdapat sebuah ruangan khusus yang diperuntukkan guna melatih kekuata tenaga dalam.

Liang Mei Lan dipersiapkan sejak masa kecilnya untuk menghadapi ancaman bagi rimba persilatan Tionggoan. Karena itu, ilmunya memang meningkat pesat sejak masa remajanya dan bahkan jauh meninggalkan kakak-kakak seperguruannya. Hanya saja, karena anak perempuan itu tumbuh besar dalam penjagaan ketiga kakak seperguruannya, maka aslinya dia adalah murid bungsu di perguruannya. Tetapi, dalam prakteknya dia dianggap sebagai anak, baik oleh Kwee Siang Le maupun Sian Eng Cu yang mendidik dan membesarkan Mei Lan. Sementara, Jin Sim Todjin sendiri, meski ketat beragama, tetapi menyayangi Mei Lan bagai anggota keluarganya sendiri. Itulah sebabnya, kemajuan Liang Mei Lan sama sekali tidak membuat iri ketiga suhengnya yang ikut membesarkannya sejak masa bocahnya. Sebaliknya, mereka selalu membantu dan menyemangati sang sumoy agar berhasil ketika sednag berlatih dan menemukan kesulitan.

Dan sebagaimana dugaan Wie Tiong Lan, tambahan tenaga serta proses pemindahan hawa lewat kekuatan batin, mempercepat kemajuan Mei Lan. Seusai pewarisan dan beberapa jam dilakukannya untuk peleburan tenaga sakti, Mei Lan menemukan bahwa dia telah dengan mudah mengendalikan tenaga pembatas serta memutar balik tenaga secara sangat mudah. Artinya, tahapan kedua mengikuti ilmu pusaka Kolomoto Ti Lou telah dicapainya. Dan dia menjadi sangat bangga dan gembira dengan capaian tersebut.

Bahkan, diapun belakangan diajarkan teori dan penggunaan Ilmu Ciat Lip Jiu (Tangan Penggiring Tenaga) oleh Kiang Ceng Liong. Maka semakin lengkaplah Liang Mei Lan. Apalagi karena selain itu tenaga dalamnya juga meningkat pesat dengan bantuan hawa murni gurunya. Meski mendapat sebagian kecil saja tenaga gurunya, tetapi Mei Lan merasakan dan mengalami kemajuan luar biasa dalam penguasaan ilmu-ilmu kepandaiannya.

Sian Eng Cu, sebagaimana pesan gurunya akan menerima tugas besar sebagai Ciangbundjin Bu Tong Pay yang baru. Sebuah wasiat telah dituliskan Wie Tiong Lan untuk urusan tersebut. Dan sebagai seorang tokoh yang “di dewa kan” di Bu Tong Pay, nyaris bisa dipastikan jika wasiatnya itu akan diterima baik oleh semua tokoh Bu Tong Pay. Dan memang demikian adanya, sepuluh hari setelah Ceng Liong meninggalkan Bu Tong Pay, Sian Eng Cu secara resmi ditetapkan menjadi Ciangbundjin Bu Tong Pay. Sebelumnya, Sian Eng Cu telah berguru berhari-hari kepada ji suhengnya, Sian Eng Cu Tayhiap. Karena itu, pada saat peresmiannya menjadi Ciangbundjin Bu Tong Pay, diapun kemudian masuk menjadi Pendeta Agama To dan seterusnya bergelar Thian Hoat Todjin. Selama beberapa hari, diapun belajar mengembangkan apa yang diajarkan Ceng Liong yang menggubah Ceng Thian Sin Ci menjadi ilmu-ilmu pukulan dan totokan yang maha sakti. Dan belakangan, ini menjadi salah satu ilmu andalan Ciangbundjin Bu Tong Pay. Ceng Liong sengaja tidak menurunkan Ciat Lip Jiu karena bakal makan waktu lama, padahal dia masih harus menurunkannya kepada Liang Mei Lan. Tetapi, Ceng Liong kurang menyadari bahwa Ceng Thian Sin Ci adalah gubahan dari Ciat Lip Jiu, hanya Ceng Thian Sin Ci telah digubahnya sendiri menjadi ilmu pukulan dan totokan.

Itulah sebabnya Ceng Liong mengajarkan Ceng Thian Sin Ci (Jari Penggetar Langit) sebagai sebuah ilmu pukulan dan totokan dengan membuka kemungkinan mengembangkannya menjadi semacam kekuatan Ilmu Ciat Lip Jiu. Hanya, ilmu ini di tangan Ciangbundjin Bu Tong Pay berkembang menjadi salah satu ilmu tangan kosong andalan Bu Tong Pay. Tentu saja sang Ciangbundjin hanya tahu bahwa itu warisan gurunya, tanpa tahu bahwa ilmu mujijat itu adalah gubahan Kolomoto Ti Lou dan Kiang Sin Liong untuk tujuan berbeda. Tetapi, tetap saja Ciangbundjin Bu Tong ini belakangan menekuni ilmu mujijat ini lebih sebagai ilmu totokan dan ilmu pukulan. Berbeda dengan Ceng Liong dan belakangan Mei Lan yang menekuni skema utama ilmu itu dan mengembangkannya baik sebagai ilmu totokan maupun menggiring tenaga lawan. Toch ternyata yang dikembangkan sang Ciangbundjin tidak kalah lihay dan tidak kalah hebatnya dengan dasar ilmu yang dimiliki oleh Ceng Liong dan Mei Lan tersebut.

Setelah menyelesaikan tugas di Bu Tong Pay, menjelang malam Kiang Ceng Liong akhirnya beristirahat. Dia berencana untuk mengumpulkan kembali semua semangat dan tenaganya yang banyak terkuras tadi. Sambil merenungkan kembali praktek penggunaan ilmu-ilmu baik Thian Liong Heng Khong, Ciat Lip Jiu, Ceng Thian Sin Ci maupun Cing Peng Kang Khi. Terutama dia melatih kembali ilmu Ciat Lip Jiu (Tangan Penggiring Tenaga) untuk diwariskan kepada Liang Mei Lan. Dia memperkirakan baru akan meninggalkan Bu Tong Pay 2 hari lagi setelah melatih Mei Lan dalam Ilmu Ciat Lip Jiu dan gubahan ilmu totokan dan pukulan Ceng Thian Sin Ci kepada Sian Eng Cu.

Tetapi, malam belum lama menjelang. Ceng Liongpun baru beristirahat selama beberapa saat setelah tenggelam dalam samadhi menggubah ilmu dan melatih diri. Tiba-tiba pintu kamarnya diketok dan Mei Lan sudah langsung masuk dan berkata:

“Liong ko, ikut aku” dari nada suara Mei Lan, Ceng Liong paham kalau sesuatu peristiwa penting telah terjadi. Dan memang benar, di salah satu ruangan tamu kemana Mei Lan membawanya, telah berisi beberapa orang. Dan orang-orang di dalamnya adalah: Liang Tek Hoat yang nampak kelelahan dan sedikit terluka, Siangkoan Giok Lian yang juga nampak kelelahan, Ciu Sian Sin Kay yang nampaknya terluka dalam sangat parah. Sekilas pandang Ceng Liong segera paham apa yang terjadi, karena itu dia tidak banyak bertanya, tetapi tatapan matanya terus terarah kepada Ciu Sian Sin Kay karena dia melihat tokoh itu terluka dalam yang sangat parah.

“Locianpwee, maafkan aku ....” sambil berkata demikian, Ceng Liong mengerahkan tenaga Giok Ceng Sinkang dan serangkum hawa dingin-dingin empuk segera meresap memasuki tubuh Ciu Sian Sin Kay. Menyadari Duta Agung muda ini memang memiliki tingkat penguasaan Giok Ceng Sinkang yang sudah teramat tinggi, Ciu San Sin Kay segera membuka diri dan membiarkan tenaga penyembuh Ceng Liong memasukinya. Dan benar saja, tidak beberapa lama, tenaga dalamnya yang sudah sulit di atur, mulai kembali berkumpul di tan-tian. Dan tidak lama kemudian dia telah mampu menguasai dirinya dan tinggal membutuhkan waktu untuk pulih kembali. Ceng Liongpun kemudian menyudahi bantuannya, untuk kemudian sambil berpaling kepada Tek Hoat dia bertanya:

“Hmm, apa sebenarnya yang terjadi”?

Benar, apa sebenarnya yang terjadi? Untuk mengetahuinya, sebaiknya kita mundur beberapa jam. Mundur ke masa ketika Tek Hoat dengan ditemani oleh kekasihnya Siangkoan Giok Lian mengerahkan segenap kekuatan mereka untuk mengejar robongan Kaypang yang telah berjalan mendahului mereka lebih dari 5 jam. Meski telah lama mendahului, tetapi Tek Hoat yang adalah bagian Kaypang dengan mudah mengenali tanda-tanda rahasia Kaypang yang sengaja ditinggalkan. Tanda itu sambung menyambung, dan karena itu Tek Hoat tidak kesulitan menetapkan ke arah mana mereka harus mengejar dan menyusul. Lebih beruntung lagi, karena perjalanan rombongan itu memang tidak dilakukan secara cepat.

Tetapi, benarkah mereka tidak terlambat?

Setelah mengejar dengan kecepatan tinggi selama hampir 2 jam, akhirnya Tek Hoat dan Giok Lian berhasil menemukan rombongan Kaypang. Hanya saja, keadaannya sudah sangat runyam, karena dari kejauhan sudah nampak ada beberapa orang sedang bertarung, sementara di sekitar arena sepertinya banyak orang yang rebah. Entah terluka ataupun tewas. Belakangan Tek Hoat baru tahu, kalau sebagian besar orang yang rebah itu telah tewas oleh musuh.

Apa yang terjadi? Di tengah arena ternyata sedang terjadi pertempuran seru antara Pengemis Tawa Gila dibantu 5 orang murid Kaypang melawan seorang berjubah dan berkedok hijau. Jelas sekali keadaan Pengemis Tawa Gila sangat-sangat terdesak dan meski berjumlah banyak, mereka tidak sanggup mendesak lawan. Sebaliknya, mereka pontang-panting membela diri dan mengelak dari dahsyatnya serangan lawan yang bergelombang. Tapi, keadaan Pengemis Tawa Gila dan para murid yang membantunya jelas sudah sangat terdesak, tinggal menunggu waktu perlawanan mereka berakhir.

Sementara itu, di arena kedua, Ciu Sian Sin Kay – salah seorang tokoh Kaypang juga sedang bertarung melawan manusia berkerudung hijau yang seorangnya lagi. Meskipun perlawanannya jauh lebih hebat ketimbang Pengemis Tawa Gila, tetapi sudah jelas posisinya lebih banyak bertahan. Bahkan, nampaknya Ciu Sian Sin Kay sudah sedang memainkan ilmu andalannya yang berdasarkan pergerakan orang mabuk. Itulah yang sedikit menyelamatkannya, karena lawan nampak bingung dengan gerakan menghindar dan menyerang yang dilakukan Ciu Sian Sin Kay. Hanya, tetap saja keadaan Ciu Sian Sin Kay, juga tidaklah baik, posisinya lebih banyak ditekan lawan dan kurang mampu memberikan serangan balasan yang berbahaya. Jika dibiarkan, diapun akan kalah.

Di arena terakhir, dan disinilah korban banyak berjatuhan. Karena seorang berjubah dan berkedok hijau lainnya berhadapan dengan keroyokan lebih kurang 10 orang anggota Kaypang. Sayangnya, tidak ada anggota Kaypang yang berkepandaian lumayan yang mengiringi Hu Pangcu dan rombongannya. Akibatnya, di arena itu sudah ada lebih kurang 5-6 orang yang terluka parah dan malah mungkin tewas. Meski tidak sehebat 2 manusia berjubah hijau lainnya, manusa berjubah hijau di arena ketiga justru jauh melampaui anak murid Kaypang. Dan dialah yang menjadi penyebab banyaknya anggota Kaypang terbunuh.

Begitulah keadaan rombongan Kaypang ketika Liang Tek Hoat dan Siangkoan Giok Lian kekasihnya mendatangi arena pertempuran. Dan orang-orang yang menyerang rombongan Kaypang rupanya sadar jika bala bantuan buat rombongan Kaypang sedang mendatangi. Sadar jika misi mereka terancam kegagalan karena bantuan yang datang kelihatannya sangatlah lihay, penyerang-penyerang itu dengan cepat meningkatkan serangan dan desakan mereka. Dan yang celaka adalah Hu Pangcu Kaypang, Pengemis Tawa Gila yang memang sudah dalam kondisi terdesak hebat. Manusia berjubah hijau yang menjadi lawannya, tiba-tiba menghentakkan kekuatan tenaga dalamnya hampir 8 bagian.

Dans ebagai akibatnya, ke-lima anak murid yang membantu Hu Pangcu terpental ke kiri dan ke kanan, bergelimpangan dan semua terluka berat. Sasaran utamanya memang bukan anak murid Kaypang, tetapi Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila. Maka, begitu gangguan terhadapnya berkurang, serangan dengan tenaga besar dalam ilmu pamungkasnya sudah menyerang Pengemis Tawa Gila. Kondisi Pengemis Tawa Gila kebetulan sudah salah langkah, keteteran oleh angin serangan lawan yang luar biasa kuatnya. Karena itu, dengan nekat dia mengerahkan sebagian atau seluruh tenaga tersisanya untuk memapak serangan lawan:

“Hu Pangcu, mundur .........” teriakan mengguntur terdengar dari luar arena untuk memperingatkan Pengemis Tawa Gila. Tetapi terlmabat, sangat terambat. Pertama, Pengemis Tawa Gila sudah terluka dan sudah teramat letih melakukan perlawanan terhadap musuh yang sangat lihay ini. Kedua, posisinyapun sudah salah langkah terserempt angin serangan membadai yang dilepaskan lawan. Satu-satunya langkah memang memapak serangan lawan dengan kekuatan sepenuhnya. Ini yang memang diinginkan lawan, karena dengan gerakan manis, dia menghindari papakan pukulan Pengemis Tawa Giula sementara pukulan mautnya tetap mengarah ke dada kanan Pengemis Tawa Gila.

“Bluk, bressssssssss ...........”, pukulan maut si manusia berjubah hijau bersarang telah di dada kanan Pengemis Tawa Gila. Dan akibatnya:

“Haiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa......”, jeritan menyayat hati terdengar dari Pengemis Tawa Gila dan selanjutnya tubuhnyapun terlempar ke belakang sambil muntah darah segar. Terdengar teriakan lainnya:

“Terlambat koko .....”
 
2



Jeritan Pengemis Tawa Gila tadi adalah jeritan meregang nyawa. Begitu Liang Tek Hoat menghampiri tubuh Hu Pangcu tersebut, nyawanya sudah sedang melayang akibat luka berat yang ditimbulkan pukulan hebat lawan. Kondisi dalam tubuhnya sudah hancur remuk, mustahil disembuhkan lagi. Tetapi, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Pengemis Tawa Gila masih sempat berbisik lemah:

“Sampaikan hormatku kepada Pangcu, ternyata usiaku tidak memadai hingga ke pertemuan besar Kaypang nantinya. K ...k..k...kami semua mengandalkanmu .....” dan selepas kalimat singkat itu, Pengemis Tawa Gila, salah satu tokoh utama dalam menyerbu dan mengalahkan Thian Liong Pang melepas nyawanya. Tek Hoat sedih dan gusar, tetapi betapapun dia harus menata dan mengatur mayat Hu Pangcu terlebih dahulu. Dan dia tidak boleh lama bersedih, karena di dua arena lainnya masih terjadi pertempuran.

Wajahnya yang biasa tersenyum kini berubah kelam dan gelap. Diapun bangkit dan menghampiri arena kedua, dimana Ciu Sian Sin Kay sedang terdesak. Karena mengalami penghadangan dan Hu Pangcu tewas, maka Tek Hoat berubah menjadi kelam dan garis serta sinar matanya mengeras. Dan diapun memasuki arena pertarungan Ciu Sian Sin Kay sambil berkata:

“Suheng, balaskan kematian Hu Pangcu, biarkan bangsat ini kuselesaikan. Bantu murid-murid kita disana”

Tanpa menunggu persetujuan suhengnya, Ciu Sian Sin Kay, Tek Hoat telah menyerang manusia berjubah hijau lawan suhengnya. Dan, menyadari jika memang Tek Hoat lebih mampu melawan si manusia berjubah hijau, Ciu Sian Sin Kay memandang ke arena ketiga. Dan melihat keadaan berbahaya, dia langsung berkelabat ke arena tersebut dan menyerang manusia berkerudung hijau di arena tersebut. Dan, dia mendapati kenyataan jika manusia berkerudung yang ketiga ini tidak sehebat kedua manusia berkerudung lainnya. Bahkan, Ciu Sian Sin Kay merasa berkemampuan untuk mengalahkan si manusia berjubah hijau yang satu ini.

Sementara itu, Giok Lian yang menyerang manusia berjubah hijau yang membunuh Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila telah bekerja tidak kepalang tanggung. Selama masa penyerangan Thian Liong Pang, Hu Pangcu ini terbilang cukup dikenalnya. Terutama kepemimpinan dan keberaniannya dalam memimpin pergerakan kaum pendekar. Apalagi karena Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila adalah pemimpin Kaypang, perkumpulan besar darimana kekasihnya berasal. Maka tidak tanggung, Giok Lian menumpahkan kekesalan dan kemarahannya dengan menyerang si manusia berjubah hijau secara keras dan cepat.

Tetapi, baik Giok Lian maupun Tek Hoat sangat heran menemukan kenyataan betapa lawan mereka ternyata luar biasa hebatnya. Tek Hoat yang sudah langsung menyerang dengan Hang Liong Sip Pat Ciang bertemu dengan kehebatan lawan yang tidak berada di sebelah bawah kemampuannya. Ilmu keras sambung menyambung yang membuatnya bagai sedang berusaha menaklukkan Naga, mampu dihadapi lawannya meski dengan susah payah. Dan memang, karena Tek Hoat tidak melatih sinkang “perjaka” sebagaimana gurunya, maka puncak kehebatan ilmu tersebut berbeda dengan gurunya Kiong Siang Han. Tetapi yang mengejutkan Tek Hoat adalah, lawan yang dihadapi bersilat secara aneh dan nampaknya belum pernah dihadapinya sebelumnya. Kekuatan sinkang lawan tidak berada di sebelah bawah kemampuannya dan ilmu-ilmu lawanpun mengagetkannya.

Menyadari hal tersebut, Tek Hoat merubah ilmu pukulannya. Kali ini dia menyerang dengan pukulan berat lainnya, Pek Lekk Sin Jiu (Pukulan Petir). Dan benar saja, lawan kembali kaget menghadapi ilmu mujijat Tek Hoat ini meskipun tidak mampu membuatnya terdesak hebat. Hanya, itu di awal-awalnya. Manusia berjubah hijau itu kurang mengerti jika Tek Hoat memang berusaha secepatnya mengalahkannya. Itulah sebabnya dia belum sempat menyerang dan membuka ilmu andalannya dalam melawan Tek Hoat. Terlebih, dia sempat memandang remeh pada awal-awal pertempuran mereka. Akibatnya, memasuki jurus ketiga dan selanjutnya, dia benar benar dalam kesulitan hebat. Tek Hoat terus memberondongnya dengan jurus-jurus keras dari Pek Lek Sin jiu yang diiringi oleh suara petir bertalu-talu yang menusuk kuping maupun batinnya. Diapun sedikit goyah.

Sementara itu, Giok Lian di arena yang satunya lagi, juga menyerang lawan secara hebat. Meski heran karena lawan ternyata berilmu tinggi, tetapi Giok Lian tidaklah kehabisan akal, apalagi keder. Sebaliknya, meniru kekasihnya Tek Hoat, diapun langsung mencecar lawan yang juga kaget dan heran melihat kesaktiannya. Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Bulan Matahari) telah mengalami kemajuan yang sangat luar biasa beberapa waktu belakangan. Kemajuannya seandainya dia tahu, pastilah akan membuatnya kaget. Karena bahkan dibandingkan dengan kesaktian kakeknya yang menjadi Kauwcu Begkauw, Giok Lian justru telah melampauinya. Karenanya tidak heran jika lawannya si manusia berkerudung hijau juga dilanda kekagetan luar biasa. Gadis muda ini bahkan mampu menandingi dan mencecarnya dengan pukulan sakti yang mampu menggetarkan pertahanan sinkangnya.

Apalagi karena selain menyerang dengan Toat bengci (Jari pencabut nyawa) yang dahulunya adalah ilmu sesat nenek buyutnya, Giok Lian juga secara cepat bergerak dengan Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar). Toat Beng Ci, memang dahulunya adalah ilmu andalan nenek buyutnya yang sangat sadis dan kejam. Di tangan Giok Lian, kegarangan dan kesadisan itu tidaklah berkurang, justru semakin meningkat tajam. Hanya saja, hawa magisnya telah berkurang banyak, tetapi tetap saja ketajaman kekuatan pengerahan sinkang melalui jari justru menjadi jauh lebih hebat dan mematikan. Apalagi masih diiringi dengan suara mencicit yang mengiringi kearah mana totokan jari itu terarah.

Kini kekuatan bergeser jauh atau bahkan berbalik. Jika sebelumnya posisi rombongan Kaypang berada dalam keadaan terdesak dan sangat berbahaya, bahkan menelan korban jiwa Pengemis Tawa Gila, maka sekarang berbalik. Posisi ketiga manusia berjubah hijau, kini berada dalam ancaman bahaya maut. Karena disemua arena mereka dalam posisi terdesak. Baik arena melawan Giok Lian, Tek Hoat maupun Ciu Sian Sin Kay. Sangat mungkin dalam waktu tidak lama lagi, salah satu dari ketiga manusia berjubah hijau itu akan menjadi korban. Karena baik Ciu Sian Sin Kay, Tek Hoat maupun Giok Lian memang tidak lagi tanggung-tanggung dalam mendesak dan menyerang lawan. Apalagi posisi manusia berjubah hijau yang sedang melawan Ciu Sian Sin Kay yang kini bersilat di puncak kemampuannya.

Dan benar saja. Tidak lama kemudian, Ciu Sian Sin Kay mengerahkan kekuatan besar dalam ilmu Hang Liong Sip Pat Ciang. Ilmu ini sudah selama 6 bulan terakhir ditekuninya melalui kitab catatan ilmu silat Kiong Siang Han yang dititipkan melalui Liang Tek Hoat. Melalui kitab inilah Kiong Siang Han mewariskan semua peryakinan ilmu silatnya beberapa tahun terakhir, termasuk yang telah diturunkannya kepada Tek Hoat murid penutupnya. Karena itu, Ciu Sian Sin Kay yang sekarang, sudah jauh berbeda dengan yang bertarung di markas utama Thian Liong Pang sebelumnya. Meskipun belum sempurna benar dalam memainkan Hang Liong Sip Pat Ciang, tetapi kekuatan tenaga perjakanya justru masih lebih kokoh dibandingkan Liang Tek Hoat yang tidak melatih sinkang tersebut. Karena itu, kehebatan Hang Liong Sip Pat Ciang di tangan Ciu Sian Sin Kay tidaklah kalah jauh dari adik seperguruan termudanya.

Memasuki jurus kesebelas dengan gaya Liong Cong Liat Hong (Naga Menerjang Bagai Pusaran Angin), Ciu Sian menggerakkan bukan hanya tangannya, tetapi juga hawa sinkang yang bergerak bagai angin lesus. Karena sudah terlibat oleh hawa pukulan dan sinkang yang bergerak mengurung semua jalan keluarnya, si manusia berjubah hijau tak punya pilihan lain. Dengan sangat terpaksa diapun bergerak sepenuh tenaga menangkis pukulan Ciu Sian Sin Kay yang bergerak dengan kekuatan hawa pukulan luar biasa. Tetapi, begitu dipapak lawan, Ciu Sian telah bergerak dengan ciri khas ilmunya – ilmu gerak dewa mabuk - dan langsung menyerang lawan dari samping dengan jurus Hai Liong Lu Jiau (Naga Laut Menjulurkan Cakar). Dan kali ini, kepalan tangan yang penuh hawa sinkang bergelora itu telak memukul bagian samping dada si manusia berkerudung. Dan yang terdengar hampir secara bersamaan adalah:

“Dukkkkkkk ......”

“Hoaaaaaaakkkkkkkkkk”

Si Manusia berkerudung terpukul telak ke belakang sambil meyemburkan darah segar. Dan tanpa perlu memandang lebih jauh, Ciu Sian Sin Kay mengerti jika manusia itu telah terluka sangat parah dan tidak akan mungkin tertolong lagi. Namun, pada saat bersamaan tiba-tiba berkelabat dua sosok bayangan memasuki arena. Dan dari gerakan mereka, bisa ditebak kalau kedua pendatang baru itu juga membekal kepandaian yang luar biasa. Dan terdengar salah seorang dari kedua pendatang yang juga mengenakan jubah dan kerudung, namun bukannya hijau tetapi warna kelabu dan bahkan agak kelam dan pekat, telah mendengus:

“Sungguh berani melukai orang ..... hmmm, terimalah”

Dan salah seorang dari pendatang itu telah mengerahkan kemampuannya yang luar biasa untuk menyerang Ciu Sian Sin Kay. Sementara itu, Ciu Sian Sin Kay yang masih bangga dengan kemenangannya, sudah keheranan melihat kedatangan dua orang lainnya lagi. Modelnya sama, manusia berjubah dan berkkerudung, hanya kali ini dengan warna jubah yang agak kelabu cenderung gelap, tetapi bukan hitam. Salah seorang dari kedua pendatang itu telah menyerangnya, dan nampaknya tidaklah main-main. Diapun bersedia, tetapi dalam herannya, ilmu pukulan yang dilontarkan kepadanya ternyata sangatlah luar biasa. Dengan tergesa-gesa diapun menangkis pukulan tersebut:

“Dukkkkkk .......”

“Accccchhhhhhhhhhhhhhhhhhh ....”

Dan menyusul Manusia berjubah hijau sebelumnya, Ciu Sian Sin Kay juga terdorong ke belakang dan nampaknya terluka hebat. Luar biasa si pendatang baru berjubah kelabu itu. Dengan sebuah kibasan saja dia telah mampu melontarkan Ciu Sian Sin kay. Namun, sebetulnya bukan karena perbedaan kemampuan yang terlampau jauh, melainkan karena Ciu Sian masih belum mengenali pendatang yang menyerangnya dan belum cukup siap menangkis pukulan lawan. Itulah sebabnya dia sampai terluka cukup parah oleh kibasan tangan lawan yang telah memukulnya dengan hampir tiga perempat kekuatan tenaganya. Otomatis Ciu Sian Sin Kay kedodoran, kalah dan akhirnya terlontar ke belakang dengan menderita luka dalam yang tidak ringan.

Jatuhnya Ciu Sian Sin Kay tidak terlepas dari pengamatan Tek Hoat dan Giok Lian. Juga kelihatannya tidak terlepas dari pengamatan kedua lawan sepasang anak muda sakti itu. Hal itu terbukti. Ketika Tek Hoat dan Giok Lian bergerak ke arah Ciu Sian Sin Kay, kedua manusia berjubah hijau itupun berkelabat ke arah manusia berjubah hijau yang satu lagi, yang terluka parah di bawa pukulan Ciu Sian Sin Kay. Bahkanpun, begitu melihat keadaan kawan mereka yang sudah diambang kematian, dengan cepat salah seorang dari manusia berjubah hijau telah mengangkat tubuh kawannya yang terluka itu, dan hanya selang sedetik dua detik, merekapun berkelabat pergi dan lenyap.

Tindakan mereka sungguh tidak diduga dan tidak mampu diantisipasi baik Giok Lian, Tek Hoat dan juga kedua pendatang baru. Hanya saja, tak seorangpun yang bergerak mengejar karena setelah melihat Ciu Sian Sin Kay hanya terluka meski agaknya cukup parah, Tek Hoat segera bangkit diiringi Mei Lan dan menghadapi kedua pendatang baru yang juga tidak mereka kenal. Hanya, dari dandanan keduanya, dapat ditebak jika salah seorang adalah wanita. Sementara yang satunya lagi jelas seorang laki-laki. Repotnya, sulit untuk mengetahui apakah dan bagaimanakah rupa yang seorang lagi, karena dia benar-benar menutupi wajahnya dengan penutup wajah selain dengan caping lebar.

“Ada permusuhan apakah gerangan dengan suhengku sampai jiwi melukainya sedemikian rupa”? Tek Hoat sudah kehilangan keluwesannya akibat pukulan beruntun yang diterimanya. Setelah Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila terpukul tewas, kini toa suhengnya juga terluka parah di tangan musuh. Siapa yang tidak menjadi sangat geram?

‘Dia terlebih dahulu menyerang dan melukai orang” dingin nada jawaban dari si jubah kelabu. Dan benar, nada suara yang bening melengking menandakan dia seorang wanita, hanya jelas sekali jika nada suaranya telah diubah sedemikian rupa. Apa gerangan maksudnya?

“Apakah anda berdua tidak melihat jika lawan yang dilukainya telah membunuh sekian banyak anak murid Kaypang”? tanya Tek Hoat kembali dengan nada amarah yang masih sangat lekat.

“Maaf, kami tidak perduli dengan semua itu. Memangnya, jika anak murid Kaypang apakah tidak boleh dilukai dan dibunuh”? tambah dingin suara si wanita berjubah kelabu. Dan suasana menjadi semakin panas.

“Hmmmmm, tidak salah dugaanku. Kita sedang berhadapan dengan musuh Kaypang, nampaknya sampah-sampah dunia persilatan” desis Tek Hoat marah, juga disambut kegeraman serupa dari kedua lawannya.

“Hmmmm, apakah karena anda berdua berada di daftar 10 jago pendekar di Tionggoan terus memandang ringan yang lain? .....hmmm sombongnya” si wanita berjubah kelabu juga nampak menahan kemarahannya. Tetapi, orang disampingnya yang juga sama berjubah kelabu sudah tidak mampu menahan kemarahannya. Dengan disertai erangan penuh kemarahan dia kemudian menyerang Tek Hoat, tetapi lawan yang diserang juga sudah siap sedia sejak tadi. Gerakan lawan yang cepat tidak mengejutkannya, tetapi kekuatan serangan lawan yang mengejutkan. Karena bahkan masih melebihi kekuatan dan kehebatan manusia berjubah hijau yang telah kabur melarikan diri tadi.

Melihat kawannya sudah menyerang Tek Hoat, si wanita berjubah kelabu juga sudah menyerang Giok Lian. Dan kembali terjadi pertarungan seru di tempat itu. Hanya saja, meski cuma ada 2 arena perkelahian, tetapi pertempuran kali ini masih lebih berbahaya dan lebih menguras tenaga. Dalam waktu singkat Tek Hoat menemukan kenyataan jika lawannya sungguh-sungguh berat. Dia harus mengerahkan seluruh kekuatan sinkang dan ginkang, malahan mengisi dengan kekuatan batin agar tidak keteteran menahan serangan lawan. Sementara sebaliknya, Siangkoan Giok Lian juga menemukan lawan yang tidak kurang hebatnya dengan lawan sebelumnya. Hal yang membuatnya heran, “mengapa dalam waktu lebih kurang 6 bulan muncul tokoh-tokoh hebat yang tidak jauh beda kepandaiannya denganku? Padahal aku sudah maju jauh berkat Bhiksu Chundamani” desis Giok Lian dalam hatinya.

Sementara itu, lawan Tek Hoat selalu menyerang dengan kekuatan mengerikan. Kekuatan yang baru dengan pengerahan tenaga nyaris sepenuhnya baru bisa ditahan dan dilawan Tek Hoat. Bahkan, ketika menyerang dengan Pek Lek Sin Jiu, lawannya tidak menunjukkan gelagat ketakutan atau ngeri. Sebaliknya, dia mampu dan sanggup meladeni Pek Lek Sin Jiu dengan baik, dan membalas serangan dengan sama keras dan sama kuatnya. Seperti halnya Giok Lian, Tek Hoatpun terkejut dengan lawan-lawan baru yang muncul tetapi dengan kekuatan yang sangat luar biasa. “Nampaknya, Ceng Liong benar, bakalan ada gejolak baru di dunia persilatan dalam waktu dekat. Inilah rupanya maksudnya” Tek Hoat berkata dalam hatinya sendiri.

Tetapi, meskipun berkata-kata dalam hatinya sendiri, Tek Hoat tidak pernah mengendurkan serangan dan pertahanan. Dia pada akhirnya bertarung bertahan dan menyerang dengan sama baiknya. Karena lawan yang dihadapi adalah lawan terkuat yang ditemuinya setelah pertempuran di markas Thian Liong Pang. Tek Hoat telah bertempur dengan memadukan Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya) – ilmu ginkang tingkat tinggi warisan gurunya dan dipadukan dengan Pek lek Sin Jiu. Dengan paduan inilah dia mampu mengimbangi lawannya yang luar biasa hebatnya. Tek Hoat mengeluh dalam hati, karena lawannya kelihatannya tidak berada di sebelah bawah kemampuannya.

Sementara itu, Giok Lian seperti mengenali gaya dan cara bertarung lawannya. Seperti tidak asing baginya. Tetapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya, karena lawannya kali ini memiliki kemampuan hebat. Tidak kalah dengan kemampuan lawan sebelumnya. Hanya saja, kekuatan sinkangnya memang belum sanggup mengimbangi lawan sebelumnya meski beda tipis belaka. Hal ini ditutupi dengan variasi ilmu dan jurus aneh serta dahsyat yang dilontarkannya. Untuk itu, Giok Lian mengimbangi serangan lawan dengan Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar) dan juga memadukan dengan Koai Liong Sin Ciang (Ilmu Pukulan Naga Siluman). Paduan kedua ilmu ini membuatnya beroleh waktu memadai untuk menengok keadaan Tek Hoat. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat betapa hebat lawan Tek Hoat, sekilas dia melihat pelipis Tek Hoat mulai berkeringat, sementara lawannya juga dalam kondisi sama, bahkan masih sedikit lebih bugar.

Melihat Tek Hoat memperoleh lawan yang sangat hebat, kelihatannya masih melebihi lawannya, Giok Lian menjadi gelisah. Cepat diapun menggunakan ilmu dan jurus andalannya selama ini, Sam Koai Sian Sin Ciang (3 Jurus Ilmu Pukulan Dewa Siluman). Ilmu yang terdiri dari hanya 3 jurus ini adalah ilmu pukulan mujijat dari Bengkauw, ilmu yang selama ini hanya diwarisi dan dikuasai tokoh-tokoh puncak Bengkauw. Ilmu tersebut memang sangat tepat dimainkan dengan langkah ajaib Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar). Maka sambil berputar-putar, Giok Lian kemudian memuntahkan pukulan-pukulan berat bagaikan ledakan mortir yang sambung-menyambung menyerang lawan dari segala penjuru. Akibatnya, lawan menjadi sibuk menghindar dan menangkis kesana kemari. Tetapi karena kekuatan singkangnya kurang mampu meladeni Giok Lian yang telah semakin matang, diapun keteteran. Tak tersembunyikan keterkejutan si perempuan berjubah kelabu melihat betapa kemampuan Giok Lian telah maju sedemikian jauhnya. Dan akibatnya, diapun keteteran menghadapi lawannya.

Sementara itu, Tek Hoatpun mengalami kekagetan serupa. Menghadapi pek Lek Sin Jiu yang semakin lama semakin menggelegar, lawannya dengan cepat telah menyiapkan ilmu anehnya. Hal itu tepat dilakukannya ketika Tek Hoat memasuki jurus pamungkas Pek Lek Sin Jiu, jurus kedelapan Halilintar meledak Bumi Melepuh. Jurus kedelapan ini, sejatinya belum pernah dikeluarkannya secara penuh, tetapi sekarang dengan terpaksa dikeluarkannya karena lawan juga menyerangnya dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Terlebih, dia merasa kekuatan lawannya semakin lama semakin berat menekannya. Sejak 3 gebrakan sebelumnya, setiap menyerang, kekuatan lawan seperti bertambah 2 kali lipat ketika menerpanya. Hal yang mengagetkannya dan dengan terpaksa dia mengerahkan jurus pamungkas dari pek Lek Sin Jiu. Tetapi lawannyapun tidak nampak takut atau ngeri untuk memapak pukulan ampuhnya itu:

“Blaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr” dan akibatnya, baik Tek Hoat maupun lawannya terpental ke belakang. Dari mulut Tek Hoat nampak merembes darah merah tanda dia telah terluka, tetapi lawannya juga nampak goyah. Jika mampu melihat wajahnya, maka Tek Hoat pasti puas, karena wajah itupun nampak pucat. Sementara itu, Giok Lian yang selalu mengikuti pertarungan Tek Hoat menjadi khawatir melihat dari mulut kekasihnya merembes darah. Memang belumlah berarti bahwa kekasihnya terluka parah. Tetapi betapapun hati seorang gadis sudah tentu akan merasa sangat khawatir karenanya. Karena itu, diapun menyerang dengan segenap kekuatannya dalam jurus ketiga dari ilmu andalannya itu. Akibatnya, si wanita berjubah kelabu pontang-panting menyelamatkan diri. Hanya saja tetap sebuah angin serangan Siangkoan Giok Lian sempat menyerempetnya. Meski tidak sampai terluka berat, tetapi cukup mampu menciutkan nyali lawan. Keadaan itu tidak lepas dari pengamatan lawan tek Hoat. Sebagaimana Siangkoan Giok Lian selalu mengikuti pertarungan Tek Hoat dengan lawannya, demikian juga lawan Tek Hoat selalu mengawasi arena Giok Lian dengan kawannya. Karena itu, dia sempat menyaksikan kalau posisi mereka berbahaya.

Dan ketika Giok Lian melihat lawannya terserempt pukulannya dan sedikit terluka, dia mengalihkan pandangan ke arah lawan Tek Hoat. Pada saat bersamaan, mereka berdua saling memandang. Getaran kekuatan beradu, bukan hanya getaran kekuatan tenaga dalam, adu tahan kekuatan mata, tetapi juga adu kekuatan batin. Dan pada saatnya, keduanya bergerak saling menyerang. Sadar lawan luar biasa hebatnya, Giok Lian telah dengan cepat memutuskan menggunakan kekuatan dari kedua gurunya. Yakni Jit Goat Sinkang yang dilebur kembali dengan Bu Sing Sinkang Bhiksu Chundamani. Giok Lian menyerang dengan jurus Ceng Kou Cih Meng (Lonceng Dan Genta Berbunyi Serentak) dari ilmu terbarunya Sam Ciang Khay Thian Loan Te (Tiga Jurus Membuka Langit Mengacau Bumi). Dan benturan yang kesekian dengan pelakon berbeda kembali terjadi.

Giok Lian terdorong sampai tiga langkah dan bahkan kemudian membiarkan dirinya melayang ke belakang untuk menetralisasi kekuatan lawan yang menggulung mengejarnya. Sementara itu, lawannya juga kaget setengah mati melihat getaran dan gulungan pukulannya tidak mampu mengalahkan lawan. Lawan memang terdorong ke belakang 3 langkah, sama seperti dirinya. Hanya, meski lawan terdorong dan melayang kebelakang, diapun sadar kalau Giok Lan sengaja melakukannya agar gulungan tenaga tersisa yang menyerangnya tidak melukainya. “Luas biasa” desis si manusia berjubah hijau. Dan melihat Giok Lian sanggup menghadapinya, apalagi nampaknya Tek Hoat juga sudah bersiap menyerang, si manusia berjubah kelabu segera berkata sambil berkelabat ke arah temannya si wanita yang berjubah kelabu:

“Kita pergi .....”

Dan sejurus kemudian, tempat itu jadi sepi. Giok Lian memandang ke arah Tek Hoat yang menarik nafas panjang menemukan kenyataan betapa hebat lawan tadi dan dia sempat sedikit terluka. Itu sebabnya keduanya membiarkan saja manusia manusia berjubah kelabu itu berlalu. Selain itu, perasaan Tek Hoat juga sedang galau dan geram dengan kematian Hu Pangcu Kaypang dan terlukanya toa suhengnya Ciu Sian Sin Kay. Dengan perlahan Giok Lian menghampiri Tek Hoat dan menyentuh lembut pundak anak muda itu:

“Koko, sekarang bagaimana ....”?

Tek Hoat memandang Giok Lian penuh rasa terima kasih dan cinta. Tetapi, kerisauan dan kesedihan serta kegeraman dihatinya tidak mampu diusirnya dengan cepat. Dia memang merasakan getaran kasih dan mesra dari Giok Lian, hanya itu tidak mencukupi untuk membuatnya keluar dari lingkaran perasaan galau dan marahnya. Marah kepada musuhnya sudah tentu. Risau karena di depan matanya menyaksikan kematian Hu Pangcu dan terlukanya sang toa suheng. Tetapi, toch akhirnya dari harus memberi keputusan:

“Kita kembali ke Bu Tong Pay. Toa suheng butuh bantuan Ceng Liong, sambil menyiapkan penjemputan anak murid Kaypang”

Dan sambil memberi keputusan demikian, Tek Hoat melemparkan senyum mesra kepada kekasihnya sambil kemudian memandang dan bergerak kearah anak murid Kaypang. Diapun segera mengeluarkan perintah:

“Sampaikan kabar ke markas Kaypang, dan perintahkan anak murid Kaypang cabang terdekat untuk menuju ke kuil Bu Tong Pay. Jenasah Hu Pangcu untuk sementara kubawa ke Bu Tong Pay menunggu jemputan anak murid Kaypang dari markas pusat”, dalam sekali perintah Tek Hoat menugaskan berapa orang sekaligus untuk bertugas.

Saat itu, murid Kaypang yang masih bugar tinggal 5 orang belaka, sisanya selain terluka, telah terpukul mati oleh lawan. Maka, diapun menyuruh 2 orang murid ke Markas Utama Kaypang guna memberi kabar. Selain itu, 2 orang murid memberitahu cabang Kaypang terdekat untuk menuju Bu Tong Pay untuk mengatur kekuatan mengantarkan jenasah Hu Pangcu ke markas Kaypang. Dan seorang lagi turut bersamanya untuk mengangkat jenasah Hu Pangcu menuju Kuil Bu Tong Pay. Untungnya, meski telah terluka cukup parah, tetapi Ciu Sian Sin Kay masih memiliki kekuatan untuk melakukan perjalanan.

Dalam keadaan seperti itulah rombongan Kaypang yang tersisa, bersama Giok Lian tiba di Bu Tong Pay:

“Sebagaimana dugaanmu Liong ko, rombongan Hu Pangcu disergap orang di tengah jalan. Konon awalnya disergap oleh 3 orang manusia berjubah hijau dan berkerudung hijau pula. Menghadapi mereka saja, rombongan Kaypang sudah pontang-panting, karena terutama dua orang diantaranya memiliki kepandaian yang sangat luar biasa. Menurut suheng, dia sendiri masih belum sanggup menandingi salah seorang diantara keduanya. Begitu juga mendiang Hu Pangcu, yang terpukul binasa oleh salah seorang dari kedua manusia berjubah dan berkerudung hijau itu. Sayang aku dan Lian moi terlambat beberapa waktu” jelas Tek Hoat yang nampak sangat menyesali kedatangannya yang begitu terlambat dan yang mengakibatkan Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila menjadi korban oleh penyerang itu. Karena ketika mereka tiba, Pengemis Tawa Gila memang telah terpukul telak dan mengalami luka yang tak tersembuhkan lagi.

“Hmmm, tetapi sepengetahuanku kedua manusia berjubah dan berkedok hijau itu masih belum mampu melukaimu dengan Nona Giok Lian” Ceng Liong bertanya karena melihat Tek Hoat sedikit terluka dan heran Ciu Sian Sin Kay juga terluka oleh pukulan yang agak aneh.

“Benar Liong ko ...” kali ini Giok Lian yang bicara

“Saat kami tiba dan terlibat dalam pertempuran, Ciu Sian locianpwee sebenarnya telah mampu memukul jatuh salah seorang dari manusia berjubah hijau itu. Bahkan orang itu menurut Hoat ko kemungkinan besar sudah binasa. Tetapi, bersamaan dengan berhasilnya Ciu Sian cianpwee memukul salah seorang dari manusia berjubah hijau itu, tiba-tiba muncul dua orang berjubah kelabu dan bercaping lebar. Salah seorang dari mereka memukul dan melukai Ciu Sian locianpwee. Saat itu, 2 manusia berjubah hijau menyambar teman mereka dan menghilang, sementara kami terlibat perkelahian dengan ke-2 manusia berjubah kelabu tersebut. Dan terus terang, kemampuan kedua manusia berjubah kelabu itu tidak kalah, atau malah masih di atas manusia berjubah hijau. Akupun terus terang saja tidak akan sanggup untuk menjatuhkannya”

“Dan sayangnya, mereka berjubah kelabu dan mengenakan penutup wajah hingga tidak mampu dikenali. Bahkan akupun sedikit terguncang oleh salah satu dari manusia berjubah kelabu, entah siapa orangnya” tambah Tek Hoat.

“Apapun dan siapapun mereka, nampaknya mereka memang menyasar Bu Tong Pay, Kaypang, Siauw Lim Sie dan Lembah Pualam Hijau” berkata Sian Eng Cu yang juga merasa sangat penasaran dengan kejadian yang menimpa Bu Tong Pay dan sekarang menimpa Kaypang. “Bahkan, nampaknya bukan tidak mungkin mereka juga menghadang dan menyerang rombongan Siauw Lim Sie dalam perjalanan pulang ke Siong San”, tambah Sian Eng Cu.

“Benar, bukan tidak mungkin mereka melakukan penghadangan itu” terdengar Mei Lan menambahkan sambil memandang Ceng Liong.

“Sudahlah, jauh lebih baik kita beristirahat semua dan memberi waktu Ciu Sian cianpwee untuk beristirahat. Kita semua butuh istirahat saat ini, dan biarlah kita lanjutkan percakapan malam nanti setelah kita beristirahat sejenak”, Ceng Liong tidak merespons dugaan Mei Lan, tetapi semua memiliki keyakinan yang sama bahwa kemungkinan itu memang sangatlah besar. Tetapi, saran Ceng Liong akhirnya disetujuinya karena semua memang sedang letih. Mereka semua butuh istirahat untuk melanjutkan percakapan malam nanti.

Ceng Liong masih berdiam di Bu Tong Pay selama 3 hari, dan dia menetapkan untuk mewariskan Ciat Lip Jiu kepada Mei Lan dan Tek Hoat. Sementara kepada Sian Eng Cu dia menurunkan ilmu pukulan dan totokan Ceng Thian Sin Ci. Setelah tiga hari, bukan hanya Ceng Liong, tetapi Tek Hoat dan rombongan Kaypang juga akhirnya meninggalkan Bu Tong Pay.

====================

Lepas pagi hari, saat itu matahari sedang memancarkan sinarnya yang indah sekali. Indah karena belum dengan terik matahari menyinari bumi, sementara pantulan dari barisan pepohonan dikejauhan sungguh menawan hati. Tidak heran, karena memang di Gunung Hong-san sering memantulkan cahaya gemilang karena keragaman pepohonan yang dimilikinya. Terlebih di kaki puncak gunung bunga-bunga yang tumbuh di sana dipadukan dengan rerumputan menyebarkan aroma yangi segar, harum mewangi. Sudah pasti hawa di sekitar tempat itu terasa dingin karena angin terus bertiup walaupun halus dan sepoi-sepoi.

Pada saat suasana sesunyi itu, di lereng gunung tampak berkelebatnya 3 sosok bayangan. Ketiga sosok bayangan itu bagaikan sedang berkejar-kejaran. Dari jauh belum kelihatan jelas, tetapi semakin mendekat semakin jelas bagaimana rupa ketiga bayangan yang berkelabat cepat dan pesat itu. Tidak salah, ketiga bayangan itu pastilah tokoh silat berkepandaian hebat. Ginkang yang mereka peragakan sungguh menggugah dan mengagumkan. Hanya saja, ketika ketiga bayangan itu semakin mendekat, mereka yang menduga bahwa ketiga bayangan itu adalah orang yang berkepandaian sangat tinggi mungkin akan terkaget-kaget. Apakah gerangan yang menjadi sebabnya?

Karena ketiga bayangan tersebut ternyata adalah bayangan orang-orang muda yang usianya masih sangat kecil. Paling tinggi usianya paling adalah si anak muda yang tampan dan mengenakan jubah berwarna putih. Gerakannya sungguh mantap, kokoh dan lincah serta tentu gesit dalam bergerak. Ginkangnya bukan ginkang tokoh kelas biasa, tetapi ginkang kelas atas yang akan membuat kagum banyak orang. Meski muda usia, tetapi laki-laki muda berpakaian putih itu jelas memperagakan kepandaian yang hebat.

Orang kedua, adalah seorang gadis yang sangat cantik, usianya kelihatannya tidak berbeda jauh dengan usia si anak muda yang tampan itu. Mungkin malah sebaya. Jika si lelaki muda mengenakan jubah berwarna putih, maka si gadis mengenakan pakaian ringkas khas pendekar wanita yang berwarna hijau muda. Dan orang terakhir, juga ada seorang gadis yang tidak kurang jelitanya dibandingkan dengan orang kedua. Bahkan, wajah kedua gadis cantik itu nyaris serupa, namun usia mereka jelas berbeda. Gadis pertama mungkin adalah kakak dan gadis kedua yang jika ditaksir baru berusia 17 tahunan, pasti adalah adik. Dan sang adik yang masih nampak remaja itu mengenakan pakaian berwarna kuning.

Ketiga bayangan itu berlari berkejaran dengan menggunakan ginkang istimewa. Tidak heran jika tidak lama waktu yang mereka butuhkan untuk memasuki sebuah kota bernama Seng Ceng atau Seng Ceng Kwan. Kota itu tidaklah besar-besar amat, tetapi termasuk salah sebuah kota yang ramai dan termasuk bercuaca “dingin” karena berada di kaki gunung Hong San. Di kota ini biasanya banyak beristirahat para pelancong, termasuk para pedagang dan bahkan perusahaan penghantar barang. Inilah yang menyebabkan kota Seng Ceng selalu saja ramai, terutama di pagi hari menjelang para pelancong melanjutkan perjalanan. Juga pada saat bersamaan perusahaan penghantar barang juga akan melanjutkan perjalanan mereka. Sebelum berjalan, biasanya mereka menyempatkan diri untuk sarapan atau mengisi perut agar tidak kelaparan di perjalanan. Selain itu, pada malam hari juga biasanya sangat ramai, ketika kelompok-kelompok di atas tiba dan mencaru tempat untuk menginap dan beristirahat.

Dan restoran yang paling terkenal di kota seng ceng adalah restoran bernama “Restoran Angin Awan”. Restoran ini di bangun dan ditata secara sangat apik dan rapih. Bangunannya dibuat di kedua sisi sungai kecil yang mengalir deras di bawah bangunan restoran. Kedua sisi sungai itu dihubungkan oleh bangunan restoran yang juga berfungsi sebagai jembatan. Dan jembatan penghubung itu, juga terdiri dari dua buah jalur yang dalam posisi paralel menghubungkan kedua bangunan restoran di dua sisi sungai kecil itu.

Meski sungainya kecil, tetapi alirannya terhitung cukup deras. Paling banyak lebar sungai itu ada sekitar 10 meteran. Dan bangunan restoran yang menjadi jembatan penghubung kedua sisi sungai itulah yang tarif makannya paling mahal. Namun meskipun mahal tetap saja diserbu banyak orang, baik pelancong, pengawal barang antaran, kaum pedagang maupun para pendekar dari rimba persilatan. Kelompok-kelompok seperti merekalah yang sebetulnya meramaikan kota ini, selain tentu saja warga kota yang terhitung kayaraya atau berada. Hanya kelas elite seperti ini sajalah yang mampu memasuki restoran awan-angin karena memang levelnya termasuk tinggi dan berharga mahal.

Sebagaimana biasanya, jam-jam ketika matahari mulai meninggi, meski restoran itu masih ramai, tetapi tidak lagi seramai di pagi harinya. Karena pada jam seperti sekarang, para pelancong, pedagang dan piauwsu (pengawal barang antaran) sudah pada melanjutkan perjalanan. Ketika ketiga anak muda itu memasuki kota seng ceng, mereka langsung menuju ke restoran angin-awan setelah bertanya kesana kemari. Dan karena sungai kecil itu melintasi tengah kota, maka restoran awan angin juga berada di jantung kota seng ceng. Sekali melihat, ketiga anak muda itu sudah langsung jatuh hati dan bergegas memasuki restoran terkenal di kota kecil seng ceng tersebut.

Sangat kebetulan mereka mendapatkan sebuah meja di bagian pojok bangunan penghubung dua sisi sungai, yang baru saja ditinggalkan oleh serombongan piauwsu. Hal ini sangat menggirangkan si nona berbaju kuning yang dengan senangnya nyaris tanpa menghiraukan penghuni lainnya, berkicau memuji keindahan alam di sekitar restoran itu. Bahkan, si nona berpakaian kuning ini tak henti-hentinya mengganggu dan memohon persetujuan kedua teman perjalanannya bahwa pemandangan di luar sungguh indah. Nona itu seperti tidak memperdulikan memesan makanan dan membiarkan teman-temannya yang mengurusi soal makanan. Dia sibuk mengagumi sungai yang mengalir, pohon-pohonan serta bunga-bungaan yang memekar indah, serta betapa ramainya kota itu di pagi hari. Seakan akan gadis cantik itu belum pernah dengan puas dan leluasa memandangi alam seperti yang baru dilihatnya di Seng ceng ini.

Kedua teman seperjalanannya tidak terlampau menggubris kegembiraan si gadis berpakaian kuning. Sebaliknya mereka sibuk dengan pelayan rumah makan yang menawari mereka berjenis-jenis makanan yang dianggapnya lezat dan andalan restoran tersebut. Dan setelah cukup lama mereka bercakap dengan si pelayan, akhirnya merekapun menetapkan pilihan menu yang dipesan. Selanjutnya keduanya saling berpandangan tanda maklum melihat betapa senangnya si gadis berpakaian kuning saat itu. Keduanya tersenyum sambil sesekali mengangguk untuk sekedar membenarkan pujian si gadis atas alam sekitar yang menurutnya sangat indah serta sangat menyenangkan.

Hanya saja, ketika keduanya mereka melayangkan pandangan ke ruangan sebelah mereka yang berjarak sekitar 3 meter dari posisi duduk saat itu, terdengar suara percakapan yang mengagetkan mereka. Percakapan yang awalnya biasa saja, tetapi perlahan dan lama kelamaan membuat mereka sangat tertarik:

“Sungguh luar biasa, bahkan Pendekar-pendekar di posisi 10 besar itu banyak yang memunculkan dirinya di Bu Tong Pay. Itu baru sebuah keramaian” terdengar si tamu yang membelakangi mereka bercakap. Sayang wajahnya tidak bisa dilihat karena duduk membelakangi mereka.

“Benar, setengah bahkan mungkin lebih dari daftar 10 pendekar top itu muncul di Bu Tong Pay. Bahkan konon, beberapa dari mereka sempat bertempur dengan orang lain dan sudah barang tentu mempertontonkan kehebatan ilmu silat mereka” ujar orang yang duduk tepat menghadap mereka. Wajahnya bulat gemuk tetapi penuh senyuman di bibirnya. Dia berkata dan berbincang sambil tidak berhenti untuk memasukkan makanan kedalam mulutnya.

“Wah benar-benar hebat, terus bagaimana hasil akhir pertempuran-pertempuran yang terjadi itu”? tanya seorang yang nampak paling muda dari 5 orang yang sedang makan sambil bercakap-cakap itu.

“Hahahaha, kejadian yang menarik itu justru terjadi di Bu Tong Pay” tukas si orang yang membelakangi ketiga anak muda itu sambil tertawa. Tetapi, nampaknya karena memiliki informasi, dia tahan harga untuk segera bicara. Mudah ditebak, kawan kawan lainnya segera mencecarnya:

“Maksudmu, memang terjadi pertempuran seru disana”? tanya orang yang duduk di sebelah kiri dari pembicara kedua, muka bundar gemuk yang duduk menghadap ke tiga anak muda itu.

“Bukan berita namanya jika tidak terjadi pertempuran seru disana“ tukas si wajah bundar gemuk yang duduk menghadap ketiga anak muda itu. Tetapi, sampai disana, percakapan di ruang sebelah tidak membuat ketiga anak muda itu tertarik. Apalagi karena mereka memang sedang kelaparan sehingga otomatis perhatian mereka sedang tertuju kemakanan yang dipesan.

“Seseru apa memang”? tanya si muka tirus yang duduk di sebelah kanan si wajah bundar gemuk.

“Jika terjadi pertempuran dengan salah seorang dari 10 pendekar top itu, sudah pasti pertempurannya seru. Apalagi, di Bu Tong Pay hadir beberapa orang yang tercantum di dalam daftar 10 peringkat tertinggi pendekar di Tionggoan. Konon ada Siangkoan Giok Lian di peringkat 9, ada Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie, ada kakak beradik Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan di peringkat 7 dan 6, dan bahkan ada Kauwcu Bengkauw dan Tocu Lam Hay Bun di peringkat 4. Bukankah ini merupakan berita besar”? sombong si orang yang duduk membelakangi ketiga anak muda yang sedang pesan makan itu.

“Ach, informasimu kurang lengkap. Karena selain mereka, yang justru lebih menggemparkan adalah munculnya Nenek Sakti Thian San Giokli yang duduk di peringkat kedua. Padahal, Nenek sakti itu baru munculkan dirinya beberapa bulan lalu. Dan yang paling menggemparkan adalah kemunculan Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang masih muda usia tetapi berada di peringkat pertama daftar 10 pendekar paling top di Tionggoan” sombong si bundar gemuk dengan informasi lengkap yang dimilikinya.

“Hmmmm, benar, engkau hebat saudaraku. Tetapi, apakah engkau sempat mendapat informasi bahwa mereka juga sempat ikut melakukan pertempuran di Bu Tong Pay”? bertanya si lelaki yang membelakangi ketiga anak muda itu. Sementara, ketiga anak muda itu mendengar penjelasan terakhir dari makan di ruangan sebelah mereka sudah menjadi sangat tertarik. Ketertarikan mereka terutama karena baru saat itulah mereka tahu bahwa Guru atau Subo mereka ternyata adalah pendekar nomor 2 terhebat di Tionggoan. Bagaimana mereka tidak terkejut dan sudah tentu bangga? Lebih dari itu, ketiga anak muda miskin pengalaman itu bahkan mulai menilai diri mereka begitu tinggi. Jika guru nomor 2 terhebat, tentunya merekapun tidak akan jauh dari peringkat gurunya. Salahkah ktu?
Siapakah mereka memangnya? Benar, ketiganya adalah murid-murid kesayangan Nenek Sakti Thian San Giokli. Orang pertama, si anak muda berjubah putih adalah Tham Beng Kui, putra bungsu Thian San Kim Tong yang adalah pewaris Lembah Salju Bernyanyi. Namun tokoh itu telah mundur sebagai Majikan Lembah Salju Bernyanyi dan digantikan salah seorang anaknya. Tham Beng Kui ini anak bungsu dari Thian San Kim Tong dan seorang anak muda yang paling berbakat dari semua anak Kim Tong, dan bahkan dia mewarisi kekuatan dari Neneknya. Terakhir, dia menjadi murid dari Nenek Thian San Giokli. Umur Beng Kui pada saat ini sudah mendekati angka 25 tahun dan baru saja menamatkan pelajarannya kepada gurunya yang terakhir, Thian San Giokli. Dia mengajukan keinginannya untuk turun gunung dan kemudian minta diri kepada ayahnya untuk berkelana.

Orang kedua, si gadis yang berpakaian hijau muda, gadis cantik yang meski sudah matang namun kelihatan masih segar ini, bernama Cui Giok Tin. Cui Giok Tin sebetulnya adalah murid utama Thian San Giokli, namun sejak masuknya Beng Kui menjadi murid subonya, posisi murid utama menjadi milik Beng Kui. Karena sebetulnya sejak masa bayinya, resminya Beng Kui berada dalam pendidikan Thian San Giokli atas nama gurunya yang adalah nenek dari Beng Kui. Cui Giok Tin sendiri memang diangkat murid sejak ditemukan oleh Thian San Giokli dalam pengejaran penjahat yang membunuh ayahnya.

Cui Giok Tin sebetulnya nyaris sebaya dengan Geng Kui, mereka hanya berselisih umur setahun belaka. Satu keunggulan yang mungkin kurang disadari Ciu Giok Tin adalah penampilannya yang sungguh cantik menarik. Bahasa modern, sex appealnya sungguh tinggi dan mudah menarik perhatian kaum adam. Tubuhnya benar-benar sexy dan proporsional dengan gunungan gembar di dadanya selalu menantang lelaki untuk melirik dan menikmatinya. Hanya, berkat pendidikan Thian San Giokli, Ciu Giok Tin bertumbuh menjadi gadis muda yang lihay, cantik dan cerdas. Hanya saja semua itu tentunya tidak sanggup untuk meluruhkan kesan sex appealnya yang tinggi.

Orang terakhir, anak muda terakhir adalah seorang gadis yang masih muda remaja. Dia adalah adik Cui Giok Tin bernama Cui Giok Li. Ibu mereka meninggal ketika melahirkan Cui Giok Li dan karena itu, sejak lahirnya Giok Li relatif telah diangkat murid oleh gurunya. Nenek itu membesarkan kedua muridnya ini sejak masih bocah, sejak masih kecil. Karena itu Nenek Thian San Giokli menyayangi keduanya seperti menyayangi anaknya sendiri. Nyaris tidak ada kemampuan yang tidak diwariskan Nenek ini kepada murid-muridnya.

Dan Giok Li tumbuh dalam limpahan kasih sayang kakaknya dan gurunya, bahkan juga dimanjakan oleh toa suhengnya Tham Beng Kui. Jika Cui Giok Tin kakaknya melarang, maka si cantik centil dan manja ini tidak sungkan mengadu ke toa suhengnya. Dan biasanya si toa suheng itu akan sangat sulit menolak kemauan dari siauw sumoynya yang memang sangat manja, pintar merayu dan membujuknya itu. Tetapi, karena Beng Kui adalah anak bungsu, memiliki adik perempuan dalam diri Giok Li benar-benar membuatnya sangat senang dan bangga. Itulah sebabnya Cui Giok Li diperlakukannya sebagai adik perempuannya.

Sebagai anak murid dari tokoh yang ditempatkan nomor 2 di Tionggoan, maka kepandaian mereka bertiga sudah tentu tidak rendah. Bahkan, setelah menempa diri selama beberapa tahun terakhir, termasuk menempah diri tanpa bersentuhan dengan orang luar, kepandaian mereka sudah meningkat begitu tinggi. Paling akhir, mereka memperoleh warisan ilmu mujijat perguruan mereka, yakni Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin). Ilmu tersebut melengkapi sinkang Pek In Swat Kang (Sinkang Tangan Awan Salju) yang telah mereka kuasai secara sempurna. Dari mereka bertiga, memang Giok Li masih sedikit tertinggal karena usia latihan yang masih belum matang. Hanya, tokoh kelas satupun belum akan menang melawan dara cantik nan manja ini.

Sekembalinya Thian San Giokli dari perjalanan di Bu Tong Pay, diapun kemudian melanjutkan pendidikannya atas murid-muridnya itu. Kebetulan mereka bertiga memang telah menyelesaikan latihan terakhir dan sedang menunggunya sebelum turun gunung. Karena itu, sebagai seorang guru Thian San Giok Li menjelaskan kondisi rimba persilatan, tata kramanya, tokoh-tokohnya serta seluk beluk rimba persilatan lainnya. Hanya saja, dia tidak memberitahukan jika namanya juga berada di daftar 10 pendekar paling top di Tionggoan.

Pada kesempatan itupun, sekaligus dia meminta murid-muridnya itu agar menjaga nama baik Lembah Salju Bernyanyi. Menjaga sikap kependekaran, menjaga diri dari pergaulan dan tindakan sesat. Serta selalu berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk hal yang satu ini, Thian San Giokli sampai meminta ketiga muridnya untuk bersumpah. Dan ketika dia melihat kesungguhan hati ketiga muridnya, barulah Nenek sakti itu lega dan mengijinkan mereka untuk turun gunung.

Rimba Persilatan Tionggoan kedatangan tiga pendekar muda, tiga tokoh baru yang memiliki kesaktian hebat. Dan sebagaimana instruksi gurunya, ketiga pendekar muda miskin pengalaman ini sedang berjalan menuju LEMBAH PUALAM HIJAU. Dengan membekal tanda khusus dari Ceng Liong yang diserahkan kepada Nenek Thian San Giokli, merekapun melakukan perjalanan mereka untuk pertama kali di dunia persilatan.
 
BAB 7: Menuju Lembah Pualam Hijau
1 Menuju Lembah Pualam Hijau


Percakapan di ruangan sebelah menjadi semakin seru bahkan semakin bersemangat mereka bercakap. Si muka bulat gemuk yang tidak malu kalah info, dan nampak memang karakternya tidak mau kalah, telah menyambung dengan suara kurang senang:

“Siapa bilang aku tidak tahu? Malahan aku tahu kalau telah muncul seorang tokoh baru yang sangat hebat dan sakti mandraguna. Masih muda dan mampu bertarung sama kuat dengan Nenek Sakti Thian San Giokli. Hanya saja, tokoh itu dipukul mundur oleh Ceng – i – koai hiap (Pendekar Aneh Berbaju Hijau) – Duta Agung Lembah Pualam Hijau Kiang Ceng Liong. Sudah jelas, mana bisa dia menang melawan tokoh nomor satu”?

“Benar-benarkah memang Duta Agung yang masih muda itu pilih tanding di Tionggoan? Sungguh-sungguh tak kusangka” terdengar orang yang duduk disebelah kiri si wajah bulat gemuk bergumam tanda kagum.

Kalau ada yang mengagumi Duta Agung Kiang Ceng Liong yang juga dipuji-puji guru mereka, maka ketiga anak muda ini tidaklah tersinggung. Meskipun Beng Kui menyimpan rasa penasaran, tetapi terbersit kekagumannya kepada Duta Agung yang masih muda seperti dia. Karena menurut subonya, melawan Toh Ling, Duta Agung itu malah mampu mendesak dan menggebah pergi tokoh hebat yang lahir dari Lembah mereka. Dan subonya hanya sanggup bertarung imbang atau jikapun menang selisihnya terlampau tipis. Itulah sebabnya, ketiga anak muda yang baru keluar sarang, menyimpan kekaguman terhadap Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Tetapi tentu saja, masih belum tentu jika terhadap tokoh lain yang belum mereka kenal kehebatan dan kesaktiannya.

Sementara itu, percakapan di ruangan sebelah sudah dipenuhi oleh puja-puji atas kehebatan Duta Agung Kiang Ceng Liong dan Thian San Giokli. Karena memang dua pendekar itu adalah pendekar nomor satu dan pendekar nomor dua di Tionggoan dewasa ini.

“Benar, benar. Orang itu konon masih muda, tampan, selalu berpakaian hijau dan kesaktiaannya sungguh sukar dicari bandingan”

“Selain itu, diapun memukul mundur beberapa penyusup yang mencoba mengganggu upacara duka di Bu Tong Pay. Sungguh hebat orang itu”

“Ya, masih sangat muda tetapi telah memiliki kesaktian yang sungguh luar biasa. Siapapun mengakui kalau nampaknya sangat sulit untuk mencarikan tandingannya pada masa sekarang ini”

“Lembah Pualam Hijau memang selalu berdiri terdepan melawan kejahatan. Dan nampaknya di bawah Duta Agung yang sekarang, mereka akan kembali menjadi kelompok perguruan nomor satu di Tionggoan” .......

Begitu ramai percakapan di ruangan sebelah. Dan karena terlampau mengumbar pujian atas orang lain, Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li akhirnya menjadi jemu. Bersamaan waktunya pesanan makanan mereka akhirnya datang. Sebentar saja, merekapun tenggelam menikmati makanan, sementara suara puja-puji bagi Lembah Pualam Hijau dan Kiang Ceng Liong tetap saja berlangsung riuh di sebelah. Hanya saja rasa lapar yang menghinggapi ketiga anak muda itu membuat mereka tidak tertarik lagi mengikuti percakapan di ruangan sebelah. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menemukan makanan saat perut sudah teramat lapar.

Tetapi, meskipun begitu, bukan berarti ketiga anak muda yang baru turun gunung itu melepaskan semua kewaspadaan mereka. Sama sekali tidak. Saat itu mereka hampir menyelesaikan makanan yang tersedia sesuai pesanan. Dan sebelah tetap riuh rendah dan ramai diskusi soal kehebatan Lembah Pualam Hijau dan Duta Agungnya yang masih muda. Ehhhhhhhh, tiba-tiba telinga mereka yang terlatih menangkap bunyi desiran yang sangat halus:

“Srrrrrrrrrrrrr, Srrrrrrrrrrrr, Srrrrrrrrrrrr, Srrrrrrrrrrrrrrr, Srrrrrrrrrrrrr” dan hanya beberapa ketika setelah mendengar desiran halus tersebut, tiba-tiba suara riuh-rendah di ruangan sebelah sontak berubah menjadi hening. Dan ketiga anak muda lihay itu sudah saling pandang, sebab mereka tentu saja paham bunyi desiran tadi bermakna apa. Dan memang, tidak salah dugaan mereka. Suara yang mereka dengar adalah desiran suara senjata rahasia yang dilemparkan ataupun dilepaskan orang untuk tujuan tertentu. Dan nampaknya, orang-orang yang di ruangan sebelah telah menjadi korban senjata rahasia tersebut. Itulah sebabnya ruangan sebelah tersebut dengan tiba-tiba berubah senyap.

Lebih hebat lagi, dan ini yang membuat ketiga anak muda itu tercengang, adalah kelima orang yang sedang berbincang di ruangan sebelah, tak satupun yang jatuh dari tempat duduknya. Jelas mereka telah binasa termakan senjata rahasia lawan, tetapi mengapa tak satupun yang jatuh? Ada beberapa kemungkinan, jika senjata rahasia yang dilemparkan itu hanya bertujuan menotok jalan darah seseorang, maka berarti pelakunya memang orang hebat. Tetapi, jika selain membunuh tetapi juga menotok jalan darah seseorang, maka itu jauh lebih hebat lagi. Bagaimana dengan si pelepas senjata rahasia ini?

Tetapi mereka tidak perlu menunggu lama, karena tiba-tiba terdengar dengusan bernada hinaan yang sengaja dilepas si penyerang:

“Hmmmmm, orang gemuk ******, sengaja kubiarkan engkau hidup agar engkau memberitahu orang-orang lain supaya tidak sembarangan memuji-muji Lembah Pualam Hijau di hadapan kami ....”

Setelah suara ancaman tadi menghilang, tiba-tiba terdengar gerakan di samping kiri murid-murid Thian San Giokli. Sejak tadi mereka memang sudah curiga jika penyerang berada dekat mereka, dan memang benar. Penyerang berada di sisi kiri mereka, tepatnya di atas sebuah pohon yang cukup rindang dan melepas senjata rahasianya dari sana. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara desiran halus lainnya, kali ini bukan senjata rahasia, tetapi tanda ada orang di pohon itu yang sedang berkelabat pergi.

Belum lagi Giok Tin maupun Beng Kui bergerak atau berinisiatif melakukan sesuatu, tiba-tiba bayangan Giok Tin telah berlalu sambil berkata: “Suheng, suci, tunggu disini, aku penasaran ingin siapa gerangan orang yang sembarangan membunuh itu” dan Giok Li orang termuda di antara mereka bertiga telah berkelabat lenyap. Mudah di tebak nona muda itu ingin benar mengetahui siapa sebetulnya yang melepaskan senjata rahasia dan mengancam mereka mereka yang memuji Lembah Pualam Hijau. Karena betapapun mereka merasa punya hubungan dengan Lembah yang mereka sedang tuju itu.

Bayangan Giok Li dengan cepat menyusul guna menyandak si pelepas senjata rahasia. Hanya saja si pelepas senjata rahasia juga bukan tokoh sembarangan. Setelah membunuh empat orang di ruangan sebelah dan menotok seorang yang lainnya lagi, dia telah berkelabat pergi dengan mengeluarkan suara ancaman. Sementara Giok Li hanya secara sangat sekilas melihat jika si penyerang sebelum menghilang ke kerumunan banyak orang. Penyerang itu nampaknya adalah seorang manusia berjubah hijau, namun selebihnya tak sempat dia memperhatikan. Selain jaraknya terlampau jauh, juga si penyerang memiliki ginkang yang juga tidak rendah.

Namun karena masih penasaran, Giok Li terus dan terus mengejar si pelepas senjata rahasia. Kota Ceng seng tidaklah besar, karena itu setelah kejar sini-kejar sana akhirnya Giok Li kembali melihat bayangan si penyerang. Nampaknya orang itu sedang bergegas menuju pintu masuk sebelah barat. Dan Giok Li yang melihat kembali buruannya, dengan cepat mengejar. Bahkan terus sampai ke luar kota. Nampaknya target yang diburu masih belum menyadari kalau ada orang yang sedang membuntutinya. Dia terus berlari-lari ringan namun pesat dan kini mendekati hutan dengan pepohonan yang cukup lebat.

Sementara itu, Beng Kui dan Giok Tin setelah melihat adik mereka berkelabat mengejar si pelepas senjata rahasia, segera memanggil pelayan untuk membayar rekening makan. Si pelayanpun datang dan menyodorkan rekening yang harus di bayar Beng Kui dan Giok Tin. Hanya beberapa saat, tetapi beberapa saat itu tanpa diketahui kapan datangnya, di ruangan sebelah telah bertambah dengan seorang anak muda yang nampak tampan gagah. Beberapa saat kemudian, menyusul beberapa orang. Sepertinya mereka berasal dari perkumpulan Pengemis, gampang dikenali dari dandanan yang mereka kenakan. Hanya saja, dari banyak orang yang datang, hanya seorang pengemis tua belaka yang masuk ke ruangan:

“Hmmmm, semakin mencurigakan, sungguh aneh ....” terdengar si muda mendesis lirih, namun terdengar jelas di telinga Giok Tin dan Beng Kui.

“Toanglo, apa gerangan yang telah engkau temukan .....”? seorang pengemis tua memasuki ruangan. Namun begitu melihat 5 tubuh yang tertotok tak berdaya di kursi duduk saat makan, membuat suara itu terhenti.

“Astaga, apa lagi ini Tianglo”? tanya si pengemis tua.

“Hmmm, bisakah engkau memeriksa keadaan mereka empek Lie”? si anak muda yang dipanggil Tianglo telah berpaling kepada si pengemis tua yang dipanggilnya Empek Lie.

“Baiklah, sebentar biar kuperiksa keadaan orang-orang ini ..” sambil berkata demikian, si Empek Lie kemudian mendekati seorang dan memeriksanya. Hanya sebentar, matanya telah menunjukkan kepenasaran dan kekagetan. Dan ketika memeriksa yang seorang lagi, keterkejutan telah memenuhi sinar mata dan raut wajahnya. Dan karena itu, pada akhirnya si Empek Lie memeriksa semuanya, ke lima orang yang menderita oleh senjata rahasia aneh yang ditemukan di tubuh mereka. Dan ketika pada akhirnya dia akan memeriksa orang yang terakhir, dia sedikit berpaling kepada si Tianglo yang masih muda itu. Keduanya saling berpandangan, dan sorot kekagetan muncul dari sinar mata keduanya, khususnya bagi orang yang dipanggil empek Lie.

Dan, hanya beberapa saat setelah memeriksa orang yang terakhir, si Empek Lie segera berpaling kepada si tianglo muda sambil berkata:

“Tianglo, lepaskanlah totokan di tubuhnya. Jika berhasil, maka orang ini akan pingsan selama kurang lebih 5 jam. Namun, untuk menyadarkannya, cukup dengan mengulangi kembali totokan yang dilepaskan untuk membebaskannya tadi. Jika tidak demikian, jangan harap dia mampu bangun selama 5 jam ini. Silahkan Tianglo, jika aku benar, maka para penyerang tadi bisa kita kenali”

Mendengar ucapan si Empek Lie, sang Tianglo muda itu segera mendekati si wajah bundar gemuk. Dan setelah meraba tubuh gemuk itu sejenak, diapun segera melepaskan totokan. Benar saja, tubuh si bundar gemuk segera merosot kebawah, tanda dia tertidur atau pingsan tidak tahu diri. Melihat keadaan itu, si Tianglo muda memandang ke arah Empek Lie, dan dia hanya menyaksikan si Empek mengangguk kearahnya. Dan sekali lagi dia melakukan totokan ke arah tubuh si bundar gemuk, dan kali ini diiringi dengan dengusan tertahan si bundar gemuk.

Beberapa saat dia mengucak-ucak matanya, dan secara perlahan-lahan rupanya kesadaran mulai diperolehnya. Dan setelah beberapa saat dia selesai mengucak mata dan berusaha mengingat-ingat sesuatu, tiba-tiba dia tersentak:

“Ada dimana .......? mengapa .......? orang tersebut nampak sangat kebingungan. Dan lebih bingung lagi, ketika melihat ke-empat kawannya duduk diam tak bergerak dengan mata terpejam. Sementara diapun melihat dalam ruangan tersebut telah bertambah dengan 2 orang asing yang tidak dikenalnya. Seorang anak muda dan seorang kakek tua berpakaian penuh tambalan. Nampaknya seorang pengemis. Dan otomatis, keluarlah kegalakannya:

“Siapa kalian ......? mengapa kalian berani-beraninya mengganggu makan kami berlima .......”? tanya si bundar gemuk dengan sok jagoan dan sok arogannya. Dia tidak sadar jika dia baru saja terjungkal ditangan orang.

“Hmmmm, anak muda, lihatlah sekitarmu. Jika bukan karena tianglo muda kami, engkau sudah tewas seperti ke-empat kawanmu itu ...”

“Apa? Mereka ........ teman-temanku itu ......? bergegas si wajah bundar gemuk untuk memeriksa teman-temannya. Dan dalam kagetnya, ketika memeriksa orang terakhir dan mereka semua sudah mulai dingin badannya, si bundar gemuk terbelalak ketakutan. Dan ketika mulai kembali menemukan dirinya, justru ketakutan yang menerpanya. Tetapi, sebelum dia berteriak dan lari, si tianglo muda telah bergerak menotok urat bicara dan sekaligus membuat si bundar gemuk terdiam.

Semua kejadian di ruangan itu tidaklah terlepas dari pengamatan Beng Kui dan Giok Tin. Apalagi karena urusan mereka membayar rekening makanan pesanan sudah terselesaikan. Hanya, posisi dan kondisi mereka membuat orang-orang di ruangan sebelah menjadi curiga. Kekurang-pengalaman kedua muda-mudi itu telah membuat aktifitas mendengar percakapan di ruangan sebelah dapat diidentifikasi dengan mudah. Benar saja, beberapa saat kemudian terdengar suara si anak muda dari ruangan sebelah:

“Sahabat dan Nona muda di ruangan sebelah, daripada menguping ada jauh lebih baik jika kalian bergabung kemari”

Suara itu bening, lirih dan terdengar jelas di telinga Beng Kui dan Giok Tin. Sadarlah mereka jika orang di ruangan sebelah bukanlah orang biasa. Orang yang mampu mengirim suara dengan bening dan lirih ke telinga mereka, mestinya bukan orang biasa. Karena itu, keduanya saling pandang dan dalam sorot mata masing-masing mereka telah bersepakat untuk melakukan sesuatu. Serentak berdirilah mereka berdua dan dengan langkah tetap menyeberang ke ruangan sebelah. Disana mereka melihat betapa si muka bundar gemuk dalam keadaan tertotok dengan mata nyalang ketakutan. Kemudian ada seorang kakek pengemis yang berwajah terang dan ramah, serta seorang muda yang gagah dan tampan.

