Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

BAGIAN 13


Cuaca menjelang sore masih panas meski tidak menyengat. Suasana saat keluar dari hutan belantara yang sejuk dan kini masuk ke sebuah pedesaan, berubah drastis. Terasa lengang, hanya orang yang tampak lalu lalang sambil berkipas-kipas. Mungkin merasakan panasnya sengatan sinar matahari sehingga harus cari angin di luaran.
Terlihat Beda Kumala juga mengipasi lehernya dengan telapak tangan karena kepanasan, sampai-sampai baju hijau yang masih melekat di tubuh membasah hingga mencetak indah lekuk tubuhnya. Sepintas terlihat tampak sangat menggairahkan dengan kerlip keringat di wajah. Belum lagi dengan rona merah matang yang semakin kentara, membuat nuansa romantis tercipta dengan sendirinya.
Sesuatu dalam diri pun mulai Jalu Samudra bergejolak.
“Kurasa aku rindu bercinta yang benar-benar bercinta,” kata dalam hatinya.
“Kita cari penginapan untuk menyembuhkan lukamu dulu,” kata Jalu Samudra.
“Aku sudah cukup sehat, Kakang.”
“Tapi wajahmu semakin merah matang seperti itu. Aku takut kalau benar-benar kau menderita keracunan,” tutur Jalu sambil memandang lekat-lekat wajah Beda Kumala.
“Wajahku semakin memerah?” tanya Beda Kumala, heran.
Seakan menyadari sesuatu, Jalu berkelit dengan manis, “Dengus napasmu terdengar memburu, itu adalah salah satu tanda orang keracunan. Dan kalau orang keracunan salah satu tanda yang lain adalah wajahnya merah matang macam tomat.”
Beda Kumala mengangguk pelan saja.
Akhirnya mereka memilih penginapan yang ada di desa itu. Saat membuka pintu kamar, Si Pemanah Gadis bersin beberapa kali begitu menghirup debu yang berhamburan keluar.
Hatchiing! Hatchiing ... !
“Hi-hik-hik!”
Beda Kumala terkikik geli melihatnya.
“Sialan! Kalau pemilik penginapan ini kesini bakalan aku semprot habis-habisan dia,” gerutu Jalu. “Kamar bersih apanya? Debu hampir satu jengkal begini dibilang bersih. Bah!”
Kembali Beda Kumala tertawa renyah.
Begitu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, Jalu segera melangkah ke ruang tengah, sambil berkata, “Lebih baik kau duduk di atas dipan sana. Aku bantu menyembuhkan lukamu.”
Belum lagi suara menghilang dari tenggorokan, mendadak saja Beda Kumala merangkul dari belakang.
“Wah, wah, ada apa nih,” protes Jalu.
Tak ada sahutan dari Beda Kumala, yang terdengar hanyalah dengusan napas memburu saja disertai pelukan yang semakin erat. Tonjolan besar di dada gadis itu menekan punggung Jalu.
“Edan! Jangan-jangan anak ini benar-benar terkena racun birahi,” pikir Jalu sambil berusaha melepaskan diri, “Atau malah mungkin dia terkena apa yang namanya Serabut Maut yang seperti diucapkan Golok Tapak Kuda tadi, ya? Masa’ hasilnya seperti ini!?”
Jalu segera menyentuh nadi tangan kiri Beda Kumala.
“Pembuluh darahnya berdenyut terlalu cepat,” pikirnya, “Dia benar-benar kena racun birahi!”
Jalu membiarkan saja tangan gadis itu menjelajah kemana-mana.
“Cuma ada satu solusi untuk masalah ini. Jika ditotok jalan darahnya pasti ada pembalikan hawa,” pikirnya, “Kukira tidak ada solusi lain selain hal itu.”
Si Pemanah Gadis tahu betul, bahwa gadis yang terkena racun birahi tidak ada obat yang paling manjur dan ampuh selain bercinta dengan lawan jenisnya pula. Diobati dengan hawa murni atau ramuan obat apa pun juga tidak akan berguna. Hanya saja Jalu Samudra tidak tahu apa jenis racun birahi yang berada di dalam tubuh Beda Kumala dan seberapa kuat daya kerjanya.
“Yach ... apa boleh buat ... sekali-sekali diperkosa gadis juga tidak ada jeleknya,” desis Si Pemanah Gadis, membiarkan saja tingkah polah gadis yang menggerayangi dirinya.
Tangan gadis itu lalu turun dan jemarinya masuk bergerilya kemana-mana.
Jalu segera membalik tubuh dan membalas memeluk mesra Beda Kumala dengan segenap perasaan. Jalu sendiri sempat terheran-heran mendapati pilar tunggal penyangga langit menegang begitu cepat.
“Kurasa baju hijaunya yang basah oleh keringat itu membuat daya khayal asmaraku cepat berkembang,” pikirnya sambil tangan kanan meremas-remas dada membusung Beda Kumala, “Sudahlah! Toh, bercinta merupakan sesuatu yang menyenangkan.”
Sedang Beda Kumala merasakan kekagetan.
“Benda apa ini yang menempel di perutku? Apa mungkin ... ” pikir si gadis.
Belum lagi ia menurunkan tangan kiri ke bawah, Si Pemanah Gadis telah melancarkan serangan pertama.
“Hmmm ... ” Jalu langsung melumat bibir merah merekah yang seolah disodorkan dengan pasrah sambil memeluk pinggang si gadis erat-erat sampai ia terengah-engah. Bau keringat yang keluar dari tubuh Beda Kumala membuat darah muda Si Pemanah Gadis mengalir semakin cepat.
“Kau berkeringat,” bisik Jalu di bibirnya.
“Aku ... mhh ... ini gara-gara nahan kelamaan,” Beda Kumala balas berbisik.
Jalu tertawa, sambil berpikir, “Aku harus bertindak cepat. Tidak ada waktu untuk main-main sekarang ini.”
“Sekarang balik belakang,” kata Jalu seraya merapatkan tubuh gadis mungil baju hijau ke dinding kamar.
Beda Kumala menurut. Saat ia hendak melepas baju hijaunya, Jalu berbisik, “Jangan dilepas. Pakai saja bajumu.”
Beda Kumala tersenyum saja.
“Kamu suka dengan begini ya, Kang,” katanya setengah mendesah.
“Kau lebih merangsang kalau begini," ucap Jalu Samudra.
Saat itu, baju hijaunya yang basah sudah membasahi pakaian biru si pemuda. Rambutnya yang basah karena keringat membuat ia tampak sangat menggairahkan di mata Si Pemanah Gadis.
Si Pemanah Gadis segera melipat kaki ke bawah dan berjongkok di belakang, sambil jari tangannya meraba lembut bagian kaki yang masih terbalut celana, sementara jari tangan kiri bergerak-gerak tak sabar, sedang tangan kanan menurunkan sedikit celana Beda Kumala. Setelah itu, ditekan sedikit jemari ke dalam lipatan paha.
Beda Kumala langsung mendesah nikmat.
“Baru kali ini aku bisa merasakan nikmatnya jari seorang laki-laki bermain di tempat itu,” desahnya dalam hati sambil matanya sedikit memejam. “Dia pintar memanjakan lawan jenisnya.”
Tanpa tempo lama, Beda Kumala tiba-tiba merasakan sesuatu akan segera meledak dalam dirinya. Akan tetapi, ketika baru mau mencapai titik yang jarang sekali ia dapatkan, justru Jalu menghentikan jurus ‘Tarian Jari’-nya, diganti dengan si pemuda semakin menurunkan posisi celana luar dalam hingga mencapai lutut. Praktis belahan pantat bebas merdeka yang penuh dan kencang terpampang di depan mata putihnya.
“Kenapa berhenti?” desis Beda Kumala, kecewa.
“Bungkuk lagi,” bisik Jalu Samudra tanpa menjawab pertanyaan, sembari tangan kiri menekan lembut punggung si gadis.
”Gila! Mau apa lagi si buta satu ini? Aku sudah tidak tahan tapi dianya masih main-main saja!” desah Beda Kumala dalam hati.
Beda Kumala merendahkan tubuhnya hingga pemuda yang ada di belakangnya bisa melihat gerbang istana kenikmatannya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Dengan masih bertumpu di lutut, kepala Jalu sedikit merunduk ke bawah, lidahnya menjulur.
Slepp!
Langsung memainkan bibir gerbang istana kenikmatannya.
“Ughh ... uahh ... ”
Beda Kumala semakin merapat ke dinding kamar sambil mendesah. Erangan keluar dari mulutnya saat lidah panas bermain-main dengan tepi gerbang istana kenikmatan miliknya. Dinikmatinya setiap rasa yang masuk dan menjalar hingga membuat seluruh tubuhnya bergetar lembut.
Jemari Beda Kumala bergeser ke belakang, lalu menemukan rambut si pemuda, menjambak dan mencakar dengan penuh gelora.
“Kakang Jalu ... ah ... ah ... ” ia merintih.
Tak ingin Beda Kumala mencapai titik asmara sebelum dahaganya terpuaskan, Jalu segera mengangkat tubuhnya. Beda Kumala hendak berbalik, tapi si pemuda menahannya.
“Tetap seperti itu,” kata Jalu lirih.
Baju hijau khas Perguruan Sastra Kumala yang basah kuyup membuat Si Pemanah Gadis terangsang juga.
Srett!
Tiba-tiba Beda Kumala merasakan sesuatu benda panas membara dengan ukuran jumbo berusaha menerobos masuk gerbang istana kenikmatan dari belakang. Di tarik, didorong. Di tarik, didorong. Di tarik, didorong.
“Gila! Baru kali ini bisa merasakan hentakan nikmat dan berirama seperti ini,” pikir Beda Kumala sambil memejamkan mata, sedang mulutnya mendesis-desis seperti ular. Beda Kumala merintih saat ujung pilar tunggal penyangga langit si Jalu semakin dalam membelah bibir gerbang istana kenikmatannya dan melesak masuk perlahan.
Beda Kumala untuk pertama kalinya mencicipi jurus ‘Keledai Musim Semi‘ dimana dalam jurus ini menuntut kekuatan topangan kaki dan tangan sang gadis, karena dilakukan dalam posisi menungging dan bertumpu pada kaki dan tangannya, meskipun sulit, posisi ini disukai gadis murid Perguruan Sastra Kumala ini, karena dengan posisi ini sebenarnya Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis berniat membuat Beda Kumala mendaki puncak asmara yang paling tinggi dalam waktu singkat.
Sementara itu, Jalu terus menyerang, membenamkan puncaknya sedikit demi sedikit, tarik ulur dalam menenggelamkan ujung pangkalnya, bagai siput besar sedang mengusir angin.
”Meski aku pernah melihatnya bercinta dengan Garan Arit, tak kuduga gerbang istananya masih sedahsyat ini,” pikir Jalu, ”Begitu sesak, begitu menantang, menjepit, memijat pilar tunggalku hingga rasa nikmat menjalar cepat. Aku harus menekan masuk lebih dalam lagi. Biar dia merasakan titik puncak asmara yang sebenarnya.”
Sedang Beda Kumala menggerak-gerakkan pinggulnya dan merintih-rintih kala benda bulat panjang itu semakin menerobos masuk.
Tangan kanan kiri Jalu menyusup masuk ke dalam baju hijau, meremas-remas sepasang bukit kembar yang penuh dan kencang, yang menggelantung bergerak-gerak saat ia mendorong pinggulnya maju dan mundur serta masih terbungkus penutup dada.
“Kakang ... Jalu ... kang ... ah ... ah ... ” Beda Kumala terus merintih.
Si pemuda berbaju biru terus mendorong semakin kencang dan semakin kencang. Diciuminya belakang telinga dan punggung leher Beda Kumala yang membuat gadis itu menggelinjang geli-gatal. Saat Si Pemanah Gadis semakin cepat menerjang, lengan Beda Kumala terlepas dari dinding. Masih dengan pilar tunggal penyangga langit di dalam gerbang istana kenikmatannya, didorongnya tubuh Beda Kumala dari belakang, sampai ia terjatuh membungkuk di lantai.
Permainan jurus ‘Keledai Musim Semi‘ naik ke tingkat dua!
Gadis itu berusaha membalikkan tubuhnya, tapi Jalu kembali menahan tubuhnya hingga tetap diam membelakang dalam posisi nungging. Pipinya menempel di tembok. Rintihan terdengar terus dari bibir mungil. Bagi Beda Kumala sendiri, rasanya seperti diterjang batang membara yang membawa geli-gatal ke seluruh dinding gerbang istana kenikmatannya. Belum apa-apa, gadis itu sudah terlanda gelombang puncak birahinya yang pertama.
Begitu cepat!
“Aaaah ... aaahh ... ”
Beruntun dengan gelombang ke dua datang saling susul menyusul.
“Aaaah ... uuuhh ... ”
Beda Kumala mengerang, melejang, bahkan sepasang matanya membeliak merasakan sebentuk kenikmatan yang untuk pertama kalinya ia rasakan. Begitu menggeletar. Begitu menggemuruh seakan sanggup merontokkan seluruh isi tubuhnya.
Melihat Beda Kumala sudah mencapai titik asmara tertinggi, Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai.
Srepp!
 
BAGIAN 14


Begitu tenaga ditarik, diganti dengan sebuah tarikan napas lembut, diikuti hawa hangat mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga langit.
“Terima jurus pamungkasku ini, sayang!” kata Jalu sambil mempercepat gerakan mennyerang dari belakang.
Beda Kumala sendiri masih terguncang-guncang, tapi justru inilah yang diharapkannya. Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih cepat!
“Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... ”
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dinding-dinding gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... !
Sebentuk hawa keperkasaan si Jalu yang berasal dari jurus Ilmu ‘Perjaka Murni’ menggelegak tersembur keluar diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan. Dan bersamaan dengan itu pula, Beda Kumala mengalami hal yang sama untuk ke tiga kalinya.
Serr ... !
Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam sana.
Saling sembur dan saling semprot!
Jika tubuh si Jalu menegang sambil dada bidang menempel erat pada punggung dan sepasang tangannya meremas kuat sepasang bukit padat si gadis dari arah belakang, sedang pinggul menekan dalam-dalam hingga membuat pilar tunggal penyangga langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung.
Sedang yang dialami Beda Kumala justru berlainan. Tubuhnya melengkung indah ke atas dengan kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pangkal paha si Jalu, seakan dengan cara begitu, ia bisa memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin membusung.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas.
“Kau benar-benar hebat, Kakang Jalu,” kata Beda Kumala setelah gelombang asmaranya mereda. “Bisa dilepas, ngga? Aku mau duduk di tempat tidur saja. Begini terus bikin capek.”
“Terima kasih atas pujiannya,” jawab Jalu tertawa sambil bergerak menarik mundur, katanya dalam hati, “Hemm, rona mukanya sudah kembali seperti semula. Berarti racun birahi dalam darahnya sudah terusir semua. Semoga saja perkiraanku benar adanya.”
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya sambil duduk dekat Beda Kumala.
“Apanya?”
“Apa kau masih merasakan getaran-getaran aneh?” tanya Jalu Samudra.
Sambil meraba dada kiri yang masih tertutup baju dengan tangan kanan, ia menekan-nekan beberapa kali, lalu menggeleng.
“Sudah tidak ada lagi. Rasanya sudah plong,” katanya sambil mengangsurkan tangan kirinya. “Coba Kakang Jalu raba denyut nadiku?”
Tanpa menjawab, Jalu meraba tangan gadis yang diangsurkan ke arahnya.
“Benar. Denyut jantung dan jalan darah di nadimu sudah normal kembali,” sahut Jalu sambil melepas tangan kiri Beda Kumala.
Saat ini mereka duduk agak berdempetan dan tentu saja masih dalam keadaan setengah telanjang tentunya. Namun lucunya, mereka berdua seolah tidak sadar kalau dalam keadaan seperti itu.
“Sebenarnya aku kena racun apa?”
“Kau ingin tahu?”
Beda Kumala mengangguk.
“Aku sendiri kurang begitu tahu, hanya saja dari percakapan mantan lawan kita, aku mendengar Racun ‘Serabut Maut’ mereka sebutkan ... ”
“Benar! Aku juga mendengar mereka mengatakan seperti itu,” potong Beda Kumala.
“Setahuku, racun ini adalah sejenis racun yang sering kali digunakan para lelaki hidung belang untuk memperdaya korbannya. Dalam bahasa kasarnya, tanpa diperkosa pun mereka pasti menyodorkan diri untuk dinodai.”
“Masa seperti itu?”
“Racun ‘Serabut Maut’ sebenarnya masih termasuk dalam racun birahi, racun yang bisa membangkitkan nafsu ragawi lawan jenis dalam tempo singkat. Semakin banyak racun yang masuk ke dalam tubuh seseorang, ia bisa menjadi budak nafsu ragawi secara berkepanjangan,” urai Jalu panjang lebar. “Bahkan ia menemui ajalnya dengan tubuh kurus kering.”
Beda Kumala bergidik ngeri dirinya menjadi budak nafsu.
“Iiihh ... jangan menakut-nakuti aku, Kang?” kata Beda Kumala sambil mendekapkan dua tangan ke pipinya.
“Tapi untunglah, kau hanya terkena sedikit, jadi tidak perlu cemas seperti itu Beda,” kata Si Pemanah Gadis, lembut.
“Benarkah?” tanya Beda Kumala sambil menurunkan sepasang tangannya.
Saat ia menundukkan kepala, tiba-tiba saja ia menjerit kaget!
“Aaaa ... ” jerit kaget Beda terdengar.
“Apa ada!?” Jalu bertanya dengan kaget.
“Itu ... itu apa?” tanya Beda Kumala sambil tangan kanannya menuding ke bawah pusar Jalu yang masih berdiri kokoh seperti batu karang.
Seperti sudah tahu benda apa yang dituding Beda Kumala, Si Pemanah Gadis menjawab ringan, “Benda itulah yang telah menyembuhkanmu, Beda. Kau tidak perlu kaget!” Sedang katanya dalam hati, “Huh, kaget kok telat! Sudah diobok-obok baru tahu benda yang dipakai buat obok-obok!?”
“Seperti belum pernah melihat saja kau ini?” kata Jalu sambil membusai lembut rambut panjang Beda Kumala.
“Bukan begitu! Ukuran dan panjangnya ... ”
“Ada yang salah, ya?” goda si Jalu.
Selebar muka Beda Kumala merona karena malu.
“Apa mau merasakan lagi?” tanya Jalu sambil mendekap erat tubuh gadis murid Perguruan Sastra Kumala ini.
“Dasar nakal ... ” ujar Beda Kumala lagi sambil mengusap rambut pemuda bermata putih itu, menjambaknya dengan bercanda.
“Oh ya? Nakal seperti ini ... ” kata Si Pemanah Gadis sambil menunduk dan menciumi leher Beda Kumala yang jenjang, membuat gadis cantik mungil itu menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.
“Lebih nakal dari itu!” sergah Beda Kumala sambil berusaha menghindar tetapi tidak sungguh-sungguh.
“Atau yang seperti ini ... ” kata Jalu Samudra sambil menunduk lebih ke bawah, menelusupkan mukanya di antara belahan bukit kenyal yang terpampang menggairahkan di balik baju hijau Beda Kumala, membuat gadis itu menggelinjang dan tertawa lebih keras.
“Kurang nakal ... ” desah Beda Kumala.
“Kalau yang ini bagaimana?”
Jalu Samudra segera membuka kancing-kancing di depan sepasang bukit kembar sang gadis. Tidak sulit melakukan yang satu ini, karena posisi kancing baju tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka. Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus tanpa cela, tersangga penutup dada yang seperti tidak cukup muat menampung gelembung daging menggairahkan itu.
Jalu Samudra tentu paham semua gerakan birahi gadis dalam dekapannya. Paham semua petunjuk paling samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa yang disukai tipe gadis mungil seperti Beda Kumala kala bercinta yaitu sebuah usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di antara dua pahanya yang bagai pualam, dilanjutkan dengan penjelajahan nakal di gerbang istana kenikmatan di yang mulai terkuak mengundang sentuhan penuh pengertian.
Tanpa kata, Jalu Samudra mengusap-usap lembut permukaan perut datar Beda Kumala, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh lawan jenisnya. Lalu, perlahan-lahan tangan Jalu Samudra turun, menelusup ke bawah, menggapai tepi pintu gerbang istana kenikmatan.
“Oooohh ... ”
Beda Kumala pun mengerang nikmat. Bahkan membuka diri sebisa dan selebar mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh gejolak.
“Hebat! Hebat sekali si buta tampan ini! Dia bisa menyelami setiap jengkal tubuhku,” kata Beda Kumala dalam hati, “Kenapa dulu aku tidak ketemu dia?”
“Sudah cukup nakal?”
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Oooooh ... ” Beda Kumala kembali mengerang sambil memejamkan mata erat-erat dan mencengkeram pinggiran dipan kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Bersamaan dengan itu, dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena dengan bersamaan Si Pemanah Gadis mengisap-menyedot ujung-ujung bukit kembar sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di celah atas gerbang istana kenikmatannya.
Dan rasanya?
Seperti ada selaksa bunga api meledak menimbulkan percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh persendian tubuhnya.
Sesekali jari Jalu Samudra menelusup semakin ke bawah, menyelinap lembut di antara sepasang rekahan gerbang istana kenikmatan di bagian bawah sana, mengambil sesuatu yang basah untuk dibawa ke atas menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Jalu Samudra melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan sebentuk kenikmatan demi kenikmatan kepada gadis itu.
Justru hal ini membuat Beda Kumala semakin mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk titik puncak asmara awal yang tercipta di dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, dan lebih lebar lagi, seakan mengundang Jalu Samudra untuk menjelajah lebih dalam lagi.
Tetapi, sebelum Jalu Samudra sempat bergerak lebih jauh, Beda Kumala tak bisa menahan ledakan puncak kenikmatan.
Menggelepar kuat, dan mengerang panjang!
“Aaaaaaahhh ... ”
Sambil mencengkeram pinggiran dipan kuat-kuat dan melentingkan tubuhnya.
Jalu Samudra membiarkan sang bidadari mungil menikmati ledakan puncak kenikmatan, melepaskan isapan di bagian ujung bukit kembar, dan mengalihkan tangannya ke pinggul Beda Kumala. Diciuminya wajah yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak asmara. Wajah itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala mencapai titik puncak asmara.
Pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan!
Merupakan episode paling menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah!
Beda Kumala membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya sepasang mata putih Jalu Samudra memandang lembut dan dekat sekali. Susah payah Beda Kumala mengatur nafasnya yang masih memburu.
“Huuh ... ” desah Beda Kumala sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang mulai teratur tetapi masih agak tersengal, “Bagaimana aku bisa mengusir Kakang Jalu, kalau begini ... ”
 
BAGIAN 15


“Memangnya kau ada rencana mengusirku?”
“Mulanya begitu, tapi sekarang malah lebih sulit lepas lagi, Kang.”
“Oh ya?” sahut Jalu seperti orang tidak percaya.
Gadis itu hanya mengangguk saja.
“Apakah cuma karena ‘itu’?” tanya Jalu Samudra menjungkit-jungkitkan alis, dan dua tangan mengulur ke belakang, mengusap-usap lembut pinggul Beda Kumala.
Mata Beda Kumala berbinar nakal.
“Bukan hanya karena itu ... ” katanya.
“Karena apa?” sergah Jalu Samudra.
“Karena ... mungkin aku sekarang telah jatuh cinta pada Kakang Jalu,” kata Beda Kumala lirih.
“Ahhh ... yang bener, nih?” sergah Jalu, “Masa’ kau yang cantik jelita begini bisa jatuh cinta pada pemuda rudin sepertiku, buta lagi!?”
“Aku belum pernah merasakan seperti apa yang aku rasakan sekarang ini, Kang. Aku betul-betul jatuh hati padamu.”
“Tapi, aku ‘kan sudah punya istri?”
“Aku tidak peduli. Jadi pacar gelap pun aku bersedia,” kata Beda Kumala, serius. “Asal selalu tetap bersamamu.”
“Kau perlu bertanya dulu pada istriku, apa dia mau menerima dirimu seutuhnya?” ucap Jalu Samudra.
“Baik. Siapa takut?”
“Tapi istriku galak, lho?” kata Si Pemanah Gadis menakut-nakuti sambil tangan kiri menowel pelan hidung mancung si gadis.
“Aku juga galak!”
“Hah? Yang benar!?”
“Apa perlu dibuktikan?” tukas Beda Kumala, sambil memeluk leher pemuda bermata putih itu. “Kubuka dulu bajumu, setelah itu baru kau tahu aku ini galak atau tidak ... ” kata Beda Kumala tertawa kecil, sambil melepas baju biru si pemuda.
Jalu Samudra terbahak, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung ... semua permukaan wajah Beda Kumala.
“Baiklah. Tapi sebelumnya kau harus menerima satu jurus dariku dulu,” kata Jalu Samudra. “Biar tidak seperti orang amatiran."
Tanpa menunggu jawaban dari Beda Kumala, Jalu Samudra segera membisikkan sesuatu ke telinga gadis yang kini dalam pelukannya.
Sesaat kemudian Beda Kumala mengernyit berpikir, “Masa bercinta ada jurusnya segala? Aneh-aneh saja si buta ganteng ini. Tapi tak apalah aku coba.”
Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil. Seperti kali ini, tanpa diminta oleh Beda Kumala Jalu Samudra segera tidur terlentang setelah keduanya tidak dilapisi selembar benang pun.
“Jangan bergerak, ya ... ” bisik Beda Kumala sambil bergerak mundur ke belakang bawah, menelusur pinggul Jalu Samudra. Geraknya gemulai, seperti seorang penari yang menyiapkan gerakan pembukaan dalam sebuah tarian. Dengan takjub Jalu Samudra memandang tubuh telanjang yang serba indah menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.
Beda Kumala kemudian melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata Jalu Samudra terpaku menatap tubuh indah kekasih gelap.
Slepp!
Tahu-tahu Jalu Samudra merasakan pilar tunggal penyangga langitnya seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab licin gerbang istana kenikmatan yang bagai memiliki indera tersendiri ... tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi semakin kokoh bagai batu karang di dalam sana.
Dalam hati, Beda Kumala berdecak kagum, “Benar-benar luar biasa. Ukuran dan panjangnya dua kali lebih dahsyat dari milik Kakang Garan Arit. Istanaku sampai terasa penuh, tidak muat menampungnya.” Lalu ia melirik ke bawah, kembali ia bergumam, “Gila! Cuma setengahnya saja sudah menabrak dinding terdalam.”
Ketika Jalu Samudra menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana, kembali Beda Kumala berbisik, “Jangan bergerak ... ”
Bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai jurus ‘Tarian Dewi Kayangan Mengendarai Kuda Dewa’ yang merupakan salah satu jurus asmara yang ada dalam Kitab Kembang Perawan dan Jalu Samudra menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang dengan sepasang kaki sedikit di tekuk sambil memandangi Beda Kumala yang sudah mulai berkeringat, bergerak naik turun perlahan dan teratur. Wajahnya tampak memerah-muda kembali dengan sepasang mata dipenuhi sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap mata putih Jalu Samudra tanpa berkejap.
Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu. Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya!
“Ohhhh ... ” Beda Kumala mendesah tanpa sadar saat pilar tunggal pemuda yang kini didudukinya semakin dalam dan dalam saja, menyeruak masuk memberikan geletar nikmat, menyentuh dinding-dinding gerbang istana. Tangan segera bertopang mencari penguatan di dada bidang Jalu Samudra. Gerakannya semakin lama semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar pinggulnya selagi pilar tunggal Jalu Samudra terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu, Beda Kumala memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat.
Murid si Dewa Pengemis merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang membesar.
Gadis murid Perguruan Sastra Kumala kembali bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Jalu Samudra menatap mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama dari sebuah drama percumbuan.
Gerakan Beda Kumala kini semakin mempesona diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah gadis ini melakukan putaran-putaran menakjubkan. Terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan, terkadang naik-turun dengan gairah liar. Terkadang berputar-putar perlahan, hingga Jalu Samudra merasakan pilar tunggalnya mengusap-mengurut dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.
Suara-suara mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut. Berdecap ramai menyelingi derit-derak dipan bambu, di antara rintihan dan desah napas memburu. Beda Kumala dengan wajah sumringah konsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan. Ia seperti sedang menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.
Jalu Samudra mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat sang gadis menarikan jurus ‘Tarian Dewi Kayangan Mengendarai Kuda Dewa’ yang menggairahkan. Dijamahnya lembut kedua dada putih padat Beda Kumala yang bergerak-gerak seirama tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak tangan di atas kedua ujung bukit kembar yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal.
Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan pasokan kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Beda Kumala kini tinggal beberapa langkah lagi.
“Aaah ... Kang ... ” Beda Kumala berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri, “ ... Ah ... aku tidak ... aaah, tahan ... Kang ... ”
Jalu Samudra mengerti. Cepat diraihnya pinggul Beda Kumala dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan sang gadis. Naik turun dengan cepat. Berputar-putar ke kiri ke kanan seperti seperti pendekar murka yang mengerahkan pedang emas menyerang ke kanan kiri!
“Oooooh ... ” Beda Kumala mengerang panjang.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lebih cepat dan cepat ...
“Aaaaah ... ” Beda Kumala mendesah sambil menengadah kepala dan memejamkan mata.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ...
“Mmmmmmmmmm ... ” Beda Kumala mengerang panjang.
Naik turun lagi ... Lagi ... Lagi ...
Dan lagi!
Kedua dada padatnya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Jalu Samudra meremas-remas kedua bukit kembar menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Beda Kumala dalam menggapai puncak asmaranya.
Beda Kumala akhrinya benar-benar tak tahan lagi. Ia menjerit-jerit kecil dalam selang waktu pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur.
“Aah ... aaah ... aaah ... ”
Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan erangan panjang ...
“Aaaaaaaaaah ... !”
Beda Kumala kali ini berhasil mencapai titik tertinggi dari percumbuan di atas tubuh Jalu Samudra. Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Jalu Samudra agar tidak terlempar ke luar dipan. Pemuda itu merasakan pilar tunggalnya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut semakin liar.
“Sudah saatnya,” bisik Jalu Samudra.
Kembali hawa keperkasaan jurus ilmu ‘Perjaka Murni’ si pemuda menggelegak panas tersembur diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan yang saat ini sedang menggelepar-gelepar di atas tubuhnya.
Jrassh ... !
Dan hal itu tentu saja semakin membuat Beda Kumala menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya!
“Aaaaaaaaaah ... !”
Cukup lama Beda Kumala menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya diiringi dengus desah menggelora, sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagiaan.
Belum pernah rasanya Jalu Samudra melihat mata yang begitu terang setelah bercinta.
“Aku benar-benar takluk padamu luar dalam, Kang!” kata Beda Kumala sambil memeluk Jalu Samudra.

--o0o--
 
BAGIAN 16


Begitu bangun tidur, Jalu tidak mendapati lagi sosok Beda Kumala di sampingnya, tapi justru sebuah benda bulat panjang warna putih perak berada dalam pelukannya. Bagai disengat kalajengking, Jalu segera melenting menjauh menghindari benda yang semula dalam dekapan.
“Apa yang terjadi? Dimana Beda Kumala?” pikir Jalu sambil matanya mengawasi ke sekelilingnya, tapi tidak ada yang mencurigakan atau adanya tanda-tanda orang yang memasuki kamar mereka. Semua masih sama seperti sebelumnya.
Sambil memandang benda bulat panjang warna putih perak dengan tatapan siaga, Jalu beringsut ke depan dengan perlahan, sementara tangan kiri teraliri hawa murni hingga memancarkan sinar putih kusam sedang tangan kanan membentuk tapak dengan pancaran sinar yang sama. Perlahan-lahan ia mendekati benda bulat panjang yang ada di tempat tidur.
Setelah mendekat, mata putihnya melihat sesuatu yang ganjil pada benda putih itu.
“Hemm ... tidak ada hawa beracun di tempat ini,” gumamnya saat ia menggeser-geserkan telapak tangan kanan di atas benda aneh itu sejarak dua jengkal.
Pancaran tenaga segera ditarik kembali. Dan dengan perlahan penuh kehati-hatian disentuhnya serabut-serabut halus warna putih dengan lembut.
“Apa ini?”
Saat tersentuh tangan, ia merasakan sesuatu yang lengket-lengket kenyal di ujung jarinya.
“Ini ... benang?” gumam Jalu, lalu dengan sedikit membungkuk, berusaha memperjelas pandangan matanya, “Mirip sekali dengan jaring laba-laba ... atau lebih mungkin kalau disebut sebagai benang sutera, ya!?” gumamnya lebih lanjut. Sambil mendongak memandang langit-langit kamar, ia kembali bergumam, “Di sekitar sini tidak ada tanda-tanda adanya ulat atau sejenisnya. Lalu dari mana datangnya benda ini?”
Kembali pandangan matanya menelusuri benda putih di depannya. Jalu segera bergeser ke kiri, ke arah benda yang membulat kecil, yang diduganya adalah kepala.
“Jika dilihat dari sini seperti kepompong ulat yang lagi dalam proses menjadi kupu-kupu ... ” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. “Dilihat dari keadaannya, memang seperti kepompong, dari ujung ke ujung semuanya berwarna putih perak. Membujur kaku tanpa gerak seperti mayat. Kayak orang pakai selimut saja.”
Begitu kata ‘selimut’ terlontar, Jalu tersentak, serunya, “ ... atau jangan-jangan gadis itu ada di dalam kepompong ini ... ? Waduh, celaka! Kalau benar seperti dugaanku, benar-benar celaka dua belas! Bias mati kehabisan napas dia, nih!”
Matanya segera meneliti dengan seksama benda bulat memanjang yang terbalut benang-benang halus itu. Dari ujung ke ujung diperiksanya dengan seksama. Tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Semuanya tertutup rapat. Bahkan celah sebesar lubang semut pun tidak ia dapatnya disana.
“Aku harus melihat apa isi dari kepompong ini,” katanya, namun setelah pulang pergi di sekitar benda itu, ia kembali mengeluh, “Lewat mana aku harus menjebol kepompong ini?” keluhnya sambil matanya jelalatan.
Tiba-tiba ia berseru senang, “Ada ide bagus! Kurobek saja dengan pedang.”
Sambil berjalan ke pojok ruangan dimana pedang anak murid Perguruan Sastra Kumala tergeletak, diraihnya sarung pedang yang tergeletak di atas meja kecil dan sambil berjalan kembali ke tempat tidur, dilolosnya pedang dari sarungnya.
Criiing!
“Kucoba dulu dengan bagian bawah. Di gores cukuplah,” katanya sambil menggoreskan ujung mata pedang.
Sraakk!
“Eeehh?” Jalu kaget kala ujung mata pedang tidak bisa mengoyak benda yang dianggapnya kepompong itu. “Edan! Pedang setajam ini tidak bisa mengoyak benang selembek bubur begini? Padahal kemarin kepala Cambuk Pemutus Nyawa saja dari daging cincang tanpa bentuk? Kok bisa!?”
Dicobanya sekali lagi, tapi sekarang sedikit dengan tekanan.
Srakk! Srakk!
Kembali keanehan terjadi.
Diulanginya lagi. Lagi. Dan lagi!
Srakk! Srakk! Srakk! Srakk!
Tapi hasilnya tetap sama. Bahkan saat Si Pemanah Gadis menggunakan satu bagian tenaga dalamnya, terasa sekali daya tolak dari benda bulat panjang yang ada di depannya. Bahkan tangan yang memegang gagang pedang terasa kesemutan.
“Gila! Tetap tidak mempan juga!” seru murid tunggal Dewa Pengemis ini. “Kepompong apa ini sebenarnya?”
Jalu Samudra meletakkan pedang, lalu duduk di kursi dekat dipan. Saat duduk ia merasakan sesuatu yang sejuk di sekitar bawah perutnya.
“He-he-he! Pantas saja adem, belum pakai apa-apa, sih,” gerutunya, lalu disambarnya celana dan baju birunya, terus dikenakan. “Nah, gini baru enak.”
Hingga sore hari, belum juga ada tanda-tanda kalau kepompong itu akan menetas atau keluar sesuatu dari dalamnya. Bahkan kala pemilik penginapan sempat melihatnya saat mengirim makan pagi atas permintaan si pemuda, Ki Ajur Mumur sampai ketakutan setengah hidup saat mengetahui ada benda aneh di dalam kamar yang disewa pasangan muda itu.
Tanpa banyak kata, langsung diletakkan begitu saja sarapan pagi di dalam kamar, tepat depan pintu bagian dalam!
Barulah pada saat merembang petang, terjadi tanda-tanda kehidupan meski halus sekali.
Ssshh ... !!
Dalam waktu sepenanakan nasi, terdengar suara desisan halus seperti bara api dimasukkan ke dalam segentong air.
“Hemm ... sudah ada tanda-tanda kehidupan dari kepompong ini,” desis Si Pemanah Gadis. “Setelah ini apa yang akan muncul? Setan berkepala tujuh? Atau malam kuda nil berbadan cacing raksasa barangkali?”
Suara desisan makin lama makin keras, bahkan sekarang ditingkahi dengan suara gemeresak seperti ribuan ulat sedang memakan daun.
Ssshh ... !! Ssshh ... !! Srreekk ... srreekk!!
“Walah, suara apa lagi sekarang?” desis si pemuda sambil mengerahkan hawa murni untuk menutupi gendang telinganya. Meski pelan, tapi suara itu sanggup menusuk gendang telinga hingga telinga pekak dan berdenging-denging.
Perlahan-lahan, bagian bawah kepompong bagaikan disayat dengan sebilah pisau gaib nan tajam, terus menjalar lurus dari bawah ke atas.
Srett! Srett!
“Wuihh ... sekarang ada keganjilan apalagi ini?” gumam si Jalu sambil memandang lekat-lekat pada fenomena aneh yang terpampang dengan jelas di depan matanya. “Masa bisa sobek sendiri?”
Begitu terbelah dari bawah tampak terkuak sepasang kaki putih mulus, sayatan terbelah terus naik ke atas hingga memperlihatkan bongkahan betis putih menggoda. Begitu terus hingga sobekan benang mencapai pada permadani hitam dan terus naik ... terus naik ... terus naik ... dan naik lagi!
Srett!
Kini sayatan sudah mencapai bagian perut, terus terobek perlahan ke atas hingga memperlihatkan sepasang bukit kembar padat menantang terkuak lebar.
Jalu sendiri yang melihat peristiwa menakjubkan ini sampai geleng-geleng kepala, “Kukira hanya Nimas Rani saja yang mengalami kejadian heboh seperti ini, tak tahunya Beda Kumala pun mengalami hal-hal yang luar biasa pula.”
Hingga akhirnya, seluruh sayatan terkuak sempurna dan seperti ada tangan-tangan gaib saja, tepi sayatan meluruh sendiri ke samping kiri kanan, sehingga memperlihatkan sesosok sempurna tubuh seorang anak gadis yang terbaring diam.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata anak gadis yang ternyata adalah Beda Kumala terbuka perlahan. Berkejap-kejap sebentar, lalu bangun dari dipan dan duduk manis di sana.
“Sudah malam rupanya.”
Itulah kata pertama yang meluncur dari bibir merah alami itu.
“Sudah malam-sudah malam! Ini sudah malam berikutnya, Non,” tukas Jalu sambil melemparkan baju hijau si gadis. “Cepat pakai baju, nanti masuk angin.”
Dengan raut muka setengah bingung, Beda Kumala bertanya sambil memakai baju dan celananya, “Sudah malam berikutnya!?”
“Kau sudah tidur sehari semalam di tempat ini! Masa’ tidak terasa, sih?”
Gadis itu hanya mengernyitkan alis sambil bergumam, “Masa’ aku bisa tidur selama itu?”
Saat selesai berpakaian, barulah ia menyadari ada sesuatu yang lengket-lengket di tangannya.
“Apa ini?”
“Kau tidak tahu dengan apa yang sebenarnya kau alami?” tanya Jalui Samudra dengan heran.
Gadis itu hanya menggeleng sembari melepas benang-benang halus yang melekat di tangannya.
“Terus apa yang kau alami?”
“Entahlah, Kang! Aku sendiri juga tidak tahu dengan pasti,” tutur Beda Kumala memulai cerota, “Hanya tadi malam aku bermimpi di kejar-kejar ulat raksasa warna putih sebesar pohon kelapa. Ulat itu berhasil menangkapku, lalu ia menyemprotkan air liur berbuih hingga mengenai badanku. Anehnya, saat mengenai tubuh, air berbuih tersebut berubah menjadi serabut-serabut halus yang ulet dan kenyal. Kucoba memutuskan dengan pedang tidak berhasil.”
“Aneh juga kalau begitu. Terus lanjutnya bagaimana?” tanya Jalu mengomentari.
“Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kedua tanganku bisa memutuskan benang-benang putih yang membelit tubuhku dan setelah itu terbangun dari tidur,” sambung Beda Kumala sambil matanya mengamati benang-benang putih yang berserakan di dipan dan lantai. “Bentuk benang putih ini sama persis dengan yang ada dalam mimpiku,” Beda Kumala berkata.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Beda Kumala adalah suatu kejadian langka!
Tanpa setahu Jalu Samudra dan Beda Kumala sendiri, dalam tubuh gadis itu kini bersemayam sebuah kekuatan menakjubkan yang awalnya adalah sebuah racun birahi yang bernama Racun ‘Serabut Maut’ dimana racun ini merupakan kumpulan beberapa jenis racun ulat yang paling ganas di rimba persilatan. Terutama sekali yang berjenis Racun ‘Ratu Ulat Sutera’, racun paling langka dan paling sulit ditawarkan dengan obat apa pun. Entah darimana Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa bisa memiliki dan meracik Racun ‘Ratu Ulat Sutera’ menjadi semacam racun birahi berdaya kerja cepat.
Dan tanpa setahu Jalu pula, bahwa dengan percumbuan yang mereka lakukan selain berhasil menawarkan Racun ‘Ratu Ulat Sutera’ hingga tidak berbahaya lagi bagi gadis baju hijau itu, justru sekarang racun birahi yang bertemu dan saling gempur dengan hawa keperkasaan jurus ‘Perjaka Murni’ milik Jalu Samudra selain tawar juga mengalami perubahan wujud dari sifat racun yang mematikan berubah menjadi sebentuk hawa aneh dengan ditandai adanya serabut-serabut halus putih yang menyelubungi Beda Kumala.
Serabut-serabut inilah yang merupakan proses penggodokan serta penggabungan antara hawa keperkasaan Jalu Samudra dan racun birahi dalam diri Beda Kumala, melebur menjadi satu. Begitu proses penggabungan berhasil, otomatis serabut-serabut ini akan membelah dengan sendirinya, seperti seekor kupu-kupu keluar dari kepompong. Dan sepeminuman teh kemudian, serabut-serabut itu meluruh dan akhirnya berubah menjadi bubuk atau tepung putih yang berserakan dimana-mana.
“Sekarang bagaimana kondisimu?”
“Dalam tubuhku terasa ada arus tenaga panas dingin yang kuat. Berputar-putar melewati jalan darah di seantero tubuhku,” jawab Beda Kumala menceritakan keadaan dirinya.
“Apakah kau terasa mau meledak?”
“Mau meledak?”
“Ya. Misalnya seperti ada suatu keinginan untuk menghentakkan keluar arus hawa yang ada dalam tubuhmu,” sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, “Coba kau atus napasmu.”
Beda Kumala menurut. Diaturnya napas beberapa saat menurut apa yang dipelajarinya dari Kitab Bunga Matahari. Hawa sakti digerakkan melewati jalan-jalan darah, diarahkan ke tangan, kaki, dada, punggung. Semua bisa dilakukan tanpa suatu kendala.
Dalam artian ... lancar-lancar saja!
“Tidak ada, Kang. Semuanya lancar. Tidak ada sumbatan apa pun di jalan darah, bahkan di pusat energi terasa sekali arus yang amat kuat, tapi tidak liar. Mungkin lebih kuat empat lima kali dari biasanya,” sahut Beda Kumala sambil melepas kendali Jalur tenaga dalamnya.
“Ya, sudah kalau begitu,” tutur murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga ini, “Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan ke Istana Jagat Abadi?”
“Malam-malam begini?”
“Malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan penyelidikan di tempat itu,” jawab Si Pemanah Gadis, lalu imbuhnya, “Aku tahu, jarak perjalanan dari Istana Jagat Abadi dari sini sudah cukup dekat. Jadi, kusarankan malam ini juga kita bergerak. Siapa tahu kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan perguruan kalian.”
“Benar juga ucapan, Kakang.”
Mereka berdua menemui Ki Ajur Mumur, pemilik penginapan bahwa mereka ada keperluan sebentar dan menitipkan buntalan pakaian mereka pada laki-laki tua itu dan berpesan agar kamar itu jangan disewakan dulu pada orang lain. Pada awalnya Ki Ajur Mumur agak keberatan, namun saat melihat Jalu Samudra meletakkan lima belas keping uang perak di tangannya, rambut kepala laki-laki yang tujuh bagian sudah beruban langsung mengangguk-angguk menyetujui.
Padahal dengan sekeping uang perak saja bisa digunakan untuk menginap selama satu minggu, kini malah dapat lima belas keping sekaligus!
Jarang-jarang ia dapat rejeki nomplok seperti itu!
Ketika sudah berada di luar desa, Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung mengerahkan jurus peringan tubuh masing-masing. Keanehan kembali terjadi pada diri Beda Kumala. Lesatan tubuhnya begitu cepat, lebih cepat dari biasanya yang mampu ia kerahkan.
Blasss!
“Eeehh ... ” seru Beda Kumala kaget.
Brakk!
Tanpa bisa dicegah lagi, Beda Kumala langsung menabrak pohon besar hingga pohon tersebut berderak tumbang.
“Apa yang terjadi?” tanya Beda Kumala sambil meraba seluruh tubuhnya baru saja menghantam batang pohon secara frontal, namun ia tidak mengalami luka sedikit pun.
Jalu Samudra segera berlari mendekat sambil otaknya bekerja, “Gadis ini mengalami lonjakan tenaga secara drastis. Pasti ini ada hubungannya dengan serabut putih yang membungkusnya.”
“Kau tidak apa-apa?” tanya Jalu sambil membantu Beda Kumala bangkit berdiri.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kau harus bisa mengontrol tenagamu.”
Jalu Samudra segera memberi petunjuk bagaimana cara mengontrol tenaga yang berlimpah itu. Kejadian seperti yang dialami Beda Kumala hampir sama persis dengan apa yang terjadi pada dirinya dan Kumala Rani, istrinya sewaktu pertama kali mendapat limpahan hawa dari buah sakti peninggalan Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga.
Setelah dicoba beberapa kali, barulah Beda Kumala sanggup mengontrol tenaga dalamnya yang melimpah.
Blass ... !
Saat ia mengerahkan jurus ‘Langkah Menjangan Terbang Meloncat’ andalan perguruannya, Beda Kumala langsung melesat seperti larinya seekor menjangan betina yang dengan lincah menghindari pohon-pohon yang dilewatinya.
Jalu sendiri yang melihat cara berkelebat Beda Kumala, mengikuti langkah si gadis sambil mengerahkan jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ miliknya sambil berdecak kagum, “Bukan main! Gadis itu bisa bergerak selincah menjangan saja.”
Tubuh pemuda baju biru melesat cepat laksana sambaran kilat, hingga membentuk sosok bayangan biru yang mengejar sosok bayangan hijau yang ada di depannya.

--o0o--
 
Makasih banyak sudah upload di sini..
Semoga saja pengarang aslinya baca mau meneruskan nulisnya..
Amien...
Btw kalo dari prolog itu suhu kenalkah sama suhu Gilang??
 
Mantaf....sampe lupa mau ngomong apa..
pas buka langsung tancap baca..trims yah..
 
Laanjut...baru 1 kena panah jalu..
Hayo yg lain manaaa.....hahahaha..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd