Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
:D

/ndif

:D

maaf suhu, memang bener di beberapa sebelumnya, masih ada penulisan nama tokoh sesuai aslinya...

dan satu lagi, penggunaan nama Arwen, sukses menghilangkan karakter sebelumnya.,
karena ane lagsung kebayang wajah seorang penulis legendaris Indonesia, Oom Arswen...

:beer:
 
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Aku sedang duduk, menikmati kesendirian di sore hari Jakarta yang tenang ini. Cuaca hari ini tidak terasa seperti Jakarta. Tenang, rindang, dan dingin. Terlebih karena hujan baru saja selesai membasahi kota ini. Hana, si kucing abu-abu yang berekor bulat itu sedang berbaring dengan malas di teras studio, menemaniku yang sedang mengobrol dengan Kyoko melalui sosial media. Entah kenapa sore itu seperti ada kontes foto kucing antara aku dan Kyoko. Kami saling berbalas-balasan foto Kodama dan Hana.

Dan ingin rasanya mempertemukan Kodama dan Hana, terlebih juga karena mereka berbeda kelamin, siapa tahu berjodoh seperti aku dan Kyoko. Setelah beberapa waktu, ada beberapa hal yang sudah terjadi dalam hidupku.

Pertama, Pierre T akhirnya telah menyelesaikan album mereka. Album nan idealis mereka, yang dikerjakan dengan segala penuh keribetan, akhirnya selesai juga. Mereka sekarang sedang merencanakan release partynya. Tentunya dengan segala jenis ide yang mereka punya, mereka sangat menginginkan pesta release ini menjadi spesial. Dan terserahlah, aku sebagai produser memang tidak memiliki tugas untuk mengurus release party mereka.

Kedua, tentang Kyoko, dia sudah mengajukan visa ke Kedutaan Indonesia. Ya, biasanya Visa di Indonesia didapatkan dengan cara Visa on Arrival, tetapi batas waktunya paling lama hanya sebulan. Sedangkan Kyoko akan menetap bertahun-tahun. Tentunya dalam mengajukan visa ini, dia sudah melampirkan surat pengantar nikah dengan WNI dari kantor kependudukan di Mitaka sana dan alamatku sebagai domisili nantinya. Nantinya surat keterangan itu akan dikirimkan ke Indonesia, lalu dilegalisir oleh kedutaan Jepang disini.

Urusan KUA? Tentunya sudah kuurus, dengan didampingi oleh saudaraku dari pihak ayah, yang kerja di kementrian hukum dan HAM. Dan dia akan melakukan proses untuk menjadi muallaf di Mesjid Al-Azhar, tak jauh dari rumahku. Aku sudah memberitahu ke Yayasan disana dan mereka tampaknya gembira dengan berita ini. Aku sih biasa saja, tidak peduli Kyoko akan jadi muallaf atau tidak, karena ini keinginan Kyoko sendiri.

Ketiga, pub di Mega Kuningan itu kini menjadi semakin sepi. Kanaya? Sudah keluar dari tempat itu. Tekanannya terlalu besar untuk orang se-hijau Kanaya. Sekarang menurut teman-temanku, Kanaya bekerja di tempatnya Cheryl, turun pangkat menjadi waitress. Sesuatu yang disesalkan sebenarnya. Dan aku sudah tidak lama melihat batang hidungnya setelah kejadian yang tidak enak itu.

Keempat, dua minggu lagi aku akan kembali berangkat ke Jepang, bersama Hantaman. Ilham dan Zee akan mendampingi kami lagi dalam tur tiga kota itu, sekaligus perayaan perpisahan Ilham dengan Jepang, katanya. Studinya sudah hampir selesai dan sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia. Dan itu artinya, menjelang keberangkatan ke Jepang Hantaman akan mengadakan launching album versi pasar Jepang, dan juga pemutaran video klip kami.

Menurut Kyoko, Februari di Jepang sana adalah masa-masa paling dingin dalam setahun. Aku tak bisa membayangkan akan sedingin apa, mengingat waktu pertama kali aku ke Jepang, aku bisa dibilang hampir tidak tahan dengan udara dinginnya.

“Woi” sapa Anin mendadak, dia baru datang, bersama Bagas, sepupunya yang ajaib itu.
“Woi” balasku sambil melambaikan tangan ke mereka berdua.
“Stefan mana?” tanya Anin sambil celingukan.
“Masih dijalan, tadi bilang gue” jawabku.

Ya, di hari senin ini, memang jadwal kami untuk latihan.

Dan soal Stefan…….

Perlahan dia mungkin sudah kembali bisa bercanda lagi seperti biasa. Tapi getirnya masih terasa. Dia terasa seperti menanti masa-masa kejatuhan dirinya. Dia seperti tidak bisa menerima kehilangan teman lagi setelah aku akan menikah. Aku ingin sekali meyakinkannya bahwa aku tidak akan berubah seperti kakak dan adiknya setelah menikah. Tetapi, memang sulit meyakinkannya, terutama ketika kami jadi jarang ngobrol berdua saja seperti dulu. Menurut pengakuan Ai, dia sering mencoba mengajak ngobrol Stefan soal hal ini, tapi biasanya buntu dan berakhir dengan nada-nada kosong dari ucapannya. Selebihnya menghindar, dan mereka berdua pun jadi jarang bertemu, tidak seperti sebelum tahun baru.

Aku ingin sekali mengajak dirinya bicara, tetapi sekarang, aku sudah sulit untuk mengikatnya agar tidak pergi terlalu cepat setelah latihan. Selain tidak ada daun sialan yang bisa membuat kami melayang bersama, keberadaan Ai yang biasanya jadi teman ngobrolnya dengan bebas kini menjadi hambar juga. Entah bagaimana aku harus mengajaknya bicara.

Di sisi lain, kami sudah tidak nongkrong lagi di Mega Kuningan. Stefan beberapa kali minum-minum sendiri di tempat Cheryl, dan aku malas kesana, karena faktor Kanaya.

“Hei” Stefan datang dengan langkah agak gontai mendekatiku. Anin dan Bagas sedang bersiap-siap di dalam studio.
“Hei” balasku sambil senyum tipis dan berdiri.
“Sori nunggu”
“Gapapa”

Stefan menyalakan rokoknya dan dia duduk di teras. Dia melirik ke dalam sebentar, melihat Bagas yang sedang menyetel drumset dan Anin yang sedang menyetem bass.

“Enaknya jadi vokalis, suara lo ga butuh di setem” senyumnya tipis, bermaksud bercanda dengan canggungnya.
“Tapi sekalinya ancur ga bisa dibeli lagi” balasku.
“Gak salah”
“Ntar malem free?” aku mencoba mengajaknya bicara, terpaksa, daripada berlarut-larut lagi.

“Free aja kali”
“Good”
“Emang kenapa?”
“Gapapa, udah lama kita ga ngobrol”
“Ngobrol ama lo kalo gak ngegele gak asik” sahutnya sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Kan bisa aja sambil lo minum”
“Gapapa emang kalo ketemu Kanaya?” tanyanya.
“Gapapa harusnya, dan lagian, masih banyak tempat laen kan buat nongkrong, kayak tempat ngopi gitu”

“Ngopi?”
“Iya” senyumku.

“Lo pikir gue cewek rumpi?” sinisnya.
“Temen kuliah gue ada yang punya coffee shop oke di Kemang?” tawarku dengan senyum dipaksakan.
“Punyanya si Zul kan?” teriak Anin dari dalam.

“Iya” sahutku.
“Gue ulang lagi, lo pikir gue cewek rumpi?”
“Cewek rumpi ngopinya di setarbak, caffee latte atau mocha apaan, ini kayak tempatnya Kyou Kun gitu tauk” jawabku panjang.
“Serah, tapi lo yang nyetir” dan Stefan pun menyerah.

“Tar bareng aja kita berempat” senyumku.
“Gue gak” dua kata dari Bagas yang sudah menyimpulkan semuanya.

“Gue juga ga bisaaaaa” rajuk Anin.
“Yowes, gue ama Mas Epan aja” senyumku sambil masuk ke studio.

“Tai”

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Lo ngapain sih Fan?” tanyaku bingung, Stefan tampak sedang berusaha mengambil foto perempuan yang sedang duduk nun jauh disana, di pojok sebrang kami. Tentunya dengan diam-diam.

“Cakep soalnya” seringai Stefan.
“Gak elo banget ini… Malah kayak Anin” tawaku.
“Biarin dong, sekali kali” Stefan menyalakan rokoknya, setelah habis mengambil foto secara diam-diam.

“Makanya, sekali-kali, itu gak kayak Stefan banget”
“Emang Stefan harusnya kayak gimana?” Stefan menghirup asap rokoknya dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan cuek.

“Kalo ada yang begituan biasanya langsung cari cara buat ngangkut ke kasur” senyumku aneh.
“Yah….”

“Emang kenapa sih kalo gue kawin?” tanyaku langsung, supaya pikiranku dan pikiran Stefan tak berlarut-larut.

“Yah… Bagus buat lo sih… Bagus buat Kyoko juga kali” jawabnya cuek, menyembunyikan perasaannya.
“Nah… bagusnya apaan?”
“Bagus aja”
“Biasanya ga suka kalo denger berita orang kawin?”
“Siapa bilang?”

Sumpah, rasanya seperti sedang mengajak bicara perempuan yang sedang mens atau PMS.

“Fan, elo…”

“Sori lama” mendadak Zul datang dan menaruh pesanan kami berdua di meja.
“Wah, makasih Zul”
“Gue yang makasih, udah lama juga ga liat elo, terakhir lo kesini pas insiden siram kopi itu kan” tawanya.

“Wah semua masih inget yak” senyumku getir.
“Gimana gak inget, itu epic banget tau….”
“Maap yak lakinya sepupu gue bikin ulah waktu itu” aku meminta maaf atas nama suaminya Dian.

Ya, pernah ada kejadian seperti itu disini. Di tempat ini, suaminya Dian melakukan aksi siram kopi panas ke salah satu teman kuliahnya. Kejadiannya heboh, dan aku melihatnya sendiri. Saat itu acara buka bersama teman-teman kuliahku, dan sang tersangka waktu itu sedang putus dengan Dian. Dia membawa pacarnya waktu itu, seorang gadis mungil berkaca mata yang terlihat lebih muda dari umur aslinya.

Salah seorang temanku yang memang menyebalkan, Bram, mencecar dirinya dengan pertanyaan seputar Dian. Dan akhirnya kopi panas tumpah ruah ke muka Bram. Bram tersulut emosinya dan nyaris terjadi bangku hantam.

Aku melihat kejadian itu dari atas panggung. Aku sedang menyanyikan entah apa, aku lupa, tapi yang pasti lagu alternative rock 90an. Dan waktu itu aku mendadak tercekat, melihat kejadian itu. Entah apa rasanya disiram kopi panas. Mungkin panasnya tak seberapa, tapi malu dan lengketnya luar biasa. Dan entah kenapa ada perasaan puas melihat itu. Harap maklum, Bram memang public enemy laten. Dia memang selalu rajin datang ke acara reuni maupun kumpul-kumpul alumni dan rela repot-repot mengurus acara dan segala urusan tetek bengeknya, tapi kelakuannya memang mengesalkan dan mulutnya sangat tidak bisa dijaga.

Imbang sebenarnya, dan karena itu kami tidak ada yang berani memusuhinya. Bukan tidak berani mungkin, tapi lebih ke malas. Beda dengan suaminya Dian yang memang orangnya baperan. Baperan. Istilah jaman sekarang. Haha.

“Ya, lo tau kan semua orang nunggu kesempatan yang tepat buat nonjok si Bram?” tawa Zul
“Iya sih”
“Dia dapet duluan, enak banget, nyiram kopi lagi” Zul lalu kemudian berlalu untuk kembali ke singgasananya sebagai peracik kopi sekaligus pemilik café.

“Emang ada kejadian apa?” tanya Stefan dengan nada sok cuek. Matanya ternyata sedang memperhatikan perempuan yang tadi, dari jauh.
“Lakinya sepupu gue, si Dian, pernah berantem ama orang disini”
“Oh, rame dong”
“Mayan”

“Ayo gih berantem juga, sama bapak yang duduk disana misalnya” canda Stefan tak lucu. Dan dia sadar kalau itu tak lucu.
“Apaan sih” balasku dengan tatapan bosan.

"Dinikmatin ya Kopinya..." Zul tertawa sambil berlalu, menuju balik counter lagi. Dan Stefan mengalihkan perhatiannya lagi.

“Tuh liat, cewek-cewek rumpi” Stefan melirik dengan matanya ke arah kumpulan disana, meja perempuan tadi dan teman-temannya.
“Daripada lo ngomentari mereka, mending gue tanya lagi ke elo…. Apa yang ngeganggu pikiran elo sejak dari Bandung, gak enak tau liat lo hambar dan keliatan basi kayak gini” aku menyeruput kopi yang luar biasa enaknya itu. Lebih enak dari racikannya Kyou-Kun malah.

“Tau”
“Anjir ngomongnya, udah kayak cewek rumpi lagi PMS” ledekku sambil berusaha membuatnya bicara.

“Dan lo malah yang sekarang bacotnya kedengeran kayak gue” senyum Stefan tipis sambil melirik ke arah meja cewek-cewek rumpi itu.

“Fan, gue ga pernah nyaman liat lo kayak gini, dan gue jadi trauma, inget kejadian A.E.U.G.” jelasku.
“Lo emang pengen banget gue ngomong atau curhat ya? Kedengeran kayak gay best friend banget sih elo” sinis Stefan lagi.
“Terserah, gue Cuma mau bikin Hantaman jadi nyaman lagi” senyumku getir.

“Ada syaratnya”
“Apa, temenin lo minum? Bawa lo ke rumah lagi dengan kondisi mabok? Itu sih selalu siap” balasku.
“Bukan”
“Apa?”

“Itu, cewek yang tadi gue diem-diem foto…” tunjuk Stefan dengan rokoknya.
“Apaan?”

“Lo harus bisa selfie ama dia dan minta nomer telponnya”

“Hah?”

Aku melongo.

“Jangan bengong, kalo lo bisa selfie ama dia dan dapet nomer telponnya, gue paksain supaya gue ngomong deh” Stefan bersandar dengan malas dan lalu menghembuskan asap terakhir dari batang itu, sebelum mematikan rokoknya di asbak.
“Bangsat”
“Lo pikir bakal gue bikin gampang?” tantang Stefan dengan muka sombong.

“Apaan sih”
“Kalo gue bisa cepet…. Tapi gue diem aja sekarang, liat elo… Entah gimana caranya”
“Emang dia siapa juga? Kalo mendadak gue minta selfie sama dia itu aneh”
“Masa gak kenal?”
“Siapa emang?”

“Masih inget Arwen?”
“Lord of the Ring?”

“Bukan bego… Kita pernah di interview sama dia, dia kan penyiar radio” Stefan lantas menyebutkan nama sebuah radio yang terkenal di Jakarta. Stasiunnya ada di Jakarta Selatan, Selatannya lagi.

“Oh… Lupa gue mukanya”
“Noh, yang paling cakep diantara mereka, rambut sebahu asimetris” tunjuk Stefan dengan mulutnya. “Makanya sebenernya gampang kalo mau minta nomer handphone dia dan segala macemnya kan?” tawanya lagi.

Aku tertegun. Pertama, aku rasanya sudah lama tidak melakukan hal ini, dan entah kenapa bayangan Kyoko memenuhi kepalaku.

“Tenang, gue ga akan bilang ke bini lo” Stefan menyalakan rokok lagi sambil mulai meminum kopinya.
“Hmm……” aku masih bingung, dan tampak celingukan. Hingga akhirnya mataku tertuju ke satu sudut. Bukan, bukan ke Arwen. Tapi ke arah panggung kecil, dengan mikrofon yang nangkring disana dan sebuah gitar akustik elektrik yang nganggur. Liat aja Fan, gue juga bakal bikin ini gak gampang buat elo.

Aku beranjak dengan mendadak, dan berjalan ke arah Zul. Stefan tampak menahan senyumnya melihat pergerakanku. Intinya untuk membongkar Stefan, aku akan mencobanya.

“Eh, gue beresin utang manggung gue ya?” aku berbisik pada Zul.
“Eh? Sok aja, tapi gitarnya dah lama gak disetem, masih inget kan nyalain mik sama amplinya gimana?” bingung Zul mendadak.
“Ah gampang”

Aku mulai naik ke atas panggung kecil itu, lalu membuka jaketku dengan gerakan yang sok dibuat canggung. Aku menaruh jaketku di punggung kursi di atas panggung itu, dan mulai mengambil gitarnya. Memang amburadul setemannya. Tapi tak apa. Telingaku cukup sensitif untuk menyetem gitar.

Perlahan aku memperbaiki setemannya dan tak lama kemudian beres. Aku melirik ke arah Stefan yang tampaknya penasaran akan seperti apa langkahku. Dan aku di dalam hati juga bingung, tapi untungnya aku bisa berpikir dengan cepat. Aku bangkit lagi, menyalakan ampli dan microphone. Setelah yakin semuanya baik-baik saja, aku duduk di kursi dan memeluk gitar.

“Malem semuanya” suaraku sedikit bergema di café itu.
“Malem…” kebanyakan dari mereka bingung, termasuk Arwen. Mereka tampak menatap ke panggung dengan tatapan menyelidik. Siapa orang ini? Perlahan-lahan beberapa dari mereka mulai menyadari siapa yang ada di panggung.

“Biasanya Stefan kan ya yang nyanyi” aku menunjuk ke arah Stefan, dan semua orang menatapnya. Dan lantas mereka sadar siapa aku. Aku bisa melihat Arwen melirik ke arah temannya, dengan gerakan mulut yang seakan bertanya, “itu Arya nya Hantaman?” dan temannya mengangguk. Dia lantas mengangguk.

“Malem ini saya mau nyanyi ah, ada utang nyanyi sama café ini soalnya…” senyumku dan lantas kemudian memainkan sebuah lagu yang memang kuhapal.


Ya, Guaranteed dari Eddie Vedder, vokalisnya Pearl Jam. Not demi not kumainkan dan suaraku mun mulai bergema. Suara gitar dan suaraku yang bercampur membuat suasana mendadak hening. Mereka memperhatikan ke arah panggung, memperhatikan aku yang biasanya bersama Hantaman berjingkrakan di panggung, kini memainkan lagu balada manis yang membuat hanyut. Tunggu saja kalau mereka sadar aku dulu sering main di beberapa acara sebagai gitaris Jazz, pasti lebih kaget lagi.

Aku biarkan mereka menikmatinya.

Dan untung lagunya pendek, jadi tak butuh banyak waktu yang kuhabiskan. Aku tersenyum kearah yang menonton, karena mereka kaget Arya bisa nyanyi. Haha. Belasan orang disini, not bad. Dan salah satu dari belasan orang itu Arwen.

Aku lantas menghela nafas.

“Ada yang mau request gak, saya gak prepare apa-apa soalnya” Dan aku melirik ke arah penonton. Beberapa dari mereka antusias dan sekitar tiga orang mengangkat tangannya. Salah satunya adalah Arwen. Gotcha. “Mbak yang sini” aku menunjuk ke arah Arwen. Bisa kulihat dari sudut mataku orang yang lain tampak kecewa karena dia merasa mengangkat tangannya terlebih dahulu. Ya memang benar, ini semua skenario kok. Skenario demi setan yang sedang menahan senyumnya dari tadi.

“Imaginenya John Lennon” senyum Arwen, berharap aku langsung klik dengan lagunya.
“Bentar-bentar, saya cari dulu liriknya” aku mendadak berkutat dengan handphoneku.

“Kapan lagi lo dinyanyiin ama rocker” bisik temannya, dan bisa kudengar dari arah panggung, dan aku pura-pura tidak mendengarnya. Acting natural saja Ya, mereka gak tau ini skenario demi Stefan.

“Eh, bentar… Kok gak ada sinyal ya….” bingungku pura-pura.
“Pake Wifi aja Ya” teriak Zul.
“Wah dipassword ya?” aku beralasan dan aku pura-pura terlihat repot di atas panggung.

“Ah ribet lo, sini gue googlingin” teriak Zul lagi.
“Jangan elo dong yang ribet Zul…. Yang request dong yang ribet” senyumku tipis ke arah Arwen. Dia pun membalas senyumku dan dia bangkit, berjalan pelan ke arahku. Dia lantas memberikan handphonenya ke diriku.

“Pake HP saya aja, biar gak ribet” senyumnya.
“Lah ntar kalo ada yang nelpon gimana?”
“Eh iya ya?”
“Udah kirim aja liriknya sini” pintaku dalam bohong.

“Bentar, saya wassapin mau?”
“Kan ga jelas sinyalnya, smsin aja” tawaku.

“Nomernya berapa?” tanya Arwen.
“087888810952” ucapku pelan, menjauh dari mikrofon.

“Woi jangan tukeran nomer Hape!!” teriak Stefan yang mendadak terlihat bersemangat.
“Berisik” teriakku balas.

Dan tak lama sebuah pesan panjang tiba dari sebuah nomer asing. Nomernya Arwen. Gotcha. Dan satu lagi, selfie.

“BTW, Masih inget gak?” tanyaku pelan, sebelum ia mulai kembali duduk.
“Iya…. Aryanya Hantaman kan?” senyumnya balik menyelidik.
“Gak salah, BTW, Mmm…..” Aku sengaja pura-pura lupa namanya, sambil menunjuk-nunjuk ke dirinya.

“Arwen”
“Ahh.. Iya Arwen, masih di radio yang itu?” tanyaku, merujuk ke stasiun radio, dimana dia bekerja.

“Udah enggak, pindah ke yang lain” jawabnya sambil senyum, sambil memberitahu nama stasiun radio yang tak kalah terkenal juga.

“Udah lama gak ketemu ya?” tawaku.
“Iya, gue sangkain tadi bukan elo” dia tertawa juga, karena agak canggung, jadi tawanya agak garing.

“Jangan ngobrol, Monyet!” teriak Stefan, berusaha menggangguku.

“Berisik” teriakku ke Stefan. “BTW, karena udah lama gak ketemu, harus diabadiin” tawaku ke Arwen, dan langsung dengan gerakan cepat aku membuka kamera handphone dan Arwen pun pasrah, selfie berdua dengan Arya, gitaris Hantaman. Kami berpose seadanya, dan memang kami hampir menempel, tapi tak apalah, posisinya toh tak enak karena aku sedang duduk memeluk gitar.

“Udah cukup, sekarang kita main musik” tawaku.
“Haha, ntar abis main ngobrol ya?” Arwen melambaikan tangannya kepadaku.
“Boleh” balasku. Lalu kemudian dia beranjak dari panggung dan duduk kembali.

“Lo dimodusin kayanya” bisik temannya, dan aku membaca gerak bibirnya, toh agak kedengaran juga, karena suasana memang sepi.

“Kagak ih” jawab Arwen.
“Seriusan”
“Udah dengerin dia nyanyi aja”

“Nah, Imagine kan?” tanyaku lagi ke arah Arwen. Dia mengangguk. Aku sejenak mengintip ke arah Stefan. Dia terlihat tersenyum bangga sambil bertepuk tangan tanpa suara. “Oke, Imagine dari John Lennon”


--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Kalo sampe Kyoko tau… Awas lo” aku menunjuk-nunjuk muka Stefan dengan gerakan cepat. Stefan hanya tertawa geli, bertingkah seakan dari tadi dia tidak galau.
“Hebat anak Bu Yuniarti, bener-bener penakluk wanita sejati” komentar Stefan.
“Taik”
“Si Arwennya baper kayaknya men” tawa Stefan.

“Boong”
“Nih”

Stefan memperlihatkan Instagramnya Arwen ke diriku “just found out that @aryaAAG could sing this good, love it!! <3 <3 <3” dan ada foto diriku sedang menyanyi tadi dengan angle yang bagus. Aku tidak menyadarinya. Sedangkan sang pengambil foto sudah pulang, setelah berbicara sedikit denganku. Dan dia tadi melambai lucu kepadaku sebelum pulang.

“Dia follow elu loh, kayaknya patah hati ntar, liat foto elo sama Kyoko dan foto lo bedua pamer cincin tunangan” tawa Stefan.
“Monyet” aku mengacak rambutku dan merebahkan diriku di kursi.
“Ahahahahaha”

“Lo punya utang ngomong ama gue Fan… Kalo sampe malem ini gak ngomong, gue siram kopi juga” kesalku.
“Bentar, gue masih euforia nih, udah lama gue gak seseneng ini” tawa Stefan lagi.

Aku hanya menggelengkan kepala, sambil melihat selfieku berdua dengan Arwen. Ya ampun, mikir apa aku tadi. Setelah dipikir-pikir, kejadian tadi seperti skenario modus mengakrabi perempuan. Tak heran Stefan tak henti-hentinya ketawa.

“Hahhh…. Payah” lanjut Stefan
“Gue payah?”

“Bukan, gue yang payah” senyumnya malas sambil menyalakan rokok.
“Maksudnya?”

“Jadi… Gue jujur aja, gue ngerasa down dan payah akhir-akhir ini, seenggaknya setelah gue tau detilnya elo sama Kyoko mau nikahnya kayak gimana” dia menghela nafas.
“So?”
“Iya, gue kecewa sama diri gue”
“Bukan marah sama gue?”
“Tadinya, tapi lama-lama gue berasa bego, waktu tau gue marah pas denger Kyoko bela-belain pindah agama dan tinggal di Jakarta”

“Dan?”
“Elo sama Kyoko keliatan ga bisa dipisahin, dan kalian berdua udah gak bisa mundur lagi, karena emang itu pilihan kalian” lanjutnya. “Dan gue kecewa sama diri gue, setelah kejadian gue kayak kehilangan kakak dan adik gue, gue kecewa karena gue liat kalian bahagia dengan pilihan untuk nikah dan berkomitmen, sementara gue ngerasa hidup gue bakal ancur kalo gue ngelakuin hal yang sama dengan kalian….”

“Orang kan beda-beda Fan” komentarku.
“Diem dulu”
“eh?”

“Gue ngerasa apa gue emang payah karena ga bisa berkomitmen dan nikmatin rasa settle yang kalian idam-idamkan itu”
“Gapapa juga lo gak mesti settle kalo lo gak suka” balasku.
“Masalahnya gue gak sukanya sampe gue sinis sama kalian” potong Stefan.

“Oh.”
“Dan itu gak wajar… Gue pinginnya bisa biasa aja walau gue gak mau kayak begitu” Stefan menghisap rokoknya lagi.

“Yah gimana ya” aku tampak bingung melihat kondisi pemikirannya. Kompleks. Dia sudah beranjak dewasa, tapi dia sama sekali tidak ingin settle, sampai sebegitu antinya melihat orang yang settle dan berkomitmen. Tetapi dia tidak suka dengan kondisi antipati dirinya. Ia ingin biasa saja, makanya batinnya konflik dan dia jadi lebih banyak diam, terutama akhir-akhir ini.
“Udah gue duga lo bakal bingung Ya” komentarnya.

“Walau gue bingung seenggaknya gue mau denger” balasku.
“Yah, mayan lah, lagian males kalo gue ngobrol hal ini sama adek lo… diceramahin yang ada, dia cerewet banget yak sama gue” ucap Stefan pelan, sambil menerawang ke arah langit-langit café.

“Kalo gue bilang waktu yang bakal nyembuhin perasaan lo ngaruh gak?” tanyaku dengan tololnya.
“Ini aja udah mau sebulan rasanya gak enak gini, ahahaha” tawanya dalam getir.

Aku tersenyum dengan awkwardnya.

“Ah persetan lah Ya, gue nikmatin aja perasaan ancur ini, dan lucu juga elo sama adek lo berusaha ngebongkar gitu, seakan-akan kalian dosa ama gue…”
“Ya gimana Fan, namanya juga temen” aku memainkan jariku di cangkir kopiku.

“Temen… Taik… Sok peduli… Udah lah, kita ke Jepang dulu, terus elo kawin, baru lo boleh mikirin gue” ucapnya pelan, dengan perasaan siap untuk menerjang masa depan yang tak pasti bagi dirinya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
Insiden siram kopi ada di Lucky Bastard ya?
 
MDT SEASON 1 - PART 71

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan

Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka

Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

image12.jpg

Alarmku berbunyi. Sebentar lagi pukul 10 malam, dan aku menunggu kabar dari Kyoko. Dia dan Kyou-Kun pasti sedang dalam perjalanan ke Nakano. Mitaka ke Nakano butuh waktu sekitar 15 menit. Aku bangkit dari tidurku yang seadanya dari tadi sore itu. Untung tidak ada acara makan malam bersama setelah acara press release dan manggung di Tower Records tadi. Kyoko sudah membungkuskan makanan untukku. Aku memilih menggunakan waktuku dari tadi sore sampai sekarang untuk tidur, karena jadwal kami padat, dan aku butuh waktu untuk curi-curi tidur.

Ya, harap-harap cemas. Aku memakai kaos kaki, dan sweater tebal, untuk mengantisipasi cuaca dingin di luar, sebelum menerima kabar kedatangan Kyoko dan kakaknya di stasiun Nakano.

Aku sendiri masih tidak percaya pemandangan sore tadi. Ya, Chiaki lagi. Stefan tampak merangkul Chiaki dan mereka berdua masuk lagi ke dalam kamar. Pemandangan yang benar-benar membuatku tidak nyaman. Stefan terlihat seperti memanjakan Chiaki dengan perhatiannya, dan si setan itu mendadak sepi di grup dan sepi juga mengganggu yang lain. Sepertinya dia sedang fokus untuk hanya berhubungan seks dengan Chiaki, dari kemarin.

Aku sendiri tidak paham soal keberterimaan Chiaki atas tingkah Stefan sekarang. Chiaki tidak mengenal Stefan sama sekali. Dia tidak pernah mendengar desas-desus, gosip, maupun melihat langsung bagaimana caranya Stefan bisa mengajak banyak perempuan untuk tidur bersamanya.

--

“Kayak jual beli Ya” jelas Stefan, dulu sekali, waktu Hantaman masih baru-baru terkenal.
“Maksudnya jual beli?”

“Ya elo harus jelas, maunya apa, butuhnya apa, dan bisa ngasih apa” seringainya waktu itu.
“Lo kita mereka apaan” bingungku.
“Ya, cewek juga sama kayak kita, butuh pemuas nafsu seks”
“Ho oh, serah deh” aku masih ingat, saat itu kami berdua sedang membakar ***** di kamarku.

“Jadi, lo flirtingnya jangan ke arah romantis, kalo emang ga bisa ngasih harapan kayak gitu… Firm aja, bilang lo sendirian, coba korek info soal latar belakangnya. Single dan mingle sih yang biasanya open sama petualangan, tapi ga menutup kemungkinan juga bini orang atau cewek orang” jelasnya panjang.
“Bebas… Hidup Stefan” ucapku dengan asal, berusaha mendengarkan ocehannya waktu itu.

“Dan pake kata-kata yang agak terselubung, misal – saya butuh ditemenin malam ini – atau – lo bilang, sepi banget, gak ada temen ngobrol di kamar. Kalo dia open, pasti dia nyambut. Dan abisnya jangan lo kasih harapan palsu, lo biarin aja dia tidur di sebelah lo tanpa lo sentuh. Paginya, pas ngobrol, minta maaf aja, kalau lo ga siap buat komitmen. Ada yang marah? Ada… Ada yang biasa-biasa aja? Ada…. Tapi gimanapun, apapun kondisinya, lo udah ngewe dia, jadi tetep aja lo menang”
“Hebat deh” komentarku pelan waktu itu, dengan kondisi kepala masih berputar.

--

Dan semua itu menguap malam ini. Entah apa yang ia bisikkan lagi ke telinga Chiaki. Entah rayuan apa, dan entah trik macam apa yang mau ia tunjukkan. Kenapa mendadak dia menjadi sok bersikap manis seperti itu. Dan Chiaki pula? Kenapa mesti Chiaki? Apa dia pikir, dengan dia jarang ke Jepang, lantas dia bisa sebebas itu dengan Chiaki sekarang? Entahlah. Entahlah apa sekarang yang ada di dalam pikiran Stefan.

“Aya, kami sudah turun di Stasiun Nakano” aku mendadak bangkit dan memakai sepatu, dan meraba dompet dan handphone yang sudah kumasukkan dalam jaket, agar tak tertinggal. Dengan langkah agak buru-buru aku meninggalkan kamar hotel dan melangkah ke lift, untuk kemudian bergegas menembus angin dingin Tokyo yang menggigit, menuju coffee shop yang buka sampai larut itu.

"Kami sudah sampai" pesan Kyoko di sosial media. Aku tersenyum dengan anehnya. Rasanya seperti menghadapi orang tua pacar dan meminta izin untuk melamarnya. Tak lama kemudian, aku sudah sampai ke depan pintu coffee shop tersebut.

Dan akupun melangkah, mencoba menerjang pintu perlahan.

"AYA!!" teriak Kyou-Kun dengan excited. Pria jepang bertubuh pendek, dengan topi fedora itu berdiri dengan antusias, dan akupun melangkah ke arahnya. Dia memelukku dengan erat. "My brother!"
"Genki?" tanyaku.
"Genki" jawabnya, mengkonfirmasi kalau dia baik baik saja. Kyoko duduk di sebelahnya dengan manis, dengan senyum kecil, seperti berharap.

Kami pun lantas duduk, aku dan Kyou-Kun berhadapan. Kyoko menatapku dengan tatapan yang intens.

"I'm glad, very-very glad!" senyum Kyou-Kun. "Finally Aya become brother". Dan memang senyumnya terkembang sangat besar. Aku tersenyum balik dan mengangguk.
"And I personally really wants you to come to our wedding" aku langsung to the point.
"I Will, I Will" dia mengangguk, sambil membakar rokoknya, lalu melipat tangannya.

"You will enjoy Indonesia, and anyway... I miss playing Jazz again here" senyumku.
"No time to jam session eh?" tanyanya.
"Yep, pretty tight schedule...."
"It's okei... Next taim" dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku merasa ada hal yang memang sangat urgent untuk dibicarakan oleh Kyou-Kun, dan sepertinya masih ada hal yang kabur di udara. Entah apa.

"Ano.. Kyoko... Aya no heya ni ikitainara..." bisiknya keras ke Kyoko.
"Hai.. Aya... Kunci?" Kyoko dengan pasrah meminta kunci kamarku kepadaku. Aku merogoh sakuku dan memberikannya kepadanya. Kyoko segera menyingkir, dengan agak cepat. Aku agak bingung juga, apa yang urgent untuk dibicarakan hanya berdua saja antara kakak sang calon istri dengan sang calon suami.

"So, it must be important... not to include her in this conversation" tembakku.
"Yes, Aya"

"What it is?" tanyaku.
"About Jakarta..."
"About Kyoko living in Jakarta?" tanyaku.
"Yes"

"So?"
"Please, think again..." senyumnya mendadak hambar.
"Hmm...."

"Please live here with me, i'm sure, you will find a living here" dia menawarkan opsi lain.
"I know... But, Kyoko said she wants to live with me in Jakarta"
"I know... But, it is hard to run the cafe just by me... I need help... It's not that i don't want Kyoko to leave, but there are many things to consider"

"Hmm..."
"It's hard, Aya... Just by two of us hard, but alone, harder..." ucapnya dengan logat Jepang yang kental.

Masuk akal. Jika berdua mereka bekerja keras, dan mungkin memang sulit untuk mengelola cafe tersebut, bagaimana jika sendirian? Kyou-Kun bukannya tidak mau untuk melepas Kyoko, tapi dia pasti sulit. Concernnya cuma itu.

"I'm glad if Kyoko will be happy in Jakarta, but me, hard to run the cafe alone..." matanya tampak memohon kepadaku.
"I know" disatu sisi aku ingin berkata, ayolah, ini hidup Kyoko. Tapi bagaimana? Hidup Kyoko pasti berkaitan dengan hidup kakaknya. Hidup mereka merupakan satu simbiosis mutualisme dalam cafe tersebut.

"Please consider" senyumnya lagi, dengan tampang berharap.
"Hmm...." aku berpikir keras. Bagaimana lagi? Kyoko sudah setuju, dan Kyou-Kun juga merelakan, tapi dia memintaku untuk memikirkan cafe mereka.

"What if you hire an assistant?" tanyaku.
"Aya, it's hard to find... I tried" sebutnya. "Kyoko knows, but she insist that she watns to life in Jakarta... And I'm not saying, i don't want her to go, but... Please, consider the cafe..."

Paham. Jika Kyoko sedang libur, untuk mengunjungiku yang sedang ke Jepang, cafe bisa dihandle sendirian, tentunya bakal repot. Begitu pula jika Kyou-Kun ada jadwal manggung, Kyoko bisa handle sendirian walaupun akan sangat repot. Tapi bagaimana nanti, ketika Kyoko sudah tinggal di Jakarta, dan Kyou-Kun ada jadwal manggung? Pasti cafe terpaksa tutup. Cafe tutup, pemasukan berkurang, dan stok bahan makanan bisa saja menganggur dan menumpuk. Itu yang tidak bisa dimaafkan dalam pengelolaan sebuah tempat makan.

Cafe tutup dan Kyou-Kun mengandalkan musik saja? Sepertinya kurang elok. Karena cafe tersebut adalah legacy dari almarhum kedua orang tua mereka. Aku lantas garuk-garuk kepala sendiri.

"Ahh... Headache" Kyou-Kun merentangkan tangannya dan tersenyum pasrah kepadaku.
"I'll think about it"
"Sure..."

Aku tersenyum hambar. dan ini masalah baru. Well. Kita lihat nanti penyelesaiannya apa.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

p14-sc10.jpg

Dengan agak mengantuk aku duduk di kereta cepat Shinkansen, menuju ke Osaka. Stefan duduk di sebelahku. Zee dan Ilham di samping kami, di row yang berbeda, di tempat lain, ada Shigeo, Sena, Bagas dan Anin. Zee tampak mengambil fotoku dan Stefan yang sedang cuek bermain handphone. Aku masih teringat pembicaraan semalam bersama Kyou-Kun, dan setelahnya bersama Kyoko.

Ya, Kyoko insist agar aku tidak memikirkan nasib cafe itu. Karena dia percaya kakaknya pasti bisa mengurusnya sendiri. Semalaman dia meyakinkanku agar aku tidak terlalu memikirkan ucapan kakaknya, soal kekhawatirannya soal cafe itu. Tenanglah, Kyou-Kun panik, jelasnya. Dan dengan obrolan seperti itu, aku malah jadi susah tidur.

Akibatnya sekarang aku ngantuk parah. Dan sedang malas berbincang-bincang dengan Stefan, yang mendadak membuat ulah dengan Chiaki.

"Puas gue semalem" bisik Stefan.
"Aduh Fan"
"Enak banget ngeluarin di muka cewek tuh"
"Gue lagi males dengerinnya men"

"Lo sejak mau kawin jadi garing gini" kesal Stefan, sambil celingukan. Tampaknya dia ingin merokok.
"Bukan garing, kurang tidur gue"
"Semalem ngewe lagi ya"
"Kira-kira gitu" jawabku malas.

"Udah men, kalo mau kawin, tembak dalem aja, mumpung" tawanya.
"Ahaha" aku memperhatikan handphoneku, dan mengirimkan foto pemandangan di luar kepada Kyoko.

"Dan si Chiaki mau aja lagi gue ajakin lagi"
"Pas ngasih tanda tangan?"
"Yoi"
"Lo bisikin apa?" tanyaku malas.

"Gue bilang aje, gue kangen kayak kemaren, kalo berminat lag, sore-sore boleh dateng ke hotel… terus dateng lagi deh” tawanya.
“Gak kedengeran kayak elo”
“Abis cewek mana lagi? kan kita belom live show benerannya?” Stefan mengangkat bahunya, tanda dia tidak peduli atas apa yang ia lalukan selama dua hari ini.

“Jadi..” tanyaku mencoba membunuh rasa penasaranku yang menghantuiku di Jepang sekarang ini. “Elo bisa ketemuan ama Chiaki itu gimana ceritanya?”
“Ya ngontak lah”
“Dari Jakarta?”

“Enggak” jawabnya ringan, sambil meminum barang seteguk atau dua teguk dari minuman kopi dalam botol yang ia beli tadi, sebelum naik shinkansen.
“Gue pikir lo bedua masih kontak-kontakan sehabis dari Fuji Rock”
“Haha engga, gue bosen aja sesiangan itu, mana kita dibawa-bawa sama Anin belanja di Akihabara, sumpah bosen banget, kalo gue bisa nancepin robot-robotnya Anin ke pantat gue sampe gue mati, gue lakuin deh”

Aku sedikit tersedak karena menahan tertawaku. Aku yang agak kesal oleh kelakuan Stefan yang memang sudah agak tidak jelas sejak sebelum berangkat ke Jepang, mau tak mau tergelitik juga oleh kalimat sinisnya yang asal.

“Dan?” aku mencoba mengorek ceritanya. Sebenarnya ini juga bahan bagus untuk didiskusikan via sosial media dengan Ai, ataupun bisa dipakai untuk menghadapi Stefan di kemudian hari. Menghadapi mood nya yang angin-anginan dan entah kejutan apa lagi yang ia persiapkan dalam kepalanya untuk kami.

“Ya, masa lo gak horny sih liat Kairi….”

Dan aku memicingkan mataku. Kok mendadak jadi bahas Kairi?

“Enggak, horny dari hongkong…” jawabku.
“Gue dari pagi ampe makan siang deket-deket dia terus, wanginya ya ampun, dan auranya itu Ya, gue jadi horny sesiangan itu…” lanjutnya.
“Apa hubungannya horny sama pertanyaan gue soal Chiaki?” bingungku.

“Nah disitu hubungannya, gue nyariin pelampiasan, tapi…. Gak tau harus gimana, yaudah, seadanya aja gue cari doi di line, eh ngejawab, yaudah gue ajakin ketemuan malem itu….” Tawanya.
“Bangke, padahal bisa coli”
“Coli gak masuk buat selera gue men” balas Stefan.

“Terus, lo ajakin tidur, kayak biasa? Bilang lo sendirian, butuh temen ngobrol di kamar? Atau kayak biasa, ngorek-ngorek si cewek sampe mau ga mau kudu balik, terus lo bilang lanjutin obrolan di kamar?” tanyaku, mencoba mencocokkan pola pendekatannya ke Chiaki dengan kebiasaannya.
“Engga, karena gue pengen cepet-cepet ngewe, gue bilang aja kalo gue kangen ama doi, pengen ketemu, sambil flirting-flirting iblis dikit, bilang mikirin doi abis ngewe yang di Naeba itu….” Tawanya.

Dan Stefan merusak, melanggar modus operandinya.

“Kalo dia baper gimana Fan?” tanyaku dengan agak bingung.
“Kok malah elo yang panik? Beneran nih mau kawin jadi garing elonya”
“Bukan, tapi omongan kayak gitu, bikin cewek jadi keblinger, lagian, mau aja diajak ketemuan, dateng lagi pas lagi kita live….” Aku menggelengkan kepalaku.

“Katanya sih doi lagi ga kerja, udah dua minggu, bosen di tempat part time nya katanya….” Jawab Stefan dengan santai.
“Pertanyaan gue ga dijawab”
“Pertanyaan apaan?” Stefan malah menanya balik.

“Soal Baper, kalo Chiaki baper gimana?”
“Ya gimana dong? Cara buat ngewe cepet ya gitu, kali… lagian kita baru balik tokyo pas minggu ke dua, hari jumat, terus balik ke Indonesia lagi…. Kalo dianya ngarep, pas di Tokyo ya kita entot lagi” tawanya.
“Gila”
“Sori… Gue butuh, sebelom ntar di Jakarta gue jadi nakal sendirian karena elo dah ada bini nungguin di rumah” Stefan mengangkat bahunya, dan menatapku dengan tatapan tanpa dosa.
“Kok jadi kesannya salah gue sih”
“Yaudah, biar ga kesannya kayak gitu, mau gak ntar kalo di Osaka atau Kyoto gue dapet cewek gue oper elu? Itung-itung pelampiasan titit sebelom kawin” tawanya.

“Ga lucu”
“Serius bego”
“Kagak ah, buat elo aja” tawaku sambil bersandar dan mencoba menutup mata. Oke, jadi salahku nih kayaknya. “salahku” dan Kyoko yang memutuskan untuk settle, dan Stefan tampak kehilangan teman nakalnya, dan dia panik dengan kondisi ini, jadi dia memutuskan untuk bertindak lebih. Yakni dengan melanggar aturan mainnya sendiri. Sial. Yasudah lah, titit-titit dia, memek-memek Chiaki, suka-suka. Aku fokus saja sama main gitar, Kyoko, dan masalah café di Mitaka itu.

--------------------------------------------

b7d6a910.jpg

Kami sudah selesai menata barang bawaan di penginapan. Kami diinapkan pada sebuah apartemen sewaan yang lumayan menarik. Apartemen studio yang cukup besar, jadi kami semua seakan tidur dalam satu kamar. Daerahnya memang daerah perumahan, dan banyak bar-bar kecil yang ketika siang mereka belum buka. Mungkin baru buka malam, saat para salaryman baru pulang dari kantor dan ingin minum-minum, melupakan kesengsaraan mereka di kantor sebelum sampai rumah.

Stefan sedang di luar, merokok di taman yang kebetulan ada di seberang apartemen ini. Apartemen kecil, dengan gedung yang lucu, agak mirip dengan apartemen Ilham di Yokohama sana. Dan dia akan meninggalkan tempat itu sebentar lagi.

“Beres juga petualangan Jepang lo ya Ham” Anin sedang menyetem Bass. Karena nanti malam kami akan berlatih, kami sudah dibookingkan studio untuk berlatih.
“Akhirnya, ga sabar juga gue pulang Jakarta”
“Bagusan disini lah, kok ga sabar ke Jakarta” potongku.
“Tetep aja kangen rumah, mau senyaman apapun disini”

“Sempet dateng kawinan gue kan?” tanyaku.
“Kita liat, masalahnya mepet banget jadwal gue balik sama kawinan elo”

“Yah, ntar gak ada bocoran soal mainan Jepang sama orang yang rela dititipin lagi” keluh Anin, dan dia sudah selesai dengan urusannya bersama bass kesayangannya.
“Kan ada Zee?” jawab Ilham.
“Ehehehehe” tawa Anin salting. Salting yang aneh, mengingat Zee jaraknya hanya beberapa meter dari Anin. Dia sedang membersihkan lensa-lensa kameranya. Dan dia menatap Anin dengan agak aneh, dengan ekspresi “ apaan sih” yang kental.

“Ntar ga ada yang jagain elo lagi Zee, mandiri ya” teriak Ilham ke Zee.
“Whatev” jawabnya cuek sambil meregangkan badannya. Dia lantas berdiri, dan mengambil mantelnya. “Smoking outside” dia lalu keluar, tampaknya untuk merokok di taman sebrang, tempat Stefan merokok juga.

Anin tampak memandangi Zee keluar pintu, dan bahkan dia terus menatap pintu sehabis pintu tertutup. Aku dan Ilham saling berpandangan, melihat kelakuan si Kingkong modern di sekitar Zee.

“Hehehe” tawanya mendadak.
“Kenapa lo? “ tanyaku.
“Sekamar ama Zee… Gue tidur sekamar ama Zeeeeee” mukanya mendadak juga berubah ekspresi, seperti orang habis menang undian hadiah motor bebek di Bank Pembangunan Daerah cabang ciendog.
“Lah, kita juga” sahut Sena di sebrang mana, dimana dia sedang berbaring di sofa sambil memainkan handphonenya.

“Ya ampun sekamar ama Zee….” Anin tampak tidak mendengarkan perkataan apapun dari siapapun.
“Percuma Sen, lagi kena racun cinta dia” tawaku sambil bangkit juga. Dan mataku menyelidik ke sekeliling ruangan. Aku lantas berjalan juga ke arah pintu, memakai sepatu dan keluar. Aku ingin cuci mata di luar. Karena tidak ada waktu untuk berjalan jalan hari ini, jadi kupikir hang out ditaman mungkin cukup menghibur.

Aku turun lewat tangga di gedung tanpa lift ini. Dan kudapati di sebrang, Stefan dan Zee sedang mengobrol sambil merokok bersama. Aku lantas mencari trotoar dan berjalan ke arah mereka, menerjang angin dingin siang itu.

“Tsukamoto nama daerah ini” Stefan membuka pembicaraan denganku, sambil menghisap rokoknya dalam dalam.
“Sudah lama tidak rokok indonesian cigs” sahut Zee tiba-tiba, dan aku melihat dia sedang menghisap rokok kretek yang Stefan bawa dari Indonesia.

“Enak yak” aku berbasa basi sejenak pada Zee.
“Enak”
“Arya enak gak?” goda Stefan, pasti merujuk ke kejadian waktu musim panas lalu.
“Shut up” senyum Zee santai, dengan muka pura-pura tidak pernah ada kejadian apa-apa.

"Emang lo suka rokok Indonesia?" tanya Stefan.
"Of course... Kalau bisa.. Everyday i'll smoke it"
"Di Indonesia bisa tuh, murah lagi harganya, disini gue liat di beberapa minimarket ada yang jual rokok indonesia... Mahal juga" tawaku.

“Kalo gitu kita boyong aja si Zee ke Jakarta, biar bisa ngerokok kretek sepuasnya, sekalian kawinin sama si Anin” ledek Stefan.

“In your dream” balas Zee sambil senyum sinis ke arah Stefan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

_223810.jpg

Fandango Osaka. Ini tempat pertama kami memulai. Suasana di luar sana sudah riuh, dengan orang-orang yang ingin menonton kami. Tampaknya mereka penasaran dengan band rock asal Indonesia, terutama yang menganut paham Seattle Sound dalam pendekatan musiknya. Dan ada juga beberapa belas orang Indonesia, yang tadi dilaporkan oleh Ilham lewat sosial media kepada kami.

Kairi tidak mendampingi kami malam ini, dia baru akan datang di show kedua yang di Osaka, lusa. Shigeo nampak cukup cekatan dalam mendampingi kami, dan dia juga bisa dengan baiknya menata acara berjalan dengan baik. Komunikasinya antara kami dan staf Fandango juga baik, sehingga kami hanya tinggal menunggu saja di backstage sekarang.

Club ini terlihat rustic dan artsy, terutama karena banyaknya grafitti yang memenuhi tempat ini dan façade bangunannya yang unik. Musik latar hingar-bingar terdengar di seantero club. Sebentar lagi kami akan naik ke panggung.

Aku mengintip sebentar ke luar, melihat ke kerumunan penonton, dan mendadak jantungku berhenti.

“Fan” aku memanggil Stefan yang sedang asyik menikmati bir yang disediakan oleh club.
“Oit”
“Sini lo” aku memanggilnya untuk mendekat.
“Paan”

“Sini” aku melambaikan tanganku dengan kencang.
“Apa sih” Stefan lalu berjalan mendekatiku, dengan gelas bir masih di tangannya.

“Tuh” aku menunjuk ke salah satu titik di tengah kerumunan manusia.
“What?”

Ya, ada Chiaki disana.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 PART 72

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka

Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

_223810.jpg

“Ngapain dia di mari?” bingung Stefan.
“Nyariin elo” jawabku.
“Yakin?”

“Buat apa lagi? Osaka Tokyo jauh tau….” Bisikku.
“Kebetulan kali, dia lagi ke Osaka, terus nonton kita” senyum Stefan dengan muka tak nyaman.
“Gue ulangin lagi Fan, Osaka ke Tokyo jauh… Ngapain dia kemari?”
“Cuman karena lo ga tau dia ngapain ke mari, jangan lo bilang dia nyariin gue dong”

Ya, air muka tak nyaman terlihat dengan jelas di muka Stefan, walau dia berusaha menyangkalnya lewat perkataannya tadi.

“Yah, tapi tadi dia keliatannya sendirian, gak sama temen atau apa” lanjutku.
“Ah tau, yang penting gue mau main musik” dia lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, sambil menunggu jam kami manggung dimulai.

Anin sedang sibuk dengan handphonenya, Bagas sedang duduk diam, sambil memandangi langit-langit dengan kakunya. Ilham dan Zee sudah berada di venue, bersiap untuk mengabadikan gerakan dan gambar kami. Sena sudah di mixer, siap beraksi, dan Shigeo, pendamping kami sedang bersama dirinya. Kami hanya berempat di backstage. Aku kembali sibuk dengan handphoneku, memberikan berita ke Kyoko.

“Kyoko, Chiaki ada disini lagi”
“E? Ikut Stefan?” tanyanya heran.
“Engga, kayaknya ngikutin”
“Seram” jawab Kyoko pendek, diikuti oleh emoticon yang sesuai.

Iya, seram, seumur-umur, belum pernah ada perempuan yang menguntit Stefan, tapi… Ya, ada tapinya. Tapi kalau Chiaki dibawa ke awang-awang oleh Stefan selama di Tokyo kemarin bagaimana? Dan Chiaki salah tangkap, atau malah tidak salah tangkap. Stefan yang habis ide atau mungkin sedang tidak berpikir jernih, menggunakan senjata rayuan yang bersifat romantis agar memiliki teman tidur.

“10 menit lagi” Stefan melihat ke jam, mencocokkan jadwal kami bermain dengan suasana di luar sana yang telah riuh. Tentunya banyak penonton Osaka yang penasaran, apa sih istimewanya sebuah band Indonesia sampai dipromosikan oleh Titan. Setahuku band-band orbitan Titan selalu dibawa ke Fandango untuk penonton Osaka, tentunya informasi itu kudengar dari Kairi sewaktu briefing.

Shigeo masuk ke backstage, lalu senyum ke arah kami.
“In a moment” sahutnya, memberi tahu kami bahwa sebentar lagi kami akan naik stage. Kru-kru Fandango bersiap-siap naik panggung untuk memberitahu penonton bahwa acara akan dimulai. Aku menarik nafas panjang. Lebih baik aku memikirkan kejahilan apa lagi yang akan aku masukkan di solo gitarku, aias mencomot dari lagu jazz mana yang cocok, daripada aku ikutan pusing memikirkan Chiaki. Resiko Stefan itu, haha.

Anin mematikan rokoknya dan meminum bir yang tersedia di depannya. Suara dari sistem pengeras suara Fandango, sudah bergema, memberitahukan kami sebentar lagi akan naik panggung. Tepuk tangan terdengar di telingaku. Tak begitu meriah, tapi cukup. Mungkin, mereka lebih banyak penasaran akan kami.

“Some hundred pipel… They exicted” lapor Shigeo kepada kami. Yes, itu cukup untuk pembuka. Mudah-mudahan live selanjutnya di Osaka juga, lusa, lebih banyak yang datang. Aku fokus saja ke manggung, karena memang Chiaki urusan Stefan, peduli amat lah, gak ada hubungannya sama aku ini.

“It’s time” lanjut Shigeo.
Aku mengangguk dan bangkit dari tempat duduk, dan teman-temanku mengikuti. Suara tepuk tangan membahana saat lampu mulai diredupkan dan kami naik ke atas panggung.

“Konbanwa” bisik Stefan di microphone, dengan senyum, setelah sebelumnya menunduk dengan seadanya.
“Konbanwa!!” teriak penonton yang berdiri, dan suasana masih dingin.

“Mas!! Saya dari Indonesia!!” teriak seseorang, entah dari sudut mana.
“Hear that? That’s some crazy guys from Indonesia, watching us here, while they can watch better music somewhere else” candanya di panggung, yang disambut oleh tertawa-tertawa kecil. Beberapa muka kulihat masih tidak begitu excited, mereka tampaknya ingin mendengarkan dulu musik kami secara live, baru bisa menilai. Mendadak Bagas membunyikan drumset nya, bunyi-bunyi ringan untuk memulai konser kami.

Pelan, tapi pasti.

“Osaka, we’re from Indonesia…” bisik Stefan di panggung, lalu suara gitarku menggelegar. Dan riff-riff bass mendadak berbunyi, memandu tempo dengan pelan, tapi sedang bersiap untuk agresi. “You will love us, ready or not” senyum Stefan dengan sombong di panggung, sambil menunjuk ke arah penonton.

“BURN!!!”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

15195810.jpg

Walaupun Stefan sering ngebullshit, supaya bisa tidur sama cewek, tapi setidaknya dia selalu membuktikan semua ucapannya di panggung. Suasana jadi panas, dan semua mahluk yang ada dalam Fandango sepertinya menyukai musik kami. Walau barrier bahasa seringkali menjadi penghalang, tapi mereka tidak peduli, mereka dengan aktif bergoyang dan ikut dalam lautan kecil yang arusnya semua diatur oleh Stefan. Stefan yang mengatur badai, dan Stefan juga yang mengatur agar arus menjadi tenang. Dia konduktor lautan manusia itu. Dia konduktor manusia.

Dan tak heran, pesona di panggung itulah yang membuat perempuan menjadi menyukainya. Dia di panggung, tampak seperti orator ulung, yang semua kata-katanya wajib didengar dan besok keluar di ujian. Dia dengan hebat bisa menempatkan diriku maju, dan meraung-raung menghipnotis penonton, untuk kemudian bisa mengambil alih lagi tongkat komando dariku.

Konsepnya memang sederhana, Bagas dan Anin yang menahan agar lagu tetap rapih pada tempatnya, aku yang mengacak-ngacak, dan Stefan yang menjadi pemimpin. Dia boleh kalem, dia boleh beringas, He’s the man. Keringatku dengan deras mengucur di musim dingin itu. Aku menyekanya dengan handuk yang selalu disiapkan oleh Shigeo, dimanapun. Suara nafas ngos-ngosan Stefan terdengar bergema di seluruh ruangan.

“You guys like it. I know” bisiknya sambil disambut oleh suara tepuk tangan dan siulan. Kapan lagi mereka bisa menonton band rock dari indonesia, yang musiknya sangat kental dengan pengaruh seattle sound, dengan drummer dan bassist yang begitu disiplin, gitaris yang lick-licknya liar dan jazzy, bahkan kadang mainnya out-of context tapi tetap di koridor lagu tersebut. Dan komandannya yang gila. Walaupun urusan di luar panggung, leadernya dalah Anin, tapi kalau di panggung? Stefan si Setan yang mengendalikan. Diktator, demokrasi terpimpin, entah apa lagi yang menggambarkan dirinya di panggung.

Dia menjelma jadi malaikat bertanduk dan berekor setan, yang membius semua yang menonton. Bukan Cuma range vokalnya yang luas dan suaranya yang bagus, tapi dia benar-benar terlihat seperti penguasa yang liar di atas sana. Nero, Caligula, Nobunaga, Atilla, Genghis Khan, Cao-Cao, Soeharto, ya, seperti itu lah bandingannya jika kita melihat Stefan di atas panggung.

Tak heran, setelah dia manggung, ada saja perempuan yang nempel, untuk sekedar berkenalan, atau penasaran akan tombak pusaka dari Cempaka Putih miliknya. Dia pernah dapat bule waktu manggung di Bali, atau cewek-cewek radio, panitia, LO, mulai dari range usia anak kuliahan sampai usia tiga puluhan. Semua karena kharismanya di panggung dan keliarannya yang membuat penasaran. Intinya dia terlihat tanpa kelemahan.

Dan sekarang, ada satu yang nyantol. Perempuan itu, ya Chiaki, yang dari tadi kulihat dia duduk sendirian di bar, memandang Stefan dari jauh dengan senyum, seakan-akan Stefan miliknya. Chiaki tidak diajak Stefan kemari, dia hadir karena kemauannya sendiri.

Stefan masih meracau di panggung, memperkenalkan kami satu persatu dalam bahasa Inggris. Untuk sejenak kami semua lupa kalau Anin lancar bicara bahasa Jepang dan aku lumayan bisa diandalkan dalam hal itu. Tapi kami malam ini kelelep. Kelelep sama Mas Epan, si anak tengah dari keluarga yang super berada, pekerjaan aslinya mentereng, dengan supir setianya Mang Ujang, dan disini, dia bukan itu semua. Dia adalah Stefan, diktator setengah mahluk buas, pemangsa wanita.

Stefan lalu memberi kami aba-aba lagi untuk memulai. Aku mengangguk. Aku langsung menghunjam, tanpa menunggu persetujuan Anin dan Bagas, untuk sedikit show off dengan lick-lick anehku, riff-riff miring yang aku bawa dari dunia Jazz ke panggung musik cadas.

Call and response. Mereka langsung menyambungkannya ke opening lagu terakhir kami. Fight Fire with Fire.

Fandango pun terbakar, dan tampaknya sulit untuk dipadamkan. Sulit. Kecuali Tuhan berbaik hati menghentikan kami. Dan itu sulit.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Aku duduk di sebuah meja, dengan minuman ringan di depanku, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sedang mengobrol denganku. Suasana Fandango masih riuh setelah kami bakar. Para korban jiwa bangkit kembali dari abu dan menjadi zombie, meminta tanda tangan kami di CD/Vinyl yang sudah atau baru mereka beli. Kami berbaur dengan mereka. Itulah musik indie. Kami bukan dewa yang disembah. Kami sama dengan penonton, manusia yang juga butuh berkomunikasi, bukan untuk dipuja.

“Keren abis sih, akhirnya saya nonton kalian live, biasanya supaya kangen terobatin, saya nonton di youtube” ucap seseorang dari Indonesia, yang mengaku sudah lama kerja di Osaka, di sebuah perusahaan jepang. Dia tampaknya tidak meminum alkohol, dan tidak merokok, sama sepertiku. Di sebelahnya ada seorang bule, yang logatnya sulit kumengerti, entah dari mana dia, dia tampak berbicara dengan bahasa Jepang, ke orang di sebelahnya, sambil tertawa-tawa.

Ya, suasana seperti inilah yang kusuka dari bermain live di indoor. Berbaur dengan penonton. Sekilas aku menyelidik ke seluruh penghujung Fandango. Aku bisa melihat Anin yang sedang mengobrol dengan orang-orang Jepang, Ilham dan Zee yang sibuk mengambil foto kesana kemari. Bagas? Jangan harap ia ada. Mungkin dia tidak suka berada di tengah manusia. Tapi ada pemandangan yang aneh hari ini. Stefan tidak terlihat. Biasanya dia mingle, senang mengobrol dengan siapapun, terutama perempuan.

Dan Chiaki pun sudah tidak ada. Oh, mungkin Stefan kesempatan kali ya, mojok, atau malah ke love hotel. Biarin lah, suka-suka dia. Gak urusan deh, aku memang belum pernah lihat situasi seperti tadi, terjadi ke Stefan, tapi biar lah. Bukan urusanku toh? Ini pilihan Stefan, dan sepertinya petualangan dirinya bersama Chiaki beberapa hari ini sudah mengalihkan perhatiannya dari kegalauan dirinya atas pernikahanku. Dia, yang tidak bisa settle dan komit sama satu perempuan manapun mungkin bisa puas-puasin tidurin Chiaki selama di Jepang, berasa punya groupies aja jadinya.

Ah, coba Kyoko bisa ngikutin Hantaman selama tur dua setengah minggu ini, mungkin aku bisa lebih senang lagi. Tapi, tidurnya komunal, satu apartemen dipakai rame-rame oleh beberapa orang. Total delapan orang. Shigeo, Ilham, Zee, Sena, Aku, Anin dan Stefan. Oh, aku lupa malah belum memberitahu soal Anin semalam.

Dia sukses tidak bisa tidur. Dia sukses gemetaran, karena tidur sekamar dengan Zee. Dia tampak sangat gugup, terlebih ketika dia mengetahui bahwa Zee sudah tidur. Dan sumpah, tidurnya gak ada anggun-anggun nya. Asal saja langsung jatuh ke futon, dengan baju lengkap seperti anak cowok. Baru begitu saja sudah bikin Anin susah tidur, sampai Stefan kesal dibuatnya, karena Anin bolak-balik minta ditemani merokok di taman, padahal Stefan sudah ngantuk berat.

Aku yang sibuk mengobrol dengan Kyoko di media sosial hanya tertawa saja, sambil memberitahu situasi Zee dan Anin, yang jadi bahan bergosip kami berdua.

Dan akhirnya, paginya Anin jadi tewas seketika. Untung hari ini tidak ada acara jalan-jalan. Baru siangnya, kami ke Fandango, untuk sound check sekaligus menunggu saat bermain tiba. Sambil mengobrol dengan orang-orang yang bergabung di mejaku, aku membuka handphone, berharap ada pesan dari Kyoko. Tapi ternyata ada bombardir pesan dari yang lain.

Stefan.

Kenapa lagi ni anak? Mau nunjukkin foto muka orgasme Chiaki? Mau nunjukin buah dada Chiaki yang katanya bulat-bulat lucu itu? Atau mau nunjukkin muka Chiaki yang berlumur sperma?

Tapi bukan.

“Ya, anjing babi kontol. Lo di luar kan? Gue ga bisa ama Bagas berdua di backstage, rokok gue abis, tolong beliin rokok dulu atau ambilin punya Anin. Jawab woi. Gue ga bisa miscall kartu gue ini ga bisa buat nelpon, Cuma kartu data aja. Oh iya anjing bisa dipake nelpon pake data, tapi ntar kuota abis. Bangsat. Babi jawab. Bawain rokok ama bir. Nevermind. Shigeo tadi masuk, gue minta rokok ama bir. Udah dikasih. Kapan kita pulang ke penginapan? Please jawab. Gue bisa mati duduk sama Bagas disini”

Wow. Literrally bombardir dari Stefan.

"Keluar aja, kirain mojok ama Chiaki" balasku.
"Emoh" jawabnya singkat namun jelas, padat dan tak bertele-tele.
"Kok ga mau"

"Ga mau"
"Ga mau yang mana, keluar ke mari atau sama Chiaki?" tanyaku.
"Dua-duanya"
"Wkwkwkwkwk" jawabku. Pasti ada konflik. Entah konflik apa. Tapi sudah bisa kubayangkan, mungkin Stefan berterus terang pada Chiaki, dan Chiaki lalu pergi dengan emosi. Itu juga biasa terjadi. Maklum, gak sedikit perempuan yang berharap dengan dia sudah memberi badannya, maka dia bisa mendapatkan cinta. Tentu kalian kenal dengan perempuan-perempuan seperti itu.

"Yaudah gue samperin" aku meminta izin kepada orang-orang yang ada di mejaku untuk berlalu ke backstage. Aku melangkah di tengah suasana remang, dengan dentuman musik elektronik yang membahana di telingaku. Suasananya mengingatkanku pada pub langganan kami di Mega Kuningan itu, yang tampaknya sudah almarhum itu. Minimal kami sudah tidak pernah kesana lagi.

Aku membuka ruangan backstage dengan malas, dan menenggak minuman ringan yang ada di tanganku.

"Kok ngumpet? Ga enak badan?" tanyaku ketika melihat Stefan duduk di sofa, dengan kaki terjulur dan naik ke atas meja. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Mukanya terlihat mengkilap, karena bekas berkeringat.
"I wish" jawabnya sambil menatap dinding.
"Ga enak badan beneran? Dinginnya di luar emang parah sih, dan tadi di dalam mendadak panas" aku duduk di sebelahnya dan menjulurkan kakiku juga ke atas meja.

"Males aja" jawab Stefan sambil tetap tenggelam di dalam sofa. Andaikan ada *****, atau aku masih menghisapnya, mungkin suasana agak sedikit meriah malam ini. Tapi aku sudah berjanji tidak menyentuhnya lagi ke Kyoko. Dan aku selalu menepati janjiku.

"Capek pasti, kita agak kurang tidur, gara-gara si Anin terlalu heboh, dan hebatnya si Zee ga bangun, mau si Anin kayak gimanapun ributnya semalem" tawaku.
"Iya, ah, gue kangen Kretek, gue masih setok beberapa bungkus lagi di koper" jawab Stefan.
"BTW Chiaki mana"

"Tau" jawabnya dengan pelan, sambil menerawang ke arah Bagas, yang tampaknya sedang sibuk membaca apapun di layar handphonenya. Memang manusia tanpa kesenangan Bagas itu, bicara tidak suka, senyum tidak suka, bahkan bernafas saja mungkin dia tidak suka. Tapi dia selalu nurut sama Anin. Dan selalu bisa main sehebat apapun yang kami butuhkan.

"Gue keluar lagi ya, bosen di mari" aku garuk-garuk kepala.
"Sok" jawab Stefan pelan sambil menyalakan sebatang lagi rokok. Aku merasa ada sesuatu yang ganjil soal Stefanus Giri Darmawan malam ini. Rasanya agak aneh. Biasanya dia selalu horny setiap saat, apalagi mungkin kalau Chiaki tidak ada di tempat malam ini, dan dia bisa mengusirnya, atau memang Chiaki hanya sekedar lewat ke tempat ini. Dan sebenarnya tadi ada beberapa perempuan yang menarik pandangan, aku agak bingung saja kalau memang tidak ada yang menghalanginya malam ini, mungkin Stefan langsung bisa mencari mangsa baru.

Sudahlah.

--------------------------------------------

b7d6a910.jpg

Dingin, kami baru saja kembali ke dalam penginapan. Besok kami libur, paling hanya ada jadwal latihan, di studio yang sama seperti kemarin, jam 8 malam. Sebelumnya kami ingin jalan-jalan terlebih dahulu ke beberapa tempat di Osaka. Tempat yang Osaka banget lah intinya, mumpung ada fotografer yang mengikuti kami, jadi pasti banyak foto-foto bagus yang bisa dipampang di media sosial Hantaman.

Aku habis dari WC, dan melihat keadaan kamar. Zee sedang membersihkan lensa-lensa kameranya dan Anin, seperti biasa, mencoba bicara dengan Zee dengan tololnya. Zee menjawabnya seadanya, dengan cuek, dengan kupluk menutupi kepala mungilnya dan permen karet di dalam mulutnya.

Bagas sudah tidur. Dia langsung tidur tanpa mandi. Ngeri. Shigeo sedang membuka laptop, tampaknya mengirim email laporan ke Kairi. Sena sedang main handphone, sambil sedikit bercanda dengan Ilham yang duduk di sebelahnya, entah mereka membicarakan apa. Aku menghela nafas dan mencari-cari dimana si Setan pecinta memek itu.

"Stefan mana?" tanyaku ke seantero ruangan.
"Keluar katanya, ngerokok" jawab Ilham sambil memandangiku.
"Oh... Kalo gitu gue mau keluar juga deh, beli kopi atau cemilan, rada laper" sahutku.

"Nitip" Anin mengangkat tangannya. "Rokok Mevius ama bir ya" senyumnya.
"Kayak yang kurang aja minum Bir tadi" balasku.
"Kurang"

"Yang lain?" mereka semua seperti menggeleng dengan kompaknya. Aku mengangkat bahu dan memakai jaketku, untuk pergi ke luar. Dan aku pun segera berjalan menyusuri jalanan yang dihalangi oleh pintu, tangga, dan gerbang setelah memakai sepatuku. Dan disaat itulah aku menemukan Stefan duduk di kegelapan, sendiri, di taman, merokok di tengah angin kencang Osaka. Dia tampak menerawang ke beberapa pohon kering yang ada disana.

Mungkin dia sedang merenung, mungkin soal masalah kepusingannya selama ini. Mungkin soal Ai. Mungkin soal Chiaki. Atau mungkin dia sedang sembelin karena disini jarang makan sayur. Tapi entahlah, nanti setelah aku dari minimarket, aku akan mendatanginya.

--------------------------------------------

"Nih" aku menyerahkan kaleng hangat yang berisi kopi ke Stefan.
"Thanks" dia masih duduk di taman, di dalam gelapnya malam, atau sekarang pagi buta lebih tepatnya, dan dirinya tampak sedang berpikir keras.

Aku duduk di sebelahnya dan membuka kaleng kopiku, untuk menikmati kehangatan sang emas hitam kalengan. Jepang. Jepang adalah negara yang sangat banyak mengkonsumsi kopi. Coffee Shop dimana-mana, vending machine berisi kopi kalengan ada setiap 100 meter. Dan banyak sekali pilihan kopinya. Mulai dari nama-nama yang familiar, sampai nama yang super ngayal sekalipun.

"Pusing kayaknya elo" aku berusaha mengorek lagi. Karena walaupun ekspresif, dia sebenarnya menutupi perasaan sebenarnya dari kebanyakan orang. Dan sejauh ini baru bisa aku dan Ai yang mengoreknya dalam-dalam, walau kadang berujung menyakitkan.
"Bukan pusing"
"Boong"
"Serius" jawabnya.

"Mana ada orang bengong di taman ngerokok sendiri terus bilang ga pusing, udah pasti lah banyak pikiran"
"Gue gak pusing" dia menekankan kalimatnya.
"Terus apa dong, sange?" bingungku sambil menatap ke arah Stefan.

"Parno" ucapnya dengan muka lemas.
"Parno? Lu hamilin anak orang???" aku kaget mendadak. Mungkins aja Chiaki hamil dan minta pertanggung jawaban. Tapi... Waktunya terlalu pendek untuk hamil.

"Mana ada ngewe semalem langsung besoknya positif hamil.... Lagian gue selalu pake kondom kok" Stefan menggelengkan kepalanya, namun mukanya masih terlihat tegang.
"Terus parno ama apaan, ama gue lagi, karena lo tendang jauh-jauh si Chiaki jadi lo mikirin gue lagi?"

"Bukan. Tadi gue sempet ketemu Chiaki abis manggung" Stefan menelan ludahnya sendiri.
"Terus?"
"Dia bilang dia udah pesen love hotel, dan siap malem ini"

"Bagus dong"
"Masalahnya gak gue minta" jawab Stefan dengan suara tegang.
"Maksudnya?"

"Iya, bener, dia ke Osaka nyariin gue dan minta gue nginep ama dia"
"Hah terus?" aku kaget.

"Lo musti liat mukanya Ya, dia mukanya kayak anak kecil ketemu maenan banget, dan dia katanya ke sini naik bis"
"Naik bis?" aku masih kaget.
"Iya, tadi gue cek di google map, kalo naek bis dari Tokyo ke Osaka itu makan waktu 8 jam... Bandingin ama kita yang naek Shinkansen cuma 3 jam" dia menelan ludahnya tanda khawatir.

"Wow.. dan itu demi elo?" tanyaku.
"Dan dia bilang dia mau ikut ke semua tempat kita manggung di Jepang" Stefan menatapku dengan tatapan takut.
"Dan sekarang dia dimana?"

"Gue bilang, sori, gue sama anak-anak mau minum abis ini, sampe pagi, gue boong...."
"Lah, kenapa lo gak bilang kalo lo udahan aja sama dia, cuma temen tidur doang, biar dia pergi?" aku masih tetap bingung dan kaget.

"Dia bilang, dia ga percaya, buktinya gue inget dia dan mau ketemu dia lagi, dia bilang, kalaupun gue ngomong gitu, pasti ujung-ujungnya kangen ama dia" Stefan tampak tidak berkutik.
"Wah sakit"
"Dan tadi gue sebelom ketemu dia sempet ngobrol ama cewek, padahal udah cair banget, terus dia dateng, pura-pura jadi cewek gue dan ngambek ke cewek itu... Cewek itu langsung malu, pergi, dan gue ga bisa ngomong apa-apa karena semuanya terjadi begitu cepat.... Anjir..." Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam untuk kemudian menginjaknya.

"Wow"
"Dan dia habis ngusir si cewek itu, natap gue sambil senyum terus"
"Ngeri"
"Senyumnya ga brenti-brenti, natap gue seakan gue sesuatu yang berharga banget buat dia gitu. Dan disitu gue mulai takut" ceritanya.

"Anjing"
"Iya, anjing banget Ya"

Bulu kuduk kami berdua sepertinya berdiri di malam yang dingin itu. Mengerikan.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
myehehehe....

mampos lo pan..
gal sabar gw liat lo ketakutan di uber Chiaki :D
 
ini kalo gw baca amyra ato penantian bakal kena spoiler kejadian2 di cerita ini gak ya?
 
gotcha..!
kena deh si mas epan.
hehe..

btw, chiaki bawa shuriken ato tanto nggak ya? biar makin parno si epan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd