Pendengar yang budiman, diharapken untuk tidak terpengaruh dengan isyu-isyu yang kian meresahken masyarakat, terutama isyu akhir dunia yang dikataken akan terjadi tanggal 12 bulan 12 tahun bbzzzzzzt piiiii
Dikhawatirken ini hanyalah usaha agitasi dari kelompok ekstrimis untuk mendongkel kekuasaan Padoeka Jang Mulia Presiden, Pemimpin Besar Revolusi
Bzzzt
nggiiiiiing
Gelombang radio itu segera berganti menjadi siaran tembang keroncong yang mengalun merdu. Si empunya radio kembali melanjutkan kegiatannya, menunggu pelanggan sambil menguap pelan, menatap mendung yang kian menggantung dari balik etalasenya yang mengusam.
= = = = = = = =
Fragmen 1
The Forgotten Sky
-Sora-
Mendung di langit semakin menghitam ketika seorang pemuda tiba di kompleks pertokoan tua. Berkali-kali pemuda itu memandangi alamat yang tertera di atas secarik kertas, kemudian melihat toko tua di depannya. Melihat kertas, sebelum kembali melihat ke atas. Seolah butuh waktu bagi dirinya untuk meyakinkan diri, bahwa ia sedang tidak salah alamat.
Bangunan itu sudah tua, mungkin peninggalan Belanda. Catnya sudah mengusam dan terkelupas. Papan nama bertuliskan:
Djaja Soeporno, Tjoetji Tjetak Photo terdengar berderit-derit diterpa angin dan ditimpali guruh yang menggelegak sesekali.
Tak salah lagi, ini dia, batin sang pemuda.
Permisi
Permisi
Pemuda itu membuka pintu usang, bel kecil di atasnya beredenting nyaring. Ruangan itu nampak rapi, namun lenggang. Hanya terdengar irama keroncong yang mengalun lamat-lamat dari ruang belakang.
Seorang pria Tionghoa gendut, dengan rambut botak dan kumis tipis sedang sibuk menguap. Melihat ada yang datang, segera ia memperbaiki letak kacamatanya yang bundar, tebal.
Oh, ah.. maaf-maaf
mau cetak foto? Mau buat pas foto?
Saya pegawai baru yang diterima kerja di sini, Pak.
Oh. Si Bapak Gendut manggut-manggut, sedikit kecewa. Ah, kalau begitu kamu pasti Sora
beda jauh sama yang saya bayangken.
Memang seperti apa, bayangan bapak?
Sora... ehem... ehem... Bapak Gendut itu tersenyum mesum.
Sora terdiam sejenak sebelum tergelak, Ah, sepertinya saya pernah mendengar dialog ini, tepatnya sering, sangat sering! Haha
maaf, bapak
Panggil saja Oom Jay. Oom Jay memperkenalkan diri, sebelum menjelaskan secara singkat tata letak kedai foto tua itu. Kamar Gelap, tempat persediaan roll film, kertas
doff dan
glossy, lusinan botol larutan, dan tak lupa studio foto untuk mengambil pas foto dengan latar karpet biru yang sudah usang.
Oom Jay berdehem. Bagaimana, sudah jelas?
Sudah, Pak
lalu, kapan saya bisa mulai kerja? Sora bertanya.
Kamu bisa prosesing film?
Bisa, Pak.
Nah, yang ini tolong di cuci-cetak. Oom Jay menyerahkan sebuah roll film kepada Sora. Jangan sampai gagal.
Beres. Tenang saja, Pak.
Jangan panggil Pak, kan sudah dibilang panggil saja Oom Jay, ia menekankan, sambil mengekeh santai, kembali menyibukkan diri dengan radio tuanya.
Siap, Oom.
= = = = = = = = = = =
Sora menyalakan
safelight warna merah redup. Hidungnya segera disambut aroma
fixer dan
developer yang mirip bau ketiak dicampur bangkai kecoak.
Butuh beberapa proses untuk melakukan cuci cetak film secara manual. Pertama, roll film harus dipindahkan ke dalam
cartridge, sebelum direndam beberapa saat di larutan
developer yang membekukan emulsi perak halida di atas pita seluloid.
Semua proses harus dikerjakan dengan teliti, termasuk merendam kembali dalam larutan
fixer, hingga bagian bagian yang tidak terkena cahaya terlarut, dan didapatkanlah hasil yang disebut negatif, atau klise.
Klise ini kemudian harus dicetak ke atas kertas khusus yang peka cahaya, dan ini adalah proses yang rumit hingga Sora harus ekstra hati-hati mengerjakannya.
Waktu berjalan lambat, saat lamat-lamat mulai nampak gambar patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung.
Sora tersenyum puas, membilas dan menggantung kertas basah itu untuk dikeringkan, sebelum tangannya bergerak lincah untuk mengerjakan foto berikutnya. Hingga akhirnya satu demi satu nampak leretan gambar tergantung di hadapan Sora:
Pemandangan sawah yang bertingkat indah, upacara pemakaman yang magis dan eksotis, serta beberapa sudut pandang yang diambil sembarang.
Sora tercenung saat pandangannya tersita oleh sosok yang tiba-tiba saja mengusik pikirannya: gadis cantik dengan wajah blasteran dan tubuh telanjang, tersenyum memukau dengan latar belakang air terjun yang berkilauan.
Entah kenapa, Sora tak bisa berhenti memandangi wajah itu, dan kini ia mencoba menerka siapakah gerangan Sang Bidadari?
Benaknya masih menebak-nebak, ketika lantai yang dipijaknya tiba-tiba berguncang kencang, hingga bak berisi larutan
developer beriak-riak, dan
safelight mati mendadak.
= = = = = = = = = = = = =
Brace yourself! The End of Days is Coming!
Seorang pria kumal dengan rambut gimbal berteriak di atas mimbar, menyambut tanah yang bergerak dan orang-orang yang panik mendadak.
Lihat! Inilah diaaaaa! ia menunjuk-nunjuk langit, inilah dia! hari yang dijanjikaaaaa
Mendadak teriakannya nampak garing, karena tanah tiba-tiba berhenti bergetar, dan kiamat yang dinantikannya tak jadi datang.
Jangan terlena! Itu hanyalah peringatan! Kita harus kembali kepada ajaran Yang Agung! kembali ia berkhotbah, namun dengan mudah segera tertelan riuh rendah suara orang-orang yang kasak-kusuk keluar rumah.
= = = = = = = = = = = = =
Gempa... Bagaimana, Bung? Hendak dilanjutkan? Seorang wanita bertanya kepada sekumpulan pemuda. Tangannya nampak sibuk mengancingkan kimono yang belum tertutup sempurna.
Mendengarnya, pemuda-pemuda itu saling bertatapan satu sama lain, sementara mendung yang menggantung kini perlahan menjelma gerimis, membuat orang-orang kembali ke dalam rumah masing-masing.
Tuh, sudah hujan lho. Pas, momennya, kan? Wanita itu mengingatkan.
I-iya, mbak Rina.
Raina. ia mengoreksi.
To Be Continued