Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(capos) kisah para naga di pusaran badai lanjutan jilid 2

Bimabet
2





Setelah Ceng Liong menyelesaikan latihannya, dia tersenyum puas. Dia tahu, dia berhasil dengan pikiran dan celah yang diperiksanya dalam semedinya. Yang dia tidak tahu, sampai sejauh mana kemajuan yang dicapainya. Dia bahkan tidak tahu, bahwa neneknya dan orang tua aneh itu, berdecak kagum tanpa diketahuinya.

Karena bahkan kekuatan sinkang Ceng Liong meningkat begitu jauh dan secara otomatis kekuatan lainnya seperti kekuatan khikangnya, bahkan kekuatan batinnya juga menjadi berlipat. Setelah berhasil melatih tenaganya, Ceng Liong kemudian melakukan pemulihan kondisinya, dan dengan heran dia temukan kebugarannya kembali hanya dengan satu kali upayanya menyalurkan kekuatannya, artinya hanya dalam sekali putaran.

Bahkan, dia merasa tubuhnya menjadi lebih segar dan bahkan lebih bugar, dan dia bergembira untuk hal tersebut. Dan ketika menemukan manfaat dari tuntunan dan petunjuk kakek aneh didepannya itu, maka Ceng Liong kemudian kembali melakukan semedi dan berusaha mencapai kondisi seperti bagaimana awalnya dia berkomunikasi dengan kakek itu. Tetapi, alangkah kagetnya, ketika kemudian dia mampu mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan oleh kedua orang sakti dihadapannya:

“Baiklah Sinni, rasanya sudah cukup. Dan sudah saatnya engkau melakukan tugas yang sama dengan kakakmu, yakni mewakiliku untuk melaksanakan pesan dan harapan dari kawan-kawanku Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan. Rasanya engkau sudah mencapai tahapan yang sama dengan kakakmu, bahkan untuk kematangan kekuatan batin engkau masih mengunggulinya. Dan rasanya bencana di Tionggoan sudah setengah selesai, apa yang akan engkau lakukan adalah bagian lain yang sama dengan yang akan dilakukan kakakmu”

“Siancai ….. siancai, terima kasih locianpwe. Apa yang harus pinni lakukan ternyata juga banyak bermanfaat bagi pinni sendiri, sungguh malu …. sungguh malu, seperti berpamrih saja. Bahkan termasuk juga cucu kami, juga beroleh sesuatu yang luar biasa. Biarlah untuk melengkapi tugas kita bersama, pinni akan melakukannya karena salah satunya juga adalah murid pinni”

“Sinni, semua ini adalah bagian dari tugas kita masing-masing. Tidak ada budi dan tidak ada pamrih”

“Siancai …. Engkau benar locianpwe. Pinni memang terkadang masih terikat dengan ikatan budi seperti itu. Baiklah, jika demikian pinni akan mohon diri. Mudah-mudahan masih ada pertemuan sebelum pinni mengundurkan diri dari keramaian dunia ini. Liong Jie, engkau tuntaskan apa yang harus engkau kerjakan dan lakukan. Karena lebih banyak dan lebih berat bebanmu dibandingkan kami yang tua-tua ini. Nenekmu mohon diri” dan sambil bicara demikian, dengan cara yang lebih luar biasa lagi, bagai menghilang saja Liong-i-Sinni sudah lenyap dari tempat tersebut.

“Hm, melulu ilmu ginkang saja, engkau memang sudah tidak akan bertemu tandingan lagi dewasa ini Sinni” puji si orang tua aneh.

“Siancai, engkau terlalu memuji locianpwe. Titip cucu kami” suara itu datangnya dari jauh, tapi terdengar seperti didepan mata saja bagi Ceng Liong yang bergidik melihat kehebatan bibi neneknya yang mendemonstrasikan ginkang yang sulit dipercaya tersebut. Dalam keadaan bersila, neneknya bisa melayang, atau tepatnya menghilang dari pandangan matanya.

Keadaan kembali sepi dan senyap untuk beberapa saat. Sampai kemudian, dalam kondisi kontak batin dengan wujud maya, kembali telinga batin Ceng Liong menangkap ucapan si orang tua:

“Anakku, setelah latihan, kemampuanmu menangkap komunikasi batin sudah meningkat tajam. Untuk menyampaikan pikiran, kalimat dan perkataanmu, engkau perlu berlatih lebih jauh, termasuk melatih menyampaikan kalimat dan pikiranmu kepada orang yang belum mampu berkomunikasi dengan cara kita ini.

Pertama, engkau perlu berkonsentrasi memasuki wilayah fisik dan batin orang yang dengannya engkau mau menyampaikan sesuatu perkataan atau kalimat. Kemudian, berkonsentrasi dengan ide atau pesan apa yang ingin disampaikan, dan sampaikan ketika usaha memasuki batin orang bersebut berhasil. Hal ini bagimu untuk saat ini, tinggal melatihnya saja.

Sambil engkau melatihnya, dan bila ada yang ingin engkau tanyakan, boleh langsung engkau tanyakan, jangan khawatir untuk menyela. Dan sambil engkau berlatih, biarlah kuceritakan kepadamu hal hal penting yang perlu engkau ketahui agar pekerjaan dan tugasmu kelak bisa engkau pahami dan kerjakan dengan baik. Beginilah ceritanya:

==============================

Sriwijaya atau dengan lidah orang Tionggoan menyebutnya Shih li fo shih, merupakan sebuah Kerajaan Maritim yang menguasai daerah perdagangan Laut antara China dan India. Bahkan pada umumnya jalur perdagangan di daerah Selatan hingga ke selat Malaka. Kerajaan yang didirikan pada kira-kira tahun 400-an ini, memanfaatkan betul jalur perdagangan laut, menguasainya dan menarik keuntungan atas penguasaan jalur perdagangan itu.

Kerajaan ini mengalami dan dipengaruhi secara kuat oleh 2 agama besar, yakni Hindu dan Budha. Kedua agama besar yang berasal dari India dan jejaknya sangat terasa di wilayah kekuasaan Sriwijaya. Bahkan tradisi dan penamaan orang di wilayah kekuasaan Sriwijaya memang sangat kental dengan khas India, dan hubungan dengan India Selatan juga memang sangat akrab, selain dengan hubungan agama.

Tetapi, belakangan agama Budhalah yang banyak dianut oleh sebagian besar penduduk kerajaan ini. Dan bersamaan dengan itu, interaksi dan hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan India dan China menjadi sangat intens, baik melalui jalur perdagangan, maupun diplomatik. Bahkan, terutama dalam urusan agama pun, Sriwijaya menjalin hubungan yang erat dengan kedua Negara tersebut di atas, terutama dengan India Selatan dan menghasilkan kemajuan yang cukup berarti bagi kerajaan penguasa maritime waktu itu.

Pada masa Kerajaan Sriwijayalah agama Budha mengalami kemajuan sangat pesat, bahkan pada masa keemasan Kerajaan inilah, sebuah Candi Budha yang sangat terkenal, yakni Candi Borobudur di Jawadwipa didirikan. Kerajaan ini sendiri berpusat di sebuah sungai yang sangat besar, yang menghubungkan pusat kerajaan itu dengan lautan.

Dan sungai itu jugalah yang menjadi akses Kerajaan itu memasuki perdagangan lewat laut pada masa itu. Sungai besar itu bernama Sungai Musi, dan pelabuhan buat perdagangan terletak tepat di pusat Kerajaan Sriwijaya itu, di tepi sungai besar itu. Dan kelebihan Kerajaan Sriwijaya, memang justru terletak dalam kekuatan Laut mereka yang membuat cakupan atau luas kerajaannya membentang jauh hingga ke Semenanjung melayu (Thailand, Kambodja, dan bahkan terus hingga sebagian Phillipina modern).

Para penguasa Sriwijaya sangat memahami, bahwa kondisi geografis mereka dan keunggulan mereka berada di Laut, dan bukannya darat. Karena itulah, kekuatan utama mereka justru terletak di Laut, penguasaan Lautan melalui armada Laut yang sangat kuatlah yang membuat mereka berjaya. Kehebatan dan kejayaan kerajaan ini, dan pengaruh agama Budha, bahkan terasa jejaknya hingga di Thailand, ketika mereka membangun candi-candi Budha disana, sama seperti yang dilakukan di Jawadwipa.

Pada masa cerita ini, pada kisaran awal tahun 1000-an, Kerajaan Sriwijaya justru sedang mengalami terjangan dan cobaan kiri dan kanan. Raja Kerajaan Sriwijaya yang bernama Maha Raja Sri Tunggawarman, sebetulnya adalah seorang Raja yang bijaksana. Bahkan, dia lebih tepat menjadi seorang Bhiksu ketimbang menjadi seorang Raja yang memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengendalikan kerajaannya.

Karena memang, Maha Raja Sri Tunggawarman, adalah seorang yang saleh dan lebih menekuni agama Budha daripada menekuni ilmu pemerintahan. Akibatnya, banyak kesalahan ponggawanya yang dengan mudah diampuninya, dimaafkannya, dan berdampak pada lemahnya disiplin para pembantunya.

Lama-kelamaan, keadaan ini menjadi semakin parah, bahkan menjalar ke menurunnya disiplin bala tentaranya, karena kurangnya pengawasan ketat dari sang Raja atas para panglima perangnya. Maksud sang Raja sebetulnya tidak salah. Mudah mengampuni dan selalu memberi orang kesempatan untuk berubah.

Tetapi, bagi para pemuja kekuasaan, pemuja uang dan kenikmatan dunia, kekangan disiplin sang Raja yang melonggar, membuat mereka bersimaharajalela. Toch dengan mudah bisa minta ampun, dan akan diberi kesempatan lagi oleh sang Raja. Karena mereka semakin memahami bagaimana cara memperoleh belas kasihan dan pengampunan dari Maha Raja mereka yang bagai Budha Hidup itu.

Kekuatan Kerajaan besar yang tergerogoti dari dalam ini, perlahan namun pasti mulai tercium oleh lawan-lawan potensial Kerajaan Sirwijaya. Dan, adalah Kerajaan Cola di India yang pertama berani menyerang Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1017. Hanya saja, serangan pada tahun itu kurang berhasil baik, karena kekuatan armada Sriwijaya masih cukup tangguh menghalau serangan tersebut.

Tetapi, serangan kedua, setelah mempelajari kekalahan dalam serangan pertama, ditambah dengan semakin surutnya disiplin bala tentara Sriwijaya berhasil dengan sukses. Serangan pada tahun 1025 ini, bahkan berhasil menawan Raja Sriwijaya dan menahan serta menawannya untuk dibawa ke Kerajaan Colo.

Kerajaan Sriwijaya, memang masih bertahan beberapa tahun, tetapi kontrolnya atas kerajaan taklukan secara perlahan memudar, dan bahkan pada tahun 1110, Kerajaan Sriwijaya menjadi taklukan sebuah kerajaan kecil di pulau yang sama, Sumatera. Dan pada tahun 1300-an, Kerajaan Sriwijaya tinggal puing dan cerita belaka, ketika kemudian sebuah Kerajaan dari Jawadwipa menyapunya dan menjadikannya sebagai daerah taklukan.

Sebetulnya, sebelum Rajendracola I naik tahta, hubungan segitiga Sriwijaya, India Selatan dan Tiongkok dalam hal ini Kerajaan Sung, sangatlah erat. Bahkan segitiga itu bukan hanya memiliki hubungan diplomatik, tetapi juga hubungan politik dan militer yang sangat erat. Lebih dari itu, hubungan keagamaan dan tukar menukar hadiah, serta pengetahuan juga berlangsung secara baik.

Dan dalam kaitan konflik di Nusantara, hubungan segitiga itu juga dimaksudkan untuk menghadapi Jawadwipa. Hal ini terutama karena hubungan yang kurang begitu baik antara Kerajaan Sriwijaya dengan wangsa Syailendra di Jawa. Tetapi, hubungan segitiga tersebut kemudan bubar ketika Rajendracola I naik tahta di India Selatan, dan bahkan kemudian menyerang Sriwijaya pada tahun 1017, meski tidak menghasilkan apa-apa.

Tetapi, seperti diceritakan didepan, kekuatan Armada Laut Sriwijaya waktu itu masihg berkemampuan hebat dalam menghalau dan menghentikan agresi Rajendracola I yang memiliki ambisi ekspansif tersebut. Dan sejak saat itu, hubungan segitiga tersebut menjadi kurang harmonis dan bahkan terus berkelanjutan sampai pada tahun-tahun panjang kedepan.

Siriwijaya atau Shih li fo shih memang mampu bertahan dari serangan Rajendracola I, Raja dari Kerajaan Cola di India yang memiliki ambisi perluasan kerajaan. Sebelumnya, Rajendracola I memang berhasil menyapu kerajaan-kerajaan sekitarnya sampai ke Srilanka dan menjadikan kerajaan disana menjadi daerah atau kerajaan taklukannya.

Tetapi, dia masih belum sanggup menaklukkan Sriwijaya. Sesudah serbuan Rajendracola I ke Sriwijaya pada tahun 1017, tahun-tahun sesudah pertempuran yang berhasil mengenyahkan serbuan Kerajaan Cola tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan yang cukup pesat. Bahkan anehnya terkesan arus masuknya orang-orang dari India, baik karena berdagang maupun karena urusan agama menjadi lebih sering.

Lebih dari itu, terdapat indikasi bahwa masuknya orang-orang India tersebut tidak semata karena keperluan berdagang, tetapi karena maksud-maksud tertentu. Terutama mereka yang termasuk dalam rombongan urusan keagamaan. Dan kondisi ini menjadi lebih sering dan lebih bebas ketika kemudian Raja Sri Tunggawarman atau Sanggramawijayatunggawarman naik tahta pada tahun 1020 menggantikan ayahandanya.

Raja Sri Tunggawarman ini, sebetulnya adalah seorang yang bijaksana, murah hati dan seorang penganut agama Budha yang sangat taat. Karenanya, Raja Sri Tunggawarman ini, bagi banyak orang lebih dipandang tepat menjadi Pendeta Budha ketimbang menjadi Raja dari sebuah Kerajaan sebesar Sriwijaya.

Karena bahkan untuk membunuh seekor semutpun, sang Raja Sri Tunggawarman enggan dan tidak sampai hati. Bagaimana mungkin sang Raja sanggup mengendalikan Kerajaan Sriwijaya yang demikian megah dan besar tanpa rasa “tega” untuk memberi hukuman terhadap punggawa ataupun pembantunya yang melakukan kesalahan? Dan memang, hal itulah yang kemudian terjadi hari-hari selanjutnya di dalam perkembangan kerajaan besar tersebut.

Dan, kegemaran Raja Sri Tunggawarman untuk belajar dan terus memperdalam ajaran Budha, membuatnya begitu haus untuk bercakap dan berdiskusi dengan banyak ahli agama Budha. Bahkan untuk maksud tersebut, tidak segan dia mengundang Bhiksu dari India bahkan juga Bhiksu dari Jawadwipa yang memiliki pengalaman hidup dan pendalaman keagamaan yang lebih.

Dan karena itu pula, di Sriwijaya jadi semakin banyak dan semakin sering kedatangan Bhiksu Budha dan rombongan yang berkunjung untuk maksud keagamaan. Dan semakin banyaklah pula pendatang asing yang masuk untuk urusan keagamaan dan urusan perdagangan. Hal yang sangat digemari oleh Maha Raja Sriwijaya tersebut, ternyata menghasilkan keadaan dan kondisi di luar istana yang tidak terduga.

Tentu tidak terduga oleh sang Raja, tetapi bagi beberapa orang pintar di lingkungan Sriwijaya, dan bahkan dari Jawadwipa, mampu mencium kondisi yang kurang beres, meskipun kekurangberesan itu sangat sulit untuk mereka buktikan. Tetapi yang jelas, keadaan tersebut semakin kurang menguntungkan bagi Sriwijaya dan bahkan Swarnadwipa dan Jawadwipa secara keseluruhan.

Orang-orang pintar dari India dengan bebas menjelajahi pelosok Swarnadwipa dan bahkan hingga memasuki area kekuasaan Jawadwipa. Dan tidak semua ahli agama Budha dan rombongannya itu adalah orang baik-baik, sama sekai tidak. Karena ada kelompok dan oknum tertentu yang memasuki Swarnadwipa dan Jawadwipa dengan maksud maksud berbeda dari yang diketahui sang Raja. Dan dari sinilah kesemrawutan itu berawal, bahkan mengaduk-aduk bukan hanya tanah India, tetapi juga daerah Tiongkok (Tionggoan), Sriwijaya (Swarnadwipa) dan juga sampai ke Jawadwipa (Jawa).

=======================

Siang itu, nampak seorang tua, paling banyak berusia lebih dari 50 tahunan, dengan wajah berseri sedang menghadap ke sungai. Apa gerangan yang membuatnya senyum-senyum? Bagi orang lain, pasti hal itu terasa aneh. Tetapi, seperti itulah biasanya orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi.

Hampir setiap hari orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi atau sering juga dipanggil Nelayan Sakti Sungai Musi ini, nampak mengail dipinggiran sungai Musi. Sebuah sungai besar yang mengalir dan membelah Pusat Kota Raja Sriwijaya, yang memang terkenal sebagai alur perdagangan yang ramai di Selat Malaka.

Selat perdagangan yang ramai dilintasi pedagang India, Tiongkok, Srilanka, Burma, Thailand dan bahkan Jawadwipa. Tetapi, aktifitas si nelayan ini menjadi aneh bagi kebanyakan, karena tidak pernah saat mengail, orang tua ini mendapatkan bahkan 1 atau 2 ekor ikan sekalipun.

Dan lebih aneh lagi, orang tua ini ternyata tidak suka makan ikan. Karena memang orang tua ini adalah salah seorang pengikut agama Budha yang taat, dan dulunya memang seorang Nelayan. Ketika memeluk agama Budha, Nelayan Tua ini kemudian melanjutkan kegemaran dan keahliannya tanpa mata kail, dan karenanya memang dia tidak pernah memperoleh seekorpun ikan.

Tapi jangan salah duga, Nelayan Tua ini bukan orang sembarangan. Dulunya dia gemar mengembara dari lautan ke lautan, dan bahkan sering berkelana hingga ke daerah Jawadwipa. Dia memang bukan orang sembarangan, bahkan seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dengan pengalaman yang segudang.

Jikapun Nelayan Tua yang aneh dan sakti ini sering kelihatan berada di tepian sungai musi tahun-tahun belakangan ini, lebih disebabkan oleh keterikatan yang memang disenanginya. Orang tua ini sedang mendidik putra dan putri Panglima Tertinggi Armada Laut Kerajaan Sriwijaya yang sangat berkuasa namun sangat bijaksana dan cinta tanah airnya. Panglima Kerajaan Sriwijaya ini bernama Jayeng Kencana dan memperoleh julukan “Malaikat Samudera Raya”.

Panglima Armada Laut Kerajaan Sriwijaya ini adalah seorang yang sebetulnya bertubuh biasa saja, sedang-sedang saja, tetapi memiliki kemampuan memimpin yang luar biasa. Kemampuan membangkitkan semangat dan kesanggupan membaca keadaan alam dan posisi lawan dalam pertempuran laut. Karena itu, meski bertubuh sedang, tetapi wibawa yang ditimbulkan orang ini sungguh luar biasa.

Apalagi jika sedang mengenakan pakaian kebesarannya dan berdiri di hadapan pasukannya. Tetapi, Panglima Jayeng Kencana ini adalah tokoh yang rendah hati, dan bila sedang bertempur, lebih suka menanggalkan pakaian kebesarannya, dan bertempur bersama dengan anak buahnya.

Tidak heran bila kemudian Panglima Perang Angkatan Perang di lautan Sriwijaya ini begitu dihormati dan dicintai, bukan hanya oleh anak buahnya, tetapi juga oleh rakyat Sriwijaya. Bahkan Kerajaan-kerajaan taklukan, semua menaruh hormat kepada Panglima yang rendah hati tetapi sangat handal dan sangat berdisiplin ini. Bahkan sang Maha Raja Sriwijayapun menaruh hormat dan sangat mempercayai Panglima Perang Lautan ini.

Siang itu, si Nelayan Aneh Sungai Musi, demikian orang tua itu dikenal pada lebih 10 tahun terakhir sejak menetap di dekat ibukota Sriwijaya, tepatnya dipinggiran sungai Musi, sedang bersiul-siul dan tersenyum memandangi sungai di depannya. Bukan apa-apa. Bukan sedang tegang. Sebaliknya, senyum-senyum dan memandangi sungai di hadapannya seakan tahu bahwa rombongan ikan dalam sungai itu sedang seliweran didekat kail yang tidak bermata itu.

Tetapi untuk itupun, si Nelayan Aneh nampak senyam-senyum belaka. Karena memang, seperti biasanya, untuk kesenangan belaka dia mengail, dan bukannya untuk menangkap seekor dua ekor ikan guna memasuki perutnya. Dan seperti hari-hari biasanya selama 10 tahun terakhir, tidak jauh di belakangnya terdengar seliweran angin.

Tetapi bukan angin biasa, karena datangnya dari dua orang, sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan latihan silat. Dan bukan tidak mungkin, senyum si nelayan, karena juga mengagumi gerakan dan kemajuan dua orang anak yang dibimbingnya selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini.

Terlebih, jika mengingat, bahwa kedua anak muda yang dilatihnya ini, justru adalah keponakannya sendiri. Nelayan Aneh ini, tanpa seorangpun tahu, sebetulnya adalah Adik kandung dari Panglima Armada Laut Sriwijaya. Bukan sang Panglima yang tak mau mengakuinya, tetapi adalah manusia aneh inilah, yang justru mensyaratkan melatih kemenakannya tetapi tanpa seorangpun tahu dia sebagai adik sang Panglima.

Dan sementara sang Adik bergelimang kemasyuran dan kekayaan di pusat kerajaan Sriwijaya, sang adik, justru memilih tinggal di luar kota, sedikit agak ke pedalaman, dan dipinggir Sungai besar. Dan dengan gubuk seadanya, dia tinggal menyatu dengan alam, bermain dengan ikan sepanjang sungai Musi, dan menyatu dengan alam.

Nampak seperti dia hidup melarat, tapi jangan salah, justru hidup semacam itulah yang justru sangat disukainya. Dan dia sama sekali tidak tertarik hidup di tengah keramaian seperti yang dilakukan dan dikecap oleh kakak kandungnya, sang panglima armada laut Sriwijaya. Sang kakak yang maklum akan keadaan adiknya, tidak pernah memaksa adiknya tinggal di rumahnya yang megah.

Dia sungguh paham gejolak jiwa adiknya, dan dia sangat menghargainya. Bahkan dia sangat menghormati pilihan adiknya, dan mempercayakan kedua anaknya untuk berada di bawah bimbingan adiknya itu. Baik dalam hal Ilmu Silat maupun tuntunan budi pekerti, sang Panglima mempercayakannya kepada adiknya tersebut. Dan tentu, nyaris tak seorangpun tahu kalau waktu senggang dan waktu tertentu kedua kakak beradik yang nampak lembut, sopan dan terpelajar itu, mengunjungi paman mereka untuk latihan Ilmu Silat.

Dan dari angin serangan yang ditimbulkan kedua kakak beradik itu, dapat diketahui, kalau tingkatan mereka dalam ilmu silat sudah bukan sembarangan lagi. Pergerakan mereka sudah menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, dan membuat pelatih mereka, paman sendiri, nampak senyum senyum mengikuti pergerakan mereka.

Jelas sekali, ilmu-ilmu tingkat tinggi yang di ajarkannya sudah sanggup diserap dan dimainkan dengan matang oleh kedua anak itu. Bahkan mereka tinggal mematangkannya, dan kiranya penguasaan ilmu mereka tidaklah tertinggal jauh dari kedua muridnya yang lain. Kedua murid yang dipungutnya sebagai anak angkat dalam perjalanan pengembaraannya di Jawadwipa.

Dan kedua anak angkatnya itupun sudah menjadi tokoh-tokoh yang mampu mengangkat nama dan kehormatannya. Karena keduanya adalah panglima pengapit kakaknya di Kesatuan Armada Laut Sriwijaya. Bahkan dalam tugas di darat, mereka sering menjadi petugas yang handal dalam mengendus informasi-informasi yang dibutuhkan (sejenis intelejen). Mengenangkan semuanya, membuat orang tua itu merasa sangat puas.

Meskipun pada bulan-bulan terakhir, dia memperoleh tanda-tanda yang membuat hatinya berdebar-debar. Kewaspadaan dan kematangannya itu yang membuat dia sangat awas. Tetapi, sampai saat ini, Nelayan Sakti Sungai Musi, tetap masih belum mengerti, mengapa tanda-tanda yang tak menyenangkan itu selalu mendatanginya. Meskipun sebagai seorang yang taat terhadap Budha, Nelayan Sakti ini tetap sanggup menahan diri dan tidak panic dengan tanda tersebut.

Seandainya tokoh ini mengerti dan berada di dunia politik, tentunya dia akan cepat menyadari keadaan tersebut. Sayang, dia tidak pernah minat bahkan untuk membicarakannya sekalipun. Itulah sebabnya, dia tidak mengenal dan mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi disekitarnya. Dan yang bahkan sebetulnya sudah berada didepan hidungnya.

Tengah dengan asyiknya Nelayan Sakti mengikuti pergerakan muridnya dan menikmati kesenangannya di pinggir sungai, tiba-tiba perasaannya yang sangat peka sedikit terusik. Dan tidak berapa lama kemudian Nelayan Sakti nampak mengerutkan keningnya, berkonsentrasi dan dengan cepat nampak dia memalingkan wajah kearah hutan di pinggir atau seberang Sungai Musi yang ada dihadapannya.

Nampaknya Nelayan Sakti sudah tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di sebrang sungai, dan lebih lagi, sesuatu itu adalah kejadian yang tak menyenangkan. Bahkan nampaknya terkait dengan dirinya sendiri. Apakah gerangan? Meski belum mengetahui detail, tetapi jelas pertahanan batinnya terusik. Karenanya Nelayan Sakti kemudian berbisik yang dapat didengar jelas kedua murid mudanya:

“Hentikan latihan, dan bersiaga. Jangan kemana-mana sampai aku kembali ketempat ini”
Dan begitu selesai Nelayan Sakti menyampaikan pesannya, tiba-tiba tubuhnya seperti terangkat dan melayang ketengah sungai, diikuti dengan pandangan kagum kedua muridnya. Mereka tahu paman dan guru mereka itu memang manusia sakti, tetapi baru sekarang mereka menyaksikan guru mereka mengambang dari bumi dan seperti terbang menyeberangi sungai yang sangat lebar itu.

Sementara itu, Nelayan Sakti sudah sampai di seberang sungai, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, tokoh tua itu melaju kearah sumber suara yang menyentakkan batinnya tersebut. Dan tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk sampai ke tempat darimana sumber suara yang mengusiknya datang. Dan, dengan terkejut dia menyaksikan betapa tubuh salah seorang muridnya sudah bermandi darah, bahkan lengan kirinya sudah buntung, tetapi masih tetap melakukan perlawanan dengan gagahnya.

Meskipun batinnya sudah matang, tetapi menyaksikan anak yang diasuhnya sejak kecil dalam keadaan menyedihkan, terselip kegetiran didadanya, yang dengan cepat ditindasnya. Perlahan dia mendekati arena pertempuran, dan dengan sebuah sapuan berisi salah satu ilmu andalannya, Ajian Inti Lebur Sakheti, meluncurlah angin pukulan membadai yang anehnya bablas saja menembus badan anak muridnya dan memapas serangan tiga orang asing yang mengeroyoknya.

Tetapi untungnya, bukan dengan maksud memukul roboh Nelayan Sakti menyerang mereka, tetapi menahan serangan mereka dan mengundurkan mereka. Tapi akibatnya sudah cukup membuat ketiganya terdorong ke belakang
 
3




Bukan main murkanya ketiga orang itu. Tiga orang yang nampak asing, memakai ikat kepala putih, berkulit kehitaman, tetapi jelas bukan penduduk pribumi, dan ketiganya menggenggam sebatang tongkat berkepala ular. Dan kini ketiganya menatap wajahnya, dan dengan bahasa lokal yang kaku menyapanya:

“Siapa kau”? orang terdepan membentaknya dengan gaya bicara bahasa lokal yang kaku, tetapi pembawaannya sangat berangasan.

“Siapa aku tidaklah penting, tetapi sungguh tidak adil mengurung dan mengeroyok seorang yang sudah terluka” sahut si Nelayan Sakti dengan sabar. Tapi kesabarannya tidak ditanggapi baik. Karena kesulitan berbahasa, dengan cepat si jangkung yang menjadi pemimpin ketiga orang itu sudah memberi isyarat kepada ketiga kawannya untuk kembali menyerang.

Sementara Nelayan Sakti, sekali pandang segera mengerti, jika muridnya sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis. Karena itu, dia tidak mau banyak membuang waktu. Selain kesal murid sekaligus anak angkatnya diperlakukan tidak manusiawi, juga karena diburu waktu untuk mengobati muridnya itu.

Dengan segera kembali tangannya dikibaskan, kali ini dengan tenaga yang jauh lebih kuat dalam ajian yang sama. Dan kali ini, ketiga penyerang asing itu bagaikan daun bertumbangan, dan terpental jauh dan bergelimpangan saling tumpang tindih. Untung mereka tidak terluka parah, karena Nelayan Sakti masih tetap seorang yang mengasihi sesamanya, dan sempat menjaga kekuatan tenaganya dalam serangan, betapapun murka dan kesalnya dia.

Ketika mereka memandang mencari si Nelayan Sakti, tokoh tua itu telah lenyap bersama anak muda yang mereka buru. Hal yang membuat mereka terkesiap, sekaligus gentar dengan kehebatan lawan.

“Celaka, benar-benar rahasia kita dalam bahaya. Kemana mereka”? Si Jangkung berbicara dalam bahasa mereka…… bahasa India (Thian Tok).

“Kita harus minta bantuan, orang tua tadi lihay luar biasa” orang kedua nampak berbisik dan masih bergidik mengingat dengan hanya kebasan tangan mereka bertumbangan dan terpelanting ke tanah. Untung tidak terluka, atau nampaknya ornag tua yang menyerang mereka memang tidak bermaksud melukai mereka berdua dengan berat.

“Benar, mari kita lapor kepada guru, anak muda itu harus bisa ditangkap. Jika tidak, sungguh sangat berbahaya akibatnya” si Jangkung kembali bersuara. Dan kemudian dengan cepat mereka bertiga meninggalkan tempat pertempuran tersebut untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Dan tempat itu, dengan cepat kembali senyap. Kecuali terdengar semilir angin dan kicau burung. Meski barusan pertempuran baru terjadi.

Sementara itu, Nelayan Sakti atau Nelayan Aneh yang membopong tubuh muridnya sudah kembali tiba di gubug tempat tinggalnya. Namanya memang gubuk, tetapi penataannya sungguh luar biasa rapihnya. Bahkan bagian dalamnya sangatlah terurus dan lengkap dengan perlengkapan yang memadai buat orang setua Nelayan Sakti. Melihat paman atau guru mereka datang dan membopong tubuh kakak perguruan mereka yang dalam keadaan mengenaskan, kedua anak muda yang tadi berlatih terkejut.

“Paman, ada apa dengan kakang Suro Pati”? si gadis yang nampak sangat terkejut dan khawatir mulai terisak. Maklum, dia memang yang paling disayang dan dimanja kedua kakak perguruannya yang jauh lebih tua darinya itu. Dan Suro Pati ini, adalah panglima pengapit ayahnya yang sangat hormat dan sangat dekat dengannya. Bahkan sejak mulai berguru, kakak perguruannya inilah yang banyak membantunya.

“Kalian siapkan air dan semua keperluan untuk pengobatan” perintah tegas si nelayan Sakti. Tetapi, belum lagi kedua kakak beradik itu beranjak, tiba-tiba dengan suara ditahan-tahan, dan nampak tersiksa terdengar Suro Pati yang gagah itu besuara:

“Gu…. Gu… guru, takkan sempat ….. lagi. De …. De ….. dengarkan guru, seperti dugaan Panglima Besar, orang-orang asing itu …. Me … me… mang punya niat busuk terhadap kita”
Suro Pati nampak mencoba mengerahkan seluruh sisa kekuatannya untuk berbicara. Dan dengan sedih Nelayan Sakti melihat, bahwa akhir hidup muridnya sekaligus anak angkatnya ini sudah membayang.

Takkan lama lagi. Tapi, dalam sisa hidupnya, nampaknya muridnya ini ingin menyampaikan sesuatu. Dan, dia tentu harus membantunya agar muridnya ini bisa pergi dengan tenang. Dengan sedihnya, Nelayan Sakti menahan pergolakan batinnya, dan dengan sekali dua kali gerakan, dia melakukan totokan di dua tiga tempat, di bagian tubuh Suro Pati. Dan herannya, Suro Pati, seperti memperoleh kekuatan ekstra, dan kekuatan itu dia tahu berasal darimana. Maka dengan mengeraskan diri, kemudian dia berkata:

“Guru, dan engkau Pandu Winata dan Ratna Sari, tempat ini sudah tidak aman lagi. Aku berhasil menyusup ke tempat rahasia yang selama ini dicurigai Panglima sebagai tempat dikendalikannya kekisruhan di Sriwijaya. Sayang, Panglima tidak pernah bisa memperoleh ijin Baginda Raja untuk menggeledah tempat berkedok tempat ibadah itu. Yang benar, disana tersimpan sejumlah besar tokoh sakti mandraguna dari Tanah India. Tidak jelas maksudnya apa, tetapi salah satu tokoh itu nampaknya Panglima Cola yang dulu menyerang kita” Suro Pati nampak menarik nafas dan mengumpulkan kembali semangatnya untuk kemudian melanjutkan:

“Nampaknya, Raja Cola masih penasaran dengan kekalahan atas serangan pertama. Dan dia memanfaatkan hubungan keagamaan dengan kita untuk memasukkan sejumlah pengintai dan tokoh-tokoh lihai dari sana. Beberapa diantaranya, menurutku, mungkin hanya sedikit berada di bawah kepandaian guru sendiri dalam ilmu kesaktian. Tapi jumlah mereka demikian banyak. Bahkan, salah seorang Padri dari India, mampu melukaiku seperti guru melukai ketiga lawan yang mengejarku. Harap guru berhati-hati”, kembali Suro pati mengumpulkan tenaganya, tetapi jelas sekarang semakin melemah. Sementara Nelayan Sakti sengaja tidak memotong percakapan dan membiarkan muridnya berbicara sambil dipandanginya penuh kasih.

“Adi Pandu Winata dan Ratna Sari, sampaikan info ini kepada ayah kalian. Persekutuan mereka dengan beberapa tokoh Istana sudah terjalin lama, terutama tokoh-tokoh yang sering berbuat salah dan terus diampuni baginda. Meskipun ayahmu tidak akan dibunuh, tetapi moral pasukan dan persenjataan, sebagian besar sudah diboikot. Semua rencana itu, diatur dari tempat ibadah yang sangat rahasia di seberang sungai ini. Sampaikan juga salam hormatku buat ayahanda kalian, Panglima kami” Sampai disini, Ratna Sari sudah menangis terguguk, karena melihat pandang mata Suro Pati semakin meredup. Suro Pati memandanginya dengan kasih dan berkata:

“Bahaya masih mengancam adikku, tapi biarlah aku melindungimu dari tempat yang berbeda”, dan Suro Pati kemudian mengeraskan hatinya, dan memandang gurunya dengan pandangan semakin nanar:

“Guru, terimalah salam baktiku. Aku sudah berusaha sebisaku, tetapi ternyata hanya sampai disini. Biarlah aku menitipkan adikku di bawah perlindungan guru” Suro Pati kemudian menguatkan dirinya untuk duduk, dan kemudian mencoba untuk berlutut di kaki gurunya.

“Suro Pati, anakku, kalian berdua, Suro Pati dan Suro Bhakti merupakan murid dan juga anak-anakku. Engkau telah melakukan tugas kemanusiaanmu sampai pada akhirnya. Berbahagialah anakku. Pergilah dengan tenang, baktimu akan diingat Panglimamu, adik-adikmu, dan rakyat Sriwijaya” Nelayan Sakti mengelus lembut kepala Suro Pati dan kemudian melepasnya dengan mata sayu.

“Guru, orang-orang itu, konon menunggu seorang Padri sakti dari Jawadwipa ….. mereka mau …… mau …. merebut …” dan Suro Patipun kemudian terkulai. Sang Guru menarik nafas panjang karena nafas Suro Pati memang telah putus dalam posisi duduk menyembahnya.

Bahkan masih ada yang ingin disampaikannya, yang sebenarnya mengagetkannya dan menyadarkannya bahwa firasatnya ternyata benar, dan mulai terwujud hari ini. Dan betapa sangat sedihnya, betapapun anak itu dibesarkannya sebagai murid dan sebagai anak angkat, betapa dia tidak akan sedih?

Sebagai murid dan anak, Suro Pati sungguh seorang pilihan yang taat dan berbakti. Bukan sekali dua kali di tengah kesibukannya muridnya ini menyambanginya, berbicara banyak dan bertukar pikiran. Bahkan untuk menikahpun, selalu ditelantarkan muridnya ini, meski usianya sudah memasuki usia 35 tahun. Panggilan tugas kemanapun selalu dilakukannya dengan taat, karena selain panglimanya bijaksana, juga masih pamannya, karena kakak dari guru dan orang tua angkatnya.

Hampir tiada cela dari murid yang tubuhnya kini meringkuk dihadapannya itu. Karena kemanapun dia bertugas, bila ada sesuatu yang baru, entah benda, entah buku, atau benda apapun, pasti dibawakannya sesuatu untuk ayah angkat sekaligus gurunya itu. Hal yang sama dengan yang dilakukan adiknya, Suro Bhakti.

Hal yang membuat Nelayan Sakti merasa cukup meskipun dia sendiri tidak pernah menikah dan memiliki keluarganya sendiri. Baginya, Suro Pati dan Suro Bhakti, sudah merupakan karunia dan berkat yang tak terhingga. Apalagi dengan akhlak dan bakti yang tidak tercela, dan selalu melakukan sesuatu yang membuatnya sebagai guru dan orang tua merasa sangat bangga.

Tapi, kini, salah seorang anaknya, muridnya, tergeletak dihadapannya. Benar, dia tidak marah dan tidak dendam, karena pemahamannya akan ajaran Budha memang sudah cukup matang. Tapi, betapapun, terbersit rasa sedih ditinggal murid seperti Suro Pati ini.

Tapi, tiba-tiba Nelayan Sakti sadar. Dia sendiri akan bisa menjaga diri, tetapi bagaimana dengan kedua murid dan keponakannya itu? Dan bukankah Suro Pati tadi mengingatkan bahwa ada beberapa tokoh berbahaya di pihak lawannya yang bahkan sangat sakti?

Kesadaran tersebut dengan segera membangkitkan kembali kewaspadaan dan ketepatan bertindak Nelayan Sakti. Betapapun, dia memiliki banyak pengalaman ketika masih dalam masa-masa berkelana sebagai pendekar pada masa silamnya. Karena itu, dengan cepat otaknya berpikir dan segera memutuskan:

“Pandu dan engkau Ratna, segera tinggalkan tempat ini dan langsung laporkan kejadian di tempat ini ke ayah kalian. Satu hal, paman kalian tidak akan terlibat dalam pertikaian politik ini. Ayah kalian sudah sangat paham masalah ini. Itu juga sebabnya kakak kalian Suro Pati tidak memintaku untuk membalaskan dendamnya. Sama sekali tidak, karena dia begitu mengenalku. Tetapi kalian, keselamatan kalian terancam di tempat ini. Segeralah kalian bersiap untuk kembali ke rumah ayah kalian”

“Guru, perkenankan kami ikut melawan para perusuh itu. Kami akan membalaskan kematian Kakak Suro Pati” Ratna Sari bersikeras, dan nampaknya kakaknya juga setuju. Keduanya memang berjiwa gagah.

“Dan kalian akan membiarkan ancaman terhadap ayah kalian dan Sriwijaya tidak tersampaikan tepat pada waktunya”? Nelayan Sakti menjawab aleman.
Dan jawaban sederhana itu menyentakkan kedua kakak beradik yang tidak kenal takut itu. Dan karena itu, dengan cepat Pandu berkata:

“benar dinda, kita harus bertindak cepat. Mari ….”
“Sebentar Pandu, sampaikan medali lencana tugas Suro Pati kepada ayah kalian. Dan tegaskan, bahwa akulah yang menyuruh kalian untuk segera melaporkan apa yang ditinggalkan kakak kalian itu. Sekarang pergilah” Nelayan Sakti mengambil lencana tugas Suro Pati dari leher dan menyerahkan kepada Pandu. Dan tidak lama kemudian, kedua kakak beradik itu sudah melesat kedepan dan meninggalkan tempat itu.

=====================

“Kurang ajar, sudah kuduga. Tidak akan mungkin orang-orang asing itu berdatangan ke Sriwijaya tanpa maksud-maksud terselubung. Ach, apalagi gerangan yang akan terjadi”? Nampak seorang yang bertubuh sedang bergumam penasaran, dan dihadapannya berdiri 3 orang lain dengan hormat. Siapa gerangan orang itu?

Ya, pria itu adalah Panglima Tertinggi Armada Maritim atau Armada Laut Kerajaan Sriwijaya. Sore itu, Panglima yang sedang tadinya bersantai di kebun belakang rumahnya, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan kedua anaknya yang membawa kabar yang teramta buruk dan mengejutkan. Betapa tidak, salah seorang Panglima Muda pengapit yang sangat dipercayainya dikabarkan tewas setelah memperoleh dan mempertegas informasi yang selama ini memang sudah diciumnya.

Tetapi, bayarannya sungguh mahal. Jiwa keponakan muridnya, orang yang bahkan sudah dianggap adik kandungnya sebagai anak. Dan betapa dia tidak sedih, karena anak itupun adalah andalannya, karena kesetiaan, kegagahan dan kesaktiannya. Tetapi, selain kesedihan itu, rasa penasaran dan kegemasan Panglima Besar yang gagah ini juga luar biasa besarnya.

Betapa tidak, kerajaan yang selama ini dibela dengan taruhan hormat dan jiwanya, terancam tanpa dia tahu bagaimana harus menanganinya. Bahkan menurut peringatan adiknya yang dia tahu benar kesaktian dan keawasannya, bahaya besar juga sedang mengancamnya dan keluarganya.

“Suro Bhakti”

“Siap Panglima”

“Segera siapkan dan siagakan Pasukan Khusus dan bersiaga siang dan malam di tempat tersembunyi disekitar markas kita. Dan engkau atur segera pertemuan dengan Menteri Kebudayaan dan Penasehat Raja malam ini juga. Tapi, usahakan dengan tidak menyolok dan tanpa sepengetahuan siapapun. Kerjakan secara rahasia, kita sedang menghadapi musuh yang mengancam keselamatan Negeri kita”

“Siap Panglima”

“Suro Bhakti, aku paham dengan perasaanmu saat ini. Tapi aku yakin, dalam keadaan seperti ini, dibutuhkan ketenangan untuk keselamatan Negara kita. Dan aku yakin, dalam kondisi begini, tidak mungkin ayah angkatmu berdiam diri. Nah, ingat kata-kataku dan lakukan”
“Baik Panglima” dan Suro Bhakti yang sebenarnya masih berduka atas kematian kakaknya dengan cepat menguasai dirinya. Sebagaimana kegagahan kakaknya, demikian juga Suro Bhakti. Dia sadar, bahwa bahaya besar mengancam, dan sebagai lasykar professional, dia harus mengutamakan keselamatan banyak orang ketimbang mengurusi urusan pribadinya. Karena itu, dia berlalu dengan cepat dan dengan semangat tugas yang berkobar.

Sepeninggal Suro Bhakti, Panglima Jayeng Kencana kemudian berpaling dan memandang kedua anaknya. Cukup lama mereka berpandangan, sampai kemudian terdengar sang Panglima berkata:

“Pandu dan Ratna, keadaan akan berubah memburuk. Kalian berdua sudah harus mulai memikul tugas untuk menjaga keamanan seluruh isi rumah kita ini. Ayah yakin, guru atau paman kalian pasti akan ikut berada disekitar sini. Tidak ada orang lain yang lebih mengenalnya ketimbang ayah kalian. Apalagi dia sendiri menyayangi kalian bagai anaknya sendiri. Tetapi, sudah saatnya kalian ikut memikul tanggungjawab yang besar. Karena badai ini tidak akan reda dengan mudah”

“Ayah, Pandu siap untuk memikul tanggungjawab itu. Jangan takut ayah, jika diperlukan, Pandu siap untuk ikut dalam pertempuran membela kehormatan keluarga dan Kerajaan ini”

“Ayah, Ratna juga siap melakukan tugas yang sama”

“Ayah bangga terhadap kalian berdua. Paman kalian telah mendidik kalian dengan sangat baik” Sungguh bangga sang Panglima melihat semangat kedua anaknya. Dan tidak kecewa dia menyerahkan keduanya dalam didikan adiknya yang dia kenal betul perangai dan kehebatannya itu.

Dan dia juga sadar, untuk urusan politik, adiknya tidak akan terlibat atau melibatkan diri. Tapi jika menyangkut keselamatannya pribadi dan keluarganya, dia yakin adiknya bahkan akan rela menyabung nyawa untuk itu. Dan dia sungguh bangga akan adiknya tersebut. Bangga atas pilihan hidupnya dan atas kegagahannya.

“malam ini Ayah akan bertemu beberapa orang untuk urusan yang sangat rahasia. Adalah tugas kalian berdua untuk mengamankan gedung kita ini. Ingat, untuk saat ini, adalah tepat kalian bahu membahu untuk mengatasi persoalan yang kita hadapi”

“Baik ayah” serentak keduanya menjawab.

“Sekarang bersiap-siaplah, hari sebentar lagi malam”

Dan malamnya, di Markas Besar Armada Angkatan Laut Sriwijaya, secara rahasia Panglima Besar Jayeng Kencana nampak sedang dalam sebuah pertemuan serius dengan dua orang pembesar tinggi lainnya. Yang seorang adalah Menteri Kebudayaan, seorang Menteri dan pembesar yang juga sangat patriotic. Setia kepada Kerajaan dan sangat prihatin dengan kondisi Kerajaan dewasa ini.

Menteri Kebudayaan ini adalah juga seorang pemikir, seorang yang sangat memperhatikan keadaan kerajaan dan selalu memikirkan perubahan dan perbaikan kualitas kehidupan rakyat. Dalam konteks hubungan dengan India Selatan, dalam hal ini Kerajaan Cola, Menteri Kebudayaan inilah yang banyak berperan pada masa Raja yang sebelumnya. Bahkan pembangunan beberapa Candi dengan latar budaya India yang kuat mempengaruhi, juga adalah hasil ide dan kreasi cerdas yang satu ini.

Dia bahkan beberapa kali sempat berkunjung ke Kerajaan Cola, pada saat sebelum Raja Rejendracola I naik tahta di Kerajaan Cola India Selatan. Karena itu, Menteri yang satu ini, boleh dikata mengenal karakter Kerajaan Cola, yang menurutnya banyak berubah akhir-akhir ini, terutama sejak Rejendracola I naik tahta menggantikan Raja Cola yang sebelumnya, Raja yang sangat bersahabat.

Sementara Petinggi yang satu lagi, adalah seorang Penasehat Ahli Raja Sri Tunggawarman. Sebagai seorang penasehat, keahliannya terutama adalah memberi nasehat kepada Raja khusus masalah-masalah keagamaan dan juga masalah keamanan dan politik. Penguasaannya atas seluk beluk agama Budha dan kondisi Sriwijaya secara keseluruhan membuat Sang Raja sangat mengandalkannya, bahkan terutama sejak Raja sebelumnya.

Sementara Raja Sri Tunggawarman, lebih membutuhkannya dalam urusan keagamaan secara formal, bukan ajarannya. Sedangkan untuk urusan Politik dan Keamanan, sang Raja cenderung mendasarkannya atas ajaran agama, dan bukan pada kepentingan efektifitas jalannya roda pemerintahan.

Dan karena itu, beberapa hal mereka jadi berbeda. Tetapi, selaku penasehat Ahli, petinggi yang satu ini memiliki akses yang sangat luas dan besar terhadap sang Raja. Hal ini tentu saja sangatlah penting. Dan, bersama dengan Panglima Jayeng Kencana dan menteri Kebudayaan, petinggi ini sangat sering berdiskusi soal-soal terakhir di Sriwijaya. Termasuk keadaan kurang mengenakkan yang terjadi akhir-akhir ini terkait dengan menurunnya disiplin pejabat, korupsi yang sulit terkontrol, bahkan terutama membanjirnya orang asing memasuki wilayah Sriwijaya.

Sekarang ketiganya, sedang duduk mengelilingi sebuah meja, dan di atas meja tersedia minuman panas penghangat badan. Pertemuan tersebut hanya terbatas mereka bertiga, terlebih karena informasi yang akan dibahas masih sangat dibatasi. Dan informasi itu, telah dipaparkan secara panjang lebar oleh Panglima Jayeng kencana:

“Bahkan untuk memperoleh informasi itu, kami membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Harganya adalah salah seorang orang kepercayaanku, andalanku dan petugas sandi yang sebenarnya sangat handal”

“Sebagaimana yang selama ini kita ragukan dan curigai, ternyata memang benar bahwa kedatangan orang India yang berlebihan dan menyolok ternyata mengandung arti yang lain” menteri kebudayaan nampak tercenung.

“Benar, sudah sering kuperhatikan, rombongan bhiksu dan padri dari India, banyak yang hanya luarnya saja. Beberapa dari mereka, bahkan dengan cepat menghilang di keramaian kota ini, dan tidak nampak untuk waktu yang cukup lama” Penasehat Raja berujar.

“Yang menjadi persoalan adalah, kita masih belum bisa membuktikan jika benar ada persekongkolan rahasia yang mengancam Negara ini. Selain itu, juga persoalan besar jika Sang Raja diberitahu sementara pilihan hidupnya dan pandnagannya soal politik saat ini, dia lebih layak menjadi Pendeta dan bukannya Raja” Menteri Kebudayaan menambahkan.

Nampak Panglima Jayeng Kencana kemudian berdiri, mondar-mandir mengelilingi meja pertemuan mereka. Dan tidak lama kemudian terdengar kembali dia berkata:

“Teramat sulit untuk memutuskan menyerbu rumah rahasia itu, apalagi kedoknya adalah Vihara. Dan resikonya adalah semakin rusaknya hubungan kita dengan Kerajaan Cola yang memang sudah buruk. Lebih celaka lagi, disiplin pasukan kita semakin tergerogoti. Masalah yang kita hadapi sungguh sangat berbahaya. Tidak ada cara lain selain menyampaikan masalah ini langsung kepada Sang Raja. Dan dalam hal ini, dari semua petinggi yang setia, tinggal Penasehat Raja yang sanggup melakukannya”, ujarnya sambil melirik Penasehat Raja yang juga sedang berpikir keras.

“Jika melihat gelagatnya, memang pertemuan dan keberadaan rumah rahasia itu, pastilah memiliki kaitan dengan penyerangan Raja Rajendracola beberapa tahun silam. Dan jika dia mengetahui kelemahan kita saat ini, rasanya tinggal menunggu waktu buat serangan lain yang lebih hebat. Dalam hal ini, keselamatan Kerajaan yang mesti kita pikirkan” Menteri Kebudayaan nampaknya menguatkan pertimbangan Panglima Jayeng Kencana, sambil melirik dan menimbang ekspresi wajah Penasehat Raja. Karena memang tinggal dialah harapan satu-satunya untuk mengingatkan sang Raja yang lebih senang tenggelam dalam pendalaman ajaran Budha.

“Aku sepenuhnya mengerti maksud kalian, dan bahkan sedang berpikir keras bagaimana upaya meyakinkan sang Raja. Perkara bertemu dan mengutarakan hal ini, bukanlah soal sulit. Yang sulit adalah, meyakinkan Sang Raja, bahwa persoalan sudah demikian genting. Terlebih, karena membuktikan kegentingan itu, bukanlah perkara mudah” Si penasehat nampak semakin suntuk tenggelam dalam pikirannya atas kesulitan yang dihadapi.

Ketiganya terus terlibat dalam perdebatan dan pertukaran pikiran untuk urusan nyelimet dan genting. Ketiganya paham, bahwa Sriwijaya sedang terus merosot dewasa ini. Dan hal ini terutama terjadi pasca penyerangan Rajendracola I, dan disusul kemudian dengan masuknya banyak orang India dengan kedok keagamaan dan perdagangan.

Kebetulan, Raja Sri Tunggawarman adalah seorang Raja yang memang sangat bijaksana, dan sangat dekat dengan ajaran Budha, bahkan berusaha keras mengamalkannya. Kewelas asihannya dan kesalehannya sangat bermanfaat bagi sesame manusia dan tentu bagi rakyatnya. Kesejahteraan memang masih terjamin, tetapi disiplin pamong praja dan terutama di kalangan militer sudah merosot dengan cepat.

Baginda Sri Tunggawarman, sungguh tak sampai hati menurunkan perintah menghukum pejabat tingginya yang jelas-jelas bersalah, bahkan bersalah besar. Hanya teguran dan permintaan untuk kembali ke jalan benar yang diucapkannya. Dan lama-kelamaan, pelanggaran demi pelanggaran semakin sering terjadi.

Dan lama-kelamaan, laporan soal itu ke Baginda pun semakin jarang, karena toch hampir tak ada gunanya. Sementara Sri Tunggawarman, sang Raja, beranggapan bahwa kondisi Kerajaan semakin membaik, dengan semakin berkurangnya laporan pelanggaran. Sayangnya, yang terjadi justru adalah sebaliknya.

Tengah ketiganya berbicara serius, tiba-tiba sosok bayangan menerobos masuk dengan ringannya. Bahkan bagaikan tertiup angin saja, untuk kemudian berdiri menghadap ketiga orang yang sedang berpikir keras tersebut. Belum lagi ketiganya sadar, pendatang yang ternyata adalah si Nelayan Sakti sudah berkata:

“Semua sudah dan telah digariskan. Manusia bisa berusaha, tetapi takdir telah menentukan. Semua akan menuju kesana, termasuk kita sekalian” Si Nelayan Sakti berdiam sejenak, memandangi ketiga orang itu satu demi satu untuk kemudian bertanya dan ditujukan kepada Penasehat Raja:

“Benarkah bahwa Baginda Sri Tunggawarman sedang menantikan kedatangan seorang Bhiksu dari Jawadwipa”? dan siapa gerangan yang mengusulkan agar Padri itu berkunjung menemui sang Baginda”?

Penasehat Raja yang belum begitu mengenal Nelayan Sakti terhenyak, dan nampak berusaha menekan kemarahannya karena melihat roman wajah lembut di mata si Nelayan Sakti. Bahkan tidak lama kemudian dia mendengar Panglima Jayeng Kencana juga ikut bersuara dan seakan sangat mengenal si pendatang yang masih asing baginya. Panglima Jayeng Kencana yang sudah tentu mengenal adiknya itu berkata:

“Saudara Penasehat, jawablah pertanyaannya. Dialah orang pertama yang mengetahui informasi yang kusampaikan tadi”

“Bolehkah aku mengetahui siapakah saudara”? Penasehat Raja bertanya sambil memandang si Nelayan Sakti. Sementara orang yang dipandangi menoleh sekejap kearah Panglima Jayeng Kencana dan mengangguk. Dan terdengarlah suara Panglima Jayeng Kencana menjawabnya:

“Saudara Penasehat boleh menjawab pertanyaannya. Dia bukan orang asing, dia adalah Guru anak-anakku, dan bahkan dia adalah Adik kandungku sendiri. Tetapi, dia lebih senang bersahabat dengan alam dan mendalami ilmu keagamaan” Inilah untuk pertama kalinya Panglima Jayeng Kencana memperkenalkan adiknya.

Anggukan adiknya tadi adalah tanda, dan kesehatian mereka sudah memberitahu Panglima, bahwa identitas adiknya tidak mungkin lagi disembunyikan. Dan jika adiknya sudah menetapkan demikian, berarti masalah yang dihadapi bukanlah masalah kecil. Meski dia tidak melihat raut kekhawatiran diwajah adiknya, tetapi dia sadar, sesuatu yang besar sedang terjadi. Dan sesuatu yang besar sajalah yang mampu mengusik adiknya dari keterikatannya dengan alam.

Sementara itu, mendengar ucapan Panglima Jayeng Kencana, baik Menteri Kebudyaan maupu Penasehat Raja tersentak. Belum pernah mereka mendengar Panglima Besar ini memiliki adik kandung. Tetapi adik kandung itu, kini berdiri dihadapan mereka. Meski mereka belum tahu kualitas dari adik sang Panglima tersebut
 
BAB 11 Pendeta Sakti Jawadwipa
1 Pendeta Sakti Jawadwipa




Keempat orang itu tenggelam dalam lamunan dan dugaan masing-masing. Panglima Jayeng Kencana diam-diam merasa khawatir akan keadaan yang berkembang semakin mengkhawatirkan. Fakta turun tangannya adiknya yang sakti mandraguna, disatu sisi memang membuatnya senang, tetapi sekaligus membuatnya makin merasa was-was.

Semua karena dia tahu, bahwa hanya karena urusan yang sangat besar sajalah yang mampu menggugah adiknya dari aktifitas kesehariannya di pinggiran sungai Musi itu. Sementara Penasehat Raja dan Menteri Kebudayaan, tenggelam dalam kesibukan menduga-duga, seperti apa orang yang memasuki ruangan pertemuan tanpa mereka tahu itu.

Bahkan tanpa mereka tahu bagaimana cara masuknya. Mereka menebak-nebak, sehebat apa orang ini? tetapi sekaligus juga kagum melihat betapa bening matanya dan betapa lembut tatapannya. Hanya orang yang tidak memikul beban berat dalam kehidupan yang memiliki kesanggupan menampilkan wajah dan tatap mata sebening dan sesejuk itu.

Sementara dipihak lain, Nelayan Sakti Sungai Musi menunggu jawaban Penasehat Raja dan Menteri Kebudayaan terhadap pertanyaan yang memang berkaitan dengan rasa was-was dan usikan terhadap kalbunya selama beberapa waktu terakhir.

Pada akhirnya terdengar Penasehat Raja menarik nafas panjang, menyadari bahwa cukup lama dia berdiam diri dan mengamati tamu asing yang baru masuk, dan yang ternyata malah adalah adik kandung sang Panglima. Setelah menarik nafas panjang dan kemudian membetulkan posisi duduknya, Penasehat Raja berujar:

“Dari manakah saudara, eh maafkan, aku belum mengetahui nama saudara …. Jika tidak keberatan”

“Ah, apalah artinya nama”? orang-orang di pinggiran sungai memanggilku dengan nama Nelayan Aneh Sungai Musi” si Nelayan Aneh memotong dan menjawab dengan senyum dikulum.

“Hm, memang nama yang aneh. Rupanya saudara tokoh aneh yang sering dibicarakan banyak orang. Baiklah, darimanakah gerangan saudara memperoleh berita ataupun informasi rahasia mengenai kedatangan seorang pendeta Budha dari tanah Jawadwipa itu?

“Sebelum meninggal, muridku mengingatkanku bahwa seorang Pendeta Sakti dari Jawadwipa sedang dinantikan. Dan entah apa yang ingin diperbuat gerombolan itu terhadap Pendeta dari Jawadwipa tersebut. Muridku keburu menghembuskan nafasnya yang terakhir” Nelayan Aneh Sungai Musi menjawab dengan mantap tanpa keraguan sedikitpun.

Tergetar juga perasaan Penasehat Raja. Rupanya Suro Dipo yang sakti mandraguna itu adalah murid Nelayan Aneh ini. Jika demikian, Nelayan Aneh ini bukanlah orang sembarangan. Tapi, yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah fakta betapa kedatangan Pendeta dari Jawadwipa ternyata juga tercium oleh kawanan perongrong.

Akan sangat berbahaya apabila Pendeta dari Jawadwipa itu, juga ikut mengalami gangguan dari gerombolan yang memiliki maksud tidak baik itu. Dan, bukankah yang mengetahui kedatangan Pendeta itu hanya dirinya, Patih Kerajaan, Raja dan Padri Sakti dari India yang menjadi tamu Raja beberapa bulan terakhir? Bukankah runyam bila Pendeta Jawadwipa yang diperintahkan Raja Airlangga ke Bumi Sriwijaya sampai mengalami gangguan? Sangat mungkin Sriwijaya terjepit diantara kekuatan Kerajaan Cola maupun kekuatan Kerajaan di Jawadwipa.

“Semakin dipikir, menjadi semakin rumit” gumam Penasehat Raja

“Apa maksudmu gerangan?” Menteri Kebudayaan yang mengikuti percakapan dengan saksama, selain mengagumi si Nelayan Sakti, juga menjadi tersentak karena ada kabar lain yang justru dia tidak tahu dan bocor keluar entah bagaimana caranya.

“Kira-kira 2 bulan lalu, ada seorang Padri dari India yang sangat menarik hati Sang Baginda. Berhari-hari mereka mendiskusikan masalah agama Budha, termasuk melibatkan kami beberapa kali. Dan memang, kedalaman pengetahuan Padri itu sungguh luar biasa. Meskipun sangat sederhana, tetapi nampaknya dia mengenali dan menguasai perkembangan agama Budha hingga ke Tiongkok dan bahkan Jawadwipa. Bahkan konon dia pernah mengembara hingga ke Candi Borobudur di Jawadwipa, dan pernah mengunjungi Cina untuk perluasan agama Budha”, sampai disini Penasehat Raja berhenti sejenak. Sebelum kemudian sambil sejenak termenung, seperti mengingat sesuatu dia akhirnya melanjutkan:

“Pada akhirnya, sebelum ke Sriwijaya, karena tertarik dengan pesatnya agama Budha di daerah kita, maka sang Padri berkenan singgah dan menyambangi Raja kita. Meskipun sangat lemah dan sudah sangat tua, tapi Padri itu nampaknya sangat sakti, karena mengenal tokoh-tokoh utama dari dunia persilatan di India, Jawadwipa, Sriwijaya dan bahkan Tiongkok. Hanya, dalam percakapan-percakapan sebulan terakhir, nampaknya Padri itu sangat ingin bertemu dengan seorang sahabat lamanya di Jawadwipa, seorang Pendeta dari sana. Hanya saja, nampaknya seperti tiada keinginan Padri itu untuk berjalan lebih jauh ke Jawadwipa, dan meminta bantuan Sri Raja untuk mengundangnya sebagai tamu di Kerajaan ini”

“Apakah Padri itu sempat menyebutkan nama dari Pendeta asal Jawadwipa yang dimintanya untuk diundang ke Sriwijaya ini oleh sang Raja”? Nelayan Aneh menyela ketika Penasehat Raja berhenti sejenak untuk melanjutkan penjelasannya. Penasehat Raja memandang sekejap kearah Nelayan Aneh Sungai Musi untuk kemudian berkata:

“Tidak, mungkin di kesempatan percakapan lain dengan Raja sang Padri menyebutkannya. Tetapi, yang aku tadu, Pendeta Jawadwipa itu bertapa di sebuah lembah dekat dengan Candi Budha yang megah di Jawadwipa itu. Dan konon, Pendeta Jawadwipa itu, juga sakti mandraguna. Hanya, yang lebih menarik dari Pendeta itu, menurut Padri dari India, adalah sari pati kitab ajaran keagamaan yang mencoba mencakup inti ajaran Budha, Hindu dan juga agama-agama di Jawadwipa. Konon, itulah yang membuat kitab agama itu menjadi sangat menarik, dan Padri asal India itu, juga sangat tertarik. Sayangnya, kitab itu ditulis dalam bahasa melayu, dan karena banyak ahli bahasa Melayu yang bisa menterjemahkan kedalam bahasa Sansekerta, maka Padri itu minta tolong kepada Raja untuk membantunya” demikian Penasehat Raja mengakhiri cerita mengenai Pendeta asal Jawadwipa yang sempat disampaikan sebelum ajal muridnya kepada Nelayan Aneh. Tapi, penjelasan ini, justru menjadi semakin rumit, karena jika kitab ajaran agama yang akan datang, untuk apa sesuatu itu ataukah kitab agama itu diambil atau direbut dari Pendeta itu? Benarkah Kitab itu atau adakah sesuatu yang lain dalam diri Pendeta itu? Dan siapa pula gerangan Pendeta Jawadwipa itu? Diakah …..?

Pikiran-pikiran dan dugaan yang berseliweran di kepalanya membuat Nelayan Sakti bergumam:

“Jika demikian, bisa diduga percakapan mengenai Pendeta Jawadwipa itu sudah bocor keluar. Tetapi, masalahnya, apakah yang serius dari Pendeta Jawadwipa itu hingga perlu direbut? Masakan kitab agama semacam itupun mau direbut? Dan yang juga penting adalah, siapakah Padri Sakti dari India itu dan siapa pulakah Pendeta Sakti Jawadwipa itu?”

“Adi, adakah engkau menemukan sesuatu”? Panglima Jayeng Kencana bertanya serius menatap adiknya, si Nelayan Aneh.

“Jika tidak penting, Suro Dipo tidak akan menyebutkan hal terakhir dalam hidupnya dengan penuh perhatian, sama seriusnya dengan informasi yang sudah disampaikan anak-anakmu” Nelayan Sakti kembali nampak seperti sedang berpikir keras. Jelas dia sangat memperhatikan persoaan satu ini. Tetapi kemudian, terdengar dia bertanya lagi:

“Siapakah sebenarnya Padri asal India itu? Bagaimana keadaannya atau cirri-cirinya, dan apa benar dia datang sendirian menemui Raja Sri Tunggawarman atau adakah teman ataupun pengiringnya”?

Penasehat Raja sejenak meneguk minuman penghangat badan, dan kemudian nampak mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya sesuatu didapatnya, dan kemudian dia berkata:

“Setahuku, Padri India itu datang bersama dengan 2 orang tua lainnya. Kalau tidak salah, keduanya diakuinya sebagai murid-murid dalam hal agama, seorang adalah nenek-nenek yang lebih muda dari Padri itu, dan seorang lagi adalah kakek-kakek yang juga lebih muda dari Padri India tersebut. Tetapi, kedua kakek dan nenek murid Padri itu, sama sekali tidak pernah ikut dalam percakapan. Namkanya karena percakapan lebih banyak dalam bahasa melayu, dan hanya kadang-kadang memakai bahasa sansekerta. Bahkan, kedua orang tua itu, juga sangat jarang terlihat di kompleks istana, juga ditempat lain sangat jarang mereka terlihat. Lebih banyak menyembunyikan diri di kompleks tamu istana”

“Kelihatannya, disinilah letaknya kecurigaan itu, jika memang ada. Tapi, biarlah kita melihat keadaan beberapa waktu kedepan. Masih butuh waktu untuk mem buktikan keanehan itu. Terima kasih atas penjelasannya biarlah aku mohon diri” dan dengan tidak mengganggu kebingungan Penasehat Raja dan menteri Kebudayaan, hanya dengan mengangguk kepada Panglima Jayeng Kencana, tiba-tiba tubuh Nelayan Aneh Sungai Musi sudah menghilang dari hadapan mereka bertiga. Dan sebagaimana tadi kedatangannya, demikian juga kepergiannya dari tempat tersebut.

“Luar biasa, Panglima Jayeng Kencana ternyata memiliki seorang adik yang demikian sakti mandraguna. Kenapa baru sekarang kami mengetahui keberadaannya”? Menteri Kebudayaan yang terlebih dahulu sadar dari ketakjubannya sudah langsung bertanya. Dan nampak Panglima Jayeng Kencana seperti sedang berpikir berat, berdiri sejenak dari kursinya, mondar-mandir seperti orang yang resah dan pada akhirnya kemudian berkata:

“Justru disinilah letak kerisauanku. Adikku itu teah lama tenggelam dalam penghayatannya atas agama Budha, dan mencoba terus mencari keselarasan hidupnya dengan alam. Dia tidak mau menumpang di rumahku, tetapi mendirikan sebuah gubuk di pinggiran sungai besar itu untuk tinggal bersahabat dengan alam, dengan hewan dan apapun yang ada di alam semesta. Dia menghabiskan waktu mudanya dengan berguru kepada seorang yang Sakti mandraguna, dan bertualang banyak tahun di Jawadwipa, sebelum akhirnya kuminta mendidik kemenakan-kemenakannya. Tidak pernah selama 10 tahun terkahir ini dia beranjak dari pinggiran sungai itu, untuk urusan apapun. Tapi, untuk urusan terakhir ini, nampak dia agak terguncang, dan berbeda dengan kesehariannya. Setahuku, hanya urusan yang sangat besar sajalah yang sanggup menggoyahkannya. Dan lebih dari itu, kesaktiannya membuatnya awas dan waspada, serta membuatnya mampu melihat jauh kedepan. Dan justru itulah yang mengkhawatirkanku. Jika adikku itu turun tangan secara langsung dan menunjukkan kekhawatirannya, maka berarti sesuatu yang “besar” akan atau malah “sedang” terjadi”

“Sehebat itukah Nelayan Aneh Sungai Musi”? Penasehat Raja nampak termangu dan takjub tetapi setengah kurang yakin.

“Engkau lihatlah Panglima Suro Dipo dan Suro Bhakti, betapa saktinya keduanya bukan? Tetapi, kehebatan mereka masih belum ada setengah kehebatan gurunya. Di Jawadwipa, dia dikenal sebagai “Bintang Sakti Membara”, karena kehebatan ilmu silatnya yang mampu mengobrak-abrik para penjahat di rimba persilatan Jawadwipa. Dia bahkan mahir ilmu sihir dan sanggup memainkan ajian ajian sakti dari Jawadwipa, ajian-ajian yang dianggap sudah lenyap disana. Tetapi adikku itu sanggup memainkan ajian-ajian sakti itu dengan sangat baik. Jika dia menghendaki, maka keluar masuk dari tempat ini, dan bahkan istana bukan perkara sulit buatnya. Sayangnya, dia tidak berkeinginan mencampuri urusan politik dan kenegaraan” Panglima Jayeng Kencana menerangkan siapa adiknya, seorang yang ternyata punya nama besar di Jawadwipa.

“Sungguhkah demikian”? Menteri Kebudayaanpun ikut-ikutan menjadi terpana mendengarkan penggambaran Panglima Besar Jayeng Kencana mengenai keberadaan adiknya itu. Sungguh luar biasa, ada tokoh sehebat itu tetapi hidup terpendam di tepian sungai Musi, dan hanya dikenali oleh orang-orang kecil, nelayan diseputaran sungai tersebut.

“Jika demikian, bukankah kita bisa minta bantuannya untuk urusan mendesak di Negeri kita ini”? tambah menteri itu bersemangat.

“Tidak mungkin, tiada seorangpun yang mampu merubah tabiat dan pilihannya itu. Bahkan akupun sebagai kakaknya tidak akan mampu. Jika dia menghendaki, maka jabatan tinggi di Kerajaan Jawadwipa ataupun Sriwijaya ini sudah diraihnya. Tetapi dia tidak menghendaki kemewahan, lebih menyukai kesederhanaan dan kemenyatuan dengan alam”

“Sayang” terdengar gumam kecewa Menteri kebudayaan dan Penasehat Raja secara bersamaan. Dan setelahnya, kembali mereka bertiga tenggelam dalam senyap, bermain dengan pikiran masing-masing.

========================

Sementara itu, Nelayan Sakti Sungai Musi yang ternyata memiliki julukan cemerlang dimasa lalu “Bintang Sakti Membara” telah melesat bagaikan terbang dari tempat pertemuan. Ada apa gerangan? Mengapa orang setua dan sesakti dia seperti tidak punya sopan-santun karena pergi begitu saja tanpa pamit, dan menghilang seperti mau pamer saja? Ada apa pula gerangan dia berkelabat seperti tidak menyentuh tanah dan seperti sedang diburu sesuatu? Dan ada apa pula dari bibirnya berkali kali terdengar desisan:

“begini rupanya” ….. atau sesekali, “benarkah dia”? meski begitu, derap langkahnya yang pesat bagaikan terbang tidak pernah kendor. Nampaknya dia seperti sedang memburu sesuatu, sesuatu yang tentu teramat penting baginya.

Dan memang, beberapa saat ketika dia tiba di tempat yang ditujunya, rumah kakaknya, rumah Panglima Jayeng Kencana, yang menyambutnya adalah suasana dingin menyeramkan, dan sepertinya tidak ada kehidupan dalam rumah tersebut. Justru keadaan itu membuatnya curiga. Tetapi tunggu, tiba-tiba dia mendengar suara jeritan seperti sedang berkelahi.

Dan tidak tunggu lama, segera tubuh orang tua sakti itu berkelabat ke bagian belakang. Dimana-mana dia melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan, bukannya mati, tetapi pulas tertidur. Dan dia tahu apa artinya hal tersebut.

Sebelum membangun orang banyak itu, dia perlu melihat, darimana dan ada apa dengan suara pertempuran yang terjadi di bagian belakang rumah? Dengan bergegas Nelayan Aneh melayang kebelakang, dan yang disaksikannya kemudian adalah 3 orang anak muda, Suro Bhakti, Pandji Winata dan Ratna Sari sedang berkelahi hebat menghadapi 2 orang yang nampak kesaktiannya diatas ketiganya. Dan jelas, anak muda-anak muda itu bukan lawan dua orang kakek tua, nampaknya berasal dari India, yang sedang berkelahi mempermainkan mereka.

Hanya Suro Bhakti yang agaknya lumayan perlawanannya, tetapi kakak beradik Pandu dan Ratna jelas sudah jatuh dibawah angin, dan tinggal menunggu waktu, mereka akan dijatuhkan. Dan sudah tentu, Nelayan Sakti Sungai Musi tidak menginginkan sesuatu terjadi atas 3 orang muda yang sangat dikasihinya itu. Belum hilang dari matanya, rintihan mudirnya yang lain, Suro Dipo melepas nyawa yang nampaknya akibat kedua orang ini. Masakan harus direlakannya lagi muridnya yang lain?

“Hentikan” sebuah suara yang teramat berwibawa dengan segera menggetar keluar dari mulutnya. Tidak salah, lewat suaranya, Nelayan Sakti telah menggetarkan suara berwibawa yang dilambari kekuatan “Gelap Ngampar”, sebuah Ilmu Sakti yang dikuasainya dengan baik. Dan sebagai akibatnya, semua yang sedang berkelahi, nampak termangu-mangu sesaat, seperti kehilangan semangat, bahkan termasuk dua orang kakek yang nampaknya lebih tangguh dari ketiga anak muda lawan mereka. Tetapi, dengan cepat mereka menyadari sesuatu dan akhirnya mengerahkan tenaga dan menemukan kesadaran mereka sendiri, dan kemudian membentak Nelayan Sakti:

“Siapakah engkau yang berani mengganggu pekerjaan kami”?

“Dari dandanan dan suara kalian, pastilah kalian bukan orang Sriwijaya. Buat apa kalian malam-malam begini menyerbu gedung kediaman Panglima Jayeng Kencana”? Apakah tidak takut berhadapan dengan pasukan keamanan dan penjaga Kerajaan Sriwijaya”?

“hahahahaha, jika kami takut, tidak akan kami melakukan pekerjaan ini. Dan soal pasukan keamanan, lihatlah, mereka semua sedang tertidur pulas. Jadi buat apa kami takut” Suara dan logat aneh ini, terdengar menyakitkan di telinga semua orang. Dan suara sengak seperti itu, membuat Ratna Sari menjadi semakin murka dan karena itu dengan suara manja kepada paman sekaligus gurunya dia berkata gemas:

“Guru, mereka bermaksud menawan atau bahkan membunuh kami. Katanya supaya kami tidak ribut-ribut dengan kematian Kakak Suro Dipo”

“Tenanglah Ratna, gurumu sudah tahu. Bahkan mereka menghendaki kerajaan ini, bukan hanya menutup mulut kalian. Kematian Kakakngmu Suro Dipo cuma alasan untuk cita-cita mereka yang jauh lebih besar. Bukankah begitu sobat sobat dari India? Apakah gerangan kabar baik dibawah dari tanah India? Dan bagaimana pula kabarnya “Sepasang Ular Dewa” yang konon sedang ikut keramaian kalian di Sriwijaya ini?”

Kontan wajah kedua orang kakek itu menjadi pucat. Tidak mereka sangka jika tokoh sakti dihadapan mereka bisa menebak siapa mereka, tugas mereka dan bahkan tulang punggung penyerangan pada malam hari ini. Diam-diam mereka bersiap diri, dan berkata:

“Engkau hebat, sungguh tahu banyak. Tetapi, kami tidaklah bisa dengan muda ditangkap. Ayo, majulah”

“Hm, kalian masih belum cukup berharga melawanku. Kemana “Sepasang Ular Dewa” itu berada, suruh mereka yang datang membebaskan kalian, baru hal tersebut memungkinkan” Nelayan Sakti tetap bersuara tenang. Tetapi, ketenangan tersebut tiba-tiba terusik oleh desisan halus pertanda ada pendatang baru disekitar itu.

“Ach, akhirnya ada juga keberanian kalian unjuk diri dihadapanku. Kukira hanya kebisaan membuat orang tidur yang akan kalian perlihatkan malam ini, ternyata ada juga keberanian kalian menunjukkan diri. Tapi, selamat bertemu Mahendra dan Gayatri, Sepasang Ular Dewa, buat apa merayap jauh dari India hingga ke Swarnadwipa? Mudah-mudahan bukan untuk urusan merusak” Nelayan Sakti berucap dalam bahasa Sansekerta yang kurang lancar

“Hm, Bintang Sakti Membara, Jayeng Reksa – tak disangka engkau menyimpan dirimu di bumi Sriwijaya …. Hahahahaha” Mahendra membalas dalam bahasa Melayu yang sama kurang lancarnya dengan Nelayan Sakti bernama asli Jayeng Reksa itu. Tetapi setelah itu, kakek aneh bernama Mahendra itu kemudian melirik kearah 2 orang kakek tua tadi dan berkata dalam bahasa asli mereka.

Nampaknya menyuruh mereka untuk segera berlalu karena mereka sadar, kehadiran Nelayan Sakti membuat keadaan memburuk. Mahendra, Gayatri dan Jayeng Reksa memang pernah bertemu di Tanah India ketika Jayeng Reksa dibawa gurunya ikut mengembara ke Tanah India. Bahkan, juga pernah bertemu di sekitar Jawadwipa ketika Mahendra dan Gayatri muda dibawa guru mereka mengunjungi kumpulan Candi Siwa, Hindu di daerah Jawadwipa.

Tetapi, perjumpaan-perjumpaan mereka bukan perjumpaan persahabatan, tetapi perjumpaan yang diselingi pertikaian dan perkelahian. Jayeng Reksa dan gurunya adalah tokoh-tokoh yang beraliran lurus, tetapi sebaliknya dengan Mahendra dan Gayatri serta guru mereka yang berdiri pada sisi seberangnya, aliran sesat.

“Kejahatan apalagi yang sedang kalian rancang di Bumi Sriwijaya ini sobat sobat lama?”

Nelayan Sakti bersuara ramah, meskipun sebenarnya dia sendiri meningkatkan kewaspadaannya. Dia tahu betul, kesaktian kedua orang ini tidaklah terpaut jauh dengannya. Tetapi, dia beroleh keuntungan karena kedua kakek dan nenek ini, pastilah baru saja mengerahkan tenaga besar untuk meninabobokkan banyak orang di sekitar rumah Panglima Jayeng Kencana.

“Engkau belum berubah, selalu ingin mengganggu kesenangan kami” Gayatri membalas ketus.

“Jika kesenangan kalian tidak mengganggu banyak orang, apalagi membantu meringankan beban banyak orang, pastilah tidak kuganggu” balas Nelayan Sakti dengan tenang.

“Sudah kuduga” Mahendra berkata sambil kemudian memberi kedipan mata kepada kedua orang kakek tadi, dan dia berjalan kearah Nelayan Sakti.

“Cepat”, perintahnya dan dengan segera beberapa orang bergerak bersamaan dengan kakek Mahendra. Adalah Gayatri yang nampak kemudian menggerak-gerakkan badan meliuk-liuk seperti ular yang menerjang bersama Mahendra kearah Nelayan Sakti. Sementara kedua kakek tadi, dengan cepat telah meloncat ke belakang, dan tidak lama kemudian menghilang dibalik kegelapan malam. Sementara Suro Bhakti yang ingin mengejar mendengar bisikan gurunya “biarkan saja, masih cukup waktu di masa mendatang”.

Aneh, mengapa Mahendra dan Gayatri menyuruh kedua kakek itu mundur? Apakah karena takut? Entahlah. Yang pasti, serangan mereka berdua, Mahendra dan Gayatri sudah menderu kencang kearah Nelayan Sakti, atau yang mereka kenal berdua bernama Jayeng kencana, Bintang Sakti Membara. Serangan keduanya selain cepat, juga sangat berat.

Mereka sudah sering berkelahi pada masa lalu, dan sejak dulu, mereka memang tidak pernah mampu menang melawan Nelayan Sakti atau Jayeng Reksa ini. Tetapi, setelah puluhan tahun, masakan masih tertinggal juga? Mereka penasaran. Tetapi, mereka baru saja mengeluarkan tenaga besar menidurkan pengawal Panglima. Karena itu, mereka memilih menyuruh anak buahnya kabur duluan, sementara mereka harus bergabung untuk menandingi Jayeng Reksa. Di sisi lain, Jayeng Reksa memang tidak takut terhadap dua orang ini.

Meskipun, dia sedikit khawatir, dengan adanya dua orang ini, selain Padri Sakti yang belum bisa dia duga siapa orangnya, tetapi dia masih merasa sanggup menahan mereka. Tapi, Jayeng Reksa ragu, apakah hanya dua orang ini sajakah lawan berat di pihak lawan? Sebuah pekerjaan yang tidak mudah tentunya.

Dan, pada akhirnya, kembali dia mengeluarkan Ajian saktinya, Ajian Inti Lebur Sakheti yang kini setelah puluhan tahun sudah dikuasainya secara matang. Saat ini, dia memiliki ajian-ajian sakti yang diwariskan gurunya kepadanya, bahkan semakin lama semakin matang. Bahkan, dengan semakin kuat kekuatan batinnya, semakin meningkat jugalah kemampuannya memainkan ilmu-ilmu ampuh dari perguruannya tersebut.

Selebihnya, dia juga sanggup mengisi kekuatan tangannya dengan Ajian Brajamusti, yang akan sanggup menggilas apapun hingga lebur. Dan kekuatan itulah yang digunakannya untuk melawan keroyokan dua jago kawakan asal Tanah India tersebut. Dan sebagaimana dugaan mahendra dan Gayatri, meski telah menggunakan ilmu ampuh mereka, tetapi kekuatan mereka sudah berkurang.

Itu sebabnya, meski mengeroyok, mereka masih merasa sedikit kelabakan. Padahal, dalam kondisi normal, seorang saja dari mereka, sanggup menahan Jayeng Reksa berlama-lama, karena selisih mereka memang tipis. Sekarang, berdua mereka hanya sanggup mengimbangi permainan Jayeng Reksa, bahkan mereka sadar, kekuatan mereka akan dengan cepat melorot. Kal ini dikarenakan cadangan kekuatan mereka sedikit goyah.
 
2




Keuntungan Mahendra dan Gayatri adalah, mereka sudah sering berkelahi bersama dan karenanya gampang saling mengerti. Termasuk seperti keadaan saat ini, mereka sadar dalam posisi berbahaya jika terus-menerus memaksakan diri. Tanpa bicara mereka mengerti bahwa mereka harus menyingkir jika ingin selamat tanpa terluka parah.

Karena itu, perlahan mereka menyiapkan diri untuk mundur. Padahal, Nelayan Sakti sendiri memang tidak berniat menahan mereka berlama-lama malam hari ini. Dia sadar, posisi mereka sangat berbahaya, dengan semua pengawal sedang tertidur. Karena itu, dia sengaja memberi celah dan peluang kedua kakak beradik seperguruan ini untuk pergi.

Selain gabungan keduanya memang sangat berbahaya, juga dia sadar bahwa untuk menang, hanya mungkin melalui perjuangan berat yang takkan terhindarkan, bahkan mungkin juga akan melukainya. Karena itu, ketika Mahendra dan Gayatri mengeluarkan serangan pamungkas berupa sinar-sinar berkeredepan kearahnya, Nelayan Sakti mengundurkan tubuhnya dan membiarkan kedua kakek dan nenek itu melayang menjauh untuk kemudian sama seperti dua kakek India sebelumnya menghilang dibalik gelapnya malam. Dan keadaan kembali berangsur normal, sementara ketiga anak muda yang tadi nonton, menjadi semakin kagum terhadap gurunya.

Tetapi Nelayan Sakti tidak meladeni pertanyaan dan ungkapan keheranan murid-muridnya, karena dia masih harus mengeluarkan tenaga untuk menyadarkan para pengawal yang tertidur akibat ilmu penidur dari India. Dan beberapa saat kemudian disekitar perumahan panglima Jayeng Kencana, berkumandang suara yang halus.

Menyusupi telinga para pengawal yang satu demi satu kemudian sadar, dan beberapa lama pada akhirnya semua pengawal menemukan kesadarannya dan merasa aneh, seperti baru siuman dari satu tidur panjang yang tidak mereka sadari. Dan ketika semua selesai, wajah Nelayan Sakti nampak sedikit berkeringat, karena upaya tadi, mengeluarkan Ilmunya Gelap Ngampar benar-benar menyita kekuatan tenaga dalamnya.

Tapi untunglah, semua pengawal kini sudah siuman, dan tidak berapa lama nampak Suro Bhakti sudah mulai mengeluarkan perintah mengatur anak buahnya untuk mengatur pengamanan lebih jauh. Ketika situasi sudah bisa terkendali, baru beberapa saat kemudian nampak Panglima Jayeng Kencana dalam kawalan yang sangat ketat memasuki rumahnya.

====================

“Adi Reksa, gimana? Ada hasilnya tidak?” Panglima Jayeng Kencana menyambut Nelayan Sakti adiknya dan bahkan memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan sebelum adiknya itu duduk. Hal mana kontan disambut dengan senyum dikulum. Karena Jayeng Reksa atau nelayan Sakti atau juga Bintang Sakti Membara dengan setengah menggoda segera menjawab pertanyaan kakaknya yang nampak sangat penasaran itu:

“Sabarlah kakang, baru juga engkau masuk. Mengapa kakang bisa begitu keburu nafsu untuk mengetahui masalah tersebut? Ingat, jangan kehilangan keseimbangan dalam keadaan genting”.

“Baik, baik, engkau duduklah dulu adi. Ada baiknya engkau menyegarkan diri dengan air putih ini, biar menyegarkan badan” Panglima Jayeng Kencana mencoba menenangkan diri, sambil kemudian menyodorkan minuman buat menyegarkan badan.

“Kakang, Kuil yang menjadi tempat pertemuan dan bersembunyinya orang asing itu sudah kosong melompong. Nampaknya mereka tergesa-gesa meninggalkan kuil tersebut, tetapi bisa dipastikan, mereka masih berada di pusat ibu kota Sriwijaya. Tentu menyembunyikan diri mereka. Tetapi, dengan diketahuinya jejak-jejak persekongkolan mereka, nampaknya saat-saat menentukan akan segera tiba”

“Kosong katamu? Artinya mereka sudah meninggalkan kuil itu, dan entah dimana kita mesti mencari mereka”

“Tidak usah dicari, mereka akan datang sendiri suatu saat. Karena memang demikian nampaknya yang akan terjadi” Jayeng Reksa berkata kalem, tetapi nampak sangat yakin dalam ucapannya. Seakan dia tidak sadar, bahwa ucapannya itu dengan telak menikam kejantung kakaknya yang memang sangat patriotik itu.

“Bagaimana dengan usaha Penasehat Raja kakang? Adakah kemajuan dari upayanya tersebut? Nelayan Sakti balik bertanya

“Dalam hal menegaskan dan meyakinkan Raja atas upaya rahasia melemahkan Sriwijaya, seperti biasanya tidaklah menghasilkan apa-apa. Tidak bisa dicegah, Kerajaan ini seperti sedang meruntuhkan dirinya sendiri. Disiplin para pembesar menurun drastis, bahkan angkatan perang, kecuali Armada Laut Sriwijaya semakin merosot kekuatannya”

“Semua berjalan sebagaimana memang sudah tertulis dan sudah ditakdirkan kakang. Kita wajib menegakkan yang benar, tetapi sebesar apapun upaya kita, tidak akan merubah apa yang telah tertulis itu”

“Benar Adi, tetapi sebagai Pembesar Kerajaan ini, betapapun hatiku tidak akan rela bila kebesaran itu runtuh begitu saja. Runtuh di tangan seorang Raja yang begitu mengasihi sesamanya, mengamalkan agamanya, tetapi tidak bermanfaat baik bagi pelaksanaan pemerintahan. Sungguh menyedihkan”

“Tidak ada yang terlampau menyedihkan jika semua dihadapi dengan lapang dada kakang”

“Benar, tetapi dadaku masih belum selapang dadamu adi. Dan karena itu, belum sanggup menerima kenyataan itu dengan sangat lapang”

Keduanya terdiam. Sorot mata Jayeng Reksa jelas-jelas menyorotkan sinar kagum dan kasih atas apa yang sedang bergejolak didada kakaknya. Kakaknya yang perkasa, sangat ahli di bidangnya, sangat mencintai Tanah Airnya, dan yang menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya, betapa kebesaran kerajaan yang dicintainya sedang merosot dan menuju kehancuran. Padahal, kakaknya itu berperan besar dalam menyokong kebesaran kerajaan itu selama puluhan tahun terakhir ini.

“Kakang, adakah berita mengenai Pendeta dari Jawadwipa itu”? Pertanyaan Jayeng Reksa menyentakkan kembali Panglima Jayeng kencana dari lamunan dan pikiran-pikirannya sendiri, dan perlahan kemudian Panglima Perkasa itu mendekati meja dan mengambil tempat duduk. Meraih minuman dan meneguknya buat menyegarkan badan dan pikirannya, dan beberapa saat kemudian dia berkata:

“Menurut Penasehat Raja, diperkirakan Pendeta Jawadwipa tersebut akan memasuki kota raja pada dua bulan mendatang. Konon, masih ada beberapa hal yang perlu diselesaikan pendeta itu di Jawadwipa baru kemudian memutuskan datang ke Sriwijaya”

“Hm, dan apakah ada kabarnya dimana gerangan ”Sepasang Ular Dewa” tersebut berada? Jangan-jangan mereka bersembunyi di istana para tamu Kerajaan”?

“Sulit dipastikan adi. Akses atau pintu masuk ke tempat para tamu itu sangatlah terbatas. Dan Penasehat yang pernah mencoba sekali memasukinya, juga tidak sanggup menemukan apa-apa, termasuk tidak menemukan jejak sedikitpun dari kedua orang tersebut”

“Jika begitu kakang, mari kita bicarakan beberapa hal yang sangat penting untuk persiapan ke depan” Jayeng Reksa nampak berujar dengan mimik yang serius dan memaksa kakaknya Panglima Jayeng Kencana untuk ikut menjadi lebih serius lagi.

“Adi, apa maksudmu”?

“Kakang, rasa was-wasku pasti berkaitan erat dengan gerombolan yang sempat bersembunyi di kuil itu. Dan jika benar dugaanku, maka dalam waktu lebih kurang 6 bulan kedepan, sesuatu yang besar akan segera terjadi. Untuk menghadapi hal tersebut, maka tidak ada cara lain, meski sudah tercatat, tetapi aku tetap harus mempersiapkan anak-anak kita menyongsong masa-masa yang sulit tersebut”

“Apakah berarti bahwa akibat dari penyusupan itu akan terjadi kurang 6 bulan lagi adi”?

“Perasaan dan firasatku memang demikian kakang”

“Dan apakah artinya kita kemungkinan akan mengalami kembali serangan dari Kerajaan Cola?

“Masalah itu kakang lebih mengerti. Aku kurang paham soal politik, tetapi boleh jadi memang demikian”

“Adi, apa saranmu buat kakangmu ini menghadapi persoalan berat ini”?

“Kakang, untuk persiapan Kakang dan pasukan Sriwijaya, tiada yang bisa kusarankan. Tetapi, ada baiknya kakang melatih barisan khusus di daratan. Entah mengapa firasatku menyatakan bahwa jika benar bencana itu datang, maka bahaya terbesar justru di daratan. Pasukan kakang masih teramat kuat di Lautan, tetapi kekuatan Sriwijaya di daratan menjadi teramat lemah dari hari kehari”

“Justru itu masalahnya Adi …. Waktu 6 bulan tidak memadai untuk mempersiapkan pasukan darat yang kuat setelah moral dan disiplin mereka merosot sangat tajam”

“Kakang masih punya waktu mempersiapkannya, tetapi segalanya memang sudah atau harus terjadi. Kerjakanlah apa yang menjadi bagian kakang, itu yang terutama. Jika ada diluar bagian kakang yang bisa terbantu, syukur. Jika tidak, maka tugas kakang sudah dilakukan secara paripurna, dan itu tetap harus disyukuri. Tidak banyak yang bisa mencapai sukses dan pahala sebesar yang kakang lepaskan. Tidak banyak orang yang merasa nelangsa bila Negaranya merosot, dan tidak banyak yang mau mengorbankan pikiran, perasaan dan kebesarannya bagi kebesaran Negaranya. Kakang telah menunjukkan diri sebagai salah satu dari sedikit orang itu. Tidak berlebihan bila aku merasa sangat bangga memiliki kakang sebagai kakak.

“Adi, engkau harus tahu kalau akupun bangga memilikimu sebagai adikku. Pilihan hidupmu, prinsip hidupmu dan rasa kasihmu terhadap sesama manusia dan alam kehidupan, meskipun sulit kupahami, tapi sangat kuhormati” Panglima Jayeng Kencana bangkit dan memeluk adiknya …… sementara Jayeng Reksa sang adik, meski merasa aneh karena kakaknya berlaku luar biasa, tetapi sangat memahaminya. Setelah beberapa saat, Jayeng Reksa kemudian berkata:

“Kakang, waktu kita tidak banyak lagi. Aku akan memulai memperdalam kemampuan anak-anakmu dan juga Suro Bhakti. Sebaiknya kakang melatih pasukan khusus atau pasukan istimewa dari lingkungan kakang, tetapi dengan kemampuan bergerak di darat yang bisa diandalkan. Mudah2an bermanfaat. Waktu yang tersisa manfaatkan sebaik-baiknya. Waktu akan bergerak sangat cepat bagimu kakang, hati-hatilah. Pada saatnya, aku akan datang khusus buat Nenggala, putra bungsumu”

“Baiklah adi, meskipun tidak engkau katakan, tetapi apa yang akan terjadi bagi keluargaku sudah bisa kurasakan. Debaran-debaran di jantungku seakan memberitahu sesuatu bagiku. Dan jika menurutmu memang garisannya sudah demikian, biarlah aku berlalu dengan tidak merusak kehormatanku. Dan adalah tugasmu adi, untuk menjaga kelanjutan keluarga kita”

“Pasti akan kulakukan kakang. Bahkan bintang putra bungsumu akan melebihi kita berdua. Jangan engkau khawatir berlebihan buat mereka. Apalagi, kita masing-masing memang harus meniti kehidupan kita sesuai dengan jalan kita sendiri” Jayeng Reksa atau nelayan Aneh, sebetulnya merasa sedih, tetapi sudah lama dia berkemampuan menindas perasaan apapun didalam hatinya. Karena itu, tampilan wajahnya tetap sejuk dan tenang.
Tetapi, Jayeng Kencana, Sang Panglima Perkasa, tahu belaka siapa adiknya dan bagaimana kemampuannya. Meski hanya selintas, dia tahu bahwa adiknya sedang terharu dan prihatin atas apa yang akan dilalui dirinya kedepan. Tapi, sang Panglima sadar, bahwa itulah jalan yang harus dilaluinya. Dan dia ingin melaluinya secara jantan, karena itulah garisan hidupnya.

“Kakang, perkenankan aku pergi. Anak-anakmu, Pandu dan Ratna akan menghabiskan jauh lebih banyak waktu denganku hari-hari kedepan, demikian juga muridku. Tetapi khusus untuk Suro Bhakti, sewaktu-waktu engkau bisa memanggilnya untuk membantumu melatih pasukan daratmu. Jaga dirimu baik-baik kakang” setelah mengucapkan kalimat itu, Jayeng Reksa bangkit dari duduknya, menjura kearah kakaknya dan kemudian berlalu.

Dan tertinggal keheningan di ruangan itu. Tapi, Panglima Perkasa itu, bukannya sedih dan takut, tetapi malah bersemangat besar untuk segera melakukan apa yang disarankan adiknya. Saran yang dirasakannya sangat masuk diakal, dan diharapkannya mampu merubah takdir itu. Itulah sebabnya Panglima Jayeng Kencana kemudian memiliki kesibukannya sendiri pada hari-hari kemudian.

Kesibukan yang hanya diberitahukannya kepada kedua sahabat dekatnya, Menteri Kebudayaan dan Penasehat Raja, selain tentu diketahui adiknya yang menyarankannya mengerjakan hal tersebut.

***

Hari-hari setelahnya, Sriwijaya mengalami masa yang penuh ketenangan. Tidak ada satupun yang mengusiknya, hal yang membuat apa yang dikhawatirkan oleh Panglima Jayeng Kencana, Menteri Kebudayaan dan Penasehat Raja seperti tidak terbukti. Karena itu, kegalauan mereka, kemudian dianggap mengusik sang Raja karena memang tidak menunjukkan adanya bukti yang bisa dipercaya.

Bahkan ketika pasukan Panglima Jayeng Kencana menggerebek Kuil yang dimaksud, kuil tersebut sudah kosong, dan tak ada jejak jeka kehidupan disana. Tokoh-tokoh yang ditemukan di sana, bahkan kemudian menghilang dan tidak pernah kelihatan lagi. Bhiksu-bhiksu Budha asal India yang sebelumnya memang banyak di Sriwijaya, juga secara perlahan menghilang atau jumlahnya menyusut.

Fakta yang bagi ketiga sekawan itu mencurigakan, tidak berarti apa-apa bagi Raja. Bahkan sebagai akbatnya, akses Penasehat Raja menjadi semakin menyempit dan mengecil. Dia bisa bertemu sang Raja apabila memang Raja menginginkan untuk bertemu dan berdiskusi sesuatu. Tetapi, beberapa minggu terakhir, panggilan bertemu Raja sama sekali tidak ada. Dan sang penasehat maklum, bahwa kondisi ini adalah akibat dari kejadian beberapa waktu lalu, ketika sarannya tidak diperhatikan dan tidak menunjukkan adanya hal yang patut dicurigai bagi Raja.

Waktu terus berlalu, sebulan lebih telah lewat. Raja semakin tenggelam dalam perenungan dan pendalaman keagamaannya. Pemerintahan keseharian, lebih banyak diserahkan kepada para Menteri dengan pengaruh utama ada pada Patih keajaan Sriwijaya. Tetapi, dengan disiplin dan moral sebagian pejabat yang sudah menurun jauh, sisa-sisa kebesaran Sriwijaya sajalah yang masih tertinggal.

Karena meskipun sang Patih cukup cakap, tetapi, peradilan bagi pembesar, tetap berada di tangan Raja, termasuk pergantian para pembesar di lingkungan Istana. Akibatnya, amat sulit jalan bagi Patih untuk menegakkan kewibawaannya. Bukan karena Rajanya bodoh, tetapi karena sang Raja terlampau baik, tidak tega untuk menurunkan tangan keras, dan selalu beranggapan bahwa siapa yang bersalah patut diberi kesempatan lain untuk berubah.

Padahal, sehari-hari Raja lebih tekun bersemadhi, atau jika tidak bertukar pikiran dengan pemuka agama ataupun Bhiksu, Pendeta dari manapun yang diundangnya untuk bertukar pikiran. Dan dalam 3 bulan terakhir, seorang Rahib atau Padri dari India, selalu terlihat bercakap-cakap dan bersamadhi bersama sang Raja.

Lebih sering mereka bercakap berdua, dan sesekali didampingi Penasehat Raja atau beberapa petinggi agama Kerajaan Sriwijaya. Rahib atau Padri itu, memang memiliki pengalaman yang luas dan pandangan keagamaan yang sangat dalam. Hal yang membuat sang Raja begitu betah berlama lama bertukar pikiran dengannya. Karena banyak hal yang bisa ditanyakannya, sementara Padri itu bisa memberi beberapa contoh amalan yang ditemukannya di banyak tempat yang berbeda-beda.

Sementara itu, di tempat lain selama sebulan lebih, Nelayan Sakti Sungai Musi, memiliki kesibukan lain. Dia menggembleng murid-muridnya secara serius, bahkan pernah selama 3 hari-3 malam, Panji dan Ratna melakukan Samadhi atau tapa.

Mereka mulai memasuki pengenalan atas kedalaman ilmu-ilmu mereka, bahkan beberapa ilmu andalannya seperti: Ajian Lembu Sekilan, Ajian Brajamusti dan Ajian Lebur Sakheti mulai coba-coba diturunkannya kepada keduanya. Hal yang sama, juga dilakukannya untuk Suro Bhakti, yang beberapa minggu terakhir disuruhnya untuk melakukan tapa pendalaman ilmu-ilmu yang telah dikuasainya.

Berbeda dengan kedua adik seperguruannya, Suro Bhakti telah memiliki kedalaman yang memadai, karena itu, dia lebih cepat menguasai dan menyempurnakan ilmu-ilmu pamungkas gurunya. Kecuali Ilmu Gelap Ngampar yang memang sangat dahsyat, dan belum mampu dikuasainya karena membutuhkan pengerahan kekuatan bathin yang dalam. Selama beberapa minggu terakhir, Suro Bhakti mengalami peningkatan kemampuan yang luar biasa, meskipun sesekali dia membagi waktu melatih barisan khusus Panglima Jayeng Kencana.

Pagi itu, nampak Nelayan Sakti Sungai Musi sedang bercakap-cakap dengan muridnya Suro Bhakti:

“Bagaimana nak, apakah engkau mengalami kemajuan dalam penggunaan Ajian Inti Lebur Sakheti”?

“Setelah melakukan tapa selama 3 hari beberapa minggu kemaren, aku sudah bisa melakukannya lebih baik guru. Apalagi setelah menyelesaikan tapa geni yang terakhir”

“Sejauh mana kini yang bisa engkau capai”?

“Sampai saat ini sudah sanggup meleburkan batu menjadi serpihan debu guru”

“Hm, betapapun kemajuanmu sudah cukup jauh. Engkau masih butuh sekali lagi mendalaminya melalui tapa geni, baru bisa mencapai kematangan penggunaan ilmu itu. Sayang masih sulit bagimu menanjak kepenguasaan Gelap Ngampar, kekuatan batinmu kurang memadai”

“Tidak apa-apa guru, lagipula dengan memadukannya bersama Lembu Sekilan, nampaknya bisa sangat bermanfaat”

“Benar nak, tetapi menghadapi tokoh selihay Sepasang Ular Dewa, masih belum cukup memadai. Mungkin untuk bertahan lama sudah memungkinkan dan juga untuk mengimbangi mereka, tetapi untuk mengalahkan mereka, engkau butuh penguatan dan pendalaman yang lebih”

“Masih cukup waktu untuk itu guru, saat inipun aku sudah merasa cukup memadai dengan kemajuanku”

“Hm, dalam hal ilmu kesaktian, jangan engkau merasa puas, dan jangan juga merasa tekebur. Tidak ada batas tingginya ilmu kesaktian seseorang. Melatih diri untuk mencapai kedekatan dan kemenyatuan dengan alam, akan membuatmu memahami lebih banyak hal. Nah, sambil menunggu adik-adikmu yang akan selesai beberapa jam, rasanya perlu engkau meningkatkan kekuatanmu. Waktu kita sangat terbatas, sementara engkau perlu melakukan banyak hal, bahkan dalam waktu beberapa hari kedepan kita akan sangat kerepotan”

“Maksud guru”?

“Untuk saat ini, jangan banyak bertanya. Engkau akan mengerti dengan sendirinya” Nelayan Sakti kemudian berjalan masuk ke Gua yang biasa digunakan murid-muridnya berlatih memperkuat diri dan batin, tidak begitu jauh dari gubuk tempat tinggalnya. Dan beberapa saat kemudian, orang tua itu sudah kembali menemui muridnya, sambil menyerahkan sebuah benda sebesar kelereng berwarna ungu, dia berkata:

“Kakek gurumu menemukan sebuah pohon berbuah aneh, tetapi berkhasiat luar biasa di sebuah pulau kosong jauh kearah timur Jawadwipa. Buah tersebut kemudian diolahnya, dan sangat bermanfaat untuk menggodok kekuatan tenaga dalam seseorang. Engkau sudah dalam tahap untuk bisa memakan buah ini, berbeda dengan adik-adikmu yang masih butuh beberapa waktu lagi. Telanlah sekarang ini dan setelahnya, pergilah ke air terjun di balik bukit ini. Pusatkan pikiranmu dan olahlah tenaga khasiat buah ini, tetapi jangan sekali-kali membuang atau mengeluarkan tenaga untuk mengujinya sampai engkau kembali ketempat ini”
“Baik guru” Suro Bhakti kemudian menelan buah aneh sebesar biji kelereng itu, tetapi dia tidak merasakan apa-apapun sebagai efeknya.

“Ada yang ingin engkau tanyakan nak”?

“Tidak guru”

“Baiklah, lakukan sesuai yang kusampaikan. Engkau butuh paling banyak waktu 3 jam untuk melatihnya, dan kemudian kembali kemari untuk mencobanya sesuai petunjukku. Pergilah”

“Baik guru” Suro Bhakti kemudian berdiri dan menjura kepada gurunya untuk kemudian berlalu ketempat yang ditunjukkan gurunya.

Sepeninggal muridnya, Nelayan Sakti nampak terpekur. Tapi, jelas, diwajahnya beberapa hal sedang coba diuraikannya. Dan beberapa saat kemudian dia bergumam: “Hm, nampaknya semakin dekat”. Tetapi beberapa saat kemudian dia tersenyum: “Betapapun waktunya masih cukup”.

Begitu seterusnya, hingga tak terasa beberapa jam sudah berlalu. Anehnya, meski berseliweran beberapa ide dan pikiran di benak Nelayan Sakti, tetapi wajahnya tetap seperti sedia kala, tenang dan tidak mudah menyiratkan emosi dalam dadanya. Karena memang, sudah cukup lama dan sudah matang Nelayan Sakti mengolah dirinya untuk bergaul akrab dengan alam dan menyatu dengannya. Dan pada akhirnya, lamunannya dibuyarkan oleh oleh kedatangan dua orang, dari gua dibelakangnya:

“Guru, kami sudah selesai” suara dari seorang anak muda dan disusul dengan berjalan keluarnya sepasang muda-mudi dan kemudian bersila dihadapan Nelayan Sakti.

“Bagaimana anak-anak, apakah kalian sudah selesai dengan tapa geni yang kedua ini”?

“Iya guru, tapi tubuh kami lemas sekali rasanya” suara si Gadis, yang bukan lain Ratna Sari terdengar, seperti biasa, dia memang lebih manja ketimbang kakaknya, Pandji Winata yang sangat hormat ke pamannya itu. Tapi, keduanya memang tidak bisa menyembuhkan kelelahan fisik yang sangat meletihkan mereka itu. Wajah mereka tidak bisa menyembunyikan perasaan letih dan lapar tesebut.

“Itu tandanya bagus, karena kalian berhasil. Nah, kalian pergilah ke gubuk, dan ada dua mangkok sup berisi obat disana. Habiskan, dan kemudian kembali ke Goa, pusatkan pikiran dan selama sejam, endapkan yang kalian peroleh. Tanggung, tubuh kalian akan segar kembali seperti sedia kala. Nah, anak-anak, lakukan segera”

Dan, kembali untuk beberapa lama Kakek itu tenggelam dalam kemenyatuannya dengan semesta. Tetapi, tidak berapa lama, kembali prosesnya itu terinterupsi oleh seorang anak muda yang lain. Suro Bhakti, kini anak muda itu yang sudah menyelesaikan latihannya, dan kini duduk bersimpuh depan gurunya dan tidak berani mengusik gurunya itu.

Dan Nelayan Sakti yang sangat mengenal anak ini, menjadi kagum dan terharu. Dia tahu anak itu sedang sangat tersiksa. Tapi muridnya atau anak angkatnya ini memang sangat memperhatikannya, malah melebihi kakaknya. Mungkin karena pengaruh namanya, sehingga anak ini sangat berbakti bukan hanya kepadanya, tetapi juga kepada panglimanya.

“Bagaimana anakku”?

“Guru, badanku bagaikan balon yang sewaktu-waktu siap meletus”
Nelayan Sakti nampak tersenyum sejenak dan berkata:

“Bagus anakku, nah dengarkanlah apa yang harus engkau lakukan. Lemaskan seluruh ototmu, jangan melawan apapun yang diinginkan dan dilakukan oleh hawa itu. Pikiranmu upayakan untuk menunggangi hawa itu, tapi yakinlah, bahwa sama seperti semesta ini, tubuhmu juga sanggup menampung hawa sebesar apapun. Ingat, usahakan untuk mampu menunggangi tapi jangan dulu berusaha mengendalikan hawa itu. Ikuti kemana dia mau, ikuti apa yang mau dilakukannya dan jangan melawannya. Nach, mulailah, pusatkan pikiranmu dan perlahan engkau lemaskan otot-otomu ….. baik, lakukan ….. lakukan anakku”

Suara Nelayan Sakti terdengar menjadi aneh. Tetapi sangat membantu Suro Bhakti untuk mencapai tahap yang disampaikan gurunya. Mulanya sangat sulit baginya untuk melemaskan otot dan membiarkan tubuhnya seperti semakin menggelembung. Bahkan tanpa disadarinya, beberapa kali tubuhnya terpental keudara, bahkan sesekali membentur pohon besar dibelakangnya.

Tetapi tuntunan suara gurunya membuat dia tetap tenang, bahkan pikirannya dan hatinya perlahan mengikuti mau dan keinginan hawa itu, merembes ke kaki, merembes ke tangan, mengitari pusar, terus kekepala, kembali ke badan dan tanpa disadarinya, menembus semua halangan-halangan baginya untuk menguasai tenaga dahsyat yang merasuknya itu.

Pada tahapan ini, kembali telinganya samar-samar mendengar bisikkan, “arahkan tenaga itu kepusarmu dan sembunyikan dia disana perlahan-lahan”. Tanpa membantah Suro Bhakti melakukannya, karena sekarang melalui hati dan pikirannya, dia mampu mengarahkan kemana tenaga itu pergi. Ada beberapa lama waktunya sampai kemudian Suro Bhakti sadar, dan dihadapannya bersila 3 orang: Gurunya dan kedua adik perguruannya.
 
3




“Bagaimana Suro Bhakti”? Apakah engkau sudah merasa jauh lebih baik”? terdengar suara Nelayan Sakti bertanya kepadanya persis setelah dia membuka matanya. Sejenak dia terkejut mendapati kedua adiknya juga sudah duduk bersila berendengan dengan gurunya.

“Sudah guru, badanku jauh lebih segar sekarang ini. Bahkan jauh lebih segar dibandingkan beberapa waktu lalu sebelum guru menyuruhku melakukan Samadhi dibalik air terjun itu.

“Kalau begitu, coba engkau lakukan kembali, engkau lontarkan jurus pamungkas Ajian Inti Lebur Sakheti”

“Baik guru”

“Aku akan melemparkan batu ini, dan diudara engkau salurkan kekuatanmu dan memukul batu ini saat melayang”

“Baik guru, aku siap”

Dan sang Guru kemudian mejemput sebuah batu yang cukup besar, 2 kali kepala kerbau dan melontarkannya keudara. Pada saat batu itu melayang di udara, Suro Bhakti segera bersiap, di bangkitkannya tenaga yang tadi disimpannya dan mengikuti alur gerakan memukul dan membangkitkan tenaga dari Ajian Inti Lebur Sakheti.

Dengan sigap dia memukul kearah batu itu, dan tiba-tiba terdengar suara: “wussssss”, ketika saluran tenaganya membentur batu itu. Dan anehnya, begitu batu itu terbentur pukulan anak muda itu, batu itu seperti lenyap seketika. Tidak ada hamburan debu, yang ada hanya bintik halus yang bahkan lebih halus dari pasir. Dan itupun hanya nampak seperti halimun berwarna cokelat, perlahan tertiup angin dan kemudian menghilang.

“Guru, me …. Mengapa batu itu hilang”? Ratna Sari bertanya bingung

“Iya guru, apakah yang terjadi?” Suro Bhakti sendiri kebingungan dan memeriksa tangannya, ragu apakah dia kehilangan kehebatannya ketika melakukan ilmu pukulan pamungkas gurunya barusan.

“Tidak Ratna, dan engkau Suro Bhakti. Kekuatanmu sudah meningkat luar biasa, hampir sulit kupercaya. Ach, eyang guru memang luar biasa. Engkau sudah berhasil menyempurnakan kekuatan Ajian itu anakku. Bahkan engkau sudah hampir menyusulku dalam penggunaan ilmu tersebut. Aku tidak perlu takut lagi jika engkau bertemu dengan Sepasang Ular Dewa itu”

“Ach, benarkah memang sehebat itu guru”? Pandji ikut bertanya

“Benar anakku, engkau dan Ratna sebentar lagi juga akan mencapai tahapan itu. Setidaknya dalam 1-2 bulan mendatang jika kalian tekun seperti hari-hari belakangan ini”

“Ach, guru, sukar untuk dipercaya” Suro Bhakti masih takjub dengan hasil yang dicapainya. Sungguh sulit dipercaya.

“Sudahlah anakku, cobalah engkau berlatih dengan menggunakan Brajamusti dan Lebur Sakheti, cobalah engkau meresapinya lagi”

“Baik Guru”

Dan Suro Bhakti kemudian meloncat ke tanah yang rada lapang, tempat mereka biasa berlatih dan mulai bersilat dengan ilmu-ilmu khas perguruannya. Banyak ilmu yang telah dikuasainya seperti Ajian Kidang Kuning yang membuatnya sanggup bergerak lincah dan sangat pesat, juga Ajian lain seperti Senggoro Macan.

Tetapi yang paling berbahaya adalah ilmu Brajamusti dan Inti Lebur Sakheti yang memang sangat merusak, sangat berbahaya bila diterapkan kepada lawan sebangsa manusia. Bahkan, lawan yang memiliki kekuatan gaibpun akan bisa terkena oleh alur pukulan yang sangat berbahaya ini.

Itulah sebabnya ilmu ini menjadi ilmu pamungkas Nelayan Sakti besama ilmu Brajamusti, karena sanggup mengurai sebuah benda menjadi bintik kecil, atau bahkan hilang dalam tingkatnya yang sudah sempurna. Nampak Ratna Sari melonjak-lonjak bangga dan girnag melihat kemajuannya kakak gurunya itu, sementara Pandji juga tersenyum-senyum kagum. Nelayan Sakti juga nampak tersenyum melihat kemajuan muridnya. Beberapa saat kemudian dia memanggil muridnya itu:

“Suro, cukuplah. Bagaimana, apa yang engkau rasakan”?

“Luar biasa guru, semua ilmu lainnya bisa dilakukan jauh lebih muda dan jauh lebih kuat rasanya” jawab Suro Bhakti setelah menghentikan latihannya.

“Syukurlah jika demikian. Kedua adikmu butuh waktu sebulan lebih untuk mencapai tingkatmu sekarang ini. Untuk selanjutnya, engkau perlu banyak bersamadhi guna meningkatkan kekuatan batinmu, sebab dengan cara itulah kesempurnaan ilmu yang engkau punya sekarang bisa dicapai”

“Baik, terima kasih ata segala budi dan kebaikan guru”

“Hm, masih juga engkau menyinggung hal itu anakku”

“Iya, tapi tanpa bantuan guru, mana mungkin aku bisa mencapai tingkat seperti yang sekarang ini guru”

“Tapi ketekunan dan keuletanmu juga berpengaruh banyak. Setidaknya, untuk melawan kedua manusia ular itu, engkau sudah bisa mengimbangi. Mereka masih menang matang, tetapi engkau menang usia. Ingat hal itu anakku”

“Hahahahahaha, jadi anak ingusan itu dipersiapkan untuk melawan kami? Engkau kelewat memandang kami rendah” tiba-tiba suara ketawa orang memecahkan kesunyian. Pada saat bersamaan, Nelayan Sakti berbisik kepada murid-muridnya:

“Waktu berlatih sebenarnya tiba. Ingat, Pandu dan Ratna, sedapat mungkin kalian maju berdua, dan jangan jauh-jauh dariku”

Dan setelah itu, dengan suara halus tetapi menggema jauh, Nelayan Sakti berkata menyambut pendatang itu:

“Bahkan dari jauh haripun aku tahu, kalian tidak akan pergi cepat-cepat meninggalkan bumi Sriwijaya. Sayang, aku tidak berminat mengusik istana persembunyian kalian. Marilah, bila kalian berminat untuk bermain-main”

“Bintang Sakti masih tetap membara ….. hahahaha, masih seperti dahulu. Tapi, kali ini kami berkehendak mengakhiri hidupmu agar tujuan kami berhasil” suara si wanita, Gayatri terdengar. Meski merdu, tetapi tajam menusuk dan menyakitkan. Karena suaranya bukan sembarang suara. Dan tidak berapa lama kemudian, 6 orang sudah berhadap-hadapan. Dan tidak lama kemudian menyusul datang 3 orang lagi, dan yang datang terakhir inilah yang dulu mengejar-ngejar Suro Pati sampai ditemukan gurunya.

“Hm, nampaknya persiapan kalian cukup matang Sepasang Dewa Ular. Tetapi, perhitungan dan firasatku menyatakan kalian akan gagal lagi. Meskipun jika tidak salah, masih ada seorang lagi yang bahkan lebih lihay dari kalian yang masih belum menunjukkan dirinya. Apakah benar demikian? Dan jika benar, siapakah gerangan ornag itu”?

“Hahahaha, memang sulit mengelabui Bintang Sakti Membara. Tetapi dia akan muncul pada saat yang tepat. Pada saat yang sangat diperlukan. Mari Bintang Sakti, mudah-mudahan kita sedang dalam keadaan yang lebih baik melanjutkan pertempuran kita” sambil berkata demikian, Mahendra sudah menerjang Nelayan Sakti atau yang mereka kenal sebagai Bintang Sakti Membara. Sementara itu pada saat bersamaan, Suro Bhakti juga sudah menerima terjangan Gayatri, si Ular Sakti Betina.

Sedangkan Pandji dan Ratna menghadapi 3 orang murid-murid dari Sepasang Ular Sakti itu. Pada akhirnya pertarunganpun mewarnai kesenyapan di tepi Sungai Musi, memecahkan kesunyiannya dan ditingkah oleh jeritan, teriakan maupun benturan-benturan berat yang terjadi antara mereka yang sedang saling adu kepandaian.

Dari 3 arena pertempuran pada saat itu, adalah pertempuran antara Pandji dan Ratna melawan ketiga murid Sepasang Ular Sakti yang nampaknya menunjukkan keunggulan di pihak Nelayan Sakti. Sebaliknya, meskipun alot dan mampu mengimbangi, jelas bagi Suro Bhakti bahwa dia kalah matang melawan Gayatri.

Tetapi, tidaklah muda bagi Gayatri untuk merobohkan anak muda yang baru mencapai kemajuan besar dalam ilmu kepandaiannya itu. Meskipun mendesak, tetapi Gayatri akan kesulitan untuk memaksakan kemenangan atas lawan mudanya itu. Apalagi, dalam hal siasat, Suro Bhakti yang matang dalam pertempuran, terkesan nampak mampu menilai keadaannya dan menerapkan taktik pertempuran yang akan makan waktu panjang.

Melihat keadaan ini, Nelayan Sakti menjadi sedikit lebih tenang. Dia sendiri memiliki keyakinan akan bisa memenangkan pertempurannya melawan Mahendra, yang meskipun berkepandaian tinggi, tetapi masih belum mampu mengalahkannya. Pertempuran pertempuran mereka dulu, memang tidak memiliki kepastian siapa pemenang, lebih karena memang Bintang Sakti Membara, mengerti betul keinginan gurunya.

Tidak menonjolkan kepandaian dan tidak emraih kemenangan untuk keagungan diri sendiri, apalagi bila akibatnya menghadirkan permusuhan besar.

Tetapi, ada beberapa hal yang mendorong Bintang Sakti Membara atau Jayeng Reksa ini untuk bertempur dengan keras. Mungkin, kematian anak angkat atau muridnya Suro Dipo hanya kecil pengaruhnya. Tetapi, pertama, kesadaran bahwa ada sesuatu yang besar, bencana besar yang sedang mengancam kakaknya dan bumi Sriwijaya, dan orang-orang ini ambil bagian dalam ancaman itu.

Dan, kedua, ada seseorang yang lebih lihay lagi yang masih bersembunyi disekitar tempat itu, dan dari tarikan nafasnya, dia sadar, bahwa orang itu, bahkan mungkin masih melebihinya dalam kesaktian. Karena itu, untuk berkonsentrasi menghadapi segala kemungkinan, Bintang Sakti Membara akhirnya mengluarkan kemampuan dan kebisaannya untuk mendesak Mahendra habis-habisan.

Untuk itu, Bintang Sakti Membara menyerang dan bertahan dengan menggunakan salah satu ilmu ampuhnya, yakni Brajamusti dan mengenakan kekuatan kebalnya Lembu Sekilan untuk pertahanannya. Dan akibatnya, menghadapi serangan-serangan berbahaya ini, Mahendra jatuh dibawah angin. Dan berbeda dengan adiknya Gayatri, Mahendra mengalami keadaan yang sangat berbahaya karena memang Bintang Sakti Membara mencecar untuk menundukkannya.

Meskipun telah mengeluarkan kemampuan terbaiknya, bahkan dilambari dengan ilmu sihirnya, tetapi semua mental menghadapi tembok Brajamusti yang juga sangat berguna menghadapi ilmu-ilmu sihir dan ilmu hitam lainnya.

Tengah Bintang Sakti Membara mendesak Mahendra sampai keteteran dan sebentar lagi jatuh, tiba-tiba terdengar suara mujijat di udara. Dan bersamaan dengan itu, bergumpal-gumpal awan hitam pekat menaungi arena pertempuran. Kondisi tersebut membuat Bintang Sakti tercekat.

Dia memiliki kemampuan melawan sihir tingkat tinggi seperti itu, tetapi melawannya dalam kondisinya saat ini, sama dnegan bunuh diri, sebab dia akan menghadapi ancaman mematikan dari Mahendra. Apalagi dia melihat ketiga muridnya, juga terganggu oleh awan hitam pekat yang mengancam akan menyerang dan mengurung mereka ditengah kegelapan yang pekat itu. Melihat keadaan berbahaya itu, tanpa memikirkan keselamatan dirinya, tiba-tiba Bintang Sakti Membara menyiapkan lontaran kekuatan Gelap Ngampar.

Tandingan dari awan pekat yang sedang turun menyerang mereka. Tetapi, sebelum dia melakukannya, tiba-tiba terdengar alunan lembut yang kemudian menciptakan awan dan kabut putih tipis, perlahan membentur awan pekat tersebut hingga berbaur. Dan perlahan-lahan, pertandingan antar suara terjadi, sementara mereka yang bertempur tidak menampakkan diri.

Pertempuran antara Mahendra dan Bintang Sakti Membara terhenti setelah Mahendra yang menyerang ketika ada ketika yang tepat, saat Bintang Sakti Membara menyiapkan Gelap Ngampar, membentur tameng kekuatan luar biasa dan melontarkannya kebelakang hingga terjerembab.

Apa gerangan yang terjadi? Pada saat Bintang Sakti Membara mulai menyiapkan ilmu saktinya Ajian Gelap Ngampar, terdengar bisikan: “awan pekat itu bagianku, selesaikan pekerjaanmu”. Dan saat yang singkat itu memberi keyakinan Bintang Sakti, bahwa pertolongan bagi pihaknya sudah tesedia.

Karena itu, kumpulan hawa mujijat dalam tubuhnya, justru dikerahkan menjadi tameng mujijat menyambut pukulan maut dari Mahendra. Dan akibatnya, Mahendra terpelanting kebelakang dan masih untung dia tidak terluka parah. Terpelantingnya Mahendra, mengakhiri pertempuran di semua arena. Karena Pandji dan Ratna, juga kemudian berhasil melontarkan ketiga lawan mereka, bahkan salah seorang dari mereka terluka sangat berat akibat serempetan Ajian Inti Lebur Sakheti yang dilepaskan Ratna Sari.

Sedangkan di arena lainnya, meski terdorong lebih jauh akibat benturan terakhir, tetapi Suro Bhakti sama sekali tidaklah terluka. Hal ini boleh jadi karena Suro Bhakti mengatur betul kekuatannya dan daya tahannya melawan nenek yang teramat sakti itu. Perkelahian merekapun sontak terhenti.

Dan kini, selain mendengar alunan suara-suara mujijat yang saling bersaing diudara, mereka menyaksikan pertempuran aneh. Yang pertempuran antara awan hitam pekat melawan awan putih tipis yang berusaha saling melibas dengan didorong oleh alunan suara yang berbeda.

Sekilas saja, Bintang Sakti Membara segera paham apa yang sedang terjadi. Sebuah pertarungan tingkat tinggi yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan sihir dan kekuatan batin tingkat tinggi. Kekuatan suara mereka, sanggup menciptakan awan putih dan hitam yang diudara berusaha untuk saling melibas tersebut.

Dan dengan segera disadarinya, bahwa untuk pertempuran dengan cara itu, dia masih sedikit dibawah kedua orang sakti yang tersembunyi dan sedang melakukan pertempuran tersebut. Dan diam-diam dia merasa kagum sambil bergumam: “Tidak disangka, kakak perguruankupun sudah tiba di tempat ini. Jika begitu, benar dialah Pendeta dari Jawadwipa yang ditunggu itu. Hm,keadaan menjadi lebih menarik”.

Sementara itu, pertarungan antara awan hitam dan awan putih yang mujijat diudara nampak cukup berimbang. Ada kalanya awan hitam berhasil mendorong dan melibas awan putih tipis, tetapi adakalanya terjadi hal yang sebaliknya. Nampaknya, awan hitam pekat yang bernafsu merongrong da mendorong awan putih tipis yang nampak lebih banyak bertahan. Bila terlampau terdesak, maka awan putih tipis itu akan bergerak pesat, meliuk liuk dan kemudian mendorong balik awan hitam pekat ketempatnya.

Dan dengan cara demikian, maka pertarungan itu berlangsung lebih jauh. Tetapi bagi mata ahli, Mahendra, Gayatri dan tentu Bintang Sakti, keadaan itu memperlihatkan kemurnian pengendali Awan Putih tipis masih lebih ungkulan, meski sangat tipis. Melihat hal tersebut, tanpa banyak cing-cong, Mahendra sudah menyiapkan langkah penyelamatan, dan nampaknya berbicara dalam ilmu menyampaikan suara ke murid-muridnya dan Gayatri.

Itulah sebabnya, ketika kemudian pertarungan antar awan memuncak, hanya Bintang Sakti sajalah yang tahu bagaimana caranya kedua lawannya itu berkelabat kearah 2 orang muridnya dan membawa mereka berlalu. Sementara orang ketiga yang tertinggal, kelihatannya memang sengaja ditinggalkan karena memang nafasnya tinggal satu satu, dan sudah sulit diselamatkan nyawanya.

Bintang Sakti Membara membiarkan mereka berlalu karena mempehatikan keselamatan murid-muridnya. Apalagi setelah dia melihat bahwa nampaknya awan putih ciptaan kakak seperguruannya masih sedikit tipis diatas awan hitam ciptaan musuh. Karena itu, ketika Mahendra dan Gyatri menyingkir, dia membiarkan saja, dan kemudian perlahan melirik kesuatu tempat.

Dan sebentar saja dia sadar, darimana kakak seperguruannya itu membantu mereka. Tetapi, dia cukup sadar akan kemampuan kakaknya itu, karenanya dia hanya memperhatikan saja tempat tersebut, dan kemudian segera sadar, bahwa kawanan pengacau tadi sudah semua berlalu, kecuali tokoh yang sedang adu ilmu atau yang sedang mendorong awan hitam pekat tersebut. Sebagai tokoh kawakan, Bintang Sakti sadar bahwa percuma dan tidak jantan untuk membantu pihaknya.

Itu juga sebabnya Bintang Sakti hanya melakukan tindakan pengamanan, baik bagi jurid-muridnya maupun posisi kakak seperguruannya. Dengan berkelabat ke beberapa tempat, Bintang Sakti kemudian kembali ke arena pertempuran semula, dan bersama anak muridnya dia menyaksikan betapa kali ini awan putih itu, sudah lebih santai nampaknya.

Karena serangan awan pekat tidak lagi seganas tadi, bahkan gema suara mujijat tadi, juga tidak sekuat semula. Perlahan namun pasti pertempuran itu akan berhenti, dan saat tu nampaknya keduanya, baik awan putih maupun awan hitam sedang berusaha menarik belitan antar pertarungan suara mereka.

Perlahan-lahan suara-suara itu menghilang, dan baik awan hitam maupun awan putih juga sirap dengan sendirinya. Dan bersamaan dengan itu, terdengar suara yang menggema seperti dating dari jarak ratusan meter:

“Masih ada hari esok, lain hari kita lanjutkan”

Dan setelah suara bergaung bekali-kali seperti membentur kiri dan kanan, akhirnya suara itupun sirap. Semua sadar, bahwa penyerang yang membentuk dan mendorong awan hitam tersebut sudah berlalu dari tempatnya. Situasipun kembali tenang.

Tetapi, ketenangan itu terus berlanjut. Bahkan kemudian ketiga anak muda itu menjadi kaget ketika melihat guru mereka duduk bersila, memejamkan mata. Tetapi, ketika melihat posisi dan keteraturan nafas gurunya, Suro Bhakti yang lebih berpengalaman segera sadar, gurunya sedang melakukan percakapan jarak jauh dnegan orang lain. Karena itu, dia segera berkata kepada adik-adiknya itu:

“Janganlah mengganggu guru. Kelihatannya guru sedang bercakap dengan orang yang tadi menolong kita. Lebih baik kalian segera berjaga disekitar tempat ini, biarkan aku mencoba melihat kondisi lawan kita itu” Sambil kemudian anak muda itu melangkah kearah lawan yang tadi terluka. Tetapi, sekali pandang, Suro Bhakti tahu bahwa lawannya bahkan untuk berbicarapun sudah sulit. Bisa dipastikan beberapa waktu lagi orang tersebut akan melayang jiwanya. Tetapi sebagai seorang Ksatria, Suro Bhakti segera berusaha menolong lawannya tersebut. Tetapi, ketika melihat keadaan tubuhnya, nampaknya justru dadanya yang terserempet serangan Ajian Lebur Sakheti, dan itu artinya pertolongan apapun tidak akan berhasil. Beberapa saat kemudian orang itu membuka matanya perlahan, melihat Suro Bhakti, dengan senyum lemah dia bergumam:

“maafkan aku, maafkan kami” hanya kalimat itu yang berulang ulang disampaikannya dengan logat yang asing, sampai kemudian orang tersebut menutup matanya.

Sementara itu, ditempat lain, nampak Bintang Sakti masih memejamkan matanya, sepertianya benar dia sedang berbicara dengan seseorang:

“Adi Reksa, bagaimana keadaanmu sekarang? Kulihat engkau memiliki murid murid yang baik, bahkan pribudi mereka juga sangat mengagumkan. Guru akan bangga dengan apa yang engkau lakukan”

“Ah biasa saja semua kakang, Bagaimana keadaanmu kakang, apakah baik baik saja? Aku nyaris pangling karena kakang sekarang dikenal sebagai Pendeta Sakti Jawadwipa, apakah nama Bintang Sakti 8 Penjuru sekarang sudah berganti kakang”?

“Ach, apa artinya panggilan itu adi Reksa? Engkau tahu sendiri, sejak dulu kakangmu ini tidak begitu menyukai urusan-urusan semacam itu. Hanya karena ada keperluan terkait dengan tulisan dan pendalaman guru kita, dan keselamatan banyak orang di Jawadwipa, maka terpaksa aku memenuhi undangan ke Bumi Sriwijaya ini. Meskipun sangat tidak tenang dan mengenakkan, tetapi nampaknya harus juga dilalui”

“Hm, kakang Kaho Dahi, nampaknya ada sesuatu yang serius yang menyeretmu hingga ke Bumi Sriwijaya ini. Bisakah kuketahui”?

“Tentu adi, sebab betapapun akan menjadi tanggungjawabmu juga. Karena terkait dengan pusaka karya puluhan tahun guru kita yang tercinta” Si pendeta yang ternyata bernama Kaho Dahi itu seperti menghela nafas panjang.

“Maksud kakang”?

“Seperti engkau tahu, Maharaja Dharmawangsa kurang begitu baik pergaulannya dengan Sriwijaya dan Kerajaan Colamandala, meskipun cukup baik dengan Tiongkok. Baru-baru ini, kira-kira 2-3 tahun sebelumnya, Maharaja Airlangga naik tahta menggantikan Raja Darmawangsa. Dan dewasa ini, Maharaja Airlangga sedang menata kembali pemerintahan di Jawadwipa dan Balidwipa, bahkan beberapa kerajaan kecil lainnya masih belum mau tunduk kepadanya. Karena itu, Raja Airlangga tidak ingin menanam bibit perpecahan dan permusuhan dengan Sriwijaya. Baru-baru ini, entah bagaimana, utusan Raja Sriwijaya menemui Raja Airlangga. Tujuannya ingin mengundangku berbicara masalah agama Budha dan mendiskusikan ajaran agama yang didalami Guru dan aku tahun-tahun belakangan ini. Karena tidak ingin terjadi ketegangan, Raja Airlangga kemudian memanggilku dan memerintahkan aku meninggalkan pertapaan menuju Bumi Sriwijaya. Celakanya adi Reksa, guru kita sedang berada di tanah leluhur kami, jadilah kakangmu ini harus mencapaikan diri lagi berkelana dan datang kemari”

“Hm kakang, jika hanya melulu kitab agama hasil pendalaman guru kita, rasanya firasatku tidak akan seburuk saat ini. Lagipula, bagaimana caranya Raja Sriwijaya bisa mengetahui Guru kita dan kakang memiliki kitab yang demikian”?

“Itu salah satu kecurigaanku adi Reksa, dan karena itu sebelum menemui Raja Sri Tunggawarman, kakangmu memerlukan datang menemuimu duluan”

Cerita Kaho Dahi atau Bintang Sakti 8 Penjuru sungguh mengagetkan. Perlahan Bintang Sakti Membara mencoba menyusun semua episode dan ingatan yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. Bukan tidak mungkin semuanya berkaitan, tetapi dititik mana kaitannya dengan Kitab Pusaka gurunya? Hal yang sangat sulit dicerna dan dicari jawabannya.

“Adi Reksa, bagaimana tanggapanmu dengan semua kejadian ini”?

“Kakang”, jawab Bintang Sakti Membara setelah beberapa saat

“Beberapa bulan sebelumnya, Raja Sri Tunggawarman kedatangan seorang Padri dari India. Firasatku menyatakan dia sangat sakti, bahkan nampaknya melebihi ketiga orang yang menjadi lawan kita tadi. Mungkin, ini kemungkinan firasatku saja Kakang, mungkin hanya guru kita yang sanggup menahannya. Karena kedatangannya berdekatan dengan kedatangan kakang, dan bahkan menurut Penasehat Raja, memang usulan memanggil kakang berasal darinya. Tetapi, kedalaman Padri ini atas agama Budha juga luar biasa, sehingga sulit menentukan apakah maksud jahat atau baik yang dikandungnya. Yang pasti, dia datang bersama Sepasang Dewa Ular yang pernah kutemui bersama Guru di India beberapa puluh tahun sebelumnya. Karena itu, maka aku merasa agak curiga terhadap Padri itu. Mungkin bukan dirinya sendiri, tetapi sangat mungkin dia sedang dimanfaatkan orang lain”

“Nampaknya analisismu masuk di akal adi Reksa. Meksipun kita masih belum sanggup menemukan kaitan antara dari mana informasi mereka dapatkan mengenai Kitab Agama hasil pendalaman Guru dengan undangan ini. Mau tidak mau, engkau harus ikut terlibat adi”

“Kakang, aku melihat masa yang sangat suram bagi Sriwijaya dalam waktu kurang dari 3 bulan kedepan. Bahkan teramat suram bagi Raja Sri Tunggawarman. Karena itulah aku sedang menggodok murid-muridku sebagai pesiapan mereka yang terakhir. Aku pasti akan terlibat, tapi berilah waktu sedikitnya sebulan bagiku agar tuntas sudah pekerjaanku mengajar keponakan keponakan dan anak angkatku tersebut. Bahkan, nampaknya bintang putra bungsu Kakakku, panglima Jayeng Kencana sangat dekat dengan kita berdua”

“Hm, aku tidak meragukannya adi Reksa. Baiklah, aku akan melakukan penyelidikan selama waktu engkau mengerjakan tugasmu yang terakhir. Lagipula, masih ada waktu sebulan bahkan bisa lebih banyak untuk memasuki Istana Raja. Baiklah adi, engkau selesaikan tugasmu. Meskipun kulihat, yang tertua dari mereka nampaknya sudah mencapai puncak latihannya. Sebaiknya engkau membuka rahasia dan pantangan perguruan kita, karena betapapun mereka kini masuk dalam lingkup perguruan kita”

“Baiklah kakang, pesanmu akan kuperhatikan. Sambil melatih, sebetulnya kakang Panglima Jayeng Kencana selalu mengirimi aku berita seputar kedatangan kakang dan keberadaan tokoh-tokoh yang dicurigai bersembunyi di Istana. Hanya, sebaiknya kakang berhati-hati terhadap Padri sakti dari India itu. Pastilah dia bukan tokoh sembarangan”

“Baiklah adi …. Tapi bila boleh kusarankan, sebaiknya carilah tempat yang lebih aman lagi. Mereka akan berusaha terus mencari jalan dan cara mengganggu kalian berlatih. Waktu sebulan nampaknya cukup bagi mereka. Tetapi, kenapa adi Reksa tidak pernah menggunakan obat mujijat olahan guru kita itu”?

“Entahlah kakang, rasanya bukan waktuku lagi meningkatkan kemampuanku. Tapi lihat saja nanti kedepan. Aku masih memiliki 4 butir buah mujijat olahan guru, dan ingin kugunakan 2 butir bagi kedua keponakanku dan sebutir lagi bagi putra bungsu kakakku”

“Bila sempat, lebih baik engkau memakan sebiji itu Adi, biarlah yang tersisa padaku menjadi bagian ponakan bungsumu itu. Betapapun menurutmu dia akan dekat dengan kita berdua”

“Baiklah kakang, akan kuperhatikan”

“Baiklah, jika demikian aku akan mohon diri. Nampaknya harus menyelidiki dulu Sriwijaya dan kondisinya sebelum menemui Raja”

“Begitu lebih baik kakang, selamat jalan”

Dan kemudian putuslah kontak antara kedua tokoh sakti mandraguna itu. Bintang Sakti 8 Penjuru menuju Pusat kota ibukota Sriwijaya, sementara Bintang Sakti Membara membawa murid-muridnya menuju Goa rahasia dibalik air terjun.

Mereka berada disana untuk menghabiskan waktu berlatih mendalami Ilmu ketiga anak muda tersebut. Kecuali Suro Bhakti, ketiga yang lain tidak pernah lagi kelihatan selama sebulan belakangan
 
BAB 12 Perebutan (Lembaran) Kitab Pusaka
1 Perebutan (Lembaran) Kitab Pusaka






Sebulan bahkan lebih kembali berlalu. Sementara keresahan Panglima Jayeng Kencana ditumplekkannya dengan bertukar pikiran bersama teman-temannya, dan juga secara rahasia melatih pasukan khususnya untuk piawai bertempur di daratan. Untuk maksud ini, dia memang dibantu adiknya, terutama melalui Suro Bhakti yang sebulan terakhir mengalami kemajuan yang luar biasa dalam hal kepandaiannya.

Bahkan, beberapa tokoh sakti Swarnadwipa yang sebelumnya tidak mau melibatkan diri, berhasil dipikat oleh Penasehat Raja guna membantu Panglima Jayeng Kencana. Antaranya muncul seorang tokoh tua, Kakek Penjaring Angin yang dikenal sebagai tokoh sepuh di Swarnadwipa. Jarang ada orang yang mengenal dan mengetahui nama aslinya.

Sama anehnya dengan sahabatnya yang bernama Datuk Bukit Barisan, seorang tokoh tua aneh yang memiliki nama besar di barisan bukit dan gunung yang membentang sepanjang pulau Swarnadwipa. Kedua tokoh ini berhasil ditarik membantu Panglima Jayeng Kencana dan melatih pasukan khusus guna mempertahankan kejayaan Sriwijaya yang terancam oleh serangan dari kerajaan Cola di India Selatan.

Selain memang, kedua tokoh tua di atas, merupakan sahabat kekal dari Penasehat Raja, dan keduanya termasuk tokoh-tokoh maha sakti yang terkenal di segenap daerah Swarnadwipa.

Meskipun keadaan seperti tidak mengalami perubahan, bahkan terkesan tidak ada lagi lonjakan kedatangan utusan agama maupun padri dari India, dan juga perdagangan lewat laut sudah kembali normal, keadaan justru menjadi semakin menggelisahkan ketiga pembesar itu. Mereka justru semakin sadar, bahwa keadaan yang teramat tenang dan tanpa gejolak ini, seakan sedang meninabobokan Sriwijaya.

Amatan-amatan mereka sungguh menyedihkan, karena selain Armada Maritimnya, maka kekuatan perang Sriwijaya di darat benar-benar sudah sangat-sangat merosot. Sementara itu di sisi lain, pengamatan-pengamatan mata-mata yang diatur oleh sang Panglima Jayeng Kencana serta Penasehat Raja, menunjukkan aktifitas rahasia di Istana justru semakin meningkat.

Bahkan dari Kakek Penjaring Angin, seorang tokoh yang sangat hebat dalam ilmu berlari cepat dan sepertinya sanggup menghilang dengan sejenis Ilmu Panglimunan, akhirnya bisa ditemukan hubungan rahasia antara tokoh asal India dengan pembesar di Pasukan Darat Sriwijaya.

Sepertinya Panglima Lingga Paksi, demikian nama sang Panglima Tertinggi Tentara Darat Sriwijaya, sudah termakan oleh janji-janji penyusup asal India tersebut. Tidak heran jika kemudian tokoh-tokoh asing asal India yang masih berada di Istana, justru melakukan kasak-kusuk yang semakin melemahkan posisi Sriwijaya pada masa mendatang.

Tetapi, sekali lagi, memang patut disayangkan, karena posisi pengambil keputusan utama, Sang Raja, selalu menolak eksekusi keras tanpa bukti di depan mata. Bahkan beredar berita, siapapun meski sudah dihukum berat tetapi bersedia menangis minta ampun kepada Raja, pastilah akan diampuni. Dan memang demikian keadaannya.

Bersamaan dengan itu, memasuki pertengahan bulan kedua, dihitung dari perpisahan Bintang Sakti 8 Penjuru dan adik seperguruannya Bintang Sakti Membara, nampak Istana Raja Sriwijaya seperti mengalami kesibukan. Meskipun nampaknya bukan dimaksudkan untuk menerima tamu utusan dari kerajaan lain, tetapi tetaplah menunjukkan kemeriahan.

Hal ini, terutama diakibatkan oleh datangnya berita bahwa tamu Raja dari Jawadwipa akan memasuki Istana pada sore hari nanti. Berita itu sebetulnya sudah tersebar sejak seminggu terakhir, dan pada hari itu, persiapan penyambutan utusan Raja Jawadwipa, Airlangga, dilakukan secara khusus.

Bukan apa-apa, setelah mengalami serangan Kerajaan Chola, Raja Sri Tunggawarman, juga sadar, bahwa permusuhan dengan Kerajaan di Jawadwipa lebih banyak ruginya. Itulah sebabnya, bujukan Padri dari India untuk mengundang Pendeta Sakti Jawadwipa diiyakannya dengan maksud mempererat rasa persaudaraan dengan penguasa di Jawadwipa lewat jalur diplomasi keagamaan.

Sementara itu, Raja Airlangga sendiripun, mengalami kesulitan yang sama dengan Sriwijaya, yakni beliau baru naik tahta. Dan masalah utamanya ialah, menghadapi kerajaan-kerajaan kecil yang memisahkan diri pasca turunnya Raja Dharmawangsa, keadaan yang sudah tentu sangat menyulitkannya.

Prosesi penyambutan dilakukan terutama oleh para pembesar agama Budha yang banyak mendampingi Raja Sri Tunggawarman. Bahkan Bhiksu Utama Kerajaan, Bhiksu Darmakitri – seorang Bhiksu Utama dan sangat mendalami Agama Budha – berkenan menyambut kedatangan sang tamu.

Sepanjang jalan dari Gerbang Kota Raja hingga memasuki istana, dibuat menjadi meriah, meskipun baru di gerbang Istana hingga melewati Balairung dan masuk ke Ruang Pertemuan atau Jamuan tamu baru hiasan-hiasan nampak ramai. Sementara itu, pemimpin penerimaan tamu dari Jawadwipa itu adalah langsung oleh Bhisu Darmakitri, seorang Pendeta Budha yang sangat saleh dan dekat dengan Raja Sri Tunggawarman.

Sedangkan Raja Sri Tunggawarman sendiri, menunggu tamunya tersebut di ruangan pertemuan atau ruangan jamuan istimewa untuk tamu Kerajaan. Raja Sriwijaya ini didampingi oleh Permaisurinya dan juga oleh beberapa Menteri dan Pejabat Kerajaan, temasuk didalamnya Menteri Kebudayaan dan Penasehat Raja. Dan sudah tentu, dibarisan para pejabat tinggi itu, berdiri dengan hormat Maha Patih Kerajaan Sriwijaya, yang nampak agung dalam pakaian kebesarannya.

Sebagai tamu yang diundang, sekaligus menjadi utusan Raja Airlangga dalam hal hubungan keagamaan, adalah Pendeta Sakti Jawadwipa – yang sebenarnya bernama asli Kaho Dahi – sebetulnya pada masa lalunya adalah seorang pengelana sakti berjuluk Bintang Sakti 8 Penjuru. Jarang yang mengetahui asal usul tokoh sakti ini, yang pada saat ini sudah memasuki usia ke-60 an.

Kurang lebih di usianya yang ke 35, Kaho Dahi atau Bintang Sakti 8 Penjuru akhirnya memilih kehidupan sebagai Pendeta Budha dan diusianya yang ke 45, memilih menetap di sekitar Candi Borobudur. Di sekitar lembah tersebut, sebenarnya banyak bertebaran Candi-candi dan bangunan keagamaan, bahkan juga termasuk Candi Agama Hindu.

Karena itu, Kaho Dahi atau Bintang Sakti 8 Penjuru yang tinggal dan bertapa di daerah tersebut, jadi banyak mengenal Agama Budha, Hindu dan bahkan beberapa agama asli Jawadwipa dan tentu termasuk agama asli daerah darimana dia berasal, yakni Sabu – sebuah suku yang menetap di sebelah timur Pulau Jawadwipa dan Balidwipa. Sebetulnya, tokoh ini masih memiliki pertalian keturunan dengan gurunya yang juga berasal dari Pulau yang sama.

Sebuah pulau di sebelah timur Jawadwipa dimana penduduk aslinya mengaku bahwa nenek moyang mereka sebetulnya berasal dari daerah India. Pilihan Kaho Dahi menetap di sekitar Candi Borobudur, sebetulnya dilandasi oleh ketertarikannya untuk mendalami agama Budha dan sekaligus agama Hindu yang sangat dekat kaitannya dengan agama leluhurnya di Sabu.

Dan karena dalam waktu yang lama Kaho Dahi menetap di daerah itu, maka pemahamannya atas Agama Budha, Hindu, agama Asli Jawadwipa dan Sabu menjadi menyatu dalam dirinya. Bahkan bersama dengan gurunya, Kaho Dahi banyak menelorkan tulisan dan pendalaman keagamaan yang sebetulnya sudah saling kait mengait antara agama yang didalaminya.

Belakangan, di usianya yang memasuki 50-an, Kaho Dahi, mulai lebih dikenal sebagai Pendeta Sakti Jawadwipa, karena banyak melindungi kuil-kuil dan candi agama di seputaran Candi Borobudur. Dan mulai usianya yang ke 55, Pendeta Sakti Jawadwipa mulai menerima murid dan mendirikan Padepokan Keagamaan dan sekaligus melatih muridnya dalam ilmu-ilmu kesaktian. Dan padepokan inilah yang melindungi lingkungan keagamaan dari penjarahan orang jahat dan menjaga praktek praktek ritual di lingkungan candi tersebut.

Dan sekarang ini, Pendeta Sakti Jawadwipa inilah yang dengan diiringi 3 orang pengikutnya dari padepokan yang berjalan memasuki gerbang Istana Sriwijaya. Karena diundang dalam urusan keagamaan, maka Pendeta Sakti Jawadwipa membawa 2 orang murid utamanya yang khusus mendalami masalah keagamaan.

Khususnya agama Budha. Dan dalam hal penguasaan agama Budha, maka kedua Bhiksu tersebut termasuk yang terbaik dari padepokan dan terkenal sebagai Bhiksu yang saleh. Sementara seorang murid lainnya, selain mendalami keagamaan, juga adalah murid dalam hal kesaktian – yang dalam hal kepandaian termasuk tokoh kelas atas di Jawadwipa.

Kedua murid Pendeta Sakti Jawadwipa yang menganut agama Budha adalah Bhiksu Andanavira dan Bhiksu Dyanavira, sementara muridnya yang lain adalah Wanengpati dan berjuluk Pertapa Sakti Lembah Tidar, karena aslinya dia berasal dari sebuah dusun di Lembah Tidar. Ketiga murid inilah yang mendampingi Pendeta Sakti Jawadwipa dalam mengunjungi Raja Sriwijaya, dan kini ketiganya berjalan khikmat mengiringi guru mereka, yang memenuhi undangan Raja Sriwijaya …… perlahan memasuki istana Raja Sriwijaya.

Dibelakang ketiga tamu ini, kemudian berjalan para pasukan penerima tamu yang mengantarkan sekaligus mengawal keempat orang tamu hingga ke gerbang Istana. Dan di gerbang Istana, telah menunggu Bhiksu Darmakitri, yang setelah memuji keagungan Budha, mengucapkan salam dan kemudian mengiringi para tamu bertemu dengan Raja Sri Tunggawarman di Ruang Penerimaan Tamu Negara.

Hanya beberapa saat dalam kebesarannya Raja Sri Tunggawarman didampingi para pembesar Kerajaan Sriwijaya menerima keempat orang tersebut, sampai kemudian secara khusus mereka diterima di sebuah ruang pertemuan khusus. Ruangan yang biasanya digunakan Raja Sri Tungawarman untuk menyambut tamu-tamu khusus dalam hal keagamaan.

Dan ruangan tersebut memang sangat bernuansa keagamaan, disudut-sudutnya adalah ornament yang menggambarkan “Jalan Budha”, disertai dengan beberapa patung sembahan Budha. Bahkan, beberapa ornament dalam ruangan tersebut, nampak berciri sama dengan yang berada di Candi Borobudur, dan membuat Pendeta Sakti Jawadwipa menjadi kagum terhadap sang Raja.

Ada cukup lama waktu yang digunakan oleh tamu-tamu tersebut yang diterima berdiskusi dengan Raja Sriwijaya ditemani oleh Bhiksu Darmakitri dan juga Padri dari India yang kemudian dikenal sebagai Bhiksu Chudamani. Sekali pandang, baik Pendeta Sakti Jawadwipa maupun Bhiksu Chudamani sudah saling maklum dengan siapa mereka sedang berhadapan.

Dan Pendeta Sakti Jawadwipa membenarkan firasat adik perguruannya, bahwa Bhiksu atau Padri dari India ini memang adalah orang yang sakti mandraguna. Meskipun sanggup menyembunyikan kepandaiannya dan bersembunyi dibalik kelembutan dan penguasaan keagamaan tingkat tinggi, tetapi tamengnya itu masih sanggup ditembus Pendeta Sakti Jawadwipa.

Tetapi sebaliknya, Bhiksu India itu, juga sanggup melihat kedalaman yang dimiliki Pendeta Sakti Jawadwipa. Dan getaran pertemuan mereka menyadarkan Pendeta Sakti Jawadwipa, bahwa memang benar, bahkan Bhiksu India itu bahkan masih mengatasinya. “Nampaknya adi Reksa benar, dalam hal kesaktian hanya Guru yang akan sanggup menanganinya, bila memang sesuatu yang buruk terjadi” pikir Pendeta Sakti Jawadwipa.

Tetapi percakapan yang terjadi sungguh-sungguh menarik. Terutama membahas banyak segi dari Agama Budha, baik perkembangannya di Sriwijaya, kemudian juga perkembangannya di Jawadwipa, dan bahkan diperbandingkan dengan di India sekalipun. Menarik, karena ternyata pemahaman dan pengetahuan Pendeta Sakti Jawadwipa, sanggup mengimbangi pengetahuan dan pemahaman mendalam dari Bhiksu India.

Hal ini sangat mungkin karena guru Pendeta Sakti Jawadwipa adalah seorang tokoh sepuh yang berkelana bahkan hingga ke India dan Tiongkok, dan menuliskan banyak pemahaman keagamaan dengan muridnya itu. Karenanya, dari semua murid gurunya, Pendeta Sakti Jawadwipa inilah yang paling memahami urusan pemahaman keagamaan. Bahkan sanggup menelisik dan membandingkan dengan agama-agama lain sekalipun.

Karena itu, percakapan mereka menjadi sangat menarik dan sanggup memperdalam pemahaman masing-masing atas banyak segi dari Agama Budha. Hal yang membuat Raja Sri Tunggawarman menjadi sangat senang dan sangat tertarik hingga lupa bahwa mereka sudah lebih dari 3 jam berbicara tanpa henti. Untunglah, Bhiksu Darmakitri kemudian mengingatkan bahwa tamu masih letih, dan percakapan masih bisa dilanjutkan hari-hari kedepan.

Selanjutnya adalah Bhiksu Darmakitri itu jugalah bersama dengan Bhiksu Chudamani yang kemudian mengajak Pendeta Sakti Jawadwipa dan murid-muridnya untuk bermalam di Kuil Budha di kota Raja. Kuil yang dibangun tidak jauh dari Istana Raja, sebuah Kuil Budha yang megah dan besar dipusat Kota Raja Sriwijaya, yang selalu menjadi tempat bermalam tamu kehormatan dalam hal agama.

Kuil itu dinamakan Kuil Raja-Raja, dan menjadi Kuil Utama Budha di Ibu Kota Kerajaan Sriwijaya. Pendeta-pendeta tamu rata-rata ditempatkan di Kuil tersebut, yang juga menjadi tempat bersemayam Bhiksu Darmakitri sekaligus tempatnya mengajar dan menyebarkan Agama Budha di Sriwijaya.

Bhiksu Darmakitri yang saleh inilah yang berperan besar dalam penyebaran Agama Budha pada masa Sriwijaya dan membuat kerajaan Sriwijaya identik dengan agama Budha. Tetapi, dari kuil Budha ini jugalah berawal perseteruan panjang yang melibatkan banyak tokoh-tokoh persilatan yang berasal dari India, Tiongkok, dan bahkan Jawadwipa.

Sebuah pertarungan yang melibatkan banyak kepentingan dan ambisi yang melibatkan begitu banyak tokoh sepuh dari beberapa Kerajaan yang sebelumnya memiliki hubungan baik, bahkan hubungan keagamaan, perdagangan dan jalur laut.

Pendeta Sakti Jawadwipa ditempatkan dalam sebuah ruangan terpisah dengan murid-muridnya, meskipun mereka semua berdekatan. Dan mereka masing-masing dilayani oleh Pendeta Budha yang banyak berada di kuil itu, yang tugas utama mereka adalah menjalankan upacara keagamaan kerajaan Sriwijaya.

Tetapi, melayani Bhiksu-Bhiksu dan tokoh agama tamu, adalah juga tugas dan pekerjaan mereka. Di hari-hari pertama pada minggu pertama dari rencana 2 minggu kunjungan Pendeta Sakti Jawadwipa, lebih banyak diskusi dan tukar pikiran dengan Raja Sri Tunggawarman. Kesan mendalam didapatkan Pendeta Sakti Jawadwipa dari sang Raja yang begitu menguasai Agama Budha dan bahkan memiliki semangat luar biasa dalam menyebar luaskan agama Budha tersebut.

Meskipun, juga terselip rasa khawatir, karena penerapan di jajaran pemerintahan, nampaknya berada di luar kontrol yang tepat dari Raja yang saleh dalam beragama tersebut. Raja Sri Tunggawarman sendiripun sangat senang mendengarkan penjelasan dari Buku Agama yang dibawah Pendeta Sakti Jawadwipa. Bahkan beberapa kali mereka berdiskusi berdua hingga bersemadhi bersama. Dan hanya dua kali Bhiksu Chundamani ikut mendiskusikan isi Kitab Agama milik Pendeta Sakti Jawadwipa tersebut dengan minat yang juga tidak kurang tingginya.

Bahkan ketika pada hari ke-8 Raja Sri Tunggawarman berhalangan bertemu karena menerima utusan dari Raja Taklukan dari Kambodja, Bhiksu Chundamani meminta pertemuan secara khusus dengan Pendeta Sakti Jawadwipa. Meskipun pada awalnya Pendeta Sakti Jawadwipa sudah mengenal dan bahkan mencurigai Bhiksu ini, tetapi pada akhirnya dia menyadari bahwa Bhiksu sakti ini tidak mengandung niat jahat terhadapnya.

Bhiksu Sakti tersebut bila ditaksir usianya sekitar mendekati 80 tahunan, dan menjadi seorang Bhiksu Sakti dan terkemuka di wilayah kerajaan Chola India Selatan. Karena itu diskusi dan pendalaman mereka, ikut memperluas wawasan keagamaan masing-masing. Dan pada hari mereka bertemu dan berdiskusi, justru pembicaraan mereka mengagetkan Pendeta Sakti Jawadwipa:

“Pada awalnya kuharap tidak benar, bahwa kekisruhan akan berasal dari tempat ini” Begitu Bhiksu Chundamani mengawali percakapannya.

“Tetapi, nampaknya memang benar. Karya gurumu Bintang Sakti Dari Selatan (Kolomoto Ti Lou) yang banyak mengembara hingga ke India dan Tiongkok serta meramu banyak ajaran agama serta kemudian menyarikannya dalam pelajaran Ilmu Silat tingkat tinggi telah menyebar luas di banyak tempat. Ajaran-ajaran yang banyak mendasarkan pada sari ajaran Yoga, Yin dan Yang, Unsur Utama Alam Semesta, Jalan Terang Budha, dan ajaran-ajaran rahasia dari banyak ajaran agama, telah mampu dirumuskannya dalam beberapa bentuk ilmu yang khas dan luar biasa. Demikian yang mampu kuterawang dan kudengar. Meskipun belum kuketahui bagaimana caranya, tetapi kelihatannya benar, dari sinilah semuanya akan berawal”

“Apa maksudmu Bhiksu Chundamani”? Pendeta Sakti Jawadwipa terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa kerja keras gurunya selama 30 tahun terakhir sudah tercium banyak orang, justru di negeri seberang yang nampaknya mustahil bisa mengetahuinya.

“Engkau, dan karena memang aku sudah tahu, bahwa gurumu adalah seorang yang luar biasa saktinya. Bahkan aku terhitung sahabat dekat gurumu ketika kami bertemu di tanah India (Thian Tok). Pertemuan kami membuatku banyak memperoleh pencerahan, termasuk penyempurnaan ilmu kepandaianku. Jika tidak salah, bahkan akupun masih belum cukup sanggup menandingi gurumu, meskipun jaraknya tidaklah cukup jauh. Dan kulihat, bahkan engkaupun sudah hampir menyusul kemampuanku”

“Ach, Bhiksu sungguh mengangkatku terlampau tinggi”

“Budha memberkati ….. engkau banyak miripnya dengan gurumu itu. Bahkan jika tidak salah, kalian berasal dari garis keturunan yang sama. Benarkah”?

“Guruku adalah juga pamanku Bhiksu, dan dia menjadi salah seorang dengan kekuatan paling tinggi dalam 300 tahun terakhir ini di garis keturunan keluarga kami di timur jauh pulau Jawadwipa”

“Itulah kehebatannya. Meskipun baru mendengar sebelum datang ketempat ini, tapi aku yakin, bahwa benar dia berkemampuan menuliskan dan menciptakan ilmu yang seakan meramu dan menggabungkan banyak kehebatan ilmu dari tanah yang disinggahinya. Dan hanya dengan membaca bagian-bagian awal dari Kitab Agama itu bisa kuraba betapa hebat pendalamannya atas ajaran-ajaran agama. Dan sekaligus, aku yakin dan tidak akan heran, bahwa bagian terakhirnya akan berisi ajaran ilmu kesaktian tersebut”

Sekali lagi Pendeta Sakti Jawadwipa tersentak. Untuk pertama kalinya selain dia dan gurunya, ada yang tahu bahwa Kitab Agama itu berisi 3 lembar terakhir yang berisi sari pati atau perasan dari pemahaman gurunya atas Ilmu-Ilmu Silat yang dijumpainya dalam pengembaraannya. Dan setahunya, hanya gurunya dan dia sendiri yang mengetahui rahasia tersebut.

Jikapun ada yang mungkin mengetahuinya, setidaknya adalah Dia sendiri, gurunya, dan paling mungkin 2 orang adik seperguruan lainnya. Tetapi, kedua adik seperguruan itu, sudah 10 tahun terakhir tidak diketahui lagi kabar beritanya. Bahkan adik perguruan yang bungsu, yakni Bintang Sakti Membara, bahkan tidak mengetahui keberadaan Kitab Agama tersebut, apalagi bagian akhir dari Kitab itu.

Kitab Agama hasil perasan dari pengalaman perjalanan gurunya di banyak tempat, memang diakhiri dengan 3 lembar rahasia yang tertulis dalam bahasa Jawadwipa. Dan khusus 3 lembar terkahir, juga ada yang tertulis dalam bahasa Sansekerta, tetapi selalu disimpan dan dibawah oleh gurunya.

Kitab Agama ditulis dalam bahasa Jawadwipa Kuno, karena memang terutama dimaksudkan untuk kebutuhan Pendeta Sakti Jawadwipa yang mengurusi dunia keberagamaan di lingkungan Candi Borobudur. Ketika Bhiksu Chundamani mengungkapkan dugaannya yang tepat soal Ilmu Silat, Pendeta Sakti Jawadwipa sedikit tersentak. Kaget bukan buatan. Tetapi, segera dia mendengar suara Bhiksu Chundamani yang sudah besuara kembali:

“Tenanglah Pendeta Sakti ….. kedatanganku ke Sriwijaya, karena merasa dan melihat bahwa awal pertikaian besar yang nanti akan bergeser hingga ke India dan Tiongkok, justru berawal dari sini. Tanpa melihat lebih jauh, aku sadar, bahwa setengah dari firasatku terbukti benar. Tetapi jangan takut, aku tentu saja tidaklah berkeinginan merebut Kitab Agama itu, tapi ingin memperingatkan agar berhati-hati dengan keberadaan Kitab tersebut. Apalagi, ini yang kusedihkan, nampaknya usia Kerajaan ini tidak cukup panjang lagi dalam masa kejayaannya. Ach, Budha Maha pengasih, semua sudah ditakdirkan”

“Terima kasih Bhiksu …. Terus terang memang guru pernah menciptakan ilmu tersebut selama 15 tahun setelah pengembaraannya selesai. Menurut Guru, itulah hasil dari percakapannya dengan banyak tokoh agama dan tokoh sakti dari banyak penjuru dunia. Bahkan Ilmu itu, meski perasan dari ajaran banyak agama, tetapi bisa dipisahkan dan dilatih terpisah dari Kitab Agama. Meski begitu, hingga saat ini, bahkan aku sendiri tidak berkemampuan untuk menanjak sampai tamat pada bagian ketiga dari lembaran itu. Sampai saat ini, hanya Guru seorang yang mencapai tingkatan tertinggi itu, tetapi juga tidak pernah ditunjukkannya kepada siapapun”

“Aku sendiri tidak membutuhkannya, selain sudah terlalu tua, juga karena menghargai persahabatanku dengan gurumu. Tetapi akan terlalu banyak orang yang mengincarnya, karena entah bagaimana di India dan Tiongkok, kabar mengenai buku itu tersebar di kalangan para tokoh sepuh. Dan tokoh-tokoh mujijat yang sudah lama tersembunyi, tetapi bila mendengar adanya kemampuan yang mujijat dan sebuah buku pusaka, pasti akan mudah tersentuh keinginannya untuk memilikinya”

“Apakah Bhiksu Chundamani yang mulia memiliki saran atas keadaan ini”?

“Entahlah, tetapi entah mengapa firasatku mengatakan bahwa sesuatu akan berawal dari sini? Dan bagaimana pulakah awalnya? Hal ini sungguh membuatku bingung. Bahkan teramat bingung memikirkan bahwa buku atau kitab yang menurutmu sangat dirahasiakan itu, justru bocor keluar dan akan sangat menggoncangkan jagad”

“Bhiksu …. Engkau adalah tokoh kedua yang mengingatkanku masalah ini. Sebelumnya adik seperguruanku juga telah mengingatkan adanya firasatnya yang kurang baik terkait dengan kitab Agama guru kami, dan diapun baru tahu kemaren bahwa guru kami menciptakan Ilmu rahasia itu dalam lembaran Kitab Agama itu”

“Hm, aku tahu. Ada seorang tokoh sakti di pinggiran sungai Musi, seorang tokoh sakti yang sederhana, tetapi kelihatannya memiliki daya jangkau kedepan yang tidak berada dibawahku”

“Sungguh luas jangkauan penerawangan Bhiksu. Apakah Bhiksu juga menduga bahwa begitu banyak tokoh tersembunyi yang sedang berada di Sriwijaya saat ini, dan juga cukup banyak dari mereka itu justru berada disini dengan maksud yang tidak baik”?

“Jika pertanyaanmu lebih jujur, maka pertanyaan yang seharusnya adalah engkau bertanya mengapa begitu banyak tokoh asal India yang saat ini berada di Sriwijaya. Dan sebagian dari mereka, ternyata berkedok tokoh agama tetapi melakukan hal-hal yang kurang layak. Bukankah seharusnya demikian pertanyaannya”?

“Ach, sungguh tidak ada yang bisa lepas dari penerawangan Bhiksu. Tetapi sejujurnya memang demikian pertanyaannya”

“Sejujurnya, kedatanganku kemari memang dalam waktu yang sangat tidak tepat. Meskipun sadar bahwa Kerajaan Cola akan menyerang Sriwijaya, tetapi betapapun aku mencoba keras mencegahnya, naluri ekspansi Rajendra Cola I teramat tinggi. Padahal, dan ini yang kusayangkan, Sriwijaya telah menjadi pusat penyebaran agama Budha selama ratusan tahun. Dan engkau tahu, mereka memiliki Raja yang baik dan juga seorang pendeta Budha yang luar biasa dalam diri Bhiksu Darmakitri. Tetapi, keinginan kuat melihat Kitab Agama karya gurumu, serta keingintahuan mengapa konflik berawal dari sini telah ikut menyeretku dalam pusaran panjang ini” Bhiksu Chundamani yang sakti itu nampak menarik nafas panjang. Seperti ada sesuatu yang membebaninya.

“Aku percaya dengan uraian Bhiksu. Meskipun sulit menghindarkan bencana yang dihadapi Sriwijaya, tetapi tetap akan ada orang yang mencobanya. Bagaimana setelah Bhiksu melihat dan bahkan membaca Kitab Agama guruku”?

“Tugas dan keinginanku yang terakhir sudah terpenuhi. Tetapi, akupun sadar, bahwa karena telah melayani keinginanku itu, akhirnya akupun akan terseret sangat jauh dengan pusaran konflik yang berawal dari sini. Entah bagaimana itu nantinya terjadi dan bagaimana pula akhirnya”

Akhirnya percakapan kedua tokoh sakti inipun berakhir. Namun sebelum berpisah, Bhiksu Chundamani masih sempat kembali berpesan kepada Pendeta Sakti Jawadwipa:

“Hendaklah engkau selalu awas, karena kulihat engkaupun akan terbawa jauh oleh arus dan pusaran konflik ini. Seperti juga aku. Firasatku mengatakan, bahkan banyak tokoh sakti Swarnadwipa akan terlibat pada tahap awal ini, selain tokoh-tokoh asal India yang juga memang sudah berada disini. Budha memberkati …..”

“Terima kasih Bhiksu”

Dan kemudian masing-masing kembali ketempat istirahatnya dengan membawa beban pikirannya masing-masing. Tetapi, kedua tokoh sakti itu setidaknya menjadi lebih saling mengerti akan posisinya dalam persoalan yang semakin jelas akan terjadi itu. Meksipun demikian, keduanya tetap terus menduga dalam kewaspadaannya masing-masing. Karena bagaimana akan terjadinya, dan seperti apa kemudian, tetap merupakan suatu misteri yang belum bisa mereka pecahkan pada saat itu.

Yang pasti, selama beberapa hari kemudian, kembali keduanya terlibat percakapan dan pendalaman serius masalah keagamaan bersama Raja Sri Tunggawarman dan Bhiksu Darmakitri. Disamping itu, Pendeta Sakti Jawadwipa, juga menjadi semakin berhati-hati terhadap benda pusaka gurunya yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi.

Menjelang hari-hari terakhir kunjungan Pendeta Sakti Jawadwipa Raja Sri Tunggawarman disibukkan oleh kabar yang sangat tidak mengenakkan. Yakni, bahwa terjadi pertempuran-pertempuran laut antara armada laut Kerajaan Cola dengan armada Laut Kerajaan Sriwijaya. Pertempuran-pertempuran tersebut terjadi dekat Kedah, salah satu pusat perdagangan Sriwijaya yang langsung berada dan menghadap ke Selat Malaka.

Pertempuran-pertempuran tersebut kabarnya sangat dahsyat, meskipun armada laut Sriwijaya masih sanggup menahan serangan musuh tersebut. Bahkan kabar terakhir, Panglima Tertinggi Armada Laut, Jayeng Kencana, telah menghadap Raja Sri Tunggawarman untuk turun langsung memimpin anak buahnya menahan serangan musuh.

Kabar tersebut membuat Raja Sri Tunggawarman sedikit sedih, dan secara otomatis mengurangi frekwensi pertemuannya dengan Pendeta Sakti Jawadwipa. Sementara itu, Pendeta Sakti Jawadwipa sendiri, menjadi kurang enak hati untuk buru-buru minta diri kepada Raja Sri Tunggawarman dan menunggu saat yang tepat untuk melakukannya.

Tetapi Pendeta Sakti Jawadwipa nampaknya tidak lagi sempat melakukannya. Nampaknya penyerangan terhadap Sriwijaya menjadi momentum yang dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melaksanakan apa yang lama mereka rencanakan. Di tengah keresahan yang melanda Kerajaan Sriwijaya atas serangan Kerajaan Chola, pada suatu malam nampak 2 bayangan berjalan tenang di lorong menuju tempat istirahat Pendeta Sakti Jawadwipa.

Anehnya, keduanya berjalan santai dan dalam wujud yang sangat sulit dikenali, dan sepertinya sangat mengenal jalanan dan kompleks yang mereka masuki. Pendeta Sakti Jawadwipa dan murid-muridnya, sebetulnya sudah bersiaga sejak hari-hari sebelumnya, bahkan mulai berkemas untuk minta diri. Tetapi, siapa sangka, kesibukan Kerajaan Sriwijaya dalam menahan musuh, malah membuat rencana kepulangan mereka mengalami penundaan.

Dan malam ini adalah malam ketiga dari perpanjangan waktu mereka di Sriwijaya, dan sedang menunggu kesempatan minta diri. Tak diduga, pada malam itu justru musuh melancarkan aksinya, pada saat mereka justru kurang bersiaga. Pendeta Sakti Jawadwipa sendiri baru menyadari bahwa tokoh yang dihadapinya lihay luar biasa, tetapi itu tejadi justru pada saat terakhir, dan saat-saat itulah yang menentukan dan nampaknya memang direncanakan.

Pada saat menyadari kehadiran orang yang tak dikehendaki, serangkum hawa aneh dan mujijat justru sudah berusaha untuk mempengaruhinya. Dan tidak ada waktu cukup baginya untuk berbuat hal-hal yang lain, karena sangat terasa kekuatan mujijat yang menyerangnya bahkan sedikit lebih kuat dari yang menempurnya di tempat adik angkatnya.

Tak ada jalan lain selain segera melawannya dengan segenap kemampuannya. Dan, sungguh kaget, karena kekuatan lawan sangat luar biasa, bahkan dirasakannya masih sedikit di atas kemampuannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ketika dia berkutat melawan serangan menggelap dengan kekatan mujijat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dan melayang sesosok bayangan kearahnya.

Dan dengan tanpa ragu berjalan kearah meja disamping tempat istirahatnya, disana bayangan itu tanpa ragu mengangkat Buku Agama karya gurunya dan dengan cepat menyobek 3 halaman terakhir kitab itu, dan dengan cepat melayang keluar kamar. Tetapi, pada saat bersamaan sesosok tubuh lainnya dengan ringan berkelabat keluar dari kamar disudut seberang kamar Pendeta Sakti Jawadwipa.

Tidak pelak lagi, itulah Bhiksu Chundamani yang ketika melihat ada dua orang di depan kamar Pendeta Sakti Jawadwipa dengan cepat menyadari bahwa sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Tetapi, ketika berkelabat mendekat, dengan segera dia terkejut melihat kedua orang yang sedang “mengerjai” Pendeta Sakti Jawadwipa tersebut. Dan masih sempat dia melihat seorang yang baru keluar dari kamar Pendeta Sakti Jawadwipa memasukkan lembaran kertas kedalam saku jubahnya yang lebar. Dan Bhiksu Sakti itu segera sadar apa yang sedang terjadi.

“Hm, kalian …… sungguh tidak sopan menyerang lawan yang tidak siap. Lepaskan dan kembalikan barang curian itu” Bhiksu Chundamani dengan cepat berkelabat mendekat. Tetapi, orang yang baru saja keluar dari kamar Pendeta Sakti Jawadwipa dengan segera menghadangnya dan menyerangnya dengan pukulan yang mematikan.

Tidak ada cara lain, serangan itu dihadapi dengan kibasan lengan Bhiksu Chundamani, dan benturan keraspun terjadi. “Bressssss” dan diikuti dengan terlontarnya tubuh penyerang Bhiksu Sakti itu kearah orang yang sedang menyerang Pendeta Sakti Jawadwipa. Dalam kekagetannya, Bhiksu Chundamani secara tidak sengaja telah mengerahkan tenaga saktinya berlebihan.

Dan akibatnya, tubuh penyerangnya terlontar deras kebelakang dan mengarah ke orang lain yang sedang menyerang Pendeta Sakti Jawadwipa. Tetapi, Bhiksu Chundamani sendiri terguncang mundur sampai 3-4 langkah kebelakang, dan terkejut oleh kekuatan yang dilontarkan lawannya. Sementara itu, penyerang Pendeta Sakti Jawadwipa terpaksa melepas serangannya dan menyambut tubuh kawannya dengan ringan.

Pada saat bersamaan dari 3 kamar lainnya, melayang keluar 3 sosok tubuh yang dengan cepat bergerak kearah kamar Pendeta Sakti Jawadwipa. Semua kejadian tersebut berlangsung dalam hitungan detik belaka. Tetapi ketiga orang itu, masih sempat menyaksikan benturan kekuatan antara Bhiksu Chundamani dan si penyerang, yang mengakibatkan keduanya terlontar kebelakang.

Dan seterusnya, si penyerang kemudian melayang menjauh, dan pada akhirnya kemudian hilang ditelan kegelapan malam. Pada saat bayangan tersebut menghilang, dari dalam kamar melesat keluar Pendeta Sakti Jawadwipa, meski wajahnya tetap tenang, tetapi tatapannya kearah Bhiksu Chundamani nampak penuh pertanyaan. Dan dalam selintasan itu, Bhiksu Chundamani segera paham apa yang telah dan sedang terjadi. Sangat paham malah.

“Bhiksu, pada akhirnya kejadiannya memang seperti yang kita percakapkan. Kekuatan penyerang itu sungguh luar biasa, bahkan masih sedikit diatasku. Tapi betapapun hebatnya orang itu, malam ini juga aku harus melakukan pengejaran. Adakah petunjuk yang bisa Bhiksu berikan buat kami”?

Bhiksu Chundamani menganggukkan kepala dan bahkan kemudian berkata dengan tegas:

“Benar …. keduanya bahkan memiliki hubungan perguruan denganku. Yang menyerangmu adalah Naga Pattinam, adalah adik perguruanku yang bahkan mungkin lebih lihay dariku karena dia belajar juga ilmu kesaktian di Srilanka, sebuah bangsa di Selatan India. Sementara yang tadi kulukai, entah sudah meninggal atau belum, adalah murid utama adik perguruanku itu. Ada baiknya engkau berhati-hati menyusuri jejaknya, dan karena melibatkan pintu perguruanku, maka akupun akan berusaha mengejarnya untuk mengembalikan barang milik gurumu”

“Terima kasih Bhiksu, kami mohon diri”

Dan tanpa membawa apapun juga, Pendeta Sakti Jawadwipa segera mengajak Wanengpati untuk berlalu dari Kuil itu melakukan pengejaran terhadap Naga Pattinam yang telah mencuri benda berharga hasil karya gurunya. Sementara kedua orang murid lainnya, untuk sementara ditinggalkan di kuil tersebut. Pada malam itu juga, Bhiksu Chundamani menemui Bhiksu Darmakitri dan mohon diri setelah menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Dan dimulailah pengejaran dan perebutan Kitab Pusaka yang sebenarnya hanya terdiri atas 3 halaman belaka itu.
 
Terakhir diubah:
2




“Adi Reksa, nampaknya tugasmu disini sudah berakhir”

“Nampaknya benar Kakang, sebuah perjalanan jauh sepertinya sedang menunggu. Tapi bagaimana penyelidikanmu selama 2 hari belakangan ini”?

“Tidak menghasilkan apa-apa. Tetapi mata batinku menyatakan bahwa para pencuri itu masih berada di Sriwijaya, atau setidaknya Swarnadwipa ini. Hanya entah dimana mereka berada tepatnya, akupun tidak tahu”

“Jika demikian, kita perlu meminta bantuan sahabatku yang lain kakang”

“Siapa maksudmu”?

“Aku mengenal Datuk Bukit Barisan dan Kakek penjaring Angin. Kedua tokoh besar Swarnadwipa yang mengerti seluk beluk Sriwijaya dan pulau ini. Dijamin mereka mampu membantu kita”

“Baiklah, terserah engkau saja Adi. Tapi bagaimana dengan tugas terakhirmu itu? Sudahkah engkau menuntaskannya?

“Sudah kakang. Suro Bhakti telah menyelesaikan latihannya, demikian juga kedua keponakanku, Pandji Winata dan Ratna Sari. Mereka sudah menamatkan latihannya, ditanggung mereka menjadi tokoh muda sakti mandraguna saat ini. Tetapi mereka memiliki tugasnya sendiri-sendiri”

“Baiklah Adi, kapan sebaiknya kita bertemu dengan kedua sahabat kita dari Swarnadwipa itu?

“Sebaiknya hari ini juga kakang, tetapi biarlah Kakang dan engkau Wanengpati, beristirahat sebentar memulihkan kekuatan”

Pendeta Sakti Jawadwipa yang bergerak selama 2 hari penuh, pada akhirnya menyerah karena tidak mampu menemukan Naga Pattinam dan muridnya yang terluka. Dua orang yang menyerangnya dan merampas Kitab Pusaka Ilmu Kepandaian ciptaan gurunya dan kemudian melarikan diri. Sudah diubek-ubek selama dua hari berturut-turut tetapi belum juga ketemu dan ketahuan dimana persembunyiannya.

Karena itu, akhirnya Pendeta Sakti Jawadwipa datang menjumpai adik perguruannya, Bintang Sakti Membara, yang memang sudah menduga bahwa kakak perguruannya akan mendatanginya. Bahkan, dia sendiri selama sebulan terakhir sudah mempesiapkan diri, ketika meraba bahwa dia mau tidak mau harus meninggalkan Sriwijaya untuk tugas lain yang sangat berat. Tugas yang terkait dengan gurunya yang dihormati dan dicintainya dan yang akan membawanya melanglang jauh untuk tugas tersebut.

Dan karena menyadari hal tesebut, selama hampir sebulan, selain menggodok murid-muridnya, Bintang Sakti Membara, pada akhirnya menuruti pesan kakaknya agar memakan buah mujijat hadiah dari guru mereka. Sebulan terakhir, Bintang Sakti Membara juga mengalami peningkatan kesaktian yang luar biasa, hingga mampu menyusul kemampuan kakak perguruannya itu, Bintang Sakti 8 Penjuru, murid kepala dari Kolo Moto Ti Lou.

Tetapi, belum lagi mereka beranjak dari gubuk tempat tinggal Bintang Sakti Membara, menjelang sore, justru Suro Bhakti yang datang ketempat gurunya bersama dengan kedua orang Kakek Sakti dari Swarnadwipa itu. Kedatangan Suro Bhakti adalah ingin menjelaskan keadaan terakhir di Istana Raja dan tugas Panglima Jayeng Kencana untuk menyiagakan Pasukan Khusus di sekitar kompleks Istana.

Karena menurut perhitungan Panglima Jayeng Kencana, pasukan darat Kerajaan Chola bisa sewaktu-waktu menyerbu istana Raja. Berita yang ditanggap dengan serius oleh Bintang Sakti Membara, demikian juga Pendeta Sakti Jawadwipa yang memang sudah mengetahui bahwa Kerajaan Chola sudah datang menyerang, meski masih tertahan di perairan Malaka oleh armada laut Sriwijaya yang terkenal tangguh itu. Karena itu, dengan cepat Bintang Sakti Membara menukas:

“Masih butuh waktu hampir sebulan bagi pasukan darat untuk mendekati Istana Raja. Yang justru mengkhawatirkan, dalam keadaan seperti ini, para tokoh kita di pegunungan berdiam diri atau malah terpecah-pecah oleh iming-iming hadiah. Bukankah begitu Datuk Bukit Barisan dan Kakek Penjaring Angin”? Bintang Sakti Membara sudah berkomentar sambil menyapa kedua tokoh besar yang berdiri berendengan dengan 2 Datuk lainnya di Swarnadwipa.

“Hahahaha, jika tidak salah, Pendeta yang dihadapan kita pastilah Pendeta Sakti Jawadwipa yang menjadi tamu raja kita. Apakah benar demikian”?
Pendeta Sakti Jawadwipa dengan rikuh tetap ringan membalas penghormatan orang sambil tersenyum dan berkata:

“Benar sahabat, demikian orang-orang di Jawadwipa memanggilku. Selamat bertemu”

“Hahahaha, terlampau sungkan. Siapa tidak mengenal nama besarmu Bintang Sakti 8 Penjuru pada masa lalu? Nama yang bahkan menggema sampai ke Swarnadwipa” balas Kakek Penjaring Angin sambil juga turut menghormat kepada Pendeta Jawadwipa.

Pertemuan antara tokoh sakti itupun akhirnya terjadi. Sore itu juga, Suro Bhakti menyusun kekuatan pasukan istimewa hasil latihan 2 bulan terakhir di bawah arahan Panglima Jayeng Kencana dan di latih oleh kedua Datuk Sakti dari Swarnadwipa dan juga Suro Bhakti sendiri.

Namun, karena menurut perhitungan Bintang Sakti Membara, gurunya, bahwa kedatangan pasukan darat baru akan terjadi dua bulan lagi, maka persiapan-persiapan dan kesiagaan itu dilakukan secara hati-hati. Hal ini untuk menghindari kecurigaan dan syak wasangka dari pasukan darat regular yang berada dibawah komando Panglima Pasukan Darat Sriwijaya. Dalam situasi yang genting seperti itu, anehnya, Panglima Pasukan Darat justru tidak terlihat aktifitasnya sama sekali.

Bahkan tidak menyiagakan pasukannya dalam kategori berbahaya, meskipun laporan di istana semua baik-baik saja. Keadaan ini sungguh amat mengherankan. Tetapi, bagi para tokoh sakti, hal tersebut sudah dimaklumi, karena memang Panglima ini termasuk yang sudah termakan rayuan musuh.

“Jika Panglima itu sudah termakan ayuan musuh, maka sangat mungkin dia tahu dimana persembunyian dari tokoh-tokoh pencuri buku pusaka itu” berkata Datuk Bukit Barisan.

“Benar, karena dalam penyelidikanku beberapa waktu lalu, Panglima itu beberapa kali keluar dari istana dalam pakaian preman dan memasuki hutan. Dia bertemu dengan beberapa tokoh asal India, cuma tidak ada seorangpun dari mereka yang kukenal” berkata Kakek Penjaring Angin penasaran.

“Setidaknya, kita mengerti, bahwa ada tanda-tanda dan jejak yang bisa kita ikuti dalam melacak tokoh pencuri itu” Bintang Sakti Membara juga ikut memberi komentar setelah berpikir sejenak. Hal yang dianggukkan dan disetujui oleh semua orang.

“Jika demikian, tempat manakah yang menjadi pertemuan orang-orang itu dalam menjalankan misi rahasia mereka”?

“Jika tidak salah, di sebuah tempat atau Kuil Kosong, yang berada di seberang sungai ini, dan berjalan terus jauh ke utara” Kakek Penjaring Angin menjelaskan.

“Hm, aneh. Aku telah meneliti tempat itu dua bulan silam, dan tidak menemukan apa-apa di sekitar tempat itu. Bahkan kakang Jayeng Kencana telah memeriksa tempat itu bersama pasukannya, tetapi juga tidak ditemukan ada-apa disana. Ada apakah gerangan? Bintang Sakti Membara berpikir keras

“Bukan tidak mungkin mereka bersembunyi sementara untuk menghindari pemeriksaan. Atau bisa jadi, mereka memiliki jalan dan ruangan rahasia di sekitar tempat itu” berkata pendeta sakti Jawadwipa.

“Sangat mungkin, sangat mungkin. Tetapi memang ada baiknya kita mengetahui keberadaan mereka, karenanya sebaiknya kita menyatroni mereka di malam hari ini juga. Selain mengintip kekuatan mereka, kita juga perlu mempersiapkan siasat untuk menjebak Panglima Pasukan Darat itu, sehingga sekali kayuh dua tiga pulau bisa dicapai” saran Datuk Bukit Barisan

“Benar, usul itu sungguh bagus” Kakek Penjaring Angin berseru setuju, sementara Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang sakti Membara juga nampak diam, dan menyetujui usulan tersebut.

Demikianlah, di malam hari itu, Kakek Penjaring Angin yang dikenal memiliki kemahiran tingkat tinggi dalam hal ilmu meringankan tubuhnya, akhirnya menyatroni tempat persembunyian musuh. Cukup lama kepergian orang tua sakti itu, dan baru kembali menemui kawan-kawannya lewat tengah malam, dengan membawa informasi yang mengejutkan:

“Sungguh celaka, ternyata bergabung bersama mereka termasuk Datuk 9 Harimau Siluman dan Nini Hesti Cendani. Mereka adalah 2 dari 4 Datuk besar Swarnadwipa yang memang selalu menjadi lawan kami berdua sejak puluhan tahun silam. Bahkan, Panglima itu, ternyata adalah cucu dari Datuk 9 Harimau Siluman. Pekerjaan ini menjadi semakin sulit” Desis Kakek Penjaring Angin

“Apakah mereka mencium jejakmu”? bertanya Datuk Bukit Barisan

“Bisa dipastikan, Nini bernama cantik tapi buruk rupa dan si Siluman harimau itu pasti mencium jejakku. Hanya, mereka pasti tidak akan gentar berhadapan dengan kita, apalagi mereka juga tahu Sriwijaya sedang dalam ancaman.

“Bagaimana dengan kekuatan mereka Kakek Penjaring Angin”? bertanya Bintang Sakti Membara.
Nampak Kakek Penjaring Angin menarik nafas panjang dan cukup masygul, karena pertanyaan itu sungguh berat dijawab. Tetapi, karena menyangkut banyak urusan besar, terpaksa keluar juga pengakuan dari mulutnya:

“Di Swarnadwipa ini, ada 4 Datuk Besar yang dianggap menguasai dan paling berpengaruh. Yang pertama, adalah Datuk Bukit Barisan, yang menguasai barisan Bukit dan Gunung yang membentang sepanjang pulau ini, dan kalian telah mengenal orangnya. Dia mempunyai kekuatan pukulan yang sanggup mendorong gunung dan bukit untuk berpindah tempat dengan pukulannya yang terkenal “Pukulan Gugur Gunung”. Orang kedua, adalah Datuk 9 Harimau Siluman, yang menguasai dengan sempurna isi kitab 9 Harimau Siluman. Dia mampu mengubah diri menjadi 9 harimau besar jadi-jadian dan mengerjakan banyak hal bagi dirinya. Orang ketiga adalah Nini Hesti Cendani, nama yang rupawan tetapi berwajah buruk rupa dan berhati berbisa. Dia menguasai Ilmu Pukulan Beracun, yang dinamakannya “Ilmu Pukulan Hasta Berbisa” dan sanggup meracuni orang hingga mati dalam waktu cepat hanya dengan hawa pukulannya itu. Dan yang teakhir adalah aku sendiri, Kakek Penjaring Angin, penguasa bagian selatan Swarnadwipa dan bedekatan dengan Jawadwipa. Orang memanggilku demikian karena kemampuanku mengejar angin, hahahaha kemampuan yang sebenarnya tidak berarti banyak” Demikian Kakek Penjaring Angin menerangkan.

“Meskipun urut-urutannya demikian, tetapi pada dasarnya, kami berempat tidak pernah bisa saling mengalahkan bila bertarung salah lawan satu. Karena itu, sejak 20 tahun belakangan, kami disebut sebagai 4 Datuk Swarnadwipa, meskipun satu sama lain sulit untuk bekerjasama. Jikapun bisa, maka Aku dengan kakek Penjaring Angin, sementara mereka berdua pasti berkomplot” tambah Datuk Bukit Barisan.

“Dengan adanya kedua Datuk itu, maka kekuatan mereka termasuk sangat berbahaya. Apalagi, bisa dipastikan disana ada Sepasang Ular Dewa, Naga Pattinam dan Murid Kepalanya. Belum lagi orang-orang pilihan yang bisa dipastikan ditempatkan di lokasi tersebut” Bintang Sakti Membara mencoba menganalisis kekuatan musuh.

“Benar, Adi Reksa benar. Kekuatan mereka cukup bisa diandalkan dan berbahaya bila dibentur secara sembarangan. Hanya ada dua kemungkinan, kita memasuki daerah dan tempat mereka secara bergelap, atau kita meminta bantuan Suro Bhakti” terdengar suara Pendeta Sakti Jawadwipa.

“Resikonya adalah, terbukanya kemungkinan perang terbuka antara Pasukan Darat dan Pasukan Laut. Dan hal ini akan tambah memperlemah Sriwijaya. Tidak, sebaiknya malam ini kita menyusup ke lokasi lawan berlima saja, dan mencoba mengacaukan keadaan mereka terlebih dahulu” Bintang Sakti Membara mengusulkan yang diiyakan pada akhirnya oleh kawan-kawannya. Percakapan selanjutnya adalah mengatur siasat bagaimana menyerbu lokasi tersebut dan bagaimana upaya Pendeta Sakti Jawadwipa yang akan dibantu oleh Bintang Sakti Membara menyerbu Naga Pattinam. Sementara kedua Datuk Sakti, Kakek Penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan bersama Wanengpati akan melakukan tugas yang lain.

***

“Blarrrrr” …… “Wussssss” …… Kondisi yang sebelumnya gelap gulita seakan akan menjadi terang oleh benturan dua kesaktian yang luar biasa. Di halaman dalam kuil yang dibuat menjadi sepi dan terkesan kosong pada siang hari itu, nampak dua orang tokoh tua sedang berhadap-hadapan. Yang seorang adalah Bhiksu atau Pendeta Agama Budha, memegang tasbeh, dan berpakaian layaknya Bhiksu sedang mendorongkan sepasang tangannya kedepan.

Nampaknya sedang dalam konsentrasi yang membutuhkan kekuatan batin yang luar biasa. Hal itu nampak dari wajahnya yang berkerut prihatin, meskipun tanda-tanda kewelasasihan tetap memancar dari wajah yang sedang berprihatin tersebut. Sementara di sudut lain, seorang tua, nampaknya tidak kalah tuanya dengan si Bhiksu, juga dalam posisi yang sama.

Dalam posisi berprihatin, cuma kalau dihadapannya adalah si Bhiksu yang memegang tasbeh dan mendorongkan tangan kedepan, maka kakek tua yang satu ini berpakaian hitam dan membawa sebuah tongkat berkepala ular. Dia juga menjulurkan tangannya kearah sang Bhiksu, dan nampaknya keduanya sedang dalam pertempuran yang menguras tenaga keduanya.

Hebatnya, benturan dua tenaga yang luar biasa itu seakan mengubah gelap menjadi terang, hingga 5 orang yang tadinya datang untuk menyatroni tempat tersebut jadi batal melaksanakan niatnya. Keempatnya adalah, Pendeta Sakti Jawadwipa, Bintang Sakti Membara, Kakek Penjaring Angin, Datuk Bukit Barisan, dan Wanengpati.

Kekuatan kedua kakek sakti itu membuat kelima pendatang ini benar-benar terkejut, apalagi karena Pendeta Sakti Jawadwipa memang sudah pernah beradu kekuatan dengan salah satu dari kedua orang kakek itu. Ya, kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Naga Pattinam, si pendatang dari India.

Dan kakek itulah yang telah menyerangnya dan membuatnya kehilangan peluang mempertahankan Kitab Agama milik gurunya, dan kemudian kehilangan 3 lembar dari kitab itu yang berisi catatan Ilmu Silat saripati pemahaman gurunya selama puluhan tahun. Memandang kearah dua orang itu membuatnya kemudian berbisik kepada kawan-kawannya:

“Kelihatannya keadaan menjadi berbalik seperti ini, membuat pekerjaan kita menjadi jauh lebih muda”

“Benar kakang, tetapi keduanya sungguh-sungguh sakti mandraguna. Sungguh kekuatan mereka luar biasa”

“Benar adi Reksa, tingkat keduanya memang nampaknya berada di tataran yang hampir sama dengan guru. Akupun sendiri masih belum sanggup mengimbangi salah satu dari keduanya, masih kalah seusap. Jika keadaannya demikian, kelihatannya bahkan kita bakal membuat guru ikutan repot adi”

Bahkan Datuk Bukit Barisan dan Kakek Penjaring Anginpun sampai menggeleng-gelengkan kepala melihat kehebatan kedua kakek yang bertarung itu. Keduanya nampak saling pandang, dan Kakek Penjaring Angin bergumam:

“Sungguh, kitapun kelihatannya masih belum nempil menghadapi kedua tokoh dari India ini”

“Benar, keduanya sungguh-sungguh hebat. Kelihatannya mereka masih jauh lebih matang dari kita, terutama lambaran kekuatan batin yang dilandaskan atas pengerahan ilmu mereka” Datuk Bukit Barisan membenarkan.

Sementara itu, pertarungan itu sendiri, memang semakin meningkat ketahap pengerahan kekuatan yang luar biasa. Gelap dan terang berganti-ganti, bahkan sesekali dibalik awan gelap memercik kekuatan bagaikan halilintar yang membuat keadaan menjadi semakin lama semakin menyeramkan. Hanya kadang-kadang kedua kakek itu bergerak dengan Ilmu Silatnya yang nampak mirip itu.

Hanya bedanya, variasi dan tipuan serta kegesitan masih berpihak kepada si Kakek berjubah hitam, atau Naga Pattinam, sementara kemurnian dan kekokohan masih dimenangkan oleh Bhiksu Chundamani. Dalam posisi seperti itulah pertarungan keduanya berlangsung. Terkadang, pengerahan atau penyerangan hanya dilakukan melalui sepasang tangan yang nampaknya dijadikan kayuh atau menggiring angin serangan kearah lawan.

Dan kesudahannya selalu luar biasa, sebab jika tidak dielakkan, akan mengakibatkan lubang besar di tanah. Bila ditangkis, akan menyebabkan ledakan keras yang memekakkan telinga. Karena itu, maklum bila pertempuran aneh itu mendatangkan efek yang menakutkan bagi yang menontonnya.

Pertarungan tersebut semakin lama semakin meningkat ke tahapan yang sangat berbahaya. Lontaran-lontaran kekuatan kedua tokoh itu sudah dilambari oleh lebih dari setengah kekuatan batin masing-masing, dan akibatnya kekuatan tenaga dalam yang terlontar semakin berlipat efeknya.

Bahkan penonton yang berada di pinggiran arena, semakin terombang ambing angan dan pandangan mereka. Bagi mereka, yang bertarung dihadapan mereka adalah 2 Naga Putih dan Hitam, atau kadang-kadang berubah menjadi Burung Cokelat dan Putih, dan sesekali antara 2 ular besar yang mencoba saling terkam, saling lilit dan saling mematuk.

Hal tersebut membuat beberapa orang yang lemah kekuatannya sudah pingsan, sementara yang lain, jelas-jelas sudah dalam genggaman pengaruh mujijat yang menyebar dari arena pertarungan tersebut. Sungguh sebuah pertarungan yang mendebarkan, tetapi juga semakin lama semakin membahayakan banyak orang.

Melihat hal itu, Bhiksu Chundamani menjadi gelisah, karena kebanyakan mereka yang menonton adalah Bhiksu yang dipaksa bekerja di kuil yang siangnya dibuat nampak Kosong tersebut. Bila pertarungan dilanjutkan, maka sebagian besar dari Bhiksu dan pengikut Budha di kuil itu tidak akan pernah lagi menemukan kesadaran mereka akibat pengaruh mujijat berlawanan yang mempengaruhi kesadaran mereka dalam waktu lama. Tetapi, melawan adik perguruannya yang digdaya ini dengan setengah-setengah, hanya akan membuatnya menyerahkan nyawa.

Dia sendiri, meski tahu masih kalah tipis, tetapi tidak akan mungkin terkalahkan tanpa melukai adik perguruannya si Naga Pattinam. Mereka berdua memang diakui sebagai tokoh nomor wahid di India, tetapi meski saudara seperguruan, watak mereka sungguh bertolak belakang.

Kegelisahan ini semakin berlipat karena Naga Pattinam terus menerus meningkatkan lambaran kekuatan Batin lewat lontaran tenaga dalamnya. Tindakan yang dengan terpaksa harus diikutinya jika tidak mau mati sia-sia. Tetapi bila meningkat beberapa kali lagi, maka bisa dipastikan, penonton yang masih berdiripun akan pingsan, sementara yang pingsan akan kehilangan kesadarannya untuk selama-lamanya. Sungguh sebuah pertempuran yang menguras tenaga dan pikirannya.

Di sisi lain, ke-4 Orang Sakti yang menonton pertempuran itu, juga menyadari keadaan itu. Tetapi, mereka heran, karena sama sekali tidak menemukan Sepasang Ular Dewa dan Datuk 9 Harimau Siluman dan Nini Hesti Cendani yang entah berada dimana. Pendeta Sakti Jawadwipa memandang kearah Bintang Sakti Membara dan kemudian berbisik kepada kawan-kawannya:

“Wanengpati, engkau segera berkeliling arena, tetapi jangan mendekat. Lontaran kekuatan mereka terlampau berat buatmu untuk saat ini, sebaiknya engkau mencari jejak Sepasang Ular Dewa dan kawan-kawannya”

“Baik guru” dan dengan segera dia berlalu. Wanengpati sadar, dua gajah yang bertarung itu terlampau besar untuk didekati, apalagi kekuatan yang mereka lontarkan sudah sulit untuk dimengerti olehnya. Sepeninggal Wanengpati, Pendeta Sakti Jawadwipa segera berkata:

“Adi Reksa, engkau lindungi aku untuk menyelamatkan mereka yang telah pingsan di pinggir arena ini. Jika dibiarkan, kondisi mereka akan merusak konsentrasi Bhiksu Chundamani. Bhiksu itu sungguh saleh dan nampaknya gelisah bakal membuat mereka yang pingsan bercacat selamanya. Engkau lindungi aku dengan pengerahan kekuatanmu”

“Benar Kakang, nampak sekali kegelisahan memancar dari wajah Bhiksu Saleh itu. Sebaiknya cepat kita lakukan” sahut Bintang Sakti Membara.

“Dan kuminta Kakek penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan untuk melakukan hal yang sama, memecah perhatian penonton yang tersisa dan menghalau mereka menjauh jika mereka ingin selamat” pinta Pendeta Sakti Jawadwipa kepada kedua Datuk Swarnadwipa itu.

“Baik, segera kita lakukan” Kakek Penjaring Angin menyahut diikuti oleh anggukan kepala Datuk Bukit Barisan. Sungguh mereka terperanjat, karena sadar bahwa mereka yang bertempur masih diatas kebisaan mereka yang berkuasa di Swarnadwipa. Bahkan Datuk Bukit Barisan membandingkan dengan kekuatan ayahnya yang juga dia tahu sangat luar biasa di usia seperti mereka yang bertempur itu.

Keduanya, Kakek penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan sadar, bahwa menerjang perisai pertarungan itu adalah pekerjaan yang super berbahaya, dan mereka merasa sulit menerjangnya. Diam-diam mereka kagum juga terhadap keberanian dan perhitungan Pendeta Sakti Jawadwipa, sekaligus sadar bahwa Pendeta itu dan adik seperguruannya nampaknya, masih seusap diatas mereka.

Sementara itu, kembali Naga Pattinam meningkatkan kekuatan tenaga dalam dan lontaran kekuatan batinnya. Kali ini, udara berpendar-pendar, dan dimata orang biasa, kedua tokoh itu nampak sedang bertarung diudara, saling serang dan saling terjang. Padahal, tubuh keduanya sedang bersedekap di dua penjuru yang berlawanan.

Saling serang keduanya mengakibatkan gelombang kekuatan yang luar biasa mendera keadaan sekeliling dan membuat benda-benda ringan beterbangan. Bahkan benda padat kecil semacam kerikilpun terangkat dan beterbangan dan bisa melukai orang yang terkena benda beterbangan tersebut.

Dan pada saat yang berbahaya itu, saat setahap lagi kedua tokoh maha sakti itu memasuki tingkat merusak bagi korban yang pingsan, melayanglah tubuh Pendeta Sakti Jawadwipa, yang dibelakangnya nampak duduk bersedekap Bintang Sakti Membara sambil mengulurkan tangan kearah Pendeta Sakti Jawadwipa.

Dari tubuh Pendeta Sakti Jawadwipa berpendar cahaya kemerah-merahan, bagaikan Bintang berpendar dengan kekuatan panas membara, dan panas serta pendaran cahaya itu tambah pekat dengan lontaran kekuatan dari Bintang Sakti Membara untuk memperkuat pertahanan kakak seperguruannya. Meski demikian, toch, Pendeta Sakti Jawadwipa bekerja secara lamban untuk menyingkirkan para korban terdekat dari lapangan atau arena pertarungan.

Sementara itu, pekerjaan Kakek Penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan, sedikit lebih mudah karena lontaran kekuatan kedua tokoh yang bertarung itu terhambar perisai kekuatan gabungan Bintang Sakti Membara dan Pendeta Sakti Jawadwipa.
 
3




Keadaan yang berubah itu sangat membantu Bhiksu Chundamani yang kemudian memusatkan perhatiannya untuk meladeni adik seperguruannya itu. Meski dia sadar dia masih kalah seurat, tetapi kekokohan dan kemurnian ilmunya membuatnya memiliki keyakinan untuk bisa bertahan.

Dan hal itu segera terbukti, karena sekali lagi Naga Pattinam menghentakkan kekuatannya. Kekuatan luar biasa yang diimbangi oleh adik perguruannya, dan kali ini, tiada lagi benda-benda yang beterbangan. Keadaan bahkan menjadi senyap, tiada lagi angin serangan yang tajam menusuk dan membela senyapnya malam.

Bagi mata biasa, keadaan menjadi normal, dan lucu melihat dua orang kakek yang seperti saling cowel saja dari kejauhan. Tetapi, jangan salah sangka. Keadaan ini, justru jauh lebih berbahaya, karena memasuki penggunaan puncak kekuatan kedua tokoh tersebut. Bahkan Pendeta Sakti Jawadwipa, terpaksa menghentikan pekerjaannya, dan ada sekitar 5-6 Bhiksu yang terpaksa tak tertolong lagi, tidak sempat lagi, karena kekuatan yang menindih sudah demikian hebatnya.

Dan dari semua lubang hidung, mata dan telinga mereka mulai mengucurkan darah hidup, dan Pendeta Sakti Jawadwipa dengan terpaksa bersedih bagi mereka yang tak mungkin tertolong lagi. Dengan segera, diapun kemudian melompat kedekat adik seperguruannya, dengan berdekatan, keduanya sanggup meningkatkan energi mereka dan bertahan dari pertarungan menyeramkan itu.

Beberapa meter di belakang mereka, Kakek Penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan juga bertahan dengan kondisi yang serupa, mereka telah mampu menyingkirkan penonton yang segera sadar bahaya dan lari bersembunyi.

Dan pertarungan mendebarkan itu, kini berlangsung lebih menakjubkan lagi. Bhiksu Chundamani nampak sudah mencurahkan seluruh perhatiannya menghadapi Naga Pattinam, sementara sebaliknya Naga Pattinam menjadi berdebar-debar melihat masuknya Pendeta Sakti Jawadwipa yang sudah dia tahu kemampuannya.

Keadaan kini berbalik, tetapi keadaan sudah begini mendesak, dia sadar jika diteruskan, menang sekalipun, dia tidak akan mungkin lepas dari keadaan yang rugi. Tetapi, mengurangi tekanan, jika tidak diimbangi lawan yang juga menurunkan tekanan, sangatlah berbahaya. Karena itu, keadaan menjadi berbalik, dan Bhiksu Chundamani memantapkan posisi dan kedudukannya.

Tetapi, sebagai kakak dan adik perguruan, keduanya sadar akan bahaya yang sednag mengancam. Takkan ada seorangpun dari keduanya yang akan keluar dari arena tanpa terluka parah, menang ataupun kalah, karena selisih mereka yang cuma seurat, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Dan sorot mata keduanyalah yang kemudian menyelamatkan mereka, dengan perlahan namun pasti secara bersama mereka mengurangi tekanan dan lontaran kekuatannya. Pertarungan itupun perlahan namun pasti mulai mengalami tensi menurun, dan lama kelamaan tahapan berbahayapun sudah terlewati.

Tetapi, keempat tokoh sakti di sekitar arena, tetap berdiam diri dalam kesiagaan menjaga diri. Dan karena itu, mereka tidak sanggup lagi mencegah ketika Naga Pattinam tiba-tiba melejit tinggi keudara dan dengan teriakan mengerikan meninggalkan tempat itu. Meskipun berlalu, dari kejauhan masih terdengar suaranya:

“Chundamani, akupun tertipu. Lembaran itu telah dilarikan orang, dan engkau tahu aku jarang berdusta untuk urusan demikian” dan seterusnya suara itu kemudian lenyap tak berbekas.

Cukup lama waktu yang diperlukan Bhiksu Chundamani untuk kemudian menarik nafas panjang dan membuka matanya. Dihadapannya bersila 4 orang yang nampak sudah lebih dahulu memulihkan diri, dan memandang kagum Bhiksu Maha Sakti yang sudah berusia demikian lanjut ini. Bhiksu itu kemudian buru-buru memuji kebesaran Budha:

“Budha Maha Pengasih ……. Saudara-saudara, terima kasih atas bantuan kalian semua. Jika tidak, sungguh sulit membayangkan korban dari akhir pertempuran tadi. Hm, adik seperguruanku memang sangat hebat, malah masih sedikit mengatasiku, dia memang luar biasa”

“Bhiksu, benar-benarkah dia si Naga Pattinam adalah adik perguruanmu sendiri”?

“Benar …. benar sekali. Hanya sejak muda, dia memang sangat berbakat, dan bahkan banyak mengembara meluaskan kemampuan silatnya. Berbeda denganku yang lebih tekun mengurusi urusan agama. Tetapi, kegemarannya akan ilmu silat, memang sering membuatnya berjalan kearah yang keliru, meskipun dia sendiri sebetulnya bukanlah orang jahat. Kelihatannya, nafsu dan keinginannya untuk melihat dan meninjau lembaran kitab gurumu memancingnya datang hingga ketempat ini.”

“Tapi, Bhiksu, apa maksud dari perkataannya yang terakhir? Apa benar lembar kitab itu tidak berada di tangannya”? Bintang Sakti Membara bertanya

“Untuk perkataannya itu, aku percaya. Bahkan dia kehilangan murid kepercayaannya, murid kepalanya, yang justru dibunuh oleh orang lain. Dan kitab itu dibawah lari oleh orang lain” jawab Bhiksu Chundamani

“Apakah perkataannya bisa dipegang Bhiksu”? Bintang Sakti Membara kembali bertanya, sementara Pendeta Sakti Jawadwipa membiarkan saja adiknya terus bertanya.

“Hm, untuk kata-katanya, bisa dijamin dia tidak berdusta. Pengalaman hidup bersamanya puluhan tahun membuatku bisa menduga, dia berdusta atau tidak. Lagipula, beberapa Bhiksu disini, juga membenarkan kematian muridnya yang dibokong orang dan kemudian melarikan lembaran kitab itu”

“Tapi, adakah informasi tentang siapa gerangan yang melarikan kitab itu Bhiksu”? Pendeta Sakti Jawadipa akhirnya bertanya

“Menurut adikku, ada dua orang Datuk dari Swarnadwipa yang membokong. Dan bahkan, kedua murid adik perguruanku itu, ikut membokong dan membantu kedua datuk itu hingga mereka bisa melepaskan diri dari tempat ini. Nampaknya ketika tiba ditempat ini dan mengobati murid kepalanya yang terluka ditanganku, mereka kena diserang dan terampas lembar kitab itu. Dalam keadaan tenaga kurang, agak sulit adik perguruabnku itu meladeni keempat orang itu. Untungnya, kedua murid murtadnya itu masih segan melukai gurunya dan segera melarikan diri dari tempat ini bersama kedua temannya itu”

Mendengar penjelasan tersebut, semua orang terdiam dan terkejut dengan lintasan pikiran dan kepentingan yang berbeda-beda. Pendeta Sakti Jawadwipa menjadi muram, karena persoalan menjadi melebar dan bakal mengaduk-aduk tanah Swarnadwipa. Demikian juga dengan Bintang Sakti Membara, yang tiba-tiba merasa bahwa kesenyapan dan kedekatan dengan alam akan terganggu dengan tugas memburu lembar kitab ciptaan gurunya.

Sementara itu, Datuk Bukit Barisan dan Kakek Penjaring Angin juga berpikiran yang sama nyelimetnya. Mereka berpikir, jika kedua datuk lawan mereka memperoleh tambahan pelajaran Ilmu Sakti, maka keseimbangan di Swarnadwipa bisa terganggu. Dan sudah tentu hal tersebut tidak boleh dibiarkan. Dan karena itu juga, keduanya jadi terpacu untuk ikut secepatnya memikirkan bagaimana menemukan lembar kitab itu untuk kepentingan keseimbangan kekuatan diantara 4 Datuk Swarnadwipa itu.

Sementara Bhiksu Chundamani sendiri sudah membulatkan tekadnya untuk segera meninggalkan Bumi Sriwijaya, karena semua niat dan tugasnya dirasakannya sudah diselesaikannya. Demikianlah untuk sejenak kelima orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai kemudian keheningan dipecahkan oleh suara Bhiksu Chundamanu:

“Budha maha pengasih …… ada waktu berjumpa, ada waktu kita berpisah. Sampaikan salamku kepada Guru kalian. Setelah lembaran kitab gurumu tidak lagi ditangan keluarga perguruanku, maka tugasku terhadap gurumu sudah selesai. Dan tugasku di Bumi Sriwijaya juga sudah berakhir, dan dari tempat ini aku akan menyusul adik perguruanku untuk segera bertolak kembali ke India. Sangat mungkin ditempat lain kita akan berjumpa pula. Salam ku pula buat tokoh-tokoh di Bumi Sriwijaya ini” Setelah menjura kepada ke-4 tokoh itu, Bhiksu Chundamani kemudian minta diri diiringi oleh tatapan penuh haru dan kekaguman. Betapapun mereka melihat Bhiksu Tua ini dengan penuh hormat dan kagum, baik atas kesaktiannya, maupun atas kesalehannya dan keramahannya.

Tetapi, beberapa saat kemudian, tiba-tiba baik Pendeta Sakti Jawadwipa maupun Bintang Sakti Membara mendengar suara yang disampaikan dari jauh, dan nampaknya oleh Bhiksu Chundamani:

“Kalian kakak beradik perguruan, nampaknya harus lebih siap untuk memasuki tanah India dan Tiongkok. Kelihatannya kalian akan ditunggu dan diterjang begitu banyak persoalan sejak hari ini. Semoga berhasil …..”

Pendeta Sakti Jawadwipa memandang Bintang Sakti Membara segera setelah suara itu berlalu. Dan Bintang Sakti Membara segera berkata:

“Benar sekali pesannya kakang, untung aku sudah memakan sebutir buah mujijat dari guru. Akan butuh waktu beberapa lama bagi kita untuk meningkatkan kemampuan kita, jika memang kita mesti merambah tanah India dan Tiongkok kakang”

“Kamu benar adi, semoga kita berhasil”

===============

Sementara Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membara bersama dengan Kakek Penjaring Angin dan Datuk Bukit Barisan sibuk memburu lembaran kitab pusaka yang dibawa kabur orang, di tempat lain, Panglima Jayeng Kencana sukses menahan serbuan Armada Laut Kerajaan Chola.

Sebulan sudah berlalu, sejak serbuan armada Laut tersebut, tetapi semua serbuan dengan berbagai taktik yang dijalankan, mampu dipapas dan dipukul mundur oleh armada laut Kerajaan Sriwijaya. Panglima Jayeng Kencana sendiri yang langsung memimpin penghadangan, dan bahkan kemudianmengusir armada laut lawan untuk kembali berlayar kelautan.

Bahkan penyerangan berikutnya, dengan armada Kerajaan Cola yang lebih besar, juga tidak mampu menggemingkan posisi armada Sriwijaya yang bertempur bersemangat bersama dengan panglimanya. Banyaklah kapal-kapal perang lawan yang dikaramkan. Tetapi, meski demikian, segera jelas, bahwa persiapan perang lawan kali ini jauh lebih siap, karena penyerangan demi penyerangan terus dilakukan, meskipun dari daya tahan, disiplin dan taktik, serta terutama penguasaan lapangan atau medan, armada Sriwijaya jauh unggul.

Selama peperangan di lautan itu berkecamuk, ubek-ubekan dan perburuan terus dilakukan di daratan. Terutama antara tokoh-tokoh sakti Jawadwipa, Swarnadwipa dan India yang terlibat dalam perburuan dan perebutan kitab Sakti tersebut. Kabar terakhir yang bisa dipercaya didapat Datuk Bukit Barisan, bahwa tokoh-tokoh India bersembunyi di sebuah gunung yang menjadi salah satu markas Datuk 9 Harimau Siluman.

Sebuah kebetulan, karena salah seorang anak buah Datuk Bukit Barisan memergoki rombongan itu berendap-endap mendaki sebuah gunung yang berada jauh di selatan Ibukota Sriwijaya. Bahkan pengintaian kemudian dilakukan lebih jauh dengan melakukan penyusuoan, dan dalam hal ini memang adalah kebisaan anak buah Datuk Bukit Barisan.

Dan hasilnya sangat cemerlang, karena diketahui, kedua tokoh India itu menunggu berlabuhnya tentara Darat Kerajaan Cola yang akan masuk dari sebelah Barat Pulau Swarnadwipa dan akan masuk menyerang langsung ke Pusat Kota Sriwijaya. Berita yang sangat mengejutkan ini kemudian disikapi secara cepat oleh kelima orang itu.

Wanengpati ditugasi untuk kembali ke Ibukota menyampaikan berita itu kepada Suro Bhakti, sementara ke-4 tokoh sakti itu akan bergerak cepat menyerbut markas Datuk 9 Harimau Siluman sebelum Tentara Darat Kerajaan Cola datang menyerang. Terutama, karena menurut perhitungan Bintang Sakti Membara, dalam beberapa hari lagi, Tentara Darat itu akan segera mendarat. Dan jika demikian, maka kesulitan besar akan segera menghadang mereka, baik merebut kembali lembaran kitab pusaka, maupun menjaga keutuhan Sriwijaya dari serangan bangsa asing.

Dalam upaya keras dengan berjalan selama 2 hari, akhirnya ke-4 tokoh sakti itu berhasil mendekati salah sarang Datuk 9 Harimau Siluman yang digunakan sebagai tempat persembunyian sementara tokoh-tokoh buruan mereka. Sambil menunggu malam hari, saat yang mereka tetapkan untuk bergerak, sekaligus menunggu anak buah Datuk Bukit Barisan, ke-4 tokoh tersebut beristirahat sejenak.

Kecuali Kakek Penjaring Angin, yang seperti biasa, dengan ilmu sejenis Panglimunan, mampu bergerak seperti menghilang saking cepatnya. Kakek ini dengan inisiatif sendiri bergerak ke markas lawan untuk menghitung dan menjejaki kekuatan lawan. Ada kurang lebih 3-4 jam Kakek Penjaring Angin mengerjakan pekerjaan yang memang menyenangkan baginya itu, ubek-ubekan dan main sembunyi-sembunyian.

Dan dengan kesaktiannya yang luar biasa dalam bergerak, membuat kemampuannya untuk bersembunyi atau berlari menjadi tiada duanya di Swarnadwipa. Tidak percuma dia dijuluki Kakek Penjaring Angin. Dari pekerjaannya menyusup dan mengintai markas musuh itulah dia mendapat gambaran berapa kekuatan lawan, dan bagaimana harus menyerang markas itu di malam hari. Harus dengan kejutan.

Dan memang, malam itu juga, siasat mengejutkan lawan akan digunakan setelah terlebih dahulu ke-4 tokoh itu menyusup masuk ke sarang lawan. Pembagian tugasnyapun sudah dilakukan, dimana Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membawa akan langsung mencari siapa yang memegang Lembaran Kitab itu dan merampasnya, sementara kedua Datuk yang lain akan menimbulkan kekacauan segera setelah Lembaran itu bisa dirampas kembali.

Dan kekacauan akan diikuti oleh serbuan anak buah Datuk Bukit Barisan ke markas musuh untuk menambah efek kejutan tersebut. Dan demikian memang kemudian dikerjakan pada malam itu. Diawali oleh melayangnya 2 tubuh memasuki bagian belakang markas yang nampak tidak terjaga baik, karena memang tidak menyangka jika malam itu akan terjadi penyerangan.

Dan dengan cepat kemudian kedua tubuh itu mencari tempat yang aman, tetapi kesulitan untuk menduga, dimana kira-kira tempat persembunyian tokoh utama yang mencuri lembaran Kitab itu. Selain itu, masih menjadi masalah, siapa dari ke-4 tokoh itu yang memegang dan menyimpan lembaran Kitab tersebut.

Tengah keduanya kebingungan menentukan arah, tiba-tiba Bintang Sakti Membara bergerak kearah salah seorang penjaga yang kebetulan berjaga sendirian di sebuah sudut. Dan dengan sekali tepuk, orang tersebut segera kehilangan kesadarannya, dan diseret ke kegelapan. Sementara Pendeta Sakti Jawadwipa, hanya memandangi saja pekerjaan adik seperguruannya, dia maklum apa yang sednag dilakukan adik perguruannya itu.

Begitulah, dalam kondisi terjepit, dan dalam tekanan begitu banyak persoalan, bahkan seorang saleh semisal Pendeta Sakti Jawadwipapun harus kembali bertoleransi dengan kekerasan. “Apa boleh buat” pikir Pendeta Sakti Jawadwipa.

Benar “apa boleh buat” memang sering menjadi alasan atau pembenaran terhadap tindakan apapun ketika jalan normal dianggap sudah buntu. Dan kata “apa boleh buat”, mau tidak mau menjadi menjadi sering sebagai alasan terhadap tindakan ataupun perbuatan yang boleh dikata menyimpang dari jalan yang selama ini ditempuh dan diyakini.

Mirip dengan Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membara, yang sebenarnya puluhan tahun menjauhkan diri dari kekerasan, tetapi ketika jalan yang biasanya mereka tempuh gagal, maka “apa boleh buat” jalan lama dengan terpaksa harus ditempuh. Dan nampaknya, memang “apa boleh buat” itu banyak terjadi dalam konteks kehidupan manusia. Untuk pembenaran atas apa yang dengan sengaja dipilih untuk dikerjakan meski sebetulnya itu bukan pilihan yang ideal. Apalagi jika kemudian jalan “apa boleh buat” ternyata memang mendatangkan sukses. Tidak salah jika bahkan orang-orang saleh dan hebat sekalipun memang dengan “terpaksa” menempuh jalan “apa boleh buat” itu.

Dan memang demikian akhirnya. Seorang yang menjaga keselarasan dengan alam selama 15 tahun terakhir, juga secara terpaksa harus memakai kembali cara lama untuk melakukan tugas mengejar lembaran Kitab gurunya yang terampas orang. Dan memang, cara itu ternyata ampuh, karena dengan cepat informasi dimana persembunyian atau peristirahatan ke- 4 tokoh utama yang bersembunyi di markas itu dapat diketahui.

Bahkan lengkap dengan kebiaaan mereka setiap malam, yakni berpesta hingga jauh malam, untuk kemudian bernagkat istirahat menjelang subuh. Kondisi ini membuat lega baik Pendeta Sakti Jawadwipa, maupun Bintang Sakti Membara yang kemudian tahu bahwa saat itu adalah saat yang tepat untuk melakukan penggeledahan. Maklum, sudah sekitar jam 11 malam, dan jam seperti itu adalah jam yang tepat untuk melakukan pesta malam hari.

Dan lebih menguntungkan lagi, lokasi pesta itu, kebetulan berjauhan dengan tempat beristirahat dari tokoh-tokoh tersebut. Kebetulan itu dengan segera dirasakan sebagai anugerah, dan tidak berapa lama kedua bayangan pesat tersebut sudha meluncur kearah timur, ke area yang terdiri dari rumah-rumah yang terhitung mewah dibandingkan dengan rumah lain di sebelah Barat, Selatan dan Utara.

Tetapi, ada satu hal yang membuat kedua tokoh sakti dari Jawadwipa itu keliru. Mereka lupa, 2 dari 4 tokoh yang mereka kejar adalah Nenek-nenek. Yakni, Gayatri dan Nini Hesti Cendana. Dan adalah Gayatri yang pada malam itu, kebetulan berada di salah satu rumah istirahat yang kebetulan mendapat giliran disatroni terakhir oleh kedua tokoh itu.

Dan, nenek sakti itu dengan cepat mengetahui bahwa lawan sudah mencium keberadaan mereka. Menyadari bahaya, Nenek Gayatri dengan cepat mengambil langkah pengamanan, bersembunyi. Tetapi, begitu mengetahui kekuatan lawan yang besar, dari sekedar bersembunyi, nenek yang cerdik ini kemudian malah kabur meninggalkan markas itu. Dan itulah jejak nenek Gayatri yang terakhir diketahui di Swarnadwipa.

Dan, hilang jugalah salah satu lembaran Kitab Sakti dari Jawadwipa, lolos ke negeri orang. Lembaran yang hilang itu adalah lembaran pertama dari 3 lembar yang dicuri dari Kitab Agama ciptaan guru ke dua tokoh asal Jawadwipa itu.

Di tempat lain, sementara kedua tokoh sakti Jawadwipa mengobrak-abrik kamar tempat istirahat tokoh-tokoh yang lain, bahkan juga ruangan Nenek Gayatri yang sudah kosong, tiada satupun yang mereka temukan. Sedangkan pesta sedang dan akan terus berlangsung bahkan nampaknya seperti biasa akan sampai subuh nantinya.

Dan di barisan para penikmat itu, nampak Datuk 9 Harimau Siluman, Mahendra dan Nini Hesti Cendani, dan salah seorang yang nampak berada di sudut tetapi dengan tingkah yang misterius. Tetapi, dalam situasi yang meriah seperti itu, sudah pasti tidak ada yang memperhatikan tingkah misterius orang tersebut.

Apalagi, karena sosok misterius itu, sudah bersama dengan tokoh-tokoh yang bersembunyi di markas itu sejak sebelum melarikan diri dari Kuil Kosong dekat kota raja Sriwijaya. Karena itu, maka perjamuan dan pesta itu berlangsung terus dan terus tanpa adanya tanda-tanda bahwa pesta itu akan berhenti meski sudah lewat tengah malam.

Bahkan pesta itu semakin bertambah meriah, dan tanda-tanda mabuk mulai tersiar dari sebagian besar peserta pesta, kecuali beberapa orang yang berkepandaian yang masih sanggup menahan dri mereka.
 
BAB 13 Tragedi Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)
1 Tragedi Shih Li Fo Shih (Sriwijaya)



Bersamaan dengan semakin larutnya malam dan semakin brutalnya pesta, kedua tokoh Jawadwipa, Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membara, akhirnya sadar. Nampaknya, lembaran dari kitab Guru mereka tidak disimpan di ruangan tersebut, dan bisa dipastikan selalu dibawa oleh mereka yang memegangnya.

Dan yang dicurigai memegangnya adalah 3 dari antara 4 tokoh sakti itu: Entah siapa ketiga orang tersebut. Yang pasti, tiga dari antara Mahendra, Gayatri, Nini Hesti Cendana dan Datuk 9 Harimau Siluman pasti memegang satu lembaran masing-masing. Sulit dipastikan, siapa yang tidak memegang lembaran itu dari keempat manusia sesat itu.

“Adi, kelihatannya mereka tidak menyimpan lembaran itu di ruangan pribadi mereka. Tak satupun yang kita temukan”

“Benar kakang, kelihatannya pertempuran sudah pasti akan pecah. Dan itu jalan satu-satunya untuk menemukan dan merampas kembali lembaran-lembaran tulisan Guru itu”

“Benar Adi, tetapi siapa kira-kira yang memegangnya? Dan bagaimana pula kita mengetahuinya”?

“Hanya ada satu cara saat ini kakang, yakni menyerang mereka dan berusaha merampasnya”

“Baiklah, jalan seperti ini terpaksa harus kita tempuh kembali Adi”

“Benar kakang, tiada cara lain” Seperti Pendeta Sakti Jawadwipa, Bintang Sakti Membarapun nampak menyesal dengan satu-satunya pilihan yang tersedia itu. Dan keduanya dengan tetap berhati hati kemudian bergabung dengan kedua Datuk Swarnadwipa lainnya dan bersama mengatur rencana penyerangan di ruangan pesta.

“Sedapat mungkin kita tidak mengusik keramaian mereka. Dan begitu memasuki ruangan, masing-masing kita memilih satu musuh dan kemudian menyerangnya secepat mungkin” Saran Datuk Bukit Barisan

“Hm, tetapi cara itu kurang satria” gumam Bintang Sakti Membara

“Benar, memang kurang satria. Tetap, cara mereka mengambil benda itupun memang tidak satria. Mengandalkan kegagahan akan membuang waktu dan membuat mereka menyingkir dibalik perisai anak buah mereka” tegas Datuk Bukit Barisan

“Benar, dan bila itu terjadi, kita terpaksa harus banyak memukul dan merobohkan orang. Dan jaminan keberhasilannyapun sangat sedikit” Kakek Penjaring Angin ikut bicara, kali ini dengan nada sangat serius.

“Hm, kalian benar. Dengan tingkat kepandaian kita yang sangat sedikit jaraknya, memang mau tidak mau kita mesti menggunakan cara yang mereka gunakan terhadap kita. Memanfatkan efek kejutan untuk kemudian merogoh kantong orang, siapa gerangan dari mereka yang memegang lembaran sakti itu” Bintang Sakti Membara berkata sedikit menyetujui, dengan hanya mentolerir menyodok kantong orang. Itupun sambil melirik kakak perguruannya yang kelihatannya manggut manggut menyetujui sarannya.

“Baik, kita tetapkan dengan cara demikian” tegas Datuk Bukit Barisan. Dan keempat manusia sakti itupun kemudian menggunakan kesaktian mereka untuk kemudian mendekati tempat pesta. Tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan ke-4 manusia itu, dan peserta pestapun semakin tenggelam dalam kenikmatan pesta tanpa sadar bahaya sudah didepan hidung.

Tetapi, benarkah tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan ke empat manusia sakti tersebut? Sama sekali keliru. Si orang misterius yang sejak tadi tidak ikut dalam kemeriahan pesta meski berada dalam ruangan itu, nampak menjadi gelisah dengan keadaan tersebut. Perlahan lahan tangannya mengeluarkan sehelai kain, dan kelihatannya dia sedang menyiapkan sesuatu.

Hanya sejenak kegelisahan hinggap di wajahnya yang misterius itu, seterusnya dia kemudian mantap dengan pilihan kerja yang harus dia lakukan. Dan sudah tentu, dia tidaklah akan menunggu sampai manusia-manusia yang diendusnya berkepandaian akan memulai aksinya terlebih dahulu.

Tidak, sama sekali tidaklah demikian. Apalagi karena dia mengenal kesaktian dua diantara empat orang yang sedang mendatangi tempat pesta tersebut. Tidak, dia harus memulai sebelum suasana terlanjur sulit dikendalikan lagi. Dan untuk maksud tersebut, si manusia misterius ini sudah tahu siapa sasaran yang harus ditujunya agar keuntungannya nyata.

Alias tidak sia-sia semua yang direncanakan dan dikerjakannya selama ini. Dia mengincar seseorang yang dia tahu memegang lembaran yang paling penting, karena dia sadar, ketika atau waktu kejutan hanya berlangsung singkat dan sulit memanfaatkannya untuk dua urusan besar pada saat bersamaan.

Disiapkannya 8 senjata rahasia ditangannya, nampaknya akan diusahakannya ke delapan senjata tersebut akan mampu memadamkan penerangan di ruangan pesta, sehingga akan dengan mudah dia mengerjakan segala upaya dan rencananya tersebut. Apalagi ketika melihat, sasarannya sudah setengah mabuk.

Detik detik menegangkan semakin terasa, terutama bagi 5 orang: 4 orang pendatang dan si manusia misterius dalam ruangan pesta. Dan tepat ketika ke empat pendatang sudah sangat dekat dengan pintu masuk ruangan pesta, tiba-tiba terdengar teriakan dahsyat:

“Ada penyerang, siaga” dan bersamaan dengan teriakan itu, meluncurlah 8 senjata rahasia kearah 8 obor penerangan yang dengan cepat memadamkan obor tersebut. Dan pada saat obor tersebut padam, pintu masuk digedor dan bahkan diterjang dari luar, dan meluncurlah masuk 4 bayangan tubuh manusia. Tetapi, keempatnyapun dihadang oleh kegelapan ruangan pesta, bahkan hanya cahaya temaram yang mereka temui, itupun hasil dari pintu masuk yang sedikit tersibak ketika mereka menerjang masuk.

Sementara itu, pada saat kekacauan terjadi, bayangan si manusia misterius bergerak sangat gesit dan pesat. Dengan cepat dia mencelat kearah Nini Hesti Cendani yang sedang sangat terkejut dan belum menemukan keseimbangannya. Dan sebelum Nini Hesti Cendani sadar betul dengan apa yang sedang terjadi, tiba-tiba kantongnya seperti ada yang menyentuh. Dan secepat itu pula dia menemukan kesadaran dirinya, tahu bahwa dia sedang dan bahkan telah dikerjai orang:

“Setan, ada pencuri” dan bersamaan dengan itu, dikebaskannya tangannya dan melayanglah jiwa seorang pemuda dalam pangkuannya. Tetapi, dia hanya merasakan melesatnya satu tubuh misterius dan menjauh darinya. Herannya, tanpa dia tahu siapa yang melakukannya. Dengan segera meluncurlah jeritan atau teriakan dari mulutnya:

“Lembaranku tercuri, setan siapa engkau”? tetapi nenek itu butuh waktu sekejap untuk menyadari siapa yang mencuri lembaran dikantongnya. Ketika menyadarinya, pencuri itu sudah melesat menjauh dan sulitlah diikuti matanya yang masih coa beradaptasi dalam kegelapan.

Sementara itu, keempat pendatang menjadi terkejut dengan keadaan dalam ruangan yang diluar perhitungan mereka. Adalah Bintang Sakti Membara yang cepat menyadarinya:

“Celaka, sesuatu telah terjadi” dan Dengan cepat dia menggedor dan memecahkan pintu masuk ruangan pesta. Tetapi, ketika keempatnya melesat masuk, hanya kegelapan semata yang mereka temukan. Keempatnya sama bingungnya dengan Mahendra, dan kedua Datuk Swarnadwipa lainnya, tidak tahu perkembangan dan apa yang sedang terjadi.

Tetapi, adalah mata awas Pendeta Sakti Jawadwipa yang sempat mengikuti adegan melesatnya sosok tubuh menjauh dari Nenek Hesti Cendana, dan adegan itu membuat hatinya mencelos. “Celaka” pikirnya ….. “Sungguh akan semakin rumit keadaannya”. Tetapi, setelahnya, sosok tubuh itupun berbaur dalam kekacauan tanpa sanggup diidentifikasi sosok itu berada dimana kini.

Dan, ketika kemudian nyala api kembali menerangi tempat tersebut, semua menjadi tersentak, karena dalam ruangan tersebut kini bertambah 4 orang asing. Tetapi, baik Mahendra, Datuk 9 Harimau Siluman dan Nini Hesti Cendani memandangi keempat pendatang tersebut sambil tersenyum. Sementara si pencuri atau si manusia misterius entah sudah menghilang kemana. Bahkan Pendeta Sakti Jawadwipapun tak sanggup lagi menjejaki kemana perginya manusia yang hanya sanggup diikutinya adegan menjauh dari Nini Hesti Cendani.

“Hm, kukira siapa. Ternyata kawan-kawan lama. Sunguh tak tahu malu memanfaatkan kegelapan untuk mengambil sesuatu dari kantongku” Nini Hesti Cendani sudah dengan cepat menduga, bahwa yang sanggup bergerak cepat mengibulinya adalah Kakek Penjaring Angin, kawan atau lawan lama.

Maklum, hanya Kakek itu yang dikenalinya dan diakuinya akan sanggup mengadalinya dalam soal kecepatan bergerak. Siapapun tahu, bahwa memang kakek itu terkenal sakti dan terkenal kehebatannya dalam soal bergerak cepat. Dan hanya Kakek itu yang nampaknya mungkin melakukan gerak cepat merogoh saku atau kantong Nini Hesti Cendani.

Sama sekali sulit bagi sang Nenek untuk menyadari bahwa ada orang lain lagi yang ikut bermain dalam skenario keributan, bahkan orang itu yang merancang skenario tersebut.

“Hahahahaha, itu namanya maling berteriak maling” seperti biasa Kakek Penjaring Angin seperti angin-anginan menghadapi persoalan.

“Hm, kamu telah berubah pengecut dan tidak berani mengakui perbuatanmu mencuri lembaran itu dari kantongku Kakek Peot Penjaring Angin”?

“Heheheh, Nini bernama cantik berkelakuan buruk, siapa kesudian menyentuh tubuhmu yang sudah layu itu ……. Hehehehe, belum layupun belum tentu aku sudi melakukannya”

“Kurang ajar, sejak kapan engkau berubah menjadi pengecut dan tidak berani mengakui perbuatanmu”? Nini Hesti Cendani menjadi murka. Murka dan malu kehilangan lembaran sakti, juga murka terhadap Kakek Penjaring Angin yang justru mempermainkannya.

“Karena memang bukan aku yang mencolekmu nenek peot, hehehehehe” tegas Kakek Penjaring Angin.

“Pengecut, rasakan seranganku” bersamaan dengan seruan itu, Nenek Hesti Cendani telah menyerang Kakek Penjaring Angin dengan pukulan yang luar biasa. Dan pertarungan pertama segera pecah di ruangan tersebut. Pada saat pertempuran itu terjadi, semua orangpun kemudian memberi ruang bagi keduanya untuk bertarung menentukan pemenang. Tetapi, kedua petarung itu sudah saling tahu kemampuan masing-masing, dan pertempuran mereka tidak akan selesai dalam waktu singkat. Keduanya paham akan hal tersebut.

Dan ketika kemudian pertempuran keduanya terjadi, nampak Datuk 9 Harimau Siluman telah bergerak mendekati Datuk Bukit Barisan. Dan tidak ada percakapan yang terjadi antara keduanya, karena keduanya maklum bicara takkan berguna dalam kondisi seperti sekarang. Karena itu, dengan segera keduanya menciptakan arena pertempuran kedua, pertempuran antara tokoh-tokoh utama Swarnadwipa.

Dan kesudahannya sungguh luar biasa, angin pertempuran dengan segera memenuhi arena tersebut. Seliweran angina pukulan dahsyat menyebabkan tidak menunggu waktu lama, ruangan pesta tersebut runtuh. Maklum angin serangan keempat manusia sakti Swarnadwipa tersebut bukan olah-olah hebatnya.

Sebagaimana pertarungan sebelumnya antara Kakek Penjaring Angin melawan Nini Hesti Cendani, pertempuran antara Datuk Bukit Barisan melawan Datuk 9 Harimau Siluman juga berjalan keras, ketat dan nampak seimbang. Maklum, keempat tokoh besar Swarnadwipa ini memang adalah tokoh-tokoh standing dan sudah sering bertempur bahkan dnegan saling tukar lawan.

Sudah puluhan kali mereka bertarung dan masih tetap belum ada seorangpun dari mereka ang sanggup untuk memenangkan pertandingan melawan siapapun diantara mereka berempat. Dan kali ini, kembali keempatnya terlibat dalam sebuah pertarungan.

Sementara itu, Bintang Sakti Membara selalu mengawasi pergerakan Mahendra. Sedangkan Mahendra yang diawasi menyadari keadaannya, tetapi untuk bergerak dia merasa segan, karena kondisi dan posisinya agak lemah.

Apalagi pasangan bertarungnya, Gayatri tidak berada disisinya, sedangkan gurunya yang sakti sudah dikhianatinya. Posisinya sungguh-sungguh runyam. Jika dia tahu Gayatri telah meninggalkannya, maka keadaannya pasti akan menjadi lebih menyedihkan lagi. Sementara itu, sambil menonton pertarungan, Pendeta Sakti Jawadwipa berbisik lirih dengan Ilmu Menyampaikan Suara kepada Bintang Sakti Membara:

“Adi, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres disini”

“Benar kakang, akupun merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya”

“Aku sempat menangkap sebuah bayangan yang merogoh sesuatu dari kantong Nini Hesti Cendani. Hanya, bayangan itu bergerak sungguh cepat, dan herannya gaya bergeraknyapun telalu mirip dengan gaya bergerak kita. Ada apa gerangan dengan semua kejadian ditempat ini”?

“Maksud kakang”?

“Sudah pasti bukan Kakek Penjaring Angin yang mengambil lembaran itu dari Nini Hesti Cendani. Tetapi, Nini itu, juga tidak berdusta kalau lembaran itu tidak ditubuhnya lagi. Tapi, siapa gerangan yang mempermainkan kita semua”?

“Kakang pasti sudah punya dugaan” Bintang Sakti Membara menduga

“Benar, tetapi bukan sekarang saatnya membicarakannya. Masih ada dua buah lembaran lagi, tetapi entah ditangan siapa. Di tangan Mahendra atau di tangan Datuk 9 Siluman Harimau dan dimana gerangan Gayatri”?

“Benar kakang, tidak mungkin Gayatri yang mempermainkan kita semua. Aku masih cukup mengenal kemampuannya. Pasti ada orang lain, dan bukan tidak mungkin Gayatri sudah jatuh ditangannya. Hm, kakang, sebaiknya Kakang mengawasi Datuk 9 Siluman Harimau, biarlah adi yang mengawasi Mahendra”

“Hm, baiklah Adi. Engkau sebaiknya mengurusi Mahendra secepatnya, biarlah Datuk Siluman itu kuawasi”

Sementara itu, pertarungan antara Nini Hesti Cendani melawan Kakek Penjaring Angin menjadi semakin sengit. Tetapi, kemanapun arah pukulan bebisa Nini Hesti, selalu dengan mudah dielakkan oleh Kakek Penjaring Angin.

Sayangnya, Kakek Penjaring Angin, meskipun ilmu meringankan tubuhnya memang sangat luar biasa, tetapi dalam Ilmu Serangan, dia masih belum sanggup menandingi Nini Hesti. Itu sebabnya, pertarungan mereka luar biasa seru dan imbang. Terkadang dengan Ilmu Pukulan khasnya, Kakek Penjaring Angin mencecar Nini Hesti Cendani, tetapi terkadang, dia yang melayang-layang menghindari serbuah Nenek Sakti itu.

Di mata ahli semacam Pendeta Sakti Jawadwipa, posisi keduanya dengan cepat dapat dipahaminya, baik kelebihan maupun kekurangan Nini Hesti maupun Kakek Penjaring Angin. Seandainya Kakek Penjaring Angin memiliki sedikit kebuasan dan kekejaman dalam hatinya, maka dia akan sanggup mencecar Nini Hesti, meskipun akibatnya juga berat bagi dirinya. Apalagi, Nini Hesti berbekal kemampuan ilmu pukulan beracunnya.

Hal yang sama terjadi di pertarungan lainnya, antara Datuk Bukit Barisan melawan Datuk 9 Siluman Harimau. Keduanya mengandalkan kekuatan dan keuletan untuk saling serang. Ilmu 9 Siluman Harimau yang dimainkan Datuk 9 Siluman Harimau memang nampak kuat dan ganas.

Tetapi, Pukulan Gugur Gunung milik Datuk Bukit Barisan, sanggup menahan dan mengimbangi Ilmu Gaib si Siluman Harimau. Karena itu, pertarungan keduanya tidak kurang serunya. Bahkan, saking seringnya keempat orang ini bertempur, mereka sudah saling kenal gaya dan cara bertempur lawan.

Karena itu, sekilas, mereka seperti sedang berlatih semata. Tetapi, menilik kekuatan Tenaga Dalam dan dorongan tenaga batin yang digunakan, maka jelas pertarungan ini adalah petarungan mati dan hidup. Keempatnya, sebetulnya sudah menggunakan ilmu-ilmu puncaknya masing-masing, yang membuat ruangan pesta ambrol dan mereka bertempur melayang-layang diatas reruntuhan rumah pesta tersebut.

Dan keempatnya tetap bersemangat untuk menerjang dan diterjang. Kecuali Kakek Penjaring Angin yang sudah tahu bahwa di tubuh Nini Hesti Cendani tidak terdapat lag benda yang sedang mereka tuju.

Sementara itu, Bintang Sakti Membara sudah mendekati Mahendra untuk kemudian berkata:

“Mahendra, tolong serahkan lembaran yang kalian curi itu. Dan biarlah pertemuan kita disini berakhir dengan manis”

“Hahahaha, Bintang Sakti Membara, jikapun ada padaku, takkan mungkin kuserahkan. Apalagi, lembaran bagian kami justru disimpan adikku, Gayatri”

“Jika demikian, dimana gerangan Gayatri bersembunyi”?

“Hm, adikku itu kurang gemar berpesta. Dia mengurung diri dikamar setiap malam” Mahendra memang tega menyebut demikian, karena dia memang perlu bantuan Gayatri untuk melawan Bintang Sakti Membara. Padahal, dia belum tahu bahwa dengan bergabungnya mereka berduapunpun, saat ini sudah bukan tandingan Bintang Sakti Membara ini.

“Mahendra, sebaiknya engkau jangan berdusta. Kami telah menggeledah semua kamar kalian dan Gayatri sama sekali tidak ditemukan. Dimana dia dan dimana lembaran itu kalian simpan”?

“Tidak di kamar”? Habis, berada dimana dia”? Kali ini, Mahendrapun terkejut setengah mati. Tanpa Gayatri, habislah harapannya menghadapi tokoh sakti didepannya ini. Tiba-tiba dia mendengar kata “Maaf”, dan tanpa dia sempat mengerti apa maksud kata maaf yang keluar dari mulut Bintang Sakti Membara, dia merasakan tubuhnya seperti diraba-raba orang.

Dan sesaat kemudian dia baru sadar, jika Bintang Sakti Membara baru saja menyelesaikan pekerjaannya memeriksa sekujur tubuhnya dan tidak menemukan apa-apa ditubuhnya tersebut.

“Engkau ….. kau” Mahendra tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dia ternganga tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Selama ini, bersama Gayatri, dia selalu bisa mengimbangi Bintang Sakti Membara, tetapi baru saja, nampaknya dia menyadari bahwa mereka bukan lagi tandingan Bintang Sakti Membara, bahkan jika maju berdua sekalipun.

“Mahendra, aku tidak menghukummu meskipun engkau banyak bersalah terhadapku dan perguruanku. Kusarankan, segera engkau meninggalkan Bumi Sriwijaya dan kembali kenegerimu. Jika tidak, engkau akan menyesal nanti” Bintang Sakti Membara memperingatkan Mahendra, terlebih setelah sadar bahwa Mahendra ternyata memang tidak menyimpan lembaran tersebut. Atau bukan salah satu pemegang dari 3 lembaran ilmu sakti ciptaan atau tulisan tangan gurunya.

Mahendra yang tahu diri, segera sadar bahwa mimpinya sudah berakhir. Karena itu, setelah memandang sekejap kearah Bintang Sakti Membara, kemudian dia membalikkan dirinya dan perlahan mulai berlalu dari arena tersebut. Tetapi, sebelum dia melangkah lebih jauh, dia mendengar suara Bintang Sakti Membara:

“Mahendra, tunggu sebentar” dan Mahendrapun menghentikan langkahnya dan berpaling kebelakang menghadap Bintang Sakti Membara yang nampak sedang memandangnya, sepertinya sedang membutuhkan sesuatu dari tokoh India yang sedang kehabisan semangat tersabut.

“Ada apa lagi Bintang Sakti Membara”?

“Bisakah engkau beritahukan kemana gerangan Gayatri berada”?

“Seandainya aku tahu sekalipun, tidak akan aku mengkhianatinya. Apalagi sekarang, akupun tak tahu dia berada dimana”

“Apakah engkau sedang berkata yang sebenarnya”?

“Aku masih memiliki harga diri dan rasa terima kasih karena engkau melepaskanku. Tapi, seandainya engkau ingin tahu, kurasa adikku akan bergabung dengan Tentara Darat Kerajaan Chola yang mendarat hari ini di pantai sebelah Barat. Hanya itu yang kutahu, selamat tinggal” dan sekejap kemudian tubuh Mahendrapun kemudian lenyap dari pandangan mata.

Itulah terakhir kali Bintang Sakti Membara bertemu Mahendra di Bumi Sriwijaya, setelahnya mereka tidak pernah bertemu lagi di daerah itu. Bahkan, Gayatripun tidak pernah lagi kelihatan bayangannya di Bumi Sriwijaya, lenyap dan tak ketahuan rimbanya. Lenyap bersama lembaran pertama dari 3 lembar Ilmu ciptaan Kolomoto Ti Lou.

Perkelahian di tempat lain, antara Nini Hesti melawan Kakek Penjaring Angin tetap berlangsung seru. Keduanya tak ada yang mau mengalah, meskipun penggunaan kekuatan keduanya masih dalam takaran terukur, belum habis-habisan. Sementara itu, perkelahian antara Datuk Bukit Barisan dan Datuk 9 Siluman Harimau justru semakin memuncak.

Keduanya sudah memasuki tahapan penggunaan ilmu ilmu simpanan perguruan masing-masing. Bahkan, diarena, sembilan harimau jejadian nampak menggerung-gerung dan dengan buas menerkam bayangan tubuh Datuk Bukit Barisan yang berdiri kokoh meski dikerubuti 9 Harimau Siluman itu.

Nampaknya Datuk 9 Harimau Siluman telah merapal kemampuan puncaknya, menciptakan atau memanggil 9 Harimau Siluman untuk menyerang Datuk Bukit Barisan. Tetapi, pukulan-pukulan Datuk Bukit Barisan, membuat tameng ajaib yang susah ditembus 9 Harimau Siluman tersebut.

Tetapi, Datuk Bukit Barisan sendiri, tidak sanggup berbuat lebih menghadapi Siluman Harimau tersebut, karena sekali celah ciptaannya tertembus, maka berbahayalah posisinya. Akibatnya, keduanya berkutat dalam -posisi dan keadaan tersebut dalam waktu yang cukup lama. Dan posisi tersebut, jelas menguras tenaga kedua tokoh sakti itu, karena lembaran kekuatan batin telah dikerahkan untuk mendukung dan memperkuat pengerahan tenaga dalam yang luar biasa itu.

Dalam kondisi pertempuran yang demikian, tiba-tiba anak buah Datuk Bukit Barisan yang lama tidak menerima kode dari ketuanya, melakukan penyerbuan. Hampir 100an anak buah Datuk Bukit Barisan melimpah memasuki markas yang sudah tak terjaga akibat ambrolnya rumah pesta dan serunya pertempuran antara keempat tokoh sakti tersebut.

Akibatnya, kondisi di seputar arena menjadi kacau balau, karena pertempuran antara anak buah kedua tokoh besar itu tak terelakkan lagi. Pertempuran massal itu, bahkan melebar sampai mendekati arena pertempuran 4 tokoh sakti Swarnadwipa tersebut, dan Pendeta Sakti Jawadwipa sampai pening melihat aksi saling bantai orang orang tersebut. Sungguh kejam, dan saling bantai, bagaikan membantai hewan saja.

Tetapi, justru suasana seperti ini yang rupanya ditunggu si orang misterius yang kembali beraksi cepat manakala Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membara kehilangan keawasannya akibat terenyuh oleh banyaknya orang yang mati akibat saling bantai. Ketika mereka kehilangan pengawasan terhadap Datuk 9 Siluman Harimau, tiba-tiba sosok bayangan misterius tadi, kembali beraksi.

Dalam kondisi saling tekan, maka bokongan sosok misterius tersebut menjadi sangat mudah, tanpa hambatan. Apalagi, karena kepandaiannya nampaknya tidak dibawah, atau bahkan masih sedikit diatas Datuk 9 Siluman Harimau. Karena itu, ketika tangannya merogoh kekantong dalam sang Datuk, Datuk 9 Siluman Harimau tidak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan, posisinya yang tersentak oleh bokongan sosok misterius itu, jatuh dibawah angin dan menghadapi tekanan berat dari Datuk Bukit Barisan.

Keadaan tersebut berlangsung sangat singkat. Ketika Pendeta Sakti Jawadwipa dan Bintang Sakti Membara menyadari keadaan, sosok itu sudah kembali berkelabat menghilang dibalik kegelapan malam. Dan dengan cepat, Bintang Sakti Membara berbisik:

“Kakang, cepat”

Dan kedua sosok tubuh kembali berkelabat menyusul kearah lenyapnya sosok misterius tadi. Jadi lebih misterius, karena kali ini tubuh itu mengenakan kerudung berwarna hitam, mengesankan orang itu tidak ingin dikenali siapapun. Kecepatan kedua pengejar, nampaknya setara dengan kecepatan sosok misterius tersebut dalam menghilangkan jejaknya. Dan dari arena tersebut, kembali 2 tokoh sakti menghilang atau berlalu dari arena.

Tetapi, pertarungan masih terus berlangsung. Terutama antara Datuk Bukit Barisan melawan Datuk 9 Siluman Harimau. Tetapi, rasa welas asih Datuk Bukit Barisan membuatnya tidak mau mengambil keuntungan dari keterkejutan Datuk 9 Siluman Harimau. Sebab, jika dia menyerang sungguhan, maka Datuk Siluman tersebut pasti akan celaka, tetapi justru itu yang tidak dilakukannya.

Sebaliknya, setelah mendesak beberapa saat, tiba-tiba Datuk Bukit Barisan menghentikan serangannya dan memberi ketika bagi Datuk Siluman untuk bernafas. Dan sungguh berterima kasih Datuk Siluman atas kondisi tersebut, sebab jika dilanjutkan, dia pasti akan terluka parah. Karena itu, setelah beberapa saat dia berkata:

“Datuk Bukit Barisan, terima kasih, engkau memberi aku muka dan peluang. Kita memang sulit saling mengalahkan. Tetapi, barang yang kita pertikaikan, nampaknya sudah digondol orang lain. Tak ada gunanya kita lanjutkan pertumpahan darah ini”

“Benar, sudah saatnya kita selesaikan. Bahkan jika perlu menguber pencuri benda tersebut. Bagaimana menurutmu”?

“Baik, kita tetapkan demikian untuk sementara. Terserah siapa yang akan mendapatkan dan memilikinya suatu saat”

Setelah bersepakat demikian, kedua tokoh sakti itu kemudian menghentikan pertempuran anak buah keduanya. Cukup banyak yang terluka, bahkan beberapa nampak ada yang meregang nyawa. Jika tidak ditengahi, nampaknya aksi saling bunuh akan berlangsung terus. Demikianlah akhirnya pertempuran diakhiri, termasuk pertempuran Nini Hesti melawan Kakek Penjaring Angin yang kemudian segera diakhiri.

Dan selanjutnya, Datuk Bukit Barisan bersama Kakek Penjaring Angin meninggalkan tempat itu memburu tokoh yang melarikan 2 lembar halaman dari guru kedua teman mereka. Pertempuran berakhir, dan perburuan baru kembali dimulai. Tetapi kali ini, dalam kondisi yang serba gelap bagi tokoh-tokoh Swarnadwipa tersebut.

Tak lama setelah Datuk Bukit Barisan dan Kakek Penjaring Angin berlalu, dari markas yang terbakar itu, juga bergerak dua tokoh Swarnadwipa lainnya, Nini Hesti Cendani dan Datuk 9 Siluman Harimau. Tokoh-tokoh utama Swarnadwipa dengan sadar melibatkan diri dalam perburuan lembar kesaktian yang mengaduk Bumi Sriwijaya tersebut.

Sementara itu, pengejaran yang dilakukan Bintang Sakti Membara dan Pendeta Sakti Jawadwipa juga berujung kegagalan. Meskipun sebetulnya keduanya sadar betul, bahwa yang mereka kejar nampaknya bukan orang sembarangan. Bahkan, kecurigaan mereka atas tokoh tersebut menebal, tetapi keduanya seperti enggan mengutarakan kecurigaan masing-masing. Sampai akhirnya ketika fajar menyingsing dan mereka sama sekali tidak lagi menemukan jejak orang yang dikejar, akhirnya keduanya menyerah.

Beristirahat sejenak, mengembalikan kebugaran melalui Samadhi dan pada pagi harinya ketika keduanya sudah jauh lebih segar akhirnya menyadari, bahwa rasa curiga yang ada memang perlu dipercakapkan:

“Adi, rasanya engkau memiliki pandangan sesuatu yang mungkin sama dengan yang kupikirkan”?

“Kakang, apakah hal itu yang kau katakana sebelumnya untuk nanti dibicarakan kemudian”?

“Rasanya memang demikian adi. Tokoh misterius itu, bila diperhatikan secara saksama, rasa-rasanya memiliki kedekatan dengan kita berdua. Dua kali kuperhatikan gaya meloncat dan gayanya membokong Datuk 9 Siluman Harimau, terlampau mirip dengan Ajian Kidang Kuning kita”

“Cara dia meloncat, bergerak menjauh atau ilmu berlarinya, memang adalah milik keluarga perguruan kita. Kakang, apakah maksudmu …….?

“Benar Adi …… sudah lama aku curiga, mengapa pusaka yang ditulis guru kita bisa menjadi berita diluaran, bahkan hingga ke India dan Tiongkok. Padahal, selain aku dan guru, hanya kedua kakak seperguruanmu yang mungkin tahu”

“Kakang, tapi apa mungkin mereka begitu tak tahu malu menyebarkan kabar rahasia perguruan sendiri”?

“Adi, guru sangat mengerti kita berempat. Guru sempat berpesan agar aku lebih memperhatikan adik ketiga. Dan kelihatannya, dari segi postur dan kemampuan, maka orang tadi adalah adik ketiga, atau masih kakak seperguruanmu, tepat diatasmu. Tak diragukan, dia adalah Bintang Sakti Berpijar, Wisanggeni, dan itu sebabnya dia mengenakan pelindung wajah begitu kita berada di arena”

“Kakang, benarkah dia”?

“Tidak salah lagi. Menurut Guru, dia memang berbakat sama dengamu, kalian erdua memang berbakat sedikit melampauiku. Bedanya, dia lebih tekun sama denganku dibandingkan engkau yang lebih senang mencintai alam. Bahkan dia telah melampaui Kakak keduamu yang juga lebih senang bercocok tanam di daerah Baliwipa”
 
2




Kembali kedua kakak adik perguruan tersebut tenggelam dalam permenungannya. Sampai akhirnya Bintang Sakti Membara kembali memecah keheningan dan bertanya:

“Kakang, bagaimana ceritanya sampai Kakang Wisanggeni bisa mengetahui kalau guru kita menuliskan sari pati pemahamannya atas Ilmu Silat dalam Kitab Agama itu”?

“Setahuku, hanya Guru dan aku yang mengetahuinya. Tetapi, bukan tidak mungkin Adi Wisanggeni mengetahuinya, karena berkali-kali dia mendatangiku di Padepokan. Tetapi, caranya mengetahui Kitab itu, sungguh tidak kumengerti. Kelihatannya, bahkan dia berada di balik rencana mengundangku ke Sriwijaya ini, dan dia sangat telaten memanfaatkan Naga Pattinam, Bhiksu Chundamani dan bahkan murid Naga Pattinam. Itu salah satu kecedikan adi Wisanggeni, atau mungkin tepatnya kemampuannya memanfaatkan orang secara licik untuk keperluan atau kepentingan dirinya sendiri”

“Kakang, akan sangat berbahaya jadinya jika lembaran itu terus berada di tangan Kakang Wisanggeni. Sulit kita menduga apa yang akan dilakukannya dengan Ilmu Silat tulisan guru itu”

“Benar, dan menjadi tugas kita untuk merebutnya kembali. Padahal, waktu kita juga sudah sangat terbatas. Kita mesti merebutnya, sementara Sriwijaya sendiri dalam keadaan terjepit”

“Benar kakang. Padahal aku masih memiliki kewajiban terakhir terhadap kakakku Panglima Jayeng Kencana. Dan kelihatannya, kewajibanku itu harus segera kupenuhi dalam waktu dekat”

“Begini saja Adi, kita manfaatkan 15 hari tersisa ini untuk mengejar Wisanggeni. Setelahnya, bila belum berhasil, engkau kembali ke Kota Raja, dan biar aku melanjutkan usaha mengejar Wisanggeni. Kekuatanku sekarang, hanya berimbang dengannya, dan nampaknya, engkau juga sudah akan mampu mengimbanginya. Jadi, bersama atau berpisah, akan punya
kegunaannya kelak”

“Baiklah kakang, ada baiknya kita bergerak memanfaatkan sisa waktu 15 hari ini. Setelahnya aku harus kembali ke Sriwijaya dan kita harus berpisah untuk mengerjakan hal-hal itu”

====================

Istana geger. Tapi kegegeran itu masih menyisakan rasa yang menyesakkan. Betapa tidak, Suro Bhakti yang datang dengan berita mendaratnya Pasukan Darat Kerajaan Chola di Barat Swarnadwipa, tentu sebuah berita besar. Tapi, bagaimana menyampaikannya kepada Raja Tunggawarman? Dan bagaimana pula menghindari informasi itu jatuh ke tangan Angkatan Darat Sriwijaya yang sudah tercemar? Sungguh sebuah kesulitan tersendiri.

Tetapi, betapapun sesuatu harus segera dilakukan sebelum terlambat sama sekali. Dalam kondisi menegangkan, akhirnya Menteri Kebudayaan bersama Penasehat Raja memutuskan untuk menemui Raja Tunggawarman dan menceritakan informasi itu secara langsung.

Bahkan sebelum menemui Raja, dalam kondisi kritis, mereka menjumpai Bhiksu Darmakitri, yang meskipun tidak mau mencampuri urusan politik, tetapi dalam kondisi kritis, akhirnya bersedia menjadi perantara dengan Raja Tunggawarman. Bahkan, hari itu juga Bhiksu Saleh ini menemui Raja Tunggawarman untuk mengatur pertemuan tersebut.

Hal lain yang menguntungkan, Panglima Lingga Paksi, masih berada di luar kota. Selain mengadakan persiapan menyambut Pasukan Kerajaan Chola, dia sendiri sudah yakin penuh, bahwa Kerajaan Sriwijaya akan segera tersapu habis. Karena itu, pertemuan Raja Tunggawarman dengan Penasehat Raja dan Menteri Kebudayaan bisa berlangsung mulus dengan dibantu oleh Bhiksu Darmakitri.

Kali ini, hanya karena kewibawaan Bhiksu Saleh itu sajalah maka Raja berkenan menerima kunjungan dan laporan resmi Penasehat Raja dan Menteri Kebudayaan. Dan seperti yang sudah diduga, pertemuan tersebut awalnya berlangsung sangat kurang menyenangkan:

“Hm, karena memandang wajah Bhiksu Dharmakitri, maka aku berkenan menemui kalian. Menurut Sang Bhiksu, kalian membawa berita dan informasi yang sangat penting. Cobalah kalian kemukakan” demikian Raja Tunggawarman memulai dengan suara yang masih halus, meski penuh dengan penyesalan. Apalagi, karena dia masih pusing dengan serangan Kerajaan Chola di lautan daerah Sriwijaya.

“Ampun sang Prabu, berita yang kami peroleh dan dihalang-halangi sampai ke Sang Prabu adalah, mendaratnya Pasukan Darat Kerajaan Chola di pantai Barat kita. Dan dalam sebulan, pasukan itu akan mencapai Kota Raja” demikian Penasehat Raja melaporkan

“Hm, mengapa sama sekali tidak ada laporan kepadaku”? Raja Tunggawarman tersentak kaget.

“Ampun Prabu Tunggawarman, hal ini terjadi karena Panglima Angkatan Darat sudah bersekutu dengan pasukan musuh. Ada banyak mata-mata musuh yang menyusup, tetapi tidak seorangpun berani melaporkan kepada Sang Prabu”

“Hm, paman penasehat, apakah informasimu bisa dibuktikan”? Sang Raja nampaknya tersentak, tetapi tidak mudah percaya.

“Ampun Sang Prabu, sudah lama kami mengamati keadaan ini. Kemurahan Sang Prabu telah dimanfaatkan banyak orang untuk menghindari hukuman, dan keadaan kita saat ini sudah sangat gawat. Kekuasaan angkatan Darat ada ditangan Panglima Lingga Paksi yang telah membelot, sementara ini tinggal Angkatan Maritim kita yang setia bersama sang Prabu. Bahkan sedang mempertaruhkan nyawa mereka di lautan untuk kehormatan Sriwijaya”

“Paman Menteri, laporan dan informasi ini membuatku semakin pusing dan bingung. Apalagi jika tanpa kemampuan kalian memberi bukti”

“Sang Prabu, apakah akan menunggu waktu sebulan sampai serbuan Tentara Chola baru sang Prabu percaya? Menteri Kebudayaan menjadi nekat dan nampaknya kalimatnya ini membuat Raja tertegun.

Keheningan melingkupi ketiga orang tersebut, sementara Bhiksu Darmakitri nampak memuji keagungan Budha, tetapi tetap menahan diri untuk berbicara. Sampai Raja Tunggawarman kemudian kembali bertanya:

“Tapi, dari mana sumber informasi kalian sebenarnya”?

“Ampun Sang Prabu, mungkin Sang Prabu belum mengetahui, kalau tamu kita, Pendeta Sakti Jawadwipa telah diserang dan dicuri lembaran kitab ilmunya oleh seorang tokoh asal India. Dalam pengejarannya, Pendeta Sakti Jawadwipa memperoleh informasi yang valid ini dan menyuruh muridnya untuk memberitahu kita, sementara Pendeta itu sendiri masih terus mengejar pencuri yang sebelumnya bersembunyi di Kuil Kerajaan ini”

“Bhiksu Darmakitri, apakah benar ada kejadian demikian”? Raja Tunggawarman bertanya kepada Bhiksu saleh itu dengan kening berkerut dan sangat terkejut malahan.

“Benar Sang Prabu, hanya karena Sang Prabu sibuk dengan serbuan Kerajaan Chola di lautan membuat Pendeta Sakti itu enggan mengganggu. Beliau diserang oleh seorang tokoh India bersama muridnya yang mencuri lembaran kita pusakanya. Hingga sekarang kedua murid Pendeta itu masih berada di Kuil kita menunggu kedatangan guru mereka, Pendeta Sakti Jawadwipa”

“Dan siapa pula yang mengabarkan bahwa Panglima Angkatan Daratku telah berkhianat”? Tanya Raja

“Ampun Sang Prabu, dalam penyelidikan Pendeta itu bersama muridnya, Panglima kedapatan bertemu dengan beberapa tokoh India di sebuah Kuil Kosong. Dan menurut penyelidikan mereka, pertemuan itu selain mengamankan kitab yang dicuri, juga mempercakapkan cara menyambut serangan darat pasukan Chola. Keadaan sungguh gawat, makanya kami memberanikan diri melapor kepada Sang Prabu”

Kembali sang Raja terdiam dan bimbang dengan laporan tersebut. Sampai akhirnya dia bertanya kepada Bhiksu Darmakitri:

“Bhiksu, apakah benar Pendeta Sakti Jawadwipa itu bisa dipercaya? Bagaimana hubungannya dengan Bhiksu Chundamani”?

“Ampun Sang Prabu, ketika Pendeta Sakti diserang tokoh lain dari India, dia malah dibantu Bhiksu Chundamani. Dan sejak saat itu, Bhiksu Chundamani membantu Pendeta Sakti Jawadwipa mencari kitabnya. Tetapi, keduanya hingga saat ini tidak pernah lagi kembali ke kuil. Tapi, kedua Pendeta itu memang nampak sangat saleh dan tidak mungkin berdusta”

“Artinya, engkau mempercayai laporan Pendeta Sakti itu”?

“Nampaknya demikian Sang Prabu”

“Dan artinya, kita benar-benar sedang dalam ancaman serangan Darat kerajaan Chola. Ini benar-benar berita gawat dan berbahaya, kelihatannya aku harus memanggil semua pembesar untuk merembukkannya”

“Ampun Prabu, keadaan itu akan memberitahu para penghianat bahwa rahasia mereka sudah ketahuan. Dan itu berarti, membuat mereka bersiap membela diri, atau bahkan membocorkan keluar apa yang sudah Prabu Tunggawarman ketahui” Penasehat Raja berkata.

“Hm …..” nampak Raja Tunggawarman berpikir keras.

“Apa saran kalian jika demikian”?

“Sang Prabu, waktu kita sangat terbatas. Pasukan yang setia, tidak bisa kita duga saat ini, kecuali Pasukan Maritim yang dibawah perintah Panglima Suro Bhakti saat ini. Sementara Pasukan Darat, saat ini semua berada di tangan Panglima Lingga Paksi. Usul kami, panggil Panglima Lingga Paksi bersama pasukannya berjaga di Kota Raja, dan kemudian cabut kekuasaan Panglima tersebut untuk digantikan Panglima lainnya yang lebih Prabu Tunggawarman percayai kesetiaannya”

“Hm, masuk diakal. Panglima Suro Bhakti akan bergerak mengamankan Istana, jadi siapa yang sanggup menguasai dan menjalankan perintah menguasai Angkatan Darat kita”?

“Ampun Sang Prabu, di kalangan Angkatan Darat kita, disiplin dan moral prajurit sedang merosot tajam. Ada baiknya Sang Prabu langsung memimpinnya dengan menempatkan seorang pelaksana lapangan yang cakap dan harus terpercaya” saran Menteri Kebudayaan.

“Adakah saran kalian siapa yang bisa melaksanakan tugas itu di lapangan”? Tanya Sang Prabu yang nampaknya dengan saran Bhiksu Darmakitri sudah percaya atas laporan Pendeta Sakti Jawadwipa soal mendaratnya pasukan Darat Kerajaan Chola di Barat Pantai Sriwijaya.

“Jika Sang Prabu percaya, kami sarankan Putra sulung Panglima Jayeng Kencana bisa memegang perintah langsung sang Prabu dan menjalankannya di lapangan. Panglima Jayeng Kencana sudah membuktikan kesetiaannya dengan menahan Armada Laut Chola mati-matian dan berhasil. Anak sulungnya, juga mewarisi kegagahan ayahnya dan siap untuk berjuang bagi Rajanya dan Kerajaannya mempertahankan kehormatan kita” Penasehat Raja menyarankan

“Baik, kita tetapkan demikian. Paman Penasehat dan Paman Menteri, kutugaskan kalian berdua mempersiapkan segala sesuatunya secara cermat, dan malam ini kalian membawa putra Panglima Jayeng Kencana menemuiku. Besoknya semua kita jalankan sesuai rencana yang kalian beberkan tadi”

“Baik Sang Prabu” serentak Menteri Kebudayaan dan Penasehat Raja menjawab hikmat.

“Bhiksu Darmakitri, engkau menjadi saksi apa yang dipercakapkan saat ini. Aku tahu, bahkan akhir dari kemelut ini sudah dalam perkiraanmu. Tapi, wajiblah kita berusaha”
“Budha Maha Pengasih ……”

Dan dengan gerak cepat, Menteri kebudayaan dan Penasehat Rajapun kemudian menemui Maha Patih Kerajaan Sriwijaya, membahas semua yang diperinahkan Raja untuk kemudian menetapkan langkah yang harus ditempuh. Dan malam hari, surat panggilan kepada Panglima Lingga Paksi dilayangkan dalam status rahasia, dan malam itu juga Panji Winata dibawa menghadap Sang Prabu ditemani Suro Bhakti, Maha Patih Kerajaan, Penasehat Raja, dan Menteri Kebudayaan. Panji Winata yang memang mewarisi kegagahan ayahnya dengan cepat menyanggupi tugas berat yang harus dipikulnya sambil minta bantuan kepada kakak seperguruannya Suro Bhakti.

“Panji Winata, malam ini juga kuasa Panglima Lingga Paksi kucabut dan kutangani sendiri. Tetapi, dalam urusan kemiliteran, maka tugas sehari-harinya adalah engkau yang menjalankanya. Dan karena suasana darurat, maka kuperintahkan engkau untuk selalu berkomunikasi dengan Maha Patih kita dan juga dengan Paman menteri dan Paman Penasehat. Apakah engkau siap melakukannya”?
Dengan cepat Panji Winata berlutut dan menerima perintah Raja sambil berkata:

“Anugerah Sang Prabu sungguh luar biasa, biarlah kulakukan denan segenap jiwa dan ragaku, demi pengabdianku bagi Bumi Sriwijaya ini”

“Baiklah, bangunlah Panji. Sejak saat ini, engkau menjadi Panglima atas Angkatan Darat langsung di bawah pengawasanku, dan perintah2 akan diberikan oleh Maha Patih kita” Sabda Raja Tunggawarman. Kemudian Raja Tunggawarman berpaling kepada pembesar lainnya:

“Paman Patih, Paman penasehat, bagaimana dengan urusan-urusan lainnya”?

“Panglima Lingga Paksi sudah dipanggil termasuk pasukannya agar memasuki pinggiran Kota Raja. Surat penarikan dan pencopotannya juga sudah disiapkan, bahkan surat pengangkatan Panji juga telah disiapkan. Tinggal menunggu peresmiannya besok hari, dan sebaiknya langsung diumumkan oleh Sang Prabu. Karena dikhawatirkan akan ada penolakan Panglima Lingga jika tidak langsung dilakukan oleh Sang Prabu sendiri”

“Baiklah, kita tetapkan secara demikian. Besok, kita laksanakan langsung di Balairung, pengumuman pencopotan dan penahanan Panglima Lingga dan pengangkatan Panglima Panji sebagai pelaksana Harian atas namaku”

Benar saja, kekisruhan, meski terbatas segera terjadi pada saat Raja Tunggawarman mengumumkan pencopotan Panglima Lingga Paksi dan memutuskan memegang langsung kendali atas Tentara Darat Kerajaan Sriwijaya. Komando akan dikeluarkan langsung oleh Maha Patih Kerajaan, sementara petugas lapangan akan langsung dikerjakan oleh Panglima Muda Panji Winata yang hari itu juga diangkat menjadi Panglima Muda.

Kekisruhan segera memudar dan berubah menjadi ketegangan ketika Raja Tunggawarman mengumumkan keadaan darurat berhubung dengan mendaratnya Pasukan Kerajaan Chola di Pantai Barat Swarnadwipa. Dan hari itu juga, diperintahkan kepada Maha Patih Kerajaan untuk mempersiapkan Pasukan Perang Kerajaan Sriwijaya untuk menyambut pasukan musuh. Bahkan dalam waktu seminggu kedepan, pasukan sudah harus bergerak keluar menyambut kedatangan tentara musuh.

Dan seperti disepakati, Suro Bhakti akan memimpin pasukan khususnya untuk melindungi Istana Raja bersama dengan Pasukan Pengawal Raja. Dalam waktu singkat, kekisruhan telah berubah menjadi ketegangan, dan pada akhirnya peristiwa pencopotan Panglima Lingga Paksi dan bahkan penahanannya tidak merembet terlampau jauh.

Sementara itu, Maha Patih Kerajaan, nampak bergegas keluar dengan diiringi oleh Panglima Muda Panji Winata dan beberapa Pejabat Kerajaan Sriwijaya, dilengkapi dengan Firman Raja Tunggawarman. Dari Balairung mereka langsung menuju ke luar kota dan menemui Pasukan Perang Angkatan Darat Kerajaan Sriwijaya yang disiagakan di luar Kota Raja.

Dan begitu memasuki Markas yang biasa digunakan oleh Panglima Lingga Paksi, dengan segera masuk menghadap 7 Panglima bawahan Panglima Lingga Paksi. Dan ketika menyaksikan Firman Raja Tunggawarman menyertai Maha Patih Kerajaan, mereka segera menjatuhkan diri berlutut, sambil berucap:

“Menunggu Firman Raja”

Sementara itu, Maha Patih Kerajaan Sriwijaya nampak berdiri menghadap ketujuh Panglima tersebut, dan mengangkat tangan sambil berkata:

“Bacakan Firman Raja Tunggawarman”

Dan segera maju salah seorang Pejabat Tinggi Kerajaan yang bertugas membacakan Firman Raja Tunggawarman. Firman Raja yang menegaskan diterimanya informasi mendaratnya Pasukan Musuh, Penahanan Panglima Lingga Paksi, pengangkatan Maha Patih Kerajaan sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Kerasaan Sriwijaya dengan pelaksaa sehari-hari Panglima Panji Winata dan perintah bagi pasukan perang Sriwijaya untuk bersiap menyambut serangan musuh lewat darat.

Segera setelah Firman Raja selesai dibacakan, terdengar sambutan dan respons dari ke-tujuh Panglima:

“Siap melaksanakan perintah Raja”

Tetapi, Maha Patih Kerajaan Sriwjaya bukanlah orang bodoh. Dia menyaksikan keterkejutan yang tidak wajar diantara tiga dari tujuh Panglima tersebut. Dan sebelum duri dalam daging menusuk lebih jauh dan menyakitkan, maka duri itu harus segera dibersihkan atau disingkirkan. Apalagi, sudah ditegaskan Firman Raja, bahwa situasi sekarang berada dalam keadaan darurat.

“Apakah kalian semua benar-benar akan melaksanakan perintah Raja”?

“Siap melaksanakan”

“Baik, engkau, engkau dan engkau, sekarang ini juga kuperintahkan untuk menemui Panglima Lingga Paksi di penjara Istana. Tugas utama kalian adalah meminta semua data rahasia terakhir yang dimiliki Panglima tersebut terkait dengan persekutuannya dengan Keraaan Chola. Malam ini juga kalian menghadapku untuk melaporkan tugas kalian. Apakah kalian siap untuk melakukan tugas ini”?

“Si …. siap Maha Patih” kali ini dengan suara terbata dan agak terpaksa, dan semua tidak lepas dari pengamatan Maha Patih.

“Baik, sekarang juga kalian berangkat” perintah Maha Patih yang kemudiaan diikuti dengan taat oleh ketiga Panglima tersebut. Tetapi, siapapun dalam ruangan itu mengerti, bahwa tanpa surat perintah, tidak akan mungkin ketiganya mampu dan sanggup menemui Panglima Lingga Paksi dalam tahanan. Begitu ketiganya keluar dari ruangan, Maha Patih kemudian melirik kearah Suro Bhakti dan berbisik:

“Segera engkau menguntit ketiganya. Jika tidak salah, mereka akan berusaha kabur atau kembali kekesatuannya untuk berkhianat” Dan setelah berbisik demikian, Maha Patih menyerahkan tanda kekuasaan melakukan tugas tersebut kepada Suro Bhakti yang dengan segera kemudian keluar melaksanakan tugasnya.

“Panglima Panji Winata”

“Siap Maha Patih”

“Sekarang menjadi tugasmu untuk melakukan percakapan dengan ke 5 Panglima ini. Tugasmu hari ini adalah, mengkonsolidasikan semua kekuatan Pasukan Perang kita dan percakapkan langkah apa yang perlu segera diambil. Malam ini juga, kalian berenam menghadapku, dan besok adalah waktu mengerjakan semuanya. Siapkah kalian”?

“Siap Maha Patih” serentak ke-enam Panglima, termasuk Panji Winata, Panglima Muda yang baru diangkat menjadi wakil Maha Patih menjawab. Dan sesaat kemudian Maha Patih Kerajaan Sriwijaya meninggalkan tempat itu, tempat yang kemudian berubah menjadi ruangan rapat antara ke-enam Panglima yang mengemban tugas berat dalam situasi darurat.

Sepeningal Maha Patih, Panglima Panji Winata yang masih muda itu merasa sangat canggung untuk memimpin pertemuan tersebut. Tetapi, adalah para Panglima yang masih merasa shock dengan kejadian terakhir yang kemudian mendesaknya untuk melanjutkan pertemuan sebagaimana perintah Maha Patih sebelum meninggalkan tempat itu.

“Baiklah Paman-paman sekalian” tetapi, suaranya tiba-tiba disela dengan sopan oleh seorang Panglima yang lebih tua, bahkan nampaknya yang paling berpengalaman dan paling bijaksana:

“Maaf Panglima, kedudukan Panglima sekarang berada diatas kami”

“Baik, maaf atas kecanggunganku. Raja Tunggawarman menerima informasi yang sangat valid mengenai kedatangan Pasukan Perang Chola melalui pantai barat Swarnadwipa. Tetapi, sejauh ini tiada informasi dari Pasukan Perang Sriwijaya. Bahkan, Panglima Lingga Paksi kedapatan kasak-kusuk denan tokoh-tokoh India yang memiliki maksud kurang baik bagi Sriwijaya ….. keluar kau” Panji Winata yang sementara berbicara tiba-tiba mengibaskan lengan bajunya dan kemudian melesat dengan sangat cepat kearah samping.

Hanya terdengar kemudian jeritan “aaach”, yang sekejap kemudian disusul dengan kembali melayang masuknya tubuh Panji Winata menenteng tubuh seoran yang mengintil percakapan dalam ruangan tersebut. Dan, ke 5 Panglima lainnya yang tadinya agak meragukan Panglima Muda ini, sangat terkejut dan kagum atas kehebatan bergerak dan kehebatan ilmu Panglima Muda mereka Panji Winata. Dan menjadi lebih terkejut mengetahui kalau pengintil tadi adalah wakil dari salah satu Panglima yang tadi ditugaskan menghadap Panglima Lingga Paksi.

“Adakah diantara kalan yang mengenal orang ini”? Tanya Panji WInata

“Panglima, orang ini adalah wakil dari Panglima Nawa Sudra yang dtugaskan menghadap Panglima Lingga Paksi”

“Hm, apa maksudmu memata-matai percakapan dalam ruangan ini”? Panji berpaling kearah orang yang ditangkap yang kini berlutut menghadapnya.

“Ampun Panglima, tidak ada maksud apa-apa. Hanya ingin mengetahui pekrembangan terakhir saja”

“Paman Panglima, apa hukuman bagi prajurit yang mencoba mencuri dengar percakapan atasannya”? Panji berpaling dan bertanya kepada Panglima tertua yang tadi mengingatkannya.

“Hukuman mati” tegas sang Panglima.

“Hm, kau dengar hukuman buatmu apa”? Panji berpaling kembali kepada orang tangkapannya.

“Ampun Panglima, bukan maksudku untuk mencuri dengar” ratap orang itu

“Apakah engkau termasuk dalam barisan Tentara Kerajaan Sriwijaya”?
“Benar Panglima”

“Engkau tahu hukuman bagi yang melakukan tindakan seperti engkau”?

“Tahu Panglima”

“Tetapi engkau tetap berkeras melakukannya. Tidak mungkin tanpa maksud tertentu, apa maksudmu yang sebenarnya”? kejar Panji

“Ampun Panglima” kembali orang itu meratap.

“Baiklah, kuampuni engkau. Tetapi saat ini juga, engkau ceritakan semua yang engkau ketahui, semua yang kalian rencanakan sedetail mungkin. Baru kupertimbangkan apakah engkau harus dihukum mati atau membebaskanmu dari hukuman mati”

“Baik, baik, baik Panglima” lolos dari lubang kematian, sungguh melegakan orang itu. Memberitahu apa yang diketahuinya bukan perkara susah, jika memang harus dutarakan dengan jaminan keselamatan jiwa, mengapa tidak?

Tapi belum sempat orang itu ditanyai, dari luar berkumandang sebuah suara:

“Panglima Suro Bhakti mohon ijin bertemu para Panglima”

“Silahkan masuk” Panji melirik sejenak kearah Panglima tertua tadi yang mengedipkan mata tanda setuju, untuk kemudian memutuskan mengundang masuk Suro Bhakti. Wajar saja, Karen Panglima Sro Bhakti merupakan Panglima Armada Maritim, bukan Armada Darat. Tidak berapa lama, dari luar kemudian melangkah masuk Suro Bhakti bersama 3 anak buahnya yang menggendong ketiga Panglima yang tadinya ditugaskan menemui Panglima Linga Paksi. Dan kemudian juga masuk Ratna Sari di belakang mereka berempat. Gadis itu yang kemudian memecah keheningan:

“Kakang, engkau sudah menjadi Panglima, tetapi bagaimana mungkin engkau tidak memberi tahu aku adikmu”? dengan suara manja kepada kakaknya seperti pergaulan biasa mereka sehari hari

“Ratna, Kakakmu sedang menjalankan tugas Ketentaraannya, jangan diganggu” tegur Suro Bhakti halus

“Tapi, dia kan Kakakku sendiri” Ratna berkeras

“Benar, tetapi Kerajaan dalam bahaya dan kakakmu sedang bertugas, tenanglah dan bersikaplah sopan”

“Baiklah” dengan merengut Ratna Sari kemudian menyingkir kesamping. Diikuti pandang mata bingung para panglima lainnya.

“Kakang Suro ….. ech, Panglima Suro Bhakti, ada apa gerangan”? Panji yang belum tebriasa tergagap dalam situasi aneh itu.

“Panglima, kami bertiga terpaksa menangkap ketiga Panglima yang berusaha mempengaruhi pasukannya untuk meninggalkan tangsi militer ini. Untung ada Ratna Sari dan Pasukan Khusus yang membantu, dan sedikit saja dari Pasukan mereka yang terpengaruh. Tetapi semua sudah ditangani secara baik dengan Firman Raja dan Perintah Maha Patih. Melapor kepada Panglima agar segera dilakukan pembersihan”

“Hm, sudah kuduga” Panji kembali melirik orang tangkapannya yang kembali gelisah karena perkembangan baru dna hadirnya atasannya yang sudah tertangkap. Nampaknya bahkan atasannya itu terluka parah.

“Baiklah, terima kasih Panglima Suro Bhakti. Silahkan melaporkannya langsung kepada Maha Patih sebagaimana titahnya tadi. Dan pembersihan pasukan akan segera kami lakukan.

Demikianlah, akhirnya Panglima Panji Winata dengan dibantu ke-5 Panglima yang masih setia kemudian melakukan pembersihan di tubuh angkatan perang Sriwijaya. Bahkan kemudian mereka melakukan percakapan strategi menghadapi musuh, yang malamnya kemudian diinformasikan dan didiskusikan langsung dengan Maha Patih yang akan memimpin perang melawan Angkatan Perang kerajaan Chola.

Semua rahasia persekutuan Panglima Lingga Paksi bisa dicium dan kemudian digagalkan, meskipun Panglima Lingga Paksi kemudian bisa dilarikan orang dari penjara semingu kemudian, dan diduga dilarikan oleh kakeknya sendiri, Datuk 9 Siluman Harimau yang sakti mandraguna. Tetapi meski demikian, Pasukan Perang Sriwijaya bisa disiapkan secukupnya untuk menghadapi serbuan angkatan perang Kerajaan Chola.

====================

Dan, sebagaimana telah diramalkan dan diduga secara baik oleh Nelayan Sakti Sungai Musi atau si Bintang Sakti Membara maupun Bhiksu Chundamani, Sriwijaya sedang dalam masa surut. Meskipun berhasil melakukan pembersihan kedalam tubuh angkatan perangnya, tetapi Panglima Panji Winata, tidak bisa menghindari kenyataan betapa moral pasukan, disiplin dan peralatan mereka sudah tertingal dari lawan mereka seberang lautan itu.

Selain itu, persiapan perang mereka yang hanya kurang dari 10 hari, juga membuat ketergesa-gesaan demikian nyata dan membawa efek yang cukup menentukan. Jikapun ada keunggulan Pasukan Sriwijaya hanyalah fakta, bahwa mereka jauh lebih menguasai medan pertempuran ketimbang lawan mereka.

Dan keunggulan itulah yang membuat mereka bisa menahan pasukan lawan cukup lama jauh di luar Kota Raja Sriwijaya. Tetapi, sulit meramalkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan mereka untuk bisa bertahan lama dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan tersebut.

Betapapun demikian, peperangan melawan Kerajaan Chola, semakin menumbuhkan rasa hormat Panglima-Panglima tua terhada Panji Winata. Anak muda atau Panglima Muda yang menunjukkan keberanian dan kesaktian yang mengagumkan, dan sering dalam keadaan terjepit menginspirasi anak buahnya dan menularkan semangat juang yang luar biasa.

Setelah peperangan berlangsung selama sepuluh hari, dan kemampuan terbatas untuk menahan musuh, barulah Panglima-panglima tua itu takluk benar-benar terhadap anak muda itu. Kepemimpinan dan semangatnya sungguh luar biasa, meskipun taktik perangnya masih sangat tergantung kepada para Panglima tua tersebut.

Betapapun, semakin lama namanya semakin harum, dan seakan menambah harum nama ayahandanya yang juga bertarung mati-matian di Lautan untuk menghadang dan mengusir para penyerbu dari sektor lautan. Hanya bedanya, bila ayahandanya melakukan tugasnya dengan kekuatan dan kemampuan terbaik, maka Panji melakukannya dengan kekuatan dan kemampuan pasukan seadanya. Baik moral pasukan maupun perlengkapan pasukan. Tetapi, semangat dan keberaniannya, menularkan semangat dan moral yang sangat positif bagi pasukannya.

Sanggup menahan 10 hari gempuran musuh yang jauh lebih tangguh, sudah merupakan sebuah prestasi. Bahkan, memasuki hari-hari selanjutnya, perlawanan pasukan Sriwijaya masih cukup berarti dan masih sanggup menahan gelombang dan arus serbuan Kerajaan Chola. Betapapun, taktik dan strategi perang para panglima di bawah Panglima Panji memang sangat tepat dengan kondisi alam Bumi Sriwjaya di Pulau Swarnadwipa.

Sementara jauh disana, di Istana Raja, Maha Patih cukup sadar dengan kekuatan lawan yang menyerbu dan kemampuan sendiri dalam menahan gelombang serbuan tersebut. Karena itu, selama beberapa hari terakhir, mobilisasi penduduk untuk melakukan perlawanan juga dilakukan, itupun tanpa melalui koordinasi denan Raja yang sudah lebih banyak termenung menyesali keadaan yang semakin memburuk.

Keadaan yang terjadi benar-benar diluar penalarannya selama ini. Maha Patih sendiri, sampai berani melakukan diluar ijin Raja, karena sadar situasi sudah genting dan perlu ditanggulangi sesegera mungkin. Betapapun, dia bersyukur karena kemampuan Panji dalam menahan serbuan musuh sampai demikian lama.

Peperangan memang selalu berkobar, tetapi pasukan musuh masih bisa ditahan. Bahkan memasuki minggu kedua peperangan, tanda-tanda kekalahan masih belum nampak, meski Panji dan para panglimanya semakin ketar-ketir dengan kondisi pasukan mereka.
 
3




“Hm, anak itu benar-benar keturunan Naga. Sungguh tidak diduga, dia sanggup menahan serbuan musuh asing sampai lebih dari 2 minggu tanpa bantuan pasukan cadangan” nampak Maha Patih sedang bercakap-cakap dengan Penasehat Raja, Menteri Kebudayaan dan juga nampak Panglima Suro Bhakti disana. Juga nampak beberapa Panglima lain dari jajaran kemiliteran Kerajaan Sriwijaya hadir.

“Benar, anak harimau memang pastilah melahirkan harimau” Menteri Kebudayaan yang sangat dekat dengan Panglima Jayeng Kencana menimpali, bangga dengan ayah dan anak yang dikenalnya dekat dan sedang berjuang mempertaruhkan nyawa buat Sriwijaya itu.

“Apakah pasukan cadangan sudah memadai untuk dikirim membantu ke medan perang”? Maha Patih bertanya

“Jumlahnya sudah cukup memadai Maha Patih. Jumlah 10.000 pasukan nampaknya akan merupakan bantuan memadai sesuai permintan Panglima Panji di medan perang”

“Kapan pasukan cadangan itu bisa dikirimkan”?

“Terhitung hari ini, rasanya dua hari kedepan sudah bisa dilakukan, atau bisa kita kirimkan segera”

“Baiklah, jika begitu, Pasukan itu biarlah dikirimkan secepatnya. Panglima Suro Bhakti, apakah pasukan kita didalam Istana cukup memadai untuk menahan serbuah musuh kelak”?

“Sejauh ini, kekuatan kita sudah banyak terserap ke medan pertempuran Maha Patih. Tetapi Pasukan Khusus Angkatan Maritim masih tetap utuh berada di luar istana. Karena memang mereka dilatih khusus untuk melindungi Istana Raja. Apakah ada perintah khusus dari Maha Patih”?

“Ada Panglima Suro Bhakti, aku ingin mengutusmu untuk memimpin pasukan cadangan ini dan membantu Panglima Panji di medan perang”

“Siap Panglima” Panglima Suro Bhakti menerima perintah itu dengan senang hati. Betapapun dia ingat, bahwa yang bertarung digaris depan adalah adik perguruannya dan keponakan dari gurunya yang telah dianggap sebagai ayah sendiri. Karena itu, selama berhari-hari, Suro Bhakti memendam keinginan untuk hadir digaris depan melindungi keponakan gurunya, yang juga adik seperguruannya itu.

“Bagaimana dengan pasukan khusus angkatan Maritim di luar Istana Maha Patih”? Penasehat Raja bertanya, karena memang dia termasuk penggagas pasukan istimewa ini bersama dengan Panglima Jayeng Kencana dan Menteri Kebudayan, bahkan ikut meminta bantuan kedua sahabatnya untuk melatih pasukan itu.

“Adalah tugas Penasehat Raja dan Menteri Kebudayaan untuk mencari Panglima Pengganti, karena kalian berdua adalah penggaas-penggagas pasukan khusus tersebut. Sedapat mungkin mencari pengganti yang cakap dan sanggup menjaga keistimewaan pasukan itu”

“Maha Patih, bagaimana jika Ratna Sari, putri Panglima Jayeng Kencana yang menangani sementara pasukan itu? Selain dia putri Panglima Jayeng Kencana, dia juga adalah adik perguruanku dan kepandaiannya tidak dibawah kepandaian kakaknya Panglima Panji” Panglima Suro Bhakti tiba-tiba teringat Ratna Sari dan menyarankan gadis itu sebagai pengganti sementara. Toch gadis itu juga sudah demikian lihay sekarang ini.

“Tapi, dia seornag perempuan.Apakah dia sanggup beradaptasi dengan lingkungan ketentaraan”? Maha Patih meragu

“Dia terlatih sejak kanak-kanak dengan Ilmu kesaktian. Kiranya, dia tdak akan kalah oleh kakaknya sendiri dalam adu kepandaian” Suro Bhakti menegaskan kemampuan Ratna Sari

“Bagaimana menurut Penasehat dan Menteri Kebudayaan”? Maha Patih bertanya kepada dua orang yang diketahuinya mengenal dekat keluarga Panglima Jayeng Kencana.

“Usul Panglima Suro Bhakti layak dipertimbangkan. Pertama, anggota pasukan istimewa itu semua anak buah Panglima Jayeng Kencana dan mengenal putri Panglima itu. Kedua, aku tahu betul kehebatan Ratna Sari. Jika dia bersedia, kiranya dia calon yang lebih dari memadai untuk memikul beban berat ini” Menteri Kebudayaan menegaskan dan diiyakan dengan anggukan kepala oleh Penasehat Raja.

“Baiklah, jika kalian anggap dia cukup pantas, biarlah besok aku mengangkatnya secara khusus menjadi Panglima Pasukan Khusus kita. Karena keadaan kita darurat, maka pengangkatan itu kita sahkan dikemudian hari dengan seijin Sang Prabu Tunggawarman”.

Bangkit kembali semangat Panji Winata begitu menerima bala bantuan yang cukup besar. Bahkan, kedatangan Suro Bhakti yang memperkuat barisannya sungguh membangkitkan kembali moral bertempurnya. Betapa tidak, sudah 3 hari terakhir pasukannya selalu terdesak mundur dan kehilangan banyak anak buah.

Dengan tambahan tenaga baru yang lebih segar, moral pasukannya juga meningkat cukup tinggi. Bahkan lebih menyenangkan lagi, ketika 3 hari setelah kedatangan Suro Bhakti, Panglima Panji menerima kunjungan seorang yang sangat dekat dan sangat dipercayainya. Dia sedang bercakap-cakap dengan Kakak seperguruannya di ruangan pribadinya ketika orang itu tanpa sepengetahuan semua penjaga sudah menyelinap masuk.

Bahkan baru setelah orang itu berada dalam ruangan pribadi, baru Suro Bhakti dan Panji menyadari kehadirannya. Dan alangkah terkejut keduanya, tetapi langsung bersujud dihadapan orang tua itu ……. Bintang Sakti Membara atau si Nelayan Sakti Sungai Musi:

“Guru, engkau datang”? adalah suara Panji yang sesunggukan. Memang, kepada paman sekaligus gurunya ini sajalah dia mampu dan sanggup mengeluarkan semua unek-uneknya. Apalagi, memang sejak berusia 10 tahun dia telah kehilangan ibunya yang meninggal karena sakit, dan sulit untuk bermesra dengan ibu tirinya sebagaimana ibu kandungnya. Tetapi, terhadap paman sekaligus gurunya ini, Panji selalu bisa dan terbiasa mencurahkan seluruh isi hatinya.

“Panji, ingatlah engkau seorang Panglima saat ini” Gurunya mencoba mengingatkan.

“Tapi guru, kepada siapa lagikah aku menumpahkan semua kesesakan ini” Panji tetap dalam keharuan menerima dan menyambut kedatangan guru sekaligus pamannya ini.

“Aku tahu apa yang engkau tanggung anakku. Seusiamu, beban itu memang teramat berat. Tetapi, engkau telah melakukannya dengan sangat baik. Terlampau baik malah dengan mengorbankan kemudaanmu. Engkau bahkan melakukan lebih baik dari ayahmu sendiri”

“Guru ….” Panji tetap terisak tak sanggup berkata apa-apa.

“Ayahandamu bertarung di lautan dalam kekuatan dan peralatan terbaiknya. Tetapi engkau menahan musuh dengan moral pasukan yang lemah dan perlengkapan perang yang dibawah lawanmu. Engaku harus bangga dengan kemampuanmu anakku. Diatasnya, engkau mempertaruhkan nyawamu untuk Kerajaanmu. AKu puas menjadi paman dan gurumu sekaligus”

“Guru, ….. tapi ……. tapi” masih belum sanggup Panji bicara.

“Sudahlah, engkau mau berkata bahwa pasukanmu terus dan selalu terdesak. Bukan soal besar, karena siapapun Panglima yang memimpin moral dan perlengkapan seperti pasukanmu, pasti akan mengalami kekalahan demi kekalahan. Tetapi, engkau bertahan jauh lebih lama dari yang kuperkirakan. Bahkan dari perkiraan Maha Patih di Istana Raja. Tadinya aku berpikir engkau hanya akan bertahan paling lama 10 hari. Tetapi, sudah melampaui 20 hari, engkau masih tetap bertahan. Itu sudah luar biasa anakku”

Kemudian hening sejenak, hanya tarikan nafas dan sesunggukkan yang terdengar. Sampai kemudian Bintang Sakti Membara kembali berkata:

“Sekarang, bangun dan bersikaplah sebagai seorang Panglima anakku. Kuatkan hatimu dan kuasai dirimu. Dipundakmu disandarkan harapan banyak orang. Harapan yang berlebihan memang, tetapi jawablah dengan penuh tanggungjawab apapun hasil akhirnya kelak”
Panji kemudian dituntun bangun oleh gurunya, dan nampak anak itu berusaha keras untuk menguasai dirinya. Semua beban yang ditanggungnya sendirian seakan lepas dan menemukan pelepasannya begitu dia berhadapan dengan gurunya, sekaligus pamannya yang dihormati dan dicintainya. Seakan menemukan oase di padang gurun, demikianlah Panji menumpahkan semua yang dialaminya, dipikirkannya dan dilakukannya. Dan dikuti dengan anggukan kepala, tarikan nafas, desisan kagum, maupun kegetiran, oleh gurunya maupun kakak seperguruannya Suro Bhakti.

“Demikianlah guru. Meskipun memperoleh bala bantuan yang cukup besar, tetapi pengalaman tempur mereka kurang, dan peralatan perang juga kurang memadai. Dalam perkiraan kami, paling lama kita sanggup bertahan selama 2 sampai tiga minggu kedepan, jikapun lebih dari itu semata-mata karena semangat dan semangat”

“Tidak mengapa anakku. Sudah kukatakan, hasil akhir biar kita lihat kelak. Yang terpenting, engkau telah menjawab panggilan Kerajaanmu dan tugas dari Rajamu dan membaktikan semuanya bagi kepentingan Kerajaan. Semua memag harus dan akan ada akhirnya”

“Benar guru, Panji akan melakukannya dalam tanggungjawab itu”
“Suro Bhakti”

“Ya guru”

“Engkau tahu benar kondisi medan pertempuran saat ini bukan”?

“Demikianlah guru, posisi kita memang selalu tertekan, meskipun bantuan tenaga cadangan sudah terlibat dalam pertempuran”

“Hm, kita benar-benar akan mengarungi perjalanan lain yang akan sangat sulit nantinya. Baik engkau, maupun adik-adikmu. Kuharap kalian cukup siap dengan semua itu. Dan kalian berdua, harap jangan pernah berhenti menempa dirimu kelak. Baiklah, kalian berdua lanjutkan percakapan kalian, aku akan berada disini sampai saat tepat untuk kembali ke Kota Raja”

“Baik guru” kedua kakak beradik perguruan itu menyahut berbarengan.

==================

Tak diduga-duga, semangat dan keberanian Panji yang ditunjang strategi Panglima-panglima berpengalaman serta sokongan Panglima Suro Bhakti sanggup menahan serbuan bala tentara Chola. Memang nyaris tidak ada kemenangan fenomenal dan patut dibanggakan. Tetapi, bagi mereka yang mengetahui kondisi angkatan perang Sriwijaya, sadar betul, bahwa hanya keajaiban saja yang membuat mereka sanggup menanggulangi serbuan Bala Tentara Kerajaan Chola.

Meskipun sudah tentu, Raja Tunggawarman tidak mengetahui secara detil persoalan di tubuh Angkatan Perangnya. Tetapi, tokoh tokoh seperti Maha Patih Kerajaan, Penasehat Raja, Menteri Kebudayaan dan sjeumlah pembesar lainnya, paham bahwa keajaiban terjadi di medan pertempuran itu. Karena setelah bantuan tenaga cadangan dikirim, kembali waktu 2 minggu telah berlalu, dan pertahanan Tentara Sriwijaya masih tetap belum tertembus juga.

Kabar-kabar dari medan pertempuran masih menginformasikan pertempuran sengit terus menerus terjadi, dan keuntungan lain pasukan Sriwijaya mulai menentukan, yakni pasokan bahan makanan alias logistik. Berbeda dengan Bala Tentar Kerajaan Chola yang harus mengupayakan sendiri dan mulai kelabakan dengan kondisi yang terus berlarut ini.

Tetapi, pertahanan setelah sebulan itu, ternyata menjadi batas perlawanan penuh semangat dari Bala Tentara Sriwijaya. Perlahan namun pasti, setelah mengerahkan seluruh daya dan upaya, pasukan Sriwijaa mulai melempem dan mulai terus menerus tertekan mundur. Bahkan 7 hari kemudian, perintah mundur dengan terpaksa dikeluarkan oleh Panglima Panji Winata.

Dan skenario terburuk mulai terbayangkan dengan mengirim infomasi resmi ke Ibukota Kerajaan. Aalagi, setelah 3 hari kemudian, Bala Tentaa Chola lainnya mendukung sebruan maju setelah mendarat beberapa hari sebelumnya di Pantai Barat Kerajaan Sriwijaya. Desakan dan tekanan menjadi semakin sulit ditahan, dan gerak mundur pasukan Sriwijaya menjadi semakin nyata.

Bahkan bala bantuan Keajaan Chola yang datang semakin menjadi-jadi, jumlahnya terus bertambah setiap hari. Dan inilah pukulan telak dan menentukan dari proses pertempuran yang sudah cukup panjang dan melelahkan itu. Ditambah dengan moral yang rendah, disiplin seadanya dan hanya mengandalkan keuntungan penguasaan medan, membuat gerak mundur menjadi pilihan yang masuk akal.

Berita terdesak mundurnya Pasukan Sriwijaya sudah menjadi topic bahasan di Ibukota Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada akhirnya, Raja Tunggawarman sendiri sudah diberitahu dan dijelaskan mengapa kondisi ini begitu buruk, setelah begitu lama Sriwijaya berada dalam kondisi dan masa keemasannya.

Tetapi, penyesalan bukan cara terbaik mengatasi keadaan. Maha Patih yang cerdas segera mengeluarkan perintah menutup jalan masuk ke Ibukota Sriwijaya, tepat kurang lebih 20 km dari kotaraja. Tempat tersebut memang strategis sebagai beteng pertahanan, karena celah masuknya yang sempit, dan batasnya adalah lautan. Bilapun memaksakan diri meretas jalan melalui pegunungan, maka lebatnya hutan akan menghadang pasukan lawan.

Dan keluarlah perintah Maha Patih supaya pasukan Panglima Panji mundur dan menghadang di celah sempit tersebut. Sementara pasukan cadangan tersisa akan dikerahkan semua ke daerah tersebut dengan meninggalkan Pasukan Penjaga Istana di lingkungan Istana Raja.

Meskipun demikian, serbuan Bala Tentara Kerajaan Chola pada akhirnya memang sulit dihentikan, sulit ditahan. Selain unggul dalam senjata, skill dan pengalaman, mereka juga unggul jauh dalam jumlah. Pertempuran terakhir dan menentukan terjadi di celah sempit tersebut, dan pada akhirnya setelah bertahan selama sebulan lebih di celah sempit itu, bobol jugalah pertahanan terakhir itu.

Bahkan Maha Patih Kerajaan Sriwijaya gugur dan sampyuh dalam pertarungan dan pertempuran berat tersebut, gugur bersama banyak tokoh utama Sriwijaya yang datang berkumpul mempertahankan kejayaan Sriwijaya. Pasukan tersisa akhirnya datang berkumpul di Istana Raja untuk mempertahankan kehormatan Rajanya. Dan hanya butuh waktu 5-6 hari bagi pasukan atau bala tentara Kerajaan Chola untuk mengepung Kota Raja Sriwijaya.

Dan nampaknya tiada niat mereka untuk membumihanguskan Kotaraja tersebut. Dan karena itu, pada akhirnya mereka memutuskan meminta Raja Tunggawarman untuk menyerah. Bahkan memberi batas waktu hingga 3 hari bagi Raja Tunggawarman untuk menyerah dan dijadikan tawanan ke Kerajaan Chola.

Hari kedua dari batas waktu itu merapatlah Armada Laut Sriwijaya yang pulang dengan gilang gemilang dengan keberhasilan mengusir dan menghancurkan amada laut Kerajaan Chola. Tetapi sayang, di barat, mereka kebobolan, dan pasukan darat Chola menerobos masuk pada saat armada Sriwijaya menghadang dan mengusir armada laut Kerajaan Chola.

Kemenangan Armada Laut Sriwijaya sayangnya tidak berpengaruh lagi, karena Kotaraja kini sudah dalam pengepungan bala tentara kerajaan Chola, bahkan tinggal 1 hari waktu yang diberikan bagi Raja Tungawarman untuk memutuskan, apakah akan menyerah dan diangkut sebagai tawanan ke Kerajaan Chola, ataukah melakukan perlawanan sampai mati.

Dan menyadari kondisi ini, betapa sedih dan pedih hati Panglima Jayeng Kencana. Apalagi begitu mengetahui bahwa anak-anaknya juga terlibat sebagai panglima dalam pertempuran besar yang mengakibatkan kejatuhan Sriwjaya tersebut.

Merapatnya atau masuknya Armada Laut Sriwijaya ke perairan dekat Kotaraja membuat suasana menjadi kembali panas. Tetapi, Raja Tunggawarman sendiri sudah muak dan sudah padam nafsunya melihat puluhan ribu korban jatuh akibat peperangan itu. Karena itu, ketegasan dan kehormatan yang dipegang oleh Panglima Jayeng Kencana, justru bertolak belakang dengan keputusan yang sudah diambil oleh Raja Tunggawarman.

Sang Raja telah memutuskan akan menyerah dan menyerahan diri untuk menjadi tawanan ke Kerajaan Chola. Dan hal inilah yang sangat ditentang oleh Panglima Jayeng Kencana. Baginya, Raja adalah symbol kerajaan, dan ditawannya sang Raja sama dengan ambruknya kejayaan Sriwijaya.

Karena itu, ketika pada hari ketiga, Raja Tunggawarman menyerahkan diri, Panglima Jayeng Kencana tetap menutup perairan dan menolak membiarkan Bala Tentara Kerajaan Chola untuk memanfaatkan alur laut guna kembali berlayar ke kerajan mereka. Mengetahui kondisi tersebut, Panglima Bala Tentara Chola akhirnya mengaja Raja Tunggawarman untuk melakukan percakapan dan membujuk Panglima Jayeng Kencana.

Tetapi bujukan Raja Tunggawarman hanya dijawab singkat oleh Panglima Jayeng kencana “percakapan soal tawar menawar hanya bisa dilakukan di atas Kapal Induk Armada Laut Sriwijaya dengan jaminan keamanan penuh bagi Panglima Bala Tentara Kerajaan Chola”.

Panglima Bala Tentara Chola sangat sadar, bahwa perjalanan pulang bakal sangat sulit bila dilakukan melalui jalur darat ke Barat. Dan pasukannya akan menghabiskan banyak sumber daya untuk mengarungi kembali jalan darat sebagaimana mereka menyerbu Sriwijaya. Jalan termudah adalah menggunakan armada Laut Sriwijaya yang rajanya sudah ditaklukkan.

Repotnya, siapapun tahu bahwa Panglima Jayeng Kencana adalah Hantu bagi armada laut Kerajaan manapun saat itu. Karena itu, Panglima Bala Tentara Chola menyambut baik tawaran melakukan percakapan dengan Panglima Jayeng Kencana, tetapi dengan tetap menahan Raja Tunggawarman di markas mereka.

Pertemuan mereka dilakukan secara terhormat dan memenuhi tata karma peperangan, terlebih karena memang Raja Tungawarman masih ditahan di markas Tentara Kerajaan Chola. Adalah Panglima Jayeng Kencana sendiri yang menyambut Panglima Bala Tentara Kerajaan Chola, dan setelah berbasa basi dengan tata karma kemiliteran akhirnya keduanya melakukan percakapan secara rahasia disertai penterjemahnya masing-masing:

“Panglima Jayeng Kencana, kami meminta agar Panglima meletakkan senjata demi keselamatan Raja Tunggawarman”

“Hm Panglima Padmanaba, Sriwijaya boleh takluk, tetapi kami pantang Raja kami menjadi bahan hinaan siapapun. Apalagi di tawan d Negara manapun. Semua kekuatan Sriwijaya akan dikerahkan untuk membebaskannya” tegas Panglima Jayeng Kencana.

“Artinya, Panglima Jayeng Kencana akan menghalangi kepulangan kami melalui alur laut”?

“Benar sekali, dan kami akan menggunakan segenap cara untuk merebut kembali Raja kami”

“Meskipun di bawah ancaman kematian Raja Tunggawarman”?

“Kami akan berusaha jangan sampai dia mati”

“Tapi nyawanya berada dalam tangan kami sekarang”

“Nyawa masing-masing sudah ada takdirnya”

“Tapi kami menahannya sekarang”

“Dan kami akan merebutnya”

“Panglima Jayeng Kencana, mungkinkah tiada jalan lain lagi”?

“Ada Panglima Padmanaba, bebaskan Raja kami”

“Tidak mungkin Panglima Jayeng Kencana”

“Baik, kalian menahannya melalui peperangan, biarlah kami merebutnya melalui cara yang sama”

“Tapi Raja Tunggawarman sudah takluk”

“Benar, cukup dia takluk. Jangan perlakukan dia sebagai manusia tawanan. Jika kalian tinggalkan dia disini, dan menurunkannya sebagai Raja, maka hal itu masih lebih terhormat bagi kami”

“Apa jaminan bahwa Sriwijaya akan takluk”?

“Jaminannya Panglima Padmanaba adalah, Panglima Jayeng Kencana sebagai tawanan anda, dan anda bebas memilih siapapun sebagai pengganti Raja Tunggawarman”

Nampak Panglima Padmanaba berpikir keras. Usulan Panglima Jayeng kencana nampaknya masuk diakalnya. Toch kemenangan atas Sriwijaya sudah digapainya, tinggal bagaimana mengendalikan Sriwijaya dan kembali ke Kerajaan Chola secepat mungkin. Tetapi, tak terbendung rasa kagumnya atas kegagahan Panglima Jayeng Kencana.

Sungguh mahluk luar biasa dan langka. Apresiasinya atas kegagahan Panglima Jayeng Kencana inilah yang kemudian melunakkan hatinya, dan kemudian membuatnya mengambi keputusan yang diutarakannya sebagai berikut:

“Panglima Jayeng Kencana, pada dasarnya aku setuju dengan saranmu. Ttapi, sebaiknya kita putuskan bersama Raja Tunggawarman. Jika engkau tidak keeratan, aku mengundangmu untuk memutuskannya di Markas kami. Bagaimana Panglima, apakah engkau bersedia”?

“Panglima Padmanaba, engkau begitu gagah dan terhormat. Aku tidak akan takut mendatangi markasmu jika pemimpinnya orang seperti anda, meskipun kta berdiri berseberangan”

“Hahahahaha, Panglima, sungguh menyenangkan dan terhormat mempunyai lawan segagah dan seterhormat anda” Panglima Padmanaba bahkan sampai menyalami Panglima Jayeng Kencana denga gaya dan cara khas mereka.

“Baiklah, aku menunggumu besok di markas bala tentara kerajaan Chola” dan setelah mengucapkan demikian, percakapanpun berakhir dan menunggu kelanjutan percakapan besoknya di markas besar Bala Tentara Kerajaan Chola yang berada di luar Kotaraja.

“Hm, kakang Jayeng Kencana, engkau telah menegaskan sikap dan kehormatanmu secara sangat nyata” sosok tubuh tiba-tiba telah merendengi Panglima Perkasa itu.Bintang Sakti Membara, sang adik kandung.

“Hm, Adi, kelanjutanmu adalah tugasmu untuk melindungi keponakan keponakanmu. Kudengar Panji telah mengorbankan nyawanya bagi Kerajaan ini, bagi Raja yang memiliki alasan sendiri untuk tidak menambah jumlah mayat. Tetapi, Ratna, adalah tugas adi untuk menemukannya. Dan kepada Adi pula kuserahkan Nenggala untuk dididik. Karena jalur keluarga kita akan putus apabila Nenggala ikut menjadi korban”

“Hm, akhir episode pedih ini memang akan berakhir kakang. Bahkan secara samar sudah kuterka apa yang akan engkau lakukan. Pilihan yang sangat luar biasa dan memang seharusnyalah demikian bagi mereka yang menjadi abdi sebuah Kerajaan. Selamat kakang”

“Aku tidak membutuhkan ucapan selamat Adi, aku membutuhkan kesediaanmu untuk melanjutkan gais keturunan keluarga kita”

“Kakang, tanpa engkau minta, sudah lama kupersiapkan semuanya. Benar, ada berita bahwa Panji telah tewas, tetapi getaran batinku menangkap tidak seperti itu. Sayangnya, bukan aku yang akan menemukannya, tetapi entah siapa. Jangan khawatirkan anak-anakmu, melangkahlah dalam pilihanmu, pilihan terhormat itu. Dan relakanlah sisanya untuk dikerjakan adikmu ini” desis Bintang Sakti Membara nyaris tanpa emosi.

“Ach, Adi, aku tahu. Pilihanmupun sungguh luar biasa, meski terkadang tak mampu kuselami. Tetapi, engkau sanggup menyelami pilihanku hingga detail. Dan sebagaimana biasanya, aku memang banyak bergantung kepadamu untuk urusan keluargaku. Adi, engkau terimalah permohonan maaf kakangmu ini. Dan seterusnya, engkau bertindak atas namaku bagi anak-anakku. Kuharap engkau meninggalkan aku sendirian untuk semalaman ini. Dan pesanku untuk anak-anakku kutinggalkan kepadamu. Besok sore menjelang malam, datanglah ke Kapal ini dan ambil semua pesan dan peninggalanku untuk anak-anakku”

Kedua kakak beradik ini kemudian saling pandang, saling tersenyum penuh pengertian. Dan tidak berapa lama keduanya berpelukan. Terakhir kali. Karena setelah itu, Bintang Sakti Membara meninggalkan Kapal megah itu, dan tidak kelihatan sampai esok harinya. Esok menentukan, esok yang lain, hari dimana Panglima Jayeng kencana tanpa dikawani siapapun kecuali penterjemahnya, dalam jubah kebesarannya mendatangi markas Bala Tentara Kerajaan Chola.

Anehnya, perjalanan masuk Panglima Jayeng Kencana justru dihiasi dengan hiasan yang megah, megah dalam ukuran kritis dalam peperangan. Dan bahkan semua Bala Tentara Kerajaan Chola menyambutnya dengan penuh hormat, dan memandangnya kagum serta hikmat hingga kemudian disambut oleh Panglima Utama Kerajaan Chola Padmanaba.

“Hahahaha, Malaikat Samudra Raya, Panglima Jayeng Kencana, sungguh terhormat menerimamu di markasku saat ini. Mari-mari Panglima …..” Sambil mempesilahkan Panglima Jayeng Kencana untuk masuk ke Tenda Utama yan dijadikan markas Bala Tentara Kerajaan Chola. Dan didalam Tenda Utama itu telah hadir Raja Tunggawarman yang duduk di salah satu kursi seadanya, maklum meski Raja tetapi statusnya kini tawanan, dan di markas militer lagi. Dan melihat Raja Tunggawarman, Panglima Jayeng Kencana kemudian berlutut dan memberi hormat:

“Salam hormat Sang Prabu”

“Aku sudah bukan Raja lagi Jayeng Kencana”

“meski sebagai tawanan, tapi perkenankan selaku ponggawa Prabu memberi hormat sekali lagi” dan Panglima Jayeng kencana sekali lagi memberi hormat.
“Sudahlah, bangunlah Jayeng Kencana”

Tak berapa lama kemudian, Panglima Padmanaba memulai percakapan mereka:

“Raja Tunggawarman, Panglima Jayeng Kencana berkenan menggantikan anda sebagai tawanan ke Kerajaan Chola. Tetapi, untuk selanjutnya, Raja di Sriwijaya akan kami tentukan dan menjadi taklukan Kerajaan Chola. Siapapun Rajanya, bila bersedia menjadi taklukan Kerajaan Chola, maka akan kami sahkan sebagai Raja, termasuk jika Putra Raja Tunggawarman sekalipun”

“Bebanku sebagai Raja akan kutanggung, biarlah aku menjadi tawanan di Kerajaan Chola” tegas Raja Tunggawarman

“Sang Prabu, symbol kerajaan Sriwijaya adalah Rajanya. Bila Rajanya meninggalkan Kerajaan dan menjadi tawanan, maka tiada lagi muka bagi Sriwijaya untuk tegak dengan kehormatannya” tegas Panglima Jayeng Kencana

“Akan ada yang lain yang menjadi Raja Jayeng Kencana”

“Benar paduka Raja, tetapi untuk saat ini, Raja Sriwijaya adalah Raja Tunggawarman. Dan Raja diharapkan tidak meninggalkan Kerajaan sebagai tawanan, agar Sriwijaya masih memiliki sisa kehormatan untuk dipertahankan”

“Apalah artinya kehormatan itu lagi Jayeng Kencana”?

“Paduka Raja, membangun kehormatan sebagai sebuah Kerajaan dibutuhkan waktu ratusan tahun. Masakan diruntuhkan begitu saja dimasa akhir paduka menjadi Raja”?

“Tapi buat apa kehormatan itu jika harganya adalah puluhan ribu nyawa lagi harus dkorbankan”?

“Paduka Raja, hamba bersedia menggantikan Paduka sebagai tumbal. Karena symbol Sriwijaya bukan di Panglimanya, tetapi di Rajanya. Cukup Raja Tunggawarman tetap berada di Sriwijaya, dan kemudian diangkat Raja baru oleh Kerajaan Chola, tidak akan ada pertumpahan darah lagi. Tetapi setidaknya, kehormatan Raja Sriwijaya tetap dipertahankan meskipun telah dikalahkan”

“Tetapi tetap aku tidak mengijinkanmu menggantikan aku ke Kerajaan Chola Jayeng Kencana” tegas Raja Tunggawarman

“paduka, jangan hanya mempertimbangkan aku, tetapi pertimbangkan sejarah dan masa lalu Sriwijaya dan ratusan ribu penduduknya. Mereka butuh kehormatan, butuh rasa bangga meski sedikit tercederai”

Argumentasi dan kalimat-kalimat yang penuh rasa patriotisme dan kebanggaan atas Sriwijaya dan masa lalunya sedikit menyentak Raja Tunggawarman. Meksipun sebetulnya, bagi sang Raja, hal tersebut sudah tawar sejak dia menekuni keagamaan. Tetapi, disinggung dengan semangat menyala dan rasa bangga sebagai warga Sriwijaya oleh Jayeng kencana, benar-benar membuatnya dalam posisi serba salah. Cukup lama dia berpikir sampai akhirnya dia menarik nafas panjang dan memandang Panglima Padmanaba:

“Panglima, apa benar engkau bisa mengijinkan aku untuk tetap berada di Kerajaan Sriwijaya dan menjadi Pendeta Budha”?

“Itu bagian percakapanku dengan Panglima Jayeng Kencana” tegas Panglima Padmanaba

“Dan juga akan mengangkat seorang anakku menjadi Raja mengantikan aku”?

“Dengan syarat, anakmu bersedia menakluk dibawah kerajaan Chola”

Kembali Raja Tunggawarman berpikir keras. Cukup lama dia berdiam diri, baru kemudian nampak dia mengangkat kepalanya, memandangi Panglima Jayeng Kencana dan Penglima Padmanaba. Terdengar dia berkata:

“Jayeng Kencana, sejak dulu aku tahu engkau yang terbaik. Dan engkau membuktikannya sampai akhir. Sayang, aku memiliki pilihan hidup sendiri, berbeda dengan pilihanmu. Seandainya sejak dulu aku menyerahkan tahta kepada orang yang lebih layak, mungkin tidak akan sesulit ini pilihan hidupmu. Tetapi, semua garis hidup kita memang sudah ditakdirkan. Biarlah aku menghormatimu bukan sebagai Raja, tetapi sebagai sesama yang menghormati pribadi yang kuat dan tangguh. Sayang, Sriwijaya harus melepas orang sehebat engkau” Setelah itu, Raja Tunggawarman benar-benar menjura dan menghormat kearah Panglima Jayeng Kencana yang dengan rikuh dan terharu menerima penghormatan itu.

“Paglima Padmanaba, apakah engkau menjamin tidak akan memperlakukan Panglima terbaik kami secara begitu memalukan sebagai tawanan?”

“Bila semua berjalan baik, maka Panglima Jayeng Kencana tidak akan ke Kerajaan Chola sebagai tawanan. Tetapi hanya akan menghantarkan kami kembali ke Kerajaan Chola” Panglima Padmanaba yang melihat keadaan membaik, malah kemudian merubah perjanjiannya. Meski dia sama sekali tidak tahu, apa yang dibenak Panglima Jayeng Kencana”

Begitulah akhir dari kejayaan Sriwijaya. Panglima Kerajaan Chola kemudian mengangkat seorang anak Raja Tunggawarman menjadi Raja bernama Raja Wirarajendra. Berita yang tersiar adalah, Raja Tunggawarman tertawan ke Kerajaan Chola, padahal sebetulnya beliau mengasingkan diri dna menjadi Pendeta bersama Bhiksu Darmakitri.

Sementara Panglima Jayeng Kencana menggantikan Raja Tunggawarman menjadi tawanan ke Kerajaan Chola di India Selatan. Tetapi, kekaguman Panglima Padmanaba dan takluknya Sriwijaya, membuat keputusan menawan Panglima Jayeng Kencana memudar. Sebaliknya, dia malah membebaskan Panglima Jayeng Kencana kembali ke Sriwijaya, tetapi Panglima Jayeng Kencana tidak pernah kembali ke Sriwijaya.

Baginya, ketika Kapal megahnya digunakan musuh, maka kehormatannya telah ternoda. Panglima gagah perkas ini akhirnya mengakhiri hidupnya di perairan Sriwijaya, dan akhir hidup Panglima ini diceritakan oleh anak buahnya. Yakni membuang dirinya ke laut dan tidak pernah diketemukan lagi jasadnya.

Dan roh Panglima perkasa ini, seakan bangkit lagi ketika Kerajaan Chola kembali menyerang Sriwijaya pada tahun 1068, tetapi Sriwijaya tidak mampu terhapuskan sampai kemudian hancur oleh Majapahit, kerajaan dari Jawadwipa pada tahun – tahun 1400an.
 
BAB 14 Kisruh di Thian San Pay
1 Kisruh di Thian San Pay



“Anak muda, itulah kisah dibalik perebutan pusaka ilmu silat yang berasal dari 3 lembar kitab agama yang kutulis. Lembar pertama berada di tangan Nenek Gayatri dan yang nampaknya telah menguasainya, meskipun kemudian dikalahkan kakekmu di Siauw Lim Sie. Rahasia lembar pertama itu telah engkau kuasai, sementara lembar kedua dan ketiga, juga tidak lama lagi akan muncul dan menimbulkan keguncangan”, Demikian Kolomoto Ti Lou mengakhiri cerita panjang yang melatari perebutan Lembaran Kitab Pusaka yang berawal dari Bumi Sriwijaya dan sampai ke Thian Tok dan Tionggoan

“Locianpwee, sungguh berbelit kisah dibalik rahasia 3 lembar ilmu ciptaanmu itu. Bahkan melibatkan tokoh-tokoh di tiga kerajaan besar yang berbeda. Bagaimana selanjutnya dengan murid-muridmu itu”? Ceng Liong bertanya penasaran, dan mulai semakin lancar berkomunikasi lewat kekuatan batin.

“Pendeta Sakti Jawadwipa, murid tertuaku, menyusul atau mengejar Gayatri ke India Selatan bahkan hingga ke Tiongkok. Bahkan sempat kutemui jejaknya di Tionggoan ini, tetapi kemudian dia menghilang hingga kini. Sementara Bintang Sakti Membara menemuiku di Pulau Sabu sambil membawa anak bungsu kakaknya, dan menceritakan kekisruhan tersebut. Dia kemudian mengembara sambil membawa putra bungsu Panglima Jayeng Kencana dan menyusul ke India hingga ke Tionggoan sambil terus melatih keponakannya. Diapun pernah menyusul hingga ke Siauw Lim Sie dan menyaksikan lembar itu jatuh ketangan Kakekmu, tetapi kemudian terpaksa membiarkan lembar itu jatuh ke Lembah Pualam Hijau karena mengerjakan urusan lain yang penting. Pada saat itu dia mencium keberadaan “pencuri” 2 lembar lain yang juga berada disekitar Siauw Lim Sie”

“Bagaimana pula dengan 2 lembar sisa lainnya Locianpwee”? kejar Ceng Liong semakin penasaran

“Keduanya ditangan murid ketigaku, Wisanggeni, yang bersembunyi di Tionggoan dan belum pernah menampakkan diri hingga saat ini. Menilik bakatnya, seharusnya dia sanggup meyakinkan hingga ke lembar ketiga, meski mungkin belum atau takkan sanggup memasuki tahap pamungkas”

“Artinya, lembar-lembar itu memang pada akhirnya pasti akan muncul di daerah Tionggoan locianpwee”?

“Benar, dan bahkan berkaitan erat dengan kekisruhan yang ditimbulkan Thian Liong Pang. Semuanya akan semakin jelas pada waktu-waktu mendatang”

“Locianpwee, jika demikian, akan begitu banyak tokoh-tokoh sepuh dan sakti mandraguna yang akan terlibat dalam kekisruhan ini”

“Benar, tepat sekali. Sebagian sudah mulai memunculkan diri, sebagian masih bersembunyi dibalik keremangan tetapi siap tampil”

“Bagaimana mungkin kami yang muda-muda ini sanggup menanganinya”?

“Ada yang akan kalian kerjakan, tetapi ada juga yang akan dikerjakan oleh kami kami yang
sudah tua. Tetapi, bagian terbesarnya akan tergantung kepadamu dan teman-temanmu”

“Tapi, sanggupkah kami locianpwee”?

“Engkau terlampau memandang ringan pekerjaan guru-guru kalian. Mata kalian memang belum cukup melek melihat kedalaman ilmu ciptaan guru kalian. Dan untuk itulah mereka-mereka yang sudah tawar hati itu membebaniku diujung usiaku. Mungkin karena memang kekisruhan itu berasal dari keusilanku menuliskan ilmu-ilmu itu” nampak orang tua yang bernama Kolomoto Ti Lou itu seperti menyesali sesuatu. Sesuatu yang memang takkan mungkin dihindarinya lagi, terlebih karena memang telah melibatkan dirinya dan bahkan keluarga perguruannya.

“Anak muda, sebetulnya, 3 lembar itu tidak akan berarti banyak bagi dirimu. Secara tak sengaja, engkau mampu meyakinkan lembar pertama, dan secara ajaib engkau mampu menguasai ilmu Tatapan Naga Sakti. Ilmu itu menjadi salah satu dari 3 ilmu utama di lembar ketiga. Dan yang mampu menguasai ilmu itu, hanya orang-orang dengan peruntungan khusus. Bahkan pemegang lembar ketiga sekarang inipun mungkin takkan mampu menguasainya. Jika engkau tidak mengalami musibah yang merubah susunan saraf di bagian kepalamu, maka engkau harus menunggu hingga berusia sekurangnya 60 tahun untuk menguasai ilmu tersebut” tegas Kolomoto Ti Lou atau si Bintang Sakti dari Selatan.

“Maksud locianpwee, dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk mampu menguasai ilmu itu?” Tanya Ceng Liong.

“Benar, bagi yang sangat berbakat sekalipun, dibutuhkan waktu yang sangat lama, makan waktu puluhan tahun”

“Dan kenapa aku bisa locianpwee”?

“Tak ada penjelasan lain, selain sebab-sebab mujijat dan ajaib. Dan nampaknya engkau mengalaminya anak muda”

“Maksud locianpwee”?

“Jika aku tidak mengalami serudukan Hiu Pemangsa dikepalaku diusiaku yang ke 8 ketika belajar berenang di lautan, maka akupun tidak akan sanggup mencapai kematangan dalam 3 ilmu utama di lembar ketiga”

“Artinya, seperti locianpwee, akupun pernah mengalami musibah yang justru menguntungkan. Apakah begitu artinya locianpwee”?

“Tepat dan benar sekali”

“Tapi, ilmu menggunakan sinar mata masih belum sanggup kulakukan secara baik locianpwee”

“Saat ini, dengan berlatih 2 atau 3 kali, engkau sudah akan sanggup menguasainya secara baik. Bahkan Gelap Ngampar, salah satu ilmu puncak di Jawadwipa, juga sudah akan bisa engkau mainkan secara baik”

“Sehebat itukah peruntunganku locianpwee”?

“Memang demikian”

“Tapi ….. tapi”

“Sudahlah anak muda, waktu kita tidaklah banyak. Aku hanya akan menuturkan penguasaan puncak dari Ilmu-ilmu di lembar ketiga dan kemungkinan-kemungkinannya. Berbeda dengan ke-4 anak muda lainnya, engkau akan sanggup menapak lebih cepat karena bantuan alam semesta. Saat ini, lembar kedua, sudah tidak berarti banyak bagimu. Lembar itu berisi ilmu-ilmu andalan dari tanah Jawadwipa, tetapi yang kusempurnakan lewat pengalaman dan perjumpaan dengan gurumu dan beberapa tokoh sakti di Tionggoan dan Thian Tok. Baiklah, persiapkanlah dirimu, aku hanya akan menjelaskan rahasia dan kemungkinan pengembangan di halaman ketiga, dan terserah kesanggupanmu untuk menyempurnakan ilmumu berdasarkan rahasia itu”

“Locianpwee, apakah aku akan sanggup”?

“Jika menilik bakat dan keajaiban yang engkau alami, maka apa yang akan engkau kuasai tidak akan berbeda jauh dengan yang kuperoleh. Bakatmu tidak berbeda jauh denganku, jadi seharusnya engkau berkemampuan mencapai tingkat tertinggi itu”

Ceng Liong tercenung seketika. Terbayang kembali pengalamannya ketika menerima sinkang operan dari kakeknya, kemudian dia terlontar ke sungai dan entah bagaimana tiba-tiba dia sudah berada bersama kakak beradik Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan. Dan pengalaman selanjutnya mengantarkannya bertemu kakek buyutnya, mempelajari ilmu silat dan sekarang berada berhadapan dengan salah satu tokoh persilatan yang sangat digdaya.

Bahkan setara atau malah mungkin melebihi buyutnya sendiri, karena keajaiban alam dan nasib atau peruntungan dalam mempelajari ilmu silat. Dan kini, menurut orang tua dihadapannya itu, dia memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mencapai tataran kakek buyutnya dan bahkan orang tua dihadapannya yang kesaktiannya masih belum terjajaki olehnya.

Yang pasti, orang tua didepannya demikian sakti dan digdaya. Akalnya tak sanggup menjelaskan. Karena bahkan Kakek dan Neneknya sendiri nampak sangat menghormati orang tua dihadapanya ini. Tapi siapakah gerangan orang tua yang mengaku bernama Kolomoto Ti Lou atau Bintang Sakti dari Selatan? Sayang renungan Ceng Liong kemudian terputus oleh suara:

“Anak muda, biarlah pertanyaan mengenai siapakah aku akan engkau temui jawabannya perlahan lahan. Lebih baik engkau segera mempersiapkan diri untuk mencerna apa yang akan kubeberkan. Dengan daya tangkap dan bakatmu, aku yakin engkau akan beroleh manfaat yang sangat besar, bahkan melampaui mereka yang memegang lembar ketiga itu sekalipun. Nah, siapkah engkau”?

“Baiklah locianpwee, aku siap” jawab Ceng Liong setelah beberapa ketika merenung kembali.

“Anak muda, dua ilmu pertama di halaman ketiga, adalah Ilmu-ilmu legendaris di tanah Jawadwipa yang sebetulnya sesumber dengan ilmu-ilmu keluargaku di pulau sabu, jauh ke timur pulau Jawadwipa. Leluhurku sendiri berasal dari Thian Tok (India), sehingga kaitannya dengan Ilmu-ilmu di Thian Tok juga sangatlah erat. Tetapi, tidaklah banyak tokoh yang sanggup menguasai kedua ilmu itu secara sempurna. Aku hanya menuliskannya dan menyempurnakannya, bukanlah penciptanya. Kedua ilmu itu sungguh sangat dahsyat, karena menggunakan suara dan tatapan mata untuk melontarkannya keluar. Dan pemilik kedua ilmu itu, terhitung sangat jarang mengeluarkan ilmu tersebut karena akibatnya yang mengerikan. Tokoh terakhir dari lingkungan keluargaku yang mampu menguasainya secara sempurna, hanya mengeluarkan ilmu tersebut sebanyak 2 kali sepanjang kehidupannya. Bahkan seorang Raja legendaris dari Balidwipa, hanya pernah sekali menggunakan Ilmu Tatapan Naga Sakti dalam sebuah peperangan. Karena itu, aku berharap engkaupun berhati-hati dalam melatih, menyempurnakan dan menggunakan kekuatanmu melalui kedua Ilmu Mujijat tersebut”

“Aku berjanji locianpwee, jika tidak sangat terpaksa, aku tidak akan mempergunakannya”

“Bagus anak muda. Meskipun sebenarnya, penguasaanmu atas Ilmu Tatapan Naga Sakti, tidak engkau peroleh dari hasil tulisanku, tetapi melalui keajaiban alam semesta”

“Betapapun, aku sudah berjanji locianpwee. Jika benar aku sanggup menguasainya dengan sempurna, maka ilmu itu hanya akan kugunakan untuk keadaan yang benar-benar sangat mendesak dan sangat perlu” Tegas Ceng Liong dengan suara mantap.

“Aku percaya kepadamu anak muda”

“Sekarang, mengenai Ilmu yang bernama Gelap Ngampar, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ilmu pekikan Siauw Lim Sie – Sai Cu Ho Kang. Hanya saja, dalam perkembangannya, Gelap Ngampar sudah sering diselewengkan dan sering bercampur dengan Ilmu Hitam. Gelap Ngampar, aslinya justru digunakan untuk menghalau kekuatan hitam melalui alunan suara. Hanya, dalam perkembangan selanjutnya, coba kusempurnakan dengan tidak melepas kekuatan tersebut secara sembarangan, tetapi bisa diatur oleh si pelepas suara melalui pengolahan tenaga dalam dan tenaga batinnya. Karena engkau telah menguasai Ilmu Tatapan Naga Sakti, maka engkau bahkan telah memiliki kekuatan Sihir yang luar biasa kuatnya, dan sangat mungkin engkau melepaskan keduanya secara bersamaan. Tetapi, unsur tertinggi dari Gelap Ngampar adalah menguasai banyak orang dalam area tertentu dan bahkan kemudian menyerang mereka jika dibutuhkan. Jadi bisa engkau bayangkan jika Ilmu semacam ini dikuasai oleh manusia durjana”

“Benar locianpwee, sungguh akan sangat mengerikan akibatnya”

“Dan Gelap Ngampar, memang sering digunakan oleh kaum jahat untuk maksud seperti ini. Tetapi, Gelap Ngampar yang kusempurnakan, bisa digunakan untuk menyerang, mempengaruhi orang dan bahkan bisa untuk menyembuhkan orang melalui penyaluran kekuatan lewat suara. Prinsipnya sama dengan engkau melatih Kekuatan Batinmu, dan dalam taraf sekarang, engkau sudah akan sanggup melakukan hingga tahapan mengobati, karena memang sinkang tertinggi keluargamu mengandung unsur tersebut. Tetapi, yang perlu engkau latih adalah, bagaimana mengerahkan dan menyalurkan kekuatan tersebut melalui kekuatan suaramu. Dan ajakanku untukmu berlatih berkomunikasi lewat suara dan batin adalah latihan pertama yang ternyata bisa engkau selesaikan dengan sangat baik. Kuperkirakan, engkau masih akan butuh 10-15 hari untuk sanggup menyempurnakan penggunaan Gelap Ngampar pada tataran sekedar menyerang orang dengan suara, tetapi untuk masuk dalam tataran mempengaruhi orang dan mengobati orang lewat kekuatan suara, masih dibutuhkan waktu beberapa lama lagi”

“Demikian hebatkah Ilmu tersebut locianpwee”?

“Ya, dan engkau sudah setengah jalan dalam menguasai Ilmu tersebut anak muda. Di kalangan muridku, nampaknya murid pertama, ketiga dan keempat sudah melampaui atau berada dalam tahapan tersebut. Sementara satu diantaranya akan engkau hadapi suatu saat sebagai lawan”

“Tapi, merekapun ternyata bisa locianpwee”?

“Bisa karena mereka melatihnya selama puluhan tahun. Tetapi, sebagaimana tak ada orang yang akan menandingiku dalam Gelap Ngampar, demikian juga tak ada orang yang akan nempil menghadapimu dalam Tatapan Naga Sakti. Karena keajaiban alam membuat struktur suaraku jadi sangat berubah dan mujijat, sementara keajaibanmu membuat tatapan matamu menjadi mujijat. Engkau oleh alam dibentuk untuk ilmu Tatapan Naga Sakti dan aku untuk Gelap Ngampar. Artinya, kita memulai kedua ilmu itu justru dalam posisi 75%, sehingga sangat mudah menguasainya dan bahkan menyempurnakannya. Semua oleh karena bantuan alam semesta”

“Aku mengerti locianpwee”

“Aku tidak akan melatihmu soal Ilmu Tatapan Naga Sakti karena setelah latihan tadi, kusangka engkau sudah sanggup menguasai ilmu itu secara baik. Untuk mematangkannya tinggal engkau membutuhkan sehari atau dua hari untuk mencari bentuk2 pelepasan yang sesuai dengan kata hatimu pada saat engkau ingin melepaskannya. Bahkan hingga tahap membantu orang mengobati dirinya, atau mengobati luka dalam seseorang. Prinsip ilmu yang satu lagi, yakni Gelap Ngampar, sebetulnya mirip dengan Tatapan Naga Sakti, setelah latihan berkomunikasi dalam kekuatan batin, maka latihanmu seterusnya adalah bagaimana menyalurkan kekuatan tenaga dalam dan tenaga batin itu melalui suara. Sehingga engkau bahkan bisa dan mampu menyerang hanya seorang dari 10 orang yang berada dalam area yang sama, atau bahkan menyembuhkan penyakit dalam akibat benturan tenaga dalam. Aku yakin engkau akan sanggup melakukannya anak muda”

“Mudah-mudahan locianpwee, aku akan berusaha sekuat tenagaku”

“Hm, bagus. Dan sekarang soal ilmu terakhir. Ilmu terakhir dalam lembaran ketiga itu adalah Deo Mone Woro Mone Penynyi (Dewa Menguasai Langit dan Bumi). Aku tidak akan melatihmu dalam ilmu ini, karena ini Ilmu keluargaku dan khusus bagi mereka yang memiliki garis keturunan yang sejajar denganku. Sayang, diantara 4 muridku, tidak ada yang sanggup mewarisinya. Tetapi tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu. Ilmu ini pada tataran tertinggi dan tingkatan sempurna mampu dengan kecepatan tak terukur menyedot dan menolak setiap benda serta membuatnya melintir dan berputar dalam kecepatan yang sukar di ukur, sehingga kemudian menguraikan benda tersebut dalam unsur-unsur penyusun benda itu. Ini adalah kekuatan destruktif atau penghancur yang luar biasa. Setiap perputaran benda berada berlangsung di dalam suatu ruang udara yang dibatasi oleh awan putih yang pekat dan takkan mungkin terpental keluar dari dalamnya, dan bergerak memutar dalam kecepatan luar biasa. Tetapi sebaliknya, Ilmu tersebut, Deo Mone Woro Mone Penynyi juga dapat menyedot, dan menata serpihan-serpihan unsur pembentuk benda menjadi suatu benda apapun sesuai yang diinginkan. Ilmu ini bukan saja menuntut pengerahan penggunaan kekuatan dan energy dalam tubuh (Sinkang, Ginkang, Khikang dan Tenaga Batin) tetapi juga memanfaatkan pergerakan energy langit-bumi. Dengan demikian, Ilmu ini, selain memiliki daya rusak tinggi, juga memiliki daya sembuh yang juga luar biasa. Dengan kekuatan dan pemahaman Ilmu inilah kutuliskan penyempurnaan ilmu-ilmu yang kutemui dalam pengembaraanku”.

“Locianpwee, ilmu tersebut kedengarannya terlalu mujijat”

“Benar, tetapi dalam urutan dan daftar keluargaku, hanya setiap 500 tahun sekali ada yang sanggup menguasainya hingga ketataran terakhir. Aku menjadi kekecualian karena bantuan alam semesta yang kusebutkan tadi. Dalam tatarannya, tingkat pertama ilmu itu dinamakan Lila Peha'e Meremmu (Terbang Mengendarai Awan) membuat siapapun mampu bergerak lebih ringan dari kapas sehingga dianggap seperti Terbang Mengendarai Awan. Ilmu ini memungkinkan penguasanya mampu bergerak sangat cepat dan sangat ringan, bahkan dengan kekuatan batin yang tadi engkau latih engkau dapat berkomunikasi dengan orang yang sangat jauh secara leluasa dan layaknya berhadap-hadapan. Tingkat kedua Dewa Mengatur Alam (Deo Rai Mengao) yang membutuhkan kemampuan sinkang yang tinggi dan sempurna, mengurung dan mengisolasi daya energy setiap benda dalam kubangan dan kungkungan awan putih pekat, lalu digabung kemampuan khikang mengeluarkan bentakan (Gelap Ngampar) untuk membuyarkan kumpulan energy yang terisolasi tersebut dan bahkan jika memang sangat diperlukan, energy itu juga dapat digunakan dengan mengendalikannya untuk diarahkan ke tempat tertentu, ataupun juga bisa diarahkan atau dikembalikan kepada lawan dengan kecepatan dan kekuatan berlipat-lipat ganda. Dan akhirnya Tingkatan Pamungkas, atau tingkatan ke tiga yaitu Langit Bumi Menyembah Dewa (Liru Rai Dahi Mejura
Pa Deo) adalah kedua tingkatan terdahulu dilambari dengan kekuatan batin pada tataran sangat mendalam. Nah, tingkatan ini membutuhkan dukungan kecerdasan yang tinggi sekali, bukan cuma kecerdasan intelektual, tapi juga trmasuk kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual sebagai syaratnya. Kebutuhan akan kemampuan ekstra luar biasa itu adalah terutama agar mampu merenungkan dan memahami hakekat ilmu sampai ke tingkatan mistik yang mendalam. Mengenali sesuatu secara sempurna, baik unsur pembentuk, unsure lingkungan dan pengaruhnya, unsur pengurai, dan pendeknya segala sesuatu sampai hal terdalam dan terdetail. Semua muridku bahkan untuk menapak ke tingkatan kedua saja sulitnya minta ampun. Dengan memiliki lembar ketiga, murid ketigaku nampaknya sudah melampaui tingkatan pertama tetapi tidak akan mampu menyelesaikan tingkat kedua, karena syaratnya takkan dipenuhinya. Mungkin murid keempatku yang bisa sampai tingkat kedua, tetapi juga tidak memadai menguasai tingkat ketiga. Mengapa? Karena tingkat ketiga inilah yang mampu merusak total dan menyembuhkan secara total. Mungkin, di tingkatan keluargaku, baru 3-4 generasi sesudahku baru akan ada lagi yang sanggup menggunakannya”.

“Luar biasa locianpwee, tetapi sayang aku tidak berjodoh dengan Ilmu Keluargamu itu.”

“Jangan kecewa dulu. Justru engkau memiliki kemampuan meningkat sampai ketingkatan ketiga anak muda, tetapi tidak mungkin melalui jalan dan cara ilmu keluargaku. Sebabnya kukatakan jangan memandang enteng ilmu ciptaan 4 Manusia Dewa Tionggoan, adalah karena merekapun telah menciptakan ilmu sejenis. Hanya mereka yang tahu, dimana mereka menyembunyikan ilmu tersebut, karena masing-masing dari 4 Manusia Dewa itu memberikan rincian penyempurnaannya. Tetapi, ilmu gurumu yang diciptakannya dengan nama Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), adalah 25% dari ilmu yang mereka ciptakan itu. Dan Ilmu ciptaan mereka memiliki kedahsyatan dan kemujijatan yang sama dengan ilmu keluargaku. Anak muda, dengan memiliki Gelap Ngampar yang sempurna, Tatapan Naga Sakti yang juga gampang engkau sempurnakan, maka tidak lama waktu yang engkau butuhkan untuk mencapa level yang sama dengan Tingkat Kedua dari Ilmu keluargaku. Meskipun merambah tingkatan pamungkas, seperti juga aku, setidaknya engkau membutuhkan waktu puluhan tahun lagi. Karena penguasan detail dan mistik dari kekuatan alam dan manusia, perlu lewat perjalanan hidup dan perjalanan batin yang dalam dan kaya. Kesanggupanmu menguasainya tergantung pada perjalanan dan pengalaman hidupmu kelak. Tetapi untuk tingkatan pertama dan kedua, tidaklah membutuhkan waktu yang lama bagimu. Ke-4 Manusia Dewa Tionggoan, telah mengijinkan aku mengutarakan hal ini kepadamu dan membantumu mencari kemungkinan untuk menyempurnakan Ilmu peningalan mereka berempat sebagai hasil diskusi mereka puluhan tahun untuk menciptakan ilmu yang setanding dengan Deo Mone Woro Mone Penynyi. Dan pertemuan mereka yang terakhir telah menghasilkan bentuk akhir tersebut. Sebetulnya akupun, bahkan baru bisa menyempurnakan ilmu keluargaku itu setelah bertemu dan banyak berdiskusi dengan sobatku Bhiksu Chundamani dari India dan 4 Manusia Dewa Tionggoan tersebut. Dan itu kulakukan dalam rentang waktu 50 tahunan“.

“Maksud locianpwee, guru bersama ke-3 locianpwee yang lainnya juga menciptakan ilmu yang sejenis dengan ilmu keluargamu“?

“Benar sekali, dan itulah sebabnya aku diminta membantu kalian berlima untuk bisa meningkat lagi dari kemampuan dewasa ini“

“Tapi, mungkinkah kami bisa locianpwee“?

“Engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri. Aku yakin, penguasaanmu atas Gelap Ngampar dan Tatapan Naga Sakti akan memudahkanmu menyelesaikan latihan yang setingkat dengan Tingkat Kedua Ilmu keluargaku. Tetapi, kuharap, engkau tetap menyebut ilmu tersebut dengan nama yang diciptakan gurumu Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang. Karena memang, yang harus engkau kembangkan dan sempurnakan adalah kemampuan puncak dari ilmu tersebut yang merupakan pusaka terakhir keluargamu. Meskipun mungkin, setelah engkau, baru akan hadir pewarisnya yang setara dengan engkau dan gurumu 100-200 atau 300 tahun lagi“

“Terima kasih locianpwee, kupastikan apa yang engkau katakan akan terlaksana seperti itu“

”Aku telah memberimu pandangan dan kemungkinan untukmu, bagaimana menyempurnakan Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang dengan jalan yang mirip dengan ilmu keluargaku. Selanjutnya tinggal peruntunganmu saja untuk menyempurnakannya. Terlebih karena penguasan Ilmu baik Ginkang, Sinkang, Khikang maupun Tenaga Batinmu secara aneh memang sudah cukup matang. Nah anak muda, waktu kita untuk berpisah sudah tiba, aku tidak mengajarmu apa-apa, hanya membuka wawasanmu, pemikiranmu atas kemungkinan-kemungkinan lain yang sangat luas untuk membuatmu mampu menyempurnakan ilmu kepandaianmu. Bahkan jika perlu, wawasan dan kemungkinan itu, juga engkau sempurnakan dan tingkatkan lebih jauh. Tugasku terhadap gurumu sudah berakhir, kuharap engkau berhasil ...... selamat berpisah“ dan begitu selesai kalimat tersebut, orang tua aneh di depan Ceng Liongpun sudah lenyap.
 
2



Thian San Pay ........ adalah sebuah Perguruan Silat yang memiliki nama besar dan harum. Pada masa keemasannya, Thian San Pay terkenal dengan Ilmu Pedangnya yang “nyaris“ tanpa tandingannya. Dan memang, Ilmu Pedang adalah andalan dan ilmu pusaka bagi perguruan yang berdiri di salah satu puncak yang terpencil itu.

Bahkan, puncak gunung Thian San itu selalu tertutupi oleh salju, dan udara disekitar Perguruan itupun rata-rata sangatlah dingin. Tetapi, di gunung itulah Thian San Pay membangun perguruannya, menanamkan nama dan pengaruh di dunia persilatan Tionggoan, dan mempertahankan keharuman dan kejayaannya untuk waktu yang cukup lama.

Berbicara Ilmu Pedang, maka Ilmu Pedang Thian San Pay masuk dalam kategori “UTAMA“ dan ”TERHEBAT“ di Tionggoan selain Ilmu Pedang dari beberapa perguruan Pedang lainnya, semisal Tiam Jong Pay, Bu Tong Pay, Hoa San Pay maupun Cin Ling Pay. Tetapi, Thian San Pay pernah merajai duna persilatan dan memiliki seorang pendekar pedang yang mumpuni dan tak terkalahkan pada ratusan tahun silam.

Tokoh ini, bahkan berdiri dan berjejer setanding dengan tokoh-tokoh utama pada masa itu. Seperti misalnya Kakek Dewa Pedang, tokoh misterius dan sangat hebat kepandaian pedangnya, tokoh yang menciptakan Pedang Pualam Hijau bagi Kiang Sim Hoat, pendiri Lembah Pualam Hijau.

Kakek ini selain lihay ilmu pedangnya, saking lihaynya dia dijuluki Kakek Dewa Pedang (Lo Sian Kiam), juga sungguh sangat misterius, tetapi kehebatannya diakui seantero dunia persilatan Tionggoan. Bahkan, pada masa sebelumnya, merekapun memiliki tokoh-tokoh hebat yang melanglang buana dan menegakkan keadilan, dan memperoleh julukan Perguruan Pedang Utama pada jaman ratusan tahun silam.

Tapi itu dulu ...... Tokoh hebat terakhir yang dimiliki Thian San Pay adalah sute atau adik perguruan Ciangbunjin pada seratusan tahun sebelumnya, dialah orang yang berjulukan Kakek Dewa Pedang. Kakek Dewa Pedang ini, terakhir muncul di Tiongoan pada masa sukses Kiang Sim Hoat dan membuatkan Lembah Pualam Hijau sebuah pedang bernama Pedang Pualam Hijau, pusaka dan pengenal Duta Agung Lembah.

Setelah itu, Kakek Dewa Pedang tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Padahal, tokoh inilah yang dianggap paling sepuh dan menguasai tataran tertinggi ilmu Thian San Pay, termasuk Ilmu Pedang Terbang yang kini tinggal nama dan menjadi legenda di Thian San Pay dan bahkan di Tionggoan sekalipun. Lenyapnya Kakek Dewa Pedang berarti lenyap pulalah pusaka Thian San Pay yang sangat terkenal itu, karena generasi sesudahnya tidak ada lagi sanggup menguasai ilmu pusaka akibat keterbatasan bakat.

Dan itu jugalah sebabnya pada puluhan tahun terakhir, posisi dan nama Thian San Pay mengalami kemerosotan yang cukup parah. Bahkan sangat parah malah. Tidak heran saat ini, Thian San Pay berada dalam jajaran Perguruan Pedang Medioker semata, tidak lagi diperhitungkan sebagai Perguruan Pedang utama, jatuh dibawa merek Bu Tong Pay yang kini berdiri sendiri dengan Ilmu Pedang Liang Gienya.

Apalagi, Liang Gie Kiam Sut telah dimatangkan oleh salah satu Manusia Dewa Tiongoan, Wie Tiong Lan, dan boleh dikata merajai untuk saat ini.

Tetapi, jatuhnya mereka dan nama Thian San Pay bukan berarti mengurangi minat orang menjadi anggotanya. Saat ini, diperkirakan ada sekitar 500 anak murid Perguruan Pedang itu, selain lebih 100 lain lagi yang berkelana di dunia pesilatan meski memiliki nama yang kurang diperhitungkan.

Dan, menjadi lebih menyedihkan lagi, ketika Thian Liong Pang merajalela, Thian San Pay sedang dalam masa-masa suramnya. Itu jugalah sebabnya, mengapa salah satu tokoh Thian San Pay yang bergabung dengan para pendekar merasa memiliki nama besar, tetapi kurang dihargai. Sebabnya sederhana, memang Thian San Pay jauh tertingal dewasa ini, dan merek perguruan tersebut tinggal mengandalkan kegemilangan pada masa lampau, sementara kekuatan mereka sendiri sudah jauh berkurang dan jauh tertinggal.

Merasa memiliki nama besar pada masa lalu perguruannya, Tang Hauw Sek, seorang sute dari Ciangbunjin Thian San Pay berjuluk It Kiam Tang Sam Hai (Pedang Tunggal Menggetarkan 3 Samudra), merasa tidak dihargai. Meski memang sedikit congkak, tetapi orang ini masih memiliki jiwa dan semangat orang gagah, terlebih karena di Thian San Pay, dialah tokoh terlihay di bawah Ciangbunjinnya itu. Jadi, masuk diakal bila dia menginginkan penghormatan dan pengharaan sebagai salah satu “bekas” perguruan ternama.

Tang Hauw Sek sendiri, merasa terkejut ketika kelompok mereka menerima surat untuk menarik diri dari pertikaian dunia persilatan dan meminta mereka pulang segera ke Thian San Pay. Meskipun kurang enak dengan para pendekar, tetapi Tang Hauw Sek mematuhi pesan Ciangbunjinnya, meski surat dituliskan oleh Tee Kong dengan cap dan tanda kebesaran Ciangbunjin, dengan perasaan kebat kebit dan kurang mengerti.

Dan kini, rombongan Thian San Pay yang berjumlah kurang dari 10 orang melakukan perjalanan cepat pulang ke perguruannya. Perjalanan tersebut dilakukan terburu-buru karena ada beberapa dugaan mencurigakan dibalik kepala Tang Hauw Sek, terutama terkait dengan perjuangan melawan Thian Liong Pang.

Meskipun tinggi hati dan angkuh, tetapi tokoh ini memang termasuk orang gagah, masih menghargai kependekaran dan selau menjujung tinggi kebenaran. Tetapi, memang sangat temaha dengan nama dan kebesaran. Itulah sebabnya beberapa kali dia menunjukkan sikap cemburu atas prestasi Ceng Liong dan beberapa tokoh muda lainnya yang dianggapnya berlebihan. Padahal, seharusnya, sebagai tokoh Thian San Pay, seharusnya, diapun diperlakukan cukup tinggi oleh kalangan pendekar yang sedang bersatu waktu itu.

Rombongan Tang Hauw Sek yang berjumlah 9 orang termasuk Hauw Sek sendiri, kini mulai memasuki kaki gunung Thian San dan berarti mulai memasuki kawasan yang berada dalam lingkungan perguruan mereka. Tetapi, pada pos penjagaan pertama di kaki gunung, dari 7 orang murid yang berjaga, ketujuhnya bersikap aneh kepada Tang Hauw Sek.

Tetapi kondisi ini tidak diperhatikan secara saksama oleh Tang Hauw Sek, dan begitu seterusya sampai memasuki Pos Penjagaan ketujuh, yang sudah berada di areal markas utama Perguruan Thian San Pay. Meski belum di puncak gunung Thian San, tetapi keadaan di markas atau bangunan utama Thian San Pay sudah teramat dingin. Dan bagi orang-orang biasa, jangan harap sanggup bertahan lama atau berdiam lama di daerah tersebut.

Dan di pos penjagaan terakhir yang dijaga oleh 5 orang murid angkatan pertama atau murid langsung Ciangbunjin yang berjaga disana. Tetapi, sebagaimana Pos Penjagaan pertama sampai keenam, di Pos Penjagan ini, keadaanpun cukup aneh. Ke lima orang murid angkatan pertama atau murid keponakan Tang Hauw Sek tersebut memang memberi hormat, tetapi dengan wajah yang aneh seperti memendam beban berat.

Setelah melalui 6 pos penjagaan, baru di Pos terkahir ini Tang Hauw Sek agak memperhatikan keadaan para penjaga itu. Terlebih, karena sebagai murid keponakan, ke-5 murid itu memang sesekali memperoleh pengarahan darinya, sehingga praktis hamper semua murid angkatan pertama yang berjumlah 23 orang, dikenal semua oleh Tang Hauw Sek.

Tapi, kelima murid ini, memberi hormat dengan wajah yang kurang wajar, bahkan seperti menyembunyian sesuatu. Bahkan, salah seorang diantara kelima murid itu, bahkan sama sekali tidak dikenalnya, atau asing wajahnya. Karena itu, dengan segera Tang Hauw Sek bertanya:

“Hei, engkau, siapa namamu”?

“Tecu bernama Liok Cau Sui, menemui Susiok” tetapi gaya menghormat orang itu tidak mengesankan dia sednag berhadapan dengan orang yang benar layak dihormatinya. Seadanya.

“Sejak kapan Murid Angkatan Pertama memiliki nama asing seperti engkau”?

“Maaf susiok, tecu baru diangkat menjadi murid oleh Ciangbunjin atas usulan Tee Kong suheng”

“Hm, maksudmu engkau direkomendasikan Tee Kong menjadi murid Ciangbunjin Thian San Pay”?

“Benar susiok”

Tang Hauw Sek menjadi semakin bingung dengan keadaan Thian San Pay. Menerima murid di angkatan pertama adalah maha sulit selama ini di Thian San Pay. Mengapa seorang Liok Cau Sui bisa dengan mudah menjadi murid angkatan pertama? Bahkan tanpa sepengetahuan dirinya pula. Sungguh memang sesuatu yang aneh nampaknya sedang tejadi.

“Baiklah, aku ingin memasuki markas dan menemui Ciangbunjin” ujar Tang Hauw Sek kemudian, dan bersiap memasuki markas. Betapapun sudah cukup lama dia meninggalkan gunung Thian San, dan dia sendiri sudah merindukan suasana di perguruannya tersebut:

“Silahkan Susiok” secara serentak ke lima murid angkatan pertama menyambut. Tetapi, mata jeli Hauw Sek sempat melihat salah seorang murid angkatan pertama yang cukup dekat dengannya memberi kode tanda ada sesuatu yang tak beres kepadanya. Dan hatinya tecekat oleh isyarat tersebut.

Isyarat dari seorang yang dikenalnya dekat dan seperti memperingatinya bahwa ada sesuatu yang berbahaya didalam sana. Tetapi, seberbahaya apapun, Hauw Sek memutuskan tetap harus memasuki markas utama perguruannya. Itulah sebabnya dengan penuh kewaspadaan Tang Hauw Sek kemudian melangkahkan kakinya memasuki markas tersebut dan terus memasuki gerbang perguruan yang hanya dijaga oleh penjaga pintu dan terus berjalan menuju ruang utama.

Dan ketika ingin memasuki ruangan utama, atau ruangan tempat menghadap Ciangbunjin, Tang Hauw Sek kembali terkejut, karena bukan orang-ornag lama yang menjaga pintu masuk tersebut. Bahkan, Wakil Ciangbunjin yang seharusnya menyambut pertama kali sebelum bertemu Ciangbunjin, juga tidak kelihatan batang hidungnya.

Sebaliknya, yang menjaga pintu tersebut adalah sepasang orang yang telah paro baya, tetapi nampak masih gagah tubuhnya, tetapi sikap dan pandangan mereka kearah Tang Hauw Sek nampak tidaklah menghormat. Perasaan Hauw Sek semakin tidak enak. “Sesuatu memang telah terjadi, tetapi entah apa sesuatu itu” pikirnya.

“Menghadap Ciangbunjin suheng” Tang Hauw Sek menjalankan tata karma perguruannya, yakni menghormati Ciangbunjin sebelum memasuki ruangan tempat sehari-hari Ciangbunjin Thian San Pay menerima kunjungan siapapun secara resmi. Karena Hauw Sek baru pulang dalam bertugas, maka dia harus menemui Ciangbunjinnya secara resmi.

“Thian San Pay Ciangbunjin sedang berhalangan dan sakit, karena itu telah dimandatkan kepada Tee Kong sebagai Wakil CIangbunjin untuk mengurus urusan keseharian Thian San Pay” salah seorang dari kedua penjaga pintu itu memberi keterangan. Keterangan yang menyentakkan Hauw Sek ….. Dia mengenal sekali suhengnya, Thian San Sin Kiam (Pedang Sakti Thian San) Tik Bong Peng, dan tidaklah mungkin suhengnya itu meninggalkan pekerjaan hanya untuk urusan kecil.

Apalagi, dia semakin kaget karena Tee Kong bahkan sudah menjadi Wakil Ciangbunjin. Jika demikian, kemana perginya Wakil Ciangbunjin Yap Jiu Pek suheng”? Keraguannya semakin memuncak dan semakin ingin bertemu Ciangbunjin Thian San Pay. Tetapi, tata kramanya, dia harus melaporkan pekerjaannya kepada Ciangbunjin Thian San Pay atau siapapun yang mewakilinya.

“Baiklah, Tang Hauw Sek, mohon bertemu dengan Wakil Ciangbunjin mewakili Thian San Ciangbunjin” Tang Hauw Sek mengajukan permohonan. Dan kedua penjaga ruangan masuk Ciangbunjin yang masih asing bagi Hauw Sek nampak berpikir sebentar. Tetapi, tak lama kemudian keduanya saling mengangguk dan membukakan pintu bagi Tang Hauw Sek untuk masuk menemui pelaksana tugas Ciangbunjin Thian San Pay yang sekarang dilaksanakan oleh Tee Kong, murid Angkatan Pertama Thian San Pay.

“Tang Hauw Sek menghadap Wakil Ciangbunjin”

“Silahkan Tang Hauw Sek susiok, berita apakah yang engkau bawa dari hasil pekerjaanmu selama beberapa bulan terakhir”? Tee Kong yang biasanya menghormat, kali ini berbicara sebagai atasan kepada susioknya yang dia tahu rada angkuh ini. Dan Hauw Sek sungguh gemas dengan keadaannya saat ini, tetapi dia perlu tahu keadaan Thian San Pay dan Ciangbunjin Suhengnya.

“Dalam menjaga nama besar Thian San Pay, bersama 15 murid Thian San Pay, kami sudah bertarung mati-matian melawan pengganas Thian Liong Pang. Kami memang kehilangan 6 murid dalam pertempuran tersebut maut tersebut, tetapi juga mampu mendesak mundur Thian Liong Pang selama beberapa minggu terakhir ini”

“Sudahkah susiok mendengar terintah terakhir mengenai keterlibatan Thian San Pay dalam pertempuran tersebut”? Tee Kong memotong dengan cepat laporan Tang Hauw Sek

“Sudah wakil Ciangbunjin, dan karena itu dengan cepat kami meminta diri dari persekutuan para pendekar untuk segera kembali ke Markas. Bolehkah kami mengetahui alasan Thian San Pay untuk menarik diri dari persekutuan itu, dan bagaimana pulakah keadaan Ciangbunjin Suheng”?

“Hahahaha, susiok, Thian San Pay harus melihat kemana arah angin bergerak. Rasanya Susiok masih mengerti pepatah ini. Atas perkenan Ciangbunjin, kami telah melihat bahwa kekuatan utama Thian Liong Pang mulai dikerahkan, sementara kekuatan utama kaum pendekar semakin terjepit. Ketimbang menanggung beban diserbu dan dibumihanguskan Thian Liong Pang, maka Thian San Pay merubah kebijakannya untuk tidak terlibat alias netral.”

“Wakil ciangbunjin sutit, tapi apakah nama besar Thian San Pay akan dikorbankan”?

“Tidak Susiok, lebih baik engkau sadar baha ini kebijakan tepat Thian San Pay. Bahkan bila mungkin, aku setuju membantu Thian Liong Pang, tetapi Ciangbunjin belum menginjinkan. Kita sama lihat aranya dalam berapa waktu kedepan nanti”
Betapapun angkuh dan sombognya, Hauw Sek sadar, bahwa dia harus menjaga diri akibat belum diketahuinya perkembangan teakhir. Karena itu, sedapat mungkin dia menahan amarahnya dan kemudian bertanya:

“Wakil CIangbunjin, bolehkah aku bertemu dengan Ciangbunjin”?

“Kenapa tidak, lebih baik engkau segera bertemu Susiok. Huang Ting Kok .,….”

“Siap wakil CIangbunjin” salahs eorang penjaga pintu utama bergegas masuk dan memberi hormat kepada Tee Kong

“Antarkan dan temani Susiok Tang Hauw Sek untuk bertemu dengan Ciangbunjin” perintah Tee Kong bukan cuma mengantar tetapi juga menemani. Sementara itu, Tang Hauw Sek terkejut, karena langkah kaki orang yang dipanggil Huang Ting Kok demikian ringan, tand abahwa kepandaiannya tidaklah ringan. “Heran, siapa orang-ornag ini sebenarnya”? piker Hauw Sek semakin curiga dan berhati-hati.

“Mari, silahkan” Huang Ting Kok mempersilahkan Tang Hauw Sek untuk mengikutinya. Dan seperti yang telah diduga oleh Hauw Sek, Ciangbunjin memang berada dalam sebuah ruangan khusus, ruangan orang sakit yang dijaga dengan sangat ketat. Dimana-mana bahkan Hauw Sek melihat banyak sekali ornag yang tidak dikenalnya yang berjaga-jaga, seakan takut Ciangbunjin Thian San Pay ini meloloskan dirinya.

Tang Hauw Sek diantarkan dan terus ditemani Huang Ting Kok bahkan hingga memasuki kamar tempat pengobatan dilakukan terhadap Ciangbunjin Thian San Pay itu. Dan alangkah terharunya Tang Hauw Sek melihat keadaan suhengnya yang tubuhnya sudah susut jauh, padahal usianya baru menjelang 60 tahunan dan waktu ditinggalkannya masih sangat gagah memimpin Perguruan.

Bahkan ketika dengan perlahan dan sangat susah Ciangbunjin Thian San Pay ini akhirnya bangun, tetapi sinar matanya sudah pudar dan seperti tanpa semangat. Tetapi, begitu mengenali Tang Hauw Sek, segera dia sadar dan sekilas sorot mata penuh harap terpancar dari matanya. Tetapi, melihat keberadaan Huang Ting Kok yang dengan cermat mengawasinya, membuat Thian San Sin Kiam Tik Bong Peng, Ciangbunjin Thian San Pay itu sadar diri dan menjadi awas. Dia memandang sute terbungsunya itu penuh haru dan berkata:

“Bagaimana keadaanmu sute”?

“Baik-baik saja suheng, bagaimana suheng bisa terkena penyakit seperti ini, dan apa sebenarnya penyakit itu suheng”?

“Biasalah, ini penyakit orang tua. Dan nampaknya kesehatanku memang sudah lama semakin mundur, dan sudah waktunya terjadi pergantian kepemimpinan di Perguruan kita” Thian San Sin Kiam nampak mencoba menerima keadaan, tetapi Hauw Sek yang mengenal suhengnya luar dalam semakin paham bahwa kedudukan mereka memang sedang runyam. Toa suhengnya yang bijaksana dan sakti inipun nampak sednag tidak sanggup memikirkan apa apa, sementara dia sendiripin kurang tahu bagaimana keadaan perguruannya sekarang ini.

“Ciangbunjin Suheng, mengapa demikian banyak tokoh baru yang nampak berkeliaran d Thian San Pay? Apakah Ciangbunjin Suheng menerima banyak murid baru dalam 6 bulan teakhir ini”?

“Ach sute, perguruan kita semakin mundur. Itu sebabnya terpaksa penerimaan tokoh baru menjadi intensif akhir-akhir ini. Nampaknya kebijaka itu cukup berarti juga, ada gunanya ,…. ada gunanya” Thian San Sin Kiam berguma, tetapi sang sute yang sangat mengenal suhengnya tahu belaka, bahwa suhengnya tidak berani mengatakan sesuatu.

“Baiklah jika demikian kebijakan suheng. Adakah hal lain yang perlu kulakukan suheng”?

Nampak Thian San Sin Kiam berdiam diri sejenak, matanya meneawang seperti sedang memikirkan sesuatu. Sementara Huang Ting Kok dengan rajin mengawasi kedua kakak beradik perguruan ini dalam bercakap-cakap. Tak ada satu detailpun yang berusaha dilewatkannya, termasuk mengawasi gerak-gerik kedua suheng-sute itu. Sampai kemudian terdengar keheningan dipecahkan oleh suara Thian San Sin Kiam:

“Sute, aku tiba-tiba teringat cerita suhu. Ingatkah engkau ketika suhu menceritakan peristiwa Gua Pedang kepada kita puluhan atau ratusan tahun sebelumnya”? wajah tokoh tua itu tenang tanpa ekspresi, tetapi Hauw Sek yang bergetar mendengar cerita itu. Untung dia sadar, Ciangbunjin Suhengnya sepertinya sedang berusaha memberitahunya sesuatu. Huang Ting Kok juga menjadi tegang, tetapi karena dia tidak mengerti sedikitpun cerita Persitiwa Gua Pedang, membuatnya bertanya-tanya.

“Maksud Ciangbunjin Suheng, peristiwa perebutan Ilmu Pusaka Thian San Pay ratusan tahun sebelumnya”? Hauw Sek membantu untuk ikut bersandiwara, dan Huang Ting Kok menjadi ikut berselera

“Benar sute, aku khawatir jangan-jangan kejadian semacam itu akan terulang lagi. Jadi, harap engkau lebih berhati-hati”

“Maksud Ciangbunjin Suheng”?

“Bantulah Tee Kong untuk mengatasi terjadinya peristiwa serupa itu” desis Thian San Pay Ciangbunjin. Tetapi, dengan desisan itu, Hauw Sek segera paham, bahwa keadaan memang sedang genting. Sebagai tokoh Thian San Pay, sudah tentu Hauw Sek mengerti cerita Peristiwa Gua Pedang dan maknanya dalam sejarah Perguruan mereka. Apalagi, karena gurunya pernah beberapa kali mengingatkan mereka mengenai cerita yang mengawali keruntuhan Perguruan mereka hingga mereknya jatuh seperti sekarang.

Cerita Gua Pedang bagi Thian San Pay dan terutama bagi Tik Bong Peng dan Tang Hauw Sek sudah tentu memiliki pemahaman yang sama. Beda dengan Huang Ting Kok yang sama sekali tidak paham akan kisah tersebut. Untungnya, kisah itu hanya diwariskan kepada angkatan Ciangbunjin, dan baru ketika suatu angkatan memiliki Ciangbunjin, maka angkatan tersebut akan diberitahu. Makanya, mana mungkin Huang Ting Kok mengerti? Dan penyebutan kisah itu, membuat Tang Hauw Sek paham, bahwa kejadian yang mirip nampaknya sedang terjadi.

Kisahnya, pada 100an tahun sebelumnya, salah seorang dari murid utama Ciangbunjin secara diam-diam ternyata belajar ilmu rahasia perguruan. Murid tersebut adalah adik kembar dari murid utama yang dicalonkan untuk kelak menjadi pewaris jabatan Ciangbunjin. Tetapi, kakak beradik kembar itu ternyata memiliki karakter yang bertolak belakang.

Adik kembar tersebut, ternyata sering diam-diam mengintip kakaknya berlatih, bahkan juga belajar dari “Gua Pedang” Thian San Pay yang terlarang karena disana dikurung salah seorang tokoh sesat asal Thian San Pay. Setelah masak beajar dari tokoh sesat itu, dia kemudian menghasilkan keributan besar karena berusaha merebut jabatan Ciangbunjin dengan terlebih dahulu membebaskan tokoh sesat Thian San Pay yang masih suheng dari Ciangbunjin waktu itu.

Ciangbunjin kemudian diracuni dan ditahan ketika murid utamanya, kakak kembar si penghianat bertugas keluar selama sebulan. Betapa kagetnya sang kakak kembar ketika kembali dan menemukan betapa adik kembarnya sudah mendeklarasikan diri sebagai “Pelaksana Ciangbunjin” dengan menahan dan meracuni gurunya sendiri. Alias telah berkhianat.
 
3




Tetapi, Kakak Kembar si penghianat yang memiliki hubungan yang dekat dengan gurunya, dengan segera mencium ketidakberesan itu lewat sekali pertemuan dengan gurunya. Bahkan, 5-6 kalimat gurunya yang maha bijaksana dan sakti itu, membuat dia paham apa yang terjadi. Hebatnya, keenam kalimat itu, sekaligus adalah rahasia ilmu silat Thian San Pay dan rahasia melawan tokoh sesat di Thian San Pay.

Selama 3 bulan, sang Kakak kembar berpura-pura tidak tahu meskipun kondisinya semakin terang dan jelas. Tetapi, karena kalimat rahasia itu belum disempurnakannya, maka dia menunggu waktu yang tepat sambil terus berhubungan dengan saudara perguruannya yang lain.

Penyimpangan di Thian San Pay memang sudah meresahkan, bahkan beberapa anak murid Thian San Pay menghilang secara misterius, atau bahkan ada yang terbunuh dengan tusukan istimewa yang hanya diketahui oleh sedikit tokoh Thian San Pay belaka. Ilmu pedang Thian San Pay yang istimewa yang hanya dikuasai oleh Ciangbunjin semata.

Tetapi, sang Kakak Kembar yang merasa berdosa terhadap Thian San Pay akibat penghianatan adiknya, pada akhirnya tampil menantang adik kembarnya yang takabur itu. Dan di Gua Pedang itulah mereka bertempur dengan disaksikan oleh 7 murid utama Ciangbunjin lainnya pada masa itu.

Sang Kakak memenangkan pertempuran tersebut dan kemudian menghukum sang adik dengan membuntungi kedua tangannya dan menjebloskanya kedalam penjara Gua Pedang. Bahkan, ketika tokoh sesat Thian San Pay membela adiknya, secara luar biasa, si Kakak melawan dan mengalahkannya dengan ilmu mujijat Thian San Pay, Ilmu Pedang Terbang yang diyakinkannya selama 3 bulan terakhir di bawah petunjuk tesembunyi Ciangbunjin yang diracuni dan tertawan itu.

Thian San Pay akhirnya terselamatkan, tetapi Ciangbunjin yang memiliki kesaktian istimewa itu berpulang 2 tahun setelah peristiwa memalukan itu tertangulangi. Baik karena racun yang diakibatkan oleh penahanan atas dirinya, maupun karena kecewa atas penghianatan muridnya serta penolakan sang Kakak Kembar yang malu menjadi Ciangbunjin setelah adik kembarnya berhianat.

Setahun setelah kejadian itu, si Kakak Kembar berhasil menguasai ilmu rahasia Thian San Pay dan berjanji menjadi “Pelindung Utama” Thian San Pay dan tetap menolak untuk menduduki kurisi Ciangbunjin Thian San Pay.

Dan setahun kemudian, gurunya yang bijaksana dan sakti itu meningal dunia setelah mengangkat salah seorang muridnya menjadi pengganti Ciangbunjin Thian San Pay. Setelah beberapa tahun, sang Kakak Kembar kemudian berkelana dan di dunia persilatan dan terkenal kemudian dengan nama KAKEK DEWA PEDANG.

Cerita “Gua Pedang” di atas, adalah cerita tersamar yang ingin disampaikan Thian San Sin Kiam mengenai keadaan Thian San Pay saat ini kepada Tang Hauw Sek. Dan Hauw Sek dengan segera paham, bahwa Thian San Pay sedang terancam mara bahaya. Dan nampaknya, Tee Kong adalah penghianat yang ingin mengangkangi jabatan Ciangbunjin, dan karena itu dia menahan dan memperlakukan Ciangbunjin sebagai orang sakit.

Sudah tentu Huang Ting Kok tidak mengetahui cerita tersebut, yang dipikirkannya justru hanyalah “Pusaka di Gua Pedang” tanpa tahu bahwa tempat itu adalah penahanan tokoh-tokoh sesat Thian San Pay. Dan dengan demikian, Tang Hauw Sek akhirnya paham apa yang sedang terjadi dan nampaknya, tergantung kepadanya apa yang akan terjadi pada masa mendatang di Thian San Pay.

Meski merasa kurang berkemampuan, tetapi Hauw Sek memiliki semangat. Dan karena itu dengan bekal pengalamannya selama ini, Hauw Sek mencoba memikirkan langkah apa gerangan yang harus diambilnya. Terutama karena dia sadar, dirinya pasti akan selalu dikuntit dan dibuntuti lawan, sementara dia kurang tahu dan kurang mengenal, siapa-siapa saja yang sudah ikut mendukung Tee Kong.

Keesokan harinya, desas-desus soal Gua Pedang di Thian San Pay menjadi santer. Siapa lagi jika bukan karena pekerjaan Huang Ting Kok? Tetapi, Hauw Sek nampak justru lebih adem, lebih anteng dan lebih bisa menahan diri. Cerita Gua Pedang suhengnya, mengingatkan dia betapa Kakek Dewa Pedang harus menahan diri selama 3 bulan, untuk berlatih dan mengenal bagaimana keberpihakan murid-murid Thian San Pay.

Sementara cerita Gua Pedang, untuk saat ini, selain dia dan Ciangbunjin, relatif tiada lagi yang tahu. Karena angkatan dia dan suhengnya yang tertingal hanyalah mereka bertiga, yakni Ciangbunjin, wakil Ciangbunjin dan dirinya sendiri. Selain itu, sebenarnya mereka masih memiliki 2 saudara seperguruan yang lain, tetapi keduanya sudah lama mengembara dan hidup di tempat lain secara terpisah. Sementara ini, wakil Ciangbunjin menurut pendengaran Tang Hauw Sek, sudah mati entah dengan cara bagaimana.

Karena itu, soal Goa Pedang dipastikan tiada satupun murid yang paham dan mengerti soal keberadaannya. Lagipula, toch tiada satu barangpun yang perlu diselamatkan dari Goa tersebut. Tetapi, suatu saat Tee Kong kemudian memanggilnya:

“Susiok, benarkah ada legenda dan cerita mengenai Goa Pedang di Thian San Pay kita”? tidak malu-malu, dan tidak menghormat lagi Tee Kong dalam menanyai Tang Hauw Sek

“Benar wakil Ciangbunjin. Goa itu, sebenarnya bukan Goa penyimpanan barang, karena penyimpanan barang dan pusaka Thian San Pay, sudah diketahui oleh wakil Ciangbunjin. Goa Pedang dimaksudkan sebagai peringatan, agar semua murid utama Thian San Pay berusaha mencapai puncak tertinggi ilmu pedang Thian San Pay” jelas Hauw Sek. Dan penjelasannya memang tidak salah, penjelasan itu penjelasan standar. Yang mengetahui tragedy Goa Pedang hanya mereka beberapa orang saja.

“Apa benar demikian, dan untuk apa Ciangbunjin sampai mengingatkanmu soal Goa Pedang jika hanya karena soal itu”? Tee Kong jelas seorang yang cerdik

“Wakil Ciangbunjin, Thian San Pay merosot tajam, soal dan masalah susul menyusul, apa sebabnya? Nampaknya menurut Ciangbunjin Suheng, dikarenakan latihan dan bibit pendekar Thian San Pay mengalami kemerosotan. Seperti itu juga dulu mendiang suhu mengingatkan kami suheng sute pada masa lalu mencermati kemerosotan Thian San Pay” jawaban Hauw Sek cukup meyakinkan.

“Engkau yakin bukan kaena sebuah rahasia susiok”? Tee Kong tetap mengejar dan menekan Hauw Sek

“Sangat, sangat yakin malahan”

“Hm, baiklah. Biarlah kuselidiki untuk sementara cerita tersebut, suatu saat kita akan tahu bersama makna dibalik cerita Gua Pedang. Baiklah susiok, terima kasih atas informasimu. Aku harus menemui seornag tamu lainnya, silahkan Susiok” dengan cara tengil, Tee Kok mempersilahkan Susioknya, Tang Hauw Sek untuk meninggalkan ruangan. Meskipun sebal dan murka, tetapi sedapat mungkin Tang Hauw Sek menahan diri.

Tetapi, hari-hari selanjutnya, kesabaran dan kemengkalan Tang Hauw Sek menghasilkan buah. Beberapa anak muridnya menghubungi secara rahasia dan memberi tahu, bahwa ada beberapa tokoh lihay, yang malah jauh lebih lihay dari Tee Kong yang bersembunyi di Thian San Pay. Tetapi, murid Thian San Pay yang membelot hanya sedikit, sebagian terbesar masih tetap setia.

Hanya, pihak musuh menambah jumlah pndukungnya dari luar, tetapi itupun tidaklah cukup banyak. Pengetahuan dan informasi ini, kemudian terus berlanjut dari waktu ke waktu dan semakin membesarkan hati Hauw Sek untuk merencanakan pembalasan. Dan menjadi lebih besar lagi harapan Hauw Sek ketika pada malam hari ke-7 dia kembali ke Thian San Pay, secara aneh dan tidak terduga tahu-tahu dalam kamarnya telah bertambah 2 orang.

Entah dengan cara bagaimana datangnya kedua orang tersebut, yang pasti tahu-tahu keduanya sudah berada di hadapanya, menyapanya, dan nampaknya keduanya adalah orang yang telah dikenalnya. Dan yang lebih penting, keduanya kelihatannya tidak datang dengan niat buruk kepadanya:

“Tang Locianpwee, maafkan kami mengejutkan locianpwee di malam seperti ini. Kami berdua, Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan terpaksa betindak tidak sopan karena keadaan Thian San Pay sungguh sangat mengejutkan” adalah Liang Tek Hoat yang dengan cepat memperkenalkan diri agar keadaan tidak berubah menjadi mengejutkan dan menggembarkan. Tetapi, Tek Hoat menyampaikannya dengan lirih, dan nampaknya Hauw Sek cukup mengerti.

“Ach, kiranya Liang Tayhiap dan Liang Lihiap kakak beradik. Nampaknya persoalan Thian San Pay akan bisa terselesaikan” di luar dugaan Tek Hoat, Tang Hauw Sek sekarang berubah banyak. Watak angkuh dan sombongnya seperti menguap entah kemana, dan pertama kali inilah dia mendengar sebutan “Tayhiap” bagi dirinya dari tokoh utama Thian San Pay ini yang dulunya terkenal sombong bukan main.

“Locianpwee, kami telah mengawasi keadaan Thian San Pay selama 3 hari terakhir ini. Keadaannya sungguh kurang wajar, tetapi nampaknya penjelasan terbaik mesti ditanyakan kepada locianpwee” kembali terdengar bisikan lirih yang kali ini dari Liang Mei Lan
“Benar lihiap, tetapi bahan tempat ini sendiripun tidaklah aman lagi” bisik Tang Hauw Sek dengan sedikit gelisah.

“Jangan takut locianpwee, radius 10 meter dari tempat ini masih bisa kami control. Locianpwee cukup menceritakan keadaan sambil berbisik, biar nanti aku yang mengamati keadaan d luar” tegas Mei Lan

“Koko, sebaiknya engkau yang bercakap dengan Tang locianpwee” bisik Mei Lan lirih ke Tek Hoat kakaknya.

“Baik moi-moi”

Dan selanjutnya sementara Mei Lan berkelabatan ringan kesana-kemari dan menggunakan ketajaman indranya untuk mengontrol keadaan sekitar, Tek Hoat dan Tang Hauw Sek melanjutkan percakapan keduanya soal keadaan Thian San Pay yang terakhir. Tang Hauw Sek yang sudah mengenal kesaktian kakak beradik ini sudah tumbuh harapannya untuk membersihkan Thian San Pay, karena itu dia menceritakan kondisi Thian San Pay sejelas-jelasnya.

Bahkan termasuk rahasia Goa Pedang yang pernah digunakan oleh Ciangbunjin suhengnya sebagai isyarat bahaya bagi perguruan mereka. Bahkan termasuk informasi murid-muridnya bahwa ada beberapa tokoh lihay yang berada di Thian San Pay dewasa ini.

“Hm, sudah diduga. Kelihatannya peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan Thian Liong Pang Tang locianpwee” desis Tek Hoat

“Lohu juga sudha menduga demikian, hanya sampai sekarang hanya Tee Kong yang munculkan diri. Sama sekali tiada tokoh Thian Liong Pang yang munculkan diri dan membuat semua dalang dibalik kisruh ini bisa ditebak”

“Ach, bukan Thian Liong Pang dalangnya jika begitu mudah ditebak ekornya locianpwee. Aku yakin benar, tokoh-tokoh itu pasti bersembunyi disini setelah dikejar kemana-mana mereka tiba-tiba menghilang. Atau sebagian bersembunyi disini, sebagian lagi pastilah berada di Tiam Jong Pang. Tetapi, bagaimana mungkin mereka bisa menghilang secepat itu dari Tionggoan dibawah pengawasan ketat dari kami berlima?”

“Benar tayhiap, kelihatannya mereka menggunakan keberadaan Thian San Pay dan Tiam Jong Pang untuk bersembunyi dan mengalihkan serangan para pendekar. Sangat mungkin, di Kwi Cu kita sudah dekat markas besar mereka. Dan untuk menyelamatkan diri, mereka mengalihkan perhatian kita dari Kwi Cu”

“Tepat locianpwee, akupun berpikiran demikian. Dan jika begitu, maka konsentrasi kekuatan merekapun terpecah dua, di Thian San Pay dan Tiam Jong Pang” analisa Tek Hoat

“Dalam keadaan kekuatan mereka terpecah dua, sementara murid Thian San Pay dalam hitungan kami masih ada 400an yang setia, maka kekuatan mereka disini nampaknya bisa dipatahkan” Hauw Sek sambil merenung.

“Untuk urusan menghadapi tokoh asing yang menyusup, terpaksa merepotkan tayhiap dan lihiap” lanjut Hauw Sek

“Jangan khawatir locianpwee, tanpa dimintapun kami pasti membantu dengan segenap kekuatan. Karena bukan hanya untuk kepentingan Thian San Pay, tetapi untuk kepentingan umat persilatan di Tionggoan” tegas Tek Hoat

“Terima kasih, terima kasih, biarlah aku bersujud kepada kalian atas nama seluruh anak murid Thian San Pay” tetapi, baru saja Tang Hauw Sek berusaha untuk bersujud guna menyatakan rasa terima kasihnya, tiba-tiba terdengar suara lirih dari Mei Lan:

“Ada orang lihay datang”

Dengan serentak ketiganya menahan nafas dan berdiam diri, tetapi Tek Hoat dan Mei Lan napak sangat serius mengikuti perkembangan. Bahkan sempat terdengar desisannya kaget:
“Subo”?, sempat kakinya berjengkit untuk berdiri, tetapi tiba-tiba dia sadar sesuatu dan kemudian dia tersenyum.

Dia lupa, jika subonya berlari, siapakah gerangan yang mampu menyandaknya? Siapakah yang mampu mengejar si “Jago Ginkang Nomor Wahid” dewasa ini? Tetapi, yang membuat Mei Lan selanjutnya menjadi terperangah, adalah karena dia menyadari bahwa kecepatan subonya menjadi lebih hebat dan lebih aneh saat ini.

Dan, lebih kaget lagi, karena pengejarnya kelihatannya juga memiliki ginkang yang luar biasa, bahkan mungkin sejajar dengannya saat ini. “Siapa gerangan tokoh itu”? bukan tak ada maksud Subo berlari dekat rumah ini, apa maksud Subo sebenarnya”?

“Moi-moi, apa maksudmu dengan berdesis “subo” tadi”? Tanya Tek Hoat

“Koko, engkau tahu, siapa pemilik ginkang terhebat saat ini”?

“Liong-i-Sinni, guru keduamu, tapi ……” Tek Hoat berkata sambil memandang Mei Lan dengan bingung ….

“Benar, tidak salah lagi. Pemilik ginkang seperti tadi hanya Subo seorang dan aku muridnya” desis Mei Lan

“Maksud lihiap, Liong-i-Sinni, si pertapa sakti itu juga berada disini” Tanya Tang Hauw Sek harap-harap cemas. Sudah tentu, jika benar, maka harapan Thian San Pay terselamatkan semakin besar. Siapa yang tidak mengenal nama besar dan kesaktian Liong-i-Sinni yang berkibar sejak puluhan tahun silam?

“Benar locianpwee, tidak salah lagi, tokoh tadi yang berkelabat menjauh adalah Subo. Tetapi, apa gerangan maksud Subo mendekati tempat ini dan kemudian berkelabat menjauh? Apakah subo telah mengikuti kita berdua selama beberapa hari ini koko”?

“Jika tidak salah, ya. Nampaknya dia mengikuti kita beberapa hari terakhir dan ingin memberitahu sesuatu kepadamu”

“Tapi, pengejar Subo barusan, juga adalah seorang tokoh luar biasa. Bahkan ginkang pengejar itu tidak berada dibawahku koko”?

“Maksudmu”? Tek Hoat terkejut

“Tokoh yang mengejar subo, meski tidak sehebat subo, tetapi termasuk tokoh luar biasa dewasa ini, entah siapa dia gerangan” jelas Mei Lan.

Kembali ketiganya terdiam, dan dalam ketegangan memikirkan apa yang baru saja terjadi. Tetapi beberapa sat kemudian, tiba-tiba Tek Hoat bertanya lirih kepada Tang Hauw Sek:

“Locianpwee, adakah tempat bersembunyi yang aman di temat tinggalmu ini”?

“Ada tayhiap, mengapa ada apakah”? Tanya Hauw Sek

“Ada beberapa orang yang sedang datang kemari untuk menemui locianpwee, nampaknya lawan”
“Hm, baiklah. Mari ….” Hauw Sek kemudian berdiri dan berjalan ke belakang tempat biasa dia duduk, menggeser beberapa perabot dan lukisan gunung, dan nampaklah sebuah tombol kecil yang kemudian dipencetnya. Dan sebuah ruang rahasia telah terbentang, untuk kemudian Tek Hoat dan Mei Lan masuk kedalamnya, sementara Tang Hauw Sek kembali menata sebentar ruangannya dan menantikan orang-orang yang akan datang menjumpainya.

Benar saja, tidak sampai beberapa menit, 2 orang yang selama ini dikenal Hauw Sek berjaga di ruang masuk menemui Ciangbunjin telah datang menjemputnya:

“Atas perintah “Pelaksana Ciangbunjin” meminta kehadiran Tang Hauw Sek ke ruangan Ciangbunjin, ada urusan penting yang harus dirundingkan”

“Baik, lohu segera datang” Hauw Sek tidak berlama-lama, dan tidak bermaksud bertanya macam-macam hal. Tetapi, diam-diam dia bercuriga, bahwa bukan tidak mungkin kehadiran kedua pendekar muda, dan Liong-i-Sinni menimbulkan keguncangan bagi para penghianat itu. Karena itu, Hauw Sek malah menjadi lebih bersemangat, dan hilanglah sebagian kecemasannya pada hari-hari yang telah lewat. Siapa pula yg tidak gentar bila tokoh aliran putih sekaliber Liong-i-Sinni campur tangan?

Dan benar dugaannya. Begitu dia menghadap si Pelaksana Ciangbunjin yang nampaknya mengangkat dirinya sendiri, Tee Kong, dia sudah disambut dengan nada kurang menyenangkan:

“Apakah engkau yang mengundang tokoh-tokoh lihay untuk meluruk ke Thian San Pay susiok”?

“Hm, apa maksudmu”?

“Dua hari terakhir, ada beberapa tokoh lihay yang menyatroni Thian San Pay susiok, entah siapa yang harus bertanggungjawab atas semua kejadian ini”?

“Thian San Pay adalah perguruan terbuka, mengapa pula kita harus ketakutan jika ada tokoh-tokoh lihay dan tokoh esar sahabat yang mendatangi Thian San untuk sekedar menyambangi dan membangun persahabatan”? Tang Hauw Sek malah balik bertanya

“Benar, memang kita partai terbuka, tetapi dalam kondisi Ciangbunjin sedang sakit, kita kurang leluasa menerima tamu dari luar”

“Jika demikian, sudah ada berapakah tamu dari luar yang minta bertemu dengan Ciangbunjin sejauh ini”? Hauw Sek bertanya

“Hm, susiok, aku hanya bertanya apakah benar tamu-tamu tersebut memang datang atas undanganmu”?

“Sejak dari awal, kami sudah buru-buru pulang ke Thian San, mana ada lagi kesempatan mengundang tamu segala untuk daang ke Thian San”?

“Hm, baiklah bila memang bukan susiok yang mengundangnya. Kami hanya heran, mengapa begitu banyak tamu dan tokoh asing yang berkeliaran di Thian San akhir-akhir ini” Tee Kong nampak agak bergelisah, tetapi kurang leluasa untuk mengutarakannya kepada Hauw Sek, dan Hauw Sek sendiri tahu benar apa sebabnya.

“Baiklah susiok, bila memang bukan susiok, tidak apa-apa. Tetapi, dalam waktu dekat ini, aku meminta susiok untuk menunjukkan dan menjelaskan hingga terang persoalan Gua Pedang kita. Ciangbunjin sudah mengijinkannya dan meminta Susiok yang melakukannya untukku”

Tang Hauw Sek agak tersentak sebenarnya dengan permintaan Tee Kong tersebut. Meskipun bahkan Tee Kong adalah Pelaksana Ciangbunjin dewasa ini, tetapi mendengar perijinan dari Ciangbunjin sudah turun, mau tak mau Hauw Sek menjadi bimbang hati. Dan karena itu, dengans egera dia berkata:

“Apakah lohu boleh bertemu dengan Ciangbunjin hari ini”?

“Mengapa tidak, biarlah Huang Ting Kok yang menemani Susiok untuk mengunjungi Ciangbunjin kita”

“Terima kasih”

Dan dengan segera Tang Hauw Sek dengan didampingi Huang Ting Kok berjalan keluar dan selanjutnya menuju ke kamar Ciangbunjin Thian San Pay yang masih terbaring sakit. Tetapi, sang Ciangbunjin ketika diberitahu Tang Hauw Sek meminta ijin untuk bertemu, dengan segera memberi diri untuk ditemui dan bercakap-cakap.

Tang Hauw Sek menjadi terharu ketika masuk kedalam kamar sang Ciangbunjin dan melihat betapa wajak Toa Suheng yang menjabat Ciangbunjin itu semakin pucat dan semakin turun kondisi badannya. Betapapun, toa suhengnya inilah yang menjadi pengganti keluarganya sejak dulu, bahkan yang sering membelanya dihadpan guru mereka.

Karena itu, rasa hormatnya kepada toa suhengnya ini, bahkan melebihi rasa hormat secara structural, tetapi rasa hormat yang datang dari hati dan nurani.

“Ciangbunjin suheng, bagaimana keadaanmu sekarang ini”? Tanya Hauw Sek berkhawatir melihat kondisi toa suhengnya yang malah bukannya membaik.

“Rasanya keadaanku semakin memburuk sute, kondisiku semakin hari menjadi semakin memburuk. Pengobatan yang diupayakan Tee Kong nampaknya juga tidak banyak membantu. Engkau sendiri, bagaimana keadaanmu sute? Bagaimana pula keadaan murid-murid Thian San Pay? Adakah sesuatu yang penting terjadi akhir-akhir ini?

“Keadaanku baik-baik saja suheng. Menurut pelaksana Ciangbunjin, beberapa hari terkahir ini, banyak tokoh aneh dan lihay yang menyambangi Thian San Pay, tetapi sampai saat ini tidak terjadi apa-apa”

“Hm, dan bagaimana keadaan murid murid kita”?

“Sebagian besar masih baik-baik Ciangbunjin suheng, setidaknya itu yang kusaksikan beberapa hari terakhir ini”

Nampak Ciangbunjin tua, si Thian San Sin Kiam berdiam diri beberapa saat. Bahkan seperti sedang mengumpulkan tenaga dan semangat, dan sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikannya. Dan memang benar juga, Hauw Sek sempat membantunya sejenak, tetapi alangkah kagetnya, ketika mencoba menyalurkan tenaganya, tubuh Ciangbunjin suhengnya panasnya minta ampun.

Meksipun dari luar kelihatan biasa-biasa saja. Dan hal itu semakin mencurigakan hatinya, sebenarnya dengan racun apa dan dengan cara apa suhengnya dicelakai? Sungguh sulit dia memikirkannya. Sampai akhirnya kemudian, nampak Ciangbunjin Thian San Pay akhirnya mampu memperbaiki keadaannya dan kemudian memandang kepada Hauw Sek:

“Sute, ada hal yang ingin kusampaikan kepadamu. Hal yang terkait dengan Goa Pedang dan juga terkait dengan permintaan Tee Kong untuk menjelaskan Goa Pedang itu bagi Thian San Pay. Apakah engkau mengerti maksudku dengan cerita Goa Pedang dulu itu”?

“Jelas suheng, sangat jelas” tegas Tang Hauw Sek.

“Baiklah bila itu jelas bagimu, maka engkau juga jelas sute, bahwa dalam sejarah Thian San Pay, berada di Goa Pedang berarti penyelesaian beberapa urusan kita. Apakah engkau paham sute”?

Hauw Sek memandang wajah Toa Suhengnya, dan melihat betapa sinar mata suhengnya nampak berharap banyak kepadanya. Karena memang tinggal dia yan tersisa yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan urusan Thian San Pay dewasa ini. Dan kemudian, terdengar Ciangbunjin berkata lagi:

“Karena itu, maka kululuskan permintaan Tee Kong untuk dating ke Goa Pedang. Tetapi, karena aku sedang tidak berdaya, maka aku telah meminta kepada Tee Kong, agar engkau sute, atas namaku untuk menunjukkan Goa Pedang dan menjelaskan kedudukan Goa itu, sejujurnya kepada Tee Kong, pelaksana Ciangbunjin. Disana, selesaikan semua urusan yang kita hadapi dewasa ini. Nah, apakah engkau sanggup sute”?

“Aku pasti akan menyanggupinya Toa suheng, pasti kulakukan. Meksipun bahkan tenagaku kurang memadai untuk mampu menyelesaikan semuanya” tegas Hauw Sek. Sementara Huang Ting Kok kebingungan untuk mengerti apa sebenarnya yang dipercaapkan kedua tokoh Thian San Pay itu.

Karena memang, keduanya berbicara berdasarkan pengalaman bersama selaa puluhan tahun dan menggunaka peristiwa khusus yang hanya mereka bedua yang paham. Akibatnya, Huang Ting Kok yang bertugas memata-matai, jadi tidak punya petunjuk apapun soal percakapan kedua kakak beradik perguruan tersebut.

Padahal, jika dia paham dan mengerti, maka berbahayalah kondisi dari kedua kakak beradik perguruan itu, karena rahasia mereka akan mudah terbongkar. Tetapi untungnya, yang terjadi justru sebaliknya, Huang Ting Kok tidak sangup mengerti apapun dari percakapan itu.

“Kamu pasti sanggup sute, bawalah dan jelaskanlah seputar Goa Pedang kepada Tee Kong. Tetapi sebaiknya, 2-3 hari kedepan engkau melakukannya, dan sampaikan kepada Tee Kong, seperti itulah perintahku”
“Baik toa suheng, aku mengerti” sambil berkata demikian, Hauw Sek tiba-tiba menangkap tulisan kalimat singkat di tempat tadinya toa suhennya berbaring. Kalimat itu singkat saja:

“Orang-orang di kamarmu akan membantumu dan membantu suhengmu”

“Apakah engkau mengerti sute”?

“Baik, aku mengerti toa suheng”

“Jika engkau mengerti, baguslah. Segeralah rundingkan waktunya dengan Tee Kong, dan beritahu waktu tepatnya nampaknya 3 hari kedepan”

“Baik suheng”
 
BAB 15 Ilmu Pedang (Rahasia) Thian San Pay
1 Ilmu Pedang (Rahasia) Thian San Pay



Yang dinamakan Goa Pedang di Thian San Pay, ternyata bukanlah sebuah tempat yang menyeramkan. Justru sebaliknya, meskipun sebuah tempat yang sangat tersembunyi, tetapi dia memiliki panorama alam yang justru sangat sangat mempesona.

Tokoh Thian San Pay yang mengetahui jalan ke Goa Pedang, biasanya hanya seorang, yaitu Ciangbunjin Thian San Pay semata. Karena itu, dongeng dan legenda Goa Pedang di Thian San Pay menghasilkan pengaruh mistis dan seram di kalangan anak murid Thian San Pay.

Untuk mencapai tempat itu, harus melalui sebuah Goa buatan yang memotong tebing di belakang rumah tinggal Ciangbunjin, dimana liang masuk Goa itu sendiri tertutup rapat, dan hanya bisa dibuka dari ruangan kamar Ciangbunjin. Tak ada seorangpun yang tahu, bahwa ketika rombongan Tee Kong dan Hauw Sek memasuki pintu itu, Thian San Sin Kiam sudah membukanya terlebih dahulu.

Goa itu tidak cukup panjang, mungkin hanya sekitar 150 meter, memotong tebing yang tegak mengitari markas Than San Pay. Tetapi, begitu sampai ke sisi tebing sebelah, pemandangan atau panorama alam yang luar biasa indah segera terhampar di hadapan mata.

Goa Pedang itu sendiri sebetulnya adalah Goa Buatan yang terletak di tebing sebelah, persis kelihatan begitu keluar dari Goa yang menjadi jalan masuk. Di depan atau ujung Goa masuk, berdiri tebing lainnya yang tidak kalah garangnya menjulang keangkasa.

Deretan tebing, baik yang menjadi jalan masuk atau yang memiliki goa tembus, maupun tempat bercokol goa pedang, berdiri berhadap-hadapan. Tetapi bila dipandang kesamping kanan goa masuk, ternyata kedua tebing itu kemudian menyatu, kurang lebih 200-300 meter ke belakang dan membentuk lengkungan tamaj bagai segitiga.

Dari lekukan pertemuan tebing itu nampak air terjun tipis, sangat tipis airnya dan jatuh dari ketinggian mungkin lebih dari 500an meter dan kemudian di bawahnya mengalir sebuah sungai yang lebarnya tidak ada 2 meteran, mengalir sepanjang 200-300 meter dari lekukan untuk kemudian kembali jatuh ke bawah.

Dari ujung air tersebut jatuh hingga ke bawah, hanya halimun semata yang bisa disaksikan, selebihnya tiada mata yang sanggup menyingkap apa gerangan yang berada di bawah sana, tempat air yang jatuh itu bertemu kembali dengan bumi.

Dengan keadaan alam yang demikian, maka begitu keluar dari Goa tembus dari markas Thian San Pay, maka Goa Pedang sudah bisa disaksikan mata, terletak kurang lebih 50-60 meter dari pintu keluar goa masuk. Dari air terjun tipis di tempat lekukan pertemuan tebing yang membentuk segitiga atau mirip huruf V mendatar, hingga ke air terjun kedua yang batas bawahnya tidak kelihatan, terdapat ruang yang nampaknya cukup luas.

Dan, rerumputan serta bahkan bebatuan yang berada disana, nampaknya bukanlah rerumputan dan bebatuan yang bebas dari sentuhan manusia. Apalagi, karena memang sungai atau kali yang mengalir, meski dengan kelebaran yang hanya 2 meteran tetapi dengan air yang jernih, mengalir sejauh 500-600 meter, membayangkan keluasan areal dataran yang tersembunyi itu.

Artinya, kehidupan manusia di area atau tempat tersembunyi itu sangatlah dimungkinkan. Bahkan Hauw Sek sendiri yang diberitahu bahwa tempat itu juga tidak pernah didatangi Ciangbunjin selama hampir 20 tahun melengak heran.

Karena tanda-tanda kehidupan manusia di areal tersembunyi itu begitu nyata. “Ada apa gerangan?” pikir Hauw Sek bingung dengan keadaan Goa Pedang yang menjadi “mistis” dan legenda bagi perguruannya itu.

Tetapi keraguan dikepala Tang Hauw Sek serta keramah-tamahan aroma alam yang sangat menawan itu segera dipecahkan oleh suara Tee Kong:

“Susiok, apakah goa di atas itu yang disebutkan Goa Pedang”? Tee Kong melirik Tang Hauw Sek sambil menunjuk sebuah Goa yang diatasnya tergambar sebuah Pedang Tunggal yang tegak lurus menghadap keatas dan di sisi kiri kanannya tergambar dua buah symbol Perguruan Thian San Pay.

“Benar” jawab Hauw Sek yang tiba-tiba menjadi gelisah. “Apakah semua akan berjalan baik-baik saja? Dimanakah Tek Hoat dan Mei Lan? Bagaimanakah pengaturan anak buah di Thian San Pay? Akankah badai ini berlalu”? sungguh pening Hauw Sek memikirkan semuanya, belum lagi nasib Ciangbunjin Suhengnya yang ditahan secara halus dan bahkan diracuni. Tetapi, pikirannya kembali terinterupsi oleh perkataan menusuk Tee Kong:

“Hm, apa sebenarnya hebatnya tempat yang tersembunyi ini? Smeua murid Thian San Pay takut mendengar Goa Pedang, padahal Goanya sendiri biasa saja. Ayo Susiok, jelaskan apa sebenarnya yang berada dalam Goa Pedang itu”

“Tidak ada yang luar biasa. Goa Pedang adalah tempat tahanan manusia manusia penghianat Thian San Pay. Dan kelihatannya, tempat ini akan kembali menjadi saksi kejadian yang mirip” jelas Hauw Sek dengan rasa bangga

“Apa maksudmu susiok”? Tee Kong menjadi marah

“Di tempat ini, penghianatan dalam perguruan Thian San Pay ditumpas lebih 100 tahun sebelumnya. Lohu dan Ciangbunjin suheng berdoa, semoga arwah para leluhur merestui agar penghianatan yang sama, saat ini boleh diselesaikan”

“Kurang ajar, penghianatan yang mana maksud susiok”?

“Penghianatanmu Tee Kong. Ciangbunjin suheng sudah memberi isyarat bahwa sedang terjadi penghianatan dalam perguruan ketika menceritakan Goa Pedang kepadaku. Dan sudah jelas kusaksikan, penghianatan itu engkau lakukan Tee Kong. Dan Ciangbunjin suheng serta aku berharap, roh para leluhur membantu kami membersihkan Perguruan” tegas Hauw Sek, dan tiba-tiba Tee Kong tertawa terbahak-bahak …..:

“Hahahahahahahaha, rupanya masih ada permainan menarik juga yang tersedia di Thian San Pay. Tetapi baiklah, kutegaskan bahwa memang adalah niatku untuk membesarkan Thian San Pay dengan menggunakan kebesaran Thian Liong Pang dan mengangkat kembali Thian San Pay menjadi perguruan ternama. Apakah hal itu bukan sebuah ide yang menarik Tang Hauw Sek? Apalagi dengan kemampuan kalian sekarang, sudah bukan perguruan yang bisa ditinggikan lagi” dengan nada menghina memandang Hauw Sek

“Sayangnya Tee Kong, engkau lupa, Thian San Pay sudah memilik sejarah ratusan tahun. Jauh lebih megah dibandingkan Thian Liong Pang yang sekarang menjadi musuh dan buruan para pendekar untuk dibasmi dan kini menjadi sampah dunia persilatan” Tang Hauw Sek yang sadar tidak boleh emosi, sungguh hebat mampu melayani Tee Kong yang nampak sudah marah.

“Hm, kurang ajar, jika aku sudah tidak membutuhkanmu lagi, sudah sejak siang-siang engkau kehilangan nyawamu orang tua” Tee Kong yang menjadi emosi secara tidak sadar membuka kartu penghianatannya.

“Hm, bukankah memang sudah engkau rencanakan Tee Kong? Engkau menyusup masuk ke Thian San Pay, menawan Ciangbunjin suheng, meracuninya dan membunuh Wakil Ciangbunjin dan mempengaruhi sebagian kecil murid Thian San Pay yang lemah iman. Engkau sudah melakukan pengianatan itu, dan disini Tee Kong, adalah tempat untuk membersihkan Thian San Pay dari anasir jahat dalam sejarahnya”

“Diam, tutup mulutmu” sambil berteriak murka, tangan Tee Kong sudah melayang menampar wajah Hauw Sek. Tetapi, sebelum lengan itu menyentuh pipi Hauw Sek, justru lengan Tee Kong yang terpental jauh dan dia mengaduh kesakitan karenanya:
“Aduuuuh, ada yang membokongku”? jeritnya gelisah. Dan serentak orang-orang yang mengiringinya celingukan. Tetapi, salah seorang dari mereka, dan nampaknya yang paling lihay diam saja dan dengan kecepatan tinggi dia melesat kearah pintu masuk gua sambil mendesis:

“Disini”

Dan benar saja, tiba-tiba sebuah bayangan melayang keluar dan menyambut serangan orang itu:

“Blaaaaaar” dan keduanya terdorong mundur. Bayangan dari dalam goa masuk yang menyambut serangan lawan nampak senyam-senyum menatap semua rang, dan siapa lagi jika bukan si Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah), Liang Tek Hoat?. Sambil berjalan perlahan-lahan dia menjura kepada semua orang, termasuk ke rombongan Tee Kong dan berkata:

“Selamat bertemu – selamat bertemu kembali, hahahahaha tidak disangka kalian semua kini berkumpul di Thian San Pay. Sungguh kebetulan yang tidak disangka-sangka“

Sementara itu, sebuah bayangan lain berkelabat nyaris sulit diikuti pandangan mata. Dia, bayangan itu, siapa lagi jika bukan Liang Mei Lan. Waktunya hampir bersamaan dengan benturan antara Tek Hoat dengan tokoh dari kelompok Tee Kong.

Dan bayangan itu berkelabat untuk mendampingi dan melindungi Tang Hauw Sek dan kemudian keduanya perlahan-lahan berkisar mendekati posisi Tek Hoat. Beberapa saat kemudian terdengar Tang Hauw Sek membuka percakapan dengan berkata:

”Terima kasih tayhiap, nampaknya akhir penghianatan mereka memang sudah semakin dekat ke ujung penyelesaiannya. Hm, Tee Kong, engkaupun sudah harus siap menanggung dosamu terhadap Thian San Pay“

“Hahahaha, Thian San Pay hanya dengan mengandalkan kedua bocah ini sudah mengertak kami? Engkau sudah mimpi barangkali Tang Hauw Sek Susiok“ Tee Kong menjadi besar hatinya melihat yang datang hanya Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan. Dia tidak melihat betapa pengiringnya yang berjumlah 5 orang itu sudah berubah wajahnya. Kelihatannya mereka tidak menyangka jika dalam waktu dekat mereka akan kembali bersua. Dan lebih kaget lagi ketika kemudian mereka mendengar Tee Kong berkata:

”Locianpwee, tolong tunjukkan kekuatan kita untuk membuka mata Tang Susiok, taklukkan bocah-bocah itu“

“Hm, benar-benar tolol. Setelah kedua orang yang engkau sebut bocah ini berada disekitar ini, jelas bahwa selaku calon Ciangbunjin Thian San Pay engkau tidak becus“ dengus salah seorang dari 5 pengiring itu.

“Hu Pangcu, maksudmu“? Tee Kong nampak menjadi sangat terkejut mendengar perkatan salah seorang dari tokoh yang diandalkannya untuk menempur Thian San Pay ini.

”Sudah jelas, para pendekar akan segera meluruk kemari, dan apakah engkau pikir masih aman tempat ini menjadi tempat bercokol Thian Liong Pang? Dan bagaimana bisa mereka berada di tempat se rahasia ini jika bukan karena keteledoran dan kebodohanmu“? orang yang dipanggil Hu Pangcu nampak semakin sewot dan marah.

“Tapi Hu Pangcu, sebenarnya siapakah kedua anak muda itu“?

Tetapi tokoh yang dipanggil Hu Pangcu itu, kemudian tidak menggubris Tee Kong yang sebagaimana dugaan Tek Hoat, Mei Lan dan Hauw Sek hanyalah boneka semata. Dan nampaknya, peran boneka itu sudah menjelang akhirnya, terutama karena kondisi Thian San Pay sudah bisa ditebak oleh dunia persilatan Tionggoan.

Nampak Hu Pangcu itu melirik semua anggota rombongannya, ketiga kawan lainnya sama seperti dirinya menyembunyikan diri dibalik topeng hitam hingga tidak bisa dikenali. Meskipun, mata tajam Mei Lan dan Tek Hoat sudah bisa menduga bahwa dibalik topeng tersebut adalah Hu Pangcu Pertama, Hu Pangcu Kedua, si Samurai Jepang, serta Koai Tung Sin Kay dan Bouw Lek Couwsu dua orang dari 4 Tianglo Thian Liong Pang.

Sementara orang kelima, nampaknya rada-rada asing bagi kedua kakak beradik itu, karena orang tersebut nampak memang orang asing yang belum mereka kenal. Tetapi, melihat keadaannya, orang itu nampaknya tidak berada dibawah Hu Pangcu kelihayannya, dan hal ini membuat Tek Hoat dan Mei Lan menjadi sangat berkhawatir.

Betapapun, lawan nampaknya sangat lihay dibandingkan dengan jumlah dan kekuatan mereka berdua. Tetapi, tidak cukup waktu untuk merenungkan kondisi yang tidak imbang itu. Meskipun semua tokoh lawan pernah mereka kalahkan, tetapi jika mereka maju berbareng, betapapun keadaan akan sangat merugikan mereka sendiri.

Menandingi satu lawan satu, siapapun lawan mereka, masih bisa kemenangan diraih. Tetapi, jika mereka dikerubuti tokoh-tokoh selihay itu, keadaan pasti akan berbalik.

“Bagaimana Hu Pangcu, apakah tidak lebih baik jika kalian mengundurkan diri dari Thian San Pay“? Tek Hoat membuka suara dan sedikit agak lunak, meski kesan ”jenaka“ masih ada.

“Baik, tapi, adakah jaminan bahwa kalian tidak akan memburu Thian Liong Pang selamanya“? dengan cerdik Hu Pangcu Petama membuka penawaran karena melihat kondisi dan keadan masing-masing.

”Aku tidak sanggup memutuskannya sendiri Hu Pangcu. Karena yang memulai mengaduk-aduk dunia persilatan adalah pihakmu“ Tek Hoat mencoba berkelit, terlebih karena dia sadar kondisi sangat berbahaya bagi mereka saat ini di Thian San Pay. Kekuatan kurang imbang.

“Jika demikian, kapan kita bisa bernegosiasi? Dan kapan lagi kami memiliki posisi yang lebih baik dari saat ini anak muda“?

”Posisi kami memang lebih lemah, tetapi bukan tidak berkemampuan untuk melawan sama sekali“ tegas Tek Hoat

”Apakah artinya jalan kekerasan menjadi pilihan kalian saat ini“?

”Karena kami memang tidak bisa memutuskan, maka memilih juga akan terserah kepada kalian. Biarlah kami ladeni pilihan kalian“

”Bagus koko, aku setuju“ timpal Mei Lan

”Apakah kalian berkeyakinan mampu mengalahkan kami”? tanya Hu Pangcu

”Mengalahkan mungkin sulit, tetapi menahan lama kalian, pastilah bisa“ Tek Hoat menegaskan

”Dan jika mungkin, juga mengalahkan mereka koko“ Mei Lan memberi semangat

”Benar moi-moi, jika perlu mengalahkan mereka“ Tek Hoat sambil tersenyum

”Hm, kali ini kalian benar-benar besar kepala. Baiklah, terpaksa kamipun membuang pantangan bagi orang gagah. Maaf, demi tujuan yang lebih besar, terpaksa kami melakukannya“

Dan seperti telah diatur, pertempuran kemudian berlangsung dalam dua arena. Kali ini, menyadari kekalahan pada pertempuran sebelumnya, Hu Pangcu Pertama dengan dibantu oleh Bouw Lek Couwsu maju mengeroyok Liang Mei Lan, sementara Koai Tung Sin Kay mengeroyok Tek Hoat bersama Hu Pangcu Kedua.

Tetapi, begitu benturan terjadi, masing-masing pihak terkejut setengah mati. Hu Pangcu Pertama yang mengeroyok Mei Lan bersama Bouw Lek Couwsu terkejut menemukan kenyataan betapa kemampuan Mei Lan kembali telah meningkat lebih tajam.

Nampaknya, bertempur satu lawan satu dengan Bouw Lek Couwsu juga akan dimenangkan gadis itu tidak sesulit sebelumnya. Karena itu, Bouw Lek Couwsu yang awalnya jengah untuk mengeroyok, kini malah mencurahkan perhatiannya untuk benar-benar mencecar Mei Lan dengan serangan-serangan tajam.

Sementara Mei Lan yang sadar bahwa kedua lawannya adalah tokoh wahid Thian Liong Pang, juga tidak berayal dan segera mengerahkan kemampuannya, terutama kemampuan ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya berkelabat-kelabat indah, dan dengan mudahnya mengelak maupun membagi serangan kearah Bouw Lek Couwsu dan juga Hu Pangcu Pertama Than Lion Pang.

Hu Pangcu Pertama inipun bukanlah orang lemah, bahkan dalam rasa penasarannya kepada Liang Mei Lan, dalam pengejaran dan pelarian mereka yang terkahir, tokoh inipun menggembleng dirinya habis-habisan, dan karena itu, diapun mencapai kemajuan yang mengejutkan.

Tetapi, dia menemui kenyataan betapa Mei Lan juga mengalami kemajuan yang sangat mengejutkannya. ”Sungguh heran, seperti tak ada habisnya peningkatan ilmu anak gadis ini“ pikirnya sengit.

Sementara itu, Tek Hoat sendiri juga dicecar habis-habisan oleh Koai Tung Sin Kay dan Hu Pangcu Kedua. Hanya, karena Hu Pangcu Kedua ini mengandalkan kecepatan samurainya, membuat paduannya dengan Koai Tung Sin Kay malah berkurang kehebatannya.

Akhirnya, Hu Pangcu ini lebih banya menunggu ketika dan peluang yang tepat untuk melancarkan serangannya, dan ini membuat Tek Hoat bisa banyak bernafas. Tetapi, Koai Tung Sin Kay segera sadar, bahwa anak muda ini kembali telah meningkat kemampuannya. Memang, sejak dikalahkan Ceng Liong, kakek sakti ini sudah tawar hatinya, dan menyesal karena telah “ditaklukkan“ dan dimanfaatkan orang.

Melihat kembali seorang tunas muda mengimbanginya, hanya karena ”sumpahnya“ saja membuatnya tetap bertahan membantu Thian Liong Pang dan terus menyerang Tek Hoat. Kakek ini, sedikit beda dengan Bouw Lek Couwsu yang memang masih memiliki ambisi yang menyala dalam dirinya bersama Tibet Sin Mo Ong.

Karena kekurang ngototan Koai Tung Sin Kay, Tek Hoat mendapatkan banyak peluang untuk menandingi kedua tokoh yang selisih dengan kepandaiannya sangat tipis itu. Dia bertarung penuh semangat dengan menggunakan Ilmu Perguruannya, Hang Liong Sip Pat Ciang dan menghalau semua serangan musuh dengan serangan dan pukulan yang keras mematikan.

Bahkan, sambil menyerang dan berkelit dari cecaran kedua lawannya, Tek Hoat masih sanggup mengedarkan pandangannya menilai kondisi di lain arena. Dan dia segera lega, karena meski keadaan Mei Lan lebih repot, tetapi dengan kemampuan ginkangnya, sulit bagi kedua lawannya untuk melukai dan menundukkannya.

Apalagi, dia melihat Mei Lan sendiri masih belum bertempur dalam puncak kekuatannya, meski kedua lawannya menyerang dengan sengit dan jelas berusaha untuk menjatuhkannya. Tetapi yang membuatnya kaget adalah, Tee Kong dan si orang asing yang satunya lagi, kelihatannya adalah orang yang berbahaya.

Dia belum tahu bagaimana kemampuan Hauw Sek, tetapi melihat keadaan, nampaknya Tang Hauw Sek takkan sanggup menghadapi salah satu dari Tee Kong ataupun terlebih si orang aneh itu. Melihat keadaan tersebut, jelas posisi mereka benar-benar terjepit. Setidaknya, posisi dan kondisi Hauw Sek sungguh sangat berbahaya.

Tetapi, betapapun daerah ini adalah daerah rahasia Thian San Pay, sehingga penguasaan kondisi dan keadaan dari Tang Hauw Sek pastinya jauh lebih baik. Dan berpikir demikian, membuat Tek Hoat kemudian menjadi sedikit lebih mantap, ”setidaknya tetap ada sedikit peluang bagi Hauw Sek untuk dimanfaatkan menghadapi situasi yang sulit bagi mereka saat ini“ pikir Tek Hoat.

Dan dengan kemantapan hati tersebut maka Tek Hoat akhirnya kembali berkonsentrasi menghadapi kedua musuh lihay yang tengah mengerubuti dirinya. Akibat membagi konsentrasi, Tek Hoat sempat kehilangan posisi dan membuat dirinya dicecar habis oleh Hu Pangcu Kedua dengan samurai tajam yang mengejar-ngejar dirinya dan bahkan sempat menyentuh lengan jubah dan merobeknya sangat tipis dan nyaris tak terasa. Tetapi, sudah cukup untuk membuat Tek Hoat kembali berkonsentrasi menghadapi musuhnya.

Di arena lain, Mei Lan nampak mulai menunjukkan kemampuannya dengan tidak hanya berkelabat-kelabat menghindar tetap mulai balas menyerang dengan ilmu-ilmu puncaknya. Bahkan untuk mengimbangi kedua lawannya, dia memainkan Sian Eng Sin Kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) yang membuatnya mampu mengimbangi kedua lawannya yang juga mulai menyerangnya dalam kemampuan puncak masing-masing.

Karena itu, hanya seketika saja Mei Lan sanggup mengejutkan lawan dalam perubahan penggunaan Ilmu Silatnya, terlebih karena memang ilmu tersebut juga sudah berkal-kali diadunya dengan Hu Pangcu Pertama. Dengan kata lain, keduanya sudah saling mengenal kemampuan dan kekuatan masing-masing.

Ditambah lagi, seorang Bouw Lek Couwsu yang juga seorang yang mumpuni dengan Ilmu Budha dari Tibet, sehingga mampu membendung kekuatan serangan Mei Lan dan bahkan mementahkannya. Hanya saja, Mei Lan memang sanggup memainkannya lebih cepat lagi sekarang ini, dan karena itu kekuatan serangannya otomatis memang belripat ganda.

Apalagi, karakter Sian Eng Sin Kun, justru pada kecepatan bayangan pukulan. Bahkan bayangan pukulan Mei Lan nampak seperti berubah ratusan kepalan yang menyambar-nyambar kedua lawannya. Untungnya, kedua lawannya juga bukan tokoh kacangan yang bisa dikelabui oleh bayangan pukulan palsu.

Meksipun bingung sejenak, tetap ketajaman mata keduanya sangup menilai dan membedakan mana kepalan serangan yang asli dan mana yang bayangan semata. Akhirnya pertempuran kembali berjalan seperti biasa, dengan Mei Lan yang berkelabat kesana kemari, sambil menghindar, juga membagi-bagi kepalan serangan kearah kedua lawannya.

Tiba-tiba nampak Bouw Lek Couwsu menggerakkan kedua tangannya dan berbareng kedua lengan jubahnya seperti menggelembung. Tetapi pada saat bersamaan Mei Lan sedang diserang secara hebat oleh salah satu jurus andalan Hu Pangcu Pertama dengan ilmu Thian-ki-te-ling Sin Ciang (Pukulan bumi sakti rahasia alam).

Akibatnya luar biasa, hembusan angin dan badai yang mengelora seperti menghantam kearah Mei Lan, tetapi anak gadis ini, juga sudah kenyang pengalaman bertempur dengan banyak tokoh hebat. Jangan kata usianya masih muda, tetapi dalam hal kepandaian dan pengalaman bertempur, Mei Lan sudah masuk kategori ”hebat”.

Dalam menghadapi serangan Hu Pangcu Pertama, dia bahkan masih sempat melihat serangan hebat yang juga disiapkan oleh Bouw Lek Couwsu, dan dia sadar, jika dia harus mengadu keras dengan keras atas tawaran kedua penyerangnya, maka peluang menangnya malah tipis.

Tetapi, menghindari kedua serangan itu sekaligus, sementara ruang baginya telah dibatasi oleh kekuatan sinkang lawan, juga bukan perkara mudah. Yang diperlukannya bukan hanya ginkang dan tenaga sakti atau sinkang yang ampuh, tetapi juga kematangan, ketelitian dan ketepatan waktu. Dan dalam hitungan detik saja, Mei Lan sudah memutuskan kekuatan mana yang harus dibenturnya hingga menguntungkannya.

Pada sat itu, Bouw Lek Couwsu juga sudah menjulurkan kedua tangannya kearahnya tetapi menyamping, tidak berada dalam garis lurus dengan Hu Pangcu Pertama. Pukulan itulah yang justru menutup semua pintu keluar dan karena itu harus dibentur dengan kekuatannya juga. Maka sambil menguatkan dirinya, pada saat menerima lontaran Hu Pangcu Pertama, Mei Lan telah mengerahkan ginkang istimewanya Te Hun Thian (Mendaki awan langit) dan mengerahkan kekuatan sinkangnya dalam model penyaluran “liang gie”.

Maka sambil melayang, dia mengerti kalau kekuatan Bouw Lek luar biasa kerasnya, tetapi dengan penuh keberanian dan perhitungan dia membenturnya. Dan sesaat setelah benturan itu, dia kembali mengatur hawa dalam tubuhnya, menata dan mengaturnya hingga ketika melayang, justru netralisasi benturan itu dilakukannya.

Dan sesaat kemudian, dia kembali siap menghadapi pukulan Hu Pangcu Pertama. Begitu berkali-kali Mei Lan menghadapi dua lawan beratnya dan mampu diimbanginya dalam waktu yang cukup lama. Tetapi, jika metode dan caranya tercium lawan dan nampaknya itu hanya soal waktu, maka benturan keras antara mereka sudah pasti tidak dapat dihindari lagi.

Berbeda dengan Tek Hoat, dasar ilmunya justru adalah ilmu-ilmu beraliran keras. Semua ilmu utamanya, kecuali yang dajarkan Kiang Sin Liong, adalah ilmu ilmu yang-kang. Menghadapi kedua lawannya, yakni Koai Tung Sin Kay dan Hu Pangcu Kedua, yang merupakan paduan Yang-Kang dan Im-Kang (kelemasan dan kecepatan), sebenarnya sangat tidak menguntungkan Tek Hoat.

Tetapi, dia tertolong oleh kenyataan betapa Koai Tung Sin Kay tidak lagi dalam ambisi menyala untuk mengejar pemuasan ambisinya. Karena itu, serangan tajam dan berbahaya, justru lebih banyak dari Hu Pangcu Kedua. Sementara Tek Hoat merasa benar, bahwa Koai Tung Sin Kay tidak begitu berminat menyerangnya dengan kekuatan penuh dan bahkan seperti tidak berselera melukainya.

Bahkan tatap wajahnyapun terasa seperti kosong dan tidak punya ambisi apa-apa. Keadaan yang diam-diam membuat Tek Hoat menjadi heran, bahkan lama-lama menjadi kasihan juga kepada kakek tua ini. Apalagi, jelek-jelek kakek ini memakai julukan ”Sin Kay“ yang berarti dekat dengan keluarga perguruan gurunya yang adalah “Guru Besar“ para pengemis di Tionggoan.

Dan kondisi itulah yang membuat keadaan Tek Hoat jauh lebih mending dibandingkan Liang Mei Lan yang harus menguras seluruh kekuatan dan kepandaiannya untuk mengimbangi dua tokoh yang mengeroyoknya itu.

Tek Hoat lama-kelamaan mengalihkan perhatiannya untuk mengalahkan Hu Pangcu Kedua, karena dia sadar kondisi mereka akan sangat berbahaya nantinya. Karena masih ada dua lawan yang harus ditangani, dan nampaknya keduanya juga cukup berbahaya dan bukan tandingan Tang Hauw Sek.

Untungnya lagi, meskipun Koai Tung Sin Kay bertarung bukan pada puncak kekuatannya, tetapi kehebatannya membuat penonton yang lihay sekalipun tidak merasakannya. Apalagi, kemudian Tek Hoat membuat sandiwara yang bahkan Hu Pangcu Kedua yang ikut bertempurpun meski curiga tetapi tidak menemukan gelagat yang memperkuat kecurigaannya.

Karena itu, pertempuran akhirnya berjalan dengan seru, dan bahkan belakangan Tek Hoat mulai mencoba memadukan Soan Hong Sin Cian dengan Toa Hong Kiam Sut. Untuk menambah daya serangnya, dia sengaja memainkan Tongkat Hijaunya sebagai pedang dan efek mujijatnya banyak membuat serangan Hu Pangcu Kedua nyeleweng. Bahkan dengan Soan Hong Sin Ciang, diapun memainkan dan mendorongkan tangannya untuk membentuk bayangan-bayangan pukulan yang maha hebat.

Pertempuran tersebut lama-kelamaan membuat Hu Pangcu Kedua semakin keteteran, dan mulailah dia memandang curiga kearah Koai Tung Sin Kay yang segera sadar akan kekeliruannya. Tetap berbahaya baginya jika dia membiarkan orang bercuriga atasnya, sebab efeknya akan menambah hukumannya dan membuatnya akan semakin terkekang.

Akhirnya meledaklah serangan Koai Tung Sin Kay, dengan menggunakan ilmu Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai), dia kemudian memunahkan serangan Tek Hoat atas Hu Pangcu Kedua. Dan dengan segera keduanya terlibat dalam pertempuran kelas atas, saling menggunakan tongkat untuk menyerang, menyodok, mengait dan menotok.

Tek Hoat kaget atas perubahan mendadak ini, dan segera dia sadar, Kakek Aneh itu nampaknya seperti tersadarkan dan kini sedang berusaha keras mengalahkannya. Dan sudah tentu Tek Hoat tidak akan membiarkan dirinya terkalahkan dalam kondisi seperti itu.

Diapun melakukan perlawanan hebat, bahkan kali ini dia memainkan Toa Hong Kiam Sut berganti-ganti dengan Tah Kauw Pang yang juga mujijat dari pintu perguruan Kay Pang. Warisan Kiong Siang Han, guru yang dihormatinya.

Betapapun hebatnya Lui-tai-hong-tung (Tongkat Kilat dan Badai) dan dimainkan oleh tokoh utamanya saat ini, tetapi Tah Kauw Pang yang sudah punya nama dan sejarah panjang, juga bukan olah-olah hebatnya. Apalagi sesekali, angin kesiuran yang keluar dari tongkat hijau itu membawa perbawa angin pedang yang teramat tajam.

Karena itu, ilmu mujijat Koai Tung Sin Kay itu tertahan juga dan menghambat daya majunya, meskipun berhasil mengatasi dan menghindarkan Hu Pangcu Kedua dari kekalahan yang sudah diambang pintu. Akhirnya, kembali kedua orang itu mengerubuti Tek Hoat, dan kini keadaan menjadi berbalik, Tek Hoat menjadi dalam kedudukan sedikit tertekan, meskipun untuk mengalahkannya juga sulit luar biasa.
 
2




Baik Tek Hoat maupun Mei Lan kini dalam posisi tertekan, meski tidak dalam posisi yang berbahaya. Dengan dikeroyok secara serius oleh Koai Tung Sin Kay dan Hu Pangcu Kedua, Tek Hoat akhirnya mulai memaksakan diri untuk mengimbangi keduanya dalam tataran puncak kekuatannya.

Dia sudah memainkan gabungan Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut dan membuatnya mampu menahan gelombang serangan kedua lawannya. Bahkan hampir saja menjatuhkan Hu Pangcu Kedua, tetapi tetap sulit baginya untuk memenangkan pertarungan itu.

Apalagi, karena kedua lawannya juga terus meningkatkan kemampuan bertempurnya dan membuat arena mereka yang terbagi dua seperti dipenuhi oleh dahsyatna angin pedang dan kesiuran ilm pukulan mujijat yang dimainan oleh 6 tokoh besar dunia persilatan dewasa ini. Bahkan sesekali air yang mengalir di sungai kecil yang membelah celah mereka bertempur itu, juga bagaikan diaduk-aduk oleh kekuatan mujijat yang tidak nampak itu.

Bahkan pada akhirnya, Tek Hoat memutuskan untuk menggunakan Ilmu Pukulan andalannya, Pek Lek Sin Jiu atau Pukulan Geledek. Salah satu ilmu andalan yang bila dikerahkan secara otomatis akan melindungi dirinya dengan Khikang mujijat akibat pengerahan kekuatan dalam yang besar. Dan dengan khikang pelindung badan, dia menjadi tidak gentar untuk menghadapi senjata tajam sekalipun.

Dan Hu Pangcu Kedua menjadi terperanjat mengetahui bahwa lawannya kini bahkan sulit ditembus dengan angin pedangnya sekalipun, karena terlindung oleh sebuah hawa pelindung badan. Tetapi, meskipun demikian, lawan-lawan Tek Hoatpun bukanlah orang-orang lemah yang akan dengan mudah tergertak oleh kekuatannya.

Terlebih karena Koai Tung Sin Kay juga mulai memainkan ilmu-ilmu mujijatnya, selain Lui Tai Hong Tung juga berseling dengan Koai Tung Cim Jip Liong Hiat (Tongkat Aneh Serbu Masuk Guha Naga). Bahkan pada akhirnya menggabungkannya dengan kekuatan mujijatnya Kang Kin Sinkang (Tenaga Dalam Otot Baja) yang juga membuatnya kebal terhadap pukulan lawan.

Dan masih ditambah dengan tebasan-tebasan mujijat si Samurai Jepang yang juga sudah mengerahkan ilmunya pada tataran puncak. Pada akhirnya pertarungan ketiganya memasuki tahapan menentukan, dimana kematangan tenaga dan dorongan tenaga batin sangat menentukan. Karena semua gerakan sekecil apapun akan bermakna dan berefek sangat besar, dan karena itu ketenangan, kegesitan dan perhitungan matang akan sangat menentukan siapa yang akan terdesak.

Untunglah, Tek Hoat yang memasuki gelanggang kali ini sudah kembali mengalami peningkatan penguasaan kemampuan atas ilmu-ilmunya akibat pertempuran-pertempuran pucak yang dialaminya. Karena itu, meski agak kesulitan, tetapi untuk jatuh dalam tekanan hebat lawannya juga bukanlah sesuatu yang gampang. Suatu hal yang pasti, keadaan Tek Hoat bila dibiarkan berlarut-larut pastilah akan memakan korban, bukan hanya dirinya akan tetapi juga lawan-lawannya.

Bahkan Koai Tung Sin Kay, semakin menyayangkan lawan mudanya yang sangat berbakat dan gagah ini. Dan posisi dan kondisi itulah yang banyak membantu Tek Hoat untuk tidak terlibas dalam pertarungan mati hidup. Sejauh itu, meski telah menggunakan tenaga yang kangnya secara luar biasa, tetapi Tek Hoat masih sanggup menahan dirinya untuk tidak mengerahkan semua simpanan tenaganya habis-habisan.

Bersamaan dengan Tek Hoat yang memainkan ilmu Pek Lek Sin Jiu dan ditandingi dengan ilmu mujijat lawannya, Mei Lan juga mulai mengerahkan ilmu simpanan lainnya: Ban Hud Ciang (Selaksa Tapak Dewa). Ilmu ini menjadi memiliki perbawa aneh jika digunakan oleh Liang Mei Lan, karena selain mengerahkan perbawa Yang-Kang, Mei Lan juga melambarinya dengan kecepatannya.

Karena itu, Ban Hud Ciang Liang Mei Lan boleh dikata menjdi bervarian lain, namun juga tidak kalah hebatnya. Dan dengan ilmu itu dia mampu menahan desakan kedua lawannya, bahkan peningkatan penggunaan ilmunya mampu membuatnya menjajari dan mengimbangi keroyokan kedua lawannya. Tetapi, lama-kelamaan, Mei Lan mau tidak mau juga harus meningkatkan penggunaan tenaganya, bahkan sampai pengerahan otomatis khikang pelindung badan ketika menggunakan jurus-jurus simpanan dari Ban Hud Ciang.

Pada jurus-jurus ke tujuh dan kedelapan, Mei Lan sanggup mendorong mundur lawannya, yang kemudian dengan terpaksa juga menggunakan ilmu pamungkasnya masing-masing untuk bisa mengimbangi dan kembali mendesak Mei Lan. Keadaan menjadi ramai, karena ledakan Pek Lek Sin Jiu di arena satunya lama kelamaan berpadu dengan desisan pujian Budha yang lahir dari perbawa Ban Hud Ciang.

Pada saat-saat pertempuran yang meningkat dengan perbawa mengerikan itu, barulah nampak Tee Kong paham, mengapa Hu Pangcu Pertama seperti mengkhawatirkan kedua anak muda yang sedang bertarung itu. Ternyata, memang keduanya merupakan lawan yang teramat berat. Dan ketika dia melirik kearah si pemuda asing dan mengedipinya, keduanya segera paham, bahwa saat untuk masuk gelanggang sudah tiba.

Dan tidak berapa lama kemudian, si pemuda aneh dan asing itu, nampak mulai bersiap-siap. Kelihatannya dia lebih memilih untuk menyerang dan mengeroyok Tek Hoat, karena dia merasa risih untuk menyerang seorang anak gadis, meski anak gadis itu bukan lawan ringan. Perlahan kakinya berkisar kearah pertempuran Tek Hoat melawan kedua lawan berat Koai Tung Sin Kay dan Hu Pangcu Kedua. Kisaran dan geseran kakinya tidak bisa diikuti oleh Tang Hauw Sek yang sedang terpana mengikuti kedua arena pertarungan yang luar biasa itu.

Adalah Tek Hoat yang cepat menyadari bahaya dan menjadi khawatir, karena dia mengenal lawan ampuh yang mungkin malah tidak disebelah bawah Hu Pangcu Pertama sekalipun. Diam-diam dia menggigit bibir, karena paham bahwa kesulitan sedang menghampiri dirinya, dan dia harus segera memutuskan melakukan sesuatu. Sebelum lawan ketiganya bergerak, tiba-tiba Tek Hoat menghentakkan kekuatannya pada jurus terakhir dari Pek Lek Sin Jiu, jurus Pamungkas, Jurus Kedelapan: Halilintar Meledak Bumi Melepuh.

Jurus Pamungkas yang malah disempurnakan bersama dengan Kiang Ceng Liong dan meluncur kesasaran tanpa terdengar bunyi ledakan sebagaimana mestinya. Tetapi, justru disitulah keampuhan jurus tersebut yang sulit diduga oleh lawan-lawan hebat sekalipun.

Bersamaan dengan diluncurkannya jurus pamungkas tersebut, kedua lawannya, terutama Koai Tung Sin Kay, dengan cepat menyadari keadaan yang sangat berbahaya. Sementara Hu Pangcu Kedua, meskipun sedikit terlambat tetapi masih sanggup menyingkir begitu melihat bahkan Koai Tung Sin Kay sendiripun malah menyingkir dan enggan menyambut pukulan atau jurus mematikan yang dilontarkan Tek Hoat.

Meski tidak terasa angin pukulannya, tetapi udara sekeliling bagaikan sedang dalam tungku membara dengan kekuatan panas yang luar biasa. Dan, meskipun keduanya telah menyingkir, tetapi ledakan sesungguhnya masih terasa di telinga batin keduanya. Untungnya keduanya tidak mencoba menangkis keras lawan keras, sebab jika demikian mereka semua pasti akan terluka, terutama kedua penyerang yang menjadi sasaran utama oleh Tek Hoat.

Sudah menghindarpun, tetapi mereka masih terkena serempetan serangan maut tersebut yang membuat sejenak kesadaran mereka menghilang, tetapi sebagai tokoh-tokoh kelas wahid, kondisi tersebut hanya berlangsung sekejap. Tetapi waktu sekejap itu sudah dimanfaatkan oleh Tek Hoat untuk bersiap menghadapi penyerang yang baru.

Tetapi, rupanya keadaan dan arena sudah bertambah orang lain lagi, bukan hanya seorang, tetapi bahkan lebih dari seorang. Dan salah satu dari yang baru tiba itu, sedang menempur sengit calon lawan Tek Hoat, si pemuda asing yang tadinya berniat untuk menyerang dan menempurnya secara menggelap.

Apa gerangan yang terjadi? Dalam kondisi berbahaya bagi Tek Hoat, atau pada saat dia melontarkan jurus pamungkas Pek Lek Sin Jiu, si pemuda asing yang mengincarnya juga melakukan hal yang sama atas dirinya. Tetapi, sesaat sebelum serangannya memasuki area pertahanan Tek Hoat yang berdiri menyamping dan sedang mengerahkan kekuatannya, atau saat berbahaya bagi Tek Hoat, tiba-tiba terdengar kesiur angin serangan yang mengarah ke si pemuda asing yang sedang menyerang secara mengggelap.

Akibatnya, si pemuda asing itu menahan serangannya dan terjadi benturan hebat antara keduanya:

“Blaaaaar“ dan keduanya terdorong kebelakang, malah terlontar kebelakang akibat adanya kekuatan mujijat lain dari Tek Hoat yang menambah daya lontar tenaga mereka. Tetapi dengan cepat keduanya menyatu kembali tanpa saling sapa dan membentuk arena ketiga yang tidak kalah serunya dibandingkan dengan arena pertama dan kedua.

Hanya, segera ternyata, si pemuda yang munculkan dirinya paling akhir dan membantu Tek Hoat, nampaknya masih lebih unggul melawan si pemuda asing. Padahal, sebagaimana dugaan Tek Hoat, si pemuda asing kelihayannya malah tidak berada di bawah Hu Pangcu Pertama. Kekuatan pukulan dan serangannya yang aneh, membawa perbawa yang sangat hebat, bahkan nampakya tidak berada dibawah keampuhan Hu Pangcu Pertama, dan sedikit saja di bawah kedua tokoh utama, Pelindung Thian Liong Pang, Koai Tung Sin Kay dan Bouw Lek Couwsu.

Tetapi yang hebat, malah lebih hebat lagi, adalah si pendatang baru. Seorang pemuda yang pastinya melum melampaui usia 30 tahunan, berkulit sedikit gelap dan halus dan dengan rambut hitam. Dia berperawakan sedang namun gagah, dan ternyata sanggup melawan si pemuda asing yang nampaknya berasal dari India (Thian Tok).

Bahkan si pemuda berambut hitam lurus dan berperawakan sedang itu, malah mampu mengimbangi dan menekan si pemuda dari India, dan dengan cepat keduanya juga meningkat tajam dalam penggunaan ilmu-ilmu perguruan masing-masing. Hanya, semakin meningkat kekuatan mereka, semakin kelihatan bahwa si pemuda berambut hitam lurus itu memang sedikit lebih matang, meskipun bukan perkara gampang untuk mengalahkan lawannya yang juga tak kurang saktinya.

Efek kehadiran pemuda itu sangat menguntungkan Mei Lan dan Tek Hoat yang kembali bertempur penuh semangat dan terhindar dari bokongan dan keroyokan lawan yang hebat lagi. Terlebih bagi Tek Hoat sendiri, dia merasa sangat berterima kasih atas bantuan sipendatang yang bahkan ternyata sanggup mengimbangi si pemuda India tersebut.

Bahkan nampaknya bisa mengatasi lawannya meskipun bukan perkara mudah untuk memenangkan pertempuran. Keadaan arena baru, arena yang ketiga, membuat sedikit perimbangan pertempuran antara orang-orang tersebut. Tek Hoat dan Mei Lan seperti mendapatkan tenaga tambahan, dan otomatis secara moral meningkatkan semangat tempur mereka hingga daya tahan dan daya tarung mereka menjadi lebih baik dan terkontrol.

Pertempuran kedua pemuda asing di Tionggoan itu mestinya sangat menarik perhatian, apalagi jika mata ahli yang menyaksikannya. Mengapa? Karena serang menyerang antara keduanya merupakan ciri khas pintu perguruan seberang lautan yang nyaris tidak pernah disaksikan di Tionggoan.

Jika si pemuda asal Thian Tok, pergerakan dan ilmunya yang aneh nampaknya sudah pernah disaksikan di Tionggoan, maka lawannya, lebih aneh lagi. Karena jurus-jurus serangannya benar-benar baru disaksikan di Tionggoan, dan dimainkan dengan cara yang lihay dan benar-benar hebat. Ilmu-ilmu itu dengan sebat mampu menandingi ilmu lihay dari Thian Tok dan bahkan dalam penguasaannya masih lebih matang, dan karena itu dengan cepat dia mampu menekan dan mendesak lawannya.

Anak muda berkulit hitam halus itu bergerak-gerak bagaikan macan dan menggeber serta meningkatkan ilmunya dengan lemas namun berkekuatan besar. Sementara lawannya bergerak-gerak licin bagaikan ular dan banyak menyelamatkan dirinya dengan gerakan-gerakan licin namun sangat bermanfaat itu. Meskipun sekali lagi, segera jelas bahwa si pemuda asal India selalu dalam posisi diserang dan ditekan.

“Suhu, orang itu licik sekali. Jelas-jelas dia ikut membuat kekacauan di Thian San Pay, jangan dia dilepaskan“ terdengar seruan si anak muda lainnya yang baru datang, usianya paling sekitar 16 – 17 tahun.

“Hahahaha, benar. Engkau tenang saja, akan kubuat dia menyesal telah mengganggu perguruan Thian San Pay“

”Terima kasih guru“

Sementara itu, Tee Kong mengamat-amati kedua pemuda yang baru datang yang saling memanggil “Guru dan Murid“ itu. Samar-samar dia seperti mengenali si anak muda yang memanggil “Suhu“ kepada pemuda yang sedang berkelahi itu. Anehnya, usia mereka paling banter berbeda 10 tahunan, atau kalaupun lebih paling hanya lebih 1 atau 2 tahun saja, betapa mungkin dia pantas menjadi guru? Tetapi, jika melihat gelagat pertempuran itu, memang anak muda itu luar biasa hebatnya.

Dia mampu mendesak si Pemuda India dengan sebat, berkelahi dengan ilmu-ilmu aneh yang belum pernah disaksikannya di Tionggoan. Tetapi, lebih aneh lagi ketika dia melihat si anak muda tadi. Mukanya seperti sudah dikenalnya, tetapi entah dimana dan entah siapa anak muda itu.

“Mengapa aku seperti mengenal wajah itu“? Tang Hauw Sek sungguh bingung, bahkan saking bingungnya dia lupa bahwa dia berada di tengah 3 pertempuran besar yang melibatkan raksasa dunia persilatan Tionggoan dewasa ini.

”Peng ji, awasi si licik itu. Dia nampaknya yang paling bertanggungjawab atas penghianatan di Thian San Pay“ terdengar kembali suara si Pemuda asing yang sednag bertempur. Dan mendengar panggilan ”Peng ji“, Tang Hauw Sek tersentak. ”Jangan-jangan dia“, pikirnya ragu dan masih belum yakin. Sementara itu terdengar jawaban si anak muda berusia 16-17 tahunan itu:

”Iya suhu, biar dia kuperhatikan“ dan si anak muda itu mengalihkan perhatian kearah Tee Kong yang semakin gelisah melihat keadaan pertempuran yang masih belum menunjukkan tanda-tanda kalah menang. Sementara pihak musuh, malah kini bertambah dua orang yang kelihatannya kekuatannya tidak bisa diremehkan.

Bahkan pendatang baru yang seorang, nampaknya mampu mendesak kawannya yang dia tahu juga sudah lihay luar biasa kepandaiannya. Dan kondisi itu membuatnya serba salah dan mulai berkhawatir, apalagi karena Hu Pangcu Pertama jelas-jelas telah menegur dan meragukan kemampuannya barusan sebelum perempuran dimulai.

Sedang seru-serunya pertempuran di tiga arena tersebut: Ketika Liang Mei Lan telah memulai memasuki jurus terakhir Ban Hud Ciang yang mujijat, sementara Tek Hoat bahkan sudah bersiap memasuki ilmu pamungkasnya dan ditandingi oleh kedua lawannya dengan cara yang sama, dan arena satu lagi dimana si pemuda India semakin keteteran, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat mujijat. Suara tersebut mendengung perlahan pada mulanya, tetapi perlahan-lahan segera kelihatan hasilnya.

Suara tersebut ternyata ditujukan mengganggu konsentrasi Mei Lan, Tek Hoat dan si Anak muda yang baru datang. Dengan segera ketiganya kelihatan kebingungan dan jatuh dalam kesulitan, dan mudah ditebak, sebentar lagi ketiganya akan dijatuhkan lawan. Untungnya, meskipun sesat, Bouw Lek Couwsu dan Koai Tung Sin Kay, masih memiliki gengsi sebagai angkatan tua dan enggan menjatuhkan tangan besi terhadap lawan muda mereka.

Terlebih Koai Tung Sin Kay yang mengerti bahwa betapapun Tek Hoat menampilkan diri dari kalangan Pengemis dan menjadi murid Kiong Siang Han, lawan yang dibenci tetapi sekaligus dihormatinya. Karena keraguan itu, kondisi Tek Hoat dan Mei Lan tidak dengan segera jatuh. Mereka hanya menghadapi gelombang serangan Hu Pangcu Pertama dan Kedua yang lebih mudah mereka tangani. Sementara si Anak Muda satunya, meski terpengaruh, tetapi masih sanggup mengimbangi musuhnya.

Tiba-tiba, suara mengiang dan mendengung itu berubah menjadi lebih meninggi, dan semakin merusak konsentrasi bertempur orang-orang yang diserang. Karena, meski mereka mampu mengatasi dan melawan suara itu, tetapi karena membagi diri dengan juga menjaga diri dari serangan lawan, membuat mereka dalam kesulitan besar.

Ibaratnya, mereka harus bertarung dengan ilmu silat dan ilmu batin sekaligus, dan sudah tentu kerugian besar mereka alami karena tidak mungkin fokus dalam dua arena pertarungan semacam itu sekaligus. Tetapi untungnya tidak berapa lama kemudian terdengar semilir suara yang merdu, diiringi dengan sebuah suara berpengaruh:

”Amitabha ..... Ilmu hitam .... Ilmu Hitam, Budha memberkati“ Suara inipun memiliki daya mujijat, khususnya melawan suara mujijat sebelumnya yang merusak konsentrasi Mei Lan, Tek Hoat dan si Pemuda asing.

”Subo“ terdengar desisan di mulut Mei Lan. Benar, Liong-i-Sinni yang datang. Dan sungguh tepat kehadirannya, dan saat yang tepat juga dia memasuki arena dan menandingi lontaran suara mujijat lawan yang mempengaruhi secara licik muridnya serta kawan-kawannya.

Sampai akhirnya alunan pujian kepada Budha perlahan mendesak suara mujijat yang dilontarkan duluan. Tetapi, tiba-tiba berkumandang suara di angkasa:

”Hahahahaha, Liong-i-Sinni ternyata adalah si Bidadari Tionggoan Kiang In Hong yang berubah menjadi Pendeta ........ Hahhahaha, apa gerangan yang merubahmu menjadi Pendeta In Hong“? terdengar seperti sapa-menyapa biasa, tetapi getaran suara itu sungguh sanggup merontokkan jantung. Bahkan karena getaran suara itu, pertempuran di 3 arena sudah terhenti, dan masing-masing berkonsentrasi mencari dari mana gerangan asal suara mujijat tersebut.

”Amitabha, Mahendra, di usia tuamu keusilanmu masih belum berkurang juga. Apakah kabarmu dengan adikmu Gayatri baik-baik saja“? terdengar sahutan Liong-i-Sinni dengan suara yang lembut dan sabar dan mendatangkan rasa tentram, rasa sebaliknya dari getaran suara Kakek Mahendra.

”Hahahaha, In Hong, engkau sungguh berbeda dari yang dulu. Dulu bawaanmu adalah mengajak kami kakak beradik untuk mengadu ilmu, tetapi sekarang engkau benar-benar menjadi Pendeta Budha ...... sayang aku tidak pernah berhasil untuk menjadi kekasihmu“

”Amitabha, Budha memberkati ..... Sudahlah Mahendra, masa lalu sudah jauh dibelakang kita. Tetapi, masihkah engkau memiliki nafsu yang tak pernah padam untuk menularkan kekisruhan kepada angkatan muda ini“?

Sejenak keadaan menjadi hening. Bahkan, orang-orang di arena itu, seperti mampu mendengar tarikan nafas Mahendra. Dan semua menjadi paham, bahwa pertarungan mujijat yang terjadi tadi, adalah pertarungan antara dua seteru lama. Dua orang yang sering bertemu pada masa lalu, dan kini telah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, tetapi suatu hal yang pasti kedua orang itu memiliki Ilmu yang luar biasa hebatnya.

”Tetapi, aku melihat bahwa ada murid seorang sahabatku dari sebrang lautan. Apakah dia juga berada disini In Hong“?

”Amitabha, Liong-i-Sinni, itulah panggilan sekarang ini. Pinni tahu yang engkau maksudkan, tetapi sepanjang pengamatanku, dia tidak berada disini“
“Apakah engkau yakin“? kejar Mahendra

”Apakah engkau sudah kurang yakin dengan pengamatanmu sendiri“?

”Hm, engkau benar. Tetapi, dia juga ternyata meninggalkan seorang murid yang lebih dari tidak mengecewakan. Bahkan murid kesayangankupun masih belum sanggup mengalahkannya“

”Semua orang berkembang menurut bakat dan kemampuan masing-masing Mahendra ..... Amitabha“

”Engkau benar Sinni“ setelah itu tidak terdengar apa-apa dari Mahendra. Sepertinya kakek itu sedang merenungkan sesuatu sampai kemudian dia bertanya kepada si anak muda yang datang belakangan bersama muridnya:

”Hei, engkau, anak muda“ si anak muda asing yang datang belakangan tahu belaka, bahwa dia sedang diajak bicara. Dari mengikuti percakapan lewat alunan suara di angkasa, dia tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang-orang sakti. Dan bahkan kedua orang sakti itu mengenal gurunya dengan baik, karena itu dengan saksama dia mengikuti percakapan leat getaran suara mujijat yang dia sendiri bisa mengikuti.

”Dimanakah gerangan gurumu, sahabat atau musuh lamaku itu“?

“Guruku berpisah denganku 5-6 tahun lampau locianpwee, dan sekarang ini, entah beliau berada dimana“

“Engkau muridnya yang berasal dari Shih Li Fo Shih“? kembali Mahendra mengajukan pertanyaan

”Benar locianpwee“ jawab si anak muda

”Siapa namamu jika demikian“?

”Nenggala, locianpwe“, terdengar juga jawaban perkenalan dari si anak muda yang ternyata adalah Nenggala, anak bungsu Panglima Jayeng Kencana yang dibawa gurunya mengembara hingga ke Tionggoan mengejar lembaran pusaka kakek gurunya. Tetapi, mengapa pula sampai Nenggala berada di Goa Pedang Thian San Pay? (penjelasannya akan hadir di bagian akhir episode ini).

”Artinya, gurumu Bintang Sakti Membara, masih tetap berburu Lembaran Pusaka itu ..... hahahahahahaha“ Terdengar Mahendra seperti tertawa geli, sekaligus seperti merasa penasaran. Entah apa isi pikirannya yang sebenarnya.

”Baiklah anak muda, sampaikan salam Mahendra kepada gurumu nanti“

”Mudah-mudahan jika bertemu guru akan kusampaikan locianpwee“ tegas Nenggala sopan dan dengan bahasa Tionggoan yang sangat fasih.

”Sinni, bolehkah kami segera berlalu dari tempat ini“? Mahendra bertanya cerdik dan langsung kepada Liong-i-Sinni yang dia tahu berhati lembut. Terlebih, karena dia sendiri ragu, jika bertempur dengan Liong-i-Sinni apakah akan sanggup memenangkan pertempuran ataukah tidak.

Dari pertarungan lewat getaran suara saja, dia sudah bisa menilai bahwa meskipun dia mengalami kemajuan pesat selama puluhan tahun terakhir, bahkan berlatih dengan Gayatri berdasarkan sobekan kertas itu, tetapi Liong-i-Sinni juga maju sangat jauh. Bahkan pertarungan tadi jelas dia keteteran.

”Apakah dengan janji pihak kalian tidak akan menganggu Thian San Pay seterusnya“?

”Kalau janji itu, tidaklah bisa dariku Sinni, karena aku hanya diminta melindungi beberapa orang belaka. Terlebih karena muridku juga berada disini“

”Jika demikian, siapakah yang bisa memberikan jaminan atas pertanyaan yang kuajukan itu“?

Hening kemudian, sepertinya sedang terjadi percakapan antara Mahendra dan para tokoh Thian Liong Pang. Dan keadaan itu berlangsung sampai beberapa ketika, sampai kemudian terdengar akhirnya Hu Pangcu Pertama Thian Liong Pang berkata:
”Lohu yang memberikan jaminan Sinni“ dan begitu Hu Pangcu memberi jawaban, tiba-tiba disekitar Mei Lan, Tek Hoat, Nenggala, Tang Hauw Sek dan di anak muda yang dipanggil “Peng ji“ sudah bertambah dengan seorang Pertapa Perempuan berbaju hijau dan membawa hudtim khas pendeta.

Dan dengan segera Mei Lan yang sebenanya sudah tahu gurunya berada dimana sejak beberapa waktu sebelumnya, dengan segera berlutut dan menyapa gurunya dengan suara terisak:

”Subo, tecu Liang Mei Lan memberi hormat ...... bagaimana keadaanmu? Baik-baik sajakah subo“?

“Amitabha, muridku, aku bangga kepadamu ..... bangunlah. Kita mesti dahulukan menyelesaikan kemelut di Thian San Pay“ perlahan dan lembut Liong-i-Sinni membelai rambut Mei Lan dan membangunkannya

“Baik guru“ ujar Mei Lan perlahan dan kemudian bangkit berdiri di belakang gurunya itu.

”Tecu Liang Tek Hoat memberi hormat kepada Sinni“ Tek Hoat juga merangkapkan tangan memberi hormat kepada, dan diikuti kemudian oleh Tang Hauw Sek, Nenggala dan ”Peng ji“

”Apakah sudah berakhir ramah tamah diantara kalian Sinni“? terdengar suara Mahendra yang ternyata juga sudah berada diantara kawanan Thian Liong Pang dan disambut hormat oleh rombongan itu. Mahendra yang sekarang, jauh berbeda dengan Mahendra yang pernah muncul di Bumi Sriwijaya, masih tetap tinggi besar, dengan rambut yang kini sudah memutih semuanya.

Tetapi matanya menjadi jauh lebih tajam menusuk, perbawanya nampak lebih menyeramkan dbandingkan dahulu. Dan sebagaimana Gayatri, keduanya selalu menenteng ular kemanapun mereka pergi, dan karena memang keduanya terkenal sebagai ”Sepasang Ular Dewa“.

”Amitabha, Bagaimana gerangan keputusan kalian terhadap permasalahan sekarang ini”? Liong-i-Sinni bertanya. Dan nampak Mahendra kemudian melirik kearah Hu Pangcu Pertama yang kemudian angkat bicara.

”Sinni, apakah lolosnya kami dari sini tergantung kemampuan kami ataukah ada jalan lain yang ingin Sinni usulkan“?

”Amitabha, Pinni ingin mengusulkan agar kalian berlalu secara baik-baik dari Thian San Pay dan mengurangi jumlah korban karena nafsu yang sia-sia“

”Tapi apakah pihak Thian San Pay bersedia menerimanya“? bertanya Hu Pangcu cerdik. Tetapi sebelum Liong-i-Sinni menjawab, terdengar suara si anak muda yang dipanggil ”Peng jie“ tadi:

”Kecuali murid Thian San Pay yang berhianat, maka pihak luar boleh meninggalkan Thian San Pay, meskipun telah berdosa mengotori daerah Goa Pedang ini“

Hening sejenak. Bukan apa, bahkan Liong-i-Sinni sekalipun terhenyak dengan keberanian anak muda itu. Tetapi, siapa gerangan anak muda itu? Pertanyaan itu yang menggelayuti beak banyak tokoh yang saling berhadapan itu.

Dan adalah Liong-i-Sinni yang cepat menyadari keadan dan bertanya dengan nada sabar dan halus:

”Amitabha, anak muda, sipakah engkau sebenarnya“?

”Tik Hong Peng, pewaris Ciangbunjin Thian San Pay angkatan ke-11“ tegas terdengar jawaban anak muda itu. Tetapi, Tang Hauw Sek dengan segera menjerit gembira:

”Peng jie, benarkah engkau itu“? sambil memandangi penuh kagum dan haru kearah si anak muda yang seusia muda ini telah menampakkan ketegasan dan wibawa yang luar biasa. Sungguh terharu, karena anak yang dikira telah hilang beberapa tahun sebelumnya, justru munculkan diri dari Goa Pedang dalam keadaan yang sehat-sehat saja.

”Susiok, bagaimana gerangan keadaan ayahanda dan Thian San Pay kita“?
”Sebagai putra ayahmu dan mengaku pewaris Ciangbunjin angkatan ke-11, maka tugasmu menyelesaikan urusan disini. Biarlah susiok menyaksikan. Mengenai ayahmu, dia dihianati Tee Kong dan ditahan bahkan diracuninya“

”Hm, baiklah susiok. Biarlah aku yang menanganinya. Dan mohon petunjuk dan perkenan Suhu dan Sinni“ sambil melirik kearah Nenggala yang tersenyum mendukungnya dan Liong-i-Sinni yang mau tidak mau harus mengijinkannya karena memang ini urusan dalam Thian San Pay
 
3




”Sebagai pewaris Ciangbunjin Angkatan ke-11, perkenankan ...“

”Ciangbunjin apa? Akulah pelaksana Ciangbunjin sekarang ini dan ..... aduuh“ belum habis suara Tee Kong yang memotong penyampaian Tik Hong Peng, dia sudah mengadu, sambil terdengar suara singkat “crooot“, sebuah daun telinganya entah bagaimana telah meninggalkan tempat biasanya.

Hanya terlihat sebuah tangan Hong Peng bergerak mengibas, kendati ditangannya tidak ada pedang atau sejenis senjata apapun. Untuk kemudian terdengar kembali Hong Peng melanjutkan:

”Itu hukuman awal bagi penghianat. Engkau telah menghianati Thian San Pay, menawan dan meracuni Ciangbunjin Angkatan 10, maka Ilmu Rahasia Hawa Pedang Terbang yang raib hampir 100 tahun lamanya boleh engkau cicipi“ Tegas sekali sikap Hong Peng. Terlebih, karena dia juga masih murka dan terbawa darah panas oleh penghianatan Tee Kong dan ditawan serta diracunnya ayahnya yang terkasih.

Sontak semua orang, terlebih Hauw Sek, kaget melihat bagaimana sebuah sabetan tangan belaka, tetapi mampu memapas kutung telinga kiri Tee Kong dalam kecepatan yang luar biasa. Sementara Liong-i-Sinni manggut-mangut kagum dan segera sadar apa yang telah dan sedang terjadi. Mata awasnya paham, bahwa Thian San Pay akan kembali menemukan puncak kegemilangannya ditangan bocah ini.

”Baiklah, sebagai pewaris Ciangbunjin Angkatan Ke-11, menurut amanat Kakek Dewa Pedang dan Sucouw, Ciangbunjin angkatan ke-9, maka aku ingin menegaskan, yang berkhianat di Thian San Pay harus tinggal dan memperoleh hukuman setimpal. Pihak lain, entah siapa, meskipun telah menganggu dan memasuki areal terlarang ini, silahkan meninggalkan Thian San Pay“

”Amitabha, sungguh bijaksana. Nampaknya Lo Sian Kiam locianpwee telah menemukan pewaris sejatinya ..... kami Lembah Pualam Hijau memberi selamat kepada Thian San Pay“ Liong-i-Sinni kagum melihat keputusan tegas meskipun sedikit merendah dari calon Ciangbunjin Thian San Pay yang masih sangat muda itu.

”Terima kasih locianpwee, biarlah hal-hal lain diurus dikemudian hari“ ujar Hong Peng merendah.

“Benar Sinni, Thian San Pay nampaknya telah menemukan kembali tunas mudanya. Mari, kitapun sebaiknya segera pergi“ Mahendra segera mengajak kawan-kawannya untuk berlalu.

”Sinni, sampai berjumpa lagi“ Sambil menghormat, sebuah jalur kekuatan yang luar biasa besar berhembus kearah Liong-i-Sinni

”Hm, Amitabha, Mahendra benar-benar belum kehilangan kegilaannya“ dan Liong-i-Sinni juga menyembah dan dua kekuatan luar biasa bertemu. Beberapa orang saja yang menyadari apa yang baru terjadi, dan menyaksikan betapa Liong-i-Sinni tubuhnya tetap kokoh, sementara Mahendra sedikit terguncang, namun dengan segera menggerakkan kakinya berlalu. Tapi masih terdengar suaranya:

”Hahahaha, Sinni, sungguh hebat-sungguh hebat. Jangan engkau khawatir, tidak akan ada yang dirusak saat kami berlalu meninggalkan Thian San Pay“

”Amitabha, aku mempercayaimu Mahendra“

Sementara itu, Tee Kong yang terpapas kutung telinganya memandang kearah Hu Pangcu pertama ketika rombongan itu ingin berlalu. Tetapi, Hu Pangcu Pertama hanya mengeluarkan dengusan singkat:

”Huh, manusia tidak berguna“ dan kemudian manusia itupun berlalu bersama rombongannya. Ketika Tee Kong bangkit berdiri untuk ikut berlalu bersama rombongan itu, tiba-tiba dia merasa kakinya kesemutan, dan tak lama kemudian tubuhnya roboh tak berdaya di tanah. Adalah Tang Hauw Sek yang kemudian meringkus Tee Kong, dan kemudian ingin segera ke Goa Tembus ke Markas Thian San Pay. Tetapi Liong-i-Sinni berkata:

”Tidak usah tergesa-gesa. Ciangbunjin Thian San Pay sudah menguasai keadaan dan mengendalikan semua murid Thian San Pay meski keadaannya masih agak lemah. Dan Mahendra telah mengeluarkan jaminan tidak akan mengganggu. Biarlah waktu singkat ini kita gunakan untuk hal-hal yang perlu. Anak muda, jika tidak salah engkau adalah murid ”Bintang Sakti Membara“ seorang tokoh sakti dari Jawadwipa dan Swarnadwipa, benarkah”?

”Benar locianpwee, namaku Nenggala. Suhu pernah bercerita mengenai Sinni dan beberapa tokoh sakti di tanah Tionggoan ini“

”Benarkah engkau tidak mengetahui kemana perginya gurumu”?

”Guru meninggalkan aku kira-kira 6-7 tahun lalu, dan beliau sedang memburu seseorang yang masih susiokku sendiri”

”Amitabha, keadaannya menjadi semakin jelas” desis Liong-i-Sinni

”Maksud subo”? tanya Mei Lan penasaran

”Amitabha, hampir pinni lupa. Baiklah, biarlah kalian saling berkenalan, karena pekerjaan kalian kedepan akan saling membantu dan saling mengisi”

Demikianlah akhirnya Selat sempit di seputar Goa Pedang Thian San Pay menjadi saksi perkenalan anak-muda anak muda perkasa itu. Liang Tek Hoat, Liang Mei Lan, Nenggala, Tik Hong Peng saling memperkenalkan diri dan saling menceritakan pengalaman selama ini. Bahkan secara khusus, Liong-i-Sinni bertanya kepada Tik Hong Peng mengenai Kakek Dewa Pedang, karena Kakek Ajaib inilah yang menciptakan Pedang Naga Hijau, simbol Kebesaran Lembah Pualam Hijau yang selalu berada di tangan Duta Agung Lembah.

”Anakku, apakah engkau bersedia untuk sedikit menceritakan mengenai Kakek Dewa Pedang. Karena Kakek Suci itu sangat dihormati di Lembah Pualam Hijau, bahkan selalu dihormat oleh semua generasi Duta Agung Lembah kami” bertanya Liong-i-Sinni, yang meski telah bertapa, tetapi ikatan batin dengan Lembah Pualam Hijau tidak mampu ditepisnya. Itulah sebabnya tidak tahan Liong-i-Sinni untuk menanyakan Kakek Dewa Pedang itu.

”Ach, sebenarnya ini merupakan rahasia perguruan kami, Sinni, karena beliau adalah tokoh terakhir Thian San Pay yang sanggup menguasai secara sempurna semua ilmu-ilmu rahasia Thian San Pay. Setelah Kakek itu, tiada lagi jago Thian San Pay yang sanggup melakukannya“

”Benar Sinni, setelah Kakek Dewa Pedang, Perguruan Thian San Pay mengalami kemerosotan luar biasa dan kurnag dipandang lagi di dunia persilatan“ Tambah Tang Hauw Sek.

”Tetapi, bagaimana sebenarnya akhir kehidupan Kakek ajaib itu“? Liong-i-Sinni terus bertanya penasaran.

”Sebenarnya harus suhu yang menceritakannya, karena yang menemukan warisan Kakek Dewa Pedang leluhur perguruan kami adalah suhu“ ujar Hong Peng sambil melirik Nenggala yang duduk disampingnya.

Liong-i-Sinni memandang sekilas kepada Nenggala dan kemudian terdengar dia bertanya:

”Amitabha, anak muda, benarkah engkau yang memiliki cerita yang lebih lengkap mengenai keberadaan dan kehidupan Kakek Dewa Pedang pada masa lalu itu“?

”Beliau adalah guruku yang kedua locianpwee“?

”Amitabha, engkau sungguh beruntung jika demikian anak muda. Bersediakah engkau menceritakan sebagian kisah suhumu yang kedua itu? Ketahuilah, bagi Lembah kami, Kakek Dewa Pedang adalah tokoh yang sangat dihormati. Bahkan tanda perbawa Duta Agung Lembah kami adalah hadiah pedang buatan Kakek Dewa Pedang“

”Aku mengerti locianpwee, tetapi cerita mengenai kehidupan suhu juga tidak banyak yang ditinggalkannya. Adapun, aku sendiri secara kebetulan menemukan tempat dimana Suhu menutup mata dan berkenan menjadi muridnya sesuai dengan pesannya dengan sebuah janji“

”Amitabha, Apa maksudmu anak muda“?

”Selain untuk membela Thian San Pay dan kebenaran, maka Ilmu Rahasia Thian San Pay tidak boleh digunakan. Selain itu, tecu juga harus bersumpah untuk tidak mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain tanpa ijin Ciangbunjin Thian San Pay. Bahkan harus mencari tunas terbaik Thian San Pay dan melatihnya dalam ilmu rahasia tersebut, dan bila tidak menemukannya maka harus menempuh cara seperti mendiang suhu“

”Amitabha, cukup pantas. Dan Kakek Dewa Pedang memang sungguh teliti“

”Begitulah locianpwee, awalnya tecu dengan Suhuku yang pertama sedang mengejar seorang susiok yang nyeleweng. Guru harus jauh-jauh datang dari seberang lautan untuk mengejar susiok tersebut hingga ke Thian Tok dan bahkan kemudian ke Tionggoan ini. Bila dihitung dengan tahun, maka sudah lebih 20 tahun guruku bersamaku mengejar susiok itu, dan pada akhirnya bertemu di Tionggoan. Tepatnya bertemu di salah satu pucak di Gunung Himalaya, tempat dimana begitu banyak orang bertapa dan menyepi“

”Apakah gurumu mengejar susiokmu karena sebuah urusan yang sangat penting ataukah sekedar sebuah urusan kedalam perguruan kalian“? bertanya Tek Hoat penasaran, sama penasaran dengan Mei Lan dan juga Tang Hauw Sek. Hanya Hong Peng dan Long-i-Sinni yang nampaknya sudah mengerti keadaan dan menebaknya hampir benar.

“Maafkan saudara Tek Hoat, urusan ini ...... urusan ini adalah urusan kedalam perguruan kami. Tidak mungkin kuceritakan keluar“ tergagap Nenggala menjawab pertanyaan Tek Hoat.

”Tidak apa-apa anak muda, sebetulnya urusan itu secara keseluruhan sudah kuketahui melalui kakek gurumu, baru sebulan sebelumnya. Dan bahkan kedua anak muda ini, juga menerima keuntungan dari kakek gurumu itu“

”Maksud locianpwee, kakek guru juga sudah berada di Tionggoan ini“? Nenggala terkejut setengah mati.

”Benar, bahkan sudah pernah membantu sahabat barumu ini, Tek Hoat dan muridku Mei Lan ini“ tegas Liong-i-Sinni

”Ach, benar dugaan suhu. Urusan ini akan menjadi sangat besar, pantas dia berkeras meninggalkanku 6 tahun lalu dan menyuruhku menyempurnakan kepandaianku agar memadai ikut mengurusi urusan berat ini“

”Benar anak muda, dan kulihat engkau sudah mendekati kemampuan gurumu pada masa mudanya. Dan bagaimana selanjutnya ceritamu“?

”Baik locianpwee, terima kasih atas pujiannya. Ketika guru bertemu dengan susiok yang bersembunyi di Himalaya, terjadi pertengkaran dan perkelahian antara keduanya. Sebuah pertempuran hebat terjadi bahkan keduanya terluka parah karena pertempuran tersebut, sampai kemudian guru terlontar ke sebuah aliran sungai yang menyempit di sebuah selat mirip dengan keadaan di Thian San Pay ini. Sementara susiok sendiri yang terluka kemudian kabur dan menghilang entah kemana. Suhuku dengan tenaga terakhirnya mampu menyelematkan diri tepat sebelum aliran air di selat itu jatuh kebawah dan kemudian pingsan“

“Orang yang bisa membuat Bintang Sakti Membara pingsan sungguh manusia yang luar biasa. Bisa kubayangkan betapa hebat susiokmu itu anak muda. Lanjutkan ceritamu“

”Melihat suhu pingsan, akhirnya aku berdaya upaya untuk menyembuhkannya dengan segala keterbatasanku. Dan dalam kebingunganku, secara tidak sengaja aku menemukan sebuah jorokan Goa, yang bila tidak dicari secara cermat tidak akan mungkin ditemukan orang. Goa itu nampak seperti goa alam yang sudah lama tidak digunakan lagi. Melihat Goa tersebut, tanpa pikir panjang aku masuk kedalamnya, mencoba membersihkannya untuk tempat merawat suhu. Tetapi, secara tidak sengaja, justru di tempat itulah aku menemukan tulang belulang Kakek Dewa Pedang, guru keduaku yang terhormat dan sekaligus menemukan wasiatnya buat orang yang menjadi muridnya“

“Amitabha, Sunguh peruntunganmu tidak kecil anak muda“

”Terus, bagaimana dengan keadaan jenasah leluhur kami itu anak muda“? kejar Hauw Sek yang juga sangat antusias.

”Awalnya, aku tidak menemukan apa-apa, karena hanya bermaksud membersihkan ruangan buat guruku. Tetapi setelah hari kedua merawat guru yang keadaannya mulai membaik, karena senggang dan iseng, aku memandangi jorokan kedalam dan penasaran dengan isi goa kedalam. Karena tu, ketika suhu sedang tertidur, diam-diam aku menelusuri goa sempit yang hanya bisa dilalui dengan merangkak. Dan berjarak kira-kira 10 meter tetapi lebih menanjak keatas dari Goa pertama, aku menemukan sebuah rongga lainnya yang lebih sempit dari tempatku merawat suhu. Dan ketika berdiri, kepalaku terbentur puncak ruangan sempit, karena ternyata puncak ruangan itu cukup rendah. Tetapi, tempat kepalaku membentur ternyata adalah tonjolan pada lukisan pedang yang membuat perlahan-lahan cahaya mulai memasuki ruangan didepanku yang juga mulai membuka perlahan lahan. Dan barulah kusadari, kalau dihadapanku sedang bersila tubuh seorang tua yang anehnya, masih utuh. Dan kupandangi tubuh kakek itu sambil berjongkok. Dan ketika ruangan sempit itupun menerima cahaya dari ruangan di luar, di tubuh kakek yang bersila didepanku nampak seperti menginginkan aku membaca sesuatu disamping badannya. Dan betapa herannya ketika kutemukan tulisan disana yang berbunyi:

”Sudah kehendak Thian. Thian San Pay akan kehilangan wibawa
untuk waktu yang lama. Tetapi, kehendak Thian juga, yang membawa
seseorang dari luar lautan untuk membangun kembali
puing wibawa itu untuk kemudian tegak kembali.
Selamat datang muridku, tertanda Kakek Dewa Pedang“

Nampak semua orang tertegun ketika Nenggala sampai pada membacakan sebuah coretan di dinding disamping tubuh guru keduanya. Bahkan terdengar Hauw Sek berkata:

”Anak muda, benar-benarkah seperti itu kejadiannya? Sungguh hebat leluhur kami mampu meramalkan kejadian ratusan tahun kemudian“ terdengar nada kagum dan penasaran dalam suaranya.

”Amitabha, saudara Tang, Kakek Dewa Pedang memang dikenal manusia ajaib pada masanya. Masa sebelum kedudukan tertinggi di Dunia Persilatan beralih ke generasi kakek buyutku. Dan, kehebatan Kakek Dewa Pedang dalam Ilmu Pedang dan Ilmu Ramal, konon tiada duanya pada masanya. Demikian menurut catatan kakek buyut kami, dan itu selalu tercatat dan dihafalkan oleh semua keluarga Kiang setiap generasi“

”Sehebat itukah leluhurku Sinni“? bertanya Hong Peng penuh kagum.

”Sangat hebat pada masanya. Sebab kedudukan tertingginya di dunia persilatan tiada yang merendengi, bahkan Ketua Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay juga belum nempil menghadapinya“ jawab Liong-i-Sinni

”Sungguh hebat ..... sungguh hebat, terus bagaimana kelanjutannya anak muda“? Tang Hauw Sek yang semakin penasaran kembali bertanya. Meskipun Tek Hoat dan Mei Lan sudah penasaran dengan nada suara Hauw Sek ketika menyela Nenggala, seakan-akan meremehkan cerita Nenggala. Kendati, jika diurut dalam urutan perguruan, maka Hauw Sek dari segi generasi kalah bertingkat-tingkat.

”Karena memiliki guru yang sedang terluka, maka akupun kemudian tidak memasuki ruangan kedua. Karena merasa bahwa ruangan itu hanya ditujukan kepada murid atau keluarga perguruan Kakek Dewa Pedang. Perlahan-lahan kemudian akupun merayap kembali menemui guruku yang keadaannya menjadi semakin membaik. Dan baru dua hari kemudian kuceritakan kepada guruku keadaan dan kondisi di ruangan lain yang kutemukan itu. Tetapi betapa kagetnya aku, ketika Guruku memberitahu bahwa mayat orang tua dalam gua itu adalah seorang gaib pada ratusan tahun sebelumnya. Dan bahwa Kakek Ajaib itu telah meramalkan dan bahkan telah menerimaku menjadi murid keduanya sebagaimana tertulis didinding itu. Bahkan guru kemudian memintaku untuk menyempurnakan ilmuku di gua itu selama 5-7 tahun, dan boleh turun gunung setelah semua Ilmu perguruan kami dimatangkan, juga ilmu guru keduaku. Menurut guruku, pasti Kakek Dewa Pedang telah mengatur segalanya untuk keperluanku, karena Kakek itu konon adalah seorang jago ramal yang maha hebat pada masanya“

”Amitabha, Benar anak muda, dan kehebatan meramal gurumupun sebenarnya sungguh hebat. Karena itu, dia langsung bisa paham apa gerangan yang ditinggalkan Kakek Dewa Pedang untukmu“

”Benar locianpwee. Akupun merasa heran, ketika kembali ke ruangan sempit itu setelah guruku yang pertama berlalu dan berkeras tidak ingin melihat dan tergiur warisan Kakek Dewa Pedang, aku menemukan tulisan lain yang sama tuanya. Bunyinya:

”Engkau memang jujur muridku, sama seperti Guru Pertamamu.
Aku memang tidak salah meninggalkan semua warisanku untukmu,
meskipun aku malu karena untuk itu aku memiliki pamrih.
Tetapi, garisannya pada masa mendatang memang seperti itu.
Sekarang, engkau kumpulkan abuku, dan tolong
engkau suatu saat membawanya ke Thian San Pay.
Semua hal mengenai diriku dan catatanku
berada tepat dibawah tubuhku ini.
Kakek Dewa Pedang“

“Dan memang benar, semua catatan mengenai guru keduaku, termasuk pertikaian di Thian San Pay dan pembuatan Pedang Pualam Hijau, tercatat disana. Bahkan, juga termasuk ramalannya mengenai kedatanganku, guruku dan kakek guruku ke Tionggoan. Hanya, menurut catatan Guruku itu, catatan ramalannya berhenti atau terhenti, karena pada masa kekisruhan di Tionggoan, lahir dan hadir beberapa manusia ajaib dari Tiongoan dan dari Seberang Lautan. Maka catatannya mengenai kekisruhan masa depan, pada masaku, tidak mampu lagi dia catat secara lengkap“

”Amitabha, tentu yang dimaksudkan Kakek Dewa Pedang adalah kehadiran Kakek Gurumu dan Empat Manusia Gaib Tionggoan serta Bhiksu Sakti dari India itu. Tidak salah lagi“ gumam Liong-i-Sinni

”Entahlah locianpwee, tetapi menurut Suhu, memang akan banyak manusia ajaib dan berkepandaian sempurna berkumpul dan bertemu di Tionggoan. Terutama karena kekisruhan yang melibatkan banyak perguruan dan bahkan melibatkan tokoh-tokoh dari seberang lautan. Dan beberapa dari tokoh itu, bahkan dinilai guru berkemampuan sama dengannya“

”Amitabha, hebat benar Kakek Dewa Pedang. Dia telah meramalkan sejak 100 tahunan sebelumnya. Dan memang benar, tokoh-tokoh dari luar lautan, bahkan jauh dari Jawadwipa sudah hadir di Tionggoan. Dalam dugaanku Kakek Gurumu memiliki tataran yang sempurna dan setanding dengan Kakek Dewa Pedang dan juga 4 Manusia Dewa dari Tionggoan. Jika ditambah, maka masih ada lagi manusia ajaib lainnya, Bhiksu Cundamani dari Thian Tok“

”Subo, banyak benar manusia-manusia sakti yang berdatangan di Tionggoan ini. Bahkan dari tempat-tempat yang demikian jauh“? Mei Lan bertanya ikut penasaran dengan cerita Nengala.

”Amitabha, Lan ji, Salah satunya adalah gurumu yang pertama, dan yang juga luar biasa hebatnya adalah orang yang memberi bisikan kepadamu dahulu itu dan meningkatkan kemampuanmu“ jelas Liong-i-Sinni.

”Terus, bagaimana akhirnya kisah dan ceritamu anak muda“? Akhirnya Liong-i-Sinni kembali bertanya kepada Nenggala. Karena nampaknya, Hauw Sek semakin tahu diri, pemuda itu ternyata berkali-kali diatas tingkatannya setelah menjadi murid Kakek Dewa Pedang.

”Selain catatan dan ramalannya, guru juga meninggalkan beberapa catatan yang memudahkanku melatih ilmuku. Hanya, sebelum berlatih, aku harus bersumpah, bahwa Ilmu yang kulatih hanya bisa digunakan untuk keperluan Thian San Pay dan untuk kebaikan. Dan akupun disumpah untuk menjadi guru bagi seorang ”tunas baru“ Thian San Pay yang akan muncul tidak lama kemudian“

”Dan berarti muridmu ini adalah Tik Hong Peng, anak bungsu Ciangbunjin Suheng yang menghilang 5 tahun lalu itu“? tanya Hauw Sek

”Benar locianpwee, setelah berlatih selama 2 tahun di Himalaya, aku kemudian memutuskan pindah ke Goa Pedang. Juga atas anjuran Guru keduaku, karena menurutnya, keadaan Goa di Himalaya dibuatnya persis seperti Goa Pedang Thian San Pay. Dan setelah dua tahun berlatih dan menyempurnakan ilmu guruku itu, akupun pindah ke Goa Pedang melalui jalan rahasia yang konon menurut guru hanya dia yang tahu sampai saat ini“

”Bagaimana .... bagaimana dengan Hong Peng? Bagaimana cara menemukan anak yang dianggap hilang ini“? gagap dan kaget Hauw Sek mengingat Ciangbunjin Suhengnya sendiri bingung memikirkan kemana perginya anak bungsunya ini.

”Sebenarnya, diapun mau disingkirkan Tee Kong karena sempat mengetahui sebuah kesalahan fatal Tee Kong. Tetapi, secara tidak sengaja sempat kutolong, dan begitu mengetahui identitasnya, maka sejak 5 tahun lalu dia berlatih serius di Goa Pedang. Dan kebetulan, lima hari terakhir ini adalah hari-hari terakhir dia berlatih, dan sudah saatnya kami meninggalkan Goa untuk menyelesaikan kekisruhan Thian San Pay“

”Syukurlah jika demikian“

Apa yang tidak diceritakan Nenggala dan Hong Peng, hanyalah rahasia perguruan mereka, yakni rahasia Ilmu Pedang Thian San Pay. Dunia Persilatan tahu belaka, bahwa Ilmu Pedang Terbang Thian San Pay adalah salah satu ilmu pedang tertinggi di Tionggoan. Tetapi, tak seorangpun yang tahu, jika Ilmu Pedang tersebut telah disempurnakan oleh Kakek Dewa Pedang hingga ke tataran ”Kosong Tapi Berisi“ atau ”Berpedang Tanpa Pedang“.

Sebuah Ilmu Rahasia yan bahkan masih berlipat kali lebih lihay dari Ilmu Pedang Terbang Thian San Pay yang kesohor itu. Dengan Ilmu itu, Nenggala sanggup menggunakan benda apapun, bahkan pada tingkat tertinggi, mampu mengerakkan hawa seputarnya menjadi seperti pedang. Tik Hong Peng baru sanggup menguasai Ilmu Pedang Terbang, dan sudah sedang berupaya untuk belajar pada tahapan awal rahasia penyempurnaan Kakek Dewa Pedang.

Bahkan Nenggala sendiripun masih belum sanggup menggunakan bagian tertinggi dari Ilmu tersebut, memanfaatkan hawa sekitar menjadi hawa pedang. Masih pada tahapan awal penggunaannya sebagaimana memutus telinga Tee Kong. Begitupun dia sudah sanggup menggunakan benda, termasuk daun dan ilalang sekalipun untuk menjadi pedang. Catatan perubahan selengkapnya ternyata sudah dibuatkan secara rahasia oleh Kakek Dewa Pedang dan menjadi lukisan lukisan di dinding kamar Goa Pedang, tempat dimana dia memakamkan adik kembarnya.

Tetapi, melatih lukisan tersebut, harus dengan sebuah kitab tipis yang diwariskannya kepada Nenggala dan telah diserahkan kepada Tik Hong Peng. Karena rahasia, baik rahasia Ilmu Pedang Terbang Thian San Pay yang kesohor itu, maupun penyempurnaannya, hanya bisa dimengerti dari Kitab tipis yang merupakan kunci rahasia mempelajari ilmu tersebut.

”Amitabha, Anak muda, bolehkah aku mengajukan beberapa hal usulan kepada kalian“? Liong-i-Sinni tiba-tiba bertanya setelah semua tenggelam dalam perenungan beberapa saat lamanya.

“Áda apakah gerangan locianpwee“? bertanya Nenggala dengan heran, terlebih karena melihat keseriusan dimata Liong-i-Sinni

”Beberapa waktu lalu pinni bertemu kakek gurumu, dan baru aku sadar bahwa diapun mengetahui kalau salah seorang cucu muridnya berada disini dan akan terlibat jauh dalam pertikaian di Tionggoan ini. Baru sekarang aku sadar, bahwa yang dimaksudkannya adalah engkau dan muridmu. Dia memintaku menyampaikan sesuatu, awalnya hanya kepada kedua anak muda ini“ Liong-i-Sinni sambil menunjuk Mei Lan dan Tek Hoat yang kaget mendengar uraian Liong-i-Sinni

”Permintaan dan usulku yang pertama adalah, aku ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kalian bertiga. Dan karena itu, tidak ada salahnya engkau berlatih bersama Tek Hoat ataupun Mei Lan. Amitabha, tidak, jangan salah mengerti anak-anak. Kakek Dewa Pedang sudah meramalkan betapa banyak tokoh hebat yang akan terlibat. Bahkan kakek gurumu, anak muda, juga sudah menegaskannya. Dan karena itu, dia memintaku untuk menyempurnakan Mei Lan dan Tek Hoat dan sebuah pesan tersamar untuk orang ketiga di Thian San Pay. Baru disini aku mengerti maksud kakek gurumu itu“

”Aku mengerti locianpwee, dan buatku tidak mengapa. Apalagi jika itu perintah kakek guruku“

”Subo, tapi apa memang perlu seperti itu“?

”Lan ji, pinni mengerti kalian sudah maju jauh. Tetapi, tugas dan lawan kalian, juga melakukan dan melatih diri secara terus menerus. Dan mereka bahkan ada yang beberapa kali lebih lihai“

”Tecu mengerti subo“

”Begini saja, pinni mengusulkan kalian bertiga berlatih bersama, tanpa lawan dan tanpa kawan. Dengan demikian, pinni bisa melihat sampai dimana tingkat kalian masing-masing“

“Baik subo“

”Baik locianpwee“ Tek Hoat dan Nenggala berkata berbarengan.

Dan ketiganyapun dengan segera terlibat dalam pertempuran aneh, saling serang bertiga dengan tidak mengenal kawan dan lawan. Ketiganyapun langsung menggunakan keistimewaan jurus dan ilmu masing-masing. Mei Lan misalnya, selain memainkan Pik Lek Ciang, Liang Gie Kiam Hoat dan kemudian Sian Eng Sin Kun, dia nampak menonjol dalam ginkangnya dengan menggunakan Te Hun Thian.

Sementara Tek Hoat berganti-ganti menggunakan Hang Liong Sip Pat Ciang, Tah Kauw Pang, sampai juga Soan Hong Sin Ciang. Sementara Nenggala menggunakan ilmu-ilmu Jawadwipa: Ajian Brajamusti, Ajian Inti Lebur Sakheti dan juga Ajian Sengoro Macan. Ketiganya bergerak saling serang dan saling hindar sedemikian cepat dan menghadirkan keadaan bagaikan prahara disekitar tempat itu.

Meskipun demikian, nampaknya ketiganya masih sanggup menahan semua kekuatan untuk tidak terlontar secara sembarangan. Dan ketiganya, mau tak mau semakin lama semakin kagum atas lawan masing-masing, karena kehebatan dan keunggulan yang berbeda namun sangat sangat tipis.

”Lanjutkan dan tingkatkan kemampuan kalian“ terdengar perintah Liong-i-Sinni yang segera diikuti ketiga anak muda itu. Tiba-tiba terdengar deru yang semakin bertalu-talu, ketika Mei Lan menggunakan Ban Hud Ciang, sementara Tek Hoat memamerkan Pek Lek Sin Jiu, sedangkan Nenggala mendorong kekuatan Inti Lebur Sakheti dengan Gelap Ngampar yang dahsyat.

Akibatnya, arena tempat ketiga orang itu berlatih bercampur baur kekuatan-kekuatan mujijat yang bahkan sesekali saling bentur. Petir seperti meledak-ledak, tetapi tidak merusak lingkungan karena Tek Hoat sudah pandai mengendalikannya, sementara suara riuh rendah dan sangat berwibawa terdengar dari Gelap Ngampar yang telah mempengaruhi Hauw Sek.

Untungnya sesekali kondisi itu terselingi dengan Nyanyian Kebesaran Budha dari Liang Mei Lan. Ketiga kekuatan mujijat itu selang seling menghiasi arena dan membuat mereka yang menyaksikannya menjadi sangat kaget terkesima. Terutama Hong Peng dan Hauw Sek yang membuat mata mereka semakin terbuka akan pemahaman dan pengetahuan terhadap ilmu silat.

Terutama bahkan Hong Peng, semakin kagum dia akan kehebatan gurunya, yang sehari-hari lebih mirip seorang kakak yang sangat mengasihinya ketimbang seorang guru. Dan ditangan gurunya itulah kemampuan silatnya menanjak dengan sangat pesat. Di Thian San Pay dewasa ini, tiada lagi tokoh sehebat Hong Peng, meski usianya masih sangat belia.

Melihat keadaan mereka, Liong-i-Sinni segera maklum. Nenggala memang memiliki sedikit kelebihan, kematangan karena telah memiliki murid serta usianya memang lebih sekitar 5 tahunan dibandingkan Mei Lan dan Tek Hoat. Tetapi, Mei Lan memiliki kematangan bergerak seperti dirinya. Mei Lan nampaknya sangat mengerti kemampuannya itu, dan dari saat kesaat meningkat dan meningkat dengan pesat.

Sementara Tek Hoat, bukannya yang paling lemah dari ketiganya, tetapi kematangannyapun sudah sangat mengagumkan. Jika diberi waktu beberapa ketika, dia akan dengan mudah mencapai tingkatan kematangan yang lebih. Ketiganya, akan sulit saling mengalahkan tanpa melukai diri sendiri.

Liong-i-Sinni sadar, ketiganya masih menyimpan ilmu pamungkas masing-masing, ajaran dan ciptaan manusia-manusia dewa, termasuk Nenggala yang baru meyakinkan Ilmu Rahasia Thian San Pay yang mujijat itu. Karenanya, dengan segera dia memutuskan untuk melaksanakan amanat Kolomoto Ti Lou di tempat ini juga.

”Tahan, cukup ..... Amitabha .... Luar biasa, kalian benar-benar didikan manusia manusia hebat. Tingkatan kalian sedikit banyak berimbang, dan sudah saatnya turun gunung untuk menyelesaikan banyak urusan dunia persilatan. Tetapi, bolehkah pinni minta ijin kepada pemilik selat ini“? kepada siapakah Pinni bisa minta ijin tersebut“?

”Apa maksud locianpwee“? Tang hauw Sek bertanya heran

”Pinni ingin bersemadhi bersama ketiga anak muda ini selama 2 hari. Kepada siapa pinni bisa mintakan ijin itu“?

”Locianpwee telah berjasa besar kepada Thian San Pay, masakan kami pihak Thian San Pay mau menolak? Tetapi, ”Peng ji“ yang telah menerima amanat calon pemangku Ciangbunjin Angkatan ke-11 bisa memberi ijin itu.

”Aku ijinkan, toch suhu juga akan berada bersama locianpwee“ Tik Hong Peng sudah menyela dengan cepat.

”Amitabha, Baiklah, setelah dua tiga hari kedepan, kami akan menghadap Thian San Pay Ciangbunjin. Bahkan, setahuku, Nenggala masih harus menjelaskan sesuatu kepada Ciangbunjin saat ini. Bukan demikian anak muda“?

”Benar Sinni, aku harus melakukannya sesuai amanat guru keduaku“
 
BAB 16 Misteri di Perguruan Tiam Jong Pay
1 Misteri di Perguruan Tiam Jong Pay




Tiam Jong Pay memang bukan sebuah Perguruan Silat Pedang terhebat atau paling utama, tetapi selalu menonjol karena kepahlawanan dan keberpihakan mereka terhadap kegagahan. Yang menonjol dari perguruan ini bukan sekedar kepandaian ilmu pedangnya, tetapi karena usaha perdagangan dan piauw kiok serta jumlah anak muridnya, baik yang berada di markas maupun yang berkelana.

Jumlah mereka terhitung sangatlah banyak. Jumlah mereka secara total bisa mencapai atau bahkan lebih 3000 anak murid. Dari jumlah sebanyak itu, setidaknya ada 2000 anak murid yang menetap di pusat perguruan Tiam Jong Pay. Pusat perguruan itu sendiri, memang lebih menyerupai sebuah perkampungan yang terletak di atas gunung Tiam Jong.

Dan lebih kurang 2000 anak murid ini, rata-rata tinggal di perkampungan bersama keluarga mereka masing masing. Dari sini saja bisa dibayangkan, perkampungan anak murid Tiam Jong Pay ini cukup besar dan pastinya sangat ramai. Hanya, perkampungan mereka anak murid Tiam Jong Pay ini sebetulnya terbagi atas beberapa bagian yang berbeda-beda.

Atau dengan kata lain, status perkampungan dan yang tinggal dalamnya, telah menggambarkan dan menandakan status keanggotaan dalam perguruan silat tersebut.

Perkampungan pertama adalah 2 perkampungan yang ditinggali oleh anak murid dari bagian terbawah tingkatnya dan berada di bagian terluar dari markas Tiam Jong Pay, masing-masing di sebelah timur dan barat dari lereng gunung. Jumlah penghuni di perkampungan ini adalah yang paling banyak, masing-masing sekitar 750an anak murid.

Jika dihitung dengan jumlah anggota keluarga dari para anak murid perguruan tersebut, maka perkampungan di Timur dan Barat itu ditinggali sedikit-dikitnya 2000an orang bahkan lebih. Dan tentu saja menjadi sebuah perkampungan yang cukup besar dan ramai. Apalagi, interaksi dengan dunia luar, justru lebih banyak dan terutama terjadi di kedua perkampungan yang memang banyak bersentuhan dengan dunia luar tersebut.

Bahkan bukan sedikit anak murid Tiam Jong Pay yang berkelana, suka sekedar singgah di perkampungan tersebut untuk melepas kerinduan terhadap perguruan. Selain tentunya para pengelana yang menyempatkan diri singgah di perkampungan tersebut untuk urusan melepaskan kepenatan atau sekedar singgah makan dan minum.

Perkampungan kedua, adalah yang berada di luar pintu masuk markas besar Tiam Jong Pay, yang dihuni sekitar 400an anak murid Tiam Jong Pay kelas menengah. Seperti perkampungan pertama dan kedua, maka perkampungan inipun ditinggali bersama keluarga dari anak murid perguruan tersebut. Selain itu, di perkampungan ini jugalah keluarga dari anak murid kelas pertama dan murid utama bertempat tinggal.

Tetapi, berbeda dengan perkampungan yang lebih keluar, disini situasinya menjadi sedikit lebih formal dan eksklusif. Tidak sembarang tamu yang bisa keluar masuk di daerah perkampungan ini tanpa ijin terlebih dahulu.

Sementara anak murid kelas pertama, sebanyak 250an, berada di markas Tiam Jong Pay, markas pengendalian semua aktifitas perguruan. Baik latihan silat, maupun urusan dagang yang banyak dilaksanakan oleh murid preman Tiam Jong Pay. Murid-murid tingkat pertama Tiam Jong Pay tinggal terpisah dengan keluarga mereka, hanya saat istirahat saja mereka bisa menjumpai keluarga mereka di perkampungan kedua.

Karena khusus untuk murid tingkat pertama yang bertugas di Markas besar, keluarga mereka tinggal di perkampungan kedua, yang berada di pintu masuk markas utama. Bahkan anggota keluarga inipun belum tentu mendapat ijin keluar masuk ke markas utama. Dari Markas yang dihuni murid utama inilah dikendalikan semua urusan dagang, urusan kehidupan internal bahkan juga urusan latihan ilmu silat bagi anak murid Tiam Jong Pay kelas rendahan hingga kelas menengah.

Sebetulnya isi perut Tiam Jong Pay berada di markas ini, tempat yang banyak dihuni tenaga-tenaga pintar dalam hal dagang dan ilmu silat di Tiam Jong Pay. Tetapi, bukan disini tempat tinggal Ciangbunjin Tiam Jong Pay.

Dan markas utama, tempat tinggal Ciangbunjin Tiam Jong Pay, hanya dihuni oleh 15 murid utama, murid langsung Ciangbunjin dan angkatannya, serta sekitar 10an anak murid kelas bawah yang bertugas membersihkan dan melayani para pemimpin Tiam Jong Pay.

Jika kepala dan perintah untuk urusan dagang datang dari markas yang satu, agak keluar letaknya dan disebuah gedung megah dan luas, maka untuk urusan perguruan dan ilmu silat, perintah utama datang dari Markas Utama ini, dimana Ciangbunjin adalah kepala dari semuanya. Khusus untuk urusan dagang, Ciangbunjin hanya menerima laporan semata, karena memang Ciangbunjin Tiam Jong Pay rata-rata kurang paham jurus dagang.

Karena itu, kepala urusan dagang biasanya dijabat secara khusus oleh seorang yang memang ahli dalam urusan dagang, dan bukan langsung oleh Ciangbunjin. Tetapi, cara seperti ini terbukti ampuh untuk menjalankan roda perguruan Tiam Jong Pay dari segi keuangan yang ternyata tidak pernah berkekurangan.

Bahkan, akhir-akhir ini, kekuatan dagang Tiam Jong Pay jauh lebih masyur dibanding kekuatan ilmu silatnya yang semakin merosot. Tiam Jong Pay jadi kuat dan terkenal karena kehebatan dagangnya dan jumlah anak muridnya yang mencapai ribuan orang. Besarnya jumlah murid dan kemampuan menjaga kesejahteraan mereka, merupakan tanda kehebatan Tiam Jong Pay dalam urusan dagang. Bahkan, selentingan kabar menyebutkan, Tiam Jong Pay telah menjelma menjadi salah satu kekuatan raksasa dibidang usaha perdagangan di Tionggoan.

Sedikit yang tahu, kalau urusan dalam Perguruan Tiam Jong Pay datang dari ruang khusus yang jauh kalah megah dibanding gedung untuk urusan dagang. Ciangbunjin Tiam Jong Pay biasanya bersemayam disebuah gedung yang berfasilitas lengkap, tetapi dibanding kantor urusan dagang sungguh jauh berbeda.

Tetapi, justru Ciangbunjin inilah yang memiliki kuasa sepenuhnya, baik untuk urusan dagang maupun urusan perguruan. Hanya karena tradisi, maka untuk keputusan penting urusan dagang, rata-rata Ciangbunjin tidak masuk campur. Dan dalam sejarah Tiam Jong Pay, tidak pernah urusan dagang dipegang oleh seorang jago silat, selalu oleh orang preman yang tidak paham ilmu silat tetapi lihay dalam berdagang.

Dalam posisi ini, maka Tiam Jong Pay, meski sebuah perguruan silat terhitung medioker, tetapi dalam urusan kesejahteraan dan kemegahan, termasuk yang paling hebat. Anak murdnya termasuk yang paling banyak, hanya kalah dari Kay Pang semata, tetapi pengaruh dagangnya sungguh luar biasa.

Apalagi, karena memang Tiam Jong Pay selalu punya hubungan baik dengan Kay Pang dan termasuk pendonor bagi Kay Pang, dan membuat hubungan mereka sangatlah erat dan saling memerlukan. Dengan kebesaran dan pengaruh Kay Pang, maka urusan dagang Tiam Jong Pay menjadi lebih mudah, lebih mampu menarik rasa aman orang untuk berdagang dengan mereka.

Pejabat Ciangbunjin dewasa ini adalah seorang tokoh tua berusia sekitar 60 tahunan dan bernama Bu Kang Cu bergelar It Kiam Keng Thian (Pedang Sakti Menyanggah Langit). Sebagaimana para Ciangbunjin Tiam Jong Pay sebelumnya, Bu Kang Cu, juga mewarisi kehebatan ilmu pedang Tiam Jong Kiam Hoat. Bahkan di lingkungan Tiam Jong Pay, orang tua ini adalah yang paling sempurna dalam mendalami ilmu pedang tersebut, mengatasi semua tokoh Tiam Jong Pay yang masih hidup.

Dan, sebagaimana para ciangbunjin sebelumnya, Bu Kang Cu, juga enggan mencampuri urusan perdagangan dan menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut kepada Wakil Ciangbunjin urusan dagang, yakni Bu Liang Cu yang juga masih adik bungsunya. Berbeda dengan kakak sulungnya, Bu Liang Cu lebih lihay mengurusi bisnis, dan karena itu belakangan dia kemudian terpilih menjadi Wakil Ciangbunjin urusan bisnis.

Dan justru ditangannyalah selama 20 tahun terakhir urusan dagang Tiam Jong Pay menanjak dengan sangat hebat. Dan sebagaimana para penguasa dagang Tiam Jong Pay, maka Bu Liang Cu juga kurang mengerti ilmu silat, jauh malah dibandingkan kakak sulungnya yang menjadi atasannya. Sejak kecil, dia menekuni dan menyukai urusan dagang dan kemudian berkembang pesat untuk bidang keahliannya itu.

Sementara untuk urusan perguruan, Wakil Ciangbunjin dijabat oleh Gui San Bu yang berjuluk Coat-ceng-kiam (si pedang tanpa kenal ampun). Julukan yang sesuai perangainya yang tinggi hati, seperti juga Hauw Sek dari Thian San Pay. Meskipun keduanya tetap teguh dalam sikap sebagai seorang pendekar. Gui San Bu ini adalah tokoh kedua tertinggi kepandaiannya di Tiam Jong Pay setelah Ciangbunjin dan menjadi sute ketiga dari sang Ciangbunjin.

Angkatan Ciangbunjin yang tersisa tinggal 4 orang dari 15 murid utama sebagaimana tradisi, sebab sisanya rata-rata meninggal dalam tugas, dalam pertempuran ataupun sakit. Belakangan, angkatan Ciangbunjin ini menyisakan 4 orang, dimana sute kedua dan keempat menjadi pelindung Perguruan Tiam Jong Pay dan jarang mencampuri urusan perguruan.

Apalagi, karena memang keadaan Tiam Jong Pay jauh lebih menonjol kegiatan dagangnya daripada kegiatan di dunia persilatan. Tetapi, untuk urusan melatih ilmu silat, kedua tokoh ini yang justru paling getol dan paling rajin melatih murid-murid utama Tiam Jong Pay, bahkan sering turun langsung melatih anggota dan murid kelas menengah.

Karena itu, tidak heran justru keduanya lebih dekat dengan anggota dibandingkan Ciangbunjin dan Wakil Ciangbunjin yang lebih sibuk dengan urusan tata krama dan urusan perguruan lainnya. Sute kedua Ciangbunjin ini, sebetulnya berusia lebih banyak, yakni 64 tahun, tetapi lebih belakang memasuki perguruan. Dia bernama Ma Heng Kong dan sudah 40 tahun menjadi anggota Tiam Jong Pay, hingga menjadi Pelindung Perguruan saat ini. Sementara sute keempat bernama Tian Kui Hok.

Keduanya memiliki kepandaian seimbang, tipis saja dibawah Gui San Bu yang menjadi sute ketiga dari Ciangbunjin Tiam Jong Pay. Karena tinggal berempat, maka keempat tokoh Tiam Jong Pay ini memiliki hubungan yang sangat akrab, bahkan sudah seperti keluarga sendiri dan saling mengenal kelebihan dan kekurangan serta perangai masing-masing. Justru pada titik seperti itulah, perasaan sebagai satu keluarga menjadi kuat dan kental diantara keempatnya.

Kondisi markas utama yang terpencil itu, termasuk posisi pemimpin perguruan yang seperti itu, membuat konflik dan pertikaian di markas utama, justru tidak tercium keluar. Urusan keseharian Tiam Jong Pay berlangsung seperti biasa, informasi dan perintah dari Markas Utama berlangsung dalam intensitas biasa.

Padahal, sebuah kekisruhan besar sedang berlangsung dan hanya diketahui oleh mereka yang terlibat langsung dan menjadi aktor ataupun korban dari intrik dalam perguruan tersebut. Adalah seorang bernama Kwan Hok Boan yang menjadi biang keladi dari kekisruhan tersebut. Tokoh ini, sebetulnya belum genap 10 tahun bergabung dengan Tiam Jong Pay, tetapi kecerdikan dan keuletannya menempatkan dia dalam promosi dan menjadi salah satu dari 15 murid utama didikan angkatan Ciangbunjin Tiam Jong Pay saat ini.

Sejak diterima menjadi murid Tiam Jong Pay, Kwan Bok Hoan selalu melakukan tindakan terpuji dan tindakan yang menguntungkan Perguruan. Hal itulah yang menyebabkan dia 5 tahun sebelumnya, bergabung menjadi murid utama yang ke-15 dan kemudian ditempatkan di markas utama Tiam Jong Pay. Dan petualangan Kwan Bok Hoan di markas utama inilah yang kemudian melahirkan persoalan besar bagi Tiam Jong Pay.

Dalam 5 tahun terakhir, secara berturut-turut, 4 orang murid utama terbunuh ketika bertugas. Dan tiada seorangpun yang sanggup menjelaskan mengapa murid utama Tiam Jong Pay bisa terbunuh ditangan penjahat kelas teri, padahal urutan mereka termasuk teratas sebagai murid utama Tiam Jong Pay. Bukan itu saja, belakangan, ketika kemudian Tiam Jong Pay memutuskan mengutus Wakil Ciangbunjin Gui San Bu guna bergabung bersama para pendekar melawan Thian Liong Pang kekisruhan semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba kedua pelindung perguruan yang aktif melatih para murid menjadi tidak aktif dengan alasan kesehatan. Bukan itu saja, 5 murid utama yang juga sebelumnya sehat-sehat dan aktif di perguruan, tiba-tiba menghilang tanpa kabar berita. Sementara 6 murid utama lainnya adalah murid utama yang dikenal dekat dengan Kwan Bok Hoan.

Dan sebulan sejak kepergian wakil Ciangbunjin Gui San Bu ke Siauw Lim Sie, lengkaplah cerita tusukan dari dalam yang diprakarsai oleh Kwan Bok Hoan. Mereka membunuh 5 murid utama yang setia, mempengaruhi 5 murid utama lainnya untuk menyeberang ke pihak Kwan Bok Hoan, menyandera keluarga Ciangbunji dan menyekap dua pelindung partai.

Tetapi, kekisruhan ini sama sekali tidak nampak dalam roda keseharian Tiam Jong Pay. Latihan silat tetap berjalan, usaha dagang tetap berlangsung secara baik, dan keterasingan markas utama membuat kekisruhan itu hanya terasa di lingkungan markas utama, dan tidak terasa di perkampungan lain Tiam Jong Pay.

Kondisi tersebut diperparah oleh kenyataan betapa Ciangbunjin dengan terpaksa harus melaksanakan semua perintah Kwan Bok Hoan yang belakangan mendapatkan dukungan dan bantuan dari beberapa tokoh lihay. Tokoh-tokoh inilah yang sebetulnya memanfaatkan Kwan Bok Hoan dan menundukkan 5 murid utama Tiam Jong Pay dan membunuh 5 murid utama lainnya.

Dengan bantuan dan dukungan beberapa tokoh lihay ini, Tiam Jong Pay praktis berada dalam kekuasaan mereka dan menggunakan Ciangbunjin sebagai boneka buat keuntungan dan keperluan mereka. Dan hebatnya, struktur Tiam Jong Pay membuat kondisi ini tidak tercium keluar, meski ada beberapa keanehan dan kecurigaan, tetapi tampilnya Ciangbunjin meski tidak bersemangat membuat keadaan tidak tercium keluar. Hanya sute-sute Ciangbunjin yang measa aneh melihat perubahan perangai keua mereka.

Maklum, hubungan mereka sudah sangat dekat, sudah seperti keluarga sendiri, dan terlebih banyak tahun mereka bergaul bersama sebagai sesame saudara perguruan. Tetapi, rasa aneh dan kepenasaran mereka tenggelam begitu saja dan mulai mengeti ketika mereka mengalami sesuatu hal yang membuat mereka harus menahan diri.

Gui San Bu, Wakil Ciangbunjin Tiam Jong Pay sudah tentu mengenal Toa Suhengnya secara dekat. Dan dia paham benar bahwa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di Tiam Jong Pay. Bahkan perasaannya yang tajam sudah dengan cepat menghubungkan kejadian tersebut dengan Kwan Bok Hoan, hanya dia tetap tidak sanggup menalar dengan cara bagaimana Kwan Bok Hoan mempengaruhi kebijakan Toa Suhengnya.

Terlebih, ketika memauki perkampungan pertama, kedua, markas perguruan dan perdagangan suasana sama sekali tidak menunjukkan keanehan. Segala sesuatu berjalan dengan lancar dan tidak ada satupun hal mencurigakan yang nampak dimatanya. Dia masih tetap disambut dan dihormati sebagai wakil Ciangbunjin yang berkedudukan tinggi di Tiam Jong Pay.

Demikian juga ketika bertemu orang-orang di Markas Perguruan dan Perdagangan, tiada satupun sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Bahkan, sebagai Wakil Ciangbunjin dia dengan mudah memperoleh kesempatan menemui Ciangbunjin Tiam Jong Pay yang adalah Toa Suhengnya sendiri. “Ada apa sebenarnya, mengapa segala sesuatu berjalan seperti biasanya? Ataukah ini hanya kecurigaanku semata”? batin Gui San Bu. Dan kondisi seperti itu justru membuat Gui San Bu menjadi semakin tegang, dan dia adalah seorang yang sult untuk menyemunyikan perasaan resah atas kondisi yang tidak sanggup diurainya.

Kecurigaannya baru mulai menemukan tanda-tanda kebenaran ketika bertemu dengan Ciangbunjin yang wajah dan rupanya sangat tidak biasa. Wajah dan raut muka Toa Suhengnya, Ciangbunjin Tiam Jong Pay sungguh sebuah raut yang memendam rasa penasaran dan penderitaan yang sangat berat.

Padahal, Gui San Bu paham betul keadaan Toa Suhengnya yang biasanya tegas, bijaksana, tetapi selalu sangat teliti memahami keadaan dan memutuskan secara adil. Toa Suhengnya terlampau lapang untuk mengatasi hal-hal stress yang biasa saja, tetapi jika sampai rautnya seperti ini, sekarang ini, pastilah sesuatu yang sangat besar sedang berlangsung.

Tetapi, sampai sekian lama Gui San Bu berusaha menanyai Toa Suhengnya yang biasanya sangat terbuka membicarakan semua urusan dengannya, tiada satupun kalimat penting yang keluar dari mulut Toa Suhengnya mengenai keadaan yang dihadapinya. Bahkan Toa Suheng tersebut berulangkali menasehati Gui San Bu agar menjaga langkah dan tindakannya di Markas Utama:

“Kita sedang menghadapi keadaan dunia persilatan yang kacau balau Bu te, jadi sangat diharapkan agar langkah dan tindakan kita agak berhati-hati agar tidak hanyut oleh pertikaian tak berkesudahan ini”

“Tapi Toa Suheng, bagaimana dengan keadaanmu sendiri? Nampaknya Toa Suheng seperti kurang sehat atau ada sesuatu yang menimpa Toa Suheng sampai keadaanmu seperti sekarang ini?

“Ach, engkau tahu sendiri Bu te, betapapun usiaku saat ini sudah semakin menanjak tinggi. Adalah biasa bagi orang yang menjadi semakin tua wajahnya semakin mengeriput. Tidak ada sesuatu yang perlu dicemaskan”

“Terus, bagaimana dengan keputusan menarik kekuatan kita dari persekutuan para pendekar melawan Thian Liong Pang? Bukankah justru Ciangbunjin yang memutuskan secara gagah agar kita mendukung perjuangan tersebut? Bagaimana pula sampai akhirnya Ciangbunjin memutuskan untuk menarik diri dari persekutuan tersebut? Kejar Gui San Bu

Nampak wajah Ciangbunjin sedikit menegang, tetapi secepat itu juga dia menenangkan diri. Karena betapapun dia memang sudah menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan sutenya yang adalah wakilnya sekaligus:

“Aaaach, keadaan dunia persilatan semakin tidak menentu. Bahkan hasil akhir pertarungan tersebut semakin sulit diramalkan sute, engkau tahu dan melihat sendiri keadaannya ..”

“Hasil akhirnya sebetulnya sudah mendekat Suheng” tukas Gui San BU memotong percakapan Toa Suhengnya.

“Benar, tetapi dampak di kemudian hari bagi Tiam Jong Pay akan sungguh tidak mengenakkan ….” Suara Ciangbunjin yang tertekan ini mengambang. Dan menampak wajah Suheng atau Ciangbunjin yang begitu memelas dan tertekan, membuat Gui San Bu tidak enak hati untuk terus memburu jawaban darinya.

“Baiklah jika demikian Suheng, kita semua berharap ini adalah yang tebraik bagi Tiam Jog Pay. Biarlah kita membahas masalah ini dikemudian hari”

“Benar sute, dan ada baiknya engkau berlaku hati-hati” ujar Ciangbunjin tetapi dengan tidak memandang wajah sutenya. Tetapi, kalimat terakhir yang nampaknya ringan itu, terasa sangat telak menghantam sanubari Gui San Bu. Suhengnya memintanya berhati-hati padahal mereka berada di Markas Utama TIam Jong Pay? Ada apa gerangan? Sementara ketika ingin melihat ketegasan diwajah suhengnya, justru sang Ciangbunjin yang memalingkan wajahnya tidak lagi ingin bercakap dengannya. “ada apa gerangan”? keadaan yang semakin mengherankan Gui San Bu.

Tetapi Gui San Bu yang keheranan dan bercuriga segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika pada malam harinya dia tertidur, tahu-tahu ketika sadar dia telah berada dalam sebuah ruangan penyekapan bersama dengan 2 orang pelindung yang adalah suheng dan sutenya sendiri.

Dan ketiganya berada dalam ruangan tahanan khusus yang mirip penjara. Segera Gui San Bu sadar bahwa dia ditempatkan dalam ruangan penjara istimewa yang hanya Ciangbunjin yang tahu bagaimana cara membebaskan mereka. Dan nama Gui San Bu dengan segera lenyap dari peredaran di Markas Utama, dan seperti biasanya, tak ada seoangpun yang bercuriga.

Apalagi karena Ciangbunjin masih aktif memberikan perintah-perintah, meskipun perintah itu lama-kelamaan menjadi agak aneh dan beda dengan biasanya. Begitulah keadaan Tiam Jong Pay yang sedang terancam dari dalam ruangan istimewa mereka sendiri, ancaman yang mungkin akan memunahkan semua nama baik dan prestasi perguruan yang terbangun lama.

Dan dengan tertangkapnya Gui San Bu, relatif Kwan Bok Hoan dan anak buahnya, lengkap dengan tokoh-tokoh pendukungnya bebas melakukan apa yang mereka rencanakan. Dan memang akan habiskah Tiam Jong Pay dengan nama besarnya?

Sementara itu, ditempat lain nampak 2 orang pemuda berwajah mirip, sangat mirip malah, seperti sedang menanti-nantikan seseorang. Mudah ditebak, kedua orang muda yang mirip dan nampaknya sedang menyantap makanan siang hari itu, adalah 2 tokoh muda Siauw Lim Sie: Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.

Seperti diceritakan dibagian depan, keduanya memang bertugas untuk membantu Gui San Bu, Wakil Ciangbunjin Tiam Jong Pay untuk menyelidiki keadaan di Perguruan tersebut. Tetapi, sudah dua hari mereka menunggu kabar dari Gui San Bu, tetapi kabar tersebut sama sekali tidak pernah datang. Padahal, seharusnya sesuai perjanjian, Gui San Bu akan mengabari mereka sehari yang telah lewat.

“Song te, sehari telah kembali berlalu. Tetapi, sama sekali belum ada kabar apapun dari Gui Locianpwee. Ada apakah gerangan”?

“Entahlah koko. Seharusnya memang orang tua itu memberikan kaar kepada kita. Tapi entah mengapa sampai hari ini orang tua itu asih belum menunjukkan tanda-tanda akan datang mengabari kita” Kwi Song nampak rada kesal.

“Kita akan menunggu sampai malam ini Song te, jika tetap belum ada kabar, maka kita coba untuk memasuki markas mereka malam ini untuk mencari kabar”

“Hm, ide koko kali ini benar-benar cocok dengan apa yang kupikirkan” Kwi Song nampak tersenyum menyambut ide kakaknya. Menunggu selama dua hari benar-benar membuatnya bosan. Untunglah perkampungan itu cukup ramai.

“Iya, tetapi buang jauh jauh pikiran isengmu itu. Pekerjaan kita kali ini menentukan banyak hal kedepan, jadi jangan angin-anginan” Kwi Beng mengingatkan adiknya yang dia tahu kadang memang rada “nakal” dan usil itu.
“Tenang saja koko, aku masih tahu kalau pekerjaan kita tidaklah ringan”

Kembali kedua anak muda kembar itu melanjutkan makan siang mereka. Sampai kemudian, perasaan Kwi Beng yang halus sedikit berdesir. Dia maklum apa artinya dan karena itu secara spontan dan seperti tidak dibuat-buat, Kwi Beng kemudian berteriak:

“Pelayan”, sambil memanggil pelayan dengan cepat dia mengitarkan pandangan mata kesekelilingnya. Benar saja, disudut sebelah kanan agak kebelakang, atau disebelah kiri Kwi Song, nampak beberapa orang sedang mengawasi mereka. Dan ketika dengan gerakan normal dia berbicara kepada pelayan untuk menambah pesanan, para pengawas yang mengawasi mereka nampak cepat cepat memalingkan wajah mereka. Tetapi keadaan yang sedikit diluar kebiasaan itu telah mengusik kewaspadaan seorang Kwi Beng. Dan dengan ilmu menyampaikan suara dia berbisik kepada Kwi Song:

“Song te, keadaan menjadi kurang beres. Ada beberapa orang berwajah mencurigakan sejak beberapa saat lalu erus menerus mengawasi kita”

“Biar sajalah koko, kita tunggu apa mau orang-orang itu. Makanan ini terlalu enak untuk diganggu keroco-keroco macam mereka” balas Kwi Song dengan ilmu yang sama.

“Song te, ingat, kita berada disini untuk tugas apa, dan ingat siapa lawan kita”

“Benar koko, tapi biarlah kita urus setelah selesai makan” balas Kwi Song seenaknya. Dan Kwi Beng segera sadar, bahwa memang mereka yang harus menunggu gerakan lawan lebih jauh.

Tetapi, sampai selesai makan, para pengawas atau pengintai yang selalu memata-matai kedua saudara kembar itu tidak melakukan gerakan apapun. Sementara Kwi Song yang menyadari bahwa mereka menjadi target pengawasan orang, malah semakin berlagak haha hihi dan bicara apa saja yang ngawur.

Kwi Beng yang mengerti tingkah dan pola adik kembarnya membiarkannya saja, bahkan sesekali tersenyum lucu melihat tingkah pola Kwi Song. Sementara para pengawas menjadi kebingungan melihat keadaan target pengawasan mereka. Tetapi, begitupun merea tetap terpaku duduk dikursinya, terus mengawasi kakak beradik kembar itu. Keadaan yang “ruwet” seperti itu berlangsung terus, bahkan sampai akhirnya masing-masing bosan dengan tingkahnya.

Kwi Song capek dengan upayanya “ber haha hihi” tidak karuan dan tidka munculnya kabar dari Gui San Bu, sementara para pengintai juga capek karena boleh dikata tidak menemukan hal-hal aneh dan mencurigakan.

Bahkan seseorang berkata “agaknya kita ditugaskan mengawasi pemuda sinting bersama saudaranya”. Karena itu, sampai akhirnya Kwi Beng dan Kwi Song meninggalkan tempat, nyaris tidak ada apa-apa yang diperoleh kedua belah pihak. Suatu hal yang pasti, Kwi Beng dan Kwi Song menjadi sadar, bahwa kedatangan mereka ternyata sudah tercium oleh musuh dan bahkan tindakan mereka sedang diawasi.

Tapi, apa dan bagaimana sebenarnya kejadian di Tiam Jong Pay? Sungguh sebuah misteri. Bagaimana mungkin seorang Wakil Ciangbunjin menghilang begitu saja setelah memberi janji akan mengabari mereka dalam waktu singkat sementara hari sudah berlalu 2 kali, tapi kabar itu belum datang juga?.
 
Bimabet
2




Tapi malam itu keheranan Kwi Song dan Kwi Beng akhirnya terjawab. Menjelang tengah malam keduanya yang memang sudah berwaspada saling mengirim peringatan:

“Song te, nampaknya ada seorang, ehm, malah beberapa orang mendekati kita. Nampaknya sesuatu bakal terjadi”

“Benar Beng koko, dilihat waktunya kelihatannya mereka bermaksud kurang baik. Ada baiknya kita mencoba menjebak mereka”

“Benar Song te, saatnya kita mengorek keterangan mereka”

Dan mulailah kedua kakak beradik itu memainkan peranan mereka, berpura-pura tertidur pulas, padahal mereka sedang terjaga dan dalam keadaan sangat waspada. Tetapi, sampai beberapa lama kemudian, tidak terjadi apa-apa. Meskipun ada langkah kaki yang mendekati tempat mereka. Tetapi langkah kaki itu sebentar kemudian kembali menjauh dan tidak melakukan apapun yang mencurigakan.

Begitu seterusnya, sampai akhirnya dalam keadaan tetap waspada keduanya hanyut dalam Samadhi dan terus memantau keadaan diluar kamar mereka. Sampai pada akhirnya ketika gelap semakin jauh, bahkan mendekati waktu subuh, pada akhirnya langkah-langkah kaki yang mengganggu tersebut akhirnya sirap dengan sendirinya. Dan pada akhirnya, kedua kakak beradik itu benar-benar tertidur, meskipun kewaspadaan mereka tentunya masih dipertahankan.

Tetapi, apakah memang benar para pengintai yang bermasud kurang baik itu sudah berlalu? Sama sekali tidak. Pada kenyataannya, sebuah adu kecerdikan sedang dilakukan. Langkah-langkah kaki yang berat dan kasar sebenarnya disengaja oleh para pengintai yang sedang menyasar kedua anak muda itu sebagai korban.

Dan lebih dari itu, kelihatannya para pengintai tahu benar siapa korban mereka, dan karenanya tidaklah berani mereka berbuat hal-hal yang tidak direncanakan. Dan perencananya, kelihatannya bukan orang sembarangan, bahkan nampaknya sangat mengenal korban mereka. Dan memang terbukti, ketika kemudian Kwi Beng dan Kwi Song menduga para pengintai sudah berlalu, dan mereka mulai melonggarkan kewaspadaan buat sedikit menikmati istirahat, tiba-tiba mereka merasa adanya hawa aneh yang membuat perasaan mereka menjadi kurang enak.

Lebih celaka lagi, tanpa mereka sadari, di luar kamar mereka, orang lain yang berkepandaian sangat tinggi, sudah memasukkan sebuah tangkai kecil yang ujungnya berlubang dan nampak mengeluarkan asap yang sangat tipis. Gangguan berupa hawa aneh yang merusak konsentrasi dan masuknya segumpal asap terjadi pada saat yang bersamaan. Sungguh menggambarkan betapa perencananya mengenal betul siapa buruan mereka.

Meski demikian hampir pada saat bersamaan, karena betapapun kedua anak muda itu adalah anak gemblengan, Kwi Song dan Kwi Beng sadar akan awan beracun sedang menyerang mereka. Dengan cepat mereka merapal ilmu mereka dengan meningkatkan kekuatan sinkang melindungi tubuh. Sadar menghadapi serangan gelap bermuatan sihir, mereka dengan cepat menutup diri dan dengan cepat khikang khas ilmu murni Siauw Lim Sie mereka Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) sudah merasuki badan mereka.

Dengan sendirinya racun yang disemprotkan kearah mereka jadi kehilangan bisa, sementara konsentrasi mereka menjadi jernih. Tetapi, keadaan mereka menjadi rawan. Dan nampaknya, memang keadaan itulah yang ditunggu oleh penyerangnya. Dengan tidak mengeluarkan suara, sesosok tubuh langsing melesat kedalam ruangan kamar mereka.

Dan meskipun terlindung hawa khikang yang luar biasa, tetapi dalam keadaan samadhi, dan lagi tidak menyadari kehadiran sosok yang luar biasa itu, keadaan jelas berbahaya. Apalagi ternyata karena sosok tersebut berkepandaian sungguh mengerikan. Dengan hati-hati dan menggunakan sebagian besar kekuatannya, nampak sosok tersebut mengirimkan totokan yang meski tersampok kuat oleh khikang mujijat, tetapi karena kekuatannya sendiri juga mujijat dan luar biasa, sanggup menyusup ke jalan darah Kwi Beng dan Kwi Song.

Sontak keduanya mencelos dan tidak punya waktu melawan dan karena itu akhirnya keduanya tertotok roboh tidak berdaya, pingsan. Dan bersamaan dengan itu, masuklah sosok tubuh lain, yang ternyata adalah Tibet Sin Mo Ong, Hu Pangcu Thian Liong Pang:

“Hm kionghi locianpwee, sungguh sebuah karya cemerlang berhasil menawan kedua pendekar muda ini”

“Hm”, hanya terdengar dengusan dari sosok tubuh langsing tersebut. Tidak bisa disembunyikan rasa kagum atas perlawanan yang ditemukannya ketika menotok kedua anak yang sebelumnya dipandangnya sebelah mata. Tetapi tba-tiba dia mendengus dengan suara dingin ketika melihat Tibet Sin Mo Ong mengarahkan serangan ke kedua tubuh yang sednag pingsan tersebut:

“Hm, mau apa engkau” dan tangannya mengibas kearah pukulan Tibet Sin Mo Ong. Tidak terdengar benturan, tetapi nampak Tibet Sin Mo Ong tergetar tangannya dan pukulannya meleset jauh dari sasaran.

”Aku melarang siapapun disini untuk melukai kedua anak muda itu, tempatkan mereka dalam tahanan bawah tanah”

“Tapi locianpwee, kedua anak muda ini sangat berbahaya” sanggah Tibet Sin Mo Ong nampak khawatir

“Apa kurang jelas yang kukatakan”? dengus sosok langsing itu dingin

“Baiklah jika itu kemauan locianpwee” Tibet Sin Mo Ong mengalah. Dan akhirnya beberapa orang kemudian ditugaskan mengotong tubuh kedua pendekar muda itu, sejenak kemudian kamar itupun sunyi seperti sediakala. Bagai tak ada sesuatupun yang terjadi sebelumnya.

Esoknya, menjelang siang, Kwi Beng dan Kwi Song akhirnya sadar dan keduanya saling tersenyum kecut dan pahit ketika menemukan kenyataan tubuh mereka terbaring dalam sebuah kamar tahanan. Sekali lihat, mereka sadar bahwa rumah tahanan itu berada di bawah tanah, dan adalah sia-sia untuk berusaha menjebol besi yang nampak kokoh mengitari tempat mereka berada.

Dari sebaliknya berusaha mencari jalan keluar, keduanya seperti sejiwa untuk mengembalikan kesegaran badan terlebih dahulu. Terutama karena tubuh mereka lemas sebagai akibat kemasukan racun bius sesaat setelah tenaga mereka buyar tertotok oleh seorang lihay semalam. Untung saja racun itu masuk dalam kadar yang rendah, dan hanya beberapa saat mereka menghirupnya.

Karena itu, tidak lama kemudian keduanya sudah tenggelam dalam semedhi dan berusaha memulihkan hawa murni mereka sekaligus mengusir racun keluar dari dalam tubuh asing-masing. Tidak butuh waktu lama mereka melakukannya, terutama karena tiada halangan sama sekali bagi mereka untuk mengerahkan hawa saktinya.

Sementara itu, seorang kakek yang sudah nampak tua, tiba-tiba muncul dalam ruangan kamar yang digunakan Kwi Beng dan Kwi Song. Dari sisa hawa racun serta tapak kaki yang tertinggal dilantai, orang tua itu segera sadar, bahwa kedua kakak beradik itu telah tertawan musuh. Tetapi, melihat tiadanya bekas perkelahian, diapun sadar, bahwa keduanya tidak sempat melakukan perlawanan dan kelihatannya keduanya telah ditahan musuh:

“Hm, rupanya mereka keluar kandang semalam, dan itulah sebabnya agak mudah bagiku untuk memasuki markas utama Tiam Jong Pay. Kelihatannya justru ada baiknya mereka menjemput kedua anak itu dan memudahkanku memasuki markas. Tetapi, siapa gerangan tokoh yang sanggup menembus ilmu Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak) yang sudah cukup hebat itu”?
Kembali kakek tua itu mengedarkan pandangannya kesekeliling kamar, tetapi tidak ditemukannya sama sekali jejak orang luar biasa yang sanggup menawan Kwi Beng dan Kwi Song. Tetapi, bahwa ada beberapa jago luar biasa yang bercokol di markas Tiam Jong Pay sudah diketahuinya.

”Sekarang ini, paling tepat adalah berusaha menyelamatkan kedua anak itu, serta menyelamatkan beberapa tokoh Tiam Jong Pay. Biarlah urusan lain berlangsung mengalir, mudah-mudahan korbannya tidaklah terlampau besar. Kelihatannya masalah Tiam Jong Pay sungguh tidak kecil dan bahkan sudah berlangsung lama. Tapi untuk apakah semua itu”?

Siapakah kakek tua itu? Dari usianya yang telah lanjut dan bila kaum persilatan bertemu dengannya, maka bisa dipastikan mereka akan sangat kaget. Karena Kakek tua ini bukanlah tokoh sembarangan. Dia adalah Kiang Cun Le, bekas Duta Agung Lembah Pualam Hijau dan sekaligus Bengcu Rimba Persilatan Tionggoan selama 20 tahunan. Seorang pendekar legendaries di daratan Tionggoan dan orang tua yang telah mencatatkan namanya dalam tinta emas dunia kependekaran.

Tidak ada lawan dan kawan yang tidak menghormati dan menyeganinya karena kehebatan dan kebijaksanaannya. Untuk apa pula tiba-tiba Kiang Cu Le berada di markas Tiam Jong Pay? Sebagaimana diceritakan di bagian depan, seperti Nenek Kiang In Hong atau Liong-i-Sinni, Kiang Cun Le mendapat tugas untuk mengawasi dan menyempurnakan Kwi Beng dan Kwi Song.

Tugas yang didapatkan dari Kolomoto Ti Lou, seorang tua berkepandaian seperti dewa dan seangkatan serta sama hebatnya dengan Kakeknya sendiri, Kiang Sin Liong. Dan malam ketika Kwi Beng dan Kwi Song tertawan, adalah malam dimana Kiang Cun Le justru menyusup masuk ke markas utama Tiam Jong Pay.

Dan tanpa kesulitan berarti, Kiang Cun Le bertemu dengan Bu Kang Cu It Kiam Keng Thian (Pedang Sakti Menyanggah Langit) Ciangbunjin Tiam Jong Pay. Dan bukan main kaget sekaligus senang hati Bu Kang Cu ketika tiba-tiba dalam kamarnya telah berdiri seorang yang sangat dikenal dan dihormatinya, Kiang Cun Le.

“Ach, kelihatannya thian telah mendengarkan doaku dan telah mengirimkan Kiang Locianpwee ke Tiam Jong Pay” Dari seharusnya marah karena seorang asing menyelinap kekamarnya, anehnya, Bu Kang Cu malah sebaliknya nampak kegirangan. Tetapi, tiba-tiba sikapnya menjadi sangat serius, dan nampak kekhawatiran membayang dimatanya. Kiang Cun Le menyadari sesuatu dan dengan segera berkata:

“Tenang Bu Ciangbunjin, dalam kisaran 10 meter dari kamar ini, tiada seorangpun yang tidak tertangkap tindakannya olehku”

“Ach, aku lupa sedang berhadapan dengan siapa” nampak wajah Bu Kang Cu sedikit menjadi lebih tenang. Dan tiba-tiba diapun berkata:

“Apakah locianpwee tidak bertemu dengan “orang-orang” itu”?

“Siapakah yang engkau maksudkan”? Tanya Kiang Cun Le

“Markas Utama ini, juga ditempati oleh orang-orang lihay luar biasa. Bahkan akupun tidak sanggup dan tidak nempil menghadapi mereka lebih dari 10 jurus. Bahkan konon, salah seorang dari mereka lihay luar biasa, seorang locianpwee angkatan tua, tetapi aku sendiripun tidak pernah mengetahuinya”

“Hm, nampaknya memang serius upaya mereka kali ini, termasuk menjajah Tiam Jong Pay dan Thian San Pay” gumam kakek Kiang Cun Le.

“Locianpwee, maksudmu Thian San Pay juga mengalami …..”?

“Benar” tukas Kiang Cun Le

“Ach, benar-benar berbahaya. Dunia persilatan sungguh-sungguh dalam bahaya besar” Bu Kang Cu ikut-ikutan bergumam dan sadar bahwa bencana bukan cuma menimpa Tiam Jong Pay. Tetapi, tiba-tiba dia sadar bahwa dia melupakan sesuatu, meski cuma basa basi alias sopan santun:

“Aaaach, maafkan aku Kiang Locianpwee, aku lupa mempersilahkan engkau duduk. Tuan rumah macam apa aku ini”

“Sudahlah Bu Ciangbunjin, jika berkenan, adalah jauh lebih baik kita membicarakan banyak hal secara leluasa ditempat yang bisa dijamin keamanan dan kerahasiaannya”

“Kamarku ini adalah salah satu tempat yang tidak mereka sentuh Mereka percaya lohu tidak akan main gila, karena keluargaku semuanya telah menjadi tawanan mereka”

“Ya, masuk akal. Aku berprihatin dengan keadaan keluargamu Bu Ciangbunjin. Tetapi, baiklah, biarlah kucoba mengamati keadaan sekitar kamar ini biar tiada seorangpun yang mendekati kamar ini tanpa sepengetahuanku sambil kita bercakap-cakap” ujar Kiang Cun Le sambil kemudian menjangkau sebuah kursi yang berada didekatnya untuk kemudian digunakannya, tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk berhadap-hadapan.

“Dan ada baiknya jika penerangan di kamar ini juga dipadamkan agar supaya tiada seorangpun yang curiga dan membiarkan mereka menganggap Bu Ciangbunjin sudah tertidur” tambah kakek sakti Kiang Cu Le yang dengan segera diiyakan dan dikuti oleh Bu Kang Cu

“Bu Ciangbunjin” demikian Kiang Cun Le memulai dan dengan suara yang sangat halus dan kelihatannya telah menggunakan ilmu menyampaikan suara.

“Lohu menemukan keadaan yang sangat aneh, penuh hawa aneh dan suasana yang tidak biasa di Tiam Jong Pay. Bersediakah Ciangbunjin menjelaskannya”? Kakek Kiang Cun Le bertanya secara halus sambil terus meneus mengelus-elus jenggot putihnya.

“Kiang Locianpwee, sebetulnya keadaan ini sudah berlangsung selama 5 tahun terakhir. Terutama ketika begitu banyak keuntungan dagang Tiam Jong Pay yang menguap entah kemana. Tetapi, ketika lohu menanyakannya kepada adik Bu Liang Cu, diapun sangat sulit menjawab. Bahkan sejak saat itu, banyak kejadian aneh, termasuk berujung pada ditawannya semua keluargaku dan bahkan terakhir, kedua sute pelindung perguruan juga tertawan. Baru belakangan ketika Gui Sute juga ditawan, lohu sadar jika Tiam Jong Pay telah kesusupan orang Thian Liong Pay”

“Sungguh rapih dan licik mereka mempermainkan banyak perguruan” Kiang Cun Le bergumam masih dalam nada tenang.

“Benar Kiang Locianpwee, bahkan lohupun tidak tahu lagi harus berbuat apa. Karena keadaan di Tiam Jong Pay tidak merebak keluar dan lohu sendiri tidak sanggup lagi menangani keadaan kedalam perguruan. Mohon petunjuk dan bantuan Kiang Locianpwee”?

“Sejujurnya Bu Ciangbunjin, bahkan lohu sendiri tidak punya pegangan untuk mengamankan kondisi ini. Sekilas lohu merasa ada kekuatan yang sangat luar biasa yang tertanam dalam perguruan ini dan sudah berlangsung cukup lama. Tetapi, kekuatan siapa, sungguh lohu tidak sanggup mengidentifikasinya”

“Apakah sehebat itu kekuatan yang tertanam disini locianpwee”?

“Sulit kupastikan, tetapi lohu sendiri kurang punya pegangan membenturnya”

“Aaaaaccch, bagaimana baiknya”? terdengar Bu Kang Cu menggumam semakin gelisah. Jika tokoh sekelas Kiang Cun Le saja masih belum berkeyakinan, siapa lagi yang diharapkan bisa?

“Bu Ciangbunjin jika benar dugaan lohu bahwa Tiam Jong Pay menjadi salah satu sumber dana bagi gerakan Thian Liong Pay, maka penjagaan disini pastilah teramat kuat dan ketat. Mereka tidak akan main-main dengan sumber keuangan mereka. Tapi, mengapa kekuatan mereka malam ini terasa sangat longgar”?

“Entahlah Kiang Locianpwee, lohupun kurang mengerti apa yang sedang mereka kerjakan malam hari ini”

“Bisakah Bu Ciangbunjin menunjukkan kamar tahanan dimana para tokoh Tiam Jong Pay ditahan”?

“Sudah tentu locianwee ….”

“Tahan, jangan bersuara” tiba-tiba Kiang Cun Le memotong kalimat Bu Kang Cu dan memintanya untuk tidak berbicara. Hal itu terutama karena kepekaannya yang luar biasa menangkap adanya gerakan dan hunjuk kekuatan yang mendekati jaring pengaman yang dipasangnya. Karena itu, perlahan dia menarik jaring pengaman tersebut, dan kemudian bersemadhi untuk tidak memancarkan pengaruh, wibawa dan kekuatannya keluar. Kiang Cun Le paham, ada beberapa orang luar biasa yang mendekati tempat mereka, tetapi karena kecepatannya menarik kekuatannya, jejaknya tidak tertangkap. Dan orang-orang itu, nampaknya cukup banyak, berlalu melewati kamar Bu Kang Cu dan sebentar kemudian suara ribut-ribut itu sirap.

Tetapi, bersamaan dengan kedatangan orang-orang tadi, kekuatan dan wibawa markas utama Tiam Jong Pay justru mengental, dan keadaan ini tentu dirasakan oleh Kiang Cun Le. “Sungguh bukan kekuatan yang ringan yang tertanam di markas utama ini” bisik Cun Le dalam hatinya.

Karena itu, Kiang Cun Le meningkatkan kewaspadaannya, masih ada beberapa ketika dia berbicara lewat ilmu menyampaikan suara yang dibalas dengan tulisan tangan penjelasan Bu Kang Cu. Dan menjelang fajar, akhirnya dengan petunjuk Bu Kang Cu, Ciangbunjin Tiam Jong Pay, akhirnya Kiang Cun Le bisa melepaskan diri dari Markas Utama Tiam Jong Pay yang sudah dalam genggaman musuh. Tetapi, bagi Kiang Cun Le sendiri, tertinggal pertanyaan yang sangat menggelitiknya:

“Kekuatan siapa gerangan yang berada di markas utama tersebut”? dan sebentar kemudian tiba-tiba dia tersentak: “Ach, sungguh berbahaya, kelihatannya lawan yang dituju kedua anak itu bahkan melampaui kekuatan mereka berdua”. Kesadaran itu membuat Kiang Cun Le memutuskan untuk bergegas menemui kedua Pendekar Kembar asal Siauw Lim Sie tersebut besok harinya.

Tetapi, dia butuh memulihkan emosi, kekuatan dan tenaganya terlebih dahulu, karena keadaan ternyata lebih genting dari yang diduganya semula. Demikianlah, Kiang Cun le akhirnya menyadari bahwa dia telah didahului lawan, kedua anak muda itu sudah raib alias diculik. Khawatir akan keselamatan kedua anak muda tersebut, Kiang Cun Le memikirkan untuk bertindak cepat.

=================

“Beng ko, khawatirnya tempat tahanan ini tidak ada jalan keluarnya” terdengar suara bisikan dalam ruangan tahanan yang terisi dua orang anak muda.

“Kita harus menunggu waktu yang tepat Song-te, lagipula apa gunanya mendobrak pintu tahanan sementara lawan berjaga-jaga di atas sana” balas suara yang lain, terdengar lebih tenang dan tidak tersirat nada ketakutan meskipun berada dalam ruang tahanan musuh.

“Engkau benar koko, jauh lebih baik kita menunggu. Tapi, sapakah gerangan orangnya yang sanggup menembus pertahanan kita koko? Menuruh Suhu, sudah jarang tokoh yang mampu menembus khikang kita pada tingkatan sekarang ini” terdengar nada penasaran dari si adik, Kwi Song

“Adikku, di atas langit masih ada langit. Ingat pesan Suhu, banyak orang-orang lihay yang menyembunyikan diri, dan tiada seorangpun yang pantas disebut memiliki kesaktian paling tinggi. Yang merasa demikian hanyalah mereka yang suka memanjakan nafsu kesia-siaan pribadi” terang Kwi Beng menirukan petuah dan nasehat-nasehat yang diberikan guru mereka, Kian Ti Hosiang semasa tokoh hebat Siauw Lim Sie itu masih bersama dan mengasuh mereka berdua di pintu perguruan mereka.

“Engkau benar koko, tapi penasaran mengetahui siapa gerangan yang mampu menembus ilmu kita kan bukan sebuah dosa”? Kwi Song berkeras dengan gayanya yang khas.

“tidak ada dosanya jika sekedar penasaran adikku” Kwi Beng menimpali sambil tersenyum. Dia memang tidak pernah bosan dan kesunyian jika berada bersama adik kembarnya ini. Selalu saja ada kelakar kecil yang membuat suasana yang rumit sekalipun menghadirkan rasa lucu yang menggelitik.

Tengah keduanya bercakap-cakap antara rasa penasaran hingga masalah mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari kamar tahanan yang berjarak tidak jauh dari mereka:

“Apakah Pendekar Siauw Lim Sie yang berada di sana”?

“Siapakah anda”? seperti biasa Kwi Song yang menyahut, tetapi dengan rada ragu karena seperti mengenal suara tersebut.

“Lohu Gui San Bu, dan nampaknya sama dengan jiwi tayhiap, sama-sama menjadi tahanan di sini”

“Apa, Gui San Bu? Bagaimana mungkin Wakil Ciangbunjin Tiam Jong Pay ditahan di kamar tahanan perguruan sendiri? Apa gerangan yang terjadi? Kwi Song melonjak keheranan

“Ceritanya panjang jiwi-tayhiap! Sangat panjang, dan nampaknya Tiam Jong Pay yang kesusupan penjahat sedang berada di jurang keruntuhannya” desis Gui San Bu tertekan. Lenyap semua kesombongannya.

“Astaga, artinya penghianat itu yang sekarang mengambil alih perguruan anda, Tiam Jong Pang”?

“Singkatnya demikian jiwi tayhiap”

“Pantas kamipun akhirnya tertangkap saat menunggu berita dari Tiam Jong Pay. Sialnya lagi dibokong pake racun dan ilmu hitam. Dan ….. astaga koko, bukan tidak mungkin Tiam Jong Pay telah disusupi dan kini dikuasai orang-orang Thian Liong Pang. Dan jika benar demikian, maka keadaan kita sungguh sangat berbahaya” desis Kwi Song. Pada saat bersamaan, Kwi Beng juga memikirkan kemungkinan yang sama, dan karena itu dia berusaha menindas rasa khawatirnya.

“Hm, sangat mungkin adikku, sangat mungkin”

Tetapi, sampai malam mereka bercakap-cakap, bahkan sampai diberitahu bahwa di kamar tahanan yang sama juga ada Pelindung Hukum Tiam Jong Pay dan bahwa masalah ini ternyata sudah lama, tetap tidak ada gerakan apa-apa. Akhirnya bahkan sampai malam menjelang datangpun tetap tidak nampak tanda tanda bahwa mereka akan dilepaskan ataupun akan diinterogasi.

Bahwa justru karena kesaktian Kwi Beng dan Kwi Song yang tinggi yang membuat turun perintah untuk tidak membunuh mereka, tidaklah diketahui keduanya. Si penculik yang menotok mereka sangat tertarik dengan kemampuan kedua anak muda itu dan merasa sayang untuk menghabisi mereka.

Sementara itu, Tibet Sin Mo Ong sendiri, meski berkeinginan melenyapkan bibit penyakit bagi Thian Liong Pang, tetapi nampaknya sangat takut berhadapan dengan tokoh tersebut. Keadaan inilah yang justru membuat keselamatan Kwi Beng dan Kwi Song untuk sementara tidak berhalangan.

Di tempat lain, Kiang Cun Le yang merasa sangat khawatir dengan keselamatan kedua pendekar kembar yang keselamatan mereka disandarkan padanya, telah memutuskan untuk kembali bergerak malam itu juga. Gerakannya kali ini menjadi jauh lebih baik, terutama karena telah memperoleh petunjuk Ciangbunjin Tiam Jong Pay, jalan mana yang aman untuk memasuki markas utama.

Dengan menggunakan jalan khusus yang hanya diketahui para pentolan Tiam Jong Pay, maka Kakek Kiang Cun Le terhindar dari resiko menyentuh areal markas perguruan yang menjadi pusat perdagangan. Areal yang terasa sangat “berbahaya” oleh Kakek sakti itu, entah mengapa.

Tetapi, firasat yang didapatnya dalam perjalanan semalam membuatnya waspada, karena di markas utama, ternyata juga berisi orang-orang yang tidak kurang lihaynya. “Untungnya, mereka nampaknya tidak berpikir jika ada orang lain lagi yang memiliki maksud sama datang ke Tiam Jong Pay. Kelihatannya mereka sudah merasa aman dengan menangkap kedua pendekar kembar itu.

Sungguh memudahkanku memasuki markas ini” desis Kakek Cun Le dalam hatinya. Sebenarnya dia sendiri heran, mengapa begitu longgar penjagaan malam tersebut. Kelihatannya dikarenakan pihak yang menguasai Tiam Jong Pay sudah yakin, kalau musuh dan bahaya yang datang telah dibereskan. Makanya, penjagaan dan kesiagaan malam itu justru tidak seperti malam-malam sebelumnya. Dan keadaan ini menguntungkan pergerakan Kakek Kiang Cun Le.

Tetapi, untuk menyelamatkan Ciangbunjin Tiam Jong Pay, dia harus meninggalkan kesan bahwa tempat tahanan diketahuinya dengan memeras keterangan penjaga. Dan bukan pekerjaan berat bagi Kakek Kian Cun Le untuk mengerjakan pekerjaan demikian.

Dengan tidak meninggalkan jejak dan suara, Kakek Sakti itu mengambil seorang penjaga, menotok yang lain tanpa yang ditotok tahu apa yang terjadi dan tidak lama kemudian sudah berada dalam ruangan tahanan bawah tanah. Sebetulnya kunci ruang tahanan hanya dimiliki Tibet Sin Mo Ong dan Ciangbunjin Tiam Jong Pay, dan untuk menyelamatkan Ciangbunjin itu, dia mematahkan dan merusak semua pintu masuk bahkan terakhir pintu dan jeruji dari besi di kamar tahanan.

Dan tepat ketika membebaskan tokoh-tokoh yang disekap di kamar tahanan itu, dengan suara lirih Kiang Cun Le berkata:

“Keadaan di luar sungguh berbahaya, kita berhadapan dengan kekuatan yang luar biasa kuatnya. Kita harus menyelamatkan keluarga Ciangbunjin dan juga Ciangbunjin Tiam Jong Pay. Kekuatan kita kurang memadai, tetapi untuk menyelinap keluar kemungkinan itu ada. Karena itu, harap bersikap hati-hati dan jangan berisik. Selanjutnya, harap para tokoh Tiam Jong Pay yang memandu jalan keluar kita, dan selanjutnya sebaiknya ada yang membebaskan keluarga Ciangbunjin yang disandra. Kita perlu membagi tugas dengan kepala dingin karena musuh sewaktu waktu sadar bahwa kamar tahanan dibobol”

“Baik, biar Suheng bersama sute yang memandu jalan keluar dan membebaskan para sandera. Sementara itu, lohu akan menghubungi para murid yang masih setia untuk melakukan persiapan perlawanan”

“Apakah kekuatan Tiam Jong Pay saat ini, terutama yang masih setia, memadai untuk itu”? terdengar Kiang Cun Le bertanya.

“Selain 6 murid utama, rata-rata murid Tiam Jong Pay tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Apabila Locianpwee mengawal Ciangbunjin dan sute serta suheng membebaskan para sandera, maka dibawah perintah Ciangbunjn ditanggung semua murid Tiam Jong Pay akan patuh”

“Benar Kiang Locianpwee, kami tanggung murid-murid Tiam Jong Pay akan mengikuti perintah Ciangbunjin Suheng” tambah Tian Kui Hok yang masih sedikit lemas karena sudah lama dalam tahanan.

“Baiklah, jika demikian, biarlah lohu akan menjumpai Bu Ciangbunjin dan yang lain bertugas menyelamatkan keluarga Ciangbunjin dan para sandera”

“Baik, biarlah diatur demikian, bersama Suheng dan Sute kami meminta kesediaan Saudara Kwi Beng untuk membantu menyelamatkan para sandera. Lohu sendiri bersama saudara Kwi Song akan mendampingi Kiang Locianpwee untuk menemui Ciangbunjin Suheng”.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd