Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tarian liar naga sakti by marshall (jilid 3)

andytama124

Guru Semprot
Daftar
25 Dec 2014
Post
565
Like diterima
41
Bimabet
Prolog KISAH PARA NAGA BAGIAN III

KISAH PARA NAGA DIPUSARAN BADAI
(BAGIAN III)

Oleh:
Marshal

Kisah Para Naga di Pusaran Badai (KPNPB) sudah menyelesaikan Bagian I yang terdiri dari 20 episode dan Bagian II yang terdiri dari 25 episode. Tetapi, kisah itu sendiri masih belum usai. Masih terdapat banyak hal yang belum terselesaikan. Bahkan episode terakhir hingga epilog Bagian II KPNPB juga masih tetap menyiratkan potensi benturan yang sangat besar dengan peran para Naga Muda yang sudah diproyeksikan untuk mengambil alih keseluruhan tanggungjawab penanganannya.

Dalam Bagian I – dikisahkan atau mengisahkan masa dan periode belajar dan menempah diri para Naga Muda hingga kemudian memasuki posisi penting kelompok Pendekar Tionggoan. Bagian Pertama ini masih menceritakan bagaimana peran penting tokoh-tokoh sepuh: Kian Ti Hosiang, Kiong Siang Han, Wie Tiong Lan dan Kiang Sin Liong yang menjadi Suhu dari para pendekar atau Naga Muda. Di bagian ini, juga peran penting angkaran Kiang Cun Le, Liong-i-Sin Nie, Siangkoan Tek masih sangat terasa. Masa ini boleh disebut masa belajar dan masa pertumbuhan dari Naga-naga muda. Mereka itu adalah Kiang Ceng Liong, Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song, ditambah dengan Siangkoan Giok Lian dan Siangkoan Giok Hong.

Dalam Bagian II – Peran para Naga Muda sudah menjadi jauh lebih penting dan signifikan. Mereka, meski kemudian kepemimpinan diambil alih Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila, tetapi pada intinya adalah Naga-naga muda yang tampil untuk menyelesaikan banyak pertikaian dengan Thian Liong Pang. Hanya, meski demikian di Bagian II – pada pertaruhan terakhir, peran tokoh-tokoh sepuh masih sangat penting. Pada Kisah II ini, para Naga muda juga dikisahkan terus dan tetap mengasah diri dengan cara yang berbeda dan kemudian memperoleh hasil yang luar biasa dalam penguasaan Ilmu Silat mereka. Selain itu, tokoh-tokoh hebat, juga pada bermunculan di Kisah II. Tokoh-tokoh dari Jawadwipa, Tibet, Thian Tok – bersilangan dalam konflik yang terjadi di Tionggoan. Dan, yang tak kurang penting – selain peran Naga-naga muda menjadi sentral, juga lembaran kisah asmara mulai terlihat.

Hal-hal yang masih belum tuntas dan menjadi pertanyaan serta akan diceritakan di Bagian III adalah:

Pertama, kemana Siangkoan Giok Hong – dara sakti dari Bengkauw setelah “diduga” di bawah pengaruh racun asmara telah berhubungan badan dengan Kiang Ceng Liong? Pada bagian III nanti, tokoh ini akan dimunculkan meski tidak dalam porsi yang sangat banyak. Seperti apa penampilannya, bagaimana nasibnya, bagaimana pula kesaktiannya akan ditampilkan dalam Kisah Para Naga di Bagian III. Penampilannya juga akan menjadi salah satu landasan untuk Kisah lanjutan dari KPNPB ini .......

Kedua, perebutan Lembaran Pusaka belum selesai. Wisanggeni yang bertarung dengan keponakan muridnya, Nenggala, tidak menunjukkan penyelesaian karena pertarungan berakhir imbang. Akhirnya hingga nasib lembar pusaka itu justru tidak menentu. Dalam batas akhir usia Kolomoto Ti Lou, apakah dia yang akan menyelesaikannya ataukah dia mempersiapkan cara dan jalan lain lagi? Bagian III akan menyelesaikan kisah perebutan ini. Menarik menunggu apa yang akan dilakukan oleh Kolomoto Ti Lou, karena bersama Sin Liong, Bhiksu Chundamani dan Wie Tiong Lan – mereka sudah mengerti bahwa batas usia mereka sudah menjelang tiba.

Ketiga, janji pertemuan adu ilmu silat antara wakil Tionggoan (Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kay Pang) melawan wakil Lam Hay Bun – Bengkauw dan Thian Tok (India) akan kembali di gelar. Terhitung waktu 2 (dua) tahun setelah pertempuran hebat di markas Thian Liong Pang. Sebagaimana perjanjian, pertarungan akan melibatkan tokoh tua dan tokoh muda, bagaimana berlangsungnya dan siapakah pemenangnya? Bagian III KPNPB akan mengisahkannya nanti.

Keempat - kemana Majikan Kerudung Hitam (yang juga bermarga KIANG), Hu Hoat Pertama dan tokoh-tokoh hebat Thian Liong Pang lainnya? Bagian III juga akan menceritakan nasib mereka. Khusus dengan Majikan Kerudung Hitam, melanjutkan tragedi Lembah Pualam Hijau yang ternyata tidak usai dan tidak selesai dalam Kisah Bagian II. Menarik menantikan bagaimana Majikan Kerudung Hitam yang dibawa Lamkiong Sek – tokoh seangkatan 4 Manusia Gaib Tionggoan – yang juga menunggu ajal akibat pertarungan berat dengan tokoh-tokoh hebat: yakni antara Kolomoto Ti Lou – Wie Tiong Lan – Kiang Sin Liong – Bhiksu Chundamani melawan Lamkiong Sek – Bu Hok Lokoay – Hiong Say Tay Pek San – Naga Pattinam – Wisanggeni. Apa yang akan dilakukan oleh tokoh-tokoh hebat yang juga telah dibatasi usia dengan ambisi mereka yang masih juga belum padam?

Kelima – Bagaimana pula lanjutan kisah cinta antara Liang Tek Hoat dengan Siangkoan Giok Lian dan Souw Kwi Beng yang naksir gadis lebih tua darinya Kiang Li Hwa? Bagaimana pula akhir kisah mereka karena justru Li Hwa lebih condong untuk memilih Nenggala sementara bahkan Kolomoto Ti Lou telah mengajukan lamaran? Dan yang paling menarik adalah, bagaimana Kiang Ceng Liong menyelesaikan kisah cintanya dengan Liang Mei Lan? Akankah dia menikahi Liang Mei Lan yang dicintainya dan juga mencintainya meski belum sempat mereka resmikan justru karena Kiang Ceng Liong “menduga” dia telah bersebadan dengan Giok Hong? Bagaimana pula kisah Souw Kwi Beng, Souw Kwi Song pada lanjutan di bagian III? Kisah cinta ini akan terurai dan terselesaikan pada Bagian III KPNPB. Entah happy ending ataukah sad ending dari love story tersebut.

Keenam – benarkah dugaan Sin Liong bahwa Lembah Pualam Hijau bakal menjadi sasaran utama tokoh-tokoh Thian Liong Pang yang mengalami kegagalan itu? Apa sebabnya Lembah Pualam Hijau yang menjadi sasaran? Dan bagaimana pula Lembah ini mempersiapkan diri menghadapi ancaman tersebut? Kisah III juga akan menceritakannya.

Ketujuh – ada apa sebenarnya dengan Kiang Tek Hong? Kisah II ternyata belum tuntas menceritakan tragedi apa yang dialami Tek Hong? Mengapa dia menjadi Pangcu Thian Liong Pang? Ada hubungan apa dia dengan Lamkiong Li Cu saudara dari istrinya Lamkiong Li Hong? Mengapa muncul Kiang Li Hwa dan Kiang Hauw Lam sebagai anak-anaknya? Kisah rumit mengenai Kiang Tek Hong, Kiang Siong Tek – menjadi rahib di Siauw Lim Sie – yang adalah tragedi internal dari Lembah Pualam Hijau, pada akhirnya akan dibuka pada Bagian III kisah ini. Dan tentu dengan menyelesaikannya.

Masih banyak hal lain yang akan muncul kelak. Baik tokoh-tokoh baru, maupun tokoh lama seperti Pendeta sakti Jawadwipa (ada dimana dia gerangan?), Siangkoan Giok Hong yang akan muncul. Bagaimana pula nasib Tek Hoat? Apakah dia akan menjadi Pangcu Kaypang? Bagaimana jodohnya dengan Giok Lian? Kemudian juga nasib Kwi Song dan Kwi Beng, nasib murid pewaris Nenggala di Thian San Pay, dan masih banyak lagi.

Semua pertanyaan tersebut akan dijawab dan terjawab dalam Bagian Terakhir dari KISAH PARA NAGA ini. Yakni di bagian III nya. Sebagaimana bagian II, mungkin bagian III juga akan diselesaikan dalam waktu yang lama, sebelumnya saya mohon maaf. Tetapi, komitmen menyelesaikannya tetap tinggi ....... Selamat menikmati .......
 
Yeyyyyy :hore: muncul seri yg 3 bakal menjawab banyak pertanyaan :haha:
 
BAB 1 Lembah salju bernyanyi
1


Oleh:
Marshal

Pengantar dari Penulis

Kisah Para Naga di Pusaran Badai (KPNPB) Bagian III ini dengan sengaja diberi judul: TARIAN LIAR NAGA SAKTI. Judul ini sebetulnya menggambarkan substansi kisah dan cerita di Bagian terakhir dari Trilogi KPNPB ini. Meski dapat dibaca secara terpisah sebagai sebuah Cerita Silat tersendiri, tetapi Kisah ini akan lebih bisa diikuti dengan membaca Bagian I dan Bagian II yang masing-masing kami posting di website ini (indozone.net) di bawah judul KISAH PARA NAGA DI PUSARAN BADAI.

Semua tokoh utama di KPNPB III (Tarian Liar Naga Sakti) ini adalah juga tokoh tokoh utama di Bagian I dan Bagian II. Selebihnya, alur cerita KPNPB III juga adalah lanjutan dan klimaks dari Bagian I dan Bagian II. Karena itu, bagi para pembaca KPNPB III ini, dianjurkan untuk membaca pendahuluan yang juga dimuat di website ini. Kisah ini dimuat secara online hanya di indozone.net, dan tidak dimuat secara online di website kisah silat lainnya. Kecuali jika ada para pembaca yang upload kisah ini di website lainnya. Tetapi, saya pribadi selaku penulis cerita, tidak memposting cerita ini secara online di website lainnya. Update kisah ini dilakukan hanya di indozone.net.

Meskipun akan ada beberapa tokoh baru, tetapi fokus cerita masih tetap para Naga Muda – Kiang Ceng Liong, Liang Tek Hoat dan adiknya Liang Mei Lan, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song, pendekar kembar dari Siauw Lim Sie, dan juga Siangkoan Giok Lian. Tokoh-tokoh lain, juga masih akan muncul kembali di Bagian III ini: seperti Majikan Kerudung Putih yang di Bagian III ini telah menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau – Kiang Li Hwa; Majikan Kerudung Hitam yang selanjutnya akan tampil juga; Para tokoh sepuh masih akan muncul tetapi dengan porsi yang lebih minimal; Angkatan Kiang Cun Le dan Kiang In Hong (Lion-i-Sinni) seperti Tocu Lam Hay dan Kawcu Bengkauw, juga masih akan hadir. Begitu juga murid-murid Kiong Siang Han, Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan dan Kiang Sin Liong.

Bahkan tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang sebagian masih akan munculkan dirinya dan meramaikan KPNPB III ini. Kisah ini sebagaimana prolog bagian III yang kami re-posting di TARIAN LIAR NAGA SAKTI ini, memang dihadirkan untuk menjawab banyaknya pertanyaan yang masih menggantung. Termasuk beberapa pertanyaan yang diajukan beberapa pembaca melalui inbox pribadi kami di indozone.net. Ada beberapa kawan yang mengajukan usulan alur kisah, masukan gaya bahasa serta bahkan masukan klimaks kisah ini. Bahkan, ada beberapa bahan cerita yang harus kami kemukakan diperoleh dari pembaca kisah ini. Sebagian usulan kami kabulkan, tetapi mohon maaf tidaklah semua usulan kami penuhi. Karena ketika kisah ini mulai dipostingkan, berarti kerangka kisah hingga tamat sudah jadi. Tetapi, karena menulis ini sekedar memenuhi hobby pribadi, maka kami mohon maaf jika updatenya tidaklah secepat kisah-kisah lainnya. Hanya, yang kami jaminkan, kisah ini sudah pasti original dan tidak diposting di website lainnya.

Dan, meski juga bukan janji, setelah kisah ini tamat, akan dilanjutkan dengan kisah yang lain dan yang merupakan kelanjutan. Artinya, sambungan dari KPNPB ini juga sudah dan tengah disiapkan alur dan struktur kisahnya. Ada beberapa kisah yang mengisyaratkan kelanjutan KPNPB, bahkan sejak dari KPNPB I dan KPNPB II. Kelangsungan hidup Para Naga Muda dan keturunan mereka masing-masing akan dikisahkan di kelanjutan KPNPB. Tetapi dalam KPNPB III, TARIAN LIAR NAGA SAKTI, fokus kisah masih di tokoh-tokoh yang sudah ada di KPNPB I dan II.

Singkat cerita, membaca TARIAN LIAR NAGA SAKTI (KISAH PARA NAGA DI PUSARAN BADAI BAGIAN III) sebaiknya dimulai dengan membaca KPNPB I dan II agar bisa mengikuti dengan baik.

Selamat menikmati .......

Episode 1: Lembah Salju Bernyanyi

Lembah itu dipastikan sulit diketemukan manusia. Selain karena berada lokasi yang tersembunyi, juga karena nyaris sepanjang tahun lembah itu tertutupi oleh salju. Dan, meski tidak berada di ketinggian yang sama dengan Thian San Pay, tetapi lembah itu juga selalu dingin dan berselimutkan es. Lembah terpencil itu berada di puncak yang berbeda dengan Thian San Pay, tetapi di ketinggian yang lebih rendah.

Tetapi letaknya itu, tidaklah mengurangi dinginnya udara disekitar lembah yang hanya ditumbuhi segelintir tetumbuhan yang memang khas udara dingin. Lembah itu bernama Lembah Salju Bernyanyi, sebuah lembah yang nyaris sulit diketemukan karena berada dalam kontur alam yang sangat berat. Untuk mencapai Lembah Salju Bernyanyi, manusia harus melewati sejumlah jurang yang sangat dalam dan tidak terseberangi.

Hanya saja, Lembah ini tidaklah menghadap atau searah dengan Perguruan Thian San Pay, karena Lembah ini berada di punggung sebelah utara dari salah satu puncak di bilangan pegunungan Thian San. Sementara di sebelah lain adalah Markas Utama Perguruan Thian San Pay yang berada di sebelah barat dan menghadap ke arah yang berbeda dengan Lembah Salju Bernyanyi. Itulah sebabnya, meski bertetangga tetapi Lembah Salju Bernyanyi dan Perguruan Thian San Pay bukannya sering bertemu. Sebaliknya, justru teramat jarang saling mengetahui dan apalagi saling bersentuhan atau berhubungan.

Untuk saling menggapai meski berada di bilangan gunung yang sama, juga sulitnya minta ampun. Karena bukan saja Lembah Salju Bernyanyi yang berada di antara dua tebing yang sangat tinggi, tetapi karena hal serupa juga terjadi bagi Thian San Pay. Dimana di area belakang perguruan itu, juga adalah sebuah jurang yang sangat dalam dan jarak pandangnya tertutup oleh tebing yang berjarak hampir 100 meter dari daerah belakang perguruan itu.

Tetapi, sebagaimana Thian San Pay dihuni orang, salah satu Perguruan Pedang termasyhur pada puluhan tahun silam, demikian juga dengan Lembah Salju Bernyanyi. Lembah yang sejauh mata memandang adalah lautan es yang menutupi seluruh permukaan lembah. Dan jikapun ada tumbuh-tumbuhan, maka jumlahnyapun teramat jarang dan sulit untuk dikategorikan hutan.

Tempat atau pintu masuk yang paling masuk akal ke Lembah terpencil itu adalah sebuah gerbang bentukan alam. Yakni semacam area luang yang disisakan oleh ujung dua buah jurang atau tebing dengan lebar bagian atas bisa mencapai 10 meteran, namun dibagian bawah hanya selebar 1 (satu) meter belaka. Satu-satunya penanda adanya Lembah itu adalah, bagian bawah yang merupakan “pintu gerbang” alam, tidak ada satupun butiran salju, alias tanah belaka. Tetapi, itu hanya di seputaran “gerbang alam” itu semata, dengan panjang 1 (satu) meter dan melebar menjadi semacam jalan masuk.

Dan, di gerbang alam itu ada sesosok tubuh, seorang nenek tua jika melihat bentuk tubuhnya yang tercetak oleh gumpalan es yang menempel di tubuhnya. Sosok tubuh nenek tua itu duduk bersamadhi di bawah sebuah liang bentukan alam, hanya berjarak 1 meter dari gerbang alam buatan. Liang alam itupun tidaklah besar, hanya mampu menampung paling banyak 3 tubuh orang dewasa dalam posisi duduk. Tidak bisa dalam posisi berdiri, terlampau pendek.

Jika melihat sekeliling yang dipenuhi salju, maka liang itu nampak menghadirkan sedikit kehangatan. Sama dengan pintu masuk alamiah yang bebas salju, begitu juga liang yang tak jauh dari pintu masuk alamiah itu. Tidak bersalju dan nampaknya alasnya bukan dari tanah, tetapi bebatuan. Tanpa salju, bisa dipastikan tempat itu lebih hangat, karena terlindung dari hembusan angin.

Tetapi, meski terbungkus salju, nenek tua itu bukannya sudah berhenti bernafas. Selain lubang hidung, kelihatannya sekujur tubuh nenek itu telah terbungkus oleh lapisan es. Dan dari satu-satunmya lubang hawa itulah dapat diketahui sekaligus menandakan bahwa tubuh itu adalah milik “orang hidup” dan bukannya “orang mati”. Dan kelihatannya lagi, orang itu sudah berada disana untuk waktu yang tidak pendek. Fakta bahwa tubuh itu telah dilapisi oleh es menandakan tubuh itu telah berada disitu untuk waktu yang panjang dan secara sengaja dibiarkan tetap seperti itu dengan tujuan tertentu. Bukan tidak mungkin sambil melatih tenaga berhawa dingin.

“Sudah hampir tiba waktunya .......” terdengar desisan dari “manusia es” di bawah liang persembunyian itu. Dari Nenek tua yang terbungkus oleh lapisan es salju tersebut. Tetapi, baru saja desisan itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar bunyi dari sebelah kiri liang itu:

“srrrrrrrrrrrrrrtttttttttttttttt”

Dan tubuh nenek tua yang terbungkus lapisan es nampak tersentak. Tetapi tak lama kemudian kembali terdengar desisan suaranya:

“Benar, waktunya kini bahkan telah tiba. Tapi, orang-orang itu sepertinya sudah tidak sabar lagi, nampaknya mereka telah mulai bergerak. Jika begitu, tugaskupun telah berakhir sudah”

Dan bersamaan dengan desisan itu, perlahan-lahan lapisan es ditubuh si nenek tua itu mulai meleleh. Awalnya perlahan saja, tetapi tak lama kemudian lapiran es itu meleleh, menjadi air dan akhirnya nampaklah tubuh si nenek tua yang kini terbebas dari lapisan es. Ach, wajah tua penuh keriputan itu, tak pelak lagi adalah wajah yang dimiliki oleh seorang yang berwajah aduhai pada masa lalu. Bekas-bekas kecantikan masih terasa dan terlihat jelas dari paras yang telah termakan usia itu.

Tetapi, selepas tubuhnya dari lapisan es yang membungkus tubuhnya, tiba-tiba dari tebing di sebelah kirinya, asal dari bunyi tadi, meloncat keluar berapa bayangan. Dan, hebat, meski berada sekitar 5 meter dari permukaan lembah, tetapi semua bayangan yang meloncat tadi tidak menemui kesulitan untuk mendarat di permukaan lembah. Sungguh ginkang istimewa yang dipertunjukkan orang-orang tersebut.

Ada hampir 7 bayangan yang mengenakan lapisan pakaian tebal, dan semuanya berwarna emas berkilau, yang menerjang keluar dari pintu tebing sebelah kiri si nenek tadi. Dan gerakan ke-7 bayangan tersebut sungguh luar biasa cepatnya. Gerakan tubuh mereka bukan hanya indah, tetapi sangat cepat. Lapisan atau permukaan lembah yang diselimuti salju tidak menjadi penghalang besar bagi mereka untuk bergerak dengan pesat dan cepat. Dan lebih hebat lagi, tiada satupun dari ke-tujuh bayangan keemasan itu yang meninggalkan jejak kakinya di atas permukaan salju.

Tetapi, ketika mereka tiba di “gerbang alamiah” itu, secara serentak dan bersama-sama merekapun menghentikan langkah kaki. Apa pasal? Ternyata karena disana, di gerbang selebar 1 (satu) meter itu, telah berdiri sesosok tubuh yang menghalangi jalan keluar mereka. Dan, meski hanya seorang nenek tua belaka, tetapi mereka tidak memiliki berani untuk menyalahinya. Dan buktinya, dengan hormat salah seorang dari ke-7 orang berpakaian hitam pekat itu telah datang dengan hormat menghampiri Nenek tua yang berdiri menghalangi pintu keluar mereka:

“Bibi Guru ..... kami bertujuh telah mengambil keputusan ......”

“Apa keputusan kalian ....”? tegas namun tenang berwibawa suara nenek penjaga pintu gerbang itu.

“Kami berkeputusan untuk terjun ke dunia ramai ....”

“Hmmmmm, itu memang hak kalian. Betapapun Lembah Salju Bernyanyi telah menyelesaikan hukuman 100 tahun memendam diri ... ”

“Terima kasih atas perhatian Bibi Guru. Sebelum memutuskan terjun ke dunia ramai setelah lewatnya hukuman 100 tahun, kami masing-masing telah menyiapkan diri untuk kesempatan hari ini. Karena itu, kami ingin menegaskan bahwa kami telah siap”

“Bagus kalau memang kalian memahaminya. Tetapi, meski ini hari terakhir kalian tetap harus melewati proses ujian. Nach, mari, silahkan mencobanya” si Nenek kemudian mempersilahkan ke-7 orang itu untuk melakukan sesuatu. Tetapi apakah itu?

“Toako, biarlah siauwte yang akan memulainya ....” orang termuda dari ke tujuh orang itu nampak mengajukan diri. Dan, orang yang dipanggil “toako” yang berdiri paling depan nampak hanya memberikan anggukan tanda persetujuan majunya orang itu.

Dan, dengan sedikit gerakan saja, tiba-tiba orang pertama dari ke-tujuh manusia itu telah melemparkan atau tepatnya menerbangkan pakaian tebalnya ke arah salah seorang dari kawannya yang datang tadi.

‘Sam ko, tolong .......” ujarnya seiring dengan terbangnya pakaian tebal hitamnya ke arah orang terdekat dengannya yang ternyata adalah Kakak seperguruan ketiganya. Dan hebatnya, Kakak Seperguruan Ketiga, hanya memandang ke arah jubah tebal yang sedang melayang kearahnya bagaikan punya mata itu. Dan akhirnya jubah keemasan itupun berjatuhan ketangannya bagaikan memang disodorkan kepadanya.

Dan majulah orang itu mendekat kearah si Nenek, memberi hormat dan kemudian nyaris sulit diikuti pandang mata telah menyerang si Nenek. Itupun setelah diawali dengan kalimat ....”

“tecu memulai Bibi Guru.....”

Begitu kalimat itu selesai, pukulannya telah tiba. Tapi hebatnya, tiada kesiur angin dan tiada tanda-tanda jika pukulan itu berisikan tenaga yang luar biasa. Tetapi, begitupun si Nenek tidak tinggal diam.

“Hmmmm, tidak jelek, tidak jelek” dan Nenek itu tidak menggeser kakinya, tetapi mengebutkan jubah kanannya menangkis pukulan itu. Tetapi, tidak terjadi benturan, karena dengan cepat, pukulan tangan telah berubah menjadi sabetan yang kali ini menghasilkan kesiur tajam bagai tajamnya pedang. Tetapi, secepat pergantian jurus, secepat itu juga si nenek mengimbangi dengan menotok tangan kanan. Semuanya terjadi dalam waktu sekejab. Tetapi, sehebat apa serangan datang, secepat itu tanpa merubah kedudukan kaki si Nenek mementalkan semua pukulan lawan.

‘Jagalah tiga seranganku ini ......” dan Nenek itu tiba-tiba bergerak dengan jurus Yan Cu Coan-in (burung wallet Menerobos Awan). Kedua kakinya bergerak cepat, maju atau mundur tidak ketahuan, tetapi tiba-tiba telah meloncat ke atas dan selanjutnya serangan yang luar biasa hebat telah menerjang salah satu dari ke-7 manusia berjubah emas itu.

Tetapi dengan gerakan Fei-hun-cong (terjangan awan terbang), orang itupun dengan manis menghindari hujan serangan si Nenek, meski nampak jelas dia kerepotan menerimanya. Tetapi, dia masih tetap selamat dari gempuran si nenek yang mencecarnya dari udara. Tetapi, masih tergopoh-gopoh dia menahan serangan itu, si Nenek telah kembali mencecarnya dengan jurus yang lebih hebat lagi: Yin-ho-lim-heng (sungai jernih meneguk kebencian).

Serangan kedua ini lebih gencar dan berisi tenaga yang lebih besar lagi, padahal orang itu masih belum dalam posisi kuda-kuda yang kokoh. Tetapi, meskipun demikian, orang itupun rupanya telah memperhitungkan gempuran si nenek yang akan berlanjut lebih hebat. Karena itu, dia tidak sampi berusaha memperkokoh kuda-kudanya, melainkan langsung bergerak dengan jurus Cian Im Giok siauw (Ribuan Bayangan guling Kumala).

Dia tidak menunggu serangan si Nenek tetapi langsung berganti jurus. Sebab jika dia menunggu kuda-kudanya kokoh, maka dia sudah akan terserang secara hebat oleh si Nenek, dan akan hebat akibatnya. Dengan langsung bergerak dalam jurus Cian Im Giok siauw (Ribuan Bayangan guling Kumala) dia jadi bisa mengirit waktu sepersekian detik yang sangat menentukan.

Dan untung memang. Hanya pakaian di bagian pundaknya yang sobek dan hancur di bawah terjangan pukulan si nenek yang menggebu-gebu dan dalam kecepatan tinggi. Dan orang itu, masih belum terluka. Hanya saja, posisinya sudah cukup runyam. Sebab meski tidak terluka, tetapi mengurangi daya tempurnya untuk menyambut jurus atau serangan ke-tiga dari si Nenek. Dan seperti sebelumnya, tidak menunggu orang itu kokoh kembali, serangan ketiga si nenek sudah datang kembali: Kali ini dengan serangan jurus cian ci soh Te (Ribuan Jari Menyapu Bumi).

Orang itu merasa saking cepatnya serangan si Nenek, seakan ada seribu jari yang sedang mengejarnya. Dan semuanya berasal dari atas, karena nenek itu tidak berganti langkah untuk kembali menyerang. Tetapi, hebat, meski dalam serangan yang luar biasa cepat dan hebat itu, orang itu masih tetap tenang meski dia tidak berkemampuan bebas dari serangan hebat si Nenek.

“Terpaksa, hanya dengan jurus Ciong-hay-poh liong (menangkap naga di tengah sa-mudra) serangan itu bisa dikurangi kehebatannya” pikir orang itu. Dan memang dia langsung bergerak menurut jurus hebat itu, yakni merentangkan tangan dengan cepat dan kemudian memapak jurus cian ci soh te yang dilepaskan si Nenek. Tetapi, “jurus menangkap Naga” ternyata tidak sanggup menangkap “ribuan jari” yang dilepaskan si Nenek. Dan, karena memang terpaksa, orang itu memilih jari yang mengarah ke pahanya yang berefek tidak terlampau berat bagi tubuhnya. Untungnya, pertarungan itu adalah “ujian” dan bukannya pertarungan hidup mati. Dan karena itu, ketika pahanya kena tertotok oleh jari sakti si Nenek, dia tidak merasa terluka hebat. Tetapi yang pasti, dia berhasil melewati ujian menerima “3 serangan” sesepuh penjaga lembah.

“Terima kasih bibi Guru, engkau bermurah hati .....”

“Sayang memang, aku hanya mampu melukai pahamu. Jika mengarah ke jalan kematian, tentu aku tidak akan bermurah hati ....” jawab si Nenek.

“kuharap, di luar sana engkau tidak mempermalukan nama Lembah Salju Menyanyi ........ sudah seratus tahunan kita tidak menampakkan diri ....”

“Terima kasih atas peringatan Bibi Guru ....”

“Hmmmmm, itu memang peruntunganmu ....”

Dan, pada saat orang itu mundur karena dinyatakan berhasil, di arena kembali telah berdiri seorang yang lain. Kembali salah satu dari ke-tujuh pendatang tadi. Tetapi, anehnya, si nenek tidak lagi se-antusias tadi. Malahan dia berkata:

“Kulihat dari gerakanmu, ginkang dan sinkangmu masih mengatasi orang pertama tadi. Karena larangan 100 tahun telah lewat, maka tidak ada gunanya lagi ujian turun gunung ini dipertahankan ....... haiiiii, waktu begitu cepat berlalu. Pergilah, jika memang keinginan kalian begitu kuat untuk kembali berkecimpung di dunia persilatan”

Begitu kalimat itu meluncur dari bibir si nenek tua, orang tertua dari ke-7 pendatang tadi segera beringsut maju ke depan ke hadapan si nenek:

“Bibi guru, terima kasih banyak. Kami akan berusaha keras menjaga kewibawaan Lembah Salju Bernyanyi ......”

“Baik, pergilah kalian .....”

Maka beranjaklah ke-tujuh orang itu meninggalkan Lembah Salju Bernyanyi. Lembah itupun kembali senyap. Tetapi, Nenek tua tadi, tidak lagi duduk berjaga di gerbang masuk tadi. Setelah menatap pintu gerbang masuk dan memandangi punggung ke-tujuh orang tadi, diapun menarik nafas panjang. Dari mulutnya terdengar gumaman:

“Lembah Salju Bernyanyi telah bebas ....... bebas dari hukuman 100 tahun. Tapi, berapa banyakkah mereka yang berkeinginan dan kemudian akan berlalu dari Lembah sepi ini .....? Toch, Kakek Dewa Pedang telah lama pergi. Apakah keturunannya sama hebat dengan dia? Sanggupkah mereka menghadapi amukan dendam Lembah Salju Bernyanyi? Dan ada siapa pula yang sanggup menahan penghuni-penghuni lembah ini kelak di dunia persilatan jika mereka mengganas dan membalas dendam?. Acccccchhhh, padahal kehidupan yang tenang dan damai disini telah begitu melenakan, tetapi semuanya akan segera berakhir dan berlalu ......”

====================

“Engkau membiarkan mereka berlalu .... bukankah begitu sumoay”? terdengar sebuah suara menegur si Nenek yang ternyata adalah salah seorang dari Thian San Kim Tong Sam Giokli (Anak Emas dan 3 Dewi dari Thian San).

“Toako, engkau sendiri tahu, kalau tiada gunanya lagi menahan mereka yang sudah berkeputusan” jawab nenek itu lemah.

“Murid-muridku itu memang sudah tidak tahan. Tapi bagaimana dengan kita-kita yang sudah tua ini”? tanya orang yang baru datang, yang ternyata adalah seorang kakek tua berpakaian keemasan. Dialah orang tertua dari Thian San Kim Tong Sam Giokli – para penerus dan pemimpin dari Lembah Salju Bernyanyi. Lembah tetangga perguruan Thian San Pay yang baru saja menyelesaikan hukuman “isolasi” selama 100 tahun.

“Toako, engkau sudah tahu pendirian kami bertiga. Subo sudah menegaskan sebelum menutup mata, bahwa pertikaian dengan Kakek Dewa Pedang bersifat “pribadi” dan bukanlah antara Thian San Pay dan Lembah Salju Bernyanyi. Karena itu, kami memandang tidak pada tempatnya memusuhi Thian San Pay. Dan setelah bersamadhi selama 2 setengah tahun, akupun sudah merasa sentosa dalam kedamaian dan ketenangan di Lembah kita ini. Terserah pendirian toako”

“Nampaknya sebagaimana 100 tahun silam, sebagaimana Suhu dan Subo berbeda pandangan, demikian juga angkatan kita kali ini. Aku pribadi akan bisa menghapus permusuhan dengan Thian San Pay, tetapi anak dan cucuku serta murid-muridku berpandangan berbeda” Kakek berjubah emas berkata sambil menarik nafas panjang.

“Syukurlah jika toako berpandangan lebih terbuka. Akan jauh lebih baik akibatnya bagi Lembah kita kelak”

“Akupun secarra pribadi masih merasa penasaran dengan Kakek Dewa Pedang. Hanya, kabarnya setelah kematiannya tidak ada pewaris yang nempir dengan kemampuannya. Rasanya mubazir menempa diri selama puluhan tahun ini. Lagipula akupun sudah merasa terlalu tua, meski terkadang ada keinginanku menengok dunia luar, tetapi rasanya akupun merasa betah untuk menghabiskan umurku di Lembah kita sumoy”

“Baguslah jika demikian toako. Barisan Baju Putihpun jika menilik pandangan Ji Suci, tidak akan berlalu dan akan tetap menjaga ketenangan Lembah kita. Untuk Barisan Jubah Emas, terserah keputusan toako”

“Biarlah murid dan anakku yang memutuskannya kelak sumoy ....”

“tapi ....... apakah ....”? suara Nenek itu terputus

“maksud sumoy .....”?

“Apakah anak-anak dan murid-muridmu sednag menuju Thian San Pay”?

“Kemungkinan terbesar adalah “ya” ...... mengapa engkau seperti takut sumoy, bukankah tidak ada lagi tokoh hebat di sana”?

“Aku bukan mengkhawatirkan anak dan murid-muridmu, tetapi mengkhawatirkan Thian San Pay. Lagipula kemampuan anak dan murid-muridmu itu rasanya berlebihan menghadapi Thian San Pay. Mereka harus dicegah ...” Ujar Nenek itu sambil bersiap untuk mengejar.

“Tahan sumoy .......” kakek itu justru menghalanginya.

“Toako, akibatnya akan sangat mengganggu ketenangan Lembah ini jika mereka mengganggu Thian San Pay ....” si Nenek berkeras mengejar.

“Ach, belum tentu demikian ......” si Kakek berkeras.

“Belum tentu bagaimana? Jika sampai ada anggota Thian San Pay yang terluka atau terbunuh, maka kita harus bersiap-siap terlibat dalam pertikaian yang tidak mengenakkan itu. Ketenangan kita bakal sangat terganggu”

“Tapi aku sudah melarang murid-muridku untuk membunuh. Cukup menunjukkan bahwa Lembah Salju Bernyanyi tidak kalah dengan Thian San Pay ....”

“Tapi toako, pertaruhan suhu dan subo dulu bersifat pribadi, tidak melibatkan Thian San Pay” si nenek juga berkeras.

“Sudahlah Sumoy, rasanya tidak berlebihan jika Lembah Salju Bernyanyi kembali dikenal dunia persilatan. Toch kita juga punya nama besar sebelum pertaruhan melawan Kakek Dewa Pedang itu”

“hmmm, nama besar ........ nama besar. Saking besarnya sampai seorang Kakek Dewa Pedang menghukum Lembah kita akibat perbuatan-perbuatan yang melanggar asas kemanusiaan”.

“Aku setuju kita tidak turun gunung dan menghabiskan waktu disini. Tetapi, sumoy, aku tidak akan menghalangi anak-anak dan murid-muridku untuk mengangkat kembali nama Lembah Salju Bernyanyi. Dan jika mereka memulainya dengan menantang Thian San Pay, asal tidak membunuh, mengapa tidak boleh”?

“Ach toako, maafkan, aku tidak akan merestuinya” sabil berkata demikian, si Nenek sudah berkelabat untuk mengejar ke-tujuh manusia berjubah emas yang ternyata adalah anak-anak dann murid-murid Thian San Kim Tong.

Tetapi, belum jauh Nenek itu beranjak, sebuah suara telah mendahului dan menghalanginya: “Sumoy, mau kemana ....”?

“Toako, tolong jangan menghalangiku. Anak-anak dan muridmu bakal menghadirkan kekisruhan bagi Lembah ini jika tidak dicegah” si Nenek kembali berkeras, dan kali ini dengan nada suara yang mulai tak sabar.

“Sabarlah sumoy, sudah kukatakan aku sudah melarang mereka untuk tidak membunuh. Cukup memperkenalkan diri dan kesaktian mereka”

‘Toako, apakah engkau tak sadar jika ada persoalan yang dipendam anak-anak dan murid-muridmu itu? Terutama kekesalan yang dipendam akibat di”isolasi” selama seratusan tahun? Jika engkau bisa memakluminya, aku yakin mereka tidak akan mampu menerimanya. Dan yang bakal celaka adalah Thian San Pay. Tetapi, begitu Thian San Pay terluka, siap-siaplah Lembah kita mengalami kegaduhan yang tidak perlu”

“Betapapun aku melarangmu untuk mengejar mereka sumoy .....” Thian San Kim Tong juga berkeras.

“Maaf, aku harus mengejar dan mengingatkan mereka ......”

“Tidak, engkau tidak boleh melakukannya sumoy ......”

“Kalau begitu, maafkan aku toako ...” sambil berkata begitu, Thian San Giok Li melepas serangan kosong sambil berusaha membuka celah untuk mengejar keponakan-keponakan muridnya yang dikhawatirkan mendatangkan masalah dengan menyerang Thian San Pay.

Tapi, toako atau kakak perguruannya, si kakek berjubah emas bukanlah lawan dan tokoh sembarangan. Kakak perguruannya itu adalah murid dari tokoh besar masa lalu, lawan seimbang dari Kakek Dewa Pedang – tokoh-tokoh besar rimba persilatan Tionggoan sebelum pendiri Lembah Pualam Hijau. Ditambah dengan kenyataan betapa selama puluhan tahun mereka melatih diri sambil menyembunyikan diri karena guru mereka kalah melawan Kakek Dewa Pedang, maka bisa dibayangkan betapa hebat kepandaian mereka sekarang ini. Kepandaian yang tenggelam dan tersembunyikan selamat seratus tahun terakhir karena “isolasi” yang dilakukan kakek Dewa Pedang. Dan kini kepandaian-kepandaian tersebut dipergunakan, meskipun sebagaimana dalam latihan, hanya oleh mereka-mereka yang sudah saling tahu hitam putih kepandaian masing-masing.

Tetapi, siapakah mereka sebenarnya? Dari percakapan mereka, maka Kakek dan Nenek itu sebenarnya adalah pewaris dari pemilik Lembah Salju Bernyanyi yang sama terkenalnya dengan Thian San Pay seratus tahun sebelumnya. Yang menjadi guru-guru mereka adalah kakak dan adik seperguruan yang bernama Thian San Siang Sian – Sepasang Dewa Thian San. Guru mereka adalah Kakek pengembara yang mendirikan Lembah salju Bernyanyi Koai Tojin (Kakek Aneh), seorang yang menjagoi rimba persilatan sebelum Kakek Dewa Pedang. Kakek aneh itu mendiami Lembah Salju Bernyanyi setelah tua dan kemudian menerima sepasang murid yang sangat berbakat.

Sayang memang, karena kedua muridnya yang sama-sama berbakat baik itu hanya mampu menampung 75% kepandaiannya karena diterima di usia tuanya. Murid pertama adalah seorang wanita cantik yang meski sangat berbakat dan pintar, namun murah hati dan welas asih. Murid kedua adalah seorang laki-laki yang sangat berbakat tetapi sangat ambisius. Karena melihat perbedaan karakter itu, maka Koay Tojin telah melatih mereka dengan ragam ilmu yang berbeda. Hal ini diaturnya agar sesuai dengan karakter dari masing-masing muridnya. Tetapi, begitupun dia menghasilkan dua manusia sakti yang seimbang kemampuan dan kepandaiannya. Berdasarkan kenyataan itu, maka Koai Tojin membentuk sistem pengaturan di Lembah Salju Bernyanyi tidak dengan cara biasa, tetapi menyesuaikan keadaan murid-muridnya.

Dia kemudian membentuk Barisan Putih – yang dibawahi oleh murid pertamanya, murid wanita. Dan Barisan Emas – yang diketuai oleh murid keduanya, sang lelaki. Tidak ada pemimpin tunggal di Lembah Salju Bernyanyi. Keputusan selalu diambil berdasarkan kesepakatan kedua pemimpin tertinggi. Dan karena murid tertua adalah sang wanita, sementara murid kedua mencintai sucinya, maka ambisi murid lelakinya bisa diredam oleh murid tertua.

Tetapi, sayang sekali, ketika sempat turun gunung untuk mewakili guru mereka di Tionggoan, murid laki-laki yang jarang berada dikeramaian, menjadi tertarik dengan dunia luar. Diapun terangsang untuk angkat nama dan kemudian mengaduk-aduk dunia persilatan Tionggoan. Dari tindakannya itulah Lembah Salju Bernyanyi menjadi terkenal, meski terkenal karena kebusukannya. Dimana-mana si murid lelaki menantang ketua-ketua perguruan, mengalahkan dan melecehkan mereka.

Memang, diapun membasmi para penjahat, meskipun dilakukannya secara sadis. Tetapi, keranjingan menang dalam perkelahian dan ketenaran yang diperolehnya serta ditakuti banyak orang, menghadirkan kepuasan baginya. Dan kelakuannya semakin menjadi-jadi setelah gurunya yang berbudi meninggal karena kecewa dengan kelakuan murid lelakinya. Memang, dia tidak melakukan kejahatan-kejahatan dan kebusukan yang lain, terutama karena takut dan hormat kepada sucinya. Tetapi, kemengkalan banyak orang, banyak perguruan yang dikalahkan, dilecehkan dan dihina oleh murid lelaki itu, telah membuat banyak pendekar meminta bantuan Kakek Dewa Pedang.

Begitulah, akhirnya Kakek Dewa Pedang menantang kedua murid Koai Tojin sekaligus. Pertempuran itu dilakukan di Lembah Salju Bernyanyi dengan awalnya disaksikan oleh murid perempuan Koai Tojin. Kakek Dewa Pedang kaget menemukan betapa saktinya murid Koai Tojin, namun dia sadar bahwa ternyata sang murid tidak mewarisi secara penuh ilmu gurunya. Karena itu, Kakek Dewa Pedang menyetujui pertaruhan isolasi 100 tahun (usul dari murid wanita) bagi yang kalah dalam pertarungan. Dan akhir pertarungan besar itu bisa ditebak, yakni dimenangkan oleh Kakek Dewa Pedang, hanya sejurus setelah bertempur lebih dari 1000 jurus.

Strategi isolasi itu bisa menghindarkan Lembah Salju Bernyanyi dari aib yang semakin besar. Dan murid laki-laki pada akhirnya harus menyetujuinya. Betapapun sikap ksatria masih dimilikinya. Terlebih karena sang suci pada akhirnya bersedia menjadi suaminya dengan syarat dia harus seterusnya menepati janji. Begitulah, mereka akhirnya berdiam di Lembah Salju Bernyanyi sampai akhir hidup.

Thian San Kim Tong Giok Li adalah murid dari Thian san Siang Sian, sepasang murid Koai Tojin – dimana Kim Tong merupakan anak tunggal sepasang murid itu. Kim Tong dididik secara ketat oleh ayahnya, sementara sang Ibu mengambil 3 wanita lain sebagai murid sekaligus anak angkat. Kim Tong, karena dididik oleh ayah dan ibunya, memiliki kemampuan sedikit di atas ketiga sumoynya. Tetapi, dia tidak akan berkemampuan untuk menghadapi jika ketiga sumoynya itu bergabung melawannya. Bahkan jika kedua sumoynya bersatu melawannya, dipastikan dia akan sangat kesulitan. Dengan demikian, keseimbangan kepemimpinan antara barisan jubah emas dan barisan putih masih tetap terus terjaga dan terpelihara.

Tetapi isolasi bagi Lembah Salju Bernyanyi itu, membuat para penghuninya menjadi keranjingan berlatih ilmu silat. Bahkan Thian San Siang Sian, terutama yang wanita, banyak menciptakan ilmu-ilmu baru yang dikembangkannya berdasarkan pengamatan yang luas atas ilmu silat Tionggoan. Wanita ini memang sangat pintar. Dan lagi, dia terbebas dari “nafsu untuk membalas dendam” sehingga dia akhirnya mampu menciptakan ilmu-ilmu baru yang lebih variatif dan lebih dalam.

Sementara suaminya, berkutat menemukan ilmu penangkis atau ilmu pemunah atas ilmu yang dimiliki Kakek Dewa Pedang. Dia berusaha keras menciptakan ilmu tandingan dari ilmu pedang Kakek Dewa Pedang yang memang mujijat. Mewarisi kepandaian ayahnya itu, Kim Tong seterusnya menjadi sangat mahir dengan ilmu ilmu pedang. Sementara ketiga sumoynya sangat luas dan dalam penguasaan ilmu mereka sebagaimana warisan guru mereka.

Begitulah ke-4 tokoh utama Lembah Salju Bernyanyi itu tumbuh menjadi tokoh-tokoh tangguh yang luar biasa hebatnya. Hanya saja, mereka tidak pernah menyadarinya karena tidak pernah mereka gunakan untuk bertarung dengan tokoh lain, kecuali berlatih diantara mereka sendiri. Maka, sudah bisa dipastikan akan sangat menggemparkan jika ke-4 tokoh tangguh Lembah Salju Bernyanyi ini tampil ke dunia luar. Tetapi, akankah mereka terus terpendam ataukah terseret kedalam arus pertarungan dunia persilatan yang penuh intrik itu?

Ketika isolasi atau hukuman 100 tahun berakhir, usia Kim Tong dan ketiga sumoynya sudah 85 tahun lebih. Ketiga sumoy yang memang mewarisi kehalusan budi guru mereka, paham benar akan janji pertaruhan 100 tahun yang memang diatur subo mereka adalah untuk mengekang suaminya. Dan dalam didikan sang subo, mereka sependapat dang bahkans angat menghormati pendirian dan pesan sang subo. Yakni menjaga ketenangan Lembah Salju jauh lebih penting, daripada kembali bertualang dan menghadirkan bahaya dan kegaduhan di Lembah.

Tetapi Kim Tong ternyata mewarisi ambisi untuk terkenal sebagaimana ayahnya dahulu, meski tidak seambisius ayahnya. Kim Tong terutama penasaran untuk mencoba apakah ilmu warisan ayahnya sudah memadai untuk mengalahkan Kakek Dewa Pedang atau keturunannya. Inilah pesan yang terus-terus diulang, bahkan pesan terakhir mendiang ayahnya kepada dirinya pribadi juga tentang hal yang sama. Dengan demikian dia sepertinya menanggung sebuah tugas yang diamanatkan orang tua atau tepatnya ayahnya.

Hal yang demikian tidaklah dimiliki oleh ketiga sumoynya yang memang dididik dengan gaya dan cara berbeda oleh ibunya. Ketiga murid perempuan yang juga diakui sebagai anak angkat, benar-benar memberi diri untuk berbakti kepada subo mereka. Lebih dari itu, sebagian besar sifat dari sang subo banyak diwarisi ketiganya. Terutama Thian San Giokli tertua, yang dalam beberapa hal sangat banyak kemiripan dengan subonya. Dalam kal wibawanya, kerendahan hatinya dan juga kepintarannya.

Kedua sumoynya bahkan curiga, jika diadu dengan Kim Tong bukan tidak mungkin sang toa suci akan mampu mengimbangi, atau malah melebihi. Tetapi, karena kerendahan hatinya, kemampuan maksimal sang toa suci nyaris tidak diketahui secara pasti oleh kedua adik seperguruannya, bahkan termasuk Kim Tong dan ayahnya.

Dan kini, murid-murid terpandai dari generasi ketiga Lembah Salju Bernyanyi itu seperti sedang berlatih. Dikatakan berlatih, karena keduanya teramat mengenal kemampuan dan kebisaan masing-masing. Kim Tong mengetahui bahwa keunggulannya adalah dalam ilmu pedang dan kekuatan tenaga dalam. Sementara variasi ilmu silat dan kecepatan bergerak adalah Nenek ketiga dari Thian San Giokli yang mendominasi.

Tetapi, bolak-balik karena saling mengetahui kemampuan masing-masing membuat keduanya seperti mengulangi latihan yang sudah ratusan atau malahan mungkin ribuan kali mereka lakukan. Kim Tong tahu belaka jika menyerang dengan gaya A, maka sumoynya itu pasti akan bergerak ke B. Dan memang begitulah kenyataannya. Kim Tong yang berniat menahan sam sumoynya supaya tidak mengejar anak-anak dan murid-muridnya hanya menyerang dan bertahan seadanya.

Hal itu sudah tentu menggelisahkan sang sumoy. Tetapi, berlaku keraspun tetap dia tidak akan unggul. Dia hanya unggul dalam kecepatan dan variasi ilmu silat yang lebih beragam. Maka serang kiri serang kananpun tidak akan banyak bermanfaat dan tidak akan membuatnya mampu mengejar murid-murid keponakannya itu. Padahal, jarak antara Thian San Pay dan Lembah Salju Bernyanyi tidaklah terlampau jauh.

Jika memang murid-murid keponakannya langsung mengarah ke Thian San Pay, maka paling lama waktu yang mereka butuhkan adalah 2 jam. “Padahal, sudah hampir sejam anak-anak itu berangkat” pikir sang Sumoy. “Jika demikian, jauh lebih baik mendiskusikannya dengan toa suci dan ji suci” demikian akhirnya keputusan sang sumoy. Dan segera setelah dia memutuskan demikian, serangannyapun dihentikan. Langsung berbalik ke arah pintu masuk dan kemudian berkelabat menghilang. (Bersambung)
 
banyak yang baru dan bikin seru,ayo ts semangat :banzai: semakin seru untuk dinikmati.
 
2




“Mereka sudah pergi, dan nampaknya mereka sedang menuju ke Thian San Pay sebagaimana diakui juga oleh toako. Jika dilihat lebih dalam, nampaknya sudah lama mereka merencanakan gerakan keluar – dan menggunakan Thian San Pay sebagai sasaran awal dengan dalih “mencoba ilmu silat”. Jika aku tidak salah menebak, maka akan banyak keributan datang ke Lembah kita setelah janji 100 tahun ini berlalu” ujar seorang nenek yang tadi menjaga “pintu gerbang” Lembah Salju Bernyanyi, atau yang kita kenal sebagai Sam Sumoy, orang ketiga dari Thian San Giokli. Nenek ini juga yang juga sempat bertarung dengan Thian San Kim Tong tadi.

“Engkau tidak bakal salah sam sumoy. Adalah keliru jiika engkau berkeras menahan mereka, karena engkau sendiri memahami aturan Lembah kita. Untuk urusan keluar menjadi hak dan kewenangan toako, dan setelah 100 tahun berlalu, kewenangannya itu termasuk mencakupi apakah akan bergerak “keluar” ataukah tidak. Aku tidak meragukan engkau memahaminya sam sumoy” seorang nenek yang lain, duduk samadhi berhadapan dalam bentuk segi tiga dengan seorang nenek yang lain lagi. Nampaknya yang berbicara barusan adalah dia yang menjadi orang kedua dari Thian San Giokli.

“Ji suci, tentu saja aku memahaminya. Tetapi, membuat kekisruhan di Thian San Pay akan berakibat buruk bagi kita. Ketenangan Lembah Salju Bernyanyi bakal terguncang, terlebih jika mereka lepas tangan”

“Benar sam sumoy, akupun sependapat. Tetapi, tetap saja engkau tidak berhak melarang mereka, terlebih toako sendiri sudah menyetujuinya dan bukan tidak mungkin malah toako yang mengutus mereka”

Ruangan hening sejenak. Ketiga nenek yang duduk berhadapan dalam posisi segi-tiga itu nampak menarik nafas panjang dan sejenak tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sepertinya sedang mencerna dan mendalami persoalan yang mungkin akan mereka hadapi dalam beberapa waktu kedepan. Persoalan yang belum pernah mereka hadapi selama puluhan tahun terakhir. Berapapun ada rasa yang “aneh” atau “asing” disana.

“Sam sumoy, apakah selama dua setengah tahun giliranmu menjaga gerbang alam engkau menemui ada sesuatu yang ganjil yang terjadi”? sebuah suara yang sangat lembut, lunak tetapi sangat terang terdengar. Dan, kali ini yang mengeluarkan suara adalah nenek ketiga, ya – dia adalah toa suci atau orang pertama dari Thian San Giokli.

“Seingatku, berbeda dengan masa-masaku berjaga sebelumnya, kali ini memang terdapat cukup banyak keanehan. Ada beberapa kali, jika kuhitung secara lebih cermat, mungkin ada sekitar tiga (3) kali gerakan-gerakan aneh yang mencoba mendekati gerbang alam kita” Sam sumoy berkata sambil nampak berpikir keras atau tepatnya mencoba mengingat kembali kejadian-kejadian selama dua setengah tahun ketika dia kebagian giliran terakhir menjaga gerbang alam Lembah Salju Bernyanyi.

“Apa kesan sam sumoy dengan gerakan aneh tersebut”? kali jini Ji suci atau nenek kedua yang bertanya. Sama sekali tidak dapat disembunyikannya selarik sinar ketegangan dari wajahnya. Nenek kedua ini memang lebih reaktif dibandingkan dengan Nenek pertama maupun nenek ketiga, karena itu dengan segera dia bereaksi. Reaksinya yang cepat itu tertangkap Nenek pertama yang hanya mengembangkan senyum lembut kepadanya.

Sambil menarik nafas, nenek ketiga atau sam sumoy berkata: “Jika kuingat kembali, orang yang bergerak itu, jika benar manusia, maka kepandaiannya tidak akan berada di bawah toako sekalipun. Tetapi, gerakan orang itu, jika memang manusia, tidak pernah berusaha memasuki gerbang alam kita. Sepertinya hanya meninjau dan melihat-lihat daerah sekitar belaka”.

“Hmmmm, belum tentu demikian adanya sumoy. Jika memang manusia, bisa kupastikan dia tidak hanya sekedar melihat-lihat” Nenek kedua kembali bereaksi dengan cepat, sementara Nenek pertama hanya memandangi kedua sumoynya berbicara dan bertanya jawab.

“Ji suci, jika tidak terikat perjanjian 100 tahun, aku tentu sudah mengejar mereka untuk menyelidiki dan bertanya”

“Maaf sumoy, bukan maksudku meragukanmu. Yang kumaksudkan, mereka, jika memang manusia tidaklah mungkin tidak memiliki maksud tertentu mendatangi gerbang alam kita, terlebih di masa-masa terakhir menjelang berlalunya masa waktu isolasi Lembah Salju Bernyanyi”

“Aku mengerti ji suci ..... tapi .....” Nenek ketiga tidak melanjutkan kalimatnya. Tertahan kalimat itu dimulutnya. “Memang bukan tidak mungkin mereka sedang memiliki keperluan tertentu bahkan langsung terkait dengan Lembah kita...” meski sukar, tetapi dugaannya itu dikemukakan juga”

Setelah berpikir keras, Nenek kedua kembali berkata: “Tapi, apa masih ada orang yang mengingat Lembah Salju Bernyanyi setelah 100 tahun .....? sungguh sulit untuk memperkirakannya”

“Ji suci, itulah yang meragukan aku. Masak setelah 100 tahun masih ada manusia yang masih mengingat kita? Padahal, tidak pernah Lembah kita mengutus orang keluar untuk urusan dunia persilatan. Paling-paling sekedar mencari makanan atau berburu semata ....” sambung Sam Sumoy.

Tapi, Ji suci kembali berkata cepat: “tapi, apakah engkau sama sekali tidak mencurigai sesuatu terhadap ketiga pendatang itu”?

“Aku belum yakin sebenarnya suci, tapi memang sangat mungkin mereka sedang menyelidiki kita. Atau sangat mungkin juga hanyalah orang biasa yang sekedar lewat. Tapi di daerah sesunyi ini, kan mustahil. Hanya saja ......... iya, aku ingat suci, jika aku tidak salah, dari ringannya langkah sang pendatang, ketiga kejadian itu nampaknya dilakukan oleh orang yang sama. Benar, kali ini aku sangat yakin dengan kesimpulanku suci. Gerakan yang pertama sampai ketiga, jika dilakukan oleh manusia, maka aku pastikan dilakukan oleh orang yang sama dan kupastikan dengan tingkat kepandaian yang sangat hebat. Setidaknya tidak dibawah kita” tegas sam sumoy.

Mendengar keterangan terakhir sam sumoynya, nenek tertua atau yang menjadi orang pertama Thian San Giokli sedikit tergerak. Tetapi, kematangan serta usia tuanya membuat nenek itu dengan cepat mampu mengendalikan diri. Dan hanya dalam sekejap, gejolak ketegangan itu telah berlalu dari wajahnya dan dia kini sudah kembali tenang. Dan kembali mengikuti perdebatan kedua sumoynya mengenai perkembangan terakhir Lembah Salju Bernyanyi.

“Itulah, berarti masih ada orang yang mengingat Lembah Salju Bernyanyi. Keluarnya beberapa anak murid lembah kita, bisa dipastikan berada dalam pengawasannya. Padahal, kawan atau lawankah orang itu, masih belum dapat kita pastikan. Sungguh runyam, sungguh runyam” Ji suci kembai berkata dengan kening berkerut, menambah banyak kerutan di wajahnya yang memang sudah sangat banyak itu.

“Ji Suci, toa suci, bagaimana kalau aku menyusul anggota Lembah kita ke Thian San Pay” sang Sam Sumoy mengajukan diri. Dan sepertinya Ji suci juga mendukung, bahkan berkata:
“Jika diperkenankan, aku juga ingin melakukannya bersama sam sumoy”

Tetapi, tidak nampak reaksi setuju atau menolak dari sang suci yang masih tetap duduk dengan tenang dan kini memandang kedua adik perguruannya dengan tatapan khasnya. Lembut dan penuh wibawa. Biasanya, apa yang dikatakan, dianalisis dan dikemukakan sang toa suci adalah sesuatu yang sangat penting dan nyaris tidak pernah dilawan dan ditolak kedua adik perguruannya ini. Dan kejadian puluhan tahun telah mendekatkan ketiga perempuan tua ini hingga mampu saling mengenal satu dengan lainnya.

Setelah memandang lembut dan penuh wibawa, sang toa suci akhirnya buka mulut: “jiwi sumoy, aku senang di usia selanjut ini kalian masih bersemangat. Hanya saja, jika aku tidak salah, orang yang terlacak sam sumoy, memiliki niat tidak baik terhadap Lembah kita. Bukan tidak mungkin sekarang ini, di Thian San Pay telah terjadi peristiwa yang tidak kita kehendaki. Dan percayalah, efeknya akan sangat panjang”

“Maksud suci”? ji suci dengan cepat bertanya kembali

“ji sumoy, jangan lupa kakek guru kita adalah tokoh utama pada masa hidupnya. Kita bersama tahu, karena membawa bibit penyakit yang berbahaya bagi keturunannya, membuat kakek guru memutuskan tidak memiliki keturunan. Tetapi dia memilih untuk membesarkan suhu dan subo bagaikan anak-anaknya sendiri. Sebagian besar sisa hidupnya digunakan di Lembah ini, mendidik murid-muridnya dan mengekang adiknya yang luar biasa saktinya tetapi juga tidak waras. Tetapi, dunia persilatan mengenal kakek guru sangat baik, karena kedudukannya sama dengan Kakek Dewa Pedang meski berbeda generasi. Boleh dibilang, Kakek Dewa Pedang adalah tokoh utama dunia persilatan setelah Kakek guru mengundurkan diri mengurus adiknya di Lembah Salju Bernyanyi. Dan suhu dan subo belum sempat mewarisi seluruh kepandaian kakek guru, karena itu mereka bisa dikalahkan Kakek Dewa Pedang dan kita sembunyi 100 tahun disini”

“Kami mengerti dengan kisah itu toa suci, hanya saja ......” sam sumoy menahan kalimat lanjutannya.

Tetapi, sang toa suci sudah paham maksudnya, karena itu dia berkata: “Sam sumoy, bukankah engkau ingin mengatakan, apakah setelah seratus tahun masih ada yang mengenal kita”? Ach, engkau terlalu memandang remeh nama Lembah Salju Bernyanyi sam sumoy. Kedudukan Lembah Salju Bernyanyi jika dibandingkan dengan kondisi masa kini, tidak kalah menterengnya dengan Lembah Pualam Hijau. Hanya karena sakit gila dari adik kakek guru maka urusan Lembah banyak terbengkalai. Tetapi, soal keterkenalan dan kehebatan ilmu silat, kita tidak di bawah kakek Dewa Pedang maupun Lembah Pualam Hijau sekarang ini”

“Terus, apakah artinya daya tarik Lembah Salju Bernyanyi masih sangat mengundang bagi banyak tokoh persilatan”? tanya sam sumoy.

“Jiwi sumoy, jika aku tidak salah menduga, orang yang barusan berkunjung dan mengamati lembah kita adalah seorang tokoh tua, atau setidaknya murid dari seorang tokoh masa lalu yang mengenal kakek guru kita. Apa maksud utamanya kita sama sekali gelap. Tetapi, kalau maksudnya buruk, maka di Thian San Pay telah terjadi kejadian yang akan merugikan kita”

“Kira-kira, apa keinginan orang tersebut dengan Lembah kita suci”? tanya nenek yang kedua.

“jiwi sumoy, masih ingatkah tugas utama kita bertiga dan Pek Tin (barisan putih) di Lembah Salju Bernyanyi”? toa suci balik bertanya.

“Tentu toa suci” kedua sumoynya berbareng menjawab

‘Syukurlah jika kalian masih mengingatnya. Dengan demikian, aku tidak perlu mengatakan setuju atau tidak kalian berdua berangkat ke Thian San Pay. Sebab, selain sudah sangat terlambat, juga bukan menjadi urusan dan tugas kita mengurusi urusan disana”

Kalimat terakhir sang toa suci diterima dengan anggukkan tanda mengerti dan sama sekali tanpa penolakan dari kedua adik seperguruannya. Sungguh, ketiga nenek ini memang memiliki ikatan yang luar biasa. Meski ingin berangkat, tetapi mendengar pendirian dan keterangan kakak seperguruan mereka, keinginan segera diredam. Dan dengan taat mereka mengiyakan apa yang menjadi kesimpulan kakak seperguruan tertua mereka itu. Tetapi, bukan berarti percakapan mereka telah selesai. Karena sang kakak seperguruan telah kembali berkata kepada mereka:

“Tidak lama lagi kita akan menyelesaikan tugas kita, baik sebagai murid di Lembah Salju Bernyanyi, maupun sebagai manusia. Usia kita sudah begitu lanjut. Tetapi, masing-masing kita harus menyelesaikannya sebaik-baiknya. Kuharap jiwi sumoy memahaminya”

Nenek kedua nampak tersentak. Sebuah pikiran aneh menyelinapi otaknya dan seperti biasa dia segera bereaksi:

“Suci, apa maksud perkataanmu yang terakhir? Apakah engkau seperti telah memperoleh gambaran apa yang sebenarnya sedang dan akan terjadi”?

“Ji sumoy, pertama aku ingin bertanya: berapa usia sumoy sekarang”?

“Menurut keterangan subo dahulu, jika kuhitung yang sudah sekitar 86 tahun”

“Engkau tahu umurku sekarang”? kejar sang toa suci.

“Jika tidak salah sudah 89 tahun” jawab ji suci.

“Dan engkau tahu di usia berapa subo meninggal”?

“92 tahun suci”

“Dan ingatkah engkau apa yang dikatakannya tentang kita tiga kakak beradik ini menjelang kepergian subo tercinta”?

“Toa suci, engkau ..... engkau ......” terbata-bata ji suci. Toa suci menambahkan: “Atau, sam sumoy, apakah engkau ingat”?

“Ingat toa suci, yakni bahwa usia kita tidak akan melampaui usia subo”

“Jiwi sumoy, syukur kalau kalian mengingat kalimat-kalimat terakhir mendiang subo yang terkasih. Kalian berdua tentu mengerti, bahwa subo memiliki ilmu yang mampu menerawang dan memetakan masa depan. Dan harus kuberterus terang, beberapa puluh tahun terakhir, akupun telah menjejaki langkah subo untuk mendalami ilmu tersebut. Itulah sebabnya kukatakan tadi bahwa bukan tidak mungkin telah terjadi sesuatu yang menggemparkan” di Thian San Pay”, sang toa suci terlihat berhenti sebentar, tetapi hanya sebentar karena tidak lama kemudian dia langsung melanjutkan lagi:

“Beberapa waktu terakhir, sangat mungkin bersamaan waktunya dengan sam sumoy tergerak oleh langkah seorang asing yang sakti di sekitar gerbang alam, akupun mendapatkan gambaran-gambaran tentang masa depan pada saat melatih ilmu-ilmuku tersebut. Lembah Salju ini akan bergolak cukup hebat dan subo seperti mengingatkan aku akan tugas utama kita di Lembah ini. Ach, aku sungguh terharu dengan perhatian subo kepada kita dan kepada Lembah Salju bernyanyi ini”

Dengan emosional ji suci memburu: “Toa suci, apakah ada pesan subo kepada kita bertiga menghadapi urusan ke depan”?

“Tidak, dia hanya menegaskan tugas kita, sekaligus mengingatkan aku akan batas kemampuan kita sebagai manusia”

“achhh, subo ......” terdengar jeritan lirih kedua nenek lainnya, terharu.

“Jiwi sumoy tentu tidak menyesalkan aku karena tidak memberi sikap soal berangkat ke Thian San Pay bukan”? tanya toa suci seperti memahami perasaan kedua adik seperguruannya.

“Tidak, tidak sama sekali suci” jawab ji suci cepat.

“Bagaimana engkau sam sumoy”?

“sama sekali tidak ada keberatanku toa suci”

“Baiklah jika demikian. Jiwi sumoy, aku ingin menegaskan beberapa hal, karena besok-besok kita akan sangat disibukkan dengan banyak urusan baru. Aku akan menyelesaikan bimbinganku kepada Ki jie dan Ling jie, dan karena itu selama beberapa waktu belakangan ini aku akan banyak bersama mereka. Kuharap jiwi sumoy sangatlah memperhatikan tugas dan tanggung jawab Pek Tin terhadap Lembah Salju Merenung. Jika memang jiwi sumoy bersedia, akupun memberi diri membantu Kun jie dan Gwat jie, murid-murid jiwi sumoy selama beberapa waktu belakangan ini. Mengenai Kun jie, sebetulnya sudah dua tahun belakangan melakukannya atas ijin sam sumoy. Ada beberapa jenis ilmu baru yang kuharapkan mereka bisa menguasai dengan cepat, hal yang tentunya akan sangat berguna bagi Lembah Salju Bernyanyi kelak”, Nenek pertama berkata sambil memandang kedua adik seperguruannya secara sangat serius.

Kalimat kalimat tersebut membuat kedua adik perguruannya terdiam, tetapi mendengar murid mereka akan dibimbing beberapa saat oleh sang toa suci yang mereka sendiri tidak tahu sampai dimana tingkat kesaktiannya sekarang ini, membuat mereka gembira. Dan ji suci sudah berkata cepat:

“Adalah berkah bagi Gwat jie untuk mendapatkan bekal tambahan dari suci. Terima kasih atas nama Gwat jie suci”. Sementara Sam Sumoy tidak berkomentar, karena persetujuannya sudah diberikan 3 tahun sebelumnya. Bahkan Kwik Soat Kun sejak dua setengah tahun terakhir, terhitung ketika dia mendapat giliran bersamadhi menjaga Gerbang Alam Lembah Salju Bernyanyi sudah dimintanya sang toa suci untuk menggembleng murid tersebut. Murid sam sumoy ini masih terhitung keponakannya.

Anak itu, Kwik Soat Kun sebenarnya adalah cucu tunggal dari kakak perempuannya. Dimana keponakan perempuan, anak dari kakak perempuannya menikah dengan seorang Pendekar preman Bu Tong Pay – Kwik Long Kun. Pendekar ini terbunuh ketika membela sekelompok pengantar barang yang dibegal oleh para perampok di sekitar gunung Beng san.

Perlu dijelaskan, “isolasi 100 tahun” bagi Lembah Salju Bernyanyi adalah isolasi mengadakan gerakan dan hubungan dengan dunia persilatan. Tetapi, untuk urusan pribadi atau urusan keluarga, dan urusan suplay makanan, tidak dikenakan pembatasan. Itulah sebabnya guru ketiga Nenek Thian San Giokli, masih memiliki murid yang memang dicarinya secara khusus tersebut. Berbeda dengan suaminya yang memilih untuk mendidik anak mereka semata.

Sementara itu, kembali terdengar sang toa suci berkata: “Aku mengatakan demikian, karena, terus terang jiwi sumoy, aku mendapat firasat, orang yang datang menjajaki Lembah kita, sebetulnya sedang menyasar Lembah Salju Merenung. Karena disanalah adik kakek guru kita “ditempatkan” dan dijaga sendiri oleh kakek guru. Tugas itu selanjutnya diembankan kepada subo dan selanjutnya kepada kita bertiga untuk menjaga pintu masuk Lembah sempit itu. Jiwi sumoy pasti masih ingat, disana juga ditahan 2 gembong iblis yang ditaklukkan kakek guru setelah bertarung selama 2 hari 2 malam. Mereka ditahan sampai akhir hayatnya di Lembah salju Merenung, dan bukan tidak mungkin mereka meninggalkan sesuatu disana. Dan yang mengerti kisah-kisah besar itu, hanya beberapa gelintir tokoh belaka. Kuharap dugaanku keliru, hanya aku khawatir dugaanku justru benar. Maka diharap kesediaan jiwi sumoy”

Permintaan yang sudah keluar dari mulut toa suci sudah pasti akan diterima. Dan memang demikian keadaannya, sebagaimana juga dahulu-dahulunya. Kedua sumoy dengan cepat menyatakan kesiapan mereka:

“Ach, suci, itu memang sudah tugas kita melanjutkan tugas subo” jawab Nenek yang kedua. Dan nenek ketiga juga berkata:

“Sudah kewajiban kita toa suci”

“Baiklah, jika demikian sudah waktunya kita akhiri percakapan. Dan ....... ach .....” nampak sang toa suci terdiam sejenak, wajahnya sedikit berubah, tetapi tak lama kemudian kembali berangsur-angsur tenang dan kembali seperti sedia kala. Tetapi, kedua adik perguruannya sama memandangnya heran. Nenek kedua dengan cepat bertanya: “Suci, apakah ada sesuatu yang sangat serius”?

Setelah kembali menguasai diri, sang suci kemudian berkata, perkataan yang membuat kedua sumoynya kaget setengah mati: “Terjadi bentrokan hebat di Thian San Pay, memakan korban yang lumayan banyak. Kita harus segera bersedia dan menyiapkan diri kita semua”.

“Suci, bagaimana bisa engkau ...... engkau .....” Nenek kedua kaget memandang sucinya, kaget karena sucinya sudah mampu menangkap sebuah kejadian di jauh sana. Hanya subo mereka yang bisa, bahkan suhu merekapun tidak mampu melakukannya dahulu.

“Sumoy, iya. Saat-saat terakhir subo membuka rahasia ilmu itu yang kudalami selama 10 tahun terakhir ini”, tapi selanjutnya Nenek pertama itu telah berkata:

‘Sudahlah jiwi sumoy, kejadian sudah terlanjur terjadi. Kita bertemu malam nanti di pintu rahasia Lembah Salju Merenung, selanjutnya tugas disana kuserahkan kepada jiwi sumoy karena besok aku akan mulai membantu murid-murid kita untuk melanjutkan tugas berat kedepan.

“Baik suci, sampai nanti malam” ujar nenek kedua

“Sampai bertemu malam nanti toa suci” nenek ketiga juga berpamitan.

=====================

Sementara itu, kejadian lain terjadi. Tepat ketika Nenek ketiga meninggalkan Kim Tong untuk kemudian melakukan percakapan di ruang rahasia Pek Tin dalam Lembah Salju Bernyanyi dengan kedua suci (kakak seperguruan perempuan), sesuatu terjadi di gerbang alam.

Thian San Kim Tong atau nama aslinya Tham Kong Liang sebenarnya adalah pewaris dari Thian San Siang Sian, murid-murid dari Koai Todjin. Adalah karena menghindari memperoleh keturunan maka Koai Todjin tidak menikah. Koai Todjin memang memiliki kemampuan ilmu silat dan ilmu pengobatan yang luar biasa. Karena itu, dia menyadari bahwa jika dia memaksakan diri untuk menikah dan memperoleh keturunan, maka akibatnya akan sama belaka dengan adik laki-lakinya itu.

Baik Koai Todjin maupun adiknya laki-laki, adalah tunas dunia persilatan yang memiliki bakat sangat istimewa. Selain bakat, keduanya juga pintar luar biasa. Itu sebabnya keduanya memiliki ilmu silat yang luar biasa dan bahkan menjagoi rimba persilatan pada jamannya. Sayang, perlahan-lahan adiknya termakan “penyakit keturunan” (gila), dan dengan hati hancur serta bersusah payah dia harus menangkap dan mengamankan adiknya. Untungnya, belum banyak kejahatan yang dilakukan adiknya sebelum dia berhasil “mengamankannya”.

Tetapi, fakta bahwa mereka memiliki “garis keturunan” yang berbahaya, membuat Koai Todjin memutuskan tidak menikah. Selanjutnya dia menyepi dan membentuk perguruan sendiri di Lembah Salju Bernyanyi, menjaga atau menyimpan adiknya disana dan kemudian pada usia-usia pertengahan dia mengambil sepasang murid yang diwarisinya Lembah Salju Bernyanyi. Lembah yang sepi dan jikapun ada suara seperti orang berdendang, lebih hanya karena salju-salju yang mengeluarkan suara seperti berdendang ketika angin berderai dan menghembus kencang di lembah tersebut. Itulah sebabnya Koai Todjin memberi nama tempat itu sebagai Lembah Salju Bernyanyi.

Dan kini, cucu murid Koai Todjin, Tham Kong Liang atau juga Thian San Kim Tong (Anak Emas Thian San), sedang berdiri persis di bawah gerbang alam, satu-satunya pintu masuk ke Lembah Salju Bernyanyi. Sepeninggal Thian San Giokli nomor tiga, diapun tenggelam dalam lamunan sampai kemudian beberapa orang berpakaian emas bermunculan dari dalam Lembah. Dan beberapa saat kemudian orang-orang itu datang mendekat kepada Anak Emas Thian San sambil berlutut berkata:

‘Menjumpai Majikan” ......

“Bangunlah ..... “

“Terima kasih Majikan ....”

“Baiklah, terhitung sejak hari ini, lakukan tugas berjaga di Gerbang Alam ini secara bergantian. Gerbang Alam ini harus dijaga selama 24 jam dan jangan pernah membiarkan siapapun untuk melintasi gerbang ini tanpa sepengetahuan ataupun seijinku. Begitu juga bagi yang mau keluar, harus memiliki ijin dan atas sepengetahuanku”

“Baik Majikan, penjagaan bergilir sudah kami lakukan, tinggal melaksanakan” jawab pemimpin Kim Tin yang barusan datang.

“Bagus jika sudah disiapkan. Sekali lagi, siapapun yang masuk, harus seijinku. Dan siapapun yang keluar, harus dengan ijin atau tanda pengenal khusus yang kusiapkan. Kalian paham”? .... “Paham majikan” jawab Kim Tin itu serempak.

“Bagus, ingat-ingatlah yang kusampaikan itu....... Ech, siapa disitu ....”?

Baru saja Kim Tong, Tham Kong Liang mengeluarkan suara “siapa disitu”, tubuhnya telah melesat dengan luar biasa cepatnya ke luar lembah. Dan ketika anggota-anggota Kim Tin atau Barisan Emas dari Lembah Salju Bernyanyi memandang ke arah tujuan Majikan mereka, mereka terkejut, karena jauh di depan nampak setitik bayangan kelabu sedang berlari menjauh. Dan di belakangnya, adalah tubuh keemasan, pastilah Thian San Kim Tong yang sedang melakukan pengejaran.
Inilah untuk pertama kalinya, secara resmi, warga Lembah Salju Bernyanyi keluar dari Lembah dengan kekuatan ilmu silatnya. Betapa terharu Thian San Kim Tong melihat pemandangan yang sudah lama ingin dia saksikan, pemandangan yang berbeda dan tidak melulu dalam Lembah Salju Bernyanyi. Tapi, sayangnya keinginan menikmati keindahan pemandangan harus disingkirkan, karena dia harus mencari tahu siapa yang mengintip percakapannya barusan dengan anak buah Lembahnya.

Tapi, betapa terkejutnya Thian San Kim Tong begitu menyadari ternyata lawan yang dikejar tidak kalah hebatnya dengan dirinya sendiri. Jarak antara dirinya dengan orang yang dikejar tidak bertambah pendek, meski juga tidak bertambah jauh. Tetap dalam kisaran 100 meteran belaka, dan belum pernah memendek jarak antara keduanya. Tentu saja Thian San Kim Tong menjadi penasaran. Pertama kali keluar lembah, langsung bertemu lawan kuat, membuat harga dirinya sedikit terusik. “Hendak kulihat siapa gerangan engkau” gumamnya penuh dengan rasa penasaran.

Dan tiba-tiba, diapun menggenjot tubuhnya, mengerahkan kekuatan ginkangnya dan meluncur dengan luar biasa cepatnya ke arah bayangan kelabu yang dikejarnya. Ketika mengempos dan mengerahkan kekuatannya, untuk beberapa saat jarak antara keduanya sedikit memendek. Dan rupanya, hal tersebut disadari oleh orang yang dikejarnya. Nampak diapun menambah kekuatan dan kecepatan, dan tiba-tiba tubuhnya melesat kedepann sama cepatnya dengan Thian San Kim Tong yang akhirnya mencak-mencak penasaran.

Sekilas tiada yang istimewa antara peristiwa kejar-kejaran Thian San Kim Tong dengan orang yang diburunya. Tetapi, bagi para ahli, akan segera mengerti bahwa mereka yang sedang berkejar-kejaran itu, bukan sekedar jago silat kelas satu, tetapi jago silat yang hanya bisa dihitung dengan jari tangan. Kecepatan mereka luar biasa, padahal medan dimana mereka adu ginkang adalah medan yang sangat sulit. Tetapi, sulitnya medan tidak mengurangi kecepatan mereka dalam adu ginkang. Dan, kali ini jarak antara merekapun tetap tidak memendek, tidak juga menjauh. Adu ginkang antara dua orang berilmu tinggi yang sangat mendebarkan dan menegangkan.

Tetapi, orang yang dikejar rupanya tidak terlampau mengerti medan diseputar Lembah Salju bernyanyi. Karena beberapa saat kemudian, dia terjebak dalam kondisi alam yang tidak memungkinkan dia berlari lebih jauh. Di hadapannya kini terpampang jurang yang tepian seberangnya sama sekali tidak terlihat. Bukan hanya karena terhalang kabut yang lumayan pekat, tetapi karena dari desau angin menandakan jika tebing seberang berada dalam jarak yang agak jauh dari tebing jurang tempatnya berpijak sekarang.

Otomatis orang berjubah kelabu itu berhenti, atau tepatnya terhenti. Dan hanya dalam hitungan detik, tubuh Thian San Kim Tong telah menyandaknya. Dan kini keduanya dalam sikap dan posisi berhadap-hadapan. Tiada lagi daya orang itu berlari jauh ke depan. Dia tentu tidak akan berspekulasi meloncati jurang dihadapannya karena ketidakyakinan seberapa jauh lebar jurang tersebut. Dan ketidakyakinan itu membuatnya terpaksa harus menunggu pengejarnya untuk datang mendapatkannya. Dan memang, sekarang mereka sudah dalam posisi saling berhadapan. Bahkan Kim Tong sudah langsung melayangkan serangan ke arah orang yang dikejarnya itu, dan tidak terelakkan lagi:

“Dhuaaaaaaaaaaaaaarrrrrrr”

Keduanya terlontar deras kebelakang. Benturan tenaga yang sangat hebat, tetapi sekaligus membuat keduanya sangat berhati-hati karena lawan ternyata bukan ayam sayur. Bukan hanya ginkang mereka yang hebat dan istimewa, tetapi tenaga dalampun ternyata tidak selisih banyak. Hal yang menimbulkan kerguan di antara keduanya:

“Sekarang, kemana lagi engkau mau melarikan diri ...”? Kim Tong mengejek.

“Kalau tidak harus berlari lari, buat apa melarikan diri. Toch aku sudah menyambut pukulan perkenalanmu, tidak jelek memang ....”? orang yang dikejarpun membalas mengejek dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takutnya sekalipun.

“Siapa gerangan engkau ....”? kembali Kim Tong bertanya. Tidak lagi menyerang karena maklum, lawan juga ternyata hebat. Hanya dia heran: “kenapa pagi-pagi begini sudah bertemu lawan hebat”?

“Apa perlunya engkau mengenali diriku ...? setelah Lembah Salju Bernyanyi terisolasi selama kurang lebih 100 tahun, kuberitahukan kepadamu namakupun tetap engkau tidak akan mampu mengenaliku. Karena itu, adalah jauh lebih baik tidak kukatakan saja”

“Hmmm, engkau ternyata mengetahui dan mengenal Lembah Salju Bernyanyi jika demikian” Kim Tong menjadi curiga. Tidak disangkanya sama sekali jika pada hari pertama isolasi 100 tahun itu berakhir, sudah ada orang luar yang menyatroni lembahnya.

“Hahahaha, jika tidak mengetahui, untuk apa aku berada disini” balas orang itu.

“Apakah engkau kawan ataukah lawan ....”? tanya kim Tong, terkesan polos untuk seorang Majikan Lembah sekelas dirinya. Tapi, begitulah, dia memang tidak pernah berinteraksi dengan dunia luar, selain dengan warga Lembah Salju Bernyanyi belaka.

“Apa maksudmu dengan menjadi kawan atau lawan ....? orang berpakaian dan berkerudung kelabu itu bertanya.

“kawan berarti tidak punya maksud buruk. Lawan, berarti memiliki niat jelek dihatinya terhadap kami” tegas Kim Tong. “Bagaimana kalau kukatakan aku adalah kawanmu”? pancing si jubah kelabu.

“Kawan .....? Tapi seorang kawan tidak akan melakukan pengintaian terhadap Lembah kami secara diam-diam seperti dirimu” tegas Kim Tong. Pintar juga ternyata Thian San Kim Tong ini. Sebab tindakan si jubah kelabu yang mengintip adalah sama sikap orang yang bermaksud buruk.

“tentu saja aku bisa menyatakan diri sebagai kawanmu. Jelek-jelek begini, akulah orang pertama yang engkau jumpai setelah 100 tahun Lembahmu terisolasi dari dunia luar”

“Tetapi, tindak-tandukmu tidak menunjukkan itikad baik seorang sahabat. Lebih mirip orang jahat yang memiliki niat buruk terhadap Lembah Salju Bernyanyi, apalagi engkau melarikan diri ketika kutanya siapa engkau gerangan. Dan hanya karena jurang ini sajalah maka engkau dengan terpaksa harus berbicara denganku disini”

“Hahahahaha, pintar .... pintar. Padahal, aku hanya ingin memastikan bahwa benar Lembah Salju Bernyanyi telah lepas dari isolasi yang dikerangkengkan oleh Kakek Dewa Pedang 100 tahun silam”

“Hmmmm, engkau nampaknya tahu banyak soal Lembah Salju Bernyanyi”?

“Mengapa tidak tahu .....? Banyak orang yang tahu dan masih ingat dengan Lembah Salju Bernyanyi sebelum dihukum Kakek Dewa Pedang. Dan kakek Dewa Pedang adalah musuh perguruan kami sejak dahulu, jadi kami dengan Lembah Salju Bernyanyi sebenarnya adalah kawan”

“Tidak perlu engkau memanasi aku dengan Kakek Dewa Pedang. Lihat saja, dalam waktu dekat aku akan membayar hinaan atas Lembah Salju Bernyanyi”

“Membalas, membalas kepada siapa”? Hahahaha, apakah engkau tidak tahu jika Kakek Dewa itu telah meninggal puluhan tahun silam”?

“Benar, aku tahu. Tapi, toch kakek Dewa Pedang mempunyai keturunan. Aku bisa saja melakukan pembalasan kepada anak muridnya guna melihat kepandaian siapa yang lebih hebat”

“Hahahaha, engkau menyuruh orang ke Thian San Pay, padahal murid Kakek Dewa Pedang tidak berada disana. Dan lagi, tidak seorangpun pendekar pedang di Thian San Pay yang sanggup menampung 50% saja keahlian Kakek Dewa Pedang. Hahahaha, engkau sia-sia saja”

“Semerosot itukah Thian San Pay? Kalau begitu, muridnya memangnya berada dimana jika tidak di Thian San Pay”?

“Apakah engkau berani meluruknya jika kukatakan”? tantang si jubah kelabu yang secara perlahan menggiring Kim Tong kearah percakapan yang memang diinginkannya itu.

“Soal takut masih belum ada di kamu Lembah Salju Bernyanyi” Kim Tong tersinggung, dan memang kelihatannya itu yang diinginkan oleh si jubah kelabu. Percakapan yang digiringnya perlahan mulai membuahkan hasil.

“Hahahaha, tapi siapa yang berani meluruk Lembah Pualam Hijau sekarang ini? Tapi entah kalau Lembah Salju Bernyanyi sanggup” ditambahkan lagi minyak untuk menyiram kemarahan Kim Tong.

“Kalau hanya Lembah Pualam Hijau, kami Lembah Salju Bernyanyi masih belum kehilangan nyali untuk melabraknya. Lihat saja nanti, saatnya kami akan mencari murid Kakek Dewa Pedang untuk adu kesaktian, setidaknya membuktikan kami tidak kalah dari Kakek Dewa Pedang”

“Jika demikian Majikan Lembah Salju Bernyanyi, engkau boleh datang ke Lembah Pualam Hijau pada dua bulan ke depan. Dan lihat, apakah engkau berkemampuan memasuki Lembah Pualam Hijau dan menantang murid tunggal Kakek Dewa Pedang itu”

“Baiklah, tetapi siapakah gerangan engkau”? Kim Tong tetap penasaran dengan orang berjubah kelabu yang dikejarnya dengan susah. Dan baru bisa berbicara dan bertemu setelah dia tidak berani terbang melintais jurang dalam itu.

“Jika engkau ada di Lembah Pualam Hijau pada dua bulan menjelang, maka kita akan saling berjumpa dan berkenalan lebih jauh ...... awas......”

Meski Kim Tong cukup awas dan waspada, tetapi dia tetap kena dipermainkan orang. Ketika dia menoleh untuk melihat apa yang diteriakkan si jubah kelabu itu dengan “awas”, tibat-iba dia merasa sesuatu tak wajar, dia merasa dikibuli karena tak ada orang dibelakangnya. Tetapi, waktu sepersekian detik telah memberi ketika yang cukup bagi si jubah kelabu untuk bertindak. Dalam waktu singkat tubuhnya kembali melesat, kali ini ke arah darimana mereka datang. Dan ketika dikejar, seperti tadi jarak mereka tidak menyempit atau memendek, tetapi selalu tetap tidak berubah, sampai kemudian Kim Tong membiarkannya berlalu.

“Lembah Pualam Hijau?, hmmmmm, apa yang ditakuti disana”? desis Thian San Kim Tong dalam hati. Sayang, Kim Tong tidak menyadari jika dia sebenarnya sedang digiring si Jubah Hijau untuk mengarah ke Lembah Pualam Hijau. Dia memang mendengar nama Lembah yang sangat terkenal dan hebat itu di jaman sekarang. Tetapi sudah tentu dia enggan memperlihatkan kelemahannya meski harus berhadapan dengan Lembah Pualam Hijau. Apa gerangan yang akan terjadi kelak?
 
Ada yg ngompor"in ke Lembah Pualam hejooo,,,
 
BAB 2 Ketenangan Yang Terkoyak
1 Ketenangan Yang Terkoyak



Di lain tempat, Thian San Giok Li setelah berbicara panjang lebar tentang kondisi yang terjadi dan pembagian tugas di antara mereka bertiga, telah kemudian berpisah. Kedua nenek yang mendapat tugas untuk menjaga “pintu rahasia”, tugas yang telah mereka emban selama puluhan tahun terakhir, telah beranjak pergi. Tetapi entah mengapa dan apa alasannya, pintu itu kini harus dijaga lebih ketat. Biasanya yang menjaganya, cukup seorang di antara mereka bertiga, tetapi sekarang harus dijaga berdua.

Meski keheranan, kedua nenek ini tetap melaksanakan pembagian tugas tersebut. Entah bagaimana, pesona dan wibawa kakak seperguruan mereka selalu membuat mereka tunduk. Pesona dan wibawa itu nyaris mirip dengan subo mereka, ibu guru yang telah almarhum lebih 10 tahun silam. Lemah lembut, tetapi menampilkan penampilan yang tegas dan kokoh, sekaligus begitu memperhatikan kebutuhan mereka sebagai murid-murid.

Maka kedua nenek itupun meninggalkan toa suci mereka yang masih memandangi berlalunya kedua nenek itu sampai beberapa lama. Pada akhirnya, sang Toa Suci, orang pertama Thian San Giokli itu, juga meninggalkan ruangan tersebut setelah menarik nafas panjang berulang-ulang. Wajah yang berprihatin kini tak dapat disembunyikan lagi. Meski dia sanggup menyembunyikannya dari pandangan mata kedua adik perguruannya, tetapi sekarang membayang jelas dari sorot mata dan tampilan wajahnya.

“Lembah Salju Bernyanyi memasuki babakan baru. Hmmmm, mudah-mudahan sanggup, mudah-mudahan” demikian desis sang Nenek dalam hatinya. Entah apa dan bagaimana sebenarnya yang dibayangkan dan diterawangnya akan terjadi bagi Lembah Salju Bernyanyi. Bayangan tersebut, justru datang dan membayang pada hari pertama setelah selama 100 tahun Lembah Salju Bernyanyi hidup dalam kekangan, terisolasi dari dunia luar.

“Subo tidaklah mungkin keliru, tanda-tandanyapun kulihat semakin jelas” demikian sang nenek kembali berdesis dalam hatinya. Dan setelah beberapa waktu sang nenek terpekur sendirian sambil menerawang dan memandang ke atas, akhirnya diapun perlahan-lahan turun dari tempatnya bersamadhi, dan perlahan berlalu. Dia menyusuri lorong-lorong dalam ruangan-ruangan khusus yang tersembunyi di dalam Lembah Salju Bernyanyi.

Berliku-liku dia berjalan sampai akhirnya tangannya meraba kepala burung di dinding sebelah kiri dan seterusnya sedikit mendorongnya. Setelahnya terdengar derit dinding-dinding yang bergeser membuka, terus membuka hingga setinggi persis tubuh seseorang, hanya kurang lebih 2 meter dan lebarnya tak akan lebih dari 50 cm. Hanya cukup bagi satu orang belaka untuk memasuki pintu yang membuka tersebut. Sebuah pintu yang selalu terkunci dan mustahil dikenali orang luar karena dinding dimana pintu rahasia tersebut berada, persis sama dengan dinding-dinding lainnya. Susah ditemukan pastinya.

Tidak ada tanda khusus dan khas, bahkan benda yang disentuh oleh si nenekpun adalah benda biasa, berbentuk burung-burungan. Burung khas yang banyak terdapat di Gunung Thian San dan juga banyak menghiasi dinding sepanjang lorong yang di lalui si Nenek. Hanya orang yang mengerti dan tahu rahasianya sajalah yang akan sanggup mengenali kepala burung-burungan manakah yang menjadi tanda rahasia bagi pintu rahasia yang terbuka itu.

Secara perlahan si Nenek berjalan masuk ke ruangan rahasia tersebut. Hanya beberapa langkah, di hadapannya kini terbentang 5 ruangan yang masing-masing ruangan memiliki pintunya sendiri. Nampaknya, ini adalah ruangan yang biasa ditempati oleh si Nenek. Dia memandangi sejenak 3 pintu ruangan bagian tengah, untuk kemudian menarik nafas panjang. Setelahnya dia beranjak ke sudut ruangan lebih luas dari tempatnya berdiri saat itu, disana terdapat sebuah tempat yang biasa digunakan bersamadhi. Sementara tepat di belakangnya, kembali terdapat sebuah pintu ruangan.

Dengan tidak menekuk sepasang kakinya, si Nenek tiba-tiba saja bagaikan terbang, melayang ke arah tempat dia samadhi. Dan ketika tiba ditempat, dengan ringan dan santai dia menekuk kedua kakinya, dan diapun mendarat di tempatnya dalam posisi samadhi. Disitu kembali si Nenek beberapa kali menarik nafas panjang, dan seterusnya berusaha untuk memusatkan perhatiannya. Tidak lama kemudian dia telah menemukan ketenangan dalam samadhinya.

Tetapi, Nenek itu sepertinya memang telah mencapai puncak kesempurnaan dalam penguasaan ilmu-ilmunya. Belum beberapa lama dia tenggelam dalam samadhinya, mungkin hanya ada sekitar 30 menitan, tiba-tiba matanya telah terbuka. Seterusnya terdengar dia berguman:

“Harusnya mereka telah menyelesaikannya ......”, dan setelah itu matanya kembali memandang kearah 3 pintu yang kini berada di sebelah kanan depannya, rapih berjejer. Begitupun, dia masih belum menemukan adanya tanda-tanda pintu itu bergerak dibuka orang. Kembali dia terpekur menunggu. Beberapa saat dia menunggu, tiba-tiba dia tersentak:

“Ach, sesuatu akan terjadi, apakah gerangan ......?” desisnya. Nenek ini memang mewarisi kepekaan akan sesuatu yang bakal terjadi. Sesuatu yang diwarisinya dari Subonya dan yang akhir-akhir ini semakin kuat melekat dalam dirinya. Sesuatu seperti kewaspadaan terhadap sesuatu yang bakal dan akan segera terjadi dan sangat terkait erat dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya. Tetapi, belum lagi dia mencermati secara lebih detail “sesuatu” yang akan terjadi itu, kembali dia tersentak, karena tiba-tiba:

“Srrrrrrrrrrrrrrttttttttt ....” pintu paling ujung bergerak terbuka, dan hanya berjarak 2-3 detik kemudian, pintu paling tengah juga berderit membuka. Dan tidak sampai 3-4 menit kemudian, pintu terakhir juga berderit terbuka. Dan kemudian berturut-turut berkelabat tiga bayangan yang dengan segera memberi hormat dan berlutut di hadapan si Nenek sambil masing-masing berkata:

“Toa suci ........”
“Subo .......”

Dalam waktu singkat di hadapannya telah berdiri seorang pemuda dalam sikap sangat menghormat dan dua orang gadis berlutut yang ternyata adalah murid-muridnya dan adik seperguruannya yang terkecil. Yang pertama, seorang pemuda gagah – paling banyak berusia 22 tahun bernama Tham Beng Kui. Dia adalah anak bungsu dari Kim Tong dengan istrinya yang telah meninggal setelah melahirkan Beng Kui. Tepat ketika pada usianya yang ke 10 tahun, dia diangkat menjadi murid oleh Neneknya – ibu dari Kim Tong, sekaligus guru dari Thian San Giokli.

Namun, ketika berusia 12 tahun, sebelum Nenek Tham Beng Kui meninggal, dia telah meninggalkan pesan kepada anaknya Kim Tong dan juga Thian San Giokli bahwa pendidikan silat murid penutupnya, yang juga adalah cucunya, akan dilanjutkan oleh Thian San Giokli nomor 1. Atau murid utamanya, yakni toa suci dari ke tiga Thian San Giokli. Itulah sebabnya Tham Beng Kui memanggil “Toa Suci” kepada nenek itu, meski prakteknya hanya 2 tahun dia dilatih neneknya. Danselanjutnya dia dilatih oleh “toa sucinya” itu atas nama neneknya yang menjadi gurunya. Sedangkan kedua anak gadis yang menyusulnya memanggil subo.

Disamping Beng Kui, berlutut Cui Giok Tin dan Cui Giok Li, kakak beradik yang diselamatkan oleh orang-orang Lembah Salju Bernyanyi yang sedang turun gunung membeli ransum dan bahan makanan di kaki gunung Thian San. Cui Giok Tin yang waktu itu berusia 3 tahun bersama ibunya yang sedang hamil, dikejar-kejar penjahat di kaki gunung Thian San. Beruntung mereka berhasil menghindar dengan bersembunyi di dalam sebuah gua liar dan akhirnya selamat. Namun setelah keluar dari gua persembunyian, mereka berdua pingsan karena kelaparan – maklum selama bersembunyi dalam gua, 2 hari dua malam mereka tidak menyentuh makanan barang sedikitpun.

Beruntung, Giok Tin dan ibunya ditemukan oleh rombongan Lembah Salju Bernyanyi dan selanjutnya di bawah ke perkampungan Lembah salju Bernyanyi. Nenek pertama dari Thian San Giokli sangat terkejut menemukan watak yang cemerlang dan tulang yang sangat baik untuk berlatih silat dari Cui Giok Tin, dan pada akhirnya mengangkatnya menjadi murid. Setelah 3 bulan di lembah Salju bernyanyi, lahirlah Cui Giok Li – sayangnya, ibu mereka meninggal dalam persalinan.

Rupanya, selama berbulan-bulan Giok Tin dan ibunya dikejar-kejar penjahat, sangat mempengaruhi kesehatan sang ibu. Dan ketika melahirkan Giok Li, akhirnya sang ibupun menghembuskan nafas terakhir. Untungnya, sang Ibu sempat menjelaskan siapa dirinya kepada Thian San Giokli. Sejak saat itupun, Giok Li menjadi murid penutup Thian San Giokli – bahkan nama Giok Li diberikan sang subo.Dalam pertumbuhan, Giok Li juga menunjukkan bakat yang hebat dalam ilmu silat.

Cui Giok Tin berusia hampir sama dengan Beng Kui, karena saat ini sudah hampir berusia 22 tahun, sementara adiknya berusia hampir 19 tahun. Mereka memang selisih usia lebih kurang 3 tahun. Tetapi, kedua anak gadis itu memang sama-sama cantik dan apalagi keduanya sedang mekar-mekarnya. Kecantikan mereka memang membanggakan, tetapi sang Guru lebih bangga dengan prilaku kedua anak gadis itu yang telah dididiknya sejak masa kecil mereka. Bahkan dia merasa dan memperlakukan keduanya tidak hanya sebagai murid-murid belaka, tetapi memperlakukan mereka berdua bagai anak-anaknya atau cucu-cucunya. Itulah sebabnya pandangannya begitu hangat dan mesra.

Nenek pertama dari Thian San Giokli itu seterusnya memandangi ketiga anak muda dihadapannya untuk kemudian berkata:

“Duduklah anak-anakku ....” dan tanpa diulang ketiga anak muda itupun kemudian duduk di hadapan si nenek. Termasuk Beng Kui. Nampak sekali rasa hormat dan kasihnya kepada Nenek yang duduk dihadapannya. Meski lahirnya dia adalah sute dari si Nenek, tetapi rasa hormatnya tidaklah pernah hilang dari tindak tanduknya menghadapi si Nenek. Rasa hormat serupa sebagaimana dahulu ditujukannya kepada Neneknya yang telah almarhum, karena wibawa kedua Nenek itu memang hampir sama.

Setelah ketiga anak muda itu duduk, sang Nenekpun bertanya:

“Beng Kui sute .... bagaimana, apakah engkau telah sanggup mengendalikan sinkang warisan subo ...”?

“Toa suci, nampaknya penggunaan Pek In Swat Kangku sudah jauh membaik. Nampaknya aku sudah mampu membaurkan Swat Im Sinkang Nenek kedalam Pek In Swat Kang”

“Hmmmm, bagus sekali Siauw sute. Hahaha, tidak percuma subo menggunakan ilmu mujijat “Memindahkan Hawa – Menukar Hidup” untukmu. Sute, apakah engkau sudah sanggup mengibas benda apapun menjadi tumpukan salju dalam hitungan sepersekian detik”?

“Mungkin masih belum secepat toa suci dan Nenek, tetapi rasanya aku sudah berkemampuan melakukannya”

“Siauw sute, sebelum subo meninggal beliau meninggalkan sebuah pesan kepadaku untuk mengetahui tahapan terakhir engkau menguasainya secara baik atau tidak. Pesan itu dalam bentuk pertanyaan kecil, “kapan engkau merasakan sekujur tubuhmu terselimuti salju dan sekujur tubuhmu bagaikan membeku, tetapi dalam tubuhmu justru merasa sangat hangat mendekati panas”?

“Toa suci, aaaacccchh, benarkah ada pesan demikian”? tanya Beng Kui penasaran.

“Sute, apakah engkau telah mengalaminya”?

“Benar toa suci, kira-kira 5 hari sebelumnya”

“Hmmmm, tepat seperti yang diramalkan subo. Bahwa 5 hari sebelum engkau siuman, subo telah memastikan engkau akan mengalaminya. Itulah tanda bahwa sinkang Swat Im subo telah mulai membaur dengan Pek In Swat Kangmu sute”

“Ach, benarkah begitu toa suci”?

“Engkau meragukan nenekmu sute ....”?

“Tidak, tidak, tidak begitu toa suci, aku merasa sangat gembira malah”

“Dengan demikian, engkau sudah siap menerima ilmu Peng-Sian-Jit-Gwat Ciang (Pukulan Matahari Rembulan Berhawa Dingin) sute”

“Toa suci, ilmu apakah gerangan itu”? tanya Beng Kui penasaran.

“Sute, terus terang saat ini yang mampu menguasai ilmu tersebut setelah Nenekmu dan toa sucimu ini, hampir tiada orang lain lagi. Bahkan kedua sucimu yang lain tidak akan sanggup menguasainya. Jika Subo dan aku tidak salah, kalian bertiga memiliki bakat yang memadai untuk menguasainya, dan engkau sute, sudah pada tahapan siap untuk memasuki tahapan tersebut”

“Tapi, apakah ilmu itu lebih hebat dari Jit Goat Kan Kun (Matahari dan Bulan Menggetarkan Jagat”?

“Sute, pada jaman Kakek guru, Koai Todjin menguasai dunia persilatan sebelum Kakek Dewa Pedang (Lo Sian Kiam), ilmu pukulan yang paling terkenal adalah Peng Sian Jit Gwat Ciang itu. Ilmu ini memang bukan dari aliran beribadat semisal Siauw Lim Sie, tetapi tetap di aliran lurus. Tandingannya adalah ilmu silat yang dikenal paling jahat dan buas dalam dunia persilatan yang disebut Bu-Siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Siapa yang terkena ilmu jahat ini, tulangnya akan membusuk dengan cepat. Tetapi, syukur kakek Guru Koai Todjin berhasil mengikat iblis durjana itu pada masanya dan mengurung mereka sampai mereka ajal. Jika Bu Siang te im hu kut menjagoi dunia hitam, dan ilmu pukulan Kim Kong Ciang menguasai aliran beribadat, maka aliran lurus di luar kaum beribadat yang menjagoi adalah ilmu Kakek guru. Dan Jit Goat Kan Kun adalah syarat untuk memasuki tahapan pamungkas dari perguruan kita”

“Sehebat itukah toa suci ...”? Beng Kui bertanya dengan mimik bangga yang tidak dapat disembunyikan.

Sementara itu, Nenek pertama dari Thian San Giokli telah berpaling kepada kedua muridnya yang selama ini dengan tekun dan semangat mendengarkan guru mereka menjelaskan kepada paman guru yang seusia dengan mereka. Si Nenekpun kemudian bertanya:

“Giok Tin, bagaimana dengan engkau? Apakah engkau telah sanggup menguasai Swat Im Sinkang dan juga Pek In Swat Kang?

“Terima kasih Subo, dengan perkenan Subo, tecu merasa sudah sanggup menguasainya”

“Dan engkau Giok Li, apakah juga sudah sanggup”?

“Subo, meski memang belum sesempurna Susiok dan Suci, tetapi tecu merasa sudah mampu menguasainya”

“Baiklah, jika memang kalian bertiga merasa sudah menguasainya, mari kita mencobanya. Ujiannya sederhana, dengan menggunakan kibasan lengan kalian pasti mampu membekukan benda apapun yang menyerang dan mendekati kalian. Hal itu sangat umum dan biasa. Kali ini, jika mampu membekukan benda yang kulemparkan kepada kalian dengan tiupan dari mulut masing-masing, maka berarti kalian telah mampu menguasai tenaga dingin keluarga Lembah Salju Bernyanyi. Apakah kalian siap”?

“Siap toa suci ...”
“Siap subo ....”

Tiba-tiba di tangan Nenek pertama Thian San Giokli telah tergenggam 3 butir kerikil dan ketika kerikil tersebut dilontarkan kepada ketiga orang muda tersebut, kerikil kerikil tersebut telah mengeluarkan asap, bahkan ketika semakin mendekati ketiga anak muda itu, telah mengeluarkan cahaya api. Tetapi ketiga anak muda itu telah bersiap dengan mengerahkan tenaga inti hawa dingin dari keluarga Lembah Salju Bernyanyi. Dan kemudian serempak secara bersamaan merekapun meniup guna menahan laju kerikil itu.

Tenaga yang mereka hembuskan berusaha untuk pertama menahan daya tolak dari si Nenek, dan kemudian berusaha membekukan kerikil berapi yang dilontarkan guru mereka. Dan dalam waktu yang tidak lama, tidak sampai sampai 3 detik Beng Kui mendahului Giok Tin sepersekian detik, telah bukan saja menahan laju kerikil dan mematikan apinya, tetapi bahkan telah membekukan kerikil itu menjadi butiran salju. Sementara itu, Giok Li membutuhkan waktu lebih dari 3 detik, lebih 4 detik untuk melakukan hal yang sama.

“Hm, bagus, bagus. Sungguh luar biasa. Sesuai dengan harapan dan dugaanku, kalian sudah mampu melakukannya dengan sangat baik. Beng Kui sute, engkau masih akan meningkat kemampuan sinkangmu karena sinkang subo akan mulai membaur, dengan demikian akan mudah bagimu menguasai Peng-Sian-Jit-Gwat Ciang (Pukulan Matahari Rembulan Berhawa Dingin)”

“Terima kasih toa suci .....”

“Giok Tin dan Giok Li, selain berlatih Peng-Sian-Jit-Gwat Ciang (Pukulan Matahari Rembulan Berhawa Dingin), kalian harus terus meningkatkan latihan Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Ilmu Menghimpun Dan Menyatukan Hawa Murni). Latihan tersebut terbukti membuat kalian tidak tertinggal dari Siauw Sute Beng Kui, meski dia membekal sinkang Neneknya”

“Baik subo ....”

“Satu hal lagi, kalian bertiga dilarang sekalipun meninggalkan tempat ini sebelum sanggup menguasai dengan sempurna Peng Sian Jit Goat Ciang. Jangan memandang remeh, karena kekuatan tenaga dalam harus memadai, selain kekuatan batin juga dipupuk terus menerus. Khusus untuk Giok Tin dan Giok Li kalianpun harus keluar dengan menguasai Pat-poh-hwe-gong (delapan langkah terbang di udara) dan ilmu Hui-Sian-Hui-Kiam (ilmu pedang terbang memutar). Kedua ilmu itu adalah ciri khas gurumu ini dan sudah kusempurnakan sejak diciptakan Kakek guru kalian. Kalian dilarang mengaku sebagai muridku jika keluar tanpa menguasai kedua ilmu itu. Siauw Sute, jika engkau juga ingin menguasai ilmu itu, engkau boleh melakukannya”

“Terima kasih subo ....”

“Catatan kedua ilmu silat yang terakhir akan kalian temukan di ruangan ini segera setelah kalian menyempurnakan Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin). Siauw Sute, mungkin engkau harus keluar terlebih dahulu, karena urusan Lembah Salju Bernyanyi kelak akan menjadi urusan besarmu. Tanggungjawabmu untuk mengekang kedua ponakan muridmu untuk melanjutkan latihan mereka sebelum berlalu dari ruangan ini”

“Toa suci, legakan hatimu, aku akan melakukannya”

“Ketika kalian selesai dengan latihan Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin), mungkin aku tidak berada di ruangan ini. Ingat, berlakulah hati-hati dan jangan dengan panas hati. Giok Tin, ingat baik-baik pesanku ini, jangan bertindak dengan panas hati”

“tecu mengerti subo .....”

“Baiklah, sekarang masuklah ke ruangan di belakangku. Di ruangan itulah tertera secara rinci bagaimana melatih Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin). Kalian harus bangga, karena di Perguruan kita ini, kalian adalah orang 5 yang memasuki ruangan tersebut. Artinya kalian adalah orang-orang terpilih untuk meneruskan kejayaan Lembah Salju Bernyanyi”

Maka bertindaklah ketiga anak muda itu, secara bersama mereka memasuki ruangan itu, dan berada disana selama beberapa jam. Dan ketika mereka keluar dari pintu tersebut, di ruangan semula, mereka kembali menemui Nenek pertama dari Thian San Giok Li yang dengan sabar menunggu. Dan si Nenek tidak lagi memberi pesan apa-apa selain mempersilahkan mereka memasuki kembali ruangan tempat mereka harus menempa diri. Dan seterusnya, ruangan itupun kembali sepi .....

Beberapa saat kemudian, Nenek sakti itu kembali duduk merenung. Dia bangga, karena mampu melatih Giok Tin dan Giok Li setara dengan sutenya Beng Kui. “Untung aku menemukan kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Ilmu Menghimpun Dan Menyatukan Hawa Murni) di koleksi pustaka Kakek Guru. Kalau tidak, mustahil Giok Tin dan Giok Li sanggup mendekati kepandaian beng Kui” desisnya dalam hati.

Selanjutnya, si Nenek kembali merenung dan termenung. Tetapi kali ini, bukan sekedar merenung dan melamun. Karena Nenek sakti ini sebetulnya kembali mengerahkan kemampuan istimewanya dalam menerawang kejadian-kejadian yang sudah, sedang dan akan terjadi. Seperti yang dilakukannya sebelum ketiga anak muda tadi menyelesaikan samadhi awal mereka. Tidak terasa memang kalau dia telah bercakap dan membekali siauw sute dan kedua murid penutupnya selama lebih kurang 3 jam.

Padahal, sebelum bercakap dengan mereka, dia telah menangkap terjadinya kejanggalan dan terjadinya “bencana” jauh di luar sana. Tetapi, dia belum sempat mengetahui lebih detail kejadiannya, karena siauw sute dan kedua muridnya telah menyelesaikan latihan mereka dan menghadapnya. Karena itu, Nenek sakti ini ingin kembali melacak apa gerangan yang terjadi. Tetapi sayang, kejadiannya sudah lewat jauh. Justru tanda lain yang ditemukan. Nenek ini tersentak dan mendesis:

“Astaga ...... yang ini benar-benar di luar sangkaan, ada kekuatan luar biasa yang sanggup menerobos masuk. Kim Tong, kedua sumoy dan anak murid Lembah tidak mungkin sanggup menahan mereka ..... aku harus bergegas” dan selesai berdesis demikian, Nenek itupun berkelabat dan lenyap dari ruangan. Ada apa gerangan? Apakah yang terjadi di luar sana?

===================

Apa gerangan yang terjadi? Dugaan Thian San Giokli memang benar. Sesuatu sedang terjadi, tepat dalam Lembah Salju Bernyanyi. Dan sesuatu yang terjadi adalah sesuatu yang luar biasa. Lembah Salju Bernyanyi untuk pertama kalinya selama seratus tahun terakhir kemasukan musuh. Tepat di jantung dan pusat Lembah Salju Bernyanyi.

Tidak lama setelah Kim Tong kembali dari pengejaran terhadap si Jubah Hijau, mungkin ada sekitar 2 jam, beberapa anak murid dan anaknya yang keluar Lembah menuju Thian San Pay kembali ke Lembah. Hanya saja dari jumlah 7 orang yang menuju ke Perguruan Thian San Pay, yang kembali ke Lembah Salju Bernyanyi tinggal 4 orang belaka. Sisanya tewas dalam pertikaian yang terjadi di Perguruan Thian San Pay. Ketika mendatangi Thian San Pay maksud utama mereka adalah menjajaki kemampuan perguruan itu. Tapi apa lacur, bentrokan berdarah justru terjadi dan memakan banyak korban di pihak Thian San Pay dan dibayar oleh 3 nyawa anak murid Lembah Salju Bernyanyi.

Yang pulang dengan tetap hidup namun terluka adalah murid tertua sekaligus putra tertua dari Kim Tong yang bernama Tham Ki. Tham Ki sudah berusia hampir 60 tahun dan mewarisi semua kepandaian ayahnya, Thian San Kim Tong. Selanjutnya murid kedua Kim Tong bernama Ho Cu Seng, pria berumur 58 tahun yang juga memiliki kepandaian hampir seimbang dengan toa suhengnya. Orang ketiga adalah putra ketiga Kim Tong bernama Tham Sin berusia 49 tahun, murid ke-lima namun yang berkepandaian melebihi toa suheng sekaligus kakak tertuanya. Mungkin bahkan sudah melampaui kemampuan ayahnya, karena memang sesekali menerima pengajaran Neneknya. Dan orang terakhir adalah murid terakhir, murid kedelapan atau penutup dari Kim Tong yang bernama Toh Lui. Lelaki gagah berusia 32 tahun. Sebetulnya, murid terakhir Kim Tong adalah anak bungsunya Beng Kui, tetapi anak itu telah dididik langsung oleh neneknya dan terakhir dididik oleh orang pertama Thian San Giokli.

Sementara 3 orang yang tewas di perguruan Thian San Pay adalah putra kedua Kim Tong bernama Tham Bu Ji sekaligus murid nomor tiga; Kemudian murid nomor empat bernama Hu Beng Sin, lelaki tinggi besar berusia 52 tahun; dan korban terakhir adalah murid ketujuh Kim Tong yang bernama Sip Kong. Seorang lagi murid ke-enam sekaligus satu-satunya putri Kim Tong bernama Tham Wan Hoa, tidak menyertai rombongan ke Thian San Pay karena memilih hidup di perkampungan Lembah Salju Bernyanyi bersama suaminya.

Betapa marah Kim Tong mendengarkan laporan murid bungsunya yang memang cerdik pintar itu. Dia berbicara karena dari mereka berempat, adalah Toh Lui, murid ke delapan dan murid kedua Ho Cu Seng yang terhitung lukanya paling ringan. Hanya saja, Ho Cu Seng entah mengapa sejak dari Thian San Pay menjadi begitu pendiam dan tidak banyak bicara:

“Kami bermaksud baik-baik menantang mereka suhu, toako dan ji suheng sudah berkali-kali mengutarakan maksud untuk sekedar adu kepandaian. Tetapi, entah mengapa mereka tidak mau menerima, bahkan beralasan Ciangbundjin mereka berhalangan dan sedang bertugas keluar. Ketika kami menantang murid Kakek Dewa Pedang, mereka justru menertawakan. Toa suheng yang penasaran akhirnya lepas tangan melukai salah seorang murid mereka, dan pertengkaranpun terjadi sampai adu kesaktian. Awalnya kami sekedar melukai lawan, tetapi karena mereka kemudian menewaskan Sip Kong suheng, akhirnya kamipun membalasnya dan berhasil membunuh puluhan anak murid mereka suhu”

“Sebentar, engkau tadi mengatakan merekalah yang terlebih dahulu melakukan pembunuhan, apa benar demikian”?

“Memang demikian suhu. Kamipun heran, karena Sip Kong suheng tidak dalam keadaan terdesak meski dikerubuti lawan yang berkemampuan jauh lebih rendah darinya. Tetapi, tahu-tahu entah bagaimana Sip Kong suheng terjatuh dan jatuhnya tepat mengarah ke pedang salah seorang pengeroyoknya yang sedang terhunus. Kebetulan tecu langsung menyaksikan kejadian itu suhu”

“Jika demikian, ada juga orang sakti di Thian San Pay”?

“Rasanya bukan demikian suhu, tecu tidak menemukan lawan yang mampu merepotkan kami. Kematian Sip Kong suheng sangat aneh. Dan anehnya lagi, menurut toa suheng, kematian sam suheng juga sama anehnya, persis seperti kematian Sip Kong suheng. Dan ji suheng terakhir melaporkan kematian Beng Sin suheng juga mirip. Disinilah letak keanehannya suhu”

“Hmmm, apakah gerangan yang terjadi? Apa benar demikian adanya?” bertanya Kim Tong kepada anak tertuanya:

“Benar ayah, cerita Toh Lui sute sangat benar. Kematian ketiga sute terlalu aneh”

“Pasti ada tokoh sakti mereka yang main gila”

“Tapi, jika ada masak harus menunggu sampai hampir 50-an anak muridnya terbunuh suhu”? Toh Lui meragukan dugaan gurunya.

“Atau karena kelalaian mereka bertiga”? guram wajah Kim Tong mengucapkannya

“Rasanya juga bukan ayah” kali ini putra sulung Kim Tong yang menyanggah pendapat ayahnya.

“Suhu, menurut pendapat tecu, kita sebaiknya bersiap-siap. Karena dengan begitu banyaknya anak murid Thian San Pay yang tewas ditangan kita, sangat besar kemungkinan mereka akan balik menyerbu” Toh Lui mengajukan pandangan yang memang sangat jitu. Bisa ditebak, Thian San Pay akan melakukan pembalasan. Peristiwa yang terjadi sudah merupakan peristiwa berdarah. Terlalu banyak anak murid mereka yang terbunuh.

“Biarlah, jika mereka menyerbu, kita tentu akan meladeninya” dingin suara Kim Tong yang masih penasaran dengan tewasnya anak dan murid-muridnya. Sebuah tanda betapa Kim Tong kurang memahami gejolak dunia persilatan, maklum, dia hidup dalam pengasingan sepanjang kehidupannya. Dan inilah yang akan mendatangkan bala bagi Lembah Salju Bernyanyi. Keengganan untuk melakukan pemeriksaan dan pengamatan lebih jauh, bakal sangat merugikan bagi Lembah Salju Bernyanyi yang sekaligus mengorbankan suasana tenang damai selama 100 tahun lebih.

“Sudahlah, biarlah kalian semua beristirahat dan memulihkan diri terlebih dahulu. Kita akan membahas dan menentukan langkah di pertemuan berikutnya menunggu kalian semua sembuh dan pulih terlebih dahulu”
Begitulah Kim Tong. Miskinnya pengalaman di dunia persilatan membuatnya lalai dan memperparah konflik dengan Thian San Pay. Padahal, bukanlah maksudnya untuk mengikat permusuhan dengan Thian San Pay. Jika dia lebih teliti, maka dia akan menelaah informasi mengenai kematian anak dan muridnya yang aneh. Sayang, dia tidak sanggup menemukan celah untuk menelaah lebih jauh karena miskinnya pengalaman berinteraksi dengan dunia luar.

Ada sekitar 10 menit setelah murid-murid dan anaknya meninggalkannya sendirian, tiba-tiba berkelabat sesosok tubuh dan telah langsung berdiri dihadapannya. Orang itu ternyata adalah Nenek pertama dari Thian San Giokli, yang telah dengan tenang bertanya kepada Kim Tong:

“Suheng, adakah sesuatu yang aneh baru saja terjadi”?

“Bagaimana engkau tahu sumoy....”? Kim Tong balik bertanya.
“Aku baru saja terganggu dengan sebuah “rasa gelisah” tentang sesuatu yang berbahaya terjadi di sini, di dalam Lembah kita ini”

Kim Tong paham, bahwa sumoynya ini mendapatkan warisan ilmu yang mujijat dari ibunya. Karena itu, diapun tergerak, meski tidak sangat antusias karena mengira hanya laporan dari Thian San Pay saja yang penting:

“Ach sumoy, telah terjadi pertikaian berdarah dengan Perguruan Thian San Pay. Aku kehilangan seorang anak dan 2 orang anak murid, sementara mereka kehilangan puluhan murid” singkat saja informasi yang disampaikan Kim Tong yang memang menduga, itulah kejadian “tidak enak” yang diterawang oleh sumoynya itu.

“Hmmmm, aku sudah menduga peristiwa ini 3 jam sebelumnya suheng. Tetapi, aku “melihat” ada sesuatu yang asing, sebuah kekuatan yang sangat hebat yang menyusup masuk ke dalam Lembah kita” demikian si Nenek berkata dengan tegas dan sangat meyakinkan.

Kim Tong tergerak dan bertanya: “Apa maksudmu sumoy”?

“Suheng, maksudku jelas. Ada kekuatan asing yang luar biasa yang memasuki Lembah kita. Jika aku tidak salah, murid-murid di gerbang alam kita sedang dalam keadaan tertotok. Sebaiknya suheng memeriksa ke depan, aku akan ke dalam”

Selesai berkata demikian, tubuh nenek itu telah berkelabat menghilang. Sementara itu, Kim Tong meski kaget, tetapi masih ogah-ogahan. Tetapi begitupun dia beranjak menuju pintu ke luar untuk memeriksa gerbang alam. Dan betapa kagetnya dia ketika benar, murid-murid yang ditugaskannya menjaga di gerbang alam, semuanya dalam keadaan tertotok. Jika demikian, benarlah bahwa Lembah Salju Bernyanyi sudah kemasukan tokoh hebat. Tapi siapakah dia?

Kim Tong tidak lupa membebaskan anak-anak muridnya terlebih dahulu, kemudian langsung berkelabat kembali menuju ke dalam Lembah Salju Bernyanyi sambil memuji ketajaman penerawangan sumoynya. Tengah dia berlari menuju Lembah, tiba-tiba teringat kepada murid keduanya yang selama dalam pertemuan tadi bersikap di luar kebiasaan. Diam tidak pernah bicara dan pandang matanya terasa hampa. Awalnya dia merasa karena muridnya itu terluka, tetapi belakangan ketika dia menganalisis lebih jauh, dia sadar bahwa pandangan mata muridnya yang aneh, pastilah disebabkan oleh kekuatan di luar dirinya. “Ilmu siihir”, begitu desis Kim Tong, dan dengan demikian semakin cepatlah dia bergerak langsung menuju kamar murid keduanya itu.

Sementara itu, Nenek Thian San Giokli sudah cepat bergerak menuju ke tempat rahasia dimana kedua sumoynya dimintanya untuk berjaga-jaga. Untuk berjaga-jaga dia memang meminta kedua sumoynya berjaga bersama, karena “rasa tidak enak” sudah demikian kuat mencekamnya sejak beberapa hari terakhir. Dan akhirnya kekhawatirannya memang terbukti. Ketika tiba di ruangan itu, dia menyaksikan kedua sumoynya terdesak hebat menghadapi seorang berjubah hijau mengenakan penutup wajah yang bersilat secara sangat hebat. Sementara di sudut ruangan lainnya, dia melihat Ho Cu Seng sedang berdiri dengan seorang berjubah hijau lainnya yang juga mengenakan kedok pelindung wajah.

“Tahan .....” serunya dengan tetap tenang, namun dengan wibawa yang sangat kuat terkandung dalam suaranya. Si jubah hijau yang sedang melawan keroyokan kedua sumoynya menahan serangan dan heran atas pengaruh suara yang demikian penuh wibawa. Sementara kedua Nenek yang menjadi lawannya menarik nafas lega melihat kedatangan toa suci mereka. Posisi mereka memang sudah sangat berbahaya, karena itu mereka bersyukur dalam hati.

“Hmmmmm, bertambah seorang Nenek lagi. Tiada salahnya engkau bergabung bersama mereka berdua untuk melawanku Nenek tua” tantang si Jubah Hijau dengan pongahnya. Dia memang dalam posisi unggul dan karenanya secara takabur dia menantang ketiga Nenek itu untuk segera mengerubutinya secara bersama-sama. Dia yakin menang.

“Jiwi sumoy berdua, mundurlah. Kalian berdua masih bukan lawannya. Entah siapakah tuan yang mulia”?

“Engkau tidak perlu mengetahui siapakah aku. Kuberitahu namakupun engkau tidak akan mengenaliku”

“Jika demikian, apakah maksud kedatangan tuan yang sebenarnya ke dalam lembah terpencil kami ini”?

“Biarlah secara jujur kukatakan, aku ingin mengetahui apakah Thian Tee Siang Mo (Sepasang Iblis Langit Bumi) masih ditahan di dalam lembah ini”?

“Hmmmm, ketahuan belangnya” desis si nenek dalam hati. Tetapi, dimulutnya si nenek berkata:

“Adakah tuan adalah sanaknya, keluarganya ataukah muridnya”?

“Tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya ingin mengetahui apakah kedua tokoh tua itu masih berada disini ataukah tidak”

“Mereka memang berada disini. Ditaklukkan kakek guru kami dan kemudian dikurung di Lembah ini agar tidak mengganas di dunia luar. Tetapi, sayangnya kedua iblis itu rasanya sudah menutup mata”

“Rasanya tidaklah berarti sudah pasti bukan”?

“Masa 100 tahun telah lewat ....” demikian si Nenek berkata, tidak menjawab pertanyaan si jubah hijau secara langsung.

“Jika demikian, apakah kami boleh memastikannya”?

“Sudah tentu tidak, malahan kami ingin mempersilahkan tuan untuk meninggalkan Lembah kami ini secara baik-baik”

“Jika demikian kami akan memaksa”

“Jika kalian memaksa, maka kami terpaksa akan menghalangi. Dan menjadi tradisi kami, bila pengganggu dan penyusup seperti kalian tertangkap, maka akan kami tempatkan di tempat dimana Lembah kami mengurung Thian Tee Siang Mo”

“Baiklah, cobalah menangkap kami jika demikian” tantang si jubah hijau. Dan seiring dengan kalimatnya itu, masuklah Kim Tong yang kaget melihat ada 2 tamu tak diundang berada dalam ruangan tersebut. Begitu masuk, Kim Tong berkata:

“Sumoy, ternyata benar perkataanmu. Lembah Salju Bernyanyi telah kemasukan penyusup, dan untungnya kita menemukan penyusup itu berada disini. Mereka telah menyihir Cu Seng dan mengantarkan mereka ketempat ini, selain itu merekapun telah menutuk para murid kita di gerbang alam. Sungguh lancang. Karena itu, biarlah aku yang menangani mereka” Sambil berkata demikian, Kim Tong telah berjalan mendekati si jubah hijau, tetapi dia bingung karena kini dia berjumpa dengan dua orang berjubah hijau. Entah yang mana dari keduanya yang telah adu balap dengannya siang tadi.

“Sobat, bukankah engkau yang telah bertemu lohu siang tadi ...”? tanya Kim Tong kepada si jubah hijau yang tadi bertarung dengan kedua sumoynya.

“Mungkin” jawab si jubah hijau singkat.

“Jika demikian, kita akan melanjutkan pertempuran kita tadi” sambil berkata demikian, Kim Tong langsung membuka serangan. Tetapi kali ini dia kecele, karena serangannya dengan sebat dipapak oleh si Jubah Hijau dan akibatnya dia terdorong sampai 2 langkah ke belakang sementara lawannya tetap berdiri kokoh ditempatnya. “Luar biasa, mengapa dia hebat sekali kali ini”? desis Kim Tong dalam hati dengan hati yang masih belum percaya jika dia kalah dalam bentrokan barusan.

Kembali Kim Tong menyerang dengan menggunakan tenaga lebih banyak dan kali ini dia menggunakan ilmu pukulan Jit Goat Kan Kun, jurus ke enam:

“Sobat, sambut kembali pukulanku ini ...... hiaaaaaaattttttt”

Nampaknya sederhana pukulan Kim Tong, tetapi dibalik kesederhanaan itu tersimpan kekuatan besar yang siap meledak. Dan lawannya mengenali pukulan hebat, karena itu dia tidak berayal dan menyambut pukulan Kim Tong dengan sama kerasnya. Akibatnya .........

“Blaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr” kembali terjadi benturan. Dan sama seperti tadi, Kim tong terdorong dua langkah lebih banyak ketimbang lawannya. Dan fakta ini membuat Kim Tong meradang. Selama ini dia merasa sebagai orang yang paling hebat, bahkan mengungguli kehebatan ketiga sumoynya. Kini, dihadapan ketiga sumoynya itu, dia terdorong dan kalah melawan penyusup di Lembah mereka. Bagaimana dia tidak murka?

Yang hebat adalah para penyusup. Meskipun hanya berdua, tetapi mereka nampak tidak gelisah dan terburu-buru meski telah dipergoki pihak lawan. Kepercayaan diri mereka patut diacungi jempol, dan kelihatannya mereka sudah “mengenal” kemampuan Lembah Salju Bernyayi. Itulah sebabnya melawan Kim Tongpun, si Jubah Hijau tidaklah terburu-buru dan tidak terbawa arus emosi yang berlebihan. Justru adalah Kim Tong yang termakan emosi.

Maka jadilah Kim Tong menyerang dalam balutan emosi dan memburu si Jubah Hijau berkedok. Bahkan kini, dari tangannyapun berkesiutan kiam ciang atau tangan pedang, tanda bahwa dia telah memadukan ilmu tangan pedang dengan Jit Goat Kan Kun. Fakta ini membuat si Jubah Hijau semakin berhati-hati, meskipun tidak membuat dia jatuh di bawah angin. Dengan berani si Jubah Hijau memapak serangan Kim Tong, bahkan berani beradu kekuatan tangan dan menindih kekuatan kiam ciang lawan. Benturan-benturan tangan mereka tidaklah menghasilkan cedera bagi si Jubah Hijau dan semakin menambah rasa penasaran dan amarah di pihak Kim Tong. Dan inilah kelemahan utama Kim Tong akibat minimnya pengalaman tempur di dunia kang ouw. Berbeda jauh dengan lawannya yang nampak sudah kawakan dan pintar mengatur pertempuran dan emosi.

Tetapi, Thian San Giokli yang bermata jeli, segera paham bahwa meski tertinggal, Kim Tong seharusnya tidak akan secepat itu untuk jatuh di bawah angin. Sayang, emosi yang tinggi membuatnya jatuh di bawah perangkap lawan yang diduganya akan segera menyerangnya secara gencar. Dan benar belaka.

Setelah gencar diserang di awal pertempuran, tiba-tiba si Jubah Hijau merubah gayanya. Dia menggebrak dan melontarkan Kim Tong yang murka dan kemudian mencecarnya dengan serangan-serangan yang mematikan. Serangan tangannya membadai dan membuat Kim Tong kehabisan daya, mati-matian membela diri guna menghindari serangan lawan.

“Hmmm, suheng terlampau gegabah. Jika menjaga ketenangan belum tentu dia kalah secepat ini” gumam Thian San Giokli si Nenek nomor satu. Dan usai bergumam seperti itu, diapun bertindak sambil berkata:

“Suheng, hati-hati” dan sejalur angin pukulan dahsyat mengarah si Jubah Hijau yang terpaksa harus membagi konsentrasinya karena lentikan pukulan hebat berhawa dingin yang menyerangnya mau tak mau diladeninya. Diapun melepas kesempatan mengalahkan Kim Tong dan memapak serangan si Nenek. Dan akibatnya:

“Dukkkkk ......”
 
2



Luar biasa, dia terdorong satu langkah ke belakang, sementara si Nenek tidak nampak goyah oleh benturan itu. Dan satu hal lagi, Kim Tong tertolong. Segera dia didekati oleh kedua sumoynya yang lain sambil menanyakan keadaannya.

“Tidak, aku tidak apa-apa” katanya menutupi rasa malunya kepada 2 orang nenek dari Thian San Giokli. Tetapi kedua nenek itu maklum belaka.

Sementara itu, si Jubah Hijau telah memandang Nenek nomor satu dari Thian San Giokli sambil mendengus:

“Hmmm, engkau hebat juga”

“Tuan, jika suheng tidak terbakar amarah dan melayanimu dalam ketenangannya engkau belum tentu bisa dengan mudah mengalahkannya. Tapi, betapapun engkau memang hebat”, ujar si Nenek lembut dan tidak menampakkan kemarahan. Setelah itu, diapun berkata ditujukan kepada Kim Tong dan kedua sumoynya:

“Suheng, musuh sangat berbahaya, kita harus awas dan tenang. Bukan tidak mungkin mereka masih membawa teman yang lain. Karena tugas di tempat ini adalah tanggungjawab kami, sebaiknya suheng memeriksa bagian dalam lainnya. Jiwi sumoy – jangan ragu melawan penyusup secara bersama, Lembah kita kemasukan musuh sedang dalam bahaya”

“Baik, engkau benar sumoy” sambil berkata demikian Kim Tong sudah mau beranjak keluar ruangan, tetapi si Jubah Hijau juga bergerak menghalanginya.

“Mau kemana ....”? ujar si Jubah Hijau yang langsung menyerang Kim Tong. Kali ini dia tidak lagi main-main dan menyimpan kemampuannya. Dia dikagetkan oleh kenyataan betapa ada seorang tokoh hebat di dalam Lembah Salju Bernyanyi.

Tetapi Nenek Sakti Thian San Gioklipun tidak tinggal diam. Kembali dia mengibas dan sejalur hawa sakti yang dahsyat berhawa dingin meluncur menangkis pukulan yang dilepaskan si Jubah Hijau. Pada saat itulah akhirnya si Jubah Hijau yang satu lagi bergerak, kali ini dia langsung menerjang si Nenek Sakti dengan pukulan yang tidak lemah, tidak kalah dengan si Jubah Hijau yang satunya.

Si Jubah Hijau yang menyerang Kim Tong terhalang oleh pukulan si Nenek Sakti dan kehilangan waktu untuk menghalangi Kim Tong, apalagi setelah itu kedua Nenek yang lain sudah datang mengerubutinya. Sementara itu, Nenek pertama Thian San Giokli telah terlibat adu pukulan dengan si Jubah Hijau yang lainnya. Begitupun dia masih sempat berpesan:

“Suheng, cepat lakukan tugasmu. Jiwi sumoy, hati-hati dan pelihara ketenangan, jiwi sumoy tidak akan kalah melawan tuan itu”

Benar, kali ini kedua Nenek, masing-masing Nenek kedua dan ketiga Thian San Giokli sudah mampu memelihara ketenangan sesuai pesan toa suci mereka. Jika mereka terdesak hebat sebelumnya, disebabkan oleh kekagetan dan diserang mendadak oleh si Jubah Hijau yang menyerang dari balik tubuh ponakan murid mereka Ho Cu Seng yang ternyata benar dalam keadaan tersihir. Kini, dalam kondisi biasa mereka sanggup menahan serangan si Jubah Hijau dan bertempur seru dengan kondisi nyaris seimbang. Memang, mereka masih belum mampu banyak berbuat, tetapi setidaknya mampu menjaga diri dengan lebih baik.

Sementara itu, sang Toa Suci, juga bertarung sama kuatnya dengan si Jubah Hijau yang lain. Hal ini membuat si Nenek kaget: “Begitu banyak tokoh hebat yang menyusup” desisnya kaget dalam hati. Tapi fakta ini tidak membuatnya limbung dan goyah, sebaliknya membuatnya semakin awas dan berhati-hati. Hal yang sama dialami si Jubah Hijau, sehebat apapun dia menyerang, si Nenek selalu mampu menggagalkan serangan dan menyeimbangkan keadaan: “Sungguh Lembah Salju Bernyanyi tidaklah bernama kosong” pikirnya.

“Jiwi sumoy – Pat-poh-hwe-gong (delapan langkah terbang di udara) dan Kiam Ciang Siang Tui (Tangan Pedang Saling Berkejaran)” kembali Toa Suci Thian San Giokli berseru” Seruannya bermanfaat untuk membantu adik-adik perguruannya menghadapi si Jubah Hijau, sementara dia sendiri juga memainkan ilmu yang diteriakkannya. Ilmu-ilmu tersebut adalah ciptaan murid laki-laki Koai Todjin yang penasaran atas kekalahannya dari Kakek Dewa Pedang. Maka, kehebatannya sudah pasti luar biasa.

Sepasang lengan ketiga Nenek sakti itupun berubah bagaikan pedang tajamnya dan dengan berani memapas setiap pukulan si Jubah Hijau. Toa Suci Thian San Giokli jauh lebih hebat lagi, bagaikan terbang dengan ringan dia menghujani si Jubah Hijau berkedok dengan kelabatan pedang yang berasal dari lengannya. Dan hal itu mendatangkan kesibukan luar biasa, sekaligus rasa kagum atas ilmu lawan yang memang luar biasa. Hanya saja, si Jubah Hijau, baik lawan sang Toa Suci maupun kedua sumoynya, memang bukan orang sembarangan.

Lengan merekapun, terutama lawan kedua Nenek sakti itu, dengan berani memapak dan adu keras. Dan karena kekuatannya memang sedikit di atas, diapun tidak takut mengadu lengan dengan lawan yang mengeluarkan hawa dingin dan tajam luar biasa. Dan akibatnya, meski dia merasa lengannya bagaikan berhadapan dengan dua pedang tajam dan mengalirkan hawa dingin, tetapi dia masih tetap mampu mengatasi rasa sakitnya. Malahan dia mampu membuat kedua nenek sakti itu terpental hingga dua langkah mundur, sementara dia sendiri terguncang mundur selangkah ke belakang.

Sementara itu, sang Toa Suci mampu sedikit mendesak lawan yang menjadi sibuk meladeni kecepatan bergeraknya dibarengi dengan kesiuran angin pedang berhawa dingin yang terus mengejarnya. Tetapi, ketika tidak punya kesempatan untuk menghindar, dengan berani diapun mengadu kekuatan. Tidak terdengar suara keras, selain “Dukkkkkkkk” dan keduanya terdorong masing-masing satu langkah ke belakang. Pertarungan seru yang memang berimbang. Dan kedua tokoh sakti itupun memandang dan saling mengagumi kekuatan lawan masing-masing.

Sementara kerubutan kedua nenek sakti lainnya, dengan ilmu yang diteriakkan toa suci mereka, membuat kedua nenek mampu mengembangkan kesaktian mereka secara lebih optimal. Serangan kiam ciang (tangan pedang) berhawa dingin dengan disertai lentingan tubuh yang ringan, membuat mereka mendapatkan inisiatif untuk lebih menyerang. Meskipun terus menyerang tetapi sambil terus berusaha menjaga agar tidak terlampau sering mengadu kekuatan dengan si Jubah Hijau lawan mereka yang memang sakti.

Sementara Toa Suci mereka, tetap bertarung tenang dan berimbang dengan lawannya, si Jubah Hijau yang lainnya lagi. Pertarungan yang menjadi semakin lama dan berlarut. Dan kenyataan ini membuat si Jubah Hijau lawan sang Toa Suci mulai menjadi geram disamping kagum atas lawannya. Semakin lama, posisi mereka sebagai penyusup bakalan menjadi semakin sulit. Ternyata ada seorang jago Lembah Salju Bernyanyi yang memiliki kesanggupan menandingi mereka. Fakta yang memusingkan dan sungguh di luar persangkaan dan perhitungan mereka ketika menyusup masuk.

Maka ketika terdorong mundur, si Jubah Hijau itu telah menggetarkan suaranya: “Hmmmmm Nenek tua, lihat aku akan menerkammu >>>>>>>” suaranya sangat berwibawa karena didorong kekuatan sihir. Dan sekilas sang Toa Suci terhenyak melihat lawannya berubah menjadi harimau raksasa. Tetapi, ketenangan, ketangkasan dan ilmu nenek ini memang tidak main-main. Tidak lama dia telah mampu menguasai dirinya dan berbalik membentak: “Pergi ........” sebuah bentakan yang digetarkan dengan suara yang sangat bening berwibawa, dan membuyarkan kekuatan sihir yang dilontarkan lawan.

Akibat benturan kekuatan sihir tersebut, si Jubah Hijau kembali merasa terkejut, kekuatan sihirnya bisa dengan mudah dipunahkan si nenek. Bahkan membuatnya sedikit terguncang, suatu tanda bahwa kekuatan sihir si nenek juga bukan olah-olah dan sama sekali tidak di sebelah bawahnya. Maka semakin bertambahlah keraguan si Jubah Hijau. Jelas maksud penyusupan mereka menghadapi pilihan gagal. “Situasi akan sulit di atasi, apalagi masih ada dua Nenek lainnya yang ternyata mampu bertahan di arena sebelah” pikirnya.

Kondisi tersebut membuatnya mulai mengerahkan puncak kemampuan tertingginya. Dia mengerang dan kemudian menyerang dengan kecepatan lebih tinggi, dimana kedua tangannya bergerak cepat dan sulit diduga serangan bagaimana yang akan dilakukannya. Tetapi si Nenek sakti sudah menyadari jika lawan akan meningkatkan kemampuannya. Dan tentu dia tidaklah takut. Sebaliknya, diapun bersiap dengan mengerahkan ilmu pegangannya Pek In Swat Kang – Tenaga Salju Awan Putih dan Swat Im Sinkang – Tenaga Dalam Salju.
Itupun sambil terus bergerak dengan langkah kilat yang aneh memusingkan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat). Karena itu, bukannya berkelit, si Nenek justru memapak serangan berat musuh dengan hembusan angin dingin yang sangat menusuk. Serangan hawa dingin membekukan itu selalu mendahului semua gerakan tubuh dan serangannya.

Tak pelak lagi, keduanya memasuki tahapan pertarungan menentukan. Sang Toa Suci tak lagi mampu membagi perhatian terhadap kedua sumoynya, tetapi dia memiliki kepercayaan kepada kedua sumoynya. Dia yakin mereka akan mampu setidaknya menjaga diri dengan memaksakan hasil imbang. Kemampuannya untuk bertahan akan menentukan hasil akhir pertempuran. Itulah sebabnya dia tidak berayal dan tidak mau lengah untuk menandingi lawannya yang sakti itu. Hebatnya, lawannya si Jubah Hijau, juga tidak merasa takut dengan hawa dingin menusuk yang berhembus dari pengerahan kekuatan si Nenek. Sebaliknya dia terus maju merangsek dan selanjutnya keduanya bertarung dalam jarak dekat, dengan saling serang dan saling tangkis.

Yang hebat adalah meski terjadi berkali-kali benturan akibat tangkis menangkis pukulan, tidak sekalipun terdengar suara benturan yang berisik. Hal yang mengindikasikan bahwa keduanya sudah memasuki tahapan pengerahan kekuatan dalam tingkat tertinggi. Dan beberapa saat kemudian tubuh keduanya terpisah. Sementara pengikat rambut si Nenek terlepas dan rambutnya kini terurai, di pihak lawan, penutup wajah si Jubah Hijau hancur menjadi butiran-butiran salju dan secara otomatis menampakkan wajah aslinya. Dan, siapakah gerangan si jubah hijau itu?

Luar biasa, inilah dia tokoh sakti asal Thian Tok (India) yang bernama Naga Pattinam. Tokoh hebat dengan ilmu sihir luar biasa yang bersekutu dengan pentolan Thian Liong Pang. Dia senantiasa dikejar-kejar oleh kakak seperguruannya Bhiksu Chundamani, dan anehnya dia kini muncul di Lembah Salju Bernyanyi. Dia bergabung dengan Thian Liong Pang, perkumpulan yang telah dibubarkan dan dikalahkan para pendekar muda beberapa bulan sebelumnya. Ada apa sebenarnya hingga tokoh sakti ini tiba-tiba memunculkan diri di Lembah Salju Bernyanyi? dan mengapa pula masuk dengan diam-diam atau dengan jalan menyusup? Entahlah, tapi yang sudah jelas adalah, maksudnya bukanlah untuk kepentingan yang baik. Karena memang reputasinya buruk dan selalu diburu kakak seperguruannya.

“Hmmmmm, siapakah gerangan tuan ....”? si Nenek bertanya karena merasa tidak sedikitpun mengenal kakek tinggi besar dan berkulit sedikit gelap yang kini wajahnya tersingkap akibat benturan tenaga mereka tadi.

“Pentingkah engkau mengenaliku Nenek tua ....”? balas Naga Pattinam bertanya, sekaligus penasaran karena kembali dia bertemu tokoh setanding dengannya di Tionggoan. Tepatnya kali ini di gunung Thian San, dalam Lembah Salju Bernyanyi, lembah yang sunyi terpencil ini.

Selesai berucap demikian, kembali Naga Pattinam menyerang, dan sudah barang tentu serangannya kali ini menjadi lebih berat dan lebih hebat. Tubuhnya berpusing dan seperti hilang dari pandangan mata. Betapa hebat serangan itu tidak dapat diuraikan lagi, karena memang Naga Pattinam bukannya tokoh sembarangan. Hanya saja, dengan menguasai dan memainkan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), si Nenek tidak bisa dikibuli dan dikelabui.

Gerakannya yang cepat dalam paduan sinkang hawa dingin yang membekukan tulang tidak sanggup ditembus oleh ilmu silat Thian Tok yang dikembangkan Naga Pattinam. Padahal, Naga Pattinam sudah mengerahkan kekuatan batin melandasi ilmu andalannya – Seng Hwee Sinkang (Tenaga Dalam Api Suci) dan Seng Hwee Sin Ciang (Ilmu Pukulan Api Suci). Dengan ilmu itu dia tidak takut dengan hawa dingin luar biasa dari si Nenek, karena diapun mampu menghembuskan hawa panas membara dari tubuhnya. Hawa panas yang merupakan hembusan dari tenaga sakti yang dikerahkannya.

Tetapi yang hebat luar biasa adalah, kedua tokoh sepuh ini bertarung dengan kemampuan membatasi arena pertempuran dari hembusan hawa panas dan dingin. Akibatnya akumulasi tenaga mereka benar-benar terpusat dan perpijar dalam arena yang mereka berdua telah batasi dengan kekuatan sinkang yang memang sudah sempurna. Resikonya, jika salah satu alpa dan lalai, maka dia bakal dilumat oleh gabungan tenaga mereka berdua. Makanya, tidak sedikitpun arena pertempuran kedua Nenek lainnya yang berhadapan dengan si Jubah Hijau yang satunya lagi terganggu oleh hawa dingin dan panas yang dikerahkan kedua tokoh sakti itu. Sungguh pertarungan dan pameran kekuatan yang luar biasa.

Naga Pattinam menyadarinya dan menjadi semakin kagum, demikian juga toa suci Thian San Giokli. Mereka makin kagum akan kekuatan lawan masing-masing, apalagi karena ilmu silat lawan yang dihadapi relatif baru. Dalam artian baru kali itu mereka lihat dan hadapi. Maka rasa kagum dan hormat tumbuh di hati masing-masing. Tetapi, di pihak Naga Pattinam, dengan misi rahasia yang mereka emban, membuat rasa hormatnya bisa dengan cepat menjadi rasa penasaran dan akhirnya menjadi sirik untuk segera menang. Itulah sebabnya, meski paham bahwa sulit mengalahkan si Nenek, tetap saja dia berketetapan hati untuk mengerahkan puncak kekuatannya. Apa lagi ketika kemudian telinganya yang sangat tajam menangkap suara kaki beberapa orang yang agaknya cukup lihay sedang mendatangi. Apa boleh buat, diapun mengambil resiko itu.

Dia telah menyiapkan Ilmu Hwee Sin bit Ciat Kang Hoat – Hawa Sakti Pemusnah Tenaga Dalam, ilmu pamungkas yang teramat jarang dikeluarkannya. Tepat pada saat dia menyiapkan ilmu pamungkasnya tersebut, tiba-tiba terdengar sebuah suitan panjang dan mengerikan, yang nampaknya berasal dari tempat yang biasanya dijaga oleh Thian San Giokli.

“Swiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttttttttttttttttttt – hahahahahahahahahahaha”

Suara tersebut sungguh hebat, tidak kalah dengan raungan Naga Pattinam ataupun suara yang dikeluarkan Thian San Giokli. Menggetarkan sukma dan menusuk telinga hingga Naga Pattinam yang maha sakti dan Nenek Thian San Gioklipun harus terperangah dan mengerahkan tenaganya untuk menenteramkan hati.

Dan tidak lama kemudian suara suitan dan tertawa panjang itu sirap, sementara semua pertempuran terhenti. Kedua nenek penjaga sumur atau liang di dalam ruangan itu bergerak ke arah tempat biasanya mereka berjaga, karena suitan dan tawa panjang tadi berasal dari dalam liang tersebut. Sudah puluhan tahun mereka berjaga dan inilah untuk pertama kalinya terjadi gerakan yang berasal dari dalam liang yang mereka jaga tersebut. Teringat tugas, maka secara otomatis mereka bergerak mendekat ke arah liang yang menjadi tanggungjawab mereka itu.

Tetapi, belum lagi mereka berada di posisi biasanya mereka berjaga, tiba-tiba berhembus serangkum hawa angin yang berbau sangat busuk. Diikuti secara tiba-tiba oleh sesosok tubuh yang melenting dengan kecepatan sangat tinggi keluar dari dalam liang yang biasa mereka jaga itu. Sangat kebetulan, kedua Nenek penjaga, juga sedang bergerak ke arah liang itu dan secara otomatis tidak akan terhindarkan tabrakan antara bayangan yang melenting keluar dengan kedua nenek tersebut. Nenek tertua dari Thian San Giokli terperanjat melihat kejadian tersebut, sebuah ingatan muncul di benaknya, dan dengan segera dia mengenal tanda kemunculan dari sebuah ilmu jahat yang terbenam di dasar liang itu, ilmu yang disebut Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). “Celaka ...” desisnya, sambil bergerak cepat dan berseru:

“Jiwi sumoy, mundur, cepat .......”

Tetapi teriakannya sudah teramat terlambat. Meskipun dia masih sempat mengerahkan ilmu tandingan dari ilmu busuk yang mujijat itu, yakni Ilmu Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin), tetapi benturan antara pukulan kedua sumoynya dengan Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang), sudah terjadi terlebih dahulu. Terdengar dua teriakan menyayat hati dan sebuah dengusan berat:

“Hayaaaaaaaaaaaaaaaaa .......”
“Hmmmmmmmmmm ........”

Tubuh kedua nenek sakti penjaga liang dalam ruangan tersebut terlempar ke belakang akibat benturan hebat dengan pemilik ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Mereka tidak sanggup menahan benturan dengan ilmu busuk tapi mujijat tersebut dan terlontar jauh kebelakang bagaikan layangan putus. Dari bibir mereka mengalir darah segar, tanda bahwa mereka terluka parah oleh benturan itu. Dan tubuh mereka terbanting deras ke belakang tanda bahwa tubuh itu sudah tanpa daya.

Sementara itu, dengusan berat terdengar dari mulut manusia yang baru saja keluar dari liang tadi. Rupanya dia terhajar oleh hembusan ilmu sakti Peng-sian-jit-gwatciang (pukulan matahari rembulan berhawa dingin), yang kebetulan adalah tandingan ilmu busuk mujijatnya. Tetapi karena Thian San Giokli tidak sempat menyertakan tenaga besarnya, maka tidak berefek sangat berat bagi manusia yang baru saja keluar dari liang tersebut.

Bersamaan dengan terjadinya benturan itu, Kim Tong masuk dengan diiringi oleh beberapa orang muridnya. Mereka memasuki ruangan dan dari rombongan tu, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan kaget:

“Ling koko, engakaukah itu ....”? seruan dari Toh Lui, murid bungsu dari Kim Tong yang terkejut melihat manusia yang keluar dari liang dan terjengkang ke belakang namun kemudian menempel di dinding. Manusia itu berambut panjang terurai nampak tidak terurus, tetapi wajahnya tidak terhalang rambut. Persis di bawah dinding tempatnya menempel adalah liang darimana dia baru saja keluar. Dan kelihatannya, manusia yang dipanggil “Ling koko” oleh Toh Lui tadi, juga kaget melihat Toh Lui, dan lebih kaget lagi melihat dia mampu melukai dua nenek yang memapaknya dengan serangan tadi.

“Lui-te ...... ach, aku tidak bermaksud begini ...... tidak, aku tidak bermaksud melukai mereka orang tua itu .......” nampaknya benar, bahwa manusia yang baru keluar dari liang itu adalah orang yang dikenal Toh Lui. Tepatnya memang adalah kakak tertua Toh Lui yang bernama Toh Ling.

Toh Ling berkarakter sama dengan Toh Lui, cerdas – berbakat namun berwatak lurus. Hanya Toh Ling sedikit nakal, nakal khas anak muda. Tapi kenakalannya jugalah yang membawa perubahan besar dalam hidupnya. Dia adalah kakak tertua Toh Lui anak dari pasangan penghuni perkampungan di Lembah Salju Bernyanyi. Kenakalannya sebenarnya tidaklah tergolong sangat berat. Hanya celakanya yang terkena korban keisengannya adalah seorang Tham Wan Hong, putri satu-satunya Kim Tong sang majikan lembah. Dia mengincar dara lain untuk digoda, apa lacur justru adalah Tham Wan Hong yang terkerjai.

Demi menghindari hukuman, dia kemudian menyelinap di ruang jaga Thian San Giokli. Lebih kebetulan lagi, waktu itu adalah saat pergantian dari Giokli pertama kepada Giokli kedua. Pada saat ribut-ribut mengejarnya, kedua Giokli yang sedang melakukan pergantian itu, sempat meninggalkan ruangan untuk beberapa saat. Dan kesempatan itu dimanfaatkan Toh Ling untuk menyusup masuk ke ruangan. Malangnya, dia tidak paham dan tidak pernah sebelumnya memasuki ruang yang dirahasiakan itu. Tanpa mengenali liang yang biasanya dijaga Thian San giokli, dia melompat ke tengah ruang jaga dan kejeblos ke bawah. Sejak saat itu, kurang lebih 15 tahun silam, Toh Ling dinyatakan “hilang”.

Sesaat setelah memperlihatkan kesedihan karena melukai kedua nenek Thian San Giokli, tiba-tiba Toh Ling tertawa: “Hahahahahaha, tapi aku bangga karena sudah mampu melukai mereka”. Dan Toh Lui menjadi sedih melihat toakonya yang nampak dalam kondisi “kurang stabil” itu. Untungnya, toakonya itu masih mengenalinya, karena memang adalah Toh Ling yang mengemong dan menjaganya di masa kecilnya. Hubungan mereka memang sangat dekat, apalagi adalah Toh Ling yang juga mengajarinya dasar-dasar ilmu silat.

“Hahahahaha, aku bisa, aku bisa”, sambil berteriak demikian Toh Ling tiba-tiba berkelabat keluar ruangan. Tidak ada yang bisa menghalanginya, karena Thian San Giokli tertua sedang mengurusi kedua sumoynya. Sementara Kim Tong masih terperangah melihat kedua sumoynya bisa dirontokkan sekali pukul oleh bekas muridnya yang menghilang 15 tahun silam. Hanya seorang Toh Lui yang berusaha mengejarnya sambil berseru: “Toako, tunggu .....”

Maka loloslah dari Lembah Salju Bernyanyi seseorang yang bakal menggegerkan rimba persilatan karena membekal kepandaian silat maha sakti, maha busuk, yang dimiliki tokoh hitam 100 tahun silam. Jika 100 tahun silam sepasang datuk kaum hitam, Thian Tee Siang Mo mengaduk-aduk dunia persilatan, maka kali ini murid tunggal mereka, Toh Ling, hadir dengan warisan kekuatan kedua gurunya yang maha sakti itu.

Sementara itu, Nenek Sakti Thian San Giokli sudah tidak menghiraukan sekitarnya. Perhatiannya dipusatkan kepada kedua orang sumoynya yang terluka parah oleh benturan dengan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Yang menyedihkannya adalah pengetahuannya bahwa siapapun yang terkena ilmu busuk ini, bakalan tidak dapat diobati lagi. Dahulunya hanya ilmu mujijat milik kakek gurunya, Koai Todjin, yang hanya dia seorang yang menguasai yang mampu menahan ilmu tersebut. Tetapi, ilmu itupun tidak mampu untuk mengobati korban ilmu mujijat kaum hitam itu.

Itulah sebabnya, ketika kedua tokoh Jubah Hijau yang juga tadinya mengincar liang rahasia dalam Lembah Salju Bernyanyi – akhirnya juga angkat kaki, Nenek ini tidak lagi mempedulikan. Toch mereka sudah gagal menjaga liang tersebut, telah kemasukan orang lain pada waktu-waktu sebelumnya. Nenek ini akhirnya menarik nafas panjang setelah berusaha sekuatnya menyalurkan hawa saktinya kepada kedua sumoynya. Tetapi dia kecele, karena hawa sakti sebesar apapun yang disalurkannya, selalu lenyap tak berbekas. Sementara perlahan-lahan kaki dan tangan kedua sumoynya mulai menciut, dan dihadapan matanya kedua sumoynya tak berdaya. Mereka bahkan tak mampu mengucapkan satu kalimatpun selain memandanginya dengan tatapan pilu.

Sehebat apapun kekuatan mental Thian San Giokli, tetap saja dia terpukul melihat keadaan kedua sumoy yang tumbuh bersamanya selama puluhan tahun. Mereka bertiga memang disumpah sebagai murid generasi terakhir yang tidak boleh menikah karena harus mencurahkan seluruh waktu mereka menjaga liang rahasia dalam lembah Salju Bernyanyi. Di tahun terakhir sumpah mereka sebagai murid kepada Ibu Guru mereka, justru maut menjemput kedua sumoynya. Sungguh, hanya air mata yang sanggup dicucurkan Nenek sakti dari Lembah Salju Beracun itu. Dengan pilu dan berurai mata dipandanginya kedua sumoynya yang secara perlahan melepas jiwa dengan menatap kepadanya penuh hormat dan kasih. Mereka melepas nyawa dengan tubuh “mengempis” karena tulang membusuk.

Maka, pada hari kebebasan Lembah Salju Bernyanyi – terlepas jugalah suasana damai dan tentram yang selama 100 tahun menghiasi perjalanan hidup Lembah Salju Bernyanyi. Penuh rasa sedih dan pedih Nenek Sakti Thian San Giokli akhirnya melepas kepergian kedua sumoynya. Dia sedih karena tak mampu melindungi kedua sumoynya, karena terlambat melepas pukulan anti dari ilmu iblis Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang), dan akhirnya dibayar dengan nyawa kedua sumoynya.

Meskipun dia telah menduga bahwa dia akan segera berpisah dengan kedua adik seperguruannya, sebagaimana kegelisahan yang di rasakannya beberapa hari terakhir, tetapi tetap juga rasa sedihnya tidak berkurang. Sedapat mungkin dia menyuruh kedua adik seperguruannya untuk selalu bersama guna mengurangi resiko terbunuh. Tetapi, tetap saja dia tak mampu mengungguli takdir bagi kedua sumoy yang sangat dikasihinya. Ketika batas usia manusia sudah dituliskan, maka sulit untuk menghindarinya, apalagi karena semua memang harus melewatinya. Batas akhir kehidupan.

Kim Tong, yang juga menghabiskan puluhan tahun tumbuh bersama kedua adik seperguruan, atau yang adalah murid-murid ibunya, juga merasa sangat sedih dan menitikkan air mata. Diapun sedih dan menangis mengiringi kepergian kedua sumoy yang tumbuh bersamanya sekian puluh tahun. Hari kebebasan Lembah Salju Bernyanyi, ternyata adalah sebuah malapetaka. Pukulan berat berapa kali dialami Kim Tong, pukulan yang membawa habis semua ambisinya dan mengingatkannya betapa indah kedamaian yang dikecapinya selama beberapa puluh tahun kehidupannya. Kehilangan anak, murid dan sumoy.

Memang, sesuatu yang indah dan berharga akan terasa semakin berharga ketika hilang dari genggaman kita. Kedamaian akan terasa sangat mahal ketika kita menghadapi kekisruhan, kekacauan dan ketidakpastian. Tetapi, kita tidak akan pernah menghargai kedamaian itu selama kita tidak bersentuhan dengan kekacauan dan ketidakpastian. Itulah yang dialami Kim Tong. Dia sempat berdebat dengan adik seperguruannya yang paling bungsu di gerbang alam tentang perlu tidaknya Lembah Salju Bernyanyi memasuki kekisruhan dunia persilatan. Kini, jawaban yang paling tepat, tanpa keluar dari mulut siapapun, sudah ditemukannya.

Ternyata, tidak butuh waktu panjang, dia sudah langsung menikmati betapa mahal kedamaian yang selama ini hadir di Lembah sunyi milikinya. Tetapi, kedamaian itu akan sangat sulit dihadirkan kembali. Karena dia baru saja kehilangan seorang putra dan dua orang murid. Karena Lembah Salju Bernyanyi baru saja kehilangan dua orang sesepuh, Thian San Giokli nomor dua dan nomor tiga. Karena dari Lembah Salju Bernyanyi, baru saja lolos calon momok menakutkan dunia persilatan. Karena Lembah Salju Bernyanyi baru saja menanam permusuhan hebat, melanjutkan permusuhan masa lalu dengan Perguruan Thian San Pay. Mana bisa kedamaian datang dalam menghadapi sejumlah besar urusan itu?

Kim Tong yang memang keturunan keluarga besar Lembah Salju Bernyanyi dan untungnya tidak seambisius ayahnya, telah menerima pelajaran penting dalam hidupnya. Kini, dia bisa lebih memandang dan menghargai satu-satunya sumoy yang masih dimilikinya. Seorang yang dalam banyak sangat hal mirip almarhum ibunya. Wibawa dan pesona yang membuat orang mudah tunduk kepadanya. Dan hari itu juga Kim Tong melepas ambisinya dan bahkan kemudian berketetapan untuk menyerahkan pimpinan Lembah Salju Bernyanyi kepada putra sulungnya, Tham Ki. Kim Tong selanjutnya ingin menyepi dan menempati kamar samadhi ibunya. Selain untuk memperdalam ilmu kepandaiannya saat ini, juga juga untuk menyelami lebih jauh ajaran-ajaran ibunya.

Lembah Salju Bernyanyi berduka di hari pertama kebebasannya. Selama 7 hari berturut-turut Kim Tong memimpin Lembah Salju Bernyanyi dalam upacara duka melepas seorang anak, dua orang murid dan dua orang sesepuh Lembah. Dan pada hari terakhir, dia sekaligus mengumumkan Majikan Lembah Salju Bernyanyi kini dipegang oleh Tham Ki, dengan wakilnya Tham Sin – putra ketiga Kim Tong. Selanjutnya, Kim Tong dan Thian San Giokli menjadi Hu Hoat atau Pelindung Lembah Salju Bernyanyi.

Perubahan struktur kepemimpinan ini, memang sudah diamanatkan Koai Todjin semasa hidupnya. Bahwa struktur kepemimpinan Lembah Salju Bernyanyi baru akan berubah sebagaimana struktur kepemimpinan Perguruan lain setelah 100 tahun. Baru hari inilah Thian San Giokli memahami pesan terselubung dari kakek gurunya yang maha sakti itu. “Ternyata Kakek guru telah meramalkan kejadian pada hari ini” tebaknya dalam hati. Dengan lolosnya Toh Ling, maka tugasnya yang terpisah secara struktural dengan kepemimpinan Lembah secara otomatis berubah. Tugas tersebut tidak lagi dibutuhkan secara khusus, tetapi akan menjadi tugas menyeluruh dari Pemimpin Lembah.

Maka, pada hari ketujuh setelah masa berkabung usai, Kepemimpinan Lembahpun secara otomatis dialihkan kepada Tham Ki sebagai Majikan Lembah dan Tham Sin sebagai Wakil Majikan. Thian San Giokli yang kini tinggal seorang, juga kini berubah status menjadi Hu Hoat atau pelindung Lembah Salju Bernyanyi bersama Thian San Kim Tong. Sejak saat itu, Kim Tong jadi banyak bertanya dan bahkan banyak belajar dari Thian San Giokli yang kemudian membuka banyak rahasia ilmu silat yang masih belum dikuasai oleh Kim Tong. Dia berani membuka semuanya selain karena melihat perubahan besar dalam diri suhengnya, juga karena suhengnya adalah putra tunggal dari subonya.

Bahkan rahasia ilmu pusaka Lembah Salju Bernyanyi, juga kemudian dibuka kepada Kim Tong dibawah sumpah perguruan. Dan setelah mengerti bahwa Ilmu Pusaka itu hanya teruntuk bagi mereka yang berjodoh, Kim Tongpun tidak berkeras memilikinya. Apalagi karena dia bangga begitu mengetahui seorang putranya berjodoh dengan ilmu mujijat tersebut. Putranya itu, tepatnya putra bungsunya sedang berusaha menguasai dan menyempurnakan penguasaan atas ilmu pusaka perguruan mereka itu.

Demikianlah, sejak saat itu semua rahasia Lembah Salju Bernyanyi dipertukarkan oleh kedua Hu Hoatnya untuk selanjutnya dipelihara dan diwariskan kepada mereka-mereka yang akan melanjutkan tugas memelihara tradisi perguruan. Setidaknya bagi para sesepuh Lembah Salju Bernyanyi, generasi mereka maupun generasi yang akan datang. Dan, Thian San Giokli kemudian juga menjelaskan bahwa ketiga murid utamanya, termasuk putra Kim Tong, baru akan tampil setelah lewat waktu secepatnya sebulan atau dua bulan ke depan.

Demikianlah, setelah menjelaskan semua hal kepada Kim Tong, 10 hari kemudian Thian San Giokli berpamitan kepada Kim Tong dan kepada Majikan Lembah Salju Bernyanyi, Tham Ki:

“Adalah karena kelalaianku maka Lembah Salju Bernyanyi meloloskan seorang calon maha durjana di dunia persilatan. Karena itu, mohon perkenan Majikan Lembah untuk memberiku waktu beberapa bulan dalam menjejaki Toh Ling dan berusaha mengekangnya”

“Ach, tapi tenaga Hu Hoat sangat dibutuhkan saat ini di Lembah. Sewaktu-waktu Thian San Pay akan menerjang, dan kita membutuhkan semua kekuatan untuk melawan mereka” tolak Tham Ki secara halus.

“Majikan, jika mendengar laporan Majikan dan beberapa anak murid, maka kematian murid-murid Thian San Pay dan ketiga anggota Lembah kita sangat mencurigakan. Aku akan berusaha menyelidiki kejadian tersebut dan berusaha menghapus permusuhan antara kedua Perguruan, mohon perkenan Majikan ....”

“Hmmmmm, begitu juga baik. Tapi, berapa lama waktu yang Hu Hoat butuhkan untuk semua pekerjaan itu....”? tanya Tham Ki

“Paling lama 6 bulan, Majikan ....”

“Baiklah, jika demikian kuberikan waktu 6 bulan kepada Hu Hoat untuk melakukan semua tugas tersebut. Mohon Hu Hoat melaporkan setelah waktu 6 bulan berlalu”

“Baik, terima kasih majikan”

Thian San Giokli, tokoh paling hebat dari Lembah Salju Bernyanyi akhirnya berjalan meninggalkan Majikan Lembah. Dia melakukan beberapa persiapan di ruangan samadhinya, meninggalkan beberapa pesan kepada ketiga murid yang sedang berlatih menyelesaikan latihannya dan kemudian berpamitan kepada Thian San Kim Tong yang semakin tenggelam dengan ajaran-ajaran peninggalan ibunya. Hanya beberapa saat mereka bercakap, untuk selanjutnya Thian San Giokli pamit.

Paling akhir, dengan sedih Nenek sakti ini mengunjungi makam kedua sumoynya yang dimakamkan di pemakaman tokoh-tokoh keluarga Lembah Salju Bernyanyi. Makam mereka sengaja dibuatkan berdekatan dengan makam subo yang mereka hormati. Dan disitulah si nenek Sakti bersujud dan menghormat sambil mohon restu kepada subonya dan, sudah tentu juga menangis di makam kedua sumoynya, untuk selanjutnya turun gunung.

Maka, setelah melepas calon momok menakutkan di dunia persilatan Tionggoan, Toh Ling, yang telah mewarisi kehebatan Thain Tee Siang Mo; sepuluh hari kemudian Lembah Salju Bernyanyi melepas tokoh sakti lainnya dengan misi yang berbeda. Dalam waktu tidak lama, dua karakter berbeda dari Lembah Salju Bernyanyi memasuki rimba persilatan Tionggoan, entah itu merupakan berkat ataukah petaka? Siapa yang tahu?
======================

Suasana rimba persilatan Tionggoan menjadi relatif aman sejak Thian Liong Pang dikalahkan dan dibubarkan oleh kaum pendekar pada beberapa bulan sebelumnya. Tetapi, kurang lebih 6 bulan setelah peristiwa besar penyerbuan markas utama Thian Liong Pang, salah satu pelaku utama dalam peristiwa itu tidak lagi pernah menampakkan akitiftasnya di rimba persilatan. Terhitung sejak bubarnya pertemuan pada 6 bulan silam, sepak terjang Lembah Pualam Hijau benar-benar lenyap dari percaturan rimba persilatan Tionggoan. Tiada seorangpun tokoh Lembah itu atau orang yang atas nama Lembah itu diketemukan berkelana di luaran.

Sebagaimana perkataan Kiang Ceng Liong pada pertemuan di Siauw Lim Sie dan terakhir di markas utama Thian Liong Pang, Lembah Pualam Hijau mengembalikan semua kepercayaan kaum rimba persilatan Tionggoan sebagai pemimpin dan mempersilahkan jika akan memilih Bengcu yang baru. Tetapi, tidak ada satupun kelompok atau tokoh yang berani mencoba berinisiatif untuk melakukannya. Karena bukan lagi rahasia umum jika Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan juga Kay Pang sebagai Perguruan terbesar memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pihak Lembah Pualam Hijau.

Artinya, memilih Bengcu Persilatan yang baru tanpa dukungan Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay ataupun Kaypang – adalah sia-sia belaka. Itulah sebabnya tidak ada sedikitpun inisiatif memilih Pemimpin Dunia Persilatan yang baru. Meski Lembah Pualam Hijau telah mengundurkan diri, tetapi masih banyak yang memandang dan menghormati Lembah itu sebagai pemimpin dunia persilatan. Wajar jika kemudian tak ada tokoh yang berani mengambil inisiatif kontroversial untuk memilih dan menetapkan Bengcu yang baru.

Apalagi, suasana Dunia Persilatan selama 6 bulan terakhir relatif damai-damai dan aman-aman saja. Jikapun ada pertikaian maupun perselisihan, biasanya hanyalah pertikaian kecil belaka dan dapat diselesaikan tanpa memiliki dampak yang luar biasa bagi rimba persilatan secara keseluruhan. Kondisi ini yang kemudian ikut berkontribusi bagi tiadanya upaya maupun inisiatif untuk memilih ataupun mencari pemimpin dunia persilatan yang baru guna menggantikan Kiang Ceng Liong dari Lembah Pualam Hijau.

Karena memutus komunikasi dengan dunia luar, tiada seorangpun tokoh dunia persilatan yang mengetahui jika Kiang Sin Liong, salah seorang Pendekar Besar dalam 100 tahun terakhir di Tionggoan telah meninggal dunia. Meskipun sebetulnya, tidaklah tepat benar untuk mengatakan bahwa tiada seorangpun di dunia luar yang mengetahuinya. Karena dalam upacara duka yang sudah tentu dilakukan di dalam Lembah Pualam Hijau, mereka kedatangan tamu-tamu khusus. Tamu-tamu yang memang sangat erat dan sangat dekat hubungannya dengan Lembah Pualam Hijau pada waktu-waktu sebelumnya.

Tamu pertama yang datang adalah Wie Tiong Lan yang datang dengan didampingi Liang Mei Lan dan Sian Eng Cu Tayhiap. Orang lain boleh tidak mengetahui keadaan Kiang Sin Liong, tetapi tidak dengan Wie Tiong Lan. Tokoh besar terakhir yang tersisa dan memiliki hubungan luar biasa dekat dengan Kiang Sin Liong. Tokoh besar ini menemani jasad Kiang Sin Liong sepanjang malam untuk kemudian esok harinya tanpa diketahui siapapun lenyap, tidak lagi berada di Lembah Pualam Hijau.

Tokoh kedua yang datang adalah Ciangbundjin Siauw Lim Sie yang menyempatkan diri untuk menghunjuk hormat kepada keluarga Lembah Pualam Hijau. Tokoh ini juga datang dengan tidak menyolok dan hanya ditemani oleh Kong Hian Hwesio yang juga adalah Suheng atau kakak seperguruan dari Ciangbundjin Siauw Lim Sie. Kedua tokoh ini memang datang secara rahasia dan mengikuti seluruh upacara duka hingga usai.

Pihak ketiga sekaligus yang terakhir adalah tokoh-tokoh Kaypang yang diwakili oleh Liang Tek Hoat dan Pengemis Tawa Gila. Pihak Kaypang memperoleh informasi mengenai kematian Kiang Sin Liong dari Bu Tong Pay, khususnya atas permintaan Liang Mei Lan dengan mengirim kabar kepada kakaknya. Segera setelah kabar diperoleh, Tek Hoat mohon ijin mengunjungi Lembah Pualam Hijau. Pertama, karena dia pernah memperoleh bimbingan secara pribadi dari Kakek Sakti Kiang Sin Liong dan kedua, Kaypang berkewajiban menghadiri upacara duka di Lembah Pualam Hijau yang menjadi sahabat erat mereka. Maka, Tek Hoatpun berangkat bersama Pengemis Tawa Gila atas nama Kaypang Pangcu yang masih dalam proses penyembuhan.

Selain itu, juga hadir Tik Hong Peng Ciangbundjin Thian San Pay yang masih sangat muda bersama dengan gurunya Nenggala dan juga Jayeng Reksa Bintang Sakti Membara. Kedatangan mereka tidaklah terutama untuk melayat, tetapi untuk melanjutkan percakapan perjodohan antara Kiang Li Hwa dengan Nenggala yang telah diajukan beberapa waktu sebelumnya. Sayangnya, belum sempat dibicarakan lebih detail urusan pernikahan meski sudah memperoleh persetujuan langsung Kiang Sin Liong dan Kiang Tek Hong, sudah keburu terjadi masa berduka bagi Lembah Pualam Hijau.

Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song tidak memperoleh kabar duka karena sedang berada di Siauw Lim Sie cabang Poh Thian. Karena itu, hanya Kiang Ceng Liong, Liang Mei Lan dan Liang Tek Hoat yang sempat melakukan “reuni” selama berada di Lembah Pualam Hijau. Tetapi, itupun mereka tidak banyak berbicara, karena Kiang Ceng Liong memiliki kesibukan luar biasa dalam memimpin upacara duka di Lembahnya.

Upacara duka di Lembah Pualam Hijau berlangsung secara hikmat. Selain karena tidak banyak tamu yang hadir, juga karena memang kejadian ini tidak disebarluaskan oleh pihak Lembah Pualam Hijau. Hal ini disesuaikan dengan permintaan terakhir dari Kiang Sin Liong. Padahal, dengan jasa-jasa dan kependekaran Kiang Sin Liong pada masa lalu, jika dia menghendaki, ratusan atau bahkan ribuan kaum pendekar bakal tumpah ruah di Lembah Pualam Hijau. Tetapi, hal tersebut tidak dikehendaki Kiang Sin Liong yang menginginkan kepergiannya hanya diiringi kalangan terbatas dan bukannya dihadiri ribuan pelayat.

Tidak ada satupun kejadian yang luar biasa selama pelaksanaan upara terakhir menghormati Kiang Sin Liong. Semua berjalan secara normal, khikmat dan mengharukan. Sesuai dengan keinginan terakhir dari salah satu tokoh besar Lembah Pualam Hijau ini semasa hidupnya. Dan segera setelah upacara duka berakhir, Kong SianHwesio Ciangbundjin Siauw Lim Sie bersama dengan Kong Hian Hwesio suhengnya, segera minta diri. Kepada mereka Kiang Ceng Liong menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus menitipkan salam untuk kedua Pendekar Kembar Siauw Lim Sie, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song yang tidak hadir di Lembah Pualam Hijau.

Sementara itu, percakapan antara Bintang Sakti Membara dengan pihak Lembah Pualam Hijau, terutama dengan Kiang Tek Hong dan istrinya telah berhasil menyepakati waktu pelaksanaan perangkapan jodoh bagi Li Hwa dan Nenggala. Dengan catatan, karena mengingat pesan Kiang Sin Liong, maka pernikahan tidak akan dirayakan secara besar-besaran dan akan dilangsungkan di Lembah Pualam Hijau kurang lebih 4-5 bulan kedepan.

Mempertimbangkan persiapan yang akan sangat panjang, maka dalam waktu yang tidak lama, akhirnya Nenggala – Tik Hong Peng dengan disertai Bintang Sakti Membara akhirnya pulang menuju perguruan Thian San Pay. Nenggala dengan terpaksa menumpang di perguruan muridnya, Tik Hong Peng, yang dengan sukarela mengajukan pilihan itu. Karena dengan cara itu jugalah dia beroleh waktu yang banyak untuk mendapatkan bimbingan Nenggala. Setelah penetapan waktu, maka merekapun meninggalkan Lembah Pualam Hijau untuk mengatur semua persiapan dan balik kembali ke Lembah Pualam Hijau setelah 3 bulan kedepan.

Yang mengharukan adalah pertemuan segitiga Tek Hoat – Mei Lan dan Ceng Liong. Sebetulnya, Kiang Sin Liong dan Wie Tiong Lan telah menyepakati perjodohan Ceng Liong dengan Mei Lan. Hal yang juga disokong sepenuhnya oleh Liong-i-Sinni, salah seorang guru Mei Lan, yang berjanji kepada kakeknya Kiang Sin Liong akan bertapa di Lembah Pualam Hijau selama 2 tahun. Juga Kiang Cun Le dan anaknya Kiang Hong suami istri mendukung ide perjodohan tersebut. Tetapi Ceng Liong meminta waktu untuk membicarakan “sesuatu” dengan Mei Lan dan baru setelah itu dia akan memberikan keputusan terakhir.

(Bersambung)
 
BAB 3 Peringkat Pembawa Huru-Hara
1 Peringkat Pembawa Huru-Hara



Ceng Liong pada akhirnya membuka semua persoalan yang dihadapinya terkait dengan jodohnya kepada Tek Hoat. Meski sudah menduga adanya ganjalan di pihak Ceng Liong, tetapi Tek Hoat tidak menyangka jika persoalan Ceng Liong begitu pelik. Karenanya, meskipun dia kakak Mei Lan, tetapi dia tidak berani untuk atas nama adiknya mengambil keputusan. Bahkan dia menyarankan kepada Ceng Liong untuk membicarakannya dengan Mei Lan secara langsung.

“Lan Moi ........ “ begitu sepat mulut Ceng Liong untuk memulai percakapan ketika akhirnya dia memiliki kesempatan bercakap dengan gadis itu setelah diatur semuanya oleh Tek Hoat.

“Ada apa Liong Ko ...... ?“ Mei Lan sendiri tidak kurang gugup dan ketar-ketir. Dia paham arah pembicaraan mereka. Karena sedikit banyak telah didengarnya dari Tek Hoat kakaknya.

“Kurasa engkau telah mengetahui kesepakatan kedua guru kita Lan Moi ,,,,,”

“Soal apa Liong Ko ....” tambah gugup Mei Lan. Betapapun perkasanya, Mei Lan tetap seorang anak gadis.

“Soal ..... soal ..... ini soal kita berdua Lan Moi ...” Ceng Liong yang perkasapun tidak kurang rikuh dan gugupnya dalam upayanya untuk menangani persoalan serta menjernihkannya dengan Mei Lan. Bukan hanya gagap membicarakannya, tetapi bingung memilih kata-kata. Dan terutama bingung dalam menenteramkan hatinya. Tidak kurang berat melawan lawan lihay.

“Nggggggg ....” Hanya itu yang keluar dari mulut Mei Lan, dan Ceng Liong tambah rikuh, tambah gugup.

“Bagaimana tanggapanmu Lan Moi ....”? ach sungguh pertanyaan bodoh, tapi memang demikian kejadiannya.

“Apa yang harus kutanggapi koko ....”? dan Mei Lanpun seakan mempermainkan perasaan Ceng Liong. Kalimat tepat sedang disusun Ceng Liong.

“Begini Lan Moi .....” dan setelah kalimat pendek itu, dia kembali terhenti, kehilangan kata dan arah percakapan. Dia menelan ludah.

“Iya koko .....” sama saja dengan Mei Lan. Gugup.

“Tentang kesepakatan kedua guru kita Lan Moi ....” Ceng Liong kembali mengulang kalimat yang telah diucapkannya di bagian awal.

“Apa engkau keberatan koko ...”? duh, akhirnya Mei Lan membuka saluran percakapan dengan pertanyaan sederhana.

“Tidak, tidak. Sama sekali tidak Lan Moi .....” buru-buru Ceng Liong menyanggah, takut disalah mengerti. Karena dia sadar, bahwa dia mencintai Mei Lan sejak lama. Tapi, tetap saja dia salah tingkah.

“Kalau begitu, apa masalahnya koko ....” tuntut Mei Lan

“Tidak, aku bukannya berkeberatan Lan Moi. Sejujurnya, sejujurnya ...... aku, aku” entah mengapa, Ceng Liong kembali gugup dengan kalimat menggantung di bibir yang berat dilepaskannya keluar. Jidatnya nampak berkeringat.

“Engkau menolaknya .....”? suara Mei Lan terdengar getir, namun menuntut. Dalam suasana psikologis semacam itu, tuntutan Mei Lan wajar.

“Bukan, bukan Lan Moi. Jangan engkau salah mengerti ...... Aku, aku sebetulnya mencintaimu sejak lama ....” astaga, ternyata kalimat “ajaib” itu yang hendak dikemukakan Ceng Liong. Dan diucapkan dengan gagap. Sungguh berbeda dengan ketika dia menghadapi lawan dalam sebuah pertempuran. Di pertempuran dia memang tangguh dan kokoh, tetapi menghadapi Mei Lan dia nampak rapuh dan peragu. Tapi, memang sudah begitulah cinta. Dia sanggup membuat orang hebat sekalipun terlihat tolol.

“Ach, Liong koko, benarkah itu .....”? baru sekarang senyum bahagia mengembang dari bibir mungil Mei Lan dan sinar mata berbunga-bunga penuh binar cinta ketika memandang Ceng Liong. Ach, tapi anak gadis manakah yang tidak bersikap demikian ketika jejaka kecintaannya mengucapkan “aku cinta kepadamu” setelah ditunggu demikian lama”?

“Benar, aku yakin dengan perasaanku itu Lan Moi ...... hanya saja, aku memiliki sebuah persoalan yang harus dibicarakan denganmu” Setelah mengucapkan kalimat “ajaib” itu, kali ini Ceng Liong telah dengan mantap menguasai diri. Kata demi kata semakin mudah tersusun rapih untuk disampaikan kepada Liang Mei Lan. Dia telah menemukan dirinya, keyakinannya.

“Koko, katakanlah. Seberat apapun masalahmu, aku berjanji akan mencoba untuk memahaminya” idem ito. Mei Lan juga telah menemukan kebahagiaannya, telah mantap dengan cintanya, dan mulai membuka diri lebar-lebar untuk lebih memahami kekasihnya. Sangat wajar.

“Begini Lan Moi, kumohon pengertianmu untuk masalahku yang satu ini” Ceng Liong terhenti sejenak, tetapi Mei Lan tidak mengeluarkan tanggapannya. Tetap bersedia untuk terus mendengarkan. Maka, Ceng Liongpun melanjutkan:

“Lan Moi, masih ingatkah engkau dengan enci dari Siangkoan Giok Lian? Seorang gadis bernama Siangkoan Giok Hong”?

“tentu saja koko .....” suara Mei Lan sedikit berubah. Jelas, gadis mana yang tidak “tegang” jika kekasihnya membicarakan gadis lain yang diketahuinya tidak kalah cantiknya itu?

“Lan Moi, tentunya engkau masih ingat waktu ketika kita membantu kokomu membereskan urusan Kaypang. Waktu itu kebetulan kami bertemu dan bertempur bersama guna membebaskan Pangcu Kaypang. Akupun belum berapa lama bertemu dengan kakak beradik Siangkoan itu. Dan secara kebetulan kita semua bersama-sama menempur tokoh-tokoh hitam yang mengganggu Kaypang” Ceng Liong berhenti sejenak.

‘Terus bagaimana koko ....”? suara Mei Lan kembali melunak.

“Secara kebetulan, berdua dengan Nona Siangkoan Giok Hong, kami membentur pemimpin kelompok penjahat yang sakti waktu itu, See Thian Coa Ong. Dengan gabungan tenaga kami berdua sambil bekerjasama, kami melawan datuk sesat itu. Datuk sesat itu memang hebat sekali dan membekal ilmu beracun Lan Moi. Meskipun kami berdua mengeroyoknya, tetapi kami lebih banyak mundur sambil memberi kesempatan Pangcu Kaypang untuk membebaskan dirinya dengan dibantu Tek Hoat, Nona Giok Lian dan dan sejumlah tokoh Kaypang. Tetapi kami berdua pada akhirnya terpaksa menggabung kekuatan memapak pukulan beracun See Thian Coa Ong. Ingatkah engkau setelah itu Nona Giok Hong menghilang”?

“Benar koko, aku ingat, sangat jelas dengan pertarungan waktu itu. Karena aku menempur Hek Tung Sin Kay yang juga sangat lihay pada waktu itu (lihat Bagian I KPNPB episode 12)”

“Sebetulnya begitu gabungan pukulan kami membentur See Thian Coa Ong, kami berdua terlontar oleh pukuklan beracunnya. Tetapi, See Thian Coa Ong terlontar jauh dan terluka parah. Akupun bahkan baru bisa sadar kembali setelah beberapa hari kemudian, tetapi anehnya aku sama sekali tidak menemukan dimana beradanya Nona Giok Hong”

“Jika demikian, berarti hilangnya Nona Giok Hong ada kaitannya dengan engkau koko. Setidaknya kita mengetahui dari titik mana kita bisa memulai kembali mencari Nona Giok Hong. Kasihan sekali Nona Giok Lian yang sampai sekarang masih merasa kehilangan saudarinya itu”

“Benar Lan Moi. Tetapi aku bersama dengan Pangcu Kaypang telah beberapa kali mencoba mencari Nona Giok Hong di gua tersebut, tetapi tetap tidak mampu menemukan jejak apapun. Dan justru, apa yang disampaikan oleh Pangcu Kaypang yang menjadi pangkal masalah bagiku Lan Moi ....”

“Apa maksudmu koko”? tanya Mei Lan kembali penasaran

“Aku mengharap engkau mencernanya secara baik Lan Moi ....”

“Sudah kukatakan aku akan mencobanya koko ....” suara Mei Lan kembali melunak.

“Setelah aku menyembuhkan Pangcu Kaypang, gantian dia yang kemudian menyembuhkan penyakit “hilang ingatanku”. Tetapi, ketika memeriksa keadaan tubuhku, dia memberi tahu bahwa aku baru saja kemasukan “Racun Dewa Asmara”, racun jahat sejenis obat perangsang yang bisa dilepaskan See Thian Coa Ong melalui pukulan atau kebasan tangannya”

“Terus .... bagaimana koko”? Mei Lan penasaran, sekaligus hatinya mulai merasa sangat tidak enak.

“Menurut Pangcu Kaypang yang ahli pengobatan itu, hanya ada dua cara untuk sembuh dari racun itu Lan Moi” Ceng Liong berhenti sejenak, kembali gugup melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana kedua cara itu koko ....”? buru Mei Lan sambil membetulkan letak dan posisi rambutnya

“Pertama, memperoleh obat pemunah langsung yang hanya dimiliki oleh See Thian Coa Ong” jawab Ceng Liong

“Dan kedua “? Mei Lan kembali memburu jawaban

“Yang kedua, ........ menurut Pangcu itu, melalui hubungan badan antara laki-laki dan perempuan” besar kekuatan yang dibutuhkan Ceng Liong untuk mengucapkannya secara langsung.

“Koko, maksudnya ....”? Mei Lan terperanjat. Tanpa Ceng Liong melanjutkan kalimatnya dia sudah dengan tepat menerka apa yang menjadi kelanjutan cerita antara Ceng Liong dan Giok Hong.

“Lan Moi, begitulah menurut Pangcu Kaypang”

“maksudmu, kamu, kamu dan ......... Nona Giok Hong ...”? terbata-bata Mei Lan mencoba menegaskan dugaannya.

“Lan Moi, tenanglah .....” Ceng Liong mencoba menenangkan Mei Lan dengan memegang tangannya.

“Tidak, tidak ..... katakan koko seterusnya bagaimana ....”?

“Lan Moi, justru inilah masalah terbesarku selama ini. Kurasa engkau sudah lama mengerti kalau aku mencintaimu. Tetapi, setelah mendengarkan penjelasan Pangcu Kaypang, bagaimana mungkin aku mengutarakan perasanku kepadamu sementara aku tidak jelas dengan nasib dan keadaan Nona Giok Hong”?

Mei Lan nampak gelisah dan terpukul, tetapi berusaha menguatkan hati untuk menerima kenyataan yang sangat tidak mengenakkan ini. Dia bersyukur Ceng Liong sudah begitu terbuka kepadanya, mengakui perasaan hatinya, sekaligus mengakui beban seputar desakan perjodohan kedua guru mereka. Tetapi, apakah dia tega mengangkangi Ceng Liong yang sudah “beristrikan” Giok Hong? Inilah masalahnya. Pangcu Kaypang sudah menegaskan, begitu menurut Ceng Liong, bahwa kesembuhannya adalah karena persetubuhannya dengan Giok Hong. Maka setelah berusaha keras dan melalui perjuangan hati dengan tidak menyalahkan Ceng Liong, Mei Lan akhirnya kembali berkata:

“Koko, bagaimana dengan sikapmu sendiri “?

“Lan Moi, sudah lebih kurang 5 tahun Nona Giok Hong tidak munculkan dirinya. Selama itu pula aku memendam perasaanku kepadamu. Tetapi, aku sungguh membutuhkan kepastian apakah benar-benar telah “melakukannya” dengannya ataukah tidak. Engkau tahu Lan Moi, justru kesengsaraanku melihatmu selama ini adalah karena aku mengasihimu dengan sangat, tetapi aku sadar kemungkinan besar aku telah melakukan hubungan suami-istri dengan Nona Giok Hong”

“Aku menanyakan sikap dan keputusanmu koko ...” tuntut Mei Lan.

“Lan Moi, aku telah menunggu selama 5 tahun. Dan masih akan menunggu hingga pertempuran dengan Lam Hay, Thian Tok dan Bengkauw sebagai batasnya. Aku telah memohon ijin kepada suhu dan karenanya aku memohon pengertianmu untuk menungguku hingga setahun lebih kedepan” Ceng Liong mengucapkannya dengan kalimat penuh permohonan.

“Koko, engkau tahu perasaanku. Akupun memendamnya sudah sangat lama. Apapun keputusanmu akan kuterima dengan baik. Aku akan menunggu batas waktu itu, semoga engkau tidak menyia-nyiakan penantianku koko .....” dan seusai mengucapkan kalimat itu dengan penuh perasaan, Mei Lanpun melesat pergi.

====================

Sebagaimana Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu – tokoh besar Bu Tong Pay juga menginginkan kepergian yang damai dan tenang tanpa harus menyusahkan Bu Tong Pay. Setidaknya, itulah yang dipesankan Wie Tiong Lan kepada ke-4 muridnya yang menemaninya menjelang akhir-akhir masa kehidupan sang Guru Besar. Tidak lama setelah meninggalkan Lembah Pualam Hijau, Wie Tiong Lan telah merasakan bahwa waktu baginya akan segera tiba. Betapapun, sebagaimana Kiang Sin Liong, usianya telah melampaui angka 100, menandakan betapa tinggi dan betapa lamanya dia hidup di dunia ini.

Pada bulan-bulan terakhir, dia masih sering membimbing ke-4 muridnya tidak lagi dengan berlatih ilmu silat, tetapi dengan mendiskusikannya. Dan luar biasanya, justru cara ini jauh lebih tepat guna meningkatkan kemampuan murid-muridnya ketimbang dengan menghabiskan kemampuan fisik. Hal ini dikarenakan tingkat kemampuan murid-muridnya memang sudah sangat tinggi. Sehingga dengan membuka wawasan dan perspektif pendalaman ilmu, jadi jauh lebih tinggi makna dan manfaatnya saat itu.

Mungkin tidak disadari ke-4 muridnya jika kemampuan mereka dibandingkan dengan 4-5 bulan sebelumnya, sudah meningkat jauh lebih pesat lagi. Terutama bagi Kwee Siang Le, Mei Lan dan Sian Eng Cu. Sementara murid kedua, Jin Sim Todjin lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan agama dan urusan perguruan Bu Tong Pay. Tetapi begitupun, sewaktu-waktu dia meluangkan banyak waktunya untuk berkumpul dengan 3 saudara perguruan lainnya. Selain untuk berlatih sekaligus juga menemani guru mereka. Sebagai orang beribadat, dia sadar bahwa gurunya semakin mendekati ujung usianya.

Dan malam itu, dia masih sempat meninggalkan pesan-pesan terakhir bagi ke-empat muridnya:

“Siang Le, apapun yang terjadi engkau kularang untuk menjabat Ciangbundjin Bu Tong Pay. Jabatan itu lebih tepat berada di tangan Song Kun ataupun Li Koan. Tetapi ingatlah, jangan sekali-kali pergi meninggalkan Gunung kita ini. Gua ini kuwariskan kepadamu, menjadi tempatmu mendidik murid-murid penerus kejayaan Bu Tong Pay. Setelah hari ini, kutugaskan engkau untuk mulai menempati Gua tempat samadhiku ini – dan selanjutnya engkau harus memimpin dan mengarahkan sute-sutemu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan”

“Murid menerima perintahmu Suhu ....” Kwee Siang Le memang sudah lama menutup diri di sekitar Bu Tong San dan lebih memilih menyepi ketimbang merecoki dunia ramai. Dan sekarang, dia menerima tugas untuk menjadi pemimpin saudara saudara seperguruannya. Dan untuk itu, dia memang memiliki wibawa dan dihormati oleh semua adik seperguruannya.

“Song Kun, engkau memang sangat berbakat menjadi pendeta agama To. Jika Suhumu yang tua ini boleh menyarankan, perdalam lagi pengetahuanmu itu dan padukan dengan pendalaman-pendalaman iweekang yang kuwariskan paling akhir. Engkau akan menemukan banyak jalan, dan paduanmu dengan toa suhengmu akan menjajari kemampuanku saat ini dan akan menyelamatkan nama besar Bu Tong Pay. Tetapi pilihan ada di tanganmu”

“Jika itu titah suhu yang mulia, tecu tidak akan mengabaikannya” demikian Bouw Song Kun atau Jin Sim Todjin

“Song Kun, untuk saat ini tokoh Bu Tong Pay yang paling berpeluang menduduki kursi Bu Tong Pay adalah dirimu. Dan jika engkau menolak pencalonanmu, hampir dipastikan sutemu yang akan menjabat Ciangbundjin Bu Tong Pay. Jika itu terjadi, maka kita tidak akan memiliki cukup kekuatan menangkal malapetaka yang menuju Bu Tong Pay beberapa tahun kedepan. Hanya dengan hasil pendalamanmu atas warisan terakhirku dan bersama suhengmulah yang akan mampu menghindarkan kehancuran besar itu kelak”

“Suhu, jika memang itu demi tegaknya Bu Tong Pay kita, maka aku akan dengan rela menekuni ajaran-ajaran terakhirmu. Biarlah sam sute yang meneruskan tampuk kepemimpinan Bu Tong Pay”

“Baik, aku memegang perkataanmu muridku. Engkau akan membuktikan ucapanku ini kelak. Dan jika sampai saatnya kalian berdua menyelamatkan muka Bu Tong Pay, jangan pelit mewariskan peyakinan kalian kepada anak murid berbakat dari perguruan kita”

“Kami berjanji suhu” Jin Sim Todjin dan Kwee Siang Le menyatakan janji dan kesanggupan mereka secara bersamaan.

“Li Koan ....... “

“Tecu disini suhu ....”

“Siapkah engkau untuk melanjutkan tugas menjaga wibawa perguruan kita, Bu Tong Pay selaku Ciangbundjin”?

“Tapi, tecu belum dan bukan Pendeta suhu ...”

“Ketika menjadi Ciangbundjin Bu Tong Pay beberapa puluh tahun silam, suhumupun belum dan bukan Pendeta Li Koan. Ku-ulangi, apakah engkau siap mengembang tugas berat itu”?

“tentu akan sangat siap dengan restu Suhu ....”

“Baiklah. Li Koan, bukan tanpa maksud suhumu menyiapkan kalian semua dalam tugas tersebut. Sin Liong sendiri bukan tanpa maksud meminta Duta Agung Lembah Pualam Hijau untuk menarik diri selama beberapa tahun ini. Semuanya untuk mengantisipasi malapetaka besar yang siap menerjang beberapa tahun kedepan. Tetapi, yang paling siap menghadapi persoalan besar yang berada di depan mata, adalah engkau dengan siauw sumoymu – Mei Lan. Itulah sebabnya kedua suhengmu kusiapkan untuk antisipasi persoalan yang jauh kedepan, dan engkau dan sumoymu untuk masalah yang ada di depan mata”

“Tecu mengerti suhu .......”

“Syukurlah jika demikian. Kemajuanmu selama beberapa bulan ini telah sangat pesat meski engkau tidak menyadarinya. Kunci memahami ilmu pamungkas kita sudah kuwariskan kepadamu dan kepada semua suhengmu. Untuk saat ini, baru sumoymu yang menguasainya secara sempurna karena memperoleh bimbingan banyak orang hebat. Tetapi, kupastikan dengan pemahaman kalian saat ini, tidak akan butuh waktu lama untuk menguasainya”

“Baik, tecu sekarang paham sepenuhnya suhu ....”

“Mei Lan ....”

“Tecu disini suhu yang mulia ...” Mei Lan menyahut dengan takzim

“Andalan utama untuk menghadapi persoalan di depan mata berada di tanganmu dan sam suhengmu. Suhumu tidak akan mendahului Thian, tetapi Ciangbundjin Bu Tong Pay saat ini akan mengalami malapetaka yang sulit dielakkan. Bahkan suhumu sendiri masih kabur dengan penyebab malapetaka yang akan menimpanya. Untuk saat ini, dari perguruan kita, yang berkemampuan menandingi tokoh hitam yang baru tampil hanyalah engkau. Tapi ingat, jika engkau belum melampaui tahapan yang suhumu tegaskan bersama Kolomoto Ti Lou waktu di markas utama Thian Liong Pang, jangan memaksakan diri membenturnya. Untuk saat ini, yang melampaui tahapan itu memang baru beberapa orang, jika suhumu tidak salah, baru Duta Agung yang bahkan sudah memasuki tahapan pamungkas, Nenggala, dan Cun Le serta In Hong subomu itu. Padahal, kekuatan maut yang sudah didepan mata bakal berjumlah lebih besar dan dengan daya rusaknya yang jauh melampaui Thian Liong Pang”

“Suhu, benarkah awan gelap itu akan datang kembali ...”? tanya Mei Lan ragu.

“Muridku, dia akan datang dengan kemampuan yang lebih mengerikan. Padahal, setelah suhumu, Kolomoto Ti Lou sendiri sudah akan kembali ke negerinya karena menyadari waktunya juga sudah semakin dekat. Karena itu, suhumu ingin sekali lagi mengetahui bagaimana kesiapanmu ...”

“Suhu, sudah sepuluh hari terakhir ini tecu gagal menembus batas dan halangan terakhir itu” Mei Lan menyatakan penyesalannya.

“Acccch, anakku, engkau terlampau terbebani oleh masalah cintamu. Padahal, suhumu sudah mengaturnya untukmu setelah satu setengah tahun ke depan”

“Suhu, engkau mempermainkan tecu .....” dari sekian murid Wie Tiong Lan, memang hanya Mei Lan yang berani sekali-sekali bermanja-manja dengan orang tua sakti itu. Selain karena satu-satunya wanita, juga Wie Tiong Lan memang mengasihinya seperti Tong Li Kuan mengasihi sumoynya ini bagai anak sendiri. Meskipun demikian, Liang Mei Lan tidaklah pernah meninggalkan rasa hormat dan bhakti kepada gurunya itu.

“Hahahaha, muridku apa engkau kira percakapanmu dengan Duta Agung lepas dari pengamatan tua gurumu ini? Sama sekali tidak. Selain gurumu, kakek buyutnyapun telah menegaskan kejadian kedepan yang persis sama dengan yang telah gurumu terawangkan di masa mendatang. Karena itu, engkau harus menuntaskan latihan terakhir itu. Karena dengan tuntasnya latihan itu, engkau belum akan sanggup mengalahkannya, baru mampu mengimbanginya”

“Suhu, sehebat itukah tokoh yang baru muncul itu”? tanya Mei Lan penasaran, mewakili kepenasaran yang sama tumbuh dalam hati ketiga murid Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan lainnya.

“Tentu saja hebat, karena dia membekal ilmu paling jahat dan tanpa tanding pada 100 tahun sebelumnya. Lebih lagi, dia mewarisi dalam dirinya kekuatan ke-dua orang gurunya, Thian Tee Siang Mo – yang menghadiahinya warisan tenaga berlimpah. Jadi, waspadalah dan jangan bermain-main. Meskipun, engkau juga harus percaya diri karena gurumu tidak main-main menyiapkanmu, juga subomu dan juga Kolomoto Ti Lou”

“Baiklah suhu, tecu akan dengan penuh semangat dan penuh konsentrasi untuk menyelesaikannya” janji Mei Lan.

“Satu hal lagi, murid-muridku, betapa berbahagianya sahabatku Kiang Sin Liong itu. Dia telah pergi tidak dengan upacara megah dan besar. Padahal, jika ingin, dia sanggup mendapatkannya. Tetapi dia memilih pergi dalam ketenangan. Song Kun, jika memang memungkinkan, berikanlah upacara sederhana dan damai seperti itu untuk kepergian gurumu ini”

“Tecu akan mengupayakannya Suhu” jawab Song Kun yang kurang yakin karena dia tahu kebesaran nama gurunya dan aturan perguruan dalam menghormati tokoh sebesar gurunya itu.

“Baiklah murid-muridku, waktu suhumu sudah akan segera tiba. Satu hal, jika Duta Agung Lembah Pualam Hijau berkunjung – kalian berempat temani dia di tempat ini untuk mengurai apa yang kutinggalkan untuk dia ketahui. Dia, anak itu memang telah berkemampuan mengurainya. Ingat baik-baik pesanku ini. Dan untuk hadiah terakhir dari suhumu yang sudah tua ini, biarlah pada hari perpisahan ini kuberikan peryakinanku selama seratus tahun lebih dengan bagian yang berbeda-beda, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan kalian masing-masing dalam mengemban tugas perguruan kita”

Selesai berkata demikian, tiba-tiba tubuh tua renta itu nampak bergerak bagaikan terbang melayang, tetap dalam posisi bersila dan kemudian melakukan 4 kali totokan yang diarahkan kepada 4 muridnya. Tidak lama, hanya dalam hitungan beberapa detik belaka dia melakukannya dan murid-muridnya merasakan hawa dalam tubuh mereka bagaikan bergolak. Tak lama kemudian terdengar kembali suara orang tua itu:

“Kalian masing-masing baru saja menerima warisan hawa saktiku dengan bagian berbeda-beda. Pusatkan tenaga di tantian dan baurkan dengan tenaga sakti kalian masing-masing. Lan Ji, jika suatu saat bertemu dengan Thian San Giokli sampaikan satu kalimatku: “bahaya lain yang lebih mengerikan masih berada di liang itu”. Tidak usah bertanya maknanya, nenek itu akan mengerti dengan sendirinya. Karena itu berkaitan erat dengan tugas yang terutama. Dan sekarang, kalian semua lakukan sesuai perintahku”

Demikianlah ke-empat murid Wie Tiong Lan memusatkan kekuatan mereka di tan-tian. Mei Lan memperoleh totokan hawa sakti yang membuka peluang penguasaannya atas “Tahapan Kedua” dari kitab sakti milik Kolomoto Ti Lou, rahasia yang dibuka gurunya dan Kolomoto Ti Lou seusai melumpuhkan Thian Liong Pang. Totokan itu mempercepat proses penguasaan Mei Lan atas tahapan kedua, bahkan pada saat itu juga dia segera sadar bahwa dia telah berkmampuan merampungkan tahapan yang tersendat selama 10 hari terakhir.

Sementara itu, Tong Li Koan Sian Eng Cu Tayhiap memperoleh sebagian besar warisan tenaga dalam gurunya. Hal yang memang sangat dibutuhkannya untuk memperkuat diri menjelang menjadi Ciangbundjin Bu Tong Pay. Bahkan sebelum dia berkonsentrasi dia masih mendengar suara gurunya: “Li Koan – kuwariskan sejurus pelengkap ilmu pedang Liang-Gi- Kiam Hoat, kuyakinkan selama 10 tahun terakhir untuk memperkuat ilmu kebanggan kita. Jurus itu khusus diwariskan kepada seorang Ciangbundjin, ingat pesanku ini. Catatannya berada tepat di bawah tempat suhumu bersamadhi”

Sementara itu, Kwee Siang Le menerima totokan persis seperti Mei Lan, yang membuka kemungkinan besar baginya untuk memperdalam ilmu-ilmu pukulan yang ditinggalkan gurunya. Dan beberapa waktu sebelumnya, gurunya memang telah mewariskan sejumlah variasi perubahan dan jurus baru yang membuat khasanah ilmunya menjadi jauh lebih lengkap. Sesuai dengan julukan dan peryakinannya selama ini dalam mengembangkan dan mendalami ilmu-ilmu tangan kosong Bu Tong Pay.

Begitu juga Jin Sim Todjin. Dia memperoleh totokan hawa dalam sekaligus sebagian tenaga sakti gurunya. Karena Jin Sim diproyeksikan untuk mendalami hawa sakti warisan suhunya dan dikombinasikan dengan ajaran agama To guna kelak dikombinasikan dengan peryakinan toa suhengnya. Dan Jin Sim juga memperoleh bisikan seperti Li Koan yang menunjukkan dimana dia mesti menemukan catatan petunjuk pendalaman hawa sakti Bu Tong Pay untuk dipelajari dan dikembangkan lebih jauh lagi.

Ketika ke-empat murid itu hampir selesai dengan konsentrasi dan pemusatan kekuatan mereka, tiba-tiba terdengar suara yang mengambang di tengah udara: “Selama tinggal murid-muridku ....” suara itu mengambang di udara dan memang ditujukan kepada mereka ber-empat. Ketika keempatnya sadar, mereka menemukan Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu telah menutup mata, tetapi suara mengambang itu masih berdengung. Karena suara itu memang merupakan pengerahan kekuatan terakhir yang di atur sedemikian rupa untuk mengaung sampai beberapa saat yang telah ditentukan.

=================

Seperti yang telah diduga oleh Jin Sim Todjin, Ciangbundjin Bu Tong Pay yang sangat menghormati Wie Tiong Lan dan sekaligus pemilik otoritas dalam menjaga tradisi menghormati tetua partai, langsung menolak usulan upacara sederhana yang diamanatkan suhu mereka.

“Mana bisa kita tidak mengabarkan kematian tetuah kita kepada rekan-rekan dunia persilatan? Kita harus mengadakan upacara keagamaan dan kehormatan, karena beliau adalah sesepuh dan tokoh besar yang bukan hanya dihormati di Partai kita, tetapi juga oleh seluruh rekan-rekan pendekar di dunia persilatan. Karena itu, segera di atur pemberitahuan dan undangan ke seluruh kawan-kawan pendekar dan perguruan sahabat” demikian titah yang langsung keluar dari mulut Ciangbundjin Bu Tong Pay begitu mendengar berita duka kematian sesepuh mereka Wie Tion Lan. Dan Jin Sim Todjin, Sian Eng Cu Tayhiap dan Liang Mei Lan tidak sanggup membantah karena perintah telah dikeluarkan oleh Ciangbundjin.

Maka beredarlah informasi dan sekaligus undangan dari Bu Tong Pay untuk menghadiri upacara duka di Bu Tong Pay atas kematian bekas Ciangbundjin mereka Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Dalam waktu singkat informasi itu menyebar ke seluruh pelosok rimba persilatan Tionggoan. Dan hanya dalam waktu 2 hari, sudah banyak tamu yang berbondong datang untuk menyatakan penghormatan terakhir sekaligus melayat ke Bu Tong San. Bukan main sibuknya pihak Bu Tong Pay, tetapi untungnya titah persiapan di Bu Tong Pay telah dilepaskan Ciangbundjin 2 hari sebelumnya, jadi mereka memang sudah bersiap.

Tetapi, bersamaan dengan kehebohan atas informasi meninggalnya Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, dunia persilatan tiba-tiba digemparkan oleh informasi lainnya. Informasi yang tidak kalah heboh dan tidak kalah menggemparkannya. Bahkan informasi ini semakin mengguncang dan semakin menghebohkan seiring dengan bergeraknya banyak tokoh dunia persilatan ke Bu Tong Pay. Informasi apakah gerangan yang begitu mengguncangkan itu?

Entah dari mana mulai dan awalnya, beredar sebuah daftar peringkat tokoh persilatan dan perguruan yang dianggap paling top sesuai urutannya. Urutan itu, secara kontroversial tidak memasukkan nama-nama tokoh persilatan yang dalam kategori “sesat”, tetapi secara khusus hanya mencantumkan daftar tokoh-tokoh persilatan top dari pendekar golongan lurus. Dan di bagian bawah daftar itu tertera pernyataan sebagai berikut:

1. Urutan bisa berubah sesuai tingkat perkembangan kemampuan masing-masing
2. Urutan bawah yang mengalahkan peringkat di atasnya, otomatis menggantikan peringkat di atasnya tersebut
3. Cara tercepat untuk terkenal adalah dengan mengalahkan mereka yang berada di dalam daftar ini

Inilah daftar menghebohkan tersebut: Peringkat pertama secara mengejutkan diberikan kepada KIANG CENG LIONG – Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Peringkat kedua diberikan kepada THIAN SAN GIOKLI – Lembah Salju Bernyanyi. Peringkat ketiga diisi oleh dua orang: KIANG CUN LE dan KIANG IN HONG (Liong-i-Sinni) keduanya dari Lembah Pualam Hijau. Peringkat Keempat juga terisi dua orang: LAMKIONG BU SEK dari Lam Hay Bun dan SIANGKOAN TEK dari Bengkauw. Peringkat Kelima diberikan kepada NENGGALA – tidak mewakili perguruan manapun. Peringkat Keenam diberikan kepada LIANG MEI LAN dari Bu Tong Pay. Peringkat ketujuh diberikan kepada LIANG TEK HOAT dari Kaypang. Peringkat Kedelapan diberikan kepada SOUW KWI BENG dan SOUW KWI SONG dari Siauw Lim Sie. Peringkat Kesembilan diberikan kepada SIANGKOAN GIOK LIAN dari Bengkauw. Dan peringkat kesepuluh diberikan kepada KIANG LI HWA dari Lembah Pualam Hijau.

Bersamaan dengan peringkat top 10 pendekar dunia persilatan Tionggoan, juga beredar atau diedarkan secara bersamaan yakni Daftar Tujuh Perguruan Terhebat di Tionggoan. Adapun, peringkat Perguruan terhebat itu berturut-turut adalah sebagai berikut: Peringkat Pertama, LEMBAH PUALAM HIJAU; Kedua, LEMBAH SALJU BERNYANYI; Ketiga, BU TONG PAY; Keempat, KAYPANG; Kelima, SIAUW LIM SIE; Keenam, LAM HAY BUN; Ketujuh, BENGKAUW.

Beredarnya kedua daftar peringkat tersebut, terutama daftar peringkat 10 besar pendekar disertai dengan 3 pernyataan yang provokatif, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan geger berkepanjangan. Bukan hanya geger di antara penghuni peringkat 10 itu, tetapi terutama mereka-mereka yang kemaruk nama untuk masuk dalam daftar 10 besar itu. Bisa dipastikan penghuni daftar 10 besar itu tidak akan lagi merasakan kenyamanan berkelana di dunia persilatan. Karena pastilah akan banyak pendekar yang tidak tercantum namanya dalam daftar yang akan nekat menantang mereka untuk menggantikan peringkatnya.

Apalagi dengan pencantuman pernyataan nomor 3: yakni cara tercepat untuk terkenal dan dikenal banyak orang adalah dengan mengalahkan salah seorang di dalam daftar tersebut. Inilah cara brilliant sekaligus sangat licik untuk mengganggu tokoh-tokoh kalangan pendekar. Karena tokoh-tokoh itu dipastikan akan banyak disibukkan oleh urusan-urusan pertarungan atau diajak bertarung oleh banyak orang yang ingin namanya terkenal.

Dan kondisi yang heboh seperti ini, sekarang sedang menuju ke Bu Tong Pay. Kondisi yang semakin hari semakin bertambah heboh dan semakin memanaskan rasa hati dan rasa kepenasaran banyak orang. Apalagi karena tempat yang dituju adalah tempat dimana ada seorang anggota di daftar 10 besar berada, dan Partay yang juga tercantum dalam Daftar 7 perguruan utama. Bisa ditebak kekisruhan besar sangat berpotensi terjadi di Bu Tong Pay.

Dan benar saja, ketika informasi tentang daftar dan isinya sampai ke Bu Tong Pay, secara darurat Ciangbundjin Bu Tong Pay memanggil para petinggi partai. Sekaligus juga mengundang Kwee Siang Le – Sin Ciang Tayhiap, Tong Li Koan Sian Eng Cu Tayhiap dan Liang Mei Lan. Padahal tinggal 2 hari lagi upacara besar akan dilaksanakan. Pertemuan darurat ketika Bu Tong Pay sedang melayani para pelayat tentu menandakan betapa potensi kekisruhan sangatlah besar. Dan Ciangbundjin Bu Tong Pay menyadari hal tersebut, makanya dia berusaha mengantisipasi keadaan sebaik mungkin.

Tetapi, karena tamu sudah demikian banyak yang berdatangan dan bahkan yang berada di Bu Tong San juga sudah banyak memasuki hari ketiga. Maka pertemuan penting dan mendadak itu hanya dilakukan untuk melakukan pembagian tugas belaka. Sekaligus melakukan koordinasi antar petinggi partai dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dengan beredarnya daftar yang sangat kontroversial tersebut.

“Bisa dipastikan akan terdapat sejumlah bentrokan baik di dalam perguruan kita maupun di luar area perguruan kita. Tetapi, adalah tugas kita semua untuk sedapat mungkin tidak mengganggu jalannya upacara sambil tetap menghormati tetamu. Daftar kontroversial itu melahirkan potensi besar bentrokan, apalagi dalam daftar itu terdapat nama Bu Tong Pay dan juga seorang murid Bu Tong Pay” demikian Ci Hong Todjin sang Ciangbundjin membuka pertemuan singkat.

“Jika Ciangbundjin mengijinkan, sebaiknya secara cepat kita menata tugas masing masing agar Bu Tong Pay tidak kecolongan, dan upacara pemakaman suhu tidak terganggu” demikian Tong Li Koan mengusulkan.

“Baik, usul tersebut kita terima, dan memang untuk itu aku mengundang kita semua berkumpul. Dalam keadaan terdesak seperti ini, demi menjaga wajah dan reputasi Partay, hendaknya kita semua memberi diri untuk melaksanakan tugas-tugas ini: Sesepuh Sin Ciang Tayhiap dan Sian Eng Cu Tayhiap akan bertugas mendampingi layon, dalam ruang tempat jenasah Pek Sim Siansu disemayamkan. Ci Hong dan Jin Sim akan bertugas untuk menjaga kuil kita dari orang-orang yang berkehendak buruk. Nona Mei Lan kutugaskan untuk melakukan perondaan di semua lini, baik di ruang persemayaman, di kuil Bu Tong Pay maupun di basis penjagaan murid-murid Bu Tong Pay .....” Demikian Ciangbundjin Bu Tong Pay membagi-bagi tugas.

Dan setiap nama yang disebutkan sang Ciangbundjin, nampak menganggukkan kepala tanda penempatan tugas disetujui. Jika ditelaah, penempatan tugas memang sangat memperhitungkan hubungan dengan Pek Sim Siansu, kemampuan orang perorang dan tanggungjawab masing-masing terhadap Partay. Oleh karenanya, tidak ada sedikitpun penolakan atau bahkan tambahan usulan. Hal yang juga menandakan betapa sang Ciangbundjin mengenal masing-masing tokoh Bu Tong Pay itu lengkap dengan kekuatan masing-masing.

Tetapi, belum lagi pertemuan itu ditutup, tiba-tiba Mei Lan sedikit bergerak. Bahkan kemudian tubuhnya melejit setelah menghormat Ciangbundjin Bu Tong Pay sambil berkata: “Beberapa murid kita menjadi korban, Ciangbundjin segera menjaga kuil kita; para suheng, cepat kembali ke layon suhu, biar tecu memeriksa keadaan di luar” begitu suara itu sirap, Mei Lan sudah berada jauh di luar sana, tetapi suaranya masih sangat bening di telinga semua orang dalam ruangan.

“Kita ke masing-masing posisi bertugas” demikian Ciangbundjin Bu Tong Pay yang disetujui segera oleh semua. Dan bergeraklah tokoh-tokoh utama Bu Tong Pay itu. Kwee Siang Le dan Tong Li Koan sudah dengan cepat memburu ke layon guru mereka yang sementara ditinggalkan kepada murid-murid mereka. Tetapi, alangkah terkejutnya mereka berdua ketika menemukan dalam ruangan itu telah bertambah dengan sepasang anak muda yang gagah.

Begitu mengenali keduanya, Li Koan menjadi lega, bahkan beban ketegangannya sedikit berkurang karena kedua anak muda yang berdiri memberi hormat kepada suhu mereka adalah sahabat dari Siauw Lim Sie. Tepatnya adalah Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie, kakak-beradik Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Kedua kakak-beradik ini, juga tercantum dalam daftar kontroversial yang membuat suasana panas di hati banyak orang dalam perjalanan menuju Bu Tong Pay.

“Ji-wi locianpwee, kami berdua telah mengirimkan kabar kepada Nona Mei Lan, dan kami telah menyampaikan maksud kami kepada murid-murid Bu Tong Pay yang berjaga di luar. Kami mohon di maafkan telah memberi hormat langsung kepada yang mulia locianpwee Pek Sim Siansu Wie Tion Lan, atas nama suhu kami yang mulia Kian Ti Hosiang.

Sudah tentu Tong Li Koan dan Kwee Siang Le tidak akan marah. Karena kedudukan mereka, meski mereka berdua jauh lebih tua, tetapi pada dasarnya adalah sederajat. Maka Li Koan yang lebih luwes telah berkata:

“Terima kasih atas kunjungan Jiwi, kami tentunya sangat berterima kasih” sahut Li Koan untuk kemudian mempersilahkan kedua kakak-beradik itu melanjutkan penghormatan mereka. Dan tidak lama kemudian, kedua Kakak-beradik yang sakti ini telah diberikan tempat khusus, tempat istimewa bagi para tamu Bu Tong Pay yang datang melayat. Apalagi, kedua Pendekar itu pernah mendapat bimbingan yang bersifat “barter” dari Wie Tiong Lan sebagai ganti Kian Ti Hosiang membimbing Liang Mei Lan. Jadi, kedua pendekar ini masih terhitung sangat dekat dengan guru mereka Wie Tiong Lan.

Dan, tentu saja, selain itu guru kedua pendekar kembar ini, Kian Ti Hosiang adalah tokoh seangkatan guru mereka yang sama saktinya dan sama digdayanya. Kedua tokoh itu bergabung bersama Kiong Siang Han dari Kaypang dan Kiang Sin Liong dari Lembah Pualam Hijau dan menjadi simbol kehebatan pendekar Tionggoan untuk puluhan tahun lamanya. Hampir tak ada masalah pelik yang besar yang tidak dapat ditangani mereka ber-empat semasa hidup mereka. Dan mereka berempat sampai dijuluki 4 Manusia Dewa Tionggoan, dan nama itu masih harum dan punya gaung luar biasa hingga saat ini.

Sementara itu, di tempat lain, Mei Lan yang bergerak dengan ginkang istimewanya sudah mencapai tempat yang “dicurigainya”. Yakni batas-batas terluar penjagaan yang bukan menuju ke pintu masuk resmi, tetapi menuju ke hutan sebelah kiri rumah perguruan Bu Tong Pay.

“Hmmmm, benar juga, sungguh licik” desis Mei Lan ketika melihat penjagaan lapis kedua terluar telah membujur 2 anak murid Bu Tong Pay. Bisa dipastikan telah menjadi mayat. Dan, meski yakin bahwa lapis terluar juga telah mengalami masalah yang sama, tetapi Mei Lan tetap berkelabat untuk memeriksa kesana. Dan memang, sebagaimana dugaannya, kedua murid Bu Tong Pay yang berjaga disana, juga telah menjadi mayat.

Tetapi Mei Lan menjadi kaget ketika memeriksa mayat-mayat tersebut yang ternyata menjadi korban sebuah ilmu mujijat dari Siauw Lim Sie, Tam Ci Sin Thong. Sebuah ilmu lentikan jari sakti yang menjadi salah satu ilmu pusaka Siauw Lim Sie dan tidak sembarang tokoh sanggup mempergunakannya.

“Hmmm, sudah jelas Kwi Beng dan Kwi Song mengambil jalan resmi. Masakan tiba-tiba muncul korban Tam Ci Sin Thong di sini? Ada sesuatu yang mencurigakan disini” pikir Mei Lan yang menjadi gelisah. Karena tokoh yang melakukan pembunuhan, pastilah tekah menyusup ke atas, dan itu berarti bahaya di kuil Bu Tong Pay telah membayang.

“Jika bukan Kwi Beng atau Kwi Song, siapakah gerangan? Sungguh cerdik si pembunuh memilih moment tepat bersamaan dengan kedatangan Pendekar Kembar ke Bu Tong Pay. Tapi, siapa pula pembunuh yang mampu memainkan ilmu mujijat ini dengan demikian baik”? Sejumlah pertanyaan ini memusingkan kepala Mei Lan, karena itu dia akhirnya bergegas kembali ke kuil Bu Tong Pay sambil mengingatkan setiap lapis penjagaan agar berhati-hati.

Mudah ditebak, Bu Tong Pay menjadi gempar namun tidak panik ketika Mei Lan melaporkan kepada Ciangbundjin Bu Tong Pay. Dan segera setelah itu, lapisan terluar dari masing-masing penjagaan kemudian dikirimi murid-murid dari angkatan yang lebih tinggi dengan kemampuan memainkan barisan pedang Bu Tong Pay. Itupun masih ditambah dengan perondaan setiap jam yang akan dilakukan bergantian antara Mei Lan dan Jin Sim Todjin. Bu Tong Pay kini dalam keadaan waspada dan siaga ..... (Bersambung).
 
2


Bahkan Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie, Kwi Beng dan Kwi Song – ketika diberitahu korban “termakan” totokan khas mereka Tam Ci Sin Thong, menjadi kaget dan berkeras memberi bantuan penjagaan bagi Bu Tong Pay. Karena kondisi yang memang meningkat panas dan berbahaya, akhirnya Kwi Beng diminta membantu penjagaan disekitar jenasah, sementara Kwi Song menjaga sekitar kuil Bu Tong Pay, minus ruangan dalam perguruan itu. Sementara Sian Eng Cu – setelah mendapat bantuan Souw Kwi Beng, pada akhirnya memutuskan untuk ikut membantu perondaan di batas-batas penjagaan terluar.

Meski awalnya Kwee Siang Le mencurigai kedua pendekar asal Siauw Lim Sie, tetapi ketika Tong Li Koan sutenya dan Liang Mei Lan menegaskan integritas kedua Pendekar Kembar itu, akhirnya kecurigaan itu berangsur berkurang. Apalagi, sumoynya telah memberikan penjelasan, bahwa sejak memasuki pintu masuk Bu Tong Pay, Pendekar Kembar memilih jalur yang berbeda dengan jalur dimana terjadi pembunuhan anak murid Bu Tong Pay yang berjaga. Karena itu, sangat tidak beralasan mencurigai kedua pendekar kembar yang justru sudah banyak saling membantu dengan Mei Lan dalam pertempuran melawan Thian Liong Pang beberapa bulan sebelumnya.

Sementara itu, kekisruhan kembali terjadi di tapal batas sebelah timur dari jalur masuk utama. Tiba-tiba meluruk sesosok tubuh tinggi besar kearah. Ornag bertubuh tinggi besar itu nampak menjulang, tetapi nampaknya rada-rada dogol. Begitu bertemu 7 murid Bu Tong Pay dari angkatan ke tiga, termasuk cucu-murid Ciangbundjin Bu Tong Pay, tokoh ini langsung ber-hahaha hihihi tidak keruan dan kemudian bertanya:

“Inikah jalan masuk menuju Bu Tong Pay”? tanya si tinggi besar yang rada ketolol-tololan itu sambil cengar-cengir. Sekali lihat, murid-murid Bu Tong Pay telah paham dengan orang macam apa mereka sedang berhadapan. Meskipun, mereka tidak seratus persen benar.

“Benar, siapakah sicu yang gagah perkasa”? guna menjaga sopan-santun, tetap para murid menyapa dengan sopan.

“Hehehehe, masak kalian tidak mengenali aku”? demikian jawaban si tinggi besar dengan lagu yang dogol.

“Maafkan jika kami kurang mengenal sicu” kembali seorang murid Bu Tong Pay menjawab dengan tetap tidak meninggalkan sopan santunnya, meskipun rada geli melihat si tinggi besar yang agak dogol itu.

“Masak Gu Kok Ban tidak kalian kenal, keterlaluan”? bertanya si tinggi besar dengan gaya kebodoh-bodohannya. Tetapi, sialnya memang nama itu tidak dikenal oleh para murid yang berjaga. Yang mengenal banyak tokoh silat utama hanyalah murid yang menjaga pintu gerbang utama, gerbang resmi memasuki Bu Tong Pay. Padahal Gu Kok Ban Houw Pah Ong (Raja Harimau Bengis) sebetulnya bukan bernama kecil, meskipun memang agak dogol.

Gu Kok Ban sudah terkenal sejak 25 tahun sebelumnya. Dia terutama dikenal dengan kekuatan tenaga gwakang yang luar biasa. Usianya sudah sekitar 50 tahunan, tetapi memang sedikit ketolol tololan dan karenanya sangat senang diumpak orang. Julukannya Raja Harimau Bengis sebenarnya olok-olok dunia persilatan kepadanya, tetapi itupun dengan senang dan bangganya dia menyandang gelar itu. Dia berada di antara golongan hitam maupun putih. Atau lebih tepatnya, tergantung siapa yang memanas-manasinya atau memanfaatkan kebodohannya untuk kepentingan yang bersangkutan. Seperti hari ini, dia nampaknya dimanfaatkan oleh orang yang memilkii kepentingan tersendiri. Sejenis intrik untuk memasuki Bu Tong Pay, entah dnegan maksud apa.

“Maaf, maaf, kami kurang menghormati Gu Kok Ban – Houw Pah Ong. Tetapi, bolehkah kami tahu, mengapa justru sicu tidak mengambil jalan utama dan justru mengambil jalan yang sulit ini”? tanya kembali sang murid penjaga.

“Apa ....? Si manusia hijau itu menyuruhku jewat jalan ini. Katanya lebih cepat bertemu dengan para pendekar hebat yang termasuk dalam daftar 10 besar itu, apakah keliru? ..... hehehe” si Raja Harimau Bengis yang dogol bertanya sambil cengengesan. Tetapi, untungnya tidak diladeni dengan emosi oleh para penjaga.

“Engkau keliru Houw Pah Ong, justru jalanan ini menuju ke areal hutan dan berliku liku hinga memasuki kuil Bu Tong Pay. Jika engkau masuk lewat pintu utama di sebelah barat, maka engkau akan mudah menjangkau kuil Bu Tong Pay” jelas si penjaga dengan lembut kepada si Dogol.

“Wuaduh, bagaimana ya? Si Manusia Hijau menyuruhku dengan sangat yakin, bahwa aku harus melalui arah ini. Dia berkata bahwa dia menjamin dengan kepalanya” si Dogol nampak kebingungan. Dan memang dia selalu demikian. Bingung memilih dan memisahkan mana tipuan dan mana yang benar.

“Siapa sebenarnya Manusia Hijau itu Houw Pah Ong”? penasaran seorang murid bertanya kepada si Dogol.

“Manusia hijau ya manusia hijau, menggunakan jubah dan penutup muka warna hijau, masa begitu saja engkau tak tahu, bodoh sekali”? si Dogol sedikit jengkel, karena dia bingung harus memilih arah yang mana.

Meski dimaki bodoh, tetapi para penjaga tidak menjadi marah. Karena lama-kelamaan mereka semakin yakin jika di hadapan mereka berdiri seorang manusia dogol meskipun berbadan tinggi besar dan berjulukan Raja Harimau Bengis. Dan nampaknya, manusia dogol ini benar tengah dimanfaatkan orang lain. Karena itu, meski sambil senyum-senyum masam, mereka sudah meningkatkan kewaspadaan masing-masing.

“Maaf, maaf jika demikian. Tetapi yang pasti, si Manusia Hijau telah membohongimu karena jalanan ini menuju hutan dan berputar jauh sebelum memasuki Kuil Bu Tong Pay” tegas seorang murid sambil tetap santun. Kali ini, karena maklum yang dihadapi sadalah seorang dogol yang sedang dikerjai orang.

Tetapi anehnya, si Dogol Houw Pah Ong tetap berkeras dengan jalanan pilihannya. Diapun menegaskan: “Tetapi baru saja si Manusia Hijau kembali menegaskan bahwa memang inilah jalanannya, dan bahwa jalanan ini membawaku lebih cepat bertemu para jago di daftar 10 besar pendekar top itu”

Lama-kelamaan, meskipun sadar ada yang menjadi “backing” ataupun sekaligus mengerjai si Dogol, murid-murid Bu Tong Paypun jadi kebingungan dan kehabisan akal menghadapi si dogol itu. Maka si pemimpin penjaga akhirnya ber suara:

“Houw Pah Ong, siapapun dilarang masuk melalui jalur ini. Karena jalur ini tertutup dan menuju ke jalan berliku yang justru tidak langsung menuju ke Kuil Bu Tong Pay. Siapapun yang melewati jalur ini, berarti memiliki maksud lain yang tidak baik bagi kami Bu Tong Pay, karena itu, maafkan kami jika tidak membiarkanmu lewat jalanan yang satu ini, silahkan kembali ke jalur utama sebelah barat sana”

Diperlakukan demikian, si Dogol otomatis meradang. Orang seperti ini memang harus ditangani secara lunak, jika ditentang dan dikonfrontasi, maka dia pasti meradang. Seperti sebelumnya, ketika ditegur secara baik-baik dia mampu menerima, tetapi begitu disalahkan, otomatis pertimbangan rasionalnya buntu, dan ujungnya adalah marah.

“Kurang-ajar, muter-muter kesana kemari ujungnya tetap tidak boleh. Kalau begitu, biar kuterobos saja ......”

Dan sambil berkata begitu, si Dogol Houw Pah Ong telah maju melangkah. Dan otomatis, langkahnya dihalangi salah seorang murid penjaga. Hanya saja, begitu mendorong dengan lengannya, si murid angkatan ketiga sudah merasa kurang beres, karena pedangnya mencong kekiri, sementara angin pukulan dahsyat lawan terus memburunya. Otomatis dia membuang tubuhnya ke samping karena merasa tidak sanggup membentuk pukulan luar lawan yang sangat hebat.

Melihat seorang kawan mereka dalam satu kali gebrakan telah terpental kesamping, otomatis kawan-kawan yang lain segera mengepung dan menahan langkah maju Houw Pah Ong. Dan Houw Pah Ong yang tidak suka banyak bicara tetapi lebih suka banyak bekerja telah menerjang mereka dengan pukulan luarnya yang memang menderu sangat hebat. Tetapi, kali ini dia menghadapi kerjasama beberapa orang yang sanggup saling melindungi dan bekerjasama dengan baik. Maka tertahanlah si Dogol dalam pertempuran tersebut.

Hanya saja, para murid Bu Tong Pay itu tidaklah begitu mengenal tokoh yang satu ini. Meski dogol agak bodoh, tetapi dia memiliki kekuatan tenaga luar yang memang sangat hebat dan juga memiliki ketangkasan mengagumkan. Bagi mereka yang banyak bergaul dengan rimba persilatan, maka mereka paham betul sampai dimana kehebatan si Dogol yang sangat gampang dipermainkan orang. Begitupun, dia membekal ketangkasan yang juga cukup hebat dan menjadi salah satu tokoh antara hitam dan putih yang cukup dimalui orang.

Setelah terkurung beberapa saat dalam lingkaran pedang para pengurungnya, tiba-tiba Houw Pah Ong mengeluarkan gerengan khas harimau, darimana nama julukannya dia peroleh. Dan diapun menyerang lingkaran pertempuran dengan tidak takut terhadap senjata pedang lawan. Nyata, bahwa dia telah mengerahkan kekuatannya ke kedua cakar tangannya dan tidak takut bersentuhan dengan ketajaman pedang lawan.

Serangannya membuat lingkaran pertempuran menjadi goyah. Terlebih karena cakar harimaunya mampu menolak balik dan bahkan mematahkan 2 buah pedang dari pengeroyoknya. Untungnya batang pedang lainnya sudah menyerang Houw Pah Ong di tempat-tempat berbahaya, hingga kedua kawan mereka bisa meloncat mundur untuk kemudian kembali menyerang. Hanya saja, meski serangan mereka masih cukup baik, tetapi sudah jelas akan dapat dibobol si dogol Houw Pah Ong yang kini tertawa-tawa kegirangan.

“Hehehe, sebaiknya beri jalan buatku, jika tidak semua pedang kalian bakalan patah” begitu si Dogol sambil bertarung masih sempat-sempatnya mengingatkan para pengeroyoknya. Hal yang tentu saja tidak diindahkan oleh murid-murid Bu Tong Pay yang memang mendapatkan instruksi keras agar jangan ada seorangpun yang menyusup melalui jalur timur ataupun jalur utara. Terutama jalur utara, dimana sudah ada 4 orang anak murid yang menjadi korban, terbunuh lawan yang mencoba menyusup masuk.

Tetapi meskipun berkeras bertahan, sudah cukup jelas bahwa serangan dan keroyokan mereka sama sekali tidak merepotkan si Dogol. Sebaliknya, kembali sudah ada sebatang pedang mereka yang patah bertemu dengan cakar harimau si Dogol yang seperti bertarung seenaknya saja. Dan jika diteruskan, bisa ditebak dalam waktu beberapa kejap lagi, maka korban manusia akan mulai berjatuhan. Apalagi, Houw Pah Ong nampak tidak segan-segan menurunkan tangan kejam jika kesempatan itu pada akhirnya datang.

Hanya saja, tiba-tiba tanpa sepengetahuan semua orang yang sedang bertempur sudah bertambah dengan seorang Pendeta Bu Tong Pay. Bahkan, tak berapa lama kemudian, bertambah lagi dengan seorang nona cantik jelita yang kedatangannya bahkan seorang Jin Sim Todjin tidak sanggup melacaknya. Tahu-tahu sudah berada disampingnya dan berbisik:

“Ji suheng, bagaimana ....”? tanya si nona cantik yang ternyata adalah Liang Mei Lan, murid bungsu Wie Tiong Lan.

“Anak-anak nampaknya sudah sulit bertahan. Apakah jalur utara masih bisa ditahan”? bertanya Jin Sim Todjin

“Sam Suheng sudah berangkat kesana, dan jika tidak salah kita kedatangan setidaknya 2 sahabat baik yang berkemampuan sangat tinggi” jelas Mei Lan yang membuat Jin Sim Todjin tercengang. Dia memang tahu kemampuan siauw sumoynya telah melampaui mereka semua, ketiga suhengnya, tetapi belakangan ini dia semakin heran dengan kemajuan sang sumoy yang seperti tak ada batasnya. Bahkan sanggup “melacak” suatu kejadian yang terjadi jauh dari keberadaan dirinya. Sungguh mengagumkan.

“Siauw sumoy, nampaknya anak-anak sudah susah bertahan” dan sambil berkata demikian, Jin Sim Todjin kemudian melangkah maju sambil berkata:

“Houw Pah Ong, apa maksudmu membuat keributan di jalur terlarang ini”? Sambil berkata demikian, Jin Sim Todjin sudah melangkah mendekati area pertempuran. Dan sambil bicara tangannya sudah menyerang lengan cakar harimau Houw Pah Ong yang kini mulai mengancam tubuh murid-muridnya.

Murid-murid Bu Tong Pay begitu melihat salah seorang sesepuh mereka sudah mencampuri area pertempuran, segera mengundurkan diri. Termasuk salah seorang dari mereka yang baru saja terancam pukulan serius Houw Pah Ong. Begitu terselamatkan, orang itupun bersyukur, karena jika tidak, bisa dipastikan dia bakalan mengalami luka serius dibawah ancaman cakar harimau Houw Pah Ong.
Sementara itu, benturan antara Houw Pah Ong dengan Jin Sim Todjin tidak terhindarkan lagi : “Plakkkkkk ....”

Kali ini Houw Pah Ong menemukan tandingannya dan tidak bisa lagi ketawa-ketiwi atau cengengesan seperti sebelumnya. Karena dihadapannya kini adalah salah seorang tokoh Bu Tong Pay, Jin Sim Todjin, yang juga adalah salah seorang murid Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu. Dengan kekuatan Pik Lek Ciang, Jin Sim Todjin tidak takut membentur cakar harimau lawan, dan akibatnya cakar harimau itu yang kehilangan wibawa.

Tapi dasar dogol, Houw Pah Ong tidaklah terlampau perduli dengan keadaannya. Tidak perduli apakah dia menang atau kalah, selama belum tersakiti dan masih sanggup melakukan perlawanan, baginya dia sama sekali belum kalah. Meski demikian, dia tahu jika lawannya kali ini jauh lebih berisi. Terbukti dari cakar harimau yang digunakannya mampu diselewengkan oleh pukulan lawan yang kini berhadapan dengan dirinya.

“Hehehe, siapakah tuan? Hebat juga, engkau mampu memukul cakar harimauku sampai mencong kekanan”

Jin Sim Todjin yang sekali pandang sudah mengenal tokoh bernama Houw Pah Ong ini menjadi heran. Dia tahu sekali reputasi tokoh bukan hitam bukan putih ini, dan dia bertanya-tanya, siapa gerangan tokoh yang memanasi Houw Pah Ong ini hingga meluruk ke Bu Tong Pay? Sebab setahunya, tokoh seperti Houw Pah Ong gampang sekali dipanas-panasi orang. “Adakah hubungannya dengan daftar itu”? bertanya tanya Jin Sim Todjin dalam hatinya.

Sementara itu, si Dogol Houw Pah Ong melihat Jin Sim Todjin terdiam dan tidak mengeluarkan suara, sudah kembali berkata:

“Si manusia hijau mengatakan kalau melalui jalanan ini, akan cepat bertemu beberapa tokoh dalam daftar 10 besar Pendekar, apa benar begitu Pendeta”?

Pertanyaan ini menegaskan benarnya dugaan Jin Sim Todjin, sekaligus membuat Mei Lan kaget setengah mati. “Benar-benar berabe jika aku harus menghadapi gangguan tokoh-tokoh seperti Houw Pah Ong ini” pikirnya. Sementara itu, Jin Sim Todjin sambil memandang Houw Pah Ong dengan pandangan berkasihan telah berkata kembali:

“Houw Pah Ong, dengan mengambil jalanan ini, artinya engkau tidak menghormati Bu Tong Pay karena mengambil jalan menyusup secara diam-diam. Engkau bukan saja tidak menghormati Bu Tong Pay, malahan engkau dituntun manusia hijau itu untuk tersesat jauh ke hutan di belakangku dan membutuhkan waktu panjang untuk sampai ke Bu Tong Pay”

“Benarkah demikian, tapi si manusia hijau itu mengatakan kalau melalui jalur disini aku bisa bertemu tokoh-tokoh hebat di daftar 10 pendekar besar dan aku akan bisa mencoba kepandaian mereka”

“Kenalkah engkau dengan manusia hijau itu”?

“Tidak, hehehe”

“Bagaimana engkau percaya kalau omongannya itu benar”?

“Hehehe, iya juga”

“Aku adalah sesepuh Partay Bu Tong Pay dan memberitahumu, bahwa jalanan menuju Bu Tong Pay dimana mungkin engkau menemukan salah seorang tokoh di daftar itu, berada di pintu Barat, bukannya disini”

“Hehehe, apa benar begitu”? sambil bertanya begitu, tiba-tiba nampak pergerakan aneh dari si manusia dogol Houw Pah Ong. Dan setelah itu, sambil tertawa-tawa kemudian dia memandang Mei Lan sambil berkata:

“Bukankah dia juga ada di dalam daftar itu ... hehehe”, tetapi karena melihat Liang Mei Lan adalah seorang gadis yang masih muda, si Dogol menjadi ragu-ragu untuk menyerang. Dia menyangsikan bahwa gadis secantik dan semuda ini duduk dalam daftar 10 besar pendekar Tionggoan meski dia tahu ada beberapa nama perempuan dalam daftar itu.

Jin Sim Todjin terkejut. Tetapi, ketika melihat Houw Pah Ong berjalan mendekati sumoynya, dengan cepat dia menghadang sambil berkata:

“Sudah kujelaskan kepadamu secara baik-baik, mengapa tidak mencari jalan menuju Bu Tong Pay yang benar”?

Hanya saja, si Dogol yang melihat jalanannya dihadang orang, sudah dengan cepat menyerang lawan buat menyingkirkannya dari hadapannya. Dan dengan cepat kedua orang itu kembali saling menyerang dengan Jin Sim Todjin yang berusaha untuk menahan diri agar tidak menurunkan tangan keras.

Sementara itu Mei Lan telah menyadari sesuatu dengan cepat. Diapun mengirimkan suara jarak jauh kepada suhengnya:

“Ji Suheng, si manusia hijau yang bermaksud mengacau mengendalikan orang ini dari kejauhan. Barusan dia mengirimi kabar kepada Houw Pah Ong melalui ilmu penyampai suara dari jarak jauh. Uruslah manusia ini, biarlah kucari manusia pengacau itu” sambil berkata demikian Liang mei Lan telah berkelabat lenyap tanpa suara, Houw Pah Ong tidak tahu bahwa Mei Lan lenyap dari sekitar arena tersebut.

Pertarungan mereka berjalan terus, hanya jika Houw Pah Ong menyerang dengan penuh semangat, adalah Jin Sim Todjin yang meladeni dengan terus menahan diri. Dia sadar sedang berhadapan dengan orang yang rada dogol dan orang itu dimanfaatkan pihak lain untuk mengacaukan konsentrasi Bu Tong Pay. Karena itu, meskipun serangan lawan bertubi-tubi, tetap saja Jin Sim Todjin meladeninya dengan lebih banyak menahan diri.

Padahal Houw Pah Ong telah meningkatkan tenaga serangannya, dan kini cakar harimaunya menderu-deru mengincar banyak bagian tubuhnya. Pada saat itulah Jin Sim Todjin sadar, bahwa lawannya memang tidak bernama kosong dan benar memiliki tenaga kasar yang luar biasa kuat. Dia sendiri sadar bahwa menghadapi tenaga kasar sebesar itu, membutuhkan keuletan dan keseriusan jika tidak mau mengalami kecelakaan di tangan lawan. Karena itu, Jin Sim Todjin akhirnya kembali menggunakan Pik Lek Ciang, dan dengan jalan itu dia meladeni kekuatan lawan dengan lebih banyak memukulnya dari samping.

“Luar biasa, jika suhu tidak membimbingku beberapa bulan terakhir, akan sangat sulit mengatasi tokoh ini” dalam hatinya Jin Sim Todjin mengakui kehebatan lawannya. Terutama kekuatan tenaga luarnya yang hebat. Tapi kini, dengan Pik lek Ciang, dia tidak begitu khawatir lagi dengan membentur cakar lawan, meski tetap tidak menerimanya secara berhadapan, melainkan membenturnya dari samping hingga memunahkan kehebatan cakar harimau itu.

“Hehehe, kakek tua, engkau hebat juga” si Dogol malah semakin bersemangat, sambil memuji lawannya dia kembali menyerang. Hanya saja, kali ini Jin Sim Todjin telah menemukan cara yang tepat untuk melawannya. Karena selain mengerahkan Pik Lek Ciang, kinipun dia mulai memainkan Thai Kek Sin Kun yang membuatnya alot dalam bertahan dan secara perlahan menguras kekuatan tenaga luar lawan. Benar saja, semua pukulan membadai Houw Pah Ong jika tidak hanyut oleh tenaga lemas Jin Sim Todjin, pastilah rusak dibentur oleh Pik Lek Ciang dari samping, atau kadang malah Jin Sim Todjin membenturnya dari depan.

Si Dogol yang tidak mengetahui strategi lawan, terus menyerang secara menggebu-gebu. Sayang dia tidak mengetahui bahwa Jin Sim Todjin memang memberinya peluang melakukan seperti itu guna menundukkannya secara halus. Meskipun jika menyerang dengan ilmu-ilmu andalannya diapun bisa memenangkan pertempuran, tetapi adalah jauh lebih baik mengalahkan orang secara halus. Inilah sebabnya Jin Sim Todjin tidak banyak membalas serangan lawan.

Setelah bertarung beberapa lama, di arena itu telah kembali muncul Liang Mei Lan yang nampaknya tidak menemukan si manusia hijau. Karena khawatir dengan keadaan ji suhengnya, maka Liang Mei Lan sudah dengan cepat kembali ke arena pertempuran. Dan dia melihat bagaimana suhengnya meladeni si manusia dogol dengan gaya dan caranya sendiri. Meski gemas, tetapi Mei Lan memang sangat mengenal ji suhengnya. Tokoh Bu Tong Pay yang saleh, yang rada-rada alim dan penyayang orang itu.

Sementara itu, Houw Pah Ong telah tiba di puncak penggunaan ilmunya dengan menggunakan jurus Hek*houw-phok-thouw (Macan Hitam Menubruk Kelinci). Tubuhnya yang tinggi besar memang tepat diibaratkan sebagai HARIMAU HITAM atau MACAN HITAM, dan kedua cakarnya bagaikan sedang menerjang kelinci untuk dijadikan makanan. Tetapi, sayangnya Jin Sim Todjin bukanlah mangsa empuk baginya, sebaliknya justru dia yang sedang mengincar si harimau dogol itu untuk ditaklukkan dengan kelemasan tenaganya.

Dengan gaya khas yang lentur dalam jurus Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), Jin Sim Todjin mengerahkan nyaris tiga perempat bagian iweekangnya. Dibutuhkannya untuk melibas serangan lawan, sambil kemudian melontarkannya dengan menggunakan kekuatan lawan yang dikerahkan guna menyerangnya. Dia paham, bahwa Houw Pah Ong telah banyak menguras tenaga, dan telah diperhitungkannya dengan baik, bahwa dengan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dia akan mampu dan bisa melontarkan tubuh Houw Pah Ong ke belakang. Dan itulah yang dilakukannya.

Benar saja, ketika kedua cakar yang menderu kencang itu menerjang datang, dengan gesit dan sebat Jin Sim Todjin memapaknya dari samping sambil menggeser tubuh dalam kecepatan tinggi. Selanjutnya dia melibas tubuh lawannya dan membuat si Dogol berkurang banyak tenaga luarnya, dari samping, dia berhasil melibas kekuatan lawan dan dengan tenaga dalamnya dia mampu melontarkan tubuh si dogol ke belakang. Untungnya Jin Sim Todjin memang tidak berniat melukai lawannya, jika tidak tubuh si Dogol pastilah sudah terluka parah.

Dasar dogol, dia sama sekali tidak merasa jika lawan sudah mengalahkan dan mengampuninya. Dari seharusnya menerima kekalahan, justru si Dogol menjadi marah. Ketika sadar dari pening akibat terlempar, dia menemukan bahwa orang terdekatnya adalah Mei Lan. Repotnya, dia tidak mampu membedakan mana Mei Lan dan mana Jin Sim Todjin karena kepalanya masih berkunang-kunang. Sambil menggeram dia menyerang Liang Mei Lan yang dalam pandangannya sama saja dengan orang lain, yakni manusia, tanpa sanggup membedakannya perempuan ataukah laki-laki.

Serangannya yang membuta mengenai sasaran dengan telak: “Dukkkkkkk”, tetapi selain karena tenaganya sudah banyak berkurang karena kelelahan – diapun memang berjarak jauh dengan kemampuan Mei Lan. Karena itu, serangannya dengan sepenuh tenaga membentur Mei Lan yang telah melindungi dirinya dengan kekuatannya. Pukulan si Dogol bagai melekat, meskipun tidak sampai mengenai perut Mei Lan. Tetapi tangannya tak sanggup lagi bergerak karena dilibas oleh kekuatan lemas yang bagaikah melolohi segenap kekuatannya hingga akhirnya dia tersungkur lemas dihadapan Mei Lan.

Mengikuti teladan ji suhengnya, Mei Lan tidak ingin menurunkan tangan kejam kepada Houw Pah Ong, melainkan mempercepat proses mengurangi tenaga si Dogol sebagaimana yang dilakukan ji suhengnya. Dan karena kekuatannya memang jauh melampaui ji suhengnya, tidak lama kemudian Houw Pah Ong kehabisan tenaga dan tersungkur lemas. Tetapi, karena hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, Houw Pah Ong dengan cepat menemukan kesadarannya. Dan seperti biasanya, jika sudah dalam keadaan demikian, maka si Dogol pastilah akan takluk dan mengakui kekahalannya.

Dan benar saja. Hanya, begitu menemukan bahwa yang ternyata menguras tenaganya adalah sang Dara yang tercantum dalam daftar 10 jago top Tionggoan, si Dogol termangu-mangu:

“Waaaaaaaaaah, ternyata engkau memang hebat ...” Houw Pah Ong mencoba untuk berdiri. Tenaganya mencukupi untuk sekedar berdiri, tetapi tidak mencukupi untuk menyerang atau bertarung lagi.

“Engkau memiliki tenaga luar yang hebat Houw Pah Ong” puji Mei Lan tulus. Pujian yang membuat si Dogol terhenyak, dan setelah dipandanginya sekian lama wajah Mei Lan, wajahnya tiba-tiba nampak sedih. Mei Lan sama sekali tidak marah dipandangi si Dogol, karena nampak jelas kalau pandangan matanya tidak mengandung sinar berahi, tetapi memandangnya secara aneh. Pandang mata yang menyejukkan dan dibarengi dengan perasaan sedih seorang laki-laki. Mei Lan sebaliknya merasa terharu.

Dan episode ini yang kemudian membawa hubungan dekat antara kedua anak manusia itu. Sejak hari itu, si Dogol Houw Pah Ong telah menyatakan diri mengikuti si Dara Sakti Liang Mei Lan. Bukan sebagai murid Bu Tong Pay, tetapi sebagai pelayan Liang Mei Lan. Mengapa?

==================

Di bagian lain mengarah ke Bu Tong San, nampak seorang Nenek yang sudah agak tua, mungkin sudah berusia sekitar 80-tahunan. Meski terlihat berjalan secara perlahan, tetapi jarak yang ditempuhnya sama dengan orang yang berlari sangat cepat. Dia memang menyusuri jalanan umum, tetapi Nenek ini selalu mengambil jalur di tepian jalanan tersebut. Dia mengambil jalur tepian atau malahan agak kedalam hutan. Sepertinya Nenek ini tidak ingin jejaknya diketahui orang banyak. Itulah sebabnya dia berkeputusan mengambil jalur tidak biasa. Tetapi, begitupun di jalur tidak umum itu, si Nenek seperti tidak mengalami kesukaran untuk berjalan atau berlari dengan cepat.

Dan setelah berlari dan berjalan sekian lama, pada akhirnya si Nenek menemukan sebuah petunjuk. Sebuah papan yang dilekatkan pada sebatang pohon, meski berjarak hampir 100 meter dari tempatnya berdiri masih bisa dibacanya. “MEMASUKI WILAYAH BU TONG PAY”. Si Nenek yang memang sangaja mengambil jalur yang rada “tidak biasa” nampaknya menghindari banyak para pengguna jalan umum yang juga mengambil arah yang sama.

Di balik papan petunjuk “Memasuki Wilayah Bu Tong Pay” terdapat sebuah jalan yang nampaknya menjadi jalan utama menuju ke Bu Tong Pay. Terbukti dari jalur itu tertata rapih, jalanan selebar sekitar 2 meteran dan di samping kiri dan kanannya ditanami dengan tanaman khas pegunungan Bu Tong. Itulah jalur utama menuju Bu Tong San, dan nenek ini bersiap memasuki atau mengambil jalur itu. Tetapi, si nenek menunggu sampai beberapa orang berjalan masuk menyusur jalanan itu baru dia memutuskan untuk menyusul.

Hari sudah mulai menjelang malam hari, sore hari mulai menjelang pergi guna menjemput kegelapan malam. Itulah sebabnya, pendatang-pendatang yang memasuki jalur utama dengan cepat pergi dan kemudian tak terlihat lagi. Maka si Nenek mengambil keputusan untuk bergerak mengarah ke jalur utama itu. Tetapi, telinganya yang tajam tiba-tiba menangkap kesiur angin yang sangat halus, tanda seorang yang mengerahkan ginkang sedang bergerak mendekat.

Benar saja, seseorang bergerak tiba dengan kesiur angin yang sangat halus nyaris susah ditangkap telinga manusia biasa. Dan orang itu bergerak dengan pesat sampai berjarak 50 meteran dari papan petunjuk batas wilayah, untuk kemudian dengan cepat membelok ke-kiri. Larinya begitu pesat tanda seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi mengapa melalui jalur samping? Sungguh sebuah tindakan yang mencurigakan. Otomatis si nenek menjadi sangat tertarik, meskipun bekum muncul niatnya untuk membuntuti. Sebaliknya, si Nenek memutuskan untuk mengambil jalur umum dengan tidak menghiraukan orang yang mendahuluinya barusan dengan mengambil jalur “tidak baisa”.

Tetapi, belum lagi si Nenek bergerak, telinganya yang tajam kembali menangkap sesuatu yang aneh, yakni kesiur angin orang berlari, tetapi yang jauh lebih halus lagi. Bahkan orang berilmu tinggipun belum tentu akan sanggup mendengarnya. “Hmmm, jika aku telah bergerak sebelumnya, belum tentu sanggup menangkap kesiur angin orang berlari itu” si Nenek dalam hatinya. Dan benar saja, tiba-tiba dua sosok bayangan kembali berkelabat, jauh lebih pesat dan bagai tidak menginjak bumi. Hanya saja, sama dengan bayangan pertama, kedua bayangan itu mengambil arah ke-kiri dan bukannya melalui jalur utama.

Tetapi yang kemudian membuat si Nenek tertegun adalah, ketiga bayangan tersebut sama-sama menggunakan “JUBAH HIJAU”. Dan, jika seperginya bayangan pertama belum menimbulkan niatnya untuk membuntuti, maka melihat kenyataan bahwa mereka menggunakan jubah dan “kedok hijau” membuat niatnya untuk membuntuti menjadi besar. “Sesuatu yang aneh dan pastinya akan merugikan Bu Tong Pay nampaknya bakalan terjadi” demikian si Nenek berpikir dan pada akhirnya telah memutuskan untuk membuntuti orang-orang berjubah dan berkedok hijau itu. Hanya, dia menunggu beberapa saat, khawatir tiba-tiba masih ada lagi tokoh berjubah hijau lainnya yang menyusul.

Tetapi, setelah menunggu beberapa saat dan menggunakan daya dengar jarak jauh dengan ilmu sejenis thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata), segera dia tahu jika penyelundup itu hanya berjumlah 3 orang. Maka secara hati-hati, diapun membuntuti ketiga orang berjubah hijau yang telah berjalan terlebih dahulu daripadanya. Dengan terus berhati-hati dan mengerahkan ilmunya, Nenek itu terus berjalan maju dengan mengikuti arah dan jalur yang diambil ketiga manusia berkedok dan berjubah hiau itu.

Ada kurang lebih setengah jam dia membuntuti ketiga orang berjubah hijau itu, sampai akhirnya dia mendengarkan bentakan-bentakan tanda sedang terjadi pertempuran. Padahal daerah itu masih daerah yang berhutan lebat, tetapi jika di pandangi lebih jauh, memang area itu merupakan area yang tepat untuk mendaki ke Bu Tong San dari arah utara. Meskipun medannya terlihat teramat sulit untuk dilalui dan dilewati – tetapi tetap saja area itu menjadi pilihan baik bagi mereka yang ingin menyelundup masuk.

Dari kejauhan, si Nenek menyaksikan seorang berjubah hijau yang sedang dalam kepungan 7 orang murid Bu Tong Pay. Namun, gerakannya demikian indah dan ringan, sehingga kepungan itu tidaklah berarti banyak baginya. Tetapi, si Nenek tidak menemukan kedua manusia berjubah hijau lainnya. “Kemana mereka?” tanya si Nenek dalam hati. Si Nenek telah mendengarkan keperwiraan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan dan Bu Tong Pay, karena itu secara otomatis dia telah berpihak kepada Bu Tong Pay.

Tiba-tiba terdengar suara ramai dari arena pertempuran, dan bahkan kemudian disusul dengan suara keluhan:

“Aaaaaauuuuucccccggghhhhhh” tanda bahwa ada korban. Benar, dua orang dari 7 murid Bu Tong Pay telah menjadi korban dari si jubah hijau. Tetapi, ketika yang sama, tiba-tiba berkelabat sesosok tubuh dengan kecepatan tinggi, yang langsung menyambut serangan maut si jubah hijau ke arah murid yang lainnya:

“Srrrrrrtttttttt, cuasssssss ....”

Terjadi benturan yang cukup hebat antara si pendatang dari pihak Bu Tong Pay dengan si Jubah Hijau. Sebuah benturan yang mengejutkan bagi kedua pihak karena menyadari bahwa lawan ternyata tidaklah ringan. Terlebih bagi si Jubah Hijau. Dia menyadari jika lawan yang datang nampaknya bukan lawan ringan karena mampu menolak dan menetralisasi kemampuan serangan jari tangannya yang biasanya sangat ampuh. Sebaliknya si pendatang sudah berseru:

“Hmmmm, Tam Ci Sin Thong. Engkau rupanya yang membunuh beberapa anak murid Bu Tong Pay sehari sebelumnya”

“Hahaha, hebat, hebat. Sian Eng Cu, kepandaianmu rupanya telah meningkat demikian hebat akhir-akhir ini, sungguh mengagumkan” desis si Jubah Hijau, yang rupanya sudah saling mengenal dengan Sian Eng Cu Tayhiap, murid ketiga dari Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu.

“Hmmm, tidak di Thian Liong Pang, ternyata dimana saja engkau pergi dan berada selalu menghadirkan kekisruhan. Sayang engkau tidak ikut tertumpas di markas besar Thian Liong Pang” Sian Eng Cu Tayhiap sendiri ternyata telah mengenal tokoh dibalik jubah hijau tersebut.

Sementara itu, si Nenek telah mendatangi arena lebih dekat lagi. Itu disebabkan dia telah dapat menjangkau dimana persembunyian kedua tokoh berjubah hijau lainnya yang malah kehebatannya masih melebihi tokoh pertama yang kini sedang berhadapan dengan Sian Eng Cu Tayhiap. Kedua tokoh lainnya ternyata tidak berada jauh dari arena, dan khawatir keduanya main gila, si Nenek kemudian bergerak mendekati arena. Dan sudah bisa dipastikan, jika kedua tokoh itupun sudah mencium jejaknya.

Sementara itu, Sian Eng Cu Tayhiap telah terlibat pertempuran dengan si jubah hijau. Tidak tanggung-tanggung, kedua orang yang sudah saling kenal ini langsung terlibat perkelahian hebat. Sian Eng Cu telah memainkan ilmu kebanggaannya, yakni Pik Lek Ciang dan Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa). Kedua tangannya menjadi sekeras baja, semenntara gerakannya demikian cepat dan bagaikan bayangan bergerak. Sulitlah bagi lawan biasa untuk mengikuti pergerakannya saat itu. Sebaliknya, lawannya telah mengembangkan kedua ilmu saktinya, Hong Ping Ciang dan Tam Ci Sin Thong.

Hanya saja, Sian Eng Cu Tayhiap yang sekarang ini, telah maju jauh dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Menjelang akhir kehidupan gurunya, bukan saja telah mengajarnya dengan ilmu pamungkas Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), yang sebelumnya hanya dikuasai Mei Lan; tetapi juga telah menyempurnakan Bu Tong Kiam Hoat, Bu Tong Kun Hoat, serta ilmu pusaka Bu Tong Pay lainnya. Belum lagi dengan warisan tenaga dalam gurunya di penghujung usia gurunya itu. Sian Eng Cu yang sekarang bagaikan harimau tumbuh sayap.

Karena itu, si jubah hijau menjadi sangat terkejut. Dia bukan saja menemui Sian Eng Cu yang lebih cepat, tetapi juga lebih kuat berlipat-lipat dari pertemuan mereka yang terakhir. Dia tidak sanggup lagi mengimbangi kecepatan dan kekuatan lawan, dan dalam waktu singkat Hong Ping Ciang dan Tam Ci Sin Thong yang hebat sajalah yang membuatnya masih bertahan. Tetapi yang pasti, varian ilmunya sudah sulit menandingi Sian Eng Cu yang kekuatannya sudah berlipat-lipat dibandingkan dengan keadaannya beberapa bulan sebelumnya. Padahal, diapun sudah dilatih oleh beberapa tokoh hebat lainnya.

Bahkan ketika dia mengerahkan Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit), sebuah ilmu rahasia andalannya, dia tak mampu menang. Tidak mampu mendorong tubuh Sian Eng Cu, tetapi dia tetap tergetar, sementara lawannya tetap mencecar dengan ilmu-ilmu sebelumnya. Dia penasaran karena dalam waktu singkat sudah jatuh terdesak hebat dibawah angin serangan lawannya yang memainkan ilmu-ilmu khasnya Sian Eng Sin Kun dan Pik Lek Ciang. Tidak perlu disangsikan, dalam waktu yang tidak akan lama dia pasti jatuh oleh serangan lawannya yang terus menerus mencecarnya dalam kecepatan tinggi dan dengan kekuatan membahana.

Untungnya, pertolongan baginya segera datang, pada saat dia dalam keadaan yang sangat terdesak. Ketika Sian Eng Cu kembali menyerangnya dengan kecepatan tinggi dengan menggunakan gerakan istimewa Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) dan posisinya sudah salah langkah, tiba-tiba berkelabatlah sesosok bayangan menyerbu masuk ke gelanggang. Tapi, bukan, bukan hanya sesosok bayangan, melainkan ternyata ada 2 sosok bayangan.

Bayangan pertama menyerang Sian Eng Cu buat menyelamatkan si jubah hijau, dan bayangan kedua menyerang si pendatang baru yang juga sama berjubah hijau dengan orang yang akan ditolongnya. Ternyata kedua bayangan yang meluruk masuk arena memiliki niat yang berbeda, niat menolong orang yang berbeda dan karena itu, akhir dari benturan jadi berbeda.

Menyadari ada serangan yang ditujukan kepadanya, Sian Eng Cu telah mengatur tenaganya sedemikian rupa guna memapak serangan musuh. Dan secara otomatis, lawannya si jubah hijau, Bouw Lek Couwsu terlepas dari ancaman pukulannya. Diapun selamat. Sementara itu, melihat ada bayangan lain yang menolongnya, Sian Eng Cu terkejut, tetapi lengannya tetap berbenturan dengan penyerangnya, dan akibatnya dia terdorong satu langkah ke belakang. Untungnya si jubah hijau pertama, bouw Lek Couwsu sudah sedang melompat mundur ke belakang menyeleamatkan diri. Karena itu Bouw Lek Couwsu tidak berkesempatan menyerang Sian Eng Cu yang terdorong akibat benturan tadi.

Sementara si jubah hijau yang satunya lagi yang bertindak menyerang Sian Eng Cu, mendapati betapa kuatnya angin serangan dari si Nenek. Dia menjadi sangat terkejut karena tahu bahwa tenaga serangan si Nenek ternyata sangat membahayakan dirinya. Terlebih, dia sadar bahwa kekuatan si nenek ternyata tidak berada di sebelah bawah kemampuannya. Sementara dia telah sempat melepas serangan kepada Sian Eng Cu, untungnya serangan itu telah dikurangi kekuatannya. Dan akibat benturan itu adalah:

“Dukkkkk, dukkkk” dua kali terjadi benturan. Benturan pertama dengan Sian Eng Cu yang membuat Sian Eng Cu mundur satu langkah ke belakang. Benturan kedua adalah ketika si jubah hijau berbenturan dengan si Nenek dan menyebabkan dia terdorong sampai tiga-empat langkah ke belakang. Sementara si Nenek sama sekali tidak goyah dan apalagi terdorong ke belakang, menandakan betapa hebatnya Nenek tersebut.

Siapakah gerangan Nenek yang hebat itu? Dialah Toa Suci atau orang pertama dari Thian San Giokli, sesepuh atau Hu Hoat dari Lembah Salju Bernyanyi. Tokoh yang sedang memburu Toh Ling, murid pewaris Thian Tee Siang Mo yang telah membunuh kedua adik seperguruannya. Sementara si jubah hijau pertama yang bertarung dengan Sian Eng Cu tidak lain adalah Bouw Lek Couwsu, si pelarian dari Tibet dan menguasai Tam Ci Sin Thong dan beberapa ilmu Budha sejenis dengan yang ada di Siauw Lim Sie. Tokoh ini memang sudah lama bergabung dengan Thian Liong Pang yang sudah dibubarkan itu.

Pertempuran terhenti sejenak. Si jubah hijau yang baru datang dan berbenturan dengan si Nenek telah memandang takjub dan nyaris tidak percaya. Hanya, beberapa saat kemudian dia menjadi sadar dengan siapa dia berhadapan dan pada akhirnya diapun telah berkata ditujukan kepada si nenek:

“Engkau tentu Thian San Giokli dari Lembah Salju Bernyanyi” tegurnya.

“Hmmm, dimana-mana kalian menggunakan jubah dan kedok hijau untuk membuat kekacauan. Tak nyana disinipun kalian berniat sama” anteng saja si nenek menyahuti sambil menegur lawannya.

Sementara itu, Bouw Lek Couwsu dan Sian Eng Cu terkejut mendengar bahwa Nenek yang datang itu ternyata adalah Thian San Giokli yang dalam waktu singkat menjadi begitu terkenal. Bahkan menjadi tokoh di peringkat kedua dalam daftar 10 pendekar top Tionggoan. Karena itu, Sian Eng Cu telah menjura sambil berkata:

“Terima kasih atas bantuan locianpwee”, dan Nenek Sakti berpakaian putih itu mengangguk ramah kepada Sian Eng Cu yang menjadi bersimpati melihat si nenek yang berwatak perwira.

“Hahahaha, engkau keliru jika menduga kami takut kepadamu Thian San Giokli. Coba engkau sambut seranganku” seru si jubah Hijau sambil mengerahkan sebagian besar kekuatannya dalam serangannya itu.

Tetapi si Nenek juga tidak tinggal diam. Dengan tenang dikerahkannya Swat Im Kang kedalam tangannya dan dijulurkan menyambut serangan lawan. Dan terdengar suara benturan:

“Dukkkkk ....” si jubah hijau terdorong setengah langkah ke belakang dengan tubuh sedikit terpengrauh hawa dingin, sementara si nenek hanya bergoyang-goyang sedikit di tempatnya dan tidak sampai terdorong bergeser. Keadaan ini telah menegaskan siapa mengatasi siapa. Dan nampaknya si jubah hijau juga sadar jika nenek dihadapannya bukanlah lawan ringan. Seorang diri belum tentu dia menang, tetapi untuk misi malam ini, dia masih ditemani seorang yang lain, dan orang itu juga bukanlah orang sembarangan. Benar saja, tiba-tiba sesosok bayangan, juga berjubah hijau telah memasuki arena dan langsung menyerang si Nenek.

Kembali terjadi benturan ketika si Nenek menyambut serangan si jubah hijau yang satunya lagi:

“Dukkkkkk .....” dan seperti tadi, si jubah hijau terdorong mundur sementara si Nenek hanya bergoyang-goyang di tempat. Tetapi, belum lagi dia kokoh berdiri, dia telah diserang si jubah hijau yang satunya lagi, maka bertempurlah keduanya dalam libasan ilmu-ilmu yang istimewa. Menyusul kemudiansi jubah hijau satunya lagi ikut masuk arena dan mengeroyok si Nenek sakti itu.

Sian Eng Cu yang melihat keadaan yang tidak adil itu telah mencoba melerai tetapi sudah diserang oleh Bouw Lek Couwsu. Pada akhirnya terjadilah pertempuran hebat di tempat itu dengan terbagi menjadi dua arena. Di arena pertama Sian Eng Cu yang bertarung hebat untuk cepat mengalahkan lawan guna menolong si Nenek. Dan arena lainnya adalah Nenek Thian San Giokli yang dikeroyok dua tokoh hebat berjubah hijau. Hebat pertarungan tersebut, terutama antara ketiga tokoh hebat yang bertanding dengan ilmu-ilmu berat.

Tetapi sayang, meski telah menggunakan Pek In Swat Kang dipadukan dengan Swat Im Sinkang dan mengakibatkan suasana sekitarnya menjadi sangat dingin, tetapi kedua lawannya adalah lawan-lawan yang nyaris seimbang dengan kemampuannya. Melawan salah seorang dari keduanya, Thian San Giokli masih menang seusap, tetapi jika keduanya maju bersama, maka sulit baginya untuk meraih kemenangan. Justru sebaliknya, lama-kelamaan dia menjadi terdesak oleh libasan kedua lawannya yang juga maha hebat itu.

Sian Eng Cu menyadari hal itu. Karenanya, dia kembali menyerang Bouw Lek Couwsu dan berkeras menyerang dengan ilmu-ilmu mautnya. Hanya saja, Bouw Lek Couwsu yang sadar dengan kelebihan lawan, telah bertempur dengan jalan “hit and run” alias pukul lalu lari. Dia tidak bertempur sebagaimana mestinya, tetapi lebih banyak menghindar, menghindar dan menghindar. Mungkin hanya sesekali dia membalas menyerang.

Akibatnya, sulit bagi Sian Eng Cu menyelesaikan pertarungannya dengan Bouw Lek Couwsu. Sementara itu, si Nenek Thian San Giokli telah mulai kewalahan karena kedua lawannya telah menyerang dengan pukulan-pukulan istimewa. Jika dicecar dengan cara tersebut, maka lama kelamaan dia bakal kehabisan tenaga, sementara lawan-lawannya menggilirnya dengan pukulan hebat. Karena itu, dia mencoba mencari cara untuk menghindari benturan dengan mengandalkan ilmu silatnya.

Kedua lawannya bukan orang bodoh. Mereka sadar jika mereka mampu memenangkan pertarungan melalui adu kekuatan secara bergilir. Tetapi, menggunakan ilmu silatpun mereka mampu menang, tetapi dengan waktu yang lebih lama. Hanya saja, kegesitan si Nenek menyulitkan mereka untuk mendesaknya terlebih jauh. Karena itu, pada akhirnya keduanya bersiasat: si jubah hijau yang satu meladeni si Nenek, sementara yang satu lagi menyiapkan pukulan jarak jauh ketika si Nenek membentur pukulan kawannya.

Begitulah akhirnya siasat cerdik mereka. Meskipun hebat, Thian San Giokli tetap harus menukar jurus ketika berbenturan dengan lawan. Dan sudah dua kali dia menerima kerugian atas siasat cerdik dan licik kedua lawannya yang memang nyaris seimbang dengan dirinya. Lama kelamaan, hal tersebut akan merugikan dan membuatnya terluka. Tetapi, ketenangan si Nenek memang patut dipuji. Dalam kondisi seperti itu, dia tidak menjadi panik, dan tetap menyerang si jubah hijau lawannya dengan kehebatan yang tidak berkurang.

Hanya, setelah lima kali terjadi adu kekuatan ketika menukar jurus, si nenek mulai merasa agak berat. Dia berpikir menukar ilmunya dengan ilmu pamungkas, tetapi jika demikian, menghadapi 2 lawan hebat, dia tetap akan dalam posisi dirugikan. “Benar-benar serba salah” pikir si Nenek bersiasat. Hebat, dia masih tetap tenang dalam kondisinya yang repot. Apalagi, tiba-tiba karena sedikit lalai tadi, dia sudah harus memapak pukulan si jubah hijau yang menyerangnya dengan kekuatan penuh. Terburu-buru si Nenek terpaksa harus menangkis:

Tetapi pada posisi seperti itu, tiba-tiba berkelabat sesosok bayangan lain. Sama hijau dengan ketiga pendatang berkedok, cuma bedanya dia sama sekali tidak berkedok dan kecepatannya luar biasa. Hanya si Nenek yang masih sempat secara sekilas mengenali si penolongnya yang memapak serangan lawan dengan kekuatan penuh. Didahului dengan suara teguran dalam suara yang dingin menggiriskan:

“Orang-orang tidak tahu diri .....” dan terjadilah benturan dahsyat:

“Dukkkkkk .......” dan hebat kesudahannya. Si jubah hijau yang menyerang si Nenek terdorong sampai 4-5 langkah ke belakang, sementara orang yang menyambut serangannya sudah kembali berkelabat menghilang. Hanya, Thian San Giokli seorang yang sempat melihat secara samar seorang anak muda berjubah hijau yang datang dengan kecepatan tinggi, menolongnya dan kemudian berkelabat pergi dengan kecepatan yang tidak berkurang. (Bersambung)
 
updet updet updet ah ,,,, aduh bersukur deh nih lepi dah beres walau harus lembur ga tidur buat beresin lepi .....
 
Bimabet
BAB 3 Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
1 Sudah Jatuh Tertimpa Tangga


Melihat pihak lawan memperoleh bantuan tokoh yang lebih lihay lagi, pihak jubah hijau menjadi terkejut dan menyadari bahwa upaya mereka “menyusup” sudah gagal. Apalagi ketika kemudian terdengar sebuah suara mengaung yang jelas dilepaskan dengan pengerahan tenaga yang luar biasa:

“Jika kalian terus memaksa, jangan salahkan jika kuturunkan tangan keras. Sampaikan kepada Lamkiong Sek – permainan busuknya memuakkan. Tetapi akan kami ladeni hingga tuntas .....”

Suara tersebut seperti mengambang, tetapi terdengar jelas di telinga semua orang yang berada di arena. Mendengar kalimat itu, ketiga manusia berjubah hijau terdiam dan kaget karena ternyata pemilik suara itu telah mampu mengenali mereka. Tetapi, betapapun manusia-manusia berjubah hijau itu bukanlah anak kemarin sore. Terdengar salah seorang dari yang mengeroyok Thian San Giokli telah berkata:

“Siapa gerangan tuan ....”?

“Siapa aku bukan masalah. Yang terpenting aku mengenali apa yang akan dan sedang kalian kerjakan. Berusaha mengacaukan dan memporak-porandakan kaum persilatan Tionggoan untuk membalas sakit hati kalian karena pembubaran Thian Liong Pang. Pergilah dan kabarkan kepada Lamkiong Sek, Naga Pattinam dan semua kelompoknya, bahwa kami selalu siap untuk menghadapi kalian semua. Termasuk guna menghentikan omong kosong daftar pendekar di Tionggoan yang kalian ciptakan guna melahirkan huru-haru itu”

Suara itu mengambang dan tidak ketahuan darimana asalnya. Bahkan asal usul serta usia si pengeluar suara tidak akan dapat diidentifikasi dari suara itu sendiri. Hanya Thian San Giokli yang memiliki keyakinan bahwa penolongnya tadi yang mengeluarkan suara tersebut. Hal ini diyakininya dari ketika benturan pukulan manusia hijau tadi. Jika dia paling banyak mampu mendorong mereka sampai 2 langkah, tetapi manusia yang sekilas dilihatnya masih muda tadi, mampu mendorong manusia berjubah hijau lawannya tadi hingga 3-4 langkah. Dari situ dia sanggup mengukur kemampuan orang itu, yang diyakininya bahkan masih seusap di atas kemampuannya sendiri.

“Hmmmm, bagaimanapun tuan tidak bisa membuat kami mundur dengan cara demikian. Tunjukkan diri tuan dan kita selesaikan urusan dengan kepandaian” kembali si manusia hijau yang berbicara tadi menantang, selain menjaga gengsi betapapun dia memang salah satu jago andalan pihak jubah hijau.

“Baik, terimalah .....”

Bersamaan dengan kalimat itu, meluncurlah 2 jalur tenaga yang mengeluarkan sinar bekilat dari balik pepohonan yang rindang di sebelah dalam hutan. Kedua jalur tenaga tersebut meluncur dengan tidak mengeluarkan suara tetapi langsung menuju kearah si manusia hijau yang mengeluarkan tantangan tadi. Karena diberitahu terlebih dahulu, maka si manusia hijau masih sempat mempersiapkan dirinya dan memapak serangan tersebut dengan sepenuh tenaganya.

Tetapi,, alangkah terkejutnya si manusia hijau ketika tenaga dorongannya bagaikan terhempas di lautan luas tak bertepi, sementara gelombang serangan lawan tetap maju dengan kecepatan tinggi ke arah dirinya. Dengan tak berayal lagi dia segera membuang diri kesamping. Tetapi bukan main terkejutnya dia, di belakangnya sama sekali tidak menimbulkan suara atau akibat apapun, bagai tiada sedikitpun arus tenaga serangan yang melewatinya. “Bagaimana mungkin”? si manusia hijau jadi bergidik membayangkannya.

Melihat kemampuan tersebut, si manusia hijau sadar, bahwa lawan memang berbahaya dan berat. Karena itu setelah memandang kedua kawannya, diapun kemudian berkata:

“Baiklah tuan, pengajaran dan teguran serta tantanganmu akan kami sampaikan”

Dan setelah itu, dia mengerling ke arah kawan-kawannya untuk kemudian berkelabat meninggalkan arena tersebut. Sian Eng Cu yang merasa dendam dengan Bouw Lek Couwsu yang telah membunuh 4 anak murid Bu Tong Pay mencoba menahan. Tetapi tiba-tiba telinganya mendengarkan suara:

“Biarkan mereka pergi, jauh lebih penting menimbang dan mencermati situasi di Bu Tong Pay saat ini. Jika aku tidak keliru, bakal ada gangguan lebih hebat akan atau mungkin sedang terjadi”

Sian Eng Cu yang telah melihat bagaimana si pemilik suara menggebah pergi ketiga manusia hijau, percaya dengan apa yang diucapkan. Dia sendiri merasa sudah terlampau lama meninggalkan kuil Bu Tong Pay dan melakukan pengamatan ke banyak lini penjagaan murid Bu Tong Pay. Dan rasanya sudah waktunya kembali ke kuil Bu Tong Pay. Maka diapun sambil menjura berkata:

“Terima kasih atas bantuan tuan yang mulia” tetapi tidak sedikitpun terdengar lagi suara dari tuan penolongnya malam itu. Karenanya, Sian Eng Cu kemudian menghadap Thian San Giokli dan mengucapkan terima kasih atas bantuan si Nenek Sakti dari Lembah Salju Bernyanyi:

“Thian San Giokli, terima kasih atas bantuanmu, tanpa campur tanganmu nampaknya sulit penjagaan disini menahan mereka”

“Ach itu bukan urusan besar. Kebetulan belaka mendengar banyak orang melayat ke Bu Tong Pay, maka kuputuskan untuk ikut melayat atas nama Lembah Salju Bernyanyi. Tapi, maafkan jika aku tidak ingin menampakkan diri secara terang-terangan dan mohon untuk bisa memberi penghormatan secara langsung kepada jasad Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan”

“Baiklah, menilik nama dan wibawa Thian San Giokli, marilah mengikuti aku untuk memberikan penghormatan terakhir kepada suhu. Kami pihak Bu Tong Pay juga menyediakan tempat-tempat penginapan khusus untuk tokoh-tokoh yang tidak mau diganggu. Jika berkenan, marilah naik bersamaku ke Bu Tong San”

“Baiklah, terima kasih jika demikian”

Maka dengan dikawani dan dituntun Sian Eng Cu, Nenek Thian San Gioklipun berangkat langsung ke Bu Tong Pay. Sementara tokoh yang membantu mereka tadi sudah tidak ketahuan kemana perginya.

==================

Benarkah sedang terjadi sesuatu di Bu Tong Pay? Mari kita menengok ke atas. Kejadian di dua pintu masuk utara dan timur, sebetulnya terjadi nyaris secara bersamaan dan nampak memang diatur secara demikian. Hanya saja, mereka tidak memperhitungkan kehadiran Thian San Giokli dan seorang pendatang lain yang sangat luar biasa itu. Ketika sedang terjadi pertempuran di sana, kejadian lain yang lebih berbahaya ternyata terjadi di kuil Bu Tong Pay. Hal yang di luar perkiraan Liang Mei Lan dan semua tokoh Bu Tong Pay yang bahkan telah ditemani oleh Pendekar Kembar dari Siauw Lim Siew – Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.

Hari itu adalah hari kelima, menjelang malam. Dan direncanakan, upacara duka dan penghormatan terakhir kepada Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan akan dilakukan pada keesokan harinya. Itulah sebabnya menjelang malam, banyak sekali tokoh-tokoh ternama, terutama yang berasal dari jauh yang memasuki Bu Tong Pay. Termasuk tokoh-tokoh sahabat seperti Kay Pang yang diwakili oleh Pengemis Tawa Gila (Hu Pangcu Bagian Luar), Ciu Sian Sin Kay (Pengemis Sakti Dewa Arak) – murid pertama Kiong Siang Han yang juga telah menjadi salah seorang Hu Hoat Kaypang, Ceng Fang Guan – Lan Bun Sin Kay (Pengemis Sakti Pintu Selatan) juga seorang Hu-Hoat Kaypang, serta Liang Tek Hoat – murid terakhir Kiong Siang Han. Bersama mereka adalah tokoh-tokoh Kaypang terdekat dengan Bu Tong San, yang kemudian dititipkan kepada Bu Tong Pay guna ikut menjaga keamanan di Kuil itu.

Tokoh-tokoh Kaypang ini diberikan tempat terhormat, karena memang merupakan salah satu perkumpulan yang memiliki hubungan sangat erat dengan Bu Tong Pay. Bahkan Liang Tek Hoat sudah bergabung dengan Souw Kwi Beng untuk membantu menjaga tempat persemayaman jenasah Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan setelah menemui Kwee Siang Le Sin Ciang Tayhiap yang tentu saja mengenal kakak dari siauw sumoynya itu.

Tidak lama setelah kedatangan Kaypang, juga tiba nyaris secara bersamaan rombongan dari Bengkauw yang terdiri dari Siangkoan Tek – Kauwcu (Ketua) Bengkauw datang dengan diiringi oleh Oh Biauw Hiang seorang wanita sakti yang juga menjadi salah satu Wakil Kauwcu. Seterusnya ada juga Siangkoan Han Lin, Yau Bun Liong dan Siangkoan Liok (cucu-cucu Siangkoan Tek) yang merupakan tokoh-tokoh sentral di Bengkauw saat ini. Selain mereka, juga nampak Nona Siangkoan Giok Lian – cucu kesayangan Siangkoan Tek yang bahkan kelihayannya sudah menjajari kelihayan sang Kauwcu.

Sebagaimana Tek Hoat, Giok Lian juga memiliki hubungan dekat dengan Mei Lan, karena itu setiba di Bu Tong Pay, meski disediakan kamar khusus tamu, tetapi Mei Lan berkeras langsung menjumpai Mei Lan. Tapi karena tidak ditemukan, akhirnya dia bergabung bersama Kwi Beng dan Tek Hoat – kekasihnya untuk bersama membagi cerita sambil ikut berjaga di luar ruangan persemayaman jenasah Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan.

Sementara itu, rombongan berikutnya yang tiba hampir bersamaan dengan rombongan Kaypang adalah Ciangbundjin Siauw Lim Sie yang didampingi oleh Kong Hian Hwesio (Kakak seperguruan Ciangbundjin Siauw Lim Sie) dan diiringi sejumlah tokoh-tokoh sentral dari Siauw Lim Sie. Kelompok inipun sama dengan Lembah Pualam Hijau dan Kaypang merupakan sahabat-sahabat erat, dan memperoleh tempat istrimewa di Bu Tong Pay.

Dengan kedatangan kelompok ini, bergabung bersama dengan utusan-utusan dari Tiam Jong Pay, Kun Lun Pay, serta sejumlah utusan perguruan lain, baik yang terkenal maupun yang kurang terkenal, maka Bu Tong Pay saat itu telah dipadati oleh banyaknya tamu. Bahkan ruangan khusus bagi tamu istimewa yang terletak di pesanggrahan khusus sebelah barat bagian dalam kuil Bu Tong Pay, juga sudah nyaris penuh. Padahal disana merupakan pesanggrahan khusus yang disiapkan bagi tamu istimewa Bu Tong Pay dan memiliki setidaknya 50 kamar istimewa dan 50 kamar tamu lainnya yang cukup baik.

Dan ketika malam menjelang, masih muncul juga kelompok kenamaan lainnya yang berasal dari Lam Hay Bun, dan dipimpin langsung oleh Tocu Lam Hay yang bernama Lamkiong Bu Sek. Kedatangannya kali ini ditemani oleh kedua sepupunya yang juga adalah tokoh-tokoh utama berkepandaian hebat dari Lam Hay, yakni Liu Soan Li dan Liu Kong. Selain tokoh-tokoh ini, juga terdapat 10 anak murid Lam Hay Bun yang ditempatkan terpisah dari tokoh utama mereka. Kelompok inipun adalah kelompok istimewa, karena itu mereka ditempatkan di pesanggrahan khusus tamu istimewa Perguruan Bu Tong Pay.

Di tengah keramaian seperti itulah kejadian aneh dan berbahaya terjadi. Tidak lama setelah kelompok terakhir muncul, yakni perguruan Lam Hay Bun – yang muncul secara rahasia dan tidak ingin dikenali banyak orang, tiba-tiba terdengar suitan keras dari area khusus perguruan Bu Tong Pay. Adalah Souw Kwi Song yang mendapat tugas khusus di seputaran luar Kuil Bu Tong Pay yang menemukan sebuah bayangan aneh bergerak dengan sangat cepat. Karena khawatir terjadi sesuatu, Kwi Song segera memburu bayangan tersebut.

Dan dengan cepat Kwi Song menyusul orang itu yang memang tidak bermaksud untuk menghindar atau menyingkir dari Kwi Song.

“Siapakah tuan? Kenapa bergerak secara rahasia di waktu gelap dan memasuki Bu Tong Pay secara diam-diam”? Souw Kwi Song bertanya, sedikit heran karena melihat si pendatang sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan dirinya. Dia berpakaian hitam-hitam, rambutnya dibiarkan tumbuh lebat, namun telah tertata dan terurus secara rapih, usianya sekitar 40tahunan. Namun dari sorot matanya sangat terasa memancarkan kekuatan yang dahsyat. Dan Kwi Song yang juga memiliki kekuatan yang sudah luar biasa tingginya, segera menyadari kekuatan hebat yang terpancar dari sorot mata semacam itu. Tetapi sekaligus dia merasa heran, mengapa bayangan itu tidak berusaha melepaskan diri, sebab jika dia mau, pastilah akan sangat sulit menyandaknya.

“Tidak penting siapa aku, tapi aku ingin bertanyasesuatu” orang itu berhenti sejenak, tetapi kemudian terus menyambungnya: “dan aku akan sangat berterima kasih seandainya saudara muda bersedia memberitahuku sesuatu hal .....”

“Hmmmm, meski tuan masuk dengan diam-diam tetapi sama sekali tidak berusaha menyembunyikan diri, biarlah aku yang muda mencoba menjawab jika memang aku mengetahui jawaban pertanyaan itu” Kwi Song menjawab secara luwes sambil terus memandang si pendatang.

“Hahahaha sungguh mengagumkan. Kukagumi ketabahanmu anak muda, jika ingin bersembunyipun siapakah yang akan mampu dengan penjagaan seketat ini di Bu Tong Pay”? ujar si pendatang sambil menunjuk ke anak murid Bu Tong Pay yang kini telah mengepung si pendatang yang memang memilih halaman yang cukup luas ketika menantikan Kwi Song tadi.

“Hahaha, benar tuan. Tapi, kukagumi ketabahanmu dan terutama kecepatan dan keterusterangan tuan. Pertanyaan apakah yang ingin tuan ajukan”? Kwi Song menjadi gembira karena sikap terbuka dari orang dihadapannya. Kwi Song bersama Tek Hoat memang dikenal luwes dan sangat mudah bersahabat dengan orang, termasuk orang yang belum lama mereka kenal sekalipun.

“Apakah benar Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan yang dikabarkan salah satu tokoh tersakti selama puluhan tahun ini telah meninggal”?

Bukan hanya Kwi Song, tetapi semua anak murid Bu Tong Pay yang di halaman itu, juga pada terkejut mendengar pertanyaan si pendatang. Dan Kwi Song mulai merasa aneh. Pada saat itulah sesosok tubuh telah melayang menjejerinya, tanpa melihat Kwi Song sudah tahu siapa yang datang. Souw Kwi Beng, kakaknya.

“Benar tuan, jika tuan bersedia menunggu semalam saja lagi, maka tuan bisa mengikuti upacara duka dan penghormatan terakhir besok hari ....” meski keheranan tetapi Kwi Song tetap menjawab pertanyaan tersebut.

“Jika Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan masih hidup, apakah benar tidak ada satupun tokoh dalam daftar 10 pendekar terhebat Tionggoan saat ini yang akan sanggup untuk menandinginya”?

Kwi Song tersentak. Terdiam sejenak. Tetapi tidak kehilangan penguasaan dirinya untuk menjawab pertanyaan itu:

“Sangat mungkin, tetapi biasanya dan selalu di atas bintang selalu ada bintang yang lain. Karena itu, kami tidak beranggapan ada seseorang yang tidak terkalahkan”

“Bagaimana jika dihadapkan dengan mereka yang dalam daftar itu”? tuntut si pendatang berkeras ingin tahu.

“Beberapa orang di dalam daftar itu pernah memperoleh didikan dari Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan yang mulia, sangat mungkin tidak ada dari daftar itu yang mampu menandinginya” Kwi Song memilih untuk menjawab pertanyaan si pendatang secara diplomatis. Memang Kwi Song baru mengetahui daftar itu ketika tiba di Bu Tong Pay, dia kaget namanya tercantum disana, juga kaget Ceng Liong memuncaki daftar itu, disusul Thian San Giokli yang masih belum sama sekali dikenalnya. Karena itu, dia masih belum memiliki pandangan khusus mengenai daftar menghebohkan itu.

“Hmmm, kalau begitu daftar itu tidaklah tepat disebut sebagai daftar pendekar berilmu tertinggi di Tionggoan. Percuma kedatanganku jika demikian” si pendatang seperti menyesali sesuatu. Nampak jelas, kedatangan orang ini karena pengaruh dari daftar pendekar top Tionggoan. Jika demikian, tokoh ini adalah salah seorang yang gemar nama besar dan saat ini sedang berupaya untuk “membesarkan” namanya lewat upaya membandingkan diri dengan para tokoh di daftar itu.

“Mungkin daftar itu yang tidak tepat tuan, karena teramat sulit untuk memastikan posisi dan kedudukan masing-masing orang berdasarkan urutan seperti itu” Kwi Song betapapun merasa “risih” dengan penempatan namanya hanya di urutan ke delapan, padahal meski dia mengaku kalah dengan Ceng Liong, tetapi tidak dengan Nenggala, Mei Lan dan Tek Hoat. “Setidaknya bersama koko, aku berada di peringkat lima” pikirnya. Sangat wajar pikiran Kwi Song, pikiran orang muda yang sedang semangat-semangatnya mencari nama, posisi dan kedudukan. Apalagi dengan mengingat sejarah panjang Siauw Lim Sie perguruan dari mana dia berasal, wajar jika dia dan kakaknya mendapat posisi lebih tinggi.

“Hmmm, sudahlah. Betapapun aku tidak ingin kedatanganku kemari sia-sia belaka. Tetapi beberapa petunjuk yang kuperoleh, memberitahuku bahwa di sini, di Bu Tong Pay sedang berkumpul beberapa tokoh yang namanya tercantum dalam daftar tersebut, apakah memang benar informasi tersebut”? kembali si pendatang bertanya, tidak nampak menuntut, hanya bersifat ingin memastikan informasi yang dimilikinya. Apakah benar atau tidak.

Kwi Song tersudut. Menjawab “ya” bisa dipastikan si pendatang akan bakal mencari gara-gara, menjawab “tidak” dia merasa malu, karena dirinya berada dalam daftar itu. Jawaban “tidak” bisa berarti mengindikasikan dia takut. Tetapi repotnya, menjawab “ya” juga sulit, karena dia tidak ingin dalam suasana duka di Bu Tong Pay akan terjadi keruwetan dengan si pendatang yang dia yakini membekal ilmu yang juga sangat tinggi tersebut.

“Jika ya bagaimana dan jika tidak bagaimana tuan”?

“Jika ya, sejujur-jujurnya aku ingin menantangnya untuk bertarung. Tetapi jika memang tidak, aku akan segera minta diri dari tempat ini” jawab si pendatang dengan tetap kalem.

“Apakah bisa pertarungan itu nanti di adakan setelah upacara duka di Bu Tong Pay tuan? Karena, bagaimanapu kita tetap harus menghormati suasana Bu Tong Pay yang sedang berduka”

“Jawabanmu berarti memang ada anak muda. Engkau memang tidak perlu berdusta karena aku tahu, salah seorang murid Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan tercantum dalam daftar tersebut.” Si pendatang akhirnya buka kartu sambil memandang tajam ke arah Kwi Song.

“Tuan, aku memang tidak mengatakan bahwa “tidak ada” orang dalam daftar itu di tempat ini, tetapi bagaimanapun sebagai sesama orang dunia persilatan, kita harus menghormati Bu Tong Pay yang sedang dalam suasana duka” dan dengan sama tajamnya dia membalas tatapan si pendatang.

“Aku tidak terlampau perduli dengan suasana bahagia ataupun suasana duka. Mereka yang tercantum namanya dalam daftar itu, begitu sombong dan beraninya menyandang dan mencantumkan nama disana. Karena itu, mereka harus mampu dan sanggup mempertanggungjawabkan kemampuan mereka untuk berada disana” si pendatang mulai buka kartu. Memaksa.

“Tuan, akhirnya anda membuka kartu. Bahwa kedatanganmu memang dengan maksud mengacau. Tidak ada insan persilatan yang waras yang mau mengganggu suasana duka dari sebuah perkumpulan silat”

“Aku memang tidak waras, hahahaha” prilaku yang tadinya sangat “gagah” dimata Kwi Song, sudah berubah menjadi ‘tidak genah”. Tawa si pendatang kini sudah berubah seperti orang tidak waras, bahkan pandang matanya yang tadinya tajam, kini berubah seperti mata orang liar, tetapi tetap membayangkan kekuatan terpendam yang sangat kuat dan hebat.

“Tuan, jika engkau berkeras ingin merusak suasana duka di Bu Tong Pay, biarlah engkau menghadapiku terlebih dahulu” Kwi Song telah melangkah kedepan, khawatir si pendatang menjadi liar dan menyerang membuta.

“Apakah engkau sanggup”?

“Mengapa tidak sanggup?

“Baik, engkau jagalah ini anak muda” sambil berkata demikian, si pendatang mendorong secara ringan ke arah Kwi Song. Tetapi, sebelum serangan itu tiba, serangkum hawa busuk telah mendahului serangan tangan dengan kekuatan hebat itu. Kwi Song maklum akan hebatnya serangan itu maka ia mengerahkan kekuatan besar untuk menahan hawa busuk itu dan menyerang. Diapun sekaligus menangkis serangkum hawa serangan tenaga dalam yang dengan kuat menyerang kearahnya.

Sementara itu, Kwi Beng yang memang selalu cermat telah melihat bahaya lain yang mengancam dari hawa serangan si pendatang, dan kemudian diapun berseru kepada para murid Bu Tong Pay:

“Mundur, hawa pukulannya mengandung racun berbahaya”

Tepat pada saat banyak orang mulai mundur, benturan kekuatan antara Kwi Song dengan si pendatang telah terjadi. Dan hebatnya, benturan itu tidak mengeluarkan sedikitpun suara, tetapi akibatnya segera terlihat nyata. Kwi Song yang telah mengerahkan kekuatan besarnya terdorong setengah langkah lebih ke belakang, sementara lawannya masih tetap kokoh berdiri. Kenyataan ini membuat baik Kwi Song maupun Kwi Beng terperangah.

Betapa tidak? Setelah pertarungan besar di markas Thian Liong Pang, mereka telah maju sangat pesat. Dengan percakapan dan diskusi bersama Kolomoto Ti Lou dan kemudian mendalami lagi ilmu mereka bersama suheng mereka di Poh Thian, awalnya mereka menduga kekuatan mereka sudah setaraf Ceng Liong dan kawan kawan mereka yang lain. Tetapi kini, mereka bertemu tokoh baru, yang masih belum terlampau tua, tetapi yang berkemampuan mendorong Kwi Song yang dalam pengerahan sebagian besar tenaga dalamnya.

Tetapi Kwi Song tidak mau tenggelam dalam keterkejutan. Apalagi, dia telah banyak mengalami pertarungan-pertarungan dengan tokoh-tokoh hebat. Dan ini mengajar banyak hal kepadanya, terutama dalam hal ketenangan dalam bertempur. Segera setelah benturan itu, dia yakin sebagaimana dugaannya bahwa si pendatang memang memiliki kemampuan yang dahsyat, dan mungkin tidak disebelah bawahnya. Karena itu, diapun menjadi tidak lagi ragu-ragu untuk mengeluarkan ilmu-ilmu dan jurus-jurus andalannya.

Kini Kwi Song memadukan Pek In Ciang atau Pek In Sin Ciang yang membuat dari tangannya mengepulkan awan putih. Ilmu ini memang tepat digunakan untuk mengusir hawa busuk yang selalu mendahului serangan si pendatang, sementara untuk menyerang dia berganti-ganti menyentil dengan menggunakan Tam Ci Sin Thong ataupun Kim Kong Ci. Dari jarak jauh dia mampu menyentil dengan tam ci sin thong, tetapi dalam pertarungan jarak dekat, dia selalu menggunakan kim kong ci yang sanggup menerobos benteng kekebalan sehebat apapun.

Tetapi, lawannya si pendatang, juga bukan orang biasa. Kekuatannya mampu mendorong awan putih Pek In Ciang untuk selalu doyong ke arah Kwi Song, dan diapun tidak takut dengan sentilan-sentilan tam ci sin thong maupun kim kong ci yang dahsyat itu. Dan disinilah nampak kekuatan si pendatang, dia yakin sekali dengan kekuatan iweekangnya dan karena itu dia mampu menindih tajamnya sentilan tam ci sin thong Kwi Song.

Keunggulan Kwi Song nampak terlihat dalam kekokohan baik menyerang maupun bertahan. Ilmu-ilmunya memang berasal dari aliran lurus keagamaan Budha, dan karakter khusus ilmu-ilmu Siauw Lim Sie memang sangat tergambar dari gaya dan cara bertempur Kwi Song. Lurus, kokoh dan mantap. Biasanya Kwi Song akan menggiring lawan untuk membuatnya salah langkah atau menjadi salah hitung. Tetapi kali ini, dia berhadapan dengan tokoh lain yang kekuatannya tidak kalah atau malah lebih dengan hawa busuk beracun. Untungnya Kwi Song dan Kwi Beng sudah memasuki tahapan susah terkena racun ketika sedang mengembangkan pucak kekuatan iweekangnya.

Ketika melihat kenyataan sulit untuk bertahan dengan sentilan jari sakti, Kwi Song akhirnya menukar ilmunya dan kini menggunakan Tay Lo Kim Kong Ciang. Salah satu ilmu pusaka Siauw Lim Sie yang sangat jarang dikuasai Ciangbundjin atau ketua Siauw Lim Sie sekalipun. Dengan gaya jurus Kim-ciau-si-yi’ (burung emas kembali ke barat), lengannya bersilangan dan kemudian mengembang dan melahirkan kekuatan hebat menerpa lawannya. Tetapi, si pendatang yang menjadi lawannya, juga ternyata membekal ilmu-ilmu dan jurus-jurus aneh, yang hebatnya mampu memecahkan kehebatan ilmu pusaka Siauw lim Sie. Si pendatang sama sekali tidak terkejut dan tidak takut dengan hembusan kekuatan hebat dari jurus hebat Tay Lo Kim Kong Ciang, sebaliknya mundur, dia malah menggebah maju dengan menyerang titik pusat pengerahan kekuatan Kwi Song – badannya. Sementara Kwi Song menyerang lawan dari kedua lengan yang terpentang dan menyalurkan kekuatan penyerang dari “sepasang sayap burung emas”.

Jika tidak memiliki kekuatan hebat, maka si pendatang pastilah bunuh diri dengan serangannya itu. Karena pusat kekuatan Kwi Song, akan mendapatkan sokongan dari kekuatan pukul kedua lengannya, tetapi serangan lawan juga sangat cepat dan sangat berisi. Jika sedikit terlambat dan serangan lawan cepat mendekati dada, maka Kwi Song yang akan mengalami kerugian lebih besar. Dan itulah yang terjadi. Serangan cepat itu mengakibatkan batalnya serangan sayap burung emas sepasang lengan Kwi Song. Dan secepatnya dia mengganti jurus “burung emas terbang pulang”, menyatukan kekuatan dalam kedua tangan dan membentur serangan lawan tepat di depan dadanya.

Tetapi kembali tidak terdengar benturan hebat. Tetapi, kedua tubuh itu terdorong ke belakang. Kwi Song terdorong nyaris dua langkah, sementara lawannya hanya terdorong satu langkah ke belakang. Tetapi, ketika keduanya ingin melanjutkan dengan membuka serangan baru, sebuah suara melengking menyerang mereka dan menggetarkan dada keduanya:

“Berhenti .....”

Dan sesosok bayangan terbang mendekati keduanya dengan kecepatan luar biasa, sulit diikuti pandangan mata. Tetapi, kedatangannya tepat ketika Kwi Song dan si pendatang berbenturan dan terdorong ke belakang. Karena itu, dengan cepat dia membentangkan kedua tangannya dan menambah kekuatan mendorong kedua orang yang sedang bertarung itu. Akibatnya, sosok bayangan itu kini berdiri di tengah-tengah dan si pendatang bersama Kwi Song bertambah langkah mundurnya masing-masing satu langkah.

Bukan. Bukan karena hebatnya si pendatang dalam mengundurkan kedua orang hebat yang sedang bertarung. Hanya kehebatan memanfaatkan tempo yang memang luar biasa. Jika bayangan yang memisahkan tadi masuk ketika benturan akan terjadi, maka bisa dipastikan dia sulit menerima dorongan dua tenaga yang hebat bukan main itu. Tetapi, karena dia masuk ketika benturan telah terjadi dan kedua tokoh yang bertarung mundur terdorong ke belakang, maka kehebatan si pendatang terletak pada: Pertama, kemampuan memilih waktu untuk masuk; Kedua, kemampuan untuk membuyarkan hawa benturan yang sangat hebat; Ketiga, mengukur takaran tenaga yang tepat untuk mengundurkan kedua orang yang sedang bertempur itu.

Dan itulah yang terjadi. Hebatnya, yang melakukan itu adalah seorang gadis. Liang Me Lan. Murid bungsu Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Dan bersamaan waktunya dengan kedua orang yang bertempur itu terdorong mundur, terdengar suara lainnya yang nampaknya juga tiba pada saat yang hampir bersamaan dengan kedatangan Liang Mei Lan:

“Toh Ling, ach engkau disini rupanya” suara ini berasal dari Thian San Giokli yang sebetulnya tidak ingin keluar berterang di dunia persilatan. Karenanya si nenek selalu memilih jalan yang tidak umum dalam perjalanan ke Bu Tong Pay. Bahkan meminta kepada Sian Eng Cu untuk tidak diperkenalkan kepada semua orang, karena dia memang sedang memburu Toh Ling yang lolos dari liang rahasia di Lembah Salju Bernyanyi dengan membekal ilmu yang sangat berbahaya.

Sebetulnya adalah maksudnya untuk masuk arena, tetapi melihat ada seorang Anak Gadis telah mendahuluinya, tak terasa diapun bergumam: “ginkang luar biasa, sungguh hebat, sungguh hebat”. Dan akhirnya diapun membiarkan dirinya terlihat banyak orang. Dari Sian Eng Cu yang datang bersamanya, dia mendengar jika anak gadis itu adalah murid bungsu Wie Tiong Lan. Tetapi dia menyisakan rasa sangsi akan kehebatan Mei Lan. “Ginkang boleh hebat, bagaimana dengan kekuatan tenaga dalam dan ilmu silatnya”? itulah yang berkecamuk dalam hati Thian San Giokli dan diam-diam merencanakan untuk membantu Mei Lan jika memang dia menghadapi kesulitan dari Toh Ling.

“Song te (sahabat Song), silahkan mundur terlebih dahulu” sambil berkata demikian, Mei Lan melirik ke arah Kwi Song yang tentu saja wajib menerima. Karena pada saat ini Mei Lan bertindak sebagai tuan rumah.

“Baik Nona Mei Lan, tapi hati-hati, manusia itu bermaksud tidak baik” sambil mundur Kwi Song memperingatkan Liang Mei Lan yang tentu saja sudah paham kalau si pendatang yang namanya didengarnya didesiskan orang “Toh Ling”, bukanlah orang biasa. Bukannya pendatang biasa tanpa maksud tertentu.

“Tuan, apakah maksudmu membuat keonaran di pintu perguruan Bu Tong Pay dengan tidak menghormati suasana duka di perguruan kami”?

“Hahaha, maksudku hanya ingin mencoba benar-benarkah mereka yang ada dalam daftar pendekar top Tionggoan benar-benar layak dicantumkan disana. Seandainya Wie Tiong Lan masih hiduppun, aku ingin menantangnya karena sering disebut orang Pendekar terhebat saat ini”

“Tuan, jika memang begitu keinginanmu, kami murid-murid suhu tidak akan menolak keinginanmu. Tetapi, tolong hormati terlebih dahulu perguruan kami yang sedang berduka karena kematian suhuku. Setelah suasana duka berlalu, biarlah atas nama murid-murid suhu, aku menerima tantanganmu itu”

“Wah wah nona kecil, aku sudah disini. Masakan harus datang lagi satu saat nanti. Hahaha, jangan pelit nona kecil, siapkan orang dari daftar itu untuk melayaniku. Sahabat kecil tadi boleh juga, tapi dia belum cukup kuat menghadapiku”

Mendengar itu, Kwi Song sudah tersinggung lagi dan sudah gatal tangan ingin bergebrak lagi. Tetapi, disampingnya ada kakaknya Kwi Beng yang seperti biasa bertugas menyabarkan adiknya itu. “Sabar adikku, ini bukan hak kita untuk keluar menyelesaikan masalah, sudah ada Nona Mei Lan yang memiliki hak sebagai tuan rumah untuk menanganinya” bujuk Kwi Beng. Dan seperti biasa, Souw Kwi Song akan tunduk kepada nasehat kakaknya, meski dengan bersungut-sungut karena merasa direndahkan oleh si pendatang itu.

“Tuan, apakah engkau berkeras hendak mengganggu Bu Tong Pay kami”? Mei Lan mulai berkurang kesabarannya. Tetapi ragu, seperti Kwi Song dia melihat sesekali ada sinar aneh, seperti sinar mata orang kurang waras dari mata orang didepannya itu. Tidak lucu jika dia bertarung dengan orang gila, tetapi melawan Kwi Song tadi, jelas-jelas orang ini mengeluarkan sikap orang waras dan dengan ilmu silat yang tidak kalah dari Kwi Song. “Apa maksud sebenarnya dari manusia ini”? pikirnya curiga dalam hatinya.

“Nona kecil, sudah kukatan bahwa aku ingin membuktikan bahwa mereka yang dalam daftar itu telah keliru dengan sombongnya mencantumkan nama mereka dalam daftar pendekar top di Tionggoan. Toch orang-orang memberitahuku disini berkumpul banyak tokoh di daftar itu. Urusan lain-lain akupun tidak tahu”

“Tuan, jika demikian engkau memang berniat mengganggu. Kami Bu Tong Pay tidak tahu menahu dengan daftar itu, dan kamipun tidak mau tahu ada nama kami atau tidak disana bukan urusan besar. Kami mohon kemauan baik tuan untuk mundur, karena sebentar lagi akan ada persiapan akhir untuk acara besok hari ... silahkan” sambil berkata demikian Mei Lan mempersilahkan si pendatang, atau Toh Ling yang dikenali Thian San Giokli untuk pergi.

“Hahaha, nona cilik, aku bisa datang sendiri, sudah pasti juga bisa pergi sendiri tanpa engkau usir. Hahahahaha, lucu seorang gadis mau mengusirku .... hehehe” sikap kurang waras kembali mulai muncul dari Toh Ling.

“Tuan, maafkan jika selaku tuan rumah kami terpaksa mengusirmu” Mei Lan tidak menemukan cara dan jalan lain mengenyahkan pendatang yang mulai sangat mengganggu ini. Apalagi, persiapan akhir akan segera dilakukan, karena acara khusus buat suhunya akan segera digelar besok. Karena itu, Mei Lan sudah berjalan ke arah Toh Ling, nampak seperti bejalan tapi kecepatannya luar biasa. Sampai Toh Ling sendiri terperangah karena tahu-tahu lambaian tangan lembut dari Mei Lan sudah begitu dekat dengan tubuhnya.

Tak ada cara lain, Toh Ling terpaksa harus menyambut lambaian tangan gemulai yang sudah berada dekat tubuhnya. Diapun bergegas menggeser kaki selangkah ke belakang hingga lengannya akan menangkis atau membentur lengan Mei Lan, tetapi dalam kecepatan tinggi lengan itu kini telah menyambar pundaknya, dan kembali Toh Ling melangkah mundur guna memunahkan serangan Mei Lan. Tetapi, belum lagi kedua tangan mereka berbenturan, serangan Mei Lan sudah kembali berubah arah, kali ini melakukan totokan ke pinggang dengan merubah gerak kakinya agak agak kekiri tubuh lawan.

Semua gerak menotok, memukul, menghindar yang dilakukan keduanya, sebetulnya dilakukan tidak sampai dalam hitungan satu detik. Hanya refleks yang bagus dari Toh Ling sajalah yang tidak membuatnya jatuh terpukul ataupun tertotok oleh Mei Lan. Dan Mei Lan sendiri memang tidak bermaksud menjatuhkan lawan, hanya sekedar memberi peringatan kepada lawan. Serangannya tadi menggunakan ilmu khas Sian Eng Cu yang bernama Sian Eng Sin Kun. Jika menggunakan ilmu itu, sebagai pencipta, Sian Eng Cu Tayhiap memang lebih kokoh, tetapi jika Liang Mei Lan yang membawakan kecepatannya benar-benar hebat dan nyaris sulit diikuti pandang mata.

Setelah dengan serangannya mengundurkan Toh Ling hingga beberapa langkah ke belakang, akhirnya Mei Lan menahan serangannya. Diapun kemudian membiarkan Toh Ling menemukan keseimbangannya dan kemudian berkata:

“Tuan, sekali lagi atas nama bu Tong Pay, kami persilahkan tuan untuk pergi. Kami tidak akan menahan dan mempersoalkan masuknya tuan secara diam-diam. Dan jika tetap ingin menantang Bu Tong Pay, kami akan sangat siap setelah acara duka menghormati suhu kami ini usai”

Tetapi Toh Ling yang sempat keteteran karena menghadapi kecepatan gerak Mei Lan barusan, meski kaget tetapi lebih besar rasa penasaran dan amarahnya. Bahkan kekurang-warasannya menjadi lebih menonjol. Karena itu, sambil ber hahaha-hihihi, dia kemudian berkata:

“Nona, Toh Ling kan belum kalah ....... hahahahaha, hihihihihi”

Dan seakan ingin meniru Mei Lan, tiba-tiba dia bergerak menyerang. Kali ini dia mendahului karena takut kembali dicecar Mei Lan dengan serangan yang dengan berat digagalkannya tadi. Tapi dia keliru, lawannya kali ini adalah murid si raja ginkang Tionggoan, yang bahkan dengan subonya Liong-i-Sinnie tinggal berbeda seusap. Secepat apapun dia menyerang dan mengejar Mei Lan, dengan gerakan gerakan tidak masuk akal dan seakan berlawanan dengan hukum alam, Mei Lan menghindar dan menghindar.

Bahkan seorang Thian San Giokli sampai bergumam: “Luar biasa, nampaknya anak Giok Tinpun akan sulit menghadapi nona ini kelak”. Cui Giok Tin adalah murid utama Thian San Giokli yang sedang memasuki tahapan terakhir dalam menggodok ilmu ilmu utama perguruannya di lembah Salju Bernyanyi. Bahkan bukan tidak mungkin saat itu sudah menyelesaikan latihan terakhirnya bersama dengan seorang suheng dan sumoynya.

Ketika kembali melayangkan pandangan ke arena, Thian San Giokli semakin kaget. Karena ternyata Liang Mei Lan malah sanggup mengimbangi kekuatan Toh Ling. Ketika terpaksa terjadi benturan, Mei Lan dengan berani memapak serangan tangan lawan yang berbau busuk itu dengan kibasan lengan Pik lek Ciang, selain itu lengan kirinya menyampok dengan tenaga besar untuk menghalau hawa busuk yang menyertai pukulan-pukulan lawan. Hawa busuk inilah yang memberatkan Mei Lan, khas seorang anak gadis yang tentu mencintai kerapihan dan kebersihan.

Yang mengagetkan Thian San Giokli adalah, jika sebelumnya dia melihat Kwi Song terdorong setengah langkah lebih kebelakang, maka Mei Lan justru bertarung sama kuat dengan lawannya, Toh Ling. “Luar biasa, sungguh begitu banyak tunas muda dunia persilatan dewasa ini”. Sementara itu, Toh Ling sendiripun kaget menemui kenyataan jika dia diimbangi seorang anak gadis, berbeda dengan lawan sebelumnya yang masih bisa dia dorong sedikit kebelakang. Kali ini, melawan seorang gadis, dia tidak sanggup mendorongnya, maka semakin marahlah dia. Dan secara otomatis tingkat ketidakwarasannyapun meningkat.

Ketika marah, maka penyakit sintingnya kambuh, justru pada saat kambuh itulah jurus-jurus dan ilmu iblisnya keluar. Tanpa disadarinya, dalam dirinya terdapat ilmu-ilmu ampuh yang kini secara otomatis keluar dan membingungkan Mei Lan. Hong Luan Cap Pwee Pou (Delapan belas Langkah Kacau Balau) tiba-tiba mengembang dan membuat Mei Lan dengan terpaksa meningkatkan kemampuan ginkangnya. Langkah kacau balau dan tidak mengikuti aturan umum membuat Mei Lan kelabakan, tetapi kecepatan geraknya selalu menyelamatkannya. Apalagi, refleks dan perasaannya seperti telah menyatu dalam gerak, karena itu sekacau apapun langkah Toh Ling, Mei Lan masih sanggup mengimbangi dan menyelamatkan diri dari serangan dan sabetan kacau balau itu.

Tetapi, bersamaan dengan itu, meluncur pula ilmu gaib lain yang tersimpan dalam ketidakwarasan Toh Ling, yakni Hong Luan Mo Kun Hoat – Pukulan Iblis Kacau Balau). Pukulan-pukulan aneh dan ajaib dikeluarkan bersamaan dengan delapan belas langkah maut, dan karena memang tata gerak, urutan dan sistemnya kacau balau, membuat Mei Lan kalang kabut. Untuk itu, dia terpaksa menggunakan ilmu pertahanan Thai Kek Sin Kun dan meningkatkan gerak ginkangnya dalam ajaran Liong-i-Sinnie dengan The Hun Thian (Menapak Tangga Langit). Dengan banyak bertahan dan mengandalkan kecepatan geraknya, Mei Lan mencoba menyelami gaya kacau balau lawannya.

Pertarungan menjadi berimbang kembali. Mei Lan kesulitan mendesak lawan yang bertarung secara “kacau-balau” sementara Toh Ling juga kesulitan menembus Mei Lan yang memiliki pertahanan dan daya gerak yang ajaib. Kadang dia seperti sudah bakal mengenai Mei Lan, tetapi dalam sudut tak terkira, tiba-tiba Mei Lan bergerak dan mematahkan serangannya. Toh Ling semakin murka dan semakin mengalirlah kekuatan dan ilmu-ilmu ajaib yang ditopang oleh Bu Ceng Mo Ong Sinkang (Tenaga Dalam Raja Iblis tak berperasaan).

Apalagi ketika kemudian secara otomatis mulut Toh Ling mulai mengalunkan irama iblis yang dikenal dengan nama Toh Hun Mi Im (Suara Pembetot sukma). Salah seorang dari Thian Tee Siang mo memang penggemar seruling, namun tanpa seruling dia sanggup memainkan irama pembetot sukma. Didera ilmu-ilmu iblis ini, Mei Lan tidak memiliki pilihan banyak, dia memilih mengembangkan sebuah ilmu Budha, warisan Kian Ti Hosiang yang bernama Ban Hud Ciang (Selaksa Tapak Budha). Ilmu ini memiliki kekuatan gaib guna memunahkan suara-suara gaib maupun suara-suara beraliran hitam yang membingungkan sukma banyak orang. Sebetulnya Mei Lan risih menggunakannya karena di sampingnya terdapat Kwi Beng dan Kwi Song, tetapi dia tidak menemukan pilihan lainnya lagi.

Maka bergeraklah dia dengan kecepatan penuh dan kemudian mengambil jarak untuk kemudian mengambil sikap berdiri dengan kedua belah tangan dalam sikap menghormat seperti gaya Budha. Pengerahan tenaga sinkangnya juga sudah melampaui tiga perempat kekuatannya, dan tiba-tiba kedua telapak tangannya membuka dalam kecepatan tinggi untuk kemudian menghamburkan jurus pertama Laksaan Tapak Budha Menerjang Bumi. Bersamaan dengan meluncurnya jurus pertama ini, mengalun pulalah suara-suara pujian kepada sang Maha Budha, dan secara perlahan saling tindih dengan To Hun Mi Im (Suara pembetot sukma). Pilihan Mei Lan menyelamatkan banyak anak murid yang terpancing dengan suara pembetot yang dikeluarkan oleh Toh Ling.

Kini Mei Lan tidak hanya bertahan, tetapi diapun kini balas menyerang dengan kekuatan yang tidak kalah dengan Toh Ling. Dari telapak tangannya mengalir kekuatan dahsyat dan bagi Toh Ling, dia bagaikan diserang oleh begitu banyak telapak tangan yang mengejar-ngejarnya. Kini, hawa iblis yang menyelimuti diriinya dan melapisi tubuhnya dengan hawa iblis, tidak lagi mampu mempengaruhi Mei Lan. Karena kini serangan-serangan Mei Lan sanggup menerobos hawa pembatas tenaga sinkang iblis tanpa perasaan itu. Dan benturan-benturan yang terjadi menggoyahkan dirinya, meski Mei Lan juga tidak luput dari kerugian akibat benturan benturan tersebut. Tetapi setidaknya, dia kini tidak tertekan berat oleh alunan suara dan gangguan hawa setan yang sebelumnya melingkupi dirinya.

Pertarungan kembali berjalan seimbang. Mei Lan kembali membuka jurus baru, jurus ketiga, Laksaan Tapak Budha Laksana Halilintar – jurus yang bukan hanya menghamburkan kekuatan tenaga ke arah lawan, tetapi juga menghujamkan suara-suara pujian Budha namun yang diterima bagai nada halilintar oleh Toh Ling. Akibatnya Toh Ling menjadi meradang, namun belum membuatnya tersudut dalam melakukan perlawanan. Langkah kacau balau dan paduan pukulan tanpa perasaan disertai irama pembetot sukma mampu membuatnya bertahan dan menahan serangan Mei Lan secara seimbang.

Sungguh pertarungan yang mendebarkan. Bahkan Mei Lan sendiri menjadi kaget setengah mati karena menemukan lawan seimbang setelah bertempur hebat di markas utama Thian Liong Pang beberapa waktu lalu. “Jika suhu tidak menyempurnakan aku beberapa bulan terakhir, mustahil mengalahkan manusia sinting ini” desis Mei Lan penasaran. “Tidak mungkin menggunakan puncak ilmuku, karena belum yakin jika telah menguasainya” demikian batin Mei Lan. “Pilihannya, paling melontarkan pukulan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), tetapi lawan sendiri nampaknya belum tiba di puncak penggunaan kemampuan ilmunya”
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd