oyeckpunkerz
Semprot Addict
- Daftar
- 6 Dec 2010
- Post
- 426
- Like diterima
- 2.383
BAGIAN 22
Tanpa menunggu jawaban dari Jalu Samudra, Beda Kumala berjalan mendekat sambil memutar dua tangan bolak-balik dengan dada. Begitu sebentuk tenaga berhawa panas mengalir deras, Beda Kumala yang saat itu mengerahkan jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’, menghentakkan tangannya ke depan.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !!
Bukannya suara ledakan keras terdengar, tapi justru suara mendidih seperti air dimasak. Pintu baja yang terkena jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’ langsung melumer, membentuk bubur besi pada bagian yang tertembus hawa panas ini.
Beda Kumala segera mengulangi dengan jurus yang sama untuk lebih memperlebar lobang pintu.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !! Jresss ... jress ... !!
Terdengar tiga empat kali suara mendidih yang diikuti dengan melumernya besi baja.
“Menakjubkan! Tidak kukira peningkatan tenaga dalamku setinggi ini,” desis Beda Kumala melihat ‘hasil perbuatannya’. Ia tahu betul, jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’ yang intinya bersumber pada kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' tahap tiga paling banter hanya sanggup membuat lubang besi selebar telapak tangan, itupun membutuhkan waktu lama. Akan tetapi kali ini justru hanya dengan satu serangan sanggup melobangi pintu besi tebal sebesar kambing dewasa dalam waktu sekian detik.
“Kita masuk!” kata Jalu.
Baru saja masuk dua langkah, telinga Jalu mendengar suara berdesing.
“Awas! Serangan gelap!”
Jalu segera memutar tongkat hitamnya di depan dada dengan cepat, diikuti Beda Kumala sendiri yang dengan sigap mencabut pedang dan memutar pedang membentuk perisai.
Triing! Triing!
Beberapa pisau terbang langsung berpentalan tak tentu arah. Tak berapa lama, hujan pisau terbang berhenti.
“Hati-hati! Siapa tahu masih ada senjata rahasia di tempat ini,” bisik Jalu Samudra.
Kedua berjalan dengan sikap waspada terhadap segala kemungkinan. Namun sebegitu jauh tidak ada serangan susulan. Setelah berjalan beberapa tombak jauhnya, mereka menemukan beberapa ruangan, namun semua dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Saat di paling ujung dari semua ruangan yang ada, pandangan mata mereka melihat sesuatu yang berbeda dengan ruangan sebelumnya.
Sebuah kolam raksasa!
Namun, bukan kolam berpenerangan beberapa obor itu yang membuat mereka terkejut, tapi adanya puluhan orang yang terbelenggu tangan dan kaki mereka dengan besi bulat menempel di dinding batu, sedang rantai besar yang membelenggu kaki, seluruhnya tercelup masuk ke dalam kolam besar. Meski para tahanan yang adalah para tokoh rimba persilatan dapat duduk, namun melihat keadaan mereka yang lebih mirip mayat hidup cukup membuat siapa saja yang melihatnya trenyuh.
Yang mengenaskan, wajah mereka rata-rata putih pucat tanpa daya sedikit pun!
Adanya dua belas nyala di empat sudut ruangan bisa membuat Jalu Samudra dan Beda Kumala melihat seluruh penghuni ruang tahanan bawah tanah, bahkan beberapa diantara mereka terlihat bermeditasi menenangkan diri.
Beda Kumala memandang berkeliling, seakan mencari sesuatu. Matanya segera berhenti mencari saat menatap sosok tubuh perempuan tua dengan baju hijau kumal berada di sebelah timur. Wajah perempuan tua itu terlihat pucat seperti mayat. Rambut panjang awut-awutan menutupi sebagian mukanya dengan tubuh kurus kering kulit terbalut tulang terlihat duduk bersemedi.
Di sampingnya duduk berjejer di kiri kanan dalam keadaan bersemadi dua laki-laki tua yang masing-masing berbaju ungu lusuh penuh sobekan dan satunya baju putih lecek.
Beda Kumala setengah berlari diikuti isak tangis keharuan.
“Nyai Guru ... ”
Suara nyaring melengking ini membuat kaget semua orang yang ada di tempat itu. Sebab setahu mereka, hanya suara kasar tanpa ujud saja yang sering mereka dengar dan si pemilik suara kasar itu pulalah yang sekarang ini membuat mereka menderita lahir batin.
Tentu saja, suara yang berbeda dari biasanya ini, membuat mereka seolah tidak percaya!
Mereka rata-rata berpikir sama, jangan-jangan ada setan kesasar masuk ke tempat ini?
Si perempuan tua terlihat membuka mata perlahan, saat itu pula melihat sesosok tubuh mungil gadis cantik duduk bersimpuh di hadapannya.
“Siapa ... kau ... ?” tanya si nenek terbata-bata.
“Nyai Guru!” kata Beda Kumala sambil memegang tangan kanan si nenek, “Ini aku ... Beda Kumala! Muridmu yang paling bungsu!”
Kelopak mata nenek tua yang disebut Nyai Guru, yang tak lain adalah Nyi Tirta Kumala semakin melebar.
“Kau ... Beda Kumala?” tanya Nyi Tirta Kumala, “Kau benar muridku?”
“Benar, Nyai! Ini aku ... muridmu!”
Beda Kumala segera memeluk tubuh kurus gurunya.
Pertemuan guru dan murid ini cukup membuat mereka yang ada di tempat itu menitikkan air mata. Bahkan beberapa orang diantara sampai menangis tersedu-sedu melihat rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh murid bungsu si wanita tua.
“Kau sudah besar sekarang,” kata Nyi Tirta Kumala.
“... dan ... cantik jelita,” sambung laki-laki tua berbaju putih.
“Kakang Gegap, inilah muridku paling bungsu. Namanya Beda Kumala,” kata Nyi Tirta Kumala pada laki-laki berbaju putih.
Beda Kumala menganggukkan kepala.
“Anda pastilah Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau Utara adanya,” tebak Beda Kumala.
Si laki-laki tua baju putih mengangguk membenarkan.
Melihat murid bungsunya datang dengan seorang pemuda bertongkat hitam, Nyi Tirta Kumala bertanya, “Dengan siapa kau datang, Beda?”
Karena rasa gembira, Beda Kumala sampai terlupa beberapa saat pada murid Dewa Pengemis.
“Dia Kakang Jalu. Orang yang membantu kita selama ini, Nyai.” ucap Beda Kumala, lalu menoleh ke arah Jalu Samudra yang berdiri sejarak beberapa langkah, sambil berkata, “Kakang Jalu, kemarilah.”
Jalu Samudra yang dipanggil, segera berjalan mendekat. Ketukan tongkat hitamnya memecah kesunyian tempat itu. Melihat cara kedatangan Jalu Samudra dengan mengetuk-ngetukkan tongkat di lantai membuat semua orang yang ada di tempat itu maklum bahwa pemuda baju biru ternyata bermata buta.
“Apakah kalian berdua juga tertangkap seperti kami semua?” tanya laki-laki berbaju ungu.
“Tidak. Kami sengaja datang kemari untuk membebaskan para tokoh yang di tempat ini,” kata Jalu Samudra.
“Ha-ha-ha! Mimpi kau, anak muda!” tukas laki-laki berbaju ungu. “Si buta yang mimpi di siang bolong, ha-ha-ha!”
Jalu Samudra hanya tersenyum simpul.
“Jika boleh saya tahu, siapakah andika ini?”
“Dia adalah Ki Harsa Banabatta, Ketua sekaligus pemilik tempat celaka ini!” seru salah seorang tokoh silat yang berkepala gundul klimis.
“Ooo ... jadi Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan Golok itu?” tanya Jalu Samudra, menegaskan.
“Hanya kalian berdua yang ingin membebaskan kami?” tanya Nyi Tirta Kumala, tanpa mempedulikan ocehan Si Tangan Golok.
“Bukan hanya kami berdua saja. Tapi dengan seluruh murid Aliran Danau Utara dan perguruan kita, Nyai ... ”
“ ... mungkin dengan ditambah beberapa puluh tokoh silat ... ” tambah Jalu Samudra.
Akhirnya, Beda Kumala menceritakan semua kejadian yang dialami antara Aliran Danau Utara dengan Perguruan Sastra Kumala sepeninggal gurunya. Semuanya diceritakan tanpa ada yang dikurangi dan ditambahi, kecuali hubungan mesra antara dirinya dengan Jalu Samudra yang disembunyikan. Bahkan Jalu Samudra sendiri menambahkan adanya beberapa tokoh silat yang ikut bergabung dalam usaha pencarian terhadap para tokoh silat yang hilang secara misterius.
Beberapa tokoh silat yang sudah sekian lama mendekam di tempat itu terbakar semangatnya mendengar apa yang diceritakan oleh murid bungsu Nyi Tirta Kumala dan murid Dewi Binal Bertangan Naga.
“Anak muda ... jika benar memang seperti itu apa yang kau katakan pada kami, kami sangat berterima kasih sekali, akan tetapi ... bagaimana caranya kami semua dapat keluar dari tempat ini?” kata Ki Harsa Banabatta, masgul. “Kaki dan tangan kami terbelenggu begini rupa?”
“Biar kuputuskan rantai ini!”
Beda Kumala segera mencabut pedang, menghimpun tiga bagian tenaga dalamnya dilanjutkan dengan membacok sekuat tenaga.
Trang! Triing! Triing!
Terdengar suara dentingan beradunya logam. Akan tetapi, justru membuat Beda Kumala terbelalak matanya. Jangankan putus, rantai besar itu tergores pun juga tidak!
“Percuma saja, Cah Ayu! Pedangmu tidak akan mempan!” kata si kepala gundul klimis.
“Biar aku gunakan tenaga penuh,” desis Beda Kumala, lalu menghimpun tenaga hingga sepuluh bagian.
Trang! Triing! Triing! Criing!
Namun hasilnya tetap saja!
Rantai yang membelenggu tetap utuh tanpa cela!
“Sudah kukatakan, tidak ada satu pun senjata yang sanggup memutuskan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit dengan cara apa pun,” keluh Ki Harsa Banabatta.
Jalu yang tadi mendengar bahwa Ki Harsa Banabatta, Ketua Istana Jagat Abadi sekaligus pemilik tempat dimana mereka berada sekarang mengajukan pertanyaan.
“Apakah Aki yang merancang tempat ini?” tanya Jalu Samudra, menyelidik. “Dan apa itu Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit?”
“Memang ... yang merancang seluruh bangunan di tempat ini adalah aku sendiri, tapi yang membawa rantai celaka ini adalah Raja Iblis Pulau Nirwana,” kata geram Ki Harsa Banabatta, lalu sambungnya, “Jika aku bisa bebas dari tempat ini, aku akan adu jiwa dengannya!”
“Lagi-lagi Raja Iblis Pulau Nirwana,” pikir Jalu Samudra, “Seperti apa wujud orang ini? Aku jadi penasaran dibuatnya!”
“Rantai inilah yang membelenggu seluruh kesaktian kami, Jalu. Dan hal ini secara tidak langsung telah mengkebiri kami semua,” kata Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau Utara.
“Dan satu-satunya manusia yang bisa memutus rantai ini hanyalah satu orang, yaitu pemilik ilmu langka rimba persilatan yang dulunya berjuluk Dewa Pengemis,” ucap Nyi Tirta Kumala. “Padahal semua pendekar persilatan tahu, bahwa tokoh ini sudah hilang sejak lima ratus tahun lalu, dan setahuku tidak ada satu pun muridnya yang memiliki ilmu langka itu.”
Jalu Samudra berdebar saat mendengar nama gurunya disebut-sebut.
“Dan kau tahu ... itu apa artinya? Artinya rantai celaka ini akan membelenggu kami sampai ajal datang menjemput!” seru seorang laki-laki berwajah dingin. “Alias mati dijemput malaikat maut!”
“Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa mengetahuinya?” kilah Jalu Samudra, lalu katanya pada Nyi Tirta Kumala, “Nyai, bagaimana cara melepas rantai ini? Aku ingin mencobanya.”
“Tangan Golok, kau saja yang bicara,” sahut Nyi Tirta Kumala.
“Diberitahu pun juga percuma,” sahut Ki Harsa Banabatta.
“Hemm ... laki-laki berjuluk Tangan Golok ini selalu memandang rendah orang lain,” kata hati Beda Kumala. “Biar kupancing dia!?”
“Huh, bilang saja tidak tahu! Habis perkara!” kata Beda Kumala.
“Gadis kurang ajar! Tentu saja aku tahu!”
“Apa!?”
“Kau tinggal menyelam ke dalam kolam, dan pukul hancur tepat di bagian tengah sambungan. Rantai ini bakalan hancur berantakan dan setelah itu ... seluruh kesaktian kami akan kembali seperti semula!” bentak Si Tangan Golok tanpa sadar kalau dirinya berhasil dipancing oleh Beda Kumala.
“Ooo ... jadi tinggal menyelam ke kolam ini?” tanya Beda Kumala, sambil berjalan mendekati kolam.
“Beda Kumala, tunggu!” seru Nyi Tirta Kumala melihat muridnya berniat menyelam ke dalam kolam raksasa.
“Ada apa Nyai Guru?”
“Beda, aku ingin bertanya padamu satu hal.”
“Silahkan, Nyai?”
“Kuat berapa lama kau dalam air?”
“Sekitar sepenanakan nasi.”
“Untuk kedalaman berapa tombak?”
“Paling banter sepuluh tombak, Nyai.”
“Menurut Si Tangan Golok, kolam ini sedalam tiga puluh tombak lebih.”
“Apakah Si Tangan Golok yang membuat kolam ini, Nyai?” tanya Beda Kumala.
“Tidak!” kata Si Tangan Golok, “Ini kolam alam. Bukan buatan tangan manusia.”
“Jika begitu, darimana Aki tahu kalau kolam ini dalamnya lebih dari tiga puluh tombak?”
“Bukankah gurumu telah menurunkan jurus ‘Detak Jantung Penghitung Nyawa’? Kenapa kau tidak gunakan ilmu itu?” ejek Si Tangan Golok. “Atau jangan-jangan kau tidak bisa melakukannya?”
Beda Kumala hanya mendengus kesal. Namun ia menuruti apa kata Ketua Istana Jagat Abadi. Beberapa saat kemudian, suasana berubah hening. Namun keheningan di pecah oleh suara tercebur suatu benda.
Byuuurr!
Mendengar suara benda jatuh, Beda Kumala segera menghentikan pengerahan ilmunya dan bertanya, “Siapa yang masuk ke dalam kolam?”
“Siapa lagi jika bukan temanmu yang buta itu?” ejek Si Tangan Golok. “Dia salah jalan dan kecebur ke dalam kolam.”
“Celaka! Kakang Jalu!” desis gadis itu yang seketika terkesiap. Lalu berlari ke dekat kolam dan tanpa banyak pertimbangan langsung ikut terjun ke dalam kolam!
“Beda, jangan!” cegah Nyi Tirta Kumala, namun terlambat!
Byuuurr!
Gadis itu langsung terjun menyelam ke dalam kolam!
Baru menyelam tiga tombak lebih, Beda Kumala langsung terperanjat!
“Gila! Tekanan air di tempat ini terlalu besar!” pikirnya, lalu matanya nyalang memandang berkeliling, “Dimana beradanya Kakang Jalu?”
Beberapa kejap ia mencari, namun ia tidak menemukan sosok pemuda baju biru yang menyelam lebih dahulu dari dirinya.
“Uhhh ... dadaku rasanya mau meledak,” keluhnya dalam hati, “Mana pemuda itu?”
Setelah berputaran beberapa kali dan tidak menemukan sosok pemuda yang dicarinya, akhirnya Beda Kumala memunculkan diri dari dalam kolam.
Pyarr ... !
Air kolam tersibak saat kepalanya muncul. Diiringi dengan napas terengah-engah, gadis itu berenang ke pinggir.
“Mana pemuda temanmu tadi?” ujar Si Tangan Golok.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, murid bungsu Nyi Tirta Kumala berjalan lunglai dan duduk dekat gurunya. Kepalanya ditundukkan.
“Aku ... tidak menemukannya, Nyai.”
“Sudahlah, muridku! Mungkin sudah takdir pemuda itu bahwa ia tewas di tempat ini,” kata Dewi Tangan Api, sambil menjatuhkan raga muridnya ke dalam pangkuan, “Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatannya.”
Beda Kumala hanya terdiam sambil memejamkan mata.
Setitik air bening terjatuh dari sudut mata indahnya!
--o0o--