Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Inferno!

permisi numpang lewat.,.
blum update ternyata,kalo gtu terus ke kampung sebelah aja ya,hehehehe
 
makasih atas dukungannya temen2 semua... tar malam coba ane garap lagi si Raina *eh* maksud ane ane garap lagi naskah cerita ini... :pandajahat:
 
Paradiso kan udah bnyak nyundul...ane bantu sundul inferno ya suhu jay..biar gak jauh kelelep
 
Eh, udh balok ijo satu...hahahaha...suwun momods sekalian...atau yg bertanggungjawab..
Om jay..lanjut om..ojo suwe2...nanggung iki...
 
Eh, udh balok ijo satu...hahahaha...suwun momods sekalian...atau yg bertanggungjawab..
Om jay..lanjut om..ojo suwe2...nanggung iki...
orang ganteng kembali dari gunung... sapa nih yang nyendolin gan pooh? bukan ane pelakunya... sumpah... bukan aku ayah dari anak ini... :pandapeace:
 
wah ini . .
horor dgn bumbu kejawen emg top anune . .

ane belon baca yg dulu suhu .
gelar tiker dlu wes . .
yoi gan nikmatin yg ini aja :pandaketawa:
yang lama muter2 ceritanya... yang ini lebih to the point... tapi gak tahu tar jdi predictable nggak :pandaketawa:
 
Updatenya jgn malem2 ya broh...syerem...tp jgn lama2 ya.. :D
apdetnya sekarang siang2... tapi ya gitu... apdet kali ini gak serem, tapi (mungkin cukup merindingkan bulu roma)
ane gak tahu loh, makanya tar dikomen yah agan2 yang baek :pandapeace:
 
pengen jawabin atu2 tapi takut spoiler :pandekataw: tanpa banyak kata, langsung joss aja yuuk gan
 
Menunggu detik detik peluncuran super update dari suhu Jay....Siap siap...1....2...PetromaX..
:pandajahat:
 
Say No to Spoiler!

Versi 2016 akan lebih mudah dicerna dari versi 2012 yang berputar-putar. Jadi kalau jeli, pembaca akan mengerti kemana tujuan cerita ini. Tanpa mengurangi rasa hormat, segala diskusi mengenai plot cerita saya buka selebar-lebarnya melalui jalur pm,selebihnya silahkan membaca sambil mendengarkan lagu Kamar Gelap | Efek Rumah Kaca

keep calm and say no to spoiler!
 
Fragmen 4
Seorang Pemuda yang Kembali dari Sunya Ruri


Sora disambut oleh suara mesin ketik begitu dirinya memasuki ruangan kedai foto tua itu. Hari belum benar-benar disebut pagi, namun seorang lelaki Tionghoa gendut sudah menenggelamkan diri di balik meja dan berlembar-lembar naskah yang ditumpuk di sebelahnya.

Hujan masih merambati jendela bersama dengan udara pagi dingin yang menyelimuti kota. Suara rintiknya terdengar susul menyusul dengan bunyi mesin ketik tua yang berdecak-decak dan diakhiri dengan denting keras di setiap akhir baris.

Langgam keroncong mengalun merdu dari radio tua yang sesekali diselingi oleh siaran propaganda. Paduka Yang Mulia, Pemimpin Besar Revolusi berulang kali menekankan pada masyarakat agar tidak terpengaruh ramalan akhir zaman. Mistisme dan takhayul adalah dua hal yang dianggap kontrarevolusioner dan sengaja diembuskan oleh orang-orang yang ingin mendongkel kekuasaan Sang Presiden Seumur Hidup.

“Sudah baikan?” Oom Jay bertanya pada Sora tanpa mengalihkan pandangan dari naskah yang sedang dikerjakannya.

“Sudah, Oom.“

“Kemarin malam, kamu benar-benar membuat saya khawatir.”

Berusaha mengalihkan fokus pembicaraan, pemuda itu buru-buru mengumpulkan lembaran naskah yang menghampar di atas meja. “Saya nggak pernah tahu kalau Oom Jay menulis novel.”

Oom Jay terbahak keras. “Malah pekerjaan utama saya sebenarnya penulis. Sepanjang waktu saya menulis, hanya saja orang-orang tak ada yang tahu. Kamu pernah dengar nama Jaya S.?"

Sora menggeleng.

“Atau tidak ada yang mau tahu tepatnya.” Oom Jay langsung memberengut. "Makanya, saya butuh asisten untuk mengurus Kedai Foto peninggalan ayah saya ini.”

Masih diselingi menulis, lehernya yang berlemak menunjuk ke arah tumpukan rol film di hadapannya. “Kamu bisa mulai dengan memproses rol-rol film itu.”

“Oom Jay menulis apa? Kalau boleh tahu?” Sora tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar ketika sudut matanya menangkap leretan huruf yang diketik rapi di atas ketas.

Lawan bicaranya hanya tersenyum, lekas-lekas membereskan serakan naskah seolah-olah tak membiarkan Sora membaca lebih jauh lagi.

“Kamu ndak usah ikut-ikut. Menulis itu bagian saya. Tugas kamu hanya mencuci cetak foto,“ tegas Oom Jay.


= = = = = = = = = = = =​


Suara decak mesin ketik masih terdengar ketika pintu kamar gelap tertutup. Indera penciuman Sora segera diserbu oleh aroma larutan fixer dan developer yang diakrabinya. Di bawah temaram safelight warna merah darah, sang pemuda bekacamata mulai melakukan tugasnya.

Mirip fungsi lensa dan retina pada mata. Fotografi pada hakikatnya adalah mengabadikan cahaya di atas pita seluloid yang dilapisi emulsi perak halida. Lensa cembung membuat imaji yang ditangkap rol film saling berkebalikan dengan aslinya. Warna, orientasi arah, dan sekarang barulah kalian mengerti, kenapa klise disebut film negatif, dan kertas foto disebut film positif. Ibarat dua buah dunia di mana yang satu menjadi proyeksi yang lain. Recto dan verso. Dan di sinilah Sora.

Dengan hati-hati, Sora memasukkan sebuah rol film ke dalam cartridge, kemudian dicelupkannya ke dalam larutan developer yang berfungsi mengeraskan lapisan perak halida yang terpapar cahaya. Mengupas, mengulas cerita tanpa kata-kata.


Yang kau jerat adalah riwayat
Tidak punah jadi sejarah,


Yang bicara adalah cahaya
dikonstruksi, dikomposisi
Padam semua lampu...
Semua lampu..


Waktu yang bergulir lambat mulai menampakkan imaji yang membayang di atas kertas. Sora tersenyum puas, membilas dan menggantung foto itu untuk dikeringkan sebelum kembali mengerjakan foto lain, satu-demi satu. Hingga dinding di hadapannya kini dipenuhi leretan berlembar-lembar foto hitam putih.

Hanya dari satu pelanggan, Sora coba menyimpulkan. Mengingat dari 12 rol film selalu saja ada sesosok gadis cantik yang muncul dalam setiap frame. Beberapa diambil diam-diam tanpa sepengetahuan si gadis, beberapa lagi sengaja menampilkan senyuman yang indah merekah.

Sang fotografer pasti memendam rasa suka pada subjek fotonya! jerit Sora dalam hati, menakjubi lembar demi lembar foto di hadapannya:

Panorama persawahan yang bertingkat-tingkat, sungai yang mengalir di antara lembah-lembah nan indah, juga warga desa yang mandi tanpa mengenakan busana. Gambar-gambar itu sekilas nampak acak, tapi semakin ia merunutkan, semakin ia menyadari bahwa ia tengah menyaksikan fragmen-fragmen sebuah kisah....


= = = = = = = = = = =​


“....Kisah tentang sebuah pencarian... Kisah tentang orang-orang yang memburu masa depan.... Kisah tentang orang-orang yang diburu masa lalu... Kisah tentang orang-orang yang tersesat di jalan kehidupan....”

Huruf demi huruf mulai mewujud di atas selembar kertas putih seiring gerakan tangan sang penulis naskah. Oom Jay menghirup secangkir kopi di sebelahnya, membiarkan kafein dan deru hujan mengambil alih setiap arus inspirasi dalam kepalanya.

“Bersama... mereka akan melakukan perjalanan... melewati lapis demi lapis Inferno... mendaki gunung Purgatorio... menuju...”


= = = = = = = = = = =​


“Paradiso,” desis Raina dalam diam ketika mengenali lanskap dalam mimpinya. Gadis manis itu mengerjap terjaga dan mendapati tangan Tatyana melingkar memeluknya. Rintik hujan masih terdengar dari balik jendela, dan terang kini masuk dari kisi-kisi kayu. Namun panorama persawahan bertingkat-tingkat itu masih terbayang jelas, bahkan ketika matanya membuka.

“Goodmorning, sleepyhead...” Tatyana menggeliat malas, mempererat pelukannya di tubuh Raina.

Wanita pribumi itu cepat tersenyum. Menyadari tubuh mereka kini hanya ditutupi selembar selimut tipis. Indera penciuman Raina segera membaui alkohol dan aroma kewanitaan yang semerbak begitu tabir tipis itu disibak. Malam yang liar, batin Raina ketika dipaksa mengingat betapa konsentrasi etil alkohol dalam darah dapat membuatmu menggila dalam sekejap. Hujan yang kian deras. Sebotol vodka. Dan kalian tak perlu tahu apa yang terjadi malam tadi.

Ciuman lembut mendarat di kening Raina yang masih memandangi rinai hujan yang merambati jendela.

“Kamu memikirkan apa, sayang?”

Raina tersenyum hampa. “Aneh. Kadang saya merasa tidur saya justru lebih nyata daripada saat saya terjaga.”

“Maksudmu?” Dahi Tatyana langsung berkerut.

Terdengar hening sejenak.

“Terkadang.... saya malah merasa hidup di sisi koin yang satunya.”

Kerutan di dahi Tatyana semakin bertambah mendengarnya. “Kamu positif sakit.”

Post Traumatic Disorder. Tatyana memberikan diagnosis atas pendengaran-pendengaran yang dialami Raina semalam. Halusinasi, kata Tatyana lagi. mencoba merasionalisasi. Apa yang didengar semalam tak lebih dari gema pengalaman masa lalu yang berusaha dikubur Raina rapat-rapat dalam alam bawah sadarnya.

“Ketakutan... harapan yang tidak terkabulkan... mimpi yang pernah hancur... rasa bersalah yang mendalam...“ Tatyana berkata pelan, mengusap pundak Raina. “Engkau mungkin bisa melupakan... namun rasa takut itu akan senantiasa hidup, jauh di dalam hati kita... semua itu mendekam di bawah sadar kita dan mempengaruhi tindakan nyata kita tanpa disadari...”

Deru hujan memenuhi dinding-dinding telinga, dan Raina hanya bisa memandangi langit yang semakin kelabu di luar kamarnya.

Ada sesuatu dalam dirinya yang menyangkal kesedihan. Bagaimana bisa pemuda yang benaknya penuh dengan mimpi-mimpi kini justru terbaring beku? Dua keping uang logam ditangkupkan ke atas sepasang mata yang dahulu selalu menatap teduh, namun terpaksa direlakannya kembali ke dalam dekapan Hyang Mahakala....

Mimpi itu kini terbaring beku di Bale Daja. Rempah dan sebalut kain membaluri tubuhnya, menebarkan aroma wewangian yang membaur dengan asap dupa dan pekat tangis yang memenuhi udara. 10 tahun sudah berlalu, namun telinganya masih bisa menangkap lantun kidung yang menembang lirih tatkala Juru Kidung menembangkan doa-doa untuk mengiringi seseorang yang akan menempuh sebuah perlawatan panjang....

Raina meringkuk di antara hamparan sesaji, memandangi langit kelabu yang semenjak hari itu tak pernah berhenti mencurahkan kandungannya. Dunia hujan abadi.

“Jangan menangis, aku mohon


= = = = = = = = = = = = = = = =​


“Semakin engkau menangis, semakin berat dia akan melanjutkan perjalanan.”

Sora mengerjap terjaga. Mimpi sambil berdiri lagi? batinnya berkata. Karena saat ini tahu-tahu saja dirinya sudah kembali berdiri menghadapi ratusan lembar foto yang digantung di dinding. Matanya membuka lebar, namun wajah gadis kecil yang meringkuk di antara sesaji itu masih jelas terbayang jelas di kepala. Siapa gerangan ia? benaknya dibuat bertanya. Namun semakin ia berusaha mengingat, semakin dibuat berdenyut ubun-ubunnya.

Sora terhuyung.

Tangannya menjangkau ke arah saklar. Cahaya merah safelight segera berganti dengan lampu pijar 5 watt yang menyala redup. Sambil mengeringkan foto dengan pengering rambut, perlahan mata Sora mengamati rangkaian gambar yang diurutkannya sesuai jalanan cerita. Jalanan yang ramai akan wisatawan, toko-toko yang menjual cindera mata. Senyum kecil kini mengembang di bibir Sora, benaknya mengenali pemandangan itu. Nusa Dewata?

Dalam keremangan kamar gelap, Sora memperhatikan leretan imaji yang ber-juktaposisi, seperti bercerita, seolah ingin menyampaikan kisah secara rahasia...

Sebuah kelab malam dipenuhi dengan pengunjung. Seorang biduan berdiri di atas panggung, tersenyum liar sambil menenteng gitar putih. Jarak yang terlampau jauh dan eksposur yang berada di bawah normal, membuatnya kesulitan mengenali wajah sang biduan.

Mata Sora memicing, mencoba mengenali perempuan berambut pendek di dalam foto, ketika sayup-sayup ia mendengar suara percakapan yang berasal dari ruang depan.


= = = = = = = = = = = = =​


Seorang lelaki dengan kacamata hitam muncul di ambang pintu. Rintik-rintik air masih menetes dari mantel tebal bermotif tentara yang segera dicampakkan asal-asalan ke lantai. Oom Jay mendengus kesal melihat siapa yang datang. Brewok tebal. Rambut ikal sedagu. Lengkap dengan sepatu boots dan celana jins antik yang selalu berhasil membuatnya sakit mata.

“Pindah ke tempat baru, Oom?” tamunya bertanya, hanya basa-basi. Sebatang rokok menyusul terselip di bibir yang dirimbuni kumis.

Terdengar suara pematik api yang mengamini siaran radio tentang kenaikan harga-harga. Di Ibukota rupanya sedang terjadi kekacauan politik akibat wacana pergantian dasar negara. Kerusuhan massal. Pembantaian orang-orang yang dianggap musuh negara. Pertempuran ideologis.

“Tempat yang lama sudah ndak bisa lagi ditinggali. You tahu, lah. Di luar sana situasi berubah cepat. Kita-kita yang ada di sini harus bisa beradaptasi demi keberlangsungan hidup kita,” jawab sang lelaki Tionghoa.

“Jadi Sang Penidur belum menyadarinya? Tempat yang baru. Wajah baru. Tapi sebenarnya hanya perulangan dari sejarah yang sama. Rekursi. Beginikah cara kalian bekerja? ” ia membuka suara, dan segera disambut delikan ganas Oom Jay yang sedang mengetik.

“You ndak usah banyak omong. Di sini semua sudah punya tugas masing-masing. Mana rol filmnya?”

12 rol film disodorkan ke atas meja, bersama dengan tetes-tetes air yang menitik dari lengan kemeja flanel lengan panjang berwarna kelabu.

Sepasang mata yang tersembunyi di balik kaca mata hitam bundar melirik ke arah tumpukan naskah di atas meja.

“Jangan terlalu kejam pada tokoh utama kita,” ujarnya cuek, lalu menenggak habis kopi milik lelaki Tionghoa itu.

“Kalau urusan you udah selesai, pegi sana! Pala owe pusing!” Oom Jay nampak geram karena tumpukan naskahnya kini berada di tangan pemuda brewok tengik yang malah sibuk membolak-balik lembar-lembar cerita yang baru saja selesai diketik.

“Menarik,” tawa kecil terdengar. “Kenapa ceritanya jadi seperti ini?”

“You diem! Ndak usah ngerecokin owe punya kerjaan.”

“Anda tidak pernah mengira seberapa hebat kekacauan berkuasa, rupanya. Semesta, sejatinya adalah kekacauan yang dikemas dalam keteraturan yang ilusif. Seberapapun usaha anda untuk mengatur jalan hidup tokoh utama, ‘takdir’ akan menemukan jalannya sendiri.”

Gerakan jarinya terhenti. Helaan nafas putus asa yang terdengar mengembus dari bibir Sang Penulis Naskah seolah mengiyakan perkataan lawan bicaranya.

“Anda sendiri tidak pernah menyangka bukan? Tokoh anda seolah memiliki nyawa dan keinginan sendiri, dan semakin keras anda berusaha mengarahkan, semakin anda kehilangan kuasa sebagai penulis naskah.” Senyum kemenangan membersit dari balik bibir yang dirimbuni brewok tebal ketika menandaskan naskah hingga akhir alinea. “Sang Pelukis Pemimpi akan menemukan jalannya.”

Pintu kamar gelap terbuka, dan Sora tidak bisa untuk tidak terperanjat melihat siapa yang berada di hadapannya kini. Kaca mata hitam itu ditanggalkan, dan sepasang mata yang selalu menatap teduh telah menunggu dari baliknya.


= = = = = = = = = = = = = =​


“Awan,” desis Raina getir. “Saya selalu merasa dia masih hidup di dunia yang satunya. Memperhatikan saya diam-diam dari balik mata yang selalu menatap teduh.”

Hati-hati, Raina membuka kotak kayu berukir di pangkuannya. Aroma minyak cendana segera menguar ke paru-paru. Sebuah benda kecil dalam tabung plastik kedap udara tergeletak di dasarnya yang dilapisi beludru.

Seolah memiliki ruh, jemari lentik Raina mengusap lembut benda itu.

Sebuah rol film.


To Be Continued​
 
Terakhir diubah:
Ngawalin...:baca:
Mesti ciusss ini...Konsen..Dobel PetromaX kah....Xixixi...
:pandaketawa:
 
:ngiler: akhirnya... setelah genre sex bebas berkeliaran, genre yang kusukai muncul di permukaan. Mangstab mastah
wah welkom oom meg :ampun:, dah ane apdet :jempol:
 
Bimabet
Setelah membaca komen suhu suhu diatasbaru ngeh Ane ama ceritanya.. :hammer: :malu:

Padahal udah ada petunjuknya ternyata diawal cerita..
#keterpisahan adalah ilusi....
#Raina yang mungkin hidup dimasa Transisi Orde.., dari gaya percakapan yang memakai kata kata Bung, negara ketiga, Ekspatariat..
#Sora yang mungkin disekitar 2000 an.., soal nya dari percakapan Om Jay ama Sora tentang Sora Aoi :malu:

Siip.. Ane udah bisa menikmati nih Master .... :ampun:
:ngeteh:
udah ane apdet gan,,, :ngeteh:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd