Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
BAGIAN 22


Tanpa menunggu jawaban dari Jalu Samudra, Beda Kumala berjalan mendekat sambil memutar dua tangan bolak-balik dengan dada. Begitu sebentuk tenaga berhawa panas mengalir deras, Beda Kumala yang saat itu mengerahkan jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’, menghentakkan tangannya ke depan.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !!
Bukannya suara ledakan keras terdengar, tapi justru suara mendidih seperti air dimasak. Pintu baja yang terkena jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’ langsung melumer, membentuk bubur besi pada bagian yang tertembus hawa panas ini.
Beda Kumala segera mengulangi dengan jurus yang sama untuk lebih memperlebar lobang pintu.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !! Jresss ... jress ... !!
Terdengar tiga empat kali suara mendidih yang diikuti dengan melumernya besi baja.
“Menakjubkan! Tidak kukira peningkatan tenaga dalamku setinggi ini,” desis Beda Kumala melihat ‘hasil perbuatannya’. Ia tahu betul, jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’ yang intinya bersumber pada kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' tahap tiga paling banter hanya sanggup membuat lubang besi selebar telapak tangan, itupun membutuhkan waktu lama. Akan tetapi kali ini justru hanya dengan satu serangan sanggup melobangi pintu besi tebal sebesar kambing dewasa dalam waktu sekian detik.
“Kita masuk!” kata Jalu.
Baru saja masuk dua langkah, telinga Jalu mendengar suara berdesing.
“Awas! Serangan gelap!”
Jalu segera memutar tongkat hitamnya di depan dada dengan cepat, diikuti Beda Kumala sendiri yang dengan sigap mencabut pedang dan memutar pedang membentuk perisai.
Triing! Triing!
Beberapa pisau terbang langsung berpentalan tak tentu arah. Tak berapa lama, hujan pisau terbang berhenti.
“Hati-hati! Siapa tahu masih ada senjata rahasia di tempat ini,” bisik Jalu Samudra.
Kedua berjalan dengan sikap waspada terhadap segala kemungkinan. Namun sebegitu jauh tidak ada serangan susulan. Setelah berjalan beberapa tombak jauhnya, mereka menemukan beberapa ruangan, namun semua dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Saat di paling ujung dari semua ruangan yang ada, pandangan mata mereka melihat sesuatu yang berbeda dengan ruangan sebelumnya.
Sebuah kolam raksasa!
Namun, bukan kolam berpenerangan beberapa obor itu yang membuat mereka terkejut, tapi adanya puluhan orang yang terbelenggu tangan dan kaki mereka dengan besi bulat menempel di dinding batu, sedang rantai besar yang membelenggu kaki, seluruhnya tercelup masuk ke dalam kolam besar. Meski para tahanan yang adalah para tokoh rimba persilatan dapat duduk, namun melihat keadaan mereka yang lebih mirip mayat hidup cukup membuat siapa saja yang melihatnya trenyuh.
Yang mengenaskan, wajah mereka rata-rata putih pucat tanpa daya sedikit pun!
Adanya dua belas nyala di empat sudut ruangan bisa membuat Jalu Samudra dan Beda Kumala melihat seluruh penghuni ruang tahanan bawah tanah, bahkan beberapa diantara mereka terlihat bermeditasi menenangkan diri.
Beda Kumala memandang berkeliling, seakan mencari sesuatu. Matanya segera berhenti mencari saat menatap sosok tubuh perempuan tua dengan baju hijau kumal berada di sebelah timur. Wajah perempuan tua itu terlihat pucat seperti mayat. Rambut panjang awut-awutan menutupi sebagian mukanya dengan tubuh kurus kering kulit terbalut tulang terlihat duduk bersemedi.
Di sampingnya duduk berjejer di kiri kanan dalam keadaan bersemadi dua laki-laki tua yang masing-masing berbaju ungu lusuh penuh sobekan dan satunya baju putih lecek.
Beda Kumala setengah berlari diikuti isak tangis keharuan.
“Nyai Guru ... ”
Suara nyaring melengking ini membuat kaget semua orang yang ada di tempat itu. Sebab setahu mereka, hanya suara kasar tanpa ujud saja yang sering mereka dengar dan si pemilik suara kasar itu pulalah yang sekarang ini membuat mereka menderita lahir batin.
Tentu saja, suara yang berbeda dari biasanya ini, membuat mereka seolah tidak percaya!
Mereka rata-rata berpikir sama, jangan-jangan ada setan kesasar masuk ke tempat ini?
Si perempuan tua terlihat membuka mata perlahan, saat itu pula melihat sesosok tubuh mungil gadis cantik duduk bersimpuh di hadapannya.
“Siapa ... kau ... ?” tanya si nenek terbata-bata.
“Nyai Guru!” kata Beda Kumala sambil memegang tangan kanan si nenek, “Ini aku ... Beda Kumala! Muridmu yang paling bungsu!”
Kelopak mata nenek tua yang disebut Nyai Guru, yang tak lain adalah Nyi Tirta Kumala semakin melebar.
“Kau ... Beda Kumala?” tanya Nyi Tirta Kumala, “Kau benar muridku?”
“Benar, Nyai! Ini aku ... muridmu!”
Beda Kumala segera memeluk tubuh kurus gurunya.
Pertemuan guru dan murid ini cukup membuat mereka yang ada di tempat itu menitikkan air mata. Bahkan beberapa orang diantara sampai menangis tersedu-sedu melihat rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh murid bungsu si wanita tua.
“Kau sudah besar sekarang,” kata Nyi Tirta Kumala.
“... dan ... cantik jelita,” sambung laki-laki tua berbaju putih.
“Kakang Gegap, inilah muridku paling bungsu. Namanya Beda Kumala,” kata Nyi Tirta Kumala pada laki-laki berbaju putih.
Beda Kumala menganggukkan kepala.
“Anda pastilah Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau Utara adanya,” tebak Beda Kumala.
Si laki-laki tua baju putih mengangguk membenarkan.
Melihat murid bungsunya datang dengan seorang pemuda bertongkat hitam, Nyi Tirta Kumala bertanya, “Dengan siapa kau datang, Beda?”
Karena rasa gembira, Beda Kumala sampai terlupa beberapa saat pada murid Dewa Pengemis.
“Dia Kakang Jalu. Orang yang membantu kita selama ini, Nyai.” ucap Beda Kumala, lalu menoleh ke arah Jalu Samudra yang berdiri sejarak beberapa langkah, sambil berkata, “Kakang Jalu, kemarilah.”
Jalu Samudra yang dipanggil, segera berjalan mendekat. Ketukan tongkat hitamnya memecah kesunyian tempat itu. Melihat cara kedatangan Jalu Samudra dengan mengetuk-ngetukkan tongkat di lantai membuat semua orang yang ada di tempat itu maklum bahwa pemuda baju biru ternyata bermata buta.
“Apakah kalian berdua juga tertangkap seperti kami semua?” tanya laki-laki berbaju ungu.
“Tidak. Kami sengaja datang kemari untuk membebaskan para tokoh yang di tempat ini,” kata Jalu Samudra.
“Ha-ha-ha! Mimpi kau, anak muda!” tukas laki-laki berbaju ungu. “Si buta yang mimpi di siang bolong, ha-ha-ha!”
Jalu Samudra hanya tersenyum simpul.
“Jika boleh saya tahu, siapakah andika ini?”
“Dia adalah Ki Harsa Banabatta, Ketua sekaligus pemilik tempat celaka ini!” seru salah seorang tokoh silat yang berkepala gundul klimis.
“Ooo ... jadi Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan Golok itu?” tanya Jalu Samudra, menegaskan.
“Hanya kalian berdua yang ingin membebaskan kami?” tanya Nyi Tirta Kumala, tanpa mempedulikan ocehan Si Tangan Golok.
“Bukan hanya kami berdua saja. Tapi dengan seluruh murid Aliran Danau Utara dan perguruan kita, Nyai ... ”
“ ... mungkin dengan ditambah beberapa puluh tokoh silat ... ” tambah Jalu Samudra.
Akhirnya, Beda Kumala menceritakan semua kejadian yang dialami antara Aliran Danau Utara dengan Perguruan Sastra Kumala sepeninggal gurunya. Semuanya diceritakan tanpa ada yang dikurangi dan ditambahi, kecuali hubungan mesra antara dirinya dengan Jalu Samudra yang disembunyikan. Bahkan Jalu Samudra sendiri menambahkan adanya beberapa tokoh silat yang ikut bergabung dalam usaha pencarian terhadap para tokoh silat yang hilang secara misterius.
Beberapa tokoh silat yang sudah sekian lama mendekam di tempat itu terbakar semangatnya mendengar apa yang diceritakan oleh murid bungsu Nyi Tirta Kumala dan murid Dewi Binal Bertangan Naga.
“Anak muda ... jika benar memang seperti itu apa yang kau katakan pada kami, kami sangat berterima kasih sekali, akan tetapi ... bagaimana caranya kami semua dapat keluar dari tempat ini?” kata Ki Harsa Banabatta, masgul. “Kaki dan tangan kami terbelenggu begini rupa?”
“Biar kuputuskan rantai ini!”
Beda Kumala segera mencabut pedang, menghimpun tiga bagian tenaga dalamnya dilanjutkan dengan membacok sekuat tenaga.
Trang! Triing! Triing!
Terdengar suara dentingan beradunya logam. Akan tetapi, justru membuat Beda Kumala terbelalak matanya. Jangankan putus, rantai besar itu tergores pun juga tidak!
“Percuma saja, Cah Ayu! Pedangmu tidak akan mempan!” kata si kepala gundul klimis.
“Biar aku gunakan tenaga penuh,” desis Beda Kumala, lalu menghimpun tenaga hingga sepuluh bagian.
Trang! Triing! Triing! Criing!
Namun hasilnya tetap saja!
Rantai yang membelenggu tetap utuh tanpa cela!
“Sudah kukatakan, tidak ada satu pun senjata yang sanggup memutuskan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit dengan cara apa pun,” keluh Ki Harsa Banabatta.
Jalu yang tadi mendengar bahwa Ki Harsa Banabatta, Ketua Istana Jagat Abadi sekaligus pemilik tempat dimana mereka berada sekarang mengajukan pertanyaan.
“Apakah Aki yang merancang tempat ini?” tanya Jalu Samudra, menyelidik. “Dan apa itu Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit?”
“Memang ... yang merancang seluruh bangunan di tempat ini adalah aku sendiri, tapi yang membawa rantai celaka ini adalah Raja Iblis Pulau Nirwana,” kata geram Ki Harsa Banabatta, lalu sambungnya, “Jika aku bisa bebas dari tempat ini, aku akan adu jiwa dengannya!”
“Lagi-lagi Raja Iblis Pulau Nirwana,” pikir Jalu Samudra, “Seperti apa wujud orang ini? Aku jadi penasaran dibuatnya!”
“Rantai inilah yang membelenggu seluruh kesaktian kami, Jalu. Dan hal ini secara tidak langsung telah mengkebiri kami semua,” kata Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau Utara.
“Dan satu-satunya manusia yang bisa memutus rantai ini hanyalah satu orang, yaitu pemilik ilmu langka rimba persilatan yang dulunya berjuluk Dewa Pengemis,” ucap Nyi Tirta Kumala. “Padahal semua pendekar persilatan tahu, bahwa tokoh ini sudah hilang sejak lima ratus tahun lalu, dan setahuku tidak ada satu pun muridnya yang memiliki ilmu langka itu.”
Jalu Samudra berdebar saat mendengar nama gurunya disebut-sebut.
“Dan kau tahu ... itu apa artinya? Artinya rantai celaka ini akan membelenggu kami sampai ajal datang menjemput!” seru seorang laki-laki berwajah dingin. “Alias mati dijemput malaikat maut!”
“Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa mengetahuinya?” kilah Jalu Samudra, lalu katanya pada Nyi Tirta Kumala, “Nyai, bagaimana cara melepas rantai ini? Aku ingin mencobanya.”
“Tangan Golok, kau saja yang bicara,” sahut Nyi Tirta Kumala.
“Diberitahu pun juga percuma,” sahut Ki Harsa Banabatta.
“Hemm ... laki-laki berjuluk Tangan Golok ini selalu memandang rendah orang lain,” kata hati Beda Kumala. “Biar kupancing dia!?”
“Huh, bilang saja tidak tahu! Habis perkara!” kata Beda Kumala.
“Gadis kurang ajar! Tentu saja aku tahu!”
“Apa!?”
“Kau tinggal menyelam ke dalam kolam, dan pukul hancur tepat di bagian tengah sambungan. Rantai ini bakalan hancur berantakan dan setelah itu ... seluruh kesaktian kami akan kembali seperti semula!” bentak Si Tangan Golok tanpa sadar kalau dirinya berhasil dipancing oleh Beda Kumala.
“Ooo ... jadi tinggal menyelam ke kolam ini?” tanya Beda Kumala, sambil berjalan mendekati kolam.
“Beda Kumala, tunggu!” seru Nyi Tirta Kumala melihat muridnya berniat menyelam ke dalam kolam raksasa.
“Ada apa Nyai Guru?”
“Beda, aku ingin bertanya padamu satu hal.”
“Silahkan, Nyai?”
“Kuat berapa lama kau dalam air?”
“Sekitar sepenanakan nasi.”
“Untuk kedalaman berapa tombak?”
“Paling banter sepuluh tombak, Nyai.”
“Menurut Si Tangan Golok, kolam ini sedalam tiga puluh tombak lebih.”
“Apakah Si Tangan Golok yang membuat kolam ini, Nyai?” tanya Beda Kumala.
“Tidak!” kata Si Tangan Golok, “Ini kolam alam. Bukan buatan tangan manusia.”
“Jika begitu, darimana Aki tahu kalau kolam ini dalamnya lebih dari tiga puluh tombak?”
“Bukankah gurumu telah menurunkan jurus ‘Detak Jantung Penghitung Nyawa’? Kenapa kau tidak gunakan ilmu itu?” ejek Si Tangan Golok. “Atau jangan-jangan kau tidak bisa melakukannya?”
Beda Kumala hanya mendengus kesal. Namun ia menuruti apa kata Ketua Istana Jagat Abadi. Beberapa saat kemudian, suasana berubah hening. Namun keheningan di pecah oleh suara tercebur suatu benda.
Byuuurr!
Mendengar suara benda jatuh, Beda Kumala segera menghentikan pengerahan ilmunya dan bertanya, “Siapa yang masuk ke dalam kolam?”
“Siapa lagi jika bukan temanmu yang buta itu?” ejek Si Tangan Golok. “Dia salah jalan dan kecebur ke dalam kolam.”
“Celaka! Kakang Jalu!” desis gadis itu yang seketika terkesiap. Lalu berlari ke dekat kolam dan tanpa banyak pertimbangan langsung ikut terjun ke dalam kolam!
“Beda, jangan!” cegah Nyi Tirta Kumala, namun terlambat!
Byuuurr!
Gadis itu langsung terjun menyelam ke dalam kolam!
Baru menyelam tiga tombak lebih, Beda Kumala langsung terperanjat!
“Gila! Tekanan air di tempat ini terlalu besar!” pikirnya, lalu matanya nyalang memandang berkeliling, “Dimana beradanya Kakang Jalu?”
Beberapa kejap ia mencari, namun ia tidak menemukan sosok pemuda baju biru yang menyelam lebih dahulu dari dirinya.
“Uhhh ... dadaku rasanya mau meledak,” keluhnya dalam hati, “Mana pemuda itu?”
Setelah berputaran beberapa kali dan tidak menemukan sosok pemuda yang dicarinya, akhirnya Beda Kumala memunculkan diri dari dalam kolam.
Pyarr ... !
Air kolam tersibak saat kepalanya muncul. Diiringi dengan napas terengah-engah, gadis itu berenang ke pinggir.
“Mana pemuda temanmu tadi?” ujar Si Tangan Golok.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, murid bungsu Nyi Tirta Kumala berjalan lunglai dan duduk dekat gurunya. Kepalanya ditundukkan.
“Aku ... tidak menemukannya, Nyai.”
“Sudahlah, muridku! Mungkin sudah takdir pemuda itu bahwa ia tewas di tempat ini,” kata Dewi Tangan Api, sambil menjatuhkan raga muridnya ke dalam pangkuan, “Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatannya.”
Beda Kumala hanya terdiam sambil memejamkan mata.
Setitik air bening terjatuh dari sudut mata indahnya!

--o0o--
 
BAGIAN 23


Nun jauh di kedalaman kolam ...
Murid pertama Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga menyelam cepat bagai seekor ikan, mengatur napas pori-pori kulit hingga sanggup berlama-lama di dalam air. Dengan menggunakan salah satu jurus dari ‘18 Tapak Naga Penakluk’ (Xiang Long Shi Ba Zhang) yang bernama ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’ (Yu Yue Yu Yuan) yang bisa dialihfungsikan, si pemuda berbaju biru menyelam semakin jauh ke kedalaman air. Bagaimana pun juga, ia seorang pemuda yang sedari kecil akrab dengan laut. Menyelam dan mencari ikan sudah menjadi kehidupannya meski Jalu Samudra kala itu dilanda kebutaan. Ketika baru mencapai beberapa tombak, ia mendengar suara benda tercebur. Saat ia menoleh ke atas, ia melihat sosok baju hijau mengikutinya terjun ke dalam kolam, namun hanya sebentar saja sosok itu kembali naik ke permukaan.
“Hemm ... Beda Kumala rupanya,” pikir si Jalu. “ ... dia mengkhawatirkan diriku.”
Ketika mencapai kedalaman dua puluhan tombak, tiba-tiba Jalu melihat sesuatu yang memancarkan cahaya putih temaram di dinding kolam sebelah kanannya. Cahaya itu membias dari sebuah lorong gelap.
“Hemm ... cahaya apa itu?” pikirnya, “Aneh sekali jika dalam kolam yang gelap seperti ini ada bagian yang bisa memancarkan cahaya? Di dalam lorong lagi!?”
Namun Jalu mengacuhkan saja, akan tetapi hati kecilnya seakan mengisyaratkan agar ia mendekat ke dalam lorong bercahaya itu. Sejenak ia berhenti.
“Lihat ngga, ya?” pikirnya. Setelah pikir punya pikir, “Ahh ... lihat sebentar ngga apa-apalah.”
Jalu segera berenang mendekat. Begitu sampai, yang dilihatnya bukanlah lorong seperti yang dia kira, tapi cuma sebuah cerukan dinding selebar satu kali satu tombak sedalam sekitar setengah tombak. Dan ternyata yang memancarkan cahaya putih di dalam cerukan, adalah sebuah benda berbentuk kotak pipih warna putih kusam.
“Benda apa ini?” pikirnya.
Tangan kanan Jalu bergerak menyentuh benda pipih yang bersandar di dalam cerukan dinding. Begitu tersentuh tangan, tiba-tiba saja seberkas cahaya putih terang membentuk gumpalan sinar membersit.
Criiing!
Spontan, Jalu bergerak mundur melayang sambil kedua tangan dipalangkan di depan mata.
“Sinar apa ini? Sinau sekali!” kata Jalu dalam hati.
Saat sinar mereda, Jalu menurunkan sepasang tangannya yang tadi digunakan untuk menghalangi pancaran di depan mata.
Begitu diturunkan, sepasang mata Jalu langsung melotot!

--o0o--

“Beda, kulihat kau begitu mengkhawatirkan pemuda itu,” kata Ki Gegap Gempita. “Apamukah dia?”
“Dia ... dia ... hanya seorang teman yang baik, Aki.”
“Hanya teman?”
Gadis itu mengangguk lemah.
“Tidak lebih?” kali ini yang bertanya Nyi Tirta Kumala sambil tersenyum.
“Apa maksud Nyai?”
“Maksudku ... apa kau ada hati dengan Jalu?” tanya Nyi Tirta Kumala lebih lanjut, tanpa tedeng aling-aling.
Degg!
Jantung Beda Kumala berdetak kencang, pikirnya, “Ya! Apakah aku memang ada hati dengan Kakang Jalu? Dan apakah Kakang Jalu juga merasakan hal yang sama denganku?” Namun diluarnya, ia berkata lain, “Entahlah, Nyai! Saya tidak tahu.”
“Kenapa kau tidak tahu?” tanya heran Ki Gegap Gempita.
“Saya kenal dengan Kakang Jalu baru beberapa hari,” ucap Beda Kumala. “Lagi pula, menurut penuturan Kakang Jalu, ia sudah beristri. Dan saya pribadi tidak ingin merusak rumah tangga orang lain.”
Ke dua orang tua itu saling pandang satu sama lain.
“Nyai, sebenarnya apa yang terjadi dengan Nyai Guru hingga bisa sampai berada di tempat celaka ini?” tanya Beda Kumala mengalihkan perhatian.
Sambil membetulkan posisi duduknya, Nyi Tirta Kumala berkata, “Sebelum aku menjawab, aku ingin bertanya satu hal padamu.”
“Silahkan, Nyai Guru.”
“Saat ini, bagaimana waktu di luar? Maksudku ... siang atau malam?”
“Malam hari ... mungkin tengah malam,” sahut Beda Kumala.
Nenek itu mengangguk pelan.
“Kalau begitu ... kau masih ada kesempatan untuk keluar dari tempat ini, muridku,” tutur Nyi Tirta Kumala, “Tapi sebelum kau pergi, aku akan menjawab apa yang menjadi pertanyaanmu tadi.”
Ki Gegap Gempita dan Nyi Tirta Kumala saling pandang beberapa saat.
“Sebenarnya, keberadaan semua tokoh silat di tempat ini termasuk kami berdua adalah ulah dari sosok tanpa wujud yang menamakan diri sebagai Raja Iblis Pulau Nirwana. Tak perlu kami ceritakan bagaimana kami bisa tertangkap, namun yang jelas, tokoh ini berniat menguras habis semua ilmu-ilmu kesaktian para tokoh rimba persilatan.”
“Apa!?” seru Beda Kumala, kaget.
“Benar, Beda! Kau lihat rantai keparat ini ... ” kata Ki Gegap Gempita, “ ... rantai bernama Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit inilah yang menyedot kesaktian kami semua. Dan kau tahu kenapa gurumu tadi bertanya tentang waktu?”
Beda Kumala menggeleng lemah.
“Karena hanya di pagi hari saja, Raja Iblis itu datang kemari dan menyedot seluruh kesaktian kami semua,” tutur Ki Gegap Gempita. “Semua! Tanpa tersisa!”
Kembali Beda Kumala tercekat. Tidak terbersit dalam pikirannya bahwa Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit yang sulit diputus dengan senjata apapun ini adalah pangkal bahala bagi insan persilatan!
“Namun, anehnya ... di siang hari hingga tengah malam, tenaga sakti kami secara berangsur pulih hingga lima bagian dan mendekati pagi hari, justru pulih sepuluh bagian,” kali ini yang berkata justru Si Tangan Golok.
“Eh, kenapa bisa begitu?”
“Aku sendiri tidak tahu, dan aku yakin semua orang yang ada disini juga tidak mengetahuinya,” jawab Ki Harsa Banabatta.
Beda Kumala berpikir keras, “Jika setiap hari disedot tenaga dalamnya, dan setiap hari pula tenaga dalam itu kembali secara aneh, entah sekarang ini seberapa tinggi kesaktian Raja Iblis Pulau Nirwana jika melakukan hal itu hampir lebih dari satu setengah tahun. Dan itu artinya ... ia sudah menjadi tokoh sakti tanpa tanding di jagat persilatan!”
“Itulah sebabnya tadi kukatakan jika rantai keparat ini putus, maka kesaktian kami akan kembali seperti sedia kala ... ” lanjut Si Tangan Golok. “ ... meski harus menunggu hingga pagi hari.”

--o0o--

“Selamat berjumpa, muridku,” kata sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi tegap.
Di hadapan Jalu Samudra, terlihat sosok laki-laki dengan raut muka lembut, tatapan mata teduh penuh welas asih, berdiri menggendong tangan di belakang punggung. Disebelahnya berdiri sesosok perempuan cantik jelita dengan pesona kecantikan tersendiri, tidak seperti kerupawanan gadis-gadis tanah Jawa pada umumnya, sekilas mirip dengan wajah orang-orang dari negeri seberang laut yang bernama Daratan Tiongkok. Sepasang mata sipit dengan posisi alis melengkung tipis di atasnya. Belum lagi dengan postur tubuh tinggi semampai dan berkulit kuning pucat terbalut pakaian kuning gading dalam bentuk dan cara memakainya cukup aneh di mata Jalu.
Ke dua sosok yang datang secara gaib ini terlihat melayang-layang, mengambang di atas air.
Saat Jalu hendak membuka mulut, air segera memasuki kerongkongannya hingga membuatnya tersedak.
Blubb ... blubb!
“Aduhh ... aku lupa kalau di dalam air,” pikirnya, “Bagaimana harus menjawab, nih? ... ah, ada akal!”
Tubuh Jalu Samudra yang juga mengambang di dalam air membuat gerakan membungkuk sedikit, setelah itu ke dua tangannya membuat gerakan aneh di depan dada, tunjuk sana-tunjuk sini.
Kedua sosok di hadapan Jalu hanya tertawa tanpa suara.
“Istriku, berikan ilmumu pada murid kita ini,” pinta si laki-laki. “Biar kita bisa bercakap-cakap sebentar dengan leluasa.”
“Baiklah, suamiku,” sahut si wanita berbaju kuning gading, “Terima ini, muridku.”
Jari kanan si wanita menjentik pelan.
Ctik!
Seleret cahaya putih bening melesat cepat membelah air.
Plass!
Jalu tersentak kaget diserang mendadak begitu rupa, namun belum lagi ia menghindar atau memang tidak sempat menghindar saking cepatnya serangan si wanita berbaju kuning gading, cahaya putih bening langsung menabrak tengah dada.
Blashh!
Jalu Samudra tersentak kaget, namun hanya beberapa kejap saja. Tangannya segera meraba tengah dada, bahkan secara tidak sadar ia bergumam, “Lho, kok tidak ada luka?”
Saat itulah ia baru menyadari sesuatu.
“Aku bisa bicara dalam air?” katanya dengan heran. “Mana mungkin?!”
“Kau tidak perlu heran, muridku!” tutur si laki-laki, “Barusan istriku memberikan Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ padamu. Dengan ilmu itu, kau bisa berada dalam air berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya.”
(Ket : ikan gajah maksudnya adalah ikan paus, jaman dulu istilahnya masih ikan gajah karena bentuknya yang besar seperti gajah).
Jalu merasa heran sekali. Dari awal ia memang sudah punya dugaan tentang siapa adanya dua orang yang memiliki pancaran wibawa kuat di depannya ini. Di dunia ini, Jalu memang memiliki dua pasang guru. Yang pertama pasangan Tombak Utara Tongkat Selatan yang telah merawatnya sejak kecil dan yang kedua adalah Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, sepasang tokoh pendekar dari Aliran Pengemis yang telah hidup ratusan tahun silam. Jika Tombak Utara Tongkat Selatan jelas tidak mungkin karena keduanya telah meninggal dunia dalam usia tua, demikian pula dengan Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga yang sudah meninggal ratusan tahun silam.
Dan kemungkinan kedua hanyalah dua orang yang berdiri di hadapannya adalah sosok roh gaib!
“Guru berdua adalah ... ”
“Seperti yang ada di dalam pikiranmu, muridku,” ucap si wanita. “Aku adalah Dewi Binal Bertangan Naga dan ini suamiku, si Dewa Pengemis adanya.”
Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis segera menjura dengan hormat.
“Heran, biasanya aku bisa bicara seenaknya. Namun di hadapan ke dua guruku ini, entah mengapa aku menjadi segan dan sulit sekali mengatakan sesuatu,” kata hati Jalu Samudra.
“Muridku, kau tidak perlu heran dengan kehadiran kami di tempat ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak, apa pun bisa terjadi,” tutur Dewa Pengemis melayang mendekat, lalu tangan kanannya membelai lembut rambut Jalu. “Namun, waktu kami berdua tidak banyak.”
“Lalu ... maksud kedatangan guru berdua?”
“Kami masih memiliki satu jenis ilmu yang tidak terdapat dalam dua kitab yang kami tulis sebelumnya, dikarenakan kami keburu dipanggil Yang Maha Kuasa,” kata Dewi Binal Bertangan Naga, sambungnya, “Di alam sana, hidup kami tidak tenang, muridku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam perjalanan kami menghadap Maha Yang Kuasa. Dan hal itu berlangsung selama lima ratus tahun, hingga akhirnya kau dan istrimu Kumala Rani menemukan dua kitab milik kami dan mempelajarinya hingga tuntas. Saat itulah sebagian dari beban hidup kami terkurangi.”
Sebagai murid yang baik, Jalu Samudra diam mendengarkan setiap wejangan ke dua gurunya.
“Meski demikian, ada sejenis ilmu yang belum sempat kami wariskan pada kalian berdua,” ujar si Dewa Pengemis.
“Menurut saya pribadi, apa yang Guru berikan pada kami berdua lebih dari cukup, bahkan mungkin terlalu berlebihan untuk ukuran kami,” tutur Jalu Samudra, “Dan pribadi serta mewakili Nimas Rani, kami berdua mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
Ke dua sosok itu saling pandang sejenak, lalu sama-sama mengangguk.
“Tidak, Jalu! Kami berdua bukan guru yang pelit, yang menyembunyikan sebagian ilmunya untuk di simpan sendiri. Bagi kami, setiap ilmu harus bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang banyak,” sahut Dewa Pengemis, sambungnya, “Walau ilmu terakhir ini tidak sehebat dan sedahsyat ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Dewa Dewi dan Kitab Kembang Perawan, namun kami yakin ilmu ini akan banyak berguna bagi orang-orang di atas sana.”
“Nah muridku, bersediakah kau menerima ilmu terakhir kami?” tanya Dewi Binal Bertangan Naga.
Biasanya, seorang guru selalu memberikan begitu saja setiap ilmu yang ia miliki pada muridnya tanpa bertanya. Tidak peduli apakah muridnya suka dengan ilmu itu atau tidak. Namun, bagi tokoh puncak Aliran Pengemis masa ratusan tahun silam ini, hal itu tidak berlaku. Bagi mereka, keikhlasan sang murid yang menimba ilmu dan guru yang mengajarkan ilmu berada pada urutan teratas, sebab menurut pasangan suami istri ini, percuma saja memiliki segudang ilmu jika faktor keikhlasan kedua belah pihak terabaikan!
“Dengan senang hati, Guru,” sahut Jalu Samudra dengan hormat.
“Kau tidak bertanya ilmu apa?”
“Saya rasa tidak perlu saya bertanya mengenai ilmu terakhir ini, Guru,” jawab Jalu tegas.
“Katakan alasanmu, muridku,” tanya Dewa Pengemis.
“Saya pribadi yakin, bahwa tidak mungkin seorang guru akan menjerumuskan muridnya ke lembah kenistaan. Sebab jika hal itu terjadi, sama saja dengan mencoreng arang ke wajah guru yang bersangkutan,” papar Jalu Samudra.
Kembali Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga tersenyum.
“Darimana kau memiliki keyakinan seperti itu, Jalu?” tanya Dewi Binal Bertangan Naga.
“Hati kecil saya yang mengatakan begitu,” jawab Jalu Samudra. “Semoga tidak mengecewakan guru berdua.”
“Bagus ... bagus!” kata Dewa Pengemis sambil menepuk lembut pundak kiri muridnya. “Aku senang dengan pendapatmu.”
“Oh ya, muridku. Apakah kau membawa serta kalung medali yang ada dalam kotak hitam?” tanya Dewa Pengemis.
“Maksud guru lempengan besi hitam segi delapan dengan ukiran naga, rajawali dan harimau itu?”
“Benar.”
“Saya selalu membawanya, Guru!” jawab Jalu Samudra. “Sesuai yang tertulis pada lembar akhir Kitab Dewa Dewi.”
“Bagus! Kau bawalah terus Medali Tiga Dewa, jangan pernah kau lepaskan atau kau berikan pada siapa pun juga,” kata Dewa Pengemis lebih lanjut, “Sekarang ... mendekatlah kemari.”
Jalu bergerak mendekat.
“Pejamkan matamu.”
 
BAGIAN 24


Jalu Samudra segera memejamkan matanya. Begitu mata terpejam, di dalam alam pikirannya terlihat serangkaian gerakan tangan dan kaki dengan titik-titik merah yang saling berurutan. Ada yang dalam satu sesi hanya terlihat pancaran titik merah sejumlah satu, ada yang dua akan tetapi jumlah terbanyak sejumlah sembilan titik merah dari atas kepala hingga kaki. Tergambar dengan jelas di alam pikiran Jalu, siluet tubuh yang menggambarkan posisi-posisi gerak dan penggunaan aliran tenaga dalam melewati titik-titik merah.
Jalu sendiri merasa heran, sebab sosok tubuh yang ada dalam pikirannya adalah ... sosok dirinya!
Dan ia lebih heran lagi, seolah ia sendiri bisa mengetahui ke bagian mana dari titik-titik merah akan berujung dan bagaimana daya guna dari siluet tubuh dirinya, seolah-olah ia memang telah menguasai daya guna itu sebelumnya.
Ketika sosok bayangan dirinya menghilang, Jalu segera membuka matanya.
“Itulah ilmu terakhir kami Jalu,” ucap Dewa Pengemis, “Kau sudah memahaminya?”
“Walau tidak pernah belajar, namun saya seakan mampu menguasai setiap jengkal dari sosok siluet yang ada dalam alam pikiran saya,” tutur Jalu Samudra, “Dan anehnya lagi ... sepertinya, saya merasa sudah lama memiliki ilmu itu, Guru.”
“Kau benar-benar murid kami yang cerdas, Jalu.”
“Jika boleh saya tahu, sebenarnya ilmu apa yang telah guru berdua berikan pada saya.”
“Ilmu ini adalah ilmu pengobatan yang bernama Ilmu ‘Tapak Sembilan’. Sesuai dengan namanya ilmu ini memiliki sembilan kegunaan. Beberapa diantaranya adalah bisa menyambung tulang dan daging yang terputus, bahkan sanggup memulihkan dan membuyarkan tenaga sakti separah apa pun,” tutur Dewi Binal Bertangan Naga, “Untuk manfaat lain, kau bisa mengetahuinya sendiri.”
“Terima kasih atas limpahan ilmu yang Guru berdua berikan pada saya,” kata Jalu Samudra.
“Sama-sama, muridku.”
“Cuma satu pesanku, kau boleh mengajarkan ilmu ini pada anak keturunanmu, dengan catatan : tanpa menggunakan paksaan. Keduanya harus ikhlas antara yang menimba dan mengajarkan. Bahkan pada siapa pun yang kau inginkan asal untuk kebaikan.”
“Pesan Guru akan saya junjung tinggi,” kata Jalu Samudra. “Lalu ... bagaimana dengan ilmu-ilmu yang lain Guru?”
“Sebenarnya ... semua ilmu kami bisa dipelajari oleh semua orang. Hanya saja, bisa atau tidaknya tergantung dari jodoh dan keberuntungan masing-masing,” tutur Dewa Pengemis pada muridnya. “Kau paham?”
“Jalu, kami memiliki sebuah kitab terakhir, dimana kitab ini mau kau pelajari atau kau berikan pada orang lain, semua terserah padamu,” kata Dewi Binal Bertangan Naga, lalu tangan kiri bergerak menarik ke arah benda pipih yang bersandar di dalam cerukan dinding. Seperti ada kekuatan gaib, benda pipih itu tersedot keluar dari cerukan, melayang pelan, lalu mengarah pada Jalu yang langsung menerimanya dengan kedua tangan.
Plekk!
Benda pipih besar itu terasa ringan di tangan Jalu Samudra.
“Kitab itu hanya bisa dipelajari oleh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, atau setidaknya mempunyai ilmu atau tenaga unik berserabut,” tutur Dewi Binal Bertangan Naga. “Meski demikian, kitab itu memiliki satu kelemahan.”
“Apakah itu, Guru?”
“Kitab ini ... akan hancur setelah berada di luar kedalaman air dua puluh tombak dalam waktu satu kentongan!”
“Benarkah!?”
“Menurut kakakku, memang seperti itulah adanya,” ucap Dewa Pengemis. “Jadi ... apakah ingin kau pelajari atau tidak, semua kuserahkan padamu.”
“Nah, muridku! Waktu kami berdua semakin menipis. Jaga dirimu baik-baik,” kata Dewi Binal Bertangan Naga, lalu sosoknya mengabur, “Sampaikan salam kami untuk Kumala Rani.”
“Satu lagi! Aku tahu kau sedang membantu para tokoh yang terbelenggu rantai ini. Untuk menghancurkan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit, gunakan tingkat sembilan dari ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, muridku,” kata Dewa Pengemis dalam sosok samar.
Akhirnya, bersamaan dengan hilangnya suara sang guru, lenyap pula sosok gaib Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga dari hadapan Si Pemanah Gadis.
“Terima kasih guru berdua. Semoga perjalanan guru berdua tidak ada halangan lagi,” desis Jalu Samudra. Setelah termenung beberapa saat, ia berkata, “Sebuah pengalaman yang unik. Nimas Rani pasti tidak percaya kalau aku ceritakan semuanya. Sudahlah! Lebih baik aku lanjutkan tugasku.” Lalu pandangannya beralih pada benda pipih di tangan kirinya, katanya, “Dan perkara kitab ini, lebih baik kuberikan saja pada Beda Kumala, siapa tahu dengan adanya lonjakan tenaga saktinya kemarin bisa mempelajari ilmu dalam kitab ini dengan sempurna.”
Jalu Samudra segera menyelam lebih dalam lagi. Jika sebelumnya ia menggunakan napas pori-pori kulit, kini ia justru berani menggunakan napas hidung.
“Wah ... Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ benar-benar ciamik!” kata Jalu, sambil main gelembung udara lewat hidung dan mulut, lalu sambungnya, “ ... atau jangan-jangan diriku malah keturunan ikan, nih?”

--o0o--

Di dalam penjara bawah tanah ...
“Begitulah, Beda!” kata Ki Gegap Gempita, “Sebisa mungkin kau segera keluar dari tempat ini. Kami tidak ingin kau mengalami nasib celaka seperti halnya kami-kami yang ada disini.”
“Dan kau perlu memberi tahu pada tokoh persilatan tentang ancaman yang ditimbulkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana,” kata Dewi Tangan Api, sambungnya, “Bergegaslah sebelum terlambat! Semakin cepat semakin baik!””
Beda Kumala bingung.
Benar-benar bingung!
Di satu sisi, ia begitu mengkhawatirkan Jalu Samudra yang tercebur ke dalam kolam dan ia sudah berkeyakinan apa pun yang terjadi, ia akan menunggu Jalu meski yang keluar hanya sesosok mayat beku. Di sisi lain, ia perlu memberitahukan perihal Raja Iblis Pulau Nirwana yang telah menyekap dan menawan tokoh-tokoh silat di penjara bawah tanah Istana Jagat Abadi.
“Cepat! Tunggu apa lagi?” desak kata si kepala gundul klimis, lalu ia mengangsurkan sebuah kotak kecil pada gadis itu, “Jika diluar sana kau bertemu dengan orang bernama Jalak Siluman, berikan benda ini padanya.”
“Tapi paman ... ”
“Aku percaya padamu, Cah Ayu! Tidak mungkin murid Perguruan Sastra Kumala seorang pengecut busuk yang menginginkan barang tak berharga milik orang lain, bukan?!”
“Jalak Hutan!” bentak Nyi Tirta Kumala, “Kau berani berkicau tak karuan pada muridku di depan gurunya, hah!?”
Si kepala gundul klimis yang dipanggil Jalak Hutan hanya menyeringai saja.
“Aduuhh ... bagaimana, nih?” gerutu Beda Kumala.
“Beda! Terima saja benda busuk itu,” kata Nyi Tirta Kumala, lalu sambungnya, “Antar ke Perkumpulan Titian Langit, dan bilang pada anaknya si Jalak Siluman itu kalau bapaknya yang bau tanah sebentar lagi mau modar!”
“Dasar nenek bawel!”
“Botak sinting!”
“Nenek peot muka codot!”
“Sudah ... sudah ... ” lerai Ketua Aliran Danau Utara, “Kalian ini selalu saja berkelahi. Apa tidak malu sama yang muda-muda!”
Jalak Hutan dan Nyi Tirta Kumala saling mendengus, lalu satu sama lain saling melengos.
“Baiklah ... kuterima,” kata Beda Kumala. “Tapi dengan catatan, kalau ketemu dengan Jalak Siluman, benda ini akan kuberikan padanya. Kalau tidak ... ya menunggu kalau pas ketemu.”
“Begitu juga boleh.”
Tangannya terulur maju.
Belum lagi menyentuh benda yang diberikan Jalak Hutan, tiba-tiba saja dari dalam kolam menyeruak sinar terang.
Crakkk ... crakkk ... !!
Dari dalam kolam tiba-tiba memancar keluar percikan-percikan bunga api warna-warni seperti kilat yang berloncatan. Fenomena ini cukup mengejutkan semua orang yang ada di dalam ruangan tahanan bawah tanah.
Bahkan Beda Kumala sendiri, langsung berlari mendekat ke arah tepi kolam.
“Apa yang kau lihat disana, Beda?” tanya Dewi Tangan Api dari tempat duduknya.
“Aku tidak tahu, Nyai Guru! Hanya saja di bawah sana, di kedalaman kolam terlihat sembilan cahaya warna-warni membentuk gumpalan bola cahaya besar,” terang Beda Kumala. “Dan kelihatannya semakin naik ke atas.”
Tentu saja ucapan tak masuk akal ini sangat mengejutkan semua orang yang ada di tempat itu, termasuk pula Nyi Tirta Kumala dan Ki Gegap Gempita yang saling pandang.
“Mana ada dalam kolam gelap gulita bisa muncul cahaya terang sembilan warna?”
“Memangnya ada api yang bisa menyala dalam air? Bah!”
“Yang benar saja?”
Gerutuan beberapa tokoh persilatan terdengar di sana-sini.
“Apakah pikiranmu sama dengan apa yang aku pikirkan?” tanya Ki Gegap Gempita.
“Katakan apa yang ada dalam benakmu,” sahut Nyi Tirta Kumala.
“Pikiranku adalah ilmu kesaktian langka milik Dewa Pengemis telah muncul kembali di rimba persilatan ... ” desis Ki Gegap Gempita. “ ... Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’!”
Semua orang terkejut mendengarnya. Ada yang percaya, setengah percaya, tiga perempat percaya bahkan ada yang tidak percaya!
“Apa yang ada dalam benakmu sama dengan apa yang ada dalam otakku, Kakang.”
“Seperti itukah yang kau maksud dengan ilmu langka nan legendaris itu?” tanya Jalak Hutan dengan nada kurang percaya. “Mungkin hanya bias sinar matahari saja.”
“Sejak kapan tempat ini bisa disinari cahaya matahari?” seru seorang laki-laki dengan rambut awut-awutan.
Tanpa mempedulikan ocehan Jalak Hutan, Ki Gegap Gempita terus memandang di bagian atas kolam.
“Benar!” sahut Ki Gegap Gempita, dengan mata tidak beralih dari pancaran sembilan warna yang menyeruak dari dalam kolam. “Tidak salah lagi.”
“Tapi ... siapa yang menguasai ilmu itu sekarang?” tanya Ki Harsa Banabatta, si Tangan Golok.
Belum lagi pertanyaannya terjawab, semua orang yang ada di tempat itu merasakan rantai yang membelenggu mereka terasa sedikit hangat memanas.
“Aneh, kenapa tiba-tiba rantai keparat ini menjadi hangat?” gumam Jalak Hutan.
Semua orang merasakan hal yang sama.
“Satu-satunya manusia yang masuk ke dalam kolam hanya Jalu saja,” tutur Nyi Tirta Kumala, “Apakah mungkin dia orangnya yang berhasil menguasai ilmu itu?”
“Tapi ... apakah mungkin ada manusia sanggup bertahan sebegitu lama berada dalam air dengan tekanan yang begitu besar?” timpal si Tangan Golok. “Jika kuhitung, sudah lebih dari satu kentongan berjalan. Jika benar, tentu ia pemuda yang sakti mandraguna!”
“Yang namanya kemungkinan memang ada,” ucap Jalak Hutan sambil mengucap kepala klimisnya. “Tapi kalau bocah semuda itu sanggup melakukan apa yang kau katakan tadi ... jelas mengada-ada namanya.”
“Ada atau mengada-ada ... kita lihat saja hasilnya,” desis Nyi Tirta Kumala.
Sementara itu, pancaran sembilan warna semakin lama semakin terang dan akhirnya ...
Blushhh ... !
Dari bawah air, pelan namun pasti menyembul keluar sebongkah bola raksasa sebesar lebar kolam.
Blashh ... !
Dalam waktu satu sedotan napas, bola cahaya memancarkan sinarnya menerangi seantero ruangan, memecah dan sinarnya menyebar ke segala arah, membuat semua orang yang ada di tempat itu memicingkan mata, bahkan ada yang sampai membalikkan badan.
Bersamaan dengan itu pula, seluruh ruangan bagai dilanda gempa bumi.
Grhhh ... ggreeehh ... !
“Ada apa ini?”
“Wuaaa ... gempa bumi!”
“Mati aku!”
“Awas ... atap runtuh!”
Suara-suara terdengar di sana-sini. Namun, gempa hanya sesaat saja terjadi.
Begitu gempa bumi berhenti, dari dalam kolam terdengar suara gemuruh keras, seperti ada sejenis makhluk raksasa yang terbebas dari penjara besi, seperti pekikan keras seekor naga air yang terbangun dari tidur panjang, diikuti dengan sambaran kilat sembilan warna membentuk hawa naga dengan mulut terbuka lebar melesat keluar mengarah ke langit-langit.
“Hroaagghhh ... !”
Blammm ... ! Blamm ... !
Semua orang yang terpana dengan yang terjadi di depan mata mereka, suasana sontak bagai dicekam sebentuk hawa menakutkan disertai dentuman keras dan air semburat ke mana-mana.
Pyarr ... pyarr ... !
Begitu naga air menghilang, dan air meluruh kembali ke dalam kolam, dari atas langit-langit terlihat melayang turun sosok pemuda baju biru dengan tangan kiri memegang benda putih besar sedang tangan kanan memegang tongkat hitam.
Jlegg!
Semua orang terpana. Dalam hati masing-masing berkata, benarkah pemuda buta ini pewaris ilmu-ilmu sakti Dewa Pengemis, tokoh sakti masa silam yang paling diperhitungkan tindak-tanduknya?
Jika memang benar, betapa beruntungnya dia!
“Kakang Jaluuu ... !”
Beda Kumala langsung berlari menyongsong Jalu Samudra. Tanpa malu-malu di hadapan banyak orang, murid bungsu Nyi Tirta Kumala memeluk erat Si Pemanah Gadis.
“Hu ... hu ... huk ... !”
“Sudah ... sudah ... jangan nangis! Cup, cup, cup!” kata Jalu sambil menepuk-nepuk punggung Beda Kumala, “Malu diliat orang?!”
“Biarin!”
Sambil masih dipeluk Beda Kumala, Jalu Samudra berseru, “Saudara-saudara, cepat putuskan rantai yang membelenggu kalian. Waktu kita tidak banyak!”
Mendengar hal ini, semua orang meragu. Namun begitu, ada juga yang mencobanya dengan menggunakan tenaga dalam yang mereka tersisa.
Crakk! Klaang!
Rantai yang dulunya sulit putus, kini bisa patah menjadi dua!
Melihat kawan-kawannya bisa memutuskan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit, membuat semua tokoh silat yang ada dalam tahanan meniru perbuatan kawan-kawan mereka.
Crakk! Crakk! Crakk!
Klaang! Klaang! Klaang!
 
BAGIAN 25


Suasana dalam ruangan bawah tanah kini ramai dengan suara patahnya besi serta ayunan senjata tajam diikuti dengan riuh rendah sorak-sorai kegembiraan karena telah terbebas dari belenggu rantai yang selama ini mengekang kebebasan mereka.
Sementara itu, Beda Kumala sudah melepaskan pelukannya pada Jalu Samudra, karena beberapa tokoh silat yang telah bebas menghampiri pemuda murid Dewa Pengemis ini. Tentu saja gadis ini malu bila menjadi tontonan.
“Anak muda bernama Jalu, kami tidak tahu harus mengucapkan apa, tapi terimalah rasa hormat kami,” kata seorang kakek yang membawa sebatang tongkat besi, lalu duduk bertekuk lutut. Dan hal itu diikuti dengan beberapa orang yang lain.
Beberapa tokoh aliran hitam, mereka hanya mendengus saja, meski dalam hati mengakui bahwa tanpa adanya pemuda itu sulit sekali mereka bisa lolos dari penjara bawah tanah dari libatan Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit milik Raja Iblis Pulau Nirwana. Jalu Samudra segera membangunkan kakek yang membawa sebatang tongkat besi yang berlutut di hadapannya, diikuti dengan yang lain.
“Sudahlah, Paman! Saling tolong menolong sesama manusia adalah kewajiban kita bersama,” tandas Jalu Samudra. Lalu sambil memutar badan, Jalu berkata, “Mohon para sahabat segera bersemadi mengatur hawa murni. Kemungkinan besar kita keluar dari sini dengan membuka jalan darah.”
Semua orang yang ada di tempat itu tersentak!
“Benar! Kita harus keluar dari neraka ini! Apa pun caranya!?”
“Akuurr!”
“Kalau perlu, kita habisi semua orang yang menghalangi kita!”
“Ya! Ya ... betul!”
Semua orang segera duduk bersila mengatur jalan darah dan hawa murni masing-masing. Bahkan Nyi Tirta Kumala dan Ki Gegap Gempita saling beradu telapak untuk saling membantu mengalirkan hawa murni masing-masing.
Selagi semua orang tenggelam dalam semadi, Jalu berkata pada Beda Kumala, “Beda, lebih baik kau pelajari ini.”
Jalu Samudra mengangsurkan kitab besar di tangannya pada gadis itu. Saat gadis itu ingin membuka suara, jari telunjuk kanan Jalu menempel di bibir merah si gadis, katanya, “Tidak perlu bertanya! Cepat pelajari!”
Beda Kumala menelan suaranya, lalu berjalan ke pinggir kolam, duduk disana sambil membuka kitab besar di tangannya. Disampingnya duduk Jalu Samudra, sambil matanya mengawasi keadaan di sekelilingnya.
Pada lembar pertama, tertulis : Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’!
“Hemm ... Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’!?” pikir Beda Kumala, “Dari mana Kakang Jalu dapat kitab seperti ini? Nanti saja aku tanyakan!”
Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ adalah sejenis ilmu silat dan tenaga sakti yang digabung menjadi satu. Inti dari ilmu adalah persis seperti seekor ulat sutera menjadi dewasa. Dimana diawali dengan asal muasalnya dari sebentuk kepompong yang perlahan-lahan berubah menjadi ulat sutera. Dan luar biasanya, Beda Kumala justru telah melampaui tahap menjadi kepompong dan ibaratnya sekarang menjadi ulat sutera dewasa. Ilmu ini terdiri dari sepuluh jurus, dimana setiap jurusnya justru berdiri sendiri. Tidak seperti ilmu silat pada umumnya, yang dari satu jurus ke jurus berikutnya masih saling terkait.
“Beda, kau hapalkan dulu saja,” bisik Jalu Samudra.
Beda Kumala yang tenggelam dalam konsentrasi seolah tidak mendengar, terus saja membuka lembar demi lembar hingga pada lembar ke sepuluh. Beberapa saat kemudian, Beda Kumala memejamkan mata sambil mulut berkomat-kamit. Tak lama kemudian gadis itu membuka mata. Sinarnya begitu tajam menusuk.
Blusshh!
Kitab besar di tangan Beda Kumala tiba-tiba menyerpih, serpihan kitab jatuh ke dalam kolam. Gadis itu kaget bukan alang kepalang, sehingga tanpa sadar ia terpekik!
“Aaah ... ” pekiknya, “Apa ... apa yang terjadi?”
Plungg!
Kembali terjadi keajaiban!
Di saat menyentuh air, serpihan kitab kembali menyatu utuh membentuk sebuah kitab putih besar, melayang turun perlahan ke bawah. Semakin lama semakin mengecil dan akhirnya hilang dari pandangan mata.
“Kitab itu telah kembali ke asalnya,” desis Si Pemanah Gadis. Lalu ia menoleh pada gadis di sebelahnya, “Kau berhasil mengingat semuanya?”
“Semuanya aku ingat disini,” kata Beda Kumala sambil mengetuk pelan dahinya.
“Bagus! Kau telah berhasil menguasai teori Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’!” kata Jalu Samudra.
“Teori?” tanya Beda Kumala heran, “Tidak, Kang! Aku sepertinya sanggup menggunakan ilmu baruku ini kapan pun aku mau!”
“Ahh ... yang benar?” tanya Jalu dengan nada setengah percaya.
“Betul alias tidak salah.”
“Jika begitu adanya, kau tetap perlu melatih ilmu barumu ... ” ucap Jalu Samudra menandaskan, “ ... meski hanya satu kali.”
Beda Kumala mengangguk.
“Bagaimana kalau sekarang saja, mumpung semua yang ada di tempat ini sedang tenggelam dalam alam semadi,” usul Beda Kumala.
“Apa tidak mengganggu orang yang ada di tempat ini? Nanti kalau ada suara ledakan, gimana?”
“Tenang saja! Kalau cuma melatih gerak jurus tanpa tenaga dalam, tak ada salahnya dicoba, bukan?”
“Ide cemerlang!” sahut Jalu Samudra sambil mengacungkan jempol. “Apa perlu teman bertanding?”
“Sementara ini ... belum dulu saja.”
Segera saja Beda Kumala melakukan gerak awal dari Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ dimana posisi kedua kaki sedikit merapat, hanya sejarak tiga jari. tangan kanan ditekuk terulur dengan dua jari telunjuk dan tengah terpentang, tiga jari lainnya di tekuk ke dalam. Sekilas seperti orang mau mencolok dua mata. Akan halnya posisi kaki Beda Kumala cukup aneh untuk bentuk sebuah kuda-kuda, sebab biasanya kuda-kuda ilmu silat sedikit banyak pasti merenggangkan ke dua kaki.
Posisi tangan kiri justru lebih tidak mengherankan lagi. Jika tangan kanan dalam posisi mencolok mata, justru tangan kiri membentuk posisi tegap lurus di depan dada seperti orang mau menyembah!
Jalu Samudra hampir saja tertawa geli melihat posisi kuda-kuda awal Beda Kumala, kalau ia sendiri tidak ingat bahwa kuda-kuda awal Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ justru lebih aneh lagi, berdiri dengan kaki terpentang lebar dalam posisi miring ke samping, justru badan tertekuk ke dalam dengan dua tangan membentuk caping terentang ke kiri kanan.
Sekilas memang mirip dengan kepiting yang mau terjun ke dalam air!
Begitu posisi siaga siap, Beda Kumala menggerakkan ujung-ujung jari seperti orang menunjuk-nunjuk sesuatu disertai dengan langkah kaki yang kadang bergeser ke kiri kanan, namun anehnya pergeseran kaki tetap menyentuh lantai, tidak diangkat seperti olah kaki pada umumnya. Belum lagi dengan badan yang melejit-lejit seperti cacing kepanasan meski posisi kaki tetap berada di tanah.
Sett! wreett!
Jurus ‘Ulat Sutera Memintal Benang’ digerakkan dengan cantik oleh gadis mungil ini.
“Hemm ... untung tidak memakai hawa murni,” desis Jalu Samudra, “Kalau ia menyisipkan sedikit saja haw murni, kukira yang keluar justru buntalan hawa maut yang siap menghabisi siapa saja. Dari catatan tadi, ini mungkin yang namanya jurus ‘Ulat Sutera Memintal Benang’. Sekarang memasuki jurus kedua. Kalau tidak salah namanya ‘Belitan Ulat Sutera Jahat’. Seperti apa ya bentuknya?”
Begitu jurus pertama selesai, Beda Kumala menggerakkan ke dua tangan di atas kepala, memulai jurusnya yang ke dua. Namun uniknya, gerakan tangan sangat bertolak belakang. Tangan kiri membuat gerakan kotak-kotak berulang kali dan tangan kanan membentuk gerak melingkar berulang-ulang. Seperti yang diduga Si Pemanah Gadis, kali ini jurus ‘Belitan Ulat Sutera Jahat’ diperagakan dengan sempurna oleh Beda Kumala.
Jika sebelumnya kaki tetap bertumpu pada tanah, justru sekarang gadis itu benar-benar melayang-layang di udara dengan posisi ke bawah di bawah!
Tiba-tiba saja ...
Dharr ... ! Dharr ... !
Terdengar suara ledakan meski terdengar tidak begitu keras, tapi cukup membuyarkan konsentrasi semua orang yang ada di tempat itu.
“Siapa yang bikin berisik?” desis Jalak Hutan dengan mata mendelik.
Mulanya Jalu menduga bahwa Beda Kumala sengaja melambari jurus dengan hawa murni, namun setelah terdengar ledakan untuk kedua kalinya, barulah ia mengetahui bahwa suara ledakan berasal dari luar!
Beda Kumala yang hampir menggunakan jurus ketiga, berhenti sejenak.
“Suaranya terdengar dari luar,” Jalu menjawab pertanyaan Jalak Hutan.
Belum lagi gema suara pemuda baju biru itu menghilang, dari luar kembali terdengar suara ledakan namun disertai dengan suara sorak-sorai membahana dan dentingan senjata tajam.
“Mungkin bala bantuan telah datang,” kata Ki Gegap Gempita.
“Kemungkinan besar ... para pendekar yang menyerbu ke mari,” ujar Si Tangan Golok. “Bagus! Tenagaku sendiri sudah pulih sembilan bagian. Sudah saatnya Ilmu ‘Putaran Golok Sakti’ minum darah para keparat yang menempati istanaku dengan seenak perutnya!”
“Betul! Betul!” seru beberapa tokoh silat sambil mengangkat senjata masing-masing.
“Kita habisi mereka!”
“Cincang Raja Iblis Pulau Nirwana!”
“Bunuh!”
“Hancurkan!”
“Bantai para pecundang!”
Seperti sudah seia sekata, mereka yang sebelumnya terkurung di tempat itu, berkelebatan keluar dari penjara bawah tanah. Pintu baja yang sebelumnya sudah berlubang besar langsung dibuka dari dalam. Ki Harsa Banabatta sebagai pemilik asli dari Istana Jagat Abadi tentu saja tahu dimana posisi kunci dan letak jebakan maut dalam ruang bawah tanah, dan segera ia menekan sebuah kotak persegi untuk mematikan alat rahasia.
Krieett!
Terdengar suara berderit keras saat kunci pembuka pintu gerbang diaktifkan.
Jika hanya tenaga satu orang jelas tidak akan kuat membuka pintu baja yang sebegitu tebal dan kuat, namun dengan tenaga sakti lima orang pendekar, sudah lebih dari cukup untuk membuka lebar pintu ini.
Wutt! Wutt! Blassh! Blashh!
Lapp!
Beberapa pendekar langsung berserabutan keluar.
Di dalam ruangan ...
“Lebih baik Nyi Tirta Kumala dan Aki Gegap Gempita memimpin para tawanan. Takutnya mereka salah sasaran,” ucap Jalu Samudra pada dua ketua perguruan ternama itu. “Kami akan menyusul di belakang.”
Rupanya perkataan Jalu Samudra disalahtafsirkan oleh Nyi Tirta Kumala dan Aki Gegap Gempita. Ke dua orang ini masih berpikir bahwa pemuda baju biru yang ternyata murid dari Dewa Pengemis, yang telah mewarisi satu-satunya ilmu paling langka rimba persilatan adalah seorang pemuda buta. Dan satu-satunya manusia yang dikenal oleh pemuda buta ini hanyalah Beda Kumala seorang.
Tanpa pikir panjang, Ketua Aliran Danau Utara berkata, “Baik! Kami berangkat duluan, Jalu! Beda!”
“Beda! Jangan terlalu lama. Mungkin kami membutuhkan bantuan dari kalian berdua,” tambah Nyi Tirta Kumala alias Dewi Tangan Api.
Ke dua orang ini langsung berkelebat pergi tanpa menunggu jawaban dari Beda Kumala dan Jalu Samudra.
Saat Beda Kumala hendak menyusul keluar, tangan kirinya dicekal oleh si pemuda.
“Kau mau apa?”
“Aku mau menyusul Nyai Guru dan yang lain-lainnya ... ”
“Selesaikan dulu latihanmu, baru kita susul mereka,” sahut Jalu Samudra.
“Tapi ... ”
“Jangan khawatir! Kita tetap akan berpesta, kok!?”

--o0o--

Benar seperti dugaan Tangan Golok!
Saat di langit timur sudah menampakkan semburat merah, di halaman Istana Jagat Abadi terlihat ratusan orang berada di tempat itu. Mereka semua berada di tempat itu bukan untuk rapat, ngobrol, apalagi main dadu, tapi sedang siap-siap beradu nyawa!
Terlihat beberapa tembok pembatas terlihat berlubang besar disana-sini, mungkin di jebol dengan pukulan sakti atau hantaman benda-benda berukuran besar, jika dihitung sekitar dua belas lobang terbentuk membuat angin pagi semakin santer menerobos masuk ke dalam.
Di setiap bagian jebolan tembok, berkumpul orang-orang dengan pakaian aneka warna dan aneka rupa. Ada yang necis dengan rambut hitam klimis, ada yang kucel seperti belum pernah dicuci seumur hidup, bahkan ada yang tidak berpakaian sama sekali (maksudnya telanjang dada, bukan bugil, lho) karena masih memakai celana. Bahkan ada yang seluruh tubuhnya tertutup pakaian, hanya sepasang matanya saja yang kelihatan.
Namun yang cukup menyolok mata adalah adanya puluhan gadis cantik berbaju hijau-hijau dengan sulaman bunga matahari kuning emas di dada sebelah kiri, berdiri saling berpasangan dengan puluhan pemuda yang rata-rata tampan berbaju putih-putih berikat pinggang ungu berdiri berdampingan, di dada bagian kiri terdapat bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang sama.
Lambang Perguruan Sastra Kumala dan Aliran Danau Utara!
“Cepat, kembalikan ayahku!” teriak seorang pemuda tinggi kurus. “Kalau tidak ... Perkumpulan Titian Langit akan membuat tempat ini sama rata dengan tanah!”
“Serahkan Ketua kami, dan kalian bisa hidup untuk beberapa tahun!” seru seorang laki-laki kate dengan muka tirus. Di dahinya terdapat sebuah batu biru ukuran yang melekat kuat di seperti di tempel dengan getah pohon. Dibelakangnya berdiri pula lima orang dengan tubuh kate, hanya tidak memiliki tempelan batu biru di dahi.
“Ya, betul ... !” seru kompak beberapa orang tokoh silat atau murid perguruan yang datang ke Istana Jagat Abadi.
“Kembalikan orang-orang kami yang kalian culik!”
“Bebaskan tanpa syarat!”
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Tegang semakin dalam...semangatnya sampe pedes mata bacanya...lanjut hu..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd