Raina hanya mampu menggenggam tabung kecil berisi rol film itu erat-erat, peninggalan terakhir dari seorang sahabat yang jasadnya kini sedang dilebur bersama kobaran api. Patung lembu perlahan menampakkan susunan kerangka yang membara. Lantun kidung mengalun memenuhi gendang telinga. Asap hitam yang membumbung ke langit mendung. 10 tahun sudah berlalu, namun bayang-bayang itu belum juga mau hilang dari dalam ingatan.
Raina menghela nafas panjang, kembali memandangi jendela dan mobil Cadillac hitam yang perlahan bergerak meninggalkan rumah tua itu. Tatyana berjanji akan mengantar ke dokter malam nanti, tanpa mencoba percaya dengan apa yang dikatakannya.
"
Saya selalu merasa dia masih hidup di dunia yang satunya. Memperhatikan saya diam-diam dari balik sepasang mata yang selalu menatap teduh."
"
Kamu positif sakit," tandas Tatyana. "
Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup sekaligus mati pada saat yang bersamaan?"
Fragmen 5
A Cat in The Box
"Awan!"
"Sora!"
"Awan!"
"Sora!"
"Awan!"
Sang Penulis Naskah kini hanya bisa menghela nafas berat menyaksikan dua orang sahabat itu menepuk pipi dan pundak seolah baru saja bertemu muka setelah terpisah sekian lama.
"Kemana saja kamu, heh?" Sora mengacak-acak rambut ikal Awan yang dibiarkan memanjang sedagu. "Kenapa tak pernah berkirim wikipedia? Aku pikir kamu tidak akan muncul lagi!"
Pemuda brewok itu melirik ke arah ke arah Oom Jay yang kini menatap was-was. "Penulis naskah. Tukang cuci cetak. Semua orang memiliki tugasnya masing-masing.
As for me...." Awan menepuk-nepuk ransel kedap air bertuliskan '
Leica' di pungungnya. "Harus ada yang bertugas untuk menangkap citra ke dalam lensa, kan?"
"Gila! Jadi semua foto-foto ini hasil karyamu, heh? Kenapa kamu tidak pernah memberi tahu!"
Awan mengangkat bahu ringan, sesekali melirik ke arah lelaki paruh baya yang mulai pucat pasi. "Ayolah, jangan terlalu banyak berpikir. Berpikir itu bagiannya Oom Jay. Lihat saja, rambutnya sudah mulai botak."
Oom Jay berdehem geram. "Kalau urusan
you udah selesai, buruan minggat! Pala
owe pusing!"
"
Grumpy as always," Awan menyulut batang rokok kedua, menyodorkan sisanya ke arah Sora yang menggeleng pelan. "Tugas kami sudah selesai untuk hari ini. Bung tak akan keberatan kalau saya mengajak Sora makan siang, bukan?"
Delikan bengis segera dihunus sebagai jawaban. Pun juga, yang diajak bicara agaknya tidak terlalu ambil pusing. Diseretnya Sora tanpa mempedulikan Oom Jay yang mencak-mencak tanpa mampu beranjak dari balik mesin ketik tuanya.
"Kita ke mana?" tanya Sora sembari mengenakan mantel tebal. Hujan yang bersisa gerimis tipis tak bisa diabaikan sebagai hal remeh yang tak akan membuatmu jatuh sakit.
"Banyak hal yang harus aku bicarakan." Awan menstarter motor besarnya. "Banyak hal."
= = = = = = = = = = = = = =
Motor buatan negara barat itu bergerak menembus tirai gerimis yang yang membungkus kota tua itu dalam dua warna. Langit masih belum bosan mewarnai dirinya dengan kelabu pekat yang menghalangi jatuh cahaya. Di dekat pusat kota, keduanya terpaksa menepi, raungan sirine dan iring-iringan panser yang menderu, memaksa mereka memberikan jalan. Di belakangnya mengikuti mobil Volvo hitam dan Jip Pasukan Cakrabirawa dengan personelnya yang menenteng senjata lengkap melaju kencang ke arah alun-alun kota.
"Tuan Presiden?" Awan mengernyit, memandangi bendera yang berkibar dari mobil Volvo hitam itu.
"Ya, saya dengar beliau baru tiba dari Ibu Kota pagi tadi. Mulai hari ini beliau berkantor di Gedung Agung. Situasi Darurat Nasional, kata mereka."
Awan mengekeh, setengah sinis, setengahnya takjub. "Tuan Presiden, ya... yah... bagi sebagian besar penduduk negeri ini, beliau memang masih dianggap Pemimpin Revolusi, Manusia Setengah Dewa..." Awan terdiam sesaat, membiarkan iring-iringan itu lewat. "Dan lebih banyak lagi yang percaya kalau dia adalah
Messiah yang disebut dalam ramalan untuk menyelamatkan Republik ini... Sang Ratu Adil."
"Ramalan Jayabaya? Kamu percaya?"
"Kembalinya Ratu Adil. Dunia yang terbolak balik. Datanganya Akhir Zaman." Awan mengekeh sampai terbatuk-batuk. "Kamu sendiri?"
"Saya percaya kiamat. Saya hanya tidak percaya makhluk mortal seperti manusia bisa dengan mudah meramalkan kapan terjadinya akhir dunia."
"Kenapa tidak?"
"Maksudmu?"
"Kamu tahu? Saat ini dunia sedang terpecah menjadi dua kubu, Barat dan Timur. Seperti negara kita yang sedang bingung menentukan ideologi yang akan dianutnya." Ucap Awan sambil mengusap air hujan di wajahnya. Iring-iringan konvoi yang cukup panjang memaksa keduanya berhenti cukup lama di persimpangan yang dijaga aparat.
"Saya baca koran," Sora menjawab lempeng.
"Oh ya? apakah di koran ditulis bahwa saat ini kedua Kubu sedang sibuk menumpuk persenjataan?"
"Akan ada perang?"
"Lebih buruk." Awan memacu motornya begitu arus lalu lintas kembali dibuka. "Perang Nuklir..."
= = = = = = = = = = = = = =
Sora tak pernah berhenti takjub pada keluasan wawasan sahabatnya ini. Sepanjang yang diingatnya, manusia bernama Awan itu tak pernah berhenti memukaunya. Optimismenya. Kenaifannya dalam memandang dunia. Sora menghela nafas, sampai kapanpun ia tak akan bisa menjadi sosok itu, walaupun ingin.
Motor Awan bergerak menyusuri sepanjang deretan pertokoan tua yang kebanyakan tutup. Sudah beberapa kali mereka memutar, melewati pasar dan tempat jajanan, namun kebanyakan kedai makan memilih tak membuka pintu. Sementara bahan makanan habis diborong orang-orang yang termakan isyu kiamat.
Satu Jam mereka menjelajahi sudut kota, hingga akhirnya Sora dan Awan terdampar di salah satu sudut pasar tradisional, ikut mengantri bersama warga yang menyesaki satu-satunya warung makan yang masih buka.
Asap membumbung memenuhi warung yang sesak, dan api kompor membara mengiringi penjual Cap cay yang kewalahan melayani pembeli.
"Kampret, panas," umpat Awan.
"Kayak di Neraka," balas Sora asal.
Awan terkekeh mendengarnya, "Sora, kamu kan orang
Selam[SUP](1)[/SUP], menurutmu mana yang lebih panas, api neraka atau ruangan ini?"
Sontak Sora terbahak. "Awan... Awan...
lengeh[SUP](2)[/SUP] sekali, kamu.... Ya, api Neraka, lah!"
"Terus menurutmu, aku ini nanti masuk neraka nggak? Aku kan nggak pernah
Salat."
Tawa Sora seketika menguap ke udara, saat itu juga.
Awan duduk, menyulut sebatang rokok. "Tapi dari perjalananku sebagai wartawaan foto selama ini, aku jadi banyak belajar..." dihisapnya perlahan tembakau itu hingga menimbulkan bara yang berasap, "Surganya orang Islam, adalah Neraka-nya orang
Yahudi. Sebaliknya, surganya orang Yahudi, adalah Nerakanya Orang Islam. Nah, terus menurutmu yang mana yang benar? Keturunannya Ismail yang beranak pinak menjadi suku bangsa Arab? Atau keturunannya Yakub yang menjadi nenek moyang 12 suku bangsa Israel?"
"Salah satunya pasti benar, itulah yang namanya Iman." Sora menjawab, mantap.
"Iman," Awan terkekeh sinis. "Tapi orang yang beragama lain pasti bilang hal yang sama, kan? Semua akan mengaku imannya yang paling benar." Awan berkata, tak kalah mantap. "Begini, biar lebih mudahnya...." Awan mengambil sebuah koin dari sakunya, "pilih gambar atau angka?"
"Gambar."
Koin dilempar, dan segera ditangkapnya pada punggung tangan. "Sekarang gambar apa angka?"
"Bagaimana aku bisa tahu? yang pasti salah satu di antaranya. Makanya harus dibuka!"
"Nah itu maksudku. Jadi, selama koin ini masih tertutup, kita tidak akan pernah tahu di sisi mana kita berada.
Paradiso atau
Inferno? Surga atau neraka? Sebenarnya kemungkinannya sama, 50:50. Selama kita belum ke sana, kita nggak akan pernah tahu. Iman dari sudut pandangmu adalah percaya dengan sepenuh hati bahwa koin pasti dan akan pasti menunjukkan gambar." Awan berkata kepada Sora. "Itu yang dinamakan zona potensi dan probabilitas."
"Jadi maksudmu surga dan neraka belum bisa dipastikan kebenarannya?"
"Atau malah tidak ada sama sekali. Siapa yang tahu?"
"Ateis!"
Awan terbahak keras. Dahinya kembali berkerut, memikirkan analogi yang tepat untuk menjelaskan kepada Sora.
"Begini.... anggap ada bencana besar seperti gempa bumi... dan... jasadku tidak bisa dikenali..."
Sontak Sora mendelik, "Eh, sudah! Tak usah kau bicara yang aneh-aneh!" potong Sora, mendelik sebal ke arah sahabatnya.
"Tunggu, biar aku menyelesaikan perkataanku dulu..." Awan mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara.
Sora sedikit terbatuk, menunggu penjelasan Awan.
"... Selama kamu belum melihat jasadku, masih ada kemungkinan aku masih hidup, kan?" Awan berkata, dan Sora hanya mengernyit bingung, "...dan selama itu, aku tidak mati, tidak juga hidup."
Awan menjelaskan, seorang ilmuwan pernah melakukan percobaan yang melibatkan kucing yang dikurung dalam kotak tertutup, dan gas beracun. Dan untuk membuatnya lebih menarik, disertakanlah sebuah mekanisme yang dapat membuat gas beracun dilepaskan ke dalam kotak dengan peluang 50:50. Permasalahannya, Sang Ilmuwan belum tahu apakah mesin melepaskan gas beracun ataukah tidak. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah melihat langsung ke dalam kotak. Jadi selama kotak belum dibuka, kucing dapat dikatakan tidak hidup dan tidak juga mati.
"Bagaimana bisa seseorang hidup dan mati pada saat yang bersamaan?" Sora mengernyitkan dahinya.
Awan mengetuk batang rokoknya, hingga abu berjatuhan di lantai yang kumuh. "Begini...." Pemuda brewok itu menggambar-gambar di atas meja yang dipenuhi lapisan lemak dan debu, "... selama kebenaran belum dipastikan... aku bisa saja hidup, tapi sekaligus mati dalam waktu yang bersamaan. Maksudku, kenyataan bahwa aku hidup, atau aku mati: dua-duanya sama-sama berjalan dalam realitas masing-masing. Saling ber-
superposisi."
"Saya masih nggak ngerti." Sora menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, menghela nafas putus asa.
"Paradox.
Parallel Universe." Awan menutup pembicaraan siang itu, dengan kepala Sora yang semakin pusing.