Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran
Tanah Jawa kalungan wesi
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang
Kali ilang kedhunge
Lindu ping pitu sedino...
lemah bengkah.....
Pagebluk rupo-rupo
iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak!
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman![SUP](1)[/SUP]
(1) Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Pulau Jawa berkalung besiPerahu berlayar di langit ;
Sungai kehilangan mata air.
Gempa tujuh kali sehari...
tanah pecah merekah...
bencana macam-macam...
Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat ;
Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
Fragmen 3
Temaram
Suara serak itu masih bergema di telinga Sora, dan dibenaknya wajah keriput kakek-kakek dalam balutan busana Jawa masih jelas terbayang.
Sudah, ndak usah dipikirken dulu. Oom Jay menyodorkan secangkir kopi hitam kepada Sora yang pucat pasi. Tidak setiap hari engkau bisa didatangi penampakan kakek tua yang membawa ramalan akhir zaman.
M-makasih, Oom. Tangan Sora gemetar ketika menerima cangkir porselen dari atasannya.
Sebenarnya kamu melihat apa, tho?
Hujan turun kian deras, membungkus kedai foto tua itu dalam hawa dingin yang merindingkan bulu roma. Sora menarik nafas panjang. Pemuda itu lalu mengakui bahwa sebenarnya ia menderita penyakit tidur yang langka. Kadang-kadang dirinya bisa tertidur tiba-tiba meskipun sedang berdiri; malah ia sampai bermimpi dengan mata terbuka.
Kadang saya merasa mimpi saya lebih nyata dari daripada saat saya terjaga....
Sora, sebaiknya kamu segera memeriksakan diri ke dokter.
Saya, tidak bakal diberhentikan karena ini kan, Oom? Sudah lama tidak kambuh. Benar! Sora berkata dengan tampang memelas.
Ndak apa-apa.. Oom Jay, menepuk pundak Sora, saya malah merasa kasihan terhadap kamu...
Kasihan... kenapa... Oom?
Saya cuma khawatir.... takutnya.... lama-lama kamu tidak tahu lagi yang mana mimpi.... dan yang mana kenyataan...
Sora terdiam, tak menjawab lagi, hanya memandangi rintik air yang menitik turun, mengalir dari balik etalase.
= = = = = = = = = = = = = = =
Raina memandangi rinai hujan yang nampak kian rapat dari balik jendela. Titik-titik air meleleh di kaca patri menimbulkan jejak-jejak kelabu yang saling memburu. Malam kian menua, namun belum ada tanda-tanda langit hendak berhenti mencurahkan kandungannya.
Jemarinya meniti rak yang penuh piringan hitam, sebelum mengambil satu dan dipasangnya pada
Gramaphone. Piringan berputar. Perlahan lagu melantun bersama deru hujan dan mendung murung yang tak hentinya menggantung.
Sunday is gloomy,
my hours are slumberless.
Dearest, the shadows
I live with the numberless
Little white flowers...
Muram sekali pilihan lagumu, Nona, sebuah suara lembut menyahut dari balik pundaknya. Terang yang masuk dari kisi-kisi jendela jatuh pada tubuh jenjang yang duduk di sofa panjang.
Gloomy Sunday, Raina berkata. Nona tahu? Tidak ada lirik lagu yang lebih murung dari ini. Konon orang yang mendengar lagu ini bisa tergerak untuk bunuh diri. Tapi saya rasa Nona tidak akan mempercayai takhayul seperti itu, bukan?
Raina mengambil sebotol vodka dari atas meja, mengangsurkannya ke arah Tatyana yang nampaknya lebih tertarik dengan isi kamarnya.
Minumlah dulu, untuk menghangatkan badan. Dan.... kalau mau, engkau bisa mengeringkan diri di sini. Sungguh tidak sopan, jika aku membiarkanmu langsung pulang setelah kau sudi repot-repot mengantarku sampai rumah, Raina berkata seraya menyodorkan handuk kering.
Terdengar suara tutup botol vodka yang dibuka, disusul sepasang wanita yang mulai saling bertukar cerita. Tak sampai segelas ditandaskan, dua orang yang baru kenal itu sudah bercakap-cakap akrab bak sepasang sahabat yang telah lama berjumpa, namun dalam kehidupan satunya.
Tatyana mengedarkan pandangannya. Ruangan khas rumah Era Kolonial dengan langit-langit tinggi dan palang-palang kayu yang bersilangan di atasnya. Ada lampu yang menjuntai turun menyala redup dan bergoyang-goyang dihembus angin yang masuk dari jendela kaca
fresco dengan teralis. Beberapa perabot ditata rapi. Meja besar dengan buku-buku psikologi dan filsafat.
Ini apa? Sebuah buku tebal bersampul kayu menyita pandangan Tatyana.
Ah, itu...
Inferno. Tatyana memandangi rangkaian huruf yang diukir di atas buku tebal bersampul kayu cendana. Aroma lapuk bercampur wangi mistis menguar ketika ia membuka lembar demi lembar kertas kumal yang disatukan dengan jilid kawat di dalamnya. Rangkaian sketsa.
Ini semua Nona yang melukis?
Benar.
Nona tidak sedang berbohong?
Tidak.
Serius?
Serius!
Tatyana tak bisa berhenti menakjubi. Kuil kecil di bawah pohon beringin raksasa dan larik-larik cahaya yang menyusup dari sela dedaunan digambarkan dengan sangat detil, meski hanya dalam dua warna. Dunianya segera disedot oleh rangkaian lukisan mistis buah karya Raina.
Lukisan Nona bagus. Alih-alih model telanjang, seharusnya Nona sekolah seni rupa dan menjadi murid seorang pelukis ternama.
Lucu ya, sering juga saya berpikir demikian. Bagaimana kalau seandainya saya malah mengambil jurusan seni rupa. Menggelikan sekali, menyadari hanya dengan perbeadan satu keputusan sederhana, kontinuitas alam semesta tak bisa lagi sama. Mungkin saja dalam kontinuitas yang berbeda engkau malah bersua dengan Raina Sang Pelukis, siapa yang tahu? Semesta dipenuhi dengan percabangan-percabangan yang tak terbatas.
Darah Tatyana berdesir. Entah karena karena pemaparan Raina ataukah karena halamannya sampai pada sketsa dinding api yang menjulang tinggi. Di tanah berserakan tumpukan mayat dengan isi perut terburai. Sementara di antara asap yang membumbung ke langit membentuk siluet: sepasang dunia yang saling balik membalik.
will never awaken you.
Not where the black coach
of sorrow has taken you.
Angels have no thought
of ever returning you.
Would they be angry
if i thought of joining you?
Tragedi bulan Oktober, ya... desis Tatyana, nyaris tanpa ekspresi.
Mendengarnya, Raina terdiam lama. Ada jeda panjang di antara mereka yang ditingkahi deru hujan dan suara gemuruh dari langit.
10 Tahun lalu, ribuan manusia dibantai atas nama kebenaran. Orang-orang mungkin mencoba melupakan, atau bahkan mencari pembenaran di balik ayat-ayat Tuhan. Puluhan millenia berlalu semenjak keterusiran Bapa Adam dan Bunda Hawa dari Paradiso, namun manusia sepertinya tidak pernah puas menuntut darah sesamanya.
Ironis... Agama justru dijadikan pembenaran bagi manusia untuk saling membunuh, pungkas Tatyana getir, menandaskan alkohol di gelasnya.
Semua orang kehilangan... Raina berkata lembut, mengusap rambut Tatyana.
Tatyana menanggapinya dengan senyum sinis. Menenggak habis gelas berikutnya.
... tapi juga menemukan... sambung Raina.
Guruh panjang terdengar menyusul. Raina mendadak terdiam. Sesuatu dari alam lain seolah mencegah kerongkongannya untuk berkata lebih jauh.
Kenapa? Tatyana berkata, menyadari muncul jeda tak wajar dari lawan bicaranya.
Raina mengangkat bahu.
Entahlah... Sepertinya saya pernah mendengar percakapan ini... tapi tak tahu di mana.
Ataukah mungkin kita pernah bertemu sebelumnya?
Di kehidupan lain,
perhaps?
Tatyana tersenyum, tanpa sadar sepasang lengannya melingkar di perut Raina. Raina hanya membalas dengan senyum yang tak kalah manis.
Malam itu, dalam deras hujan mereka saling berpelukan dan membagi nasib. Dan ini hanyalah mula dari takdir-takdir yang saling bersaling-silang. Antara kisah-kisah manusia. Antara dua dunia yang terpisah jarak dan waktu.
Hingga tiba-tiba indera pendengaran Raina menangkap deru suara skuter dan pintu pagar depan yang membuka.
Ada apa? Tatyana mengernyit melihat Raina yang tiba-tiba beranjak ke ambang pintu.
Ada yang datang, desis Raina waspada.
Benarkah? Tapi saya tidak mendengar apapun.
Di langit hanya terdengar guruh panjang diikuti suara hujan yang semakin deras.
= = = = = = = = = = = = = = =
Guntur terdengar bergemuruh, menyambut Sora ketika ia sampai ke tempat indekosnya. Kabut yang ikut mengendap dari pegunungan di utara membungkus rumah tua itu dalam dua warna.
Sora buru-buru masuk melalui pintu samping, dan segera air menetes-netes dari mantelnya ke atas lantai ubin warna kelabu. Rumah itu besar dan mewah, sisa-sisa peninggalan Kolonial namun masih asri dan terawat. Ruangan khas rumah Era Kolonial dengan langit-langit tinggi dengan pintu dan jendela yang berdaun dua.
Pemiliknya adalah Ny. Roekmini, seorang janda keturunan ningrat. Akhir-akhir ini beliau terlalu sibuk mengurusi Pabrik Batik di Kota Sebelah, hingga rumahnya di dekat keraton berikut kamar-kamarnya disewakan kepada para bumiputera yang mengadu nasib di perantauan. Paling tidak ada 9 kamar yang dipisahkan dengan selasar panjang, dan satu kamar yang selalu dibiarkan terkunci di dekat aula besar yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan peninggalan keluarga.
Pemiliknya yang masih Raden Ayu tidak pernah alpa merawat keris dan benda-benda pusaka yang disimpan di ruang tengah. Sesaji yang selalu dihaturkan setiap Malam Jumat menguarkan aroma kembang
kanthil begitu Sora melewati leretan gamelan yang diselubungi dengan kain putih.
Sora berjalan menuju kamar kost-nya yang berada di ruang tengah. Sayup-sayup, terdengar suara orang mengaji yang dilantunkan dalam langgam Jawa mengalun dari kamar yang selama ini dibiarkan terkunci. Laras slendro membuatnya terdengar bercengkok, lebih mirip kidung
lingsir wengi ketimbang ayat suci.
Ibu Semang, Sora mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Semenjak kejadian sore tadi ia merasa batas alam mimpi dan alam sadarnya semakin tipis. Bulu kuduknya merinding. Pemuda itu mempercepat langkahnya ketika melewati aula penyimpanan benda pusaka.
Hingga tiba-tiba ia mendengar pintu di belakangnya berkeriut membuka.
= = = = = = = = = = = = = = =
Siapa itu! hardik Raina memberanikan diri, membuka pintu kamarnya.
Nona, kau jangan membuatku takut! Tatyana mengikuti dari belakang dengan wajah pucat pasi.
Aku mendengar ada suara orang masuk rumah! Siapa tahu pencuri!
Sungguh mati, aku tidak mendengar apa-apa!
Sssssst...
Raina menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap suara kelotak langkah kaki yang mendekat di antara deru hujan.
Wajah Tatyana pucat pasi. Karena demi Tuhan yang tak pernah diimaninya, dalam remang-remang ia hanya melihat leretan gamelan tua yang ditutupi kain putih, tombak-tombak pusaka, juga pintu kamar berwarna merah darah yang terkunci....
= = = = = = = = = = = = = = =
Gemuruh besar dan hujan badai meredupkan lampu 5 watt, satu-satunya penerangan di tempat itu. Wajah Sora pucat pasi, namun ia memberanikan diri melangkah mendekati muasal suara. Sungguh mati, dengan jelas dirinya bisa mendengar suara wanita bercakap-cakap di ruangan itu. Namun indera pengelihatannya hanya mampu menangkap leretan gamelan tua yang ditutupi kain putih, tombak-tombak pusaka, juga pintu kamar berwarna merah darah yang terkunci....
..
To Be Continued