“Maafkan kami kakak beradik yang tidak sengaja menguping pembicaraan kalian. Tapi sebetulnya, kami telah berada di ruangan sebelah jauh sebelum ke-empat saudara ini terkena serangan senjata rahasia” demikian Beng Kui mewakili mereka berdua untuk menyapa dan menyampaikan ketidaksengajaan mereka mendengar percakapan orang lain.

“Ehmmmm, dua orang muda yang gagah. Kami melihat tiada maksud jahat kalian memang, tetapi siapakah gerangan tuan yang gagah dan nona yang jelita ini”? terdengar Empek Lie telah dengan ramah menyambut kedua anak muda yang masuk ke ruangan itu. Sementara si tianglo muda masih tetap berdiam diri sambil mengawasi Beng Kui dan Giok Tin.

“Perkenalkan, kami berdua datang dari jauh, tepatnya Lembah Salju Bernyanyi. Siauwte bernama Tham Beng Kui dan nona ini adalah sumoyku sendiri bernama Cui Giok Tin. Seorang adik kami sedang mengejar si pelepas senjata rahasia, tetapi masih belum kembali” Beng Kui dengan ramah memperkenalkan diri. Dan mendengar nama mereka, si tianglo muda nampak terkejut dan seterusnya menukas penjelasan dan perkenalan Beng Kui:

“Apa hubungan kalian dengan seorang Nenek Sakti yang bernama Thian San Giokli dari Lembah Salju Bernyanyi”?

“Beliau adalah subo kami .....” kembali Beng Kui menjawab dengan gembira karena ternyata si tianglo muda mengenali guru mereka. Sementara itu, sang tianglo muda usia itu menarik nafas lega mendengarkan mereka adalah murid-murid Nenek Sakti dari Lembah Salju Bernyanyi.

“Hmmmmm, murid orang hebat. Murid Naga Sakti tentunya bukanlah serigala dan pasti tidaklah lemah ...” gumam si Tianglo muda yang nampak kenal dengan subo kedua anak muda itu. Tetapi belum lagi Tham Beng Kui dan Cui Giok Tin bereaksi terhadap gumaman si Tianglo, terdengar kembali si tianglo muda itu berbicara kepada mereka berdua:

“Hendaknya kalian berdua tidak secara gegabah membiarkan Nona cilik itu mengejar lawan. Mereka, pelepas senjata rahasia ini bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dihadapi”

Mendengar peringatan itu, Giok Tin dan Beng Kui terkejut. Benar, tidak seharusnya mereka melepas adik mereka mengejar lawan tadi. Dalam terkejutnya, Giok Tin telah bertanya dengan cepat:

“Siapa sebetulnya anda”?

“Guru kalian, Nenek Thian San Giokli mestinya mengenalku Liang Tek Hoat dari Kaypang” ujar si tianglo muda sambil memperkenalkan namanya. Sepulang dari Bu Tong Pay, dalam rangka penyusunan kembali Kaypang menuju Perkumpulan Besar Anggota Kaypang, Tek Hoat telah diangkat menjadi salah seorang TIANGLO Kaypang. Apalagi, karena dia memang membekal salah satu tanda pengenal sesepuh Kaypang yang diwarisinya dari suhunya.

“Ach, selamat berjumpa saudara Tek Hoat. Subo menceritakan dengan gembira dan nampaknya mengagumi saudara. Tetapi, siapa pula para penyerang itu saudara Tek Hoat?” Beng Kui juga telah bertanya dengan tegangnya, tetapi tidak lupa memuji Tek Hoat karena dia mendnegar Tek Hoat sebagai salah satu tokoh muda hebat pada jaman itu. Bahkan ikut masuk di daftar 10 pendekar top.

“Empek Lie pasti bisa menjelaskan kepada kalian berdua” Tek Hoat berkata lembut dan berusaha menenangkan Beng Kui dan Giok Tin, sambil memandang Giok Tin yang memang ayu. Bukan, bukan karena mata keranjang Tek Hoat memandangnya, tetapi Giok Tin memang punya daya tarik khas seorang wanita.

“Empek Lie ...... “ tak mau lama-lama memandang Giok Tin, Tek Hoat telah menyapa Empek Lie, yang nama sebenarnya adalah Lie Hoan Tay, murid kepala Kim Ciam Sin Kay, Pangcu Kaypang sekarang ini. Lie Hoan Tay sudah berusia kurang lebih 60an dan telah mewarisi sebagian besar ilmu kepandaian Kim Ciam Sin Kay, terutama ilmu pengobatannya. Kepandaian silatnya mungkin tidaklah terlampau menonjol, meskipun jiuga tidaklah lemah. Tetapi yang membuat Lie Hoan Tay menjadi penting bagi Kaypang adalah karena dia dikenal sangat cerdik dan menjadi pemikir yang dimiliki dan diandalkan Kaypang dewasa ini.

“Tianglo ....., apa yang bisa kulakukan”?

“Empek Lie, berikanlah penjelasan singkat dengan siapa kita sedang berhadapan sekarang ini, terutama dengan jarum dan totokan khas itu”

“Baiklah Tianglo” dan Lie Hoan Tay kemudian berpaling kearah Beng Kui dan Giok Tin sambil berkata:

“Anak-anak muda yang berani, jika aku yang tua ini tidak salah, maka kita sedang berhadapan dengan salah satu kelompok kekuatan misterius dalam rimba persilatan. Jarum sakti yang digunakan membunuh 4 orang tadi adalah senjata rahasia bernama Bu Eng Sin Mo (Jarum Setan Tanpa Bayangan). Jarum ini bisa digunakan untuk membunuh ataupun untuk menotok jalan darah seseorang. Untungnya, jarum sakti ini tidaklah beracun. Jarum ini adalah ciri khas sebuah keluarga persilatan yang sudah puluhan tahun menghilang dan entah kenapa hari ini muncul di daerah pegunungan Hong San. Tepatnya, mereka berasal dari Bwee-hoa-cung (Patok bunga bwee), dengan kepandaian mereka yang paling mujijat adalah mengenali “Barisan Rahasia”. Selain itu, kepandaian melepas senjata rahasia dan ilmu ginkang yang tinggi. Buat mereka, tak ada barisan rahasia yang tidak bisa mereka tembus, itulah keahlian utama mereka. Untungnya mereka tidak punya keinginan bergaul dengan dunia luar. Jarum tadi, sudah pasti milik keluarga ini. Hanya saja pertanyaan pentingnya, mengapa mereka berada di Tionggoan”? si Empek Liu menjelaskan secara rinci apa yang diketahuinya. Baik tentang jarum setan maupun tentang pemilik yang biasa menggunakannya.

“Nampaknya adik kalian sedang mengejar orang yang sangat berbahaya. Karena itu, tidak ada salahnya jika kalian cepat-cepat menyusulnya. Biarlah urusan disini kami selesaikan. Jika tidak salah, dalam waktu tidak lama kita pasti akan berjumpa pula” Tek Hoat memandang kedua kakak beradik seperguruan itu yang segera mengiakan dan kemudian berkelabat mengejar adik mereka.

Sepeninggal mereka, Tek Hoat nampak tercenung. Dan kemudian sambil menarik nafas dia berkata:

“Empek Lie, ini adalah kelompok ketujuh selama 3 hari terakhir yang kita temukan dengan tanda-tanda yang hampir sama. Kelompok ini adalah korban jarum Bwee-hoa-cung (Patok bunga bwee) yang ketiga, artinya sedikit banyak Bwee Hoa cung terlibat. Tetapi, mengapa pula ada korban dengan luka yang berbeda? Ini sungguh aneh” desis Tek Hoat. Nampaknya dia dibingungkan oleh banyaknya pembunuhan beberapa hari terakhir dengan 2 jenis luka yang berbeda.

“Benar Hu Hoat, bisa dipastikan ketujuh kelompok korban terakhir dibunuh oleh dua kekuatan yang berbeda. Hanya, kelompok yang pertama sama sekali aku tidak punya pegangan untuk mengungkapkannya”

“Korban dengan sabetan pedang bersilang di badan korbannya...... siapa pula kelompok yang punya kegemaran membunuh dengan gaya aneh seperti ini”? bertanya Tek Hoat.

“Tianglo, Akupun belum pernah mendengarkannya selama 50 tahun terakhir ini” Lie Hoan Tay juga sama bingungnya.

“Jika pelakunya menggunakan pedang, maka masuk di akal sayatan yang begitu halus tetapi tidak mengeluarkan darah. Tetapi hebatnya, ada yang dilakukan dengan pedang dan ini tidak aneh, tetapi aku curiga ada yang dilakukan dengan kekuatan hawa pedang. Padahal sepanjang yang kutahu, tokoh yang sanggup melakukannya hanyalah Nenggala. Atau ada lagikah tokoh terpendam atau tokoh baru yang memiliki kehebatan seperti ini”?

“Apakah Tianglo menduga bahwa beberapa korban dibunuh bukan dengan pedang”? tanya Lie Hoan Tay kaget

“Jika ditelaah, beberapa korban dibunuh dengan senjata pedang. Dan hal ini nampaknya memang disengaja. Tetapi, ada beberapa korban yang sepertinya dibunuh entah dengan kekuatan hawa pedang, atau jika tidak, mereka dibunuh dengan senjata yang sangat ampuh. Beberapa tanda perbedaannya telah kuteliti dari beberapa korban yang kita temukan selama ini. Dengan demikian, aku yakin kalau para pembunuh terdiri dari dua kelompok berbeda. Sementara satu kelompok yang membunuh dengan sayatan pedang bersilang, juga membunuh dalam dua gaya yang berbeda”

“Hmmmm, pandang mata Tianglo sungguh tajam. Tetapi apakah Tianglo bisa menelisik kira-kira siapa kelompok yang yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini”? bertanya Lie Hoan Tay dengan nada penasaran.

“Tidak bisa kupastikan Empek Lie, tapi bisa dipastikan salah satu dari kelompok itu bertanggungjawab atas kematian Hu Pangcu. Selain itu, mereka membunuh tokoh tokoh yang kelihatannya mendukung dan mengagumi Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Kaypang dan Bu Tong Pay. Jika tidak salah, tak lama lagi mereka akan berani untuk tampil secara berterang. Dan soal siapa mereka, tadinya aku berpikir Empek Lie yang memiliki pengetahuan lebih dibandingkan aku dapat memberitahu siapa dan dari mana mereka sebenarnya”

Tetapi Empek Lie nampak tidak punya ide lagi mengenai pembunuh kedua yang memiliki kegemaran membunuh korban dengan sayatan bersilang di tubuh korban. Keduanya tidak mampu memecahkan tuntas persoalan yang dihadapi. Sampai akhirnya keduanya meninggalkan rumah makan terkenal di kota Ceng seng itu.

Kita tinggalkan sejenak Tek Hoat yang telah menjadi Tianglo muda Kaypang dan yang sedang kebingungan dengan Lie Hoan Tay. Bingung mengidentifikasi siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan yang mereka temukan beberapa hari terakhir ini. Kita akan ikuti kemana perginya Cui Giok Li yang sedang mengejar si pelepas senjata rahasia pembunuh itu.

Giok Li yang masih mentah dan kurang pengalaman, kurang mengetahui bahaya mengejar orang yang memasuki hutan dengan barisan pohon yang cukup padat. Untungnya, orang yang dikejarnya seperti tidak begitu memperdulikan apakah dirinya sedang dibuntuti ataukah tidak. Begitupun, ketika Giok Li memasuki hutan, dia kebingungan karena kehilangan orang yang dikejarnya. Semakin jauh dia memasuki hutan itu tanpa takut sedikitpun, semakin penasaran gadis itu karena tidak melihat lagi lawannya.

Akhirnya, dengan gemas dan uring-uringan Giok Li memutuskan untuk kembali menjumpai toa suheng dan kakaknya. Tapi celakanya, dia kebingungan dan kehilangan arah. Bingung menentukan dari arah manakah dia memasuki hutan ini tadinya. Tapi Giok Li memang tabah, dia tidak menjadi takut dan panik. Sebaliknya, dia berusaha berpikir keras untuk menentukan arah mana yang sebaiknya ditempuh. Tentu dengan pertimbangan arah tersebut akan membawanya kembali ke kota Ceng seng. Tetapi, arah manakah gerangan? Inilah yang membingungkannya.

Setelah berpikir dan menimbang sejenak, akhirnya diapun memutuskan untuk melangkah. Meskipun dia tidak menyusuri jalan dari mana dia datang tadi, tetapi Giok Li tidaklah menjadi pusing. Dia tetap melangkah dan mencari-cari jalan kembali ke Kota. Patokannya hanyalah dari arah mana dia tadi datang. Tetapi, tanpa disadarinya dia justru tambah menjauhi arah dan jalur yang mestinya membawanya kembali ke Kota Ceng seng. Akibatnya, bukannya menempuh jalan singkat ke Ceng seng, justru menjauhinya.

Hebatnya, meski gelisah, Giok Li tidaklah takut dan terus berusaha untuk menerobos hutan yang lumayan lebat tersebut. Dan nyaris setelah hampir 2 jam Giok Li berputar-putar mencari arah yang benar, akhirnya dia menemukan sebuah kuil yang nampaknya sudah rusak. Entah kuil agama kaum Budha ataukah kuil agama Tao, kurang jelas terlihat dari luar. Hanya saja, kuil itu sudah tak terpakai. Bahkan setengah dari bangunan tersebut sudah roboh hingga tinggal menyisakan tidak sampai setengah bagian dari bangunan tersebut.

Belum lagi Giok Li mendekati kuil bobrok yang sudah roboh sebagian besarnya itu, telinganya yang tajam mendengar tarukan nafas berat. Nafas orang lemah tak berkepandaian juga tidak akan seberat tarikan nafas yang baru didengarnya. Hanya saja, tariksan nafas tersebut hanya sekali didengarnya dan kemudian senyap. Belum hilang rasa kagetnya, beberapa menit kemudian dia kembali mendengar satu kali tarikan nafas yang sama, dan kemudian senyap kembali. “Hmmmmm, sungguh aneh” pikir Giok Li penasaran.

Rasa penasaran dan keberanian membawanya untuk berjalan mendekati kuil rusak itu sambil berjalan perlahan dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Dia masih mendengarkan sekali dua kali tarikan nafas berat yang berinterval semakin panjang itu. Mendengar interval yang semakin lama, Giok Li segera sadar jika orang itu pasti sedang menderita luka berat. Karena itu, kali ini dengan bergegas Giok Li menuju ke kuil bobrok itu. Tidak lagi memperhatikan keadaan ruangan kuil yang sudah rubuh lebih setengahnya, tetapi langsung mencari-cari orang yang sedang terluka. Mana tahu orang yang sedang terluka itu bisa membantunya untuk menunjukkan jalan kembali ke Ceng seng?

Tetapi anehnya, Ciu Giok Li tidak menemukan orang yang sedang terluka dalam ruangan itu. Dia berkelabat mencari-cari di seputar ruangan dalam kuil, tetapi tetap tidak menemukan adanya orang terluka. Hanya saja dia masih mendengar sekali lagi tarikan nafas berat yang datang atau berasal dari sekitar ruangan kuil itu. Bukannya takut dan merinding, Giok Li justru merasa sangat penasaran. Matanya berkeliling mencari, tubuhnya bergerak menuju tempat yang dicurigai, tetapi tetap dalam ruangan itu tidak terdapat sosok tubuh terluka.

Memandang ke atas, tidak mungkin berada disana. Loteng sudah rapuh dan jika dibebani tubuh manusia pasti runtuh. Dalam ruangan, sudah pasti tidak, karena tak ada lagi ruangan yang belum diperiksanya. Apakah mungkin berasal dari luar ruangan? “Hmmmmm, mungkin saja” batin Giok Li. Dan itu dia lakukan dengan segera mencelat keluar ruangan dan menemukan sedikit keanehan. Karena ternyata dinding sebelah belakang, melekat pada sebatang pohon yang sangat besar dan sangat rindang. “Apakah berasal dari pohon besar itu”? pikirnya celingak-celinguk mencari-cari. Bahkan dia melesat ke balik pohon itu, tetapi juga tidak menemukan apapun juga disana.

Paling akhir dia menyusuri badan pohon itu dan menyadari betapa besarnya batang pohon itu dan juga dahan-dahannya. Ketika memandang ke atas itu, Giok Li kembali mendengar tarikan nafas berat, tetapi tetap saja berasal dari dalam ruangan. Kali ini Giok Li tidak mudah terpedaya, dia tahu benar bahwa bukan dari ruangan kuil rusak itu asal suara. Pasti di sekitar atau bahkan di atas pohon. Dan karena pemikiran itu, Giok Li meloncat dengan ringannya ke arah satu dahan pohon yang dilihatnya paling besar. Dia menduga dari sana asalnya orang yang bernafas berat terluka itu.

Benar saja, dia tersentak kaget ketika menemukan sesosok tubuh sedang berkutat di atas dahan itu. Tubuh itu terlentang dan nampak kesakitan hebat sambil tersandar setengah terlentang di ujung dahan yang menempel di batang pohon besar. Ruang di dahan itu membuat tempat yang sangat besar dan leluasa bagi seorang manusia. Dan disanalah tubuh itu bersandar setengah telentang dan bernafas sesekali dalam keadaan yang mengenaskan. Dan yang membuat Giok Li tersentak adalah orang yang terluka itu masih muda dan belum begitu tua, paling juga usianya di sekitar 27 atau 28 tahun. Dan, wajah itu sungguh gagah dan tampan dalam balutan jubah berwarna hijaunya. Hal itu membuat Giok Li sedikit terperangah dan sedikit jengah menyaksikannya. “Seorang anak muda rupanya” desisnya lirih.

Perlahan dia mendekati tubuh itu. Tetapi, bukan main kagetnya ketika dari dekat dia melihat wajah lelaki muda itu dari yang tadinya pucat bagai kertas, kini telah berubah mendadak merah bagaikan sedang terpanggang panasnya api. “Ach, rupanya dia sedang terluka dalam, sedang terjadi pertarungan hawa sakti dalam tubuhnya” desis Giok Li. Karena berpikiran lurus dan welas asih, tanpa pikir panjang Giok Li telah memegang lengan si pemuda yang sedang menderita itu. Tapi alangkah kagetnya ketika lengan pemuda itu panasnya bahkan jauh melebihi bara api. Sungguh panas menyengat. Untungnya dia memiliki dasar tenaga Swat Im Sinkang yang berhawa sangat dingin. Itulah sebabnya Giok Li sama sekali tidak terluka, kecuali kaget.

Tidak lama kemudian hawa sinkang Swat Im Sinkang mulai mengalir dari tangan Giok Li dan memasuki si anak muda yang terluka. Tetapi sungguh celaka, si anak muda sepertinya sedang dipenuhi hawa sakti yang luar biasa besarnya namun sangat tidak stabil. Tambahan lagi si anak muda yang terluka itu, nampaknya memiliki ilmu yang langka dan luar biasa. Ilmu yang memampukannya untuk membaurkan ilmu sinkangnya dengan sinkang pemberi ataupun sinkang orang yang diserapnya. Hanya saja, kali ini yang terjadi adalah, daya serap sinkang si anak muda mengalir bersama kemampuan menyatukan tenaganya dengan tenaga orang yang diserapnya.

Akibatnya, tenaga dalam Swat Im Sinkang Giok Li mengalir dengan lancar dan memasuki sekaligus membaur bersama dengan kekuatan sinkang si anak muda yang terluka. Awalnya setelah sinkangnya merosot dan keluar memenuhi si anak muda, Giok Li sudah merasa kaget namun tak sanggup menghentikannya. Namun beberapa saat kemudian, tenaga itu kembali membanjiri dirinya. Dan kejadiannya berlangsung sekian lama tanpa sanggup ditolaknya. Beberapa lama baru kemudian berhenti. Prosesnya dapat digambarkan secara sederhana, tetapi kejadiannya berlangsung selama lebih dari dua jam.

Dalam jangka waktu dua jam itu, bukan saja si anak muda sembuh dari sakitnya, Cui Giok Li pun begitu sadar menemukan kenyataan yang mengherankan. Dalam pikiran sebelumnya dia sudah sangat khawatir bahwa sinkangnya habis sudah. Tetapi kenyataannya, justru ditemukannya kalau keadaannya sekarang bertolak belakang. Sinkangnya justru melonjak jauh meskipun masih belum disadarinya. Tubuhnya terasa jauh lebih segar dan ringan. Hanya, ini yang disayangkan, sinkangnya tidak lagi murni Swat Im Sinkang.

Apa sebenarnya yang terjadi? Bolehlah ini dinamakan takdir. Sesuatu yang tidak pernah diduga, namun terjadi. Tubuh si anak muda sedang dipenuhi hawa sakti yang luar biasa besarnya. Apabila tidak dibaurkan dan disalurkan keluar, maka anak muda itu bukan hanya mabuk tenaga sakti, tetapi bagai balon penuh hawa yang siap meledak. Ketika Giok Li menemukannya, si anak muda memang sudah diambang ajalnya. Untungnya Giok Li menyalurkan hawa sakti Swat Im Sinkang yang mujijat ketika si anak muda bertarung dengan hawa panas. Pada saat itu saluran tenaga sinkang Giok Li merangsang sinkang mujijat si anak muda untuk bereaksi. Dan mujijatnya secara sekaligus sinkangnya menyerap dan kemudian membaurkan.

Setelah menyerap dan membaurkan tenaganya dengan Giok Li, maka ssecara otomatis kelebihan hawa dalam tubuh si anak muda kembali dialirkan kepada Giok Li guna menemukan keseimbangan baru. Dengan kata lain, besaran sinkang yang tertinggal di tubuh si anak muda sudah sesuai dengan daya tampung wadahnya dan sesuai dengan tingkat penguasaan maksimal. Jika melebihnya, maka justru akan merusak wadah si anak muda. Dalam hal ini, baik si anak muda maupun Giok Li sama-sama beroleh keuntungan besar. Si anak muda nampaknya menyadari hal tersebut, Giok Li baru menyadarinya belakangan.

Giok Li tidak menyadari bahwa sinkangnya meloncat pesat hampir dua kali lipat dari kemampuan sebelumnya. Hanya kerugiannya adalah, dia kehilangan kemurnian sinkang Swat Im Sinkang. Sementara bagi si anak muda, memang hawa sakti dalam tubuhnya mengalami kekurangan. Tetapi, berkurangnya hawa sakti itulah yang justru telah menyelamatkan jiwanya. Jika tidak, paling sedikit dia akan mengalami kelumpuhan seumur hidup akibat salah jalan alias menemukan “jalan api”. Untungnya, Giok Li datang pada saat yang tepat, memberikan tenaganya, sekaligus menyerap kelebihan sinkang si anak muda. Sederhananya, telah terjadi mekanisme take and give bagi keduanya yang saling menguntungkan meski terjadi tanpa disengaja keduanya.

Si anak muda dan Giok Li dengan cepat memulihkan diri karena hawa sinkang hebat yang kini mengalir dalam tubuh keduanya. Memang si anak muda yang terlebih dahulu menyelesaikan proses pemulihannya yang kemudian diikuti Giok Li beberapa waktu kemudian. Dan ketika Giok Li membuka matanya, di hadapannya telah duduk dan memandanginya si anak muda yang nampak semakin gagah dan tampan. Apalagi karena wajah si anak muda sudah bersinar dan sorot matanya nampak jelas ucapan terima kasih yang tak terhingga.

“Terima kasih banyak Nona, aku benar-benar berhutang budi dan berhutang nyawa kepadamu. Seandainya tanpa bantuanmu, paling sedikit aku sudah sekarat dan bukan tidak mungkin telah binasa, sekali lagi terima kasih banyak” ujar si anak muda sambil menjura ke arah Giok Li.

“Ach, sudahlah. Bukan pekerjaan berat, lagipula adalah kewajiban kita untuk saling tolong menolong. Tetapi, siapa dan mengapa sampai engkau terluka begitu berat”? bertanya Giok Li yang jelas menginginkan perkenalan. Sekilas sudah bisa dipahami jika Giok Li menaruh perhatian kepada si anak muda. Hanya karena tidak terbiasa bergaul, maka dengan ceplas-ceplos dia meminta perkenalan.

Mendengar pertanyaan Giok Li, si anak muda yang kini sudah sembuh nampak sedikit guncang dan gugup, namun hanya sekilas. Karena tidak berapa lama diapun sudah berkata:

“Ach, namaku Lie Hong Po seorang pengelana dari daerah Kanglam. Aku baru saja bertarung dengan seorang tua yang sangat sakti dan ternyata terpukul kalah. Untungnya nona telah bersedia menolongku ..............” akhirnya si anak muda memperkenalkan diri bernama Lie Hong Po, dan dari pandang matanya si anak muda juga nampak tertarik dengan Giok Li. Lagipula, Giok Li memang cantik dan sedang mekar-mekarnya. Bedanya, si anak muda lebih mampu menyimpan rasa suka dan rasa simpatinya.

“Ach, kiranya Lie Hong Po koko, sungguh gagah dan mirip toakoku Tham Beng Kui. Aku bernama Cui Giok Li dan berasal dari Lembah Salju Bernyanyi, bolehkah aku memanggilmu Hong Po koko ....”? Giok Li yang memang lincah dan pandai bicara tidak menyembunyikan rasa sukanya. Memang tidak ada cela yang nampak secara fisik dari Lie Hong Po, yakni masih muda meski mungkin berbeda 10 tahun dengan Giok Li serta gagah dan tampan. Lebih dari itu, dari perbauran tenaga mereka tadi, Giok Li tahu jika kekuatan sinkang si anak muda masih mengalahkan tenaga dalam toako dan suci yang juga kakaknya.

“tentu saja ... tentu saja boleh nona ....” tergetar Lie Hong Po menghadapi kepolosan dan keterus terangan Giok Li. Tapi nampak jelas jika dia senang dan bahagia dengan perlakuan Giok Li.

“Aku memanggilmu Hong Po koko, masak engkau memanggilku Nona segala”? Giok Li merengut namun justru nampak semakin menggemaskan. Lie Hong Po jadi gugup, maklum diapun jarang berhadapan dengan anak gadis yang begitu berani, terbuka dan blak-blakan dengannya. Dan anehnya, baru kali ini dia merasa “suka” terhadap seorang anak gadis. Tak ada rasa marah diperlakukan begitu, justru dia senang. Wajahnya menjadi panas, tetapi meski dengan susah diapun berkata:

“Baiklah N....n ..... ech, Moi-moi”

“Begitu baru tepat .....hihihi, terima kasih koko ....”

“Tapi, bagaimana caranya moi-moi menemukan aku disini”? si anak muda bertanya meski sebenarnya untuk menenangkan debar hatinya yang berdetak demikian kencang. Entah bahagia entah terharu, entah apa. Yang pasti, sejak melihat wajah Giok Li yang berusaha membantunya meski secara samar dan dalam keadaan mati hidupnya, dan berkenalan dengan rasa suka si gadis yang tak tersembunyikan, wajah gadis itu sudah melekat erat dalam sanubarinya.

“Achhhhh, itulah koko. Adikmu ini melihat seorang yang suka sewenang-wenang membunuh manusia. Dia membunuh 5 orang dan kemudian lari. Sayang orang itu menghilang di hutan ini” dan rasa gemas nampak jelas menyorot dari wajah Giok Li yang mengepalkan tangan karena penasaran tak mampu mengejar si penjahat. Giok Li sama sekali tidak sadar kalau wajah si anak muda sedikit terlihat tergetar dengan penjelasannya barusan. Tetapi, anak muda itu memang lihay. Sebentar saja wajahnya sudah pulih kembali. Malahan segera berkata:

“Dan seterusnya engkau tersesat hingga kemari, apakah begitu moi-moi”?

“Benar koko, engkau tahu saja ......hihihi” Giok Li menjawab sambil cekikikan.

“Dan sebetulnya mau kemana moi-moi dengan toakomu”?

“Toako bersama suci yang juga kakakku, nama kakakku adalah Cui Giok Tin. Toakoku juga gagah perkasa seperti engkau, sementara suci sungguh cantik jelita dan keduanya jauh lebih lihay kalau dibandingkan dengan aku koko. Engkau pasti akan senang mengenal mereka”

“Moi-moi, tadi engkau mengatakan berasal dari Lembah Salju Bernyanyi, apakah kalian bersaudara memang sedang dalam perjalanan pulang ataukah ada urusan ke tempat yang lain........”? Hong Po menahan untuk menyebutkan tujuan lainnya menunggu respons Giok Li.

“Tidak, tidak koko, kami sedang menuju Lembah Pualam Hijau memenuhi janji subo terhadap tokoh muda hebat luar biasa bernama Kiang Ceng Liong. Orang itu menurut Nenek sungguh hebat luar biasa, bahkan terkenal sebagai tokoh nomor satu di rimba persilatan Tionggoan. Apakah koko mengenalnya”?

Tetapi Hong Po tidak bereaksi apapun. Hanya mata ahli yang mampu melihat getaran khusus di mata Lie Hong Po yang gagah dan tampan itu. Dan seterusnya diapun bersikap sangat sopan dan berwibawa untuk kemudian menjawab:

“Tidak moi-moi, aku belum mengenalnya, tetapi akupun pernah mendengar nama Duta Agung muda yang sangat hebat itu ....”

“Apakah koko besedia berjalan bersama kami bertiga kakak beradik ...”? tanya Giok Li tanpa risih mengundang Hong Po untuk bergabung bersama mereka bertiga kakak beradik. Hanya saja, Hong Po nampaknya memiliki kesulitannya sendiri, karena itu dia segera berkata:

“Sebetulnya aku senang berjalan bersamamu moi-moi, tetapi karena masih ada urusan, kokomu ini pasti akan bergabung nanti. Karena akupun punya urusan di daerah sekitar Lembah itu ......”

“Waaaaah, janji kalau begitu koko. Janji kalau koko nanti bergabung dengan kami nantinya jika urusan koko sudah selesai ....” Giok Li bahkan sudah berani merajuk kepada si anak muda. Dan si anak mudapun nampak senang dengan keadaan tersebut, meski sesekali sorot matanya bersinar sedih.

“Pasti moi-moi, aku berjanji nanti akan menemui kalian dalam perjalanan. Sekarang, baiklah kuantarkan moi-moi kembali ke Ceng seng ....”

“Engkau tahu arahnya koko ....”?

“Sudah pasti tahu moi-moi, mari ......” Hong Po kemudian bergerak berdiri di cabang besar itu dan kemudian bersama-sama kedua muda-mudi itu bergerak meluncur turun dari atas pohon. Dan seterusnya keduanya kemudian bergerak ke timur ke arah kota Ceng seng.

Hanya saja, baru kurang lebih 20 menit mereka berlari seakan berlomba menuju Kota Ceng seng, mereka kembali bertemu sebuah peristiwa. Saat itu mereka baru saja keluar dari kepungan pepohonan besar di hutan yang menuju ke arah puncak gunung Hong San. Betul masih banyak pepohonan disekitar mereka, tetapi kondisi alamnya sudah lebih luang ruang gerak dan pepohonan yang banyak sudah semakin jauh interval atau jaraknya. Disanalah mereka melihat dari kejauhan betapa dua orang yang sedang dikerubuti oleh 5 orang yang bersenjatakan pasangan pedang, berkelahi dengan penuh semangat.

Giok Li yang berpandangan tajam, apalagi setelah kekuatan sinkangnya meningkat tanpa disadarinya, tiba-tiba kaget. Meski dari jauh, tapi dia bisa mengenali jika dua orang yang sedang terkepung itu adalah orang-orang dekatnya. Adalah toakonya Tham Beng Kui dengan kakaknya Cui Giok Tin. Dan keduanya sedang dilibas dalam kepungan 5 orang yang bersenjata pasangan pedang. Ke-lima orang itu nampaknya bukan orang-orang yang lemah, dan karenanya keadaan kedua saudaranya itu agak mengkhawatirkan. Maka tanpa sadar dia segera berseru: “Toa-suheng, suci”, sambil berseru demikian Cuik Giok Li telah berkelabat menuju ke arah arena pertarungan kurang seimbang dimana 2 orang melawan 5 orang.

Otomatis Lie Hong Po juga mengejar dan terus menjejeri Cui Giok Li, karena dia khawatir dengan keadaan gadis yang menarik hatinya itu. Keduanya dalam waktu beberapa detik saja sudah berada disekitar arena pertarungan dua orang melawan 5 orang dimana posisi barisan penggempur jauh lebih baik. Dan disekitar arena itu menggeletak 3-4 orang yang nampak telah tewas dengan kondisi badan mengerikan. Tubuh mereka terdapat sayatan bersilang. Tetapi anehnya, sama sekali tidak ada darah di tubuh korban tersebut.

Sementara itu, Keadaan Beng Kui dan Giok Tin sudah agak mengkhawatirkan. Mereka berdua terdesak terutama karena kerjasama team para penyerang sangat bagus dan saling mengisi. Selain itu, secara orang-perorang ketika bertempur sebelumnya, mereka tahu masing-masing penggempur itu hanya sedikit atau bahkan seimbang dengan kemampuan mereka berdua. Begitu kelimanya bergerak bersama dalam satu barisan, keadaan mereka menjadi jauh lebih runyam. Relatif kini mereka tinggal bertahan menjaga diri.

Giok Li yang melihat pertempuran itu sudah menjurus ke keadaan yang membahayakan bagi kedua saudaranya itu, tiba-tiba membentak sambil memasuki arena pertempuran:

“Kurang ajar, siapa berani mengeroyok kakak-kakakku ...”?

Maka bertambahlah jumlah mereka yang bertempur disitu. Masuknya Giok Li membuat semangat tempur Beng Kui dan Giok Tin bangkit secara tiba-tiba. Apalagi, karena mereka bertiga sering berlatih bersama dan mencoba formasi ilmu Hui-Sian-Hui-Kiam (ilmu pedang terbang memutar). Entah bagaimana, ketiganya justru menemukan formasi memainkan ilmu Hui-Sian-Hui-Kiam (ilmu pedang terbang memutar) secara bertiga. Mereka tidak pernah menyangka, ini akan menjadi barisan ampuh Lembah Salju Bernyanyi pada suatu hari kelak. Mereka bertigalah pencipta barisan ampuh Lembah Salju Bernyanyi itu.

Kagetlah semua pengeroyok yang semuanya mengenakan jubah kelabu dan topeng tengkorak berwarna hitam pekat, serta 10 batang pedang yang semuanya berwarna hitam dan berhawa pekat. Mereka terkejut dengan masuknya Giok Li dan waktu sempit itu dimanfaatkan ketiga saudara seperguruan itu untuk mengatur nafas dan formasi perlawanan. Dalam sekali pandang, mereka sudah maklum apa yang akan mereka lakukan bertiga. Dan Beng Kui segera maju 2 langkah kedepan dan dibelakangnya Giok Tin dan Giok Li segera membalikkan badan dan mereka bertiga kini berdiri saling membelakangi dengan membentuk segitiga.
(Bersambung)
 
2



Maka ketika barisan kepungan kelima mahluk bertopeng tengkorak itu kembali menerpa, ketiga saudara seperguruan itu tiba-tiba bergerak. Dan di tangan mereka masing-masing kini telah tergenggam pedang. Merekapun secara bersamaan segera melepas ilmu mereka Hui-Sian-Hui-Kiam (ilmu pedang terbang memutar) menyambut serangan lawan. Dari segitiga mereka, tiba-tiba menyambar desingan pedang yang berputar-putar bagaikan senjata boomerang yang digerakkan oleh kekuatan tenaga dalam. Desingan pedang itu bergerak luar biasa kesana kemari dan mengancam keseluruh arena pertempuran dan dengan segera mendesak kelima penyerang yang menjadi kaget. Kaget setengah mati menemukan lawan mereka yang bertambah seorang anak gadis kini mampu menahan serangan dan bahkan mendesak mereka secara hebat. Ini luar biasa. Desingan pedang itu menyambar mereka dari semua jurusan dan seperti memiliki mata mengejar mereka kemanapun mereka bergerak.

Sebetulnya bukan karena ilmu kelima orang itu kalah merek. Yang benar, mereka kaget setengah mati menghadapi serangan baru lawan yang mengejar mereka dengan desingan pedang yang sangat tajam. Terlebih, pedang itu seperti memiliki nyawa, enggan membentur pedang panjang mereka dan menyerang kesemua sudut yang memungkinkan. Secara perlahan, barisan merekapun goyah. Apalagi, ketika kemudian selain desingan pedang, merekapun kini harus saling jaga atas serangan pukulan ketiga lawan muda itu. Barisan penyerang yang kaget itu membuat semangat ketiga kakak beradik seperguruan itu menemukan kembali semangatnya. Kini mereka kembali bertempur dengan semangat menyala.

Pada saat bersamaan, kini arena itu dipenuhi desingan pedang yang dikendalikan oleh tenaga dalam dan sambaran pukulan berhawa teramat dingin. Repotnya, kelima orang itu, meski memiliki pukulan hebat, tetapi tidak mampu bekerjasama untuk mempergunakan ilmu pukulan mereka. Artinya, mereka tidak mampu bekerja dalam team jika mempergunakan ilmu tersebut, sebab mereka harus melepas pedang di tangan. Repotnya lagi, jika mereka melepas pedang, bagaimana menangkis desingan pedang yang menyambar mereka dari semua jurusan itu? Maka kalutlah perlawanan kelima orang itu.

Jika hanya menghadapi desingan pedang terbang, mereka sebetulnya masih memiliki kemampuan yang memadai. Begitupun jika hanya menghadapi serangan hawa pukulan dingin, mereka mampu menahannya dengan kekuatan iweekang. Tapi yang celaka, jika mereka harus menghadapi keduanya secara serentak. Padahal, mereka harus berkonsentrasi menggunakan ilmu pasangan pedang dalam barisan untuk menghalau serangan pedang terbang. Tetapi karena selain itu harus juga menghadapi pukulan-pukulan berhawa teramat dingin, membuat mereka kini kedodoran dan mulai terancam bahaya.

Kini barisan 5 orang bersenjatakan pasangan pedang itu sudah kocar-kacir. Bisa ditebak, dalam waktu dekat mereka akan terkalahkan barisan 3 orang muda yang sangat luar biasa dengan pedang terbangnya. Sementara itu, sambil bertempur Beng Kui dengan Giok Tin kaget dan gembira sekaligus heran melihat kini Giok Li sudah mampu mencapai atau bahkan mungkin melampaui tingkat mereka saat itu. Hanya saja, ketika memukul dengan kekuatan sinkang dingin, kali ini kekuatan pukulan dan kekuatan hawa dingin Giok Li sudah berubah agak aneh. Tetapi, kekuatan itu tidak berada di bawah Beng Kui maupun Giok Tin, bahkan mungkin melebihi mereka berdua. Kemampuannya mengendalikan pedang terbang bahkan lebih kokoh, lebih kuat dan lebih variatif kali ini.

Keheranan itu menjadi kekaguman dan membuat mereka bertiga jadinya bertempur dengan semangat berlimpah. Mereka berdua seakan lupa jika tenaga mereka sudah nyaris terkuras oleh pertempuran sebelumnya. Melihat adik bungsu mereka bertarung begitu hebat dalam membela mereka berdua, membuat mereka terharu dan membangkitkan semangat yang tadinya sudah amat suram. Memang benar, semangat membangkitkan tenaga cadangan yang tersisa. Dan itu dialami oleh Beng Kui dan Giok Tin yang bangkit kembali kekuatan mereka setelah Giok Li bergabung. Dan kini mereka bahkan mampu mendesak lawan-lawan yang sebelumnya membuat mereka kocar-kacir.

Dan gabungan antara bantuan Giok Li, semangat berlimpah, dan ilmu pedang terbang dalam barisan, yang membuat mereka mampu melumpuhkan kehebatan barisan lawan. Dan sekarang mereka telah memegang kendali pertempuran. Meskipun memiliki gerakan hebat dan sabetan maut, namun kelima manusia bertopeng tengkorak itu kini terdesak hebat. Sabetan maut itu tinggal berfungsi menghalau desingan pedang terbang, sementara semangat mereka runtuh ketika masih harus menghadapi dan menolak serangan hawa dingin lawan. Gerakan mereka semakin lama semakin kalut, tetapi masih tetap belum tertembus total untuk meruntuhkan mereka. Karena itu, sekuat tenaga kelima orang bertopeng tengkorak itu bertahan dan terus bertahan.

Namun, akhirnya ketika salah seorang dari mereka lalai, tiba-tiba terdengar suara suara nyaring dari arena:

“cressssssssssssssssss”, suara yang cukup nyaring terdengar ketika lengan kanan salah seorang dari 5 manusia bertopeng tengkorak itu tersayat oleh pedang terbang lawan. Tetapi hebatnya, meskipun berdarah lengannya, manusia bertopeng itu tidaklah mengeluarkan rintihan maupun jeritan kesakitan. Dia tetap bertarung meski gerakannya mulai sedikit terhalang rasa sakit. Sementara Tham Beng Kui, Cui Giok Tin dan Cui Giok Li semakin bersemangat mendesak lawan-lawan mereka. Setelah salah seorang lawan mulai limbung, maka barisan lawan menjadi semakin mudah terterobos. Sekali lagi, seorang lawan termakan serangan. Cuma kali ini bukan terkena serangan pedang tetapi pukulan hawa dingin Cui Giok Li yang menyambar pundak salah seorang dari mereka berlima. Tetapi sebagaimana kawannya tadi, orang itupun masih nekat dan tahan untuk terus bertarung. Tetapi sudah jelas sebentar lagi barisan itu akan hancur.

Ditengah kekalutan dan frustasi menghinggapi kelima penyerang bertopeng tengkorak itu, tiba-tiba terdengar sebuah alunan suara yang terdengar ber-irama rada aneh bahkan cenderung sumbang. Namun alunan suara itu membawa nuansa dan aroma mitis. Irama itu semakin lama semakin memenuhi arena. Dan keanehan terjadi. Karena semakin lama semakin lama semangat dan daya tarung kelima orang bertopeng semakin garang dan semakin hebat. Sebaliknya Beng Kui dan Giok Tin sudah mulai terpengaruh dan sedikit goyah. Justru Giok Li yang masih bertarung dahsyat meski sadar bahwa alunan suara itu menyerang mereka. Cuma, kehebatan pedang terbang mereka mulai mereda dengan kondisi Beng Kui dan Giok Tin yang mulai agak lamban.

Pertarungan kembali berlangsung seru dan mulai kembali berimbang. Dengan Giok Tin dan Beng Kui yang melamban, serangan mereka mulai gampang terbaca lawan. Pedang Terbang dalam barisan segi tiga mulai melonggar. Akibatnya kini serang menyerang menjadi sedikit lebih berimbang, lawan akhirnya menemukan kembali kebugaran mereka. Bahkan semakin lama bertarung seperti dengan semangat baru dan menggebu. Bahkan terkesan sedikit nekat. Akibatnya Giok Li menjadi kewalahan, karena kini dialah yang lebih banyak menjadi “pengatur serangan” mereka bertiga. Dan dia jugalah yang menjadi “penyanggah” bagi barisan mereka bertiga menghadapi serbuan serangan lawan.

Di sisi lain, Hong Po si anak muda yang berjubah hijau menjadi gelisah melihat perimbangan yang bergeser. Dia tahu benar kalau alunan suara sumbang itu membantu 5 manusia bertopeng tengkorak dan memukul semangat kakak dari gadis penolongnya. “Aku harus bertindak” pikirnya. Dan segera dilakukannya. Dengan bersedekab, tiba-tiba saja Hong Po mengeluarkan suara erangan yang dengan segera memenuhi arena dan menandingi alunan suara sebelumnya. Hebat akibatnya. Pertarungan kekuatan suara segera terjadi. Saling belit, saling dorong dan saling tindih. Serunya pertarungan aneh itu dapat dilihat dari posisi Hong Po yang bersedekab dan dalam waktu tidak lama telah mengeluarkan keringat di jidatnya. Tetapi, begitupun dia tidak terdesak. Hanya saja, suara alunan suara sumbang bernuansa mitis itupun tidak terdesak. Nampaknya kedudukan mereka berdua dalam pertarungan kekuatan suara berimbang. Pertempuran aneh ini tidak kalah serunya, meski hanya bisa dihitung dengan jari orang yang mampu melihat serunya pertarungan suara itu.

Tetapi, efeknya bagi pertarungan perlahan-lahan segera terasa. Giok Li gembira mendapatkan kawannya yang dikaguminya ternyata memiliki kekuatan yang mampu memunahkan pengaruh dan serangan suara atas dirinya dan kakaknya. Sementara itu, Beng Kui dan Giok Tin juga mulai menemukan lagi kesadarannya. Tetapi, sekaligus mereka menemukan kenyataan betapa mereka sudah demikian letih dan lelah. Untungnya, barisan 5 manusia bertopeng tengkorak itupun sudah sama letih dan lemah. Apalagi setelah bantuan alunan suara mitis itu menghilang, dan mereka harus kembali bertarung dengan kekuatan sendiri.

Maka tak lama kemudian, keseimbangan pertarungan kembali berubah. Ke-lima manusia bertopeng tengkorak itu mulai kembali terdesak, terutama oleh gempuran membadai yang dilakukan oleh Giok Li. Meski tidak separah keterdesakan mereka sebelumnya, tetapi jika diteruskan kekalahan sudah pasti mereka derita. Dan pada saat yang berbahaya bagi kelima manusia bertopeng tengkorak itu, tiba-tiba alunan suara sumbang bernuansa mitis itu berhenti. Begitu juga dengan erangan Hong Po, juga terhenti. Namun bersamaan dengan itu, terdengar suara:

“Kita pergi. Sahabat, lain kali kita bertanding pula”

Bersamaan dengan suara itu, Giok Li beserta Giok Tin dan Beng Kui merasakan menyambarnya angin serangan yang sangat kuat kearah mereka. Giok Li berusaha menempurnya, tetapi terdengar suara Hong Po:

“Li Moi, biarkanlah mereka pergi ....” dan benar saja, Giok Li menahan serangan dan tangkisannya dan kemudian membiarkan semua manusia bertopeng tengkorak itu berlalu. Dan tidak lama kemudian, tempat pertempuran itu menjadi sepi. Karena Beng Kui dan Giok Tin sudah langsung berusaha mengembalikan kebugaran mereka, sementara Giok Li telah menemui Hong Po dan berkata:

“Hong Po koko, terima kasih atas bantuanmu. Penyerang dengan suara itu agaknya hebat luar biasa, tetapi engkau mampu menandinginya koko. Terima kasih ....” Ucapan terima kasih itu diiringi oleh lirikan mesra yang kini tidak mampu lagi disembunyikan Giok Li. Atau, mungkin yang sebenarnya adalah, dia memang tidak berniat menyembunyikan lirikan mesra tersebut.

“Bukankah kita sepakat untuk saling tolong Li Moi ...”? Hong Po merendahkan diri dengan hati gembira. Kegembiraan hatinya jelas tergambar dari sorot mata yang berbinar-binar penuh kegembiraan. Namun, sekaligus juga dengan sedikit kerutan tanda khawatir di wajah dan matanya.

“Sudahlah Hong Po koko, baiklah kita melihat keadaan toa suheng dan ji suci” ajak Giok Li sambil kemudian mendahului Hong Po mendekati Beng Kui dan Giok Tin yang sedang memulihkan semangat mereka. Tak ada pilihan lain bagi Hong Po, diapun mengikuti kemauan Giok Li dan berjalan mendekati tempat dimana Giok Tin dan Beng Kui berada. Persis dekat dengan 4 sosok tubuh yang telah menjadi mayat, korban keganasan 5 manusia bertopeng tadi. Kini jelas, bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas banyaknya korban dengan sayatan pedang bersilang di tubuh korban. Hong Po memandangnya sekilas, namun tiada emosi yang muncul dari wajahnya. Sungguh heran, siapakah anak muda yang sangat hebat ini?

Tak lama kemudian hampir bersamaan Beng Kui dan Giok Tin telah menyelesaikan upaya mereka mengembalikan semangat dan kondisi. Pertempuran tadi memang membuat semangat dan kekuatan mereka. Sungguh mendebarkan dan meletihkan. Dan melihat toa suheng dan kakaknya sudah segar dan bugar kembali, Cui Giok Li dengan gembira mendekati mereka berdua. Dan seperti biasanya dengan gaya kenes dan manjanya:

“Toa suheng, engkau tentu sudah segar kembali” dan kemudian sambil berpaling kepada kakaknya, diapun berkata, “Enci, bagaimana keadaanmu? Sudah rada baikan bukan”? dari nadanya terlihat jelas jika kedua kakak-beradik ini memiliki hubungan yang luar biasa kuatnya.

“Ach adikku, kemana saja engkau? Lihat, sampai aku dengan toa suhengmu berlari-lari kesana kemari mencari jejakmu” Giok Tin berkata sambil merangkul sayang adik satu-satunya ini. Adik yang memang selalu manja terhadapnya. Sementara itu, terdengar suara Beng Kui membuyarkan pameran ekspresi kasih sayang kedua kakak beradik jelita itu:

“Siauw sumoy, siapakah temanmu yang gagah ini? Jika aku tidak salah, dia telah membantu kita tadi”

Mendengar suara toa suhengnya, si manja Cui Giok Li segera sadar jika dia belum mengenalkan kawan baru yang menarik hatinya kepada kakak serta suhengnya. Maka sambil melepaskan diri dari pelukan kakaknya Cui Giok tin, diapun segera berinisiatif memperkenalkannya:

“Ach benar suheng, enci, mari kuperkenalkan sahabat baruku. Hong Po koko, mari kuperkenalkan dengan suheng dan enciku yang cantik ini ....” Begitu Giok Li dengan luwes berbicara memperantarai perkenalan suheng dan kakaknya dengan sahabat barunya Lie Hong Po.

“Ach terima kasih Li Moi, perkenalkan namaku Lie Hong Po. Senang berkenalan dengan saudara berdua” dengan sopan Hong Po memperkenalkan dirinya kepada Beng Kui dan Giok Tin. Cui Giok Tin senang melihat Lie Hong Po yang sopan dan tidak memandangnya dengan mata nyalang sebagaimana pemuda lainnya. Tetapi, entah bagaimana dia seperti waspada melihat rasa tertarik antara adiknya dengan laki-laki dihadapannya ini. Jelas suara adiknya penuh kekaguman terhadap pemuda Lie Hong Po itu. Tetapi waspada semacam apakah itu? Entahlah.

“Achhh, kiranya saudara Lie Hong Po. Mari, perkenalkan namaku Tham Beng Kui dari Lembah Salju Bernyanyi. Dan terima kasih banyak atas bantuan saudara tadi” Beng Kui merangkap tangan sambil memberi hormat sebagaimana tadi Hong Po juga melakukannya. Beng Kui termasuk cepat mengerti dan memahami tata krama pergaulan di Tionggoan.

“Namaku Cui Giok Tin, kakak Giok Li, senang bisa mengenal saudara Hong Po. Berasal dari manakah gerangan saudara Hong Po”? melihat saling lirik adiknya dengan si pemuda Hong Po, Giok Tin ingin menggunakan kesempatan ini untuk lebih mengenal si pemuda. Dan nampaknya Hong Po juga mengerti akan hal tersebut. Dan sudah barang tentu Lie Hong Po harus menjawab dan menjelaskan siapa dirinya. Hal yang nampaknya telah dipersiapkannya sejak beberapa waktu sebelumnya. Karena itu dia tidak ragu menjawab:

“Terima kasih, terima kasih boleh berkenalan. Aku yang rendah berasal dari daerah Kanglam dan sedang berkelana di rimba persilatan. Sebetulnya adalah adik Giok Li yang membantuku, bahkan menyelamatkan nyawaku. Melihatnya sedang mencari jiwi berdua dan hendak menuju Ceng seng, maka akupun menawarkan menghantarkannya. Untungnya dapat bertemu jiwi di tempat ini, dan beruntung boleh mengenal sekalian kakak-kakak dari adik Giok Li”

“Benar enci, kami baru saja saling mengenal. Dan Kakak Hong Po berkenan membantu untuk menemukan jalan ke Ceng seng, ech, mana tahu di tempat ini bertemu toa suheng dan enci. Syukurlah ......” dan sekali lagi bahkan lebih jelas Giok Tin bisa melihat pendar bahagia dari sinar mata adiknya. Tak salah lagi, adiknya itu nampaknya tertarik dengan Lie Hong Po dan hal yang sama juga nampak dari tindak tanduk Hong Po. “Tapi mereka kan baru slaing mengenal” protes Giok Tin dalam hatinya, tetapi tentu tetap tak berdaya. Meskipun begitu, sebagai kakak dia memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi untuk kebahagiaan adiknya.

“Kamipun gembira bisa mengenal saudara Hong Po dan sudah tentu, kami berterima kasih atas bantuan saudara menghadapi para pengeroyok dan pentolan mereka yang menyembunyikan diri itu. Tanpa bantuan saudara Hong Po, belum tentu kami sanggup melalui masa berbahaya tadi” dengan tulus Giok Tin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa senangnya berkenalan. Dan Hong Po menanggapinya hanya dengan senyuman, tidak nampak rasa sombong dan pongahnya sama sekali.

“Adalah kewajiban sesama kaum persilatan untuk saling mermbantu” Hong Po menanggapi santai sambil kembali melirik Giok Li yang tersenyum ke arahnya. Dan kembali Beng Kui bersuara:

“Benar ji sumoy, kita memang patut mengucap syukur atas bantuan saudara Hong Po. Tetapi, kemanakah arah saudara Hong Po sekarang”?

“Sebetulnya aku hanya berkelana tanpa arah tertentu. Hanya, agak heran akhir-akhir ini karena banyak tokoh silat yang terbunuh dengan sayatan pedang bersilang atau kena semacam jarum pembunuh. Inilah yang menahanku disini dan ingin untuk menyelidikinya. Untungnya malah mendapat jawaban atas salah satu penyebab pembunuhan itu di tempat ini” sahut Hong Po diplomatis.

“Ach, sungguh mulia upaya saudara Hong Po. Sayangnya, kami harus bergegas karena sedang mengemban misi dari subo kami bertiga. Karena itu, mohon maaf jika sekiranya kami bertiga harus segera mohon diri dari saudara Hong Po. Tadinya aku ingin mengajak saudara berjalan bersama, tetapi mungkin lain waktu jika memang memungkinkan” Beng Kui kembali berkata. Maklum tugas mewakili subo mereka menuju Lembah Pualam Hijau sudah semakin dekat waktunya. Tinggal lebih kurang 7 hari lagi mereka harus sudah berada di Lembah Pualam Hijau.

“Sebetulnya setelah mengantarkan Adik Giok Li, akupun masih harus menuntaskan sebuah urusan perguruan. Baru setelah itu akan melanjutkan perjalanan. Karena itu, menyesal tidak dapat menyertai saudara bertiga. Baiklah, lain kesempatan aku ingin berkelana bersama dengan saudara bertiga. Hanya saja, harap berhati-hati, karena nampaknya dunia persilatan sedang dan akan bergejolak kembali setelah banyak tokoh yang binasa akhir-akhir ini” Hong Po menolak secara halus ajakan untuk jalan bersama. Penolakannya ini melegakan Giok Tin dan dia berpikir telah berprasangka buruk terhadap anak muda ini. Karena itu diapun berkata:

“Baiklah, kami berjalan lebih dahulu saudara. Sekali lagi, terima kasih dan semoga kita bisa melakukan perjalanan bersama suatu saat nanti .......” sambil berkata Giok Tin mengucapkan salam berpisah. Diapun menarik Giok Li, namun Giok Li masih sempat-sempat berkata:

“Baiklah Hong Po koko, ingat janjimu untuk berjalan bersama kelak ya ..... kami akan menunggunya nanti” terasa sangat berat kalimat perpisahan Giok Li itu. Bukan hanya Giok Tin yang merasakannya, bahkan Beng Kui juga. Apalagi Lie Hong Po, dia maklum benar akan nada pemrohonan dalam suara itu. Dan dia senang, karena diapun nampaknya memiliki ketertarikan yang sama.

“Adik Giok Li, aku telah berjanji, pasti akan kupenuhi. Pergilah bersama kedua kakakmu, suatru saat kita bertemu kembali ....” suara Hong Po sendiri juga terdengar sedikit bergetar. Dan Cui Giok Tin tidaklah bodoh untuk tidak menangkap dan memahaminya.

“Baiklah saudara Hong Po, sampai berjumpa kembali” dan Beng Kuipun kemudian mengucapkan selamat berpisah.

Tempat itupun kembali sepi.

==================

Ketiga kakak beradik seperguruan itupun akhirnya memutuskan beristirahat di kota Ceng seng sebelum melanjutkan perjalanan. Selain karena letih dan butuh istirahat, mereka juga sudah mencari tahu bahwa tinggal butuh waktu 3 atau 4 hari untuk sampai ke Lembah Pualam Hijau. Bahkan jika berjalan cepat 2 hari waktu yang dibutuhkan. Padahal pesta yang hendak mereka datangi baru akan dilaksanakan 6-7 hari lagi. Maka merekapun memutuskan untuk menginap di penginapan terbesar di Kota Ceng seng. Menjelang sore hari mereka telah berada di Kota Ceng seng dan kemudian berupaya untuk menemukan penginapan buat mereka bertiga beristirahat.

Baru saja mereka mendapatkan 2 buah kamar di Penginapan Mutiara Biru, dan bersiap-siap untuk diantarkan pelayan ke kamar, tiba-tiba masuk 2 orang pria. Dari dandanan, jelas mereka adalah orang-orang pengelana rimba persilatan. Tetapi sikap mereka begitu gagah dan tetap sopan. Salah seorang dari kedua orang tersebut segera bertanya dengan sopan:

“Apakah masih tersedia sedikitnya 5 kamar buah kami di lantai bawah”?

“Kebetulan masih tersedia tuan, tetapi jika tidak salah hanya tersisa 4 buah kamar di lantai bawah” petugas penginapan menyahut dengan sopan setelah memeriksa catatan tamunya sejenak.

Terlihat kedua tamu yang mencari kamar itu berpandangan sejenak dan kemudian keduanya saling mengangguk. Dan setelah mereka sepakat, salah seorang kembali mendekati si petugas dan berkata:

“Baiklah, kami menyewa ke-empat kamar tersebut. Tetapi barang hantaran yang kami kawal akan ditempatkan di dalam sebuah kamar yang kami sewa, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Apakah pelayan penginapan bisa membantu kami melakukannya?”

“Baiklah tuan, pelayan penginapan akan membantu tuan untuk membawa barang-barang tersebut dari gerobak tuan”

“Baiklah jika demikian”, dan transaksipun kemudian disepakati dan dilakukan dimana kedua tamu itu memesan dan sekaligus melunasi pembayaran.

Sementara itu Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li telah diantarkan ke kamar mereka yang kebetulan juga berada di lantai dasar penginapan tersebut. Bahkan belakangan mereka tahu terletak tidak jauh dari kamar para tamu yang menyewa empat buah kamar guna mengawal barang hantaran mereka. Karena memang letih, baik Beng Kui, Giok Tin maupun Giok Li tidak lagi keluar dari penginapan dan memilih makan malam di penginapan tersebut.

Beng Kui yang tidur sendirian dalam kamarnya sudah langsung terlelap atau entah apa yang dilakukannya dalam kamarnya. Sementara kakak beradik Giok Li dan Giok Tin nampak masih berbincang-bincang, sesekali berbisik-bisik dan sesekali terdengar cekikikan dari Giok Li.

“Adikku, tidak salah lagi. Engkau pasti menyukai orang muda bernama Hong Po itu bukan? Hayo ngaku .....”

“Ach enci, bukankah dia memang gagah dan tampan? Hihihi” si manja Giok Li bukannya malu malahan secara terus terang mengakuinya kepada kakaknya. Dan memang seperti itulah hubungan kedua kakak beradik itu sejak masa kanak-kanak mereka berdua.

“Ach, tapi engkau belum begitu mengenalnya adikku”

“Menyukainya kan belum tentu buat menikah dengannya enci, tenang saja. Pesan subo akan kujunjung tinggi, untuk tidak mempermalukan subo dan perguruan kita di Lembah Salju Bernyanyi”

“Syukurlah adikku. Memang si Hong Po itu gagah dan tampan. Tapi, adikku juga bukannya tidak cantik dan manis kan >>>>” goda Giok Tin.

“Ach enci, engkaupun sudah sewajarnya memiliki pasangan. Di Lembah Pualam Hijau nanti biarlah adikmu ini mencarikan pasangan yang setimpal denganmu, hihihi” Giok Li bukannya risih malah balik menggoda. Dan jika sudah demikian, Giok Tin selalu kalah dari adiknya.

Demikianlah keduanya bercakap panjang lebar. Terutama Giok Li menceritakan keanehan Hong Po dan juga sinkangnya yang terserap tetapi kemudian bisa dikuasainya kembali. Malahan bisa memperoleh kemajuan yang juga mengherankan bagi dirinya sendiri. Tetapi porsi terbesar adalah puja-puji Giok Li kepada Hong Po yang memang sangat dikaguminya.

Giok Tin menarik nafas panjang mendengarkannya. Tiba-tiba dia sadar, bahwa adiknya ini sudah menjadi remaja yang sangat cantik. Sepertinya dia masih memikirkan dan memperhatikan Giok Li yang manja, kenes, suka ngambek dan suka menangis mengadukan sesuatu kepadanya. Padahal itu telah berlalu. Kini adiknya bukan lagi gadis cilik, tetapi gadis remaja. Dialah satu-satunya adik yang dimilikinya. Karena kelahiran adiknya ini, ibunya meninggal. Otomatis, adiknya ini adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya dalam dunia ini. Wajar jika Giok Tin begitu menyayangi dan memperhatikan pertumbuhan Giok Li.

Dan tanpa terasa waktu telah berlari dan memasuki tengah malam. Giok Tin dan Giok Li perlahan-lahan akhirnya tertidur. Dan keheningan bukan hanya melingkupi kamar peristirahatan mereka, tetapi juga Kota Ceng seng. Kesibukan kota itu kini lebur dalam hening dengan tidak menyisakan hiruk-pikuk di siang hari yang penuh kesibukan tersebut. Kota itu hening, sepi. Penduduknya terlelap. Termasuk juga mereka-mereka yang menginap di Penginapan Mutiara Biru.

Tapi benarkah tiada lagi aktifitas pada malam hari? Benarkah semua penghuni kota termasuk penghuni penginapan itu telah terlelap dalam tidur dan mimpi mereka? Siapa bilang? Sama sekali keliru. Karena masih tetap ada orang-orang yang beraktifitas pada malam hari. Seperti pencuri misalnya. Orang sering berkata, hati-hati dengan malam hari karena banyak hal mungkin terjadi di malam hari. Kegelapan malam memang sering dimanfaatkan banyak orang untuk melakukan kegiatan dan aktifitas tersembunyi.

Penginapan itu memang senyap. Nyaris seluruh penghuninya telah terlelap. Masa masa tengah malam dan lewat tengah malam adalah jam paling tepat untuk terlelap. Jadi wajar jika banyak orang terlelap. Tetapi bagi beberapa orang di kamar lantai dasar atau lantai terbawah dari penginapan mutiara biru, siang atau malam tetap sama. Lihat saja, di salah satu kamar penerangan kamar tidak padam dan dari luar nampak jika ada beberapa orang yang tidak terlelap. Tugas mereka memang menjaga barang antaran. Bahkan di luar kamar tersebut nampak ada 4 orang yang berdiri berjaga di depan pintu.

Bagi orang-orang itu siang dan malam tetap bekerja. Terkadang memang demikian. Ada sejenis pekerjaan yang memang harus tetap dilakukan meski pada malam hari. Tengah malam sekalipun. Jadi bukan hal mengherankan menemukan penjaga berdiri didepan pintu kamar. Tetapi malam ini, mereka yang berjaga benar-benar naas. Nasib mereka kurang beruntung. Karena mereka tiba-tiba menjadi sasaran dari sebuah serangan gelap yang dilepaskan oleh sesosok bayangan yang bergerak begitu ringan, begitu cepat namun sangat mematikan. Sosok bayangan itu bergerak bagaikan hantu, berkelabat dari atas wuwungan dan melepaskan serangkaian angin pukulan yang luar biasa hebat. Dan akibatnya, ke-empat manusia yang berjaga di depan pintu tidak sadar apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ke-empatnya terdiam, tertotok dan tewas seketika namun tubuh mereka tetap dalam keadaan berdiri. Setidaknya begitu menurut angggapan si penyerang.

Tetapi, gegabah menduga bahwa mereka yang diserang benar-benar alpa. Si penyerang yang telah menyerang dan mengira membinasakan 4 penjaga di pintu kamar yang dituju, dengan ringan turun dekat kamar tersebut. Tetapi, begitu berjalan mendekat ke arah pintu kamar, terdengar sebuah suara lirih yang memang khusus ditujukan kepadanya:

“Hmmmmm, besar amat nyalimu. Seorang pendeta mengendap-endap menuju kamar orang lain apakah pantas”? suara itu menahan langkah orang yang ternyata memang berjubah keagamaan. Namun, setelah diteliti lebih jauh, gaya jubahnya adalah gaya Lhama Tibet. Entah mengapa Lhama asal tibet itu justru berencana untuk membunuh orang-orang yang berjaga di depan pintu. Tetapi, mengetahui kehadirannya tidak dapat disembunyikan lagi, Lhama Tibet tersebut tidaklah menjadi takut, sebaliknya ia segera mendengus dan berkata:

“Hmmm, kalianpun harus membayar harga perbuatan kawan-kawanmu atas orang perguruan kami” sambil mengeluarkan ancaman tersebut, Lhama itupun berkelabat pergi, melarikan diri. Dan serentak 4 orang yang tadinya diserang si Lhama tiba-tiba bergerak dan terus mengejar. Kiranya mereka hanya bersandiwara seakan-akan terkena pukulan si Lhama. Dan dilihat dari gerakan mereka yang sungguh pesat meskipun masih belum secepat si Lhama yang mereka kejar, bisa diduga mereka bukan orang-orang sembarangan. Bahkan, orang-orang yang tadinya berjaga dalam kamar, juga ikutan keluar dan melayang mengejar si Lhama penyerang. Bahkan dari 3 kamar lainnya, melayang juga masing-masing sepasang orang yang bahkan lebih cepat lagi untuk ikut mengejar.

Tetapi yang paling hebat adalah ketika tiba-tiba ada lagi sesosok bayangan yang mengejar pergi. Hanya saja, bayangan tadi terlampau sulit untuk diikuti dengan mata telanjang. Lesatan dan kecepatannya sungguh di luar nalar bahkan jangkauan lompatannyapun nyaris tidak masuk di akal jauhnya. Dia berkelabat pergi bagaikan angin ringannya, pergi begitu saja tanpa ancang-ancang.

Dan dalam waktu singkat 4 kamar yang dipesan untuk para pengawal pembawa barang antaran telah kosong. Penghuninya pada mengejar si Lhama. Keadaan itu tentunya sangat mengherankan dan tidak lazim. Bukannya konsentrasi mengawal dan menjaga barang, sebaliknya sebagian besar orang-orang penjaga barang malah meninggalkan barang bawaan. Dan mereka semua mengejar si Lhama yang tadi mengeluarkan ancaman dan berkelabat pergi. Benar saja, karena tak berapa lama kemudian setelah sebagian besar orang pergi mengejar, tiba-tiba berkelabat 2 sosok bayangan lainnya.

Kedua bayangan itu langsung menuju ke kamar yang tadinya dijaga 4 orang yang diserang Lhama yang melarikan diri tadi. Dengan penuh kepercayaan diri kedua orang yang ternyata adalah juga Lhama Tibet, telah mendorong pintu kamar yang lampunya masih menyala. Tanpa rasa takut sedikitpun keduanya melangkah masuk kedalam kamar, dan karena tidak mengalami penghadangan, merekapun terus melangkah masuk ke tengah ruangan. Karena di tengah ruangan, nampak bertumpuk barang-barang antaran yang dikemas dalam bentuk kotak agar mudah di angkut menuju tempat tujuan.

Hanya saja, ketika mereka berdua telah berada dalam ruangan, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang jelas ditujukan kepada mereka:

“Selamat datang para sahabat. Tengah malam seperti ini bertamu di kamar orang, apakah pantas bagi para pendeta”?

Dan dalam waktu singkat dalam ruangan itu telah bertambah dengan 6 orang lainnya dan seorang Nona yang masih nampak muda. Nona muda itu kelihatannya sangat dihormati oleh 6 orang lainnya yang sudah berusia parobaya. Paling tidak usia mereka rata-rata sekitar 45 tahunan, dan masing-masing membekal pedang dengan ukuran yang nyaris sama. Salah seorang dari mereka yang telah menyapa kedua Lhama yang memasuki kamar yang mereka jaga itu.

“Paman, dengarkan dulu keterangan mereka. Mana tahu mereka memang punya tujuan khusus bagi kita, hihihi” suara si Nona menimpali perkataan salah seorang dari 6 manusia ber pedang. Dan kelihatannya si Nona tidak mengenal rasa takut dan dengan bebas mempermainkan kedua Lhama yang tertangkap basah memasuki kamar orang tanpa ijin.

“Hmmmmmm, melihat kalian ber-enam, apakah mungkin kalian yang disebut orang Barisan 6 Pedang dari Lembah Pualam Hijau”? terdengar salah seorang dari Lhama itu bersuara. Hebat, dia langsung mengenal siapa-siapa tokoh yang berada dalam ruangan tersebut. Memang benar, Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau telah memiliki setidaknya 3 barisan terlatih. Dan barisan yang berada di dalam ruangan itu adalah Barisan lapis kedua, karena Barisan 6 Pedang lapis pertama adalah pelindung Duta Agung.

Kemanapun Duta Agung pergi, kesanalah mereka berada sebagai pelopor sekaligus pelindung. Sementara lapis kedua ini diproyeksikan untuk menggantikan lapis pertama Barisan 6 Pedang yang rata-rata usia mereka sudah 55 tahun. Yang paling muda berusia 55 tahun sementara yang tertua sudah mendekati angka 60 tahun. Jadi wajar jika regenerasi Barisan 6 Pedang yang terkenal ini dilakukan oleh Lembah Pualam Hijau.

“Hebat ..... hebat, sekali pandang kalian telah mampu mengenali kami. Memang benar, kamilah Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau, sedang bertugas untuk menjemput barang antaran dari Thian San Pay. Entah ada pengajaran apakah kedua pendeta yang terhormat”?

“Hahahaha, benar-benar tidak bernama kosong. Tetapi, sehebat apapun karena pihak kalian telah membinasakan ketiga saudara seperguruan kami, maka kalian akan merasakan akibat pembalasannya. Termasuk merusak seluruh apa yang kalian rencanakan untuk dikerjakan”

“Wah paman, pendeta itu galak juga. Tapi apakah kemampuannya sama galaknya dengan mulutnya yang besar itu”? terdengar si Nona jelita menyela dengan tiada rasa takut sedikitpun. Bukannya takut justru dengan penuh keberanian dia memandang sorot mata marah kedua Lhama yang tertuju kepada dirinya itu. Sorot mata tajam dan nyalang seakan ingin mengunyahnya habis.

“Jaga mulutmu Nona kecil, jika engkau laki-laki tentu sudah kuhajar mulutmu yang usil dan binal itu” berkata salah seorang dari Lhama itu. Wajahnya guram dan memerah. Mungkin gondok juga dia karena selalu disindir oleh seorang anak gadis yang masih remaja pula.

“Cobalah menghajar mulutku gundul tua besar mulut. Memangnya sopan bagi gundul tua semacam kalian menyelinap ke kamar orang”? bukan takut, si Nona malah semakin tajam mulutnya. Dan semakin mengkal perasaan kedua Lhama itu, tapi mereka bingung harus melakukan apa.

Dan rasa mengkal itu akhirnya ditumpahkan dengan menyerang kearah tumpukan barang antaran. Ternyata, barang-barang atau benda itu adalah benda-benda dari Thian San Pay sebagai mas kawin sekaligus kado dari Thian San Pay untuk pasangan pengantin di Lembah Pualam Hijau. Karena Nenggala yang adalah suhu dari Ciangbundjin Thian San Pay sudah dianggap sebagai tokoh di perguruan itu setelah menjadi pewaris Kakek Dewa Pedang. Dan kado itulah yang kini ingin dicuri atau dirusak oleh kedua Lhama itu.

Tentu saja Barisan 6 Pedang dan si Nona tidak akan membiarkan serangan kedua Lhama itu merusak barang antaran. Karena itu, Barisan 6 Pedang segera bergerak dan menyatukan tenaga untuk menangkis pukulan kedua Lhama yang dilontarkan ke arah barang antaran tersebut. Dan segera terdengar benturan:

“Dukkkkkkk .....”

Meskipun bukan lapis pertama, tetapi Barisan 6 Pedang yang datang kali ini bukanlah barisan yang tidak dapat diandalkan. Memang, mereka masih kalah dari senior mereka, tetapi bukan berarti mereka tidak berkemampuan hebat. Keliru jika demikian. Orang per orang, mungkin mereka bukan jagoan hebat di dunia persilatan, tetapi begitu bergabung, mereka akan sanggup menghadapi tokoh kenamaan dan jika perlu mengalahkannya. Merekapun sudah berlatih gabungn sinkang. Karena itu, tidak berhalangan bagi mereka untuk bersatu menangkis pukulan kedua Lhama itu. Dan hasilnya, mereka tidak tergetar, pukulan ditangkis dan sama sekali tidak sampai merusak barang-barang dalam ruangan.

Tetapi, sebelum Barisan 6 Pedang menyerang dan melibas kedua Lhama Tibet itu, tiba-tiba terdengar suara si Nona:

“Paman-paman, aku ingin mencoba kehebatan Lhama pencuri ini ....” dan begitu suara itu raib, tanpa dapat dicegah si Nona telah menyerang salah seorang dari kedua Lhama tersebut. Melihat itu, Barisan 6 Pedang tidak dapat mengatakan apa-apa, karena mereka semua sadar dan tahu belaka sampai dimana kehebatan si Nona. Akan tetapi, siapa gerangan Nona manis itu?

Tidak lain dan tidak bukan adalah Kiang Sian Nio. Nona ini adalah adik perempuan satu-satunya dari Kiang Ceng Liong yang menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Sejak kecil, Nona remaja ini telah berlatih dibawah asuhan bibi-neneknya sendiri, yakni Kiang In Hong alias Liong-i-Sinni. Sempat melarikan diri dari perguruan tetapi akhirnya ditemukan lagi dan terakhir dilatih di Lembah Pualam Hijau oleh neneknya yang sakti itu. Dan akhir-akhir ini, Nona yang masih remaja ini telah dibekali kemampuan luar biasa. Terutama hasil dari membujuk-bujuk kakaknya Ceng Liong untuk mengajarinya ilmu-ilmu hebat. Karena itu, tidak heran jika Kiang Sian Nio bertumbuh menjadi gadis muda yang berkepandaian hebat.

Dan seperti juga Mei Lan yang menjadi sucinya meski hanya mewarisi ginkang istimewa gurunya, Sian Nio ini juga bergerak cepat bagaikan hantu. Belum selesai dia berbicara, pukulannya sudah tiba dan mengejutkan salah seorang Lhama Tibet yang menjadi keki karena diserang seorang Nona yang masih muda remaja. Tetapi, betapa kagetnya dia ketika pukulan si Nona ternyata tidak main-main. Si Nona menyerangnya dengan sebuah lentikan jari sakti yang sangat berbahaya. Itulah bengalnya Sian Nio, tanpa ba-bi-bu telah menyerang lawan dengan menggunakan salah satu ilmu istimewanya, yakni Tan Cit Pa Siat (Telunjuk sakti menotok jalan darah). Ilmu yang dihadiahkan kakaknya.

Sian Nio memang belum paham betul dimana kehebatan ilmu jari sakti ini, yang dia tahu adalah dia sanggup melubangi batu karang yang keras sekaipun. Jika dipakai dalam pertempuran bagaimana hasilnya? Nach, hari inilah si Nona ingin melihat hasil latihannya terhadap Ilmu tersebut. Dia takut mencoba Ceng Thian Sin Ci karena kakaknya telah wanti-wanti dan berpesan dengan keras agar tidak sembarangan mempergunakannya. Dan, hanya Kakaknya yang ditakutinya di Lembah itu. Maklum kakaknya adalah Duta Agung Lembah. Tapi dia tahu benar bahwa kakaknya itu sangat menyayanginya.

Dan celaka si Lhama yang memandang enteng Sian Nio. Sudah gerakannya sangat pesat dan bagaikan menghilang, sementara serangan jari saktinya juga meletup cepat dan tahu-tahu sudah dihadapannya. Terpaksa dengan tergesa-gesa dia mengibas, dan tahu-tahu terdengar suara:

“Srrrrrtttttt ......” dan jubah di bagian lengan si Lhama telah berlubang ketika digunakannya untuk menghalau serangan jari sakti si Nona. Dan melihat hasil itu, Sian Nio girang luar biasa. Sebaliknya, si Lhama meringis malu dan akhirnya bangkit kemarahannya. Kelalaiannya ditebus oleh bolongnya lengan jubahnya. Dan ini sangat memalukan, apalagi karena penyerangnya “hanya” seorang gadis remaja. Mau ditaruh kemana mukanya?

Dalam amarahnya si Lhama menggereng dan segera membuka serangan. Diserang dengan sentilan jari sakti, maka diapun menyerang dengan menggunakan ilmu sejenis yang bernama Tam Ci Sin Thong. Maka bertarunglah keduanya dengan tidak ditahan-tahan lagi. Sian Nio memanfaatkan kesempatan itu untuk melatih ilmu dan pengalaman bertempur, sementara si Lhama berusaha untuk membalas kekalahan memalukan yang baru dideritanya. Kekalahan dari seorang gadis remaja. Betapa memalukannya. Wajar jika wajahnya merah padam, malu bercampur gusar ketika menyerang Sian Nio.

Suara mencicit datang dari adu kehebatan ilmu jari keduanya. Hanya, jika Tam Ci Sin Thong Bouw Lek Couwsu dan adik-adik seperguruannya mencicit dengan ketajaman mengerikan, maka Lhama yang satu ini jauh lebih halus. Bahkan sesekali serangan jarinya nyaris tidak mengeluarkan suara cicitan sama sekali. Tetapi, kehebatannya jauh melampaui Bouw Lek Couwsu bertiga. Jelas Lhama yang satu ini berlipat kali kehebatannya.

Tapi Sian Nio yang seperti subonya dan sucinya memiliki keistimewaan dalam bergerak, tidaklah merasa tersudut dan terdesak dengan serangan-serangan lawan. Selain mampu bergerak cepat, ilmu jarinya sendiri tidaklah kalah mutu. Apalagi setelah adu kekuatan, diapun tidak merasa kalah melawan kekuatan lawan. Karena itu, pikiran isengnya muncul, dan segera terlontar dari mulutnya:

“Paman-paman, pendeta pencuri ini lumayan lihay. Sebaiknya kalian menjaga pendeta pencuri yang satu lagi jangan sampai meloloskan diri”

Maksud Sian Nio sebetulnya hanya sekedar menggoda Lhama lawannya itu. Tetapi, begitu kalimat itu terucap, kedua Lhama itu menjadi tersinggung dan tambah marah. Dan akhirnya pecah jugalah pertarungan kedua di ruangan yang sangat sempit tersebut. Tetapi disinilah sekali lagi kehebatan Barisan 6 Pedang teruji. Meski ruangan sangat sempit, tetapi mereka mampu beradaptasi dengan ruang dan mampu memaksimalkan serangan mereka. Justru adalah lawan yang membutuhkan ruangan lebih luang untuk banyak bergerak dan menemukan cela pertahanan dari badai serangan Barisan 6 Pedang.

Sementara itu, Sian Nio sendiri menghadapi gelombang serangan baru dari Lhama lawannya itu. Kali ini, bukan saja menggunakan ilmu jari saktinya, tetapi juga mulai mendesaknya dengan melepas pukulan-pukulan berat berdasarkan kekuatan sinkangnya. Si Lhama menduga bahwa Sian Nio tidak akan berani memapak serangan sinkangnya. Dia tidak tahu jika si Nona telah membekal Giok Ceng Sinkang tingkat tinggi. Karena itu, ketika dia memukul dengan Hong Ping Ciang dan melanda Sian Nio dengan sinkang berpusing, Sian Nio dengan berani memapaknya dengan jurus “rembulan berkaca – angin mendesing” dari Ilmu silat keluarganya Giok Ceng Cap Sha Ciang. Dan benturan tak terhindarkan:

“dukkkkkk .....”

Tetapi betapa kagetnya Lhama itu melihat betapa si gadis sanggup menahan pukulannya. Memang dia lebih matang dan ini kelebihannya. Tetapi, seorang gadis remaja menangkis pukulan berhawa sinkangnya, benar-benar membuatnya kaget. Kini dia mulai melihat kenyataan betapa tugas dan pekerjaan mereka ternyata tidak ringan. Sebaliknya sangat berat. Melirik kawannya, dia semakin khawatir karena kawannya justru sedang dalam desakan Barisan 6 Pedang. “Celaka, ternyata orang-orang Lembah Pualam Hijau tidak bernama kosong” pikirnya.

Tapi karena berayal meski hanya sejenak, sekali lagi lengan jubahnya, kali ini yang sebelah kanan menjadi korban. Adalah Sian Nio yang setelah menangkis segera bergerak luar biasa cepatnya mengambil poisisi menyerang dari samping. Meski tidak sampai sedetik konsentrasi si Lhama terganggu, tetapi cukup bagi Sian Nio mengirimkan satu sentilan jari saktinya yang memang maha ampuh tersebut. Dan karenanya segera terdengar benturan lagi:

“Srrrrrrrttttttttttt ...... “ kali ini lengan jubah sebelah kiri yang bolong oleh jari sakti Sian Nio. Sementara si Lhama mulai berkeringat. Dia sadar dia sedikit alpa dan memberi kesempatan bagi Sian Nio untuk mengulangi kejadian tadi, yakni melubangi lengan jubahnya. Hati si Lhama menjadi semakin sakit ketika mendengar suara tertawa cekikikan dari si Gadis:

“Hihihihi, lama-lama jubahmu bolong semua pendeta pencuri”

Mendengar sindiran yang memalukan itu, si Lhama terpaksa kembali menguras ilmu-ilmu simpanan perguruannya. Maka kembali dia mengeraskan hati menyerang dengan mempersiapkan salah satu ilmu andalan mereka, Bi Ciong kun (Ilmu Silat Menyesatkan). Ilmu ini adalah warisan dari guru mereka, Thay Pek Lhama yang maha sakti itu. Dengan ilmu ini, maka jurus dan ilmu yang sederhana bisa membuat lawan kebingungan. Karena begitu banyak bayangan palsu yang dilepas, bahkan tubuhpun bisa dipalsukan. Ilmu ini memang tehnik sihir khas Tibet dan merupakan ilmu hitam dari daerah Tibet.

Maka dalam amarahnya, Lhama yang bernama Thay Si Lhama, orang kedua dari 3 murid utama Thay Pek Lhama, telah mengerahkan sekaligus ilmunya Tam Ci Sin Thong dengan Bi Ciong kun. Serangan utama tetap pada sentilan jari sakti, tetapi silat Bi Ciong kun membuat serangan-serangan jari sakti si Lhama akan memiliki bayangan kembar. Dan akibatnya, Sian Nio seperti menghadapi 3-5 serangan jari sakti secara serentak. Hanya karena kehebatan ginkang Sian Nio yang akhirnya menyelamatkan si Nona dari ancaman lentikan jari sakti yang hebat itu.

Tetapi, Thay Si Lhama yang melihat peluang menangnya membayang di pelupuk mata, tidak mengendorkan serangan. Sebaliknya, kini dia mencecar Sian Nio dengan serangan-serangan berbahaya. Dan kali ini, Sian Nio benar-benar mendapat ujian sesungguhnya dari apa yang dinamakan “pertarungan”. Dia harus mengandal kepada kecerdasan dan bukan semata ilmu silatnya. Dan kini, dia harus dan wajib bersilat dengan penuh perhitungan dan memilah ilmu mana yang pas dan tepat untuk dipergunakan. Dan untuk hal yang satu ini, Sian Nio memang belum teruji. Kini dia menghadapi kesulitan sekaligus pengalaman untuk menguji semuanya itu.

(Bersambung)
 
BAB 8 Pertempuran Dalam Perjalanan
1 Pertempuran Dalam Perjalanan



Untungnya, meskipun di Lembah Pualam Hijau Kiang Sian Nio banyak menangnya jika berlatih, tetapi latihan dilakukan secara serius. Jarang sekali proses latih termasuk latih tanding dengan membiarkan gadis itu menang dengan mudah. Dan bukan sekali Sian Nio dikurung habis-habisan oleh Barisan 6 Pedang untuk memberinya pengalaman menghadapi lawan yang kuat. Hanya saja, Barisan 6 Pedang tentu saja tidak berani untuk melukainya. Jauh berbeda dengan lawannya kali ini Thai Si Lhama yang sudah murka. Jelas Lhama ini takkan ragu untuk memberinya oleh-oleh tamparan atau luka yang bisa berakibat gawat. Apalagi kelihatannya Lhama ini tidak lagi memperdulikan harga dirinya, yang jelas dia merasa harus menghajar Sian Nio baru merasa puas.

Tapi Thay Si Lhama keliru besar jika beranggapan bahwa Sian Nio akan segera dapat dijatuhkannya. Bagaimanapun gadis remaja itu adalah murid dari tokoh dan manusia-manusia luar biasa dari Lembah Pualam Hijau, khususnya murid Liong-i-Sinni. Dan gadis itupun adalah anak dari keluarga perguruan ternama. Menghadapi ilmu sihir sudah tentu telah dikuasainya dan telah kepada anak gadis ini bagaimana memunahkannya. Selain itu, diapun memiliki bekal ilmu yang jauh dari memadai untuk menghadapi ilmu sihir . Belum lagi kehebatan ginkang yang menjadi ciri khas dirinya, sucinya dan tentu juga gurunya. Hanya saja, inilah kali pertama dia menghadapi ilmu sihir. Otomatis membuat Sian Nio menjadi kelabakan.

Ketabahan dalam pertarungan. Inilah kuncinya. Tidak semua orang bisa menguasai dan bahkan mempelajarinya. Ketabahan dalam sebuah pertarungan adalah kombinasi percaya diri, kemampuan silat, kecerdasan, ketelitian dan pengalaman. Seorang pesilat yang terdesak hebat tetapi jika memiliki ketabahan, maka akan tersedia banyak jalan baginya. Tetapi, meskipun berilmu sangat tinggi tetapi tidak memiliki ketabahan, maka banyak ilmu-ilmu sakti yang bakalan mubasir. Dan ketabahan tidak dapat dilatih secara fisik tetapi secara mental.

Sian Nio untungnya memiliki ketabahan ini. Dia ditempa oleh neneknya, dilatih oleh kakaknya dan bahkan ilmu kebanggaan kakeknya Kiang Cun Le yang dikuasai hanya oleh ayahnya, juga telah dikuasainya dengan baik. Pada enam bulan terakhir ini, Sian Nio boleh dibilang ditempa habis-habisan bukan hanya oleh gurunya, tetapi juga kakeknya dan bahkan kakaknya. Setelah diharuskan “tidur setahun” di ranjang Pualam Hijau pasca pelariannya dari rumah perguruan Bibi Neneknya sekaligus gurunya Liong-i-Sinni, diapun dihukum untuk tidak kemana-mana sekaligus digembleng habis-habisan.

Selama 6 bulan terakhir dia menerima 2 ilmu hebat dari kakeknya Khong-in-loh-Thian (Awan Kosong Menggugurkan Langit) dan sejenis ilmu langkah ajaib yang diberinya nama Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan). Kedua ilmu itu adalah ciptaan kakeknya Kiang Cun Le yang memang sudah mengundurkan diri dan bertapa di Lembah Pualam Hijau bersama subonya. Selain itu dari Ceng Liong kakaknya, dia menerima Ceng Thian Sin Ci yang mujijat dan Tan Cit Pa Siat. Dan diapun diwajibkan subonya untuk menyempurnakan ilmu Hue-hong-bu-liu-kiam (tarian pedang searah angin) dan juga ilmu Hun-kong-ciok-eng" (menembus sinar menangkap bayangan).

Ilmu pusaka ciptaan kakeknya Kiang Cun Le hanya diwarisi ayahnya. Tetapi Sian Nio dengan bantuan subonya telah meminta Kakeknya untuk membimbingnya langsung dalam ilmu-ilmu mujijat ciptaannya. Bahkan Ceng Liongpun tidak mewarisi kedua ilmu pusaka kakeknya itu. Ditambah dengan ilmu andalan dari subonya, maka Sian Nio sebetulnya memiliki bekal yang lebih dari cukup untuk menandingi Thay Si Lhama. Tetapi, kekalutan karena diserang oleh ilmu sihir membuat si dara jelita dari Lembah Pualam Hijau ini panik. Untung saja gadis ini membekal ginkang yang mujijat dari nenek sekaligus gurunya. Secara otomatis dia melangkah dengan dasar langkah Sian ji ci lou (dewa menunjukkan jalan) dalam landasan gerak Tee Hun thian yang mujijat itu.

Maka selamatlah dia dari bayangan pukulan lawan yang membuatnya tergetar. Dan ketika lawan kembali mencecar dengan pukulan dan serangan, Sian Nio melihat adanya kejanggalan. Karena sesekali dia melihat tubuh lawannya seakan terpisah dan menciptakan bayangan kembar. Dan penglihatan inilah yang membuat Sian Nio sadar. Dia teringat sesuatu, “Aha, engkau menggunakan ilmu sihir rupanya. Pantas lenganmu berubah banyak, jurusmu berubah aneh dan tubuhmu bisa jadi banyak. Hmmmm, akupun bisa” desis si gadis dalam hati. Dan inilah yang namanya gabungan rasa percaya diri, kekuatan moral dan kepandaian serta kecerdasan. Ketabahan yang dimiliki Sian Nio membuat dia mampu membaca secara teliti apa yang sedang dilakukan lawan. Dan kini dia telah menemukan kuncinya. Sekaligus gadis remaja ini menemukan pengalaman penting bagi seorang pendekar silat.

Dan inilah Hun-kong-ciok-eng" (menembus sinar menangkap bayangan), sebuah ilmu pusaka dari subonya. Dia memilih ilmu ini, karena memang ilmu inilah yang paling dikuasainya dibandingkan yang lain. Dia tahu sebagaimana penjelasan gurunya, bahwa mengerahkan ilmu ini banyak menguras tenaga dan pikiran. Terutama, karena terpancar kekuatan mujijat, kekuatan dalam yang sangat besar. Dan untuk mampu mengerahkannya dengan baik, Sian Nio diwajibkan “tidur setahun” di atas ranjang Pualam Hijau. Dan itu telah dilakukan dan dilewatinya. “Apa yang akan terjadi sekarang jika kukerahkan ilmu subo”? itu yang berada dalam pikiran Kiang Sian Nio sekarang. Maklum, dia nyaris kehabisan akal menghadapi Bi Ciong Kun (Ilmu Pembingung) lawan.

Maka menyeranglah Sian Nio dengan Soan Hong Sin Ciang dengan dilandasi oleh ilmu mujijat Hun Kong Ciok Eng. Dari lengannya menghembus angin badai yang menyertai serangannya. Dan benar saja, kali ini Bi Ciong Kun kehabisan bisa. Tidak lagi bisa menipu mata Sian Nio. Maka dengan terpaksa Thay Si Lhama menangkis dengan ilmunya Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga). Hanya, kali ini dia kalah momentum. Dia masih belum menyadari jika Sian Nio telah menemukan ketenangan batin dan telah menyiapkan diri dengan ilmu khusus penangkal sihir. Bahkan perbawa ilmu yang dikembangkan Sian Nio juga berubah banyak, membentuk banyak bayangan pukulan mengejar dirinya dan membuat Thay Si Lhama kelabakan. Dan pada akhirnya diapun harus menangkis Soan Hong Sin Ciang dengan persiapan tenaga ala kadarnya. Kelengahan karena asyik menyerang dan menyangka sudah akan menang membuat dia jelas kalah tenaga:

“Dukkkkkkkk .......... Bresssss” hebat, tubuh Thay Si Lhama terdorong sampai beberapa langkah ke belakang. Maklum, dia baru mampu menghimpun tenaga pertahanan sebesar 4 bagian, sementara Sian Nio menyerang dengan kekuatan lebih dari 7 bagian tenaganya. Tanpa ampun Thay Si Lhama terdorong sampai 3-4 langkah. Dan belum lagi dia berdiri tegak, hamparan pukulan membadai dari Sian Nio telah kembali menjelang datang. Dan kali ini, seperti juga beberapa saat tadi Thay Si Lhama pontang-panting untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat keadaan pertarungan keduanya berubah. Kini kembali Thay Si Lhama yang terdesak hebat karena gagal mengantisipasi perubahan ilmu dan jurus lawan.

Namun yang sebenarnya terjadi, Thay Si Lhama tidak menduga jika Sian Nio telah juga membekal ilmu yang menolak dan menaklukkan ilmu sihir. Tadinya, dia melihat Kiang Sian Nio yang pontang panting menyelamatkan diri, terhipnotis dan seperti tidak berdaya untuk bertarung terus. Herannya, anak gadis itu masih bisa cepat menemukan dirinya dan kemudian bahkan sanggup memunahkan ilmu sihir yang dikerahkannya dalam ilmu-ilmu pukulan menyerang. Dan harga dari kelalaiannya adalah dia kini terdesak hebat. Bahkan sekali lagi sebuah pukulan dari Sian Nio terpaksa harus ditangkisnya dengan tenaga seadanya:

“Dukkkkkk ......” akibatnya, kembali tubuhnya terdorong sampai sejauh 5 langkah kebelakang. Lebih jauh dari benturan sebelumnya. Untung baginya, Sian Nio tidak berkeinginan untuk melukai atau membunuhnya. Dalam pikiran remajanya, jika Thay Si Lhama kalah, maka dia pasti akan minta maaf dan kemudian selesai semuanya. Tetapi bukan pikiran polos ala remaja jelita itu yang terjadi. Bukannya mengejar lawan dan melumpuhkannya, Kiang Sian Nio justru hanya sekedar memandang lawan yang terdorong mundur sambil tersenyum dan berkata:

“Pendeta, apakah engkau belum mau mengakui kekalahanmu ....”? pertanyaan yang wajar, tetapi bagi si Lhama adalah pertanyaan kurang ajar. Dan sudah jelas pertanyaan itu membangkitkan hawa amarah. Dengan mati-matian Lhama Tibet itu menekan rasa marah yang menggelegak dan membludak dalam dadanya. Sungguh sulit baginya menerima kekalahan itu. Dan kemarahan yang tertahan membuatnya setengah kalap dan akhirnya dia memutuskan kembali menyerang:

“Aku belum kalah bangsat kecil ...... terima pembalasanku”

Lhama Tibet itu menyerang hebat dan kali ini dengan mengerahkan tenaga sebesarnya guna membalas kekalahan dan rasa malunya. Dan keduanya kembali terlibat dalam perkelahian seru. Keadaan menjadi lebih baik bagi si Lhama, karena sebetulnya meski menang tetapi Sian Nio tidak akan mampu mengalahkan Lhama itu dalam waktu singkat. Tingkat keduanya tidak berbeda jauh, terutama karena Sian Nio memang masih mentah dan kurang pengalaman tempur. Sementara keduanya bertarung, di arena satu lagi Barisan 6 Pedang juga mengurung Lhama yang seorang lagi. Orang tertua dari 3 Lhama murid Thay Pek Lhama, dan namanya adalah Thay Ku Lhama. Meski kepandaian Thay Ku Lhama masih melebihi Thay Si Lhama, tetapi menghadapi Barisan 6 Pedang dia keteteran.

Sementara itu, pertarungan mereka yang seru telah membangunkan beberapa penghuni kamar di lantai bawah. Termasuk membangunkan Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li. Dan Giok Li yang penuh rasa ingin tahu, telah menyeret kakaknya Giok Tin untuk mengetahui apa dan siapa gerangan yang sedang bertempur. Karena pertempuran itu terjadi tak jauh dari ruangan mereka. Khawatir Giok Li kembali menimbulkan urusan dan “mengejar seseorang hingga menghilang”, Cui Giok Tin dengan terpaksa mengiyakan. Dan betapa terkejutnya mereka berdua ketika melihat lewat pintu kamar yang terbuka dan didalamnya ada 9 orang yang sedang bertempur seru. Keduanya kaget dan kagum ketika menyaksikan bagaimana seorang Kiang Sian Nio yang adalah seorang gadis dan seperti Giok Li masih sangat muda, tetapi mampu mendesak Thay Si Lhama.

“Enci, lihat, gadis itu lihay juga. Padahal Pendeta itu menyerang dengan ganas, tetapi dia selalu mampu menangkis dan balas mendesak dengan hebat”

“Hmmmm, benar adikku. Tapi jangan ikut campur sebelum benar-benar paham persoalan mereka yang sebenarnya” Giok Tin mengiyakan sambil mengingatkan adiknya. Tetapi, diapun memang mengagumi si gadis remaja dalam kamar yang bersilat dengan sebat, cepat dan ilmunya mantap meyakinkan. Dan keduanya hanya tersenyum tanpa melirik ketika Tham Beng Kui sang suheng bergabung dan ikut menyaksikan pertarungan dalam kamar sempit tersebut. Bahkan dengan usilnya si nakal Giok Li menyapa toa suhengnya dengan berkata:

“Toa suheng, lihat gadis di dalam itu hebat sekali”

“Hmmmm, engkau benar siauw sumoy” Beng Kui melirik sebentar Giok Li sambil kemudian kembali memandang kearena pertempuran yang seru. Diapun heran dan kagum, karena kepandaian gadis dalam ruangan itu sungguh hebat. Bahkan bukan tidak mungkin berada sejajar atau di atas kemampuan mereka kakak beradik seperguruan. Itulah sebabnya sebentar saja Beng Kui menyahuti adiknya itu.

“Tapi yang lebih hebat lagi, dia cantik jelita toa suheng, hihihihi”

Tanpa terasa wajah Beng Kui memerah. Hal yang mengherankan Giok Tin, karena hampir tidak pernah toa suheng mereka ini memerah mukanya hanya karena urusan seorang gadis. Tapi kali ini? Ada apakah?. Tapi benar-benar jail Giok Li ini. Melihat toa suhengnya memerah mukanya diapun segera berkata:

“Tenang saja toa suheng, siauw sumoymu yang cantik ini pasti akan berusaha sekeras-kerasnya untuk membantumu mengenalnya”

“Sembarangan ....” Beng Kui membentak lirih, tetapi dia benar-benar memang tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk dikeluarkan. Selebihnya, daripada meladeni ocehan Giok Li, dia memilih untuk berdiam diri dan memandang ke dalam ruangan dimana pertarungan seru sedang berlangsung.

Pada saat itu, Thay Ku Lhama sedang didesak oleh kerjasama yang luar biasa rapih dan ampuh dari Barisan 6 Pedang. Jangankan seorang diri, bertiga bersama adik adik seperguruannyapun, belum tentu dia menang. Sudah beberapa kali jubahnya menjadi korban dari sayatan pedang lawan. Untungnya, Barisan 6 Pedang hanya berkehendak untuk mengajar adat dan tidak berniat melukai lawan. Tetapi, Thay Ku Lhama yang keras kepala tidak menyadarinya. Dia telah mencoba semua kesaktiannya, termasuk kekuatan Bi Ciong Kun dan ilmu sihir. Tetapi semua tertolak dan mental oleh gabungan kerjasama luar biasa dari Barisan 6 Pedang.

Kemanapun dia menyerang dalam waktu singkat dapat dipunahkan, bahkan dalam waktu yang sama dia menerima serangan ganda dari sekurangnya 2 atau tiga orang anggota barisan. Akibatnya Lhama itu menjadi marah, tetapi tetap tidak mengerti bagaimana cara memunahkan serangan barisan lawan yang sangat istimewa. Sebaliknya, berkali-kali dia terancam, tetapi diselewengkan oleh penyerangnya yang nampaknya tidak ingin melukainya dengan parah. Sayang hal ini dilihat sebagai penghinaan oleh Thay Ku Lhama.

“benar-benar kalian sungguh menghina ....... rasakan pembalasanku” maka menyeranglah Thay Ku Lhama dengan jurus-jurus dari ilmu simpanannya, termasuk mengerahkan ilmu sihirnya. Tetapi, meski telah menggunakan Pukulan Udara Kosong dan Bi Ciong Kun andalan gurunya, Barisan 6 Pedang tidak pernah terdesak. Malah sebaliknya, getaran kekuatan sihirnya terpental dan tidak mampu menunjukkan keampuhannya. Dan dalam waktu tidak lama, kembali Thay Ku Lhama didesak oleh desingan hawa pedang yang memutari tubuhnya dan sewaktu-waktu akan menggores lengan, kaki, pundak atau anggota badan lainnya.

Diam-diam Lhama itu bergidik. “Bukan main, barisan ini memang benar-benar sulit diterobos. Bayangan dan desingan pedang berada dimana-mana. Dimanakah Suhu dan siauw sute gerangan?” dalam suasana terdesak seperti itu, Thay Ku Lhama mulai berharap bantuan dari gurunya serta juga adik seperguruannya. Termasuk adik seperguruannya yang melarikan diri memancing lawan meninggalkan kamar. Tetapi harapannya itu masih belum menjadi kenyataan, sebaliknya posisinya semakin runyam. Mau mengaku kalah sungguh memalukan. Tetapi, melawan terus juga jelas tidak akan menguntungkan mereka.

Dia mulai menyayangkan tindakan mereka bertiga yang memang sombong dan keras kepala. Tadinya guru mereka melarang untuk bergerak dan meminta mereka menunggu waktu yang tepat. Tetapi karena pandang enteng dan beranggapan lawan-lawan di Tionggoan tidak memadai kepandaian dengan mereka bertiga, maka mereka memutuskan sendiri untuk menyerang. Maklum, selama ini mereka memang belum pernah terkalahkan jika maju bertiga di Tionggoan. Bahkan menemukan tandingan dalam perang tanding satu-lawan-satu juga sulit menemukan lawan. Itulah sebabnya mereka memutuskan sendiri untuk menyerang rombongan Thian San Pay tanpa mereka tahu di penginapan kota Ceng seng telah menunggu barisan 6 pedang dan pihak Lembah Pualam Hijau. Akhirnya, mereka meninggalkan suhu mereka Thay Pek Lhama dengan murid bungsunya di luar kota Ceng seng.

Tapi, ternyata harapannya bukan harapan kosong. Bantuan memang datang. Tetapi yang datang bukannya gurunya bersama adik perguruannya, tetapi orang-orang berpakaian hijau dan berkedok hijau. Tiba-tiba melayang turun di depan pintu 4 bayangan berjubah dan berkedok hijau. Gaya ginkang mereka sungguh luar biasa, tak diragukan ke-empatnya adalah tokoh-tokoh hebat yang bersembunyi dibalik jubah dan kedok hijau. Tetapi, entah siapa mereka ini? Karena bukankah salah seorang dari mereka yang berjubah dan berkedoh hijau itu justru telah terbunuh di sekitar Bu Tong San beberapa bulan sebelumnya. Kali ini, siapakah mereka sesungguhnya dan apa maksud mereka?

Begitu sampai di depan pintu, tanpa menyapa dan menghiraukan Beng Kui bertiga, mereka sudah menuju ke pintu masuk. Untungnya Kiang Sian Nio dan Barisan 6 Pedang sudah bersiaga. Bahkan terdengar suara dari Sian Nio:

“Paman-paman, bentuk Barisan 6 Pedang, hadang mereka .....” dan efek dari suara yang dikeluarkan Sian Nio tersebut terbukti manjur. Barisan 6 Pedang segera membentuk barisan menghadang 4 pendatang baru, manusia berjubah dan berkedok hijau. Sementara Thay Ku Lhama, begitu melihat datangnya pertolongan sudah meloncat mundur guna memulihkan semangat dan tenaganya yang sudah terkuras habis itu.

Teriakan Kiang Sian Nio juga mengundang bantuan bagi mereka. Begitu Beng Kui mendengar bahwa yang bertempur di dalam adalah Barisan 6 Pedang, maka dia sudah dengan cepat memutuskan siapa yang harus dibela. Barisan 6 Pedang sudah identik dengan Lembah Pualam Hijau, dan Thian San Giokli telah memberitahu murid-muridnya masalah ini. Karena itu, Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li segera saling pandang, dan ketiganya sepakat untuk turun tangan membantu. Dan, memang benar, Lembah Pualam Hijau sedang butuh bantuan, karena ke-empat orang yang baru datang itu adalah orang-orang berkepandaian yang sangat hebat. Bahkan masih jauh mengatasi Thay Ku Lhama yang dipermainkan oleh Barisan 6 Pedang sebelumnya.

Menghadapi Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau, ke-4 manusia berjubah dan berkedok hijau nampaknya tidaklah takut. Sebaliknya, salah seorang dari mereka telah berkata dengan pongahnya:

“Menghadapi kalian kami tidak takut, tetapi jika menghadapi Duta Perdamaian dalam Barisan 6 Pedang, baru kami berpikir tiga kali”, nampaknya ke-4 orang itu begitu memahami seluk beluk Lembah Pualam Hijau. Termasuk memahami seluk beluk Barisan 6 Pedang yang telah melatih sampai 3 barisan untuk mendukung Barisan 6 Pedang utama yang tokoh-tokohnya menjadi Duta Perdamaian Lembah Pualam Hijau pada masa lalu. Tepatnya pada masa Lembah Pualam Hijau memegang tampuk pimpinan tertinggi rimba persilatan Tionggoan sebagai BENGCU. Sayang jabatan itu telah ditanggalkan Ceng Liong, meski Siauw Lim Sie, Bu Tong dan Kay Pang tetap memperlakukan Lembah Pualam Hijau secara istimewa.

“Siapapun yang mencoba mengganggu sahabat-sahabat Lembah Pualam Hijau serta berusaha merebut benda-benda sahabat kami, akan kami lawan mati-matian” pemimpin dari Barisan 6 Pedang telah menyahut dengan beraninya. Tidak nampak rasa takut di wajahnya, yang ada adalah keyakinan dan kematangan selaku seorang Pendekar. Tepat, karena dia memang menyandang nama besar Lembah Pualam Hijau yang legendaris di rimba persilatan.

“Baiklah, jika begitu kamipun ingin berkenalan lebih jauh dengan Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau ....” berkata salah seorang manusia berjubah dan berkedok hijau itu. Tetapi, belum lagi mereka menyerang, pada saat itulah berkelabat masuk 3 orang muda lainnya, Tham Beng Kui, Cui Giok Tin dan Cui Giok Li yang langsung menyapa Barisan 6 Pedang dan Kiang Sian Nio:

“Murid-murid Lembah Salju Bernyanyi siap membantu .....” adalah Beng Kui yang mengeluarkan suaranya tepat ketika mereka bertiga kini berdiri bersama Barisan 6 Pedang untuk menjaga barang antaran yang ditempatkan di sudut ruangan, dekat ranjang tempat istirahat.

“Hahahaha, inilah rupanya murid-murid Lembah Salju Bernyanyi. Hmmmm, tidak buruk, tidak buruk”

“Siapapun yang memusuhi Lembah Pualam Hijau akan juga bermusuhan dengan Lembah Salju Bernyanyi” tegas Beng Kui dengan berani dan penuh semangat. Sampai Kiang Sian Nio yang juga mendengar ucapan Beng Kui terperangah kaget sekaligus senang karena mendapatkan bantuan. Tentu saja dia telah mendengar berita mengenai Lembah Salju Bernyanyi yang konon menurut kakaknya masih memiliki hubungan perguruan dengan mereka. Sekilas dia melirik Beng Kui, dan dia harus mengakui kalau anak muda itu menarik hati. Nampak gagah dan kokoh, penuh ketenangan dan berwibawa.

Tapi, akibat lamunannya itu, dia nyaris termakan pukulan lawannya. Karena itu, dia akhirnya memutuskan untuk berkonsentrasi menghadapi Thay Si Lhama dan bahkan mulai berpikir menyelesaikan lawannya itu. Soalnya musuh bertambah kuat sementara dia belum menyelesaikan perlawanan Thay Si Lhama. Berpikir demikian, maka Kiang Sian Nio kembali mengetatkan serangan, bahkan kini dia kembali mulai menyerang dengan ilmu-ilmu andalannya.

Sementara itu Barisan 6 Pedang telah bertempur dengan salah seorang dari ke-empat pendatang. Hebat, mereka mampu menahan dan mendesak tokoh yang masuk menghadapi mereka. Barisan 6 Pedang memang istimewa. Secara perorangan, salah seorang dari mereka pasti kalah menghadapi lawannya, bahkan mungkin hanya seimbang dengan Thay Ku Lhama. Tetapi, jika mereka bergabung, maka kekuatan dahsyat akan diperoleh dari gabungan kerjasama dan sekaligus gabungan tenaga sinkang. Itulah yang membuat Barisan 6 Pedang begitu terkenal dan sekaligus termasyur.

Seperti juga pertempuran kali ini. Barisan lapis kedua ini, orang-per-orang malahan kalah jika diadu dengan Thay Ku Lhama. Tetapi, ketika bertempur bersama, mereka mampu mempermainkan Thay Ku Lhama. Bahkan serangan sihir Lhama itu mampu mereka tolah dan mentahkan. Seandainya mereka mau, dalam beberapa gebrakan mereka akan sanggup melukai dan mengalahkan Thay Ku Lhama. Tetapi mereka tidak melakukannya, sebaliknya mereka sekedar menghajar si Lhama agar sadar akan kekeliruannya. Sayangnya, bukan demikian akhirnya. Musuh malah bertambah tangguh, dan kini mereka menghadapi musuh baru.

Meski demikian, Barisan 6 Pedang ini sama sekali tidak goyah. Meski lawan mereka jauh lebih hebat dibandingkan Thay Ku Lhama, tetapi mereka masih mampu menahan serangan lawan dan bahkan menyerang lebih sering dan lebih kuat. Hal ini membuat tokoh-tokoh berjubah dan berkedok hijau itu menjadi kaget dan terkejut. Sekali pandang mereka sadar jika kawan mereka tidak akan menang. Karena kawan mereka berhadapan dengan barisan yang bergerak rapih saling bantu dan mampu menyatukan tenaga hingga menjadi gabungan tenaga 6 orang. Kawan mereka lebih sering diserang dan terdesak ketimbang melakukan serangan.

Benar, keadaannya memang demikian. Tokoh berjubah dan berkedok hijau yang tadinya sesumbar mau mengalahkan Barisan 6 Pedang, semakin lama semakin terdesak. Meski tidak separah Thay Ku Lhama, tetapi jika dibiarkan terus bertarung, bisa dipastikan dia akan terkalahkan. Paling tidak akan terluka. Dan tokoh itu bukan tidak menyadari posisinya yang semakin kalut itu. Ketika mencoba dengan ilmu-ilmu andalannya, semuanya tidak membuatnya menjadi dalam posisi lebih menyerang, karena setiap satu serangannya akan segera dibalas oleh rangkaian serangan membadai dari sekaligus 3-5 pedang anggota barisan. Itulah sebabnya, lama kelamaan tokoh itu mulai terlihat gelisah. Bahkan keringat tak dapat disembunyikan oleh orang tersebut.

Keadaan kawan mereka yang terdesak tak terlepas dari pengamatan ketiga manusia berjubah dan berkedok hijau itu. Bahkan salah seorang dari mereka yang bertubuh paling kurus dan paling langsing, nampak sudah gatal tangan untuk segera turun tangan. Benar saja, tak lama kemudian Barisan 6 Pedang menerima seorang lagi dari manusia berjubah dan berkedok hijau itu. Itu terutama setelah mereka mampu mendesak dan nyaris menusuk lengan kanan manusia berjubah hijau yang sudah mereka desak itu.

“Hyaaaaaaaaatttttttttttt ......” dengan suara melengking, mirip suara seorang wanita satu lagi manusia berjubah dan berkedok hijau masuk ke dalam Barisan 6 Pedang. Dan kelihatannya orang kedua ini tidak disebelah bawah kepandaiannya dengan orang yang pertama. Tetapi kedatangannya sungguh membantu banyak. Bahkan mengatur dan menentukan keseimbangan pertempuran tersebut. Jika sebelumnya kedudukan manusia berjubah hijau selalu terdesak, maka masuknya orang kedua ini membuat pertempuran menjadi lebih seru. Kedudukan nampaknya menjadi lebih seimbang, meski sebetulnya kuantitas serangan masih lebih banyak dilakukan oleh Barisan 6 Pedang.

“Sungguh hebat Barisan ini .....” terdengar seorang manusia berjubah hijau bergumam tanda heran dan kagum akan kehebatan Barisan tersebut.

“Benar, tetapi kita harus menyelesaikan tugas kita .....” ujar manusia berjubah hijau yang seorangnya lagi.

“Baiklah, lebih cepat kita menyelesaikannya jauh lebih baik ....” dan sambil berkata demikian, Manusia berjubah hijau yang masih tersisa dua lagi itu nampak berjalan mendekati tumpukan barang. Tetapi, langkah kaki mereka terhalangi oleh ketiga anak muda yang kini berdiri menentang mereka.

“Jika menjadi kalian, maka aku akan memilih menyingkir daripada membela mereka yang sebentar lagi akan menghadap malaikat maut ....”

“Hmmmm, belum tentu. Orang jahat akan selalu terkalahkan, hanya soal waktu” dengan gagah Beng Kui menjawab dan berkeras menghalangi upaya ke dua manusia berjubah hijau itu.

“Kalah begitu, maafkan kami akan berlaku keras kepada kalian orang muda ...” selepas berkata demikian, seorang dari Manusia berjubah hijau itu telah menyerang. Tetapi, sebelum Beng Kui menangkis serangan itu, Giok Li telah maju menggantikan sambil berkata:

“Toa Suheng, engkau masih harus memperhatikan semua arena, biar aku yang melawannya” dan sambil berkata demikian Giok Li telah menyongsong serangan lawan. Hanya saja, berbeda dengan pertarungan sebelumnya, Giok Li menjadi kaget, karena lawannya sungguh luar biasa hebatnya. Benturan pertama telah membuat tangannya tergetar dan terdorong mundur tanda bahwa lawan memang hebat. Tetapi, untungnya Giok Li telah mengalami kemajuan yang tak diduganya beberapa jam yang baru berlalu. Karena itu, dia menjadi besar hati dan memiliki kepercayaan diri yang meningkat jauh. Hanya saja, kali ini dia bertemu lawan yang benar-benar hebat. Dan dia harus berjuang untuk melawan orang itu.

Sementara itu, Beng Kui telah diserang oleh Manusia berjubah hijau yang satunya lagi. Dan sama seperti Giok Li, Beng Kui menemukan kenyataan betapa lawannya memang sangat hebat. Bahkan harus diakuinya, lawan masih lebih kuat dan lebih hebat daripadanya. Yang menguntungkannya adalah, dia mewarisi kekuatan dari Neneknya dan proses peleburan tenaga saktinya masih sedang terus berlangsung. Berhadapan dengan orang kuat, justru akan sangat membantu proses peleburan itu. Prosesnya akan berlangsung lebih cepat. Hanya saja, hal ini tidak disadari oleh Beng Kui. Yang pasti, semakin sering dia bertarung dengan adu tenaga, semakin kuat landasan tenaganya. Karena benturan itu merangsang peleburan tenaga sakti neneknya kedalam dirinya.

Itulah sebabnya Beng Kui heran, mengapa tenaga dalam lawannya pada awalnya sangat kuat, tetapi lama kelamaan terasa biasa saja baginya. Dia tidak menyadari, jika lawannya itu justru seperti sedang membantunya. Meskipun setiap benturan dia merasa seperti tidak tahan, tetapi dalam sekali atau dua kali menarik nafas, dia merasakan kesegaran yang lebih. Dia kurang menyadari kalau sedang terjadi proses peleburan. Dan lawan yang lebih kuat, justru membantunya untuk meningkatkan proses dan kualitas peleburan itu. Hakekatnya, Tham Beng Kui sebenarnya sedang berlatih pada saat itu. Hanya, dia kurang menyadarinya.

Adalah Giok Li yang memang benar-benar keteteran. Dia memang kalah kuat meskipun tenaga sinkangnya telah mengalami kemajuan pesat beberapa waktu sebelumnya. Hanya, tetap saja sulit baginya untuk mengimbangi lawan, apalagi dalam ruangan yang sempit itu. Sementara itu, Beng Kui dan lawannya telah bergerak keluar dari ruangan kamar dan telah mulai bertarung di halaman depan kamar. Keduanya bertarung dengan Beng Kui lebih banyak bertahan, namun kedudukannya tidaklah mengkhawatirkan.

Giok Tin mengalihkan pandangan ke Barisan 6 Pedang. Tidak salah, Barisan itu memang sangat mujijat. Mereka sanggup menghadapi 2 manusia berjubah yang sangat hebat. Mereka tidak nampak terdesak, meski kedua tokoh berjubah dan berkedok hijau itu telah mengerahkan tenaga dalam dan kekuatan sihir untuk memoprak-porandakan barisan lawan. Bukannya mengendor, Barisan itu malah semakin ketat dan semakin bekerjasama dengan sangat baiknya. Akibatnya, pertarungan tersebut menjadi sangat seru dan seimbang. Sulit menentukan siapa yang akan menang nantinya.

Di arena Sian Nio, Giok Tin melihat bagaimana dara remaja itu kini mulai menguasai arena. Hal ini disebabkan si dara remaja telah mengeluarkan ilmu saktinya Ceng Thian Sin Ci yang menyebabkan semua jemarinya kini bagai bercahaya tajam. Giok Li sendiri kaget melihat perbawa ilmu ajaran kakaknya ini. Semua jemarinya dalam puncak pengerahan kekuatannya seperti berpijar dan lawannya kini takut beradu lengan apalagi jari dengannya. Karena getaran kekuatan di tangan dan jarinya mampu menggetar dan menggiring tenaga lawannya untuk diarahkan ke benda atau orang lain. Lhama lawannya nampak hampir kehabisan bensin, sebentar lagi pasti Sian Nio akan mengalahkan lawannya.

Sementara itu melirik keadaan adiknya, Giok Li, dia semakin heran. Mengapa dalam waktu beberapa jam saja kekuatan adiknya kini bahkan sudah menyamainya? Jika diadu, dia yakin bahwa kekuatan Giok Li adiknya, kini tidak lagi jauh tertinggal dari dirinya. Hal ini mengherankannya. Karena semua ilmu Giok Li masih tetap sama. Hanya kekuatannya sajalah yang meningkat secara tajam. Dan kini dia menyaksikan adiknya berkelahi meski sedang terdesak. Tapi lawan adiknya itu memang hebat luar biasa, dia sendiri kelihatannya tak akan sanggup melawan manusia berjubah dan berkedok hijau itu.

Setelah melihat keadaan adiknya yang berbahaya, Giok Tin memutuskan untuk membantunya. Didahului dengan ucapan:

“Adikku, aku datang membantumu .......” masuklah Giok Tin kedalam pertarungan itu. Kedatangannya memang banyak membantu karena Giok Li semakin terdesak dan sulit untuk menemukan ruang lebih karena sempitnya ruangan. Dengan bantuan kakaknya, keduanya bisa saling membantu dan saling melindungi. Dan benar saja, masuknya Giok Tin banyak membantu keseimbangan pertempuran. Giok Li dan Giok Tin yang menghadapi lawan berat jadi lebih banyak menangkis dan bertahan dengan mengutamakan pertahanan diri. Dan itulah yang meyelamatkan keduanya dari kekalahan. Lawan memang hebat, tetapi dengan gabungan Swat Im Sinkang dan Tenaga Salju Awan Putih, mereka bergabung untuk menahan serangan musuh. Ilmu Langkah Kilat mereka kurang bermanfaat karena ruangan terlampau sempit dan mereka harus berbagi arena dengan kawan-kawan lain.

Sementara itu, Sian Nio kembali dalam posisi runyam. Dia kini dikerubuti dua orang Lhama, yakni Thay Ku Lhama dan Thay Si Lhama. Melawan salah seorang saja, Sian Nio harus mengerahkan semua kekuatannya untuk menang. Kini, dia melawan dua orang Lhama sekaligus. Hal ini memusingkannya, tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa selain harus melawan. Dan dalam hal ini dia diuntungkan oleh gerak tubuhnya yang memang luar biasa cepat dan pesat. Dengan sangat terpaksa, diapun menggunakan Ceng Thian Sin Ci warisan kakaknya untuk membantu menangkis dan menghalau serangan musuh.

Satu hal positif yang dipelajarinya adalah, ternyata meski kekuatan tenaganya lebih lemah dibandingkan gabungan tenaga lawan, tetapi kekuatan di jarinya mampu membuat serangan lawan “terpeleset”. Dengan beberapa kali percobaan, dia menemukan kenyataan betapa dia mampu menyingkirkan atau mengebut gabungan tenaga lawan hingga mengurangi bebannya. Penemuan ini sangat menggirangkan hatinya dan diam-diam dia berterima kasih kepada kakaknya yang mewarisinya ilmu yang sangat bagus ini.

Pada akhirnya, semua arena pertarungan berlangsung secara seimbang. Dan sulit untuk ditentukan kalah menangnya dalam waktu dekat. Hal ini mengejutkan kedua belah pihak. Bukan hanya penyerang yang kaget menemukan kenyataan betapa mereka menghadapi perlawanan yang luar biasa. Tetapi, para penyerangpun terlihat kaget karena tidak menduga akan ada dua kekuatan yang mengincar mereka. Bukan hanya mengincar barang, tetapi nampaknya juga mengincar keselamatan mereka. Boleh dibilang mujur bagi mereka mendapatkan bantuan dari 3 orang kakak beradik dari Lembah Salju Bernyanyi.

Sedang seru-serunya pertandingan di dalam maupun luar ruangan penyimpanan barang antaran itu, tiba-tiba berkelabat sesosok tubuh. Cepat sekali memasuki ruangan dan dengan kecepatan yang luar biasa telah mendekati tumpukan barang antaran tersebut. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Terutama karena semua jago dalam ruangan telah terlibat dalam pertempuran seru yang tidak bisa begitu saja ditinggalkan. Dan sosok tubuh itu begitu dekat telah melontarkan sebuah pukulan yang luar biasa hebatnya. Angin pukulan menderu-deru dari tangannya dan mengarah ke barang antaran yang disimpan dalam ruangan itu.

Tetapi belum lagi serangan itu mengenai tempatnya tiba-tiba terdengar suara perlahan namun sangat tegas dan tenang:

“Perlahan anak muda, barang-barang tersebut sama sekali tiada dosanya” dan serangkum hawa yang juga sangat kuat telah mengalir keluar dari seorang pemuda yang tahu-tahu telah menghalangi serangan si anak muda. Dan benturanpun tidak terelakkan antara si anak muda pendatang yang sekilas usianya tidak jauh berbeda dengan Giok Li maupun Sian Nio. Paling banyak berusia 19 atau 20 tahun. Tetapi angin pukulannya tidak kalah hebat dibandingkan dengan Giok Li ataupun Sian Nio. Tanda bahwa anak muda ini juga sangatlah hebat kemampuannya.

“Duaaaaaaaaaaarrrrrrrrrr .......” dan tubuh si anak muda pendatang telah terdorong jauh ke belakang, bahkan sampai terhuyung-huyung. Dia tidak menyangka jika masih ada tokoh yang menjaga atau berjaga di balik barang-barang hantaran itu. Lebih kaget lagi, karena orang yang berjaga itu ternyata masih berada di atas kemampuannya. Terbukti dia terlempar jauh ke belakang dalam benturan tenaga sakti tadi. Dan dalam kagetnya, dia melihat kini telah bertambah seorang lagi anak muda yang berdiri kokoh dan tangguh di depan barang hantaran yang menjadi target mereka untuk direbut atau dirusakkan.

Siapa gerangan orang itu? Inilah murid pewaris Ilmu Lembah Pualam Hijau dari garis Kiang Tek Hong. Tokoh muda itu adalah Thio Su Kiat. Karena itu, wajar jika si anak muda pendatang tidak sanggup menghadapinya. Anak muda yang telah matang dan menjadi salah satu Duta Hukum Lembah Pualam Hijau, sudah tentu bukan lagi tokoh sembarangan. Dan Thio Su Kitalah yang mendapat tugas memimpin Barisan 6 Pedang untuk menyambut kedatangan utusan Thian San Pay yang membawa kado dan mas kawin atas nama Nenggala. Dan sudah tentu Thio Su Kiat sudah dibekali informasi betapa Lembah Pualam Hijau kini menjadi target banyak musuh untuk diperangi. Terutama bekas-bekas tokoh Thian Liong Pang yang menaruh dendam kepada mereka. Karena itu, Thio Su Kiat telah mengatur dengan jeli strategi melindungi utusan Thian San Pay dan barang-barang yang dibawanya. Dalam perjalanan, tahu-tahu Sian Nio telah bergabung. Su Kiat kurang mengerti, apakah atas seijin Duta Agung ataukah tidak.

“Anak muda, belajarlah sopan-santun sedikit. Dan hargailah barang-barang yang diantarkan untuk keperluan tertentu .....” tegur Su Kiat dengan suara keren sambil memandang tajam ke arah si anak muda yang pukulannya dia tangkis tadi. Tapi dalam herannya, dia melihat seorang anak muda yang masih remaja, seusia dengan Kiang Sian Nio. Dan nampaknya juga seusia dengan Cui Giok Li gadis remaja yang telah disaksikannya ikut membantu pihaknya. Tapi Su Kiat tidak bisa berlama-lama dalam kekagetannya. Karena tiba-tiba dia mendengar sebuah suara peringatan yang ditujukan kepadanya:

“Saudara Su Kiat, cepat menyingkir ......” tahu-tahu tanpa diketahuinya kapan, disampingnya telah berdiri seorang anak muda lainnya lagi. Usianya lebih muda darinya, tetapi bukan orang dan usia lebih muda darinya yang penting, tetapi posisi orang itu yang nampak sedang mengerahkan seluruh kekuatannya. Dan tanpa berayal dia segera bergeser mengikuti saran pemuda yang memang sudah dikenalnya, Souw Kwi Song. Apalagi ketika tiba-tiba dirasakannya adanya kesiuran angin pukulan yang luar biasa hebatnya sedang menerpa mereka.

Kwi Song yang entah darimana datangnya, melangkah maju dua langkah dalam hitungan nyaris kurang sedetik dan kemudian melepaskan pukulannya memapak pukulan orang yang mengarah ke Thio Su Kiat tadinya. Tak ada yang menyaksikan dan tak ada seorangpun yang menyadari. ketika sesosok tubuh yang bagaikan melayang dan tidak sedikitpun mengeluarkan suara telah melesat masuk dan sedang dalam posisi melontarkan pukulan. Bahkan Su Kiat yang lihaypun tidak menyadarinya. Untungnya ada seorang Kwi Song yang sekali pandang langsung mengenali orang maha sakti yang sedang menyerang.

Dengan tidak ragu-ragu Kwi Song mengerahkan segenap kekuatannya dan melontarkan pukulan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang. Salah satu ilmu ampuh dan mujijat dari Siauw Lim Sie. Dan kali ini dikerahkan dalam puncak kekuatan oleh seorang tokoh paling hebat yang dimiliki Siauw Lim Sie dewasa ini. Penyerangnya sampai saat memasuki ruangan itu tidaklah jelas terlihat. Namun pastilah dia melihat Souw Kwi Song yang menggantikan Su Kiat untuk memapak pukulannya. Dia heran tapi mendengus ketika melihat pukulan yang cukup dikenal keampuhannya itu. Dan terdengarlah dengusan menghina dari mulutnya:

“Hmmmm, Tay Lo Kim Kong Sin Ciang ......”

“Desssssssssss ........” Orang-orang disekitar arena sama sekali tidak menyadari jika dalam ruangan itu baru saja terjadi benturan hebat antara dua orang sakti. Seandainya arena mereka tidak dibatasi oleh kekuatan yang tidak nampak, maka benturan kekuatan mereka pasti akan mengguncang isi ruangan. Tetapi, Kwi Song demi melindungi benda-benda di belakangnya telah mengerahkan kekuatan mujijatnya. Akibatnya, benturan keduanya total melanda Kwi Song dan lawannya. Tubuh yang melayang menyerangnya terhenti sejenak di udara, sementara Kwi Song melangkah mundur sampai dua langkah baru kemudian tegak kembali. Jelas kelihatan kalau Kwi Song masih kalah seurat, namun demikian tidaklah berarti dia telah terkalahkan. Adu tenaga sakti tadi telah menghadirkan kesan dan impresi berbeda antara kedua orang itu.

Souw Kwi Song terbelalak, karena kembali dia bertemu tokoh mujijat. Meskipun kekuatan dan ilmunya telah menanjak secara luar biasa, tetapi akhir-akhir ini dia sering bertemu tokoh yang jika tidak seimbang, justru masih sedikit lebih kuat dibanding dirinya. “Sungguh di atas langit memang masih ada langit” desisnya dalam hati, sekaligus mengagumi lawan yang masih belum jelas dia lihat bentuk fisiknya. Tetapi, dia yakin bahwa penyerangnya adalah seorang yang sudah tua, namun memiliki kekuatan yang sangat luar biasa dan telah mampu memaksanya menggunakan sebagian besar kekuatannya.

Sementara itu, si penyerang yang tertahan bobot dan daya terjangnya ke dalam, juga kaget setengah mati. Tidak disangkanya Tay Lo Kim Kong Sin Ciang bisa digunakan sedemikian rupa untuk menghadapinya dan bahkan menahan daya terjang tubuhnya. “Benar-benar banyak tokoh hebat di Tionggoan, bahkan seorang anak muda ini saja sudah hampir menyamai kekuatanku” desisnya heran, kagum sekaligus kesal karena tujuannya terhalangi. Karena itu, sekali lagi dia memutuskan untuk menyerang Kwi Song:

“Anak muda, terima sekali lagi pukulanku .......” bersamaan dengan itu, dia telah melontarkan tenaga pukulannya. Hebatnya, tidak nampak mulutnya bersuara dan tidak nampak tangannya bergerak memukul. Namun Kwi Song menyaksikan betapa puluhan telapak tangan sedang mencecarnya dengan kekuatan yang tidak olah-olah hebatnya. “Astaga, ilmu apa pula ini? Ilmu sihirkah”? desisnya kaget dan penuh kekaguman dalam hati. “Apa boleh buat” Kwi Song akhirnya bergumam. Dan serentak dengan itu, kedua tangannya bergerak dan kembali telah menyiapkan tandingan dari pukulan lawan.

Inilah Ilmu Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Putih), sebuah ilmu mujijat yang diciptakan Kian Ti Hosiang. Lahir dari pendalamannya atas ilmu-ilmu Siauw Lim Sie kemudian dimatangkan dalam diskusi dengan Wie Tiong Lan dan bahkan Kolomoto Ti Lou. Pada saat ini, Kwi Song dan Kwi Beng sudah sanggup menggunakan ilmu ini dalam puncak perbawa dan puncak kehebatannya. Karena bahkan tenaga batin yang disertakan dalamnya sungguh menghadirkan perbawa ilmu yang sangat mujijat. Hanya jika lawan memang benar-benar hebat baru Kwi Song atau Kwi Beng memutuskan menggunakannya. Bahkan bagi Kwi Song, setelah menguasainya secara sempurna, baru kali ini dia dipaksa mengeluarkannya. Tanda bahwa lawan memang bukan orang sembarangan.

Dan ketika Kwi Song mengerahkannya, arena antara mereka berdua sudah dipenuhi oleh bayangan telapak tangan yang saling kejar. Tetapi yang lebih berbahaya lagi, adalah karena arena dimana mereka berdua berada, telah dipenuhi oleh arus kekuatan yang sangat luar biasa. Jangan manusia, benda keras seperti batu ataupun bahkan besi akan bisa lebur dalam “godokan” tenaga luar biasa yang berpusing-pusing dalam arena itu. Dan keduanya, baik Kwi Song maupun penyerangnya maklum belaka betapa bahayanya arena pertempuran tenaga sakti antara keduanya. Tetapi sudah tidak ada jalan mundur. Keduanya sudah saling libas dan dengan terpaksa merekapun harus mengerahkan segerap kekuatan untuk saling serang, saling bertahan dengan puncak kekuatan masing-masing. Kekokohan dan kemurnian sinkang Kwi Song membuatnya sanggup bertahan sama kuatnya meskipun dia masih sedikit di bawah lawannya.

Sementara pertempuran mujijat itu terus berlangsung, meskipun dalam waktu yang sangat singkat mereka saling serang menyerang, membuat arena yang lainnya jadi menghentikan pertempuran. Bukan apa-apa, meskipun arena pertarungan terbatasi, tetapi sebagian besar mereka terpengaruh oleh kekuatan batin dan kekuatan sihir yang berseliweran dalam arena pertempuran yang dibatasi oleh hawa sinkang mujijat itu. Lontaran kekuatan Kwi Song maupun si penyerang akan membentur dinding kekuatan pembatas dan membuatnya membal. Lontaran dan membalnya kekuatan tersebut akan sangat mungkin menyerang siapapun dari kedua orang yang sedang bertempur itu.

Hal itulah yang mengagumkan dan bisa dipandang orang-orang di luar arena. Mereka menyaksikan pertarungan yang maha hebat antara Kwi Song dengan lawannya. Meski berilmu hebat, sebagian besar dari mereka terperangah menyaksikan betapa kedua petarung memang bertarung secara luar biasa. Kombinasi pertarungan menggunakan ilmu-ilmu ampuh, kekuatan tenaga dalam yang mumpuni serta dukungan ilmu sihir dan ilmu batin. Akibatnya para penonton bagaikan menyaksikan pertarungan dua orang dengan menggunakan tangan yang begitu banyak. Bahkan awan, angin dan benda-benda sekitar mereka yang bertarung sesekali digunakan sebagai senjata.

Dari para penonton, adalah 4 manusia berjubah dan berkedok hijau yang paling tinggi kepandaiannya. Tetapi begitupun, mereka juga terperangah menyaksikan pameran pertempuran yang begitu luar biasa. Hebatnya lagi, kedua orang yang bertempur itu pada menggunakan ilmu-ilmu Budha dengan tingkat kematangan yang berbeda. Kwi Song nampak kokoh dalam kemurnian ilmu dan sinkangnya, tetapi lawannya lebih matang dan sedikit lebih kuat sinkangnya. Akibatnya, dia sering memaksakan adu pukulan, tetapi dengan ilmu mujijatnya Kwi Song tidak khawatir kehabisan tenaga dalam.

Itulah penyebab mengapa pertarungan itu begitu mendebarkan, begitu seru dalam memamerkan ilmu-ilmu mujijat yang dikuasai kedua orang yang bertempur itu. Perlahan namun pasti Kwi Song akhirnya sanggup mengenali jika lawannya adalah seorang Pendeta Lhama berdandanan asal Tibet yang sudah sangat tua. Bahkan masih lebih tua dari 2 pendeta Lhama Tibet lainnya yang datang mengacau lebih dahulu. Tetapi, Lhama tua ini berapa kali lipat lebih hebat kepandaiannya jika dibandingkan dengan dua orang Lhama yang datang sebelumnya. Kekuatan tenaga serta ilmu sihirnya begitu mengerikan. Bahkan kekuatan batin Kwi Songpun masih sedikit di sebelah bawahnya. Hanya kemurnian sinkang, keuletan dan ilmu silat sajalah yang membuat Souw Kwi Song sanggup bertahan dan menandingi dengan posisi yang tidak terlampau mengkhawatirkan.

“Srrrrrrrrrtttttt”

Sebuah suara yang sangat halus dan nyaris tak ada yang tahu. Mungkin hanya seorang saja, yakni Lhama tua itu. Karena memang asal suara halus itu dari belakang Kwi Song. Hanya Lhama Tibet yang sudah tua itu yang tahu dan menyaksikan meski teramat samar tapi sangat mengagetkannya. Tidak sampai sedetik sesosok bayangan bagaikan hantu saja telah memasuki ruangan di luar sepengetahuan hampir semua orang dalam ruangan itu. Tetapi, orang itu hanya berkelabat ke balik tumpukan barang antaran dan kemudian keadaan hening. Tidak nampak upaya campur tangan orang tersebut.

Hanya saja, keadaan yang tertangkap oleh Lhama tua yang sedang bertempur dengan Kwi Song karena memang melintas di hadapannya, membuat Lhama itu kaget. Gerakan tubuh tadi memang teramat mujijat dan teramat cepat. “Ternyata masih ada tokoh hebat lainnya lagi dari pihak lawan, hmmmmm bukan hal mudah menghadapi mereka malam ini. Biarlah aku pergi sebelum keadaan menjadi semakin memburuk” demikian si Lhama tua akhirnya mengambil keputusan dalam hati. Dan segera dikerjakannya.

Dalam puncak ilmu sihir dan ilmu silatnya, dia mendorongkan telapak tangannya ke arah Kwi Song. Dan kembali seakan ratusan telapak tangan menerpa dan menerjang Kwi Song. Setidaknya begitu di mata hampir semua mereka yang menonton pertarungan seru itu. Tetapi Souw Kwi Song sendiri telah tenggelam sepenuhnya dalam kekuatan batin binaan gurunya Kian Ti Hosiang. Karena itu, dia segera tahu bahwa lawan memang sedang menggunakan “ilmu pembingung mata dan pikiran”. Di kerahkannya kembali ilmu kebanggaan gurunya, Ilmu Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Putih), sambil memapak pukulan lawan yang bertenaga penuh itu: (Bersambung)
 
2




Kembali terjadi benturan hebat antara keduanya. Hebatnya, tidak ada seorangpun dari penonton yang mendengar dan merasakan akibat dari benturan dahsyat itu. Berbeda dengan Souw Kwi Song dan penyerang itu yang memang berada dalam lingkaran pusaran perbenturan kekuatan yang dibatasi oleh kekuatan mujijat. Keduanya mengalami bukan hanya akibat benturan pukulan yang menerpa tubuh, tetapi juga masih terganggu dengan pekaknya bunyi yang memukul langsung ke kedalaman tubuh mereka. Tetapi, jelas bahwa dari akibatnya, Souw Kwi Song memang masih kalah seurat. Kembali dia mundur sampai hampir tiga langkah ke belakang, sementara lawannya terdorong hanya satu langkah saja. Wajah Kwi Song sudah memucat sementara lawannya sendiripun tidak kurang merananya meski tidak seberat Kwi Song.

Sebagian besar penonton adalah pentolan-pentolan ilmu silat. Karena itu, mereka sadar sepenuhnya bahwa pertarungan yang terjadi benar-benar hebat dan teramat dahsyat. Meski mereka tidak melihat dan mendengar benturan-benturan yang terjadi, tetapi getaran-getaran mujijat akibat dari benturan pukulan kedua orang yang bertarung menyerang langsung ke mata dan telinga batin. Efeknya tentu jauh lebih kuat dibandingkan dengan serangan-serangan ke bagian fisik mereka belaka. Itulah sebabnya semua orang menahan nafas saking tegang dan saking kagumnya terhadap dua orang yang bertarung secara hebat itu. Bahkan manusia-manusia berjubah dan berkerudung hijaupun nampak terkesima memandang kedua tokoh yang sedang bertarung seru itu.

Hanya saja, begitu benturan terjadi tubuh Lhama tua yang begitu sakti nan digdaya tersebut telah langsung melenting jauh ke belakang. Bersamaan dengan mundurnya dia kebelakang, Thay Si Lhama dan Thay Ku Lhama beserta dengan seorang anak muda yang membentur Thio Su Kiat tadi, juga berkelabat pergi menyusul si Lhama tua. Rupanya Lhama tua itu telah memberi peringatan untuk meninggalkan tempat itu kepada murid-muridnya. Kelihatannya penyerangan terakhir yang dilakukannya tadi, memang dimaksudkan untuk secara sengaja memberi mereka moment yang tepat guna meninggalkan ruangan tanpa rintangan orang-orang. Benar saja, tidak lama terdengar sebuah suara mengaung meski Lhama itu telah pergi: “Anak muda engkau hebat juga. Kian Ti Hosiang si tua itu memang tidak percuma mendidikmu. Tetapi beritahukan ke kawanmu yang berada di balik tumpukan barang antaran itu, tidak perlu bersembunyi lagi, lain kali kita akan bertemu lagi untuk menentukan siapa kalah dan siapa yang menang. Kalian masih harus membayar hutang kematian anggota perguruanku”. Bersamaan dengan mengalunnya suara itu, manusia-manusia berjubah dan berkedok hijau, juga ternyata telah ikut menyusul pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Dan melihat kalau lawan-lawan telah meninggalkan arena, Kwi Song telah dengan segera mengumpulkan kembali tenaga dan semangatnya akibat benturan hebat dengan Lhama tua tadi. Sementara itu Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li sama seperti Su Kiat, Sian Nio dan Keenam anggota Barisan 6 Pedang membiarkan saja lawan-lawan mereka pergi. Pertama, karena mereka masih takjub dengan pertempuran Kwi Song melawan Lhama tua yang sangat sakti tadi. Selain itu, karena mereka merasa tidak cukup aman mengejar lawan yang sudah pergi melarikan diri. Dari sebaliknya mengejar lawan, mereka justru bersama memandangi Kwi Song yang sedang memulihkan diri dengan rasa kagum dan takjub.

Tidak berapa lama kemudian beberapa orang yang tadinya terpancing pergi mengejar Lhama Tibet yang seorang lagi telah kembali bergabung. Nampaknya mereka tidak mampu mengejar Lhama tersebut, tetapi keadaan mereka juga tanpa halangan. Orang-orang tersebut adalah anak murid perguruan Thian San Pay yang sudah cukup tinggi tingkatannya. Tetapi, ketika anak murid Thian San Pay tersebut mengetahui adanya 3 orang anak murid Lembah Salju Bernyanyi dalam ruangan tersebut, sontak keadaan mendadak menjadi tegang. Terutama ketika pemimpin dari 10 anak murid Thian San Pay itu berkata:

“Permusuhan kami dengan Lembah Salju Bernyanyi harap dimaafkan membuat kami harus menyelesaikannya sekarang ini. Terlampau banyak korban anak murid Thian San Pay yang dibantai mereka ....... anak-anak, maju ....”

Tetapi, belum lagi anak murid Thian San Pay bergerak maju, Thio Su Kiat telah maju ke tengah ruangan sambil berkata:

“Tahan ....... Saudara Oh Yan Cau, dengarkan kata-kataku terlebih dahulu, tahan kemarahanmu. Keadaan dan kondisi kita pada hari ini dan hari seterusnya perlu membuat kita lebih menahan diri ...”

Melihat Thio Su Kiat telah majukan diri, Oh Yan Cau yang menjadi Wakil Ciangbundjin urusan luar dari Thian San Pay memandang penuh keraguan. Tetapi bara kemarahan dari matanya belum memudar. Dengan masih menahan rasa amarah kepada ketiga orang dari Lembah Salju Bernyanyi itu, diapun kemudian memandang kearah Su Kiat sambil berkata:

“Duta Hukum, silahkan jika ada yang hendak engkau sampaikan. Kami dari Thian San Pay akan bersabar sementara ....”

“Saudara Oh Yan Cau, Duta Agung Lembah Pualam Hijau telah menitahkan kepadaku untuk jika bertemu pihak Thian San Pay dan Lembah Salju Bernyanyi agar meminta kedua belah pihak bersabar sebentar. Bukan hanya Thian San Pay, tetapi juga Lembah Salju Bernyanyi. Untuk urusan Lembah Salju Bernyanyi dengan Thian San Pay, Duta Agung telah menjanjikan akan turun tangan untuk ikut membantu penyelesaiannya. Bahkan beliau telah melihat sejumlah kejanggalan yang akan segera diselidiki setelah semua urusan di Lembah Pualam Hijau selesai. Selain itu Saudara Oh, kita sedang menuju ke pesta yang melibatkan Thian San Pay, bukankah adalah baik untuk sedikit menahan diri pada saat ini?” Thio Su Kiat menjelaskannya dengan sabar.

“Duta Hukum, apakah ini berarti kami harus menelan hinaan dan kematian begitu banyak saudara-saudara seperguruan kami beberapa waktu yang lalu? ..... Apakah kami harus membiarkan sebanyak 50 jiwa anak murid Thian San Pay untuk penasaran dengan berjalan bersama musuh-musuh perguruan kami”? Oh Yan Cau masih tetap berkeras.

“Saudara Oh Yan Cau, Duta Agung Lembah Pualam Hijau sendiri yang bahkan akan turun tangan menyelesaikannya”

Dan mendengar hal tersebut, kemarahan Oh Yan Cau banyak berkurang. Tetapi, dia masih tetap tidak mampu berlaku ramah dan berbasa-basi dengan Beng Kui, Giok Tin dan Giok Li. Untungnya, ketiga anak muda inipun tidak ada yang sumbu emosinya pendek dan mudah meledak. Bahkan Giok Li sendiripun nampaknya tidak mudah tersulut. Sebaliknya, matanya lebih banyak memandang dan mengagumi Kwi Song yang sudah hampir menyelesaikan samadhi mengumpulkan tenaga dan semangat yang banyak dihamburkan tadi.

“Baiklah, jika demikian biarlah kami meminta keadilan tersebut melalui Duta Agung segera setelah pesta ini usai” sambil berkata demikian dengan menarik nafas panjang Oh Yan Cau, wakil ciangbundjin Thian San Pay kembali menyimpan pedangnya diikuti oleh anak murid Thian San Pay lainnya.

“Terima kasih atas pengertian saudara Oh. Percayalah, Lembah Pualam Hijau akan membantu Thian San Pay dan Lembah Salju Bernyanyi untuk menemukan keadilan bagi kedua belah pihak”

Keadaanpun sedikit mereda. Kemarahan Oh Yan Cau dapat dikendalikannya meski masih berat “bersahabat” dengan Beng Kui serta kakak beradik Giok Tin dan Giok Li. Sementara itu, ketegangan itu sedikit teralihkan ketika Souw Kwi Song selesai dengan upaya pemulihan dirinya. Begitu melihat banyak orang dalam ruangan tersebut, Kwi Song telah bergumam:

“Sungguh hebat Pendeta Lhama asal Tibet itu. Herannya ilmu-ilmunya memiliki begitu banyak kemiripan dengan ilmu-ilmu Siauw Lim Sie kami. Entah siapa gerangan dia yang sesungguhnya”?

“Saudara Kwi Song, bagaimana keadaanmu sekarang”? Su Kiat melihat peluang mengalihkan ketegangan ke topik percakapan lain.

“Saudara Su Kiat, semua baik-baik saja. Bagaimana kabarmu sekarang”?

“Seperti yang engkau lihat, kami semua juga baik-baik saja. Bagaimana dengan saudara Kwi Beng? Mengapa aku tidak melihatnya bersama saudara Kwi Song? bertanya Su Kiat dengan heran melihat Kwi Song berjalan sendirian.

“Acccccch, panjang ceritanya saudara Su Kiat. Kwi Beng koko yang telah memilih jalannya sendiri untuk menjadi Pendeta di Kuil Siauw Lim Si cabang Poh Thian”

“Maksud saudara Kwi Song, saudara Souw Kwi Beng itu sekarang sudah, ..... sudah”? kalimat Thio Su Kiat terputus.

“Benar saudara Su Kiat, dan aku meninggalkannya sekarang ini agar dia mampu berpikir dan mengambil keputusan bagi pilihan hidupnya secara jernih. Dia ditemani seorang suheng kami di Poh Thian”

“Acccccccchhhhhhhhh .....” hanya desahan yang mampu dikeluarkan Su Kiat. Dia tahu benar apa yang berada didalam hati Kwi Beng terhadap sumoynya Kiang Li Hwa yang akan segera menikah beberapa hari kedepan. “Apakah karena urusan pernikahan sumoy ataukah .....”? Su Kiat mencoba menebak-nebak dalam hatinya, tetapi dia tetap tidak sanggup menemukan jawaban. Baginya adalah sebuah keanehan jika Kwi Beng memilih jalan agama. Bagaimanapun yang mampu menjawabnya hanyalah Kwi Beng. Meski Kwi Song juga sedikit banyak mengetahui alasan lain Kwi Beng. Tetapi setelah berdebat beberapa waktu lamanya, akhirnya Kwi Song memilih membiarkan kakak kembarnya untuk beberapa waktu kedepan merenungi diri dan hidupnya.

“Sudahlah saudara Su Kiat. Koko Kwi Beng sedang merenungi keputusannya. Bagaimana dengan keadaan kita sekarang ini”? tanya Kwi Song yang tidak ingin membahas masalah Kwi Beng berlama-lama.

“Terima kasih atas bantuanmu saudara Kwi Song. Secara umum tiada satupun diantara pihak kita yang terluka, begitu juga nampaknya dengan keadaan pihak lawan. Untunglah ada bantuan saudara Kwi Song, jika tidak, akan teramat sulit menandingi Lhama tua tadi. Dia sungguh hebat luar biasa. Mungkinkah dia yang dipanggil dengan nama Thay Pek Lhama, paman guru dari mendiang Bouw Lek Couwsu yang binasa di Bu Tong Pay itu”?

“Hmmmm, sangat mungkin jika demikian. Tingkat kepandaiannya jauh melampaui Bouw Lek Couwsu meski ilmu mereka pada dasarnya hampir sama. Jelas tokoh ini selain lebih tua, juga jauh lebih sakti dibandingkan keponakan muridnya. Menurut suheng di Poh Thian, memang ada tokoh bernama Thay Pek Lhama yang menyimpang dan berkhianat di Tibet. Tetapi, justru dia jauh lebih lihay dan berbakat dibandingkan paman guru maupun guru dari Bouw Lek Couwsu. Mungkin hanya wakil Dalai Lhama dan Toa Suhengnya Thay Hok Lhama yang akan sanggup mengimbangi atau mengalahkan tokoh ini” jelas Kwi Song.

“Pantas jika demikian. Tapi, ach, maafkan jika aku lupa memperkenalkan sahabat sahabat kita yang lain yang ikut membantu dalam pertempuran tadi. Meskipun beberapa dari mereka, aku sendiripun masih belum begitu mengenal” Su Kiat telah bertindak sebagai tuan rumah bagi semua. Karena, sudah jelas Thian San Pay sebagai pengawal ataupun pembawa barang antaran akan sulit menjadi tuan rumah bagi pihak Lembah Salju Bernyanyi.

“Mari, mari kuperkenalkan kepada kita sekalian, pendekar muda dari Siauw Lim Sie, Souw Kwi Song. Dia ini salah satu pendekar muda yang menumbangkan Thian Liong Pang beberapa bulan lalu. Bahkan bersama kakak kembarnya, dia ini dicantumkan dalam daftar 10 jago top rimba persilatan Tionggoan” demikian Su Kiat dengan gembira dan bangga memperkenalkan Souiw Kwi Song. Penegasan dan perkenalannya ini langsung mengena di hati banyak orang, terutama ketiga murid Lembah Salju Bernyanyi. Ketiganya kagum dan memberi perhatian dengan level dan kualitas yang berbeda-beda.

Beng Kui memandang kagum luar biasa melihat bagaimana Kwi Song tadi bertahan terhadap serangan luar biasa dari lawannya. Dia mengakui bahwa menghadapi Lhama tua tadi, dia masih belum sanggup. Melihat kesanggupan Kwi Song, Beng Kui benar-benar jadi ingin berkenalan dan bersahabat. Apalagi, Kwi Song ternyata namanya turut tercantum dalam daftar 10 jago top rimba persilatan Tionggoan. “Pantas dia demikian lihay” demikian Kwi Song dalam hatinya dan bertekad untuk berkenalan dan berteman dengan Kwi Song.

Jika Kwi Song memantapkan hati untuk berkenalan dan berteman, maka Giok Tin yang terlihat biasa saja dan merasa wajar. Benar, diapun kagum akan kehebatan Kwi Song, tetapi masih dalam batas yang wajar. Dan diapun sudah barang tentu menyimpan keinginan yang sama dengan Beng Kui jika bisa. Yakni ingin berkenalan dan berteman baik dengan Souw Kwi Song. Sekali lihat, Giok Tin sudah tahu jika Kwi Song adalah seorang yang berwatak pendekar sejati, dan meski gagah dan tampan tetapi nampaknya tidaklah gemar pipi licin. Dan bukan pemuda mata keranjang. Layak jadi sahabat.

Lain Giok Tin lain lagi adiknya Giok Li. Gadis yang sedang mekar-mekarnya dan cantik jelita ini memang sedang dalam masa pubernya. Karena itu, wajar jika dia telah dengan senyam senyum memandang penuh kekaguman dan rasa suka tak tersembunyikan terhadap Kwi Song. Apalagi dalam balutan jubah putih, Kwi Song memang nampak gagah dan tampan. “Meski tidak setampan Lie Hong po, tetapi yang ini nampak lebih gagah” desis Giok Li dalam hati. Wajar anak gadis muda usia dan sedang mekar-mekarnya untuk mudah menyukai dan menyenangi seorang pemuda. Apalagi pemuda sehebat Kwi Song. Dalam waktu beberapa hari saja, Cui Giok Li sudah menaruh simpati setidaknya terhadap dua orang pemuda pilihan. Sungguh luar biasa.

Tetapi, tetap saja watak gagah didikan gurunya melekat dalam diri Giok Li. Karena itu, bersama kakak dan toa suhengnya diapun kemudian berkenalan dengan Souw Kwi Song. Dan kemampuan Kwi Song yang seperti Tek Hoat sangat pandai bicara, dengan mudah membuat suasana akrab dengan ketiga anak muda itu. Tentunya termasuk dengan Giok Li yang tidak menyembunyikan rasa sukanya. Kwi Song bukannya tidak mengerti akan rasa suka Giok Li, diapun menyukai gadis yang terbuka dan ceria itu. Tetapi, masih terbersit sedikit “rasa sakit” ketika melihat gadis yang disukainya lebih memilih temannya yang lain.

Kwi Song sebetulnya menyukai Siangkoan Giok Lian, tetapi sayangnya sahabat kentalnya Liang Tek Hoat lebih dahulu menarik hati Giok Lian dan bahkan telah saling mengikat janji untuk menikah setelah pertarungan dengan Lam Hay, Bengkauw dan utusan Thian Tok (India). Karena “rasa sakit” itulah Kwi Song bersama kakaknya yang menderita sakit serupa menyepi ke Poh Thian, menemui suheng mereka dan banyak berlatih. Mereka berdua memang mengalami kemajuan hebat dalam ilmu silat, berhasil menembus tahapan kedua dari ilmu mujijat Kolomoto Ti Lou, tetapi gagal dalam cinta.

Itulah sebabnya Kwi Song mampu bersikap terbuka dan bahkan lebih dewasa dalam bergaul dengan lawan jenisnya. Setitik rasa sukanya melihat Giok Li dan Giok Tin, tetapi dia telah jauh lebih matang secara emosional untuk tidak terseret lebih jauh. “Biarlah semua mengalir sebagaimana adanya” tekadnya dalam hati. Dan keadaan ini membuat Giok Tin sangat menghargainya sebagai sahabat dan membuat Giok Li semakin menyukainya. Entah siapa yang akan dipilih Giok Li jika disandingkan Kwi Song dengan Lie Hong Po. Yang jelas, bibit-bibit kekaguman telah menghiasi hatinya dan tinggal selangkah berubah memekar menjadi rasa yang lebih dalam, yang orang-orang menyebutnya CINTA. Cinta kepada siapa?

Begitu mengenal Kiang Sian Nio, keadaan menjadi semakin cair. Karena meski tidak sebinal Giok Li, tetapi Sian Nio juga bukannya gadis pemalu yang jarang bergaul. Sebaliknya, diapun gemar bersahabat dan mengenal banyak orang. Begitu melihat Souw Kwi Song, dia sudah bisa menerka siapa dia. Karena dia telah banyak mendengar siapa anak muda berpakaian putih itu dari kakaknya dan juga bahkan dari subonya. Dan paduan Sian Nio, Giok Li dan Kwi Song, membuat suasana tegang secara perlahan mulai cair. Apalagi, ketika pihak Thian San Pay mengetahui bahwa ketiga kakak beradik dari Lembah Salju Bernyanyi itu, ternyata telah ikut menyabung nyawa untuk mempertahankan barang antaran mereka. Hanya, tetap saja ada ganjalan dalam hati mereka.

Demikianlah rombongan itu akhirnya memutuskan untuk beristirahat beberapa jam lagi untuk kemudian berjanji akan berjalan bersama pada pagi menjelang siang untuk menuju Lembah Pualam Hijau.

==================

Rombongan itu berjalan tidak terburu-buru tetapi juga tidaklah sangat lamban. Di bagian depan rombongan yang berjumlah lebih dari 20 orang tersebut berjalan Thio Su Kiat, Duta Hukum Lembah Pualam Hijau. Di belakangnya berjalan dengan rapih Barisan 6 Pedang yang sedang bertugas menyambut dan mengawal barang antaran dari Thian san Pay. Sementara itu, di bagian kiri dan kanan berbaris masing-masing 5 orang anak murid Thian San Pay. Hanya, jika di bagian kanan dikawani oleh Cui Giok Li dan Kiang Sian Nio yang dengan cepat menjadi akrab, maka di sebelah kiri dikawani oleh Beng Kui dan Giok Tin. Tidak nampak adanya pendekar kembar Siuw Lim Sie Souw Kwi Song berjalan bersama dengan rombongan yang sedang menuju Lembah Pualam Hijau itu.

Perjalanan dilakukan tidak tergesa-gesa, tetapi nampak jelas dilakukan dengan penuh kewaspadaan. Serangan di penginapan dalam kota Ceng seng menyadarkan semua orang bahwa mereka sedang menjadi target dari setidaknya dua kelompok yang berbeda. Karena itu, semua bersiaga penuh. Kecuali kedua orang sahabat baru yang tetap saja cekikikan dan berbicara dengan lepas tanpa beban. Keduanya adalah Sian Nio dan Giok Li yang masing-masing gembira karena beroleh teman seperjalanan yang nampaknya cocok dalam banyak hal. Dengan cepat keduanya sudah saling panggil kakak dan adik. Ternyata Sian Nio berusia lebih tua daripada Giok Li meski hanya berselisih 3-4 bulan semata. Karena itu, Sian Nio yang menjadi “enci” dari Giok Li. Demikianlah keduanya tidak kekurangan bahan berceloteh menghabiskan waktu dan kepenatan sepanjang perjalanan.

Hanya saja, ketegangan dalam perjalanan itu ternyata tidak banyak mempengaruhi kedua gadis remaja itu. Bahkan sambil berseloroh Giok Li berkata:

“Bagus juga enci Sian Nio jika mereka menyerang kembali. Kali ini, kita harus memberi mereka tanda mata yang tak akan mereka lupakan seumur hidup”

“Hihihi, engkau benar Li moi, kita harus membuat mereka kapok mengganggu perjalanan orang. Biar mereka kita buat seperti anjing yang tak sanggup untuk menggonggong lagi .......”

“Hihihi, cici, jika anjing sudah tak bisa menggonggong lagi, habis dia akan gimana dong nantinya”?

“Ah, adikku paling tidak dia masih bisa menggeram. Tapi untuk menggigit pastilah tidak akan bisa lagi, hihihi, tinggal ompongnya”

Begitulah, selama dalam perjalanan keduanya berseloroh tiada hentinya. Ada saja bahan percakapan mereka. Bukan tidak perduli dengan keadaan dan kondisi mereka yang dalam ancaman, tetapi bagi Giok Li yang penting ada suheng dan kakaknya, dan semua aman. Begitu juga dengan Sian Nio, yang penting ada Su Kiat dan Barisan 6 Pedang. Maka hal-hal yang lain tidaklah terlampau perlu untuk dirisaukan. Maka keduanya dengan bebas dan ceria bertukar cerita dan bertukar kisah-kisah lucu yang pada akhirnya membuat mereka terpingkal-pingkal berdua. Sangat kontras dibandingkan dengan rombongan lainnya yang berwajah serius dan terlihat berusaha tenang meski tegang.

Sedang ramai-ramainya mereka berseloroh secara bergantian, tiba-tiba Su Kiat memberi isyarat untuk menghentikan perjalanan. Dan secara otomatis semua orang terlanda kekagetan dan ketegangan, tidak terkecuali Giok Li dan Sian Nio. Tetapi tidak terdengar aba-aba ataupun instruksi lainnya dari Thio Su Kiat. Yang jelas semua berhenti berjalan dan Su Kiat nampak berbisik-bisik kepada salah seorang dari Barisan 6 Pedang. Dan setelah itu, Thio Su Kiatpun kemudian kembali memerintahkan rombongan untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi, salah seorang anggota Barisan 6 Pedang yang tadi berbisik-bisik dengan Su Kiat, tak berapa lama berjalan lebih lambat. Dia kemudian menyampaikan sesuatu kepada Beng Kui dan seterusnya kepada Sian Nio dan Giok Li.

Perjalanan kembali berlanjut, kali ini secara lebih perlahan. Canda Sian Nio dan Giok Li sudah tidak terdengar lagi. Sebaliknya, keduanya nampak lebih serius dan memberi perhatian lebih ke jalanan. Tetapi semakin mereka melangkah maju ke depan semakin ketegangan menggerogoti ketenangan mereka. Setiap sudut seakan mereka dinanti lawan. Dan repotnya, lawan berada dibalik kegelapan dan siap sewaktu-waktu untuk menerjang. Ketegangan menyergap mereka karena informasi yang diterima Su Kiat. Informasi yang menyebutkan bahwa perjalanan mereka selalu dalam pengamatan dan pengawasan beberapa kekuatan yang masih belum menampakkan diri.

Penyebutan “beberapa” kelompok terhitung mengejutkan Su Kiat. Setidaknya dia telah tahu bahwa ada kelompok manusia “berjubah dan berkedok hijau” yang sejak dari Bu Tong Pay memang mencari-cari “perkara” dengan Lembah Pualam Hijau. Tetapi, selain kelompok itu, dia telah menemukan jejak Lhama Tibet yang bertujuan balas dendam dan mengincar Bu Tong, Siauw Lim, Kaypang dan Lembah Pualam Hijau. Padahal, masih ada lagi kelompok pembunuh yang meninggalkan jejak korban dengan sayatan bersilang tanpa darah di tubuh korban. Selain kelompok kelompok ini, adakah kelompok lainnya lagi?

Padahal, satu kelompok dari ketiga kelompok tadi, sudah merupakan lawan berat. Dan juga dua dari tiga kelompok itu telah menyerang mereka subuh tadi. Bagaimana jika kekuatan penuh kedua atau ketiga kelompok itu menyatu dan menyergap mereka di perjalanan? Bukankah keadaan akan tambah berabe? Memikirkan hal tersebut membuat Thio Su Kiat menarik nafas khawatir. Tetapi, dia mewarisi kejantanan gurunya yang membesarkannya untuk Lembah Pualam Hijau. Tak ada rasa takut sedikitpun, apalagi karena dia sedang menjalankan tugas, sekaligus membimbing adik Duta Agung, Kiang Sian Nio yang nyelonong untuk ikut dalam rombongan pada saat-saat terakhir. Sudah barang tentu dia yang harus bertanggungjawab karena dialah pucuk pimpinan tertinggi Lembah Pualam Hijau dalam menjemput dan mengawal barang antaran tersebut. Untuk tugas itu, dia mempertaruhkan banyak hal, karenanya meski khawatir, tetapi Su Kiat tetap terlihat tenang dan tetap penuh percaya diri.

Tetapi setelah memasuki sore hari bahkan menjelang malam, sama sekali tidak ada lagi gangguan. “Mungkinkah mereka merubah rencana dan strateginya”? demikian Su Kiat bertanya-tanya dalam hati. Dan, memang demikian jawaban yang diperolehnya menjelang malam. Hanya sebuah pesan singkat yang diterimanya melalui sebuah kertas tetapi dengan tulisan tangan seorang “wanita”. Tulisannyapun singkat saja “Jalanan telah dibersihkan, lawan merubah rencana”. Hal yang melegakan sekaligus membuatnya bertanya-tanya. “Apakah mereka tahu jika barang antaran yang sebenarnya sudah jauh mendahului rombongan ini”?. Tetapi, tentu saja Su Kiat tidak mendapatkan jawabannya.

Yang menggirangkannya adalah, bahwa perjalanan mereka seterusnya akan terasa lebih aman dan nyaman. Meskipun perjalanan tinggal satu hari setengah lagi tanpa beristirahat. Jikapun beristirahat di kota terdekat, masih tersisa banyak hari sebelum pesta pernikahan di Lembah Pualam Hijau berlangsung. Berpikir demikian, Thio Su Kiat merasa jauh lebih lega dan mulai mengendorkan kewaspadaannya. Sayang sekali dia keliru. Justru sore hari kurang lebih sejam dua jam lagi sebelum gelap “sesuatu” terjadi.

Tepat ketika mereka keluar dari jalanan yang agak berat dan memasuki jalanan yang langsung menuju kota dimana mereka berencana beristirahat, yakni Kota Cu Kui, tiba-tiba telah menghadang di jalanan 5 orang yang semuanya berjubah dan berkerudung hijau. Tidak tanggung-tanggung dan tidak berbasa-basi, seorang dari ke-lima manusia berjubah dan berkerudung hijau itu telah berkata dengan nada rawan namun penuh ancaman:
“Urusan di Ceng seng belum tuntas, kami sengaja menunggu disini untuk menuntaskan urusan tersebut. Lebih baik jika barang-barang itu ditinggalkan disini dan tuan-tuan semua silahkan melanjutkan perjalanan. Jika tidak, maaf, kami terpaksa bertindak keras”

Thia Su Kiat yang berjalan di depan selaku pemimpin rombongan sedikit kaget karena mengira musuh telah melepaskan niat menghadang mereka. Tetapi, tentu saja dia siap sedia menghadapi penghadangan ini:

“Ach, setelah terpukul mundur di Ceng seng, tuan-tuan masih tetap berniat mengulangi untuk digebah mundur dari hadapan kami”?

“Hmmmm, kurang ajar, siapa yang mengatakan kami sudah kalah? Mari, aku masih berkeyakinan akan mampu keluar dari Barisan itu” setelah melirik salah seorang dari manusia berkerudung hijau lainnya dan saling menganggukkan kepala, merekapun maju berdua. Dan Barisan 6 Pedang, begitu melihat isyarat dari Thia Su Kiat juga telah maju mengatur barisan. Mereka segera mengenali bahwa kedua manusia berjubah hijau itu adalah lawan mereka di penginapan subuh tadi. Dan kedua orang itu, tadinya memang berkemampuan menahan serangan mereka dan bertarung nyaris secara seimbang. Itulah sebabnya kali ini Barisan 6 Pedang itu, memasang sikap lebih berhati-hati dan bersiap menggunakan segenap kekuatan mereka.

Dan, pertempuran kali ini benar-benar jauh lebih seru dan jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan pertarungan di ruangan sempit dalam kamar penginapan di Ceng seng. Kali ini, dalam arena yang lebih luas dan lapang, Barisan 6 Pedang lebih mampu mengembangkan kehebatan mereka. Keampuhan mereka justru bertambah lihay jika di daerah yang lebih lapang dan luas, karena mereka mampu mengatur posisi bergantian secara lebih cepat dan tepat. Hanya, dalam kagetnya, Barisan 6 Pedang juga menjumpai fakta betapa meski kehebatan mereka meningkat, lawan justru lebih mampu mengimbangi. Bahkan mampu memberi serangan balasan yang terhitung membahayakan barisan tersebut.

Jelas sekali jika kedua lawan mereka telah lebih mengenali langkah, perubahan serta beberapa bentuk perubahan rahasia Barisan 6 Pedang. Karena itu, kedua lawan itu lebih mampu mengantisipasi serangan Barisan 6 Pedang dan bahkan juga melakukan serangan balasan yang tidak kurang bahayanya. Kali ini Barisan 6 Pedang kini terbelit pertarungan dahsyat yang tidak bisa diprediksi siapa yang akan mampu keluar untuk memenangkan pertempuran itu. Karena meski mampu menyeimbangkan posisi, kedua lawan Barisan 6 Pedang juga telah mengerahkan kekuatan besar dan kemudian baru sanggup mengimbangi kerjasama penggabungan tenaga 6 orang yang bersilat dengan gaya saling mengisi dan menyatukan tenaga dan semangat.

Siapapun yang menyaksikan pertarungan itu akan mengaminkan betapa serunya pertempuran itu. Karena kedua lawan bergerak aneh, lincah, licin dan bahkan sesekali nampak bagai burung yang beterbangan kian-kemari. Tak salah, mereka memang telah mengerahkan puncak tertinggi kekuatan sihir yang dikuasai. Untungnya ke-6 lawan mereka, juga menyatukan semangat dan kekuatan, hingga mampu menghalau serangan-serangan sihir lawan. Tetapi, itulah salah satu yang membuat pertarungan itu berjalan imbang dan saling serang.

Di arena lain, Su Kiat yang melihat Barisan 6 Pedang telah dilibas lawan dan bertarung seru, telah menyambut seorang dari manusia berjubah hijau itu. Dan keduanya telah bertarung seru, saling serang dan bertahan dengan sama hebatnya. Disini Su Kiat beroleh keuntungan, karena kegesitan dan tenaga keduanya berimbang, hanya usia muda Su Kiat membuatnya yakin akan mampu bertahan jauh lebih lama. Karena itu, Su Kiat tidak takut untuk adu kekuatan, bahkan terus menerus memaksa adu kekuatan. Sinkang Giok Ceng yang sudah dikuasainya, telah membuatnya mampu memulihkan diri dalam tarikan nafas 3-4 kali. Pertarungan di arena kedua ini posisinya sedikit menguntungkan pihak Thian San dan Lembah Pualam Hijau.

Sementara itu, Beng Kui telah kembali bertemu lawan yang bertempur dengannya pada subuh tadi. Tetapi, keadaannya lebih baik karena entah bagaimana, melihat Beng Kui lebih banyak diserang lawan membuat Giok Li usil dan memanasi Sian Nio untuk membantu suhengnya itu:

“Cici Sian Nio, coba lihat, toa suhengku sepertinya sedikit terdesak melawan manusia berbaju hijau itu. Engkau harus membantu suhengku itu. Kulihat, lawan yang seorang lagi disana, juga tidak kurang saktinya. Aku harus melawannya bersama dengan ciciku Giok Tin baru memiliki peluang untuk bertahan atau bahkan menang. Maka menjadi tugasmu untuk membantu toa suheng” bisik si usil Giok Li dengan alasan yang sebenarnya dibuat-buat. Tetapi, Sian Nio tidak menyadari jika sedang “dikerjai” Giok Li.

begitupun, memang dia sendiri menyimpan bibit kekaguman atas anak muda yang selalu membantu pihaknya itu. Gagah dan simpatik serta terlihat berwibawa. “Hampir mirip Liong koko kalau sedang diam dan berpikir” berkata Sian Nio dalam hatinya. Tanpa sadar dia membandingkan Beng Kui dengan kakaknya Kiang Ceng Liong yang memang menjadi tokoh idola dan sangat dihormati sekaligus dicintainya sebagai kakaknya. Semua pria muda hampir selalu diperbandingkannya dengan kakaknya selaku tolok ukur atau pembanding. Jika terlampau jauh jaraknya, hampir mustahil muncul rasa sukanya.

“Baiklah, biarlah aku membantu toa suhengmu ....” sambil berkata demikian, dengan diiringi senyum dikulum di bibir Giok Li, Sian Nio maju mendekati arena Beng Kui melawan musuhnya. Dan, dengan kalimat singkat dia memberitahu:

“Saudara, biar aku membantumu mengusir orang-orang jahat ini ....” sambil berkata demikian Sian Nio masuk ke gelanggang membantu Beng Kui. Sementara Giok Tin memandangi adiknya sambil mengagumi keusilannya yang juga memang berkenan baginya. Yakni berusaha mencocok-cocokkan suheng mereka dengan Sian Nio. “mudah-mudahan usaha adikku berhasil” gumam Giok Tin dalam hati. Tetapi kedua gadis itu tidak bisa lama-lama menikmati keberhasilan mereka mendorong Sian Nio dalam satu arena dengan Beng Kui. Karena orang terakhir yang berjubah dan berkerudung hijau telah terkekeh-kekeh mendatangi mereka sambil berkata dengan nada tengik dan ceriwis:

“Hehehehe, ada sepasang gadis cantik. Sayang kalau dibiarkan menganggur. Wah, wah, wah, engkau seksi dan manis sekali.......” hanya, sambil berkata demikian tangan si ceriwis entah bagaimana dengan begitu cepatnya sudah datang begitu dekatnya dengan pipi Giok Tin. Untunglah Giok Tin sudah waspada sejak tadi, karena itu dia masih sanggup menghindar kesamping dengan terburu-buru. Tetapi, herannya tangan si ceriwis itu mengikuti gerakannya, kini bahkan secara sangat kurang-ajar menuju ke gundukan membukit yang indah menantang di dada Giok Tin. Hal ini membuat murka baik Giok Tin maupun Giok Li.

Hanya saja, begitu lengan Giok Tin yang penuh amarah tetapi tetap awas beradu dengan lengan si ceriwis dalam menangkis serangan kurang-ajar ke arah buah dadanya, lengannya tersampok dan tergetar. “luar biasa, dia hebat sekali” keluh Giok Tin dalam hati. Dan giok Li yang memang tumbuh dan sehati dengan encinya segera tahu kalau lawan sangatlah hebat. Karena itu, begitu benturan terjadi, dia segera berseru:

“Lihat serangan .....” dan meluncurlah dari tangannya serangan hawa dingin yang langsung mengarah si ceriwis. Serangan itu sangat cepat dan berbahaya, tetapi kelihatannya dihadapi secara santai oleh si ceriwis.

“hahahaha, hehehehe, majulah, majulah gadis-gadis cantik. Sungguh sangatlah menyenangkan bermain-main dengan kalian berdua ...... tentunya lebih senang lagi jika mampu tidur berdua dengan kalian ......... hahahahaha” si ceriwis terus berkoar koar dengan kalimat joroknya. Dan adalah Giok Li yang tidak tahan dengan olok-olok seperti itu. Giok Tin juga sebenarnya merah padam wajahnya, tetapi dia segera melihat kalau lawannya agak aneh, mungkin rada kurang waras. Tetapi, yang jelas lawan itu berkepandaian masih jauh di atasnya, bahkan masih mengatasi mereka berdua meski maju berbareng.

Sementara itu, baik Beng Kui dan Sian Nio maupun Thio Su Kiat merasa agak aneh dengan pertempuran mereka. Lawan mereka jelas-jelas memiliki kemampuan hebat, tetapi kelihatannya mereka tidak begitu “serius” menghadapi pertempuran itu. Yang nampak agak seru adalah pertempuran antara Barisan 6 Pedang dengan dua manusia berjubah hijau. Pertempuran itu benar-benar seru dan menegangkan dengan posisi seimbang yang tercipta. Sementara pertempuran mereka, Beng Kui dan Sian Nio melawan seorang manusia berjubah hijau, lebih terasa sebagai sebuah “latihan” ketimbang pertempuran hidup mati. Beng Kui dan Sian Nio seperti memperoleh teman latih tanding yang tepat guna mengembangkan ilmu mereka. Bahkan, tanpa sadar keduanya jadi lebih banyak saling melindungi dan cenderung tidak memperhatikan diri sendiri ketika menolong temannya.

Yang dialami Thio Su Kiat juga lebih kurang sama. Mereka memang bertarung hebat, posisi keduanya seimbang. Bahkan keduanya mengerahkan kekuatan hebat dalam pukulan-pukulannya. Tetapi, setelah tahu posisi mereka imbang, keduanya seperti tidak mengejar kemenangan. “Apa maksud mereka sebenarnya”? Su Kiat jadi heran, curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Sungguh sulit dia menebak apa sebenarnya yang direncanakan orang-orang itu. “Apa mereka sudah tahu strategi mengantar barang antaran Thian San Pay ini” tebak Su Kiat dalam hati, meski jawabannya tetap meragukannya.

Di arena pertempuran Giok Tin dan Giok Li melawan manusia berjubah hijau yang ceriwis, justru pertempuran juga agak sengit. Hal ini sebetulnya dipicu sikap kurang ajar dari si ceriwis yang sedikit-sedikit berusaha menyentuh dan mengusap bagian terlarang di tubuh kedua gadis itu. Terutama lebih sering dia mengarahkan tangan mesumnya kepada Giok Tin yang memang terlihat sangat sexy dan berdaya tarik seksual yang tinggi. Jangankan si ceriwis ini, pria normal lainpun akan memandang bergairah ke arah tubuh Giok Tin yang memang penuh pesona dan daya tarik bagi lawan jenisnya. Dandanan sopanpun tidak sanggup menutupi pesona dan daya tarik seksnya yang memang tinggi dan mengundang pria manapun.

Giok Li nyaris kalap menghadapi keceriwisan itu. Untungnya ada kakaknya yang selalu mengingatkannya. Tetapi, betapapun amarah berkobar-kobar di dadanya. Dan itu membuatnya sering membuka peluang terserang lawan secara sangat hebat. Untungnya lawan juga tidak bermaksud melukai dan menyerangnya guna melukai atau membunuh. Tetapi hanya bemaksud menggoda dan mengelus lembut tubuhnya, dan inilah yang memurkakannya. Perbuatan lawan yang demikian itu, akhirnya membuat Giok Li semakin lama semakin bertambah kheki dan murka. Dia jadi bertarung habis-habisan dan mati-matian guna menyerang dan melukai lawannya. Jika mampu membunuhpun, pasti akan dengan senang hati dilakukan gadis muda yang sedang marah itu.

Lama-kelamaan, menghadapi kemurkaan Giok Li yang menyerangnya dengan gencar dan habis-habisan, si ceriwis kesal juga. Dia memang berkali-kali nyaris menyentuh dan mengusap lembut Giok Tin, tetapi selalu terhalang oleh terjangan Giok Li yang sedang murka. Sadar jika tidak menjinakkan Giok Li dia tidak akan sanggup menyentuh tubuh sexy Giok Tin, si ceriwis mengganti strategi. Tiba-tiba lengannya bergerak dan seperti berubah menjadi seratusan lebih ular yang menyerang terutama ke arah Giok Li.

Bagi seorang gadis, binatang yang paling menjijikkan dan dihindari bukan karena berbahaya, tetapi geli dan jijik adalah cacing dan ular. Dan kini, lengan si ceriwis berubah bagai seratusan lebih ular yang sedang menyerang dan mengintainya kemanapun dia bergerak. Hal ini secara otomatis membuat Giok Li menjadi goyah. Untungnya kakaknya Giok Tin sempat berteriak:

“Ilmu sihir .......”

Dan teriakan ini sungguh manjur dan ampuh. Giok Li akhirnya dengan cepat sadar kalau sedang berhadapan dengan jago ilmu sihir, segera bergerak cepat. Dia memusatkan keuatannya dan kemudian bergerak dengan pedang kini tergenggam di tangan. Dia memang mampu mengusir rasa takut dan jijiknya, tetapi karena kekuatan mereka terpaut cukup jauh, hanya sebentar dia membebaskan diri dari sihir. Selanjutnya, dia kembali tenggelam dalam kekagetan dan rasa jijik serta geli melihat puluhan ular mengejar-ngejarnya. Untungnya dia tahu itu hanyalah sihir. Dan setelah berkali-kali melakukan pengerahan kekuatan sinkang, dia mampu sesekali menjinakkan sihir itu. Begitu berulang-ulang, Giok Li dan Giok Tin tenggelam dalam perangkap ilmu sihir lawan. Tetapi keduanya bagaimanapun adalah murid seorang tokoh sakti yang sangat hebat. Dan tentunya tidak mudah mereka menyerah begitu saja, apalagi dalam ancaman penghinaan orang.

“Enci, tutup mata dan gunakan Hui Liong ......” bisik Giok Li yang kini berubah tabah menghadapi lawan berat. Dan tindakannya diikuti Giok Tin yang segera melolos senjatanya bersamaan dengan memejamkan mata. Kini mereka siap melakukan perlawanan hebat. Menjaga nama baik dan bertahan dari musuh.

Si ceriwis yang menyaksikannya sedikit tertegun. Tidak disangkanya jika lawan masih berkemampuan bertempur setelah terpengaruh oleh sihirnya beberapa saat tadi. Bahkan, keduanya kini telah siap untuk melontarkan serangan pedang yang bisa ditebaknya pastilah sakti dan berbahaya. Meski dia lebih kuat dan sakti, tetapi dia sadar kedua lawannya ini juga memiliki bekal dari orang-orang sakti. Dan dalam posisi seperti itu, si ceriwis menjadi sedikit kesal. Bukan saja nafsunya meremas bagian menggairahkan di tubuh Giok Tin lama tertunda, bahkan kini dia diancam untuk diserang dengan pedang. “Tidak, kalian harus melihat bagaimana aku menundukkan kekerasan hati kalian” demikian dia berdesis dan bersiap.

Bersamaan dengan terbangnya serangan dua bilah pedang ke arahnya, si ceriwis menggerak-gerakkan lengannya. Dan dari sana keluar bunyi-bunyian mendesis bagai keluar dari mulut seekor ular raksasa. Memang, ilmu andalan tokoh ini adalah bergaya ular dengan nunasa magis yang keluar dari desisan ular besar. Dia menjadi marah, karena bersamaan desiran angin pukulan sedingin salju bagaikan membentuk tembok di depannya. Dan dia harus terlebih dahulu memecahkan tembok dinding dingin yang kini membatasinya berhadapan dengan kedua anak gadis yang hebat dan menimbulkan rangsangan baginya itu.

Kini diapun menyerang. Desisan suara ular besar semakin keras dan merusak konsentrasi lawan. Bahkan kedua pedang terbang yang mengejarnya, tak sanggup melukainya, tetapi terpental atau terpeleset oleh kenyal, licin dan liatnya kulit tubuh si ceriwis yang hebat itu. Tetapi sebaliknya, pukulannya merusak tembok dingin dihadapannya dan kini pukulannya mengarah langsung kepada lawan. Giok Li yang menjadi pengendali pedang terbang sedang kehilangan tempo, karena pedangnya sulit dikendalikan setelah dipelesetkan si ceriwis. Giok Tin yang melontarkan pukulan dingin, terdorong sampai 6-7 langkah ke belakang, kalah tenaga dan dari mulutnya mengalir darah, meskipun tidaklah banyak.

Giok Li yang kaget melihat cicinya terluka menjadi lupa diri. Dengan berani dan nekad dia menahan serangan kedua tangan lawan yang memang ditujukan kepada dirinya. Mata lawannya sudah berubah liar, nyalang dan seperti mata orang tidak waras. Tetapi, kekuatannya sungguh mengerikan. Giok Tin saja terdorong demikian jauh dan terluka, bagaimana dnegan Giok Li? Untuk menyingkir memang sudah kasip, karena itu dengan mengeraskan hati dikerahkannya seluruh kekuatannya guna menangkis serangan lawannya.

“Celaka, jangan .......” terdengar jeritan penuh kekhawatiran. Tetapi teriakan itu sudah amat terlambat jika diarahkan kepada Giok Li. Dan orang yang berteriak itu sadar bahwa bahaya mengancam Giok Li. Sebab ketika menyerang Giok Tin, si ceriwis masih menahan sebagian tenaganya, tetapi melawan Giok Tin, dia mengerahkan tenaga lebih besar. Hal ini nampaknya disadari oleh pendatang yang berteriak mengingatkan Giok Li namun sudah kasip. Orang yang mengeluarkan suara tadi ternyata memiliki gerakan cepat dan pesat, karena sambil berteriak diapun mendekat ke arena dan segera setelah benturan Giok Li dan si ceriwis terjadi, lengannya telah menopang tubuh Giok Li.

Usahanya sangat tepat, sebab jika terlambat sedetik saja lagi, maka benturan yang lebih besar akan sangat merusak tubuh Giok Li. Untungnya, pada saat yang begitu tepat, si pendatang mampu menopang tubuh Giok Li dan menyalurkan tenaga saktinya ketubuh Giok Li. Bahkan sambil tangan satunya menyalurkan tenaga, tangan satunya lagi secara luar biasa melakukan dorongan ke arah si ceriwis sambil membentak keras:

“Engkau keterlaluan, enyah ........”

Dan akibatnya, tubuh si ceriwis terdorong sampai 4-5 langkah ke belakang. Bukan karena kalah hebat, tetapi karena memang pada saat itu bagian tenaga peindung badannya jauh berkurang akibat menyerang Giok Li. Maka ketika si penyerang mendorongnya, diapun terlontar ke belakang beberapa langkah. Sementara itu, melihat siapa penolongnya, mulut Giok Li segera tersenyum sambil berkata:

“Hong Po koko, terima kasih. Engkau .... engkau menyelamatkan nyawaku ......” meski tersenyum, tetapi dari mulut gadis itu mengalir darah. Hanya saja, sekali lihat Hong Po tahu kalau luka itu tidaklah berat.

“Hmmmm, engkau terlalu nekad moi-moi, tidak seharusnya menghadapinya dengan bertukar pukulan. Dia terlalu hebat untuk engkau layani dengan adu pukulan”

“Toch akhirnya ada engkau Hong Po koko untuk menolongku ...” Giok Li bersuara lemah, tetapi kalimatnya membuat Lie Hong Po terharu. Anak muda itu terharu mendengar kepercayaan gadis itu yang demikian besar terhadapnya. Karena itu, sambil mengeraskan hati, dia kemudian berkata:

“Cepat bersila, sembuhkan dirimu. Tenagamu cukup untuk melakukannya ...”

“Baik koko, harap engkau menjagaku dan juga melihat keadaan enciku”, Sambil berkata demikian, Giok Li sudah langsung bersemadhi dann memusatkan tenaga untuk melakukan pengobatan dengan tenaga dalam. Dan Hong Po kemudian memeriksa kondisi Giok Tin yang juga terluka sama parahnya dengan Giok Li akibat beradu pukulan dengan si ceriwis tadi. Melihat Giok Tin ternyata tidak berhalangan dan juga si ceriwis yang memandanginya tanpa tahu apa yang harus dilakukan, Lie Hong Po memandang sekejap ke arah si ceriwis. Dan setelah itu dia berteriak:

“Awas pukulan ........”

Lie Hong Po dengan cepat menyerang si ceriwis yang juga mengerahkan tenaganya untuk menangkis. Akibatnya, Lie Hong Po terdorong sampai 3 langkah ke belakang, tetapi lawannya mundur sampai lima langkah. Kembali Lie Hong Po menyerang dan benturan keduanya tak terhindarkan. Dan kali ini diakhiri dengan si ceriwis yang terlontar ke belakang. Begitu hinggap, dia langsung melayang menjauh, kebetulan dekat dengan arena pertempuran kedua kawannya melawan Barisan 6 Pedang. Dan sambil berteriak kepada rekan-rekannya:

“Kita pergi, lawan terlampau kuat .....”

Setelah berteriak diapun menyerang ke dalam barisan dan mengacau barisan itu hingga membuka celah bagi kedua kawannya untuk lepas dari libasan Barisan 6 Pedang. Sementara itu, lawan Beng Kui dan Sian Nio juga tidak terlampau sulit untuk melepaskan diri dari pertarungan, karena Beng Kui dan Sian Nio memang tidak bermaksud untuk menahannya.

Sedangkan manusia berjubah hijau yang menjadi lawan Thio Su Kiat juga bisa melayang pergi dengan cepat karena Su Kiat sama seperti Beng Kui dan Sian Nio tidak berkehendak merintangi lawan. Karena itu, kelima manusia berjubah dan berkerudung hijau itu akhirnya bisa berlalu dari arena pertempuran tanpa gangguan yang berarti. Maka berakhirlah pertempuran itu.

Thio Su Kiat, Sian Nio dan Beng Kui mendekati arena dimana Giok Li dan Giok Tin tadi bertarung. Hanya kedua gadis itu sekarang sedang mengumpulkan semangat dan tenaga untuk mengobati luka dalam yang mereka derita dari si ceriwis berjubah hijau tadi. Melihat keadaan kedua adik seperguruannya tidaklah berbahaya, Beng Kui segera menarik nafas panjang sambil bergumam:

“Siapa sebenarnya orang-orang itu? Bahkan kami di Lembah Salju Bernyanyi juga pernah mendapat gangguan dari orang-orang itu”

“Jika aku tidak salah menduga, mereka ada gerombolan sisa Thian Liong Pang yang mengusung dendam terhadap Lembah Pualam Hijau, Bu Tong, Siauw Lim dan juga Kaypang. Seorang dari mereka adalah bekas pelindung hukum yang telah terbunuh di dekat Bu Tong San. Jadi, memang kemungkinan besar mereka adalah tokoh tokoh Thian Liong Pang yang hendak menuntut balas” terang Su Kiat.

“Tetapi, mengapa pula Lembah kami mendapatkan gangguan mereka”? bertanya Beng Kui secara penasaran.

“Tenanglah saudara Beng Kui, pada waktunya kita pasti akan mengetahui mengapa mereka melakukan semua kerusuhan ini”

Sambil berkata menyabarkan Beng Kui, Thio Su Kiat telah mendekati Lie Hong Po yang masih menjaga Giok Li dan Giok Tin. Diapun segera menyapa sambil mengucapkan terimakasih atas bantuan pemuda itu:

“Terima kasih banyak atas bantuan saudara, bolehkah kami berkenalan dan mengetahui nama saudara”?

“Ach, aku bukan siapa-siapa. Aku Lie Hong Po, seorang pengembara dari daerah Kanglam. Kebetulan pernah ditolong adik Giok Li ketika sedang sekarat”

“teman adik Giok Li rupanya. Betapapun terima kasih atas bantuan saudara” ucap Su Kiat dengan tulus, meskipun hatinya berdebar-debar entah apa sebabnya. Entah mengapa, nalurinya seperti membisikkan ada sesuatu yang aneh dan suara orang didepannya seperti diatur sedemikian rupa. “Ataukah ini hanya dugaan atau naluri yang keliru belaka”?

(Bersambung)
 
BAB 9 "Pesta" di Lembah Para Naga
1"Pesta" di Lembah Para Naga



Lembah Pualam Hijau ! Dalam dunia persilatan dewasa ini, baik kalangan penjahat ataupun kaum hek-to maupun kalangan pendekar atau golongan putih, siapa yang tidak kenal dan tidak jeri dengan Lembah tempat dimana banyak Naga tinggal? Ya, siapapun kaum pendekar yang berkelana, ataupun kaum penjahat sekalipun, pasti tahu dan jeri mendengar nama Lembah Pualam Hijau. Karena memang, Lembah Pualam Hijau sudah punya nama besar dan bertahan sudah sangat lama. Sudah kurang lebih 100 tahun kokoh dan berkibar di rimba persilatan. Karenanya, wajar jika siapapun segan dan hormat dengan kebesaran nama dan sejarah Lembah itu.

Bukan sekali atau dua kali saja pihak Lembah Pualam Hijau unjuk kedigdayaan mewakili Tionggoan dalam menghadapi gangguan-gangguan. Baik gangguan dari dalam dalam bentuk pertikaian-pertikaian antar individu maupun antar kelompok maupun perguruan; Ataupun juga gangguan-gangguan dan tantangan-tantangan yang datang dari luar. Keterlibatan mereka di front depan itu yang lekat kuat dikenangan banyak orang. Itulah sebabnya Lembah itu menjadi sangat terkenal bagi kaum pendekar dan mendatangkan rasa jeri di kalangan kaum penjahat.

Sejak pendiri Lembah Pualam Hijau angkat nama, berturut-turut sudah ada setidaknya 4 generasi yang pemimpin Lembah Pualam Hijau dan yang sekaligus mengharumkan nama Lembah itu. Mulai dari Kiang Sim Hoat sang pendiri, diteruskan Kiang Sin Liong, Kiang Cun Le, Kiang Hong dan kini diemban oleh Kiang Ceng Liong. Kiang Sim Hoat dikenal sebagai pendiri Lembah Pualam Hijau, sementara Kiang Sin Liong terkenal sebagai "Manusia Dewa" bersama 4 tokoh besar lainnya dari Tionggoan.

Kiang Cun Le, meski tidak sehebat Kiang Sin Liong, tetapi juga adalah pendekar sakti yang sangat dihormati di Tionggoan. Mengikuti jejak pendahulunya, diapun beradu kesaktian dengan tokoh-tokoh dari seberang laut dan Thian Tok dan berhasil mempertahankan nama baik Tionggoan sekaligus nama besar Lembah Pualam Hijau. Jasanya itu, bersama adik perempuannya Kiang In Hong, membuat mereka sangat terkenal dan sangat dihargai. Mereka berdualah yang banyak tampil di Tionggoan untuk melanjutkan tugas dan tradisi yang diemban Lembah Pualam Hijau membantu menenteramkan dunia persilatan Tionggoan.

Kiang Hong, meski hanya beberapa tahun menjabat sebagai Duta Agung sebelum kemudian menghilang, kini telah tampil kembali dan tentunya telah bertambah hebat kesaktiannya. Tetapi, adalah Kiang Ceng Liong putranya, yang kini mendekati kemasyuran baik pendiri Lembah Pualam Hijau, Kiang Sim Hoat ataupun ketenaran dan kehebatan kakeknya, sekaligus gurunya Kiang Sin Liong. Meskipun Kiang Ceng Liong yang menjabat sebagai Duta Agung (Pemilik Lembah Pualam Hijau) sudah melepaskan diri dari tugas dan status sebagai Bengcu Dunia Persilatan Tionggoan, tetapi masih terlampau banyak kaum pendekar yang menempatkannya serta memperlakukannya sebagai Bengcu. Sudah rahasia umum jika banyak orang yang masih tetap meminta pertolongan dan bantuan Lembah Pualam Hijau mengurusi urusan pertikaian di rimba persilatan.

Dan, Lembah Pualam Hijau generasi terkini, menjadi semakin hebat dan semakin dihargai banyak orang. Hanya saja, meskipun bergelimang nama besar dan dihormati banyak orang, tidaklah berarti bahwa semua orang akan memuja dan menghormat Lembah Pualam Hijau. Dimanapun, sehebat apapun, seseorang ataupun kumpulan orang tidak akan sanggup mengendalikan dan menundukkan semua orang atau semua pihak. Selalu akan ada yang iri, yang cemburu dan kemudian dengan sadar mengambil posisi sebagai lawan atau musuh. Dan demikian juga yang dialami oleh Lembah Pualam Hijau.

Lembah Pualam Hijau yang terkenal itu terletak daerah Pegunungan Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Salah satu gunung di deretan pegunungan Taliang-san agak ke utara adalah Gunung Kembar, karena adanya dua buah gunung yang dipandang dari selatan, nampak benar mirip atau serupa. Dari gunung kembar ini, mengalirlah dua buah sungai yang melalui Gunung Haiyang dan turun kearah utara memasuki Propinsi Hunan dan Sungai Li atau Sungai Kemala yang mengalir ke Propinsi Kuang Si.

Sungai Kemala di daerah Propinsi Kuangsi ini adalah aliran yang terkena banjir bandang dan menimpa 5 orang anak yang nantinya menjadi Naga-Naga Sakti di kemudian hari (Bagian I, Episode 2). Tetapi, tentu saja tidak ada kaum pendekar yang mengerti kisah 5 orang anak tersebut, dan kejadiannya sebetulnya tidak terlampau jauh dari Lembah Pualam Hijau. Tepatnya, Lembah itu berada di sebelah utara Propinsi Kuangsi, atau sebelah selatan Propinsi Hunan. Terletak di barisan gunung Taliang-san yang panoramanya dipenuhi tebing-tebing yang melingkar-lingkar karena bentang alam yang memang menatanya demikian.

Dari bentangan Gunung Kembar, mengalirlah sebuah sungai yang nantinya pecah menjadi dua sungai yang kelak alirannya berbeda arah melalui gunung Haiyang. Letak Lembah Pualam Hijau justru sangat dekat dekat aliran sungai tersebut. Gunung Kembar yang di sisi Selatan memiliki akses untuk turun terus ke arah Gunung Haiyang dan terus mengarah ke Hunan atau Kuangsi, sementara yang sisi utaranya tidak memiliki akses sama sekali. Alias daerah tak bertuan dan sulit untuk mengetahui apakah daerah diseputar gunung itu didiami manusia ataukah tidak.

Lembah Pualam Hijau demikian nama yang diberikan pendiri Lembah itu, terletak di gunung kembar sebelah utara. Daerah yang masih belum memiliki akses. Di sebelah depan Lembah itu adalah sungai yang alirannya teramat deras, membelah Gunung kembar tepat di tengahnya. Dengan demikian, akses utama menuju Lembah Pualam Hijau, normalnya adalah melalui sungai tersebut. Meski alirannya deras, tetapi lebar sungai itu tidak akan lebih dari 10 meteran, sehingga masih memungkinkan untuk diseberangi. Apalagi bagi mereka yang berkepandaian tinggi.

Di salah satu tepian sungai yang agak landai, terdapatlah jalan yang mengarah ke Lembah Pualam Hijau. Jalanannya sangat menanjak dengan kemiringan hingga 45-50 derajat sampai kurang-lebih 100 meteran dengan jalanan di kiri-kanannya ditumbuhi sejumlah pepohonan khas yang tumbuh di tepi sungai. Tetapi, setelah berjalan menanjak hingga 100 meteran, sebuah jalanan yang tertata rapih, sepanjang hampir 50 meteran menghampar indah. Kali ini tanjakannya tidaklah setajam jalanan sebelumnya. Hamparan yang ditumbuhi beragam jenis bunga khas daerah pegunungan dengan warna-warni yang menyejukkan mata. Jalanan itu disisi kiri dan kanannya ditumbuhi banyak bunga-bunga yang indah, dan baru putus ketika memasuki sebuah pintu gerbang yang terbuat dari PUALAM HIJAU.

Pintu gerbang Pualam Hijau itu sendiri sudah menggambarkan isi dari Lembah yang namanya Pualam Hijau. Pintu Gerbang terbuat dari bebatuan atau bahan bebatuan berwarna hijau dan nampak berkilat ketika terkena sinar matahari. Di atas pintu gerbang itu tertulis LEMBAH PUALAM HIJAU dan berjarak lebih 200 meter dari tepian sungai berarus deras itu. Menilik tempatnya, bukan sembarangan orang yang akan bisa datang dan menyambangi Lembah Pualam Hijau. Melulu lokasi dan pintu gerbangnya, sudah jelas jika dibutuhkan lebih dari sekedar kemauan untuk mencapai pintu gerbang atau pintu masuk. Belum memasuki Lembah tersebut.

Tempat atau lokasi Pintu Gerbang itu sendiri berdiri megah dan kokoh di tengah-tengah apitan dua buah tebing tinggi yang hanya selebar tidak lebih dari 10 meter belaka. Dan baru melebar atau semakin luas ketika memasuki bagian dalam dari Lembah Pualam Hijau. Tetapi, masih ada jarak hampir 100 meter sedikit menanjak baru mencapai daerah yang lebih luas dalam Lembah. Jalanan kedalam dengan kedua sisi kiri dan kanannya terdapat barisan pohon yang sangat lebat tumbuhnya. Di daerah yang sangatk lapang dalam lembah itu, barulah terdapat bangunan dalam kompoisisi: Bagian depan menghadap ke pintu gerbang, bagian belakang mengarah ke barisan hutan dan bagian dalam lembah, sisi kanan adalah tebing yang melekat ke Gunung kembar dan sisi kiri adalah jurang terjal yang membelah Gunung Kembar Utara dan Selatan, dimana jurang curam di bawahnya adalah aliran sungai juga.

Dan di sisi kanan itu, terdapat juga barisan hutan yang cukup lebat yang membatasi daerah luas yang merupakan area utama Lembah Pualam Hijau. Daerah belakang yang dipagari hutan pepohonan itu mengisolasi sebuah tempat khusus di Lembah Pualam Hijau yang menjadi tempat tinggal tokoh-tokoh utama Lembah, selain sejumlah Gua rahasia yang menempel di dinding tebing. Daerah belakang ini, terpisah oleh hutan yang sangat lebat, namun memiliki akses jalanan yang membelah hutan dikanan-kirinya. Dan dalam jarak yang cukup jauh, beberapa tempat tinggal sederhana namun apik terletak. Cukup jauh terpisah dari area utama Lembah Pualam Hijau yang bisa diakses oleh orang luar.

Sementara dinding-dinding tebing dimana Gua-gua tempat tinggal yang lain itu berada, sesuai namanya, terbuat dari sejenis bebatuan yang menyinarkan warna hijau, mirip dengan pualam hijau. Tetap, Pualam Hijau sesungguhnya barulah akan banyak ditemukan di dalam Gua Rahasia yang jalan masuk dan keluarnya hanya dikuasai orang-orang dalam Lembah Pualam Hijau. Dalam tebing-tebing itulah ditemukan banyak sekali Pualam Hijau, dan dari sanalah nama Lembah Keramat ini diambil dan kemudian dikenal dunia luas.

Di pintu gerbang, hanya ada sebuah "gardu" kecil tempat para penjaga yang tidak cukup banyak di Lembah Pualam Hijau. Tidak semua keluarga keluarga Lembah Pualam Hijau tinggal di lembah ini, karena Lembah Pualam Hijau adalah tempat dimana mereka yang mendalami ilmu silat tinggal. Mereka yang tidak berlatih silat, tinggal di perkampungan tersendiri yang letaknya juga sangat rahasia. Jika yang tinggal di Lembah Pualam Hijau mengetahui lokasi dan siapa-siapa yang berada di perkampungan keluarga mereka, maka yang berada di perkampungan tidak tahu apapun tentang Lembah Pualam Hijau. Bahkan keberadaan Lembah Pualam Hijau juga asing bagi mereka.

Penghuni Lembah Pualam Hijau sejak didirikan tidak pernah lebih dari 40 orang. Penghuni tetapnya adalah Duta Agung, Duta Luar dan Duta Dalam, 3 orang Duta Hukum dan Barisan 6 Pedang (Duta Perdamaian). Ditambah dengan pelayan yang selalu tidak lebih dari 8 orang dan petugas yang berjaga, rata-rata murid dari tokoh Lembah Pualam Hijau sebanyak 10 orang, dan sisanya adalah keluarga Lembah Pualam Hijau yang berbakat dan berlatih silat. Anak murid yang belum mencapai tingkatan tertentu, belum akan diijinkan untuk menetap dan memperkuat Lembah Pualam Hijau. Karena itu, bahkanpun penjaga Lembah Pualam Hijau bukanlah tokoh atau orang sembarangan.

Meski hanya dihuni sedikit orang, tetapi bangunan utama dalam Lembah itu sangatlah megah. Bangunan utama adalah tempat dimana para pelayan dan murid tinggal, sekaligus mengurusi bangunan tersebut. Tempat dan kamar mereka berada di bagian paling belakang. Selain itu, di bagian tengah hingga ke depan dalam bangunan itu, juga terdapat kamar tamu yang cukup nyaman dan sanggup untuk menampung tamu sampai 20-an orang. Jika ditambah dengan paviliun khusus yang terdapat di sisi kanan, sejauh kurang lebih 20 meter dari tebing sungai yang menghadap ke Gunung Kembar satunya lagi, maka tamu yang bisa ditampung akan berjumlah sampai 30-an orang. Bahkan akan bisa lebih banyak jika sebuah kamar yang memang cukup luas, dihuni oleh 2 orang tamu.

Sebuah ruangan atau balai pertemuan terdapat di tengah-tengah bangunan tersebut. Tepat di tengah-tengah, membelah kamar-kamar tamu yang berada dalam ruangan tersebut. Di bahagian belakang, terdapat beberapa kamar khusus yang dibuat di lantai dua. Kamar terbesar adalah kamar khusus buat Duta Agung dan kemudian ada juga 4 kamar lainnya yang mengapit kamar utama itu di bagian kiri dan kanannya dan 1 lagi yang berhadapan langsung dengan kamar Duta Agung. Disinilah tempat bertugasnya Duta Agung, Duta Luar, Duta Dalam dan 3 Duta Hukum jika sedang berada dalam Lembah. Semua kemegahan Lembah Pualam Hijau dipamerkan di kamar utama atau ruangan khusus Duta Agung. Di sanalah terdapat Pedang dan Medali kehormatan yang dibuatkan oleh Kakek Dewa Pedang untuk menghormati jasa Lembah Pualam Hijau.

Tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau yang tinggal di tempat terpisah wajib berada di bangunan utama ini setiap harinya. Kecuali jika sedang bertugas luar, atau sedang melatih diri. Tetapi, sehari-hari demikianlah kondisi dan keadaan Lembah Pualam Hijau yang dari letaknya memang sulit dijangkau oleh orang biasa. Nampaknya, Lembah Pualam Hijau adalah tempat yang memang diperuntukkan bagi para pesilat, dan juga bukan pesilat biasa, tetapi pesilat dengan kemampuan yang memang tangguh dan hebat.

Jika di hari-hari biasanya Lembah Pualam Hijau adalah Lembah yang sepi dengan ritual sehari-hari yang nyaris selalu seragam, maka hari-hari terakhir Lembah Pualam Hijau menjadi begitu ramai. Hal ini dimungkinkan karena dalam waktu tidak lama lagi, Lembah Pualam Hijau akan melaksanakan pesta pernikahan antara Kiang Li Hwa seorang pemimpin dari Lembah Pualam Hijau dengan Nenggala. Usia keduanya sebetulnya tidak mudah lagi. Kiang Li Hwa sudah berusia hampir 30 tahunan, atau tepatnya sudah berusia sekitar 28 tahunan, sementara Nenggala sendiri telah berumur 30 tahun.

Kiang Li Hwa bukanlah tokoh sembarangan. Dewasa ini dia menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau, terhitung tokoh nomor 2 atau 3 di dalam Lembah Pualam Hijau. Menjabat sebagai Duta Dalam masih tetap Kiang Sian Cu, anak tertua Kiang Cun Le atau Bibi Kiang Ceng Liong, sementara Duta Hukum kini dipegang oleh Thio Su Kiat dan Kiang Liong dan satu posisi lainnya kosong. Dalam posisi Li Hwa yang menjadi pemimpin di Lembah Pualam Hijau, wajar jika kemudian keramaian berlangsung menjelang hari istimewanya, hari pernikahannya.

Apalagi, pasangannya adalah juga tokoh muda yang sangat menonjol. Nenggala, sebagaimana diketahui berasal dari seberang lautan, cucu murid tokoh besar seangkatan dengan kakek buyut Li Hwa. Salah seorang murid murtad dari tokoh itu, sempat menurunkan ilmu mujijatnya kepada Li Hwa. Nenggala adalah cucu murid Kolomoto Ti Lou, tokoh super sakti yang sering bersama dengan Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan, Kiong Siang Han dan Kian Ti Hosiang. Tokoh besar ini pula yang banyak membantu anak-anak muda murid para tokoh besar dalam upaya menyempurnakan ilmu kesaktian mereka (Baca Bagian II Kisah ini).

Lebih dari itu, Nenggala juga menerima warisan ilmu mujijat Kakek Dewa Pedang, salah seorang sesepuh Partai Thian San Pay pada masa lalu. Dari Kakek Dewa Pedang, Nenggala mewarisi ilmu mujijat yang justru telah lama punah dari Thian San Pay, dan karena itu kini Nenggala menjadi sesepuh dan di tuakan di partay tersebut. Lebih dari itu, Ciangbundjin muda Thian San Pay dewasa ini adalah murid dari Nenggala. Karena itu, boleh disebut pernikahan ini adalah pernikahan 2 perguruan ternama dewasa ini, yakni antara Li Hwa dari Lembah Pualam Hijau dan Nenggala dari Thian San Pay.

Pernikahan 2 tokoh muda sakti ini tentunya menarik perhatian. Tetapi, sayangnya, sebagaimana pesan terakhir Kiang Sin Liong - sesepuh yang sangat dihormati di Lembah Pualam Hijau - agar pernikahan itu dilaksanakan secara sederhana. Pesan ini, sama dengan pesan Kolomoto Ti Lou sebelum berpamitan untuk kembali ke Jawadwipa dan seterusnya ke tanah asalnya. Karena itu, selain tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau dan Thian San Pay, yang diundang hanya kerabakt-kerabat dekat yang saling kenal dengan kedua calon mempelai.

Kini, di Lembah Pualam Hijau berbeda dengan hari-hari sebelumnya sudah terasa begitu berbeda. Sangat ramai. Rombongan dari Thian San Pay sudah tiba di Lembah Pualam Hijau kurang lebih 4 hari sebelumnya. Dengan dipimpin langsung oleh Ciangbundjin muda, Tik Hong Peng bersama dengan rombongan mereka yang semuanya berjumlah 15 orang. Termasuk didalam rombongan tersebut adalah Paman yang sekaligus menjadi guru Nenggala, yakni Bintang Sakti Membara, Jayeng Reksa. Dialah yang kini menjadi wali bagi Nenggala dan sekaligus masih tinggal di Tionggoan untuk urusan terakhir yang sudah diamanatkan gurunya, Kolomoto Ti Lou. Apalagi kalau bukan urusan perguruan mereka.

Selain tokoh-tokoh Thian San Pay dan Lembah Pualam Hijau, di Lembah Pualam Hijau juga telah tiba tokoh-tokoh sakti lainnya. Siangkoan Giok Lian dan Liang Tek Hoat datang bersama mengawal barang antaran dan kado pernikahan Thian San Pay yang dikawal secara rahasia bersama beberapa murid Kaypang. Selain kedua tokoh muda sakti itu, juga telah tiba Liang Mei Lan dan Souw Kwi Song, tetapi kedua tokoh muda itu masih mengawal beberapa orang lain yang sedang menuju Lembah Pualam Hijau. Diperkirakan besok rombongan terakhir itu akan tiba, tepat 2 hari sebelum pernikahan itu dilangsungkan.

Lembah Pualam Hijau benar-benar menjadi tempat dimana para naga sedang bercengkerama. Karena disana, kini berkumpul pentolan-pentolan pendekar utama rimba persilatan Tionggoan, baik kaum tuanya seperti Kiang Cun Le, Liong-i-Sinni, Kiang Tek Hong, Durganini (Nenek Sakti asal India yang menjadi salah satu guru Li Hwa), Bintang Sakti Membara Jayeng Reksa; Maupun tokoh-tokoh lain seperti Kiang Hong dan Tan Bi Hiong suami istri, Kiang Liong, Kiang Sian Cu - tokoh-tokoh usia pertengahan yang sangat mumpuni; maupun juga tokoh-tokoh muda yang kini sangat dimalui di dunia persilatan: Kiang Ceng Liong, Liang Tek Hoat, Liang Mei Lan, Siangkoan Giok Lian dan Souw Kwi Beng.

Belum lagi dengan adanya Kiang Li Hwa dan Nenggala, pasangan calon pengantin yang sangat sakti digdaya itu. Keduanya adalah murid-murid orang besar. Kiang Li Hwa pernah dididik oleh ayahnya, kemudian juga menerima ilmu dari Wisanggeni - paman guru Nenggala yang menyeleweng tetapi pernah berkenan melatih Li Hwa. Belum lagi didikan khas India dari Durganini yang menyayangi Kiang Li Hwa selama beberapa bulan bekerjasama dengan pentolan Thian Liong Pang. Kasihnya kepada Kiang Li Hwa dan janji juga Kiang Li Hwa untuk kelak akan memberikan anaknya sebagai murid pewaris Durgnini, membuat nenek ini terharu dan menyeberang melawan Thian Liong Pang.

Sementara Nenggala sendiri, selain menerima didikan paman sekaligus gurunya, Bintang Sakti Membara, juga menerima warisan dari Kakek Dewa Pedang dari Thian San Pay yang mujijat itu. Bahkan, sebelum dan sesudah pertempuran hebat di markas Thian Liong Pang, Nenggala telah menerima didikan langsung dari kakek gurunya, Kolomoto Ti Lou. Didikan yang membuatnya menjadi jauh lebih matang, jauh lebih masak dalam mendalami dan menekuni ilmu-ilmu sakti yang kini mengeram dalam tubuhnya. Pasangan calon pengantin ini benar-benar pasangan sempurna, baik dari segi fisik maupun terutama kemampuan silat mereka yang kini sudah sulit menemukan tandingannya di dunia persilatan.

Tapi, apakah tempat dimana para naga itu berkumpul benar-benar tidak berani didatangi orang lain? Mungkin bagi kebanyakan orang. Tapi tidak bagi orang-orang berkemampuan khusus. Terutama bagi mereka yang sudah merasa berkemampuan "tanpa-tanding" dan selalu tidak puas dengan capaian orang lain. Seperti tiga orang tua yang begitu gelap menjelang datang dan berganti malam, nampak menyatroni Lembah Pualam Hijau. Tetapi, tunggu dulu. Bukan hanya tiga, tetapi kelihatannya ada 4 orang. Karena salah satu diantara 3 kakek tua yang bergerak begitu cepat bagai bayangan, nampaknya membawa sesosok tubuh yang tidak berdaya. Siapa gerangan orang-orang tua hebat yang begitu berani mati membayangi dan menyatroni Lembah Pualam Hijau di waktu malam itu?

"Sungguh sombong, mereka membiarkan pintu gerbang hanya dengan penjagaan 2 orang semata"? terdengar salah seorang kakek berkata. Dalam kegelapan malampun dia masih sanggup mengetahui kalau ruang perondaan atau penjagaan di pintu masuk Lembah Pualam Hijau hanya di jaga dua orang belaka.

"Hmmmm, jika aku tidak salah, mereka tidak melulu mengandalkan penjagaan biasa. Penjagaan yang "tidak biasa" itu yang justru akan menyulitkan kita" berujar seorang kakek yang satu lagi.

"Apakah yang engkau maksudkan barisan pohon-pohon itu yang merupakan penjagaan "tidak biasa" itu"? kakek pertama bertanya kembali.

"Kalau tidak salah, itu hanya salah satunya. Jika tanpa penjagaan yang luar biasa, mustahil Lembah Pualam Hijau bertahan begitu lama nama besarnya dalam rimba persilatan Tionggoan"

"Hmmmm, masuk di akal. Tetapi, entah mengapa aku tidak melihat dan merasakan keanehan dari barisan pepohonan di sisi jalan masuk ke Lembah Pualam Hijau" kembali kakek yang pertama menukas.

"Jika teramat mudah untuk dikenali dan diketahui, bukan barisan biasa namanya. Rasanya sudah saatnya kita meminta bantuan orang itu. Bangunkan dia" Kakek kedua yang selalu menjawab pertanyaan kakek pertama memerintahkan kepada kakek ketiga yang membawa sesosok tubuh kaku dalam perjalanan mereka. Dan si kakek ketiga segera menjawab:

"Baiklah, biar kusadarkan dia ...." sambil berkata demikian, si kakek ketiga telah menurunkan tubuh seorang yang selalu dipanggulnya. Dan kemudian dengan kibasan tangan seperti kibasan biasa saja, tiba-tiba totokan atas tubuh orang itu telah lepas. Disusul dengan dengusan tertahan bernada kekagetan dari orang tertotok yang selalu dibawa-bawa kakek ketiga tadi.

"Achhh, dima......."? belum selesai orang itu bersuara, tiba-tiba dia merasakan sesuatu terjadi atas tubuhnya dan tiada satu suara lagipun yang mampu dikeluarkannya. Hanya terdengar desisan di telinganya yang mendenging dan mengingatkan dia:

"Diamlah, jangan bersuara. Kita berada di kandang Naga, apa yang harus kau lakukan, lakukan dan jangan banyak bertanya. Nach, kini waktunya engkau menunjukkan kemahiranmu. Cobalah engkau mempelajari barisan di sisi kanan dan kiri jalan masuk ke Lembah Pualam Hijau. Sanggupkah engkau"?

Ornag yang tadi tertotok hanya mengangguk. Tetapi beberapa saat kemudian dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tetap saja tiada sedikit suarapun yang keluar. Dengan terpaksa dia menggunakan bahasa isyarat, tangannya digerak-gerakkan menunjuk ke kejauhan. Agaknya dia ingin mengatakan bahwa jarak terlampau jauh baginya untuk mengenali barisan yang dimaksud.

"Apakah maksudmu harus datang lebih dekat lagi biar lebih bisa menganalisanya"?

Orang itupun mengangguk-angguk. Dan si Kakek kedua yang biasanya menjawab pertanyaan kakek pertama nampak telah mengerahkan tenaga dan berdiskusi dengan kedua kawannya yang lain:

"Penjaga di pintu gerbang biarpun hanya berdua, tetapi memiliki kepandaian yang cukup memadai. Tetapi, menyerang mereka meski sanggup melumpuhkan keduanya akan sama saja memberitahu penghuni Lembah Pualam Hijau akan kedatangan kita. Repotnya, si keroco Bun Tho Hoa ini harus datang agak dekat baru mampu menganalisa barisan pohon itu. Bagaimana usulan kalian"?

"Kedatangan kita hanya untuk berurusan sejenak dengan Duta Agung, sekaligus menakar kebenaran ucapan Kolomoto Ti Loudan Kiang Sin Liong. Ada lebih baik kita menghindari bentrokan yang tidak perlu dengan orang-orang lain" terdengar kakek ketiga bersuara memberi usulan.

"Tapi, tak ada salahnya kita mengenali barisan aneh di Lembah ini, tidak setiap saat kita punya kesempatan seperti malam ini" mendesis kakek yang pertama.

"Hmmmm, aku cenderung menyetujui usulan kalian berdua" berkata kakek kedua setelah menimbang-nimbang beberapa saat.

"Maksudmu ...."? Kakek pertama bertanya heran.

"Maksudku, kita tidak harus masuk berterang melalui pintu masuk ini, tetapi kita perlu mengenali jenis barisan dalam Lembah Pualam Hijau. Untuk maksud itu, kita masing-masing akan memiliki tugas sendiri-sendiri"

"Baik, aku setuju" Kakek pertama memberi persetujuan

"Akupun setuju jika demikian" sahut kakek ketiga.

"Kita tetapkan demikian; tugasku membawa si Bun Tho Hoa mendekati pintu gerbang dan tugas kalian berdua mengerahkan ilmu sihir dan kekuatan batin untuk membentengi pergerakanku dari kedua penjaga itu. Bagaimana?"

"Baik, kita lakukan demikian"

"Baik, akupun setuju"

Dan tidak berapa lama kemudian dari kejauhan kakek pertama dan ketiga telah bersila mengerahkan kekuatan mereka. Bersamaan dengan itu, kakek kedua telah berkelabat mendekati gardu penjagaan. Dia melaju di depan diikuti Bun Tho Hoa, tetapi keduanya tidak sampai memasuki pintu gerbang dan datang terlalu dekat. Bukannya takut. Tetapi, kakek kedua dengan cepat menahan tangan Bun Tho Hoa, si jago barisan dari Bwe Hoa Cung.

"Perlahan ......, cukup sampai disini. Kita tidak boleh melangkah maju lebih jauh lagi. Meskipun terlindung kekuatan sihir, tetapi terlampau dekat dengan pintu gerbang dan jalan masuk bisa gampang dideteksi lawan. Lakukan saja tugasmu"

"Aku membutuhkan waktu yang cukup lama guna mengenali barisan dari luarnya. Meksipun tidak akan selengkap jika secara langsung memasuki pusat barisan itu, tetapi akan cukup jika sekedar mengenali kehebatan dan perubahan-perubahan dasarnya. Baik, aku akan mulai ....."

Setelah cukup lama memandang, menilai posisi pohon, letak persilangan pepohonan, posisi jalanan dan detail pepohonan yang ditanam, Bun Tho Hoa akhirnya menarik nafas dan kemudian berkata:

"Sudah cukup" sambil berkata demikian dia melirik ke arah kakek kedua yang menjaga dan membawanya mendekati gardu jaga itu. Tetapi dalam kagetnya, dia melihat betapa Kakek kedua yang membawanya juga sedang terperangah dan nampak bingung memandangi jalanan dan barisan pepohonan di dalam Lembah Pualam Hijau. Bahkan nampak seperti orang tua itu memandang takjub. Maka, sekali lagi dia berkata:

"Sudah cukup locianpwee ....." dan kali ini dia berhasil beroleh respons dari si kakek kedua itu. Kakek tua itu memandangnya sekejab, sambil menggelengkan kepala seakan tidak percaya dia mendesis:

"Sungguh sulit dipercaya ......" dan sambil terus mendesis keduanya melangkah kembali ke tempat persembunyian kedua kakek lainnya.

Ketika kembali mereka bertemu, kakek kedua telah dengan cepat berkata:

"Kita harus cepat berlalu. Barisan pepohonan di dalam Lembah dan pintu masuk mungkin saja kita terobos. Tetapi ada kekuatan lain yang memagari pintu masuk itu, dan sungguh tidak cerdas bagi kita untuk menerobosnya. Tetapi, aku berkeyakinan pasti ada jalan masuk yang tidak akan diduga oleh penghuninya. Mari ....."

Maka berlalulah keempat orang itu. Meskipun medannya luar biasa sulit, tetapi dengan mudahnya keempat orang itu, terutama ketiga kakek itu untuk berlalu dan menyelidiki keadaan disekitar Lembah Pualam Hijau. Hanya saja, setelah berjam-jam menelisik, tetap saja mereka tidak menemukan cara masuk melalui bagian depan dan samping. Apalagi jika mau masuk melalui tebing, sudah dipastikan mustahil dilakukan diwaktu malam.

Meskipun menurut Bun Tho Hoa barisan pepohonan masih mungkin diterobos, tetapi kakek kedua yang nampaknya bertindak sebagai pemimpin menampik kemungkinan itu.

"Tidak bisa. Melawan dengan kekuatan sihir ataupun dengan kekuatan batin guna menyingkap tabir penjagaan itu adalah pekerjaan berat dan akan menghabiskan kekuatan kita. Apalagi, jelas kelihatan bahwa tabir itu bukan dibangun dengan kekuatan yang sewajarnya, sangat mungkin merupakan rahasia alam yang kemudian dimanfaatkan oleh tokoh pemasang tabir itu. Inilah sebabnya pagar itu justru sangatlah kuat dan kokoh, sangat sulit ditembus. Jikapun memaksakan diri, kita akan dengan sangat cepat ketahuan lawan, dan jika sudah demikian tidaklah baik untuk missi kita malam ini"

"Jika demikian, nampaknya pilihan kita sangatlah terbatas. Karena bagi kita, tinggal pilihan tersulit yang masih tetap memungkinkan untuk dilakukan. Meskipun untuk pilihan itu, kita harus banyak mengeluarkan keringat dan kekuatan fisik. Bagaimana, apakah untuk menerobos memang tinggal kemungkinan itu"? Kakek ketiga memberi saran untuk memecah kebuntuan.

"Jika memang tinggal pilihan itu, terpaksa memang kita harus lakukan" berkata kakek kedua dengan nada mendesis.

"Hmmmmmmm ..." kakek pertama hanya mengeluarkan suara seperti mendengus. Karena memang sulit bagi dia mengeluarkan ide atau usulan lain.

"Baiklah, jika memang pilihannya demikian, kita harus segera mengerjakannya. Kita harus mengeluarkan banyak tenaga guna mencapai titik itu, dan masih harus teap membawa si Bun Tho Hoa guna menjaga kemungkinan barisan hutan di bagian itu juga adalah barisan gaib"

Dan berangkatlah kembali keempat manusia itu. Melesat pergi dari tempatnya bagai bayangan tanpa meninggalkan jejak maupun suara sedikitpun. Dan lebih dua jam kemudian, di bagian samping atau sisi kanan Lembah Pualam Hijau, tempat yang diperkirakan "mustahil" didatangi orang, perlahan-lahan dan satu persatu muncul pendatang yang tidak diharapkan. Gampang ditebak, mereka adalah ketiga kakek sakti yang mencoba membobol pintu gerbang Lembah Pualam Hijau bersama seorang ahli barisan gaib dari Bwe Hoa Cung, Bun Tho Hoa.

Keempat manusia itu, menempuh jalanan super sulit untuk mencapai posisi mereka sekarang. Karena mereka harus memanjat tebing terjal atau bahkan tebing yang berdiri vertikal dan selalu licin dan lembab. Itulah sebabnya mereka membutuhkan waktu yang lama, karena mereka harus menggunakan ketajaman mata, kehebatan ginkang dan masih harus membantu Bun Tho Hoa yang belum selihay mereka bertiga dalam ilmu meringankan tubuh. Alhasil, begitu mencapai lokasi saat ini, mereka bertiga atau berempat dengan Bun Tho Hoa sudah banyak menggunakan tenaga fisik. Padahal, posisi mereka masih terpaut sekitar 2-3 meter lagi dari tanah datar di atas tebing yang ditumbuhi pepohonan.

Tetapi, disinilah justru ketegangan diantara mereka meningkat. Mereka belum tahu apakah pepoponan di atas diatur berdasarkan barisan tertentu dan apakah "pagar" seperti di pintu gerbang juga dipasang di hutan atas tebing tersebut. Dan untungnya setelah beristirahat sejenak, kakek kedua dan kakek ketiga sudah saling pandang dan tersenyum. Senyum keduanya ditingkahi dengan pertanyaan kakek pertama:

"Apakah kalian sudah yakin jika "pagar pengaman" tidak dipasang di atas"?

"Benar ....." adalah kakek ketiga yang menjawab sambil tersenyum

"Tetapi, pepohonan itu diatur menurut barisan yang mirip dengan barisan di pintu masuk Lembah. Jika harus masuk, kita mau-tidak-mau harus menaklukkan barisan itu" berkata Bun Tho Hoa setelah memandang beberapa saat sambil menilai dan menganalisis keadaan di atas.

"Kita memang harus masuk dan harus menaklukkan barisan itu tanpa suara. Dan itu adalah bagianmu ...." berkata kakek kedua dengan suara keren.

"Jangan takut, aku pasti akan berusaha sekuat tenaga, tetapi perkenankan aku menganalisis terlebih dahulu dari mana kita memasuki barisan itu terlebih dahulu" Bun Tho Hoa memberikan jaminannya bahwa mereka akan bisa menaklukkan barisan itu tanpa mengeluarkan suara.

Tetapi, setelah bolak-balik menganalisis barisan pepohonan di atas tebing, Bun Tho Hoa masih belum sanggup menemukan pintu mana yang paling pas dan paling tepat untuk dimasuki. Apalagi dibawah desakan dan tekanan ketiga kakek sakti yang semakin lama semakin tidak sabar untuk segera melangkah memasuki barisan itu. Untungnya dia berhasil mencegah dengan mengatakan:

"Jenis barisan seperti ini, sekali kita salah melangkah masuk, maka sulit bagi kita untuk menemukan pusatnya dan menemukan perubahan-perubahannya. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak Lembah Pualam Hijau akan mencium keberadaan kita jika barisan itu bergerak"

Kalimat itulah yang membuat ketiga kakek sakti itu dengan terpaksa mengiyakan analisa Bun Tho Hoa. Sebetulnya mereka bertiga punya kemampuan untuk mengubrak-abrik barisan itu, dan bahkan mereka merasa sanggup keluar dari barisan itu. Masalahnya adalah, jika itu mereka lakukan, dengan cepat jejak mereka akan ketahuan musuh. Dan resikonya adalah, bakalan buyar misi utama untuk menyatroni Lembah Pualam Hijau. Dan karena itu pula, mereka bertiga rela untuk sedikit bersusah-susah agar mampu menyusup masuk ke Lembah Pualam Hijau tanpa ketahuan. Bahkan untuk maksud itu, mereka sampai harus menyandera salah seorang "ahli barisan" dari keluarga persilatan Bwe Hoa Cung yang sudah lama tidak berkeliaran di dunia persilatan.

"Jadi haruskah misi malam ini gagal? Hmmmm, setelah bersusah-susah sampai disini, terlampau mahal harganya kalau mundur" kakek pertama yang memang biasanya paling tidak sabaran telah buka mulutnya. Tetapi, kekesalannya tidak digubris Bun Tho Hoa yang nampak tetap tenggelam dalam analisis dan hitungan rumit atas barisan gaib di atas tebing itu. Adalah kakek kedua yang menjawab kekesalan kakek pertama:

"Dan, malam ini adalah batas terakhir yang memungkinkan semua upaya kita selama beberapa bulan terakhir ini untuk terwujud. Jika kita gagal, maka semua upaya kita bakalan gagal total. Lupakan upaya kita mengalahkan orang tua bangka itu" desisnya sambil menerawang keangkasa bagaikan sedang mengamati bintang-bintang yang jauh disana.

"Jika memang terpaksa, apa boleh buat kita harus membuka jalan darah" kembali Kakek pertama mengusulkan dengan mengepalkan tangannya. Semakin jelas, kakek pertama ini memang yang paling berangasan.

"Sabarlah, kekuatan mereka di Lembah Pualam Hijau ini meski sudah tanpa Kiang Sin Liong masih teramat hebat. Apalagi terdapat Durganini dan Bintang Sakti Membara selain Kiang Cun Le dan si Nenek Liong-i-Sinni. Jika kita sanggup menyusup masuk tanpa halangan mereka semua, ditanggung lebih setengah bagian missi kita telah tercapai" Kakek ketiga menyabarkan si Kakek pertama, sementara Kakek kedua tetap sibuk menghitung bintang.

"Ach, analisismu memang benar dan sangat tepat. Tapi harus diingat, waktu terus berjalan. Padahal saat ini sudah hampir mendekati tengah malam. Artinya kita tinggal memiliki waktu dan kesempatan tidak lebih dari 6 jam kedepan. Sampai kapan kita harus menunggu"?

Belum lagi Kakek kedua dan ketiga menimpali kalimat terakhir kakek pertama, tiba-tiba terdengar Bun Tho Hoa mendesis:

"Dapat, aku dapat caranya ......... harusnya begitu ...."

Dan mendengar desisan Bun Tho Hoa, Kakek pertama dan kakek ketiga sudah dengan cepat berpaling dan memegang tangan Bun Tho Hoa. Terutama Kakek pertama, dengan cepat dia bertanya:

"Jelaskan, bagaimana caranya kita menaklukkan Barisan di atas"

Sambil memandang kakek pertama yang nampak tegang dengan meringis kesakitan Bun Tho Hoa berkata:

"Lepaskan dulu remasan tanganmu ...... sakit"

"Maaf, maaf ....... " ujar Kakek pertama sambil melonggarkan remasan di tangan Bun Tho Hoa. Rupanya, saking tegangnya, dia telah mengerahkan banyak tenaga secara otomatis ketika memegang lengan Bun Tho Hoa.

"Sekarang, jelaskan apa yang engkau temukan seputar menaklukkan barisan itu" terdengar Kakek ketiga yang kini menanyai Bun Tho Hoa setelah Kakek pertama melonggarkan remasan tangannya.

"Aku sudah bisa menduga dimana jalan masuknya. Tetapi, dibutuhkan bantuan locianpwee bertiga agar aku mampu melihat dari dekat kondisi barisan itu, terutama dari bagian atas"

Kakek pertama dan ketiga memandang antusias dan Kakek kedua, juga telah ikut antusias mendengarkan penjelasan Bun Tho Hoa. Jelas nampak Bun Tho Hoa menjadi senang karena pengetahuannya membuat ketiga Kakek yang luar biasa lihay ini terkagum-kagum kepadanya. Maka dia melanjutkan:

"Karakteristik barisan di atas, nampaknya dibangun di atas pijakan satu titik pusat dengan 6 jalur atau 6 sisi"

"Ya, aku tahu itu ....." Kakek kedua menyela

"Memasuki barisan itu tanpa menggerakkannya hanya dimungkinkan melalu sisi-sisi peralihan setiap sisi. Tetapi, resiko bergeraknya barisan sangat besar. Nampaknya, barisan hutan di atas tebing hanya terdiri dari satu barisan tunggal, dan jika demikian maka satu-satunya cara paling aman adalah memasukinya melalui pusatnya dan langsung menekan titik pusatnya agar tidak menggerakkan 6 sisinya. Hanya cara ini yang memungkinkan kita memasuki barisan dan Lembah Pualam Hijau tanpa diketahui orang-orang di dalam Lembah. Dan, satu hal lagi, Barisan itu tidak akan mengeluarkan kemampuan gaibnya selama titik pusat di bagian tengahnya tetap dalam penguasaan kita. Hanya itu yang bisa kukatakan mengenai Barisan di atas tebing dan bagaimana memasukinya dengan aman" Bun Tho Hoa menjelaskan panjang lebar dan setelah itu dia kembali berdiam diri. Nampaknya dia menikmati kediamannya setelah penjelasannya membuat ketiga Kakek lihay itu terdiam dan terang kagum atas pengetahuannya.

Tetapi setelah berpandangan sekian lama, Kakek kedua yang kelihatannya bertindak sebagai pemimpin missi telah berkata:

"Apa pula maksudmu dengan membutuhkan kami bertiga"?

"Kepandaian silatku memang tidak rendah, tetapi masih belum sanggup untuk melompat setinggi lebih 10 meter guna memasuki barisan itu secara vertikal. Lihat saja, jarak ke atas tebing masih ada sekitar 2 meter, pepohonan yang digunakan sebagai barisan sudah kuhitung tadi ada sekitar 3-4 meter, totalnya ada 6-8 meter. Dan untuk memasuki pusat barisan, harus dilakukan minimal 2 kali tinggi pepohonan yang menjadi barisan itu. Artinya, aku harus melompat tinggi ke atas minimal tingginya 10 meter. Dan terus terang saja, aku tidak memiliki kesanggupan untuk melakukannya" jelas Bun Tho Hoa dan hal tersebut membuat ketiga Kakek itu manggut-manggut paham.

"Kalau urusan itu serahkan kepada kami" Kakek pertama telah dengan cepat menukas yang dianggukkan tanda setuju oleh kedua kakek lainnya.

"Baiklah, jika demikian mari kita segera bersiap. Caranya demikian ...." Kakek kedua kembali mengambil alih koordinasi dan kemudian mengatur mereka berempat untuk bagaimana memasuki barisan. Bahkan kemudian mengatur sampai bagaimana keluar dari Lembah melalui Barisan tersebut. Ada kurang lebih 10 menit mereka melakukan persiapan, dan setelahnya upaya memasuki barisan dilakukan melalui aksi yang nampak akrobatik.

Bun Tho Hoa melompat terlebih dahulu, tetapi baru 3 meter ketinggian lompatannya tiba-tiba dia merasa selarik angin pukulan mendorong dari bawah tubuhnya dan otomatis dia beroleh pijakan untuk melambung lebih jauh. Dan ketika memasuki ketinggian 7-8 meter, tiba-tiba sebuah tangan, nampaknya tangan Kakek ketiga kembali mendorongnya untuk melambung lebih jauh hingga melampaui ketinggian 10 meter dari tempat atau titik dia melompat. Dan meski hanya beberapa ketika, tetapi teorinya tentang akses masuk Barisan aneh melalui titik pusat ternyata memang benar. Dia mampu melihat dari ketinggian arah dan celah mana yang harus digunakan untuk memasuki pusat barisan pohon itu. Diapun meluncur turun dan ditunggu dengan penuh ketegangan oleh ketiga Kakek lihay itu.

"Bagaimana ..... memang benar demikian"? kembali Kakek pertama yang langsung mencecarnya dengan pertanyaan.

Bun Tho Hoa memandang sejenak Kakek pertama dan kemudian sambil tersenyum dia mengangguk dan berkata:

"Tidak salah lagi"

Jawabannya disambut dengan tarikan nafas lega ketiga Kakek sakti itu. Tidak percuma mereka berupaya sekeras itu untuk menemukan cara dan jalan paling tepat untuk memasuki Lembah Pualam Hijau. Tetapi, apa sebenarnya keperluan ketiga Kakek sakti itu memasuki Lembah Pualam Hijau?

Tidak berapa lama, kembali mereka berempat kini melakukan persiapan. Pertama adalah membantu Bun Tho Hoa untuk memasuki Barisan dan menguasai titik pusat Barisan. Dan untuk melakukannya, mereka bertiga harus bahu-membahu dan bekerja sama. Seperti aksi akrobatik tadi, Kakek kedua mendorong dengan kekuatannya untuk menambah daya luncur ke atas Bun Tho Hoa. Pada ketinggian 6 meter, Kakek pertama menyusul Bun Tho Hoa dan menghempaskannya kembali ke-atas, dan di ketinggian itu, dia juga membantu Kakek ketiga untuk meluncur lebih jauh ke atas. Pada ketinggian 10 meter, Kakek ketiga meluncur horisontal beberapa meter sambil menjinjing Bun Tho Hoa yang menunjukkan jalan akses guna secara vertikal turun ke pusat barisan. Dan ....... berhasil.

Jika dijelaskan, proses tersebut berlangsung secara sangat singkat meskipun cukup banyak dan panjang kalimat yang harus digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkannya. Yang pasti, Kakek ketiga dan Bun Tho Hoa kini telah meluncur masuk dan berada dalam barisan aneh di atas tebing tersebut. Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang dikirimkan Kakek ketiga, terdengar jelas di telinga Kakek pertama dan kedua:

"Sudah dikuasai, kalian sudah bisa segera menyusul" dan seiring dengan suara itu berlalu, Kakek pertama telah melontarkan sesuatu keudara dan dengan cepat tubuhnya mencelat mengejar benda itu diangkasa. Pada ketinggian sekitar 6-7 meter, Kakek pertama menggerakkan kakinya untuk mendapatkan daya pijakan agar mampu melontarkan tubuhnya lebih tinggi lagi. Dan luar biasa, dia sanggup mencapai ketinggian 10 meter bahkan lebih guna kemudian memasuki barisan lewat jalan yang di atur dan dijelaskan Bun Tho Hoa. Cara yang sama juga dilakukan oleh Kakek kedua, dan dalam waktu tidak lama mereka berempat kini sudah berada di dalam barisan di atas tebing tersebut.

"Selamat datang di dalam LEMBAH PUALAM HIJAU. Kini, waktunya kita melakukan gerakan dan missi yang sebenarnya" desis Kakek kedua sambil memandang Kakek pertama dan Kakek ketiga yang menyambut ucapannya dengan anggukkan kepala. (BERSAMBUNG)
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd