Seandainya dirinya tidak keluar bersama Awan pada malam itu. Seandainya ia tidak pernah sudi mengikuti ajakan Awan untuk pergi berkencan ke tempat itu. Mungkin saja pemuda itu akan masih ada di situ. Satu dasawarsa berlalu, namun benak Raina selalu diikuti pertanyaan-pertanyaan itu.
Malam mengendapkan hujan yang belum juga berhenti turun menjadi kubangan-kubangan tempat katak dan makhluk-makhluk tanah mengeliat dari balik daun-daun yang dilapukkan bakteria. Kabut tipis datang merayap bersama hawa pengap, menyelimuti rumah tua dan lorong-lorong gelap yang kini hanya diterangi oleh cahaya lilin yang meredup sesekali.
Terbaring di ubin, di antara serakan sketsa-sketsa hitam putih, Raina tersenyum getir, memegang erat-erat rol film di telapak tangannya. Air matanya mengering, habis bersama lelehan yang membasahi sketsa hitam putih bergambar pemuda brewok yang sedang menyuap sate gule dengan lahap.
Raina bisa merasakannya di situ, di antara bayang-bayang hitam yang bergerak-gerak seiring embusan angin yang menyusup dari sela jendela. 10 tahun tidak berjumpa, bukan berarti dirinya lupa. Dengan jelas dirinya bisa mendengar suara pemuda itu yang bercakap-cakap dalam ruangan yang sama. Hantu? Atau rasa bersalah yang bergaung dalam lorong-lorong masa lalu.
Fragmen 10
Recto & Verso
Terpaut pada sisi koin yang satunya, Awan hanya bisa mengusap foto hitam putih berisikan seorang gadis berambut pendek yang sedang menyuap sate gule dengan tak kalah lahap. Potongan rambut dan gambar magis yang dirajah di lengan kirinya, membuat sang gadis seolah menjadi sosok yang sama sekali berbeda dibanding dengan yang pernah dikenangkannya. Namun senyum itu. Sepasang mata itu. Tidak salah lagi.
Dunia bisa berakhir sedetik atau dua detik setelah ini, dan kau memilih menyesali masa lalu? tegur Sora yang mulai gemas dengan tingkah sang pemuda brewok.
Awan menanggapi dengan senyum dipaksa.
Sora duduk di sebelah sahabatnya, melirik lembaran-lembaran foto seorang gadis berparas sensual yang diambil dari kejauhan. Pemuda berkacamata itu mengakrabi pemandangan di warung sate yang menjadi latar belakang, namun mengernyit asing menyadari potongan rambut dan rerajahan yang memenuhi tangan kiri sang ojek foto.
Hujan. Selama ini Sora hanya mengenalnya dengan nama alias. Hujan adalah nama pujaan hati Awan, teman barunya di sekolah negeri, 10 tahun yang lalu. Tiap malam dia selalu bercerita tentang Hujan, tentang matanya yang bulat lucu, tentang kegemarannya yang sama dengan Sora, melukis. Namun ketika Sora bertanya nama aslinya, Awan selalu mengelak.
Panggil saja Hujan. Aku Awan, dia Hujan, cocok kan? Awan terkekeh-kekeh,
kami memang ditakdirkan bersama, tambahnya dengan jumawa. 10 tahun yang lalu.
Dan kini, setelah 10 tahun... akhirnya...
Awan tertawa getir. Kau tak akan pernah mengerti apa yang bisa diperbuat takdir.
Takdir, eh? Kupikir kau tak percaya bahwa terdapat signifikansi kosmos terhadap kejadian duniawi sederhana.
Kekacauan yang terstruktur, Awan cepat mengkoreksi.
Itulah.
Terdengar tawa terkekeh dari pemuda brewok.
Tapi daripada itu. Seharusnya kau mengatakan yang sebenarnya. Bukan hanya mengambil foto diam-diam dari kejauhan seperti ini. Sora duduk di sebelah sahabatnya, lalu berkata pelan, sepuluh tahun memendam rasa suka, sampai kapan kau mau terus menerus seperti ini?
Seandainya saja aku bisa.
Kenapa tidak? Toh, kau sudah bertemu dengannya setelah sekian lama.
Helaan nafas putus asa terdengar.
Tidak semudah itu.
Kenapa?
Kau tak akan mengerti.
Tentu aku tak bakal mengerti kalau tidak kau jelaskan.
Tanah yang bergetar mencegah Awan untuk meneruskan perkataannya.
Ayolah. Mana Awan yang dulu kukenal. Awan yang benaknya penuh dengan mimpi-mimpi. Awan yang bercita-cita menjadi juru foto hebat? desak Sora.
Menyedihkan sekali jika aku sampai dikuliahi bocah cengeng sepertimu, Awan membalas dengan cibiran.
Tidak selamanya aku cengeng, tahu. Suatu saat aku akan mengarungi dunia sepertimu dan mewujudkan mimpi-mimpiku sendiri.
Awan mengekeh panjang, meninju pelan pundak sahabatnya.
Kamu tahu, Sora? kadang aku merasa makin lama kau malah lebih optimis dari aku.
Sora ikut mengekeh. Menggaruk-garuk kepalanya sambil tersipu.
Kan kau yang selalu mengajari aku, bahwa hidup harus dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Tapi jangan hanya hidup dalam mimpi, kita harus berani mewujudkan mimpi-mimpi itu, Sora menandas pasti.
Mata Awan segera berkaca-kaca. 10 tahun ternyata berjalan tanpa terasa. Sora, bocah lemah yang dahulu selalu dibelanya itu rupanya sudah menjelma menjadi pemuda dewasa. Dipandanginya mata yang dulu selalu menangis, tapi kini balas menatapnya dengan tatapan yang lebih luas dari langit biru. Dada Awan terasa sesak. Terlalu lama mereka menjadi bayang-bayang bagi satu sama lain, hingga tanpa sadar Awan selalu membayangi langkah Sora tanpa membiarkan anak itu menjalani takdirnya sendiri.
Kamu itu sebenarnya kuat, Sora, bisik Awan. Jika dunia ini berakhir sedetik atau dua detik setelah ini, kau harus yakin betul, kamu bisa melewati sisa perjalanan kita. Dengan atau tanpa aku....
Sora terdiam lama. Deru hujan memberikan jarak cukup lama, sampai akhirnya pemuda itu berakta, saya merasa kau akan pergi jauh...
Bukan kah itu, kita? Awan menjawab getir. Kita hanyalah sebutir debu kosmos yang terdorong melampaui masa. Melewati ribuan
eon tahun cahaya semenjak penciptaan alam semesta. Saat ini kita terhenti sejenak, saling mengenal, dan menyapa. Sebentar saja, sebelum melanjutkan kembali perjalanan... Hidup itu pendek, Sora.
Memang.
Justru karena itu semua jadi lebih indah, kan?