BAGIAN 16
Begitu bangun tidur, Jalu tidak mendapati lagi sosok Beda Kumala di sampingnya, tapi justru sebuah benda bulat panjang warna putih perak berada dalam pelukannya. Bagai disengat kalajengking, Jalu segera melenting menjauh menghindari benda yang semula dalam dekapan.
“Apa yang terjadi? Dimana Beda Kumala?” pikir Jalu sambil matanya mengawasi ke sekelilingnya, tapi tidak ada yang mencurigakan atau adanya tanda-tanda orang yang memasuki kamar mereka. Semua masih sama seperti sebelumnya.
Sambil memandang benda bulat panjang warna putih perak dengan tatapan siaga, Jalu beringsut ke depan dengan perlahan, sementara tangan kiri teraliri hawa murni hingga memancarkan sinar putih kusam sedang tangan kanan membentuk tapak dengan pancaran sinar yang sama. Perlahan-lahan ia mendekati benda bulat panjang yang ada di tempat tidur.
Setelah mendekat, mata putihnya melihat sesuatu yang ganjil pada benda putih itu.
“Hemm ... tidak ada hawa beracun di tempat ini,” gumamnya saat ia menggeser-geserkan telapak tangan kanan di atas benda aneh itu sejarak dua jengkal.
Pancaran tenaga segera ditarik kembali. Dan dengan perlahan penuh kehati-hatian disentuhnya serabut-serabut halus warna putih dengan lembut.
“Apa ini?”
Saat tersentuh tangan, ia merasakan sesuatu yang lengket-lengket kenyal di ujung jarinya.
“Ini ... benang?” gumam Jalu, lalu dengan sedikit membungkuk, berusaha memperjelas pandangan matanya, “Mirip sekali dengan jaring laba-laba ... atau lebih mungkin kalau disebut sebagai benang sutera, ya!?” gumamnya lebih lanjut. Sambil mendongak memandang langit-langit kamar, ia kembali bergumam, “Di sekitar sini tidak ada tanda-tanda adanya ulat atau sejenisnya. Lalu dari mana datangnya benda ini?”
Kembali pandangan matanya menelusuri benda putih di depannya. Jalu segera bergeser ke kiri, ke arah benda yang membulat kecil, yang diduganya adalah kepala.
“Jika dilihat dari sini seperti kepompong ulat yang lagi dalam proses menjadi kupu-kupu ... ” gumamnya sambil geleng-geleng kepala. “Dilihat dari keadaannya, memang seperti kepompong, dari ujung ke ujung semuanya berwarna putih perak. Membujur kaku tanpa gerak seperti mayat. Kayak orang pakai selimut saja.”
Begitu kata ‘selimut’ terlontar, Jalu tersentak, serunya, “ ... atau jangan-jangan gadis itu ada di dalam kepompong ini ... ? Waduh, celaka! Kalau benar seperti dugaanku, benar-benar celaka dua belas! Bias mati kehabisan napas dia, nih!”
Matanya segera meneliti dengan seksama benda bulat memanjang yang terbalut benang-benang halus itu. Dari ujung ke ujung diperiksanya dengan seksama. Tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Semuanya tertutup rapat. Bahkan celah sebesar lubang semut pun tidak ia dapatnya disana.
“Aku harus melihat apa isi dari kepompong ini,” katanya, namun setelah pulang pergi di sekitar benda itu, ia kembali mengeluh, “Lewat mana aku harus menjebol kepompong ini?” keluhnya sambil matanya jelalatan.
Tiba-tiba ia berseru senang, “Ada ide bagus! Kurobek saja dengan pedang.”
Sambil berjalan ke pojok ruangan dimana pedang anak murid Perguruan Sastra Kumala tergeletak, diraihnya sarung pedang yang tergeletak di atas meja kecil dan sambil berjalan kembali ke tempat tidur, dilolosnya pedang dari sarungnya.
Criiing!
“Kucoba dulu dengan bagian bawah. Di gores cukuplah,” katanya sambil menggoreskan ujung mata pedang.
Sraakk!
“Eeehh?” Jalu kaget kala ujung mata pedang tidak bisa mengoyak benda yang dianggapnya kepompong itu. “Edan! Pedang setajam ini tidak bisa mengoyak benang selembek bubur begini? Padahal kemarin kepala Cambuk Pemutus Nyawa saja dari daging cincang tanpa bentuk? Kok bisa!?”
Dicobanya sekali lagi, tapi sekarang sedikit dengan tekanan.
Srakk! Srakk!
Kembali keanehan terjadi.
Diulanginya lagi. Lagi. Dan lagi!
Srakk! Srakk! Srakk! Srakk!
Tapi hasilnya tetap sama. Bahkan saat Si Pemanah Gadis menggunakan satu bagian tenaga dalamnya, terasa sekali daya tolak dari benda bulat panjang yang ada di depannya. Bahkan tangan yang memegang gagang pedang terasa kesemutan.
“Gila! Tetap tidak mempan juga!” seru murid tunggal Dewa Pengemis ini. “Kepompong apa ini sebenarnya?”
Jalu Samudra meletakkan pedang, lalu duduk di kursi dekat dipan. Saat duduk ia merasakan sesuatu yang sejuk di sekitar bawah perutnya.
“He-he-he! Pantas saja adem, belum pakai apa-apa, sih,” gerutunya, lalu disambarnya celana dan baju birunya, terus dikenakan. “Nah, gini baru enak.”
Hingga sore hari, belum juga ada tanda-tanda kalau kepompong itu akan menetas atau keluar sesuatu dari dalamnya. Bahkan kala pemilik penginapan sempat melihatnya saat mengirim makan pagi atas permintaan si pemuda, Ki Ajur Mumur sampai ketakutan setengah hidup saat mengetahui ada benda aneh di dalam kamar yang disewa pasangan muda itu.
Tanpa banyak kata, langsung diletakkan begitu saja sarapan pagi di dalam kamar, tepat depan pintu bagian dalam!
Barulah pada saat merembang petang, terjadi tanda-tanda kehidupan meski halus sekali.
Ssshh ... !!
Dalam waktu sepenanakan nasi, terdengar suara desisan halus seperti bara api dimasukkan ke dalam segentong air.
“Hemm ... sudah ada tanda-tanda kehidupan dari kepompong ini,” desis Si Pemanah Gadis. “Setelah ini apa yang akan muncul? Setan berkepala tujuh? Atau malam kuda nil berbadan cacing raksasa barangkali?”
Suara desisan makin lama makin keras, bahkan sekarang ditingkahi dengan suara gemeresak seperti ribuan ulat sedang memakan daun.
Ssshh ... !! Ssshh ... !! Srreekk ... srreekk!!
“Walah, suara apa lagi sekarang?” desis si pemuda sambil mengerahkan hawa murni untuk menutupi gendang telinganya. Meski pelan, tapi suara itu sanggup menusuk gendang telinga hingga telinga pekak dan berdenging-denging.
Perlahan-lahan, bagian bawah kepompong bagaikan disayat dengan sebilah pisau gaib nan tajam, terus menjalar lurus dari bawah ke atas.
Srett! Srett!
“Wuihh ... sekarang ada keganjilan apalagi ini?” gumam si Jalu sambil memandang lekat-lekat pada fenomena aneh yang terpampang dengan jelas di depan matanya. “Masa bisa sobek sendiri?”
Begitu terbelah dari bawah tampak terkuak sepasang kaki putih mulus, sayatan terbelah terus naik ke atas hingga memperlihatkan bongkahan betis putih menggoda. Begitu terus hingga sobekan benang mencapai pada permadani hitam dan terus naik ... terus naik ... terus naik ... dan naik lagi!
Srett!
Kini sayatan sudah mencapai bagian perut, terus terobek perlahan ke atas hingga memperlihatkan sepasang bukit kembar padat menantang terkuak lebar.
Jalu sendiri yang melihat peristiwa menakjubkan ini sampai geleng-geleng kepala, “Kukira hanya Nimas Rani saja yang mengalami kejadian heboh seperti ini, tak tahunya Beda Kumala pun mengalami hal-hal yang luar biasa pula.”
Hingga akhirnya, seluruh sayatan terkuak sempurna dan seperti ada tangan-tangan gaib saja, tepi sayatan meluruh sendiri ke samping kiri kanan, sehingga memperlihatkan sesosok sempurna tubuh seorang anak gadis yang terbaring diam.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata anak gadis yang ternyata adalah Beda Kumala terbuka perlahan. Berkejap-kejap sebentar, lalu bangun dari dipan dan duduk manis di sana.
“Sudah malam rupanya.”
Itulah kata pertama yang meluncur dari bibir merah alami itu.
“Sudah malam-sudah malam! Ini sudah malam berikutnya, Non,” tukas Jalu sambil melemparkan baju hijau si gadis. “Cepat pakai baju, nanti masuk angin.”
Dengan raut muka setengah bingung, Beda Kumala bertanya sambil memakai baju dan celananya, “Sudah malam berikutnya!?”
“Kau sudah tidur sehari semalam di tempat ini! Masa’ tidak terasa, sih?”
Gadis itu hanya mengernyitkan alis sambil bergumam, “Masa’ aku bisa tidur selama itu?”
Saat selesai berpakaian, barulah ia menyadari ada sesuatu yang lengket-lengket di tangannya.
“Apa ini?”
“Kau tidak tahu dengan apa yang sebenarnya kau alami?” tanya Jalui Samudra dengan heran.
Gadis itu hanya menggeleng sembari melepas benang-benang halus yang melekat di tangannya.
“Terus apa yang kau alami?”
“Entahlah, Kang! Aku sendiri juga tidak tahu dengan pasti,” tutur Beda Kumala memulai cerota, “Hanya tadi malam aku bermimpi di kejar-kejar ulat raksasa warna putih sebesar pohon kelapa. Ulat itu berhasil menangkapku, lalu ia menyemprotkan air liur berbuih hingga mengenai badanku. Anehnya, saat mengenai tubuh, air berbuih tersebut berubah menjadi serabut-serabut halus yang ulet dan kenyal. Kucoba memutuskan dengan pedang tidak berhasil.”
“Aneh juga kalau begitu. Terus lanjutnya bagaimana?” tanya Jalu mengomentari.
“Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kedua tanganku bisa memutuskan benang-benang putih yang membelit tubuhku dan setelah itu terbangun dari tidur,” sambung Beda Kumala sambil matanya mengamati benang-benang putih yang berserakan di dipan dan lantai. “Bentuk benang putih ini sama persis dengan yang ada dalam mimpiku,” Beda Kumala berkata.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Beda Kumala adalah suatu kejadian langka!
Tanpa setahu Jalu Samudra dan Beda Kumala sendiri, dalam tubuh gadis itu kini bersemayam sebuah kekuatan menakjubkan yang awalnya adalah sebuah racun birahi yang bernama Racun ‘Serabut Maut’ dimana racun ini merupakan kumpulan beberapa jenis racun ulat yang paling ganas di rimba persilatan. Terutama sekali yang berjenis Racun ‘Ratu Ulat Sutera’, racun paling langka dan paling sulit ditawarkan dengan obat apa pun. Entah darimana Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa bisa memiliki dan meracik Racun ‘Ratu Ulat Sutera’ menjadi semacam racun birahi berdaya kerja cepat.
Dan tanpa setahu Jalu pula, bahwa dengan percumbuan yang mereka lakukan selain berhasil menawarkan Racun ‘Ratu Ulat Sutera’ hingga tidak berbahaya lagi bagi gadis baju hijau itu, justru sekarang racun birahi yang bertemu dan saling gempur dengan hawa keperkasaan jurus ‘Perjaka Murni’ milik Jalu Samudra selain tawar juga mengalami perubahan wujud dari sifat racun yang mematikan berubah menjadi sebentuk hawa aneh dengan ditandai adanya serabut-serabut halus putih yang menyelubungi Beda Kumala.
Serabut-serabut inilah yang merupakan proses penggodokan serta penggabungan antara hawa keperkasaan Jalu Samudra dan racun birahi dalam diri Beda Kumala, melebur menjadi satu. Begitu proses penggabungan berhasil, otomatis serabut-serabut ini akan membelah dengan sendirinya, seperti seekor kupu-kupu keluar dari kepompong. Dan sepeminuman teh kemudian, serabut-serabut itu meluruh dan akhirnya berubah menjadi bubuk atau tepung putih yang berserakan dimana-mana.
“Sekarang bagaimana kondisimu?”
“Dalam tubuhku terasa ada arus tenaga panas dingin yang kuat. Berputar-putar melewati jalan darah di seantero tubuhku,” jawab Beda Kumala menceritakan keadaan dirinya.
“Apakah kau terasa mau meledak?”
“Mau meledak?”
“Ya. Misalnya seperti ada suatu keinginan untuk menghentakkan keluar arus hawa yang ada dalam tubuhmu,” sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, “Coba kau atus napasmu.”
Beda Kumala menurut. Diaturnya napas beberapa saat menurut apa yang dipelajarinya dari Kitab Bunga Matahari. Hawa sakti digerakkan melewati jalan-jalan darah, diarahkan ke tangan, kaki, dada, punggung. Semua bisa dilakukan tanpa suatu kendala.
Dalam artian ... lancar-lancar saja!
“Tidak ada, Kang. Semuanya lancar. Tidak ada sumbatan apa pun di jalan darah, bahkan di pusat energi terasa sekali arus yang amat kuat, tapi tidak liar. Mungkin lebih kuat empat lima kali dari biasanya,” sahut Beda Kumala sambil melepas kendali Jalur tenaga dalamnya.
“Ya, sudah kalau begitu,” tutur murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga ini, “Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan ke Istana Jagat Abadi?”
“Malam-malam begini?”
“Malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan penyelidikan di tempat itu,” jawab Si Pemanah Gadis, lalu imbuhnya, “Aku tahu, jarak perjalanan dari Istana Jagat Abadi dari sini sudah cukup dekat. Jadi, kusarankan malam ini juga kita bergerak. Siapa tahu kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan perguruan kalian.”
“Benar juga ucapan, Kakang.”
Mereka berdua menemui Ki Ajur Mumur, pemilik penginapan bahwa mereka ada keperluan sebentar dan menitipkan buntalan pakaian mereka pada laki-laki tua itu dan berpesan agar kamar itu jangan disewakan dulu pada orang lain. Pada awalnya Ki Ajur Mumur agak keberatan, namun saat melihat Jalu Samudra meletakkan lima belas keping uang perak di tangannya, rambut kepala laki-laki yang tujuh bagian sudah beruban langsung mengangguk-angguk menyetujui.
Padahal dengan sekeping uang perak saja bisa digunakan untuk menginap selama satu minggu, kini malah dapat lima belas keping sekaligus!
Jarang-jarang ia dapat rejeki nomplok seperti itu!
Ketika sudah berada di luar desa, Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung mengerahkan jurus peringan tubuh masing-masing. Keanehan kembali terjadi pada diri Beda Kumala. Lesatan tubuhnya begitu cepat, lebih cepat dari biasanya yang mampu ia kerahkan.
Blasss!
“Eeehh ... ” seru Beda Kumala kaget.
Brakk!
Tanpa bisa dicegah lagi, Beda Kumala langsung menabrak pohon besar hingga pohon tersebut berderak tumbang.
“Apa yang terjadi?” tanya Beda Kumala sambil meraba seluruh tubuhnya baru saja menghantam batang pohon secara frontal, namun ia tidak mengalami luka sedikit pun.
Jalu Samudra segera berlari mendekat sambil otaknya bekerja, “Gadis ini mengalami lonjakan tenaga secara drastis. Pasti ini ada hubungannya dengan serabut putih yang membungkusnya.”
“Kau tidak apa-apa?” tanya Jalu sambil membantu Beda Kumala bangkit berdiri.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kau harus bisa mengontrol tenagamu.”
Jalu Samudra segera memberi petunjuk bagaimana cara mengontrol tenaga yang berlimpah itu. Kejadian seperti yang dialami Beda Kumala hampir sama persis dengan apa yang terjadi pada dirinya dan Kumala Rani, istrinya sewaktu pertama kali mendapat limpahan hawa dari buah sakti peninggalan Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga.
Setelah dicoba beberapa kali, barulah Beda Kumala sanggup mengontrol tenaga dalamnya yang melimpah.
Blass ... !
Saat ia mengerahkan jurus ‘Langkah Menjangan Terbang Meloncat’ andalan perguruannya, Beda Kumala langsung melesat seperti larinya seekor menjangan betina yang dengan lincah menghindari pohon-pohon yang dilewatinya.
Jalu sendiri yang melihat cara berkelebat Beda Kumala, mengikuti langkah si gadis sambil mengerahkan jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ miliknya sambil berdecak kagum, “Bukan main! Gadis itu bisa bergerak selincah menjangan saja.”
Tubuh pemuda baju biru melesat cepat laksana sambaran kilat, hingga membentuk sosok bayangan biru yang mengejar sosok bayangan hijau yang ada di depannya.
--o0o--