Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Para Naga di Pusaran Badai - Copas - TAMAT

Bimabet
memang sudah turun-temurun kale ya... Para ahli silat di negeri Tionghoan susah sekali akur dengan sekte Beng(Ming) karena idealis mereka.

padahal diantara anak-anak mereka sering kali terlibat hubungan manis. Tapi mesti ujung-ujungnya mereka jadi korban atau memilih memisahkan diri dari kelompok.

semalem ane baca sampai:bingung:
pada terjadi kekacauan di KayPang

baca:baca: cerita ini serasa
sidestory trilogi nya Chin Yung​
ayo :kopi: dulu suhu troy
ini lagi :kopi:ngupi, bang..
ditemani bidadari cantik ku:)
dengan lelapnya dalam gendongan..

aich..jangan panggil suhu, bang Andy:malu:
macam guru kungfu saja:o
page1_____:mindik:_:ngacir:_______page2

:beer:
makasih loh...
mari..mari..
diminum dulu kopinya​
 
Terakhir diubah:
memang sudah turun-temurun kale ya... Para ahli silat di negeri Tionghoan susah sekali akur dengan sekte Beng(Ming) karena idealis mereka.

padahal diantara anak-anak mereka sering kali terlibat hubungan manis. Tapi mesti ujung-ujungnya mereka jadi korban atau memilih memisahkan diri dari kelompok.

semalem ane baca sampai:bingung:
pada terjadi kekacauan di KayPang

baca:baca: cerita ini serasa
sidestory trilogi nya Chin Yung

ini lagi :kopi:ngupi, bang..
ditemani bidadari cantik ku:)
dengan lelapnya dalam gendongan..

aich..jangan panggil suhu, bang Andy:malu:
macam guru kungfu saja:o
page1_____:mindik:_:ngacir:_______page2

:beer:
makasih loh...
mari..mari..
diminum dulu kopinya​
sebenarnx ini tulisan salah satu anak negri loh bang troy
nih tulisannx ajha dari 2007 sampai sekarang belum selesai bang troy dah terdiri dari 3 judul berbeda nih konfiknx komlex antara cina jawa sumatra sedikit bocoran buat bang troy......
sama sama bang troy ... ayo :kopi:
 
3 siapa pelakunya



Iweekang Giok Ceng, juga memiliki khasiat lain yang tidak dimengerti oleh banyak jago rimba persilatan, yakni kemampuan untuk mengobati luka dalam akibat benturan Tenaga Dalam atau Iweekang. Tenaga Im yang diserap dari pembaringan Giok Ceng sangat bermanfaat guna penyegaran dan pengobatan menggunakan Iweekang dan khususnya luka-luka yang disebabkan oleh benturan Iweekang.

Tetapi, hanya mereka yang pernah sedikitnya berbaring dan melatih diri selama paling kurang 10 tahun di pembaringan itu saja yang mampu melakukannya. Bahkan Tan Bi Hiong yang telah memiliki Sinkang yang hampir menyamai suaminya, masih belum sanggup melakukannya.

Terutama karena latihan sinkangnya sudah bercampur dengan aliran Bu Tong Pay. Tetapi Kiang Hong yang melatih diri sejak kanak-kanak sudah mampu melakukannya, lebih dari cukup malah. Dan dari ayahnya dia mewarisi pengetahuan akan kemampuan pengobatan Sinkang untuk luka yang disebabkan tenaga Sinkang atau Iweekang.

Dan saat ini, Kiang Hong akan dan sedang melakukannya untuk Thian Ki Hwesio dan sebenarnya juga untuk Lembah Pualam Hijau karena Hwesio ini terluka oleh Ilmu Khas Pualam Hijau.

Setelah beberapa saat, Kiang Hong kemudian sudah mampu menyadarkan Thian Ki Hwesio yang perlahan memperoleh kesadaran dan kekuatan untuk kemudian membantu penyembuhan dari dalam. Tetapi dalam bisikannya Kiang Hong meminta Thian Ki untuk hanya menerima dan tidak mengusahakan penyaluran tenaga kemanapun, dan karena itu akhirnya Thian Ki hanya menjaga agar kekuatannya semakin terpupuk dan semakin lama kesadaran dan kekuatannya semakin pulih.

Ketika Kong Him Hwesio melihat bahwa kemajuan yang dicapai Thian Ki Hwesio sangatlah baik, dan melihat hari semakin terang tanda bahwa sudah waktunya Suhengnya menyelesaikan semedi, maka diapun meninggalkan kamar itu untuk menyambut suhengnya. Tetapi sebelum beranjak dia meninggalkan pesan dan wanti-wanti kepada beberapa murid tingkatan Pek untuk berjaga secara ketat di luar kamar tersebut, meskipun dia melihat Duta Hukum Lembah Pualam Hijau juga berjaga di depan kamar tersebut, karena Duta Agung sedang melakukan pengobatan yang beresiko besar itu.

Baru melewati tengah hari, ketika matahari mulai condong ke Barat Kiang Hong menyelesaikan pengobatan atas diri Thian Ki Hwesio. Itupun setelah dia menyelesaikan sekitar penyembuhan 70% kekuatan Thian Ki Hwesio yang kemudian menyambut pengobatan itu dengan pengerahan tenaganya.

Setelah pengobatan tersebut, Thian Ki Hwesio sudah memiliki kembali kesadarannya 100%, hanya masih membutuhkan istirahat untuk memulihkan kekuatannya yang sempat tergetar itu. Tetapi seri kehijauan di wajahnya sudah lenyap dan bahkan sudah tidak muram lagi, tenaganya juga sudah bisa disalurkan leluasa, dan rasa nyeri pengerahan tenaga juga sudah hilang.

Ketika menyelesaikan pengobatan tersebut, Kiang Hong seakan kehilangan seluruh tenaganya, dan karena itu segera setelah pengobatan selesai, dia membutuhkan waktu beberapa lama lagi untuk memulihkan tenaga dan semangatnya. Sementara itu, Thian Ki Hwesio yang sudah sembuh segera menyadari bahwa di kamar itu ada 2 orang lain, Ciangbunjin Siauw Lim Sie Kong Sian Hwesio dan wakil Ciangbunjin Kong Him Hwesio.

“Ciangbunjin, maafkan kelalaian hamba, nampaknya sesuatu hilang dari ruang penyimpan kitab kita” sesal Thian Ki Hwesio atas kejadian yang selain melukainya, tetapi juga menghilangkan salah satu kitab rahasia milik Siauw Lim Sie itu.

“Susiok sudahlah, bukan hal hilangnya kitab yang penting, tetapi kesehatan Susiok” Kong Sian Hwesio dengan suara lembutnya. Pendeta Sakti ini mnemang sudah sangat matang dan sudah sangat hebat penguasaan diri dan kekuatan batinnya.

“Adakah sesuatu petunjuk yang bisa didapatkan dari Susiok dengan kejadian semalam”? tanya Kong Him Hwesio

“Entahlah, tetapi pembokong itu sungguh lihai. Bahkan nampaknya masih lebih kuat tenaga Giok Cengnya daripada Kiang Bengcu. Dia menyamar sebagai murid Siauw Lim Sie, sehingga mampu mengcoh pinto dan bahkan dari belakang menyerang dengan hebatnya. Beberapa kali kucoba mengikuti alur tenaga pengobatan Giok Ceng dari Kiang Bengcu, tetapi aku sadar tenaga Giok Ceng pembokong masih lebih kuat” Jelas Thian Ki Hwesio

“Bocah ini, Kiang Bengcu memang hebat luar biasa, tapi nampaknya pembokongku masih lebih kuat” tambah Thian Ki Hwesio

Kong Him Hwesio kaget. Masih ada rupanya kekuatan lain dari Lembah Pualam Hijau yang bahkan melampaui Duta Agungnya dan telah berkunjung ke Siauw Lim Sie. Sementara Kong Sian Hwesio yang lebih dalam dan tenang mengelus-elus janggut putihnya, sambil kemudian berkata:

“Biarlah kita bahas bersama Kiang Bengcu nantinya, biarlah kita menanti beberapa saat, nampaknya Kiang Bengcu akan segera menyelesaikan pemulihan tenaganya”

Dan beberapa saat kemudian Kiang Hong menyelesaikan pemulihan kekuatannya. Wajahnya sudah segar kembali, meskipun belum semua kekuatannya pulih seperti sediakala.

“Hebat, Kong Sian Ciangbunjin mampu mengukur penggunaan tenagaku untuk menyelesaikan pemulihan tenagaku. Selamat bertemu Kong Sian Ciangbunjin yang terhormat” Kiang Hong melompat dari pembaringan untuk memberi hormat kepada Pendeta Sakti Ketua Siauw Lim Sie yang baru saja selesai menutup diri dan sudah disambut dengan sebuah persoalan besar.

“Omitohud, tenaga muda dari Lembah Pualam Hijau sehebat Kiang Bengcu sungguh mengagumkan. Biarlah pinto mewakili Siuaw Lim Sie dan Susiok Thian Ki mengucapkan terima kasih kepada Bengcu” balas Kong Sian Hwesio.
“Tapi biarlah, karena Kiang Bengcu sudah pulih, lebih baik kita berbicara di ruangan pertemuan nanti” tambah Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

“Tapi Lo Suhu, bisakah Duta Dalam Tan Bi Hiong ikut bersama kita dalam pertemuan itu”? Usul Kiang Hong

“Hm, sebaiknya memang, dan kita akan bertemu di ruangan pertemuan bagian luar, dekat penginapan tamu. Kong Him Sute, tolong dipersiapkan ruangannya, sekaligus kemudian undang Kiang Hujin untuk datang kesana” perintah Kong Sian.

“Baik Ciangbunjin Suheng” dan Kong Him kemudian berjalan keluar meninggalkan ruangan pengobatan, demikian juga Thian Ki Hwesio ikut meninggalkan ruangan tersebut untuk bergabung dalam pembicaraan di ruangan pertemuan.

----------------------------

“Dewasa ini, tinggal Ayahanda Kiang Cun Le dan Bibi Kiang In Hong yang memiliki kemampuan melampauiku dalam kekuatan tenaga Giok Ceng Sinkang” Bergumam Kiang Hong ketika disampaikan bahwa menurut Thian Ki Hwesio, penyerangnya bahkan memiliki tenaga sakti Pualam Hijau yang melebihi Kiang Hong.

“Selain itu, nampaknya Thian Ki Suhu tidak terlindung cukup tenaga sinkang ketika menerima pukulan tersebut. Artinya, Thian Ki Suhu kena bokong” tambah Kiang Hong.

“Kedua orang tua itu tidaklah mungkin melakukan perbuatan menghina kuil Siauw Lim Sie. Bahkan keduanya sangat menghormat Kuil Siauw Lim Sie yang punya kenangan khusus bagi mereka” Bi Hiong juga menambahkan bahkan melanjutkan:

“Di keluarga Kiang, memang masih ada Kakek Buyut Kiang Sin Liong, tetapi sudah terlampau tua bila masih hidup, dan sudah puluhan tahun menghilang. Kemudian masih ada Kiang Siong Tek yang menjadi Pendeta di Siauw Lim Sie dan lebih senang pelajaran agama Budha dan tidak terlampau meyakini Ilmu Pualam Hijau. Kemudian, masih ada juga Kiang Tek Hong yang menghilang puluhan tahun silam bersamaan dengan masuknya Kiang Siong Tek menjadi pendeta Budha. Keduanyapun teramat sulit untuk dikategorikan penyerang Siauw Lim Sie. Terakhir adalah Kiang Liong, yang memiliki kemampuan seimbang dengan Kiang Hong Bengcu. Hmmm, amat sulit untuk melacak siapa kiranya yang menyerang Thian Ki Hwesio dan Pek Khun Hwesio”

Kong Sian Hwesio yang jauh lebih sabar dari semua, karena juga dia adalah Ciangbunjin Siauw Lim Sie, juga mengerutkan kening memikirkan peliknya persoalan yang dihadapi.

“Anehnya” masih sambung Bi Hiong

“Setelah menelusuri hampir semua jalan yang mungkin dilalui oleh penyerang itu, nyaris tiada seorangpun Pendeta penjaga yang mendengar. Serta, nyaris tidak ada jejak yang ditinggalkan oleh penyerang itu dimanapun, baik di tembok, rumput-tumputan maupun pepohonan. Penyerang itu, seperti mampu menghilang atau terbang”.

“Maksud hujin” Bertanya Kong Him Hwesio menjadi sangat tertarik atas uraian Bi Hiong.

“Kejadiannya terlampau aneh, terlampau dikesankan bahwa pelakunya adalah Kiang Bengcu, Duta Agung. Dan lebih aneh lagi, tiada jejak yang ditinggalkan penyerang kecuali Pek Khun Hwesio tertotok di tenggara dengan tiada satupun jejak kaki di bagian tenggara, baik di tembok atas, tembok bawah, rerumputan dan semua jalan yang mungkin dilalui penyerang yang kutelusuri” Tegas Bi Hiong

“Apa maksud Hujin bahwa ada kemungkinan penyerangnya berasal dari dalam atau masih berada di dalam Siauw Lim Sie”? Kong Him bertanya kembali, dan tiba-tiba tersentak dengan kemungkinan yang coba ditolaknya itu.
“Kemungkinan tersebut bukannya tidak ada, berdasarkan fakta. Meksipun kemungkinan pelakunya Kiang Bengcu, juga sama terbukanya” Bi Hiong bicara blak-blakan.

“Ah, tidak mungkin pinto berani menuduh Kiang Bengcu yang sudah lama membuktikan siapa dirinya dan bahkan Susiok Thian Ki juga percaya kepadanya” Kong Sian Hwesio berupaya meredakan rasa tidak enak yang muncul akibat analisis yang cukup tajam dari Bi Hiong. Tetapi analisis itu, betapapun tajamnya memang sangat masuk akal.

“Apa lagi, menurut Duta Agung, Thian Ki Losuhu ternyata terbokong karena terkecoh oleh orang yang dianggapnya sebagai anak murid Siauw Lim Sie. Artinya, setidaknya si penyerang jika bukan menyaru sebagai anak murid Siauw Lim Sie pastilah anak murid Siauw Lim Sie sendiri yang menyusup untuk suatu agenda atau tujuan tertentu” lanjut Bi Hiong yang emmbuat kembali banyak orang terperangah.

“Kong Sian Suhu, biarlah kami selaku Lembah Pualam Hijau dan bahkan selaku Bengcu yang bertanggungjawab atas hilangnya kitab Siauw Lim Sie. Terlebih, karena nampaknya masalah ini melibatkan Lembah Pualam Hijau” Tiba-tiba Kiang hong menyela. Tetapi pada saat Kiang Hong berbicara, tiba-tiba telinganya seperti memperoleh kisikan, tetapi dengan suara bening yang hampir tidak pernah didengarnya sebelumnya. Suara itu seperti sangat mengenalnya dan apa yang disampaikan bisikan itu yang membuat Kiang Hong tersentak dan berhenti bicara. Melalui ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh suara itu berbunyi:

“Hong Jie, cari dan teliti keberadaan Kiang Tek Hong sute. Bertanyalah kepada Ayahmu atau bibimu untuk menelusuri Tek Hong Sute, biarlah keadaan dan perasaan Siauw Lim Sie pinto yang menjaminkan, meskipun pinto sudah puluhan tahun tidak mencampuri urusan duniawi. Hati-hatilah, cari ayah dan bibimu, bicarakan dengan mereka karena tanpa mereka sulit menyelesaikan masalah dengan Siauw Lim Sie. Jaga dirimu baik-baik dan jaga Lembah Pualam Hijau” demikian suara itu memberi kisikan kepada Kiang Hong.

Segera setelah bisikan tersebut tidak terdengar lagi dan karena pengirim suaranya tidak diketahui berada dimana, Kiang Hong kemudian dengan mantap berkata:

“Kong Sian Suhu, Lembah Pualam Hijau bertanggungjawab atas kejadian ini. Berilah kami waktu 3 bulan untuk berusaha menyelesaikan masalah ini dan mempertanggungjawabkannya kepada Siauw Lim Sie selewat waktu 3 bulan tersebut”

“Jika Kiang Bengcu sudah berkata demikian, maka masalahnya kita anggap selesai untuk hari ini” demikian keputusan Kong Sian Hwesio, dan nampaknya Ciangbunjin inipun sudah memperoleh bisikan jaminan dari seorang sesepuh Siauw Lim Sie yang berasal dari Lembah Pualam Hijau.

Dan lagi pula, memang tidaklah mungkin menuduh Kiang Hong, karena bahkan Thian Ki sendiri sudah memastikan bukan Kiang Hong yang melukainya. Persoalannya adalah, siapa orangnya yang malah menyaru atau menyamar sebagai anak murid Siauw Lim Sie untuk membokong Thian Ki Hwesio. Dan, bahkan bila benar laporan anak murid yang memeriksa ruangan penyimpan kitab bahwa si pencuri seperti sangat mengenal keadaan Ruangan Penyimpan Pusaka.

Jika benar demikian, dugaan Bi Hiong bahwa pelakunya adalah orang dalam menjadi sangat masuk di akal, betapapun mau ditolak, tapi fakta menguatkan dugaan itu.

“Karena kita mempertaruhkan banyak hal, maka Pinto melarang siapapun anak murid Siauw Lim Sie untuk membicarakan masalah ini ke dunia luar. Kamipun berharap pihak Kiang Bengcu untuk melakukan hal yang sama” Tambah kong Sian Hwesio

“Benar suhu, sebab efeknya akan menambah kekalutan dunia persilatan. Karena nampaknya kitab yang dicuri bukan kitab sembarangan, terlebih karena itu pusaka Siauw Lim, yang bakal mengundang banyak orang untuk berusaha memilikinya” Bi Hiong menyela.

Demikianlah, akhirnya dicapai kesepakatan antara Siauw Lim Sie dengan Lembah Pualam Hijau, bahwa Kitab Pusaka Tay Lo Kom Kong Sin Kiam yang tercuri akan dipertanggungjawabkan oleh Lembah Pualam hijau. Dan selanjutnya dipercakapkan pula rencana Kiang Hong yang akan mengunjungi Lam Hay Bun, serta seluruh persoalan dunia persilatan yang terjadi berentetan.

Kong Sian Hwesio yang biaranya memiliki banyak murid, baik murid preman maupun murid pendeta, tentu saja sudah mendengar pergolakan di dunia persilatan. Bahkan, hampir sama dengan analisis Bi Hiong, dia sendiri paham bahwa Siauw Lim Sie pasti akan menderita serangan gelap dari kelompok perusuh, dan kehilangan kitab sudah dia duga berasal dari kelompok tersebut.

Hanya, suatu hal yang tidak terduga ditemukan di Siauw Lim Sie adalah, ternyata Ilmu dari Lembah Pualam Hijau mulai terlibat, justru pada pihak yang berlawanan dengan tradisi kependekaran Lembah Pualam Hijau. Tan Bi Hiong yang cerdas mulai menduga-duga adanya keterkaitan salah seorang tokoh yang hilang dari Lembah Pualam Hijau yang mungkin terlibat dalam kerusuhan dunia persilatan kali ini.

Sungguh ngeri dia membayangkan jika benar hal tersebut menjadi kenyataan. Tetapi yang pasti, salah seorang sesepuh Lembah Pualam Hijau yang sudah menyepi menjadi Pendeta Budha sudah mengingatkan kemungkinan buruk ini. Tambahan, kekuatan sinkang Pualam Hijau yang melukai Thian Ki memang menunjukkan keterlibatan Ilmu Pualam Hijau dari kelompok yang mengacaukan rimba persilatan.

Baik Bi Hiong maupun Kiang Hong menjadi semakin berdebar-debar menemukan kenyataan yang semakin rumit, membingungkan serta juga mulai melibatkan tokoh dan ilmu dari lembah mereka.

Akhirnya, kepada Kong Sian Hwesio, Kiang Hong kemudian memohon masukan dan bantuan berkenaan dengan maksud kedatangan Kiang Hong ke Lam Hay Bun di Lautan Selatan. Dan bahkan dijelaskan juga bahwa informasi soal rencana Kiang Hong juga sudah disampaikan kepada Bu Tong Pay melalui Ciu Sian Sin Kay Gila yang kemudian nantinya akan menyertai Kiang Hong menuju ke Lautan Selatan menemui Kauwcu Lam Hay Bun.

Dan nampaknya Kong Sian merespons baik permohonan Kiang Hong dan karenanya memberikan tanda perintah supaya Kong Hian Hwesio, Pendeta Pengembara yang menjadi suheng Kong Sian Hwesio untuk menyertai Kiang Hong menuju ke Lautan Selatan. Tanda perintah itu kemudian diperintahkan kepada murid-murid Siauw Lim Sie untuk disampaikan secepatnya kepada Kong Hian Hwesio guna berkumpul dengan rombongan Kiang Hong di dusun Ke Chung, yang nantinya dari sana mereka akan berlayar menuju atau tepatnya mencari markas Lam Hay Bun di Lautan Selatan.

Kiang Hong dan rombongannya masih menghabiskan waktu 2 hari lagi berbincang dengan Kong Sian Hwesio sambil berharap akan ada informasi baru dari Kiang Siong Tek yang bertapa di Siauw Lim Sie dengan nama Budha Thian Kong Hwesio. Sekaligus juga selama 2 hari, Kiang Hong dan Bi Hiong terus memperkuat diri, terutama karena menemukan kenyataan bahwa salah seorang tokoh di pihak lawan menguasai dengan baik Ilmu Pualam hijau, sesuatu yang sangat mengejutkan.

Apalagi karena konon penguasaan sinkangnya tidak berada di sebelah bawah Kiang Hong, bahkan masih sedikit mengatasinya menurut Thian Ki Hwesio. Hal tersebut telah mendorong Kiang Hong dan Bi Hiong untuk meningkatkan kemampuan mereka, sambil juga melakukan perbincangan perbincangan penting lainnya termasuk perbincangan Ilmu Silat dengan Ketua Siauw Lim Sie.
 
BAB 6 Raibnya kiok hwa kiam
1 raibnya kiok hwa kiam




Jika Kiang Hong bergegas ke Siauw Lim Sie, maka Ciu Sian Sin Kay yang terkenal angin-anginan justru mencapai Bu Tong Pay hampir sebulan setelah berangkat dari Kay Pang. Padahal saat yang sama, Kiang Hong sudah dalam perjalanan menuju ke Selatan, ke sebuah dusun nelayan yang diperkirakan sebagai tempat yang tepat untuk menyebrang atau berlayar mencari markas Lam Hay Bun.

Tetapi, Ciu Sian Sin Kay bukan orang bodoh. Dia sudah memperhitungkan melalui informasi anggota Kay Pang yang menyebar dimana-mana kapan saat terbaik berlayar. Selain itu, dia berpikir bahwa ke Bu Tong Pay hanyalah sekedar meyakinkan Ketua Bu Tong Pay bahwa keadaan sudah gawat dan Bu Tong Pay perlu berjaga-jaga.

Karena itu, Ciu Sian Sin Kay lebih banyak menikmati perjalanan dengan keanehan-keanehannya yang khas. Mencuri makanan enak di rumah hartawan, mabuk-mabukan dan terkadang tidur seharian di atas pohon. Bahkan Ciu Sian Sin Kay pernah tinggal seminggu disebuah loteng hartawan di kota di dekat kaki gunung Bu Tong untuk menikmati makanan-makanan di rumah seorang hartawan, yang ternyata mencocoki seleranya.

Baru setelah puas menikmati makanan disana, akhirnya Ciu Sian Sin Kay memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke gunung Bu Tong San guna menjumpai dan berbiucang dengan Ciangbunjinnya.

Bu Tong Pay, meskipun lebih muda usia perguruan itu dibanding dengan Siauw Lim Sie, tetapi keterkenalan dan kemasyhurannya kini tidaklah tertinggal dari Siauw Lim Sie. Salah satu kemasyurannya dicapai Bu Tong Pay di bawah Wie Tiong Lan yang kemudian bergelar Pek Sim Siansu.

Wie Tiong Lan adalah seorang tunas Bu Tong Pay yang berhasil memecahkan rahasia Liang Gie Sim Hwat yang diciptakan pendiri Bu Tong Pay Thio Sam Hong. Kemunculan Wie Tiong Lan kebetulan berbarengan dengan masa kejayaan dari Siauw Lim Sie di bawah Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han di Kay Pang serta kemunculan Kiang Sin Liong dari sebuah Lembah Keramat yang sama terkenalnya dengan Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay, yakni Lembah Pualam Hijau.

Wie Tiong Lan yang gemar membaca, menemukan rahasia Liang Gie Sim Hwat justru disebuah kitab sastra. Kitab tersebut menggambarkan keindahan dan juga sejarah Bu Tong Pay dan gunung Bu Tong yang disisipi rahasia untuk meyakinkan Liang Gie Sim Hwat.

Dan justru rahasia Liang Gie Sim Hwat itu memang terkait dengan unsure-unsur keindahan dan kelemasan yang tergambar dalam kitab sastra dan bahkan merupakan sari dari buku itu. Tanpa kunci sisipan yang hanya berjumlah sekitar 4 halaman di dalam kitab sastra tersebut, Wie Tiong Lan tidaklah akan sanggup memecahkan dan menyempurnakan peyakinannya atas Liang Gie Sim Hwat.

Dan belakangan, dia menyadari bahwa hampir semua ilmu khas Bu Tong Pay, terutama ciptaan couwsu mereka atau pendiri mereka, hanya mungkin disempurnakan dengan meyakinkan Liang Gie Sim Hwat.

Berbeda dengan Ih Kin Keng dari Siauw Lim Sie yang memupuk secara perlahan lahan kekuatan Iweekang, maka Liang Gie Sim Hwat justru mengatur cara penyaluran Iweekang sedemikian rupa. Dengan mengerti tehnik pengaturan hawa dan sinking, maka Liang Gie SIm Hwat memiliki khasiat yang hamper sama dengan Ih Kin Keng, yakni bagaikan mengganti tulang dan daging sehingga pas dan cocok menyempurnakan ilmu tertentu.

Inti dari Liang Gie Sim Hwat adalah kemampuan untuk mengatur jalan-jalan hawa dan lubang hawa manusia, sehingga sebenarnya merupakan ilmu pernafasan tertinggi. Liang Gie Sim Hwat yang ditemukan dan diyakinkan Wie Tiong Lan adalah kemampuan untuk mengenali saat yang tepat untuk meningkatkan kekuatan Im dan Yang dan menyempurnakannya.

Dan karena jenis tenaga Bu Tong adalah “im”, maka Wie Tiong Lan kemudian memanfaatkan informasi dan rahasia Liang Gie untuk meningkatkan kemampuannya. Bahkan, berdasarkan tumpuan pada tenaga Im dan kemampuan menyalurkan dan meningkatkannya, Wie Tiong Lan kemudian menemukan cara untuk menyempurnakannya hingga mencapai keadaan tertinggi yang dilambari kekuatan batin.

Puncaknya adalah pengenalan akan semua tenaga im yang mungkin didalam dan luar tubuh dan membongkar semua yang semu dari luar tubuh. Sayangnya, karena pemahaman akan tenaga “Yang” memang kurang bagi Bu Tong Pay, karena itu Liang Gie Wie Tiong Lan, tidak sanggup mengatur lalu lintas kedua hawa dan menemukan kesempurnaan perpaduan kedua tenaga tersebut.

Tetapi, toch penemuan Wie Tiong Lan telah mengantarkannya pada puncak kesempurnaan ilmu-ilmu Bu Tong Pay. Baik Bu Tong Kiam Hoat, Thai Kek Sin Kun maupun juga ilmu Liang Gi Kiam Hoat dan Pik-lek-ciang (telapak tenaga kilat). Bahkan pada jamannya jugalah kemudian ia menciptakan Tian-cik-kiam-ceng (barisan pedang penggetar langit) yang kemudian menjadi barisan ilmu pedang Bu Tong Pay.

Barisan ini di kemudian hari menjadi sejajar kehebatan dan keterkenalannya dengan barisan Lo Han Kun dari Siauw Lim Sie dan Barisan 6 Pedang Pualam Hijau. Tetapi, sebagaimana juga Kay Pang dan Siauw Lim Sie, bakat-bakat penerus yang dimiliki oleh Bu Tong Pay ternyata tidak secemerlang Lembah Pualam Hijau yang masih tetap terus berkibar.

Berbeda dengan Lembah Pualam Hijau yang kemudian melahirkan Kiang Cun Le dan Kiang In Hong, di Kay Pang, Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie tidak diketemukan tunas sepadan dengan keturunan-keturunan Lembah Pualam Hijau yang hebat-hebat itu.

Bersama dengan Siuw Lim Sie dan Kay Pang, Bu Tong Pay memang seperti kehilangan tunas cemerlang pada kurang lebih 10 tahun terakhir ini yang bisa dikedepankan.

Bahkan belakangan, Tokoh-tokoh puncak ketiga Perkumpulan tersebut yang sudah berusia lanjut bisa direndengi oleh penerus keluarga Kiang dalam diri Kiang Hong yang menjadi Bengcu menggantikan ayahnya Kiang Cun Le. Baik Kim Ciam Sin Kay (Kay Pangcu), Kong Sian Hwesio (Ciangbunjin Siauw Lim Sie) maupun Jit-sing-Kun (Pukulan tujuh bintang), Ci Hong Tojin Bu Tong Ciangbunjin masih belum sanggup mengimbangi capaian, prestasi maupun kepandaian tokoh-tokoh cemerlang partainya pada puluhan tahun berselang.

Ci Hong Tojin sendiri memang bukan murid langsung dari Wie Tiong Lan. Wie Tiong Lan dikenal hanya mempunyai 3 orang murid yang mewarisi kepandaianya, yakni 2 orang Pendekar preman atau bukan pendeta dan 1 orang Pendeta di Bu Tong Pay. Muridnya yang pertama bernama Kwee Siang Le dan menjadi ahli Pik Lek Ciang dan berjuluk Sin Ciang Tay hiap (Pendekar Tangan Sakti).

Hanya saja hingga saat ini, salah satu tokoh Bu Tong Pay ini tidak ketahuan lagi jejaknya. Murid yang kedua bernama Bouw Song Kun, yang mewarisi Thai Kek Sin Kun, Thai Kek Sin Kiam dan Liang Gie Kiam Hoat dan menjadi pendeta Bu Tong Pay dengan nama Jin Sim Tojin.

Dalam hal penggunaan Thai Kek Sin Kun dan Thai kek Sin Kiam, maka Jin Sim Tojin adalah tokoh nomor satu di Bu Tong Pay, bahkan kehebatannya masih setingkat di atas Ketua Bu Tong Pay yang memang masih seangkatan dibawahnya. Pendeta inipun sekarang lebih banyak bersemadi di Bu Tong San dan memang tidak terlampau tertarik dengan kedudukan di kuil Bu Tong San.

Jin Sim Tojin dikenal bersahabat dengan seorang tokoh dari Kay Pang, yakni Ciu Sian Sin Kay. Sementara tokoh ketiga, murid ketiga Wie Tiong Lan dan justru yang terpandai adalah Tong Li Koan yang juga dikenal suka mengembara dan setanding dengan Ciu Sian Sin Kay dalam hal kesaktian.

Dialah yang paling banyak mewarisi kepandaian suhunya dan boleh dibilang saat ini merupakan tokoh Bu Tong Pay yang paling pandai, karena dia mampu meyakinkan Liang Gie Sim Hwat melebihi kedua kakak seperguruannya.

Tokoh ini berjuluk Sian Eng Cu Tayhiap (Pendekar Bayangan Dewa) dan terakhir muncul di seputaran gunung Bu Tong San sebelum kemudian menghilang dan diduga bertapa di salah satu gua rahasia di sekitar Bu Tong San. Tan Bi Hiong, meskipun menjadi murid dari Ci Hong Tojin, tetapi justru dalam hal Thai Kek Sin Kun dan Liang Gie Sim Hwat lebih banyak memperoleh petunjuk dari Sian Eng Cu Tayhiap.

Selama 2 tahun terakhir dunia persilatan mulai bergejolak, boleh dibilang Bu Tong Pay yang juga mengikuti perkembangan dunia persilatan tidaklah ataupun belum memperoleh gangguan sama sekali. Tetapi, jangan dikira Gunung Bu Tong menjadi alpa dan sama sekali tidak melakukan persiapan.

Semua murid, baik yang menjadi Pendeta maupun murid yang berkelana di dunia persilatan, diminta untuk mengikuti secara cermat perkembangan dunia persilatan dan diminta meneruskan atau melaporkan informasi tersebut ke Bu Tong San.

Karena itu, tidak mengherankan apabila Bu Tong juga mengenal dengan baik dan mengerti persoalan paling akhir yang terjadi di dunia persilatan, bahkan juga sudah mengetahui terlebih dahulu rencana Kiang Hong menjumpai Lam Hay Bun. Justru informasi itu datang duluan mengunjungi Bu Tong Pay dibandingkan Ciu Sian Sin Kay yang berkehendak untuk datang membahas situasi dunia persilatan dan mempercakapkan kemungkinan datang ke Lam Hay Bun.

Tetapi karena ayal dan terlambat, justru Bu Tong Pay sudah memiliki persiapa dan pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri, terkait dengan situasi dunia persilatan dan rencana Kiang Bengcu dari Lembah Pualam Hijau untuk bertemu langsung dengan Ketua Lam Hay Bun.

Rencana Kiang Hong menjumpai Lam Hay Bun, anehnya sudah menyebar kemana-mana dan bahkan sudah dengan bumbu yang ditambah-tambahi.

Ada versi yang menyebutkan bahwa Kiang Hong pergi untuk bertanding dengan Ketua Lam Hay Bun; Ada pula yang percaya bahwa Kiang Hong pergi untuk membasmi penyebab kerusuhan di dunia persilatan dengan langsung mendatangi markas Lam Hay Bun; Ada lagi yang percaya bahwa Kiang Hong pergi untuk mengatur pertandingan antara para jago Lam Hay Bun dengan jago-jago daratan Tionggoan; dan banyak lagi versi cerita lain yang beredar di dunia persilatan dan semua sudah ditangkap dengan jelas informasinya oleh pihak Bu Tong Pay.

Karena menyangkut masa depan dunia persilatan, maka Ci Hong Tojin yakin bahwa Kiang Hong pasti akan datang mengunjunginya untuk setidaknya membahas persoalan kunjungan ke Lautan Selatan ke markasnya Lam Hay Bun. Dan dugaan tersebut tepat sekali, hanya sedikit meleset, karena bukan Kiang Hong yang datang, tetapi Ciu Sian Sin Kay yang tidak kurang terkenalnya di dunia persilatan.

Hanya, karena Ciu Sian Sin Kay berjalan dengan lamban dan angin-anginan, maka dia tiba pada saat Bu Tong Pay sedang kelimpungan. Gunung Bu Tong San yang damai dan angker dengan kehadiran Bu Tong Pay yang sangat berdisiplin, tanpa diduga juga kena imbas pergolakan di Dunia Persilatan.

Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni), sebuah Pedang Pusaka yang menjadi salah satu Pedang Kesayangan Wie Tiong Lan dan kemudian menjadi Pusaka di Bu Tong Pay, dan disimpan di ruang penyimpan pusaka, tiba-tiba raib dari tempat penyimpanannya. Anehnya, tiada seorangpun yang tahu kapan, siapa dan bagaimana peristiwanya terjadi.

Tidak ada tanda pembongkaran pintu ruang pusaka, tidak ada genteng yang rusak, tidak ada penyerangan terhadap penjaga ruang pusaka, dan tidak ada keanehan apapun yang terjadi. Kecuali sebuah “piauw bintang laut merah” yang sengaja ditinggalkan di tempat penyimpan pusaka tersebut.

Sementara, Ci Hong Tojin tahu belaka bahwa piauw itu adalah ciri atau tanda pengenal dari sebuah barisan warna yang dimiliki oleh Lam Hay Bun. Hanya saja, mata dan batin Ci Hong Tojin yang awas, tidaklah gampang terkelabui dan tidak gampang dipanas-panasi untuk menyimpulkan bahwa Lam Hay Bun harus bertanggungjawab.

Sontak Bu Tong Pay seperti kebakaran jenggot, kedamaian yang dirasakan tiba-tiba berubah menjadi ketegangan, ronda dan penjagaan ditingkatkan secara besar-besaran. Penjaga Ruang Pusaka diganti dan diperkuat, demikian juga semua kemungkinan masuk ke Bu Tong Pay, dijaga dengan sangat ketat, bahkan tamupun sangat selektif diterima.

Sejak dari kaki gunung, proses pertanyaan dan penyelidikan maksud kedatangan tamu sudah dilakukan secara teliti. Pendeknya pencurian pedang pusaka bunga seruni telah merobah keadaan Bu Tong Pay yang damai menjadi bersiaga penuh, meskipun sayangnya pencurian Pedang tersebut tetap menjadi sebuah misteri yang melahirkan rasa penasaran yang dalam di kalangan Bu Tong Pay.

Nama baik dan kehormatan mereka sungguh tercoreng, terlebih karena tidak mengetahui bagaimana, siapa dan mengapa Pedang Pusaka leluhur mereka dan yang telah menjadi symbol dan pusaka Bu Tong Pay bisa dicuri tanpa ketahuan. Terjadi dalam Kuil tanpa ketahuan dan tanpa ada tanda-tanda pengrusakan, pembongkaran ataupun penyerangans eorang anak murid.

Dalam keadaan bersiaga dan hati panas di hampir semua tokoh Bu Tong Pay seperti itulah Ciu Sian Sin Kay yang angin-anginan tiba. Dia bisa dengan mudah melewati tanpa ketahuan penjagaan lapis pertama, kedua dan ketiga dengan mempergunakan Ginkangnya yang tinggi.

Tetapi, memasuki lapis keempat dan kelima, Ciu Sian Sin Kay sudah terlacak dan dengan cepat informasi masuknya penyusup disampaikan ke markas Bu Tong Pay, atau Kuil Bu Tong Pay yang berada di puncak gunung Bu Tong. Ciu Sian Sin Kay memang bukan tandingan Pendeta-Pendeta Kelas atau tingkatan 3 di lapisan keempat dan Pendeta Tingkatan 2 di lapis kelima.

Tetapi, di lapisan ke-enam, tepat di luar pintu gerbang Kuil Bu Tong Pay, Ciu Sian Sin Kay dicegat oleh barisan pedang Tian-cik-kiam-ceng yang dimainkan oleh 7 pendeta Bu Tong Pay dari tingkatan 1. Barisan terkenal dari Bu Tong Pay ini dengan segera mengurung Ciu Sian yang hingga pintu gerbang Bu Tong Pay masih belum mau memperkenalkan dirinya, dan karena itu harus menggunakan kepandaiannya untuk melewati lapis demi lapis penjagaan di Gunung Bu Tong.

Keadaan seperti ini, justru memang kesukaan pengemis yang memang aneh dan suka bertindak ugal-ugalan, apalagi dalam soal altihan dan tanding ilmu silat.

Baru pada barisan pedang inilah Ciu Sian Sin Kay kemudian bisa ditahan cukup lama. Barisan pedang yang diatur oleh Pendeta-pendeta Bu Tong Pay tingkatan 1 ini, bukanlah barisan-sembarang barisan.

Kehebatannya sudah terkenal di dunia persilatan, tidaklah di bawah perbawa Lo Han Kun ataupun Barisan 6 Pedang Pualam Hijau. Keadaan ini sungguh merepotkan Ciu Sian Sin Kay yang bahkan harus mempergunakan “Langkah Sakti Pengemis Mabuk” untuk bisa bertahan.

Tentu saja dia tidak berani menggunakan jurus keras Hang Liong Sip Pat Ciang ataupun Ciu Sian Cap Pik Ciang untuk membuyarkan barisan ini. Justru itu, maka dia terlibat kesulitan dengan membentur tembok pedang di kiri dan kanan, kecuali pintu belakang yang ditinggalkan untuk tempat Ciu Sian mengundurkan diri.

Tapi bukan Pengemis Sakti angin-anginan apabila Ciu Sian demikian gampang menyerah dan mengundurkan diri, sebaliknya malah, dia merasa tertarik dan tertantang dengan main-main yang baginya “permainan” meski bagi barisan itu, justru serius. Cius Sian Sin Kai malah kelihatan terkekeh-kekeh senang dikerubuti:
 
2 Duel di bu tong




“Hahahaha, barisan Pedang ciptaan Pek Sim Siansu memang benar-benar hebat. Kagum-kagum” celotehnya gembira, karena memang Kakek Sakti ini sungguh gemar bertarung.

Dikurasnya kemampuan langkah sakti dewa mabuk dan sesekali menggunakan jurus Tah Kauw Pang Hoat untuk menangkis dan balas menyerang.

Tetapi barisan pedang yang sangat hebat dalam bekerjasama ini menghadirkan ancaman-demi ancaman saat demi saat, dan bahkan kemudian mulai menjadi lebih sering memojokkan Ciu Sian dalam situasi sulit. Tapi kesulitan justru membuat pengemis sakti ini semakin bersemangat mengeluarkan kepandaiannya dan terus mencoba bertahan sampai berlama-lama.

Bahkan kembali terdengar dia terkekeh-kekeh dan berkata:

“hahahaha, mampu juga barisan ini membuatku meneguk arak keramatku ini untuk tambah tenaga dan semangat” ucap si pengemis sambil mulai nampak meneguk arak di buli-buli hijaunya.

Dan setelah itu, jurus Langkah Sakti Pengemis Mabuk mulai menjadi lebih cepat, lebih aneh dan lebih bervariasi, sementara daya tahan Tah Kauw Pang juga menjadi semakin rapat. Tetapi, itupun hanya mampu buat modal bertahan bagi si Pengemis Sakti gemar mabuk ini.

Keseimbangan pertempuran kembali terjadi, sementara Pengemis Pemabuk semakin bersemangat, karena baginya bertanding sama saja dengan berlatih. Karena itu, sesekali dia menyela seorang pendeta yang menurutnya kurang lincah atau kurang kuat menambal pengaruh Barisan Pedang itu.

Saking asyiknya, Pengemis Sakti tidak menyadari kalau Jin Sim Tojin dan Ci Hong Tojin, Ciangbunjin Bu Tong Pay sudah ikut keluar menyaksikan pertandingan yang sudah ribut sejak mulainya itu. Pertandingan yang dianggap latihan dan bersenang-senang oleh Ciu Sian Sin Kay, nampak ditonton serius sejenak oleh tokoh Bu Tong Pay, tetapi begitu mengenal siapa yang datang, mereka malah tersenyum maklum.

Maklum akan keanehan dan kebinalan Pengemis Mabuk yang memang dalam berapa pertimbanganpun sering “mabuk”.

Jin Siam Tojin dan Ciangbunjin Bu Tong Pay kebetulan memang sedang membahas langkah pengamanan Bu Tong Pay setelah mengalami kecurian pedang. Apalagi bagi Jin Siam Tojin, Pedang Bunga Seruni adalah Pedang kesayangan gurunya, dan karena itu dia merasa sangat berkepentingan untuk mendapatkannya kembali.

Di tengah percakapan serius itulah tiba-tiba telinga mereka yang tajam mendengar desing-desing tajam sejumlah pedang yang dengan segera mereka sadari adalah desingan barisan pedang Tian-cik-kiam-ceng yang sedang digunakan menghalau musuh.

Tapi, tidak lama kemudian Jin Siam Tojin dan Ciangbunjin Bu Tong Pay tersenyum sendiri setelah sadar siapa yang sedang dikurung oleh barisan pedang tersebut, dan karenanya mereka kemudian bergegas keluar untuk menyaksikan pertandingan itu.

Selain itu, merekapun sekaligus menyambut tamu terhormat yang merupakan salah satu sesepuh Kay Pang yang terkenal itu. Keduanya segera geleng-geleng kepala melihat pola Pengemis Sakti yang masih belum berubah banyak sejak dulu, tetapi mereka tidak khawatir barisan itu mengalami kerugian karena melihat Ciu Sian Sin Kay tidak mempergunakan ilmu-ilmu keras untuk menghadapi barisan itu.

Selain dari merekapun yakin akan kehebatan barisan itu dalam kerjasamanya. Tapi tiba-tiba Jin Siam Tojin yang bersahabat erat dengan Ciu Sian memerintahkan:

“Barisan 7 pedang menggempur langit”

Bersamaan dengan perintah itu, barisan pedang yang sebelumnya tidak berniat menyerang tajam, tiba-tiba menggempur bagaikan gelombang dari seluruh penjuru. Akibatnya, Ciu Sian harus pontang-panting menyelamatkan diri dari serangan membadai itu.

Tetapi dengan langkah sakti pengemis mabuknya, dia masih sanggup menyelematkan dirinya, tetapi itupun dilakukan dengan sangat susah payah. Apalagi, belum tegak benar Ciu Sian Sin Kay berdiri, terjangan dari atas dan bawah sudah tiba-kembali. Mau tidak mau pemgemis sakti ini kembali berkelabat, tetapi kemanapun dia menghindar selalu sedikitnya 3 pedang menyerangnya dan 2 pedang menghalau serangan balasannya.

“Barisan 7 pedang menutup langit di pintu selatan” kembali terdengar suara Jin Siam memberi komando.

“Pendeta alim, enak saja kamu berteriak-teriak dari sana, maju juga sekalian jika berani” Tantang Ciu Sian yang disambut tertawa ringan dari Jin Siam melihat kedongkolan Ciu Sian.

Tapi Ciu Sian Sin Kay tidak mungkin berlama-lama bicara, karena kembali serangan membadai mengarah ke sisi kiri tubuhnya dan nyaris tanpa jalan keluar.

Tanpa pikir panjang akhirnya dikeluarkannya jurus-jurus ampuh dengan tenaga terukur dari Tah Kau Pang Hoat, tetapi meskipun jurusnya ampuh, tetap saja dia keteteran menghadapi serangan tujuh pedang tersebut yang sanggup bekerjasama sama baiknya dalam menyerang maupun bertahan.

“Barisan 7 pedang bersama menggugurkan langit” kembali komando dari Jin Siam Tojin. Tapi pada saat itu, sambil terkekeh-kekeh, Ciu Sian meneguk araknya dan kemudian juga menyelingi serangannya dengan tangan kiri menggunakan Pek Lek Sin Jiu dan tangan kanan dengan Tah Kauw Pang Hoat.

Ciu Sian sadar betul bahaya menggempur barisan itu, baik bagi ke-7 pendeta itu, maupun bagi dirinya sendiri. Karena itu, diapun mulai menggunakan Pek Lek Sin Jiu untuk menahan gempuran membadai dari barisan tersebut.

Tetapi dengan pukulan halilintar yang memang sakti dipergunakan menghadapi ilmu pukulan, hanya sanggup melencengkan pedang lawan, tetapi tak sanggup menahan 5 batang pedang lainnya yang harus dia hadapi dengan Tah Kauw Pang Hoat dan sisanya dihindari.

Ciu Sian memang sanggup menahan serangan membadai tersebut, tetapi nampaknya semakin lama dia akan semakin kepayahan, padahal pertandingan mereka bila dihitung sejak awal sudah mendekati 70 jurus, dan Ciu Sian Sin Kay nampak semakin terdesak.

“Barisan 7 pedang menantang bianglala”

Barisan Pedang kemudian bergerak semakin cepat dan menghadirkan cahaya gemilang dalamnya, dan segera membuat Ciu Sian Sin Kay menyadari bahaya dibalik cahaya gemilang itu. Dengan cepat dia kemudian mainkan langkah sakti pengemis mabuk tetapi dalam penggunaan jurus-jurus andalannya Hang Liong Sip Pat Ciang yang mampu bergerak cepat, keras dan handal.

Kembali benturan-benturan dan saling menghindar terjadi, jurus barisan tersebut sanggup dihadapi oleh Ciu Sian Sin Kay, bahkan kemudian mencoba membarengi dengan Ciu Sian Cap Pik Ciang yang mencampurkan Hang Liong Sip Pat Ciang dengan Pek Lek Sin Jiu. Bahkan langkah kakinya yang aneh tetapi mantap, mulai membingungkan barisan pedang.

Dan melihat itu, tiba-tiba Jin Siam Tojin berteriak, Barisan 7 Pedang mundur, dan dengan cepat dia mencelat menggempur Ciu Sian yang masih bersilat dengan Ciu Sian Cap Pik Ciang. Melihat serangan Jin Siam, kedua sahabat itu sambil tersenyum kemudian saling serang dengan serunya. Ciu Sian terdengar mengomel:

“Barisan 7 pedang bu Tong nyaris membuatku gila dan kehilangan kewaspadaan. Sialan kau pendeta alim”

“Makanya terpaksa aku yang maju, sebelum ada yang terluka karena benturan berat itu” jawab Jin Siam Tojin.

Tokoh ini sadar, bahwa baik Ciu Sian maupun Barisan Pedang mereka bakal terluka kalau dilanjutkan, karena yang memainkannya adalah murid tingkat pertama. Bila yang memainkannya para murid utama, maka Jin Siam Tojin tidaklah akan mengkhawatirkannya.

Kembali sebuah pertempuran dahsyat terjadi, kali ini antara kedua murid dari legenda-legenda persilatan yang masih hidup. Murid Wie Tiong Lan menghadapi murid Kiong Siang Han.

Hanya, Jin Siam Tojin sadar, bahwa dari perguruannya yang nempil menghadapi Ciu Sian justru adalah sutenya, sementara dia sendiri dengan toa suhengnya masih seusap dibawah kedua tokoh ini. Tetapi Ciu Sian yang memang senang bertempur, membentur-benturkan ilmunya, baik Pek Lek Sin Jiu maupun Hang Liong Sip Pat Ciang dengan Thai Kek Sin Kun dan Bu Tong Kiam Hoat yang dikuasai dengan sangat sempurna oleh Jin Siam Tojin.

Bahkan langkah sakti pengemis mabuk yang lihai juga bisa diimbangi dengan cio-siang-hui! Ilmu lari terbang dari Bu Tong Pai yang disempurnakan oleh Wie Tiong Land an diturunkan bukan hanya kepada murid-muridnya, tetapi juga diturunkan kepada tokoh-tokoh utama Bu Tong Pay.

Sudah lebih 50 jurus kedua kakek sakti ini bertukar jurus dan pukulan, tetapi keadaan masih tetap seimbang. Bahkan ketika Jin Siam Tojin mainkan Thai kek Sin Kiam, dan bahkan juga Liang Gie KIam Hoat, Ciu Sian Sin Kay yang memilih memainkan Tah Kauw Pang Hoat tetap bisa mengimbangi.

Tubuh keduanya yang bergerak berdasarkan langkah-langkah sakti dari perguruan masing-masing jadi seperti bayangan yang saling belit membelit. Meksipun hanya membekal buli-buli dan belum menggunakan ranting, tetapi Ciu Sian sanggup mengimbangi kedua ilmu sakti dari Bu Tong Pay tersebut. Tetapi untuk itupun si pengemis sudah dengan berkali-kali mereguk arak dari buli-bulinya yang selalu menambah semangat dan kekuatan, terutama kelincahannya menggunakan Langkah Sakti Pengemis Mabuk.

Dengan arak, Ciu Sian Sin Kay memang menjadi lebih bersemangat, terutama dalam menjalankan langkah kaki menurut Ilmunya “Langkah Sakti Dewa Mabuk”. Langkah-langkah sakti yang aneh namun ajaib yang cocok dengan keadaan dirinya yang pemabuk dan aneh, tetapi kokoh dan sangat efektif.

“Ji Suheng, ijinkan aku mencoba Ciu Sian Cap Pik Ciang pengemis angin-anginan ini” Tiba-tiba sebuah suara berdenging di telinga Jin Siam.

Jin Siam Tojin sangat gembira mendengar kedatangan sutenya yang sudah puluhan tahun raib dan tak bertemu itu. Sekaligus tertegun, bila sutenya muncul berarti ada sesuatu yang maha penting yang mungkin akan dan sedang berlangsung di Bu Tong San.

Tidak mungkin sutenya itu muncul tiba-tiba tanpa alasan satupun. Dan untuk hal yang satu ini, dia sudah teramat mengenal sutenya yang juga sangat mencitai Bu Tong Pay ini. Karena itu dengan tiba-tiba dia melejit tinggi, melontarkan sebuah serangan tajam dari Liang Gie Kiam Hoat yang kemudian mampu memaksa Ciu Sian Sin Kay untuk mundur berkelit, dan kemudian Jin Siam Tojin mengundurkan diri sambil berkata:

“Ciu Sian masih tetap digdaya, tapi biarlah suteku akan menemanimu bermain-main selanjutnya” Dan belum selesai dia bicara di depan Ciu Sian sudah berdiri seorang kakek lainnya, yang nampaknya belum setua Jin Siam Tojin, tetapi yang dikenal baik olehnya.

Ini dia, Sian Eng Cu Taihiap, murid Wie Tiong Lan yang selalu bertanding seurat dan seimbang dengannya. Entahlah, apa juga sebabnya hingga saat ini keduanya masih belum sanggup saling mengalahkan alias selalu seimbang dan setanding. Bukan baru sekali mereka bertanding, baik berlatih, maupun terbawa emosi keduanya untuk saling membuktikan kepandaian. Tetapi, pertarungan mereka selalu berakhir sama kuat.

Sementara itu, Ciangbunjin Bu Tong Pay dan beberapa anak murid Bu Tong Pay sudah menjura memberi hormat kepada salah seorang sesepuh mereka yang sudah sekian lama menghilang dari dunia ramai itu. Tetapi, Sian Eng Cu Tayhiap yang terkenal itu, sedang memusatkan perhatiannya kepada Ciu Sian Sin Kay.

“Susiok, terimalah salam hormat kami” Ciangbunjin malah yang mendahului memberi hormat.

“Sudahlah Ciangbunjin sutit, lupakanlah penghormatan itu. Biarkan aku mencoba-coba urat-urat liat pengemis pemabuk ini. Entah dia masih sekuat dulu atau sudah melempem” Jawab Sian Eng Cu Tayhiap sambil melirik Ciu Sian Sin Kay.

Keduanya memang sejak dulu saling menyegani dan tahu betul batas kekuatan masing-masing. Hanya, Ciu Sian Sin Kay berpikir, setelah menyempurnakan Pek Lek Sin Jiu sampai mendekati kemampuan suhunya dan bahkan menekuni Ciu Sian Cap Pik Ciang, apakah Sian Eng Cu masih sanggup menandinginya”?

Padahal, sementara itu, Sian Eng Cu Tayhiap sendiri sedang berpikir dengan cara yang sama dengan Ciu Sian Sin Kay. Apakah setelah semakin matang mendalami Liang Gie Sim Hwat dan menyempurnakan semua Ilmu-Ilmu Bu Tong Pay warisan gurunya.

Dan bahkan sama dengan Ciu Sian Sin Kay juga menekuni ilmu baru yang idenya datang dari gurunya dan dikembangkannya sendiri yakni Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) dengan memadukan sari dari Thai Kek Sin Kun dan Beberapa gerak sakti dari Liang Gie serta ilmu gerak Cio Siang Hui, masihkan Pengemis Sakti ini mampu menandinginya.

Meskipun keduanya sudah tahu bahwa lawan masing-masing sudah dan sedang menekuni ilmu baru, tetapi keduanya belum pernah saling bertanding lagi dengan bekal ilmu baru masing-masing. Padahal, baik Ciu Sian Sin Kay maupun Sian Eng Cu, sudah hampir mampu mematangkan ilmu gurunya masing-masing.

Ciu Sian sudah hampir mampu mematangkan Pek Lek Sin Jiu pada tingkat ke-7, sementara Hang Liong Sip Pat Ciang sudah sanggup dia mainkan dengan sempurna, hanya sayang dia kurang mampu menyempurnakannya karena pernah menikah. Sementara dilain pihak, Sian Eng Cu juga sudah sanggup menyempurnahkan Liang Gie Sim Hwat, meski masih belum nempil dengan capaian gurunya.

Disaat-saat saling menilai dan saling menghormat di kalangan Bu Tong Pay itu, Ciu Sian Sin Kay memecahkan kebuntuan:

“Li Koan, nampaknya tidak sedikit kemajuan yang kau capai selama menghilang dari dunia ramai”

“Ah, dengan Ciu Sian Cap Pik Ciang, tentu pengemis pemabuk tidak merasa takut denganku lagi” Sian Eng Cy Tayhiap atau namanya Tong Li Koan menjawab Sin Kay.

“Baik, jika tidak dicoba bagaimana lagi. Padahal sudah lebih 10 tahun kita tidak bergebrak lagi. Rasanya sudah rindu dengan kepalan tanganmu, asal saja kamu tidak benar-benar menjadi bayangan dan menjadi terlalu cepat bagiku” Demikian Ciu Sian sambil bersiap menyerang.

“Mari, akupun sudah siap” sambut Sian Eng Cu yang juga merasa senang mendapatkan lawan yang sepadan, lawan yang sudah tahunan tidak lagi pernah dijumpai dan ditempur.

Benturan pertama dengan tenaga Sinkang menunjukkan bahwa Ciu Sian Sin Kay masih bisa mengimbangi kekuatan Sian Eng Cu, bahkan nampaknya masih menang seusap. Tetapi dalam hal bergerak atau ilmu gerak, nampaknya Ciu Sian memangnya masih sanggup menandingi, meskipun sadar bahwa dia kalah seusap.

Dari gerak dan benturan pertama, masing-masing sudah tahu kelebihan dan kekurangannya. Ciu Sian nampak akan banyak bergantung pada Ciu Sian Cap Pik Ciang dan Pek Lek Sin Jiu, sementara Sian Eng Cu akan terus memaksa bergerak dan bergerak sesuai dengan kelemasan ilmu dan ilmu geraknya yang membuatnya memperoleh julukan Sian Eng Cu Tayhiap.

Keduanya sadar, sungguh bukan pekerjaan mudah untuk saling mengalahkan. Apalagi, ilmu-ilmu lama sudah saling kenal mengenal, baik kegesitan, keampuhan pukulan dan gaya menghindar. Maka seperti memiliki kesamaan pikiran, keduanya dengan cepat melakukan pertukaran ilmu untuk sekedar saling menjajaki kemampuan, dan keduanya saling mengagumi karena penguasaan ilmu-ilmu perguruan masing-masing yang semakin sempurna dan meningkat tajam.

Baik Ciu Sian maupun Sian Eng Cu sadar bahwa keduanya ternyata tidak menyia-nyiakan waktu dalam memperdalam Ilmu Perguruan masing-masing, benturan hanya akan berakibat sia-sia bagi keduanya.
 
Cui sian VS Sian eng cu



Bahkan ketika Ciu Sian meledakkan petir-petir dari tangannya dengan ilmu Halilintar, Sian Eng Cu juga melakukan gerak-gerak luar biasa gesit dari Liang Gie Kiam Hoat, melawan kekerasan dengan kelemasan.

Petir menyambar kemana-mana, tetapi tidak sanggup menangkap bayangan Sian Eng Cu yang bergerak lemas, bahkan kadang menerima lecutan petir itu dengan telapak tangannya dan tidak terbakar. Bahkan benturan itu menyebabkan keduanya meringis.

Maklum, tenaga keduanya memang berimbang, hanya berbeda tipis saja. Ledakan-ledakan dahsyat itu memekakkan telinga semua penonton di Bu Tong Pay yang menyaksikan pertandingan persahabatan yang langka ini. Untungnya latihan dan pertandingan ini tidak dilakukan di dalam ruangan, jika demikian, maka sudah pasti dinding ruangan akan melepuh dengan sengatan petir yang menyambar-nyambar dari tangan Ciu Sian Sin Kay. Sementara bayangan Sian Eng Cu Tayhiap, sudah sulit ditangkap oleh mata telanjang banyak orang.

Juga ketika Siang Eng Cu menyerang dengan Pik Leng Ciang atau Tangan Kilat menandingi Pek Lek Sin Jiu, maka nampaklah ledakan-ledakan yang hampir sama dengan kecepatan yang berbeda. Hanya, bila petir yang menyambar dari tangan Ciu Sian Sin Kay, maka Tangan Kilat Sian Eng Cu digunakan dengan kecepatan yang tinggi, dan hanya terlihat bagaikan kilatan tangan yang mengejar dan mengancam Ciu Sian Sin Kay.

Api dan dan kecepatan kilat seperti menyambar-nyambar dan membuat penonton dengan terpaksa harus lebih menjauh lagi. Bahkan Ciangbunjin Bu Tong Pay terkagum-kagum dengan kedua Pendekar Sakti yang sedang mengadu ilmu-ilmu langka dari kedua perguruan terbesar masa itu.

Keduanya seperti mencerminkan guru masing-masing yang bertanding dimasa mudanya, sama kuatnya, sama uletnya dan saling tidak mau mengalah. Keduanya menghabiskan waktu bertempur dengan menggunakan semua ilmu perguruan masing-masing, dan keduanya, seperti biasa tidak nampak ingin saling mengalah.

Maklum, karena keduanya menyertakan gengsi guru dan gengsi perguruan masing-masing. Pertempuran ini, nampak bahkan lebih seru dibandingkan dengan Jin Siam Tojin melawan Ciu Sian, karena keduanya bersahabt dengan baik. Tetapi dengan Sian Eng Cu, keduanya sudah lama saling bersaing di bawah pintu perguruan yang berbeda, karenanya keduanya nampak tidak mau saling mengalah. Bahkan bila bisa menang, mengapa harus kalah?

Ketika kemudian Ciu Sian mundur, sama dengan Sian Eng Cu mengambil jarak dan nafas, nampaknya keduanya akan memasuki taraf menggunakan kepandaian baru yang sama-sama sudah meyakininya selama 10 tahun terakhir. Ciu Sian meneguk arak dan menyiapkan Ciu Sian Cap Pik Ciang, sementara Sian Eng Cu menyiapkan Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa).

Perbawa kedua ilmu ini sudah bisa dibayangkan, karena merupakan sari dari pintu perguruan yang berbeda dan dibawa bertarung oleh kedua tokoh utama dewasa ini dari kedua pintu perguruan. Sehingga meskipun sebetulnya hanya merupakan pertandingan persahabatan, tetapi gengsi yang dipertaruhkan didalamnya tidaklah kecil, karena itu keduanya nampak berkonsentrasi penuh di bawah tatapan khawatir Jin Siam Tojin.

Tojin ini mengenal kedua orang tersebut dengan baik, yang satu adalah sahabat akrabnya, sementara yang satu adalah adik seperguruannya. Tentu dia berharap pintu perguruannya menang, tetapi diapun tidak ingin sahabat baiknya kemudian terluka parah. Menghentikan juga sudah sulit karena keduanya sudah berada dipuncak pengerahan ilmu masing-masing.

Dan Jin Sim Tojin tahu dan paham benar kemampuan kedua orang yang sedang mempersiapkan diri masing-masing untuk memasuki tahapan penggunaan Ilmu-ilmu baru mereka. Dan selagi Jin Siam Tojin berkhawatir dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya, tiba-tiba terdengar suara bentakan-bentakan yang dikeluarkan masing-masing masing-masing oleh Ciu Sian Sin Kay dan Tong Li Koan Sian Eng Cu Tayhiap:

“Hiyaaaaat – blaaaar” dan setelahnya nampak Ciu Sian seperti pontang panting ke kiri dan kekanan, sementara dari tangannya menderu-deru petir berganti-ganti dengan pukulan bagaikan Naga mengamuk.

Tetapi, disekelilingnya berkelabat-kelabat bayangan yang juga menyambar-nyambar dengan pukulan dan lebih banyak dengan berkelit dan lalu balas memukul. Keistimewaan Ciu Sian Cap Pik Ciang berada pada langkah kaki dan pukulan-pukulan berhawa keras, sementara Sian Eng Sin Kun terletak pada kelemasan dan kecepatan melontarkan pukulan hawa lemas atau im.

Akibatnya ledakan-ledakan keras terjadi diselingi pukulan-pukulan dengan hawa mendesis-desis tetapi dengan ketajaman yang mengerikan, tidak kalah merusak dengan Pek Lek Sin Jiu.

Jika perbawa Pek Lek Sin Jiu dan Hang Liong Sip Pat Ciang nampak dari ledakan dan hawa keras berpusing yang dihasilkannya, maka Sian Eng Sin Kun terletak pada angin pukulan yang mendesis-desis tajam dan sanggup memotong daun bagaikan pedang yang menabasnya.

Keistimewaan keduanya benar-benar dinampakkan dalam pertandingan kali ini, dan seperti juga 10 tahun sebelumnya, tiada dari kedua orang ini yang mampu mengendalikan pertempuran. Alias tiada yang bisa menarik keuntungan bagi kemenangannya.

Meskipun Sian Eng Cu memiliki gerak yang lebih mantap dan berkali-kali memperoleh peluang menyerang, tetapi pukulan-pukulan keras yang bertiup terus menerus membuat pakaiannya seperti berkibar-kibar. Terlebih keduanya harus berkonsentrasi menyalurkan kekuatan batin untuk mengisi perbawa lebih hebat pada kedua pukulan dan jurus yang dikembangkan.

Semakin lama, pukulan petir semakin mencengkram, semakin kuat ledakan dan daya rusaknya, karena nampaknya dalam jurus Ciu Sian Cap Pik Ciang, selingan penggunaan pukulan petir sudah dituntaskan pada tingkatan ketujuh meski belum sempurna benar.

Sementara Sian Eng Sin Kun juga sudah dimainkan sampai pada puncak penggunaannya oleh Sian Eng Cu. Akibatnya penonton harus semakin menjauh dan menjaga jarak, selain angin pukulan yang menusuk, juga menghindari perbawa yang lebih merusak karena tekanan tenaga batin yang menyertai pukulan-pukulan tersebut.

Bukan hanya telinga dan mata yang sakit dengan kecepatan gerak dan sambaran petir, tetapi juga efek dari ledakan-ledakan petir memang mengerikan.

Pada puncak penggunaan kedua ilmu tersebut, nampak Ciu Sian bergerak semakin lamban, terhuyung-huyung dan dikejar-kejar bayangan Sian Eng Cu. Sementara Sian Eng Cu sudah tidak kelihatan bayangannya mengelilingi Ciu Sian, tetapi benturan sudah makin jarang terjadi, nampaknya angin pukulan yang dimanfaatkan oleh masing-masing untuk memenangkan pertandingan.

Lingkaran pertarungan semakin meluas, penonton semakin menjauh kecuali Jin Siam tojin dan Ci Hong Tojin. Sementara itu nampaknya kedua bayangan tersebut semakin samar, Ciu Sian terhalang oleh petir yang mengelilingi tubuhnya, sementara Sian Eng Cu terus mengelilinginya bagaikan bayangan maut yang mengintai nyawanya.

Tetapi, seperti yang sudah-sudah, nampaknya tidak akan ada yang sanggup dengan telak memenangkan pertempuran, keduanya sadar akan hal tersebut, tetapi sudah sulit untuk menahan diri. Sebab siapa yang duluan menarik hawa pukulan akan menderita kerugian yang tidak kecil.

Akibatnya keduanya saling melibas dan saling melibat tanpa kemampuan lagi untuk memisahkan diri, bila memaksakan diri justru merugikan, tapi jika diteruskan, juga hampir dipastikan keduanya akan terluka sangat parah.

Keadaan menjadi sangat mengkhawatirkan bagi keduanya, dan nampak Jin Siam Tojin juga mulai merasa khawatir. Tetapi, dia sadar bahwa dia tidak berkemampuan untuk menghentikan mereka. Karena untuk menghentikan pertempuran ini, dibutuhkan kesaktian yang melampui kedua orang yang sedang bertanding itu.

Dalam keadaan yang sangat genting bagi keduanya, karena bisa dipastikan keduanya akan segera menderita luka dalam akibat pengerahan tenaga sampai pada puncaknya dan telah saling melibat, tiba-tiba berhembus angin pukulan yang luar biasa hebatnya.

Tenaga lembut menggempur Ciu Sian Sin Kay sehingga terpental kebelakang, sementara tenaga keras mendorong Sian Eng Cu ke belakang, tetapi keduanya tidak terluka. Mata tajam keduanya hanya sanggup dan sempat melihat sesosok bayangan berkelabat cepat dan kemudian menghilang dibalik gunung dengan memondong seorang anak kecil, nampaknya perempuan.

Tetapi, baik Jin Siam maupun Sian Eng Cu mendapatkan bisikan mendenging di telinganya:

“Berjaga di Bu Tong Pay, jangan tinggalkan Gunung, bangunkan Suheng kalian dari semedinya. Tunjukkan tanda ini (tiba-tiba di tangan keduanya sudah ada bunga seruni kecil, pengenal guru mereka). Kalian berdua temui aku di belakang gunung, jangan katakan kepada siapapun aku di belakang gunung, termasuk jangan kepada Ciangbunjin”.

“Luar biasa, kekuatan seperti ini hanya mungkin dimiliki generasi guru kita Li Koan” desis Ciu Sian Sin Kay setelah menyadari bahwa ada orang yang bisa memisahkan mereka dalam puncak pertarungan mereka barusan.

“Benar, jika bukan Kiong Locianpwe yang menolong kita, kemungkinan adalah Suhu sendiri. Aku terdorong oleh kekuatan yang kang yang luar biasa besar, yang bisa melakukannya hanyalah Kiong Locianpwee”

“Tapi aku terdorong oleh tenaga im kang, yang hanya mungkin dilakukan Kiang Locianpwee atau Wie Locianpwee” Ciu Sian Sin Kay menarik nafas dengan tetap menduga-duga, siapa gerangan yang menolong mereka?.

“Masih adakah tokoh misterius lainnya yang menyamai kekuatan 4 manusia dewa rimba persilatan”? Jin Siam menengahi, tentu dengan berusaha untuk menyamarkan bahwa gurunya sudah muncul dan tepat seperti dugaannya, sutenya muncul bukan tanpa alasan.

Nampaknya memang muncul bersamaan atau setidaknya mendahului guru mereka di Bu Tong Pay. Ada apakah gerangan? Adakah sesuatu yang hebat akan terjadi?

======================

Ciu Sian Sin Kay tidaklah berlama-lama di Bu Tong Pay, dengan didampingi oleh Jin Siam Tojin dan Sian Eng Cu, dia mendiskusikan apa yang dipercakapkannya dengan Kiang Hong di Markas Besar Kay Pang.

Dan nampaknya, Bu Tong Pay sudah sangat tanggap dengan keadaan terakhir dunia persilatan, bahkan mendukung penuh langkah yang diupayakan oleh Kiang Hong, yakni memperkuat Gunung (Bu Tong) dan kemudian mencoba menghubungi Lam Hay Bun untuk menjernihkan keadaan.

Mengenai perjalanan ke Lam Hay Bun, nampaknya Bu Tong Pay agak kesulitan menetapkan tokoh yang bisa mendampingi Kiang Hong dan Ciu Sian Sin Kay. Terutama karena Kay Pang telah mengerahkan sesepuh sekelas Ciu Sian, sehingga harusnya dari Bu Tong Pay juga adalah tokoh yang sejajar dengan Ciu Sian.

Dan saat itu, harusnya Sian Eng Cu atau Jin Siam yang tepat untuk menemani mereka, tetapi baik Jin Siam maupun Sian Eng Cu, nampaknya berkeberatan untuk menemani rombongan ke Lam Hay. Terutama karena keduanya menyadari bahwa Guru mereka secara tiba-tiba balik ke Bu Tong San dan maknanya tentu tidaklah biasa, pastilah dengan alasan yang luar biasa.

Karena itulah akhirnya Ci Hong Tojin akhirnya menugaskan wakil Ciangbunjin, seorang pendeta tua seangkatan dengannya yakni Ci Siong Tojin, yang masih terhitung sutenya untuk menemani Ciu Sian Sin Kay dan Kiang Hong menuju Lam Hay.

Yang aneh, Bu Tong Pay tidaklah sangat antusias untuk menemukan Pedang Bunga Seruni. Kendatipun kehilangan itu sangat memalukan mereka. Bahkan dalam percakapan dengan Ciu Sian Sin Kay, tidaklah terkesan Bu Tong Pay ngotot mencari Pedang Pusaka tersebut (Belakangan diketahui karena Wie Tiong Lan telah membisiki murid2nya bahwa sudah ada yang akan bertugas mendapatkan kembali Pedang tersebut).

Ciu Sian Sin Kay masih tinggal selama 2 hari di Gunung Bu Tong San, bercakap banyak dengan Jin Siam serta juga dengan Ciangbunjin Bu Tong Pay, bahkan juga mendiskusikan Ilmu Silat dengan Sian Eng Cu.

Baru setelah banyak bercakap dengan Jin Siam Tojin serta juga dengan Ciangbunjin Bu Tong Pay mengenai rencana menjaga perdamaian di Dunia Persilatan, akhirnya kemudian pada hari ketiga Ciu Sian Sin Kay meninggalkan Bu Tong Pay dan bersama Ci Siong Tojin.

Mereka kemudian berjalan menuju selatan untuk bergabung dengan Kiang Hong dan rombongan dari Lembah Pualam Hijau. Dan nampaknya perjalanan mereka, Kiang Hong dan rombongan, Ciu Sian Sin Kay, Ci Siong Tojin dan Kong Hian Hwesio yang menantang bahaya menuju Lam Hay, adalah perjalanan mereka yang terakhir.

Perjalanan mereka ke Selatan juga menandai dan mengawali puncak kekisruhan dunia persilatan. Karena mereka kemudian tidak pernah sampai ke Lam Hay Bun, tetapi juga tidak ketahuan jejaknya di Tionggoan. Dan untuk waktu yang lama tokoh-tokoh ini malah menghilang tak tentu rimbanya. Peristiwa tersebut, memukul sendi utama dunia persilatan di Tionggoan.

Kepanikan melanda banyak pihak. Dan bahkan rasa aman akibat tampilnya ke-4 Perkumpulan Silat utama tersebut menjadi sirna berganti rasa takut dan rasa seram. Karena ternyata perusuh dunia persilatan kali ini sungguh sangat mesterius, bergerak di kegelapan dan bahkan sanggup mencelakai tokoh tokoh utama rimba persilatan dewasa itu.

Jika para tokoh utama yang diandalkan masih bisa dicelakai, bagaimana pula dengan yang lainnya?

Perjalanan yang tak pernah diketahui apakah dilakukan atau tidak, sampaikah mereka ke Lam Hay Bun atau tidak, dimana jejak tokoh-tokoh itu jadinya, bagaimana nasib dunia persilatan kelak? Merupakan pertanyaan pertanyaan yang untuk waktu yang sangat lama menjadi misteri dunia persilatan.

Dan akibat misteri ini, dunia persilatan kehilangan pegangan. Kekisruhan semakin menjadi-jadi dan mulailah kelompok misterius yang awalnya bergerak dibalik samaran, jadi bergerak semakin berterang. Mereka yang membangkang, siapa saja, apakah perguruan silat, perusahaan ekspedisi, perkumpulan atau apapun, akan dengan cepat dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan mereka.

Bersamaan dengan itu, nama besar 4 Perguruan Silat terbesar tercoreng atas hilangnya beberapa tokoh utama Perguruan Silat tersebut pada waktu bersamaan. Bahkan Kay Pang yang ahli mencari jejak, juga tak mampu mengendus kemana para tokoh utama itu pergi, atau dimana mereka disembunyikan, atau apakah gerangan yang menimpa mereka.

Rahasia ini, sama seramnya dengan dunia persilatan yang mulai terang-terangan dikangkangi para durjana. Empat Perkumpulan Utama kelimpungan, sibuk dengan urusan dalam masing-masing. Dan juga dipusingkan oleh kehilangan beberapa tokoh utama mereka masing-masing. Terlebih Lembah Pualam Hijau.
 
BAB 7 Naga naga muda
1 Membersihkan kay pang




Hari itu, memasuki akhir bulan kesembilan, meskipun masih musim rontok, tetapi udara mulai terasa dingin menggigit. Karena itu, wajar apabila kemudian warung arak, warung teh ataupun rumah makan menjadi tempat yang sangat digemari orang, apalagi terutama warung arak.

Pada musim-musim dingin, biasanya warung arak bisa dijejali para pejalan kaki maupun kaum pengembara dari luar kota. Dan pada hari itu seorang pemuda yang berwajah tampan dan nampak selalu riang gembira, wajahnya seperti selalu tersenyum, berbadan sedang sedang memasuki Kota Cin an di lembah Sungai Kuning.

Pemuda itu sendiri nampak aneh, meskipun berpakaian tambal-tambalan ciri khas pengemis Kay Pang, tetapi pakaian tersebut nampak bersih. Bahkan kulit tubuhnya juga bersih. Dan nampaknya pemuda berwajah riang dan tampan tersebut langsung mencari sebuah Warung Arak.

Dan tidak lama berselang, dia nampak sudah duduk dalam warung dan menghadapi sepoci arak dimejanya.

Hari memang mulai menjelang sore, dan karena itu banyaklah pengunjung warung arak di kota Cin-an ini. Pemuda Pengemis berwajah riang itu nampak duduk disebuah sudut, dan tidak henti-hentinya menyebar senyum kepada siapa saja yang memandangnya.

Senyumnya itu memang menghadirkan rasa nyaman dan simpatik bagi siapapun yang memandangnya. Terlebih dengan menggunakan pakaian pengemis namun yang bersih, orang mengira bahwa Pemuda berwajah riang itu tentulah tokoh dari Kay Pang.

Tetapi meskipun kesimpatikannya mendatangkan rasa nyaman bagi yang memandangnya, tetapi tidak sanggup menghilangkan rasa tegang dan rasa takut di kalangan kaum persilatan yang berada di warung tersebut. Bahkan nampaknya rasa saling curiga antar para kaum persilatan nampak tersirat dari cara pandang satu dengan yang lain. Dan hal itu tidak bisa disembunyikan.

Di sebuah meja sudut yang sejajar dengan pemuda pengemis berwajah riang tadi, duduk empat orang yang dari dandanannya nampaknya adalah kaum rimba persilatan. Mereka masing-masing membekali diri dengan Pedang, kecuali salah seorang diantaranya nampak membekal sebuah Golok.

Mereka nampak bercakap-cakap dengan serius, dan sepertinya sedang membahas keadaan dan kondisi terakhir dunia persilatan. Terdengar mereka kemudian bercakap-cakap seputar keadaan rimba persilatan:

“Tan Hengte, apakah kau orang berpikir bahwa keadaan yang buruk ini sudah tiada harapannya lagi”? Seorang yang berwajah brewokan dan berbadan tegar nampak berbisik sambil bertanya kepada orang yang dia panggil dengan nama she Tan tadi.

“Saudara Si, coba kau bayangkan, bahkan seorang Kiang Bengcu yang sakti mandraguna lenyap tak ketahuan jejaknya. Kuil Siauw Lim Sie di Siong San kecolongan kitab pusaka Tay Lo Kim Kong Sin Kiam, Pedang Bunga Seruni bisa dicolong dari Bu Tong Pay, sementara Kay Pang sendiri berhasil dibelah menjadi 2 aliran yang saling bermusuhan. Apa kau pikir ada perkumpulan lain yang nempil melawan 4 perkumpulan terbesar ini”? jelas orang yang dipanggil she Tan tersebut.

“Tapi apakah keadaannya memang sudah tak ketulungan lagi” Tanya seorang yang lain, yang duduk tepat didepan orang she Tan itu. Nampak dari tampangnya dia juga sangat penasaran.

“Bahkan kekuatan Kun Lun Pay, Tiam Jong Pay, Hoa San Pay, terus menerus dirongrong untuk menyatakan takluk. Selebihnya, Go Bie Pay bahkan tercerai berai dan baru mulai seorang penerusnya tampil untuk menyatukan dan menegakkan kembali Go Bie Pay. Adakah kemungkinan melawan kekuatan kekuatan yang semakin mencengkeram dunia persilatan sekarang ini?, sulit untuk dikatakan”

“Jika demikian, apakah tampaknya keadaan ini akan dibiarkan dan tidak ada lagi perlawanan”? Tanya si brewok she Si kembali, nampaknya selain penasaran, dia juga sangat berangasan, tetapi jelas penuh semangat.

“Apakah masih ada kekuatan yang nempil dengan kekuatan yang sekarang begitu menghadirkan rasa takut itu?” SI orang she Tan, malah balik bertanya kepada kawan-kawannya.

“Siauw Lim Sie kan masih berdiri, Bu Tong dan Kay Pang juga, Lembah Pualam Hijau meski menutup diri tapi masih banyak jagonya” tambah Brewok she Si, tetap penasaran.

“Tapi ingat, setengah Kay Pang terutama di bagian utara mereka miliki dan kuasai. Setelah itu, masih ada juga kekuatan Lam Hay Bun yang mulai memasuki Tionggoan melalui penguasaan sungai Yang Ce yang nyambung ke laut, belum lagi kabarnya juga ada jago-jago dari Tang ni (Jepang) yang juga ikut berduyun masuk ke Tionggoan dan lebih banyak bergabung dengan kelompok perusuh tersebut. Dan adalagi konon 2 jago dari India yang akan berusaha mencari Kiang Cun Le. Benar, meskipun mereka tidak bermusuhan dengan kaum persilatan, tetapi lebih condong bersekutu dengan Lam Hay Bun” jelas si orang she Tan.

“Benar-benar memang sangat runyam jika demikian” keluh seorang yang satu lagi yang sejak tadi diam saja.

Sementara itu, si pemuda berwajah riang nampak terus dengan santai menikmati araknya. Meskipun demikian semua percakapan di meja sudut sejajar dengannya diikutinya dengan saksama.

Bahkan tiada satupun yang terlewatkan oleh telinganya yang sangat tajam itu. Tetapi, ditutupinya dengan seolah olah terus sibuk dengan makanannya.

Kembali terdengar si orang she Tan melanjutkan, sambil mengomentari keluhan kawannya yang terakhir;

“Benar, memang sangat runyam. Bahkan mereka sekarang sudah mulai berani mengganggu secara langsung dan terang-terangan. Baik terhadap Bu Tong Pay maupun Siauw Lim Sie”

“Maksudmu”? tanya si Brewok she Si yang malah bertambah penasaran.

Nampak si manusia she Tan menarik nafas masygul dan kemudian menerangkan;

“Sekarang ini, mereka sudah berani berlawanan terang-terangan dengan Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie. Beberapa bulan lalu, terjadi bentrokan antara Pendeta Kong Hian Hwesio dengan beberapa tokoh dari kelompok perusuh ini. Begitu juga dengan Bu Tong Pay, sudah berani mereka tempur secara terang-terangan”

“Benar-benar mereka sudah sangat berani saat ini” keluh orang yang di depan manusia she Tan itu.

“Ya bahkan konon merekapun membangun kerjasama dengan Kerajaan Cin di Pakkia (Peking), terutama melalui Patih kerajaan utara itu. Itu juga sebabnya Kay Pang sekte utara bisa direbut dan terpisahkan dari Kay Pang di bagian Selatan. Dan dukungan itu jugalah yang membuat kelompok perusuh ini bisa menjadi lebih berani
berhadapan dengan Kay Pang, Siauw Lim Sie dan bahkan Bu Tong Pay dan Lembah Pualam Hijau”

“Tapi anehnya, menurut selentingan kabar, tidak ada seorangpun yang tahu dimana sebenarnya markas kelompok ini. Begitu rahasia” sela orang yang di depan she Tan tadi.

“Benar, mereka memang masih tetap misterius, meskipun mereka kini bekerja terang-terangan. Mereka sudah punya cabang di hampir semua kota besar di Sung Selatan maupun Cin di utara” papar orang she Tan.

Sedang seru-serunya dan nikmatnya setiap orang menikmati araknya, dan sedang seru-serunya mereka bercakap-cakap, baik bisik-bisik maupun dengan seuara keras dan tawa ngakak, tiba-tiba berdesing sebuah piauw.

Dan tepatnya di tengah-tengah warung, di meja paling tengah, telah menancap sebuah tanda pengenal. Tanda pengenal seekor naga tertera di tengah piauw tersebut. Dan tidak sampai hitungan 5, hampir semua meja yang memang tidak banyak, sudah dikosongkan.

Semua pengunjung dengan segera membayar rekeningnya dan dengan tergesa-gesa meninggalkan warung tersebut, termasuk juga 4 orang yang tadinya bicara dengan bisik-bisik dan suara lirih seputar keadaan dunia persilatan. Tetapi, ke-4 orang dari dunia persilatan ini nampak rada heran melihat seorang pemuda berjubah pengemis tapi bersih masih tetap santai dengan araknya.

Bahkan wajahnyapun tetap tersenyum-senyum seperti tidak terjadi satu apapun. Si Brewok yang terkesan dengan keramahan dan senyum pemuda itu masih sempat mengingatkan,

“Orang muda, tanda pengenal Thian Liong (Naga Langit) sudah muncul, lebih baik segera menyingkir supaya tidak menjadi korban” katanya sambil bergegas keluar warung.

Dan memang, tidak lama setelah warung itu kosong dengan sangat cepat, muncul 5 orang yang begitu menerobos memasuki warung, segera menyapu keadaan warung dengan mata beringas. Dan semakin beringas ketika melihat seorang pemuda menyapa mereka dengan senyuman simpatik. Si Pemuda bersikap seakan tiada sesuatu yang luar biasa yang sedang terjadi.

Tetapi senyuman itu ternyata tidak cukup ampuh melunakkan hati kelima orang beringas itu. Malah sebaliknya.

“He kongcu miskin, apakah engkau tidak melihat tanda pengenal Thian Liong itu”? Tanya seorang dari kelima orang beringas itu

Si pemuda memandang sebentar kepada si penanya yang bersikap beringas itu, dan menyahut:

“Ach, mataku khan belum buta, jadi jelas kulihat” jawab si pemuda tetapi tetap dengan senyum.

“Apakah kau tahu arti dari tanda tersebut” seorang yang lain dari kelima pendatang beringas itu bertanya berang.

“Tidak, bisa tuan jelaskan”? tanya si pemuda santai

“Dimana tanda pengenal thian liong muncul, maka siapapun dilarang untuk berada di dekatnya”

“Maaf, tapi aku belum tahu. Dan karena kebetulan warung ini sudah kosong, silahkan kalian menempati kursi-kursi yang kosong saja, rasanya tidak enak minum arak sendirian” si pemuda tetap santai dan senyum

“Kurang ajar, kamu belum mengenal Thian Liong rupanya”? seorang dari 5 pendatang beringas itu bertanya, tetapi sekaligus sudah langsung menyerang dengan sebuah tepukan kearah bahu kanan si pemuda.

Tapi si pemuda seperti tidak sadar dan tetap melanjutkan menunjuk-nunjuk kursi kosong yang tersedia di ruangan warung tersebut. Tetapi, gerak-gerak menunjuk sembarangan itu sudah mampu membuat tepukan si orang beringas luput.

Bahkan ketika melanjutkan tepukan menjadi pukulanpun, dengan gaya seakan sudah waktunya duduk di kursi, pukulan itupun luput dengan sendirinya. Bahkan si pemuda menunjukkan wajah seakan tidak tahu jika dia baru saja diserang 2 kali. Bahkan kemudian terdengar dia berkata:

“Bagaimana, apakah kalian tidak ingin menggunakan kursi-kursi kosong itu untuk menikmati arak di sore yang dingin ini”? tanyanya tetap dengan nada biasa, riang dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

Tetapi si penyerang tadi menjadi semakin gusar. Maka sambil menggeram, dia kemudian melangkah maju untuk menyerang lebih dahsyat lagi. Tetapi belum sempat pukulan yang lebih dahsyat dikerahkan, tiba-tiba dia merasa seperti ada sebuah tenaga yang menahannya untuk bergerak lebih jauh.

Bahkan kemudian tenaga yang menahannya itu, diiringi dengan kumandang sebuah suara bentakan. “Tahan”, dan dipintu masuk sudah berdiri dengan keren seorang yang bertubuh besar dan kekar. Orang itu berjubah hitam dan nampak gagah menyeramkan.

Sementara di belakangnya, juga berdiri 3 orang lain yang berdandanan hampir sama. Hanya saja, mereka memiliki perbawa yang kurang dibanding orang yang didepan mereka. Jelas bahwa orang yang berwibawa dan berteriak menahan serangan tadi adalah pemimpin para pendatang yang baru tiba itu.

“Jit Hui Houw (Tujuh Harimau Terbang), kalian harus lebih sopan melayani sahabat. Biarkanlah lohu minum-minum arak sebentar dengan anak muda yang perkasa ini” Si pendatang yang rupanya pemimpin dari rombongan yang ingin menikmati arak ini, menegur Tujuh Harimau Terbang.

Kebetulan dari ketujuh orang, yang saat itu hadir hanya berlima, karena 2 yang lain sudah tewas terbunuh dalam tugas-tugas yang dibebankan sebelumnya.

“Baik tancu (pemimpin Cabang)” Seru si penyerang. Nampak jelas dia sangat menghormat orang yang baru datang itu.

“Kalau begitu, silahkan tancu mengambil tempat di meja tengah saja” Salah seorang yang nampaknya pemimpin dari Harimau Terbang mempersilahkan si Pemimpin. Tempat duduk sang tancu, baik kuris maupun meja dibebenahi. Dan kemudian sang Tancu mengambil tempat duduk di meja tengah ruangan warung arak itu. Setelah itu, si Pemimpin kemudian duduk dan berpaling kepada si Pemuda riang, dan terdengar seperti menawarkan:

“Entah saudara muda bersedia menemani lohu untuk menikmati air kata-kata ini ataukah tidak”? sebuah tawaran yang tentu saja sangat simpatik dan berbeda 180% dengan Jit Hui Houw yang tinggal lima orang itu.

“Ditawari oleh orang yang lebih tua dan terhormat, sungguh tidak sopan untuk ditolak” si Pemuda sambil tertawa riang kemudian berjalan dan bergabung bersama si pemimpin cabang. Dan kemudian dengan tidak canggung dia duduk tepat berhadapan dengan si pemimpin.

Si pengundang, yang ternyata tancu atau pemimpin cabang daerah Cin an, memandang kagum si pemuda. Sungguh sportif dan berani, tidak mengenal takut.

“Hahahaha, sungguh seorang yang berani dan selebihnya sangat menghormati orang tua, kagum, sungguh lohu kagum”

“Sungguh tidak menyenangkan bila menolak undangan orang yang lebih tua dan terhormat” balas si pemuda.

“Keberanianmu untuk tidak menyingkir dari tempat dimana tanda pengenal Thian Liong hadir, sungguh mengagumkan” si pemimpin berdesis. Sementara semua Hek Houw sudah menempati meja di sudut, demikian juga para pengawal si pemimpin sudah menempati meja di belakang si pemimpin. Tentu mereka memang harus menjaga keselamatan sang tancu.

“Ach, aku hanya sayang saja, arakku belum habis terus harus ditinggal pergi. Kan namanya tidak menghormati arak dan tidak menghargai uang yang dibayarkan untuk arak itu” Si Pemuda riang tetap bicara dengan penuh senyum di wajah.

“Dan apakah kalau tidak salah tecu sedang berhadapan dengan Hek-tiauw Lo-Hiap (Pendekar Tua Rajawali Hitam) seorang tancu Thian Liong dari Koita Cin an ini?

“Sungguh tajam mata kongcu, sementara lohu malah sama sekali belum mengenalmu” Si pemimpin sedikit tersentak, tetapi tetap tenang. Toch hanya seorang muda pemberani, dan nampaknya sedikit membekal kepandaian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Apalah artinya nama, tapi bilapun Hek Tiauw Tancu membutuhkan namaku, maka sebutlah Si-yang-sie-cao, begitu orang-orang memanggilku” si Pemuda riang akhirnya menyebutkan namanya.

“Hm, kiranya engkau yang disebut orang dengan Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah), seorang pengemis muda yang baru-baru ini angkat nama“.

”Ach, orang memang mengada-ada . Mungkin karena siauwte senang tersenyum dan jarang marah, maka kawan-kawan sering menyebut ada matahari diwajahku, jadinya orang senang berkawan denganku“

”Hebat, hebat, semuda ini sudah angkat nama di kalangan pengemis, sungguh patut diucapkan selamat dengan secawan arak“ Hek Tiauw Tancu mengangkat cawan menghormati Si-yang-sie-cao. Si Pengemis bermuka riang tentu tergopoh-gopoh menyambut ucapan selamat berkenalan itu.
 
2 Si yang sie cao





Setelah beberapa cangkir arak berpindah ke perut, akhirnya Hek Tiauw berkata perlahan:

”Sungguh senang memiliki sahabat seriang Si-yang-sie-cao. Tetapi sayangnya peraturan perserikatan kami mengharuskan lohu memberi 2 kemungkinan atau pilihan kepada kongcu“

Wajah si pengemis yang menyebut panggilannya Si yang sie Cao itu tidak berubah, tetap riang tetapi dengan heran bertanya:

”maksud tancu“?

“Berlaku aturan di kalangan Thian Liong Pang, bahwa siapa yang telah melihat tanda pengenal Thian Liong dan tidak menyingkir, maka bagi yang anggota bila tidak menyambut dengan hormat, akan dihadiahi kematian. Dan bagi yang bukan anggota, hanya diberikan 2 (dua) pilihan.....“ Jelas Hek Tiauw Tancu.

”Hm, pilihan apa gerangan tancu“?

“masuk bergabung dengan Thian Liong Pang, atau kalau tidak, dengan terpaksa harus dilenyapkan alias dibunuh“

”Hahahahaha, sungguh aturan yang aneh. Sayangnya sudah tidak mungkin bagi Si-yang-sie-cao untuk berpindah perguruan“

”Ya, sudah bisa lohu duga. Justru karena itu, pilihan kedua sungguh sangat memberatkan lohu. Terlebih karena harus bertindak atas orang yang begitu simpatik semacam kongcu“

”Tidak ada yang perlu disesalkan Tancu. Hanya, bila tidak keberatan, bolehkah pelaksanaan pilihan kedua itu dilakukan di lain tempat“?

“Tentu, tentu. Bagi orang sesimpatik Kongcu, biarlah lohu banyak memberi kelonggaran, dan harap tidak disesalkan. Biarlah kita bertemu setengah jam lagi di pintu utara, lohu percaya kongcu akan datang“
Kedua orang yang membicarakan pilihan mati hidup dan bertarung dalam suasana persahabatan sungguh sangat mengherankan.

Tentu sungguh aneh. Bagi Hek Tiauw Lo Hiap, pekerjaan membunuh bukan pekerjaan yang asing. Sebaliknya malah, karena dia sudah banyak dan terlalu sering membunuh orang. Karena itu, membicarakan pembunuhan dan kematian bukanlah barang asing dan baru baginya.

Dan dia bisa atau sanggup membicarakannya tanpa perasaan. Tetapi, memang dia merasa simpatik terhadap Si-yang-sie-cao. Bahkan merasa suasana yang aneh dengan sikap dan ekspresi bersahabat pemuda pengemis itu.

Tetapi, diapun tidak merasa keberatan untuk melaksanakan kewajiban bagi pelanggar tanda kepercayaan Thian Liong Pang. Sebuah tanda yang hanya dimiliki petinggi Thian Liong tingkat Tancu ke atas, dan harus ditegakkan wibawanya. Jika tidak, dia yang akan kehilangan bukan hanya jabatan, tetapi bahkan kepalanya.

Dan tentu, dia lebih memberatkan kepalanya ketimbang kepala orang lain.

Sementara bagi Si-yang-sie-cao, membicarakan pertarungan dan dibunuh, anehnya juga seperti sebuah hal yang biasa. Bahkan dia masih menunjukkan rasa humor dan riang gembiranya. Padahal dia terancam di bunuh oleh Hek Tiauw, seorang tancu Thian Liong Pang di Cin-an.

Bahkan dengan bantuan 5 orang dari Jit Hui Houw dan 3 orang lain dari Thian Liong Pang, nampaknya membunuh seorang Si-yang-sie-cao bukanlah perkara yang terlalu sulit. Setidaknya demikian dalam perhitungan Hek Tiauw. Tetapi sayang, kali ini Hek Tiauw sudah salah hitung.

Dia mengira Si-yang-sie-cao adalah seorang pengemis muda yang dengan empuk dapat ditaklukkannya, dihukum dan kemudian dibinasakannya seusai aturan perkumpulan. Dia menyangka bahwa anak muda atau pengemis muda ini terlampau dibesar-besarkan namanya pada 2 bulan terakhir ini.

Dia sama sekali buta dengan latar lain dari pengemis muda riang gembira ini. Dan kesalahannya, dia tidak pernah berusaha menyelidiki latar belakang pemuda ini. Jika dia tahu, dia akan berpikir seribu kali untuk mengganggunya. Setidaknya dengan kekuatan yang terkesan pas-pasan.

Hek Tiauw Lo Hiap adalah seorang pendekar tua yang berdiri bebas, bisa melakukan kejahatan dan bisa pula melakukan kebaikan. Perbuatannya sering didasarkan atas mood atau suasana hatinya. Kebetulan, moodnya sedang bagus ketika bertemu Si-yang-sie-cao, karena itu dia suka bergurau dan banyak bercakap.

Selain, memang Si-yang-sie-cao sendiri orang yang supel, pandai bergaul dan memiliki kemampuan menarik simpati orang lain melalui senyum dan gaya bicaranya. Dan sekarang, keduanya berdiri berhadapan karena Hek Tiauw memang harus menegakkan wibawa perkumpulannya, dan Si-yang-sie-cao tentu tidak ingin mati konyol.

Anehnya, ketika akan membuka pertarungan, keduanya masih dalam suasana bersahabat. Wajah penuh senyum Si yang sie Cao masih belum hilang dari wajahnya. Wajah Hek Tiauw juga tidak diliput bara dan amarah untuk membinasakan lawan. Sungguh suasana yang kontras dan membingungkan.

“Haiit“, Hek Tiauw Lo Hiap akhirnya memutuskan membuka serangan, dan sesuai dengan namanya jurus andalannya adalah Hek Tiauw Kun Hoat. Nampaknya dalam bertarung dia tidak mengenal basa-basi, begitu menyerang langsung ingin menamatkan riwayat mangsanya.

Cakar-cakar yang nampak menyeramkan ditambah dengan jubah hitamnya membuat gerakan Hek Tiauw jadi nampak mengerikan. Tangannya bergerak cepat, terulur pesat untuk mencengkram peipis kanan si anak muda. Tetapi sayang, yang dihadapinya kali ini adalah seorang Pengemis Muda yang sakti.

Dengan langkah-langkah santai, Si-yang-sie-cao menghindari semua serangan yang dilakukan Hek Tiauw. Bahkan kibasan lengannya beberapa kali menghalau serangan-serangan Hek Tiauw bila datang terlampau dekat. Dan bahkan pada kibasan ketiga, terjadi benturan yang cukup keras:

“Blaar, desss“ Hek Tiauw terdorong ke belakang, sementara Si-yang-sie-cao tetap tersenyum ditempatnya.

”Sudahlah Tancu, perkelahian ini tidak ada gunanya“ desis Si-yang-sie-cao yang juga sebenarnya merasa sayang kepada Hek Tiauw. Tetapi Hek Tiauw Lo Hiap mana mau terima, dia malah menyerangnya semakin ganas, semakin cepat dan semakin berbahaya.

Beberapa kali cakar rajawalinya menyambar dan berusaha menjangkau tempat tempat mematikan ditubuhnya. Serangannya menjadi lebih berisi dan lebih mengerikan. Sementara Si-yang-sie-cao masih melawannya dengan santai, terkadang menangkis pukulan dan terkadang menghindarinya.

Dari benturan tenaga, dia segera mengerti bahwa Hek Tiauw masih dibawahnya, masih jauh malah. Sementara soal kegesitan dan ginkang, apalagi. Karena itu Si-yang-sie-cao paham bahwa tidak perlu dia mengeluarkan ilmu-ilmu ampuhnya untuk mengalahkan Hek Tiauw.

Kemanapun arah dan sasaran amukan Hek Tiauw dengan mudahnya dipunahkan Si-yang-sie-cao, bahkan beberapa kali Hek Tiauw terseret oleh gerakan menyedot yang dilakukannya.

Menyadari bahwa dia sulit menang, akhirnya Hek Tiauw yang tadinya optimist menjadi khawatir dan terkejut. Meski dia menduga Si-yang-sie-cao memiliki kepandaian, tetapi diluar sangkanya jika kepandaiannya ternyata bahkan jauh melampaui dirinya sendiri.

Setelah mengeluarkan banyak kepandaian andalannya, Si-yang-sie-cao nampak masih santai-santai saja. Bahkan anak muda itu, belum sekalipun menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Karena itu, watak kependekarannya sirna dan dengan keras dia memerintahkan anak buahnya untuk maju mengeroyok.

Tidak tanggung-tanggung, kali ini baik 5 orang sisa dari Jit Hui Houw dan 3 orang lain pengawalnya maju menyerang dengan pedang dan golok. Begitu mengepung Si-yang-sie-cao, langsung mereka menghujaninya dengan gempuran dan serangan, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata tajam.

Si-yang-sie-cao menyadari keadaan berbahaya, karena itu dengan cepat tangannya menggait sebuah ranting pohon dan memainkannya secara lihai. Semua serangan lawan dengan sangat mudah dipunahkannya, bahkan beberapa dari pengeroyoknya menerima lecutan ranting kayu ditangan yang segera terasa pedih.

”Tah Kauw Pang Hoat Kay Pang“ berdesis Hek Tiauw khawatir. Benar saja, tidak sanggup mereka bersembilan untuk menembus permainan ranting Si-yang-sie-cao, ranting itu seperti berada dimana-mana.

Bahkan ranting itu tidak putus ditabas pedang, sebaliknya malah mementalkan pedang dan membuat tangan pemegangnya menjadi perih. Untungnya Si-yang-sie-cao tidak menganggap mereka musuh besar. Karena itu dia tidak berniat menjatuhkan tangan keras atas orang-orang ini.

Tetapi, kekesalan karena mengusir banyak orang dari warung tetap dijadikan alasan untuk menghukum kelompok takabur ini. Terlebih terhadap 5 Harimau yang rada kurangajar itu. Setelah bergerak dengan cepat beberapa kali, tiba-tiba terdengar lengkingan dari mulut Si-yang-sie-cao, diiringi gerakan yang cepat, dia kemudian memutar ranting di tangannya, dan beberapa saat kemudian semua senjata tajam di tangan 5 orang Hui Houw dan 2 pedang di tangan pengawal Hek Tiauw melayang entah kemana.

Bahkan tidak lama kemudian, terdengar bunyi “duk, duk“, dan Hek Tiuaw serta pengawal yang satu lagi tergetar mundur sambil mendekap dada yang terkena sodokan Si-yang-sie-cao. Bahkan, kelima harimau beringas itu sudah terduduk karena terkena gempuran si anak muda.

Nampaknya mereka terluka. Semua lawannya diberi persenan yang berbeda-beda. Dan setelah itu, semuanya hanya sempat mendengar suara Si-yang-sie-cao.

”Lain kali, jangan tunjukkan kegarangan kalian di hadapan Si-yang-sie-cao. Kali ini aku tidak sedang muram dan banyak kerjaan, biarlah gebukan kali ini menjadi peringatan bagi kalian“.

Begitu lenyap suara itu, Si-yang-sie-cao pun lenyap dari pandangan mereka. Begitu cepat anak muda itu bergerak dan bagaikan menghilang dari hadapan mereka. Berita munculnya seorang pengemis muda bernama Si yang sie Cao dengan cepat menyebar di Cin an, bukan hanya kaum pengemis yang sibuk, tetapi Thian Liong Pang juga menjadi sibuk. Karena mereka sudah dipermalukan si anak muda.

===================

”Anak muda awas“ Sebuah serangan tiba-tiba mencegat Si-yang-sie-cao, si pengemis muda. Tapi karena si penyerang memperingatkan Si-yang-sie-cao terlebih dahulu. Karena itu si anak muda masih mampu mengantisipasi serangan dengan baik.

”Blar“, terdengar benturan tangan yang keras terjadi. Si-yang-sie-cao si anak muda segera maklum lawan kali ini jauh lebih kuat dari rombongan tancu Than Liong yang dihadapinya barusan.

Dan sekarang dihadapannya berdiri seorang yang nampaknya tidak terlalu besar, malah agak kurus. Orang ini memiliki suara yang agak melengking nyaring, tetapi tubuhnya diselubungi dengan kain hitam, kecuali bagian wajahnya.

Si-yang-sie-cao terkesiap melihat wajah dan kepala yang riap-riapan seperti tak terurus dari penyerangnya. Tetapi dia tidak memiliki waktu yang lama untuk meneliti lebih detail karena si penyerang kembali menghantamnya. Kali ini malah lebih berat, karena itu dia tidak berani main-main lagi. Secepat penyerangnya bergerak, secepat itu pula dia bereaksi.

Dan karena menyadari penyerangnya kali ini lebih hebat, maka kali ini dia memutuskan menyambut keras lawan keras.

”Duar“, kembali terjadi benturan keras. Si-yang-sie-cao yang telah mengerahkan setengah bagian tenaganya merasa bahwa tenaga penyerangnya cukup mampu mempengaruhinya. Terlebih ketika kemudian benturan demi benturan terjadi, dan diapun terpaksa menambah tenaganya sampai 6 bagian.

Tetapi, semakin lama dia diserang dan menyerang, segera nampak keanehan dari gerakan lawannya. Terutama ketika dengan terpaksa dia terus menyerang lawannya dengan jurus-jurus ampuh dari Tah Kauw Pang Hoat, unsur-unsur pergerakan yang sama juga dilakukan oleh lawannya.

Lama-kelamaan diapun maklum bahwa lawannya tidak berniat melukainya. Tetapi juga belum berniat menghentikan penyerangan, bahkan kemudian mainkan Hang Liong Sip Pat Ciang yang juga dikenalnya baik. Akhirnya serang menyerang terjadi, karena menggunakan 2 ilmu yang sama, perkelahianpun terkesan menjadi sebuah latihan.

Kematangan nampak ditunjukkan oleh si penyerang, tetapi variasi dan pengenalan kedalaman ilmu justru ditunjukkan oleh Si-yang-sie-cao si anak muda. Berganti-ganti Tah Kauw Pang Hoat dan Hang Liong Sip Pat Ciang dimainkan oleh si penyerang dengan hebat.

Tetapi tetap tidak mampu mengalahkan Si-yang-sie-cao yang juga menggunakan ilmu yang sama. Akhirnya si penyerang tertawa, tawa yang khas, dan kemudian menghentikan gerakannya sambil berkata;

”Dari tokoh Kay Pang mana engkau memperoleh kepandaianmu“ Tanya si penyerang sambil melepas jubah hitamnya. Dan tampaklah pakaian sebenarnya yang merupakan pakaian pengemis penuh tambalan dan nampak sangat dekil.

“Memberi hormat kepada sesepuh Kaypang“ Ujar Si-yang-sie-cao yang kemudian memberi hormat bahkan kemudian bersujud. Karena dia sadar di hadapannya adalahs eorang tokoh Kay Pang. Dan memang, dia sedang berhadapan dengan si Pengemis yang ternyata adalah Pengemis Tawa Gila, Hu Pangcu Bagian Luar dari Kay Pang. Seorang yang menerima tugas khusus dari Kay Pang Pangcu, sebelum sang Pangcu menghilang.

”Hm, siapakah engkau, dan dari siapa kamu belajar“ Tanya si Pengemis Tawa Gila.

”Siauwte Tek Hoat, she Liang, memberi hormat kepada Hu Pangcu, sekaligus penolong tecu dan adik tecu“ Sahut Si-yang-sie-cao yang ternyata adalah Liang Tek Hoat. Tentu pembaca masih ingat sepasang anak Pangeran Liang Tek Hong yang diselamatkan Pengemis Tawa Gila waktu kecil, tetapi yang kemudian menghilang. Peristiwa yang membuat Pengemis Tawa Gila dan Kong Hian Hwesio dari Siauw Lim Sie kalang kabut.

Dan anehnya, ketika dicari tidak diketemukan, tetapi ketika tidak dicari malah nongol sendiri. Sebuah kejutan bagi Pengemis Gila Tawa.

”Hahahahahaha, dicari tidak kedapatan, tidak dicari malah muncul sendiri. Mari bangunlah anak muda“ Si Pengemis Tawa Gila sambil tertawa, tawa khasnya, kemudian mendekati Tek Hoat sambil membimbingnya berdiri.

”Luar biasa, kamu segagah ayahmu, malah lebih hebat lagi dengan kepandaianmu itu. Tapi, siapakah gurumu, apakah sesepuh Ciu Sian yang pemabuk? Dimana pula adikmu sekarang ini, dan sudahkah engkau menemui orang tuamu“? Banyak sekali pertanyaan si Pengemis.

Terlebih karena dia kagum melihat Tek Hoat yang sudah bahkan melampaui kemampuannya. Dan juga mengagumi watak gagahnya yang tidak turun tangan kejam atas kawanan Thian Liong Pang tadi waktu diintipnya.

”Kepada Hu Pangcu, biarlah tecu berterus terang. Suhu Kiong Siang Han mengangkatku menjadi murid penutup, dan .... eh, Hu Pangcu, kau“ Tek Hoat kebingungan, karena ketika menyebut gurunya adalah Kiong Siang Han, Pengemis Tawa Gila justru menjura memberi hormat kepadanya sambil berkata:

”Maaf, lohu salah melihat sesepuh Pang kita“

”Ach, dengarlah dulu Hu Pangcu, suhu mengangkatku menjadi murid penutup dan meminta segera membantu Kay Pang. Siauwte diminta membantu sebagai anggota Kay Pang dan mendengarkan perintah Pangcu dan Hu Pangcu. Dan sekali-kali tidak boleh menempatkan diri sebagai sesepuh seperti Suheng Ciu Sian dan Sai Cu Lo Kay.
Bahkan suhu meminta tecu mencari Hu Pangcu untuk berangkat ke utara, karena menurut suhu yang paling paham keadaan di utara adalah Hu Pangcu“.

”Ach, bila Hiongcu Kiu Ci Sin Kay locianpwe masih hidup dan mengutusmu, tentu dia sudah menyiapkan segalanya. Tapi, di markas besar kita hanya tertinggal Sai Cu Lo Kay, bersama Hu Pangcu bagian dalam. Padahal sementara ini, para pengganas semakin berani menyerbu kita, juga menyerbu baik Bu Tong Pay, Lembah Pualam Hijau dan Siauw Lim Sie“

”Jangan khawatir Hu Pangcu, suhu sudah mengirim Cap It Sin Kay (11 Pengemis Sakti) suheng, yang dilatih khusus selama lebih 10 tahun oleh suhu untuk menjaga Markas kita” menjelaskan Tek Hoat yang ternyata selama beberapa bulan berkelana sudah dinamai kaum persilatan dengan nama yang bagus Si cang sie Cao.

Mendengar penjelasan Tek Hoat, nampak berseri wajah Hu Pangcu Pengemis Gila Tawa. Dia bisa memastikan bahwa ke-11 Pengemis Sakti gemblengan sesepuhnya, sudah pasti bukan tong kosong tak berguna.
”Baiklah, jika demikian kita tuntaskan urusan di Cin-an ini, kemudian kita menuju ke Utara“ katanya dengan bersemangat.
 
3 Di sarang musuh





Tidak terasa hampir 10 tahun sudah berlalu. Terhitung sejak Tek Hoat bersama 4 anak lainnya diangkat dari sungai yang sedang meluap oleh 4 tokoh gaib pada masa itu.

Liang Tek Hoat yang dibawa pergi oleh Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay, sudah tumbuh menjadi pemuda berusia hampir 18 tahun setelah selama 9 tahun digembleng hebat oleh Kiu Ci Sin Kay. Murid penutup ini, yakni Liang Tek Hoat, bahkan menerima warisan seluruh kepandaian Sin Kay secara lengkap.

Apalagi karena memang dia sengaja disiapkan menjadi pewarisnya melawan murid 3 tokoh gaib lainnya. Selain disiapkan untuk mengatasi badai dunia persilatan yang sejak 10 tahun sebelumnya tanda-tandanya sudah ditemukan dan diantisipasi olehnya bersama rekan seangkatannya.

Sebagai tokoh tertua dari 4 tokoh gaib Tionggoan yang sudah berusia di atas 100 tahun, Kiu Ci Sin Kay menggembleng Tek Hoat habis-habisan. Dan dia sungguh bangga karena muridnya memiliki bakat yang sangat baik, bahkan melebihi ke-2 muridnya terdahulu.

Lebih dari itu, Tek Hoat bahkan memiliki kepandaian bu dan bun pada saat diambilnya sebagai murid. Sejak menjadi muridnya 9 tahun lalu, Tek Hoat sudah dilatih menghimpun tenaga sakti melalui siulian. Kemudian bahkan melalui pengetahuan akan benda-benda sakti dan mujarab, Kiu Ci Sin Kay membantu pemupukan tenaga dalam muridnya.

Tidak heran, bila dalam waktu 7 tahun pertama saja, dia sudah sanggup mengimbangi dan bahkan mengalahkan 11 Pengemis Sakti yang dilatih khusus oleh Sin Kay ini untuk menyelamatkan Kay Pang.

Pengemis Sakti ini tidak keberatan, dan malah bersemangat memburu benda-benda berkhasiat tinggi hingga ke Gunung Kun Lun San dan Himalaya. Semua dilakukannya hanya untuk memperkuat tulang-tulang Tek Hoat dan meningkatkan kemampuan tenaga sinkangnya.

Dia memburu ular api berusia ribuan tahun, memburu jinsom pengganti tulang dan darah dan bahkan memburu ikan ajaib berjambul merah api di hulu sungai Yang Ce. Tapi dari semua benda ajaib yang diburunya, dia hanya berhasil menemukan Ular Api berusia 1000 tahun setelah sebulan lebih menungguinya di sebuah goa di pegunungan Himalaya.

Khasiat ular sakti itulah yang membuat Tek Hoat menjadi kebal racun dan bahkan kemudian meningkatkan kemampuan tenaga dalamnya secara ajaib. Ular aneh ini, hanya dikenali oleh orang-orang aneh pula. Di ketinggian yang membekukan, gua ular ini malah tidak terdapat es, karena bisa dicairkan oleh hawa panas dari tubuh ular itu.

Padahal panjangnya cuma 1,5 meter belaka. Tetapi warnanya merah api dan sungguh menyeramkan. Dengan meminum darah ular api dan memakan dagingnya, Tek Hoat seperti mendapatkan kekuatan tenaga hasil latihan 30 tahun, seusai ular itu darah dan dagingnya diramu oleh gurunya secara khusus.

Pada saat itu usianya baru menginjak 15 tahun, dan memang ramuan itu sengaja disiapkan baginya untuk mewarisi kepandaian khusus Kiu Ci Sin Kay dengan Sinkang yang memadai. Sejak meminum khasiat ular api itu, selama sebulan lebih Tek Hoat berlatih mengendalikan tenaga sakti hasil latihannya.

Dan kemudian membaurkannya dengan khasiat yang ditimbulkan oleh darah ular api. Sinkang Kiu Ci memang berhawa ”yang“ atau keras, dan cocok dengan khasiat ular api yang juga berjenis ”yang“ berhawa panas dan keras. Saking panasnya, goa sarang ular ini tidak pernah membeku meski diketinggian yang sudah mampu membekukan air.

Setelah mampu menyatukan dan meleburkan khasiat ular api dengan tenaganya, maka Tek Hoat baru kemudian dilatih dengan Ilmu Pamungkas Kiu Ci Sin Kay. Baik Hang Liong Sip Pat Ciang yang juga berjenis “keras“, dan juga Ilmu Pukulan Halilintar atau Pek Lek Sin Jiu yang diciptakannya dan menjadi salah satu ciri khasnya.

Bisa dibayangkan, bahwa memang kakek ini sangat mengasihi dan mengandalkan murid terakhirnya ini. Usaha keras ini dilakukannya, karena melihat bahwa murid Kiang Sin Liong telah berbekal lebih dari cukup waktu ditemukan. Luar biasa malah. Itulah yang memotivasi Kiong Siang Han mencari Ular Api.

Ketika memainkan Hang Liong Sip Pat Ciang, Tah Kauw Pang dan Pek Lek Sin Jiu, Tek Hoatpun bingung dan ngeri dengan hasil yang dicapainya. Semua meningkat begitu pesat setelah meminum darah ular itu. Dari tangannya menderu angis keras yang sangat tajam ketika bermain Hang Liong Sip Pat Ciang.

Sementara Petir menyambar dan meledak serta menghasilkan suara memekakkan telinga bila dia memainkan Pek Lek Sin Jiu. Selama 6 bulan lebih dia membiasakan diri memainkan dan mematangkan ilmu-ilmu pusaka Kay Pang tersebut.

Tentu sambil terus menerus memupuk kekuatan dan meningkatkan kemampuannya dalam latihan Sinkang. Meskipun Kiu Ci Sin Kay masih belum membuka rahasia percakapan-percakapan dan peleburan ilmu saktinya sebagai pendalaman diskusinya dengan Kiang Sin Liong.

Karena dia merasa tanpa pengalaman memadai, latih tanding yang cukup, sangat sulitlah bagi muridnya ini untuk memahinya.

Pada 2 tahun terakhir sebelum diutus turun gunung, Tek Hoat menerima ilmu-ilmu ciptaan baru dari Kiong Siang Han. Yang pertama adalah penyempurnaan dari Ilmu Ciu Sian Cap Pik Ciang, Ilmu yang diciptakan muridnya Ciu Sian Sin Kay.

Tetapi ilmu tersebut kemudian disempurnakannya selama 10 tahun terakhir dan dinamakannya Sin Liong Cap Pik Ciang (Delapan Belas Pukulan Naga Sakti). Sebagaimana juga ide muridnya Ciu Sian, Kiu Ci Sin Kay memadukan kehebatan Hang Liong Sip Pat Ciang dengan Pek Lek Sin Jiu, hanya saja dia tidak meniru gerak langkah Dewa Mabuk, tetapi mengikuti jejak langkah naga sakti.

Perbedaan mendasarnya adalah, bila Ciu Sian Sin Kay menciptakan Lang kah Sakti Pengemis Mabuk yang cocok dengan dirinya yang suka mabuk, maka Kiu Ci Sin Kay yang tidak gemar arak menyempurnakan gerak langkah kakinya dalam ilmu Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya).

Keistimewaan lainnya adalah, dalam jurus ini, juga bisa diselipi dengan Tah Kauw Pang Hoat apabila lawan yang dihadapi menggunakan senjata, maka yang dipadukan adalah bisa Hang Liong Sip Pat Ciang dengan Tah Kauw Pang atau Pek Lek Sin Jiu dengan Tah Kauw Pang.

Gerak Tian-liong-kia-ka’ (naga langit menggerakkan kakinya) juga menjadi gerak ginkang maha sakti yang ditemukan dan diciptakan Kiu Ci Sin Kay pada masa-masa tuanya saat menggembleng muridnya yang terakhir.

Ilmu terakhir yang diciptakan tokoh gaib yang sudah tua renta ini adalah Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti), sebuah Ilmu Silat yang dimaksudkan untuk menghadapi Kekuatan Sihir. Ilmu ini sebenarnya adalah kembangan dan ciptaan baru sebagai hasil percakapan dengan Kiang Sin Liong yang menciptakan Soan Hong Sin Ciang yang dibarengi kekuatan Batin.

Karena itu, selama 2 tahun terakhir, dengan meningkatnya kekuatan Sinkang Tek Hoat, diapun mulai melatih kekuatan batin dan kekuatan sinkangnya secara bersamaan. Kekuatan Batin sangat ditentukan oleh kekuatan Iweekang.

Semakin kuat kekuatan Iweekang, maka kekuatan batin dan mental juga dapat meningkat tajam. Sementara bagi Tek Hoat, dengan meminum darah ular api, kemajuannya dalam latihan Sinkang bagaikan meluncurnya bola salju, sungguh luar biasa.

Tetapi, kepada Tek Hoat, juga dipesankan bahwa penguasaan sempurna atas ilmu Sin Kun Hoat Lek akan tergantung kemampuannya memadukan kekuatan ”Yang“ dan ”Im“. Kesempurnaan Sin Kun Hoat Lek yang dimiliki Kiu Ci Sin Kay sangat berbeda dengan Tek Hoat, karena Kiu Ci Sin Kay sudah mampu memadukan kekuatan Im dan Yang dalam tenaga saktinya, meski dominan kekuatan Yang, mirip dengan Kiang Sin Liong yang dominan kekuatan Im.

Setelah menamatkan pelajaran selama lebih kurang 9 tahun, Tek Hoat kemudian ditugaskan untuk membantu penyelesaian kericuhan di Kay Pang. Bahkan Tek Hoat dibekali dengan tanda pengenal nomor 1 pada saat itu, yakni Kiam Pai emas, Kiu Ci Kim Pay.

Tanda pengenal Kiong Siang Han yang bisa membuat Tek Hoat bertindak sebagai Kay Pang Pangcu apabila Pangcu berhalangan. Selain itu, Tek Hoat diminta untuk meluaskan pengalaman, karena tanpa pengalaman bertanding, maka Ilmu Silat juga bisa mubazir.

Dan sebagaimana janji pertemuan 10 tahun, Tek Hoat juga diharuskan datang ke Tebing Pertemuan 4 Tokoh Gaib dimana mereka menemukan pewaris masing-masing. Dan perjalanan Tek Hoat menandai awal dari perjalanan para Naga Muda nan sakti dalam rimba persilatan Tionggoan yang sedang gonjang-ganjing.

Yang mengherankan dan mengharukan Kiong Siang Han adalah, Tek Hoat sebagai putera seorang pangeran, ternyata bersedia dan tidak risih berkehidupan sebagai pengemis. Memilih kehidupan dengan mengikuti keadaan seperti gurunya. Tidak ada tanda anak itu tertarik kemewahan.

Dan anak itu sangat jelas menunjukkan sikap jantan dan gagah, bahkan sangat menghormatinya. Itulah sebabnya sang Guru tidak pernah merasa menyesal telah melakukan banyak hal, malah melampaui apa yang dia lakukan kepada kedua murid pendahulu.

Tetapi kematangan dan kekuatan batin Kiong Siang Han tidak ditampakkan ketika melepas kepergian muridnya. Tidak ke markas besar Kay Pang, tetapi langsung disuruh mencari Pengemis Gila Tawa untuk memperoleh informasi lengkap seputar kericuhan di Utara.

Sementara pada saat bersamaan, diapun melepas dan menugaskan ke 11 Pengemis Sakti untuk atas namanya menjaga Markas Kay Pang.

================

Malam itu nampak 2 sosok bayangan bergerak cepat mendekati sebuah kuil bobrok sebelah selatan Kota Cin-an di Propinsi Shantung. Sementara di dalam kuil yang ternyata merupakan markas Kaipang cabang Cin-an, pusat Kay Pang di Propinsi Shantung nampaknya sedang diadakan sebuah jamuan makan.

Tetapi yang aneh, jamuan makan di markas Kay Pang, nyaris tidak ada tokoh pengemis yang berada di meja jamuan. Lebih aneh lagi, ternyata Hek Tiauw Lo Hiap malah menjadi undangan dalam jamuan makan itu, tidak nampak tokoh-tokoh pengemis di dalam.

”Hahahaha, kionghi jiwi susiok. Tugas kita mengambil alih Kay Pang cabang Cin-an nampaknya berjalan sukses“ terdengar suara Hek Tiauw.

”Tugas kita di Cin-an boleh dibilang sudah selesai. Tidak ada salahnya kita saling menyulang untuk sukses yang kita capai“ Seorang kakek tinggi kekar dengan wajah penuh brewok berkata.

”Benar, tidak ada salahnya kita bersenang-senang untuk malam ini“ sahut seorang Kakek lainnya disamping si Brewokan yang dipanggil susiok oleh Hek Tiauw Lo Hiap.

Sementara mereka saling bersulang, kedua bayangan yang mendekati kuil bobrok tersebut nampak menyebar. Sosok yang lebih tua berpakaian pengemis penuh tambalan dan dekil, nampak berbelok ke belakang kuil bobrok tanpa mengeluarkan suara.

Sementara pengemis lainnya yang nampak masih muda, dengan gerakan yang lebih manis hinggap di wuwungan kuil tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dan tidak beberapa lama kemudian dia menjadi tertegun dan kaget ketika mendengar percakapan di meja perjamuan yang tepat berada di bawahnya;

”Untuk selanjutnya, kita harus berusaha memperluas penguasaan Thian Liong Pang atas cabang-cabang Kay Pang di Selatan ini. Karena itu...“ suaranya terputus dan tiba-tiba mengayunkan tangannya keatas, sebuah senjata rahasia dengan pesat mengarah ke tempat dimana si pengemis muda menguping.

Tetapi, dengan cepat dan cekatan, si pengemis mudah sudah berpindah tempat, dan senjata rahasia yang dilontarkan ke atas tidak mengenai sasaran. Tetapi yang pasti, suasana di ruangan perjamuan menjadi gaduh.

”Siapa yang begini berani mati menguping percakapan Kay Pang“? Sebuah suara berat terdengar.

”Sobat, silahkan unjukkan diri, jangan seperti kelompok kaum pengecut yang gemar bergerak dari kegelapan“ sambung suara kakek lainnya.

Tek Hoat secara tidak sengaja lalai, bukan karena mengeluarkan suara di wuwungan kuil. Tetapi karena menghalangi sinar bulan yang lagi bersinar penuh, tepat di meja perjamuan depan kedua kakek yang dipanggil susiok oleh Hek Tiauw.

Tahu bahwa kedatangannya sudah konangan, anak muda ini secara tiba-tiba malah menunjukkan dirinya;

”Hahahaha, selamat berjumpa para locianpwe. Dan kau Hek Tiauw Lo Hiap, ternyata kau termasuk perusuh Thian Liong Pang yang mau merebut kuasa di Kay Pang. Hm, pantas tidak kutemukan tokoh-tokoh Kay Pang di Cin-an, rupanya sedang diserang dari luar“ Begitu masuk dan memberi salam, Tek Hoat sudah langsung menegur orang.

Kehadirannya sungguh menggemparkan, membuat banyak orang dalam ruangan mau tidak mau mengagumi keberanian si anak muda.

”Sungguh berani“, desis beberapa orang yang memandang kagum atas keberanian si anak muda.

Hek Tiauw yang memang agak jerih dengan Tek Hoat setelah pertempuran tadi siang, menjadi lebih berani karena mengandalkan kedua susioknya. Karena itu dengan tenangnya dia berkata:

”Bila tadi kami gagal menghukummu, maka rasanya belum terlambat bila dilakukan saat ini“
Tek Hoat hanya meliriknya sebentar kemudian terdengar dia berkata dengan suara jenaka:

”Apakah sekarang dengan mengandalkan kedua locianpwe ini kemudian engkau tiba tiba menjadi berani lagi Hek Tiauw“?

”Kedua susiokku tentu akan mengerahkan kekuatan Kay Pang di Cin-an untuk membekuk pengemis muda pengganggu macam engkau“

”Hahahahaha, apa kau pastikan Kay Pang di Cin-an akan berani menyerangku“? Tek Hoat sambil tertawa-tawa gembira.

Sementara Hek Tiauw Lo Hiap dengan wajah mulai kelam dan merasa malu, memandangnya dengan gemas. Sampai kemudian salah seorang dari kedua susioknya menyela:

”Orang pengemis muda inikah yang kau maksud tidak dapat kalian hukum hari ini“ bertanya si Brewok.

”Iya susiok, ternyata dia sangat tangguh“ sahut Hek Tiauw meninggikan Tek Hoat agar kekalahannya tidak terdengar sangat memalukan.

”Tapi mungkinkah anak ingusan begini menjatuhkanmu yang sudah cukup matang ilmumu itu”? si Jangkung bertanya, dan jelas dia merasa kurang percaya atas perkataan Hek Tiauw Lo Hiap.

Kedua susiok Hek Tiauw Lo Hiap ini memang jauh lebih tangguh darinya, bahkan masih lebih tangguh dari gurunya. Mereka dikenal dengan nama Hek-Pek-Tiauw-to-sim (Rajawali Hitam-Putih Penyambar Jantung), dan sudah lama menebar pengaruh di sekitar Sungai Kuning.

Keduanya terkenal sebagai tokoh yang lebih dekat dengan dunia hitam dan tidak jarang merampok orang. Tetapi setelah makin tua dan makin liahy, akhirnya mereka hidup dari anak murid mereka, termasuk dari Hek Tiauw Lo Hiap yang angin-anginan dan tidak berpendirian.

Pada akhirnya, mereka semua dengan rela menakluk dan mengabdi kepada Thian Liong Pang yang terus bertumbuh dan mengepakkan sayapnya nampak berambisi hingga ke langit. Dan kebetulan ambisi Thian Liong Pang mencocoki selera orang-orang itu.
 
4 Pembersihan di cin an





Hek-Tiauw-to-sim (Rajawali Hitam Menyambar Jantung) yang brewokan nampak lebih temberang dibandingkan Pek-Tiauw-to-sim (Rajawali Putih Menyambar Jantung) yang agak jangkung. Karena itu, dengan segera dia berkata:

“Jika begitu, biarlah aku mencoba pengemis muda ini”.

Tangannya yang berbentuk cakar dengan cepat menyerang pundak Tek Hoat, seakan ingin meremukkannya dengan sekali terjangan. Tetapi, tidak memalukan Tek Hoat menjadi pewaris salah satu tokoh gaib rimba persilatan.

Meskipun serangan Hek Tiauw To Sim lebih cepat, lebih kuat dan lebih segalanya dibanding Hek Tiauw Lo Hiap, tetapi masih belum cukup untuk menggetarkannya. Dengan langkah ringan satu dua, dia sudah sanggup membebaskan dirinya dari sergapan Hek Tiauw To Sim, bahkan jika mau bisa mengirimkan serangan balasan. Bukannya membalas, Tek Hoat kemudian berkata:

“Karena ada kesediaanmu untuk sejenak membimbing Kay Pang di Cin-an, maka biarlah kuhormati kau orang tua dengan mengalah 3 jurus serangan”

Hek-Tiauw-to-sim menggereng murka dan kembali menerkam, kali ini dengan kecepatan dan kekuatan yang berlipat. Bahkan dari serangan cakarnya seperti berhembus angin serangan yang tajam menusuk.

Melihat Hek-Tiauw-to-sim meningkatkan kekuatan dan kecepatannya, Tek Hoat mulai sedikit nampak serius menghadapinya. Jika sebelumnya dia berayal dalam bergerak, maka sekarang pada serangan kedua dia tidak berani angin-anginan.

Serangan Hek-Tiauw-to-sim dengan cepat dan manis dielakkannya, bahkan jurus ketiga yang lebih cepatpun tidak sanggup menggoyahkan dan mendekatinya. Selepas jurus ketiga itu, bukan lagi gerakan menghindar yang diperagakannya, tetapi sebuah gerakan dari Hang Liong Sip Pat Ciang, jurus pertama dikeluarkan.

Dengan segera semua serangan Hek-Tiauw-to-sim bisa dibendung, bahkan jurus balasan dari ilmunya sempat menghadirkan angin ancaman di rusuk sebelah kiri Hek-Tiauw-to-sim.

“Hang Liong Sip Pat Ciang” dengus Hek-Tiauw-to-sim, dan nampak dia menjadi sedikit gentar.

“Hebat juga kau bisa mengenalinya orang tua” ejek Tek Hoat sambil tersenyum. Senyum khasnya yang riang dan gembira.

“Karena kalian berani mengusik Kay Pang, maka biarlah jurus ampuh Kay Pang yang mengajari kalian untuk tidak usilan” tambahnya masih dengan senyum nakal. Sembari kemudian dikeluarkannya rangkaian ilmu Hang Liong Sip Pat Ciang, sampai jurus ketiga Hek-Tiauw-to-sim masih mampu mengelak dengan tergesa-gesa.

Tetapi pada jurus serangan ke-4, pahanya terlanggar “Gerakan Ekor Naga Mengibas” dan segera terdengar “prakkk”, pahanya nampak terlanggar keras dan Hek-Tiauw-to-sim terdorong keras hingga terjengkang. Meskipun bisa berdiri kembali, tetapi jelas sudah sulit baginya melanjutkan pertandingan.

Setidaknya tulang pahanya retak, dan bila memaksakan diri cederanya bisa tambah parah. Jatuhnya Hek-Tiauw-to-sim mengejutkan Pek-Tiauw-to-sim, orang tertua dari Perguruan Rajawali Sakti itu. Dengan segera dia maju kedepan, tetapi sambil mengeluarkan perintah mengepung: “Kepung dia”

Tiba-tiba dari luar ruangan menyerbu banyak anggota Kay Pang. Benar mereka mengepung orang, tetapi bukannya Tek Hoat yang dikepung, sebaliknya justru Hek Tiauw Lo Hiap, Hek-Pek Tiauw To Sim dan gerombolannya yang dikepung.

Menjadi lebih mengejutkan karena diantara pengepung nampak tokoh-tokoh Kay Pang Cin-an yang mereka sekap ikut serta dalam pengepungan itu. Bahkan tidak lama kemudian disusul dengan masuknya Pengemis Tawa Gila, Hu Pangcu Bagian Luar dari Kay Pang yang kesaktiannya sudah mereka kenal.

Seketika mereka sadar, bahwa keadaan sudah kasip bagi mereka. Ruangan sudah dikuasai anggota Kay Pang, dan nampaknya gerombolan mereka yang kurang dari 10 orang yang berjaga diluar, juga sudah dijinakkan oleh Kay Pang. Pada saat itu, Pengemis Tawa Gila kemudian berkata:

“Para pengacau Kay Pang kami perintahkan menyerahkan diri, jika tidak jangan salahkan kami Kay Pang bertindak kasar”

“Hahahaha, kami memasuki Kay Pang dengan menggunakan kekuatan. Bila keluar juga harus menggunakan kekuatan yang sama” Pek Tiauw To Sim bersuara.

“Mungkin anda orang tua beranggapan mampu melewati jurus ke-5 dan ke-6 dari Hang Liong Sip Pat Ciang, tapi bila jatuh di jurus yang lebih tinggi, maka cacatmu kelak akan jauh lebih parah dibandingkan dia” Tek Hoat berkata sambil menunjuk Hek Tiauw To Sim.

Sementara itu, anggota Kay Pang yang mengepung di dalam ruangan setidaknya ada 20an orang, belum yang berada dan bersiaga di luar ruangan, bisa dipastikan lebih banyak lagi.

Pek Tiauw To Sim nampak bergidik membayangkan perbawa Hang Liong Sip Pat Ciang. Tetapi seorang disamping Hek Tiauw Lo Hiap yang sejak awal berdiam diri nampak bicara dengan suara dingin:

“Hang Liong Sip Pat Ciang memang hebat, bagaimana bila lohu yang menghadapinya” desisnya. Meskipun mendesis, tetapi semua orang mendengar dengan jelas. Pengemis Tawa Gila tercekat, ternyata masih ada seorang tangguh lain dalam ruangan itu. Ditatapnya orang tersebut, dan dari cirri-cirinya kemudian dia berkata:

“Jika tidak salah, anda adalah salah seorang Lhama pelarian dari Tibet. Hm, tidak salah dugaan banyak orang bahwa beberapa pelarian lhama di Tibet bersembunyi di sebuah Organisasi rahasia di Tionggoan”

“Sungguh tajam pengamatan mata Pengemis Tawa Gila” gumam si lhama pelarian dari Tibet.

“Jika demikian, baiklah. Pek Tiauw sudah menantang adu kekuatan untuk menentukan mereka layak di hukum atau tidak. Silahkan maju bila memang itu yang dikehendaki. Biarlah Kay Pang menunjukkan bagaimana kejantanannya menghadapi kalian”

“Baiklah, biarlah diawali dariku menantang Pengemis Tawa Gila” Pek Tiauw To Sim maju meladeni Pengemis Tawa Gila. Dia cukup cerdik, dari pengamatan tadi dia sadar belum tandingan Tek Hoat. Anak muda itu dengan santai menjatuhkan Hek Tiauw To Sim.

Dengan Pengemis Tawa Gila, meski dia tahu kesaktiannya tetapi masih memiliki harapan. Padahal, harapan itupun sebenarnya tidaklah tepat. Hu Pangcu bagian luar yang sedang murka karena Kay Pang diacak-acak meladeni Pek Tiauw To Sim dengan keras.

Pengemis Tawa Gila mempunya keunikannya sendiri, meski tidak sempurna menguasai Tah Kauw Pang Hoat dan Hang Liong Sip Pat Ciang, tetapi dia mempunyai ilmu khas yang dinamakannya Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung) dan bahkan menimba ilmu Tertawa mengikuti Sai Cu Ho Kang yang dipelajarinya dari Kong Hian Hwesio.

Karena marahnya, Pengemis Tawa Gila langsung menghadapi Pek Tiauw dengan Pay San Sin Ciang yang berat, yang lebih dikuasainya dengan sempurna bahkan pernah memperoleh petunjuk Kiong Siang Han. Karena itu, pertarungan mereka nampaknya tidak akan berjalan lama.

Permainan ilmu cakar rajawali Pek Tiauw To Sim sudah kacau balau, dan benar saja dalam jurus ke-30, sebuah sodokan Pengemis Tawa Gila dengan telak mengenai dada sebelah kiri Pek Tiauw To Sim.

Biarpun tidak merenggut nyawanya, tetapi sudah tentu akan mengalami kesulitan di kemudian hari untuk mengerahkan Ilmu Silat dan Sinkang, bisa dipastikan Ilmunya musnah.

“Hm, Pek Tiauw To Sim sudah memperoleh hukuman setimpal. Terserah, kamu masih mau berada disini atau ingin segera merat” jengek Pengemis Gila Tawa yang selanjutnya tidak lagi memperhatikannya. Selanjutnya pandangan matanya dialihkan kepada Hek Tiauw Lo Hiap dan Lhama Pelarian dari Tibet;

“Kalian telah memanfaatkan kekisruhan di Kay Pang untuk menimbulkan keonaran. Silahkan kalian memilih, menghukum diri sendiri, ataukah ingin dihukum. Cukup kalian pahami, bahwa kekuatan kalian diluar sudah kami lucuti semuanya” Pengemis Tawa Gila menegaskan.

“Jika demikian, perkenankan aku menggunakan kekerasan untuk keluar dari tempat ini” Sambil berbicara, Lhama dari Tibet tersebut sudah mengenjotkan kakinya dan tiba-tiba melayang keatas menerjang wuwungan kuil untuk melarikan diri. Disaat yang bersamaan, tubuh Hek Tiauw Lo Hiap juga mengapung mengikuti jejak Lhama pelarian dari Tibet.

Tetapi, ketika keduanya menjejakkan kaki di luar, bukannya kepungan anggota Kay Pang yang mereka temukan, tetapi Tek Hoat yang telah menghadang mereka dengan senyum simpatiknya.

“Ach, kalian kan belum membayar hutang masing-masing, untuk apa cepat-cepat merat dari sini”?

“Anak keparat, rasakan ini” Lhama dari Tibet menyerang, bahkan diikuti oleh serangan dari Hek Tiauw Lo Hiap. Tetapi Tek Hoat yang menyadari bahwa lawannya dari Tibet ini lebih kuat, dengan cepat menghindari pukulan Lhama tersebut.

Sebaliknya sebuah pukulan dari Hang Liong Sip Pat Ciang, Naga Mengamuk Menggelorakan Sungai dengan cepat menyongsong serangan Hek Tiauw Lo Hiap. Tidak dalam hitungan ketika, sebuah suara mengerikan terdengar dari mulutnya sambil menyemburkan darah segar, Hek Tiauw Lo Hiap tersungkur dan jatuh pingsan.

Sementara itu, Lhama dari Tibet yang melihat peluang ketika Tek Hoat memusatkan pukulan menjatuhkan Hek Tiauw Lo Hiap segera memanfaatkan momentum. Pukulan-pukulan berat dari Lhama Tibet segera dikerahkannya tidak tanggung-tanggung. Sekitar 7 pukulan beruntun diberondongkannya ke semua bagian mematikan Tek Hoat seakan tidak memberi jalan keluar.

Jurus-jurus Budha aliran Tibet seperti Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) dan bahkan sejenis ilmu Tam Ci Sin Thong (Selentikan Jari Sakti) bergantian dihamburkan. Sayang, bahkan Ilmu Budha yang lebih lihaipun seperti Selaksa Tapak Budha, Kim Kong Ci dan Tay Lo Kim Kong Ciangpun pernah diadu dengan Hang Liong Sip Pat Ciang.

Karena itu semua serangan dan pukulan beruntun tersebut, masih sanggup ditangani Tek Hoat, meskipun menjadi kehilangan ketika untuk melakukan serangan balasan. Lhama Tibet yang bernama Hoat Ho Lhama ini, memang memiliki kedudukan yang cukup tinggi di Tibet. Artinya dia memang memiliki kemampuan Ilmu Silat yang sangat tinggi, tetapi sayang menjadi seorang pemberontak.

Kekuatan ilmu itulah yang kemudian digunakannya bersama 4 tokoh hebat Tibet lainnya yang melarikan diri ke Tionggoan dan bersembunyi.

Tek Hoat menyadari bahaya yang berada di balik pukulan-pukulan berat dan sentilan jari sakti Lhama Tibet ini. Bahkan, Pengemis Tawa gila yang sudah menyelesaikan tugasnya, juga memandang kagum akan kehebatan Lhama ini.

Dia sadar bahwa melawan Lhama ini nampaknya paling tidak dia hanya akan bertarung seimbang, tetapi Tek Hoat nampaknya meski sedang terserang, tetapi tidak mengalami kerepotan. Padahal, Ilmu yang digunakan menyerangnya adalah Ilmu-Ilmu Pilihan dari Lhama di Tibet.

Sentilan Jari Sakti bahkan beberapa kali menutuk pohon hingga berlubang ketika dielakkan Tek Hoat. Bahkan jurus Menaklukan Naga dan Harimau membawa pengaruh yang tidak kalah dengan Hang Liong Sip Pat Ciang.

Untunglah Tek Hoat masih cetek pengalaman bertarungnya, jika tidak, sebetulnya Lhama Tibet ini tidak akan bertahan sekian lama. Apalagi karena dalam diri bocah belasan tahun ini tersembunyi sejumlah Ilmu Silat yang mengerikan. Bahkan untuk menggunakan Pek Lek Sin Jiu yang menggetarkan, Tek Hoat masih belum sampai hati.

Selain diapun masih belum sanggup secara sempurna memainkan jurus atau tingkat ke-7, Sejuta Halilitar Merontokkan Mega. Tetapi nampaknya lambat tapi pasti Tek Hoat mulai menyelami jurus permainan lawannya.

Masih dengan Hang Liong Sip Pat Ciang, dia kemudian menggerakkan tangannya dan mulai memainkan jurus serangan dari jurus ke-7, Naga Menggelorakan Air Menerjang Ombak, dengan segera serangan membadai Hoat Ho Lhama tertahan.

Bahkan kemudian mulai tersedia ketika yang cukup bagi Tek Hoat untuk mendesak lawan. Jurus ke 8 dan kesembilan kemudian menempatkan Lhama itu dalam kesulitan, dan tidak sampai jurus ke sebelas, sebuah kibasan tangan penuh hawa pukulan tidak sanggup ditahan pinggang Hoat Ho Lhama yang segera terjungkal dengan luka di tubuhnya.

Dan seketika dia melenting bangun sambil mengeluarkan sebuah pukulan dorongan hawa Sinkang. Tek Hoatpun menyambutnya dengan hawa pukulan keras, tetapi kekurang pengalamannya memberi kesempatan Hoat Ho Lhama untuk menyingkir. Ketika benturan terjadi, Tek Hoat tiba-tiba sadar tenaga tolakan atau dorongan kerasnya memang dipancing lawan buat melontarkannya lebih jauh untuk kemudian melarikan diri.

Hoat Ho Lhama yang melarikan diri dibiarkan saja oleh Pengemis Tawa Gila. Baginya Hek-Pek Tiauw To Sim dan Hek Tiauw Lo Hiap sudah lebih dari cukup untuk memberi pelajaran balik kepada Thian Liong Pang. Bahkan esoknya, markas Thain Liong Pang di Cin-an kemudian diserbu dan dihancurkan oleh Kay Pang tanpa perlawanan berarti.

Dan sejak saat itu, pertarungan terbuka antara Thian Liong Pang yang misterius dengan Kay Pang dimulai. Setelah pembersihan Kai Pang di Shan Tung, Pengemis Gila Tawa dan Tek Hoat kemudian melanjutkan upaya pembersihan mereka di beberapa propinsi di Selatan, seperti di Se Cuan dan tentu di sekitar Kota Raja Hang Chouw.

Ada sekitar 2 bulan mereka berkeliling melakukan inspeksi dan pembersihan untuk kemudian keduanya menghilang dari Selatan. Dan keduanya menuju kearah Utara menyusuri jejak Pangcu Kay Pang Kim Ciam Sin Kay yang menghilang ketika melakukan pembersihan ke utara.

Tugas yang harus secepatnya dilakukan, mengingat tinggal beberapa bulan waktu yang diberikan suhunya untuk berkelana dan diwajibkan datang ke Tebing pertemuan 4 Tokoh Gaib.
 
BAB 8 Dara sakti dari bengkauw
1 Pendekar kembar




Daerah Bing lam sangat terkenal terutama sebagai daerah penghasil teh. Bahkan terkenal di dunia persilatan bahwa jika ingin mencicipi teh terbaik, datanglah ke warung teh di daerah Bing lam. Ada banyak jenis dan variasi cara menyeduh teh disana.

Baik teh yang diseduh kental dan pahit, maupun yang terasa ringan dan halus. Bahkanpun, ada aturan dan tata minum teh yang dianggap etis di Bing lam ini, berbeda dengan tata cara minum teh di tempat-tempat lain.

Di daerah ini, minum teh sebaiknya dan dipandang seharusnya dengan cawan-cawan kecil. Apabila minum teh dengan menggunakan cawan besar, dianggap sebagai orang dungu, bodoh dan masih kurang beradab.

Variasi rasa juga luar biasa banyaknya, ada yang pahit, ada yang tidak berasa, ada yang terasa harum hingga yang terasa sedikit manis. Bahkan belakangan ada juga rasa-rasa buah, seperti rasa mangga, rasa nenas ataupun rasa papaya.

Sementara ada lagi variasi lainnya, yakni yang diminum terasa ringan dan mendatangkan hawa hangat di perut, ada lagi yang ketika diminum tidak terasa apa-apa di lidah, tetapi perut terasa hangat.

Bahkan ada yang ketika diminum terasa pahit, tetapi dimulut lama-kelamaan terasa menyiarkan bau wangi dan harum dan tidak hilang dalam waktu yang lama.

Pendeknya, datanglah ke Bing lam untuk mencicipi sejuta variasi rasa dan jenis teh. Dijamin tidak akan kehabisan jenis dan rasa selama sebulan melanglang di daerah Bing lam.

Apalagi, menjadi kebiasaan penduduk sekitar Bing Lam untuk bersosialisasi di warung teh pada setiap sore menjelang malam, bahkan terkadang sampai jauh malam di warung teh tertentu. Menemukan warung teh di daerah Bing lam sungguh mudah, karena warung teh hampir bisa ditemukan di banyak tempat dan sudut kota maupun desa di daerah itu.

Bahkan menikmati teh yang berkualitas baikpun, kadang bisa dengan hanya bertamu ke rumah-rumah penduduk yang akan dengan rela hati menjamu tamunya dengan teh terbaik yang mereka miliki. Karena teh Bing lam memang menjadi trade mark dan alat pengenal bagi mereka yang berasal dari Bing lam.

Daerah Bing lam ini, untuk waktu yang panjang nyaris kurang tersentuh oleh gejolak rimba persilatan. Tetapi bukan berarti Bing lam tidak menghasilkan tokoh-tokoh terkenal di dunia persilatan.

Setidaknya, Pendekar-pendekar jebolan Keluarga Lim yang selalu menunjukkan prestasi di dunia Kang ouw berasal dari Sian yu, kota terbesar di daerah Bing lam. Selain rumah keluarga Lim yang termashyur dari Bing lam, ada lagi satu tempat yang dianggap keramat di daerah ini.

Tempat itu adalah Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian, yang bisa ditempuh kurang dari setengah hari berkuda dari Sian Yu. Keberadaan Kuil Siauw Lim Sie cabang Poh Thian ini cukup menguntungkan Bing lam, karena bersama dengan keluarga Lim yang terkenal dari daerah ini, membuat keamanan Bing lam menjadi terjamin.

Siang itu dua orang anak muda berbadan kokoh tegap nampak sedang dalam perjalanan menuju kota Sian yu, tetapi nampaknya keduanya tidaklah sedang tergesa-gesa.

Malahan nampaknya seperti sedang melancong atau menikmati keindahan alam Bing lam. Karena salah seorang anak muda berkali-kali berhenti dan bergumam menikmati keindahan alam. Sementara anak muda yang lainnya lagi, tidak memprotes atau bahkan membiarkan kawan seperjalanannya menikmati keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan mereka menuju kota Sian yu.

Sesekali dia juga ikut menikmati keindahan alam menemani kawan seperjalanannya. Dari gelagatnya, keduanya nampak masih asing dengan daerah Bing lam. Mungkin baru sekali ini menginjakkan kaki mereka di alam permai bermandikan perkebunan teh yang luas …. Bing lam.

Bila diteliti lebih jauh, kedua anak muda ini nampak agak istimewa. Keduanya berbadan kokoh kekar, meski tidak terlampau besar, tetapi membayangkan tubuh yang berisi.

Tetapi bukan kekokohan dan kekekaran tubuhnya yang menarik, tetapi bila dipandang lebih teliti, keduanya sungguh nampak mirip, baik rambutnya, alisnya, wajahnya, matanya. Akan sangat sulit bagi orang lain untuk membedakan keduanya.

Bilapun ada yang berbeda, maka nampaknya hanya sorot mata belaka dan warna pakaian yang dikenakan keduanya. Sorot mata kedua pemuda tersebut agak berbeda, yang mengenakan pakaian berwarna putih agak kelabu bersorot mata lembut dan kalem, membayangkan sosok pria yang lembut dan perasa.

Sementara yang mengenakan warna hijau, sorot matanya nampak agak cerah dan ceria, serasi dengan warna cerah pakaian yang dikenakannya. Umur kedua anak muda ini, paling-paling dibawah 20 tahunan, mungkin sekitar 18 atau 19 tahunan, tetapi jejak langkah mereka sungguh sangat ringan dan sepertinya menunjukkan gelagat pemuda yang berisi, berilmu tinggi.

Kedua anak muda ini memang sulit dibedakan karena keduanya memang anak kembar. Anak muda yang berpakaian putih dengan sorot mata lembut dan penuh kasih bernama Souw Kwi Beng dan merupakan kakak dari adik kembarnya yang berpakaian hijau cerah yang bernama Souw Kwi Song.

Kedua anak kembar yang gagah ini memang bukan lagi orang biasa, meskipun asal-usul mereka tidak ada yang luar biasa sama sekali. Bahkan sebaliknya mereka berasal dari keluarga miskin di sebuah desa miskin bernama Kim Chung yang warganya habis disapu bersih oleh banjir bandang kurang lebih 10 tahun sebelumnya.

Kedua anak kembar istimewa ini, secara kebetulan, dan karena nasib baik, mereka justru ditolong oleh seorang tokoh gaib rimba persilatan. Dan bahkan kemudian mendidik mereka dan mempersiapkan anak-anak ini untuk menghadapi kemelut rimba persilatan.

Siapa lagi tokoh ini jika bukan bekas Ciangbunjin Siauw Lim Sie yang sangat terkenal pada masa lalu yang bernama Kian Ti Hosiang itu?

Di bagian awal sudah diceritakan bagaimana kedua anak yang sedang bermain-main di sungai terbawa oleh banjir banding dan diselamatkan oleh Kian Ti Hosiang yang kemudian mengangkat mereka menjadi muridnya. Saat bersamaan dengan Tek Hoat yang ditolong dan diangkat menjadi murid dan pewaris terakhir Ilmu bekas Pangcu Kay Pang yang kesohor, Kiong Siang Han.

Sebagaimana Tek Hoat, kedua anak muda ini sudah ditempa habis-habisan oleh Kian Ti Hosiang selama hampir 10 tahun. Seusai masa penempaan yang dilakukan di belakang gunung Siong San, tempat rahasia dimana Kian Ti Hosiang menyepi, kedua anak muda ini kemudian diutus secara rahasia oleh Kian Ti Hosiang menemui Ciangbunjin Siauw Lim Sie. Dan seterusnya diminta mengembara mencari pengalaman.

Tujuan mereka, sebagaimana disampaikan oleh Kian Ti Hosiang adalah mengunjungi Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian, karena mata batin Kian Ti Hosiang melihat adanya kabut tebal di Poh Thian. Itulah sebabnya, kedua anak muda yang sangat mengejutkan hati Kong Sian Hwesio ketika menghadapnya atas perintah Kian Ti Hosiang, hanya beristirahat sejenak, 2 hari di kuil dan langsung menuju ke Poh Thian.

Kedua anak kembar ini, sekarang sudah tumbuh demikian gagah, meskipun sudah disadari oleh Kian Ti Hosiang sejak awal, bahwa meskipun keduanya anak kembar, tetapi dengan pembawaan dan karakter mereka berbeda. Karakter itupun menentukan pilihan keduanya dalam menggemari Ilmu Silat yang diajarkan oleh Kian Ti Hosiang.

Dan untungnya, keduanya, meskipun anak keluarga biasa-biasa saja, tetapi sejak kecil terlatih di sungai dan membentuk tulang-tulang yang sangat cocok untuk berlatih Ilmu Silat.

Bahkan anak bungsu, yakni Souw Kwi Song, memiliki kecerdikan tersendiri dengan kemampuan menggubah langkah maupun kembangan jurus yang diajarkan gurunya. Berbeda dengan kakaknya yang sangat kokoh dan selalu taat dengan ajaran yang disampaikan gurunya.

Meskipun menggunakan kata-kata halus “mempersiapkan anak-anak ini untuk melawan badai di dunia persilatan”, tetapi Kian Ti Hosiang paham belaka. Dan dia yakin rekan-rekannya juga paham, bahwa perlombaan 10 tahunan nampaknya akan dilanjutkan oleh generasi anak-anak yang mereka tolong ini.

Meskipun perlombaan dan kompetisi mereka dilakukan secara pribadi, tetapi gengsi yang dipertaruhkan menyangkut pintu perguruan masing-masing. Karena itu, Kian Ti Hosiang, sebagaimana juga Kiong Siang Han, berlaku tidak tanggung-tanggung dalam mempersiapkan dan mendidik anak-anak ini.

Tidak berbeda dengan Kiong Siang Han, Kian Ti Hosiang juga memanfaatkan obat-obatan yang dikenalnya dan yang bahkan ikut diolahnya di Siauw Lim Sie. Bahkan juga menggunakan pil-pil mujarab yang dimiliki Siauw Lim Sie untuk memperkuat anak-anak tubuh dan tulang anak anak ini.

Bahkan, tidak jarang Guru Besar Siauw Lim Sie ini turun tangan mengurut, membuka jalan darah dan memperkuat kekuatan sinkang kedua anak muridnya ini. Tidak heran, waktu 9 tahun yang digunakan menempa kedua anak ini, malah melahirkan tokoh yang bahkan melampaui murid-muridnya terdahulu.

Karena dia mendidik mereka secara tekun dari hari kehari, dan bahkan menggunakan tenaganya sendiri dan juga menggunakan obat-obatan mujarab yang mampu menghadirkan kekuatan sinkang istimewa dalam melatih dan memperkuat Sinkang muridnya.

Sesuatu yang dulu tidak dilakukannya kepada murid-muridnya yang lain, tetapi saat ini dilakukan karena perlombaan dan karena antisipasi kekeruhan dunia persilatan. Alasan yang lebih dari tepat.

Tidak heran apabila kemudian kedua anak kembar ini menjadi begitu mahir dengan ilmu-ilmu kelas atas Siauw Lim Sie. Tentu mereka mahir memainkan Lo Han Kun Hoat, Siauw Lim Kun Hoat yang menjadi dasar dan ciri khas Ilmu Siauw Lim Sie.

Tetapi, mereka juga bahkan sudah mahir dengan Ilmu-Ilmu Berat Tay Lo Kim Kong Sin Ciang, Tay Lo Kim Kong Sin Kiam, bahkan mahir pula dengan Tam Ci Sin Thong (Sentilan jari Sakti) yang setanding dengan It Yang Ci (Ilmu Totokan tunggal, khas dari keluarga kerajaan di Tayli) dan tentu Selaksa Tapak Budha yang dalam 100 tahun terakhir hanya mampu dikuasai seorang Kian Ti Hosiang.

Bahkan, sebagaimana seorang Wie Tiong Lan juga menciptakan Ilmu khusus berdasarkan diskusi dengannya, Kian Ti Hosiang juga menciptakan Ilmu khusus yang merupakan penggabungan kelemasan dan kekuatan dan dimaksudkan untuk melawan Ilmu Sihir.

Keduanya, seperti juga Kiang Sin Liong dan Kiong Siang Han, memang menemukan bahwa jalan kesempurnaan dalam ilmu mereka, memungkinkan melalui membuka rahasia pendalaman kekuatan yang dipupuk masing-masing.

Sebagaimana diketahui aliran Bu Tong Pay mengutamakan kelemasan “im” sebagaimana dilihat dari Thai Kek Sin Kun dan juga rahasia melatih hawa melalui Liang Gie Sim Hwat. Sementara Ih Kin Keng Siauw Lim Pay yang menjadi basis ilmu Siauw Lim Sie berdasarkan banyak pada hawa “yang”.

Dengan menelaah lebih dalam kekuatan masing-masing, kemudian baik Wie Tiong Lan maupun Kian Ti Hosiang menciptakan Ilmu khusus. Kian Ti Hosiang kemudian menciptakan Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Putih).

Ilmu ini hanya mungkin dimainkan secara sempurna oleh seseorang yang sudah mahir dalam Ih Kin Keng, tetapi menyempurnakannya harus dengan menemukan intisari hawa “im”. Dan, Kian Ti Hosiang, sebagaimana Wie Tiong Lan, menyerahkan kepada nasib, peruntungan dan kecerdasan murid-murid mereka untuk menemukan kesempurnaan tersebut.

Toch, tenaga sakti mereka masih akan terus berkembang. Dan apabila sebagaimana mereka berdua sanggup saling membuka, maka murid-murid mereka juga diharapkan melakukan hal yang sama untuk menyempurnakan apa yang mereka pelajari.

Semua Ilmu yang diturunkan Kian Ti Hosiang, kecuali ilmu ciptaannya yang tidak lagi murni Siauw Lim Sie tetapi yang harus terus disempurnakan, telah dicerna dan dilatih tuntas oleh kedua anak kembar ini. Hasilnya memang seperti yang sudah diduga oleh Kian Ti Hosiang.

Souw Kwi Beng akan bergerak sangat kokoh dan kuat, memiliki keaslian Ilmu yang luar biasa karena dia memang sangat berpegang pada aturan dan kemurnian yang diajarkan gurunya. Sementara Souw Kwi Song, akan bergerak sangat lincah, memiliki variasi dan tipuan yang dikembangkannya sendiri hingga membuat gurunya kagum.

Apabila Souw Kwi Beng memiliki keunggulan dalam kematangan tenaga Sinkang maka Souw Kwi Song memiliki keunggulan dalam variasi jurus serangan dan jurus kembangan serta kelincahan bergerak, meski dasar ginkang keduanya sama.

Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song yang berjalan lambat karena sambil menikmati keindahan alam Bing lam, akhirnya mulai mendekati kota Sian yu. Saat itu hari mulai menjelang senja dan biasanya hari mulai gelap. Ketika akhirnya mereka mendekati gerbang sebelah timur kota, akhirnya hari memang sudah benar-benar gelap.

Tetapi belum sempat mereka menikmati kegirangan karena akan memasuki kota, tiba-tiba terdengar bentakan:

“Bangsat penculik, berhenti” terdengar bentakan melengking, nampaknya dari seorang anak dara. Tetapi bersamaan dengan itu, anak dara yang nampak mengejar sesosok bayangan yang memondong anak gadis yang tertotok, ditahan oleh 2 orang penyerang.

Tapi anak gadis itu nampak sigap. Dia membentur kedua orang yang menahannya dan terdengar benturan cukup keras ….. “blaaar”, bersamaan dengan itu, kedua sosok manusia yang menahannya terlempar. Tetapi rupanya tidak sembarangan terlempar. Karena segera setelah tubuh mereka terlempar, meminjam tenaga dorongan si gadis, keduanya kemudian berkelabat lenyap kearah hutan.

Berbeda arah dengan si penculik yang justru berkelabat menyeberangi tembok kearah kota. Tanpa bicara, kedua anak kembar yang memang seperti sehati ini, Souw Kwi Beng maupun Souw Kwi Song berkelabat mengerahkan ginkang memburu si penculik yang menghilang di balik tembok.
 
2 Siangkoan giok lian





Keduanya menjadi sedikit kaget ketika menyadari ternyata ginkang si gadis yang mengejar ternyata tidak berada dibawah mereka. Tetapi, nampaknya seperti juga mereka berdua, si gadis yang mengenakan pakaian ringkas berwarna biru, tidak begitu mengenal tata letak kota.

Karena itu, agak kesulitan baginya untuk mengejar si penculik. Si Penculik kadang berlari di atas wuwungan rumah dan terkadang berlari menyusup-nyusup di sela-sela rumah dan lorong-lorong untuk menghindari keramaian.

Akibatnya, baik si gadis maupun Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song kesulitan mengejar si penculik. Bahkan pada akhirnya si penculik menghilang di halaman sebuah rumah yang nampak terjaga sangat ketat. Si gadis, sebagaimana juga kedua anak kembar itu mengelilingi rumah besar dengan halaman sangat luas itu dari belakang, dan mereka yakin si penculik menghilang dan bersembunyi dalam rumah itu.

Tapi masalahnya, rumah itu tidak mereka kenal pemiliknya; dan kedua, penjagaan rumah itu nampak cukup ketat. Dan bahkan ketika mereka tiba di depan rumah, mereka menjadi sangat kaget karena melihat bahwa rumah itu termasuk keramat dan dihormati di Sian yu

Rumah gedung itu adalah Rumah KELUARGA LIM. Nampak si gadis termangu-mangu memandang papan nama merek rumah itu. Pastinya, si gadis, seperti juga kedua bersaudara kembar itu, kaget sekali.

Keluarga Lim dari Bing lam terkenal gagah dan memiliki reputasi sangat harum di dunia persilatan, kenapa sekarang justru menjadi sarang penculik anak gadis orang? Adakah sesuatu yang sedang menimpa keluarga Lim dari Bing lam ini sehingga keanehan itu bisa dijelaskan?

“Koko, menurut suhu, Keluarga Lim dari Bing lam merupakanb keluarga terhormat dan gagah. Mengapa sekarang seperti kekurangan pekerjaan dan malah tempat bersembunyi penculik anak gadis orang”? Kwi Song berdesis perlahan kepada Kakanya.

“Nampaknya ada sesuatu yang mencurigakan. Kita awasi dulu, nampaknya penasaran yang sama juga dialami nona itu” bisik kakanya.

“Nampaknya nona itu berniat menyusup koko, lihat dia bergeser dan bergerak ke sisi kanan, nampaknya mencari sisi yang penjagaannya kurang” lanjut Kwi Song antusias.

“Ya, kita lihat situasinya dulu, jika mendesak kita harus menolong nona itu”

“Mari, kitapun bergerak ke sisi kanan. Nampaknya disana memang yang paling mungkin memasuki rumah keluarga Lim ini” Kwi Beng kemudian bergerak tanpa menimbulkan suara sama sekali, diikuti dengan cara yang sama oleh adik kembarnya.

“Koko, dia melompat ke wuwungan. Hebat sekali gerakannya, sungguh indah” Kwi Song bergumam kagum melihat gaya meloncat si gadis, yang sempat menginjak dedaunan pohon yang tumbuh di sebelah barat sebelum meloncat ke wuwungan rumah.

Tetapi, nampaknya si gadis masih belum menyadari kalau semua yang dilakukannya diintai dan diikuti oleh 2 orang pemuda kembar ini. “Ya, ayo kita mengintai dari pohon yang agak rindang itu” Kwi Beng kemudian meloncat kesebuah pohon rindang yang memberinya pemandangan yang leluasa kedalam halaman gedung keluarga Lim.

Sementara itu si Gadis muda yang berada di wuwungan sebelah barat kebingungan memulai dari mana pengintaiannya. Berkali-kali dia celingukan mencari jendela buat mengintip, dan setelah beberapa kali mengintip melalui lubang jendela dan genteng, nampaknya dia yakin jika penculik tidak berada di gedung sebelah barat.

Tetapi, ketika kemudian si gadis melompat ke gedung utama, tiba-tiba terdengar bentakan: “Ada penyusup” diikuti oleh sebuah bayangan yang sangat pesat yang kemudian tidak lama telah berdiri di atas wuwungan.

Si Gadis yang sudah konangan, masih berusaha untuk berlari kearah timur. Tetapi bentakan tadi sudah menyadarkan semua penjaga, dan bahkan semua orang di dalam rumah itu bahwa ada yang tidak beres di luar. Karena itu, ketika berada di wuwungan timurpun, jejak si gadis dengan mudah ditemukan.

Dan orang yang berhasil menyadari kehadiran si gadis yang menyusup di wuwungan gedung utama sudah dengan cepat menyusul ke timur. Tetapi alangkah kaget dan herannya ketika orang yang berusia pertengahan umur ini kemudian menyadari bahwa si penyusup hanyalah seorang remaja gadis yang masih berusia ingusan, paling belasan tahun.

“Kouwnio, ada urusan apakah malam-malam begini mengintip-intip gedung orang”? tanya si orang tua dengan nada yang sangat penasaran, tetapi yang jelas kurang senang. Meski ditahan-tahan.

“Jika aku tidak melihat seorang penculik anak gadis orang berlari memasuki gedung, ini dan tidak keluar lagi, maka aku tidak akan mengintip-intip begini” jengek si gadis tidak takut.

“Nona, apakah engkau memandang begitu rendah kami keluarga Lim dari Sian yu”?

“Keluarga Lim yang kudengar adalah kumpulan pendekar gagah, bukan kelompok penculik anak gadis orang”
Hebat tangkisan si Gadis, membuat si orang pertengahan umur menjadi terhenyak dan sulit menemukan jawaban.

“Dan, gedung keluarga Lim yang kudengar, bukanlah sarang orang-orang kasar seperti yang sedang berkumpul saat ini” tambah si Nona.

“Nona, siapakah kamu sebenarnya”? bertanya si orang pertengahan umur berubah menjadi tidak menyenangkan.

“Siapa aku bukan soal, yang penting adalah, dimana nona yang diculik itu?” si gadis berkeras dengan tuduhannya.

“Tahukan nona kalau sudah melanggar pantangan menuduh orang tanpa bukti”?

“Buktinya sudah jelas. Dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan si penculik memasuki pekarangan rumah ini dan menghilang. Dan dengan penjagaan ketat begini, mustahil seseorang yang masuk dengan memondong anak gadis bisa tidak diketahui keluarga Lim disini?”

“Maksud nona sebenarnya”?

“Serahkan gadis yang diculik, maka aku akan berlalu”

“Nona, engkau terlalu memandang rendah keluarga Lim kami. Bila sangat terpaksa, maafkan bila kami menahan nona sekalian” jengek si orang pertengahan umur.

“Bicara bolak-balik, akhirnya ketahuan belangnya. Tapi jangan kalian kira Siangkoan Giok Lian takut dengan ancaman kalian” jengek si Gadis berani.

“Hm, she Siangkoan. Apa hubungan nona dengan Siangkoan Tek, Bengkauw Kauwcu”? Tanya si orang pertengahan umur tercekat. Pada saat bersamaan beberapa orang lagi sudah berkelabat disamping si orang pertengahan umur. Dari ginkangnya, nampak kedua orang ini bukanlah orang lemah. Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song menjadi semakin berkhawatir dengan keselamatan si nona yang pemberani itu.

“Aku tidak akan menggunakan pengaruh nama kong-kong (kakek) untuk menyelamatkan diri” dengus si gadis.

“Keluarga Lim kami tidak punya ganjalan apa-apa dengan Bengkauw kalian, buat apa nona mengganggu kami”? Tanya seorang yang baru datang dengan penasaran.

“Sudah kukatakan, ini bukan urusan Bengkauw, ini urusanku yang melihat penculik anak gadis orang memasuki halaman gedung yang terjaga ketat ini” tegas si gadis.

“Nona, Keluarga Lim mungkin tidak sehebat Bengkauw, tetapi kami tidak tahan dihina semacam ini” bentak orang kedua yang baru datang dengan marah.

“Terserah, aku tetap meminta anak gadis yang diculik itu untuk dilepaskan” si gadispun berkeras.

Sementara perdebatan di wuwungan rumah berlangsung terus, di sebelah bawah Kwi Song berkelabat cepat menghindari para penjaga gedung. Tetapi, yang mengherankannya, gedung ini tidak seperti gedung keluarga pendekar kenamaan.

Selain para penjaga berwajah garang dan buas di beberapa sudut, juga di beberapa kamar yang dilaluinya dia mendengar bisik-bisik dan desahan-desahan perempuan yang sedang bermain cinta. Mustahil gedung ini gedung maksiat, tetapi nampaknya memang seperti itu gambarannya.

Tetapi karena maksudnya memang mencari gadis yang diculik, maka dia mengabaikan kamar kamar yang mengeluarkan desahan menggairahkan itu. Tanpa suara dia terus melanjutkan usahanya untuk menemukan ruangan dimana si gadis yang diculik disekap.

Sebagaimana gadis yang berada di atas wuwungan gedung ini, diapun yakin anak gadis yang diculik itu masih berada di gedung keluarga Lim ini dan entah sedang disekap di kamar mana.

Di atas wuwungan, pertikaian semakin memuncak. Sedangkan Kwi Beng, seperti juga Kwi Song semakin meragukan kependekaran keluarga Lim. Kekasaran yang ditunjukkan, peronda yang berwajah buas, semakin melunturkan penilaiannya atas ketokohan keluarga Lim di dunia persilatan.

Perlahan namun pasti, dia sudah menetapkan akan membela dan menolong si gadis Bengkauw. Karena selain dia melihat banyak tokoh sakti di tempat itu, diapun mengagumi kekerasan hati si gadis yang bersedia berjibaku menolong gadis tak dikenal yang diculik itu.

Pada akhirnya, keluarga Lim yang menjaga kehormatan atas tuduhan menculik atau menyembunyikan penculik gadis, menjadi semakin murka. Hanya karena masih segan dengan latar belakang si gadis yang luar biasa yang membuat mereka ragu bertindak keras.

Tetapi, di tengah keraguan mereka, tiba-tiba terdengar suara yang dingin dan sangat angker, nampaknya datang dari bawah: “Usir saja gadis tidak tahu aturan itu”.

Meskipun segan dan nampaknya ogah-ogahan, salah seorang dari keluarga Lim yang bernama Lim Kok Han akhirnya menyerang si gadis. “Maafkan kami, tetapi nona terlalu mendesak”, ujarnya kemudian menyerang si nona.

Siangkoan Giok Lian bukannya orang bodoh, sejak tadi dia sudah heran dengan situasi Gedung Keluarga Lim yang bertolak belakang dengan berita di luaran. Kegarangan keluarga Lim bisa dimakluminya, tetapi mereka nampaknya masih memiliki sedikit kegagahan, dan seri wajah mereka nampak sangat tidak wajar serta menyembunyikan sesuatu.

Menimbang situasi tersebut, Siangkoan Giok Lian mulai bercuriga, nampaknya ada apa-apa dengan keluarga Lim ini, tetapi belum dapat dipastikannya. Maka, ketika mendengar dengusan dari arah bawah yang memerintahkan mengusirnya, Siangkoan Giok Lian semakin yakin, keluarga Lim nampaknya sedang mengalami persoalan.

Kesimpulan tersebut membuat Giok Lian tidak sampai hati mempermalukan Kok Han. Meskipun menyerang hebat, tetapi terasa bagi Giok Lian bahwa Kok Han seperti sedang menahan sesuatu, bahkan sinar matanya seperti meminta untuk dimengerti.

Bahkan tenaga serangan dan pukulannyapun meski mendatangkan angin menderu, tetapi nampaknya seperti ditahan dan terukur tenaganya. Padahal, dengan mengerahkan segenap tenaganyapun, Kok Han masih belum tandingan gadis cerdik dari Bengkauw ini.

Lim Kok Han memang salah seorang putra keluarga Lim, dan merupakan putra kelima. Lim Kok Han memiliki 3 orang kakak Laki-laki dan 1 orang kakak perempuan. Mereka berlima, termasuk kakak perempuannya sebenarnya sudah punya nama di dunia persilatan, mengikuti jejak orang tuanya.

Karena itu, Kok Han sedapat mungkin menahan tenaga pada serangan dan pukulannya. Betapapun, dia memiliki semangat kependekaran yang sama, dan bereaksi sama bila melihat ada yang terculik.

Seandainya dia mengenal siapa Siangkoan Giok Lian lebih dekat, maka tidak perlu dia menahan tenaga pukulannya. Karena gadis ini adalah gadis gemblengan yang bahkan dalam Ilmu Silat sudah melampaui atau setidaknya menyamai ayahnya Siangkoan Bok, putera Siangkoan Tek Kauwcu Bengkau yang sudah berusia 40 tahunan.

Siangkoan Giok Lian adalah puteri Siangkoan Bok, cucu Siangkoan Tek rekan seangkatan Kiang Cun Le, yang juga memiliki Ilmu Silat yang sangat lihay, hanya sedikit dibawah kemampuan Kiang Cun Le. Jadi bisa dibayangkan betapa ampuhnya Kauwcu Bengkauw yang sudah berusia di atas 60 tahun tersebut.

Tetapi Siangkoan Giok Lian dan kakanya Siangkoan Giok Hong, 2 diantara 4 anak Siangkoan Bok (dua lainnya laki-laki), justru memiliki bakat Ilmu Silat yang melebihi saudara lelaki mereka. Bakat Giok Lian dan Giok Hong justru tercium oleh kakek buyut mereka Siangkoan Bun, yang satu angkatan di bawah Kiang Sin Liong, dan yang sempat menyaksikan ayahnya terlibat dalam pertarungan besar puluhan tahun silam melawan 4 tokoh utama Tionggoan.

Siangkoan Bun, bahkan pernah bertarung meski masih kalah tingkatan melawan Wie Tiong Lan. Tetapi sesuai perjanjian yang dibuat ayahnya, setelah pertarungan besar yang disaksikannya itu, dia menutup diri dari pertikaian di Tionggoan selama 30 tahun.

Selewat 30 tahun, justru Siangkoan Bun menjadi tawar hati, dan kebetulan puteranya Siangkoan Tek telah mewarisi kesempurnaan Ilmu keluarga Siangkoan di Bengkauw.

Kedua puteri keluarga Siangkoan ini, selama 10 tahun dididik oleh Siangkoan Bun sampai kemudian kakek renta Bengkauw ini minta ditinggal tanpa diganggu lagi. Sejak berusia 5 tahun, Siangkoan Giok Lian sersama kakaknya, Giok Hong sudah ditempa oleh kakek buyutnya itu.

Baik ditempa dengan penyerapan tenaga Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Bulan Matahari) yang menjadi ilmu pusaka dan andalannya melawan 4 tokoh utama Tionggoan hingga ke ilmu paling baru yang diciptakannya, yakni Jiauw-sin-pouw-poan-soan (Langkah Sakti Ajaib Berputar-putar). Tentu juga Giok Lian diwarisinya dengan Ilmu-ilmu khas Bengkauw seperti In-Iiong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan), Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja), dan bahkan juga Ilmu andalan yang amat sulit untuk dipelajari yakni Koai Liong Sin Ciang (Ilmu Pukulan Naga Siluman).

Ilmunya ini sudah disempurnakannya selama 30 tahun terakhir menyepi dan bahkan sudah banyak disisipi kekuatan “sihir” yang membuat lawan bakal sangat ketakutan dan diliputi kengerian. Lebih dari itu Giok Lian malah menemukan rahasia ilmu yang sangat hebat dan rada sesat ciptaan nenek buyutnya Siangkoan Lian, adik dari kakek buyutnya Siangkoan Bun yang juga sangat berbakat.

Neneknya ini menemukan dan memperlajari ilmu yang agak sadis, rada sesat, yakni Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang) dan Toat Beng Ci (Jari Pencabut Nyawa). Kedua ilmu ini dicatatnya dalam sebuah kitab yang secara kebetulan ditemukan Giok Lian.

Kegemaran Giok Lian akan Ilmu Silat membuatnya mempelajari kitab peninggalan neneknya, tetapi itupun baru dilakukannya 2 tahun terakhir setelah kakek buyut merangkap gurunya memutuskan menutup diri.

Keranjingan gadis manis ini akan ilmu silat, juga membuat kakeknya Siangkoan Tek agak kelimpungan. Apalagi karena tinggal kematangan dan penguasaan akan tenaga ajaib Bengkauw, Jit Goat Sinkang yang membuatnya mampu mengatasi cucu perempuannya ini.

Tetapi, jangan dikira betapa bangganya kakek ini akan cucunya ini, juga terhadap Siangkoan Giok Hong, yang sama-sama sakti dan sama memusingkannya. Keduanya bahkan sudah sanggup merendengi kemampuan Hu Kauwcu Bengkauw yang adalah Sute atau Adik Seperguruan Siangkoan Tek sendiri.

Padahal sutenya ini, tinggal kalah seusap dibandingkan dia sendiri, meskipun kematangannya dalam Jit Goat Sinkang sudah sangat tinggi. Tetapi karena menyadari bahwa kedua cucu perempuannya itu adalah didikan ayahnya, dia maklum belaka. Sayangnya, kedua cucu lelakinya, bahkan anak lelakinya kurang memiliki bakat sebaik cucu-cucu perempuannya ini.
 
3 Di rumah keluarga kim





Gadis sakti dari Bengkauw inilah yang sedang diserang oleh Kok Han dengan setengah hati. Padahal, dengan langkah sakti berpusing, langkah sakti khas Bengkauw, jangankan Kok Han, bahkan Ji Toakonya Lim Kok San ikut mengerubutipun, masih belum akan sanggup menyusahkan gadis pemberani ini.

Bahkan kemudian, bukan pertarungan itu yang kini menjadi perhatian Giok Lian, tetapi kejadian dibalik keanehan keluarga Lim yang memenuhi benaknya. Dengan langkah-langkah saktinya, semua serangan Kok Han bisa dielakkan dan dimentahkan, apalagi Kok Han memang tidak bersungguh-sungguh dalam menyerang.

“Hm, rupanya Keluarga Lim hanya sanggup membuat gadis Bengkauw ini sedikit kerepotan” Suara yang angker dan dingin kembali terdengar.

“Sebaiknya Bing lam tancu dan Sam Suhu secepatnya memaksa gadis nakal itu turun” Suara itu kembali terdengar dan nampaknya memerintahkan orang lain untuk memaksa Giok Lian turun dari wuwungan. Dan nampaknya, memang tiada maksud Giok Lian untuk melarikan diri.

Selain gadis yang diculik belum ketahuan nasibnya, dia sendiri penasaran dengan apa sebenarnya yang sedang dialami oleh keluarga Lim. Sepengetahuannya keluarga Lim di Bing lam tidaklah selemah yang ditampilkan Kok Han, dan juga tidak cukup jahat untuk menjadi penculik anak gadis orang.

Jadi, pasti ada sesuatu yang sedang menimpa mereka.

Belum lama suara dingin dan angker tadi berlalu, tiba-tiba melayang 3 orang berkepala plontos tetapi dengan pakaian yang bukan pakaian pendeta. Begitu tiba di depan Giok Lian, seorang diantara ketiga Pendeta tersebut membentak sambil mendorongkan sepasang tangannya kedepan:

“turun kau” bentaknya. Dan dari sepasang tangannya menderu angin pukulan mengarah ke Siangkoan Giok Lian. Giok Lian menyadari bahwa penyerangnya kali ini nampaknya jauh lebih bersungguh-sungguh dan bahkan memiliki kekuatan yang jauh berlipat di atas Kok Han.

Tetapi untuk menjajalnya dia membiarkan dirinya diterjang angin pukulan tersebut tetapi dengan melakukan 3-4 langkah berpusing, mengurangi tenaga dorong pukulan tersebut dan bahkan memanfaatkan tenaga dorongan pukulan itu untuk kemudian melenting ke bawah. Bukan tempat yang tepak untuk menghadapi 3 orang yang nampaknya jauh lebih lihai daripada Kok Han.

Belum lama Giok Lian hinggap di bawah, dengan segera 3 orang berkepala plontos yang melayang ke atas dan salah seorang yang sempat menyerangnya di wuwungan telah kembali berdiri di hadapannya. Bahkan disamping kanan terdapat Kok Han dan Kok San dan seorang yang lain berdiri siaga disamping kiri Giok Lian.

Sementara di belakangnya adalah tembok belaka, tembok sebelah barat dari gedung keluarga Lim. Begitu kembali berhadapan, Lhama penyerangnya yang bernama Sin Beng Lhama telah kembali mengawali serangannya.

Dengan mantap dan penuh tenaga dia mencecar si nona yang kembali berpusing-pusing dan tidak mampu dijangkaunya. Semakin cepat dan kuat Sin Beng Lama menyerang, semakin gesit pula Giok Lian bergerak, bahkan sesekali dia berani mengadu kekuatan tenaga dalamnya dengan Sin Beng Lhama.

Sontak si Lhama menjadi sangat terkejut, dia mendapati tenaga si Nona ternyata demikian kuatnya. Masih di sebelah atas kekuatannya sendiri malah.

Dalam gusarnya Sin Beng Lama merubah serangannya dengan tutukan-tutukan jari tangan dari jurus Tam Ci Sin Thong bergaya Tibet. Serangan-serangan tajam dari jari-jarinya mengiang-ngiang dan bagaikan tajamnya jarum menutuk ke beberapa bagian di tubuh si Nona.

Serangan Sin Beng Lhama ini mengejutkan Souw Kwi Beng selaku penonton yang menyaksikan pertandingan tersebut. Terutama karena melihat bagaimana Lhama tersebut ternyata mampu memainkan salah satu jurus ampuh Siauw Lim Sie, meskipun beberapa gaya agak berbeda.

Tetapi menjadi lebih terkejut lagi ketika melihat, sambil berpusing-pusing dengan langkah ajaibnya si Nona memainkan ilmunya Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dan tidak takut membentur selentikan jari sakti Sin Beng Lhama. Akibat dari benturan-benturan tersebut, terdengar bunyi-bunyi bagaikan beradunya 2 besi panas, tetapi nampaknya Sin Beng Lhama yang tidak tahan.

Sesuai jurusnya, Tangan Pasir Baja, memang membuat tangan dan jari Giok Lian menjadi sekeras baja dan berani mengadu tangan dan jari dengan totokan-totokan Sin Beng Lama. Terdengar Sin Beng Lhama menggeram, dan yang ternyata kemudian menjadi komando bagi kedua saudaranya Lak Beng Lhama dan Hun Beng Lhama untuk maju berbareng.

Maka majulah secara berbareng ketiga lhama sakti pelarian dari Tibet tersebut mengeroyok Giok Lian. Giok Lian bukannya khawatir, malah nampak seperti bergirang dikerubuti 3 orang Lhama pelarian dari Tibet itu. Langkah kakinya yang berputar-putar ajaib benar-benar ajaib dan ampuh menghindarkannya dari terjangan ketiga Lhama dari Tibet tersebut.

Berpusing-pusing atau berputar-putar ajaib dengan langkah-langkah yang mujijatmembuat Giok Lian mampu menghidnari semua serangan dari ketiga lhama tersebut. Bahkan sesekali bukan hanya menghindar, tetapi setelah memunahkan serangan, diapun balas menyerang.

Bahkan dengan tetap mengerahkan Tangan Pasir Baja atau kadang-kadang menggunakan In Liong Sin Ciang, gubahan Ilmu Pukulan yang sebenarnya berasal dari Ilmu Pedang In Liong Kiam Sut, beberapa kali Giok Lian mendorong mundur ketiga lhama Tibet tersebut.

Bahkanpun ketika ketiga Lhama itu menggunakan jurus Kong-jiu cam-liong (Dengan Tangan Kosong Membunuh Naga) dan Tam Ci Sin Thong, tetap tidak mampu mendesak dara sakti tersebut. Dengan seenaknya dia membagi-bagi serangan kearah tiga pendeta lhama tersebut, bahkan sesekali dia mampu mendaratkan pukulan ketubuh mereka. Hal yang sangat mengagumkan semua penonton, termasuk Kwi Beng dan Kwi Song.

Sedang seru-serunya pertarungan itu, mata Kwi Song yang tajam melihat sesosok tubuh keluar dari dalam gedung dengan langkah yang sangat ringan. Kwi Song baru bergabung kembali setelah menyelesaikan tugasnya di bawah.

Perlahan namun pasti orang tersebut mendekati pertarungan yang nampaknya semakin menunjukkan keunggulan Giok Lian. Karena dengan seenaknya, si Gadis melayani ketiga Lhama sakti dari Tibet itu sambil membagi-bagikan pukulannya.

Intuisi Kwi Song ternyata benar, sementara Giok Lian berkonsentrasi mengatasi serangan ketiga lhama pelarian itu, tiba-tiba sebuah serangan dahsyat dan nampak sangat berat dilontarkan oleh pendatang baru tersebut. Untungnya Kwi Song juga sudah bersiap sedia, bahkan hampir bersamaan dengan Kwi Beng yang juga mengawasi orang yang berada disebelah kiri Giok Lian, keduanya melompat pesat menangkis 2 serangan bokongan yang diarahkan kepada Giok Lian.

Kwi Song sadar bahwa serangan gelap lawan dari kegelapan itu nampaknya sangat berat. Tetapi yang membuatnya kaget, karena serangan itu sangat mirip dengan Hong Ping Ciang ajaran Siauw Lim Sie. Karena itu dia mengerahkan tenaga hampir sebesar 7 bagian dan akibatnya keduanya, baik si penyerang maupun Kwi Song merasakan tangan masing-masing tergetar hebat.

Demikian halnya Kwi Beng yang menyongsong pukulan dari Tancu Bing lam, juga mendapati kenyataan bahwa pukulan si tancu juga cukup berat, meski dia masih mampu unkulan menghadapinya.

Sementara itu, Kwi Song yang beradu pukulan dengan pendatang baru tadi, dengan cepat berkelabat dan mendekati Giok Lian dan berbisik:

“Nona, gadis yang diculik sudah kubebaskan, lebih baik kita tinggalkan tempat ini sementara, cukup berbahaya”. Setelah berbisik demikian, kembali Kwi Song melontarkan sebuah pukulan jarak jauh, pukulan udara kosong kearah penyerang yang tadi pukulannya ditangkisnya.

Kwi Beng juga melakukan hal yang sama, sementara Giok Lian menyadari bahwa bisikan Kwi Song bukanlah basa-basi, diapun kaget melihat dirinya dibokong oleh sebuah pukulan yang cukup ampuh. Karena menyadari bahaya, maka diapun meniru Kwi Song dan Kwi Beng, malah dengan lebih ganas melontarkan totokan maut yang 2 tahun terkahir diyakininya yakni Toat Beng Ci yang sangat ampuh dan mencicit-cicit kearah 3 lhama Tibet.

Penyerang yang diserang Kwi Song terdorong 3 langkah ke belakang, sama juga seperti Kwi Song terdorong 3 langkah ke belakang, sementara sang tancu terjengkang kebelakang kalah tenaga dengan Kwi Beng, sedangkan ketiga lhama Tibet lainnya menjatuhkan diri kesamping menyadari betapa ganasnya Toat Beng Ci yang dilepaskan dengan amarah oleh Giok Lian.

Melihat lawan-lawan mereka goyah, Kwi Beng berseru, “mari, saatnya pergi” sambil kemudian tubuhnya berkelabat diikuti Kwi Song dan Giok Lian. Ketiganya seperti berlomba mengerahkan kekuatan ginkangnya, dan nampaknya Giok Lian dan Kwi Song masih menang sedikit kecepatannya dibandingkan Kwi Beng.

Setelah berlari-larian selama kurang lebih 1 jam dan yakin bahwa mereka tidak dikutit orang, maka akhirnya ketiganyapun menghentikan larinya:

“Berbahaya, sungguh berbahaya. Koko, penyerang itu menggunakan Hong Ping Ciang, tetapi dengan gaya yang agak asing” berkata Kwi Song penasaran.

“Jika tidak salah, mereka adalah lhama pelarian dari Tibet seperti yang diceritakan Ciangbunjin Siauw Lim Sie” jawab Kwi Beng.

“Jika benar demikian, maka yang menyerang nona ini berarti tiga lhama pemberontak dari Tibet. Sementara yang menyerangku mungkin adalah orang tertua dari beberapa lhama utama yang berkhianat” desis Kwi Song.

“Siapakah kalian”? dan benarkah gadis yang diculik itu sudah kalian temukan dan bebaskan?” Tiba-tiba Giok Lian bertanya. Pertanyaannya menyadarkan Kwi Song dan Kwi Beng bahwa mereka belum saling memperkenalkan diri. Dan seperti biasa, keadaan seperti ini adalah kemahiran Kwi Song. Karena itu dengan lunak dan simpatik kemudian dia berpaling memandang gaids yang mengagumkan itu dan berkata:

“Benar Nona, aneh sekali kita belum saling berkenalan. Cayhe bernama Souw Kwi Song, sementara Kokoku, Souw Kwi Beng, kami murid-murid Siauw Lim Sie. Sementara nona yang diculik kebetulan sudah kuselamatkan, saat ini mungkin sudah berada di rumahnya.

Dan jika boleh tahu, siapakah gerangan nama Nona”? Kwi Song memperkenalkan diri dan menjawab pertanyaan Giok Lian dengan sopan dan simpatik. Tetapi, dia melihat Giok Lian malah kebingungan memandangi mereka berdua berulang-ulang sambil berdesis, “Sungguh mirip, sungguh mirip.

Akan sukar untuk mengenali dengan benar kalian berdua ini” desis Giok Lian takjub melihat kesamaan kakak beradik kembar ini.

“Kami memang saudara kembar nona, kebetulan kakakku lahir lebih dahulu dariku, makanya kupanggil dia koko” sahut Kwi Song tersenyum.

“Dan siapakah gerangan nama nona” bertanya Kwi Song

“Siangkoan Giok Lian. Tapi sebelumnya terima kasih atas bantuan jiwi” Giok Lian memperkenalkan nama sambil mengucapkan terima kasih.

“She Siangkoan, apakah nona berasal dari Bengkauw”? Bertanya Kwi Song yang nampak terkejut dan kagum atas si Gadis yang memang dirasakannya pasti memiliki asal usul yang tidak biasa.

“Benar, kakekku Siangkoan Tek yang menjadi Bengkauw Kauwcu saat ini”

“Hm, pantas, pantas. Nona sungguh-sungguh telah memberi pukulan dan gertakan bagi para kaum sesat itu” Kwi Song memuji.

“Bukan hal luar biasa, malah harus berterima kasih, kalian sudha menolongku” Giok Lian merendah.

“Sudahlah nona, sesama kaum persilatan tidak ada salahnya saling menolong. Hanya saja, keadaan di Gedung Keluarga Lim memang terasa sangat aneh” Kwi Beng menyela.

Nampak wajah Giok Lian berkerut karena diapun merasakan keanehan yang ditunjukkan oleh Kok Han tadi. Dia merasa bukan tanpa maksud Kok Han bersikap menyerang tetapi tidak dengan sungguh-sungguh dan bahkan terkesan mengharapkan bantuannya. Karena itu dia berkata: “Ketika Lim Kok Han menyerangku, bukan saja dengan tidak sungguh-sungguh, bahkan sinar matanya sangat aneh, penuh permohonan yang tidak bisa kutebak”.

“Benar Nona Giok Lian, akupun melihat Kok Han menyerangmu dengan tidak wajar” demikian Kwi Beng.

“Soal keanehan, memang sangat aneh. Masakan gedung keluarga Pendekar tetapi kamar-kamarnya berisi perempuan dan lelaki bangor? Terus penjaga penjaganya tidak membayangkan kegagahan, tetapi lebih mirip para perampok. Nampaknya Gedung keluarga Lim ini sedang mengalami musibah” analisis Kwi Song.

“Benar, tidak salah lagi” Tiba-tiba Giok Lian berseru, seperti menemukan sebuah petunjuk yang sangat penting. Dia melanjutkan, “Aku mendengar dalam perjalananku bahwa ada beberapa Lhama pemberontak yang bergabung dengan Perkumpulan misterius yang sedang mengacau Tionggoan. Bukankah ketiga penyerang tadi adalah kaum Lhama”?

“Tepat sekali nona. Ilmu silat mereka memang membayangkan Ilmu Silat kaum Budha yang mirip Siauw Lim Sie, mereka pastilah Kaum Lhama Tibet” Desis Kwi Beng.

“Dan artinya, Gedung Keluarga Lim saat ini sudah dalam genggaman Perkumpulan Misterius yang mengganas di Tionggoan ini. Artinya lagi, daerah Bing lam ini, nampaknya sudah mereka kuasai. Koko, bagaimana dengan Siauw Lim Sie di Poh Thian? Kwi Song bersuara khawatir

“Benar Song te, akupun jadi khawatir dengan keadaan Thian Ouw Suheng disana” Kwi Beng menanggapi dengan roman yang juga membayangkan kegelisahan.

“Tapi, bila melihat berkumpulnya banyak jago lihay dan konsentrasi kekuatan Perkumpulan itu ada di Sian yu, nampaknya mereka belum menyerang Siauw Lim Sie” Giok Lian coba menenangkan.

“Hm, nampaknya akupun berpikir demikian. Bukan tidak mungkin malah mereka sedang merencanakan menyerbu Siauw Lim Sie di Poh Thian” Kwi Song yang biasanya riang, nampak sedang berpikir keras.
Bahkan dia melanjutkan:

“Pertama, mereka nampak sedang bersantai atau sedang memupuk kekuatan. Dibuktikan dengan kamar-kamar yang penuh dengan kemaksiatan, artinya beberapa jago mereka sedang melepas penat. Kedua, begitu banyak jago yang berkumpul disini, dan artinya rumah keluarga Lim nampaknya sudah mereka kuasai.

Ketiga, menurut nona Giok Lian, Lim Kok Han seperti sedang minta bantuan, itu berarti rumah keluarga Lim sudah dikuasai dan sangat mungkin serangan selanjutnya mengarah ke Siauw Lim Sie. Keempat, nampaknya markas mereka di Bing lam ini justru di rumah keluarga Lim.”

“Bila melihat keadaan mereka, bukan mustahil justru mereka sedang berencana menyerang Siuaw Lim Sie” Giok Lian berkomentar.

“Dan bila benar demikian, maka gangguan kita malam ini, akan berakibat mereka mempercepat atau menunda penyerangan itu”, tambahnya.

“Apabila kekuatan utama mereka hanyalah yang berhadapan dengan kita, maka rasanya Thian Ouw Suheng masih sanggup menahan mereka. Tetapi, bila masih tersimpan beberapa tokoh tangguh, maka keadaan Siauw Lim Sie di Poh Thian sungguh membahayakan” Kwi Song melanjutkan.

“Koko, bila demikian ada baiknya malam ini juga kita melanjutkan perjalanan ke Poh Thian” Kwi Song mengusulkan, tetapi matanya justru melirik ke Giok Lian. Dan bukan Kwi Beng yang menjawab, tetapi Giok Lian yang kemudian berkata:

“Apabila kalian memutuskan ke Poh Thian, biarlah kucapkan terima kasih atas bantuannya. Perkenankan aku kembali ke penginapan” Giok Lian kemudian menjura ke kedua kakak beradik itu dan kemudian berkelabat lenyap diiringi pandangan kagum Kwi Song dan Kwi Beng.

Sungguh gadis sakti yang pemberani. Pertemuan yang sangat mengesankan dan meninggalkan seberkas perhatian yang dalam, terutama di benak Kwi Song yang rada romantis itu.
 
BAB 9 Siauw lim sie cabang poh thian
1 Siauw lim sie cabang poh thian




Thian Ouw Hwesio sudah berusia mendekati 70 tahunan, rambut dan alis matanyapun sudah memutih semuanya. Tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan penuh welas asih. Gerak-gerik padri tua ini memang sangat berwibawa, wibawa yang lahir bukan secara lahiriah semata.

Tetapi karena pendalaman masalah keagamaan yang sudah tinggi, serta juga kemampuan fisik yang luar biasa karena penguasaan tenaga sakti yang sangat mumpuni. Meskipun sudah renta, tetapi sesungguhnya padri tua ini adalah naga sakti yang terpendam.

Kesaktiannya bahkan masih melampaui Kong Sian Hwesio, Ciangbunjin Siauw Lim Sie di Siong San yang masih terhitung keponakan muridnya. Thian Ouw sudah terlanjur mencintai alam Bing lam dan terutama ciri khas teh di Bing lam yang sangat digemarinya.

Padri tua ini mengikuti gurunya Kian Sim Hosiang yang merupakan adik seperguruan Kian Ti Hosiang yang menugaskannya memimpin Siauw Lim Sie cabang Poh Thian kurang lebih 50 tahun lalu. Sebagai adik seperguruan Kian Ti Hosiang, Kian Sim Hosiang juga bukanlah padri sembarangan.

Otomatis, Thian Ouw Hwesio juga bukan padri sembarangan, bahkan pada masa mudanya berkali kali memperoleh petunjuk dan bantuan supeknya, Kian Ti Hosiang yang sangat mengagumi bakat dan kesalehan padri ini.

Karena itu, tidak heran bila Thian Ouw Hwesio mahir menggunakan Kim Kong Ci dan Tay Lo Kim Kong Ciang yang diajarkan gurunya dan disempurnakan supeknya.

Latihan dan penguasaan tenaga saktinya, dewasa ini sudah terbilang mendekati sempurna, bahkan mengalahkan generasi angkatan Thian yang berada di Siauw Lim Sie Siong San dewasa ini.

Urusan Siauw Lim Sie Cabang Poh Thian pada tahun-tahun belakangan ini, lebih banyak diserahkan kepada 5 murid utamanya. Tahun-tahun belakangan ini, Thian Ouw Hwesio memang lebih banyak bersemadi.

Dan bilapun tidak bersamadi, lebih banyak menghabiskan waktunya dengan meracik-racik teh kebanggaan daerah Bing lam. Padri tua ini bahkan sudah mampu menghasilkan beberapa variasi teh dengan rasa dan khasiat yang berbeda-beda selama menekuni masalah teh akhir-akhir ini.

Kelima murid utamanya masing-masing bernama Kiam Sim Hwesio, yang tertua, kemudian disusul oleh Kiam Ho Hwesio, Kiam Khi Hwesio, Kiam Hong Hwesio dan Kiam Sun Hwesio.

Kiam Sim Hwesio sebagai yang tertualah yang biasanya mewakili suhunya untuk mengurusi masalah sehari-hari di kuil itu, dibantu oleh para sutenya.

Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian sendiri tidaklah memiliki murid yang sangat banyak. Paling banyak berjumlah 70an orang. Selain itu, berbeda dengan Siong San, Kuil di Poh Thian tidaklah menerima murid preman dan karena itu perkembangan dunia persilatan tidaklah terlampau diminati oleh Siauw Lim Sie cabang Poh Thian.

Bila pengaruhnya di Poh Thian sangat besar, itu dikarenakan penduduk sekitar yang bila menemui kesulitan, semisal dirampok atau diganggu para penjahat, mengadunya pasti ke Keluarga Lim atau Siauw Lim Sie kuil Poh Thian ini.

Dan biasanya dikirim Pendeta berilmu tinggi untuk membantu mengatasi gangguan para penjahat bagi penduduk di sekitar Poh Thian. Dan itu juga sebabnya para penjahat enggan mengganas di dekat-dekat kuil yang banyak pendeta saktinya tersebut.

Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian memang tidaklah sebesar dan semegah kuil di Siong San, tetapi hawa keagungan dan hikmat sungguh tersiar dari Kuil yang seperti tenggelam di balik gunung tersebut.

Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian memang dikelilingi tebing yang ditumbuhi pohon-pohon yang besar dan rindang, tetapi jarak tebing berpohon itu ke halaman kuil, juga masih cukup jauh. Di Belakang kuil mengalir sebuah sungai yang tidak berapa besar, malah nampak hanya seperti sebuah kali yang mengalir dengan beningnya.

Pintu masuk resminya adalah pintu lembah yang hanya dijaga oleh 2 orang pendeta budha dan berjarak hampir 100 meter dari gerbang utama Kuil. Meskipun berjarak cukup panjang dan lapang dari tebing-tebing di kiri dan kanan, tetapi sepanjang jalan ke arah kuil, tumbuh rerumputan yang seperti tidak tumbuh liar tetapi terpelihara.

Karena itu, sejauh mata memandang dari arah kuil ke tebing-tebing, didominasi oleh pemandangan yang sangat hijau. Tetapi karena terkurung tebing di kiri dan kanan, Kuil ini sejak sore hari menjelang senja malah dengan cepat diliputi kegelapan.

“Suhu, perkenankan kami menemui Thian Ouw Suheng” Seorang dari kedua anak muda yang berdiri di pintu masuk halaman kuil meminta ijin.

“Thian Ouw Suheng”? Pendeta muda penjaga pintu masuk bertanya heran. Betapa tidak, Ciangbunjinnya sudah berusia 70 tahunan, dan dipanggil suheng oleh anak muda yang paling banyak usianya 20 tahunan. Aneh tentu saja.

“Benar suhu, kami Souw Kwi Song dan kakakku Souw Kwi Beng berasal dari Siauw Lim Sie Siong San, mendapat tugas menemui Thian Ouw Suheng” Si anak muda yang ternyata Souw Kwi Song memperkenalkan diri.

Tetapi kedua pendeta muda penjaga pintu masuk memandangi kedua anak muda yang baru datang itu dengan tertegun. Setidaknya ada 2 keheranan besar bagi mereka. Pertama, bagaimana mungkin kedua anak muda yang paling banyak berusia 20 tahunan ini menyebut Guru Besar mereka “SUHENG”.

Apa tidak salah dengar? Begitu mungkin pikiran mereka. Kedua, mereka memandang takjub kedua anak muda yang teramat sangat mirip bagaikan pinang dibelah dua, dan hanya dibedakan oleh pakaian yang mereka kenakan.

“Jiwi enghiong mau bertemu Ciangbunjin”? Salah seorang akhirnya mampu mengatasi keheranannya dan bertanya.

“Benar suhu, kami ditugaskan oleh Kong Sian Ciangbunjin untuk bertamu dan membicarakan beberapa hal dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie cabang Poh Thian” Kwi Song menegaskan.

“Baik, baik jika demikian, tapi perkenankan kami melaporkan hal ini kedalam” salah seorang pendeta penjaga kemudian bergegas masuk kedalam. Dan setelah menunggu cukup lama, akhirnya kemudian pendeta muda tersebut kembali lagi kedepan dan mengundang serta mempersilahkan Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song untuk masuk kedalam.

Mungkin karena merasa tamunya adalah orang-orang muda, maka Kiam Sim Hwesio menerima mereka di sebuah ruangan dekat Cang King Kek, ruang perpustakaan Siauw Lim Sie cabang Selatan Poh Thian. Begitu tiba dihadapan Kiam Sim Hwesio, kedua pemuda kembar itu kemudian menjura, memberi hormat dan berkata:

“Terima kasih, tecu brdua boleh diterima bertamu. Tapi apakah benar kini kami bertemu dengan Thian Ouw Suheng”? Souw Kwi Song kembali menegaskan, apa benar didepan mereka adalah suheng mereka.

“Suheng”? Pendeta tua yang memang bernama Kiam Sim Hwesio ini tercengang heran, tetapi hanya sekelabat saja.

“Siapakah jiwi dan murid siapakah kalian”? Kiam Sim balas bertanya.

“Tecu Souw Kwi Song dan kakak tecu Souw Kwi Beng, mendapatkan tugas dari Ciangbunjin Siauw Lim Sie di Siongsan dan insu yang mulia untuk bertemu dengan Suheng Thian Ouw Hwesio di Poh Thian” Demikian Kwi Song mengutarakan maksud kunjungannya.

“Siapakah guru jiwi enghiong ini?” Kiam Sim Hwesio bertanya keheranan.

“Nama suhu yang mulia adalah Kian Ti Hosiang. Beliau meminta kami menemui Thian Ouw Suheng untuk meminta beberapa pengajaran” Kwi Beng yang cepat sadar menegaskan.

Kiam Sim Hwesio tersentak kaget. Bukan main, kedua anak remaja ini adalah murid-murid dari su-couwnya, bekas Ketua Siauw Lim Sie yang sangat terkenal.

Kaget dan kagum dia memandangi kedua anak muda yang sangat mirip itu, bersikap gagah dan juga sangatlah sopan. Karena itu, sambil memuji sang Budha, dia kemudian berkata:

“Siancai, siancai. Ternyata pinto berhadapan dengan dengan kedua susiok yang masih sangat muda. Baik, baik, perkenankan pinto memberi tahu Ciangbunjin dulu, beliau pasti akan sangat senang dan kaget menerima kalian berdua”.

===============

Padri sakti dari Siauw Lim Sie Poh Thian ini memang sudah tua renta. Diapun sudah jarang keluar dari ruangan samadinya. Kecuali untuk mengajar agama bagi murid-murid Siauw Lim Sie Poh Thian ataupun menyeduh teh kesukaannya di kebun belakang kuil, itulah alasan dia keluar.

Semua urusan Siauw Lim Sie sekarang ini ditangani oleh muridnya yang tertua, seorang pendeta saleh bernama Kiam Sim Hwesio, yang juga mewarisi hampir seluruh kesaktian Thian Ouw Hwesio.

Begitu memasuki ruangan yang berbau dupa dan mendapati Thian Ouw Hwesio yang rambutnya seluruh serta alisnya sudah memutih, dan memandang mereka dengan lembut, baik Kwi Song maupun Kwi Beng segera berlutut sambil berkata:

“Hormat kami buat Thian Ouw Suheng” tetapi alangkah terkejutnya mereka ketika sebuah arus tenaga yang sangat kuat namun lembut telah menahan mereka untuk lebih jauh menyoja dihadapan pendeta ini.

Keduanya sadar, suheng mereka yang sudah amat tua ini pasti ingin mengethui sampai dimana kemampuan mereka. Karena itu, keduanya tetap dalam posisi menyembah, meskipun perlahan tetapi pasti keduanya sadar dan kagum akan kehebatan tenaga sinkang suheng mereka ini.

“Hm, Supek memang tidak sia-sia membimbing kalian berdua. Sungguh akan sulit menemukan tandingan kalian diantara jutaan anak muda di Tionggoan untuk kondisi sekarang ini. Siancai-ciancai” Thian Ouw Hwesio tidak menyembunyikan kegirangan dan kekagumannya atas 2 orang generasi muda dari pintu perguruannya ini.

Apalagi, sekali pandang saja dia sudah bisa mengukur kepribadian kedua anak muda yang sangat sopan dan sangat menghargai orang yang lebih tua dari mereka.

“Bagaimanakah keadaan supek yang terakhir”?

“Suhu baik-baik saja suheng, cuma sudah sangat tua. Sepuluh tahun terakhir ini, selain membimbing kami, suhu tidak lagi pernah meninggalkan gua pertapaannya di belakang gunung Siong San” Jawab Kwi Song

“Siancai, siancai, Supek memang sudah sangat tua, jika tidak keliru tahun ini beliau memasuki usia yang mendekati 105 tahunan. Sungguh luar biasa”

“Suheng, apa benar memang usia suhu sudah setua itu”? Kwi Song bertanya heran.

“Apakah Supek, beliau itu tidak pernah memberitahu kalian mengenai persoalan tersebut”?

“Ach, suhu tidak pernah menjawab pasti. Paling-paling berkata, apalah artinya umur manusia, yang penting bukan panjang atau pendeknya, tetapi isinya” Kwi Beng menjawab.

Siancai, siancai, supek benar-benar sudah mencapai tingkatan yang tidak terkatakan” Thian Ouw memuji kebesaran Budha

“Tapi, ada apa gerangan Supek mengutus kalian menemui pinto”?

“Entahlah Suheng, Suhu hanya berpesan dan berkata datanglah dan belajarlah sesuatu kepada suheng kalian selama beberapa bulan di Poh Thian. Selain itu, tidak ada kalimat lain lagi Suheng” Jawab Kwi Song

“Kami hanya diberi waktu setahun oleh Suhu untuk berkelana meluaskan pengalaman, setelah itu Suhu meminta kami kembali bertemu beliau” tambah Kwi Beng.

Meskipun tidak mengatakan maksud utamanya dalam kata-kata, nampaknya Thian Ouw dengan mata batinnya seperti memahami sesuatu, tetapi tidak diucapkannya. Berkali-kali dia menatap kedua anak kembar dihadapannya dan menarik nafas panjang.

Sungguh tunas-tunas muda yang sangat berharga bagi Siauw Lim Sie dan bagi dunia persilatan. Secara khusus dia menimang-nimang keadaan Kwi Beng dan mengagumi wataknya yang halus dan nampaknya sangat mampu mengendalikan diri dan emosinya.

Agak berbeda dengan Kwi Song yang lebih periang dan nampak lebih aktif daripada kakaknya. Mata batinnya yang tajam seperti mengerti apa maksud supeknya mengutus kedua anak murid terakhirnya ke Poh Thian. Karena meskipun tidak mengikuti keadaan dunia persilatan, tetapi mendung di dunia persilatan bukannya tidak terbaca oleh firasatnya yang sangat tajam.

“Baiklah, jiwi sute tentu sudah cukup lelah, apalagi kalian baru mengalami perjalanan panjang dan nampak berat dan belum beristirahat. Biarlah hal penting lainnya kita bicarakan malam nanti disini” Thian Ouw menutup pembicaraan dan mempersilahkan kedua sutenya yang masih belia ini untuk beristirahat terlebih dahulu.

Tetapi Kwi Beng yang lebih tanggap terheran-heran, bagaimana bisa Suhengnya mengetahui bahwa mereka melakukan perjalanan siang-malam dalam 2 hari terakhir ini untuk mengejar sampai ke Poh Thian. “Ach, Suheng nampaknya sama anehnya dan sama misteriusnya dengan suhu yang mulia, nampak rada-rada mirip” pikirnya.

==============

“Jiwi sute, sebetulnya meskipun Supek tidak memberitahu lewat kata-kata, tetapi setidaknya 2 hal bisa pinto mengerti. Keduanya, nampak berhubungan dengan nasib Siauw Lim Sie di Poh Thian ini. Bila pinto tidak salah, jiwi sute bahkan sudah sedikit mengetahui persoalan pertama” Thian Ouw Hwesio yang bijak memulai percakapan dengan kedua sutenya di ruangannya setelah makan malam.

“Maksud suheng”? Kwi Song yang bertanya duluan dengan wajah berkerut

“Maksud pinto, nampaknya dalam perjalanan jiwi sute sudah menemukan sedikit petunjuk” jawab Thian Ouw Hwesio tenang.

“Bagaimana suheng bisa menduga setepat itu”? Kwi Song penasaran, sementara Kwi Beng tetap diam tenang.

“Pinto melihat dari kegelisahan dan ketergesa-gesaan jiwi sute untuk terus berjalan siang malam ke Poh Thian” Thian Ouw berkata sambil mengelus janggutnya yang sudat putih semuanya. Tetapi meskipun bicara demikian, Kwi Beng yakin bahwa ada alasan lain mengapa Thian Ouw menduga secara tepat, meskipun dia sendiri sulit untuk mengatakan bagaimana dan apa.

“Sungguh Suheng berpandangan tajam” puji Kwi Song.

“Karena hanya alasan seperti itulah yang bisa mendesak jiwi sute yang perkasa untuk bergegas kemari dengan mengabaikan keindahan alam Bing lam, terutama perjalanan ke Poh Thian yang penuh pemandangan alam yang demikian indah”

“Jadi suheng sudah menduga kalau akan ada ancaman terhadap Kuil Siauw Lim Sie kita di Poh Thian ini” bergumam Kwi Beng

“Benar setengahnya sute. Setengahnya lagi kupercaya dari ketergesa-gesaan jiwi sute”.

“Taruh kata benar, bahwa Siauw Lim Sie kita sedang terancam. Apakah suheng sudah mempersiapkan Kuil kita ini menghadapinya”? Tanya Kwi Song

“”Habis, apa pula maksud supek mengutus kalian kemari. Apa jiwi sute pikir supek hanya meminta kalian sekedar berpelisiran ke Poh Thian”?

Thian Ouw Hwesio tersenyum melihat Kwi Song yang garuk-garuk kepala meskipun dia yakin kepalanya tidaklah gatal sema sekali.

“Jadi itulah maksud suheng bahwa persoalan pertama yang dimaksudkan suhu adalah membantu Kuil kita di Poh Thian. Dan apakah maksud kedua yang tadi disebutkan suheng”? Kwi Beng bertanya

“Kwi Beng sute, untuk hal yang kedua, masih berkaitan dengan Kuil kita ini, akan bisa kamu mengerti di kemudian hari. Percayalah, sute akan mengerti dengan sendirinya, dan biarlah pinto tidak mendahului kehendak alam” Thain Ouw menjawab diplomatis.

Bahkan Kwi Song pun kehilangan ketika untuk mempersoalkan hal kedua yang dimaksudkan suhengnya. Suhengnya sama aneh dan misteriusnya dengan suhunya. Tetapi kedua manusia sakti ini sungguh mendatangkan rasa hormat yang luar biasa.
 
2 Surat peringatan





“Sekarang, karena hal pertama tadi memang agak genting, maka tidak ada salahnya pinto menemani jiwi sute untuk sekedar menjajal kemampuan jiwi sute yang akan maju menandingi para perusuh itu” Thian Ouw Hwesio kemudian bangkit berdiri dan membimbing kedua sutenya itu menuju ke ruangan berlatih silat.

Bahkan untuk menemani mereka bertiga, Kiam Sim Hwesio juga dipanggil oleh Thian Ouw Hwesio masuk ke Lian Bu Thia, untuk bersama-sama saling menjajal kemampuan menghadapi serbuan musuh.

Anehnya, ketiganya seperti sudah tahu siapa yang akan menyerang dan karenanya tidak lagi mempercakapkan siapa mereka dan bagaimana mereka menyerang.

Thian Ouw Hwesio seperti tidak peduli dengan kelompok yang akan menyerang, karena dia yakin dengan kekuatan mata batinnya, sama yakinnya dengan keyakinan supeknya yang lebih sakti mandraguna diabandingkan dirinya yang merasa cukup mengutus kedua murid penutupnya.

Seperti yang telah diduga oleh Thian Ouw Hwesio, kedua anak muda yang genap berusia 20 tahunan ini memang adalah anak-anak naga. Bagaimana tidak menjadi anak naga, yang membimbing dan mendidiknya dianggap sebagai Naga tersakti dari Siauw Lim Sie selama 200 tahun terakhir.

Naga sakti yang sanggup membedah dan mendalami ilmu-ilmu pusaka Siauw Lim Sie yang dianggap sulit, yakni Ih Kin Keng, Tay Lo Kim Kong Ciang, Ban Hud Ciang dan kepandaian lain yang sudah sulit diyakini. Kepandaian semisal Lo Han Kun dan Siauw Lim Kiam Hoat adalah pelajaran-pelajaran dasar dan umum, yang pasti dengan baik dikuasai oleh murid tingkat kelima sekalipun di Siauw Lim Sie.

Tetapi Ilmu berat di atas, bahkan Ketua Siauw Lim Sie belum tentu mampu menguasainya, apalagi Selaksa Telapak Budha yang mujijat. Bahkan Thian Ouw sendiri hanya mampu menguasainya sampai tingkat ke 8 dan mungkin 9 dari 10 tingkatan penggunaan pukulan tersebut. Padahal, sejak berusia 40-an, Kian Ti Hosiang sudah sanggup memainkan Ilmu tersebut secara lengkap.

“Baiklah, Beng Sute, bagaimana kalau kita bermain-main melemaskan otot. Sudah lama pinto tidak lagi bermain-main dengan ilmu silat” Thian Ouw Hwesio langsung mengundang Kwi Beng untuk melayaninya berlatih.

Padahal, Kwi Beng dan Kwi Song tahu belaka, bahwa Suheng mereka ini dipuji guru mereka sebagai generasi Thian yang terlihay yang dimiliki Siauw Lim Sie dewasa ini. Bahkan beberapa kali memperoleh bimbingan dan petunjuk guru mereka.

Bahkan mereka tidak tahu, bahwa Thian Ouw Hwesio bahkan menganggap Kian Ti Hosiang sebagai salah satu gurunya, karena memang Kepandaian suhunya terpaut jauh dengan supeknya ini.

Thian Ouw Hwesio terkejut ketika terjadi benturan tangan antara mereka, karena hanya tenaga sinkang yang matang sajalah yang mampu menghadirkan getaran di tangannya.

Diam-diam dia kagum, karena sadar bahwa kepandaian Kwi Beng bahkan menurut hitungannya sudah melampaui kepandaian Ketua Siauw Lim Sie sebagaimana yang dijajalnya 10 tahun sebelumnya. Sementara sutenya yang baru berusia dibawah 20 tahun, sudah sanggup memiliki tenaga sakti sekuat ini.

Benar-benar dia mengagumi kehebatan supeknya yang mampu membimbing anak muda yang masih ingusan hingga sehebat ini.

“Haiiit”, tiba-tiba Kwi Beng membuka serangan dengan menggunakan Tay Lo Kim Kong Ciang. Kedua tangannya bergerak bagaikan baling-baling dan meluncurlah tenaga sakti dari kedua tangannya mengincar beberapa bagian penting di tubuh Thian Ouw Hwesio.

Tapi betapapun suhengnya ini memiliki tenaga latihan dan masa pematangan yang lebih panjang, apalagi juga memiliki pengalaman bertanding yang lebih luas. Karena itu, serangan-serangan jurus ini bisa diterka dan diimbangi dengan baik sekali oleh Thian Ouw Hwesio.

Beberapa kali terjadi benturan kekuatan sinkang, dan keduanya kagum karena nampaknya selisih tidaklah terlampau jauh. Kekokohan Kwi Beng menjadi lebih teruji, terutama dalam memainkan jurus-jurus penuh kekuatan Sinkang yang membutuhkan pengerahan tenaga sinkang yang lebih berat.

“Plak, plak, hait” terjadi dua kali benturan ketika keduanya tiba-tiba mengganti jurus dan menggunakan Ban Hud Ciang. Keduanya perlahan-lahan merambat menguji penggunaan Ilmu Mujijat dari kalangan Budha itu dari tingkat satu dan terus merambat naik.

Seperti juga tadi, Kwi Beng nampak bergerak kokoh, tetapi kalah pengalaman dan kematangan. Tetapi yang mengejutkan Thian Ouw, semuda ini, Kwi Beng sudah sanggup memainkan jurus mujijat ini hingga ke taraf yang juga dikuasasinya, yakni tingkat ke-9.

Ini berarti, tingkat kemampuan Sinkang dan pendalaman Ih Kin Keng sutenya ini sudah sangat dalam. Dan, dia jadi sadar, bahwa supeknya pasti sudah bekerja sangat keras untuk membentuk naga muda ini bagi kepentingan dunia persilatan dan Siauw Lim Sie.

Ketika beralih menggunakan jurus-jurus lain, bahkan termasuk Tam Ci Sin Thong yang sangat berbahaya karena membawa arus tenaga setajam ujung pedang, nampak keduanya sudah mendalaminya secara sempurna. Baik Thian Ouw Hwesio maupun Kwi Beng mampu memainkannya dengan tenaga terukur.

Dan akibatnya suara yang mencicit-cicit mengerikan itu berkali kali berakhir dengan suara “cuss”, jika bukan tanah yang tergerus, atau bebatuan yang hancur berkeping-keping terkena serpihan angin serangan totokan jari yang sangat tajam menusuk itu.

Meskipun masih belum sematang Thian Ouw, tetapi perbawa Kwi Beng sungguh sangat menakjubkan untuk anak seusianya, karena bahkan dibandingkan Kiam Sim Hwesio yang menonton dari pinggiran, Kwi Beng bahkan sudah cukup jauh melampauinya.

Setelah hampir 100 jurus keduanya bergebrak, tiba-tiba Kwi Beng memainkan Ilmu yang belum dikenal Thian Ouw Hwesio, Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih). Kadang langkahnya secepat angin badai dan menghadirkan perbawa yang luar biasa merusaknya, tetapi kadang sangat lamban bagaikan awan putih yang bergerak lambat namun mempengaruhi pernafasan Thian Ouw Hwesio.

Kombinasi gerakan cepat dan lambat dengan perbawa yang berubah-ubah menyadarkan Thian Ouw Hwesio bahwa jurus ini memiliki kemampuan mempengaruhi batin seseorang. Karena itu, cepat-cepat dia mengerahkan jurusnya yang bernama Pek In Ciang (Tangan Awan Putih) yang memiliki kemampuan menolak hawa-hawa penyesat.

Keduanya bersilat dengan sangat hebat, angin pukulan berkesiuran hebat di kiri-kanan keduanya, dan benda-benda kecil disekitarnya ikut berpusing-pusing dengan arah yang aneh disekitar tubuh kedua orang itu.

Thian Ouw Hwesio menyadari betapa aneh dan betapa dahsyatnya hawa pukulan yang terkandung dalam Ilmu yang terakhir. Samar-samar dia merasakan betapa beberapa unsur Tay Lo dan Ban Hud Ciang seperti dikombinasikan dalam gerakan lambat dan kilat yang membawa perbawa mengerikan itu.

Thian Ouw sendiri memang mampu mengimbanginya, karena ilmu ciptaannya, Pek In Ciang, sebenarnya memiliki kemiripan, dan bahkan jauh lebih ringan, namun dengan hawa pukulan yang tidak kurang kuatnya.

Dari sekitar tubuhnya kemudian muncul awan putih yang semakin lama-semakin pekat, seperti juga awan putih yang mengelilingi tubuh Kwi Beng yang menyebabkan benda apapun yang mendekatinya ikut berputaran dan sesekali terlontar jauh. Di tengah belitan berbahaya tersebut, tiba-tiba Thian Ouw Hwesio mengerahkan kekuatan batinnya dan berseru:

“Kwi Beng Sute, cukup” Serunya sambil kemudian melepaskan pukulan ringan penutup dari Pek In Ciang. Nafasnya memang tidak memburu, tetapi keringat mengucur dari tubuhnya menandakan bahwa pertarungan tersebut ternyata membawa kesenangan baginya atau dinikmatinya, dan juga nampak bahwa kemampuan Kwi Beng tidaklah tertinggal jauh darinya.

“Maafkan aku suheng” Kwi Beng kemudian juga melompat menjauh, kemudian melakukan beberapa gerakan untuk kemudian upa dan awan putih disekitar tubuhnya perlahan lahan sirap.

“Sute, apakah ilmu yang terakhir itu adalah ciptaan terakhir dari Supek”? bertanya Thian Ouw kagum

“Betul Suheng, Ilmu ini diciptakan suhu 20 tahun terakhir ini. Terutama menurut suhu diciptakan dengan mencermati perpaduan dua unsur yang nampak berlawanan, yakni lunak dan kuat. Suhu meminta kami menyempurnakannya dalam pengembaraan kami” jawab Kwi Beng.

“Hm, supek memang luar biasa. Pinto untungnya mampu juga menciptakan Pek In Ciang, tetapi lebih mendasarkan atas kelemasannya. Nampaknya bisa juga jiwi sute mempelajarinya bersama Kiam Sim hwesio. Hitung-hitung persiapan kita menghadapi para penyerang”.

Demikianlah selanjutnya Thian Ouw Hwesio juga menguji Kwi Song yang bahkan memiliki variasi dan tipu serangan yang lebih kaya dan lebih gesit ketimbang Kwi Beng. Tetapi masih sedikit di bawah Kwi Beng dalam penggunaan tenaga Sinkangnya.

Tetapi begitupun telah membuat Thian Ouw menarik nafas kagum bukan buatan dengan capaian kedua sutenya yang masih sangat mudah ini. Terasa benar bedanya perbawa yang dilahirkan kedua anak ini dalam penggunaan Ilmu-Ilmu puncak gurunya, dan nampaknya Pek In Ciang justru akan lebih cocok bagi Kwi Song dalam unsur kegesitan dan kelemasannya.

Karena Pek In Ciang memang diciptakan sesuai dengan kondisi Poh Thian yang membutuhkan kegesitan dan juga dimaksudkan sama dengan jurus ciptaan Kian Ti Hosiang, yakni melawan pengaruh-pengaruh yang menyesatkan pikiran melalui kekuatan yang disalurkan dalam gerakan-gerakan lemas dan lincah seperti awan yang gampang tertiup angin.

Malamnya, bahkan sampai 2 minggu kemudian, keempat orang itu, Kwi Beng, Kwi Song, Thian Ouw Hwesio dan Kiam Sim Hwesio memperdalam ilmu masing-masing. Terutama Kwi Song, Kwi Beng dan Kiam Sim Hwesio.

Mereka bertiga memeras keringat untuk memperdalam dan meyakinkan ilmu baru, yakni Pek In Ciang. Dan sebagaimana dugaan Thian Ouw Hwesio, Kwi Song memang yang paling bersemangat dan paling mampu menangkap sari penggunaan Pek In Ciang.

Dalam waktu dua minggu, Kwi Songlah yang menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Tetapi, karena ketiga orang itu memang sudah demikian tinggi tingkat ilmunya, pada dasarnya mereka sudah sanggup menggunakan dan menghadirkan perbawa yang luar biasa dari Pek In Ciang.

Kemampuan menciptakan awan putih yang tebal ada dalam diri Kwi Beng, tetapi memanfaatkan awan putih tersebut bagi menyerang dan mempengaruhi lawan dikuasai dengan lebih baik oleh Kwi Song.

Siang hari, memasuki hari ke-15, kedua pemuda kembar itu berlatih di Poh Thian, baik melatih Ilmu Silat maupun Ilmu keagamaan di bawah bimbingan suheng mereka. Tiba-tiba seorang pendeta muda memasuki ruangan Lian Bu Thia sambil membawa sebuah amplop berisi surat.

Amplop diserahkan kepada Kiam Sim Hwesio dan ditujukan kepada KEDUA PEMUDA SHE SOUW. Ketika dengan bergegas Kwi Song membuka amplop surat itu, maka yang tertulis dalamnya ternyata hanya 2 kalimat:

Bersiap menghadapi serangan.
Dalam 2-3 hari kedepan pasti terjadi.
Lian

Sekali pandang dan melihat pengirimnya Kwi Song segera maklum bahwa pengirimnya adalah Siangkoan Giok Lian, gadis perkasa dari Bengkauw itu. Surat itu kemudian diberikan kepada Kwi Beng dan juga dibaca oleh Kiam Sim Hwesio, dan pada malam harinya dibahas bersama dengan Thian Ouw Hwesio.

Malam itu juga Thian Ouw berpesan:

“Pinto sudah sangat tidak berminat dalam urusan kekerasan ini. Karena itu, Kiam Sim, menjadi tugasmu untuk memimpin adik-adikmu menghadapi para perusuh ini. Pinto terutama akan melindungi ruangan pusaka Siauw Lim Sie dan biarlah pemimpin-pemimpin mereka dihadapi oleh jiwi sute.

Kiam Sim, pergilah dan aturlah kewaspadaan anak murid Siauw Lim Sie. Ingat, hindari pertumpahan darah bila masih memungkinkan”.

“Baik suhu”, Kiam Sim Hwesio kemudian segera keluar dan mengatur penjagaan-penjagaan serta mengatur barisan anak murid Siauw Lim Sie sambil membahas berbagai kemungkinan bersama adik seperguruannya yang 4 orang lagi. Segera setelah Kiam Sim Hwesio keluar, Thian Ouw Hwesio kemudian berkata lagi:

“Kwi Song sute, harap bersedia melakukan perondaan segera malam ini, bila tidak salah, mereka akan mencoba untuk melakukan pengintaian dan penyusupan”

“Baik Suheng” dengan segera Kwi Song berlalu keluar dan kemudian berkelabat ke pintu depan dan melakukan perondaan dari sudut ke sudut.

“Beng sute” Thian Ouw kemudian menoleh dan berbicara kepada Souw Kwi Beng.

“Su couw dulu menugaskan suhu ke Poh Thian terutama untuk membina kehidupan beragama yang goyah di Siauw Lim Sie Poh Thian cabang Selatan ini. Sejarah nampak akan berulang, Supek mengutusmu dengan Song sute untuk membantu mengamankan Kuil ini.

Hal kedua yang sengaja hanya kusampaikan kepadamu sute, adalah, nampaknya suhumu, yaitu supek Kian Ti Hosiang memberimu tugas khusus untuk lebih memperhatikan Kuil ini kedepan. Artinya, adalah tanggungjawabmu nanti kedepan untuk menjaga kelangsungan dan memelihara semua isi pusaka Kuil Siauw Lim Sie di Poh Thian ini”

“Maksud suheng” Kwi Beng penasaran

“Maksudku sudah jelas, tetapi butuh waktu buatmu sute untuk lebih memahaminya. Biarlah pinto hanya memberi tahu apa yang pinto tangkap melalui mata batin, apa yang dimaksudkan oleh supek Kian Ti Hosiang gurumu. Dan biarlah semua nanti jelas pada waktunya”

“Apakah suheng keberatan menjkelaskan lebih rinci”? Kwi Beng tentunya menjadi sangat penasaran.

“Penjelasanku sudah cukup sute, biar sisanya ditegaskan oleh waktu. Sebaiknya sute membantu Song sute atau muridku Kiam Sim” tutur Thian Ouw mengakhiri percakapan. Meskipun masih bingung, tetapi dengan berat Kwi Beng kemudian berjalan keluar diiringi tatapan wajah lembut dari Thian Ouw Hwesio.
 
3 Diserbu





Hari itu adalah hari ketiga sebagaimana disebutkan dalam surat yang dikirimkan oleh “LIAN” kepada kedua pemuda kembar di Siauw Lim Sie Cabang Poh Thian. Bahkan permintaan agar Siauw Lim Sie cabang Poh Thian takluk kepada Thian Liong Pang sudah dikirimkan sejak pagi.

Tetapi, yang membuat Kwi Song menjadi berdebar-debar, dan sebagaimana diutarakannya kepada kakaknya, nampaknya yang menyelidiki keadaan Siauw Lim Sie cabang Poh Thian terdapat banyak orang sakti.

Dia setidaknya sudah melihat sebanyak 5 bayangan yang berkelabat dengan kemampuan ginkang yang tidak dibawah mereka berdua kakak beradik. Jika dimisalkan salah satunya adalah Giok Lian, maka masih ada 4 orang jago lainnya yang tidak terduga kemana mereka berpihak.

Hal inipun kemudian disampaikan kepada Kiam Sim Hwesio dan Thian Ouw Hwesio yang bagaimanapun tetap nampak tenang.

“Engkau tetap harus bersiaga Song te, biarlah dibagian dalam aku menemani Kiam Sim Hwesio dan di ruangan perpustakaan ada Suheng. Apabila nona Giok Lian juga sudi membantu, maka bantuannya tidak akan ternilai. Tetapi dengan kekuatan Lo Han Kun dan barisan 18 arhat di bagian depan, rasanya masih cukup untuk menghalau musuh” desis Kwi Beng.

“Ya, kita hanya harus memperhatikan para pemimpin dari penyerbu itu, selebihnya biar Kiam Sim suhu dan yang lainnya mengamankan” berkata Kwi Song.

“Betapapun kita harus hati-hati. Penyerbu ini nampaknya sangat punya keyakinan menang, karena itu memilih menyerang secara berterang, bukannya dengan cara gelap” Berkata Kiam Sim Hwesio.

“Baiklah, biarlah aku berada di depan, hari semakin siang. Bila tidak keliru, sebentar lagi mereka akan menyerang” Berkata Kwi Song sambil kemudian ngeloyor keluar.

Belum berapa lama Kwi Song tiba di pintu masuk dan mengarahkan pandangan ke pintu masuk lembah, tiba-tiba terdengar tiupan seruling yang cukup nyaring. Tetapi, anehnya, semakin lama tiupan tersebut menjadi semakin nyaring terdengar, bahkan nadanya mulai berubah-ubah, dari nada suara biasa, sampai kemudian nada yang agak tinggi, berubah biasa lagi dan akhirnya rendah, tinggi lagi dan seterusnya. T

etapi, nampaknya perubahan tinggi rendah nada, adalah upaya menarik perhatian orang, karena tidak lama kemudian nada suara yang berubah-ubah tersebut mulai disisipi godaan atas perasaan, bukan lagi melulu menggoda telinga. Dan godaan atas perasaan inilah yang justru berbahaya.

Karena perlahan-lahan dibagian dalam kuil, beberapa pendeta yang masih muda mulai tersenyum-senyum tanpa sebab. Bahkan beberapa saat kemudian, ketika irama lagu menjadi sedih memilukan, mereka yang sudah terpengaruh perlahan lahan malah mulai menitikkan air mata.

Kwi Song dan Kwi Beng dengan cepat menyadari bahwa ada orang yang sedang menyerang Siauw Lim Sie dengan menggunakan kekuatan irama suara membetot sukma. Apabila dilanjutkan, maka kebanyakan murid Siauw Lim Sie bakal mengalami kejadian yang memilukan.

Di tengah intaian bahaya yang menyeramkan itu, tiba-tiba terdengar genta Siauw Lim Sie berbunyi, dan bersamaan dengan itu terdengar erangan berisi tenaga Sai Cu Ho Kang yang membetot kembali perhatian pendeta Siauw Lim Sie.

Genta di tabuh perlahan dan terus menerus, kemudian erangan Sai Cu Ho Kang, perlahan namun pasti mulain menekan irama seruling pembetot sukma yang kemudian tidak lama menjadi tidak terdengar lagi.

Tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang mengalun perlahan-lahan dan semakin lama menjadi semakin nyaring. Suara tawa itu perlahan menjadi semakin menyakitkan bagi telinga orang yang kurang kuat penguasaan sinkangnya. Bahkan beberapa pendeta Siauw Lim Sie mulai terpengaruh dan menutup kupingnya.

Tetapi serangan suara tawa tersebut masih tetap menyusup masuk ke telinga. Tetapi untungnya kembali terdengar suara yang lain, kali ini ketukan Bokhie dan diiringi dengan seruan “Amitabha”, menggema memenuhi angkasa.

Bersamaan dengan itu, tawa menusuk tadi kemudian kembali sirap. Pertaruhan dan pertarungan tingkat tinggi yang terjadi sungguh-sungguh mencekam. Tetapi, Kwi Song yang berada di halaman depan tidak pernah lena mengikuti perkembangan di pintu masuk lembah.

Dan betul saja, tidak lama setelah suara tertawa menusuk tadi reda, bayangan-bayangan manusia yang bergerombol nampak berjalan memasuki pintu masuk ke lembah. Tidak lama kemudian, pintu masuk yang dijaganya sudah dipenuhi gerombolan para penyerang yang berjumlah cukup banyak.

Mungkin ada 100an orang yang menyerbu ke Siauw Lim Sie cabang Poh Thian ini. Begitu mencapai pintu masuk ke halaman Kuil, gerombolan orang tersebut kemudian mengatur barisan menurut warna pakaian mereka, yakni Biru, Merah, Hijau dan Kuning.

Di depan barisan masing-masing berdiri Pemimpin masing-masing warna dan nampak siap menunggu perintah. Barisan yang rapih teratur itu, paling banyak berjumlah 48 orang, karena masing-masing warna barisan berjumlah 12 orang, baru kemudian gerombolan lain berdiri di belakang barisan rapih tersebut dengan pakaian acak-cakan dan nampak dari kelompok perampok atau sejenisnya.

Ketika barisan tersebut terbentuk, Kwi Song kemudian melompat mundur, dan sesaat kemudian disampingnya telah berdiri Kwi Beng serta Kiam Sim Hwesio bersama seorang sutenya, sementara 3 orang sutenya yang lain berjaga di dalam Kuil bersama satu barisan Lo Han Kun yang disusun oleh murid tingkat 1 lainnya.

Di belakang Kwi Beng, Kwi Song dan Kiam Sim Hwesio, bersiap barisan Lo Han Tin, yang disusun oleh 18 orang pendeta Siauw Lim Sie dari angkatan di bawah Kiam Sim Hwesio, bahkan sebagai pemimpinnya akan turun langsung.

Terutama Kiam Hong Hwesio yang biasa membimbing barisan ini berlatih. Sementara barisan di dalam kuil akan dipimpin oleh Kiam Khi Hwesio. Masing-masing 18 pendeta yang membentuk barisan Lohan Kun terlihat membekal sebatang toya yang lumayan panjang, dan berdiri dengan tertib bahkan tidak banyak bergerak menunggu perintah dari Kiam Sim Hwesio.

Tidak berapa lama kemudian bayangan para pemimpin dari kelompok penyerbu mulai menunjukkan batang hidungnya. Yang pertama muncul adalah ketiga Lhama pemberontak, Sin beng Lhama, Lak Beng Lhama dan Hun Beng Lhama ditemani oleh Tancu berwajah putih kepucatan yang pernah adu tenaga dengan Kwi Beng di Sian yu.

Berturut-turut di belakang mereka, kemudian muncul pula seorang Lhama lainnya yang belum dikenal oleh Kwi Song dan Kwi Beng dan datang bersama 2 orang lainnya yang membuat Kwi Song, Kwi Beng dan Kiam Sim Hwesio berdebar.

Ketiga orang yang baru datang tersebut nampaknya memiliki kepandaian yang luar biasa, mungkin bahkan melebihi kepandaian orang Lhama yang pernah mengadu tenaga sakti dengan Kwi Song di Sian yu beberapa waktu yang lewat. Nampaknya, selain menurunkan barisan duta warna-warni, Thian Liong Pang memandang serius Siauw Lim Sie di Poh Thian dengan menurunkan sekaligus 3 tokoh sakti lainnya.

Ketiganya adalah, yang pertama 1 dari beberapa tokoh puncak Lhama di Tibet yang memberontak dan kemudian berlindung didalam Thian Liong Pang dan sekaligus merupakan susiok dari Sin Beng Lhama bertiga.

Lhama ini bernama Kok Sin Lhama dan merupakan salah seorang dari beberapa pemimpin pemberontakan Lhama di Tibet, hanya saja salah seorangnya, yakni Guru dari Sin beng Lhama bertiga sudah tewas terbunuh dalam pemberontakan tersebut.

Orang kedua, adalah Kiu-bwe-hu (musang berekor Sembilan) seorang Im-yang-jin (banci) yang namanya sendiri sudah dia lupakan. Meskipun dia seorang Im Yang Jin alias banci, tetapi tokoh inipun sangatlah menakutkan di sekitar Kang lam, karena dia sering memperlakukan mangsanya dengan sangat sadis.

Selebihnya, tokoh ini bahkan mampu menyerang dan mempengaruhi lawan dengan suara sulingnya yang dilambari oleh kekuatan hitam. Sedangkan tokoh ketiga. Tho te kong (Malaikat Bumi), Tio Toa Hay adalah tokoh yang sering mengganas di luar tembok besar sedikit kearah Mongolia.

Tokoh hitam ini sangatlah ditakuti di luar tembok besar, dan agak mengherankan bisa bergabung dengan Thian Liong Pang padahal tokoh ini dikenal memiliki kepandaian yang luar biasa. Agaknya tokoh inilah yang menyerang Siauw Lim Sie melalui suara tertawanya yang menggedor gendang telinga orang.

Kwi Beng dan Kwi Song yang masih cetek pengalaman Kang Ouwnya belum begitu mengenal nama maupun kehebatan 2 pendatang yang baru. Tetapi Kiam Sim Hwesio sudah cukup mengenal keduanya terutama dari ciri-ciri mereka ketika menyerang dengan suara dan kemudian ketika menyaksikan ciri-ciri tokoh tersebut.

Diam-diam dia mengeluh karena kedua tokoh tersebut nampaknya akan sangat menyulitkan pihak mereka. Meskipun demikian tentu saja Kiam Sim Hwesio tidak menunjukkan wajah jerihnya, malah sebaliknya wajahnya tidak membayangkan kekhawatirannya.

Masih dengan tenang kemudian Kiam Sim Hwesio mengucapkan kata-kata merendah sekaligus mengucapkan selamat datang basa-basi kepada para penyerang:

“Siancai, siancai …. Angin apa gerangan yang membawa begitu banyak tokoh besar ke kuil kami yang terpencil ini” tegurnya dengan sopan dan lembut.

Tancu Thain Liong Pay cabang Bing lam yang ternyata bernama Gui Tiong dan terkenal dengan julukan Gin To Mo Ong (Raja Iblis Golok Perak) bertindak sebagai juru bicara;

“Apakah lohu berhadapan dengan Ciangbunjin Siauw Lim Sie cabang Poh Thian”?

“Maafkan, Ciangbunjin suhu sudah terlampau tua dan pinto mewakili suhu menyambut saudara-saudara sekalian” sambut Kiam Sim Hwesio.

“Jika demikian, apakah tanda Thian Liong Pang berupa Thian Liong Kiampay sudah dikenali oleh anda sekalian” masih ramah suara Gin To Mo Ong

“Pinto sudah menerimanya, cuma tidak ada pesan apa-apa selain tanda pengenal itu. Dan sejauh ini pinto tidak mengerti apa makna dari tanda pengenal itu, maafkan kebodohan pinto”

“Hahahahaha” Gin To Mo Ong tertawa lepas dan kemudian berkata

“Sudah cukup banyak perkumpulan yang mencoba berkeras seperti anda sekalian, tetapi dalam 7 tahun terakhir, hanya Kun Lun Pay yang masih tetap tegak meski sudah sangat goyah. Apakah anda sekalian berkeinginan kuil yang indah ini menjadi kuil setan”?

“Mungkin saja, tetapi setannya adalah kalian-kalian semua” Sela Kwi Song yang penasaran dengan kesombongan Gin To Mo Ong, bahkan sambil menunjuk anak buah dari rombongan penyerang itu.

“Hmm, anak muda, perhitungan kita belum selesai. Tidak perlu jual lagak disini” Menyela tokoh sakti Lhama dari Tibet, Kok Sin Lhama yang masih penasaran karena serangannya bisa dipentalkan Kwi Song di Sian yu. Apalagi dengan melihat bahwa ternyata anak muda itu, sesuai dugaannya memang merupakan murid Siauw Lim Sie.

“Apakah Siauw Lim Sie berkeras untuk mempertahankan diri dari serbuan kami atau menyerah dengan sukarela”? Suara Gin To Mo Ong kini terdengar mengancam.

“Omitohud, Semoga sang Budha melindungi kami, siancai-siancai” Kiam Sim Hwesio memuji kebesaran Budha, karena melihat bahwa nampaknya pertempuran tidak bisa dielakkan lagi.

Gin To Mo Ong nampak kemudian melirik kearah Tho te Kong yang nampaknya merupakan wakil tertinggi Thian Liong Pang dalam penyerbuan tersebut. Dan lirikan tersebut kemudian disusul dengan sebuah perintah yang dijatuhkan dari mulut Tho te Kong:

“Barisan warna-warni membuka jalan”. Teriakan tersebut dengan segera diikuti oleh berkelabatnya 4 barisan warna-warni yang dengan segera membentuk barisan Pat Tou Su-sing (Empat bintang bertaburan di delapan penjuru).

Barisan tersebut dengan cepat segera bergerak bagaikan gerigi, 2 pasang bergerak searah jarum jam dan dua pasang yang lain bergerak melingkar dengan arah sebaliknya. Bila dilihat dari atas sungguh paduan warna yang mengasyikkan, tetapi tidaklah demikian perbawa barisan ini.

Barisan ini selain membekali diri dengan kekuatan hitam yang mampu mempengaruhi orang yang dikepung dalam barisan, juga membekal sejumlah senjata rahasia yang mematikan. Untunglah yang dihadapinya adalah sebuah barisan tua yang sangat handal dan ajaib dari Siauw Lim Sie, Lo Han Tin yang dibentuk oleh 18 pendeta tingkat 1 dari Siauw Lim Sie cabang Poh Thian.

Kelebihan lain dari Loh Han Tin adalah dipimpin langsung oleh pengasuhnya, yakni Kiam Hong Hwesio yang sangat mengerti pergerakan dan rahasia Lo Han Tin. Karena itu, meskipun menghadapi barisan yang nampak seperti bergerigi, tetapi Lo Han Tin masih belum bergerak menunggu komando Kiam Hong Hwesio.

Ketika kemudian barisan Pat Tou Su Sing mulai menghadirkan sinar menyilaukan, terdengar gelegar suara Kiam Hong Hwesio, ”Delapan Jalan Budha – Menuju Kemuliaan“, bersamaan dengan itu terdengar dentang nyaring dari 18 toya pendeta Siauw Lim Sie yang digetarkan bersama dan mengeluarkan suara mendengung.

Pendeta-pendeta inipun dengan segera bergerak dalam barisan Lo Han Tin dan udara seperti dipenuhi oleh bayangan ratusan toya yang menyambar-nyambar dan mulai membentur barisan lawan. Lo Han Tin berhadapan dengan Pat Tou Su Sing, perbawa Budha melawan perbawa kekuatan hitam.

Benturan antara keduan barisan itu segera dapat dinilai para ahli akan membutuhkan waktu panjang untuk diatasi, karena itu nampak Tho Te Kong kemudian memberi isyarat kepada barisan penyerbu yang kedua. Isyarat tersebut dapat ditangkap oleh Kiam Sim Hwesio yang dengan segera memberi isyarat agar Pendeta tingkatan kedua yang hanya berjumlah kurang dari 20-an orang bersiap untuk bertempur bersama.

Bahkan mereka sudah dibekali dengan strategi bertempur bersama dengan membentuk Lo Han Tin mini yang masing-masing terdiri dari 9 orang, dan segera terbentuk 2 Lo Han Tin mini di sayap kiri dan kanan pertempuran antara 2 barisan besar.

Untungnya, barisan Lo Han Tin utama sudah mampu mengikat sekitar 48 penyerang yang bergabung dalam barisan istimewa penyerang. Dengan demikian, 2 Lo Han Tin mini tinggal menghadapi sisanya, bersama dengan lebih 10 pendeta lainnya dari tingkatan 3.

Tetapi barisan itupun tidak sanggup membendung lebih dari 50-an penyerang yang menyerang dengan ganas dan bahkan sebagian besar mulai memasuki ruangan dalam kuil. Tetapi melihat yang lolos masuk paling sekitar 20-30an orang, Kiam Sim Hwesio tidaklah begitu khawatir.

Di dalam kekuatannya cukup memadai, selain 3 orang sutenya yang cukup lihai berada di dalam, juga terdapat barisan Lo Han Tin kedua yang bisa diandalkan.
 
4 Pertempuran di Poh Thian





Meskipun demikian, Kiam Sim hwesio menjadi gelap juga wajahnya setelah mendengar korban mulai berjatuhan, termasuk dipihak Siauw Lim Sie. Diapun masih agak sulit ikut turun tangan, karena musuh-musuh lihay malah lebih banyak dari jumlah mereka dan masih belum ikut turun tangan.

Melihat korban mulai berjatuhan dan nampaknya perlawanan Siauw Lim Sie cukup memadai, Tho te Kong kemudian memerintahkan Sin Beng Lhama bertiga dengan Lak Beng Lhama dan Hun Beng Lhama untuk ikut membantu penyerangan.

Kiam Sim Hwesio menyadari bahaya, apabila tidak ada yang, merintangi ketiganya, maka akan banyak anak muridnya yang jatuh binasa. Karena itu, dengan berbisik kepada Kwi Beng, dia kemudian meloncat menyongsong ketiga lhama tersebut dan melibat mereka dalam pertarungan.

Kwi Beng dan Kwi Song cukup yakin bahwa Kiam Sim Hwesio akan mampu meladeni ketiga Lhama Tibet itu. Dan nampaknya dalam pertempuran awal segera kelihatan, bahkan serangan Kiam Sim Hwesio masih lebih tajam ketimbang ketiga pendeta tersebut. Hal itu dikarenakan Kiam Sim Hwesio sudah bersiap secara khusus melawan ketiga Pendeta Lhama Tibet itu.

Melihat keseimbangan atau bahkan kecenderungan keadaan merugikan pihaknya, Tho te Kong kemudian memberi isyarat agar Gin To Mo Ong dan Kok Sin Lhama untuk segera turun tangan.

Pada saat Kwi Beng bersiap untuk menghadapi Gin To Mo Ong, tiba-tiba sebuah bayangan biru mencelat dari luar arena dan langsung menghadapi si Raja Iblis tersebut. Bayangan yang ternyata Giok Lian masih sempat berbisik agar Kwi Beng berjaga terhadap seluruh arena dan bahkan masih ada kekuatan tersembunyi yang disiapkan di luar oleh gerombolan penyerang itu.

Sementara itu, Kok Sin Lhama yang masih penasaran dengan Kwi Song sudah dengan segera karena memang bahkan sejak datang mengincar Kwi Song. Tidak lama keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang seru, saling serang bertahan dan menyerang.

“Kiu Bwe Hu, kau layani pemuda yang satu itu biar lohu yang mengamati keseluruhan medan pertempuran dan memberi bantuan disana-sini“ Tho te Kong akhirnya memerintahkan Kiu Bwe Hu untuk menandingi Kwi Beng.

Dengan lagak malas-malasan tokoh banci yang sangat sadis dan lihay ini kemudian mencelat kearah Kwi Beng. Tanpa basa-basi dia langsung menyerang Kwi Beng dengan serangan-serangan tajam yang membahayakan.

Ketika mendapatkan serangan itulah, mata tajam Kwi Beng masih sempat menyaksikan berkelabatnya sebuah bayangan yang bahkan rasanya masih lebih lihay dari lawannya kearah dalam kuil. Kwi Beng hanya sempat berdoa semoga orang itu boleh bertemu Suhengnya agar tidak memakan korban yang lebih banyak di pihak Siauw Lim Sie.

Kekhawatirannya membuat jubahnya sempat terserempet oleh serangan jari-jari si Musang sadis dan terdengar ”breeet“, lengan jubah kanannya tersermpet, tetapi untungnya tidak melukai kulitnya.

Sementara itu pertarungan disemua arena semakin seru, korban dikedua pihakpun sudah banyak berjatuhan. Tetapi karena pihak Siauw Lim Sie kebanyakan bertempur dalam barisan, korban di pihak mereka rata-rata adalah pendeta yang bertempur sendirian.

Sementara barisan-barisan Lo Han Tin sekali lagi terbukti memang ampuh dimanfaatkan dalam keadaan terserang seperti ini. Melihat korban lebih banyak berada di pihaknya, Tho te Kong akhirnya sekali lagi menimbang keadaan dan situasi.

Diapun sadar, seorang kawannya sudah menyusup masuk ke kuil Siauw Lim Sie dan nampaknya keadaan di dalam akan bisa dihadapi dan diselesaikan dengan mudah. Karena itu, Tho te Kong agak lena, dan kondisi ini memperpanjang nafas dan perlawanan Siauw Lim Sie.

Seandainya Tho te Kong ikut menyerang lebih awal, korban yang jatuh pasti akan jauh lebih banyak. Untungnya dia agak lamban memutuskan turun ke gelanggang.

Arena pertempuran yang paling seru terjadi antara Kwi Song melawan Kok Sin Lhama dan antara Kwi Beng melawan Kiu Bwe Hu, dan tentu yang paling ramai adalah pertarungan antara kedua barisan aneh yang dibanggakan masing-masing perguruan itu.

Kwi Song yang meladeni seorang tokoh sakti dari Tibet benar-benar menemukan lawan setanding dan yang paling berat dalam pengembaraannya kali ini. Untungnya dia berlatih tekun selama 2 minggu terakhir bersama suhengnya sehingga memperoleh kemajuan dan pengalaman tanding yang lumayan membantunya.

Semua jurus dan ilmu yang dikeluarkannya rata-rata dikenal oleh Kok Sin Lhama. Kecuali ketika Kwi Song memutuskan menggunakan Selaksa Tapak Budha yang meskipun belum tuntas dilatihnya tetapi sudah bisa mendatangkan manfaat besar dalam pertempuran.

Gurunya berpesan, apabila lawan yang dihadapi lebih sakti, maka jurus ini akan memampukannya untuk bertahan, tetapi bila seimbang dan atau dibawah kemampuannya, maka jurus ini akan sangat memperberat tekanan terhadap lawan.

Itulah yang kemudian terjadi. Kwi Song yang sadar harus cepat mengatasi lawan telah menggunakan jurus-jurus maut dan ampuh yang sebetulnya sudah lama tidak terlihat di dunia persilatan. Keadaan ini disadari oleh Kok Sin Lhama, dan hanya kematangan dan pengalamannya sajalah yang menghindarkannya dari keterdesakan yang lebih parah.

Sementara di sisi lain, Kwi Beng juga bertarung kokoh melawan Kiu Bwe Hu. Musang sadis yang banci ini bergerak-gerak lincah mengitari Kwi Beng. Serangannya baik dengan kuku-kuku tajamnya maupun kemudian belakangan menggunakan senjata serulingnya sungguh sangat merepotkan Kwi Beng.

Untungnya Kwi Beng memiliki latihan sinkang yang cukup istimewa, selain juga memiliki bekal Ilmu Silat yang murni. Itu sebabnya gaung dan dengungan seruling yang mampu memecah konsentrasi lawan, sama sekali tidak mempan terhadap Kwi Beng.

Bahkan serangan-serangan balasan Kwi Beng ketika menggunakan Tay Lo Kim Kong Ciang mampu menghalau semua serangan si Musang banci. Bahkan sering malah bukan hanya memunahkan, tetapi sekaligus mencecar si Musang untuk perlahan terdorong kebelakang.

Si Musang nampaknya mengerti kekuatan Kwi Beng ada dalam penggunaan tenaga saktinya, dan keunggulannya di kekuatan Ginkang nyaris tidak berarti. Tetapi betapapun, selaku tokoh sakti yang kejam dan banyak pengalaman, terjangan Kwi Beng tidak memperosokkannya dalam kesulitan besar.

Yang juga seru adalah pertarungan antara Gin To Mo Ong yang agak ”sial“ menghadapi dara perkasa dari Bengkauw ini. Untungnya dara ini tidak memiliki ikatan emosional dengan Siauw Lim Sie, jika tidak maka sudah lama Gin To Mo Ong ini mengalami cedera. Bekal Ilmu gadis ini sungguh menakutkan.

Dia menguasai ilmu-ilmu murni Bengkauw dan bahkan masih ditambah dengan ilmu ciptaan nenek buyutnya yang sangat telengas. Tetapi watak gagah gadis ini membuatnya jarang sekali menggunakan kedua jurus ampuh dan sadis dari neneknya.

Sebaliknya, dia menggunakan gerakan-gerakan dari jurus murni Bengkauw yang dipelajari dari kakek buyutnya.

Yang sudah menunjukkan tanda kelelahan dan kekalahan adalah ketiga Lhama Tibet yang mengeroyok Kiam Sim Hwesio. Ketika Kiam Sim mulai menggunakan Pek In Ciang, ketiga lawannya sudah kehilangan harapan dan pegangan.

Getaran dan pengaruh awan putih disekitar tubuh Kiam Sim Hwesio mulai mempengaruhi mereka, memperlambat gerakan dan merontokkan nyali mereka. Perlahan tetapi pasti, ketiganya jatuh dalam kesulitan yang nampaknya berat untuk diatasi.

Bahkan Lak Beng Lhama sudah sempat terserempet awan putih yang bisa menyerang tajam kearah mereka. Lak Beng Lhama memang meringis kesakitan, tetapi masih mampu melanjutkan penyerangan, tetapi sudah pasti bahwa mereka bertiga akan mengalami kerugian, tinggal soal waktu belaka.

Siapa sangka, justru ketika semua jago sedang berkonsentrasi dalam pertempuran, Tho te Kong yang menganggur sudah dapat melihat kerugian yang akan diderita kelompok mereka apabila ketiga Lhama Tibet itu terpukul jatuh.

Bersamaan dengan keputusannya menyerang, Kiam Sim Hwesio berhasil memukul jatuh Lkak Beng Lhama yang memang sudah ciut nyalinya dan sempat terserempet awan putih disekujur tubuh Kiam Sim Hwesio. Tetapi bersamaan dengan jeritan ngeri Lak Beng Lhama, sebuah hantaman jarak jauh dari Malaikat Bumi menyentak tiba.

Kiam Sim hwesio yang masih doyong setelah memberi pukulan yang cukup berat kearah Lak Beng Lhama menyadari bahwa ada arus tenaga besar yang mengarah dadanya. Masih sempat dia mengerahkan tenaga Pek In Ciang untuk mengurangi akibat benturan tenaga dengan Tho te Kong.

Sayangnya, tenaganya memang belum nempil menghadapi Malaikat bumi yang menyeramkan itu.

”Blar“, ledakan dahsyat terjadi, dan segera setelahnya badan Kiam Sim Hwesio seperti terdorong jauh kebelakang. Celakanya, arahnya justru ke Sin Beng Lhama yang penasaran dan murka dengan jatuh dan terlukanya Lak Beng Lhama.

Tanpa mengindahkan aturan kstaria, dia melayangkan hantaman yang bersarang telak di dada Kiam Sim Hwesio, yang tidak sempat berteriak lagi langsung meregang nyawa. Selain terluka oleh dorongan Tho te Kong, masih ditambah dengan gempuran Sin Beng Lhama.

Benturan dan jeritan lirih Kiam Sim Hwesio mengejutkan Kwi Beng dan Kwi Song, termasuk juga Giok Lian yang merasa menyesal karena tidak lekas-lekas menghabisi Gin To Mo Ong. Belum sempat dia melancarkan serangan dahsyat kearah Gin To Mo Ong, tiba-tiba dia merasa adanya serangan bokongan dari Tho te Kong kearahnya. Tetapi, bersamaan dengan itu terdengar seruan:

“Curang, curang, sungguh memalukan Thian Liong Pay“, bersamaan dengan itu serangan bokongan Tho te Kong ditangkis oleh pemilik suara yang baru datang. Sementara pendatang yang satu lagi, nampaknya seorang nona, sudah dengan cepat menyerang Sin Beng Lhama dan Hun Beng Lhama.

Nampaknya karena kebrutalan dan kebengisan Sin Bang Lhama yang membunuh Kiam Sim Hwesio telah membuat gadis itu menurunkan tangan kejam. Begitu bergerak dengan cepat dia menyambar Sin Beng Lhama yang pulih dari keterkejutan.

Belum lagi dia sempat bergerak tengkorak kepalanya sudah berderak termakan pukulan tangan kiri si gadis, sementara Hun Beng Lhama masih sempat menyingkir tetapi terkena sapuan kaki si gadis dan melayang jauh kearah pintu masuk. Tidak ketahuan apakah masih ataukah sudah mati.

Setelah menamatkan perlawanan kedua Lhama itu, si gadis kemudian nampak mempelototi pertarungan antara kedua barisan ajaib yang masih berlangsung seru.

Tetapi, jika diperhatikan lebih cermat, dia sebenarnya memelototi pergerakan barisan Pat Tou Su Sing. Nampak dia teramat penasaran terhadap barisan tersebut, tetapi tidak berminat untuk turun melawan atau membantu barisan yang sudah mulai didesak oleh Lo Han Tin itu.

Sementara di tempat lain, Giok Lian yang juga penasaran dengan bokongan Tho te Kong menumpahkan kekesalannya terhadap Gin To Mo Ong. Bila sebelumnya tiada niatnya untuk menghabisi Gin To Mo Ong kecuali melukainya, bokongan Tho te Kong telah membakar hatinya.

Sambil berputar-putar dengan langkah ajaibnya, tiba-tiba ketika melihat peluang terbuka saat Gin To Mo Ong melepaskan serangan, disongsongnya serangan tersebut dengan menggunakan jurus Toat Beng Ci yang mengerikan itu.

Totokan jari maut itu dengan telak bersarang di sendi tangan Gin To Mo Ong yang memegang golok peraknya, dan belum sempat Gin To Mo Ong mengeluh kesakitan, totokan kedua sudah bersarang tepat di dahinya. Tanpa terdengar keluhan lagi, tubuh Gin To Mo Ong melepas nyawa dan rebah ketanah, mati.

Setelah menyelesaikan perlawanan Gin To Mo Ong, Giok Lian nampak memalingkan wajahnya ke arah Tho te Kong dengan sangat penasaran. Tetapi, dia tidak berani dan tidak ingin melakukan pembokongan sebagaimana Tho te Kong membokongnya.

Tapi dia mendekati arena pertarungan antara si pemuda yang baru datang dan menolongnya dengan Tho te Kong. Pertarungan itu nampaknya berjalan seimbang, keduanya mengerahkan tenaga sakti dan saling mempertukarkannya dengan dampak dan akibat yang sama bagi keduanya.

Baik Tho te Kong maupun si pemuda nampak penasaran bertemu lawan setanding, karena itu rasanya sulit untuk memisahkan keduanya.

Di tempat lain, Kwi Song dan Kwi Beng yang mengetahui Kiam Sim Hwesio terpukul mati, telah meningkatkan penggunaan ilmu mereka. Bahkan nampaknya keduanya sudah mulai memainkan Pek-in Tai-hong-ciang (Ta*ngan Angin Taufan Awan Putih), pukulan yang membuat kedua lawannya menjadi kebingungan dan sering mati langkah.

Kwi Song nampak semakin mendesak Kok Sin Lhama, seperti juga Kwi Beng mendesak hebat Kiu Bwe Hu. Tetapi, belum sempat keduanya memberi pukulan yang berat, tiba-tiba sesosok bayangan yang tadi memasuki Kuil Siauw Lim Sie dengan pesat berkelabat keluar. Terdengar dia bergumam berat:

“Tak nyana, Siauw Lim Sie dibantu orangorang muda yang hebat dari banyak pintu perguruan. Tho te Kong, perintahkan semua mundur” Perintah dengan nada berat itu diberikan sambil dia mendorongkan tangannya kearah si pemuda yang melawan Tho te Kong.

Terdengar benturan hebat ketika pemuda itu menangkis …. “Blar”, dan tubuh pemuda itu kemudian terjengkang, untungnya tenaga si penyerang tadi nampaknya juga tidak lagi penuh dan seperti terluka. Tetapi, toch tetap mampu membuat si pemuda terjengkang ke belakang meski tidak menderita luka yang berat.

Setelah itu, kembali bayangan tadi mendorong kearah Kwi Beng dan Kwi Song, tetapi karena tenaganya juga sudah terkuras, tangkisan Kwi Song dan Kwi Beng tidak berakibat fatal seperti si pemuda terdahulu. Mereka memang tergetar hebat dengan menangkis dorongan itu.

Tetapi ketika itu, sudah cukup bagi kedua lawannya untuk mengundurkan diri, dan tidak beberapa lama para tokoh tersebut berkelabat lenyap. Sementara Barisan duta warna-warni menghilang dengan meledakkan bom asap warna-warni, tetapi sebagian besar diantara mereka juga telah mengalami luka dalam pertarungan dengan barisan Lo Han Tin.

Para tokoh Thian Liong Pay yang melarikan diri, nampaknya bahkan tidak mempedulikan anak buahnya. Kecuali dorongan si bayangan sakti yang sedikit membantu barisan duta warna-warni untuk memperoleh kesempatan mengundurkan diri dari pertarungan.

Tetapi selebihnya, korban yang jatuh sungguh luar biasa di kedua belah pihak. Pihak Siauw Lim Sie, meskipun pendeta yang menjadi korban hanya berjumlah kurang dari 20 orang, tetapi kehilangan 2 tokoh utamanya, yakni Kiam Sim Hwesio dan Kiam Sun Hwesio yang mencoba menghalangi bayangan yang menyusup ke Kuil Siauw Lim Sie.

Hampir semua pendeta yang meninggal adalah yang bertempur di luar barisan Lo Han Tin, hanya 1-2 pendeta di barisan yang meninggal, tetapi tempat mereka yang kosong bisa digantikan pendeta Siauw Lim Sie lainnya. Itu juga sebabnya korban di pihak Siauw Lim Sie bisa sangat sedikit.

Sementara di pihak penyerang kerugiannya lebih besar lagi. Tancu Bing lam tewas di tangan Giok Lan, Sin Beng Lhama dan Lak Beng Lhama juga tewas dalam pertempuran, sementara Hun Beng Lhama terluka parah dan bahkan akhirnya meninggal di Kuil Siauw Lim Sie.

Selain itu, korban tewas dari penyerbu yang tertinggal di Siauw Lim Sie berjumlah hampir 50 orang, yang semuanya kemudian disembahyangi dan kemudian diperabukan. Sungguh sebuah bencana besar bagi Siauw Lim Sie cabang Poh Thian.

Setelah pertempuran selesai, nampak Thian Ouw Hwesio berjalan keluar dari Kuil Siauw Lim Sie dan dengan wajah lembut mengucapkan terima kasihnya kepada anak muda-anak muda yang membantu Siauw Lim Sie:

“Siancai, siancai …. Kuil Siauw Lim Sie cabang Poh Thian diselamatkan oleh naga-naga muda dunia persilatan. Nona, jika tidak salah engkau berasal dari Bengkauw, terimalah ungkapan terima kasih punco” Sambil menjura kearah Siangkoan Giok Lian. Sementara Siangkoan Giok Lian menjadi rikuh, karena betapapun dia juga tahu, bahwa Ciangbunjin ini adalah salah seorang tokoh besar yang tersohor di dunia persilatan.

“Dan Kouwnio dan Kongcu ini, pastilah berasal dari Lam Hay, tidak mungkin salah lagi. Terimalah juga ucapan terima kasih punco, baik buat kalian berdua maupun untuk sahabatku Lamkiong Tayhiap, Tocu Lam Hay Bun”

“Kami tidak membantu Siauw Lim Sie, tetapi menghalangi kecurangan Iblis Malaikat Bumi itu. Selain itu, kami menyelidiki mengapa Barisan Warna-Warni kami bisa digunakan Perkumpulan lain” Si Gadis menolak pemberian terima kasih dengan alasannya yang nampak memang tepat.

“Bolehkah punco mengenal nama Kouwnio dan Kongcu ini”?

“Dan apakah kalian adalah keturunan dari Lamkiong Bu Sek”? bertanya Thian Ouw Hwesio dengan sabar.

“Beliau kong-kong kami, ayah kami Lamkiong Bouw yang sekarang menjadi Tocu Lam Hay menggantikan kong-kong” Jawab si gadis.

“Omitohud, cucu-cucu sahabat Lamkiong Bu Sek, pantas, pantas” Bergumam si Hwesio.

“Ciangbunjin, perkenankan kami mohon diri. Kami harus kembali ke Lam Hay, melaporkan kejadian-kejadian aneh ini kepada ayah” Si pemuda yang sejak tadi berdiam karena mengalami luka meski tidak parah kemudian bersuara.
Tetapi setelah dia bicara, justru Siangkoan Giok Lian yang merasa ditolong ketika dibokong berkata:

“Saudara, terima kasih telah membantuku menerima pukulan bokongan Tho te Kong. Bolehkah mengenal nama saudara” Giok Lian mengucapkjan terima kasih sambil mohon berkenalan.

“Nama kokoku adalah Lamkiong Tiong Hong, aku adik satu-satunya, Lamkiong Sian Li” justru si anak gadis yang memperkenalkan kakaknya dan dirinya sendiri. “Baiklah saudara Lamkiong, saya Siangkoan Giok Lian mengucapkan terima kasih atas bantuanmu” Siangkoan Giok Lian kembali berterima kasih dan kemudian menghadap Thian Ouw sambil menjura dan berkata:

“Ciangbunjin, sudah lama tecu menerima tugas dari kong-kong untuk menyelidiki para perusuh ini. Nampaknya sidah waktunya bagi tecu untuk memberi laporan kepada kong-kong, semoga Ciangbunjin sembuh secepatnya”.
Dan kemudian menghadap ke Kwi Beng dan Kwi Song sambil berkata:

“Saudara Kwi Song dan Kwi Beng, biarlah kita berpisah dulu. Rasanya kita sudah saling membantu, semoga bertemu di lain waktu” setelah mengucapkan hal tersebut si gadis berkelabat pergi diiringi ucapan terima kasih dan salam untuk ketua Bengkauw dari Thian Ouw Hwesio.

Dan tidak berapa lama, setelah saling berkenalan dengan kedua pemuda kembar Siauw Lim Sie, kedua putera Lamkiong dari Lam Hay Bun juga kemudian berpamitan. Dan segera setelah kedua anak muda itu menghilang di pintu lembah, Thian Ouw Hwesio tiba-tiba menyemburkan darah. Terluka ……
 
BAB 10 Mecari Kiok Hwa Kiam (pedang seruni)
1 Di Kota Raja




Hari mulai menjelang senja, udara mulai terasa semakin dingin. Meskipun sudah memasuki penghujung musim dingin, tetapi menjelang senja, tentu udara akan semakin dingin. Matahari yang makin doyong ke barat, malah terlihat seperti sedang mengintip bumi, karena sebagian dari bulatan matahari sudah berseumbunyi di ufuk barat.

Sayangnya, pemandangan yang menghasilkan rona merah ini sulit dinikmati, karena udara sudah terasa semakin dingin. Apalagi, selain cuaca yang memang dingin, anginpun menghadirkan rasa dingin menusuk tulang, membuat hawa dingin seakan-akan merasuk beberapa kali lipat dibanding siangnya.

Suasana kota Hang Chouw, ibukota Kerajaan Sung Selatan, juga nampak aktifitasnya sudah berkurang drastis. Jikapun masih ada, pastilah ditempat-tempat yang menjanjikan kehangatan, seperti Rumah Bordil alais tempat pelacuran, atau Warung Arak dan Rumah Makan yang menjanjikan kehangatan tubuh, ataupun juga Rumah Penginapan.

Di luar itu, aktifitas penduduk kota pastilah di rumah masing-masing dengan menghangatkan tubuh disekitar tungku pemanas, atau meringkuk dibalik selimut tebal di peraduan yang hangat. Siapa pula yang mau iseng-iseng membela senja dan malam pada saat musim dingin begini?

Kendatipun sudah di penghujung musim dingin, tetapi dingin tetaplah dingin, dan siapapun akan mencari cara untuk memerangi kedinginan.

Tapi yang aneh bin ajaib adalah disaat menjelang senja, nampak seorang gadis manis, cantik juwita, dengan wajah harap-harap cemas dan terkadang tersenyum, sedang memasuki pintu kota dari arah utara.

Tetapi jangan salah, caranya memasuki pintu kota itu memang biasa, melewati penjaga gerbang yang sedang merana oleh rasa dingin, dan bahkan melalui proses pemeriksaan karena dia baru pertama kali muncul di kota, dan kemudian melenggang memasuki kota.

Tapi, beberapa saat kemudian, dari berjalan melenggang, tiba-tiba tubuhnya berkelabat cepat, luar biasa cepat dan pesat memasuki kota yang semakin kedalam semakin dikerubuti rumah-rumah. Bahkan, langkah kaki gadis cantik ini mulai mengarah ke kompleks istana tempat tinggal keluarga bangsawan.

Memasuki kompleks tempat tinggal bangsawan, gadis ini nampak ragu-ragu sejenak, seperti kebingungan dan nampak celingukan seperti mencari dan memastikan suatu tempat.

Bahkan, tubuh mungil itu tiba-tiba mencelat ke atas, luar biasa, dan menapaki wuwungan rumah kaum bangsawan, rumah keluarga atau kerabat Istana. Dan, dengan langkah-langkah yang tidak goyah meski diketinggian di atas wuwungan rumah orang, langkahnya tidaklah kaku.

Malah pesat dan gesit meloncat kesana dan kemari. Tidak lama kemudian, kembali celingukan untuk mengenali sesuatu dan mencari arah. Tidak beberapa lama setelah melihat kekiri dan kekanan, akhirnya nampak gadis itu tersenyum senang dan lega.

Tidak salah lagi, nampaknya dia sudah bisa mengenali dan sudah bisa memastikan arah dan tujuan yang ditetapkannya. Makanya, senyum manis di wajah yang imut, mungil dan menggemaskan itu kembali muncul. Cerah, sangat kontras dengan suasana yang sudah malam, karena matahari seutuhnya sudah bersembunyi di ufuk barat.

“Tidak salah lagi, pastilah ini rumahnya. Sedang apakah gerangan orang-orang didalamnya” bisiknya harap-harap cemas, haru, gembira, rindu dan banyak rasa yang sangat sulit untuk diuraikannya. Dan dengan langkah dan gerakan pasti, tubuh mungil menggemaskan itu mendekati rumah yang sudah dipastikannya sebagai tujuan kedatangannya.

Tetapi, tidak langsung anak gadis itu mengetuk pintu dan masuk ke rumah itu layaknya tamu. Sebaliknya dia mencoba untuk mengintip, ada apa dan siapa gerangan yang berada di rumah besar yang nampak megah tersebut. Beberapa kali dia meloncat-loncat untuk mendekati jendela dan mengintip, tetapi rata-rata ruangan yang ditemuinya kosong dan tak berpenghuni.

Dan ketika dia mendekati ruangan dimana biasanya tuan rumah menerima tamu dan dipastikannya masih ada orang karena ada penerangannya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lirih:

“Tamu atau sahabat yang berada di luar, silahkan masuk. Lohu bersama tuan rumah menunggu untuk bersama menghangatkan badan dan berbincang-bincang” Sebuah suara yang lunak namun lirih dan jelas di telinga terdengar dari ruangan dalam.

Si gadis sangat terkejut, karena betapapun dia sudah mengerahkan ilmu ginkangknya, tetapi toch masih bisa dikenali dan diketahui oleh orang di dalam. Ditinjau dari sisi ini saja, orang didalam pastilah seorang kosen, dan karena sudah konangan, maka tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi.

Lagipula, memang bukan maksudnya untuk menghadirkan huru-hara bagi penghuni rumah ini, malah yang ingin dilakukannya berbeda sama sekali, ingin menghadirkan sebuah kejutan. Sebuah kejutan yang mungkin tidak disangka-sangka penghuni rumah. Atau sebuah kejutan menyenangkan yang tak pernah diimpakan lagi.

Akhirnya, sang gadis kemudian berkelabat kearah pintu masuk dan begitu berdiri di ruangan, dia menyaksikan seorang Pria berpakaian gagah dan bersikap agung menatapnya. Sementara lawan bicaranya, ada dua orang yang nampaknya dari kalangan persilatan, dan diduganya tentu bukan orang sembarangan karena mampu melacak jejak langkahnya yang menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Tetapi pria gagah yang menatapnya nampak seperti tercekat dan memandangnya penuh harap, seperti memandang mustika yang masih belum bisa dipastikannya. Tetapi si gadis cantik manis itu sudah dengan cepat menyadari siapakah gerangan Pria gagah dihadapannya.

Pria gagah yang memandangnya dengan tatapan tak menentu dan harap-harap cemas. Dengan tidak ragu sedikitpun didekatinya pria yang berwajah agung itu, dia tahu dan kenal dengannya. Bahkan sudah sangat lama dirindukannya wajah itu, dan kemudian berlutut dihadapannya:

“Ayah, putrimu yang tidak berbakti datang menghadap” Ucap si gadis dan tak tertahankan dia sudah sesunggukan.

Sementara Pria gagah itu seperti tidak percaya dengan pendengarannya atau lebih tepat seperti tidak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Seseorang memanggilnya ayah, dan membuatnya seperti di awan-awan.

“Ayah”? Memangnya, siapakah kamu”? Meski bertanya, tetapi Pria itu sebenarnya hanya ingin menegaskan. Karena sejak melihat gadis itu memasuki pintu rumah, firasat dan mata batinnya seperti sudah memberitahu bahwa gadis itu bukan orang lain baginya. Firasat dan mata batin memang sulit untuk berbohong.

“Ayah, putrimu ….. Liang Mei Lan ….. datang menghadap” Kembali si nona mengucapkan kalimat yang sepertinya diucapkan sangat sulit karena sambil terguguk-guguk menangis.

“Mei Lan, ya tentu saja kamu Mei Lan. Hahahahaha, putri tersayangku yang hilang akhirnya kembali juga” Pria itu akhirnya mampu menemukan diri dan kegembiraannya seraya menuntun anak permata hatinya yang menghilang hampir 10 tahun lamanya.

“Hahahahaha anakku, putriku sudah sebesar dan secantik ini. Lihalah Jiwi Locianpwe, adakah kegirangan yang lebih besar lagi dari menemukan salah seorang anakku yang hilang 10 tahun lamanya” Si Pria yang ternyata adalah Pengeran Liang Tek Hong tidak sanggup menahan kegembiraannya, tertawa sambil menitikkan air mata bahagia melihat kedatangan putri tercintanya yang lama menghilang.

Bukan sedikit daya upaya yang dikerahkan, bahkan sampai melibatkan Kay Pang, toch gagal. Dan ketika dia sudah merelakan kepergian anak-anaknya, justru tiba-tiba salah satunya datang. Sungguh menggembirakan, ada lagikah yang melebihinya?

Salah seorang tamu yang nampaknya berasal dari kalangan dunia persilatan, nampak tahu diri dengan kegembiraan yang dialami tuan rumah. Karena itu dengan segera dia berkata:

“Pangeran, biarlah kita sudahi percakapan malam ini. Besok masih ingin kami menikmati cawan kegembiraan tuan rumah dan melanjutkan percakapan kita yang terputus. Liang Kouwnio, kami ucapkan selamat bertemu dengan keluarga besarmu” Kemudian kedua tokoh Kang Ouw itu mengundurkan diri untuk beristirahat di kamar yang memang disediakan buat mereka.

DI Rumah Pangeran ini, memang tersedia banyak kamar tamu, dan lebih sering digunakan orang dari dunia persilatan yang banyak menyenangi Pangeran yang simpatik ini.

“Baik, baiklah jiwi locianpwe, biarlah besok kita sambung lagi” Ucap Pangeran Liang mengiringi langkah kedua tamunya untuk beristirahat di kamar tamu yang disediakan bagi mereka.

Setelah kedua tokoh itu masuk ketempat istirahat mereka, Pangeran Liang kemudian mengangkat dan memegangi kepala Mei Lan, nampaknya ingin memastikan dan mengamati putri mestikanya itu.

Ditatapnya lama sekali sambil tersenyum bahagia, menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian dia mengangguk-anggukkan kepala:

“Benar, benar, tak salah lagi, mata dan hidungmu adalah gambaran ibumu semasa gadisnya. Hahahaha, ayo anakku, kita perlu menghibur ibumu yang sudah sekian tahun menahan rindunya bertemu denganmu” Pangeran Liang kemudian menuntun anaknya menemui ibunya yang sudah beristirahat.

Ibunya lebih sering di peraduan karena menjadi sering sakit-sakitan semenjak kedua anaknya menghilang 10 tahun sebelumnya. Dan mudah diduga, sang ibupun menangis sedih bercampur gembira ketika melihat kembali seorang putrinya yang menghilang tiba-tiba muncul lagi dihadapannya.

Bahkan adiknya Mei Lin yang kini berusia hampir 12 tahun, juga ikut-ikutan menitikkan air mata karena saking lamanya merindukan cicinya yang hanya sering didengarnya dari ibunya. Hanya sayang Toakonya, Liang Tek Hu, sekarang sudah bekerja di Istana membantu pembukuan Istana Putra Mahkota.

Dan kebetulan malam itu kemungkinan besar akan menginap di Istana, dan karenanya pertemuan keluarga itu masih kurang lengkap, apalagi Liang Tek Hoat juga masih belum ketahuan rimbanya.

Malam itu juga keluarga Pangeran Liang bercengkerama dan saling menuturkan pengalaman masing-masing. Terutama Liang Mei Lan menceritakan pengembaraannya dalam pelarian dengan Tek Hoat kakaknya. Bagaimana mereka menemukan dan menolong Ceng Liong yang mereka namakan Thian Jie, bagaimana mereka hidup luntang-lantung dan kadang mengemis dan sampai mereka hanyut di sungai dan kemudian diangkat murid oleh Wie Tiong Lan.

Sesuatu yang benar-benar mengharukan dan mengagetkan Pangeran Liang. Riwayat anak-anaknya ini sungguh luar biasa, sebagai putrid Pangeran mereka luntang-lantung di luaran, tidak terawatt dan susah makan. Sungguh berat dia memikirkannya, tetapi sekaligus gembira karena putra-putrinya tergembleng tidak sengaja dengan penderitaan rakyat biasa.

Tapi, peruntungan mereka juga luar biasa, bagaimana mungkin rejeki anaknya begitu hebat, menjadi murid penutup Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan, salah seorang tokoh ajaib dunia persilatan dewasa ini. Apalagi ketika mendnegar, kemungkinan Kakaknya Tek Hoat juga diangkat murid oleh Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han, membuat Pangeran Liang sungguh-sungguh merasa bagaikan mimpi.

Karena meskipun dia seorang Pangeran, tetapi pengetahuan dan penguasaan dunia persilatan olehnya sungguh sangat dalam dan luas. Bahkan dia dikawani atau dianggap kawan oleh banyak tokoh persilatan kelas utama dunia persilatan Tionggoan.

Tidak aneh jika kemudian dia sangat mengenal Wie Tiong Lan dan Kiong Siang Han, mengenal juga kelihayan dan keanehan tokoh-tokoh yang nyaris menjadi tokoh dongeng dunia persilatan dewasa ini.

Liang Mei Lan, sebagaimana dituturkan di bagian depan, diselamatkan dan belakangan diangkat menjadi pewaris terakhir dari Wie Tiong Lan, seorang bekas ketua Bu Tong Pay yang teramat lihay. Bahkan diakui sebagai generasi terlihay Bu Tong Pay sejak pendirinya Thio Sam Hong, mendirikan Perguruan Silat tersebut.

Sebagaimana Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan yang mengkhawatirkan nasib Bu Tong Pay memutuskan mendidik murid penutupnya ini di Bu Tong San. Di sebuah tempat rahasia yang hanya diketahuinya bersama ketiga muridnya. Bahkan Ketua Bu Tong Pay saat ini tidak menyadari kalau Gunung Bu Tong berada dalam perlindungan Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan.

Karena bersamaan dengan kedatangan Wie Tiong Lan untuk mendidik Liang Mei Lan, ketiga muridnya juga kemudian diminta untuk berada di Bu Tong San untuk menjaga kemungkinan penyerbuan pihak perusuh.

Sebagaimana diceritakan di depan, dalam pertarungan antara Ciu Sian Sin Kay dengan Sian Eng Cu Tayhiap, terutama saat mereka saling melibas sulit dipisahkan, Wie Tiong Lan kebetulan datang membawa Mei Lan di Bu Tong San.

Setelah memisahkan Sian Eng Cu dan Ciu Sian Sin Kay, dia menugaskan kedua muridnya, Jin Sim Tojin dan Sian Eng Cu untuk menyadarkan Kwee Siang Le dan meminta berjaga di Bu Tong San. Hal ini dilakukannya karena dia sendiri memang bertekad untuk mendidik Mei Lan dalam menandingi 4 anak lain yang juga dididik oleh 3 kawan karibnya.

Meskipun tidak lagi dilandasi mau menang sendiri, tetapi melihat anak didiknya kalah oleh anak muda didikan teman-temannya juga tentu tidak menyenangkan. Ke-empat tokoh gaib ini, dalam rangka membantu dunia persilatan, secara tidak sadar telah menciptakan keterikatan duniawi yang sebenarnya lama mereka coba tinggalkan.

Tetapi, merekapun sebenarnya menyadari hal tersebut. Untungnya alasan lain jauh lebih tepat dan memang sangat sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi rimba persilatan.

Dengan motivasi yang sama dengan ketiga kawannya itu, Wie Tiong Lan yang sudah berusia sungguh renta, mendekati 100 tahunan, kemudian meminta murid-muridnya untuk ikut mendidik adik perguruan termuda mereka. Untuk gerakan-gerakan dasar perguruan, Kwee Siang Le yang menangani, sementara untuk landasan ginkang, Sian Eng Cu yang bertugas.

Sementara setiap malamnya, Wie Tiong Lan sendiri yang menggembleng Mei Lan dengan Liang Gi Sim Hwat. Sebagaimana diketahui, landasan untuk menyempurnakan ilmu-ilmu Wie Tiong Lan dan tentu Ilmu Bu Tong Pay adalah Liang Gi Sim Hwat. Ilmu ini berisikan ilmu pernafasan dan cara menguasai hawa dalam tubuh manusia, dan kemudian saat yang tepat untuk memperdalam hawa sakti tersebut.

Karena unsur kelemasan dan im, maka saat yang tepat untuk menghimpunnya adalah di waktu malam hari, dan saat yang paling tepat adalah peralihan waktu tepat tengah malam. Saat itulah yang paling tepat untuk menghimpun dan memperkuat tenaga sakti.

Itu jugalah sebabnya Wie Tiong Lan memilih untuk mendidik Mei Lan diwaktu malam, sementara siang hari kedua muridnya yang bertugas mendidik Mei Lan. Demikian mereka bergantian menggembleng anak perempuan yang memang sangat berbakat ini.

Anak yang menjadi murid penutup dari Pek Sim Siansu dan disiapkan khusus untuk membantu Bu Tong Pay dan duniua persilatan dalam menghadapi kemelut yang kembali menimpa Tionggoan.

Selain mendidik dan mengajarkan serta membuka rahasia Liang Gie Sim Hwat, pada siang hari Wie Tiong Lan juga berkutat dengan benda-benda mujijat yang dimaksudkannya untuk memperkuat tenaga sinkang Mei Lan. Dia sadar betul, bahwa paling banyak usianya bertahan 10-15 tahun kedepan, dan berharap Mei Lan sudah tuntas belajar sebelum dia meninggal dunia.

Karena itu, untuk mempercepat peningkatan kekuatan tenaga saktinya dan menghimpunnya melalui pengaturan hawa Liang Gie Sim Hwat, maka Wie Tiong Lan meramu banyak obat-obatan mujijat yang dikenal dan dikumpulkannya dalam pengembaraannya dahulu.

Bahkan juga menggunakan sejumlah pil mujarab penambah tenaga yang dimiliki Bu Tong Pay. Untungnya, Mei Lan sendiri memang memiliki tulang dan bakat yang sangat baik untuk belajar Ilmu Silat.

Bahkan bakatnya itu menyamai Sian Eng Cu, bahkan kecerdasannya justru melampaui Sian Eng Cu. Karena itu, keseriusan Wie Tiong Lan menjadi berlipat lipat. Sama seriusnya adalah para suheng yang lama-kelamaan bukannya iri, malah menyayangi sumoy mereka seperti menyayangi anak mereka sendiri.

Anak itu sendiri memang lincah, manja dan sangat menggemaskan, membuat orang tua-orang tua itu menjadi lemah hati dan memanjakannya. Tapi sangat disiplin dalam latihan silatnya
 
2 Dialog Dgn Beng San Sian Eng





Pembawaan Mei Lan sendiri memang ramah dan menggemaskan. Akibatnya, dia sangat disayangi oleh Kwee Siang Le dan Sian Eng Cu yang mendidik adik perguruan termuda mereka bagaikan mendidik anak sendiri. Kebetulan keduanya memang tidak memiliki keturunan.

Seperti juga Wie Tiong Lan yang begitu mengasihi Mei Lan. Bahkan begitu mengetahui bahwa Mei Lan masih berdarah Bangsawan, tetapi mau dan bersedia hidup sesuai dengan gaya dan penghidupan gurunya, sungguh menambah rasa percaya dan kasih gurunya.

Tetapi, bedanya, kasih sayang Wie Tiong Lan dibarengi dengan disiplin yang ketat. Sadar bahwa kedua muridnya begitu mengasihi dan bahkan menganggap Mei Lan anak sendiri, membuat Wie Tiong Lan tegas dan disiplin dalam mendidik dan mengajar Mei Lan.

Bahkan semua didikan dan ajaran Silat kedua muridnya, dievaluasi pada malam harinya, dan karena itu, Mei Lan sendiri dan kedua Suhengnya atau bahkan sering dianggapnya Ayah Angkatnya tidak berani berayal dalam latihan.

Selama 5 tahun terus menerus, Wie Tiong Lan mendidik dan membuka rahasia Liang Gie kepada murid terakhirnya ini. Tidaklah aneh apabila dia dengan sangat pesat mengejar ketertingalannya dari ketiga suhengnya.

Terlebih lagi, Kwee Siang Le juga seperti Wie Tiong Lan, suka mengerahkan tenaga sakti untuk membuka dan memperkuat sinkang Mei Lan. Karena itu, dalam 5 tahun saja, kemajuan Mei Lan luar biasa pesatnya. Di usianya yang ke-12, dia berubah menjadi anak gadis yang sangat sakti, dan terus meningkat seiring dengan pertambahan usianya.

Bahkan di usianya yang ke-15 dan 16, saat dia disuruh oleh suhunya untuk turun gunung, Mei Lan malah sudah nyaris bisa merendengi suhengnya Jin Sim Tojin dan Kwee Siang Le. Sesuatu yang tentu sangat menggembirakan gurunya dan ketiga suhengnya atas capaian yang diperoleh Liang Mei Lan.

Di usia yang ke-16, dia sudah mampu memainkan Liang Gie Kiam Hoat, Bu Tong KIam Hoat, Thai Kek Sin Kun, Pik Lek Ciang, bahkan Sian Eng Cu juga mengajarinya Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa) yang memang cocok dengan Mei Lan.

Bahkan untuk menegaskan keunggulan ginkangnya, Wie Tiong Lan mengajarkan smeua muridnya ilmu ginkang paling baru ciptaannya yang bernama Sian Eng Coan-in, (Bayangan Dewa Menembus Awan), yang sangat tepat dalam menyempurnakan Ilmu Sian Eng Cu.

Dan satu tahun terakhir sebelum meninggalkan Bu Tong San, Wie Tiong Lan membuka rahasia Ilmu yang terakhir diciptakannya dalam diskusi dengan Kian Ti Hosiang yang dinamakannya Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan).

Sebagaimana juga Kian Ti Hosiang, kesempurnaan ilmu ini harus dicari d an dikembangkan sendiri, dan karena itu Ilmu mujijat ini diwariskan kepada semua muridnya termasuk Jin Sim Tojin. Tinggal tergantung siapa yang mampu menyempurnakan Ilmu yang juga sarat penggunaan kekuatan batin tersebut.

Ilmu ini sebenarnya pengembangan lebih jauh dari Ilmu yang dianjurkannya kepada Sian Eng Cu menciptakan Sian Eng Sin Kun, sebelum dia mendalami perpaduan “im” dan “yang” dengan Kian Ti Hosiang. Jadinya, berbeda dengan Kian Ti, Wie Tiong Lan menggubah jurus yang berdasarkan im dan menggabungkannya dengan “yang”, sebaliknya dengan yang dilakukan oleh Kian Ti Hosiang.

Untuk itu, maka Wie Tiong Lan juga menciptakan Ilmu Ginkang Sian Eng Coan In, sebagai paduan dan langkah-langkah bergerak pesat dari ilmu pukulan terbarunya.

Meskipun masih berusia remaja, tetapi kepandaian Mei Lan sudah sangat luar biasa, bahkan juga penguasaan tenaga sinkangnya berkat bantuan Wie Tiong Lan sudah meningkat dengan sangat pesat. Jika ada kekurangannya ialah pengalaman bertempur dan juga kematangan dalam latihan.

Hal ini tentunya sangat dirasakan dan diketahui oleh Wie Tiong Lan. Karena itu, menjelang pertemuan 10 tahunan yang juga akan melibatkan anak murid masing-masing, Wie Tiong Lan kemudian memanggil Mei Lan dan memberitahu bahwa sudah saatnya si gadis turun gunung.

Tentu disertai dengan pengertian dan informasi dari gurunya dan suhengnya mengenai keadaan dunia persilatan. Mengenai tokoh tokoh persilatan dan juga mengenai perkembangan yang paling akhir yang mereka ketahui.

Mei Lan juga diwajibkan oleh gurunya untuk datang ke pertemuan 10 tahunan, pada 1 tahun mendatang. Dan secara khusus Mei Lan diberi tugas untuk mencari Kiok Hwa Kiam atau Pedang Bunga Seruni yang sudah sepuluh tahun tercuri orang dari Bu Tong Pay.

Mei Lan diberi kebebasan untuk berkelana kemana saja guna meluaskan pengalamannya, tetapi yang terutama harus menyelidiki keberadaan Pedang Bunga Seruni dan hadir dalam pertemuan 10 tahunan. Bahkan dalam pertemuan bersama dengan ketiga suhengnya, Wie Tiong Lan memberitahukan bahwa Kiok Hwa Kiam diwariskan kepada Mei Lan.

Karena Pedang tersebut sangat tepat untuk digunakan dengan Liang Gie Kiam Hoat. Demikianlah kemudian Mei Lan turun gunung, dan sebagai seorang anak gadis, tentu yang pertama dirindukannya adalah menemui keluarganya terlebih dahulu.

=================

Kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh dunia persilatan tidaklah disia-siakan oleh Mei Lan. Hal itu disampaikannya kepada ayahnya, Pangeran Liang. Justru karena ayahnya memberi tahu bahwa dia sedang menerima tamu 2 orang locianpwe dari Beng San.

Tetapi, diapun mewanti-wanti ayahnya untuk tidak memperkenalkan suhunya. Karena bahkan Ketua Bu Tong Pay sendiri hanya tahu bahwa Mei Lan adalah anak didik Kwee Siang Le dan Tong Li Kuan. Siapakah sebetulnya kedua tamu Pangeran Liang itu?

Sebagaimana diketahui, Pangeran ini memang akrab bergaul dengan Dunia Persilatan. Apalagi setelah Kerajaan Sung terbagi 2, yakni Sung Selatan yang beribukota di Hang Chouw dan dibatasi oleh Sungai Yang Ce dengan Kerajaan Cin di sebelah utara dan beribukota Pakkhia (Peking).

Banyak tokoh persilatan yang lebih mendukung Kerajaan Sung Selatan dan kurang menyukai Kerajaan Cin. Terutama karena memang Kerajaan Cin dibentuk oleh sebuah suku yang berasal jauh di luar tembok besar. Sejak itu, semakin sering tokoh persilatan mengunjungi rumah dan gedung Pangeran Liang.

Dan akibatnya, Perdana Menteri yang pernah menyewa tokoh hitam untuk membunuh Pangeran Liang menjadi keder. Dan tidak berani lagi melakukannya, terlebih setelah mendapat peringatan dari banyak tokoh Kang Ouw yang lihay.

Sejak kemaren siang Pangeran Liang menerima kedatangan Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san), sepasang tokoh sakti yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang tertua, Pouw Kui Siang, nampak sudah berusia sekitar 60-an, bahkan nampak sudah lebih.

Sementara yang muda bernama Li Bin Ham yang juga berusia paling tidak 60-an. Keduanya terkenal dengan julukan Beng San Sian Eng karena memang berasal dari sekitar gunung Beng San. Juga sekaligus mengangkat nama di sekitar daerah itu dan terkenal sebagai pendekar-pendekar kenamaan.

Keduanya bukan orang biasa, karena termasuk dalam jajajaran tokoh-tokoh utama rimba persilatan dan memiliki kepandaian yang tinggi. Bahkan kepandaian mereka bisa direndengkan dengan Ketua atau Ciangbunjin Perguruan Ternama, seperti Kun Lun Pay, Hoa San Pay atau bahkan Siauw Lim Sie dewasa ini.

Keduanya juga terkenal suka berkelana, dan karena itu pengertian dan penguasaan mereka atas keadaan dunia persilatan sungguh sangat luas dan mendalam. Hari itu, mereka kebetulan berada di Kota Raja Sung Selatan dan kemudian memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pangeran Liang.

“Jiwi locianpwe, perkenalkan anakku yang hilang, Liang Mei Lan, anakku yang ketiga. Datang-datang tahu-tahu telah menjadi gadis pendekar anak murid Bu Tong Pay” Pangeran Liang memperkenalkan Liang Mei Lan yang kemudian bersoja memberi hormat kepada kedua tokoh utama rimba persilatan itu sambil berkata sopan,

“Tecu Liang Mei Lan menjumpai jiwi locianpwe”.

“Ah, siapa nyana, putri yang begitu dikhawatirkan oleh pangeran nampak sudah begini besar dan nampak sangat cantik. Hahahaha, selamat pangeran” Sambut Phouw Kui Siang.

“Bahkan, jika tidak salah, juga memiliki kemampuan Ilmu Silat yang sangat tinggi” Li Bin Ham menambahkan. Dengan mendengar bahwa anak gadis itu murid Bu Tong Pay, sudah tentu kepandaiannya lihay.

“Tecu yang rendah masih membutuhkan bimbingan dan bantuan jiwi locianpwe” Mei Lan merendah, tetapi dengan wajah cerah penuh senyum.

“Ach, anak manis, mari perkenalkan kami Beng San Sian Eng, lohu bernama Phouw Kui Siang”

“Dan lohu Li Bin Ham”

“Mari, mari, lebih baik kita berbincang-bincang lebih santai sambil menikmati suguhan teh panas di pagi hari” Pangeran Liang mengundang setelah anaknya saling berkenalan dengan Beng San Siang Eng.

“Siapa gerangan tokoh Bu Tong yang mendidik nona”? Phouw Kui Siang bertanya sambil menyeruput teh panas yang disuguhkan.

“Suhu yang mengajar tecu ada dua, yang pertama suhu Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang Le dan yang kedua suhu Sian Eng Cu Tong Li Koan” Jawab Mei Lan yang memang selain sengaja ingin berkenalan juga ingin bertanya banyak hal kepada kedua tokoh ini.

Dan Mei Lan tidak berdusta, karena memang baik SIang Le maupun Li Koan adalah termasuk mereka yang mengajarnya, meskipun dia diangkat sebagai murid oleh Wie Tiong Lan langsung, murid penutup. Dan otomatis menjadi sumoy kedua ornag yang namanya dia sebut sebagai suhunya kepada Beng San Siang Eng.

“Hm, kabarnya Sin Ciang Tayhiap Kwee Siang sudah mengundurkan diri. Dan menjadi muridnya, bahkan sekaligus murid Sian Eng Cu Tayhiap Tong Li Koan, sungguh merupakan rejeki besar buat nona” Bin Ham berkata. Dia sudah tentu kenal betul dengan 2 tokoh besar asal Bu Tong Pay itu.

“Ach, tecu yang masih muda mana sanggup merendengi kedua suhu yang begitu sakti” Mei Lan merendah.

“Hahahaha, anak ini kecil-kecil sudah pandai meniru ayahnya untuk merendahkan kemampuan sendiri” Demikian Phouw Kui Siang memuji.

“Locianpwe, anak kan memang harus belajar dari orang tuanya” Mei Lan membalas jenaka. Membuat semua tertawa, bahkan Pangeran Liang juga tertawa melihat anaknya bisa bergaul akrab dengan tamu-tamunya. Pada dasarnya Beng San Siang Eng memang sudah mengagumi nona ini, yang dari langkah kakinya yang begitu ringan menandakan tingginya kepandaian nona itu.

Apalagi, ternyata si nona adalah murid dari 2 tokoh kenamaan dari Bu Tong Pay, bahkan tokoh puncak Bu Tong Pay dewasa ini. Keduanya sudah bisa membayangkan ketangguhan nona muda ini. Tentu karena yakin tidak akan memalukan perguruan, maka nona muda ini sudah diijinkan turun gunung.

Percakapan kemudian mengalir lancar dan akrab, bahkan aturan percakapan adalah aturan dunia Kang Ouw bukanlah tata kesopanan istana atau kebangsawanan. Semuanya mungkin karena Pangeran Liang tidak begitu kolot bahkan sangat luwes bergaul dengan para pendekar.

Sementara anaknya Mei Lan, malah tumbuh dalam tata krama dunia persilatan. Mei Lan banyak bercerita keadaan dan perkembangan terakhir Bu Tong Pay, tentu dengan menyembunyikan jejak suhunya, Wie Tiong Lan. Dia berharap sebenarnya untuk memperoleh setitik informasi mengenai Kiok Hwa Kiam, Pedang Pusaka gurunya.

Tetapi nampaknya harapannya sia-sia, karena Beng San Siang Eng tidak memiliki informasi apapun mengenai pedang itu. Malah menyarankan untuk menemui Kay Pang yang terkenal sanggup mengendus informasi rahasia sekalipun.

Selanjutnya Phouw Kui Siang maupun Li Bin Ham memaparkan keadaan dunia persilatan, tentang bagaimana keadaan Lembah Pualam Hijau terakhir yang terkesan menutup diri. Tentang Kiang Hong Bengcu yang menghilang sejak 5-6 tahun berselang, juga Ciu Sian Sin Kay dari Kay Pang, Kong Hian Hwesio dari Siauw Lim Sie dan Ci Siong Tojin dari Bu Tong Pay yang juga secara bersama-sama dalam perjalanan ke Lam Hay Bun tiba-tiba menghilang, dan tidak ketahuan jejaknya hingga saat ini.

Termasuk juga konflik di tubuh Kay Pang yang malah telah memecah belah Kay Pang menjadi Kay Pang sekte Selatan dan Kay Pang sekte Utara dengan menggunakan nama Hek-i-Kay Pang. Juga termasuk Go Bie Pay yang porak poranda dan bahkan puluhan pintu perguruan yang ditaklukkan dan nyaris bangkrut alias tutup pintu perguruan. Bahkan menghilang dan terbunuhnya banyak pendekar kelas satu dunia persilatan juga dibahas keduanya.

“Lohu sangat yakin, apabila Kiang Bengcu tidak selekasnya tampil bersama tokoh-tokoh Siauw Lim Sie, Sin Ciang Tayhiap dan Sian Eng Cu Tayhiap dari Bu Tong, Ciu Sian Sin Kay dan Sai Cu Lo Kay dari Kaypang, maka dalam waktu dekat dunia persilatan benar-benar porak poranda. Bahkan, nampaknya para Ciangbunjin partai besar juga harus turun tangan” Jelas Kui Siang yang nampak benar sangat penasaran dengan kondisi dunia persilatan.

“Menurut informasi, bahkan Beng Kauw dan Lam Hay Bun juga sudah mulai memperlihatkan kehadirannya di Tionggoan” Pangeran Liang menyela dan ingin mendengar penjelasan dan pertimbangan tamunya.

“Benar. Karena dalam kerusuhan dan kelompok perusuh itu, membawa symbol-simbol Lam Hay Bun. Nampaknya pihak Lam Hay Bun ingin menyelidiki hal ini, karena beberapa kali terjadi bentrokan kecil antara mereka. Sementara Bengkauw nampaknya mengutus anak-anak muridnya yang muda untuk menyelidiki keadaan” jelas Bin Ham.

“Tetapi ada hal yang kini menjadi lebih mengkhawatirkan” Kui Siang nampak menarik nafas panjang, seakan sangat sulit mengutarakannya keluar.

“Maksud Locianpwe?” Mei Lan bertanya

“Nampaknya, jejak-jejak para datuk dunia hitam mengarah keberkumpulnya mereka dengan para perusuh itu. Bahkan belakangan, kelompok perusuh itu, tidak lagi menggunakan atau memalsukan dirinya dengan memfitnah Lam Hay Bun, tetapi sudah tampil dengan Pang baru, yakni Thian Liong Pang”

“Tapi siapakah para datuk dunia hitam itu? Dan siapa pula yang punya kemampuan begitu besar untuk menarik mereka”? Pangeran Liang bertanya dengan penasaran.
 
Bimabet
3 Datuk kaum sesat





Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham nampak sama-sama prihatin, karena mereka sudah lama menyelidiki keadaan yang sudah sangat semrawut ini. Tetapi hasilnya malah semakin mengkhawatirkan, sementara keadaan sebenarnya masih sulit mereka paparkan. Tapi Kui Siang kemudian berkata,

“Sampai sekarang ini, yang bertindak atas nama Thian Liong Pang paling-paling adalah anak buahnya. Atau yang tertinggi paling tingkatan Tancu dan setingkat di atasnya. Padahal, sangat mungkin merekapun hanyalah tingkatan 2 atau 3 di Pang misterius itu. Sementara tokoh-tokoh kelas satu dan kelas utamanya masih belum juga ada yang munculkan diri. Bisa dibayangkan betapa hebatnya tokoh terpenting dari Pang misterius ini, bila baru tokoh tingkat 2 dan 3 saja sudah bisa mengaduk-aduk dunia persilatan ini”

“Tapi locianpwe, masih mungkinkah ada tokoh sedemikian hebat yang mampu menggerakkan datuk dunia hitam untuk bahkan bekerja baginya”? Bertanya Liang Mei Lan.

“Itulah yang mengherankan lohu, tokoh semacam apakah yang memiliki kekuatan sehebat itu”? Atau, masih adakah tokoh tersembunyi yang lohu tidak kenal tetapi sanggup mengerjakan hal sebrutal ini”? Kui Siang menarik nafas panjang.

“Menurut pengamatan kami, yang sudah bergerak berterang adalah Tho te Kong (Malaikat Bumi) yang masih terhitung murid dari seorang datuk besar yang terpaksa bersembunyi di masa keemasan Kiang Cun Le Bengcu dari Lembah Pualam Hijau. Nama datuk hitam yang sangat kejam ini adalah Thian-te Tok-ong (Raja Ra*cun Langit Bumi), yang biasanya berpoperasi di daerah sebelah Utara. Datuk ini paling sudah berusia 70 tahunan, dan jika dia sampai unjuk diri, pasti karena sudah memiliki pegangan” Sambung Li Bin Ham

“Datuk besar itu? apakah benar dia masih hidup”? Pangeran Liang bertasnya penasaran.

“Kemungkinan besar dia masih hidup. Tetapi, dia belum ketahuan jejaknya dan belum lagi munculkan diri. Yang justru sudah munculkan diri meski hanya sangat sekilas adalah See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat), dia sempat munculkan diri di daerah Pakkhia menurut informasi kawan-kawan Kay Pang” Tambah Li Bin Ham.

“Dan celakanya Pangeran, apabila See Thian Coa Ong sudah munculkan diri, biasanya teman-teman datuk itu, yakni Pek*bin Houw-ong (Raja Harimau Muka Putih), Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi) dan tentu juga nantinya Thian te Tok Ong akan munculkan diri. Dan bila mereka muncul berbareng, menjadi pertanyaan, siapakah yang membuat ambisi mereka tergerak lagi, dan memiliki kekuatan yang demikian besar untuk menggerakkan orang-orang ini” Jelas Kui Siang yang jelas-jelas membayangkan kengeriannya apabila tokoh-tokoh sesat yang disebutkannya benar bergerak.

“Membayangkan seorang See Thian Coa Ong yang memiliki kemampuan yang begitu dahsyat sudah sangat mengerikan. Bahkan seorang Kiang Cun Le, butuh waktu lama untuk menjatuhkannya, apalagi ditambah Nenek sakti pemelihara Harimau, Pek Bin Houw Ong dan Liok te Sam Kwi yang jika berkelahi selalu maju bareng itu. Sungguh mengerikan. Dan akan tambah lengkap kengerian itu, apabila Thian te Tok Ong juga tampil. Sudah racunnya tidak terlawan, kemampuan silatnya juga kudengar hanya sedikit saja dibawah Cun Le. Dan setelah mereka menyembunyikan diri hampir 30 tahun, kini mereka tampil lagi, bisa dibayangkan kehebatan orang-orang itu”.

Liang Mei Lan menjadi sangat penasaran dan dengan wajah berkerut kemudian berkata:

“Locianpwe, demikian menakutkankah tokoh-tokoh dunia hitam itu”?

“Nona, sebagai gambaran saja, Gurumu, Sian Eng Cu Tayhiappun hanya sanggup bertarung seimbang dengan Thian te Tok Ong. Dan masih belum tentu apakah bisa menang bertarung melawan raja-raja iblis lainnya. Dan masih untung, karena Suheng Thian Te Tok Ong, yakni Kim-i-Mo-ong (Raja Iblis Jubah Emas) si raja diraja maha iblis pada jamannya terikat perjanjian dengan Kiong Siang Han. Pada masa mudanya, dia sudah sanggup bertarung ketat dengan Kiong Locianpwe, tokoh gaib rimba persilatan dewasa ini, yang membuat Kim I Mo Ong terikat janji dan tidak ketahuan dimana Kiong Locianpwe menyekapnya. Bila diapun tampil, bisa dibayangkan betapa runyamnya dunia persilatan ini” Jawab Kui Siang, dan Liang Mei Lan menjadi terdiam.

Dia jadi bisa membayangkan tokoh macam apakah yang digambarkan oleh Phang Kui Lok dan Lim Bin Ham. Bila dulupun sudah seimbang dengan salah seorang suhengnya, maka bisa dibayangkan kemampuannya sekitar 30 tahun kemudian, tentulah sudah sangat hebat.

“Dan berita paling akhir, bahkan sedang terjadi beberapa pertemuan dan nampaknya perjanjian antara beberapa tokoh Lhama yang memberontak di Tibet dengan pihak Thian Liong Pay. Bahkan juga, beberapa pendekar pedang dari Tang ni (Jepang) yang terkenal dengan ilmu jinsut (Ninja), juga sedang dalam proses negosiasi seperti ini.

Padahal, ilmu pedang Tang ni terkenal cepat, kejam dan sangat telengas, dan terkenal dengan jurus “sekali tebas kepala melayang” Tambah Bin Ham.

“Sehebat apapun mereka, tecu merasa berkewajiban untuk melawan mereka pada saat mereka mengganggu ketentraman banyak orang” Mei Lan mendesis dengan gagah. Tetapi jika Phouw Kui Siang dan Lim Bin Ham melirik kagum dan mengerti dengan gelora jiwa kependekaran Mei Lan, adalah ayahnya yang memandang dengan penuh kekhawatiran. Wajar, apalagi karena Mei Lan baru sehari berkumpul kembali dengan keluarganya, dengan ayahnya, ibunya dan adiknya, dan bahkan belum bertemu dengan toakonya (kakak tertuanya).

“Lan ji, apa maksudmu” Pangeran Liang bertanya mendesis

“Untuk maksud membela ketentraman dunia persilatan dan membantu yang lemah, maka suhu mengangkatku menjadi muridnya” jawab Mei Lan tegas. Pangeran Liang maklum siapa maksud “suhu” dalam penegasan Mei Lan, beda dengan Beng San Siang Eng yang menduga orang lain.

Tapi betapapun khawatirnya dan betapapun cemasnya, Pangeran Liang yang lama bergaul dengan kalangan pendekar segera maklum bahwa dia takkan sanggup menekan dan melarang anaknya. Apalagi anak perempuannya ini nampak sudah memiliki kesaktian yang tinggi.

Yang tidak disangkanya adalah, bahkan kesaktiannya sudah melebihi 2 tokoh utama yang bercakap dengannya hari itu.

“Hahahaha, Sian Eng Cu Tayhiap dan Sin Ciang Tayhiap memang tidak keliru memilihmu menjadi pewaris mereka” Bin Ham memandang kagum akan semangat dan keberanian Mei Lan.

Percakapan selanjutnya tetap menarik bagi Mei Lan, terutama ketika kedua tokoh besar tersebut mengulas kekuatan rimba persilatan yang beraliran putih. Dan anehnya keduanya bersikap agak pesimistis, terutama karena melihat kenyataan betapa Kiang Hong menghilang sudah 5 tahunan, kemudian Cun Le juga sudah menghilang, dan tokoh-tokoh besar dan tokoh utama Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay lebih banyak berdiam diri.

Bahkan, terkesan lebih mengutamakan menjaga gunung dan perkumpulan masing-masing untuk tidak terhancurkan. Nampaknya, ketokohan Lembah Pualam Hijau yang terbiasa bertindak atas nama dan untuk keselamatan rimba persilatan sangatlah dibutuhkan, bahkan jikalau perlu mengundan semua tokoh sakti yang dimaksud untuk bersatu melawan para pengacau rimba persilatan.

Sayangnya, ketokohan itu lenyap seiring tidak ketahuannya kemana Kiang Hong dan rombongannya berada saat ini.

Pertemuan selanjutnya tidak lagi diikuti oleh Mei Lan yang lebih meminta diri bertemu dan bercakap dengan adik perempuan dan ibunya. Terutama karena dia melihat tidak ada lagi informasi lain yang dibutuhkannya dari pertemuan tersebut.

Dia kemudian mohon diri, dan pertemuan antara ketiga orang tua itu terus berlangsung sampai makan siang dan sorenya Beng San Siang Eng minta diri. Tidaklah sedikit informasi baru yang dipaparkan oleh kedua pendekar pasangan dari Beng San itu.

=================

Liang Mei Lan tinggal bersama orang tuanya selama lebih dari 2 minggu dan menghabiskan waktunya untuk menikmati suasana kota raja Hang Chouw. Selain tentu bercengkerama dengan keluarganya, terutama adik perempuannya Mei Lin yang sudah berusia hamper 12 tahun.

Dia juga kemudian bahkan bertemu dengan kakak sulungnya Liang Tek Hu, yang seperti biasa nampak diam dan berwibawa. Tetapi, Tek Hu juga sangat terharu dan meneteskan air mata melihat adik perempuan yang sudah dianggap hilang tiba-tiba muncul kembali.

Meskipun dia merasa kurang senang seperti juga ibunya, karena ternyata Mei Lan lebih memilih kehidupan Kang Ouw. Tetapi betapapun sebagai kakak laki-laki tertua, dia merasa sangat bahagia bertemu kembali dengan salah seorang adiknya. Bahkan dia kemudian meminta Liang Mei Lan dan Liang Mei Lin untuk menetap selama 1-2 hari di istana tempat Tek Hu berkantor.

Dan hal itu sangat mungkin, karena mereka bertiga adalah keluarga dalam Kerajaan, masih Bangsawan yang berkasta sangat tinggi. Dan selama itu jugalah kemudian ketiga kakak beradik itu bertukar cerita, terutama Tek Hu mendengarkan cerita pengembaraan dan pengalaman Mei Lan.

Mei Lan merasa sangat-sangat terharu. Kakaknya yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, ternyata menunjukkan kasih sayang yang luar biasa terhadapnya. Bahkan sampai meneteskan air mata gembira ketika bertemu dengannya kembali. Tetapi, dengan berat hati ia menolak ketika diminta kakaknya untuk kembali ke kehidupan di Istana.

“Tidak Toako, hidupku diselematkan guruku. Bahkan guruku yang budiman mengajarku bagaikan orang tua sendiri. Setidaknya, aku harus membalas budinya dalam kehidupanku ini” demikian Mei Lan menolak halus permintaan kakaknya yang tampaknya dititipkan ibu mereka.

“Aku mengerti Lan Moi, setidaknya engkau memikirkan juga keluargamu, ibu, ayah dan saudara-saudaramu” bujuk Tek Hu

“Tentu toako, tidak mungkin itu tidak kulakukan”

Mei Lan memang menceritakan semua pengalamannya, pengalaman berguru, pengalaman dengan Tek Hoat kakaknya dan bahkan semua yang dialaminya, kecuali masalah detail gurunya. Mei Lan berharap, dengan demikian kakaknya mengerti bahwa hidupnya memang sudah menentukan pilihan, meski belum tentu tidak bisa berobah lagi.

Suatu hal yang pasti, godaan terbesar bagi Mei Lan justru adalah mengembara dan membaktikan ilmunya, selain memang dia mengemban tugas khusus dari gurunya. Pedang Bunga Seruni lebih cocok untuk seorang perempuan, karena itu pedang itu diwariskan kepada Liang Mei Lan.

Dan menurut gurunya pedang itu sangat cocok bahkan sangat meningkatkan kemampuan dan perbawa Liang Gie Kiam Hoat. Tugas dan kepercayaan gurunya inilah yang membuat Mei Lan yang sangat mengasihi dan menghormati guru yang sudah tua renta.

Terlebih sang guru inilah yang menyelamatkan nyawanya. Dan itulah yang membuat Mei Lan untuk berkeras melanjutkan perjalanannya.

Pangeran Liang kemudian meminta ijin dan waktu bertemu dengan Baginda Raja. Sebagai adik tiri Kaisar, sudah tentu Pangeran Liang bisa leluasa mengajukan permintaan itu. Terlebih, karena Pangeran Liang pernah mengajukan permohonan bagi Kerajaan untuk ikut mencari Liang mei Lan dan Liang Tek Hoat.

Karena itu, keinginannya bertemu adalah untuk memperkenalkan Mei Lan dan sekaligus untuk memberitahu bahwa anaknya itu sudah kembali. Mei Lan yang sebenarnya merasa tidak ingin melakukannya, dengan terpaksa harus juga menjalani prosesi kebangsawanan. Yang lebih menyiksanya adalah, tata krama dalam istana yang begitu kaku, termasuk untuk dirinya.

Sebagai putra Pangeran dan keluarga dekat istana, dia harus berpakaian yang menurutnya sangat menyiksa. Bahkan untuk berjalanpun dia harus belajar cukup lama, lebih lama dibandingkan belajar dasar ilmu silat dan jauh lebih menyiksa, pikirnya. Tapi demi ayah dan demi keluarganya dia tetap harus melakukannya.

Baik belajar mengenakan pakaian putrid bangsawan yang sangat ruwet, maupun kemudian belajar berjalan sesuai dengan busana dan kepantasan seorang putri, dan juga belajar tata karma dan sopan santun dalam berbicara di lingkungan istana. “Sungguh menjemukan” piker si Gadis.

Demikianlah, akhirnya Liang Mei Lan akhirnya bertemu dengan Kaisar yang didampingi oleh Putra Mahkota, tentunya di Istana Kaisar. Mei Lan yang harus berpakaian kebesaran seorang putri istana nampak berkali-kali meringis, akan tetapi sebaliknya, bibirnya harus selalu menampilkan senyum dalam tata karma istana.

Dia menyembah Kaisar dan Putra Mahkota dan mendengarkan laporan ayahnya untuk kemudian memperkenalkannya kepada Kaisar dan Pangeran Mahkota. Tetapi Kaisar, ketika mendengar bahwa Mei Lan sudah menjadi seorang pendekar wanita didikan Bu Tong Pay, menjadi sangat girang. Bahkan dia mengajukan dua orang perwira untuk menguji Mei Lan, dan yang tentu bukanlah lawan Mei Lan.

Dengan mudah keduanya dijatuhkan, dan bahkan ketika Perwira yang paling tangguhpun yang dihadapkan, hanya sanggup bertahan 5 jurus. Demikian juga ketika Kepala Pasukan Pengawal Raja yang terkenal dengan nama Kim-i-wi, dihadapkan dengan Mei Lan, si gadis mampu menandinginya. Bahkan juga sanggup mengimbangi pelatih Kim-i-wi ini sampai puluhan atau ratusan jurus tanpa kalah.

Kaisar dan Pangeran atau Putra Mahkota menjadi sangat senang melihat ada kerabat mereka yang demikian saktinya. Bahkan Putra Mahkota nampak berbisik kepada ayahanda kaisar, dan terdengar sang Kaisar berkata:

“LIang Mei Lan, benarkah engkau belajar Ilmu Silat di Bu Tong Pay”?

“Benar yang mulia, suhu yang berbudi adalah tokoh Bu Tong Pay” demikian Mei Lan menjawab dengan hormat dalam tata krama dan aturan Istana.

“Hm, bahkan Kepala Pengawal Istana Raja yang paling tangguhpun masih belum mampu mengalahkanmu. Biarlah kuanugrahi engkau dengan menjadi salah satu anggota kehormatan Pasukan pengawal Raja. Engkau bebas memasuki istana dengan tanda pengenal tersebut” Nampak sang Raja yang memutuskan penganugerahan itu mengangguk-angguk senang dengan keputusannya.

“Yang Mulia, terima kasih atas anugerah bagi Lan Ji, tapi apakah dia sudah layak mendapatkannya”? Pangeran Liang kaget dengan anugerah tersebut. Sudah tentu dia senang, tapi dia ingin menegaskan pendengarannya

“Sudah tentu- sudah tentu. Bahkan Pangeran Mahkota yang senang dengan Tokoh Sakti juga menyetujui dan bahkan mengusulkan” Jawab Kaisar masih dengan senyum.

Demikianlah kemudian Mei Lan dianugerahi medali kehormatan yang sekaligus tanda pengenal bahwa dia adalah salah satu anggota kehormatan “Pengawal Keselamatan Raja”. Dengan medali itu, Mei Lan bisa dengan bebas memasuki istana dan dimanapun Mei Lan berada, bila Raja berada didekatnya, maka tugas utamanya adalah menjaga keselamatan Rajanya.

Sebuah anugerah yang luar biasa, dan terlebih sang Raja memang sudah mengenal adiknya Pangeran Liang yang mencintai kerajaannya dan sangat loyal kepadanya. Bahkan sang Raja bukan tidak tahu bahwa Perdana Menteri begitu tidak menyukai Pangeran Liang, tetapi Pengaran Liang sudah berkali-kali membuktikan kesetiaan dan pengabdiannya kepada Kaisar.

Dan anugerah yang dipilihnya kali ini membuktikan bahwa dia mempercayai Pangeran Liang dan juga menyukai putri Mei Lan.

Akhirnya Mei Lan kembali mengarungi kehidupan dalam istana, tetapi itupun dilaluinya dengan berat hati. Pangeran Liang yang bermata tajam bukannya tidak mengetahuinya. Tetapi diapun ingin menegaskan kepada Mei Lan bahwa betapapun dia adalah Putri Istana, anak seorang pangeran dan keturunan Bangsawan.

Dan setelah 2 minggu berlalu, akhirnya Pangeran Liang memanggil putrinya dan berbicara dari hati ke hati. Anak ini, memang sejak dulu lebih dekat ke ayahnya, Pangeran Liang. Percakapan itu yang melahirkan saling pengertian antara keduanya, bahkan Pangeran Liang jadi lebih mengerti pilihan hidup putrinya yang sudah 9 tahun mengarunginya.

Terlebih, karena menurut putrinya, nyawanya diselamatkan dari sungai oleh gurunya yang mengasuhnya baik bu (Ilmu SIlat) maupun bun (Sastra) dengan baiknya. Bahkan juga bertindak bagaikan orang tua sendiri. Karena itu, setelah menyelami jiwa anaknya, Pangeran Liang kemudian lega dan rela melepas anaknya untuk menjalankan tugas dari gurunya mencari Pedang Bunga Seruni. Sekaligus juga harus menyampaikan pesan agar Liang Tek Hoat kakaknya pulang sejenak bertemu orang tuanya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd