Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Thread ini sampai tamat kah??
Kalo di detik dot com sich macet baru sampai di sengketa tanah bambu.. pas hampir perang malahan..
Maaf kalo jadi spoiler..
sama2 berdoa aja hu semoga sipengarang mau melanjutkan cersil ini
Mantaps suhu
thx to Gilang hu
Seru

Lanjut doooong
ditunggu lanjutannya hu
malam ini up sampai tamat ya suhu jilid 2 nya
syeet dah...:panik:jilid II 34 episode hu
 
BAGIAN 5


Perguruan Sastra Kumala ...
Sebuah perguruan ilmu kanuragan yang seluruh muridnya adalah para gadis atau wanita, tidak ada satu pun dari mereka yang berjenis laki-laki, bahkan jumlah muridnya pun tidak sampai dua puluh orang banyaknya. Perguruan Sastra Kumala sendiri baru muncul menancapkan taringnya di kancah rimba persilatan, tepatnya setelah enam tahun Perguruan Gunung Putri berdiri. Meski bukan perguruan silat besar dan ternama, namun kharismatik Nyi Tirta Kumala sebagai Ketua cukup disegani kalangan pendekar persilatan. Dengan pukulan maut yang bernama Pukulan ‘Jambu Surya’ yang sumbernya dari Kitab ‘Bunga Matahari’, Nyi Tirta Kumala malang melintang di rimba persilatan dengan gelar Dewi Tangan Api. Hanya Ketua Perguruan Gunung Putri dan beberapa tokoh tua tidak lebih dari lima orang yang tahu bahwa bahwa pukulan maut yang dikuasai oleh wanita usia kisaran empat puluhan tahun bersumber dari Kitab ‘Bunga Matahari’.
Namun yang jelas, tak satu pun tokoh dunia persilatan mana pun tahu bahwa sesungguhnya Perguruan Sastra Kumala masih erat kaitannya dengan Perguruan Gunung Putri yang telah dihancurkan oleh Perkumpulan Gagak Cemani. Hal ini dikarenakan Ketua Perguruan Sastra Kumala yaitu Nyi Tirta Kumala masih saudara satu ayah lain ibu dari Ketua Perguruan Gunung Putri yaitu mendiang Dewi Gunung Putri.
Tentu saja berita kehancuran Perguruan Gunung Putri sempat memukul batin Nyi Tirta Kumala hingga sakit selama berhari-hari, terlebih lagi setelah mengetahui tidak ada satu pun dari murid perguruan kakaknya yang selamat dari pembantaian masa sepuluhan tahun yang lalu.
Ke Perguruan Sastra Kumala-lah Tinara menyeret ‘paksa’ Jalu Samudra!
Sebentar saja, pintu gerbang Perguruan Sastra Kumala sudah berada di depan mata. Begitu mendekati pintu gerbang, Tinara mengurangi daya lari cepatnya dan dengan setengah berlari, gadis berbaju hijau itu terus menyeret masuk Jalu Samudra lewat pintu gerbang yang diatasnya tertera tulisan 'PERGURUAN SASTRA KUMALA', melewati beberapa teman-teman seperguruannya yang sedang berlatih silat di tanah lapang, terus berjalan tergesa-gesa ke arah tenggara dan pada akhirnya berhenti di sebuah ruang terbuka yang cukup luas.
“Lebih baik kau tunggu disini,” kata Tinara sambil melepaskan pegangan tangannya. “Dan jangan kemana-mana! Ingat itu!”
Tinara meninggalkan pemuda yang dianggapnya buta di tempat itu, namun baru saja berjalan delapan langkah, gadis itu membalikkan badan dan bertanya, “Siapa namamu?”
“Kau bertanya padaku?” tanya Jalu menunjuk dirinya sendiri.
“Di tempat ini, selain kamu dan aku, tidak ada orang lain,” terang Tinara dengan ketus, lalu tanya ulang, “Siapa namamu?”
“Namaku ... Jalu.”
Gadis itu hanya menggumam sebentar, kemudian balik badan melanjutkan langkahnya, meninggalkan sendiri pemuda yang baru saja ditarik paksa.
“Masa aku ditinggal sendirian disini? Kalau ada setan lewat dan aku diculik, bagaimana?” gerutunya sambil celingak-celinguk seperti kera mau mencuri buah.
Ruangan tempat pemuda murid tunggal pasangan Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga berukuran sekitar lima kali enam tombak, cukup lega dan luas. Di empat sudut berdiri kokoh tiang penyangga dari kayu jati yang sudah tua. Tidak ada apa-apa di tempat itu, selain sebuah bangku panjang berada di sudut selatan yang menghadap tanah lapang tempat para murid berlatih silat. Di atasnya atap dari sirap kayu cukup mampu menahan teriknya panas matahari di siang hari.
“Lebih baik aku duduk saja di bangku, sekalian istirahat,” pikirnya sambil berjalan ke sudut selatan, dan lagi-lagi tongkatnya diketuk-ketukkan seperti penunjuk jalan bagi orang buta.
“Gadis galak yang kudengar bernama Tinara itu benar-benar sinting, langsung lari begitu saja tanpa bilang-bilang. Mau balas dendam padaku rupanya!?” gerutunya pada diri sendiri.
“Heran, kenapa kebiasaan mengetuk-ngetuk tongkat di tanah tidak hilang, ya?” kata hatinya lagi, mencela kebiasaan 'asli'-nya. Begitu sampai, Jalu duduk di bangku panjang ujung dekat tiang penyangga, bersandar di sana, meluruskan kaki sepanjang bangku sambil memandang ke sekumpulan gadis yang rata-rata berwajah cantik sedang berlatih jurus-jurus silat khas Perguruan Sastra Kumala.
“Kalau disuruh nongkrong di sini lima hari lima malam juga tidak nolak, apalagi panorama di sini indah-indah,” katanya lirih.
Yang dimaksud dengan 'panorama indah-indah' adalah baju hijau para gadis murid Perguruan Sastra Kumala yang bersimbah peluh keringat hingga mencetak lekak-lekuk tubuh mereka. Matahari di siang itu benar-benar terik sehingga peluh yang keluar lebih banyak dari biasanya.
Tentu saja kedatangan Jalu ke tempat itu, membuat dua belas gadis yang ada sedang berlatih di tanah lapang menghentikan latihannya.
“Huh, mentang-mentang Nyai Guru sedang tidak ada di tempat, Tinara seenaknya saja memasukkan lelaki ke tempat ini,” ujar gadis yang berbibir sedikit tebal yang bernama Tiara.
“Bagusan begitu, Tiara! Kita jadi tahu siapa kekasih gelapnya Tinara,” kata gadis berikat kepala hijau menimpali perkataan Tiara.
“Bukan begitu maksudku, Gadira! Apa kau tidak tahu larangan Nyai Guru, bahwa kita tidak boleh memasukkan laki-laki ke tempat ini,” tukas Tiara.
“Ya, aku tahu! Tapi kalau memasukkan laki-laki buta kukira tidak ada masalah,” tangkis Gadira. “Yang dilarang Nyai Guru kan cuma memasukkan laki-laki yang bisa melek saja.”
“Dia buta?”
Gadira mengangguk pasti.
“Darimana kau tahu kalau dia buta?” tanya kawannya, dia bernama Gaharu.
“Lihat saja ke dua bota matanya ... semuanya putih!” kata Gadira dengan dagu sedikit diangkat. “Mana ada manusia bermata seperti itu kalau bukan orang buta namanya!?”
“Bisa saja itu cuma mata palsu.” Gayatri menyahut.
“Lha, terus gunanya tongkat hitam ditangannya itu apa kalau bukan sebagai penunjuk jalan bagi orang buta? Apa kau tidak melihat saat ia berjalan menuju bangku di sana, tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah,” kata Gadira, berusaha meyakinkan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. “Dan lagian, kalau memang ia pakai mata palsu ... itu artinya dia memang laki-laki kurang kerjaan!”
“Dan tadi sempat kulihat waktu dibawa oleh Tinara, terlihat sekali kalau pemuda itu buta beneran. Jalannya saja sradak-sruduk seperti mau jatuh,” timpal Gayatri.
“Sradak-sruduk ... sradak-sruduk ... memangnya dia kerbau apa!?” ujar Tiara sambil terkikik geli mendengar istilah yang dipakai oleh Gayatri. “Enak saja kau ngomong!” lanjutnya sambil njulekin dahi Gayatri.
Para gadis murid Perguruan Sastra Kumala langsung tertawa cekikikan mendengar celotehan teman-teman mereka yang kadangkala rada-rada sableng, apalagi jika yang angkat suara Tiara dan Gayatri, pasti ramai sekali.
“Eh Tiara, menurutmu tampan mana antara si buta itu dengan Kakang Gabus Mahesa, tunanganmu itu?” tanya Gadira pada Tiara.
“Sebentar kulihat dulu.”
Gadis bernama Tiara memandang sekejap ke arah pemuda berbaju biru, barulah ia berkata, “Kalau dinilai dari segi ketampanan, memang Kakang Gabus Mahesa kalah jauh dengannya. Namun kalau segi kekuatan ... hm ... aku yakin Kakang Gabus Mahesa jagonya.”
“Kekuatan apa?”
“Kekuatan ... 'kekuatan itu’, tuh!?” kata Gayatri sambil menjungkit-jungkitkan alisnya.
“Iiihh ... Gayatri! Ngomong jangan sembarangan dong!”
“Lho, siapa yang ngomong sembarangan? Bukankah katanya kamu pernah klepek-klepek saat bersilat lidah dan main kuda-kudaan dengan Kakang Gabus Mahesa?” sergah Gayatri. “Kita semua juga tahu itu. Buat apa malu?”
“Hi-hi-hik!”
Sebelas gadis usia belasan tahun itu kembali tertawa cekikikan saat melihat gaya bicara Gayatri yang kocak dengan gerak tangan pulang pergi seperti itu.
“Kalau misalnya aku di suruh memilih, kalau disuruh lho ya ... aku lebih memilih si buta tampan itu daripada Kakang Gabus Mahesa-mu, Tiara!” kata Gaharu, yang sedari awal mengawasi si pemuda buta dengan seksama.
“Memangnya kenapa?” tanya Tiara heran sambil menoleh pada Gaharu. “Kakangku perawakannya tinggi besar, kekar, gagah dan berotot! Masa' kau lebih memilih pemuda buta seperti itu. Tampan sih tampan ... tapi kalau buta buat apa coba?”
“Bukan itu masalahnya! Coba kau lihat saja senyumnya. Aduuhh ... entah kenapa ketika melihat senyumnya aku jadi deg-degan. Jantungku berdebar-debar kencang,” ucap Gaharu.
“Masa' senyumnya sehebat itu?” tanya Tiara tidak percaya.
“Kalau tidak percaya, coba raba dadaku.”
“Yang benar?”
Tiara dengan serta merta meletakkan tangan di dada kiri Gaharu.
Benar saja, jantung gadis itu berdetak lebih kencang seperti habis lari dikejar setan.
“Kawan-kawan! Rupanya Gaharu sedang jatuh cinta pada pandangan pertama!” seru Tiara, setelah mengetahui bahwa jantung Gaharu berdebar lebih keras dari biasanya.
“Aaahh ... dasar Tiara brengsek! Bicaranya jangan keras-keras, nanti dia dengar,” kata Gaharu sedikit manyun. “Awas nanti, kubalas kau!”
“Memangnya kau mau membalas apa? Adu silat? Adu panco?” tantang tiara sambil menyingsingkan lengan baju. “Ayo maju kalau berani?”
“Sudahlah ... begitu saja rebut,” lerai kawan-kawannya.
“Pokoknya tunggu saja nanti,” kata Gaharu dengan senyum teka-teki.
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang cukup nyaring menyeruak.
“Sudah waktunya kalian latihan di kolam air panas!”
Suara itu sedikit memantul dimana-mana, jelas sekali bahwa pemilik suara bukan orang berilmu rendah.
“Baik, Sari!” sahut Gadira. “Ayo kawan-kawan, kita ke kolam air panas.”
Sambil masih bersenda gurau, dua belas gadis yang rata-rata cantik, meski kalah cantik dengan Tinara dan Ratih, berjalan dengan langkah ringan. Langkah ringan mereka tidak lepas dari pendengaran Jalu Samudra yang super tajam.
“Hemm, tenaga dalam yang mereka miliki sudah cukup tinggi,” gumam Jalu Samudra dengan mata memandang ke depan. “Aku yakin guru di tempat ini mendidik para muridnya dengan disiplin tinggi.”
Sekumpulan gadis itu berjalan mendekat ke arah tempat murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga duduk istirahat. Tiba-tiba saja angin bertiup lumayan kencang dari arah depan.
Whuss ... !
Sebentuk hawa sejuk menerpa dan diterima syaraf-syaraf tubuh seperti belaian dari surga. Rambut panjang Tiara bagai gelombang air laut yang dipermainkan angin.
“Tiara, lebih baik rambutmu kau ikat saja,” kata Gayatri. “Digelung dulu juga tidak apa-apa.”
“Emm ... boleh juga usulmu,” sahut Tiara sambil berjalan.
Dua tangan Tiara meraih rambut panjangnya. Namun belum lagi sempat menggelung rambut, dua buah tangan menyusup di bawah ketiak dan dengan gerakan cepat, menarik baju hijau Tiara ke belakang.
Sett!
“Aaaakhh ... !”
Tiara langsung menjerit keras saat baju depannya terkuak lebar hingga memperlihatkan perut putih dan busungan dada montok yang terbalut kain penutup dada warna merah muda.
“Brengsek! Siapa nih yang main-main?”
Namun tanpa menunggu jawaban siapa yang berbuat, gadis itu sudah tahu siapa biang keladinya. Dilihatnya Gaharu dan Gayatri berlari menjauh sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Hi-hi-hik!”
Wutt!
Tiara melesat mengejar dua kawannya tanpa membetulkan kembali baju yang setengah terbuka.
“Gaharu brengsek! Awas kau, ya!?”
“Rasakan pembalasanku!” teriak Gaharu.
“Memang enak setengah bugil di depan orang buta?” timpal Gayatri.
Teman-teman mereka yang ada di belakang tertawa terpingkal-pingkal melihat 'aksi balas dendam' yang dilakukan Gaharu dibantu oleh Gayatri.
Benar-benar balas dendam yang aneh!
“Pantas saja tadi kulihat mereka berdua kasak-kusuk di belakang,” kata Gadira, “Rupanya mereka berdua berniat ngerjain si Tiara.”
“Pasti nanti di kolam air panas terjadi kehebohan.” sahut kawannya yang agak pendek.
“Benar! Seperti tiga ekor kucing rebutan ikan asin!” seloroh kawan si pendek.
“Lebih baik, segera kita lihat ke kolam air panas.”
“Ayo!”
Setelah sembilan orang gadis berlalu dari tempat itu, Jalu menghela napas dalam-dalam.
“Lama-lama di tempat ini kepalaku bisa penuh dengan pikiran jorok,” kata Jalu dalam hati. “Tapi ... ngomong-ngomong, Tinara kemana sih? Lama amat dia di dalam?”
Baru saja ia berpikir seperti itu, telinga Jalu menangkap suara halus di belakangnya.
“Yang datang kali ini berilmu lebih tinggi dari Tinara dan kawannya. Langkah mereka seperti harimau sedang mengincar mangsa. Begitu halus dan ringan,” pikir Jalu sambil menoleh ke belakang. “Woow! Dua gadis cantik, meeen!” katanya cukup keras, tapi cuma dalam hati.
“Syukurlah ... ada yang datang juga ke tempat ini,” kata Jalu, “Kalau tidak, mungkin aku sudah ketiduran sesiangan. Apalagi hawa di sini membuatku menjadi mengantuk.”
Dua gadis yang berusia sekitar dua puluh limaan dan dua puluh empatan berhenti melangkah, lalu saling pandang satu sama lain.
“Hebat juga dia, bisa mengetahui kehadiran kami,” pikir keduanya.
“Sari, bagaimana menurutmu?” bisik yang sebelah kiri yang di bagian punggung menyoren pedang.
“Dia cukup hebat, Wulan!” sahut lirih gadis yang menenteng pedang di tangan kanan yang bernama Sari, “Pendengarannya cukup tajam hingga bisa mengetahui kehadiran kita. Padahal aku tadi sudah menggunakan tataran tertinggi dari ilmu peringan tubuhku.”
“Jadi ... apa yang dikatakan Ratih tentang pemuda buta ini memang tidak salah,” tutur lirih Wulan, “Sebab jarang ada pendekar yang bisa menghindari lesatan panah dari perguruan kita.”
“Kita dekati dia,” kata Sari, pendek.
Setelah mendekat, salah seorang dari mereka menyeret bangku panjang satunya, dan pada akhirnya dua gadis cantik itu duduk berhadapan dengan si pemuda buta.
“Jika boleh kutahu, siapakah nona berdua ini?” tanya Jalu.
“Aku Sari,” sahut gadis yang menyandang pedang di punggung, “Lengkapnya Sari Kumala.”
“Aku sendiri bernama Wulan Kumala,” terang gadis yang memegang pedang sambil meletakkan pedangnya di samping kanan.
“Nama kalian selalu berakhiran 'Kumala', ya?” tanya Jalu, heran.
“Benar! Memang di perguruan kami selalu menambahkan kata 'Kumala' di belakang nama panggilan kami sehari-hari.”
“Aneh juga.”
“Apanya yang aneh, Jalu? Eh ... namamu Jalu, khan?” tanya Sari Kumala menegaskan.
“Benar! Sedari kecil nama pemberian orang tuaku belum berubah hingga sekarang.”
“Apanya yang kau anehkan dari nama kami, Jalu?” tanya Wulan Kumala.
“Aku pernah dengar ada sekumpulan orang yang nama awal semuanya 'Gagak' dan sekarang justru nama akhirnya 'Kumala'!” tutur Jalu Samudra sambil geleng-geleng heran. “Jangan-jangan nanti aku berjumpa dengan orang yang semua nama tengahnya sama?”
Wulan Kumala tersenyum kecil mendengar analisis pemuda bertongkat hitam yang duduk tenang sambil bersandar di hadapan mereka.
 
BAGIAN 6


“Kukira tidak ada yang aneh di dunia ini, sobat!” kata Sari Kumala singkat. “Apa pun istilahnya, nama memang digunakan untuk lebih mengingatkan seseorang pada satu orang saja.”
“Bagaimana dengan kondisi Beda Kumala?” tanya Jalu, mengalihkan pembicaraan.
“Berkat dirimu yang secepatnya membawa kemari, racun yang mengeram di tubuh Beda bisa dinetralisir dengan ramuan obat milik perguruan kami. Sekarang Beda Kumala sedang dalam masa penyembuhan di kolam air panas,” tutur Sari Kumala panjang lebar.
“Di tempat kalian ada kolam air panasnya?” tanya Si Pemanah Gadis, kaget.
“Betul sekali.”
“Di sini bukan daerah pegunungan atau pun perbukitan, bagaimana bisa ada kolam air panasnya?” tanya Jalu dengan heran.
“Kami sendiri juga tidak tahu. Saat kami berdua masuk menjadi murid Perguruan Sastra Kumala memang sudah ada kolam air panas dengan tiga warna di tempat ini.”
“Kolam tiga warna? Warnanya apa saja?”
“Warna hijau, biru dan bening.”
Jalu hanya sedikit mengangguk. “Apa manfaat dari kolam tiga warna itu?”
“Kolam bening kami gunakan untuk penyembuhan segala macam luka termasuk luka keracunan. Kolam biru untuk melatih hawa sakti dan kolam hijau saat ini belum kami ketahui apa manfaatnya,” terang Sari Kumala.
“Kenapa?”
“Karena kolam hijau memiliki suhu yang teramat sangat panas. menurut penuturan Nyai Guru, mungkin panasnya mencapai sembilan kali terik matahari di siang hari,” ujar Wulan Kumala.
“Bahkan tangan Nyai Guru Tirta Kumala melepuh saat berusaha menjajaki seberapa panas air dari kolam hijau,” sambung Sari Kumala.
Kembali Jalu hanya mengangguk sedikit.
“Butuh berapa lama proses penyembuhan dari kolam bening itu?” kata Jalu, tertarik dengan manfaat dari kolam bening.
“Jika lukanya cukup parah, paling banter butuh tiga hari tiga malam lamanya.”
“Wahh ... lama juga kalau begitu!?” kata Jalu dengan takjub, “Terus ... kalau seperti luka yang dialami oleh Beda Kumala, kira-kira membutuhkan waktu berapa hari?”
“Seharusnya butuh waktu dua hari lebih sedikit untuk menetralisir racun yang ada dalam tubuhnya.”
“Kenapa kau katakan 'seharusnya’?” Jalu bertanya dengan dahi berkerut.
“Karena racun yang mengeram dalam tubuhnya adalah racun paling ganas dunia persilatan yang bernama Racun 'Ular Karang'!” kata Wulan Kumala.
“Apa!?”
Sebagai orang yang masa kecilnya hidup berdampingan dengan laut, tentu saja Jalu Samudra kenal dengan yang namanya Racun 'Ular Karang', yaitu sejenis racun yang berasal dari sejenis ular laut berkepala gepeng segitiga yang banyak berdiam diri di atas karang-karang terjal. Karangnya pun tidak sembarang karang, tapi karang yang dibawahnya memiliki riak ombak cukup besar dan acap kali bergulung-gulung setinggi lima enam tombak sebelum pada akhirnya pecah membentur batu karang.
Kakeknya pernah berkata, bahwa siapa saja yang tergigit Ular Karang di bagian tubuh mana pun, dalam waktu kurang dari sembilan helaan napas tubuhnya akan dengan cepat berubah kaku laksana batu dan andai dikubur selama ratusan tahun pun tubuhnya akan tetap utuh membatu. Tidak ada penawar racun untuk racun jenis ini kecuali bahwa yang tergigit memiliki hawa pemunah racun alami atau setidaknya memiliki hawa sakti yang unik saja.
“Hanya saja, kami cukup heran dengan Racun 'Ular Karang' yang mengeram dalam tubuhnya. Sepertinya ... racun dalam tubuhnya tertahan oleh suatu tenaga aneh yang tidak kami ketahui,” kata Wulan Kumala dengan tatapan menyelidik.
Gadis ini memang tipe gadis teliti. Apa saja yang terasa aneh olehnya pasti akan membuatnya penasaran sehingga berusaha keras mencari penyebab dari keanehan yang dijumpainya. Seperti halnya racun yang ada dalam tubuh Beda Kumala. Ia tahu betul bahwa racun yang mengeram dalam tubuh saudara seperguruannya adalah jenis racun ganas. Jarang-jarang ada manusia yang bisa tahan hidup dalam waktu sepenanakan nasi lamanya sejak Racun 'Ular Karang' itu masuk ke dalam tubuh. Dan ia tahu betul, seberapa besar hawa tenaga dalam yang dimiliki Beda Kumala. Untuk menahan menjalarnya racun saja sudah pasti ia tidak sanggup, apalagi bertahan dengan waktu yang lama. Sehingga ia menyimpulkan tidak mungkin Beda Kumala sanggup bertahan dengan racun ganas sebegitu lamanya.
Satu-satunya kesimpulan adalah ada orang yang dengan sengaja memasukkan hawa saktinya untuk menahan lajunya Racun 'Ular Karang'!
Dan satu-satunya orang yang dicurigai adalah pemuda buta di depannya!
“Tenaga aneh yang bagaimana maksudmu, Wulan?” tanya Jalu pura-pura tidak tahu, padahal dalam hatinya ia sempat kagum dengan ketajaman mata gadis di depannya, “Hebat! Hawa murni yang kususupkan ke tubuh Beda Kumala pun bisa diketahuinya.”
“Aku sendiri kurang begitu tahu! Hanya saja tenaga ini sejenis hawa yang belum pernah aku lihat sama sekali.”
“Sudahlah, Wulan! Yang penting sekarang ini, Beda Kumala sudah selamat dari ancaman kematian,” sela Sari Kumala sambil mengedipkan mata.
Wulan Kumala yang paham arti dari kedipan mata Sari, hanya menghela napas pelan.
“Jalu, kami ucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolonganmu pada saudara kami,” ucap Sari Kumala. “Jika tidak ada kau, mungkin sekarang ini nyawa Beda Kumala sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
“Sama-sama, Sari Kumala! Hanya kebetulan saja aku lewat saat Beda Kumala sedang terkulai setengah pingsan akibat luka yang dideritanya.”
Tentu saja Jalu tidak mengatakan yang sebenarnya, sebab bisa-bisa ia didamprat sebagai laki-laki kurang kerjaan karena mengintip gadis yang sedang bermain asmara.
“Jika boleh tahu, siapa yang menjadi lawan tarung Beda Kumala, Jalu?” tanya Sari Kumala. “Sebab dari jejak luka yang dideritanya ia bertarung dengan seorang yang jago menggunakan racun ganas.”
“Dari apa yang kudengar, Beda menyebut-nyebut nama mereka dari Istana Jagat Abadi,” terang Si Pemanah Gadis.
“Istana Jagat Abadi?” tanya Sari Kumala menegaskan.
“Begitulah apa yang kudengar, Sari.”
Wulan Kumala langsung menukas, “Tidak mungkin kalau mereka dari Istana Jagat Abadi!”
“Kenapa tidak mungkin, Wulan?”
“Sebab, saat ini Istana Jagat Abadi merupakan pihak penengah di antara Perguruan Sastra Kumala dan Aliran Danau Utara yang sedang bersengketa,” tutur Wulan Kumala. “Mereka bertindak netral. Jelas tidak mungkin mereka memusuhi kami dari Perguruan Sastra Kumala.”
Jalu Samudra termangu-mangu mendengarnya.
“Memangnya ada perseteruan apa antara kalian dengan Aliran Danau Utara?” tanya Jalu, lalu sambungnya, “Itu pun jika kalian tidak keberatan menceritakannya padaku sebagai orang luar perguruan.”
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang beberapa saat.
Kemudian Sari Kumala-lah yang membuka pembicaraan.
“Baiklah, Jalu! Sebagai balas budi kami, tidak ada salahnya jika kau tahu apa yang sebenarnya terjadi sekaligus yang menjadi sebab musabab silang sengketa antara Aliran Danau Utara dengan perguruan kami,” ujar Sari Kumala, lalu lanjutnya, “Silang sengketa kami berawal sekitar dua tahun yang lampau, tatkala Nyai Guru sedang berlatih silat dari sebuah kitab yang bernama Kitab ‘Bunga Matahari’.
“Kitab ‘Bunga Matahari’?”
“Betul! Kitab itu ditemukan pada sebuah gua kecil di saat beliau kehujanan dan berteduh di sana. Pada saat yang sama pula, Ki Gegap Gempita juga ikut berteduh di tempat itu ... ”
“Siapa itu Ki Gegap Gempita?” potong Jalu.
“Ki Gegap Gempita adalah Ketua Aliran Danau Utara generasi ke lima,” terang Wulan Kumala.
“Ooo ... ”
“Bisa kulanjutkan?”
“Silahkan, silahkan ... ”
“Waktu itu Ki Gegap Gempita terluka parah akibat bertarung dengan musuh lamanya. Oleh Nyai Guru, Ki Gegap Gempita berniat beliau obati dengan ramuan obat yang selalu dibawanya. Namun belum lagi dimulai, tiba-tiba saja gua tempat mereka berteduh runtuh di bagian sebelah timur,” ucap Sari Kumala, lalu menghela napas sebentar, terus berkata, “Dan di antara reruntuhan dinding gua, tergolek begitu saja dua buah kitab yang diikat menjadi satu. Mulanya yang melihat dua kitab itu cuma Ki Gegap Gempita, disebabkan sedang dibalut lukanya oleh Nyai Guru, Ki Gegap Gempita hanya diam saja. Setelah selesai dan agak baikan, barulah Ketua Aliran Danau Utara berjalan ke sisi timur dan memungut dua kitab itu dari tumpukan reruntuhan.”
“Nyai Guru hanya mendiamkan saja perbuatan Ki Gegap Gempita, karena memang beliau paling tidak suka berebut dengan orang lain,” sambung Wulan Kumala, “Setelah diobati oleh Nyai Guru Tirta Kumala dan merasa tertolong jiwanya, Ki Gegap Gempita bermaksud memberikan salah satu dari dua kitab yang ada di tangannya, dimana satu kitab warna kuning dengan gambar bunga matahari dan satunya berwarna putih bergambar sepasang mata dengan latar belakang bulan purnama. Mulanya Nyai Guru menolak halus tawaran tersebut, tapi Ketua Aliran Danau Utara terus memaksa. Akhirnya Nyai Guru memilih kitab yang berwarna putih dengan lambang sepasang mata dengan latar belakang bulan purnama dan pilihan itu disetujui oleh Ki Gegap Gempita. Bahkan untuk lebih memudahkan mereka berdua, Ketua Aliran Danau Utara memberikan nama Kitab ‘Bunga Matahari’ pada kitabnya sedang kitab pilihan Nyai Guru diberi nama Kitab ‘Mata Bulan’.”
“Kitab ‘Bunga Matahari’ dan Kitab ‘Mata Bulan’,” gumam murid tunggal Dewa Pengemis.
“Setelah ke dua kitab dibuka-buka sebentar, barulah diketahui bahwa isi dari kedua kitab adalah tata cara menghimpun hawa sakti tingkat tinggi yang bersumber dari kekuatan alam. Namun dengan dasar hawa murni yang mereka pelajari selama ini, ternyata isi kitab saling bertentangan satu sama lain ... ”
“Maksudnya?”
“Jika Nyai Guru berlatih hawa berunsur api justru kitab yang didapatnya berisi penggunaan unsur air sebagai dasarnya. Begitu juga dengan Ki Gegap Gempita yang melatih hawa berjenis air justru mendapatkan kitab berunsur api.”
“Terus mereka bertukar kitab, begitu?” tebak Jalu Samudra.
“Benar, Jalu. Akhirnya Ki Gegap Gempita menukarkan Kitab ‘Bunga Matahari’ miliknya dengan Kitab ‘Mata Bulan’ milik Nyai Guru,” kata Sari Kumala.
“Hingga kemudian terjalin hubungan baik antara Nyai Guru Tirta Kumala dengan Ki Gegap Gempita. Otomatis para murid dari ke dua belah pihak saling mengenal satu sama lain, bahkan ada di antara kami yang menjalin hubungan asmara dengan murid-murid Aliran Danau Utara yang memang keseluruhannya adalah laki-laki,” terang Wulan Kumala.
“Termasuk kalian tentunya?” goda Jalu, yang langsung membuat rona merah di pipi ke dua gadis cantik itu.
Jalu senang sekali menggoda dua gadis ini, entah kenapa begitu melihat rona merah di pipi ke dua gadis itu, ingin sekali ia menggodanya teruis-menerus.
“Aku yakin, kedua pipi kalian pasti merona merah,” kata Jalu.
Padahal, sebenarnya ia bisa melihat dengan jelas rona merah di pipi ke dua gadis tersebut. Tentu saja hal ini ia lakukan karena sedang berpura-pura menjadi orang buta. Kalau ia bilang ‘aku melihat rona merah di ke dua pipi kalian’, tentulah sandiwara kebutaannya akan terbongkar.
“Jika memang keduanya sudah sepakat membagi kitab masing-masing, lalu apa masalahnya?” tanya Jalu.
“Justru karena dua buah kitab itulah menjadi pangkal masalah.”
“Terus?”
“Saat Nyai Guru Tirta Kumala sedang berlatih jurus Pukulan 'Jambu Surya' di ruang latihan silat, Kitab ‘Bunga Matahari’ dicuri orang!”
“Dicuri orang?”
“Pencuri itu menggunakan kerudung hitam dan kami pergoki saat sedang berusaha lari melewati pintu gerbang. Saat kami serang, si pencuri kerudung hitam menggunakan ilmu khas yang hanya Aliran Danau Utara saja yang memilikinya.” kata Wulan Kumala. “Yaitu kekuatan inti dari ‘Air Dingin Tenaga Bulan’!”
“Kekuatan inti dari ‘Air Dingin Tenaga Bulan’? Ilmu apa itu?” tanya Jalu, heran.
“Jika di perguruan kami memiliki Kolam Air Panas Tiga Warna, maka di Aliran Danau Utara memiliki Kolam Air Dingin Tiga Rupa. Di dalam Kitab ‘Bunga Matahari’, pemanfaatan unsur panas sangat dominan sekali, sehingga akan memunculkan kekuatan panas yang bisa merasuk ke dalam tubuh dan jika diolah secara benar sesuai petunjuk yang ada dalam Kitab ‘Bunga Matahari’ akan berubah menjadi tenaga dalam berunsur api, yang dinamakan kekuatan inti ‘Air Panas Tenaga Surya’.” Ucap Sari Kumala sambil menarik napas, kemudian disambungnya, “Demikian pula dengan yang dilakukan Ketua Aliran Danau Utara, memanfaatkan unsur dingin dari kolam air dingin yang jika diolah sesuai dengan petunjuk dari Kitab ‘Mata Bulan’ sehingga berubah menjadi tenaga dalam berunsur air atau dingin, yang dinamakan kekuatan inti ‘Air Dingin Tenaga Bulan’!”
Jalu mengelus-elus dagunya yang klimis sambil memutar otak, berusaha mencerna setiap cerita yang didengarnya secara bergantian dari mulut Wulan dan Sari. Beberapa kali ia menemukan hal yang janggal dalam cerita mereka berdua.
“Apakah Kitab ‘Bunga Matahari’ yang dicuri berada satu ruangan dengan guru kalian waktu?” tanya Jalu.
“Benar.”
“Terjadinya siang atau malam?”
“Tepat di tengah hari.”
“Apa tindakan guru kalian sewaktu mengetahui bahwa kitabnya dicuri orang?”
“Beliau langsung mengejar si Pencuri Kitab sambil memerintahkan kami untuk mencegat jalan keluar si pencuri,” jawab Sari Kumala.
“ ... dan ia berusaha lewat pintu gerbang depan,” tambah kawannya.
“Hanya begitu?”
“Ya.”
“Jika benar cerita kalian dan seperti itu kejadiannya, maka ada hal aneh yang aku jumpai.”
“Kami kira cerita yang kuutarakan dan Sari katakan tidak ada hal yang aneh,” sergah Wulan Kumala.
“Justru itulah anehnya! Karena kalian yang mengalami sendiri maka tidak tampak aneh, tapi jika orang lain yang mendengarnya justru akan terlihat beberapa kejanggalan.”
“Kejanggalan?”
“Coba kalian pikir baik-baik! Jika mencuri di siang bolong sudah pasti tidak aneh, bukan?” kata Jalu, “Tapi justru menjadi aneh ketika si pencuri lewat pintu gerbang depan, seakan membiarkan dirinya diketahui bahwa dialah sang Pencuri Kitab. Kenapa tidak mencari arah lari yang aman dari cegatan kalian!?”
Wulan Kumala menganggukkan kepala.
“Benar juga kata si buta ini,” pikir gadis yang menyandang pedang di punggung. “Kenapa aku tidak berpikir seperti itu dari dulu?”
“Itu kejanggalan yang pertama. Yang ke dua, si pencuri seakan memberikan identitasnya sendiri kepada kalian dengan menggunakan jurus atau ilmu andalan dari perguruan tertentu.” kata Jalu, “Dalam hal ini Aliran Danau Utara, tentunya.”
“Karena waktu ia dikepung oleh kami bersaudara sehingga terpaksa harus menggunakan kekuatan inti ‘Air Dingin Tenaga Bulan’ untuk menahan kekuatan inti ‘Air Panas Tenaga Surya’ yang kami gunakan waktu itu,” tukas Sari Kumala.
 
BAGIAN 7


“Jika memang seperti itu keadaannya, berarti dia pencuri paling ****** yang pernah kutahu,” kata Jalu.
“Apa sebabnya?”
“Dimana pun seorang pencuri, ia pasti dengan serapat mungkin menyembunyikan jati dirinya yang asli agar tidak diketahui oleh pihak yang menjadi korbannya dari awal hingga akhir kejadian!” ucap Jalu.
“Benar sekali.”
“Jadi ... pencurian kitab di tempat kalian adalah disengaja dan hal itu seperti orang berniat lempar batu sembunyi tangan!”
Deg!
Jantung Wulan dan Sari seperti dipantek dengan paku baja!
Dalam otak mereka tidak pernah terlintas sama sekali bahwa ada kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Jalu.
“Kau benar, Jalu ... kau benar! Kami tidak sempat berpikir seperti itu!” kata Sari Kumala dengan raut muka tegang.
“Jadi ... ada kemungkinan kalau kita ini ... ”
“Masuk perangkap!” potong Jalu Samudra mantap.
Dua murid teratas dari Perguruan Sastra Kumala saling pandang tidak percaya. Sulit sekali menerima kenyataan bahwa mereka bisa masuk perangkap orang lain tanpa mereka sadari.
“Dan kejanggalan yang ketiga ... ”
“Masih ada lagi?” tanya Wulan dan Sari hampir bersamaan.
Jalu mengangguk pasti.
“Dengan adanya kerudung hitam yang dipakai si pencuri, hanya ada dua jawaban yang pasti.”
“Hanya dua jawaban?” tanya Wulan Kumala. “Apa itu?”
“Pertama, si pencuri adalah orang yang kalian kenal sebelumnya sehingga perlu menyembunyikan jati dirinya dan yang kedua adalah si pencuri kenal dengan dua guru masing-masing perguruan sehingga ia perlu menutupi identitasnya,” terang Jalu pada dua gadis cantik yang semakin terpana dengan penjelasan murid Dewa Pengemis ini.
Kembali dua gadis cantik yang memiliki pesona kecantikan hampir setara terhenyak!
“Semua yang kuutarakan tadi hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi ... ”
“Tidak, Jalu! Semuanya sudah pasti!” tutur Wulan Kumala, “Dan aku sudah yakin bahwa memang ada pihak ketiga yang bermaksud menarik keuntungan dari pertikaian yang mereka ciptakan sendiri.”
“Kalau begitu, kepergian Nyai Guru ke Aliran Danau Utara satu setengah tahun lalu untuk mengunjungi Aliran Danau Utara adalah juga perangkap yang dibuat oleh mereka yang kita anggap saja sebagai pihak ketiga?” kata Sari Kumala mengkhawatirkan keadaan gurunya jika benar-benar Perguruan Sastra Kumala dijebak agar berseteru dengan Aliran Danau Utara.
“Kemungkinan besar hal itu terjadi,” tukas Si Pemanah Gadis. “Dan aku yakin hal itulah yang diinginkan oleh pihak ketiga.”
Kembali Sari Kumala dan Wulan Kumala tercenung. Meski percakapan mereka dengan Jalu Samudra masih sebatas dugaan saja, tapi melihat situasi yang terjadi saat ini besar kemungkinan dugaan mereka bertiga tidaklah meleset jauh.
“Sejak mulai kapan Istana Jagat Abadi menjadi penengah?” tanya Jalu Samudra tiba-tiba.
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Aku hanya ingin tahu saja.”
“Tepatnya, satu pekan sejak kepergian Nyai Guru, Ki Harsa Banabatta datang ke perguruan kami.”
“Siapa itu Ki Harsa Banabatta?”
“Ki Harsa Banabatta adalah Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan Golok,” jawab Sari Kumala.
“Dengan tujuan apa Si Tangan Golok datang ke tempat ini?”
“Si Tangan Golok mengatakan bahwa ia membawa pesan dari guru untuk membantu menengahi pertikaian yang terjadi antara perguruan kami dengan Aliran Danau Utara ... ”
“Tunggu dulu ... menengahi katamu?” tanya Jalu heran.
“Menengahi tentang silang sengketa tentang pencurian kitab perguruan kami,” jawab Wulan Kumala. “Memangnya kenapa? Ada yang aneh?”
“Hanya heran saja, darimana ia tahu tentang permasalahan ini?”
“Ia bertemu Nyai Guru Tirta Kumala di tengah perjalanan dan Ki Harsa Banabatta bersedia membantu pihak Perguruan Sastra Kumala sebagai pihak yang dirugikan oleh pihak ketiga, yang kami duga ia berasal dari Aliran Danau Utara.”
“Dan kalian percaya begitu saja?”
“Benar.”
“Dengan alasan apa kalian bisa mempercayai ucapan Si Tangan Golok?”
“Karena Si Tangan Golok membawa ini!” kata Sari Kumala sambil meletakkan sesuatu di hadapan Jalu.
Dengan meraba-raba, Jalu memungut benda hijau muda segi delapan yang ada di depannya. Memegang-megang beberapa saat sambil membolak-balik benda hijau muda di tangannya.
“Hemm ... terbuat dari batu giok murni yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Pahatannya halus, teramat halus malah. Jarang sekali dijumpai tukang pahat yang bisa memahat sebaik dan sebagus ini,” gumam Jalu Samudra.
“Hebat! Hanya dengan meraba saja kau sudah bisa menebak tepat sembilan bagian dari Lencana Ketua,” puji Wulan Kumala mendengar penilaian dari pemuda berbaju biru yang sebelum telah membuatnya kagum dengan analisisnya.
“Jika kau tahu kau kalau aku bisa melihat benda ini, bakalan pingsan kau, Cah Ayu!” kata hati Jalu, tapi luarnya ia berkata lain, “Jangan terlalu memujiku, nanti aku besar kepala, Wulan.”
Sambil menyerahkan Lencana Ketua, Jalu berkata, “Apa kau yakin bahwa benda itu asli?”
“Aku yakin benda itu asli.”
“Seberapa yakin?”
“Sepuluh bagian.”
“Bagaimana kau yakin?”
“Karena kami berdua pernah melihatnya.”
“Pernah memegangnya?”
“Belum! Sama sekali belum pernah.”
“Pernah melihat sisi belakang dari lencana itu?”
“Sama sekali belum!” sahut dua gadis bersamaan, dalam hati mereka berpikir sama, “Kenapa pertanyaannya semakin lama semakin aneh?”
Si Jalu bangkit berdiri sambil menggendong tangan di belakang punggung dan berbalik membelakangi dua gadis teratas dari Perguruan Sastra Kumala.
“Kalian pernah lihat ayam betina?” tanya Jalu kemudian.
Dengan mulut tersenyum simpul menahan tawa karena pertanyaan Jalu yang lucu, Sari Kumala menjawab, “Tentu saja pernah. Makan ayam betina saja aku juga pernah. Digoreng atau dibakar, bahkan teramat sering malah.”
“Kalau begitu ... kalian pernah melihat ayam bertelur, bukan?”
“Di belakang pondok kami, ada kandang ayam. Bahkan beberapa diantaranya sedang mengerami telurnya. Memangnya ada apa sih kau tanya perkara ayam dan telur pada kami?” seloroh Wulan Kumala, hingga akhirnya ia tertawa lepas.
Sambil membalik badan menghadap ke arah dua gadis itu, Jalu bertanya, “Kalau begitu ... tentu kalian pernah memasukkan jari ke dalam brutu?” (brutu = lubang telur ayam, bahasa jawa).
Mendengar pertanyaan kali ini, dua gadis itu semakin tertawa lepas saja.
“Hi-hi-hik ... kau ini aneh-aneh saja, Jalu! Buat apa ... ”
“Disitulah masalahnya!” potong Jalu dengan cepat.
Sontak, tawa lepas Wulan dan Sari Kumala lenyap bagai digondol setan!
“Masalahnya?”
“Ya, disitulah masalahnya! Masalah sepele yang terlewatkan oleh kalian semua!” kata Jalu dengan tegas.
“Bisa kau jelaskan pada kami, Jalu?” pinta Sari Kumala.
“Dengan senang hati!” kata Jalu, lalu ia kembali duduk ke tempat semula, lalu katanya dengan mimik muka serius, “Jika kalian tidak pernah memasukkan jari ke dalam lubang telur ayam untuk mengetahui apakah ayam betina itu mau bertelur atau tidak, bukankah itu sama artinya dengan kalian yang belum pernah menyentuh sama sekali Lencana Ketua. Hanya dengan melihat bentuk luarnya saja kalian berdua lantas begitu yakin bahwa benda itu adalah asli.”
“Lalu?”
“Dalam hal ini, perangkap orang ketiga telah berhasil untuk ke sekian kalinya.”
Jika orang menggali lubang dan si penggali terperosok ke dalamnya tanpa disadari adalah suatu kemungkinan yang wajar, tapi jika berkali-kali terperosok ke dalam lubang sama, sulit sekali menerima kenyataan itu dalam suatu kewajaran!
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang dengan tatapan tak percaya!
Bersamaan dengan itu, dua gadis cantik itu memandang Jalu dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Pernahkah kalian memberikan barang kesayangan atau milik pribadi yang paling kalian sayangi kepada orang lain?”
“Tidak pernah!” sahutnya bersamaan.
“Bukankah itu sama halnya dengan Lencana Ketua yang kalian bawa,” kata Jalu Samudra, “Tidak mungkin Nyai Guru kalian memberikan begitu saja lencana lambang Ketua Perguruan Sastra Kumala pada sembarang orang. Jika hal itu sampai terjadi, bukankah itu sama artinya bahwa ... ia memberikan tampuk pimpinan tertinggi perguruan kepada si Pemegang Lencana!?”
Deg!
Kembali jantung dua gadis itu berdetak kencang, mungkin lebih kencang dari larinya kuda yang dikejar macan!
“Kalau begitu ... ”
“Ada kemungkinan bahwa Lencana Ketua kalian dipalsukan dan delapan bagian aku yakin, bahwa Ketua kalian saat ini dalam tawanan pihak ketiga yang memasang perangkap.” tandas Si Pemanah Gadis.
Deg!
Kembali jantung mereka berdetak lebih kencang lagi.
“Kalau begitu, apakah artinya bahwa Istana Jagat Abadi adalah dalang dari semua ini? Lalu apa tujuan mereka melakukan semua ini?” desah Sari Kumala sambil matanya menerawang ke atas.
“Belum tentu!”
“Belum tentu? Apa maksudmu?” tanya Wulan Kumala, heran.
“Aku sendiri juga belum yakin dengan dugaanku, tapi kalian perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang masalah ini.”
“Apa harus kami?”
“Mungkin salah seorang dari teman kalian juga bisa.” kata Jalu.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin?” tanya Si Pemanah Gadis heran.
“Jika dilihat dari tataran ilmu, rata-rata kami bersaudari selain aku dan Wulan, masih dalam tahap pematangan ilmu tahap ke dua,” kata Sari Kumala, “ ... dan itu bisa membuat mereka kehilangan kontrol hawa murni sewaktu-waktu.”
“Tenaga kalian buyar?” tanya Jalu heran.
“Bukan buyar, tapi kadangkala meluap tanpa kendali!”
“Heran, kenapa ada ilmu semacam itu?” gumam Jalu Samudra.
“Menurut Kitab ‘Bunga Matahari’ milik Nyai Guru, untuk sanggup mengendalikan luapan hawa murni, minimal harus bisa melewati tahap ke tiga dari daya inti 'Air Panas Tenaga Surya'!”
Jalu Samudra manggut-manggut.
“Kalian sendiri sampai tahap berapa?”
“Aku tahap ke empat dan Wulan mendekati tahap ke lima,” kata Sari Kumala. “ ... dan itu artinya kami berdua harus membimbing saudari-saudari kami hingga mencapai tahap ketiga.”
“Butuh waktu berapa lama?”
“Kira-kira butuh waktu dua minggu ke depan.”
“Bagaimana dengan Nyai Guru Tirta Kumala?”
“Beliau sudah mencapai tahap tujuh. Tahap pamungkas sempurna!” kata Sari Kumala dengan nada bangga, sambungnya, “Saat tahap tujuh terlampaui, barulah jurus Pukulan 'Jambu Surya' bisa dipelajari dengan tuntas.”
“Wulan, bukankah beberapa hari yang lalu, Beda Kumala sudah menyelesaikan tahap ke tiga?”
Seperti diingatkan oleh sesuatu, Sari Kumala berkata, “Benar! Jika begitu tidak ada halangan baginya untuk melakukan penyelidikan ke Aliran Danau Utara maupun Istana Jagat Abadi.”
“Betul sekali, Wulan! Tengah malam nanti kemungkinan besar Beda Kumala akan pulih kembali.”
“Tapi ... ”
“Tapi apa?” tanya Sari Kumala.
“Kondisinya baru saja pulih dari cedera keracunan. Apa tidak berbahaya jika ia berangkat sendirian?”
“Mungkin salah seorang dari kalian bisa menemaninya.” usul si pemuda bertongkat hitam.
Keduanya menggeleng lemah.
Mendadak, Wulan Kumala berkata dengan lirih, “Bagaimana jika kau yang menemaninya, Jalu?”
Meski lirih, namun karena suasana yang cukup sepi dan cuma ada mereka bertiga, suara lirih pun menjadi cukup jelas di dengar oleh telinga siapapun yang ada di tempat itu.
“Aku?” sahut Jalu sambil menunjuk dirinya. “Kenapa harus aku?”
“Karena kau adalah orang luar, Jalu!”
“Bukankah justru karena aku orang luar perguruan, maka seharusnya aku tidak boleh ikut campur?”
“Istana Jagat Abadi juga pihak luar, tapi mereka juga mencampuri urusan dalam perguruan kami. Jadi ... tidak ada salahnya kami juga meminta bantuan pihak luar untuk menuntaskan silang sengketa kitab perguruan kami,” tutur Sari Kumala.
“Walah ...”
“Jalu, kami mohon ... ”
“ ... dengan sangat!” imbuh Sari Kumala.
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga jadi serba salah. Membantu salah, tidak membantu juga tidak enak hati!
“Aduh, bagaimana ya?” gumam Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis sambil garuk-garuk kepala.
“Ayolah ... kumohon ... ” pinta Sari Kumala, padahal dalam hati ia merutuki dirinya, “Heran! Kenapa aku begitu ingin sekali pemuda buta di depanku ini membantu kami! Kenal juga baru hari ini. Benar-benar aneh apa yang aku alami hari ini, seolah pemuda didepanku ini memiliki daya tarik tersendiri dalam pandangan mataku. Entah di bagian mana, aku sendiri tidak tahu.”
Apa yang dirasakan Sari Kumala tidak jauh beda dengan apa yang dirasakan Wulan Kumala.
“Setiap tutur kata dan senyumannya seperti memiliki daya magis yang sanggup meruntuhkan dindinng hati setebal apa pun,” pikirnya, “ ... atau jangan-jangan pemuda buta ini memiliki sejenis ilmu pelet yang bisa membuat para gadis tergila-gila padanya?”
Justru apa yang dipikirkan Jalu berbeda jauh bagai siang dan malam!
“Jika kubantu mereka, naga-naganya bisa menghabiskan waktu enam tujuh hari di depan,” kata hatinya, “Tapi jika tidak kubantu, kasihan sekali mereka. Bisa-bisa mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Andai dua puluh orang gadis berilmu tinggi seperti mereka jika digunakan untuk menghancurkan keangkaramurkaan tidak masalah, tapi kalau disetir supaya mengumbar angkara murka? Hiih ... amit-amit deh ... !”
Setelah menimbang, mengingat dan melihat, akhirnya Jalu mengambil keputusan.
“Baik! Aku terima permohonan bantuan kalian berdua.”
“Terima kasih, Jalu!”
“Tapi dengan syarat.”
“Apa pun syaratnya, kami akan penuhi,” kata Sari Kumala tanpa sadar.
Seulas senyum terukir di sudut bibir si pemuda.
“Apa pun?” tanya Jalu Samudra menegaskan.
“Ya! Apa pun ... ”
Tiba-tiba suara Sari Kumala tercekat di leher. Gadis cantik itu menyadari sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan ‘apa pun’. Perkataan ‘apa pun’ bukankah sama artinya dengan ‘apa saja yang kau minta dari kami, tentu kami akan mengabulkan semua?’
Seraut wajah Sari Kumala langsung pucat pasi!
“Aku terima!” kata Jalu, pendek.
“Maksudku adalah ... ”
“ ... apa pun permintaanku selama tidak menentang kebenaran, menentang hukum rimba persilatan dan hati nurani akan kalian kabulkan,” kata Si Pemanah Gadis, “Begitu bukan, maksudmu?”
Sari Kumala mengangguk pelan, pikirnya, “Untung dia tidak minta macam-macam.”
“Kalau begitu, permintaan pertama ... ”
“Lho, kerja saja belum kok sudah ada permintaan?” protes Wulan Kumala. “Ngga bisa!”
“Tapi ini wajib kalian penuhi!”
“Apa itu harus? Dan kapan?”
“Harus dan sekarang juga!”
Dua gadis itu kembali saling pandang.
“Baiklah ... apa permintaanmu?” tanya Sari Kumala dengan lesu.
Jalu Samudra tersenyum kecil melihat lagak-lagu gadis didepannya itu.
“Aku minta kalian menemaniku ... ”
“Apa!? Tidak mau!”
“ ... makan malam!” lanjut Jalu sambil tertawa lebar.
Dua gadis itu langsung menghembuskan napas lega.
“Cuma itu saja?”
“Dari tadi pagi aku belum makan sesuap nasi pun! Dan kalian sebagai tuan rumah juga tidak menyediakan minuman sedikit pun pada tamu seperti aku ini.” Pikirnya, “Kena juga kalian aku kadali!”
Dua gadis cantik itu kembali menarik napas lega.
“Kukira kau minta apa?” sahut Wulan Kumala sambil bangkit berdiri.
“Lho, memangnya dalam kepalamu apa yang terlintas?” tanya Jalu menggoda.
“Tidak ada!” ucap Sari Kumala ketus.
Sore itu pula ...
Jalu Samudra menjadi tamu kehomatan Perguruan Sastra Kumala. Tentu saja sebagai tamu harus menurut dengan apa kehendak tuan rumah yang notabene seluruh penghuninya adalah para gadis yang rata-rata cantik molek. Beruntunglah Jalu karena ia buta (itu menurut anggapan mereka), meski ia sepuluh bagian adalah laki-laki tampan yang menarik dengan postur tubuh tinggi tegak, yang seharusnya tidak bisa masuk seenak perutnya sendiri ke dalam ruang mana pun di dalam perguruan itu.
Dua hari kemudian ...
Dua sosok bayangan terlihat berlompatan dari pohon ke pohon. Jika dilihat dengan teliti, terlihat sekali bayangan hijau yang di depan membimbing sesosok bayangan biru yang tepat berlari di belakangnya. Beberapa kali terlihat si bayangan biru hampir saja terperosok jatuh dari atas pepohonan, namun dengan sigap pula si bayangan hijau menolongnya.
Siapakah dua sosok bayangan yang sedang berkelebatan menuju utara itu?
Mereka tak lain dan tak bukan adalah Si Pemanah Gadis atau Jalu Samudra dan Beda Kumala adanya!
Setelah sembuh dari Racun ‘Ular Karang’, Beda Kumala berniat menyelidiki Aliran Danau Utara yang dicurigai oleh pihak Perguruan Sastra Kumala telah mencuri kitab milik perguruan yang bernama Kitab ‘Bunga Matahari’ sekaligus mencari keberadaan Nyai Guru Tirta Kumala yang menghilang sekian waktu lamanya. Mulanya Tinara dan beberapa murid berniat menyelidiki sendiri, namun oleh Sari Kumala dan Wulan Kumala dilarang keras, sebab jika semua orang pergi ke Aliran Danau Utara, lalu siapa yang menjaga perguruan?
Dan yang paling utama, tingkat ilmu mereka harus dimatangkan terlebih dahulu!
Akhirnya diputuskan, bahwa pihak Perguruan Sastra Kumala meminta bantuan pada Jalu Samudra yang memang benar-benar orang luar perguruan dan mengutus Beda Kumala mendampingi si pemuda berbaju biru. Mulanya hal ini diprotes oleh Ratih Kumala dan Tinara Kumala yang diam-diam naksir sang pendekar, tapi dengan pertimbangan bahwa Beda Kumala sebagai saksi hidup terbunuhnya Garan Arit alias Si Pendekar Dari Utara, mau tidak mau mereka harus mengalah. Padahal sebenarnya mereka ingin mengikuti Jalu karena rasa ketertarikan pada diri si pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga. Entah pada bagian mana yang membuat dua gadis cantik dari Perguruan Sastra Kumala tertarik pada sosok Jalu Samudra ini.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari bahwa pemuda yang mereka anggap sebagai orang buta dan berilmu pas-pasan itu memiliki kesaktian tanpa tanding. Kesaktian paling langka dan paling dicari para pendekar dunia persilatan masa silam dan masa kini yang justru berada di dalam genggaman tangan si pemuda buta yang di kalangan persilatan mendapat julukan sebagai Si Pemanah Gadis. Andai mereka mengetahui jati diri sesungguhnya dari Jalu Samudra, mungkin bukan hanya dua atau tiga orang yang ikut meluruk ke Aliran Danau Utara, tapi dua puluh orang gadis cantik bakal berada di belakang si pemuda tangguh ini!
Celakanya lagi, tanpa Jalu sadari pula, bahwa dalam dirinya telah muncul sebentuk kekuatan aneh yang bisa membuat gadis mana pun menaruh perhatian pada dirinya luar dalam. Sejenis kekuatan pemikat atau penakluk lawan jenis yang mendarah daging dalam diri si pemuda. Hal ini terjadi sejak ia menelan buah Naga Kilat dan Bibit Matahari pada dua belas tahun silam, hingga secara tidak langsung pula si pemuda selain memiliki tenaga dalam langka tingkat tinggi bernama Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat sembilan yang di kalangan pendekar disebut-sebut sebagai Ilmu Sakti 'Mata Malaikat', juga kebal terhadap segala jenis racun baik yang berwarna, berbau dan tanpa warna tanpa bau, bahkan dalam Kitab ‘Kembang Perawan’ milik istrinya Kumala Rani di bagian tengah dibeberkan sedikit mengenai beberapa jenis racun berbahaya yang beredar di dunia persilatan.
Kali ini dalam pengembaraannya Jalu Samudra, dengan terpaksa membantu pihak Perguruan Sastra Kumala (meski tidak ada yang maksa sih).

--o0o--
 
BAGIAN 8


Seorang laki-laki berdiri dengan menggendong tangan di belakang punggung, berdiri membelakangi delapan orang berbaju hitam beludru yang berdiri tepat di belakangnya.
Ki Wira, demikian namanya, seorang laki-laki tua dengan tubuh tinggi ceking menjulai mendekati dua tombak. Beberapa saat kemudian, ia membalik badan, sehingga kelihatan jelas bentuk raut muka tirus yang penuh kerut merut karena usia tua. Tidak ada yang menarik sedikit pun pada laki-laki yang kini berdiri petentang-petenteng di hadapan delapan anak buah kakaknya ini, kecuali sinar mata licik dan kejam tergurat jelas di wajah yang penuh dengan bercak-bercak putih dilengkapi dengan sejumput jenggot warna kuning kehitaman macam jenggot kambing.
Meski ilmu silatnya tidak begitu tinggi alias biasa-biasa saja, tapi justru ilmu meringankan tubuh dan racunnya luar biasa tinggi. Di balik baju kuning kusamnya yang kedodoran, terdapat puluhan bahkan mungkin ribuan jenis racun dan lusinan senjata gelap yang dinamai Jarum Lebah Terbang yang tidak pernah lepas satu jengkal pun dari tubuh tinggi cekingnya. Mungkin berak sekalipun benda-benda kesayangannya tetap melekat pada di tubuh keroposnya. Julukan sebagai Raja Jarum Sakti Seribu Racun diberikan pada dirinya sendiri karena ia menganggap bahwa dialah satu-satunya orang yang paling lihai dan hebat dalam olah racun dan punya keyakinan tinggi bahwa tanpa ada satu pun lawan yang sanggup menghindari lemparan senjata Jarum Lebah Terbangnya.
Meski hanya tokoh kelas dua, tapi Raja Jarum Sakti Seribu Racun justru menganggap dirinya sebagai tokoh nomor satu rimba persilatan!
“******! Kenapa kalian begitu ceroboh!” bentak seorang tua dengan raut muka tirus.
“Kami tahu telah salah tangan, Ki Wira!” sahut Pedang Dewa, mewakili teman-temannya. “Maafkan kami!”
“Bukan hanya salah tangan, tapi tindakan kalian yang seenaknya sendiri bisa mempengaruhi rencana utama kita,” kembali orang tua yang di panggil Ki Wira membentak, “Kalau sampai Ketua sendiri yang mendengarnya, entah mau diletakkan dimana kepala kalian sekarang ini!”
Delapan orang berbaju hitam beludru tercekat!
“Kami benar-benar tidak terima dengan tingkah Garan Arit yang telah mempecundangi salah seorang kawan kami, Ki Wira,” elak Pedang Dewa. “Kukira ... nyawa busuknya cukup pantas untuk ... ”
“Aaaah ... kau cuma pintar pentang mulut saja, Pedang Dewa, tapi otakmu di dengkul!” potong Raja Jarum Sakti Seribu Racun dengan tangan kiri mengibas. Serangkum hawa padat membuat orang-orang anak buah pimpinan Pedang Dewa terjajar dua tiga tindak ke belakang.
Tidak dinyana bahwa tindakan mereka menghabisi Pendekar Dari Utara, salah seorang murid Aliran Danau Utara siang tadi bisa membuat Ki Wira meradang. Padahal rencana mereka berdelapan sudah dimatangkan selama beberapa hari, namun hanya terlaksana satu rencana. Dua rencana yang gagal adalah mencederai murid Perguruan Sastra Kumala dan dilanjutkan dengan meletakkan mayat Pendekar Dari Utara di wilayah kekuasan Perguruan Sastra Kumala.
Rencana ini gagal secara tidak sengaja karena turut campurnya si pemuda buta!
“Bangsat! Kalau bukan dirimu orang dekat Ketua, sudah kukirim kau ke neraka jauh-jauh hari!” kata hati Pedang Dewa. “Memangnya kau ini siapa, berani tunjuk perintah seenaknya pada kami!?”
“Apa kalian tahu siapa pemuda yang menghalangi kalian?” tanya Ki Wira dengan gusar.
“Tidak! Ia tidak menyebutkan nama atau gelar, Ki Wira.” sahut Trisula Kembar, datar.
“Bagaimana ciri-cirinya?”
Tombak Sakti segera angkat bicara, “Pemuda itu buta ... ”
“Apa! Jadi kalian kalah sama orang buta?” bentak Ki Wira dengan mata melotot.
Mereka berdelapan kembali diam membisu.
Setelah mendengus untuk kesekian kalinya, laki-laki bermuka tirus berkata, “Apa lagi?”
“Ia membawa tongkat hitam berlekuk. Bajunya biru laut, badan tinggi tegap ... ”
Ki Wira segera memotong, ”Sebutkan ciri khususnya!”
Delapan orang itu kembali terdiam. Otaknya berusaha mengingat kembali kejadian yang mereka alami baru saja. Tapi sekian lama memeras otak, tidak ada yang istimewa dari pemuda buta yang menggagalkan rencana mereka.
“Bagaimana? Ada ciri khusus?” tanya ulang Ki Wira pada delapan anak buahnya.
Mereka hanya menggeleng lemah.
“Dasar ******! Mengenali lawan saja tidak becus!” kembali Ki Wira mengumpat keras.
Tiba-tiba Karang Kiamat yang kini buta berseru, “Aku tahu!”
“Apa yang kau tahu, Karang Kiamat?” tanya Pedang Dewa.
“Apa kalian tidak ingat dengan jurus pukulannya?”
“Jurus pukulan yang mana?” tanya heran Tombak Sakti.
“Jurus yang menumbangkan pohon tempat kita bersembunyi waktu itu,” terang Karang Kiamat, lalu sambungnya, “Bukankah ia memiliki jurus pukulan berupa larikan sinar putih yang membentuk mata anak panah?”
“Benar! Itu dia!” kata Trisula Kembar.
Raja Jarum Sakti Seribu Racun tercenung sesaat, gumamnya sambil mengelus-elus jenggot kambingnya, “Selarik sinar putih yang membentuk mata anak panah? Baru kali ini aku dengar ada jurus semacam itu? Apa mungkin ia murid tokoh sakti yang sekian lama tidak menampakkan diri?”
“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, Ki.”
“Apa kalian tahu siapa saja tokoh yang memiliki jurus semacam itu?” tanya Ki Wira. “Atau setidaknya mengandalkan senjata panah?”
Golok Tapak Kuda yang paling pendiam membuka suara.
“Setahuku, di wilayah tenggara ada tokoh yang berjuluk Panah Tengkorak, tapi aku yakin ia tidak memiliki jurus tenaga dalam yang berbentuk anak panah. Senjata andalannya adalah Gendewa Panah Pendek, bukan jurus seperti yang kami lihat,” tutur Golok Tapak Kuda.
Meski berbadan pendek kekar, tapi senjata yang juga bernama Golok Tapak Kuda yang berada di punggung justru besar melebar ke samping, mungkin lebarnya sekitar satu setengah tombak dan yang aneh, tidak ada mata golok disana. Entah di bagian mana senjata berbentuk kotak itu bisa di sebut golok.
“Hemm, Panah Tengkorak!? Aku kenal dengan tokoh itu. Tidak mungkin ia punya murid seperti pemuda buta yang kalian maksudkan,” tutur Raja Jarum Sakti Seribu Racun setelah mendengar penjelasan anak buahnya.
“Ki Wira yakin?” tanya Gada Maut yang bertubuh gempal dengan kumis tebal sebesar pisang ambon, tapi lucunya justru ia bersuara kecil melengking.
“Setan! Jadi kau meragukan perkataanku!?” bentak laki-laki itu meradang.
“Bukan begitu, Ki! Kita tidak tahu apa, siapa dan bagaimana si Panah Tengkorak itu. Bisa saja ia mengangkat murid di luaran ... ” sela Gada Maut dengan dibesar-besarkan.
Sambil mendengus karena perkataannya tidak dipercaya, Raja Jarum Sakti Seribu Racun berkata dengan mata mendelik, “Panah Tengkorak adalah orang paling pelit dalam segala hal, tapi ia juga rakus dalam semua hal. Rakus harta, kedudukan dan juga wanita. Semua yang dilakukannya harus membuat ia mendapatkan keuntungan namun ia paling pelit jika memberi sesuatu apa pun bentuknya,” terang Ki Wira. “Jadi ... kalau ia mengangkat murid itu adalah hal yang mustahil terjadi. Ia hanya ingin ilmu silatnya, ia sendiri yang memilikinya!”
“Lagi pula, setahuku Panah Tengkorak hanya keluar jika ada hal-hal genting dan itu pun hanya untuk kepentingannya sendiri,” ucap Cambuk Pemutus Nyawa.
“Lalu bagaimana dengan Pemanah Dewa Dua Nyawa? Bukankah ia juga tokoh yang patut kita curigai?” kata Trisula Kembar. “Sepengetahuanku Pemanah Dewa Dua Nyawa mempunyai ilmu pukulan yang bernama ‘Panah Kayu Pemecah Bintang’?”
“Trisula Kembar, apa kau tidak tahu bahwa sudah dua puluh tahun ini kalau Pemanah Dewa Dua Nyawa tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Mungkin saja sudah sejak dua puluh tahun lalu ia mampus dimakan cacing tanah dan kini tinggal tulang belulangnya,” kata datar Cambuk Pemutus Nyawa.
“Berarti kau yang tuli, Cambuk Pemutus Nyawa!”
“Apa maksud perkataanmu, Trisula Kembar!?” bentak Cambuk Pemutus Nyawa sambil meraba gagang cambuknya.
Dengan nada menghina Trisula Kembar menjawab, “Setengah tahun lalu, Pemanah Dewa Dua Nyawa membantu Kerajaan Danaraja untuk menggulung Komplotan Pondok Setan yang mengganas di wilayah kerajaan itu. Bahkan Panglima Bratasena sendiri yang meminta bantuan tokoh ini.”
“Darimana kau tahu kalau ... ”
Dengan mata sedikit menyipit, Trisula Kembar memotong, “Sebab aku adalah salah satu pucuk pimpinan dari Komplotan Pondok Setan! Puas!?”
Tujuh orang itu terpana mendengar penjelasan singkat tersebut.
“Rupanya delapan orang bawahanku ini memang saling tidak mengetahui asal-usul mereka sebenarnya,” batin Raja Jarum Sakti Seribu Racun, “Entah dengan cara bagaimana Raja Iblis Pulau Nirwana sanggup membuat mereka tunduk? Aku yakin, jika aku yang menundukkan mereka, tak bakalan mereka berdelapan begitu setia dan taat pada perintahku? Beruntunglah Ketua menugaskanku memimpin mereka, bukan menaklukkan delapan orang tak punya otak ini!”
Dengan dua tangan diangkat ke atas, Ki Wira berkata, “Sudah cukup! Hentikan perang mulut kalian yang sudah basi itu! Kita kembali ke pokok permasalahan.”
Begitu mendengar ucapan Raja Jarum Sakti Seribu Racun, delapan orang itu langsung bungkam, hanya sorot mata Trisula Kembar dan Cambuk Pemutus Nyawa seperti mengeluarkan api permusuhan.
Siapakah delapan orang yang mengaku-ngaku berasal dari Istana Jagat Abadi?
Benarkah mereka berasal dari satu perguruan yang sama?
Jawabnya adalah ... tidak!
Mereka berdelapan adalah tokoh hitam yang takluk dan dikumpulkan oleh sesosok tokoh jago silat misterius yang mereka sebut dengan Raja Iblis Pulau Nirwana. Mulanya, mereka berdelapan adalah para perampok dan penjahat paling dicari di seantero jagat persilatan karena sepak terjang mereka yang merugikan semua kalangan. Namun, pada akhirnya mereka berdelapan dikalahkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana yang tidak diketahui apa dan bagaimana bentuk wajahnya.
Entah dengan cara bagaimana, delapan orang tokoh hitam ini bisa kalah dalam tempo singkat!
Siapa sebenarnya sosok misterius itu, tidak ada yang tahu dengan pasti. Ia hanya sesosok samar, sosok antara ada dan tiada, seperti asap tertiup angin. Bahkan sosok misterius itu bisa berada dimana saja dan kapan saja ia mau menampakkan diri, juga tidak ada yang tahu. Hanya satu yang mereka ketahui, bahwa sosok itu mengatakan sendiri bahwa ia berasal dari Pulau Nirwana, entah dimana adanya pulau itu, mereka semua tersebut tidak ada yang tahu dengan pasti. Untuk memudahkan mereka dalam penyebutan, akhirnya digelari dengan Raja Iblis Pulau Nirwana!
Dan sebagai wakilnya, Raja Iblis Pulau Nirwana menunjuk Raja Jarum Sakti Seribu Racun yang diakuinya sebagai adik. Namun anehnya, Raja Jarum Sakti Seribu Racun sendiri juga orang taklukan dari Raja Iblis Pulau Nirwana dan ia sama butanya dengan delapan orang bawahannya, tidak mengetahui secara pasti siapa adanya Raja Iblis Pulau Nirwana tersebut.
Hanya satu hal yang pasti, bahwa keberadaan mereka bersembilan, termasuk Ki Wira atau Raja Jarum Sakti Seribu Racun harus membuat geger di rimba persilatan dengan mengadu domba antar perguruan silat atau padepokan yang ada di Tanah Jawa.
Bahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun sendiri secara tersamar ditugasi untuk mencari keterangan tentang adanya benda pusaka yang memiliki unsur air dan unsur api. Entah dengan tujuan apa mencari benda tersebut, hanya perintah itu saja yang ia terima dari Raja Iblis Pulau Nirwana. Bahkan untuk membantu mencari benda yang dimaksud, Raja Iblis Pulau Nirwana membekali Raja Jarum Sakti Seribu Racun dengan sebuah ilmu kesaktian yang bisa menyadap kesaktian orang lain dalam sekali lihat sekaligus bisa membedakan unsur yang menyertai ilmu tersebut.
Dua setengah tahun yang lalu, kakek ahli racun ini berhasil menyirap kabar tentang adanya dua kitab yang memiliki dua unsur yang berlainan seperti yang diinginkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana, dan begitu mendengar kabar ini, Raja Iblis Pulau Nirwana langsung memerintahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun untuk mengambil benda yang dimaksud.
 
BAGIAN 9


“Sebaiknya Gada Maut dan Tombak Sakti mencari berita siapa adanya pemuda buta itu. Akan halnya Pedang Dewa dan Karang Kiamat, sebaiknya kalian berdua kembali ke markas pusat di Gunung Puyuh,” kata Raja Jarum Sakti Seribu Racun, lalu sambungnya, “Dan kalian berempat, kembali ke pos masing-masing. Untuk Istana Jagat Abadi sebaiknya Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa saja yang kesana dan kerjakan tugas kalian seperti biasa.”
“Lalu bagaimana dengan kami berdua, Ki?” tanya Gelang Bintang yang kehilangan dua pasang telinganya.
“Gelang Bintang, kau mengawasi Perguruan Sastra Kumala dan laporkan perkembangan yang terjadi.”
Gelang Bintang langsung tersenyum lebar mendengar tugasnya.
“Dapat bagian gadis cantik, nih,” batinnya dengan senyum menyeringai.
Melihat senyum Gelang Bintang, Raja Jarum Sakti Seribu Racun seketika memandang dengan mata mendelik seraya berkata, “Ingat! Tugasmu hanya memata-matai, bukan main gila di sana!”
Seringai meriah Gelang Bintang langsung lenyap seketika!
“Trisula kembar!”
“Ya.”
“Kau kembali ke Aliran Danau Utara. Lanjutkan penyamaranmu! Pastikan bahwa murid-murid Aliran Danau Utara tidak ada yang macam-macam lagi seperti tempo hari,” tandas Ki Wira.
Trisula Kembar hanya mendengus saja.
“Brengsek! Kenapa kembali aku harus mengawasi puluhan laki-laki bau keringat di sana. Enak betul si Gelang Bintang, tiap hari matanya sehat melihat gadis cantik lalu-lalang,” sumpah serapah Trisula Kembar dalam hati, “Semoga saja matanya bintitan!”
“Kalian paham?”
Delapan orang tokoh hitam itu hanya mengangguk tanpa suara.
“Bagus! Lima hari dari sekarang, aku tunggu kabar dari kalian di tempat biasa!” kata Raja Jarum Sakti Seribu Racun, lalu ucapnya menambahi, “Aku harus pergi sekarang! Ketua memanggilku untuk menghadap!”
Belum lagi suaranya menghilang, laki-laki itu telah berkelebat cepat ke arah tenggara.
Blass!
Setelah tiga-empat helaan napas, barulah Pedang Dewa membuka suara dengan sedikit menggeram, “Terpaksa kita harus mengikuti permintaan setan keparat itu! Enak saja dia main tunjuk perintah semaunya!”
“Aku sendiri sudah muak dengan keparat itu! Kalau bukan atas permintaan Ketua agar kita mengikuti segala perintah Raja Jarum Sakti Seribu Racun, sudah aku pesiangi dia dari kemarin!” dengus Tombak Sakti sambil mengepalkan dua tangan hingga terdengar suara berkerotokan keras. “Suatu saat nanti, dia harus mencicipi Ilmu ‘Tombak Selaksa Hantu’ milikku!”
“Sudahlah, sementara rasa tidak enak ini kita tahan dulu untuk waktu yang tepat,” ujar Karang Kiamat yang kini menjadi orang buta tulen. “Hilangnya dua mataku ini secara tidak langsung juga atas perbuatannya.”
“Aku setuju dengan Karang Kiamat! Kita harus bisa menahan diri untuk sementara waktu,” tandas Cambuk Pemutus Nyawa, lalu ia sendiri langsung berkelebat cepat ke jurusan timur laut.
”Kalau begitu, kita berpisah untuk sementara waktu,“ kata Golok Tapak Kuda sambil berkelebat pula menyusul arah lari Cambuk Pemutus Nyawa. Di kejauhan sana terdengar kembali suaranya yang menggema, “Semoga saja kalian berenam masih hidup, hingga kita berdelapan bisa sama-sama menggebuk matang pantat si tukang jahit itu, hah-ha-ha-ha!”
Enam orang saling pandang, lalu mereka berloncatan dengan jurus peringan tubuh masing-masing ke jurusan yang berlainan.
Blass! Wuss!
Dua helaan napas kemudian, sesosok tubuh melayang turun dari pohon besar yang paling ujung.
Ternyata Raja Jarum Sakti Seribu Racun adanya!
Rupanya dia tadi cuma akal-akalan dia saja untuk mengelabui delapan anak buahnya dengan pura-pura pergi ke suatu tempat, kemudian setelah sejarak pendengaran delapan orang anak buahnya tidak bisa mendengar lagi, ia mengerahkan jurus ringan tubuh kelas wahid, dan kembali ke tempat pertemuan terus bersembunyi di atas pohon.
“Brengsek! Rupanya mereka berdelapan juga mengincar diriku!?” umpat Ki Wira, lalu sambil tersenyum sinis penuh misterius, “Kita lihat saja nanti, siapa yang makan dan siapa yang dimakan?”
Tubuhnya kembali berkelebat cepat ke arah pertama tadi ia menghilang!

--o0o--

“Boleh aku memanggilmu ... Kakang Jalu?”
“Silahkan saja.” sahut seorang pemuda baju biru, “Mau disebut kakang, mau kakek, mau paman aku juga tidak bakalan protes. Asal jangan nenek saja!”
“Hi-hi-hik,” gadis cantik mungil berbaju hijau tertawa sambil menutup mulut, “Kakang ternyata lucu juga.”
“Ha-ha-ha! Bisa saja kau ini,” tukas Jalu sambil menjotos ringan gadis di sampingnya.
Dua orang beda jenis itu adalah Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis dan gadis yang menenteng pedang dengan tangan kiri seperti tukang jagal tak lain tak bukan Beda Kumala adanya. Sudah dua hari lamanya mereka menempuh perjalanan bersama dan dengan tujuan yang sama pula.
Yaitu ... ke Aliran Danau Utara!
Selain untuk mengabarkan tewasnya Garan Alit yang bergelar Pendekar Dari Utara akibat dibokong oleh orang-orang Istana Jagat Abadi, juga untuk menyelidiki kemungkinan keberadaan Ketua Perguruan Sastra Kumala yang berjuluk Dewi Tangan Api.
“Beda ... “
“Hemm?”
“Apa kau masih berduka atas meninggalnya kekasihmu?”
“Sudah tidak lagi.”
“Bagus kalau begitu,” ucap Jalu berjalan sambil mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya ke tanah.
“Kenapa Kakang katakan bagus?”
“Yaa ... baguslah, daripada kau nangis sampai nungging-nungging sedang orang yang kau tangisi tak bakalan hidup lagi,” jawab Jalu seenaknya.
Beda Kumala mengerutkan sepasang alisnya yang indah mendengar ucapan Jalu yang sekenanya itu dengan hati bertanya-tanya, sebegitu mudahkah ia bisa melupakan Garan Arit, pemuda yang telah menjadi bagian dari hidupnya meski ia tahu bahwa dalam rangkaian jalinan kasihnya penuh dengan pertengkaran dengan mendiang Garan Arit.
“Kakang Jalu ... apakah kau pernah mencintai seseorang?” tanya Beda Kumala tiba-tiba.
“Laki-laki apa perempuan?” tanya balik Si Pemanah Gadis sambil terus berjalan ke muka.
“Tentu saja perempuan!” sahut Beda Kumala sambil tertawa berderai. “Memangnya Kakang punya kelainan seperti Pedang Dewa!?”
“Pernah.”
Tawa renyah Beda Kumala langsung lenyap!
“Kakang sungguh-sungguh?” tanya heran Beda Kumala sambil memandang sepasang mata putih si pemuda.
“Lho? Kenapa? Orang buta tidak boleh jatuh cinta? Yang benar aja, neng!! Orang buta khan juga manusia, tho?” sahut Jalu keheranan.
“Terus sekarang orangnya dimana?”
“Mungkin ... sekarang sedang mencari diriku,” kata Jalu, enteng.
Pikir si gadis, “Orang buta satu ini hebat juga! Aku jadi pingin tahu gadis macam apa yang dicintainya itu. Dari ucapannya, tampaknya si buta ini betul-betul mencintai sang pujaan hati.”
Di luaran ia bertanya, “Memangnya sudah berapa lama Kakang berpisah dengannya?”
Jalu Samudra merandek sebentar, berpikir beberapa saat, lalu berkata, “Sekitar dua tahunan lah. Mungkin lebih.”
“Buju buneng! Lama amat!” seru Beda Kumala. “Jadi ... kakang berpisah dengan sang kekasih selama itu?’
“Kekasih apa?”
“Lho, bukankah yang kita bicarakan disini adalah kekasihmu?” kembali nada heran terlontar dari mulut mungil Beda Kumala.
“Aku tidak punya kekasih atau pacar atau apa pun sebutannya!”
“Lalu?”
“Dia itu ... istriku!” sahut Jalu Samudra.
Kembali Beda Kumala menjungkitkan sepasang alis indahnya.
“Kakang sudah ... beristri?”
“Kenapa? Heran, ya?”
“Ah enggak, kok!” sahut Beda Kumala, lalu sambungnya, “Apa kakang tidak khawatir dengan keadaan dengan ... ”
“Kumala Rani maksudmu?”
”Ooo ... namanya Kumala Rani,” gumam Beda Kumala.
”Kalau bicara perkara khawatir, aku-lah yang paling dikhawatirkan istriku.”
“Kok bisa begitu?”
“Sebab aku bisa memanah ribuan gadis tanpa pandang bulu, ha-ha-ha,” ucap Jalu Samudra diikuti suara tawa, entah apa maksud dari tawanya.
“Memanah ribuan gadis? Apa maksudnya?” pikir Beda Kumala, mendadak sebuah pikiran terbersit di kepalanya, lalu ia berkata, “Maksudnya ... kakang jatuh cinta pada gadis lain begitu? Selingkuh istilahnya!?”
“Betul sekali.”
“Dan bagaimana sikap istri kakang jika mengetahui kalau kakang selingkuh? Dan bagaimana pula sikap kakang jika istri kakang juga selingkuh?” tanya Beda Kumala dengan membolak-balik kata.
“Aku sendiri juga tidak tahu,” kata Jalu Samudra ringan, “Tapi yang jelas ... Nimas Rani tak bakalan selingkuh!”
“Hah!? Yang benar? Darimana Kakang bisa memiliki keyakinan seperti itu?”
“Karena itulah yang namanya ... kekuatan cinta.”
“Cinta?”
“Kau tahu cinta itu seperti apa?” tanya Si Pemanah Gadis.
Beda kumala hanya menggeleng lemah.
“Ada orang berkata bahwa cinta seperti sebuah janji yang abadi, ada juga yang berkata seperti teka-teki yang membuat lupa diri. Tapi terhadap sebagian orang, cinta mungkin adalah sebuah kutukan yang paling menakutkan di dunia. Begitu kena, selamanya tidak bisa melepaskan diri. Tenggelam dalam khayalan dan mimpi, kepalsuan yang kadang manis dan kadang pahit ... “ tutur si pemuda bertongkat hitam, “ ... dalam pandangan orang yang sedang dimabuk cinta, bisa-bisa saja ia salah lihat. Yang jelek menjadi bagus, yang cacat dianggap suatu kesempurnaan yang tidak dimiliki orang lain, bahkan yang tua bangka bisa kembali menjadi muda jika bersinggungan dengan panah asmara ini!”
Mendengar uraian panjang lebar Jalu Samudra tentang cinta, Beda Kumala menjadi bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya orang macam apa yang ada disampingnya ini? Dia begitu tenang menguraikan masalah seolah bahwa ia sendiri yang mengalami. Pemuda buta itu seakan jelmaan pujangga kraton yang sedang menguraikan kitab-kitab kuno dan dia sendiri justru merasa seperti kambing congek mendengarkan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pemuda buta yang tampan ini.
“Sayang sekali ia buta,” pikir Beda Kumala sambil memandang lekat-lekat wajah tampan di depannya.
 
BAGIAN 10


“Kau paham maksudku?”
Beda Kumala tergagap, karena terlalu tenggelam dalam lamunan, “Eh, oh ... apa?”
“Jadi ... aku tadi ngomong panjang lebar tidak ada satu pun yang kau mengerti?” tukas Jalu, heran.
Beda Kumala hanya bisa meringis saja terima salah!
Melihat cara meringis serba salah gadis cantik mungil didepannya, Jalu hanya nyengir kuda saja.
Mendadak saja, Jalu meraih cepat tangan Beda Kumala hingga tubuh depan gadis murid Perguruan Sastra Kumala jatuh dalam pelukan si pemuda, diikuti dengan gerakan pinggul Si Pemanah Gadis, menggelinding di tanah dalam posisi tetap berpelukan dengan Beda Kumala.
“Celaka, aku mau di perkosa, nih?” pikir Beda Kumala sambil memejamkan mata. “Nolak ngga, ya?”
Selesai bergulingan sejarak satu tombak lebih dimana sekarang posisi Jalu di atas sedang Beda Kumala berada di bawah dengan sepasang tangan memeluk erat pinggang Jalu. Tentu saja dada montoknya beradu keras dengan dada bidang Jalu Samudra.
Belum lagi mereka bangkit, sebuah suara keras terdengar dari sebelah selatan.
“Ha-ha-ha! Pucuk di cinta ulam tiba! Tidak di cari justru calon mangsa kita ada di depan mata, sobat Golok Tapak Kuda!”
“Benar, kawan! Cuma sayang, Serabut Mautmu gagal mengenai si bocah ayu!” seru yang sebelah kiri yang pada pundaknya memanggul sebuah benda berbentuk kotak mengkilat. “Andai kena, pasti gadis itu mengemis-ngemis pada kita berdua untuk memuaskan hasratnya, hua-ha-ha!”
“Hua-ha-ha!”
Begitu mendengar suara itu, Jalu segera melepas pelukan pada Beda Kumala dan keduanya bangkit berdiri.
Di saat melihat dua orang yang menyerang dengan senjata rahasia, selebar wajah ayu itu langsung mengkelap membesi, apa lagi ia mengenal dua orang pembokong itu.
“Rupanya kalian!” seru Beda Kumala dengan suara tertahan di leher.
“Benar! Memang kami!” sahut yang mempunyai lilitan cambuk di pinggangnya. “Kenapa? Kangen, ya?”
Siapa lagi mereka berdua jika bukan Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa adanya!
Dalam perjalanan mereka ke Istana Jagat Abadi, secara tidak sengaja sudut mata Cambuk Pemutus Nyawa menangkap sekelebatan dua bayangan biru dan hijau di kejauhan. Segera saja ia mengubah arah tujuan dan mengejar bayangan tersebut diikuti dengan Golok Tapak Kuda yang mengekor di belakang.
“Karena sudah ketemu di tempat ini, kami tidak perlu jauh-jauh ke tempat kalian untuk meminta pertanggungjawaban atas tewasnya temannya temanku ini,” kata Jalu enteng sambil ujung tongkat bolak-balik menuding ke arah dua laki-laki yang kini hanya berjarak dua tombak saja.
“Pemuda buta! Tempo hari kau bisa lolos dari tangan kami berdelapan, tapi jangan harap sanggup lolos dari tangan kami berdua!” sentak Cambuk Pemutus Nyawa sambil melolos cambuk yang ada di pinggangnya.
“Dasar orang bego! Dengan delapan orang saja, kami berdua bisa lolos. Masak lolos dari dua tangan kalian yang tidak pernah dicuci kami tidak bisa?” seloroh Jalu Samudra sambil terkial-kial.
“Bangsat buta! Sebutkan namamu sebelum kami kirim kau ke neraka!” bentak Golok Tapak Kuda sambil mengayun-ayunkan senjatanya.
“Bangsat cebol! Buat apa kau tahu namaku, kalau sebentar lagi justru kalian berdua yang akan merangkak ke liang kubur!” balas memaki Si Pemanah Gadis.
“Dasar keparat! Makan golokku!”
Golok Tapak Kuda menyerang sebat setelah memutar golok yang seketika berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang mencuat ke depan ketika golok lebar yang beratnya ratusan kati menusuk ke arah ulu hati lawan. Jurus 'Bangau Mencuci Sayap’ yang dikerahkan oleh Golok Tapak Kuda memang bukan jurus sembarang jurus. Kehebatannya bukan olah-olah.
Wuuung! Wuung!
Dengungan keras terdengar saat senjata berbentuk kotak menerjang cepat ke arah Jalu. Akan tetapi, yang menjadi lawan Golok Tapak Kuda bukanlah bocah kemarin sore. Sebagai murid dari Dewa Pengemis, tentu saja mendapat serangan dadakan seperti itu tidak membuat Jalu keder. Dengan jurus 'Kepiting Beringsut', Si Pemanah Gadis segera menarik diri ke samping dalam posisi miring, sambil tangan kanannya yang memegang tongkat bergerak ke depan meliuk-liuk seperti belut di pasir.
Wutt!
Meski terlihat sederhana, tapi justru sanggup memasuki celah-celah dari bayangan golok lawan.
“Edan!” maki Golok Tapak Kuda saat ujung tongkat si pemuda buta berada dalam jarak dua jengkal dari dadanya. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak malu menyandang gelar Golok Tapak Kuda. Laki-laki berbadan pendek kekar itu segera menarik jurus dan dalam sekejap mata, badan golok super lebar sudah menghadang di depan dada.
Tangg!
Benturan antara ujung tongkat dengan badan golok lebar terdengar keras.
Golok Tapak Kuda terjajar ke belakang beberapa tindak. Terlihat sekali ke dua tangannya gemetar waktu memegang golok.
“Sinting! Ilmu apa yang digunakan bocah itu untuk menghindar tadi? Gerakannya miring ke kiri kanan seperti kepiting. Lagi pula, tenaga dalam si buta ini hebat juga. Golokku hampir saja terlepas dari tangan. Siapa sebenarnya bocah ini?” pikir si laki-laki pendek kekar. “Golok dan tanganku seperti dirambati semut api.”
“Bagaimana? Masih mau dilanjutkan?” tanya Jalu sambil menggeser kaki sedikit menyamping dengan ujung tongkat mengarah ke bawah.
“Hebat juga dia!” puji Beda Kumala dalam hati. “Dalam satu gebrakan sanggup membuat mundur lawan.”
“Lanjut!” seru Golok Tapak Kuda sambil mengibaskan golok dari bawah ke atas seperti orang menyapu daun.
Wuung!
Seberkas hawa golok berkiblat cepat.
“Mau adu tenaga? Boleh!”
Tongkat di tangan Jalu dikelebatkan ke depan dari kiri ke kanan. Segera saja hawa tongkat warna biru kusam berselang-seling hitam cemerlang menebar, bergerak memotong dari tengah. Umumnya tokoh persilatan akan menghindari kontak langsung dalam adu tenaga dalam, atau setidaknya mereka mencari celah yang bisa diterobos. Akan tetapi yang dilakukan pemuda bertongkat hitam ini justru langsung dibenturkan langsung.
“Pemuda nekat!” desis Cambuk Pemutus Nyawa.
Duarr!
Kembali jurus serangan dari Golok Tapak Kuda kandas, bahkan kini ditambah dengan tubuh kekar itu terpelanting ke belakang dan jatuh berguling-guling di tanah.
Cambuk Pemutus Nyawa terlonjak kaget.
“Setahuku, jurus ‘Tangisan Rembulan’ tidak pernah ada yang sanggup menangkisnya,” batin Cambuk Pemutus Nyawa dengan mata sedikit membesar, “Pastilah dia itu berilmu tinggi. Kami harus hati-hati padanya.”
“Sobat, kau butuh bantuan untuk berdiri?” tanya Cambuk Pemutus Nyawa pada kawannya.
“Tidak usah!” desis Golok Tapak Kuda sambil bangkit berdiri, sedang tangan kiri mengusap ke arah hidung. Ternyata dari dua lubang hidung terlihat darah mengucur, pikirnya, “Murid siapa sebenarnya pemuda bertongkat hitam ini?”
“Kau cukup hebat, anak muda!” katanya sambil mengacungkan ibu jari kiri ke atas,” Tapi sebentar lagi, kau akan segera mampus,” katanya sambil membalik ibu jari ke bawah.
“Oh ya?”
“Tentu saja iya!”
Golok Tapak Kuda mengempos seluruh tenaga dalamnya. Terlihat otot-otot lengannya bertonjolan seperti ulat hijau yang berkerumun.
“Heeaaa!!”
Diiringi dengan bentakan keras, laki-laki dengan senjata golok kotak itu segera menerjang ke arah Jalu Samudra yang berdiri santai menanti serangan lawan.
Kali ini, Golok Tapak Kuda mengerahkan salah satu jurus golok yang paling diandalkannya, jurus ‘Tarian Golok Mengacau Kayangan’. Dengan jurus ini, Golok Tapak Kuda sanggup mencacah-cacah lawan hingga menjadi ribuan keping daging merah berdarah. Sebenarnya yang berbahaya bukanlah pada goloknya, tapi pada hawa golok yang datangnya laksana curahan hujan badai menerjang.
Sementara itu, Beda Kumala yang melihat tangan kiri Cambuk Pemutus Nyawa meloloskan cambuk yang ada di pinggang, langsung membentak, “Satu lawan satu, itu baru pertarungan jujur namanya!”
Sriing!
Pedang di tangan kanan Beda Kumala langsung diloloskan dari sarung, terus digerakkan secepat angin mengincar leher Cambuk Pemutus Nyawa!
“Gadis sundal! Dari dulu sampai sekarang selalu mengganggu saja kerjaannya! Nih, makan jurus ‘Cambuk Langit Berawan’-ku!” bentak Cambuk Pemutus Nyawa sambil memutar-mutar cambuk di atas kepala dan dikelebatkan kesana kemari disertai bunyi ledakan keras.
Tarr! Tarr! Ctarr!
Beda Kumala yang tidak menyangka lawan begitu lihai memainkan cambuk, langsung membuang tubuh ke kiri sambil pedangnya berusaha membabat ke ujung cambuk lawan yang tengah mengancam pinggangnya.
Criing! Triing!
“Cambuk ini terbuat dari besi,” desis Beda Kumala setelah pedangnya sedikit gompal.
“Ha-ha-ha! Pedang rongsokanmu mana sanggup merontokkan jalinan besi yang membungkus cambuk kesayanganku ini,” kata Cambuk Pemutus Nyawa dengan angkuh.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, kembali Beda Kumala menyerang salah seorang dari delapan jago Istana Jagat Abadi.
Tak pelak lagi, pertarungan terpecah di dua tempat. Meski baru sembuh dari Racun ‘Ular Karang’ tidak membuat Beda Kumala keteteran atau tepatnya di bawah angin, namun yang dihadapi kini adalah salah satu tokoh silat aliran hitam yang bergelar Cambuk Pemutus Nyawa, seorang jago silat kawasan selatan yang direkrut oleh Raja Iblis Pulau Nirwana sebagai pembantunya, tentu saja tidak memiliki ilmu pasaran. Ilmu cambuknya yang bernama ‘Cambuk Langit Berawan’ merupakan jurus simpanan yang paling diandalkan dan ilmu itu pula yang telah mengangkat namanya sebagai satu tokoh silat yang diperhitungkan.
Pada jurus ke dua puluh, tubuh mungil si gadis melenting setinggi lima tombak, kemudian menukik ke bawah sembari mengelebatkan pedang di tangan kanan sedang sarung pedang di tangan kiri melakukan gerakan menotok. Jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim Kemarau’ yang digunakan gadis itu bukan jurus sembarangan. Jarang ada tokoh silat yang mampu menangkis serangannya.
Wutt! Wutt!
Ribuan bayangan pedang mengancam dari atas membuat Cambuk Pemutus Nyawa segera melakukan gerak pertahanan. Cambuk panjangnya semakin cepat diputar-putar di atas kepala hingga membentuk perisai perlindungan yang kokoh.
Criing! Criing!
Trangg!
Beberapa kali benturan keras terjadi tatkala ujung mata pedang bentrok dengan perisai cambuk yang dimainkan oleh lawan.
Klangg! Klanggg!
Akan tetapi, serangan jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim Kemarau’ yang dilancarkan oleh gadis murid Perguruan Sastra Kumala kandas begitu saja, bahkan totokan sarung pedang yang membentur perisai cambuk lawan juga tidak bisa berbuat banyak.
“Ganti jurus!” pekik Beda Kumala yang masih melayang di udara, segera menginjak sarung pedang di tangan kiri sebagai batu loncatan untuk melayang lebih tinggi lagi.
Tapp! Wutt!
Tentu saja, gerakan yang dilakukan oleh Beda Kumala membuat Cambuk Pemutus Nyawa terpana!
“Bagaimana mungkin ada gerakan seperti itu!?” desisnya sambil terus memutar-muta cambuknya.
Begitu mencapai tiga tombak lebih tinggi dari sebelumnya, Beda Kumala kembali menggerakkan pedangnya membentuk ribuan bayangan pedang yang semakin lama semakin menggila.
“Huh, jurus yang sama? Siapa takut!” bentak Cambuk Pemutus Nyawa.
Segera saja, laki-laki ini memperhebat putaran ayunan cambuknya.
Wuung! Wungg! Wuung!
Sementara itu, jurus yang dilancarkan oleh Beda Kumala memang kelihatannya sama dengan jurus sebelumnya, tapi begitu melayang turun sejarak satu tombak ke bawah, terbersit pancaran hawa pedang tajam menerjang Cambuk Pemutus Nyawa yang berjumlah ribuan banyaknya.
Jurus ‘Daun Runtuh Mengguguri Bumi’ memang ada kemiripan dengan jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim Kemarau’, namun begitu mendekati lawan, barulah terlihat perbedaannya. Serangannya lebih tajam dan lebih menakutkan.
Wirr! Wirr!
Cwiss! Cwiss!!
Cambuk Pemutus Nyawa yang meremehkan serangan lawan harus menanggung kerugian yang tidak sedikit. Hawa pedang yang dilancarkan oleh Beda Kumala ternyata sanggup menembus perisai yang dibangun oleh salah seorang dari pentolan Istana Jagat Abadi. Akibatnya, seantero tubuhnya langsung tersayat-sayat seperti daging dicacah pisau jagal.
Crass! Crass!
“Gadis keparat! Jika aku mati ... kau pun harus menemaniku ke neraka!” bentak Cambuk Pemutus Nyawa, “Silahkan cicipi Pukulan ‘Awan Biru’-ku!”
“Heeeaaa ... !”
Disertai bentakan keras, Cambuk Pemutus Nyawa mendorongkan tangan kiri yang berubah menjadi kebiruan ke arah lawan sedang tangan kanannya yang masih memegang hulu cambuk menjentikkan berkali-kali.
Wutt! Wutt!
Sritt! Sriit!
Pukulan ‘Awan Biru’ digunakan bukan pada waktu yang tepat, namun hasilnya sungguh luar biasa sekali. Suara deru angin disertai gumpalan asap kebiruan langsung membersit ke atas, bahkan sanggup menerobos hawa pedang yang dikerahkan oleh Beda Kumala.
Beda Kumala yang saat itu masih melayang di udara, tersentak kaget, “Celaka dua belas!”
Tidak ada waktu untuk menghindar, bahkan untuk menghimpun kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' juga tidak sempat. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah memperhebat serangan hawa pedang ke lawan, siapa tahu saja sanggup menahan pukulan sakti yang dilancarkan lawan.
Wutt! Wutt!!
Dhuarr!
Buaghh!
Crasss! Crasss!!
 
BAGIAN 11


Cambuk di tangan lawan kontan terputus-putus menjadi ribuan potong, termasuk pula kepala Cambuk Pemutus Nyawa menggelinding ke tanah dalam kondisi terbelah kecil-kecil. Orang tanpa kepala tentu nyawanya tidak bakalan mau lama-lama berada di dalam raga, apalagi jika berdiri lama-lama!
Bruggh!
Bersamaan dengan rubuhnya Cambuk Pemutus Nyawa yang tanpa nyawa lagi, Beda Kumala mengikut melayang jatuh di tanah.
Bruggh!
Gadis itu segera berusaha bangkit dari keterpurukan, namun baru saja mengangkat kepala, darah kental kehitaman tersembur keluar dari mulutnya.
“Hoeekk! Hoeekk!”
Rupanya serangan terakhir dari lawan yang berupa gumpalan asap biru tepat menggedor dada kanan dekat pundak.
“Aku terluka dalam!” keluhnya sambil tangan kiri menekan bagian dada kanan. Tiba-tiba matanya melihat sebuah benda kecil menancap di tangan kiri. “Apa ini? Senjata beracunkah?”
Cess!
Benda berbentuk serabut warna coklat segera dicabut, lalu dibuang begitu saja.
“Tidak ada rasa dingin atau panas, bengkak pun juga tidak ada. Mungkin terkena serabut pohon barangkali,” pikirnya sambil berusaha duduk bersandar di pohon. “Aku harus segera menyembuhkan luka dalam ini.”
Sebelum gadis itu duduk bersila, matanya sempat memperhatikan jalannya pertarungan antara Jalu Samudra dengan Golok Tapak Kuda.
“Ilmu apa yang digunakan Kakang Jalu? Pergeseran kaki dan tangan sungguh unik sekali. Kadang miring ke kiri, kadang miring ke kanan, bahkan tongkat hitamnya seperti telah menjadi satu jiwa dengan pemakainya. Benar-benar ilmu yang aneh,” desis lirih Beda Kumala. “Entah siapa gurunya yang mengajarkan ilmu aneh seperti itu?”
Sementara Beda Kumala mengobati luka dalamnya akibat pertarungan dengan Cambuk Pemutus Nyawa, pertarungan antara Jalu Samudra dan Golok Tapak Kuda semakin seru dan memanas. Sudah beberapa kali Golok Tapak Kuda terpental ke belakang akibat adu jurus mau pun adu tenaga, namun berulang kali pula ia menerjang lawan dengan sebat.
Meski terlihat seru dan menegangkan, namun sebenarnya kondisinya tidak seperti yang terlihat.
Si Pemanah Gadis seperti setengah hati dalam pertarungan, hanya menunggu serangan dari lawan. Tidak ada inisiatif membuka serangan terlebih dahulu. Sedangkan lawan, justru terlihat beringas dengan cecaran hawa dan kelebatan jurus-jurus silat menggunakan golok persegi.
Brakk! Brakk! Praakk!
Tranggg!
“Baru kali ini aku dapat lawan keras kepala seperti ini,” pikir si Jalu sambil kirinya bergerak merendahkan tubuh ke bawah menghindari tebasan golok, sambil tangan kirinya melancarkan serangan tapak ke arah dada lawan.
Debb!
Dalam waktu sekian detik, lawan sanggup mengeliminasi serangan tapak Si Pemanah Gadis yang mendadak datang dengan tinju kiri terkepal sarat tenaga sakti.
Plakk!
“Uughhh!”
Untuk ke sekian kalinya, Si Golok Tapak Kuda kembali terjajar ke belakang.
“Gila! Tenaganya semakin lama semakin kuat,” desisnya dengan terengah-engah. “Rambatan energinya seperti sengatan kilat semakin menyengat.”
“Anak muda! Siapa kau sebenarnya?” tanya Golok Tapak Kuda.
“Aku!?” jawab Jalu sambil menunjuk hidungnya, “Aku ya ... aku! Aku jelas bukan kamu!?”
Jawaban Jalu yang pulang pergi membuat lawan semakin beringas.
“Bangsat!”
Senjata golok persegi ditarik lurus melintang ke depan. Dua pasang tangan yang memegang golok terlihat bergetar lembut, kemudian semakin lama semakin keras. Jelas sekali bahwa dalam serangan kali ini bahwa Golok Tapak Kuda berniat memberikan serangan pamungkas pada lawan.
Keringat sebesar jagung terlihat mengucur deras dari dahi.
“Kalau kau sanggup menahan jurus terakhirku ini, aku akan tunduk padamu, anak muda!” seru Golok Tapak Kuda, “Tapi aku yakin kau tak bakalan sanggup menahan jurusku ini! Di dunia ini cuma Ketua saja yang sanggup menahan serangan jurus ‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ ini!”
“Ooo ... jadi jurus golok terhebatmu ini sudah ada yang sanggup mematahkannya,” ucap Jalu enteng sambil menarik bagian tengah tongkat hitamnya. Begitu ditarik, seutas benang tipis dari kulit ular yang dikaitkan dari ujung ke ujung terentang kuat, “Jadi ... sudah bukan jurus terhebat lagi dong?”
“Setan keparat! Silahkan kau pentang bacot sesukamu!” bentak Golok Tapak Kuda gusar, namun pengerahan hawa sakti terus meningkat setahap demi setahap. Begitu mencapai batas maksimal, sekujur tubuh pendek kekar itu diselimuti cahaya putih yang membungkus sekujur tubuhnya.
Sriiing!
Perlahan-lahan, pancaran sinar putih menjalar naik dan pada akhirnya terkumpul di genggaman tangan dan terus menjalar hingga badan golok memancarkan sinar putih menyilaukan mata. Semakin lama pancaran sinar putih membesar, dan berikutnya mendadak bergejolak seperti ombak di tepi pantai. Bahkan jilatan-jilatan cahaya itu membuat jarak dua tombak di sekitar Golok Tapak Kuda seperti pasir pantai yang dihempaskan oleh gelombang laut pasang.
Srakk! Srakk!
Sementara itu, Jalu sendiri tidak tinggal diam menunggu serangan lawan seperti yang sudah-sudah.
“Kukira dengan tingkat dua sudah lebih dari cukup untuk menghajar adat si pendek ini,” kata hati Si Pemanah Gadis sambil mengerahkan tingkat dua dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’.
Dihimpunnya kekuatan tenaga kilat yang berasal dari sepasang buah Naga Kilat dan diikuti dengan melontarkan hawa panas matahari dari pusar yang berasal Bibit Matahari yang semuanya telah bersatu raga dengan murid tokoh silat masa lima ratus tahun silam ini.
Swoshh! Swoshh ... !!
Sebentuk hawa biru bening merambat keluar hingga pada tangan kanan dan kiri, lalu menggumpal membentuk mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali yang juga memancarkan cahaya biru bening sepanjang setengah tombak lebih. Sebenarnya, dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, Jalu Samudra sanggup membuat sembilan mata anak panah sekaligus. Namun untuk menghadapi lawan seperti Golok Tapak Kuda, Jalu Samudra memutuskan untuk menggunakan satu anak panah saja.
Sementara itu, Beda Kumala sudah sembuh tiga perempat bagian. Dan begitu ia membuka mata, gadis murid Perguruan Sastra Kumala takjub melihat tontonan tataran olah kanuragan yang tergelar gratis di depan mata.
“Baru pertama kali kulihat orang membuat senjata dengan pancaran hawa tenaga dalamnya,” pikir Beda Kumala takjub sambil bangkit berdiri dari duduk bersilanya, “Menurut Nyai Guru Tirta Kumala, hanya orang pilih tanding saja yang mampu melakukannya hal mustahil seperti itu.”
Jalu Samudra sendiri memutuskan untuk mengerahkan jurus ‘Rajawali Meniti Pelangi’ yang merupakan jurus ke tiga dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis untuk menghadapi jurus lawan.
Tentu saja apa yang dilakukan Jalu Samudra membuat lawan juga terhenyak.
“Mustahil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi!?” desis Golok Tapak Kuda dengan mata terbelalak.
Hatinya sempat tergetar melihat tataran ilmu yang digunakan pihak lawan. Akan tetapi, sebagai salah satu tokoh persilatan yang sudah lama malang melintang puluhan tahun lamanya, tidak membuat Golok Tapak Kuda mundur dari arena pertarungan.
“Cuma panah sekecil itu mana sanggup menahan jurusku!” ejek Golok Tapak Kuda, lalu sambungnya, “Terima jurus golokku ini! Heaaa ... !!”
Diiringi dengan teriakan penambah semangat, Golok Tapak Kuda mendorongkan golok perseginya dengan dorongan kuat ke depan.
Wutt! Wussshh ... !
Seberkas cahaya putih terang menebar hingga dua tombak lebarnya. Tanah di sekitar pancaran sinar putih yang berasal dari jurus ‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ yang dilepas dengan tenaga penuh membuat tanah terkelupas bagaikan ada tikus tanah raksasa yang sedang menggali liang, menggebah deras ke arah Jalu Samudra seakan-akan ini menelannya bulat-bulat.
Melihat lawan mengawali serangan, Jalu tetap tenang-tenang saja.
“Mari kita adu, mana yang lebih hebat, jurus ‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ atau jurus ‘Rajawali Meniti Pelangi’ milikku,” ucap Jalu, lalu dengan sedikit tarikan tangan kanan yang semakin mengencangkan busur, lalu melepaskan tali busur terentang.
Srett!
Twanggg ... !
Begitu dilepas, lontaran anak panah biru bening berubah bentuk menjadi burung rajawali yang melesat cepat dan dibawahnya terlihat pancaran sinar tujuh warna, sekilas terlihat seperti seekor burung rajawali yang memekik-mekik yang meniti pelangi di angkasa.
Kwaarkk! Kwaarkk!
Benar-benar jurus yang indah, namun berbahaya bagi lawan!
Dhuaarr! Dhuaarr!!
Terdengar suara ledakan keras yang memekakkan telinga saat hawa sakti yang dilepas masing-masing lawan saling bentrok di udara kosong.
Buuumm!! Bummm ... !!
Di seantero pertarungan dalam jarak belasan tombak bagai dilanda gempa bumi skala sedang. Beberapa pohon terlihat bergetar keras, kemudian bertumbangan menimbulkan suara derak bisa menulikan gendang telinga.
Krakk! Krakk!
Brakkk!!
Beda Kumala sendiri meski sudah siap dengan jurus peringan tubuhnya, tetap terpelanting ke belakang laksana dilemparkan oleh tangan-tangan gaib.
Brakk!
“Ughh! Patah punggungku!” keluhnya tatkala punggungnya membentur pohon yang tumbang malang melintang tak karuan. Dengan susah payah, akhir ia sanggup berdiri, meski tangan kiri harus bersitekan pada batang pohon yang rubuh.
Kembali ke pertarungan ...
Jalu Samudra masih tegak dengan posisi semula, dengan tangan kiri masih memegang busur tongkat hitam sedang tangan kanan masih dalam posisi seperti melepas anak panah. Tidak ada yang berubah sama sekali, tetap seperti sebelumnya. Sedang Golok Tapak Kuda justru terjajar ke belakang hingga tanah di bawah kakinya membentuk lekukan memanjang ke belakang. Dari lima panca indra di tubuhnya keluar leleran darah kental kehitaman berbau sangit. Jelas sekali bahwa organ dalam tubuhnya terluka parah. Mungkin kesempatan untuk hidup hanya tinggal satu dua bagian saja. Andaikata ia selamat, ia pasti jadi orang cacat seumur hidup.
Golok persegi ditangannya pelan tapi pasti terkikis menjadi bubuk halus dan akhirnya seluruh badan golok musnah, lenyap tertiup angina, termasuk pula dengan gagang golok yang ikut menyerpih, membuat laki-laki pendek kekar ini berkata dalam keterkejutan.
“Golok kesayanganku ... ” desisnya dengan mata nanar, “Golokku ... ”
Rasa kehilangan benda kesayangan menyeruak dari dalam jiwanya. Golok persegi yang mengangkat namanya dengan julukan Si Golok Tapak Kuda, senjata yang selama hidupnya telah menemaninya, kini telah hilang musnah. Tiba-tiba sorot matanya berubah beringas seperti mata beruang yang kehilangan anaknya.
“Kembalikan golokku!”
Golok Tapak Kuda dengan menggembor marah, melesat ke depan. Meski dalam keadaan terluka parah, namun Golok Tapak Kuda tidak malu dianggap sebagai salah satu tokoh hitam yang di perhitungkan. Gerakkannya masih gesit dan bertenaga.
Debb! Debb!
Meski tanpa senjata, tapi sisa-sisa energi dari jurus ‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ masih ada. Bahkan daya tekannya lebih dahsyat dari pada menggunakan golok. Kali ini jurus lanjutan dari jurus ‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ yang bernama jurus golok ‘Gelombang Badai Silih Berganti Menindih Dan Menerpa’ di ubah menjadi jurus pukulan maut menerjang keras ke arah Si Pemanah Gadis.
Wutt! Wutt!
Sepasang kepalan tangan bergerak cepat membentuk bayangan pukulan. Namun bagaimana pun juga, sisa tenaga yang ada paling tinggi sampai tiga bagian saja, dipaksakan sekeras apa pun juga tidak akan bertambah banyak.
Melihat serangan nekat lawan, Jalu tanpa bersuara segera menghindar kesana kemari dengan jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’. Sosoknya kadang melejit ke atas, kadang berputar ke bawah bahkan berkelit ke kiri dan kanan menghindari sergapan lawan.
Tiba-tiba saja, Jalu berkelebat ke depan, tidak menghindari serangan lawan tapi justru memasuki daerah pukulan yang dilancarkan Golok Tapak Kuda.
“Mampus kau!” bentak Golok Tapak Kuda sambil mengelebatkan tangan kanan ke kiri.
Wutt!
Luput!
Jalu menundukkan kepala sambil tangan kiri meraih pinggang lawan dari arah belakang.
Sett!
“Apa yang kau lakukan!?” sergah Golok Tapak Kuda kaget.
Begitu Golok Tapak Kuda berada dalam pelukan Jalu, tangan kanan yang memancarkan cahaya biru bening bergerak meremas ke arah dada kiri Golok Tapak Kuda sambil berkata, “Selamat tinggal, sobat!”
Krakkk!
“Aaaacchh ... ”
Si pendek kekar menjerit keras saat tulang iganya berderak hancur dan melesat masuk ke dalam dada setengah jengkal dan tentu saja jantungnya langsung terkoyak oleh patahan iga.
Rupanya Si Pemanah Gadis yang mengetahui kondisi lawan sudah tidak bisa diselamatkan lagi, segera mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan lawan. Dengan salah satu jurus dari ‘30 Jurus Asmara Pemanah Gadis’ yang bernama ’Memeluk Pinggang Meremas Dada’ disertai hawa sakti dari Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat dua, nyawa Golok Tapak Kuda keluar dari raganya dengan sukses!
Namun, sebelum melepas nyawa, Golok Tapak Kuda sempat bertanya, “Sia ... pa nama ... mu?”
“Kau boleh menyebutku ... Si Pemanah Gadis,” bisik lirih Jalu Samudra.
“Rupa ... nya ... kau ... ”
Kepala Golok Tapak Kuda langsung terkulai!
Dengan pelan, Jalu Samudra meletakkan jenazah Golok Tapak Kuda di tanah, gumamnya, “Maaf, sobat! Aku terpaksa membunuhmu dari pada dirimu tersiksa yang membuatmu setengah hidup setengah mati.”
 
BAGIAN 12


Beda Kumala berlari kecil menghampiri Jalu Samudra yang sedang meletakkan raga tanpa nyawa Golok Tapak Kuda. Sekujur badan si cantik mungil ini penuh keringat, selain karena hawa panas siang hari, juga baru saja mengerahkan hawa inti ‘Air Panas Tenaga Surya’ untuk membantu penyembuhan luka dalam.
“Bagaimana kondisinya, Kakang?” tanya Beda Kumala begitu sampai dengan napas sedikit memburu.
“Ia tewas.”
“Kakang membunuhnya?”
“Aku terpaksa melakukannya, Beda. Sebab luka dalam yang dialaminya teramat parah. Dari pada menanggung sakit derita berkepanjangan lebih baik aku sudahi saja hidupnya,” desah Si Pemanah Gadis, “ ... padahal sebenarnya aku berniat mengorek keterangan tentang gurumu yang menghilang.”
“Lawanku juga tewas, Kakang,” tutur gadis berbaju hijau itu, “Padahal awalnya aku juga punya niatan yang sama denganmu. Namun, nasi telah menjadi bubur, apa yang bisa kita perbuat jika sudah begini?”
Jalu hanya mengangguk pelan.
“Kita kuburkan mereka,” ucap Jalu.
Siang itu juga mayat Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa di kubur di tempat itu pula. Karena kondisi kepala mayat Cambuk Pemutus Nyawa yang menjadi serpihan daging kecil, membuat Jalu Samudra dan Beda Kumala sedikit sibuk.
Sambil bersungut-sungut, pemuda berkuncir ekor kuda itu berkata, “Uuhh ... besok lagi kalau mau buat mayat, kepalanya jangan dibuat kecil-kecil begini, susah menguburnya ... ”
Beda Kumala hanya meringis saja tanpa menjawab.
Setelah selesai mengubur dua mayat pengikut Istana Jagat Abadi, mereka berdua segera meninggalkan tempat itu.
Saat berada tepat berada di luar hutan, hawa mulai berubah. Terik sinar matahari terasa lebih menyengat dari pada dalam hutan.
“Fyuhh ... capek juga ... ” kata si gadis, sambil tangan kanan memegang kerah baju kiri dan dikibas-kibaskan, “Hawa siang ini begitu panas menyengat, sampai tubuhku bersimbah keringat begini.”
Tentu saja Jalu Samudra yang ada di samping kanannya dapat tontonan gratis. Sebentuk pemandangan indah terbentang di sela-sela kerah baju Beda Kumala yang sekarang semakin ketat membasah berkeringat. Sebentuk penutup dada ukuran sedang terisi dengan sempurna oleh gelembung payudara putih dibalik baju seragam hijaunya.
“Benar. Aku sendiri juga merasa gerah,” kata Jalu sambil menyeka keringat di dahinya. Tentu saja gerahnya Jalu tidak sama dengan gerahnya gadis cantik di sampingnya.
“I ya. Apalagi setelah ... oupss,” tiba-tiba gadis itu menyadari bahwa pemuda di depannya sedang menatap kedua payudara yang kelihatan jelas dari balik kancing baju yang terlepas di urutan paling atas. Hampir saja ia membentak kalau tidak menyadari bahwa pemuda yang ada disampingnya itu buta. Akhirnya ia biarkan saja tanpa membetulkan kerah bajunya.
“Untung saja ia buta,” pikirnya menerawang. “Duuh ... kancingnya pakai acara lepas, lagi?”
“Bagaimana kalau kita duduk sebentar di bawah pohon itu. Sekalian melepas lelah.”
“Emm ... boleh juga.”
Keduanya segera duduk di atas sebatang kayu yang melintang.
“Kakang, aku bingung dengan ilmu silat yang tadi kau gunakan untuk bertarung dengan Golok Tapak Kuda,” ucap Beda Kumala mengawali pembicaraan. “Benar-benar aneh dan membingungkan gerakannya.”
“Apanya yang kau bingungkan?” Jalu bertanya sambil melirik wajah gadis di sebelahnya, pikirnya, “Wooow, rupanya seorang bidadari mungil yang duduk disebelahku, wajahnya sungguh cantik. Bibir tipis kemerahan, hidung mancung dengan sepasang alis mata hitam melengkung tipis di atas matanya yang bulat bersinar. Belum lagi dengan sepasang bukit kembar yang menggelembung sempurna. Benar-benar yang makhluk menawan.”
“Kulihat gerakan tongkat hitammu selalu menebas atau menusuk dari arah samping, tidak pernah dari depan atau belakang. Apa lagi gerak langkah yang miring ke kiri ke kanan tak tentu arah,” kata Beda Kumala, “Baru kali ini aku melihat ilmu silat seaneh itu.”
“Sebenarnya aneh atau tidak, itu tergantung seberapa sering kau melihatnya.”
“Tapi tetap saja aku merasa aneh dengan jurusmu itu. Apalagi dengan anak panah warna biru yang kau lepaskan tadi, benar-benar mengagumkan,” sambung Beda Kumala dengan sinar mata berbinar, lalu tambahnya, “Tak kuduga jika Kakang Jalu ternyata pemuda berilmu tinggi.”
“Kau sendiri juga hebat, Beda.”
“Tapi lebih hebat Kakang Jalu,” tukas Beda Kumala, lalu dengan pandangan ingin tahu, imbuhnya, “Memangnya ... jurus yang Kakang kerahkan tadi apa namanya?”
“Yang miring-miring itu?”
“Ya.”
“Sebenarnya jurus tadi adalah gabungan antara ilmu tombak dengan ilmu tongkat yang aku pelajari dari mendiang kakek nenekku,” tutur Jalu samudra, “Jurus ini sementara hanya diriku yang menguasainya. Namanya Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’.”
“Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’? Pantas saja gerakannya miring-miring seperti kepiting,” desis Beda Kumala dengan senyum geli. “Jika boleh tahu, siapa nama kakek nenekmu itu, Kang?”
“Aku sendiri tidak tahu pasti siapa namanya, hanya saja mereka dijuluki dengan Tombak Utara Tongkat Selatan ... ”
“Tombak Utara Tongkat Selatan ... ” desis Beda Kumala.
“Apa kau mengenalnya?”
“Tidak juga. Hanya dari Nyai Guru, kupernah mendengar bahwa di rimba persilatan pernah tersiar kabar bahwa Tombak Utara Tongkat Selatan adalah sepasang suami istri aliran lurus yang banyak berbuat kebajikan. Bahkan mereka termasuk tokoh silat papan atas meski tidak bisa dikatakan dalam jajaran jago silat nomor satu. Bahkan kabar terakhir, selama puluhan tahun ini mereka jarang menampakkan diri, mungkin karena usia tua atau ... ”
“Sekarang mereka berdua sudah meninggal,” potong Jalu Samudra.
“ ... atau sudah meninggal ... ” kata lanjut Beda Kumala, “Hanya saja, tidak ada yang tahu dimana adanya sepasang pendekar budiman ini mengasingkan diri.”
“Kakek nenekku selama hayat mengasingkan diri di Gua Walet,” Jalu berkata membuka cerita, “Mereka adalah orang yang paling kusayangi. Meski cuma orang luar ... ”
“Orang luar?” potong Beda Kumala, heran.
“Mereka sebenarnya bukan kakek nenekku yang sejati, tapi cuma kakek nenek angkat saja ... ”
“Terus orang tuamu dimana?”
“Menurut penuturan kakek, aku ditemukan di tengah laut lepas, dimana sehari sebelumnya sebuah bencana melanda beberapa desa di pesisir laut hingga hancur akibat terjangan badai laut raksasa dan di hari berikutnya, nenek menyelidiki kemungkinan adanya warga desa yang selamat, akan tetapi tidak ada satu pun yang tersisa dari mereka,” tutur Jalu mengenang jati dirinya, “Dan karena saat bayi mereka menemukanku di tengah laut dan di leherku tergantung taji ayam, maka kakek memberiku nama Jalu Samudra.”
Beda Kumala mengangguk-angguk pelan.
“Boleh aku bertanya satu hal?” tanya Beda Kumala, kali ini nadanya sedikit bergetar seperti menahan sesuatu.
“Tanya saja.”
“Tentang kebutaan matamu, apakah ... ”
“Sejak masih bayi. Memangnya kenapa?” tanya Jalu Samudra sambil bersandar ke batang pohon.
Beda Kumala memutar badan ke kiri, lalu tangan kanannya digoyang-goyangkan pulang pergi di depan mata Si Pemanah Gadis.
“Kamu ini ngapain, sih?” tukas Jalu dengan dahi berkerut.
“Pendengarannya hebat. Pantas dia sanggup menumbangkan Golok Tapak Kuda,” batin Beda Kumala. “Jika bukan karena pendengaran yang super tajam, mana mungkin dia bisa tahu kalau aku mengibas-ngibaskan tangan di depan matanya.”
“Kenapa bengong?” tanya Jalu Samudra sambil memalingkan wajah ke kanan. Lagi-lagi matanya melihat celah-celah aduhai disela-sela kerah baju Beda Kumala, pikirnya, “Kalau begini terus-terus, bisa kumakan dia!”
“Ahh ... enggak. Aku hanya bisa merasakan kalau dalam kehidupan Kakang pasti penuh kegetiran.”
“Tidak juga!”
“Tidak?”
“Karena aku sendiri menikmati apa saja yang melekat pada diriku ini. Tidak pernah satu kali pun dalam hidupku menghujat Yang Pencipta. Dia menciptakan mahkluk pasti dengan tujuan mulia,” ujar Jalu Samudra, sambungnya, “ ... nenek pernah bilang begini, ‘seorang anak manusia tidak mungkin mengalami cobaan berat yang tidak mampu ia jalani, sebab Yang Kuasa pasti sudah memberikan jalan keluar untuk setiap cobaan yang diberikan kepada anak manusia. Dan yang pasti, tidak mungkin Yang Kuasa memberikan cobaan tidak sesuai dengan kemampuan anak manusia itu sendiri. Apa pun itu bentuk dan caranya pasti ada penyelesaian masing-masing.’ Kata-kata itulah yang membuat diriku seperti mendapat cambuk penyemangat agar tidak pernah putus asa. Dalam setiap masalah yang menghadang seberat apa pun, pasti ada jalan keluarnya masing-masing. Dan hal itu aku yakini hingga sekarang.”
Beda Kumala termenung mendengar penjelasan panjang lebar dari pemuda berbaju biru itu. Jika sebelumnya mengenai tentang cinta, kini justru membahas tentang pandangan hidup si pemuda. Tidak disangkanya bahwa pemuda yang menurutnya buta, ternyata memiliki pandangan hidup yang begitu dalam dan luas. Tidak ada keluh kesah dalam kamus hidupnya. Jika dibanding dengan dirinya, bedanya seperti air laut dengan air selokan. Dirinya yang selalu mengeluh jika ada masalah yang terbentang lebar di depannya, selalu berusaha mencari pelarian tanpa mencari solusi. Tidak pernah bertanya apa dan mengapa masalah itu bisa timbul dan menimpa dirinya. Selalu saja orang lain yang membantu menyelesaikan masalahnya, bukan dirinya.
Betapa kecilnya ia di hadapan pemuda buta itu sekarang!
“Aku harus berubah mulai dari sekarang,” pikir Beda Kumala, “Aku tidak bisa terus seperti ini. Pasrah jika ada masalah menghadang, lari jika tidak menyelesaikannya. Seberapa jauh aku menghindar, masalah selalu saja mengikuti kemana saja. Tampaknya aku harus belajar banyak dari Kakang Jalu.”
“Apa yang kau pikirkan sekarang? Sedang mengurai setiap masalah yang menimpamu, ya?” tebak Jalu.
Dengan sedikit merengut, dia berkata, “Memangnya Kakang Jalu ini cacing yang ada di perutku, ya? Sok tahu!”
“Ha-ha-ha!”
Jalu Samudra tertawa tergerai saat melihat bibir merah Beda Kumala meruncing.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” sergah Beda Kumala dengan sedikit melotot.
“Ada.”
“Apa?”
“Kalau aku seperti cacing di dalam perutmu, mungkin sekarang aku sudah minta jatah.”
“Minta jatah?”
“Ya. Sebab dari tadi kudengar perutmu ‘kruak-kruek’ tanpa bisa dikendalikan,” sahut Jalu sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Dasar sinting!” seru Beda Kumala sambil tangan kanan-kiri memberikan cubitan-cubitan tajam di lengan Jalu, tentu saja tidak keras, cenderung mesra malah. Tentu saja jalu berteriak-teriak kesakitan mendapat serangan jari-jari lentik Beda Kumala (meski cuma pura-pura sakit sih).
Perlahan namun pasti, rona muka Beda Kumala memerah. Tentu saja perubahan wajah gadis di depannya dapat terlihat dengan jelas oleh Jalu. Tapi sedapat mungkin Jalu berpikir bahwa hal itu mungkin saja terjadi kala si gadis sedang bersenda-gurau sehingga rona mukanya menjadi memerah. Akan tetapi, makin lama justru makin merah saja, dan hal ini ternyata tidak disadari oleh Beda Kumala yang masih asyik mencubiti lengan Jalu Samudra.
Akhirnya, tanpa dapat di tahan lagi, mulut Jalu pun terucap, “Tunggu sebentar, Beda. Aku melihat ada yang aneh pada dirimu.”
Beda Kumala terperanjat, “Apanya yang aneh?”
“Apa kau selalu bermuka merah merona seperti itu jika dekat dengan laki-laki?”
Tanpa sadar, Beda Kumala memegang ke dua pipinya yang halus, sambil berkata, “Tidak. Tidak pernah. Memangnya mukaku semerah itu, ya? Perasaan aku baik-baik saja.”
“Apa kau sedang ... maaf ... dilanda birahi?” tanya Jalu dengan hati-hati. “Maksudku ... ingin bercinta, begitu!?”
“Aku?” kata Beda Kumala menunjuk hidungnya sendiri.
Jalu hanya menganggukkan kepala.
“Tidak juga,” sahutnya, namun saat mengatakan hal itu, darah dalam raga cantik Beda Kumala berdesir lembut, “Edan! Perasaan apa ini? Kenapa rasanya aku ingin sekali dibelai oleh laki-laki di depanku ini? Jangan-jangan memang benar aku sedang birahi?”
Jalu termenung sambil berpikir, “Jelas sekali ia sedang mengalami hal itu. Tapi kenapa bilang tidak? Aneh! Atau jangan-jangan ia keracunan waktu sedang bertarung dengan Cambuk Pemutus Nyawa tadi? Aku harus tanya sejelas-jelasnya pada si mungil ini.”
“Sewaktu bertarung tadi, apakah lawanmu menggunakan senjata beracun atau sejenisnya?” tanya murid Dewa Pengemis.
“Tidak,” sahut Beda Kumala, “Memangnya ada apa, Kakang Jalu? Dari tadi pertanyaanmu aneh terus.”
Sambil membetulkan letak duduknya, Jalu pun mulai berkata, “Begini! Dari tarikan napasmu, aku merasakan kalau kau sedang mengalami sesuatu. Meski lembut sekali, tapi aku merasa kalau saat ini kau sedang keracunan sesuatu atau jika tidak sedang dalam tahap pencapaian nafsu ragawi,” tutur Jalu Samudra.
“Yang benar?” tanya Beda Kumala dengan mimik muka tidak yakin.
“Boleh aku pegang tangan kirimu?”
“Untuk apa?”
Meski bertanya begitu, toh Beda Kumala mengangsurkan tangan kirinya juga.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Jalu diluruskan, kemudian ditempelkan pada urat besar yang ada di tangan kiri. Dari bawah pusar, mengalir lembut sebentuk tenaga yang menyusup masuk ke dalam urat besar di tangan kiri.
Begitu disentuh, sekujur tubuh Beda Kumala langsung bergetar aneh.
“Apa-apa’an ini?” pikir Beda Kumala.
“Denyut nadimu mulai memburu, jalan darah bergerak cepat dan tiga perempat bagian darah dalam tubuhmu bergejolak,” ucap Jalu, lalu sambungnya, “Bahkan sekarang dengusan napasmu mulai tersengal-sengal.”
Jalu menarik kembali tangan kanannya, bersamaan dengan serangkum hawa hangat yang asalnya dari hidung dan hembusan napas mulut Beda Kumala menerpa wajah Jalu.
“Coba kau ingat-ingat, mungkin ada senjata rahasia atau apa sajalah yang menempel di tubuhmu atau dimana pun. Pokoknya apa saja yang pernah menempel atau menancap,” ucap Jalu Samudra kemudian. “Dari deteksi jalan darah, kalau tidak dalam birahi tinggi, kau menderita keracunan, Beda.”
“Racun?” gumam Beda Kumala, sambil berusaha meredakan dengusan napasnya.
Gadis itu memeras otak, berusaha membuka lipatan-lipatan ingatan yang ada di kepala, terutama dengan pertempuran maut melawan Cambuk Pemutus Nyawa. Namun setelah berpikir pulang-pergi, tidak ada yang terlewatkan sama sekali di otaknya.
“Tidak ada, Kakang ... tidak ada ... ” jawab Beda Kumala. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, sesuatu yang menancap di tangan kirinya. Tanpa sadar, ia mengelus tangan yang terkena serabut kayu, katanya, “Oh ... i ya! Waktu aku sedang menyembuhkan luka dalamku, ada sebuah benda kecil menancap di tangan kiriku.”
“Bentuknya seperti apa?”
Seperti bergumam, gadis itu berkata lirih, “Seperti apa ya? Emm ... mungkin bisa dikatakan seperti ... serabut ... ya ... serabut kayu warna coklat yang segera kucabut, karena bentuknya cuma kecil. Setelah itu kubuang.”
“Serabut kayu?”
“Betul.”
“Apa kau tidak merasakan tanda-tanda keracunan yang aneh? Pusing misalnya?”
Beda Kumala menggeleng. Beberapa saat kemudian, barulah Beda Kumala menyadari bahwa tubuhnya terasa hangat di bawah pusar, tepatnya di gerbang istana kenikmatan miliknya.
Tiba-tiba Jalu melihat sebuah urat warna hijau di lengan kiri gadis murid Perguruan Sastra Kumala.
“Celaka!” desisnya, “Kalau dibiarkan saja, aliran darahnya bisa meledak sewaktu-waktu. Aku harus bertindak cepat.”
Jalu segera bangkit berdiri dan mengambil keputusan cepat, lalu meraih tangan Beda Kumala sambil berkata, “Kita harus cari penginapan. Penyakitmu harus segera disembuhkan atau kau akan mati dengan tubuh hancur berantakan!”
Tanpa sepatah kata pun, Beda Kumala mengikuti tarikan tangan si pemuda.

--o0o--
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd