Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Inferno!

Bimabet
mampu nggak ada yang komen saking pusingnya:pandaketawa:

Apakah ini shena y suhu?
Sheena Raina...
Ah... Hanya ikuti arus sajalah. karna kita tau, di sana, di ujung sana, ada jawaban yang kan memuaskan dahaga.

#episode lagi pusing baca yang bikin pusing :pusing:
maapin ya agan bedua.... hehehe :pandapeace:
 
paradoks universe yang kebaca dari update ini

jadi inget salah satu serial lama the fringe season 2/3 kalo gak salah :pandabelo:
 
Ini...perlu dicermati lagi...udah beda generasi...cluenya disimpen trus ni...

Nek tebakan q om, jalurnya beda sama paradiso...selisihnya agak jauh...

Pitakonane podo..bukune kapan??
 
paradoks universe yang kebaca dari update ini

jadi inget salah satu serial lama the fringe season 2/3 kalo gak salah :pandabelo:
Ane lom nonton malah, coba gan nonton Sliding Door... :beer:
mudah2an bisa tetep keren (ato lebih keren dari versi 2012nya) ya gan...
 
Ini...perlu dicermati lagi...udah beda generasi...cluenya disimpen trus ni...

Nek tebakan q om, jalurnya beda sama paradiso...selisihnya agak jauh...

Pitakonane podo..bukune kapan??
cluenya udah tersebar sepanjang cerita dari awal sampe akhir :ngeteh:

@all: jangan ada spoiler yah, spoiler mahal tar dipake modif mobil ane aja...
 
Saya masih mencerna kemana arah cerita ini hu..
Mereka ada ditempat yg sama tapi ada di dua dunia yg berbeda. Entah Sora yg di dunia nyata atau Raina yg ada di dunia lainnya. Mungkin sebaliknya.. Tapi aku yakin kuncinya ada di Awan beserta Om Jay.

Ah entahlah, saya hanyalah nubi yg tak ingin ketinggalan update cerita suhu Jay.

Disaat Paradiso hampir mencapai titik akhir (mungkin). Inferno hadir membuat otak tumpul saya berusaha berfikir.
Aah.. Apa yg harus dipikir? Jika ternyata semua sdh suratan takdir, nek dipikir terus malah iso kenthir..
Hahaha..

Salam hormat suhu Jay. Lancrotkan..
 
Damn..dua sisi mata koin..dua sisi dunia..entah yang mana yang real..misterinya wow banget suhu...ini klo di bikin film,asli gak bakal kuat klo nonton sendiri...very nice idea suhu
 
Dibaca secara holistik, bukan parsial.
Bukankah begitu, Suhu?
:)

Systematic Chaos, Chaos in Motion, Six Degrees of Inner Turbulence, dan Scenes From a Memory ya Suhu?
Hahaha.
Keren Suhu, keren! :thumbup

Pastinya untuk menulis cerita ini perlu aitem Arkana, bukankah begitu Suhu?
Dan tentu saya yakin kalau Suhu punya aitem tersebut dalam perbendaharaan senjata Suhu.
:)

Oh, dan menurut saya cerita ini lebih mantap dinikmati jam segini sambil mendengarkan Led Zeppelin memutar lagu legendarisnya yang berjudul Stairway to Heaven, Suhu. :malu:

Silahkan dilanjut, Suhu. :shakehand
:)
 
Udah hari minggu tapi kepala ane masih bingung ngelanjutinnya.. huhuhu
 
Hadehhhh, ini cerita menarik, tapi ane belom 100 % Bisa paham, kok kaya pindah dimensi ruang dan waktu gitu ya,
:bingung:

Kalo om Jay bingung ngeteh dulu aja sama ane
:ngeteh:
 
Keep Calm and Say no to SpoilerKeep Calm and Say no to Spoiler

Ahoi. Inferno sudah beda banget sama versi 2012. Ada banyak hal yang dihilangkan. Banyak. Hadir dengan konsep baru, yang saya tidak tahu apakah lebih baik atau lebih buruk. Semua serba ambigu. Tapi tetap saya tidak bisa memuaskan semua pihak, bahkan diri saya sendiri. Paradiso dan Inferno adalah perjalanan dari ketidaksempurnaan menuju kesempurnaan, sekacau apapun itu. It's not about destination. It's about journey.

Ahklul kalam, selamat menikmati.
 
Seandainya dirinya tidak keluar bersama Awan pada malam itu. Seandainya ia tidak pernah sudi mengikuti ajakan Awan untuk pergi berkencan ke tempat itu. Mungkin saja pemuda itu akan masih ada di situ. Satu dasawarsa berlalu, namun benak Raina selalu diikuti pertanyaan-pertanyaan itu.

Malam mengendapkan hujan yang belum juga berhenti turun menjadi kubangan-kubangan tempat katak dan makhluk-makhluk tanah mengeliat dari balik daun-daun yang dilapukkan bakteria. Kabut tipis datang merayap bersama hawa pengap, menyelimuti rumah tua dan lorong-lorong gelap yang kini hanya diterangi oleh cahaya lilin yang meredup sesekali.

Terbaring di ubin, di antara serakan sketsa-sketsa hitam putih, Raina tersenyum getir, memegang erat-erat rol film di telapak tangannya. Air matanya mengering, habis bersama lelehan yang membasahi sketsa hitam putih bergambar pemuda brewok yang sedang menyuap sate gule dengan lahap.

Raina bisa merasakannya di situ, di antara bayang-bayang hitam yang bergerak-gerak seiring embusan angin yang menyusup dari sela jendela. 10 tahun tidak berjumpa, bukan berarti dirinya lupa. Dengan jelas dirinya bisa mendengar suara pemuda itu yang bercakap-cakap dalam ruangan yang sama. Hantu? Atau rasa bersalah yang bergaung dalam lorong-lorong masa lalu.


Fragmen 10
Recto & Verso

Terpaut pada sisi koin yang satunya, Awan hanya bisa mengusap foto hitam putih berisikan seorang gadis berambut pendek yang sedang menyuap sate gule dengan tak kalah lahap. Potongan rambut dan gambar magis yang dirajah di lengan kirinya, membuat sang gadis seolah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dibanding dengan yang pernah dikenangkannya. Namun senyum itu. Sepasang mata itu. Tidak salah lagi.

“Dunia bisa berakhir sedetik atau dua detik setelah ini, dan kau memilih menyesali masa lalu?” tegur Sora yang mulai gemas dengan tingkah sang pemuda brewok.

Awan menanggapi dengan senyum dipaksa.

Sora duduk di sebelah sahabatnya, melirik lembaran-lembaran foto seorang gadis berparas sensual yang diambil dari kejauhan. Pemuda berkacamata itu mengakrabi pemandangan di warung sate yang menjadi latar belakang, namun mengernyit asing menyadari potongan rambut dan rerajahan yang memenuhi tangan kiri sang ojek foto.

Hujan. Selama ini Sora hanya mengenalnya dengan nama alias. Hujan adalah nama pujaan hati Awan, teman barunya di sekolah negeri, 10 tahun yang lalu. Tiap malam dia selalu bercerita tentang Hujan, tentang matanya yang bulat lucu, tentang kegemarannya yang sama dengan Sora, melukis. Namun ketika Sora bertanya nama aslinya, Awan selalu mengelak. “Panggil saja ‘Hujan’. Aku Awan, dia Hujan, cocok kan?” Awan terkekeh-kekeh, “kami memang ditakdirkan bersama,” tambahnya dengan jumawa. 10 tahun yang lalu.

“Dan kini, setelah 10 tahun... akhirnya...”

Awan tertawa getir. “Kau tak akan pernah mengerti apa yang bisa diperbuat takdir.”

“Takdir, eh? Kupikir kau tak percaya bahwa terdapat signifikansi kosmos terhadap kejadian duniawi sederhana.”

“Kekacauan yang terstruktur,” Awan cepat mengkoreksi.

“Itulah.”

Terdengar tawa terkekeh dari pemuda brewok.

“Tapi daripada itu. Seharusnya kau mengatakan yang sebenarnya. Bukan hanya mengambil foto diam-diam dari kejauhan seperti ini.” Sora duduk di sebelah sahabatnya, lalu berkata pelan, “sepuluh tahun memendam rasa suka, sampai kapan kau mau terus menerus seperti ini?”

“Seandainya saja aku bisa.”

“Kenapa tidak? Toh, kau sudah bertemu dengannya setelah sekian lama.”

Helaan nafas putus asa terdengar.

“Tidak semudah itu.”

“Kenapa?”

“Kau tak akan mengerti.”

“Tentu aku tak bakal mengerti kalau tidak kau jelaskan.”

Tanah yang bergetar mencegah Awan untuk meneruskan perkataannya.

“Ayolah. Mana Awan yang dulu kukenal. Awan yang benaknya penuh dengan mimpi-mimpi. Awan yang bercita-cita menjadi juru foto hebat?” desak Sora.

“Menyedihkan sekali jika aku sampai dikuliahi bocah cengeng sepertimu,” Awan membalas dengan cibiran.

“Tidak selamanya aku cengeng, tahu. Suatu saat aku akan mengarungi dunia sepertimu dan mewujudkan mimpi-mimpiku sendiri.”

Awan mengekeh panjang, meninju pelan pundak sahabatnya.

“Kamu tahu, Sora? kadang aku merasa makin lama kau malah lebih optimis dari aku.”

Sora ikut mengekeh. Menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu.

“Kan kau yang selalu mengajari aku, bahwa hidup harus dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Tapi jangan hanya hidup dalam mimpi, kita harus berani mewujudkan mimpi-mimpi itu,” Sora menandas pasti.

Mata Awan segera berkaca-kaca. 10 tahun ternyata berjalan tanpa terasa. Sora, bocah lemah yang dahulu selalu dibelanya itu rupanya sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Dipandanginya mata yang dulu selalu menangis, tapi kini balas menatapnya dengan tatapan yang lebih luas dari langit biru. Dada Awan terasa sesak. Terlalu lama mereka menjadi bayang-bayang bagi satu sama lain, hingga tanpa sadar Awan selalu membayangi langkah Sora tanpa membiarkan anak itu menjalani takdirnya sendiri.

“Kamu itu sebenarnya kuat, Sora,” bisik Awan. “Jika dunia ini berakhir sedetik atau dua detik setelah ini, kau harus yakin betul, kamu bisa melewati sisa perjalanan kita. Dengan atau tanpa aku....”

Sora terdiam lama. Deru hujan memberikan jarak cukup lama, sampai akhirnya pemuda itu berakta, “saya merasa kau akan pergi jauh...”

“Bukan kah itu, kita?” Awan menjawab getir. Kita hanyalah sebutir debu kosmos yang terdorong melampaui masa. Melewati ribuan eon tahun cahaya semenjak penciptaan alam semesta. Saat ini kita terhenti sejenak, saling mengenal, dan menyapa. Sebentar saja, sebelum melanjutkan kembali perjalanan... “Hidup itu pendek, Sora.”

“Memang.”

“Justru karena itu semua jadi lebih indah, kan?”
 
Fragmen 11
Turbulensi

“Jas Merah...jangan sekali-kali melupaken sejarah.... Kita tidak boleh melupaken, namun kita juga harus bisa meninggalken segala kenangan pahit... Forgive, but never forget.... Kita harus berani melangkah, berubah menjadi manusia yang baru, meski jalan itu tak mudah, terjal dan berbatu... Bzzzzt... piiiip... Piiiip... bbzzt bbzt... bzzt piiiip...”

Terdengar pidato singkat Tuan Presiden perihal gempa besar, sebelum diakhiri dengan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang mengalun mendayu-dayu dari radio tua Oom Jay.

“Melambai-lambai... nyiur di pantai... Berbisik-bisik Raja klana... Memuja pulau nan indah permai... Tanah airku... bzzzzt piiiiip...”

Decak mesin ketik tua itu terhenti pada akhir alinea. Oom Jay menghirup gelas kopi terakhirnya hanya untuk mendapati endapan ampas pahit yang disamarkan dengan manis gula.

Hari sudah berganti pagi, tumpukan naskah kini sudah menggunung di sisi kiri dan kanannya. Lelaki Tionghoa gendut itu menghela nafas berat. Kisahnya kini sudah berada di penghujung, dan kini, ia dipaksa untuk berpikir, ‘bagaimana kisah ini akan diakhiri?’


= = = = = = = = = = = = = = =​


“Semua ini harus diakhiri,” tegas Tatyana gemas ketika mendapati keadaan Raina. Gadis pribumi itu mengeletak dengan rambut acak-acakan, dan mata sembab karena menangis semalaman. Nyaris saja ia mengira anak itu sudah tak bernyawa jika tidak mendengar erangan pelan dari bibir Raina.

“Aku serius. Bukan kau saja yang kehilangan kerabat dalam Tragedi Bulan Oktober,” imbuh Tatyana lagi, mulai habis akal dengan gadis yang tak berhenti meratap itu.

Raina hanya menyahut sayup dari balik selimut yang dibalas gerundelan tak jelas dari bibir sang gadis Rusia.

“Belum cukup kau terluka karena masa lalu?! Perang nuklir sudah berada di ambang pintu dan dunia bisa berakhir sewaktu-waktu, tapi kau memilih menangisi kekasih yang wafat 10 tahun yang lalu.”

Raina tersenyum getir. “Mungkin cuma itu satu-satunya cara agar kami bisa bertemu di dunia sana.”

“Naif,” sembur Tatyana sinis. “Kehidupan setelah kematian itu tidak lebih dari angan-angan kosong manusia yang mengharap pertemuan kembali dengan orang yang dicintainya.”

Senyumnya kini terasa gamang, Raina menatap ke arah langit yang belum juga selesai mencurahkan hujan.

Tatyana duduk di sisi pembaringan Raina, mengusap rambut gadis itu, lembut.

“Human dies. Awan. Kau dan aku kelak. Makanan memiliki tanggal kadaluarsa, tubuh kita bisa menua dan mati. Bahkan reaksi fusi pada matahari memiliki jangka waktu. Menyangkal kematian sama gilanya dengan mengharap ada kehidupan abadi setelahnya.”

“Kupikir atheis tidak percaya kiamat.”

“My point is, life is short

“Memang,” Raina menjawab lemah. Semakin erat digenggamnya rol film peninggalan Awan, di mana di dalamnya tersimpan kenangan masa kanak-kanak mereka yang direnggut Hyang Mahakala.

“Menurut saya kuncinya ada di rol film itu. Cuma orang gila yang tidak mengafdruk rol film sampai 10 tahun lamanya.”

“Aku.... tidak tahu... aku selalu merasa... Awan selalu hidup di dalam sini... di mana kami bisa selalu hidup bersama dalam wujud kanak-kanak kami...”

Tatyana tersenyum simpul. “See? This is Your final denial

Raina tak menjawab, memeluk erat-erat benda kecil itu. Penyangkalan terakhirnya atas kematian sang pemuda bermata teduh.

“Taik semua. Omong kosong kembali ke Nusa Dewata demi menantang masa lalu, menantang rasa sakit, kalau benda itu belum juga bisa kau ikhlaskan.”

Raina seketika terperenyak mendengar Tatyana memaparkan isi pikirannya. “Bagaimana kau tahu isi pikiranku?”

Tatyana menelengkan kepala. “Not Devil nor God can help you now. Kau harus menemukan sendiri jalan untuk keluar dari tempat ini. Bukan dengan angan-angan kosong tentang surga, bukan dengan melarikan diri ke dasar neraka. Tapi dengan berdiri tegak melawan masa lalu, masa kini, dan segala apa yang datang dari baliknya.”

Sudah kodrat rol film untuk melanjutkan perjalanannya. Diproses menjadi klise dan foto, meneruskan riwayat yang diabadikan cahaya di dalamnya. Seperti ruh manusia yang hanya mampir sekejap di dunia, sebelum melanjutkan perlawatan panjangnya. Cepat atau lambat. Suka tidak suka, dirinya tak akan bisa mengingkari selamanya

Di antara deru hujan, tangis Raina meledak tanpa bisa ditahan lagi. Terisak di dalam pelukan Tatyana, Raina menghabiskan segala senguk, tangis, dan sedu sedan yang dipendamnya selama ini. Hingga makin lama suaranya berubah parau, dan yang bersisa hanyalah isakan lega yang timbul-tenggelam di antara nafasnya yang tersenggal...

Keduanya memang belum menyadari. Perlahan awan mendung mulai menyibakkan diri, dan menampakkan cahaya yang membias menjadi 7 spektrum warna yang mewarnai langit.

Tatyana tersenyum lega. Tugasnya usai sudah.
 
Terakhir diubah:
Fragmen 12
Titik Bifurkasi

Batok kepala yang hanya ditumbuhi rambut tipis itu masih sibuk menerka-nerka akhir cerita kampretnya ketika rolling door kedai foto itu dibuka dari luar. Dalam balutan mantel tebal, Sora membuka gerbang besi seperti yang diperintahkan atasannya pada malam sebelumnya. Pintu kaca kumal menyusul terbuka, menimbulkan suara denting kecil dari lonceng yang terpasang di atasnya.

Sepasang alis Sora segera bertemu begitu melihat naskah Oom Jay sudah bertumpuk-tumpuk dalam waktu semalam.

“Udah banyak aja nih Oom, ketikannya?” tanya Sora basa-basi, melipat mantelnya yang basah kuyup.

“Ya, cuma sekarang masalah endingnya.”

Sora mengambil tempat di bangku kayu di hadapan Oom Jay.

“Saya terkena writer’s block. Menurutmu bagaimana cara mengakhiri konflik batin tokoh utama?”

Setumpuk naskah disodorkan ke arah pemuda berkaca mata.

Sora terdiam lama, memperhatikan lembar terakhir yang baru saja diketik sang penulis naskah. “Jadi tokoh utama harus memilih satu di antara dua orang gadis...” gumam Sora.

“Bisa dibilang seperti itu. Yang satu tomboy dengan masa lalu kelam, dan yang satu blasteran bule dengan masalah keluarga yang rumit, menurutmu Sang Tokoh Utama harus memilih yang mana?”

Sora menggaruk-garuk kepalanya. “Kan Oom Jay Penulisnya, kenapa Oom tanya saya?”

Oom Jay tidak menjawab, menatap tajam ke arah Sora. “Sebenarnya saya sudah merencanaken dari awal. Tapi saya cuma perlu tahu pendapatmu.”

Sora mendelik tidak terima. “Kalau Oom sudah rencanakan sedari awal, maka perjuangan salah satu gadis itu akan sia-sia, bukan? Karena plot, nasib, dan akhir kisahnya sudah ditentukan bahkan sebelum cerita ditulis!” protesnya ke arah Pria Tua Gendut itu.

“Kenapa? Kalau saya mau, saya bisa matiken salah satunya,” ucap Oom Jay bersamaan dengan kilatan petir di langit.

Sora balas menatap Oom Jay. “Jadi, penulis memang seperti itu ya? Merasa dirinya Tuhan?”

Hening, dan suara mesin ketik kembali berdecak bersama deru hujan dan gemuruh guruh yang menggelegak.

“Sora,” Oom Jay berkata pelan. “Bukankah begitu cara Tuhan bekerja? Ndak ada yang namanya kebebasan memilih, dan kita ndak lebih dari domba-domba yang menunggu untuk disembelih. Our Ending Had Been decided even before the story started. Penulis Naskah punya hak prerogatif penuh untuk mematikan karakter yang diingininya. Dan apa yang bisa dilakukan lakon-lakon di dalam cerita selain menerima?”

Kalimat itu terpaksa terhenti ketika lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan.


= = = = = = = = = = = = = = =​


Raina mengibaskan mantel pendeknya yang basah, melangkah gemetar memasuki kedai foto tua itu. Tidak mudah pasti. Setelah 10 tahun, mungkin ini saatnya berucap selamat tinggal pada rol film itu. Raina memang tidak bisa melihatnya, tapi ia merasakannya di dalam ruangan itu, sang pemuda bermata teduh berdiri di hadapannya, menemaninya untuk menyambut akhir perjalanan mereka.

“Makasih, sudah menemani aku selama ini,” bisik Raina tulus, sebelum menyodorkan rol film. Ucapan selamat tinggal.

Seorang pemuda berambut ikal dan berkacamata menghadapinya. Tersenyum ramah dalam balutan kemeja rapi yang dimasukkan ke dalam kacamata bahan.

“Bisa terima cuci cetak?”

Tak langsung menjawab, penjaga toko mengamati tanggal produksi yang tertera di bawah kode biner yang mengelupas.

“Belum terlambat kan?” tanya Raina was-was, takut-takut rol filmnya kadaluarsa.

“Kenapa baru sekarang?”

Raina mengangkat bahu ringan. “Mungkin karena sudah nemu tukang cuci cetak yang tepat,” jawabnya tanpa beban. Sekarang atau nanti apa bedanya? Raina terkenang perkataan Tatyana. Tidak ada yang kebetulan dalam konstelasi alam semesta, yang ada hanyalah sudah digariskan.

Sang pemuda mencatat nama pemesan di atas nota. “Maaf dengan, nona...”

Raina menyebut nama lengkapnya. Lawan bicaranya seketika tersenyum.

“Kenapa?”

“Hujan. Nama belakang nona artinya ‘hujan’, bukan?”

Senyum Raina seketika melebar, ada sesuatu pada diri sang pemuda yang mengingatkannya pada Awan. Lekat-lekat diperhatikannya wajah Sora sebelum pandangannya tertumbuk pada tanda pengenal di dada kiri:

“Langit,” bisik Raina tanpa sadar.

“Ha?”

“Sora berarti langit dalam bahasa Jepang, kan?”

“Kita belum pernah bertemu, kan?” Sora seketika mengernyitkan dahi, ketika mengakrabi sesuatu yang familiar dari senyum sang gadis. Seolah mereka pernah bertemu dalam jangka waktu lama, tapi sama-sama terlupa.

Raina mengangkat bahu ringan. “Mungkin di sisi koin yang satunya. Siapa yang tahu?”

Sora menanggapi dengan senyum simpul. Semesta dipenuhi dengan percabangan-percabangan yang tak terbatas. Setiap percabangan membentuk realitas demi realitas yang saling bersuperposisi. Hanya saja karena berbeda fase, kita sama sekali tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan dunia satunya.

Namun ketika sepasang dunia saling memanggil dan beresonansi, maka yang terjadi hanyalah:

Konvergensi.

Oom Jay, Sang Penulis Naskah mengamati dalam diam. Namun ia tahu pasti. Kisah ini sudah tiba di penghujungnya.


To Be Continued
 
Terakhir diubah:
Damn..dua sisi mata koin..dua sisi dunia..entah yang mana yang real..misterinya wow banget suhu...ini klo di bikin film,asli gak bakal kuat klo nonton sendiri...very nice idea suhu
nihil sub sole novum... tidak ada yang baru di bawah matahari yang sama... konsep ini sebenernya pernah dipake sama anime (rahasia, tar spoiler kalau disebut judulnya wkwkw) tapi makasih buat komentarnya... hehehehe


Saya masih mencerna kemana arah cerita ini hu..
Mereka ada ditempat yg sama tapi ada di dua dunia yg berbeda. Entah Sora yg di dunia nyata atau Raina yg ada di dunia lainnya. Mungkin sebaliknya.. Tapi aku yakin kuncinya ada di Awan beserta Om Jay.


Ah entahlah, saya hanyalah nubi yg tak ingin ketinggalan update cerita suhu Jay.


Disaat Paradiso hampir mencapai titik akhir (mungkin). Inferno hadir membuat otak tumpul saya berusaha berfikir.
Aah.. Apa yg harus dipikir? Jika ternyata semua sdh suratan takdir, nek dipikir terus malah iso kenthir..
Hahaha..


Salam hormat suhu Jay. Lancrotkan..


diikutin terus.... bener... semakin dipikir semakin kenthir... meski petunjuk sudah tersebar disepanjang cerita inferno (dan paradiso, kalau memperhatikann benar)


makasih udah ngikutin inferno sampai di sini... berat passti baca cerita seperti ini.... oleh karena itu ane ucapkan makasih buat agan dua telor :suhu:






Dibaca secara holistik, bukan parsial.
Bukankah begitu, Suhu?




Systematic Chaos, Chaos in Motion, Six Degrees of Inner Turbulence, dan Scenes From a Memory ya Suhu?
Hahaha.
Keren Suhu, keren!


Pastinya untuk menulis cerita ini perlu aitem Arkana, bukankah begitu Suhu?
Dan tentu saya yakin kalau Suhu punya aitem tersebut dalam perbendaharaan senjata Suhu.




Oh, dan menurut saya cerita ini lebih mantap dinikmati jam segini sambil mendengarkan Led Zeppelin memutar lagu legendarisnya yang berjudul Stairway to Heaven, Suhu.


Silahkan dilanjut, Suhu.
yak anda bener... tidak bisa hanya dibaca dari sisi yang ini.... ditunggu sahaja lanjutannya lek ul... satu persatu kita kupas ceritanya.....makasih banyak atas analisanya :ampun:


saya terharu :suhu:


Hadehhhh, ini cerita menarik, tapi ane belom 100 % Bisa paham, kok kaya pindah dimensi ruang dan waktu gitu ya,




Kalo om Jay bingung ngeteh dulu aja sama ane




ini udah dapet lanjutannya.... :pandapeace:


mengenai ini cerita apa... kita saksikan bersama...


Baru bs nyaman di fragmen 5 bang
Sedikit bs ngeh di sini. He he he


hehehehe.... kalau ud tahu diem diem aja yah.. :pandapeace:


“Tanah Jawa kalungan wesi…(2)”
















Bang itu maknanya apa ya?


tanah jawa berkalung besi


jadi ada ramalan bahwa satu saat pulau jawa dipenuhi dengan rel kereta api...
 
Bimabet
Di sini Tuhanx kan bang Jay yah, sangat sulit di tebak endingx.
Ga sabar nunggu kelanjutanx.
Ganbatte bang Jay!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd