Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(capos) kisah para naga di pusaran badai lanjutan jilid 2

Bimabet
3




Ketika keluar dari kamar tahanan, para penjaga ternyata masih tetap dalam keadaan tertotok, sehingga gerakan Kiang Cun Le dan kawan-kawan masih belum tercium. Tetapi dengan jumlah yang meningkat dan dengan tingkat kepandaian yang berbeda jauh, Kiang Cun Le sudah menduga, bahwa gerakan mereka akan dengan segera tercium.

Karena dia sadar, ada setidaknya seorang tokoh lihay yang becokol di markas utama ini. Karena itu, dengan segera dia meminta Kwi Beng bersama Ma Heng Kong dan Tian Kui Hok untuk segera bergerak cepat. Karena sangat percaya diri, para sandera ditempatkan disekitar markas pertama Tiam Jong Pay, markas pengendalian urusan dagang, tetapi sedikit agak di luar perkampungan.

Ketiga tokoh itu segera melaju dengan melalui jalan jalan yang tidak biasa, karena kedua tokoh utama Tiam Jong Pay itu sudah tentu mengenal jalanan di markas utama perguruannya. Sementara itu, sebagaimana dugaan Kiang Cun Le, gangguan setitik saja, sudah membuat si sosok langsing yang sangat sakti itu tergugah dan sadar sesuatu sedang terjadi.

Kiang Cun Le menyadari, bahwa mereka perlu segera bergegas ke kamar Ciangbunjin, waktu sangat terbatas. Perlu segera meminta Bu Kang Cu memimpin dan memerintahkan perlawanan massal anak murid Tiam Jong Pay.

Kakek sakti itu sadar, tokoh yang tergugah tadi, pasti masih harus menghabiskan sedikit waktu guna memastikan yang terjadi dan membangunkan kawan kawannya. Dan memang seperti itu yang terjadi, tetapi pun tidak cukup lama waktu yang diperlukan orang itu. Segera terdengar sebuah siulan tanda bahaya dari mulutnya, dan hal itu membuat Kiang Cun Le tercekat.

Suara itu suara seorang wanita. Tetapi, bukan fakta bahwa suara itu suara seorang wanita yang mengejutkannya, tetapi kenyataan bahwa lawannya tersebut memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. “Mungkin bahkan tidak disebelah bawahku” batinnya.

Untungnya waktu seketika yang terbatas itu telah mencukupi bagi mereka untuk mencapai kamar Ciangbunjin, yang sekaligus sebenarnya menjadi tempatnya ditahan. Betapa kagetnya Bu Kang Cu ketika melihat kembali Kiang Cun Le, bahkan bersama Gui San Bu dan Souw Kwi Song. Ada sinar gembira, sinar kaget dan juga kecemasan yang memantul dari pandang matanya.

Betapa tidak, orang-orang yang berdiri dihadapannya adalah tokoh yang diharapkannya menyelamatkan Tiam Jong Pay serta wakilnya yang dia tahu dalam tahanan musuh. Gembira karena Kiang Cun Le yang sakti mandraguna akan menolong mereka, tetapi khawatir karena sesuatu yang mengerikan bagi keluarganya sangat mungkin terjadi.

“Kiang Locianpwee, kalian …. Gui Sute, kalian sudah bebas”?

“Hm, suheng, waktunya mengadakan perlawanan”

“Tapi ….. tapi ……” Bu Kang Cu masih mengalami kekagetan

“Tidak ada tapi lagi suheng. Tenangkan hatimu, ji suheng dan su sute sudah berangkat membebaskan sandera dengan dibantu pedekar kembar dari Siauw Lim Sie. Disini kita dibantu Kiang Locianpwee, maka saatnya kita memukul para penghianat itu” Gui San Bu berkata dengan penuh semangat dan perlahan sanggup membakar semangat ksatria Bu Ciangbunjin.

“Baiklah, sute, engkau bunyikan tanda bahaya dan tanda panggilan Ciangbunjin, sebentar lagi lohu akan bergabung diberanda depan untuk mengeluarkan perintah. Mohon petunjuk Kiang Locianpwee”

“Lakukanlah Bu Ciangbunjin”

“Terima kasih locianpwee” dan bergegas kemudian Gui San Bu dengan dikawani Kwi Song melangkah kedepan ruangan Ciangbunjin, sementara Bu Kang Cu memasuki kamarnya kembali dan tidak lama kemudian saat dia menggenggam Pedang tanda jabatan Ciangbunjin Tiam Jong Pay, telah berkumandang tanda bahaya dan panggilan untuk bertempur bagi anak murid Tiam Jong Pay.

Tidak lama kemudian mulai bermunculan anak murid Tiam Jong Pay, terutama murid-murid dari Markas Pertama. Karena murid-murid di markas utama rata-rata sudah terbeli atau sudah dalam kekuasaan pihak penyusup yang dikomandani Kwan Bok Hoan. Dan sudah tentu yang tiba lebih dahulu adalah para murid utama, atau murid-murid didikan Ciangbunjin dan para sutenya.

Tetapi, mereka yang tersisa, rata-rata sudah dalam kekuasaan penyusup, tetapi meskipun demikian masih tersisa rasa hormat mereka terhadap mereka yang menjadi guru pada beberapa waktu lalu. Karena itu, sambil memberi hormat mereka kemudian bertanya:

“Ciangbunjin, ada perintah apakah, apa yang terjadi”?

“Bagus, kalian masih memanggilku ciangbunjin partay kita. Hari ini kutegaskan dan harus kalian pilih, berdiri dibelakangku membela kehormatan Tiam Jong Pay, atau berdiri di belakangku berhadapan dengan Tiam Jong Pay”
Wajah kelima murid utama yang telah membangkang itu menjadi pucat. Betapapun mereka merasa berhutang budi kepada guru dan pemimpin partaynya, tetapi keuntungan dan godaan kemewahan menahan langkah kesetiaannya.

Karena itu, mereka menjadi ragu-ragu dan agak sulit untuk mengambil keputusan. Tengah mereka kebingungan, mulai pada masuk puluhan anak murid Tiam Jong Pay dari markas pertama, dan bersamaan dengan itu pula, Tibet Sin Mo Ong menampilkan dirinya:

“Engkau ….. iblis busuk dari Thian Liong Pang” Kwi Song memandang gemas dan ingin secepatnya menggempur iblis tersebut. Dan nampak di belakang iblis tersebut berdiri tokoh-tokoh lain, yakni Ciu Lam Hok dan Bu Tek Coa Ong (Raja Ular Tanpa Tanding). Bahkan tidak lama kemudian, kawanan pencoleng yang berilmu tinggi dan menyamar sebagai murid Tiam Jong Pay dan berjumlah nyaris 50an orang, telah berdiri di belakang mereka bertiga. Dan melihat 5 murid utama penghianat dari Tiam Jong Pay seperti susah menghadapi Ciangbunjinnya, maka berkatalah Tibet Sin mo Ong:

“Hahahaha, pilihlah, berjuang bersama kami atau bertobat dan dihukum berat di perguruanmu” dan hebat akibat hasutan Tibet Sin Mo Ong ini. Kelima murid utama tersebut dengan cepat menemukan kenyataan bahwa tiada jalan mundur bagi mereka. Hanya ada jalan darah, dan setelah saling lirik, akhirnya mereka menetapkan pilihan …….. pilihan itu adalah melompat mundur ke barisan Tibet Sin Mo Ong.

Dan pada saat itu juga, berdiri dua barisan yang hampir sama banyak, tetapi barisan Tiam Jong Pay semakin lama semakin banyak jumlahnya. Bahkan, murid-murid tingkat pertama, di bawah murid utama, semakin banyak berdatangan dari markas pertama. Dan melihat keadaan tersebut, semangat ksatria tumbuh kembali di dada Bu Kang Cu dan Gui San Bu.

“Baiklah murid-murid Tiam Jong Pay, disini berdiri Ciangbunjin kalian dengan lambang kepemimpinan Pedang Tiam Jong. Partai kita telah kemasukan pengkhianat bernama Kwan Bok Hoan yang telah mengajak kelima murid utama lainnya berkhianat. Bukan tidak mungkin kematian murid utama lainnya disebabkannya. Bahkan mereka berani menangkap dan menyekap Gui Sau Bu Wakil Ciangbunjin dan juga para penasehat dan pelindung Tiam Jong Pay. Hari ini, selaku Ciangbunjin, lohu memerintahkan semua murid Tiam Jong Pay yang masih setia untuk bertarung menyelamatkan partay”

“Hahahahahahaha” terdengar suara tertawa mengguntur dari Tibet Sin mo Ong

“Perguruan Tiam Jong Pay akan tergusur habis jika berani melawan kekuatan Thian Liong Pang. Silahkan jika kalianpun ternyata ingin ikut terkubur bersama nama Tiam Jong Pay” hebat nada ejekan tokoh iblis ini.

“Dengar murid-murid Tiam Jong Pay ….. mereka yang masih setia, bersiap menghadapi musuh dan membela kehormatan perguruan” teriak Bu Kang Cu bersemangat. Dan diam-diam, Gui San Bu terharu melihat bahwa dugaannya benar, jauh lebih banyak murid Tiam Jong Pay yang setia dibanding yang berkhianat terhadap partaynya.

“Hahahaha, Ciangbunjin, apakah engkau tidak lagi peduli dengan keselamatan keluargamu? Terdengar Tibet Sin Mo Ong mengancam

“Sudahlah, tenangkan hatimu ciangbunjin suheng, sudah ada tenaga yang lebih dari cukup membebaskan sandera beberapa waktu lalu” bisik Gui San Bu yang membuat Ciangbunjinnya kembali tenang.

“Apabila merekapun memang ditakdirkan menjadi korban dari perlawanan Tiam Jong Pay, apa boleh buat” akhirnya terdengar kalimat mengharukan itu dari Bu Kang Cu dan membuat Tibet Sin Mo Ong mengerutkan keningnya. Marah. Karena itu, segera dia mengeluarkan siulan panjang. Nampaknya semacam kode tertentu untuk memberi perintah kepada pengikutnya.

Dan dalam waktu bersamaan, Bu Kang Cu kemudian mengeluarkan perintah menyerbu pihak penyusup dan penghianat itu. Dan Kwi Song dengan cepat telah melayang menggempur Tibet Sin Mo Ong yang dengan cepat pula menyongsong serangan Kwi Song, sementara Gui San Bu telah menyerang Bu Tek Coa Ong, sedangkan Ciangbunjin Tiam Jong Pay menyerang Ciu Lam Hok.

Meskipun jumlah murid Tiam Jong Pay sudah jauh lebih banyak daripada lawannya, tetapi di pihak Thian Liong Pang terdapat 5 murid utama yang berkhianat serta juga Kwan Bok Hoan yang lihay. Karena itu, keadaan Tiam Jong Pay justru lebih membahayakan. Untungnya tokoh-tokoh penghianat itu menghadapi perlawanan penuh semangat dan keroyokan murid-murid pertama dari Tiam Jong Pay.

Dengan demikian, meskipun banyak korban yang jatuh di pihak Tiam Jong Pay tetapi masih belum sanggup menggoyahkan perlawanan mereka. Sementara di piha tokoh mereka, nampaknya Kwi Song masih sedikit di atas angin, sementara Gui San Bu dan Bu Kang Cu bertarung sangat ketat melawan Bu Tek Coa Ong dan Ciu Lam Hok.

Dan kelihatannya untuk waktu yang lama pertarungan mereka sulit ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian, pertarungan berlangsung semakin lama semakin seru dan otomatis korbanpun jatuh semakin banyak. Terutama korban di pihak Tiam Jong Pay yang meski berjumlah lebh besar, tetapi harus menghadapi tokoh-tokoh sekelas Kwan Bok Hoan dan murid utama penghianat lainnya.

Jatuhnya korban di pihak Tiam Jong Pay nampaknya tidak banyak berpengaruh, selain karena mereka bertarung mempertahankan kehormatan perguruan, juga karena murid yang berdatangan terus bertambah. Sementara jumlah anak buah di pihak Thian Liong Pang selalu susut dan berkurang akibat tiada lagi penambahan kekuatan.

Apalagi, salah seorang dari lima murid utama yang berkhianat sudah jatuh dan tidak sanggup melanjutkan pertempuran, sementara yang satu lagi sudah terluka. Sementara itu Tibet Sin Mo Ong semakin lama semakin keteteran menghadapi serbuan dan serangan Kwi Song yang bertarung semakin lama semakin hebat. Hanya Ciu Lam Hok dan Bu Tek Coa Ong saja yang bertarung cukup trengginas meskipun juga bisa ditahan oleh lawan mereka masing-masing.

Tetapi, Tibet Sin Mo Ong anehnya sebagai pemegang komando masih merasa aman dan tidak mengeluarkan perintah mundur. Nampaknya mereka memiliki sandaran dan pegangan untuk memenangkan pertarungan di Tiam Jong Pay ini. Tetapi lama kelamaan, Tibet Sin Mo Ong yang akhirnya melihat betapa anak buahnya semakin susut menjadi khawatir dan berpikir: “Kemana gerangan nenek tua itu”?, dan meskipun terdesak masih sempat sekali dua kali matanya mencari-cari tokoh yang dimaksudkannya.

Apalagi Kwi Song yang suka meledek akhirnya mengerti, bahwa lawannya sedang menunggu bantuan telah meledeknya:

“Masih ada siapa lagi sandaranmu Hu Pangcu, apa engkau takut bayangan kegagalan ada di depan matamu”?

“Binatang, apa engkau kira aku takut menghadapimu”? erang Tibet Sin Mo Ong penuh kemurkaan

“Bukan, bukan takut kalah melawanku. Toch engkau sudah kalah berkali kali melawan kami. Tapi kalah sekali lagi, dan sebentar lagi engkau harus tertawan atau kembali melarikan diri …… hahahahaha” Kwi Song benar benar usil dan terus menerus berusaha merusak konsentrasi Tibet Sin Mo Ong yang memang sebenarnya sudah kewalahan.

“Hm, kita lihat nanti siapa yang akan kalah atau menang” tegas Tibet Sin Mo Ong pendek, karena setelah itu dia harus kewalahan menangkis sejumlah pukulan Kwi Song.

Semakin lama pertempuran menjadi semakin brutal. Bisa dipastikan dengan keunggulan jumlah anak murid Tiam Jong Pay yang masih terus bertambah, maka pihak penyusup akan terpukul kalah. Melihat keadaan yang terus menerus memburuk, para pentolan kelompok penyusup yang sebenarnya adalah tokoh Thian Liong Pang semakin khawatir. Dan di tengah keadaan demikian, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang menghentak udara, penuh daya magis dan merontokkan nyali lawan:

“Orang-orang Tiam Jong Pang, letakkan senjata atau kalian menjadi santapan ular besarku ini”

Dan tiba-tiba di udara nampak seekor ular besar, sangat besar meliuk-liuk siap menerkam siapa saja. Ular itu terlihat sangat besar, beberapa kali besar orang dewasa dan membuat para murid Tiam Jong Pay gementar ketakutan. Tetapi pada saat itu, Kwi Song yang sadar apa yang terjadi, telah menyiapkan pukulan Ban Hud Ciang yang mujijat, dalam jurus Tapak Budah Mendorong Awan, jurus kedelapan yang diiringi suara-suara memuji kebesaran Budha.

Pukulan keras berhawa mujijat yang diiringi puja-puji kebesaran Budha terlontar kearah ular hitam besar itu. Dan ketika membentur, Ular Hitam itu nampak mengejang dan hilang sekejap, tetapi sebentar kemudian ular itu sudah nampak kembali mengambang dan meliuk-liuk di udara. Kwi Song segera menyiapkan pukulan lain yang lebih dahsyat, tetapi sebelum melakukannya dia mendengar bisikan lirih di telinganya:

“Mundurlah anakku, biarkan yang tua melawan yang tua”

Sadarlah Kwi Song bahwa kakek Kiang Cun Le ternyata tidak melibatkan diri karena menunggu lawan satu ini untuk tampil. Dan benar saja, tiba-tiba terdengar sebuah suara berhawa mujijat lain yang mengambang di udara, tetapi nampaknya melawan pengaruh magis sebelumnya:

“Gayatri ….. buat apa menakut-nakuti anak-anak, mari, biar yang tua dilayani oleh yang tua”

“Hi hi hi ……….….. Cun Le, engkau salah jika mengira masih akan sanggup mengalahkanku seperti pertarungan dulu itu” Nenek tua yang ternyata adalah tokoh perempuan asal Thian Tok itu menyahut.

“Sayangnya, jadwal pertempuran masih setahun dua tahun lagi Gayatri. Buat apa engkau melibatkan diri dalam kekisruhan di Tionggoan ini”?

“Hi hi hi …. Cun Le, engkau bodoh atau pura pura bodohkah? Banyak tokoh-tokoh sepuh dan maha sakti sekarang berkeliaran karena kisah lembaran berisi ilmu sakti digdaya itu. Masakan aku tingal diam saja?

“Bukankah engkau bahkan telah menguasai isi dari salah satu dari lembaran itu Gayatri? Apakah itu belum cukup? Kakek Cun Le tetap bersuara sabar.

Sementara Tanya jawab dengan kekuatan mujijat berlangsung, pertempuran untuk sementara terhenti. Gedoran suara suara berhawa mujijat yang menyusup masuk ke sanubari mereka, merasuk dan mempengaruhi keseimbangan jiwa dan semangat mereka. Untungnya tanya jawab itu berlangsung timbale balik, suara si Nenek menyerang sementara suara Kakek Cun Le menyeimbangkan keadaan.

Sehingga tanya jawab itu sendiri merupakan sebuah pameran pertandingan berhawa sihir. Hanya saja, Kakek Cun Le paham, dalam hal sihir, dia masih dibawah Gayatri. Hanya karena kekuatan batin dan ilmu lurus yang dikuasainya sajalah yang membuatnya mampu mengimbangi.

Tapi, jika pertandingan adu sihir terjadi, dia paham bahwa banyak korban yang tidak bersalah akan jatuh:

“Justru karena aku telah menguasai sebagian isi lembaran itulah maka sulit bagimu untuk mengulangi kemenangan di masa lalu Cun Le”

“Jika engkau butuh kemenangan itu, biarlah kali ini aku mengaku jika aku memang kalah olehmu Gayatri”

“Hm, engkau pikir aku anak kecil yang mudah dibujuk seperti itu Cun Le”?

“Karena aku tidak butuh kemenangan itu”

“Baiklah, mengapa tidak dicoba sekarang saja, hitung-hitung pemanasan sebelum waktunya tiba” Dan seiring dengan lenyapnya suara Gayatri, angin pukulan menderu dari ular hitam yang masih mengambang sudah mengarah kepada kakek Cun Le. Keduanya ternyata berdiri di wuwungan rumah yang tenga-tengahnya adalah arena pertempuran. Sesaat sebelum pertempuran aneh dan mengerikan itu terjadi, Kwi Song mendengar bisikan lirih di telinganya:

“Pertempuran ini bakal sangat berbahaya, jauhkan semua orang dari arena. Nenek itu, adalah tokoh hitam asal Thian Tok, dia kini sudah jauh lebih berbahaya dibandingkan puluhan tahun silam. Mudah-mudahan lohu bisa mengimbanginya”

Nampak Kakek Cun Le mengibaskan tangannya kearah ular yang menyerang datang, tetapi benturan keduanya sama sekali tidak menerbitkan suara apapun. Tetapi, ada cahaya berkeredepan yang terpancar dari benturan antara Ular Hitam dan Kiang Cun Le. Padahal, dimata Cun Le, Ular Hitam itu hanyalah semacam sapu tangan yang diisi kekuatan sihir dan digunakan menyerangnya. Tetapi, keseudahan benturan pertama itu sungguh luar biasa:

“Hebat … hebat Gayatri, engkau memang maju sangat jauh”

“Hik hik hik, ternyata engkaupun rajin mengasah diri Cun Le. Apakah adikmu juga setangguh engkau sekarang ini”? Nenek Gayatri juga memuji. Kaget, karena setelah menguasai beberapa ilmu dari lembaran sakti itu, dia masih belum sanggup mengatasi Kiang Cun Le. Karena itu, tubuhnya tiba-tiba melayang dan melesat keudara, langsung menyerang kearah Kiang Cun Le.

Melihat keadaan itu, Kakek Cun Le paham, bahwa hanya dengan balas menyerang dia tidak akan celaka. Kesaktian Gayatri sekarang ini sudah jauh melampaui pertempuran mereka dulu, dan jika membiarkan diri diserang, sama dengan jatuh dibawah angin.

Karena itu, tubuhnyapun melesat keudara dan keduanya bagaikan bayang-bayang yang bertarung diudara bebas, sebentar berbenturan dan sebentar berpisah. Untungnya, arena di bawah sudah dikosongkan setelah Kwi Song menghubungi Bu Kang Cu dan Gui San Bu dan bertindak cepat mengosongkan arena. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Thian Liong Pay, sehinga arena kini bebas digunakan Kakek Cun Le dan Nenek Gayatri.

Kedua kelompok kini dipisahkan oleh arena pertempuran yang meski tidak mengeluarkan suara mengelegar, hanya bunyi desisan dan suara mencicit dari benturan kekuatan mereka yang bertarung, tetapi justru sangat mencekam. Berkali-kali Kakek Cun Le dan Nenek Gayatri berbenturan, dan hanya Kwi Song dan Tibet Sin Mo Ong belaka yang mampu mengikuti pertarungan luar biasa itu.

Kwi Song bisa melihat, bahwa sebetulnya Kakek Cun Le masih menang matang dibandingkan Nenek luar biasa itu. Tetapi, jurus-jurus serangan dan kekuatan Nenek Gayatri, diyakininya masih berada diatasnya, dan jika dia yang maju, maka dia masih belum tandingan nenek sakti itu. Diam diam Kwi Song mengeluh, betapa banyak tokoh hebat di pihak lawan.

Sementara itu, Kiang Cun Le akhirnya berdiri ditengah lapangan, dan bersilat dengan banyak mengibaskan lengan kiri dan kanannya. Sementara Nenek Gayatri seperti melayang-layang dan kadang nampak bagaikan seekor ular besar yang coba melilit Kiang Cun Le.

Kekuatan sihir sajalah yang membuat Gayatri sedikit mampu mengimbangi Kakek Cu Le. Tetapi, kekuatan-kekuatan mujijat yang mengalir keluar dari pukulan-pukulan Khong Ih Loh Thian, membuat kekuatan kekuatan sihir membuyar. Dan karena itu, Nenek Gayatri tidak sanggup mendekati Kakek Cun Le, bahkan semakin lama tenaga batin dan tenaga dalamnya banyak terkuras dalam menyerang lawan yang kokoh tersebut.

Sementara Kakek Cun Le tidak meladeni adu tenaga batin dan sihir, karena dia kurang terlatih dibandingkan lawan yang memang melatih diri dalam ilmu ilmu sihir di India (Thian Tok). Tengah kedua tokoh sakti mandraguna itu bertempur, tiba-tiba masuk Kwi Beng bersama Ma Heng Kong dan Tian Kui Hok.

Tetapi, langkah Kwi Beng sungguh sangat berat, nampaknya dia terluka tidak ringan disebelah dalam. Begitupun Kwi Beng masih tetap memaksakan diri untuk berjalan, dan ketika melihat Kwi Song dalam keadaan sehat tiba-tiba tubuhnya ambruk, nampaknya tidak tahan lagi:

“Koko, ada apa denganmu”? tetapi tiada jawaban sama sekali.

“Locianpwee apa yag terjadi dengan koko Kwi Beng”? Kwi Song bertanya kepada Ma Heng Kong ketika mendapati Kwi Beng sudah tidak sadarkan diri.

“Souw Tayhiap bertarung dengan seorang yang lihaynya luar biasa. Baru kali ini lohu melihat ada kesaktian seperti itu di dunia persilatan” jawab Ma Heng Kong bergidik membayangkan kehebatan lawan Kwi Beng.

“Tetapi Souw Tayhiap bisa meladeni orang itu beberapa lama” timpal Tian Kui Hok yang betapapun mengagumi perlawanan Souw Kwi Beng. Sementara itu, Kwi Song dengan cepat sudah membantu menyalurkan tenaga dalamnya kepada kakaknya. Hatinya sedikit mencelos menemukan kenyataan betapa tubuh kakak kembarnya seperti tak bertenaga lagi.

Dilain pihak, Tibet Sin Mo Ong tercekat melihat adanya tenaga tambahan dari pihak Tiam Jong Pay, bahkan muncul pula Kwi Beng meski terluka. Harapan tinggal terletak kepada Nenek Gayatri. “Katanya ada seekor Naga maha sakti yang mendekam di Tiam Jong Pay, mana Naga itu”? rutuk Tibet Sin Mo Ong penasaran.

Tambah penasaran lagi karena melihat kenyataan Nenek Gayatri perlahan namun pasti mulai melemah perlawanannya karena menghamburkan tenaga batinnya dalam upaya menindih Kiang Cun Le. Di pihak Kakek Cun Le sendiri merasa semakin tercekat: “Tanpa petunjuk locianpwee Kolomoto Ti Lou, mustahil aku sanggup menahan dan mengalahkan Gayatri, Luar biasa, kemajuannya sungguh sangat luar biasa”.

Sementara Gayatri sendiri juga terkejut luar biasa: “Luar biasa setan tua ini, setelah menguasai banyak ilmu dari lembaran pusaka itu, ternyata masih juga belum mampu menundukkannya. Bahkan baik dengan Ilmu Sihir maupun dengan Ilmu Silat masih belum mampu untuk mengalahkannya”.

Menyadari keadaan yang bertambah runyam itu, tiba-tiba Nenek Gayatri mengeluarkan teriakan yang penuh dengan hawa mematikan. Inilah “Gelap Ngampar”, sebuah jurus yang sangat berbahaya dari lembaran ketiga pusaka yang tercuri di Kerajaan Sriwijaya.

Sebuah Ilmu mematikan, mirip dengan Sai Cu Ho Kang, tetapi memiliki kedahsyatan yang luar biasa. Dalam waktu singkat, 7 tubuh terlontar dengan dada pecah, 5 orang dari anak murid Tiam Jong Pay dan 2 dari pihak Thian Liong Pang. Mereka berdiri paling depan, padahal ilmunya paling cetek, karena itu dengan segera mereka menjadi korban.

Melihat keadaan tersebut, mau tidak mau Kiang Cun Le harus bertindak cepat. Jika ilmu ciptaan dan andalannya, Khong Ih Loh Thian selama ini digunakan hanya untuk membela diri, maka kali ini digunakan dengan penuh kekuatan terlontar kearah Nenek Gayatri.

Sebab jika Nenek itu dibiarkan beberapa lama lagi memekik seperti itu dan menaikkan nada suaranya, maka akan lebih banyak lagi korban yang jatuh. Betapa welas asihpun Kiang Cun Le, tidak sanggup dia melihat pembantaian di hadapannya tanpa berbuat apa-apa. Maka keluarlah hembusan angin yang terasa semilir, tetapi berisi kekuatan yang mengerikan, meluncur kearah Gayatri.

Tahu diri, Gayatri dengan segera menarik pekikan Gelap Ngampar, yang juga sebenarnya kode memangil kawan, dan bersiap memapaki serangan Kiang Cun Le. Hanya terdengar benturan dengan suara lembut: “Wusssss”, tetapi akibatnya Nenek Gayatri terdorong sampai 3 langkah ke belakang, sementara Kiang Cun Le hanya bergoyang-goyang sebentar.

Belum lagi Nenek Gayatri tegak berdiri, tiba-tiba serangan dengan kekuatan yang mengunci jalan keluarnya karena pengerahan tenaga yang luar biasa telah mengurungnya di tengah. Tetapi, tidak kecewa Gayatri menjadi tokoh Thian Tok yang maha sakti, dengan menggoyang goyang tubuhnya bagaikan ular menggeliat, dia membentur serangan Cun Le, tetapi tidak dengan kekerasan.

Bahkan dia membiarkan tubuhnya terdorong kebelakang dan memunahkan daya serangan lawan sambil menyiapkan serangan balik. Tetapi, Kakek Cun Le sadar apa yang terjadi, dia tidak mengejar lawan, tetapi menyiapkan jurus-jurus pamungkas lainnya. Karena itu, dia tidak termakan tipuan lawan, tetapi menjaga agar Gayatri tidak menimbulkan korban lebih jauh.

Setelah Gelap Ngampar dikeluarkan dan “Naga terpendam” yang dimaksud belum juga muncul, mulailah baik Tibet Sin Mo Ong maupun Nenek Gayatri khawatir. Ada sesuatu yang tidak beres nampaknya. Karena itu, adu pandang sekilas antara keduanya segera memperoleh konfirmasi, bahwa harapan bertahan sudah buyar.

Kehadiran Kiang Cun Le dan entah halangan apa yang ditemui “Naga Terpendam” yang diandalkan membuat mereka dalam posisi terdesak. Untung Kwi Song dan Kwi Beng sedang berhalangan, jika tidak, maka jalan mundur sungguh sangat terjal. Pada saat itulah tiba-tiba setelah bertukar kode dengan Tibet Sin Mo Ong, Gayatri menyerang dengan seluruh kekuatannya.

Dia membuat Kiang Cun Le sibuk, dan tiba-tiba terdengar lengkingan Gelap Ngampar sekali lagi, tetapi tidak menimbulkan korban karena semua orang sudah menyingkir dan menjauhi arena. Kapok melihat korban pekikan Gelap Ngampar yang dikeluarkan Nenek Gayatri. Bersamaan dengan pekikan itu, terdengar komando Tibet Sin Mo Ong:

“Mundur”

Dan terdengar teriakan makian dan umpatan serta langkah-langkah yang berusaha kabur dari Markas Utama Tiam Jong Pay. Gui San Bu memandang keadaan Ciangbunjin yang masih tertegun segera berupaya untuk mengeluarkan perintah mengejar:

“Kejar” …..

“Tahan”, sebuah suara berwibawa dari Bu Kang Cu menahan langkah siapa saja murid Tiam Jong Pay yang ingin mengejar.

“Tapi Ciangbunjin Suheng” Gui San Bu berkeras

“Cukup Gui Sute, korban sudah cukup banyak. Tanpa disertai oleh Kiang Locianpwee, mengejar mereka sama dengan menyerahkan nyawa kita” tegas Bu Kang Cu yang disetujui oleh sutenya yang lain, dan bahkan juga Kiang Cun Le mengangguk setuju atas tepatnya kebijakan Ciangbunjin Tiam Jong Pay.

Cukup banyak korban yang jatuh, tetapi yang memilukan Bu Kang Cu, sang Ciangbunjin adalah betapa perguruannya mengalami keruntuhan moral yang cukup besar. Bahkan kekayaan merekapun tergerogoti secara besar-besaran dan dipergunakan untuk mengobok-obok dunia persilatan di Tionggoan. Masih untung pada saat terakhir datang Kiang Cun Le dan kedua Pendekar Kembar untuk membantu mereka.

Meskipun pilu dan sangat terpukul, Bu Kang Cu menunjukkan watak kepemimpinannya. Dia memerintahkan menguburkan semua korban, menghukum 3 murid utama yang murtad dengan memunahkan ilmu kepandaian mereka dan diusir dari perguruan dan kemudian menata kembali murid tingkat pertama.

Sayang, si pengkhianat Kwan Bok Hoan mampu meloloskan diri bersama 2 murid utama lainnya. Sementara itu, disudut lain, setelah sekian lama Kwi Song menyalurkan sinkang ke tubuh kakaknya, akhirnya Kwi Beng mulai sadarkan diri. Pada saat dia mulai siuman itulah Kiang Cun Le mendekati mereka berdua:

“Bagaimana keadaanmu sicu”? Tanya Kakek Cun Le kepada Kwi Beng

“Lukanya agak parah Locianpwee” jawab Kwi Song sedih melihat keadaan kakaknya. Perlahan Kiang Cun Le memegang nadi Kwi Beng, dan beberapa saat kemudian dia berpaling kearah Bu Kang Cu:

“Ciangbunjin, apakah lohu bisa meminta sedikit pertolongan”?

“Sudah tentu locianpwee, apa yang bisa kami lakukan”? Bu Kang Cu menjawab dengan gopoh

“Lohu membutuhkan sebuah kamar yang agak terpencil besama kedua anak muda ini. Luka anak ini terhitung agak parah, mungkin butuh waktu lama bagi lohu untuk bisa menyembuhkannya. Karena itu lohu membutuhkan ruangan yang tidak gampang diganggu orang ”

Setelah berpikir agak lama Bu Kang Cu, agaknya menimbang-nimbang kamar mana yang patas buat para penolong perguruannya, akhirnya dia memutuskan dan berkata:

“Gui Sute, antarkan para penolong kita ke Wisma Cemara”

“Baik Ciangbunjin Suheng”
 
BAB 17 Perebutan Harta Tiam Jong Pay
1 Perebutan Harta Tiam Jong Pay




Wisma Cemara adalah salah satu bangunan rahasia dari Tiam Jong Pay. Wisma ini menjadi tempat khusus Ciangbunjin untuk bersemadhi dan biasanya yang memiliki akses ke sana adalah angkatan Ciangbunjin dan Suheng atau Sutenya. Begitulah turun temurun tradisi tersebut berlangsung, dan dengan sendirinya Wisma Cemara menjadi tempat tersembunyi yang bahkan Kwan Bok Hoan sendiri tidak mengetahui letaknya.

Meskipun dia adalah murid utama. Padahal, Wisma Cemara tidaklah terdapat terlalu jauh dari Markas Utama Tiam Jong Pay. Dan justru keterpencilan dan kerahasiaan Wisma itu yang akhirnya sangat menguntungkan. Dan di tempat itulah para sandera yang dibebaskan oleh Kwi Beng, Ma Heng Kong dan Tian Kui Hok ditempatkan dan disembunyikan.

Tetapi, ketika kemudian Wisma itu digunakan oleh Kiang Cun Le untuk mengobati Souw Kwi Beng, para sandera telah terlebih dahulu harus diantarkan ke Markas Utama dan untuk sementara mereka tinggal di Markas Utama perguruan sampai keaadan Perguruan kembali menjadi normal.

Betapapun dalam situasi kisruh, banyak kemungkinan bisa terjadi. Dan di Wisma Cemara itulah untuk beberapa waktu Kiang Cun Le mengobati Souw Kwi Beng yang juga dijagai dan ditunggui oleh saudara kembarnya Souw Kwi Song.

“Bagaimana locianpwee, apakah keadaan kakakku benar-benar sangat parah”? Tanya Kwi Song sesampainya mereka di Wisma Cemara dan usai Kiang Cun Le kembali memeriksa Kwi Beng untuk memastikan. Bukannya menjawab, Kakek Cun Le nampak malah menerawangkan matanya seperti sedang memikirkan sesuatu.

Melihat keaadan Kakek Sakti itu, Kwi Song tertegun dan mencoba untuk tidak mengganggu, melainkan memandang kakaknya yang masih tetap lemas seperti tak bertenaga, tetapi sudah siuman. Setelah beberapa lama, Kiang Cun Le akhirnya menatap Kwi Beng dan bertanya:

“Sicu, bagaimana awalnya sicu bisa terpukul oleh pukulan aneh ini”?

“Sebetulnya tecu sedang bertempur dengan Majikan Kerudung Putih. Tetapi pada saat ketika para sandera mulai keluar dan diantarkan oleh Ma Locianpwee dan Tian Locianpwee, tiba-tiba terdengar sebuah suara memerintah Majikan Kerudung Putih untuk menyerangku. Tetapi, pada saat bersamaan, tecu juga sedang mengerahkan Ban Hud Ciang di jurus ke 8 sehingga serangan Majikan Kerudung Putih tertahan” Kwi Beng sejenak berhenti untuk bernafas

“Selanjutnya bagaimana koko”? kejar Kwi Song

“Tiba-tiba nampak si pemberi perintah, seorang Kakek Tua renta yang potongannya agak aneh, seperti bukan berasal dari Tionggoan, berjalan keluar kehadapan tecu. Tapi, tiba-tiba langkahnya tertahan dan dia kemudian terdengar bergumam – diapun sudah tiba disini, sungguh sulit menghindarinya, meski sudah puluhan tahun – dan terasa aneh bagi tecu” Kembali Kwi Beng berhenti sejenak dan membuat Kwi Song seperti biasa menjadi sangat penasaran dan terus mengejar kelanjutannya.

“Dan kemudian bagaimana koko”?

“Entah karena menghindari siapa, tiba-tiba kakek aneh itu berkata – Harusnya begini – dan dengan perkataan itu dia menyerang tecu. Untungnya Tecu masih sempat mengerahkan ilmu baju emas yang memiliki kekebalan kuat dan memapaknya dengan Ban Hud Ciang secara tergesa-gesa. Tapi orang tua aneh itu sungguh lihay luar biasa, tecu hanya bertahan dua pukulan dan tiba-tiba tecu sudah terpukul jatuh. Untungnya, orang tua aneh itu agaknya sedang menghindari sesuatu, karena itu dia bergegas pergi dan hanya sempat mengatakan – Begitu seharusnya menggunakan BRAJAMUSTI – dan selanjutnya diapun menghilang bersama Majikan Kerudung Putih. Kejadian selanjutnya tecu sendiri sudah tidak ingat”

“Brajamusti, apa gerangan itu kakang”?

“Entahlah, nampaknya nama sejenis Ilmu Pukulan yang digunakan orang tua itu. Dan pukulan itu memang luar biasa, apalagi jika dilawan dalam ketidaksiagaan”

“Hmm, benar, Brajamusti” terdengar Kakek Cun Le bergumam. Serempak Kwi Beng dan Kwi Song memandang Kakek Kiang Cun Le. Dan Kwi Song tidak bisa ditahan untuk tidak bertanya:

“Ilmu apakah gerangan itu locianpwee”?

“Ilmu itu adalah sejenis Ilmu Pukulan maha ampuh dari seberang lautan. Seorang tokoh manusia dewa seangkatan guru kalian, seangkatan kakekku beberapa waktu sebelumnya menjelaskan mengenai Ilmu Pukulan tersebut. Jika bukan karena Ilmu Kebal Baju Emas, maka sekujur tubuhmu sekarang sudah tawar dan menguras semua kekuatan tenagamu. Bahkan pukulan itupun berani berhadapan telanjang tangan dengan senjata tajam. Jika melihat keadaanmu, maka tokoh yang menyerangmu bahkan masih berkemampuan diatas Nenek Gayatri yang sudah kalian saksikan”

“Sehebat itu locianpwee”? cecar Kwi Song

“Hmmm, itu sebabnya hawa menakutkan terpancar dari Markas Pertama Tiam Jong Pay, rupanya dia mendekam disana”

“Apa maksudnya locianpwee”? Kwi Song tambah penasaran

“Pertanyaanmu yang pertama yaitu soal kehebatan pukulan itu, yang bisa lohu katakan, Pukulan itu terdapat dalam salah satu lembar pusaka yang diperebutkan. Dan nampaknya kakek tua yang bertemu denganmu sicu, sudah menguasai ilmu itu secara sempurna. Sementara pertanyaanmu yang kedua, (sambil memandang Kwi Song) tokoh tua itu tenryata sudah lama menyembunyikan diri di Tiam Jong Pay dan entah bagaimana ternyata berserikat dengan Thian Liong Pang”

“Tetapi, kenapa dia seperti sedang menghindari seseorang locianpwee”? Kwi Beng yang lebih teliti bertanya.

“Karena dia memang sedang dikejar-kejar oleh kedua saudara seperguruannya setelah dengan licik melarikan 3 lembar pusaka tulisan tangan gurunya. Dan saudara seperguruannya, juga berkepandaian tidak rendah. Tetapi, yang ditakutkan orang itu sebenarnya bukan saudara seperguruannya, tetapi gurunya yang sakti bukan buatan. Karena hanya gurunya yang sanggup menguasai semua ilmu dalam lembaran itu, sementara murid angkatan mereka belum ada yang meyakinkan semua ilmu dalam lembar pusaka yang diperebutkan sampai jauh dari tanah asal ilmu ilmu tersebut. Bahkan ilmu ilmu tersebut konon menurut kakekku, banyak juga mendasarkan atas ilmu-ilmu kita di Tionggoan. Jadi, bisa kalian bayangkan kehebatannya bukan”?

Kembali ketiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Jika tokoh tokoh sekelas orang tua yang menyerang Kwi Beng terlibat, maka bisa dipastikan, keadaan dunia persilatan memang akan sangat runyam. Bahkan seorang Kiang Cun Le seperti tidak memiliki pegangan untuk melawan tokoh tokoh hebat tersebut.

Belum lagi Nenek Gayatri, yang juga memiliki kesaktian nyaris berimbang dengan Kiang Cun Le. Wajar jika mereka gelisah. Keadaan hening cukup lama sampai akhirnya Kakek Cun Le kembali menarik nafas panjang dan berkata:

“Engkau beruntung sicu, karena pada saat melontarkan pukulan itu, si orang tua aneh sedang bergegas menghapus kembali jejaknya. Selain memang engkau sempat juga mengerahkan Ilmu Baju Emas. Jika tidak, maka tiada lagi harapan bagimu”

“Maksud Locianpwee”? Kwi Beng tersentak.

“Menurut penulis Ilmu Pukulan di lembaran itu, Brajamusti sebenarnya bukannya tidak terlawan. Meski sangat hebat dan berani melawan senjata tajam dengan tangan telanjang, tetapi dengan Ilmu Baju Emas kalian sanggup menahannya bila pengerahannya dalam konsentrasi kuat dan penguasaan kalian sudah meningkat jauh. Jika tidak berimbang, maka daya rusak Brajamusti akan sanggup menamatkan riwayat lawannya”

“Maafkan,tecu belum mengerti locianpwee”

“Brajamusi yang dilontarkan kearahmu tidak sepenuh tenaga, dan Ilmu Baju Emasmu belum dikerahkan sepenuhnya. Ketika terkena engkau terluka, itu berarti lawanmu masih berada di tingkatan yang lebih tinggi daripadamu. Jika sama-sama kuat pengunaannya, maka keadaanmu tidak akan seperti sekarang. Boleh dibilang, engkau diselamatkan pendatang yang mengejar orang tua itu dan juga diselamatkan oleh Ilmu Baju Emasmu”

“Artinya, masih ada kesempatan bagi tecu untuk mengembalikan kesehatan locianpwee”?

“Benar, bahkan kesempatan itu harus engkau gunakan untuk meningkatkan kemampuanmu. Dan saat bersamaan, engkau juga sicu (memandang Kwi Song), juga harus melakukan hal yang sama. Adalah lebih baik, jika kalian berdua melakukan secara bersamaan. Engkau sicu (melirik Kwi Song) mengerahkan Tenaga Kim Kong Ciang untuk merangsang kembali tenaga yang tertawarkan oleh Brajamusti. Sebab, dengan merangsang sendiri, maka akan butuh waktu puluhan tahun bagi kakakmu untuk pulih kembali”

“Tetapi, apakah itu mungkin locianpwee”? bertanya Kwi Song yang nampak agak sangsi dengan keterangan Kiang Cun Le.

“Sangat mungkin, karena lohu pernah mengalaminya ketika memindahkan hawa ke tubuh cucuku Ceng Liong, kawan kalian. Dan penulis pukulan dalam lembaran sakti itu yang menolongku, dan dia juga yang memberi petunjuk kepada lohu untuk membantu kalian disini”

“Apa maksud locianpwee kakek tua yang dulu itu”? Tanya Kwi Song dan Kiang Cun Le hanya mengangukkan kepala. Tetapi hanya sebentar, karena kemudian dia kembali berucap:

“Dia melakukannya sebagaimana janjinya kepada guru-guru kalian, selain juga persiapan melawan akibat jahat yang timbul dari murid perguruannya yang menyebar teror di banyak tempat karena membawa lari lembaran tulisan tangannya itu”.

Akhirnya ketiga orang itu, kedua pendekar kembar dan Kakek Sakti Kiang Cun Le tenggelam dalam pikiran masing-masing. Semakin lama semakin rumit persoalan yang mereka temukan dan hadapi. Fakta bahwa kekayaan Tiam Jong Pay dikuras dan dimanfaatkan Thian Liong Pang sungguh mengagetkan.

Fakta bahwa Nenek Gayatri menjadi begitu digdaya dan nyaris mengimbangi Kiang Cun Le, juga mengejutkan. Belum lagi ternyata masih ada seorang tua aneh lainnya yang bahkan kesaktiannya masih diatas Nenek Gayatri. Masih ada tokoh sakti lain lagikah yang tumpang menumpang dengan ambisi Thian Liong Pang? Sungguh sebuah teka-teki dan rahasia yang sulit untuk dijawab saat itu.

Setelah beberapa saat ketiganya tenggelam dalam lamunan masing-masing, adalah Kakek Kiang Cun Le yang akhirnya kembali memecahkan keheningan dengan berkata:

“Sebaiknya kalian berdua beristirahat dan mengumpulkan semangat sampai sore hari. Pada malam harinya, lohu akan menjelaskan apa yang harus kalian kerjakan. Harus diingat, lohu tidaklah menurunkan ilmu baru dan menjadi guru kalian. Tetapi, lohu membantu kalian untuk meningkatkan kemampuan kalian berdasarkan Ilmu-Ilmu yang diturunkan oleh suhu kalian, locianpwee Kian Ti Hosiang yang sakti madraguna”

“Baik locianpwee, tetapi ada baiknya sebelum beristirahat tecu mengupayakan adanya makanan bagi kita. Terutama bagi Beng Koko” dan tanpa menunggu persetujuan Kiang Cun Le, Kwi Song sudah melangkah keluar meninggalkan Wisma Cemara milik Tiam Jong Pay.

Adapun Kakek Kiang Cun Le berdiam selama 10 hari Wisma terpencil itu, hanya pada malam kedua semua tokoh utama Tiam Jong Pay datang menjumpainya. Mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan menjanjikan bantuan bagi perlawanan terhadap teror Thian Liong Pang. Bahkan dalam kesempatan itu, salah seorang putera Bu Kang Cu bernama Bu Keng Han sempat diminta tingal selama hari hari terakhir, karena Kakek Kiang Cun Le tertarik melihat bakat dan kegagahan anak remaja berusia 15 tahun tersebut (Kelak, Keng Han ini mampu mengangkat kembali kejayaan Tiam Jong Pay dan selalu mengaku Kiang Cun Le sebagai gurunya).

Setelah itu, Kakek Cun Le menyelesaikan urusannya meninggalkan pesanan dari Kolomoto Ti Lou dan menjaga agar Kwi Song dan Kwi Beng berlatih bersama menyatukan tenaga untuk merangsang kembali sinkang Kwi Beng selama 3 hari. Selanjutnya, digunakannya waktu 2 hari untuk mendiskusikan bagaimana kedua anak muda itu melanjutkan latihan bersama agar tenaga keduanya meningkat dan sanggup menampilkan perbawa ilmu-ilmu mereka secara luar biasa.

Dan memang tidak lama waktu bagi kedua anak muda yang selain berbakat, juga berkemauan keras dan telah memiliki dasar ilmu silat yang murni dan sangat tinggi. Dan waktu lima hari terakhir, digunakan oleh Kiang Cun Le untuk mendidik Bu Keng Han, putra bungsu Ciangbunjin Tiam Jong Pay. Mendidiknya dalam dasar-dasar penghimpunan iweekang tingkat tinggi yang sudah bercampur dengan ajaran Kolomoto Ti Lou, juga mengajarkan beberapa jurus dan ilmu tingkat tinggi kepada anak muda yang gagah dan berbakat itu.

Setelah lima hari, Kiang Cun Le menyuruh Bu Keng Han menemui ayahnya dan meminta agar tidak menggangu kedua Pendekar Kembar sampai mereka selesai berlatih. Dan pada malam harinya, setelah meninjau latihan kedua pendekar kembar, akhirnya kakek sakti Cun Le meningalkan Wisma Cemara.

=====================

Pagi …. meski sinar matahari telah meninggi, tetapi sosok tubuh muda yang nampak kekar, kelihatannya masih betah menikmati mekarnya hari. Sosok muda yang kekar itu masih tetap tenggelam dalam lamunan dengan sesekali melongok kekiri dan kekanan dan memandang jauh kelembah. Di bawah pohon dimana dia duduk dan memandang kelembah, adalah tempat dimana beberapa minggu sebelumnya dia berbincang dengan beberapa tokoh yang sangat dihormatinya.

Siapa lagi orang muda ini jika bukan Kiang Ceng Liong tokoh muda dunia persilatan ini kini dikenal dengan julukan Ceng-I Koai Hiap. Hanya, setelah tengelam dalam pendalaman kembali atas ilmu-ilmunya, Kiang Ceng Liong kali ini nampak sedikit berbeda. Tubuhnya masih tetap kekar berisi, malah nampak semakin matang. Rambutnya, juga masih tetap tidak berubah, seperti juga gerak geriknya yang gagah dan matap.

Jubahnya tetap hijau, sebagaimana dunia persilatan mengenalnya sebagai Pendekar Aneh Berbaju Hijau, meski sekarang nampak lusuh dan kurang bercahaya. Maklum, telah sebulan lebih anak muda ini tenggelam dalam Samadhi dan pendalaman kembali semua Ilmu Silat peninggalan gurunya, sekaligus kakek buyutnya.

Yang berbeda kali ini adalah, jika sebelumnya matanya memantulkan cahaya tajam menusuk, maka kali ini, sinar matanya nyaris seperti sinar mata orang yang tidak berkepandaian. Setenang mata anak-anak yang bening tanpa dosa, tanpa kehendak, dan terasa begitu polos dalam memandang. Sinar dan pandangan mata yang nyaris sama tenang setenang telaga mata Kian Ti Hosiang dan kawan-kawannya yang dihormati sebagai Manusia Dewa Tionggoan.

Tapi jangan salah, justru di mata itulah kelebihan dan anugerah alam kepada sosok muda yang sedang bersamadhi di bawah pohon itu. Tempatnya bersamadhi saat ini adalah tempat dimana lebih dari sebulan lalu berbincang dengan kakeknya Kiang Cun Le, Bibi Nenek Kiang In Hong dan paling lama dengan Kalomoto Ti Lou yang membuka banyak pespektif baru bagi pengembangan kemampuan bersilatnya.

Bahkan, hampir semua percakapannya dengan kedua orang tua pendahulunya dan dengan Kolomoto Ti Lou yang pada akhir pendalamannya juga diakuinya sebagai “Guru”, masih terngiang dan terpatri dalam sanubarinya. Dialog dan percakapan yang membuatnya mengeram diri dalam gua sepanjang malam dan melatihnya pada kesempatan lain. Boleh dibilang, selama sebulan lebih, bahkan hampir dua bulan, Ceng Liong terus menerus menelusuri kemungkinan-kemungkinan yang dipaparkan Kolomoto Ti Lou baginya.

Dari mulai menyempurnakan kekuatan batin dan berkomunikasi dengan orang yang diinginkannya, menyempurnakan penggunaan Gelap Ngampar yang memakan waktu setengah bulan alias nyaris 15 hari, menyempurnakan penggunaan Tatapan Naga Sakti dan paling lama, hampir sebulan dia mencari cari celah untuk meningkatkan penguasaannya atas ilmu Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), ilmu ciptaan kakek buyutnya. Ilmu yang menurut Kolomoto Ti Lou memiliki 25% dari ilmu yang diciptakan 4 manusia dewa tionggoan sebagai padanan dari Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi), yang dimiliki oleh Kolomoto Ti Lou.

Bahkan, untuk menyelaminya, Ceng Liong mengunakan komunikasi batin dengan Kakek buyutnya, Kiang Sin Liong yang telah menutup diri. Dengan jelas kakeknya menjelaskan detail ilmu tersebut, serta peran ilmu itu dalam Ilmu yang diciptakan berempat dengan 3 Manusia dewa lainnya. Tetapi, kakeknya juga mewanti wanti untuk tidak terlalu sering berkomunikasi dengan cara seperti itu, karena banyak membuang hawa murninya.

Dan memang terbukti, sampai sehari semalam waktu yang dibutuhkan Ceng Liong untuk memulihkan tenaga dan semangatnya yang banyak terhamburkan itu. Tetapi, dia sekaligus sadar, bahwa memang kesempatan untuk meningkatkan ilmunya Pek Hong Cao Yang Sut Sin Ciang sampai setaraf Tingkat II ilmu Deo Mone Woro Mone Penynyi ternyata betul terbuka. Alias sangat sangat mungkin.

Setelah menyempurnakan penguasaannya atas Gelap Ngampar, Tatapan Naga Sakti dan komunikasi batin yang menguatkan baik tenaga batin maupun penguasaan tenaga dalamnya, Ceng Liong benar benar menanjak ke penyempurnaan ilmunya itu. Dengan Gelap Ngampar dia sudah sanggup menyerang hingga menyembuhkan orang, meskipun kemampuannya menyembuhkan jauh lebih hebat dan cepat melalui tatapan mata.

Tetapi, tingkatan mengisolasi pusat serangan dengan hanya tertuju pada satu titik dalam lokasi yang sama, bisa dikuasainya pada hari terakhir. Ceng Liong sudah sanggup mementalkan dan memecahkan sebuah kerikil dalam lingkaran yang diciptakannya. Dan dengan demikian dia menganggap selesai melatih Gelap Ngampar. Sementara latihannya dalam Ilmu Tatapan Naga Sakti relatif jauh lebih mudah dan bahkan dengan hasil yang jauh lebih gemilang. Hal yang memang telah diramalkan Kolomoto Ti Lou.

Sementara menggunakan Pek Hong Cao Yang Sut Sin Ciang, dia sudah mampu sampai sejajar dengan tahapan kedua ilmu Kolomoto Ti Lou. Yakni sanggup mengurung area tertentu dengan awan putih pekat dan mengungkunginya serta mengurung isinya dengan kekuatan sinkangnya. Pergolakan sinkang dalam awan putih itu akan sanggup melontarkan balik kekuatan lweekang penyerangnya menjadi dua kali lipat dari kekuatan penyerang.

Dan semua itu bisa dicapai Ceng Liong setelah selama hampir dua bulan berlatih dengan penuh kesungguhan sampai terakhir 4 hari lalu dia menganggap semua yang ditetapkannya untuk dicapai sudah berhasil diraihnya. Terakhir, dia meneliti kembali ilmu-ilmu yang dimilikinya, termasuk Pek Lek Sin Jiu, Soan Hong Sin Ciang, Giok Ceng Cap Sha Sin Kun, Giok Ceng Kiam Hoat serta ilmu ilmu lain yang dimilikinya.

Dan tanpa disadarinya, sinar matanya yang diwaktu sebelumnya nampak mencorong dan menakutkan, justru berubah bagaikan orang yang tidak memiliki ilmu sedikitpun. Tetapi, bersamaan dengan itu, justru wibawa yang terpancar dari tubuhnya tidaklah tersembunyikan. Maklum, dalam tubuh itu tersimpan ilmu-ilmu pilihan, ilmu-ilmu pilih tanding yang bahkan sudah bertambah dengan Gelap Ngampar dan Tatapan Naga Sakti, masih lagi ditambah dengan kemampuan mujijat dalam melontarkan ilmu sihir.

Pagi ini dan sepanjang hari, adalah waktu yang ingin digunakannya untuk menikmati istirahat atau melepas semua kepenatannya selama berlatih hampir dua bulan. Masa dua bulan dengan semua latihan keras yang dilakukannya secara ketat. Karena itu, kali ini Ceng Liong lebih banyak mengedarkan pandang matanya menikmati keindahan alam dan sesekali membiarkan dirinya diterpa angin dari lembah yang meniup dan membawa kesegaran.

Sesekali, diapun membiarkan pikirannya dan emosinya hanyut dan terbang bersama angin. Manusia, dimanapun, pasti akan menemukan banyak hal bermakna ketika mencoba menikmati dan membiarkan dirinya menjadi satu dengan alam. Dan dalam hal ini, Ceng Liong sudah membuktikannya berkali kali, dari sejak dia nyaris mati terhantam banyaknya hawa sinkang dalam tubuhnya, hingga kemudian upayanya menghayati perspektif ilmu yang dipaparkan Kolomoto Ti Lou.

Dan karena itu jugalah, Ceng Liong berkeras ingin menyatu dengan alam di hari terakhirnya ditempat itu, karena keesokan harinya dia memutuskan akan kembali ke Lembah Pualam Hijau untuk seterusnya melanjutkan usaha membasmi Thian Liong Pang. Sudah hampir dua bulan dia menghilang, dan hanya beberapa orang belaka yang bertemu dia sebelum menutup diri hampir dua bulan sebelumnya.

Besoknya, pagi-pagi benar Ceng Liong memutuskan untuk pertama menuju Kota Ye Cheng yang sebetulnya berjarak tidak terlalu jauh dari tempatnya berlatih. Ada kurang lebih 3 atau 4 jam dia berjalan kaki dan sengaja memperlambat perjalanannya, selain Ye Cheng tidak terlalu jauh, juga karena dia masih ingin menikmati indahnya peandangan sekitarnya. Menjelang tengah hari tiba-tiba Ceng Liong bergumam seorang diri:

“Hm, ada orang, 6 atau 7 orang datang dari depan, nampaknya bukan tokoh-tokoh sembarangan. Ada apa dan maksud apa perjalanan mereka yang nampak agak tergesa gesa itu?“

Tetapi Ceng Liong tidak menghentikan langkahnya, tetap berjalan tenang sambil menikmati perjalanannya. Dan benar saja, tidak lama kemudian dari arah depan nampak beberapa orang yang berlari mendekat dengan langkah teratur. Dan ketika tiba berhadapan dengan Ceng Liong ke-6 tokoh yang berlari teratur itu tiba-tiba berhenti. Memandang sekejap kearah Ceng Liong dan salah seorang yang dengan cepat menemukan Medali Pualam Hijau tergantung dileher Ceng Liong sudah langsung berlutut dengan cepat:

“Menjumpai Duta Agung“ dan dengan segera kelima orang lainnya dengan sangat gembira ikut bersujud. Betapa tidak,hari ini takterduga mereka telah bertemu dengan Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Orang yang ditunggu dan dicari selama beberapa bulan berakhir.

”Sudahlah, mari, mari semuanya berdiri. Bagaimana kabar saudara-sadara kita yang lainnya“? tetapi belum sempat terdengar jawaban, tiba-tiba seorang yang lain sudah ikut tiba. Dan begitu melihat Ceng Liong sudah bersama dengan Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau, dia segera menarik nafas gembira. Tetapi sesuai tata krama dia segera memberi hormat:

“Menemui Duta Agung“

Nampak Ceng Liong memandang penuh perhatian kepada si pendatang yang mengenakan Topeng Hitam. Tetapi, tiada niat Topeng Setan atau Topeng Hitam untuk memperkenalkan diri, padahal ada beberapa kali orang ini menolong dirinya. Justru karena itu, mengetahui Topeng Setan berasal dari keluarga sendiri dan nampak memiliki halangan sendiri membuat Ceng Liong tidak cukup berani untuk usil mengganggu dan menanyakan identitasnya.

Topeng Setan nampak bersyukur karena Ceng Liong tidak menanyakannya banyak pertanyan bernada menyelidik identitasnya. Yang pasti orang yang mampu datang bersama Barisan Pedang dan ditaati Barisan itu, berarti adalah angota keluarga Kiang. Dia menduga-duga siapa gerangan? Tetapi tetap tidak bertanya, meski ada semacam dugaan dibenaknya. Pada akhirnya dia justru menanyakan hal lain.

“Ada urusan apakah sehingga Barisan 6 Pedang bergerak begitu tergesa-gesa“?
Bergeas Suma Bun yang biasa berbicara memandang kearah Topeng Setan, seperti minta pertimbangan untuk berbicara. Melihat itu, Topeng Setan kemudian tampil berbicara:

”Duta Agung, beberapa hari berselang, Kay Pang memperoleh kabar rahasia bahwa harta rampasan Thian Liong Pang dari Tiam Jong Pay akan diangkut ke Kwi Ciu. Menerima kabar itu, Pengemis Tawa Gila bersama 15 anggota Kaypang telah langsung menyelidik dan mencegat kearah jalan menuju atau keluar dari Tiam Jong Pay“

“Hm, Tiam Jong Pay bisa dijarah Thian Liong Pang? Sungguh memang kelewatan orang-orang Thian Liong Pang“ gumam Ceng Liong

”Tetapi, kabar terbaru diterima kemarin, bahwa kekuatan Thian Liong Pang yang mengawal harta itu terhitung sangat kuat. Karena itu, Sian Eng Cu Tayhiap meminta bantuan Barisan 6 Pedang untuk ikut memberi bantuan“ tambah Topeng Setan.

”Siapa-siapa sajakah tokoh Thian Liong Pang yang tercium mengawal harta tersebut memangnya“?

“Diketahui selain Majikan Kerudung Putih dan gurunya yang sakti, terdapat juga Kim-i-Mo Ong, Tibet Sin Mo Ong dan beberapa pentolan lainnya. Semua dikerahkan untuk menjemput harta rampasan tersebut“

”Jika demikian, kekuatan kita masih belum memadai untuk mencegat dan merebut harta rampasan tersebut“

”Mohon petunjuk Duta Agung“ berkata dan memohon Suma Bun, Duta Perdamaian Nomor Pertama. Nampak Ceng Liong berpikir sejenak, dan kemudian berkata:

”Baiklah, aku akan ikut langsung dalam pekerjaan ini. Berjalanlah terlebih dahulu, paman harap memimpin Barisan 6 Pedang dan biarkan aku berbicara sebentar dengan Sian Eng Cu Tayhiap dan akan mengawasi kalian dari jauh.
”Apakah Duta Agung tidak akan berjalan bersama Barisan 6 Pedang“? bertanya Suma Bun perlahan. Karena sebagai orang pertama Barisan 6 Pedang, terutama dia paham betul, begitu Duta Agung hadir di luar lembah, maka Barian 6 Pedang harus selalu mendampingi.

”Sudah tentu akan paman, tetapi aku perlu berbicara sebentar dengan paman Sian Eng Cu. Kalian berangkat dan bergerak terlebih dahulu, percayalah, tidak lama aku akan bergabung dengan Barisan 6 Pedang. Nach, aku berangkat duluan. Begitu kata “duluan“ terucap, bayangan Ceng Liong sudah jauh bergerak kearah Ye Cheng, berusaha menemui Sian Eng Cu
 
2




Sementara itu, Barisan 6 Pedang memandang berlalunya Ceng Liong dengan mulut ternganga, bahkan juga Topeng Setan. Salah satu tokoh dan pentolan Lembah Pualam Hijau ini bahkan geleng-geleng kepala saking girang dan bangga melihat gerakan Ceng Liong yang sudah meningkat sangat pesat dalam bergerak.

Mereka semua akhirnya yakin, bahwa Ceng Liong benar akan bergabung dengan Barisan mereka segera setelah bertemu Sian Eng Cu. Dan karena itu, khawatir Pengemis Tawa Gila dan rombongannya mendapat bencana, mereka akhirnya kemudian berangkat mendahului Duta Agungnya.

Sementara itu, Pengemis Tawa Gila yang didampingi oleh salah seorang Hu Hoat Kaypang Pek San Fu Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) bersama 15 anggota Kay Pang sudah dua hari mendahului Barisan 6 Pedang. Meskipun demikian, mereka selalu berkomunikasi melalui perangkat komunikasi cepat milik Kay Pang yang sangat terkenal.

Baik menggunakan burung merpati ataupun melalui kurir-kurir anggota Kay Pang yang tersebar di banyak tempat. Itulah sebabnya Barisan 6 Pedang tidak ragu untuk memilih arah, karena memang banyak tanda dan informasi yang diperuntukkan bagi mereka. Bahkan belakangan Pengemis Tawa Gila kegirangan ketika mendapat kabar dari Sian Eng Cu Tayhiap bahwa Ceng-i Koay Hiap Kiang Ceng Liong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau sudah menyusul karena kekuatan lawan yang memang ditaksir mengerikan.

Dan hari itu memasuki hari ke-7 Pengemis Tawa Gila memburu kelompok yang mengangkut harta rampasan itu. Nampak salah seorang kurir sedang menghadap Pengemis Tawa Gila:

”Lapor Hu Pangcu, diperoleh kabar, kelompok pengangkut menggunakan kuda dan tidak akan mengambil jalan umum. Kemungkinan besar jalan hutan karena khawatir dirampok di tengah jalan“

”Hm, kalau lohu dalam posisi mereka, pasti akan berpikir serupa. Tetapi, perintahkan untuk terus mengawasi lawan dari jarak aman karena banyak tokoh kosen di pihak mereka“

”Baik Hu pangcu, kabar selanjutnya akan menyusul kira-kira 2-3 jam mendatang“

”Bagus, biar lohu menunggu disini“

Beberapa saat kemudian, setelah kurir Kay Pang keluar dari kuil bobrok tempat atau markas Kay Pang di daerah itu, Pengemis Tawa Gila memandang kearah Pek San Fu:

”Pek Huhoat, hingga kini kita belum memperoleh berita datangnya bala bantuan. Kita berharap Duta Agung Lembah Pualam Hijau bisa segera bergabung“

”Benar Hu Pangcu, akan jauh menguntungkan bila kekuatan kita bertambah. Apalagi karena membenturkan banyak anggota Kaypang dengan tokoh tokoh kosen itu terlampau besar resiko membuang nyawa“

“Kita memang terlampau gegabah bertindak sebelum tahu jumlah pasti dan siapa tokoh tokoh mereka yang akan mengawal pengangkutan harta itu“ sesal Pengemis Tawa Gila

”Tetapi, jika kita tidak begerak cepat, keadaan akan semakin sulit dikontrol Hu Pangcu. Ada lebih baik kita memanggil tokoh-tokoh Kay Pang sekitar daerah ini jika mungkin kita mengerahkan mereka ....“ Belum selesai perkataan Pek San Fu, tiba-tiba masuk seorang angota Kaypang lagi:

”Lapor Hu Pangcu, ada sepasang anak muda minta bertemu. Mereka mengaku mengenal Hu Pangcu“

“Siapa mereka, apakah identitas mereka bisa ....“ masih belum selesai ucapan Pengemis Tawa Gila telinganya telah menangkap suara yang dikirimkan dari kejauhan dengan sangat jelas dan tegas:

”Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song dari Siauw Lim Sie mohon menghadap Hu Pangcu Kaypang Pengemis Tawa Gila“

Mendengar suara yang meski lirih tetapi terkesan menggoda khas Kwi Song yang telah dikenalnya dengan baik dan memang biasanya suka berkelakar dengannya, tiba-tiba Pengemis Tawa Gila mengeluarkan tawa khasnya:

“Hik hik hik ....... silahkan pendekar pendekar muda Siauw Lim Sie, jika ada yang menahan kalian, lohu ragu jika kalian tidak sanggup menerobosnya“ suara itu dikeluarkan dan didorong oleh kekuatan sinkangnya sehingga terdengar jelas sampai jauh dan membuat tiada seorangpun yang berani menghalangi kedua anak muda kembar itu untuk masuk menemui Hu Pangcu Kaypang, Pengemis Tawa Gila. Dan begitu memasuki ruangan, adalah Kwi Song yang memang dekat dengan Pengemis Tawa Gila yang memulai dengan canda:

”Hahahaha, bertemu dengan Hu Pangcu Kaypang ditempat seperti ini, pasti kita tidak akan kerepotan koko. Selamat bertemu Hu Pangcu“ Kwi Song dengan cepat menjura dan diikuti dengan gaya sama oleh Kwi Beng

”Selamat berjumpa Hu Pangcu, apakah kabar Hu Pangcu baik-baik saja. Dan ech, maafkan, dengan locianpwee manakah gerangan kami berhadapan“? Kwi Beng menyapa dan sekaligus memandang kearah Pek San Fu

”Hahahaha, inilah rupanya 2 tunas muda yang luar biasa dari Siauw Lim Sie. Sunguh beruntung lohu, Pek San Fu boleh bertemu dengan jiwi“

”Hm, Pek San Fu Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang), Hu Hoat Kay Pang, terimalah hormat kami yang muda” Kwi Song dengan manis dan penuh hormat menyapa Pek San Fu

”Siauwtee Souw Kwi Beng juga menghormat Pek Hu Hoat” tambah Kwi Beng

”Ach, justru adalah kehormatan besar bagi lohu bertemu dengan jiwi. Mari, mari, banyak hal bisa kita percakapkan saat ini” undang Pek San Fu yang kemudian diikuti dengan gaya khas Pengemis Tawa Gila menyediakan tempat buat kedua kakak beradik kembar itu untuk duduk. Sudah tentu tiada kursi di kuil bobrok yang telah lama ditinggal orang itu.

”Kelihatannya dengan kedatangan jiwi, dan malam nanti Barisan 6 Pedang bersama Topeng Setan dari Lembah Pualam Hijau bergabung, maka kekuatan kita sudah lebih memadai. Terlebih, Duta Agung, Kiang Ceng Liong juga dikabarkan telah bergerak kemari. Menurut dugaan lohu, selambatnya besok malam anak itu akan bergabung dengan kita”

”Benarkah Hu Pangcu? Wah, mengapa kelihatannya seperti akan terjadi keramaian di daerah ini? Ceng Liong? Sudah lama kami tidak bertemu dia, akan sangat menyenangkan nantinya. Hu Pangcu, mengapa kami melihat seperti ada kesibukan di kalangan Kay Pang didaerah sekitar ini”? Kwi Song seperti biasa menjadi juru bicara kedua kakak beradik kembar ini.

”Song Ji (Pengemis Tawa Gila, memang menganggap pendekar pendekar muda yang berjuang bersama mereka seperti anaknya sendiri), kita memang sedang merencanakan sebuah keramaian. Karena itu, beruntung kalian berdua bergabung untuk ikut menyaksikan, bukan, bukan, bukan, tetapi ikut bermain dalam keramaian itu …. Hik hik hik”

”Keramaian apa gerangan yang dimaksud Hu Pangcu”?

“Begini anak muda, informasi rahasia Kay Pang masuk ke Ye Cheng dan Kwi Ciu, bahwa Thian Liong Pang akan mengangkut harta yang sangat besar dari sekitar gunung Tiam Jong San. Dan Sian Eng Cu Tayhiap menugaskan kami untuk memotong arus pengangkutan mereka itu” Pek San Fu yang menjawab.

”Kurang ajar, jadi benar, bahwa mereka menjarah harta kekayaan Tiam Jong Pay. Dan nampaknya harta rampasan itu yang mau diangkut koko” Ujar Kwi Song sedikit agak emosi mengingat pengkhianatan dan penjarahan kekayaan Tiam Jong Pay.

”Lohu mendengar bahwa tugas kalian berhasil dengan baik di Tiam Jong Pay. Kionghi … kionghi, kabar itu telah menyebar di banyak tempat …. Hik hik hik, tidak rugi punya sahabat muda seperti kalian berdua” Pengemis Tawa Gila berkata gembira diiringi tawa gilanya.

”Tetapi, tanpa bantuan Locianpwee Kiang Cun Le kami tidak akan sanggup menyelesaikan tugas itu Hu Pangcu” Kwi Beng yang tidak ingin menonjolkan diri nimbrung bicara.

”Selain itu, kami berdua, bahkan juga dengan Kiang Locianpwee menemukan jejak sorang tokoh sakti luar biasa yang lama mendekam di Tiam Jong Pay. Tetapi tokoh itu seperti sedang bersembunyi dari seseorang. Tecu khawatir, justru tokoh itu kembali akan memunculkan dirinya”

“Hm, apakah Kiang Locianpwee tidak mampu mengidentifikasi siapa dan bagaimana kehebatan tokoh itu”? bertanya Pek San Fu

”Kiang Locianpwee hanya menduga-duga siapa tokoh itu sebenarnya, mengenai identitasnya sulit dipastikan. Satu hal, bahkan Kiang Locianpwee ragu apakah dia sanggup mengimbangi tokoh tersebut” Kwi Song menjelaskan dan membuat Hu Pangcu dan Pek Hu Hoat terguncang.

”Sungguh kekuatan sebenarnya Thian Liong Pang ternyata masih sulit untuk kita pastikan” terdengar gumam prihatin dari Pengemis Tawa Gila

”Benar Hu Pangcu, karena bahkan di Tiam Jong Pay, kamipun bertemu Nenek Gayatri yang kini bahkan sudah hampir sanggup mengimbangi Kiang Locianpwee” tambah Kwi Song.

”Mengimbangi? Apa engkau yakin Song ji”? Pengemis Tawa Gila terdengar bertanya dengan suara penasaran.

”Setidaknya begitu menurut Kiang Locianpwee, karena nenek itu katanya sudah belajar dari lembaran kitab pusaka yang diperebutkan itu” tambah Kwi Song.

”Sungguh celaka, benar-benar celaka. Jika demikian, maka kekuatan mereka sangatlah luar biasa. Apalagi jika tokoh yang bahkan Kiang Locianpwee ragu sanggup mengimbanginya ikutan muncul. Repot, repot, repot” terdengar gerutuan Pengemis Tawa Gila yang terkaget-kaget mendengar keluarnya tokoh-tokoh sepuh dan berdiri di pihak lawan.

”Betapapun kuatnya mereka, tugas kita tetap harus dijalankan. Untungnya mereka belum bergerak, sehingga menguntungkan kita sambil menungu kedatangan Kiang Ceng Liong dan mungkin uga yang lainnya. Ach, bagaimana pula rupa anak itu sekarang”? Pengemis Tawa Gila merenung mengingat keadaan Ceng Liong. Salah seorang pendekar muda yang diramalkan dan diharapkan akan banyak melakukan perlawanan hebat dan memimpin pendekar Tionggoan melawan Thian Liong Pang.

Demikianlah, tempat tinggal sementara Hu Pangcu Kaypang dan kawan-kawannya terletak sebenarnya tidak jauh dari gunung Tiam Jong. Dan itu jugalah sebabnya kedua pendekar kembar dengan mudah menemukan tempat tersebut. Dan sebagaimana yang diperkirakan, menjelang malam Barisan 6 Pedang yang sakti dari Lembah Pualam Hijau ikut bergabung bersama dengan salah seorang tokoh Lembah Pualam Hijau si Topeng Setan.

Hampir setiap 3-4 jam, berita dari anak buah Kaypang datang melaporkan perkembangan buruan mereka, baik melalui burung merparti maupun melalui seorang kurir. Karena itu, Hu Pangcu dan kawan-kawannya bisa memantau pergerakan lawannya. Tetapi, sampai keesokan harinya, belum juga ada laporan bahwa sudah ada gerakan dari lawan.

Bahkan hingga malam harinya, termasuk Ceng Liong yang ditunggu juga belum ada kabar beritanya. Jikapun ada berita dari lapangan adalah, munculnya beberapa tokoh aneh yang belum dikenal di seputar lokasi pengintaian. Selain itu, terdengar berita bahwa di kota yang dicurigai sebagai aktifitas lawan, terjadi transaksi penjualan kuda sebanyak hampir 50 ekor, dan dilaporkan kuda yang dibeli rata rata adalah kuda yang bagus dan kuat beralan jauh.

Perkembangan itu menunjukkan bahwa kelihatannya lawan sudah mulai bergerak. Tetapi, Kwi Beng yang berpikiran teliti dan pernah tertipu sehingga terculik di Tiam Jong Pay mengusulkan kepada Hu Pangcu:

”Hu Pangcu, ada baiknya kami melakukan pengintaian kekuatan dan rencana lawan. Pengalaman kami di Tiam Jong Pay, kadang lawan membuat gerakan palsu untuk mengalihkan perhatian kita”

”Apa artinya bahwa kita harus melakukan pengintaian yang lebih akurat dan mendekati posisi musuh”?

”Benar Hu Pangcu, dan untuk tugas ini biarlah kami mencoba melakukannya” tegas Kwi Beng.

”Nampaknya baik juga rencana tersebut, tetapi biarlah kta menunggu sampai besok hari baru kita putuskan melakukannya siang atau malam besok”

”Begitu juga baik Hu Pangcu” Kwi Beng kurang enak hati memaksakan idenya.

Besok paginya, seorang kurir Kay Pang menyampaikan sebuah surat kepada Hu Pangcu dengan isi singkat:

“Pengintaian sudah dilakukan,
di pihak lawan terdapat Majikan Kerudung Putih,
Kim-i- Mo Ong, Tibet Sin Mo Ong, Ciu Lam Hok
dan Bu Tek Coa Ong. Dicurigai dibayangi beberapa tokoh misterius.
Bersiap dalam 1-2 hari ini lewat jalur hutan,
Bukan jalan umum”
Ceng Liong

“Hm, rupanya anak itu sudah bertindak lebih dahulu” pikir Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila. Dan melihat kekuatan lawan, nampaknya mereka tidak main main, sampai menugaskan Majikan Kerudung Putih, salah seorang Hu Hoat dan Hu Pangcu, bahkan masih dilindungi secara sembunyi oleh tokoh misterius. Dan nampaknya mereka sudah mencium adanya gerakan penghadangan sehingga menyiapkan banyak alternative.

“Bukan tidak mungkin akan terjadi adu taktik kali ini” desis Pengemis Tawa Gila. Berpikir demikian Pengemis Tawa Gila akhirnya merembukkan jalan dan alternative yang akan dan harus ditempuh bersama para tokoh yang bersama dengannya, Topeng Setan, Pek San Fu, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song:

”Hm, jadi Ceng Liong sudah melakukan pengintaian, bagus …. bagus, akan tambah seru pekerjaan ini nantinya” berkata Kwi Song

”Hati-hati Song te, yang engkau cari selalu keramaian dan pertandingan seru. Kita tidak akan bertanding saat ini. Kita sedang menjalankan misi bagi dunia persilatan Tionggoan” tegur Kwi Beng

”Baik …. Baik …. Baik koko yang bijak. Aku tahu pekerjaan kita kali ini sama penting dan seriusnya dengan di Tiam Jong Pay. Tidak akan kulupakan” Kwi Song membela diri dengan gaya lucunya.

”Sudahlah Beng Ji, kita semua rada kenal dengan Song Ji. Penting bagi kita kali ini untuk menyiapkan gerakan, karena menurut Ceng Liong musuh belum memutuskan bergerak lewat jalur mana. Yang pasti bukan jalur umum sebab rawan penghadangan” Pengemis Tawa Gila menengahi.

“Apakah posisi musuh sudah diketahui Ceng Liong Hu Pangcu”? Topeng Setan tiba tiba menyela bertanya

“Dilihat dari isi suratnya, kelihatannya Ceng Liong sudah menemukan mereka. Tetapi belum bisa lohu pastikan.

“Jika memang mereka akan bergerak dalam 1 atau 2 hari ini, maka kita sudah harus menyiapkan strategi penghadangan” tegas Topeng Setan yang dianggukkan oleh semua yang hadir.

Percakapan siang hingga sore itu akhirnya membahas apa yang akan dikerjakan menghadapi strategi yang akan diterapkan lawan. Dan semua menjadi terang ketika malam harinya kembali muncul sebuah surat:
“Mereka sengaja mengganti-ganti siasat,
menggunakan 50 kuda beban. Setengahnya
akan mengangkut harta palsu. Pengangkut harta palsu
aka bergerak besok pagi, tetapi hanya
siasat mengalihkan perhatian.
Rombongan asli belum tahu bergerak kapan.
Tugaskan Barisan 6 Pedang menahan
Pengangkut harta palsu”
Ceng Liong“

"Hm, benar-benar licik tetapi mengasyikkan mengadu strategi dalam pertempuran semacam ini” desis Pengemis Tawa Gila.

”Benar Hu Pangcu, dibutuhkan ketenangan dan ketelitian menghadai mereka” berkata Kwi Beng mengingatkan.

“Bagaimana dengan tugas besok pagi”? bertanya Pek San Fu

“Duta Agung telah menugaskan Barisan 6 Pedang, biarlah lohu yang mengatur penangkapan pengangkut harta palsu itu” Topeng Setan menegaskan niatnya sesuai apa yang diperintahkan oleh Kiang Ceng Liong bagi Barisan 6 Pedang untuk dikerjakan.

“Baiklah, kita tetapkan demikian” putus Pengemis Tawa Gila

Besok paginya, Barisan 6 Pedang bersama Topeng Setan tidak kesulitan menghadang dan menangkap 25 penungang kuda yang mengangkut harta palsu. Tetapi, selain tidak disertai seorangpun pemimpin gerombolan Thian Liong Pang, sesudah ditangkap, tak seorangpun yang tahu siapa yang memerintahkan dan apa yang mereka bawa.

Bahkan, di salah satu ekor kuda, dalam barang yang diangkut, setelah dengan sangat hati-hati Topeng Setan membuka buntalan yang diangkut, ternyata hanya berisi sehelai kertas dengan tulisan: “kalian tertipu”. Meskipun demikian, karena sudah menduga Topeng Setan sama sekali tidak geram, bahkan dengan cepat dia kemudian memerintahkan Barisan 6 Pedang kembali ke markas sementara mereka.

Tetapi, ketika sampai di markas, baru saja seekor merpati yang membawa surat terbang masuk, persis ketika Pengemis Tawa Gila dan tokoh lain sedang berembug, Isi pesan itu adalah:

“Siang ini 2 buah kereta akan meluncur melalui jalan umum.
Isinya belum diketahui”

Tetapi, belum lagi pembahasan akan isi surat itu dilakukan, seorang kurir Kay Pang meminta ijin masuk untuk menyampaikan sebuah surat. Bahkan bersama surat itu ada sebuah peta lokasi. Dari Ceng Liong dengan isi:

“Abaikan 2 buah kereta beracun karya
Bu Tek Coa Ong. Isinya racun jahat. Bersiap malam ini
mereka bergerak melalui hutan”
Ceng Liong

“Hm, untung kita tahu bahwa Kereta itu beracun. Jika tidak, mungkin bahayanya akan besar bagi kita. Meski demikian, kereta berbahaya itu tetap harus dimusnahkan. Tetapi karena kita harus segera bergerak malam ini, dan nampaknya kereta itu hanya pengalihan perhatian dan pastinya tidak disertai tokoh mereka, maka sebaiknya diurus murid-murid Kay Pang disini” demikian Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila

“Benar, dan ini adalah peta lokasi dan gambaran kemungkinan arah dan jalan yang akan diambil oleh pengangkut harta yang asli. Ceng Liong memberi 3 tanda dari kemungkinan arah mereka dari titik ini. Ada baiknya kita segera bergerak mendekati lokasi mereka sehingga mudah mengamati arah yang mereka ambil nantinya, karena sudah pasti mereka akan mengerahkan tokoh dan pentolan mereka mengawal harta itu” saran Pek San Fu.

“Sebentar, apakah mungkin mereka membiarkan harta itu diangkut sementara tahu mereka dalam pengawasan kita”? Kwi Beng bertanya hati-hati.

“Sulit menduganya sampai kita bertatap muka langsung dengan mereka. Tapi biarlah sebagai pencegahan kita memerintahkan pengawasan atas semua angkutan yang terlihat di daerah ini kepada murid-murid Kay Pang” tegas Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila. Dan selanjutnya semua nampak sepaham dengan pilihan tersebut.

Hari itu juga, perjalanan ketitik yang disampaikan oleh Ceng Liong dilakukan secara rahasia, terlebih karena memang hanya tokoh tokoh utama bersama 5 anggota Kaypang yang bergerak lebih dahulu. Pek San Fu ditinggalkan di kuil bobrok itu bersama 15 anggota Kaypang dan menunggu tanda dari Hu Pangcu untuk ikut bergerak membantu kelak.

Menjelang senja mereka menemukan tempat yang ditentukan Ceng Liong dengan sebuah peringatan yang ditinggalkan: “Melewati tempat ini berbahaya, bisa terlacak lawan”. Melihat itu, Kwi Song dan Kwi Beng segera maklum. Karena itu mereka segera mencari tempat mengaso, dan merekapun segera sadar bahwa selama beberapa hari tempat itu menjadi tempat Ceng Liong mengawasi kawanan Thian Liong Pang.

Menyusul, Barisan 6 Pedang segera mengambil posisi disudut-sudut tempat tersebut, sementara Topeng Setan dan Pengemis Tawa Gila memilih mengaso di bawah sebatang pohon yang berdekatan. Tidak lama, baik Kwi Beng maupun Kwi Song segera sadar mengapa Ceng Liong memilih tempat tersebut, karena memang dengan kekuatan batin yang baru mereka latih beberapa waku lalu, mereka menyadari adanya kekuatan luar biasa di seputar tempat kawanan Thian Liong Pang.

“Berbahaya, sungguh berbahaya” desis Kwi Beng

“Benar koko, tetapi kemana gerangan Ceng Liong”? bertanya Kwi Song

“Dugaanku, sebentar lagi dia akan tiba ditempat ini”
Dan dugaan Kwi Beng sama sekali tidak keliru. Ketika gelap akhirnya tiba, Ceng Liong tahu-tahu sudah berada bersama mereka dan dengan segera menyapa semua orang:

“Saudara-saudara, sebaiknya kita segera bersiap. Kelompok merekapun sedang melakukan persiapan, dan harap diingat, mereka sadar jika kegiatan mereka diintai oleh kelompok kita” jelas Ceng Liong.

“Aku menangkap adanya kekuatan luar biasa di kelompok tersebut, dan nampaknya mereka tidak khawatir dengan gangguan kita” Kwi Beng berkata.

“Benar saudara Kwi Beng. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan. Sampai saat ini, aku belum menemukan dimana dan bagaimana mereka akan mengangkut harta milik Tiam Jong Pay tersebut” desis Ceng Liong

“Maksudnya”? Pengemis Tawa Gila bertanya penasaran

“Mereka kelihatannya memang bergerak secara rahasia, tetapi mengangkut harta itu, jauh lebih rahasia lagi. Selain melepas 2 kereta berlumur racun, merekapun barusan melepas lagi 25 penunggang kuda tanpa pengawalan tokoh dan pentolan mereka. Sehingga nyaris tidak mungkin mereka mengangkut harta itu dengan penunggang kuda”

“Berabe, berabe, sunguh berabe ….. licin benar mereka bermain petak umpet kali ini” Pengemis Tawa Gila semakin tegang dan penasaran.

Mereka semua tengelam dalam kerumitan berpikir akan strategi apa yang sedang dikembangkan lawan. Sampai Ceng Liong kemudian berkata:

“Hu Pangcu, segera kirimkan kabar untuk mengawasi keluar masuk di Kwi Ciu, karena berkali-kali nama kota itu disebutkan. Kemungkinan besar, markas mereka berada di luar kota itu. Sebaiknya Hu Pangcu memberitahu paman Sian Eng Cu agar pengawasan diperketat. Dan meskipun kereta itu beracun dan penunggang kuda itu tidak membawa apa-apa, sebaiknya mereka tetap ditahan untuk menjaga hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.

Mereka memang digunakan untuk menyesatkan kita, tapi bukan berarti bahwa tidak mungkin mereka membawa sesuatu”

Nampak sebentar Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila berpikir keras untuk sejenak, dan sebelum dia berbicara Kwi Beng sudah berkata terlebih dahulu:

“Usulan Ceng Liong benar Hu Pangcu, semua kemungkinan harus kita antisipasi terlebih dahulu”

“Baik …. Baik, dikeroyok pendekar muda seperti kalian membuatku memang tidak berdaya” tegas Pengemis Tawa Gila setengah bercanda. Dengan cepat dia menulis sesuatu dan kemudian diberikan kepada salah seorang anggota Kaypang yang menyertai mereka sambil berkata:

“Sampaikan kepada Pek Hu Hoat untuk bergerak cepat”

“Baik Hu Pangcu”

Setelah berlalunya sang kurir Kaypang, Pengemis Tawa Gila nampak mondar mandir sebentar. Tidak berapa lama memang, dan kemudan dia menghadap tokoh yang lain dan berkata:

“Dan sekarang, apa yang harus kita kerjakan”?

Terjadi saling pandang antara semuanya, Topeng Setan, Ceng Liong, Kwi Song, Kwi Beng dan Pengemis Tawa Gila. Tapi adalah Ceng Liong yang berkata lebih dahulu:

”Seandainya harta tersebut sudah diketahui dimana dan bagaimana mengangkutnya, maka kita bisa menyergap mereka sekarang. Apalagi, mereka sangat yakin dengan kekuatan yang dimiliki, dan tidak khawatir disergap musuh, bahkan oleh kita sekalipun. Sayangnya, harta itu entah disimpan dimana oleh kawanan itu”

“Apa tidak lebih baik kita sergap saja sekarang dan menawan salah seorang untuk menyebutkan dimana harta itu”? usul Kwi Song

“Nampaknya hal itu boleh juga” Hu Pangcu mempertimbangkan usul Kwi Song

“Baik, kita bisa tetapkan demikian, tetapi dengan membagi dua kekuatan kita. Mereka juga membagi dua rombongan dan akan berlalu dengan dua jalan bebeda, sebaiknya kita mencegat pada saat mereka membagi diri dalam dua kelompok” saran Ceng Liong sambil mengingatkan peta yang dikirimkannya dan menunjukkan dua jalan dimana rombongan itu merencanakan diri mengambil dua jalur jalan berbeda.

“Hm, begitupun baik” tegas Hu Pangcu

“Apakah kita sepakati demikian”? Tanya Ceng Liong, dan karena tidak ada yang menolak, maka Ceng Liong melanjutkan:

“Barisan 6 Pedang, Saudara Kwi Beng akan ikut bersamaku, sementara Hu pangcu akan bersama saudara Kwi Song dan paman Topeng Setan juga para murid Kaypang”

”Baik” serempak semua menyatakan persetujuannya dan dengan segera membagi diri. Barisan 6 Pedang dengan cepat menarik diri dari tempat penjagaan dan dengan tertib berdiri di belakang Duta Agungnya, demikian juga dengan anak murid Kaypang berdiri di belakang Hu Pangcunya. Meskipun Pek Hu Hoat masih belum bergabung, tetapi tanda akan ditinggalkan buat mereka.

Beberapa saat kemudian, Ceng Liong kembali memaparkan peta dan gambarannya mengenai kemungkinan jalur yang akan diambil lawan mereka dan menata serta mengatur kembali bagaimana dan dimana mereka akan melakukan pencegatan tersebut.

“Mereka sangat takabur membiarkan diri diintai. Meskipun memang hal yang masuk akal karena kekuatan mereka memang luar biasa. Kalau keterangan harta itu berada dimana sudah kita dapatkan, kita sudah bisa mengundurkan diri” saran Ceng Liong

“Dan, hati-hati, terdapat kekuatan tersembunyi yang jejaknya samar samar kutangkap” tambah Ceng Liong.

”Baik, dan sekarang, mari kita bergerak” Ujar Hu Pangcu setelah meningalkan tanda ke kelompok Pek Huhoat dan kemudian dia melangkah maju ke titik yang ditentukan bersama tadi.
 
3




Setelah rombongan Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila berlalu bersama Kwi Song dan Topeng Hitam, beberapa saat kemudian terdengar Ceng Liong memanggil:

“Barisan 6 Pedang”

”Siap Duta Agung” sahut mereka tertib

“Segera menuju titik pencegatan yang ditetapkan”

“Baik Duta Agung, kami berangkat” dan sejenak kemudian ke-6 orang itu sudah melesat diikuti pandangan gembira karena nampaknya kemampuan Barisan itu terus menanjak naik. Tengah dia menikmati kebanggaannya itu terdengar Kwi Beng bertanya:

“Saudara Ceng Liong, kapan kita bergerak”?

“Sudah saatnya saudara Kwi Beng, kita harus membayangi barisan itu. Tidak akan mudah bagi siapapun di pihak lawan untuk melukai Barisan itu sekarang, sementara kita membayangi untuk memonitor pergerakan lawan”

“Bagus, bagus, sungguh teliti. Tetapi, sebaiknya kitapun berangkat sekarang”

“Baik, mari”

Sehabis perkataan itu, melayanglah tubuh kedua anak muda sakti itu meninggalkan tempat itu sambil membayangi pergerakan Barisan 6 Pedang dari kejauhan. Diam-diam keduanya saling mengagumi kemajuan masing-masing. Tidak salah lagi, masing masing sadar jika kawannya telah menanjak sangat pesat dalam kepandaiannya. “Hm, nampaknya Ceng Liong juga mengalami kemajuan yang tidak sedikit” batin Kwi Beng. Kendati, di pihak Ceng Liong juga berpikir serupa.

===================

Dan pada akhirnya pertemuan kedua kelompok yang saling mengintai itu memang terjadi juga. Kelompok pertama yang saling bertemu adalah Kwi Song dan rombongannya yang bertemu dengan kelompok yang dipimpin oleh Kim-i-Mo Ong bersama dengan Tibet Sin Mo Ong.

Ciu Lam Hok dan Bu Tek Coa Ong. Bersama mereka nampak ada sekitar 15 anak murid Thian Liong Pang, namun anehnya mereka sama sekali tidak terkejut dengan penghadangan yang dilakukan oleh lawannya. Bahkan terkesan jika mereka sudah lama menunggu para penghadang, dan merasa heran jika baru pada hari ini pertemuan mereka terjadi.

Hal yang sudah tentu mengejutkan Hu Pangcu, Kwi Song dan Topeng Setan. Terkejut karena merekapun ternyata diketahui sedang memata-matai kelompok Thian Liong Pang tersebut:

“Hahahaha, benar juga dugaan kita. Hanya, mengapa baru sekarang kelompok pemburu harta munculkan diri? Apakah tidak tertarik dengan harta yang dibawa oleh kereta pengangkut atau oleh para penunggang kuda itu …. hahahahaha”? Tibet Sin Mo Ong menyapa sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara di pihak Pengemis Tawa Gila keterkejutan itu segera sirna, dan berusaha menenangkan diri karena ternyata bukan hanya mereka yang tahu lawan di posisi mana. Lawanpun ternyata tahu jika mereka diintai.

“Hahahaha, Hu Pangcu, setelah menjarah harta orang, masih mau menggunakan harta itu untuk menyusun kekuatan menyerang pendekar Tionggoan? Ach, sungguh engkau bermimpi di siang hari bolong” jawab Hu Pangcu sambil balas mengejek.

“Ach, Hu Pangcu (Berkata kepada Pengemis Tawa Gila), mereka kan memang sebangsa kelas pencuri ambisius, jadi wajar jika mencuri untuk tujuan begitu. Lihat saja tampang Hu Pangcu Thian Liong Pang yang selain gemar berkhianat juga seperti pencuri” Kwi Song yang usil sudah menggunakan senjata mulutnya memancing kemarahan Tibet Sin Mo Ong. Dan memang berhasil.

“Bangsat busuk dari Siauw Lim Sie, apakah engkau pikir kami tidak tahu maksud kalian mau merampas harta ini”?

“Tahu, tahu, justru tahu. Kalian tahu kami berhati welas asih, akan mengembalikan ke Tiam Jong Pay dan menyisakan kantong kosong untuk kalian bawa pulang ke markas Thian Liong Pang, bukan demikian Hu Pangcu? Demikian Kwi Song sambil memandang dengan wajah mengejek ke arah Tibet Sin Mo Ong. Kontan Hu Pangcu Ketiga Thian Liong Pang itu murka besar, tetapi sebelum dia bergerak terdengar suara lain:

“Anak muda itu sengaja membakar emosimu Hu Pangcu, bersabarlah” suara berwibawa dari Kim-i-Mo Ong.

“Hmmm, engkau benar Hu Hoat” ujar Tibet Sin Mo Ong lama setelah berusaha keras menahan emosinya. Tapi terdengar Kwi Song kembali berkata:

“Hm, ada juga sedikit kemajuan Hu Pangcu Ketiga Thian Liong Pang. Kemajuan dalam menahan amarah, tetapi dalam hal menahan malu atas kekalahan kelihatannya juga sudah cukup maju”

“Bangsat kau” Tibet Sin Mo Ong yang sudah nyaris mampu menahan amarahnya sontak menyerang kearah Kwi Song. Tetapi, bersamaan dengan serangannya itu, sebuah pukulan sudah menyambutnya dan segera, pecahlah pertarungan pertama di tempat itu.

Adalah Topeng Setan yang menyambut serangan Tibet Sin Mo Ong dan keduanya dengan segera terlibat dalam pertarungan yang sangat seru dan ketat. Tetapi, tujuan utama penghadangan itu adalah mengetahui dimana harta rampasan itu, sebab bila dukungan harta itu kembali mengalir ke markas Thian Liong Pang, maka ekses negatifnya akan sangat besar.

Karena itu, pertarungan Topeng Setan dan Tibet Sin mo Ong, tidaklah dengan segera diikuti oleh pertarungan yang lain. Adalah Kwi Song, Pengemis Tawa Gila dan kawan kawan mereka masih tetap mengawasi pertandingan. Demikian juga dengan Kim-i-Mo Ong yang sudah banyak makan asam garam dunia persilatan. Dia sadar apa maksud utama peghadangan ini, karena itu dia tidak tergea turun tangan. Bahkan dia ditugasi untuk mengulur waku selama mungkin.

Di lain pihak, Bu Tek Coa Ong dan Ciu Lam Hok, juga tidak nampak bergerak untuk membantu. Akibatnya, pertarungan berlangsung terus, dan semakin lama semakin jelas kalau Topeng Setan memainkan ilmu-ilmu pusaka Lembah Pualam Hijau – Giok Ceng Cap Sha Sin Kun. Dengan ilmu yang dikuasainya dengan sangat baik itu, Topeng Setan mampu menahan sehebat apapun serangan Tibet Sin Mo Ong yang berkali kali menanti kesempatan memenangkan pertarungan. Tapi hal itu sungguh tidaklah mudah.

“Mo ong, kupastikan harta itu tidak bersama kalian. Bisakah engkau bermurah hati menunjukkan dimana harta itu”? Kwi Song membuka siasat baru

“Sayangnya lohu tidak tahu. Tapi, jika tahupun tidaklah mungkin kuberitahukan kepada kalian” jawab Kim-I Mo Ong dingin.

“Hm, tampaknya dia berkata benar Hu Pangcu” berkata Kwi Song kepada Pengemis Tawa Gila

“Sudah tentu benar,apa engkau kira Hu Hoat kami bicara kosong” bentak Ciu Lam Hok.

“Bukankah aku sudah membenarkan perkataannya”? Kwi Song balik bertanya dengan tehnik diplomasinya

“Iya, tapi nada bicaramu sepeti meragukannya” tegas Ciu Lam Hok

“Jadi, harus bagaimana nada yang benar sahabat”?
Ciu Lam Hok tdak sanggup meladeni Kwi Song berbicara. Karena itu terdengar Kim-i-Mo Ong berkata:

“Lam Hok, diam, dia bukan tandinganmu dalam bicara dan dalam ilmu silat”

“Tapi Hu Hoat ……”

“Diam kataku” dengus Kim-i-Mo Ong dingin sambil tetap matanya memandang kearah pertarungan. Sementara itu Kwi Song akhirnya berbisik kearah Pengemis Tawa Gila:

“Dilihat dari keadaan mereka, bukan kelompok ini yang memegang rahasia utama dimana harta itu. Mudah-mudahan Ceng Liong dan Beng koko sanggup melacak dimana keberadaan harta itu”

Pengemis Tawa Gila memandang kearah Kwi Song dan kemudian nampak menganggukkan kepala.

Melihat Topeng Setan tidak mengalami kesulitan menghadapi lawannya, Kwi Song jadi gatal tangan untuk kembali menguji kemampuannya. Apalagi karena ditempat itu ada lawan lama yang sudah dikenal kemampuannya, bukankah lawan itu cukup memadai untuk menguji kemajuan ilmu silatnya setelah memendam diri sebulan di Wisma Cemara Tiam Jong Pay? Berpikir demikian, tiba-tiba Kwi Song memandang kearah Kim-i- Mo Ong sambil berkata:

“Mo Ong, bagaimana jika kita ikut meramaikan suasana malam ini agar menjadi jauh lebih meriah”? Kata-kata Kwi Song terdengar bagai sebuah ajakan, tetapi bagi tokoh sekelas Kim-i- Mo Ong, ini jelas jelas merupakan sebuah tantangan untuk berduel. Sejenak dia terpaku, tetap tidak lama kemudian dia berkata:

“Mari jika engkau kembali minta digebuk anak muda” Belum habis perkataannya, tubuhnya sudah mencelat kedepan dan segera disambut oleh Kwi Song. Maka terbukalah arena kedua di tempat itu, arena yang jauh lebih seru karena diisi oleh dua orang sakti melebihi arena pertama. Dan sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam adu kesaktian, adu kelincahan dan adu jurus untuk mencari kemenangan.

Hanya, lama lama jelas kalau mereka berdua lebih mirip duel tidak untuk menjatuhkan lawan, meski sebenarnya mereka berdiri dalam posisi berlawanan. Berbeda dengan duel yang pertama yang nampak lebih kental bernansa atau berisi kebencian dan berniat saling mengalahkan.

Pertarungan Kwi Song dan Kim-i-Mo Ong memang lebih mendebarkan. Tetapi bagi mata ahli, keduanya lebih mirip dua orang yang sedang berlatih. Satu hal yang tidak dimengerti oleh Kim-i-Mo Ong adalah, setelah dia kehilangan ambisi pasca kekalahannya dalam pertarungan tempo dulu, dia justrumenjadi jauh lebih tenang dalam melatih kemampuannya.

Dan karena sudah semakin tua, kematangan dalam penguasaan ilmunya justru semakin hebat, malah lebih hebat dimasa dia masih memliki ambisi yang sangat besar. Tanpa disadarinya, Ilmu Baju Emasnya mengalami kemajuan yang sangat pesat dan karena itu dia sendiri menjadi kaget. Kemajuan Kim-i- Mo Ong mengejutkan Kwi Song, disangkanya setelah memeram diri selama sebulan di Tiam Jong Pay, maka akan lebih mudah baginya menangani Kim-i-Mo Ong, kenyataannya lawan sendiri ternyata bertambah hebat kepandaiannya.

Ilmu Baju Emas lawannya, meski menyimpang dari pakem di Siauw Lim Sie, tetapi kini berhawa lebih keras dan tajam, berbeda dibanding kemampuannya dulu. Bahkan, sekilas, dia merasa khikang yang hampir sama dengan miliknya, juga memancar dari tubuh Kim-i-Mo Ong. Tanpa sadar dengan kagum dan tulus dia berkata:

“Mo Ong, engkau mengalami kemajuan luar biasa”

“Engkau juga anak muda. Sayang karena janjiku kta harus berdiri berhadapan saat ini …. Nasib …. Nasib”

Akhirnya keduanya melanjutkan pertempuran yang mirip latihan itu. Bahkan pada akhirnya dengan gembira Kwi Song melakukan pertarungan dan menguji ilmu ilmu yang dimilikinya dan yang dimatangkannya selama sebulan di Tiam Jong Pay di bawah petunjuk Kiang Cun Le. Kim-i- Mo Ong sendiri pada akhirnya terbawa arus kegembiraan Kwi Song dan melakukan pertarungan mirip latihan itu dengan peningkatan kemampuan silatnya.

Ketika Kwi Song dan Kim-i-Mo Ong mulai meningkatkan kemampuan mereka, nampak rombongan Pek San Fu mulai memasuki arena bersama dengan beberapa anak buah Kaypang dan bergabung dengan Pengemis Tawa Gila. Perkembangan itu membuat Ciu Lam Hok dan Bu Tek Coa Ong menjadi gelisah, terlebih mereka menyaksikan bahwa tidak seorangpun dari jago mereka yang menguasai pertarungan di arena.

Bahkan Tibet Sin Mo Ong nampak sedikit kewalahan menghadapi gempuran lawannya si Topeng Setan yang semakin lama semakin digdaya. Tetapi, sedapat mungkin keduanya menahan diri, karena memang mereka ditugaskan untuk bertahan selama mungkin.

Sementara itu, ditempat lain, tidak begitu jauh dari serunya pertempuran pertama, jalur yang akan digunakan oleh kawanan Thian Liong Pang sudah ditutup oleh Barisan 6 Pedang. Tetapi didekat tempat penghadangan itu, nampak Kwi Beng mengawasi Barisan 6 Pedang, dan dia makin berdebar karena langkah kaki kelompok yang dihadang terdengar semakin mendekat. Ceng Liong? Kemana dia gerangan? Beberapa saat sebelumnya dia berlalu sambil berbisik kepada Kwi Beng:

“Saudara Kwi Beng, harap menahan mereka sebentar, aku ingin menyelidiki apa yang tertinggal di tempat mereka sebelumnya. Mestinya ada petunjuk disana yang bermanfaat bagi kita”

“Baik Ceng Liong, biar aku yang menahan mereka disini” dan setelah ucapan Kwi Beng itu, Ceng Liongpun kemudian mengambil jalan melingkar guna meneliti apa gerangan yang ditinggalkan atau setidaknya bekas-bekas yang dikerjakan kawanan Thian Liong Pang. Betapapun dia tetap merasa yakin, bahwa harta itu seharusnya berada di dekat kelompok itu berkumpul, atau jika tidak, jejaknya tercium disekitar mereka.

Dan pada akhirnya ketika kawanan Thian Liong Pang bertemu dengan penghadangnya, adalah Souw Kwi Beng yang gemetar. Betapa tidak, dia kembali bertemu dengan Majikan Kerudung Putih. Tokoh Thian Liong Pang yang sudah dikenalinya sebagai seorang gadis dan lebih dari itu telah membetot hatinya dan membawa bayangan gadis itu dalam mimpi mimpinya.

Mimpi dan angan yang indah tentunya. Bersama gadis itu nampak ada seorang nenek yang dikenalnya sebagai Nenek Sakti Gayatri. Mereka berdua diiringi oleh 2 orang dari dayang Majikan Baju Putih dan seperti biasanya juga berpakaian putih seperti majikannya. Dan kini, justru gadis itu yang menghadapi Barisan 6 Pedang yang dia tahu betul kehebatannya.

“Hm, tebakan subo sungguh sangat tepat. Godaan harta itu memang hebat dan ternyata bahkan Lembah Pualam Hijaupun ikut melibatkan diri” berkata Majikan Kerudung Putih

“Maafkan kami, kami mendapat perintah bahwa harta yang diangkut adalah hasil rampasan dan tidak boleh digunakan untuk memperkuat Thian Liong Pang” Suma Bun orang tertua dari Barisan itu berkata.

“Hm, enak saja. Adalah kawanan Tiam Jong Pay itu yang tidak becus mengurusi perguruannya dan jika mereka menghendaki, harusnya mereka yang meminta kembali kepada kami, dan bukannya pihak lain”

“Maaf, jika kami bertahan dan menghalangi jalanan ini untuk maksud itu” Suma Bun juga ikut berkeras. Melihat itu, nampaknya sang Majikan Kerudung Putih mulai menjadi gusar:

“Apakah kalian bertekad menahan kami? Dan apakah kalian beranggapan cukup berkemampuan untuk itu”?

“Tidak cukuppun tetap kami akan melakukannya” Suma Bun menjawab mantap.

“Baik, mari kita lihat sampai dimana kemampuan kalian”

Dengan sebat Majikan Kerudung Putih menempur Barisan 6 Pedang yang sudah dia kenal keampuhannya, terutama mendengar dari ayahnya. Ada sedikit rasa bangga melihat keanggunan dan kerapihan bekerja Barisan terkenal dari Lembah Pualam Hijau. Berbeda dengan kakaknya Majikan Kerudung Hitam, Majikan Kerudung Putih memiliki rasa bangga terhadap Lembah Pualam Hijau.

Lembah yang memiliki nama besar dan dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan dan menjadi sala satu tonggak utama persilatan Tionggoan disamping Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kay Pang. Dan sekarang, meski masih dalam gerakan-gerakan awal, dia cukup kagum atas kerjasama antar anggota Barisan yang sanggup saling membela dan bersama saling menyerang tanpa meninggalkan setitik lubang baginya untuk balas melakukan penyerangan.

Barisan 6 Pedang ini sejak dilatih lagi oleh Ceng Liong, memang menjadi terangsang untuk selalu meningkatkan dan menempa diri mereka, terutama meningkatkan penguasaan mereka atas imu-ilmu dasar barisan dan memperkuat penguasaan ginkang mereka. Dari ke-6 manusia itu, yang memiliki kemampuan individu tertingi adalah Duta Perdamaian 1 dan 6, sisanya masih memiliki kemampuan biasa saja di kalangan Rimba Persilatan.

Tetapi, paduan keenamnya, bagaikan menghasilkan hawa mujijat yang membuat keampuhan mereka berlipat ganda. Bahkan keenam orang itu, kini sanggup menggabungkan tenaga dan kelincahan mereka hingga menjadi satu kekuatan dan kelincahan yang luar biasa.

Tempaan terakhir yang diterima dari Kiang Sin Liong beberapa bulan sebelumnya, telah membuat mereka mampu menciptakan hawa perlindungan mujijat jika berada dalam satu barisan. Dan kekuatan itu membuat Barisan 6 Pedang menjadi semakin hebat dan semakin berbahaya.

Tidak heran jika seorang Majikan Kerudung Putih yang sakti dan digdaya, juga tidak berdaya untuk masuk dan memporakporandakan Barisan 6 Pedang. Semakin meningkat kemampuan Majikan Kerudung Putih, semakin kuat pula daya tolak dan daya serang barisan tersebut. Hal yang makin mempertebal kekaguman Majikan Kerudung Putih, tetapi yang sekaligus semakin mempertebal rasa penasarannya.

Bukankah beberapa bulan terakhir dia ditempa habis-habisan oleh subo dan bahkan oleh si orang tua aneh yang selalu menyembunyikan diri itu? Mengapa pula dia tidak sanggup merusak daya kerjasama antara Barisan 6 Pedang itu? Betapapun rasa hormat terhadap Lembah Pualam Hijau, rasa penasaran terhadap kemampuan silatnya lebih kuat.

Karena itu, perlahan namun pasti Majikan Kerudung Putih mulai meningkatkan penggunaan ilmu-ilmu saktinya. Bahkan belakangan, dia mulai mencoba untuk memukul dengan ilmu-ilmu baru yang diajarkan oleh orang tua aneh yang selalu bersembunyi itu. Orang tua yang dipanggilnya guru, tetapi tidak pernah mau berbicara soal asal dan identitasnya.

Tetapi, bahwa orang ta itu masih lebih lihay dibandingkan subonya, sudah dibuktikan dan disaksikannya sendiri. Malah diakui sendiri oleh subonya dengan berkata bahwa beberapa ilmunya memang diajarkan orang tua aneh tersebut.

Dan sekarang, Majikan Kerudung Putih mulai memainkan ilmu barunya itu. Gerakannya masih seperti dasar utamanya, yakni Sin Coa Hui (Ular Sakti Terbang) yang membuatnya mengeliat-geliat tetapi dalam kecepatan sangat tinggi. Dan kemudian dari tangannya mengalir hawa mujijat dari sebuah ilmu baru, sebuah imu sakti yang baru diyakininya beberapa waktu belakangan: Ilmu Brajamusti (Ajian Brajamusti).

Dengan Ilmu tersebut, dia tidak takut bersentuhan dengan pedang lawan, tetapi tangannya tetap harus menghindar, karena pedang Barisan 6 Pedang bisa diatur sedemikian rupa dan berubah menjadi totokan dan tutulan yang berbahaya bila mengenai jalan darah ditangannya.

Tetapi yang jelas, dari kedudukan terserang dan terdesak, Majikan Kerudung Putih sanggup menahan serangan dan melancarkan beberapa serangan balasan dan membuat keadaan kembali seimbang. Sungguh sebuah pertarungan luar biasa dan membuat Kwi Beng yang juga meningkat pesat akhir-akhir ini menjadi ternganga heran melihat kemajuan Majikan Kerudung Putih.

Sementara itu, ada sepasang mata lain yang mengikuti pertempuran itu dan berdesis heran “Ajian Brajamusti, mengapa nona itupun memiliki Ajian itu?, sungguh mengherankan”. Tetapi sampai sejauh itu, pengintip itu bersama dengan Kwi Beng tetap tidak melakukan gerakan-gerakan apapun. Sebaliknya, melihat keampuhan Barisan 6 Pedang, Nenek Gayatri menjadi penasaran. Dia berusaha sedapat mungkin untuk mencari titik lemahnya, tetapi sejauh itu dia masih belum sanggup menemukannya.

Dan pada akhirnya, dia menjadi gatal tangan untuk mencobanya secara langsung. Dan ketika dia mendekati arena pertempuran, Kwi Bengpun bersiap-siap. Meskipun dia percaya akan keampuhan Barisan 6 Pedang, tetapi dia tetap mengkhawatirkan maju berduanya Guru dan Murid di lapangan itu. Dan tindakan Kwi Beng memang tepat dan beralasan. Pada saat Nenek Gayatri melihat Majikan Kerudung Putih surut 3 langkah kebelakang, bukan karena terdesak hebat tetapi karena menghindari tusukan 3 pedang lawan, dengan cepat Nenek Gayatri maju.

Pada ketika yang sama, Kwi Beng juga maju dan bermaksud menyongsong serangan Nenek Gayatri. Tetapi siapa tahu, Nenek Gayatri setelah memegang tangan Majikan Kerudung Putih, justru melontarkan Majikan Kerudung Putih kearah Kwi Beng yang sedang menyerangnya sambil berkata:

“Biarkan subomu mencoba barisan ini, sungguh gatal tangan melihat kehebatannya. Biarlah engkau layani anak muda yang satu itu” dan tidak terduga, justru Majikan Kerudung Putih yang terlontar kearah Kwi Beng dan memapak pukulannya.

Tidak sempat Kwi Beng berbicara banyak, karena dengan cepat pukulan keduanya saling berbenturan. Tetapi, baik Kwi Beng maupun Majikan Kerudung Putih dengan cepat mengenali pukulan berbahaya, karena itu Majikan kerudung Putih cepat meliukkan tubuhnya bagai geliat ular terbang, sementara Kwi Beng setelah benturan mengambil langkah penyelamatan dengan menahan terjangannya dan meompat mundur.

Tetapi, jedah waktu ketika melompat mundur itu, dimanfaatkan Majikan Kerudung Putih yang cepat mengambil inisiatif penyerangan. Dan dimulailah kembali pertarungan di arena kedua antara kedua anak muda itu, pertarungan entah untuk yang keberapa kalinya. Tetapi kali ini, keduanya sunguh terkejut, karena tingkat kepandaian keduanya sudah nyaris sama kali ini.

dan karena itu, Majikan Kerudung Putih terkejut. Baru beberapa bulan lalu dia masih unggul dalam Sinkang, tetapi setelah dilatih orang tua itu dan sinkangnya meningkat, kenapa malah Kwi Beng mampu menyusulnya? Sungguh mengherankan. Dan lebih mengherankan lagi, karena bahkan dalam hal ginkang, dia tidak sanggup lagi menang telak. Benar dia masih unggul, tetapi sudah teramat tipis keunggulannya itu.

Hal yang membuatnya sangat penasaran, tetapi sekaligus juga merasa gembira karena bisa menguji kemajuan ilmu silatnya sendiri. Sementara itu, Kwi Beng sendiri juga merasa heran. Dia tahu bahwa kemajuannya terhitung luar biasa selama sebulan belakangan. Tetapi, nampaknya Majikan Kerudung Putih juga mengalami kemajuan yang tidak sedikit dan masih mampu mengimbanginya. Bahkan masih tetap sedikit dan tipis memenangkan kecepatan gerak. Tadinya dia berpikir dia sudah sanggup mengatasi Majikan kerudung Putih, tetapi ternyata dia keliru.

Benar, dia mampu mengimbangi kekuatan Sinkang lawan, juga sudah mampu mempersempit jarak mereka dalam hal ginkang, tetapi secara keseluruhan mereka masih berimbang. Dia masih belum sanggup mengatasi lawan yang adalah seorang nona dan nampak sekali ini malah sudah semakin lihay saja.

Disisi lain pertempuran, Gayatri menemukan kenyataan betapa Barisan 6 Pedang memang bukan nama kosong. Barisan 6 Pedang ini, bahkan melebihi kehebatan Barisan yang sama ketika beberapa puluh tahun mereka adu tanding di daratan Tionggoan ini. Segala macam Ilmu Ular Sakti termasuk ilmu simpanannya dikeluarkan, tetapi daya kerjasama barisan tersebut sanggup mementalkan semua serangannya dan bahkan menyerangnya secara jauh lebih berbahaya.

“Sungguh gila orang orang Lembah Pualam Hijau ini, Barisan ini malah semakin hari semakin sulit ditandingi” pikirnya. Dan beberapa saat kemudian, Nenek Gayatri mulai menyiapkan ilmu-ilmu lain yang dikuasainya, terutama ilmu menguasai semangat orang, alias ilmu sihir. Dengan kekuatan-kekuatan fisik dia tidak akan ungkulan memenangi duel dengan barisan ini, mungkin dengan kekuatan sihir dia akan sanggup mengalahkan barisan alot ini.

Beberapa saat kemudian terdengar bentakan berwibawa dari mulutnya:

“Lihat, kalian berhadapan dengan enam ekor ular sakti” dan Barisan 6 Pedang benar melihat meluncurnya 6 ekor ular sakti yang mengarah ke mereka. Tetapi, belum sempat mereka memapas putus keenam ekor ular itu, terdengar suara berwibawa lainnya:

“Biarkan 6 sobekan kain itu, jangan dilayani” dan benar saja, 6 ekor ular yang tadinya mengarah ke mereka tiba-tiba jatuh tertiup angin menjadi sepihan sapu tangan yang sebelumnya disobek Nenek Gayatri dan dilontarkan kearah mereka. Sementara itu Nenek Gayatri terkejut karena kekuatan sihirnya ditolak orang lain, hanya entah dimana gerangan orang itu. Maka dia mencoba sekali lagi:

“Kalian Barisan 6 Pedang sedang memegang masing-masing seekor ular hitam”
Tetapi dengan cepat suara yang lain menimpali:

“Masakan sebuah Pedang tajam menjadi ular”?

Dan memang, sekejap Barisan 6 Pedang merasa seperti memegang seekor ular, tetapi hanya sekejap kembali menjadi pedang mereka kembali. Melihat keadaan itu, tiba-tiba Suma Bun berteriak: “Ilmu Sihir – satukan hawa perlindungan kita” dan tiba-tiba keenam orang itu berdiri berjejer dengan menumpangkan tangan di pundak kawan sebelahnya.

Sementara itu, terdengar sebuah suara berwibawa:

“Orang tua, jika ingin bertanding dengan Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau, bertandinglah secara jujur. Jika berkeras menggunakan ilmu sihir, maka engkau akan mengalami serangan sihir dari arah lain”

“Duta Agung” terdengar ke-enam anggota Barisan 6 Pedang berseru. Tidak tersembunyikan kegembiraan mereka mengetahui bahwa ternyata Duta Agung Lmebah Pualam Hijau berada bersama mereka. Dan kini tahulah mereka, bahwa yang memunahkan ilmu sihir yang menyerang mereka tadi adalah Kiang Ceng Liong, Duta Agung Lembah mereka.

“Siapa takut terhadap Barisan ini ….” Dengan suara itu, kembali Nenek Gayatri melesat menyerang Barisan 6 Pedang yang kini berdiri berjejer. Barisan itu tahu kalau mereka menghadapi musuh tangguh dan memiliki ilmu hitam, hanya dengan menyatukan Daya dan Hawa Pelindung mereka akan mampu bertahan. Sedangkan dalam hal ilmu silat, mereka memiliki keyakinan atas kemampuan dan kerjasama mereka
 
BAB 18 Siapakah “Majikan Kerudung Putih”?
1 Siapakah “Majikan Kerudung Putih”?



“Hiyaaaaat” kembali Nenek Gayatri merancang serangan. Kali ini dia kembali maju bertarung dan menyiapkan diri dengan rencana kombinasi ilmu yang lain. Ilmu-ilmu miliknya dengan Mahendra, yakni Tarian Ular Sakti dan Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti segera dikeluarkan dan dikerahkan dengan penuh kekuatan dan konsentrasi.

Sebagaimana diketahui, unsur sihir dari ilmu ini adalah merusak konsentrasi dan emosi lawan, dan jika itu tercapai, sedikit saja, maka pertarungan antara kelompok atau orang yang seimbang kepandaiannya akan sangat menentukan. Hasilnya pastilah adalah sebuah kemenangan. Tetapi, seandainya ilmu itu dikeluarkan sebelum Barisan 6 Pedang menyadari Gayatri menyerang dengan ilmu sihir, maka efeknya mungkin akan lebih hebat dan berat.

Dengan telah menyatukan daya dan hawa pelindung mujijat, maka Barisan 6 Pedang sudah menyiapkan mekanisme bersama melawan hawa hawa menyesatkan bahkan termasuk ilmu sihir. Karena itu, hanya daya serang Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti yang menerpa barisan itu, sementara hawa sihirnya sudah tertahan dan bahkan tertolak keluar oleh daya tolak mujijat barisan ini.

Disinilah kejelian Kiang Sin Liong yang memang menempa dan mempersiapkan barisan ini guna memasuki rumitnya pertikaian di rimba persilatan Tionggoan akhir-akhir ini. Dan pertempuran hari ini sekali lagi membuktikan betapa tajam daya jangkau dan persiapan sang tokoh maha sakti ini. Jauh-jauh hari dia telah melakukan beragam persiapan sebagai antisipasi.

Nenek Gayatri sendiri menjadi semakin gemas. Dia menyangka kemajuannya sekarang sudah sangat jauh, terutama setelah dia dibantu untuk memahami lembaran pertama pusaka yang didapatkannya dari Swarnadwipa. Dan kemudian meyakinkan dan meningkatkan ilmunya berdasarkan bantuan lembaran itu.

Bahkan, dalam persekutuannya dengan si orang aneh yang munculkan diri di Tiam Jong Pay, diapun beroleh kemajuan yang luar biasa. Ilmunya meningkat pesat malahan. Belakangan, ketika dia membawa muridnya ke Tiam Jong Pay, justru selama dua bulan lebih, muridnya itu yang beroleh peruntungan luar biasa. Karena Majikan Kerudung Putih entah bagaimana menarik minat si Tua Sakti untuk mewariskan beberapa ilmu hebatnya, termasuk Ilmu Brajamusti, Inti Lebur Sakheti, Lembu Sekilan dan bahkan Gelap Ngampar.

Belakangan, kemajuan muridnya itu bahkan mulai sanggup merendengi tingkatannya, meskipun dia masih jauh menang dalam pengalaman. Kini, melihat kehebatan Barisan 6 Pedang, emosinya terusik mengingat kekalahannya pada masa lalu. Tetapi, apa daya, ternyata saat inipun tetap sulit baginya untuk menaklukkan barisan sakti itu.

Semua ilmu yang dipelajarinya dari perguruan awalnya bersama Mahendra, masih belum mampu diandalkannya untuk menang, bahkan untuk menjaga diri juga kerepotan. Bahkan, termasuk ilmu sihirnyapun kelihatan tidak akan mempan lagi digunakan melawan barisan mujijat ini. Meksipun demikian, sebaliknya, nampaknya juga bukan perkara mudah bagi Barisan 6 Pedang guna menaklukkan dan mengalahkan Nenek Sakti itu.

Kelihatannya, Barisan 6 Pedang sendiripun baru setelah mengerahkan puncak kerjasama dan penyatuan hawa pelindung baru sanggup mencapai keadaan menang diatas angin. Sementara untuk menang, juga bukan sebuah pekerjaan mudah. Meskipun, karena berjumlah lebih, secara otomatis daya tahan mereka bisa saling mengisi, dan justru memang disinilah keunggulan rata-rata ilmu barisan. Secara bergantian, mereka bisa beristirahat meskipun terus menerus bergerak.

Sementara itu, di arena yang lain pertarungan antara Topeng Setan dan Tibet Sin Mo Ong sudah berlangsung ratusan jurus. Bahkan Tibet Sin Mo Ong nampak sudah mulai memainkan ilmu pamungkasnya, Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit). Itupun karena ilmu-ilmu andalan lainnya seperti Hong Ping Ciang, Tam Ci Sin Thong khas Lhama Tibet sudah dikerahkan namun sanggup dilawan dan bahkan ditindih oleh Topeng Setan.

Bahkan semakin lama-semakin kelihatan bahwa Tibet Sin Mo Ong memang sulit meraih kemenangan, meskipun memang target mereka, yakni memperlambat tempo dan menahan lawan selama mungkin sudah cukup berhasil. Tanpa terasa, pertarungan sudah makan waktu lebih dari 2 jam, dan sejauh itu pertarungan di arena ini sudah menguras begitu banyak energy bagi mereka yang terlibat.

Tibet Sin Mo Ong sendiri sadar bahwa sebetulnya mereka sudah berhasil memperlambat waktu pengejar dan mengalihkan perhatian lawan ke pertempuran itu. Tetapi, emosinya memang masih belum semantap dan sama stabil sebagimana kakak seperguruannya Bouw Lim Couwsu dan Bouw Lek Couwsu. Meksipun akhir-akhir ini diapun sanggup meningkatkan kemampuannya, tetapi dikarenakan tinggi hati dan sangat emosional/tempramental maka dalam pertempuran kadang kemampuannya kurang maksimal.

Pertempuran sudah memasuki puncaknya, ketika Tibet Sin Mo Ong mengerang dan membuka kedua tangannya bersikap seperti menerima semua kekuatan di luar diriya. Inilah sebuah sikap menyerang dengan kekuatan penuh dari Ilmu Thian Cik Sian Kun Hoat, sebuah ilmu mujijat sebenarnya dari Lhama Tibet yang sayangnya kurang bisa digali maksimal kemujijatannya oleh Tibet Sin Mo Ong.

Tetapi begitupun, kemampuan Tibet Sin Mo Ong sudah sangat luar biasa di kalangan persilatan. Topeng Setan menyadari bahwa lawan telah mengajak memasuki pertarungan dengan jurus pamungkas. Sebetulnya, dengan Soan Hong Sin Ciang digabungkan dengan To Hong Kiam Sut, dia masih akan sanggup menyelesaikan pertarungan yang sudah makan waktu lama tersebut.

Tetapi untuk tidak mengambil resiko terlalu berat bagi dirinya sendiri, akhirnya diapun mengembangkan jurus pamungkasnya Khong Ih Lo Thian, ciptaan Kiang Cun Le. Dan secarik cahaya aneh membayang dikepalanya ketika dia mulai membuka jurus dan mulai membentur pukulan Tibet Sin Mo Ong. Bahkan ketika kemudian Tibet Sin Mo Ong melontarkan pukulan mujijatnya dengan tidak banyak bergerak, cahaya aneh dikepala Topeng Setan seperti merembes ketangan-tangannya yang terus di putar bersilang didepannya dan kemudian terjulur menyentuh angin pukulan lawan.

Dan anehnya, pukulan lawan seperti bisa dikekang dan dikendalikan Topeng Setan, diarahkan kemanapun kemauan Topeng Setan. Hal ini mungkin terjadi karena masih belum matangnya penguasaan Tibet Sin Mo Ong atas ilmu mujijat tersebut. Bila dalam puncak penguasaan yang sama, maka Topeng Setan sendiri akan merasakan benturan dalam tubuhnya yang sanggup melukainya didalam.

Sayangnya, selain sudah dkuasai emosi, Tibet Si Mo Ong sendiri sudah kepayahan karena selalu berada dalam posisi tertekan sejak lama. Topeng Setan sendiri sebetulnya masih memberi kelonggaran bagi lawan untuk menyadari posisinya, sayangnya Tibet Sin Mo Ong seperti tidak mau tahu hal itu. Terlampau sombong untuk sekedar mengerti, bahwa dia masih belum tandingan lawan.

Dari sebaliknya menyadari bahwa lawan masih memberi angin baginya untuk menarik diri, Tibet Sin Mo Ong beranggapan bahwa kemajuan dicapainya dalam penggunaan ilmu pamungkasnya. Dia belum tahu, bahwa kekosongan akibat penguasaan yang belum sempurna itu, sudah dibaca secara sangat jelas oleh Topeng Setan yang lihay itu.

Akibatnya, justru ketika mengerahkan jurus kesembilan ”Dewa Menangis Langit Runtuh“ dan mendorongnya dengan kekuatan penuh, tiada jalan lain bagi Topeng Setan untuk memapaknya. Membentur dari samping memang masih mungkin, tetapi resiko terluka baginya besar sekali, karena kekuatan iweekang lawan kini bergelombang dari banyak arah.

Hanya mungkin menusuk langsung pusat pengerahan kekuatan lawan dengan ”kekosongan“ dan kemudian menghentikan aliran gelombang kekuatan itu. Dan itu hanya menyisakan maut bagi satu diantara keduanya, karena lingkaran iweekang yang dikerahkan Tibet Sin Mo Ong tidak menyisakan jalan keluar bagi keduanya. Bahkan masih terdengar Tibet Sin Mo Ong mengerang murka dengan mendorongkan tangannya dalam kekuatan sepenuhnya:

”Mampus kau, aaaaarrrrrrghhhhh“

Hanya nampak sekejap Topeng Setan menghadap keatas, meresapkan semua kekuatannya dan kemudian begerak-gerak ringan seperti kapas, namun sedetik kemudian dia memasag kuda-kuda dengan jubahnya tertiup angin pukulan lawan. Dan pada akhirnya, dengan cepat dan ringan dia memutuskan memasuki lobang yang tidak diperkirakan Tibet Sin Mo Ong.

Dan akhirnya tak terelakkan lagi, pusat gelombang kekuatan yang dipancarkan tokoh sakti Tibet tersebut kena dibuyarkan Topeng Setan. Dengan kekuatan ”kosong namun berisi“ dari Khong Ih Loh Thian, Topeng Setan menyusup memasuki pusat aliran kekuatan lawan, dan hanya dengan sebuah pukulan ringan, Tibet Sin Mo Ong terpaksa harus melepaskan kekuatan yang dikerahkan.

Resikonya sudah jelas, limpahan kekuatan yang dilontarkannya sebagian besar membalik memukul dirinya sendiri, sementara sebagian lainnya memencar karena menemukan dinding ”kosong“ dan hilang entah kemana. Tetapi, setengah kekuatan dalam tubuh Tibet Sin Mo Ong, sudah cukup untuk memukul dirinya karena kekuatan buat pertahanan dirinya sudah terkuras habis, selain dia sendiri sebetulnya sudah teramat sangat letih. Pada akhirnya yang terdengar adalah sebuah jeritan menyayat hati:

“Aaaaaaaccccchhhhhhhhh ......... ” dan kemudian tubuhnya berdebum menyentuh bumi ...... ”bresssss ...... blukkkk“. Beberapa saat kemudian masih sempat kepalanya terangkat, tetapi tidak sangup lagi bertahan lama karena dia harus muntahkan darah hidup dari mulutnya:

“Hoaaach, hoaaach“ dan beberapa saat kemudian, daya hidupnya perlahan lahan hilang ....... terkulai lemas dan akhirnya seorang Lhama Pelarian dari Tibet yang mengoncang dunia persilatan Tionggoan akhirnya melepas nyawa. Suasana hening sejenak, kawan-kawannya seperti menunggu apakah Tibet Sin Mo Ong masih akan bangkit ataukah tidak lagi.

Topeng Setan nampak tertegun memandangi lawannya yang akhirnya melepas nyawa dan tergeletak kurang lebih 10 meter darinya akibat terlontar jauh kebelakang. Meskipun akhirnya dia memenangkan pertempuran dan keluar dari pertempuran itu hanya dengan luka ringan dan itupun tidak menyulitkannya, tetapi tetap terbersit penyesalan karena harus mengakhiri hidup seseorang.

Tetapi, toch kesempatan sudah diberikan kepada lawan, dan lawan yang diberi kelonggaran justru memilih jalan kematiannya sendiri. Dan setelah memastikan lawannya tewas, terdengar bisikan lirih:

”Maafkan ... maafkan, bukan maksudku, tetapi engkau terlampau mendesakku untuk mengerahkan puncak kemampuanku“

“Sudahlah tayhiap, betapapun kita berhasil mengurangi kekuatan musuh kita“ Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila mendekati Topeng Setan dan menepuk nepuk pundaknya untuk menenangkannya.

“Kionghi .... kionghi .... kionghi tayhiap, engkau berhasil mengalahkan salah seorang gembong Thian Long Pang“ Pek San Fu juga mendekat dan memberi selamat kepada Topeng Setan.

”Ach, tidak berani Pek Hu Hoat, sebenarnya beberapa kali cayhe memberinya kesempatan untuk menarik jurus mautnya, tetapi dia terlampau mendesak“ Topeng Setan mendesah.

”Kami tahu, kami tahu tayhiap, baiknya adalah engkau mengurangi jumlah musuh tangguh kita di pihak mereka“ tegas Pek San Fu

”Benar apa kata Pek Hu hoat, betapapun salah seorang musuh tangguh kita sudah roboh“ tambah Pengemis Tawa Gila

Sementara itu, tubuh Tibet Sin Mo Ong akhirnya diangkut oleh kawanan Thian Liong Pang. Ciu Lam Hok, Bu Tek Coa Ong dan beberapa anak buah Thian Liong Pang sebetulnya terngangah ngangah dan masih belum percaya melihat seorang Hu Pangcu mereka meregang nyawa ditangan seorang yang tidak dikenal. Dan untuk berapa saat mereka tetap terkesima dan bingung mau melakukan apa, karena Kim-i-Mo Ong sendiri masih terlibat pertarungan dengan Kwi Song.

Bahkan konsentrasi mereka yang masih bertempur tidak terganggu dengan kematianTibet Sin Mo Ong. Dan baru bisa disadari Kim-i-Mo Ong ketika arena terasa menjadi lebih lega dan kemudian lewat lirikan mata melihat sebuah sosok tubuh kaku mulai diangkut keluar arena. Meksi sekilas, dia bisa menyaksikan bahwa tubuh itu adalah rekannya, Tibet Sin Mo Ong.

Tetapi anehnya, tiada reaksi marah dan berlebihan ditunjukkan oleh tokoh kawakan ini. Tidak juga dengan mempergencar serangan atau memaksakan diri melakukan balas dendam. Sebaliknya, ekspressi tokoh ini biasa saja, bahkan seterusnya pertempurannya dengan Kwi Song masih tetap seperti sebuah pertarungan eksebisi dan bagai tidak sedang mempertaruhkan sesuatu.

Kwi Song sendiripun memang tidak berniat melukai lawan, terlebih karena merasa benar bahwa Kim-i-Mo Ong kali ini berbeda jauh dengan yang ditemuinya pada waktu waktu sebelumnya. Bahkan dia yakin, kalau Kim-i-Mo Ong ini nampaknya sudah melepas banyak ambisinya dan berniat mengundurkan diri.

Pada saat-saat dia bingung bagaimana menyelesaikan pertempuran, tiba-tiba dia mendengar bisikan lirih:

”Anak muda, nama tidak penting lagi buat lohu. Tapi kehormatan rimba persilatan Tionggoan dan keamanan banyak orang sedang dipertaruhkan. Engkau jangan ragu melukai aku, hati-hati dengan tokoh-tokoh misterius yang bahkan membayangiku dan membayangi kelompok ini. Mereka bahkan masih beberapa tingkat diatasku. Lohu masih terikat sumpah menakluk sampai setahun kedepan, dan terikat sumpah untuk tidak membeberkan rahasia mereka. Jangan ragu menyerangku, lohu justru akan sangat berterima kasih suatu saat dengan menjatuhkanku disini sekarang ini“

Sungguh kaget rasa hati Kwi Song. Dia memang sudah merasa, kegarangan nafsu serta ambisi kakek ini sudah padam, bahkan nampaknya dia mengalami kemajuan luar biasa. Tetapi, ternyata bahwa dia terikat sumpah, membuat dia mengkhawatirkan dan berkasihan dengan nasib Kim-i-Mo Ong. Untuk sesaat Kwi Song bingung entah harus melakukan apa, sampai terdengar kemudian orang tua itu kembali berbisik:

“Semakin lama waktu kalian terbuang, semakin sulit menemukan harta itu. Lakukan, tetapi jika jiwaku melayang, sampaikan permohonan maaf buat suhu dan perguruanku. Katakan, rahasia jubah terjaga. Mereka akan mengerti dengan sendirinya“

Pada akhirnya, setelah diingatkan persoalan harta rampasan, Kwi Song merasa harus mendahulukan kepentingan orang banyak. Dia harus mengakhiri pertempuran ini. Karena itu dia berkata:

”Maafkan aku locianpwee, akan kulakukan“

”Lakukan dengan sungguh-sungguh, sebab sangat mungkin mereka mengintip dan memperhatikan kita“

Pada akhirnya Kwi Song mengeluarkan ilmu pamungkasnya Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Awan Putih Angin Taufan). Ilmu yang baru didalaminya lagi dan disempurnakan dengan beberapa kemungkinan baru yang disampaikan orang tua sakti dari seberang melalui Kakek Kiang Cun Le. Tetapi, kali ini, Kwi Song bahkan sudah sanggup mengendalikannya dengan jauh lebih baik.

Dan pengenalannya akan Tenaga Jubah Emas yang juga sedang ditingkatkannya ketataran tinggi membuatnya sanggup menembus pertahanan Kim-i- Mo Ong. Kim-i- Mo Ong sendiri pada hakekatnya memang sudah menyiapkan diri untuk terpukul, selain sebetulnya daya mujijat yang keluar dari Ilmu Kwi Song memang sanggup menembus pertahanan Ilmu Jubah Emasnya.

Karena itu, proses terpukulnya Kim-i- Mo Ong nampak terjadi melalui sebuah proses yang wajar. Meskipun Kim-i- M Ong sendiri sudah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Tetapi usia tua tidak bisa didustai, sementara nafsu serta ambisi yang padam dan keinginan untuk menyepi, membuatnya seperti lampu yang kekurangan minyak. Kendatipun pada saat itu Ilmu Jubah Emasnya, justru mulai menemukan puncak-puncak kematangan dalam dirinya.

Sayang, dia menyia-nyiakan waktu puluhan tahun untuk mematangkan dan menyempurnakan ilmu mujijat tersebut. Terdengar jeritan menyayat ketika Kim-i-Mo Ong terpukul dan terpental jauh:

“Aaaaaarggggggh” bersamaan dengan terpentalnya tubuh berjubah emas itu, awan putih yang bergolak bagaikan taufan mengiringinya dan nampak bergulat dengan sinar-sinar keemasan disekujur tubuh Kim-i-Mo Ong. Pada akhirnya tubuh tinggi besar yang sudah berusia tua itu terpelanting dan roboh di tanah dan memuntahkan darah segar:

“Uaaaaachkkk” beberapa kali Kim-i-Mo Ong memuntahkan darah segar untuk kemudian telrihat dia bergegas bersamadhi untuk mengobati luka dalam yang agak parah tersebut.

Setelah jatuhnya Kim-i- Mo Ong, dan melihat Kwi Song yang hanya terguncang sedikit, semakin jatuhlah nyali kawanan Thian Liong Pang tersebut. Begitupun, sudahlah tentu Kwi Song harus memanfaatkannya. Dan memang mereka masih memiliki ganjalan dan pertanyaan kepada kawanan Thian Liong Pang yang tersisa tersebut:

“Apakah kalian masih berkeras tidak ingin menunjukkan dimana harta rampasan kalian sembunyikan“?

Nampak Bu Tek Coa Ong dan Ciu Lam Hok berpandangan dengan jerih. Mereka sadar mereka bukanlah lawan setimpal bagi Kwi Song, tetapi membocorkan rahasia, juga bukan pekerjaan gampang. Mereka akan dikejar-kejar dan dihukum seberat-beratnya oleh tokoh Thian Liong Pang yang mereka tahu juga sangat kejam dan sakti. Untukbeberapa saat mereka terdiam, tidak tahu lagi harus mengatakan apapun.

“Hm, nampaknya merekapun menunggu untuk digebuk duluan baru bisa bicara Song Jie, biarlah kali ini lohu dengan Pek Hu Hoat yang mencoba membuat mereka bicara. Mari Pek Hu Hoat“, sambil berpaling kearah Pek San Fu, Pengemis Tawa Gila tanpa berpaling lagi kepada Kwi Song telah melangkah kearah kawanan Thian Liong Pang itu. Dan kembali terjadi perkelahian, 2 perkelahian di arena yang sama.

Antara Pek San Fu melawan Bu Tek Coa Ong dan Pengemis Tawa Gila melawan Ciu Lam Hok. Adapun, baik Bu Tek Coa Ong maupun Ciu Lam Hok, begitu mengetahui yang akan dilawan adalah bukan Kwi Song, bangkit kembali semangat mereka, meski dengan perasaan jeri tak tersembunyikan terhadap Kwi Song. Baik Pek San Fu maupun Pengemis Tawa Gila merupakan pilar Kay Pang, sehingga kepandaian merekapun sebenarnya tidaklah cetek.

Sementara Ciu Lam Hok, sebenarnya malah masih lebih lihay dibandingkan dengan Bu Tek Coa Ong. Ciu Lam Hok mendapatkan pengajaran baik dari Liok Te Sam Kwi dan terakhir juga belajar dari Kim-i-Mo Ong ketika orang tua itu masih memiliki ambisi bersama Thian Liong Pang. Sementara Bu Tek Coa Ong adalah murid terlihay yang bahkan sudah menyamai kepandaian gurunya, See Thian Coa Ong.

Dengan demikian, keduanya sebenarnya bukanlah tokoh sembarangan di dunia persilatan. Karena itu, bisa ditebak, pertarungan kali ini, jauh lebih seru dan justru lebih berimbang dibandingkan pertarungan sebelumnya. Kwi Song yang tadinya ingin meninggalkan pertarungan untuk menyelidiki, tiba-tiba teringat pesan Kim-i Mo Ong bahwa ada tokoh-tokoh misterius dan lihay yang membayangi kelompok mereka.

Karena tidak menginginkan bokongan dan takut kawan-kawannya celaka, maka Kwi Song mengurungkan niatnya untuk meningalkan arena tersebut. Dia justru lebih memilih berjaga-jaga di sudut 2 pertempuran yang berlangsung seru dan mati-matian tersebut.

Kembali ke arena lain, pertempuran antara Kwi Beng melawan Majikan Kerudung Putih dan Nenek Gayatri melawan gempuran Barisan 6 Pedang, juga sedang berlangsung seru-serunya. Kwi Beng yang meski menempatkan sosok Majikan Kerudung Putih dalam mimpi mimpi keperjakaannya, mendapati dirinya justru sedang berhadapan dengan gadis impiannya dalam sebuah pertempuran yang membuatnya mau tidak mau harus memeras seluruh kemampuannya.

Terlebih, karena Majikan Kerudung Putihpun ternyata juga terus menerus meningkatkan kemampuannya. Bahkan kali ini, pukulan-pukulannya dari jenis Tam Ci Sin Thong maupun Tay Lo Kim Kong Sin Ciang tidak lagi membuat Majikan Kerudung Putih terlihat jeri.

Bahkan dengan beraninya dia mengadu kepalan, dan jika dulunya ilmu yang disebut “Brajamusti“ masih belum baik dilakukan oleh Majikan Kerudung Putih, maka sekarang dia sudah mampu memainkannya dengan jauh lebih baik. Hanya saja, dalam soal kekokohan, memang harus diakui bahwa Kwi Beng masih sedikit menang, tetapi dalam soal keampuhan ilmu pukulan, nampaknya mereka sudah sangat berimbang.

Belum lagi, dalam hal ginkang dimana nampaknya Kwi Beng masih sedikit kalah gesit dan kalah cepat bergerak. Karena itu, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, perkelahian mereka justru menjadi sebuah arena adu kecerdikan dan adu kematangan. Kemenangan ataupun kekalahan sukarlah terjadi dalam waktu singkat.

Hanya, perlahan namun pasti, ketika mulai mengerahkan ilmu Tay Lo Kim Kong Sin Ciang dan juga Kim Kong Ci, maka disekujur tubuh Kwi Beng mulai berpijar hawa khikang luar biasa. Ilmu Jubah Emas yang kebal dan bahkan sanggup menangkal dan menawarkan racun, perlahan namun pasti mulai melindungi tubuh anak muda tersebut.

Dan biasanya, jika sudah dalam tahapan demikian, Kwi Beng akan semakin leluasa dalam memainkan ilmu-ilmu murni Siauw Lim Sie. Dan rupanya, lama kelamaan Majikan Kerudung Putih juga paham, bahwa sekujur tubuh lawan sudah terlindung dengan hawa khikang pelindung badan. Belum lagi, jepretan hawa Kim Kong Ci menjadi semakin sering terlontar dan memaksa Majikan Kerudung Putih untuk banyak menghindar.

“Ach, tidak benar jika begini. Aku harus mengimbanginya“ desis Majikan Kerudung Putih dalam hati. Karena betapapun, dia juga sudah terlatih dengan hawa khikang sejenis, yang sebetulnya bekerja dengan prinsip berbeda dan memiliki daya tolak yang juga berbeda. Daya lindungnya agak lain dan bekerja sesuai dengan prinsip lemas dan ulet yang dimiliki seekor ular.

Dengan daya tersebut, maka pukulan hebat lawan dapat dipelesetkan karena gerakan meliuk seekor ular sehinga seperti menimpa atau menonjok badan yang liat. Dengan kata lain, pukulan lawan bisa dipelesetkan meskipun nampaknya telak mengenai sasaran. Hanya dengan geliat mirip gerakan ular, maka pukulan hebat lawan bisa dikurangi atau bahkan dimentahkan.

Kekuatan semacam ini, menjadi jauh lebih sempurna dan lebih hebat ketika kemudian dari si orang tua aneh yang senang terhadap bakatnya, mengajarinya dengan sebuah ilmu lain. Ilmu tersebut sebetulnya tidak diketahui namanya, selain memang tidak diberitahukan oleh si orang tua. Sebuah ilmu yang sebetulnya disebut Ilmu Lembu Sekilan yang terdapat dalam lembaran pusaka yang dipeebutkan. Ilmu itu membuat gadis ini bagaikan ular tumbuh sayap.

Dan memang, lama-kelamaan Kwi Beng juga menjadi kagum, karena pukulan-pukulan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang yang berat dan berbahaya, seperti selalu meleset sebelum menyentuh tubuh lawan. Bahkan, jikapun mengena, dengan gerakan gerakan kecil dan indah, pengaruh kekuatan yang dilontarkannya sudah ditawarkan, hingga sama sekali tidak membahayakan lawannya.

Pertarungan tersebut meningkat dengan cepat dan terus menerus melahirkan kekagetan bagi keduanya, dan juga bagi sepasang mata yang semakin bingung melihat bahkan salah seorang yang bertarung juga mampu memainkan ilmu “Lembu Sekilan“. ”Ini bukan lagi sebuah kebetulan, pasti ada rahasia dibaliknya“ desis si orang yang menonton dari balik pohon itu penuh takjub dan rasa heran. ”Apalagi, tingkatan kemampuan orang itu, kelihatannya malah tidak berada dibawah kemampuanku“ desisnya lagi.

Selanjutnya, pertarungan antara Kwi Beng dan Majikan Kerudung Putih berlangsung terus dalam pameran kemampuan dan kesaktian masing-masing. Kekokohan dan kemurnian Kwi Beng yang merupakan sari kepandaian sakti Siauw Lim Sie menghadapi variasi, kecepatan dan tipuan tipuan maut dari Majikan Kerudung Putih.

Baik yang sedang bertarung, maupun yang menonton, lebih dari paham bahwa keduanya tidak akan mampu memenangkan pertarungan dalam jangka waktu pendek. Bahkan, takkan ada yang sanggup keluar dari pertarungan itu tanpa terluka dalam yang parah. Dan adalah Majikan Kerudung Putih yang heran melihat betapa Kwi Beng kini sanggup melawan dan mengimbanginya, meskipun dia sudah meningkat jauh dari pertempuran mereka yang terakhir.

Sementara itu, si Nenek Sakti Gayatri yang juga telah memamerkan rupa rupa kemampuan hebatnya termasuk bahkan menggunakan Tarian Sihir Selaksa Ular Sakti dan bahkan Ular Sakti Menerjang Mayapada, tetap tidak sanggup mengoyak kerjasama team Barisan 6 Pedang.

Bahkan, beberapa kali ujung pedang lawan mulai menyentuh ujung baju (jubah) yang dikenakannya dan setidaknya sudah ada sekitar 2 lubang yang ditembus ujung pedang barisan itu di jubahnya. Hal itulah yang membuatnya tambah marah dan otomatis menjadi semakin bertambah-tambah rasa kepenasarannya.

Dia merasa yakin tidak akan terluka, karena diapun telah mempelajari Ilmu Lembu Sekilan dari si Orang Tua Aneh itu. Tetapi, tentu saja tetap memalukan sebagai tokoh tua, sementara dia tidak sanggup menembus Barisan pedang itu, dan malah bajunya sudah 2 kali kena dibolongi lawan.

Sementara hadiah sepadan sebagai balasan bagi barisan itu tidak sekalipun mampu diberikannya. Padahal serangan Sihirnya atau pengaruh sihir, bisa dengan mudah dimentahkan oleh daya perlndungan yang disatuan oleh keenam orang itu.
 
2



Pada saat semakin penasaran, kembali 2 gelombang serangan ujung pedang berkombinasi dengan tebasan mengancamnya. Sementara 2 pedang tersisa berjaga untuk membela diri ataupun memberi serangan susulan apabila dua batang pedang lainnya siap menggantikan posisi bertahan mereka.

Serangan yang sangat sangat berbahaya ini disebut ”Gelombang Pedang Membersihkan Samudera“, dimana dua pedang dalam kombinasi tebasan dan tusukan disusul oleh 2 batang pedang lainnya dan nantinya juga disusul oleh dua batang pedang lainnya bila dua bilah pedang pertama gagal dan mengganti posisi bertahan.

Posisi demikian, jelas-jelas bukan hanya menjengkelkan, tetapi membuat murka Nenek Gayatri, karena dia kehilangan posisi untuk menyerang, dan hanya mempunyai pilihan menghindar. Tetapi, jika menghindar terus menerus, maka gelombang serangan tersebut, justru akan semakin membadai dan akan memojokkan Nenek itu pada posisi terserang terus menerus.

Bahkan pada puncak gelombang serangan itu, keenam pedang akan bersatu menghadirkan 3 gelombang serangan berlapis yang tak ada jalan keluarnya. Pada saat itu daya lain Nenek Gayatri untuk menerjang dan bertahan memang semakin menipis, terlebih perbawa Barisan 6 Pedang justru semakin menakutkan.

Tak ada jalan lain, sebelum terperosok dalam situasi sulit, secara tiba-tiba Nenek Gayatri dengan nekad mengeluarkan ilmu lainnya, ilmu barunya yang mirip dengan Sai Cu Ho Kang, bernama Gelap Ngampar:

”Hieiiiiiii yaaaaaaaaaaacccccccch“ dan teriakan yang dilakukan dari jarak dekat itu membendung gelombang serangan lawan yang terpaksa harus saling mendekatkan diri untuk menahan gelombang serangan suara. Untungnya, serangan suara itupun dilakukan tidak dengan persiapan cukup karena situasi Nenek Gayatri yang sedang dalam tekanan.

Dan, Nenek Gayatri sendiri hanya sanggup mengambil nafas sesaat, tidak sanggup menggali keuntungan lebih karena dia juga harus membereskan nafas dan emosinya yang terguncang. Tetapi, setidaknya, Nenek Gayatri terhindar dari keterpojokkan akibat serangan maut “Gelombang Pedang Membersihkan Samudera“ yang memang teramat sangat lihay daya serangnya itu.

Sebelum Nenek Gayatri kembali menyerang, entah darimana, dihadapannya dan berdiri tepat diantara dirinya dengan Barisan 6 Pedang, adalah seorang Kakek Tua Renta. Rambutnya sudah memutih semuanya, tetapi mata dan wajahnya masih menunjukkan kesegaran dan roman yang cukup menakutkan.

”Engkau, Wis ....“

”Berhenti, engkau butuh istirahat Gayatri. Jangan menyebut identitasku, ada banyak orang lain sekitar tempat ini. Barisan 6 Pedang ini menarik minatku untuk memecahkannya. Awasi sekitar kita“ Wibawa dan perintah Kakek tua itu nampak sulit ditolak Nenek Gayatri. Kakek itu, anehnya berbicara dalam bahasa Tionggoan, meski tidak begitu lancar, bahkan terkesan kaku dan dengan dialeg yang aneh, tetapi masih bisa dimengerti.

”Baik jika itu maumu“

”Engkau perhatikan bagaimana aku membuyarkan Barisan terkenal dari Lembah Pualam Hijau itu“ sesumbar Kakek Tua itu.

Tetapi, sebelum Kakek Tua itu memulai penyerangan, tiba-tiba dari samping kanan arena tadi, berjalan keluar seorang anak muda berpakaian hijau. Dan meski berjalan, tetapi Ceng Liong dengan cepat sudah berdiri dihadapan Barisan 6 Pedang. Sementara Barisan 6 Pedang yang melihat Duta Agungnya berdiri di hadapan mereka sudah dengan cepat menekuk lutut dan menghormat:

”Menghormat Duta Agung“

”Sudahlah, kalian menyingkirlah dahulu dan pulihkan kekuatan. Kelihatannya masih akan panjang ekor peristiwa malam ini“

Dan setelah Barisan 6 Pedang menyingkir, sama dengan Nenek Gayatri yang sedang memulihkan tenaga, merekapun melakukan hal serupa. Sementara itu, Kiang Ceng Liong atau si Ceng-i-Koai Hiap, sudah menghadap kearah Kakek Tua renta itu dan berkata dengan hormat:

”Maafkan locianpwee, Barisan 6 Pedang Lembah kami, sudah banyak menguras tenaga. Berilah waktu mereka beristirahat“

”Hm, jadi engkau Duta Agung muda Lembah Pualam Hijau. Tidak lemah, tidak lemah. Hanya, pastaskah engkau menjadi Duta Agung dan Bengcu sekaligus?, hm, nampaknya belum bisa dipastikan“ Kembali Kakek Tua yang menakutkan itu dan kini berhadapan dengan seorang anak muda, berbicara dengan dialeg yang kaku. Tetapi untungya perbendaharaan kata-katanya sudah cukup baik.

”Ach, tidak berani, tidak berani. Jabatan Bengcu sudah kutanggalkan, tidak layak menerima jabatan tinggi tersebut“

Dan kini, keduanya bertatap mata dan mencoba saling ukur kekuatan melalui tatapan mata lawan. Dan hebatnya, mata keduanya justru bagaikan mata orang tak bertenaga, seperti begitu tenang dan tidak menampakkan sorot mata orang berkepandaian tinggi. Tetapi, setelah sekian lama, adalah di Kakek Tua yang justru tercekat:

“iiiich, ajaib ..... sungguh ajaib“ Kakek Tua itu berseru kagum, karena dari pancar mata Ceng Liong seperti terdapat kekuatan luar biasa yang tak terlawan olehnya. Dan dia merasa bahwa kekuatan itu merupakan kekuatan yang tidak wajar dan tidak bisa diuraikannya.

”Engkau sungguh beruntung anak muda“ tambah Kakek tua itu kemudian. Sementara diam-diam Ceng Liong sendiri juga kagum dengan kakek itu. Dia paham apa yang dimaksudkan Kakek tua itu setelah mereka beradu kekuatan lewat pandang mata.

”Maafkan aku locianpwee, tetapi tidak akan kubiarkan Barisan 6 Pedang yang sudah bekerja keras sebelumnya kini harus menyambut pukulan mujijatmu“

”Ahaaaai, benar-benar hebat anak muda. Engkau benar hebat dan bisa melihat sesuatu yang memang sudah seharusnya. Tapi baiklah, jika engkau sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau menyatakan bahwa Barisan 6 Pedangmu takluk dan menyerah melawanku, maka lohu tidak akan menarik panjang urusan disini“ berkata si Kakek Tua. Tetapi Ceng Liong yang meskipun tersingung dengan kalimat itu, tidak menunjukkan sikap murka dan tidak mengurangi sikap menghormatnya.

Dia sadar sekarang, ternyata tokoh inilah yang selama ini diwaspadainya. Tokoh tua yang nampaknya sangat lihay, yang membentengi kelompok yang diintainya ini dengan penjagaan yang luar biasa dan membuatnya sangat berhati hati.

”Maafkan locianpwee, untuk satu hal itu, tidaklah mungkin kulakukan. Lembah Pualam Hijau tidaklah memupuk nama kosong selama ratusan tahun, dan tidak mungkin ditanganku kehormatan itu kemudian menjadi bahan ejekan orang. Barisan kami mungkin kalah melawan locianpwee, tetapi tidak akan selaku Duta Agung kukatakan kalah sebelum dibuktikan“

“Hahahaha, sungguh berwibawa .... sungguh jantan anak muda. Terus terang aku mengagumimu. Tapi bagaimana jika lohu mengalihkan serangan ke Duta Agung sekalian“? bertanya orang tua itu

”Tapi kutak yakin jika locianpwee dari angkatan tua benar berniat menantangku dari angkatan yang jauh lebih muda“ kelit Ceng Liong

”Hahahaha, anak muda, engkau tahu aku tidak terlampau menghiraukan yang namanya angkatan-angkatan itu. Aku lebih peduli dengan kemampuan serta kesanggupan. Dan engkaupun tahu engkau layak melakukannya. Bukankah benar demikian“?

“Luar biasa, dia sanggup menembus kemampuanku untuk menyembunyikan diri dan kemampuanku“ desis Ceng Liong dalam hati. Tetapi, Ceng Liong tidak harus menyanggupi kemauan orang tua itu, karena ada yang harus mereka kerjakan malam itu:

”Tapi, kuanggap sangat tidak menghormat jika harus menghadapi angkatan tua seperti locianpwee“

”Atau, apakah mungkin karena engkau sudah menjadi ketakutan anak muda Duta Agung Lembah Pualam Hijau“? tepat sekali kalimat pilihan Kakek tua tersebut. Menyebut kata ”takut“ terhadap seorang Duta Agung Lembah Pualam Hijau adalah titik lemah. Hal yang bahkan Ceng Liong sendiripun kemudian sulit untuk bersabar dan menahan dirinya. Adalah Suma Bun yang tersinggung sangat, karena kalimat takut itu didengarnya persis setelah dia berhasil menemukan kebugarannya kembali. Dan sudah dengan cepat dia menyela percakapan kedua orang itu:

”Mana bisa Lembah kami takut menghadapi kakek tua bau tanah sepertimu, tidak mungkin orang tua“?

Belum habis kalimat itu diucapkan Suma Bun, serangkum hawa pukulan yang luar biasa kuat sudah mengancamnya. Tetapi untungnya Ceng Liong sudah berwaspada. Dan memang, sejak tadi dia sudah bersiaga penuh, sehingga angin pukulan Kakek tua yang mengancam Suma Bun yang sedang bicara bisa diantisipasinya. Bahkan pukulan itu dihalaunya dengan mengibaskan sebelah tangannya.

Persis seperti itu jugalah apa yang dilakukan Kakek tua itu ketika menyerang Suma Bun dengan kibasan sebelah tangannya belaka. Begitupun, Suma Bun masih tetap terguncang dan terdorong mundur dua langkah kebelakang. Untungnya, pertolongan Ceng Liong tepat waktu dan membuatnya tidak terluka karena pertolongan Duta Agungnya:

”Terima kasih Duta Agung“

”Mundurlah Suma Bun, biarlah kali ini sebagai Duta Agung kuterima tantangan Kakek tua ini“ Kali ini Ceng Liong bersikap berwibawa sebagai seorang Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Sebuah Lembah yang bersejarah panjang dan dimalui di dunia pesilatan Tionggoan. Sudah bukan masalah pribadi seorang Ceng Liong yang muda dengan kakek tua yang seharusnya dihormatinya.

Tetapi masalah gengsi dan harga diri Lembah yang dipupuk ratusan tahun oleh leluhurnya. Bagaimana mugkin dia membiarkan keibawaan Lembahnya dihina orang? Dan lagi, terdengar Kakek tua tu berkata sambil tertawa:

”Hahahahaha, meskipun engkau berusia muda, tetapi sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau, kedudukanmu dalam dunia persilatan Tionggoan sudah sangat tinggi. Mungkin jabatan bengcu sudah engkau tanggalkan, tetapi tetap keudukanmu sangatlah tinggi. Tidak ragu aku menantangmu anak muda“

”Baiklah, silahkan locianpwee memulai“ Kali ini Ceng Liong bertindak tidak tanggung-tanggung lagi. Bahkan, ketika mengucapkan kalimat itu, belum nampak dia bersiap dalam satu kuda-kuda guna melangsungkan sebuah pertempuran. Hal yang membuat si Kakek tua menjadi terkejut. ”Sudah sebegitu hebatkah Duta Agung muda ini“? pikirnya.

Dan, tidak ada ketika lagi baginya untuk berpikir lebih jauh. Sama dengan Ceng Liong yang tidak memasang kuda-kuda untuk bertempur, demikian jugalah Kakek tua itu tidak memulai serangan dengan sebuah kuda-kuda yang jamak. Begitu saja, tiba-tiba tangannya sudah terjulur dan didahului oleh angin pukulan berpusing, serangkum serangan tenaga dalam luar biasa sudah terlontar kearah Ceng Liong.

Ceng Liong tercekat, dia tahu Kakek ini tangguh dan lihay luar biasa, tetapi kelihayannya itu ternyata masih mengatasi dugaannya. Sampai-sampai dia berdesis dalam hati ”Sungguh merupakan lawan luar biasa, entah aku sanggup melawannya“. Demikianpun, sudah tentu Ceng Liong tidak mandah membiarkan dirinya diserang sebegitu rupa tanpa melakukan perlawanan.

Diapun memiliki ilmu pukulan membadai serupa pukulan lawan, yakni Soan Hong Sin Ciang, bahkan yang bisa dipadukannya dengan Toa Hong Kiam Sut menjadi hawa pedang ditangan. Ilmu-ilmu pusaka dan simpanan Lembah Pualam Hijau yang selevel dengan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun itu, tidak kurang hebatnya. Tetapi kali ini, dengan sengaja dia menyambut serangan lawan menggunakan Pek Lek Sin Jiu jurus pertama ”Halilintar Membelah Angkasa”.

Dan bertemunya dua kekuatan raksasa, yakni angin berpusing dari si kakek tua dan ledakan petir dari tangan Ceng Liong, bagaikan membelah bumi yang dipijak waktu itu. Bumi seperti bergetar sejenak akibat benturan kedua pukulan hebat yang dilontarkan keduanya itu:

”Blaaaaaaaaaaaaaaar ……… blaaaaaaaaaaaaaaaaar” dan kedua orang yang mengadu tenaga itu nampak masih tetap teguh dan kokoh berdiri di posisinya masing-masing. Dan kemudian terdengar si Kakek berseru kagum, tetapi sekaligus juga sangsi:

”Hebat-hebat anak muda. Tetapi, untuk apa seorang Duta Agung mengeluarkan Ilmu Guru Besar Kaypang? Apakah Lembah Pualam Hijau sudah kekurangan Ilmu mujijat melawanku, hm aneh …….. aneh”?

”Serangan semacam seranganmu locianpwee, biarlah kubayar kontan” dan Ceng Liong kemudian menghentak kekuatannya dan mendorong kearah Kakek tua itu. Serentak kembali angin berpusing dan bagai prahara terlontar kearah Kakek tua yang juga nampak bersiap mengibaskan tangannya. Dan tidak lama kemudian, terdengar benturan yang kali ini begitu halus dan nyaris tak terdengar.

Meski demikian, seperti benturan pertama tadi, bumi kembali bergetar, termasuk pohon pohon besar disekitar mereka. Bahkan getarannya lebih keras dibandingkan sebelumnya. Keduanya nampak telah meningkatkan penggunaan tenaga dalam melalui dorongan pukulan masing-masing, dan kali ini mau tidak mau kakek tua itu memandang Ceng Liong dengan wajah takjub.

Tidak disangkanya sama sekali jika anak muda yang memang ditaksirnya berkepandaian sangat tinggi itu, bahkan ternyata bisa mengimbangi penggunaan kekuatannya yang sudah dikerahkan sampai lebih setengah kemampuannya.

Diapun tidak tahu, bahwa Ceng Liong sendiri juga tergetar menyadari, bahwa penggunaan lebih dari setengah kekuatannya yang sudah meningkat sangat tajam, masih diimbangi kakek tua itu. ”Luar biasa, inilah tokoh tertangguh yang pernah kuhadapi dalam dunia persilatan ini” pikir Ceng Liong.

”Anak muda, tidak kusangka jika kemampuanmu sudah setinggi ini. Sungguh layak, sungguh layak menjadi Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Mari, biarlah kita saling mencoba kemampuan sampai tidak lebih dari 10 jurus”.

Dan kali ini, kekuatan yang dikerahkan orang tua itu meningkat sampai tujuh bagian kemampuannya, sementara Ceng Liong sendiri melakukan hal yang sama. Meningkatkan kemampuannya dan kemudian menyambut dengan jurus-jurus ampuh Soang Hong Sin Ciang. Bahkan sabetan-sabetan lengannya membawa angin pedang yang luar biasa tajam mengarah ke kakek tua yang mendesaknya dengan ilmu pukulan yang masih terasa aneh baginya.

Tetapi hebatnya, lengan kakek yang mengeluarkan jurus yang sama dengan Majikan Kerudung Putih, Brajamusti, mampu dengan manis menangkis sabetan tajam lengan Ceng Liong. Bahkan, penggunaan ilmu kakek itu nampak lebih matang dan lebih sebat dibandingkan Majikan Kerudung Putih, belum lagi dorongan tenaganya yang lebih dahsyat.

Tetapi Ceng Liong sendiri juga tidaklah tinggal diam. Hawa khikang yang melindungi tubuhnya membuatnya tidak khawatir dengan pukulan-pukulan lawannya. Yang mengkhawatirkannya adalah, benturan-benturan kekuatan keduanya menunjukkan tingkat kekuatan tenaga dalam yang setakaran, dan bakal sangat menylitkan. Dan jika demikian, maka getaran-getaran pertemuan tenaga mereka, akan mampu menyusup kebagian dalam tubuh dan melukainya.

Ceng Liong sadar, jika dia belum dan tidak meningkatkan kemampuannya beberapa waktu sebelumnya, maka dia masih belum cukup mampu untuk berhadapan dengan orang tua lihay ini. “Siapakah gerangan orang tua ini”? pikirnya. “Untungnya aku tidak berlalai selama dua bulan terakhir” syukur Ceng Liong dalam hati. Dan memang, kekuatan Ceng Liong sekarang sudah olah olah hebatnya.

Bahkan kakek sakti yang menyerang dan terserang dalam 5 jurus terakhir, nampak tiba-tiba mengeluarkan ilmu lain yang juga berhawa lain. Sayangnya, hawa mujjat berselimut sihir, tidak lagi mempan bagi seorang Ceng Liong yang telah menempa diri dibawah petunjuk Kolomoto Ti Lou.

Kakek tua yang percaya akan kekuatan salah satu ilmu pamungkasnya itu kembali tertegun ketika dengan mudah Ceng Liong meledakkan lengannya dengan jurus kelima Pek Lek Sin Jiu “Halilintar Membelah Awan Menghajar Mentari”. Getaran tangan mereka menunjukkan betapa kuatnya tenaga dalam yang tersalurkan untuk mendukung ilmu pukulan masing-masing. Kakek tua yang jarang mendapat lawan setimpal dan menempa dirinya sekian lama menekuni ilmunya, kaget bukan kepalang.

Betapa tidak, seorang anak muda ternyata sanggup mengimbanginya dalam permainan ilmu tingkat tingginya. Awalnya dia beranggapan bawah dia akan sanggup mengalahkan Ceng Liong sebelum 10 jurus dengan menggunakan kemampuan tertingginya. Tetapi, memasuki gebrakan kedelapan, justru daya tolak lawan masih belum mengendor, malah juga meningkat sebagaimana dia meningkatkan kemampuan tenaganya.

Merasa penasaran, pada jurus ke-9, tiba-tiba si Kakek tua beroman bengis itu mengeluarkan tertawa terbahak-bahak:

”Hahahahahaha ……….. anak muda, aku bukanlah lawanmu”

Kiang Ceng Liong kaget setengah mati. Ada sedetik dua detik dia teserang hawa suara lawan yang nampaknya melokasisasi serangan suaranya dengan terpusat kearahnya. Tidak salah lagi, ini sejenis ilmu Sai Cu Ho Kang, atau yang beberapa waktu lalu disebutkan kepadanya sebagai “Gelap Ngampar” yang sangat berbahaya itu. Diapun telah melatihnya dengan baik, karena itu meski terpengaruh selama beberapa ketika, tetapi tiba-tiba dia sadar dan segera bersuit nyaring dan menempur pusat kekuatan pengerahan suara lawan dengan suara yang sama, dari ilmu yang sama:

“Suiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit, mari …… mari orang tua” lengkingannya lebih halus akan tetapi juga menusuk. Dan akibatnya, kembali kakek tua itu tertegun, malah jauh lebih kaget sekarang karena jelas-jelas anak muda ini menggunakan ilmu sejenis. Tidak salah ”itu Gelap Ngampar” desis kakek tua itu terkejut setengah mati. ”Siapa dia sebenarnya?” baru kini kakek tua itu terkejut dan kebigungan.

Kaget karena Ceng Liong juga mampu memainkan Gelap Ngampar secara sempurna, dan juga celingukan, mulai menerka-nerka apakah anak ini sendirian atau sama-sama dengan orang yang mengajarkan Gelap Ngampar kepadanya. Karena orang yang sanggup mengajarkan Gelap Ngampar sekelas yang dimiliki Ceng Liong hanya satu orang di dunia ini. ”Jangan-jangan”? dia menjadi ragu, sekaligus khawatir.

”Anak muda, terimalah” desisnya sambil melontarkan pukulan terakhir kearah Ceng Liong, menggenapi 10 jurus pertempuran mereka. Dan, lontaran lawan tadi adalah semacam serangan tenaga dalam terukur, nampak bahkan berpijar mengerikan dan berpendar kearah Ceng Liong.

Sementara Ceng Liong dengan sebat mengerak-gerakkan kedua tanganya seperti sedang mengatur tenaganya, dan dari kedua tangannya tiba-tiba menampak lentikan cahaya mengguntur ketika dia menggunakan jurus ketujuh Pek Lek Sin Jiu “Sejuta Halilitar Merontokkan Mega” guna memapak dan menyambut serangan lawan yang sangat berbahaya itu:

”Blaaaaaaaar”, kubangan berdiameter lebih dua meter dengan tanah sekitar menghangus segera terhampar dihadapan banyak orang. Semua bergidik menyaksikannya, sementara Ceng Liong nampak masih dalam pemusatan konsentrasi menunggu serangan lawan.

Padahal sejauh ini, Ceng Liong sendiri belum berpikir untuk melontarkan serangan maut karena menghormati orang yang lebih tinggi usianya. Tetapi, setelah 10 jurus, Kakek tua itu memandang Ceng Liong penuh keraguan, bahkan kekhawatiran. Tetapi, tiada satu kalimatpun keluar dari mulutnya, sampai kemudian dia menarik nafas panjang. Tetapi, belum lagi dia bereaksi lebih jauh, tiba tiba wajahnya menunjukkan keterkejutan.

Sangat terkejut malah. Dan terjadilah keanehan, setidaknya dimata Ceng Liong. Dia melihat secara tergesa-gesa, seperti sangat khawatir akan sesuatu, Kakek tua yang lihay itu tidak memperdulikannya lagi, tetapi dia berpaling kearah Gayatri dan berkata cepat:

”Gayatri, situasi menjadi sangat genting. Kita cepat harus pergi. Lebih aman bergabung dengan yang lainnya, cepat”

Dengan tidak menghiraukan yang lainnya lagi, Kakek tua itu dengan cepat berkelabat menghilang. Sementara Gayatri masih menyempatkan dirinya berkata kepada Majikan Kerudung Putih:

”Hwa Ji, cari jalan melepaskan diri, situasi berbahaya bagi suhumu”
Dan karena tiada yang menghalanginya lagi, akhirnya Nenek Gayatri berkelabat mengikuti jejak kakek tua itu.

”Berbahaya, sungguh berbahaya” Ceng Liong bergumam berkali-kali

”Duta Agung, apakah baik baik saja”? Suma Bun mendekati Ceng Liong yang nampak berkemak-kemik tidak jelas.

”Syukurlah tidak apa-apa. Kakek tua itu, siapakah dia gerangan? Kehebatannya sungguh mengagumkan” jawab Ceng Liong.

”Tapi Duta Agung sanggup menghadapinya” tegas Suma Bun

”Iya, dengan mengerahkan delapan bagian tenagaku. Dan rasanya, Kakek tua itu masih memiliki kebisaan lain. Sungguh jika dia berdiri di pihak lawan, akan merupakan lawan yang teramat tangguh bagi siapapun” desis Ceng Liong

”Sehebat itukah gerangan Kakek tua itu Duta Agung”? bertanya Suma Bun dengan nada terkejut

”Mungkin lebih hebat dari perkiraanmu bahkan” desis Ceng Liong sambil kemudian matanya memandang kearah pertempuran yang masih terjadi Antara Kwi Beng dan Majikan Kerudung Putih. Meskipun hingga saat itu, dia masih belum mengerti. Mengapa Kakek tua itu tiba-tiba melesat meninggalkan gelanggang seperti takut akan sesuatu? Siapa yang ditakutkannya? Dan mengapa pula dia demikian takut? Jawaban yang sulit untuk ditemukan oleh Ceng Liong.

Karena itu dia mengalihkan perhatian kearah pertempuran Kwi Beng melawan Majikan Kerudung Putih. Dan salah satu keanehan dirasakan Ceng Liong: “mengapa pula sampai mereka begitu tega meninggalkan Majikan Kerudung Putih diarena itu? Apa pula alasannya?

Dan Ceng Liong menjadi semakin heran, karena melihat ada beberapa kesamaan jurus yang dilancarkan Majikan Kerudung Putih dengan Kakek Tua tadi. ”Hm, mereka pasti memiliki hubungan khusus” pikir Ceng Liong dengan penuh keyakinan. Sementara Majikan Kerudung Putih, tidak mungkin mengambil jalan melarikan diri seperti Gayatri, sebab selain beberapa sudut terjaga oleh Barisan 6 Pedang, juga karena dia sendiri sedang terlibat pertarungan ketat dengan Kwi Beng.

Dan pertarungan mereka itu sudah berlangsung sangat lama, sehingga sedikit saja ada yang ayal, maka berbahayalah akibatnya. Meskipun Kwi Beng merasa segan karena melawan seorang perempuan, dan lagi perempuan itu telah membetot hatinya, tetapi pertarungan mereka sudah melibatkan banyak resiko dan kepentingan.

Dan terlebih, mereka sudah terlibat dalam pertarungan ilmu tingkat tinggi yang memerlukan konsentrasi tingkat tinggi baik untuk menyerang maupun untuk bertahan dan mengelak. Dengan selisih ilmu mereka yang sangat tipis itu, maka sebuah kealpaan kecil saja dapat mendatangkan resiko maut. Padahal, Kwi Beng tidak ingin menerima maut itu dan juga tidak ingin menghadirkan maut bagi lawannya. Keadaan yang sungguh membuat Kwi Beng gelisah dan menjadi sungguh repot.

Dalam posisi sekarang, Majikan Kerudung Putih, kini berada dalam keadaan terjepit. Karena arena itu sudah dikuasai sepenuhnya oleh Ceng Liong dan Barisan 6 Pedang. Boleh dibilang, kesempatannya untuk meloloskan diri nyaris tidak ada lagi. Di belakangnya sudah berdiri Barisan 6 Pedang, sementara dihadapannya, tepat di belakang Kwi Beng berdiri Kiang Ceng Liong.

Memang, dia tidak melihat bagaimana Ceng Liong bertempur dengan orang tua aneh tadi, tapi dia tahu belaka bahwa anak muda itu juga sangatlah sakti. Hebatnya, Majikan Kerudung Putih tidaklah menjadi kecil hati dan kehilangan nyali untuk terus bertempur. Serangan dan daya hindarnya masih sangatlah lincah dan sebat mengimbangi Kwi Beng, malah terlihat lebih gesit. Dan melihat hal itu, akhirnya Ceng Liong berkata:

“Majikan Kerudung Putih, nampaknya tiada jalan lain bagimu selain menyerah. Kami hanya membutuhkan sedikit keteranganmu saja”

”Hm, bahkan jika kalian mengeroyokkupun aku tetap tidaklah takut. Buat apa aku harus menyerahkan diri”? tantang Majikan Kerudung Putih.

Tetapi, akibat dari dia memecah konsentrasi, Kwi Beng memperoleh peluang untuk keluar dari tekanan. Untungnya Kwi Beng tidak mempergunakan saat yang tepat untuk melancarkan serangan. Sebab jika dilakukannya, maka Majikan Kerudung Putih bisa terlibat kesulitan yang hebat.

”Engkau lihat Majikan Kerudung Putih, bahkan untuk melawan Souw Kwi Beng saja engkau belum tentu memenangkannya. Adalah lebih baik engkau menyerah, kami butuh beberapa keteranganmu belaka dan setelah itu kami akan memerdekakanmu” Ceng Liong kembali memberi tawaran.

“Engkau atau siapapun harus menaklukkan aku dan kemudian menangkapku hidup hidup untuk meminta keterangan dariku” tegas Majikan Kerudung Putih. Dan kembali akibat memecah konsentrasi dia kehilangan daya serang, dan sayangnya sekali lagi, Kwi Beng juga tidak mau memanfaatkan kesempatan ketika lawan agak lengah karena mengeluarkan ucapan menjawab Ceng Liong.

Sebagaimana diketahui, pertarungan antar dua orang yang memiliki tingkat kemampuan berimbang, maka pecahnya konsentrasi salah seorang, akan menentukan hasil akhir. Demikianlah beberapa kali kejadian tersebut berulang dan berulang, tetapi kondisinya tetaplah sama. Sementara itu, ketika untuk kesekian kalinya terjadi tanya jawab seperti itu dan selalu akhirnya sama, menganggu konsentrasi Majikan Kerudung Putih dalam pertempuran, tiba-tiba terdengar sebuah suara:

”Kurang baik, sungguh kurang baik” Sosok tubuh yang tinggi besar memasuki arena itu. Dan nampaknya dia bersimpati sangat terhadap Majikan Kerudung Putih. “Orang Thian Liong Pang lagikah?” berpikir Ceng Liong menyaksikan langkah ringan pertanda ilmu yang tinggi dari pemiliknya.

”Dengan terus menerus menganggu orang yang sedang bertempur, sama saja dengan mengeroyoknya. Engkau seharusnya tidak melakukan hal seperti itu sebagai seorang Duta Agung sebuah Lembah ternama” tambah sosok baru yang memasuki arena tersebut dengan penasaran. Sementara itu, Ceng Liong yang melihat orang yang baru datang itu terkejut juga, karena selain langkah kaki yang ringan menunjukkan bahwa orang itu bukan lawan ringan, juga kekuatannya kelihatannya tidak bisa diremehkan.

”Siapakah engkau saudara”? Tanya Ceng Liong

”Yang jelas aku bukan lawan meskipun mungkin juga bukan kawanmu” jawab si pendatang baru itu, tetapi dengan kalimat dan bahasa tubuh yang kelihatan menghormat Ceng Liong.

”Mengapa tiba-tiba engkau menuduhku telah berbuat kurang baik”? bertanya Ceng Liong

”Karena engkau mengganggu konentrasi orang yang sedang bertanding dengan lawan yang seimbang. Dan secara otomatis gangguan itu menyulitkannya”
”Tahukah engkau bahwa kawanku tidak pernah memanfaatkan kelengahan Majikan Kerudung Putih itu?
 
3



Si pendatang baru tidak menjawab. Karena benar, memang Kwi Beng tidak pernah mendesak ketika Majikan Kerudung Putih bertanya jawab dengan Ceng Liong. Padahal, jika dilakukannya, pertempuran mungkin sudah berakhir. Hanya karena kekhawatirannya sajalah yang membuatnya takut, jangan-jangan suatu saat Kwi Beng akan melakukan serangan menentukan ketika Majikan Kerudung Putih itu lengah.

”Hm, betapapun, jauh lebih baik mereka dibiarkan melanjutkan pertempuran dan menentukan kalah menang secara adil”

”Sayangnya, kukhawatirkan hal itu tidak akan berlangsung demikian mudahnya. Bagaimanapun kami butuh keterangan dari Majikan Kerudung Putih. Dan untuk mendapatkan hal itu, akan kuusahakan dengan segenap kemampuanku” menegaskan Ceng Liong

”Engkau berani bertindak demikian”? tantang si pendatang dengan gelisah yang tak tersembunyikannya.

“Mengapa tidak? Untuk kepentingan dunia persilatan Tionggoan, betapapun aku, Ceng Liong, akan melakukannya”.

“Tidak, engkau tidak seharusnya melakukannya” Meskipun dalam sikap bertentangan, tetapi kelihatan sekali 10-20 bagian si pendatang itu menaruh rasa jeri dan hormat kepada Ceng Liong.

“Mengapa tidak? Justru hal itu harus kulakukan”

“Karena memang tidka seharusnya engkau melakukannya”

Kedatangan si pendatang baru sudah disambut oleh Majikan Kerudung Putih yang segera menghentikan pertempuran. Kwi Bengpun tidak lagi mendesak, sejauh Majikan Kerudung Putih tidak berusaha kabur, dia memilih untuk tidak bertempur. Sementara itu, Majikan Kerudung Putih telah berpaling kepada si pendatang yang tengah berdebat bingung dengan Ceng Liong dan berkata:

”Suheng, untuk apa berada disini”?

Sambil menarik nafas panjang, akhirnya Thio Su Kiat, demikian si pendatang baru, kakak seperguruan Majikan Kerudung Putih, berkata:

”Aku mentaati perintah suhu”
”Perintah yang mana suheng”?

”Melindungimu dari apapun yang terjadi”

”Ach, tapi aku sedang bertugas sebagai tokoh Thian Long Pang suheng” tegas Majkan Kerudung Putih

“Yaaaaa benar sumoy, aku menerima tugas dari suhu untuk melindungimu sebagai apapun engkau nanti. Sebagai seorang pimpinan Thian Liong Pang ataupun sebagai dirimu sendiri”

“Dan nampaknya kita menemukan kesulitan besar kali ini suheng. Bahkan subo dan suhupun entah mengapa justru meninggalkan tempat ini. Sungguh penasaran, sungguh penasaran” Majikan Kerudung Putih menunjukkan rasa heran dan penasarannya atas sesuatu yang baru sekarang ditemukannya dalam sikap subo dan suhunya itu. Kedua orang maha sakti itu tidak biasanya kabur dalam keadaan seperti saat ini, meninggalkannya seorang diri.

”Tidak ada yang aneh sumoy, karena semua sedang menuju titik akhir. Demikian menurut penjelasan suhu. Tetapi selebihnya, lebih baik engkau betanya kepada dia orang tua”

”Apa maksudnya suheng? Aku sungguh tidak mengerti” Tanya Majikan Kerudung Putih, semakin tidak mengerti karena kali ini suhengnya seperti bermain petak umpet dan penuh rahasia.

“Menurut suhu, tanpa dijelaskan saat ini engkau akan mulai memahami dengan sendirinya. Hanya, suhu mengkhawatirkan dirimu sumoy, dan karena itu suhu memintaku dengan bersumpah untuk menjagamu sampai semua persoalan ini selesai nantinya” tegas Thio Su Kiat.

”Baiklah, jika demikian mari kita mencoba berlalu dari tempat ini” ujar Majikan Kerudung Putih dan nampaknya dia berpikir kembali untuk mencoba menerjang untuk membuka jalan keluar. Tapi belum lagi semua bergerak, baik Majikan Kerudung Putih, Thio Su Kiat, Souw Kw Beng, Barisan 6 Pedang serta Kiang Ceng Liong, tiba-tiba sebuah suara asing kembali bergema:

”Tahan” dan bersamaan dengan itu, sesosok tubuh kembali melayang dan berdiri di arena tersebut. Sosok tubuh itu, berbeda dengan rata-rata warna kulit dan potongan di Tionggoan, tetapi juga berbeda dengan potongan orang Thian Tok yang agak kehitam-hitaman. Sementara pendatang ini berkulit sedikit hitam dan halus, serta rambut agak lurus dengan diikat sehelai kain pengikat kepala. Dengan cepat dia kemudian memberi hormat kepada Ceng Liong:

”Selamat bertemu saudara Ceng Liong, perkenankan saya, Nenggala memberi hormat” meski berasal dari luar Tiongoan, tetapi Nenggala ternyata berbahasa lokal secara baik. Maklum, karena sejak kecil dia dibawa pamannya sekaligus gurunya ke Thian Tok dan Tionggoan dan telah menghabiskan waktu lebih dari 10 tahunan di Tionggoan.

“Siapakah gerangan saudara ini”? Ceng Liong kebingungan dan bertanya

”Sahabat-sahabatmu Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan menyampaikan salam untukmu. Kami baru saja berpisah di gunung Thian San, bahkan bersama dengan Bibi Nenekmu yang sakti, Liong-i-Sinni”

”Ach, bagaimana kabar mereka semua saudara Nenggala”? bertanya Ceng Liong penasaran

“Semuanya baik-baik saja. Kedua kakak beradik she Liang sudah menuju Ye Cheng atau Kwi Ciu, bahkan mungkin sudah berada disana. Sementara Bibi nenekmu, entak berada dimana beliau sekarang”

“Terima kasih saudara, terima kasih. Tapi ada maksud apakah gerangan engkau berada di tempat ini”? Ceng Liong bertanya ramah dan masih memandang heran kearah Nenggala yang berpotongan agak asing baginya. Tetapi, sebagai kenalan sahabat-sahabatnya dan bahkan bibi neneknya, tentu identitas pemuda ini tidaklah sembarangan.

”Terus terang aku membutuhkan jawaban atas beberapa pertanyaan penting yang terkait perguruanku dengan wanita ini” sambil menunjuk Majikan Kerudung Putih yang juga memandangnya keheranan.

”Apakah engkau ingin langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaanmu disini”? bertanya Ceng Liong

””Tidak ada halangannya, karena hanya ingin menegaskan beberapa hal”
“Silahkan kalau begitu”

Tetapi, tengah keduanya bertanya jawab, Majikan Kerudung Putih yang heran mengapa ada orang tak dikenalnya ingin mengajukan pertanyaan menjadi penasaran. Karena itu, dia menyeletuk:

“Enak saja, apa mereka pikir akan dengan mudah memintaku bicara”? sambil memandang Thio Su Kiat yang juga sedang memandangnya dengan penuh rasa keheranan karena tidak mengenal Nenggala. Sementara itu, Nenggala sudah berpaling kearah Majikan Kerdung Putih setelah memperoleh persetujuan Ceng Liong. Dan perlahan-lahan penuh rasa hormat, Nenggala kemudian mendekati Majikan Kerudung Putih sambil berkata:

”Perkenalkan nona, namaku Nenggala dan jika engkau tidak keberatan aku membutuhkan pertolonganmu”

Nada bicara dan panggilan penuh hormat kepadanya, sedikit banyak membuat rasa mengkal Majikan Kerudung Putih berkurang sangat banyak. Sudah tentu dia merasa tidak enak hati untuk membalasnya dengan kekasaran.

”Tergantung jika pertanyaan dan permohonanmu bisa kujawab dan tentu berkenan bagiku” Meski begitu masih tetap dingin nada suara dari Majikan Kerudung Putih.

“Nona, aku berasal dari negeri yang jauh di seberang lautan. Terkatung-katung di negeri Thian Tok dan Negeri kalian yang indah ini karena guruku sedang mengejar seseorang. Aku hanya ingin tahu, apakah nona memiliki hubungan dengan orang yang dikejar guruku tersebut”

”Apa gerangan dasarmu untuk meminta tolong padaku dalam hal mencari orang yang dicari gurumu itu”?

“Nona, terus terang saja, engkau mahir memainkan Ilmu Brajamusti, bahkan juga sanggup memainkan Ilmu Inti Lebur Sakheti, dan keduanya merupakan ilmu ilmu andalan perguruanku. Menurutku dari semua itu, rasanya cukup beralasan aku bertanya kepadamu nona”

Beberapa saat kemudian nampak Majikan Kerudung Putih terdiam. Karena bahkan ilmu yang dipelajarinya tidak diketahui namanya. Dia memang tidak disumpah apapun untuk menerima beberapa ilmu sakti dari kakek tua yang sangat sakti itu. Bahkan nama-nama ilmu diturunkan itupun tidaklah dibertahu kepadanya apa namanya, dan baru hari ini dia tahu bahwa ilmu-ilmu tersebut bernama aneh.

Entah mengapa memang, kakek tua sakti itu sangatlah tertarik untuk mengajarnya, meski memang awalnya adalah subonya, Gayatri yang memintakan untuknya. Tetapi, jika Gayatri hanya memperoleh Brajamusti dan Gelap Ngampar, maka dia sendiri bahkan dilatih dengan Brajamusti, Lembu Sekilan, Inti Lebur Sakheti dan Gelap Ngampar selama dua bulan terakhir.

Bahkan dilatih hingga tenaga dalamnya meningkat demikian hebat dan membuatnya berterima kasih banyak kepada orang tua yang meski enggan dipanggilnya guru, tetapi tetap dia terus memanggilnya guru selama dua bulan terakhir. Dan sekarang, ada seorang pemuda yang nampak demikian santun dan gagah menanyakan soal gurunya. Betapapun, dia memang tidak dilarang, tetapi rasanya untuk memberitahu orang yang belum jelas maksudnya, tentu rada sulit.

Tetapi, dia harus memberi penjelasan:

“Memang sangat beralasan, tetapi apakah aku punya keharusan untuk menjawab pertanyaan saudara”?

“Sudah tentu tidak nona, bukan maksudku demikian. Hanya jika nona berkenan untuk membantuku dengan sedikit informasi saja” jawab Nenggala tetap sopan. Hal yang justru membuat Majikan Kerudung Putih semakin terkesan terhadap Nenggala dan sikap-sikapnya.

”Baiklah, apakah engkau benar sudah lama berada disekitar arena ini?
“Benar sekali nona”

“Engkau menyaksikan ketika dia (menunjuk ke Ceng Liong) bertempur dengan seorang tua renta”?

“Benar nona ……. Apakah, apakah maksud nona? Nenggala tidak melanjutkan pertanyaannya, karena dia melihat Majikan Kerudung Putih telah mengangguk.
”Benar, dia itulah yang mengajarku. Aku memanggilnya “suhu”, meski dia tidak penah senang aku memanggilnya demikian. Tetapi aku menghormatinya karena dia begitu menyayangiku, denganmengajarku banyak hal selama dua bulan terakhir ini, meski nama dari semua ilmu yang diajarkannya tidak diberitahukan kepadaku” Ucapan ini membuat Kwi Beng mengerti, mengapa dan bagaimana Majikan Kerudung Putih ini meningkat pesat kepandaiannya. Sekaligus bergidik membayangkan keampuhan orang tua itu.

”Terima kasih nona, awalnya aku masih ragu apakah benar dia paman guruku, tetapi setelah perkataan nona, aku yakin sekarang, jika benar-benar dia adalah paman guruku yang menghilang dari perguruan kakek guruku. Aku memang tidak atau belum pernah melihatnya sebelumnya. Jika demikian, perkenankan aku mohon diri, aku memiliki keperluan dengan paman guruku tersebut” berkata demikian, sambil mengucapkan terimakasih kepada Majikan Kerudung Putih, Nenggala kemudia berpaling kepada Ceng Liong untuk minta diri.

Tetapi sebelum dilakukannya, tiba-tiba dia mendengar suara Majikan Kerudung Putih:

“Sicu, jika tadi engkau meminta pertolonganku, boleh kali ini aku meminta pertolongan darimu”?

Nenggala kembali membalikkan tubuhnya kearah Majikan Kerudung Putih dengan heran dan bertanya:

”Apakah gerangan sesuatu yang bisa kulakukan buat nona”?

“Apakah bisa sebagai sesama saudara perguruan aku meminta pertolonganmu”? Bertanya Majikan Kerudung Putih dengan suara mengambang!

“Nona, jika permintaan tolongmu tidak melanggar “liangsim” dan kepantasan, maka Nenggala pasti akan melaksanakannya”

“Apakah jika aku meminta pertolonganmu untuk melawan mereka (menunjuk Ceng Liong, Kwi Beng dan Barisan 6 Pedang) menurutmu melangar liangsim”? Tanya Majikan Kerudung Putih dengan nada suara yang diapun nampak ragu.

“Jika yang meminta pertolonganku adalah sumoyku dan bukan tokoh atau pimpinan Thian Liong Pang, kupastikan bantuan itu. Tetapi, sebagai suhengmu, kusarankan kepadamu nona, Thian Liong Pang bukan tempat yang tepat untukmu saat ini” Nengala berkata tegas dan membuat Ceng Liong, Kwi Beng dan bahkan Thio Su Kiat kagum. Bahkan seorang Majikan Kerudung Putihpun sampai kagum dengan penegasan Nenggala. Aneh, bukan ketersinggungan yang dirasakan nona ini. Tetapi rasa itu ……. KAGUM!

“Baiklah, aku belum akan meminta pertolongan darimu suheng” tegas suara Majikan Kerudung Putih.

Melihat keadaan itu, Ceng Liong kemudian maju dan berkata:

“Nona, aku tidak akan mengambil keuntungan dari keadaan saat ini. Tugasku hanyalah mencegat Thian Liong Pang yang menjarah harta Tiam Jong Pay untuk keperluan mengobok-obok dunia persilatan. Aku tidak akan berusaha melakukan sesuatu yang lebih dari meminta harta yang memang juga bukan haknya Thian Liong Pang untuk memilikinya”

“Hm, Duta Agung, tugasku justru adalah sebaliknya. Sudah jelas kita berdiri pada pihak yang berseberangan. Lebih dari itu, semuanya jelas, bahwa keterangan apapun itu tidak akan engkau peroleh dariku”

“Apakah kembali harus jalan kekerasan yang digunakan”? akhirnya sampai juga Ceng Liong pada pertanyaan terakhir itu. Pertanyaan yang sesunguhnya juga tidak disukainya.

“Jikalau tidak ada cara lain, mengapa tidak?. Karena jika tidak, maka aku akan segera berlalu dari tempat ini. Setidaknya akupun akan mencari jalan untuk berlalu dan terserah kalian mau melakukan apa”

“Jika sampai memang harus melalui kekerasan, maka bukan hanya keterangan itu yang nantinya kubutuhkan, tetapi bahkan juga termasuk menangkapmu dan membawamu untuk diadili para pendekar. Karena, nona, engkau tahu belaka, bahwa kekisruhan yang diakibatkan oleh Thian Liong Pang sudah terlampau berlarut dan memakan banyak korban” tegas Ceng Liong.

”Ya, dan aku adalah salah seorang pimpinan Thian Liong Pang yang harus engkau tangkap. Majulah, aku sama sekali tidak takut” Majikan Kerudung Putih justru menantang Ceng Liong.

”Jika demikian, maafkan jika aku terpaksa turun tangan agak keras nona” berkata Ceng Liong dengan tidak lagi memberi kesempatan Kwi Beng untuk mengajukan diri melawan Majikan Kerudung Putih ini.

Tetapi, belum lagi Ceng Liong maj menyerang, dihadapan Majikan Kerudung Putih telah berdiri menanti Thio Su Kiat. Bahkan dia berkata:

“Sumoy, mundurlah dan beristirahatlah, biarlah aku yang maju terlebih dahulu”
Tetapi, pada saat itu, Ceng Liong yang sudah mengambil keputusan dan ingin cepat menyelesaikan persoalan pemburuan harta yang sudah makan banyak waktu sudah berkata:

”Saudara Kwi Beng, tolong layani kawan kita yang satu ini” Dalam kondisi kritis seperti ini, baru terasa betapa besar besar wibawa Ceng Liong. Dan Kwi Beng yang sama dengan Majikan Kerudung Putih baru saja menjalani pertandingan berat sudah tampil kedepan dan langsung memulai:

“Mari kita mulai saudara”

Tidak lama setelah Kwi Beng mulai meladeni Thio Su Kiat, Ceng Liong memandang Majikan Kerudung Putih dan kemudian berkata:

”Maafkan aku nona, kita tidak punya ganjalan pribadi. Tapi aku, demi membawa kepentingan banyak orang, terpaksa menyerangmu”

”Silahkan Duta agung, kita memang berdiri pada posisi bertentangan. Tidak perlu meminta maaf terlebih dahulu”

Ceng Liong yang berniat menahan Majikan Kerudung Putih, mau tidak mau haus memulai serangan. Sementara Nenggala yang tadinya sudah mau beranjak pergi, dengan sendirinya tertahan karena tertarik untuk mengetahui akhir dari drama yang tersaji dihadapannya. Terlebih, entah mengapa diapun ingin mengetahui bagaimana sebenarnya sosok Majikan Kerudung Putih yang menjadi “Ádik perguruannya” itu.

Dan demikianlah, Nenggala akhirnya menjadi saksi dua pertarungan antara Ceng Liong melawan Majikan Kerudung Putih dan Thio Su Kiat melawan Kwi Beng. Dari pandangan sekilas saja, dia sudah mendapatkan kesimpulan awal, bahwa Kwi Beng dan Ceng Liong akan memenangkan pertandingan atau pertemuran itu.

Ceng Liong masih sedikit lebih unggul dibandingkan Majikan Kerudung Putih, ditambah lagi dengan Majikan Kerudung Putih yang baru saja bertanding mati-matian dan lama dengan Kwi Beng. Sementara Thio Su Kiat masih akan bertarung ketat, sebab meski sedikit dibawah kemampuan Kwi Beng, tetapi dia jauh lebih segar dibandingkan lawannya.

Maka pertarungan mereka lebih ketat. Meskipun anehnya, dalam pandangan Nenggala, gaya bertarung dan ilmu-ilmu Thio Su Kiat justru terlampau mirip dengan Kiang Ceng Liong. Bahkan, lama kelamaan dia menemukan dasar Ilmu silat yang sama. Karena itu, Nenggala menjadi bingung, apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Apalagi, ketika membanding-bandingkan ilmu Giok Ceng Cap Sha Sin Kun yang pada saat bersaaan dimainkan Ceng Liong dan Su Kiat. Tiga belas jurus sakti itu membutuhkan kelincahan dan kelemasan sekaligus, sehingga penggunanya harus banyak bergerak dan menyerang lewat kelengahan lawan. Dan, dalam penggunaan jurus tersebut, tidak pelak lagi, Ceng Liong dan Su Kiat menggunakan ilmu yang sama.

Pada saat membanding-bandingkan itulah, tiba-tiba dia melihat Kwi Beng mengganti jurusnya: yakni mengunakan jurus “mencegat burung merak” dari Ilmunya Thai Kek Sin Kun hadiah Wie Tiong Lan dan kemudian dikombinasikan dengan jurus “Jari Sakti Menembus Besi” dari ilmu Kim Kong Ci. Kekokohan sekaligus kecepatan digunakannya untuk mencegat Su Kiat yang bergerak kokoh dan matang dalam ilmu Giok Ceng Cap Sha Sin Kun Hoat.

Serangan Kwi Beng memang berbahaya, apalagi karena dia memang sudah sering melawan ilmu keluarga Pualam Hijau itu, dan karenanya memilih mengimbanginya dengan jurus gabungan. Akibatnya, cegatannya dengan menggunakan tendangan kaki kearah loncatan lincah lawan membuat Su Kiat kerepotan. Belum lagi mampu mengatasi hadangan tersebut, sebuah totokan yang mencicit mengarah ke telapak kakinya yang lain, nampaknya berusaha mengurangi kelincahannya.

Untungnya, Su Kiat sudah sangat matang dalam penguasan ilmu-ilmu keluarga Pualam Hijau. Dia tidak menjadi gugup dan bingung, tetapi dalam kondisi terserang atau tercegat seperti itu, kepalan tangannya segera bergerak dan mengisinya dengan hawa Toa Hong Kiam Sut menyambut totokan Kim Kong Ci, sementara tendangan lawan diantisipasi dengan totokan tangan yang bebas dalam jurus “Membuyarkan Awan Mendung” dari jurus Giok Ceng Cap Sha Sin Kun.

Terdengar dua kali benturan antara keduanya, yakni benturan yang berisi hawa-hawa berlawanan: Antara Giok Ceng Sinkang yang berhawa dingin dan lemas dengan hawa Kim Kong yang berhawa “yang-kang atau keras”. Karena posisi Su Kiat yang melayang, maka dia harus memunahkan tenaga dorong lawan dengan melayang mundur untuk menghindari serangan susulan.

Dan untuk itu, dia harus berpoksai dua kali, dan ketika dalam posisi berdiri, dia sudah menyiapkan jurus baru melawan tekanan Kwi Beng yang kembali sudah menyerang dengan Kim Kong Ci dan Thai Kek Sin Kun. Tetapi, sewaktu berpoksai tadi, sesuatu yang tersimpan di balik jubah Su Kiat, nampak jatuh melayang di tanah. Tetapi tentu tak ada tempo bagi Su Kiat untuk menyadari kertas apa yang melayang jatuh itu, karena pada saat itu konsentrasinya disibukkan oleh serangan susulan Kwi Beng.

Secara kebetulan, kertas tersebut melayang kedepan Nenggala, yang kemudan menekan kertas itu dengan kakinya. Tidak ada keinginan sedikitpun buatnya mengintip apa isi surat itu, sebuah surat yang terbuka untuk dibaca sebetulnya, atau tepatnya sudah dibuka karena sudah dibaca. Tetapi, karena bukan miliknya, Nenggala tidak berniat untuk membacanya, tetapi menjaganya untuk dikembalikan kepada yang berhak memilikinya.

Sementara Kwi Beng melawan Su Kiat berlangsung lebih seru lagi, terutama karena memang Kwi Beng membatasi diri akibat banyak menghamburkan tenaga, dalam pertarungan sebelumnya. Dan akibatnya, pertarungan kali ini, Kwi Beng yang sebenarnya lebih unggul, hanya bisa mengimbangi lawan, karena Su Kiat sendiri sudah sangat matang dalam penggunaan ilmu-ilmu keluarga Pualam Hijau. Di sudut lain, Nengala agak khawatir dengan Majikan Kerudung Putih.

Sudah jelas dalam hal sinkang dia kalah, bahkan dalam keadaan normal dan belum bertandingpun, kelihatannya dia masih kalah. Sementara Ceng Liong sendiri dalam hal kecepatan sanggup menandingi kecepatan bergerak lawan. Mudah ditebak, Majikan Kerudung Putih akan jatuh tertawan. Entah bagaimana, Nenggala berprihatin terhadap nona yang menjadi adik seperguruanya, tetapi sayang dia adalah salah satu tokoh utama Thian Liong Pang.

Tiba-tiba kembali angin pukulan dan totokan sambar menyambar, pada saat tersebut, refleks Nenggala menundukkan kepala menghindari angin pukulan yang barusan lewat. Tetapi, ketika menundukkan kepala itu, secara tak sengaja matanya menangkap tulisan yang mengelitik hatinya yang secara kebetulan bisa dibacanya dari secarik kertas surat yang telah dibuka dan sedang ditekannya dengan kaki agar tidak terbang.

Ketika memandang deretan tulisan lain lagi, dia justru menjadi lebih tegang, dan sambung menyambung tulisan itu membuatnya tersentak. Sekejap dia memandang dua pertarungan diarena tersebut, dan karena memandang penting apa yang baru ditemukan, hampir sulit diikuti pandangan mata, kertas surat itu sudah berada ditangannya. Dan keterkejutannya menjadi semakin menjadi-jadi dengan terkadang dia memandang kearah Majikan Kerudung Putih dan Ceng Liong, sekaligus juga kearah Thio Su Kiat.

Setelah itu dia mengeleng-gelengkan kepala, tetapi wajahnya nampak serius dan sesekali kebingungan. Hanya, karena kematangan emosionalnya saja hingga pada akhirnya Nenggala nampaknya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Sekali lagi dia memandang kearah Kwi Beng dan Su Kiat yang bertarung ketat: “Masih butuh waktu lama pertarungan itu, sebaiknya kucegah yang satu lagi” desis Nenggala.

Sementara itu, ketika Nenggala membaca surat yang diambilnya jatuh dari balik jubah Su Kiat, Ceng Liong telah memutuskan untuk menyerang Majikan Kerudung Putih secara berat. Tenaganya dilipat gandakan menjadi 6 sampai tujuh bagian, dan berkali-kali Majikan Kerudung Putih yang telah tergencet dan kecapekan terdorong kebelakang.

Bahkan dalam benturan kesekian kali, karena Ceng Liong selalu mengejarnya dan mengajaknya adu pukulan, dari bibir Majikan Kerudung Putih mulai menetes darah, nampaknya dia sudah terluka dalam. Ceng Liong memang bertujuan melukai lawan dulu, membuatnya sulit bergerak baru kemudian menotok lawan. Karena itu, Ceng Liong telah menggunakan pukulan-pukulan geledek dan Soan Hong Sin Ciang buat mencecar lawannya.

Strategi tersebut terbukti manjur, keadaan Majikan Kerudung Putih sudah mulai payah, bahkan gerakannya mulai melamban dan sulit mengimbangi Ceng Liong. Tepat ketika Nengala memutuskan tindakannya, Ceng Liong berkata kepada Majikan Kerudung Putih:

”Sudahlah nona, jauh lebih baik engkau menyerah saja, engkau telah terluka”

”Ciiiiis, engkau harus mengalahkan dan menjatuhkanku untuk bisa dikatakan menang melawanku Duta Agung” Majikan Kerudung Putih bekeras.

“Baik, maafkan aku nona”, dan nampak Ceng Liong kembali menyerang kali ini menggunakan jurus ketiga dari Pek Lek Sin Jiu, meskipun tenaganya sudah banyak dikurangi. Benturan kembali terjadi, dan sekali lagi Majikan Kerudung Putih terlontar kebelakang, mulutnya kali ini semakin tergenang darah yang mengalir dan membuat kerudung putihnya merah berlumuran darah.
Ceng Liong sebenarnya tidak sampai hati, dia sampai harus mengigit bibir dan mengeraskan hatinya untuk melakukan pukulan terakhir. Dan melihat kondisi lawan, yakinlah Ceng Liong, bahwa Majikan Kerudung Putih sudah berhalangan berat untuk terus bertarung, saatnya dia menotok untuk membuatnya tidak berdaya lagi.

Tapi justru, pada saat itulah, dia mendengar suara:
”Saudara Ceng Liong, tahan sebentar” dan sebuah kekuatan yang luar biasa kuat menahan totokannya yang mengarah kepada Majikan Kerudung Putih. Sebetulnya Majika Kerudung Putih masih sanggup bergerak menghindar, hanya, karena dilihatnya Nenggala menahan totokan dan serangan Ceng Liong, maka dia akhirnya berdiam diri.

”Ada apakah gerangan, mengapa saudara menahan seranganku”? Ceng Liong sedikit kurang senang dengan tindakan Nengala, meskipun harus diakuinya, jika bertarung dengan Nenggala, nampaknya dia akan mengalami kesulitan untuk memenangkannya. “Dia tangguh sekali” pikir Ceng Liong sambil kembali memandang dan memperhatikan Nenggala.

“Perlahan saudara Ceng Liong, ada hal-hal mencurigakan yang harus engkau perjelas agar engkau sendiri tidaklah menyesal”

”Apa maksudmu”? Ceng Liong menjadi heran, terlebih melihat Nenggala tidak dalam posisi melawannya.

”Apa engkau mengenal Majikan Kerudung Putih”?

”Tidak”

“Pernahkah engkau tahu dia membunuh tokoh-tokoh dari kalangan pendekar yang mengejar Thian Liong Pang”?

“Setahuku tidak, dan tidak ada laporan demikian”

“Tahukah engkau mengapa demikian”?

“Juga tidak” jawab Ceng Liong sambil memandang kearah Majikan Kerudung Putih yang kini berdiam diri, nampaknya sedang mengatur penafasan untuk menyembuhkan luka dalamnya. Kemudian dipandanginya Nenggala yang juga memandang kearahnya. Anehnya, sinar mata Nenggala seperti sedang beprihatin dan berkasihan terhadapnya. Ada apa gerangan?

“Saudara Ceng Liong, terhadap yang lain engkau layak menurunkan tangan keras, tetapi engkau akan menyesal bila melakukannya terhadap orang ini” ujar Nenggala sambil menunjuk Majikan Kerudung Putih.

“Apa maksudmu” Ceng Liong sendiri menjadi was-was mengingat dulu dia mengenali dasar-dasar Lembah Pualam Hijau dalam Gerakan Majikan Kerudung Putih dan Thio Su Kiat. Bahkan, memandangi Kwi Beng yang melawan Su Kiat, tidak salah lagi, Su Kiat menggunakan Soan Hong Sin Ciang. “Apa maksud semuanya ini”? pikirnya bingung.

Tengah Ceng Liong kebingungan dan nampak sekilas mengawasi pertarungan Kwi Beng dan Su Kiat, tiba-tiba kembali terdengar suara Nenggala:
”Engkau sangat kaget karena melihat orang itu menggunakan ilmu yang sama dengan dirimu bukan?, bukan, bukan jurusnya yang sama, tetapi bahkan ilmunya yang namanya jika tidak salah adalah Soan Hong Sin Ciang. Benarkah”? Nenggala mengejar Ceng Liong yang memang nampak sedang kebingungan melihat beberapa kenyataan yang memang belum ditimbangnya secara jauh lebih teliti lagi.

Tetapi tidak lama kemudian, Ceng Liong menemukan dirinya, dan memang benar, kenyataan itu harus diselidikinya secara tuntas. Bahkan harus dengan segera.
”Baik, saudara Nenggala, adakah sesuatu yang ingin engkau kemukakan”?
Nampak Nenggala kagum juga melihat Ceng Liong yang dengan cepat menemukan diri dan kembali bersikap wajar dan berwibawa. “Sungguh pemuda pilihan” pikir Nenggala.

“Aku menyarankan, pertama-tama, engkau selesaikan masalahmu dengan Majikan Kerudung Putih dan mengajaknya berbicara secara baik-baik” pada saat Nengala mengucapkan hal ini, Majikan Kerudung Putih sebetulnya sudah mulai siuman dan sadar dari samadhinya. Bahkan upayanya mengembalikan kebugaran sudah jauh lebih baik, tetapi dia masih tetap berdiam diri.

“Engkau benar, hal itu memang sebaiknya kulakukan”

“Lakukanlah tanpa ancaman, lakukan sewajarnya, sebagai sahabat atau sebagai saudara” tegas Nenggala.

“Maksudmu sebagai saudara, apakah …..”? Suara Ceng Liong tertahan, tetapi dia melihat anggukkan Nenggala yang dipertegas dengan jawaban:

“Ya”, tegas Nenggala.

“Cukupkah alasan dan kenyataan yang kusaksikan untuk itu saudara”? Ceng Liong meragu. Sangat.

“Lebih dari cukup, karena jika aku tidak salah, Majikan Kerudung Putih mungkin adalah keluargamu sendiri yang juga bermarga sama denganmu, yakni marga KIANG dari Lembah Pualam Hijau”

Yang terkejut bukan hanya Ceng Liong, tetapi Barisan 6 Pedang dan bahkan Majikan Kerudung Putih sendiri juga terkejut. Bagaimana mungkin Pemuda itu tahu? dan darimana pula pemuda yang menarik hatinya dan semakin menarik hatinya itu mengetahui rahasia dan asal usulnya? Dan apakah gerangan yang akan terjadi setelah Duta Agung mengetahui rahasia dirinya? Sungguh penasaran!
 
BAB 19 Munculnya Siangkoan Tek & Lamkiong Bu Sek
1 Munculnya Siangkoan Tek & Lamkiong Bu Sek



Sementara itu disudut lain, Ceng Liong teramat sangat kaget dengan ucapan Nenggala. Ucapan yang bagaikan ingin mengatakan bahwa “tokoh Thian Liong Pang itu adalah orang Lembah Pualam Hijau sendiri”. Sesuatu yang tentunya sangat mengagetkan dan membuatnya sampai sekian lama nampak berpikir keras untuk mengurai banyak hal.

Orang-orang ditempat itu, semua menjadi sama tegang mengikuti apa gerangan yang akan terjadi selanjutnya. Nenggala, ingin mengetahui apa reaksi dan tindakan lebih lanjut dari Ceng Liong sebagai pemilik Lembah Pualam Hijau. Majikan Kerudung Putih sendiri, juga jadi ingin tahu bagaimana Ceng Liong sebagai petinggi Lembah Pualam Hijau akan besikap setelah tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Sementara Barisan 6 Pedang memandang kearah Duta Agungnya, ingin memastikan apakah memang benar-benar Majikan Kerudung Putih adalah orang Lembah mereka ataukah bukan. Sementara itu, Ceng Liong yang menjadi pusat perhatian semua orang, baik Nenggala, Majikan Kerudung Putih, maupun Barisan 6 Pedang, semakin pusing dan tahu bahwa masalah ini bukanlah masalah kecil.

Tak pelak lagi dia tidak punya pilihan lain, dia mestilah memeriksa kebenaran ucapan Nenggala. Terlebih karena dia melihat bahwa Nenggala bukanlah orang yang senang bermain-main, dan lebih dari itu, dia menangkap ekspresi kesungguhan dari wajahnya atas apa yang baru saja diungkapkannya tadi. Karena itu, mau tidak mau dia harus bertindak ……. Harus dan segera!

”Saudara Nenggala, apakah saudara sadar dan yakin dengan apa yang baru saja saudara ucapkan tadi”? Suaranya sempat agak gamang dan goyah. Tetapi tetap harus diucapkannya untuk menegaskan.

“Kebenarannya masih harus dibuktikan saudara Ceng Liong. Dan untuk itu, pertempuran yang lain harus dihentikan terlebih dahulu. Kelihatannya ada hal hal rahasia yang meliputi kejadian ini, dan tentunya terkait dengan Lembah Pualam Hijau” jawab Nenggala hati-hati.

”Maksudmu, orang itu (menunjuk Thio Su Kiat yang masih bertempur dengan Kwi Beng) juga adalah salah satu dari yang harus kita tanyai untuk membuktikan apa yang saudara ucapkan”?

“Tepat sekali saudara Ceng Liong. Aku menjamin, dia banyak tahu dan akan ikut membantu menentukan kebenaran dari apa yang kuungkapkan tadi” jawab Nenggala dengan wajah yang tidak kurang seriusnya.

Nampak beberapa saat kemudian Ceng Liong memandangi Majikan Kerudung Putih, Nenggala dan kemudian beralih ke pertarungan Su Kiat dan Kwi Beng. Sejak tadi, memang dia sudah kaget dan tersentak, karena Ilmu yang dimainkan Su Kiat benar-benar merupakan Ilmu sejati Lembah Pualam Hijau.

Bahkan dasar dan kekuatannya menunjukkan penguasaan yang matang dan seharusnya turun dari seorong tokoh lembah yang berkedudukan tinggi. Umat persilatan mengerti belaka bahwa hanyalah keturunan Lembah yang bermarga “Kiang” sajalah yang sanggup mewarisi dan menguasai tingkat dan ilmu rahasia yang dimainkannya itu. Dan Ceng Liong sudah sejak lama tersentak dengan fakta itu. “Benar, siapa gerangan orang itu”? pikirnya dalam dalam.

Beberapa saat setelahnya, Ceng Liong akhirnya cepat menemukan dirinya. Ada hal-hal lain yang mengkhawatirkannya dan harus sesegera mungkin dicarikan jalan penyelesaiannya. Dan harus diawali dari mencegah perarungan lainnya untuk tidak berlangsung semakin panas.

Dengan cepat dan tegas, kini Ceng Liong berpaling kearah Kwi Beng dan Su Kiat yang makin terlibat pertarungan ketat serta menegangkan, dan terdengarlah dari mulutnya sebuah suara yang didorong oleh kemampuan mujijat dari Gelap Ngampar, yang bahkan Nenggala sendiri merasa miris mendengarnya:

“Saudara Kwi Beng, hentikan pertempuran untuk sementara”

Tidak hanya berbicara, Ceng Liong segera mencelat kearah petempuran untuk membantu memisahkan keduanya. Dia maklum, siapa yang bertindak ayal dalam mengendorkan pertempuran yang sudah saling lilit itu, akan beresiko berat. Dan karena itu, Ceng Liong memapas serangan Su Kiat guna memberi ketika bagi Kwi Beng mundur dan bersamaan dengan itu, dia menahan serangan tajam Su Kiat.

Sebagai sesama pewaris Ilmu Sakti Giok Ceng Cap Sha Sin Kun sudah tentu Ceng Liong mengerti keampuhan serangan Su Kiat. Tetapi dia memiliki keyakinan atas dirinya sendiri, karena itu serangan ilmu sakti Soan Hong Sin Ciang sanggup ditepisnya dengan halus dan kemudian dia berkata:

“Saudara, tahan pertempuran sebentar”

Su Kiat yang melihat bahwa Ceng Liong tidak bermaksud buruk dan menahannya tidak dengan maksud menyerang, segera menghentikan serangan. Seperti juga Kwi Beng, keduanya kemudian nampak berusaha untuk mengembalikan kebugaran, terutama Kwi Beng yang sudah terperas banyak kekuatannya.

Memperoleh ketika yang cukup, Kwi Beng sanggup dengan cepat memulihkan kondisinya sampai lebih dua pertiga kebugarannya. Sementara itu, Su Kiat yang juga cepat berusaha menemukan kembali konsentrasinya sudah memandang kearah Ceng Liong, tidak dengan marah, sebaliknya dengan sedikit rasa hormat yang tidak bisa disembunyikannya.

Hal yang membuat Nenggala semakin heran, tetapi sekaligus semakin menguatkan dugaannya bahwa benar keduanya, Majikan Kerudung Putih dan Thio Su Kiat, pasti masih ada hubungan erat dengan Lembah Pualam Hijau.

Ceng Liong memandang kagum kearah Thio Su Kiat yang mampu dengan cepat memulihkan dirinya. Tak salah lagi, sinkang yang digunakannya adalah Giok Ceng Sinkang yang pada tahapan tertingginya akan mampu dengan cepat menyembuhkan luka dalam dan mengembalikan kebugaran tubuh.

Sangat membanggakan sebetulnya, hanya saja untuk saat ini, Ceng Liong memendam habis perasaan bangganya itu. Ada hal yang lebih menggelisahkan dan berstatus segera yang mesti dituntaskannya. Siapa Majikan Kerudung Putih dan siapa pula Thio Su Kiat yang sebenarnya? Apa hubungan mereka dengan Lembah Pualam Hijau dan mengapa pula ada di pihak Thian Liong Pang? Hal yang semakin lama dipikir semakin memusingkannya.

Tanpa disadarinya, kekuatan dimatanya menjadi berlipat dan dengan sendirinya, pancaran wibawa yang mujijat membayang kental dimatanya. Bahkan seorang Nenggala sendiripun sempat sangat tersentak melihat fenomena tersebut, apalagi seorang Thio Su Kiat yang secara langsung beradu pandang dengan Ceng Liong. Dan beberapa saat kemudian terdengar Ceng Liong berkata:

“Saudara, siapa sebenarnya kalian? Mengapa engkau menguasai Giok Ceng Sin Kang dan ilmu-ilmu pusaka Lembah Pualam Hijau tetapi berdiri di pihak Thian Liong Pang”?

Thio Su Kiat yang berhadapan langsung dengan getaran mujijat dari Ceng Liong yang terlontar dari rasa penasaran yang dalam, nampak gamang. Tetapi, jawaban sejujurnya tetap keluar dari mulutnya:

“Suhu mengajarku dengan ilmu-ilmu Lembah Pualam Hijau dan melarangku bergabung dengan Thian Liong Pang”

“Siapa engkau sebenarnya”? Ceng Liong bertanya

“Thio Su Kiat, anak pungut sejak bayi oleh suhuku yang mulia”

“Dan siapa pula Majikan Kerudung Putih”?

“Anak perempuan suhu”

“Mengapa pula dia menjadi tokoh Thian Liong Pang”?

Tetapi, persis ketika Thio Su Kiat akan membuka mulut menjawab pertanyaan Ceng Liong, tiba-tiba terdengar teriakan mujijat ….. GELAP NGAMPAR:

“Suheng, tahan dan sadarlah” Majikan Kerudung Putih sudah berdiri dalam keadaan segar bugar. Teriakannya menyentakkan Thio Su Kiat, sementara Ceng Liong hanya sekejap melirik kearah Majikan Kerudung Putih untuk kemudian kembali berkata:

“Ada apa Majikan Kerudung Putih”?

“Engkau menyerang Suheng dengan sejenis ilmu hipnotis dari India. Engkau bertindak curang”

“Aku memang mengerti dan menguasai ilmu itu, bahkan sanggup menggunakannya saat ini bila perlu, tetapi barusan tadi aku sama sekali tidak menggunakannya menyerang suhengmu Nona. Coba engkau bertanya kepada suhengmu, apakah dia berada dalam kekuasaanku ketika dia menjawab semua pertanyan-pertanyaanku?”
Majikan Kerudung Putih nampak keheranan, dan segera dia berpaling dan berjalan kearah suhengnya. Tak lama kemudian dia bertanya dengan suara rendah kepada suhengnya:

“Suheng, benarkah engkau menjawab pertanyaan tanpa dibawah kendalinya”?

“Tidak sumoy, aku menguasai kesadaranku. Sepenuhnya”

“Hm, aneh jika demikian. Jelas-jelas matanya bercahaya aneh dan mujijat, tanda-tanda seorang yang mahir ilmu hipnotis”

“Sudahlah sumoy, aku harus menyelesaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku. Sebaiknya engkau berdiam diri dan menyaksikan saja” berkata Thio Su Kiat sambil memandang sumoynya dengan perasaan sayang yang tulus.

“Baiklah suheng” Majikan Kerudung Putih sambil menarik nafas panjang.
Beberapa saat kemudian, Thio Su Kiat memantapkan hatinya untuk kemudian berpaling kearah Ceng Liong dan berkata:

“Duta Agung, sudah saatnya beberapa hal diberitahukan. Aku menerima perintah suhu untuk menyampaikan sesuatu kepadamu” Sambil berkata demikian, nampak Thio Su Kiat memasukkan tangannya kekantong jubahnya mencari-cari sesuatu. Tetapi, sampai sekian lama, “sesuatu” itu tidak ditemukannya. Beberapa saat kemudian dia sadar bahwa yang dicarinya ternyata tidak lagi berada di tempatnya. Secara otomatis, wajahnya celingukan kekiri dan kekanan, seperti sedang mencari sesuatu yang hilang darinya. Dan ekspresi kegelisahan segera muncul diwajahnya.

Memperhatikan keadaan Tho Su Kiat, Nenggala segera sadar, bahwa memang benar dia, Thio Su Kiat, bertugas sebagaimana yang dituliskan dalam helai kertas yang ditemukannya jatuh dari jubah pemuda sebayanya itu:

“Saudara, apakah kertas ini yang sedang anda cari”?

“Bagaimana …. Bagaimana caranya bisa berada ditanganmu”? Thio Su Kiat nampak sangat kaget dan bertanya penasaran.

“Tidak usah kaget saudara Su Kiat, kebetulan kertas itu melayang kekakiku ketika engkau bertempur dengan saudara itu (menunjuk Kwi Beng). Dan karena ada tulisan tentang ilmu perguruanku, aku penasaran membacanya. Tapi tidak semuanya, rahasiamu dan gurumu tetap terpelihara”

Nampak wajah Su Kiat menegang sejenak, tetapi melihat tatapan teduh dan hormat serta jujur dari Nenggala, dengan cepat Su Kiat menyadari dirinya dan tidak memperpanjang masalah itu.

“Bahkan, sedikit yang kutahu dari kertas ini telah membantu menahan serangan saudara Ceng Liong kepada Majikan Kerudung Putih. Maka ada baiknya kalian menyelesaikan urusan antara kalian saat ini secara baik-baik” Nenggala mengucapkannya sambil melirik kepada Majikan Kerudung Putih, berharap semuanya ditangani secara kekeluargaan. Betapapun, dia sendiri tidak enak hati telah ikut mengetahui rahasia keluarga orang lain.

“Baiklah, terima kasih jika begitu saudara Nenggala. Akupun hanya diberitahu sebagian kecil dari lembaran kertas ini, bahkan menurut suhu, ada lembaran kertas lain yang dititipkannya kepada sumoy yang menjelaskan hal lain, tetapi hanya boleh dibaca oleh Duta Agung” sampai disini Su Kiat berdiam diri dan memandang sumoynya serta Ceng Liong yang nampak mengerutkan keningnya tanda penasaran. Tetapi, karena mengemban amanat gurunya, dia berkata:

“Sumoy, keluarkan titipan suhu yang berisi lembaran rahasia” kini Su Kiat berkata tegas kearah sumoynya, Majikan Kerudung Putih.

“Bahasa sandinya”? terdengar Majikan Kerudung Putih

“Jangan engkau keliru mengujiku sumoy” berkata Su Kiat

“Baik: Pada saat Pedang dan Medali hampir bertemu” terdengar suara Majikan Kerudung Putih

“Pilihan hidup mati harus segera ditentukan” suara Thio Su Kiat.

“Baik Suheng, bahasa sandimu tepat. Ini” Majikan Kerudung Putih segera mengeluarkan sebuah benda, mirip batang atau ranting pohon berwarna hijau yang nampaknya memiliki rongga dan ruang ditengahnya. Dia segera berjalan dan menyerahkannya kemudian kepada Thio Su Kiat, untuk kemudian juga berkata kepada suhengnya itu:

“Tentunya engkau mengerti cara membukanya suheng”?

“Tidak, aku belum berkemampuan membukanya. Menurut suhu, dewasa ini hanya Sucouw Kiang Sin Liong, Kakek guru Kiang Cun Le, Bibi Guru Liong-i-Sinni, Suhu sendiri dan Duta Agung yang akan sanggup membuka rahasia yang tersimpan dalam ranting rongga pualam hijau ini”

Mendengar perkataan tersebut dan melihat benda yang berada ditangan Thio Su Kiat, Ceng Liong tergetar. Ranting Rongga Pualam Hijau adalah salah satu benda pusaka perguruannya yang dipegang hanya oleh tetua Lembah dan Duta Agung. Hanya sebuah rahasia yang menyangkut nama baik dan rahasia besar Lembah Pualam Hijau yang boleh dimasukkan kedalam Ranting Rongga Pualam Hijau.

Ranting itupun, hanya ada 5 buah di kalangan Lembah Pualam Hijau, dan sebagai Duta Agung Ceng Liong memiliki satu dari 5 benda itu. Pemilik lainnya adalah Gurunya, Kiang Sin Liong, kemudian juga Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni, sementara benda yang satu lagi tiada seorangpun yang tahu berada dimana. Bahkan gurunya tidak memberitahunya dimana ranting kelima berada.

Dan sangat luar biasa jika kemudian ranting rongga kelima kini muncul dihadapannya secara istimewa. Tentu, sebagai pewaris ranting rongga, Ceng Liong membekal kemampuan untuk membuka ranting tersebut tanpa merusak rahasia yang tersimpan dalamnya. Hanya pemilik ranting yang mengetahui rahasia membukanya, tiada manusia lain, bahkanpun didalam Lembah Pualam Hijau yang akan mampu membukanya.

Ranting Rongga Pualam Hijau sendiri adalah sebuah benda pusaka yang didalamnya pada ratusan tahun sebelumnya pendiri Lembah Pualam Hijau menemukan kunci-kunci ilmu pusaka Giok Ceng Sinkang dan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun. Kunci itulah yang menyempurnakan ilmu yang terdapat dalam kitab pusaka yang ditemukan Kiang Sim Hoat. Bahkan juga keterangan mengenai Lembah Mujijat itu dan keadaan alamnya serta rahasia-rahasia yang melingkupinya.

Dan jika demikian, maka jenis rahasia dalam ranting itu sangatlah luar biasa dan menyangkut nama baik Lembah Pualam Hijau. Para pemegang ranting, terikat sumpah yang sangat berat, dan karena itu, tidaklah mungkin munculnya ranting itu bersifat main-main belaka. Tak pelak, Ceng Liong menjadi semakin penasaran.

“Duta Agung, silahkan” Thio Su Kiat perlahan menyodorkan Ranting Rongga itu kepada Ceng Liong.

“Suheng, apa-apan”? Majikan Kerudung Putih bertanya penasaran dan kaget melihat Ranting itu akan diserahkan kepada Ceng Liong.

“Yang sanggup membuka benda ini hanya ada 5 orang sumoy, Duta Agung adalah tujuan dari Ranting ini menurut suhu. Perintah kepada kita, atau setidaknya aku, akan diberikan setelah benda ini dibuka”

Majikan Kerudung Putih memandang Thio Su Kiat dan Ceng Liong bergantian, sampai akhirnya dia kemudian mengangguk memberi persetujuan atas apa yang akan dilakukan Su Kiat. Melihat persetujuan sumoynya, akhirnya Thio Su Kiat berjalan kearah Duta Agung, memberi hormat sebagaimana layaknya warga Lembah Pualam Hijau dan kemudian menyerahkan Ranting Rongga, berikut surat yang ditemukan Nenggala kepada Ceng Liong.

Perlahan Ceng Liong menerima semua benda tersebut, dan yang pertama dilakukannya kemudian adalah membaca surat yang ditemukan Nenggala. Dia nampak mengangguk angguk, tetapi dia tahu bahwa surat seperti itu masih mungkin dipalsukan. Yang tidak mungkin dipalsukan adalah isi dari Ranting Rongga, karena selain terikat sumpah, juga untuk membuka dan mengisi surat dalam benda itu merupakan rahasia turun temurun Lembah Pualam Hijau. Karena itu, yang paling menentukan justru adalah apa gerangan isi dari Ranting Rongga tersebut?

Tiba-tiba Ceng Liong mencelat ke tengah arena, dikerahkannya kekuatan Sinkang Giok Ceng sampai ke tingkat tertinggi dan dia segera bersilat dengan gaya Giok Ceng Cap Sha Sin Kun. Kelihatan sederhana, tetapi udara sekitar menderu deru dengan hawa yang semakin lama semakin menggigit kulit manusia. Dingin. Dan deru serta badai salju bagaikana mengiringi gerakan gerakan Ceng Liong yang semakin lama semakin dahsyat, dan pada jurus ketiga belas, Ceng Liong mencelat keudara dan ketika turun kembali mengibaskan tangannya kesemua arah: Butiran-butiran salju bertebaran kemana-mana dari dinding khikang yang tercipta ketika Ceng Liong menyelesaikan permainan silatnya.

Ketika semua orang memandangnya, nampak di tangan Ceng Liong tergenggam 3 kertas dan Ranting Rongga telah terbuka. Perlahan Ceng Liong meneliti ketiga kertas tersebut, nampaknya seperti surat dan alamat tujuannya telah tertera dibagian luar keras surat tersebut. Tetapi, sebelum memberikan kepada masing-masing Thio Su Kiat dan Majikan Kerudung Putih, Ceng Liong melihat ada sebuah kertas kecil lainnya dengan tulisan: “Silahkan Duta Agung membaca suratnya terlebih dahulu”.

Secara otomatis, Ceng Liong menahan maksudnya menyerahkan surat kepada alamat masing-masing, dan kemudian membuka surat yang ditujukan kepadanya selaku Duta Agung. Tidak butuh waktu lama bagi Ceng Liong untuk terkejut membaca isi surat tersebut, wajahnya nampak berkerut, kadang sedih, kadang penasaran dan kadang gemas dan marah. Semua, baik Majikan Kerudung Putih, Thio Su Kiat, Nenggala, Barisan 6 Pedang dan Souw Kwi Beng terheran-heran melihat seri perubahan wajah Ceng Liong yang berubah-ubah semakin lama membaca surat tersebut (Isi surat akan dibahas di episode selanjutnya).

Ada kira-kira setengah jam lamanya mereka menantikan Ceng Liong menyelesaikan membaca surat tersebut, dan setelah selesai, suasana menjadi sangat hening. Terlebih karena wajah Ceng Liong telah berubah kembali menjadi normal, biasa saja, meski seri ketersentakkan emosinya sulit hilang dari wajahnya. Kini dia memandang berganti-gantian kearah Majikan Kerudung Putih dan Thio Su Kiat. Seri matanya menampak rasa kasihan ketika melihat keduanya, terutama Thio Su Kiat.

Saat semua orang terlena dan kebingungan, secara tiba-tiba tanpa diduga semua orang, Ceng Liong bergerak cepat. Menotok Su Kiat yang meski sempat berusaha menghindar, tetapi selain karena tidak menduga, Ceng Liong sendiripun menggunakan puncak kekuatan geraknya, dan mengusap sejenak pundak kanan Su Kiat. Dan begitu usai, nampak dia menotok kembali dan menganguk-angguk puas, sambil kemudian menyerahkan kertas alamat kepada Thio Su Kiat yang masih terkejut sekaligus kagum atas gerakan Cneg Liong. Tak berapa lama setelah membaca surat, nampak Thio Su Kiat kemudian meloncat kehadapan Ceng Liong, berlutut dan memberi hormat:

“Thio Su Kiat menghadap Duta Agung”

“Baiklah Thio Su Kiat, selaku Duta Agung, hari ini aku menetapkanmu menjadi anggota keluarga Lembah Pualam Hijau dan menerima perintah secara langsung dariku. Upacara penerimaan biar ditunda karena keadaan Lembah dan Dunia Persilatan sedang kisruh”

“Terima kasih Duta Agung” Thio Su Kiat kemudian berdiri dan beberapa saat terdengar kembali Ceng Liong berkata:

“Untuk mencegah berapa hal yang tak diinginkan, engkau nantinya bergerak bersama Barisan 6 Pedang dalam jabatan Duta Hukum”

“Baik Duta Agung”

Tindakan pertama Ceng Liong membuat semua orang menjadi lebih kaget lagi, terutama Barisan 6 Pedang dan juga Kwi Beng. Sementara Nengala nampak menganguk-anggukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian Ceng Liong memandang Majikan Kerudung Putih. Setelah menimbang-nimbang sejenak akhirnya dia berjalan mendekati Majikan Kerudung Putih yang masih nampak bersiap, khawatir ditotok seperti Thio Su Kiat barusan.

Tetapi Ceng Liong berkata sambil tertawa:

“Hahahaha, Bibi Li Hwa, jangan takut, aku hanya akan menyerahkan surat dari ayahmu” dan kemudian menyodorkan surat teralamat Majikan Kerudung Putih. Sementara itu, Barisan 6 Pedang, Nenggala dan Kwi Beng kaget mendengar Ceng Liong menyapa Bibi Li Hwa kepada Majikan Kerudung Putih. Jadi nama Majikan Kerudung Putih adalah Li Hwa? Kiang Li Hwa?

Sementara itu, Majikan Kerudung Putih telah menerima surat dari Ceng Liong yang menyodorkannya secara langsung kepadanya. Tak sampai berapa lama kemudian, nampak Majikan Kerudung Putih seperti tergetar. Seperti bingung apa yang harus dilakukannya. Dia bahkan seperti tak mendengar ketika Ceng Liong berkata kepadanya: “Sikap dan pilihan Bibi Li Hwa akan menentukan sikapku dan sikap Lembah Pualam Hijau nantinya”.

Majikan Kerudung Putih masih tetap terpaku, masih tetap kebingungan, karena pada saat bertugas untuk Thian Liong Pang, justru adalah saat yang disiapkan untuknya mengenali jati diri dan keluarga besarnya. Dan sekarang ini, dia justru ditodong dan disodori pilihan apa yang harus dan akan dilakukannya dengan segera. Dalam dirinya, memang terjadi perang batin yang luar biasa hebat.

Tetapi dibandingkan kakaknya, dia memang jauh lebih dekat dengan ayahnya, dan jauh lebih mengagumi cerita Lembah Pualam Hijau. Dia banyak mendengar ayahnya memperbincangkan kehebatan keluarga besar nenek moyangnya dan memupuk kekaguman itu bahkan sejak kecil. Tetapi, dia juga menyaksikan bagaimana ayahnya mengalami hal-hal tak terduga dan membuatnya berada di persimpangan sempit dengan hanya ada dua pilihan. Dan dia memilih pilihan untuk mendampingi ayahnya pada masa sulit.

Tetapi kini pilihan lain baginya sudah disodorkan, bahkan pilihan itu merupakan perintah ayahnya baginya. Dan, pilihan masa kecilnya akhirnya dimenangkan. Pilihan yang berdasarkan kebanggaan akan kehebatan leluhurnya dan atas kesadaran mengapa ayahnya mengharapkan pilihan itu. Dengan penuh rasa mantap dia melirik kearah Kiang Ceng Liong, dan kemudian seperti juga Thio Su Kiat sebelumnya, dia berlutut dihadapan Ceng Liong dan kemudian terdengarlah suaranya berkata:

“Kiang Li Hwa memberi hormat kepada Duta Agung”

Semua orang ternganga-nganga, kaget tak terkira. Salah satu tokoh utama, tokoh kuat Thian Liong Pang ternyata adalah marga “Kiang”, warga Lembah Pualam Hijau. Ada apa dibalik semua cerita dan rahasia itu? Nampaknya baru Ceng Liong seorang yang mengerti secara lengkap. Tetapi, mustahil dia membeber cerita yang terkait dengan rahasia orang-orang Lembah Pualam Hijau dan bahkan nama baik Lembahnya sekarang ini. Lebih kaget lagi ketika kemudian terdengar Ceng Liong berkata:

“Kiang Li Hwa, sudah satnya engkau kembali menjadi Kiang Li Hwa dan karena itu, mulai saat ini engkau menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau yang sebelumnya dijabat oleh ibuku.”

“Terima kaih Duta Agung”

“Dan lagi, berhubung egkau telah menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau, maka aku perintahkan engkau mulai saat ini mencopot kerudung putihmu. Sampai persoalan Thian Liong Pay selesai, aku memerintahkan engkau tidak mengenakan pakaian putih, tetapi mengenakan warna Hijau, warna Lembah kita”

“Baik Duta Agung” Majikan Kerudung Putih menjawab sambil kemudian mencopot kerudung putihnya. Dan tamatlah riwayat Majikan Kerudung Putih, yang bagi banyak orang yang tidak tahu, entah bagaimana Majikan Kerudung Putih menghilang. Dan muncullah tokoh hebat baru dari Lembah Pualam Hijau, Kiang Li Hwa, yang bertugas sebagai Duta Luar yang mendampingi Duta Agung saat bertugas di luar lembah.

Dan, kekagetan Nenggala, Kwi Beng dan Barisan 6 Pedang bertambah ketika menyaksikan munculnya seorang gadis cantik yang sudah matang. Bila sebelumnya kecantikannya hanya bisa direka-reka, maka setelah melepas kerudung putihnya, wajah asli Kiang Li Hwa yang putih mulus dan cantik jelita menyita perhatian banyak orang. Hanya seorang Thio Su Kiat yang maklum karena memang sudah mengenal sumoynya ini secara sangat lama dan dari dekat.
“Dan satu hal lagi ingin kutegaskan kepadamu, berhubung kedudukanmu sebagai Majikan Kerudung Putih pada masa lalu, maka dalam bergerak nantinya, engkau harus bersama dengan Thio Su Kiat. Dan dalam selang waktu itu, kalian berdua tidak boleh berada terllau jauh dariku”

“Baik Duta Agung, akan selalu kuingat”

Sementara itu, Barisan 6 Pedang juga turut bergembira, karena ternyata tokoh lihay di pihak lawan adalah orang sendiri. Bahkan, mereka mengenal kelihayan tokoh ini yang masih mengatasi Topeng Setan. Dan terlebih lagi, Duta Luar mereka yang baru ini, adalah seoran gadis cantik yang sangat lihay. Berbeda cara pandang Nenggala dan Kwi Beng yang memandang dengan kekaguman yang tak tersembunyikan lagi.

Tanpa sadar, benih persaingan cinta telah tersemaikan antara Kwi Beng dan Nenggala, kedua tokoh muda hebat yang memiliki kesaktian tidak lumrah, berwatak sama gagah dan sama hebat. Hanya, kematangan dalam menghadapi situasi seperti ini masih dimenangkan Nenggala yang memang dari segi usia lebih matang dan lebih berisi.

Nenggala tidak memungkiri hatinya bahwa dia tertarik kepada murid paman seperguruannya itu. Dan terlebih seperti dugaannya, wajah dibalik kerudung putih itu memang cantik jelita. Meskipun pernah menjadi Majikan Kerudung Putih dari Thian Liong Pang, tetapi betapapun sikap dan sifat gagah tidak terlepas dari gadis itu. Sungguh mengagumkan.

Sementara bagi Kwi Beng, kenyataan bahwa Majikan Kerudung Putih bermarga Kiang dan kini menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau semakin mempertebal rasa cintanya. Jika sebelumnya masih ada ganjalan dihatinya, maka kini semua ganjalan itu seperti menguap, bahkan bertambah dengan rasa cinta dan kasih yang berlipat-lipat.

Begitulah Kwi Beng, sama saja dengan manusia normal lainnya. Status seseorang menentukan bagaimana kita menilai dan menetapkan “harga” seseorang dimata kita. Fakta bahwa Majikan Kerudung Putih berada di pihak lawan membuat harganya sedikit turun, meski hati telah mengandung cinta. Tetapi, ketika ternyata dia bahkan adalah warga Lembah Pualam Hijau, sontak harga Majikan Kerudung Putih atau Kiang Li Hwa melonjak berlipat lipat di mata Kwi Beng.
 
2




Masing-masing, baik Kwi Beng maupun Nenggala tidak menyadari bahwa bibit itu telah tertanam secara tidak sengaja. Tanpa seorangpun dari mereka berdua bersalah. Tidak bersalah, karena secara tak sengaja panah asmara membidik mereka kearah hati dan orang yang sama, padahal hanya akan ada satu orang yang mungkin memenangkan kompetisi memperebutkan hati seorang gadis.

Maka, sementara Ceng Liong mengatur dan menata serta mempercakapkan strategi Lembah Pualam Hijau bersama dengan Kiang Li Hwa, Thio Su Kiat dan Barisan 6 Pedang, Kwi Beng dan Nenggala hanya mendengar semata dan sekali-sekali atau malah sering-sering melirik kearah Li Hwa yang telah menanggalkan kerudung putihnya.

Asmara telah membuat gadis yang memang cantik itu menjadi jauh lebih cantik dimata mereka. Dan membuat keduanya tidak merasa bosan sedikitpun untuk berlama-lama menatap wajah itu. Bahkan, Nenggala yang tadinya berniat pergi menyusul paman gurunya, seperti melupakan niatnya tersebut.

Idem dengan Kwi Beng yang tidak menyadari, bahwa sampai saat itu, Kwi Song adik kembarnya masih belum menampakkan dirinya. Dan masih belum ada niatnya untuk pergi mencari kemana dan ada apa dengan adiknya itu. Padahal, biasanya dia paling susah untuk bersabar bila telah menyangkut keberadaan adiknya itu.

Diam-diam dan masih saling tidak tahu, keduanya telah memberi ruang yang dalam bagi seorang gadis yang sebelumnya berdiri pada garis yang bersebarangan dengan mereka. Tetapi, setelah tahu keadaan yang sebenarnya, hampir semua ganjalan yang ada seperti sirna dengan sendirinya. Dan mulailah asa dan harapan terpupuk dan bahkan menumpuk dalam kadar besar dalam waktu singkat. Begitulah CINTA !

***

Ceng Liong nampak berdiri tercenung. “Sungguh luar biasa ….. sangat tak terduga” terdengar gumamnya berkali-kali. Di belakangnya berdiri dengan rapih dan hormat Barisan 6 Pedang yang kini telah kembali menemukan dan bersama dengan tuannya DUTA AGUNG Lembah Pualam Hijau. Sudah beberapa lama Ceng Liong berdiri tercenung seperti itu, sementara ditangannya masih tergengam Ranting Rongga Pualam Hijau.

Sebuah benda sepanjang 20 cm berbentuk ranting pohon yang kecil dan memiliki rongga didalamnya, dan benda itu berbentuk semacam kristal atau pualam yang berwarna hijau pekat. Benda dan isinya itulah yang beberapa waktu sebelumnya telah menggoncangkan ketenangan Ceng Liong, bahkan hingga beberapa saat masih belum sanggup mengurai sebagian besar dari rahasia yang melingkupi konflik dunia persilatan dan kondisi Lembah Pualam Hijau.

“Ternyata benar, ada tokoh Lembah Pualam Hijau yang terlibat dalamnya …… persoalan ini sungguh sangat rumit” gumam Ceng Liong meski hanya dalam benaknya sendiri. “Pantas kong-kong dan juga beberapa tokoh Lembah memilih bekerja secara diam-diam ….. hm, sungguh penasaran”. “Masih ada rahasia apa lagikah dibalik semua kejadian yang luar biasa ini? Dan bagaimana pula caranya membuka semua rahasia dibalik kekisruhan ini tanpa mengorbankan nama baik Lembah Pualam Hijau?

Sungguh bingung Ceng Liong memikirkannya. Baru menghadapi Thian Liong Pay dia sudah kebingungan dan sangat pusing, kini harus pula menghadapi kenyataan betapa ada tokoh asal Lembah Pualam Hijau yang terlibat, malah didua pihak yang bertentangan itu. Repot memang.

Sekali lagi Ceng Liong menarik nafas berat. Dipundaknya kini tertanggung beban yang teramat berat. Harus menyikapi persoalan besar dunia persilatan yang melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya, dan juga dipundaknya disandarkan harapan para sesepuh dunia persilatan untuk meredakan badai dunia persilatan yang melibatkan tokoh-tokoh sepuh dari berbagai Negara.

Meski begitu, kerepotan Ceng Liong tidak mengubah suasana pagi yang nampak agak cerah hari itu, bahkan juga tidak membuat kicau burung jadi terdengar sumbang. Semalam, dia memang memutuskan bersama Kwi Beng untuk berpisah dalam melaksanakan tugas yang berbeda.

Kwi Beng ditugaskan menyusul Kwi Song dan rombongan Kay Pang untuk segera memperkuat rombongan para pendekar. Pesan juga disampaikannya kepada Topeng Setan bahwa Barisan 6 Pedang akan bersama dengannya untuk melaksanakan sebuah tugas. Sementara itu, Kiang Li Hwa dan Thio Su Kiat dtugaskannya untuk membawa kembali harta rampasan Thian Liong Pang kepada Tiam Jong Pay sebagai pemilik sah benda-benda tersebut.

Sementara itu, Nenggala yang mendapat tahu bahwa 10 tahun terakhir paman gurunya bersembunyi di Tiam Jong Pay, ingin mengunjungi Tiam Jong Pay untuk melakukan penyelidikan. Meskipun dia sendiri sadar, bahwa sebetulnya faktor Li Hwa yang mendorongnya untuk memilih datang ke Tiam Jong Pay. Sementara Ceng Liong sendiri malah merasa gembira, karena kehadiran Nenggala dalam rombongan mengawal barang atau harta ke Tiam Jong Pay, membuat keadaan akan jauh lebih baik. Hanya seorang Kwi Beng yang mengernyit aneh dengan keputusan itu, meski dia tidak mengatakan apa-apa.

Demikianlah, setelah beristirahat sejenak, bersemedhi dan memulihkan kekuatan, pagi-pagi benar Li Hwa, kini Duta Luar Lembah Pualam Hijau yang telah bersalin rupa, Thio Su Kiat, Duta Hukum Lembah Pualam Hijau dan Nengala segera berangkat menuju ke tempat penyembunyian harta rampasan. Dan seterusnya, Kwi Beng kemudian berangkat menyusul atau mencari Kwi Song dan rombongan Kay Pang yang melakukan pencegatan di titik lain.

Dan tidak berapa lama kemudian, tinggal Ceng Liong seorang diri yang berada di tempat itu, satu persatu dia melepas kawan-kawanya untuk melakukan tugas lain yang berbeda. Ada rasa gembira melihat Li Hwa yang bersemangat dan Su Kiat yang sangat menyayangi sumoynya itu. Tetapi, Ceng Liong mampu menafsirkan rasa kasih Su Kiat benar-benar rasa kasih persaudaraan.

Diam-diam Ceng Liong bergumam “akan ada saatnya dia mengetahui semuanya”. Dan dalam hal ini, dia sangat berprihatin akan nasib dan pengalaman Su Kiat yang sungguh sangat buruk, bahkan masih lebih prihatin dan lebih buruk dari nasibnya sendiri.

Untunglah ada guru Su Kiat yang memelihara dan melatihnya untuk bisa menjadi seorang pendekar pilih tanding, dan kini bahkan menjadi Duta Hukum Lembah Pualam Hijau yang dimalui oleh warga dunia persilatan. Demikian juga ketika melepas Kwi Beng, Ceng Liong merasa sedih karena kembali harus berpisah dengan kawannya itu. Ada perasaan bahkan seperti keluarga sendiri diantara mereka berlima, murid-murid didikan 4 Manusia Dewa Tionggoan.

Memiliki nasib bersama, hanyut oleh sungai diwaktu banjir bandang, ditolong oleh guru masing masing, dan kemudian belajar silat di bawah arahan guru yang pandai. Sampai akhirnya bersama-sama ditugaskan guru masing-masing untuk meredakan badai rimba persilatan Tionggoan.

Dan sekarang, sudah saatnya bagi Ceng Liong untuk berangkat. Kemana arah tujuannya? Ada satu hal yang ingin segera dikerjakannya, yakni membuktikan apa yang tertulis dalam surat yang disampaikan kepadanya melalui Ranting Rongga Pualam Hijau. Dan untuk itu, karena salah satu tempat yang disebutkan berada tidak jauh, maka kesanalah dia menuju. Segera keluar perintahnya kepada Barisan 6 Pedang untuk berangkat.
“Kita berangkat menuju kuil SIAUW LIM SIE”.

=======================

Beberapa hari kemudan, perintah untuk menyerang markas Thian Liong Pang kembali turun berdasarkan informasi dari Pengemis Tawa Gila. Undangan penyerangan tersebut bahkan didukung oleh Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau serta Bu Tong Pay. Bahkan Pangcu Kaypang, Duta Agung Lembah Pualam Hijau dan Ciangbunjin Bu Tong Pay sudah memutuskan akan segera bergabung.

Sementara Siauw Lim Sie belum mengirimkan kabar apakah Ciangbunjin Siauw Lim Sie akan bergabung ataukah tidak. Meskipun demikian, dengan kehadiran Ciangbunjin Bu Tong Pay, Pangcu Kay Pang serta Duta Agung Lembah Pualam Hijau, bisa dipastikan Ciangbunjin Siauw Lim Sie juga akan ikut bergabung.

Dan bila keempatnya menyatakan bergabung, maka bisa dipastikan tokoh-tokoh besar dari berbagai perguruan silat semisal Kun Lun Pay, Thian San Pay, Tiam Jong Pay serta Benteng dan Lembah terkenal dipastikan akan mengirimkan utusan. Bahkan bukan tidak mungkin Pangcu, Ciangbunjin atau Majikan Lembah dan Benteng yang akan turun tangan sendiri.

Peristiwa bertemu dan berkumpulnya tokoh-tokoh utama seperti ini teramat jarang terjadi di dunia persilatan, dan dipastikan sedikit yang akan melewatkannya. Bersama kabar itu sudah dipastikan bahwa Markas Besar Thian Liong Pang sudah ditemukan berada dimana dan bahwa serangan ataupun pertempuran terakhir akan dilakukan.

Meskipun surat undangan disebarkan atas panggilan Sian Eng Cu Tayhiap maupun Pengemis Tawa Gila, tetapi pengundang utamanya adalah Pangcu Kaypang, Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ciangbunjin Siauw Lim Sie dan Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Cukup menilik reputasi dan nama besar keempat Perguruan Besar tersebut, maka sudah bisa dibayangkan betapa seriusnya undangan itu.

Bersamaan dengan keluarnya undangan pertarungan terakhir melawan perusuh Thian Liong Pang, maka perondaan diantara kota Ye Cheng dan Kwi Ciu dilakukan semakin sering. Murid-murid Kaypang adalah pelakon utama dalam berbagai macam ragam penyamaran, dan juga dibantu oleh beberapa anak murid Bu Tong Pay yang ikut menyertai Sian Eng Cu.

Tetapi selain itu, ada beberapa tokoh lain yang juga melakukan perondaan semacam, antaranya seperti pada saat ini adalah kakak beradik Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan. Sebetulnya, Tek Hoat menyarankan agar keduanya berkunjung terlebih dahulu kepada orang tua mereka di Kota Raja.

Tetapi entah mengapa, kali ini justru Mei Lan yang menampiknya, meskipun beberapa waktu sebelumnya, justru dia yang berkali-kali mendesak kakaknya untuk berkunjung ke Kota Raja. Pada awalnya Tek Hoat agak bingung, tetapi lama-kelamaan akhirnya dia sadar juga akan apa gerangan yang membuat adiknya berkeras untuk berada di Ye Cheng bersama kelompok pendekar.

Pada hari-hari awal, memang Mei Lan sangat gembira bertemu kembali dengan Suheng yang sekaligus telah dianggapnya sebagai ayah, yaitu Sian Eng Cu Tong Li Koan. Tetapi seterusnya, dia seperti terus menerus menantikan seseorang, hingga akhirnya Tek Hoat paham apa yang sebenarnya sedang dialami adiknya:

“Moy-moy, apakah dugaanku keliru bahwa engkau sedang menantikan seseorang kelihatannya”? Tanya Tek Hoat lembut setelah 4 hari mereka berada di Ye Cheng bersama kelompok pendekar yang dikoordinasikan oleh Sian Eng Cu Tayhiap.

“Apakah memang aku kelihatan seperti itu koko”? Mei Lan justru balik bertanya dengan malas-malasan.

“Hahahaha, engkau lupa kalau justru kokomu ini adalah orang yang paling mengenalmu untuk saat ini” Tek Hoat dengan setengah meledek.

“Tapi koko, apakah dia juga merasa seperti aku yang ingin segera bertemu dengannya”? tiba-tiba suara Mei Lan menjadi menghiba. Maklum, karena hanya kepada Tek Hoat seorang dia bisa berbicara secara terbuka soal perasaannya. Terlebih, karena beberapa waktu sebelumnya, Tek Hoat telah menebak dengan tepat perasaannya terhadap Ceng Liong.

“Ach moy-moy, siapa lagikah gerangan pemuda yang berani menolak cinta adikku yang cantik dan perkasa ini? Si Thian Jie (dulu Ceng Liong dipanggil Thian Ji oleh mereka berdua), tidak mungkin” Hibur Tek Hoat

“Koko, aku tidak main-main” Mei Lan merengut

“Akupun tidak main-main adikku sayang. Biarlah kokomu ini yang akan bicara kepadanya” Tek Hoat membesarkan hati adiknya.

“Tapi aku malu koko” Mei Lan kembali termenung

“Sudahlah adikku, biarkan lain kali kakakmu ini yang mengaturnya. Adalah lebih baik kita berjalan-jalan di luar. Suhengmu tadi memintaku untuk kembali melakukan perondaan, sekaligus engkau mengajarku agar bisa berlari lebih cepat lagi” ajak Tek Hoat.

Demikianlah, seperti dua dan tiga hari sebelumnya, kedua kakak beradik ini kembali melakukan perondaan. Menjelajahi perjalanan antara kota Ye Cheng dan Kwi Ciu, kota yang berada di dekat sungai Yang Tze dan membelah serta memisahkan Kedua kerajaan yang berhubungan kurang baik itu.

Kota Kwi Ciu atau di seputar kota itu jugalah yang dicurigai menjadi markas dari Thian Liong Pang sebagaimana informasi yang diterima oleh Sian Eng Cu. Karena itu, lalu lintas orang diantara kedua kota itu benar-benar diamati secara cermat oleh para pendekar. Selain mengerahkan orang-orang Kay Pang yang melakukan pengamatan dengan cara mereka sendiri, juga pengamatan dilakukan oleh tokoh-tokoh kosen.

Seperti apa yang dilakukan oleh Tek Hoat dan Mei Lan hari ini, sambil menghilangkan kepenatan, juga Tek Hoat sekaligus mengajak adiknya berlatih. Dia tahu betul-betul, bahwa dalam hal ginkang, adiknya dewasa ini sudah bisa dikategorikan “tanpa tanding”, kecuali dibandingkan dengan guru adiknya Liong-i-Sinni yang memang sudah lama merajai ginkang di dunia persilatan Tionggoan.

Sementara itu, Mei Lan sendiri, meskipun bayangan Ceng Liong selalu yang mengisi kepala dan pikirannya, tetapi ajakan Tek Hoat untuk melakukan perondaan dipenuhinya. Terlebih karena suhengnya Sian Eng Cu sendiri yang juga meminta mereka melakukannya.

Padahal, bagi Mei Lan, suhengnya itu sudah seperti ayahnya sendiri, yang mendidik, mengajar dan bahkan mengasuhnya atas nama gurunya sejak masa kecilnya. Maka, meski tidak terlampau antusias, tetapi dmei menemani kakaknya dan memenuhi pemrintaan suhengnya, dia melakukannya.

Tengah keduanya berlari-larian, sambil melatih ginkang dan sekaligus mengawasi hutan-hutan yang kadang berpepohonan lebat dan kadang dengan pepohonan yang jarang, tiba-tiba keduanya mendengar suara orang tertawa. Sebagai orang yang terlatih secara sangat istimewa, sedangkan suara orang berbicara dari jarak jauhpun, bisa mereka dengarkan.

Apalagi suara itu, nampaknya memang sengaja dilepas secara wajar dan tidaklah ditahan-tahan. Asal suara itu kelihatannya masih jauh, karena terdengar sayup-sayup, seperti orang berkata dengan dorongan suara bernada gemas dan kesal. Tetapi, suara yang satu lagi, juga diutarakan dengan nada tegang.

Setidaknya, ada dua orang yang sedang berdebat, jauh didepan sana, agak dekat dengan sebuah bukit yang terbentang didepan mereka. Tetapi, yang membuat mereka berdua kaget adalah, suara-suara itu teramat bening, dan suda jelas dikeluarkan oleh seorang tokoh yang tidaklah berkepandaian rendah. Adalah Mei Lan yang lebih dahulu berhenti dan kemudian memandang Tek Hoat yang juga sedang memandangnya dengan wajah berkerut:

“Nampaknya didepan kita ada perdebatan antara dua orang berkepandaian luar biasa koko” ujarnya

“Benar moy-moy, entah siapakah gerangan keduanya. Nampaknya mereka bukanlah manusia biasa. Adalah lebih baik kita mendekati tempat mereka secara sangat berhati-hati”

“Baik, ayolah koko”

Keduanya kemudian meningkatkan kemampuan ginkangnya untuk perlahan lahan mendekati tempat asal datangnya suara tersebut. Secara otomatis keduanya tidak saling bicara satu dengan yang lain, tetapi sepakat menuju keasal suara dengan tidak menerbitkan sedikitpun suara. Dan untuk itu, keduanya sudah memiliki bekal lebih dari cukup untuk meredam suara mereka ketika sedang mendekati tempat asal suara tersebut.

Tanpa mengeluarkan suara, mereka mendekati tempat itu. Tempat yang ternyata agak sedikit terbuka dan disamping tempat terbuka itu terdapat sebuah sungai kecil atau lebih mirip disebut kali yang lebarnya hanya lebih kurang satu setengah saja dan nampaknya mengalir dari bukit kearah sungai besar.

Tempat yang terbuka itupun lebih merupakan bongkahan batu besar yang sambung menyambung, dan bahkan air yang mengalir kebawah, melalui celah diantara bongkahan batu yang bahkan memanjang turun searah aliran anir sungai kecil itu. Sekeliling tempat itu merupakan pepohonan yang cukup lebat, meskipun batang pohonnya tidaklah terlampau besar.

Pemandangan aneh terhampar segera bagi Mei Lan dan Tek Hoat ketika mengintai orang-orang yang mengeluarkan suara perdebatan. Kebetulan, mereka datang dengan jalan sedikit memutar, sehingga bisa memandangi tempat yang lumayan luas dan terdiri dari bongkahan batu padat dan besar itu, dari tempat yang agak tinggi.

Di sebelah yang sedikt keatas dari tempat terbuka itu, tepatnya dibelahan yang agak datar, duduk dalam jarak hampir 2 meteran dua orang kakek tua yang berdandan agak aneh. Meskipun berdandan agak aneh, tetapi keduanya mengenakan pakaian yang melambangkan kebesaran dari sebuah organisasi atau perkumpulan ataupun perguruan asal mereka.

Dan terus lagi, ditempat yang agak lebih tinggi lagi dan agak dekat dengan mereka berdua, tetapi posisi duduk membelakangi mereka dalam jarak sekitar 10 meter dari tempat mereka, duduk pula seorang kakek tua yang lain dalam sikap Samadhi. Dan kedua orang kakek yang berdandanan aneh dan mentereng itulah yang sedang berdebat.

Sementra dihadapan mereka, sedang terbentang sebuah papan permainan, sebuah papan catur. Dan jika tidak salah, pangkal perdebatan mereka adalah sekitar permainan keduanya yang kelihatannya agak alot dan tegang.

Kakek yang pertama, nampak lebih tua dari kakek yang kedua. Kakek yang pertama itu mengenakan kopiah berlambang bulan dan matahari, sebuah tanda berunsur terang. Kopiah atau tutup kepala ini memiliki kain penutup yang sampai menutupi jenggot panjangnya yang semua telah memutih, dan ketika berkata-kata marah dan kesal, keadaannya nampak aneh.

Meskipun jubah luarnya berwarna kelabu, tetapi jubah dalamnya berwarna merah mentereng dan menimbulkan kesan dan wibawa yang sangat kuat. Sementara lawannya, juga mengenakan symbol yang tidak kalah uniknya. Mengenakan tutup kepala atau topi menyerupai seekor ikan hiu serta dandanan yang penuh warna kemilau, bahkan dengan hiasan-hiasan mutiara yang kelihatannya tidaklah murah nilai jualnya.

Dandanan atau hiasan itu, dilekatkan dengan cara unik di jubah biru langitnya dan membuatnya sekali lihat mengesankan kemewahan, kekayaan namun juga melambangkan kekuatan dan agresifitas. Kakek ini jika ditaksir, masih lebih muda, mungkin ada sekitar 60 tahunan dibandingkan dengan kakek yang pertama yang mungkin berusia 70 tahunan dan mendekati 80-an.

Begitupun, keduanya nampak atau terlihat saling menadang sebagai orang yang seangkatan atau orang yang sederajat. Dan memang, sudah tentu memang demikian, karena keduanya adalah tokoh-tokoh puncak dewasa ini. Yang seorang adalah Bengkauw Kauwcu, Siangkoan Tek dan yang seorang lagi adalah Lamkiong Bu Sek, Bekas Tocu dari Lam Hay Bun, atau penguasa Lam Hay Bun.

Karena itu, wajar dan biasa saja cara berlaku dan memperlakukan temannya diantara kedua tokoh tua ini, apalagi dalam waktu lama, mereka bersekutu bertanding melawan jago-jago Tionggoan.

Sebagai didikan tokoh-tokoh sepuh, sekali pandang Tek Hoat dan Mei Lan segera sadar, bahwa mereka sedang “salah-tempat” mengintai orang. Tokoh yang mereka intai terlampau hebat. Dan tidak pada tempatnya mereka mengintip orang semacam mereka. Dari tanda pengenal kedua orang itu, segera mereka saling pandang dan saling mengerti, bahwa keduanya mengenal siapa gerangan tokoh-tokoh tua yang seperti anak kecil sedang berdebat soal permainan catur yang tertera dihadapan mereka.

Merekapun tahu, sudah kadung untuk mundur meski mereka tahu kurnag pantas ngintip. Sementara mereka masih belum sanggup mengenali, siapa gerangan tokoh ketiga yang duduk membelakangi mereka. Pakaiannya didominasi warna hijau, dan nampaknya tidak kurang tuanya dibandingkan dengan Kauwcu Begkauw.

Tetapi sedari tadi, sejak kedua kakek didepannya berdebat, kakek yang satu ini tetap diam terpekur dalam samadhinya. Dan kelihatannya dalam keadaan bagamanapun, kakek yang bersamadhi itu, tetaplah tidak akan tergugah jika terus dibiarkan seperti itu.

Buktinya, perdebatan penuh kegemasan antara kedua kakek dihadapannya, sama sekali tidak menggugah samadhinya. Sementara itu, nampaknya pertandingan catur kedua tokoh tadi, ketika kedatangan Tek Hoat dan Mei Lan, sudah berada dipuncak pertandingannya. Buah-buah catur keduanya sudah saling lilit melilit dan tertinggal kurang dari setengah biji catur dalam posisi awal permainan.

Alias permainan keduanya sudah saling makan memakan biji catur lawannya dan menyisakan masing-masing tinggal setengahnya untuk digunakan menggempur raja lawan atau mempertahankan raja sendiri.
Benar juga, 10 menit kemudian keduanya nampak lesu. Lesu bukan karena kalah, tetapi karena tidak lagi melihat kemungkinan untuk mengalahkan lawan akibat posisi sudah terlampau riskan untuk memaksakan kemenangan. Bagi yang ahli, segera sadar, posisi masing-masing terlampau riskan untuk memaksakan diri menyerang posisi lawan, dan karena itu cukup lama waktu mereka pergunakan untuk memancing lawan menyerang. Bahkan keduanya sempat saling mengejek tadinya ketika Tek Hoat dan Mei Lan mendengarkan perdebatan mereka:

“Engkau penakut”

“Bukan, kamulah yang pengecut, tidak berani menyerang”

“Cobalah maju pengecut”

“Dasar penakut”

“Siapa yang pengecut dan penakut? Kamu”

“Kamu”

“Kamu yang tidak berani maju menyerang”

“Kamu juga tidak berani”

Padahal keduanya sadar, siapa yang berani menggempur duluan akan terkena serangan balik mematikan dari lawannya. Karena itu, akhirnya keduanya mengalah. Mengalah untuk tidak saling menyerang dan masing-masing menerima posisi remis alias draw. Tanpa pemenang dan tidak ada yang kalah. Tapi jelas keduanya tidak puas. Apalagi, keduanya memang dikenal pandai dan termasuk terpandai dalam permainan catur selama ini.

Jadi, wajar jika keduanya saling tahu dan saling paham kekuatan lawan. Upaya memancing lawan menggempur diutarakan baik dipapan maupun dimulut sebagai perang psikologis, tetapi semuanya gagal. Permainan berakhir draw alias seri. Bukannya gembira tau senang karena bisa menahan imbang lawan, keduanya malah uring-uringan karena gagal mengalahkan lawan.

“Usiaku sebentar lagi habis, tapi belum juga aku bisa menaklukkanmu ….. huh, sungguh memalukan, sunguh memalukan. Padahal usiaku sudah semakin senja, dan bukan tidak mungkin sebentar lagi aku meninggalkan dunia ini” Kakek berkopiah Bengkauw mengeluh.

“Akupun akan malu, jika sampai engkau menutup mata tetapi tetap belum sanggup membuatmu bertekuk lutut di atas papan catur ini” Bekas Tocu Lam Hay juga tidak kurang kesalnya dengan hasil akhir yang tetap juga draw.

“Percuma kita sudah seharian disini, pertarungan kita tetap seri, dan mahluk sok alim itu masih tetap belum mau siuman juga” Kauwcu Bengkau melirik kearah kakek yang satu lagi, yang masih sedang dalam posisi Samadhi dihadapan keduanya yang bermain catur.

Rupanya, kedua tokoh besar ini bermain catur sambil menunggui kakek yang satu lagi untuk siuman dari samadhinya, dan mereka sepertinya sudah menghabiskan banyak game pertandingan tetapi tetap dengan hasil yang tidak saling mengalahkan.

“Hei kakek tua bekas Duta Agung Lembah Pualam Hijau, apakah tiada sedikitpun rasa hormatmu kepada kami kawan-kawan seangkatanmu. Cukuplah samadhimu, mari kita bicara” tak sabar, Kakek Berkopiah Matahari dan Bulan itu akhirnya mengalihkan kejengkelannya kepada kakek yang sedang bersamadhi. Tek Hoat dan Mei Lan terkejut, karena ternyata kakek tua yang satu adalah salah satu tokoh terkenal dan legendaris dari Lembah Pualam Hijau. Siapa lagi kalau bukan Kiang Cun Le?

“Benar orang tua, mari ….. mari kita bercakap-cakap. Terasa mahal pertemuan kita jikalau hanya diisi dengan main catur yang tak ada ujungnya dan melihati engkau yang asyik bersamadhi” terdengar tokoh yang satu lagi, bekas Tocu Lam Hay Bun ikut angkat bicara. Dan keduanya, Mei Lan dan Tek Hoat tambah kaget, karena sepertinya mereka memang punya kepentingan bertemu ditempat itu untuk satu keperluan tertentu.

Tetapi begitupun, masih tiada respons sedikitpun dari Kakek Kiang Cun Le yang masih tetap dalam posisi bersamadhi didepan kedua kakek sakti lainnya.

“Hm, mau kulihat sampai kapan engkau tetap seperti itu jika para pengintai cilik itu kuserang Cun Le” sambil berkata demikian, nampak tokoh Bengkauw itu tiba-tiba mendorongkan lengannya kearah belakang Kiang Cun Le. Dan Tek Hoat serta Mei Lan segera sadar jika ternyata tempat persembunyian dan kedatangan mereka sudah tercium lawan sejak lama.

Karena maklum kehebatan tokoh Bengkauw itu, maka tanpa berayal keduanya segera menyambut pukulan yang datang mencicit kearah mereka. Tetapi, karena maklum mereka berhadapan dengan tokoh tingkat tinggi di dunia persilatan, maka keduanya tidak berani bertindak kurang hormat.

Sebaliknya, setelah menahan dan mengalihkan angin serangan Kakek Bengkauw itu, Tek Hoat dan Mei Lan segera meloncat keluar dan memberi hormat kepada tokoh-tokoh tersebut:

“Siauwtee Liang Tek Hoat memberi hormat kepada locianpwee Bengkauw Kauwcu dan Tocu Lam Hay Bun yang mulia”

“Siauwtee Liang Mei Lan memberi hormat kepada locianpwee Bengkauw Kawcu dan Tocu Lam Hay Bun” (Bersambung)
 
3



Begitu tiba dihadapan kedua kakek sakti itu, yang benar ternyata memang merupakan tokoh-tokoh puncak dari Bengkauw dan Lam Hay Bun, bahkan langsung adalah Siangkoan Tek, Kawcu Bengkauw dan Lamkiong Bu Sek Bekas Tocu Lam Hay Bun. Baik Tek Hoat maupun Mei Lan mengenali mereka dari ciri-ciri perguruan sebagaimana diceritakan guru mereka masing-masing.

Kedua kakek yang berdandan aneh itu, dua-duanya berperawakan tinggi besar, masih lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan kakek Kiang Cun Le yang sekarang berada di belakang mereka. Sementara itu, Siangkoan Tek dan Lamkiong Bu Sek kini memandangi kedua anak muda yang baru datang dan kini berdiri didepan mereka.

Keduanya juga heran dan kagum atas kemampuan kedua anak muda itu dalam memunahkan serangan Siangkoan Tek dan melayang ringan dihadapan mereka berdua. Apalagi gerakan Mei Lan yang membuat keduanya tertegun dan tak pelak memberi pujian:

“Luar biasa, luar biasa, seperti menyaksikan In Hong pada masa mudanya” Siangkoan Tek bergumam kagum melihat gerakan Mei Lan.

“Benar, sungguh pameran ginkang yang sangatlah luar biasa. Hm, nona muda, siapamukah Kiang In Hong, Liong-i-Sinni”? terdengar Lamkiong Bu Sek ikut penasaran dan bertanya

“Subo Liong-i-Sinni adalah guruku yang kedua jiwi locianpwee. Maafkan siauwtee telah mempertunjukkan ketidakbecusanku barusan” Mei Lan tidak berani pasang aksi tinggi didepan kedua tokoh tingkat tinggi ini. Tapi, tiba-tiba nampak Siangkoan Tek seperti sedang memikirkan sesuatu, dan karena itu dia bertanya kepada keduanya:

“She Liang, bernama Liang Tek Hoat. Engkaukah orangnya anak muda”?

“Benar locianpwee, siauwtee bernama Liang Tek Hoat”

“Hahahahaha, benar-benar kebetulan. Lohu ingin menguji apakah ucapan cucu kesayanganku itu sesuai dengan kenyataan, ataukah hanya alasan sajakah dia menyeretku keluar dari markasku. Bersiaplah anak muda”

Tek Hoat dan Mei Lan tersentak kurang mengerti apa maksud Siangkoan Tek, sang Kauwcu Bengkauw. Tetapi sebagai anak muda pilih tanding, keduanya lebih dari siap menghadapi penyerangan, bahkan oleh kedua kakek sakti yang kini berada dihadapan mereka itu. Dan benar saja, Siangkoan Tek benar-benar menyerangnya, bahkan dari posisi duduk, tiba-tiba saja kedua tangannya bekerja dan mendorong kearah Tek Hoat, sementara kepada Mei Lan dia berkata sambil terus bekerja menyerang Tek Hoat:

“Tenang nona muda, lohu hanya ingin menguji kakakmu ini”

Sambil bicara demikian serangkum angin pukulan menderu telah mengarah ke Liang Tek Hoat. Sementara itu, Tek Hoat yang diserang oleh angin pukulan kakek yang lihay itu, justru tersenyum-senyum. Begitulah Tek Hoat, setelah semakin matang kepandaiannya dan keyakinan akan dirinya semakin tebal, semakin menghadapi tantangan, semakin tersungging senyum dibibirnya.

Dan memang demikianlah keadaannya sekarang, terlebih mendengar bahwa dia ingin diuji Kauwcu Bengkauw, meski dia belum tahu benar latar belakang mengapa kakek itu ingin mengujinya. Dengan segera dikerahkannya tenaga dalamnya dan memapak serangan jarak jauh lawan dengan gaya Sin Liong Pa Bwe atau Naga Sakti menggoyangkan ekor dari Hang Liong Sip Pat Ciang.

Dan akibatnya terdengar benturan-benturan berat, karena baik Bengkauw maupun Kaypang, terutama ilmu Kiong Siang Han, sebagaimana diketahui banyak berlandaskan atas kekuatan tenaga Yang.

“Plakk, plakk, plak” tiga benturan sudah cukup mengagetkan kedua belah pihak. Tek Hoat sadar bahwa Kauwcu Bengkauw sudah tentu bukanlah mahluk pepesan kosong, dan karena itu tidak segan dia mengerahkan langsung ilmu andalan perguruannya. Sementara Siangkoan Tek sendiri, setelah menyerang dari jarak jauh dengan menggunakan Jit Goat Sin Ciang, merasa heran betapa kekuatan anak muda itu tidaklah berbeda jauh dengannya. Bahkan bukan tidak mungkin dalam posisi seimbang dengan dirinya. Tetapi, begitupun dia merasakan keanehan dan bertanya:

“Anak muda, kelihatannya kekuatan sinkangmu berbeda jauh dengan Kiong Siang Han locianpwee. Apakah sinkang “perjaka abadi” andalannya itu tidak diturunkan dan diwariskannya kepadamu?

“Suhu kurang berkenan mengajarku dengan ilmu itu locianpwee”

“Hahahahaha, orang tua itu rupanya masih mengasihi cucuku. Hang Liong Sip Pat Ciang akan sangat ampuh dengan sinkang perjaka abadi itu anak muda”
Dan selanjutnya Siangkoan Tek kembali menyerang Tek Hoat, kali ini tidak lagi dengan pukulan jarak jauh.

Tetapi dengan mencelat, tubuhnya yang tinggi besar telah melontarkan sebuah serangan kearah Tek Hoat. Dilain pihak, Tek Hoat sendiri sudah menduga bahwa selanjutnya dia pasti bakal dicecar serangan kakek itu. Dan tentu dia sudah sangat siap dan tidak mandah saja diserang orang yang dia tahu sangat lihay itu. Benar, karena segera nyata bahwa Kakek Siangkoan Tek.

Sang Kauwcu Bengkauw bukanlah nama pepesan kosong, dan sangat pantas menjadi Kauwcu Bengkauw yang kesohor itu. Tubuhnya yang tinggi besar tidak menghalanginya untuk bergerak pesat dan malah sangat lincah. Pada serangan pertamanya nampaknya dia telah memainkan Kang See Ciang (Tangan Pasir Baja) yang mengingatkan Tek Hoat kepada Giok Lian.

Hanya, kali ini, Kang See Ciang dimainkan oleh orang nomor satu dari Bengkauw, Siangkoan Tek, seorang tokoh yang bahkan memiliki kesaktian setingkat Kiang Cun Le sejak pertarungan puluhan tahun lalu. Lebih dari itu, Kakek ini sudah tentu mewarisi ilmu lihay yang hanya dimiliki oleh Kauwcu Bengkauw, yang bahkan membuatnya yakin bahwa dia akan sanggup menebus kekalahannya beberapa puluh tahun sebelumnya.

Sadar bahwa lawannya bukanlah lawan ringan, Tek Hoat bersilat secara sangat hati-hati dan memainkan ilmu-ilmu suhunya dengan penuh konsentrasi. Dia memainkan Sin Liong Cap Pik Ciang atau 18 Ilmu Pukulan Naga Sakti dan memapak pukulan-pukulan Kang See Ciang lawan dengan pengerahan tenaga yang cukup memadai.

Dari segi pengalaman, Tek Hoat memang masih kalah meskipun dia sudah cukup sering dan matang bertarung dengan lawan-lawan berat sebelumnya. Karena itu, pada tahap-tahap awal, dia seperti keteteran meladeni serangan-serangan membadai dari Siangkoan Tek.

Tetapi, lama-kelamaan dia mulai sanggup menemukan irama perkelahiannya sendiri dan mulai mampu mengimbangi dan memberi perlawanan berarti terhadap kakek itu. Memang awalnya, Siangkoan Tek hanya penasaran untuk menguji Tek Hoat, tetapi lama kelamaan, dia sadar, bahwa anak muda ini, seperti juga cucunya, ternyata sudah maju sangat jauh dalam pendalaman ilmu silat.

Karenanya, meski bersifat menguji, tetapi Siangkoan Tek tetap menaruh perhatian serius dan harus mempertahankan nama baiknya. Sayangnya, Tek Hoat juga bukan lawan mudah untuk dikuasai dan dipermainkannya. Tek Hoat yang sekarang juga sudah berkembang sangat jauh, terutama setelah ditempah terakhir oleh Kiong Siang Han, Kiang Sin Liong dan terakhir oleh Kiang In Hong atas permintaan Kolomoto Ti Lou. Jika pertempuran ini berlangsung 2 bulan sebelumnya, maka Tek Hoat mungkin akan jatuh dibawah angin, tetapi sekarang ini, Tek Hoatpun sudah maju jauh dalam kematangan penguasaan ilmunya.

Bahkan ketika Siangkoan Tek tidak lagi merasa percaya diri menggunakan Kang See Ciang dan menggantinya dengan ilmu Koai Liong Sin Ciang, Tek Hoatpun masih sanggup melayaninya. Bahkan secara mengagumkan dia memainkan pendalamannya sendiri atas Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Sin Ciang yang bahkan membuat Kiang Sin Liong kagum.

Perbawa Soan Hong Sin Ciang memang menjadi makin menakutkan dimainkan dan didalami secara berbeda oleh Tek Hoat. Karena itu, pukulan-pukulan Koai Liong Sin Ciang tetap tidak mampu mendesak Tek Hoat, apalagi karena kadang-kadang sebagai variasi Tek Hoat menyelingi dengan Pek Lek Sin Jiu. Terutama ketika terobosan pukulan tangan kosong lawan mengancamnya dan harus ditangkisnya.

Lama-kelamaan Siangkoan Tek sadar, kalau lawan muda yang ingin diujinya ini tenryata memang memiliki bekal yang luar biasa. Tidak disangkanya jika bisa muncul anak muda lain yang selihay cucunya yang memang dididik secara luar biasa oleh kakek dan neneknya itu.

Siangkoan Tek sadar, jika dia memaksakan pertarungan untuk mencari kemenangan, maka dia sendiri akan memperoleh malu. Karena menang atau kalah, ditilik dari segi usia, lebih banyak rugi baginya. Menang adalah hal biasa karena usianya jauh lebih banyak, jika kalah, akan lebih memalukan lagi bagi dirinya yang merupakan tokoh tertinggi di kalangan Bengkauw.

Meski dia memiliki keyakinan terhadap ilmu simpanan Bengkauw yang diyakinkannya selama belasan tahun terakhir, yakni menggabungkan Tenaga Jit Goan Sinkang dengan Tenaga Inti Bumi. Hasil yang dipikirkan oleh kakek buyutnya sebelum menurunkan rahasianya kepadanya dan juga kepada cucunya.

Dan dengan dorongan tenaga yang berlipat dan jauh lebih sempurna, dia kemudian yakin bahwa tingkatannya sudah menyusul atau mungkin melampaui kawan-kawannya dari Lam Hay Bun maupun Kiang Cun Le. Tetapi, tentu dia tidak ingin mempertontonkannya sekarang ini, karena waktunya masih belum tiba.

Pertarungan semakin seru dan menegangkan, apalagi ketika Koai Liong Sin Ciang dimainkan bersama dengan ilmu langkah ajaib dari Bengkauw Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar). Tek Hoat bagaikan diserang dan dikelilingi oleh bayangan pukulan-pukulan mengerikan dari lawan, kemanapun dia bergerak bayangan merah terang seperti membayanginya.

Hal yang membuat Tek Hoat terpaksa mengerahkan Pek Lek Sin Jiu dan menggetarkan tangannya sehingga terdengar ledakan memekakkan telinga:

“Blaaaaaaaar”

Tetapi Kakek Sakti Siangkoan Tek tidak tergetar surut oleh benturan dengan kekuatan Yang-Kang yang dikeluarkan Tek Hoat. Dia hanya mendengus:

“Hm, Pek Lek Sin Jiu, bagus-bagus orang muda”

Dan nampaknya dengan memainkan ilmunya bergerak cepat, menghadirkan kesulitan bagi Tek Hoat untuk mencecarnya dengan ledakan-ledakan petir yang memekakkan telinga itu. Karena itu, akhirnya Tek Hoat kembali memainkan Soan Hong Sin Ciang yang bergaya lebih lemas dan memanfaatkan kecepatan gerak untuk mengimbangi Kakek itu.

Secara tiba-tiba, lengan tangannya sanggup menciptakan jalur hawa pedang yang mengancam kakek yang terus mendesaknya itu. Dan karena itu, pertarungan mereka kembali berlangsung imbang, saling desak dan saling bertahan. Kecepatan bergerak lawan diimbangi dengan pengerahan kekuatan dan kecepatan Tek Hoat dalam bergerak menurut ilmu Soan Hong Sin Ciang.

Kembali Siangkoan Tek kagum atas kemampuan Tek Hoat dalam menyesuaikan diri dan memilih jurus yang tepat untuk mengatasi dan bertahan dari serangannya.

Tiba-tiba, Siangkoan Tek merubah caranya bertempur. Jika sebelumnya dia masih bertahan menggunakan ilmu-ilmu khas Bengkauw dan bertujuan untuk menguji lawan, kini seperti berubah menjadi serangan-serangan yang sanggup mendatangkan maut. Entah apa yang dipikirkan Siangkoan Tek, terlebih ketika dia memilih jurus-jurus pamungkas yang dikuasainya untuk menyerang Tek Hoat.

Bahkan jurus maut dari Koai Liong Sin Ciang juga dipilih dan dilontarkan dengan pengerahan tenaga yang mendadak meningkat hingga tujuh bagian tenaga dalamnya:

“Haiyaaaaaaaaaaat”

Dengan cepat Siangkoan Tek bergerak dalam ilmu Jiauw-sin-pouw-poan-soan untuk mengirimkan serangan maut kearah dada dan perut Tek Hoat. Inilah jurus “Naga Menyelam menyambar ikan” dari Koai Liong Sin Ciang yang didukung pergerakannya oleh ilmu langkah ajaib. Selain cepat dan tepat, jurus ini tidak memberi lawan jalan keluar karena areal pergerakannya ditutup oleh arus tenaga saktinya.

Tek Hoat juga sadar, bahwa lawan kelihatannya memanfaatkan serangan terakhir ini untuk melakukan pertukaran tenaga atau adu kepalan. Tidak akan ada kesempatan menghindar selain adu tenaga, padahal justru kesempatan itu yang memang ingin dimanfaatkan Siangkoan Tek, yakni memanfaatkan keunggulan tenaganya yang lebih kokoh dan dilatih jauh lebih matang.

Selain, ada tipuan tersembunyi yang bisa dilontarkannya sesaat sebelum adu tenaga itu terjadi. Jurus Koai Liong Sin Ciang ini, adalah salah satu ilmu ampuh dari Bengkauw, dan jika tidak diterima secara benar oleh lawan, akan menimbulkan cacat sebelah dalam tubuh. Benarkah memang Siangkoan Tek berniat mencederai Tek Hoat yang dilihatnya sebetulnya memiliki kemampuan yang bahkan sudah mampu menjajarinya, tetapi bertarung terlalu hati-hati saat itu?

Tetapi, sesaat sebelum terjadi adu pukulan yang akan dilanjutkan dengan sebuah pukulan mematikan dari Kauwcu Bengkauw Siangkoan Tek, tiba-tiba terdengar sebuah suara:

“Kong-kong, engkau keterlaluan”

Dan bersamaan dengan itu, sebuah bayangan merah lainnya dengan pesat telah menangkis serangan Siangkoan Tek dan bahkan kemudian keduanya, Siangkoan Tek dan si bayangan merah, memisah dalam gaya yang hampir sama. Dan bersamaan dengan itu, Tek Hoat juga telah menarik ilmunya dan mundur berdiri disamping Mei Lan mengawasi siapa gerangan orang yang menahan serangan Siangkoan Tek dan kemudian sanggup mementalkan pukuan kakek sakti itu kebelakang dan memberinya kesempatan untuk mundur dari arena pertempuran:

“Lian moy, engkau”?

“Enci Lian, kiranya engkau” Tek Hoat dan Mei Lan kaget dan gembira melihat ternyata yang datang adalah kawan lama mereka. Si gadis sakti dari Bengkauw Siangkoan Giok Lian.

“Hahahahahaha, memang benar. Memang benar …… anak gadis jika sudah waktunya, akan lebih memihak keluar. Bukankah benar demikian yang senantiasa terjadi Cun Le? Bahkan Siangkoan Tek juga sudah mengetahui jika Kiang Cun Le sudah sejak tadi sadar atau menghentikan samadhinya akibat pertempuran didepannya itu.
“Kong-kong, engkau”? Siangkoan Giok Lian ternyata adalah gadis yang menahan serangan Siangkoan Tek kakeknya, sudah menuding kakeknya dengan penuh rasa penasaran.

“Hahahahaha, cucuku, sudahlah. Aku sudah tahu kalau engkau sudah berada disekitar tempat ini. Kakekmu harus yakin apakah engkau memang hanya sekedar mendustai kakekmu perihal anak muda gagah ini, ataukah hanya alasanmu untuk kembali berkelana di dunia persilatan demi nama baik Bengkauw …… Hm” Kakek itu nampak tersenyum-senyum menggoda memandang cucu perempuannya yang bagaikan kebakaran jenggot itu.

“Tapi, jurus itu kan terlampau berbahaya kong-kong” Giok Lian penasaran

“Hahahaha, engkau lupa kalau pujaan hatimu itu adalah murid Kiong Siang Han Locianpwee. Selain dia masih sanggup memapak dengan jurus Naga Terbang Ke Langit, dan jikapun dia tidak bisa, kakekmu ini bisa membuktikan apakah engkau benar-benar menyayanginya atau tidak”

“Kong-kong, engkau keterlaluan” Giok Lian menjadi salah tingkah dengan ucapan ucapan kakeknya.

“Keterlaluan? Bukankah pemuda itu yang selalu engkau impikan bahkan ketika sedang tidur? Dan bahkan minggat dari markas Bengkauw dengan alasan yang tidak jelas? Hayo berani engkau tidak mengaku?”

Ucapan Siangkoan Tek yang tanpa tedeng aling-aling dan memang sudah demikian sifatnya sejak dulu, membuat Siangkoan Giok Lian benar-benar mati kutu. Diakuinya bahwa rasa cintanya memang membuatnya tidak betah di markas Bengkauw, terlebih setelah kakek buyutnya menyelesaikan tugas terakhir mewariskan peyakinannya yang terakhir dalam memadukan Jit Goat Sinkang dengan Tenaga Inti Bumi.

Membuatnya tidak enak makan dan tidak enak minum, dan karena Giok Hong masih belum muncul juga, maka kakeknyalah, Siangkoan Tek, yang menjadi sasaran keluh kesah dan rindu dendamnya. Kebetulan, kedua dara Bengkauw ini memang merupakan cucu kesayangan sang Kauwcu, selain berbakat sangat baik, juga memang sudah dimanjakannya sejak kecil.

Tetapi, betapapun, membuka rahasia seorang gadis didepan umum, memang benar-benar sangat memalukan. Dan sudah tentu membuat Giok Lian salah tingkah. Dia benar-benar terpancing ketika melihat kakeknya menggunakan jurus maut yang bisa mencelakakan Tek Hoat, dan secara otomatis, dia bereaksi tanpa memikirkan akibat lebih jauh. Akibatnya, kakeknya memilik kesempatan mengerjainya dihadapan umum. Benar-benar runyam bagi Giok Lian.

Untunglah ada Mei Lan ditempat itu, dan melihat keadaan Giok Lian yang salah tingkah, dia sadar bahwa gadis Bengkauw itu benar memang mencintai kakaknya. Dan untunglah, dia juga tahu benar, bahwa kakaknya memang menaruh hati kepada dara Bengkauw itu. Karena itu, adalah tugasnya untuk membantu calon kakak iparnya itu dari keadaan yang bakal semakin merepotkan. Apalagi, karena Tek Hoat, kakaknya yang biasanya kreatif dalam berbicara, tiba-tiba menjadi sangat bodoh bicara. Keki, senang, gemas dan sangat bahagia tentunya.

Merasa kasihan dengan Giok Lian, akhirnya Mei Lan yang melangkah maju mendekati Giok Lian dan kemudian memeluk pundaknya sambil bertanya:

“Sudahlah enci Lian, bagaimana kabarmu sekarang”?

“Baik Lan Moi” bisiknya lirih, masih malu karena rahasia hatinya sudah dibeberkan kakeknya. Bahkan dengan disaksikan Tek Hoat sekaligus, sungguh sungguh membuatnya keki dan gemas kepada kakeknya.

“Hahahaha, cucuku, biasa-biasanya engkau yang membuat kakekmu ini pusing tujuh keliling. Tanggung, kali ini kakekmu yang membuatmu pusing seribu keliling. Tapi biar tuntas sekaligus, maka kakekmu harus tahu juga yang lainnya. Jangan enak di dianya saja” Setelah berkata demikian, perlahan-lahan Siangkoan Tek yang biasa bicara terbuka itu, memandang kearah Tek Hoat:

“Hm, anak muda, namamu benar Liang Tek Hoat”?

“Benar locianpwee” jawab Tek Hoat singkat dan dengan dada berdebar-debar menebak apa gerangan mau kakek ini.

“Engkau putera Pangeran Liang di Kotaraja, benarkah”?

“Benar lociapnwee”

“Hm, tidak jelek. Pangeran itu patriotik dan bersahabat dengan kawan-kawan dari dunia persilatan. Kalau begitu, engkau tentu mendengar perkataanku tentang cucuku itu. Benar kan”?

“Benar locianpwee, siauwtee mendengarnya”

“Aku terbiasa berkata jujur dan jantan. Akulah wali cucuku sekarang, dan aku ingin perjalananku kali ini membuat masa depannya segera jelas” Siangkoan Tek kini berbicara dalam wibawa seorang Kauwcu, seorang dengan tingkat tinggi di dunia persilatan.

“Benar locianpwee, seharusnya demikian” jawab Tek Hoat dengan dada semakin berdebar kencang.

“Syukur jika engkau setuju. Bersediakah engkau menjawab satu pertanyaanku anak muda”?

“Pertanyaan yang mana locianpwee”? Tek Hoat secara tiba-tiba menjadi gagap, sampai Mei Lan serta Giok Lian memandang kasihan kearahnya.

“Bersediakah engkau”? tegas Siangkoan Tek

“Siauwtee bersedia jika memang tahu jawabannya locianpwee dan tidak melanggar kepantasan”

“Bagus, jawaban seorang kstaria. Engkau tentu tahu jawabannya, masakan engkau tidak tahu. Soal kepantasan, pasti tidak melanggar. Jawabannya hanya engkau yang tahu” tegas Siangkoan Tek, memandangi Tek Hoat dan Giok Lian sekilas.

Sementara itu, Giok Lian dan Mei Lan nampak saling memegang tangan, saling menguatkan. Terutama Giok Lian yang sadar kearah mana percakapan kakeknya dengan Tek Hoat. Tetapi, betapapun, kakeknya yang memang sangat mencintainya ini telah mengajarkannya sejak kecil, untuk berani membicarakan hal-hal yang sangat penting. Artinya tidak berusaha memendam dan tidak menyembunyikannya, termasuk urusan asmara. Lamunan dan kegelisahan Giok Lian kembali dipecahkan oleh suara kakeknya:

“Liang Tek Hoat, aku sudah membuka perasaan hati cucuku dihadapanmu, bahkan dihadapan banyak orang. Maka akupun ingin mengetahui, apakah engkau memiliki perasaan yang sama kepada cucuku itu. Kuharap engkau menjawabnya secara jujur dan jantan”

“Kong-kong, masakan harus memaksa dan menekannya begitu” Siangkoan Giok Lian protes, karena betapapun dia merasa malu diperlakukan demikian.

“Diam” bentak kakeknya

“Tanyakan dan belajar kepada kelarga Lembah Pualam Hijau bagaimana menyembunyikan persoalan-persoalan semacam ini. Dan aku tidak ingin tugas dan tanggungjawabku atasmu justru akan menimbulkan masalah bagimu dan bagi anak muda ini kedepan” Siangkoan Tek sekilas memandang kearah Kiang Cun Le yang nampak menarik nafas panjang mendengar penjelasan Siangkoan Tek.

Betapapun dia merasa tersinggung, tetapi benarlah ucapan Siangkoan Tek itu. Dan dia membayangkan beban yang ditanggung kakaknya, Kiang Siong Tek dan bahkan adik perempuannya Kiang In Hong dalam kasus asmara yang menghadiran tragedy bagi Lembah Pualam Hijau.

Dan kebetulannya, Siangkoan Tek adalah kawan dalam urusan seperti ini, meski lawan dalam urusan adu kepandaian yang diwarisi dari leluhur mereka. Dan dia tahu belaka, semua kejadian pahit di masa lalu Lembah Pualam Hijau.

Siangkoan Giok Lian terdiam, belum pernah dia menemukan kakeknya seserius ini dalam mengurusi sesuatu hal. Bahkan belum pernah dia menerima bentakan seperti ini sebelumnya selain dalam latihan silat. Karena itu, dia jadi merasa bahwa kali ini kakeknya senar sedang sangat serius dalam urusan jodohnya. Lamunannya kembali terusik oleh kalimat selanjutnya dari kakeknya:

“Liang Tek Hoat, bagaimana? apakah jawaban itu bisa aku dapatkan saat ini”?

“Locianpwee, ini ….. ini ….! Gagap Tek Hoat menjawab, sambil memandang kearah Giok Lian dan terutama adiknya untuk memperoleh sedikit saja bantuan. Tetapi, Mei Lan malah menundukkan mukanya.

“Aku memerlukan jawaban, bukan gagap ini atau itu. Tek Hoat, bersikaplah jantan, sebagaimana aku memulainya tadi”

Ucapan inilah yang menyinggung harga diri seorang Liang Tek Hoat. “Mengapa tidak diutarakan?” pikirnya. Mau sekarang, mau nanti, toch memang dia harus mengatakannya. “Bukankah memang wajah sang gadis selalu menghiasi mimpinya? Bukankah dia selalu ingin bersama gadis itu?

Bukankah selalu ada rasa mesra dan tentram bila melihatnya? Bukankah hari harinya memang menjadi terasa lesu tanpa gadis itu? Dan karena itu, mengapa pula takut untuk mengucapkannya sekarang?

“Locianpwee, akupun mengasihinya. Dengan segenap hati dan perasaanku” dan setelah mengucapkan itu, plong rasanya dada Tek Hoat. Beban terberat yang ditahan tahannya seumur hidup seperti lalu dengan sendirinya, dan kini dia merasa tenang dan tentram.

Sebab, bukankah kaek itu sudah mengatakan bahwa dirinya selalu terbawa dalam mimpi cucunya? Selalu namanya terucap dalam masa gelisah cucunya? Dan bahwa dirinya menjadi alasan utama Giok Lian tidak betah di markas Bengkauw? Dan bukankah gadis itu adalah Siangkoan Giok Lian, dan gadis itu juga kebetulan adalah mimpi tidurnya? Accccccccccccchhhhhhh, CINTA!

Mendengar jawaban Tek Hoat, bukan Siangkoan Tek yang paling bahagia, tetapi justru cucunya Siangkoan Giok Lian. Setelah kakeknya tanpa tedeng aling-aling membuka perasaannya dihadapan banyak orang lain dan dihadapan Tek Hoat, sungguh harga dirinya bagaikan diinjak-injak. Tapi dia tahu kakeknya, bahkan mengenalnya sangat, dan dia tidak patut menyalahkannya.

Dia tahu kakeknya sangat menyayangi dan bahkan sering memanjakannya. Dan kini, mendengar bahwa Tek Hoat meski dibawah todongan kakeknya juga mengakui mencintainya, ada lagikah perasaan lain yang lebih membahagiakan daripada mendengar ucapan itu? Mei Lan yang tahu perasaan “calon kakak iparnya” itu barusan berguncang, sudah dengan cepat dan juga tanggap memeluk Giok Lian, sambil berbisik:

“Kionghi enci, aku senang sekali bisa memiliki engkau sebagai kakak iparku”

“Terima kasih adikku” ucap Giok Lian dengan airmata berlinang dipipinya.

Sementara itu, Siangkoan Tek sendiri selain merasa gembira, juga merasa bangga dengan Tek Hoat. Sungguh jantan dan jujur. Dia tahu persis, bahwa tidaklah muda mengambil keputusan berbicara soal perasaan hati dihadapan banyak orang. Tapi, dia sudah banyak bicara dengan Cun Le, dan menyaksikan begitu banyak hati yang lebur dan hancur karena masalah cinta yang tidak dikomunikasikan.

Atau karena cinta yang dipendam dan diutarakan pada waktu yang tidak tepat, sehingga menghadapi tantangan banyak pihak, termasuk keluarga terdekat. Dan Siangkoan Tek sangat tidak ingin itu terjadi atas cucu terkasihnya itu. Setelah menahan nafas panjang, perlahan dia mendekati Tek Hoat, kemudian menepuk-nepuk pundaknya sambil berkata:

“Anak muda, aku mungkin rada keterlaluan. Tapi suatu saat engkau akan mengerti mengapa. Karena kalian berada di jalur terdepan untuk mengungkap beberapa rahasia dunia persilatan yang berhubungan dengan keadaan seperti engkau tadi. Aku kagum kepadamu”

“Terima kasih locianpwee”

“Aku tahu, masih akan panjang perjalanan kalian. Tetapi, aku sudah lega memasrahkan Lian jie bersamamu. Bengkauw tidaklah seketat Lembah Pualam Hijau dan mungkin Kaypang dalam urusan demikian. Tetapi, kalian berdua, pertaruhkan dan perjuangkan masa depan kalian. Aku merestui pilihan kalian tersebut” Siangkoan Tek berdiam diri sebentar. Kemudian melanjutkan dengan berpaling kepada Siangkoan Giok Lian:

“Lian jie, kuijinkan engkau mengembara kali ini dengan tidak diancam ditarik pulang ke makas. Kong-kong mungkin akan semakin jarang melihatmu, tetapi dari jauh kongkong selalu mendoakan kebahagiaanmu” dan pecahlah tangis Giok Lian, dara Bengkauw yang gagah perkasa itu. Dengan cepat dia menghambur dan berlutut dibawah kaki Siangkoan Tek yang dengan cepat mengelus-elus kepalanya penuh kasih sayang.

“Kongkong, Lian Ji akan selalu menyayangimu dan akan selalu mengunjungimu pada waktu-waktu yang dating. Lian jie berjanji membawa enci Hong untuk suatu saat bertemu dengan kongkong”

“Hm, jika benar engkau menyayangi kongkongmu, maka sediakan seorang cucu lelaki buatku di masa tuaku ini, dan kembalikan Hong ji untuk bertemu meski mungkin untuk yang terakhir”

“Baik kong-kong, Lian jie berjanji memenuhinya”

“Baik, sekarang berdirilah. Sebab aku ingin mengajukan sebuah permintaan kepada sahabatku yang bijaksana itu (sambil menuntun Giok Lian berdiri dan memandang kearah Kiang Cun Le)”

Terdengar Kiang Cun Le batuk-batuk dan kemudian mengelus jenggotnya sambil kemudian berkata:

“Bengkauw Kauwcu, sungguh pintar engkau mengatur perjodohan cucumu. Entah bantuan apa pula yang engkau butuhkan dari orang tua sepertiku”?

Nampak Siangkoan Tek termenung sejenak, seperti ragu untuk memohon. Tetapi setelah beberapa saat, akhirnya dia berkata:

“Toako, meski kita selalu berlawanan dalam adu kesaktian sejak dahulu, tetapi kita tetap memelihara persaudaraan sebagai saudara angkat. Maka kumohonkan kesediaanmu untuk mengajak mereka bercakap banyak hal yang menjadi ganjalan pada masa lalu agar mereka lebih mengerti apa yang mereka hadapi kelak. Tidak berani aku memintamu menjadi wali bagi cucuku”

Perkataan Siangkoan Tek sungguh mengejutkan. Tidak banyak yang tahu kalau Siangkoan Tek justru pernah mengangkat persaudaraan pada masa lalu. Dan justru karena itu, pantaslah tidak pernah Lembah Pualam Hijau menganggap Siangkoan Tek membokong Kiang Cun Le.

Bahkan Giok Lianpun heran kalau kakeknya ternyata adalah adik angkat dari Kiang Cun Le, dan kini memohon bantuan bagi masa depannya. Hanya Lamkiong Bu Sek yang nampak tenang-tenang saja, kelihatannya ipaun tahu dan paham dengan episode hidup kedua orang saudara angkat itu.

“Adikku, aku memenuhi permintaanmu. Biarlah akan kupilih waktu semalam suatu saat nanti untuk bercakap berdua dengan kedua cucumu itu (Janji Cun Le ini dipenuhinya suatu saat pada saat-saat jeda pertempuran di Kwi Ciu). Bahkan akan kusiapkan diriku untuk mengajukan lamaran atas namamu kepada Pangeran Liang yang gagah itu. Aku yakin Pangeran Liang masih akan memandang emas diwajahku untuk tidak menolak. Apalagi anak gadis secantik dan segagah cucumu itu”

“Hm, baiklah terima kasih toako. Tidak kuharapkan sebanyak dan sebesar itu rejeki yang bisa engkau berikan buatku sebenarnya”

“Masih juga engkau berhitung sejauh itu bagi hbungan kita”? tegur Cun Le halus.

“Maafkan toako, tetapi karena sejujurnya aku khawatir dengan pertarungan perarungan kedepan yang melibatkan banyak tokoh yang terlampau kosen”

“Jangan katakan bahwa engkau mulai takut Siangkoan Kauwcu” terdengar akhirnya Lamkiong Bu Sek nimbrung bicara

“Hahahaha, Kalau berada bersama sahabat dari Lam Hay, tiba-tiba semua ketakutanku dengan sendirinya berlalu bersama angin”

“Syukurlah, kukira engkau sudah mulai memupuk rasa takut karena semakin tua. Untungnya meski semakin tua tetapi semangatmu masih belum ikut menua” sambung Lamkiong Bu Sek lagi.

Siangkoan Tek menemukan kembali keriangannya. Dan setelah itu dia berpaling kearah ketiga anak muda yang masih berdiri memandang kearah mereka. Kembali dia memandangi cucu mestikanya itu dan juga memandang kearah Tek Hoat, sambil kemudian berkata:

“Cucu-cucuku, waktunya bagi kalian pergi dari tempat ini. Ada urusan dan tugas yang harus kalian anak muda tangani, tapi ada juga tugas dan urusan yang harus kami orang tua tangani. Toakoku sudah menjanjikan sesuatu bagi kalian, tunggulah, dia bukan orang yang suka ingkar janji. Doaku menyertai kalian semua” sambil berkata demikian, Siangkoan Tek menyuruh anak-anak muda itu untuk berlalu dari tempat itu.

Sementara ketiga Kakek Sakti itu masih melanjutkan percakapan mereka, tentu untuk urusan yang bukan sepele. Karena jarang-jarang tokoh besar seperti mereka bertemu di tempat terbuka. Apakah percakapan mereka itu?
 
BAB 20 Berkunjung (Lagi) Ke Kuil Siauw Lim Sie
1 Berkunjung (Lagi) Ke Kuil Siauw Lim Sie



Keheningan akhirnya datang. Padahal, masih ada 3 orang tua, kakek-kakek yang baru beberapa saat lalu memandangi berlalunya 3 orang muda dari tempat mereka tersebut. Tetapi memang tidak lama kemudian ketiga orang tua itu, kembali tenggelam dalam pikiran, perasaan dan pergulatan pemikiran masing-masing.

Sudah jelas, mereka bertemu bukan karena kebetulan. Tetapi, ketiganya, seperti sedang saling menunggu, siapa gerangan yang akan memulai memecahkan keheningan dengan “suaranya”. Tetapi, sampai sudah cukup lama mereka bertiga ditinggalkan oleh ketiga anak muda tadi, masih juga belum ada tanda-tanda salah seorang dari mereka akan membuka percakapan.

Bahkan sepertinya mereka membiarkan keheningan tersebut berlangsung dan membiarkan diri mereka larut dalam keheningan tersebut.

Suara yang dominan adalah aliran air dan gemericiknya yang berlangsung terus menerus, terus dan bagaikan berirama. Semilir anginpun sesekali menimpali dan bahkan membelai wajah ketiga orang tua itu, sampaipun kumis dan jenggot serta misai mereka bergerak-gerak manakala tiupan angin cukup kuat.

Dan masih sesekali terdengar nyanyian para jangkrik ataupun sesekali siulan burung dan ditingkahi binatang-binatang yang bahkan tak muncul dan kelihatan wujudnya. Begitulah sampai beberapa lama ketiga tokoh besar dunia persilatan itu menikmati keheningan. Padahal, baru beberapa waktu sebelumnya dua diantara mereka bertanding catur dan adu mulut.

Dan baru beberapa saat berlalu ketika salah seorang dari mereka memaksa kakek yang bersamadhi untuk sadar dan siuman dari samadhinya. Setelah tinggal mereka bertiga ditepi sungai kecil atau tepatnya kali yang mengalir di bebatuan besar itu, justru mereka menenggalamkan pikiran mereka kepada keheningan.

Padahalnya lagi, bukanlah pemandangan dari tempat mereka benar-benar indah. Biasa saja. Arus air yang mengalir sekedar mengikuti barisan batu yang memanjang kebawah, bahkan seperti tak ada habis-habisnya. Sementara aliran air sendiri tidaklah begitu banyak yang mengalir, tetapi gemericiknya memang sangat jernih dan sedap di telinga, sungguh alami.

Sementara sekitar mereka, hanya pepohonan semata, meskipun tidak tepat disebut rimba lebat, tetapi tetap saja adalah hutan. Pepohonannya memang tidaklah yang besar-besar, sedang-sedang saja dan karenanya sinar matahari masih mampu menerobos kebawah. Jikapun ada yang berkesan adalah, paduan irama alam yang begitu mempesona. Begitu alamiah dan menghanyutkan.

Terutama apabila dinikmati dan diresapi dengan mencoba menyatu atau menyatukan alam pikiran dengan irama alam tersebut. Maka akan terasa dan akan mungkin menikmati keasrian alam semesta yang masih belum terjamah oleh kerakusan manusia.

Tetapi, ketiga tokoh tua itu, memang bukan bermaksud bertemu untuk kemudian mengadu seberapa lama mereka sanggup berdiam diri. Bukan. Mereka bukan adu kemampuan lama bersamadhi, tetapi bertemu untuk membicarakan masalah yang nampaknya bukanlah ringan.

Karena itu, setelah lama membiarkan diri mereka tenggelam dalam keheningan semesta alam, akhirnya perlahan-lahan, adalah Kiang Cun Le yang membuka mata dan kemudian memandang kedua kawannya yang sedang berdiam diri. Nampak dia menarik nafas panjang, dan kelihatannya dia cukup yakin, bahwa kedua kawannya itupun sebetulnya sudah siuman sejak lama:

”Terima kasih atas kesediaan jiwi berdua. Lamkiong Tocu dan Siangkoan Kauwcu” terdengar suara Kiang Cun Le yang sangat jernih dan bening, tetapi juga terdengar lembut. Sungguh berbeda dengan suara Siangkoan Tek, Bengkauw Kawcu dan Lamkiong Bu Sek yang sebelumnya terdengar tegas namun sangtlah berwibawa.

”Jika engkau menyapaku sebagai Siangkoan Kauwcu, maka kupastikan apa yang akan disampaikan bukanlah masalah biasa” terdengar Siangkoan Tek berujar menanggapi cara menyapanya oleh Kiang Cun Le. Wajar, karena keduanya pernah mengangkat saudara pada puluhan tahun silam. Dan dalam urusan pribadi, mereka saling memanggil kakak-adik, tetapi menjadi sangat formal jika menyangkut urusan dunia persilatan.

”Benar, lohupun merasa yakin kalau undangan anda pasti bukan menyangkut urusan kecil. Meskipun bisa menebak, tetapi pastinya tidak sanggup menebak keseluruhannya” Lamkiong Bu Sek menambahkan.

”Benar...... benar, jiwi berdua sangat benar. Sangat benar juga dugaan Lamkiong Tocu. Urusan ini, bukanlah urusan kecil. Sebaliknya, malah urusan besar yang juga akan menyangkut janji pertempuran yang melibatkan perguruan kita semua” sahut Kiang Cun Le

”Benar ...... benar, lohupun merasakannya” Lamkiong Bu Sek nampak mulai ikut prihatin, dan kemudian terdengar dia melanjutkan:

”Keadaan dunia persilatan di Tionggoan memang sedang sangat panas. Dan keadaan ini, mau tidak mau akan berpengaruh dengan sangat terhadap janji pertemuan kita yang tinggal beberapa tahun kedepan”

Sejenak mereka bertiga terdiam, sampai Siangkoan Tek menimpali kembali:

”Tetapi, bukan hanya karena akan mempengaruhi perjanjian kita maka kita bertemu. Bukan begitu? Hanya, maafkan jika sekiranya lohu telah lancang dan salah menebak”
Lamkiong Bu Sek nampak memandang serius berganti-ganti baik kearah Siangkoan Tek maupun Kiang Cun Le. Tetapi, dia sendiri tidak langsung menanggapi perkataan Siangkoan Tek, tetapi nampak menunggu Kiang Cun Le untuk menimpali apa yang dilontarlan Siangkoan Tek.

Dan memang benar, Kiang Cun Le yang mengundang pertemuan mereka bertiga, paham benar bahwa pertemuan mereka bertiga bukan sekedar antisipasi keadaan dunia persilatan yang mempengaruhi janji pertempuran antara Dunia Persilatan Tionggoan melawan gabungan Lam Hay Bun, Bengkauw dan Pendekar dari India. Bukan sesederhana itu.

Jika hanya karena itu, maka tidak perlu rasanya berlelah-lelah mengundang kedua rekannya ini dalam sebuah pertemuan di tempat terpencil seperti ini. Terlebih, tempat ini, justru terhitung sangat dekat dengan konsentrasi tokoh-tokoh yang bertikai di Tionggoan:

”Siangkoan kauwcu, benar tebakanmu. Meski masih sangat samar, tapi rasanya baik lohu maupun Lamkiong Tocu telah merasakan ketidakberesan yang akan sangat merepotkan Lembah Pualam Hijau dan Lam Hay Bun” terdengar Kiang Cun Le berujar, sementara Lamkiong Bu Sek begitu mendengar kalimat terakhir Kiang Cun Le nampak mengangguk-angguk. Adalah Siangkoan Tek yang kemudian menyambung:

”Apakah kerepotan tersebut memang demikian mendesak dan begitu mengganggu? Maafkan, meski hanya mendengar masukan anak buahku, tetapi mendengar langsung dari jiwi berdua adalah jauh lebih baik”

”Sangat ...... sangat merepotkan” terdengar Lamkiong Bu Sek berkata. Nampaknya Tocu Lam Hay Bun ini terhitung orang yang susah untuk berkata-kata dan menjelaskan apa yang dimaksudkan dalam pikirannya.

”Benar perkataan Lamkiong Tocu, masalah ini sangatlah merepotkan. Bahkan bisa berujung pada kesalahpahaman yang parah, baik terhadap Lam Hay Bun maupun terhadap Lembah Pualam Hijau” Kiang Cun Le yang kemudian menegaskan.

”Bagaimana hasil penyelidikan dan temuan jiwi sendiri sejauh ini”? Siangkoan Tek mengejar terus.

“Sulit menolak fakta, meski juga masih sangat sulit untuk membuat kesimpulan saat ini” jawab Kiang Cun Le

”Betul, betul, masih sangat sulit untuk disebutkan” timpal Lamkiong Bu Sek

”Satu hal yang pasti, simbol-simbol dan kekuatan Lembah Pualam Hijau dan Lam Hay Bun nampak membekas dalam banyak aktifitas Thian Liong Pang. Salah seorang tetua Siauw Lim Sie terluka oleh Giok Ceng Sinkang tingkat tinggi, Barisan Warna Warni khas Lam Hay Bun, juga berkali-kali digunakan mereka. Dan hanya tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Lam Hay Bun dan Lembah Pualam Hijau yang sanggup membuat hal itu terjadi” Terdengar Kiang Cun Le berkata dnegan nada prihatin.

”Apakah mungkin, apakah .......”? Siangkoan Tek yang memotong ucapan Kiang Cun Le tergagap tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

”Lohu paham maksud Siangkoan Kauwcu, hanya masih dalam dugaan. Masih sulit untuk dipastikan”

”Betul, betul, sangat sulit memastikannya” Lamkiong Bu Sek terdengar juga memastikan keraguan Kiang Cun Le untuk menyimpulkan apa yang sedang terjadi. Terlebih karena kakek ini memang nampak susah berkata-kata panjang.

”Jika memang demikian, kerumitannya memang sangat memusingkan”

”Sangat memusingkan Siangkoan Kauwcu”

”Dan sudah pasti, akan mempengaruhi perjanjian pertempuran kelak”

”Pastilah demikian”

”Jika begitu, bagaimana kita mengaturnya nanti”?

”Untuk itulah lohu mengundang jiwi dalam membicarakan persoalan tersebut”

”Selain juga mencoba menanggulangi dampak buruk dari perbuatan Thian Liong Pang bagi Lam Hay dan Lembah Pualam Hijau”

Kembali ketiganya berdiam diri sejenak. Sampai kemudian Siangkoan Tek yang memutuskan keheningan itu:

”Jika Bengkauw memang sanggup membantu, maka lohu juga akan menerjunkan diri dalam kekisruhan ini. Bahkan cucuku Giok Lian sudah lama membangun kerjasama dengan murid-murid Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Kay Pang dan Bu Tong”

”Sudah tepat pilihan itu Kauwcu. Biarlah Bengkauw membantu melalui cucumu, dan usahakan Bengkauw belum banyak melibatkan diri dalam kekisruhan tersebut” terdengar Kiang Cun Le

”Apakah memang tenagaku tidak dibutuhkan”? Siangkoan Tek penasaran

”Bukan, bukan begitu Kauwcu. Kita masih belum tahu arah terakhir dari kekisruhan ini. Tetapi, jika memang Kauwcu berkeras, biarlah Kauwcu bergerak bersama lohu atau bersama Lamkiong Tocu, agar tidak memancing orang untuk memanfaatkan posisi Bengkauw dalam kekacauan ini”

”Begitupun baik” Siangkoan Tek mengangguk, sementara Lamkiong Bu Sek juga nampak mengangguk-angguk setuju dengan usulan tersebut. Betapapun Siangkoan Tek merasa tidak enak hati untuk tidak terlibat atau dilibatkan dalam kondisi dimana dunia persilatan Tionggoan bergolak dan melibatkan teman teman seangkatannya.

”Baiklah, kita sepakati demikian saja. Terserah Siangkoan Kauwcu memilih berjalan dan menyelidiki dengan siapa saja. Bisa bersama lohu, bisa juga bersama Lamkiong Tocu”

”Kita lihat nanti saja sesuai perkembangan” sahut Siangkoan Tek

”Baik, begitu juga baik” tukas Lamkiong Bu Sek.

”Jika demikian, lohu ingin kita membicarakan pertandingan kita kedepan kelak” Kiang Cun Le membuka topik baru

”Apa yang ingin diusulkan saudara Kiang”? Bertanya Lamkiong Bu Sek

”Pertempuran akibat ulah Thian Liong Pang akan berakibat besar bagi banyak pihak. Terutama bagi Lam Hay, Pualam Hijau, Bu Tong dan Siauw Lim serta Kay Pang. Kita masih belum tahu akhir dari gejolak ini. Karena itu, ada beberapa hal ingin lohu kemukakan bagi jiwi”

“Apa gerangan yang ingin Kiang hengte usulkan”? Kembali Lamkiong Bu Sek bertanya

”Benar, kemukakanlah biar terang bagi kita semua” tambah Siangkoan Tek.

Kiang Cun Le menarik nafas panjang untuk kemudian dengan nada berat melanjutkan perkataannya:

”Pertama, jika memungkinkan dan kita sepakati, pertempuran kedepan kita lakukan setahun atau 2 tahun setelah redanya gejolak yang ditimbulkan oleh Thian Liong Pang. Ini semata usul lohu, sementara keputusannya biarlah ditentukan kita bersama” setelah berkata Kiang Cun Le mengawasi baik Lamkiong Bu Sek maupun Siangkoan Tek. Nampak Lamkiong Bu Sek mengangguk-angguk dan menyetujui usulan Kiang Cun Le, karena betapapun pihaknya juga terlibat dalam kisruh yang ditimbulkan Thian Liong Pang. Tetapi, berbeda dengan Siangkoan Tek yang segera merespons:

”Apakah tidak terlalu lama? Selain, kita masih belum tahu kapan berakhirnya gangguan Thian Liong Pang”?

”Benar Siangkoan Kawcu. Jika menilik keadaan, masalah Thian Liong Pang akan segera bisa diatasi, karena banyaknya bantuan dari kalangan persilatan Tionggoan. Tetapi, semua yang terlibat butuh waktu untuk melakukan pertandingan lanjutan kita, termasuk pihak kami maupun Lam Hay Bun” terang Kiang Cun Le

”Hm” terdengar Siangkoan Tek mendengus, seperti masih kurang setuju.

”Benar, tetapi betapapun waktu 2 tahun terasa lama. Lohu mengusulkan waktu setahun setelah masalah Thian Liong Pang dibereskan.

”Sebetulnya, Lam Hay juga merasa keberatan. Tapi jika bisa mengambil jalan tengah, biarlah 1 setengah tahun kedepan kita tetapkan pertemuan itu” saran Lamkiong Bu Sek

”Baiklah, jika memang waktu setahun lebih dirasa cukup, biarlah kita tetapkan pertempuran nanti berlangsung sesuai waktu tersebut. Rasanya Lam Hay dan Lembah Hijau akan cukup waktu mempersiapkan diri” Kiang Cun Le akhirnya menyepakati waktu pertempuran tersebut.

”Jika tidak salah, Kiang hengte menyebutkan ada beberapa hal, masih ada lagikah yang ingin dikemukakan”? Tanya Lamkiong Bu Sek.

”Benar Lamkiong Tocu” sahut Kiang Cun Le

”Pada pertemuan selanjutnya, Lembah Pualam Hijau, Kay Pang, Bu Tong dan Siauw Lim Sie telah menyiapkan angkatan mudanya untuk maju mewakili Tionggoan. Harap tidak mengurangi rasa hormat kami terhadap kawan-kawan Lam Hay, Bengkauw dan Thian Tok”

Ucapan Kiang Cun Le mengagetkan baik Lamkiong Bu Sek maupun Siangkoan Tek sekalipun. Betapa tidak, wakil Tionggoan akan dimajukan justru adalah orang-orang muda. Apakah tidak keliru?

”Maksud Kiang hengte”? Tanya Lamkiong Bu Sek

”Maksudku jelas. Wakil dari Tionggoan adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang masih muda, cucuku sendiri, disertai oleh murid-murid 4 manusia dewa Tionggoan”

”Hengte”? Lamkiong Bu Sek nampak mengeras wajahnya.

”Sabar Lamkiong Tocu, bukan maksud kami untuk tidak menghormati pertempuran tesebut. Tetapi kakekku bersama orang tua seangkatannya telah memutuskan demikian. Baik Kaypang, Bu Tong dan Siauw Lim tidaklah akan berani membantah keputusan sesepuh perguruannya itu”

”Hm, sungguh berani, sungguh berani” terdengar Siangkoan Tek bergumam. Selain penasaran, diapun sebenarnya menyesal, karena baru merampungkan ilmu rahasia lain dari leluhurnya. Tetapi, diapun memiliki keyakinan terhadap cucunya Giok Lian. Hanya saja, tadi diapun telah melihat murid Kiong Siang Han luar biasa lihaynya.

”Tidak berani Siangkoan Kauwcu, tetapi itulah titah leluhur perguruan kami” sahut Kiang Cun Le datar.

”Lohu mengerti, lohu mengerti. Tapi, kekuatan anak muda murid Kiong locianpwee tadi memang luar biasa. Lamkiong tocu, sejujurnya, lohu tidak berani mengklaim akan menang melawan anak muda tadi”

”Tetapi, semuda itu, apakah benar mereka sudah sanggup mengimbangi kita”? Bertanya Lamkiong Bu Sek penasaran.

”Rasanya tidak meragukan. Kekuatan iweekang dan keteguhannya tadi sudah tidak berada dibawah tingkatan kita lagi. Selain itu, cucuku, juga sudah sanggup merendengi tingkatanku” tegas Siangkoan Tek

”Tegasnya Siangkoan Tek setuju bahwa pertempuran berikut biarlah diwakilkan pada generasi lebih muda”? Lamkiong Sek bertanya.

”Bukan demikian, lohupun masih bersemangat buat maju”

”Benar, lohupun demikian, tapi biarlah anak-anak muda kita persiapkan juga” Lamkiong Bu Sek akhirnya menyatakan persetujuannya, meski dengan syarat masih akan majunya mereka yang lebih tua. Apalagi, diapun mempunyai keyakinan terhadap generasi muda Lam Hay yang kini sedang dilatih khusus setelah perjalanan mereka di Tionggoan beberapa waktu lalu.

”Baiklah, jika memang demikian, satu hal lagi ingin lohu sampaikan. Berdasarkan penyelidikan lohu, keterlibatan banyak sekali jago luar biasa dan bahkan dari angkatan lebih tinggi sangat mencnegangkan dan mengagetkan. Lohu mendapati jejak penulis dan pemilik lembar yang kita perebutkan, seorang pendekar tua dari sebrang lautan, sudah berada di Tionggoan bersama muridnya yang juga luar biasa lihaynya. Bahkan, dari Thian Tok, angkatan-angkatan sepuh juga kelihatannya menjejakkan langkah ke Tionggoan. Belum lagi beberapa tokoh angkatan diatas kita yang turun dari Himalaya karena rangsangan lembar pusaka ketiga itu. Sungguh merepotkan” Kiang Cun Le berkata dengan suara ditekan, nampak benar dia risau dengan keadaan tersebut.

”Maksud Kiang hengte”? Nampak Lamkiong Bu Sek tertegun

”Lohu menemukan jejak Bu Hok Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) ketika dalam perjalanan ketempat ini. Kita tahu bersama, bahwa tokoh aneh ini sudah mengasingkan diri, dan dia hanya sedikit saja dibawah angkatan kakekku Kiang Sin Liong. Kehebatannya juga hanya berselisih sedikit saja. Anehnya, orang tua aneh ini, juga-ikut-ikutan mengerubuti lembar ketiga itu”

”Jika demikian, jangan-jangan jejak yang kutemukan juga menunjuk ke tokoh sepuh yang seangkatan dengan Bu Hok Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) itu”? Lamkiong Bu Sek nampak tertegun dan kaget.

”Maksud Lamkiong Tocu”? Bertanya Siangkoan Tek yang juga tak kalah kaget mendengar terlibatnya tokoh-tokoh tingkat sepuh yang diketahui sudah lama tidak campur tangan urusan dunia persilatan. Bu Hok Lokai saja, sudah lebih 40 tahun menyepi, dan usianya sudah 100 tahunan. Dan jika tokoh sekaliber ini juga kembali meramaikan dunia persilatan, ”gula” apa gerangan yang telah memancing mereka? Benarkah lembar ketiga itu memang demikian mujijatnya sehingga menarik tokoh-tokoh itu?

”Semula lohu menyangka, sebagaimana Bu Hok Lokai, tokoh ini juga sudah lama menyepi. Bahkan sudah lebih kurang 30 tahun tak kedengaran kabar beritanya. Tetapi, tahu-tahu lohu menemukan Hiat-ciu-leng (panji tangan berdarah). Panji kebesaran yang pernah mengganas dahulu di luar tembok besar. Tetapi, jika seorang sekaliber Bu Hok sampai muncul, bukan tidak mungkin Hiong Say Tiang Pek San (Singa Jantan dari Tiang Pek San) juga munculkan diri. Jika Hiat Ciu Leng muncul, pastilah pemiliknya si Singa Jantan muncul. Hanya, mungkinkah setelah 30 tahun, dan tidak ada lagi jejaknya di Tiang Pek San justru malah muncul disini? Aneh, aneh“

”Tidak aneh Lamkiong tocu, nampaknya daya tarik lembar ketiga itu secara luar biasa telah disebarluaskan seseorang. Akibatnya, para tokoh yang telah menyembunyikan diri dan menyepi pada berhamburan keluar. Sungguh meresahkan“ ujar Kiang Cun Le

”Puluhan tahun silam, pengganas-pengganas ini menepi dan kemudian menyepi karena kalah seurat dari tokoh-tokoh Tionggoan. Bagaimanakah kesaktian mereka setelah menyepi selama puluhan tahun? Sungguh susah dibayangkan“ Lamkiong Bu Sek menambahkan

”Jika kondisinya benar demikian, maka tidak mungkin lagi bagiku untuk kembali ke markas. Waktunya kembali berkelana“ gumam Siangkoan Tek.

”Baiklah, sulitlah bagi kita untuk terus mengeluh. Keadaan memang semakin meruncing. Kehadiran tokoh-tokoh besar yang telah menyepi tambah meruwetkan. Sebaiknya kita awas dengan kondisi ini“ Kiang Cun Le berkata

”Benar, dan bahaya didepan mata sebaiknya cepat dibereskan“ tambah Siangkoan Tek

”Waktunya kita bergerak. Secepatnya lebih baik“

”Benar, sebaiknya kita berpisah disini dan mengawasi pihak-pihak yang sudah siap berperang“ tambah Cun Le yang kemudian bersiap-siap berangkat. Pertemuan merekapun kemudian dilanjutkan dengan percakapan akhir sambil siap-siap berpisah dan akhirnya memang berpisah ........ beberapa saat kemudian mereka berpisah dalam jalan masing-masing.

Tempat itupun kembali hening dan teduh dalam irama alam.

===================

Di tempat lain, seorang anak muda berpakaian hijau nampak seperti sedang menunggu. Dia bukan lain Kiang Ceng Liong, anak muda yang sedang menunggu kawan-kawannya yang ditugaskan ke Tiam Jong Pay untuk mengantarkan harta rampasan Thian Liong Pang dari perguruan tersebut.

Sementara itu, di tempat yang tidak terpisah jauh, nampak Barisan 6 Pedang berjaga-jaga sebagaimana tugas mereka mengawal Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Ceng Liong yang sedang menunggu, nampak bolak balik seperti sedang memikirkan sesuatu. Pengalaman beberapa hari terakhir sungguh memusingkannya, dan dalam beberapa hari terakhir, terasa benar bahwa tugas sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau berkenaan dengan masalah yang dihadapi, baik internal Lembah maupun terkait dengan Thian Liong Pang sungguh sangat memusingkannya.

Betapa tidak, dalam beberapa hari, terutama sejak mengetahui rahasia Thio Su Kiat dan Kiang Li Hwa yang sebelumnya merupakan pentolan Thian Liong Pang, banyak hal tak terduga lainnya yang susul menyusul terjadi. Hentakan-hentakan tersebut sungguh memukul keseimbangan emosinya, terutama karena hal-hal tak terduga yang terjadi selama beberapa hari tersebut.

Meskipun, hentakan hentakan tersebut membuatnya menjadi semakin matang dan menjadi semakin kokoh dalam kedudukannya sebagai Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Dalam kesulitannya, seperti terbayang-bayang wajah guru sekaligus kakek buyutnya, Kiang Sin Liong yang begitu sabar dan begitu mempercayainya.

Bahkan kepundaknya masalah kehormatan Lembah Pualam Hijau dan nama baik keluarganya dipasrahkan. Nama baik Lembah yang telah memupuk nama di dunia persilatan selama lebih kurang 100 tahun terakhir. Tetapi, disamping itu, diapun mengalami betapa tekanan-demi tekanan itu membuatnya hampir tidak awas dengan persoalan lain.

Karena semua konsentrasinya diarahkan pada perjuangan melawan Thian Liong Pang dan mengurusi masalah Lembah Pualam Hijau yang ternyata banyak menghadirkan kejutan yang sungguh sungguh mencengangkan.

”Hm, sungguh sulit diduga ...... sulit diduga“ terdengar Ceng Liong bergumam perlahan. Sementara keningnya berkernyit tanda dia sedang memikirkan banyak hal yang teramat penting. Apa yang sebenarnya sulit diduga? Apa pula yang dialami anak muda yang ditumpuki begitu banyak tanggungjawab oleh Lembahnya dan dunia persilatan Tionggoan?

Beberapa hari sebelumnya, berbeda dengan kedatangan kedatangan Ceng Liong yang pertama ke Siauw Lim Sie, kali ini sebelum menginjakkan kakinya di Kuil Siauw Lim Sie di Siong San, Ceng Liong telah didahului oleh Barisan 6 Pedang.

Sebagaimana biasanya, dalam kunjungan resmi Duta Agung, maka Barisan 6 Pedang biasanya mendahului Duta Agung dan menyampaikan permohonan bertemu dengan seseorang atau pimpinan perkumpulan tertentu. Begitupun hari itu, Barisan 6 Pedang telah mendahului Kiang Ceng Liong yang memiliki maksud tertentu untuk mendatangi dan mengunjungi kuil Siauw Lim Sie. Apa maksud kunjungan tersebut?

Begitu mendekati pintu atau gerbang Kuil Siauw Lim Sie, Barisan 6 Pedang telah menjura kepda Pendeta penyambut tamu sambil berkata:

”Duta agung Lembah Pualam Hijau mohon bertemu dengan yang mulia Ciangbunjin Siauw Lim Sie“

”Amitabha, sebuah kehormatan menerima kunjungan Duta Agung, perkenankan kami melaporkan kedalam“ dan salah seorang Pendeta tingkat rendahan yang berjaga di Gerbang kuil sudah dengan cepat memasuki Kuil Siauw Lim Sie. Dan tidak butuh waktu yang cukup lama, karena tidak lama kemudian dari dalam Kuil Siauw Lim Sie bermunculan tokoh-tokoh utama Siauw Lim Sie.

Bahkan di barisan depan, turun tangan menyambut secara langsung adalah Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang nampak semakin tua dan berwibawa. Begitu menampak kedatangan rombongan itu, Barisan 6 Pedang sudah dengan cepat menjura memberi hormat sambil berkata:

”Mewakili Duta Agung Lembah Pualam Hijau mohon bertemu yang terhormat Ciangbunjin Siauw Lim Sie“

”Siancai ... siancai, amitabha. Sungguh gembira menyambut kedatangan Duta Agung Lembah Pualam Hijau“ dan begitu mengucapkan demikian, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menjura. Tepat pada saat sesosok bayangan hijau yang dengan cepat telah berkelabat dihadapan Barisan 6 Pedang dan menyambut penghormatan Ciangbunjin Sauw Lim Sie dengan cara yang tidak kurang hormatnya dengan penyambutan tuan rumah.
 
2



“Mari, mari Duta Agung .....“ Kong Sian Hwesio, Ciangbunjin Siauw Lim Sie telah dengan cepat mengundang dan mempersilahkan Kiang Ceng Liong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau untuk memasuki Kuil Siauw Lim Sie. Sebuah Kuil keramat yang punya sejarah sangat panjang dalam dunia persilatan di Tionggoan.

”Ciangbunjin, nampaknya keadaan Siauw Lim Sie dan Ciangbunjin sendiri mengalami perubahan yang baik akhir-akhir ini“? Kiang Ceng Liong berbasa-basi sambil melangkah memasuki Kuil Siauw Lim Sie.

“Siancai .... siancai, Amitabha, puncho tidak lagi banyak mengurusi urusan di luar kuil Duta Agung. Selain itu, dengan semakin tersudutnya Thian Liong Pang, Kuil kamipun menjadi semakin tenang meskipun terus dalam kondisi siaga“

“Mudah-mudahan masalah dengan Thian Liong Pang dapat diselesaikan sesegera mungkin Ciangbunjin“

”Siancai .... kabarnya tanda-tanda ditemukannya markas mereka semakin kuat. Apakah benar demikian Duta Agung“?

“Sungguh tajam pengamatan Ciangbunjin“?

”Amitabha, punco selalu mendapatkan informasi dari para murid yang bergabung dengan rombongan pendekar, Duta Agung“

“Nampaknya memang demikian. Tetapi, jika Ciangbunjin berkenan, biarlah kita melanjutkannya secara lebih tertutup. Karena ada hal-hal lain yang mesti dibicarakan dengan Ciangbunjin“

”Amitabha, jika Duta Agung memiliki keperluan demikian, biarlah puncho menyediakan waktu di malam hari. Biar lebih tenang dalam membahas hal hal penting tersebut“

Kiang Ceng Liong nampak bernafas lega sambil kagum. Meksipun belum menyampaikan apa keperluannya, tetapi dalam tanggapan Kong Sian Hwesio, hal yang mau disampaikannya pastilah suatu hal yang teramat penting. Begitupun anak muda perkasa itu menjadi lega.

Karena memang hal yang ingin dibahasnya adalah masalah yang teramat penting, baik bagi nama baik Lembah Pualam Hijau, maupun bagi pertikaian dunia persilatan Tionggoan dengan Thian Liong Pang. Pengalamannya dulu hari, megajarkannya, bahwa meski sebagai Duta Agung, tetapi dia masih belum banyak membuktikan kapasitasnya sebagai Duta Agung.

Karena itu, dia ingin membahas dan meminta bantuan Kakek Tua, Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang banyak dihormati kaum pendekar ini untuk memecahkan banyak persoalan yang terkait Lembah Pualam Hijau dan juga terkait masalah Thian Liong Pang. Memperoleh kepastian itu, Kiang Ceng Liong diam-diam menarik nafas lega. Setidaknya perjalanannya ke Siauw Lim Sie bisa memperoleh hasil baik .....

Dan, percakapan berdua pada malam hari, memang membuat Ciangbunjin Siauw Lim Sie tersebut sangat terperanjat. Di ruangan samadhinya yang terjaga sangat ketat, Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang nampak semakin tua itu benar-benar kaget dengan uraian Ceng Liong:

“Siancai .... siancai ..... benar-benar mengagetkan“

”Begitulah Ciangbunjin, bahkan hingga sekarangpun masih banyak hal yang tetap belum jelas buatku“

”Ditilik dari keadaannya, masih akan banyak hal lain yang mengejutkan. Duta Agung benar-benar harus siap menghadapi semuanya“

”Benar Ciangbunjin, bukan hanya indikasi keterlibatan warga Lembah Pualam Hijau yang mengagetkan. Tetapi, bahwa masih tetap banyak rahasia dibalik Thian Liong Pang yang membuatku tetap awas“

“Punco mendapatkan firasat aneh, bahwa nampaknya banyak sekali keterlibatan tokoh asing dan bahkan tokoh tersembunyi. Dan hal ini pastilah akan sangat merepotkan, terutama karena teramat sulit untuk menentukan atau menebak apa kepentingan tokoh-tokoh tersebut“

”Dalam kondisi begini, nampaknya sulit bagi Ciangbunjin untuk tidak terlibat dalam bagian akhir dari kekisruhan dengan Thian Liong Pang“

”Maksud Duta Agung“?

“Maksudku, biarlah keinginan Ciangbunjin untuk tidak lagi terlibat dalam kekisruhan dunia persilatan ditunda dulu. Dewasa ini, hanya Ciangbunjin Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay yang masih memiliki wibawa untuk meredakan keadaan di dunia persilatan. Lembah Pualam Hijau, dengan keterlibatan warganya, akan sangat sulit meredakan emosi para pendekar. Selain itu, sebagai Duta Agung, akupun masih terlampau muda“
”Siancai .... siancai, Duta Agung terlampau merendah“

”Apalagi, sebagai Pemimpin persilatanpun, sudah kutanggalkan pada pertemuan di Kuil Siauw Lim Sie yang lalu“

”Amitabha, siancai ... siancai. Benar-benar satu pilihan mendesak. Tapi biarlah punco mempertimbangkannya untuk beberapa hari kedepan“ Ciangbunjin tua yang sudah ingin menyepi itu, nampak terpaksa harus mempertimbangkan pilihan yang disodorkan Ceng Liong.

”Terima kasih Ciangbunjin“

Beberapa saat mereka termenung, sampai Kong Sian Siansu bertanya lagi:
“Jika tidak keliru, masih ada yang ingin disampaikan Duta Agung“?

“Hm, sungguh tajam firasat Ciangbunjin“ Ceng Liong sambil tersenyum

”Siancai ... siancai, terima kasih atas pujian Duta Agung“

”Hanya, apakah permohonanku kali ini pantas atau tidak, mohon Ciangbunjin memaafkan terlebih dahulu“

”Engkau terlampau sungkan Duta Agung“

”Betapapun, permohonanku untuk mengundang Ciangbunjin turun gunung dan demi kepentingan Lembah Pualam Hijau sudah terasa berlebihan. Ditambah lagi, keterlibatan orang Lembah kami bahkan ikut merugikan nama baik Siauw Lim Sie. Dan sekarang, masih ada lagi yang bahkan ingin kuminta bantuan atau pertolongan Ciangbunjin yang terhormat“

”Tidak apa Duta Agung, saling tolong dan kerjasama antara kita sudah terjalin puluhan tahun lebih. Jika ada yang mampu punco lakukan, pasti akan dilakukan. Prihal keterlibatan orang Lembah kalian, punco sudah bisa memahami keadaan yang sekarang. Sudah tiada masalah lagi“

”Ciangbunjin, sebetulnya permohonanku tidaklah sangat berat. Hanya meminta perkenan dan semoga tidak melangkahi tata tertib di kuil ini“

”Apa gerangangn jika punco boleh diberitahu“?

”Ada beberapa hal yang harus kuketahui lebih jelas, sebagaimana surat yang ditujukan kepadaku secara sangat rahasia. Tetapi, orang yang harus memberitahuku justru sudah lama, puluhan tahun dan hingga kini sedang menyucikan diri di kuil Ciangbunjin“

”Amitabha ...... memang sangat menyulitkan. Pendeta itu telah menutup diri dan meminta untuk tidak diganggu“

”Aku mengerti Ciangbunjin, hanya mohon ijin Ciangbunjin untukku bisa melakukan percakapan lewat ”cara“ yang lain“

Beberapa saat, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menatap Kiang Ceng Liong. Rupanya, dia paham maksud Ceng Liong dengan mengatakan bercakap dengan ”cara“ lain tersebut. Sekaligus dia kaget. Sudah bisakah Duta Agung muda ini?

”Duta Agung, benarkah sudah sanggup melakukannya“?

”Kebetulan, bahkan Kian Ti Hosiang, Locianpwee yang terhormat itu pernah membantuku untuk itu“

”Siancai siancai, amitabha, semuda ini bahkan engkau sudah sanggup melakukannya. Bahkan puncopun baru beberapa waktu belakangan ini mencoba melakukannya dengan jauh lebih baik. Punco ingin mengusulkan, bolehkah kita berlatih bersama selama beberapa waktu Duta Agung“?

”Ach, khawatir belum mampu lebih baik daripada Ciangbunjin”

”Engkau terlalu merendah Duta Agung, jika sampai leluhur kami ikut membantumu berarti engkau adalah bakat yang langka”

”Ciangbunjin terlampau memuji”

”Baiklah, biarlah terhitung hal ini engkau membantu punco untuk berlatih dalam ilmu tersebut“ tawar Kong Sian Hwesio

”Baiklah, jika Ciangbunjin meminta, khawatir tidak menghormati Ciangbunjin”

”Mari, mari Duta Agung“

Tak lama kemudian, keduanyapun mulai memusatkan konsentrasi dan tenggelam dalam keheningan. Tidak lama waktu yang dibutuhkan keduanya untuk tiba ditahap menyatu dalam keheningan, dan tidak berapa lama kemudian keduanya sudah sanggup melakukan komunikasi lewat kekuatan batin.

”Siancai ...siancai, sungguh luar biasa Duta Agung. Dalam usiamu sekarang engkau bahkan sudah melampaui kesanggupan punco dalam penggunaan ilmu batin ini. Bahkan nampaknya kemampuanmu sudah jauh meninggalkan punco di bidang ini“

”Ach, ciangbunjin terlampau memuji. Menurut suhu dan juga locianpwe Kian Ti Hosiang, ilmu ini secara ajaib melekat dalam diriku, entah bagaimana caranya. Merekapun tidak sanggup menjelaskannya mengapa“

”Amitabha, sungguh luar biasa jika begitu“

”Benar, tetapi tanpa bimbingan locianpwe Kian Ti Hosiang dan juga seorang jago dari sebrang lautan, tecu tidak akan sampai pada batas kemampuan ini“

”Luar biasa, sungguh luar biasa, uh“ hanya beberapa saat kemudian Ciangbunjin Siauw Lim Sie ini sudah terengah-engah, dan kontak batin itupun terputus.

Kiang Ceng Liongpun dengan cepat menarik kembali pengerahan kekuatan batinnya, dan dibandingkan Ciangbunjin Siauw Lim Sie keadaannya nampaknya biasa saja. Hal ini mendatangkan perasaan kagum yang luar biasa dalam hati Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

”Amitabha, sungguh membanggakan semuda ini Duta Agung telah sanggup mencapai tahapan luar biasa itu”

”Terima kasih atas pujian Ciangbunjin. Jika Ciangbunjin mengijinkan, beberapa ajaran Locianpwee Kian Ti Hosiang bisa kusampaikan, toch juga bagi murid muridnya di Siauw Lim Sie”

”Terima kasih Duta Agung, hanya jika tidak memberatkan Duta Agung saja maka punco bersedia”

”Sangat mungkin dalam tahap akhir pertikaian ini, ilmu ini akan banyak manfaatnya Ciangbunjin“ Ceng Liong dengan cerdik menemukan alasan. Karena sebenarnya bukan Kian Ti Hosiang yang terutama menyempurnakan kemampuannya ini, melainkan Kolomoto Ti Lou langsung yang membimbing dan membuka jalan kearah kemampuannya itu.

Bahkan, diapun semakin sanggup melakukannya dalam jarak jauh, meski telah diperingatkan suhunya Kiang Sin Liong untuk tidak terlampau memaksakannya. Akhir-akhir ini, Ceng Liong sendiri merasa halangan dan keterkurasan tenaganya dalam kontak jarak jauh semakin berkurang, tetapi dia tetap mematuhi larangan gurunya.

”Baik sekali jika demikian Duta Agung“ Ciangbunjin Siauw Lim Sie akhirnya setuju, apalagi ketika mengetahui bahwa toch yang menurunkan ilmu itu salah satunya adalah Ciangbunjin Siauw Lim Sie pada beberapa generasi sebelumnya, Kian Ti Hosiang.

Sementara itu, Ceng Liong sendiri memang memanfaatkan ketika yang tepat ini untuk kembali melatih dan memperdalam kemampuannya itu. Sebagaimana diketahui, keampuhan ilmu pamungkasnya, Tatapan Naga Sakti, memang sangat juga dipengaruhi oleh kemampuan kekuatan batinnya. Sementara Siauw Lim Sie banyak dikenal sebagai salah satu tempat terbaik untuk pemusatan konsentrasi dan kekuatan batin. Begitulah, akhirnya keduanya kembali masuk dalam keheningan dan perlahan-lahan Kiang Ceng Liong menurunkan teori-teori yang dipelajari dari Kolomoto Ti Lou.

Dia tidak ragu menurunkannya, karena menurut orang tua aneh itu, pelajaran itu bukanlah pelajaran rahasia. Hanya, tidak akan semua orang memiliki dasar yang cukup dan bahkan kemampuan untuk mendalaminya hingga sempurna. Bahkan Kolomoto Ti Lou sendiri membutuhkan banyak waktu untuk mencapai kemampuannya yang sekarang.

Dan kali ini, kemajuan Kong Sian Hwesio memang tidaklah sedikit, bahkan kemampuannya bertahan dalam keheningan lewat komunikasi batin sudah bertahan sangat lama dibandingkan sebelumnya. Setelah sekian lama, pada akhirnya Ceng Liong meminta ijin untuk melakukan komunikasi semacam untuk berkomunikasi dengan paman kakeknya yang telah menjadi pendeta di Siauw Lim Sie.

Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang mengerti, bahwa selain telah berjasa menyempurnakan kemampuan komunikasi batinnya, Ceng Liong juga tidak akan melanggar tata tertib di Siauw Lim Sie. Lagipula, jikapun Ceng Liong melakukannya dari jarak jauh, siapa bisa menahannya? Padahal, Ceng Liong telah memberinya kehormatan untuk meminta ijin terlebih dahulu.

Tetapi, satu hal lain yang juga membuat Ciangbunjin tua dan bijaksana ini menyetujui adalah ketika Ceng Liong menyebutkan bahwa komunikasi ini juga akan menentukan dikembalikannya Kitab Pusaka Siauw Lim Sie yang tercuri dalam insiden beberapa tahun lalu dan melibatkan pengguna Sinkang Giok Ceng Sinkang. Karena itu, tidak ada gunanya melarang Ceng Liong, sebaliknya keuntungan dipihaknya tidaklah sedikit.

Setidaknya, sebelum dia lepas ajal, pusaka yang tercuri bisa didapatkan kembali. Maka dia akhirnya mengijinkan Ceng Liong untuk melakukannya. Setelah memperoleh ijin tersebut, Ceng Liong sendiri kemudian tenggelam dalam pendalaman ilmunya tersebut, dan melakukannya bersama dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie di ruang samadhi yang tenang itu. Baru menjelang subuh, akhirnya Ceng Liong menghentikan latihannya tersebut, tidak berbeda lama dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Menjelang subuh, baru Ceng Liong kembali memasuki kamarnya, dan kemudian beristirahat.

Siangnya dia tidak bertemu dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang perlu mengembalikan semangat dan kekuatannya, sementara Ceng Liong memanfaatkan waktunya untuk berbicara dan menurunkan beberapa kemampuan kepada Barisan 6 Pedang. Karena setidaknya dia masih akan menghabiskan waktu 2 hari berdiam di Siauw Lim Sie, maka adalah keuntungan bagi Barisan 6 Pedang dalam meningkatkan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Sementara Ceng Liong mempersiapkan diri untuk bercakap dengan paman kakeknya pada malam hari nanti.

Tetapi, ketika pada sore harinya dia kembali ke pembaringannya, kewaspadaan dan firasatnya membisikkan sesuatu. Bahkan seperti ada suara yang berdenging ditelinganya: “sekrang saatnya“. Dengan segera Ceng Liong sadar apa maksudnya. Karena dalam latihannya semalam, dia memang telah mencoba menggugah paman kakeknya yang dulunya memakai nama Kiang Siong Tek sebelum menjadi Pendeta di Siauw Lim Sie.

Dengan cepat dia kemudian menuju pembaringan dan mulai berkonsentrasi untuk menghubungi paman kakeknya tersebut. Dan benar saja, tidak beberapa lama, di telah berhadap-hadapan dengan seorang kakek yang nampak setua atau bahkan lebih tua dari kakeknya sendiri Kiang Cun Le. Kakek tua itu memandangnya dengan wajah agungnya, tetapi tidak tersembunyikan rasa kasih dipancaran wajahnya, bahkan seperti juga mengandung rasa kasihan. Sekian lama dia memandangi Kiang Ceng Liong tanpa berbicara sepatah katapun, sampai kemudian Ceng Liong yang mendahului menjura:

”Menghadap paman kakek Kiang Siong Tek“

”Sudahlah, lupakan nama dan sebutan itu cucuku. Sekarang aku adalah seorang pendeta yang menyucikan diri dan seharusnya tidak lagi berhubungan dengan dunia luar“

”Tecu mengerti, karena itu mohon maaf telah mengganggu ketenangan paman kakek“

”Bisa dimengerti. Ach, memang ulah Tek Hong benar-benar telah melahirkan kepusingan yang luar biasa“

”Paman Kakek Tek Hong telah mengirimiku sebuah surat“

”Benar, dia telah menyebutkannya dulu hari. Jika memang sudah saatnya, dia akan melakukan segala sesuatu untuk mencuci bersih nama Lembah Pualam Hijau. Ah, itulah jika masih belum melepaskan diri dari semua ikatan dunia“

”Paman kakek Tek Hong menyebutkan untuk menemui paman kakek disini. Banyak hal yang bisa dipahami, termasuk menjernihkan urusan dengan Siauw Lim Sie ini“

”Masalah dengan Siauw Lim Sie terhitung mudah diselesaikan. Yang sulit diselesaikan adalah urusan Thian Liong Pang dan berkerumunnya tokoh-tokoh besar untuk memperebutkan sesuatu yang sebenarnya sia-sia. Ini yang kurang diperhitungkan paman kakekmu itu. Dia menyangka hanya akan melibatkan perguruan se Tionggoan dan Lam Hay, tidak tahunya banyak tokoh misterius yang bahkan membonceng kekisruhan ini. Kasihan Tek Hong“

”Maksud paman kakek“? bertanya Ceng Liong penasaran

”Sudahlah, memang begitu takdirnya“

Ceng Liong terdiam. Sekilas dia mengerti, tetapi seutuhnya masih tetap gelap baginya untuk menduga-duga lebih jauh. Hanya, dia mengerti, bahwa paman kakeknya yang pendeta ini pastinya memiliki ketajaman penalaran kedepan seperti juga kakeknya.

”Baiklah cucuku, apa yang ingin engkau tanyakan sebenarnya“?

Setelah berpikir beberapa saat, Ceng Liong menjawab tegas:

”Sebenarnya tidak ada lagi paman kakek“

”Siancai .... siancai, amitabha. Sungguh tepat pilihan Cun Le, tetapi jauh lebih hebat lagi bakat dan keuntungan yang engkau peroleh cucuku. Sungguh beruntung dimasa penuh kesulitan bagi Lembah Pualam Hijau kemudian tampil generasi termuda sepertimu“

”Terima kasih atas pujian paman kakek“

“Hm, tetapi, betapapun engkau harus hati-hati. Rintangan terbesar bagimu bukanlah dari luar, tetapi justru dari dalam keuargamu sendiri kelak. Tidak ada yang bisa merubah takdir, tetapi awas dengan lingkungan sekitarmu“

”Maksud paman kakek“?

”Kelak engkau akan mengerti sendiri cucuku“

”Baiklah paman kakek, satu hal saja yang masih mengganjal“ ucap Ceng Liong setelah menarik nafas panjang, sangat panjang setelah berusaha keras memahami ungkapan dan ucapan-ucapan kakeknya yang menjangkau jauh kedepan dari kehidupannya bahkan.

”Aku tahu cucuku, masalah kitab pusaka itu bukan? Masalah itu sebenarnya masalah kecil. Kitab Pusaka itu tidaklah dilarikan jauh dari Siong San. Dan sesuai janji Tek Hong, suatu saat akan datang utusannya, dari Lembah Pualam Hijau untuk mendamaikan urusan ini. Ah, betapapun, darah jantan dan perwira keluarga Lembah Pualam Hijau masih kental mengalir didarahnya“

“Bagaimana cara mengambilnya dan dimana harus mengambilnya paman kakek“? bertanya Ceng Liong

”Cucuku, sebagaimana kukatakan, Kitab Pusaka itu tidak pernah dibawa keluar dari Siong San. Tek Hong tidak akan berani dan sampai hati mempermalukan saudaranya di Kuil ini. Dia hanya mengutip 3-4 halaman kitab itu sebagai pertanggungjawaban bagi Thian Liong Pang. Dan kitab aslinya disimpan disebuah tempat, dan penyimpanan itu telah berada dipembaringanmu“ Pendeta tua itu berkata dalam kepastian.

”Terima kasih paman kakek, aku mengerti tugasku“

”Baiklah cucuku, betapapun ini satu-satunya kesempatan bagiku untuk bertemu denganmu. Meskipun hanya dalam pertemuan melalui komunikasi semacam ini. Tetapi, itupun sudah keuntungan besar buatku. Kabarnya engkau menguasai sebuah ilmu yang begitu dahsyat, yang bahkan masih lebih dahsyat dari ilmu sejenis di kuil ini, benarkah demikian“?

“Benar paman kakek, suhu, kakek buyut yang mula-mula menyadari kemampuanku itu. Kemudian disempurnakan juga oleh locianpwe Kian Ti Hosiang, dan belakangan dibantu oleh Kolomoto Ti Lou, pemilik 3 lembar pusaka yang diperebutkan itu. Orang tua itu berasal dari seberang lautan, tetapi lihay luar biasa. Mungkin tidak disebelah bawah kemampuan Kakek buyut dan locianpwe Kian Ti Hosiang“

”Engkau salah cucuku, mereka memang sepantaran. Bahkan kakek itu masih sedikit lebih tua dibanding kakek buyutmu. Locianpwe Kian Ti Hosiang penah mengkomunikasikan hal itu kepadaku. Bahkan memintaku untuk mendalami teori ilmu yang terdapat dalam dirimu yang tersebar dalam sedikit Kitab Pusaka di kuil ini yang jumlahnya sangat banyak itu. Apakah engkau sudah tahu seluk beluk ilmu tersebut“?

”Kakek kolomoto Ti Lou telah membeberkan kepadaku, terutama sejarah Ilmu itu dalam penggunaannya di Jawadwipa dan negeri sekitarnya, sebuah Negeri yang berada jauh di seberang lautan Paman Kakek“

”Sejarah ilmu itu di Negeri sebrang tidaklah kuketahui. Tetapi, penggunaan tenaga dalam dan bahkan tenaga batin lewat tatapan mata, memang pernah ada dalam sejarah dunia persilatan Tionggoan. Hanya, ilmu itu muncul hanya sekali, kurang lebih 500 tahun sebelumnya dan hanya sekali digunakan. Seterusnya, tiada lagi orang yang mampu menguasai dan menggunakannya sampai kemudian muncul dalam dirimu“

”Mirip sekali dengan di seberang lautan paman kakek. Ilmu itu telah dikenal lebih 500 tahun sebelumnya dan hanya sekali dua kali digunakan sampai kemudian bisa dikuasai lagi oleh kakek itu, Kolomoto Ti Lou. Dan dia menyebutkan, justru cucumu ini punya bakat aneh dan dikaruniakan alam untuk menguasai lebih sempurna dibandingkan dengannya“

”Benar, menurut catatan di sebuah kitab kuno Siauw Lim Sie, penguasaan ilmu itu berdasarkan jodoh dan karunia alam. Justru karena itu, nyaris tidak ada lagi, sampai kedirimu yang bisa menjejaki penguasaan atas ilmu tersebut“

”Benar demikian, juga menurut kakek Kolomoto itu“

”Baiklah cucuku, sudah sejauh mana engkau sanggup menggunakannya“?

”Setelah bertemu dengan Kakek Kolomoto Ti Lou, cucumu sudah sanggup menggunakannya. Sebelumnya masih kadang bisa dan terkadang tidak bisa. Tetapi sekarang, kekuatan Iweekang sudah bisa disalurkan dengan sesuka hati. Dan bahkan bisa digunakan untuk mempengaruhi semangat dan pikiran orang, atau di Thian Tok disebut sebagai Ilmu Sihir“

”Amitabha, dilihat dari perkembangannya, maka penguasaanmu atas ilmu itu sudah melebihi separohnya cucuku. Bahkan sudah mendekati penggunaan penguasa ilmu itu pada 500 tahun berselang. Jika diperhitungkan, maka engkau sudah sanggup bertahan berhadapan dengan ahli-ahli sihir dari Thian Tok yang pernah berkunjung ke Tionggoan. Apa yang kurang adalah, bagaimana menyatukan kekuatan Iweekang dan Kekuatan Batin untuk disalurkan secara bersamaan. Cara ini akan meningkatkan penguasaanmu atas penggunaan ilmu tersebut hingga ketingkat yang lebih tinggi. Dan pada tahap ini, bahkan ilmu silatmu juga akan mengalami peningkatan“

”Apakah memang masih mungkin demikian paman kakek“?

”Amitabha, paman kakekmu ini tidak menguasai ilmu silat. Tetapi menguasai ilmu kebathinan dan menguasai sejarah dunia persilatan Tionggoan melalui bacaan atas buku-buku itu atas permintaan locianpwee Kian Ti Hosiang“

”Apa dan bagaimana melakukannya paman kakek? Mohon petunjuk“

“Cucuku, ilmu kebathinanmu juga sudah cukup tinggi. Engkau perlu waktu untuk sering memperdalamnya. Dan kemudian mencoba berkonsentrasi mengerahkan kekuatan iweekang dalam landasan yang sama dengan kekuatan bathin. Semakin cepat engkau mengerahkannya, berarti semakin mahir engkau atas penyalurannya melalui tatapan matamu. Kulihat, kecepatan itu masih kurang dalam dirimu, dan itu hanya mungkin melalui latihan samadhi meningkatkan lagi kemampuan konsentrasi dan pengerahan kekuatan batinmu“

”Terima kasih paman kakek, cucumu mengerti sekarang“

”Baguslah jika engkau mengerti sekarang ini. Hanya, biarlah paman kakekmu mengingatkan. Ilmu tersebut adalah ilmu yang teramat langka, yang bahkan di kuil inipun belum ada yang sanggup menguasainya dengan sempurna. Tidak mungkin menyebutkan itu ilmu pusaka Siauw Lim Sie, juga bukan ilmu dari seberang lautan. Nampaknya kedua varian ilmu itu berakar pada paham yang sama, yakni menyalurkan kekuatan tenaga dalam dan tenaga batin melalui medium suara. Hampir sama dengan Sai Cu Ho Kang tingkat sempurna. Cuma, mengantisipasi serangan lewat pandangan mata, jauh lebih rumit dan jauh lebih tak terduga. Karena itu, akan sangat senang jika ilmu itu tidak pernah engkau gunakan dalam pertempuran. Kecuali jika teramat mendesak dan memaksa. Lewat penguasaan ilmu itu, tokoh-tokoh misterius yang sekarang banyak berkelana di Tionggoan juga akan tercekat kaget. Jadi, berhati-hatilah melatih dan mempergunakannya“

”Terima kasih atas peringatan paman kakek“

”Itu adalah karunia alam buatmu. Kulihat, engkau berpotensi menguasainya secara sempurna memang. Baiklah, sekali lagi, hati-hati menangani persoalan hidupmu kelak. Dan engkau sudah tahu menyikapi masalah Tek Hong. Dia memiliki takdirnya sendiri dan telah memilih jalannya. Selesaikan urusan dengan Siauw Lim Sie dan sampaikan permohonan maaf paman kakekmu kepada Ciangbunjin. Budha memberkatimu“

Ketika kembali tersadarkan, Ceng Liong cepat memeriksa pembaringannya. Benar, dibawah bantal pembaringannya ada sebuah kertas bergambar petunjuk menuju kesuatu tempat. Petunjuk itu cukup jelas, mengarah kesebuah tempat yang hanya berjarak beberapa kilometer dari Kuil Siauw Lim Sie.

Ceng Liong segera sadar, bahwa pembuat peta itu pastilah dia yang mengambil Kitab Pusaka, dan tulisannya mirip dengan tulisan surat yang diterimanya melalui Rongga rahasia Lembah Pualam Hijau. Tetapi, Ceng Liong tidak keburu nafsu. Sebaliknya, menunggu malam tiba, dia kembali beristirahat, kemudian menjelang malam kembali berlatih menurut tuntutan paman kakeknya, dan baru tengah malam kemudian dia memutuskan menuju ke tempat penyimpanan Kitab Pusaka Siauw Lim Sie yang tercuri oleh pamannya pada beberapa tahun berselang
 
3



“Menghadap Duta Agung“ lamunan Ceng Liong seputar perjalanannya terakhir ke Siauw Lim Sie dibuyarkan oleh beberapa orang yang dengan cepat datang menghadap dan mengormatnya.

”Duta Luar dan Duta Hukum, ehm, saudara Nenggala, bagaimana keadaan kalian, apakah baik-baik saja“? Ceng Liong yang terjaga dari lamunannya segera menyapa balik orang-orang yang menemuinya. Karena mereka yang mampu lolos dari penjagaan Barisan 6 Pedang pastinya bukan tokoh sembarangan. Karena jika bukan anggota keluarga utama Lembah Pualam Hijau, jangan harap bisa masuk ke lingkaran Duta Agung.

”Syukurlah, berkat restu Duta Agung, kami semua baik-baik saja“ adalah Thio Su Kiat yang menjawab pertanyaan Ceng Liong.

”Bagaimana Duta Luar, apakah engkaupun baik-baik saja“? Ceng Liong bertanya kepada Kiang Li Hwa, karena entah bagaimana bibinya ini jadi lebih banyak berdiam diri. Meskipun, diwajahnya yang cantik dan masak itu, jelas membayangkan campuran perasaan yang susah untuk diurai. Ada rona bahagia, bangga, cemas sekalipun was-was membayang dari sinar matanya.

”Semuanya baik Duta Agung“

”Hm, terima kasih atas bantuanmu saudara Nenggala. Apakah ditemukan sesuatu yang penting sesuai dengan tujuanmu melakukan penyelidikan“? Ceng Liong bertanya kepada Nenggala untuk membuyarkan keadaan Nenggala yang bagaikan menjadi orang asing di tengah para tokoh Lembah Pualam Hijau itu.

”Terima kasih atas perkenan Duta Agung untukku bergabung dengan utusan Lembah Pualam Hijau memasuki Tiam Jong Pay. Hanya dengan menyebut utusan Pualam Hijau, kami diperkenankan mengakses tempat-tempat yang dulunya digunakan oleh paman guruku“ Nenggala menyahut dengan tidak meninggalkan rasa kagumnya atas prestasi dan kedudukan Lembah Pualam Hijau di dunia persilatan Tionggoan dewasa ini. Dan kekagumannya atas kemampuan dan kebijaksanaan Ceng Liong yang kendati masih lebih muda darinya, juga tidaklah tersembunyikan.

”Menarik jika demikian. Apakah jejak yang dituju saudara Nenggala sudah mulai menemukan titik terang“? tanya Ceng Liong lagi.

”Paman guruku menggunakan tempat itu untuk beberapa tahun, selain untuk mengawasi Tiam Jong Pay dan sumber keuangan Thian Liong Pang. Nona Li Hwa banyak membantuku, apalagi setelah menjadi murid paman guruku, diapun dengan demikian terhitung adik seperguruanku“ tidak lupa Nenggala memuji Li Hwa yang tertunduk mendengarkan ucapan Nenggala. Selanjutnya Nenggala melanjutkan:

”Nampaknya, paman guruku menjadi salah satu pembantu atau bahkan pentolan dari Thian Liong Pang. Menurut Nona Li Hwa, dia bersekongkol dengan kakek Mahendra dan nenek Gayatri untuk tugas tertentu, terutama yang terkait dengan sumber dana dari Tiam Jong Pay. Dan kelihatannya paman guruku memanfaatkan peluang tersebut untuk menyembunyikan diri dari kejaran guru dan kakek guruku sekaligus terus melatih diri. Tiam Jong Pay memang tempat yang tepat untuk menghilangkan jejak“

”Jika memang demikian, persoalan Thian Liong Pang memang akan banyak menyita tenaga dan pengorbanan. Karena jika seorang seampuh paman perguruan saudara Nenggala juga melibatkan diri, maka bukan tidak mungkin ada tokoh hebat lainnya yang bersembunyi dibalik kegelapan Thian Liong Pang“ Ceng Liong mendesis khawatir.

”Benar Duta Agung, setidaknya masih ada 2-3 atau bahkan lebih tokoh sehebat guruku itu yang nyaris tidak pernah campur tangan di aktifitas Thian Liong Pang. Tetapi, mereka sesekali bertemu dan menentukan apa yang sebaiknya dikerjakan“ tambah Duta Luar, Kiang Li Hwa.

”Hm, mudah-mudahan kita cukup memiliki kekuatan untuk menghadapi mereka. Betapapun, saat-saat terakhir sudah didepan mata. Sudah terlampau terlambat untuk menunggu lebih lama lagi“ Ceng Liong menegaskan.

“Bagaimana dengan perjalanan Duta Agung sendiri ke kuil Siauw Lim Sie? Adakah sesuatu yang bisa menjadi pegangan kedepan“? bertanya Nenggala

”Syukurlah, persoalan Siauw Lim Sie dan Lembah Pualam Hijau sudah bisa kuselesaikan. Hutang lama yang melibatkan Lembah Pualam Hijau sudah bisa diselesaikan secara damai tadi. Bahkan permohonanku agar Ciangbunjin Siauw Lim Sie ikut turun gunung guna menghadapi Thian Liong Pang juga sudah disanggupi. Betapapun, ikutnya Ciangbunjin Siauw Lim Sie akan menambah semangat juang kaum pendekar“

”Benar, betapapun Siauw Lim Sie merupakan perguruan dengan usia tertua dan memiliki wibawa panjang dimata para pendekar“ cetus Duta Luar, Li Hwa.

”Jika perkiraanku tidak salah, dalam sehari atau dua hari ini Ciangbunjin Siauw Lim Sie akan melakukan perjalanan menuju Kwi Cu. Kabar bahwa serangan akan dilakukan sudah menyebar, dan nampaknya Paman Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap sudah memutuskan untuk memasuki Kwi Cu“ kata Ceng Liong. Nampak Kiang Li Hwa terkesiap sejenak, meski kemudian wajahnya jadi biasa kembali. Tetapi, sekilas sudah cukup bagi Ceng Liong. Betapapun dia tahu, bahwa Kiang Li Hwa merupakan bekas pentolan Thian Liong Pang. Hanya, dia tidak tega untuk menekan bibinya itu, meskipun dia sebenarnya punya kuasa untuk melakukan hal tersebut.

Dilain pihak, bukannya Hiang Li Hwa tidak mengerti kesulitan Duta Agung, yang meski posisi di Lembah adalah atasannya, tetapi secara kekeluargaan justru adalah keponakannya. Hanya, dia merasa sangat bersyukur dan kagum atas kebesaran jiwa Ceng Liong, bukan hanya menganggapnya sebagai anggota keluarga Pualam Hijau, bahkan telah memberinya tanggungjawab yang sangat besar untuk mewakili Lembah yang dibanggakannya, juga dibanggakan ayahnya. Bagaimanapun, dia memang telah memilih, meski dia tetap tidak mau melakukan penghianatan. Kecuali yang melibatkan keluarganya.

”Duta Agung, markas di Kwi Cu bukanlah markas utama. Bukan tidak mungkin mereka akan melepaskannya dan berkonsentrasi di markas utama“ desisnya

”Hm, aku mengerti“ singkat kalimat Ceng Liong, karena diapun didera keraguan dan posisi salah tingkah untuk melanjutkannya. Dia mengerti pergolakan jiwa Li Hwa, karena bahkan untuk mengucapkan kalimat barusan, sudah pasti dilakukan melalui pertimbangan masak.

”Sumoy, aku mengerti pertimbanganmu. Kelihatannya, memang markas di Kwi Cu akan ditinggalkan. Tetapi, bukankah lebih penting menyelamatkan tokoh-tokoh yang disandera, karena bagaimanapun diantara sandra itu ada keluarga Pualam Hijau juga. Sementara markas utama, rasanya dengan konsentrasi pendekar sebanyak itu, tidak lama lagi akan jatuh rahasianya. Ingat, supplay makanan dan keluar masuk orang, meski melewati jalan rahasia, tetapi tetap akan bocor juga“ adalah Thio Su Kiat yang akhirnya memecah kebuntuan dengan mengajukan usulan. Meksipun, usul itu sebenarnya adalah cara halus mempertunjukkan markas Thian Liong Pang kepada Nenggala dan Ceng Liong jika mereka ikut bersama.

Li Hwa memandang Su Kiat sejenak. Dia mengerti, bahwa jalan itu memang cara halus untuk membongkar jalan rahasia dan arah ke Markas Utama Thian Liong Pang. Apalagi, dalam statusnya yang baru saat ini, belum terdeteksi oleh Thian Liong Pang. Ini tentunya memberi kemudahan baginya memasuki markas Thian Liong Pang.

Tetapi repotnya, dia bagaimanapun masih beranggapan bahwa itu merupakan sebuah pengkhianatan dan mendatangkan rasa tidak enak baginya. Dan Ceng Liong, juga Su Kiat dan Nenggala bukannya tidak mengerti pergolakan jiwa Li Hwa. Mereka paham benar dan karenanya mereka tidak mendesak Li Hwa lebih jauh untuk segera mengambil keputusan.

Padahal, mereka ingin sekali, terutama Ceng Liong dan Nenggala, untuk mengetahui markas tersebut dengan kepentingan yang berbeda. Terlebih bagi Ceng Liong, di markas itulah keluarganya, ayah dan ibunya untuk banyak tahun ini ditahan dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Dan, Li Hwa sudah tentu memahami pergolakan batin Ceng Liong terkait dengan keinginan mengetahui jalan ke markas rahasia Thian Liong Pang. Sungguh runyam.

Waktu terus berlalu, sementara ke-empat orang yang bercakap-cakap itu tenggelam dalam pergolakan batin masing-masing. Bahkan Thio Su Kiat nampak mondar-mandir mencari pembenaran untuk pilihan yang diusulkannya. Di lain tempat, Ceng Liong dan Nenggala, juga tenggelam dalam pertimbangan pertimbangan sulit dan rumit.

Seperti juga pergolakan batin Li Hwa yang masih menimbang cara dan jalan apa yang mesti ditempuhnya. Di satu sisi, dia mempertimbangkan perjuangan Lembah Pualam Hijau dan beberapa anggota keluarga yang tersandra, selain tentu nama baik dunia persilatan Tionggoan. Tetapi, di pihak lain, dia memperhitungkan jasa gurunya, orangtuanya dan rasa satria untuk tidak mengkhianati Thian Liong Pang.

Sungguh sebuah pilihan yang teramat sulit baginya. Apalagi, untuk waktu yang lama, gadis ini tidak hidup dalam lingkungan bergaya dan berwatak kependekaran, kecuali ajaran-ajaran ayahnya dan perasaan bangga yang dipendamnya atas prestasi keluarganya di Lembah Pualam Hijau.

Adalah Nenggala yang sangat peduli dengan pergolakan batin Li Hwa, karena itu anak muda itu berkali-kali melirik perubahan wajah Li Hwa dan berkhawatir dengan keadaan tersebut. Dan karena itu, adalah dia juga yang kemudian memecahkan keheningan dan ketegangan akibat pergolakan batin masing-masing mereka yang berhadapan:

”Saudara Ceng Liong, jika memang terasa sengat berat, kelihatannya jauh lebih baik kita tidak mendesak nona Li Hwa. Mungkin kita masih bisa menemukan cara lain untuk menyusup dan mengenali tempat dan makas utama Thian Liong Pang itu“
Nampak Kiang Ceng Liong juga mengerti. Apalagi setelah melirik keadaan Li Hwa, diapun sadar bahwa pilihan apapun terasa sulit bagi Li Hwa. Dan dia tidak ingin menggunakan kekuasaannya sebagai Duta Agung untuk mendesak Kiang Li Hwa yang dulunya adalah pentolan Thian Liong Pang tersebut. Karena itu, sambil menarik nafas panjang Ceng Liong berkata:

”Anda benar saudara Nenggala. Adalah kurang bijaksana mendesak Duta Luar untuk mengerjakan hal tersebut“

Tetapi, mendengar percakapan Nenggala dan Ceng Liong itu, adalah Li Hwa yang kemudian justru menyadari beberapa hal yang memang perlu untuk dikerjakan. Dia memang memandang penuh ucapan terima kasih kepada Nenggala, anak muda yang mulai menarik perhatiannya. Dia sadar, anak muda itu bermaksud untuk mengurangi tekanan atas dirinnya, dan juga bersyukur bahwa Duta Agung tidak berkeras untuk meminta tanggungjawabnya dengan mengkhianati Thian Liong Pang.

Begitupun, adalah dia sendiri yang menyadari, bahwa ketika pilihan sudah dilakukan, resiko akan selalu menghadang. Adalah pengecut untuk menolak memikul resiko atas keputusan dan pilihan yang sudah diambil dan diputuskannya itu. Apalagi, beberapa keluarga dekatnya, justru menjadi sandra dalam tragedi dan persoalan yang dihadapinya.

Dan terlebih lagi, ayahnya juga tidak pernah menolak dan bahkan mendukung langkahnya sekarang dalam surat yang disampaikan kepadanya secara rahasia. ”Jangan-jangan, bahkan ayah yang merancang semua jalan ini ......?“, pikirnya galau. Tetapi begitupun, toch sekarang keputusan harus datang darinya dan harus dia yang memutuskan melakukan sesuatu.

Karena markas rahasia Thian Liong Pang tidak akan mudah untuk diteroos phak lawan dalam waktudekat, dan hanya ornag tertentu saja yang sanggup melakukannya. Dan dia, adalah salah satu yang mampu melakukannya.

”Duta Agung, aku akan melakukannya“ desisnya perlahan, tetapi jelas terdengar oleh semua yang berada disekitar tempat itu. Nenggala memandang Li Hwa tak percaya. Pergolakan dalam batinnya tentu berbeda dengan Ceng Liong. Nenggala sudah menemukan dalam dirinya, bahwa dia mencintai gadis ini, dan tentu resiko yang membayang akibat kesediaan Li Hwa bukanlah resiko kecil. Memasuki markas Thian Liong Pang untuk membuka pengetahuan bagi pihak pendekar atas jalan masuk ke markas itu. Jika ketahuan berkhianat, maka sulitlah membayangkan nasib apa yang akan dialami oleh Li Hwa, dan Nenggala sudah tentu tidak akan membiarkan Li Hwa menghadapi resiko itu sendirian.

”Li Hwa ...... engkau .....“? kalimat Nenggala terputus di tengah jalan, terutama karena pada saat bersamaan Li Hwa memandangnya dengan mata penuh kepastian atas keputusan yang telah diambilnya.

”Ya, kak Nenggala, keputusan itu harus diambil“

Dan Nenggala tidak tahu harus mengatakan apalagi. Disatu sisi dia sadar atas bahaya yang mengancam Li Hwa, tetapi disisi lain, dia gembira dan bangga bahwa keputusan Li Hwa adalah keputusan yang mengutamakan orang banyak dengan resiko negatif yang banyak akan ditanggung wanita itu.

Sementara Ceng Liong sendiripun bukan tidak kurang kagetnya. Bahkan untuk bersikappun dia jadi gamang. Entah gembira entah prihatin. Tetapi ketika menyaksikan kemantapan dalam sikap dan pilihan Li Hwa, mau tak mau diapun menjadi kagum. Padahal, memasuki sarang Thian Liong Pang guna membebaskan sandera merupakan pekerjaan yang luar biasa sulit, bahkan nyawa menjadi taruhan.

Apalagi, karena disarang yang sangat dikenal oleh Li Hwa itu, berdiam tokoh-tokoh maha sakti yang sudah tentu dalam keadaan siaga dewasa ini. Satu-satunya peluang Li Hwa adalah, bersikap sebagai seorang Majikan Kerudung Putih. Tapi relakah dia melepas Li Hwa memasuki sarang Thian Liong Pang? Ceng Liong mau tak mau menjadi ragu. Bahkan keraguannya nyaris sama dengan Nenggala dengan motivasi yang berbeda:

”Duta Luar, apakah engkau yakin dengan keputusanmu”? Ceng Liong bertanya dengan nada ragu.

”Sudah kuputuskan untuk melakukannya Duta Agung, sambil berharap keringanan Duta Agung atas apa yang telah terjadi yang melibatkan ayahanda. Selain itu, akupun memilii satu permintaan kepada Duta Agung, harap diluluskan untuk melakukan tugas ini“

”Hm, baiklah. Persoalan ayahmu sudah ada keputusannya sendiri. Bahkan yang memutuskannya adalah ayahmu sendiri. Selain itu, apa permintaanmu kali ini?“ tanya Ceng Liong

”Perkenankan aku kembali menjadi Majikan Kerudung Putih, karena hanya dengan cara ini kesempatan memasuki sarang itu kumiliki“

”Engkau benar, betapapun perubahanmu menjadi Duta Luar Lembah Pualam Hijau masih sangat terbatas. Baiklah, permintaanmu kurestui. Hanya, untuk tugas kali ini, biarlah Thio Su Kiat mendampingimu. Karena identitas kalian berdua masih belum terlacak oleh Thian Liong Pang. Duta Hukum“ Ceng Liong berpaling dan memandnag Thio Su Kiat

”Siap Duta Agung“

”Kali ini, aku menugaskanmu untuk mendampingi Majikan Kerudung Putih guna menyongsong bahaya memasuki markas Thian Liong Pang“

”Siap melaksanakan tugas Duta Agung“

”Baiklah, kita tetapkan demikian saja. Biarlah aku bersama saudara Nenggala membayangi kalian. Bisakah demikian saudara Nenggala“? tanya Ceng Liong memandang kearah Nenggala.

”Begitu juga baik saudara Ceng Liong“ sudah tentu Nenggala menyanggupi. Betapapun, perjalanan beberapa hari terakhir ini sudah semakin yakin dan pasti hatinya, bahwa Li Hwa juga memiliki rasa yang sama dengannya. Siapa yang bisa melepas pujaan hati memasuki daerah berbahaya tanpa membayangi?

Saat semua sudah setuju dengan tugas masing-masing, tiba-tiba terdengar Thio Su Kiat bersuara

”Duta Agung, ada satu hal yang penting dan jangan terlupakan”

”Apa maksudmu Duta Hukum“? bertanya Ceng Liong

”Bukankah dalam waktu dekat rombongan pendekar akan menyebur Kwi Cu“?

”Benar, menurut informasi dari Kay Pang, paman Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap telah mengeluarkan keputusan itu. Makanya Ciangbunjin Siauw Lim Sie akan segera bergabung”

”Duta Agung, kesempatan memasuki sarang Thian Liong Pang akan semakin besar. Dugaanku, pihak Thian Liong Pang akan mengerahkan beberapa tokohnya untuk mengamati pertarungan di Kwi Cu nantinya. Dan kesempatan ini yang terbaik bagi sumoy untuk bekerja”

”Benar, pendapat suheng masuk diakal“ Kiang Li Hwa menyela mengemukakan pendapatnya menyetujui usulan Thio Su Kiat.

”Hm, nampaknya benar. Tetapi, ada satu kelemahan“ terdengar Ceng Liong berkata sambil berpikir keras.

”Apa maksudnya Duta Agung“? tanya Su Kiat

”Bukan tidak mungkin Majikan Kerudung Putih akan mendapat tugas pengawasan tersebut“ jelas Ceng Liong.

”Benar Duta Agung, tetapi aku bisa mengatur, saat tiba di markas adalah saat bersamaan dengan penyerangan di Kwi Ciu. Untuk itu butuh bantuan Duta Agung mengaturnya dengan pihak pendekar“ terdengar Su Kiat kembali berkata.

”Benar, aku bisa mengatur jadwal tersebut. Tetapi, tergantung informasi dari Duta Agung seputar saat penyerangan itu“ Li Hwa menegaskan

”Pihak Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap telah menetapkan penyerangan 5-6 hari kedepan“ tegas Ceng Liong.

”Baik, jika demikian kami berdua sumoy akan memasuki markas sesaat sebelum penyerangan itu terjadi“ Su Kiat berkata.

”Dan nampaknya, jauh lebih baik saudara Ceng Liong berada diantara kelompok pendekar ketika penyerangan terjadi“ terdengar Nenggala mengusulkan.

”Benar, akan mendatangkan kecurigaan Thian Liong Pang jika tidak menemukan Duta Agung diantara kelompok penyerang” terdengar Majikan Kerudung Putih.

”Benar, tetapi, agak sulit bagiku melepas kalian berdua memasuki markas Thian Liong Pang“

”Aku akan bisa melakukannya saudara Ceng Liong. Tetapi, saling menjaga komunikasi antara kita berdua sangat penting untuk saling memberi bantuan“ kembali Nenggala.

”Baiklah, aku percaya saudara Nenggala bisa melakukannya. Aku hanya akan menampakkan diri pada saat penyerangan dan memancing perhatian Thian Liong Pang, setelah itu akan berusaha bergabung dengan saudara Nenggala“ Ceng Liong akhirnya memutuskan.

”Baiklah, kita tetapkan begitu saja. Masing-masing melaksanakan tugas dengan tetap terus saling memberi kabar. Apalagi, Kwi Cu dan markas Thian Liong Pang tidaklah terpisah oleh jarak yang terlalu jauh” Su Kiat menambahkan.

Akhirnya keempat anak muda itu berpisah. Adalah Kiang Li Hwa yang kembali menggunakan pakaian sebagai Majikan Kerudung Putih dan Thio Su Kiat yang kemudian berlalu lebih dahulu. Kemudian disusul tidak lama oleh Nenggala yang bertugas untuk mengawasi dari kejauhan pekerjaan Li Hwa dan Su Kiat. Sementara Kiang Ceng Liong sendiri bertugas untuk menjembatani pekerjaan berbahaya yang akan dilakukan Li Hwa dan Su Kiat dengan para pendekar.

Karena juga saat penyerbuan tinggal menunggu waktu semata, maka Ceng Liong tidak menunggu lama ditempat itu. Dia telah memperoleh jaminan bahwa Ciangbunjin Siauw Lim Sie akan hadir, dan dia juga telah memperoleh jaminan bahwa sandera di pihak Thain Liong Pang akan diurusi dari dalam. Benar, masih banyak hal mengganjal dibenaknya. Baik seputar keselamatan orang tuanya, juga mengenai jago-jago misterius di pihak Thian Liong Pang dan juga masalah Lembah Pualam Hijau.

Sejujurnya, dia sendiri masih belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan, terutama terhadap keterlibatan paman kakeknya di pihak Thian Liong Pang. Jika melihat gelagatnya, mestilah ada suatu rahasia yang dia sendiri sulit untuk menguraikannya, mengapa sampai soerang paman kakeknya bisa berada di pihak lawan.

Tapi, lebih aneh lagi, ternyata dari pihak paman kakeknyalah yang berinisiatif menghubunginya untuk menyelesaikan perselisihan dunia persilatan. Dan, dari seorang paman kakeknya yang lain, yang bertapa di Siauw Lim Sie, tidak ada keterangan soal yang digelisahkannya. Kecuali bahwa paman kakeknya telah menegaskan, bahwa paman kakeknya yang berada di pihak lawan telah memutuskan apa yang terbaik yang akan dilakukannya.

”Dia telah memilih untuk menjalankan takdirnya“ begitu ucapan paman kakeknya yang memiliki kekuatan batin yang hebat selama bertapa di Siauw Lim Sie. Tetapi, cukupkah itu untuk menenteramkan hati seorang Kiang Ceng Liong? Sama sekali tidak. Dan dia berharap memperoleh jawaban dalam waktu dekat.

=====================

Sementara itu, di Kwi Cu lebih kurang 300 pendekar yang intinya adalah anak murid Bu Tong Pay, Kay Pang, Siauw Lim Sie dan beberapa perguruan lainnya, serta juga tokoh-tokoh pendekar pengelana sudah sedang dalam peningkatan moral bertanding dan menyerbu lawan. Terlebih, karena cerita mengenai kekejaman dan ambisi Thian Liong Pang telah didramatisasi sedemikian rupa, sehingga perjuangan melawan Thian Liong Pang berubah menjadi perang melawan kejahatan.

Hampir semua tokoh-tokoh utama Dunia Persilatan Tionggoan tumplek di kota Ye Cheng dan telah mempersiapkan diri untuk menuju ke Kwi Cu. Bahkan, beberapa kekuatan inti telah memasuki Kwi Cu secara diam-diam, terutama anak murid Kay Pang yang bertugas sebagai pencari jejak. Sesekali, para pendekar muda juga memasuki Kwi Cu untuk melakukan pengintaian.

Beberapa hari terakhir markas para pendekar yang semangat mengalami jatuh mental bertarung akibat lamanya penyelidikan mencari markas Thian Liong Pang menerima kehadiran banyak jago dari berbagai perguruan. Bahkan Thian San Pay mengirim calon Ciangbunjinnya yang masih muda namun sudah sangat lihay, Tik Hong Peng murid Nenggala yang mewarisi ilmu pedang mujijat Thian San Pay. Selain itu, juga jago-jago Kun Lun Pay, Cin Ling Pay, Tiam Jong Pay, Perkumpulan silat lain, juga telah mengirim sejumlah utusan untuk bergabung.

Suasana bahkan menjadi lebih meriah dan semakin membakar semangat ketika kemudian pada akhirnya Ciangbunjin Bu Tong Pay diiringi beberapa tokoh utama Bu Tong Pay datang bersamaan dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang juga diiringi beberapa tokoh utama Kuil terkenal itu dan Pendekar muda Kiang Ceng Liong yang diiringi oleh Barisan 6 Pedangnya yang termasyhur.

Maka lengkaplah kumpulan para pendekar Tionggoan berkumpul di Ye Cheng. Dengan kehadiran ke 3 perguruan terkemuka lainnya, maka lengkaplah 4 besar, perkumpulan dan perguruan terkemuka di Tionggoan, karena sebelumnya Pangcu Kaypang juga telah berada di Ye Cheng bersama tokoh-tokoh utama Kay Pang. Bahkan, beberapa waktu terakhir, pangcu Kaypang tersebut memimpin langsung anak muridnya untuk memberi wejangan dan petunjuk dalam mencari jejak.

Sekaligus telah mendiskusikan rencana penyerangan dengan Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap. Bahkan juga pernah mengundang bercakap secara pribadi dengan tokoh muda murid sesepuh Kaypang, Liang Tek Hoat yang juga ikut mengangkat nama Kaypang dalam beberapa peristiwa terakhir.

Adalah Pangcu Kaypang inilah bersama dengan Pengemis Tawa Gila, Sian Eng Cu Tayhiap bersama beberapa tokoh lain yang langsung menyambut kehadiran Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Dan kegembiraan bertemu sobat-sobat seangkatan dan bernama besar ini tidaklah tersembunyikan dari ekspresi wajah Kim Ciam Sin Kay, Kim Put Hoan, Pangcu Kaypang angkatan terakhir:

”Hahahahahaha, selamat datang sahabat-sahabatku. Yang mulia Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Kong Sian Hwesio, engkau semakin nampak tua dan semakin berwibawa .... mari .... mari”

”Amitabha, siancai .... siancai, Pangcu Kaypang masih tetap bersemangat. Selamat bertemu, selamat bertemu“ Ciangbunjin Siauw Lim Sie juga menjura ke para pendekar yang menyambut kedatangan rombongan mereka. Sementara itu, setelah saling menjura, Pangcu Kaypang kemudian menghormat kearah Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ci Hong Todjin:

“Selamat datang Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ci Hong Todjin. Engkaupun nampak semakin gagah dan terus bersemangat di usia tuamu”

”Omitohud, Pangcu Kaypang yang memimpin ribuan pengemis, seusiamu masih aktif sungguh sangat pantas dikagumi” Ciangbundjin inipun kemudian menjura kepada para pendekar yang bersemangat menyambut kedatangan mereka. Semetara itu, paling akhir, Pangcu Kaypang yang sangat disegani ini, kemudian menjura dan menghampiri Kiang Ceng Liong:

”Duta Agung Lembah Pualam Hijau, hahahaha, engkau nampak semakin hebat, semakin matang dan makin berwibawa. Mari .... mari, kedatangan kalian benar-benar membangkitkan semangat para pendekar. Semua sudah siap mengerahkan tenaga untuk pertempuran melawan Thian Liong Pang“

”Selamat bertemu Pangcu Kaypang, Kim Ciam Sin Kay locianpwee. Semoga locianpwee sehat-sehat selalu“ sebagaimana kedua petinggi Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay, Kiang Ceng Liong juga memberi hormat kepada semua pendekar yang berada ditempat itu. Rata-rata kelompok pendekar semakin penasaran dengan keberadaan Kiang Ceng Liong, terutama setelah dia meletakkan jabatan sebagai Bengcu Persilatan Tionggoan. Hebatnya sesudah itu, anak muda itu dikabarkan melakukan banyak pertarungan yang menakjubkan, tetapi nyaris tak ada dari kelompok pendekar itu yang menyaksikan dan meyakinkan mereka atas kabar itu. Tentu selain Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila serta kakak beradik She Liang dan Kakak beradik kembar she Souw. Mereka semua sadar sampai dimana kehebatan Ceng Liong saat ini. Dan adalah percakapan Ciangbunjin Siauw Lim Sie dan Pangcu Kaypang yang membuat banyak orang semakin penasaran dan terperanjat:

”Hahahaha, Duta Agung, betapapun kehadiranmu memberi peluang dan kemungkinan yang lebih besar bagi kemenangan pihak kita. Jangan engkau terlampau merendahkan diri“ demikian Pangcu Kaypang.

”Sianca.... siancai, benar ucapan Pangcu, kita yang tua-tua akan banyak berharap dari tindakan dan keperwiraan Duta Agung dan pendekar muda lainnya“ timpal Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

”Ach, ucapan dan pujian jiwi locianpwee terlampau berlebihan. Jika bukan karena dukungan 4 Perkumpulan terbesar dan juga kawan-kawan dari perguruan lain serta para pendekar yang gagah, mana mungkin kita akan berhasil“ ucap Ceng Liong merendahkan diri.

”Omitohud, ucapan Duta Agung sungguh tepat. Perjuangan bersamalah yang membuat upaya kita akan berhasil. Meskipun, tanggungjawab kalian yang muda-muda memang bukanlah kecil kali ini“ timpal Ciangbunjin Bu Tong Pay.

”Hahahahaha, sudahlah, sudahlah. Adalah lebih baik kita melanjutkan percakapan dalam ruangan. Setelah kedatangan kedua Ciangbunjin yang mulia dan Duta Agung Lembah Pualam Hijau, maka sudah saatnya kita memutuskan langkah yang mesti dikerjakan. Mari .... mari“ Pangcu Kaypang akhirnya berinisiatif mengundang dan mempersilahkan ketiga tamu agungnya untuk memasuki ruangan. Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila mengikuti semata, sebab setelah atasan mereka hadir, maka tanpa perintah mereka enggan untuk bergerak terlebih dahulu.

Malam itu juga, persiapan-persiapan terakhir dilakukan. Dan pada pertemuan terakhir, kembali para pendekar muda, Kiang Ceng Liong, Liang Tek Hoat, Liang Mei Lan, Souw Kwi Beng, Souw Kwi Song dan bahkan Siangkoan Giok Lian bertemu. Pertemuan pertama adalah pertemuan yang dipimpin oleh Sian Eng Cu Tayhiap, Pengemis Tawa Gila dan termasuk juga Topeng Setan, membahas taktik penyerbuan dan siapa-siapa yang akan memimpin kelompok-kelompok penyerbu.

Bahkan pertemuan itu juga membahas jejak terakhir dari Markas Thian Liong Pang di Kwi Cu. Kiang Ceng Liong telah memberitahu bahwa markas utama bukanlah yang di Kwi Cu, tetapi Kwi Cu merupakan landasan yang baik untuk menyerang markas utama Thian Liong Pang. Pengetahuan Ceng Liong menjadi sangat membantu, dan karena itu gelombang kaum pendekar yang akan menuju ke Kwi Cu akan dibagi dalam beberapa kelompok.

Selain itu, juga dibicarakan pengawalan perjalanan kelompok pendekar menuju Kwi Cu, yang dipercayakan kepada Barisan-Barisan utama yang dimiliki oleh Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay. Pertemuan itu, juga menyepakati kalau penyerangan akan dilakukan 2 hari menjelang, dan rombongan pendekar akan berjalan menuju Kwi Cu pada malam itu juga.

Jika pertemuan para pendekar terkesan serius, maka pertemuan para pendekar muda yang entah bagaimana memiliki perasaan bagaikan bersaudara saja, justru dalam keadaan riang gembira. Meskipun demikian, tidak bisa disangkal kalau kedekatan Giok Lian dengan Tek Hoat telah mengorbankan perasaan seorang anak muda yang lain, Souw Kwi Song yang juga sebenarnya menaruh hati kepada gadis manis dari Bengkauw tersebut.

Tetapi apa boleh buat, nampaknya kedua kawannya itu memang sudah saling menruh hati, dan tinggalah Kwi Song yang berusaha untuk menahan hati, dan sesekali dipandangi dengan penuh kasihan oleh kakaknya, Kwi Beng
 
BAB 21 Penyerangan Kwi Cu
1 Penyerangan Kwi Cu



Malam semakin senyap, suasana semakin sepi. Kecuali suara-suara binatang malam yang meningkahi kesenyapan malam yang pekat. Pertemuan para pendekar sudah sejam lebih berakhir, dan tokoh-tokoh utama pemimpin para pendekar, juga sudah dalam istirahatnya masing-masing.

Tentu saja, karena memang esok adalah waktu yang ditetapkan untuk menuju Kwi Cu, tempat dimana serangan ke Thian Liong Pang dilanjutkan. Otomatis, semua membutuhkan istirahat lebih setelah gong serangan ditabuh dan diumumkan resmi dalam pertemuan para pendekar siang tadi. Semua sudah sepakat, bahwa siang, esok hari, rombongan akan bergerak kearah Kwi Cu.

Lebih dari itu tokoh-tokoh besar dari Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau juga telah memberikan persetujuan dan masukannya. Karena betapapun, ke-4 perkumpulan dan perguruan besar itulah yang diharapkan menjadi tiang utama pergerakan dan serangan terhadap Thian Liong Pang. Dan kini, semua sudah siap, sudah mempersiapkan diri menuju Kwi Cu, tempat dimana pertempuran lebih jauh akan terjadi.

Sudahkah semua beristirahat? Ternyata tidak. Ketika malam sudah semakin jauh, sudah melampaui pertengahan malam, lama setelah pertemuan para pendekar usai, masih ada orang lain yang beraktifitas. Adalah mereka, tokoh-tokoh muda itulah yang masih melangsungkan pertemuan hingga lewat tengah malam.

Maklum, 5 anak muda, bahkan enam jika ditambah dengan Siangkoan Giok Lian, adalah tokoh-tokoh muda yang diandalkan, dan memiliki hubungan baik. Atau bahkan hubungan sangat istimewa yang diwarisi dari persahabatan para guru mereka, terutama Ceng Liong, Tek Hoat, Mei Lan, Kwi Beng dan Kwi Song. Karena itu, setelah pertemuan para pendekar, keenam anak muda itu sempat melakukan pertemuan tersendiri, pertemuan dimana Ceng Liong memberitahu kemungkinan dan kesulitan yang sedang mereka hadapi.

Demikian juga Tek Hoat, Mei Lan dan Giok Lian memberitahu adanya tokoh-tokoh misterius dan sepuh yang turut serta dan kedapatan jejaknya di Tionggoan baru-baru ini. Perkembangan yang membuat mereka menjadi lebih serius dan merasa lebih berat dalam menghadapi persoalan yang nampak berbah-ubah dan bahkan tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi.

Tetapi betapapun, tugas yang telah ditinggalkan dan dipercayakan guru-guru mereka, memang harus dipikul, dan karena itu, mereka bersepakat untuk bahu membahu dan saling mendukung dalam pelaksanaan tugas itu.

Sudah sangat larut, bahkan sudah lewat tengah malam sampai akhirnya ke enam anak muda itu membubarkan pertemuan mereka. Adalah Tek Hoat yang kemudian mengundang Kiang Ceng Liong bermalam di lokasi peristirahatan Kay Pang. Sementara kedua pendekar kembar, Kwi Song dan Kwi Beng menuju ke peristirahatan pendeta-pendeta asal Siauw Lim Sie, sementara Mei Lan menuju peristirahatan kelompok Bu Tong Pay bersama Siangkoan Giok Lian.

Adalah karena Ceng Liong ingin bercakap dengan Pangcu Kaypang pada pagi harinya, maka Tek Hoat mengajaknya bermalam di tempat peristirahatan kelompok Kay Pang. Tidak jauh dari lokasi pertemuan, tetapi agak di pinggir kota Ye Cheng, sebuah markas cabang Kaypang di Ye Cheng dan yang selalu dipergunakan oleh anak buah Kaypang selama para pendekar ebrada di Ye Cheng.

Tempat itu, bukanlah tempat yang sangat nyaman, tetapi sebuah bekas gedung di pinggir kota yang kemudian ditata dan dijadikan markas Kaypang di Ye Cheng. Dan ketika Kim Ciam Sin Kay selaku Pangcu Kaypang berada di Ye Cheng, ditempat itu jugalah dia memutuskan untuk tinggal. Dan selama sang Pangcu berada di tengah mereka, tempat itu otomatis dijejali oleh para petinggi Kaypang, baik yang berasal dari Ye Cheng dan sekitarnya, bahkan juga dari markas pusat Kaypang.

Dan beberapa waktu, tempat itu dibuat menjadi cukup mentereng dan cukup layak untuk ditinggali seorang tokoh sekelas Kim Ciam Sin Kay yang mengepalai ribuan pengemis di Tionggoan.

Tek Hoat dan Ceng Liong masih sempat bercakap-cakap seputar urusan Thian Liong Pang dan mereka bertukar pikiran soal Thian Liong Pang. Bahkan Tek Hoat membuat Ceng Liong terdiam dan tersudut ketika bertanya:

”Liong ko, bagaimana sebenarnya pikiran dan perasaanmu terhadap Lan Moy”? Tek Hoat sambil menatap wajah Ceng Liong di pembaringan yang satunya lagi.

Ceng Liong nampak tersentak, dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya menjawab pertanyaan ”sulit” yang dilontarkan Tek Hoat.

”Maafkan jika pertanyaanku itu menyulitkanmu Liong ko, tapi betapapun ada tanggungjawabku terhadap adikku yang kusayang itu” kembali terdengar Tek Hoat berkata.

”Aku mengerti Hoat te. Cuma, ada persoalan-persoalan yang selama ini rada sulit untuk dijelaskan. Pangcu Kaypang suatu saat akan turut membuatmu mengerti, juga Lan Moy” terdengar Ceng Liong akhirnya menjawab setelah berpikir sekian lama.

”Maksudmu? Apakah pangcu juga mengetahui persoalan ini Liong ko”? Kejar Tek Hoat penasaran.

”Benar, Pangcu Kaypang mengerti sisi lain yang teramat sulit untuk kujelaskan saat ini Hoat te. Urusan pribadiku” tegas Ceng Liong.

”Hm, apakah itu berarti, adikku Mei Lan bertepuk sebelah tangan”? Tek Hoat kembali meminta penegasan. Dan untuk yang satu ini, Ceng Liong bukannya manusia bodoh yang tidak berperasaan:

”Ach, jika tidak ada urusan pribadiku itu, tidak akan mungkin aku bodoh membiarkan dan mendustai perasaan hatiku Hoat te. Akupun menyimpan perasaan yang sama terhadap Lan Moy”

”Sungguhkah? Tapi, persoalan pribadimu itu, apakah memang benar-benar seberat itu Liong ko? Sampai kepadaku dan kepada Lan Moypun engkau sampai hati masih berkeputusan untuk lebih baik merahasiakannya”? Terdengar Tek Hoat seperti menuntut. Wajar, karena betapapun, mereka bertiga memang bertumbuh dalam kondisi yang lebih dekat. Dari keadaan yang mentereng dan berkelas tinggi (Tek Hoat dan Mei Lan adalah anak seorang Pangeran, sementara Ceng Liong pewaris Lembah Pualam Hijau) menjadi anak terbuang dan terhilang, saling menolong dan membantu (Baca Bagian I Kisah ini), hingga kemudian diangkat murid tokoh terkenal.

”Bukan maksudku merahasiakannya adikku. Bukan, bukan sama sekali. Tetapi, sesungguhnya, karena akupun bahkan belum sanggup memastikannya” jawab Ceng Liong.

”Ach, saudaraku, apakah engkau tidak percaya untuk membagi ceritamu itu denganku? Percayalah, jika bisa, aku pasti akan membantumu semampuku” kejar Tek Hoat.

Kembali Ceng Liong berpikir. ”Benar juga” pikirnya. Bukankah Tek Hoat sudah dianggapnya bukan orang lain? ”Bukankah Tek Hoat adalah adik angkat, bahkan juga boleh dibilang saudara seperguruan? Mengapa pula dia tidak perlu tahu? Padahal, bukankah dia bisa sangat membantu urusan dengan Lan Moi”? Pikir Ceng Liong.

”Bukankah dengan Tek Hoat tahu, maka penjelasan ke Mei Lan akan bisa jauh lebih mudah nantinya”? Lanjutnya. Akhirnya, Ceng Liong memutuskan untuk memberi tahu Tek Hoat:

”Adikku, kuharap engkau coba memahami bahwa cerita ini sebenarnya sangatlah pribadi. Selain engkau, hanya Kim Ciam Pangcu yang tahu mengenai persoalan ini, meskipun sebenarnya kepastiannya masih belum bisa kami berdua buktikan. Tapi, benar, dengan perkembangan sekarang, dan juga keadaan Lan Moy, ada baiknya engkau mengetahui kisah dan rahasia itu”

”Baiklah, aku akan memegang cerita itu koko”

”Terima kasih adikku. Apakah engkau masih ingat ketika aku terpukul oleh See Thian Coa Ong dan kemudian diobati oleh Pangcu Kaypang”?

”Tentu, tentu. Bahkan engkau kemudian menyembuhkan Pangcu dan memperoleh Kim Pay dari beliau”

”Benar Adikku, tetapi sebetulnya, Pangcu juga sempat memeriksa kondisi tubuhku yang ternyata keracunan akibat pukulan Datuk itu. Racun itu, racun itu...” Ceng Liong nampak tergagap untuk sejenak.

”Ada apa dengan racun itu koko”? kejar Tek Hoat

”Racun itu, menurut Pangcu, ádalah sumber dari rahasia yang selama ini sedang coba kuselidiki adikku. Tapi sampai sekarang masih gelap”

”Apa maksudmu dengan keadaan racun itu dan rahasia yang sampai sekarang masih engkau selidiki terus koko”?

”Begini adikku, biarlah engkau mengetahui selengkapnya” Ceng Liong akhirnya memutuskan untuk menceritakan selengkapnya.

Tetapi, sayang, belum lagi Ceng Liong sempat melanjutkan perkataannya seputar rahasia dirinya, tiba-tiba kedua anak muda yang tingkat keawasannya sudah tinggi itu tersentak. Adalah Ceng Liong yang sedetik lebih awal mengenai perasaan halusnya terketuk, dan dengan cepat dia memandang dengan serius kearah Tek Hoat yang juga sudah dengan cepat menyadari sesuatu sedang atau akan segera terjadi. Dan keduanya saling pandang dan segera mengerti, bahwa sesuatu yang ”entah apa” akan segera terjadi:

”Adikku, sesuatu akan terjadi”

”Benar, seseorang nampaknya akan melakukan sesuatu”

”Tenang adikku, belum diketahui apa maunya. Tetapi, tokoh ini nampaknya terlampau ampuh, sampai sulit melacaknya. Untung kita belum sempat tertidur hingga masih sanggup menangkap jejaknya”

”Benar koko, tamu tak diundang ini nampaknya sangat ampuh”

Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, terdengar sejenis suara berdehem:
”Ehm” ...

Tetapi, suara itu mendatangkan perasaan tidak tentram bagi Tek Hoat dan Ceng Liong. Bahkan, bagi beberapa tokoh Kaypang yang masih cetek, sudah pingsan oleh lontaran suara yang dikirimkan pendatang tersebut. Bisa dibayangkan, berapa dan betapa hebat kemampuan pendatang tersebut. Dan tidak lama setelah suara deheman itu berlalu dan sirna, terdengar sebuah suara yang dikirimkan entah dari mana, tetapi seperti melayang di udara:

”Jika Kiong Siang Han berada disini, sudah sejak tadi dia menyambutku. Aneh, tak ada lagikah orang Kaypang yang memiliki kemampuan”?

Untuk beberapa ketika, suara itu mengambang dan seperti melayang diudara. Tetapi, beberapa saat kemudian, terdengar suara yang lain:

”Tidak perlu suhu turun tangan, apalagi menghadapi tamu tidak diundang seperti engkau. Mengganggu orang diwaktu malam” suara yang sama, mengambang dan melayang diudara terdengar. Sudah pasti, adalah Tek Hoat yang melontarkannya. Karena murid Kiong Siang Han memang hanya dia seorang.

”Hahahahahaha, bahkan Kiong Siang Han sendiripun belum tentu berani sekurangajar ini jika berhadapan denganku. Hebat, hebat. Sekarang seorang muridnya berani kurang ajar menghadapiku” meskipun tertawa, tetapi anehnya, suara itu melayang dan hanya terlokalisasi di areal penginapan kelompok Kaypang dan tidak mengganggu tidur kelompok pendekar.

”Siapakah engkau sebenarnya”? terdengar kembali Tek Hoat. Sementara itu, tokoh-tokoh utama Kaypang sudah mulai keluar ke halaman. Setidaknya disana sudah ada Pangcu Kaypang, Pengemus Tawa Gila, Kedua Kaypang Hu Hoat, Pek San Fu Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) dan Ceng Fang-guan Lan Bun Sin Kay (Pengemis Sakti Pintu Selatan), bersama Cap It Hohan yang kali ini diterjunkan penuh. Bersama mereka, hanya ada 4-5 tokoh Kaypang lainnya yang tidak sempat pingsan oleh deheman dari si pendatang yang masih belum menampakkan dirinya itu.

Sementara itu, setibanya di halaman, Pangcu Kaypang telah dengan cepat dikawal Kaypang Cap It Hohan yang memang dilatih khusus untuk mengawal simbol utama Kaypang. Sementara Kim Ciam Sin Kay sendiri telah berdiri di halaman dan seperti menantikan seseorang dengan didampingi tokoh-tokoh utama Kaypang. Meskipun demikian setelah bertanya jawab sejenak dengan Tek Hoat, suara dari si pendatang untuk sejenak tidak terdengar lagi.

Sementara itu, Tek Hoat dan Ceng Liong sudah saling pandang dan kemudian keduanya mengangguk. Dengan cepat keduanya bangkit dari pembaringan dan kemudian berkelabat menuju ke pintu depan untuk kemudian Tek Hoat dengan cepat mendampingi Pangcu Kaypang yang mengangguk melihat kedatangannya. Sementara itu, Kiang Ceng Liong masih menahan langkahnya untuk berjaga atas kemungkinan lain yang akan terjadi.

”Apakah ini kerjaan tokoh Thian Liong Pang”? Pikir Ceng Liong. Tetapi, pikiran dan dugaan keterlibatan Thian Liong Pang segera susut ketika hampir bersamaan dengan Tek Hoat tampil dilapangan, disudut yang lain telah berdiri sesosok tubuh yang tinggi besar juga dengan pakaian yang awut-awutan. Khas pengemis.

Ketika kemudian dicermati lebih jauh, mata Ceng Liong sanggup menatap dan menyaksikan betapa tubuh tinggi besar itu ternyata sudah renta. Kakek yang baru datang itu nampak sudah sangat tua, rambut telah memutih tetapi tetap awut-awutan, dan nampaknya dibiarkan begitu saja oleh kakek tua itu.

Tetapi, yang membuat Ceng Liong tersentak, dan nampaknya juga Pangcu Kaypang dan Tek Hoat adalah, cara turun kakek itu yang seperti melayang saja nampaknya. Suatu pameran ginkang tingkat tertinggi, dan hanya tokoh-tokoh sepuh saja yang akan sanggup melakukannya. ”Jika kakek itu lawan, maka bisa dipastikan dia seorang lawan berat” desis Ceng Liong dalam hati.

Sementara itu, di lapangan, tidak terlihat kakek tua itu menggerakkan mulutnya. Tetapi, tiba-tiba saja sebuah suara yang sangat jernih, tidak selaras dengan tampilan fisiknya terdengar:

”Siapa dari antara kalian yang menegurku sebagai tamu tak diundang”? Tak ada nada ancaman didalam suara itu.

”Maafkan, jika tecu telah keliru menegur locianpwee. Tetapi, siapakah gerangan locianpwee yang mulia”? Tek Hoat berkata setelah melirik Pangcu Kaypang dan memperoleh ijin untuk bertanya.

”Apakah memang seorang Kiong Siang Han sudah benar-benar tidak merasa layak untuk menjumpaiku lagi”? Kakek tua itu balik bertanya.

”Maaf locianpwe, hiongcu kami yang mulia, Kiong Siang Han sudah berpulang beberapa waktu lalu” kali ini, adalah Kim Ciam Sin Kay yang berbicara.

”Aaaaccch, kiranya benar firasatku. Akhirnya dia yang memang mendahuluiku. Sayang sekali, sayang sekali” terdengar suara kakek itu, seperti menyesali sesuatu, tetap dengan suaranya yang terdengar begitu jernih.

”Dan engkau, anak muda, benarkah adalah anak murid Suheng Kiong Siang Han? Dan apakah engkau sudah layak menjadi muridnya”? Kembali terdengar suara itu. Tetapi, kali ini diiringi keterkejutan yang bukan main dikalangan anak murid Kaypang, termasuk Pangcu Kaypang sendiri yang hanya samar dan tidak begitu jelas dengan status kakek aneh didepan mereka ini.

”Sute dari suhu, ach, engkau .... engkau, benarkah aku memiliki seorang susiok? terdengar suara Tek Hoat yang terperanjat dan membuatnya maju dua tiga tindak kedepan. Dan suaranya itu membuat semua tokoh Kaypang dihalaman itu menjadi terperanjat. Hanya beberapa dari mereka yang masih tahu cerita tentang para sesepuh Kaypang, dan nampaknya tinggal Kim Ciam Sin Kay, Pangcu Kaypang yang mengetahui sedikit cerita masa lalu Kiong Siang Han dan Kakek tua ini. Sang Pangcu maju kedepan dan dengan gagap menyapa:

”Locianpwee, benarkah engkau locianpwee Ban Hok Lokay”?

”Hm, memangnya ada berapa Ban Hok Lokay didunia ini”? Terdengar kembali suara kakek tua itu membenarkan.

”Pangcu, benarkah suhu memiliki seorang sute”? Tek Hoat yang gamang bertanya kepada Kim Ciam Sin Kay

”Benar Hoat ji, tetapi jika suhumu tidak pernah menyinggung masalah itu, mungkin karena sutenya sudah lama tidak menampakkan diri” jawab Kim Ciam Sin Kay datar.

”Ach, jika demikian, perkenankan tecu Liang Tek Hoat memberi hormat kepada susiok” Tek Hoat dengan cepat maju kedepan dan memberi hormat kepada Kakek Tua yang sejak tadi masih tetap berdiam diri itu.

”Tecu, Kim Ciam Sin Kay memberi hormat kepada locianpwee Ban Hok Lokay” Pangcu Kaypang juga turut memberi hormat, tetapi karena kedudukannya sebagai Pangcu, maka salam dan hormatnya seperti biasa saja.

”Siapakah yang menjadi pangcu sekarang ini”? Terdengar Kakek itu bicara.

”Saat ini tecu Kim Ciam Sin Kay yang menjabat sebagai Pangcu”

”Hm, kulihat engkau masih akan kurang mampu menghadapi persoalan dengan Thian Liong Pang dan bahkan badai yang akan menyertainya”

”Tecu mengerti, mohon petunjuk locianpwee” Kim Ciam Sin Kay mendongkol, tetapi tidak menunjukkannya diluaran. Betapapun, dia sudah lebih dari matang berhadapan dengan persoalan semacam ini.

”Harus ada seorang yang mampu mengimbangiku atau bahkan mengalahkanku untuk bisa membawa dan memimpin Kaypang berhadapan dengan mereka”

”Locianpwee, apa maksudnya”?

”Aku tidak akan membiarkan nama baik Kaypang hancur dalam pertarungan besar dan dalam badai persilatan kedepan hanya karena ketidakmampuanmu”

”Locianpwe bermaksud merebut kedudukan Pangcu”?

”Jika mau, sudah sejak puluhan tahun kulakukan. Sayang, ketidakberuntunganku terlampau banyak dan akhirnya keberuntungan Kiong Siang Han Suheng yang membawanya menjadi Pangcu”

”Jadi, apa maksud sebenarnya dari locianpwee”?

”Jika engkau bisa mengimbangiku, maka engkau layak membawa Kaypang maju dalam pertikaian ini. Jika tidak mampu, maka engkau harus menarik anak murid Kaypang kembali ke markas utama. Jangan membuat malu Kaypang”

”Mengapa harus begitu Susiok”? Terdengar Tek Hoat ikut menyela, merasa penasaran dengan keputusan susioknya.

”Karena tokoh-tokoh seangkatanku dan bahkan sehebat aku pada tergetar keluar tempat bertapa dan pengasingannya akibat banyaknya tokoh-tokoh hebat yang berkeliaran di Tionggoan. Bisa dipastikan, pertikaian akan sangat membahayakan. Jika Kaypang tidak memiliki kemampuan, maka dia harus mundur untuk memperkuat dirinya”

”Locianpwee, apakah memang benar separah itu keadaan sekarang”? Pangcu Kaypang ikut tergetar.

”Pengemis tua ini sudah bertemu dengan Hiongsay dari Tiang Pek San, harusnya kalian tahu seberapa hebat dia itu. Dia sedikit dibawah angkatan hiongcu kalian, seangkatanku, dan kehebatannya tidak dibawahku. Dan, masih ada beberapa tokoh lain dari Thian Tok, Tibet dan tempat lain yang meluruk masuk Tionggoan. Jika Kaypang tidak cukup kuat, sungguh malu aku menghadap sesepuhku di nirwana. Sungguh repot, mengapa suheng begitu cepat perginya?”

Kali ini bukan hanya Pangcu Kaypang dan tokoh-tokoh Kaypang serta Tek Hoat yang tergetar. Ceng Liong juga tergetar oleh ucapan Ban Hok Lokay. Benar ternyata, bahwa begitu banyak tokoh-tokoh aneh yang terpancing keluar dari pertapaan dan pengasingannya.

Rupanya, kehadiran Kolomoto Ti Lou dan sejumlah tokoh luar biasa dari luar Tionggoan telah memancing keinginan para tokoh sepuh yang sudah menyepi untuk tampil kembali. Sungguh repot. Bagaimana jika yang tampil adalah pentolah iblis pada masa lalu seperti Hiong Say dari Tiang Pek San yang terkenal buas itu? Masih sebuas dulukah tokoh itu? Atau sudah berubahkah setelah sekian lama menyepi dan mengasingkan diri dari keramaian?

”Locianpwee, bagaimana sebaiknya Kaypang menurutmu”? Terdengar Pangcu Kaypang bertanya setelah tergetar perasaannya sekian lama. Betapa nama baik Kaypang dipertaruhkan jika harus menarik diri dari persekutuan para pendekar. Apalagi, sejauh ini, adalah Kaypang yang maju sebagai pelopor.

Adakah muka Kaypang lagi untuk tampil di dunia persilatan jika pada detik ini menarik diri dari persekutuan itu? Bagaimana lagi dengan solidaritas dengan Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay? Tetapi, melawan kakek ini, sudah jelas dia tidak nempil.
”Majulah, aku ingin mengujimu apakah pantas membawa Kaypang memasuki pertaruhan dan pertandingan di dunia persilatan dewasa ini”

”Mana berani, mana berani” Pangcu Kaypang tersentak.

”Engkau harus mau, karena lohu perlu tahu”

”Locianpwe, adalah Kaypang yang memprakarsai dan memelopori persekutuan para pendekar. Bahkan Kaypang mengerahkan kekuatannya untuk melakukan banyak penyelidikan. Karenanya akan memalukan Kaypang untuk menarik diri dari persekutuan ini pada saat sekarang. Mau ditaruh dimana muka pang kita dimata kawan-kawan dunia persilatan Tionggoan”? Keluh Kim Ciam Sin Kay.

”Seranglah, biar lohu tahu apakah Kay Pang cukup layak engkau bawa dalam persekutuan para pendekar itu”

Betapapun, Kim Ciam Sin Kay terbakar juga. Dia tidak punya pilihan saat ini. Lebih baik mati ketimbang membubarkan persekutuan yang sudah menetapkan akan memasuki Kwi Cu esok harinya. Seperti juga dirinya, Pengemis Tawa Gila, kedua Hu Hoat dan Kaypang Cap It Hohan merasa tegang. Tetapi, mereka sulit bersikap, karena ternyata kakek tua itu adalah salah satu sesepuh Kay Pang yang malah seangkatan Kiong Siang Han.

Sementara itu, Kim Ciam Sin Kay, Sang Pangcu, nampak pada akhirnya memutuskan meladeni kakek tua itu. Ketimbang menderita malu dari kaum pendekar Tionggoan, lebih baik meladeni kakek tua ini. Jikapun sangat terpaksa, maka kekuatan Kaypang harus dikerahkan menghadapi kakek in. Sekali lagi, karena taruhannya adalah nama baik dan nama besar Kaypang:

”Baiklah, maafkan kelancanganku. Betapapun karena locianpwee terlampau memaksa”

”Lakukanlah, karena ini untuk kepentingan Kaypang semata”

”Pertimbangan demi atau bukan demi Kaypang seharusnya aku sebagai Pangcu yang menentukan locianpwee. Jadi maaf, jika tecu menyerang bukan untuk membuktikan layak atau tidaknya Kaypang mau”

”Terserah maumu, kita lihat nanti sajalah”

Dengan mengeraskan hati, Pangcu Kaypang ini kemudian menyerang Ban Hok Lokay. Karena paham bahwa kakek tua itu sangat lihay, begitu menyerang Kim Ciam Sin Kay telah menggunakan ilmu silat Hang Liong Sip Pat Ciang. Tetapi, kakek tua itu menunggu sampai pukulan Kim Ciam Sin Kay datang mendekat baru kemudian bereaksi. Dengan tidak kelihatan bagaimana cara bergeraknya, tahu-tahu pukulan Kim Ciam Sin Kay sudah luput:

”Hang Liong Sip Pat Ciang, sudah cukup lumayan. Hanya, masih jauh jika dibandingkan suheng. Engkau boleh juga”

Setelah pukulan pertama lewat, kembali Kim Ciam Sin Kay menyerang, kali ini kembali menggunakan ilmu yang sama dan menyerang bertubi-tubi. Tetapi, Kakek Tua yang nampaknya mengenal ilmu itu, dengan mudah berkelit, dan sesekali menyampok lengan Kim Ciam Sin Kay yang akibatnya tangannya seperti terhantam balok besi.

Sang Pangcu sadar, kakek tua itu terlampau lihay baginya. Untuk bertahan, dia mungkin sanggup menahan hingga 50 jurus jika kakek itu menyerang, tetapi untuk menyerang kakek itu, dia cenderung akan merugikan dirinya sendiri. Karena itu, kini dia mengganti siasat, tidak lagi menyerang, tetapi menjaga diri dengan bahkan ikut memanfaatkan tongkat hijau dalam permainan Tah Kauw Pang Hoat.

Lumayan, kakek itu meski mendesaknya selama 10 jurus, tetapi tidak sanggup mengapa-apakan dirinya. Betapapun, kedua ilmu pusaka Kay Pang itu memang adalah ilmu mujijat. Tetapi, Kakek Tua yang tiba-tiba sadar dengan siasat Kim Ciam Sin Kay dan memang tentunya sangat mengenal ilmu pusaka Kaypang itu, tiba-tiba tertawa:

”Pangcu, jika engkau sanggup bertahan sampai 10 jurus kedepan, maka engkau boleh membawa Kaypang maju berhadapan dengan Thian Liong Pang”

Dan sehabis ucapan Ban Hok Lokay itu, tiba-tiba kakek tua yang hanya kelihatan berkelabat-kelabat mengitari Kim Ciam Sin Kay sudah merubah siasatnya. Kini lengannya ikut bekerja, dan bahkan langkah kakinya menjadi teratur dalam sebuah gerak silat istimewa.

Bukan karena hebatnya ilmu itu sebenarnya, tetapi karena kakek tua itu sangat mengenal Hang Liong Sip Pat Ciang dan Tah Kauw Pang Hoat yang membuatnya mampu mendesak hebat Kim Ciam Sin Kay. Selain itu, perbedaan penguasaan ilmu silat mereka memang berbeda jauh. Jika Kiong Siang Han yang maju, tidak akan mudah bagi kakek itu untuk mempermainkan lawan dengan kedua ilmu ampuh Kay pang itu.

Menyadari hal itu, Kim Ciam Sin Kay nekad menggunakan ilmu jarum emasnya dengan tangan kanan tetap menggenggam Tah Kauw Pang. Usahanya sanggup membuatnya bertahan sampai 6-7 jurus dan membuat para penonton menjadi sangat tegang melihat betapa ketuanya hanya sanggup bertahan.

Tetapi, mata tajam Ceng Liong dan Tek Hoat sudah melihat, bahwa sang Pangcu tidak akan bertahan lebih dari 3 jurus lagi. Ceng Liong melirik sekejap kearah Tek Hoat yang tidak berani bertindak. Maklum, karena Ban Hok Lokay ternyata adalah adik perguruan gurunya, mana berani dia kurang ajar? Tetapi, jika Kim Ciam Sin Kay kalah, maka persekutuan pendekar bakal terancam.

Jika Kaypang menarik diri, maka sulit memikirkan efeknya secara moril dan bahkan secara kuantitas dari pertempuran yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Memikirkan sampai disana, Ceng Liong akhirnya mengeluarkan Kim Pay Kay Pang yang dihadiahkan Kim Ciam Sin Kay kepadanya. ”Aku harus bertindak” batinnya. Dan memang tidak menunggu lama.

Tepat pada jurus ke-9 dari 10 jurus yang dijanjikan Ban Hok Lokay, sebuah pukulan yang nampaknya lamban telah menutup semua jalan keluar Kim Ciam Sin Kay. Sang Pangcu menjadi pasrah, tetapi sesaat sebelum kekalahan tersebut menjadi kenyataan, tiba-tiba Ban Hok Lokal menarik pukulannya karena ada suatu kekuatan yang tak nampak tapi mampu dirasakannya yang tiba-tiba mendesak dari samping. Selain itu, diapun mendengar suara yang cukup kuat berwibawa berdenging ditelinganya:

”Locianpwee, tahan dulu”

Dan ketika kemudian pukulannya itu bertemu dengan tenaga lawan yang datang menyelamatkan Kim Ciam Sin Kay, terdengar suara benturan ”duk”. Dan akibatnya, baik lengannya maupun lengan lawan tergetar. Dan kakek tua itu terdorong sampai satu langkah ke belakang, sementara bayangan hijau yang menyerang menangkis pukulan kakek itu terpental kebelakang dan mampu berdiri tegak setelah berpoksai 2-3 kali di udara.

”Siapa pula engkau? Jelas engkau bukan anak murid Kaypang” tegur Kakek Tua itu dengan sedikit terkejut. ”Siapa pula yang sanggup mementalkan serangannya tadi?. Dan semakin terkejut ketika melihat yang menahan serangannya ternyata hanya seorang anak muda berjubah hijau yang kini nampak menghadapinya dengan penuh rasa hormat
 
2



”Maafkan kelancangan boanpwe, tetapi rasanya tidak bijak untuk membuat Kaypang kehilangan muka dihadapan kaum pendekar Tionggoan jika harus menarik diri dari persekutuan ini”

”Hm anak muda, siapakah engkau ..... Sinkang Giok Ceng. Engkau dari Lembah Pualam Hijau”?

”Benar locianpwee, boanpwe pernah menerima budi kebaikan dari locianpwe Kiong Siang Han dan Pangcu Kaypang, Kim Ciam Sin Kay. Tidak akan boanpwe membiarkan Kay Pang dipermalukan. Mohon maaf .... mohon maaf”

Nampak Kakek tua itu tertegun sejenak. Tetapi berselang beberapa ketika terdengar dia berkata:

”Bersemangat, sungguh bersemangat. Sayang engkau terlampau lancang anak muda. Tahukah engkau siapa lohu”?

”Maafkan, boanpwe masih bodoh, kurang begitu mengenal locianpwe yang mulia” jawab Ceng Liong.

”Melihat umurmu, mungkin masih belum selikuran. Dengan Duta Agung Kiang Sin Liong, kami nyaris sepantaran. Sekarang cucu buyutnya begitu berani menghadapiku. Hm, sungguh luar biasa”

”Maafkan jika boanpwe mengganggu locianpwe. Tetapi budi Kaypang kepada boanpwe membuat boanpwe tidak ingin melihat Kaypang dipermalukan dengan mengikuti kehendak locianpwee”

”Apakah alasanmu mengatakan tindakanku untuk mempermalukan Kaypang”?

”Sudah jelas locianpwe. Kaypang adalah salah satu perguruan terbesar yang memprakarsai persekutuan para pendekar menentang kelaliman Thian Liong Pang. Besok adalah saat berangkat ke Kwi Cu, jika kemudian Kaypang menarik diri, maka sulit membayangkan nama baik Kaypang kedepan”

”Justru itu anak muda. Lohu telah menyaksikan di pihak mereka ada banyak tokoh-tokoh besar yang seangkatan dan sepantaran dengan lohu. Lohu tidak rela membiarkan Kaypang hancur ditangan mereka”

”Jika demikian, seharusnya locianpwe membantu Kaypang”

”Masaku menjadi pangcu sudah lama lewat anak muda”

”Jika demikian, perkenankan kami yang memikul resiko itu”

”Hm, anak muda, siapamukah Kiang Sin Liong itu”?

”Gurunya, kakek buyutnya. Dia adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang sedang menjabat saat ini locianpwe” terdengar Pangcu Kaypang menyela.

”Duta Agung? Semuda ini?” nyaris tak percaya Kakek Tua itu.

”Kalau begitu, layak untuk menguji kehebatanmu anak muda” dan sambil berkata demikian, kakek tua itu telah mengulurkan tangannya. Jangan dikata, tangan itu sekedar diulurkan, karena dari tangan itu kemudian meluncur dengan cepat selarik awan putih pekat. Ceng Liong, jangan dikata, sejak tadi sudah sangat awas dan berwaspada.

Dengan cepat tangannya dikembangkan dan diulurkan dengan pengerahan tenaga secukupnya. Dan akibatnya, luar biasa, tidak terdengar benturan sedikitpun, tetapi keduanya nampak menerima resiko benturan tersebut. Kiang Ceng Liong sampai mundur 2 langkah, sementara kakek itu bergoyang sejenak dan melangkah mundur selangkah untuk memunahkan daya tolak dari tangkisan Ceng Liong.

”Hebat, hebat. Tidak memalukan. Biarkan lohu melihat kesiapanmu anak muda”
Bersamaan dengan ucapan itu, kembali kakek itu dengan tidak terlihat bergerak, sudah maju menerjang kearah Ceng Liong. Dan Ceng Liong yang telah menerima pelajaran dari benturan tenaga tadi sadar, lawannya luar biasa lihaynya.

Karena itu, dengan cepat dia bersilat dengan menggunakan Giok Ceng Cap Sha Sin Ciang menyongsong dan memunahkan semua sentilan dan pukulan lawan yang terlihat aneh. Kakek ini tidak menyerang dengan Hang Liong Sip Pat Ciang, tetapi dengan kekuatan pukulan menggelegar sejenis Pek Lek Sin Jiu milik Kiong Siang Han. Tetapi dengan mengkombinasikan Giok Ceng Cap Sha Sin Ciang dengan Soan Hong Sin Ciang, Ceng Liong sanggup menahan gempuran kakek tua itu. Apalagi setelah Ceng Liong meningkatkan penyaluran iweekangnya untuk mengimbangi kekuatan menggidikkan dari penyerangan yang dilakukan kakek tua itu.

Setelah bertarung sekian lama, nampaknya kakek tua itu merasa cukup puas. Tetapi tetap merasa penasaran. Karena itu, dia berkonsentrasi dan tiba-tiba dia berseru keras:

”Anak muda, engkau hebat, sambutlah ini” sambil berkata demikian, Kakek Tua itu nampak membuka kedua belah telapak tangannya, dan dari sana meluncur keluar serangkum hawa membadai. Di mata seluruh penonton, kecuali Tek Hoat, ada gelora badai yang demikian dahsyat yang menyerang Kiang Ceng Liong dan seakan hendak menyekap anak muda berjubah hijau itu dibalik pekatnya badai itu.

Tetapi, Ceng Liong maupun Tek Hoat sudah cukup tersiapkan dengan penyerangan menggunakan kekuatan sihir dan kekuatan batin seperti itu. Ceng Liong sadar, dia harus menyambut serangan itu dengan pengerahan tenaga penuh. Karena itu dia tidak merasa ragu menggunakan jurus simpanan gurunya Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari).

Dan kali ini, kembali semua terkejut, ketika hawa yang keluar dari tubuh Ceng Liong seakan sanggup menerima dan menyerap semua rentetan badai itu tanpa menyebabkan sedikitpun luka ditubuhnya. Tetapi akibatnya, kedua orang itu, baik si kakek tua maupun Ceng Liong, kemudian goyah dan masing-masing doyong mundur sampai 3-4 langkah ke belakang.

”Hebat, Kiang Sin Liong sudah mampu menyiapkan Lembah Pualam Hijau. Sayang Kaypang masih belum tersiapkan“ keluh Kakek Tua itu.

”Engkau keliru locianpwe. Kaypang sudah siap. Boanpwe mengusulkan locianpwe untuk menguji murid locianpwe Kiong Siang Han. Boanpwe tanggung locianpwe akan menemukan lawan yang tepat“ berkata Ceng Liong sambil melirik Liang Tek Hoat.

”Engkau hebat anak muda, tetapi sayang agak lancang. Bukan urusanmu untuk merecoki masalah Kaypang“

”Engkau salah locianpwe, aku berhutang banyak kepada Kaypang dan kepada guru besar Kaypang, Kiong Siang Han locianpwe. Dan lagi, aku memiliki Kim Pay untuk ikut merasa bertanggungjawab atas persoalan Kaypang“ ujar Ceng Liong sambil menunjukkan Kim Pay yang dihadiahkan Pangcu Kaypang atas jasa-jasanya bagi Kay Pang.

Kakek Tua itu nampak terdiam, tetapi emosinya tidak nampak sama sekali. Suaranya lama tidak terdengar. Sementara para tokoh Kay Pang nampak banyak yang kagum dan berterima kasih kepada Ceng Liong atas pembelaannya bagi Kay Pang. Kagum karena kemampuan Ceng Liong yang ternyata jauh melampaui dugaan mereka, bahkan mungkin sudah mendekati atau menyamai kehebatan guru besar mereka.

Bertambah kagum dan penasaran ketika kemudian Ceng Liong menyebut, bahwa jago mereka, Liang Tek Hoat, juga akan mampu menandingi Ban Hok Lokay. Diam-diam mereka tegang menanti, apakah benar jago muda didikan guru besar mereka benar akan sanggup menandingi Ban Hok Lokay sebagaimana Ceng Liong barusan melakukannya. Ketegangan mereka memuncak ketika kemudian terdengar kakek tua itu berkata:

”Meskipun engkau sanggup menahan seranganku, tetapi aku tetap bertahan pada keputusanku. Jika ada jago Kaypang yang sanggup menahanku, maka Kay Pang kurelakan memasuki arena berbahaya itu“

Mendengar penegasan kakek tua itu, Ceng Liong melirik kearah Tek Hoat yang berdiri bimbang. Antara menghormati tetuah perguruannya, apalagi yang baru diketahui dan ditemuinya sekarang, dengan menjaga kehormatan Kaypang. Ceng Liong maklum akan bimbangnya Tek Hoat, karena itu dia segera berbisik dengan ilmu menyampaikan suara kepada Kim Ciam Sin Kay:

”Pangcu, turunkan perintah bagi Tek Hoat untuk menandingi susioknya demi nama baik Kaypang. Aku yakin dia akan mampu mengimbangi Ban Hok Lokay susioknya itu“

Mendengar suara lirih di telinganya itu, Kim Ciam Sin Kay melirik kearah Ceng Liong yang segera menganggukkan kepala menegaskan dan meyakinkan sang Pangcu bahwa Tek Hoat akan sanggup melakukannya. Sang Pangcu sendiri sudah merasakan kehebatan kakek tua itu, otomatis dia merasa sangsi apakah Tek Hoat akan mampu menandingi kakek hebat itu ataukah tidak? Tetapi, melihat Ceng Liong sanggup melakukannya, maka tumbuhlah kepercayaannya bahwa Tek Hoat juga akan sanggup melakukan hal serupa. Ketika memperoleh pikiran dan keyakinan itu, maka dengan cepat turunlah perintah Kim Ciam Sin Kay kepada Tek Hoat:

”Liang Tek Hoat“

”Pangcu, ada perintah apakah“?

”Untuk menjaga nama baik Kaypang dan menghormati guru besar kita, Kiong Siang Han, maka sebagai Pangcu Kaypang, lohu menugaskanmu untuk menandingi Ban Hok Lokay. Ingat, dia adalah susiokmu, tetapi nama baik Kaypang dipertaruhkan diatas kesanggupanmu. Lakukanlah“

”Pangcu ..... tecu .....“

”Lakukan demi nama baik Kaypang“ tegas Kim Ciam Sin Kay

”Ba... ba,.. baik Pangcu“ Akhirnya Tek Hoat mengeraskan hatinya dan menerima tugas dari Pangcu Kaypang untuk menandingi Ban Hok Lokay. Diapun menjura kepada Pangcu Kaypang dan kemudian dengan langkah gagah dia berpaling kearah Ban Hok Lokay si Pengemis Tua itu dan menjura memberi hormat:

”Tecu memberi hormat kepada susiok, mohon maaf untuk meminta pengajaran susiok yang mulia“

”Hahahahaha, bukan melawan Kiong Siang Han, kini malah akan melawan muridnya. Tidak apa, tidak apa. Mudah-mudahan engkau sanggup“

”Mohon kesediaan susiok untuk mengalah“

”Baiklah, engkau mulailah anak muda“

”Maafkan tecu“

Dan dengan kalimat itu, Tek Hoat kemudian membuka serangan. Sadar bahwa lawannya adalah tetua Kaypang dan bahkan masih terhitung sute dari gurunya yang sangat dihormatinya, Tek Hoat sempat berayal dan mendua hati dalam menyerang. Tetapi, ketika serangannya tersebut dengan mudahnya dipatahkan Ban Hok Lokay, bahkan dengan cepat Kakek tua itu menyerang dan memojokkan Tek Hoat dalam posisi yang jelek.

Bertubi-tubi kakek itu menyerang Tek Hoat dan tidak memberinya kesempatan keluar dari kesulitan. Tetapi, begitupun Tek Hoat sudah bukan anak kemaren sore dalam hal ilmu silat. Meski jauh lebih muda, tetapi pengalaman bertempur, penguasaan ilmu dan tenaga saktinya sudah bukan “muda“ lagi. Karena itu, meski jatuh dibawah desakan kakek tua itu, Tek Hoat masih sanggup menjaga dirinya.

Tetapi, yang membuatnya bertanya-tanya dalam hati adalah kenyataan bahwa dia justru tidak mengenal gaya serangan dan jurus-jurus yang dikembangkan Ban Hok Lokay. Jurus dan gaya serangan kakek itu memang sama keras dengan aliran gurunya, tetapi kembangan dan jurus-jurusnya berbeda. Bahkan jurus Ban Hok Lokay terasa lebih tajam dan lebih kejam, tersusup unsur-unsur licik dan sedikit sesat dalam tipuan dan kembangan jurusnya.

”Benarkah dia susiokku? Aneh“ Pikir Tek Hoat. Tetapi, tidak punya cukup waktu dia menganalisa keanehan tersebut karena dia masih tetap dalam posisi yang didesak, dan lebih banyak bertahan ketimbang menyerang.

”Ayo anak muda, masakkan segini saja kemampuanmu“? terdengar suara Ban Hok Lokay memancing Tek Hoat.

Tetapi Tek Hoat tidak terpancing emosinya. Dia tetap menjaga diri dengan ketat dan setelah terjadi beberapa kali benturan, dia sadar bahwa meski kekuatan tanaga saktinya tidak sekuat kakek itu, tetapi dia tidak akan terluka dan jatuh jauh dibawahnya. Dia masih memiliki tenaga muda dan nafas yang lebih panjang dan alot ketimbang kakek tua itu.

Dengan jurus gubahan dari Hang Liong Sip Pat Ciang, yakni Sin Liong Cap Pik Ciang, dia mulai bergerak-gerak lincah dengan mulai mengurangi tekanan kakek itu. Keberaniannya membentur tenaga kakek tua itu dengan tenaga terukur dan kecepatannya bergerak membuat perlahan lahan perkelahian itu menjurus kearah seimbang. Mau tidak mau para penonton, termasuk Pangcu Kaypang menjadi gembira dan mulai berdesis kagum sambil memberi semangat bagi Tek Hoat.

Posisi itu, juga membuat Tek Hoat menjadi lebih bersemangat dan memainkan semua jurus Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Jurus Naga Sakti). Akibatnya, pukulan-pukulannya bagaikan menderu-deru menerpa alam sekitar dan mulai menghadirkan ancaman bagi kakek tua itu. Tetapi, begitupun, keunggulan Ban Hok Lokay, yakni pemahaman atas ilmu-ilmu Tek Hoat sangat membantunya. Meskipun jurus hebat dimainkan Tek Hoat, tetapi dia mampu mengantisipasi dan mementahkan serangan serangan tersebut dengan mudahnya.

Alhasil, pertarungan itupun menjadi semakin seru. Memang, Tek Hoat masih sedikit dibawah angin, tetapi untuk mengalami kekalahan nampaknya bukan perkara mudah. Apalagi, dengan perimbangan yang sangat tipis, membuat meraih kemenangan dari pertarungan itu menjadi susah. Apalagi, ketika kemudian Tek Hoat memainkan Hang Liong Sip Pat Ciang yang segera disambut Ban Hok Lokay dengan tawa:

”Hahahahaha, Hang Liong Sip Pat Ciang dengan tenaga keras yang berbeda ternyata cukup lihay juga. Hm, tidak memalukan’ Sambil berseru demikian, dengan cepat kakek itu kemudian nampak bersilat dengan gaya berbeda.

Nampaknya kakek tua itu mengenal Hang Liong Sip Pat Ciang dan memiliki jurus khusus untuk menghadapinya. Benar juga, nampak kakek itu bergerak-gerak mantap, tetapi kokoh. Tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga sakti yang luar biasa, mirip tameng yang digempur dari belasan arah oleh pukulan-pukulan ampuh Tek Hoat.

Sekilas nampak Tek Hoat yang menguasai arena, tetapi yang sebenarnya, semua serangannya membal dan bisa diduga oleh kakek tua itu. Dan, jelas sekali jika jurus itu memang disiapkan Ban Hok Lokay untuk menandingi Hang Liong Sip Pat Ciang. Tek Hoat yang bergerak gagah dan dalam penguasaan tertinggi untuk ilmu pusaka Kay Pang ini juga tidak mampu menerobos pertahanan lawan. Bahkan sampai pada jurus ke-10 dari rangkaian ilmu pusaka itu, dia masih tidak sanggup menerobos tameng yang diciptakan Ban Hok Lokay.

”Hm, tidak mengecewakan. Suhumu mencapai tingkatan sepertimu ini diusia yang lanjut, setidaknya diusianya yang ke-60-an. Tetapi kamu sudah mencapai tahapan ini sungguh mengagumkan“ bahkan masih sempat Kakek itu memuji kemampuan Tek Hoat tanpa meninggalkan celah buat menerobosnya dengan ilmu pusaka Kay Pang itu.

Semakin sengit dan semakin lama, pertempuran itu semakin meningkat tajam. Tiba-tiba Kakek tua itu berseru:

”Awas anak muda, aku akan menyerang“

Sadar bahwa lawan mengenal ilmu tersebut, maka Tek Hoat yang cukup cerdik mencoba-coba beberapa penemuannya sendiri atas pendalaman ilmu Hang Liong Sip Pat Ciang. Dan ketika kakek itu membuyarkan tamengnya dan balas menyerang pada jurus ke-14, tiba-tiba Tek Hoat melihat kemungkinan yang lain dari ilmu itu. Persis seperti teori keseimbangan antara yin dan yang, antara kuat dan lembut, yang akan sanggup menerima kekuatan manapun.

Mengalahkan keras dengan lembut atau bahkan menenggelamkan lembut atau keras dalam keseimbangan keras dan lembut. Tiba-tiba, tubuhnya yang tegak dan kokoh bergerak dalam unsur cepat dan lemas, menyongsong serangan Ban Hok Lokay yang mengejarnya. Bukannya bergeser kekiri sesuai dengan jurus ke-15, melainkan dengan unsur lemas dia justru menyongsong serangan Ban Hok Lokay.

Akibatnya, justru Ban Hok Lokay yang terkejut, karena kembangan ini bersifat baru, tetapi justru merusak konsentrasinya atas pemahaman ilmu ini. Seharusnya Tek Hoat menyingkir kekiri, tetapi malah menyambut bahaya dengan gerak cepat dan lemas sehingga sasaran itu bergerak dan berubah arah dan otomatis membuyarkan serangan hebat yang dipersiapkan Ban Hok Lokay.

Kehilangan lawan dan sasaran dan bahkan sasaran itu mendekati dirinya, membuat persiapan jusur mematikan untuk menundukkan Hang Liong Sip Pat Ciang menjadi buyar. Bahkan, akibat lalai sedikit, kini sebaliknya dia dicecar oleh Tek Hoat yang kemudian merubah ilmunya dengan kombinasi Hang Liong Sip Pat Ciang dan Tah Kauw Pang.

Dan inilah arena paling kini dimana anak murid Kay Pang dengan mata telanjang menyaksikan ilmu-ilmu ampuh dan pusaka Kaypang dimainkan secara sangat indah, kokoh dan luar biasa kuat menghadapi tetua mereka sendiri. Secara tidak sadar, penilaian mereka atas Tek Hoat melonjak sangat jauh dan membuat mereka semakin mengidolakan anak muda putra pangeran yang tidak keki berpakaian pengemis. Terlebih, anak muda itupun sangat pandai bergaul dan membawa diri di tengah kelompok pengemis.

Kini, mereka sempat menyaksikan betapa Ban Hok Lokay rikuh dan sibuk meladeni gabungan Tah Kauw Pang dan Hang Liong Sip Pat Ciang yang dimainkan oleh tokoh paling sempurna menguasainya setelah Kiong Siang Han wafat.

Dan memang sangat luar biasa, gerakan-gerakan tangan Tek Hoat bergerak-gerak dalam pukulan dan totokan dengan tenaga yang bisa dikerahkan dan merubah tangannya bagaikan tongkat hijau pusaka Kay Pang. Apalagi, setelah Tek Hoat sempat dliatih Kiang Sin Liong dalam Toa Hong Kiam Sut, merubah tenaga menjadi hawa pedang.

Dalam kecerdikannya, Tek Hoat kemudian menggubah kekuatannya dan merubah tangannya untuk bisa mengeluarkan hawa pedang ataupun menjadi tongkat. Dan kondisi inilah yang membuat kakek Ban Hok Lokay jadi kerepotan menghadapi Tek Hoat dalam inovasi jurus-jurus barunya.

”Hebat-hebat anak muda. Tidak sia-sia suheng mendidikmu“

Kali ini, pujian kakek tua itu terdengar tulus. Karena betapapun, dia memang menjadi kagum melihat beberapa perubahan yang dahsyat yang mampu dikeluarkan dan diterpakan atas dirinya oleh murid suhengnya ini. Tetapi, betapapun dia mengenal landasan dan saripati kedua ilmu itu, karena diapun memang warga Kaypang. Karena itu, meski terdesak sesaat, tetapi kakek yang sangat matang dalam ilmunya mampu perlahan menemukan keseimbangan dan kemudian kembali mampu mengimbangi Tek Hoat.

”Anak muda, aku tahu suheng sempat melatih ilmu lain yang katanya luar biasa hebatnya. Apakah engkaupun rada pelit menunjukkannya kepada pengemis tua ini? Terdengar Ban Hok Lokay menantang Tek Hoat mengeluarkan ilmu-ilmu andalan lainnya.

Bagi Tek Hoat, dia masih menahan untuk mengeluarkan Pek Lek Sin Jiu dan terutama Sin kun Hoat Lek gubahan termutakhir dan sangat mujijat dari gurunya. Tetapi menghadapi kakek tua yang hebat ini, dia seperti sedang belajar dan diajar, karena kakek tua ini memahami ilmunya dan dasar-dasar ilmunya. Karena itu, dia menjadi tidak ragu mengeluarkan Pek Lek Sin Jiu.

”Hm, ini pasti Ilmu Pukulan Guntur itu. Hebat, suheng memang beruntung mampu melatih ilmu mujijat ini“

Dikeluarkannya ilmu pukulan guntur membuat suasana menjadi riuh rendah. Dan secara otomatis membuat semakin banyak orang terbangunkan oleh suara pekak ini. Bahkan beberapa waktu sebelumnya, disamping Ceng Liong sudah berdiri para pendekar muda lainnya: Mei Lan, Giok Lian yang memandang ke arena dengan wajah cemas, Kwi Beng dan Kwi Song.

Dan bahkan kemudian berturut turut baik Barisan 6 Pedang maupun Lo Han Tin Siauw Lim Sie juga telah berada di luar arena. Dan berarti Siauw Lim Sie Ciangbunjin juga sudah berada disekitar tempat itu. Dan benar saja, tidak berapa lama, bahkan juga dengan Ciangbunjin Bu Tong Pay sudah berdiri berendeng dengan Pangcu Kaypang dan Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

Pertempuran yang berlangsung seru itu pada akhirnya memancing banyak tokoh, atau bahkan hampir semua tokoh pendekar untuk berkumpul di tempat itu.

”Amitabha, Sungguhkah tokoh ini masih hidup?“ terdengar Ciangbunjin Siauw Lim Sie berbisik sambil memandang penuh ragu kearah Pangcu Kaypang dan Ciangbunjin Bu Tong Pay. Dan yang dipandangi juga berdiri dalam keheranan yang sangat.

”Omitohud, Tokoh ini sudah berusia 100 tahun lebih. Bila memang benar dia“ sahut Ciangbunjin Bu Tong Pay yang dianggukkan kedua kawan sejawatnya.

Sementara itu, semua pukulan memekakkan telinga dan membawa hawa panas luar biasa itu dihadapi dengan serius oleh kakek Ban Hok Lokay. Dan kali ini, nampaknya dia memang tidak cukup mengenal keampuhan jurus-jurus maut dari Ilmu Pukulan Guntur. Tetapi, hawa panas dan suara memakakkan telinga mampu dilawannya tanpa mendatangkan kesulitan baginya.

Dan nampaknya, meski pukulan-pukulan maut menggelegar itu banyak terlontar, tetapi masih sanggup dimentahkannya. Memang hebat kakek tua ini. Tetapi begitupun, pandangan Ban Hok Lokay atas Tek Hoat juga sudah meningkat tajam. ”Tidak sia-sia suheng menyiapkannya“ batinnya.

Tetapi, begitupun, naluri sebagai pesilat membuat kakek ini harus menunjukkan sesuatu agar tidak malu dia mengaku sebagai salah satu tetua dan sesepuh Kaypang. Karena itu, pada ujung-ujung penggunaan ilmu pamungkas Pek Lek Sin Jiu yang dikiranya pastilah sangat hebat, diapun mulai mengantisipasi dengan ilmu andalannya. Dan keuntungannya adalah, Tek Hoat pastilah sama sekali tidak mengenal ilmu dan jurusnya tersebut.

Kakek tua ini berharap unsur tersebut akan menguntungkannya dan membuatnya menyelesaikan pertandingan dalam posisi yang memang diharapkannya: Memberi pelajaran kepada penerus Kaypang. Karena memang, kakek ini adalah putera bekas Pangcu Kaypang yang mengangkat Kiong Siang Han sebagai murid, sekaligus guru Kiong Siang Han yang pertama dan mewariskan jabatan Pangcu Kaypang kemudian.

Sebelum mengeluarkan jurus pamungkas Pek Lek Sin Jiu, mata awas dan mata batin Tek Hoat menangkap sesuatu yang aneh dari gerak-gerik Ban Hok Lokay. Dia seperti melihat percikan-percikan atau aliran hawa berkilat yang menggetarkan hatinya.

Untunglah, Tek Hoat sudah disiapkan sebelumnya oleh Liong-i-Sinni, sehingga sanggup menangkap getaran mujijat yang terangkum dalam jurus lawannya. Apalagi kemudian terdengar suara aneh yang sangat berpengaruh:

”Anak muda, engkau tidak akan lulus ujian jika tidak sanggup menahan jurus ini“

”Hm, tidak ada cara lain .... mohon doa restu suhu yang mulia“ sambil kemudian Tek Hoat menyiapkan dirinya dalam pengerahan kekuatan batin dan kekuatan tenaga sakti dalam jurus Sin Kun Hoat Lek. Sebuah jurus mujijat terakhir yang diciptakan mendiang Kiong Siang Han bagi murid terakhir yang dikasihinya itu.

Jurus ini pada dasarnya memang mewakili unsur ”keras“ tetapi dalam kemasan pengerahan tenaga batin (berunsur magic – mistik) dan pengerahan tenaga sakti (iweekang) secara bersamaan. Karena itu, pengaruhnya bahkan mampu mengatasi pengaruh sihir dan pengaruh ilmu hitam dan menenggelamkannya.

Dan dengan jurus itulah Tek Hoat menyandarkan perjuangannya mempertaruhkan nama baik Kay Pang dan keselamatan dirinya, Dia sadar, bahwa kakek tua ini memang memiliki tingkatan yang sejajar dengan gurunya, tetapi dia yang telah disiapkan gurunya sampai pada ajalnya, masakan harus merelakan nama guru dan Kaypang rusak oleh tekanan Ban Hok Lokay, meski kakek itu adalah paman gurunya? Tentu saja tidak.

Dan terjadilah satu keanehan, tentu dimata mereka yang berilmu cetek. Bahkan juga masih mempengaruhi Ciangbunjin Bu Tong Pay, Siauw Lim Sie dan Pangcu Kaypang. Hanya para pendekar muda sajalah yang menangkap perkelahian itu secara wajar.

Karena bagi yang masih cetek, mereka melihat seakan akan kakek tua itu berubah menjadi burung rajawali, sementara Tek Hoat bagaikan bongkahan cahaya yang memancarkan cahaya mengkilat. Dimata para ciangbunjin itu, berganti-ganti sosok Ban Hok Lo Kay dan Tek Hoat.

Kadang menjadi burung rajawali dan bongkahan cahaya, tapi lebih sering bentuk asli keduanya. Dan burung rajawali itu kemudian beterbangan mengelilingi Tek Hoat atau bungkahan cahaya yang selalu melontarkan jilatan cahaya itu kearah mana sang Rajawali terbang menyerang. Padahal, pada kenyataannya kakek tua, Ban Hok Lo Kay memang menyerang dengan unsur ilmu mujijatnya, Pukulan Rajawali Sakti – Kim Tiauw Kun yang didalami, dijiwai dan disempurnakannya dengan kekuatan batin dan tenaga saktinya.

Dipikirkannya dengan ilmu itu dia akan sanggup mengalahkan atau setidaknya mengimbangi Kiong Siang Han. Tetapi, kini menghadapi murid suhengnya saja, dia sadar bahwa dia tidaklah unggul mutlak jika tidak disebut imbang. Pukulan mujijatnya ini ternyata ada imbangannya dari pihak suhengnya. Keunggulannya hanya di kematangan dan pengalaman, sementara keuletan dan tenaga saktinya rasanya tidak terpaut jauh dengan anak muda ini.

Terang, jika diteruskan nafasnya akan tidak sanggup, tidak memadai buat mengalahkan Tek Hoat. Saatnya menjaga mukanya. Dan kembali kealasan pertama, bahwa jika ada yang mengimbanginya, maka Kaypang berhak maju melawan Thian Liong Pang. Tetapi, dia ingin mencoba sekali lagi.

Toch anak itu masih muda, masakan tenaga sakti dan tenaga batinya memadai merendengiku? Begitu kira-kira kata hati Ban Hok Lokay. Dan dimata para penonton yang berkepandaian rendah, burung Rajawali itu membesar dan membesar untuk kemudian menerkam bongkahan cahaya yang nampak meluncur memapak serangan Rajawali besar itu.

Nyatanya, kakek Ban Hok Lokay mengerahkan kedua tangannya dan menerjang dalam gabungan tenaga batin dan tenaga kerasnya dan berbenturan dengan lontaran tenaga sakti Tek Hoat. Kesudahannya, Rajawali besar itu terlontar kebelakang, sementara bongkahan cahaya mengkilat itu juga terlontar kebelakang.

Baik Tek Hoat maupun Ban Hok Lokay terdorong mundur kebelakang, hanya jika Kakek itu terdrong sampai 3-4 langkah, maka Tek Hoat terdorong sampai 4-5 langkah. Dan keduanya nampak berhadapan dan saling tatap secara serius, dengan rona bangga tak terelakkan dari mata Ban Hok Lokay.

Betapapun, suhengnya yang dipenasarinya karena memang tak pernah sempat mengalahkannya ternyata telah mempersiapkan orang guna membela Kaypang. Tidak mengecewakan dan bukankah bahkan harus disyukuri?:

”Anak muda, lohu mengikhlaskan Kaypang untuk ikut bertarung. Tetapi, harap engkau ingat, tokoh-tokoh seangkatanku juga ada beberapa dipihak mereka. Engkau dan kawanmu yang hebat itu (menunjuk Ceng Liong) perlu sangat berhati-hati kelak.“

“Terima kasih atas pengajaran susiok“ ujar Tek Hoat merendah sambil kemudian membersihkan keringat yang menetes.

”Koko, engkau tidak apa-apa?“ kedua dara muda meloncat mendekati Tek Hoat. Mei Lan dan Giok Lian.

Tetapi gaya meloncat kedua nona itu membuat Ban Hok Lokay kaget dan tertegun. Begitu ringan, begitu cepat dan hampir sulit dipercayainya. Setelah Ceng Liong dan Tek Hoat ternyata masih ada lagi tokoh muda lain yang tak kalah hebatnya? ”Luar biasa, sungguh luar biasa“ batinnya.

”Tidak apa-apa Lan Moi dan Lian Moi, beliau adalah susiokku, sute dari suhu yang mulia dan adalah salah sau sesepuh Kaypang. Adikku dan engkau Lian Moi, beri hormat kepada susiok“

”Menghadap locianpwe yang mulia“ kedua gadis serempak menghadap Ban Hok Lokay yang masih memandangi keduanya dengan kagum.

”Hm, anak-anak muda yang hebat. Sudahlah“ dan dari kedua tangannya mengalir serangkaian tenaga yang menahan kedua gadis muda untuk menekuk badan menghormat. Dan kembali kakek tua itu kagum, karena merasa bahkan kedua anak muda ini juga takkan ada dibawah Tek Hoat. Dan Mei Lan serta Giok Lian juga sadar, bahwa serangkum tenaga lunak yang menahan mereka luar biasa hebatnya. Terlalu hebat malahan
 
3



”Mohon petunjuk sesepuh yang mulia“ terdengar suara Kim Ciam Sin Kay yang datang menjumpai Ban Hok Lokay.

”Hm, sesungguhnya tidak ada niatku untuk kembali berkeliaran. Tetapi, tokoh-tokoh hebat di Thian Liong Pang membuatku khawatir jika Kaypang kurang kuat menghadapinya“

”Amitabha, siancai-siancai. Ternyata tetuah Kaypang Ban Hok Lokay berusia begitu panjang. Selamat-selamat“ terdengar Ciangbunjin Siauw Lim Sie memuji kebesaran Budha untuk Ban Hok Lokay.

”Ach, selama lebih 40 tahunan lohu bersembunyi dan bertapa. Tetapi toch, tetap terpancing juga dengan getaran-getaran batin akibat meluruknya banyak tokoh aneh dan tokoh hebat ke Tionggoan“

”Omitohud, Adalah berkah bagi Tionggoan bahwa locianpwe masih berkenan turun dari tempat menyepi“

”Sebetulnya lohu masih berharap suheng yang akan memimpin Kaypang. Tetapi rupanya dia sudah menyiapkan muridnya. Dan, ach, lohu tidak sempat bertemu suheng untuk yang terkahir kalinya. Sungguh sayang dia telah mendahului lohu dengan tubuh tua ini“

”Kaypang akan terbantu jika sesepuh ikut membantu perjuangan ini“ terdengar Pangcu Kaypang berkata.

”Pangcu, aku sudah memutuskan tidak mencampuri urusan ini. Lagipula, ada urusan 50 tahun lalu yang sekalian harus dituntaskan dan memaksaku kembali kleuyuran diluar, selain juga terpancing oleh getaran-getaran aneh dan hebat yang memasuki Tionggoan“

”Hm, untungnya engkau masih ingat urusan itu“ terdengar sebuah getaran suara yang luar biasa kuatnya mengalun diudara. Dan anehnya, suara itu mengaung-ngaung dan tidak dengan segera berhenti, sebaliknya bergema berulang-ulang diudara. Akibatnya sungguh luar biasa. Dengan segera banyak pesilat yang berkemampuan terbatas menutup telinga dan bahkan mulai meringis kesakitan akibat gelombang suara itu.

Melihat keadaan itu, tiba-tiba Ceng Liong bersedekap dan tak lama kemudian terdengar sebuah suara lain mengalun darinya:

”Tidak layak memamerkan kekuatan dan menyerang secara menggelap“

Dan suara itupun terdengar mengambang tetapi dengan cepat menyergap suara yang dilontarkan penyerang tadi. Dan perlahan-lahan, suara yang menyerang tadi sirap sementara kaum pendekar yang terserang secara parah perlahan-lahan mulai menemukan keseimbangan mereka kembali. Tetapi, tetap tidak ada yang tahu siapa gerangan penyerang gelap itu Nampak Ban Hok Lokay, sekejap memandang Ceng Liong dan berkata:

”Hebat anak muda, erangan singa jantanpun ternyata bisa engkau ladeni dan bahkan jinakkan. Tibalah urusanku untuk diselesaikan dengannya“ dan dengan kalimat itu, tiba-tiba Ban Hok Lokay menghadap kearah Kim Ciam Sin Kay. Mulutnya tidak bergerak-gerak, tetapi beberapa orang menduga, dia sedang menyampaikan sesuatu kepada Pangcu Kaypang.

Dan bahkan beberapa saat kemudian Pangcu Kaypang nampak terhuyung kebelakang dengan wajah pucat, dan pada saat bersamaan Ban Hok Lokay menggerakkan tubuhnya dan sekejap kemudian tubuh tua itu sudah lenyap dari pandangan mata banyak orang. Tetapi, masih terdengar sebuah suara, dan kali ini bukan hanya Pangcu Kaypang seorang yang mendengarkan:

”Pangcu, sudah waktunya Kaypang melakukan penyegaran. Terserah Pangcu menanggapi usulan lohu. Selamat tinggal“

Dan adalah Kim Ciam Sin Kay yang masih berwajah pucat itu mengangguk-angguk dan kemudian berbisik, ”Baik ..... baik ....... terima kasih sesepuh“ dan selanjutnya keadaan menjadi sepi kembali. Ceng Liong yang bermata awas yang kemudian meloncat kearah Kim Ciam Sin Kay dan kemudian menyapa sang Pangcu:

”Pangcu, ada sesuatu yang kurang beres“?

”Tidak, tidak. Semuanya baik baik saja Duta Agung“ dengan wajah kecut Kim Ciam Sin Kay menjawab. Bahkan kemudian melanjutkan kepada semua hadirin:

”Maafkan, urusan dalam Kaypang mengganggu istirahat saudara-saudara. Kami kedatangan sesepuh yang sudah 40 tahun lebih menghilang. Tentunya sangat mengagetkan, terutama karena begitu banyak kabar menegangkan yang ternyata disampaikannya kepada kita. Biarlah kita membahasnya besok pagi sebelum melanjutkan perjalanan. Sebaiknya saudara-saudara melanjutkan istirahat yang terganggu. Maafkan, Kaypang harus menyelesaikan satu urusan internalnya dengan segera“.

Hanya beberapa orang yang maklum, bahwa kedatangan Ban Hok Lokay pasti menyebabkan sesuatu yang perlu dibahas segera. Dan karena sang Pangcu sudah menyatakan demikian, maka tidak ada seorang tokohpun yang berkeinginan untuk merecoki urusan dalam Kaypang tersebut.

Maka perlahan lahan semua tokoh berlalu, bahkan juga semua pendekar muda telah meninggalkan tempat itu. Dari semua tinggal Ceng Liong yang masih bertahan, karena memang dia bermalam di kompleks Kaypang. Ceng Liong selanjutnya mendekati Pangcu dan berkata dengan berbisik:

”Pangcu, engkau tidak bisa mengelabuiku. Bukankah locianpwee itu menyerang dengan kekuatan suaranya“?

Nampak Kim Ciam Sin Kay memandang Ceng Liong dengan kecut dan kagum. Memang benar, Ban Hok Lokay tadi sebelum pergi sempat menyerangnya dengan kekuatan suara atau tepatnya dengan getaran suara yang hanya terasa oleh dirinya sendiri. Dan tenaga dalamnya sudah tergetar dan terluka cukup parah. Dan ternyata episode itu masih tertangkap oleh indra halus Ceng Liong, sungguh hebat memang.

”Benar Duta Agung, sesepuh kami itu memang terkenal binal sejak masa Guru Besar Kiong Siang Han. Untunglah dia bisa dikendalikan pada saat itu“

”Sebaiknya Pangcu beristirahat, tenangkan pikiran sejenak. Alirkan semua jalan darah dan aliran tenaga secara perlahan dan biarkan kucoba membantu sebisanya“ terdengar suara Ceng Liong menjadi sangat berwibawa. Tetapi anehnya, Kim Ciam Sin Kay merasakan sebuah kekuatan luar biasa kembali menerpanya, tetapi membantunya menata kembali tenaganya yang tercerai berai oleh hentakan suara Ban Hok Lokay sebelumnya.

Ceng Liong, sebagai pewaris Giok Ceng Sin Kay yang sudah dalam taraf luar biasa hebatnya, tentunya juga mewarisi kemampuan mengobati dari kehebatan sinkang Giok Ceng itu. Bahkan hebatnya, diapun sudah sanggup mengerahkan kekuatan mujijat mengobati itu baik lewat suara dan juga tatapan matanya. Karena itu, tidak heran jika kemudian Kim Ciam Sin Kay merasakan kesegaran yang hilang perlahan-lahan mulai tertata kembali. Dan tidak lama kemudian, dengan penuh pandangan terima kasih dia menatap Ceng Liong dan berkata:

”Terima kasih Duta Agung“

”Sudah waktunya beristirahat Pangcu“ ujar Ceng Liong kemudian sambil menarik pengerahan kekuatan iweekangnya tadi. Betapapun, meski tidaklah terlampau lama, tetapi pengerahan kekuatan dengan caranya tadi membutuhkan waktu untuk penyegaran dirinya kembali.

”Benar Duta Agung, silahkan beristirahat. Lohu masih harus menyelesaikan urusan besar Kaypang sebelum beristirahat. Kedepannya, sangatlah diharapkan bantuan dan dukungan Duta Agung bagi Kaypang“

”Sudah tentu Pangcu. Bukankah memang sudah seharusnya begitu?

”Hahahaha, baiklah Duta Agung, selamat beristirahat lebih dahulu. Kami harus menyelesaikan sesuatu sebelum beristirahat“

”Baiklah, selamat malam Pangcu“

Ceng Liong sadar, bahwa Kaypang hendak merundingkan sesuatu yang sangat internal dan rahasia. Karena itu dia sadar, bahwa sudah saatnya dia beristirahat terlebih dahulu. Setelah memberi hormat kepada semua sesepuh Kaypang Ceng Liongpun berlalu menuju tempat istirahatnya. Dan malampun terus berlalu dengan kesibukan di pihak Kaypang. Kesibukan apakah itu?

Semua tokoh utama Kaypang yang hadir, termasuk Tek Hoat masih sempat membahas tokoh aneh bernama Ban Hok Lokay, sute Kiong Siang Han yang sangat hebat itu. Bahkan, para tokoh Kaypang, terutama Kim Ciam Sin Kay, Pengemis Tawa Gila, kedua Hu Hoat, memberi selamat kepada Tek Hoat dan baru kali ini mereka membuktikan kehebatan murid terakhir Kiong Siang Han.

Tetapi, setelah itu Kim Ciam Sin Kay sang Pangcu, mengajak semua tokoh utama termasuk perwakilan dari berbagai cabang yang hadir untuk merundingkan sesuatu. Perundingan itu berjalan sampai menjelang pagi dan hanya beberapa jam saja kelompok Kaypang sempat beristirahat untuk melanjutkan pembahasan dan kemudian perjalanan menuju Kwi Cu.

==========================

Dan, pagi hari ketika tokoh-tokoh utama berkumpul kembali, sesuatu yang mengejutkan segera dihadapi semua. Terutama ketika Pangcu Kaypang, Kim Ciam Sin Kay tidak menunjukkan diri, tetapi Kaypang kini diwakili seorang anak muda penuh senyum dan bahkan ditangannya adalah TAH KAUW PANG, tanda seorang Pangcu Kaypang.

Ketika semua orang memandang Tek Hoat dengan penuh keheranan dan tentu keheranan itu perlu dijawab, maka adalah Pengemis Tawa Gila yang kemudian nampaknya memang dipilih menjadi juru bicara yang bertugas menerangkan apa yang terjadi:

”Cuwi yang terhormat, Pangcu kami, Kim Ciam Sin Kay sedang dalam keadaan sakit. Tetapi Kaypang tidaklah mungkin mundur dalam upaya melawan Thian Liong Pang yang sudah sedemikian jauh ini. Karena itu, beliau memutuskan bersama kami semalam untuk menetapkan PEJABAT PANGCU, Liang Tek Hoat untuk memimpin Kaypang. Peresmian Pangcu baru kami ini, nanti akan dilakukan pada pertemuan besar Kaypang 2 tahun kedepan. Harap dimaklumi, harap dimaklumi semuanya“

”Siancai, siancai, Amitabha. Sahabat Kim Ciam Sin Kay terluka? Sungguh disesalkan. Tetapi, bagaimanapun selamat bagi Pejabat Pangcu“ terdengar suara Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang selalu sabar dan bijak.

”Duta Agung Lembah Pualam Hijau memberi salam dan ucapan selamat bagi Pejabat Pangcu Kaypang yang baru“ Ceng Liong juga maju memberi selamat. Dia satu-satunya yang bisa mengerti alasan Kim Ciam Sin Kay mundur, karena memang tenaga dalamnya goyah cukup parah meski telah diobatinya semalam.

”Omitohud, kami Bu Tong Pay juga mengucapkan selamat bagi Pejabat Pangcu Kaypang yang baru“

Dan akhirnya semua tokoh utama bergiliran memberi salam dan selamat kepada Liang Tek Hoat yang pada malam menjelang subuh didaulat oleh Kim Ciam Sin Kay untuk memimpin Kaypang. Meskipun berat menerima, tetapi setelah didesak semua tokoh utama Kaypang, akhirnya Tek Hoat menerima.

Apalagi setelah Kim Ciam Sin Kay menyatakan bahwa dia sempat didatangi Kiong Siang Han untuk membantunya membawa Tek Hoat sebagai tokoh Kaypang suatu saat. Dengan berat Tek Hoat menerima jabatan itu hingga menunggu Pertemuan Besar Kaypang pada 2 tahun kedepan. Kim Ciam Sin Kay sendiri, sang Pangcu sebelumnya, merasakan betapa tenaganya sangat terguncang, meskipun telah disembuhkan Ceng Liong.

Tetapi, untuk menggunakan kekuatan itu dalam pertempuran dan banyak bergerak dengan kekuatan tenaga dalam, sungguh akan sangat mengganggu. Itulah sebabnya dia meminta tanggapan para tokoh Kaypang, dan akhirnya semua sepakat untuk 2 tahun kedepan, meski Pangcu Kim Ciam Sin Kay masih menjabat, tetapi Tek Hoat akan menjadi Pejabat Pangcu yang menjalankan tugas-tugas Pangcu.

Adapun Kim Ciam Sin Kay telah menjelaskan, bahwa dalam 2 tahun kedepan, dia harus berjuang memulihkan kekuatan Tenaga Dalamnya. Dan tentu dilakukannya secara tertutup di markas besar Kaypang. Bahkan pagi itu juga, Kim Ciam Sin Kay sudah berjalan balik menuju markas Kaypang.

Dan perundingan para tokoh itupun berlangsung tidak lama. Karena kekuatan lawan memang sudah diprediksi sangat hebat, maka informasi bahwa ada tokoh-tokoh misterius dan sepuh dipihak lawan telah diantisipasi. Yang lama dipercakapkan hanyalah proses perjalanan menuju Kwi Cu, ke markas Kaypang yang disiapkan menjadi landasan penyerangan ke markas Thian Liong Pang Kwi Cu.

Rombongan pendekar akan terbagi 3, dimana masing-masing rombongan akan dikawal oleh 3 Barisan Istimewa: Barisan 6 Pedang, Lo Han Tin dan Kay Pang Cap It Hohan. Barisan atau rombongan pertama akan dikawal oleh Barisan 6 Pedang, dan Kiang Ceng Liong akan berada bersama Liang Mei Lan di Barisan Pertama itu.

Barisan kedua adalah rombongan kedua yang akan dikawal oleh Kay Pang Cap It Hohan dan disana juga ada Pangcu Kaypang baru, Liang Tek Hoat bersama Siangkoan Giok Lian. Kemudian di rombongan ketiga, dikawal Lo Han Tin Siauw Lim Sie dan juga sepasang pendekar kembar Siauw Lim yang akan mengikuti mereka.

Tokoh-tokoh utama akan berada di rombongan pertama, yakni Ciangbunjin Siauw Lim, Bu Tong, Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu Tayhiap. Sementara semua tokoh utama Kaypang berada bersama Tek Hoat, kecuali Pengemis Tawa Gila yang bergabung dengan rombongan pertama.

Masing-masing rombongan memang dikawal oleh sepasang pendekar muda yang bertugas untuk mengawal rombongan besar agar tidak dicelakai lawan. Tidak heran jika kemudian keenam pendekar muda lebih banyak tidak berada dalam rombongan, tetapi berjalan terpisah dari rombongan untuk mengamankan perjalanan rombongan besar tersebut.

Tetapi, ketiga pasang anak muda yang bertugas itu, berjalan dalam kondisi hati yang berbeda-beda: Seperti Ceng Liong dan Mei Lan, yang pada dasarnya keduanya sudah saling tahu dan mengerti bahwa mereka saling menyukai dan saling mencintai. Tetapi, persoalan Ceng Liong yang rumit, membuatnya sulit memperlakukan Mei Lan sebagai kekasih.

Padahal, ketika berjauhan, hanya sosok gadis ini yang selalu berada dalam pikirannya. Tetapi, ketika berdekatan, bayangan perbuatannya dengan Giok Hong meski tak pasti benar, menahannya untuk mencurahkan rindunya kepada Mei Lan. Sementara Mei Lan sendiri, tentu merasa “gengsi“ untuk bertindak duluan memperlakukan Ceng Liogn dengan mesra dan sebagai kekasih. Bukankah harus lelaki duluan? Pikirnya. Jadilah keduanya berjalan dengan rasa cinta dan rasa galau sekaligus.

Sementara kedua pendekar kembar, Kwi Beng dan Kwi Song, berjalan dalam keadaan perasaan tak menentu. Kwi Song menemukan kenyataan bahwa Giok Lian telah memilih Tek Hoat, dan pilihan gadis itu menemani Tek Hoat membuatnya tidak punya pilihan lain selain menerima.

Sementara Mei Lan, sejak dulu dia tahu dari gerak geriknya kalau gadis itu menyukai Ceng Liong. Maka, nelangsalah hati anak muda ini. Sebaliknya, Kwi Beng, berjalan cukup mantap, dan dalam kenangan akan Li Hwa, gadis yang bahkan usianya lebih beberapa tahun darinya. Jika Kwi Song telah sadar bahwa dia telah kehilangan Giok Lian, maka Kwi Beng masih dalam pengharapan akan gadis pujaannya.

Karena itu, dengan mudah Kwi Beng memberi petuah, pesan dan menghibur adik kembarnya itu. Untungnya, semangat Kwi Song terhitung sangat tinggi melawan Thian Liong Pang, karena hanya kebanggaan itulah yang masih bisa direbutnya untuk saat ini. Apalagi, dia tahu benar, bahwa kemampuannya telah meningkat jauh akhir-akhir ini.

Adalah pasangan yang lain yang berjalan dengan berbunga-bunga: Tek Hoat dan Giok Lian. Meskipun dalam tugas menuju pertempuran, tetapi keduanya bagaikan sedang bertamasya saja. Apalagi watak keduanya yang memang periang dan Tek Hoat yang seperti tidak kehabisan bahan termasuk memuji dan menyanjung kekasihnya.

Jadilah perjalanan mereka bagaikan sedang bertamasya saja, penuh canda dan penuh gurauan-gurauan khas anak muda yang sedang jatuh cinta. Mereka berdua bahkan lupa dengan kedua pasangan lain yang berjalan dalam kondisi emosional yang berbeda dengan mereka. Yang jelas, meski jalanan kurang bagus, dan areal yang mereka lewati hanya semak dan belukar, tetapi toch tetap terasa indah bagi mereka.

Benarlah kata orang-orang bijak: ketika jatuh cinta, maka keadaan apapun, kondisi apapun, akan terasa sangat indah. Bahkan makanan kurang enakpun akan terasa enak jika dinikmati dengan orang yang dicintai. Semak dan belukarpun terasa seperti ngarai dan lembah yang indah jika dinikmati dengan orang tercinta. Benarkah demikian? Setidaknya memang demikian jika mengamati perjalanan kedua atau sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta ini .....

Tetapi, diluar perkiraan, perjalanan menuju Kwi Cu ternyata malah sepi dari gangguan. Tidak ada gerakan sama sekali dari pihak Thian Liong Pang untuk menghambat perjalanan para pendekar menuju Kwi Cu, bahkan tidak ada tanda-tanda memata-matai semua rombongan tersebut. Bahkan ketika bermalam di hutanpun, semua rombongan tersebut tidak mengalami gangguan sedikitpun.

Dan ketika kemudian memasuki markas Kaypang di Kwi Cu, tetap tidak kelihatan adanya upaya menghadang ataupun upaya lain untuk mencelakai rombongan besar itu. Kondisi ini menimbulkan spekulasi diantara para pendekar: Ada yang jumawa mengatakan ”mereka ketakutan dan kini bersembunyi.

Siapa yang berani melawan gabungan semua perguruan besar di Tionggoan“?, ada pula yang tetap was-was ”jangan-jangan mereka sedang menyusun kekuatan dan menanti untuk membokong kita“. Tetapi, bagi yang lebih awas, terutama para tokohnya sudah berpikir bahwa suasana tanpa penghadangan pasti karena Thian Liong Pang telah menyiapkan rencana lain. Tetapi soalnya adalah, ”rencana apakah gerangan itu“?

Menjelang siang, semua kekuatan pengintai Kaypang membawa laporan. Menyampaikannya kepada Pejabat Pangcu, Liang Tek Hoat yang kali ini dalam jabatan Pangcu nampak tidak dengan wajah biasanya yang penuh senyum, tetapi lebih serius:

”Lapor pangcu, tidak nampak adanya tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang mndar-mandir seputar markas mereka di Kwi Cu. Kekuatan dan jumlah merekapun tidak mengalami penambahan dalam 3-4 hari terakhir“

”Hm, baik. Ada berapa kira-kira kekuatan mereka?

”Jika tidak mengalami penambahan, maka jumlah mereka tidaklah lebih dari 200 tokoh silat. Tetapi, rata-rata adalah biang pengacau rimba persilatan yang menakluk kepada Thian Liong Pang“

”Apakah kalian yakin tidak ada tambahan tokoh aneh dan lihay yang memasuki markas mereka“?

”Markas itu diawasi 24 jam oleh anggota kita Pangcu“

”Hu Pangcu, ada hal lainkah yang perlu ditanyakan“? Tek Hoat memandang Pengemis Tawa Gila

”Jika Pangcu berkenan ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan“

”Lakukan Hu Pangcu“

Pengemis Tawa Gila kemudian menoleh kepada para pengintai Kaypang itu:

”Bagaimana dengan sudut-sudut strategis lain di kota dan luar kota Kwi Cu? Adakah pergerakan yang di luar kebiasaan?

”Sepengamatan kami, semua berjalan sesuai kesehari-harian. Keluar masuk orang tidaklah melampaui yang biasanya sehari-hari. Keluar masuk pedagang tidak mengalami kenaikan ataupun penurunan. Nampaknya semua berjalan secara normal Hu Pangcu“

”Termasuk jalur air“?

”Benar, termasuk jalur perairan juga tidak ada pelayaran dengan jumlah penumpang dan gelagat penumpang yang aneh“

”Benar-benarkah tidak ada kejadian aneh sedikitpun menurut amatan kalian“?

”Kecuali 2 hal yang sulit kami percaya Hu Pangcu“

”Hal apakah itu“?

”Seminggu yang lewat, 7 orang pengintai di luar kota tiba-tiba pingsan tanpa sebab. Tetapi lebih 2 jam kedepan, mereka siuman kembali tanpa ada gangguan apapun. Keadaan mereka biasa-biasa saja, hanya anehnya mereka bisa pingsan mendadak secara bersama-sama. Tetapi, setelah diselidiki, tidak ada yang terluka dan tak ada tanda aneh lainnya di markas Thian Liong Pang dan di Kota Kwi Cu“

”Apakah tidak ada tanda sama sekali sebelum mereka pingsan“?

”Tidak ada selain ketujuh orang itu hanya mendengar suara mendesis dan seperti berbisik. Setelahnya mereka pingsan”

Nampak semua terdiam. Tek Hoat, Ceng Liong dan beberapa orang maklum apa gerangan yang terjadi. Mereka berdua mengangguk-angguk. Sementara itu, Hu Pangcu kembali bertanya:

”Hanya itukah? Ada kejadian aneh lainnya?

”3 Hari lewat Hu Pangcu. Cuma kali ini, ketiga pengintai kita tertidur selama 3 jam di sore hari setelah ketiganya mendengarkan suara ketawa aneh. Selain kedua cerita aneh itu, tidak ada lagi yang lain”

”Baiklah, laporan mereka sudah cukup Pangcu“

”Terima kasih Hu Pangcu, kalian boleh keluar dahulu“ Tek Hoat kemudian mempersilahkan semua pengintai keluar. Dan selanjutnya dia bertanya kepada Hu Pangcu:

”Bagaimana Hu Pangcu? Setidaknya kita tahu, dipihak lawan kekuatannya tidak bertambah. Tetapi, selain itu ada seorang atau 2 orang tokoh misterius yang muncul di Kwi Cu. Entah kemana mereka berpihak“

”Karena waktu serangan telah ditetapkan, sebaiknya sore menjelang malam kita tetap bertindak. Menunda waktu serangan akan semakin memperlemah moril banyak pihak“ tegas Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila.

”Benar, tidak ada lagi waktu penundaan. Sebaiknya kita beristirahat sejenak dan beberapa jam kedepan kita tuntaskan markas Thian Liong Pang di Kwi Cu, baru kita bersiap untuk hal yang lain lagi“ Sian Eng Cu juga ikut bicara.

”Bagaimana menurut saudara saudara yang lain“? Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila meminta pendapat lain.

”Amitabha, jika memang sudah kita tetapkan sebelumnya, sebaiknya kita taati bersama. Puncho mendukung usulan tadi“

Ucapan Ciangbunjin Siauw Lim Sie segera mendapat tanggapan persetujuan dari semua, termasuk Lembah Pualam Hijau, Bu Tong Pay dan tokoh-tokoh utama lainnya yang hadir. Dan, akhirnya lonceng penyeranganpun ditabuh .... tepat menjelang gelap jatuh keharibaan bumi ........................... Tetapi, Ceng Liong yang telah memberi persetujuan, nampak seperti sedang berprihatin dan sangat serius.

Akhir-akhir ini, Ceng Liong memang mengalami perubahan yang dirasakannya dengan sedikit keheranan. Dia seperti bisa dan mampu meraba apa yang akan terjadi dalam hitungan sejam, dua jam kedepan. Dan itu dialaminya setelah beberapa kali mendalami ilmu-ilmu puncaknya, terutama sejak pertemuannya dengan Kolomoto Ti Lou.

Dia tersentak ketika para pengintai mengatakan bahwa ada suara bisikan yang membuat mereka pingsan dua jam, sementara kelompok yang lain pingsan 3 jam setelah mendengarkan gelak tawa seseorang. Naluri dan mata batinnya yang semakin tajam dan awas memperingatinya suatu hal sejak beberapa waktu lalu, dan itulah yang membuat wajah Ceng Liong nampak sangat serius dan sedang sangat berpirhatin.

Tetapi apakah itu? Atau tepatnya, ”benarkah yang dirasakannya dalam mata batinnya itu“? tetapi, Ceng Liong yang sedang bingung dan prihatin itu ternyata tidak menunggu lama. Karena ternyata kemudian perasaannya itu terbukti benar dalam sekejap. Sayang memang, Ceng Liong memang masih belum tanggap dan menyadari kemampuan barunya tersebut, apalagi karena kemampuan barunya itu, berkembang dan tumbuh tanpa sepengetahuannya itu.

Segera setelah semua menyatakan persetujuan untuk menyerang markas Kwi Cu, dan Ceng Liong yang masih bertanya-tanya dalam dirinya, tiba-tiba terdengar dentuman suara membahana diseputaran markas tersebut:

”Hahahahahahahaha, para cecurut hendak menggerogoti Naga ..... hahahahaha, aneh, aneh dan menggelikan“

Suara tersebut adalah suara penyerangan dan sangat mematikan. Dan, sebagai akibatnya puluhan orang berilmu cetek dengan cepat menjadi korban penyerangan tersebut. Beberapa tokoh utama bahkan tergetar telinga dan perasaannya. Suara itu terus dan tetap mengaung diudara. Tetapi, Ceng Liong sudah dengan cepat dan tanggap bergerak:

”Tek Hoat, Lian Moi, lacak posisinya. Mereka bergerak berdua, aku akan agak kewalahan. Kwi Beng, Kwi Song, segera keluar dan lindungi rombongan dan kawan-kawan dari serangan gelap. Lian Moi, lindungi aku dan kawan-kawan di ruangan ini.

Gunakan puncak kekuatan kalian masing-masing“ dan segera setelah itu, nampak Ceng Liong sejenak bersedekap dan kemudian tubuhnya meluncur ke udara dan terdengarlah pekikan nyaring dari mulutnya. Di mata banyak orang, Ceng Liong melesat keudara dan kemudian turun di tengah ruangan dan nampak bersilat sendirian bagaikan orang gila.

Sementara para pendekar muda lainnya, dengan cepat melakukan apa yang ”diperintahkan“ Ceng Liong untuk mereka kerjakan. Adalah Mei Lan dan Tek Hoat yang dengan cepat melesat keluar, diikuti kedua Pendekar Kembar, sementara Giok Lian meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan batinnya untuk kemudian melihat bagaimana Ceng Liong bersedekap dengan hawa dan kabut hijau dan putih semakin pekat membungkus dirinya.

Sesaat kemudian, setelah Ceng Liong mengeluarkan pekikan suara yang dilatihnya dan disebutnya sebagai ”RAUNGAN NAGA HIJAU“, sejenis Gelap Ngampar dari Kolomoto Ti Lou dan Sai Cu Hokang Siauw Lim Sie, beberapa tokoh utama mulai menemukan keseimbangannya. Tetapi, alangkah kagetnya ketika mereka melihat tubuh Ceng Liong berselimutkan kabut hijau dan putih yang berkeliling ditubuhnya dan dia sendiri bersilat perlahan seperti sedang menghadapi lawan yang tidak kelihatan.

Tetapi, segera nyata, Ceng Liong menghadapi gempuran hebat dan membuat posisinya sedang ter atau didesak. Sejatinya adalah, pertarungan itu dilakukan melalui media alunan suara. Sebuah pertarungan yang sebetulnya masih riskan bagi Ceng Liong, karena sebagaimana amanat Kolomoto Ti Lou, dia lebih berbakat dalam Tatapan Naga Sakti.

Tetapi, kecerdasan dan bakatnya, memampukan Ceng Liong juga menguasai Gelap Ngampar yang digubahnya menjadi Raungan Naga Hijau yang disertai pengerahan kekuatan batin dan sihir yang luar biasa. Tetapi, nampaknya lawannya juga bukanlah lawan biasa. Dan dari gerakan Ceng Liong, dia seperti sedang terdesak hebat oleh 2 orang lawan yang menyerangnya secara bersamaan. Untunglah Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang berbatin kuat segera sadar dan yang kemudian cepat berseru:

”Lo Han Tin ........“

”Menghadap Ciangbunjin .......“ segera setelah suara Ciangbunjin Siauw Lim Sie, dalam waktu sekejap Barisan Lo Han Tin sudah terbentuk. Dan tidak menunggu lama, Ciangbunjin Siauw Lim Sie memasuki pusaran dan pusat barisan itu, kemudian duduk bersamadhi diikuti barisan ajaib itu. Dan terdengarlah kemudian pujian-pujian kepada Maha Budha dari mulut Ciangbunjin itu bersama dukungan kekuatan Lo Han Tin

”AMITABHA ..... AMITABHA .... AMITABHA“.....

Meski perlahan, tetapi lontaran kekuatan Batin barisan Lo Han Tin ini kemudian nampak mulai mengurangi tekanan atas Ceng Liong, meski dia masih dalam posisi didesak. Bahkan, lengannya nampak seperti sempat tersentuh satu sentilan pukulan lawan. Karenanya kabut pekat kehijauan semakin menebal disekelilingnya.

Benar, karena kali ini, Ceng Liong untuk pertama kalinya mengerahkan semua kekuatan batin dan didukung oleh kekuatan lweekangnya dalam takaran penuh. Beberapa lama kemudian, alunan lagu pujian Maha Budha mulai memasuki lingkaran pertempuran alunan suara dan karakternya memang sangat membantu kondisi Ceng Liong.

Tepat ketika alunan suara Budha mencapai puncak kekuatannya, Ceng Liong sudah dalam kondisi lebih baik sebenarnya. Sayangnya, lengan kanannya jadi kurang leluasa karena sempat terkena pukulan lawan lewat alunan suara. Dan ketika kemudian keadaan mulai berimbang, tiba-tiba suara-suara yang menyerang lewat angkasa dan belakangan khusus bertarung dengan Ceng Liong mulai mengendorkan diri.

Jika Ceng Liong belum terluka, sebenarnya dia masih akan sanggup membantu alunan suara pujian Budha dari Siauw Lim Sie. Tetapi, dia tidak berkeinginan melakukannya, selain diapun melirik, para pendeta Siauw Lim Sie yang membantunya juga dalam posisi mengerahkan kekuatan sepenuhnya. Karena itu, ketika serangan atasnya mengendur, diapun kemudian mengendurkan pengerahan kekuatan lewat suaranya.

Sekejap kemudian, suara serangan gelap sirna begitu saja. Dan, bertepatan dengan itu, Ceng Liong kembali mengerahkan kekuatannya, kali ini dengan pengerahan tenaga khas Lembah Pualam Hijau, mengobati orang yang terluka dalam akibat serangan tenaga dalam.

Tetapi, ketika selesai mengerahkannya, Ceng Liong kemudian tiba-tiba terduduk, dan hawa serta kabut hijau dan putih ditubuhnya perlahan membuyar. Tapi pada saat bersamaan, berhubung beberapa orang berusaha merubung kedekatnya, tiba-tiba terdengar bentakan:

”Tahan, jangan ada yang mendekati Duta Agung“

Disekitar Ceng Liong telah berdiri Barisan 6 Pedang dengan angker, dan bahkan Topeng Setanpun sudah berdiri bersama Barisan itu. Dan terdengar suaranya:

”Duta Agung baru saja terluka, tetapi kemudian masih melepas singkang khasnya mengobati banyak orang disekitar tempat ini. Kondisinya sangat lemah, biarkan Duta Agung kami beristirahat sejenak“

Orang-orang yang tadinya berprihatin mau membantu Ceng Liong tertahan langkah mereka. Benar, sebagian besar orang yang masih merasa detak jantungnya tak beraturan, menjadi lebih lega setelah raungan terakhir Kiang Ceng Liong. Tetapi, raungan itu tentu tidak sanggup membangkitkan lebih 50-an dari kelompok pendekar yang terserang oleh auman maut kedua penyerang gelap tadi.

Maka, ketika melihat Ceng Liong telah dijaga oleh Barisan 6 Pedang dan Topeng Setan bahkan kemudian juga oleh Siangkoan Giok Lian, para tokoh utama kemudian berpaling kearah Barisan Lo Han Tin yang juga sedang memulihkan diri. Setelah melihat tiada halangan lagi, mereka berjalan keluar dan menemukan betapa banyak korban serangan mematikan barusan.

Untung Duta Agung cepat dan sigap melawan lontaran suara mematikan itu, bisa dibayangkan berapa banyak korban jika dibiarkan beberapa saat lagi suara itu mengaung dan menyerang mereka.

”Sungguh banyak korban dipihak kita“ terdengar Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila mengeluh.

”Benar, mungkin ada sekitar 50an nyawa melayang”

”Nampaknya yang terluka juga banyak”

”Benar, tetapi sebagian besar sudah tak berhalangan lagi. Syukur Duta Agung Kiang Ceng Liong masih berkemampuan melepaskan kekuatan khasnya itu“ bergumam Sian Eng Cu Tayhiap, sungguh takjub dia dengan pertarungan barusan. Bahkan dia sempat berpikir, sama dengan pikiran banyak tokoh lainnya sebetulnya: ”sampai dimana sebenarnya kehebatan Duta Agung muda didikan Kiang Sin Liong ini“?

”Suheng, bagaimana? Terdengar suara Liang Mei Lan ketika melesat masuk dari luar tadi bersama Tek Hoat.

”Sumoy, dari mana sajakah“? terdengar suara Sian Eng Cu penuh kekhawatiran. Maklum, meski sumoynya, tetapi dialah yang mendidik dan membesarkan gadis itu. Karenanya, perasaan khawatir sebagai ayah selalu muncul tanpa disadarinya. Tidak sadar bahkan Mei Lan sudah jauh lebih mengatasinya dalam ilmu silat. Tetapi, begitulah perasaan sayang yang murni.

”Ach, kedua orang tua aneh itu lihay luar biasa suheng“?

”Apa maksudmu sumoy“?

”Kami memergoki mereka jauh diluar sana, tetapi kami sama sekali tak mampu mengejar mereka. Mereka menghilang bagaikan siluman saja”

”Pantas ... pantas sampai Duta Agungpun terluka ditangan mereka“ Sian Eng Cu berdesis karena tergetar. Sumoynya sudah sempurna dalam ginkang, toch masih tak mampu mengejar kedua orang tua itu. Sementara Mei Lan begitu mendengar Ceng Liong terluka segera tersentak:

”Apa Liong ko terluka? Siapa yang melukainya suheng?

”Dia melakukan pertarungan dahsyat yang sulit kumengerti sumoy“

”Di .... dimana dia suheng“? Mei Lan menjadi panik dan Tek Hoat serta Sian Eng Cu paham belaka.

”Dia sedang mengobati diri didalam sana, dikawal Barisan 6 Pedang“

”Kita tengok koko“ hanya itu yang didengar Tek Hoat, karena Mei Lan sudah lenyap dari hadapannya. Dengan mengangkat bahu, Tek Hoat memandang Sian Eng Cu dan kemudian berlalu kedalam menyusul adiknya. Dia tahu betul perasaan Mei Lan mendengar Ceng Liong sakit atau terluka. Seandainya tahu sejak tadi, takkan mudah dia membujuk adiknya untuk tidak menyusul kedua orang tua yang tak sempat dikenalinya wujud maupun bentuknya, keduanya tak teridentifikasi. Saking cepatnya.

”Hanya Lan Moi yang mampu menyusul keduanya“ desis Tek Hoat dalam hati. Sadar bahwa ginkangnya ada dibawah 2 orang tua yang dipergokinya berdua Mei Lan tadi.

Mei Lan sudah dengan cepat menemukan tempat Ceng Liong sedang memulihkan diri, tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya menyaksikan awan hijau pekat dan juga awan putih yang sebelumnya berpijar mengelilinginya ketika bertempur, kini menjadi awan pekat yang menyelubungi Ceng Liong seakan sedang mengelus dan melindungi Ceng Liong.

Dalam takaran seperti Ceng Liong, maka tidak butuh waktu panjang untuk memulihkan dirinya, kecuali masih terasa sakit di lengan kanan akibat pertempuran dahsyat tadi. Dan benar juga, tidak lama setelah Mei Lan dan Tek Hoat mengawasinya, Ceng Liong kemudian menyudahi samadhinya, bersamaan dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie dan Lo Han Tinnya.

”Amitabha, Duta Agung, apakah sudah pulih“? Ciangbunjin ini masih takjub dengan pertarungan yang dilakukan Ceng Liong tadi. Sungguh heran dia, ampai dimana sebenarnya kemampuan anak muda ini“?.

”Demikian adanya Ciangbunjin, terima kasih atas bantuan Ciangbunjin dan Lo Han Tin Siauw Lim Sie“

”Amitabha, Ach, seharusnya semua orang disini yang berterima kasih kepadamu Duta Agung“

”Kewajiban kita semua saling membantu Ciangbunjin“

”Hm, Omitohud, tapi apakah Duta Agung bisa menduga siapa-siapa sajakah penyerang gelap itu“?

Ceng Liong berpaling kearah Tek Hoat dan Mei Lan:

”Pangcu dan Lian Moi, bagaimana? Apakah sempat memergoki mereka“?

”Benar, kami sempat memergoki dua orang tua itu. Tetapi kami tak sempat mengenali dan memandang mereka dari dekat. Kemampuan mereka sungguh luar biasa, bagaikan bisa menghilang saja“

”Amitabha, sehebat itukah? Bagaimana dengan pertarungan tadi Duta Agung“? bertanya Ciangbunjin Siauw Lim Sie

”Jika menghadapi mereka satu demi satu, rasanya masih sanggup ditandingi. Tetapi, jikalau mereka maju berbareng seperti tadi, rasanya aku sulit untuk menandingi mereka“ desis Ceng Liong jujur.

”Tetapi“ lanjut Ceng Liong

”Mereka butuh waktu untuk memulihkan kekagetan. Saat tepat untuk menyerang adalah sekarang ini“ usul Ceng Liong

”Hm, benar juga. Sementara mereka tidak bersiap, saat tepat menyerang adalah sekarang“ timpal Pengemis Tawa Gila menyetujui. Dan diluar dugaan, setelah diserang tak terduga, kali ini rombongan pendekar memutuskan melakukan hal yang sama. MENYERANG SAAT TIDAK DIDUGA
 
BAB 22 Di Markas Utama Thian Liong Pang
1 Di Markas Utama Thian Liong Pang



Menjelang sore hari, sebuah bayangan hijau berkelabat dengan sangat berhati-hati. Bayangan hijau itu nampak seperti terbang saja layaknya, dan sepertinya sedang mencari-cari sesuatu. Padahal, disekitarnya hanyalah rimba lebat belaka. Tetapi nampaknya, bayangan hijau itu mengerti benar dengan arah yang ditujunya dan karena itu, berkali-kali dia seperti mencari-cari sesuatu.

Rimba yang dimasukinya tersebut, semakin lama semakin terasa kemisteriusannya. Tetapi, keadaan seperti itu tidaklah membuat bayangan hijau itu menyurutkan niatnya. Sampai kemudian pada akhirnya bayangan hijau itu nampak menghentikan gerakannya dan sikapnya nampak sangat serius, seperti sedang berkonsentrasi. Dan beberapa saat kemudian, orang berbaju hijau itu nampak menarik nafas panjang dan kemudian berguman:

”Saudara Nenggala .....”

Nampaknya seperti hanya sekedar menggumam, tetapi sebetulnya gumaman itu adalah lontaran kekuatan terukur yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang sedang dituju. Dan benar saja, sesaat setelah gumamnya itu tiba-tiba dari arah sebelah kiri tempat berdiri bayangan hijau tersebut terdengar sebuah gerakan, gerakan halus belaka tetapi segera bisa ditangkap si orang berbaju hijau.

”Hebat Ceng Liong, engkau mampu melacak persembunyianku meski aku telah berusaha sangat keras untuk menyembunyikan jejakku” dan seorang pemuda matang nampak kemudian bergerak mendekati si bayangan hijau yang ternyata adalah Kiang Ceng Liong, Ceng-i-Koai Hiap.

”Selamat bertemu kembali Saudara Neggala, bagaimana keadaanmu”? Ceng Liong tidak menanggapi pujian Nenggala, sebaliknya justru sebagaimana biasa bersopan-santun setelah 5-6 hari keduanya berpisah.

”Baik, baik, Ceng Liong. Bagaimana dengan keadaan Kwi Cu”?

”Penyerbuan sudah dilakukan sejak pagi tadi, tetapi sebagaimana kuduga, pentolan-pentolan Thian Liong Pang tidak lagi berada disana. Jika dugaanku tidak salah, makah mereka semua telah memusatkan kekuatannya di markas utama. Itulah sebabnya aku bergegas menuju kemari guna berjaga-jaga jangan sampai sesuatu terjadi bagi Li Hwa”

”Hm, sungguh cerdik, sungguh cerdik. Mereka nampaknya mengerti bahwa mempertahankan markas Kwi Cu sudah nyaris tidak mungkin. Dan benar katamu, bahaya yang dihadapi Li Hwa nampaknya berlipat ganda” keluh Nenggala yang mengkhawatirkan Li Hwa.

”Bagaimana dengan Li Hwa dan Su Kiat? Sudahkah mereka memasuki markas utama Thian Liong Pang? Bertanya Ceng Liong

”Benar, sudah sekitar 4-5 jam sebelumnya mereka memasuki markas utama. Namun hingga sekarang belum ada tanda-tanda apapun dari mereka. Hm, apakah engkau pikir sebaiknya kitapun menyusup Ceng Liong”? Bertanya Nenggala minta kepastian, meski berusaha tenang, tetapi nada kekhawatiran tetap tak mampu disembunyikannya.

”Pesan apakah yang ditinggalkan Li Hwa sebelum mereka memasuki markas utama Thian Liong Pang itu”?

”Hati-hati dan jangan memaksa masuk jika tidak sangat mendesak. Hanya itu Ceng Liong”

”Hm, setelah 4-5 jam ...... Nampaknya kita mau tidak mau mesti menyusul saudara Nenggala. Tapi, apakah Li Hwa meninggalkan pesan bagaimana cara memasuki markas tersebut”?

”Benar, Li Hwa memberitahu kita untuk memasukinya dari arah agak ke utara rimba ini. Karena seluruh rimba ini hingga ke sungai Yang Tze telah di atur barisan penjebak dan bahkan tirai kekuatan batin yang luar biasa. Jika kita sembrono menerjang, sejak sangat awal posisi kita terlacak lawan”

”Benar saudara Nenggala, aku bisa merasakan hawa pelindung di lingkungan rimba ini. Meski bukan tidak terlawan, tetapi jejak kita sudah akan konangan terlebih dahulu jika menerobos. Sebaiknya kita mengikuti saran Li Hwa saja” jawab Ceng Liong.

”Kalau begitu, mari Ceng Liong. Li Hwa dan Su Kiat telah menunjukkan tempat paling aman bagi kita untuk menyusup. Menurut keduanya, kekuatan kita akan mampu memasuki area terlemah penjagaannya itu”

Tak lama kemudian dengan sangat berhati-hati karena memang masih di luar jangkauan penjagaan Markas Thian Liong Pang, kedua anak muda tersebut mulai bergerak. Hampir setengah jam kemudian keduanya tiba disebuah tempat yang rimbanya tetap lebat, tetapi sebuah bukit yang tidak terlampau besar berada di hadapan mereka. Ceng Liong bingung ketika Nenggala kemudian berhenti dan berkata:

”Menurut Li Hwa, dari tempat inilah kita akan melakukan penerobosan. Karena sejak bagian tengah bukit hingga ke lembah dibaliknya, penjagaan sudah sangat ketat dan mustahil diterobos tanpa ketahuan”

”Sehebat itukah”? Ceng Liong memandang Nenggala, bukan tidak percaya, tetapi kagum. Dia paham benar, organisasi semacam Thian Liong Pang tidaklah akan main-main dalam merahasiakan tempat utama mereka.

”Justru karena kehebatan penjagaan yang memadukan tenaga manusia dan tenaga batin yang membuat siapapun yang masuk akan ketahuan”

”Bagaimana dengan upaya kita”? Tanya Ceng Liong

”Li Hwa memberitahu, bahwa ayahnya pernah menemukan sebuah liang yang dipergunakan kelinci pada 5-6 tahun sebelumnya. Dan liang itu ternyata menembus hingga ke lembah, dan ayahnya memperluas liang itu hingga bisa dimasuki orang”

”Dan sekarang kita akan melalui liang tersebut”? Tanya Ceng Liong

”Benar, menurut Li Hwa, hanya tempat inilah yang mungkin kita lalui tanpa ketahuan. Selain itu, selain Li Hwa, Su Kiat dan ayahnya, tidak ada seorang lagipun yang tahu jalan atau liang rahasia yang menembus penjagaan ketat memasuki markas itu” jelas Nenggala. Sementara Ceng Liong manggut-manggut dan semakin mengerti bahwa posisi paman kakeknya memang sangat sulit dan telah menyiapkan jalan mundur yang lihay.

”Baiklah, silahkan menunjukkan jalan saudara Nenggala” akhirnya Ceng Liong meminta Nenggala untuk memulai upaya mereka menerobos.

”Tapi, mungkin adalah lebih baik kita menunggu waktu malam untuk bergerak” tambah Ceng Liong.

”Benar, tetapi menurut Li Hwa, ada sebuah tempat menjelang mulut liang ini yang agak melebar dan bisa menjadi tempat kita beristirahat menunggu malam. Karena posisi kita disini rawan terlacak musuh”

”Bagus jika demikian, mari kita memasuki liang tersebut”

Dan tak lama kemudian Nenggala melangkah mendekati sebuah pohon yang sangat besar serta nampak sudah sangat tua. Sejak dari badan pohon hingga ke tanah, tumbuh bermacam-macam tumbuhan yang menyembunyikan sebuah rongga hingga sulit dikenali apakah pohon tersebut menyimpan rongga dalamnya. Dan Nenggala kemudian menyibakkan tumbuh-tumuhan yang menggantung lebat dan menutupi badan pohon tersebut dan perlahan kemudian menghilang.

Ceng Liong sendiripun kemudian mengikuti apa yang dilakukan Nenggala dan sebentar kemudian keduanya sudah berada di dalam liang yang berawal dari pohon tua yang sangat besar itu. Tetapi, jalanan di liang tersebut termasuk sangat sempit hingga mereka mesti berjongkok atau merayap untuk maju. Jalananpun melingkar-lingkar, karena memang liang itu bekas digunakan kawanan kelinci yang kemudian diperbesar oleh Ketua Thian Liong Pang.

”Hm, jika ditinjau, nampaknya Paman Kakek Kiang Tek Hong telah menyiapkan liang ini untuk kebutuhan sekarang ini” gumam Ceng Liong.

”Benar Ceng Liong, menurut Li Hwa, ayahnya sudah beberapa kali mengatakan bahwa akan datang masanya liang ini digunakan untuk kebutuhan banyak orang. Dan justru karena itu, hanya dengan Li Hwa dan Su Kiat saja rahasia ini diberitahukan”

”Iya, dan nampaknya Paman Kakek itu telah mempersiapkan Li Hwa dan Su Kiat untuk keperluan seperti ini. Apa sebenarnya peran paman kakek dalam Thian Liong Pang jika demikian”? Ceng Liong tambah bingung.

”Hm, nampaknya kita sudah tiba pada ujung mulut liang ini, di depan nampak sebuah ruang yang cukup luang bagi 3-4 orang sekaligus” desis Nenggala

”Bagus, jika demikian kita bisa beristirahat dan menunggu dalam ruang lega tersebut hingga malam tiba”. Ujar Ceng Liong. Akhirnya kedua anak muda perkasa itu beristirahat dan bersamadhi untuk memulihkan kekuatan, bahkan keduanya masih sempat melatih kemampuan mereka masih-masing meski dalam duduk diamnya. Ceng Liong terutama kembali melatih memampuan batinnya dan menerawang posisi di luar sebelum pada malam harinya beraksi.

Tetapi, bagaimana kisah sampai Ceng Liong tiba-tiba sudah berada di mulut Markas Utama Thian Liong Pang? Bukankah sebelumnya Ceng Liong masih bersama-sama dengan pasukan para pendekar? Bagaimana pula kisah penyerbuan ke Kwi Cu? Untuk mengetahuinya baiklah kita mundur beberapa waktu sebelum Ceng Liong meninggalkan Kwi Cu.

Tepat seperti dugaan Ceng Liong, ketika markas operasi Thian Liong Pang di sebelah timur kota Kwi Cu, sebuah gedung yang sangat besar beserta beberapa gedung yang dibangun kemudian, Thian Liong Pang memang sedang tidak siap. Tetapi, ketidaksiapan mereka sebetulnya bisa segera dibaca banyak orang dengan cepat, karena ternyata gedung itu telah ditinggal pergi banyak tokoh dan pentolannya.

Memang benar, ketika menyerbu markas di Kwi Cu, masih banyak sisa-sisa gerombolan Thian Liong Pang yang menyambut, tetapi tokoh-tokoh utama Thian Liong Pang sudah raib. Jikapun ada, hanya seorang tokoh lihay yang berpakaian ”serba Hitam” yang masih memberi komando kepada pasukan Thian Liong Pang dan menahan serbuan musuh.

Tetapi, para Pendekar yang sudah murka, begitu mendapati adanya perlawanan dan sambutan musuh, tidaklah dengan serta merta menyerbu. Tetapi mendengarkan pertimbangan Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila yang bertatapan sejenak dan beberapa saat kemudian saling mengangguk tanda persetujuan menyerbu.

Dan sesuai pertimbangan, maka adalah jago-jago utama yang turun menyerbu duluan untuk menghindarkan kerugian yang lebih besar. Ketika memasuki halaman gedung utama, segera nampak bahwa memang kelompok Thian Liong Pang masih belum menduga bahwa pagi itulah serbuan akan dilangsungkan. Tetapi, kesigapan si ”baju serba Hitam” yang belakangan kemudian diketahui adalah Majikan Kerudung Hitam membuat perlawanan Thian Liong Pang cepat dikoordinasikan. Tapi sayang, kekuatan sangat tidak berimbang, baik dari jumlah maupun kepandaian.

Dengan cepat Ceng Liong berpandangan dengan Tek Hoat dan saling mengangguk. Tek Hoat kemudian melayang maju dan langsung menggempur Majikan Kerudung Hitam sehingga terjadilah adu kekuatan yang sangat seru. Tek Hoat dan nampaknya Majikan Kerudung Hitam terkejut ketika menemukan lawan yang setanding, baik dari kecepatan maupun kekuatan iweekang masing masing.

Mau tak mau keduanya saling mengagumi, meski Tek Hoat kemudian sadar bahwa lawannya itu tidaklah serius dan sekedarnya menandinginya, karena sekali-sekali Majikan Kerudung Hitam memandang kedalam gedung entah apa yang ingin diyakinkannya. Yang pasti, setelah benturan yang sangat hebat antara keduanya, sempat Majikan Kerudung Hitam tertegun dan menyapa:

”Hebat, siapa gerangan tuan”?

”Engkau juga hebat, aku Liang Tek Hoat”

”Ehm, tokoh muda Kaypang, hebat-hebat” desis Majikan Kerudung Hitam

”Jika tidak salah duga, engkau pastilah Majikan Kerudung Hitam” balas Tek Hoat tak mau kalah.

”Tidak salah, sayang kita mesti berhadapan sekarang. Atau jika engkau takut, silahkan menyingkir” sindir Majikan Kerudung Hitam sambil tetap matanya sesekali melirik kesuatu tempat dalam gedung.

Tetapi, mana mau Tek Hoat menyingkir. Sebaliknya malah, dengan cepat dia menyerang lawannya dengan menggunakan pukulan-pukulan andalan dari Pek Lek Sin Jiu yang segera menghadirkan suara menggelegar. Tetapi, meski ilmu tersebut hebat, nampaknya dengan cepat Majikan Kerudung Hitam mampu menapak dan membalas serangan Tek Hoat dengan tidak kalah hebat. Maka terjadilah pertempuran hebat antara keduanya dengan Majikan Kerudung Hitam mundur mendekati pintu belakang gedung agar tidak berada dalam kepungan musuh-musuhnya. Itulah satu-satunya pertempuran paling seru nampaknya.

Sementara itu, Ceng Liong, Kwi Song, Kwi Beng, Mei Lan dan Giok Lian tidak menemukan lawan sepadan. Setelah beberapa saat, serbuan para pendekar mulai mendapatkan perlawanan yang mereda karena memang pasukan lawan mulai berkurang cepat. Menyaksikan hal tersebut, Ceng Liong nampak mendekati kawan-kawannya dan membisikkan beberapa hal.

Beberapa kali nampak Mei Lan berkeras, tetapi setelah beberapa saat Ceng Liong akhirnya mampu meyakinkannya. Pada saat Ceng Liong berkelabat memisahkan diri dari rombongan pendekar yang masih bertarung diikuti Barisan 6 Pedang, dari sudut yang lain 2 bayangan berkelabat di arah berbeda. Jika Ceng Liong ke arah hutan rimba, maka 2 bayangan lain justru mengarah ke kota dan mendekati sungai Yang Tze.

Dan sepertinya, Majikan Kerudung Hitam menangkap berkelabatnya 2 bayangan tersebut, dan membuatnya kemudian bertarung dengan mantap meski tetap tidak meninggalkan pintu belakang dengan puluhan anggota Thian Liong Pang bertaurng dihadapannya.

Tetapi, gaya bertarung Majikan Kerudung Hitam tetap menjauhi arena utama dan tidak ingin terjebak di tengah-tengah kisruh pertempuran itu. Pukulan-pukulan khas Lam Hay semisal Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut) dihamburkan menandingi Tek Hoat.

Tek Hoat sadar, dalam hal iweekang nampaknya mereka setanding. Bahkan, unsur-unsur sihir nampak lekat dalam pukulan Majikan Kerudung Hitam dan membuat Tek Hoat harus berkonsentrasi penuh menghadapi lawannya. Tetapi, Majikan Kerudung Hitam sendiripun sangat paham bahwa pukulan-pukulan mujijat yang mengguntur dari lawannya mampu memunahkan kekuatan sihirnya. Karena itu, diapun tidak bernai banyak berayal dan terus melakukan perlawanan sengit.

Meski demikian, setelah menyaksikan berkelabatnya dua bayangan dari gedung di belakangnya, justru Majikan Kerudung Hitam menjadi lebih lega dalam bertarung. Meskipun, dia tidak menutup mata terhadap banyaknya anak buahnya yang menjadi korban menghadapi serbuan pihak pendekar. Memperhatikan kondisi tersebut, nampak Majikan Kerudung Hitam membulatkan tekadnya.

Ketika berbenturan dengan pukulan petir Tek Hoat, Majikan Kerudung Hitam tidak menahan bobot tubuhnya hingga melayang ke belakang. Tetapi, pada saat melayang, kedua tangannya nampak bekerja cepat, dan dalam jurus Jurus Thau Ling Cien Te (Ombak Menyapu Darat) dia mempersiapkan sebuah pukulan sakti keluarganya Pek Pou Sin Kun (Pukulan Sakti Ratusan Langkah).

Pukulan ampuh ini, berbeda jauh dengan kekuatan pukulan Hu Pangcu Thian Liong Pang. Semakin jauh jarak lawannya, semakin ampuh akibat pukulan tersebut, dan untungnya Tek Hoat cepat menyadari pukulan ampuh lawannya. Betapapun, Tek Hoat juga telah terlatih baik naluri dan kemampuan membaca pukulan lawan. Justru karena itu, lambaran kekuatan lawan yang luar biasa, meski tanpa menimbulkan angin pukulan yang kuat, tetapi mampu terdeteksi naluri Tek Hoat.

Karena itu, diapun dengan cepat mendorongkan kedua belah tangannya dalam jurus ampuh Hang Liong Sip Pat Ciang, Sie-seng Liok-liong (Mengendarai 6 Naga), jurus ke-14 yang sangat ampuh.

Dan sebuah benturan hebat dan mendebarkan tidaklah dapat terelakkan oleh keduanya lagi: ”blaaaaaaaaaaar” ...... dan keduanya terdorong mundur masing-masing sampai 4-5 langkah. Dan keduanya saling pandang penuh kekaguman yang tak tersembunyikan, meski dimata Majikan Kerudung Hitam nampak sekilat sinar membunuh.

Tetapi, begitupun dia sadar bahwa sulit untuk dilakukannya. Karena meskipun dia memiliki kesempatan, tetapi dengan kekuatan yang dimiliki Tek Hoat, diapun akan sulit melakukan sesuatu dalam waktu dekat. Karena memang, dia sadar keadaan mereka berdua adalah seimbang, dan sangat sulit baginya menentukan kemenangan dalam waktu singkat jika berhadap-hadapan secara jujur. Tetapi, dia masih penasaran untuk mencoba kembali, setidaknya sekali lagi untuk meyakinkan dirinya.

Maka, kekuatan pamungkas Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam) segera dikerahkannya dengan penuh konsentrasi. Dan, Tek Hoat menyadarinya, karena itu dia tidak ragu untuk mengerahkan kekuatannya menandingi dalam jurus pamungkas yang dikombinasikannya antara Pek Lek Sin Jiu dengan kekuatan lemas yang diajarkan Kiang Sin Liong.

Dan kesudahannya, keduanya kembali terlempar bahkan hingga 10-11 langkah ke belakang. Sementara Majikan Kerudung Hitam, nampaknya secara sengaja telah memanfaatkan tenaga dorong benturan tersebut untuk melayang dan menjauh ke gedung lebih belakang dan kemudian berkelabat menjauh menyusul arah kedua bayangan sebelumnya.

Ketika Majikan Kerudung Hitam sudah menjauh, barulah para pendekar menyadarinya. Bahkan, Mei Lan yang memiliki kekuatan ginkang paling lihay, sulit mengejar karena sibuk menghadapi lawan-lawan dari Thian Liong Pang. Karena itu, Majikan Kerudung Hitam dengan leluasa dan tanpa halangan akhirnya meninggalkan tempat pertarungan yang telah dilihatnya tidak mungkin lagi dimenangkan. Selain kekuatan mempertahankan yang tidak memadai, diapun memang hanya bertugas menahan serbuan lawan untuk sesaat.

Selebihnya, perintah bahwa mempertahankan marka operasi di Kwi Cu menghindari serbuan lawan membuat kekuatan inti Thian Liong Pang termasuk yang di Kwi Cu telah dipindahkan beberapa waktu sebelumnya ke markas utama.

Sementara itu, pertarungan sepeninggal Majikan Kerudung Hitam dengan cepat berakhir. Selain kehilangan induk dan pemimpin, semangat juang kawanan Thian Liong Pang memang sudah merosot jauh. Kekuatan inti mereka sudah menyingkir, sementara merekapun rata-rata hanyalah perampok-perampok berkepandaian seadanya yang ditempatkan di markas itu. Kesannya mereka memang seperti dikorbankan dan tidak dianggap cukup penting dan karenanya mereka ditinggalkan di markas Kwi Cu yang telah diramalkan akan segera diserang lawan dalam waktu dekat.

Banyak kawanan perampok dan penjahat yang bergabung dengan Thian Liong Pang kemudian menyatakan menyerah. Markas itupun dengan segera dijadikan markas para pendekar untuk menjadi landasan melakukan serangan ke Markas Utama Thian Liong Pang. Di kalangan pendekar, sangat sedikit korban yang membuang jiwa, hanya beberapa orang saja. Bahkan yang terlukapun jarang yang terluka berat, karena itu pada dasarnya kekuatan para pendekar cenderung tidak berkurang:

”Nampaknya markas ini telah dengan sengaja mereka tinggalkan” ujar Sian Eng Cu setelah memantau hasil akhir pertarungan.

”Benar, lohu juga memiliki kesan yang sama. Mereka nampaknya berkonsentrasi dalam pertempuran di markas besar mereka dan membiarkan kawanan disini menjadi korban serbuan kita” tanggap Pengemis Tawa Gila.

”Sebaiknya kita membersihkan markas ini terlebih dahulu untuk kemudian menjadi tempat beristirahat sambil mempersiapkan pertempuran menentukan nantinya” usul Sian Eng Cu

”Benar, betapapun kita butuh istirahat. Dan Markas ini lebih dari memadai untuk dijadikan landasan penyerangan nantinya”

Kemana Ceng Liong? Setelah memberikan pesan-pesannya kepada kawan-kawannya, anak muda itu kemudian berkelabat meninggalkan arena dengan didampingi Barisan 6 Pedang. Beberapa waktu belakangan, naluri Ceng Liong semakin terasah. Dengan tepat dia menduga bahwa markas itu akan sengaja diserahkan ke mereka dan tiada lagi bahayanya bagi para pendekar.

Justru dia lebih mengkhawatirkan Li Hwa dan Su Kiat, selain dari kedua orang inilah rahasia dimana markas utama Thian Liong Pang akan diketahui. Dia memang sempat berdebat dengan Mei Lan yang berkeras menyertainya, tetapi dengan alasan perlu ada perlindungan bagi para pendekar, akhirnya Mei Lan bersedia tinggal.Tetapi, benarkah dia tinggal?

Kembali ke Ceng Liong dan Nenggala di liang rahasia memasuki markas Thian Liong Pang. Waktu terus berjalan dan perlahan-lahan malampun menjelang datang. Sementara kedua anak muda tersebut nampak tidaklah gelisah melainkan memelihara ketenangan serta rasa awal mereka karena maklum keduanya berada di kandang macan.

Bahkan berbicarapun, mereka cenderung melakukan melalui kekuatan Coan Im Jip Bit, menyampaikan suara lewat gelombang udara. Dan kedua anak muda tersebut sudah lebih dari mampu melakukannya, bahkan keduanya sudah berkemampuan berkomunikasi lewat kekuatan batin. Selama beberapa jam, Ceng Liong dan Nenggala melakukan latihan-latihan dan pendalaman pemahaman mereka atas kemampuan masing-masing. Dan menjelang gelap turun, keduanya berkomunikasi seputar langkah dan strategi mereka memasuki markas utama Thian Liong Pang serta langkah-langkah antisipasi atas kejadian kedepannya.

Hal yang wajar, karena betapapun keduanya masih gelap dengan kondisi markas yang memang asing bagi keduanya.

”Betapapun kita masih sangat asing dengan markas ini, sebaiknya kita tidaklah berpisah saudara Nenggala”

”Benar, lebih baik kita saling bantu dan saling mengawasi sampai muncul kontak dari Li Hwa dan Su Kiat”

”Setidaknya kita memiliki 2 missi; Pertama mencari tahu lokasi masuk dan keadaan dalam markas ini, serta membebaskan para tawanan mereka” jelas Ceng Liong

”Dan bagiku, masih ada beban tugas untuk mencari tahu dimana paman guruku serta dimana rahasia lembar pusaka kakek guruku”

”Apakah detail keadaan markas ini telah diberitahu Li Hwa saudara Nenggala”?

”Secara garis besar iya. Menurutnya, sekeluar dari liang ini, penjagaan rata-rata dilakukan oleh penjaga dan seharusnya mampu kita lewati. Karena tirai kekuatan batin sudah berada di belakang kita. Kurang lebih 200 meter ke depan, terdapat beberapa gedung bagi para penjaga dan anggota biasa Thian Liong Pang. Kita mesti menemukan jalan menuju ke gedung utama yang menurut Li Hwa berada di seberang sungai dan hanya bisa ditempuh melalui terowongan bawah sungai Yang Tze. Kesulitannya adalah, justru terowongan ini sangat ruwet, dan di terowongan inilah para tawanan ditempatkan dan dijaga secara oleh orang yang berilmu tinggi”

”Hm, bagaimana pandangan saudara Nenggala, apakah kita menunggu Li Hwa dan Su Kita membebaskan tawanan atau kita yang akan melakukannya”? Tanya Ceng Liong

”Dan jika kita melakukannya, kita harus melakukan tanpa ketahuan para pentolannya. Sebab dalam dugaanku, semua kekuatan inti Thian Liong Pang sudah berkumpul di markas mereka ini”

”Benar Ceng Liong ....... kita akan menunggu sampai tengah malam tanda dan isyarat mereka. Jika belum ada tanda tersebut, maka biarlah kita memutuskan untuk mencari tawanan tersebut langsiung ke terowongan”

”Baiklah, kita tetapkan demikian saja saudara Nenggala. Nampaknya waktunya sudah tiba untuk kita keluar melakukan penyelidikan lebih jauh”

Tidak lama kemudian, kedua anak muda perkasa itu telah kembali melanjutkan perjalanan. Dan, benar saja, kurang lebih 10 meteran kemudian, Nenggala menemukan pintu keluar dari liang itu. Dan ketika mencapai pintu liang yang juga tidaklah terlampau besar dan hanya muat satu badan manusia belaka, Nenggala kagum karena liang itu berada dibalik semak yang sangat lebat.

Liang itupun masih terhalangi oleh beberapa buah batang pohon besar sehingga dari jalanan tempat perondaan para penjaga, mustahil mampu menemukan liang kecil yang tertutupi semak belukar dan pohon besar itu. Karena itu, dengan cepat keduanya keluar dari mulut liang itu dan kemudian dengan tenang mengawasi lokasi lembah dihadapan mereka untuk menentukan ke arah mana gerangan gedung yang berisikan penjaga dan anggota biasa Thian Liong Pang itu.

Dan seperti yang disampaikan Li Hwa, beberapa meter dari tempat mereka, memang penjaga melakukan perondaan. Meski melakukan perondaan, terkesan mereka sangatlah tenang dan tidak secara was-was meski mereka sadar bahwa markas mereka sedang diincar kelompok pendekar untuk diserbu. Betapa tidak? Siapapun sadar bahwa menerobos tirai kekuatan batin yang dipasang sangatlah sulit meski bukan tidak mungkin. Artinya, sebelum memasuki area penjagaan mereka, musuh sudah pasti bisa terdeteksi. Mimpipun mereka tidak sadar bahwa musuh sudah mampu menerobos melampaui tirai kekuatan batin tanpa terlacak.

Ceng Liong dan Nenggala saling pandang untuk menentukan langkah. Dan ketika keduanya saling tatap, mereka nampaknya sepakat untuk mencari tahu kondisi lembah di hadapan mereka dan perlu dicari tahu dari ketinggian. Dan keduanya denganc epat tanpa meninggalkan suara telah melesat ke ketinggian pohon untuk melayangkan pandang lebih jauh lagi.

Meski dihadang oleh gelapnya malam, tetapi keduanya sanggup mengatasi kesulitan itu dan segera tahu bahwa gedung penjagaan berada di sebelah kanan mereka. Karena menurut Li Hwa mulut terowongan bawah tanah ada di belakang gedung penjaga, maka keduanya mau tidak mau harus memasuki area rawan tersebut. Hanya, sanggupkah mereka melakukannya tanpa ketahuan? Ini masalah lain lagi, tetapi meski beresiko mereka tetap harus melakukannya.

Dengan kewaspadaan tinggi keduanya akhirnya bergerak dengan sangat cepat dengan sesekali berhenti. Untungnya, karena yakin dengan tirai kekuatan batin yang dipasang membuat penjagaan dalam lembah tidak dilakukan oleh tokoh-tokoh berkepandaian tinggi. Itulah sebabnya, jejak Ceng Liong dan Nenggala sejauh ini masih tetap bisa dipertahankan dan tidaklah sampai tercium oleh para penjaga di markas Thian Liong Pang ini.

Lembah itu sendiri sungguh sangat luas dan menghampar cukup panjang dan juga melebar. Selepas bukit yang terpagari oleh kekuatan batin, maka lembah ini nampak telah terpelihara dengan sangat rapih. Jika di bukit dan menjelang pintu masuk lembah dipasang sejumlah besar jebakan dan barisan lihay, maka di dalam lembah tidak lagi ditemukan kondisi sejenis. Sungguh menggambarkan rasa percaya diri pihak Thian Liong Pang, tetapi kali ini kondisi tersebut justru menguntungkan lawan.

Lembah markas mereka ini berbeda dengan rimba sebelumnya yang memiliki pohon-pohon besar dan lebat, sementara Lembah tersebut lebih banyak kebun bunga dan pepohonan yang tidak terlampau besar. Kentara sekali jika lembah itu terpelihara secara baik.
 
2



Dari kejauhan Ceng Liong segera menyadari bahwa formasi Gedung di Markas Besar Thian Liong Pang nyaris sama dengan formasi dan jumlah gedung di Kwi Cu. Hanya saja, gedung-gedung di Markas besar ini kelihatannya masih lebih besar ketimbang di Kwi Cu. sepertinya penghuni-penghuninya juga jauh lebih banyak.

Formasi 5 Gedung tersebut adalah segi 4 dengan Gedung paling besar berada di tengah-tengah dan diapit oleh 4 Gedung lebih kecil lainnya di 4 penjuru mata angin. Nampaknya Gedung paling besar itu menjadi tempat tinggal anggota-anggota terpilih dan terpercaya yang masih belum berhak tinggal di gedung utama di seberang sungai yang bisa ditempuh dengan melalui terowongan bawah sungai.

Semakin mendekat ke kompleks gedung yang ternyata terletak di tengah-tengah lembah, semakin terasa betapa ketatnya pegamanan dan penjaganya. Hal yang tentu saja merupakan tantangan dan rintangan yang mesti mampu mereka putuskan dengan segera. Dalam jarak 50 meteran dari pagar atau tembok pelindung gedung-gedung, jalanan menjadi sangat senyap dan tiada kemungkinan bersembunyi sedikitpun. Mengapa? Karena tiada lagi bunga dan pohon, tetapi jalanan yang sangat luas yang membawa siapapun ke markas besar tanpa diketahui.

Kedua anak muda perkasa itu kemudian menyadari, bahwa meski kepandaian mereka luar biasa, tetapi menerobos tanpa ketahuan ke area 5 gedung itu nyaris mustahil. Apalagi, justru dalam kompeks 5 gedung itu membingungkan karena dalam Markas bagian belakanglah pintu masuk ke terowongan bawah tanah yang akan membawa mereka ke gedung utama di seberang sungai dan ruang tahanan tawanan.

Lebih membingungkan lagi, karena tidak ada petunjuk apapun lagi dari Li Hwa untuk bagaimana berusaha mengatasi masalah yang mereka hadapi saat itu. Dengan kata lain, mereka harus menemukan sendiri cara dan jalan untuk memasuki area rawan tersebut, dan menemukan sendiri jalan masuk terowongan. Itu jugalah sebabnya mengapa keduanya nampak terdiam sejenak dan mengamat-amati areal 5 gedung Thian Liong Pang sambil mengasah otak mencari akal bagaimana cara memasuki gedung tersebut.

Tidaklah mungkin tidak memasuki areal berbahaya itu, karena justru di arela itulah tersimpan pintu masuk. Tanpa menempuh resiko, bagaimana mungkin memperoleh hasil yang besar nantinya?

”Tidak ada cara lain, kita harus berusaha memasuki area itu” Ceng Liong berkata lewat suara yang disampaikan dengan kekuatan tenaga dalam

”Benar Ceng Liong, tapi .....” Nenggala tidak melanjutkan kalimatnya

”Engkau punya usulan Nenggala”?

”Jika tidak menyamar, maka kita harus mencari tahu dari orang dalam bagaimana keadaan didalam”

”Bagaimana caranya mengetahui keadaan didalam”?

“Dengan memasuki area itu tanpa orang menjadi curiga”

”Caranya”?

Tidak ada jawaban sebaliknya kedua anak muda itu saling pandang. Dan adalah Nenggala yang menganggukkan kepala terlebih dahulu dan beberapa saat kemudian Ceng Liongpun kemudian menganggukkan kepala tanda setuju. Tanpa kata-kata keduanya nampak sepaham bahwa untuk mengenali area berbahaya itu maka perlu dilakukan sesuatu yang tidak biasa, dan baik Nenggala maupun Ceng Liong keduanya sepakat tanpa kata-kata untuk menggunakan seseorang di bawah pengaruh kekuatan mereka.

Baik Nenggala maupun Ceng Liong telah memiliki kekuatan batin yang sangat kuat dan bisa dimanfaatkan untuk membuat orang bicara jujur dengan menggunakan kekuatan sejenis ilmu sihir ataupun ilmu hipnotis. Hanya, Ilmu tersebut memang mesti digunakan oleh mereka yang telah memiliki kekuatan Tenaga Dalam yang sangat tinggi dan luar biasa.

Dan untuk syarat yang satu itu, baik Nenggala maupun Ceng Liong sudah barang tentu telah memenuhinya. Dari segi pemanfaatan kekuatan itu, Nenggala memiliki latar dan pengalaman lebih. Hal ini karena memang usia kematangan ilmunya dan penggunaan kekuatan sejenis itu telah dimilikinya beberapa tahun lebih awal. Dibanding Ceng Liong, dia baru beberapa waktu belakangan ini menguasainya, selain karena lebih muda usianya, juga karena baru di latih Kolomoto Ti Lou.

Tetapi, soal kekuatan itu sendiri, Ceng Liong memiliki kelebihan karena faktor alam yang membentuk dan memberinya kekuatan tersebut. Meskipun demikian, Ceng Liong sendiri sayangnya memang masih belum pernah menggunakan kekuatan batin ataupun kekuatan mempengaruhi pikiran orang sejauh ini. Selain dia sendiri terkesan kurang merasa sreg dengan cara itu. Jikapun dia menyetujui cara itu, lebih karena dia melihat tidak ada cara lain lagi yang memungkinkan mereka berdua melakukan penerobosan tanpa ketahuan pihak lawan.

Lebih dari itu, beberapa saat sebelumnya, Ceng Liong juga telah melakukan upaya menembus pagar penjagaan di gedung tersebut dan menemukan kenyataan betapa semua sudut terjaga secara sempurna. Bahkan, tirai kekuatan yang kasat mata, juga membentang sepanjang jalan masuk ke area tersebut.

Mustahil mereka sanggup masuk tanpa ketahuan terlebih dahulu. Maka jalan satu-satunya adalah menggunakan kekuatan mujijat untuk mengetahui letak-letak penjagaan, menyaru sebagai penjaga dan mencari tahu dimana letak liang masuk ke terowongan bawah tanah. Sedang Ceng Liong termangu-mangu, Nenggala sudah bertindak sebat.

Dan ketika ada dua penjaga atau peronda malam yang mendekati mereka, sebuah kekuatan mujijat telah perancar dari tubuhnya. Dan hanya beberapa saat kemudian, 2 tubuh telah pingsan dan disembunyikan disemak. Tidak lama kemudian dua orang yang lain perlahan memasuki areal gedung markas Thian Liong Pang.

Tugas kedua penjaga gadungan tersebut sepertinya sangat dikenal, apalagi karena keduanya memang bertugas hingga menjelang pagi hari. Sementara semua kode rahasia penjagaan sudah mereka sadap. Tetapi, sayangnya terowongan bawah tanah ternyata hanya diketahui beberapa tokoh utama, tidak diketahui oleh para anggota biasa. Padahal, waktu merekapun sangat terbatas dalam mencari terowongan itu ataupun dalam mencari tanda-tanda dari Li Hwa ataupun Su Kiat.

Setelah yakin bahwa gedung-gedung itu memang adalah tempat beristirahat anggota-anggota biasa Thian Liong Pang dan tidak ada lagi tirai-tirai mujijat yang melingkupinya di bagian dalam, maka kedua penjaga gadungan itu kini melakukan operasi rahasia. Begitupun, mereka tidak mampu menemukan dimana mulut terowongan yang sialnya Li Hwa sendiri tidak memberitahukan dimana letak terowongan tersebut.

Padahal, kunci melepaskan tawanan, justru ada di terowongan yang menghubungkan kedua sisi sungai Yang Tze itu. Atau, apakah Li Hwa sendiri yang akan melakukan operasi penyelamatan tersebut? Ataukah memang Li Hwa tidak memberitahukan semua informasi yang dibutuhkan untuk memasuki terowongan tersebut? Dan sejumlah atau lainnya. Hal ini muncul karena meski Nenggala dan Ceng Liong, kedua penjaga gadungan itu, telah menggunakan kekuatan pandang mata, tetapi mereka tidak mampu menemukan pintu masuk terowongan.

Mesti dicari kemana lagikah? Nenggala dan Ceng Liong menjadi pusing memikirkan urusan letak pintu masuk ke terowongan bawah tanah markas itu. Ataukah? Tiba-tiba Ceng Liong memperoleh pikiran baru, dan dengan cepat dia mengirimkan suara melalui ilmu Coan Im Jib bit ...... bicara melalui gelombang udara pada jarak jauh:

”Jangan-jangan pintu terowongan tersebut berawal dari salah satu gedung ditempat ini”

”Ach, kenapa tidak terpikirkan sejak tadi? Aku ingat, Li Hwa sempat mengatakan sebuah petunjuk, berada di tengah dan di ruang utamanya”

”Benarkah demikian saudara Nenggala”?

”Tidak salah lagi. Hanya, Li Hwa mengingatkan bahwa memasuki ruang utama di Gedung tengah itu sungguh sangat berbahaya. Setiap saat gedung itu dijaga oleh satu barisan istimewa dari Thian Liong Pang dan hanya tokoh tertentu yang bebas keluar masuk di terowongan tersebut”

”Betapapun, kita tetap harus menempuh bahaya itu”

”Baiklah, mari kita menuju gedung di bagian tengah itu”

Dan kedua penjaga gadungan itupun perlahan mendekati gedung di posisi tengah dari 5 gedung tersebut. Tetapi, tiba-tiba dibelakang mereka terdengar orang menyapa:

”Siapa disana”?

Mendengar suara tersebut, sontak kedua penjaga gadungan itu bergerak cepat. Dan layaknya ”siluman” keduanya sudah berkelabat dan hilang dari pandangan dua orang yang keheran-heranan karena didepan mereka tiba-tiba menghilang 2 bayangan. Bahkan, salah seorang penjaga menjadi ngeri sendiri:

”Barusan kulihat ada 2 orang disini”

”Iya, aku juga. Tetapi, kenapa tiba-tiba menghilang”?

”Jangan-jangan ........”

Keduanya saling bertatapan dan rasa takut membayang di mata mereka. Tetapi keduanya enggan saling memberitahu kelanjutan dari ”jangan-jangan” itu, lagipula tidak mungkin mereka berteriak-teriak di waktu malam hanya karena hantu. Karena itu, kedua penjaga gadungan tadi akhirnya tetap dianggap hantu oleh kedua penjaga yang memergokinya. Untuk sementara mereka terhindar dari bahaya terlacak pihak lawan.

Tapi itupun terbantu karena pihak Thian Liong Pang nampaknya tidak memberlakukan pengamanan ketat selepas pengamanan bagian luar. Karena itu, diseputar gedung-gedung mereka relatif penjagaan yang sangat lemah atau seadanya dengan asumsi, musuh sudah akan terlacak jauh sebelum memasuki area utama di seputar gedung tersebut.

Sementara itu, setelah menghilang dari para peronda Nenggala dan Ceng Liong sudah maju mepet kearah gedung utama yang lebih besar dari 4 buah gedung lainnya. Dengan sangat hati-hati mereka mengamati jendela pada ruang utama, karena ruang-ruang tidur sudah pasti berisikan orang yang sedang istirahat.

Setelah mengamat-amati secara saksama, akhirnya keduanya saling menganggukkan kepala untuk memasuki sebuah ruangan dibahagian agak depan dari gedung utama. Kemampuan mereka digunakan untuk memastikan bahwa ruangan tersebut kosong didalamnya dan dibutuhkan kecepatan dan ketepatan untuk memasuki ruang tersebut. Dengan perhitungan bahwa gedung tersebut dipastikan aman, terutama karena konsentrasi penjagaan tidak di dalam gedung tetapi di areal luar gedung tersebut, maka keduanya memastikan lebih mudah untuk menerobos.

Dan memang, tak lama kemudian keduanya sudah berada didalam ruangan besar mirip ruangan pertemuan yang sangat besar tetapi kosong dan gelap gulita. Keduanya saling tatap dan terdengar Nenggala:

”Kita harus memeriksa dimana kamar atau ruang tengah yang dimaksud”

”Benar, tapi ingat peringatan Li Hwa, berbahaya memasuki atau mendekati ruang tengah atau kamar tengah. Tetapi kelihatannya tidak ada tanda-tanda bahaya disekitar sini”

”Mungkin ada pesawat yang bisa menggerakkan alat rahasia diseputar tempat ini atau entah apa”

”Benar, sebaiknya kita berhati-hati. Selain Barisan lihay itu kita mesti berjaga-jaga terhadap alat-alat rahasia yang mungkin tersedia”. Keduanya kembali memandang ke bagian tengah ruangan yang sangat lebar dan luas itu, kira-kira 10 meter dari sudut tempat mereka saat itu, ada ruangan yang agak turun ke bawah dan terhitung cukup lebar dan luas.

Beberapa saat kemudian, keduanya siap untuk memulai gerakan mendekati ruang tengah tersebut. Tetapi, sebelum mereka bergerak tiba-tiba Ceng Liong tergetar dan beberapa saat kemudian dia terdiam. Nenggala memandanginya dan beberapa saat kemudian keheranan Nenggala terjawab ketika Ceng Liong mengirimkan suara kepadanya:

”Saudara Nenggala, tunggulah sebentar lagi. Ada seseorang yang akan menjemput kita”

”Ceng Liong, apakah engkau yakin”?

”Aku menangkap gejala bahwa itu memang akan terjadi”

”Maksudmu” Nenggala keheranan

”Tidak ada waktu untuk menjelaskan saat ini. Tetapi, kita butuh menyusun rencana baru” tegas Ceng Liong

”Apa yang mesti kita lakukan jika demikian”? Tanya Nenggala keheranan. Sementara itu, Ceng Liong nampak terpekur sejenak seperti sesuatu yang serius sedang ditelusurinya. Butuh waktu beberapa lama akhirnya nampak keduanya seperti bertukar pikiran agak serius. Pada waktu itu, wibawa Ceng Liong sangatlah terasa, hingga meski umurnya masih lebih tua tapi akhirnya Nenggala yang justru mengalah:

”Baiklah, aku akan mengerjakannya”

”Saudara Nenggala, nasib banyak orang, bahkan rimba persilatan Tionggoan akan sangat tergantung kepadamu. Bahkan juga nasib Li Hwa, tanpa seseorang yang memadai yang akan mengerjakannya, maka sulit mengerjakannya. Mereka tidak mengenal Su Kiat, sementara Pendekar Kembar Siauw Lim Sie sudah mengenalmu. Bawalah tanda ini, maka akan sangat membantu” Ceng Liong menyerahkan dua macam barang kepada Nenggala dan kemudian keduanya nampak menyepakati sesuatu.

”Nach, dia sudah datang” bisik Ceng Liong. Tidak lama setelah Ceng Liong mengatakan demikian, tiba-tiba lantai di tengah ruangan tersebut tersibak dan beberapa saat kemudian sesosok tubuh terlihat keluar dari terowongan rahasia. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba berkelabat 7 bayangan yang rupanya menjadi penjaga pintu masuk tersebut. Ditilik dari gerakan mereka, maka para penjaga pintu masuk tersebut berkepandaian tidaklah rendah, dan karena itu Ceng Liong dan Nenggala bersyukur karena mereka belum sempat melakukan pergerakan. Sebab jika tidak, maka jejak mereka sudah konangan dan resiko ketahuan akan merusak rencana mereka.

”Siapa” terdengar suara salah seorang dari 7 penjaga itu

”Thio Su Kiat” jawab si orang yang baru keluar dari terowongan tersebut. Sementara itu, Ceng Liong telah melirik Nenggala dan saling menganggukkan kepala. Tanda apakah gerangan?.

”Engkau termasuk seorang yang butuh tanda khusus Pangcu jika menggunakan terowongan ini. Apakah engkau membawanya”?

”Maaf, aku melupakannya” tenang sekali suara Su Kiat

”Jika demikian, maafkan kami. Saudara perlu membawa tanda itu untuk keluar”

”Jika demikian, maafkan aku” sebelum kalimat ini diucapkan Su Kiat Nenggala dan Ceng Liong tanpa bersuara telah bergerak, sementara Su Kiat sendiri selepas kalimat itu telah melancarkan totokan kepada orang yang berbicara kepadanya. Semua kejadian itu terjadi hanya dalam hitungan sekejap dan bahkan tidak sampai hitungan detik.

Orang yang ditotok Su Kiat, mimpipun tidak menduga serangan itu. Siapa yang berani main gila di ruangan itu? Terhadap mereka bertujuh apalagi. Betapapun tinggi kepandaiannya, tanpa kesiapan dan lagi tidak bermimpi mendapat serangan seorang selihay Su Kiat, mana sanggup menahannya.

Tak ampun lagi jalan darahnya tertotok dan seketika dia jatuh terduduk. Bersamaan dengan itu, 6 orang yang lain, yang juga dalam keadaan tidak bersiaga telah tertotok secara cepat dan lihay oleh Ceng Liong dan Nenggala.

”Sungguh berbahaya-sungguh berbahaya” desis Su Kiat

“Kita kembalikan mereka duduk pada posisi mereka masing-masing. Jika mereka sempat bersiaga, sungguh sulit membayangkan akibatnya. Apalagi karena aku tidak membekal tanda bertugas. Kita harus bergerak cepat” tambah Su Kiat. Dan tidak butuh waktu lama ketiganya telah memasuki terowongan rahasia tersebut dengan dipimpin oleh Su Kiat.

”Untungnya Thian Liong Pang sangat percaya diri sehingga terowongan ini tidaklah dilengkapi dengan pesawat rahasia dan jebakan-jebakan lainnya. Tetapi, di markas seberang sungai ini, sungguh merupakan neraka bagi yang tidak mengenal medannya”

”Betapapun kita mesti berhati-hati” desis Nenggala

”Benar, kita tetap mesti berhati-hati” tegas Ceng Liong

”Duta Agung” nampak setelah berada di dalam terowongan Su Kiat sepertinya hendak melaporkan sesuatu yang penting. Tetapi, dia masih belum mengungkapkan menunggu dan melihat reaksi Ceng Liong lebih dulu.

”Duta Hukum, aku sudah menduga setengah bagian. Lakukan saja, kami sudah memutuskan apa yang akan dikerjakan”

”Duta Agung sudah tahu jika Li Hwa sudah dicurigai”? Desis Su Kiat

”Sudah, bahkan juga tahu jika sebentar lagi mereka akan menyadari bahwa engkau tidak berada di ruanganmu. Dan bahwa waktu yang kita miliki sangat terbatas. Justru karena itu, engkau bersama Nenggala akan bertugas membawa para tawanan keluar dari terowongan dan kemudian menyelamatkan mereka sambil menjemput rombongan pendekar untuk menyerbu kemari”

”Duta Agung, bagaimana dengan engkau sendiri dan bagaimana dengan Li Hwa”? Tanya Su Kiat tegang

”Semua tergantung kecepatan kalian, soal diriku dan Li Hwa, biarlah aku Duta Agung yang menjamin keselamatannya dan keselamatan kami”

Su Kiat masih hendak bicara, tapi dia sadar Ceng Liong telah memutuskan dan bahkan nampak Nenggala juga sudah menyepakati apa yang mesti mereka lakukan. Dia hanya tak tahu, bahwa Ceng Liong telah bersepakat dengan Nenggala untuk melakukan beberapa hal dengan jaminan berat dari Ceng Liong.

Terowongan bawah tanah itu ternyata memang cukup panjang dan membentang persis di bawah aliran sungai Yang Tze atau bahkan menghubungkan 2 tepian tetapi melalui jalur bawah tanah. Karena itu suasana di terowongan terasa sangat lembab. Panjang terowongan itu adalah juga sepanjang lebar sungai Yang Tze yang dihubungkannya lewat jalur bawah tanah itu, mungkin ada sekitar 400-500 meter.

Persis di bagian tengah, ada belokan ke kiri dan kekanan dan nampaknya menjadi semacam ruangan tahanan. Karena waktu yang mendesak, Ceng Liong, Su Kiat dan Nenggala mempercepat langkah mereka. Sebagaimana pintu masuk terowongan, simpang ke kiri dan kekanan yang rupanya merupakan jalan ke arah ruang tahanan, juga dijaga seadanya saja. Jelas sekali, Thian Liong Pang sangat percaya dengan tirai kekuatan batin yang mengelilingi markas besar mereka.

Karena itu mereka tidak mengansitipasi jika jalur itu bisa dilewati secara diam-diam seperti keadaan sekarang ini. Karena itu jugalah, sejauh ini, mereka masih tetap aman-aman saja. Tapi benarkah keadaan mereka aman-aman saja dan tidak diketahui musuh?

Penjaga di kedua sisi dengan cepat dilumpuhkan. Ceng Liong mengambil arah kekanan sementara Nenggala ke arah kiri, sementara Su Kiat berjaga-jaga di persimpangan tersebut. Dia masih tersentak dan belum yakin apakah secepat itu rahasia pemberontakannya tercium oleh pihak Thian Liong Pang? Menyusul kecurigaan tokoh-tokoh tua Thian Liong Pang kepada Li Hwa, maka Su Kiat telah memutuskan melaksanakan operasi penyelamatan sendirian. Dia tidak tahu, bahwa kepulangannya bersama Li Hwa yang terakhir bukan hanya membuat banyak orang mencurigai Li Hwa, tetapi juga mencurigainya.

Sementara itu, setelah melumpuhkan penjaga di sisi kiri, Ceng Liong telah menemukan 4 buah ruang tahanan yang masing-masing dua ruang tahanan saling berhadapan. Meski demikian ruang tahanan tersebut semuanya terkunci dengan rapat. Persoalan sekarang, bagaimana membuka ruang pintu rahasia tersebut? Meskipun bisa memukul rubuh pintu ruang tahanan, tetapi akibatnya bisa dipastikan terowongan tersebut akan runtuh.

Dan sebagai akibatnya terowongan tersebut akan terendam air bah karena tepat berada di bawah sungai besar Yang Tze. Sulit membayangkan terjangan air yang pasti akan sangat besar dan kuat tekanannya jika terowongan tersebut runtuh. Itu sebabnya Ceng Liong tercenung sejenak, kebingungan. Memukul dinding pasti akan berpengaruh besar, yang mungkin adalah membobol dinding atau pintu masuk yang terbuat dari besi.

Dan benar saja, Ceng Liong nampak berkonsentrasi untuk meruntuhkan atau membobol pintu besi yang menutup ruang tahanan. Nampak Ceng Liong menempelkan tangannya pada pintu yang mengaitkan pintu besi itu dengan dinding sambil mengerahkan kekuatan sinkang berhawa panas. Sebagaimana diketahui, Ceng Liong pernah dibantu Kiong Siang Han dengan sinkang hawa keras dan panas dari Pek Lek Sin Jiu. Hal itu dilakukan dulu guna mengimbangi kekuatan hawa dingin dan lemas dari Giok Ceng Sinkang keluarga Lembah Pualam Hijau. Dan kekuatan itulah yang sekarang sedang dicoba oleh Ceng Liong.

Ceng Liong yang sekarang sudah jauh berbeda dengan Ceng Liong beberapa tahun sebelumnya. Kekuatan iweekangnya yang mujijat boleh dibilang merupakan kejadian dan anugerah alam, dan karena itu kekuatan hawa panas dan keras dari Kiong Siang Han, juga sudah masak dan terlatih baik oleh anak muda ini.

Karena itu, perlahan pintu besi yang tebal itupun nampak membara, dan akibatnya adalah pintu besi itu semakin lama semakin longgar kaitannya ke sela bebatuan yang menahan pintu masuk itu untuk terbuka dengan sendirinya. Semakin panas semakin longgar kaitan tersebut dan setelah beberapa lama akhirnya pintu itupun bisa digeser kesamping dengan meninggalkan kaitan besi yang membara dan terlepas. Ketika pintu itu terbuka, terdengar sebuah seruan yang cukup bening dan dalam dari dalam ruang tahanan:

”Siapa”?

”Cayhe, Kiang Ceng Liong datang membantu”

“Hm, She Kiang, apakah dari Lembah Pualam Hijau”?

“Benar, generasi kelima Duta Agung Lembah Pualam Hijau”

“Hm, hebat-hebat. Baiklah Duta Agung, tolong lepaskan dulu belenggu ini, dan setelah itu kita harus membantu kawan-kawan lainnya”

Dengan cepat Ceng Liong masuk dan dengan ketajaman matanya, dia melihat seorang Pengemis Tua sedang duduk di sudut ruangan tetapi keadaannya seperti lesu dan tidak memiliki tenaga. Ceng Liong mendekatinya dan sekilas kemudian dia sadar siapa yang dihadapannya, karena siapa-siapa yang memasuki dalam rombongan orang tuanya dulu sudah diketahuinya semua.

”Benarkah locianpwee ini adalah Ciu Sian Sin Kay”?

”Hm, benar anak muda. Sayangnya kini pengemis tua ini sedang tidak bisa melakukan apa-apa yang besar. Bangsat-bangsat itu meniupkan semacam obat bius setiap 7 hari sehingga tak mampu mengeluarkan kemampuanku”

”Apakah locianpwee masih bisa bergerak”? Bertanya Ceng Liong secara hati-hati melihat dan memprihatinkan kondisi sang Pengemis Sakti.

”Untuk berjalan dan berlari masih sanggup anak muda, tetapi untuk berkelahi takutnya pengemis tua ini tidak sanggup ....... hahahaha” begitupun si Pengemis Pemabuk ini masih sempat tertawa.

”Baiklah locianpwee, kita perlu bergerak cepat, siapa-siapa lagikah yang di tawan di tempat ini”?

”Ruang tahanan sudut depanku ini dihuni tojin bau’ dari Bu Tong Pay, sementara 2 ruangan lainnya setahuku sudah kosong. Engkau bebaskan dulu tojin itu sebelum membebaskan yang lainnya”

”Baik locianpwee, tetapi dimana gerangan tahanan yang lain”?

”Mereka di ruang tahanan yang seberang sana anak muda, cepatlah” Sambil berkata demikian, Ciu Sian Sin Kay berdiri dan jelas memang langkahnya benar-benar tak bertenaga.

”Baiklah locianpwee, di depan ada Duta Hukum Lembah Pualam Hijau berjaga-jaga. Biar cayhe berusaha membebaskan Ci Siong Tojin”

”Baiklah, baiklah anak muda. Sayang masih perlu sehari lagi baru kekuatanku pulih. Tidak sabar lagi pengemis tua ini untuk menggebuk bangsat-bangsat itu ..... tapi setidaknya arak sudah bisa kucari ..... hahahahaha”

Tidak berapa lama kemudian Ci Siong Tojinpun telah berhasil dibebaskan. Tapi belum lagi Ceng Liong bergabung dengan Su Kiat, Ciu Sian Sin Kay dan Nenggala yang telah membebaskan Kiang Hong dan Tan Bi Hiong serta Kong Hian Hwesio dari Siauw Lim Sie, tiba-tiba Ceng Liong menangkap suara dari kejauhan. Suara itu diikuti dengan langkah orang-orang yang nampaknya berkepandaian tidak rendah. Karena itu, Ceng Liong dengan cepat menyambar lengan Ci Siong Tojin sambil berkata:

”Maaf locianpwee”

Dalam sekejap mereka telah bergabung bersama. Dengan cepat Ceng Liong memberi hormat kepada semua orang:

”Tecu Kiang Ceng Liong menjumpai locianpwee sekalian”

”Anakku” suara tertahan terdengar dari bibir Tan Bi Hiong

”Tapi maaf, karena keadaan sangat mendesak, lawan-lawan akan segera tiba ditempat ini, maka meminta dengan hormat locianpwee sekalian untuk mengundurkan diri dahulu. Di Kwi Cu rombongan pendekar telah menunggu. Nenggala, Duta Hukum, lakukan segera” Ceng Liong berkata cepat dan tegas sambil sekilas memandang ibunya dan tersenyum singkat dan kemudian memandang Nenggala dan Su Kiat.

”Ayah, Ibu, karena keadaan mendesak, biarlah Nenggala dan Duta Hukum kita mengantarkan keluar. Kalau tidak, sulit bagi kita semua meninggalkan tempat ini, lawan terlampau berbahaya”

Pertemuan orang tua dan anak yang seharusnya mengharukan justru terjadi pada saat yang sangat menegangkan. Dan adalah Kiang Hong yang kemudian cepat sadar, sementara Bi Hiong sempat mendekati anaknya dan dengan haru memandangi wajah Ceng Liong. Ceng Liong mendiamkannya sejenak, baru kemudian berkata:

”Ibu, keadaan sangat mendesak. Nenggala, Duta Hukum, cepat. Mereka sudah sangat dekat dari tempat ini”

”Baik Ceng Liong” Nenggala dengan cepat begerak di depannya Su Kiat yang bergerak setelah menghormati Ceng Liong dan pergi

”Baik Duta Agung, Duta Hukum menjalankan perintah”

Berbeda dengan Kong Hian Hwesio, Ciu Sian Sin Kay dan Ci Siong Tojin, ternyata Kiang Hong dan Tan Bi Hiong tidaklah sedang kehilangan kekuatan mereka. Mereka nampak sehat dan segar bugar, malah kesaktian mereka nampaknya tidaklah berkurang. Entah apa penyebabnya. Karena itu, Bi Hiong berkeras tinggal dan berkata:

”Biar aku menemani Liong jie”

”Ibu, cepatlah. Liong jie akan sanggup menahan mereka, selain ada enci Li Hwa yang juga harus dilindungi. Pergilah”

”Li Hwa, siapa pula dia? Liong Jie, apakah engkau memiliki keyakinan”? Bertanya Kiang Hong cepat

”Iya ayah, ada hal-hal yang sulit dikatakan sekarang”

”Baiklah, Hiong moi, mari .....”

”Liong jie” Bi Hiong masih berkeras sejenak, sementara itu tokoh-tokoh yang ditakutkan Ceng Liong sudah berdatangan.

”Ibu, pergilah, waktu sudah mendesak” Ceng Liong mendorong ibunya halus yang kemudian segera berlalu sambil menengok sejenak ke belakang. Sementara itu, Ceng Liong telah melangkah maju dan menghadang para pendatang. Siapa-siapakah mereka gerangan?
 
Bimabet
3




Di barisan paling depan berdiri seorang pemuda dengan sekujur badan tertutup kain hitam, termasuk kepalanya. Matanya mencorong tajam, sehingga biarpun dalam gelapnya terowongan itu, Ceng Liong seperti melihat bara menyala dari mata yang memandangnya itu. Luar biasa. Siapakah dia? Benar, siapa lagi jika bukan Majikan Kerudung Hitam. Dan kini, Majikan Kerudung Hitam memandang Ceng Liong yang dimatanya biasa saja dengan mata penuh dendam.

Apalagi ketika melirik ruang tahanan yang telah terbuka dan isinya sudah kosong. Tambah nyalang dan marah mata itu. Sementara orang kedua yang berada tepat di belakang Majikan Kerudung Hitam, adalah seorang pemuda mungkin sebaya dengan Majikan Kerudung Hitam atau sebaya dengan Nenggala yang telah meninggalkan tempat itu. Pemuda ini bernama Janaswamy, murid Mahendra yang kemudian bertemu dengan tokoh sepuh India lainnya di Tionggoan hingga kepandaiannya bahkan melebihi Mahendra gurunya (Kemunculannya pertama kali di episode 15).

Janaswamy ini, malah tidak berselisih jauh dari kemampuan Majikan Kerudung Hitam yang juga sudah meningkat jauh kemampuannya, bahkan sedang disiapkan untuk menandingi tokoh-tokoh muda Tionggoan nantinya. Tokoh muda India ini hanya senyam-senyum tidak jelas, dan sinar matanya memang memancar aneh, nyalang tetapi sangat menakutkan. Misterius dan mendatangkan rasa tidak senang bagi siapapun yang melihatnya. Gabungan antara kebinalan, kekejaman dan kesanggupan untuk melakukan kejahatan jenis apapun.

Dan dia memandang Ceng Liong seperti memandang anak-anak yang akan dengan mudah ditaklukkannya dan kemudian dipermainkannya. Tetapi, siapakah sebenarnya tokoh sepuh lainnya yang telah melatihnya belakangan ini dan bahkan agaknya telah mampu melebihi kemampuan Mahendra gurunya yang pertama itu? Kita lihat nanti pada bagian-bagian selanjutnya.

Dan selain kedua orang muda ini, masih ada orang lain lagi yang bahkan nampaknya lebih menyeramkan ketimbang kedua anak muda didepannya. Sejak kedatangannya, tokoh itu lebih banyak berdiam diri, bahkan menundukkan kepalanya seperti tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Meski posisinya demikian, tetapi Ceng Liong yang juga merasakan lontaran kehebatan getaran yang dialirkan oleh kemarahan Majikan Kerudung Hitam dan Janaswamy, mampu merasakan getaran yang lebih menyeramkan keluar dari orang paling belakang itu.

Orang itu sendiri nampak sudah cukup tua dan memiliki potongan berbeda dari potongan fisik orang-orang Tionggoan. Dan Ceng Liong meyakinkan dirinya bahwa ini untuk pertama kalinya dia menjumpai tokoh yang nampak hebat dan menyiarkan hawa mematikan yang menyeramkan ini. Terhadap 2 pendatang yang lebih muda ini, Ceng Liong memiliki keyakinan atas kemampuan dirinya. Tetapi terhadap pendatang tua yang berdiri menunduk di barisan belakang, Ceng Liong sungguh bergidik membayangkan kehebatannya. ”Aku mesti sangat berhati-hati” pikir anak muda itu.

Begitu saling berhadapan, meskipun untuk beberapa saat tanpa kata-kata, tetapi kediaman masing-masing telah menunjukkan posisi apa yang diinginkan dan nampak tanpa diucapkan kedua pihak sudah paham. Di pihak Majikan Kerudung Hitam sedang berpikir, ”betapa beraninya orang ini? Darimana gerangan? Bukankah dengan berdiri menghadang dia sednag menantang? Dan bukankah dengan demikian tawanan yang telah pergi akan mampu meloloskan diri”?.

Sementara Ceng Liong sendiri, posisi diamnya memang disengaja untuk menghambat waktu agar para tawanan bisa segera meninggalkan tempat itu. Di bawah kawalan Nenggala dan Duta Hukum, serta tetap pulihnya ayah dan ibunya membuatnya yakin bahwa mereka akan sanggup meninggalkan tempat mengerikan ini. Semakin lama dia menghadang, tentunya akan semakin bagus.

Bukannya dia tidak merasakan lontaran kemarahan pihak lawan. Tidak. Malah sebaliknya, Pertarungan yang tidak jauh membahayakan sedang terjadi antara mereka. Sebuah pertempuran urat syarat. Dengan saling pandang dan saling hadang, masing-masing mengirimkan isyarat kehebatannya dan mengirimkan sinyal posisi yang diambil. Kalah dalam adu mental ini, sudah pasti akan meruntuhkan perlawanan dalam pertempuran yang sebenarnya.

Siapa yang akan memulai? Ceng Liong? Nampaknya tidak. Karena dia berkeinginan untuk menahan terus ketiga lawan didepannya untuk tidak menerjang melewatinya. Tapi, apakah benar bahwa mereka yang keluar dari ruangan tahanan itu tidak akan dihadang pihak lawan? Entahlah. Yang pasti, adalah tugas Ceng Liong menghadang ketiga lawan yang dia tahu teramat berat untuk dilawan ini. Semakin lama dia mampu menahan mereka bertiga, semakin baik.

Sementara itu, Majikan Kerudung Hitam yang nampak menyeramkan dari segi fisik juga menyadari apa maksud Ceng Liong menghadang mereka. Tidak, dia tidaklah sedemikian bodoh untuk membaca sikap dan keinginan Ceng Liong. Yang membuat dia terhenyak cukup lama adalah kenyataan, betapa lontaran serangan tidak kelihatan dari pihaknya seperti raib begitu saja. Orang dihadapannya, yang nampaknya lebih muda darinya bahkan tidak bergeming dan tidak nampak terpukul.

Sangat tenang dan sangat yakin atas dirinya. Itulah yang membuat Majikan Kerudung Hitam tidak dengan segera menggempur posisi berdiri Ceng Liong. Selain itu, dia juga sadar, jika benturan hebat terjadi, sangat dikhawatirkan terowongan tersebut akan jebol dan dipenuhi air bah dari sungai Yang Tze. Padahal, meski cuma tempat persembunyian anak buah mereka, markas utama dengan 5 gedung besar, juga sebetulnya menyimpan banyak rahasia kekuatan Thian Liong Pang.

Menyadari pentingnya menjaga rahasia dan tidak membiarkan para tawanan lolos, kemarahan Majikan Kerudung Hitam memuncak. Tetapi tetap dengan berhati-hati (sungguh tanda kematangan yang mengagumkan) akhirnya dia bersuara:

”Siapakah engkau”?

”Ehm, tidak usah ditanya, dia pasti musuh kita” adalah si Pemuda asal Thian Tok, Janaswamy yang telah bersuara.

Tetapi Ceng Liong tetap tidak menjawab, sebaliknya meningkatkan kewaspadaan karena sadar, sebentar lagi benturan akan tidak terhindarkan. Yang dia khawatirkan adalah kakek tua di belakang kedua anak muda yang nampak sangat menyeramkan itu.

”Benar, dengan membebaskan para tawanan sudah pasti dia adalah rombangan para penyerang itu. Janaswamy, cobalah engkau menangkapnya” Majikan Kerudung Hitam yang cerdik mengajukan Janaswamy untuk mencoba Ceng Liong. Betapapun dia memang khawatir dengan ketenangan lawan muda dihadapannya. Padahal, baru pagi tadi dia berhadapan dengan seorang anak muda lainnya yang mesti diakuinya tidak berada di bawah kemampuannya.

”Baik Majikan Kerudung Hitam, aku memang sudah kepengen ..... hahahaha”

Sambil tertawa Janaswamy telah melangkah persis langkah ular melata. Tetapi hebatnya, dengan gaya berlenggang-lenggok seperti itu, hanya dalam hitungan sepersekian detik, contakkan tanggannya sudah berada di wajah Ceng Liong. Nampak jelas seperti ingin mencolek wajah Ceng Liong. Jago muda kita sudah tentu tidak ingin tercolek begitu saja, tetapi juga tidak ingin bertarung terlalu cepat.

Karena itu, dia memilih untuk menggerakkan wajahnya dan menotok tangan si penyerang dengan tangan kirinya. Menghadapi ancaman totokan tangan kiri Ceng Liong, Janaswamy dengan cepat menggerakkan tangannya bagai ular meletik dan telah melaju dengan totokan ke jalan darah mematikan di dada sebelah kiri Ceng Liong. Tetapi, Ceng Liong dengan cepat merubah gerakan tangan kirinya dan masih dengan badan belum beranjak memunahkan totokan Janaswamy.

Janaswamy belum nampak penasaran karena gebrakan mereka hanya dalam gebrakan-gebrakan biasa meski dalam kecepatan menakjubkan. Sementara Ceng Liong cenderung membatasi diri untuk membela diri, karena dia lebih prihatin dengan keberadaan kakek tua menyeramkan yang masih terus menunduk dan tidak berkeinginan menatap wajahnya, atau apalagi berbicara kepadanya. Selain itu, Ceng Liong memang berkeinginan untuk memperpanjang pertarungan memberi ketika kawan-kawannya untuk berlalu.

”Janaswamy, waktu kita tidak memadai”

”Baik ..... hahahaha, jangan khawatir”

Seiring dengan itu, tangan dan kaki Janaswamy yang bergerak-gerak bagaikan ular itu nampak bergerak lebih cepat lagi, tetapi dengan hawa keungu-unguan yang memercik dari gerakannya. Beracun ..... sudah pasti. Tetapi, lawannya kali ini adalah Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang meski masih muda tetapi telah sarat ilmu dan kesaktian.

Sudah tentu Ceng Liong tidak mandah membiarkan dirinya diserang tanpa membela diri atau bahkan menghadiahkan jurus serangan kepada lawannya. Tetapi, karena kondisi tempat pertarungan yang berbahaya, Ceng Liong harus cermat memilih jurus dan ilmu serangan yang berwatak lunak dan lemas. Kebetulan, ilmu keluarga yang sempurna dikuasainya memang berwatak demikian. Karena itu, dengan leluasa Giok Ceng Sinkang dikerahkannya.

Tidak usah dikata, sinkang jenis ini adalah sinkang membangun, mengkonstruksi dan menyembuhkan, bukannya merusak. Apalagi di tangan Ceng Liong, racun jenis apapun jika dia telah mengerahkan sinkang istimewanya itu akan tidak berarti banyak. Selain itu, dia juga memainkan jurus-jurus lihay dari Giok Ceng Cap Sah Sin Kun. Dimainkan oleh Ceng Liong ilmu itu menjadi tambah lihay dan membuat Janaswamy seperti membentur tembok.

Bukan saja membuat semua pukulan dan totokan Janaswamy terpental, melainkan meniup semua hawa busuk dan menghilang entah kemana. Sebetulnya bukan menghilang, tetapi racun hawa pukulan tersebut tertawarkan pada saat membentuk dinding kekuatan Giok Ceng Sinkang yang mengelilingi tubuh Ceng Liong.

Melihat keadaan tersebut, bukan hanya Janaswamy yang terkejut, bahkan Majikan Kerudung Hitam sendiripun tertegun melihat kemampuan yang ditunjukkan Ceng Liong. Bahkan sang Kakek tua di belakang sana, juga sampai nampak mengernyitkan keningnya mengikuti pertempuran Janaswamy dan Ceng Liong, terutama ketika menyadari di sekujur tubuh Ceng Liong terpasang kemampuan khikang yang sangat istimewa.

”Hm’ tedengar dengusan dari kakek tua itu.

Sementara itu, Janaswamy menjadi semakin penasaran. Dengan cepat dia meningkatkan lagi kemampuannya, tetapi lagi-lagi terdengar lenguhan seperti mencibir dari si kakek tua ”hm”, entah apa maksudnya. Yang jelas, Janaswamy yang bergerak dan seperti berbuah menjadi puluhan orang, nampak menyerang sengit dengan gerakan tangan dan kaki yang menyerupai caplokan seekor ular besar atau naga. Sementara Ceng Liong sebaliknya gembira karena keadaan tersebut, setidaknya dia berhasil memancing lawan untuk menyerangnya terus menerus dan sejenak melupakan para tawanan yang telah meloloskan diri.

Sementara itu Janaswamy nampak semakin lama semakin penasaran. Pukulan-pukulannyapun semakin meningkat penggunaan tenaganya. Tetapi, semua pukulan tersebut bagaikan membal ketika bertemu dengan benteng pertahanan sinkang Ceng Liong. Sebaliknya, Ceng Liong tidak banyak melakukan serangan balasan kecuali menghalau semua pukulan-pukulan lawan dan bersilat seakan-akan sedang dalam tekanan lawan.

Majikan Kerudung Putih dan Kakek tua yang berada di luar gelanggang paham belaka, bahwa Janaswamy tidak akan sanggup untuk menerobos hadangan Ceng Liong. Mereka sadar, dari gerak-geriknya, Ceng Liong bukannya sedang terdesak, melainkan memang tengah mengulur waktu. Dan sekali lagi, seorang Majikan Kerudung Putih bukanlah tokoh yang bodoh. Sebaliknya, dia sangat pintar malah.

Melihat keadaan demikian, dia kemudian mengambil satu keputusan, dan keputusan itu langsung dia kerjakan begitu terbersit dibenaknya. Pada saat Janaswamy kembali melancarkan serangan berantai dan saat bersamaan gerakan tangan Ceng Liong menyambut gebrakan itu, Majikan Kerudung Putih juga masuk. Bukan untuk menyerang melainkan memanfaatkan celah kecil yang ditinggalkan Ceng Liong untuk melewatinya. Nampaknya masih ada setitik rasa ksatria di tindakannya.

Tetapi, Ceng Liong tidak pernah melewatkan pengawasannya atas mereka berdua. Atas Majikan Kerudung Hitam dan atas Kakek Tua yang sudah kembali tunduk dan tidak banyak mau campur tangan. Begitu Majikan Kerudung Hitam bergerak, Ceng Liong sudah dengan cepat menyadarinya, dan dengan sebat melangkah mundur dua tindak dan pada saat itu serangkum hawa serangan Giok Ceng Sinkang meluncur lembut kearah dua lawannya.

Majikan Kerudung Hitam yang tahu peluangnya telah lewat, menyambut hawa serangan Giok Ceng Sinkang dan malah melakukan serangan balasan membantu Janswamy. Kali ini berbeda dengan pertarungan melawan Janaswamy, Ceng Liong menghadapi serangan lawan yang memiliki dasar sinkang yang keras. Dasar sinkang yang segera diketahuinya berasal dari Lam Hay Bun.

Dia telah pernah merasakannya sebelumnya Siang Ciang Hoan Thian – Sepasang Tangan Membalik Langit , milik para petinggi Thian Liong Pang dan dekat dengan Lam Hay Bun. Dan serangan-serangan ini membawa kekuatan yang menggetarkan, bahkan sampai membuat terowongan tersebut bergetar. Ceng Liong menyadari betapa berat jika kedua lawannya itu bersatu, tetapi dia tidak punya pilihan selain menahan serangan keduanya.

Janaswamy memainkan ilmu-ilmu pusaka tokoh Thian Tokoh, Sihir Sakti Ular Dewa yang lemas tetapi beracun dan penuh perangkap keji, sementara Majikan Kerudung Hitam memainkan Siang Ciang Hoan Thian yang keras. Beruntung Ceng Liong telah paham atas rahasia kekuatan iweekang setelah dilatih kakek buyutnya dan juga Kolomoto Ti Lou. Jika tidak, jika seandainya dia melawan kekuatan kedua serangan tersebut, meski belum tentu kalah, tetapi bisa dipastikan terowongan itu akan segera runtuh.

Kali ini, Ceng Liong menghadapi gempuran lawan dengan kekuatan tidak dibawahnya tetapi dengan dua jenis kekuatan sekaligus. Tetapi, pada sisi lain lontaran-lontaran kekuatan tenaga dalam lawan-lawannya, tidaklah mungkin dilawannya dengan kekerasan karena akan menyebabkan runtuhnya terowongan itu.

Berpikir demikian, Ceng Liong memusatkan kekuatannya pada kemampuan menyerap dan menetralisasi kekuatan lontaran iweekang lawan, sambil tetap bersilat menghadapi gempuran jurus-jurus mereka. Sungguh pertarungan yang amat sulit bagi Ceng Liong. Meskipun dia sadar waktu yang diciptakannya buat kawan-kawannya sudah cukup, tetapi dia kini terlibat pertarungan menegangkan dengan jalan keluar yang cukup tipis selain melawan. Dan itu dilakukannya.

Hebatnya, kekuatan lunak dan lemas serta kekuatan tenaga keras dari Majikan Kerudung Hitam dan Janaswamy terlontar terus menerus dan membuat Ceng Liong perlahan kewalahan juga menteralisasinya. Jika berada di ruang terbuka, Ceng Liong tidak akan serepot ini. Dia bisa menyalurkan atau bahkan melawan kedua kekuatan tersebut dengan lawan yang tepat masing-masing.

Tetapi saat ini, dia terdesak untuk melawan tekanan sinkang berbeda dari dua lawannya, sementara pada saat bersamaan tangan dan kakinya harus berkutat dalam jurus-jurus serangan yang sudah digantinya dengan Soan Hong Sin Ciang. Perlahan namun pasti dia jatuh di bawah angin. Tetapi, kematangannya kini bolehlah dipuji, karena memang dia berkutat melawan banyak hal.

Melawan Janawasmy, melawan Majikan Kerudung Hitam dan melawan gabungan tenaga mereka yang jika dilawan bisa meruntuhkan terowongan rahasia itu. Keadaan Ceng Liong sampai membuat Kakek Tua yang tadinya selalu menunduk kini memperhatikannya dengan saksama. Karena betapapun, kakek tua itu tahu sampai dimana kemampuan kedua anak muda yang datang bersamanya tadi. Dia harus kagum, dan memang matanya menunjukkan perhatian.

Kembali ke Ceng Liong, upayanya untuk memulihkan diri dalam sekali atau dua kali tarikan nafaspun sulit dilakukan. Karena dia tidak diberi ketika oleh kedua lawannya dan terus dicecar dengan pukulan-pukulan yang semakin lama semakin meningkat. Karena bertarung sekian lama, Janaswamy dan Majikan Kerudung Hitam menjadi sangat penasaran dan malu, sudah mengeroyok tetapi masih juga tak mampu nejatuhkan lawan.

Posisi mereka itu membuat mereka lupa dan tidak awas, terutama bahwa akibat pukulan mereka, terowongan bisa runtuh dan bakal membahayakan jiwa mereka semua. Akibatnya, harus Ceng Liong yang menahan beban yang teramat berat itu di pudaknya. Dia sudah berkeringat karena harus menggunakan segenap kekuatan lemas dan lunak dalam tubuhnya untuk memunahkan daya serang lawan agar tidak menggetarkan terowongan.

Keadaan tersebut membuatnya berpikir untuk melakukan improvisasi, yakni mencoba untuk membentur kekuatan tenaga lawan dengan campuran lemas dan keras dan kemudian menahannya dalam tubuhnya. Hal itu dipikirkannya agar fisik dan daya tahan sinkangnya tidak kehabisan daya untuk terus-menerus menahan gempuran lawan. Dari yang seharusnya terlontar keluar, menjadi menghempas dalam tubuhnya untuk dipunahkan daya rusaknya. Jika bertarung seperti itu terus, sama saja dia akan melukai dirinya lama-kelamaan.

Menyadari hal itu, Ceng Liong mulai merubah daya tempurnya. Dia tidak hanya bertahan, tetapi mulai ikut menyerang dengan menggunakan gabungan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Kong Sin Ciang. Maksudnya sederhana, memperoleh waktu yang memadai untuk mengatur pengerahan kekuatan sinkangnya.

Dan hal itu memang tidak sulit, karena Ceng Liong sudah sampai pada tahap mampu mengerahkan kekuatannya sekehendak hatinya. Hanya sekejap waktu yang diinginkannya untuk itu, dan tidak sulit setelah dia membalas serangan kedua lawannya dengan menggunakan jurus-jurus mematikan dari gabungan kedua ilmu mujijatnya.

Ketika kembali kedua lawannya menyerang, kali ini Majikan Kerudung Hitam mengerahkan Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam), sebuah pukulan rahasia dari Lam Hay, juga Janaswamy menyerang dengan Ular Dewa Menyerang Mayapada, Ceng Liong sudah cukup siap. Dia meladeni pukulan-pukulan lawannya dengan menggunakan gabungan tenaga yang terukur dan bersilat dengan Soan Hong Sin Ciang dan Pek Lek Sin Jiu untuk mengerahkan hawa keras.

Meskipun demikian, Ceng Liong tidak memapak kekuatan-kekuatan pukulan tersebut dengan benturan-benturan keras. Sebaliknya, dia menggunakan kekuatan Pek Lek Sin jiu untuk mengurangi daya rusak kekuatan sinkang keras lawan dan kemudian menyerapnya. Hasilnya sangat menggembirakan.

Dengan penuh kegembiraan dan keheranan, Ceng Liong menemukan kenyataan benturan selanjutnya justru mendatangkan rasa segar dan memulihkan kekuatan sinkangnya. Tanpa sadar, Ceng Liong kembali menemukan rahasia memunahkan daya rusak kekuatan sinkang lawan dengan kekuatan menyerap dari gabungan sinkang keras dan lunak. Satu tingkat pemahaman yang tidak disengaja dan melalui improvisasi pada saat dia mengalami tekanan luar biasa dari kedua lawannya.

Dan melihat Ceng Liong melakukan hal yang luar biasa ini, Kakek Tua yang tadinya memang sudah mulai memperhatikan arena pertempuran, menjadi makin kagum. Tapi serentak dengan itu, sinar mengerikan mulai terpancar dari matanya. Dia sungguh tidak mengerti, bagaimana orang semuda Ceng Liong sudah sanggup menguasai kemampuan yang baru bisa dikuasainya setelah di usia yang sagat uzur? Dia sirik.

Sementara itu, Majikan Kerudung Hitam dan Janaswamy masih belum menyadari perubahan dalam diri Ceng Liong dan terus mencecarnya dengan lontaran kekuatan sinkang mereka. Dan yang untung adalah Ceng Liong. Mengapa? karena pada saat itu justru kekuatan sinkangnya terbantu oleh masuknya kekuatan sinkang kedua lawannya. Kekuatan singkang lawannya memang berbenturan dengannya, tetapi yang daya serang sinkang lawannya dibentur dan ditampung untuk kemudian dinetralisasi oleh gabungan tenaga dalamnya sendiri.

Dengan demikian Ceng Liong menjadi semakin gagah, sementara kedua lawannya malah semakin bingung. Kesegaran dan bahkan kekuatan sinkangnya semakin terlatih baik. Dan jika dilanjutkan, bukanlah sedikit hasil positif yang akan diperoleh anak muda itu dari hasil latihan dan improvisasi melalui pertarungan yang menegangkan. Dan untungnya ada si Kakek Tua yang menyadari bahwa jika dilanjutkan keadaan akan tidak menguntungkan pihaknya.

Karena itu, ia mulai merencanakan untuk bergerak. Tetapi sebagai tokoh sepuh dan sudah sangat tua, dia tentu saja malu untuk memulai menyerang, atau apalagi membokong seorang dari angkatan muda? Menyadari hal itu, kakek tua itu tiba-tiba nampak seperti mengatakan sesuatu dan terdengar suaranya yang sangat serak menyeramkan:

”Mundur kalian”

Tetapi mana mau kedua anak muda itu menyerah dalam keadaan yang demikian. Sementara Ceng Liong sendiri merasa saat itu adalah waktu yang tepat untuk menghentikan pertempuran yang sudah makan waktu yang cukup lama. Selain, dia melihat gelagat bahwa si Kakek Tua sudah akan turun tangan, dan dia yakin sekali bahwa kakek itu bahkan masih lebih matang dan berbahaya dibandingkan kedua lawan mudanya itu.

Menyadari hal tersebut, Ceng Liong mengambil posisi cepat, yakni menempatkan diri berhadapan dengan ketiga orang lawannya. Dengan gerakan ”Bintang Berputar Mengelilingi Bumi”, Ceng Liong menyerang kedua lawannya untuk kemudian kembali mengambil posisi menghadap ketiga lawannya.

Sementara itu, kedua lawannya nampak sudah semakin penasaran tetapi juga mulai heran karena tidak sanggup mengalahkan Ceng Liong padahal keduanya sudah maju bersama. Diam-diam Majikan Kerudung Hitam menjadi penasaran bercampur kagum .....

”Inikah Duta Agung Lembah Pualam Hijau yang dikabarkan hebat dan dipuji-puji guru barusan”?

Sementara Janaswamy sendiri juga merasakan keheranan serupa. Menurut Mahendra dan guru terakhirnya, kepandaiannya saat ini sudah meningkat sangat jauh. Bahkan sudah melampaui Mahendra dan sudah tidak selisih terlampau jauh dari guru keduanya. Tetapi, mengapa kini dia menemukan tokoh muda yang sangat hebat dan nampaknya melebihi dirinya dan Majikan Kerudung Hitam?

”Siapakah gerangan orang muda ini”? Pikirnya penasaran bercampur dengki.

Melihat kedua anak muda itu tertegun dalam penasaran, meskipun belum menunjukkan tanda-tanda kalah karena memang Ceng Liong belum menyerang mereka, si Kakek Tua memanfaatkan kesempatan itu.

”Awas anak muda” terdengar suara peringatan dengan nada dan dialek bahasa yang sangat asing di Tionggoan.

Tetapi, peringatan baru dikeluarkan, efek pukulan yang dahsyat sudah menerpa Ceng Liong. Untunglah Ceng Liong sudah sangat awas sejak awal, karena itu meski tercekat dengan hebatnya serangan lawan, tetapi masih mampu menjaga diri dengan baik. Begitu serangan berbahaya itu menerpa khikang atau tenaga murni pelindung badan yang secara otomatis mengelilingi tubuhnya, kombinasi tenaga yang dilatihnya melalui improvisasi menghadapi kedua lawan sebelumnya juga masih dikerahkannya.

Dan dalam kagetnya, Ceng Liong merasakan kekuatan pukulan yang nyaris sama kuatnya dengan gabungan kedua anak muda penyerang sebelumnya. Tetapi, yang lebih mengagetkannya, ada semacam hawa asing yang menyertai kedahsyatan serangan kakek tua itu, dan hawa itu tidak asing lagi kini bagi Ceng Liong.

Diapun sudah terlatih dengan kekuatan penyerangan yang dibaliknya tersembunyi hawa-hawa aneh sejenis. Tidaklah percuma beberapa waktu terakhir ini, sampai-sampai seorang tokoh mujijat dari luar dan sebrang lautan ikut berpartisipasi membentuk dirinya. Dia sudah menjadi lebih awas, karena apalagi beberapa waktu lalu dia diserang dengan kekuatan semacam ini. Serangan langsung dari dua orang yang langsung dia lawan sendirian.

”Hm....” terdengar Ceng Liong mendengus, sekaligus memompa semangat dan kemauan keras hatinya. Diapun memperkuat pertahanan dalam dirinya, karena yakin dengan kekuatan kakek tua itu, khikangnya akan mungkin tertembus. Menghindari hal tersebut, Ceng Liong telah mengerahkan kekuatan di tangannya dan benar saja, benturan keduanya meski tidak mengakibatkan keadaan bagai ”gugur gunung” tetapi berefek dahsyat kepada kedua orang yang bersangkutan.

Kekuatan yang membentur Ceng Liong dan dibalas dengan kekuatan tenaga dalam dan tenaga batinnya, bukan hanya berefek kepada Ceng Liong, tetapi juga kepada Kakek Tua itu:

”Mustahil ..... mustahil” desis Kakek Tua itu nyaris tak terdengar.

Kakek Tua itu tersentak menemukan kenyataan betapa anak muda yang dipenasarinya itu, ternyata mampu mematahkan serangan pertamanya. Bahkan, kekuatan tenaga benturan dari Ceng Liong, ikut menggoyahkan kedalaman tenaga dan kekuatan batinnya. Inilah yang mengherankan Kakek Tua itu.

Dia mengenal Majikan Kerudung Hitam dan Janaswamy dan paham, bahwa kekuatan singkang mereka telah melesat jauh mendekatinya. Tetapi, kekuatan batin mereka masih sangat jauh tertinggal. Tetapi, Ceng Liong, selain tenaga sinkangnya tidak dibawahnya (entahla, pikirnya merasa aneh), tetapi kekuatan batinnyapun bukanlah kekuatan yang lemah.

”Anak muda siapakah engkau”? Terdengar suara penasaran Kakek Tua itu

”Tidak salah lagi locianpwee, dia pastilah Duta Agung Lembah Pualam Hijau itu” Kali ini terdengar suara Majikan Kerudung Hitam yang telah terlepas dari kepenasaran dan keterkejutan.

Dia yang sangat pintar telah dengan cepat menyadari siapa lawan mereka, masih muda, berpakaian hijau dan berkeuatan yang dipuji guru-gurunya. Siapa lagi?

”Duta Agung ..... keturunan Sin Liong ...... hm, hebat, hebat. Sambut lagi ini anak muda” terdengar dengusan Kakek Tua itu, tak pelak lagi, kepenasarannya sebagai seorang jago terusik oleh kehebatan Ceng Liong. Dan bersamaan dengan ucapannya itu, dengan cepat Kakek Tua itu telah berada didekat Ceng Liong dan menyerang serabutan.

Anehnya, kini ada dua orang kakek Tua yang berada di lorong itu, Kakek Tua yang pertama nampak terfekur dan berkonsentrasi dalam diam, sementara yang satu lagi sedang menempur Ceng Liong dengan sebat, cepat dan berbahaya. Dan, yang mengagetkan, semua jurus serangan Kakek Tua itu adalah jurus serangan berbahaya yang masih belum pernah nampak muncul di dunia persilatan Tionggoan. Bahkan, juga berbeda dengan gaya serangan Janaswamy yang berasal dari Thian Tok.

Siapa Kakek Tua ini? Sungguh penasaran Ceng Liong memikirkannya. Terutama karena serangan Kakek Tua itu sungguh merepotkannya. Gerakan dan kecepatannya yang dilakukan dalam pertarungan tingkat tinggi ini memang menggetarkan. Dia menyerang sekaligus dengan menggunakan tenaga dalam dan tenaga batin, dan kombinasi penggunaan kedua kekuatan itu sungguh sangat menguras tenaga dan kesadaran.

Tetapi, Ceng Liong tidak punya pilihan lain. Bukan hanya kecepatan Kakek itu yang menggiriskan Ceng Liong, tetapi juga serangan-serangan terukur dan seperti tidak asing bagi Ceng Liong meski asing di Tionggoan sungguh menggetarkan. Serangan-serangan sinkangnya terasa seperti membuat dunia jungkir balik, tetapi hebatnya efeknya ke lorong itu nyaris tidak ada. Efeknya hanya menerpa dimensi fisik dan batin Ceng Liong yang merasa dunia seperti sedang jungkir balik.

Tetapi, untungnya Ceng Liong sendiri sudah terdidik dan memiliki pengalaman yang memadai menghadapi bahaya seperti saat ini. Yang dikhawatirkannya hanyalah bokongan kedua lawan yang lain, karena bertempur dengan Kakek ini membuatnya tidak boleh membagi perhatian. Ceng Liong mesti melawan dengan penggunaan kekuatan batinnya dan dengan tenang dia menyambut pukulan menjungkirbalikkan bumi dari lawannya dengan menggunakan kekuatan Pek Lek Sin Jiu yang disempurnakannya.

Dan akibatnya, keduanya kadang saling bentur dan saling terdorong ke belakang. Tetapi, Kakek Tua itu dengan cepat bergerak kembali, bahkan bersamaan dengan itu, Ceng Liong mendengar gempuran baru, yakni gempuran melalui telinga. Hal ini sangat mengagetkan dan sekaligus membuat Ceng Liong bingung. Dia ingat dengan Ilmu Gelap ngampar yang mirip dengan Sai Cu Ho Kang yang digambarkan Kolomoto Ti Lou, yang dia juga sudah menguasainya. Tetapi, Kakek Tua ini menyerang bukan dengan Ilmu Sai Cu Ho Kang, nampaknya ilmu menyerang lewat suara yang berbeda.

”Apakah itu yang disebut Gelap Ngampar”? Pikirnya. ”Tapi siapa pula orang ini, adakah hubungannya dengan dia”? Bingung Ceng Liong. Dalam bingungnya, tiba-tiba terdengar suara:

”Gelap Ngampar, Aji Kidang Kuning dan Brajamusti .....Ceng Liong, engkau sedang berhadapan dengan .... tidak salah lagi, Bintang Sakti Berpijar, paman guruku. Biarkan aku menggantikanmu” Dan bersamaan dengan itu, Nenggala yang sebelumnya mengantarkan rombongan tawanan sudah berada di belakang Ceng Liong.

Dan Ceng Liongpun segera sadar, bahwa memang benar, Kakek Tua ini memiliki kesamaan Ilmu dengan yang dipaparkan Kolomo Ti Lou kepadanya. Menyadari hal itu, Ceng Liong dengan cepat mengerahkan puncak penguasaannya atas Pek Lek Sin Jiu yang disempurnakannya sendiri dengan menggunakan bantuan tenaga Kiong Siang Han. Dia membentur pukulan Brajamusti, sementara Gelap Ngampar dilawannya dengan Ilmu suara sejenis.

Dan akibatnya, kedua orang itu nampak terdorong sama-sampai 3 langkah ke belakang. Tetapi, tubuh penyerang Kakek Tua itu tiba-tiba mencelat ke arah tubuh satunya lagi yang sedang diam berkonsentrasi. Dan kemudian dengan cepat dia menghadapi Nenggala dan bertanya:

”Siapakah engkau ...... engkau ..... mengenaliku”?

”Perkenalkan, namaku Nenggala, murid dari eyang guru Bintang Sakti Membara Jayeng Reksa”

”Hm, sudah kuduga .... sayang hubungan perguruan kita sudah lama putus, aku tidak mengenal lagi eyang gurumu dan sudah sangat lama kami tidak pernah berhubungan lagi. Dimanakah gerangan eyang guru dan kakek gurumu itu berada sekarang ini”?

”Bisa kupastikan sebentar lagi akan berusaha menemui Paman Guru” Nenggala tetap hormat.

”Aku tidak punya urusan lagi dengan mereka”

”Tapi Paman Guru, lembaran itu .......” Nenggala tidak melanjutkan perkataannya

”Hm, bukan urusanmu. Gurumu sendiri tidak layak menanyakannya” Murka Kakek Tua itu, bahkan selanjutnya dia berkata:

”Kita pergi, tempat ini sudah tercium banyak orang, keadaan sudah gawat” Dan sambil berkata demikian tiba-tiba tubuhnya berkelabat. Jelas sekali, dia pergi secara tergesa-gesa.

”Locianpwee .....” Majikan Kerudung Hitam berusaha mencegah, tetapi bayangan Kakek Tua itu sudah lenyap di dalam terowongan gelap itu. Dan selanjutnya sepi. Tetapi, benarkah memang sepi???
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd