Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tarian liar naga sakti by marshall (jilid 3)

2


Dan tidak lama kemudian berkelabatlah bagaikan bayangan yang demikian cepatnya dari ketiga Kakek itu. Barulah terlihat betapa hebat ketiganya, terutama ketika mereka mengerahkan ginkangnya yang membuat mereka melayang bagai terbang. Sementara Bun Tho Hoa ditinggalkan di titik pusat barisan pohon di atas tebing. Hal itu dilakukan agar pergerakan mereka tidak terlacak, barisan tidak bekerja dan ketika akan berlalu, juga tidak akan mudah terlacak lawan. Begitulah siasat yang diatur ketiga Kakek lihay yang kini mulai melakukan aksinya di dalam Lembah Pualam Hijau. Hanya saja, benar-benarkah aksi ketiga Kakek lihay itu tidak ada seorangpun yang mampu dan sanggup melacaknya?

Tanpa bersuara, ketiga Kakek itu bergerak cepat. Sepertinya mereka telah mendapatkan gambaran dan bayangan bagaimana bentuk dan isi dari Lembah Pualam Hijau tersebut. Aneh memang. Darimana mereka ketiga tokoh lihay ini beroleh informasi tersebut? Apakah sudah pernah mereka atau setidaknya salah seorang dari mereka memasuki Lembah ini sebelumnya? Jika demikian, siapa sebenarnya ketiga Kakek lihay ini jika demikian? Kita tahan pertanyaan ini. Yang jelas, ketiganya bergerak menuju tempat yang biasanya dikhususkan bagi tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau. Dan terlebih khusus lagi, tempat khusus dan istimewa bagi Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Dan memang, mereka menuju lokasi atau tempat yang tepat dan benar.

Hanya saja, mereka terlampau optimistis terhadap kenyataan bahwa mereka mampu memasuki Lembah Pualam Hijau tanpa terlacak. Dan bayangan bahwa mereka akan menemukan Duta Agung Lembah Pualam Hijau sedemikian mudah, terlampau muluk. Karena meski mengetahui sedikit kondisi dalam Lembah itu, tetapi toch Lembah Pualam Hijau sendiri bukannya terisi mahluk-mahluk yang tidak menggunakan otak dan pikiran. Itulah sebabnya ketika ketiga Kakek lihay ini memasuki daerah yang sebenarnya "terlarang" jangankan bagi orang luar, tetapi pun bagi orang-orang Lembah Pualam Hijau yang tidak berkepentingan, mereka tiba-tiba kaget. Kaget, karena tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri 3 orang tua lainnya yang sepertinya telah menunggu mereka bertiga.

Benar, mereka telah berada pada jalur yang tepat. Satu tikungan lagi, mereka akan memasuki tempat dimana Duta Agung biasanya melatih diri. Tempat dimana dulunya Kiang Cun Le dibokong orang (Bagian I KPNDPB - Episode 1 dan 2) dan dilontarkannya Kiang Ceng Liong ke sungai yang menyebabkan anak itu kehilangan ingatan. Tetapi, yang tidak mereka ketahui adalah sebelum mencapai tempat yang dikhususkan bagi Duta Agung tersebut, mereka harus melewati tempat dimana tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau biasanya tinggal dan bersamadhi. Tempat dimana Kiang Cun Le, Kiang In Hong - Liong-i-Sinni dan Kiang Tek Hong sedang melakukan samadhi. Dan mereka bertigalah yang kini berdiri menyambut kedatangan tiga orang tamu yang tidak diundang.

"Selamat datang di Lembah Pualam Hijau ...... hmmmm, bertamu tidak pada waktu yang tepat, berarti menyusup. Menyusup ketempat orang hanya dilakukan orang-orang rendah yang tidak bermaksud baik. Sungguh sangatlah mengherankan tokoh-tokoh besar seperti ketiga locianpwee juga memiliki kemauan dan keinginan melakukan penyusupan ketempat orang"

Suara itu mengapung bebas di udara dan jelas terdengar oleh ketiga tamu yang sebenarnya tidaklah diundang itu. Tanda bahwa orang yang memergoki mereka bukanlah orang atau tokoh sembarangan. Pasti tidak jauh selisihnya dengan kemampuan mereka. Dan menemukan kenyataan bahwa mereka terlacak orang, benar-benar membuat kaget ketiga Kakek lihay itu. Hanya saja, meski kaget, mereka tidak kehilangan kewaspadaan dan tidak kehilangan keberanian. Terutama Kakek pertama yang sudah dengan sombongnya berkata:

"Ketahuan ya ketahuan, tetapi kami sedikitpun tidak merasa takut. Kami yang sudah mampu masuk sejauh ini, tentu saja berani dan bersedia menghadapi siapapun dari Lembah Pualam Hijau"

"Hmmmm, kami tahu kalian bertiga memang sangat lihay. Kongkong Kiang Sin Liong dan locianpwee Kolomoto Ti Lou telah mengingatkan kami, bahwa pada saatnya kalian bertiga memang akan berkunjung untuk maksud licik. Hanya saja, jika locianpwee Lamkiong Sek tidak secara licik menyelusup ke Lembah Pualam Hijau mengikuti kakakku Kiang Tek Hong dan kemudian melukaiku pada saat latihan berapa tahu silam, tidak akan mungkin kalian sanggup memasuki Lembah Pualam Hijau kami semudah itu"

Hebat sambutan Kiang Cun Le. Sekaligus jelaslah peristiwa lama ketika Kiang Cun Le menyalurkan tenaga saktinya kepada Kiang Ceng Liong cucunya dan dibokong orang. Pada peristiwa itu, Siangkoan Tek - Kauwcu Bengkauw juga sempat hadir dan sampai dituduh melukai Kiang Cun Le. Baru sekarang jelas, bahwa ternyata pelakunya adalah Lamkiong Sek - adik tiri mantan Tocu Lam Hay Bun Lamkiong Bun Ouw yang masih seangkatan dengan Kiang Sin Liong ber-empat.

Lamkiong Sek memang jauh lebih muda dibandingkan dengan kakak tirinya Lamkiong Bun Ouw yang pada zamannya adalah tocu Lam Hay Bun yang sangat lihay. Tetapi Lamkiong Sek memiliki bakat yang sama besar dengan kakak tirinya itu. Bedanya, dia masih jauh lebih ambisius dan juga jauh lebih licik dalam mempergunakan kepandaian dan kepintarannya. Dan rupanya, tokoh inilah yang dulu menyusup ke Lembah Pualam Hijau namun tidak mau teridentifikasi kehadirannya. Ini jugalah alasan mengapa ketiga Kakek ini seperti memahami dan mengetahui isi Lembah Pualam Hijau. Terbukti dengan upaya mereka untuk langsung mencari tempat Duta Agung biasa berlatih. Dari sini nampak jelas bahwa Lamkiong Sek memang ternyata "memanfaatkan" keberadaan dan posisi Kiang Tek Hong sebagai "Pangcu Thian Liong Pang" dahulu kala. Dan tentunya untuk manfaat dan kepentingannya sendiri.

Untunglah Kiang Tek Hong yang akhirnya diampuni oleh kakeknya Kiang Sin Liong telah membuka semua lembaran kisah tersebut. Dan Kiang Sin Liong berani memastikan kalau Lamkiong Sek pasti suatu saat akan muncul kembali di Lembah Pualam Hijau. Ini jugalah alasan mengapa Kiang Sin Liong sampai meminta semua cucunya dan semua tokoh Lembah Pualam Hijau termasuk Liong-i-Sinni berjanji untuk berada di Lembah Pualam Hijau selama 2 tahun terakhir. Rupanya, baik Kiang Sin Liong, maupun Kolomoto Ti Lou telah membaca kemana arah pergerakan Lamkiong Sek dan kawananannya kedepan. Dan untuk itu, tiada cara lain selain menyiapkan anak-anak muda dan generasi di bawah Kiang Sin Liong untuk menghadapi Lamkiong Sek dan begundalnya.

Melihat rencana mereka telah mampu diantisipasi lawan, Lamkiong Sek yang selama ini menjadi pemimpin ketiga kakek yang menyusup masuk ini tersentak juga. Tetapi, sekelabatan jalan pikirannya yang cerdik licik telah dengan cepat bekerja mencari cara untuk merubah strategi. Bagaimanapun juga, yang dikhawatirkannya hanyalah Kiang Sin Liong. Dan sebagaimana dugaannya, kakek sakti itu nampaknya telah berpulang (meninggal dunia), dan kondisi ini tentu saja akan sangat memudahkannya. Tetapi, dia masih harus berhitung dengan kehadiran tokoh-tokoh lain yang sangat banyak berkumpul di Lembah Pualam Hijau dewasa ini. Dan inilah yang sedang diperhitungkannya. Apakah mereka akan ikut terlibat jika terjadi kekisruhan ataukah tidak.

"Hmmmmm, jika memang tua bangka Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou telah dengan tepat memprediksikan kehadiran kami, sudah barang tentu kalian sudah sangat siap dengan semua kekuatan menghadapi kami. Silahkan saja, kami sama sekali tidak merasa takut" tantang Lamkiong Sek cerdik. Meski sudah salah berhitung, tetapi Lamkiong Sek tidak biasanya keliru menilai siapa lawannya. Dan sekali ini, kembali dia memainkan kartu truf tersebut. Boleh dibilang ini adalah kartu terakhir yang mungkin dimainkannya melihat rencana utamanya sudah dengan jitu tertebak lawan. Tepatnya secara jitu telah diprediksikan baik oleh Kiang Sin Liong maupun oleh Kolomoto Ti Lou.

"Hmmmm, urusan ini adalah urusan Lembah Pualam Hijau. Karena itu, hanya tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau yang akan meladeni locianpwee bertiga. Kecuali segera setelah locianpwee meninggalkan Lembah Pualam Hijau, maka urusan-urusan pertikaian rimba persilatan dapat diselesaikan masing-masing. Terutama dengan locianpwee Wisanggeni yang punya hutang tersendiri dengan perguruannya" Cun Le yang mewakili Lembah Pualam Hijau telah memutuskan secara gagah bahwa hanya orang Lembah Pualam Hijau yang akan terlibat.

"Hahahahaha, sungguh gagah, sungguh gagah ....." mau tak mau Lamkiong Sek memuji sekaligus senang. Memang inilah yang ingin didengarnya dari pihak Lembah Pualam Hijau. Mereka bertiga menyusup dengan maksud agar tak terekam jejaknya oleh banyak orang yang berkumpul di Lembah Pualam Hijau. Tetapi upaya mereka untuk "menemui" Duta Agung dalam missi rahasia telah tertebak lawan. Bahkan telah ditunggu lawan sejak lama. Apa boleh buat, strategi mengurangi kemungkinan kekuatan lawan harus dilakukan. Dan Lamkiong Sek paham dengan "kegagahan" ala Lembah Pualam Hijau itu. Dan dengan licik dia memanfaatkan aspek psikologis itu untuk mengurangi kehebatan dan kekuatan pihak lawan. Tidak, dia merasa tidak sanggup jika harus dikerubuti semua tokoh yang berada di Lembah Pualam Hijau saat itu. Meski tanpa Kiang Sin Liong sekalipun.

"Karena ini berkaitan dengan nama baik Lembah Pualam Hijau, maka tiada orang luar yang akan terlibat urusan ini. Tetapi, akan seperti apa akhirnya, juga sangat tergantung apa yang dikehendaki dan apa yang akan dilakukan locianpwee bertiga. Kami sendiri menyarankan, jauh lebih baik locianpwee bertiga untuk segera angkat kaki dari Lembah Pualam Hijau. Lembah ini tidak menginginkan kedatangan locianpwee bertiga" Kiang Cun Le tetap berkata dengan hormat, tetapi nadanya teramat sangat tegas.

"Hmmmmm, kemana kami ingin pergi masakan harus meminta pendapat kalian terlebih dahulu? sungguh sombong" desis Kakek pertama yang ternyata adalah Wisanggeni, adik seperguruan Jayeng Reksa - Bintang Sakti Membara yang juga berada dalam Lembah itu.

"Amitabha ........ bukan maksud kami dimintai pendapat. Tetapi, kebetulan tempat ini adalah kediaman yang memiliki pemiliknya. Maka kami sebagai pemilik Lembah ini, kami berhak untuk mengatakan tidak kepada mereka yang datang diam-diam dengan maksud tidak baik, siancay, siancay" terdengar Liong-i-Sinni ikut berbicara membantu Kiang Cun Le.

"Hmmm, tahukah engkau maksud kedatangan kami ke Lembah Pualam Hijau Sinni"? bertanya Lamkiong Sek.

"Dengan masuk secara diam-diam dan menyelusup diwaktu yang sangat tidak biasa, sulit untuk menduga bahwa kedatangan kalian bermaksud baik ...... " bukan Liong-i-Sinni yang menjawab pertanyaan tersebut, tetapi adalah Kiang Cun Le yang tampil menjawabnya.

"Hmmmm, bukankah Kolomoto Ti Lou si tua bangka dan Kiang Sin Liong telah menebak dengan tepat bahwa suatu saat kami memang akan datang? Masakan mereka tidak memberitahu kalian apa maksud kedatangan kami bertiga"? kembali Lamkiong Sek mendesak dengan pertanyaan.

"Sekilas kong-kong dan locianpwe yang mulia Kolomoto Ti Lou telah menjelaskan. Tetapi, buat apa kami kemukakan? toch yang datang dengan urusannya sudah berada disini. Jika memang ingin dan berkeras melakukan missi tersebut silahkan, tetapi maaf kami pihak Lembah Pualam Hijau tidak akan bersedia dan bermurah hati untuk tujuan tak benar itu" Kiang Cun Le menjawab lebih diplomatis.

"Hmmm, bahkan seorang Kiang Sin Liong, kakekmu sendiri tidak akan begitu gegabah berbicara seberani itu terhadapku ......"

"Kong-kong memang selalu sabar terhadap siapapun, terhadap orang jahat sekalipun. Tetapi buat kami, menghadapi manusia yang bertujuan buruk bagi Lembah Pualam Hijau, tidak akan sesabar kakek kami itu ...."

"Hanya kalian bertiga yang akan menghalangi kami ...."?

"Percayalah, Lembah Pualam Hijau memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk mengusir locianpwee sekalian. Sebelum semuanya terlambat, kusarankan untuk segera mundur ......" Kiang Cun Le menjawab kalem, namun terdengar tegas dan penuh percaya diri.

"Hmmmm, selain Kiang Sin Liong seorang, tidak ada tokoh Lembah Pualam Hijau yang kutakuti. Setelah dia orang tua meninggal, Kolomoto Ti Lou kembali ke Jawadwipa dan Bhiksu Chundamani merat ke Thian Tok menunggu ajalnya dan Wie Tiong Lan tutup mata, mana ada tokoh lain yang kami takuti. Lebih baik kalian ijinkan kami bertiga membuktikan ucapan besar Kolomoto Ti Lou dan Kiang Sin Liong tentang Duta Agung kalian" Wisanggeni si Bintang Sakti Berpijar berbicara dengan nada yang sangat meremehkan. Tetapi Kiang Cun Le tidak terpancing amarahnya. Betapapun dia sadar, tokoh-tokoh yang ada di depannya memang tokoh-tokoh puncak yang sejajar kekuatannya dengan kakeknya Kiang Sin Liong. Namun, setelah temuan terbaru Duta Agung dan keyakinan atas kemampuan sendiri dalam mengemban dan menegakkan nama baik Lembah Pualam Hijau, mana mau dia merendahkan kemampuan sendiri? Karena itu, setelah berpikir sejenak dengan bijak namun sangat tegas dia berkata:

"Benar, locianpwee bertiga adalah seangkatan dengan kong-kong Kiang Sin Liong. Tanpa mengurangi rasa hormat kami, tentunya locianpwee telah menyaksikan dan paham kemampuan Ji-ko Kiang Tek Hong. Apalagi kong-kong telah mengijinkannya kembali menggunakan kekuatan puncak Lembah Pualam Hijau. Sementara lohu sendiri bersama Liong-i-Sinni tidaklah terlampau jauh tertinggal dari locianpwee bertiga. Tapi di atasnya, kami akan bertarung mempertahankan nama baik Lembah Pualam Hijau, dan kami berkeyakinan sanggup mengusir locianpwee bertiga dengan kekuatan Lembah Pualam Hijau sendiri”

Hebat ucapan Kiang Cun Le. Dia tidak menyombongkan diri tetapi langsung memukul pusat kesombongan ketiga pendatang, terutama Wisanggeni dan Lamkiong Sek. Tetapi, mereka tidak bisa berkata apa-apa, betapapun mereka memang dalam posisi "menyusup" dan ketahuan oleh tuan rumah. Selain itu, kalimat Kiang Cun Le benar belaka. Mereka, tokoh Lembah Pualam Hijau itu memang tidak jauh tertinggal kepandaiannya. Dan bukan perkara mudah untuk mengalahkan ketiganya. Tetapi, setelah berkali-kali dikalahkan Kolomoto Ti Lou dan Kiang Sin Liong, Lamkiong Sek - Wisanggeni dan Naga Pattinam bertiga, ingin melihat karya terakhir mereka sanggup menang. Dan kehausan mereka atas kemenangan membuat mereka menutup mata atas banyak rasa kepantasan yang sebetulnya sangat memalukan untuk mereka kerjakan dalam kondisi biasa.

"Bagaimanapun juga aku harus membuktikan bahwa meski hanya sekali ini, aku pernah memenangkan pertarungan melawan Kolomoto Ti Lou, Kiang Sin Liong dan kawan-kawannya. Karena itu, maafkan, kami terpaksa merepotkan kalian ....." Lamkiong Sek akhirnya berbicara dalam nada memutuskan sambil melirik kedua kawannya yang seragam mengangguk tanda setuju.

Melihat gelagat ketiga orang tua itu akan memaksa menerobos, Liong-i-Sinni dan Kiang Tek Hong yang sejak tadi tidak sekalipun berbicara telah bersiap. Dan memang benar, bersamaan dengan mereka meningkatkan kesiagaan tiba-tiba ketiga orang tua lihay itu telah secara bersamaan bergerak. Bergerak dengan tidak sembarang bergerak, bergerak sama dengan tidak bergerak. Karena ketiganya secara luar biasa telah mengembangkan gabungan ilmu sihir yang sangat kuat guna menerobos penjagaan ketiga tokoh tua Lembah Pualam Hijau dewasa ini.

Tetapi, Kiang Tek Hong yang lebih mengenal mereka sudah dengan cepat berseru kepada Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni:

"Gabungan Ilmu sihir ....."

Dan terdengar seruan Liong-i-Sinni:

"Amitabha ........."

Pertempuran sudah segera pecah dengan cara yang luar biasa. Kekuatan sihir dipadu dengan tenaga batin tingkat tinggi telah dikerahkan ke-enam orang tua sakti itu dan dengan segera berbenturan. Baik Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong maupun Liong-i-Sinni sadar benar dengan siapa mereka sedang berhadapan. Bahkan mereka, meski telah diingatkan akan suatu saat kedatangan ke-tiga tokoh sepuh ini, sebetulnya tidak disiapkan oleh kakek mereka Kiang Sin Liong untuk berhadapan muka dengan muka. Siapa tahu pada kesempatan malam ini, mereka benar telah bertemu dan mau tidak mau adu kekuatan.

Kembali Lamkiong Sek bertiga kecele. Mereka yang tadinya hanya "segan" kepada Kiang Sin Liong menemukan kenyataan betapa tembok perlawanan tiga orang pemuka Lembah Pualam Hijau ini luar biasa kuatnya. Benar memang belum sehebat Kiang Sin Liong dan kekuatan yang digunakan dibangun oleh kekuatan 3 tokohnya. Tetapi, merekapun terdiri dari 3 orang dan telah menggabungkan kekuatan batin dan kekuatan sihir dalam ilmu rahasia yang skemanya secara teori dikuasai oleh Naga Pattynam. Artinya, kekuatan gabungan mereka bertiga kali ini, mestinya sudah lebih dari cukup menghadapi semua tokoh Lembah Pualam Hijau. Bahkan mereka yakin, jika mereka telah menguasai ilmu ini pada pertempuran di markas utama Thian Liong Pang, mereka tidak akan kalah secara tragis dan memalukan.

Yang mereka tidak paham adalah, Lembah Pualam Hijau terutama melalui Duta Agungnya, telah menemukan kembali salah satu simpul kekuatannya yang dibawa melalui Thian San Giokli. Ini yang mampu dilihat Kiang Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou meski masih sangat samar. Jika memang Kiang Sin Liong melihatnya secara tegas, maka tidak perlu dia meminta Liong-i-Sinni untuk ikutan bertapa di Lembah Pualam Hijau. Tetapi, karena melihatnya secara sangat "samar" seperti juga Kolomoto Ti Lou, maka untuk "keamanan", Kiang Sin Liong telah meninggalkan pesan kepada semua keturunannya untuk berada di Lembah Pualam Hijau selama dua tahun kedepan.

Dan Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni yang semang sehari-harinya bersamadhi telah mendalami temuan Duta Agung melalui warisan Koai Todjin dan disampaikan oleh Nenek Thian San Giokli. Tidak heran jika mereka mampu menyusul pesat dan tidak terpaut jauh kemampuan mereka dibandingkan gabungan kekuatan Lamkiong Sek, Wisanggeni dan Naga Pattynam. Hanya, harus diakui mereka memang masih seusap di bawah kekuatan tiga tokoh tua yang sudah terkenal lihay dan se jaman dengan kakek mereka.

Ketiga Kakek lihay ini sendiri memang terpukul ego dan kebanggaan mereka ketika gabungan kekuatan mereka dihancurkan Kolomoto Ti Lou, Kiang Sin Liong, Wie Tiong Lan dan Bhiksu Chundamani (Lihat episode terakhir Bagian II Kisah ini). Kekalahan yang memalukan itu telah meninggalkan dendam membara dan membuat mereka bertiga mati-matian untuk mempelajari kombinasi kekuatan batin dan sihir. Baik dengan mengeksplorasi teori Memindahkan Hawa Mengisi Kosong Menjadi Penuh - sebuah Ilmu Rahasia Thian Tok (yang juga ternyata, teorinya dikenal dan oleh dikuasai Bhiksu Chundamani), maupun gabungan dengan kekuatan mitis dari Jawadwipa. Mereka memang mampu menemukan dan menggabungkan kekuatan, bahkan sanggup menciptakan tokoh-tokoh tangguh dan sakti mandraguna dalam waktu singkat.

Mereka sadar benar dengan pesatnya peningkatan penguasaan kekuatan baru itu. Meskipun bagi tokoh yang mereka didik, mereka tidak sanggup memprediksi masa depan dan stabilitasnya, terutama stabilitas mental dan kejiwaannya. Tetapi, ketika dalam waktu singkat mereka menyaksikan murid-murid binaan mereka meningkat pesat kekuatannya dan bahkan sudah sanggup merendengi kemampuan mereka masing-masing, membuat semangat membalas dendam mereka bertambah hebat. Inilah yang terus menumbuhkan harapan dan optimisme bagi mereka untuk melakukan pembalasan secara tuntas dan berhasil.

Meski murid bentukan mereka kurang stabil secara emosi dan kejiwaan, tetapi kekuatannya bahkan terus dan terus menanjak dari waktu kewaktu. Puncak kemajuan mereka bahkan sulit mereka prediksi. Inilah yang mereka harapkan menjadi alat pamungkas buat balas dendam. Tetapi sesuatu yang membuat mereka tetap penasaran adalah apa yang dikemukakan Kiang Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou mengenai "seseorang" yang sudah disiapkan menyambut "proyek berbahaya" mereka. Dan orang itulah yang akan tampil menggagalkan ambisi dan mahluk bentukan kawanan Lamkiong Sek.

Sebetulnya, ketika terjadi pertarungan kekuatan batin antara Lamkiong Sek dan kawan-kawan melawan Kolomoto Ti Lou - Kiang Sin Liong - Wie Tiong Lan dan Bhiksu Chundamani, Naga Pattynam telah mengeluarkan ancaman. Ancaman tersebut adalah akan ada murid mereka yang berkepandaian luar biasa menurut skema gaib Memindahkan Hawa Mengisi Kosong Menjadi Penuh - sebuah Ilmu Rahasia Thian Tok. Ilmu rahasia di Thian Tok yang menganut "transfer" tenaga sakti kepada orang terpilih yang memiliki bakat yang hebat. Di luar tahu Naga Pattynam, skema itupun dikenal Bhiksu Chundamani dan melahirkan ilmu baru setelah digodok bersama ke-4 manusia sakti itu di sisa-sisa usia mereka.

Sebaliknya, Lamkiong Sek dan kawan-kawan menemukan betapa tidak terbatasnya kemajuan murid binaan mereka meski dengan kondisi kejiwaaan dan emosi yang menjadi sangat tidak stabil. Semakin melaju jauh kepandaian murid mereka akan semakin berbahaya kondisi mental dan kejiwaannya. Tetapi, hal tersebut tidak menghentikan upaya mereka untuk membalas dedam. Untuk menuntut kekalahan mereka dari kelompok Kiang Sin Liong dan kawan-kawannya. Dan mereka segera sadar, bahwa orang yang disiapkan Kiang Sin Liong dan kawan-kawan, pastilah Duta Agung Lembah Pualam Hijau.

Berada pada puncak kekuatan mereka dan sebentar lagi murid mereka akan beradu dengan kekuatan murid yang disiapkan dari pihak para pendekar, ke tiga Kakek aneh ini berencana merusak "karya" Kiang Sin Liong dan kolomoto Ti Lou. Kekuatan batin mereka telah menangkap secara jelas bahwa Duta Agung semakin matang dan semakin berbahaya. Bahkan kekuatan mereka mampu menerobos Lembah Pualam Hijau dan menemukan kenyataan betapa Duta Agung yang sekarang telah menjadi jauh lebih berbahaya lagi. Tetapi, pada saat-saat terakhir "terawangan" mereka, juga ditemukan bahwa sekarang adalah saat-saat menentukan Duta Agung untuk mencapai titik tertinggi dalam penguasaan ilmunya. Dan inilah yang membuat mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk "merusak" usaha saingan mereka. Demi nama dan demi pembalasan dendam kepada Kiang Sin Liong serta Kolomoto Ti Lou dan kawan-kawannya.

Meski telah mengantisipasi kedatangan Lamkiong Sek, Naga Pattynam dan Wisanggeni, tetapi sebetulnya ketiga tokoh tua Lembah Pualam Hijau kurang tahu maksud utama mereka. Hanya, ketika mereka menyatakan ingin bertemu Duta Agung sementara waktu-waktu sekarang adalah menentukan bagi pelajaran Kiang Ceng Liong, sadarlah mereka betapa gawatnya situasi. Sebagaimana mereka melakukannya beberapa waktu sebelumnya, sekarang ini Ceng Liong sedang berusaha menembus batas terakhir itu. Batas yang dicatat oleh Koai Todjin, tokoh yang masih memiliki kaitan perguruan dengan mereka. Padahal, Ceng Liong berada di batas-batas menentukan dalam latihannya. Titik inilah yang membuat ketiga tokoh tua Lembah Pualam Hijau jadi berjuang mati-matian.

Mereka menghadapi tabir gelap yang dipenuhi ringkikan dan bentakan-bentakan gaib yang menghentak kekuatan dalam mereka. Padahal, kondisi dan cuaca tenang-tenang saja di lokasi pertempuran. Tetapi bagi Kiang tek Hoat, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni, justru seperti sedang terjadi badai besar. Dunia bagai bergolak dengan riuh rendah suara bentakan dan tiupan angin sekeras topan yang melanda mereka. Tetapi mereka sadar betul, bahwa kondisi itu disebabkan oleh kekuatan sihir lawan. Itulah sebabnya mereka bertahan mengerahkan kekuatan batin dan tenaga dalam mereka untuk bertahan dari serangan lawan.

Jika dibandingkan, maka Liong-i-Sinni memiliki tenaga batin paling kokoh diantara ketiga tokoh utama Lembah Pualam Hijau. Pendalamannya atas agama Budha telah memupuk kekuatan batin yang tidak rendah, apalagi karena kekuatan tenaga dalamnya sudah teramat tinggi dan sempurna. Maka dibandingkan kedua kakaknya, Kiang Cun Le dan Kiang Tek Hong, dia sedikit unggul dalam kematangan kekuatan batinnya. Sementara Kiang Cun Le unggul dalam kekuatan tenaga dalam, kekuatan iweekang yang dipupuknya selama puluhan tahun terakhir. Apalagi, dia menemukan keajaiban ketika membentuk Ceng Liong dan mempersiapkannya. Meski sedikit dibawah kekuatan batin adiknya, Liong-i-Sinni, tetapi dia memiliki keunggulan di tenaga iweekang. Sementara Kiang Tek Hong sebetulnya memiliki keunggulan di ilmu silatnya yang bervariasi dan banyak memiliki ilmu-ilmu hebat yang sudah dinyatakan lenyap dari rimba persilatan.

Demikianlah ketiga tokoh utama yang juga adalah cucu-cucu Kiang Sin Liong mempertahankan Lembah Pualam Hijau melawan tokoh-tokoh seangkatan kakek mereka. Dan, hebatnya mereka masih terus dan terus sanggup mempertahankan diri meski sedikit didesak oleh kekuatan lawan. Apalagi, karena sesekali lawan melalui Wisanggeni melontarkan Gelap Ngampar untuk memukul semangat perlawanan mereka. Hanya saja, landasan dan dasar tenaga mereka yang sama dan sekeluarga yang melahirkan kekokohan dan kerjasama yang saling mendukung dan saling melengkapi. Inilah yang menyelamatkan mereka.

Bahkan untuk memperkokoh daya tahan mereka, kini baik Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong maupun Liong-i-Sinni telah duduk bersila. Dan dari pengerahan kekuatan puncak Giok Ceng Sinkang, dari tubuh mereka keluar selapis cahaya halus berwarna kehijau-hijauan. Inilah tanda dan ciri khas seorang penguasa Giok Ceng Sinkang yang telah mencapai puncaknya. Dan jika dikeluarkan dan dikerahkan, maka dari tubuh si pengguna akan keluar selapis cahaya kehijauan yang berfungsi menolak hawa-hawa sesat. Ini berarti, ketiga tokoh tua Lembah Pualam Hijau sedang dalam pengerahan tertinggi penguasaan mereka atas ilmu-ilmu pusaka Lembah Pualam Hijau.

Kali ini pertempuran berjalan sedikit berbeda. Jika pertarungan menggunakan kekuatan sihir untuk melemahkan semangat lawan tidak memperoleh hasil yang memuasakan meski posisi sedikit unggul, kali ini Lamkiong Sek dan kawan-kawannya menempuh strategi baru. Kali ini pertarungan dilakukan satu lawan satu dengan menggunakan ilmu-ilmu silat. Tetapi pertarungannya bukanlah pertarungan secara fisik, melainkan memainkannya melalui pertarungan batin. Bahkan tokoh-tokoh kelas satu rimba persilatanpun tidak akan sanggup lagi mengikuti pertarungan seperti ini. Pertarungan dimana serang menyerang dilakukan melalui "dunia tidak terlacak" oleh mata dan indra biasa manusia.

Menang atau kalah tidak ditentukan oleh kena atau tidaknya pukulan yang dilambari tenaga kasar atau tenaga dalam. Tetapi lebih ditentukan oleh perbawa batiniah yang tercipta melalui kehebatan ilmu silat, kekuatan tenaga iweekang dan tingginya tenaga batin. Bagi mereka yang bertempur, pertempuran memang seperti di arena biasa dengan menggunakan ilmu-ilmu silat pamuncak. Bedanya adalah, arena sebenarnya adalah arena bentukan mereka yang bertempur dan saling serang disana dengan serunya. Terjadi pertempuran yang mengkombinasikan ilmu silat, ilmu sihir atau tenaga batin dengan tenaga iweekang atau tenaga dalam. Karena itu, bisa dibayangkan betapa dahsyat akibatnya bagi mereka yang bertarung. Sebaliknya bagi penonton, jikapun ada, mereka hanya melihat dua tubuh manusia biasa yang bersila saling berhadapan dengan ekspressi yang berbeda-beda yang bisa mereka tampilkan. Yakni ekspressi orang yang memang benar-benar sedang melangsungkan pertarungan seru.

Arena "mitis" yang tercipta terdapat diantara 6 tubuh yang terkelompok menjadi 2 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 3 orang. Kedua kelompok berbeda itu saling berhadapan dan kini semua dalam posisi duduk bersamadhi dengan kerut wajah yang serius dikedua belah pihak. Sementara itu, dihadapan ke-enam orang tua itu, sedang bertarung Kiang Tek Hong melawan Naga Pattynam. Tubuh kedua orang itu saling libas dan saling libat di arena dihadapan ke-enam orang tua yang saling berhadapan secara berkelompok itu. Tubuh keduanya bagaikan sedang terbang kesana kemari bagai kupu-kupu, saling kejar, saling serang, saling pukul dan saling menghindar.

Tiada efeknya bagi dunia fisik. Tetapi efeknya bagi mereka yang bertarung sungguh mendebarkan. Tubuh fisik Tek Hong nampak berkerut dan mengeluarkan keringat, jauh lebih letih kelihatan dibandingkan tubuh dan wadah fisik Naga Pattynam. Bisa dimengerti, Naga Pattynam memang unggul di tenaga dan kekuatan sihirnya, meski sedikit keteteran menghadapi variasi ilmu silat Kiang Tek Hong. Jika bertempur secara fisik, belum tentu Naga Pattynam bisa mendesak Kiang Tek Hong. Tetapi dalam pertempuran jenis "batiniah" ini, yang paling penting adalah kekuatan iweekang dan kekuatan batin atau kekuatan sihir. Nach, disinilah keunggulan Naga Pattynam yang memang memiliki kemampuan sihir paling hebat diantara ketiga kakek pendatang atau penyusup itu.

Kekuatan tenaga dalam keduanya tidak jauh selisihnya. Naga Pattynam sebenarnya berasal dari perguruan Budha, tetapi telah banyak mencampur adukkan dasar tenaganya dengan tenaga dalam kaum sesat. Bahkan telah menggodok tenaga gabungan dengan aliran tenaga lain dari Jawadwipa dan Tionggoan. Akibatnya, kekokohannya berkurang. Sebaliknya, Kiang Tek Hong justru telah mengalami "pemurnian" oleh kakeknya Kiang Sin Liong dan kemudian menempa diri dalam puncak kemahiran Giok Ceng Sinkang bersama Liong-i-Sinni dan Kiang Cun Le. Karena itu, meski usianya jauh lebih muda, tetapi kekokohan tenaga dalam Kiang Tek Hong masih sanggup memadai dan menandingi keampuhan Naga Pattynam. Hanya dalam hal tenaga batin dan tenaga sihir, dia memang masih tercecer dan masih belum sanggup meladeni Naga Pattynam. Itulah sebabnya kernyitan di wajah Kiang Tek Hong sering terlihat, tanda dia sedang diserang dan terdesak.

Celakanya, dalam pertarungan seperti ini yang memegang peranan penting adalah kekuatan batin. Kemampuan menekan dan mempengaruhi mental dan ketenangan seseorang adalah yang paling menentukan. Dan itulah sebabnya dalam pertarungan ini Kiang Tek Hong lebih banyak didesak daripada mendesak. Bahkan akhir-akhirnya dia berkonsentrasi untuk menjaga ketenangannya dan tidak banyak melakukan serangan. Untuk itu landasan Tek Hong yang lebih murni cukup menguntungkannya. Dia terhindar dari desakan bertubi-tubi karena kemampuan dan daya tahannya yang memang lebih ulet dan dasar serta landasan tenaga dalam yang lebih murni.

Tetapi melihat keadaan Tek Hong seperti itu membuat Liong-i-Sinni memutuskan untuk ikut terjun dalam pertempuran. Dan kali ini dia disambut oleh Wisanggeni yang memang telah bersiap melihat gelagat Liong-i-Sinni akan menceburkan diri kedalam pertempuran. Dan tidak lama kemudian keduanya telah membentuk arena kedua, arena pertempuran batin tingkat tinggi yang tidak mungkin diikuti manusia biasa secara mata telanjang. Hanya, jika dalam pertempuran biasa Liong-i-Sinni adalah "raja ginkang", maka dalam pertempuran jenis ini kemampuan itu menjadi biasa saja. Tetapi untungnya Liong-i-Sinni memiliki keunggulan tenaga batin yang lebih dalam dibandingkan lawannya. Dengan landasan tenaga iweekang yang tidak terpaut jauh, Liong-i-Sinni mampu menahan serangan-serangan Wisanggeni.

Yang menyulitkan adalah, Wisanggeni memiliki kemampuan menyerang melalui kekuatan suara, yakni ilmunya "Gelap Ngampar". Dan karena itu, sesekali Liong-i-Sinni terpaksa harus menandinginya dengan lontaran-lontaran kekuatan melalui suaranya. Arena mereka sesekali terjadi adu suara yang menyerang telinga batin keduanya, saling silang antara erangan khas Gelap Ngampar: "Arrrrrrrrrrrrrrrrrrrccch" dan sesekali ditimpali lentingan suara "Amitabha ...........". Keunggulan tenaga batin Lionmg-i-Sinni banyak membantunya untuk menutupi ketertinggalannya dari kekuatan iweekang dan serangan Gelap Ngampar lawan. Karena itu, posisi dan kondisi Liong-i-Sinni relatif sedikit lebih baik dibandingkan dengan Kiang Tek Hong. Kondisinya jauh lebih seimbang.

Melihat semuanya sudah terlibat dalam pertarungan, Kiang Cun Le memutuskan melibat Lamkiong Sek dalam pertempuran serupa. Hal ini untuk menghindarkan terjangan Lamkiong Sek masuk lebih kedalam. Betapapun tinggal beberapa jam, waktu yang dibutuhkan Duta Agung untuk latihan terakhirnya. Karena itu, sedapat mungkin harus diupayakan agar pertempuran ini berlangsung lama dan berlarut-larut. Sementara Lamkiong Sek sendiri berpikir serupa. Hanya, bedanya keyakinan dirinya sudah runtuh beberapa persen sejak melihat kemampuan Tek Hong yang meningkat pesat serta juga Liong-i-Sinni yang ternyata juga nyaris setingkat dengan mereka. Kini, Lembah Pualam Hijau bukan semata Kiang Sin Liong seorang.

Nampaknya kekuatan pamuncak yang memang disiapkan untuk kebutuhan darurat harus segera dilepaskan. Tetapi sebelum itu dia begitu ingin mencoba. Mencoba cucu Kiang Sin Liong yang selama ini menjadi sandaran Lembah Pualam Hijau sebelum Duta Agung yang sekarang tampil dewasa. Kiang Cun Le memang menjadi tulang punggung utama Lembah Pualam Hijau sepeninggal Kiang Sin Liong dan banyak berjasa melewati masa-masa sulit Lembah Pualam Hijau bersama adiknya Liong-i-Sinni - Kiang In Hong.

Maka pada akhirnya bentroklah ke-enam manusia sakti itu dalam pertempuran aneh yang sulit dibayangkan. Tubuh atau wadag kasar mereka sedang bersila saling berhadapan, tetapi dari wadag kasar mereka itu masing-masing mengeluarkan kekuatan luar biasa untuk saling mengalahkan lawannya. Efek serangan mereka tidak akan terasa bagi dunia fisik, tetapi begitu terasa dan begitu hebat efeknya bagi lawan. Hanya orang-orang yang telah menguasai ketenangan mental, jiwa dan kekuatan batin serta tenaga dalam sempurna yang sanggup melakukannya.

Kiang Cun Le segera merasa betapa berat memang lawannya. Dia harus mengakui bahwa tokoh yang menjadi lawannya memang adalah lawan sekaliber kakeknya Kiang Sin Liong. Dan harus diakuinya dia masih belum memiliki cukup kemampuan untuk mengalahkannya. Tetapi untuk sekedar bertahan, dia masih memiliki cukup keyakinan. Tanpa penemuan terakhir Duta Agung dari Koai Todjin dia tidak berkeyakinan untuk menahan kakek lawannya ini cukup lama. Hanya memang, tenaganya masih lebih murni dibandingkan Lamkiong Sek yang liar dan menghentak-hentak. Dan hanya kekuatan "penyembuh" yang telah meningkat dari Giok Ceng Sinkang yang membuat dia dan kedua saudaranya masih sanggup bertahan melawan libasan kekuatan lawan yang luar biasa hebatnya.

Lamkiong Sek sendiri harus kagum dengan kemampuan Kiang Cun Le. Usianya jauh lebih besar daripada Kiang Cun Le, tetapi Kiang Cun Le mampu memberikan perlawanan berarti kepadanya. Bahkan nampaknya tenaga murni Kiang Cun Le tidak tertinggal jauh daripadanya. Hanya kekuatan sihirnya memang masih lebih kuat karena terasah secara baik dalam pergaulannya akhir-akhir ini dengan Naga Pattynam dan Wisanggeni. Inilah modal utamanya dalam menekan dan mendesak Kiang Cun Le yang terpaksa lebih banyak dalam tekanan. Untungnya daya tahannya sudah jauh lebih baik akhir-akhir ini.

Memang benar, pertarungan antar "gajah" ini tidak menimbulkan kegaduhan di alam fisik. Tetapi, bagaimanapun getaran-getaran kekuatan batin akan tertangkap getarannya dari tempat jauh akibat benturan-benturan yang dilakukan oleh mereka yang berkekuatan hebat. Mereka yang memiliki kepandaian tinggi akan dengan mudah menangkap getaran-getaran aneh, apalagi dengan kuatnya getaran yang ditimbulkan oleh benturan kekuatan maha dahsyat tersebut. Dan bisa ditebak, tokoh hebat disekitar Lembah Pualam Hijau pastilah telah menangkap benturan-benturan getaran batin yang teramat kuat ini.

Hanya saja, siapapun tokoh dalam Lembah Pualam Hijau sadar betul dimana tempat mereka berada. Karena itu, tidak sembarangan orang yang berani bergerak untuk melacak dimana tempat terjadinya atau sumbernya getaran-getaran kekuatan batin yang memancar tersebut. Kondisi tersebut bukannya tidak disadari oleh Lamkiong Sek. Semakin lama pertarungan mereka, akan semakin beresiko besar bagi mereka bertiga. Padahal, waktu yang mereka miliki semakin terbatas. Sewaktu-waktu Duta Agung bakal sangat mungkin untuk menyelesaikan "kerjanya" dan jika itu terjadi, maka lebih banyak celaka yang akan mereka terima. Karena mereka paham sampai dimana kekuatan dan kehebatan "Duta Agung" yang masih muda itu. Apalagi, karena Kiang Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou, dua tokoh hebat yang paling mereka benci, telah secara tersamar menyebut anak itu sebagai penghalang bagi mereka.

Lamkiong Sek berpikir waktu sudah sangat terbatas. Sudah saatnya dengan sangat terpaksa menggunakan rencana cadangan. Yakni dengan mengerahkan serangan pamungkas dari gabungan kekuatan mereka yang digodok untuk membentuk kedua murid mereka bertiga: gaib Memindahkan Hawa Mengisi Kosong Menjadi Penuh. Harus diakui, Lamkiong Sek memang seorang jenius. Seperti juga Wisanggeni yang lapar ilmu dan Naga Pattynam yang tergila-gila dengan rangkaian-rangkaian silat yang mujijat. Paduan ketiganya, terutama rangkaian dan tafsiran Lamkiong Sek atas "Memindahkan Hawa Mengisi Kosong Menjadi Penuh" mampu membuat mereka bertiga "sembuh" dari serangan kekuatan batin Kolomoto Ti Lou, Kiang Sin Liong, Bhiksu Chundamani dan Wie Tiong Lan.

Dengan mengais-ngais kembali kekuatan mereka yang nyaris lebur kemana-mana, selama sebulan penuh mereka berkonsentrasi mengumpulkan, saling memindahkan dan saling mengisi. Sampai kemudian formula mujijat dari Thian Tok itu mampu dikembangkan Lamkiong Sek dengan mengkombinasikannya dengan pengetahuan dia sendiri serta dengan penguasaan Wisanggeni dan Naga Pattynam. Ketiganya, dengan juru racik Lamkiong Sek, secara gemilang mampu menggodok formula Thian Tok dan dikombinasikan dengan lembar pusaka Kolomoto Ti Lou dan khasanah pengetahuan Lam Hay. Terciptalah jalan bagi mereka dalam memendam kekuatan luar biasa meski sebelumnya tenaga dalam mereka nyaris buyar. Dan dengan dengan formula seperti itu pula-lah, mereka akhirnya "membentuk" murid-murid mereka, yakni Janawasmy dan Majikan Kerudung Hitam untuk dengan cepat menjadi tokoh maha sakti.

Puncak dari gubahan mereka adalah menempatkan satu orang di depan untuk menyalurkan segenap kekuatan tenaga dalam dan tenaga batin menjadi berdaya serang bergelombang. Bisa dibayangkan bagaimana hebatnya gabungan ketiga Kakek yang luar biasa lihaynya itu. Tidak akan ada seorangpun rasanya yang sanggup menahan gabungan serangan seperti itu, kecuali dilawan dengan sistem serupa. Bila mampu diramu menjadi sebuah serangan tunggal, maka siapakah gerangan yang akan mampu menahan arus gelombang serangan tersebut?

Dan Lamkiong Sek yang melihat waktu semakin terbatas telah menimbang-nimbang untuk melakukannya. Dalam keterbatasan waktu, memang harus memikirkan dengan cepat strategi baru guna mencapai tujuan. Dan Lamkiong Sek sadar, bahwa meski belum sempurna benar, tetapi pilihan paling akhir adalah menempuh jalan terakhir itu. Yakni jalan penggabungan semua tenaga dan semangat guna melancarkan serangan pamungkas. Serangan itu, bahkan bisa menyasar ketempat yang lebih jauh saking ampuhnya gabungan serangan mereka. Dan Lamkiong Sek telah menghitung tempat dimana Duta Agung berada masih dalam areal yang bisa diserang dengan tingkat kerusakan tinggi.

"Toch waktuku memang sudah sangat sempit dan terbatas. Tidak lama lagi waktu hidup yang kumiliki, rasanya tidak ada salahnya demi cita-cita yang terakhir aku terpaksa melakukannya. Biarlah tugas terakhir diserahkan kepada anak-anak muda" timbang Lamkiong Sek.

Apa yang membuat Lamkiong Sek banyak berpikir dan menimbang adalah: karena ilmu itu belum sempurna dan belum matang betul. Maka pengerahan tenaga terakhir akan sangat membahayakan orang yang mengambil posisi terdepan. Artinya, jika dia yang memerintahkan melakukan penyerangan dengan gaya itu, maka dia yang wajib mengambil posisi terdepan. Dan dia juga yang harus berani untuk menerima resiko terberat dari tenaga gabungan mereka bertiga. "Tetapi bagaimanapun waktu semakin menipis, aku harus memutuskan. Biarpun hanya sekali ini, tetapi aku tetap harus menikmati sekali saja kemenangan atas Kiang Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou, harus ....... harus kulakukan" gumamnya dalam hati.

Rasa penasaran karena melulu kalah dari Kiang Sin Liong berempat dari Tionggoan dan belakangan dari Kolomoto Ti Lou dan juga Bhiksu Chundamani benar-benar merongrong rasa tinggi hati Lamkiong Sek. Tokoh cerdik pandai asal Lam Hay ini benar-benar penasaran. Apalagi, Lam Hay juga tidak pernah sanggup menang melawan Kiang Sin Liong meskipun mereka telah tidak henti-hentinya berlatih dan meningkatkan kemampuan. Masakan sampai ada akhir kehidupan tidak mampu menang walau hanya sekalipun? Seperti itu kira-kira pemikiran Lamkiong Sek yang sebenarnya amat pandai dan berbakat itu.

"Kita harus dan akan segera melakukannya ....." tiba-tiba dia memberi isyarat dan komunikasi dalam kekuatan batin kepada kedua temannya, Wisanggeni dan Naga Pattynam. Kedua tokoh itu menjadi kaget tak terkira, sampai-sampai konsentrasi mereka menghadapi Kiang Tek Hong dan Liong-i-Sinni terganggu.

"Kau gila, tetapi kita masih belum menyempurnakan pelepasan kekuatan tersebut secara frontal. Bisa sangat berbahaya bagi dirimu ...." Naga Pattynam mengingatkan Lamkiong Sek akan bahaya yang mereka tahu bersama.

"Ketiga cucu Kiang Sin Liong ini hebat juga, kita tidak akan sanggup dengan cepat mengalahkan mereka. Padahal waktu sudah sangat terbatas. Hanya dengan gabungan kekuatan, kita bukan saja mengalahkan mereka bertiga tetapi juga menyerang langsung Duta Agung itu. Kulihat waktu kita semakin sempit" Lamkiong Sek berkeras untuk melakukannya.

"Tetapi itu akan berarti akhir kehidupanmu, kita harus memikirkannya lebih jernih" Naga Pattynam masih mencoba mengingatkan Lamkiong Sek. Sementara Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong dan Liong-i-Sinni heran mengapa daya tempur ketiga Kakek ini tiba-tiba mengendor. Mereka kurang paham jika saat-saat penentuan justru sudah didepan mata mereka.

"Sobat, sebetulnya aku memang sudah tidak berkemampuan untuk hidup lebih lama lagi. Aku sudah melihat betapa dekat batas hidupku, pertempuran kali ini membuat aku lebih jelas lagi akan batasku. Tugas selanjutnya menjadi tanggungjawab kalian berdua bersama kedua murid kita itu. Sebaiknya kita bersiap ...." Lamkiong Sek akhirnya tegas dengan keputusannya. Bulat sudah. Sementara Wisanggeni dan Naga Pattynam menjadi tegang sendiri.

Selama beberapa bulan terakhir, bahkan beberapa tahun terakhir mereka tahu benar keampuhan dan kepintaran Lamkiong Sek. Bahkan formula rahasia dari Thian Tok menjadi tertafsirkan dan bisa mereka manfaatkan karena kepintaran Lamkiong Sek. Dan kini, mereka mendengar langsung jika Lamkiong Sek telah memutuskan untuk melakukan "adu jiwa". Lebih dari itu, mereka tersentak mendengar Lamkiong Sek telah berada di penghujung usia kehidupannya.

Wisanggeni yang biasanya licik dan tidak punya rasa setia kawan, pun menjadi tegang dan menunjukkan simpatinya:

"Saudara Lamkiong, apakah engkau sadar dengan keputusanmu"?

"Sebaiknya kita segera bersiap. Jika terlampau lama, ketiga orang cucu Sin Liong dihadapan kita akan bisa cepat menebak apa yang kita persiapkan. Dan sekali lagi ingat, segera setelah kita menyelesaikan misi di tempat ini, pembalasan dendam selanjutnya sudah menjadi tanggungjawab kalian berdua bersama murid-murid dan kawan-kawan kita yang lain. Ayo kita mulai ........"

Selesai berkata demikian Lamkiong Sek telah menarik kembali serangannya dan kini berkonsentrasi penuh dalam pengerahan kekuatan batin dan kekuatan murni sepenuhnya. Dia kemudian berjalan satu langkah ke depan, mau dihadapan kedua kawannya, Wisanggeni dan Naga Pattynam sambil kedua lengannya direntangkan. Gaya dan gerakannya bagaikan gerak tubuh yang membentang dan menghisap serta menerima semua kekuatan yang berada di sekitarnya. Dan memang demikian adanya. Wisanggeni dan Naga Pattynam telah mengerahkan kekuatan keduanya untuk diserap dan digabungkan oleh Lamkiong Sek guna melakukan serangan pamungkas. Dibandingkan kawan-kawan mereka yang lain, Bu Hok Lodjin dan Singa Jantan dari Tiang Pek San serta bahkan Mahendra dan Gayatri, ketiga Kakek ini memang masih berada setingkat di atas.

Ketiganyalah yang secara intensif memeriksa formula rahasia Thian Tok dan menemukan kemungkinan penyatuan. Hanya, karena mereka bertiga yang terus bekerja, maka mereka bertiga sajalah yang sanggup melakukan "penggabungan" tenaga untuk dikerahkan menjadi sebuah serangan pamungkas. Dan kini, ketiganya sudah dalam proses menyiapkan serangan pamungkas tersebut. Sebuah serangan yang sangat berbahaya dan mematikan, bukan hanya karena hentakan tenaga gabungan, tetapi karena bahkan tenaga gabungan ini dapat dilontarkan melalui kekuatan batin untuk menyerang orang yang berada dalam radius dan daya jangkauan pukulan mereka. Meski belum sempurna, tetapi mereka mampu memukul roboh pesilat tangguh sekalipun dalam jarak hampir 250 meteran.

Padahal, dalam hitungan Lamkiong Sek, jarak mereka dengan tempat dimana Duta Agung biasanya bersamadhi, dan dia sudah meyakininya melalui kekuatan batinnya tadi, hanyalah berjarak kurang dari 150 meter. Inilah yang menumbuhkan optimisme Lamkiong Sek bahwa dia akan sanggup melukai Duta Agung, menggagalkan rencana Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou dan menjadi satu-satunya kemenangannya atas Sin Liong dan Kolomoto Ti Lou selama masa hidupnya. Sebuah kemenangan yang gemilang. Dan di bibirnya telah tersungging senyum kemenangan tersebut. Benar-benarkah dia menang di akhir hidupnya ?
 
BAB 10 Ketegangan Di Lembah Para Naga
1 Ketegangan Di Lembah Para Naga



Sementara itu Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni sempat terpana dan tidak mengerti apa yang akan dilakukan ketiga Kakek yang amat lihay itu. Mereka mulai curiga ketika ketiga Kakek itu nampak bersiap dalam sebuah formasi aneh dengan Lamkiong Sek berada satu langkah di depan ke dua kakek lainnya. Dalam posisi masih ayal-ayalan tiba-tiba mereka bertiga mendengar bisikan dari suara yang sama, suara yang sangat mereka kenal:

"Bersiaplah dengan cepat, gabungan kekuatan mereka bertiga itu akan terlampau dahsyat, karena itu segera kerahkan segenap kekuatan batin kalian dan biarkan sisanya ditanggungnya ......."

"Toako ....."? terdengar Kiang Tek Hong mendesis dan saling pandang dengan kedua saudaranya yang lain, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni yang nampaknya sama mengenal sumber suara yang membisiki mereka. Dan karena itu setelah saling kedip tanda setuju, dengan cepat dan sigap ketiganya bersiap untuk menandingi lontaran kekuatan dahsyat yang dilepaskan oleh gabungan 3 (tiga) kekuatan dahsyat yang tidak nampak itu.

Begitu mereka bersiap - pada saat itulah Lamkiong Sek mengerang serta melontarkan kekuatan gabungan mereka bertiga; Lamkiong Sek - Wisanggeni - Naga Pattynam. Sebuah gabungan kekuatan maha raksasa yang bukan hanya didorong oleh kekuatan tenaga iweekang tetapi juga tenaga batin dan sihir yang luar biasa kuatnya. Dengan segera keadaan di sekitar ke-enam orang itu bagai diserang angin ribut, karena bahkan pepohonanpun bergoyang-goyang seperti terkena terjangan angin dan badai. Dan dari segi tiga posisi tubuh Lamkiong Sek - Wisanggeni dan Naga Pattynam, tiba-tiba berhembuslah pusaran angin lesus yang luar biasa kuat dan dahsyatnyanya. Kekuatan itu bergulung-gulung dan memancar menerjang kesemua arah dalam pusaran kekuatan yang luar biasa kuatnya.

"Lontarkan gabungan kekuatan tenaga batin kalian secepatnya, kurangi kedahsyatan tenaga gabungan mereka bertiga itu. Mudah-mudahan "dia" akan cukup sanggup untuk menanggulangi sisa kekuatan lainnya ......" kembali terdengar suara yang sangat dikenal dan akrab di telinga ketiga tokoh puncak Lembah Pualam Hijau itu. Dan sambil saling lirik, mereka bertigapun saling mengangguk dan secara bersama mendorongkan kekuatan mereka ke arah posisi segi tiga manusia yang menjadi pusat dan sumber pusaran utama kekuatan gabungan itu. Dan sebagai akibatnya sungguh luar biasa hebat ......

Hanya saja, puusaran kekuatan itu memang hebat luar biasa. Begitu membenturnya, Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni segera sadar bahwa mereka membentur kekuatan yang terlampau besar. Tetapi untungnya, meski menyerang dengan kekuatan masing-masing, tetapi pusaran kekuatan itupun sedikit tergedor. Serangan kuatnya yang merambat kemana-mana bisa dikurangi, meskipun kekuatan tenaga murni yang menyambar keluar, terutama ke-arah yang dituju mereka bertiga masih teramat kuat dan besar. Dan tenaga murni yang telah dilontarkan itu tetap menerjang cepat ke arah yang telah mereka tetapkan, meskipun tanpa dorongan kekuatan sihir atau kekuatan batin yang telah dibentur oleh Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni.

Tetapi, ketiga tokoh Lembah Pualam Hijau itu sendiri mengalami kejadian yang jarang mereka alami dan rasakan. Begitu mengalami benturan mereka langsung terlempar dan terlontar ke belakang. Dan hanya karena kekuatan mereka yang luar biasa sajalah mereka sanggup mengatur cara jatuh mereka dengan duduk bersila. Hanya saja, wajah mereka menjadi sangat pucat dan sinar mata mereka menjadi sayu bagaikan tiada cahaya kehidupan. Itulah tanda kalau mereka mengalami guncangan dan keletihan fisik serta psikhis yang luar biasa.

Sebagai tokoh yang sudah malang melintang dengan kekuatan tenaga murni dan tenaga batin yang relatif sempurna, mereka sadar jika semangat mereka tergedor sangat keras. Kekuatan tenaga iweekang mereka juga terbentur keras, tetapi untuk urusan itu mereka tidak khawatir. Dalam waktu tidak lama, mereka akan sanggup mengumpulkan kembali tenaga murni dan iweekang mereka. Tetapi, gedoran terhadap semangat dan mental mereka sungguh begitu kuat. Bakal dibutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan "semangat" maupun gedoran yang didera oleh benturan dengan gabungan kekuatan batin lawan.

Sementara itu, serangan utama gabungan kekuatan 3 kakek itu terus meluruk ke arah gua yang berada tidak jauh dari areal pertempuran mereka. Gabungan kekuatan yang telah dinetralisasi sokongan kekuatan batinnya oleh ketiga tokoh utama Lembah Pualam Hijau itu masih teramat ampuh. Itulah ancaman fisik yang maha hebat karena Itulah gabungan kekuatan iweekang tiga tokoh sepuh yang terus meluruk ke arah yang telah mereka tentukan. Tetapi tiba-tiba, kekuatan luar biasa yang tidak nampak itu tiba-tiba bagai tergulung-gulung dan kemudian membentuk pusaran kekuatan yang sangat luar biasa.

Seluruh kekuatan tenaga iweekang ketiga kakek itu meluruk dan terhenti di satu tempat untuk kemudian bergulung-gulung membentuk pusaran besar. Hebatnya pusaran kekuatan itu semakin lama semakin lebar daya jangkaunya. Dan sudah barang tentu kekuatannya juga menjadi berlipat ganda. Dan pada saat yang sangat menegangkan itu, tiba-tiba gulungan kekuatan itu melesat dengan kecepatan tinggi menyeberangi jurang di samping gua dan tidak berapa lama kemudian terdengar sebuah ledakan keras luar biasa:

"Dhhhhhhhhhhuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrr ....."

Jarak antara gua di bentangan gunung kembar sebelah selatan dengan tebing gunung kembar sebelah utara yang di bawahnya mengalir sungai itu kira-kira ada 150 meter atau bahkan mungkin hampir 200 meter lebih. Tetapi ledakan yang diakibatkan oleh gabungan 3 kekuatan itu menghasilkan daya ledak yang bergemuruh dan diikuti dengan runtuhnya material tebing sebelah ke sungai yang berada di bawahnya. Suaranya berderik keras dan menghasilkan kebisingan luar biasa di tengah kondisi alam yang sedang senyap. Tetapi, selama bunyi ledakan dan runtuhnya material di tebing sebelah bergemuruh, di Lembah Pualam Hijau darimana kekuatan dahsyat itu berasal, sebaliknya justru menjadi sangat hening. Malah teramat hening kesannya.

Yang terdengar hanyalah tarikan nafas beberapa manusia. Ada tarikan nafas yang lemah dan berasal dari Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni, dan ada tarikan nafas yang lebih lemah lagi. Nampaknya berasal dari Lamkiong Sek yang bukan hanya mengalami guncangan akibat lontaran gabungan kekuatan mereka "berbelok" arah ke tebing sebelah. Lebih dari itu, Kakek pintar yang lihay itu shock berat melihat gabungan kekuatan itu seperti "dibelokkan" oleh seseorang. Tetapi yang membuatnya terbelalak adalah "siapa gerangan tokoh yang berkemampuan untuk membelokkan gabungan tenaga yang begitu besar dan dahsyat"? Inilah pukulan terberat yang diterima oleh Lamkiong Sek.

Sementara itu, Wisanggeni dan Naga Pattynam sendiri masih terperangah. Mereka sendiripun masih belum mengerti, bagaimana bisa tenaga sedahsyat itu bisa dihalau orang hingga nyasar ke tebing sebelah? Ada siapakah tokoh sehebat itu yang membantu pihak Lembah Pualam Hijau? Benar-benar sulit dibayangkan. Mereka memang tidak terluka, hanya mengalami keterkejutan yang luar biasa. Baru mulai menemukan kesadaran ketika terlihat sesosok tubuh berjubah hijau secara perlahan bagaikan terbang perlahan-lahan turun dalam posisi bersila di depan Gua yang disasar oleh gabungan tenaga mereka tadi.

Di keremangan malam mereka tidak sanggup mengenali siapa gerangan tokoh tersebut. Tetapi jubah hijau dengan rambut terurai kusut masai dan dalam posisi bersila turun secara perlahan bagai tak punya bobot, hanya sanggup dilakukan sedikit orang. Dan tak sengaja Wisanggeni bergumam:

"Kiang Sin Liong ....... bukankah ........ bukankah dia .....?" tetapi suaranya segera terputus. Diantara yakin dan tidak yakin. Hanya saja, pameran kekuatan yang ditunjukkan tadi memang mengarah ke tingkat kepandaian tokoh sekaliber Kiang Sin Liong. Siapa lagi jika bukan dia?

"Ma ...... ma ..... mana bisa dia, bukankah di ... dia, Kiang Sin Liong itu sudah meninggal dunia ...."? terdengar suara kaget dan terbata-bata dari Lamkiong Sek. Kegagalan pukulan gabungan tadi berefek sangat besar bagi tubuhnya yang menjadi landasan tenaga gabungan itu. Dia kehabisan tenaga dan kini tubuhnya menjadi teramat lemah. Kehabisan tenaga.

"Segeralah berlalu dari tempat ini sebelum kesabaran kami semua habis. Dari mana kalian datang dan menyusup, dari sana pulalah kalian harus pergi dan berlalu. Silahkan ...... maaf, kami tidak mengantarkan" terdengar suara yang memang mirip suara Kiang Sin Liong, hanya saja dilepaskan oleh kekuatan tak berujud dan hanya terdengar oleh ketiga kakek itu belaka.

"Engkau, engkau belum mati ......"? terdengar Wisanggeni bergumam setengah percaya setengah tidak percaya.

"Bukan urusanmu ....... pergilah sebelum kami berubah pikiran ....."

Dan sebelum ketiga Kakek itu bergerak penuh kelesuan karena menghadapi kegagalan atas misi mereka, tiba-tiba terdengar suara yang mengalun di angkasa dan ditujukan kepada banyak orang:

"Mereka telah kulepaskan ...... menghormati hari pernikahan di Lembah Pualam Hijau kulepaskan ke tiga orang ini. Hutang-hutang lain, biarlah diselesaikan selepas hari ini ..... biarkan mereka pergi dari tempat mereka datang tadi ......"

Suara itu terdengar jelas dan tegas bagi semua. Sampai-sampai beberapa tokoh yang juga telah berada di sekitar tempat kejadian sama-sama menarik nafas panjang. Terutama Nenggala dan Jayeng Reksa paman sekaligus gurunya. Mereka sebetulnya sudah gatal tangan untuk menerjang Wisanggeni yang sekali lagi mendatangkan malu bagi perguruan mereka dengan meluruk dan menyusup masuk ke Lembah Pualam Hijau. Selain memang, urusan internal perguruan mereka masih tetap belum terselesaikan. Tetapi perintah tadi telah dengan tegas melarang siapapun menghalangi kepergian ketiga Kakek itu. Jelas sebagai tamu di Lembah Pualam Hijau, mereka berdua, Nenggala dan Jayeng Reksa tetap harus menghormati keputusan tuan rumah. Karena itu, dengan kesal dan juga berat hati mereka memandangi Wisanggeni bersama Naga Pattynam yang berlalu sambil memayang Lamkiong Sek.

Tiba-tiba terdengar suara yang lain, pastinya bukan suara yang disangka atau diduga Wisanggeni sebagai suara Kiang Sin Liong. Suara terakhir adalah suara dari orang yang disangka dan dipanggil "toako" oleh Kiang Tek Hong. Suara yang mengingatkan mereka untuk bersiaga menghadapi lontaran kekuatan ketiga Kakek yang kini berjalan pergi dengan lesu setelah kalah dan dipermalukan di Lembah Pualam Hijau.

"Amitabha, Lamkiong Locianpwee, hari-harimu sudah akan menjelang datang. Semoga locianpwee masih berkesempatan untuk menemukan penerangan Budha ...... siancay, siancay ......."

"Terima kasih ...... "Orang Suci dari Siauw Lim Sie" ternyata juga ikut berkunjung datang. Siapapun memang akan datang waktunya .........." Lamkiong Sek yang telah kehilangan kekuatannya hganya sanggup berbicara wajar bagai manusia biasa lainnya. Nampaknya di puncak kekecewaannya, Lamkiong Sek justru menjadi pasrah dan kini dia sadar dan percaya bahwa ternyata memang benar, Lembah Pualam Hijau memiliki kemampuan untuk menghadapi mereka bertiga. Dan dia bersama kedua kawannya telah membuktikannya. Hanya saja, dia masih sulit memahami bagaimana lontaran tenaga gabungan mereka bisa gagal. Sungguh teramat sulit untuk dipahaminya.

"Tapi, siapa gerangan yang telah melontarkan dan membelokkan tenaga gabungan kami bertiga ....."? Lamkiong Sek masih tetap penasaran dan mengajukan pertanyaan kepada orang yang disebutnya "Manusia Suci Dari Siauw Lim Sie". Tokoh yang sebenarnya adalah juga warga Lembah PUalam Hijau. Tepatnya, dia adalah saudara tertua dari Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong dan Kiang In Hong bertiga yang sudah lama memutuskan untuk bertapa di Siauw Lim Sie untuk mendalami ilmu agama.

"Dia adalah tokoh Lembah Pualam Hijau juga ....... tetapi dia terluka sangat parah setelah menerima dan kemudian membelokkan tenaga gabungan kalian. Untung dia belum sanggup mengembalikan tenaga kalian, baru pada tahap sanggup untuk membelokkannya ....... Amitabha ......"

"Accchhhh, Kiang Sin Liong, bukankah dia .......?" suara Lamkiong Sek terputus di tengah jalan. Kaget setengah mati.

"Sama sekali bukan, kong-kong memang sudah meninggal beberapa waktu lalu" kali ini adalah Liong-i-Sinni yang berbicara. Kekuatan tenaga batinnya memang adalah yang paling dalam dan kuat diantara mereka bertiga, dan karena itu pengaruh tenaga gabungan tadi lebih lemah memerosotkan semangatnya dibandingkan dengan Kiang Tek Hong dan Kiang Cun Le.

"Jadi, dia ..... dia ..... bukan Kiang Sin Liong. Habis, siapakah dia ......? Acccccch, apakah dia ..... dia ....." Lamkiong Sek tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Sebaliknya dia melirik kedua temannya dan kemudian berkata:

"Mari kita pergi, kita sudah terpukul kalah ....."

Dan kepada Manusia Suci Dari Siauw Lim Sie yang tidak menampakkan diri dia menyempatkan diri berkata:

"Terima kasih, aku menerima kekalahanku. Dan benar, hari-hariku memang sudah mendekat. Teramat dekat malahan ....." dan setelah berkata demikian Lamkiong Sek membalikkan badan untuk kemudian berjalan pergi dengan langkah yang sangat lemah, malahan sambil dipayang oleh Wisanggeni.

Dan berlalulah ketiga Kakek luar biasa itu. Kembali masuk ke dalam barisan pepohonan, dan dengan susah payah akhirnya meninggalkan Lembah Pualam Hijau dari mana mereka masuk tadi. Dan berahirlah "pesta" pertama di Lembah Pualam Hijau, pesta yang sangat menegangkan menyambut pesta yang sesungguhnya yang besok harinya baru akan dilaksanakan.

Sementara itu, untuk beberapa lama tidak ada seorangpun tokoh yang berusaha mendekati tempat dimana Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni duduk bersila. Memang sekilas mereka sedang bersila dan ber-samadhi memulihkan diri, namun ketika Kiang Hong, Kiang Liong, Tan Bi Hiong, Kiang Li Hwa dan Kiang Sian Cu berusaha mendekati orang tua mereka masing-masing, terdengar suara Duta Agung Kiang Ceng Liong:

"Biarkan mereka beristirahat dan melepas rindu masin-masing ....... akan besar makna dan manfaatnya untuk mereka semua"

Dan memang, tidak ada orang yang mampu melihat. Hanya beberapa gelintir belaka yang menangkap getaran-getaran tenaga mujijat yang sedang terjadi. Tetapi Ceng Liong yang baru menyelesaikan samadhinya untuk mengobati luka setelah melontarkan kekuatan raksasa gabungan tiga kakek lihay tadi, sangat paham apa yang sedang terjadi. Meski tidak berhadap-hadapan secara fisik, tetapi dia paham bahwa "paman kakeknya" yang kini telah menjadi "Manusia Suci dari Siauw Lim Sie" sedang bercakap-cakap bersama-sama dengan adik-adiknya. Sebuah "reuni" antara 4 (empat) orang kakak beradik yang puluhan tahun baru terjadi kembali. Hanya saja, percakapan itu tidak dapat diikuti sembarang orang, karena bukan "percakapan biasa". Percakapan yang hanya dilakukan mereka berempat tanpa orang lain mampu mendnegar atau apalagi merecokinya..

Kiang Sin Liong memiliki 4 orang cucu dari seorang anak tunggal yang mati muda. Ke-empat cucunya itu adalah Kiang Siong Tek, Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Kiang In Hong. Kiang Siong Tek dikenal paling dekat hubungannya dengan Kiang Tek Hong, sementara Kiang Cun Le sangat dekat dengan adik perempuan mereka satu-satunya Kiang In Hong. Musibah yang di alami Kiang Tek Hong membuat Kiang Siong Tek memutuskan masuk biara menjadi murid Budha di Siauw Lim Sie. Sementara dengan terpaksa Kiang Cun Le dididik kakeknya menjadi Duta Agung, bersama dengannya juga dididik Kiang In Hong. Merekalah yang dipasrahi masa depan Lembah Pualam Hijau.

Dan kini, ke-empat Kakak-Beradik itu sedang "bercengkerama". Atau tepatnya, "Manusia Suci Dari Siauw Lim Sie" sedang membantu adik-adiknya untuk "membenahi" shock yang dialami akibat terjangan gabungan kekuatan tiga lawan mereka yang memang luar biasa lihaynya tadi. Untungnya, sokongan kekuatan batin telah dinormalisasi mereka bertiga, jika tidak, maka Duta Agung tidak akan sanggup menahan lontaran tenaga raksasa tadi. Itupun Duta Agung masih terluka cukup parah. Tetapi, mengandalkan sinkang istimewa Giok Ceng Sinkang, Kiang Ceng Liong dengan berani memapak tenaga gabungan, terluka dalam yang parah, tetapi dengan cepat menyembuhkannya.

Sebagaimana diketahui "Manusia Suci Dari Siauw Lim Sie" yang dulunya bernama Kiang Siong Tek justru memiliki kemampuan kekuatan batin yang luar biasa sempurnanya. Bahkan sebelum Kiang Sin Liong mampu melakukan komunikasi jarak jauh, dia telah sanggup melakukannya. Dan kali inipun, dia melakukannya sesuai dengan permohonan terakhir kakeknya Kiang Sin Liong sebelum meninggal. Dan ternyata, prediksi kakeknya memang benar terjadi. Adalah kehadirannya yang menyelematkan ketiga adiknya. Meski sebagai murid Budha dia telah melepaskan semua ikatan duniawi, tetapi bagaimanapun panggilan Lembah Pualam Hijau, panggilan kekeluargaan adalah sebuah ikatan "suci" yang sulit dilepas begitu saja. Karena itu orang selalu dan sering rindu dengan kata "pulang". Kembali bertemu dengan "rumah" dan keluarga darimana dia berasal dan dimana dia tumbuh serta besar secara bersama.

Dan benar saja, setelah beberapa saat keadaan Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le dan Liong-i-Sinni nampak semakin baik. Kondisi mereka sudah membaik, tidak selesu sebelumnya. Bahkan Ceng Liong paham kalau mereka berempat, Kakak-Beradik yang sudah lama tidak berkumpul lagi sedang bertukar cerita dan bertukar kisah. Dan berlalulah salah satu episode yang sangat menegangkan di Lembah Pualam Hijau. Tetapi, benar-benarkah ketegangan di Lembah Pualam Hijau sudah berlalu? Sudah tenang dan normalkah kondisi Lembah Pualam Hijau terutama menjelang serta pada saat pesat pernikahan nantinya?

====================

Tak terlihat sisa-sisa ketegangan yang terjadi menjelang pagi hari. Lembah Pualam Hijau sedang berbenah dan sedang bersolek. Karena kini memasuki hari-hari terakhir persiapan pernikahan Nenggala dengan Kiang Li Hwa. Dan karena hari pernikahan ditetapkan pada keesokan hari, maka hari ini, meski di awali dengan ketegangan di lokasi tempat tinggal bagian dalam Lembah Pualam Hijau, tetapi kini tidak lagi berbekas. Semua pelayan bekerja keras seperti juga semua anak murid Thian San Pay yang ikut membantu persiapan-persiapan terakhir pernikahan sesepuh mereka.

Meskipun Lembah Pualam Hijau sibuk, tetapi yang sibuk adalah kaum pelayan dan anak murid mereka semata. Dan yang memegang kendali atas semua persiapan pesta adalah Kiang Sian Cu, Duta Dalam sekaligus sepupu Kiang Li Hwa si calon pengantin. Sementara tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau, Kiang Tek Hong, Kiang Cun Le, Liong-i-Sinni masih sedang beristirahat. Demikian juga dengan Duta Agung Kiang Ceng Liong masih tetap belum nampak berada di kamar kerjanya. Tetapi, menikmati indahnya pemandangan di pegunungan telah nampak beberapa tamu yang berjalan-jalan.

Pagi itu yang nampak berjalan-jalan menikmati indahnya pemandangan Gunung Kembar Utara dan Selatan antaranya adalah Liang Tek Hoat, Siangkoan Giok Lian dan ditemani oleh Liang Mei Lan. Ketiganya nampak berjalan-jalan sambil bercakap-cakap, bersenda gurau menikmati indahnya pemandangan di pegunungan. Sesekali mereka melongokkan kepala untuk mengukur, sejauh atau sedalam apakah gerangan jurang yang memisahkan tebing gunung kembar utara dan gunung kembar selatan. Selain itu, tentunya menikmati indahnya barisan pepohonan yang mendatangkan hawa dan pemandangan menyejukkan mata. Sejauh mata memandang memang adalah hamparan hutan dengan liku-liku belokan sungai yang mengular ke arah bawah.

"Koko, jika engkau menikah kelak kira-kira akan menikah dimana? Apakah di Markas Kaypang ataukah Bengkauw"?

"Dimana saja bisa adikku ...... "

"Wah, apa benar demikian Giok Lian? Benarkah menikah di mana saja engkau rela? tentunya bahkan di tempat terpencil sekalipun? waaaaaaaahhhhh, engkau sungguh sangat keterlaluan koko ..."

"Hahahaha, tentu saja harus disepakati dengan Lian Moi adikku ....." santai saja Tek Hoat bicara. Selain karena memang ramah, Tek Hoat sendiri membangun komunikasi yang baik dengan Giok Lian pacarnya dan juga dengan Mei Lan adiknya. Karena itu, tidak jarang mereka bertiga bercanda dan tertawa bersama-sama, sebagaimana pagi ini.

"Dan jika pada saatnya engkau menikah, nampaknya tempat ini sangat menarik dan lebih dari mencocoki seleraku untuk datang menghadirinya Lan Moi" Siangkoan Giok Lian kini gantian untuk menggoda Mei Lan. Dan setelahnya merekapun tertawa riang bersama-sama.

"Ach, engkau menggoda saja Enci Lian, engkau tentu tahu Ceng Liong Koko baru bisa membicarakan urusan tersebut setelah temu tanding tahun mendatang, sama seperti kalian berdua"

"Hahaha, sabar adikku. Toch waktunya segera menjelang datang ...." Tek Hoat menengahi sebelum suasana menjadi syahdu.

Tetapi ketiganya berhenti bicara ketika rombongan yang dipimpin oleh Thio Su Kiat memasuki Lembah. Dan secara sangat kebetulan merekapun tiba di ujung jalan yang diapit barisan pepohonan memasuki Lembah Pualam Hijau setelah puas melihat-lihat jurang dan dinding terjal di di sisi kanan Lembah Pualam Hijau. Thio Su Kiat dengan gembira menyapa 3 orang muda sakti yang sudah sangat dikenalnya itu sambil memperkenalkan tamu-tamu yang berjalan bersamanya itu:

"Ach kiranya saudara Liang Tek Hoat, Siangkoan Giok Lian dan Liang Mei Lan. Selamat bertemu, selamat bertemu ....."

"Hahahaha, adikku selama beberapa hari ini selalu membayangi rombongan kalian saudara Thio. Baru semalam akhirnya dia memutuskan untuk masuk mendahului rombonganmu yang besar ini ......" Berkata Tek Hoat sambil memberi hormat dan salam kepada semua orang yang bersama-sama Thio Su Kiat.

Sementara itu, Kiang Sun Nio telah maju beberapa langkah mendekati Liang Mei Lan untuk kemudian berkata:

"Suci ...... engkau sudah berada disini rupanya ...."?

"Hihihi, sumoy maafkan. Beberapa hari ini sebetulnya sucimu ini selalu membayangi rombonganmu. Soalnya toakomu terlalu malas untuk meninggalkan Lembah Pualam Hijau akhir-akhir ini dan menitipkanmu untuk kuawasi, tetapi rupanya kemampuanmu sudah maju jauh sumoy ...."

"Tapi menurut subo, toako memang harus berkonsentrasi penuh dan bahkan dijagai kongkong dan subo segala ....... manja amat siy dia ......"

"Hikhik, aku mengerti sekarang, gara-gara itu engkau baru berani merat dari Lembah Pualam Hijau ya sumoy ..."

"Tapi tolong nanti engkau membujuk dia supaya tidak memarahiku ya suci ....... toako kan paling takut kepadamu"

"Hussshhhhh, sudahlah. Perkenalkan dulu sahabat-sahabatmu yang datang bersamamu, urusan lain kita atur nanti saja ...."

"Weeeehhhhhh, suci, belum menjadi ipar saja sudah galak begini, apalagi kalau sudah jadi ipar beneran ..... hihihi ....."

Usai menggoda sucinya Mei Lan, Sun Nio kemudian berinisiatif memperkenalkan semua anggota rombongan yang berjalan bersama mereka. Dan dengan gaya kekanak-kanakannya diapun memperkenalkan:

"Koko yang hebat ini berasal dari Lembah Salju Bernyanyi, namanya Tham Beng Kui, dia datang bersama dua adik seperguruannya yang cantik-cantik, Cui Giok Tin dan Cui Giok Li ....." demikian secara jenaka Sun Nio memperkenalkan tiga orang muda dari Lembah Salju Bernyanyi sambil menunjuk mereka satu demi satu. Tidak disembunyikannya kekagumannya kepada Tham Beng Kui, dan memang selama beberapa hari ini keduanya dengan cepat menjadi akrab setelah melakukan perjalanan bersama-sama.

"Dan koko yang satu ini, adalah seorang pendekar muda yang dahsyat, berasal dari Kang Lam dan penjadi Pendekar Kelana bernama Lie Hong Po. Dia adalah sahabat kekal Nona Cui Giok Lie dan karena tidak punya tujuan khusus aku mengundangnya datang ke pesta di Lembah Pualam Hijau ....."

Demikianlah semua rombongan diperkenalkan oleh Sun Nio dengan gaya kekanak-kanakannya. Dan semua yang diperkenalkan saling memberi salam dengan Tek Hoat bertiga. Hanya saja, sekilas Tek Hoat merasa kaget namun menyimpannya dalam hati ketika melihat "nyala" dalam sinar mata Lie Hong Po, meski sangat sekilas. Bahkan hati kecilnya seperti berkata "aku mengenal orang ini, tapi mengapa begitu asing ....."?. Hanya saja, pertanyaan dan keanehan-keanehan ini disimpannya dalam hati. Apalagi karena Kiang Sun Nio, penghuni Lembah Pualam Hijau yang mengundang orang tersebut.

Dan setelah semua orang saling berkenalan lengkap dengan kesenangan maupun kepenasaran masing-masing, Sun Nio pada akhirnya menyerahkan pengaturan para tamu dan pengaturan penginapan masing-masing tamu itu kepada pelayan-pelayan Lembah Pualam Hijau. Tetapi, beberapa saat kemudian dalam herannya dia celingak-celinguk seperti mencari-cari seseorang, sampai akhirnya dia melirik kearah Mei Lan dan bertanya:

"Suci, kenapa sampai sekarang aku tidak melihat Ceng Liong koko ....? Berada dimana gerangan dia?

"Entahlah sumoy, lebih baik engkau bertanya kepada ayah atau ibumu saja. Karena subo sendiripun tidak mengatakan apa-apa setelah adanya kunjungan "tamu tak diundang" beberapa waktu lalu"

"Apa katamu suci? Ada tamu tak diundang berani memasuki Lembah ....? Berani benar orang-orang itu?"

Tetapi Liang Mei Lan tidak lagi menjawab pertanyaan Sun Nio tetapi hanya mengangguk membenarkannya. Betapapun, dia memang berkeinginan mendengar kabar Ceng Liong, tetapi pasca bentrokan dengan tamu tak diundang tadi subuh, dia masih belum mendengar kabar kondisi Ceng Liong. Dia tahu belaka bahwa bukan Kiang Sin Liong yang melontarkan gabungan kekuatan Lamkiong Sek dan kawan-kawannya, tetapi adalah Ceng Liong. Hanya, apa dan bagaimanakah akibatnya bagi Ceng Liong, ini yang memusingkannya. Dia ingin bertanya kepada Subonya, Liong-i-Sinni, tetapi Nenek itupun sepertinya sedikit terguncang dan sedang berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Bertanya kepada tokoh Lembah Pualam Hijau lainnya, dia merasa malu. Untung datang sumoynya ini ....

Sementara itu, Kiang Sun Nio begitu mendengar adanya kejadian yang nampaknya menggemparkan terjadi dalam Lembah, sudah dengan cepat melesat masuk kedalam. Mendahului semua orang, dia berkelabat mencari orang tuanya, Kiang Hong dan Tan Bi Hiong. Tetapi, dalam kagetnya, meskipun menjelang hari pernikahan bibinya Kiang Li Hwa, tetapi tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau sebagian besar justru tidak berada di Gedung utama. Jika di hari-hari biasa tidak berada di Gedung utama mendampingi para tamu, maka bisa dipastikan ada sesuatu yang luar biasa.

Dalam gedung dia hanya menemukan Kiang Sian Cu bibinya dan juga ibunya Tan Bi Hiong, tetapi tidak menemukan tokoh-tokoh lainnya. Bahkan juga tidak menemukan Kiang Li Hwa dan Nenggala. Melulu hanya Kiang Sian Cu dan ibunya yang nampaknya sedang sibuk-sibuk bertugas untuk mengatur dan menata gedung dengan memberi perintah atau komando kepada para pelayan untuk menata dan mengatur ruangan.

"Ibu ......." sapa Sun Nio begitu menemukan ibunya yang sedang memberi perintah bersama Kiang Sian Cu kepada para pelayan.

"Hmmmmm, anak bengal, dari mana saja engkau?. Subomu pasti akan sangat senang memberi hukuman kurung beberapa hari ......" Tan Bi Hiong melirik senang melihat anak gadisnya sudah berada di dalam Lembah. Betapapun, setelah serangan subuh tadi, dia mulai mengkhawatirkan keadaan anak bungsunya ini. Meski Mei Lan telah memberi informasi keadaannya baik-baik saja, tetapi ibu mana yang tidak mengkhawatirkan anaknya?

"Ach Ibu, tapi apakah subo dan koko baik-baik saja ...."? Sun Nio senang melihat tidak ada sinar amarh di mata ibunya.

"Lebih baik engkau menengok subomu terlebih dahulu, ajak sekalian sucimu. Kelihatannya dia orang tua sudah rada baikan, tadi dia sempat menanyakan keberadaanmu dan sucimu ...."

"Tapi ....... pestanya bagaimana ibu ...."?

"Biar ibumu bersama Bibi Sian Cu yang mengurusnya, engkau pergilah, segeralah temui subomu ...."

"Baik ibu ....... Bibi Sian Cu, aku menemui subo dulu ....."

Seusai mendapat persetujuan Ibu dan Bibi Neneknya, Kiang Sun Nio segera menemui Liang Mei Lan guna menemui subo mereka Liong-i-Sinni. Sebetulnya ada rasa heran di hati anak gadis itu, mengapa justru pada saat-saat terakhir persiapan pesta, tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau tidak berada di Gedung utama. Rasa penasarannya bertambah ketika ibunya tidak memarahinya ketika pulang (Karena memang dia pergi meninggalkan Lembah secara diam-diam alias tanpa pamit), tetapi justru segera memintanya untuk bersama sucinya menemui subonya. "Ada apa gerangan?" dengan tanda tanya inilah Sun Nio menemui subonya. Tentunya setelah memanggil sucinya terlebih dahulu.

Begitu kedua gadis itu mendekati gua yang menjadi tempat samadhi Liong-i-Sinni dan belum lagi keduanya minta ijin untuk masuk, sudah terdengar suara yang lembut tetapi rada lemah, berbeda dengan hari-hari biasanya:

"Masuklah murid-muridku ......."

Maka tanpa banyak berkata-kata, keduanyapun memasuki gua tersebut. Dan merekapun sangat terkejut menemukan subo mereka berwajah sangat letih dan kelihatan jauh lebih tua dibandingkan penampilannya sebelumnya. Tetapi, sinar lembut dan teduh di wajah subo mereka tetap lekang dan tidak meninggalkan wajah itu. Wajah dan sinar teduh yang sudah tentu sangat dikenal keduanya. Hanya saja, Mei Lan yang lebih berpengalaman dan bermata jauh lebih tajam sudah dengan cepat bertanya kepada subonya:

"Subo, accccccchhhhhhhh, engkau terluka parah ......" desis Mei Lan terharu melihat kondisi Liong-i-Sinni.

"Acccccch, matamu tidak mudah lagi dibohongi Lanj-ji. Benar, pertarungan melawan ketiga tokoh sepuh itu menguras hampir semua kekuatan iweekang dan tenaga batinku. Untung "Manusia Suci Dari Siauw Lim Sie" datang membantu dan untung juga Liong Jie telah hampir berhasil. Jika tidak, benar-benar petaka mengunjungi Lembah ini ....."

"Tapi subo, apakah bisa muridmu membantu ...."? Mei Lan bertanya harap-harap cemas melihat kondisi subonya yang nampak begitu lemah. Sampai-sampai tanpa sadar berdua dengan Sun Nio mereka saling meremas lengan saking cemas dan saking sedih. Betapapun melihat keadaan orang tua yang banyak membantu dan mendidik mereka berdua selama ini, tentunya mendatangkan rasa haru dan rasa sedih untuk kondisinya itu.

"Hmmmm, Lan-ji, engkau tahu betul keadaan subomu seperti ini tidak akan mungkin dibantu siapapun penyembuhannya. Hanya dengan beristirahat penuh dan mengumpulkan kembali semangat dan tenaga murni yang akan membuat subomu bisa segera segar kembali. Apalagi, dewasa ini, tenagamu akan sangat dibutuhkan untuk atas nama subomu ikut menjaga serta melindungi Lembah ini selama beberapa hari kedepan"

"Maksud Subo ....."?

"Lan-ji, Nio-ji, Lembah Pualam Hijau baru saja mendapatkan kunjungan 3 tamu tak diundang yang luar biasa lihaynya semalam. Dewasa ini, hanya kekuatan kong-kong Kiang Sin Liong yang sanggup menghadapi mereka, itupun satu lawan satu. Ketika mereka bertiga bergabung, bahkan Kong-kong Kiang Sin Liong juga akan sangat kesulitan menghadapi mereka bertiga. Kami bertiga, bergabungpun masih belum sanggup untuk mengalahkan mereka. Untungnya ada bantuan "Manusia Suci dari Siauw Lim Sie" dan Liong Jie yang berhasil untuk melontarkan gabungan tenaga mereka. Jika tidak demikian, maka bencana besar pasti telah menimpa Lembah ini ........... amitabha, untungnya Sang Budah masih tetap memberi perlindungan kita semua di Lembah Pualam Hijau ....."

"Siapa-siapa tamu itu subo ....."? terdengar Sun Nio bertanya dengan nada geram yang tidak mampu disembunyikannya.

"Hmmmm, Nio-ji, ini adalah urusan kakakmu. Kakakmu telah mengenali mereka dan tentu telah menyiapkan cara untuk menyelesaikan gangguan dan urusan yang timbul karena kunjungan mereka secara menyusup"

Mendengar ucapan subonya, Sun Nio sebetulnya sangat tidak puas. Dan hal itu terpancar jelas dari raut wajahnya dan Liong-i-Sinni sangat paham dengan keadaan tersebut. Bagaimanapun, Kiang Sun Nio memang orang dalam Lembah Pualam Hijau dan karenanya berhak marah dan tersinggung dengan penyusupan beberapa tamu yang menyebabkan beberapa tokoh terluka, termasuk dirinya. Hanya saja, Liong-i-Sinni tidak mengharapkan muridnya ini untuk balas dendam. Bukan terutama karena "tidak mampu", tetapi karena beranggapan "balas dendam" tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk urusan tersebut, dia lebih percaya kepada Kiang Ceng Liong yang akan tampil dan menyelesaikannya.

"Lan jie ...." setelah hening beberapa saat, terdengar suara Liong-i-Sinni.

"Tecu disini subo ....."

"Menurut pengamatan kami, beberapa hari ini, Lembah Pualam Hijau sangat mungkin dimasuki orang luar. Dalam kondisi sekarang ini, subomu tidak mampu melacak siapa-siapa yang menerobos tabir perlindungan Lembah Pualam Hijau. Karena itu, pinni menugaskanmu untuk ikut berjaga dalam Lembah Pualam Hijau selama beberapa hari ini. Nio-jie ...... engkau harus berada dalam perintah toakomu selama beberapa hari kedepan. Jagalah sikapmu dan berhati-hatilah, keadaan kedepan akan sangat berbahaya ...."

"Baik subo ....." serentak Mei Lan dan Sun Nio mengiyakan.

"Bagaimana dengan kemampuanmu sekarang Lan-jie"?

"Atas berkah subo dan bantuan Liong-ko, tecu telah banyak mengalami kemajuan. Tecu akan siap jika para penyusup itu berani melakukannya lagi subo ......"

"Pinni tidak meragukan kemampuanmu Lan-jie. Liong-jie telah menceritakan tingkat kemampuanmu kini telah maju sangat pesat. Menghadapi tokoh-tokoh penyusup semalam memang bisa diandalkan jika melawan satu lawan satu, akan tetapi jika mereka maju dalam gabungan ilmu dan tenaga, sungguh amat sulit untuk menemukan tandingan mereka ....."

"Sebegitu hebatkah gabungan ilmu dan tenaga mereka subo"?

"Sangat hebat, terutama kekuatan batin dan sihir mereka yang amat sulit untuk di lawan. Seandainya kondisi Liong-jie bisa dengan cepat pulih kembali seperti sedia kala, keadaan tentunya akan jauh lebih baik ....." sampai disitu Liong-i-Sinni seperti menyadari sesuatu, tetapi terlambat, dia telah mengutarakannya keluar, dan seperti yang diduganya, kedua gadis itu dengan cepat mencecarnya dengan pertanyaan seputar kondisi Kiang Ceng Liong.

"Subo ...... apakah, apakah Liong-koko terluka parah"? baik Sun Nio dan apalagi Liang Mei Lan menatap Liong-i-Sinni untuk mendapatkan jawaban dan kepastian. Karena keduanya, terutama Liang Mei Lan sejak pagi memang gelisah guna mengetahui kondisi terakhir Kiang Ceng Liong, pemuda pujaan hatinya itu.

Liong-i-Sinni kaget telah kelepasan bicara, tetapi apa boleh buat, sudah terlanjur. Karena tidak ingin berdusta, akhirnya diapun berkata:

"Sebetulnya gabungan kekuatan mereka bertiga sanggup ditahan Liong-jie, tetapi repotnya, Liong-jie sedang dalam tahapan terakhir untuk menyempurnakan Giok Ceng Sinkang yang baru ditemukannya formula terakhirnya itu. Menerima dan kemudian melontarkan gabungan tenaga besar itu entah berkah entah kutuk baginya, masih belum jelas sampai sekarang ini. Bahkan "Manusia Suci Siauw Lim Sie" tutup mulut dengan kondisi ini dan hanya mengatakan bahwa keadaan ini adalah "rahasia alam". Kita masih akan menunggu sampai malam hari guna mengetahui keadaan Liong-jie yang sebenarnya. Karena setelah menggertak ketiga tamu sakti itu, diapun pingsan hingga saat ini ...."

"Subo, apakah dia, dia ......" Liang Mei Lan nampak goncang mendnegar kabar tentang Ceng Liong dan tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Terutama mendengar bahwa kondisinya masih belum dapat dipastikan.

"Amitabha, Lan-jie, serahkan semua kepada sang Budha, takdir telah ditentukannya. Toch kita masih harus menunggu apakah kondisi Liong-jie lebih baik ataukah justru akan memburuk. Sabarlah dan kuatkan hatimu ....."

"Ba ...ba... baik subo ....." Mei Lan tetap tidak mampu membendung rasa sedih dan khawatirnya, apalagi karena dia tidak bisa melihat secara langsung keadaan Ceng Liong. Dan menyadari kegalauan Mei Lan, Sun Nio yang tak kalah sedih mendengar kondisi kakaknya segera bertanya sambil terisak:

"Subo, apakah kami tidak bisa menjenguk toako"?

"Belum saatnya, belum saatnya muridku. Tunggulah beberapa saat lagi, pada saatnya pasti kalian berdua bisa menengok keadaannya. Sekarang, yang terpenting adalah, kalian berdua segera menyiapkan diri untuk menjaga segala kemungkinan di Lembah Pualam Hijau ini"

Diingatkan akan tugas menjaga Lembah Pualam Hijau, Kiang Sun Nio dengan cepat menemukan semangat dan keperwiraannya. Jiwa kepahlawanan Lembah Pualam Hijau memang ada dalam dada dan semangatnya. Sementara Mei Lan sendiri meski tetap dirundung duka dan kekhawatiran, tetapi tetap masih sanggup menggunakan pikirannya untuk segera mempersiapkan sesuatu. Ya, dia harus segera bertemu Tek Hoat kakaknya dan Siangkoan Giok Lian. Dia harus membantu tugas Ceng Liong kekasihnya ...... harus. Karena pikiran itu, tak lama kemudian dari gua Liong-i-Sinni berjalan keluar dua orang gadis perkasa yang siap menjalankan tugas menjaga Lembah Pualam Hijau.

Kiang Sun Nio yang penasaran dan marah karena terjadinya penyusupan masih belum puas dengan informasi yang diperolehnya. Dia, apalagi setelah sucinya meminta tolong, ingin menghadap ayahnya guna mengetahui keadaan toakonya yang sebenarnya. Tetapi dalam kagetnya, ayahnya yang juga tidak sempat memarahinya karena sedang sibuk kondisi Lembah Pualam Hijau tidak dapat memberinya informasi lebih dari yang disampaikan subonya. Sampai di titik ini, sadarlah Sun Nio kalau kondisi semalam ternyata bukanlah kondisi biasa. Semua tokoh Lembah Pualam Hijau sudah turun tangan, dan ini bukan kejadian biasa. Bukan kejadian yang sering terjadi, tetapi teramat jarang dijumpainya.

Sementara itu, LIang Mei Lan sendiri akhirnya bertemu dan menceritakan kondisi terakhir kepada Siangkoan Giok Lian, LIang Tek Hoat kakaknya dan terakhir datang bergabung Souw Kwi Song. Mendengar bahwa Ceng Liong terluka cukup parah dan kondisinya belum diketahui, membuat mereka berempat bersepakat untuk membantu Lembah Pualam Hijau menjelang hari pernikahan dan bahkan beberapa hari setelah pesta pernikahan.
 
2


Ketegangan yang dirasakan oleh Lembah Pualam Hijau tidaklah terasa bagi orang luar. Bahkan Li Hwa dan Nenggala sendiripun tidak begitu paham apa yang sebenarnya sedang terjadi. Itu karena memang arus informasi sepertinya sengaja tidak disampaikan kepada kedua calon mempelai tersebut. Dalam keadaan seperti itu, Sun Nio merasa begitu tegang, meskipun tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau lainnya seperti tidak tersentuh, bahkan menampakkan diripun tidak. Hanya Liang Mei Lan, Tek Hoat, Giok Lian dan Kwi Song yang sadar bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Mereka bahkan tidak melihat sedikitpun bayangan Ceng Liong yang biasanya sangat akrab dan dekat dengan mereka berempat.

Meskipun berusaha tenang, tetapi Mei Lan tidak mampu memungkiri dirinya sendiri. Dan kekhawatirannya jelas terbaca kakaknya Tek Hoat:

"Sudahlah Lan moi, ada banyak tokoh-tokoh hebat di Lembah ini yang sedang membantunya. Jauh lebih baik kita berkonsentrasi membantunya menjaga Lembah Pualam Hijau ini ...."

"Aku mengerti koko, tapi entah mengapa aku khawatir dan resah sekali ..."

"Akupun demikian moi-moi, apalagi melihat sinar mata sahabat Lie Hong Po. Aku sungguh khawatir dan seperti mengenalnya ...."

"Memang dia agak aneh, tapi bagaimanapun dia membantu kita. Apalagi, kelihatan sekali kalau dia dan adik Giok Li saling menyukai ...."

"Hmmmmm, mudah-mudahan saja Lan Moi ....."

Kedua kakak beradik itupun berlalu tanpa menyadari adanya sepasang mata yang mengikuti dan membayangi kemana mereka pergi. Berlalu nya mereka berdua membuat tempat mereka bercakap-cakap tadi kembali senyap, tetapi orang yang menatap mereka berdua berlalu nampak manggut-manggut. Setidaknya dia paham kini, bahwa Lembah Pualam Hijau sedang tidak tenang. Lembah Pualam Hijau sedang dilanda ketegangan. Nampaknya, sedikit banyak dia tahu apa gerangan sumber ketegangan Lembah Pualam Hijau.

Meski tegang, suasana semarak dalam hari-hari menjelang pernikahan tidaklah menonjolkan ketegangan Lembah Pualam Hijau. Sebaliknya, menjelang sore hari, suasana di Lembah Pualam Hijau justru semakin ramai dan semarak. Selama beberapa hari, Li Hwa dan Nenggala sudah tidak bisa bertemu lagi. Karena memang seperti itulah adat istiadat pernikahan. Bahkan sebetulnya prosesi pernikahan sudah dimulai sejak beberapa hari sebelumnya. Pada satu hari sebelum pernikahan, ranjang pengantipun sudah di rias, Gedung utama Lembah Pualam Hijau juga sudah bersolek dan nampak sangat meriah dan cantik.

Dan menjelang malam, para pemuda dan pemudi yang berada di Lembah Pualam Hijau sudah menantikan upacara "Liauw Tiaa", sebuah upacara dimana teman-teman kedua calon mempelai datang menghadiri. Upacara ini sejatinya memang dilaksanakan di rumah calon mempelai wanita, dan pada saat-saat seperti ini calon mempelai wanita bebas untuk digoda teman-temannya. Tradisi "Liauw Tiaa" ini secara otomatis diikuti dan dihadiri oleh semua kaum muda di Lembah Pualam Hijau minus Kiang Ceng Liong. Semua nampak hadir, baik Tek Hoat dan Giok Lian, Mei Lan, Sun Nio, Giok Tin, Giok Li, Beng Kui, Lie Hong Po, Thio Su Kiat dan semua tokoh muda asal Thian San Pay, termasuk juga Thian San Ciangbundjin Tik Hong Peng yang sudah memasuki usia 18 tahun dan nampak semakin gagah.

Hanya saja, karena usia Li Hwa sudah cukup banyak, akhirnya hanya Sun Nio yang sesekali berani mengusilinya. Selebihnya lebih banyak bercakap-cakap bebas dengan Li Hwa atau bercakap dengan sahabat-sahabat yang berada di sekitarnya. Adalah Kwi Song yang menyampaikan permohonan maaf kakaknya Kwi Beng kepada Li Hwa:

"Kwi Beng koko menyampaikan permohonan maafnya untuk tidak bisa menghadiri acara bahagia Kiang kouwnio, tetapi dia mendoakan segala kebaikan bagi Nona dan sahabat Nenggala ...."

"Accccch, terima kasih. Sampaikan salam kami kepada saudara Kwi Beng ....." sahut Li Hwa dengan ramah. Dan untungnya, Kwi Song bukan seseorang berpandangan sempit, lagipula dia sangat pintar mencari bahan-bahan obrolan yang membuat suasana percakapan menjadi lebih hidup.

"Tentu, tentu akan kusampaikan. Mudah-mudahan kami bisa berkunjung untuk melihat kebahagiaan Nona dan sahabat Nenggala, apalagi jika kami bisa melihat keponakan kami nantinya ...... hahahaha"

"Terima kasih saudara Kwi Song, kami bersama koko Nenggala pasti akan menyambut dengan senang hati.

"Tapi menurut Song Koko, kira-kira bibi Li Hwa bakal dapat banyak anak atau tidak ya ...? tiba-tiba Sun Nio nimbrung

Kwi Song menoleh sejenak memandang Kiang Sun Nio, gadis remaja yang sedang mekar-mekarnya. Cantik, lihay dan keturunan keluarga ternama pula. "Siapa siy yang tidak akan kepincut dengan gadis manis ini" pikirnya dalam hati. Tapi, sudah tentu lain lagi kalimat yang keluar dari mulutnya:

"Adik Sian Nio, paling tepat kita doakan supaya bibimu ini dapat banyak anak. Biar banyak sepupumu yang umurnya jauh dibawahmu, kan enak bisa banyak yang disuruh mengerjakan ini itu nantinya ..... hahahaha"

"Yeeeeeeeee, maunya. Dapat aja belum ......."

"Sudah, sudah. Jangan bertengkar disini kan banyak orang. Ntar kalian berjodoh, baru tau rasa ya ......." gantian Li Hwa beroleh kesempatan menggoda Kwi Song dan Kiang Sun Nio. Tapi kalau biasanya baik Kwi Song maupun Sun Nio dengan cepat bisa dengan cepat menangkal dan menangkis godaan orang, kali ini baik Kwi Song maupun Sun Nio justru jadi gagap dan gugup. Dan Li Hwa melanjutkan:

"Waaaaaaaah, kok sampai memerah begitu wajahmu Sun Nio? tadi sempat dandan dan memakai pemerah wajah ya ..... hihihi ..... dan kamu Kwi Song, sama juga, kok jadi gagap dan gugup? lagi naksir ponakanku ya ..........?"

Serangan berganda Li Hwa membuat Kwi Song yang biasanya lincah dan jenaka kehilangan kejenakaannya. Dan apalagi si remaja Sun Nio, wajahnya semakin memerah dan hanya mampu berkata:

"Bibi Li Hwa jahat ach ......" dan setelah itu, si nakal Sun Nio telah melesat pergi.

"Sun Nio, mau kemana ....."? dengan nada menggoda Li Hwa memanggil Kiang Sun Nio yang berlari meninggalkan ruangan saking malunya.

"Mencari enci Mei Lan yang lagi meronda ........" terdengar alasan mengada-ada yang diucapkan Sun Nio, meski orangnya sudah diujung ruangan.

"Waaaaah, engkau juga mau meronda ya saudara Kwi Song ...."? goda Kiang Li Hwa lebih jauh kepada Souw Kwi Song. Tetapi, perginya Kiang Sun Nio membuat Kwi Song menemukan dirinya kembali.

"Waaaah, sudah cukup Mei Lan dan Tek Hoat melakukannya Nona, biarlah aku ikut meramaikan malam "Liauw Tiaa" ini" ucap Kwi Song sambil kemudian berlalu dan bergabung bersama Giok Tin, Giok Li dan Beng Kui serta Lie Hong Po. Beberapa saat sebelumnya, Mei Lan, Tek Hoat dan Giok Lian minta diri untuk melakukan satu putaran perondaan.

Ketika kemudian mereka bergabung kembali, suasana menjadi lebih meriah, bahkanpun meski Li Hwa akhirnya beristirahat untuk persiapan acara besoknya. Semua anak muda itu masih tetap melanjutkan kisah malam hari. Hanya saja, Kwi Song yang dihentakkan oleh kejahilan Li Hwa yang menggodanya dengan Sun Nio, kembali membangkitkan kenangannya atas kisahnya yang putus di tengah jalan dengan Siangkoan Giok Lian. Tetapi, ketika digoda dengan Sun Nio tadi, dia kehilangan kata-kata bukan karena gugup menyukai Sun Nio. Tetapi tiba-tiba dia sadar jika dia telah kembali mencintai seorang gadis. Bukan, bukan Kiang Sun Nio, tetapi Cui Giok Li. Tetapi repotnya, kelihatannya Giok Li meski akrab dan nampak menyukainya, tetapi saat itu justru sedang "dekat" dengan Lie Hong Po.

Kwi Song menarik nafas panjang. "Apakah kisah cinta ini akan kembali kandas di tengah jalan"? pikirnya nelangsa. Sesekali dia melirik Giok Li yang juga sesekali meliriknya, tetapi lebih sering berbicara dan bercanda dengan Lie Hong Po. Inilah sebetulnya yang menjadi pangkal keterkejutan dan kehilangan "pegangan" untuk beberapa saat ketika Kwi Song di goda dan dijahili oleh Kiang Li Hwa dan menjodohkannya dengan Kiang Sun Nio. Dalam sekejab dia sadar jika dia jatuh cinta kepada Giok Lie, bukan kepada Kiang Sun Nio. Tapi, dia juga khawatir jangan sampai Giok Li salah sangka.

Nyaris serupa dengan yang dirasakan Kiang Sun Nio. Dia melesat lari meninggalkan ruangan, bukan karena keki digoda dengan Kwi Song. Dia sadar kalau Kwi Song juga adalah pemuda pilihan. Tetapi dia kurang menyukai Kwi Song yang banyak bicara, dan sebaliknya dia lebih tertarik dan menyukai Beng Kui yang tidak banyak bicara tetapi nampak gagah dan berwibawa, persis kakaknya. Sebelum dikerjai lebih jauh oleh bibi Li Hwa, Sun Niopun memutuskan untuk "pergi" dari pesta tersebut. Sayangnya, Li Hwa tidak mengetahui apa yang sebenarnya berkecamuk dalam hati Kwi Song dan Sun Nio. Dia tetap berpikir bahwa kedua orang muda itu sama-sama saling suka, tanpa berpikir keduanya sebetulnya menyukai orang lain.

Tapi sudah barang tentu Sun Nio tidak akan lama meninggalkan pesta dan keramaian khusus anak muda teman-teman calon mempelai. Tidak berapa lama dia balik ke ruangan bersama-sama dengan Liang Mei Lan, Tek Hoat dan Giok Lian. Karena itu, malam upacara Liauw Tiaa akhirnya dimeriahkan oleh mereka-mereka, pendekar-pendekar muda. Hanya saja, Mei Lan tetap tidak mampu dan tidak sanggup untuk menikmati kemeriahan itu. Apalagi sebabnya jika bukan karena keadaan Ceng Liong yang sampai saat itu masih tidak diketahuinya? Mana bisa dia ikut tertawa lepas seperti yang lain-lainnya?

Hanya, jika Mei Lan susah menikmati malam meriah itu, adalah orang-orang lain yang dikecamuk rasa bahagia. Liang Tek Hoat dan Siangkoan Giok Lian tidak malu malu memamerkan kemesraan mereka sebagai pasangan kekasih. Kiang Sun Nio mendekati Giok Tin dan Giok Li untuk bisa lebih erat dan lebih dekat dengan Tham Beng Kui. Hanya saja, anak gadis itu masih tahu "malu" untuk langsung "menyerang" Beng Kui yang nampak kalem dan tidak banyak bicara. Tetapi, sudah jelas jika diapun menaru hati kepada Sun Nio, hanya terlampau sopan untuk memperlihatkannya, apalagi di depan sumoy terkecilnya Giok Li yang pasti bakal menggodanya habis-habisan. Karena itu, Sun Nio dan Beng Kui lebih banyak saling lirik dengan pancaran kemesraan masing-masing.

Jika tidak ada Lie Hong Po, mungkin gelagat aneh Beng Kui akan cepat tertangkap mata tajam Giok Li. Tetapi, karena diapun sibuk bercengkerama dan berbincang dengan Hong Po, gelagat aneh toakonya itu tidak tertangkap. Karena itu dengan bebas anak-anak muda itu bergaul dan bercakap, melempar rasa dan menangkap suka satu dengan yang lain. Adapun Kwi Song lebih banyak bercakap dengan Giok Tin yang memang tidak kurang menariknya dibandingkan anak gadis lainnya. Bahkan bergabung juga Tok Hong Peng dan belakangan Mei Lan, Tek Hoat dan Giok Lian dan membuat suasana menjadi semakin ramai. Keramaian yang seakan menenggelamkan ketegangan yang dirasakan oleh sebagian penghuni Lembah Pualam Hijau.

Semakin malam berjalan larut, semakin berkurang waktu anak-anak muda itu bercengkerama. Hanya, sudah semakin jelas jika Sun Nio memang menyukai Beng Kui dan nampaknya perasaan mereka berdua bertaut. Kini mereka sudah berani bercakap tanpa perantara Giok Tin. Dan upaya percakapan untuk lebih mengenali satu dengan yang lain terus berlangsung.

Lain lagi dengan Giok Li. Jelas Lie Hong Po menyukainya, tetapi sesekali gadis itu meninggalkan Lie Hong Po dan bergabung dengan rombongan lain dimana Kwi Song berada. Ada dimana hati anak gadis itu? Entahlah. Tetapi, jika Kwi Song ketar-ketir dengan gelagat Giok Li, adalah Lie Hong Po yang seperti tidak memiliki kekhawatiran. Wajahnya tetap tenang dan tidak menggambarkan adanya perubahan emosi akibat dari kejadian-kejadian disekitarnya, termasuk dengan gelagat yang ditunjukkan Cui Giok Lie.

Dan begitulah, pesta atau upacara Liauw Tiaa berlangsung. Bahkan berlangsung hingga larut malam, jauh setelah calon mempelai wanita Kiang Li Hwa meninggalkan mereka untuk persiapan pernikahan esoknya. Pesta atau upacara Liauw Tiaa seakan menenggelamkan perasaan tegang dan perasaan tidak menentu sebagian penghuni Lembah yang memang tidak memberitahu banyak orang mengenai kondisi sebenarnya. Terutama kondisi Kiang Ceng Liong.

====================

Dan ....... hari pesta pernikahan Nenggala dan Li Hwa pun datanglah. Pada pagi hari dilakukan Cio Tao atau upacara Sembahyang kepada Tuhan. Upacara ini dilakukan setelah kedua calon mempelay dipertemukan dan dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Setelahmya Nenggala dan Kiang Li Hwa diantar menuju meja sembahyang yang bernama Sam Kay. Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, a.l. Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
Dan kemudian dengan disaksikan orangtua dan sanak keluarga kedua belah pihak, kedua mempelai melakukan sembahyang sam kay sebagai persyaratan sahnya perkawinan. Setelah sam kay, Nenggala dan Kiang Li Hwa melakukan te pay untuk menghormati orangtua dan generasi yang lebih tua, dengan urut-urutan: Penghormatan kepada Tuhan - Penghormatan kepada Alam - Penghormatan kepada Leluhur - Penghormatan kepada Orang tua - Penghormatan kepada kedua mempelai. Dan setelah selesai upacara tersebut, resmilah Nenggala mempersunting Kiang Li Hwa, seorang gadis pilihan dari Lembah Pualam Hijau.
Nenggala nampak gagah dalam balutan pakaian pernikahannya yang menarik, yakni mengenakan kemeja kerah warna putih, celana panjang dengan warna yang sama. Atribut jubah hitam serta caping merah ala bangsawan. Sementara Kiang Li Hwa juga nampak sangat jelita dalam balutan pakaian pernikahan yang didominasi oleh warna merah cemerlang. Dan kini keduanya secara resmi telah bersanding menjadi pasangan suami-istri.
Usainya upacara pernikahan Nenggala dan Kiang Li Hwa ditimpali dengan tarikan nafas gembira dan lega dari Liang Mei Lan. Sejak awal dia memang merasa tegang dan selalu siaga, menjaga jangan-jangan ada pihak yang berusaha "mengacau" pada saat-saat upacara pernikahan itu dilaksanakan. Tetapi untungnya, sampai upacara itu usai, tidak ada suatu hal yang mencurigakan yang terjadi. Boleh dikatakan upacara pernikahan itu berlangsung secara sempurna, mulus dan khusyuk. Kegembiraan menjadi milik Nenggala dan Li Hwa, beserta kedua keluarga besar. Nampak paman sekaligus guru Nenggala, Jayeng Reksa sampai menitikkan airmata melihat kebahagiaan Nenggala. Bagaimanapun, dialah yang membawa Nenggala dalam pengembaraan ke Thian Tok hingga ke Tionggoan. Memelihara, membesarkan, mendidik dan sekaligus melatih Nenggala hingga sukses seperti hari ini. Betapa tidak membuatnya terharu?
Hal serupa juga nampak dari sinar mata Kiang Tek Hong, yang meskipun sedikit pucat tetapi tidak melunturkan senyum bahagia atas pernikahan putrinya. Apalagi ibu Li Hwa, setelah bertahun-tahun hidup dalam sekapan dan merindukan suami serta putra-putrinya, maka kini dalam upacara pernikahan putrinya, tak henti-hentinya dia tersenyum dan menangis bergantian. Sungguh kebahagiaan yang tak terhingga dan membuatnya sangat senang sekaligus terharu. Inilah kebahagiaan yang lama diimpikannya. Semua derita bertahun-tahun yang ditanggung serta dirasakannya bagaikan menguap, dan kini dia sedang menikmati apa yang dinamakan "kebahagiaan".

Tak usah disebutkan lagi bagaimana kegembiraan kedua belah pihak serta tentu kedua mempelai. Usia mereka memang tidak muda lagi, tetapi itu tentunya tidaklah menghalangi Nenggala dan Li Hwa untuk menikmati kebahagiaan mereka berdua dihari-hari kedepan mereka. Seusai upacara pernikahan keduanya diselamati oleh orang-orang dekat dan tentu saja para undangan yang memang tidak terlampau banyak. Hanya keluarga dan kenalan dekat kedua mempelai yang ikut menghadiri upacara pernikahan tersebut. Tetapi, meskipun demikian tidaklah mengurangi kebahagiaan kedua keluarga. Tidak pula mengurangi kemeriahan upacara pernikahan tersebut dan tentunya tidak sampai mengurangi rasa bahagia yang terpancar dari mata Nenggala dan Kiang Li Hwa. Pada hari itu, secara resmi mereka berdua terangkap sebagai pasangan suami dan istri.

Dan kini, setelah upacara pernikahan, kedua keluarga sebagaimana lazimnya melanjutkan dengan upacara memperkenalkan mempelai laki-laki di kediaman keluarga wanita (atau upacara Cia Kiangsay). Tetapi, acara ini sekaligus dengan acara "resepsi" pernikahan dimana keluarga kedua mempelai dan para undangan bersama-sama dalam sebuah acara penuh sukacita dan kegembiraan. Acara ini diselenggarakan di balai utama atau balai pertemuan yang memang cukup besar dan telah dirias sedemikian rupa untuk kebutuhan acara ini. Karena itu, tidak heran jika ruangan tersebut sangat semarak dengan panorama hiasan yang didominasi oleh warna merah. Dan di ruangan inilah kemudian acara dilanjutkan, dimana kedua mempelai akan menerima semacam "kado" atau pemberian dari para tamu dan undangan yang hadir. Dan di ruangan yang cukup besar itu kini berkumpul semua keluarga besar Lembah Pualam Hijau minus Duta Agung Kiang Ceng Liong dan Kiang Cun Le. Selain keduanya, semua tokoh utama termasuk Liong-i-Sinni telah berada dalam ruangan pertemuan.

Pada kesempatan ini, beberapa tokoh selain memberi ucapan selamat juga sempat memberi wejangan kepada kedua mempelai. Dan sebelum siang hari, tepatnya sebelum makan siang, dilanjutkan dengan acara pemberian kado dari masing masing orang yang berkenan menyampaikan pemberian tanda selamat kepada kedua mempelai. Satu persatu kado diberikan dan disampaikan dari para undangan termasuk kawan-kawan kedua mempelai. Tetapi yang paling menarik adalah kado khusus yang disampaikan oleh Durganini, salah seorang guru Kiang Li Hwa. Bahkan salah seorang anak Nenggala dan Li Hwa dijanjikan untuk menjadi murid pewaris Durganini. Dan si Nenek sakti dari India ini menganugerahkan kado menarik kepada kedua mempelai dan mempertontonkannya kepada semua orang yang memang sedang bersukacita:

"Kado ini khusus kuhadiahkan kepada muridku Li Hwa dan suaminya, sekaligus guna menghibur seluruh hadirin .........."
Setelah berkata demikian Durganini telah berjalan perlahan-lahan ke depan, tepat berhadapan dengan Nenggala dan Kiang Li Hwa. Kedua mempelai, terutama Kiang Li Hwa nampak tersenyum senang melihat salah seorang gurunya yang membelot dari Thian Liong Pang karena mengikuti dirinya, berkenan memberinya kado. Dan dia tahu benar keanehan subonya yang sering aneh tetapi begitu mencintainya. "Apa lagi gerangan yang disiapkan subo"? begitu Kiang Li Hwa berpikir sambil melirik suaminya untuk kemudian tersenyum bersama. Merekapun melirik Durganini yang kini sudah berada tepat dihadapan mereka. Dan tepat pada saat itu Durganini mengeluarkan sebuah barang yang terbungkus dengan sebuah kain yang sudah kelihatan sangat lusuh. Tetapi, Durganini tidak membuka kain yang nampaknya menjadi pembungkus sebuah benda yang menyerupai batangan pedang pendek. Paling banyak benda itu sepanjang 30 sampai 40 cm.

"Benda ini kuhadiahkan terutama kepada mempelai pria. Karena kutahu dia membekal kepandaian mujijat seorang yang sangat terkenal pada seratusan tahun sebelumnya. Karena itu, pasti akan sangat bermanfaat baginya ......"

Sambil mengucapkan kata demikian, Durganini segera melontarkan benda itu kepada Nenggala. Dan ....... hebat, benda itu tidak terbang dengan kecepatan luar biasa tetapi sebaliknya melayang perlahan dan tiba di genggaman Nenggala dengan empuk bagaikan disodorkan oleh sepasang tangan Durganini. Padahal, jarak mereka berdua masih ada kurang lebih 3-4 meteran. Sungguh pameran tenaga dalam yang luar biasa. Melontarkan sebuah benda dalam kecepatan tinggi sudah banyak disaksikan orang dan bukan pameran luar biasa lagi. Tetapi, melemparkan sebuah benda dengan berat seperti sebuah batu atau pedang dengan kecepatan yang lamban, justru adalah pameran tenaga luar biasa. Dan, semua orang tentu saja kaget melihat kehebatan Durganini dan serempak kemudian bertepuk tangan. Adalah Nenggala yang kemudian berkata:

"Subo, terima kasih ........"

Tetapi, ketika melihat benda apa yang berada di genggaman tangannya, wajah Nenggala nampak tertegun dan kaget luar biasa. Sebuah benda yang tiada seorangpun selain dirinya dan Durganini yang mengerti benda apa itu gerangan. Itulah Sam Kiam It Hui Cah Yun (3 Pedang Sekali Terbang Menembus Awan), sebuah Pedang pusaka yang dituliskan dalam tulisan Kakek Dewa Pedang kepadanya. Tetapi, Kakek Dewa Pedang tidak pernah menyebutkan ada dimana dan di tangan siapa pedang mujijat tersebut. Kini, secara luar biasa ketiga pedang pusaka gurunya muncul di tangannya melalui Durganini yang adalah subo dari istrinya Kiang Li Hwa. Betapa dia tidak kaget?

"Subo, ini ...... ini ......" sampai Nenggala tidak sanggup mengeluarkan suara untuk sekedar bertanya saking kaget dan senangnya.

"Nenggala, engkau tidak tahu jika benda itu ada hubungan sangat erat bukan hanya denganmu tetapi juga dengan istrimu. Karena benda itu berasal dari suboku yang berarti dari Nenek guru Li Hwa istrimu. Suboku telah mengasah pedang peninggalan dan tanda mata kekasihnya dari Tionggoan menjadi jauh lebih hebat dan mampu menembus kekuatan sihir sekalipun. Akupun sangat paham, jika benda itu kembali ketanganmu saat ini, maka itu sesuai dengan harapan suboku ....."

Dan Nenggala tersentak kaget, bahkan orang-orang Thian San Pay sekalipun kaget setengah mati. Baru mereka tahu bahwa Kakek Dewa Pedang pernah punya kekasih yang berasal dari Thian Tok, bahkan menghadiahkan Sam Kiam It Hui Cah Yun (3 Pedang Sekali Terbang Menembus Awan) kepada kekasihnya itu. Banyak orang yang kurang mengerti kehebatan 3 pedang itu, kecuali Nenggala. Dengan kemampuan menembus garis sihir, maka kehebatan pedang itu menjadi bertambah tambah. Diam-diam Nenggala merasa sangat bersyukur telah menemukan Pedang peninggalan gurunya, dan nampaknya Pedang itu dihadiahkan gurunya kepada seorang wanita asal Thian Tok sebagai barang kenangan. Karena itu dengan sangat terharu, sambil menggenggam dan mencium pedang mujijat ditangannya, Nenggala berkata kepada Durganini:

"Subo, kami berdua suami-istri mengucapkan banyak terima kasih kepada engkau orang tua ..... kami sungguh-sungguh berterima kasih ..."

"Hari ini adalah saat yang tepat mengembalikan benda pribadi Suhumu dan Suboku, dan sungguh luar biasa adalah anak-anak didikan perguruan kedua orang tua itu yang kembali mewarisinya. Hal ini sudah sewajarnya anakku ...... sudahlah ..."

Dan sambil berkata demikian, Durganini kemudian berbalik kepada semua hadirin sambil berkata dengan suara tegas:

"Mengapa kita tidak bergembira saja...."?

Dan tiba-tiba Nenek sakti yang memang mahir sihir itu menggerakkan-gerakkan kedua tangan, dan dari mulutnya terdengar suara berwibawa mengalun: "Lihatlah Naga-naga inipun ikut bersuka cita bersama kita .......". Dan ajaib, di depan panggung tiba-tiba nampak bergulung-gulung "seekor Naga" yang penuh hiasan berwarna-warni namun dominan warna merah. "Sang Naga" melenggang-lenggok dan bergerak-gerak bagaikan mengikuti irama dan membuat suasana menjadi riuh-rendah karena hadirin, terutama mereka yang berkekuatan lemah telah tenggelam dalam pameran kekuatan sihir yang dilontarkan Durganini. Tapi, sebagian besar hadirin memang membiarkan diri untuk ikut tenggelam dalam sihir yang luar biasa itu dan menghasilkan suasana gembira dan meriah yang luar biasa.

Orang-orangpun terus tenggelam dalam hiburan luar biasa yang dilakukan Durganini. Sementara Nenek Durganini sendiripun melakukannya dengan gembira, terutama karena memang hari ini adalah pernikahan muridnya. Dan memang, aksinya menambah semarak dan meriahnya pesta pernikahan di Lembah Pualam Hijau. Semua bergembira, semua senang. Hanya seorang Liang Mei Lan yang tetap susah untuk bergembira. Apalagi ketika beberapa kali subonya melalui suara batin mengingatkannya untuk terus waspada. Ya, memang tidak semua orang tenggelam dalam semaraknya pesta. Tetap ada beberapa orang yang menjaga kewaspadaan dengan terus dan terus mengawasi keadaan sekitar ruangan tersebut.

Kembali terdengar lentingan suara yang berwibawa, suara yang berasal dari Nenek Durganini yang membawa semua orang dalam ruangan untuk memperhatikannya: "Naga itu senang menari rupanya" ..... dan ajaib, Naga di depan panggung itu tiba-tiba melenggang-lenggok dan menghadirkan keadaan yang menggelikan. Naga biasanya dikenal karena kegarangannya, tetapi Naga yang diciptakan Durganini justru sanggup melenggang-lenggok dan menari dengan irama tertentu. Benar-benar pertunjukkan yang mengocok perut, dan membuat mereka-mereka yang tenggelam penuh dalam sihir sampai tertawa terbahak-bahak saking lucunya. Tentunya pertunjukan itu semakin menambah kemeriahan acara pernikahan Nenggala dan Kiang Li Hwa.

"Tetapi, awas ........ hati-hati, Naga itu juga sangat mungkin menyerang orang. Karena itu, sekali lagi, hati-hati dia menyerang......."

Tiba-tiba terdengar bentakan yang pastinya tidak berasal dari Nenek Durganini. Dari siapa gerangan? Ach, rupanya dari pintu masuk nampak berdiri dua orang tua lainnya. Siapa lagi jika bukan sepasang ahli sihir dari Thian Tok, Mahendra dan Gayatri yang nampak memadukan kekuatan mereka untuk mengadu sihir dengan Durganini. Maklum, keduanya memang bukan tandingan Nenek Durganini jika harus maju satu lawan satu. Tetapi, jika mereka berdua bergabung, kekuatan mereka akan memadai untuk bertahan menghadapi Nenek Durganini. Dan memang benar seperti itu kejadiannya. "Naga" ciptaan Nenek Durganini, tiba-tiba mengerang hebat dan tiba-tiba berbalik bahkan berubah wujudnya menjadi seekor Naga buas yang siap menerkam para hadirin.

Secara otomatis hadirinpun berteriak panik. Tetapi, karena semua berada dalam cengkeraman ilmu sihir, mereka tidak sanggup berbuat apa-apa selain berteriak teriak ngeri dan penuh ketakutan. Maklum, sebagian besar dari hadirin di bawah panggung memang adalah tokoh-tokoh Thian San Pay, murid-murid penjaga Lembah Pualam Hijau yang berilmu belum cukup tinggi. Tetapi untungnya, terdengar suara Nenek Durganini:

"Hmmmmm, ada gangguan rupanya. Kembalikan Nagaku ........" dan seiring dengan suara Nenek Durganini tersebut, Naga yang siap menerkam para hadirin, kembali berubah ujud menjadi Naga lucu yang pintar dan sanggup menari-nari mengikuti irama musik. Tetapi, kejadian itupun tidak berlangsung lama, karena sekejab kemudian, Naga itu beurbah lagi menjadi Naga garang yang siap menyerang para hadirin. Dan begitu berkali-kali kejadiannya. Nampaknya pertarungan sihir itu memang seru dan Durganini berhasil diimbangi oleh Mahendra yang bergabung dengan Gayatri untuk menandinginya.

Sementara itu, Mei Lan, Tek Hoat, Giok Lian dan Kwi Song sudah dengan cepat menyadari keadaan yang tidak beres itu. Benar saja, Lembah Pualam Hijau kembali kebobolan dan kemasukan orang yang tidak diundang. Tetapi, kelihatannya semua tokoh Lembah Pualam Hijau sudah siap. Bersamaan dengan pertandingan sihir yang hebat itu, Kiang Hong, Tan Bi Hiong, Kiang Liong, Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat telah menyusup ke luar. Kemana lagi jika tidak membagi tugas untuk mengamankan tempat-tempat yang dirahasiakan oleh Lembah Pualam Hijau? Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat segera menuju kamar khusus bagi Duta Agung dimana Barisan 6 Pedang lapis kedua berjaga-jaga. Sementara Kiang Liong, Kiang Hong dan Tan Bi Hiong segera menuju ke tempat Duta Agung yang berada bersama ayah mereka Kiang Cun Le dan Barisan 6 Pedang utama.

Sementara itu, pertarungan sihir berlangsung terus antara Mahendra dan Gayatri melawan Durganini. Pertarungan mereka kini diawasi oleh Jayeng Reksa yang menyabarkan Nenggala dan Kiang Li Hwa yang sudah marah dan hendak turun tangan. Tetapi untungnya ada Jayeng Reksa yang menjaga disekitar Durganini, dan Nenggala sendiripun meski marah, tetapi tidak meninggalkan kewaspadaannya. Dia yakin, jika Mahendra dan Gayatri berani datang, berarti mereka memiliki persiapan yang matang. Tidak, tidak mungkin hanya mereka berdua yang datang. Pasti ada kelompok lain yang juga ikut datang dan menyokong kedua Kakek dan Nenek licik asal Thian Tok itu. Karena itu, Nenggala masih tetap berdiam diri dan tidak bergerak sambil terus mengawasi keadaan di dalam ruangan tersebut.

Dan memang benar. Sesaat setelah Kwi Song dan Tek Hoat bergerak mendatangi Mahendra dan Gayatri, tiba-tiba di kanan kiri kedua kakek dan nenek asal India itu telah berdiri dua orang lainnya. Siapa lagi jika bukan Bu Hok Lokoay dan Hiong Say Tay Pek San? Bahkan di belakang keduanya berdiri cengengesan Janawasmy. Tetapi, melihat keadaan yang ramai, Janawasmy dengan cepat menyusup kembali keluar dan seterusnya lenyap. Entah kemana perginya.

"Ach, kenalan lama rupanya saudara Tek Hoat ......"

"Benar, para pecundang ingin melakukan pembalasan ..... hahahha"

Mengenali Bu Hok Lokoay dan Hiong Say Tay Pek San, Kwi Song dan Tek Hoat yang memiliki karakter yang sama sudah dengan cepat menyindir lawan. Bahkan keduanya sambil pandang dengan mimik lucu dan membuat kedua orang kakek yang berada di samping kiri dan kanan Mahendra dan Gayatri menjadi marah. Tetapi selangkahpun mereka tidak berani beranjak dari samping Mahendra dan Gayatri. Dan sudah tentu gelagat itu dimengerti Tek Hoat dan Kwi Song. Sudah jelas, orang-orang ini datang dengan niat mengacau, dan mereka jelas akan mempertahankan Gayatri dan Mahendra yang sedang mengacau pesta. Padahal, pesta itu sendiri memang sudah "kacau".

Dan dalam kekacauan itu, tiba-tiba sesosok tubuh berkelabat masuk dengan mengenakan jubah berwarna hijau. Sekujur tubuhnyapun tertutup jubah hijau dan juga penutup wajah yang berwarna hijau. Entah apa maksud orang tersebut mengenakan jubah dan penutup berwarna hijau, justru di Lembah terkenal yang bernama Lembah Pualam Hijau. Dan yang paling penting adalah, siapa gerangan tokoh terakhir yang berkelabat masuk dengan kecepatan yang sangat luar biasa itu? karena bahkan Tek Hoat yang melihat bayangan tersebut sampai berdecak kagum dan mendesis lirih:

"Hebat, mungkin hanya kalah dari Lan moi ......"

"Benar saudara Tek Hoat, siapa lagikah tokoh yang satu ini"? timpal Kwi Song yang juga ikut tergetar melihat kehebatan seorang lawan lagi yang baru masuk.

Tetapi di luar dugaan banyak orang, bayangan yang baru masuk dan mengenakan penutup wajah dan tubuh berwarna hijau itu, berkelabat ke panggung. Dan bukannya menyerang orang atau membantu Mahendra dan Gayatri, tetapi langsung menuju ke depan Nenggala dan Kiang Li Hwa. Setelah berada dalam jarak 3-4 meter dari sepasang suami-istri baru itu tokoh itupun berhenti. Tetapi pada saat itupun, Jayeng Reksa yang sakti sudah bergerak untuk menghadang di hadapan Nenggala dan Li Hwa.

Tetapi tokoh tersebut segera mundur kembali begitu melihat Nenggala memberinya isyarat untuk mundur dan membiarkan si jubah hijau untuk berhadapan dengan mereka berdua suami-istri. Jayeng Reksa paham siapa Nenggala saat ini, meski anak didik dan keponakannya, tetapi Nenggala telah maju jauh dan tidak berada di sebelah bawah kemampuannya. Tetapi, bagaimanapun ini hari bahagia murid sekaligus keponakannya itu, dan dia adalah wali dan orang tua Nenggala pada saat itu. Siapa tidak meradang?

Terdengar Nenggala mengeluarkan suara menegur si pendatang misterius yang kini berdiri berhadap-hadapan dengan dirinya:

"Siapakah saudara ....."? nampaknya Nenggala telah tahu jika orang dihadapannya masih berusia muda dan tidak jauh selisihnya dengan dirinya sendiri.

"Kenalan lama ....... tapi, perkenankan aku menyampaikan ucapan Selamat berbahagia bagi kalian berdua ......." dan sambil mengatakan demikian, si Jubah Hijau yang misterius benar-benar memberi hormat kepada sepasang suami-istri baru tersebut. Dan begitu mendengar suara itu, Kiang Li Hwa nampak tersentak kaget, dia seperti ingat dan kenal dengan nada suara yang dikeluarkan si Jubah Hijau tersebut. Tapi siapa dia sebenarnya?

"Engkau, engkau siapakah? ....... siapakah engkau ...."? Li Hwa tergagap-gagap antara kenal dan tidak kenal. Hanya saja, hati kecilnya merasa sangat yakin jika dia mengenal tokoh yang berdiri di hadapannya itu. Repotnya, dia tidak sanggup menunjuk dan mengatakan siapa sebenarnya orang itu. Dia melirik ayah dan ibunya, terutama ayahnya, tetapi Kiang Tek Hong nampak menundukkan kepala. Bahkan sekedar memandang kearah si pendatangpun tidak. Tidak mau tahu atau?

Dan si pendatang atau si Jubah Hijau, ternyata tidak berniat untuk memperpanjang keributan dalam ruangan tersebut. Tiba-tiba dia membentak sambil mendorongkan tangannya tepat ketengah-tengah pertarungan sihir antara Durganini menghadapi Mahendra dan Gayatri. Dan akibatnya, Naga jadi-jadian yang sebentar menjadi "Naga banci" sebentar menjadi "Naga garang" tiba-tiba lenyap bagai asap. Selesai? belum. Karena pada saat naga jadi-jadian itu lenyap, tubuh Durganini terdorong sampai 3-4 langkah dengan nafas terengah-engah.

Ketika kemudian Nenek Durganini sanggup berdiri dengan tubuh terlihat letih karena menghadapi Mahendra dan Gayatri dan pada saat terakhir masih dibentur pula oleh si Jubah Hijau, Nenek Gayatri mendelik gusar sekaligus kaget memandang ke arah si Jubah Hijau.

"Siapa engkau ...."?

Pertanyaan yang tidak dijawab oleh si Jubah Hijau, dan pertanyaan itu pertanyaan banyak orang. Hanya saja, Nenek Durganini tidak berani menyerang si Jubah Hijau. Pertama, karena dia banyak kehilangan tenaga dan kekuatan sihir akibat adu sihir dengan gabungan Mahendra dan Gayatri. Dan yang kedua, Nenek Durganini rada tergetar dengan kekuatan yang ditunjukkan di Jubah Hijau. "Kekuatan sihirnya niscaya tidak berada di bawah kekuatanku atau Naga Pattynam, siapa gerangan tokoh hebat ini"?.

Selagi Nenek Durganini tenggelam dalam kekagetannya menemukan betapa hebatnya si Jubah Hijau, terdengar si Jubah Hijau berkata:

"Aku tidak bermaksud mengacau pesta pernikahan ini. Tetapi aku ingin menantang seseorang di tempat ini, karena aku tahu orang itu berada di sini ....."

Jayeng Reksa yang berdiri di panggung sebagai wali Nenggala, sudah tentu tidak senang dengan keadaan dan pesta nikah yang terkacaukan ini. Untung saja upacaranya sudah selesai. Tetapi, bagaimanapun sebagai wali pihak Nenggala, dia merasa tersinggung dengan kekacauan tersebut. Karena itu, dengan ketus dia berkata atau tepatnya bertanya:

"Siapa gerangan orang yang ingin engkau tantang dan mengapa pula engkau tidak menunggu sampai waktunya tepat ...."

"Aku tahu orangnya berada di Lembah Pualam Hijau ...... aku ingin ....."

Belum lagi si Jubah Hijau mengeluarkan tantangannya dan menyebutkan siapa yang dia tantang, tiba-tiba terdengar sebuah suara lain ....... yang diikuti dengan hadirnya orang lain lagi dalam ruangan itu. Bahkan langsung ke depan, tepatnya di panggung yang digunakan oleh sepasang mempelai baru:

"Sebentar kawan ....... aku ingin mengajukan tantangan terlebih dahulu. Kemana Duta Agung Lembah Pualam Hijau, jangan sembunyi ........ aku menantangnya untuk bertarung dan membalas kekalahanku beberapa waktu lalu" sambil berkata demikian, pendatang yang paling akhir masuk itu celingak-celinguk mencari-cari seseorang. Siapa gerangan orang yang dicari si pendatang baru itu? dan siapa pula si pendatang baru itu? Tidak salah, dan ini yang mengagetkan banyak orang dalam ruangan tersebut. Pendatang baru yang terakhir masuk adalah seorang tokoh baru yang beberapa orang dalam ruangan tersebut mengenalnya dengan jelas.

Siapa dia? Tidak salah. Inilah tokoh baru bernama Toh Ling, seorang tokoh muda asal Lembah Salju Bernyanyi yang secara kebetulan menemukan warisan Ilmu mujijat dari Thian Tee Siang Mo. Beberapa bulan sebelumnya Toh Ling terpukul kalah oleh Kiang Ceng Liong di Bu Tong San dan akibatnya tokoh ini menghilang selama beberapa bulan. Siapa tahu, beberapa hari sebelumnya Toh Ling muncul kembali dan menuju Lembah Pualam Hijau untuk menuntut balas atas kekalahan di Bu Tong Pay. Dan kini, pria gagah yang membiarkan rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya berdiri gagah mengajukan tantangan kepada Kiang Ceng Liong, Duta Agung Lembah Pualam Hijau.

Tetapi, melihat orang yang ditantangnya tidak berada di tempat, Toh Ling yang memang sewaktu-waktu kesadarannya "hilang" akibat ilmu sesat yang dipelajarinya menjadi sewot. Segera diapun berkata:

"Masakan Duta Agung Lembah Pualam Hijau bersembunyi di rumahnya sendiri"?

"Sombong betul ........ lihat serangan ....."

Kiang Sun Nio yang sama dengan tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau lainnya sudah kesal dengan keributan dalam pesta tersebut jadi naik pitam. Mendengar kakaknya yang dibangga-banggakannya dihina orang, meletuslah amarahnya dan tidak sanggup lagi ditahannya. Diapun berkelabat menyerang Toh Ling. Tetapi, Toh Ling yang mendengar bentakan seorang gadis remaja, sudah tentu malu dan enggan untuk turun tangan keras. Hanya dengan mengibaskan sebelah tangannya diapun mendengus sambil berkata:

"Nona muda, engkau belum pantas ........"

Dan benar demikian. Meski hanya mengibaskan sebelah lengannya tetapi sudah cukup menahan serangan Sun Nio dan bahkan mendorong tubuh gadis remaja itu ke belakang. Tetapi, Sun Nio juga bukan pepesan kosong. Akan percuma dia menjadi murid Liong-i-Sinni jika takut hanya dengan dorongan tersebut. Bahkan bukan hanya tidak terluka, tetapi gaya turunnyapun menggunakan ginkang istimewa ajaran gurunya dan membuat Toh Ling terbelalak kagum:

"Ach ....... engkau hebat jika nona muda, siapakah engkau"?

"Akan percuma aku menjadi adik Duta Agung Lembah Pualam Hijau jika takut menghadapimu manusia hantu ........"

"Waaaaaaah, mulutmu tajam juga adik kecil. Tapi aku tetap malu menghadapimu, engkau masih terlihat seperti anak kecil ......."

"Kurang ajar, siapa anak kecil? kalau begitu rasakan dulu pukulan anak kecil ini" sambil meraung murka karena dipanggil anak kecil, Kiang Sun Nio kembali berkelabat menyerang Toh Ling. Hanya saja, kali ini maksud Kiang Sun Nio tidak kesampaian. Karena hanya beberapa saat setelah dia melepaskan pukulannya, mendadak terdengar dua buah suara yang nyaris bersamaan keluarnya dari dua mulut yang berbeda:

"Sumoy, tahan pukulanmu ......

Dan bertambah lagi satu orang di panggung ruangan pertemuan Lembah Pualam Hijau itu. Inilah Liang Mei Lan, murid Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu sekaligus juga murid Liong-i-Sinni. Dan semua orang sudah tahu belaka, setelah Liong-i-Sinni, inilah tokoh dengan kehebatan ginkang yang tak terlawan. Gaya dan kecepatan Liang Mei Lan melayang ke panggung sungguh menakjubkan dan menawan. Bahkan bukan sedikit orang yang berseru kagum melihat Mei Lan melayang ke atas panggung dan dengan kecepatan tinggi telah menahan serangan sumoynya Kiang Sun Nio. Dan perlahan dia menyabarkan adik seperguruannya itu.

"Suci, biarkan aku maju. Dia, dia sungguh menghina ......"

"Sumoy, biarkan sucimy yang maju nanti. Tahan kemarahanmu ......"

"Nio jie, biarkan sucimu yang mewakili kakakmu. Orang itu masih belum sanggup engkau tandingi ......" terdengar bisikan lirih Liong-i-Sinni di telinga Kiang Sun Nio. Dan memang, cuma Liong-i-Sinni seorang yang diindahkan Kiang Sun Nio, bahkan ibu dan ayahnya sekalipun kewalahan menangani gadis remaja yang kadang bengalnya minta ampun di Lembah Pualam Hijau ini. Dan bisikan Liong-i-Sinni ini manjur, terbukti kemudian Sun Nio melirik gurunya sambil berbisik:

"Baiklah jika memang demikian subo ......" dan Kiang Sun Niopun kemudian beranjak turun dari panggung dengan berat hati. Tapi, belum begitu jauh dia kembali berbalik dan berkata:

"Suci, balaskan penghinaannya kepadaku tadi ......"

Dan disambut dengan senyum bijak oleh Mei Lan. Selanjutnya Mei Lan menghadapi Toh Ling yang segera mengenalinya karena sempat berjumpa di Bu Tong Pay. Toh Ling pun segera berkata:

"Engkau juga berada disini Nona ....."?

"Sudah beberapa hari aku disini. Maafkan jika Duta Agung tidak akan bisa menemui tuan pada hari ini. Dan kami memohon kesabaranmu, tunggulah beberapa hari lagi, karena hari ini adalah hari bahagia saudara Nenggala dan Kiang Li Hwa. Setelah hari ini, kujamin Duta Agung dengan senang hati akan menyediakan waktu untuk bertarung melayani tuan ...."

"Tidak bisa ...... aku harus menghadapinya dan membalaskan kekalahanku pada hari ini. Dia harus merasakan pahitnya kekalahan ...."

"Jika tuan tetap berkeras, maka aku akan menggantikan Duta Agung untuk menghadapi tuan ...."

"Engkau .....? Hahahahaha, Duta Agung Lembah PUalam Hijau bersembunyi dibalik punttung seorang perempuan? Sungguh menggelikan, sungguh menggelikan".

"Apakah engkau takut menghadapiku tuan ....."? dengan tenang Liang Mei Lan meladeni Toh Ling. Dan mendengar kata "takut", Toh Ling jadi meradang, suara tertawanya terhenti dan dengan mata tajam dia memandangi Mei Lan.

"Siapanya Duta Agung sehingga engkau berani menghadapiku"?

"Calon istrinya ........" sahut Mei Lan tandas. Dan kalimat ini disambut dengan penuh kekagetan oleh banyak orang, termasuk Liang Tek Hoat dan Siangkoan Giok Lian sekalipun. Hanya seorang Liong-i-Sinni seorang yang tidak terkejut karena "episode" ini memang sudah dalam dugaannya beberapa waktu sebelumnya. Bahkan ide untuk memaksakan status Ceng Liong dan Mei Lan menjadi calon suami istri dan bertunangan, baru muncul kemarin. Dan bertindak sebagai wali bagi muridnya, dia telah menyetujui pinangan yang dilakukan oleh Kiang Hong suami-istri. Tidak heran jika kemudian pengakuan Mei Lan ini menghasilkan kasak-kusuk dan diskusi diam-diam diantara banyak orang, terutama pihak keluarga Lembah Pualam Hijau, para pelayan dan murid mereka.

"Hmmmm, calon istrinya. Tapi apakah engkau sanggup menghadapiku"?

"Jika hanya membekal kemampuan seperti waktu engkau dikalahkan Duta Agung beberapa waktu lalu, maka yakinkan dirimu bahwa engkau tidak akan sanggup mengalahkanku tuan ...." jawab Mei Lan kembali dengan tandas sambil menantang pandangan mata tajam menusuk dari Toh Ling. Sementara itu, Tham Beng Kui, Cui Giok Tin dan Cui Giok Li memandang gelisah ke atas panggung. Mereka tahu kalau mereka bukan lawan Toh Ling, tetapi membiarkan Mei Lan melawan iblis itu, mereka sungguh tak rela. Apalagi setelah tahu gadis cantik itu adalah calon istri Duta Agung Kiang Ceng Liong yang namanya mereka kagumi.

"Engkau sombong juga Nona, baiklah aku akan mengalah 10 jurus menghadapimu. Silahkan memulai Nona ....."

"Tidak, harus pihak penantanglah yang memulai. Dan jika engkau memang tidak berani memulai, sebaiknya engkau menarik tantanganmu kepada Duta Agung Lembah Pualam Hijau dan mengaku kalah ...."

"Engkau keterlaluan Nona ...." Toh Ling mulai diliputi amarah, dan dalam keadaan demikian biasanya dia tidak sanggup banyak berkata-kata. Dan justru dalam keadaan seperti itu, ilmunya akan merasuki dirinya.

"Karena itu, mulailah jika engkau berkeras menantang ....."

"Tapi aku menantang Duta Agung. Masakan dia begitu pengecut berlindung dibalik seorang perempuan meskipun dia calon istrinya"?

"Jika engkau sanggup melewatiku, kupastikan dia akan datang untuk mengalahkan dan menaklukkanmu tuan ....."

"Benarkah demikian ...."?

"Kupastikan memang demikian ......"

"Jika begitu, maafkan jika aku harus membekuk mulut besarmu terlebih dahulu" suara Toh Ling belum berlalu, tetapi serangannya sudah menjelang datang. Sungguh hebat. Tetapi, lebih hebat lagi gaya dan kecepatan bergerak Liang Mei Lan. Dan meletuslah perkelahian pertama di resepsi pernikahan Nenggala dan Kiang Li Hwa ini .... (BERSAMBUNG)
 
BAB 11 Pertarungan Naga-Naga Sakti
1 Pertarungan Naga-Naga Sakti


"Ooooops ........ luput ....., engkau harus berusaha lebih cepat dan lebih keras lagi" begitu cepat Liang Mei Lan bergerak dan mengelakkan pukulan Toh Ling. Dan kecepatan bergerak Mei Lan kembali membuat Toh Ling takjub, dan karena itu dia sadar apa yang diandalkan lawan menghadapinya.

"Hmmmm, ingin kulihat sampai berapa lama engkau bertahan dengan kecepatan bergerakmu Nona ...." ejek Toh Ling untuk kemudian kembali menyerang dengan ganas dan dengan cepat dan penuh berisi tenaga.

"Hihihihihi, engkau salah besar Toh Ling, karena aku juga akan bisa menyerangmu. Lihat serangan ....."

Sambil mengelak dan mundur dua langkah ke belakang, Mei Lan tiba-tiba telah menyerang balik dengan kecepatan yang mengagumkan dan dengan takaran tenaga yang kembali mengejutkan Toh Ling. "Hmmmmm, Nona ini nampaknya semakin berisi juga. Beda dengan pertarungan sebelumnya di Bu Tong San. Pantaslah jika dia masuk menjadi salah satu dari 10 tokoh puncak dalam daftar pesilat terlihay di Tionggoan" Toh Ling berdesir hatinya dan mulai tidak berani menganggap enteng Liang Mei Lan. Mulailah dia memandang Mei Lan dengan lebih awas dan lebih berhati-hati. "Kecepatannya jelas diatasku, tenaganya entah bagaimana kalau diadu" kembali Toh Ling berencana dalam hatinya.

Dan tidak berapa lama kemudian Toh Ling menyerang dengan gaya kacau balau, ilmu kacau balau tak beraturan, tetapi membawa perbawa yang sungguh mengerikan. Inilah Hong Luan Mo Kun Hoat – Pukulan Iblis Kacau Balau. Ilmu ini berlawanan dengan semua kaidah dan teori silat pada umumnya di Tionggoan, tetapi karena perbawa tenaga dan kecepatannya memang luar biasa, maka tokoh sembarangan akan dengan mudah tumbang di tangan pemilik ilmu ini. Bahkanpun Mei Lan, harus banyak bergerak dan mengerahkan ginkangnya untuk mengusir perbawa buruk yang didatangkan oleh ilmu pukulan lawan tersebut.

"Ihhhhhh, ilmu ini semakin lama nampak semakin jahat ...." Mei Lan berseru sambil bergerak cepat untuk kemudian menyampok pukulan lawan yang mengarah dan mengancam daerah lehernya. Tetapi sambil bergerak, untuk menjaga keamanannya diapun balas memukul lengan lawan, dan tak pelak lagi terjadilah benturan pertama antara keduanya:

"Blaaaaaaaaarrrrrrr ......."

Akibat benturan tersebut, keduanya baik Toh Ling maupun Mei Lan jadi sadar jika akan membutuhkan waktu lama dan panjang untuk menyelesaikan pertempuran. Tetapi keduanya heran, karena setelah pertempuran mereka di Bu Tong San, kini mereka berdua nampaknya telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Tenaga merekapun tidaklah bertaut sangat jauh, tipis saja bedanya. "Entah jika kugunakan ilmu pamungkasku" pikir Toh Ling. "Tetapi, bagaimana mungkin bertempur dengan ilmu mujijat itu sementara lawan hanyalah seorang perempuan muda"? kebimbangan menggerogoti Toh Ling. Haruslah dimengerti, Toh Ling sejatinya adalah seorang tokoh dari aliran lurus. Sayangnya, ilmu yang ditekuninya dan diterimanya dari Thian Tee Siang Mo memang beraliran jahat dan busuk. Hanya, sedikit banyak, kegagahan dalam diri Toh Ling masih ada sisanya, masih berbekas. Terutam ketika dia waras.

Karena kembimbangan tersebut, maka pertarungan keduanya berlangsung seru dan seimbang. Meski aura aneh yang dibawa ilmu Hong Luan Mo Kun Hoat – Pukulan Iblis Kacau Balau memang mengganggu Mei Lan, tetapi perlahan-lahan dengan berusaha meningkatkan kekuatan batinnya, Mei Lan dapat juga mengusir perbawa buruk itu. Bahkan kini, Mei Lan mulai unjuk kemampuan dan mampu menunjukkan kehebatan bergeraknya. Tetapi, tetap saja Mei Lan kaget, karena kini aura magis Toh Ling sudah berlipat-lipat kehebatannya. Dia kini mengitari Toh Ling yang tetap kokoh dalam menggunakan ilmu Hong Luan Mo Kun Hoat dan membuat mereka berdua terlibat dalam pertarungan aneh yang mendebarkan.

Tidak mau didesak terus-menerus dengan kecepatan bergerak Mei Lan, tiba-tiba Toh Ling bergerak aneh dengan tetap melontarkan pukulan-pukulan berbahaya. Tetapi, kini dia bergerak secara aneh, mengimbangi kecepatan bergerak Mei Lan, dia membuat gerakan-gerakan tubuh tak lazim. Hanya, hebatnya, dengan cara demikian dia mampu mengimbangi Mei Lan yang juga tersentak kaget melihat lawan bergerak tak beraturan, namun sangat effektif dan effisien dalam mengurangi tekanannya. Itulah Hong Luan Cap Pwee Pou (Delapan belas Langkah Kacau Balau), sebuah dasar gerakan yang lebih mengutamakan unsur-unsur keanehan, ketidakberaturan dan dipadukan dengan kegesitan dan kecepatan bergerak.

Dan hasilnya, kelebihan Mei Lan dalam kecepatan gerakan kembali dapat diimbangi oleh Toh Ling. Bukan karena ginkang Toh Ling menyamai Mei Lan, tetapi karena ketidakberaturan, keanehan dan kegaiban ilmu Toh Ling yang membuat Mei Lan harus banyak berpikir. Untungnya Mei Lan sudah mencapai titik bergerak sesuai dengan hati, karena itu kemana dan arah mana yang akan ditempuhnya bisa dengan otomatis membuatnya melahirkan gerakan sesuai pikiran dan perasaannya. Sungguh beda kualitas kecepatan dan kegesitan dalam bergerak antara keduanya. Hanya, yang pasti pada saat itu, Mei Lan dan Toh Ling kembali saling serang dan saling desak dalam kecepatan tinggi. Pertempuran yang menyita perhatian banyak orang dan membuat semua terkesima menyaksikan kehebatan kedua orang yang sedang adu kepandaian itu. Hanya, Mei Lan semakin kaget, karena Toh Ling yang sekarang jelas sudah berbeda dengan beberapa waktu lalu di Bu Tong. Kemampuan tenaganya, kemampuan kekuatan hitamnya, jelas-jelas telah maju sangat pesat. Dan kini dia ragu apakah dia akan mampu menghadapi dan mengalahkan Toh Ling dengan kemampuan dan kehebatan yang ditunjukkannya hari ini.

”Tak dinyana muncul lagi seorang tokoh muda bernama Toh Ling ini. Dan dia memang hebat, nampaknya bukan hal yang mudah bagi Lan Jie untuk mampu memenangkan pertempuran itu. Tokoh itu bahkan masih menyimpan kemujijatan yang lain ...... mudah-mudahan Lan ji sanggup mengatasinya" desis Liong-i-Sinni yang dengan serius mengikuti pertempuran muridnya itu.

Dan memang benar. Kemujijatan Toh Ling, bahkan mungkin di luar sangkaan serta pengetahuan Toh Ling sendiri. Terutama setelah 6 bulan terakhir dia menyepi dan melatih diri di tempat yang ditunjukkan Thian Tee Siang Mo kepadanya. Kemujijatan itu secara otomatis keluar dari dirinya ketika sedang bertempur dan memiliki kemampuan mempengaruhi kondisi dan area pertempuran. Termasuk tentu saja secara otomatis mempengaruhi lawan. Tanpa disadari Toh Ling, ketika dia mengerahkan ilmu-ilmu puncak perguruannya, dari lingkaran tubuhnya mengalir keluar daya magis, kekuatan magis yang sangat kuat. Inilah ciri khas tokoh-tokoh mujijat yang membekal 5 ilmu sesat dan busuk pada 150 tahun sebelumnya. Untungnya, Liang Mei Lan telah mendapatkan didikan dari Kolomoto Ti Lou yang menyempurnakan ilmu dalamnya dan ini yang membuatnya mampu bertahan menghadapi Toh Ling. Tanpa kemampuan itu, meski memiliki ilmu-ilmu hebat serta ginkang tak terlawan, niscaya Mei Lan akan jatuh di bawah angin. Inilah yang mampu dilihat secara detail dan dalam oleh Liong-i-Sinni. Karena itu, wanita sakti ini meski mengagumi Toh Ling, keanehan serta kekuatan magis yang berhawa sesat, tetapi tetap memiliki dan memelihara keyakinannya terhadap kemampuan muridnya itu.

Hanya saja, karena inilah pertama kalinya Mei Lan berhadapan dengan jenis lawan dengan ilmu hebat dan mujijat serta berhawa magis ini tanpa tanda-tanda lawan melepaskannya, membuatnya harus menggunakan bukan hanya kemampuan fisik tetapi juga kecerdasannya. Bahkan beberapa kali dia dibuat terkejut dan akibatnya jatuh dalam gempuran Toh Ling yang setiap menemukan celah sekecil apapun akan dengan cepat menyerang. Karakter Toh Ling memang gagah, tetapi ilmunya sungguh tak beraturan dan bahkan cenderung kasar, kejam dan memang sesat. Tetapi, kondisi inilah yang justru membuat pertarungan mereka menjadi sangat seru dan terlihat luar biasa bagi mata banyak orang. Terutama bagi mereka yang rata-rata adalah penggemar ilmu silat di ruangan itu.

Bahkanpun Nenggala dan Li Hwa saling pandang dengan muka berkerut. Tanda keduanya yang juga berilmu tidak di bawah Mei Lan menjadi sangat kaget. Nenggala bahkan mendesis dan berkata kepada Li Hwa:

"Hwa moi, kita berduapun kemungkinan besar tidak akan lebih ungkulan melawan Toh Ling dibandingkan Lan moi. Sungguh benar-benar tidak kusangka jika dia membekal kemampuan yang begitu mujijat"

"Benar koko, nampaknya kekuatan magis, kekuatan hitam yang hebat dan menyebar dari tubuhnya yang menyulitkan Lan ji. Selain itu, tatanan geraknya sungguh tidak beraturan dan sulit diterka ....."

"Engkau benar Hwa moi ...... kita berduapun jika maju satu lawan satu dengan Toh Ling, pasti mengalami kesulitan seperti Lan moi ......"

Li Hwa menganggukkan kepalanya tanda setuju dan mengiyakan sudut pandang suaminya. Sebagai penggemar ilmu silat, meski keduanya marah karena pesta mereka terganggu, tetapi tanpa sadar mereka berdua kini malah tenggelam dalam keasyikan mengamati jalannya pertarungan yang memang langka namun sangat berbobot itu. Keduanya sudah tentu sangat mengenal kemampuan Liang Mei Lan dan mengenal kehebatan ilmu Liang Mei Lan. Tetapi melihat bagaimana Toh Ling melawan Mei Lan, mereka segera sadar jika Toh Ling juga bukan tokoh kacangan. Bukan, sama sekali bukan tokoh ayam sayur. Yang sebenarnya, Toh Ling membekal kemampuan yang luar biasa, kemampuan yang bahkan dapat mendesak dan merepotkan Mei Lan yang dikenal ratu ginkang bersama subonya Liong-i-Sini. Sudah jelas mereka berduapun tidak akan lebih baik melawan Toh Ling dibandingkan Mei Lan yang memiliki tingkat kepandaian seimbang dengan mereka berdua.

"Ya, tepat, memang harus begitu ......" terdengar akhirnya Nenggala berbisik. Tepat pada saat itu, Mei Lan yang memang kerepotan menghadapi ketidakberaturan gerak pukulan dan silat lawan, serta terutama hawa magis dari Toh Ling, sudah merubah gerakan dan ilmunya. Sangat kebetulan Mei Lan memilih Ban Hud Ciang, sebuah ilmu aliran lurus yang memiliki kekuatan menghadapi kekuatan ilmu hitam. Mei Lan sengaja memilihnya ketika merasa terhimpit oleh nuansa magis dan melemahkan tenaganya. Selain itu, dia pernah menggunakan ilmu ini dengan hasil memuaskan waktu mereka bertempur untuk pertama kalinya di Bu Tong San.

Jelas Mei Lan sadar apa yang dialaminya dan kekuatan apa yang menghimpitnya. Sebagai murid didikan 3 tokoh super sakti, Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu, Liong-i-Sinni dan Kolomoto Ti Lou, Mei Lan dengan cepat menyadari yang sedang dihadapinya. Kekuatan sihir atau kekuatan ilmu hitam yang menyerang semangat dan kesadarannya. Hanya, dia sendiri heran, karena dia tidak melihat Toh Ling sedang melepaskan kekuatan ilmu hitamnya. Mei Lan memang belum sadar, jika Toh Ling sudah berkemampuan menyebarkan kekuatan magis karena penguasaan ilmu sesat dan busuk warisan Thian Tee Siang Mo.

Tetapi, ketika dia melepaskan kekuatan ilmu aliran Budha dalam ilmu Ban Hud Ciang (Selaksa Telapak Budha), dengan cepat perasaannya menjadi sangat lega dan lepas. Semua kekhawatiran, ketakutan, rasa seram serta efek-efek ilmu hitam yang menyerangnya, secara otomatis terangkat dan lepas menghimpitnya. Semangatnya yang sempat kendor dan membuatnya jatuh dalam desakan lawan kini kembali berkobar. Dan ketika dia menyerang dengan jurus pertama dari ilmu Ban Hud Ciang, dia akhirnya menemukan ketenangan dan menemukan kepercayaan akan kemampuan dirinya kembali. Benturan kembali terjadi, hanya, jika benturan sebelumnya dia merasa menggigil dan merasa seram, kali ini benturan mereka hanya berefek terasanya kekuatan dorongan lawan. Tidak ada lagi rasa seram, rasa lelah dan rasa khawatir akan kekuatan tenaga lawan.

"Memang harus begitu, sungguh tepat. Ach, Lan ji memang cerdik ...." Liong-i-Sinni melepas pujian meski dalam hatinya saja. Terutama ketika melihat muridnya akhirnya menemukan cara yang tepat untuk melawan dan mengatasi pengaruh sesat dan jahat ilmu hitam Toh Ling.

Dan sebentar kemudian, pertempuran kembali berlangsung secara normal dengan mengandalkan kecepatan dan kekuatan tenaga dalam. Benar, kekuatan magis tetap terus-menerus menghambur keluar dari lingkaran tubuh Toh Ling. Tetapi Liang Mei Lan telah menemukan cara yang sangat tepat untuk menangkal serta memukul kekuatan penekan yang bersifat magis itu. Karena itu, kini Mei Lan kembali menemukan keunggulan gerak tubuhnya dan membuatnya kini berbalik lebih banyak menyerang lawannya. Toh Ling yang sebelumnya sudah merasa senang, kini berbalik kembali didesak Mei Lan, terutama karena kecepatan gerak Mei Lan yang melandasi pelepasan Ban Hud Ciang. Diapun memaki-maki dalam hati, tetapi tidak mungkin melepas perhatian dan konsentrasinya dari pertempuran mereka.

Di tengah saling libas melalui kecepatan bergerak dan berkesiurannya ilmu pukulan, maka kehilangan konsentrasi akan sangat berbahaya. Itulah sebabnya Toh Ling tidak mengendorkan ilmu pukulan dan ilmu gerak tidak beraturan yang dilepaskannya. Sebaliknya, dengan penuh konsentrasi dia mengembangkan jurus-jurus dari kedua ilmu itu untuk balas menyerang dan juga balas menekan Mei Lan. Hanya saja, tetap dia terserang lebih banyak dan lebih sering dibandingkan Mei Lan. Meskipun kondisi itu belum atau tidaklah berarti bahwa Toh Ling sudah jatuh di bawah angin, karena betapapun pertempuran keduanya masih akan berkembang dan meningkat lebih seru dan jauh lebih berbahaya.

Menghadapi serangan cepat dan berbahaya dari Mei Lan, Toh Ling akhirnya hilang kesabaran. Bagaimanapun dia tidak mau kehilangan gengsi dan apalagi jika sampai kalah, maka dia harus mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya. Tetapi begitupun dia masih tetap ragu menggunakannya kepada seorang perempuan, meski perempuan itu tidak berbeda jauh kepandaiannya dibandingkan kemampuan dirinya sendiri. Maka diapun mundur beberapa langkah ke belakang setelah balas menyampok serangan Mei Lan dan kemudian berkata:

"Nona, sekali lagi aku memohon engkau panggilkan Duta Agung. Jika dia tidak keluar ama aku akan dengan sangat terpaksa melepaskan ilmu pamungkas yang nantinya akan sangat merugikanmu ......"

"Toh Ling, dibandingkan dengan di Bu Tong San engkau memang sudah maju sangat pesat. Kemampuanmu meningkat secara louar biasa. Tetapi, engkau masih belum akan mampu mengalahkanku ......."

"Nona, jangan engkau memaksaku ....." Toh Ling berkeras dan kini, biji matanya mulai jelajatan, tanda amarahnya mulai terbangkitkan dan merangsang "naluri setaniah" yang kini bersarang dalam tubuhnya melalui kekuatan ilmu yang dikuasainya.

"Toh Ling, jadilah tamu yang baik di Lembah Pualam Hijau ....." Mei Lan sudah barang tentu berkeras dengan pendiriannya.

"Hehehehe, Nona ...... engkau memaksaku ....."? Toh Ling yang murka mulai menunjukkan gelagat yang aneh. Mulai muncul tanda-tanda kekurang warasannya. Ini sekaligus menjadi tanda bahwa ilmu sesat dan busuk yang dikuasainya, mulai mengendalikan pikiran dan perasaan Toh Ling. Bahkan beberapa saat kemudian, dari sekujur tubuhnya justru tersiar hawa yang tercium harum di hidung. Hanya saja, hawa dan bau yang harum itu tidaklah mendatangkan rasa nyaman bagi banyak orang termasuk Mei Lan, tetapi sebaliknya justru mendatangkan perasaan seram dan kurang nyaman. Inilah luar biasa dan sangat aneh, bahkanpun aneh bagi Mei Lan. Tetapi, begitu melihat gelagat Toh Ling yang semakin kurang waras dan dari tubuhnya tercium bau harum aneh yang mendatangkan rasa tidak nyaman, Beng Kui dan Giok Tin sudah saling pandang. Keduanya nampak kaget dan seperti tersangat kalajengking:

"Sumoy, nampaknya ..... dia, dia sudah ......." Beng Kui sampai jadi gagap dan tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Benar toako, nampaknya Toh Ling sudah menguasai secara sempurna ilmu busuk itu. Aku khawatir nona Mei Lan tidak akan mampu menahannya ......" desis Giok Tin.

"Engkau benar sumoy, aku akan mengingatkannya ...." Beng Kui berkata kepada Giok Tin yang menganggukkan kepalanya memberi persetujuan. Dan kemudian, Beng Kui berdiri dan berseru kepada Mei Lan:

"Nona Mei Lan, hati-hati, dari gelagatnya Toh Ling sudah mampu menguasai secara sempurna ilmu busuk dan mujijat Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Nona, teramat jarang ilmu pukulan yang memiliki kesanggupan untuk menahan ilmu busuk nan mujijat itu. Bau harum yang menyebar dari tubuhnya adalah pertanda kesempurnaan penguasaan imu sesat itu"

Mei Lan menoleh kepada Beng Kui dan kemudian berkata:

"Terima kasih saudara Beng Kui, harap tenang. Rasanya aku masih berkemampuan untuk sekedar bertahan menghadapinya ........"

Sementara itu, Toh Ling kini sudah secara penuh dikuasai oleh ketidakwarasannya. Kini dia mulai tertawa-tawa, ber - hahaha - hihihi, sambil menuding-nuding Mei Lan:

"Hihihihi Nona manis, lebih baik engkau mundur sebelum tubuhmu membusuk ...... hihihihi, membusuk nona manis ....."

Tetapi mana Mei Lan takut dan mundur? Meski dia kaget mendengar Toh Ling sudah sempurna menguasai Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) tetapi Mei Lan tidak gentar sama sekali. Dia membekal banyak ilmu mujijat, membekal kemampuan tenaga batin dan kemampuan ginkang yang luar biasa. Tidak, tidak ada kata takut dalam kamus Mei Lan.

"Hmmmm Toh Ling, silahkan jika engkau ingin melepaskan ilmu busukmu. Aku, Liang Mei Lan sudah siap menerimanya ....."

"Nona ........ lihat, aku Toh Ling akan memukulmu .... hahahahahaha."

Dasar tenaga Toh Ling bernama Bu Ceng Mo Ong Sinkang (Tenaga Dalam Raja Iblis tak berperasaan) sudah dikerahkannya. Dengan tenaga mujijat yang sangat sesat ini Toh Ling akan sanggup mengerahkan bermacam-macam ilmu sesat dan mujijat yang sangat berbahaya. Pukulan dan langkah tidak beraturan akan menjadi berlipat kemampuannya dan selain itu, Toh Hun Mi Im (Suara Pembetot sukma) yang mujijat dan memiliki kemampuan menyerang lawan lewat kekuatan sihir dan magis melalui suara akan bisa dikerahkannya. Belum lagi pukulan pamungkas yang sangat sesat, keji namun mujijat Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang). Jika bertempur di Bu Tong San mereka nyaris seimbang, dan kini Toh Ling sudah sempurna dengan ilmunya, maka apakah gerangan yang akan terjadi?

Tapi begitupun, Mei Lan nampak tetap teguh dan penuh percaya diri. Dia tidak bergeming dan tidak mundur atau apalagi takut menghadapi Toh Ling yang sekarang. Dan kini, suara, desisan, tawa dan gerakan Toh Ling sudah menghadirkan hawa dan kekuatan magis yang berlipat. Bahkan penontonpun bisa merasakannya, apalagi Mei Lan yang akan menjadi sasaran utamanya?

Begitu bergerak memukul, Toh Ling sudah menggunakan pukulan Hong Luan Mo Kun Hoat – Pukulan Iblis Kacau Balau). Pukulan itu disertai gerakan Hong Luan Cap Pwee Pou (Delapan belas Langkah Kacau Balau) dan didorong oleh Bu Ceng Mo Ong Sinkang (Tenaga Dalam Raja Iblis tak berperasaan). Dorongan tenaga sakti Bu Ceng Mo Ong Sinkang, ciptaan khusus guru Thian Tee Siang Mo, membuat gerakan dan pukulan Toh Ling berlipat kali kehebatannya. Tetapi pada saat bersamaan, Mei Lan juga telah meningkatkan kemampuan sinkang, tenaga dan kekuatan batin serta ginkang pada tingkat yang sangat tinggi. Dia telah sangat siap.

Maka dimulailah babakan baru pertempuran mereka yang kini jauh lebih berbahaya dan jauh lebih berisi. Gerakan, pukulan dan suara yang mereka keluarkan, kini semuanya saling belit, saling serang dan saling bertahan. Akibat dari semua serangan dan bahkan suara yang mereka keluarkan bersifat menyerang dan bertahan. Sementara bagi Toh Ling dari mulutnya yang kini penuh sumpah serapah dan kalimat makian, dikerahkannyalah Toh Hun Mi Im. Pertempuran kini menjadi jauh lebih berbahaya, bahkan juga berbahaya bagi mereka yang menonton terlampau dekat dengan kemampuan ilmu yang kurang matang. Bisa dipastikan mereka yang berkemampuan rendah dan dekat dengan arena, bakal terkena imbas pertarungan suara dan pertarungan kekuatan batin yang kini dikerahkan secara luar biasa oleh keduanya. Itulah sebabnya banyak penonton yang berkemampuan belum memadai telah memilih untuk menjauhi arena pertarungan.

Sementara pertarungan berlangsung secara luar biasa, tiba-tiba Kiang Liong yang dulu menjadi Topeng Setan dan membantu para pendekar melawan Thian Liong Pang memasuki ruangan. Tetapi, dia hanya melirik sekejap ke arah pertempuran antara Liang Mei Lan dengan Toh Ling dan kemudian bergegas ke kumpulan para pendekar. Nampak dia bercakap sejenak dengan Kiang Sun Nio dan kemudian dengan Tham Beng Kui dan terakhir dengan Tik Hong Peng, Ciangbundjin muda Thian San Pay. Kelihatannya cukup serius percakapan mereka, bahkan beberapa saat kemudian Kiang Liong menghampiri Nenggala dan Li Hwa dan merekapun bercakap-cakap secara serius. Entah apa yang mereka percakapkan, hanya saja beberapa saat kemudian dengan langkah berat Tham Beng Kui, Kiang Sun Nio dan Tik Hong Peng meninggalkan ruangan tersebut untuk turut bersama Kiang Liong.

Tidak ada seorangpun yang memperhatikan pergerakan mereka, kecuali kelompok Mahendra, Gayatri, Bu Hok Lokoay, dan kelompok mereka. Bahkanpun ketika Mahendra, Gayatri, Bu Hok Lokoay meninggalkan ruangan itu, tidak banyak yang memperhatikan. Nyaris semua orang tenggelam mengikuti pertarungan Toh Ling melawan Liang Mei Lan yang semakin mencekam. Memang tidak lagi seseru babak sebelumnya, tetapi pertempuran saat ini jauh lebih membahayakan dan jauh lebih hebat. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal bagi salah seorang diantara keduanya. Itu terutama karena mereka telah melibatkan kekuatan sihir dan kekuatan batin dalam pertempuranm tersebut.

Bahkan sebagian penonton terjebak dalam permainan sihir dan kamuflase ilmu hitam yang dikembangkan Toh Ling. Toh Ling tetap tertawa-tawa dan berkata-kata dengan nada sumpah serapah, tetapi jangan salah, nadanya sangat berwibawa dan sangat kuat. Berbahaya bagi mereka yang berilmu cetek. Untungnya, bersamaan Mei Lan telah mengembangkan Ban Hud Ciang hingga jurus kesembilan Laksaan Tapak Budha Menggoyang Mayapada. Ilmu yang memang merupakan tandingan tepat bagi kekuatan sihir lawan. Dengan kekuatan tenaga murni dan dorongan kekuatan batin, semua suara-suara dan cercaan serta makian Toh Ling mampu ditangkal dan dipunahkan daya serangnya. Tetapi, semua serangan telapak tangannya bisa dengan tepat dipapak dan ditangkis Toh Ling. Dan benturan-benturan mereka menyebabkan keduanya merasa kesakitan, meski tidak sampai melukai tubuh bagian dalam karena kuatnya khikang yang mereka kerahkan.

Setelahnya, dengan kecepatan geraknya Me Lan kembali mengejar dan mencecar Toh Ling dengan telapak tangan yang menjadi nampak besar dan raksasa bagi para penontong. Telapak tangannya mengejar kemanapun Toh Ling bergerak dan dengan terpaksa dia melakukan langkah-langkah tidak teraturnya untuk bertahan. Tetapi tidak lama dia terserang, karena tidak berapa lama kemudian, diapun kembali membalas serangan Mei Lan dengan cecaran kekuatan sinkang, sihir dan suara dan tawa pembetot sukmanya. Kombinasi ini sungguh terasa sangat berat bagi Mei Lan, hanya untungnya dia membekal ilmu murni dari kalangan Budha, selain menguasai tenaga dalam murni dari gurunya Wie Tiong Lan, seorang pentolan Bu Tong Pay selama seratus tahun terakhir.

Sementara itu, bau harum dari sekujur tubuh Toh Ling semakin menyebar dan semakin pekat. Bersamaan dengan itu, kesadarannyapun semakin lama semakin sirna, dan Toh Ling kini bagai berubah menjadi mahluk berbeda. Kini wajahnya nampak sangat menyeramkan, matanya nyalang memerah, mulutnya menyeringai sadis dan tertawa-tawa ngakak dengan nada mengejek dan nada yang sangat meremehkan. Tetapi, bersamaan dengan itu, pukulan serta terjangannya semakin membabi buta dan menjadi jauh lebih berbahaya. Dan disinilah sebenarnya rahasia kehebatan Toh Ling. Semakin dia kehilangan kesadaran, semakin kekuatan yang dikuasainya menggiringnya dengan tiada lagi kemampuan dirinya untuk menahannya. Apabila amarah menguasainya dan dia kehilangan kuasa dan kendali atas dirinya, maka pada saat itulah kemampuan tertinggi ilmu busuk mujijat Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) dapat terlontarkan. Rahasia utamanya adalah, biarkanlah nafsu membunuh menguasai diri dan kekuatan ilmu itu akan mencapai puncaknya.

Ketika mendapati hawa harum menyeramkan itu semakin mengental dan kekuatan Toh Ling semakin lama semakin menyeramkan, Mei Lan segera sadar jika lawan berada di ambang penggunaan kekuatan puncaknya. Tetapi, pada saat itu terjadi kegamangan dalam diri Mei Lan. Apakah menggunakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), Jurus pamungkas Ban Hud Ciang di jurus ke-12 Budha Merangkul Langit dan Bumi yang juga mujijat ataulah menggunakan ilmu sakti Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga) yang menjadi tandingan ilmu Toh Ling dan diajarkan Ceng Liong kepadanya dan Tek Hoat di Bu Tong San beberapa waktu sebelumnya. Padahal, jika menggunakan Ciat Lip Jiu yang mampu menolak tenaga lawan, Mei Lan beroleh keuntungan. Tetapi, kemana tenaga lawan mau disalurkan? inilah persoalan utama Mei Lan. Masalahnya, Mei Lan belum memiliki keberanian untuk membenturkan sinkang lawan dengan tenaga lawan itu sendiri. Pengetahuan dan kemampuan itu membutuhkan daya dan latihan yang sangat lama, tekun dan penuh konsentrasi.

Karena itu jugalah maka Mei Lan akhirnya memutuskan terus menggunakan Ban Hud Ciang melawan Toh Ling dan menyiapkan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) sebagai persiapan lebih jauh. Dan jika itu terjadi, maka inilah untuk pertama kalinya Mei Lan menggunakan ilmu-ilmu pamungkasnya dalam sebuah pertempuran yang memang menguras tenaga, pikiran dan semangatnya.

Betul juga, semakin pekatnya bau harum menyeramkan dan semakin tidak warasnya Toh Ling, rupanya adalah pertanda kalau ilmu maut Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) akan dilepaskan. Dan ini untuk kedua kalinya ilmu tersebut tampil kembali di hadapan umum setelah lenyap lebih seratus tahun silam. Hebat luar biasa, ilmu tersebut dilepaskan dalam suasana magis yang menghentak dan sangat kental. Kombinasi hamburan tenaga dalam yang luar biasa, kekuatan magis yang juga sangat kental dan hentakan suara dan tawa yang membetot sulit untuk ditahan secara bersamaan. Tetapi Mei Lan mencoba dengan ilmu pamungkasnya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Sekujur tubuhnya tiba-tiba diselimuti selapis awan putih dan membungkusnya semakin lama semakin tebal dan menjadi dinding atau tabir lapisan khikang tingkat tinggi.

Dengan lapisan khikang tersebut Mei Lan tidak usah takut terhadap kekuatan busuk lawan, tidak takut dengan betotan suara dan tawa lawan serta ilmu hitam yang menyertai pukulan busuk mujijat yang legendaris itu. Semua serangan magis tidak sanggup menerobosnya. Tetapi apakah Mei sanggup menahan pukulan yang sudah berusia sangat tua dan terkenal mujijat dan busuk membunuh orang tersebut?

Dan tidak menunggu waktu lama, tiba-tiba gempuran yang dilakukan Toh Ling yang sudah benar-benar tidak waras sudah dilepaskan. Pada saat itu secara serentak dia mengeluarkan kombinasi pukulan yang menakjubkan. Sementara itu, Mei Lan sendiri telah bersiap dan mendorongkan sepasang lengannya dan serangkum hawa yang luar biasa kuatnya terlepas dengan diiringi tiupan awan putih pekat. Dan yang hebat dan luar biasa segera tersaji kembali dihadapan begitu banyak orang yang menyaksikan pertempuran hebat dan seru itu. Sama sekali tidak terdengar suara benturan yang keras menggegap, tetapi awan putih yang mengiringi pukulan Mei Lan segera terpencar kemana-mana. Demikian juga kilatan berwarna hitam keungu-unguan yang menyergap dengan diiringi deru suara menggegap, tiba-tiba memancar kemana-mana.

Tetapi jangan salah sangka. Angin pukulan luar biasa yang tidak bersuara itu mengakibatkan guncangan luar biasa ditempat berpijak Mei Lan dan Toh Ling. Bahkan tokoh-tokoh seperti Liong-i-Sinni, Nenggala, Li Hwa, Durganini, Jayeng Reksa, sampai geleng-geleng kepala karena benturan itu ikut membuat mereka mengerahkan tenaga yang sangat besar untuk tetap bisa berdiri kokoh. Tetapi mereka yang bertempur, baik Mei Lan maupun Toh Ling yang saling membentur kekuatannya sudah tentu yang paling menderita dari semuanya.

Setelah benturan awan putih pekat dan kilatan berwarna hitam keungu-unguan membuyar, secara luar biasa ada tiga jalur letikan berwarna hitam keungu-unguan yang terus melaju kearah Mei Lan. Tetapi, pada saat bersamaan - Mei Lan bergerak-gerak cepat dan melepaskan pukulan ke arah Toh Ling. Rupanya Mei Lan percaya diri dengan lapisan khikang yang membungkus tubuhnya dengan awan putih yang pekat itu. Serangan Mei Lan tetap menggunakan ilmu mujijatnya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) dan meluncur deras mengarah Toh Ling.

Pada saat Toh Ling sibuk dengan sinar pukulan putih cemerlang yang dilepaskan Mei Lan, Mei Lan sendiripun tiba-tiba terkejut setengah mati. Apa pasal? meski pukulan lawan yang berbentuk letikan sinar hitam keungu-keunguan kekuatannya seperti sirna ketika membentur hawa khikhangnya, tetapi hawa pukulan itu tetap menyusup masuk. Hanya saja, untung bagi Mei Lan, kekuatan letikan sinar itu telah berkurang sangat banyak membentur hawa khikang. Tetapi begitupun, hawa beracun pukulan tersebut masih memiliki kemampuan untuk menyusup sampai menyentuh kulit tubuh Mei Lan yang tidak sempat lagi bergerak menghindar. Hanya letikan sinar yang mengarah ke tangannya yang berhasil di elakkan, selebihnya dua hawa beracun menyusup mengenai bagian pundak dan perutnya.

Sementara Toh Ling sendiripun, karena bernafsu menyarangkan letikan pukulan pamungkasnya, membiarkan atau tepatnya tak berkemampuan untuk menghindari pukulan balasan Mei Lan. Toh Ling berpikir, jika hawa beracunnya menyentuh lawan dan menyusup masuk, maka dia menang karena lawan keracunan. Yang tidak diduganya adalah, Mei Lan telah memupus semua kekuatan penodorng pukulan lawan dan hanya menyisakan hawa beracun yang menyentuh kulitnya tetapi tanpa kekuatan pendorong untuk memasuki tubuh lawan. Benar Mei Lan keracunan, tetapi dengan penanganan yang tepat dan cepat, racun itu tidak akan membahayakan nyawanya.

Sementara Toh Ling, karena berkeras untuk memasukkan racun ke tubuh Mei Lan, justru terkena pukulan lawan. Hanya, sama dengan Mei Lan, pukulan itu sudah berkurang banyak kekuatannya akibat membentur daya pelindung tubuh. Sebagai akibatnya, Toh Ling merasa dadanya sedikit sesak dan itu tanda jika dia terluka, meskipun sebetulnya bukanlah luka parah. Tapi, dia senang karena hawa beracun telah menyentuh tubuh Mei Lan.

Pada saat bersamaan keduanya terdorong mundur masing-masing tiga langkah, dan ketika akhirnya keduanya mampu berdiri tegak lagi nampak wajah Mei Lan agak pucat. Sudah jelas dia tidak terluka dalam tetapi hawa beracun yang menyentuh kulitnya, membutuhkan waktu untuk memulihkannya. Dia menahan racun di kulit dengan kekuatan tenaga dalamnya yang memang sudah amat tinggi. Tetapi, di sudut lain, Toh Ling juga sudah menjadi waras kembali. Biasanya, dia akan melihat lawan yang tubuhnya berubah warna menjadi merah kehitam-hitaman dan kemudian lawan akan membusuk menjadi cairan berwarna ungu kehitam-hitaman. Tetapi, ketika melihat Mei Lan masih tegak berdiri dan tidak terlihat tanda akan "membusuk" oleh racunnya, dia melengak heran dan segera berkata:

"Nona, engkau tidak segera menjadi busuk ......"? tanyanya dengan gaya lucu. Hilang sudah keseraman yang menyertai polahnya ketika dirasuki ilmu iblisnya.

"Toh Ling, engkau belum mampu untuk membuatku membusuk ........"

Jawaban Mei Lan membuat Toh Ling melengak. Pandangannya terarah kelangit langit bangunan sambil bergumam:

"Hmmmm, dia tidak membusuk. Dia tidak mati ........ hahahahahaha ...... dia tidak mati. Syukurlah dia tidak mati ......" Toh Ling tertawa berkepanjangan. Entah apa makna tawanya. Entah senang ataukah justru kesal. Sulit diperkirakan.Tetapi, yang jelas, tawanya kini tidak lagi mengandung hawa magis seperti sebelumnya. Tak disangsikan lagi, nampaknya diapun terluka sama dengan Mei Lan. Meskipun bukan luka berat, tetapi diapun terguncang oleh sentilan pukulan Mei Lan. Dan beberapa saat kemudian, tawanya berubah nada dan kemudian segera disambut tawa lain yang nampaknya mendekat, mendekat dan mendekat.

"Nona, kita berjumpa lagi lain waktu. Toh Ling akan datang untuk menagih janji Duta Agung guna membalas kekalahannya, sekaligus menandingi Nona ....... hahahahahaha" tawa Toh Ling sungguh panjang. Panjang, panjang dan panjang. Untuk kemudian dengan tiba-tiba dia melesat ke luar ruangan dan disambut oleh 3 bayangan lainnya. Dan merekapun berlalu dengan cepat meninggalkan ruangan pesta yang kini berubah senyap, takjub dan terkejut dengan level pertempuran yang baru saja mereka saksikan. Sungguh luar biasa, sungguh mendebarkan.

Kesenyapan itu berubah ketika beberapa saat kemudian Mei Lan bergoyang-goyang dan kemudian duduk bersimpuh. Dan disaat bersamaan Liong-i-Sinni telah melayang dan menyusupkan sebutir pil ke mulut Mei Lan. Sementara Nenggala dan Li Hwa segera menghalau orang-orang yang datang merubung ingin melihat keadaan Liang Mei Lan, si gadis perkasa yang mampu menandingi Toh Ling dengan ilmu busuknya yang luar biasa hebat dan mujijat itu.

"Untung dia membekal ilmu mujijat gurunya Wie Tiong Lan Pek Sim Siansu, jika tidak obat dewapun tidak akan sanggup menyembuhkannya saat ini ........ sungguh berbahaya, sungguh berbahaya ....... Amitabha" berkata Liong-i-Sinni.

"Sinni, Lan moi sebenarnya membekal ilmu lain yang menjadi tandingan ilmu Toh Ling, mengapa dia tidak mencobanya ...."? bertanya Tek Hoat yang bisa mendekati Mei Lan. Maklum Mei Lan adalah adik kandungnya.

"Amitabha ....... bukan kekuatan pukulan Toh Ling yang berbahaya, tetapi hawa beracun dalam pukulan itu. Kekuatan ilmu tersebut dapat ditangkal, demikian juga hawa magis mujijat yang disisipkan secara luar biasa oleh pencipta ilmu tersebut. Terbukti Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan) mampu menandingi hawa hitam magis dan menawarkan kekuatan Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang) yang legendaris itu. Tetapi, masih ada hawa beracun yang mampu menyusup dengan sisa-sisa kekuatan yang didorong Toh Ling. Jika pinni tidak salah, Lan ji telah menemukan cara yang lebih baik jika harus menghadapinya suatu saat nanti"

"Tapi Sinni, apakah Lan moi akan baik-baik saja ...."?

"Baik Toh Ling maupun Lan ji terluka sama parahnya. Meski terluka secara berbeda. Toh Ling terpukul oleh lontaran pukulan Lan jie karena dia berkeras memasukkan hawa beracun ke tubuh Lan jie. Dia berhasil, tetapi kekuatan pendorong hawa beracun itu terhenti di hawa khikang dan karenanya tidak mampu menyusup masuk ke tubuh Lan jie. Untungnya, hawa magis membusuk telah ditawarkan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan). Selanjutnya, tidak akan sulit menawarkan hawa beracun yang terlanjur menyusup memasuki Lan jie, engkau tidak usah khawatir anakku, adikmu akan baik-baik saja ....."

"Baik, terima kasih Sinni ......" ujar Tek Hoat sambil memandangi adiknya dengan penuh rasa haru dan kasih sayang yang tak tersembunyikan. Diapun kemudian mundur dengan ditemani Siangkoan Giok Lian yang menemani kekasihnya menengok keadaan Liang Mei Lan yang juga adalah teman dekatnya.

Tetapi belum lagi Tek Hoat dan Giok Lian turun dari panggung, tiba-tiba sebuah suara menahan langkahnya:

"Liang Tek Hoat, jika engkau memiliki cukup keberanian, maka aku ingin menantangmu adu kepandaian di tempat ini" si Jubah Hijau telah mengajukan tantangan. Inilah rupanya maksudnya yang didahului oleh Toh Ling tadi. Menantang Liang Tek Hoat. Tetapi apa maksudnya yang sesungguhnya? Hal yang membuat Tek Hoat menjadi kaget dan keheranan. Seingatnya, dia tidak punya perselisihan dengan si Jubah Hijau. Adalah justru adiknya dari pihak Bu Tong Pay yang punya perhitungan dendam dengan si pihak si Jubah Hijau dan teman-temannya.

"Hmmmmmm, siapa engkau? mengenakan cadar bukan tindakan seorang ksatria. Aku, Liang Tek Hoat tidak melayani tantangan orang yang tidak kukenal atau orang yang secara pengecut menyembunyikan wajahnya dibalik kain cadar" Tek Hoat yang masih kesal karena adik kesayangannya terluka dan kini ditantang orang, sudah dengan kesal menjawab tantangan orang.

"Tidak usah mencari-cari alasan. Katakan saja, engkau berani ataukah tidak"?

"Berani sudah pasti. Tetapi menghadapi orang yang tidak kukenal hanya membuang buang waktu dan tenagaku secara percuma"

"Bilang saja kalau engkau takut ....."

"Anggap saja memang takut, kalau itu yang engkau kehendaki ...."

"Apakah engkau tidak berkeinginan untuk membalaskan kematian beberapa orang murid Kaypang yang terbunuh beberapa hari ini dalam perjalanan ke Lembah Pualam Hijau"? bertanya si Jubah Hijau memanasi Tek Hoat.

"Engkau tidak punya motif untuk melakukan pembunuhan itu. Sudah kami selidiki beberapa waktu lalu ....."

"Selain penakut, engkau juga keliru melihat fakta. Aku yang memimpin mereka yang membunuh para murid Kaypang ......"

"Jadi, itu yang engkau pikir menjadi alasanku bertarung denganmu dan mengganggu jalannya pesta ini"?

"Pesta ini justru akan menjadi lebih semarak dengan pertarungan adu kepandaian antara kita berdua......" si Jubah Hijau berkeras.

"Hmmmmm, aku justru heran dengan motivasimu menantangku berkelahi. Apalagi setelah kawanan serta para begundalmu telah menyusup ke dalam Lembah ketika semua orang sedang asyik menyaksikan pertarungan tadi. Katakan, apa maksud kalian yang sebenarnya"?

"Aku berkepentingan menantangmu berkelahi, sementara mereka memiliki maksud dan kepentingannya sendiri-sendiri"

"Baiklah, sebagai pemimpin orang-orang yang berjubah dan bercadar hijau yang melakukan teror di Bu Tong San, membunuhi para pembawa barang antaran buat calon mempelai termasuk membunuhi beberapa anak murid Kaypang, aku akan menghadapimu. Hanya, perlu engkau ketahui, Lembah Pualam Hijau sudah bersiap menghadapi kalian semua. Berharaplah agar teman-temanmu yang suka menusuk dari belakang, menyusup ke rumah orang masih selamat sampai saat ini ......."

Si Jubah Hijau nampak tersentak dengan kalimat Tek Hoat yang terakhir. Karena mereka sebelumnya menyangka bahwa setelah menyusupnya tiga orang tetua ke Lembah Pualam Hijau, maka Duta Agung sangat mungkin terluka. Dan Lembah Pualam Hijau pasti terpukul dengan suasana itu. Ditambah dengan kesibukan mempersiapkan pernikahan Kiang Li Hwa dan Nenggala, mereka menghitung Lembah Pualam Hijau pasti akan alpa dan kurang terjaga. Perhitungan mereka yang keliru ataukah Tek Hoat yang mencoba menjatuhkan mentalnya? Yang pasti, Janawasmy yang selihay dirinya sampai sekarang belum kembali, sementara kawan-kawannya yang lain juga masih belum kelihatan setelah menyusup masuk ketika Mei Lan bertarung melawan Toh Ling. Sampai disini si Jubah Hijau menarik nafas panjang.

Tapi, dia sepertinya tidak begitu perduli dengan apa yang sedang dan akan dilakukan oleh kawan-kawannya. Karena agendanya yang terutama memang tertuju kepada Liang Tek Hoat. Entah mengapa ...... Tetapi, yang pasti si Jubah Hijau tidak perduli dengan sukses atau gagalnya teman-temannya. Di tetap berkeras untuk menantang Tek Hoat berkelahi.

"Katakan saja jika memang engkau berani melawanku. Jika tidak, cukup dengan mengatakan takluk dan kemudian berlutut menghormatiku, maka tantanganku akan segera kucabut"

"Engkau terlampau menghina sahabat. Baiklah, kusambut tantanganmu. Tetapi, untuk tidak menambah kekisruhan di pesta ini, bagaimana kalau kita bertanding di arena yang lebih menyenangkan"?

"Hmmmm, jika demikian katakan saja dimana tempat yang menurutmu menyenangkan untuk tempat kita bertanding ...."

"Di luar, di arena terbuka. Bagaimana, beranikah engkau"?

"Baik, jika demikian. Kuterima usulanmu ......." sambil berkata demikian si Jubah Hijau telah melayang ke luar ruangan. Di luar ruang pertemuan, tepatnya disisi kanan Lembah Pualam Hijau memang terdapat ruang terbuka yang cukup nyaman digunakan sebagai tempat bertanding silat. Dan kesanalah si Jubah Hijau melayang untuk kemudian diikuti oleh LIang Tek Hoat.

Ketika kedua orang itu, si Jubah Hijau dan Tek Hoat telah saling berhadapan di tanah lapang samping ruangan pertemuan, seseorang nampak masuk dan berbisik-bisik kepada Li Hwa dan Nenggala. Nampak Li Hwa agak tegang dan saling pandang dengan Nenggala, tetapi repotnya mereka tidak bisa banyak bertindak karena keduanya dalam pakaian penganten. Apa yang akan mereka lakukan? dan bagaimana pertarungan Tek Hoat dengan si Jubah Hijau?
 
2


Sore hari. Di lapangan terbuka, kini berhadapan dua sosok tubuh. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa dua sosok tubuh yang saling berhadapan itu berada dalam keadaan yang menegangkan. Tetapi, disana, sudut dimana Kiang Tek Hong dan istrinya, serta Nenggala dan Kiang Li Hwa, ketegangan sedang memuncak. Mungkin lebih tegang dari dua sosok tubuh yang sedang dalam kondisi dan siap tempur di arena pertempuran yang mereka pilih sendiri.

Tek Hoat, entah mengapa perlahan-lahan diliputi perasaan yang tidak menentu. Entah bagaimana, dia merasa seperti mengenal manusia yang kini berdiri dihadapannya dengan jubah dan kerudung hijaunya. Hawa manusia itu seperti sesuatu yang tidak asing baginya. Tetapi, tetap saja dia tak mampu menebak siapa gerangan lawannya itu. Suatu hal yang pasti, hawa mematikan memancar dengan sangat kuatnya dari sosok tubuh dihadapannya yang menjadi lawannya.

Sementara sosok tubuh yang bersembunyi dibalik jubah dan kerudung itu, berdiri dengan sangat misterius. Ada beberapa pasang mata yang dengan cermat mengamati gerak geriknya, berbeda dengan Tek Hong dan Li Hwa. Tetapi, mata-mata yang menadang dengan tegang dan bertanya-tanya itu, masih belum memperoleh kepastian mengenai siapa gerangan si jubah hijau. Suatu hal yang pasti, hawa menyeramkan semakin menonjol dan memancar keluar dari tubuh misterius itu.

Tek Hoat yang berada paling dekat dengan si Jubah Hijau sudah dengan segera memastikan bahwa dia kembali beroleh lawan yang tidak berada disebelah bawah kemampuannya. Tetapi, Tek Hoat telah banyak maju dan menemukan keseimbangan dirinya dan otomatis menambah rasa percaya dirinya selama beberapa waktu terakhir. Penguasaan ilmu-ilmunya sudah semakin matang, dan pengalaman tempurnya sudah sangat teruji selama 2 tahun belakangan. Karena itu, Tek Hoat dengan mudah menetralisasi perasaan seram yang tumbuh dalam hatinya dari kuatnya hawa membunuh yang memancar keluar dari sosok tubuh misterius dihadapannya.

Demikianlah, seiring dengan sore yang semakin menjelang datang dan matahari yang semakin doyong ke barat, dua sosok tubuh di lapangan meski masih tetap dalam posisi berhadapan. Jangan salah. Mereka bukannya berdiam diri belaka. Karena keduanya, meski secara fisik belum melakukan kontak fisik, tetapi pertarungan sesungguhnya telah terjadi. Saling taksir kekuatan dengan bentuk-bentuk serangan non fisik telah terjadi melalui aksi saling mempengaruhi perasaan lawan. Karena itu, Tek Hoat telah terlihat dalam posisi serius, sementara sang lawan yang misterius, juga telah tegak berdiri dengan tingkat kesiagaan tertingginya.

Meski menantang-nantang tadinya, tetapi ketika berada di arena, nampak sekali jika si Jubah Hijau tidaklah meremehkan lawannya. Terbukti dengan tidak terburu-burunya dia melakukan serangan mematikan, tetapi menunggu saat yang tepat untuk turun tangan. Dan kondisi inilah yang membuat sekeliling arena ikut tercekam oleh ketegangan yang mendera. Hal ini dikarenakan sebagian besar orang yang berada di sekitar arena adalah manusia-manusia dengan ilmu silat yang mumpuni.

Ada lebih setengah jam keduanya menghabiskan waktu bertarung dan menguji mental lawannya, tetapi tak ada yang terlihat merasa memenangkan pertarungan itu. Sampai akhirnya sebuah kibasan tangan nampak dilakukan keduanya secara berbareng. Ya, pada waktu yang bersamaan keduanya menggerakkan lengan masing-masing untuk melakukan kontak dan serangan pertama. Jika dikisahkan, hanya sekejap mata si Jubah Hijau dan Tek Hoat memutuskan untuk menyerang dan dilakukan dari tempat berdiri keduanya tanpa bergerak maju ataupun mundur.

Tetapi kibasan tangan keduanya tidak nampak memberikan pengaruh apa-apa terhadap lawannya, dan mata telanjang siapapun bisa menyaksikan jika kibasan tangan keduanya tidak berdampak apa-apa bagi sekitarnya. Hanya mata tajam orang-orang tertentu saja yang bisa melihat jika serangan pertama kedua pihak bukan sekedar saling menakar kemampuan lawan. Tetapi berisi kekuatan luar biasa yang dilontarkan karena pengetahuan masing-masing bahwa lawannya memang hebat. Dan ini nampak dari wajah Tek Hoat, yang meski masih tetap tenang tetapi matanya sempat mengerut, tanda kaget bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan tangguh.

"Luar biasa, kembali hari ini aku bertemu lawan yang pilih tanding" desis Tek Hoat dalam hati. Tetapi, sudah tentu dia tidak takut, karena diapun kini memiliki kepercayaan diri yang semakin tinggi dari hari ke hari.

Dan naga-naganya, bentrokan pertama juga memberi dampak yang sama kepada si Jubah Hijau. Terbukti setelah benturan lewat kibasan tangan masing-masing, si Jubah Hijau tiba-tiba bergerak maju sambil memukul. Terlihat sederhana pukulannya, tetapi Tek Hoat paham bahwa tersembunyi kekuatan mematikan dibalik kesederhanaan pukulan tersebut. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama bagi Tek Hoat untuk memastikan dugaannya.

Gerakan si Jubah Hijau terlihat sangat aneh, terkesan campuran dari banyak aliran yang berbeda-beda. Sekali-sekali ada gerakan-gerakan licin dan licik yang mengingatkan Tek Hoat terhadap gaya-gaya serangan Mahendra ataupun Nenek Gayatri, tetapi sesekali dia melihat kemiripan gerakan serang yang dimiliki Nenggala. Tetapi juga tidak sepenuhnya benar, karena serangan-serangan yang mantap, berbahaya dan kaya variasi adalah khas Tionggoan, dan gaya seperti ini sudah sangat dikenalnya. "Siapa gerangan orang ini" demikian Tek Hoat berpikir dalam hati.

Tetapi, semakin lama serangan-serangan aneh yang dilontarkan lawan, semakin menyulitkan Tek Hoat. Apalagi, karena tenaga besar yang dilontarkan lewat pukulan pukulan berat, harus dihadapinya secara serius dan berhati-hati. "Sungguh tak kusangka hari ini kembali harus menemukan lawan sehebat ini" desisnya kembali dalam hati. Begitupun, Tek Hoat bersilat secara serius dan dari gerakan-gerakannya yang semakin mantap, terlihat jelas bahwa dia kembali telah mengalami kemajuan yang tidak sedikit dalam penguasaan ilmunya.

Dan akhirnya, menghadapi deraan serangan lawan yang cepat, aneh dan bervariasi yang kelihatannya gabungan dari beberapa aliran berbeda-beda, Tek Hoat memantapkan hatinya untuk balas menyerang. Dia membekal banyak ilmu sakti yang sekarang telah dengan sempurna dikuasainya. Dia tak perlu banyak mengingat, tetapi menyesuaikan jurus yang akan digunakan dengan keadaannya saat itu. Karena itu, secara otomatis dia telah menggunakan Hang Liong Sip Pat Tjiang, sebuah ilmu pusaka Kay Pang yang beraliran sangat keras. Artinya, dia menyambut keras melawan keras. Apalagi, kini dia telah mampu mengisi kepalannya dengan hawa pedang yang dipelajarinya dari Toa Hong Kiamsut warisan Kiang Sin Liong.

Tetapi, dia tidak kaget jika tidak mampu membuat lawannya kaget dan kewalahan. Karena memang lawannya juga bukan orang lemah. Apalagi, karena ilmu dan jurus yang digunakan lawan sangatlah membingungkannya. Selain aneh serta penuh dengan variasi, tetapi sekaligus juga ganas dan buas mematikan. Untungnya dia telah bergerak cepat dan kokoh dengan menggunakan Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya) yang membuatnya mampu bergerak gesit, tetapi tetap berkesempatan untuk melayangkan serangan balasan dengan tidak kalah kuat dan hebatnya. Pertempuran mereka menjadi adu taktik, strategi, kecepatan, kekuatan dan daya tahan. Sampai pada titik ini, tiada seorangpun yang berani memprediksikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Karena memang kedua-duanya sama cepat, sama kuatnya dan membekal ilmu-ilmu mumpuni.

Dengan cara ini, pertempuran mereka menjadi panjang. Tidak terasa sejam sudah mereka bertarung dan matahari semakin condong ke Barat. Tetapi pertempuran mereka masih tetap belum menunjukkan gelagat siapakah nanti yang kalah dan siapa menang. Yang pasti, jika Tek Hoat bertarung dengan tenang dan kokoh, lebih banyak menahan serangan lawan, maka si Jubah Hijau nampak lebih emosional dan menyerang dengan keras, tajam dan bermaksud mengalahkan atau bahkan melukai lawannya. Jika memungkinkan, malah dia berkeinginan untuk membunuh Tek Hoat. Jelas terlihat dari betapa kejam dan kejinya serangan-serangannya.

Tiba-tiba berkesiutan angin serangan yang tajam mematikan, dilakukan secara cepat dan membingungkan lawan. Untung lawannya Tek Hoat, jika lawan tanggung, bisa dipastikan serangan ini akan berakibat mengerikan. Tetapi, serangan dengan ilmu jari berhawa dingin, Tan Ci Kong Im (Jari Sakti Hawa Dingin), mengingatkan Tek Hoat atas lawan-lawan masa lalunya dari pihak Thian Liong Pang. Tetapi, kali ini serangan jari ini dikombinasikan dengan gerakan-gerakan sihir yang membingungkan lawan dan dengan variasi ilmu lain yang tak kurang kejamnya.

Tidak ada cara lain, pada saat itu dia memilih serangan keras melawan keras dalam jurus terakhir, jurus ke-18 dari Hang Liong Sip Pat Tjiang. Tubuhnya bergerak-gerak kekanan-kekiri bagaikan seekor Naga sakti yang mempersiapkan serangannya, dan menyambut curahan serangan jari lawan yang dikombinasikan dengan gerakan-gerakan bernuansa mitis. Pada puncaknya, benturan keduanya yang disokong oleh kekuatan tenaga dalam yang sempurna membuat mereka masing-masing terlontar dan terdorong ke belakang. Pada saat itu Tek Hoat mengalami deraan tenaga lawan berhawa dingin dan membuatnya sedikit menggigil, tetapi disana kerudung hijau si Jubah Hijau terhempas dan terlepas dari kepalanya. Siapakah dia?
Meski sekilas, tetapi banyak orang terperanjat dan beberapa terdengar mendesis: "accccch, dia rupanya". Benar, wajah tampan namun dingin membesi dari seorang muda yang cukup dikenal beberapa orang membuat beberapa orang terperanjat. Terdengar keluhan lirih:

"accccchhhhh, koko ......" desisan dari mulut Kiang Li Hwa, sementara Kiang Tek Hoat nampak mematung. Kelihatannya sejak awal dia sudah menduga siapa si Jubah Hijau, yang memang tak lain adalah salah seorang anaknya, Kiang Hauw Lam yang dahulunya menjadi Majikan Kerudung Hitam di Thian Liong Pang dan membantu dirinya sebagai Pangcu boneka Thian Liong Pang. Itu sebabnya sejak awal pertarungan Kiang Tek Hong lebih banyak diam dan menahan nafas, karena memang dia telah mengenali si Jubah Hijau sebagai anaknya.

Mengetahui samarannya terbuka, Kiang Hauw Lam atau si Majikan Kerudung Hitam pada masa lampau, nampak murka. Menutupi suasana hati yang guncang, ia langsung kembali menyerang dengan kecepatan tinggi. Dan tentu dengan serangan-serangan yang lebih mematikan mematikan. Dan Tek Hoat segera sadar, jika saat itu dia sedang berhadapan dengan musuh lama yang berniat membalas kekalahannya. Sebagaimana diketahui, Majikan Kerudung Hitam pernah dikalahkan secara mengenaskan oleh Tek Hoat dan nyaris ajal. Untung dia masih terselamatkan, tetapi kini, dia datang dan membekal ilmu yang membuat Tek Hoat mengerutkan alisnya.

Mereka kini setanding, dan jelas pertarungan mereka bakal ketat.
Dan Hauw Lam mulai menyerang dengan ilmu-ilmu baru yang belakangan ini dipelajarinya secara serius dan mendalam. Dia kini membekal ilmu Hian Goan Sin Ciang (Ilmu Sakti Melumpuhkan Lawan), sebuah ilmu dahsyat yang menggabungkan pengetahuan dan kesaktian 3 orang hebat: Naga Pattynam, Lamkiong Sek dan Wisanggeni. Itulah sebabnya, gerakan-gerakan, landasan sihir, variasi gerakan dan dorongan tenaga besar, menjadi ciri khas baru Hauw Lam, berbeda dengan kemampuan sebelumnya yang berdasarkan ilmu-ilmu dari Lam Hay.

Ketika kembali menyerang, gerakannya sarat dengan landasan gerakan pembingung yang mengikuti ilmu Mi im ci sut (kepandaian bayangan pembingung), tetapi variasi serangan dan arah serangan sangat keji dan kejam. Sementara kekuatan yang juga terkandung dalam serangannya, sungguh mengerikan. Semua ciri itu menyertai ilmu barunya yang bernama ilmu Hian Goan Sin Ciang (Ilmu Sakti Melumpuhkan Lawan) yang kini dikerahkannya menyerang tek Hoat.

Dan Tek Hoat segera mengerti, bahwa hanya dengan ilmu-ilmu saktinya dia akan sanggup bertahan. Maka mengalirlah Pek Lek Sin Jiu (Pukulan Geledek) yang juga membawa perbawa mengerikan, sebuah pukulan yang lebih keras lagi. Jika Hang Liong Sip Pat Tjiang masih mengandalkan gerakan-gerakan dan tipuan sakti seekor Naga, maka Pek Lek Sin Jiu benar-benar mengandalkan hawa panas dan kerasnya pukulan tersebut. Bedanya, Hang Liong Sip Pat Tjiang dari gurunya Kiong Siang Han, tidak akan sanggup dikuasainya secara sempurna, karena harus didukung dengan Tenaga Sakti Perjaka yang tidak diwariskan gurunya kepadanya.

Terdengar 2 jenis ledakan yang susul menyusul. Ledakan pertama adalah serangan yang dilakukan Tek Hoat, sementara ledakan kedua adalah benturan dua kekuatan besar yang dilontarkan Hauw Lam dan Tek Hoat. Ledakan itu terlihat menghasilkan pijaran kekuatan yang terlontar kesamping kiri kanan Hauw Lam dan Tek Hoat, tetapi anehnya tidak sangat mengganggu penonton. Jika di awasi lebih teliti, terutama oleh mata ahli, maka dari tubuh kedua tokoh muda yang bertarung, sudah terlindung hawa sakti, atau khikang. Maka pijaran-pijaran kekuatan yang mendekati keduanya dengan mudah runtuh dan tak mampu menembus lapisan hawa sakti pelindung badan itu. Sungguh mencengangkan dan luar biasa. Karena keduanya telah mulai mengerahkan kekuatan-kekuatan tersembunyi masing-masing.
Keduanya telah sama paham bahwa saat itu mereka sedang menghadapi lawan tangguh. Dan karena itu, sudah saatnya mereka mengerahkan puncak kekuatan masing-masing.
Sesuai namanya, ilmu Hian Goan Sin Ciang (Ilmu Sakti Melumpuhkan Lawan) memang berisi kekuatan besar yang mampu melumpuhkan lawan seketika. Bukan sekedar melawan dan mengalahkan lawan, tetapi memang benar-benar untuk membuat lawan menjadi lumpuh seketika. Karena dalam serangan dan tenaga yang disertakan di jurus-jurus ilmu tersebut, adalah serangan dan tenaga keji yang mampu membuat lawan paling kurang lumpuh. Baik karena kekuatan serangan, maupun karena daya rusak tenaga yang disertakan selalu bertujuan merusak jaringan peredaran darah ataupun tulang lawan.

ilmu Hian Goan Sin Ciang (Ilmu Sakti Melumpuhkan Lawan) adalah peryakinan tiga tokoh tua yang memang bertujuan membalas dendam atas rangkaian kekalahan mereka dari gabungan tokoh-tokoh pembela kebenaran. Rangkaian kekalahan tersebut telah membuat mereka mata gelap dan segala macam carapun akhirnya ditempuh, termasuk menyatukan ciri khas dan kehebatan ilmu silat mereka sekalipun. Maka lahirlah ilmu jahat ini. Ilmu yang menggabungkan ciri khas dan kehebatan 3 tokoh sakti yang didukung dengan mekanisme transfer tenaga yang membuat anak didik mereka melonjak kekuatannya dengan cara yang tidak biasa.

Dan kehebatan ilmu tersebut segera nampak. Tokoh sekaliber Tek Hoatpun sampai kerepotan menghadapi ilmu khas yang berhawa jahat ini. Dan terpaksa kembali harus mengandalkan penguasaannya yang telah melonjak jauh dalam Pke Lek Sin Jiu, baru dia bisa bernafas lega. Karena tenaga keras dan hawa panas membakar yang dikonsentrasikan di arena pertempuran mereka, membuat Hauw Lam juga mau tidak mau harus mengerahkan sebagian tenaganya menahan hawa panas membakar dari pukulan Tek Hoat.

Dan kembali pertempuran berlanjut dengan jual beli serangan disertai gelombang pukulan bertenaga luar biasa. Hampir setengah jam kembali berlalu, dan matahari semakin mendekati ufuk barat sementara pertempuran justru bertambah seru. Tek Hoat harus mengakui bahwa lawan yang dulu mampu dikalahkannya secara telak, kini telah mampu merendengi kemampuannya. Hanya kekokohan dan kemurnian sajalah yang membuat dia bisa bertahan dengan terjangan ilmu lawan yang keji dan ganas mematikan. Tetapi benarkah posisi mereka kini seimbang?

Melihat ilmu Hian Goan Sin Ciang (Ilmu Sakti Melumpuhkan Lawan) mampu merepotkan Tek Hoat, Hauw Lam menjadi semakin besar hatinya. Tetapi, lama kelamaan diapun menjadi tidak sabar. Nafsunya untuk membalas kekalahan dulu membuat dia berusaha keras untuk mengalahkan Tek Hoat dan membalas kekalahan menyedihkan yang dialaminya dulu. Sampai pada penggunaan ilmu barunya, dia masih yakin bahwa dia telah mampu menyusul ketertinggalannya, tetapi dia masih menyimpan kemampuan lain. Sebuah ilmu lain yang sangat diyakini olehnya akan mampu membuat Tek Hoat bertekuk lutut. Dia hanya ingin mengalahkan Tek Hoat, harus. Soal Tek Hoat mati atau tidak bukanlah kepedulian utamanya, yang penting harus menang.

Kembali mereka harus bertarung beberapa lama dengan posisi seimbang. Keadaan ini mulai menggugah amarah Hauw Lam, dan ini memicunya untuk sampai pada jurus-jurus pamungkas ilmu barunya. Kini dengan menggunakan jurus San Pang Te Liat (Gunung Runtuh Bumi Retak) - Hauw Lam yang mulai dikuasai amarahnya karena masih dalam posisi seimbang - menggerakkan sepasan tangannya yang dipenuhi hawa saktinya. Luar biasa, entah mengapa kekuatan tenaga Hauw Lam justru meningkat ketika "nafsu amarah" mulai menyertai penggunaan tenaganya. Dan akibatnya, tanah berpijak Tek Hoat bagaikan bergoyang-goyang dan sejenak membuatnya goyah. Tetapi, rangkaian tenaga yang menghembus dan menggempurnya, di luar dugaan kini lebih kuat dari biasanya.

Merasa sedikit terlambat, dengan cepat Tek Hoat memapak jurus mengerikan itu dengan jurus ketujuh Pek Lek Sin Jiu. Dan kembali benturan hebat terjadi, tetapi secara sangat cepat, kembali keduanya dalam posisi bersiap. Karena Hauw Lam yang terdorong kebelakang, bukannya mencari pijakan kokoh terlebih dahulu sebelum menyerang, sebaliknya telah mengerahkan jurus pamungkan ilmu barunya yakni jurus Hoan Thian Coan Te (Membalikkan Langit Memutarkan Bumi). Inilah gabungan ciri khas luwes dari Wisanggeni dengan kecepatan yang licik dari Naga Pattynam dan berisi dorongan tenaga besar ala Lamkiong Sek.

Menghadapi sergapan mematikan ini, Tek Hoat yang telah bersiap dengan jurus ketujuh dalam penggunaan puncak kini juga sudah siap. Meski sebelumnya dia merasa sedikit keteteran dengan tenaga lawan, tetapi diua beranggapan bahwa kekurangsiapannyalah yang membuat dia keteter. Kini, dia sadar bahwa lawan akan langsung menyerang dengan jurus mematikan, karena itu ketika terjadi benturan, dengan cepat dia bersiap dengan puncak pengerahan jurus ketujuh yang pernah dilatihnya bersama dengan Ceng Liong.

Dan dari tangannya mengepullah awan panas berpijar menyongsong serangan dengan efek sihir dahsyat dari Hauw Lam yang telah murka. Dan, hebat, kembali tenaga Hauw Lam bagaikan bertambah ketika mereka kembali berbenturan. Kali ini, Tek Hoat mulai sadar, bahwa entah bagaimana kini tenaga Hauw Lam bertambah hebat dari biasanya. Tetapi, untungnya dia masih mampu menerima serangan berbahaya yang sangat kuat dan mujijat dari lawannya, meski dia sedikit menderita kerugian karena atau akibat benturan terakhir. Tetapi di sisi lain, Hauw Lam yang tidak mampu merubuhkan Tek Hoat telah semakin dikuasai dendam dan amarahnya. Apa akibatnya?

Hauw Lam yang menyelesaikan ilmu barunya dengan hanya mampu mendesak dan mendorong mundur Tek Hoat, semakin murka. Dan nampak wajahnya semakin kental menunjukkan perasaan amarahnya tersebut. Dan tiba-tiba terdengar dia mendesis:

"Hmmmmm, sudah saatnya engkau bertekuk lutut ..."

Tiba-tiba wajahnya putih memucat dan dari wajahnya terpancar keluar aura menakutkan dan menyeramkan, sementara bola matanya memerah dan bagaikan mengeluarkan sinar ancaman yang menggidikkan. Dengan kedua belah tangan terbuka membentang dan badannya sedikit doyong ke belakang, sekilas tiada yang istimewa dari posisi bhesi (kuda-kuda) bertempurnya. Tetapi, yang mengagetkan adalah ketika terdengar desisan yang terdengar oleh segelintir manusia saja:

"Acccccchhhhhhh, Cit Sat Sin Ciang ........ benar-benarkah dia menguasainya"? Kiang Tek Hong kaget ketika desisannya membuat banyak orang tersentak kaget, dan kini memandangnya dengan penuh tanda-tanya.

"Cuwi sekalian, posisi tempur dan tanda-tanda yang ditunjukkannya adalah ciri khas Ilmu Jahat Cit Sat Sin Ciang yang termasyhur ratusan tahun silam. Tetapi benar-benarkah memang ilmu itu yang akan dikeluarkan anak itu"? Kiang Tek Hong menjelaskan dengan suara perlahan dan membuat orang-orang menjadi bukan hanya tertarik, tetapi menahan nafas untuk melihat Ilmu Jahat yang sangat sakti dan telah lenyap ratusan tahun lamanya. Selain dari itu, tentu ada beberapa orang yang masih ingat, bahwa ilmu jahat itulah yang telah membunuh Ciangbundjin Bu Tong Pay. Jadi, anak inikah pelakunya?

Sementara itu, Tek Hoat telah melindungi dirinya dengan jurus ketujuh Pek Lek Sin Jiu yang memang mujijat. Dia telah melontarkan satu gerakan dari jurus ketujuh tersebut, dan masih ada dua gerakan mujijat yang disiapkannya sebelum memasuki jurus pamungkas, jurus kedelapan dari Pek Lek Sin Jiu. Telinganya yang tajam sempat menangkan disebutnya nama Ilmu Hauw Lam yang siap menyerangnya, diapun tahu soal ilmu itu. Tetapi, sebagaimana Mei Lan mampu menahan ilmu busuk lainnya di Bu Tong Pay, diapun berkeyakinan mampu menahan Cit Sat Sin Ciang lawannya. Selain itu, diapun mulai menyiapkan rangkaian jurus kedelapan Pek Lek Sin Jiu dan pukulan pamungkasnya Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).

Maka ketika akhirnya dia melihat persiapan jurus istimewa lawannya, diapun telah menetapkan hatinya. Tek Hoat paham dia sedang berhadapan dengan sebuah ilmu pamungkas yang sangat terkenal ratusan tahun sebelumnya. Memang dia sedikit tegang, tetapi dia meneguhkan hatinya bahwa dia akan mampu melakukan sebagaimana adiknya Mei Lan melakukannya sebelumnya. Maka memapak serangan pertama lawan, Tek Hoat telah memutuskan menggunakan gerakan kedua dari lontaran geledek ditangannya. Gerakan kedua dan ketiga dari jurus ini dikuasainya bersama dengan Ceng Liong, tetapi dengan ciri khas kehebatan yang berbeda antara keduanya.

Menghadapi kondisi yang menegangkan, dia memutuskan menggunakan ciri khasnya, yakni kekuatan keras yang dilepas secara bebas, bukannya kekuatan keras yang dibatasi tetapi dibarengi kekuatan sihir atau kekuatan batin.
Sementara itu, Hauw Lam yang telah dikuasai oleh amarah, kini telah siap dengan jurus pamungkasnya. Sebetulnya, jika tidak dikuasasi amarah, Hauw Lam masih harus berpikir panjang menggunakan ilmunya ini. Karena ilmu ini harus dilepas dengan penggunaan kekuatan iweekang yang sangat besar. Setiap gerakan atau pergantian jurus akan membawa daya dorong tenaga yang berlipat dua. Itulah sebabnya, mereka yang belum sempurna akan berpikir panjang menggunakan ilmu ini, karena selepas jurus kelima, memasuki jurus keenam, jika lawan masih mampu menghadapi, maka si pelepas pukulan yang akan keok. Tetapi, jika dengan sempurna dikuasai, maka jurus keenam dan ketujuh, boleh dibilang teramat sulit dan teramat jarang mampu ditandingi orang. Terutama karena kekuatannya.

Dan kini Hauw Lam harus menyerang 7 kali banyaknya dengan dorongan tenaga yang harus memadai. Orang-orang yang mengerti ciri khas ilmu ini juga menjadi was-was, mereka mengkhawatirkan dua orang muda pilih tanding yang kini dalam posisi "no point of return", alias tidak ada lagi jalan mundur. Dan memang, itulah yang kemudian terjadi. Keduanya memutuskan untuk saling serang. Tek Hoat tidak menunggu diserang, tetapi dia ikut menyerang. Dan dalam waktu singkat, merekapun berbenturan dengan keras dalam penggunaan ilmu andalan masing-masing:

"Dhuaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrr .........."

Ledakan keras terdengar akibat benturan pertama, tetapi dengan cepat diikuti oleh benturan kedua, yang jauh lebih dahsyat lagi benturan atau suara ledakan yang mengikuti atau menyertainya.

"Dhuaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrr ............"

Tetapi, kedua tubuh muda itu, hanya berpisah sebentar untuk kemudian kembali saling serang. Yakni Hauw Lam menggunakan pukulan ketiga, sementara Tek Hoat menggunakan Jurus Pamungkas Pek Lek Sin Jiu, jurus kedelapan yang bahkan gurunya tidak sempat melatihnya. Tetapi, dia sengaja memilih jurus kedelapan, karena menyadari betapa berat lawannya. Pukulan kedua dirasakannya dua kali lipat kandungan tenaganya jika dibandingkan dengan pada tenaga serangan pertama. Maka diapun akhirnya melepas jurus pamungkas Pek Lek Sin Jiu untuk memapak Gerakan ketiga dari Cit Sat Sin Ciang. Dan benturan ini, otomatis jauh lebih dahsyat dari benturan pertama dan benturan kedua:

Dhuaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr .........."

Luar biasa, debu-debu dan bebatuan yang berasal dari tanah yang tergali beterbangan kesana-kemari. Tek Hoat kembali merasa kaget dan ngeri, karena kekuatan pukulan lawan kembali meningkat pesat, hanya karena kemujijatan jurus kedelapan maka dia masih cukup kuat menahannya. Hanya saja, jika berbenturan seperti ini sampai kali ketujuh, dia merasa tidak akan cukup kuat menahannya. Itulah sebabnya dia kemudian merancang jalan lain dengan menetapkan hati menggunakan ilmu pamungkas warisan dari gurunya Kiong Siang Han Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).

Disisi lain, Hauw Lam tidak lagi mampu menahan dirinya. Dia paham bahwa mereka berdua berada pada ambang celaka jika pertarungan dilanjutkan. Dia mungkin saja menang, tetapi sangat mungkin juga habis. Karena tiga kali serangannya masih tetap bisa dipapak lawan, berarti untuk sekali atau dua kali lagi, masih mungkin Tek Hoat menahannya. Apakah dia masih mungkin bertahan? Tetapi, ketika mengerahkan ilmu ini, si penyerang sudah tidak lagi mampu mengontrol dirinya selain harus mengerahkan segenap tenaga untuk memukul. Inilah kali pertama dia menggunakan Cit Sat Sin Ciang hingga pukulan ketiga. Biasanya, pukulan pertama dan kedua sudah menyelesaikan urusannya. Sekarang beda. Tetapi, dia sungguh tak mungkin lagi menahan dirinya, apalagi karena hari mulai gelap - tanda malam kini berkunjung datang. Tidak, dia harus segera melepaskan pukulan selanjutnya.

Dan kini, Tek Hoat yang menyadari bahaya telah dengan kokoh menyambut pukulan ke-empat atau jurus dan gerakan keempat dari Cit Sat Sin Ciang. Apa gerangan yang menjadi pegangannya? Bagaimana dia melakukannya?

Memapak gerakan dan pukulan keempat lawan, Tek Hoat bersilat dengan Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti), dan hebat kesudahannya. Dia bergerak bukan hanya lincah, tetapi nyaris tidak bisa diikuti pandangan mata. Hanya saja, palu godam gerakan atau pukulan keempat dengan kandungan tenaga sangat besar, terus memburunya. Dan tidak ada ruang baginya untuk tidak menangkis pukulan itu, karena pukulan dengan tenaga sepenuhnya mulai dari gerakan ketiga, telah menutup seluruh jalan keluar lawan. Artinya, Tek Hoat harus menerima pukulan itu, tidak mungkin dengan cara lain. Dan benar, Tek Hoatpun akhirnya menerima pukulan keempat dari Ilmu Jahat Cit Sat Sin Ciang .......

Dengan gaya yang khas, tenang dan kokoh Tek Hoat kemudian menggetarkan lengannya, dan ketika serbuan tenaga dalam yang luar biasa menderanya, diapun kembali nampak menggetarkan ulang tangannya, dan kemudian berpusing-pusing, berputar-putar seakan bercengkerama dengan pusaran kekuatan itu. Dan tidak lama kemudian, untuk kali ketiga, dia kembali menggetarkan tangannya dan melepas tenaga yang menderanya ke angkasa, tepatnya ke ruang kosong di sebelah barat, dekat ke tebing yang tiada seorangpun menonton di arena bagian tersebut. Sontak terdengar letupan keras disana:

"Duaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr ..."

Apa yang terjadi? Tek Hoat masih tetap kokoh berdiri. Dia tidak cedera oleh hantaman gerakan keempat dari lawannya, tetapi dengan cerdik dia menggunakan Ciat Lip Jiu (Tangan Penghantar Tenaga) dan berhasil. Ledakan di angkasa tadi adalah ledakan yang diakibatkan membuyarnya tenaga serangan Hauw Lam yang dilepaskannya ke udara, dan diapun sama sekali tidak terluka. Kemampuannya menghantarkan tenaga serangan lawan tidak terduga banyak orang, mereka bahkan tidak mengerti apa dan bagaimana cara Tek Hoat melakukannya. Hanya seorang Mei Lan adiknya sendiri yang paham apa yang baru saja dilakukan kakaknya, karena dia sendiripun punya kemampuan melakukan hal yang sama.

Orang lain sama sekali tidak mengerti, bahwa baru saja dua ilmu setanding pada masa 100 tahun lebih yang lalu, telah kembali berbenturan dan digunakan oleh orang-orang muda.
Tek Hoat memang mampu menahan gerakan keempat Cit Sat Sin Ciang, tetapi pada saat itu Hauw Lam nampak telah bersedia melakukan penyerangan dengan gerakan kelima. Segera setelah ledakan di udara menggetarkan banyak orang, dan Tek Hoat baru menarik nafas untuk bersiap, Hauw Lam telah menggerakkan tangannya untuk maju melontarkan gerakan kelima. Bisa ditebak, dibandingkan gerakan keempat, mestinya gerakan kelima membawa kandungan tenaga yang lebih besar lagi. Akan sanggupkah Tek Hoat menahannya? Orang banyak kini menahan nafas. Menantikan apa yang akan terjadi karena pertarungan mulai memasuki tahapan pamungkas, setidaknya tiga gerakan lagi semua akan jelas.

Tetapi pada saat-saat yang sangat menegangkan itu, tiba-tiba berkelabat sesosok bayangan berwarna hijau lainnya. Kecepatannya susah diikuti pandangan mata biasa, dalam waktu yang sangat singkat bayangan itu telah berdiri disamping Hauw Lam yang sedang mengerahkan tenaga sepenuhnya melontarkan serangan atau gerakan kelima. Sebuah pengerahan jurus yang berada pada batas psikologis dan karena itu, sama sekali Hauw Lam tidak mengira bahwa bayangan hijau itu akan menyerangnya. Dan lebih hebat lagi, kekuatan yang doyong untuk dilontarkan ke Tek Hoat, tidak akan keburu ditarik menyerang orang yang baru datang itu. Apalagi, ketika kemudian hanya dalam hitungan kurang dari sedetik dia telah kehilangan kemampuan mengerahkan tenaga, dan telinganya masih sempat mendengar kalimat dari si pendatang:

"Paman Hauw Lam, maafkan aku. Jika aku tidak menghentikanmu, maka nyawamu tidak akan tertolong lagi ......" dan setelah itu Hauw Lam tidak ingat apa-apa lagi.

Sementara itu, si pendatang hanya menganggukkan kepala kearah Tek Hoat untuk kemudian mencelat ke arah rombongan keluarga Lembah Pualam Hijau sambil membawa serta tubuh Kiang Hauw Lam. Begitu tiba di hadapan rombongan Lembah Pualam Hijau si pendatang yang ternyata adalah Duta Agung Kiang Ceng Liong telah menyerahkan tubuh Kiang Hauw Lam kepada Kiang Tek Hong. Sambil menyerahkan Hauw Lam, Ceng Liongpun berkata:

"Maafkan paman kakek, jika paman Hauw Lam melanjutkan penyerangan hingga ke gerakan kelima, maka nyawanya tidak mungkin tertolong lagi. Dia telah menguasai Cit Sat Sin Ciang hingga gerakan kelima, tetapi masih belum mampu menggunakannya hingga tuntas. Jika dipaksakan, maka ajalnya akan menjemput dengan cepat ....... silahkan paman kakek menjaganya sebentar ......."

Kiang Tek Hong, si orang tua yang dahulunya merupakan Pangcu Thian Liong Pang telah dengan cepat menerima tubuh Hauw Lam, sambil menjawab:

"Terima kasih Duta Agung, sungguh aku orang tua yang tidak mampu mendidik anak secara baik ......"

"Sudahlah paman kakek, mudah-mudahan aku sudah berkemampuan memulihkannya. Tetapi, masih banyak urusan yang harus kita selesaikan .........." sambil berkata demikian, setelah menguatkan Kiang Tek Hong, paman kakeknya - kakak dari kakeknya Kiang Cun le, Kiang Ceng Liong kemudian mendekati Nenggala dan Kiang Li Hwa. Dan diapun menjura memberi hormat sambil berkata:

"Selamat ..... selamat buat Saudara Nenggala dan Bibi Li Hwa. Maafkan karena keterlambatan untuk memberi hormat, dan bahkan untuk keadaan Lembah Pualam Hijau yang disusupi banyak musuh ........."

"Terima kasih Duta Agung ........ tidak ada kata terlambat untuk memberi selamat. Dan kelihatannya penyusupan dan masalah itu telah terselesaikan, benarkah demikian"? Nenggala menjawab sambil bertanya.

"Meskipun benar kita telah berhasil mengenyahkan para penyusup, tetapi Bibi Sian Cu dan juga Paman Su Kiat telah menjadi korban mereka ........ "

"Astaga, apakah mereka ....... mereka ......?" Li Hwa tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Mereka hanya terluka Bibi Li Hwa, hanya luka Bibi Sian Cu memang amat parah. Tetapi mereka telah mempertaruhkan nyawa untuk menjaga kehormatan Lembah Pualam Hijau dengan mati-matian dan gagah berani menempur para penyusup. Apa boleh buat, kejadian hari ini membuat larangan berkelana dan mencampuri urusan Dunia Persilatan bagi Lembah Pualam Hijau terpaksa kucabut" tegas Ceng Liong.

Bisa ditebak, meski ditahan-tahan, tetapi Duta Agung Lembah Pualam Hijau nampak sangat murka, terutama dengan jatuhnya korban jiwa beberapa murid Lembah Pualam Hijau dan terlukanya dua tokoh penting Lembah Pualam Hijau. Tetapi, apakah sebenarnya yang terjadi? Sehebat apakah peristiwa yang menimpa Lembah Pualam Hijau yang legendaris itu hingga larangan berkelana dan larangan mencampuri dunia persilatan terpaksa dicabut kembali oleh Duta Agung? Sebaiknya kita mundur sejenak ke belakang mengikuti peristiwa tersebut:

=====================
Susul menyusul kejadian di luar kebiasaan terjadi di Lembah Pualam Hijau. Dan meskipun terasa seperti berjalan dalam satu skenario, tetapi kejadian-kejadian yang serba kebetulan terjadi dengan keadaan yang seperti saling dukung.

Kejadian pertama sudah tentu adalah upaya tiga tokoh sepuh yang sakti mandraguna yakni: Lamkiong Sek - Naga Pattynam - Wisanggeni yang menyusup sambil membobol benteng barisan gaib Lembah Pualam Hijau. Mereka memang masuk cukup jauh, meski kemudian terpukul mundur dari Lembah Pualam Hijau. Tetapi, siapa sangka karya mereka meski tidak sepenuhnya berhasil tetapi telah membuka peluang bagi menyusupnya tokoh-tokoh lain ke Lembah Pualam Hijau.

Seperti diceritakan dibagian terdahulu, tokoh-tokoh utama Lembah Pualam Hijau sebagian besar mengalami gempuran luar biasa ketika harus mengenyahkan para penyusup yang tangguh. Ketiga penyusup hebat itu adalah Lamkiong Sek, Naga Pattynam dan Wisanggeni. Mereka yang terlibat dalam pertempuran besar itu adalah Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong dan Kiang In Hong, bahkan juga kakak tertua mereka Kiang Siong Tek, si Manusia Suci dari Siauw Lim Sie. Akibatnya, Kiang Siong Tek berhasil membantu adik-adiknya memukul rangkaian gabungan tenaga batin yang dilontarkan Lamkiong Sek, Naga Pattynam dan Wisanggeni.

Meskipun demikian, gabungan tenaga batin itu telah sanggup mengguncang Kiang Cun Le, Kiang Tek Hong dan Kiang In Hong dan mereka butuh waktu untuk memulihkan diri. Bahkan, Kiang Siong Tek sendiri terluka parah dan langsung kembali ke Siauw Lim Sie dengan meninggalkan pesan-pesan terakhirnya untuk Lembah Pualam Hijau dan ketiga adiknya itu.
Sementara lontaran tenaga iweekang gabungan Lamkiong Sek dan kawan-kawannya mampu dilontarkan jauh oleh Kiang Ceng Liong. Meskipun sanggup melontarkan gabungan kekuatan itu, tetapi Ceng Liong sendiri butuh waktu untuk menetralisasi besarnya kekuatan yang menerpanya dan bahkan sebagiannya menerobos masuk kedalam dirinya.

Bukan karena belum sempurnanya dia melatih Ilmu Ciat Lip Jiu (Tangan Pengantar Tenaga), tetapi karena terlalu besarnya tenaga gabungan yang menyerangnya. Untungnya, dia sudah menyelesaikan bagian terakhir dari pendalaman Giok Ceng Sinkang yang disampaikan oleh Koai Todjin melalui cucu muridnya Thian San Giok Li. Itulah yang menyelamatkan Ceng Liong dan ketiga sesepuh Lembah Pualam Hijau lainnya.

Guncangnya kondisi 3 tokoh utama Lembah Pualam Hijau, telah membuka cela yang sangat lebar untuk masuknya tokoh-tokoh lain ke Lembah Pualam Hijau. Karena selain itu, penjagaan juga agak longgar karena para penjaga Lembah disibukkan oleh kedatangan tamu-tamu dari luar Lembah. Tamu-tamu dari luar Lembah, sebagaimana diketahui datang untuk merayakan pernikahan Nenggala dan salah satu tokoh Lembah Pualam Hijau, Kiang Li Hwa. Dan, sebetulnya masih ada sebab lainnya lagi.

Ketika muncul Mahendra dan Gayatri, disusul Bu Hok Lokoay dan Hiong Say Tay Pek San, kemudian juga hadir si Jubah Hijau yang belakangan diketahui adalah Kiang Hauw Lam memberi selamat kepada adiknya Kiang Li Hwa dan Nenggala, tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau segera sadar bahaya. Pada saat itu, Kiang Hong, Tan Bi Hiong dan Kiang Liong yang mengkhawatirkan Duta Agung dan ayah mereka segera menuju ke tempat Duta Agung yang sedang memulihkan diri. Memang, disana ada Kiang Cun Le dan Barisan 6 Pedang Utama, tetapi mereka paham benar, sebagaimana Kiang Tek Hong dan Kian In Hong, kondisi Kiang Cun Le juga belum pulih benar.

Untung memang, masih ada Barisan 6 Pedang utama yang kekuatannya jika digabung sangat sulit mencari tandingannya. Tetapi, musuh-musuh yang datang dan meluruk masuk Lembah adalah musuh-musuh licik yang tidak segan-segan menggunakan cara-cara licik. Karena itu, penjagaan di lokasi Duta Agung perlu sangat diperkuat. Dalam kondisi normal, mereka tentu tidak akan mengkhawatirkan Ceng Liong, tetapi dalam kondisi sedang memulihkan diri?
Mereka bertiga segera bergabung bersama Barisan 6 Pedang yang sedang berjaga di di luar gua rahasia dimana Duta Agung sedang memulihkan diri bersama Kiang Cun Le kakeknya. Meski kondisinya terlihat aman, tetapi mereka paham bahwa gua ini akan menjadi target utama lawan untuk didatangi. Dan mereka memang benar. Tidak menunggu lama, munculah Bu Hok Lokoay, Hiong Say Tay Pek San serta pasangan Mahendra dan Gayatri.

Hanya, merekapun kaget setengah mati setelah melihat di depan gua telah berdiri menanti Kiang Hong dan Tan Bi Hiong suami-istri di temani Kiang Liong dan bahkan didukung oleh Barisan 6 Pedang. Mereka berempat paham belaka sejauh mana kehebatan Barisan 6 Pedang dari Lembah Pualam Hijau, karena dalam pertempuran sebelumnya mereka kalang kabut melawan Barisan tersebut. Seandainya mereka tahu bahwa yang membuat mereka kalang kabut adalah Barisan 6 Pedang lapis kedua, maka tidak dapat dibayangkan kekagetan mereka. Karena di hadapan mereka adalah Barisan 6 Pedang utama, yang merupakan pengawal utama Duta Agung.

Sekali pandang ke-empat pendatang ini segera paham jika maksud kedatangan mereka sulit kesampaian. Mereka diberitahu, bahwa Lembah Pualam Hijau telah mengalami bencana, tokoh sepuh mereka terluka. Tetapi, ternyata kekuatan Lembah Pualam Hijau masih sangat menakutkan. Dan terbukti. Dalam bentrokan pertama saja, kekuatan sihir dan ilmu silat Mahendra dan Gayatri telah bentrok keras dan sangat jelas mereka kalah melawan suami-istri Kiang Hong dan Tan Bi Hiong.

Melawan suami-istri yang sedang mengkhawatirkan keadaan Lembah mereka dan juga anak sulung mereka, membuat Kiang Hong dan Tan Bi Hiong berlaku keras dan kehilangan rasa welas asihnya. Ilmu dan jurus mematikan dari khasanah ilmu Lembah Pualam Hijau segera terlontar, dan Mahendra dan Gayatri sudah jatuh dibawah angin. Tak pelak lagi, dalam waktu tidak lama mereka akan segera jatuh terkalahkan.

Sementara Bu Hok dan Hiong Say, begitu bentrok dengan Kiang Liong mendapati bahwa lawan mereka itupun bukanlah lawan ringan. Jika satu lawan satupun, salah seorang dari mereka pasti kalah, meski dengan selisih yang tidak jauh. Karena itu, pertempuran mereka berlangsung dengan ke-empat penyusup pada akhirnya mencari jalan untuk melarikan diri. Sudah jelas, tujuan mereka jauh dari kemungkinan untuk berhasil. Alias bakalan gagal total.
Dan memang begitu akhirnya. Ketika Mahendra dan Gayatri terluka parah ditangan Kiang Hong dan Tan Bi Hiong, Bu Hok dan Hiong Say telah melesat untuk pergi melarikan diri.

Sementara Mahendra dan Gayatri diampuni, terutama karena hari itu adalah pesta meriah perkawinan di Lembah Pualam Hijau. Hanya saja, baik Bu Hok, Hiong Say maupun Mahendra dan Gayatri telah diberitahu secara tegas oleh Kiang Hong. Bahwa jika tidak mengundurkan diri dari rimba persilatan, maka seusai pesta di Lembah Pualam Hijau, mereka akan dicari untuk mempertanggungjawabkan pengacauan hari ini. Dan pada saat itu, bakalan tidak ada ampun buat mereka berempat. Maka berlalulah ke-empat penyusup itu dengan membawa luka.

Kejadian di tempat lain yang lebih seru. Seperti diketahui, Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat sekeluarnya dari arena upacara pernikahan, segera menuju kamar khusus bagi Duta Agung di gedung yang terpisah. Disana memang ditinggalkan Barisan 6 Pedang lapis kedua yang setelah bertugas menjemput barang antaran dari Thian San Pay segera kembali ditempatkan di ruang itu.

Tetapi, adalah lokasi ini yang justru menerima kunjungan "tak diharapkan" dari musuh-musuh yang sangat berbahaya. Ketika memasuki gedung tersebut dan menuju ke lantai 2 dimana kamar khusus Duta Agung terletak, mereka disambut dengan pertempuran ramai dan nampak seimbang. Pertempuran yang ramai dan seru antara Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau melawan 3 orang Pendeta Budha yang nampaknya beraliran Tibet. Pertempuran tersebut sangat seru dan nampak berlangsung secara seimbang, menggambarkan betapa hebat para pendatang yang sanggup mengimbangi Barisan 6 Pedang.

Sebagaimana diketahui, Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau terdiri dari 3 lapis. Lapis pertama adalah Penjaga dan Pengawal Duta Agung Lembah Pualam Hijau. Kemanapun Duta Agung bertugas ke luar, selalu wajib ditemani dan dikawal oleh Barisan 6 Pedang ini. Barisan 6 Pedang utama ini, selisih kemampuannya tipis saja dibandingkan dengan Duta Agung, tetapi sangat efektif untuk melawan musuh dalam jumlah yang lebih besar.

Lapis kedua, adalah mereka yang bertugas di dalam Lembah, khusus menjaga Ruangan Khusus Duta Agung. Untuk tugas-tugas ke luar yang tidak melibatkan Duta Agung biasanya adalah Barisan ini yang mengawal. Jika dibandingkan, maka Barisan ini masih dibawah kemampuan Barisan utama, tetapi dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama Lembah, kemampuan mereka tipis saja. Dan barisan ketiga, adalah Barisan yang masih sedang berlatih, biasanya diisi oleh tokoh-tokoh berusia lebih muda dan lebih banyak bertugas di dalam lembah.

Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat pada akhirnya berjaga di sekitar lokasi pertempuran. Hanya, tidak lama kemudian mereka kedatangan penyusup yang lain lagi. Kali ini seorang pemuda yang sempat munculkan diri di ruang resepsi pernikahan, yakni Janaswamy. Begitu mendekati lokasi pertempuran dan melihat papan merek yang bertuliskan "Ruangan Duta Agung", Janaswamy menduga, dalam ruangan itulah Ceng Liong berada. Secara otomatis dia melangkahkan kaki menuju ruangan itu. Tetapi, sudah barang tentu Sian Cu dan Su Kiat tidak akan mengijinkan Janaswamy memasuki ruangan khusus tersebut.

Adalah Thio Su Kiat yang memapaknya:

"Sahabat, perlahan dulu. Tempatmu bukan disini"

Sambil berseru demikian Thio Su Kiat telah menghentakkan lengannya mengarah ke Janaswamy. Segelombang angin serangan yang sangat kuat telah menerjang dengan cepat. Hebat Su Kiat, dalam beberapa bulan belakangan dia telah maju pesat. Serangannya telah berisi hawa murni Giok Ceng Sinkang yang lebih keras dan lebih kuat dibandingkan sewaktu berada di markas Thian Liong Pang. Tetapi, di lain pihak Janaswamypun bukan lawan lemah (Bersambung)
 
BAB 12: Kembalinya Lembah Pualam Hijau
1 Kembalinya Lembah Pualam Hijau

Dengan terkekeh-kekeh aneh dia menyambut serangan Su Kiat:

"Dukkkkk" dan bukannya Janaswamy yang kaget, tetapi Su Kiat yang kaget. Sewaktu di Thian Liong Pang dahulu, dia merasa masih lebih kuat dari Janawasmy atau setidaknya seimbang, karena Janaswamy yang sering nampak seperti ugal-ugalan dan tidak pernah serius itu. Tetapi sekarang, setelah dia maju demikian jauh di Lembah Pualam Hijau, heran benar karena kekuatan Janaswamy justru jika tidak salah, berada di atas kekuatannya sekarang ini.
Sementara itu, Janaswamy tidak begitu perduli dengan siapa menang dan siapa kalah melawan Su Kiat. Kedatangannya ke Lembah Pualam Hijau sebetulnya tidak jahat-jahat amat. Karena memang, niat utamanya hanya melihat-lihat dan mengganggu isi Lembah Pualam Hijau. Dia tidak memiliki niat yang sama dengan Naga Pattynam ataupun Lamkiong Sek dan Wisanggeni yang telah melatih dirinya sampai mengalami kemajuan pesat seperti dirinya sekarang. Tidak. Dia tidaklah seambisius ketiga kakek itu. Ganjalannya dengan Lembah Pualam Hijau lebih sebagai urusan orang-orang lain yang kebetulan dekat atau menjadi kawannya.

Tetapi, setelah berada di Lembah Pualam Hijau dan melihat-lihat isi Lembah yang sangat terkenal dan populer itu, timbul niatnya untuk mengambil "kenang-kenangan" dari sana. "Jalan-jalan" Janawasmy ke Lembah Pualam Hijau telah membawa dirinya menuju kamar kerja yang dikhususkan bagi Duta Agung. Dan melihat kamar khusus itu, selera "mengambil" kenang-kenangan Janawasmy dari Lembah Pualam Hijau tertuju kesana. Entah apa yang ada dalam pikirannya pada saat itu untuk diambil nanti sebagai kenang-kenangan.
Tetapi kini, dia dihalangi oleh Thio Su Kiat. Orang misterius yang dikenalnya sebagai murid Pangcu Thian Liong Pang yang terlalu serius dan tidak pernah mau bergaul dengan warga Thian Liong Pang. Kesannya terhadap Su Kiat tidak terlalu manis, meski juga tidaklah terlalu mengganggunya. Mereka memang belum pernah bentrok secara langsung. Belum pernah berhadap-hadapan dalam arena perkelahian. Fakta bahwa Su Kiat mengkhianati Thian Liong Pang tidaklah terlalu mengganggu Janaswamy. "Bukan urusanku" pikirnya.

Tetapi, sekarang dia ditandingi oleh Su Kiat dan dihalangi memasuki kamar kerja Duta Agung. Sesuatu yang baginya di hari depan akan disombong-sombongkannya. Maka timbul rasa kesalnya karena dihalangi:

"Hmmmmm, engkau si pengkhianat Thian Liong Pang rupanya" ujarnya sambil terkekeh-kekeh mengetahui dia masih lebih menang dibandingkan lawannya itu. Hal yang menimbulkan rasa senang baginya, sekaligus menimbulkan harapan untuk "mengambil" sesuatu dari kamar kerja Duta Agung.

Tetapi Su Kiat sama sekali tidak terpancing dengan ocehan Janaswamy. Dengan tenang dan kalem dia berkata:

"Perbuatan saudara Janaswamy bukannya perbuatan orang rendah? Menyusup dan berniat mencuri serta mengotori rumah orang"?

"Siapa mau mencuri? Aku paling-paling mengambil sebuah benda kenang-kenangan dari ruangan si Jago Nomor 1 di Tionggoan ....... hehehehe ....." jawab Janaswamy yang memang dikenal angin-anginan, malah sering ngoceh dengan logika yang tidak tersusun dengan rapih. Orang lain menduga dia sedikit gila ...... Tapi, begitulah Janaswamy. Dia tidak terganggu dengan tuduhan apapun yang dilontarkan kepadanya, kesenangan dan keisengannya adalah karakternya.

"Mengambil secara diam-diam, apa bedanya dengan mencuri"? bertanya Su Kiat masih tetap tenang dalam sikapnya. Meski dia sempat kaget karena Janaswamy telah maju begitu pesat kepandaiannya saat itu.

"Kalau mencuri, kalian tidak akan sempat tahu saat aku mengambilnya. Tapi kalau mengambil, jelas beda. Bukankah pada saat ini kalian-kalian sebagai penghuni Lembah menyaksikan ....... itu bedanya ...... hehehe ...." kembali Janaswamy menjawab seenak perutnya sendiri.

"Hmmmmm sejak dahulu engkau memang sudah kelihatan sedikit kurang waras ....." tanda Thio Su Kiat.

"Baguslah jika engkau tahu, karena sekarang nampaknya sudah lebih kurang waras lagi dibandingkan dahulu ........ hahahaha" benar-benar Su Kiat mati kutu menghadapi gaya bercakap Janaswamy yang memang kacau balau.

"Berbicara denganmu tiada manfaatnya sama sekali. Lebih baik silahkan saudara keluar dari gedung ini dan kembalilah ke ruangan dalam untuk menjadi tamu kami yang baik" bujuk Su Kiat akhirnya.

"Aku hanya ingin melihat-lihat kedalam sana, paling-paling ngambil sebuah benda buat kenang-kenangan ....." Janaswamy berkata sambil menunjuk ruang kerja Duta Agung, diiringi dengan pandang matanya yang seperti kurang waras itu.

"Jika begitu, maafkan jika kami dengan sangat terpaksa mengusirmu sebagai penyusup yang tidak punya sopan santun dari Lembah Pualam Hijau kami ini" Thio Su Kiat terpaksa berkata keras.

"Apakah kalian memiliki cukup kemampuan untuk mengusirku pergi dari sini ...."? Janaswamy menantang

"Lembah Pualam Hijau pasti mampu mengusir orang usil sepertimu ..." Kiang Sian Cu yang berdiam diri sejak masuknya Janaswamy akhirnya bersuara.

"Hahaha Nyonya cantik, engkau juga akan mengusirku pergi ...."? Janaswamy semakin melantur dan menantang orang lain. Dan Thio Su Kiat melihat Janaswamy semakin menjadi-jadi, setelah saling melirik dan menganggukkan kepada Kiang Sian Cu akhirnya memutuskan mendesak Janaswamy untuk pergi dengan kekerasan.

"Pergi kau ......" sekali lagi Su Kiat menyerang dan kini dengan menggunakan ilmu-ilmu ampuh baik yang dipelajari dari Kiang Tek Hong gurunya maupun yang dipelajari belakangan di Lembah Pualam Hijau. Sebagaimana diketahui, Su Kiat hanya diajari ilmu-ilmu Lembah Pualam Hijau oleh Tek Hong gurunya, dan tidak diajari ilmu-ilmu dari aliran lainnya. Namun, ilmu-ilmu rahasia temuan dan ciptaan gurunya termasuk ilmu rahasia yang ditemukan gurunya terakhir, juga diajarkan kepadanya.

Karena itu, Su Kiat mampu bersilat dengan menggunakan Giok Ceng Chap Sha Sin Kun, sebuah ilmu wajib bagi para penghuni Lembah Pualam Hijau. Kekuatan Giok Ceng Sinkangnya juga sudah mau jauh dan sudah memadai menjadi salah satu tokoh utama Lembah Pualam Hijau. Meskipun Su Kiat masih belum menamatkan latihannya dengan Giok Ceng Sinkang dalam godokan Ranjang Pualam Hijau. Hal yang mengherankan dirinya, karena dia bukan bermarga "Kiang", tetapi diijinkan mencoba Ranjang Pusaka itu.

Tetapi dengan semua kemajuannya tersebut, menghadapi Janaswamy saat ini dia masih belum sanggup mengendalikan. Malahan dia terkesan kalah seusap dengan Janaswamy yang menghadapinya secara santai, bergerak cepat dan berkekuatan besar itu. Untungnya, penguasaan ilmunya memang lebih murni dan jelas lebih teguh dan kokoh dibanding Janaswamy yang ilmunya sudah bercampur aduk. Selain itu, yang mengherankannya adala, dia merasa betapa kekuatan iweekang Janaswamy sekarang ini selain terasa sudah teramat kuat tetapi sekaligus juga berhawa sangat aneh dan magis. Entah apa sebabnya.

Maka terciptalah arena perkelahian kedua di ruang yang sebenarnya tidak cukup luas di depan kamar kerja Duta Agung. Satu-satunya orang yang masih menganggur dan mengawasi seluruh arena pertempuran dan menjaga kamar kerja Duta Agung adalah Kiang Sian Cu. Sementara pertempuran berjalan dengan seru di dua arena sekaligus, dengan Barisan 6 Pedang masih tetap kokoh dan agak lebih santai dibandingkan ketiga lawannya yang juga bergabung. Tetapi sudah jelas bahwa nampaknya pertempuran mereka bakalan berjalan panjang.

Sementara di arena kedua, Janaswamy yang bersilat dengan gaya ular dengan sudah bervariasi yang sangat beraneka ragam dan penuh hawa sesat serta hawa sihir dihadapi oleh gabungan Giok Ceng Sinkang dengan ilmu-ilmu andalan lain Thio Su Kiat. Harus dikatakan, kedudukan meski nampak seimbang, tetapi lebih berat yang dialami oleh Thio Su Kiat. Untung saja dia telah menempa diri habis-habisan selama lebih setahun terakhir dan membuatnya jadi lebih tangguh dan kokoh.

Pada kondisi pertempuran seperti inilah di dalam ruangan resepsi masuk Kiang Liong yang kemudian memanggil Tham Beng Kui, Kiang Sun Nio dan Tik Hong Peng untuk meninggalkan ruangan tersebut. Kiang Liong bermaksud menambah penjagaan di beberapa titik tertentu di dalam Lembah Pualam Hijau, dan karena itu dia terlebih dahulu ke ruang resepsi memanggil orang baru kemudian ke Gedung tempat kerja tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau.

Seandainya Kiang Liong langsung menuju gedung tersebut, mungkin keadaan akan sedikit berubah. Tapi tidak begitu yang terjadi. Beberapa saat sebelum Kiang Liong, dkk memasuki gedung tersebut, pertempuran antara Thio Su Kiat menghadapi Janaswamy telah semakin sengit. Untuk mengimbangi lawan, Su Kiat telah memainkan Kui In Sin Ciang (Pukulan sakti bayangan setan), yang diwarisi dari suhunya. Ilmu ini adalah ilmu-ilmu rahasia yang telah dikabarkan punah tetapi mampu ditemukan kembali oleh Kiang Tek Hong dan kemudian menggubahnya kembali.

Pukulan-pukulannya sangat bertenaga, cepat dan membingungkan. Tetapi Janaswamy masih tetap sanggup bertahan, terutama dengan cara dan gayanya yang aneh dan penuh hawa magis. Gerakan-gerakan selicin ular diimbangi dengan kekuatan yang sangat besar dan masih ditambah dengan hawa magis yang mempengaruhi perasaan orang. Inilah yang menyulitkan Su Kiat, dan karena itu ilmu Kui In Sin Ciang hanya sanggup membuatnya mengimbangi Janaswamy. Tetapi, itu tidak dalam waktu yang lama. Karena Janaswamy beberapa saat kemudian mampu mempelajari ilmu tersebut dan mulai menutup variasi gerakan jurus-jurusnya.

Dan pada gerakan-gerakan selanjutnya, Su Kiat dengan terpaksa harus berganti kembali dengan ilmu lainnya. Karena pertimbangan hanya dengan kemurnian dan juga kekokohan baru dapat mengimbangi lawan, maka Su Kiat memutuskan menggunakan ilmu-ilmu Lembah Pualam Hijau. Maka diapun mengembangkan Soan Hong Sin Ciang, sebuah ilmu silat yang mengandalkan gerakan cepat membadai dalam bertahan dan terutama menyerang. Dan benar saja, beberapa saat dia sanggup menahan dan membendung serangan Janaswamy, meskipun tidak mampu mendesak lebih jauh.

Akibatnya, pertarungan keduanya menjadi panjang. Sementara pertempuran di arena yang satunya lagi semakin menegaskan betapa Barisan 6 Pedang memang memiliki nama besar dengan alasan yang tepat. Menghadapi 3 tokoh Lhama yang sakti, mereka mampu bertahan rapih dan menyerang lebih tajam dan lebih sering. Kerjasama mereka memang jauh lebih rapih dan saling mengisi, inilah kunci kekuatan mereka. Bukan hanya ampuh melawan 1 atau 2 orang, tetapi bahkan sanggup menahan gempuran banyak orang sekaligus.

Lama kelamaan, kondisi ke-tiga Lhama yang melawan Barisan 6 Pedang mulai lebih banyak bertahan dibandingkan awal pertempuran mereka. Bahkan, belakangan jubah lengan salah seorang Lhama tersebut telah tertebas dan untung tidak memakan daging hidup sehingga mengakibatkan luka. Dan lebih untung lagi, Barisan 6 Pedang tidak mencecarnya untuk mengalahkan atau menjatuhkannya, tetapi memberinya peringatan supaya mundur dari tempat itu. Sayangnya, ketiga Lhama itu keras kepala dan memilih untuk terus dan terus menyerang. Akibatnya, dengan cepat mereka kini jatuh dalam kesulitan karena kerja-sama bertahan dan menyerang dari Barisan 6 Pedang telah menemukan momentum yang tepat. Sewaktu-waktu ke-tiga Lhama tersebut dapat terluka di bawah berkesiutan pedang dan hawa pedang yang bertebaran di arena.

Dan dalam kondisi seperti itulah, tiba-tiba terdengar suara dengusan:

"Hmmmmmm ....."

Suara dengusan itu terdengar berdentang di telinga batin orang. Dan dari semua yang di arena dan sekitarnya, adalah Kiang Sian Cu yang tersentak keras. Hal ini disebabkan orang lain sedang mengerahkan tenaga saktinya, sementara dia sendirian yang masih menganggur dan tegang memperhatikan dua arena pertempuran. Tetapi, dasar tokoh sakti, hanya sepersekian detik dia telah menguasai dirinya, meski kaget karena sadar bahwa seorang tokoh hebat sedang berada di sekitar lokasi tersebut.

Suara yang berdentang lepas dan menggantung adalah tanda seorang tokoh hebat. Tidak banyak tokoh yang sanggup melakukannya, bahkan Sian Cu sendiri masih belum sanggup mencapai tataran itu.

Dan dia tidak perlu menunggu lama, karena tiba-tiba dia melihat seorang Lhama yang nampak berusia sudah lanjut berjalan bagaikan terbang menuju ke pintu masuk kamar kerja Duta Agung. Melihat keadaan tersebut, Kiang Sian Cu telah menggeser posisinya untuk berada tepat di pintu masuk ruangan dan menunggu kedatangan Lhama tua tersebut. Bahkan Sian Cu masih sempat bertanya:

"Hmmmmm, siapa gerangan locianpwee ...."?

Tetapi tokoh tua itu menjawab, sebaliknya hanya mengeluarkan suara dengusan di hidung dan terus melangkah ke arah Kiang Sian Cu. Melihat gelagat yang kurang beres, Sian Cu maju beberapa langkah ke depan dan bersiap. Bersamaan dengan itu, Lhama tua yang datang belakangan mengibaskan tangannya ke arah Kiang Sian Cu yang dengan cepat memapak pukulan tersebut. Dan akibatnya:

"Dukkkkkk .......... "

"Aiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhhhhhhh"

Kiang Sian Cu terdorong sampai 4 langkah ke belakang. Tetapi, terdengar tokoh pendatang baru itu bergumam, tetapi mulutnya sama sekali tidak bergerak:

"Ecccccccchhhhhhh, engkau hebat juga ....."

Dan bersamaan dengan itu, pukulan lebih berat kembali dikerahkannya dan dikebaskan kearah Kiang Sian Cu. Paham bahwa pendatang baru ini adalah tokoh tua yang sakti mandraguna, tidak ragu-ragu Kiang Sian Cu telah mengerahkan segenap kekuatannya yang dihimpun selama puluhan tahun. Sayang memang, dia terlambat menyadari kesaktian tokoh pendatang ini. Jika dia tahu siapa yang datang, maka sejak siang-siang dia telah bersiap. Sekarang, baru pada pukulan terakhir si pendatang dia mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi itupun masih sedikit terlambat. Dan tidak lama kemudian, kembali terjadi benturan hebat, dan kali ini diiringi jeritan Kiang Sian Cu:

"Dukkkkkkkkkkkkkkkk ......."

"Aaaaaaaaaacccccccccccchhhhhhhhhhh ....."

Kiang Sian Cu terdorong kembali sampai dua-tiga langkah untuk kemudian bersandar di pintu masuk. Tetapi, kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Badannya menggelosoh jatuh ke bawah sementara dari mulutnya nampak merembes darah tetapi berusaha ditahannya. Dengan cepat dia berusaha duduk meluruskan nafas dan mengumpulkan kekuatannya, tetapi segera hatinya mencelos. Dia tak mampu mengumpulkan tenaganya dan tidak lama kemudian pingsan.

Sesaat setelah terdengar teriakan kesakitan Sian Cu, Thio Su Kiat yang sadar bahaya melupakan Janaswamy dan datang menerjang ke arah si pendatang baru, seorang tokoh Lhama tua. Tetapi, sayang dia kurang memperhitungkan serangan Janaswamy yang juga sedang membadai kearahnya sendiri. Demi menolong Sian Cu, dia rela melepaskan serangan ke arah si Lhama tua dengan maksud agar sang Lhama tidak melanjutkan serangan ke arah Sian Cu yang sudah terluka.

Dan tiba-tiba terdengar suara lainnya:

"Bukkkkkkkkkkkk ........"

Thio Su Kiat dengan telak terkena pukulan Janaswamy, dan terpukul rubuh sambil muntah darah. Hanya saja, jika Sian Cu masih sempat mencoba bersamadhi, Su Kiat sadar bahwa tenaganya nyaris habis dan karena itu dia tidak berusaha untuk melakukan aktifitas apapun.
Di sisi lain, tiba-tiba Lhama tua yang baru datang berkelabat ke atas pintu, dan begitu turun, di tangannya tergenggam sebilah pedang pualam hijau yang di masing-masing sisinya bertuliskan: Lembah Pualam Hijau. Pedang ini biasanya merupakan pertanda kehadiran Duta Agung Lembah Pualam Hijau, baik di dalam Lembah ataupun jika sedang bertamu dan menginap di suatu tempa di luar sana. Seperti ketika Ceng Liong menginap di Pesanggrahan Bu tong Pay beberapa waktu lalu, maka di atas pintu kamarnya ditempatkan Pedang Pualam Hijau itu. Dan tempat tersebut akan dijaga ketat oleh Barisan 6 Pedang.

Begitu mengambil Pedang pertanda tersebut, Lhama tua itu kemudian berkelabat ke arah Barisan 6 Pedang yang sekarang telah meninggalkan 3 Lhama lainnya dan menjaga Su Kiat serta Sian Cu. Melihat posisi Barisan tersebut, sang Lhama merenung sejenak dan akhirnya sambil menarik nafas berkata:

"Sampaikan kepada Jago Nomor 1 di Tionggoan, Pedang ini akan dikembalikan jika dia memiliki cukup keberanian mencariku kelak. Dia harus mempertanggungjawabkan keberanian dan kemampuannya. Jika tidak, maka Pedang ini akan kusimpan untuk selama-lamanya. Hmmmmm, Jago Nomor 1 ........."

Setelah berkata demikian, dengan hanya melirik ke arah Janaswamy, dia segera memerintah 3 Lhama lainnya. Dan sekejap kemudian merekapun menghilang. Dan Janaswamypun berlaku serupa. Di salah satu pintu ruangan lainnya, dia mengambil sebuah hiasan pintu, sebuah Pualam Hijau bercahaya cemerlang, dan setelahnya meninggalkan pesan yang sama:

"Benda ini kenang-kenangan buatku Janaswamy ...... Menyenangkan jika benda ini menjadi tanda mata kehadiranku di Lembah Pualam Hijau ....."

Dan Janaswamypun berkelabat pergi. Belum beberapa lama, masuklah Kiang Liong dan rombongannya dan mendapati jika Kiang Sian Cu, Thio Su Kiat dan dua orang dari 6 Barisan Pedang sedang terluka. Adalah luka Kiang Sian Cu yang paling parah, baru Thio Su Kiat, sementara luka 2 orang dari Barisan 6 Pedang terluka luar belaka, hasil pertempuran terakhir dengan 3 Lhama yang dibantu Lhama tua yang datang belakangan sebelum mereka merat.
Bukan main marahnya semua pendatang begitu tahu apa yang terjadi. Bukan. Bukan terutama diambil perginya Pedang Pualam Hijau, pedang pertanda kehadiran dan kedudukan Duta Agung. Bukan pula diambilnya hiasan Pualam Hijau, yang sebetulnya adalah "Pusaka Pualam Hijau" yang punya khasiat mengobati luka-luka luar jika direndam dengan air. Bukan semua itu. Benda-benda itu dapatlah diambil atau direbut kembali. Tetapi, terlukanya 2 tokoh Lembah Pualam Hijau dan harga diri Lembah Pualam Hijau yang memberatkan banyak orang.

Inilah yang merupakan sumber kegeraman tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau. Memang benar, mereka semua sedih dengan terlukanya Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat. Terutama kondisi Kiang Sian Cu yang sangat parah, kondisi terakhirnya bahkan masih belum diketahui. Selain karena Duta Agung masih dalam pemulihan, juga 3 tokoh tua lainnya sedang terluka atau terguncang, sementara tokoh lainnya sedang di pesta pernikahan. Sungguh keadaan yang membuat banyak orang marah, geram, gelisah yang terbalut secara bersamaan.

Dan untungnya, terlukanya Kiang Sian Cu dan Thio Su Kiat berselang tidak lama dengan selesainya upaya Duta Agung Kiang Ceng Liong untuk mentralisasi kondisi tubuhnya yang kelebihan tenaga. Kondisi yang diperolehnya untuk menyambut dan menggiring kekuatan 3 orang kakek Sakti yang menyusup masuk ke dalam Lembah Pualam Hijau sehari sebelumnya. Inilah yang membuat akhirnya Kiang Liong, Kiang Hong, Tan Bi Hiong dan tokoh Lembah Pualam Hijau lainnya bernafas lega.

Ceng Liong dengan cepat memeriksa keadaan Kiang Sian Cu. Dia mengernyitkan kening dan beberapa saat kemudian mengalirkan tenaga dalamnya kepada Kiang Sian Cu. Hanya beberapa saat untuk kemudian berkata:

"Paman Liong, tolong papah Bibi Sian Cu ke Ranjang Pualam Hijau. Mudah-mudahan kondisinya masih bisa bertahan dengan bantuan tenaga penyembuh Giok Ceng tadi ..."
"Baik Duta Agung ......"

Dengan cepat Kiang Liong memapah tubuh kakak perempuannya itu dan kemudian berkelabat lenyap. Sepeninggalnya, tidak lama kemudian muncul Kiang Hong dan Tan Bi Hiong, tetapi mereka tidak dapat berkata sesuatupun melihat Ceng Liong sedang membantu Su Kiat. Dan benar saja, beberapa saat kemudian Su Kiatpun sadar. Kondisinya memang berbeda dengan Sian Cu.

"Duta Agung, terima kasih ......."

"Su Kiat, sudahlah ....... istirahatlah"

Ceng Liong kemudian berkata lebih jauh:

"Su Kiat, setelah hari ini, selama setahun kuwajibkan engkau melatih diri di Ranjang Pualam Hijau ...."

"Duta Agung ....."

Hampir bersamaan, Thio Su Kiat, Kiang Kong dan Tan Bi Hiong berseru bersamaan. Maklum, keadaan mereka akhir-akhir ini memang banyak membingungkan. Termasuk kondisi dan posisi Su Kiat. Thio Su Kiat adalah orang pertama yang "bukan marga Kiang" dan bukan keluarga dekat (suami atau istri marga Kiang) yang menjadi Duta Hukum. Hanya saja, tidak ada protes dari Kiang Sin Liong, Kiang Cun Le dan tokoh tua Lembah Pualam Hijau lainnya. Ceng Liong maklum akan keadaan ini. Dia melihat tanda tanya besar dari sinar mata ibunya, ayahnya dan juga Su Kiat.

"Hari ini, biarlah kuumumkan bahwa Thio Su Kiat adalah Kiang Su Kiat"

"Duta Agung, apa ...... apa maksudmu ...."? Su Kiat terbata-bata bertanya. Bingung.

"Kiang Su Kiat, Duta Hukum, kepastian soal keturunanmu sudah kuketahui sejak lama. Suhu, kong-kong, dan semua paman kakek telah mengetahui kondisimu. Dan karena itu setahun terhitung sejak esok hari engkau harus berlatih di ranjang Pualam Hijau, harap tidak mengecewakan harapan leluhur"

"Siap Duta Agung ........" Thio Su Kiat atau kini Kiang Su Kiat nampak berlutut sambil mengucap terima kasih untuk kemudian berlalu dari ruangan.

"Ayah, Ibu, harap menghantarkan Kiang Su Kiat ke Ranjang Pualam Hijau. Biarlah nanti kong-kong yang menjelaskan semuanya. Karena keadaan darurat hari ini, terpaksa tindakan dan keputusan ini kuambil secara cepat ....."

Dan tidak lama kemudian, Kiang Hong dan Tan Bi Hiong menyusul Kiang Su Kiat untuk diantarkan ke tempat Duta Agung yang kini di jaga Kiang Cun Le dan Barisan 6 Pedang. Sementara Ceng Liong sebagaimana dikisahkan di depan, tampil di pesta nikah untuk memisahkan Tek Hoat dan Hauw Lam. Mendapati Hauw Lam terancam bahaya maut, Ceng Liong turun tangan. Dan kondisi itu menambah kegeraman dalam hatinya, karena begitu ruwet masalah yang dihadapi Lembah Pualam Hijau akhir-akhir ini. Dan akhirnya, diapun memutuskan Lembah Pualam Hijau akan kembali berkelana.

========================
"Cuwi sekalian, hari ini Lembah Pualam Hijau berpesta untuk pernikahan Saudara Nenggala dan Kiang Li Hwa ...... untuk itu Lembah Pualam Hijau menyampaikan terima kasih atas kunjungan cuwi sekalian. Sekaligus, sekali lagi seluruh keluarga Lembah Pualam Hijau menyampaikan selamat bagi saudara Nenggala dan Kiang Li Hwa ....." Demikian Kiang Ceng Liong pada akhirnya menyampaikan ucapan selamat dan sekaligus ucapan terima kasih kepada semua tamunya. Siapapun yang mengenal Kiang Ceng Liong dari dekat, pastilah bisa mengetahui jika Duta Agung muda ini sedang menahan "hatinya".

"Jika kami selaku Duta Agung Lembah Pualam Hijau nampak seperti kurang hormat kepada cuwi sekalian, harap dimaafkan. Karena beberapa waktu belakangan Lembah Pualam Hijau mendapatkan serangan gelap dan mengharuskan beberapa tokohnya untuk mengumpulkan kembali semangat dan kekuatannya. Bahkan dalam acara hari inipun, kita tahu bersama orang-orang tak bertanggungjawab itu kembali bekerja secara menggelap. Karena itu, kami mohon maaf sekali lagi kepada para tamu dan uncangan, juga kepada kedua mempelai yang berbahagia. Maafkan jika Lembah Pualam Hijau terkesan menjadi tuan rumah yang kurang ramah ....." jelas sekali Ceng Liong sedang "kesal" dan bahkan "marah" dengan keadaan terakhir Lembah Pualam Hijau.

Sebetulnya dia bermaksud untuk memberikan "penghormatan" dan hari "istimewa" buat keluarga paman kakeknya - Kiang Tek Hong yang cukup lama mengalami persoalan yang luar biasa beratnya. Apa daya, pernikahan Kiang Li Hwa bibinya, anak Kiang Tek Hong justru dimanfaatkan musuh-musuh Lembah Pualam Hijau sebagai ajang untuk mengacau dan menyusup. Dan para penyusup itu bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, sebaliknya tokoh-tokoh hebat dunia persilatan dewasa ini. Dan fakta ini sungguh bikin gusar Duta Agung muda ini.

"Duta Agung, semua persoalan yang terjadi belakangan ini bagaimanapun tidak dapat dipersalahkan kepada Lembah Pualam Hijau. Kita paham belaka jika kelompok perusuh itu memang memiliki ikatan dendam dengan kita sekalian. Karena itu, masalah disini, sama dengan di Bu Tong Pay, adalah masalah kita bersama" terdengar seorang tokoh tua berbicara dengan aksen dan lafal yang agak asing dan aneh, meskipun lancar dan dimengerti semua orang. Yang berbicara adalah Wali Nenggala, guru dan kakeknya sekaligus yang bernama Jayeng Reksa, Bintang Sakti Membara.

"Betul Duta Agung, masalah hari ini bukannya masalah yang berdiri sendiri. Dan nampaknya, kita semua akan selalu mengalami gangguan serupa selama kita tidak segera menyambut tantangan dan penghinaan yang mereka buat selama ini. Termasuk kejadian yang menimpa Bu Tong Pay dan Kaypang beberapa waktu lalu ......" terdengar Souw Kwi Song yang mewakili Siauw Lim Sie bersuara. Setelahnya suasana hening sejenak, hanya terdengar semilir angin yang bertiup kencang. Keheningan makin terasa karena mereka sedang berdiri di ruang terbuka. Sampai akhirnya terdengar suara Liong-i-Sinni berbicara:

"Amitabha ......... Cuwi sekalian, apa yang disampaikan Duta Agung sangat benar, tetapi yang disampaikan sahabat sekalian juga tidak salah. Keadaan setelah pertempuran terakhir (Di Thian Liong Pang) ternyata tidaklah membaik, sebaliknya nampak semakin berbahaya akhir-akhir ini. Tampilnya kekuatan-kekuatan baru, termasuk ilmu-ilmu mengerikan dari jaman lampau, sungguh sangat menggelisahkan. Jika pinni tidak keliru, masalah akan semakin memburuk dalam waktu dekat ini. Munculnya ilmu-ilmu mujijat masa lalu, pasti berkaitan dengan tokoh-tokoh baru yang sangat hebat dan juga mencurigakan. Tampilnya kembali Lembah Pualam Hijau memang tidak terhindarkan, keputusan Duta Agung sudah sangat tepat.........."

Percakapan dan pengungkapan pendapat 3 tokoh yang sakti tadi membuat banyak orang tercenung dan berpikir. Semua yang dikatakan memang tidak keliru. Baik tentang keterlibatan Lembah Pualam Hijau, situasi yang terus memburuk, serta tampilnya tokoh-tokoh baru membekal ilmu hebat dari masa silam. Maka tampil kembalinya Lembah Pualam Hijau menjadi sebuah keharusan.

Percakapan yang menghangat tetap tidak membuat Kiang Tek Hong dan keluarganya menjadi tertarik memberikan pendapat. Bagaimanapun Kiang Tek Hong paham, bahwa keberadaannya dahulu sebagai Thian Liong Pangcu meski dalam tekanan orang, bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Tetapi, karena percakapan itu melibatkan banyak orang termasuk tokoh-tokoh Lembah Pualam Hijau, merekapun beranjak mendekatkan diri ke lingkaran pusat percakapan itu. Entah lalai atau bukan, ataupun karena yakin dengan kondisi Kiang Hauw Lam yang tertotok, mereka membiarkannya berada di luar kisaran percakapan.

Sementara itu, ada seorang anak gadis lain yang merasa sangat penasaran dengan Kiang Hauw Lam. Gadis itu adalah Cui Giok Li. Dia penasaran dan ingin membuktikan bahwa Hauw Lam adalah Lie Hong Po yang pernah menolongnya dan juga sekaligus mulai menarik hatinya. Sejak majunya Kiang Hauw Lam, Giok Li sudah sangat penasaran, karena Kiang Hauw Lam benar-benar mirip dengan kawan seperjalanannya yang bernama Lie Hong Po. Dan, dia tahu betul, bahwa Lie Hong Po itu juga lihay bukan main. Dia telah membuktikannya beberapa kali.

Maka, ketika semua orang tertarik perhatiannya kepercakapan para tokoh, tiada lagi seorangpun yang memperhatikan ketika Giok Li mendekati tempat dimana Kiang Hauw Lam tertotok roboh. Bahkan kakaknya Giok Tin, juga tidak memperhatikan apa yang dikerjakan adiknya, saking asyiknya mengikuti kisah dunia persilatan yang semakin menegang akhir-akhir ini. Maka perlahan-lahan Giok Li mengayunkan langkah mendekati tubuh Kiang Hauw Lam tanpa menarik perhatian seorangpun dari mereka yang berada di kisaran percakapan.
Di dekatinya tubuh itu. Dan betapa tercengangnya dia ketika menemukan kenyataan bahwa memang, Kiang Hauw Lam yang hebat itu bukan lain adalah Lie Hong Po yang dikenalnya dengan baik. Untuk semakin meyakinkan dirinya, Cui Giok Li menyentuh badan Kiang Hauw Lam yang terbaring menyamping untuk lebih mengenali wajahnya. Dan pada akhirnya dia terkesima menyaksikan wajah itu ......:

"Tidak salah lagi, dia ini saudara Lie Hong Po. Tetapi, mengapa dia dipanggil Kiang Hauw Lam? Jangan-jangan Duta Agung telah salah mengenali orang"? Desis Giok Li nyaris tidak terdengar siapapun. Dan memang, nampaknya tak ada seorangpun yang memperhatikan apa yang dikerjakan Giok Li, dan desisannya tenggelam diantara diskusi para tokoh di arena ruangan terbuka itu.

Sementara itu, sesuatu yang tidak disangka-sangka siapapun tiba-tiba terjadi. Apa gerangan hal yang mengejutkan dan tidak disangka itu? Sebagaimana diketahui, ketika tertotok oleh Ceng Liong dengan menggunakan Ceng Thian Sin Ci, Hauw Lam sedang dipenuhi kekuatan sakti yang berlipat ganda. Karena memang, begitulah ciri khas Cit Sat Sin Ciang. Tetapi, totokan Ceng Liong, sebenarnya tidaklah membuyarkan tenaga sakti berlimpah itu, tetapi menahannya untuk tidak dilontarkan keluar.

Tidak disangka oleh Ceng Liong dan juga oleh Giok Li, tetapi menjadi keuntungan Kiang Hauw Lam, adalah apa yang dilakukan Giok Li. Dia merasa penasaran dan ingin memastikan siapa Hauw Lam atau tepatnya Lie Hong Po itu. Maka, diapun menyentuh lengan orang yang dikiranya Hong Po. Tiba-tiba, lengan yang penuh hawa itu tergetar, dan sebagai seorang yang terlatih, secara otomatis tenaga dalamnya terlatih untuk melawan getaran itu. Dan entah bagaimana, kuncian totokan di lengan Kiang Hauw Lam terlepaskan secara sangat tidak disengaja. Di luar dugaan Ceng Liong, di luar kehendak Giok Li dan tanpa pernah dipikirkan sebagai jalan keluar oleh Hauw Lam.

Ada beberapa saat waktu yang dibutuhkan Kiang Hauw Lam untuk memulihkan tenaganya. Membaurkan kebali tenaga hebat yang tertahan tadi, dan kemudian ketika Giok Li masih terkesima menemukan kenyataan bahwa Hauw Lam dan Hong Po adalah orang yang sama, ketika dia masih mendesis:

"Acccccch, benar dia. Memang benar dia .......... bagaimana ini'?

Sedang Giok Li berdesis-desis kebingungan, tiba-tiba dia merasa tubuhnya kesemutan. "Celaka" pikirnya. Tapi sudah terlambat, sesaat sebelum tenaga penolaknya bekerja, tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas. Dan dia tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Bahkan dia tidak tahu apa yang terjadi hingga dia siuman. Satu hal yang pasti, sesaat sesudah Giok Li kehilangan kesadaran, tubuh yang tadinya tertotok roboh telah mencelat bangkit sambil memondong tubuh Giok Li dan kemudian dengan cepat berkelabat menuju pintu keluar Lembah Pualam Hijau.

Diskusi yang menarik dan menegangkan, telah membuat banyak orang lupa diri dan kehilangan kewaspadaan. Adalah Giok Tin yang pertama kali sadar apa yang terjadi. Dia heran, kenapa adiknya tiba-tiba tidak berada di sisinya. Dan diapun mulai mencari-cari. Tapi sungguh alangkah kagetnya ketika dia melihat tubuh Lie Hong Po (demikian dia mengenalnya) tiba-tiba meletik bangun dan pada saat bersamaan tubuh adiknya Giok Li menjadi lemas. Hong Po kemudian memondong tubuh adiknya dan berkelabat cepat menuju pintu keluar Lembah Pualam Hijau ....

"Astaga ........ dia membawa dan menyandera adikku ......" teriak Giok Tin refleks dan cemas melihat Lie Hong Po yang tadi tertotok, tiba-tiba bangun dan membawa serta tubuh adiknya Cui Giok Li.

Teriakan Giok Tin megagetkan semua orang. Semua orang tiba-tiba sadar, tetapi keadaannya sudah terlambat. Ketika mereka sadar, tubuh Hong Po atau Kiang Hauw Lam yang ternyata tidak cedera sedikitpun telah mencelat cukup jauh mendekati pintu keluar Lembah Pualam Hijau. Sadar keadaan yang berbahaya, tiba-tiba 4 tubuh telah mencelat dengan sangat cepatnya, terutama 3 tubuh yang berada di barisan terdepan. Mereka adalah Duta Agung Kiang Ceng Liong, Siangkian Giok Lian dan Liang Mei Lan. Sementara di barisan paling belakang adalah Cuik Giok Tin.

Adalah Mei Lan yang bergerak paling cepat dan pesat, sedikit meninggalkan Ceng Liong dan Giok Lian. Dan melihat sudah ada 4 orang yang beralari mengejar, tidak ada seorang lagipun tokoh yang turut mengejar. Semua cukup paham, ketiga atau empat orang yang mengejar tadi, memiliki kapasitas yang sangat memadai untuk mengejar Kiang Hauw Lam.
Dan memang, mereka tidak salah duga. Urusan mengejar, setelah Liong-i-Sinni sudah pasti muridnya Liang Mei Lan yang paling kompeten. Tidak berapa lama, Mei Lan telah berhasil melampaui dan merintangi jalan lari Kiang Hauw Lam tidak jauh dari pintu keluar Lembah Pualam Hijau. Dan dalam hitungan 3,4 detik kemudian, Kiang Hauw Lam telah dikepung oleh 4 orang muda tersebut. Tetapi, Hauw Lam nampaknya telah memperhitungkan hal tersebut, karena itu dia nampak tenang-tenang saja. Bahkan dia memandangi 4 orang yang mengitarinya itu.

"Lie Hong Po atau siapapun adanya engkau, sungguh tak tahu malu engkau menyandera adikku ...." terdengar Giok Tin membentak dengan nada suara penuh kemarahan sekaligus kekhawatiran.

"Nona Giok Tin, engkau tenang saja. Aku tidak akan sampai hati melukai Giok Li, kecuali jika 3 pendekar ini berkeras merintangi langkahku ..."

"Kau ..... kau ..... sungguh tidak tahu berterima kasih ...." teriak Giok Tin murka. Kecewa atas kepercayaan mereka terhadap Lie Hong Po, dan juga atas nasib adiknya yang dia tahu benar telah mulai menyukai Lie Hong Po itu. Dan Lie Hong Po seterusnya tidak menggubris Giok Tin lagi. Tetapi sebaliknya dengan tajam memandang Duta Agung Kiang Ceng Liong dan kedua nona lainnya.

Ada beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya Kiang Ceng Liong memutus ketenangan tersebut dengan menarik nafas panjang dan kemudian berkata:

"Hauw Lam, engkau boleh pergi, tetapi tinggalkan Nona Giok Li di tempat ini ...."

"Hmmmmm, Duta Agung, aku sedang berada di kandang macan. Maka aku tidak akan melepaskan Nona Giok Li sampai aku benar-benar merasa cukup aman untuk berlalu" tegas Lie Hong Po yang berkeras menahan Giok Li sebagai jaminan keamanannya.

"Engkau, engkau sungguh tak tahu berterima kasih ...." teriak Giok Tin mendengar Hauw Lam berkeras membawa Giok Li sebagai jaminan.

"Tenanglah Nona Giok Tin, biarkan aku mengurusnya ...." Ceng Liong mencoba menyabarkan Giok Tin yang meradang melihat adiknya dijadikan sandra. Dan setelah itu, Ceng Liong kembali berkata kepada Hauw Lam:

"Jika demikian, apa keinginanmu Hauw Lam ..."?

"Aku harus membawa Nona Giok Li sampai aku merasa aman untuk melepaskannya"

"Sampai dimana engkau akan membawanya baru merasa aman ..."?

"Sampai aku merasa aman ....."

"Apa engkau tidak merasa kalau hal itu terasa berlebihan Hauw Lam ..."?

"Melawan kalian bertiga aku memang pasti kalah, tetapi aku merasa punya cukup waktu untuk melukai Nona ini ....." Kiang Hauw Lam berkata sambil menggigit bibir. Betapapun terlihat, kondisi seperti ini tidak begitu membuatnya senang. Apalagi, sedikit banyak, dia mulai menyukai gadis kecil yang kini berada dalam pondongannya.

Dan gertakannya memang kena sasaran. Baik Giok Tin maupun Ceng Liong untuk sejenak kehilangan akal untuk menghadapi masalah tersebut. Sementara itu, Mei Lan dan Giok Lian nampak saling pandang dan slaing mengangguk. Nampaknya mereka akan segera bergerak. Tetapi, belum lagi mereka bergerak terdengar Hauw Lam berkata dengan suara tegas:
"Sekali salah seorang diantara kalian bergerak, maka aku tak menjamin gadis ini akan kalian dapatkan secara utuh"

Dan gertakannya kembali berhasil. Setidaknya berhasil menahan Giok Lian dan Mei Lan untuk bergerak menghajarnya secara bersamaan.

"Baiklah Hauw Lam, apa yang kau inginkan sekarang ..."?

"Sederhana, aku akan melepaskan Nona ini setelah aku berada di tempat yang aman. Itu saja ..."

"Apa jaminannya Hauw Lam ..."? kejar Ceng Liong

"Nyawa dan kehormatanku menjadi jaminannya ......" Tegas Kiang Hauw Lam dengan penuh keyakinan

"Aku akan memburumu hingga keujung dunia jika mengapa-apakan adikku Hong Po ..." Cui Giok Tin menyela dengan gelisah

"Nona, betapapun aku berhutang budi kepada Nona Giok Li. Itulah sebabnya aku berani menjamin dengan nyawa dan kehormatanku ...." tukas Hauw Lam

"Baiklah ...... aku percaya kepadamu Hauw Lam ..." Ceng Liong akhirnya memutuskan

"Duta Agung, benarkah ...."? Hampir bersamaan Mei Lan, Giok Lian dan Giok Tin berseru, nyaris tak percaya.

"Ya, benar ...." Ceng Liong membenarkan dengan suara tegas. Sementara Kiang Hauw Lam yang menyandera Giok Li tidak kelihatan girang dengan keputusan Ceng Liong, wajahnya datar dan biasa saja. Seakan dia telah menduga keputusan Ceng Liong tersebut sebelumnya.

"Baiklah, jika demikian aku berangkat. Jangan coba-coba mengikuti jalanku....." Kiang Hauw Lam berkata dan mulai memutar tubuhnya untuk berlalu.

"Hauw Lam, perlahan ...." Ceng Liong menahan perjalanan Hauw Lam, yang segera berbalik kembali sambil bertanya ...

"Ada apa lagi Duta Agung ..."?

Nampak Ceng Liong termenung sejenak untuk kemudian berkata dengan suara yang jelas sekali tidak punya keyakinan penuh atas apa yang akan dikatakannya:

"Aku ingin memberitahumu, jika engkau bersedia, aku akan mampu dan bersedia untuk memulihkanmu kembali Hauw Lam ....."

Setelah berkata demikian Ceng Liong berdiam diri untuk menanti reaksi Hauw Lam. Sementara Hauw Lam sendiri sejenak terdiam, nampaknya kaget dengan tawaran Ceng Liong. Tapi hanya sejenak. Karena beberapa saat kemudian wajahnya kembali mengeras dan berkata:
"Maaf Duta Agung, aku tak mengerti maksudmu ........" dan sambil berkata demikian, Kiang Hauw Lam berlalu diiringi tarikan nafas panjang dari Kiang Ceng Liong
 
2 Kembalinya Lembah Pualam Hijau



"Jalan hidup Nona Giok Li benar-benar sesuai dengan tebakan dan garisan yang disampaikan kepadaku oleh Sucouwmu sendiri Nona Giok Tin" terdengar Ceng Liong berkata dengan pandangan yang mengarah ke arah menghilangnya Kiang Hauw Lam, suaranya sendiri seperti sebuah desisan, tetapi jelas terdengar Mei Lan dan Giok Tin.

"Maksud Duta Agung ...."? Giok Tin bertanya dengan suara kaget dan antusias sambil memandang Kiang Ceng Liong yang masih terpesona oleh kejadian barusan. Yakni, dia menutuk rubuh Hauw Lam, Giok Li menyelamatkan Hauw Lam dan membawanya sebagai sandera, tetapi yang justru berakibat lain di masa mendatang. Dan semua itu telah disampaikan oleh Koai Todjin kepadanya secara ajaib.

"Nona Giok Tin ......" sambil membalikkan badan dan menghadapi Cui Giok Tin, Kiang Ceng Liong kemudian berusaha menjelaskan

"Tahukah engkau jika aliran iweekang adikmu telah meningkat pesat tetapi tidak lagi di jalur latihannya yang murni perguruanmu"?

"Rasanya ......... rasanya tidak mungkin Duta Agung ...." menjawab Giok Tin dengan ragu, tetapi seingatnya memang, tenaga Giok Li entah mengapa meningkat secara pesat sampai bahkan melampauinya.

"Cobalah engkau ingat secara lebih teliti Nona Giok Tin ...." Ceng Liong mendesak Giok Tin untuk mengingat-ingat.

"Tapi ..... tapi memang, aku bersama toako Beng Kui sudah curiga. Beberapa kali, terasa jika kekuatan iweekang adikku meningkat secara pesat. Tapi, dia sendiri nampaknya tidak menyadari hal tersebut ...... Duta Agung, tahukah engkau apa yang sebenarnya terjadi ..."? Giok Tin tiba-tiba kaget dan sadar, sesuatu sudah dan sedang terjadi terhadap adiknya. Dan keadaan ini membuatnya menjadi lebih khawatir lagi.

"Menurut dugaanku, dan juga sesuai goresan sucouwmu, Nona Giok Li memang tidak menyadarinya. Kakek Koai Todjin yang terhormat memang mengirimkan kalian kepadaku, selain membawa pesan untuk menyempurnakan Giok Ceng Sinkangku, tetapi salah satunya untuk keperluan Nona Giok Li. Tetapi, dia orang tua juga mencatat bahwa takdir Giok Li nampaknya bukan dengan aliran murni perguruannya ........" sampai disini Kiang Ceng Liong berhenti sejenak. Tetapi, Cui Giok Tin yang sedang khawatir berat, mencecarnya ....

"Bagaimana selanjutnya Duta Agung ...."?

Ceng Liong yang paham akan kasih sayang kakak beradik sangat paham dengan kekhawatiran Giok Tin. Karena itu, untuk tidak berlama-lama, dia akhirnya berkata:

"Nona Giok Tin, sabarlah. Secara detail, sucouwmu tidak menjelaskan. Hanya, dia berpesan, jika memang Giok Li berpisah dariku dari Lembah Pualam Hijau, maka dia pergi memenuhi takdirnya. Dia akan muncul dengan kekuatan yang juga luar biasa, tidak kalah dari Nona dan kakak seperguan nona, tetapi sudah dari jalur perguruan berbeda. Maka, sucouwmu menitipkan Lembah Salju Bernyanyi, terutama kepadamu dan kepada toakomu ......."

"Tapi, tapi, bagaimana nasib adikku selanjutnya Duta Agung ..."? Giok Tin masih belum bisa menenangkan dirinya, meski kini dengan akrab Mei Lan telah menggenggam tangannya untuk menguatkannya.

"Nona, apakah engkau tidak percaya dengan perhitungan sucouwmu ..."?

"Jelas, jelas aku percaya Duta Agung ...."

"Jika demikian, yakinlah. Adikmu memang dibawa pergi orang, tetapi lebih banyak manfaatnya daripada celakanya ...... aku menjamin dan memastikan hal ini ..." tegas Kiang Ceng Liong untuk memberi jaminan dan ketenangan kepada Giok Tin.

"Baik, baik Duta Agung, aku percaya kepadamu dan kepada sucouwku ...." akhirnya Giok Tin berkata, namun dengan suara terisak, sambil dirangkul dan ditenangkan oleh Liang Mei Lan. Dia percaya memang, tapi tetap dia khawatir dengan nasib adiknya.

"Baiklah, suatu saat engkau akan membuktikan kalimatku tadi Nona Giok Tin. Sekarang, mari kita kembali ke Lembah Pualam Hijau ......"

Tetapi, baru selangkah Ceng Liong bergerak, tiba-tiba kewaspadaannya yang sudah sangat tinggi, membisikinya sesuatu. Diapun berhenti bergerak dengan tiba-tiba. Hal ini tentunya mengejutkan Mei Lan dan Giok Tin.

"Ada apa koko ...."? Mei Lan yang melihat keadaan Ceng Liong segera menegur, tetapi melihat keadaan Ceng Liong yang sedang memusatkan pikiran dan perhatian, diapun akhirnya diam dan sadar apa yang sedang terjadi. Dia memberi isyarat kepada Giok Tin dan kemudian waspada sambil menyiapkan dirinya.

Ada beberapa saat Ceng Liong dalam keadaan seperti itu, dan Mei Lan tahu kalau Ceng Liong sedang bercakap dengan seseorang dari jarak yang tidak dekat. Karena itu dia tidak mengganggu, tetapi membiarkannya dengan bersiaga disekitar tubuh kekasihnya itu. Dan benar saja, tidak berapa lama nampak Ceng Liong telah melepas konsentrasinya untuk kemudian berkata:

"Mari kita masuk ke Lembah ...."

Dan merekapun berlalu dari tempat itu, untuk kemudian masuk kembali ke Lembah Pualam Hijau. Melihat keadaan dan keseriusan Ceng Liong, Mei Lan tidak banyak bertanya. Selain karena masih ada Giok Tin disitu, diapun yakin jika keadaan telah memungkinkan, kekasihnya itu pasti akan menceritakan apa yang terjadi barusan. Benar saja, tidak berapa lama dia menerima "suara" dari Kiang Ceng Liong yang berbicara dengan ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh:

"Lan Moi, seseorang yang kesaktiannya tidak dibawahku baru saja menghubungiku, tetapi nampaknya dia tidak bermaksud jahat. Malam ini, dia ingin bercakap denganku dan dengan kakakmu Tek Hoat. Sepeninggalku nanti, kuharap engkau bersiaga di ruangan pertemuan, mana tahu ada lagi tokoh lain yang mau main gila ...."

"Tetapi, siapa gerangan tokoh itu koko ..."? Mei Lan kaget dengan penjelasan Ceng Liong tentang tokoh lain yang tidak dibawah kemampuan kekasihnya itu.

"Dia belum menjelaskan siapa dia, tetapi dia menegaskan datang dengan maksud baik"
"Tetapi, kita harus berhati-hati koko ...."

"Benar, tetapi di sekitar Lembah ini, tidak akan ada orang lain yang berani bermain gila pada saat seperti ini Lan Moi. Aku akan memberimu isyarat jika malam nanti bersama Tek Hoat kami butuh bantuan ....."

"Baiklah jika demikian koko .....", dan percakapan merekapun berhenti karena mereka sudah mulai memasuki area Lembah Pualam Hijau.

Dan karena hari sudah gelap, malam telah menjelang, para hadirin yang tadinya berpesta dan mengikuti pertarungan di ruang terbuka, kini telah menghadapi santapan malam yang disiapkan penghuni Lembah. Mereka belum memulai acara santapan malam karena masih menunggu Duta Agung, Liang Mei Lan dan Cui Giok Tin yang keluar Lembah mengejar Kiang Hauw Lam.

Dan malam itu, Duta Agung menemani Nenggala dan Li Hwa beserta seluruh tamu dalam acara makan malam. Dan tanpa diminta, dalam kesempatan yang lebih santai dan meriah dimalam itu, lebih meriah dari siang harinya yang dikacaukan banyak pendatang gelap, Kiang Ceng Liong kembali menyampaikan selamat kepada sepasang mempelai. Sambil juga tentu saja berterima kasih kepada semua tamu dan undangan. Dan dibagian paling akhir, Duta Agung Kiang Ceng Liong menegaskan .........., bahwa terhadap penyusupan, pencurian dan penyerangan yang dilakukan terhadap Lembah Pualam Hijau, telah membuat dia memutuskan Lembah Pualam Hijau akan kembali ke Dunia Persilatan.

Penegasan itu tidak mengurangi kemeriahan pesta, karena memang semua yang hadir adalah insan dunia persilatan. Pesta tetap berlangsung, tetapi Kiang Ceng Liong memiliki tugas-tugas lain pada malam itu. Selain membantu kakeknya untuk mengobati Kiang Sian Cu dan Kiang Su Kiat, dia juga harus membereskan banyak urusan. Karena itu, malam itu dia tidak menghabiskan pesta hingga jauh malam, tetapi membatasi diri dan kekuatannya untuk tugas-tugas lain. Yang jelas, sejak hari itu, malam itu, Lembah Pualam Hijau bersiap kembali memasuki kisruh di Dunia Persilatan Tionggoan.

===================

Sementara orang-orang lain berpesta, Kiang Ceng Liong memilih waktu yang tepat untuk keluar dari ruangan yang sedang meriah itu bersama dengan Liang Tek Hoat. Hanya Mei Lan dan Giok Lian yang paham, bahwa kekasih-kekasih mereka itu diundang bertemu dengan orang misterius di luar Lembah Pualam Hijau. Dan secara otomatis, kedua gadis cantik yang luar biasa lihay itu, telah menyiapkan diri untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kiang Ceng Liong tidak berbicara sepatah katapun kepada Tek Hoat, tetapi berlari dengan kecepatan tinggi ke pinggang sebelah lebih ke bawah dan nampaknya menuju ke tepian sungai. Sebagaimana diketahui, Gunung Kembar yang menjadi bagian dari pegunungan Taliang-san, membelah kedua gunung yang nampak kembar dari kejauhan. Sungai Li atau Sungai Kemala memiliki aliran yang sangat deras di musim hujan, dan deretan tebing-tebing tinggi yang menghiasi perjalanan sungai ini mengarah ke Propinsi Kuangsi.

Dengan memilih jalanan menanjak ke bawah dan kemudian memotong ke arah sungai, benar saja, tak lama kemudian Ceng Liong tiba di sebuah tebing yang agak terpencil dan bisa dipastikan sangat jarang dikenal atau diketahui orang keberadaannya. Terlebih, karena menjorok ke bawah sampai ke permukaan aliran sungai, ada lebih kurang 200 atau 300 meter dalamnya. Dan di tebing curam itulah Kiang Ceng Liong dan Tek Hoat mengarah. Dan bahkan kini, mereka berdua telah berdiri sambil menunggu orang yang mengundang mereka untuk datang menemui.

Tidak lama bagi keduanya untuk menyadari bahwa orang yang meminta mereka bertemu sudah berada disekitar tempat mereka berdiri. Dan karena diminta datang, keduanya berdiam diri guna menunggu pihak pengundang untuk berinisiatif terlebih dahulu. Mereka tidak perlu menunggu lama:

"Terima kasih atas kedatangan Duta Agung dan Pendekar Liang Tek Hoat. Kami sadar tidaklah mudah untuk meminta kesediaan jiwi pendekar untuk bertemu dengan kami. Apalagi, bertemu dengan kami orang-orang yang sama sekali tidak dikenal di dunia persilatan Tionggoan, karena itu maafkan gangguan kami dan terima kasih untuk penghargaan jiwi berdua ........" terdengar sebuah suara yang sangat lembut, tanda pemilik suara itu pastilah seorang perempuan.

Dan entah bagaimana caranya, dari balik rimbunan pepohanan di samping kiri kedua anak muda itu telah berjalan keluar dua orang. Orang pertama adalah seorang pria setengah tua, paling tidak berumur 50 tahunan ditemani seorang wanita yang wajahnya hampir sama dengan pria setengah tua tadi. Dandanan mereka sangat sederhana, tetapi bersih dan tertata rapih. Dilihat dari wajah mereka yang nyaris sama, bisa dipastikan kedua orang itu kakak beradik. Tidak ada yang luar biasa dari penampilan mereka, kecuali kepercayaan diri mereka yang nampak sangat menonjol, meskipun mereka tetap bersikap hormat dan merendah.

Sekali pandang Kiang Ceng Liong paham, kedua orang itu bukan orang jahat. Selain itu, langkah kaki mereka yang sangat wajar dan ringan adalah pertanda mereka adalah orang-orang berisi dan jika menjadi lawan, mestinya bukanlah lawan yang mudah untuk dihadapi. Dari dandanan, nampaknya mereka berasal dari tempat yang jauh, karena mereka berdandan dengan cara yang rada-rada berbeda dengan orang dan pengelana Tionggoan pada umumnya. Sungguh diluar dugaannya mereka berdua diundang oleh manusia sejenis ini, yang tidak dia bayangkan sebelumnya. "Apa maunya"? pikir Ceng Liong dalam hati.

"Selamat berjumpa jiwi locianpwee. Rasanya kurang hormat menjumpai jiwi locianpwee di tempat ini. Karena itu, selaku orang muda, kami bersedia untuk menghunjuk hormat kepada jiwi locianpwe di tempat ini. Tapi, jika jiwi locianpwe bersedia, perkenankan kami jiwi locianpwe untuk mengunjungi Lembah Pualam Hijau dan bercakap disana ..." Ceng Liong mengulangi undangannya kepada kedua pendatang yang sekilas dilihatnya bukanlah orang jahat itu.

"Terima kasih, terima kasih atas keramahanmu itu Duta Agung. Kami berdua tidak bermaksud untuk mempertontonkan diri. Sudah hampir 3 bulan terakhir kami berdua berkelana dan pada akhirnya kami menemukan informasi bahwa ada 3 orang yang menguasai ilmu mujijat Pek Lek Sin Jiu. Dua orang adalah Duta Agung dan saudara Liang Tek Hoat, sementara seorang lagi sudah meninggal dunia. Yakni guru dan yang mewariskan ilmu tersebut kepada Duta Agung dan saudara Liang Tek Hoat. Apakah kami benar ...?" kembali terdengar suara empuk dari perempuan pendatang yang kini berdiri berhadapan dengan Ceng Liong dan Tek Hoat.

Ceng Liong dan Tek Hoat saling pandang, dan keduanya mengangguk membenarkan apa yang disampaikan dan ditanyakan oleh si perempuan pendatang tadi. Dan melihat Ceng Liong dan Tek Hoat mengangguk, kembali si perempuan menyambung:

"Baiklah, karena Duta Agung dan saudara Tek Hoat telah bersedia berjumpa kami dan bahkan bersedia menjawab pertanyaan kami, maka untuk saling hormat, perkenankan kami memperkenalkan diri. Saya yang rendah bernama Kwan Siok Bi, sementara yang datang bersama saya adalah toako Kwan Siok Bu. Kami berdua datang dari tempat yang sangat jauh di Laut Selatan, bahkan lebih jauh dari Lam Hay Bun sekalipun. Tepatnya kami berasal dari Pulau Awan Putih ......"

"Pulau Awan Putih ..... Pulau Awan Putih ...." Ceng Liong mendesis dan saling pandang dengan Liang Tek Hoat. Tetapi, dari pandang matanya, Tek Hoat nampaknya tidak punya memori atau pengetahuan sedikitpun tentang Pulau Awan Putih. Sementara Ceng Liong nampak bingung, antara ingat dan tidak ingat.

"Acccccch, Pulau Awan Putih memang tidak berkelana di Rimba Persilatan Tionggoan Duta Agung. Pulau kami adalah Pulau misterius yang tidak pernah dicapai dan dikunjungi orang, dan sudah hampir 100 tahun terakhir tidak ada gejolak apapun disana. Wajar jika Duta Agung dan saudara Tek Hoat tidak pernah mendengar nama Pulau kami tersebut ...." terdengar Kwan Siok Bi kembali berkata.

"Tetapi, jika sampai paman dan bibi Kwan sampai berkunjung dan meminta bertemu dengan kami, pastilah ada sesuatu yang penting. Apakah benar tebakanku tersebut Bibi Kwan Siok Bi ...."? terdengar Liang Tek Hoat bertanya. Sejak tadi dia berdiam diri, karena Ceng Liong juga tidak mengatakan sedikit apapun tentang undangan kedua orang ini dan maksud bertemu mereka.

"Tepat sekali, engkau menebak dengan tepat Liang Tek Hoat. Tapi, bolehkah biar kita lebih leluasa bercakap, dan agar mengurangi kemungkinan diintip orang lain, kita berpindah ke ujung tebing di depan sana untuk bercakap"? kembali Kwan Siok Bi yang berbicara, dan memang nampaknya dia yang menjadi juru bicara dari kedua orang yang mengundang Ceng Liong dan Tek Hoat itu.

Atas undangan tersebut, Ceng Liong dan Tek Hoat mengiyakan saja. Dan tidak berapa lama, keempat orang itu kini duduk saling berhadapan di tebing curam yang berjarak lumayan jauh dari barisan pepohonan. Dan di tempat itulah percakapan mereka kembali dilanjutkan.

"Untuk memperjelas maksud kami menemui Duta Agung dan saudara Tek Hoat, maka perkenankan kami menceritakan hal ihwal Pulau Awan Putih, Lam Hay Bun dan Pulau Naga Api secara ringkas. Ketiga pulau itu adalah tiga tempat misterius yang jarang berkelana di Daratan, meski leluhur mereka berasal dari daratan ......" sampai disini, jelas Ceng Liong dan Tek Hoat menjadi tertarik. Apalagi karena terkait dengan asal-usul Lam Hay Bun yang selama ini meski telah berkawan tetapi tetap misterius bagi mereka. Dan mereka menghunjuk wajah serius mengikuti penuturan Siok Bi lebih jauh:

"Dahulu kala, lebih 300 tahun silam ada 3 orang jago rimba persilatan yang berubah menjadi Bajak Laut karena dikejar-kejar tentara kerajaan. Tidak lama merekapun menjadi 3 pimpinan utama Bajak Laut karena kesaktian mereka dan mengumpulkan banyak sekali harta kekayaan. Suatu ketika, mereka mendarat di sebuah pulau yang pada malam sebelumnya terlihat kilat menyambar-nyambar dan dentuman-dentuman menggelegar padahal cuaca cerah. Paginya, cahaya kilat dan dentuman menggelegar itupun reda, dan baru mereka berani mendarat dan turun melihat-lihat keadaan pulau yang sebenarnya tidak terlampau besar itu. Panjang pulau itu sendiri tidak lebih dari 1 km, dan lebih banyak dataran daripada gunung-gunungan, dan pohonanpun sangat jarang. Ada apa gerangan disana? Ketika turun kedarat, anak buah ketiga tokoh bajak ini menemukan adanya 3 jenasah tokoh persilatan yang ketiga-tiganya berusia sudah sangat lanjut tetapi telah binasa. Tetapi, takdir seperti telah diatur sesudah kehidupan ke tiga orang jago itu. Mereka adalah jago-jago tanpa lawan di daratan dan selalu bertarung memperebutkan jago nomor satu di sebuah pulau terpencil, sampai akhirnya ketiganya tewas bersamaan ....."

Sampai disini nampak Kwan Siok Bi menghentikan kisah atau ceritanya untuk sejenak sambil memperhatikan Ceng Liong dan Tek Hoat yang nampak menyimak secara serius kisah atau ceritanya tentang 3 pulau misterius di Laut Selatan itu. Nampak Kwan Siok Bi menarik nafas sesaat, untuk kemudian memutuskan melanjutkan kisah yang nampak semakin menarik kedua tamunya:

"Pada dasarnya, ke 3 pimpinan bajak itu memang pendekar persilatan yang terdesak menjadi pimpinan Bajak. Mendengar info tentang 3 pendekar yang mati saling bunuh itu, merekapun turun untuk melihat lebih jauh. Dan benar saja, dari catatan yang tertinggal sebelum ketiga orang itu tewas dalam pertempuran segi tiga, merekapun beroleh warisan dari 3 jago tanpa tanding di daratan waktu itu. Mereka bertiga, secara kebetulan memakamkan masing-masing 1 jago dan mewarisi ilmu dari jago silat yang dimakamkannya. Untuk diketahui, ketiga ilmu yang diwariskan melalui kitab ilmu silat kepada 3 bajak itu adalah: CIT SAT SIN CIANG, PEK LEK SIN JIU dan PAN YO SANKONG (Tenaga Luar Mujijat Menghindar dan Menggempur Pukulan) lengkap dengan TOA PAN YO HIAN KONG (Tenaga Dalam Mujijat)"

"Apa ....... jadi? Cit Sat Sin Ciang dan Pek Lek Sin Jiu berasal dari sana ...."? Tek Hoat menjadi tegang dan menjerti mendengar asal-usul ilmu andalannya Pek Lek Sin Jiu dan bahkan juga Cit Sat Sin Ciang. Sebenarnya Ceng Liong sama terkejutnya, tetapi dia membiarkan Tek Hoat yang mengekspresikan keterkejutan mereka berdua.

"Biarlah aku menjelaskan lebih jauh, karena masih banyak kisah lain yang akan berujung pada persoalan di Tionggoan dewasa ini ......" Kwan Siok Bi menukas dan Ceng Liong serta Tek Hoatpun mengangguk mengiyakan.

"Secara kebetulan, Pendekar Lamkiong memilih Cit Sat Sin Ciang; Kemudian leluhur Kwan kami memilih Pan Yo Sankong dengan Toa Pan Yo Hian Kong sementara leluhur Lauw memilih Pek Lek Sin Jiu. Masing-masing mereka mewarisi ilmu dari 3 jago luar biasa itu, lengkap dengan kisah pertarungan di pulau dan bahkan belakangan juga termasuk ulasan tentang ilmu andalan lawan. Secara otomatis, sejak saat itu ketiga Pimpinan Bajak ini menjadi lebih tekun melatih silat daripada menjadi bajak laut. Dan bahkan merekapun melanjutkan tradisi mengadu ilmu yang diwarisi dari kitab 3 orang tua yang binasa karena bertarung itu. Dan setelah 4 tahun, sudah empat kali mereka bertarung dengan posisi yang selalu seimbang. Tetapi, efek dari persaingan itu membuat rasa persahabatan mereka menipis dan setelah pertarungan ke-lima merekapun berpisah. Leluhur keluarga Lamkiong memilih menetap dan membentuk Perguruan Lam Hay Bun di gugusan pulau, sementara leluhur keluarga Kwan memilih Pulau Awan Putih, sebuah Pulau misterius yang sulit didatangi, dan leluhur keluarga Lauw menetap di Pulau Naga Api. Dan sejak itu, setiap setahun sekali mereka melanjutkan tradisi pertandingian mencari siapa yang terkuat diantara Cit Sat Sin Ciang, Pek Lek Sin Jiu dan Pan Yo Sankong. Dan hasilnya, 5 tahun berturut-turut tak seorangpun diantara mereka yang mampu menangkan yang lainnya, alias selama 10 kali bertanding mereka selalu dalam keadaan seri. Tidak ada yang mampu memenangkan siapapun, alias mereka selalu setanding ... "

Kembali Kwan Siok Bi berhenti sejenak, tetapi kali ini tidak ada pertanyaan dan selaan dari Ceng Liong dan Tek Hoat yang menunggu kelanjutan kisah itu:

"Pertarungan segitiga itu terus berlangsung seiring dengan semakin renggangnya hubungan antar pulau. Pada generasi kedua dari pertarungan tersebut, Lam Hay Bun telah menjadi semakin besar. Tetapi, Pulau Awan Putih dan Pulau Naga Api telah berkembang pesat, meski hanya perguruan keluarga, tetapi posisi untuk masuk ke pulau itu luar biasa sulitnya. Apalagi, karena ternyata banyak rahasia mematikan yang disimpan oleh pulau itu sebagai berkah alam. Karena itu, pertarungan akhirnya tidak melibatkan banyak orang, tetapi tetap beberapa orang saja. Dan baru di generasi ketiga, ketika ketiga pulau itu memajukan jago-jago puncaknya mulailah terkuak hasil hasil capaian dan hasil ulasan dari 3 jago yang mewariskan ilmu mujijat tersebut. Pada generasi ketiga, ke tiga jago dari 3 pulau adalah jago-jago berbakat yang berhasil menguasai hingga ke puncaknya ilmu warisan 3 jago tua yang binasa dahulu kala. Ketika terakhir kali adu kepandaian, mereka sadar kalau situasinya pelik: Cit Sat Sin Ciang pada puncaknya bisa mengendalikan Pek Lek Sin Jiu, tetapi Cit Sat Sin Ciang dapat dikendalikan oleh gabungan Pan Yo Sankong dan Toa Pan Yo Hian Kong (Tenaga Mujijat), hanya saja Tenaga Mujijat dapat diatasi oleh Pek Lek Sin Jiu. Itulah akhir dari tanding 3 pulau yang sangat terkenal legendanya di Laut Selatan itu"

"Hmmmmmm ........ begitu kiranya ceritanya ...." Tek Hoat mendesis antara percaya dan tidak percaya, tetapi tetap dia kagum dengan kisah hebat tersebut. Karena penasaran diapun bertanya setelah melirik Ceng Liong:

"Terus, bagaimana selanjutnya ....."?

"Sebetulnya, ulasan kelebihan dan kekurangan Pan Yo dan Pek Lek Sin Jiu telah diulas oleh jago Cit Sat Sin Ciang dalam kitabnya, demikian juga sebaliknya. Ketika akhirnya, generasi ketiga mereka mendiskusikan hal tersebut, mereka baru sadar bahwa ujung pertarungan mereka adalah MAUT. Pada akhirnya mereka menetapkan "gencatan-senjata" alias tidak saling mengganggu dan tidak saling menyerang. Pada pertemuan itu, keluarga Pulau Naga Api dan Pulau Awan Putih memutuskan untuk melarang anak buah dan keluarganya mengunjungi Pulau lainnya agar tidak terlibat konflik. Hanya Lam Hay Bun, karena merupakan sebuah perguruan, tetap berkelana di dunia persilatan meskipun dengan cara yang sangat tertutup dan misterius. Perjanjian mereka bertiga mencakup, dilarang menggunakan Ilmu Andalan ketiga Pulau ketika berkelana, sebab bakalan menarik banyak orang untuk mencari ketiga Pulau itu. Amanat ini juga berasal dari 3 jago tua yang bertarung hingga binasa, karena konon ketiga ilmu itu begitu mujijat pada jamannya dan diinginkan banyak pendekar. Dengan perjanjian itu, maka Pulau Naga Api dan Pulau Awan Putih, memang tidak pernah berkelana, kecuali Lam Hay Bun, tetapi diikat untuk tidak menggunakan Cit Sat Sin Ciang ......"

Dan sampai disini, mulailah Ceng Liong dan Tek Hoat paham meski belum seutuhnya apa sebenarnya niat dan maksud kedua kakak beradik she Kwan ini menemui mereka berdua. Tetapi, belum keluar sepatah katapun dari Ceng Liong dan Tek Hoat.

"Menurut perjanjian, jika salah satu ilmu tersebut keluar ke daratan, maka pemilik pulau asal ilmu itu yang harus bertanggungjawab. Tetapi, beberapa waktu lalu, kami mendapatkan kabar dari nelayan pulau kami bahwa muncul berita adanya pukulan Pek Lek Sin Jiu di daratan. Dan ketika kami memutuskan menyelidiki ke Tionggoan, lebih kaget lagi ketika kami menemukan kenyataan bahwa ternyata jejak Cit Sat Sin Ciang juga begitu kentara. Apakah artinya kedua pulau itu telah mengkhianati perjanjiannya? Inilah yang mengagetkan kami, dan itu jugalah sebabnya kami menyelidiki ke Lam Hay Bun. Tetapi, anehnya, Lam Hay Bun sendiri menyatakan ilmu itu telah lenyap dari Lam Hay Bun sejak 100 tahun silam. Dan ketika memasuki Pulau Naga Api, Pulau itu telah tidak berpenghuni, nampaknya alur lava pijar di bawah pulau telah membakar pulau itu beserta penghuninya. Tetapi, jelasnya bagaimana, kamipun belum sepenuhnya mengerti ....." demikian akhirnya Kwan Siok Bi menyelesaikan kisahnya tentang misteri 3 pulau di Laut Selatan tersebut.

"Apakah jiwi locianpwe mencurigai jika kami adalah bagian dari keluarga Pulau Naga Api tersebut ...."? bertanya Tek Hoat akhirnya.

"Awalnya memang demikian, tetapi setelah bertemu kalian berdua, kami percaya bahwa kalian berdua tidak ada hubungan dengan para penghuni Pulau Naga Api itu" Kwan Siok Bi menjawab.

"Jiwi locianpwe, suhu pernah berkisah kepadaku, bahwa kitab pusaka Pek Lek Sin Sjiu dihadiahkan kepadanya oleh seorang tua yang sedang sekarat di sebuah pulau kosong di Laut Selatan. Orang tua itu sendiripun, tidak berkata sesuatu apapun tentang kitab itu, kecuali bahwa suhu diminta hanya mempelajari hingga tingkat ke-7 saja dan baru muridnya yang bisa mempelajari hingga tingkat ke-8 ...." terang Tek Hoat.

"Anak muda, jangan salah sangka. Bukan maksud kami untuk menghakimi para penghuni Pulau Naga Api. Sebaliknya, kami justru berprihatin atas mereka, karena nampaknya suatu bencana besar telah menimpa mereka. Dan hanya seorang tetua mereka yang selamat mewariskan Pek Lek Sin Jiu kepada suhu saudara. Hanya, karena Cit Sat Sin Ciang sudah tampil ke permukaan dan seperti tiada hubungan dengan Lam Hay Bun, dan Pek Lek Sin Jiu juga sudah kembali ke Tionggoan, maka Pulau Awan Putih nampaknya terbebas dari perjanjian-perjanjian leluhurnya ratusan tahun lalu ...." Kwan Siok Bi berhenti sejenak, tetapi Tek Hoat telah melanjutkan:

"Kalau begitu, kami mengucapkan selamat kepada Pulau Awan Putih. Karena keluarga Pulau Awan Putih sudah dapat berkelana secara bebas di Tionggoan ......"

"Terima kasih anak muda. Tetapi, kegelisahan kami adalah: Nampaknya Cit Sat Sin Ciang digunakan di jalan yang salah, sementara untuk saat ini belum tentu ada orang yang sanggup menaklukkannya, termasuk Pek lek Sin Jiu yang kalian latih saat ini ..." terang Kwan Siok Bi.

"Maksud locianpwe ...."? tanya Tek Hoat minta penegasan.

"Anak muda, jangan keliru. Cit Sat Sin Ciang yang digunakan seorang anak muda yang dilepaskan Duta Agung tadi baru masuk ke tingkat ke-5, belum sanggup dia memainkan hingga tingkat ke-7. Dan, Cit Sat Sin Ciang yang muncul pada 100 tahun lalu dan mengacaukan dunia persilatan, hanya sampai tingkat-7 dan tidak sanggup memainkan tingkat pamungkasnya. Sementara Pek Lek Sin Jiu yang kalian berdua kuasaipun baru tingkat 8 dan belum kulihat sanggup memainkan tingkat pamungkasnya ....." Siok Bi menjelaskan dan menghasilkan kekagetan yang luar biasa bagi Tek Hoat dan Ceng Liong. "Benarkah demikian ...." begitu kira-kira di benak keduanya.

Melihat kedua anak muda itu kurang percaya, Kwan Siok Bu yang sejak tadi berdiam diri telah berkata:

"Anak muda, Tenaga Mujijat kami dalam tataran teratas kalah seusap dari Pek Lek Sin Jiu. Jika engkau kurang percaya dengan penjelasan Bi Moi, engkau boleh menyerangku dengan Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 dan aku akan memunahkannya ..."

Tek Hoat saling pandang dengan Ceng Liong. Dan ketika Ceng Liong melihat kesungguhan di mata Siok Bu dan Siok Bi, diapun akhirnya mengiyakan ketika Tek Hoat berniat mencobanya:

"Baiklah, aku akan mencoba untuk menyerang dengan Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 ...." ujarnya sambil menyiapkan diri.

"Jangan tahan tenagamu anak muda, percayalah, aku sanggup menahan" ujar Siok Bu

Dan Tek Hoat yang penasaran, benar telah mengerahkan ilmunya pada tingkat ke-8 untuk kemudian melepaskannya. Dan di udut sebelah, nampak Siok Bu bergerak-gerak aneh dan dari kedua telapak tangannya seperti mengalir arus kekuatan yang bergerak secara mujijat. Dan, inilah Pek Lek Sin Jiu tingkat ke-8 ......

Blar ....... blar ........... kilatan-kilatan cahaya menghambur kemana-mana, dan ketika Tek Hoat mengarahkan serangannya kepada Siok bu, ledakan-ledakan sinar itu kini luluh lantak mengarah lawan. Tetapi, Siok Bu bergerak pesat dan setiap gerakannya pasti disertai pendar-pendar tenaga mujijat yang melindungi dirinya. Karena itu, ketika ledakan-ledakan dan letikan cahaya petir menyambarnya, cahaya dan ledakan itu seperti terpeleset dari tubuhnya dan benar, ketika Tek Hoat selesai, Siok Bu tidak terluka sedikitpun

"Anak muda, percayakah engkau sekarang ...."? tanya Siok Bi ketika melihat rasa kurang percaya di mata Tek Hoat.

"Tidak, aku percaya tentu saja. Hanya saja, aku masih memiliki ilmu lain yang bahkan melebihi Pek Lek Sin Jiu. Jika kugunakan, belum tentu aku kalah olehmu locianpwee " tegas Tek Hoat yang masih kurang terima dengan fakta kegagalan Pek Lek Sin Jiu tadi.

"Aku percaya, aku percaya ...... " terdengar Siok Bi bicara. Dan bahkan langsung dia lanjutkan sebelum Tek Hoat menyahut kembali ....:

"Anak muda, bagaimana penilaianmu dengan kekuatan tingkat ke-5 dibandingkan dengan tingkat ke-7 dan tingkat pamungkas dari Cit Sat Sin Ciang ...."? tanya Siok Bi kepada Kiang Ceng Liong. Dan Ceng Liong nampak berpikir keras untuk kemudian secara hati-hati berkata:

"Jika Hauw Lam melontarkan tingkat kelima, digandakan pada tingkat keenam dan ketujuh, aku masih merasa berkemampuan untuk mengalahkannya ......" tegas Kiang Ceng Liong penuh percaya diri.

"Bagaimana dengan tingkat pamungkasnya Duta Agung ...."?

"Jika sebelum hari ini, aku akan merasa kurang berkemampuan. Tetapi, setelah hari ini aku merasa punya cukup pegangan untuk menahannya. Mengalahkannya, aku masih harus melihat keadaan dan posisinya kelak ......" desis Kiang Ceng Liong dan membuat kagum baik Kwan Siok Bu maupun Kwan Siok Bi. Mereka benar-benar kagum dengan keteguhan dan kepercayaan diri Ceng Liong, dan mereka yakin akan kalimatnya karena tidak melihat nada dan cahaya kesombongan di mata Duta Agung Kiang Ceng Liong. Karena itu, keduanya manggut-manggut belaka, nampak seperti membenarkan. Dan Siok Bi kembali berkata:

"Duta Agung, kami percaya dengan perkataanmu. Kepada anda anak muda ......" ucap Siok Bi sambil melirik Tek Hoat ....... "Bekalmu untuk menandingi musuhmu tadi adalah dengan membekal kekuatan pamungkas setara kekuatan pamungkas dari Pek Lek Sin Jiu. Tanpa kekuatan itu, engkau akan membentur tembok tak terpecahkan. Aku percaya, engkau akan sanggup mengalahkannya jika memadukan kekuatan pamungkas Pek Lek Sin Jiu dengan bekalmu yang lain. Oh ya, kami telah menyelidiki suhumu, Kiong Siang Han. Nampaknya, yang mewarisinya Pek Lek Sin Jiu tahu jika suhumu belajar Tenaga Sinkang Perjaka, dan ini tidak akan optimal belajar Pek Lek Sin Jiu, makanya dia mengikat suhumu untuk sampai tingkat 7 saja. Jika suhumu memaksa diri, dia akan kehabisan tenaga dan tewas mengenaskan. Engkau bisa menemukan rahasia Pek Lek Sin Jiu di catatan kitab pusaka itu, seperti itu yang dilakukan diantara kami. Entah dengan Cit Sat Sin Ciang, nampaknya kekuatan pamungkasnya telah terlepas dari kitab pusakanya, tetapi siapa tahu ...."?

"Accccchhhhhh, terima kasih atas informasinya locianpwee .... terima kasih"

"Anak muda, kami berdua berkepentingan dengan adanya orang yang menguasai secara sempurna Pek Lek Sin Jiu. Karena sesungguhnya, ini menjaga keseimbangan dengan Cit Sat Sin Ciang. Kami seusap di atas Pek Lek Sin Jiu, tetapi kalah menghadapi Cit Sat tersebut. Dengan engkau memahami jurus dan kekuatan pamungkas Pek Lek Sin Jiu, maka keseimbangan itu akan tetap terjaga. Oh ya, jika kami tidak keliru, ada 2 pewaris Cit Sat Sin Ciang, dan yang satu lagi bahkan telah menguasai tingkat ke-7, dan sedang melatih tingkat pamungkasnya. Dari Pulau Awan Putih, kami berdua adalah penguasa tingkat pamungkasnya, tidak ada yang menguasai melebihi kami berdua ....." ujar Siok Bi sambil memandang Ceng Liong dan Tek Hoat. Jelaslah, mereka berkehendak menjaga keseimbangan itu dengan mengikat Ceng Liong dan Tek Hoat sebagai sahabat.

Bagi Ceng Liong, kedua orang ini meski bertujuan lain, tetapi tidak nampak jahat. Kepentingan menjaga keseimbangan nampaknya lebih banyak baiknya daripada jahatnya. Karena itu, diapun menghargai upaya Siok Bu dan Siok Bi. Apalagi, karena Cit Sat Sin Ciang telah dikuasai pihak lawan. Meski ada Mei Lan, Giok Lian dan Kwi Song, tetapi antisipasi adanya tingkat pamungkas membuatnya harus berpikir ulang.

"Hmmmmm, kami mengerti maksud jiwi locianpwe. Sudah tentu saudara Tek Hoat akan mempelajari ilmu pamungkasnya, kami pastikan hal tersebut" Ceng Liong menegaskan.

"Benar, benar jiwi locianpwe, kami berdua dalam tanggungjawab tersebut pasti akan melatihnya. Jangan khawatir ...."

"Hmmmm, melihat tingkat kalian sekarang ini, paling tidak seminggu atau 2 minggu sudah memadai menguasainya secara baik. Anak muda, pengalaman pulau kami dan sebagaimana para tetua kami mengisahkan, jurus pamungkas konon dicatat secara terbalik pada bagian terakhir. Hanya itu cara kami membantu kalian anak muda...... " Siok Bu berkata dengan tujuan menanam jasa. Ataukah untuk tujuan lain lagi ?

"Kami akan memperhatikannya jiwi locianpwe, terima kasih atas bantuannya ...." ujar Tek Hoat dengan hormat.

"Duta Agung dan engkau anak muda ....... bolehkah, bolehkah ..... kami memohon bantuan anda berdua ......"? agak terbata Siok Bu berkata.

"Hmmmmmm ini rupanya maksud lainnya ...." pikir Ceng Liong dalam hati, tetapi di mulut dia berkata:

"Adakah yang kami bisa lakukan untuk Kwan locianpwee ...."?

Kwan Siok Bu dan Kwan Siok Bi nampak saling pandang. Dan Kwan Siok Bu memberi isyarat kepada adiknya Siok Bi untuk bicara. Memang nampak jelas, urusan berbicara adalah Siok Bi yang lebih lincah, lancar dan lebih luwes.

"Duta Agung dan anda anak muda, begini ceritanya. Keponakanku, anak tunggal toakoku, Kwan Hong Li telah meninggalkan pulau 6 bulan lalu, 3 bulan mendahului kami. Saat itu, dia telah mendengar soal Pek Lek Sin Jiu dan nama Duta Agung serta Liang Tek Hoat. Kami yakin, suatu saat ponakan nakalku itu akan mencari gara-gara. Jika memungkinkan, nasehatilah anak itu untuk mencari kami atau jika bisa untuk segera kembali ke Pulau Awan Putih ......"

"acccchhhhh, jiwi locianpwee, urusan tersebut bukanlah urusan sulit. Untuk urusan menelisik dan mencari jejak seseorang, adalah Kaypang kami nomor satunya. Yakinlah, aku akan menugaskan anak-anak murid Kaypang untuk melacak keberadaannya sekarang ini dimana....."

"Benar jiwi locianpwee, percayalah, kamipun akan membantu sekuat tenaga untuk melacak keberadaan nona Hong Li. Pada saatnya kami akan mengingatkan nona Hong Li soal pesan jiwi locianpwee ...."

Mendengar jaminan kedua anak muda perkasa didepan mereka ini, Siok Bi dan terutama Siok Bu nampak tersenyum senang. Mereka yakin bantuan kedua anak muda ini akan sangat membantu, karena memang keberadaan mereka di Tionggoan salah satunya adalah mencari Hong Li yang telah buron lebih dari 6 bulan dari Pulau Awan Putih. Dan sebagai ayah, sudah tentu Siok Bu gelagapan sampai harus menggelandang adiknya Siok Bi untuk menemaninya mencari ke daratan.

"Terima kasih, terima kasih anak muda ..... tetapi dimana kami akan menanyakan jejaknya nanti ..." tanya Siok Bi.

"Locianpwee, 6 bulan ke depan, Kaypang akan melaksanakan pertemuan besar seluruh anak murid Kaypang. Jika masih berada di Tionggoan, maka biarlah kami mengundang jiwi locianpwe ke Kaypang dan jawabannya pasti akan kami berikan disana. Atau jika tidak, maka dimanapun jiwi berada, akan ada salah seorang anggota Kaypang yang memberi kabar ......" jawab Tek Hong dengan suara meyakinkan.

"Baiklah, jika pada 6 bulan ke depan kami masih berada di Tionggoan, maka kami akan berkunjung ke Kaypang. Kami percaya dengan kemampuan Kaypang dalam urusan ini. Terima kasih anak muda ........ "

"Kami akan menunggu jiwi locianpwee nanti ....."

"Baiklah, jika memang tidak ada lagi urusan disini, perkenankan kami berdua untuk mohon pamit. Oh ya, Duta Agung, kami mohon maaf karena tidak menghadang para penyusup beberapa waktu lalu karena kurang menyadari persoalannya. Tetapi, dari yang kami tahu dan yakini, Lembah Pualam Hijau memiliki kemampuan yang memadai untuk mengenyahkan mereka. Hanya saja, mereka ternyata ada hubungan dengan Cit Sat Sin Ciang, dan jika tidak keliru, Cit Sat Sin Ciang yang sempurna akan segera tampil ke dunia persilatan. Itu yang kami ikuti beberapa waktu terakhir dan ada hubungannya dengan kejadian di Lembah Pualam Hijau .......

"Accccch, terima kasih banyak jiwi locianpwe. Informasi tersebut sangat membantu. Semoga kita bertemu kembali diwaktu-waktu mendatang, terima kasih atas kunjungan jiwi locianpwee ....." Ceng Liong ikut berdiri bersamaan dengan kedua orang tua pertengahan umur itu berdiri dan kemudian minta diri. Hanya sesaat mereka bergerak dan lenyaplah mereka berdua dari pandangan.

Sepeninggal mereka berdua, Ceng Liong dan Tek Hoat saling pandang. Di mata mereka tersirat banyak kata, tetapi kedua mata mereka membayangkan semangat dan kegagahan yang luar biasa. Informasi tadi tidak membuat mereka takut, hanya membuat mereka sadar beban mereka semakin berat. Karena itu, dalam hati masing-masing sudah tahu apa yang harus segera mereka lakukan.

"Hoat te ...... sebaiknya besok siang engkau segera kembali ke Kaypang. Aku akan meminta nona Giok Lian dan Lan Moi untuk berjalan bersamamu besok. Karena sejujurnya, kekuatan Lhama Tibet itu di luar sangkaanku, belum lagi kekuatan bekas tokoh Thian Liong Pang lainnya. Kita sedang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan rahasia. Engkau harus meminta Nona Giok Lian menyempurnakan Bu Sing Sinkang warisan Bhiksu Chundamani, dengan cara itu dia akan mampu menandingi dan menahan Cit Sat Sin Ciang. Dan engkau sudah tahu apa yang harus segera dilakukan. Aku akan bertemu Lan Moi besok pagi, sebelum selama seminggu melatih murid murid Thian San Giok Li. Setelahnya aku akan ke Thian San Pay, dan dari sana baru menuju Kaypang. Informasi ini tolong jangan dibocorkan, terutama perjalananku ke Thian San Pay, Lembah Salju Bernyanyi dan kemudian ke Kaypang ...."

"Baiklah Liong-ko .... melihat tingkat keseriusan urusan kita, memang sebaiknya waktu terakhir ini digunakan untuk latihan-latihan terakhir. Sebetulnya Lian Moi sudah memasuki tahapan terakhir pembauran tenaganya, dia nampaknya setahap di depanku dan Lan Moi. Jika memungkinkan, biarkanlah kami melanjutkan latihan tersebut untuk 2-3 hari lagi, pada saat itu nampaknya Lian Moi sudah tuntas dengan peleburannya. Dan aku akan memulai meneliti kitab warisan suhu ......"

"Baiklah bila begitu lebih baik. Tetapi, aku akan menutup diri selama lebih seminggu, mungkin sekitar 10 harian untuk mengobati bibi Sian Cu dan kemudian melatih Beng Kui dan Giok tin ...."

"Tidak mengapa toako, pada saatnya kita akan berangkat meski tidak perlu memberitahumu nantinya ......"

Dan berlalulah kedua anak muda itu, kembali memasuki Lembah Pualam Hijau. Waktu telah menunjukkan tepat tengah malam ....... (Bersambung)
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd