Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(capos) kisah para naga di pusaran badai lanjutan jilid 2

andytama124

Guru Semprot
Daftar
25 Dec 2014
Post
565
Like diterima
41
Bimabet
BAB 1 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilat
1 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilat



Sepuluh hari telah lewat setelah meninggalnya salah seorang Tokoh Ajaib Rimba Persilatan, Kian Ti Hosiang. Bahkan jasadnyapun sudah diperabukan melalui upacara keagamaan yang sangat khusyuk dan diiringi sejumlah tokoh besar rimba persilatan jaman itu. Dan malam itu, memasuki malam pada hari kesebelas, ataupun 3 hari setelah perdebatan masalah bengcu rimba persilatan yang berujung pada pengembalian mandat bengcu oleh Kiang Ceng Liong.

Malam yang sungguh-sungguh kelam. Dan kesenyapan juga melingkupi gunung Siong San, bahkan juga lingkungan sekitar Kuil Siauw Lim Sie di Gunung terkenal itu. Bahkan mereka yang berjaga-jaga di seputar gunung Siong San, yakni para pendeta kelas rendahan di Kuil itu, juga berdiri dengan disiplin tinggi, nyaris seperti orang mati.

Suasana senyap itu, bahkan juga menjalari Kuil Siauw Lim Sie, yang nampak lengang, kendatipun masih banyak tokoh besar rimba persilatan yang masih tetap tinggal.

Sebetulnya, tinggalnya para tokoh tersebut, bukan semata masih kangen dan berat meninggalkan Siong San. Bukan juga karena kerasan alias betah dan terkesan dengan keindahan pemandangan si Gunung Siong San yang memang sangat terkenal itu. Tetapi, lebih karena tiba-tiba mereka menjadi sadar, bahwa pertikaian 3 hari beselang, bakal meninggalkan banyak kerumitan bagi rimba persilatan yang sedang dalam ancaman terror pembunuhan yang mengerikan.

Bahkan, banyak dan sebagian besar tokoh persilatan tersebut, mulai menyesalkan beberapa orang dari antara mereka yang memicu dan menimbulkan huru hara. Huru-hara yang pada akhirnya membuat dan mendorong Ceng Liong menanggalkan kewajibannya sebagai bengcu. Meskipun juga secara jantan Ceng Liong menyatakan tetap akan memanggul tugas untuk mengamankan rimba persilatan bukan sebagai bengcu, tetapi sebagai tanggungjawab insan persilatan, dan tanggungjawab Lembah Pualam Hijau bersama Siauw Lim Sie, Bu Tong dan Kay Pang.

Selain itu juga, lebih banyak lagi yang merasa seram dan menjadi sangat ketakutan karena Siong San barusan diganggu oleh tokoh-tokoh hitam yang sangat menakutkan. Siapa yang berani menjamin, bahwa gerombolan pembunuh Thian Liong Pang tidak akan mencegat mereka di perjalanan dan kemudian membasmi mereka satu persatu? Bukankah merupakan kesempatan besar bagi Thian Liong Pang untuk mengurangi kekuatan kelompok Pendekar? Dan bukankah itu sangat mungkin dalam perjalanan turun dari Kuil Siauw Lim Sie?

Beralasan apabila kemudian banyak diantara tokoh rimba persilatan yang merasa ngeri untuk melakukan perjalanan terpisah dari rombongan para pendekar turun dari Siong San. Siapa pula yang bersedia kehilangan nyawa cuma-cuma, terlebih setelah melihat dan mendengar kehebatan para penyerang, yang bukan tidak mungkin adalah Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay.

Dan, siapa pula Pendekar jaman ini yang tidak merasa seram dengan kedua maha iblis yang pernah mengganas 40 tahun sebelumnya, dan hanya dengan turun tangannya tokoh sekelas Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong sajalah yang sanggup mengikat mereka puluhan tahun. Dan, mereka sadar betul, bahwa mereka belum nempil melawan kedua maha iblis itu, bahkan mungkin mendekati sajapun masih belum, apalagi nempil menandingi keduanya.

Begitulah gambaran pada tokoh yang masih berada di Siuw Lim Sie, meskipun waktu untuk turun gunung sudah tiba. Tetapi, masih belum ada yang memiliki keberanian untuk mengambil insiatif turun gunung dengan alasan yang tentu berbeda-beda. Ciangbunjin Siauw Lim Sie sebagai salah seorang sesepuh dunia persilatan sungguh mengerti keadaan ini, dan karena itu, orang tua saleh ini sedang berdaya upaya keras untuk memikirkan bagaimana cara mengatasi keadaan terakhir ini.

Bersama dengan beberapa sesepuh atau yang dituakan di dunia persilatan dewasa ini, seperti Ciangbunjin Bu Tong Pay, Ciangbunjin Kun Lun Pay dan Hu Pangcu Kay Pang serta juga Jin Sim Todjin, Sian Eng Cu, utusan Thian San Pay dan Wakil Ciangbunjin Siauw Lim Sie, mereka merundingkan sesuatu di sebuah ruangan khusus yang tersedia bagi mereka. Karena itu, percakapan mereka sama sekali tidak menarik perhatian dan tidak ketahuan siapapun. Siapa lagi pulakah yang nekad untuk mengintip percakapan tokoh-tokoh besar dunia persilatan beraliran putih itu?

Sementara itu, ke-enam tokoh muda, Kiang Ceng Liong, Liang Mei Lan, Liang Tek Hoat, Siangkoan Giok Lian dan Pendekar kembar Siauw Lim Sie, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song, juga mengadakan pertemuan sejenis. Sebetulnya, topik dan keprihatinan merekapun tidak berbeda jauh dengan topik para sesepuh dunia persilatan.

Jikapun ada bedanya, maka percakapan para anak muda ini adalah membicarakan bagaimana melaksanakan tugas yang dititipkan suhu mereka masing-masing terkait dengan masa depan Rimba Persilatan Tionggoan. Serta juga, mereka masing-masing merasa agak kaget dan terkejut dengan pengunduran diri Ceng Liong, justru pada saat-saat menentukan untuk melakukan perlawanan dan pembasmian atas para pengacau Thian Liong Pang. Karena itu, para pendekar muda ini, bercakap dengan tindak lanjut dan bagaimana mereka akan berupaya untuk melakukan tugas mereka terkait dengan masalah di Tionggoan.

Karena tingginya kepandaian para pemuda ini, maka percakapan mereka nyaris tidak diketahui siapapun. Sama juga dengan percakapan para sesepuh yang sedang menganalisis kejadian-kejadian terakhir dengan penuh keprihatinan. Percakapan yang tidak saja sangat serius, tetapi terkesan sangat genting karena sejumlah besar persoalan dunia persilatan sangat penting untuk sesegera mungkin dipecahkan dan ditangani.

Percakapan para sesepuh yang terpisah dari percakapan para pendekar muda itu, dibuka oleh suara Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang nampaknya berbicara dengan mimik sangat serius dan penuh dengan keprihatinan itu:

“Saudara-saudara, punco sangat terkejut dengan perkembangan terakhir. Pengunduran diri Kiang Bengcu yang masih muda sungguh akan mengakibatkan banyak persoalan dan banyak kerumitan. Kita paham bersama, bahwa bahkan jalan turun dari bukit inipun masih rahasia, dan belum tahu ada perkembangan apa nantinya. Memang, setelah penyerangan waktu lalu, tidak nampak lagi aktifitas Thian Liong Pang disekitar Siong San, tetapi keadaan ini justru semakin mengkhawatirkan punco. Sangat mungkin mereka akan mengurangi kekuatan kaum pendekar dengan menyergap satu persatu dalam perjalanan dari Siong San ini. Bagaimana pendapat saudara saudara, siancai-siancai”

“Kekhawatiran Ciangbunjin sangat beralasan. Pikiran serupa juga sudah lohu pikirkan sejak beberapa hari terakhir. Terlalu mencurigakan tingkah dan pola Thian Liong Pang, dan tidak mungkin mereka tidak menyiapkan langkah lebih jauh. Karena itu, dibutuhkan kesiagaan tinggi dari para pendekar, baik sejak turun dari Siong San, maupun untuk keadaan selanjutnya. Tapi sayangnya, kenyataan bahwa Kiang Ceng Liong dipaksa oleh keadaan dan darah mudanya untuk mengundurkan diri sebagai Bengcu, justru tambah membuat kacau keadaan kita. Lohu melihat, lebih banyak ruginya ketimbang untungnya bagi kita” Pengemis Tawa Gila, Kay Pang Hu Pangcu berkomentar juga dengan nada yang sangat serius. Betapapun, rasa terima kasih dan hormatnya kepada Ceng Liong tidak bisa disembunyikan.

“Benar, benar sekali saudara Hu Pangcu. Dari kita semua, nampaknya lohu dan Pengemis Gila Tawa yang paling sering melihat sepak terjang bekas Bengcu muda itu. Kepandaiannya sungguh mengagumkan, bahkan sudah jauh melampaui lohu, sudah mendekati para guru besar kita. Tetapi kepahlawanan dan pribudinya sungguh mengagumkan. Caranya mengalahkan Bouw Lim Couwsu yang sangat sakti itu dan bahkan kemudian mengampuni nyawa orang tua sesat itu, sungguh sangat mengesankan. Karena itu, sungguh kerugian besar menciptakan kondisi yang memaksa Ceng Liong mengundurkan diri. Lohu melihat, dibutuhkan saran dan masukan dari para sesepuh, Ciangbunjin sekalian untuk menjernihkan masalah ini. Baik kepada Kiang Ceng Liong, maupun terhadap para pendekar” Sian Eng Cu angkat bicara, yang dibenarkan dengan anggukan kepala oleh Hu Pangcu Kay Pang yang langsung berkata singkat;

“Lohu sangat sependapat, usulan Tong Hengte sangat masuk akal. Hanya kekuatan dan pengaruh para sesepuh yang mungkin bisa mengatasi masalah ini secepatnya”

“Bila Ji Suheng sampai memuji anak itu, maka bisa dimengerti bahwa Kiang Ceng Liong bukan orang sembarangan. Artinya, sangat dibutuhkan tokoh muda semacam dia, disamping anak muda lainnya yang sudah sanggup memperlihatkan kemampuan mereka menghadapi para perusuh. Murid locianpwe Kiong Siang Han, Liang tek Hoat dan adiknya, Sumoy kami, juga nampak sudah bisa diandalkan. Dan jangan lupa, juga kedua murid kembar Siauw Lim Sie didikan dari Kian Ti Suhu, serta nona dari Bengkauw. Hanya, sebelum tercipta suasana kebersamaan, rasanya sangat sulit mencapai hasil yang baik” Jin Sim Todjin Menambahkan segera setelah Pengemis Tawa Gila menyetujui usulan Sian Eng Cu.

Suasana sejenak berubah menjadi lebih hening, ketika para sesepuh tersebut merenungkan semua yang disampaikan tokoh-tokoh yang sangat mengenal keadaan rimba persilatan, yakni Sian Eng Cu, Tong Li Koan dan Pengemis Tawa Gila. Beberapa dari mereka menjadi teperanjat mendengar Ceng Liong sanggup mengalahkan Bouwl Lim Couwsu. Dalam usia mudanya dan kemampuannya mengalahkan Bouw Lim Couwsu, sungguh membayangkan betapa hebat dan dahsyatnya anak muda itu.

Fakta bahwa dia dari Lembah Pualam Hijau memang hebat, tetapi fakta dia mengalahkan Bouw Lim Couwsu, sungguh berita yang terlampau besar. Tetapi, semua juga sadar, bahwa melakukan tugas menjernihkan persoalan benar-benar membutuhkan energi yang besar. Terutama menjelaskan dan membuat mengerti para tokoh rimba persilatan di satu sisi, dan setelah itu, masih belum tentu Kiang Ceng Liong akan menerima begitu saja meskipun para jago telah dibuat paham. Karena itu, para sesepuh yang berkumpul ini menjadi serba salah, memikirkan langkah terbaik apa yang bisa ditempuh dalam suasana yang sangat tidak menyenngkan ini.

Tidak mungkin menampung semua jago di Siong San, tapi juga tidak mungkin membiarkan mereka semua turun gunung dengan resiko terbunuh satu persatu. Apalagi, nyaris semua perguruan tinggi ternama, memiliki utusan khusus di Siong San saat itu, dan bila dihitung jumlah tamu masih cukup banyak, sekitar 150-an orang dari demikian banyak perguruan silat dan pendekar pengelana. Keheningan para jago kemudian ditingkahi dan dipecahkan keheningannya oleh Ciangbunjin Bu Tong Pay;

“Menurutku begini saja, melihat posisi dewasa ini, paling benar Ciangbunjin Siauw Lim Sie didampingi Ciangbunjin Kun Lun Pay, Hu Pangcu Kay Pang dan nantinya Lohu sendiri untuk menjelaskan posisi yang serba sulit dewasa ini. Sangat dibutuhkan perjuangan bersama, bukannya saling curiga seperti saat ini dan saling tidak percaya. Paling utama, kita yakinkan dulu para jago saat ini, kemudian urusan dengan Kiang Ceng Liong, nanti kita pikirkan menyusul” sarannya.

“Benar, lohupun setuju dengan usulan Ciangbunjin Bu Tong Pay. Sebaiknya segera kita percakapkan hal dan upaya meyakinkan para jago tersebut, baru setelah itu kita menjumpai para jago muda untuk kelak menjadi tokoh utama dalam pertarungan melawan Thian Liong Pang” Ciangbunjin Kun Lun Pay menimpali dan nampaknya sangat setuju dan mendukung apa yang telah menjadi usulan Ciangbunjin Bu Tong Pay. Dan tak lama kemudian terdengar Ciangbunjin Siauw Lim Sie menarik nafas panjang, dan beberapa saat kemudian pada akhirnya berkata:

“Baiklah, kita tetapkan demikian. Biarlah kita bersama menghadapi para pendekar yang masih ada, tetapi punco mengusulkan agar Sian Eng Cu Tayhiap bersama yang lainnya yang lebih mengenal Kiang Ceng Liong untuk menjajaki pikiran anak muda itu, juga para pendekar muda lainnya untuk menghadapi situasi yang sangat rumit ini”

Beberapa kepala nampak mengangguk-angguk menyetujui pembagian tugas tersebut. Bahkan Sian Eng Cu Tayhiap juga nampaknya mendukung penugasan atas dirinya serta sesepuh lainnya untuk bercakap dengan para pendekar muda. Dan selanjutnya para sesepuh tersebut nampaknya melanjutkan tukar pikiran dan strategi yang akan mereka lakukan terhadap tugas yang mesti segera mereka laksanakan.

Percakapan para sesepuh ini sendiri terasa agak tegang dan panas, meski udara sekitar Siong San agak dingin menusuk dan ditengah kesenyapan malam yang terasa mencekam. Percakapan mereka berlangsung sampai jauh malam, sampai tiba saat mereka beristirahat dan saling berjanji melakukan tugas masing-masing besok harinya.

Sementara itu para pendekar muda, di ruangan yang lain nampak juga sedang melakukan perundingan atas prakarsa Ceng Liong dan Tek Hoat dan dengan dibantu fasilitas oleh Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song. Kepedulian anak-anak muda ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan para sesepuh, meski mengambil jalan yang berbeda untuk menanganinya. Bahkan mereka sudah berpikir lebih maju dari ketimbang membicarakan persoalan mundurnya Ceng Liong dan keributan dalam pertemuan para jagi sebelumnya.

Anak-anak muda ini, sudah menganggap hal tersebut lewat meski merasa masih sangat penasaran dengan kejadian tersebut. Terlebih Tek Hoat dan Mei Lan yang sangat dekat dengan Ceng Liong. Pertemuan para anak muda itu, memperlihat kepemimpinan dan wibawa Ceng Liong dan kecerdasan Tek Hoat dan Kwi Song, serta ketelitian Mei Lan serta kesabaran Kwi Beng. Menariknya, kehadiran Giok Lian diantara mereka, sama sekali tidak menimbulkan pesoalan, malah sebaliknya.

Terlebih bagi Kwi Song yang semakin hari semakin jelas nampaknya menaruh hati terhadap Giok Lian, juga Tek Hoat yang juga memiliki perasaan yang sama terhadap gadis itu. Dan, Giok Lian juga menunjukkan tingkat pemahaman atas situasi dan ketelitian yang tidak di bawah Mei Lan. Seperti itulah kondisi para pendekar muda yang bertemu di sebuah ruangan dalam kuil Siauw Lim Sie atas bantuan kedua pendekar kembar asal Siauw Lim Sie itu. Dan seperti telah bersepakat sebelumnya, Ceng Liong yang kemudian membuka pertemuan itu dan mengarahkan percakapan mereka:

“Kawan-kawan, kita sedang menyaksikan suasana yang berkembang menjadi tidak menyenangkan dan lama-kelamaan akan menyulitkan Siauw Lim Sie. Bahkan, juga lama-kelamaan menyebabkan suasana disini dan suasana rimba persilatan menjadi semakin runyam. Masalah pertemuan dengan para jago dan mundurnya aku dari jabatan Bengcu, tidak usah kita persoalkan lebih jauh. Lebih baik kita segera membicarakan tugas yang diembankan para guru kita dalam melawan Thian Liong Pang. Menurut perkiraanku, tugas tersebut harus segera kita mulai bersama sejak dari Siauw Lim Sie ini. Bagaimana pemikiran kawan-kawan sekalian, baik atas suasana terakhir dan bagaimana cara kita memulai perlawanan terhadap perusuh Thian Liong Pang?”

“Saudara Ceng Liong, sebetulnya, akupun sangat kesal dengan tingkah para jago yang seakan-akan merasa sangat jago itu. Tapi, mempersoalkannya tidaklah mungkin lagi dewasa ini. Lawan-lawan kita, terbukti bukan olah-olah kehebatannya, dan kita semua sudah menyaksikan dan mengalaminya masing-masing. Ketimbang membicarakan persoalan siapa memimpin siapa, adalah lebih baik kita membicarakan bagaimana kita melakukan tugas guru kita masing-masing. Dalam hal ini, apabila saudara Ceng Liong memimpin kita dan mengkoordinasikan bagaimana kita melakukan tugas itu, dan masing-masing kita membagi tugas dalam keseluruhan perlawanan kita itu. Misalnya, Saudara Tek Hoat menggunakan keunggulan Kay Pang dalam mengendus informasi dan lawan, Hong Moi juga melakukan hal yang sama dengan kawan-kawan Beng Kauw, Lan Moi juga melakukan yang sama dengan jaringan Bu Tong Pay, sementara kami dengan jaringan Siauw Lim Sie. Rasanya kemungkinan kita melaksanakan tugas dengan baik cukup besar” Kwi Song memaparkan secara cemerlang apa yang dipikirkannya, dan dengan semangat yang sangat terekspresikan di wajahnya.

“Usulan Kwi Song Heng rasanya sangat masuk akal. Hanya, tugas bukannya menanti jauh disana, tetapi justru didepan mata sekarang. Bahkan untuk keluar dan turun dari Kuil Siauw Lim Sie, sangat mungkin dan bahkan nyaris pasti sangat berbahaya. Saya mengkhawatirkan nasib para jago yang bukan tidak mungkin terbantai satu demi satu dalam perjalanan turun gunung. Karena itu, selain membicarakan tugas kedepan, mengkoordinasikannya, kita juga harus membicarakan bagaimana mengawal para jago keluar dari Siauw Lim Sie. Dalam tugas ini, sepakat dengan Song heng, maka sudah seharusnya yang memimpin kita adalah engkau Liong-Ko. Biarlah kita semua bersama keluar mengawal para jago untuk turun gunung, dan kemudian dalam perjalanan turun gunung kita kali ini, sekaligus menjalankan rencana melawan pengaruh Thian Liong Pang, jika mungkin langsung dengan pentolannya” Tek Hoat menunjukkan tingkat kematangan dan kecerdikan yang tidak disebelah Kwi Song. Gaya dan ucapannya yang simpatik membuat semua orang mau tidak mau mengaguminya. Dan Giok Lian nampaknya semakin lama semakin condong menyukai pemuda ini. Tapi, sudah tentu dipendamnya jauh-jauh di lubuk hatinya. Apalagi, dia sadar betul, disudut lain pandang mata Kwi Song bersinar dengan nada yang sama kearahnya.

“Pikiran-pikiran Saudara Kwi Song dan Tek Hoat tidaklah salah. Tapi, apakah para jago itu tidak tersinggung di bawah pengawalan kita yang muda-muda ini? Giok Lian mengajukan pertanyaan yang cukup menyentak. Dan mebuat semua nampak berpikri cermat atas suasana itu.

“Benar Hong Moi, keadaan ini hampir pasti menimbulkan salah sangka diantara para jago. Bagaimana sebaiknya menurut saudara Kwi Beng atau Lian Moi? Ceng Liong yang secara langsung sudah merasakan penolakan para jago beberapa hari sebelumnya nampak memang terpengaruh oleh pertanyaan Giok Lian.

“Liong Ko, rasanya kita boleh melakukan tugas kita berterang ataupun dengan tidak berterang. Maksudku, kita berterang mengatakan bahwa mulai besok kita akan turun gunung melawan Thian Liong Pang. Kita lihat nanti bagaimana reaksi para jago. Atau, kita mengawal mereka secara diam-diam, dan turun tangan pada saat dan waktu yang tepat” Mei Lan mengusulkan sebuah saran yang pantas dipertimbangkan.

“Benar saudara Ceng Liong, usulan Lian Moi rasanya sangat masuk akal. Kita tinggal memilih salah satu dari kedua saran tersebut, atau bisa juga keduanya kita lakukan” Kwi Song menyarankan sambil memandang Tek Hoat yang mengangguk-angguk dan kemudian menambahkan:

“Benar, kita bisa mencoba keduanya sekaligus. Ada saat kita berterang dan ada saat kita melakuan secara diam-diam”

“Mungkin sebaiknya kita meminta bantuan atau pertolongan para sesepuh kita untuk beberapa hal. Pertama, menyangkut dukungan partai dan golongan kita masing-masing. Kedua, untuk melakukan tugas pengawalan agar tidak menyinggung orang lain. Ini perlu karena saudara Ceng Liong sudah meletakkan jabatan bengcunya. Ketiga, untuk membangun perlawanan secara menyeluruh sejak kita turun dari Siong San ini. Bila secara menyeluruh kaum pendekar Tionggoan bergerak, maka kemungkinan suksesnya sangatlah besar” Kwi Beng yang sebelumnya banyak berdiam diri dan menyimak, menyampaikan pikirannya yang nampak sangat matang dan terukur.

“Tapi, apakah para sesepuh itu mau membantu kita koko”? Kwi Song bertanya ragu

“Mereka, mau tidak mau membantu kita adikku. Karena masing-masing guru besar 4 perkumpulan besar sudah jelas menunjuk siapa yang mewakili dalam pertarungan dengan Thian Liong Pang”

“Jika demikian, bagaimana bila kita menghubungi para sesepuh itu sesegera mungkin, karena tidak mungkin kita membuat keadaan ini berlarut-larut dan lebih tidak mungkin lagi memberi banyak ketika bagi Thian Liong Pang untuk mengganas dan kemudian membantai banyak pesilat yang tidak berdosa”? Tek Hoat bertanya sambil mengusulkan.

“Ya, memang sebaiknya begitu Liong Ko, lebih cepat lebih baik. Karena waktu terus berjalan, dan tidak mungkin selamanya kita membiarkan kesusahan ini banyak mengganggu para pendeta di Siauw Lim Sie. Kebetulan lagi, hampir semua perguruan dan perkumpulan besar memiliki utusan dan anak murid di sini. Dengan demikian memudahkan kita untuk menggalang persatuan ketimbang mengunjungi perguruan itu satu demi satu” Mei Lan menambahkan.

Ceng Liong dan anak-anak muda itu nampak terdiam sejenak sebelum kemudian akhirnya Ceng Liong memecahkan keheningan itu dengan sebuah kesimpulan bagi mereka semua untuk segera mereka lakukan.

“Hm, baiklah kawan-kawan. Satu hal yang pasti, jabatan bengcu sudah kutanggalkan. Dan tidak pernah lagi akan kupertimbangkan menjabatnya sebelum Thian Liong Pang dihancurkan. Untuk tugas melawan Thian Liong Pang, tugas memimpin kita, para anak murid 4 guru besar Tionggoan, sanggup kulaksanakan dengan bantuan dan kerjasama kita semua. Terlebih, leluhur perguruan kita masing-masing, sudah sering melakukan kerjasama seperti ini. Seharusnya kitapun mampu dan bisa melakukannya dengan baik. Tugas untuk berbicara dengan para sesepuh, kuminta dilakukan bersama dengan saudara Kwi Beng dan Hong Moi, sementara yang lainnya melakukan kontak dengan perguruan masing-masing untuk memberitahu rencana kita. Paling tidak, kita butuh persiapan 1-2 hari sebelum turun dari Siong San. Bukan cuma mengawal para jago, tetapi melawan Thian Liong Pang, jika mungkin sampai menghancurkan pusat kekuatan mereka. Karena kepergian kita, waktunya atau lamanya belum bisa dipastikan, maka kita harus menyiapkan diri kita selama 1-2 hari terakhir. Nampaknya, lawan terakhir yang datang, sudah merupakan bagian dari inti kekuatan Thian Liong Pang. Jika tidak salah, maka Kim-i-Mo Ong yang kemarin menjadi lawanku, dan kemungkinan Koai Tung Sin Kai yang menyerang Lan Moi. Musuh kita sangat kuat, maka kita perlu meningkatkan kemampuan kita setiap ada saat dan ketika, karena itu akan menentukan kesuksesan kita kelak. Baiklah, malam ini kita beristirahat dan melakukan latihan-latihan terakhir, dan besok kita mulai dengan tugas masing-masing. Malamnya, kita kembali bertemu disini, dan 2-3 hari kemudian kita mulai bergerak”
 
Terakhir diubah:
Pertamax :haha:

Kalau bisa dibagi dua postingannya gan. Kasihan yang OL via HP, kayaknya ga bisa kebaca semua karena mungkin kapasitasnya lebih...

:beer:
 
ini seri keduanya yo, bang..
:huh:

yang pertama saja belum namatin:bata:
eh..sudah nongol lanjutannya:D

Oke:thumbup ane kembali lanjutin yang pertama dulu sampe selesai..
setelah itu balik kemari:)
:beer:
makasih​
 
Bang Troy juga penggemar silat rupanya... Hmmmmm...

Pa kabar Bang ? Ngaceng ??? Uppssss... Maksud saya... Maksud saya... Sehat ???

)))))))))))))))))))):ngacir:
 
2 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilatan (2)





Demikianlah, 2 pertemuan terpisah itu kemudian ditutup dan selanjutnya para tokoh itu kemudian beristirahat. Tetapi, semangat dibenak dan dada anak-anak muda itu, membuat mereka selanjutnya melakukan latihan di tempat istirahat masing-masing. Terutama latihan tenaga dalam mereka. Dan setelah melakukan perkelahian terakhir, masing-masing secara perlahan kembali mengalami peningkatan kemampuan, terutama kematangan dalam pemahaman gerak silat dan kematangan penguasaan tenaga dalam mereka.

Benarlah, semakin lama mereka semakin matang dan semakin hebat, akibat tempaan ajaib yang dilakukan guru mereka masing-masing. Hasil yang mereka capai, sungguh sulit dipercaya, padahal mereka berlatih paling lebih kurang 15 tahun lamanya. Tetapi capaian mereka, baik pemahaman atas gerak silat, maupun kematangan penguasaan tenaga dalam sudah sangat tinggi.

===================

Hari itu, genap 2 pekan sejak kematian Kian Ti Hosiang, atau 14 hari selang berpulangnya bekas ketua biara Siauw Lim Sie. Masih pagi-pagi benar di depan pintu ruangan tempat Ceng Liong beristirahat nampak telah berdiri Barisan 6 Pedang Lembah Pualam Hijau yang terkenal ampuh di dunia persilatan tersebut.

Dimanakah Ceng Liong? Meskipun masih pagi benar, Ceng Liong sudah kedatangan 3 orang tamu, yaitu Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Hu Pangcu Kaypang dan Sian Eng Cu Tayhiap. Sudah tentu Ceng Liong tergopoh menyambut ketiga tamu agungnya pagi-pagi benar, di hari yang telah ditentukannya sebagai hari mereka memulai gerakan perlawanan terhadap Thian Liong Pang dengan mengawal para jago turun gunung.

“Ach, sungguh kehormatan besar ketiga locianpwe datang mengunjungi tecu pagi-pagi benar” Ceng Liong menyambut ketiga tetua itu sambil membungkukkan badan memberi hormat. Tetapi dengan cepat Ciangbunjin Siauw Lim Sie sudah menahan tubuhnya untuk menghormat sambil berucap:

“Siancai, siancai. Kiang Ceng Liong, punco bertiga dengan Kaypang Hu Pangcu dan Sian Eng Cu Tayhiap datang mengunjungimu untuk menyatakan bahwa kami semua mendukung upaya dan keputusanmu. Masa depan dunia persilatan memang ditentukan oleh gebrakan kalian sejak hari ini, karena itu Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang, Thian San Pay, Kun Lun Pay dan sejumlah besar Perguruan Silat lainnya telah memberi restu untuk perjuangan kalian para anak muda. Setelah kalian mengawal para pendekar turun gunung, masing-masing Perguruan akan mengirimkan jago-jago mereka masing-masing untuk membantu kalian menempur Thian Liong Pang. Tetapi, perintisnya tetaplah kalian sebagai inti perjuangan tersebut. Maka, kami mewakili para tetuah datang memberi restu atas apa yang akan kalian lakukan, Amitabha”

“Dan mengenai persoalan Bengcu, biarlah seperti yang telah engkau katakana dan putuskan Ceng Liong. Kita tetapkan setelah perjuangan ini selesai. Dan lohu sangat yakin bahwa engkau akan berhasil melakukannya” Ucap Pengemis Tawa Gila sambil menepuk-nepuk pundak Ceng Liong.

“Terima kasih para locianpwe, tecu merasa beban bagi terasa berat, tetapi tetap harus kami kerjakan. Tentu restu para tetua akan menambah semangat juang kami” Ceng Liong menyambut sambil merendah.

“Hahahaha, anak muda, untuk saat ini nampaknya memang engkaulah yang paling tepat merintisnya. Bahkan suhu, pek Sim Siansu sendiripun tidak segan mengeluarkan pujiannya untukmu. Bila sudah demikian, maka masakan harus kuragukan pandangan guruku”? Sian Eng Cu berucap dengan penuh optimisme sekaligus membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme bagi Ceng Liong. Terlebih, karena orang tua itupun memang mengagumi dan menyukai anak muda perkasa itu.

“Terima kasih locianpwe, semoga kami berlima sanggup mengerjakannya”

“Baiklah anak muda, kami sudah menyampaikan restu dan rencana kedepan. Untuk itu, mulailah dengan merintis perlawanan itu. Siang ini, para jago sudah siap untuk turun gunung. Kawal mereka hingga ketempat aman dan lanjutkan perjuangan kalian setelah itu, kami memberkati kalian semua. Siancai, siancai”, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menegaskan dukungan dan restu mereka bagi para anak muda yang akan memulai perjuangannya pada siang hari tersebut.

Setelah menyampaikan pesan-pesannya, maka ketiga tetua atau sesepuh itu kemudian meninggalkan ruangan kamar Ceng Liong. Sementara anak muda itu sendiri nampak tercenung dan merasa tersanjung atas kepercayaan dan optimisme serta dukungan para sesepuh tersebut.

Beberapa saat kemudian, Ceng Liong kemudian kembali bersemadhi mengumpulkan semangatnya dan juga melatih kembali kepandaiannya. Selain melakukan percakapan dengan para tetua dan juga anak muda lainnya, 2 hari terakhir Ceng Liong secara khusus kembali melatih kemampuan individu Barisan 6 Pedang Lembahnya, sementara malam harinya digunakannya untuk melatih dirinya sendiri. Bagi Barisan 6 Pedang, terutama ditekankannya penggunaan latihan ginkang yang sebelumnya dikhususkan bagi Duta Perdamaian 1 dan 6, serta juga pematangan jurus gabungan Toa Hong Kiam Sut dan Soan Hong Kiam Sut dalam permainan Barisan mereka.

Menjelang siang, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang dan menyadarkan Ceng Liong dari latihan dan samadhinya. Tubuhnya terasa semakin segar dan ringan ketika meloncat untuk kemudian membuka pintu kamarnya. Ternyata yang dating adalah …… Liang Mei Lan. Dengan sedikit kaget, Ceng Liong kemudian menyapa Mei Lan dengan lembut:

“Lan Moi, engkau rupanya. Ada apakah gerangan”?

“Liong Ko, aku khawatir saja, semakin siang engkau malah belum kelihatan. Apakah engkau baik-baik saja”?

Ceng Liong terharu dengan perhatian yang tidak tersembunyikan dari nada suara dan pandangan Mei Lan. Sungguh dia terharu dan sangat gembira, tetapi sekaligus terasa sakit dan pahit didadanya. Tapi dengan menindas perasaan itu dia menjawab Mei Lan:

“Tidak apa-apa Lan Moi, mungkin aku rada tegang saja. Apakah engkau tidak merasakannya Lan Moi? Dan apakah teman-teman lain sudah siap”? tanpa sadar Ceng Liong juga menyambut dengan sama lembut dan penuh perhatiannya terhadap Mei Lan.

“Semua sudah siap Liong Ko, termasuk Barisan 6 Pedang yang sejak pagi sudah menunggui pintu kamarmu. Marilah, kita sebentar lagi akan memulainya” Ajak Mei Lan dengan manis, semanis rasa hati nona itu menerima perlakuan Ceng Liong.

“Baik Lan Moi, akupun sudah siap” Ceng Liong kemudian bergegas masuk sebentar dan tidak lama kemudian berjalan keluar melalui pintu dan berjalan berendeng dengan Mei Lan untuk menjumpai kawan-kawan lainnya. Tidak terpancar lagi ketegangan dari wajah Ceng Liong, terlebih karena disampingnya ada Mei Lan, meski rasa getir masih atau bahkan sangat sering menghinggapi dadanya menyadari bahwa dia mencintai Mei Lan. Tetapi sepertinya rasa itu terhalang sebuah tembok tebal. Sangat tebal. Dan hanya seringai pahit yang bisa muncul dari bibirnya mengenangkan itu.

Nampaknya semua persiapan sudah hampir beres. Liang Mei Lan sudah bersiap dengan sebuah pedang yang tersoren dipunggungnya, sama halnya dengan Siangkoan Giok Lian yang juga sudah membekal secara terbuka Pedang bawaannya yang selalu tersembunyi. Keduanya nampak sangat cantik, Mei Lan dalam kemungilannya nampak sangat rupawan, dan sulit menduga bahwa dalam diri gadis cantik nan mungil ini tersembunyi kepandaian sakti yang sangat digdaya.

Demikian juga Siangkoan Giok Lian, diapun seramping dan secantik Mei Lan, bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Mei Lan. Sungguh dua gadis cantik yang sangat cantik dan rupawan. Tidak heran bila Ceng Liong bangga berjalan bersama Mei Lan dan mata Kwi Song dan Tek Hoat tak ada puas puasnya memandangi Giok Lian.

Sementara Liang Tek Hoat sendiri nampak hanya membekal sebuah tongkat yang nampaknya mulai dibekalnya sejak memasuki Kuil Siauw Lim Sie. Sebuah tongkat kayu yang nampak biasa, serupa dengan tongkat hijau pemukul anjing ketua Kaypang. Tetapi tiruannya ini, merupakan dahan sebuah pohon yang tumbuh ratusan tahun di Thian San dan pernah digunakan dulu bahkan oleh guru Kiong Siang Han dan sekarang diwariskan kepada Liang Tek Hoat. Tongkat Kayu biasa yang sekilas tidak memberi kesan hebat, tetapi sebetulnya tahan diadu dengan pedang dan golok tajam sekalipun.

Sementara kedua pendekar kembar Siauw Lim Sie, nampak sama sekali tidak membekal senjata tajam, sama seperti Ceng Liong. Kedua pendekar kembar ini memang dilatih khusus bertangan kosong oleh guru mereka. Tetapi mereka berpakaian persis Pendekar Kelana Siauw Lim Sie dan membayangkan kegagahan yang luar biasa dari penampilan dan wajah mereka.

Sementara itu, Ceng Liong, seperti biasanya kembali tampil dengan jubah hijaunya, membayangkan dan melambangkan Lembah Pualam Hijau darimana dan dimana kini dia menjadi penanggungjawabnya. Tiba-tiba dia menjadi bangga dengan keadaan kini, bahwa diapun akan seperti leluhurnya, membela kalangan persilatan Tionggoan. Semangat merasuki dadanya.

Dan, pada akhirnya waktunya tiba. Tiba-tiba terdengar Ceng Liong bersuara dengan wibawanya:

“kawan-kawan, nampaknya waktunya sudah tiba” Dia berhenti sejenak dan menatap kawan-kawannya satu persatu yang rata rata mengangguk-angguk, dan kemudian melanjutkan:

“Barisan 6 Pedang”
“Siap Duta Agung”
“Kalian membuka jalan dan dilarang terpisah seorang dengan yang lain, sedapat mungkin tidak terpisah jauh dengan Liang Tek Hoat dan ketiga orang dari Cap it Hohan Kay Pang”
“Siap Duta Agung” dan dengan tertib kemudian ke-6 orang itu berjalan menuju pintu keluar Kuil Siauw Lim Sie.
“Tek Hoat, karena kemampuanmu yang kebal akan racun, maka sebaiknya pasukan perintis di depan berada dalam pengawasanmu bersama dengan ketiga orang dari Kay Pang Cap It Hohan” Ceng Liong dengan tepat menugaskan Tek Hoat yang diketahuinya dari Gurunya dan Kakek Kiong Siang Han, sudah kebal terhadap racun, dan tentu dia tidak takut terhadap kemungkinan penggunaan racun oleh Thian Liong Pang. Dan Tek Hoat nampaknya juga memiliki perasaan yang sama. Selain itu, dia juga paham betul bahwa Kaypang Cap It Hohan adalah didikan langsung Kiong Siang Han, sehingga kepandaian mereka tidaklah cetek.

“Baik Liong Ko, mari kita berangkat” Tek Hoat dengan segera menyahut dan menggapai kearah 3 orang dari Cap It Hohan didikan Kiong Siang Han. Dan merekapun segera berangkat. Mendahului rombongan pendekar.

“Pendekar Kembar, Saudara Kwi Beng dan Kwi Song, kalian menjelajahi sisi kanan dari jalur jalan keluar bersama-sama dan terus menjaga hubungan satu dengan yang lain”

“Baik, kami berangkat” Kwi Beng dengan segera menyahut sebelum adiknya yang dia tahu lebih ingin bergabung dengan Giok Lian. Dan keduanya dengan segera berangkat dan keluar dari pintu keluar kuil.

“Lan Moi dan Lian Moi, kalian berdua membuntuti sisi kiri rombongan para jago dan keluar setelah semua jago keluar dari pintu kuil. Bersiaplah karena isyarat itu akan segera kukeluarkan” Setelah berkata demikian, sebagaimana disepakati dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie bertiga dengan Sian Eng Cu Tayhiap dan Pengemis Tawa Gila, Ceng Liong segera mengeluarkan lengkingan rendah. Dan tidak lama kemudian, rombongan para jago mulai bergerak keluar dari Kuil Siauw Lim Sie. Tidak lama kemudian setelah orang terakhir keluar, nampak melesat 2 bayangan membayangi rombongan tersebut, tetapi bergerak tanpa ketahuan rombongan besar para pendekar.

Sementara itu, Kiang Ceng Liong nampak kemudian melesat kearah para sesepuh, memberi hormat dan kemudian mohon diri. Kepergiannya diiringi oleh tatapan penuh arti dan keprihatinan dari para jago yang masih tersisa, yakni Siauw Lim Sie Ciangbunjin dan Ciangbunjin Bu Tong Pay, Sian Eng Cu serta Jin Sim Todjin dan beberapa anak murid Bu Tong Pay yang akan bergerak menyusul kemudian bersama dengan 18 Arhad atau Lo Han Tin Siauw Lim Sie.

Malam sebelum keberangkatan mereka mendiskusikan bahwa perlu untuk berjaga jaga atas keselamatan para jago. Karena itu, sementara di rombongan para jago yang lebih kurang berjumlah 150an orang, disepakati dipimpin oleh Pengemis Tawa Gila dan Ciangbunjin Kun Lun Pay serta Hu Pangcu Thian San Pay. Dan rombongan lain akan menyusul secara diam-diam. Malam terakhir, para sesepuh akhirnya bersepakat untuk akhirnya melakukan perang dan pertandingan terbuka dengan Thian Liong Pang. Dan waktunya adalah, ketika para jago turun dari Siong San. Gendang perang akhirnya ditabuh.

Tidak diduga, setelah berjalan lebih dari 3 jam, ternyata tiada satupun penyerangan dilakukan oleh Thian Liong Pang. Sebagaimana disepakati, titik aman pertama akan dicapai setelah mencapai sebuah dusun kecil di kaki gunung Siong San dengan jarak tempuh sekitar 6 jam dari kuil Siauw Lim Sie karena berjalan dalam rombongan. Meskipun demikian, Tek Hoat yang memimpin pasukan pelopor tidak pernah mengurangi kewaspadaannya bersama dengan Barisan 6 Pedang disisi kiri jalan dan dia bersama 3 orang saudara perguruannya di sisi kanan jalan.

Hal yang sama juga dialami dan disikapi dengan sangat awas dan waspada oleh Kwi Beng dan Kwi Song yang berjalan sedikit didepan para jago. Juga dialami oleh kedua nona berkepandaian tinggi di belakang barisan para jago. Bahkan Pengemis Tawa Gila dan Ciangbunjin Kun Lun Pay, juga merasa heran sampai sejauh ini tiada satupun gangguan dialami oleh para jago. Demikian juga Ceng Liong yang berjalan agak kebelakang dan mengawasi perjalanan para jago dengan sebentar-sebentar melampaui barisan itu dan berada di depan dan kadang di belakang.

Bahkan ketika matahari semakin condong ke Barat dan memasuki jam ke-4 perjalanan, masih tetap tidak ada tanda-tanda akan terjadi pencegatan dan penyerangan. Bahkan beberapa orang jago mulai merasa tidak sabar dan beranggapan bahwa Thian Liong Pang merasa takut untuk menyerang mereka. Tetapi, para jago yang memiliki intuisi tinggi, justru semakin tercekam dan kagum akan permainan mental yang dilakukan oleh Thian Liong Pang.

Sudah jelas, bahwa mereka membiarkan barisan perjalanan ini seakan tidak terganggu, dan bisa sewaktu-waktu menyerang ketika kelengahan dan awas diri berkurang jauh. Itu sebabnya banyak jago tanggung yang menjagi lengah, sementara mereka yang berpengalaman justru merasa semakin gelisah dan merasa diteror habis-habisan oleh Thian Liong Pang.

Semakin mendekati titik aman pertama, masih tetap tidak ada gangguan. Tetapi tiba-tiba terdengar bentakan jauh di depan dari rombongan tersebut:

“Berhenti semua” bentakan yang berasal dari mulut Tek Hoat membuat Barisan 6 Pedang langkahnya tertahan, juga 3 orang dari Kay Pang Cap it Hohan:
“Mundur, dan menjauh dari tempatku berdiri” tambah Tek Hoat yang dengan segera dituruti oleh ke 9 orang pendekar itu. Perlahan-lahan mereka membentuk barisan dan siap bertempur, sementara itu, nampak Tek Hoat seperti sedang memusatkan perhatian melawan sesuatu. Dan tidak lama kemudian dia melompat ke belakang sambil berguman:

“Sungguh berbahaya. Untung Liong Ko sempat memikirkan cara seperti ini, kalau tidak, semua jago sangat mungkin tewas secara mengerikan. Racun ini cukup kuat, dan untungnya suhu sudah pernah melatihku menawarkan racun dengan pengerahan tenagaku”

Tidak berapa lama kemudian, rombongan para jago mulai mencapai tempat itu, sementara Tek masih belum mengerti bagaimana memunahkan racun yang nampaknya dioleskan di dedaunan dan rerumputan yang akan dilalui oleh para jago. Untungnya, karena berjalan paling depan, maka Tek Hoat yang dengan cepat mendeteksi adanya racun karena tubuhnya bereaksi hebat menawarkan racun. Dan dia mampu menahan langkah kawan-kawannya. Jika tidak, sungguh sulit untuk diperkirakan apakah kiranya sebab yang akan ditimbulkan bila racun itu tidak terdeteksi.

Pengemis Tawa Gila yang duluan tiba, dengan cepat berdiskusi dengan Tek Hoat dan mendapati bahwa jenis racun yang dioleskan di dedaunan adalah jenis campuran racun ular, mungkin 3-5 jenis racun ular dan kalajengking yang cukup kuat dan mematikan. Dan jika terkena, maka tidak butuh waktu lama bagi korban untuk menderita dan bahkan kemudian akan dengan cepat juga meregang nyawa begitu racunnya mencapai jalan darah penting.

“Racun jenis seperti ini, biasanya bisa ditawarkan dengan api atau panas membara Hoat Ji. Jika kita mengerahkan kekuatan Pek Lek Sin Jiu dan mengarahkannya ke lokasi yang diolesi daunan, maka racun tersebut akan bisa tawar atau ditawarkan oleh panas membara itu. Kelihatannya hanya engkau dan Ceng Liong yang bisa melakukannya Hoat Ji, dengan pengerahan kekuatan panas atau api menyengat”.

“Baiklah Hu Pangcu, biarlah tecu mencobanya, siapa tahu bisa membantu menawarkan dan menghilangkan racun di deaunan tersebut” Tek Hoat berkata sambil mempersiapkan dirinya diiringi tatapan tidak mengerti banyak jago yang tidak mengerti apa kejadiannya.

Mereka hanya sempat melihat seorang Liang Tek Hoat mempersiapkan kuda-kudanya dan kemudian tak lama, rasa panas yang luar biasa membara menyebar dari tubuh anak muda itu. Membuat mereka pada mundur dari tempat dan menjauhi Tek Hoat dan dengan mata terbelalak menyaksikan betapa dedaunan dan rumput seputar Tek Hoat tidak lama layu seperti terbakar, bahkan juga termasuk tanah yang dipijak Tek Hoat.

Tidak berapa lama, nampaknya Tek Hoat melompat kedepan dan terdengar suara desisan, seperti sesuatu sedang terbakar, dan beberapa desisan kembali terdengar begitu Tek Hoat melompat lagi dan begitu seterusnya sampai desisan itu tidak terdengar lagi.

“Cukup Hoat Ji, sudah cukup. Nampaknya daerah yang dilumuri racun hanya sekitar 20 meteran, tetapi lebih dari cukup untuk membunuh seluruh rombongan” Pengemis Tawa Gila menghentikan Tek Hoat yang kemudian menghentikan pengerahan tenaga panas dari tubuhnya. Bahkan kemudian sebuah jurus Pek lek Sin Jiu dilepaskan Tek Hoat untuk melihat apakah jalanan di depan terlumuri racun atau tidak.

Dan ternyata, setelah 20 meteran, tidak ada lagi racun di rerumputan dan dedaunan di sisi kiri dan kanan jalan. Para jago memandang Tek Hoat dengan penuh rasa terima kasih dan juga kekaguman yang sangat kentara. Tidak salah, anak ini memang jago muda yang telah angkat nama dengan julukan Sie yang sie Cao, tunas muda Kay Pang yang bersinar terang dan yang kini mereka saksikan kehebatannya. Kebal racun dan bertenaga panas yang luar biasa.

“Tek Hoat dan Hu Pangcu, nampaknya tiada kawanan Thian Liong Pang sekitar tempat ini lagi. Radius 100 meteran sudah keteliti dan tiada ditemui seorangpun. Nampaknya mereka yakin kalau kita akan terjebak disini. Untung ada engkau Tek Hoat. Perjalanan boleh dilanjutkan lagi” terdengar suara mendenging di telinga Tek Hoat dan Pengemis Tawa Gila, dan juga setelah itu Ceng Liong memberi tahu kawan-kawannya yang lain.

Pada akhirnya perjalanan menegangkan selama 6 jampun boleh dilalui, dengan hanya satu insiden berbahaya yang mereka lalui, yakni penyerangan gelap melalui penggunaan racun yang bisa digagalkan Tek Hoat. Tidak pelak lagi, Tek Hoat dengan segera memperoleh keharuman nama yang semakin cemerlang dan menjadi buah bibir para jago ketika mereka memutuskan beristirahat di luar dusun karena hari telah menjelang malam
 
3 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilatan (3)





Dusun Bun Cou sebetulnya hanyalah sebuah dusun kecil. Tetapi menjadi penting, karena dusun ini adalah tempat pemukiman terakhir untuk mencapai kuil Siauw Lim Sie di Gunung Siong San. Dusun ini terletak di kaki Gunung Siong San dan berjarak kurang lebih 6 jam berjalan kaki disisi sebelah timur Gunung.

Dari dusun ini, berjalan kaki selama kurang lebih 5 jam lagi akan bertemu sebuah kota kecil lain lagi yang sedikit lebih ramai dan baru dari kota kecil itu, berjalan sejauh 2 jam akan bertemu jalan bersimpang 5 menuju ke 5 arah dan tempat berbeda. Dusun Bun Cou sendiri masih berhawa dingin dan jumlah penduduknya yang rata-rata petani tidaklah banyak. Bahkan penginapan di dusun tersebut terbilang sangat sederhana dan hanya memiliki kamar atau ruang istirahat yang sangat terbatas.

Itulah sebabnya para jago kemudian memilih untuk beristirahat di luar dusun dengan jarak yang cukup jauh dengan hutan yang rimbun, dan kurang lebih berjarak 500 meter dari gerbang dusun.

Karena bergerombol dalam jumlah besar, maka cara istirahat para jago inipun terkesan seadanya. Ada yang duduk bersemadhi, ada yang memutuskan memanaskan diri dengan membuat api unggun, ada yang menghabiskan malam dengan bercakap-cakap dan sejumlah aktivitas lainnya untuk mengatasi ketegangan dan kepenatan.

Sementara itu, di sudut yang berbatasan dengan hutan berjaga Tek Hoat dengan 3 orang dari Kaypang Cap it Hohan, dan disebelah belakang berjaga barisan 6 pedang, disisi kiri dan kanan berjaga sepasang pendekar kembar dan sepasang gadis cantik rupawan, para pendekar muda itu. Sementara Ceng Liong memiliki kebebasan untuk mengadakan peninjauan dari sudut kesudut untuk memastikan keamanan para jago.

Terutama dengan mengunjungi kawan-kawannya untuk tukar menukar informasi dan sambil mengingatkan agar tetap waspada. Dan dengan formasi ini, maka hingga tengah malam rombongan sama sekali tidak mengalami gangguan. Bahkan sebagian besar mulai ayal dan sesekali meninggalkan rombongan besar untuk buang hajat tanpa memberitahu Pengemis Tawa Gila maupun Kun Lun Ciangbunjin.

Hari sudah melewati atau lepas tengah malam. Keadaan masih belum menunjukkan tanda-tanda mencurigakan hingga waktu kembali bergeser kurang lebih 2 jam. Tetapi, beberapa suara normal diwaktu malam, tiba-tiba hilang dan hanya telinga terlatih yang sanggup membedakan hilangnya beberapa suara khas waktu malam.

Orang-orang dan pesilat terkemuka diantara para jago, yakni Ceng Liong, Tek Hoat, Mei Lan, Giok Lian, Kwi beng, Kwi Song, Pengemis Tawa Gila dan Kun Lun Ciangbunjin bersama sedikit pendekar mampu menangkap ketidakwajaran tersebut. Kesenyapan yang kemudian timbul merupakan kesenyapan yang tidak wajar.

Dan kali ini, seperti juga yang terjadi di Kuil Siauw Lim Sie, bahkan dengan tataran yang lebih kuat, tiba-tiba sebuah kekuatan yang luar biasa memaksa orang untuk merindukan “tidur”. Para pendekar kelas rendahan, dengan cepat tertidur pulas dan tidak ingat dirinya sama sekali.

Sementara itu, para jago utama, menyadari bahwa mereka sedang terserang sebuah kekuatan tak berujud. Bahkan Ceng Liong yang pernah mengalami hal yang sama dan memunahkannya di kuil Siauw Lim Sie, menyadari bahwa kali ini kekuatan penyerang masih 2 kali lipat dari yang dialaminya di Siauw Lim Sie. Karena itu, dia segera menghimpun kekuatan batinnya sama seperti yang biasa dilakukannya dengan ilmu hipnotisnya.

Hanya, kali ini, tenaga batinnya disalurkan melalui udara dan tak lama kemudian sebuah suara yang mendengung berkumandang di lingkungan para jago:

“Cuwi sekalian, bersiaplah. Pusatkan kekuatan dalam masing-masing dan jaga kesadaran. Kita kemungkinan menghadapi serangan musuh. Tek Hoat, Mei Lan, Giok Lian, Kwi Song dan Kwi Beng, Barisan 6 Pedang, Cap it Hohan lawan kekuatan itu dan siaga di tempat masing-masing, jaga pintu masuk”

Suara Ceng Liong tersebut sangat membantu memecut dan menyadarkan banyak orang atas serangan tak berwujud tersebut. Bahkan banyak para jago yang kemudian bisa menemukan kesadarannya dengan dengungan suara Ceng Liong yang menelusup diantara sanubari dan kesadaran mereka yang dirusak oleh sebuah kekuatan hitam.

Sebuah kekuatan sihir yang mempengaruhi orang dari jarak tertentu dengan menghilangkan kesadaran orang hingga mirip orang tidur dalam jangka waktu tertentu. Meskipun hanya pertandingan melalui ilmu tidak lumrah dan tidak kelihatan oleh mata, tetapi pertarungan tadi sebetulnya sangat menentukan nasib banyak orang.

Dan nampaknya, penyerang dengan kekuatan hitam tadi menyadari bahwa memang ada seorang jago dari kelompok yang diserangnya yang sanggup menawarkan kekuatan hitam yang dilancarkannya tadi. Hal yang tentunya sangat mengagetkan hatinya dan tidak menyangka ada yang bisa meladeninya di tempat itu.

“Hm, tidak disangka ada seorang sahabat yang sanggup menahan kekuatan ilmu pengendali tidur orang di daerah Tionggoan. Hebat-hebat, mudah-mudahan kita bertemu dilain waktu dan kesempatan. Anggaplah ini salam perkenalan kita” sebuah suara mendengung mirip suara Ceng Liong bergema dan dengan jelas tertangkap semua terlinga para jago yang sudah siuman karena bantuan suara Ceng Liong tadi.

Mereka menjadi kagum atas kekuatan pengendali dari penyerang dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah membantu mereka. Tidak ada seorangpun yang mengetahui kalau suara yang membantu mereka adalah suara Ceng Liong, karena memang dalam getaran mujijat semacam itu, maka wibawa suara berubah menjadi sangat dominant, bahkan mengetuk sampai kesanubari orang.

Setelah beberapa saat ternyata tidak ada lagi gangguan, nampak kemudian Pengemis Tawa Gila mengumumkan:

“Cuwi enghiong, nampaknya bahaya telah lewat. Sebaiknya kita kembali mengendorkan syaraf. Kita mengucapkan terima kasih kepada Kiang Ceng Liong yang membuyarkan kekuatan hitam tadi dan menyadarkan banyak dari kita akan akibat tidur kita yang tidak bisa kita kuasai. Lebih baik kita beristirahat sampai pagi”

Apa yang disampaikan Pengemis Tawa Gila tentu saja mengagetkan banyak orang. Terutama mereka yang pernah mendesak Ceng Liong meletakkan jabatan bengcu. Tidak mereka sangka bila Ceng Liong ternyata begitu ampuh, bahkan bisa melawan pengaruh hitam dan membebaskan mereka dari cengkeraman Ilmu Hitam itu.

Tapi, tidak sedikit juga yang beranggapan itu hanyalah strategi Pengemis Tawa Gila untuk meningkatkan kualitas seorang Ceng Liong. Karena itu, kekaguman dan keraguan terhadap Ceng Liong tetap berkecamuk diantara sebegitu banyak orang itu. Terlebih, karena Ceng Liong sendiri tidak pernah tampil menonjolkan diri. Atau mempertunjukkan kepandaiannya ditengah banyak orang itu.

Sementara itu, para jago muda sama sekali tidak melonggarkan kesiagaan mereka bahkan sampai dengan fajar menyingsing menyongsong pagi hari. Mereka dalam keadaan berwaspada sambil bersamadhi dan mengontrol sekeliling peristirahatan para jago untuk memastikan keamanan.

Sementara Ceng Liong bergantian dengan Tek Hoat dan terutama Mei Lan berkali-kali melakukan penyelidikan sekeliling lokasi tersebut untuk memastikan tiadanya serangan gelap lawan. Memasuki pagi hari mereka kemudian melakukan percakapan dengan Pengemis Tawa Gila dan Kun Lun Ciangbunjin atas perkembangan terakhir dan meminta kesiagaan penuh untuk melanjutkan perjalanan.

Terutama hal ini disebabkan medan yang akan dilalui relatif jauh lebih memudahkan penyerang untuk melakukan penyerangan secara bergelap. Dan dengan tiadanya gangguan pada tahap pertama perjalanan, kemungkinan besar karena dipusatkan dalam perjalanan tahap kedua. Hal itu bisa dipastikan, karena sejauh ini, serangan yang dialami dilakukan secara enteng dan tidak begitu membahayakan.

Menjelang perjalanan dilanjutkan kembali, bergabung Bu Tong Ciangbunjin dan Jin Sim Todjin yang berjalan bersama 18 Pendeta Siauw Lim Sie yang tergabung dalam Lo Han Tin. Kedatangan mereka semakin memperbesar kekuatan dan keyakinan para jago yang merasa semakin bisa melakukan perlawanan.

Sementara itu, atas persetujuan Ceng Liong, Liang Mei Lan dengan didampingi oleh Kakaknya Liang Tek Hoat telah melakukan perjalanan mendahului rombongan. Dan tidak lama kemudian, Ceng Liong dengan mengajak tiga jago dari Cap it Hohan menyusul setelah memberi atau membagi tugas dengan Pendekar kembar agar mendampingi rombongan bersama dengan barisan 6 Pedang.

Ceng Liong percaya penuh atas kemampuan Mei Lan dan Tek Hoat, tetapi tugas penghubung kali ini diperankannya sendiri. Karena dengan berada di tengah, memudahkannya untuk melakukan pengawasan atas rombongan di belakang dengan tugas perintis dan pengintaian yang dikerjakan kedua kakak beradik itu.

Pada mulanya Mei Lan ingin melakukan pengintaian sendirian dan disetujui Ceng Liong yang mengenal kehebatan ginkang Mei Lan yang bahkan mengatasi mereka semua. Boleh dibilang ginkang tertinggi sekarang dikuasai Liong-i-Sinni berdua dengan muridnya ini, murid bersama dengan Pek Sim Siansu.

Tetapi, Tek Hoat yang mengkhawatirkan adiknya juga meminta ijin melakukan hal yang sama, tetapi titik berat ke perintisan. Ceng Liong menyetujuinya karena takut akan racun, selain juga dalam dasar hatinya terdapat kekhawatiran atas keselamatan Mei Lan. Gadis yang semakin menjerat hatinya, oleh cinta dan oleh rasa bersalah atas gadis lain yang belum ditemukannya.

Semakin mencintai Mei Lan, semakin sakit hatinya karena menyadari bahwa hal tersebut nyaris mustahil terjadi. Dan karena itu pula dia memilih berada di tengah untuk mengetahui perkembangan di depan dan di rombongan.

Tek Hoat yang mendampingi adiknya, sebetulnya bukan hanya ingin menjaga adiknya, tetapi juga ingin melewatkan waktu berdua dengan adiknya untuk beberapa hal. Terutama, dia ingin memastikan apa benar dugaannya bahwa adiknya nampaknya menaruh hati kepada Ceng Liong dan ingin meminta bantuan adiknya untuk menjalin hubungannya dengan Giok Lian.

Tetapi karena malu memulai menanyakan prihal Giok Lian, maka dia memulai dengan menanyakan persoalan Mei Lan sendiri. Tetapi, gaya khas dan pengenalan akan adiknya membuat dia membawa suasana percakapan menjadi ringan dan seperti lelucon:

“Hahahaha, Lan Moi, nampaknya kokomu ini menangkap ada sinyal aneh antara engkau berdua dengan Liong Ko. Hayo, kamu mesti mengakui dulu kepada kakakmu ini, biar kakakmu bisa membantu”

Tidak diduga, Mei Lan malah menanggapi dengan serius, dan bukannya marah. Hal yang membuat Tek Hoat sadar bahwa yang dihadapinya bukan lagi Mei Lan 15 tahun lalu, yang selain sangat menyayanginya, juga tergantung padanya.

Seperti saat ini, Mei Lan ternyata menanggapi serius, dan memang hatinya sedang gundah ingin membagi rasa pepat dan masalahnya dengan orang terdekat. Siapa lagi jika bukan kakaknya, Tek Hoat.

“Koko, apakah aku salah jika mencintainya”?

Pertanyaan yang mengagetkan Tek Hoat. Dan dia yakin akhirnya, kalau memang benar adiknya menaruh hati kepada Ceng Liong. Dia bahagia dan bangga mendengarnya. Mengapa pula itu dikatakan salah?

“Lan Moi, kokomu akan heran bila engkau tidak mengakuinya. Dan, kokomu ini juga bahagia, karena pasti tidak salah melihat bahwa Ceng Liong juga menaruh perasaan yang sama terhadapmu”

“Ach, tapi, dia lebih sering kelihatan serius dan seperti tidak balas mencintaku koko, makanya sering aku bingung”

“Tidak usah bingung Lan Moi, kakakmu tidak akan keliru mengatakan bahwa Ceng Liong juga memiliki perasaan yang sama”

“Kadang aku memang yakin dia juga demikian koko, tetapi sering dia terlihat misterius dan seperti menyembunyikan sesuatu”

“Apapun yang disembunyikannya, dia tak sanggup menyembunyikan perasaannya atas kamu Lan Moi. Soal itu, kamu tenang saja, kokomu juga akan membantumu”

“Apa betul begitu koko” suara Mei Lan terdengar sedikit antusias dengan tawaran bantuan kakaknya.

“Mengapa tidak, Ceng Liong juga manusia yang punya perasaan, termasuk cinta”

“Tapi, koko, jangan bikin adikmu ini malu nantinya ya”

“Bagaimana mungkin seorang kakak mempermalukan adiknya”? Lagipula, bagi kita Ceng Liong bukanlah orang lain lagi Lan Moi”

“Iya koko, tapi masalah percintaan kan tidak boleh kalau dipaksakan” desis Mei Lan.

Mendadak Tek Hoat yang memiliki pendengaran dan perasaan yang tajam berhenti. Mei Lan yang sedang terpecah konsentrasinya akibat percakapan masalah cintanya berkurang jauh kewapadaannya.

“Perlahan Lan Moi, nampaknya ada gerakan-gerakan yang terasa agak berat langkah atau hmmm, malah larinya menuju kearah kita”

“Benar koko, dan nampaknya sebentar lagi akan tiba di tempat ini” jawab Mei Lan setelah menemukan kembali kewaspadaannya.

“Biarlah kita menunggu ditempat ini, entah siapakah mereka gerangan”

Tidak berapa lama kemudian benar, dari kejauhan nampak 2 bayangan tubuh manusia bergerak pesat mendekat kearah mereka. Tapi langkah lari mereka nampaknya tidak leluasa, sepertinya keduanya sedang terluka.

Dan luka mereka yang membuat lari mereka semakin lama nampak semakin melamban. Tetapi, yang membuat Mei Lan kaget, ketika semakin dekat dia mengenali kedua orang itu sebagai Beng San Siang Eng atau Sepasang Pendekar dari Beng San. Keduanya adalah Pouw Kui Siang dan Li Bin Ham, sepasang Pendekar budiman dari golongan putih yang sangat terkenal keramahan dan kesaktiannya.

Sangat mengagetkan mendapati keduanya dalam keadaan terluka dan nampaknya sedang berusaha menghindari kejaran orang tertentu. Begitu tiba di dekat kedua anak muda itu, langkah kaki keduanya otomatis melambat dan memandang penuh curiga. Tetapi, begitu mengenali meski sangat sepintas Liang Mei Lan, keduanya saling pandang ragu. Belum lagi mereka bicara, Mei Lan sudah menyapa mereka ramah:

“Lupa lagikah jiwi locianpwe terhadap tecu Liang Mei Lan”?

“Ach, orang sendiri. Tapi, kita tetap harus menyingkir” Li Bin Ham yang lebih muda berusaha mengajak Tek Hoat dan Mei Lan menyingkir dan nampaknya diiyakan oleh saudaranya yang lebih tua, Pouw Kui Siang.

“Jiwi locianpwe lebih baik beristirahat. Jika berkenan, ceritakan apa yang sedang terjadi kepada tecu” Mei Lan membujuk, selain melihat keadaan Beng San Siang Eng memang nampak terluka dan butuh istirahat banyak.

“Waktunya tidak banyak. Tapi sebaiknya begini, Li Sute ceritakan kejadiannya dan informasinya kepada kedua anak muda ini, biar disampaikan kepada para jago. Biar kita menghambat para perusuh itu” Pouw Kui Siang berkata penuh semangat.

“Jiwi locianpwe, apa sebenarnya yang terjadi”? Mei Lan menjadi semakin curiga denga keadaan kedua orang ini

“Nona Mei Lan, sampaikan kabar kepada para jago yang kabarnya sedang turun dari Siauw Lim Sie. Perjalanan kedepan sangat banyak jebakannya, baik serangan gelap maupun jenis serbuan lain yang disiapkan Thian Liong Pang.

Bahkan kabarnya, sebagian besar kekuatan mereka diturunkan guna menghadang dan menghabisi para jago yang turun dari Siauw Lim Sie. Dan sepanjang perjalanan hari ini dan seterusnya, mereka menyiapkan sejumlah serangan terhadap para jago. Kekuatan inti mereka bahkan ditumplekkan di sekitar sini, terutama 2-3 jam perjalanan kedepan” Li Bin Ham menjelaskan dengan terburu-buru, sementara Pouw Kui Siang dengan berhati-hati selalu memandang kebelakang. Seakan dia sedang menunggu sesuatu
 
4 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilatan (4)






Kemudian terdengar dia bicara:

“Nona Mei Lan, itulah garis besar informasi yang kami bawa. Nah, karena nona lebih segar, sebaiknya nona segera membawa informasi itu ke para jago. Biarkan kami merintangi para pengejar kami yang berusaha menghambat kami menjumpai para jago”

Begitu selesai Pouw Kui Siang bicara, terdengar sebuah suara lirih dari jauh, tetapi seakan sangat dekat dengan mereka. Terdengar lirih namun dingin dan penuh ancaman.

“Hm, jangan harap ada yang akan mampu meninggalkan tempat ini”

“Ach, mereka akan segera tiba. Kedua anak muda, segeralah pergi. Kami mempertaruhkan keselamatan kami untuk informasi ini” Pouw Kui Siang mendesak.

“Hm, jiwi Locianpwe, sebaiknya beristirahat, biarkan kami menunggu mereka. Memang kami sedang memburu para perusuh itu” Tek Hoat yang biasanya ramah, sudah menjadi marah melihat keadaan luka kedua pendekar budiman yang namanya sudah kesohor dan dia kenal itu.

“Anak muda, tapi kami mempertaruhkan nyawa kami agar informasi itu sampai ke para jago. Bukan saatnya kita unjuk kekuatan dan info itu kemudian raib”

“Locianpwe, jangan khawatir. Kami sudah memutuskan untuk memburu balik para perusuh itu, dan kami sudah lebih dari siap. Kami berdua adalah barisan perintis yang mendahului rombongan besar” bisik Tek Hoat dengan suara lrih kepada kedua pendekar budiman tersebut.

Beng San Siang Eng memandang terbelalak kearah Tek Hoat dan Mei Lan. Dan keduanya heran melihat sepasang muda-mudi yang rada mirip wajahnya itu bersikap sangat tenang, penuh percaya diri dan nampaknya berisi.

Tetapi, mereka masih tetap belum yakin akan kemampuan mereka melawan para pengejar yang rata-rata sakti mandraguna itu. Tapi, sebuah ingatan melayang dan cepat Pouw Kui Siang sudah memaklumi siapa anak muda berpakaian biru, bersikap tenang dengan wajah ramah itu:

“Anak muda, jika tak salah engkau adalah murid yang tehormat locianpwe Kiong Siang Han, dan merupakan anak kedua dari Pangeran Liang di Kota Raja. Hm, Li Sute, mata kita sudah nyaris buta. Baiklah, mari kita songsong mereka” Pouw Kui Siang bangkit semangatnya. Dan nampaknya Li Bin Ham juga terbangkit semangatnya oleh suhengnya yang dengan tepat mengenali Tek Hoat.

Tapi terdengar Tek Hoat berkata:

“Jiwi Locianpwe sebaiknya beristirahat sejenak. Kumpulkan semangat dan pusatkan kembali kekuatan dalam. Akan sangat bermanfaat untuk mengembalikan dan memusatkan tenaga dalam, meski belum menyembuhkan luka dalam secara keseluruhan. Biarkan kami berdua melawan orang-orang yang datang itu” Tek Hoat berbisik.

“Koko, mereka datang berenam nampaknya” bisik Mei Lan. Dan benar saja, sekejap kemudian dihadapan mereka telah berdiri 6 orang dengan siap sangat menyeramkan. Nampaknya seorang yang berpakaian dan berkerudung putih yang memimpin para pendatang yang dengan sangat pesat tiba dihadapan Mei Lan berempat.

“Ya, mereka berenam, dan nampaknya bersikap buas-buas. Mereka lebih mirip disebut binatang daripada manusia Lan Moi” Tek Hoat sudah menyambut kedatangan mereka dengan ejekan yang disambut dengan jengekan dingin oleh para pendatang. Nampaknya mereka irit bicara.

“Hm, kami butuh dua orang itu” Si kerudung putih berbicara lirih, dan nampaknya dia yang mengeluarkan suara lirih tadi meski masih di kejauhan. Dari sini, Tek Hoat dan Mei Lan sudah bisa mengukur, betapa hebat lawan kali ini.

“Sayangnya, kalianpun butuh kami berdua. Karena semua informasi sudah kami pegang, hahahahahaha” Tek Hoat masih sempat-sempatnya tertawa.

“Atau lebih tepat lagi, kamipun jadi butuh kalian” timpal Mei Lan

“Hm, benar. Kalian berduapun harus kami bawa. Kalian bersiaplah” Si kerudung putih kemudian mengibaskan tangannya, dan dengan segera kelima pendatang yang menyertainya bergerak mengurung Tek Hoat dan Mei Lan. Apabila kelima orang berwajah dingin dan garang itu memandang enteng muda-mudi yang mereka kurung, maka si kerudung putih nampak lebih awas. Ketenangan Tek Hoat dan Mei Lan menggugah kewaspadaannya.

Karena itu dia berkata:
“Hati-hati, nampaknya kedua orang ini malah lebih berisi”
Serentak kemudian kelima manusia garang itu menggerang dan membuka serangan kearah Mei Lan. Tetapi semua tamparan, totokan dan sodokan mereka terlampau gampang dihindarkan Mei Lan. Bahkan beberapa kali tendangan dan pukulan dari pengeroyoknya dengan mudah dikelit atau sesekali disampoknya. Dan beberapa gerakan kemudian yang nampak mudah, membuat kelima pengeroyoknya menjadi semakin garang dan murka.

Tetapi, kemurkaan mereka malah membuat Mei Lan menjadi semakin santai mempermainkan mereka. Gerakannya menghindar dan berkelit benar-benar membuat frustasi kelima penyerang itu, selain terlalu licin, juga terlalu gesit dan tak terimbangi. Keadaan perimbangan perkelahian itu membuat si kerudung putih sangat terkejut.

Dia tahu betul taraf kepandaian kelima orangnya bila maju bersama. Bahkan mereka berlimapun hanya sedikit dibawah kemampuan Beng San Siang Eng yang tersohor itu. Tapi sekarang, menghadapi si anak gadis yang mungil itu, kelima orang itu malah seperti anak-anak yang sedang berlari-lari mengejar orang dewasa yang memegang permen mempermainkan mereka.

Wajah Mei Lan malah terlihat santai dan sesekali memperlihatkan wajah yang meremehkan dan terasa unsur kasihan darinya karena kelima penyerangnya tak mampu mendekatinya. Menjadi lebih kaget lagi, baik kelima penyerang maupun si kerudung putih, karena ketika terpaksa menangkis, Mei Lan membuat dorongan tenaga yang keluar dari tangannya sanggup bahkan mengimbangi gabungan tenaga kelima lelaki berangasan itu.

Melihat kedigdayaan Mei Lan, si kerudung putih merasa bahwa tugasnya mengenyahkan Beng San Siang Eng mendapatkan hambatan serius. Karena itu, tiba-tiba dia bersiut nyaring yang melahirkan gelombang suara yang melengking.

Dan sejurus dengan itu, dia berkata kepada kelima kawannya, “gunakan pedang dan habisi gadis itu”. Sementara dia sendiri kemudian tanpa melirik Tek Hoat kemudian melakukan sebuah serangan cepat, bukan kearah Tek Hoat tetapi kearah Beng San Siang Eng yang telah memasuki tahapan akhir dari proses penyembuhan mereka.

Tetapi, secepatnya si kerudung putih menyerang, secepat itu pula Tek Hoat mengulurkan tangannya, dan meluncurlah serangkum angin serangan yang sangat tajam mencicit kearah si kerudung putih. Tek Hoat menyadari bahwa si kerudung putih bukan tokoh sembarangan, karena itu, sudah langsung dikerahkannya tenaganya mengikuti jurus Toa Hong Kiam Sut yang menyemburkan tenaga sejenis Kiam Ciang (Tangan Pedang) kearah si kerudung putih.

Mendapat serangan tersebut, si kerudung putih terkejut, gusar dan penasaran. Karena itu dengan sangat terpaksa si kerudung putih menunda serangannya kearah Beng San Siang Eng dan kemudian menyambut serangan Tek Hoat:

“Cussssss, sret – sret” benturan tenaga mereka bagaikan bertemunya dua tenaga dengan daya iris yang tajam. Karena tenaga Kiam Ciang (tangan pedang atau hawa pedang) Toa Hong Kiam Sut sudah dipapak oleh tenaga dalam lawan. Tetapi, si kerudung putih jadi terperanjat, tidak pernah disangkanya anak muda yang masih belia itu sanggup menahan terjangan tenaganya dan bahkan mampu membuatnya terdorong mundur 2 langkah.

Sementara Tek Hoat masih berdiri tenang-tenang saja seakan tiada sesuatu yang terjadi. Lebih menyebalkan, karena dibibirnya tersungging senyuman. Bahkan kemudian terdengar Tek Hoat berkata:

“Maaf, bila terpaksa kami yang akan berusaha menahan kalian disini. Ada banyak hal yang perlu kami tahu dari kalian” jengek Tek Hoat.

“Meski kamu hebat, tetapi masih belum memadai merendengi pemimpin kami. Bahkan dengankupun, belum tentu engkau bisa memenangkan dengan mudah” dan seusai bercakap demikian, si kerudung putih kali ini malah maju menyerang Tek Hoat. Serangannya kali ini jauh lebih dalam dan lebih tajam dibandingkan sebelumnya.

Dari kedua tangannya mendesis-desis serangan yang mengarah ke sekujur tubuh Tek Hoat. Diam-diam Tek Hoat sendiri mengagumi kesaktian lawannya, sambil gegetun karena ternyata demikian banyak pesilat tangguh di Thian Liong Pang.

Dengan tenang Tek Hoat menyambut setiap terjangan si kerudung putih yang seperti membadai. Tetapi, gerakan kaki Tek Hoat cukup lincah untuk menghindari serangan-serangan berbahaya tersebut, atau terkadang menyentil serangan si kerudung putih.

Dari gerakan yang matang, nampak sederhana namun efektif, bisa ditebak jika Tek Hoat kali ini sudah jauh berbeda dengan Tek Hoat yang tampil ketika membersihkan Kay Pang. Tempaan Kiong Siang Han menjelang kematian, serta penyempurnaan Kiang Sin Liong, dua tokoh ajaib masa kini, telah mematangkan anak muda ini.

Karena itu, dengan gerakan-gerakan sederhana dari perbendaharaan ilmu Kay Pang, dengan mudah dia mengelit dan menyentil pergi setiap pukulan dan tendangan yang mengarah ke tubuhnya.

Sementara itu, Mei Lan juga sudah berada di atas angin. Dan perkelahiannya dengan kelima pengeroyoknya nampak berlangsung santai bagi Mei Lan. Perbedaan tingkat penguasaan ilmu masih sangat jauh, meskipun kelima orang itu sudah sanggup menahan dan sedikit mengimbangi Beng San Siang Eng, tetapi menghadapi Mei Lan mereka mati kutu.

Bahkan ketika mereka menggunakan pedang sekalipun dan menyerang habis-habisan, Mei Lan justru tetap dengan sabar dan tenang menghadapi mereka. Bahkan, sesekali dengan berani dia menyentil pergi ujung pedang lawan dengan mengandalkan kekuatan jemari tangannya. Hal itu mengakibatkan kelima lawannya menjadi ngeri dan takjub.

Masakan bocah semacam ini memiliki kemampuan yang tidak lumrah? Sungguh heran dan ngeri karena baru sekali ini mereka berjumpa lawan yang demikian tangguh yang sanggup mempermainkan mereka dengan demikian mudahnya.

Di lain tempat, setelah beristirahat beberpa ketika, Beng San Siang Eng menjadi lebih bugar dan merasa mulai mampu menyembuhkan luka mereka. Karena itu, mereka menyudahi upaya penyembuhan dan tinggal butuh istirahat lebih banyak semata. Ketika mereka kemudian siuman dan bermaksud untuk membantu muda-mudi yang melindungi mereka, justru membuat mereka sangat terkejut.

Mereka menyaksikan ketenangan, kegesitan dan ketangguhan kedua anak muda putra teman mereka Pangeran Liang. Awalnya mereka mengira, Mei Lan hanya hebat ginkangnya saja. Tetapi, ketika melihat anak gadis itu berani menyampok dan menyentil ujung pedang lawan, tiba-tiba mereka menjadi sadar dan malu sendiri.

Demikian juga ketika melihat Tek Hoat yang melawan si kerudung putih yang lebih lihay, tetapi melayaninya dengan tidak kekurangan satu apapun, malah nampak sangat mendominasi perkelahian.

Ketika kedua orang pendekar budiman ini masih ternganga heran melihat kedua muda-mudi ini mempermankan lawannya, tanpa sepengetahuan mereka berdua, di belakang mereka telah berdiri seorang anak muda lain. Berpakaian hijau dan nampak sangat kokoh dan berwibawa. Bahkan tak lama kemudian terdengar suaranya yang mengagetkan Kui Siang dan Bin Ham:

“Lan Moi, Tek Hoat, sudah saatnya menghentikan pertempuran. Di depan sana kelompok yang jauh lebih besar dengan jumlah tokoh lihay yang banyak sedang menanti kita. Tapi kita membutuhkan informasi dan keterangan mereka”

“Baik Koko” Mei Lan yang dengan cepat menyadari siapa yang bicara sudah dengan cepat merubah Ilmu silatnya. Kali ini, tidak lagi menghindar, tetapi justru menyerang dan mencecar kelima lawannya dengan menggunakan Thai Kek Sin Kun.

Tetapi tenaga pukulan terkandung Pik Lek Ciang, yang dengan cepat merubah suasana pertempuran. Bahkan tidak beberapa lama kemudian, 2 orang lawannya sudah terkena sambaran tenaga dalamnya dan terpental jatuh sulit bangun lagi, terluka. Dan sejurus kemudian, terdengar dentingan kecil diikuti melayangnya sebuah Pedang dan salah seorang kembali terjatuh, tapi kali ini dalam keadaan tertotok.

Setelah 3 lawannya dikuasai, seorang tertotok, dua lawan sisanya berusaha keras untuk menggempur dan membuka jalan lari. Tetapi kemanapun mereka bergerak, kecepatan Mei Lan tidak sanggup mereka tandingi. Dalam keadaan terdesak seperti itu, sebelum mereka kena dipukul Mel Lan, tiba-tiba tubuh mereka merosot jatuh, dan dengan sangat cepat wajah mereka berubah menghijau, dan sekejap kemudian tewas.

Nampaknya seperti biasa mereka membunuh diri karena gagal dengan menggunakan racun yang telah berada di mulut mereka.

Sementara itu, setelah melihat Mei Lan berhasil menotok salah seorang lawan, Ceng Liong berpaling kearah Beng San Siang Eng dan kemudian berkata:

“Mohon bantuan jiwi locianpwe untuk menginformasikan kekuatan lawan yang berada di depan. Biarlah siauwte yang berada disini membantu kedua kakak beradik yang mendapat tugas sebagai pelopor dan pembuka jalan. Dari sini, kurang lebih sejam berjalan kaki, jiwi locianpwe akan bertemu dengan rombongan yang dipimpin Hu Pangcu Kay Pang dan Kun Lun Ciangbunjin. Siauwte sendiri sudah menyaksikan kekuatan di depan itu”

“Siapakah anda, anak muda”? Pouw Kui Siang bertanya heran melihat anak muda yang kedatangannya tidak mereka ketahui, tetapi yang pasti memiliki hubungan baik dengan Mei Lan dan Tek Hoat.

“Dia adalah Kiang Ceng Liong, Bengcu yang baru dipaksa para jago meletakkan jabatan. Jangan khawatir jiwi locianpwe, dia bahkan masih lebih hebat lagi” Mei Lan memperkenalkan Ceng Liong sambil tersenyum memandang Beng San Siang Eng dan Ceng Liong yang menjadi risih diperkenalkan dengan cara demikian.

“Ach, penghuni Lembah Pualam Hijau rupanya. Maaf, jika kami pangling”

“Bukan sekedar penghuni, sekarang dia adalah Duta Agung Lembah, pemilik Lembah itu” tambah Mei Lan dengan kandungan rasa bangga dalam suaranya.

“Maaf, jika demikian kami sedang berhadapan dengan bengcu Tionggoan” suara Li Bin Ham terhenti

“Ach, sudahlah jiwi locianpwe. Memang tecu adalah Duta Agung Lembah kami, tetapi sebagai Bengcu, sebagaimana ucapan nona Mei Lan, sudah tecu tanggalkan”

“Tepatnya, dipaksa para jago yang merasa hebat itu untuk meletakkan jabatan” Mei Lan yang masih penasaran bagi Ceng Liong menegaskan.

“Bagaimana ini, bagaimana ceritanya Bengcu”? Kui Siang bertanya heran dengan kening berkerut

“Sudahlah jiwi locianpwe, nanti Pengemis Tawa Gila akan menjelaskan semuanya, Kita perlu bergerak cepat” Ceng Liong memotong yang kemudian dianggukkan Kui Siang.

“Baiklah, jika demikian kami akan menemui dan berbicara dengan mereka. Kami berangkat” Kui Siang dan Bin Ham kemudian berangkat menemui para jago.
 
5 Mengawal Tokoh-Tokoh Dunia Persilatan (5)





Sementara itu, Tek Hoat sendiri sudah mendesak habis lawannya. Dia telah menggunakan salah satu ilmu kebanggaan perguruannya, yakni Sin Liong Cap Pik Ciang – Pukulan Naga sakti, yang telah mendesak lawannya.

Sebetulnya kepandaian si kerudung putih tidak berada di bawah See Thian Coa Ong ataupun Pek Bin Houw Ong, para datuk sesat itu. Tetapi, dengan kemajuan yang dicapai Tek Hoat akhir-akhir ini, kelihayannya yang sudah berlipat itu tak sanggup diimbangi si kerudung putih.

Melihat jalan keluarnya semakin menipis, tiba-tiba si kerudung putih menjadi nekat. Dengan segenap kekuatannya diterjangnya Tek Hoat, tetapi tidak sangugp memberi sedikit peluang dan angin baginya untuk kabur. Apalagi dia melihat Ceng Liong telah menutup jalan kaburnya. Dalam keputus asaannya dia bekakakan dan berteriak:

“hahahaha, tidak ada yang bisa kalian dapatkan dariku”

Dan sejurus kemudian, orang itupun kemudian menghembuskan nafas pesis seperti anak buahnya dengan jalan minum racun. Ceng Liong memburu kedepan, tetapi tetap tak sanggup mengembalikan nyawa si kerudung putih:

“Ah sayang, padahal orang ini nampaknya banyak mengetahui organisasi Thian Liong Pang. Kita terlambat” Ceng Liong mengeluh

“Maaf, Liong ko, aku tidak menduga dia akan bunuh diri” Tek Hoat menyesali

“Tidak apa-apa, betapapun kita masih punya tawanan yang lain”

================

Ceng Liong nampak menarik nafas panjang. Tidak ada yang didapatkannya dari tawanan mereka melebihi dari yang sudah disaksikannya. Bahkan dia sudah mengerahkan I Hun To Hoat untuk mempengaruhi kesadaran sang tawanan, tapi memang tak ada yang rahasia yang dketahuinya.

Kecuali bahwa di kalangan Thian Liong Pang si kerudung putih merupakan 1 diantara 12 Utusan Kerudung Putih dan berendeng dengan 12 Utusan Kerudung Hitam. Masing-masing, Utusan Kerudung Putih dan Hitam memiliki majikan dan meurpakan tokoh yang masih misterius dan bahkan tidak dikenal anggota Thian Liong Pang.

Semua anggota Thian Liong Pang membekal racun di mulutnya, tetapi anggota taklukan dari perguruan silat lain, rata-rata tidak membekalnya karena tidak memiliki rahasia yang perlu diketahui orang.

Jikapun ada keuntungan dari tawanan itu, hanya informasi yang menjadi semakin jelas soal struktur Thian Liong Pang. Yakni mereka memiliki 4 Pelindung Hukum yang sudah dikenal, dan kepandaiannya sungguh menggiriskan hati: Bouw Lim Couwsu, Bouw Lek Couwsu, Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay – ke empat maha iblis yang sangat ditakuti.

Selain itu, rupanya mereka memiliki 3 Hu Hoat, yang dua diantaranya sudah dikenali, yakni Tibet Sin Mo Ong, dan Hu Hoat Pertama yang sudah dua kali bertanding melawan Mei Lan. Kekuatan ke-enam orang ini saja sudah sangat luar biasa, belum lagi mereka ditopang oleh 12 Utusan kerudung hitam dan 12 Utusan kerudung putih yang memiliki kepandaian rata-rata selihat See Thian Coa Ong.

Dan di atas 12 Utusan itu, bahkan berdiri Majikan Kerudung Putih dan Majikan kerdudung hitam sebagai pendamping kiri dan kanan Pangcu Thian Liong Pang yang masih tetap misterius. Sampai dimana kesaktian Pangcu Thian Liong Pang dan kedua pengiringnya, sungguh sulit untuk diperkirakan.

“Tek Hoat, Lan Moi, sungguh riskan untuk menembus hadangan di depan sana. Kekhawatiran soal serangan gelap, serangan racun, dan serangan keji lainnya sungguh sulit diperkirakan. Belum lagi, sulit bagi kita untuk memperhitungkan jumlah kekuatan lawan. Aku berpikir, kita berjalan lebih dahulu dan menyuruh mundur atau berhenti para jago, dan menakar kemampuan pihak lawan. Artinya kita mencoba untuk menyusup ke daerah musuh. Bagaimana pertimbangan kalian?

“Liong Ko, usul itu layak kita pertimbangkan. Karena jika tidak, korban di pihak kita akan sangat banyak. Mereka bergerak di tempat gelap sedang kita di tempat berterang” Sambut Tek Hoat

“Bagaimana Lan Moi, apakah engkau juga setuju”? Ceng Liong mengerling Mei Lan yang juga sedang memandangnya untuk meminta persetujuan atas usulnya menyusup ke daerah lawan guna menjajaki kemampuan Thian Liong Pang yang disiapkan untuk melawan mereka.

“Aku setuju saja Koko” Mei Lan tiba-tiba kehilangan banyak kata-kata.

“Baiklah, biarlah kita bertiga mencoba untuk menyatroni sarang musuh, dan ketiga Cap It Hohan menyampaikan kabar agar para pendekar jangan bergerak dulu lebih jauh. Tek Hoat, engkau sebaiknya memberi tahu ini kepada mereka bertiga, dan setelahnya kita berangkat”

Setelah ketiga orang dari Kay Pang Cap It Hohan kembali ke rombongan, akhirnya Mei Lan, Tek Hoat dan Ceng Liong kemudian merundingkan strategi dan cara untuk menyusup kedaerah musuh. Mereka bercakap-cakap sebentar dengan suara lirih dan tidak berapa lama mereka nampak membelah hutan sebelah kiri yang sangat lebat dan tidak mengikuti jalan umum yang sudah disiapkan penghadangannya oleh anak buah Thian Liong Pang.

Tapi, tidak berapa lama setelah ketiga orang itu berlalu, di balik belukar yang lain, sepasang manusia nampak menarik nafas panjang. Nafas keprihatinan. Terdengar keduanya saling berbisik:

“Koko, sebaiknya engkau mengawasi mereka bertiga, dan biarkan pinni yang mengawasi rombongan para pendekar”.

“Baiklah, kita bertemu malam nanti di lingkaran seputar rombongan pendekar itu”
Dan setelah itu, kemudian merekapun berlalu. Berlalu seperti terbang saja layaknya, ringan, pesat dan bukan main hebatnya kemampuan mereka. Yang seorang nampak menyusul ketiga pendekar muda dan yang seorang lagi, laksana terbang layaknya menyusul Ketiga orang dari Kay pang Cap It Hohan.

Sementara itu, setelah membelah hutan selama sekitar setengah jam, ketiga Pendekar Muda itu nampak kemudian mengambil jalan sejajar kearah jalan yang mereka tinggalkan tadi. Mereka berusaha untuk memutar dan menyelidiki keadaan para penghadang.

Tetapi, baru saja mereka berbelok kearah kanan, firasat mereka merasakan ada sesuatu yang aneh, tidak jauh dari tempat mereka berbelok arah tadi. Ceng Liong adalah yang duluan menyadari adanya “sesuatu” itu, dan karenanya tiba-tiba dia behenti melangkah.

Dan tiba-tiba dia memalingkan wajahnya kembali kearah dimana mereka berbelok tadi, dan …….. sanubarinya berdetak aneh. Disana ….. tepat di bawah sebatang pohon yang luar biasa besarnya, sosok mahluk aneh dengan potongan yang juga aneh sedang berdiri. Tidak salah lagi, orang itu pastinya sudah tua sekali, atau sudah sangat tua malah.

Semakin memandangi orang aneh itu, semakin tidak tentram hati Ceng Liong. Meskipun ketidaktentraman itu bukan karena sesuatu yang berbahaya baginya dan kedua kawannya. Tetapi, seperti ada sesuatu yang sulit untuk diterjemahkan. Kharisma dan wibawa orang tua aneh itu, bagaikan tak tertahankan bagi mereka bertiga, entah bagaimana.

Orang tua itu, nampak sama rentanya dengan guru-guru mereka bertiga. Cuma, orang tua yang satu ini nampak berbeda dan sangat aneh. Rambutnya yang juga sudah memutih, nampak bergelombag-gelombang aneh dan cenderung keriting dengan kulit agak kehitaman. Bisa dipastikan, dia asli bukan orang Tionggoan, besar kemungkinan dari India.

Tetapi, ketiga anak muda itu sama sekali tidak bisa menebak dan tidak bisa menerka darimana asal orang tua yang sama sekali tidak memandangi mereka bertiga. Kepalanya dengan rambut aneh yang semua sudah memutih nampak diikat oleh sejenis kain berwarna merah, sebuah destar merah yang menghiasi kepalanya, tetapi tidak mampu menyembunyikan warna putih warna rambutnya saking tuanya orang itu.

Keheningan melanda keempatnya. Ketiga anak muda itu memandangi orang tua aneh di bawah sebatang pohon besar, tetapi orang tua itu, sama sekali tidak memandangi mereka. Ikat kepala merahnya melambai-lambai mengikuti tiupan angin.

Semua tanpa kata, dan anehnya, ketiga anak muda itu, seperti terpaku ditempatnya. Diam dalam renungan dan khayalan masing-masing. Tetapi ….. dalam kediaman mereka, entah bagaimana bersama-sama mereka seperti mendengar dengungan sebuah suara …. entah darimana datangnya, dan datang serta berlalu bagaikan semilir angin ….

“Kecepatan memang perlu ….. sangat perlu ……
“Bergerak secepat mungkin memang hebat …. sangat hebat malah
“Bergerak secepat angin lebih hebat lagi ….. kemanapun arahnya
“Terhebat adalah bergerak lambat tapi cepat, cepat tapi lambat ….
“Bergerak dengan hati, bukan dengan pikiran …..
“Mengetahui darimana asal angin dan kemana dia berhembus …..
“Mengerti lebih baik dari tahu, mengalami lebih baik dari mengerti ….
”Selamat tinggal …. datang bagai angin, pergi seperti semilirnya ….
“Ada saat angin datang, ada saat angin berlalu ….

Firasat Ceng Liong yang tajam segera membuatnya menyadari sesuatu. Tetapi sayang, dia masih tetap terlambat. Karena orang tua aneh di bawah pohon itu, dengan ikat kepala merahnya yang khas, entah sejak kapan sudah menghilang dari hadapannya.

Dia yakin, orang tua itu yang berbicara kepadanya, meski dia tidak melihat bibir orang tua itu bergerak sedikitpun. Tetapi sesaat kemudian suara itu seperti kembali mendenging di sanubarinya, bukan ditelinganya dan tampaknya juga Tek Hoat mengetahui dan mendengarnya:

“Ada saat bertemu, ada saat berpisah. Memukul tidak dengan benci, menyerang bukan dengan amarah. Bukan untuk melukai, tapi untuk melindungi dan menghidupkan. Pergilah, bila berjodoh pasti bertemu kembali”

Ceng Liong juga Tek Hoat tercenung dan berdiri menjublak, persis seperti Mei Lan yang merasa bahwa suara yang didengarnya tadi pasti adalah pesan untuknya. Pesan soal kecepatan, pasti ditujukan kearahnya, karena memang dia memiliki spesialisasi dan keunggulan dalam bergerak.

Tetapi, pesan soal “bergerak cepat tapi lambat, lambat tapi cepat” membuatnya menjadi bingung. Apalagi ditambah dengan “bergerak dengan hati, bukan dengan pikiran” dan “mengetahui darimana asal angin dan kemana dia berhembus”. Dia memang mengerti sebagiannya, tetapi selebihnya masih sangat gelap. Setidaknya dia tahu, bahwa bergerak cepat tapi lambat, lambat tapi cepat, adalah soal ketepatan atas kebutuhan.

Tidak perlu bergerak secepat petir bila yang dilawan bergerak secepat lesatan seekor burung. Tapi, mengaitkan cepat tapi lambat, lambat tapi cepat dengan kalimat sesudahnya, membuatnya pening.

Sementara itu, Tek Hoat dan Ceng Liong yang juga mendengar pesan soal kecepatan dan gerakan, lebih berkonsentrasi pada pesan terkahir yang nampaknya ditujukan buat mereka masing-masing.

“Memukul tidak dengan benci, menyerang bukan dengan amarah.
Bukan untuk melukai, tapi untuk melindungi dan menghidupkan”

adalah alimat membingungkan. Meskipun bagi orang biasa itu sebuah kerumitan tak berujung, tapi bagi Tek Hoat dan Ceng Liong yang cerdas, mereka seperti memperoleh pesan penting, meskipun hanya atau baru setengah bagian yang mampu mereka pahami. Mereka terbiasa dengan pesan-pesan tersamar dari guru mereka.

Mereka terbiasa dengan filsafat yang tinggi dan dalam ajaran guru masing-masing, dan karenanya, sebagian dari pesan si orang aneh bisa mereka mengerti. Apalagi, setelah keduanya pernah mengalami dan melewati proses “memasak” tenaganya mengikuti puisi dalam lembar kertas di gelang Ceng Liong. M

ereka berdua sadar betul, bahwa puisi pertama pasti berkaitan dengan puisi kedua. Memukul, juga bukan soal pikiran mengarahkan kemana, tetapi sama dengan gerakan, seharusnya datang dari hati, dan bukan untuk mematikan, tetapi menghidupkan. Tetapi, pemahaman itu, masih belum sanggup mereka kaitkan dengan Ilmu Silat mereka. Baru dipahami dan dimengerti, tetapi belum tahu bagaimana gunanya bagi tata gerak Silat mereka.

Setelah kurang lebih 10 menit tenggelam dalam lamunan dan berusaha mengurai pesan dari orang aneh yang mereka temui, akhirnya perlahan ketiganya mulai menemukan dirinya masing-masing. Adalah Mei Lan yang belakangan sadar, karena perlahan namun pasti, dia mulai mencerna makna dibalik kalimat bermakna dalam yang diterimanya.

Dia sadar betul, bahwa pesan itu pasti berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan ginkangnya. Dan selama ini, dia cenderung menggunakan ginkangnya dengan kecepatan yang kadang jauh melampaui kebutuhan dari seharusnya dia bergerak.

Artinya, sejauh ini, keinginan pamer kekuatan dan kecepatan geraknya mendominasi tata gerak ginkangnya. Pesan tadi, dianggapnya sebagai kritik dan dia sekali lagi mengalami kemajuan dalam pemahaman dan pendalamannya mengenai gerakan ginkangnya.

Padahal, masih ada setengah bagian lainnya yang justru semakin memperdalam ginkangnya, tetapi Mei Lan sendiri belum sampai memecahkannya. Tetapi, setengah bagian saja sudah membuatnya sadar akan banyak hal dan membuatnya sangat gembira. Dan senyum itu ditanggapi Ceng Liong yang segera tahu Mei Lan sudah menemukan kembali kesadarannya:

“Bagaimana Lan Moi, ada sesuatu yang kau pahami”?

“Benar Liong ko, sepertinya ada suara yang menuntunku memahami sesuatu mengenai ilmuku dari nenekmu”

“Baik jika begitu. Apakah engkau juga menerima pesan sejenis Tek Hoat?

“Benar Ceng Liong, tetapi baru setengah bagiannya yang kupahami. Selebihnya masih belum mampu kemengerti”

“Nampaknya kita bertiga mengalami hal yang sama. Nampaknya orang tua aneh itu bermaksud baik bagi kita. Tapi sudahlah, waktunya kita untuk segera kembali bergerak”

“Baik” Tek Hoat dan Mei Lan menyahut berbareng. Dan tidak lama kemudian tiga bayangan orang muda itu, kembali melesat kedepan.

Diiringi tatapan penuh makna dari si orang tua aneh yang kini nampak ditemani seorang tua lainnya, meskipun nampaknya usianya masih lebih muda dibanding si orang tua aneh berikat kepala merah. Ada beberapa saat keduanya nampak terlibat perbincangan serius dan dalam. Tetapi, tidak lama kemudian keduanya berpisah. Si orang tua aneh dengan cepat menghilang dari hadapan orang tua yang satu lagi. Dan setelah menghela nafas kagum, ornag itupun kemudian melanjutkan perjalanannya.

Sementara itu, Ceng Liong bertiga semakin meningkatkan kehati-hatian mereka setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam. Karena menggunakan kecepatan gerak, maka jarak tempuh mereka jadi lebih cepat dibanding kawanan pendekar yang menunggu kabar mereka.

“Ceng Liong, firasatku menyebutkan tidak jauh dari tempat ini adalah basis penyerangan mereka” Tek Hoat berbisik lirih

“Benar, akupun sudah merasakannya sejak tadi. Hanya, kita tidak tahu kekuatan mereka. Mungkin kita harus berpencar sebentar untuk mengamati keadaan dari 3 tempat berbeda. Bagaimana?

“Sebaiknya begitu Liong ko. Tapi harus ada isyaratnya untuk bagaimana kita betemu dan dimana”

“Sebaiknya kita tetapkan bertemu ditempat ini lagi setengah jam kedepan”

“Baik, jika begitu”

“Tapi, jika kita bertemu bahaya, maka isyarat siulan kita gunakan untuk saling memberi tahu”

Maka bergeraklah ketiga anak muda itu dengan gesitnya. Mei Lan mengambil arah yang agak memutar, sementara Tek Hoat langsung menusuk ke depan, dan Ceng Liong bergerak mendekati jalan yang akan ditempuh para pendekar. Karena menyadari keadaan yang berbahaya yang sedang dihadapi dan daerah musuh sudah sangat terasa dengan firasat mereka, maka gerakan mereka sungguh sangat berhati-hati.

Tiga arah yang mereka tempuh memang dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Jika memang kekuatan mereka besar, maka seharusnya ada basis penumpukan kekuatan itu. Dan itu bisa saja di seberang atau sisi jalan yang satunya lagi, atau, bisa juga disisi jalan yang mereka selidiki saat itu.
 
BAB 2 Pertempuran Di kaki Gunung Siong San
1 Pertempuran Di kaki Gunung Siong San
Tapi, pertempuran pertama justru terjadi di dekat lokasi peristirahatan para pendekar Tionggoan. Diluar dugaan Ceng Liong, pengintaian juga dilakukan oleh pihak Thian Liong Pang. Hanya, pengintaian mereka dilakukan untuk memastikan apakah para pendekar akan melakukan perjalanan normal atau tidak.

Jadi bukanlah misi pengintaian. Tetapi, karena kawanan pendekar memilih beristirahat menunggu informasi dari Ceng Liong bertiga, akhirnya utusan Thian Liong Pang yang mengawasi perjalanan para jago, jadi ingin melakukan pengintaian.

Utusan yang terpilih adalah Ciu Lam Hok, pemuda murid Liok te Sam Kwi yang telah mengalami kemajuan pesat setelah dididik keras guru-gurunya, dan bahkan 2 tahun terakhir menjadi murid kesayangan Kim-i-Mo Ong.

Ciu Lam Hok diutus berdua dengan Gan Bi Kim, salah seorang dari Kelompok Kerudung Putih yang diangkat menjadi murid terakhir Koai Tung Sin Kay 3 tahun terakhir ini.

Ciu Lam Hok sejak kemunculan kembali Kim-i-Mo Ong menjadi beruntung karena merasa suka melihat bakatnya dan terutama kelicikannya. Karena itu, sejak 2-3 tahun belakangan, dia justru dididik secara serius oleh Kim-i-Mo Ong yang tidak lagi menerima murid sejak dikalahkan puluhan tahun lalu.

Sementara Gan Bi Kim, juga memperoleh perhatian dari Koai Tung Sin Kay dan memilihnya jadi murid, meski masih tetap bertugas dalam kelompok Kerudung Putih. Nona ini menjadi andalan utama Majikan Kerudung Putih yang adalah salah satu pelindung Pangcu Thian Liong Pang.

Bahkan di kalangan Kelompok Kerudung Putih, Gan Bi Kim telah menjadi seorang tokoh dengan kepandaian tertinggi, meski masih di bawah majikan Keurudung Putih yang tidak dikenal siapapun. Meskipun baru dididik selama 3 tahun, tetapi karena dasar kemampuan mereka sudah tinggi, membuat kemampuan keduanya dengan cepat melambung cukup tinggi dewasa ini. Bahkan Ciu Lam Hok sudah jauh melampaui 3 orang bekas gurunya yang mendidik dan membesarkannya, Liok te Sam Kwi.

Sayangnya, karena telah merasa berkemampuan tinggi, Ciu Lam Hok menjadi pongah. Justru Gan Bi Kim yang lebih awas, karena lama dan berpengalaman. sebagai anggota kelompok Kerudung Putih, dia biasa bekerja cermat dan senantiasa bertindak awas.

Adalah Ciu Lam Hok yang sudah merasa hebat yang membuat tugas keduanya bisa terendus orang. Dan adalah Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie yang memergoki kedua orang itu ketika Ciu Lam Hok memaksa untuk mendekati rombongan pendekar dalam jarak lebih dekat. Padahal, sebetulnya sudah lama kedua pendekar muda Siauw Lim Sie menyadari adanya 2 orang pengintai berkepandaian tinggi memasuki area yang bisa mereka pantau.

Sebagaimana kesepakatan dengan Ceng Liong, kedua pendekar muda ini, memang mengawasi sisi kanan dan kiri jalanan dan terpisah tidak terlampau jauh dari rombongan pendekar. Dan adalah Souw Kwi Song yang mampu melacak dan mengetahui upaya mengintai kedua orang ini, tetapi membiarkan mereka terus mendekat sambil mengirim isyarat ke kakaknya dan Giok Lian yang berada di sisi yang sama hanya agak ke belakang.

Benar saja, tidak lama kemudian, kedua orang pengintai, Gan Bi Kim dan Ciu Lam Hok akhirnya melewati tempatnya berjaga tanpa diketahui kedua anak muda utusan yang ingin mengintai itu.

“Jiwi hengte, ada apakah gerangan berjalan-jalan mengendap-endap mencurigakan di hutan ini?”

Suara Kwi Song mengagetkan Ciu Lam Hok dan Gan Bi Kim yang jadi salah tingkah karena tidak tahu disekitar situ ada orang.

“Hahahaha, ataukah kalian sedang pacaran sembunyi-sembunyi takut ketahuan orang tua kalian”?

“Kurang ajar, mengagetkan saja. Apa juga urusanmu disini” Ciu Lam Hok menjadi murka. Tetapi Gan Bi Kim sudah menyadari bahwa ada bahaya mengancam mereka. Fakta bahwa dia tak sanggup mencium keberadaan Kwi Song adalah sinyal bahaya. Sayang Ciu Lam Hok yang masih muda, cetek pengalaman sudah murka duluan.

“Hm, engkau seperti orang pacaran gelap-gelapan yang ketahuan orang. Siapakah engkau”? Kwi Song masih bernada main-main.

“Hm, sombong engkau. Akulah Ciu Lam Hok, orang yang akan memberi hajaran setimpal kepadamu”

“Oooh, setelah ketahuan mau mengintai, kini engkau ingin membungkamku juga”?

“Mengapa tidak, sebaiknya engkau bersiap”

Dan sudah dengan segera Lam Hok bersiap dan mengirim serangan kearah Kwi Song. Karena belum saling mengenal, keduanya menggunakan tenaga secara terbatas dan akibatnya keduanya sama kaget menemui kehebatan lawannya.

Kwi Song memang hanya tergetar karena hanya sekedar mencoba kekuatan lawan, tapi getaran tenaga lawan membuatnya paham bahwa anak muda didepannya itu sangat lihay. Sementara Lam Hok yang tergetar mundur menjadi murka karena lawannya ternyata hebat.

“Hm, jangan sombong, aku belum kalah, Lihat serangan”

Dan meluncurlah serangan Lam Hok dengan menggunakan Kiam Ciang, ajaran khas gurunya 3 Setan Bumi. Hanya, ditangan Lam Hok, ilmu itu seperti berlipat-lipat kali kehebatannya. Belum lagi mengenai sasaran, hawa pedang yang diciptakannya seperti telah mengenai tubuh lawan, dan sanggup mengoyakkan jubah, bahkan sanggup memotong benda keras sekalipun.

Tapi sayang, lawannya kali ini adalah pemuda gemblengan Kian Ti Hosiang. Digembleng habis-habisan untuk menghadapi tokoh sekelas Kim-i-Mo Ong, sehingga bukan masalah serangan seperti Kiam Ciang.

Tanpa mengerahkan Ilmu mujijat Siauw Lim Sie yang terakhir mereka kuasai, yakni Kim kong pu huay che sen (Ilmu Badan/Baju Emas Yang Tidak Bisa Rusak), dia masih sanggup bertahan. Dengan sebat dia bergerak cepat sambil menyentil Kiam Ciang dengan menggunakan Tam Ci Sin Thong dan menyebabkan Kiam Ciang Lam Hok kehilangan ketajamannya.

Bukan benturan tajam yang terjadi, tapi suara seperti beradunya dua benda tajam yang terdengar, berturut-turut sampai tiga kali adu ketajaman jari tangan dan tangan pedang: cuuuus, cuuuu, cuuuus …..

Dan akibatnya kebali Lam Hok harus mendapati, bahwa anak muda seusianya yang berada dihadapannya sanggup memunahkan serangannya. Bukan, bukan Cuma memunahkan serangannya. Malah memberinya pelajaran, bahwa di kalangan anak muda, dia masih memiliki saingan yang bahkan melebihinya.

Kenyataan ini memukul kesombongan dan tinggi hatinya yang sudah merasa tak terkalahkan di kalangan generasi muda. Maka dengan cepat dikerahkannya Kiam Ciang disertai dengan hembusan hawa beracun Siang Tok Swa. Sementara Kwi Song yang menyadari bahwa anak muda lawannya cukup berisi, segera setelah mencium serangkum angin harum, segera sadar bahwa pukulan lawan beracun.

Sambil mengerahkan kemampuan sinkangnya lebih tinggi guna melindungi tubuhnya dengan Kim kong pu huay che sen (Ilmu ini, dalam tataran tinggi akan membuat orang kebal racun), dan selanjutnya diapun meladeni Lam Hok dengan tenang. Begitu kokoh dan bervariasi gerakan Kwi Song, sampai Lam Hok kehabisan akal dan celah untuk memukul Kwi Song.

Bahkan, Siang Tok Swa juga tidak menghasilkan apa-apa, dan seperti terbentur hawa tak kelihatan yang keluar dari tubuh Kwi Song. Sebaliknya, Tam Ci Sin Thong yang dikeluarkan Kwi Son berkali-kali mengancam Lam Hok dari banyak penjuru. Sungguh sakit rasanya bagi Lam Hok, dia yang sudah kepalang merasa tinggi ilmunya, mendapati kenyataan sangat berat, didesak oleh anak muda yang lain.

Tidak terima, kini dia mengganti ilmunya, memadukan Kiam Ciang dengan Ha Mo Kang. Ilmu ampuh lainnya yang diperoleh dari 3 Setan bumi. Hebatnya tidak main-main, karena kemampuannya bahkan sudah jauh melampaui 3 guru pertamanya itu.

Sambil berkaok-kaok bagaikan katak betulan, dia mulai menyerang dengan pengerahan tenaga besar. Tetapi, keanehan Lam Hok dibanding ketiga gurunya adalah: Apabila kedua dorongan tangan gurunya berisi tenaga Ha Mo Kang yang beracun, maka Lam Hok menggubahnya menjadi lain.

Dorongan tangan yang satu tetap berisi hawa Katak Buduk, sementara yang satu lagi berisi hawa Ha Mo Kang tetapi dengan daya serang Kiam Ciang. Dan karena itu, Lam Hok malah menjadi jauh lebih berbahaya. Ketika membenturnya, Kwi Song yang untungnya terlindung dengan hawa Kim kong pu huay che sen, memang tidak terluka, tetapi dia terpental ke belakang. Tidak terluka.

Tetapi kejadian itu membuatnya menjadi lebih serius. Bicara soal serangan berat, dia bisa melawannya dengan Tay Lo Kim Kong Ciang dan mengimbangi Kiam Ciang dengan ilmu jari lainnya yang lebih berbahaya lagi, Kim Kong Ci. Tapi, Lam Hok sudah kembali menyerangnya.

Kwi Song kembali meningkatkan kekuatan iweekangnya, dan sambil bergerak lincah dia kemudian memapaki dorongan kedua tangan berisi hawa Ha Mo Kang dan Kiam Ciang tidak berhadapan, tetapi dari samping.

Kelemahan Ha Mo Kang adalah, kurang gesit dan terlampau mengandalkan hawa murni yang besar. Dan itu dimanfaatkan Kwi Song untuk mengundurkan Lam Hok melalui sentilan kim kong ci, sambil kemudian mempersiapkan diri menghadapi Ha Mo Kang Lam Hok. Begitu tersentil dan tertahan langkahnya, Lam Hok sudah langsung kembali bergeser dan menyerang kwi Song yang kali ini sudah bersiap.

Sekali ini, dia tidak main-main lagi. Serangan hawa Ha Mo Kang disambutnya dengan kekuatan pukulan Tay Lo Kim Kong Sin Ciang yang dibarengi dengan pengerahan kim kong ci. Dan kembali terdengar benturan-benturan baik benturan pukulan maupun antar serangan tajam jari dan tangan.

Tapi benturan itu segera nyata lebih menguntungkan Kwi Song yang tenaga dan kematangannya mengatasi Lam Hok. Tay Lo Kim Kong Sin Ciang masih menang mutu menghadapi Ha Mo Kang, dan lebih murni. Lagipula masih lebih fleksibel dan lebih lincah ketimbang Ha Mo Kang yang bergerak lamban bagaikan katak buduk melompat lompat.

Setelah beberapa kali terjadi benturan, sebuah sapuan tangan kanan Kwi Song melontarkan Lam Hok dengan singgah dan hinggap di pundaknya, melontarkannya jauh ke belakang. Tetapi masih tidak mampu menembus hawa Ha Mo Kang dan melukai Lam Hok. Hanya, sudah cukup memberi sinyal bagi Lam Hok bahwa lawannya tidak terkalahkan olehnya.

Tapi, mana Lam Hok mau memahaminya? Tidak, dia masih membekal ilmu lain, ilmu yang diyakininya lebih hebat dari sekedar Ha Mo Kang. Dan, kini, disiapkannya ilmu itu.

Nampak Lam Hok berdiri tegak, dan samara-samar dari tubuhnya mengeluarkan sinar yang agak kemilau, menyilaukan mata. Kemudian sepasang tangannya menyatu, sinar matanya mengeluarkan cahaya berkilat bagaikan nyala api.

Itulah pengerahan sinking khas Kim-i-Mo Ong yang disebut Kim-i-Sin Kang atau Tenaga Jubah Emas dengan pasangan ilmunya Kim-i-Sin Kun (Silat Jubah Emas). Dalam puncak penguasaan ilmu itu, seorang Kim-i-Mo Ong akan menjadi kebal segala senjata tajam, bahkan kebal racun, dan dengan latihan sesat, cahaya yang dikeluarkannya malah juga beracun.

Karena itu, Kim-i-Sin kang sebetulnya sudah berubah menjadi Ilmu sesat, dan sinar emasnya redup karena dibarengi dengan penggunaan dan sisipan racun. Kwi Song sudah pernah mendengarkan jenis ilmu ini dari gurunya, dan karena itu dia sadar dengan siapa dia berhadapan. Bahkan menjadi lebih yakin ketika terdengar suara kakaknya:

“Song te, hati-hati, nampaknya dia murid Kim-i-Mo Ong”

Dan tanpa peringatan kakaknya, Kwi Song sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Dia meningkatkan kemampuan Kim kong pu huay che sen dengan pengerahan iweekang sampai 7 bagian, dan juga menyiapkan Ban Hud Ciang untuk meladeni lawan muda yang juga ternyata sangat digdaya ini.

Tetapi, setelah mengenal lawannya sebagai murid Kim-i-Mo Ong, rasa sungkan dan kasihan di hati Kwi Song mulai tawar. Mereka adalah lawan yang saling intai kemampuan masing-masing, dan demi keselamatan banyak orang, Kwi Song harus segera bertindak. Kali ini dia tidak main-main lagi, menjadi serius dan mulai berpikir untuk melukai lawan. Terutama setelah tahu, bahwa tidak mungkin murid Kim-i-Mo Ong hanya sekedar tersesat dengan seorang gadis di dekat peristirahatan para pendekar Tionggoan.

Sementara itu, sebuah suara lain tiba-tiba terdengar:

“Beng koko, nampaknya kita memerlukan keterangan mereka. Biarkan aku mencoba gadis temannya, mereka pasti datang bukan untuk sengaja tersesat. Pasti ada maunya” Dan tanpa menunggu pesetujuan, Giok Lian yang sudah lama berada didekat pertempuran itu sudah mendekati Gan Bi Kim. Mereka tidak saling kenal, dan belum saling menjajaki kemampuan.

Tetapi, sekali pandang, masing-masing juga tahu, bahwa lawannya bukan gadis biasa. Apalagi, Gan Bi Kim yang sudah jauh lebih matang di usianya yang ke-25, dia sudah malang melintang di dunia Kang Ouw. Dia dididik secara ketat oleh seorang tokoh seberang lautan dan bahkan kemudian, karena bakat dan tubuhnya yang menggiurkan, dididik lagi oleh tokoh sehebat Koai Tung Sin Kai.

Bisa dibayangkan seberapa hebat gadis itu. Tapi, lawannya, Giok Lian, juga bukan gadis sembarangan, meksi lebih kurang berpengalaman, tetapi bekal ilmunya, juga bukan sembarangan. Gemblengan sesepuh Bengkauw lagi.

Gebrakan awal mereka terkesan biasa-biasa saja, dan karena sudah tahu bahwa lawan masing-masing berisi, keduanya tidak terkejut ketika lengan masing-masing tergetar. Giok Lian yang kemudian berinisiatif lebih dahulu, menyerang lawan dengan Kang See Ciang dan mencecar hebat lawannya.

Tetapi, Gan Bi Kim juga tidak tinggal diam, dia mewarisi Hai Liong Kiang Sin Ciang (Ilmu Silat Tangan Sakti Menaklukan Naga Laut), ilmu dari Lam Hay Bun. Dan karena itu, dia mampu menghadapi serbuan Giok Lian, dan semakin lama keduanya semakin mengagumi lawannya. Gan Bi Kim dalam kematangannya, tidak menunjukkan watak sebagai seorang tokoh aliran hitam, justru dia bergerak gemulai dan terang-terangan.

Itulah sebabnya, Giok Lian masih pikir panjang untuk menyerang gadis itu dengan dahsyat. Karena, setelah mengalami gemblengan terakhir kakek buyutnya, gadis ini bahkan sudah berada dalam tataran tertinggi ilmu-ilmu Bengkauw, nyaris merendengi tokoh terlihay saat ini, ayahnya sendiri. Tapi karena kalah taktik dan pengalaman, dia tidak mendesak Gan Bi Kim secara keras.

Kedua ilmu hebat yang biasanya bekerja sama, kali ini diadu di arena pertempuran oleh kedua gadis nan cantik ini. Gan Bi Kim menang pengalaman, tetapi Giok Lian menang tenaga dan keuletan. Beberapa kali tangan mereka beradu, dan Gan Bi Kim menyadari, bahwa tenaganya tidak ungkulan melawan gadis Bengkauw ini.

Tapi karena tidak ada rasa penasaran diantara keduanya, tidaklah perkelahian itu berkembang sebrutal dan seseru pertandingan lainnya antara kedua anak muda sebaya yang mempertaruhkan gengsi dan nama baik. Selain mempertaruhkan keselamatan pendekar Tionggoan bagi Kwi Song.

Dan tanpa disadari mereka yang bertarung, disekitar tempat itu sudah bertambah beberapa orang. Kaypang Hu Pangcu, Jin Sim Todjin dan Sian Eng Cu sudah berada disana, bersama beberapa pendekar lainnya termasuk Beng San Siang Eng.

Para tokoh itu terkesima menyaksikan 2 pertarungan yang luar biasa, terutama antara Kwi Song melawan Lam Hok. Cahaya keemasan yang buram nampak berkali-kali saling bentur dengan cahaya emas yang gemilang dari tubuh Kwi Song. Dan beberapa kali terdengar suara mendesis disekitar tubuh keduanya, yakni saat racun yang mau disusupkan Lam Hok ditawarkan oleh kekuatan Kim kong pu huay che sen yang sudah sanggup menawarkan racun.

Hal terakhir yang disempurnakan Kian Ti Hosiang bagi kedua muridnya sebelum menutup mata. Dan akibatnya, bau busuk menyebar kemana-mana, bau yang dihasikan dari ditawarkannya racun jubah emas oleh Sinkang Tenaga emas lainnya.

Lam Hok yang bersilat dengan ilmu barunya yang dahsyat yakni Kim-i-Sin Kun memang lebih dahsyat dari sebelumnya, tetapi lebih dahsyat lagi Kwi Song yang menghantam lawan dengan menggunakan Selaksa Tapak Budha. Bahkan sesekali tangannya mengikuti taktik Thai kek Sin Kiam dengan hawa Kim Kong Ci yang dileburnya.

Tidak heran bila kemudian Lam Hok kembali terjerumus dalam kesulitan. Sayang, dia dipesan gurunya untuk tidak main-main dengan Kim-i-Hoatsut, terlebih bila ditengah banyak orang, selain mubazir, juga bakal banyak menguras tenaga. Tetapi, dengan semua kepandaian sudah dikerahkannya, Lam Hok melihat bahwa jalan larinyapun bahkan sudah tertutup.

Baru dia merasakan kekhawatiran yang diutarakan rekannya tadi, bahwa mereka terlalu gegabah mendekati kelompok para pendekar. Tapi karena nasi sudah menjadi bubur, akhirnya dia menguatkan hatinya untuk bertahan sekuat mungkin.

Sementara pertempuran di lain arena, meskipun Giok Lian jelas unggul tenaga dan ragam Ilmunya, terlebih ketika sesekali dia menggunakan ilmu sesat semisal Toat beng Ci, tapi karena tidak merasa bermusuhan dengan Gan Bi Kim yang simpatik, maka dia tidak berniat menjatuhkan lawannya.

Karenanya, pertarungan mereka terkesan seimbang. Dengan pintar, Gan Bi Kim tidak mengeluarkan ilmu silat yang diterimanya dari Koai Tung Sin Kai, sehingga tidak dicurigai banyak orang. Sebaliknya, dia bersilat dengan ilmu lamanya, yakni dari perguruan Lam Hay, yang meski bermusuhan dengan para Pendekar Tionggoan, tetapi dalam permusuhan terhormat.

Hanya saling jajal ilmu, bukan untuk saling membunuh, sehingga tidak ada ikatan dendam berdarah. Karenanya, keduanya tampak seperti sedang berlatih saja. Giok Lianpun tidak terlampau mendesak Gan Bi Kim dan beberapa kali memberi jalan keluar dan kesempatan bernafas bagi lawannya.

Hal yang bukan saja disyukuri oleh Gan Bi Kim, tetapi juga membuatnya bisa bertahan lama dan tidak menerima serangan serangan berbahaya dan mematikan dari Giok Lian, yang pada akhirnya diketahuinya sudah tuntas menguasai Ilmu-ilmu rahasia dari Bengkauw. Bahkan dengan menggunakan ilmu guru barunya, dia masih belum yakin untuk bertahan lama dari Giok Lian.

Tapi bagi Lam Hok, semakin lama dia semakin tersudut. Gempuran Kwi Song semakin menyudutkannya. Untungnya Kwi Song tidak berniat menurunkan tangan kejam terhadapnya dan hanya berusaha menangkapnya hidup hidup. Itu jugalah sebabnya mengapa Kwi Song sekian lama belum mampu memenangkan pertempuran meski lawan sudah empot-empotan dan kesulitan menghadapinya.

Menyadari bahaya, Lam Hok yang betapapun mudanya tapi punya kecerdikan, berupaya untuk mencari jalan melarikan diri. Dia mengirim bisikan ke arah Gan Bi Kim dengan ilmu mengirim suara jarak jauh, sambil kemudian dia merapal jurus pamungkas dari Kim-i-Sin Kun. Setekah melihat-lihat sejenak dengan resiko kembali jatuh dalam desakan Kwi Song, tiba-tiba Lam Hok menghentakkan tenaganya.

Dari kedua tangannya mengalir cahaya emas meredup seram, dan kemudian diarahkan kepada Kwi Song yang sudah siap sedia. Meski tahu serangan berbahaya, Kwi Song tidak takut memapaknya dengan kekerasan. Dan benturan kedua tangan tidaklah terhidarkan. Akibatnya, tubuh Lam Hok terjengkang hebat ke belakang dan dibibirnya mengalir darah merah. Tapi sambil terjengkang, dia kemudian mengatur langkahnya terus mundur kebelakang.

Melihat lawannya berupaya melarikan diri, yang juga saat bersamaan Gan Bi Kim melakukan gaya yang sama dengan Lam Hok dan mundur ke arah lebatnya hutan, Kwi Song berusaha untuk memburu dan mengejar mereka.

Tetapi, tiba-tiba selarik sinar emas lainnya dengan daya yang jauh lebih hebat terlontar kearahnya. Celakanya, Kwi Song tidak menduga akan datangnya serangan bokongan yang sangat berbahaya dan nampaknya tidak dibawahnya kekuatan itu. Dalam saat yang berbahaya bagi Kwi Song itu, terdengar sebuah seruan halus …..

“Amitabha” ….. dan sebuah jalur pukulan lain nampak telah membentur pukulan bersinar emas redup yang hebat itu. Dan kemudian sebuah suara bening yang mengambang terdengar mencegah Kwi Song:

“Anak muda, biarkan mereka pergi, jagan dikejar”

Tidak ada seorangpun yang mengenal suara yang mengaung dengan nada tinggi tersebut. Tetapi, beberapa tokoh utama nampaknya saling pandang dan maklum. Pemilik suara itu, pastilah seorang wanita.

Dan, wanita yang mampu menandingi kemampuan yang hebat tadi, bila bukan Liong-i-Sinni siapa lagikah? Orang-orang seperti Sian Eng Cu, Pengemis Tawa Gila, dan beberapa sesepuh lain sudah menduga tokoh wanita hebat ini yang menyelamatkan Kwi Song. Sementara itu, Kwi Song nampak menghormat ke sebuah tempat yang dia tahu betul darisana penolongnya membentur pukulan yang mengarah kepadanya.

“Terima kasih atas pertolongan locianpwe” seru Kwi Song kearah yang diyakininya benar, bersembunyi seorang tokoh kosen.

Tapi tiada reaksi dan suara sama sekali. Karena, jika betul orang itu Liong-i-Sinni, siapa lagikah yang mampu mengejar dan menyandaknya jika memang dia tidak mau bertemu orang?

Meski demikian, tokoh-tokoh besar Tionggoan itu sama-sama mulai merasa gembira, sebab bila tokoh sekelas Liong-i-Sinni juga membantu, maka akan banyak kesulitan yang bisa diselesaikan. Mereka tahu betul kemampuan dan kelas dari pendekar wanita nomor satu Tionggoan pada masa itu
 
2





Sementara itu, dikalangan pendekar Tionggoan yang merasa mulai tidak betah menunggu, beberapa suara sumbang mulai terdengar. Salah satunya adalah Wakil Ciangbunjin Tiam Jong Pay dan Seorang sute dari Ciangbunjin Thian San Pay. Mereka berdua merasa seperti disepelekan dan tidak disertakan dalam keputusan mengenai rombongan itu.

Selain, memang sifat mereka berangasan serta sangat muda tersinggung, meskipun masih memegang adat istiadat dan watak kegagahan. Hanya, karena tidak dilibatkan atau terlibatkan dalam pengambilan keputusan penting, keduanya sering saling berkeluh kesah dan merasa disepelekan.

Padahal, masing-masing mereka membawa sedikitnya 7 anak buah dari Tiam Jong Pay dan 5 pendekar pedang dari Thian San Pay. Selain keduanya, ada seorang pendekar kelana lainnya bernama Yo Cat berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi), yang juga berkepandaian tinggi tetapi rada angkuh dan tinggi hati.

Orang inipun termasuk salah satu yang memanas-manasi beberapa orang untuk lantang menegur Ceng Liong. Dan orang ini pula yang memulai perdebatan lebih jauh dengan berkata:

“Saudara Kwi Song, sudah seharusnya sejak tadi orang Thian Liong Pang itu ditundukkan. Kita sangat membutuhkan keterangan mereka”

“Paling tidak untuk tahu, seberapa besar memang kekuatan penyerang itu” sambung Tang Hauw Sek yang berjuluk It Kiam Tang Sam Hai (Pedang Tunggal Menggetarkan 3 Samudra), Sute dari Ciangbunjin Thian San Pay.

“Ya, supaya jangan kita seperti kura-kura ketakutan menghadapi mereka dengan berdiam diri di tengah hutan seperti ini” kembali Yo Cat menambahkan dan membuat banyak muka para tokoh menjadi tidak sedap dipandang. Bahkan Kwi Song dan Giok Lian nampak seperti menjadi salah tingkah. Tapi Kaypang Hu Pangcu dengan segera berkata sambil tertawa:

“Hahahaha, Yo heng dan Tang heng, kalian pasti tahu bahwa mereka bergerak dikegelapan dan kita di daerah terang. Pikirkanlah akibatnya”

“Tapi, cara kita ini nampak seperti pengecut” Yo Cat berkeras

“Karena mereka lebih pengecut dengan menyerang dari kegelapan” tegas Pengemis Tawa Gila.

“Saudara-saudara, bersabarlah sedikit sambil menunggu mereka yang sedang melakukan pengintaian” Sian Eng Cu Tayhiap menyela dengan suaranya yang tenang.

“Tong Tayhiap, menunggu tanpa waktu yang jelas membuat siapapun kehilangan ketabahan dan kesabaran” Tang Hauw Sek menyela dengan suara yang tidak enak didengar.

“Keadaan kita menuntut ketabahan, kesabaran dan ulet untuk menghadapi perang mental yang dilancarkan Thian Liong Pang. Tang heng pasti mengetahuinya. Dan kita sudah sama tahu, seberapa hebat kemampuan Thian Liong Pang yang sudah berani menyerang banyak perguruan silat Tionggoan”

“Ach, nampaknya dari kita sudah banyak yang mengkeret ketakutan” ujar Yo Cat menyebalkan dan kemudian meninggalkan tempat menuju kembali kearah rombongan pendekar.
Giok Lian yang sudah beberapa kali bertemu Sian Eng Cu dan tahu orang tua itu adalah pengasuh dan suheng Mei Lan menjadi naik pitam dan mendengus:

“Hm, Bila memang merasa berani dan bisa, mengapa harus menegur Kwi Song? Kenapa tidak berusaha langsung menangkap anak muda sesat tadi”?

Yo Cat yang tadinya mulai melangkah, mendadak kembali membalikkan tubuhnya dan memandang tajam kearah Giok Lian. Tapi, Giok Lian yang bila sedang marah, malah menjadi sangat menggemaskan, karena dibibirnya tersungging senyuman …… senyum simpul tapi mengandung ejekan.

“Hm, kau, Nona muda, lain kali belajarlah sopan santun berbicara dengan kaum tua. Apa yang kau andalkan mengajari kaum yang lebih tua”?

“Tidak ada, tidak mengandalkan apa-apa” masih tetap dengan senyuman di bibirnya.
Yo Cat semakin terbakar memandang senyum di bibir Giok Lian, tetapi dia sadar bahwa jika dia memaksakan diri, lebih banyak kerugian dipihaknya. Karena itu sebelum ngeloyor dia berkata:

“Lain kali jaga mulutmu Nona muda, dan belajarlah mengeluarkan kalimat yang layak”

“Terima kasih. Belajar mengeluarkan kalimat yang layak, harus dilakukan siapapun, baik anak kecil, anak besar ataupun orang tua”

“Apa maksudmu yang sebenarnya Nona muda” Yo Cat kembali berbalik dan tambah murka.

“Tidak ada, hanya mengatakan hal-hal biasa dan wajar”

Tapi sebekum Yo Cat mengumbar amarahnya, terdengar Sian Eng Cu yang menarik nafas dan kemudian berkata:

“Sebaiknya kita anggap selesai kejadian disini. Semua kembali ketempatnya masing-masing” Ujarnya sambil melirik dan memberi tanda kepada Giok Lian yang segera paham dan berkelabat lenyap, kembali ke posisinya semua. Demikian juga dengan Kwi Song dan Kwi Beng. Tempat itu kembali senyap.

=================

Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, 3 pendekar muda lainnya sudah mulai memasuki area musuh yang berbahaya. Untungnya, daerah itu termasuk daerah dengan hutan yang cukup lebat, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan penigntaian. Yang cukup repot adalah Mei Lan, dan memang dialah yang pertama kali bentrok dengan musuh.

Tapi berbeda dengan Tek Hoat dan Ceng Liong, Mei Lan bentrok dengan 2 pendekar samurai dari Jepang. Ke-2 Samurai Jepang ini diturunkan dalam misi kali ini sebagai pendukung, dan akan bertugas untuk melakukan pembantaian ketika kelompok pendekar mulai tersebar.

Kelompok pemukul utama, berada di kedalaman hutan yang dekat dengan jalanan, sementara kedua samurai ini, justru beristirahat jauh kedalam hutan untuk menunggu isyarat mulai bertugas. Mereka duduk diam dan bersamadhi di bawah sebatang pohon rindang, yang rupanya mereka jadikan sebagai tempat istirahat mereka.

Mei Lan yang mendekati daerah itu, sebetulnya sudah jauh-jauh menyadari, bahwa ada semacam hawa aneh yang berada disekitarnya. Dan dia memastikan, bahwa itu pasti adalah kawanan Thian Liong Pang. Tapi, karena begitu kuatnya hawa pancaran dari musuh, dia tertegun, dan firasatnya membisikkan adanya lawan yang kuat disekitar tempat itu.

Dan tidak berapa lama kemudian dia sadar, bahwa lawannya juga pasti sudah mencium kehadirannya. Dan dugaannya memang tidak keliru. Kedua samurai Jepang itupun sudah bersiap sedia, dan keduanya juga sadar bahwa pendatang pastilah seorang yang hebat.

Hanya, diluar dugaan mereka jika kemudian yang datang ternyata seorang nona muda yang sangat mungil dan cantik jelita. Keduanya sampai tidak bisa berbicara apa-apa ketika akhirnya saling bertemu dan memandang Mei Lan yang kini berdiri dihadapan mereka.

Mei Lan juga berdiri menjublak memandangi 2 orang dihadapannya berpakaian hitam menutupi seluruh tubuh dan menggondol pedang panjang. Tetapi yang membuatnya terperangah adalah hawa tajam menusuk yang menebar dari kedua orang yang sedang duduk dihadapannya.

Sampai lama kedua pihak hanya saling pandang mengukur kehebatan masing-masing. Bahkan juga kedua Ninja/Samurai Jepang itu, para pembunuh Thian Liong Pang, merasakan hawa yang sangat kuat memancar dari tubuh dara mungil didepan mereka. Meski masih duduk bersamadhi, tapi keduanya sudah dalam kesiagaan yang sangat tinggi. Dan tidak lama kemudian perlahan-lahan keduanya berdiri dan berhadap-hadapan tanpa kata-kata dengan Mei Lan.

“Siapa kalian” kalimat pendek itu saja yang keluar dari mulut Mei Lan
Tidak ada jawaban, selain kata-kata pendek dalam logat dan dialek yang asing bagi Mei Lan:

“Bunuh, bunuh”

Karena nampaknya kedua ninja/samurai pembunuh ini memang hanya mengenal kata-kata Tionggoan secara terbatas. Dan kata-kata “bunuh” yang keluar dari mulut keduanya mempertinggi kesiagaan. Dan benarlah dugaannya.

Salah seorang dari keduanya, tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa telah menggetar keluar samurainya, pedang panjangnya dan dengan kecepatan geledek telah menyerang kearah Mei Lan. Mei Lan sungguh tercekat, kecepatan itu bukan kecepatan rata-rata. Tetapi sebuah kecepatan yang bagaikan kilat menyambar.

Untungnya dia sudah waspada, dan lebih dari itu, diapun memilih kelincahan dan ginkang yang maha hebat. Tapi itupun, tubuhnya nyaris dicoblos dan ditabas pedang panjang itu. Tapi, sebatang pohon besar dibelakangnya tumbang dengan bekas irisan yang sangat tipis bagaikan tahu yang diiris oleh sebatang pisau tajam.

Dan, kini, kedua ninja itu bersama berdiri dan menghunus pedang panjang mereka. Mei Lan sendiripun kemudian meningkatkan kewaspadaan dan kemampuannya. Sementara kedua samurai jepang itu, berdiri dan mengawasi dengan tajam cara berdiri dan sikap Mei Lan.

Mei Lan sendiri, sudah sejak serangan pertama segera sadar, inilah para pembunuh sadis yang membunuh dengan satu sabetan dan sudah makan banyak jiwa pendekar pedang Tionggoan. Sungguh, kecepatan tadi, memang terlampau cepat bagi gerakan pendekar pedang utama di Tionggoan, dia mengakuinya.

Dan sekarang, dia menghadapi sekaligus, 2 samurai Jepang yang berdiri menatapnya. Mei Lan tidak berani ayal, tidak berani untuk tidak berkonsentrasi, karena ayal sedikit saja, dia bisa menjadi korban sabetan pedang panjang kedua lawannya. Tapi, anehnya, kedua samurai Jepang itupun, masih tidak berani menyerang.

Terjadilah pertarungan yang aneh dan menegangkan. Meski tidak bergerak, tetapi pertempuran sebenarnya sedang terjadi. Sebuah pertarungan mental yang sangat melelahkan. Dan Mei Lan menyadarinya. Meski dia yakin akan kekuatan dan kehebatan ginkangnya, tapi dia tidak berani bergerak sembrono dan dicecar oleh ketajaman dan kecepatan pedang panjang kedua lawannya.

Dan pada saat seluruh konsentrasinya terpusatkan itulah dia menjajaki dan mengawasi kedua lawannya dengan ketenangan. Sementara kedua samurai itu, baru kali ini menghadapi lawan dengan kecepatan yang sama, mungkin lebih, dan akan sangat berbahaya bagi keduanya apabila menyerang dan gagal lagi.

Pertarungan mereka kali ini, bukan pertarungan dengan gerak, tetapi pertarungan yang memancing siapa yang akan melakukan gerakan terlebih dahulu. Kedua samurai Jepang yang lihay itu, tahu belaka, bahwa sekali mereka bergerak, sekali harus berhasil. Tapi, mereka tidak akan pernah menyabetkan pedang panjang mereka sembarangan, tanpa keyakinan akan memenangkan pertempuran.

Karena itu, mereka perlu melihat celah dan lowongan di tubuh lawan, sebelum kemudian bergerak dengan kecepatan kilat dan selesai …. tubuh lawan terbelah, atau kepala lawan terpisah dari badannya. Dan itulah yang mereka kerjakan selama ini di Tionggoan, memenggal kepala lawan atau memisahkan tubuh lawan menjadi dua ….. alias mati.

Tapi kini, keduanya mulai berkeringat dingin. Tidak mereka lihat ada celah dan lowongan di tubuh Mei Lan. Tubuh kecil ramping tapi jelita itu, tetap berdiri kokoh dan memancarkan kekuatan luar biasa. Dan bahkan tanpa disadari kedua samurai jepang itu, keduanya seperti sedang melatih kembali dan mematangkan gadis mungil itu.

Konsentrasi tinggi dan berhadapan dengan kecepatan mengerikan dari lawannya, membuat Mei Lan semakin menyadari apa makna dari pesan orang tua aneh berikat kepala merah baginya:

“Terhebat adalah bergerak lambat tapi cepat, cepat tapi lambat ….
“Bergerak dengan hati, bukan dengan pikiran …..
“Mengetahui darimana asal angin dan kemana dia berhembus …..
“Mengerti lebih baik dari tahu, mengalami lebih baik dari mengerti ….

Kalimat pertama sudah dipahaminya, sebuah pergerakan yang tepat dan efektif. Tidak asal cepat dan menjadi terlalu cepat sehingga enak buat tontonan, tapi seperti sedang menjadi orang yang mau mempertontonkan kehebatan. Tetapi, kalimat kedua barusan mulai dimengertinya, “bergerak dengan hati, bukan dengan pikiran”.

Gerakan pertamanya tadi adalah gerakan dengan pikiran, karena dia tahu diserang dari depan, pikirannya memerintahkan bergerak kebelakang dan merunduk untuk menghindar. Padahal, bila dia bergerak dengan hati, maka maka tanpa mengetahui darimana arah seranganpun, dia tahu kemana dia akan bergerak.

Bergerak dengan hati, bebas semau hati, berbeda dan bahkan lebih tajam dari intuisi. Artinya, menjadikan bergerak sebagai sesuatu yang otomatis, sesuatu yang dilakukan karena tubuh dan hati menyatu mengetahui bahwa ada sesuatu yang sedang mengancam. Persoalannya adalah, bagaimana menyatukan tubuh, pikiran dan hati, sehingga lebih tajam dari intuisi dan tahu kapan harus bergerak.

Pikiran dan hati menyatu dan tubuh bergerak secara otomatis. “Hm, terima kasih orang tua” desis Mei Lan dalam hati. Dan detik itulah kedua pedang panjang terayun kearahnya.

Tapi Mei Lan yang tiba-tiba menyadari dan memahamkan sesuatu pada detik yang sangat menegangkan, tidaklah menjadi kalut dan gugup. Benar, dia kehilangan ketika yang lumayan dan membuat kedua penyerangnya memperoleh peluang meyakinkan menjatuhkannya. Tetapi, dengan sebat dan seperti tidak masuk akal, dia menyelinap dan menghentak tubuhnya sehingga kedua pedang panjang itu hanya sanggup memapas lengan bajunya, dan memotong beberapa helai rambutnya hingga jatuh.

Dan dengan cepat dia membalikkan tubuhnya menunggu serangan kedua samurai lebih jauh, tetapi kedua tubuh itu nampak tidak bergerak di belakangnya. Bahkan keduanya berbicara dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Dan beberapa saat kemudian, keduanya berlutut, dipandangi Mei Lan dengan wajah heran, dan beberapa saat kemudian …. crot-crot, kedua tubuh itu meregang nyawa dan mati ketika mereka melakukan “bunuh diri”.

Meskipun pakaiannya terpapas dan rambutnya beberapa helai terpapas putus, tetapi Mei Lan lebih menyesali mengapa kedua samurai itu bunuh diri. Betapapun, ketegangan dan konsentrasi tinggi yang mereka paksakan tadi, membuatnya bisa memahami beberapa hal yang sulit dan penting bagi dirinya.

Karena itu dia menghela nafas panjang, dan bahkan kemudian dengan menggunakan tenaga dalamnya dia membuatkan kuburan bagi kedua samurai jepang itu, dan kemudian meninggalkan tempat itu dengan masygul dan sedikit ada kegembiraan. Betapapun dia merasa masygul karena telah menyebabkan kedua samurai Jepang yang luar biasa itu harus melakukan bunuh diri.

Tetapi, terdapat atau terselip rasa gembira karena para pengganas yang membunuhi para pendekar pedang Tionggoan boleh terbasmi 2 diantaranya. Lebih dari itu, dia bahkan terilhami kematangan ilmu ginkangnya dibawah desakan yang luar biasa berat dari kedua pendekar pedang samurai Jepang itu.

Di tempat lain, Tek Hoat yang tidak menemui lawan-lawan tangguh, sanggup memperoleh banyak informasi yang dibutuhkan. Tek Hoat menemukan jalan menyusup melalui pohon-pohon yang tinggi dan lebat, dengan melumpuhkan beberapa penjaga tak berarti yang ditinggalkan di pepohonan itu oleh kelompok Thian Liong Pang.

Hanya sekali dia sempat dipergoki seorang penjaga yang dengan cepat dilumpuhkannya, dan kemudian melanjutkan usahanya untuk mengenali dan mengetahui medan tempat penyerangan dan jumlah penyerang serta jenis serangan gelap yang disiapkan. Cukup lama dia melihat-lihat, memperoleh informasi yang jelas dan mengetahui kelompok-kelompok tertentu yang ditempatkan untuk menyerang.

Dan setelah merasa cukup memperoleh informasi di area yang menjadi tugasnya, akhirnya Tek Hoat memutuskan untuk kembali ketempat yang mereka janjikan untuk bertemu. Karena rasanya waktu yang mereka sepakati untuk mengintai tidaklah lama.

Adalah Ceng Liong yang bertemu dengan lawan yang jauh lebih berat. Setelah berlari-lari dan menyusup beberapa saat, tanpa disengaja Ceng Liong malah kesasar ketempat dimana Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay beristirahat.

Tempat itu adalah sebuah jorokan kecil di tebing dan menyerupai sebuah Gua, dan ditempat itulah kedua orang tua sakti itu tinggal untuk sementara dengan kadang-kadang dilayani kedua murid masing-masing. Penyerbuan Thian Liong Pang kali ini, nampaknya tidak main-main dengan terlibatnya Koai Tung Sin Kay dan Kim-i-Mo Ong.

Bisa dipastikan, selain kedua Pelindung Thian Liong Pang ini, pasti masih ada tokoh lihay lain lagi, hanya entah dimana adanya. Dan secara kebetulan, Ceng Liong berjalan mendekati tempat istirahat Koai Tung Sin Kay. Bisa ditebak, keberadaan Ceng Liong sudah terdeteksi jauh sebelumnya oleh tokoh tua yang sangat sakti ini.

Ceng Liong baru menyadari sesuatu yang aneh ketika firasatnya mulai menunjukkan gejala keanehan, meski sehalus apapun keanehan itu. Tapi, pada saat dia mulai merasakan keanehan itu, tiba-tiba seberkas angin halus berkibas disekitarnya.

Dan mendadak disampingnya telah duduk seorang tua, sudah sangat tua, dengan sepasang tangan memegang atau tepatnya memeluk sebatang toya. Panjang toya yang diselipkan diantara sepasang tangan yang bersedekab itu, paling panjang hanya ada 1 meteran, dan nampaknya terbuat dari sebatang kayu.

Tiada istimewanya, tetapi, sebuah benda ditangan orang tua sekosen Koai Tung Sin Kay, pasti bukan benda sembarangan. Bila benda biasapun, sanggup dijadikannya benda luar biasa.

Ceng Liong dan juga Koai Tung Sin Kay sebetulnya belum pernah saling bertemu. Karena itu, keduanya tidak saling tahu. Tapi sebagai orang muda, Ceng Liong yang mengenal tata karma telah mengambil inisiatif untuk mendahului menyapa:

“Locianpwe, maafkan siauwtee yang telah mengganggu ketenteramanmu. Perkenankan siauwtee untuk melanjutkan perjalanan”

“Siapakah engkau anak muda”? luar biasa, Ceng tidak melihat orang tua itu menggerakkan bibirnya berbicara.

“Siauwtee Ceng Liong, sedang melakukan sebuah pekerjaan disekitar tempat ini”

“Pekerjaan mengintai dan mengintip maksudmu”? terasa dingin suara kakek ini. Ceng Liong tercekat, tetapi tidak berusaha untuk mengatakan tidak, karena maksudnya memang sudah tertebak.

“Tidak salah locianpwe, siauwtee mengemban tugas demi keselamatan umat persilatan Tionggoan. Mohon perkenan dan bantuan locianpwee”

“Hm, baiklah anak muda. Biarlah aku membantumu untuk mengetahui lebih lengkap keadaan para penyerbu dengan mengirimmu langsung bertemu dengan pimpinan penyerbu ini” kakek itu, yang adalah Koai Tung Sin Kay berkata sambil sebuah jari telunjuknya mengarah ke Ceng Liong. Dan sebuah alur serangan yang sangat tajam mengarah ke Ceng Liong …. dan hebatnya, tanpa suara lagi.

Tapi, Ceng Liong yang sekarang sudah tidak gampang dikelabui dengan serangan semacam itu. Selain firasat dan indra keenamnya sudah sangat tajam, penilaiannya atas lawan, juga sudah jarang meleset. Dia tahu benar, bahwa kakek ini sangat hebat, tetapi dia ingin menjajal sejauh mana kehebatan kakek yang mengejutkannya ini.

Diapun mengerahkan tenaga Giok Ceng Sinkang dalam gerakan Toa Hong Kiam Sut di tangannya dan mengibas kearah jalur serangan Koai Tung Sin Kay yang menyerang dengan jarinya.

“cussss, trang” suara bagai benturan pedang berdenting diudara dan mengakibatkan kekagetan bagi kedua belah pihak. Lengan Ceng Liong serasa kena tohok oleh sebuah benda tajam, tetapi tidak sanggup melukainya.

Tetapi, orang tua yang dihadapannya kini, juga merasa serangkum angin tajam membentu alur serangannya dan membuat tangannya tergetar. Luar biasa, belum pernah ditemuinya lawan yang sanggup menggetarkan tangannya dalam sekali kibasan, kecuali ketika bertarung puluhan tahun lalu. Dalam pertarungan yang tak hentinya disesalinya seumur hidupnya.

Dan kini, tak disangkanya, kejutan serupa itu, kembali dialaminya. Hanya saja, kali ini dialaminya dari seorang bocah yang masih sangat mudah. Benar-benar mengejutkan. Dan untuk meyakinkan hatinya, perlahan dibukanya matanya, dan memandangi Ceng Liong dengan tatapan yang sangat dingin dan menyeramkan.

“Hm, Giok Ceng Sinkang dari Lembah Pualam Hijau. Anak muda, engkau membangkitkan niatku untuk bermain-main dan mengenal kehebatanmu lebih jauh. Apakah sama dengan leluhurmu tau tidak” dan kembali jemarinya menunjuk kearah Ceng Liong.

Tapi kali ini Ceng Liong yang merasa tergetar tadi dan tahu bahwa kakek ini sangat hebat, tidak lagi berlaku ayal. Ditingkatkannya tenaga Giok Ceng Sinkangnya dan kemudian kembali terdengar benturan serupa “cusssss, trang”, dan akibatnya sama dengan tadi. Hanya, kali ini Ceng Liong tergetar mundur selangkah, sementara kakek itu tubuhnya bergoyang-goyang dan sedikit doyong kebelakang.

“Hm, hebat anak muda. Engkaulah anak muda terhebat yang pernah menyentak dan mengagetkanku. Tapi, kita baru mulai” Seiring dengan selesainya kalimat kakek tua itu, sepasang tangannya kembali bekerja melakukan serangan-serangan jarak jauh yang berasal dari jari-jemarinya.

Dan serangan-serangan dengan jari itu, mengingatkan Ceng Liong akan seorang tua renta yang menurut gurunya memiliki kehabatan dalam menyerang dengan ilmu jari yang disebut Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih). Untungnya tenaga sinkangnya mampu mengusir hawa beracun itu dan tidak mampu mengapa-apakannya, tetapi sejurus kemudian dia bergumam:

“Koai Tung Sin Kay”

“Benar anak muda, apakah engkau mulai ketakutan”? jengek kakek itu dingin.

“Bukan, cuma penasaran saja”

“Penasaran akan apa”?

“Locianpwe sudah tua, tetapi bersikap masih seperti anak-anak”

“Hm, tidak ada hakmu menegurku anak muda” Koai Tung Sinkay menjadi murka bukan kepalang.
“Semua orang berhak menegur mereka yang menyimpang dan melakukan kejahatan bagi sesamanya”

“Lancang engkau” dan Kakek itu kembali menyerang dan sekali ini, bukan hanya dengan jurus Pek-tok-ci (Jari Tangan Beracun Putih), tetapi segera setelah menyerang dengan jemarinya, tangannya kemudian memegang sebuah tongkat sambil berseru:

“Cabut senjatamu anak muda”

“Tidak perlu, aku siap melayanimu dengan tanganku locianpwe”
Tapi Koai Tung Sin Kay yang marah sudah mencecar Ceng Liong dengan jurus-jurs maut dari ilmu tongkatnya yang aneh. Dia mencecar Ceng Liong dengan menggunakan jurus Koai tung kwi eng (tongkat aneh bayangan hantu), dan sesekali jarinya mengirim serangan Pek tok ci.

Boleh dikata, ilmu tongkat Koai Tung Sin Kay ini adalah yang paling rumit, hebat dan ajaib saat ini di dunia persilatan. Tidak heran bila karenanya Ceng Liong menjadi kerepotan, bahkan masih ditambahi dengan sentilan-sentilan Pek tok ci yang membuatnya tambah kerepotan.

Tapi, meskipun kerepotan Ceng Liong tetap bertahan dan berusaha mati-matian meladeni orang tua itu. Dia bergerak pesat, langkah kakinya memainkan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), sementara tangan kanannya memainkan Toa Hong Kiam Sut dan penuh dengan hawa pedang, sedangkan tangan kirinya bergerak dengan jurus Soan Hong Sin Ciang.

Meski nampak sedikit terdesak, tetapi keadaan Ceng Liong tidaklah berbahaya. Terlebih, karena dia merasa bahwa tenaganya masih sanggup menahan kekuatan tenaga kakek tua itu, meski dia merasa semakin lama semakin berat. Di lain pihak, Koai Tung Sin kay menjadi semakin kagum berbareng marah.

Kagum karena anak muda ini sanggup menahannya, bahkan mengimbanginya. Gerakannya malah masih lebih ringan dan gesit, maklum masih muda. Dan itu yang menyelamatkan si anak muda dari gempuran tenaga dalamnya yang dahsyat. Gerakan kaki jouw sang hui teng benar-benar ampuh dan mujarab dan membuat Ceng Liong sanggup menahan Koai Tung Sin Kay sampai lebih dari 50 jurus.

Bahkan serangan-serangan Toa Hong Kiam Sut dan Soan Hong Sin Ciang, juga beberapa kali merepotkan si kakek tua yang berkali-kali memaki-maki tidak karuan
 
3





Dalam pengerahan tenaga yang semakin memuncak, dari tubuh Ceng Liong mulai memancar hawa panas menyengat. Tetapi hawa pedangnya menjadi semakin dingin. Hawa panas yang dilatihkan mendiang Kiong Siang Han baginya mulai terasa manfaatnya, terlebih karena dia sudah sangat sering melatihnya dan mempergunakannya dalam pertempuran.

Tanpa disadarinya, hawa khikang yang memancar dari tubuhnya, juga semakin kuat. Sementara Koai Tung Sin Kay juga semakin meningkatkan penggunaan tenaganya, hanya dia semakin heran, karena anak ini seperti tiada batas kekuatan tenaga dalamnya. Sampai pada penggunaan enam bagian tenaganya, dia masih tertangkis oleh tangan anak muda itu yang bertenaga penuh dan bahkan tajam menusuk.

Tongkatnya yang bergerak-gerak aneh, memang sering memusingkan Ceng Liong, tetapi arah yang diserang bisa dijaganya dengan baik. Bahkan suatu ketika, ketika menyodok pinggangnya, anak muda itu malah membiarkannya ketika tidak sanggup menangkis lagi. Tapi tongkat itu terpental, dan sadarlah kakek itu, lawannya bukan lawan main-main, bahkan sudah sanggup menguasai hawa khikang pelindung badan.

Kakek itu nampak berhenti sebentar dan bergumam lirih:

“Aku tidak keliru, kalau kamu adalah seorang anak muda yang sakti. Hanya, tidak kusangka jika kehebatanmu ternyata melampaui yang kubayangkan. Hahahaha, anak muda, bersiaplah, engkau akan menghadapi serangan dari seorang tua bernama Koai Tung Sin Kay ini”

Dan meluncurlah kembali serangan-serangan maut dari tongkat dan jari tangan kakek sakti ini. Kali ini, penuh tenaga dan tidak main-main lagi. Letupan dari jari tangannya sungguh menimbulkan alur serangan yang semakin memuakkan karena kandungan racun atau hawa racun putih yang sangat berbahaya. Sementara tangan satunya lagi, memainkan ilmu tongkat Koai tung kwi eng (tongkat aneh bayangan hantu) yang seakan-akan menyerangnya dari seluruh penjuru mata angin.

Ceng Liong tidak mau berayal, dia tahu kini bahwa benar dia berhadapan dengan Koai Tung Sin Kay yang sakti mandraguna. Kali ini dia menggunakan kekuatan yang semakin ditingkatkan dengan mulai memainkan Soan Hong Sin Ciang dalam gubahan Tek Hoat dan membuat hawa panas semakin membakar dari dirinya.

Demikian juga gubahan Toa Hong Kiam Sut yang membuat hawa dingin menusuk semakin menyebar dari hawa pedang di tangannya. Tetapi, harus diakui, pengalaman tempur Koai Tung Sin Kay memang luar biasa. Dia kini mengepung dan menghujani Ceng Liong dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya. Setiap 3 kali serangannya hanya sanggup dibalas sekali oleh Ceng Liong, dan semakin menyudutkan Ceng Liong dalam pertempuran itu.

Untungnya hawa khikangnya mampu menutupi dan mengusir hawa beracun dari ilmu jari si kakek sakti itu. Jika tidak, maka akan semakin runyam posisi Ceng Liong. Karena selain dicecar tongkat si kakek, masih harus berhadapan dengan setilan jari beracun yang membawa hawa racun kearahnya.

Tidak terasa 100 jurus sudah berlalu. Ceng Liong mulai mampu mengusir kengeriannya berhadapan dengan maha iblis masa lalu yang kembali hadir di rimba persilatan Tionggoan ini. Meski lebih sering didesak, tetapi dia sanggup bertahan dengan hawa khikang dan kombinasi Soan hong Sin Ciang dan Toa Hong Sin Ciang yang sudah didalaminya bersama Tek Hoat.

Dengan kedua jurus itu, bayangan-bayangan samaran yang dihadirkan ilmu tongkat si kakek tidak sanggup menerobos pertahanannya. Bahkan lama kelamaan, seiring dengan meningkatnya pengerahan kekuatan sinkangnya, bayangan tongkat yang tadinya nampak banyak berseliweran, kini tidak lagi sanggup membingungkannya.

Hal ini membuat si kakek mencak-mencak, dan tiba-tiba dia merubah gerakan tongkatnya dan merubah jurus menjadi Koai tung cim-jip-liong-hiat (Tongkat aneh Serbu Masuk Guha Naga) :

“Hm anak muda, tidak kusangka masih ada orang selain 4 dewa Tionggoan yang membuatku terpaksa menggerakkan jurus mautku ini”

Dan kembali si kakek menyerang, kini bahkan nampak lebih cepat, lebih mengerikan dibandingkan jurus tongkat semula. Karena memang, inilah ilmu tongkat ciptaannya yang terakhir. Diciptakan untuk mengalahkan musuh-musuh besarnya, dan sekarang yang terpaksa digunakan untuk melawan seorang anak muda. Tiba-tiba

“haiiiiiiit, kena ….. hahahahahaahha, kali ini kena anak muda”

Pundak Ceng Liong memang terkena sodokan tongkat si kakek yang tiba-tiba memanjang hampir setengahnya, menjadi sekitar 1,5 meter dari panjang semula. Ceng Liong yang tidak menyangkanya hanya memasrahkan pada perlindungan hawa khikangnya, dan memang dia tidak terluka dalam. Hanya, sodokan dipundaknya membuatnya meringis menahan sakit.

Karena betapapun tenaga kakek itu tidak dibawahnya, bahkan mungkin masih sedikit diatasnya.

“Hm, orang tua, engkau lumayan licik dengan menipu soal panjang pendeknya senjatamu”

“Anak muda, tutup mulutmu. Siapapun tahu, senjataku bisa molor dari panjang normalnya …. Hahahahaha”

“Baik, kita lanjutkan” Ceng Liong memutuskan untuk menggempur dengan ilmu yang baru …. Pek Lek Sin Jiu. Ilmu Kong Siang Han yang akhir-akhir ini ditekuninya dan semakin diperdalamnya. Bahkan terakhir, di Siauw Lim Sie dia “memasak” kembali sinkangnya guna memperkuat ilmu ini dan juga ilmu mujijat gurunya Pek Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari).

Matanya menyiratkan kepenasaran, dan dia menyiapkan jurus-jurus hebat dari Pek Lek Sin Jiu untuk melawan kakek hebat ini. Dia kemudian menggerak-gerakkan tangannya dan meluncurlah hawa panas yang lebih hebat dari tubuhnya. Luar biasa panasnya karena kini dia memainkan Pek Lek Sin Jiu – Pukulan Halilintar.

Telapak tangannya seperti berubah menjadi putih, berkilau, dan jurus pertama Halilintar Membelah Angkasa dikembangkan dan dikerahkan kearah Koai Tung Sin Kay. Ornag tua itu dnegan segera merasakan menyebarnya hawa panas yang laur biasa dari tubuh anak muda sakti lawannya itu.

“Hm, Pek Lek Sin Jiu, hebat-hebat anak muda. Rupanya si pengemis tua itu mengajarimu juga ya. Mari, mari biar kita saling uji ilmu siapa yang lebih ungkulan bila diadu”

Kembali udara sekitar mereka berdua dirusak oleh kedua jenis suara berbeda. Hanya, kali ini, suara yang lahir dari ilmu-ilmu itu sungguh menggelegar dan tidak ditahan-tahan. Pukulan-pukulan Ceng Liong membelah angkasa dan menggetarkan udara serta dengan suara memekakkan.

Pukulan-pukulan itu tertahan dan diimbangi oleh jurus tongkat yang luar biasa aneh dan lihay dari Koai Tung Sin Kay. Dan tidak lama kemudian, nampak pukulan Ceng Liong seperti diarahkan untuk memburu tongkat lawan, itulah jurus kedua Pek lek Sin Jiu Halilintar Menerjang Angin. Lengannya tidak takut diadu dengan tongkat, bahkan mencecar tongkat itu dari semua arah dengan ledakan-ledakan petir yang memekakkan telinga.

Tetapi pada saat itu, manakala dengan cepat Ceng Liong menukar jurus loncat ke jurus keempat Halilintar Bartalu-talu di Udara, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah suara yang dikirimkan dengan lembut dan menyentuh sanubarinya:

“Long jie, sudah cukup. Sudah cukup engkau menempurnya, saatnya sekarang engkau pergi. Pentolan-pentolan mereka sedang memburu kemari, sudahi dan cepat pergi sebelum mereka tiba ditempat ini”

Sadarlah Ceng Liong, bahwa penggunaan Pek Lek Sin Jiu akan mengundang banyak orang. Karena itu, dengan tiba-tiba dia melontarkan jurus ketujuh yang maha hebat, Sejuta Halilitar Merontokkan Mega, dan menekan kekuatan geledeknya tetapi menyerang mata batin orang.

Dugaannya tepat, Koai Tung Sin Kay seperti gelagapan sejenak, tetapi yang sejenak itu sudah cukup bagi Ceng Liong untuk melesat mundur ke belakang sambil berkata:

“Locianpwe, sudah cukup untuk hari ini” Dan melayanglah dia menjauh. Koai Tung Sin kay yang penasaran ikut melesat untuk mengejar, tetapi sebuah suara tiba-tiba menegurnya, bahkan serangkum angin serangan juga mengarah ke tubuhnya:

“Biarkan dia pergi” suaranya sangat halus dan lembut, tetapi serangan yang mengarah ke tubuhnya sungguh dengan kekuatan yang tidak main-main. Dengan terpaksa langkahnya di tahan, dan dipapaknya serangan itu:

“duaaaaaar”

Akibatnya langkahnya terhenti, bahkan dia terhuyung 2 langkah, dan lawannya nampak sudah melayang menjauh setelah sanggup melontarkannya ke belakang. Dan dia mendengar suara:

“Lain waktu kita bertemu kembali”

Dan penyerang itupun berlalu laksana angin. Tinggallah Koai Tung Sin Kay yang tercenung kebingungan, siapa gerangan yang menyerang dan menahan langkahnya? Sungguh hebat orang itu, nampaknya bahkan tidak berada disebelah bawah kesaktiannya. Dan, anak muda tadi, juga bahkan tidak akan sanggup dikalahkannya dalam 100-200 jurus.

Bahkan mungkin sudah akan menyamai kesaktiannya. Sungguh sulit diterimanya, bahwa begitu banyak tokoh sakti yang merendenginya, padahal 40 tahun sebelumnya, selain 4 tokoh utama Tionggoan, dia membanggakan diri sebagai tokoh utama pula.

“Sin Kay, apa yang terjadi” sebuah suara tiba-tiba terdengar didekatnya dan dibelakangnya sudah berdiri seorang tua, Lhama Tibet, siapa lagi jika bukan Bouw Lek Couwsu.

“Aku bertemu hantu” sembarangan Sin Kay menjawab. Mana mau dia mengaku telah bertemu lawan muda yang mampu mengimbanginya dan tokoh lain, yang seorang lagi bahkan mampu membuatnya terhuyung-huyung?

Tapi, kepongahan Koai Tung Sin Kay inilah yang menyelamatkan informasi yang dimilikinya untuk tidak disampaikan kepada yang lain. Karena itu, banyak yang masih beranggapan bahwa, persiapan mereka sudah matang dan siap menyergap para pendekar Tionggoan.

Sayang, kesombongan Koai Tung Sin kay untuk mengakui apa yang terjadi membuat mereka kehilangan pengamatan lain. Sesuatu yang harusnya menguntungkan mereka, malah terlewatkan begitu saja.

Dan, seandainya Koai Tung Sin Kay memberi tahu apa yang terjadi dan kemudian mengejar bersama Bouw Lek Couwsu dan ketiga Hu Pangcu Thian Liong Pang yang datang bersamanya, maka mungkin cerita akan menjadi lain.

Tapi, untunglah semua itu tidak terjadi. Padahal, seandainya dilakukan, mereka akan menemui Ceng Liong dan anak muda lain dan keseimbangan pasti akan bergeser dan akan sangat merugikan pihak anak anak muda tersebut.

Sementara itu Ceng Liong yang berlari menjauh tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak wajar dalam pernafasannya. Bahkan kepalanya seperti berkunang kunang dan nyaris pingsan. Menyadari keadaan tersebut, dia tiba-tiba sadar, bahwa nampaknya ada hawa beracun yang sempat terhirup masuk olehnya.

Karena itu, dengan menguatkan dirinya, dia mencari daerah yang dirasanya cukup aman. Untungnya, daerah seputarnya rata-rata adalah hutan yang sangat lebat, sehingga mudah mencari tempat yang cukup aman baginya untuk memusatkan konsentrasinya. Ditemukannya sebatang pohon yang sangat besar, rindang lagi, dan kemudian dia bersamadhi dibawahnya. Ada beberapa kali putaran hawa murni dilakukannya dan beberapa kali berusaha mendesak hawa beracun keluar dari tubuhnya.

Sedang dia berusaha sekuat tenaga, tiba-tiba sebuah tangan menempel di belakangnya, dan anehnya segulung tenaga Giok Ceng Sinkang yang sangat kuat membantunya.

Segera dia menyambut bantuan tenaga tersebut, bahkan kemudian membuatnya semakin lama semakin kuat dan mendesak racun keluar dari tubuhnya. Setelah racun itu keluar, sebuah suara bening terdengar memasuki keheningan konsentrasi dan samadhinya:

“Liong jie, mengapa tidak mencoba meresapi makna

“Memukul tidak dengan benci, menyerang bukan dengan amarah. Bukan untuk melukai, tapi untuk melindungi dan menghidupkan”

Ceng Liong bukan orang bodoh, sudah berusaha dipecahkannya intisari dari kalimat itu, tapi belum juga terpecahkannya. Dan kini, dalam konsentrasi penuh, kembali dia diingatkan akan makna yang sebaiknya dicari dari kalimat penuh makna itu.

Maka kembali dia tenggelam dalam sebuah upaya pencarian. Pencarian makna sebuah kalimat. Nampak kalimat tersebut sederhana saja, tetapi sebetulnya bermakna sangat dalam. Dan kedalaman itu yang coba untuk dijenguknya lebik jauh.

Kiang Ceng Liong, Liang Mei Lan, Liang Tek Hoat, adalah anak muda didikan tiga tokoh utama golongan putih. Ilmu mereka sebetulnya dibangun di atas dasar “menumbuhkan” bukan “membinasakan”. Atau dibangun diatas kepentingan “membangun” dan bukan “merusak”. Ilmu-ilmu golongan putih, biasanya dibangun di atas kepentingan untuk kesehatan badan, terutama aliran utama Siauw Lim Sie dan juga tentunya Bu Tong Pay. Ilmu Pualam Hijau, juga sebetulnya ada dalam falsafah tersebut.

Menumbuhkan, membangun dan bukan merusak dan membinasakan. Jika falsafah dan substansi utama ilmu tersebut bergeser ke upaya merusak dan membinasakan, maka ilmu-ilmu golongan putih, bukan cuma kehilangan “saripatinya”, tapi juga kehilangan kemurniannya. Dan kesempatan menemukan dan mencapai kematangan dan kesempurnaan, justru akan menguap.

Ibaratnya, rumah yang dibangun untuk menjadi tempat tinggal. Tapi bila rumah tinggal itu kemudian dalam pengerjaannya melenceng dan menjadi sangat mewah sejenis hotel atau rumah penginapan, maka meskipun bentuknya rumah, tetapi bukan lagi sebuah rumah tempat tinggal. Karena falsafahnya sudah bergeser dan ada tambahan-tambahan yang sebenarnya melencengkan nilai dasar dari tujuan membuat sebuah rumah tinggal.

Ilmu-ilmu golongan putih, apabila dirasuki oleh kekuatan mematikan dan merusak, justru akan kehilangan sentuhan kesempurnaannya. Pada tataran tertingginya, maka sulit menyempurnakan ilmu-ilmu murni golongan putih, apabila falsafah itu sudah bergeser.

Dan, orang tua aneh yang membisikkan falsafah ini ke Ceng Liong, sebetulnya melihat, bahwa baik Ceng Liong maupun Tek Hoat, dalam usia yang sangat mudah, sudah di persimpangan untuk “menyempurnakan ilmu mereka” atau justru akan melenceng dan sulit menemukan kesempurnaan itu. Mengapa? Karena kekuatan dan tingkat Ilmu mereka sudah berbentuk, sudah menemukan bangunan yang pas, dan tinggal menentukan apakah bentuk akhirnya “rumah tinggal” atau “hotel”.

Dengan demikian, orang aneh itu, ingin memberi pesan bagi mereka akan falsafah dasar keilmuan ketiga anak muda itu. Dan dengan cara itu, orang tua itu menginginkan agar ketiganya secara benar menemukan bentuk akhir dari ilmu ilmu yang mereka dalami. Menemukan kedalaman dan kesempurnaan sejati dari ilmu silat mereka.

“Liong jie, ingatlah apa yang membuatmu ingin memukul jatuh Koai Tung Sin Kay? Apa yang membuatmu ingin memenangkan pertarungan? Apakah dengan benci dan amarah, apakah dengan nafsu ingin menang, ingin pamer kehebatan? Atau bukan untuk melukai, tetapi untuk melindungi, menghidupkan dan mengasihi”? kembali sebuah bisikan tenang dan teduh memasuki sanubari Ceng Liong. “Ingatlah, apa alasan kakekmu dan kong chow untuk memperdalam ilmumu. Untuk melindungi umat persilatan Tionggoan, untuk kehidupan, bukan untuk kebinasaan, membunuh, pamer atau sok menang”

Nampak Ceng Liong yang dalam perenungan mendalamnya seperti mendapati seberkas cahaya yang menerangi apa yang selama ini gelap baginya. Benar, bukan hanya sekedar karena dia menyerang dengan amarah, bukan. Sama sekali bukan.

Tetapi, yang terutama, adalah membangun dan memupuk kekuatan dan kesempurnaan dengan jauh dari pamrih ingin menjadi yang terutama, ingin menjadi yang terhebat. Ingin menguasai dunia, ingin menjadi nomor satu, atau ingin membunuh orang sebanyak-banyaknya. Pisahkan nafsu untuk merusak dengan nafsu untuk membangun, maka bukan kemenangan dalam perkelahian yang terutama, tetapi kemenangan karena menemukan bentuk ilmu yang sebenarnya.

Dan akhirnya bibir itu tersenyum. Badannya melemas dan konsentrasi kemudian perlahan dibuyarkan. “Kong-kong, terima kasih”, tapi orang tua itu sudah tidak lagi berada ditempatnya. Siapa lagi, kalau bukan Kiang Cun Le?

Ceng Liong yang menemukan makna dari kalimat yang disampaikan orang tua aneh, tiba-tiba memejamkan mata dan kemudian berkonsentrasi sejenak. Tidak lama kemudian, dengan gerakan-gerakan sederhana, seadanya, dia bersilat dan mempraktekkan kembali semua yang diketahuinya.

Aneh, sungguh ringan rasanya, dan sungguh tanpa rasa takut kalah, takut kena pukul, tanpa khawatir kena tusuk, kena tendang, tetapi geletar-geletar pembuluh darah dan indra lainnya sungguh meningkat tajam. Sungguh hebat, dalam waktu sehari, Ceng Liong menemukan sesuatu yang sangat menentukan dalam perjalanan pembentukan ilmu silatnya.

Bahkan diapun menjadi sadar, beberapa gerakan sederhana akan bisa sangat berbahaya dan bermanfaat, sejauh untuk apa manfaat gerakan tersebut. Apalagi, bila sanggup memahamkan makna terdalam dari ilmu-ilmu dahsyat yang selama ini telah dilatih dan bersarang dalam tubuhnya.

Dia membayangkan, seandainya tanpa amarah dia menyerang Koai Tung Sin Kay, maka tiada rasa takut, ngeri dan jeri dalam hatinya. Dan akan bisa dia memainkan ilmunya dalam tataran tertingginya, tanpa khawatir apakah dia akan terpukul atau tidak. Seluruh mekanisme tubuh dan geraknya sudah bisa dikuasainya, bahkan termasuk kekuatan sinkangnya. Pengamatan yang tepat atas kemampuan diri, bergerak cepat tapi lambat, lambat tapi cepat, dengan sendirinya dipahaminya dengan lebih muda.

Tapi heran, dia sangat ingin membagi pemahamannya dengan Mei Lan dan Tek Hoat, karena bertiga mereka memperoleh pesan itu. Seharusnya, bertiga mereka memperdalam dan memahaminya.

Sementara Ceng Liong memahamkan substansi dan dasar pembentukan ilmunya, dia tidak tahu bahwa sudah lebih dari sejam dia berkonsentrasi dan menemukan makna itu, Artinya, sudah sejam dia terlambat.

Dan dia tidak tahu, bahwa Tek Hoat juga menemukan lawan yang tidak kurang lihay dari yang ditemukannya. Dan selama hampir sejam Tek Hoat mempertaruhkan jiwanya untuk melawan Iblis lain yang maha dahsyat ….. Kim-i-Mo Ong.
 
ini seri keduanya yo, bang..
:huh:

yang pertama saja belum namatin:bata:
eh..sudah nongol lanjutannya:D

Oke:thumbup ane kembali lanjutin yang pertama dulu sampe selesai..
setelah itu balik kemari:)
:beer:
makasih​
lagi SKS ( sistem kebut semalam )bang troy :beer:
 
BAB 3 menghadapi penghadangan
1 mehghadapi penghadangan




Sebagaimana diketahui, Tek Hoat menyelesaikan missinya dalam waktu singkat. Berbeda dengan Mei Lan dan Ceng Liong yang justru melakukan pertarungan mati-matian, dan dalam pertarungan itu, justru menemukan sari dari pertanyaan yang membingungkan mereka.

Tek Hoat, setelah melaksanakan misinya, kemudian menunggu dan beristirahat di bawah sebatang pohon di tempat perjanjian mereka untuk bertemu setelah tugas selesai. Tetapi sayang, setelah beberapa saat menunggu, bukannya Ceng Liong yang datang, tetapi Lam Hok dan Gan Bi Kim. Keduanya baru saja melarikan diri dari pertarungan, terutama Lam Hok yang baru saja dikalahkan oleh Kwi Song.

Sementara Gan Bi Kim sendiri tidak terluka, karena dengan cerdik dia tidak melawan mati-matian. Dia tahu diri, Giok Lian lebih matang , jauh lebih matang penguasaan ilmunya, meskipun masih kalah pengalaman.

Pada saat itu, Tek Hoat sebetulnya sedang dalam konsentrasi untuk mencernakan kembali pesan yang disusupkan ke sanubarinya oleh orang tua aneh yang ditemukan bertiga dengan Ceng Liong dan Mei Lan. Tapi, dia tidak kehilangan kewaspadaan. Dia tahu ada langkah kaki pria dan wanita yang mendatangi. Dan disangkanya Ceng Liong dan Mei Lan.

Dugaannya meleset, karena yang datang adalah Lam Hok dan Bi Kim. Lam Hok yang sedang kesal karena terpukul terluka ditangan Kwi Song, ketika melihat ada seorang anak muda lain di bawah pohon dan nampaknya sedang samadhi, dan wajahnya bersinar cerah dan cakap, menjadi cemburu dan kesal. Tanpa ba bi bu, dilayangkannya sebuah pukulan dengan Kiam Ciang yang berbahaya ke arah Tek Hoat.

Sudah tentu Tek Hoat terperanjat, tetapi tidak gugup. Dengan cepat dia mengerahkan tenaganya dan disambutnya serangan Kiam Ciang itu dengan tenaga kerasnya yang tersalur melalui penggunaan hawa pedang Toa Hong Kiam Sut dari gurunya terakhir, Kiang Sin Liong. Akibatnya:

“duaaaaar, bresss” Lam Hok yang tidak menyangka akan mendapatkan sambutan keras karena pandang enteng, selain memang kondisi tubuhnya yang terluka, terpental jatuh. Dan dari mulutnya kembali mengalir darah segar, meskipun lukanya tidaklah separah dihajar Kwi Song sebelumnya. Tetapi, jatuhnya Lam Hok, membuat murka orang yang membayangi kedua anak muda itu.

Orang itu, justru adalah guru Lam Hok, seorang maha iblis pada masa lalu yang sangat ditakuti. Dan orang itu yang biasanya tidak mau tahu aturan menjadi murka melihat muridnya kembali muntah darah dihadapannya. Bagaimana tidak orang tua itu tidak menjadi marah? Barusan muridnya kalah dan terpukul, ketika hendak memberi pukulan balasan, justru seorang nikouw sakti membuatnya terpental pergi, meski dia tahu dia tidak di bawah kesaktian nikouw itu yang juga terdorong kebelakang dalam adu kesaktian tadi.

Tapi bahwa nikouw itu sangat sakti, belakangan harus dia akui, karena tidak banyak orang yang sanggup memapas serangannya dan membuatnya goyah pula. Dan sekarang, mana sanggup dia mendiamkan muridnya kembali dipermalukan dihadapannya?

“Anak muda tak tahu diri, bersiaplah. Aku harus menghajar adat kepadamu” Kim-i-Mo Ong yang sedang gusar, masih merasa malu untuk langsung menyerang orang muda.

“Maafkan locianpwe, siauwtee tidak tahu kalau dia sedang terluka”

“Tidak, dengan sembarangan engkau menyerangnya”

“Tapi, dia yang membokongku locianpwe. Aku hanya menangkis saja”

“Menangkis”? ingin kulihat mengapa engkau sanggup melukainya orang muda. Bersiaplah”

“Ach, locianpwe bagaimana mungkin”

Tapi suaranya hilang, karena tiba-tiba berkeredepan sinar keemasan dari jari jari kakek tua itu, mengarah ketubuhnya. Mau tidak mau Tek Hoat menyambutnya, karena menghindar nampaknya agak susah dan bisa dicecar dengan serangan jari yang sama. Tek Hoat menyambutnya dengan pengerahan hawa pedang Toa Hong Kiam Sut dan memapak serangan kakek tua berjubah emas itu.

“bresss, cussss” benturan hawa tajam dari kedua tangan orang berbeda jauh usianya itu sungguh bagaikan benturan dua benda tajam.

“Hm, tidak heran kamu pongah anak muda. Bahkan Kim Coan Kut Ci (Jari emas penembus tulang) pun bisa kamu tangkis dengan baik. Hahahahaha, mari, mari kita bermain main sebentar anak muda”

Tek Hoat meringis, karena meskipun tidak terluka, tetapi tangannya tergetar kuat oleh sentilan jari penembus tulang kakek tinggi besar berjubah emas itu. Tapi mendengar ilmu kakek itu, dia segera sadar, kalau saat itu dia sedang berhadapan dengan Kim-i-Mo Ong. Mau tak mau dia menyiapkan dirinya untuk menandingi kakek tua yang dia tahu lihay bukan main itu.

Dan Tek Hoat tidak menunggu lama, kembali kakek berjubah emas itu menyentilkan tangannya dan mencecarnya dengan sentilan-sentilan jarak jauh. Tetapi karena sudah siap, Tek Hoat menyambutnya dengan sebat. Tangannya bergerak cepat menghalau setiap serangan tajam yang dilakukan Kim-i-Mo Ong. Dan tidak berapa lama kemudian, kakek jubah emas itu mulai menambah serangan dengan mengembangkan ilmu lainnya.

Kini dia mengembangkan ilmu lainnya, Kim-i-Sin Kun, Silat Sakti Jubah Emas yang biasanya dibarengi dengan pengerahan Sinkang Baju Emas (Kim-i-Sinkang). Akibatnya sungguh luar biasa, dia berkelabat-kelabat menyerang Tek Hoat yang dengan cepat memapaknya dengan ilmu kebanggaan gurunya, Hang Liong Sip Pat Ciang.

Diapun dengan cepat mengimbangi gerakan kakek itu dan menyerang dengan sama beratnya, bahkan dari mulutnya terdengar erangan-erangan Naga yang mengimbangi kecepatan gerak si Kakek jubah emas. Melihat gerakan Tek Hoat, sadarlah Kim-i-Mo Ong dengan siapa dia berhadapan. Murid Kiong Siang Han, tidak salah lagi.

Mengerti bahwa lawannya mewarisi ilmu dari musuh besarnya, Kim-i-Mo Ong jadi tidak berayal, dengan segera dia meningkatkan penggunaan singkang jubah emasnya. Dan dengan memainkan jurus “jubah emas menggulung angin”, tubuhnya berkelabat cepat dan seakan-akan mengelilingi tubuh Tek Hoat dengan selimut keemasan.

Sadar akan bahaya, Tek Hoat mengembangkan jurus “Naga Emas Meliuk-liuk menyibakkan air” – tubuhnya dengan lemas meliuk-liuk dan kedua tangannya melemparkan beberapa pukulan tajam kearah “selimut” yang berusaha menggulungnya. Pukulan-pukulan berat Tek Hoat memang berhasil menyibak selimut itu, tapi dia segera sadar bahwa tenaganya masih kalah seusap dengan Kakek tua yang sangat hebat itu.

Dia sadar mengapa gurunya sangat mengingatkan dia untuk waspada dengan kakek tua ini, terbukti Kim-i-Mo Ong memang hebat. Meski sudah dilatih habis-habisan oleh gurunya dan oleh Kiang Sin Liong, tenaganya masih belum memadai, kalah tipis saja. Tapi, kalah tenaga tidak berarti dia kalah ulet, kalah cepat dan kalah segalanya. Meskipun sedikit terdesak, tetapi posisi Tek Hoat tidaklah berbahaya.

Dia masih menang pesat dalam bergerak. Tapi pengalaman kakek jubah emas itu membuat dia di atas angin, meski tidak sangat mendesak Tek Hoat.

Menyadari bahwa sulit membekuk Tek Hoat, Kim-i-Mo Ong mencoba dengan Ilmu lainnya Kim Liong Sin Ciang (Tangan Sakti Naga Emas) dan kembali menyerang dalam jurus “Naga Emas Mencakar Bumi”. Cakar-cakar naga emas seperti menghunjam kearah Tek Hoat, yang dengan segera kembali memapak dengan jurus ke-17 dari ilmu pusaka gurunya “Menaklukkan Naga menggetarkan mega”.

Baik kedua kaki maupun kedua tangan bergerak-gerak indah dan mementalkan semua cakar naga yang dibentuk oleh Kim-i-Mo Ong. Berkali-kali juga kedua belah tangan mereka bertemu dan adu tenaga. Dan akibatnya, meski tidak terluka dalam, tetapi Tek Hoat merasakan kesakitan di kedua belah tangannya. Tapi dengan mengerahkan tenaganya, dia mengeraskan hati dan tetap bertempur penuh semangat. Mau tak mau Kim-i-Mo Ong memuji keuletan dan kecerdikan pemuda lawannya ini.

Menyadari dia harus menghemat tenaga dan menghindari benturan tenaga sambil menguras kekuatan fisik lawan, Tek Hoat tiba-tiba menghentakkan Tongkat wasiat gurunya. Tongkat itu jarang dia gerakkan sebagai senjata, saking sayang dan cintanya akan barang peninggalan gurunya itu.

Tapi, mendadak dia ingat, bahwa tidak harus dia beradu tenaga langsung bila menggunakan senjata tersebut. Lagipula dia bisa menggunakannya dengan Toa Hong Kiam Sut atau bahkan salah satu ilmu wasiat Kay Pang, Tah Kauw Pang Hoat. Maka mendengunglah tongkat tersebut ketika dipergunakannya dengan Ilmu Toa Hong Kiam Sut. Dengan penuh kepercayaan diri, dia menyerang dan membalas serangan-serangan Kim-i-Mo Ong yang dengan berani memapak tongkat tersebut. Nampak sama sekali Kim-i-Mo Ong tidak keder dengan tongkat itu, karena memang sinkang jubah emas memberinya kekebalan fisik dan berani memapak senjata tajam seperti pedang ataupun golok.

Jubah yang dikenakannyapun, terutama bagian belakang, adalah jubah wasiat. Jubah yang tidak mempan senjata, senjata apapun tidak sanggup memapasnya. Dan jubah itu juga yang membantunya meningkatkan kekuatan sinkangnya sejak muda, Karena memang jubah itu adalah Jubah Emas Wasiat, salah satu benda pusaka rimba persilatan.

Dengan menggunakan Tongkat Pusakanya, Tek Hoat berhasil mengurangi desakan dan tekanan atas dirinya. Apalagi, kemudian dia mengkombinasikan Tah kauw Pang Hoat dengan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti).

Dengan tangan kanan memainkan tongkat gurunya, tangan kirinya bergerak dengan ilmu pukulan Sin liong Cap Pik Ciang. Akibatnya sungguh hebat, dia kemudian berhasil menghadiahkan sebuah pukulan tongkat ke punggung Kim-i-Mo Ong, tetapi yang sama sekali tidak memberinya keuntungan. Karena Kim-i-Mo Ong malah tertawa sambil berkata:

”pukul lebih kuat anak muda, hahahahaha“

”ayo, pukul terus, pukul terus“

Tapi Tek Hoat yang tahu akan kehebatan jubah wasiat tersebut tidak terpengaruh untuk terus memukul daerah punggungnya. Apalagi, tiba-tiba dia mencium bau amis, ketika Kim-i-Mo Ong menggunakan Ngo-tok-kim ciang (Tangan Emas Panca Racun) menyerangnya. Untungnya, dia memiliki kekebalan hebat atas racun.

Karena itu, dia sama sekali tidak takut dengan jurus-jurus beracun yang dikembangkan lawannya. Tetapi, kehebatan jubah wasiat dan serangan-serangan beracun, apalagi ketika dilakukan dengan kehebatan dari Kim Coan Kut Ci, membuat Tek Hoat tetap menjadi sibuk.

Menghadapi serangan-serangan beracun itu, Tek Hoat memutuskan menggunakan ilmu kerasnya, Pek Lek Sin Jiu. Dan, benar saja, ledakan pertama sempat membuat Kim-i-Mo Ong tersentak, tetapi malah senang karena sudah lama belum lagi berhadapan dengan Pukulan Petir itu. Tek Hoat mengumbar jurus-jurus berat itu untuk menahan desakan tajam dari Kim Coan Kut Ci dan hawa Ngo Tok Ciang yang berbahaya itu.

Sampai 100 jurus lebih, Tek Hoat masih tetap seusap kalah dibawah Kim-i-Mo Ong, meski kondisinya tidaklah membahayakan. Betapapun, mutu ilmunya tidak di bawah lawan, hanya kalah pengalaman saja. Karena itu, sampai jurus ketujuh Pek Lek Sin Jiu dia sama sekali tidak di bawah angin, meski juga sulit berbuat banyak terhadap raja iblis itu.

Sejak jurus kelima Pek lek Sin jiu, Kim-i-Mo Ong yang tahu kehebatan ilmu itu, mulai meliuk-liuk dengan ginkangbarunya, Kim coa ong hoan sin (raja ular emas membalikkan tubuh). Tubuhnya yang lincah meliuk-liuk persis ular, dan membuat Tek Hoat sulit untuk menyerangnya dengan ilmu puncak pek lek Sin Jiu pada jurus ke delapan.

Akibatnya, susah bagi Tek Hoat untuk menjaga momentum menyerang dengan jurus mautnya. Karena Kim-i-Mo Ong bergerak lemas dan meliuk-liuk lincah. Pengerahan Pek lek Sin Jiu yang berlebihan agak berbahaya, dan Tek Hoat tahu benar soal itu.

Karenanya, dia memilih melepas kesempatan menyerang dengan jurus pamungkas dan memilih untuk kembali memainkan Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti) dengan ditopang oleh kelincahan gerak Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya). Kali ini dia mengandalkan kecepatan dan daya tahan tubuh untuk menguras stamina Kim-i-Mo Ong.

Si Raja Iblis Jubah Emas itu, benar terpancing untuk kembali menyerang dalam gabungan jurus Kim Coan Kut Ci dan Kim -i-Sin Kun. Serangan jarinya menyebar kesana kemari, tetapi jurus pukulan yang memadukan hang Liong Sip Pat Ciang dan ledakan pek lek Sin Jiu cukup ampuh menandinginya, meskipun dia jatuh dibawah angin.

Lama kelamaan Kim-i-Mo Ong sadar, bahwa dia bisa susah bertahan lama. Jika pertempuran terus berlanjut, maka posisi dia akan berbahaya. Usianya betapapun sudah sangat tua. Dan menyadari keterbatasannya itu, akhirnya Kim-i-Mo Ong bertekad untuk menyelesaikan pertempuran.

Tenaganya ditingkatkan sampai 8 bagian dalam pengerahan kim-i-Sinkang dengan mengerahkan Kim liong sinciang dan kim coan kut ci. Suara serangannya mencicit-cicit mengerikan diiringi oleh hentakan-hentakan yang juga datang bertalu-talu. Sementara tek Hoat memainkan jurus-jurus ampuh dan pamungkas dari Sin Liong Cap Pik Ciang dan gerakan kaki Tian liong kia ka.

Tapi, betapapun dia tetap kalah seurat, apalagi karena benturan demi benturan mulai medatangkan rasa sakit ditangannya. Sementara kelenturan dan kecepatannya tertutup oleh hawa pukulan yang menyebar kesana-kemari. Meskipun tidak akan jatuh dan kalah, tetapi kondisi Tek Hoat memang mengkhawatirkan.

Pada saat yang tepat itulah, dia berpikir untuk mengerahkan jurus terakhirnya dari Kiong Siang Han Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti). Dan memang tiada jalan lain, dengan cepat dia mengerahkan kekuatan sinkangnya sampai batas kemampuannya. Dan dengan cepat dia menggunakan jurus-jurus awal yang sampai menghentakkan dan mendorong Kim-i-Mo Ong mundur kebelakang dan terbelalak melihat bagaimana wibawa yang dihasilkan Tek Hoat karena pengerahan ilmu mujijat itu.

Dari kedua tangannya menyambar-nyambar hawa yang luar biasa panasnya, tetapi nyaris tidak besuara. Dan wajahnya seperti sangat berwibawa dan susah dipandang. Kim-i-Mo Ong sadar apa artinya. Segera dia menghimpun kekuatan mengerahkan Kim – i – Hoatsut (Sihir Jubah Emas), membentengi diri dan kembali menyerang. Terdengar benturan beberapa kali antar ilmu-ilmu dahsyat dan ampuh yang mereka kerahkan.

Pada saat-saat menentukan itulah tiba-tiba terdengar seruan:

”Koko, bertahanlah, biar aku membantumu melawan setan tua jahat itu“ Seruan yang keluar dari bibir Mei Lan ini sungguh sangat berpengaruh. Sekali dengar, Kim-i-Mo Ong sadar, lawan yang datang tidak kurang tangguh dibanding Tek Hoat, karena getaran suaranya mampu menembus perisai sihir yang dipasangnya. Tidak, mereka atau dia akan kalah bila dikerubuti dua orang sekelas Tek Hoat.

Karena itu, tiba-tiba dia mengerahkan serangan kearah Tek Hoat dalam ilmu Kim Coan Kut Ci yang dahsyat dan penuh tenaga. Tek Hoat memapaknya dan akibatnya dia terdorong sampai 4 langkah, sementara Kim-i-Mo Ong terdorong hanya satu langkah kebelakang. Dan setelah itu Kim-i-Mo Ong berujar:

“Cukup anak muda, lain kali kita lanjutkan“, dan setelah itu bayangan emas itu berkelabat pergi bersama Gan Bi Kim dengan memondong tubuh muridnya yang sedang terluka.

”Koko, baik-baikkah engkau“? Mei Lan berjalan mendekat dengan khawatir

”Lumayan moi-moi. Paling tidak hanya kecapekan saja“ watak main-main Tek Hoat kambuh lagi. Tapi memang selain sakit-sakit fisik, dia tidak mengalami luka dalam.

”Tapi, apakah kakek berjubah emas itu adalah Kim-i-Mo Ong, hem nampaknya dia memang hebat koko“

”Benar moi-moi, tapi setidaknya kita masih sanggup menandinginya. Jika kalahpun tidak terpaut jauh“

”Baguslah jika begitu. Tapi, kemana gerangan Liong ko“?

”Ach, kau lebih mengkhawatirkan orang lain ketimbang kokomu ya” goda Tek Hoat

“Ach koko, bukan begitu. Waktu terus berlalu, dan kita dikejar waktu untuk bertemu dengan rombongan pendekar“ Mei Lan beralasan.

”Betul juga, kita tunggu sebentar lagi“ Tek Hoat menyarankan. Tapi mereka tidak menunggu lama, karena sejenak kemudian Ceng Liong menghampiri kedua kakak beradik itu, dengan senyum dan sinar mata yang nampak lebih tenang.

==================

”Baiklah, jika demikian, kita akan menerobos hadangan mereka hari ini juga. Persoalan serangan beracun, semoga Pangcu akan segera bergabung sore atau menjelang malam. Kekuatan kita memang tidak sebanding dengan mereka, tetapi para pendekar rata-rata memiliki kemampuan memadai untuk bertempur“ Pengemis Tawa Gila berkata dihadapan Ceng Liong, Tek Hoat, Mei Lan, Sian Eng Cu dan Ciangbunjin Kun Lun Pay.

“Hu Pangcu, bagaimana dengan kesiapan para pendekar“ bertanya Tek Hoat

”Jika menunggu lebih lama, justru akan semakin buruk“ jawab si pengemis

”Artinya, saat ini juga kita harus berjalan“?

”Tepat, kami sudah membicarakannya sebelum kalian datang. Oh, ya, selain itu, kekuatan kita juga akan bertambah. Sebaiknya kalianpun tahu, kekuatan-kekuatan dari Bu Tong Pay, Kay Pang, Siauw Lim Sie, Kun Lun Pay, dan banyak pendekar lain sudah dalam perjalanan untuk bergabung. Pertempuran ini akan berlangsung sampai Thian Liong Pang tumpas dari Tionggoan“ tegas Pengemis Tawa Gila yang diiyakan oleh tokoh lain ditempat itu.

”Baiklah, sekarang kita perlu berunding dengan para tokoh yang lain. Sebaiknya melibatkan banyak pihak biar merekapun tahu rencana keseluruhannya“ Pengemis Tawa Gila menyambung.

”Benar, dan saatnya sudah tiba“ ujar Sian Eng Cu, yang kemudian disetujui tokoh yang lain. Selanjutnya pertemuan mereka dilanjutkan dengan membahas rencana menembus hadangan Thian Liong Pang.

Tetapi, sementara pertemuan para pendekar dilanjutkan, Ceng Liong, Tek Hoat dan Mei Lan memilih untuk menemui kawan-kawan mereka. Dan diijinkan oleh Pengemis Gila Tawa dan Sian Eng Cu. Mereka berbagi cerita dan informasi soal penghadangan dan kekuatan Thian Liong Pang serta bagaimana usaha mereka untuk membantu para pendekar.

Seperti biasanya Ceng Liong yang mengatur percakapan mereka, dan juga strategi yang mereka jalankan. Setelah mengetahui bahwa Tek Hoat juga sempat bentrok dengan Kim-i-Mo Ong, maka Ceng Liong memperhitungkan ada banyak lawan tangguh di pihak lawan. Karena bila Kim-i-Mo Ong, Koai Tung Sin Kay dan Bouw Lek Couwsu hadir, maka harus ada yang menandingi mereka. Untunglah, pendekar samurai Jepang sudah bisa dituntaskan Mei Lan, sehingga bisa mengurangi ancaman pembantaian di pihak kelompok pendekar.

Sementara dalam hitungan Ceng Liong, di pihak pendekar masih ada Barisan 6 Pedang, Lo Han Tin Siauw Lim Sie, kemudian juga ada Sian Eng Cu, Ciangbunjin Kun Lun Pay, Hu Pangcu Kaypang, Jin Sim Todjin dan Ciangbunjin Bu Tong Pay, serta masih ada beberapa tokoh besar lainnya.

Tapi, di pihak lawan, juga masih ada Ketiga Hu Pangcu, dan masih ada barisan para datuk sesat yang tersisa, terutama See Thian Coa Ong, Liok te Sam Kwi dan Thian-te Tok-ong (Raja Ra*cun Langit Bumi) yang masih misterius dan ahli racun. Belum lagi bila mengingat adanya tokoh-tokoh muda mereka semisal Lam Hok dan Bi Kim, serta ratusan pasukan penghadang yang menurut Tek Hoat bisa mencapai angka lebih dari 500an.

Pertempuran berdarah, nampaknya tidak akan terhindarkan lagi. Sangat mengerikan membayangkan ratusan nyawa akan melayang. Tapi, nampaknya jalan untuk menghindarinya, juga sudah sulit untuk ditemukan.

”Sungguh sulit dan merisaukan membayangkan ratusan orang akan terbunuh melewati hadangan itu“ Ceng Liong mengeluh

”Tapi, takkan mungkin lagi dihindari saudara Ceng Liong“ Kwi Song menyahut

”Justru karena tak mungkin dihindari maka aku menjadi sedih“

“Selain itu, masa depan dan ketentraman Tionggoan juga dipertaruhkan“ Tek Hoat menyambung

”Karena itulah kita terpaksa harus menerima kenyataan wajib membantai banyak orang di arena pertempuran itu“ Ceng Liong menjawab sambil memandang satu persatu kawan-kawannya.

“Aku kagum denganmu Ceng Liong, kita benar-benar dipaksa dan terpaksa harus membuka jalan darah. Semoga Budha mengampuni” Kwi Beng yang pendiam diam-diam mengagumi Ceng Liong dengan pandangannya yang tak ingin membunuh orang itu.

”Baiklah, karena kita harus membuka jalan, dan berada dibaris terdepan, mau tidak mau kita harus berjalan di depan. Dan kita juga yang harus membunuh atau terbunuh lebih dahulu“

“Benar, maka sudah saatnya kita tetapkan bagaimana melakukannya, dengan tugas yang jelas diantara kita masing-masing. Sebaiknya kita berjalan berkelompok sesuai dengan bagaimana kita mengawal para tokoh pendekar Tionggoan“
 
2





Rombongan pertama yang berjalan justru adalah ke-6 anak muda itu. Berjalan seperti tidak tahu akan ada penghadangan, baru sedikit di belakang mereka berjalan Barisan 6 Pedang bersama dengan 3 orang dari Kay Pang Cap It Hohan.

Dan beberapa menit di belakang mereka baru menyusul rombongan para pendekar Tionggoan. Di belakang rombongan pendekar terdapat Siauw Lim Sie Lo Han Tin, sementara di depan berdiri para tokoh: Pengemis Tawa Gila, Kay Pang Hu Pangcu, Bu Tong Ciangbunjin, Kun Lun Ciangbunjin, Wkl Ciangbunjin Thian San Pay, Sian Eng Cu, Jin Sim Todjin, dll.

Perjalanan dilakukan dengan cepat, karena hari sudah melewati siang dan matahari mulai condong ke barat. Bila sampai kemalaman, maka persoalan baru akan mengintai dan tingkat kerumitan akan bertambah.

Begitu mendekati daerah yang sudah diketahui sebagai areal penghadangan Thian Liong Pang, Ceng Liong bersama dengan Kedua Pendekar Kembar dan Siangkoan Giok Lian berkelabat meninggalkan rombongan.

Mereka meninggalkan jalanan dan membiarkan Kakak beradik Liang Tek Hoat dan Liang Mei Lan yang kemudian disusul Kay Pang Cap t Hohan dan Barisan 6 Pedang untuk mengamankan jalanan. Kedua pendekar kembar menyerang ke sisi kiri, sedangkan Ceng Liong bersama Siangkoan Giok Lian menyerang kesisi kanan. Perhitungan mereka tepat untuk membuyarkan konsentrasi lawan dan memberi kesempatan Tek Hoat untuk memeriksa apakah ada lumuran racun di sepanjang jalan atau tepatnya di area yang bakal menjadi tempat penghadangan atau tidak.

Tidak berapa lama, suara pertempuran segera terjadi ketika Pendekar Kembar disisi kiri dan Ceng Liong serta Giok Lian bertemu dengan barisan penghadang yang bersembunyi disemak dan pepohonan.

Dugaan merekapun benar, penghadang di barisan depan rata-rata bukan barisan inti Thian Liong Pang dan karena itu tidak berbahaya meski hanya digebrak oleh dua orang saja. Ceng Liong dan Giok Lian bergerak cepat dan berpindah pindah tempat melayani keroyokan banyak orang, sama dengan yang dialami kedua pendekar kembar disisi lainnya.

Tapi karena lawan belum menurunkan inti kekuatannya, dan bahkan para tokoh utamanya masih belum menduga aksi lawan, akibatnya cukup banyak barisan penghadang yang terluka dan tertotok dibawah serbuan mendadak barisan pendekar muda itu. Terlebih ditangan Giok Lian yang tidak segan-segan menurunkan tangan kejam dengan melukai dan bukannya menotok jalan darah lawan seperti Ceng Liong.

Belum lagi barisan itu melakukan penyerangan, mereka malah sudah diserang lebih dahulu dan membuyarkan rencana penghadangan yang diharapkan akan dilakukan setelah barisan para pendekar buyar.

Tetapi, semakin lama semakin banyak barisan pengeroyok Ceng Liong dan Giok Lian, demikian juga Pendekar kembar disisi lain. Hal ini terutama karena segera setelah tersentak, barisan penghadang itu kemudian perlahan namun pasti mulai bisa mengkoordinasikan diri. Dan perlahan mereka mulai melakukan pengeroyokan terhadap para penyerbu mereka.

Bahkan sebagian mulai menyerang Tek Hoat yang dilindungi Mei Lan dan Barisan 6 Pedang serta Kay Pang Cap It Ho Han. Perlahan namun pasti, pertempuran berkobar dan semakin lama semakin sengit. Yang pasti, rencana awal Thian Liong Pang sudah gagal, dan yang tertinggal adalah pertempuran mengandalkan Ilmu Silat antara gerombolan Thian Liong Pang melawan kelompokpendekar.

Menyadari hal tersebut, Ceng Liong dengan cepat merubah cara bertempurnya, dengan cepat dia berkelabat kesana kemari dan merobohkan lawan dengan melukainya untuk tidak mampu melakukan penyerangan lagi. Hal yang sama, juga mulai dilakukan kedua Pendekar Kembar, meniru apa yang dilakukan Siangkoan Giok Lian. Karena itu, banyaklah korban diantara anak buah Thian Liong Pang yang berhasil dijatuhkan dalam serangan dadakan oleh para pendekar muda ini.

Sementara itu, dibawah kawalan Mei Lan dan Barisan 6 Pedang, Tek Hoat memastikan bahwa area penghadangan rupanya bebas dari racun. Daerah tempatnya berdiri sejak dari penghadangan ada sekitar 100 meter, dan mulai darisanalah dia kemudian terjun ikut menghajar para penghadang.

Tetapi, sampai sejauh itu, masih belum terlihat tanda-tanda bahwa Thian Liong Pang mengerahkan kekuatan intinya. Para tokohnya belum satupun yang unjuk diri, baik para pemimpin utama yaitu ketiga Hu Pangcu maupun Hu Hoat mereka yang terkenal ampuh dan dahsyat itu. Tapi, justru keadaan itu menguntungkan para pendekar muda. Apalagi, tidak lama kemudian barisan para pendekar juga kemudian bergabung.

Dan akibatnya terjadi pertarungan satu lawan satu, dan membebaskan Ceng Liong berenam, para pendekar muda itu untuk melakukan terobosan lebih jauh. Sesuai perjanjian, setelah terjadi pertempuran antara kaum pendekar melawan Thian Liong Pang di area yang dibebaskan, maka Ceng Liong berenam dengan kawalan Barisan 6 pedang dan Kay Pang Cap it Ho Han akan bergerak lebih jauh sampai menembus batas hutan.

Padahal, batas hutan masih cukup jauh, masih berkisar 1 km untuk sampai ke daerah yang lebih luas dan jarang pepohonan untuk kemudian melanjutkan sisa perjalanan 2 jam ke daerah aman kedua.

Pertarungan antara anak buah Thian Liong Pang melawan para pendekar berlangsung dengan murni mengandalkan kepandaian masing-masing. Sudah pasti, banyaklah yang menjadi korban dari pertempuran ini, di kedua belah pihak. Tetapi, karena banyaknya tokoh utama Pendekar Tionggoan yang terlibat, maka korban di pihak Thian Liong Pang berjatuhan dari waktu ke waktu.

Sementara itu, kelompok pendekar muda yang terus merangsek kedepan, juga semakin mendapat perlawanan hebat. Terutama Tek Hoat yang dilindungi secara ketat oleh Mei Lan dan Ceng Liong sedikit kebelakangnya, di sebelah kanan dan kiri. Keenam anak muda itu, bersama dengan Barisan 6 Pedang dan Kay Pang Cap it Hohan memang diposisikan untuk membuka jalan dan dibarisan terdepan untuk bertarung dengan musuh.

Untunglah Barisan 6 Pedang yang memiliki gaya kerjasama yang sangat tinggi, juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Sama juga dengan Kay Pang Cap it Hohan, yang bila maju bersama 11 orang akan menjadi lawan berat. Tapi, karena hanya bertiga, maka ketiganya lebih banyak bekerjasama satu dengan yang lain.

Pertempuran telah bergeser melewati 300 meteran dari jarak yang dibuka Tek Hoat sebelumnya. Di pihak lawan sudah tak terhitung korban yang jatuh, demikian juga di pihak kelompok pendekar, sudah berkurang hampir 20an orang banyaknya. Padahal matahari bergeser semakin ke barat, paling lama 3-4 jam lagi matahari akan berhenti memberikan sinarnya bagi bumi, alias gelap.

Hal ini sudah diperhitungkan kedua pihak nampaknya. Bila kelompok pendekar, terutama para anak muda itu, berpikir akan mampu menerobos hutan itu hingga ketepiannya sebelum malam, maka kelompok penyerang menyiapkan serangan untuk menahan mereka sampai hari gelap. Dan bila itu terjadi, maka lebih banyak bahayanya daripada untungnya bagi kelompok pendekar. Dan, setelah bisa menerobos sejauh setengahnya, akhirnya kelompok dan barisan utama Thian Liong Pang mulai unjuk kekuatannya.

Saat serbuan kelompok utama itu, untungnya nyaris bersamaan dengan menjelang selesainya pertempuran di arena pertama. Kelompok penyerang dan penghadang pertama sudah banyak yang mundur dan melarikan diri, sehingga tidak lama kemudian kelompok pendekar akhirnya bisa menggabungkan kekuatannya.

Termasuk Lo Han Tin Siauw Lim Sie yang bertarung gagah berani mengawal para pendekar di bagian belakangnya. Pada saat kelompok pendekar mulai menggabungkan diri, Ceng Liong sedang berhadapan dengan Hu Pangcu Pertama yang sudah unjuk diri. Dan dibelakangnya berdiri 3 Hu Hoat, masing-masing Koai Tung Sin Kay, Hek-i-Mo Ong, dan Bouw Lek Couwsu.

Berdiri bersama Hu Pangcu Pertama adalah Hu Pangcu Ketiga, Tibet Sin Mo Ong dan Hu Pangcu Kedua yang berdandan agak aneh. Nampaknya, inilah hu Pangcu Kedua yang berasal dari Jepang, seorang samurai Jepang yang menakutkan dan memimpin 5 samurai Jepang lainnya yang banyak mengganas dan membantai pendekar pedang Tionggoan.

Inilah inti kekuatan Thian Liong Pang yang menghadang kelompok pendekar. Nampaknya mereka ringan-ringan saja mengorbankan anak buah mereka yang hampir seratus orang terluka berat dan meninggal karena menghadang para pendekar.

Sisanya yang lain lagi selain terluka, sudah menggabungkan diri dengan kelompok utama yang kini di bawah pimpinan langsung Hu Pangcu Pertama. Hu Pangcu yang identitasnya masih belum diketahui siapapun, karena selalu menutupi wajahnya dan identitasnya. Bahkan nampaknya, dikalangan Thian Liong Pang sendiri, status itupun agak misterius. Satu hal yang pasti, dia adalah salah satu tokoh kuat di Lam Hay Bun, karena ilmu intinya adalah ilmu ilmu Lam Hay Bun. Tapi, siapa gerangan tokoh selihay itu dikalangan Lam Hay Bun? Sungguh sulit ditebak.

“Hm, jadi inilah Bengcu baru pendekar-pendekar Tionggoan, sungguh hebat, sungguh hebat“ dengus Hu Pangcu yang jelas-jelas agak jeri memandang Ceng Liong.

”Jadi, lagi-lagi tuan yang memimpin gerombolan pengganas Thian Liong Pang. Bahkan sekarang sudah lebih kurang ajar dan terang-terangan memusuhi kelompok pendekar Tionggoan“ Ceng Liong menjawab tegas dan kini di belakangnya berdiri seluruh pendekar muda yang bertekad melawan Thian Liong Pang.

”Hahahahaha, siapapun yang melawan Thian Liong Pang berarti lawan. Dan lawan harus dimusnahkan, siapapun. Hm, anak muda, apa engkau masih cukup punya keyakinan melawan Thian Liong Pang dengan tampilnya sebagian besar kekuatan kami“?

”Bahkan tanpa kami berenampun, pendekar-pekdekar Tionggoan masih sanggup membasmi pengganas seperti Thian Liong Pang. Apalagi, sejak hari ini, pendekar-pendekar Tionggoan sudah bertekad bertempur dan membasmi kalian. Dari belakang kalian sudah menanti kelompok Kay Pang dan ratusan anak muridnya, dan ada ratusan pendekar Tionggoan lain yang sedang berhadapan denganmu Hu Pangcu. Apa yang kau banggakan lagi“ Ceng Liong menjawab tegas.

”Hm, kalau bicara yang bener aja anak muda“ Suaranya masih garang, tapi tidak seangkuh sebelumnya.

”Kay Pang memiliki ribuan anak murid, Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kun Lun Pay, Thian San Pay, Hoa San Pay, Tiam Jong Pay, dan perguruan lainnya. Sekarang semua bangkit melawan Thian Liong Pang. Entah mau ditaruh dimana lagi kaki kalian“ Ceng Liong menjawab tegas.

”Tidak mungkin, engkau ngibul anak muda“

”Mudah2an benar aku ngibul“

Sementara perdebatan itu berlangsung, para pendekar Tionggoan yang tersisa, baik yang masih bugar maupun yang terluka, kini berbaris di belakang ke-enam pendekar muda itu. Dan kemudian para sesepuhnya, terutama Kay Pang Hu Pangcu yang diminta memimpin pergerakan itu, bersama dengan Sian Eng Cu tampil merendengi Ceng Liong. Dan dengan segera Pengemis Tawa Gila memperdengarkan tawa khasnya:

“Hahahahahaha, jadi inikah pemimpin dedengkot pengganas di dunia Kang Ouw itu. Pantas, pantas, selalu menyembunyikan diri, gaya dan cara orang-orang pengecut“

”Hm, lancang“ Terdengar dengusan dari deretan Hu Hoat Hian Liong Pang disertai selarik sinar keemasan mengarah ke Pengemis Tawa Gila. Tetapi bersamaan dengan itu, Tek Hoat yang sejak tadi mengawasi kakek berjubah emas itu sudah dengan sebat mendorongkan tangannya penuh dengan kekuatan sinkangnya.

”Dessssss“ Pengemis Tawa Gila, terdorong satu langkah karena pukulan itu belum tiba ke sasaran, tetapi Tek Hoat terdorong sampai dua langkah, sementara si Kakek Jubah Emas hanya tergetar dan bergoyang-goyang tubuhnya. Disertai dengusan dingin yang keluar dari mulutnya“

”Huh“ .....

“Nah, kan, terbukti lagi kalau tokoh-tokoh Thian Liong Pang gemar membokong. Bahkan tokoh-tokoh sepuh dan terhormat merekapun, suka menyerang tanpa memberitahu orang“ Terdengar Tek Hoat berseru memanasi lawan.

”Hm, anak muda, bila memang engkau berkeinginan melanjutkan pertempuran kita sebelumnya, mari .... mari, aku Kim-i-Mo Ong bersedia menuntaskanmu“ berkata orang tua berjubah emas itu sambil melangkah maju kedepan.

Hu Pangcu Pertama yang menginginkan waktu berlarut-larut agar malam menjelang datang, membiarkan saja kakek berjubah emas, Kim-i-Mo Ong untuk melakukan aksinya. Karena memang dia menghendaki waktu berlarut dan malam menjelang datang. Tapi, Ceng Liong yang meski bukan ahli strategi, tetapi berwatak kepemimpinan yang kuat dan memikirkan para pendekar yang kelelahan dan berjumlah jauh lebih sedikit, tiba-tiba maju bicara:

”Hm, apakah cara ini ingin Hu Pangcu gunakan untuk menahan kami sampai malam ditempat ini“? tegas Ceng Liong bicara, dan mengagetkan para pendekar bahwa kemalaman di hutan akan sangat merugikan mereka.

”Apakah kalian takut dengan pertarungan itu anak muda“? Hu Pangcu menjawab sinis

”Takut. Hm, Hu Pangcu, tidak ada rasa takut melawan kebengisan kalian. Tapi adalah bodoh membiarkan kami semua berada di kegelapan menunggu serangan gelap kalian”

”Baiklah, bila kalian mampu memenangkan babakan pertarungan melawan Para Hu Hoat kami, dan ditambah dengan Ketiga Hu Pangcu Thian Liong Pang, maka kami akan membiarkan kalian bebas berlalu dari hutan ini. Tapi kami tidak berjanji untuk memburu kalian selepas dari hutan ini. Bila kalian kalah, maka kalian harus bermalam disini dengan segala resikonya. Bagaimana anak muda, berani?“ Suara Hu Pangcu bernada mengejek dan menghina, terutama karena yakin akan kemampuan Hu Hoat mereka, dan belum mengetahui bahwa selain Ceng Liong, Tek Hoat dan Mei Lan serta Giok Lian, masih terdapat sepasang Pendekar Kembar yang tidak kurang lihaynya.

Disisi lain, Ceng Liong yang telah memahamkan kembali satu pengertian yang memperdalam kemampuannya, merasa yakin sanggup menahan Koai Tung Sin Kay. Dan semoga Tek Hoat yang dengannya sudah berbagi apa yang dipahamkannya, mampu menarik manfaat besar, meski belum sempat berlatih lebih jauh.

Demikian juga Mei Lan, dia yakin akan sanggup menahan baik Bouw Lek Couwsu ataupun Kim-i-Mo Ong setelah pengalaman mereka yang terakhir. Sedangkan ketiga Hu Hoat pasti bisa diimbangi Pendekar Kembar dan Giok Lian. Karena itu, akhirnya dengan berani Ceng Liong berkata:

”Baik, atas nama perjuangan kami bereenam melawan para pengganas Thian Liong Pang, kami menerima tantangan ini“ Ceng Liong cerdik mengatas namakan mereka berenam dan bukannya semua pendekar.

”Tidak, kalian berenam mewakili semua pendekar Tionggoan, sejauh ucapan Hu Pangcu bisa dipegang“ tegas Pengemis Tawa Gila yang disetujui oleh Sian Eng Cu dengan anggukan.

“Tapi, apakah ucapan Thian Liong Pang bisa dipegang“? Berseru Sian Eng Cu

”Kurang ajar, akulah jaminannya. Apa kata-kataku tidak bisa dipegang“? Kim-i-Mo Ong yang sudah terlanjur maju, menjadi marah dan mendelik kearah Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila.

”Baik, jika jaminannya adalah Kim-i-Mo Ong dan Koai Tung Sin Kay, maka kami sangat percaya“ Sian Eng Cu sangat yakin dengan ucapan dan kata-kata maha iblis yang pernah karena janji mereka mengeram 40 tahun dalam pengasingan.

”Nah, jika demikian, pertarungan sudah boleh dimulai bukan. Anak muda, mari kita lanjutkan permainan kita. Ingin kulihat sampai berapa lama engkau bisa bertahan melawanku“

”Sebentar locianpwe, apakah tidak sebaiknya pertarungan dibatasi sampai 100 atau 200 jurus“? bertanya Ceng Liong memancing.

”Tidak, harus sampai ada yang kalah” dengus Koai Tung Sin Kay dan memang justru ini yang diinginkan Ceng Liong. Dengan tiada membatasi jurus, memang pertarungan menjadi lebih lama, tetapi anak-anak muda itu bisa memanfaatkan keuletan dan nafas mereka untuk bertahan menguras daya tahan orang tua lawan mereka.

”Baik Tek Hoat, majulah“ Berkata Ceng Liong sambil kemudian mengingatkan melalui ilmu penyampai suara “Ingatlah, memukul bukan dengan amarah, bukan dengan benci, tetapi dengan kasih yang menghidupkan“.

”Baik“ Tek Hoat melangkah dengan semangat dan keyakinan baru, dan menjawab Ceng Liong atas 2 kalimat yang diterimanya dengan indra berbeda.

“Silahkan memulai orang muda, engkau bebas menggunakan apa saja, termasuk senjata kayumu itu“ Kim-i-Mo Ong dengan penuh keyakinan. Dan Tek Hoat memang tidak akan terikat dengan aturan apapun dengan kalimat orang tua itu. Tapi, Tek Hoat maju dengan keyakinan yang baru, meski dia masih belum sempat berlatih dengan pemahaman yang membaharui kesanggupan dan pemahaman barunya itu.

Karena itu, dengan keyakinan barunya itu dia merasa bebas untuk menggunakan ilmunya yang manapun, baik bersenjata maupun dengan tangan kosong. Dengan didahului ucapan ”awas serangan“ diapun menyerang Kim-i-Mo Ong disertai pandangan penuh kekhawatiran dari kalangan para pendekar.

Meski tahu Tek Hoat sangat sakti, tetapi, mereka masih belum yakin kemampuannya untuk mengimbangi Kim-i-Mo Ong. Beberapa dari mereka, bahkan mulai bersungut-sungut dan sangat khawatir. Bahkan ada seorang dua orang yang mulai berpikir untuk lari dari rombongan.

Sementara itu, hasil serangan Tek Hoat yang menyerang tidak dengan emosi ”benci“ ataupun ”marah“, telah membentur kekuatan Kim-i-Mo Ong. Tetapi kali ini, beda dengan pertarungan sebelumnya dia tidak merasa kesakitan. Meksipun tangannya memang tergetar.

Fakta ini mengagetkan Tek Hoat, tetapi tidak disadari Kim-i-Mo Ong, karena dia memang sadar akan kemampuan Tek Hoat. Otomatis, semangat bertempur Tek Hoat meningkat dengan moral yang luar biasa kuatnya. Dengan lancar dia memainkan Tah Kauw Pang Hoat dan menghasilkan tutukan, sodokan dan serangan yang justru jauh lebih tajam dari sebelumnya.

Bahkan, dari pancaran muka Tek Hoatpun, sama sekali tidak kelihatan rasa jeri maupun rasa marah. Dia memang membiarkan semua mengalir, sebagaimana berkali-kali gurunya dulu memintanya melakukan pergerakan dan pertarungan secara santai tanpa rasa amarah. Kali ini, malah dengan keyakinan bahwa kemenangannya akan membebaskan Kim-i-Mo Ong dari kesesatan, membuatnya mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Mampu mengimbangi Kim-i-Mo Ong. Adalah justru Mei Lan yang nampak lebih kaget dan khawatir bagi Tek Hoat, karena sempat menyaksikan bahwa Tek Hoat masih berada disebelah bawah kemampuan Kim-i-Mo Ong pada pertempuran siang tadi.

”Liong ko, mengapa engkau membiarkan Hoat ko yang maju? Aku melihatnya masih belum mampu mengimbangi Mo Ong tadi siang“ bisiknya khawatir kepada Ceng Liong.

”Tenanglah Lan Moi, dan tunggulah. Minimal, Tek Hoat akan sanggup mengimbangi kakek sakti itu”

”Engkau yakin sekali koko”?

”Apakah engkau sudah meyakinkan pesan yang dibisikkan ke telinga kita“?

”Sudah koko, bahkan berhasil mengalahkan kedua samurai itu”

”Nah, pesan buatku dan Tek Hoat sudah kupahamkan, dan sudah kudiskusikan dengan Tek Hoat“

“Engkau yakin koko“?

”Dibutuhkan keuletan dan kerja keras nantinya. Kita lihat nanti. Engkau harus bersiap menghadapi Bouw Lek Couwsu Lan Moi“

”Baik jika demikian koko“

”Satu lagi Lan Moi, apakah engkau sudah berbicara dengan Giok Lian“?

”Soal apa apa koko“?

”Pengalaman menghadapi samurai Jepang ... dan soal kecepatan itu“

”Sudah koko, dan sepertinya enci Giok Lian sudah memahaminya. Tapi seperti Koko Tek Hoat, juga belum sempat mempraktekkannya”

”Sebaiknya engkau membimbingnya sebentar. Pertempuran Tek Hoat akan makan waktu panjang“

“Baiklah koko“ Dan Mei Lanpun beranjak kearah Giok Lian.

Sementara itu, Kim-i-Mo Ong sendiripun mengalami kekagetan. Meskipun dia tidak jatuh di bawah angin, tetapi dia seperti menghadapi Tek Hoat yang mengalami kemajuan hebat hanya dalam waktu beberapa jam.
Bila dalam pertarungan sebelumnya Tek Hoat sering meringis kalah tenaga, dan kerepotan menghadapi serangannya, kali ini beda. Tek Hoat seperti mengerti apa yang akan dilakukannya, bahkan juga kemampuan mengeluarkan tenaga yang pas untuk menangkis dan memukul jauh berbeda.

Karena itu, Kim-i-Mo Ong, justru menjadi penasaran sekaligus senang. Dia benar-benar menghadapi lawan yang memancing semua kemampuannya untuk bisa dikeluarkan. Dan lawannya sungguh sanggup meladeninya.
 
3





Hal yang sama dirasakan oleh para penonton. Bahkan Kaypang Hu Pangcu yang sebelumnya ikut merasa khawatir, kini merasa terharu melihat tunas perguruannya bertarung hebat. Dia merasa sangat terharu mengingat bakti pangcu sebelumnya, guru besar Kiong Siang Han yang telah meninggal dan melahirkan tokoh sehebat Tek Hoat.

Sungguh dia bangga dan terharu. Demikian juga para sesepuh pendekar Tionggoan, seperti menyaksikan kembali si pengemis sakti Kiong Siang Han beraksi dalam diri murid penutupnya. Dan sebersit kepercayaan dan harapan perlahan namun pasti tumbuh dalam benak dan sanubari mereka. Bahkan yang meragukan keputusan Ceng Liong sebelumnya mulai berpikir-pikir kembali melihat bagaimana Tek Hoat melakukan perlawanan yang luar biasa.

Tanpa terasa 50 jurus sudah berlalu, sementara pertarungan masih berjalan imbang. Saling pukul dan tangkis dengan sebat dan cepat. Jikapun ada keunggulan Kim-i-Mo Ong hanyalah pada matang dan menangnya dia dalam pengalaman bertempur. Tetapi, menghadapi ketenangan dan keuletan Tek Hoat, kemenangan itu jadi tidak bermakna banyak.

Dengan menggunakan Kim i Sin Kun Hoat, Mo Ong terus menerus menyerang Tek Hoat yang bersilat dengan Tah Kauw Pang Hoat. Toya pendeknya berkelabat-kelabat mengejar pukulan Mo Ong dan beberapa kali menahan serangan itu justru ditengah jalan. Karena ketenangannya, maka Tek Hoat bisa melihat bagaimana dan akan kemana jurus Mo Ong, dan dengan cepat dia mencegat ditengahnya dengan tutukan dan sodokan toya kayunya yang ulet dan mujijat.

Mendapati bahwa sangat sulit mendesak Tek Hoat, Kim-i-Mo Ong mulai menggunakan kembali jurus mujijatnya Kim Coan Kut Ci (Jari Emas Penembus Tulang). Dari tangannya keluar suara mencicit-cicit yang sangat mengerikan, disertai kelabatan sinar keemasan menyambar kesana kemari.

Untuk mengimbanginya, Tek Hoat memainkan Hang Liong Sip Pat Ciang, sambil toyanya bergerak dalam jurus Toa Hong Kiam Sut. Dan kembali Kim-i-Mo Ong tidak dapat mendesak dan mengambil keuntungan dari penggunaan jurusnya tersebut. Sementara itu, Tek Hoat semakin menemukan keyakinan akan diri dan ilmunya. Dengan tenang dan penuh keyakinan dia memainkan ilmunya yang nampak malah semakin lama semakin matang.

Dia sanggup mengunci kehebatan Kim Coan Kut Ci dengan Hawa pedang Toa Hong Kaim Sut yang dimainkan dengan Toya. Sementara dia bergerak dengan kuat dan kokoh dan memukul lengan dan jemari lawan dalam ilmu Hang Liong Sip Pat Ciang.

Bahkan memasuki jurus ke-150-an pun, Kim-i-Mo Ong tetap tidak memperoleh keuntungan apapun, dan semakin lama semakin heran dengan kemampuan Tek Hoat yang kini bahkan sanggup mengimbanginya. Dia memang tidak pernah terdesak, tetapi sesekali mampu mendesak lawan, tetapi tidak sanggup mendesak lebih jauh.

Hanya dengan pengalamannya dan kematangannya sajalah yang membuat sesekali dia mendesak Tek Hoat. Tapi, Tek Hoat kini dengan cepat bisa menemukan diri dan melanjutkan perlawanan untuk menciptakan kondisi yang lebih seimbang. Tek Hoat sempat keteteran sebentar ketika Mo Ong memadukan Kim Coan Kut Ci dengan hawa racun dari Ilmu Ngo Tok Kim Ciang (Tangan Emas Panca Racun).

Tetapi, tidak lama kemudian dengan memainkan Pek lek Sin Jiu dia bisa membakar hawa beracun yang mendekatinya. Dalam hal hawa keras atau yang kang dari pek Lek Sin Jiu, bahkan Tek Hoat masih lebih matang ketimbang Ceng Liong. Karena itu, disekeliling tubuhnya berdesis-desis hawa Kim Coan Kut Ci serta hawa beracun yang ditawarkan oleh hawa keras dari Pek lek Sin Jiu.

Bahkan lebih dari suara mendesis dan mencicit itu, Tek Hoat kemudian mulai meledakkan pukulan tangannya menggunakan jurus-jurus awal dari Pek Lek Sin Jiu. Ilmu pukulan warisan gurunya, Kiong Siang Han, yang sangat tinggi daya rusak dan daya ledaknya. Sesuai dengan namanya Pukulan Petir.

Penasaran, Kim i Mo Ong memainkan tata gerak mujijatnya yang diberi nama olehnya Kim Coa Ong Hoan Sin (Raja Ular Emas Membalikkan Tubuh). Tubuhnya bagaikan ular yang membalik-balikkan tubuh dan sedikit berbau “sihir“. Karena memang ilmu gerak ini mencampurkan kemampuan sihirnya dengan tata gerak yang melahirkan hawa mujijat.

Tetapi, ketenangan Tek Hoat serta pengerahan Sinkang yang semakin meningkat membuatnya sanggup mengatasi ilmu mujijat Kim i Mo Ong. Meski Mo Ong tetap bergerak-gerak menggeliat dan meluncurkan serangan berbahaya dengan ilmu jari penembus tulangnya, tetapi masih sanggup ditahan Tek Hoat.

Apalagi karena dia mulai memasuki penggunaan jurus Pek lek Sin Jiu pada jurus kelima yang hebat membahana. Udara sekitar benar-benar tercekam oleh geledek yang bertalu-talu serta kilatan cahaya emas yang tajam menusuk.

Para penonton sampai lupa memberi tepuk tangan atau menyemangati jago mereka. Semua terpaku pada betapa hebat dan betapa luar biasanya pertarungan tersebut. Pertarungan yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhirnya pertarungan meski sudah melampaui 25 jurus. Tek Hoat masih dan makin kokoh.

Mo Ong juga masih tetap bersemangat dan penasaran untuk mendesak lawan yang jauh lebih muda. Sayang, bahwa hal itu ternyata sangat sulit dilakukan. Dan lama kelamaan diapun sadar, bahwa jika pertarungan ini dilanjutkan terus, daya tahannya yang akan terganggu. Dan nampaknya lawan mudanya itu, memang sengaja mempertahankan diri secara ketat dan tidak bernafsu untuk mendesaknya dengan serangan-serangan telak, karena sadar bahwa pertrarungan itu akan lama.

Menyadari taktik ini, maka Kim i Mo Ong akhirnya mempertimbangkan untuk mulai meningkat pada penggunaan ilmu ilmu pamungkasnya. Yaitu penggunaan Kim i Hoatsut (Sihir Baju Emas) yang dipadukan dengan Kim Liong Hiat Ciu Leng, yakni ilmu yang memadukan Kim Coan Kut Ci dengan hawa racun Ngo Tok Kim Ciang.

Ilmu Sinkang Baju Emas, sebetulnya merupakan sebuah Ilmu aliran lurus, yang sayangnya sudah dilatih secara menyimpang oleh Kim i Mo Ong. Ditangannya Ilmu ini dikembangkan secara menyimpang dan bahkan kemudian dicampur dengan hawa beracun. Karena itu, sinar gemilang Ilmu Jubah Emas justru kehilangan cahaya gemilangnya, berganti cahaya emas redup karena kandungan racun.

Tapi meskipun demikian, Kim i Mo Ong mampu memadukan sinkang itu dengan ilmu-ilmu lainnya yang meningkatkan daya mujijat sinkang hebatnya itu. Dalam Ilmu Kim Liong Hiat Ciu Leng, maka Tangan dan jari Mo Ong akan berubah menjadi layaknya tangan emas berdarah yang mengandung maut. Baik ketajamannya maupun hawa beracunnya. Dan dalam pengaruh kekuatan sihir, maka jari dan tangan itu akan berubah menjadi demikian banyak dan mengancam lawan yang terpengaruh sihir tersebut.

Semakin lama pertarungan menjadi semakin berimbang. Tek Hoat sudah menemukan kepercayaan dirinya, bahkan sudah sangat tebal. Diapun memainkan strategi menguras tenaga lawan. Karena itu, dia tidak pernah mendesak Mo Ong, selain memang dia kesulitan untuk mendesak. Kehebatan pemahaman barunya berada pada titik maksimalisasi kemampuan ilmu-ilmunya, tetapi dalam daya serang tidak berpengaruh banyak.

Pada saat Mo Ong berpikir-pikir untuk menggunakan Ilmu-ilmu pamungkasnya, Tek Hoat berada dalam persiapan memuntahkan jurus ke-7 dari Pek lek Sin Jiu Sejuta Halilitar Merontokkan Mega. Persiapannya menggunakan jurus pamungkas sedikit terhambat ketika ledakan bertalu-talu seakan mengejarnya kemanapun dia pergi.

Untuk pertama kalinya dia terdesak oleh hebatnya serangan lawan. Kemanapun dia bergerak, tubuhnya seakan dibayangi oleh telapak tangan yang mengejarnya dengan dentuman halilintar yang bertubi-tubi. Bahkan penontonpun harus melangkah mundur dari arena itu untuk mengurangi daya ledak di telinga mereka. Sementara Mo Ong baru bisa terhindar dari kejaran telapak mau itu setelah melangkah dalam jurus gerak mujijatnya Raja Ular Emas Membalikkan Badan.

Tetapi, itu membuatnya merasa bergidik, karena kejaran jurus ke-7 ini sungguh-sungguh pernah dilihatnya dimainkan oleh Kioong Siang Han. Dan kali ini, kembali dia menyaksikan jurus ampuh itu ditujukan atasnya dan membuatnya pontang panting menyelamatkan diri.

Maka, ketika Tek Hoat mempersiapkan jurus ke-8 Halilintar Meledak Bumi Melepuh, Mo Ong tidak lagi mau berayal. Sebelum jurus ke-8 itu menjelang datang, dia sudah mengeluarkan bentakan dengan suara penuh wibawa:

“pandang aku anak muda …. Aku adalah Naga emas yang akan menelanmu”

Untunglah Tek Hoat sedang dalam konsentrasi penuh menggunakan jurus ke-8, sehingga pengaruh sihir tidak bermakna banyak. Tetapi, betapapun telah mengguncang kepercayaan dirinya, dan sedikit membawanya pada tingkat konsentrasi semula. Menyerang dan memukul karena “terkejut” atau karena “emosi yang lain”.

Tapi itupun masih beruntung, karena dia terbebas dari kehilangan ketika dan waktu diserang lawan dengan ilmu pamungkas yang berbau sihir. Karena itu, meski jurus ke-8 Pek Lek Sin Jiu terlontar tidak dengan kekuatan maksimal, tetapi masih sanggup melepaskannya dari jerat sihir. Dan terjadilah benturan menggila, ketika keduanya mengadu pukulan:

“duuuuuuaaaaar ….. plak …. Plak, desss” keduanya terdorong mundur oleh benturan tenaga mujijat kedua pihak. Hanya kali ini, Tek Hoat mundur dengan 5 langkah kebelakang, sementara lawannya hanya mundur 4 langkah. Terutama akibat pecahnya konsentrasi Tek Hoat pada saat-saat terakhir.

Tapi, setelah terlontar mundur, Tek Hoat akhirnya mampu menyadari apa yang terjadi. Lawan nampaknya berusaha mempengaruhinya dengan kekuatan mujijat yang dia tahu cirinya menurut penjelasan gurunya. Ilmu sihir. Dan, hanya ada satu cara melawannya, cara yang sudah dikuasainya: Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti).

Ilmu mujijat terakhir yang diciptakan gurunya berdasarkan kekuatan Yang Kang yang kemudian dikombinasikan dengan kekuatan Im Kang, dan berkekuatan mujijat menolak serangan daya sihir. Bahkan, bisa menjerumuskan lawan dalam penguasaan sihir oleh ilmu tersebut. Terjebak dalam kekuatan mujijat yang hadir dalam penggunaan ilmu itu.

Dan, kali ini, Tek Hoat akan kembali menggunakannya. Pertama kali setelah dia dinyatakan sanggup menggunakannya secara baik menurut gurunya. Tidak ada cara lain lagi untuk melawan si Iblis Jubah Emas, karena sang iblis mulai menggunakan Ilmu-ilmu berperbawa sihir dengan kekuatan luar biasa yang melambarinya.

Maka dengan menekan emosinya, kini Tek Hoat berkonsentrasi penuh pada penguasaan diri dan penguasaan ilmunya. Dihadapannya, kembali dia melihat Kim i Mo Ong yang asli, bukannya Naga Emas yang barusan dipukulnya dan terpental kebelakang bersama dengannya. Setelah melihat kembali kondisi normal Kim i Mo Ong, dan menenangkan dirinya dan menemukan konsentrasinya, Tek Hoat kembali bersiap menyerang dan diserang.

Tapi, kali ini dia tidak menunggu diserang, tetapi mendahului menyerang dalam Ilmu pamungkasnya ...... dan dihadapi dengan jurus dan ilmu pamungkas yang tidak kurang hebatnya.

Hanya beberapa orang saja yang masih sanggup mengikuti perkelahian selanjutnya. Karena bagi banyak penonton, yang bertarung sudah bukan bebentuk manusia. Banyak dari mereka melihat Kim i Mo Ong berubah menjadi Naga Emas, sementara Tek Hoat menjadi tidak kurang besarnya melawan Naga Emas itu.

Bahkan tubuhnya diselimuti awan putih panas, hawa khikang tingkat tinggi dan mampu menepis semua serangan tajam besinar keemasan diseputar tubuhnya. Geletar-geletar panas dari tubuhnya semakin menyebar dalam diameter yang lebih luas, dan yang tidak tahan dengan terpaksa kembali mundur dari arena. Benar-benar pertarungan tingkat tinggi yang jarang ada.

Dari langkah perlahan sampai pesat, diperagakan Tek Hoat yang sudah bersembunyi dibalik hawa khikangnya dan menghancurkan dan menawarkan hawa beracun yang berkelabat mengitarinya.

Bahkan Ceng Liong yang sudah tidak mengkhawatirkan pertarungan itupun sampai menahan nafas menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Serangan mereka dilakukan dengan gaya yang sederhana, saling tuding dan saling tangkis dengan gerakan sederhana. Tetapi, tidak lagi sembarang mata yang sanggup mengikutinya akibat tebalnya sinar putih panas dan sinar emas tajam yang menyelubungi kedua tubuh yang terus bergerak cepat kadang, lambat kadang.

Dan kembali Kim i Mo Ong kecele dan mulai panik, karena lawan ternyata membekal ilmu mujijat yang sanggup menahannya dan sanggup mendesak dia. Untungnya dia masih unggul pengalaman dan kematangan, jika tidak, menunggu 2 tahun lagi, lawan muda ini akan mampu mengalahkannya. Karena itu, dia harus berusaha membinasakannya. Tapi, apakah mungkin?

Dalam kondisi saling serang dengan kekuatan tenaga dalam dan kekuatan batin yang berlebihan itu, Tek Hoat maupun Mo Ong semakin kehilangan banyak tenaga. Tetapi mereka masih tetap berkeras, walaupun pertempuran sudah berjalan 500 jurus lebih.

Kedua tubuh itu masih saling belit dan masih saling kait untuk saling bertahan dan menyerang. Sudah cukup jelas bagi mata ahli, bahwa keduanya dalam keadaan seimbang. Tapi, karena daya tahan Tek Hoat lebih dari Mo Ong, terutama karena perbedaan usia, maka bila dilanjutkan, sudah jelas bahwa Mo ong bakal menemui kekalahan tragis.

Tapi, itupun hanya mungkin didapat dengan kondisi luka dalam Tek Hoat yang bisa dipastikan tidaklah ringan. Dan sudah tentu Ceng Liong tidak menginginkan hal itu terjadi. Dan karenanya, setelah berpikir sejenak, maka dengan nada bijak kemudian Ceng Liong berseru:

“Hu Pangcu, nampaknya kita harus menghitung pertandingan pertama ini dengan seimbang. Bagaimana pemikiranmu“?

”Hm, anak muda, nampaknya memang demikian“

Para tokoh sepuh banyak yang sebenarnya menyayangkan mengapa Ceng Liong mengambil langkah memutuskan pertarungan seimbang. Tetapi beberapa dari merekapun merasa keputusan Ceng Liong cukup tepat. Apalagi, seorang Tek Hoat sanggup menahan imbang Kim-i-Mo Ong, merupakan sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Dengan segera nama Tek Hoat membubung ke angkasa, semakin menambah harum nama Sie yang Sie cao yang sudah berkibar sebelumnya.

Nama dan nilai Tek Hoat dengan sendirinya semakin menjadi jaminan kualitas, terlebih setelah pertarungan di kaki gunung Siong San ini. Pengemis Tawa Gila yang sebelumnya meragukan keputusan Ceng Liong dan memandang anak muda itu dengan aneh, akhirnya mesti bisa menerima fakta itu.

Akhirnya dia merasa sangat bangga, karena dengan hasil draw itu, nama Kay Pang tidaklah tercoreng. Bahkan nama Tek Hoat semakin mentereng dengan kemampuannya mengangkat nama Kay Pang dan dirinya sendiri untuk meladeni salah satu iblis yang luar biasa lihaynya pada masa itu. Disamping itupun, kekagumannya atas kepemimpinan Ceng Liong semakin lama semakin menebal.

Berbanding terbalik dengan pada umumnya kelompok pendekar yang masih belum pernah melihat Ceng Liong bergebrak. Pada umumnya mereka masih meragukan kehebatan dan kepemimpinan Ceng Liong. Apalagi mereka merasa keputusan terakhirnya rada-rada lunak.

Sementara itu, pertempuran antara Tek Hoat melawan Kim-i-Mo Ong nampak semakin melamban. Meskipun terlihat keduanya masih tetap bertahan dan tidak mau saling mengalah. Tetapi sambil berpikir kedepan dan kepentingan keseluruhan Ceng Liong merasa sudah cukup, dan karena itu beberapa saat kemudian akhirnya Ceng Liong setelah saling memberi isyarat dengan Hu Pangcu pertama Thian Liong Pang berkata kepada Tek Hoat yang disaksikannya juga sudah mulai terkuras tenaganya:

”Tek Hoat, sudah cukup usahamu. Mundurlah“ Suara Ceng disampaikan dalam pengerahan tenaga yang tinggi, sehingga terdengar sangat susah untuk ditolak. Dan pada saat yang bersamaan, Hu Pangcu Thian Liong Pang, yang melihat keadaan pihaknya yang semakin tidak menguntungkan, juga berkata kepada Kim-i-Mo Ong:

”Kim-i- Hu Hoat, cukuplah dan mundurlah. Pertandingan kali ini, sudah disepakati imbang“

Kim-i-Mo Ong yang sebenarnya masih ingin berkeras, menyadari bahwa usia tuanya sudah sulit memungkinkannya untuk memenangkan pertarungan. Apalagi, jurus pamungkasnya sudah dikerahkan, dan ternyata masih sanggup ditahan oleh anak muda itu. Karena itu, pada akhirnya dia memutuskan untuk menghentikan pertempuran.

Tapi, untuk menjaga gengsi dan harga dirinya, akhirnya dia berkata dengan suara angkuh:

”Sayang anak muda, pertarungan kita sudah diakhiri orang lain. Tapi lain kali berjagalah, karena aku tidak akan mengampunimu lagi“ sambil kemudian orang tua itu mengundurkan diri.

”Terima kasih atas kemurahan locianpwe“ Tek Hoat dengan wajah manis dan menggodanya malah tidak murka. Karena diapun sebenanrya masih kaget atas kemampuannya yang meningkat jauh luar biasa itu.

”Kionghi Tek Hoat, engkau mampu menterjemahkan pemahaman kita yang paling akhir, dan engkau sanggup memisahkan gejolak perasaanmu dari penggunaan ilmumu“ Ceng Liong menyambut Tek Hoat dengan senyuman dan pujian. Dan dengan segera kawan-kawan mereka yang lain, terutama Mei Lan menyambut Tek Hoat dengan senyuman dan puja-puji.

Bahkan para sesepuh kelompok pendekar juga tidak pelit untuk menyambangi dan menyampaikan ucapan selamat kepada anak muda luar biasa itu. Tapi di tengah kemeriahan itu, terdengar suara Ceng Liong:

”Tek Hoat, saat yang tepat untuk memulihkan dirimu dan apa yang kita percakapkan. Pertempuran sesungguhnya baru akan dimulai nanti“

”Baik Ceng Liong“ dan Tek Hoatpun kemudian mencari tempat yang agak rindang dengan dilindungi ketiga orang dari Cap it Hohan. Dia sadar betul apa yang dimaksudkan oleh Ceng Liong, dan diam-diam dia menjadi semakin kagum atas kewibawaan dan kepemimpinan Ceng Liong.

Pada saat itu, nampak Ceng Liong sedang berunding sebentar dengan Pengemis Tawa Gila dan Sian Eng Cu. Ketiganya nampak mengangguk-angguk dan saling menyetujui. Tapi tidak lama kemudian Hu Pangcu telah berkata:

”Siapa jago yang akan mewakili kalian anak muda“?

Nampak Ceng Liong berpikir sejenak. Tapi akhirnya dia menemukan kalimat cerdik:

”Karena tantangannya dari Thian Liong Pang, maka kami persilahkan Hu Pangcu menetapkan jago kedua. Kami pasti akan mengiringinya“ jawaban yang membuat kubu Pendekar agak lega.
Nampak Koai Tung Sin Kay berkeinginan maju, tapi Hu Pangcu Pertama nampaknya berpikiran lain. Dia menoleh kearah Tibet Sin Mo Ong dan kemudian dia berkata:

”Hu Pangcu ketiga akan maju untuk pertempuran selanjutnya“

“Baik“ dan Tibet Sin Mo Ong berjalan maju kedepan. Diantara ketiga Hu Pangcu Thian Liong Pang, sebetulnya Tibet Sin Mo Ong ini yang berkepandaian paling rendah. Tapi itu sebelum dia bertemu tanding dalam beberapa pertempuran yang berujung pada kegagalan misinya.

Terlebih setelah kekalahan Ji Suhengnya yang malah kemudian mengundurkan diri, Tibet Sin Mo Ong ini kemudian berlatih bersama Toa Suhengnya menyempurnakan kepandaiannya. Dan untuk saat ini, kepandaian ketiga Hu Pangcu, hanya tinggal seusap dibawah Keempat Hu Hoat (tertinggal 3 setelah Bouw Lim Couwsu mengundurkan diri setelah dikalahkan Ceng Liong).

Setelah Tibet Sin Mo Ong berada di arena, Ceng Liong kemudian menatap Kedua Pendekar Kembar meminta persetujuan mereka. Dan adalah Kwi Song yang kemudian mengajukan dirinya melawan Tibet Sin Mo Ong:

”Baik, Souw Kwi Song akan melayani Hu Pangcu ketiga Thian Liong Pang“

Kedua orang itu, Tibet Sin mo Ong dan Souw Kwi Song, salah seorang dari Sepasang Pendekar Kembar Siauw Lim Sie kini saling berhadapan di tengah arena. Sementara di luar arena sendiri, ketegangan meningkat bukan hanya karena pertarungan yang akan kembali terjadi, tetapi atas pertanyaan apa yang akan terjadi diwaktu malam.

Karena itu, kesibukan segera terjadi. Pertempuran pertama makan waktu dua jam lebih, bahkan hampir tiga jam, dan sebentar lagi malam akan menjelang datang. Matahari sudah condong ke Barat dan sinarnya semakin pudar. Tetapi ketegangan di arena masih sangat tinggi dan bahkan sangat panas. Terlihat Pengemis Tawa Gila sedang mengatur kesana kemari, demikian juga Sian Eng Cu.

Bahkan Pengemis Tawa Gila seperti sedang melakukan sesuatu yang tidak biasa, entah apa itu. Ceng Liong sendiri telah memanggil salah seorang dari Barisan 6 Pedang dan memberinya instruksi. Dan setelah itu, dia melirik Mei Lan dan mengirimkan suara:

”Lan Moi, sudah selesaikah engkau dengan Giok Lian“

”Sudah koko“

”Datang dan lihatlah Tek Hoat, jika perlu dengarkan apa yang dikerjakannya dalam pertempuran“

”Maksud koko“?

“Mungkin ada yang penting dari pertempuran itu. Selain itu, dengan bantuanmu dia akan lebih cepat pulih. Kita mungkin akan mengalami pertempuran sesungguhnya malam ini” Suara Ceng Liong dalam keadaan terdesak begini sungguh sulit ditolak, penuh wibawa yang tak tertolak.

”Baik, jika demikian koko“

Sementara itu, pertarungan antara Kwi Song melawan Tibet Sin Mo Ong nampaknya sudah siap untuk dilangsungkan. Dan tanpa menunggu lama, Tibet Sin Mo Ong akhirnya dengan mengeluarkan suara mirip erangan, menyerang Souw Kwi Song yang sudah bersiap, sangat siap malah di tengah arena
 
BAB 4 Perang Tanding
1 Perang Tanding




Tibet Sin Mo Ong yang sekarang, sudah berbeda dengan yang bertempur melawan Giok Lian beberapa bulan berselang. Kekalahan Bouw Lim Couwsu atas Ceng Liong beberapa waktu lalu, serta bertemu tandingnya Tibet Sin Mo Ong dengan seorang anak gadis Bengkauw, telah melecut semangatnya untuk meningkatkan ilmunya.

Bouw Lek Couwsu yang kecewa ditinggal sutenya yang sangat dipercayainya, Bouw Lim Couwsu, akhirnya menerima permintaan Tibet Sin Mo Ong untuk menekuni dan menyempurnakan ilmunya kembali. Terutama ilmu mereka terakhir di Tibet, Pukulan Udara Kosong dan Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit).

Beberapa bulan terakhir, mereka bertiga, sebelum Bouw Lim Couwsu mengundurkan diri, mematangkan penguasaan atas ilmu-ilmu andalan mereka. Karena itu, Tibet Sin Mo Ong yang tampil di arena kali ini, berbeda dengan yang dihadapi Giok Lian sebelumnya.

Tetapi, baik Giok Lian, maupun Souw Kwi Song, juga sudah mengalami kemajuan yang luar biasa setelah ditempa habis-habisan oleh guru-guru mereka. Kwi Song yang maju melayani Tibet Sin Mo Ong, juga sudah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam memainkan ilmu-ilmu pusaka Siauw Lim Sie.

Terutama setelah dimatangkan oleh Kian Ti Hosiang gurunya, menjelang hari-hari terakhir kematian guru besar Siauw Lim Sie tersebut. Karena itu, pertarungan Tibet Sin Mo Ong dengan Kwi Song, justru berlangsung ramai dan relatif seimbang. Berbeda dengan Tek Hoat yang menghadapi Kim-i-Mo Ong, meski seimbang tetapi Tek Hoat cenderung bertahan karena memanfaatkan usia mudanya untuk menyusutkan tenaga kakek maha iblis tersebut.

Pertarungan Kwi Song melawan Tibet Sin Mo Ong berlangsung sebaliknya. Ramai, seru dan benar-benar mengandalkan kelincahan, tenaga sakti, kematangan dan pengalaman bertempur. Dilihat dari kemurnian Ilmu Silat dan tenaga Sinkang, maka Kwi Song mengungguli Tibet Sin Mo Ong yang sudah banyak variasi dan penyimpangannya.

Tetapi, kematangan penguasaan ilmu serta pengalaman masih dipihak Tibet Sin Mo Ong. Karena itu, pertarungan kedua tokoh tersebut benar-benar luar biasa. Perbedaan penguasaan ilmu silat nampak ketika keduanya memainkan ilmu yang sama, sama-sama ilmu Budha, yakni Tam Ci Sin Thong. Keduanya memainkannya seperti sedang latihan saja, padahal hawa sakti disekitar mereka, sanggup menutul tembus sebatang pohon besar sekalipun.

Kwi Song nampak lebih variatif dan kreatif serta dinamis dalam bergerak, penuh tipu dan gaya baru. Sementara Tibet Sin Mo Ong lebih mampu mengantisipasi keadaan dan lebih matang menguasai jurus-jurus dari ilmu sentilan sakti Budha tersebut.

Setelah bertempur menghabiskan jurus jurus Tam Ci Sin Thong, keduanya sadar bahwa tingkat penguasaan Ilmu Silat keduanya nampak tidak jauh berbeda. Hanya, Tibet Sin Mo Ong yang lebih tua, masih menang pengalaman dan antisipasi atas keadaan pertarungan.

Sementara Kwi Song lebih bersemangat dan lebih gesit. Keduanya, nampak menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, Tibet Sin Mo Ong bergerak sebat dan efektif dalam memukul dan menangis serangan Kwi Song, sementara Kwi Song bergerak pesat untuk mencari celah menyerang.

Ketika keduanya menyerang dengan jurus yang sama dari perbendaharaan jurus Tam Ci Sin Thong, Jari sakti menerjang mega, terdengar benturan-benturan yang mengerikan, dan sontak keduanya terdorong mundur. Setelah saling tatap beberapa saat, keduanya segera kembali mengembangkan jurus-jurus baru untuk saling mendesak.

Kali ini, Tibet Sin Mo Ong memainkan Hong Ping Ciang dan tubuhnya berkelabat-kelabat menghadiahkan puluhan pukulan tapak tangan membadai kearah Kwi Song. Tapi Kwi Song tidak menjadi gugup menghadapi puluhan atau mungkin ratusan pukulan yang mengancamnya dari segala penjuru.

Bahkan terasa hawa iweekang lawan telah menutup jalan lari atau jalan keluarnya. Karena itu, Kwi Song memutuskan mengeluarkan ilmunya Tay Lo Kim Kong Sin Ciang berbareng dengan sentilan-sentilan Kim Kong Ci kearah lengan Tibet Sin Mo Ong. Sudah tentu lengannya tidak mungkin dibiarkan tertusuk oleh tajamnya hawa Kim kong Ci, karena itu beberapa pukulan telapak Hong Ping Ciang tidak bisa jalan sempurna.

Kedua tangan Tibet Sin Mo Ong nampak bergerak-gerak cepat dalam mengirim dan menarik pukulan yang diantisipasi oleh Kwi Song. Penggunaan ilmu-ilmu ampuh yang sejenis, dari jalur perbendaharaan ilmu Budha (Siauw Lim Sie dan Lhama Tibet), menghadirkan ketegangan bukan hanya bagi yang bertempur. Bahkan juga para penonton, termasuk para murid Siauw Lim Sie yang merasa bangga melihat murid couwsu mereka bertarung membela kehormatan pendekar-pendekar Tionggoan.

Bahkan para tokoh di kedua belah pihak, juga sama mengagumi mereka yang sedang bertarung. Bouw Lek Couwsu, juga nampak bangga sekaligus khawatir. Bangga akan kemajuan sute termudanya, yang bahkan sudah sangat mendekati kemampuannya. Bahkan nampaknya sudah sedikit melampaui kemampuan Bouw Lim Couwsu, ji sutenya yang sudah mengundurkan diri.

Sementara itu, nampak perubahan kembali terjadi. Setelah menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan kecepatan dan kekuatan yang lebih, Tibet Sin Mo Ong kembali merubah ilmunya. Kali ini dia menyerang dengan menggunakan ilmu Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga).

Ilmu ini memungkinkannya untuk bertarung dengan lawan yang memiliki kekuatan lebih besar darinya. Karena keuletan, kelemasan dan kekuatan, digabungkan untuk menolak ataupun membuat pukulan lawan terpeleset atau menyamping. Kehebatan Ilmu pukulan ini memang terletak pada kemampuannya untuk, baik bertahan melawan musuh yang lebih kuat tenaga dalamnya, serta mampu menghemat nafas, juga bisa dengan cepat menjadi sangat ampuh bila digunakan untuk menyerang.

Tetapi, melihat gerak-geriknya, nampaknya Tibet Sin Mo Ong sedang menghemat tenaganya. Karena nampaknya dia menyadari, bahwa menggunakan Hong Ping Ciang, dia banyak menghamburkan tenaganya, dan karena itu, kali ini dia menggunakan kehebatan ilmunya Kong Jiu Cam Liong dengan menampar pukulan lawan dari samping.

Sayang Kwi Song yang masih minim pengalaman, kurang menyadari hal ini. Sebaliknya, dia mengumbar kekuatannya dalam pukulan-pukulan Tay Lo Kim Kong Ciang dan mencecar lawannya. Nampaknya memang Tibet Sin Mo Ong tercecer dengan pukulan-pukulan Kwi Song, tetapi mata ahli sanggup melihat bahwa bukan karena terdesak Tibet Sin mo Ong memilih strategi ini.

Jelas dia akan terkuras lebih dulu dibandingkan Kwi Song, belajar dari pertempuran sebelumnya antara Tek Hoat melawan Kim-i-Mo Ong. Sayangnya, Kwi Song masih terus dan terus menggempur lawan yang memilih benturan tidak langsung dengan hanya menggunakan sedikit bagian tenaga dalamnya.

Setelah melewati puluhan jurus, baru Kwi Song yang cerdik jadi sadar, bahwa dia terpancing mengikuti strategi pertempuran lawannya. Dia keburu nafsu menyerang, padahal dia sadar lawan tidaklah benar-benar terdesak. Karena itu, menandingi ilmu baru lawannya, dia kemudian memilih ilmu yang agak lemas yang juga tidak banyak menguras tenaga, yaitu ilmu warisan Wie Tiong Lan, Thai Kek Sin Kun.

Ilmu yag juga bisa dimainkan dengan hawa tajam menggunakan Thai Kek Sin Kiam, atau dengan gaya halus dalam ilmu pukulan dengan Thai Kek Sin Kun. Bahkan, untuk membuat lawannya kalut, Kwi Song memadukannya dengan Pek In Ciang, yang membuat tubuh dan lengannya mengeluarkan asap putih yang merusak daya lihat lawan.

Mau tidak mau Tibet Sin Mo Ong kagum atas kemampuan Kwi Song untuk kembali memaksanya masuk dalam pertarungan sungguhan. Keras lawan keras, lembut dilawan dengan lembut. Kali ini, pilihannya menyerang dari samping atas serangan lawan menjadi tidak mungkin berjalan sempurna, karena Thai Kek Sin Kun juga adalah sebuah ilmu lemas yang sangat ampuh. Terlebih, kini pandangan matanya bisa terhalangi dengan asap putih yang mengepul dari penggunaan Pek In Ciang oleh Tek Hoat.

Dan terbukti, menggunakan lemas melawan lemas, kembali harus memaksanya meningkatkan kekuatan. Karena dengan Pek In Ciang, dia menjadi sulit menduga dan sulit memperkirakan akan darimana serangan Kwi Song.

Menimbang keadaan tersebut, Tibet Sin Mo Ong akhirnya memainkan secara serentak kekuatan dan keunggulan ilmu silatnya itu. Yakni unsur lemas dan unsur keras dari Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga). Dengan cara itulah akhirnya dia kembali bisa mengimbangi dan memaksakan keadaan pertarungan yang berimbang, dan kembali membuat pertempuran menjadi ramai.

Cepatnya Tibet Sin mo Ong mengganti strategi dan taktik bertempurnya, merupakan tanda dari betapa matang dan berpengalamannya orang tersebut dalam sebuah pertempuran. Dia tidak menunggu lama untuk kembali secara perlahan menekan Kwi Song, meskipun tidak mampu mendesak jauh karena kombinasi Pek In Ciang dan Thai Kek Sin Kun juga sangatlah dahsyat.

Tapi, lama kelamaan, Kwi Song juga mulai sanggup menghitung keadaan dan memperhitungkan lebih teliti cara bertempur lawannya. Dari menyerang keras berganti lemas, dari lemas berganti keras dan kemudian mengkombinasikan kedua unsur tersebut.

Menyadari perubahan tersebut, tiba-tiba Kwi Song kembali mengembangkan ilmunya yang lain, Selaksa Tapak Budha. Ilmu tersebut bakal banyak menguras kemampuan tenaganya, tetapi Kwi Song sadar, bahwa memang harus dilakukannya karena lawannya terasa sangat ulet dan lihay.

Bila sebelumnya Tibet Sin Mo Ong mencecar Kwi Song dengan kelabatan Telapak Tangannya, maka kali ini Kwi Song yang menghujani lawannya dengan Telapak Tangan Budha yang sangat ampuh. Kakinya bergerak lincah dan berkelabat cepat mengurung Tibet Sin Mo Ong yang terpaksa harus bertahan dari serangan ilmu mujijat Siauw Lim Sie, Selaksa Tapak Budha.

Kali ini agak sulit dia melayani Kwi Song dengan memukul menyamping tapak serangan Kwi Song, karena telapak serangan tersebut sungguh istimewa. Berkelabat bagaikan ratusan atau mungkin ribuan tapak Budha mengerubuti Tibet Sin mo Ong. Sementara Tibet Sin Mo Ong kurang paham, tapak sakti yang mana yang sesungguhnya merupakan serangan yang asli.

Karena terdesak oleh pukulan2 mujijat lawannya, Tibet Sin Mo Ong akhirnya memutuskan ikut main “keras”. Keras dilawan keras, dan dia memilih menggunakan Hong Ping Ciang dikombinasikan dengan Pukulan Udara Kosong yang diyakininya beberapa bulan terakhir.

Dan akibatnya hebat, beberapa kali benturan hebat terjadi dan mengguncang kedua orang itu. Keduanya sama-sama terpental sampai 5-6 langkah kebelakang, dan kemudian kembali mendekat untuk saling tukar pukulan. Pertarungan semakin memanas dan semakin keras, Kwi Song menggerakkan tangannya dan melepas kekuatan mujijat Selaksa Tapak Budha dalam jurus ke delapan, Tapak Budha Mendorong Awan.

Dari tangannya berhembus kekuatan yang luar biasa dan menyapu semua yang dihadapannya, tetapi pada saat bersamaan, Tibet Sin Mo Ong, juga mengulurkan kedua tangannya dan mengelabatkannya sedemikian rupa, sehingga kekuatan yang tidak nampak bertemu dengan dorongan Tapak Budha Kwi Song. Dan keduanya kembali terpental kebelakang.

Ketika terpental itulah, nampak Tibet Sin Mo Ong melakukan gerakan yang agak aneh, dia memutuskan untuk menggunakan ilmu pamungkas perguruannya, yakni Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit). Dari sepasang telapak tangannya yang dirapalkan, nampak mengeluarkan sinar berkilat.

Dan dengan sepasang kaki yang berdiri melebar, dan kemudian ditekuk, posisinya nampak sangat angker. Meskipun baru mematangkannya belakangan, tetapi kemajuan Tibet Sin Mo Ong sudah luar biasa hebatnya. Dan Kwi Song yang melihat keadaan lawannya memutuskan menggunakan salah satu dari 2 jurus pamungkas Selaksa Tapak Budha, yakni jurus ke-10, Telapak Budha Merangkul Pelangi.

Kedua belah tangannya kembali bagaikan baling-baling yang kemudian memancarkan berkas-berkas cahaya yang menyilaukan mata, sementara kilatan cahaya di kedua telapak tangan Tibet Sin Mo Ong, juga semakin menusuk mata karena dia telah menggunakan Ilmu pamungkasnya dalam jurus ”Dewa Sakti Menggugurkan Gunung“. Secara bersamaan, kembali kedua orang itu merapat dengan jurus-jurus mujijat yang kini dipersiapkan.

Adalah Tibet Sin Mo Ong yang berkelabat ke atas dan kemudian menghujani Kwi Song dengan pukulan-pukulan berat bercahaya menyilaukan mata. Tetapi, disekujur tubuh Kwi Song yang juga sudah mengerahkan ilmunya pada tataran tinggi, dikepung oleh sinar pelangi, hasil dari berkas-berkas sinar pukulan Telapak tangannya.

Dan pertemuan kilatan cahaya yang terlontar keluar dari penggunaan ilmu-ilmu mujijat tersebut, bukan hanya berakibat kepada keduanya, tetapi penonton yang agak dekatpun merasakan tolakan daya tenaga yang luar biasa hebatnya. Dan kembali keduanya terpental mundur, kali ini nampaknya keduanya sama-sama terluka. Tetapi, keduanya masih belum mengurungkan niat untuk melanjutkan.

Bahkan dengan sigap, keduanya kembali menyiapkan jurus andalan pada tataran tertingginya: Kwi Song nampaknya menyiapkan jurus terkahir dari Ilmu Selaksa Tapak Budha, Budha Merangkul Langit dan Bumi – rangkaian Ilmu Telapan Tangan Budha yang mengkombinasikan jurus pertama hingga jurus terakhir. Dan dari tubuhnya mengalir kekuatan tak terduga bersama dengan suara-suara pujian keagungan Budha yang menggoncangkan iman.

Tetapi, selaku juga pemeluk Budha meski yang tersesat, Tibet Sin Mo Ong bisa bertahan. Bahkan menyiapkan perlawanan yang tidak kurang kuatnya, Ilmu mujijat dari tataran ketiga Thian cik-sian Kun Hoat (Silat sakti dewa menggetarkan langit).

Sementara itu, Ceng Liong yang melihat Kwi Song sedikit di atas angin, tetapi sama dengan kasus Tek Hoat, bisa memenangkan pertandingan, tetapi pastilah dengan luka yang sangat parah. Hal yang tidak diinginkannya, karena pertarungan masih akan terus berlangsung. Dia telah menetapkan keputusan yang akan ditawarkan kepihak lawan.

Sementara itu, Kwi Song telah bergerak, nampak cepat tapi lambat, nampak lambat tapi cepat, sementara disekujur tubuhnya nampak berkelabatan sinar pukulan yang berwarna-warni disertai bunyi-bunyian yang juga beragam. Sementara Tibet Sin Mo Ong, telah mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar dan seakan menerima cahaya dan menyerap semua yang mungkin disekitarnya.

Mereka saling seling dan saling serang dengan kemampuan yang sudah ditataran tertinggi masing-masing. Efeknya bagi yang berilmu rendah, bukan saja tak sanggup mengikuti jalannya pertarungan, tetapi nampak bahwa pertarungan sepertinya dilakukan oleh orang-orang yang susah dilihat. Susah diindra, bahkan jika terlihat, seperti “dewa-dewa“ yang sedang melakukan pertarungan.

Karena wibawa besar terpancar dari wajah kedua orang yang mengiringi pertarungan itu dengan kekuatan batin masing-masing. Benturan kembali terjadi, yang bagi orang biasa sangat memekakkan telinga, tetapi yang terhantam justru adalah pengindraan mereka yang menjadi tidak normal.

Tetapi, benturan terakhir yang justru jauh lebih berat dibandingkan benturan sebelumnya, telah membuat kedua pihak yang bertarung terluka dalam. Dan, kemurnian Ilmu Silat dan Tenaga Dalam Kwi Song menempatkannya dalam posisi lebih baik. Tetapi, keuntungannya tidaklah cukup berarti, masih belum bisa dianggap memenangkan pertarungan. Mereka memang masih bisa melanjutkan pertandingan, tetapi hasilnya tidak akan menguntungkan keduanya.

Pada saat keduanya terpental kebelakang, Ceng Liong telah membuka suara:

”Hu Pangcu, setujukah bila pertarungan inipun kita hitung seri“?

Nampak Hu Pangcu pertama mengerutkan kening, tetapi sebentar kemudian seperti sedang berkomunikasi dengan orang lain, dan tidak lama kemudian diapun tertawa:

“Hahahahaha, benar-benar. Nampaknya tiada faedahnya keduanya melanjutkan pertempuran, karena tiada yang bisa memenangkannya. Baik, kita anggap pertempuran kedua juga berakhir seri“

Pada saat sebelum Hu Pangcu berkomentar, Ceng Liong juga sudah mengirimkan suara ke arah Kwi Song:

“Kwi Song, pertempuran sesungguhnya belum dimulai. Mundurlah, dan beristirahatlah, sembuhkan luka secepatnya. Biarlah kakakmu dan Tek Hoat akan menjaga dan membantumu“

Sementara itu suasana di arena sudah benar-benar gelap. Karena pertarungan Kwi Song dan Tibet Sin Mo Ong berlangsung lebih dari 2 jam, dan pada saat pertempuran kedua terhenti dan dinyatakan draw setelah Hu Pangcu memerintahkan Tibet Sin Mo Ong mundur, dari kalangan Pendekar tiba-tiba menyala sejumlah obor yang tadi disiapkan oleh Sian Eng Cu.

Sementara pada setiap sudut, telah berjaga Barisan 6 Pedang dan Siauw Lim Sie Lo Han Tin serta Kay Pang Cap It Hohan. Sementara itu, dipihak Thian Liong Pang, juga sudah menyala puluhan bahkan ratusan obor, yang beberapa obor kemudian dibawah kearena pertempuran. Sedangkan Ceng Liong mendapati bahwa Pengemis Tawa Gila sudah senyum-senyum dan mengagguk-anggukan kepala kearahnya, sementara Sian Eng Cu juga sudah tidak menampakkan ketegangannya lagi.

Artinya, baik Pengemis Tawa Gila maupun Sian Eng Cu telah mengerjakan tugas mereka, dan nampaknya bahaya bagi mereka sudah banyak berkurang. Ceng Liong paham maksudnya.

Ceng Liong juga dengan cepat meminta Tek Hoat untuk membantu Kwi Song, yang segera dimaklumi apa maksud bantuan tersebut. Karena itu, dia bersama Kwi Beng akhirnya menemani Kwi Song untuk memulihkan tenaganya dan sekaligus membicarakan ”pesan“ yang diketahuinya diinginkan Ceng Liong untuk dibagi dengan teman-teman lainnya.

Sementara itu, Hu Pangcu telah meminta Hu Pangcu Kedua, si Ketua dari 5 Samurai Jepang untuk maju dalam babakan pertarungan selanjutnya. Dan dengan wajah yang sangat dingin, penuh percaya diri, Hu Pangcu Kedua kemudian berjalan maju ketengah arena. Cara jalan dan wajahnya yang sangat dingin memancarkan hawa membunuh yang sangat tebal dan membuat banyak orang merinding memandang manusia ini.

Berbeda dengan Samurai Jepang atau Ninja yang dihadapi Mei Lan sebelumnya yang nampak berasal dari Jepang, tokoh yang hanya dikenal sebagai Hu Pangcu Kedua ini, nampaknya asli berasal dari Tionggoan. Tetapi perbawanya, diakui Mei Lan masih lebih di atas dua orang yang bunuh diri dihadapannya karena gagal membunuhnya.

Tetapi, setelah dia mendiskusikan kecepatan dan efektifitas bergerak dengan Giok Lian, dia paham bahwa Giok Lian masih akan sanggup menandingi tokoh misterius yang jarang dikenal orang itu. Sementara itu, Ceng Liong telah mengirimkan suara kepada Giok Lian, apakah bersedia melawan Hu Pangcu ini atau tidak. Dan dengan tegas Giok Lian menjawab “bersedia“.

“Apakah engkau telah memahami rahasia kecepatan yang dipesankan kepada kami dan kuminta disampaikan kepadamu oleh Mei Lan, Lian Moi“? Ceng Liong bertanya melalui Ilmu Menyampaikan Suara.

”Sudah, sangat jelas Liong Ko, jangan khawatir“

Mendengar keyakinan Giok Lian, Ceng Liong segera berkata:

”Babak ketiga ini, kami diwakili oleh Nona Siangkoan Giok Lian. Lian Moi, silahkan maju“

Suara dan keputusan Ceng Liong sungguh mengagetkan banyak pihak, terutama di pihak para pendekar. Banyak yang belum mengenal keampuhan nona ini, kecuali ketika melawan Gan Bi Kim. Tetapi, waktu itu, nona tersebut biasa-biasa saja, tidaklah istimewa. Mengapa Ceng Liong mengajukannya untuk melawan pimpinan pengganas dan pembunuh pendekar pedang di Tionggoan? Beberapa, terutama kawan-kawan Yo Cat dan Wakil Ciangbunjin Thian San Pay kembali menggerutu atas keputusan Ceng Liong.

”Benar-benar konyol“, bisik-bisik mereka, meskipun mereka tidak berani lagi gegabah di tengah ancaman pertempuran hidup mati didepan mereka. Beberapa yang telah mengenal Giok Lian seperti Sian Eng Cu dan Pengemis Tawa Gila, manggut-manggut saja.

Sementara tokoh lain seperti Jin Sim Tojin, Ciangbunjin Bu Tong Pay dan Kun Lun Pay, meski juga rada khawatir, tetapi kepercayaan mereka terhadap Ceng Liong semakin tebal. Mereka melihat anak muda itu tetap tenang dan stabil, dan dengan kepercayaan diri yang tinggi dalam menetapkan lawan bagi tokoh-tokoh ampuh dari Thian Liong Pang.

Sementara di arena, begitu melihat lawannya adalah seorang gadis cantik, wajah sang Hu Pangcu Kedua nampak sedikit menegang. Tetapi, setelah celingak celinguk sebentar, nampaknya seperti sedang menerima perintah dari Hu Pangcu Pertama, sang Hu Pangcu kedua kemudian menatap Giok Lian tajam-tajam.

”Kouwnio, apakah engkau yakin ingin dan mampu bertarung denganku“?

”Hm, kalau tidak ingin dan tidak mampu, aku tidak akan berdiri didepanmu“ Jengek Giok Lian dengan senyum menggemaskan dibibirnya. Seperti biasa, bila Giok Lian sedang merasa gemas dan jengkel.

”Aku akan sangat sayang menurunkan tangan kejam atas dirimu Kouwnio, sebelum terlambat, masih ada kesempatan bagi pihakmu untuk mengganti jagoan kalian, dan aku akan sangat bersedia untuk menunggu siapa yang akan menggantikan Kouwnio“

”Sayang sekali, aku sudah siap mengalahkanmu“ Senyum di bibir Giok Lian tambah menggemaskan, sementara sinar matanya mulai bernada mengejek. Dan pada akhirnya membuat si Samurai Jepang, Hu Pangcu Kedua jadi naik pitam.

”Baiklah Kouwnio, cabut pedangmu, dan maaf sebelumnya karena pedangku panjang dan tidak bermata“ dan dengan satu gerakan yang nyaris tak terlihat, Hu Pangcu Kedua menghunus pedang panjangnya dan menggenggamnya dengan kedua tangannya, dengan tubuh agak doyong kedepan. Gaya khas Samurai Jepang yang telah sempat disaksikan oleh Mei Lan.

”Baiklah, karena kalian senang membantai pendekar pedang Tionggoan, biarlah kali ini aku bersenjata pedang melayanimu“ dan seiring dengan itu, di tangan Giok Lian telah tergenggam sebuah Pedang tipis, Pedang yang biasanya dibawah oleh kakeknya dan sekarang diwarisinya, Pedang Sabuk Naga.

Sebuah Pedang yang sangat tipis, berwarna putih keperakan dan biasanya dikenakan sebagai ”sabuk“ oleh Giok Lian. Belum pernah selama ini, baik Mei Lian maupun Ceng Liong melihat Giok Lian melolos pedangnya. Bahkan merekapun tidak tahu, jika Giok Lian kemana-mana membawa senjata istimewa yang masuk dalam kategori senjata ampuh dunia persilatan itu.

Senjata bekas Kauwcu Bengkauw ini, masuk dalam kategori senjata ampuh dan mujijat, dalam level yang sama dengan Kiok Hwa Kiam Bu Tong Pay, Tongkat Hijau Kiong Siang Han dan Pedang Pualam Hijau dari Lembah Pualam Hijau.

Ditangannya, Giok Lian sanggup membuat ”Sabuk Naga“ itu menjadi mengeras selayaknya sebuah pedang. Tingkat kesaktian Giok Lian dewasa ini, memang sudah berada di tataran tertinggi Bengkauw, bahkan sudah merendengi Kauwcu Bengkau yang adalah ayahnya sendiri, setelah dilatih keras oleh kakeknya.

Mereka yang sanggup memegang dan membawa Pedang Sabuk Naga, berarti sanggup menggunakannya sebagai Pedang. Dan dengan Pedang Sabuk Naga itulah kemudian Giok Lian berdiri dan menghadapi Hu Pangcu Kedua yang sangat menyeramkan itu. Tetapi, Hu Pangcu Kedua ini, nampaknya tidak hanya membekal Ilmu Samurai Jepang, karena ketika membuka serangan, Mei Lan merasa bahwa bukan kecepatan dan serangan mematikan yang dirasakannya sebelumnya.

Nampaknya Hu Pangcu Kedua ini, sedang menjajaki Ilmu Pedang Giok Lian, dan karena itu ketika keduanya bentrok, masing-masing sudah bisa memiliki pandangan awal atas kemampuan lawan.

Hu Pangcu Kedua bukan cuma kaget atas kehebatan pedang sabuk lawan, tetapi juga kaget karena tenaga lawannya tidak berada disebelah bawahnya. Lawannya yang adalah gadis muda ini, ternyata bukan lawan main-main. Dan Hu Pangcu Kedua dan ketiga sudah mengingatkannya.

Bila sebelumnya dia masih kurang percaya, kali ini dia harus menerima kenyataan betapa kesombongannya itu bisa sangat membahayakan. Lawannya tadi bergerak ringan, dan dari kecepatanpun nampaknya gadis muda ini bukan lawan ringan baginya, bahkan bagi jurus pamungkasnya dari Negri Jepang. Dia harus sangat berhati-hati menemukan lawannya adalah gadis muda yang tangguh.

Dan sebagaimana diterka Mei Lan, adalah benar, Hu Pangcu ini tidak sekedar menguasai Ilmu Samurai Jepang. Diapun nampak hebat dengan Ilmu pedang Daerah Tionggoan, meski sudah sangat becampur dengan kecepatan dan efektifitas menyerang ala Samurai Jepang.

Serangan-serangan pedang Hu Pangcu Kedua tidak banyak kembangan dan variasinya, selalu menerjang tepat kearah sasaran dengan kecepatan yang luar biasa. Dan nampaknya, bila Giok Lian tidak menerima nasehat dan masukan Mei Lan soal efektifitas kecepatan dan kesanggupan mental dalam mengoptimalkan kemampuan, akan sulit bagi Giok Lan mengatasi Hu Pangcu Kedua ini. Kecepatannya sungguh luar biasa, meskipun ilmu pedang yang dimainkannya tidaklah istimewa.

Tetapi nampaknya, tipu-tipu ilmu pedang Tionggoan, sudah dimasukkannya dalam khasanah kecepatan ilmu pedang Samurai Jepang. Itulah sebabnya Ilmu pedangnya sangat efektif dan menyerang langsung kesasaran dengan kecepatan yang luar biasa.
 
Yg pertama uda tamat, yg kedua menunggu kelanjutannya :banzai:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd