Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Para Naga di Pusaran Badai - Copas - TAMAT

andytama124

Guru Semprot
Daftar
25 Dec 2014
Post
565
Like diterima
41
Bimabet
ini sebuah tulisan yang di tulis oleh seorang suhu yang mungkin ini adalah sebuah karya yang sangat bagus menurut gw banyak pesan moral dan keindahan dalam sebuah tulisan
maaf nih bukan karya gw tapi menurut gw nih salah satu karya terbaik ...
ini adalah karya suhu marshall
ga ada maksud apa apa cuman mau berbagi dan meramaikan tran cerita ajha



BAB 1: Naga-Naga Kecil
(I)Pembantaian
Udara sungguh bersih, sangat cerah malah. Sinar matahari menerobos melalui celah dedaunan dari pohon-pohon berdaun jarang, sementara kicau burung bertingkah menghadirkan suasana gemilang.

Keadaan ini, seharusnya membuat siapapun gembira. Betapa tidak, berada di tengah keadaan yang begitu damai, pastilah akan menularkan kedamaian dan ketenangan serupa. Tapi tidak bagi orang tua yang satu ini. Pakaiannya sangat sederhana, layaknya orang pertengahan umur yang sedang menyepi dan mengais ketenangan hidup.

Orang tua dengan rambut dan alis yang sebagian mulai memutih ini terlihat berkali-kali menarik nafas panjang, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkan dengan keras. Sungguh kontras dengan alam yang sedang cerah gemilang.

“Kek, berhasil kek. aku berhasil, huraaa,” seorang anak kecil yang sedang melakukan gerakan-gerakan silat tak jauh dari si orang tua memecahkan keheningan. Usia anak itu paling banyak 9 tahun dan dia nampak gembira karena berhasil melakukan beberapa gerakan yang baru dipelajarinya.

“Bagus Liong ji. Kamu mengalami kemajuan pesat,” puji si orang tua menanggapi keriangan cucunya.

“Tapi masih banyak yang perlu kamu benahi untuk menjadi seperti Ayahmu,” ujar si orang tua sambil mengelus-elus janggutnya.

“Tapi gerakan-gerakan ‘walet berkelit mengepakkan sayap’ yang kakek ajarkan sudah bisa kulakukan,” kejar si bocah.

“Benar, tapi itu baru dasar dari gerakan-gerakan melatih kelincahan tubuh kita. Besok Kakek akan mengajarkan dasar gerakan tubuh yang lain buatmu. Tapi sekarang, kamu harus menyempurnakan gerakan itu,” Sahut si orang tua menahan senyum.

Ketika si Bocah kembali sibuk dengan gerakan-gerakan dasarnya, si orang tua kemudian bergumam. “Harus segera diputuskan, nampaknya waktu tidak lama lagi,” gumam si orang tua sambil mengamati dan nampaknya dengan sangat serius, keadaan alam, bahkan sambil memandang ke atas seakan sedang menghitung awan.
“Ya, nampaknya, akan segera terjadi dan akan segera dimulai. Mudah-mudahan badai ini bisa reda tanpa korban yang terlalu berat. Dan mudah-mudahan benar, Liong ji mampu melewati badai yang teramat kelam ini”.

Sang kakek kembali terbenam dalam lamunan dan pertimbangan-pertimbangan rumitnya, sang cucu kembali dalam kesibukan mengolah dan menempa gerakannya, sementara alam tetap ceria. Tapi, intuisi sang kakek nampaknya membuatnya harus memutuskan sesuatu.

“Ya, memang aku harus segera memutuskannya, harus dimulai,” gumamnya.

---------------------------

“Kita tidak oleh gagal. Yang gagal lebih baik mengakhiri hidupnya daripada gerakan kita tercium sebelum dimulai benar-benar.” Seorang berperawakan besar nampak sedang mengatur siasat dengan belasan pengikutnya.
“Sasaran awal kita sebanyak empat Perguruan Silat menengah, harus tuntas hanya dalam waktu satu hari. Ingat, barisan ombak merah tidak boleh kalah dari barisan lain. Segera setelah tugas selesai, kembali berkumpul di bukit sebelah barat sana, bersama dengan barisan ombak lainnya, Kemudian kita akan menghilang untuk merencanakan gerakan selanjutnya. Semua siap?” Tanya sang pemimpin.

“Siap!” serempak jawaban sekitar 12 orang anggota barisan merah menyahut di hadapan sang pemimpin.

“Barisan merah 1 bersama regunya masuk melalui sisi kanan,” seruan ini dengan segera ditanggapi secara tertib dan serius oleh barisan kelompok pertama. Jumlah kelompok pertama ini ada sekitar 3 orang.

“Barisan merah 2 bersama regunya memasuki sisi kiri,” seruan dan perintah ini diarahkan kepada barisan kedua yang juga berjumlah hamper sama dengan barisan pertama, yakni sebanyak 3 orang.

“Sisanya memasuki pintu utama segera setelah mendengar dan melihat tanda siulanku. Kita tetapkan dimulai sebagaimana kesepakatan dengan Barisan warna biru, hijau dan kuning menjelang malam ini dan selesai secepatnya untuk bergabung di bukit sebelah barat,” ujar si Pemimpin. Semua nampak mengangguk-angguk paham dan tetap dalam barisan dengan sangat tertib dan teratur.

-----------------------

PEK LIONG PAI, Perguruan Naga Putih. Papan nama megah itu nampak menyuram, seiring dengan mentari yang semakin condong ke barat. Bersamaan dengan itu, beberapa anak murid yang bertugas, mulai melakukan ronda menjelang malam. Menyalakan obor di beberapa sudut dan menempati pos penerima tamu yang sekaligus menjadi gerbang perguruan yang berada di sisi sebelah depan.

Bagian belakang Perguruan ini jarang didatangi orang, karena langsung berbatasan dengan tebing yang sangat tinggi sehingga selalu diabaikan untuk dijaga. Lagipula, di dekat tebing itu justru ketua Perguruan Naga Putih, Can Thie San tinggal. Jikapun ada penyusup, masakan tidak diketahui dan konangan oleh sang Ketua?

Dua orang murid yang bertugas jaga baru mau mulai bertugas meronda ketika sebuah piauw berbentuk bintang laut berwarna merah berdesing dan jatuh di halaman dalam. Keduanya terperanjat, akan tetapi dengan segera menjadi lebih terperanjat lagi ketika tanpa mereka sadari, dalam hitungan sepersekian detik seseorang dengan tutup wajah merah dan jubah merah lebar telah berdiri di belakang mereka. Tanpa mereka sadari dan ketahui. Bahkan berdiri dengan seramnya dibelakang mereka. Terlebih karena cahaya bulan berada dibelakang manusia berjubah itu, membuat tampilannya menjadi semakin menyeramkan bagi kedua penjaga itu.

“Bawa, Piauw bintang laut merah itu kepada ketuamu. Sampaikan bahwa duta barisan ombak merah menunggu di halaman depan.” Terdengar ucapan dengan nada yang sangat dingin dan menusuk dari Ketua Kelompok Barisan Merah yang nampak menyeramkan itu.

Tapi, para penjaga itu segera menyadari keadaan, dan ketika mulai menemukan kembali keberanian mereka, dengan segera seorang dari peronda malam itu menggerutu dan memaki:

“Setan, siapa kamu gerangan hingga berani lancang tangan memerintah kami anggota perguruan … ngek….” Belum selesai bicara, sang murid yang lancang mulut itu telah terkulai. Lehernya tertembus sebuah piauw bintang laut merah yang berukuran jauh lebih kecil dari tanda pengenal yang dilemparkan sebagai tanda pengenal di halaman perguruan Naga Putih tadi.

Murid atau penjaga malam yang satunya lagi terbelalak kaget dan menjadi sangat ketakutan. Betapa tidak, dia tidak melihat dan tidak sanggup mengikuti kibasan tangan duta ombak merah, tahu-tahu kawannya sudah terkulai tewas dengan leher tertembus piauw bintang laut merah yang kecil. Sebentar kemudian, suara dingin dan menusuk itu kembali terdengar:

“Mau sok hebat seperti kawanmu, atau segera masuk dan memanggil ketuamu?” Kalimat ini diiringi dengan dengusan sang ketua barisan yang menjadi agak marah karena terusik oleh penjaga yang dibunuhnya barusan dengan sebuah kibasan piauw bintang laut merah.

“Ba … ba …. Baik tuan, silahkan tunggu di sini….” murid yang satu lagi dengan gemetar, kecut dan ketakutan segera memutar balikkan tubuhnya untuk memasuki ruangan dalam guna memberitahu kawan-kawan dan ketuanya.

Tetapi tiba-tiba, “siiiiinnnng”, terdengar desingan yang lain yang kemudian menghadirkan rasa dingin di lehernya dan entah bagaimana tiba-tiba dia merasa kesakitan pada bagian telinganya, dan terasa sakit dan darah, sebuah telinganya tiba-tiba terlepas.

“Aduh” jeritnya kesakitan, tapi ketakutan membuatnya tidak berhenti dan malah berlari masuk sambil membekap bekas telinga kirinya yang kini buntung oleh si jubah merah yang sangat ganas dan telengas, bukan saja membunuh kawannya tetapi juga memapas telinganya hingga buntung dan membuatnya sangat ketakutan.

Tidak beberapa lama kemudian, sekitar 20-an murid Pek Liong Pai berduyun-duyun keluar dan dengan marah, dan maju bergerombol di depan Sang ketua Barisan Merah. Sang ketua barisan tetap berdiri menyeramkan dan nampak angkuh menghadapi demikian banyak anak murid Pek Liong Pai yang datang mengerubutinya.

Nampak jelas bila si ketua barisan merah sama sekali tidak menganggap para murid ini sebagai orang-orang yang membahayakan dan bahkan tidak mengindahkan para murid yang murka melihat tubuh salah seorang teman mereka terbujur dihalaman dengan leher tertembus piauw kecil.

“Setan, siapa kamu yang begitu berani menyatroni perguruan kami?” Seorang yang cukup berwibawa bertanya dengan muka masam kepada si duta. Menjadi makin masam begitu melihat mayat salah seorang muridnya yang terkulai dengan leher tertembus piauw di depannya.

“Apakah kamu yang membunuhnya?” Tanya orang itu yang ternyata adalah Murid Kepala Can Thie San bernama Li Bu San, yang nampak menjadi semakin marah memandang si Pemimpin Barisan Merah

“Benar, dan siapa pula kamu?” Dengus sang pemimpin barisan merah dengan nada menghina dan tidak memandang sebelah mata.

“Li Bu San, Murid kepala Pek Liong Pay…” Jawab Li Bu San lantang dibarengi kemarahan akibat seorang murid terluka dan seorang lagi tewas. Sungguh sombong dan telengas orang ini, pikirnya.

“Kau belum cukup berhak untuk berhadapan denganku. Panggil ketuamu atau korban akan menjadi semakin besar….” dengus si pemimpin yang membuat Li Bu San tambah naik pitam. Betapapun dia adalah murid kepala sang Ketua dan memiliki wewenang besar di perguruannya.

Sementara itu, lebih 20-an lagi murid Pek Liong Pay keluar dan mereka serentak mulai mengambil sikap untuk mengurung pemimpin barisan Merah yang sombong dan memuakkan itu.

Tapi tiba-tiba sang pemimpin barisan merag mengibaskan tangannya sambil kemudian sebuah siulan panjang terdengar dari bibirnya. Dan dalam waktu yang tidak lama, kepungan para murid Pek Liong Pay buyar, sebagian besar terlempar kebelakang meski tidak terluka, hanya terdorong oleh hempasan membadai dari tangan Sang pemimpin barisan merah yang ternyata sangat lihay bagi para murid Pek Liong Pay.

Sementara di belakang sang pemimpin barisan merah, sejurus kemudian dalam waktu yang tidak lama telah bertambah dengan 6 orang lain dengan tubuh bersaputkan kain merah dan wajah juga tertutup kain merah. Bedanya dengan Pemimpin Barisan Merah adalah, adalah warna jubahnya yang lebih pekat dibandingkan dengan anak buahnya.

“Jangan memaksa kami menurunkan tangan lebih kejam. Kami ingin bekerjasama dengan kalian, tetapi bila kalian mengambil jalan kekerasan, kami tidak segan-segan menurunkan tangan kejam…” Si pemimpin barisan merah mengancam. Bahkan ancamannya sudah dibuktikan dengan tak segan-segannya dia membunuh dan melukai orang, meski dihadapan banyak anak murid perguruan itu.

“Apa kehendak kalian sebenarnya” Bertanya Li Bu San mewakili gurunya dan tentu kawan-kawan perguruan dan murid-muridnya.

“Kau tidak berhak bertanya jawab denganku. Jika Ketua Kalian berkeras tidak mau menghadapi kami, maka jangan salahkan bila kami melepas tangan kejam untuk murid-muridnya. Cukup kamu tahu, bahwa kami tidak berpantang melakukan pembunuhan, termasuk membunuh seluruh anak murid Pek Liong Pay apabila memang dibutuhkan…” Hebat bukan main ucapan pemimpin barisan merah ini, sampai-sampai wajah Li Bu San menjadi pucat menahan kemendongkolan dan kemarahan yang memenuhi relung dadanya.

“Tahan, ada apa malam-malam orang mencariku?” Sebuah suara diikuti tindakan lebar dibarengi pengerahan tenaga mendatangi ke halaman depan. Dan tidak berapa lama kemudian nampak berdiri gagah seorang berumur pertengahan dan yang dengan cepat semua murid termasuk Li Bu San menghormat sambil berkata: “hormat Pangcu”. Tapi orang itu hanya memandang sekilas untuk kemudian matanya beralih kepada si pendatang, pemimpin barisan merah bersama anak buah yang menyertainya. Wajahnya berkernit sekejap melihat sudah ada anak muridnya yang menjadi korban dan ada yang terluka.

“Apakah kau, Ketua Pek Liong Pay?” Tanya pemimpin barisan merah ketika orang yang baru datang memandang kearah kelompok barisan merah dan dirinya seakan bertanya-tanya siapa mereka gerangan.

“Benar, Can Thie San, Ketua Pek Liong Pay” Jawab sang Ketua yang kemudian dari belakangnya keluar pula anak laki-lakinya, Can Liong dan selanjutnya berdiri di sebelah kiri dan istrinya berdiri di sebelah kanan seakan mengapit Can Thie San ditengah mereka berdua..

Tapi ketika melihat piauw Bintang Laut Merah di tengah halaman, wajah Can Thie San nampak berubah hebat. Apalagi ketika melihat bahwa Barisan Merah telah hampir lengkap, sudah ada 6 orang, dan berarti masih ada 2 sayap lainnya yang menunggu untuk bergabung. Sebagai seorang tokoh dan ketua perguruan, Can Thie San sudah maklum apa yang akan terjadi. Sesuatu yang membahayakan dirinya, perguruannya, semua anak muridnya dan tentu juga keluarganya.

“Apa yang kalian kehendaki?” Tanya Can Thie San
“Meminta Pek Liong Pay tunduk kepada kami, dan kemudian bekerjasama untuk menguasai dunia persilatan. Jika ditolak, maka berarti bermusuhan, dan Barisan Merah tidak segan melakukan pembunuhan dan pembasmian….” Sahut pemimpin barisan merah dingin dan tajam menusuk.

Wajah Can Thie San nampak makin kelam. Dia tahu dan sadar belaka dengan siapa dia kini berhadapan. Di Lautan sebelah selatan, Can Thie San tahu bahwa ada sebuah Perkumpulan Misterius yang sangat ambisius dan memiliki 4 barisan utama, yakni barisan merah, barisan biru, barisan hijau dan kuning.

Jangankan dengan barisan itu, dengan duta yang menjadi kepala dari barisan itu, dia sadar betul masih belum nempil menjadi lawannya. Apalagi menghadapi barisan yang dia dengar, bila bergerak tidak akan menyisakan orang yang berada di tengah barisan itu.

Can Thie San juga sadar, meski masih belum pernah tampil di Tionggoan, Ketua Perkumpulan misterius ini, dikabarkan tanpa tanding. Atau sulit dicarikan tandingannya, karena kesaktiannya yang luar biasa, sehingga bahkan barisannya saja sudah demikian sakti. Anehnya, mau apa mereka memasuki Tionggoan setelah puluhan tahun berdiam di lautan selatan? Apakah ada sesuatu yang berubah ataukah tiba-tiba muncul ambisi mereka untuk berkuasa juga di Tionggoan?

Banyak pertanyaan di benak Can Thie San, tetapi sayangnya tidak semua bisa ditanyakannya kepada pemimpin barisan merah yang dia tahu juga sangat lihay dan ganas, dan mengahdirkan ancaman baginya, keluarganya dan perguruannya.

Tetapi, sebagai seorang Ketua sebuah Perguruan, meski bukan perguruan terbesar dalam dunia persilatan Tionggoan, dalam waktu sekejap, Can Thie San sudah mengambil keputusan. Setidaknya, dia berharap anaknya Can Liong dan istrinya boleh luput dari sergapan dan pembantaian oleh barisan merah yang menakutkan ini.

Meskipun nampaknya berat, tetapi demi kegagahan dia harus mempertahankan kehormatannya. Betapapun kecilnya Pek Liong Pay, tetapi kehormatan sebagai kaum persilatan harus dijaganya, dan justru karena berpikiran demikian maka Can Thie San menjadi pasrah, dan karena itu, dengan tegas dia berkata:

“Baik, bagaimana jika diputuskan bahwa siapa yang menang dia berhak menentukan nasib yang kalah?”

“Suhu” murid-muridnya menjerit kaget, sungguh luar biasa apa yang diucapkan guru mereka. Dari semua murid, hanya Li Bu San yang bisa memahami makna dari ucapan yang keluar dari mulut suhunya, karena sedikit banyak dia sudah mendengar kehebatan dan keganasan Barisan merah ini.

“Sudah kutetapkan demikian, entah bagaimana pemikiran pemimpin Barisan Merah?” Tanya Can Thie San

“Kami perlu dukungan dan kerjasama banyak perguruan. Karena itu, pikirkan sekali lagi Can Thie San, menakluk dan bekerjasama dengan kami atau terpaksa kami membuka jalan darah….” sahut pemimpin barisan Merah.

“Beri aku waktu untuk mencoba merundingkan beberapa hal dengan murid kepalaku…” Can Thie San berkata kepada pemimpin Barisan Merah, sebuah upaya lain untuk mengulur waktu buat meloloskan putranya dan istrinya dari marabahaya yang mengancam.

“Silahkan” Jawab Sang pemimpin.

Can Thie San menghampiri istri dan anaknya dan nampaknya berusaha memberikan beberapa pengertian serta juga beberapa pesan yang mesti dilakukan menghadapi bahaya ini. Nampak anaknya seperti tidak setuju, tetapi ayahnya tetap berkeras karena sadar betul kekuatan yang sedang mereka hadapi, sebuah kekuatan yang tak tertahankan bagi mereka.

Pada akhirnya, Can Liong nampaknya mengangguk berat, sangat berat hatinya harus meninggalkan ayahnya bertarung tanpa keyakinan menang, sementara dia merat bersama ibunya. Semuanya tidak lepas dari pengamatan Pemimpin Barisan Merah, bahkan dengan jelas dia mendengar percakapan mereka melalui telinganya yang tajam.

Pemimpin Barisan Merah hanya memandang diam, dia tahu sayap kiri kanan akan menyelesaikan yang tersisa ataupun siapa saja yang akan tersisa dan lolos dari halaman depan. Sementara itu, Can Thie San setelah menerima anggukan persetujuan istri dan anaknya, kemudian menghampiri murid-muridnya dan mengeluarkan pesan-pesannya yang dimintanya untuk ditaati oleh murid-muridnya:

“Seandainya Gurumu kalah, ingatlah selalu untuk menegakkan kebenaran. Bukan masalah hidup atau mati yang penting, tapi bagaimana kehormatan dan kegagahan ditegakkan. Jika aku beruntung menang, tidak akan ada masalah. Jika tidak, Li Bu San, tolong kau perhatikan nantinya….”

Li Bu San mengangguk-angguk sambil menyatakan “Iya suhu, hati-hatilah”.

Can Thie San kemudian menghampiri Sang Duta dan menyatakan, “silahkan, kita mulai, kami memutuskan untuk melawan dengan kehormatan dan kegagahan kami”.

Tapi Sang pemimpin barisan merah dengan dingin dan tenang malah menyatakan, “jika dalam 5 jurus kamu mampu bertahan, kami akan berlalu. Tapi bila kami menang, maka Perguruan ini akan segera kami musnahkan karena berani menentang perintah menakluki…”

Perkataan ini disambut dengan gerengan marah murid-murid Pek Liong Pay yang merasa sangat terhina oleh ucapan pemimpin barisan merah yang bukan hanya menghina, tetapi bahkan mengancam akan membunuh mereka semua.

Begitupun, ucapan 5 jurus ini, membuat semangat Can Thie San bangkit lagi. “Masakan bertahan 5 juruspun aku tak sanggup?” pikirnya, dan membuatnya seperti mendapatkan dorongan moral dan semangat baru untuk mempertahankan hidupnya dan perguruannya.

Dengan segera dia mengempos tenaga dan dengan sengaja dia kemudian menetapkan memilih dan mengeluarkan serta mengerahkan jurus-jurus terampuh dari perguruan yang diciptakan ayahnya berdasarkan Jurus Kibasan Naga Putih.

Pada saat menyerang, tangan dan kakinya bergerak kuat dan dengan segera menerpa menyerang kearah pinggang dan kaki pemimpin barisan Merah. Tapi sayang, baik kegesitan maupun tenaga, nampaknya Can Thie San masih terpaut cukup jauh dari pemimpin barisan Merah yang digdaya itu. Hanya dengan menggeser 1 langkah kekiri, menyentil pergelangan tangan dan kemudian mengegos perlahan dan santai, 3 jurus ampuh Naga Putih sudah bisa dipunahkannya.

Dan ketika Can Thie San melancarkan Serangan “Naga Putih Berontak”, dengan kedua tangan mendorong ke depan kemudian cepat melingkar dengan serangan kaki kanan, disertai tenaga yang hebat, pemimpin barisan Merah dengan gesit menghindar.

Bahkan kemudian bukan hanya menghindar sebuah sodokan yang nampaknya perlahan saja, secara aneh dan telak telah nyelonong ke dada Can Thie San yang segera terlontar ke belakang dan dan kemudian dari mulutnya menyeburlah darah segar.

“Can Thie San, kau sudah kalah. Aku hanya memainkan 4 jurus, 3 jurus mengelak dan sebuah jurus menyerang, dan itu sudah cukup mejatuhkanmu. Maafkan, bila barisan merah terpaksa memaksa Pek Liong Pay untuk terbasmi…” Berkata pemimpin Barisan Merah kepada Can Thie San yang jatuh terduduk dengan darah berceceran disampingnya dan mengotori juga jubahnya.

Tiba-tiba, suara siulan pemimpin barisan merah kembali terdengar, sebuah perintah untuk turun tangan kepada barisan merah, baik yang bersamanya maupun yang masuk melalui pintu kiri dan pintu kanan perguruan Pek Liong Pay sebagaimana yang mereka rencanakan.

Dan bersamaan dengan itu, nampak murid-murid Pek Liong Pay juga bergerak, malah nampaknya Li Bu San mendahului mendekati pemimpin Barisan Merah dan dengan garang menantang untuk bertempur dengan si pemimpin:

“Aku akan minta pengajaranmu…” Li Bu San nekat maju menyerang pemimpin barisan merah, dan langkahnya diikuti oleh beberapa murid lain yang merasa muak dan marah dengan kesombongan pemimpin barisan merah. Tetapi hanya dengan menggeser kaki kekanan, diikuti sebuah sodokan pemimpin barisan merah telah melontarkan Li Bu San kembali ke tempatnya.

Li Bu San yang keras kepala kemudian malah menghunus pedangnya dan dengan lantang berseru, “Kita lawan”, dan seruannya diiringi dengan sambutan murid-murid lain yang dengan segera ikut menggempur Barisan Merah yang juga sudah menerima perintah melalui siulan untuk membasmi Pek Liong Pay.

Maka dimulailah proses perkelahian dan pertempuran yang lebih mirip pembantaian anak murid Pek Liong Pay. Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung timpang, meskipun Pek Liong Pay menang jumlah, malah sangat banyak, tetapi kemampuan mereka bertempur masih sangat jauh dibandingkan dengan kekuatan Barisan Merah.

Barisan ini seakan-akan bermain-main dengan mencabut nyawa kekiri dan kekanan, dan tidak lama kemudian anak murid Pek Liong Pay sudah pada bergelimpangan menjadi korban, tak satupun tersisa. Bahkan Can Thie San dan juga Lu Bu San menjadi korban diantara mayat bergelimpangan dihalaman perguruan mereka.

Bahkan Can Liong bersama ibunya yang mengambil jalan belakang sesuai pesan ayahnya, juga ikutan menjadi korban. Pek Liong Pay akhirnya jatuh dan terbasmi habis oleh di tangan Perguruan Misterius dari Lautan Selatan yang menyerang dan menyerbu dengan barisan merahnya.

Hari itu, 4 perguruan kelas menengah menjadi korban. Dari keempat perguruan itu, hanya 1 perguruan yang menakluk dan dikuasai. Sementara sisanya, 3 perguruan lain dibasmi habis sampai keakar-akarnya. Setidaknya hampr 200 orang tewas dalam pembasmian, dimana hampir tiada seorangpun anggota perguruan 3 perguruan yang melawan yang tertinggal, semua mati terbantai secara mengerikan.

Bahkan juga anggota keluarga pemimpin perguruan itu, ditemukan tewas dengan cara yang hampir sama. Perguruan yang menakluk itu dan selamat, kini dikuasai oleh Perguruan Misterius yang nampaknya berkeinginan melebarkan sayap ke Tionggoan. Perlawanan pek Liong Pay bersama 2 perguruan lainnya terlampau lemah dan sangat mudah di kuasai.
 
Terakhir diubah oleh moderator:
(2)
pesolek rombeng sakti

“Hiyaaaa, hiyaaaa,” Sang kusir mengemudikan keretanya dengan tenang dan mengatur kuda-kuda penarik agar tidak rewel. Keretapun berjalan teratur, getaran-getarannya memang tidak mungkin tidak terasa, tapi bagi banyak orang, terlebih pejabat Negeri, naik kereta tentu lebih bergengsi ketimbang jalan kaki. Selain tentu, memang tepat untuk memanjakan kemalasan berjalan kaki. Bahkan lebih dari itu, berkereta adalah lambang status.

Isi kereta itu, dengan mudah bisa ditebak, tentulah bukanlah orang biasa. Bukan orang kebanyakan. Tentu tidak. Isinya adalah salah seorang adik Kaisar, yang dikenal dengan nama Pangeran Liang Tek Hong. Seorang adik tiri.

Pangeran ini sungguh sangat terkenal dengan reputasi berbeda di kalangan berbeda. Pangeran Liang bertingkah sebaliknya dengan Kaisar yang adalah Kakak tirinya, berlainan ibu sebagai turunan Kaisar sebelumnya. Kaisar yang sekarang, Kaisar Liang Tai Po, adalah kaisar yang lemah, hobynya bersenang-senang dan jatuh di bawah pengaruh para kaum kebiri (thaikam) yang pandai menyediakan wanita dan pandai bermulut manis.

Kekuasaan tertinggi memang masih di tangan Kaisar, tetapi kemudinya sudah benar-benar di tangan Perdana Menteri Kerajaan yang dengan mulut manisnya mampu mengatur kebijakan Kerajaan. Bahkan Pangeran Liang Tek Hongpun sampai tidak mampu menyainginya.

Dan di mata Perdana Menteri ini, Pangeran Liang sungguh sangat menyebalkan, dianggap sebagai ancaman, dan hanya karena Pangeran Liang adalah adik Kaisar maka Sang Perdana Menteri masih menaruh segan.

Pangeran ini, berbeda dengan bangsawan pada umumnya, tidak menarik garis yang jauh dengan masyarakatnya. Dia disenangi dan disegani baik oleh para patriot yang mulai berani menentang Raja yang malas, dan korupsi para thaikam. Juga dia disegani banyak pejabat karena tegas dan selalu berpegang pada prinsip pemerintahan yang baik. Tentunya para pejabat yang masih mempergunakan nurani dan liangsimnya.

Karena itu, jika Pangeran Liang dianggap berbahaya oleh para Thaikam dan oleh Perdana Menteri Kerajaan, disisi lain ia sangat disegani para patriot dan terlebih rakyat yang mengenalnya. Bahkan, pergaulannya dengan kaum kelana dan kaum dunia persilatan sungguhlah akrab.

Tidak jarang di waktu malam dia bercakap-cakap dengan salah seorang atau beberapa tokoh kang-ow sekaligus yang senang datang mengunjunginya. Dia juga tidak segan menyapa rakyatnya dan bahkan menolong mereka yang ditemuinya dalam kesulitan. Karena kedekatannya dengan rakyat serta hubungannya dengan kaisar itulah yang membuat para thaikam takut mengganggunya.

Pangeran Liang mempunyai empat orang anak, anak pertama seorang anak laki-laki berusia hampir 11 tahun bernama Liang Tek Hu. Anak yang kedua juga anak laki-laki bernama Liang Tek Hoat berusia hamper 8 tahun, sementara anak ketiga dan keempat adalah wanita, masing-masing berusia 7 dan 2 tahun bernama Liang Mei Lan dan Liang Mei Lin.

Jika Tek Hu mirip ibunya yang halus dan pendiam serta berwibawa, sebaliknya Tek Hoat seperti ayahnya, ramah, mudah bergaul, mudah beradaptasi dan supel. Pembawaannya selalu riang dan memberi pengaruh kepada orang-orang yang berada disekitarnya.

Sementara anak perempuan sang Pangeran, Mei Lan cenderung galak, tetapi sangat mudah tersentuh dan mengasihi orang yang menderita. Mei Lan sejak kecil, meski berbeda usia hanya setahun dengtan kakak keduanya Tek Hoat, sangat erat dan lebih dekat dengan kakak keduanya itu dibandingkan kakak sulungnya.

Sementara Mei Lin masih belum ketahuan tabiatnya. Ketiga anak Pangeran ini, sudah sejak kecil diajari sastra dan baca tulis, dan di bidang ini Tek Hu sangat menonjol melebihi kedua adiknya, tetapi untuk dasar dan gerak silat yang dipercayakan kepada seorang guru silat sewaan di kota raja Hang Chouw, justru Tek Hoat dan Mei Lan yang nampak sangat antusias dan sudah jelas jauh lebih berbakat. Bahkan beberapa tokoh silat pernah mengutarakan hal ini kepada sang Pangeran.

Hari itu, Pangeran Liang sedang mengadakan perjalanan dengan hanya diiringi 5 orang prajurit disekitar kota raja Hang Chouw. Bersama sang pangeran adalah anak kedua Liang Tek Hoat serta anak ketiga Liang Mei Lan, karena kedua anak inilah yang paling dekat dengannya. Sementara anak sulungnya, Tek Hu lebih dekat kepada ibunya ketimbang ayahnya. Keduanya, nampak mewarisi kegagahan ayahnya meskipun usia mereka masih teramat sangat belia.

Sepanjang perjalanan, kegembiraan kedua bocah ini, justru menggembirakan ayahnya dan merupakan hiburan tersendiri bagi sang Pangeran yang memang mengajak kedua anaknya ini untuk hanya sekedar berjalan-jalan di luar kota raja sambil melepas kepenatan.

Sayangnya sang Pangeran tidak menyadari jika perjalanannya kali ini sudah dan sedang diintai maut. Ketika situasi politik dan hubungan Kerajaan Sung Selatan memasuki masa kritis dengan kerajaan tetangganya, maka kondisi politik seputar istana juga memanas.

Maka, beberapa pejabat termasuk patih atau perdana menteri Kerajaan melakukan upaya memperkuat diri dengan menyewa beberapa tokoh dunia hitam untuk membantunya. Tentunya dengan iming-iming uang dan kemewahan. Ada lagikah motif lain bagi orang dengan pekerjaan membunuh selain uang banyak, kemewahan dan ganjaran-ganjaran lain yang serba menyenangkan? Karena, dimanakah uang akan ditolak orang? Penjahat manakah yang tidak tergoda dengan uang melimpah dan hidup nyaman? Para politisi kerajaan pasti paham dengan rumus ini.

Ketika memasuki pinggiran hutan sebelah barat yang agak sepi dan berjarak sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Hang Chouw, seorang Laki-laki pesolek nampak seperti berjalan santai dan normal saja dari arah berlawanan dengan kereta sang Pangeran. Orang tersebut nampak sangat aneh dan bernyanyi-nyanyi dengan nada aneh:

“Aduhai dinda, dimanakah engkau?” nyanyian dengan tetap maju seakan tidak takut tabrakan dengan kereta. Ataukah memang dia sengaja ingin menabrakkan dirinya dengan kereta?

“Duhai dinda, lihat betapa kejamnya kuda-kuda itu…” lanjutnya sambil tetap terus bernyanyi.

“Duhai dinda, betapa kerasnya para prajurit bodoh itu…” Dia tetap bernyanyi dan makin dekat dengan kereta, semakin dekat dan dekat dengan tiada tanda-tanda si pendatang menghentikan langkahnya agar tidak tabrakan.

“Hei, pria pesolek, minggir, mau ditabrak ya?” gertak prajurit dari jauh yang khawatir juga bila benar terjadi tabrakan dengan si pria pesolek yang tidak mau menyingkir dari jalanan.

“Duhai dinda, dengar gertak sambal prajurit bodoh…” justru si pria pesolek tetap bernyanyi dan sekarang malah bernyanyi sambil mengejek dan mencela para prajurit yang mendampingi Pangeran.

Sementara itu sang kusir mulai memperlambat kereta, betapapun dia juga khawatir jangan sampai terjadi tabrakan.

“Duhai dinda, sang kusir lumayan baik. Tapi isi keretanya tetap penting…” si pesolek terus bernyanyi, dan terus melangkah maju, bahkan nampak akan terus maju seandainya kereta tak berhenti sekalipun.

“Ada apa?” Pangeran Liang bertanya kepada Kusir ketika merasa kereta melambat dan kemudian malah berhenti.

“Aaaa, anu, anu Pangeran, ada orang gila sedang menghadang di jalanan” sang kusir menjawab

“Ah, yang benar. Mana mungkin hari begini ada yang menghadang jalannya kereta...” Pangeran Liang kemudian mencoba turun dari kereta sambil sebelumnya menenangkan anak-anaknya dan meminta mereka untuk tetap di dalam kereta.

“Paman kusir, siapa yang menghadang?” suara anak laki-laki yang nyaring gembira terdengar.

“Barangkali bukan menghadang, mungkin ada yang perlu dibantu…” sambut suara anak perempuan

Sementara Pangeran Liang dengan sabar setelah turun dari kereta dan melihatn keberadaan si pesolek yang berhadapan dengan keretanya kemudian menyapanya.

“Saudara, ada keperluan apa gerangan menghentikan kereta kami?” bertanya sang Pangeran dengan ramah seperti biasanya.

“Duhai dinda, orang ini memang sopan. Sayang tetap harus dihabisi…” si Pesolek tetap berceloteh.
“Apa maksud saudara?” Tanya pangeran Liang tercekat. Mulai khawatir juga karena orang yang disapanya nampak menunjukkan gejala yang aneh, jangan jangan orang ini utusan para pejabat yang sentiment terhadapnya dan yang ingin menghilangkan nyawanya.

Sementara itu, salah seorang pengawal Pangeran yang melihat lagak tengil dan tidak hormat kepada junjungannya menjadi sangat marah dan dengan keras menegur si penghadang:

“Kurang ajar, berani kau menghina Pangeran?” seruannya tersebut bahkan sudah diikuti dengan tindakannya yang nekat dengan menyerang si Pesolek yang dianggapnya tidak tahu aturan.

“Ah, lalat bodoh, mengganggu saja…..” dengan santai si Pesolek mengibaskan lengan kanan, dan akibatnya si prajurit melayang jauh dan jatuh setelah menabrak sebatang pohon di pinggir jalan.

Kejadian mencengangkan ini membuat kuncup nyali para prajurit, tetapi sebaliknya membangkitkan rasa kagum di hati Tek Hoat dan Mei Lan. Bukannya takut, anak-anak itu malahan kagum melihat si pesolek mampu menerjang dan menerbangkan seorang pengawal.

“Wuah, ayah, paman pesolek ini hebat juga. Kelihatannya lebih hebat dari Guru Liu..” kata Tek Hoat yang sudah turun dari kereta bersama adiknya sambil mendekati ayahnya yang juga nampak tertegun dan sadar sedang berhadapan dengan orang pandai. Pergaulannya dengan para tokoh dunia persilatan telah membuatnya awas terhadap tanda-tanda seorang yang berkepandaian tinggi seperti yang dilihatnya dalam diri penghadangnya.

“Saudara hebat sekali, tetapi apa salahnya seorang prajurit seperti itu sampai dicederai dengan begitu beratnya?” Pangeran Liang menegur si pesolek meskipun sadar resikonya. Tetapi kegagahannya membuatnya tetap berkeras menegur si pesolek itu.

“Duhai dinda, Pangeran ini memang ramah dan sopan. Sayang perintahnya jelas, habisi dia….” kicau si Pesolek dengan mata memandang kagum terhadap Tek Hoat yang gagah dan juga Mei Lan yang menyusul tiba dengan tidak menunjukkan rasa takut, malah rasa kagum.

“Duhai dinda, anak-anaknya juga sangat mengagumkan, sungguh anak-anak yang menggemaskan…”

Sementara para prajurit meskipun dengan rasa gentar, tetapi tetap menunjukkan kehormatan dan kegagahan mereka, terutama kesetiaan mereka terhadap junjungan mereka, pangeran Liang. Pangeran ini, bagi mereka sungguh sangat dihormati, karena memperlakukan mereka sangat baik dan sangat bersahaja. Karena itu, mereka mengeraskan hati untuk membela Pangeran yang mereka hormati dan junjung itu.

Sambil memandang sekilas kepada para prajurit, dan dengan tidak memandang sebelah mata, si pesolek mengalihkan perhatiannya kepada kedua anak yang mengundang kekagumannya, dan terakhir memandang Pangeran Liang.

“Pangeran, anda membuat saya kagum, tapi sayang tugasku harus membunuhmu. Sungguh sayang, tapi jangan takut, aku dan temanku pastilah tidak akan merusak tubuhmu, karena kami nampaknya tertarik dengan anak2mu yang gagah ini…” bekata si Pesolek.

“Ah, paman yang baik, mengapa siang-siang mau pakai bunuh segala” Tek Hoat menyela, berani dan tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan ataupun jeri terhadap si pesolek.

“Bukankah membunuh manusia sangat dilarang”? tambahnya mencerca si pesolek.

“Hoat ji, mundur” Pangeran Liang menarik mundur anaknya, dan meskipun bangga dengan keberaniannya tetapi menjadi khawatir dicelakai atau malah disulik si Pesolek yang tadi mengakui kagum terhadap anak-anaknya.

“Jangan ayah, dia mau membunuh ayah” Tek Hoat berkeras.

“Tidak, mundur ke belakang, biar ayah yang berhadapan dengannya…” Pangeran berkeras dan mendesak anaknya ke belakang. Tetapi Tek Hoat nampaknya tetap berkeras untuk tidak bersembunyi.

“Hahahaha, mengharukan. Duhai dinda, lihat betapa hebat anak itu, tetapi juga betapa gagah korban kita kali ini” si Pesolek kembali berkicau

“Baik, majulah bila kalian ingin membunuhku. Tapi, tolong jangan mencelakai anak-anakku” Pangeran Liang maju di depan anak-anaknya dan menjadi sadar sedang berhadapan dengan siapa.

Dia teringat sepasang manusia aneh dari Selatan, si pria senang bersolek dan gampang dikenali dengan kalimat yang hampir selalu ada kata-kata “duhai dinda”, dan si wanita pasangannya yang justru berpakaian awut-awutan meskipun sangat cantik. Dua pasangan aneh ini dikenal sangat sakti dan terkenal sulit menemukan tandingan di Selatan. Tapi nampaknya kali ini mereka sedang mengerjakan tugas orang lain yang sengaja membayar mereka.

“Heran, siapakah yang berhasil menyewa mereka untuk membunuhku?” pangeran Liang bertanya keheranan dalam hati sekaligus dengan penuh kekhawatiran.

“Jangan takut pangeran, aku sudah berjanji tidak akan merusak tubuhmu…” Sang pesolek bersiap-siap. Dan Pangeran Liang maklum belaka bahwa orang aneh ini pasti sanggup mengerjakannya. Apalagi dari kawan-kawan Kang Ouw dia tahu kedua orang ini memiliki sejenis Ilmu Beracun yang sangat ampuh, bukan melalui senjata tetapi hawa pukulan.

Meskipun mereka berdua memiliki hawa beracun yang sangat lihai dan kuat, tetapi mereka tidak dilengkapi dengan senjata-senjata beracun, saking percayanya dengan kekuatan hawa beracun pada pukulan mereka yang mereka namakan Hwe Tok Sin Ciang (Tangan Api Sakti Beracun).

Dengan pukulan inilah mereka sering malang melintang di dunia kang ouw khususnya di daerah selatan dan jarang sekali menemukan lawan sepadan bertahun-tahun terakhir ini. Itu juga sebabnya si pesolek merasa sanggup mengerjakan tugas yang diembankan baginya melalui pembayaran sejumlah uang.

Tapi sebelum si Pesolek bergerak, keempat prajurit yang selalu melindungi Pangeran Liang serentak meloncat ke depan Pangeran dan langsung menyerangnya. Tetapi, si pesolek dengan bersiul-siul melangkah ke-kiri dan ke-kanan, menyampok pedang dan pada gerakan cepat yang kesekian melepaskan pukulan empat arah.

Dan, seperti prajurit pertama, empat prajurit sisanyapun melayang jauh dan tiga diantaranya tidak sanggup bangkit kembali, terluka parah. Dengan cepat, si pesolek meloncat memburu Pangeran Liang yang mengundurkan diri ke kereta mendorong Tek Hoat dan Mei Lan masuk kedalamnya dan kemudian memerintahkan kusir untuk melarikan kereta ke dusun terdekat. Sementara sang Pangeran dengan kepandaian seadanya menanti di belakang kereta menghadapi si Pesolek.

“Lari, cepat, selamatkan anak-anakku” Pangeran Liang berseru kepada kusir kereta sambil menghunus pedangnya. Meskipun dia sadar tidak akan sanggup melawan si pesolek, tetapi dia harus tetap berusaha, setidaknya melindungi anak-anaknya. Panbgeran ini memang gagah.

“Hahaha, duhai dinda, lihat bodohnya sang pangeran…” Si Pesolek meloncat keatas dan mendorongkan satu tangannya kearah kusir kereta, sementara satu arah pukulannya mengarah ke Pangeran Liang, ingin sekali pukul selesai dan terkesan sangat memandang enteng Pangeran Liang.

“Dessss, aaaaaaaaaaah, braak….”, pukulan jarak jauh dengan tangan kanan si Pesolek dengan telak menghantam kusir kereta yang segera berkelojotan tewas terkena pukulan jarak jauh. Tapi, hentakannya itu menyebabkan kuda-kuda penarik kereta terkejut, dan dengan segera mereka berlari meninggalkan tempat tersebut.

“Omitohud, sungguh kejam…” Suara pujian kepada Budha terdengar bersamaan dengan kesiuran angin menangkis pukulan yang satu lagi yang terarah kepada Pangeran Liang.

“Bluk ….. haiiiiit” benturan pukulan menyebabkan pelepas masing-masing pukulan terdorong ke belakang.

“Pangeran, maafkan, pinto terlambat datang” Si pendatang baru menjura ke Pangeran Liang.

“Terima kasih, betapapun Lo Suhu telah menyelamatkan jiwaku” Pangeran Liang membalas penghormatan si pendatang yang ternyata adalah seorang pendeta Budha berjubah hwesio.

“Duhai dinda, bantuan besar datang menggagalkan pekerjaanku….” Pesolek berkicau murung, karena gagal menyarangkan pukulannya kepada Pangeran Liang yang tertolong orang lain.

“Pesolek Rombeng Sakti Dari Selatan, serendah itukah kalian sampai rela dibayar untuk membunuh?” tegur Kong Hian Hwesio, seorang Pendeta Sakti pengembara dari Siauw Lim Sie. Pendeta Sakti ini adalah Kakak seperguruan Ketua Siauw Lim Sie sekarang ini, Kong Bian Hwesio. Pendeta yang lebih senang mengembara dan membaktikan kepandaiannya daripada bertekun dalam ritual keagamaan di kuil Siauw Lim Sie.

Sebagai Kakak seperguruan, Pendeta ini memiliki Ilmu Kepandaian yang tidak berada di bawah Kong Bian sang Ketua Kuil di Siong San. Bahkan variasi dan ginkangnya masih lebih kaya dan di atas Ketuanya, meskipun kekokohannya masih lebih sang Ketua Siauw Lim Sie.

Pesolek Sakti dan Rombeng Sakti dari Selatan kenal betul dengan tokoh pengembara dari Siauw Lim Sie ini. Berhadap-hadapan satu lawan satu akan menempatkannya dalam kesulitan, sementara bila bergabung, Pesolek-Rombeng Sakti hanya mampu melawan sama kuat. Karena itu, sambil tertawa ngakak dengan nada tinggi yang sekaligus isyarat memanggil Rombeng Sakti dari Selatan, Pesolek Sakti berujar:
“
Angin apa yang membawa Pendeta Kong Hian sampai ke Hang Chouw”? Tanya Pesolek dengan maksud memperpanjang waktu. Tetapi, pada saat itu, tiba-tiba Pangeran Liang sadar bahwa kereta yang dalamnya berisi kedua anaknya sudah lenyap dibawa lari kereta yang kusirnya telah terbunuh. Bahkan mayat sang kusir tergeletak tidak jauh dari tempat mereka berbincang. Pangeran Liang segera berbisik kearah si Pendeta penuh kekhawatiran:

“Lo suhu, anak-anakku”

“Astaga, pinto sampai lupa. Bagaimana ini…” Kong Hian Hwesio nampak kebingungan, karena tidak tega meninggalkan Pangeran Liang yang tentu masih terancam oleh si Pesolek Sakti.

“Jangan hiraukan aku, tolonglah anak-anakku. Bila aku celaka, tolong mendidik Hoat Ji dan Lan Ji” mohon Pangeran Liang kepada si Pendeta yang menjadi semakin kebingungan.

Tengah si pendeta dalam kebingungan dan belum sempat dia membuat keputusan apakah mengejar kereta dan menyelamatkan anak-anak si pangeran atau tidak, sesosok bayangan berkelebat terengah-engah. Bayangan itu nampaknya juga bukan tokoh lemah dan mendarat persis di samping si Pesolek Sakti.

Keadaan mereka sungguh kontras dan aneh, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan si pesolek, pendatang baru ini seorang wanita yang sangat jelita. Sayangnya, pakaian dan dandanannya justru sangat awut-awutan. Baju yang dikenakan seadanya meski tidak terkesan mesum. Tetapi, sejujurnya dia memang layak digelari rombeng, karena pakaiannya seperti dikenakan begitu saja tanpa meresapi makna estetika.

Untungnya, wajah dan potongan tubuhnya memang indah, sehingga keindahan dan kerombengan adalah fakta kontras yang agak unik. Berbeda dengan Pesolek Sakti yang berwajah pas-pasan, tetapi dengan pakaian dan dandanan yang luar biasa apik, necis dan benar-benar menunjukkan cirri khas orang gemar berdandan, meski dia seorang lelaki.

“Huh, kenapa banyak amat tokoh hebat yang membantu Pangeran gagah ini”? omel si pendatang, Rombeng Sakti Dari Selatan.

“Duhai dinda, apa maksudmu? Apakah anak-anak itu mampu kabur dari tanganmu?” Tanya Pesolek Sakti.

“Dikaburkan orang, jelasnya” Jawab Rombeng Sakti singkat dan menggambarkan kemangkelannya akibat kegagalannya menahan kedua anak dalam kereta. Tapi dalam kekesalannya dia memandang Pangeran Liang.

“Karena itu, kita tidak boleh gagal dengan pangeran ini” lanjutnya dingin.

“Rombeng Sakti, kamu apakan anak-anak tidak berdosa itu” Tanya Kong Hian dengan suara yang sangat serius.

“Mau kuambil murid, tapi dibawa lari Pengemis Tawa Gila. Memalukan, menjemukan dan menggemaskan. Awas Pengemis itu, suatu saat akan kubalas dia…” Dengus Rombeng Sakti

Mendengar berita tersebut, Pangeran Liang menarik nafas lega. Dia pernah mendengar nama Pengemis Tawa Gila, bahkan Pengemis itu pernah sekali berkunjung ke rumahnya. Selain itu, dia tahu pengemis ini adalah seorang tokoh besar dalam Kay Pang.

“Anak-anakmu selamat Pangeran, tenang sajalah” Hibur Pendeta Kong Hian atas kekhawatiran Pangeran Liang.

“Tapi apakah perempuan rombeng itu bisa dipercaya”? Pangeran Liang masih dengan ragu, meskipun dia berharap cerita itu benar dan dengan dmeikian anak-anaknya berada di tangan Pengemis Tawa Gila.

“Perempuan itu mungkin kita ragukan, tapi Pengemis Tawa Gila jelas bisa dipercaya” Jawab Kong Hian.

“Maksud Suhu?” Tanya Pangeran

“Tawa gilanya sudah dikirimkannya sesaat sebelum perempuan ini datang, dan menyerahkan urusanmu ke tanganku. Pengemis Gila itu memang mau enaknya saja” Kong Hian menggerutu, tapi senang karena anak-anak Pangeran Liang sudah selamat.

Tapi tiba-tiba Kong Hian menangkap sesuatu yang kurang beres. Intuisinya cepat bekerja dan tiba-tiba sebuah teriakan dengan Ilmu Saicu Ho Kang menggema. Tapi tidak untuk menyerang lawan, melainkan di arahkan jauh ke suatu tempat dan seperti sebuah isyarat.

Dan intuisi Pendeta tua ini ternyata tepat, karena tidak beberapa lama kemudian, gerombolan Pesolek-Rombeng Sakti bermunculan di sekitarnya dan mengepungnya bersama Pangeran Liang di tengah jalan.

“Hahahaha, ternyata Pesolek-Rombeng Sakti benar-benar sudah menjadi anjing peliharaan orang” Kong Hian tertawa sambil menegur Pesolek-Rombeng Sakti yang sebelumnya memang berada di garis tengah antara Kelompok Putih (Lurus) dan Kelompok Hitam (Jahat).

“Kadang-kadang daya tarik uang menjadi besar, terlebih disaat sangat dibutuhkan. Nah, Pendeta, karena sekarang bukan saat berkhotbah, lebih baik bersiaplah” desis Pesolek Sakti.

“Kalian semua, kami akan menghadapi Pendeta Kong Hian, tugas kalian menyelesaikan Pangeran itu” Teriak Rombeng Sakti.

Belum selesai teriakannya, hawa pukulan andalannya Hwe Tok Sin Ciang sudah diarahkan ke dada Kong Hian, dan langsung diikuti dengan kerjasama yang baik dari Pesolek Sakti.

“Omitohud, sungguh ganas. Tetapi memang benar-benar bertambah hebat setelah 10 tahun tidak bersua”, desis Kong Hian, sambil berharap dia mampu mengatasi meski hanya seurat seperti 10 tahun sebelumnya. Sebab kedua manusia aneh ini pastilah terus mengasah diri dan bukannya ongkang-ongkang kaki belaka. “Tapi betapapun aku telah pula mengasah diri dan terus menerus menyempurnakan semua Ilmuku sehingga sudah juga jauh maju dibandingkan dulu, “ yakinnya.

Benturan pertama terjadi ketika Siauw Lim Kun Hoat yang dilambari tenaga Kim Kong Ciang andalannya bertemu dengan lengan penuh hawa beracun dari Rombeng Sakti. Masing-masing menjadi sangat terkejut dan mengagumi kemajuan lawannya, tetapi hanya sesaat karena mereka kemudian melanjutkan bergebrak. Terlebih karena Pesolek Sakti sudah mengejar pinggang Kong Hian dengan tendangannya.

Dan gebrakan-gebrakan selanjutnya menunjukkan, dengan berdua – Pesolek Rombeng Sakti mampu untuk mengimbangi Kong Hian si Pendeta Sakti dan memaksanya menguras himpunan tenaga Kim Kong Ciang serta ginkangnya. Hanya, keseimbangan tersebut menjadi bergeser ketika teriakan kesakitan Pangeran Liang yang lengannya tergores pedang lawan-lawannya.

Tapi Kong Hian segera dilibat ketat oleh Pesolek Rombeng Sakti dan tentu tidak ingin memberinya kesempatan untuk turun tangan membantu Pangeran Liang. Pesolek Rombeng Sakti bergantian mencecar Kong Hian dengan jurus-jurus andalan mereka, dan memaksa Pendeta itu terlibat dalam pertarungan yang ketat dan menguras semua kekuatan dan kesaktiannya untuk mengimbangi serangan lawan. Dengan demikian, Kong Hian Hwesio kehilangan ketika untuk membantu Pangeran Liang.

Tiba-tiba, “Pendeta Miskin, konsentrasilah menghadapi pasangan unik itu, biarlah anak-anak ini kutulari kudisku….” sebuah suara muncul diiringi tawa ngikik seperti orang gila. Tapi bersamaan dengan itu, kepungan terhadap Pangeran Liang yang sudah terluka membuyar dengan segera, bahkan beberapa orang terlempar ke pinggir jalan tanpa mengerti apa yang sedang terjadi.

Tawa yang unik dan khas bagaikan orang gila itu, bukannya membuat si Pendeta Sakti Kong Hian kaget atau marah, sebaliknya dia merasa senang, karena itu adalah tawa khas kawan akrabnya dari Kay Pang. Tidak salah lagi, bantuan sudah datang, dan bantuan itu tepat waktu.
“Pengemis Gila, kembali dia mengacau” desis Rombeng Sakti kesal atas kedatangan si Pengemis.

“Kerja orang kemaruk biasanya memang rusak dengan sendirinya” sindir Kong Hian yang tadi memanggil Pengemis Gila dengan Ilmu Teriakan atau Auman Singanya.

Akibat kedatangan Pengemis Tawa Gila, pergeseran kembali terjadi. Kepanikan justru menimpa Pesolek Rombeng Sakti dan permainan silat mereka menjadi serampangan. Sebagai akibatnya keduanya jatuh dalam libatan serangan Kong Hian Hwesio, yang untungnya seorang yang welas asih dan tidak sembarangan menjatuhkan tangan berat dan keras.

Dan lebih untung lagi Pendeta yang memiliki hati yang welas asih ini, juga memang tidak berniat untuk menurunkan tangan jahat meski saat itu posisinya sudah sangat menguntungkan. Menyadari keadaan itu, Pesolek Sakti tiba-tiba bersiul memberi isyarat, dan kemudian nampaknya sesuatu mereka persiapkan secara berpasangan.

Mereka mempersiapkan “Badai Api Beracun”, sebuah serangan pamungkas yang mereka latih berpasangan sekian waktu lamanya. Keduanya mengambil jarak tertentu dari Kong Hian yang sedikit lena dan secara bersamaan menempelkan tangan kiri dan kanan mereka dan kemudian mengayunkan tangan kanan dan kiri masing-masing yang bebas kearah Kong Hian Hwesio. Melihat kondisi ini, Kong Hian tidak mau ayal, dengan segera dia meningkatkan kekuatan Kim Kong Ciangnya ke tingkat tertinggi dan kemudian menyambut dorongan tangan Pesolek Rombeng Sakti

“Blaaaar”, benturan dahsyat terjadi. Asap mengepul ke atas, Kong Hian terdorong sampai 5 langkah ke belakang. Tetapi ketika keadaan menjadi lebih tenang, Kong Hian tidak lagi menemukan pasangan aneh yang menjadi lawannya. Tapi dia geleng-geleng kepala karena kedahsyatan pasangan tersebut sudah jauh meningkat dibandingkan 10 tahun sebelumnya ketika mereka ditaklukkannya. Bila di lalai, kali ini dia pasti sudah jadi mayat.

Benturan tenaga dan kekuatan tadi memang membuatnya terluka dalam, meski ringan, dan dia yakin pasangan tersebut terluka lebih parah dibanding dirinya. Sungguh kekuatan pukulan beracun kedua manusia unik dan aneh itu sudah maju sangat jauh. Dan akan menjadi bahaya bagi umat persilatan kalau kedua manusia aneh itu melanjutkan cara hidup sebagai pembunuh bayaran dan bergerak di sisi kaum sesat. Tengah Kong Hian Hwesio, si Pendeta Sakti termenung dengan hasil pertempurannya, terdengar suara si Pengemis:

“Pendeta Miskin, kamu urus sisanya ini. Harus kuperhitungkan keselamatan anak-anak itu, jangan sampai kecolongan pasangan antik itu” Pengemis Gila itu sudah melompat jauh dan kemudian segera menghilang dari arah tempat munculnya tadi.

“Terima kasih pengemis gila, jangan lupa ketemu di rumah pangeran malam nanti”

Perkelahian tidak lagi dilanjutkan, karena gerombolan yang telah ditinggalkan pemimpinnya itu, jadi tidak bersemangat lagi dan lari serabutan masuk hutan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Sementara itu, Pendeta Kong Hian juga tidak berminat untuk mengejar, demikian juga dengan Pangeran Liang. Mereka berdua kemudian lebih memilih untuk mengurus korban-korban yang terluka daripada mengejar mereka yang kabur dan melanjutkan urusan dan permusuhan dengan perkelahian yang selain tidak ada gunanya juga tidak ada untungnya.
 
(3)
lembah pualam hijau


“Losuhu, kira-kira apa yang terjadi? Kenapa Pengemis Tawa Gila belum datang juga?” tanya Pangeran Liang yang mulai khawatir. Sama khawatirnya dengan istrinya yang masih belum berhenti menangis menunggu kedatangan kedua anaknya yang diselamatkan Pengemis Tawa Gila. Tapi Pengemis Tawa Gila yang kemunculannya ditunggu sejak sore hari masih belum kelihatan juga batang hidungnya.

“Tenanglah, pinto mengenal betul Pengemis Gila itu. Kita menunggunya biar semua jelas,” Kong Hian menyabarkan Pangeran Liang, meski juga makin lama makin khawatir. Makan malam sudah lama lewat dan malam semakin larut, tetapi Pengemis Gila belum nampak juga.

“Ya mudah-mudahan memang tidak terjadi hal yang tidak diinginkan” desis Pangeran Liang menyabarkan dan menenangkan hatinya.
Kong Hian Hwesio memandangi Pangeran Liang sesaat dan kemudian terdengar diapun berkata:

“Mari kita mendoakannya Pangeran. Selebihnya, kelihatannya keselamatan Pangeran sendiri juga nampaknya semakin tidak lagi terjamin” kata Kong Hian. “Kelihatannya keamanan perlu ditingkatkan, dan perjalanan keluar pangeran sebaiknya dibatasi dan dirahasiakan waktunya”

“Ya losuhu, kelihatannya gerakan para menteri korup menjadi semakin kasar dan berani” keluh Pangeran.

Percakapan diiringi rasa khawatir kedua tokoh itu berlanjut sampai tengah malam, sampai kemudian Pendeta Kong Hian termenung dan nampak berpikir sejenak untuk kemudian membuka suara:

“Pengemis gila, masuklah. Menjadi aneh buatku sekarang karena dihadapanku baru kali ini kamu menjadi agak canggung” seru Kong Hian

“Hahahaha, telinga Pendeta miskin ternyata belum rusak juga” seru Pengemis Gila sambil berkelabat masuk melalui pintu jendela yang terbuka di sisi sebelah kanan ruangan tersebut.

“Ginkangmu makin mengagumkan pengemis gila, rupanya tidak sedikit kemajuanmu dalam ilmu melarikan diri dan mengejar orang itu” puji Pendeta Kong Hian lagi.

“Ya tapi belum di atas ginkang dan sinkangmu. Kita masih belum mampu mengungguli satu dengan yang lain, padahal sudah reot tulang dan ototku berlatih terus dan terus” omel Pengemis Gila.

“Sudahlah, duduklah dulu, dan hei, kemana kedua anak itu”?

Wajah Pengemis Gila Tawa nampak menjadi murung dan sedih. Bahkan rona kesal, penasaran dan khawatir juga jelas sekali terbayang di wajahnya dan tidak sanggup disembunyikannya.

“Aku benar-benar kehilangan calon muridku yang luar biasa itu. Entah bagaimana keduanya menghilang, padahal sudah kubawa ke sebuah gua yang tersimpan rapih dan sangat aman. Tetapi yang sudah pasti bukan pekerjaan Pesolek Rombeng Sakti, karena mereka juga sedang mencari-cari ketika mereka kutemukan dan kuintip. Anehnya, tidak ada jejak sama sekali, tidak ada jejak paksaan, tidak ada jejak lari. Pokoknya, seperti menghilang begitu saja di Gua itu…” papar Pengemis Tawa Gila dengan murung dan sedih sambil menatap tuan rumah Pangeran Liang yang jadi tambah gelisah.

“Padahal lagi, aku sudah kepengen betul menjadikan anak laki-laki itu muridku” tambah Pengemis Gila

“Tanpa jejak maksudmu?” cecar Kong Hian. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa dan mampu main gila dengan Pengemis Gila” Kong Hian benar-benar merasa aneh, heran dan sulit percaya dengan pendengarannya. Tapi dia tahu, dalam urusan begini, Pengemis Gila ini tidaklah suka bermain-main.

“Tidak ada jejak, menghilang begitu saja” jawab Pengemis Gila

“Maksud hiante, anak-anakku hilang begitu saja dan tidak ada tanda kemana dan dibawa siapa?” tanya Pangeran Liang

“Tepat seperti itu Pangeran, dan aku nampaknya terpaksa harus menggunakan semua dayaku dan bahkan kekuatan Kay Pang untuk membantu mencari. Mereka anak-anak luar biasa, jangan khawatir. Meskipun untuk itu dibutuhkan waktu” hibur Pengemis Gila.

Pengemis Gila Tawa memang adalah seorang tokoh kawakan dan bahkan salah satu yang terkemuka dari Kay Pang. Pengemis Gila Tawa, dinamai demikian karena suka tertawa seperti orang gila, atau tawa ngikiknya persis seperti orang gila yang tertawa, padahal orangnya sangat waras. Tapi, itulah uniknya, orangnya malah senang dinamakan dan dipanggil demikian, bahkan nama sendiri sudah dilupakan orang.

Saat ini dia menjabat sebagai Hu Kawcu atau wakil kepala urusan luar karena kegemarannya berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Kepandaiannya sejak masih muda tidak pernah lebih hebat ataupun lebih lemah dari Kong Hian Hwesio, dan mereka terlibat lomba meningkatkan Ilmu. Karena itu, kemajuan Ilmu Silat keduanya termasuk pesat dan luar biasa.

Kedua tokoh dunia persialatan ini secara kebetulan berjanji untuk bertemu di rumah Pangeran Liang untuk kemudian mengadu ilmu di hutan sebelah barat Hang Chouw. Tidak disangka mereka terlibat dalam masalah yang dihadapi Pangeran Liang yang memang dikasihi para tokoh patriot dan tokoh dunia persilatan itu. Dan mau tidak mau kedua tokoh itu harus berupaya untuk membantu menemukan kedua anak pangeran Liang, yang sekarang entah berada di mana.

Mereka berjalan meninggalkan rumah Pangeran Liang besoknya dengan diiringi air mata istri Pangeran Liang dan tatapan sedih Pangeran sendiri, meski merasa berterima kasih atas perhatian dan usaha kedua tokoh ini yang berjanji mencari anak-anaknya sejak hari itu.

======================

“Bulan lalu Pek Liong Pay bersama tiga partai lainnya, kemudian Perguruan Macan Terbang bersama dua Partai lain, dan sekarang Hong Lui Pang bersama tiga partai lainnya. Tentu bukan sebuah kebetulan…” renung orang tua ini.

“Anehnya, ketika dikunjungi, tiada satupun jejak menunjuk kemana, selain berita bahwa mereka diserbu Barisan Warna-Warni, yakni bila bukan Barisan Merah, pastilah Barisan Kuning atau Barisan Hijau. Tiada yang tahu mereka darimana, dan, taraf kepandaian yang berlipat lipat dari perguruan perguruan menengah tersebut” lanjutnya merenung.

“Tanda-tanda itu sudah semakin jelas, dan sudah harus segera kulakukan. Ya harus mulai kulakukan, itu keputusanku” Orang tua itu kemudian menarik nafas panjang.

“Semakin jelas, bukan hanya ambisi sebuah perguruan, tapi nampaknya juga dendam dan kepandaian ilmu silat. Dan nampaknya juga benda ini” desis si Orang Tua sambil mengelus sebuah gelang gemuk yang nampaknya berongga di tengah. Gelang biasa dari perak murahan, tidak ada yang istimewa, nampak aneh kalau akan menyebabkan banyak persoalan. Tapi, siapa tahu? Akhirnya orang tua itu berketetapan, matanya menunjukkan sebuah tekad dan tidak mungkin ditunda lagi. Sebelum terlambat harus segera dimulai, harus hari ini dimulai.

=======================

Di hadapan orang tua itu bersimpuh sepasang suami istri. Sang laki-laki adalah Pendekar Golongan Lurus terkemuka dewasa ini, Kiang Hong, berwajah gagah, kokoh dan tampan, setidaknya berumur 33 tahunan. Dari wajahnya sudah terpancar kewibawaan serta kekokohan hati atas keyakinan yang dipegang, sangat pantas mewarisi nama besar perguruan keluarga yang dihormati dan menjadi pegangan dunia persilatan dewasa ini.

Soal kepandaian, Kiang Hong tidak berbeda jauh dengan Kakak kembarnya Kiang Liong, yang sekarang sedang mengobati luka batin dan pikirannya. Kakak beradik kembar ini dikenal bintang dunia persilatan sejak usia 20-an, dan tampil menggemparkan dengan menyelesaikan banyak persoalan rumit di dalam dunia persilatan. Keduanya sudah secara sempurna mewarisi Ilmu Silat Keluarga Pualam Hijau dan sekarang malah sudah masuk pada tahapan matang di usia 30an.

Perguruan Keluarga Kiang, atau Lembah Pualam Hijau, demikian disebutkan orang, sejak didirikan Kakek Buyut Kiang 100 tahunan silam, mendapatkan nama yang lebih harum daripada Perguruan Silat utama lainnya. Terutama ketika memimpin tiga Ksatria utama Tionggoan berhadapan dengan serbuan Perguruan Lam Hay Bun, Tokoh dari India dan Beng Kauw. Kakek Buyut Kiang bernama Kiang Sim Hoat, mampu mematahkan perlawanan tokoh utama India, Bengkauw dan Lam Hay meski hanya setengah jurus.

Serbuan yang berbentuk tantangan tokoh utama dari ketiga kalangan tersebut, dihadapinya bersama tokoh utama Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kay Pang. Bahkan dengan pertarungan Ilmu Dalam (Batin) melawan jagoan India, Kiang Sim Hoat juga mampu memenangkannya. Badai dunia pesilatan waktu itu, bisa diredam dan Kiang Sim Hoat menjadi Dewa Penyelamat Dunia Persilatan bersama tiga tokoh lain dari Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay.

Atas jasanya yang menonjol, Kiang Sim Hoat dan perguruan keluarganya kelak kemudian diberi tanda kepercayaan berupa sebuah Pedang Pualam Hijau yang diciptakan oleh Kakek Dewa Pedang di penghujung usianya dengan bahan pusaka Pualam Hijau dari Lembah kediaman Kiang Sim Hoat.

Pedang itu kemudian bersama Lencana Pualam Hijau yang diciptakan bersamaan waktunya, diakui oleh Dunia Persilatan mewakili Bengcu atau Pimpinan Dunia Persilatan secara formal, meski Kiang Sim Hoat sebetulnya tidak menginginkannya. Dan untuk seterusnya, belum pernah sekalipun dalam 100 tahun kemudian ada yang menolak mentaati kehadiran dan perintah yang datang baik melalui Pedang Pualam Hijau ataupun dari Lencana Pualam Hijau asalnyai Lembah Pualam Hijau tempat berdiam Kiang Sim Hoat dan keluarganya.

Sejak turun temurun, Perguruan ini bersifat sangat tertutup dan hanya mewariskan Ilmu Keluarga pada anggota keluarga semata. Belum pernah ada murid yang bukan keluarga Kiang yang mewarisi Ilmu Pusaka keluarga Kiang, hingga generasi Kiang Hong.

Selain Kiang Sim Hoat, tokoh lain yang menonjol adalah Kiang Sin Liong, yang jika masih hidup saat ini, mungkin sudah berusia mendekati 100 tahun. Tokoh ini sangat rendah hati, tetapi memiliki kesaktian yang bahkan lebih dahsyat dari Kakeknya, Kiang Sim Hoat. Pada masa hidupnya, kembali terjadi pertarungan, kali ini tidak massal, tetapi diketahui dunia persilatan, karena mempertaruhkan gengsi antara tokoh Tionggoan yang diwakili Kiang Sin liong dari Lembah Pualam Hijau, Pangcu Kay Pang Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay, Ciangbunjin Siauw Lim Sie Kian Ti Hosiang dan Tokoh utama dari Bu Tong Pay Wie Tiong Lan yang kemudian belakangan menjadi Pek Sim Siansu ketika menjadi Ciangbunjin Bu Tong Pay.

Kiang Sin Liong dengan menggunakan pengaruh Pedang Pualam Hijau menetapkan pertarungan tidak diikuti orang banyak, tetapi perang tanding antara tokoh-tokoh utama Tionggoan dengan Bengkauw, Lam Hay Bun dan Thian Tok. Dengan demikian menekan korban sia-sia diantara kedua pihak, dan taruhannya adalah mundurnya Perguruan Lam Hay dari Tionggoan atau bebasnya mereka mengembangkan pengaruh di Tionggoan. Pertarungan yang sangat legendaris dan bersejarah itu banyak dipercakapkan orang hingga puluhan tahun berikutnya.

Pertarungan antar para raksasa dunia persilatan tersebut berlangsung sangat ketat dan seimbang, pada posisi sama, karena baik Ketua Kay Pang, Ketua Siauw Lim Sie maupun Wie Tiong Lan, hanya berakhir draw dalam pertarungan mati hidup dengan tokoh dari Beng Kauw, Pertapa dari India dan Hu Kauw Cu Lam Hay Bun yang adalah adik Ketua Lam Hay Bun dan memiliki kesaktian yang setara dengan kakaknya.

Pertarungan puncak antara Ketua Lam Hay Bun melawan Kiang Sin liong berakhir dramatis dengan kemenangan yang kelihatan secara kebetulan, hanya setengah jurus kemenangan Sin liong atas Ketua Lam Hay Bun. Sama seperti kakeknya, ketika dicoba bertanding dengan Ilmu Batin oleh Tokoh India, Mahendra yang lihay Ilmu Sihirnya, Sin Liong juga masih sanggup mengimbanginya dan bahkan kemudian memenangkannya.

Ke-4 tokoh ini kemudian menjadi legenda, dan mereka selalu bertemu setiap 10 tahun sekali. Dewasa ini, mereka bahkan cenderung menjadi tokoh setengah dewa yang tiada seorangpun tahu apakah mereka masih hidup ataukah tidak lagi. Desas desus rimba persilatan yang memang ramai berseliweran dan sudah dibumbu-bumbui malah memastikan mereka sudah menjadi manusia gaib yang luar biasa saktinya, alias manusia setengah dewa. Yang pasti, Kiang Sin Liong, bahkan keturunannya sendiripun tidak tahu lagi dimana keberadaannya sejak 30 tahun berselang ketika mewariskan kedudukan Ketua Lembah Pualam Hijau kepada anaknya.

Kepahlawanan keluarga Kiang, kembali ditunjukkan oleh cucu-cucu Kiang Sin Liong yang mewarisi bakat dan kemampuan kakeknya. Kiang In Hong, seorang wanita muda cerdik dan sangat berbakat dan kakaknya Kiang Cun Le. Sayangnya ayah mereka mati muda, dan karenanya mereka dididik langsung oleh Kiang Sin Liong. Bahkan ketika Kiang Sin Liong menghilang dari depan umum yang waktunya berbeda beberapa tahun dengan menghilangnya 3 tokoh lain, masih beberapa kali kakek ini mampir mendidik kakak beradik ini dalam Ilmu Silat.

Kedua Kakak beradik ini, juga berhasil memaksa Lam Hay Bun untuk mentaati syarat ketika mereka takluk dikalahkan Kakek mereka puluhan tahun sebelumnya melalui cara yang sama, perang tanding antara keduanya melawan Ketua dan Wakil Ketua Lam Hay Bun. Dan bahkan merekapun bertarung melawan Suami Istri pesilat asal India yang mahir Ilmu Silat dan Ilmu Sihir. Kedua Kakek Nenek ini dikalahkan di Siauw Lim Sie di depan banyak tokoh Kang Ouw dan semakin meneguhkan kejayaan Lembah Pualam Hijau sebagai andalan dan pegangan Persilatan Tionggoan selain Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan Kay Pang.

Kehadiran Kiang Cun Le dan Kiang In Hong, sayangnya tidak dibarengi oleh tampilnya tunas utama yang sama di kalangan Kay Pang, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay. Meskipun perguruan-perguruan itu tetap melahirkan banyak tokoh sakti, tetapi masih kalah gemilang dengan kakak beradik Cun Le dan In Hong.

Sebenarnya Kiang Cun Le memiliki 2 orang Kakak laki-laki, Kiang Siong Tek yang sulung dan Kiang Tek Hong kakak kedua. Tetapi Siong Tek lebih mahir menekuni ilmu dalam dan keagamaan, dan karena itu memilih meninggalkan Lembah Pualam Hijau untuk merantau dan kemudian masuk menyucikan diri di biara Siauw Lim Sie di Siong San.

Sementara Kiang Tek Hong yang tidak kurang berbakat dibandingkan dengan Cun Le menghilang di saat yang sama dengan keputusan toakonya Siong Tek untuk menyucikan diri. Akhirnya Kiang Cun Le yang memegang pimpinan Lembah Pualam Hijau selama 30 tahun lebih, dan kemudian mewariskan kedudukannya kepada anaknya Kiang Hong.

Cun Le memiliki sepasang anak kembar laki-laki disamping anak sulungnya yang perempuan bernama Kiang Sian Cu yang pernah dididik langsung oleh bibinya Kiau In Hong. Anak lelaki kembar yang sulung bernama Kiang Liong dan yang bungsu bernama Kiang Hong. Sepatutnya, Kiang Liong yang memegang tampuk pimpinan tertinggi, tetapi karena mengalami tekanan batin dan sedikit terganggu kesehatan batin dan pikirannya, akhirnya dengan rela dia menyerahkan kepemimpinan kepada adik kembarnya Kiang Hong, dan dia sendiri kemudian menekuni ilmu sambil mengobati luka batin dan pikirannya.

Sebelum menjadi Orang Utama di Lembah Pualam Hijau, Kiang Hong bersama Kiang Liong sudah banyak membantu dunia persilatan baik menyelesaikan masalah rumit ataupun menumpas para penjahat rimba hijau. Karenanya, bersama Kiang Liong, mereka menjadi sepasang pendekar muda yang sangat dihormati. Sayangnya, Kiang Liong mengalami gangguan mental dan pikiran karena bencana tertentu, dan karenanya Kiang Hong yang kemudian terpilih untuk menjabat sebagai Ketua Lembah atau dinamakan Duta Agung.

Kiang In Hong adik wanita salah satu legenda Lembah Pualam Hijau Kiang Cun Le, juga mendadak menghilang beberapa tahun setelah memenangkan pertarungan bersejarah di Siauw Lim Sie. Tetapi, tidak lama setelah dia menghilang, muncul seorang Pendeta Wanita Sakti dari Timur. Rahib wanita itu kemudian terkenal dengan sebutan Liong-i-Sinni (Pendeta Wanita Sakti Berbaju Hijau).

Hampir tidak ada yang bisa menggambarkan kesaktian Pendeta Wanita tersebut yang bila tampil pasti selalu dengan pakaian hijau dan dengan hiasan putih di tangan, kaki dan senjata hudtimnya. Spekulasi merebak menyebutkan Pendeta Wanita tersebut adalah jelmaan Kiang In Hong yang mengalami patah hati dan kemudian menyucikan diri. Hingga sekarang, Pendeta Wanita ini masih menjadi misteri lain dunia persilatan. Tapi yang pasti dia selalu berpihak kepada kebenaran dalam setiap kesempatannya untuk unjuk diri, juga murid-muridnya.

Kekuatan Lembah Pualam Hijau sejak dahulu bertumpu pada 12 Duta Utama. Duta Agung adalah Ketua Lembah sekaligus Bengcu Persilatan sejak 100 tahun sebelumnya, diapit oleh Duta Luar dan Duta Dalam sebagai wakil dari Duta Agung. Disamping itu, terdapat 3 orang Duta Hukum yang selalu bertugas memberi pertimbangan dalam sebuah pertemuan dengan Duta Agung dan Duta Luar dan Duta Dalam.

Baru kemudian terdapat 6 Duta Perdamaian yang bertugas membantu penyelesaian masalah yang dihadapi dunia persilatan. Duta Perdamaian ini, biasanya sekaligus sanggup membentuk Barisan 6 Pedang Pualam Hijau yang terkenal kesaktiannya dalam rimba persilatan. Rapat biasanya diadakan untuk mendengarkan laporan dari 6 duta atau laporan khusus yang disampaikan ke Lembah Pualam Hijau. Sistem dan mekanisme lembah ini sudah mulai dilaksanakan dan dibentuk oleh Kiang Sin Liong, dalam menjawab begitu banyak permintaan tolong dari banyak perguruan silat yang bermasalah waktu itu. Dengan wibawa Pedang dan Medali Pualam Hijau banyak persoalan tersebut terselesaikan.
 
(4)
kiang cun le

Duta Agung, Duta Dalam dan Duta Luar biasanya merupakan Keturunan Keluarga Kiang (bermarga Kiang), atau istri dari Keluarga Kiang yang terutama, sementara 3 Duta Hukum adalah juga lingkungan keluarga Kiang, atau murid dari seorang tokoh keluarga Kiang, bisa juga karena ibunya bermarga Kiang atau garis keturunan keluarga Kiang sebelah Ibu.

Sementara 6 Duta Perdamaian adalah murid-murid dari Duta Agung, Duta Dalam dan Duta Luar yang sudah dinyatakan lulus untuk melaksanakan tugas. Tidak semua murid mendapatkan kehormatan ini, hanya 6 dari sekian banyak murid yang bisa melakukan tugas Duta Perdamaian dan tidak menetap di Lembah. Di Lembah sendiri yang berdiam hanyalah Duta Agung, Duta Dalam, Duta Luar dan Duta Hukum bersama keluarganya. Yang dimaksud Keluarga adalah Anak dan Istri, selebihnya tinggal di luar lembah meski masih dalam wilayah dan teritori Lembah Pualam Hijau.

Pesan dan perintah biasanya diberikan kepada Duta Perdamaian oleh Duta Hukum dari Duta Agung atau Duta Luar dan Duta Dalam. Kemanapun Duta Agung pergi, setidaknya didampingi oleh Duta Luar atau Duta Dalam dengan seorang Duta Hukum.

Di samping Kiang Hong, duduk istrinya yang bernama Tan Bi Hiong. Seorang murid anak murid preman Ketua Bu Tong Pay yang menikah dengan Kiang Hong sekitar 10 tahun sebelumnya, saat Kiang Hong belum menjadi ketua Lembah. Wanita ini merupakan “bunga” dunia persilatan ketika berkelana di dunia Kang ouw dan merupakan murid kesayangan Ketua Bu Tong Pay dewasa ini. Berhati lembut dan sangat jelita, sangat mandiri dan juga sangat cerdas, sehingga sering banyak membantu suaminya memecahkan persoalan persoalan yang dihadapi lembah.

Dari Bu Tong Pay dia menguasai ilmu-ilmu utama Bu Tong Pay seperti Bu Tong Kiam Hoat bahkan juga Ilmu Thai Kek Sin Kun, ilmu andalan sang Ketua. Ilmunya meningkat pesat ketika menikah dengan Kiang Hong dan menerima banyak petunjuk langsung dari mertuanya Kiang Cun Le yang kini duduk dihadapannya. Karena itu, Bi Hiong kemudian menjadi Duta Dalam Lembah Pualam Hijau mendampingi suaminya, sementara duta Luar dipegang oleh Kiang Sian Cu, kakak Kiang Hong.

Hubungan kekeluargaan akan berubah 180% ketika pertemuan terjadi dalam bentuk struktur hubungan Lembah Pualam Hijau sebagai Perguruan Perdamaian dalam dunia persilatan. Ukuran adalah dalam kedudukan, bukan anak, cucu atau ipar. Tetapi, hubungan kekeluargaan akan berstruktur normal, ketika pertemuan yang terjadi dalam konteks kekeluargaan.

Dalam hal hubungan keluarga, Kiang Hong akan memanggil Sian Cu dengan sebutan Suci, tetapi dalam tugas sebagai Duta Agung dia akan memanggil Sian Cu dan Istrinya Bi Hiong dengan sebutan Duta Dalam dan Duta Luar dengan menanggalkan kekerabatan pribadi.

“Hong Ji dan Hiong Ji, anak-anakku, bagaimanakah perkembangan terakhir keadaan dunia persilatan”? Kiang Cun Le membuka percakapan dengan anak-anaknya. Karena dia sudah mengundurkan diri dan cuci tangan mensucikan diri dan meninggalkan dunia persilatan, dia tidak terikat peraturan struktur hubungan Lembah Pualam Hijau dengan Kiang Hong sebagai pucuk pimpinannya.

Terdengar Kiang Cun Le melanjutkan:
“Seperti kalian berdua ketahui, setelah menutup diri, saat ini ayah tinggal mengandalkan ilmu batin dan perkembangan perbintangan, dan tentu informasi dari kalian. Dan rasanya kemelut dunia persilatan menjadi semakin terbuka kemungkinannya. Setelah kurang lebih 10 partai menengah menjadi korban tanpa kita tahu jejak pelakunya yang misterius, maka gerakan yang lebih besar pasti akan terjadi. Bagaimana pengamatan kalian atas kejadian ini”?

Kiang Hong memandang istrinya sejenak sebelum bicara, dalam banyak urusan memang menjadi kebiasaannya seperti itu.
“Ayah, keadaannya memang agak mencekam. Tetapi, nampaknya selain Barisan warna-warni, masih belum ketahuan tokoh utama dibalik kejadian tersebut. Apabila kita menuduh Lam Hay sebagai pelakunya, fakta menunjukkan banyak penyimpangan. Pertama, dalam sejarah mereka tidak banyak melakukan pembunuhan. Kedua, mereka hanya meninggalkan sebagian murid yang relatif tidak berbahaya, ketiga mereka terikat perjanjian dengan kita untuk tidak mengganggu wilayah Tionggoan. Hong Ji melihat bahwa insiden tersebut tidak bisa secara lancang ditanggungkan kepada Lam Hay Bun” Demikian laporan dan penjelasan Kiang Hong.

“Kau benar Hong Ji, bukan seperti itu gaya dan cara Lam Hay Bun. Betapa ambisiusnya mereka, kita tahu. Tapi betapa mereka sangat mengagungkan kegagahan, juga kita mengerti. Hanya kekuatan Ilmu Silat yang sanggup menundukkan hasrat dan kegagahan mereka. Baik Kauwcu maupun Hu Kauwcu mereka yang kakak beradik seperguruan, sangatlah gagah dan sakti. Kecuali ada perubahan yang sangat besar dan dahsyat di Lam Hay Bun, sesuatu yang rasanya tidak akan diijinkan oleh sahabat Lam Kek Sin Kun, Pak Tian Ong selama dia masih hidup. Meskipun dia sangat berambisi, tetapi kegagahannya sangatlah kukagumi dan dia tidak akan sebodoh itu menyerahkan Lam Hay Bun ke tangan orang-orang yang akan mengaburkan dan mengikis kegagahannya” Jelas Kakek Cun Le.

“Nampaknya, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang mengail diatas air keruh kali ini” Tan Bi Hiong ikutan nimbrung.

“Apabila bukan karena terjadi perubahan drastis dalam Lam Hay, maka sudah pasti ada kekuatan tertentu yang memanaskan situasi dan memanfaatkan reputasi masa lalu Lam Hay. Beng Kauw, bisa dikategorikan disini, tetapi dengan syarat, juga terjadi perubahan besar dalam kebijakan kelompok agama ini. Mereka juga biasanya hanya melibatkan diri dalam pertarungan Ilmu Silat dengan mengandalkan Ilmu mereka, dan paling banter yang turun adalah Ketua Agama mereka bersama Hu Pangcu dan 3 pelindung agama mereka. Dan jika Beng Kauw harus dihapus dari daftar ini, maka menjadi sangat sulit mencari kekuatan mana lagi yang mampu membuat dunia persilatan kisruh. Kemungkinan, kita malah akan memasuki sebuah badai persilatan dengan jangka yang cukup panjang. Mengapa? Karena badai kali ini mengandalkan strategi dan kelicikan, dan bukannya penguasaan wilayah melalui Ilmu Silat sebagaimana para kakek buyut menghadapinya dahulu berhadapan dengan Thian Tok, Bengkauw dan Lam Hay” Papar Bi Hiong.

“Ah, kamu selalu berpandangan terang ke depan Hiong Ji. Justru kemungkinan itulah setengahnya yang kulihat dalam awan kelam yang akan melingkupi persilatan Tionggoan ke depan. Awan itu, bahkan tragisnya akan sampai kesini, akan menyentuh kita sampai kemudian sinar yang sudah terlalu kelam tapi dekat dengan kita akan mengirimkan sinar terang yang lain bagi kita. Meskipun tidak hancur, tetapi kalian harus menata Lembah kembali dalam waktu lama untuk memulihkan nama baiknya. Hong Ji dan Hiong Ji, kepada kalian kutitipkan bagaimana menata kembali lembah ini sampai sinar terang itu kembali. Badai ini jauh lebih dahsyat dari yang dihadapi kakek buyut Sim Hoat dan kakek Sin Liong dan yang juga kuhadapi dahulu".

Kiang Cun Le nampak berhenti sebentar, dengan wajah serius dia kemudian melanjutkan:

"Benar Hiong Ji, aku melihat Beng Kauw akan kembali menuntut, Lam Hay juga, bahkan sebuah benda yang jadi taruhanku dengan kedua orang tua dari India juga akan menimbulkan masalah. Pekatnya badai itu, karena harus ditambah dengan mencari tahu, siapa yang mencoba menajamkan pertarungan dengan darah, dan bukan cuma adu ilmu silat sebagaimana biasanya”.

Kembali Kiang Cun Le berhenti sebentar, menimbang-nimbang banyak hal, kemudian melanjutkan:

“Samar-samar, Ilmu Silat dan Ilmu Batin kalian akan sangat menentukan dalam menangani masalah ini. Aku sudah letih dan punya persiapan khusus untuk ikut menangani persoalan ini, sudah ada yang akan dan sedang siap untuk melakukannya. Tetapi, kalian jangan alpa, dan jika mungkin juga membangun komunikasi dengan Kay Pang, Siauw Lim Sie, BuTong Pay dan juga Liong I Sinni (Pendeta wanita Sakti berjubah hijau). Nampaknya, misteri dan badai ini akan sangat dahsyat karena akan melibatkan generasi lama, cuma aku belum yakin benar soal ini. Awas-awaslah dengan peningkatan Ilmu kalian dan cermati persoalan di luaran. Liong Ji sejak hari ini akan bersamaku, dan jangan tanyakan sampai kapan, sementara Nio Ji kalian antarkan kepada Liong I Sin Ni. Kepada Sinni tidak perlu kalian bicara apa-apa, hanya kalian berikan mata kalung pualam hijau ini kepadanya (sambil menyerahkan mata kalung bertuliskan “Kiang” kepada Kiang Hong) dan dia tahu apa yang akan dia kerjakan. Kalian terpaksa harus berpisah dari anak-anak kalian untuk meredakan badai ini”

“Bagaimana dengan lembah ini Ayah”? Tanya Kiang Hong

“Meski aku menyucikan diri dan tidak terlibat urusan Kang Ouw, bukan berarti aku haram mempertahankan rumahku. Lakukan tugasmu dan kerahkan semua kekuatan kita dalam melacak berita. Tetapi, diatas semuanya, jangan lupakan terus menempa diri kalian. Hiong Ji, jika bertemu Sinni mintalah dia menyempurnakan pengerahan tenaga lemas dan keras ketika menghentak ginkang dan sinkang pada tataran tertinggi perguruan kita, dan sampaikan salam rindu saudaranya kepadanya. Sementara kakakmu Kiang Liong, biarlah aku dan nasib yang akan mengurusnya, jangan kalian pikirkan dulu masalahnya saat ini. Dan kamu Hong Ji, aku punya waktu semalaman ini untuk membicarakan sesuatu denganmu sebelum besok aku menutup diri dengan Liong Ji. Besok sore sebaiknya kalian berangkat kearah timur, tinggalkan Sian Cu bersama 2 Duta Hukum disini, sementara kamu boleh menugaskan 6 duta perdamaian membangun kontak dan mencari informasi, setelah itu kalian upayakan menyelidiki kejadian-kejadian yang paling akhir. Akan ada banyak kejutan, tapi jangan panik. Hiong Ji, dalam hal ini kamu malah lebih piawai dari Hong Ji, ingat jangan mudah dipecah belah dalam urusan apapun. Baiklah, kita tetapkan demikian untuk hari ini” Kakek Cun Le mengakhiri percakapan.

======================

Setelah lebih 5 tahun menyepi dan hanya sesekali keluar mendidik cucunya, Cun Le sebenarnya banyak mengembangkan ilmu dalam atau ilmu kebatinan. Dalam hal ini, dia malah lebih dahsyat pada usianya dibandingkan Sin Liong, karena pada usianya yang mendekati 55an sudah sanggup membaca gejala alam, mampu memprediksi kejadian dengan tingkat keakuratan yang tinggi.

Selain memperdalam Ilmu Kebatinan, diapun melakukan penelahan lebih jauh atas Ilmu-Ilmu peninggalan keluarganya. Ilmu keluarganya sudah lama digolongkan tingkat atas bersama dengan Ih Kin Keng, Selaksa Tapak Budha dan Tay Lo Kim Kong Ciang dari Siauw Lim Sie; Hang Liong Sip Pat Ciang, Pek Lek Sin Jiu (Pukulan Halilintar) dan Tah Kaw Pang dari Kay Pang, serta Bu Tong Kiam Hoat, Thai Kek Sin Kun, Ling Gie Sim Hwat dari Bu Tong Pay.

Kiang Sim Hoat menciptakan sebuah Ilmu Khas Lembah Pualam Hijau berdasarkan sebuah Kitab Pusaka yang sudah sangat lapuk ketika ditemukannya di Lembah Pualam Hijau. Bahkan nama kitab disampulnyapun sudah tidak bisa dieja dan dibaca lagi, tetapi kitab itu nampaknya sangat menekankan unsur kehalusan dan kedalaman.

Penekanan pada unsur “im” yang halus dan dingin dipertegas dengan hawa dingin yang dilatih oleh Sinkang khusus dalam kitab tersebut. Sayangnya, pencipta dan pengantar kitab itu sebagai informasi mengenai kitab, sudah tidak bisa terbaca, justru bagian inti dari ilmu yang termuat dalam kitab tersebut masih bisa utuh. Tapi itupun tidak mengurangi kedahsyatan Ilmu yang kemudian terkenal menjadi ciri pengenal dan pamungkas dari Lembah Pualam Hijau.

Kitab Silat kuno itu ternyata berisikan 13 jurus sakti yang kemudian digubah Sim Hoat menjadi Giok Ceng Cap Sha Sin Kun (Tiga Belas Jurus Sakti Pualam Hijau). Dinamakannya demikian karena dalam sebuah Gua Rahasia yang hanya diketahui rahasianya oleh para Ketua Lembah setelah Sim Hoat, ditemukan sebuah pembaringan sempit yang hanya sanggup menampung 1 orang dan terbuat dari PUALAM HIJAU.

Pembaringan itu juga ditemukan khasiatnya oleh Sim Hoat dalam kitab kuno sebagai alat untuk membantu memperkuat Sinkang guna melatih Ilmu dalam kitab. Khasiat pembaringan Giok Hijau itu adalah memperdalam dan mempercepat meningkatkan hawa Sinkang jenis dingin, karena pembaringan itu dinginnya bukan main. Untungnya, pelajaran jenis sinkang bagi 13 jurus sakti kuno ini dan bagaimana memanfaatkan pembaringan Giok diajarkan dalam kitab dan kemudian diturunkan bagi pewaris lembah kemudian secara lisan. Pembaringan itupun hanya diketahui paling banyak 2 orang, Ketua Lembah dan Istrinya.

Selain Giok Ceng Cap Sha Sin Kun ini menjadi ilmu khas Lembah Pualam Hijau, Sim Hoat kemudian menggubah Ilmu Pedang Giok Ceng Kiam Hoat yang mencampurkan beberapa rahasia Ilmu Pedang Kakek Dewa Pedang berdasarkan gerak Pat Sian Kiam Hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang menjadi andalan Kakek Dewa Pedang tersebut.

Ilmu pedang ini sebenarnya gubahan bersama, sebagai hadiah kakek Dewa Pedang yang membuatkan Pedang Giok Hijau bagi Kiang Sim Hoat. Perbendaharaan Ilmu Sakti Lembah Pualam Hijau bertambah dengan diciptakannya kemudian oleh Kiang Sin liong ilmu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai) dan Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai).

Semua Ilmu itu bertumpu pada Giok Ceng Sinkang yang ditumbuhkan, diperdalam dan dikuatkan oleh Pembaringan Giok Ceng yang rahasianya dimiliki oleh pewaris Lembah. Baik Soan Hong Sin Ciang maupun Toa Hong Kiam Sut merupakan ilmu khas yang mampu menciptakan prahara angin dan badai dan banyak dilambari oleh kekuatan batin.

Ilmu ini diciptakan Sin Liong setelah bertarung dengan jagoan India yang sangat kuat Ilmu Silat dan Ilmu sihirnya. Terlebih karena khasiat lain pembaringan Giok Hijau adalah memperkuat batin seseorang dan karena itu, baik Sim Hoat maupun Sin Liong, mampu menghadapi serangan sihir yang luar biasa kuat melalui penguasaan batin yang luar biasa.

Memang, selain bantuan pembaringan Giok hijau, bakat dan ketekunan juga sangat menentukan. Setiap pewaris lembah, rata-rata memiliki kekuatan batin yang sangat luar biasa, sehingga mampu menolak kekuatan sihir lawan yang bagaimanapun kuatnya.

Sementara Cun Le sendiri pada beberapa tahun terakhir sedang menggubah sebuah ilmu yang dinamakannya Khong-in-loh-Thian (Awan Kosong Menggugurkan Langit) dan sejenis ilmu langkah ajaib yang diberinya nama Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).

Sama seperti Ilmu Ciptaan Sin Liong yang bernama Toa Hong Kiam Sut dan Soan Hong Sin Ciang, penggunaan Khong in loh Thian juga sangat sarat kekuatan batin dan memang khusus digunakan untuk melawan kekuatan sihir lawan. Hanya, berbeda dengan Soan Hong Sin Ciang yang membawa perbawa badai dalam serangannya, maka Khong in loh Thian justru mementalkan dan bahkan membalikkan serangan-serangan Ilmu Hitam dan Ilmu Sihir kepada pemiliknya.

Dan ketika membalik, seseorang dengan kepandaian tanggung tidak akan sanggup mengantisipasi karena tenaga serangannya diserap dan dikembalikan tanpa tanda-tanda desiran sedikitpun. Karena itu dinamakan awan kosong.

Tetapi, Ilmu Sian Jin Ci Lou, termasuk Ilmu langkah kaki ajaib yang agak bersifat gaib. Sesuai namanya, pemilik Ilmu yang memainkan Ilmu ini seakan akan mendapatkan petunjuk dewa tentang bagaimana menghindarkan serangan sehebat apapun. Sayangnya, sampai saat ini Cun Le sendiri seperti masih merasakan adanya kekurangan dalam Ilmu Langkah yang dia gubah atas pengenalannya terhadap Ilmu dari India dan warisan puisi kuno dalam sebuah Gelang yang maknanya sangat dalam.

Pada malam terakhir yang disebutkan Kiang Cun Le kepada anaknya, dipaparkannya kembali seluruh rahasia Ilmu keluarga dan secara bersama mendalami beberapa unsur baru yang digubah Cun Le beberapa waktu belakangan. Ilmunya Khong In Loh Thian diturunkan secara sempurna kepada Kiang Hong, termasuk membuka wawasan Kiang Hong mengenai kemungkinan yang sangat luas terhadap langkah ajaib Sian Jin Ci Lou.

Percakapan antara 2 ahli tidak butuh lama untuk mengerti, memahami dan melakukannya. Semalam, berarti bisa 30 tahun bagi orang yang baru memulai berlatih Ilmu Silat untuk memahami apa yang dikemukakan Cun Le kepada anaknya Kiang Hong.

Bagian paling rumit adalah memperkuat Tenaga Batin anaknya agar sanggup memainkan baik Soan Hong Sin Ciang dan Khong in loh Thian sebelum meninggalkan lembah, sesuatu yang dirasa masih diperlukan bagi Kiang Hong. Dan selepas pertemuan itu, Kiang Hong merasa seperti menjadi lebih nyaman dan lebih ringan.
 
(5)
siangkoan tek - tokoh bengkauw


“Saatnya sudah tiba dan nampaknya waktuku tidak sangat panjang. Heran, kenapa si tua itu sangat tidak sabaran” Kakek Cun Le sedikit menggerutu.

Karena disaat dia memutuskan melakukan apa yang diniatkan dan direncanakan sejak lama, justru seorang “kawan lamanya” nampaknya sedang datang untuk menemui dan mengganggunya. Tapi perhitungannya sudah matang, tidak mungkin ditundanya lagi.

“Baiklah, Liong Ji, ….., Liong Ji” Kakek Cun Le memanggil

“Liong Jie sedang berlatih kek, di luar” sahut suara anak kecil dari luar.

“Sudahi latihanmu dan masuklah kedalam” panggil Kakek Cun Le

“Baik kek ….. hait” dan tidak lama, Kiang Ceng Liong memasuki kamar khusus kakeknya.

“Liong Ji, waktu kita sangat terbatas dan tidak boleh gagal” papar Kakek Cun Le dan membuat Ceng Liong menjadi heran, terutama karena kakeknya nampak sangat serius. Meskipun usianya belum mencapai 10 tahun, tetapi Kiang Ceng Liong menunjukkan bakat yang luar biasa baiknya dalam Ilmu Silat.

Bahkan sejak berusia 5 tahun Ceng Liong sudah dibiasakan berbaring di pembaringan rahasia Pualam Hijau. Bakatnya yang luar biasa, keteguhan dan kekerasan hatinya membuatnya sanggup mulai menjalankan semedi dan berlatih di atas pembaringan sejak berusia 6 tahun. Bahkan dasar-dasar ilmu Pualam Hijau sudah sanggup dimainkannya dengan sempurna.

Daya ingat anak ini, baik untuk pelajaran sastra maupun ilmu silat sungguh luar biasa. Kakeknya, Kiang Cun Le, kadang-kadang sering tertegun melihat bakat, kemauan dan potensi yang dimiliki cucunya, tentu juga dengan kekaguman.

“Pertama, jangan menolak dan jangan melawan terhadap apapun yang kulakukan atasmu. Seperti biasa, kosongkan pikiran dan mengalir bersama nafasmu. Sesakit apapun. Paham”?

“Paham kek” sahut Ceng Liong serius.

“Kedua, ingat, bahwa sakit yang kamu alami demi menegakkan wibawa Kakek, Ayah dan lembah kita. Camkan itu dan tanamkan dalam hatimu”

“Jelas kek”

“Ketiga, kita akan menghadapi bencana yang sangat besar. Mengancam kakek, mengancam ayahmu dan mengancam umat manusia dan lembah kita. Sesakit apapun harus bisa kamu tahan. Sanggup”?

“Sanggup kek” makin kokoh suara si bocah

“Keempat, saat kakek melontarkanmu ke sungai itu, jangan memecah perhatianmu. Belajar menyerah dan pasrah pada alam dan biarkan nasib memutuskan apa yang akan terjadi. Sanggup”?

“Maksud kakek”? Tanya si bocah

“Demi keselamatan kakekmu, ayahmu dan umat manusia juga lembah kita, sanggupkah kamu” tegas Kakek Cun Le

“Liong Ji sanggup, tapi apa mati hidup Liong Ji harus mandah saja?” si bocah penasaran.

“Ya” tegas sang Kakek

“Tapi kek” si Bocah bertahan

“Sebab itu adalah salah satu syarat kamu akan berhasil atau tidak. Jika kamu melawan, maka semua akan sia-sia. Bagaimana”?

Setelah lama berpikir, akhirnya si bocah mengangguk perlahan.

“Kamu harus yakin atas dirimu sendiri dan jangan dengan keterpaksaan. Jawab sanggup atau tidak”?

“Sanggup kek” jawaban tegas setelah berpikir lama.

“Kamu berjanji di hadapan kakekmu, dihadapan kehormatan keluargamu dan lembahmu”? desak sang Kakek

“Liong Ji berjanji. Liong Ji yakin Kakek dan Ayah tidak akan mencelakakan Liong Ji’ tegas sekali jawaban si Bocah.
Kakek Cun Le terharu dan hatinya seperti diremas-remas membayangkan perjalanan hidup cucunya ini, tetapi tidak ada cara lain. Dan perasaan haru dan sayang tidak dia tunjukkan, sebaliknya malah.

“Kamu sudah berjanji. Ingat kehormatanmu dan kehormatan kakek, ayahmu dan lembah ini dipertaruhkan diatas janjimu itu. Ingat dan camkan itu” tegasnya

“Liong Ji yakin mampu” tegas sang Bocah.

“Baik dan yang terakhir, terimalah gelang perak ini (sambil menyerahkan dan mengenakan sebuah gelang perak yang sedikit gemuk karena berongga didalamnya). Ingat dan camkan, jangan pernah mencoba membuka gelang ini dan membaca isinya sebelum waktunya. Kamu sanggup?

“Sanggup kek. Tapi kapan bisa kubuka dan lihat isinya?” jawab Ceng Liong

“Pada saat kamu merasa sepertinya akan mati karena penuh hawa, daya dan tenaga yang berontak. Pada saat kamu merasa tiada daya lagi, kamu ingat ayahmu dan kakekmu, maka saat itulah kamu boleh membukanya. Ingat dan camkan waktunya”

“Baik kek” jawab si bocah sambil manggut-manggut.

“Justru syarat tadi kamu harus pasrah meski menghadapi kematian mulai besok secara sendirian akan menentukan apakah kamu akan sukses nantinya atau malah gagal total. Ingatlah baik-baik pesan kakekmu ini” Ujar Kakek Cun Le sambil mengulang-ulangi kalimatnya itu.

Meskipun bingung, Ceng Liong mencatatnya dalam sanubarinya. Dan secara kebetulan, anak ini memang memiliki daya ingat dan daya melekatkan sesuatu yang penting dalam sanubarinya hingga susah lenyap.

“Baiklah, sekarang kita akan memulai. Lupakan orang tuamu, mereka sedang mengantarkan adikmu Nio ke paman nenekmu di Timur, suatu saat kamu akan ketemu mereka. Sekarang kamu lepaskan pakaianmu, semuanya. Harus telanjang bulat dan kemudian mulailah lakukan semedi, satukan nafas, pikiran, hasrat dan kemauan dan kemudian hilangkan semuanya itu. Mulailah” perintah si Kakek dengan terharu, karena bocah kecil yang dikasihinya ini akan mulai mengembara sendirian luntang lantung karena bencana yang diantisipasikan olehnya sebagai kakek si bocah cilik.

Tidak berapa lama si bocah sudah diam terpaku dalam semedi, nafasnya bergerak teratur dan wajahnya nampak damai dan sentosa. Kakek Cun Le sejenak menjadi tidak tega, tetapi keselamatan lembah dan umat persilatan mendorongnya untuk melakukan sesuatu.

Dan tentu sekarang sudah saatnya, karena sudah dimulainya. Perlahan Kakek Cun Le memusatkan perhatiannya, mengatur nafas dan kemudian membelai, menotok, memijit jalan darah di tubuh Ceng Liong. Meski di wajah bocah itu tidak nampak reaksi, tetapi otot, jalan darah dan urat-urat di sekujur tubuhnya mengalami perubahan-perubahan yang luar biasa. Tetapi pijatan dan totokan yang dilakukan ahli sekelas Kiang Cun Le, pendekar legendaries dari Lembah Pualam Hijau, membuat perubahan tersebut hanya dirasakan sesaat.

Semua dilakukan untuk membuat persiapan dan adaptasi tubuh cucunya untuk menerima penyaluran tenaganya. Dan selang beberapa waktu, justru wajah Cun Le yang menjadi muram, di atas kepalanya mengepul uap putih, dan pada saat itulah dia mulai menyalurkan tenaga murni yang diyakini selama lebih dari 50 tahunan.

Proses itu berlangsung cukup lama, sejak menjelang malam dan bahkan sudah melampaui tengah malam. Wajah Cun Le sudah pucat pias, kabut di kepalanya sudah sangat pekat, sementara sang bocah, nampak oleng kiri dan oleng kanan, wajahnya terkadang mengernyit, tetapi kekerasan hatinya sungguh luar biasa.

Penderitaannya pada waktu itu dirasakannya sebagai cara untuk menjaga kehormatan keluarga dan lembahnya, dan perasaan inilah yang melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam dirinya. Bisikan kakeknya menyadarkannya, biarkan hanyut, biarkan menyatu dan jangan melawan. Cara itu sungguh membantu, dengan segera dia menjadi semakin oleng kiri dan kanan, dan makin keraslah kerja Kakek Cun Le menahan tubuh cucunya untuk tidak miring kekiri dan kekanan.

Saat-saat menegangkan dan pada proses puncak penyaluran tenaga untuk berdiam di pusar Ceng Liong sedang terjadi. Sementara itu sebuah bayangan seperti setan dan luar biasa pesatnya nampaknya mondar-mandir mencari jalan.

Untunglah Duta Agung, Majikan Lembah dan Para Duta sedang berada di Luar lembah, jika tidak maka bayangan tersebut pasti sudah bisa teridentifikasi sejak lama. Tapi mungkin juga tidak, karena tokoh yang bergentayangan ini bukan tokoh biasa. Karena bayangan yang datang adalah seorang tokoh gaib yang lain pada jaman itu, seangkatan dengan Kiang Cun Le sendiri.

Dialah Siangkoan Tek, pentolan Bengkauw, Ketua Beng Kauw saat ini, yang sebetulnya sudah malas mencampuri dunia ramai. Tetapi pengecualian kalau yang berurusan adalah dengan kawan seangkatannya di dunia persilatan, salah satunya adalah Kiang Cun Le dan Kiang In Hong.

Ketika merasa bahwa Beng Kauw juga dicurigai dalam kasus pembantaian dan pencaplokan sejumlah Perguruan Silat kecil, Siangkoan Tek merasa tersinggung dan ingin bertanya langsung kepada Cun Le dan bukannya kepada Kiang Hong.

Maklum, gengsi angkatan tua memainkan peranan penting disini. Masakan harus bertanya kepada anak-anak”? pikirnya, dank arena itu dia hendak bertanya langsung kepada Cun Le. Tapi, celakanya, sudah sejak menjelang malam dia mengirimkan isyarat batin untuk bertemu, tetapi sama sekali tiada balasan dari Cun Le. Akhirnya dia memutuskan untuk menerobos masuk.

“Kenapa daya hidup Cun Le begitu lemah? Bahkan tandanya malah sangat redup dan semakin redup saja”?

“Apa yang sedang dia alami”? atau apakah dia tahu aku yang datang dalam keadaannya yang lemah ini”?

“Cun Le, ada apa denganmu”? desis Siangkoan Tek

Maklum, rekan seangkatannya, meski rekan bertarung tetapi bertemu tetap merupakan kerinduan tersendiri. Lagipula, jika kawan bertempur yang sepadan tiada lagi, apa gunanya tetap hidup dan memiliki ilmu tinggi lagi, bukankah malah jadi membosankan?

Hal yang wajar, sebab biarpun Siangkoan Tek berwatak berangasan dan begitu ketemu langsung menyerang Cun Le ataupun Ketua Siauw Lim Pay, tetapi rasa kagum dan hormatnya tidak hilang. Kegagahan masih tetap dimilikinya, masih melekat dalam sanubarinya.

Setelah bolak-balik mencari jalan masuk yang terbatas ke lembah, akhirnya Siangkoan Tek berhasil menyusup dan terus menuju tempat terlarang, yakni tempat meditasi Cun Le. Dan ketika menemukan Cun Le persis dari sisi belakang, dengan tidak tanggung-tanggung melalui suara bathin dia menegur tanpa menyelidiki dulu apakah gerangan yang sedang dilakukan Cun Le dan mengapa dia tidak menjawab panggilan batinnya:

“Rupanya kamu sedang berlatih … baiklah, terimalah tanda pertemuan kita” ujarnya sambil mendorongkan tangannya kedepan dengan menggunakan tenaga saktinya.

Serangkum angin dahsyat menerjang kearah Cun Le, dan dengan telak mengenai bagian belakang Cun Le yang pada saat itu justru berada di puncak penentuan kegagalan atau keberhasilan. Tambahan tenaga dari Siangkoan Tek, justru mempercepat usahanya dan menyisakan tenaga terakhir untuk melontarkan Ceng Liong kearah sungai yang langsung mengalir ke air terjun dibelakang ruang meditasinya.

Tapi sebelum melontarkan Ceng Liong, Cun Le masih sempat berbisik, ingat, jangan melawan sampai kamu sadar sendirinya pagi nanti, dan setelah itu Ceng Liong terlontar oleh tenaga penuh dan meluncur kearah sungai.

Sebentar saja tubuhnya hilang di sungai tesebut, bahkan hilang di telan sungai menjelang air terjun ……selebihnya, dia tidak ingat lagi.

Tetapi, segera setelah dia melakukan pelontaran cucunya, dia sadar sebelum kehilangan kesadarannya bahwa dalam ruangan sudah bertambah bukan cuma 1 orang, tetapi malah 2 orang, tapi dia tidak sempat tahu lagi. Entah siapa orang kedua yang hadir di tempat samadinya.

=========================

Dunia Persilatan gempar. Lembah Pualam Hijau, salah satu tempat keramat Rimba Persilatan kebobolan. Hebatnya lagi,salah seorang Duta Hukum menjadi korban dan ditemukan tewas dengan tubuh yang jelas-jelas keracunan hebat.

Sementara, bisa dilacak, satu-satunya tokoh tingkat sepuh dan gaib yang muncul disana adalah bekas Ketua Bengkaw Siangkoan Tek. Tapi, dunia persilatan juga tahu belaka bahwa Bengkauw apalagi Siangkoan Tek, tidak pernah menggunakan racun.

Jadi, ada apa di Lembah Pualam Hijau? Kemana tokoh-tokohnya yang mumpuni? Kemana Kiang Hong Duta Agung yang masih muda nan sakti dengan istrinya yang tidak kurang saktinya? Kemana pula Cun Le yang legendaris itu? Apa kerjaan para Duta Hukum atau apalagi Duta Luar Sian Cu yang masih kakak Kiang Hong?

Jika Lembah Pualam Hijau yang begitu sakti dan diagungkan bahkan terkadang melebihi Siauw Lim Sie sekalipun bisa dibobol, apalagi Perguruan lain? Untungnya, selain terbunuhnya tokoh duta hukum, dan belakangan ketahuan Kiang Cun Le yang bersemadi ikutan lenyap bersama anaknya Kiang Liong, tidak ada lagi kerugian yang lain.

Tidak ada pusaka yang hilang, tetapi nama kesohor dari Lembah Pualam Hijau menjadi tercoreng. Tidak ada yang tahu bahwa justru kedatangan Siangkoan Tek telah menyelamatkan Cun Le, tapi tak sanggup menyelamatkan seorang Duta Hukum yang adalah murid Cun Le. Selain seorang Duta Hukum, yang lainnya dalam keadaan normal, karena Siangkoan Tek berhasil menggagalkan serangan bokongan si pembunuh bertopeng.

Dan yang pasti lagi, nampaknya penyerang itu bahkan kepandaiannya tidaklah berada di sebelah bawah Siangkoan Tek. Malah mungkin melebihinya, cuma karena selain Siangkoan Tek tiba-tiba muncul tokoh besar lembah yang lain, yakni Kiang In Hong Liong-i-Sinni, maka si penyerang beranjak pergi merat entah kemana.

Maka tinggal nama Lembah Pualam Hijau yang tercoreng, dan akan butuh waktu lama untuk mencari perusuh yang nyelonong memasuki lembah. Musibah yang dialami Lembah Pualam Hijau mulai menghadirkan kepanikan yang lebih besar di kalangan Dunia Persilatan, karena serangan kini mulai merambah Perguruan Silat yang lebih besar.

Tidak tanggung-tanggung, symbol keperkasaan Dunia Persilatan Tionggoan, disentuh dan diobrak-abrik. Untung perselisihan dengan Bengkauw masih bisa diatasi dengan kedatangan Liong-i-Sinni yang sangat yakin akan kebersihan Siangkoan Tek.
 
BAB 2 Anak anak naga tumbuh
(1) anak dari langit


“Koko, aku lapar” seorang anak perempuan merengek-rengek kepada kakaknya. Tampang keduanya sungguh kotor, dan badan mereka juga menunjukkan rasa lelah dan jelas kelaparan yang sungguh.

Pakaian merekapun sudah compang camping dan dekil meskipun dari bahannya nampak agak mewah dibandingkan tubuh dan wajah mereka yang kuyuh. Tapi itupun tidak menyembunyikan wajah cantik molek sang anak perempuan, juga cahaya ketampanan yang membayang di wajah kakak laki-lakinya.

“Sebentar Lan Moi, koko coba mencari buah-buahan” si kakak lelaki mencoba menghibur. Meskipun dia sendiri juga takut di hutan itu, tapi rasa sayang dan tanggungjawab atas adiknya membuatnya menjadi sedikit lebih berani.

Apa boleh buat, karena tidak mencari makanan di hutan, juga toch mereka akan mati. Seseorang, bila didesak dan dipaksa keadaan akan melupakan rasa takutnya, takut mati sekalipun.

“Tapi, jangan tinggalkan aku sendirian koko” si gadis agak khawatir ditinggalkan

“Kalo begitu mari kita berjalan perlahan mencari buah-buahan” ajak sang kakak

Kedua kakak beradik malang yang sekarang hidup luntang-lantung ini adalah anak seorang Pangeran bernama Liang Tek Ong, keduanya bernama Liang Tek Hoat yang lelaki dan Liang Mei Lan adiknya yang perempuan. Keduanya terpisah dari ayahnya yang diserang penjahat dan kemudian ditolong Pengemis Tawa Gila.

Tapi karena omongan dan tawa sang Pengemis yang rada menyeramkan, membuat kedua anak kecil ini merasa kurang nyaman dan minggat darinya. Pengemis Tawa Gila tidak menyangka apabila lubang menjorok yang dijadikannya tempat menyimpan kedua anak ini menyimpan sebuah lubang kecil yang hanya sanggup menerima tubuh anak kecil.

Ruang disebelahnya berhubung dengan lorong yang tembus ke tebing sebelah dan tidak heran Pengemis Tawa Gila tidak sanggup menemukan mereka. Dan dari sana, sudah nyaris 2 bulanan kedua anak Bangsawan ini luntang lantung sekedar cari makan.

Di desa atau kota lain, mereka malah ikut-ikutan mengemis untuk menyambung hidup mereka. Sebagai anak cerdik, Tek Hoat mengerti bahwa mereka harus agak hati hati membuka statusnya, apalagi dia tahu ayahnya banyak dimusuhi pejabat negeri yang korup.

Siang hari itu setelah makan buah-buahan dan terus mencari jalan ke Kota Hang Chouw, kedua kakak beradik ini tiba di jorokan sebuah sungai. Kedua anak yang letih dan kehausan ini sangat gembira melihat sungai yang pinggirannya bisa mereka jangkau dengan mudah. Terlebih nampak tidaklah berbahaya karena arus sungai juga nampak tidaklah sedang deras.

Tapi belum sempat Mei Lan menjangkau pinggiran sungai, dia terkejut ketika melihat sesosok tubuh teronggok lemah di pinggir sungai, hanya terhalang tetumbuhan kecil yang kurang lebat, dan dia menjerit “ih”, karena melihat tubuh itu telanjang bulat.

“Koko, a..a… ada orang disana” Jerit Mei Lan kaget sambil menunjuk tubuh yang terbaring di tepian sungai. Tubuh seorang anak kecil lainnya yang nyaris sebaya dengan Tek Hoat.

“Mana … mana orangnya?” Tek Hoat kaget dan dengan mengikuti telunjuk Mei Lan dia menemukan sosok tubuh kecil yang terbaring. Diam terbanring, cuma dia tidak tahu apakah tubuh yang terbaring diam dan nampaknya anak kecil itu masih hidup atau sudah mati.

“Ayo, kita lihat, siapakah orang itu” Tek Hoat memberanikan diri mendekati sosok tubuh kecil tersebut.

“Anak kecil, seperti kita” desis Tek Hoat sambil membalikkan tubuh yang masih basah dengan air sungai itu.

“Sudah mati Koko”? Tanya Mei Lan takut-takut.

“Belum, masih bernafas” Jawab Tek Hoat sambil meraba dada dan hidung anak malang yang dia temukan itu.

“Tapi nampaknya tidak ada luka dan tidak ada bekas kemasukan banyak air. Seperti tidak terjadi apa-apa atasnya” jelas Tek Hoat menjadi agak heran juga dengan keadaan tubuh kecil itu.

“Tapi, buat apa dia terbaring disini dan, iiih, telanjang lagi” desis Mei Lan lirih dan agak malu, karena seusianya sudah mulai memiliki rasa malu melihat tubuh telanjang lawan jenisnya, meski belum dengan tatapan dan nafsu berahi.

“Kita tidak tahu, ayo bantu kita angkat ketepian” Ajak Tek Hoat untuk kemudian berusaha mengangkat dan memayang tubuh kecil itu dan kemudian menyeretnya ketempat yang lebih aman.

Akhirnya kedua anak Bangsawan yang tidak tahu caranya pulang kerumah mereka, membantu mengangkat tubuh kecil itu dan kemudian membawanya ke bawah pohon rindang dekat tepian sungai. Tapi karena tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana terhadap tubuh kecil yang pingsan tak sadarkan diri itu, akhirnya mereka duduk-duduk saja menunggui tubuh itu.

Baru beberapa jam kemudian tubuh anak yang tadinya terbaring di tepian sungai itu perlahan-lahan mulai bergerak. Perlahan dan perlahan, dan tak lama terdengar desisannya “jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam”.

Berulang-ulang desisan itu, dan perlahan-lahan dia mulai membuka matanya. Heran, dua wajah anak-anak yang asing terpampang dihadapannya. Dan …. Secara refleks dia bergerak, loncatan dan lonjakannya sangat tinggi untuk ukuran anak-anak, dan jelas mengagetkan Tek Hoat dan Mei Lan dan membuat kedua anak bangsawan itu ternganga-nganga melihat loncatan tinggi anak yang baru sadar itu.

“Hei, apa-apaan kamu, apa yang terjadi padamu” Tanya Tek Hoat setengah berteriak, dan tentu masih dalam keadaan kaget melihat lonjakan anak yang baru bangun dari pingsannya.

“Kamu siapa?” bertanya anak itu setelah berdiri tegak

“Kami menolongmu, lihat bahkan kamu belum berpakaian” tegur Mei Lan melengos.

Si anak kecil itu menjadi kaget dan malu serta rikuh, tidak tahu mau berbuat apa karena tidak melihat adanya bahan yang mungkin dikenakan atas dirinya yang telanjang itu.

“Ah, ada apa, siapa pula diriku”? Si anak ikut menjerit dan bingung tidak menemukan sesuatu kainpun untuk
dikenakan.

“Tenang …. tenang kita ada ditepi sungai, tidak jauh disana ada Kampung. Tapi, ceritakan dulu siapa kamu” Tek Hoat yang periang dan mudah bergaul menghadirkan rasa nyaman dan terima kasih di hati anak itu. Membuatnya tidak merasa malu dan bingung lagi.

“Ya … siapa namaku, dan darimana aku, mengapa pula aku ada disini”? Si anak kebingungan dan tentu juga membuat Tek Hoat dan Mei Lan bingung karena si anak tidak lagi mengenal dirinya sendiri.

“Kamu sendiri tidak tahu siapa kamu? Masakan? Mei Lan jadi bingung, juga Tek Hoat

“Kalian Bantu aku, aku tidak tahu apa-apa dan juga tidak ingat apa-apa lagi” jawab si Anak masygul.

“Kamu tidak ingat apapun mengenai dirimu”? Tanya Tek Hoat yang juga tak kalah bingungnya.

“Tidak ingat apa-apa, dari mana aku, namaku, dan apa yang terjadi” si anak bingung sambil berusaha keras mengingat sesuatu, tapi tidak ada yang bisa diingatnya. Kecuali desisan-desisan tadi yang nampaknya tertanam dalam sanubarinya.

Mei Lan dan Tek Hoat memandang anak itu terharu, sementara anak itu masih bungung dan bertanya-tanya siapa dirinya, darimana asalnya dan apa yang telah terjadi. Kecuali kalimat yang didesisikannya tadi, yakni “jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam” tiada lagi yang lain yang didengarkan Mei Lan dan Tek Hoat.

“Sudahlah, biarlah kami memanggilmu Thian Jie untuk sementara, Anak Langit karena nampaknya kamu seperti jatuh dari langit dan jatuhnya tepat ditepi sungai itu” gurau Tek Hoat.

“Lagi pula, matamu bersorot tajam seperti bintang yang sangat terang” lanjutnya.

“Anak Langit, Thian Jie, Anak Langit Thian Jie” gumam si anak yang kemudian dipanggil Thian Ko oleh Mei Lan dan
Tek Hoat karena nampaknya anak itu lebih tua usianya dari mereka.

“Iya, dan aku akan memanggilmu Thian Ko” jerit Mei Lan gembira
“Iya, aku juga. Tapi Thian Ko harus cari pakaian dulu” desis Tek Hoat sambil nyengir memandang Thian Jie yang masih berdiri bingung dan masih telanjang belum berpakaian.

Demikianlah ketiga anak malang itu berjalan bersama. Anak yang bernama Thian Jie, mudah ditebak adalah anak yang dilontarkan Cun Le dari samadinya dan nampaknya meskipun selamat ditemukan 2 anak bangsawan yang terlunta-lunta, tapi kepala Ceng Liong seperti mengalami benturan yang meskipun tidak menewaskannya tetapi menghilangkan ingatannya.

Tubuhnya penuh hawa dan tenaga dari kakeknya, dan karena itu benturan lain tidak melukainya, bahkan tidak ketika jatuh dari ketinggian di air terjun belakang lembah pualam hijau. Ketaatannya untuk “menyatu dengan alam dan pasrah” ternyata membuatnya selamat, hanya kehilangan ingatannya saja. Dan selanjutnya dia akan dikenal dan dipanggil Thian Jie.

Ketiganya segera menjadi sangat dekat. Thian Jie, menghadirkan rasa hormat karena wibawa yang terkandung dari kharismanya. Matanya bercahaya sangat tajam dan cemerlang, jarang kalimat dan perintahnya dibantah Tek Hoat dan Mei Lan yang mengakuinya sebagai Kakak tertua. Diapun sangat menyayang dan melindungi Tek Hoat dan Mei Lan, dan bersama Tek Hoat dia mencarikan makanan buat mereka semua. Baik ketika bertemu anak-anak di kota maupun ketika berada di jalanan.

Bahkan saking percayanya, Tek Hoat sudah menceritakan kepada Thian Jie mengenai latar belakang mereka. Dan ketika suatu saat Thian Jie bertanya kepada petugas kerajaan, justru caci maki yang tidak sedap dialamatkan kepadanya dan pangeran Liang yang dia terima. Pada akhirnya mereka berusaha sendiri mencari jalan dan arah ke Hang Chouw, menuju rumah pangeran Liang.

Tapi, kedua anak bangsawan yang tidak mengenal jalan karena jarang sekali keluar istananya dan Thian Jie yang baru sekali ini di jalanan seorang diri, takut bertanya kepada petugas, bukannya membawa mereka mendekat ke Hang Chouw, tapi justru seringkali menjauhinya.

“Tek Hoat dan Lian Moi, sebaiknya kita mulai mencari jalan dan arah menuju Hang Chouw, coba biar kita mulai dengan bertanya-tanya kepada orang-orang” usul Thian Jie kepada kedua teman seperjalanannya

“Terserah Thian Ko sajalah” sahut Tek Hoat

“Asal arahnya yang enak-enak saja, kalo bisa dapat kuda buat jalan” gurau Tek Hoat yang memang selalu riang.

Kedukaannya akibat hilang dari rumah sudah seperti tak berbekas. Malah dia seperti menikmati kebebasannya berjalan di luar rumah, hanya lapar saja yang membuatnya selalu rindu pulang kerumahnya yang nikmat ditinggali itu.

“Uh enak saja, memangnya Thian Ko punya uang beli kuda”? omel Mei Lan

“Sudah, ayo kita coba bertanya-tanya” tegas Thian Jie.

Melalui bertanya-tanya, Thian Jie mengatur arah dan jalan mereka menuju Hang Chouw. Sayang, karena mereka memang tidak begitu mengenal arah, ketiga anak ini setelah sebulan berjalan bersama tidak mengalami kemajuan berarti, malahan sering meleset meski tidak terlalu menjauh dari arah tujuan mereka.

Sampai hari itu mereka kembali beristirahat di luar sebuah kota, agak dekat dengan sebuah sungai besar, tetapi yang nampaknya airnya belum terlalu banyak karena berada di penghujung musim panas. Udara di atas mereka nampaknya cerah, tetapi di pegunungan sudah sejak pagi mendung agak tebal, sangat tebal malahh, bahkan nampaknya sudah lama turun hujan di daerah pegunungan.

Air sungaipun nampaknya mengalami percepatan arus dan permukaannya agak meninggi. Untuk di ketahui, musim saat itu adalah akhir musim kemarau, tetapi di daerah pegunungan yang lebih tinggi, curah hujan sudah mengalami peningkatan dan mulai sangat lebat. Karena itu, sungaipun permukaannya mulai naik, dan yang tadinya sudah sedikit surut akhirnya mulai mengalir dengan arusnya yang semakin lama semakin deras dan semakin memekakkan telinga apabila berada tepat ditepiannya.

Ketiga anak yang sedang beristirahat dalam perjalanan mencari atau menuju Hang Chouw, kebetulan beristirahat di tepi sungai tersebut. Tempat peristirahatan mereka sebetunya tidak jauh dari sebuah Kampung dibelakang mereka, dan juga tidak jauh dari tempat dimana anak-anak kampung bernama Sam Ci Tan bermain-main di sungai itu, berenang atau bahkan mencari ikan. Sambil menikmati buah-buahan dan makanan yang tersedia, ketiga anak itu menikmati istirahat mereka, dengan sesekali Tek Hoat berugurau akan menjamu Thian Jie jika sudah di Hang Chouw.

Bukan Cuma makanan, juga akan disediakan pakaian yang layak dan baik agar tidak kelaparan dan telanjang lagi. Tek Hoat mengucapkannya dengan nada dan gaya kelakar yang membuat ketiganya tertawa bersama.

“Paling tidak bajumu bukan baju curian” Tek Hoat sambil terkekeh-kekeh, sementara Thian Jie hanya tersenyum kecut karena teringat harus mengambil baju orang di jemuran untuk dikenakannya.

“Iya, khan koleksi thia banyak untuk buat baju yang baru, ganti baju curian itu” Mei Lan ikut-ikutan menggoda Thian Jie yang hanya mesem-mesem aja dikerjai kakak beradik itu.

“Ya, tapi pakaian sebagus apapun tidak ada gunanya. Aku tidak mengenal diriku sendiripun” Ucap Thian Jie sekenanya.

“Setidaknya kan ada kami” Tek Hoat bersuara

“Ya, setidaknya memiliki adik seperti kalian, tidak rugi” Thian Jie menarik nafas seperti orang tua.
 
(2) 4 tokoh Gaib rimba persilatan


Tapi tiba-tiba, telinganya yang tajam seperti mendengarkan suara gemuruh dari kejauhan. Tapi dia tidak tahu apa artinya. Meskipun tidak mengingat sesuatu, tetapi dalam kondisi dan keadaan refleks, biasanya tenaga dan hawa kakeknya secara otomatis bekerja.

Kali inipun, tiba2 baik Tek Hoat maupun Mei Lan melihat mata Thian Jie mencorong tajam, terutama ketika menyebutkan adanya suara gemuruh yang mereka berdua sama sekali tidak dengar. Bagaimana mungkin mereka mendengarnya? Karena bahkan Thian Jie yang terlatihpun tidak akan mampu mendengar suara itu bila belum terisi hawa kakeknya. Begitupun dia tidak tahu apa arti dari suara gemuruh yang sempat didengarnya, dan bila dia tahu, dia mungkin akan merasa terkejut dan takut bukan main.

“Kami tidak mendengar apa-apa koko” ujar Mei Lan, dan dia benar karena memang normalnya tidak terdengar suara apapun, apalagi suara bergemuruh seperti ucapan Thian Jie.

“Ya, akupun tidak mendengar sesuatu, apalagi yang gemuruh” tegas Tek Hoat

Thian Jie mengendur, dan sinar mencorong matanya kemudian juga menormal kembali. Dan bersamaan dengan itu, suara gemuruh yang didengarnya juga menghilang. Tetapi, firasat dan bahasa tubuhnya menjadi gelisah. Sinar mata mencorong Thian Jie itu yang sering membuat Tek Hoat dan Mei Lan menjadi sangat bergidik memandang Thain Jie dan secara tidak sengaja membuat mereka sangat kagum dan hormat terhadap anak yang mereka tolong itu. Padahal mereka tidak mengenal anak itu sedikitpun.

“Sudahlah, habiskan makanan kalian. Sebentar lagi kita harus berjalan agar tidak kemalaman di jalan” ujar Thian Jie.

Tetapi ketika mereka baru saja menyelesaikan makan mereka, tiba-tiba bukan hanya Thian Jie, tetapi Tek Hoat dan Mei Lan mendengar suara jeritan anak-anak yang sepertinya datang dari arah sungai:

“Tolong, ada anak hanyut …. tolong” beberapa anak nampak seperti sedang berteriak meminta tolong.

“Dari arah sungai, juga tiba-tiba terdengar teriakan “tolong …. tolong”, teriakan minta tolong anak yang sedang hanyut. Tapi bersamaan dengan itu, gemuruh yang tadi didengar secara refleks dan tidak sengaja oleh Thian Jie, terdengar lagi.

Tapi kali ini, baik Mei Lan maupun Tek Hoat juga sudah mendengarnya. Celakanya, ketiganya tidak mengerti dan tidak sadar apa yang sedang terjadi. Sebaliknya, Mei Lan yang ringan tangan, justru menongolkan
kepalanya kearah sungai ketika mendengar teriakan minta tolong anak yang hanyut.

Tampaknya anak dari kampung yang tadinya berenang, secara tidak sengaja terseret arus sungai yang secara tiba-tiba meluap dan menghasilkan arus yang luar biasa derasnya. Tapi, suara gemuruh itu, semakin mendekat dan semakin mengerikan nampaknya, tapi ketiga anak itu, tiada seorangpun yang berpengalaman untuk menyimpulkan apa gerangan suara gemuruh yang kedengaran mengerikan itu.

“Thian Koko, Hoat Koko, ada 2 anak hanyut berpegang di sebatang pohon” jerit Mei Lan menyaksikan sebatang pohon dengan 2 orang anak berpegangan hanyut dengan arus yang semakin deras.

“Celaka, kita harus menolong mereka” desis Thian Jie khawatir. Sementara pada saat bersamaan suara gemuruh terasa semakin dekat dengan mereka, dan air sungai nampak mengalir tambah deras, bahkan dengan tiba-tiba mulai meluber ke tepiannya.

“Tapi bagaimana caranya Koko”? desis Tek Hoat

“jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam”, tiba-tiba Thian Jie mengingat kembali kalimat yang masih terngiang dikepalanya. “Aku akan menolong mereka” Thian Jie kemudian bersiap-siap untuk meloncat ke sungai.

Tetapi pada saat bersamaan tangannya di pegang Tek Hoat yang berusaha untuk mencegahnya, justru pada saat itulah secara tidak sengaja Thian Jie mengibaskannya secara refleks, dan akibatnya Tek Hoat justru terpental kearah Mei Lan, persis dipinggir atau tepian sungai, dan tanpa ampun lagi Mei Lan justru jatuh ke sungai yang alirannya makin deras. “Byuuuurrrr” tubuh gadis cilik itupun terpental kesungai terkena tenaga dorongan dari tabrakan dengan tubuh kakaknya.

“Koko, toloooooong” hanya jeritan itu yang sempat didengar Tek Hoat dan Thian Jie. Kejadian itu berselang hanya beberapa detik, yakni ketika batang pohon yang dipegangi 2 anak dari kampung sebelah melewati tempat mereka bertiga.

Dan, tanpa ba bi bu lagi, baik Tek Hoat maupun Thian Jie kemudian melompat ke sungai berniat untuk menolong Mei Lan, meskipun mereka tidak tahu lagi berada dimana Mei Lan pada saat itu. Syukur, baik Thian Jie maupun Tek Hoat biarpun sedikit, tetapi cukup mengerti dengan ilmu dalam air dan bisa berenang.

Sayangnya pada saat bersamaan, hanya beberapa detik setelah Mei Lan terpental ke Sungai dan dikejar Tek Hoat dan Thian Jie, gemuruh yang ternyata adalah sebuah banjir banding segera menimpa tempat mereka dan menggoyahkan tanah dan bahkan meruntuhkan pohon-pohon yang ada dan kemudian bahkan terus menyeret pohon-pohon besar kecil untuk mengalir bersama arus sungai dan menghempaskan batang pohon lain yang terhampar disepanjang tepian sungai yang dilalui arus besar dari banjir banding itu.

Dan tempat itupun masih terus bergemuruh dengan suara yang mengerikan dan terus bergulung gulung, …….……….. entah seperti apakah nasib anak-anak malang yang hanyut terbawa banjir banding yang mengerikan itu, baik kedua anak yang hanyut duluan, maupun ketiga anak yang menyusul kemudian karena ingin menolong kedua anak terdahulu. Entahlah.

======================

“Omitohud, sungguh hebat Soan Hong Sin Liong (Naga Sakti Angin Badai), masih seperti yang dulu. Benar-benar Giok Ceng Sinkang dan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun masih tak habis dikupas” Seorang kakek tua renta bersuara memuji setelah melepaskan pukulan tidak bersuara.

“Hahaha, Kian Ti Hosiang, Tay Lo Kim Kong Ciang bukan nama kosong” Seorang tua renta lainnya berseru menyahut.

Kedua orang itu sepertinya sedang melakukan perang tanding, tetapi tidak dengan cara biasa. Cukup dengan lontaran-lontaran serangan sambil duduk bersila, keduanya sudah bisa saling mengukur kekuatan.
Keduanyapun segera terlibat dalam diskusi panjang mengulas aspek-aspek dan sisi lain dari pertemuan tenaga dan jurus pamungkas yang mereka lepaskan barusan.

Dan tidak lama kemudian keduanya kembali berhadapan dan saling melontarkan 1-2 kali pukulan, kesiuran angin dan bahkan mencicit tajam menyebar. Dan …. “plak”, suara benturan keras kembali terjadi, dan kedua orang tua renta yang menyebabkan benturan kembali saling memuji.

“Soan Hong Sin Ciang semakin kental dengan perbawa kebatinan” Ucap Kian Ti Hosiang si kakek tua berjubah pendeta Budha.

“Tapi Selaksa Tapak Budah dan tenaga Ih Kin Keng tetap digdaya, malah bertambah matang” Bergumam orang tua yang satu lagi.

Sementara di tempat yang terpisah tidak jauh, sepasang kakek tua lainnya juga sedang melakukan hal yang sama. Kibasan lengan mereka mendatangkan angin tajam yang bahkan meledak memekakkan gendang telinga ketika benturan hebat terjadi:

“Pek Lek Sin Jiu …. Tidak berkurang kehebatannya, kagum sungguh kagum” Pendeta yang bernama Pek Sim Siansu bergumam.

“Benar, tetapi kehalusan dan ketajaman Thai Kek Sin Kun juga tambah matang” Kakek tinggi besar bernama Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay (Pengemis Sakti Berjari Sembilan) menjawab.

“Tapi apakah Liang Gie Sim Hwat masih juga ampuh? Tanya Sin Kay sambil kembali mengibaskan lengannya kali ini dengan gerak Hang Liong Sip Pat Ciang.

Desingan suaranya seperti Naga meraung-raung dan langsung menusuk telinga yang diserang. Tetapi, Pek Sim Siansu, bukan percuma menjadi tokoh wahid Bu Tong Pay, segera menimbrungi dengan jotosan tak bersuara, sangat lemas tetapi menutup perbawa lawannya.

Kembali terdengar benturan keras, dan keduanya sambil saling tersenyum membagi puji-pujian untuk kemudian mendiskusikan kemajuan dan kemungkinan pengembangan ilmu masing-masing. Ilmu-ilmu langka yang dimiliki dan diyakinkan oleh para ahlinya, mungkin yang paling ahli dan mahir pada zaman mereka. Dan para ahli itu sedang membandingkan, merundingkan dan kemudian mendiskusikan kemungkinan kemungkinan pengembangan dan penyempurnaan ilmu masing-masing dan ilmu lawannya.

Dan itulah yang terjadi dan dilakukan 4 manusia sakti yang sudah renta itu selama berjam-jam, sesekali mereka berganti lawan, bukan sekedar perang tanding dan adu ilmu, tetapi terutama mendiskusikan kemajuan dan pengembangan ilmu masing-masing.

Tapi siapakah gerangan ke-4 kakek tua renta yang sedang melakukan adu ilmu dan adu diskusi dan adu runding mengenai ilmu silat ini? Mau apa pula mereka duduk-duduk sambil mengibaskan lengan yang mengakibatkan benturan dahsyat dan mengguncang tebing tempat mereka duduk duduk tersebut? Tidakkah mereka khawatir jorokan tempat mereka duduk bisa dengan sangat mudah runtuh dan jatuh ke bawah aliran sungai berarus deras di bawah mereka?

Padahal jika ada tokoh persilatan yang melihat pertandingan mereka, sudah pasti mereka akan ngiler sekaligus terbelalak. Betapa tidak, Ilmu-ilmu silat dibenturkan adalah ilmu-ilmu pilihan, ilmu-ilmu yang dianggap menjagoi dan tidak tertandingi bila muncul di dunia persilatan.

Dan perbawa ilmu-ilmu tersebut terlihat dari hasilnya yang membawa pengaruh luas biasa, tetapi meskipun demikian nampaknya tidak sanggup melukai ke-4 orang tua aneh yang sedang memainkan ilmu-ilmu mujijat tersebut.

Dan sekiranya ada yang mempergoki mereka, maka kejadian itu akan menjadi sangat luar biasa dan langka. Kemujuran dan keuntungan bagi yang sempat melakukannya. Karena ke-empat tokoh tua ini, boleh dibilang adalah tokoh termahir dan sudah dianggap menjadi manusia setengah dewa dalam tradisi Dunia Persilatan dewasa ini.

Mereka berempat memang tampil dalam waktu yang hampir bersamaan di dunia Kang ouw, angkat nama bersama dan kemudian menyepi nyaris bersamaan juga. Begitupun, siapakah sebenarnya ke-empat tokoh aneh luar biasa yang sudah dianggap menjadi manusia setengah dewa di rimba persilatan tersbeut?

Orang pertama dan yang tertua adalah Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay (Pengemis Sakti Berjari Sembilan). Kiu Ci Sin Kay Kiong Siang Han adalah sesepuh tertua Kay Pang saat ini, yang bahkan oleh Ketua Kaypang saat ini, tidak tahu lagi apakah sesepuh ini masih hidup atau tidak lagi.

Sin Kay adalah salah seorang Ketua Kay Pang yang dengan matang dan mahirnya menguasai ilmu-ilmu rahasia Kay Pang. Dalam 100 tahun terakhir, dialah yang menguasai secara sempurna 18 Jurus Penakluk Naga atau yang dikenal dengan nama Hang Liong Sip Pat Ciang dan Tah Kauw Pang atau Ilmu Tongkat Penghajar Anjing. Hal ini dikarenakan ketua ini tidak pernah menikah dan tidak pernah berhubungan seks, yang membuatnya mampu mematangkan dan menyempurnakan hawa murni 18 jurus rahasia tersebut.

Setiap Ketua Kay Pang memang pasti menguasai jurus ini, tetapi Sin Kay mampu mendalami dan menemukan inti rahasia dari 18 jurus tersebut, bahkan mampu menjalankan gabungan 18 jurus tersebut sebagai jurus pamungkas.

Selain itu, diapun memiliki ilmu keras lainnya yang perbawanya sungguh menakutkan, PUKULAN HALILINTAR atau Pek Lek Sin Jiu. Pukulan ini terdiri dari 7 tingkatan dan merupakan gubahan Sin Kay berdasarkan kitab catatan Pek Lek Sin Jiu yang ditemukannya di sebuah Gua Rahasia di bukit Heng San. Jarinya hilang 1 ketika menembus jalan rahasia menuju Kitab Rahasia tersebut dan sejak itu dia berjuluk Pengemis Sakti Berjari Sembilan.

Sin Kay sudah menuntaskan tingkatan tertinggi ilmu halilintar ini, hingga mampu meledakkan halilintar di tangannya yang mampu merusak telinga orang biasa dan bahkan menghanguskan batu ataupun besi. Setelah mencapai usia hampir 60 tahun, atau sekitar 30 tahun memegang jabatan Pangcu Kay Pang, Kiu Ci Sin Kay mengundurkan diri karena sudah merasa bosan dan terlalu lama menjabat Pangcu.

Dia kemudian berkelana dan belakangan menyepi atau bertapa tanpa diketahui lagi oleh generasi penerus Kay Pang dimana bekas Pangcu yang hebat itu menyepi dan bertapa. Ditaksir usia Kiu Ci Sin Kay sudah mendekati 100 tahunan.

Orang kedua yang juga berusia sudah mendekati 100-an, sedikit lebih muda dari Kiu Ci Sin Kay adalah Kian Ti Hosiang. Kian Ti Hosiang sejak kecil sudah menjadi Pendeta di Biara Siauw Lim Sie dan menjadi salah satu bintang terang Kuil Siauw Lim Sie di Gunung Siong San dalam dunia persilatan.

Kian Ti Hosiang sungguh bertekun dalam mengembangkan Ilmu Silat dan Ilmu Budha. Dalam hal Ilmu Silat dia adalah salah satu yang sulit ditemukan dalam 100 tahun terakhir dengan menekuni ilmu-ilmu terdalam dari Siauw Lim Sie. Dia mampu memahami secara sempurna dan dalam Ih Kin Keng yang menghasilkan Sinkang tak terukur baginya, diapun dengan sempurna melatih baik Tay Lo Kim Kong Ciang dan Tay Lo Kim Kong Sin Kiam serta mampu memainkan Ilmu Jari Kim Kong Ci.

Terakhir bahkan mampu melatih dan menyempurnakan ilmu Selaksa Tapak Budha (Ban Hud Ciang) yang sungguh lama tidak mampu diyakinkan generasi penerus Siauw Lim Sie. Pendeta ini memiliki kedalaman Ilmu Silat yang sungguh luar biasa, sekaligus memiliki kesabaran yang tidak lumrah. Karena itu, Pendeta ini jarang mau melibatkan diri jika bukan sebuah urusan yang sangat menentukan dan teramat sangat penting, baik bagi Kuil Siauw Lim Sie maupun bagi umat persilatan.

Setelah menjadi Ketua Siauw Lim Sie selama lebih 30 tahun, Kian Ti Hosiang kemudian menghilang dan mensucikan dirinya dan bertapa di sebuah Gua Rahasia yang terlarang di Kuil Siauw Lim Sie. Tidak ada lagi yang pernah bersua dan menyaksikan Pendeta tua ini hadir di dunia pesilatan setelah itu, bahkan tidak juga Ketua Siauw Lim Sie sesudahnya.

Tempatnya mensucikan diri adalah ruang rahasia di Siauw Lim Sie dan hanya keluar 10 tahun sekali mengikuti pertemuan di tebing ini, itupun tanpa ada orang lain yang tahu, tidak juga ada yang sanggup melihatnya. Lagipula, siapa pula yang sanggup melihatnya bila sang Guru Besar ini tidak menginginkan untuk terlihat?

Orang ketiga, berusia sekitar 95 tahun bernama Pek Sim Siansu Wie Tiong Lan. Di usia 35 tahun sudah menjadi Ketua Bu Tong Pay setelah mewarisi ilmu-ilmu rahasia Bu Tong Pay dan secara tidak sengaja menemukan Liang Gie Sim Hwat, Ilmu rahasia peninggalan Thio Sam Hong yang mengangkat ilmunya menjadi demikian sempurna dalam usia muda.

Tetapi sayangnya, teramat sulit mencari pewaris Liang Gie Sim Hwat bersama Thai Kek Sin Kun yang hanya mungkin disempurnakan melalui penguasaan Liang Gie Sim Hwat yang matang. Hampir semua rahasia Ilmu Bu Tong Pay hanya bisa mencapai puncaknya melalui pemahaman yang dalam akan Liang Gie Sim Hwat sebagai pengaturan hawa dalam tubuh manusia dengan meningkatkan juga kekuatan batin.

Wie Tiong Lan muda menemukan Liang Gie karena kesukaannya akan buku-buku kuno, yang kemudian ternyata secara cerdik selipan Liang Gie dia temukan dalam sebuah buku kesukaan Thio Sam Hong. Hampir 30 tahun Pek Sim Siansu mengetuai Bu Tong Pay untuk kemudian menyucikan diri di belakang gunung Bu Tong dan tidak pernah kedengaran lagi berkelana.

Tetapi sebagaimana Kian Ti Hosiang, Pek Sim Siansu juga setiap 10 tahun sekali keluar dari tempat penyuciannya tanpa seorangpun tahu bagaimana caranya manusia gaib ini keluar. Yang jelas, sebagaimana 10 tahun sebelumnya, kali inipun Wie Tiong Lan hadir dan duduk bersama 3 tokoh sakti lainnya tanpa kepergok tokoh-tokoh Bu Tong Pay.

Orang keempat yang paling muda adalah Kiang Sin Liong, Soan Hong Sin Liong, cucu pendiri Lembah Pualam Hijau. Sebagai pengemban Perdamaian Dunia Persilatan, Kiang Sin Liong mewarisi ilmu-ilmu rahasia keluarganya. Yakni Ceng Giok Cap Sha Sin Kun, Giok Ceng Sin Kang dan juga Giok Ceng Kiam Sut, dan bahkan ketika menjadi Ketua Lembah atau Duta Agung, setelah pertempuran menentukan dengan Pendekar India, dia menciptakan Ilmu Dahsyat lainnya bernama Soan Hong Sin Ciang dan Toa Hong Kiam Sut. Ilmu yang mendasarkan pada kekuatan batin dan kekuatan Sinkang yang dilatih di atas Batu Pembaringan Giok Hijau.

Kiang Sin Liong juga kemudian menjadi ketua atau duta agung untuk waktu yang lama sebelum mengundurkan diri dan menyerahkan tugas kepada anaknya dan kemudian menghilang dan menyepi di sebuah gua pertapaan yang masih berada di belakang Lembah Pualam Hijau. Tetapi, diapun menjadi sangat jarang berkeliaran di dunia persilatan, bahkan juga di Lembah Pualam Hijau. Dia hanya beberapa kali muncul, itupun untuk mendidik penerus-penerusnya di Lembah Pualam Hijau, terutama ketika mendidik cucu-cucunya.
 
(3) pertemuan 10 tahun


Hingga saat ini, ke-4 tokoh ini sudah dianggap tokoh gaib dan cenderung didewakan meski tidak diketahui lagi oleh siapapun apakah mereka masih hidup ataukah sudah meninggal. Sedikit orang yang tahu kalau keempatnya memiliki tradisi bertanding ilmu silat setiap 10 tahunan, dan hal ini mereka lakukan bahkan puluhan tahun silam, ketika mereka masih sama-sama berusia muda.

Sementara untuk pertemuan tradisi kali ini adalah yang pertemuan ke 7 kalinya, dimana mereka berkumpul melakukan pertandingan dan pembahasan Ilmu Silat. Bukan satu atau dua Ilmu Silat belaka, tetapi bahkan semua Ilmu andalan mereka masing-masing dibuka dan dibahas untuk dikembangkan dan disempurnakan.

Tempat pertemuan, sejak awal memang ditetapkan di jorokan sungai tersebut dan sampai kali ke-7 ini masih tetap menjadi tempat mereka bertanding. Dan berunding. Tanpa ada seorang tokoh dunia persilatanpun yang tahu akan rahasia pertemuan tersebut.

Mereka menetapkan tempat pertandingan ini ketika masih berusia muda, masih berusia di sekitar 25 tahunan, dan tetap melanjutkan ketika mereka ber-4 sudah menjadi Ketua di masing-masing perkumpulannya dan bahkan terus berlanjut dan terus mereka pelihara tradisi itu ketika tiada orang tahu apakah mereka masih hidup ataukah tidak lagi. Dan rahasia pertemuan mereka itupun, hingga pertemuan ketujuh, tidak diketahui orang.

Pertemuan kali ini adalah yang ke-7, dan cara bertempur mereka tidak sama lagi dengan cara yang mereka tetapkan dan lakukan pada waktu waktu awal pertemuan. Pada awalnya, mereka mengadu Ilmu dengan cara normal, masing-masing menggunakan semua ilmu silat, Sinkang dan ilmu Ginkang, dengan saling bertukar lawan sampai semua sempat saling berhadapan.

Kali ini, berdasarkan pengalaman, mereka mampu mengukur dengan kekuatan batin masing-masing sampai dimana tingkat dan kemampuan kawannya. Karena bukan lagi soal kalah dan menang yang penting, tapi bagaimana mencari celah dan aspek pengembangan Ilmu masing-masing. Karena kebutuhan tersebut, sejak pertemuan ke-5, cara bertanding mereka menjadi berubah secara drastis.

Diskusi atau bertanding secara lisan justru lebih lama mereka lakukan dan bisa seharian penuh waktu mereka manfaatkan untuk diskusi dan tukar pikiran tersebut. Dari pertemuan-pertemuan inilah kemudian masing-masing memahami bagaimana cara dan jalan menuju puncak kematangan ilmunya masing-masing. Baik Siauw Lim Sie yang mengutamakan kedalaman, Bu Tong Pay yang mengutamakan kehalusan, Lembah Pualam Hijau yang mementingkan im berhawa dingin dan halus serta Kay Pang yang mengutamakan tenaga murni lelaki jejaka dan pukulan petir yang beraliran keras.

Kian Ti Hosiang dan Pek Sim Siansu yang tulus dan polos mengerti belaka bahwa mencapai kesempurnaan adalah dengan penyatuan “im” dan “yang” atau “luar” dan “dalam”. Sehingga sebetulnya pematangan mereka dimungkinkan melalui system saling memberi dan saling menerima. Setelah mencapai usia tua dan kebijaksanaan mereka meningkat tajam, serta nafsu menang juga sudah padam, maka sejak pertemuan ke-6 mereka kemudian meningkatkan kemampuan mereka secara sempurna dengan saling memberi dan menerima, disertai peningkatan kemampuan batin dan membuat mereka semua mampu melihat jauh kedepan.

Juga demikian dengan Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau, mereka menemukan kenyataan bahwa kehalusan dan kekuatan mereka bisa saling menyempurnakan dengan cara yang sama. Hasilnya, mereka semua mengalami proses pematangan yang sama 10 tahun terakhir, kekuatan batin mereka menjadi demikian matang dan sempurna dan tidak mungkin lagi mereka saling berdusta satu dengan yang lain.

Bahkan dari pendalaman dan saling menyempurnakan inilah kemudian masing-masing menciptakan Ilmu Pamungkas dengan dasar utama ciri khas masing-masing perguruan. Ilmu-ilmu khas inilah yang kemudian akan bermunculan di dunia persilatan, bukan oleh para guru besar ini, tetapi oleh murid mereka masing-masing.

“Nampaknya kita kedatangan tamu” Ujar Kian Ti Hosiang sambil menundukkan kepala, dan kemudian si pendeta saleh ini menggerakan tangannya ke air sungai yang arusnya sedang menggila. Entah apa maksud kakek sakti ini, tetapi tentu bukan masin-main, dan terbukti tiba-tiba dia berseru:

“Kena” Ujarnya sambil berseru dan tidak lama kemudian dihadapan mereka terkapar 2 bocah yang memeluk erat-erat batang pohon tempat mereka berharap tetap hidup. Keduanya pingsan. Pingsan dengan cara yang menunjukkan kecerdikan mereka, tetap memeluk erat-erat pohon yang menjadi sandaran dan kesempatan mereka untuk tetap hidup. Tetapi, belum lagi semua sadar dengan kehadiran kedua bocah yang beruntung selamat dari banjir banding sungai yang menggila itu, tiba-tiba:

“Masih ada lagi” Sin Kay berseru dan nampak menggerakkan tangannya dan mengerahkan tenaga ke sungai, dan ajaib diapun mampu mengangkat seorang bocah yang kemudian ternyata adalah Liang Tek Hoat. Seperti kedua anak yang pertama, kali inipun anak yang terangkat oleh Kiong Siang Han juga pingsan dengan memeluk batang pohon yang lain.

Dan, seperti tidak mau kalah, nampak tiba-tiba Pek Sim Siansu juga mengerahkan tenaga ke tangan dan mengarahkan tangannya ke sungai:
“Satu lagi” Pek Sim Siansu ikut berseru dan dilakukannya hal tersebut bersamaan juga dengan Kiang Sin Liong yang juga berseru “Kena”. Dan dihadapan mereka bertambah 2 tubuh bocah kecil lainnya, yang semuanya pingsan seperti anak-anak yang lain.

Kecuali seorang anak yang terus menerus berdesis dalam sikap kosong jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong, pasrah terhadap alam. Dialah anak terakhir yang diangkat dari sungai yang sednag membahana arusnya itu.

“Begitu banyak “tamu” kita hari ini” keluh Pek Sim Siansu sambil memandangi kelima anak yang sedang pingsan dan keadaan mereka sungguh sangat mengharukan.

“Siancai-siancai. Siansu, ini tanda keterikatan kita kembali dengan dunia. Kita masih ditolak nirwana, dan mungkin kita melihat semua bahwa mereka ini akan menjadi sinar bagi dunia yang sebentar lagi menjadi pekat” Ujar Kian Ti Hosiang.

“Nampaknya kita masing-masing telah memilih sesuai jodoh” Sin Kay menarik nafas setelah memandang dan mengerti melihat keganjilan di mata Kiang Sin Liong.

“Benar, kita telah secara tidak sengaja memilih pewaris kita masing-masing” Ujar Kiang Sin Liong. Hawa yang beredar di tubuh Thian Jie membuat Sin liong berkerut dan manggut-manggut. Terkejut dan heran melihat keadaan anak yang ditolongnya dari sungai itu.

“Baiklah, kita tetapkan demikian. Kian Ti Hosiang dengan demikian akan memiliki 2 orang anak yang bila tidak salah nampaknya keduanya kakak beradik kembar. Pek Sim mempunyai pewaris wanita, tulangnya sangat tepat bagi Liang Gie Sim Hwat, Sin Liong memiliki jika tidak salah keluarganya sendiri dan aku mempunyai anak ini. Kita sama telah melihat mendung bagi dunia persilatan, padahal kita tidak mungkin lagi menanganinya. Lembah Pualam Hijau sedang mengurus rumah tangganya, penerus di partai dan perkumpulan kita sedang merosot, maka tugas terakhir kita sebelum menyelesakan kehidupan di dunia. Liong Te, bagaimana menurutmu”? Sin Kay, memang sangat menghormati Sin Liong, karena dia paham betul meski yang termuda tetapi perkembangan Ilmu Sin Liong seperti tidak pernah habis.

“Benar twako. Kian Ti dan Pek Sim, jika tidak salah kemelut kali ini bukan hanya melawan kekuatan dari luar, tetapi juga dari dalam. Lohu menyedihkan kondisi Lembah kami, tetapi rasanya anak ini (menunjuk Thian Jie) akan bisa mencuci kekotoran lembah kami. Biarlah kita semua mempersiapkan mereka yang bertugas menggantikan kita seperti pada lebih 50 tahun berselang” Ujar Sin Liong.

Dan nampaknya orang tua yang lain manggut-manggut setuju dengan ucapan Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong. Bahkan terdengar Kian Ti Hosiang berkata:

“Baiklah, kita tetapkan demiian. Jika pinto tidak salah, pertemuan kita 10 tahun kedepan merupakan pertemuan 10 tahunan yang terakhir. Tanpa perlu berlomba kita sudah tahu akhir dan capaian murid kita masing-masing. Semoga Thian melindungi anak-anak ini, mereka akan terlibat dalam derasnya pergolakan Kang Ouw dan karena itu tugas kita menyiapkan mereka seperlunya”

“Tidak salah. Biarlah kita mendidik mereka masing-masing, meski belitan rindu dan dendam diantara mereka akan rumit, tetapi kegagahan mereka masih lebih berharga daripada kerumitan perasaan mereka” Sambung Pek Sim.

“Kian Ti, karena 10 tahun depan adalah pertemuan perpisahan kita, biarlah 10 tahun ini kita bekerja keras. Nampaknya mendung dunia persilatan akan bergantung kepada anak-anak ini. Liong Te, nampaknya buyutmu itu mengalami keanehan dan kegaiban, cuma lohu tidak yakin akan akhirnya. Biarlah Thian dan nasib mengantarnya kearah terang. Dan Pek Sim, anak gadismu itu juga memiliki bintang terang sebagaimana muridku. Sungguh ramai, sungguh ramai mereka nantinya” Sin Kay yang tertua akhirnya menyimpulkan semua percakapan dan diskusi mereka mengenai anak-anak yang secara aneh ditolong oleh orang yang kemudian menjadi guru mereka masing-masing.

Jika memang sudah jodoh, teramat sulit untuk mengelakkannya. Bila tidak jodoh, dikejarpun akan sangat sulit mencapainya. Jodoh, membuat kelima anak ini seperti mendapat durian runtuh, menjadi murid tokoh gaib. Padahal, ada jutaan anak yang dengan rela meminta, memohon atau bahkan rela membayar salah seorang diantara ke-4 kakek sakti ini untuk bersedia menjadi guru mereka.

Yang mencari dan memaksa, tidak mendapatkan. Yang tidak mencari, justru mendapatkan, itulah jodoh.

“Dan, biarlah kita berjumpa kembali 10 tahun kedepan” Sin Kay menutup kalimatnya dan kemudian berkelabat setelah memberi salam. Sekejap dan tubuhnya sudah hilang bersama Tek Hoat disusul dengan berkelabatnya Kian Ti Hosiang memanggul dua anak kembar dan Pek Sim yang membawa Mei Lan pergi.

Kakek renta Kiang Sin Liong mondar-mandir sambil bergumam “ajaib, ajaib, bagaimana mungkin tubuhnya penuh hawa Giok Ceng”?. Apakah Cun Le yang mengirimnya? Dan siapa pula nama anak ini? Tanda Giok Ceng di lengan kanan menandakan anak ini bermarga Kiang, pastilah buyutnya.

Tapi, kenapa pula tubuhnya penuh hawa Giok Ceng? Dan kenapa pula kepalanya nampak bersinar cerah dan aneh di mata batin Sin Liong? Dan banyak pertanyaan lainnya yang sulit dijawab, bahkan tidak terjawab sampai Kakek Sin Liong berkelabat lenyap membawa tubuh cucu buyutnya.

Tebing itu kembali hening. Hening seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi bahana bergemuruh masih terdengar meski tidak seheboh sejam sebelumnya. Nampak banjir banding itu masih belum surut, masih sanggup memporak-porandakan bahkan desa ataupun kota yang dilalui dan diterjangnya. Tetapi yang pasti, pada saatnya, mungkin malamnya, suasana akan kembali normal, seperti biasanya.
 
BAB 3 Badai mulai mengamuk
1 Kun lun pay

Dunia persilatan kembali gempar. Setelah Lembah Pualam Hijau kecolongan, beberapa bulan kemudian puluhan tokoh kelas satu, pesilat tangguh daerah Tionggoan tiba-tiba mengalami bencana. Sebagiannya lenyap dengan tidak tentu rimbanya, dan sebagian lainnya ditemukan mati terbunuh di tempat berbeda beda. Ada yang ditemukan mati dirumahnya, ada pula yang ditemukan sudah menggeletak mati di jalanan, ada yang ditemukan mati terbunuh di tepian sebuah hutan.

Sementara sebagian yang lain menghilang secara sangat misterius dan kemudian tidak pernah ditemukan lagi jejaknya untuk waktu yang lama. Dunia Persilatan kontan menjadi panic dan kacau balau, apalagi karena ketika datang ke Lembah Pualam Hijau, ternyata Duta Agung tidak berada di tempat.

Orang-orangpun mulai meragukan Lembah Pualam Hijau dan mulai memikirkan cara dan jalan alternatif guna menyelamatkan dunia persilatan dari ancaman badai pembunuhan. Disaat genting seperti ini, banyak orang memikirkan cara lain, cara yang dipikirkan bisa meredakan ketegangan dan teror, tetapi menemukan cara lain yang dimaksud, ternyata juga tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Belum lagi reda gejolak akibat terbunuhnya dan hilangnya banyak pendekar kelas satu Kang Ouw, sebuah peristiwa menggegerkan lainnya kembali terjadi. Sebuah pukulan lain yang semakin memperkeruh dan melahirkan kekhawatiran yang sangat, karena bencana dan teror bahkan mulai menyentuhh perguruan yang lebih terkenal dan lebih besar, bahkan bersejarah panjang dalam dunia Kang Ouw. Begini kejadiannya:

Gunung Kun Lun memiliki sejarah panjang di dunia persilatan Tionggoan, karena di salah satu puncak gunung Kun Lun berdiri sebuah Perguruan Silat yang bernama besar dengan nama Kun Lun Pay. Selain itu, beberapa puncak di Gunung Kun Lun, banyak digunakan orang yang memilih menyepi dan bertapa. Itulah sebabnya Kun Lun San memiliki arti yang sangat penting dan bernama besar dalam dunia persilatan.

Sementara itu, tidak ada seorang pesilatpun yang tidak mengenal nama Kun Lun Sam Liong atau Tiga Naga Kun Lun yang memiliki kesaktian hebat. Belum lagi ketuanya yang kini memasuki usia ke 65, bernama Pek Mau Seng Jin Li Beng Tan yang sangat terkenal dengan Ilmu andalannya Kun Lun Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih Kun Lun Pay).

Ilmu Li Beng Tan hanya seusap di atas Kun Lun Sam Liong yang juga adalah adik seperguruannya sendiri, Siok En Lay adik seperguruan kedua, Cu Kun Tek adik seperguruan ketiga dan Kwa Sin Cu adik seperguruan keempat. Meskipun perorangan mereka masih di bawah Pek Mau Seng Jin, tetapi apabila maju bersama dengan Barisan Kun Lun Sam Liong, maka bahkan Ketua Kun Lun sendiri masih belum sanggup mengatasi mereka.

Begitu juga dengan Wakil Ketua Kun Lun Pay berjuluk Pek Kong Hiap Ma Bok Sun, murid utama dari Susiok Pek Mau Seng Jin. Kemampuan Ma Bok Sun tidak berada di bawah suhengnya Pek Mau Sengjin. Ke-5 orang ini menjadi andalan dan tonggak kejayaan Kun Lun Pay dewasa ini.

Menjelang siang yang cerah, tiba-tiba bentakan keras terdengar dari bawah gunung, “berhenti, siapakah kalian”? rupanya beberapa anak murid Kun Lun Pay bertemu beberapa orang misterius yang tidak dikenal.

“Tolong dibuka tutup wajah kalian bila ingin bertamu secara terhormat” cegah seorang murid ketika orang2 bertutup muka biru berkeras mau naik ke atas gunung.
Tetapi para pendatang yang mengenakkan juga berwarna biru tersebut, malah tidak menggubris peringatan para murid Kun Lun Pay. Sebaliknya para tamu tersebut malah mengeluarkan suara ancaman:

“Jangan memaksa kami menggunakan kekerasan saat ini” dengan suara yang terdengar sangat tidak bersahabat.

“Maafkan kami, menjadi tugas kami menyambut tamu dan mengingatkan cara dan tata krama bertamu di Kun Lun Pay” berkata seorang murid yang berjaga dengan tetap hormat meskipun dengan hati mengkal.

“Kalian belum pantas untuk berbasa-basi dan menghentikan langkah kami, di Kun Lun San sekalipun” dengus salah seorang utusan berjubah biru.

Mendengar ucapan yang menjadi lebih kurang ajar dan sangat menghina itu, para murid Kun Lun Pay naik darah. Tanpa dapat dicegah:

“sombong” seru seorang murid sambil menusukkan pedang kedepan secepat kilat. Rupanya murid yang satu ini belum sekuat kedua temannya dalam mengendalikan kemarahannya. Tusukannya dengan cepat dan kokoh mengarah ke salah seorang dari pendatang berjubah biru itu dan langsung mengancam tempat yang berbahaya.

Tapi hanya dengan mengegos mudah disusul dengan satu tarikan tangan yang sangat cepat, sang murid Kun Lun Pay sudah terjungkal dan terjerembab di tanah. Melihat kejadian itu, secepat kilat 2 orang lainnya melakukan serangan serempak, tetapi kembali nampak dengan sangat mudah, si pendatang berjubah biru melakukan 2 langkah cepat dibarengi dua kali sodokan, dan hanya terdengar suara “duk …. Duk” dan kedua murid lainnya juga terjungkal menyusul kawan mereka terdahulu.

Dan ketika mereka bangkit berdiri kesakitan, orang-orang berkerudung biru yang mereka hadang, sudah naik keatas gunung. Dan tidak berayal lagi, ketiganya segera paham apa yang harus mereka kerjakan, menyusul tidak lama terdengar isyarat tanda bahaya dikirim ke atas gunung.

Tetapi, ketika sinyal tanda bahaya sedang dikirimkan ke atas gunung, di depan pintu gerbang atau pintu masuk Kun Lun Pay sudah berdiri 4 orang. Keempat orang tersebut berkerudung dan berjubah dengan warna warna berbeda, yakni warna merah, warna hijau, warna biru dan warna kuning, dan semuanya berwarna pekat. Merah pekat, hijau pekat, kuning pekat dan biru pekat.

Menyusul tidak beberapa lama kemudian, berloncatan dibelakang masing-masing 4 orang tersebut barisan-barisan berwarna sama. Di Belakang masing-masing 4 orang yang datang terdahulu, kini berdiri berbaris sebanyak 12 orang dengan warna yang sama mengikuti pimpinannya, hanya tidak sepekat 4 orang yang sudah sejak awal datang, dengan menanti duluan di depan gerbang masuk Kun Lun Pay.

Inilah BARISAN WARNA WARNI. Baru sekali ini barisan ini tampil bersama, tampil lengkap dengan menandakan tempat yang dituju tentu lebih berbobot dan lebih hebat dibandingkan dengan yang didatangi oleh hanya 1 Barisan Warna saja.

“Utusan barisan warna-warni datang minta untuk ketemu dengan Ketua Kun Lun Pay” Duta berbaju biru nampak berseru lantang, tetapi melalui pengerahan tenaga dalam dan khikang, sehingga suara tersebut terdengar berkumandang sampai cukup jauh. Jelas suara itu sudah terdengar kedalam dan sudah diketahui pihak Kun Lun Pay.

“Kami bertamu baik-baik, harap diterima” lanjutnya dengan lontaran suara yang sama dengan suaranya yang terdahulu.

Tidak terdengar sedikitpun sahutan dari dalam, tetapi tidak lama setelah ucapan Duta Biru, dibalik pintu gerbang terdengar sejenak suara berisik dan benar saja, tidak berapa lama pintu gerbang Kun Lun Pay terbuka diiringi dengan sebuah suara yang tak kalah menggema dan bergaung dengan pengerahan suara dan khikang si utusan Barisan Warna biru tadi:

“Silahkan …. silahkan, meski kalian masuk dengan paksa dan tidak mematuhi tata karma mengunjungi Gunung Kun Lun, tapi kami persilahkan masuk dengan sangat hormat. Biarlah terlebih dahulu kami menyambut kalian semua di halaman depan”

Nampaknya saja penyambutan dengan hormat, tetapi dengan hanya menyambut di halaman depan, atau di depan pintu masuk saja, sama artinya dengan tidak menerima tamu secara hormat. Tetapi, itupun karena tamu yang datang memaksa dan menerobos masuk dengan cara yang sangat tidak sopan dan tidak menghormati tuan rumah. Tamu, karenanya hanya diberi kesempatan menginjak halaman depan, dan tidak atau belum diijinkan masuk halaman dan pekaranganrumah sebagai tanda menghormati tetamu.

Nampaknya para pendatang menyadari hal tersebut, karena itu amat wajar bila terdengar dengusan pemimpin Barisan Kuning:

“Hmm, sombong sekali”

“Memang, tapi masih lebih baik daripada di gerbang yang terlalu sempit ini” sahut si pemimpin Barisan merah.

“Tapi, kan setidaknya kita melewati gerbang ini, dan rasanya lebih baik dan lebih menyenangkan” tambah si pemimpin Barisan Hijau.

Dan ketika keempat Pemimpin Barisan warna-warni menginjakkan kakinya melewati gerbang, di sebelah dalam, sebuah halaman luas terhampar. Nampak jelas apabila pekarangan tersebut terawat dan dirawat dengan sangat baik dan sangat tekun. Bahkan disana-sini ditemukan bunga-bunga khas Kun Lun San, terutama bunga yang memiliki habitat di pegunungan dan berdaya tahan tinggi terhadap cuaca dingin.

Tetapi bukannya luas halaman serta bunga-bungaan yang indah di dekat gerbang yang menarik perhatian mereka, tetapi puluhan atau mungkin mendekati 100an murid Kun Lun Pay ternyata sudah menyambut mereka. Mereka berdiri sigap dan siap, kurang lebih 50 meter dari gerbang yang banyak dihiasi bunga dan berdiri di halaman depan gedung mereka.

Bahkan di depan mereka berdiri Pek Kong Hiap Ma Bok Sun, sute merangkap wakil ketua Kun Lun Pay didampingi oleh Kun Lun Sam Liong. Tokoh-tokoh Kun Lun Pay nampak menanggapi serius kedatangan Barisan Warna-Warni ini, karena sedikit banyak mereka sudah mendengar mengenai Barisan yang sedang mengganas di dunia Kang Ouw ini.

“Selamat datang ….. selamat datang di Kun Lun San. Apakah penghormatan kami tidak memadai bagi kalian”? terdengar suara bernada teguran dari Ma Bok Sun yang memimpin barisan di depan gedung Kun Lun Pay itu.

“Atau, apakah kedatangan kalian melanjutkan serbuan kalian di beberapa perguruan Tionggoan beberapa bulan terakhir ini”? lanjut Ma Bok Sun dengan hebat dan telak langsung ke pokok persoalan. Ma Bok Sun memang dikenal tidak suka berbelit-belit, tetapi sangat berterus terang dan jujur. Hal ini dia perlihatkan dalam menerima kunjungan Barisan Warna-Warni tersebut.

“Kami menghormati Kun Lun Pay, karena itu bukan hanya 1 Barisan Warna saja yang datang berkunjung, tetapi bahkan semua Barisan Warna Warni” Jawab Duta Merah tetap tenang, seperti tidak tersinggung dengan ucapan Ma Bok Sun yang tanpa tedeng aling-aling.

“Kami tersanjung” jawab Ma Bok Sun, tetapi suaranya jelas menunjukkan bahwa dia sangat tidak terkesan dengan kedatangan Barisan Warna-Warni. Dan terdengar dia kemudian melanjutkan:

“Tetapi, tentunya kedatangan kalian bukan dengan maksud menikmati keindahan alam Kun Lun San. Dan tidak sekedar datang untuk menunjukkan kalian menghormati kami. Benarkah”? kembali Ma Bok Sun mengeluarkan kalimat yang telak menohok para pendatang.

Keempat pemimpin Barisan, nampak melengak juga meladeni cara dan gaya bercakap Ma Bok Sun yang sungguh tidak mengenal basa basi, langsung saja ke pokok persoalan.

“Meskipun pemandangan Kun Lun San memang indah, tapi maksud kami memang bukan untuk melancong” ujar Pemimpin Barisan Kuning.

“Baiklah, bila kalian berkenan dan sudah siap, boleh kalian sampaikan maksud kedatangan lengkap dengan barisan warna masing-masing” Ma Bok Sun masih dengan tenang memburu keterangan pendatang.

“Tetapi, maafkan, kami hanya bisa bicara langsung dengan Ciangbunjin Kun Lun Pay” tegas Pemimpin Barisan Merah yang nampaknya mewakili kawan-kawannya menjadi juru bicara.

“Sebagai wakil Ciangbunjin Suheng yang sedang semedi, maka aku berhak menerima kalian” Ma Bok Sun berkeras, karena memang sebagai Wakil Ciangbunjin, dialah yang mengurusi segala hal dalam kesehari-harian, terutama bila Ciangbunjin sedang berhalangan atau samadhi.

“Kami akan tetap menunggu sampai Pek Mau Seng Jin tampil sendiri menghadapi kami” terdengar pemimpin Barisan Merah juga berkeras dengan keinginan mereka. Dan akibatnya, nampak Ma Bok Sun menjadi kurang senang, meski masih tetap hormat sebagai tuan rumah, dan terdengar dia berkata:

“Maaf, tetapi kami tidak bersedia menampung tamu sebanyak kalian di kuil kami. Silahkan kalian berlalu dan datang lagi nanti besok sore, bertepatan dengan Ciangbunjin Suheng menyelesaikan samadhinya” Sahut Ma Bok Sun dingin, sambil menunjuk pintu gerbang tempat para tamu untuk berlalu.

“Kalian tidak usah menampung kami, karena kami akan mampu memaksanya keluar” Sebuah suara terdengar penuh berisi khikang terdengar. Dan sudah pasti suara itu didengar atau terdengar oleh Pek Mau Sengjin, Ciangbunjin Kun Lun Pay jika benar dia berada didalam kuil.

“Hm ….. tidak perlu jual lagak di Kun Lun” Sebuah suara yang halus terdengar menindih suara penuh khikang yang barusan dilancarkan Pemimpin Barisan Hijau. Dan bersamaan dengan itu, didepan murid-murid Kun Lun Pay telah berdiri Pek Mau Sengjin dengan agung dan berwibawa.

Pek Mau Sengjin memang tidak kecewa menjadi Ketua sebuah Perguruan Silat besar sekelas Kun Lun Pay. Usianya sudah cukup lanjut, mendekati 65 tahun, jauh terpisah dengan Adik seperguruannya Ma Bok Sun yang baru mau mencapai 40an tahun. Dalam hal kematangan, pengalaman, ketenangan serta akurasi bersikap di tengah persoalan rumit, dia jauh mengungguli sute-sutenya, bahkan termasuk Kun Lun Sam Liong.

Bahkan kekuatan Iweekangnya, sebetulnya sudah demikian dalam, tanpa pernah diketahui oleh adik2 seperguruannya. Kematangannya nampak dari gaya, wibawa dan saat berhadapan dengan para Pemimpin Barisan Warna Warni yang dihadapinya dengan senyum. Seperti menghadapi sekelompok anak nakal saja, dan terdnegar dia berkata:

“Sicu sekalian, buat apa membawa barisan warna-warni kalian ke Kun Lun San”? Tanya Pek Mau Sengjin dengan senyum ramah.

“Apakah kami berhadapan langsung dengan Ciangbunjin Kun Lun Pay yang terhormat Pek Mau Sengjin” bertanya Pemimpin Barisan Merah sebagai juru bicara kelompok pendatang itu.

“Demikian orang-orang mengenal dan memanggilku” Jawab Pek Mau Sengjin masih dengan senyum sabar.

“Apakah ada sesuatu yang kalian perlukan dariku”? bertanya Pek Mau Sengjin lebih lanjut.

“Ya, kami punya urusan. Tocu (Pemilik Pulau) kami meminta kerjasama dengan Kun Lun Pay kedepan. Entah Ciangbunjin bersedia atau tidak”? Pemimpin Barisan merah langsung dengan urusan yang diembankan kepada mereka untuk diajukan kepada Kun Lun Pay.

Sambil menarik nafas dan tetap dengan ramah dan sabar, dan bahkan kemudian terlihat mengelus jenggot putihnya, Ketua Kun Lun Pay Pek Mau Sengjin menukas:

“Hmmm, kami merasa terhormat. Tetapi, herannya mengapa kalian dari Lam Hay Bun menjadi berubah sikap dan cara? Dan kerjasama apapula yang kalian maksudkan”?

“Tocu berniat memperluas pengaruh ke Tionggoan. Kami sudah menaklukkan banyak Perguruan dan mereka siap bekerjasama. Dan sekarang kami menawarkan kerjasama tersebut kepada Kun Lun Pay” Jawab Pemimpin Barisan Merah.

“Hahahaha, artinya jika Kun Lun Pay menolak, maka nasibnya akan sama dengan perguruan semisal Pek Liong Pay, Hong Lui Pay, Perguruan Macan terbang dan lain-lainnya? Bertanya Pek Mau Sengjin sambil tertawa ringan, seolah tanpa beban. Hal yang membuat para pendatang mengerutkan kening dan kagum akan ketabahan dan kehebatan Ciangbunjin Kun Lun Pay ini.

“Kami datang dengan niat baik, menawarkan kerjasama dengan Kun Lun Pay” Jawab Pemimpin Barisan Merah.

“Dan jika tidak bersedia, kalian mau menaklukkan kami dengan kekerasan, begitu”? Siok En Lay, Ji Sute Pek Mau Sengjin yang berangasan menjadi tidak sabaran. Tetapi dengan tenang Pek Mau Sengjin menyabarkan Sutenya:

“Ji Sute, tenang saja. Biarkan aku melanjutkan pertanyaanku dengan mereka” bujuknya dengan tetap sabar. Mermang matang betul Ciangbunjin ini.

“Keterlaluan, mereka betul-betul menghina Kun Lun Pay, Ciangbunjin Suheng” kesal Siok En Lay dengan wajah merah terbakar amarah.

“Mereka memang keterlaluan Ciangbunjin Suheng, tapi memang mari kita lihat apa maunya” Ma Bok Sun menimpali. Dia percaya betul dengan Toa Suhengnya, Ciangbunjin Kun Lun Pay.
 
2 Pertandingan di kun lun pay


Pek Mau Sengjin kembali menghadapi Barisan Warna Warni dan dengan suara menjadi lebih serius berkata:

“Lam Hay Bun menawarkan kerjasama tetapi dengan mengutus utusan yang tidak pantas menawarkan kerjasama. Kedua, kalian telah mengganggu wilayah daerah Persilatan Tionggoan. Ketiga, menjadi tugas kaum pendekar termasuk Kun Lun Pay untuk menegakkan keadilan di dunia Kang Auw. Dan terakhir, karena kalian bertamu baik-baik dan tidak menimbulkan kegaduhan, kami persilahkan untuk angkat kaki dengan baik-baik pula dari Kun Lun San” Pek Mau Sengjin menjadi tegas berujar sambil menunjukkan pintu keluar bagi Barisan Warna Warni.

“Silahkan” tegasnya menunjuk pintu keluar. Hebat Ciangbunjin ini, barusan dia berbasa-basi dan nampak sangat lembut dan sabar, tetapi ketika memutuskan sesuatu yang sangat penting, menyangkut kegagahan, keadilan dan keamanan dunia persilatan, bahkan kehormatan Kun Lun Pay, tiba-tiba dia menjadi sangat tegas, berwibawa dan sulit ditawar.

“Hahahahaha, sudah kuduga kalau Kun Lun Pay memiliki kegagahan untuk menjaga kehormatannya. Sebagaimana biasanya, kami memperoleh tugas untuk memaksa mereka yang menolak bekerjasama” Pemimpin Barisan Merah sudah mulai menunjukkan gelagat tidak baik. Dengan kata lain, mereka memang ditugaskan untuk memaksa.

“Apa kalian kira mampu unjuk kehebatan di Gunung kami” Ma Bok Sun mendengus gusar.

“Mampu atau tidak, kita boleh lihat” Jawab Pemimpin Barisan Merah dingin.

Pek Mau Sengjin tidak kehilangan kesabaran dan ketelitiannya. Dia sadar, Barisan Warna-Warni yang menjadi duta Lam Hay Bun tidak bernama kosong, dan mereka bukannya tanpa persiapan. Intuisinya berbicara bahwa masih ada kekuatan lain yang disiapkan oleh Lam Hay Bun dalam menghadapi Kun Lun Pay yang kekuatannya sudah bisa ditaksir sekitar 200an anak murid. Karena itu dengan tetap sabar dan hati-hati dia berkata:

“Apakah kerjasama semacam yang kalian tawarkan selalu berakhir dengan pertempuran untuk memaksa dan menaklukkan”? tanyanya kembali menjadi sabar untuk mengulur waktu mempelajari kesiapan lawan.

“Tergantung kesediaan yang kami tawari kerjasama, apakah menerima ataukah menolak” jawab Pemimpin Barisan Merah.

“Jika kami menolak”? Tanya Pek Mau Sengjin

“Kami akan memaksa, kami akan mencoba menaklukan Kun Lun Pay dengan kekuatan kami yang ada dan tersedia” jawab Duta Merah

“Bangsat, kalian pikir gunung ini empuk buat kalian santap”? Erang Siok En Lay gusar dan tidak mampu mengendalikan diri lagi, tetapi tetap ditahan Ciangbunjinnya.

“Bagaimana cara kalian memaksa kami jika demikian”? Pek Mau Sengjin bertanya sambil tersenyum, karena dia hamper pasti bahwa intuisinya ternyata benar.

“Dengan kekuatan, baik bertanding ilmu silat ataupun bertanding misal dengan menggunakan barisan kami Su-fang-hong-ho-tin” (barisan hujan angin di empat penjuru) Pemimpin Barisan Merah menegaskan niatnya.

“Dengan hanya kalian berjumlah sekian banyak mau menempur kami yang ada 200an orang”? Pek Mau Sengjin menegaskan sambil meneliti, seakan ingin berpesan, bahwa mereka tidak akan sanggup menaklukkan Kun Lun Pay yang berkekuatan lebih besar.

“Kami merasa sudah cukup untuk bisa melakukannya sampai tuntas” Jawab Pemimpin Barisan Merah aseran

Tanpa dapat dicegah lagi Siok En Lay sudah menerjang kearah pemimpin barisan merah, melesat sambil melepaskan sebuah pukulan penuh tenaga iweekang. Pemimpin Barisan merah tahu bahaya, dan sadar bahwa salah seorang dari Kun Lun Sam Liong bukan barang murah. Tetapi belum sempat dia bergerak, tiba-tiba bayangan kuning berkelabat menangkis serangan Siok En Lay dan benturan keras terjadi memekakkan telinga

…….”Blaaaaaar”, sambil kedua sosok bayangan terpisah dan terlontar ketempatnya masing-masing. Siok En Lay segera sadar, bahwa kekuatannya masih sedikit berada di bawah lawan, dan ini membuatnya tertegun. Pandangan Pek Mau Sengjin yang tajam juga mampu melihat kenyataan ini, kenyataan yang membuatnya menjadi semakin waspada. Nampaknya kekuatan Barisan Warna Warni dari Lam Hay Bun ini bukannya sembarangan.

“Ji Sute, tahan amarahmu” Pek Mau Sengjin menyabarkan dan kembali memandang tajam kearah para pemimpin Barisan.

“Baiklah, kami menolak tawaran kalian yang tidak pada tempatnya. Dan apabila kalian memaksa, maka bukan karena kami kelebihan orang maka kami menggunakannya. Tetapi karena kami mempertahankan kehormatan Perguruan kami. Atau, jika ingin yang lebih lunak, kami persilahkan kalianmeninggalkan Kun Lun Pay. Kasarnya kami mengusir kalian semua” Pek Mau Sengjin mengambil tindakan tegas. Dia sadar bahwa nampaknya pertarungan sudah sangat sukar untuk dihindari lagi.

“Kalian mau menggunakan semua murid dan kami dengan barisan kami, atau kita melakukan perang tanding dengan menakluk sebagai taruhannya”? Pemimpin Barisan Merah bertanya dingin.

“Kun Lun Pay memiliki sejarah panjang, bahkan dengan kalian menghancurkan Gunung ini, bukan berarti berakhirnya cerita dan sejarah Kun Lun Pay. Kami memiliki puluhan atau mungkin ratusan murid yang berkelana di Dunia Persilatan. Tapi jika kalian menginginkan perang tanding, maka Kun Lun Pay akan berusaha menjaga kehormatannya tanpa mempertaruhkan apa-apa” Tegas Pek Mau Sengjin.

Pemimpin Barisan merah berpikir sejenak. Dengan mengalahkan pentolan-pentolan Kun Lun Pay, tentunya akan lebih mudah menaklukkan Perguruan ini, lagipula dari benturan tenaga Duta Kuning dengan Siok En Lay, dia tahu jagonya masih menang seurat. Karena itu akhirnya dia cenderung menerima atau mengusulkan perang tanding dengan catatan kelompoknya harus mampu menang dan membunuh lawannya.

Dengan pikiran itu dia menukas:
“Baik, kami mengajukan 5 orang untuk melayani 5 orang dari kalian” tegasnya memilih. Meski dia juga sadar, bahwa untuk melaksanakan tugasnya, kalah menang dalam perang tanding dia harus tetap menggunakan barisan Su-fang-hong-ho-tin yang dahsyat dan gaib untuk menuntaskan tugasnya atas Kun Lun Pay.

“Baik jika itu pilihan kalian, kami akan menyiapkan 5 orang yang akan menandingi kalian. Tapi sebaiknya ada batasan dan aturan atas pertandingan itu, misalnya dibatasi sampai 100 jurus saja” usul Pek Mau Sengjin

“Tidak perlu dibatasi, harus diselesaikan sampai ada pemenangnya” Tukas Pemimpin Barisan Merah.

“Baik jika itu mau kalian, maka akulah yang akan maju pertama” Siok En Lay yang berangasan sudah tanpa menunggu permisi Ciangbunjinnya langsung menawarkan diri. Hal yang disesali Pek Mau Sengjin, karena dengan demikian dia menjadi memiliki pilihan sempit untuk memenangkan pertandingan ini. Karena itu, dia tidak punya pilihan lain ketika kemudian Pemimpin Barisan Kuning sudah kembali berkelabat dan kini berhadap-hadapan dengan Siok En Lay dalam sebuah arena pertempuran sungguhan, dan bukan hanya sekedar adu tenaga belaka.

Siok En Lay yang sudah terbakar amarah, masih cukup sadar jika lawannya kali ini tidaklah ringan. Tetapi, sebagai salah satu tokoh kelas utama dalam Dunia Persilatan, dia merasa punya bekal cukup untuk menandingi Pemimpin Barisan Kuning dari Lam Hay ini. Karena itu, dengan pengalamannya ditekannya amarahnya dan berkonsentrasi untuk memenangkan pertarungan.

Setelah menarik nafas sebentar, tidak lama kemudian pertempuran antara kedua jago inipun segera pecah. Sesuatu yang menarik perhatian Pek Mau Sengjin adalah, dasar pergerakan dan ilmu Pemimpin Barisan Kuning ternyata terlalu mirip dengan dasar Ilmu Tionggoan dan bukannya dasar ilmu yang disaksikannya dimainkan tokoh-tokoh Lam Hay Bun puluhan tahun lalu di Siauw Lim Sie. “Heran” pikirnya, ada apa sebenarnya dengan Lam Hay Bun, dan mengapa pula tokoh mereka memainkan ilmu semacam ini.

Tetapi meskipun dasarnya adalah Ilmu daratan Tionggoan, tetapi jurus-jurusnya begitu aneh dan dahsyat. Sekilas Pek Mau Sengjin sadar bahwa nampaknya Siok En Lay menghadapi tugas yang tidak ringan dan kecenderungan untuk kalah malah agak besar. Dari benturan-benturan kekuatan nampak bahwa Siok En Lay keteteran dan kalah seusap, sementara dalam hal kegesitan, nampaknya mereka berimbang.

Siok En Lay yang memainkan Rangkaian Ilmu Pukulan dari Kun Lun Kun Hoat, nampak kurang trengginas menghadapi amukan Pemimpin Barisan Kuning yang memainkan jurus-jurus aneh yang belum dikenal. Tetapi kedahsyatannya membuat Siok En Lay seperti hanya menunggu waktu untuk kalah semata.

Menghadapi kenyataan tersebut, tiba-tiba Siok En Lay mengeluarkan jurus terampuh dari Kun Lun Kun Hoat bernama Lok-sia-ho-ku-ing-ci-fei’ (pelangi turun dan elang terbang ke udara). Serta merta pukulan dan terjangan Pemimpin Barisan Kuning tertahan dan bahkan dia menghadapi cakar dan patukan dari kedua tangan Siok En Lay yang menerjang dari atas dan mengarah ke bagian-bagian mematikan di kepala dan dadanya.

Gebrakan tersebut merubah keadaan, dari keadaan Siok En Lay tertekan menjadi menyerang, tetapi dengan melupakan pertahanannya, karena memang jurus Lok-sia-ho-ku-ing-ci-fei’ merupakan jurus serangan ampuh. Dengan susah payah Pemimpin Barisan Kuning menggulingkan dirinya di tanah baru bisa menghindari jurus maut yang berantai tersebut. Tetapi dengan berguling-guling di tanah untuk sementara kedudukannya menjadi tertekan dan di bawah angin.

Sementara itu, Siok En Lay telah memanfaatkan waktu seketika untuk mengganti jurus serangannya yang kali ini menggunakan jurus khas Kun Lun Sam Liong, yakni Toat Beng Sam Liong (Tiga Naga Pencabut Nyawa) yang mengangkat nama Kun Lun Sam Liong.

Ilmu ini sebenarnya akan membawa perbawa yang luar biasa jika dimainkan bertiga, bahkan Pek Mau Sengjin sendiri akan kesulitan mengatasinya. Tetapi, bisa juga dimainkan sendirian, tetapi kekuatannya berkurang dibandinmgkan dengan dimainkan secara bersama oleh 3 orang. Ketika yang diperoleh Siok En Lay cukup untuk memainkan jurus ampuh yang juga menjadi andalannya disamping Kun Lun Kun Hoat maupun Kun Lun Kiam Hoat. Dengan gerakan-gerakan lincah meniru gerakan Naga Menggoyang Ekor, Siok En Lay memainkan kaki tangannya dengan cepat dan kokoh.

Tetapi Duta Kuning yang sempat mengalami kerugian akibat jurus andalan Kun Lun Kun Hoat sudah mempersiapkan diri dengan jurus andalannya Pat Tou Su-sing (Empat bintang bertaburan di delapan penjuru) yang juga aslinya dimainkan bersama 3 Pemimpin Barisan lainnya. Bahkan jika ditambah dengan poros bintang putih atau bintang hitam dari Barisan Putih (Barisan Dalam) dan Barisan hitam (Barisan Luar), maka kekuatan barisannya menjadi berlipat ganda.

Tetapi dengan 4 Pemimpin Barisan memainkannya berbarengan, juga sudah sulit dicarikan tandingan. Dimainkan sendiri oleh Pemimpin Barisan Kuning, juga nampaknya masih memadai untuk mengatasi Siok En Lay yang nampak kembali mulai jatuh di bawah angin. Meskipun tidak bisa dibilang terdesak, tetapi serangan 8 penjuru dengan kecepatan kilat, membuat jurus Naga Menggerakkan Ekor dan Naga Mengamuk dari rangkaian jurus Toat Beng Sam Liong hanya kokoh mempertahankan diri.

Tetapi yang pasti, sulit bagi Siok En Lay untuk keluar menyerang saking cepat dan bervariasinya serangan dari 8 arah yang dilancarkan oleh Pemimpin Barisan Kuning. Untungnya jurus Toat Beng Sam Liong mampu mengimbangi pada 3 arah berbeda meski dengan kekuatan yang berbeda-beda.

Keadaan Siok En Lay bagi Pek Mau Sengjin tidak akan bertahan seri untuk waktu yang lama, karena kekuatan tenaga dalam yang berbeda akan menentukannya. Selebihnya, untuk keluar menyerang juga sudah sulit bagi Siok En Lay, sementara Pemimpin Barisan Kuning sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang dengan jurus pamungkas dari Pat Tou Su-sing.

Tangannya bergerak lincah dan bagaikan datang dari 8 arah, sementara Siok En Lay sulit menentukan apakah 5 yang tidak bisa dihadapi merupakan serangan asli ataukah tipuan. Akibatnya beberapa kali bagian tubuhnya mulai tersentuh oleh tangan lawannya. Sepantasnya pada saat itu Siok En Lay mengundurkan diri, tetapi keberangasannya membuatnya terus bertahan dan pada akhirnya sebuah tepukan berat di pinggangnya melontarkannya jauh dengan luka yang cukup parah.

Syukur kegagahan belum dilupakannya, “Aku kalah, kamu menang“ gumamnya lesu. “Maafkan aku Ciangbunjin Suheng“ sapanya kelu menatap Pek Mau Sengjin untuk kemudian duduk bersila berusaha mengobati luka dalam setelah menelan sebutir pil yang diberikan Ciangbunjin, lukanya nampak cukup parah dipinggangnya, bahkan dari mulutnya nampak darah mengucur.

Meskipun menang, Pemimpin Barisan Kuning nampak kurang senang. Hal ini disebabkan dia mendapat teguran melalui Coan Im Jip Bit (Ilmu Menyampaikan suara) yang menyalahkannya karena tidak membunuh dan melumpuhkan Siok En Lay. Pemimpin Barisan Kuning berjalan tertunduk lesu dan nampak menyesal karena tenaga yang mampu dikeluarkannya pada saat terakhir tidak mampu atau tepatnya belum cukup untuk merenggut nyawa Siok En Lay, hanya menyebabkan luka parah.

Pek Mau Sengjin kemudian menatap Ma Bok Sun, sutenya (Murid dari Adik Seperguruan Gurunya) sambil berbisik, “Sute, sebaiknya saat ini kamu yang turun ke gelanggang. Sebaiknya bersiap menggunakan baik Golok Putihmu maupun Ilmu Pukulan Naga Putih dari Susiok, kita menghadapi saat yang cukup gawat untuk mempertahankan Kun Lun San“.

“Baik Ciangbunjin Suheng“ Ma Bok Sun kemudian melangkah maju sambil menjura

“Siapa yang akan menjadi lawanku kemudian“? tanyanya aleman. Pemimpin Barisan Hijau meminta ijin kepada Pemimpin Barisan Merah untuk maju dan diiakan

“Baik, mari kita bermain-main. Tapi apakah bersenjata atau tidak“? tanyanya karena melihat Ma Bok Sun membekal Golok meski belum dihunus.

“Kita bisa melakukan kedua-duanya“ Sahut Ma Bok Sun singkat. “Baik, silahkan“ sahut Pemimpin Barisan Hijau.

Pek Mau Sengjin memperhitungkan bahwa untuk menghadapi 5 jago dari Barisan Warna Warni ini dia akan mengajukan 2 orang dari Kun Lun Sam Liong, kemudian Ma Bok Sun, dirinya sendiri dan Barisan 3 Naga Kun Lun. Dia memprediksi bahwa 5 jago yang dimaksudkan Duta Merah tadi adalah ke-4 pemimpin barisan dan kemudian barisan mereka. Karena itu, dia memilih Ma Bok Sun untuk memberi ketika Siok En Lay memulihkan kekuatannya dan menyusun barisan 3 Naga.

Sementara itu, gebrakan antara Ma Bok Sun dengan Pemimpin Barisan Hijau sudah semakin seru, dan sebagaimana dugaan Pek Mau Sengjin, nampaknya keduanya seimbang. Ma Bok Sun yang masih memainkan Kun Lun Kun Hoat dengan kokoh mengimbangi ilmu yang dikembangkan Pemimpin Barisan Hijau, dan tidak nampak mendesak maupun terdesak. Nampaknya dalam hal Iweekang dan juga Ginkang keduanya agak setara, hal yang makin mengejutkan Pek Mau Sengjin dengan banyaknya jago sakti di pihak musuh.

Serang menyerang makin seru dan ketika kemudian Ma Bok Sun mengeluarkan jurus Pek Liong Kun Hoat diapun sanggup menandingi Pat Tou Su-sing (Empat bintang bertaburan di delapan penjuru). Pek Liong Kun Hoat memang berbeda dengan Toat Beng Sam Liong Sin Ciang yang mesti dimainkan bertiga. Pek Liong Kun Hoat memang digubah khusus oleh Susiok Pek Mau Sengjin dan diturunkan kepada Ma Bok Sun.

Karena itu, menghadapi Pat Tou Su-sing jurus tersebut sanggup untuk menahan dan bahkan membalas serangan dengan tidak kalah garangnya. Serang menyerang dan saling bertahan dari pukulan lawan terjadi silih berganti dengan tiada tanda-tanda salah seorang dari mereka akan terdesak. Bahkan ketika pertandingan dilanjutkan dengan menggunakan senjata masing-masing, yakni Ma Bok Sun menggunakan Golok dan memainkan Pek Kong To Hoat sementara Pemimpin Barisan hijau menggunakan senjata model Bintang Laut bergerigi, juga tidak sanggup mengubah keadaan.

Ma Bok Sun memang menang kokoh, tetapi keuletan dan kengototan Duta Kuning menutupi kelemahannya hingga menghasilkan tidak lebih dari seri. Setelah menghabiskan lebih 200 jurus, akhirnya pertandingan dinyatakan draw karena masing-masing tidak sanggup mendesak lawannya.

Pertandingan ketiga mempertemukan Cu Kun Tek dengan Pemimpin Barisan Biru, dan seperti juga Siok En Lay, Cu Kun Tek mengalami kerugian, malah lebih parah. Kepandaian Cu Kun Tek memang seimbang dengan Siok En Lay, seperti juga Pemimpin Barisan Biru dengan Pemimpin Barisan Kuning. Hanya karena Pemimpin Barisan Biru yang sudah memperoleh pesan harus melumpuhkan atau membunuh jika bisa, membuat luka yang diderita Cu Kun Tek sedikit lebih parah dari saudaranya Siok En Lay.

Dan karena pada pertandingan keempat posisi Kun Lun Pay tertinggal 0-2, maka Pek Mau Sengjin terpaksa harus turun tangan langsung guna memenangkan 2 pertandingan tersisa demi menjaga kehormatan Kun Lun Pay. Pek Mau Sengjin dihadapi oleh Pemimpin Barisan Merah yang nampaknya menjadi pimpinan dari 4 barisan warna warni tersebut. “Marilah sicu, kita bermain-main sebentar“ Pek Mau Sengjin menantang. “Baik, sambutlah“ jawab Pemimpin Barisan Merah sambil langsung menyerang.

Pertandingan kali ini melibatkan gengsi tertinggi Kun Lun Pay, karena Ketuanya langsung yang turun tangan menempur musuh. Murid-murid Kun Lun Pay yang sebelumnya terbenam dalam kesedihan akibat kekalahan 2 pemimpinnya berusaha memberi semangat Ciangbunjinnya untuk memenangkan pertarungan.

Dan memang, kematangan Pek Mau Sengjin segera terlihat. Meskipun nampaknya Pemimpin Barisan Merah seusap diatas 3 duta lainnya, tapi dia sadar kalah matang dengan Pek Mau Sengjin yang bertarung sabar, kokoh dan luar biasa kuatnya. Kun Lun kun Hoat dimainkannya dengan sempurna, baik ketika menyerang maupun ketika bertahan. Nyaris tidak ada cela bagi Pemimpin Barisan Merah menerobos ketua Kun Lun Pay ini, sementara kekuatan Iweekangnya seperti terus menerus mengalir dan membuat Pemimpin Barisan Merah tidak tahan.
 
3 Duta agung VS barisan warna warni




”Sekarang saatnya kita menentukan, apakah aku sanggup menaklukkan kalian atau tidak“ Kiang Hong mulai bersiap untuk menyerang.

”Mari, kami sudah lama menanti“ tantang Duta Hitam.

Kiang Hong segera membuka serangan dengan jurus-jurus pembukaan dari Giok Ceng Cap Sha Sin Kun Hoat, tetapi kemanapun dia bergerak, seiring dengan langkah kaki Duta Hitam, pergerakan yang menimbulkan tembok atau dinding menyilaukan dari barisan itu menyulitkannya. Sebaliknya, barisan yang pekat dan bergerak bertolak belakang atau berlawanan arah, dimana merah dan hijau bergerak searah jarum jam tetapi kuning dan biru dengan arah sebaliknya mendatangkan rasa silau dan terganggu di matanya.

Tetapi, Kiang Hong bukan pendekar sembarang pendekar, dengan mengerahkan tenaga Giok Ceng dia menindas seluruh rasa pusing yang ditimbulkan barisan itu, dan kemudian kembali mencoba-coba menyerang dinding-dinding itu. Tetapi, lontaran piauw yang banyak kembali melemparkannya pada posisi semula, yakni kembali ketengah barisan itu.

Bahkan kemudian, serangan demi serangan yang saling membantu dan kerjasama semakin menyulitkan Kiang Hong. Diapun menguras ilmu saktinya Cap Sha Sin Kun Hoat, tetapi Ilmu Ajaib itu hanya ampuh melawan beberapa orang, tetapi sulit untuk melawan barisan ajaib ini. Karena itu, Kiang hong mencoba jurus andalan Pualam hijau lainnya, yakni Soan Hong Sin Ciang.

Badai dilawan badai, badai hasil dari putaran barisan itu, dilawan dengan badai lainnya yang diciptakan oleh lontaran tenaga dan kekuatan batin yang melambarinya. Dengan Ilmu ini, keadaan Kiang Hong menjadi membaik. Dia mulai mampu memberi serangan balasan meski belum berarti terlalu banyak, tetapi desakan rasa silau dan rasa tertekan mulai membuyar setelah dia mainkan ilmu ini.

Soan Hong Sin Ciang selain mengandalkan lontaran tenaga sakti dengan dilambari kekuatan batin, juga dilakukan dengan kecepatan tinggi seperti angin badai bertiup. Karena itu, barisan ini merasa terganggu juga dengan badai yang diciptakan dari tubuh Kiang Hong. Bahkan untuk menambah daya serang dan badai ciptaan ini, Kiang hong kemudian mencabut pedangnya dan menggerakkannya menurut ilmu Toa Hong Kiam Hoat, pasangan dari Soan Hong Sin Ciang Hoat.

Hebat akibatnya, pusaran itu menjadi tersendat-sendat, meski belum dalam masalah serius. Tetapi, nampaknya dengan beberapa langkah, pijakan dan teriakan duta hitam, barisan tersebut normal kembali, dan pertarungan kembali berlangsung dalam keadaan seimbang.

Pada saat Kiang Hong memeras otaknya untuk mencari celah menghancurkan barisan ini, dia mendengar suara istrinya memberi pesan melalui Ilmu Mengirim Suara ”Serang langsung duta hitam dengan serangan kejut. Khong In Loh Thian cocok untuk menghajarnya“ setelah dia lumpuh, barisan ini dengan sendirinya akan kehilangan 30-40% kekuatannya“ demikian pesan Bi Hiong.

Sebagaimana diketahui, sang istri sangatlah cerdas dan Kiang Hong percaya betul dengan pandangan istrinya. Lagipula dia mulai memikirkannya, tetapi istrinya yang melihat dari luar pasti lebih memahaminya. ”Maju 2 langkah, bergeser kekiri 2 langkah dan kemudian patahkan arus putaran berbalik arah merah dan biru, saat itu celah menyerang Hitam terbuka“ tambah istrinya.

Dan dengan serta merta, Kiang Hong menyimpan Pedang Pualam Hijaunya, kemudian memainkan langkah “Dewa Menunjukkan Jalan“ mengikuti petunjuk istrinya dan menyiapkan serangan Khong in loh Thian di tangan kanannya. Dan begitu kesempatan terbuka dia menghantamkan tangannya ke arah duta hitam yang tidak menyangka ada lubang yang mungkin diciptakan di barisan gaibnya.

Dia masih tidak menyadari, karena memang pukulan ini tidak bersuara dan berdesir, angin dan awan kosong, dan ketika menyadari, saat ingin melompat sudah sangat terbatas. Dengan teriakan ngeri tubuhnya melayang keudara, tetapi bersamaan dengan itu 4 buah bom peledak terlontar dari 4 pemimpin barisan warna warni. Keadaan menjadi kacau, Kiang Hong juga melompat mundur takut asap dari peledak tersebut beracun.

Dan ketika keadaan mulai samar dan kelihatan benda-benda dibalik asap, tiada satupun anggota barisan itu yang masih kelihatan, menghilang melalui gerbang depan ketika keadaan kacau. Dan ketikapun diperiksa anggota barisan warna-warni yang tertinggal, tenryata sudah dalam keadaan meninggal dengan menenggak racun.

======================

Dunia persilatan kembali gempar. Kun Lun Pay yang memiliki sejarah panjang dihajar orang, hampir 60 anak murid tewas, bahkan Kun Lun Sam Liong yang terkenal tersisa 1 orang. Untungnya Duta Agung Kiang Hong sempat muncul membantu Kun Lun San. Setelah kejadian, Pek Mau Sengjin menutup diri dan menyerahkan urusan Kun Lun kepada sutenya Ma Bok Sun.

Bersama susioknya, Pek Mau Sengjin menyepi dan mempersiapkan murid terpilih Kun Lun untuk memperdalam Barisan 3 Naga guna menghadapi ancaman dari luar.

Kabar baik dari Kun Lun Pay adalah kemampuan Kiang Hong mengusir para perusuh dan tampil kembalinya Kiang Hong setelah Lembah Pualam Hijau dirusuhi orang saat dia tidak ditempat. Dunia Persilatan mengalami 2 perasaan sekaligus, yakni semakin ngeri dengan ancaman badai dunia persilatan dan sedikit harapan bahwa Lembah Pualam Hijau masih eksist.

Kiang Hong tidak berlama-lama di kun Lun Pay. Karena ingin mengejar para Barisan Warna Warni guna diperas keterangannya. Kiang Hong hanya ala kadarnya berada di Kun Lun Pay. Tetapi sebuah pesan penting sangat diperhatikannya disampaikan oleh Pek Mau Sengjin;

”Kiang Bengcu, sepenglihatanku ilmu silat para pemimpin barisan warna-warni memliliki dasar sangat kuat dan itu adalah dasar ilmu silat Tionggoan. Mereka bukan bersilat layaknya para Pemimpin Barisan warna warni dari Lam Hay yang pernah lohu lihat 30-40 tahun ketika kakekmu bertarung di Siauw Lim Sie. Dasar mereka jelas adalah Ilmu Tionggoan, begitu juga ilmu barisan mereka terasa sangat asing dan tidak menggambarkan sikap dan gaya Lam Hay Bun“ Demikian Pek Mau.

”Ciangbunjin, Ayah juga sudah curiga dengan kelompok perusuh ini. Mengapa mengambil nama dan samaran Lam Hay. Betapapun, nampaknya saya harus ke Lam Hay untuk bertanya langsung kepada Lam Hay Bun. Tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya sekelompok rahasia orang yang ingin mengacau keadaan“ jawab Kiang Hong.

”Apakah menurut Ciangbunjin ada ciri lain yang mencurigakan“ bertanya Bi Hiong.

”Selain Ilmu Silat, gaya dan sikap, tidak terlihat hal-hal aneh lainnya. Piauw bintang laut kecil adalah memang senjata Lam Hay Bun. Tetapi dasar ilmu silat 4 duta itu, termasuk duta hitam, jelas-jelas bukan Lam Hay Bun. Keinginan mereka untuk membasmi Kun Lun Pay, juga tidak sejalan dengan prinsip Lam Hay Bun selama ini“ jelas Pek Mau Sengjin.

”Hampir pasti bahwa ada orang yang main gila dengan menjelekkan nama Lam Hay. Hal ini, hampir pasti mengundang Lam Hay memasuki Tionggoan. Nampaknya perjalanan ke Lam Hay sangat penting, tetapi mengatasi perusuh di Tionggoan juga sangat penting“. Bi Hion nampak merenung dan kembali bertanya:

“Ciangbunjin, ditilik dari dasar Ilmu mereka, kira-kira lebih dekat kemana Ilmu Silat mereka? Bi Hion bertanya lagi.

”Terasa ada dasar Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay bahkan Kay Pang, tetapi maaf, Kiang Bengcu, nampaknya dari semua gaya dan dasar itu, justru lebih dekat dengan Lembah Pualam Hijau. Terus terang ini sangat membingungkanku“ Tegas Pek Mau dengan sangsi dan hati-hati.

”Ach, sejauh itu“? Serentak Bi Hiong dan Kiang Hong tersentak kaget.

”Apakah mungkin demikian“? Kiang Hong bertanya sangsi

”Gaya Silat boleh ditiru dan dipalsukan, tetapi Dasar Ilmu sungguh sulit dipalsukan. Apakah ada kemungkinan keterkaitan dengan lembah kita“? Bi Hiong bertanya sangsi.

”Nampaknya tugas berat menanti Kiang Bengcu dan Lembah Pualam Hijau. Kamipun akan segera mempersiapkan diri dan membangun kekuatan. Pada saatnya, bila Bengcu membutuhkan, Kun Lun akan siap membantu“ tegas Pek Mau.

”Terima kasih Ciangbunjin, kamipun mohon pamit, semoga masih mungkin mengejar jejak para perusuh itu“ Kiang Hong pamit bersama istrinya dan Duta Hukum.

------------------------------

Bila di Kun Lun Pay, Kiang Hong masih mampu memberi bantuan fital, maka di Go Bi San, Perguruan Go Bi Pay menjadi porak poranda. Berdasarkan pengalaman di Kun Lun Pay, maka kekuatan perusuh malah bertambah dengan tampilnya Duta Putih dan salah satu Hu-Hoat atau Pelindung Hukum dari Perguruan misterius tersebut.

Banyak anak murid Go Bi Pay yang melarikan diri dari gunung, dan banyak juga yang tewas terbunuh dalam pertempuran di Go Bi San. Go Bi Pay yang memang pamornya sedang merosot mengalami bencana hebat. Selain salah seorang murid Ketua Go Bi Pay yang selamat dengan membekal rahasia perguruan, yang lain-lain nyaris semua terbunuh, melarikan diri dari Gunung ataupun tertawan dan menakluk.

Selang waktu antara kejadian di Kun Lun Pay dan Go Bi Pay hampir berjarak 3 bulan. Selain itu, tidak lama setelah kejadian di Go Bi Pay, sejumlah pendekar kenamaan kembali ditemukan terbunuh dan beberapa menghilang secara misterius. Kejadian beruntun yang semakin mencekam ini terjadi semakin sering hanya berjarak hampir 2 tahun sejak Kiang Hong meninggalkan Lembah Pualam Hijau menuju ke Timur menjumpai bibinya Liong I Sinni.

Kiang Hong, sebagaimana pesan ayahnya, menyerahkan Kiang Sun Sio putrinya, adik Ceng Liong untuk dididik oleh Liong I Sinni. Selain itu, selama beberapa minggu tinggal bersama bibi mereka, Bi Hiong memperoleh kemajuan yang sangat pesat, terutama dalam penggunaan-penggunaan Ilmu Keluarga Kiang dari salah seorang ahli perempuannya, Kiang In Hong yang kini telah menjadi Pendeta Wanita Sakti dari Timur.

Seperti yang diceritakan di bahagian depan, Kiang in Hong setelah pertempuran di Siauw Lim Sie memilih melenyapkan diri dengan alasan tertentu (akan diceritakan kelak). Belakangan, muncul seorang Pendeta Wanita yang sakti luar biasa di Timur dan hanya Cun Le kakaknya yang mengerti bahwa In Hong adiknya yang menjelma menjadi Pendet wanita tersebut.

Dalam hal ilmu silat, Pendeta wanita ini tidaklah berada di bawah kepandaian Cun Le, malah karena hawa ”im“ memang lebih cocok dengan wanita, In Hong malah mampu melampaui kakaknya dalam hal ginkang. Hanya kekuatan batinnya saja yang tidak sekuat Cun Le. Sebagaimana Cun Le menciptakan ilmu sakti Khon in loh Thian dan ilmu langkah ajaib ”Dewa Menunjukkan Jalan“, maka In Hong atau Lion I Sinni juga menggubah beberapa Ilmu Silat hebat setelah menyepi.

Pertama-tama, dan bahkan sejak sebelum pertempuran di Siauw Lim Sie, dia sudah berhasil mengembangkan ginkang Te-hun-thian (mendaki tangga langit) yang membuat frustasi jago dari Bengkauw yang tidak mampu menyentuhnya sekalipun. Ginkang ini membuatnya bergerak secepat kilat dan berlari bagaikan tidak lagi menyentuh bumi, ginkang yang dipandang kagum oleh Ketua Siauw Lim Sie waktu itu.

Bahkan kemudian In Hong digelari sebagai ”ahli ginkang nomor wahid“ di dunia Kang ouw“. Kemudian yang kedua dalam waktu-waktu menyepi, dia menciptakan ilmu Hue-hong-bu-liu-kiam (tarian pedang searah angin), melanjutkan gaya dan sifat Pualam Hijau yang lemas. Ilmu ini memadukan Ilmu Pedang Giok Ceng Kiam Hoat dengan Te Hun Thian ciptaannya sebelumnya, sehingga ketika memainkannya Liong I Sinni bagaikan sedang terbang sambil menari mengitari musuhnya.

Dan terakhir, Sinni juga menciptakan Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar menangkap bayangan sebuah ilmu yang sarat kekuatan batin dengan memanfaatkan kecepatan dan kekuatan im untuk menelanjangi ilmu hitam lawan.

Kepada Bi Hiong dan bahkan juga Kiang Hong, Sinni kemudian mewariskan Te Hun Thian, ginkang istimewa ciptaannya dan mewariskan Hun kong ciok eng kepada Bi Hiong. Hal ini disebabkan In Hong melihat bahwa Kiang Hong sudah mewarisi Khong in loh Thian yang fungsinya sama dengan Hun Kong Ciok Eng.

Dengan demikian, waktu hampir 2 minggu dimanfaatkan oleh Kiang Hong dan Bi Hiong untuk memperdalam ilmu mereka, terutama Bi Hiong yang selain mewarisi kedua ilmu dahsyat ciptaan In Hong, juga memperdalam pemahaman dan penggunaan hawa “im” dalam Giok Ceng Sin Kang yang sebenarnya lebih bersifat dekat dengan wanita. Setelah waktu 2 minggu berlalu, suami istri yang kemudian mendengar insiden di Lembah Pualam Hijau akhirnya menitipkan anak mereka kepada Neneknya, Liong-i-Sinni untuk mengusut kejadian-kejadian di dunia persilatan.
 
BAB 4 HURU HARA DI KAYPANG
1 rapat di kaypang



Kim Ciam Sin Kay (Pengemis Sakti Jarum Emas) Kim Put Hoan merupakan Pangcu Kay Pang 2 generasi setelah Kiu Ci Sin Kai Kiong Siang Han, bekas Ketua Kay Pang seangkatan Kiang Sin Liong yang sangat termasyhur itu. Setelah murid utama kesayangan yang disiapkannya meninggal, yaitu Yo Hong, dalam sebuah pertempuran di kaki Gunung Beng San, Kiu Ci Sin Kay akhirnya menyerahkan kedudukan Pangcu Kaypang kepada permusyawaratan kaum Pengemis.

Kim Ciam Sin Kay sendiri menjadi Pangcu Kaypang seangkatan dengan Kiang Cun Le, hanya saja apabila Kiang Cun Le sudah meletakkan jabatannya kurang dari 10 tahun yang lewat, Kim Ciam Sin Kay masih tetap memimpin Kay Pang hingga saat ini. Usianya sendiri sudah mendekati 56-an tahun dan tidak memiliki istri maupun anak.

Kim Ciam Sin Kay sebetulnya pernah menikah di usia 25 tahun, tetapi sayang istrinya meninggal bersama anak pertamanya pada waktu melahirkan kurang lebih 30 tahun silam. Akibatnya Kim Ciam Sin Kay Kim Put Hoan memilih untuk menduda, tidak ingin untuk menikah kembali dan belakangan memutuskan untuk mengabdi sepenuhnya kepada Kay Pang hingga saat ini.

Sampai pada generasi Kim Ciam Sin Kay, Kay Pang tetap merupakan perkumpulan terbesar di Tionggoan. Anggotanya puluhan bahkan ratusan ribu orang dan tersebar merata di seluruh daratan Tionggoan, dan di masing-masing kota terdapat cabang Kay Pang yang diketuai oleh seorang Tancu atau Kepala Cabang.

Jumlahnya yang demikian besar ini, bahkan jauh melebihi jumlah anggota perguruan besar lainnya semisal Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay yang paling banyak berjumlah 300 an orang. Tetapi, memang harus diakui, kementerengan Kay Pang mulai mengalami kemerosotan yang sangat terasa setelah ditinggal ketuanya yang gemilang Kiong Siang Han.

Kiong Siang Han dipuji bukan hanya karena dia yang mampu menguasai dengan sempurna semua ilmu pusaka Kay Pang. Bahkan dalam soal Ilmu Silat, diapun menciptakan sebuah ilmu dahsyat bernama Pek Lek Sin Jiu (Pukulan Halilintar). Kiong Siang Han, juga dipuji karena dia bertindak sangat tegas dan disiplin kepada semua kalangan Kay Pang, serta terkenal sangat mengasihi organisasi tersebut.

Itulah sebabnya dia sangat dipuja dan sangat dihormati, bahkan dikasihi oleh anak murid Kay Pang dimanapun, bahkan namanya masih sangat kental melekat diantara tokoh-tokoh utama Kay Pang puluhan tahun setelah masanya menjabat berlalu.

Ada 2 orang Pangcu Kaypang setelah Kiong Siang Han yang memimpin Kay Pang sebelum generasi Kim Ciam Sin Kay Pangcu, tetapi kemunduran Kay Pang sudah demikian terasa bukan hanya pada masa Kim Ciam Sin Kay, tetapi bahkan sudah disadari sejak pada 2 Pangcu Kay Pang sebelumnya. Hal ini terutama karena standar atau ukurannya adalah kehebatan dan kebijaksanaan Kiu Ci Sin Kay.

Sebagai Pangcu Kay Pang, Kim Ciam Sin Kay tentunya menguasai dengan baik Hang Liong Sip Pat Ciang maupun Tah Kauw Pang, yang menjadi Ilmu Pusaka Kay Pang sejak dahulu kala. Tetapi sebagaimana 2 Pangcu sebelumnya yang memimpin dalam waktu yang tidak terlampau lama, Kim Ciam Sin Kay juga tidak menguasai sedikitpun Pek Lek Sin Jiu yang memang diciptakan sendiri oleh Kiong Siang Han dan hanya diturunkan kepada murid-muridnya.

Tetapi kepandaian Kim Ciam Sin Kay sendiri sudah demikian hebat, apalagi karena Kim Ciam Sin Kay sendiri memang sudah memiliki kepandaian sendiri yang khas, terutama dalam menggunakan Jarum Emas, baik untuk pengobatan maupun dalam pertempuran. Itu sebabnya Pangcu ini bisa memainkan Tongkat sebagai senjatanya, bahkan juga tidak kalah berbahayanya bila dia menggunakan jarum emas, baik sebagai senjata maupun sebagai alat rahasia dalam menyerang lawannya.

Justru nama dan kemasyuran Kim Ciam Sin Kay diperoleh dari kehebatannya dalam memainkan jarum emas, yakni kim ciam, baik dalam ilmu silat maupun dalam pengobatan.

Sebagai Hu Pangcu Kay Pang bagian luar adalah Pengemis Tawa Gila, seorang Pengemis sakti yang terbiasa dan senang hidup mengembara. Dan karena kegemarannya itu, dia cocok mengemban tugas dalam mewakili Kay Pang untuk urusan-urusan luar yang berkenaan dengan hubungan antar Pang atau perkumpulan lain.

Pengemis ini memiliki hidup yang serba misterius, dan nyaris tak seorangpun tahu masa lalu, riwayat hidupnya serta nama aslinya. Entah bagaimana caranya, begitu memasuki dunia persilatan, dia dikenal hanya dengan namanya itu, yakni Pengemis Tawa Gila, dan kemudian direkrut oleh Pangcu sebelumnya, yakni Yok Sian Lo Kay, sebagai anak murid Kay Pang.

Karena itu, akhirnya orangpun lebih mengenal dan memanggil serta menyebutnya sebagai Pengemis Tawa Gila, karena tertawanya memang rada rada mirip dengan orang gila yang sedang tertawa. Sementara Hu Pangcu urusan dalam adalah seorang Pengemis Sakti yang sabar dan telaten bernama Put-pay-sin-kiam (Pedang sakti tak terkalahkan) Kho Tiang-ceng.

Sesuai namanya, pengemis sakti ini memang memiliki ilmu pedang yang luar biasa, tetapi setelah angkat nama besar di dunia persilatan, pengemis ini kemudian lebih banyak menghindari urusan Kang Ouw kecuali untuk urusan Kay Pang. Pengemis Sakti ini bergabung dengan Kay Pang bahkan sebelum Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila bergabung, dan saat ini termasuk tokoh senior dan dihormati di kalangan Kay Pang.

Selain itu, struktur kepengurusan Kay Pang juga memiliki 4 Hiongcu atau Penasehat resmi. Biasanya, Pangcu sebelumnya secara otomatis menjabat sebagai Hiongcu atau sejenis Penasehat bagi Kay Pang. Ketika Kiong Siang Han melepaskan jabatan Pangcu Kay Pang, begitu banyak anggota Kay Pang yang menyedihkan mundurnya Pangcu mereka, karena usianya masih belum tua benar.

Tetapi karena berbagai alasan Kiong Siang Han meminta diganti dan disertai janji akan tetap terus membantu Kay Pang. Karena jasanya, kepada dan di tangan Siang Han dihadiahkan sebuah Kim Pay atau tanda kekuasaan emas yang berarti sang pemegang memiliki kekuasaan yang sangat besar di kalangan Kay Pang. Kim Pay yang dianugerahkan kepada Kiong Siang Han bahkan kemudian diberi nama Kiu Ci Kim Pay yang menunjuk sosok dan kebesaran Siang Han.

Siapapun yang bertemu dengan Kim Pay ini wajib tunduk dan hormat, bahkan termasuk Pangcu harus menghormati tanda kebesaran pemegangnya tersebut. Tetapi, pemegang dan tanda kebesaran itu sendiri, tidak pernah muncul lagi di Kay Pang puluhan tahun terakhir ini secara berterang, hanya tokoh-tokoh tertentu yang mengetahui kapan dan untuk apa sang bekas Pangcu itu datang berkunjung.

Selain Kiong Siang Han, Kay Pang juga memiliki 2 bekas Pangcu sebelum Kim Ciam Sin Kay yang menjabat sebagai Hiongcu. Salah satunya adalah guru Kim Ciam Sin Kay sendiri, atau Pangcu Kaypang sebelum Kim Ciam bernama Cia Peng dan berjuluk Yok Ong Sin Kay (Pengemis Sakti Raja Obat) atau Yok Ong Lo Kay. Cia Peng memang memiliki kepandaian baik dalam ilmu silat maupun terutama ilmu pengobatan yang tergolong “sangat mahir”, bahkan kemahirannya mengobati membuatnya diakui layak menyandang sebagai “Raja Tabib atau Raja Obat”.

Sebagai Kay Pang Hiongcu, sekaligus guru Kay Pangcu, Cia Peng sendiri tidak banyak mencampuri urusan dalam Kay Pang lagi. Diapun sudah menyepi di usianya yang sudah lebih dari 70-an, hanya berselisih beberapa tahun lebih muda daripada Pangcu yang digantikannya yakni Kian Gi Yong Wi. Pengemis Kian Gi Yong Wi ini malah sejak digantikan, hanya aktif membantu Kay Pang dalam masa Yok Ong Sin Kay dan setelahnya dia sudah sama sekali lenyap seperti Kiong Siang Han dan tidak pernah munculkan dirinya lagi.

Baik Yok Ong Sin Kay maupun Kian Gi Yong Wi juga memegang tanda kebesaran, sebuah tanda pengenal biasa dari Kay Pang yang dianugrahkan kepada bekas Pangcu sesuai tradisi Kay Pang.

Sementara Hiongcu terakhir adalah salah seorang murid Kiong Siang Han yang bernama Ciu Sian Sin Kai (Pengemis Sakti Dewa Arak). Diantara tokoh Kay Pang yang masih aktif, selain Kay Pangcu, maka Sin Kai inilah yang menguasai Hang Liong Sip Pat Ciang dan Tah Kauw Pang serta bahkan menguasai Pek Lek Sin Jiu sampai pada tingkat 5.

Karena kegemarannya akan arak dan memang tingkahnya agak kukoay (aneh), Ciu Sian Sin Kay menciptakan ilmu Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Mabuk) yang digubahnya sendiri dan bahkan kemudian sempat disempurnakan oleh gurunya. Sayangnya, Pengemis ini memang agak kukoay (aneh) tingkah lakunya, dan sama sekali tidak berambisi menjadi Pangcu, meskipun Gurunya sempat memintanya untuk menjabat atau menjadi Pangcu Kay Pang.

Kesaktiannya bahkan masih melampaui kepandaian Pangcu Kay Pang Kim Ciam Sin Kay, dan dia dihormati oleh tokoh-tokoh terkemuka dunia persilatan dewasa ini. Karena meski ugal-ugalan, tetapi sifat kependekaran dan ksatrianya, benar-benar sangat menonjol. Tetapi, kegemarannya mengembara dan sifatnya yang aneh dan ugal2an membuatnya sulit berada disatu tempat dalam waktu yang lama.

Meskipun demikian, tokoh aneh ini, hamper selalu akan bisa ditemukan di markas Kay Pang jika Kay Pang sedang menghadapi urusan yang besar, atau jika Kay Pang sedang dalam sebuah kesulitan besar, ataupun bila ada sebuah acara besar yang dilakukan oleh Kay Pang. Karena itu jugalah, maka tokoh-tokoh utama Kay Pang sama sangat menghormati tokoh ini.

Disamping Pangcu dan Hu Pangcu, Kay Pang juga memiliki 2 orang Pelindung Hukum (Hu Hoat), yakni Pengemis Tua yang berpengalaman dan memiliki kebijkasanaan karena mengerti benar seluk beluk Kay Pang dan yang tentu memiliki kepandaian sangat hebat. Bahkan salah seorang Hu-Hoat bernama Pek San Fu dan memperoleh julukan Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) karena memang berasal dan lahir di sekitar telaga Han ciang, memiliki kesaktian hebat yang tidak berada di bawah Pangcu dan Hu Pangcu Pengemis Tawa Gila.

Ketiganya dewasa ini dikenal sebagai tokoh Kay Pang yang memiliki kesaktian yang paling hebat, masih sedikit berada di atas tokoh Kay Pang lainnya seperti Hu Pangcu bagian dalam maupun salah seorang Hu-Hoat lainnya yang bernama Ceng Fang-guan, si Pengemis Sakti dari Pintu Selatan (Lan Bun Sin Kay). Meskipun ketiganya masih belum sanggup menandingi tokoh lainnya Ciu Sian Sin Kay yang memang menjadi murid kesayangan Kiong Siang Han.

Tetapi, dengan adanya ketiga pendekar atau pengemis sakti ini, maka urusan-urusan Kay Pang masih sanggup diselesaikan dan dituntaskan. Apalagi ketiganya, terutama Pengemis Tawa Gila, dikenal memiliki relasi dan hubungan yang sangat luas dengan tokoh-tokoh utama dunia persilatan.

Di bawah tokoh-tokoh ini kemudian adalah para tancu atau kepala cabang. Kepala Cabang biasanya berkedudukan di sebuah kota, dan besar kecilnya sebuah kota menentukan besar kecilnya pengaruh seorang tancu. Sebetulnya, di tangan para tancu inilah operasional Kay Pang ini ditentukan.

Karena di markas besar Kay Pang di bukit Heng san, setidaknya hanya berisi Pangcu, Hu Pangcu bagian dalam, 2 Hu-Hoat dan 12 orang Pengemis yang biasa menjadi utusan untuk mengerjakan suatu hal penting bagi Kay Pang. Selebihnya adalah Pengemis anggota biasa yang memang bertugas mengurus keperluan rumah tangga bagi markas besar Kay Pang.

Tetapi, dalam saat-saat yang genting, di markas besar tersebut bisa berada lebih dari 500an anak murid bila perlu, yang didatangkan dan dipanggil dari cabang-cabang terdekat. Sesepuh yang tinggal disekitar Heng San yang diketahui hanyalah ketua atau Pangcu Kay Pang sebelumnya, meskipun sudah banyak tahun juga tidak lagi munculkan dirinya. Di kalangan 12 petugas utusan Kay Pang rata-rata adalah tokoh muda murid-murid Pangcu, Hu Pangcu dan murid ke dua hu-hoat, ditambah dengan beberapa anggota lain yang berkepandaian cukup tinggi.

Hari itu, Kay Pang Pangcu Kim Ciam Sin Kay sedang memimpin pertemuan di markas besar Kay Pang dihadiri oleh semua tokoh Kay Pang, yakni Pangcu, Hu Pangcu, Hu Hoat dan 3 diantara 12 utusan luar Pangcu. Ketiganya adalah murid-murid Pangcu bernama Tan Can-peng berusia 35 tahunan, murid Hu Pangcu bagian dalam bernama Sie Han Cu berusia sekitar 40-an dan murid Pek San Fu Hu Hoat bernama Can Bu Ti yang baru berusia sekitar 27-an.

Materi pembahasan meliputi 2 hal besar sebagaimana dilaporkan oleh ketiga utusan tersebut, yakni terjadinya pergolakan atau pembangkangan banyak tancu di utara Yang Ce, yang kini menjadi daerah Kerajaan Cin. Dan kemudian fakta betapa beberapa tokoh Pengemis yang hilang atau terbunuh akhir-akhir ini, nampaknya terkait dengan munculnya perusuh dunia persilatan 2 tahun terakhir.

Kejadian-kejadian tersebut diungkapkan sebagaimana dilaporkan oleh Sie Han Cu sebagai berikut:

”Pangcu dan para Tetua, tecu bertiga sudah mencermati persoalan-persoalan di sebelah utara. Banyak tancu yang merasa tidak puas, selain itu muncul seorang tokoh pengemis asing yang sekarang ditakuti dan banyak diikuti pengemis lainnya dan bahkan menjadi panutan dari pengemis di sebelah utara. Bahkan santer berita bahwa mereka mau mendirikan organisasi Pengemis di luar Kay Pang kita. Informasi ini kami dengan langsung dari sumber-sumber di utara, karena kami selama 2 minggu berada dan bertugas disana” Demikian informasi Han Cu yang menjadi pemimpin 3 utusan yang baru bertugas ke Utara memberikan laporannya.
”Dan dalam perjalanan kami, baik di utara maupun selatan sungan Yang Ce, kami menemukan ada beberapa tokoh kita mengalami bencana. Ada beberapa di utara dan selatan yang hilang dan ada 3 orang tokoh utama kita yang tewas terbunuh di tempat berbeda. Nampaknya kasus-kasus tersebut terkait dengan memanasnya situas di dunia persilatan dewasa ini, karena ada banyak tokoh-tokoh pendekar kenamaan yang hilang dan terbunuh. Entah berasal dari Bu Tong Pay, Thian San Pay, Siauw Lim Pay, Kun Lun Pay atau bahkan Kay Pang kita. Bahkan semua nampaknya terkait dengan penyerbuan mereka yang dilakukan secara besar-besaran di Kun Lun Pay dan bahkan menghancurkan Go Bie Pay di gunung Go Bie beberapa bulan berselang. Bahkan bila tidak ditolong Kiang Bengcu, Kun Lun Pay juga agaknya akan dapat mereka libas dan hancurkan” tambah Can Bu Ti.

”Pengemis Tawa Gila, bagaimana laporan dan pengamatanmu dalam kaitan dengan Perguruan-perguruan sahabat kita” Pangcu berpaling dan bertanya kepada Pengemis Tawa Gila, karena memang untuk urusan luar dan memanasnya dunia persilatan, dipastikan tokoh ini banyak tahu dan banyak memperoleh informasi dari kawan-kawan dunia persilatan.

”Pangcu dan saudara sekalian, lohu telah menemui Siauw Lim Ciangbunjin, Bu Tong Ciangbunjin, sudah pula mengunjungi Lembah Pualam Hijau yang sedang ditinggal pergi Kiang Bengcu. Bahkan juga bertemu banyak tokoh persilatan sahabat yang juga sangat heran dengan kejadian yang agak misterius dan mencurigakan itu. Khusus untuk persoalan badai dunia persilatan dewasa ini, menunjukkan kemisteriusan yang sulit dipecahkan. Lebih 10 partai biasa, ditambah dengan kun Lun Pay dan Go Bie Pay, hilang dan terbunuhnya banyak pesilat tangguh, dari ciri-ciri pelakunya yang seakan menunjuk ke Lam Hay Bun. Tetapi, informasi yang lohu kumpulkan dan juga anggota kita dimana-mana, sangat janggal kalau Lam Hay disalahkan. Ilmu Silat para perusuh bukanlah gaya dan dasar Lam Hay, justru dasar ilmu silat dari daratan Tionggoan, dan karenanya banyak yang curiga jika ada kelompok rahasia yang sedang mengail di atas air keruh” Pengemis Tawa Gila nampak berhenti sebentar,
sebelum kemudian melanjutkan dengan mimik yang sangat serius.
 
2 Bi hiong VS ciu sian




”Bagaimana dengan langkah-langkah yang sudah diambil Kiang Bengcu, apakah cukup memperlihatkan adanya kemajuan atas kemungkinan tertanggulanginya keadaan yang buruk ini”? Pangcu bertanya kembali.

”Kiang Bengcu sendiri sudah turun tangan di Kun Lun Pay dan hingga saat ini sedang mengejar jejak para perusuh. Bahkan belakangan terdengar kabar, Kiang Bengcu akan mengunjungi Kay Pang, Siauw Lim dan Bu Tong” Jawab Pengemis Gila Tawa.

”Bagus jika demikian. Tetapi, dengan niatnya itu, semakin menunjukkan bahwa permasalahannya agaknya tidaklah ringan. Apabilah Kiang Bengcu mampu melakukannya sendiri, pastilah sudah dikerjakannya. Nampaknya benar, dunia persilatan dan bahkan Lembah Pualam Hijau sedang dalam cobaan berat, bahkan juga Pang kita dengan pemberontakan di utara. Kita harus berusaha keras meredakan ketegangan didalam secepatnya, sebab pergolakan dunia persilatan bakal sangat membutuhkan bantuan dan tenaga kita. Bagaimana pendapat jiwi Hu-hoat”?

Sejak mendengarkan laporan para murid, dan kemudian dilanjutkan oleh Pengemis Tawa Gila, wajah kedua Hu Hoat sudah sejak tadi mengernyit, tanda bahwa merekapun sangat serius dan mengkhawatirkan keadaan dunia persilatan. Celakanya, agaknya Kay Pang juga seperti sedang menghadapi persoalan yang tidak kurang ruwet dan berbahayanya. Karena itu, mendengarkan pertanyaan Pangcu yang meminta pendapat mereka, kedua Hu Hoat saling berpandangan, dan saling menganggukkan kepala dan kemudian terdengar komentar dari seorang diantaranya:

“Pangcu, nampaknya benar bahwa kita harus secepatnya menyelesaikan urusan di Utara sebagai hal yang harus diutamakan. Bukan berarti mengabaikan masalah rimba persilatan. Tetapi sangat penting menyelesaikan persoalan dalam tubuh sendiri sebelum mengurusi hal-hal lain” Ujar Ceng Fang-guan, si Pengemis Sakti dari Pintu Selatan (Lan Bun Sin Kay).

“Ya, lohu sependapat dengan Ceng Hu-Hoat, kita perlu mengutamakan penyelesaian masalah dalam Pang kita sendiri, sebelum turun membantu menenteramkan dunia persilatan. Sementara persoalan rimba persilatan, mungkin bisa diserahkan kepada Pengemis Tawa Gila untuk sementara” Usul Pek San Fu Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) menambahkan dan mendukung apa yang disampaikan oleh rekannya Ceng Fang Guan.

Dalam urusan yang dihadapi Kay Pang, nampaknya mereka berdua memang sepakat dengan apa yang disampaikan Kay Pang Pangcu, bahwa harus secepatnya mengurusi persoalan pembangkangan di utara, agar konsentrasi tidak terpecah.

Setelah mendengarkan laporan, analisis dan pendapat semua tokoh pengemis, baik Hu Pangcu, Hu Hoat, bahkan juga dari pemberi informasi diantara anak murid Kay Pang, sepertinya Kim Ciam Sin Kay sudah memiliki keputusan.

Karena, diantara semua tokoh yang hadir nampaknya terdapat kesepakatan, bahwa masalah diutara harus diselesaikan secepatnya agar Kay Pang bisa membantu Lembah Pualam Hijau dan dunia persilatan dalam menanggulangi persoalan yang dihadapi.

“Baiklah, jika demikian maka aku menugaskan Pengemis Tawa Gila untuk bertemu dan membantu Kiang Bengcu. Artinya, untuk sementara dalam jangka pendek ini, bantuan Kay Pang bagi upaya meredakan badai di dunia persilatan ditangani oleh Hu Pangcu Bagian Luar. Sementara itu, lohu bersama 2 Hu-Hoat akan mengurusi persoalan pembangkangan para pengemis anggota Kay Pang di Utara. Bersama rombongan pangcu juga akan ikut beberapa utusan luar kita. Hu Pangcu urusan dalam, harap memegang kendali Pang kita selama Pangcu berada dalam tugas ke utara. Sementara 3 utusan, Can Bu Ti, Tan Can Peng dan Sie Han Cu bersama rombongan Pangcu ke Utara. Kita tetapkan demikian” Demikianlah Pangcu Kay Pang memutuskan pertemuan apa yang mesti segera dikerjakan.

Dan sesuai rencana, karena seriusnya persoalan yang dihadapi Kay Pang baik kedalam maupun keluar, maka Kay Pang Pangcu dan rombongannya, tidak akan menunggu berlama lama, pada malam hari setelah pertemuan langsung dilakukan persiapan seadanya, dan setelah meninggalkan pesan-pesan yang penting bagi Hu Pangcu bagian dalam, rombongan itu berjalan menuju ke utara pada keesokan paginya.

Siangnya, setelah Kay Pangcu meninggalkan markasnya pada pagi hari, dari kaki gunung seorang utusan pengintai mengantarkan berita ke markas Kay Pang dan langsung diterima oleh Hu Pangcu bagian dalam:

“Hu Pangcu, ada seorang tokoh besar minta ketemu dengan Hu Pangcu” si pembawa berita nampak melaporkan dengan tergesa-gesa, perihal kedatangan seorang tokoh besar ke markas mereka.

“Seorang tokoh besar? siapa gerangan yang engkau maksudkan”? tanya Hu Pangcu Bagian Dalam menjadi sangat penasaran.

“Kiang Bengcu, Duta Agung dari Lembah Pualam Hijau sedang menunggu berita meminta waktu untuk mohon bertemu” jawabnya terburu-buru memberitahu siapa yang datang minta bertemu.
Mendengar siapa yang datang, serentak wajah Hu Pangcu menjadi berubah sangat serius sekaligus senang. Karena yang datang adalah Bengcu dunia persilatan, tentu sebuah kehormatan menerima tamu agung, yang meskipun masih muda tetapi sedemikian terkenalnya. Sontak dia berkata:

“Persilahkan secepatnya untuk naik gunung, biar lohu juga melakukan persiapan persiapan untuk penyambutan bengcu”

“Tidak perlu sungkan Pangcu, tidak perlu penyambutan berlebihan. Kita sedang berprihatin saat ini” Sebuah suara sayup terdengar dan sesaat kemudian 3 tubuh nampak berkelabat demikian cepat naik ke gunung, dan sekejap lagi kemudian, ketiganya sudah berdiri di hadapan Hu Pangcu Bagian Dalam Kay Pang sambil memberi hormat dan salam pertemuan.

“Hahahaha, siapa bisa mendustai dan menghalangi Kiang Bengcu”? Sambut Hu Pangcu tergelak gembira menyambut kedatangan Kiang Hong, Tan Bi Hiong dan seorang Duta Hukum dan juga membalas memberi hormat kepada tamu yang dengan cepat sudah berada dihadapannya.

“Tidak perlu banyak adat paman, mari kita bercakap seperti biasa saja” Kiang Hong menolak ketika Hu Pangcu memberi hormat berlebihan kepadanya selaku Bengcu. Bagaimanapun Kiang Hong masih tetap merasa orang yang lebih muda, dank arena itu sering terasa kaku baginya memperoleh penghormatan berlebihan dari angkatan yang lebih tua darinya.

“Hahahaha, siapa yang tidak tahu jika Kiang Bengcu seorang yang rendah hati dan berilmu mumpuni pula”? sambung Hu Pangcu gembira, benar-benar gembira karena sudah sekian lama tidak bersua dan bertemu dengan bengcu muda yang hebat ini.

“Kho Sin Kay, selamat bertemu” Suara yang lain, nyaring dan empuk terdengar dari mulut Bi Hiong memberi ucapan selamat bertemu kepada Hu Pangcu bagian dalam Kay Pang.

“Tidak berani, tidak berani, selamat berjumpa hujin. Nampaknya hujin bertambah matang dalam gerakan dan dalam kecerdasan” Sambut Kho Tian Ceng, Hu Pangcu tidak kalah hormat.

“Bukankah lebih baik kita berbicara di dalam, dan biar saling memujinya bisa lebih panjang”? Bi Hiong berseru sambil berkelakar menambah suasana keakraban diantara mereka semua.

“Ah, lohu sampai lupa mempersilahkan masuk kedalam. Sudah lama tidak bersua dengan Kiang Bengcu sekeluarga dan kaget mendapat kunjungan kehormatan ini” berkata Hu Pangcu sambil mempersilahkan Kiang Hong bersama istri dan duta hukumnya masuk.

Tetapi belum sempat semua melangkah masuk, tiba-tiba terdengar sebuah suara mengalun seperti dari kejauhan, tetapi yang dengan cepat sekali orangnya sudah berada di depan pintu masuk ke markas besar Kay Pang;

“Heheheheh, siapa yang menjamin Kiang Bengcu muda ini palsu atau tulen”? Seorang pengemis tua nampak cengengesan di pintu masuk yang segera membuat Hu Pangcu Put-pay-sin-kiam (Pedang sakti tak terkalahkan) Kho Tiang-ceng terbelalak kaget.

“Ciu Sian Hiongcu ….. ah selamat bertemu dan salam hormat” Hu Pangcu segera memberi hormat kepada Pengemis Tua aneh yang baru datang dengan gayanya yang juga aneh itu.

“Huh, siapapun tahu aku muak dengan kebiasaan begitu, sudah bangun sana” Ciu Sian dengan santai menggerakkan tangannya dan Hu Pangcu Kho Tian Ceng merasakan sebuah tenaga yang sangat besar menahannya untuk terus memberi hormat. Dan sungguh dia kagum, tetuanya ini sungguh nampak tambah mumpuni dalam ilmu kepandaiannya.

“Bagus begitu, kamu tanyalah apakah benar orang muda ini Kiang Bengcu asli, putra sahabatku Cun Le, dan apakah istrinya itu si bintang kejora cerdas dari Bu Tong Pay …. Ayo cepat. Lohu tidak punya waktu banyak” Si Pengemis aneh mendesak-desak Put-pay-sin-kiam (Pedang sakti tak terkalahkan) Kho Tiang-ceng seperti anak-anak.

Untungnya baik Kho Tian Ceng dan bahkan Kiang Hong, Bi Hiong dan Duta Hukum yang hadir disitu sudah maklum dengan tingkah dan adat kakek kukoay yang amat sakti ini. Karena itu, mereka hanya memandangi kejadian itu dengan senyum-senyum belaka.

“Ciu Sian Sin Kay, Kiang Hong memberi hormat, apakah keadaanmu baik-baik saja” Kiang Hong maju memberi hormat diikuti Bi Hiong dan juga Duta Hukum dari Lembah Pualam Hijau.

“Tidak boleh, tidak boleh. Harus dibuktikan dulu kalian benar-benar asli. Banyak sekali yang palsu bikin onar sekarang” Kakek aneh itu kemudian mundur dan bersembunyi di belakang Hu Pangcu, bahkan mendorong dan mendesak Hu Pangcu untuk maju menghadapi Kiang Hong.

“Hiongcu, dia ini memang Kiang Hong bersama Tan Bi Hiong dari Lembah Pualam Hijau” tegas Kho Tian Ceng.

“Bodoh kau, Tanya dan buktikan dulu biar semua jelas, baru disuruh masuk. Jangan sembarangan membiarkan masuk orang di markas besar Kay Pang yang megah ini” Ciu Sian Sin Kay jadi marah-marah.

Tapi Kiang Hong dan Bi Hiong yang tahu betul adat dan kesaktian kakek ini tidaklah tersinggung, malahan Bi Hiong jadi tertarik untuk meladeni permainan dan keanehan kakek ini, dan dia bertanya kepada kakek aneh itu:

“Bagaimana menurut Sin Kay membuktikan aku adalah Kiang Hong dan Bi Hiong yang asli” tanya Kiang Hong tersenyum.

“Atau jangan-jangan, Sin Kay sendiri malah tidak tahu bagaimana caranya membuktikan keaslian dan keplasuan. Atau, jangan-jangan dia ini juga Ciu Sian Sin Kay palsu, soalnya banyak yang palsu memalsukan orang dewasa ini” Bi Hiong sengaja memancing kakek ini dengan menggunakan gaya anehnya. Dan dalam urusan begini, Bi Hiong memang ahlinya.

“Wah benar juga. Bagaimana mebuktikan aku ini asli”? Ciu Sian Sin Kay nampak jadi bingung dengan akal Bi Hiong.

“Tapi, Kho Hu Pangcu kan sudah yakin kalau aku Ciu Sian Sin Kay, tetuah Kay Pang, tidak mungkin salah lagi” jawabnya. Bahkan kemudian dengan gaya dan cara aneh dia bertanya kepada Bi Hiong:

“Apakah kamu tidak percaya kalau aku Ciu Sian Sin Kay yang asli, dia tadi sudah percaya lho”? Sambil menuding kepada Kho Tian Ceng yang jadi rada ruwet melihat keadaan yang menjadi aneh dan tidak biasa ini.

“Mana berani, mana berani meragukan Hiongcu” Hu Pangcu Kho Tian Ceng terbata-bata, karena memang tidak akan dia berani menuduh Ciu Sian Sin Kay sebagai barang tiruan.

“Ah, kamu kurang teliti, harusnya kamu menanyai lohu dan meneliti, apakah lohu palsu atau tidak” Ciu Sian nampak seperti menyesali Kho Tian Ceng yang percaya begitu saja kepadanya. Tapi tiba-tiba dia terlonjak:

“Aha, aku ada akal untuk membuktikan mereka asli atau tidak” Mata Ciu Sian tiba-tiba bercahaya girang, seperti mendapatkan ide cemerlang untuk mengatasi masalah yang sebenarnya bukan masalah itu.

“Bagaimana caranya Hiongcu” tanya Kho Tian Ceng dengan cepat, agar keadaan yang aneh ini cepat berlalu.

“Menyerang mereka. Aku kenal semua perbendaharaan ilmu Lembah Pualam Hijau, termasuk ciptaan buyut merek Sin Liong dan juga Cun Le. Anak-anak muda, mari kita bermain sambil membuktikan siapa asli dan siapa palsu” dan belum lagi habis ucapannya, di tangannya, Ciu Sian sudah memegang buli-buli araknya dan dengan segera sudah menyerang serampangan.

Sekaligus dia menyerang Bi Hiong dan Kiang Hong yang jadi melongo karena mereka diharuskan untuk bertempur. Tapi Bi Hiong yang memang juga suka dengan keanehan-keanehan orang dan mengerti dengan kepolosan Pengemis Sakti ini sudah melirik suaminya dan kemudian dia maju menandingi dan menangkis bahkan balas menyerang Ciu Sian Sin Kay, sementara Kiang Hong kemudian menepi.

“Hahahaha, hujin cantik terimalah seranganku ini” Demikian akhirnya Ciu Sian menyerang Bi Hiong duluan karena Kiang Hong segera menyingkir memberi ketika buat istrinya untuk maju.

“Ach, ini bukan dari Pualam Hijau, ini pasti dari Bu Tong. Belum semahir Ciangbunjinnya, tapi sudah hebat. Eh, ini malah lebih sakti, pastilah Thai kek Sin Kun …. Hebat, hebat” Ciu Sian terus menyerang sambil juga terus menerus nyerocos. Karena dia memang tokoh yang sudah pernah menggempur hampir semua jurus andalan 4 tokoh gaib jaman itu.

Tidak heran dia mengenal jurus-jurus Bu Tong Pay, Siauw Lim Sie dan juga Lembah Pualam Hijau.
“Benar, tapi nampaknya hampir pasti aku sednag berhadapan dengan Ciu Sian palsu, belum ada jurus-jurus khas Ciu Sian yang kau keluarkan” Bi Hiong menggoda malah menggoda kakek sakti ini, yang bukannya marah malah menjadi bersemangat menemukan lawan yang cukup hebat.

“Ah, kurang ajar kamu, rasakan ini” Ciu Sian penasaran. Benar saja, Cius Sian dengan segera mulai membuka jurus-jurus perguruannya, dan memang itu yang dikehendaki Bi Hiong, yakni melatih dengan orang yang tepat apa yang barusan dipelajarinya di Lautan Timur.

Ciu Sian Sin Kay mulai menggunakan ilmu-ilmu andalan Kay Pang, meskipun masih dengan tenaga terukur. Mula-mula dia memainkan Hang Liong Sip Pat Ciang yang membuat tubuhnya menyambar-nyambar bagaikan seekor Naga menyerang mangsanya.

Tapi lawannya adalah salah seorang bintang wanita dunia persilatan, yang malah sudah digembleng lebih jauh oleh legenda persilatan lainnya Kiang In Hong. Dengan tangkasnya nyonya ini bersilat dan memang sengaja maju menandingi Ciu Sian Sin Kay untuk menguji ilmu barunya yakni, Te-hun-thian (mendaki tangga langit).

Hang Liong Sip Pat Ciang yang dimainkan oleh Ciu Sian malah masih lebih berat dibandingkan Pangcu Kay Pang, jadi bisa dibayangkan bagaimana perbawanya meski tidak dengan tenaga dan kesungguhan pertempuran. Pengemis aneh ini, sudah diduga Bi Hiong, bukannya meragukan mereka, tetapi sedang gatal tangan untuk menguji ilmu masing-masing.

Karena itu, Bi Hiong tidak khawatir akan terluka atau melukai pengemis aneh yang sangat sakti ini. Sebaliknya, dia mendapatkan kesempatan menguji ilmu-ilmu barunya, dengan penguji yang sangat luar biasa, dan membuatnya mampu menilai kemajuannya sendiri.

“ach, ini pasti ciptaan Pendeta Wanita dari timur, hebat-hebat. Tapi tidak cukup untuk menang bila hanya berlari-lari dan berputar dengan ciptaan pendeta wanita sakti itu“ Ciu Sian berseru penasaran karena dengan gaya ginkang Te hun Thian, Bi Hiong bergerak-gerak berkelabat kesana kemari sehingga sulit dijangkau dan diserang olehnya.

“Benar, tetapi Sin Kay juga sukar untuk menembusku“ balas Bi Hiong terus menggoda dan memanasi Ciu Sian Sin Kay.

“Belum tentu, coba ini“, bersamaan dengan ucapannya itu Sin Kay memainkan bagian-bagian yang lebih berat dari ilmunya Hap Liong Sip Pat Ciang. Tangannya menyambar-nyambar bagai naga sementara kakinya gesit sekali mengejar kemanapun bayangan Bi Hiong menghindar.

Bi Hiongpun sadar, sulit baginya untuk terus menerus berlari dan menghindari ilmu sakti Kay Pang yang dimainkan salah satu tokoh puncaknya dewasa ini. Karena itu, dia memutuskan menggunakan Giok Ceng Cap Sha Sin Ciang untuk menahan gempuran yang membadai dari Ciu Sian. Sebagaimana diketahui, kedua ilmu ini sudah sering diadu dalam pertandingan tingkat tinggi antara para pencipta dan ahlinya.

Bahkan kemudian diadu oleh para pewarisnya, generasi yang lebih muda. Karena itu, kedua ilmu ampuh ini boleh dibilang sudah saling mengenal baik kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karena itu juga, akan tergantung pemakainya dan kematangan penggunanya untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

Dari segi kematangan dan pengalaman, Ciu Sian lebih unggul, tetapi karena Bi Hiong memanfaatkan kegesitan ilmu ginkang gaibnya Te Hun Thian yang bahkan diakui sebagai ginkang nomor satu dewasa ini, maka dia bisa menutup dan menambal kekurangannya. Dan nampaknya keduanya mengerti benar hal ini.

Karena itu, pertandingan menjadi luar biasa seru dan indah, saling serang menyerang dan menggunakan tenaga terukur sehingga lebih mirip disebut latihan. Baik Kiang Hong maupun Kho Tian Ceng, terutama Kho Tian Ceng menjadi kagum bukan main terhadap 2 orang sakti yang sedang mengadu ilmu. Dipelototinya Hiongcunya yang memainkan ilmu pusaka Kay Pang sampai tidak sadar bahwa disampingnya sudah berdiri Pengemis Tawa Gila yang ikut tertegun menyaksikan pertandingan hebat itu.

“Duaaaar”, tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat, dan nampaknya berasal dari tangan Ciu Sian yang mengganti ilmunya dengan Pek Lek Sin Jiu yang bahkan ketua Kay Pang saat ini tidak menguasainya.

“Hati-hati hujin, lohu ingin bermain-main petir. Sebaiknya kau keluarkan Soan Hong Sin Ciang” Ciu Sian berseru mengingatkan Bi Hiong, padahal Bi Hiongpun maklum akan peringatan itu. Sementara Kiang Hong masih tetap tenang, karena dia maklum akan kemampuan istrinya, apalagi setelah digembleng bibinya selama beberapa minggu beberapa waktu lalu selama berada di lautan timur mengunjungi bibinya yang sakti mandraguna itu.

Ledakan-ledakan bagaikan guntur kembali terdengar bertalu-talu, tetapi pada saat bersamaan diseputar Bi Hiong perlahan-lahan terdengar suara gemuruh bagaikan angin badai sedang mengamuk. Tubuhnyapun seperti bergulung-gulung, bergerak bagaikan angin puyuh, membuat Pengemis Tawa Gila dan Kho Tian Ceng kedua Hu Pangcu Kay Pang telinganya jadi sakit dan matanya jadi silau dan kabur.

Dengan cepat keduanya mengerahkan hawa murni melindungi mata dan telinga, tetapi masih belum sanggup mengeyahkan rasa tidak enak itu seluruhnya. Karena gelegar Pe Lek Sin Jiu dan gemuruh badai Soan Hong Sin Ciang memang memiliki pengaruh atas mata dan telinga batin seseorang.

Hanya Kiang Hong yang telah semakin matang yang nampak tenang dan terus mengikuti pertarungan tingkat tinggi tersebut. Berkali-kali dia nampak kagum atas kelincahan istrinya, tetapi dia juga mengagumi kemajuan dan kehebatan Ciu Sian dalam menguasai ilmu-ilmunya.

Petir dan badai susul menyusul dan beberapa kali terdengar benturan, tetapi tidak sampai mencelakakan salah seorang diantaranya. Bahkan terdengar Ciu Sian berseru:

“Hahahaha, hujin, kamu sudah hampir mendekati kemampuan sahabatku Cun Le ketika kami bertanding 20 tahun berselang. Padahal waktu itu aku baru mencapai tingkat 5 Pek Lek Sin Jiu dan sekarang nyaris menamatkan tingkat terakhirnya.

"Hebat-hebat”. Seruan Ciu Sian mengejutkan Pengemis Tawa Gila, Kho Tian Ceng dan juga Kiang Hong. Mereka paham betul kehebatan Pek Lek Sin Jiu atau Ilmu Halilintar yang luar biasa hebatnya, dan yang hanya Kiong Siang Han yang mampu memainkannya dengan daya rusak dan daya ledak yang luar biasa hebatnya. Baik bunyi derak dan bunyi gunturnya, maupun daya ledak dan daya hancurnya yang mengerikan. Bahkan ledakannya bisa mengikis dan merusak besi dan baja, bahkan kemudian menghanguskannya, gosong bagai terkena sambaran petir sungguhan. Untungnya, Soan Hong Sin Ciang yang dimainkan Bi Hong juga sudah cukup matang, bahkan sudah lebih disempurnakannya ketika 2 minggu berlatih bersama adik mertuanya,
seorang pendeta Wanita sakti di Timur.
 
3 kiang hong VS ciu sian


“Hujin, gunakan pedangmu, lohu akan memakai buli-buli arak ini sebagai ganti tongkat hijau” Ciu Sian berseru yang dengan segera diladeni Bi Hiong. “Kebetulan, ini saat yang tepat melatih Toa Hong Kiam Sut dan Hue-hong-bu-liu-kiam (tarian pedang searah angin), bukankah menurut Sin Ni, pengemis ini luar biasa lihai dan hanya setingkat di bawah Sin Ni dan Ayah mertua” desis Bi Hiong sambil kemudian meloloskan pedangnya dan kemudian langsung memainkan ilmu barunya Hue Hong Bu Liu Kiam.

Tubuhnya seperti menari-nari dan segera menyentak Ciu Sian yang untungnya juga sudah siap dengan jurus-jurus Tah Kauw Pangnya. Maka pertempuran seru kembali berlangsung dengan menggunakan senjata, dan ternyata karena Bi Hiong menggunakan pedang sungguhan dan Ciu Sian menggunakan buli-buli pengganti tongkat yang tentu kehebatannya berkurang, dan apalagi Bi Hiong menggunakan gubahan baru lewat ilmunya yang baru diciptakan Liong I Sin Ni, maka Pengemis Sakti nampak sedikit keteteran.

Untungnya, dia memiliki penguasaan Sinkang yang sedikit lebih baik, selain pengalaman dan kematangannya memang melebihi Bi Hiong. Dan lagi, Tah Kauw Pang Hoat memang bukan sembarang ilmu. Tapi untuk mengambil ranting pengganti sudah tak sempat, sementara jangkauan pedang Bi Hiong melebihi buli-bulinya. Dengan terpaksa si Pengemis melakukan beberapa langkah perubahan.

“Lihai, lihai. Jurus Sinni benar-benar membuatku repot. Hujin, maaf aku sedikit mabuk” Pengemis sakti berkali-kali meneguk buli-bulinya dan bersilat dengan gaya kacau. Inilah jurus sakti ciptaannya sendiri yang dinamainya “langkah-langkah sakti pengemis mabuk”, yang dilakukan mengiringi Tak Kauw Pang.

Tapi jangan dikira langkahnya serampangan, sebaliknya justru meski sangat aneh dan sebentar seperti sempoyongan mau jatuh, tetapi semua serangan bi Hiong bisa dengan mudah dipunahkan. Bahkan semakin cepat Bi Hiong menyerangnya, semakin tangkas dia bergerak mengikuti gerak-gerik seorang pemabuk.

Dan anehnya, semua serangan yang demikian cepat dan pesat dari Bi Hiong bisa dimentahkan dan dipatahkan oleh si Pengemis. Semakin cepat Bi Hiong bergerak, semakin aneh gerakan si pengemis, dan semakin seru juga pertarungan antara keduanya.

“Baiklah hujin, keaslianmu sudah kupastikan. Aku ingin menguji keaslian suamimu” Ciu Sian berkata saat keduanya saling melibas, dan kemudian dengan aneh Ciu Sian merosot kebelakang. Ketika itu Bi Hiongpun maklum bahwa keduanya sulit saling mengalahkan dengan gerakan-gerakan mereka yang bisa saling melibas menjadi begitu rumit.

“Baiklah, terima kasih untuk latihan hari ini bersama Sin Kay, ilmumu sungguh aneh pada bagian terakhir” Bi Hiong berseru untuk kemudian meloncat ke samping suaminya. Pada saat hampir bersamaan, Sin Kay juga lompat mengejar tetapi bukan menyerang Bi Hiong tetapi menyerang Kiang Hong sambil berkata dengan lucu:

“Nah, sekarang buktikan bahwa kau ini benar adalah Kiang Bengcu, Duta Agung Lembah PUalam Hijau” Cecar Sin Kay.

Kiang Hong maklum, bahwa hanya alasan saja bagi Sin Kay untuk menyelidiki keasliannya. Yang benar adalah, Pengemis aneh yang gila bertanding ini sedang mengajaknya bermain-main atau bahkan menurut istrinya berlatih.

Dan dia melihat belaka, meskipun istrinya mampu mengimbangi pengemis ini dari segi ginkang atau bahkan sedikit melebihinya, tetapi dalam hal tenaga iweekang dan kematangan, pengemis ini jelas melebihi istrinya. Diapun sadar, bukan sedikit keuntungan yang ditarik istrinya dari pertempuran tadi, karena sesungguhnya mereka sedang berlatih dan bukannya bertempur.

Karena itu, bukannya menyingkir, Kiang Hong justru menyambut serangan Pengemis Aneh itu dengan menyambut serangan tersebut lewat sebuah pukulan dari Soan Hong Sin Ciang. Dan sebagai kesudahannya, keduanya tergetar dan membuat pengemis itu terkekeh-kekeh. “Benar, ini asli Soan Hong Sin Ciang, tidak mungkin tiruan, sudah pasti asli”

“Kiang Bengcu, lohu akan menggunakan Ciu Sian Cap Pik Ciang, kudengar sobatku Cun Le juga melatih ilmu barunya yang bernama Khong in loh Thian, jangan pelit menunjukkan padaku” setelah berteriak demikian, Pengemis Aneh ini kemudian merubah ilmunya.

Ilmu baru yang dimaksudkannya Ciu Sian Cap Pik Ciang memang belum setenar Pek Lek Sin Jiu dan sangat jarang dipergunakan pengemis aneh ini. Karena serangan-serangannya yang berat dengan mencampurkan ilmu gurunya Hang Liong Sip Pat Ciang dan Pek Lek Sin Jiu sementara langkah kakinya mengikuti ilmu ciptaannya “Langkah Sakti Pengemis Mabuk”.

Seperti tadi, kakinya bergerak-gerak bagaikan orang mabuk, kadang terhuyung, kadang melompat tanggung, kadang tegap kokoh, bahkan kadang terjatuh sendiri dan melenting berdiri dengan kaki tegak, tetapi tangannya sungguh kokoh dan nampak sangat kuat melontarkan pukulan berganti ganti.

Sesekali mengambil gaya Pek Lek Jiu dengan bunyi gunturnya yang menggelegar dan sesekali dengan gaya Naga dari ilmu pukulan Hang Liong Sip Pat Ciang. Perbawanya sungguh hebat, sampai-sampai Bi Hiongpun bergidik dan tidak yakin apakah sanggup menandinginya. “Pengemis ini memang sungguh-sungguh lihay, nampaknya hampir berimbang dengan Hong Koko” desisnya kagum.

Di Tempat terpisah, kedua Hu Pangcu Kay Pang sampai terngangah-ngagah menyaksikan bagaimana Hiongcu terakhir mereka yang baru kali ini mereka lihat memainkan ilmu yang sangat luar biasa itu. Mereka seperti melihat kembali Kiong Siang Han sedang membawakan ilmu gunturnya dan Hang liong sip pat ciang.

Tetapi dengan gaya mabuknya, Sin Kay ini membuat kedua ilmu yang dicampurkannya justru membawa perbawa yang menakutkan. Kiang Hong sadar bahwa dibalik penggunaan kedua ilmu tersebut, juga terselip kuat kekuatan batin yang mampu merusak konsentrasinya. Karena itu, dia harusnya bisa melawan dengan Soan Hong Sin Ciang ciptaan Sin Liong, tetapi karena Sin Kay meminta Khong in loh Thian, meski belum sempurna benar, dia kemudian bergerak-gerak lemas dan membiarkan gerakannya seperti hanyut oleh tarikan kekuatan Pengemis Aneh ini.

Pemandangannya sungguh ganjil, Pengemis Sakti bergerak-gerak aneh dengan tangan yang kokoh luar biasa dan membawa suara meledak-ledak yang memekakkan telinga, sementara Kiang Hong bergerak-gerak seirama dengan gerakan Pengemis Sakti.

Cukup lama keduanya bergerak-gerak seperti itu dan nampaknya masing-masing mencari ketika untuk melontarkan serangan, tetapi keduanya sadar kesempatan itu sulit. Kiang Hong akhirnya sadar, bahwa nampaknya Ciu Sian Sin Kay mengenal inti kekuatan Khong in loh Thian dan karenanya tidak pernah mau membenturkan langsung pukulannya supaya tidak menerima pentalan balik tenaganya. Hal yang wajar, karena pengemis ini memang bersahabat erat dengan Kiang Cun Le ayahnya.

“Hebat, hebat, anak harimau memang tidak melahirkan anak babi” Ciu Sian berseru seenaknya yang disambut senyum oleh Bi Hiong yang nampaknya mengerti jiwa Ciu Sian ini. Maka dia juga menambahi seloroh Ciu Sian:

“Ciu Sian, anak babi juga tidak akan melahirkan anak harimau”.

“Hahahaha, hujin memang pintar menyelami hatiku” Ujar si pengemis sambil kemudian menghentakkan tangannya dan membiarkan terjadi benturan dengan Kiang Hong, tetapi sejenak setelah benturan, tubuhnya bergoyang-goyang aneh dan bagaikan belut menyiasati tenaganya yang berbalik akibat benturan dengan tenaga kosong Kiang Hong. Kemudian pengemis itu berhenti bersilat dan kemudian tertawa terkekeh-kekeh:

“Hahahahaha, kamu benar-benar asli Kiang Bengcu, maafkan pengemis mabuk ini kurang hormat” Ciu Sian Sin Kai memberi hormat kepada Kiang Hong tanpa sanggup di tolak Kiang Hong karena baru bisa tegak kembali dengan jurus “Dewa Menunjukkan Jalan”. Sambil menarik nafas dia berkata:

“Ciu Sian Sin Kay memang tidak bernama kosong. Ciu Sian Cap Pik Ciang benar-benar handal, tecu benar-benar terkejut dengan kehebatannya” Puji Kiang Hong.

“Hahahaha, Kiang bengcu, bila kamu berlatih 1 tahun saja lagi, aku tidak bakal sanggup menandingimu sebagaimana ayahmu itu” rutuk si Pengemis Sakti dengan gayanya yang aneh.

“Lohu heran, lembah kalian itu tidak henti melahirkan pahlawan” nada iri dalam suara si Pengemis.

“Ciu Sian Hiongcu, Kiang Bengcu, Hujin dan Duta Hukum, masih lebih baik kita berbicara didalam, mari” Pengemis Tawa Gila memotong percakapan mereka sambil mengundang semua untuk masuk melanjutkan percakapan dalam Gedung markas Pusat Kay Pang.

“Baiklah, Kiang Bengcu, Hujin, mari kita bicara didalam, lohu sendiri tidak punya banyak waktu dan ingin mendengar keadaan Kay Pang” Ciu Sian Sin Kay ikut mengundang bersama Hu Pangcu Kho Tian Ceng.

Kiang Hong dan rombongan, bersama Ciu Sian Sin Kay serta kedua Hu Pangcu Kay Pang kemudian membahas kondisi terakhir dunia persilatan. Kepada Ciu Sian Sin Kay, Pengemis Tawa Gila menceritakan kembali kondisi di utara sungai Yang Ce, dimana mulai nampak gejala terjadinya pembangkangan karena ada seorang tokoh sesat yang sakti menghasut kelompok pengemis disana. Juga diinformasikan bahwa Kay Pangcu Kim Ciam Sin Kay sudah menuju ke utara untuk memadamkan pemberontakan disana disertai beberapa tokoh Kay Pang termasuk 2 hu-hoat Kay Pang.

Pengemis Tawa Gila dan bahkan Kho Tian Ceng tidak merasa segan dan malu menceritakan kondisi kedalam Kay Pang, karena dihadapan mereka adalah Kiang Hong yang dikenal sebagai Kiang Bengcu dari Lembah Pualam Hijau. Selain itu, keduanya mengerti benar, kondisi Kay Pang ini bakal menyulitkan dunia persilatan, terutama Siauw Lim Sie, Lembah Pualam Hijau dan Bu Tong Pay dalam menangani pergolakan dunia persilatan yang sedang bergejolak.

Sebagaimana diketahui, pada dewasa ini, ke-4 tempat yang menjadi gantungan masa depan dunia persilatan termasuk dalam meredakan badai di dunia persilatan adalah, Lembah Pualam Hijau yang diakui Ketua atau Pemilik Lembah sebagai Bu Lim Bengcu, kemudian berturut-turut ditopang oleh Siauw Lim Sie sebagai Perguruan Silat tertua bersama dengan Bu Tong Pay dan Kay Pang sebagai Pang atau perkumpulan terbesar di seluruh Tionggoan.

Ke-4 tempat itu dikeramatkan dan dihormati oleh seluruh dunia persilatan sejak 100 tahun sebelumnya. Terutama ketika ke-4 tempat tersebut mewakili Tionggoan dalam pertempuran menentukan dan menegangkan menghadapi jago-jago dari Lam Hay, Bengkauw dan Jagoan dari India. Selain itu secara kebetulan ke-empat tempat dan perguruan tersebut memang dalam 100 tahun terakhir menghadirkan pesilat-pesilat kelas wahid yang selalu menjagoi dunia persilatan.

Kondisi ini, secara otomatis menghadirkan rasa solidaritas dan saling mendukung antara ke-empat Perguruan tersebut. Termasuk dalam menghadapi persoalan dunia persilatan belakangan ini.

Itu juga sebabnya maka baik Pengemis Tawa Gila maupun Kho Tian Ceng tidak merasa risih membicarakan persoalan benih pemberontakan di wilayah kerajaan Cin sebelah utara sungai Yang Ce. Apalagi karena hal ini akan terkait dengan solidaritas 4 perkumpulan besar dalam memerangi atau berusaha mendamaikan kondisi dunia persilatan yang sedang goyah.

Apabila Kay Pang larut demikian lama dalam persoalan kedalam, maka kontribusinya bisa mengecil dalam ikut menertibkan dunia persilatan. Atau bahkan, bisa mengurangi kekuatan melawan para perusuh yang nampaknya juga punya kekuatan besar dan sangat misterius tersebut.

“Kedua Hu-Pangcu, Ciu Sian Hiongcu, sebetulnya kami sedang dalam rencana untuk langsung bertanya kepada Ketua Lam Hay Bun. Sayangnya, Kay Pang nampaknya harus berusaha menyelesaikan urusan dalamnya terlebih dahulu” Kiang Hong berkata.

“Dan menurut siauwte, nampaknya persoalan Kay Pang harus ditangani secepatnya. Bila tidak, akan sangat berpengaruh terhadap kesanggupan Tionggoan dalam menenangkan badai persilatan dewasa ini” Tambah Bi Hiong.

“Maksud hujin”? Ciu Sian bertanya

“Selama ini, ke-4 Perguruan, Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Kay Pang dan Bu Tong Pay, selalu diandalkan dalam menertibkan badai di dunia persilatan. Lembah Pualam Hijau baru disatroni orang dan menderita kerugian, Kay Pang digedor dari dalam. Bila kedua tempat keramat ini tidak cepat bertindak, banyak kalangan akan merasa kurang percaya diri dan mempengaruhi moril dalam perjuangan nantinya” terang Bi Hiong.

“Hmmm, hujin benar sekali. Hebat, hebat, betul-betul bintang cerdas dari Lembah Pualam Hijau” Ciu Sian yang memang tertarik kepada Bi Hion karena dianggapnya mampu menyelami dirinya berseru memuji.

“Bukan demikian Ciu Sian Hiongcu, siapapun akan beranggapan demikian. Sebab, bukan tidak mungkin juga, ini cara untuk meruntuhkan rasa percaya diri pesilat Tionggoan dengan menggoyang langsung pusat kebanggaan pesilat Tionggoan. Jika benar demikian, maka peristiwa di Lembah Pualam Hijau dan di Kay Pang pasti memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Alias tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dan direncanakan dengan matang oleh sebuah kekuatan rahasia” jelas Bi Hiong.

“Celaka, bila demikian, hampir bisa dipastikan Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay juga akan mengalami kesulitan tertentu” tiba-tiba Kiang Hong tersentak dengan logika lanjutan dari penjelasan Bi Hiong.

“Benar sekali, bila uraian hujin tidak keliru, maka dalam waktu dekat, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay pasti akan mengalami kerugian atau peristiwa tidak mengenakkan” tambah Kho Tian Ceng yang tiba-tiba menjadi ikut bertambah cemas dengan perkembangan yang semakin tidak menentukan ini.

“Dengan menganalisis peristiwa di Lembah Pualam Hijau, Kun Lun Pay, Go Bie Pay dan Kay Pang, maka sangat mungkin dalam waktu kedepan Siauw Lim Sie dan Bu Tong akan mengalami gangguan. Karena nampaknya, kelompok rahasia yang menggunakan simbol Lam Hay, memang berkeinginan langsung menyerang di pusat kekuasaan dan pusat kekuatan Tionggoan” tambah Bi Hiong lagi.

Semua menjadi tercenung dan mengagumi daya analisis Bi Hiong yang memang nampak sangat masuk di akal. Secara tajam Bi Hiong menganalisis keseluruhan persoalan dunia persilatan dewasa ini, dan bisa merangkaikannya dalam sebuah penjelasan masuk akal dengan peristiwa yang terjadi di banyak tempat.

Bahkan kemudian menunjukkan tali temali yang nampak sulit diuraikan tetapi yang dicerna dan bisa diuraikannya. Dan bila memang benar analisis Bi Hiong, dan nampaknya mereka semua cenderung sepakat dengan analisis Bi Hiong tersebut, maka benarlah bahwa sebuah badai dahsyat sedang terjadi di Tionggoan. Dan baik Bu Tong Pay maupun Siauw Lim Sie sedang natre untuk diganggu kelompok rahasia tersebut.

“Nampaknya kita perlu bergerak lebih cepat” Tiba-tiba Pengemis Tawa Gila menyela keheningan ketika semua orang sedang berpikir dan sedang larut dalam angan dan pemikiran yang biarpun berbeda tetapi dalam kepedulian yang sama.

“Benar, kita seperti mengikuti gendang yang ditabuh orang. Kita seperti pontang panting kesana kemari dipermainkan orang dari balik kegelapan, kita perlu lebih bersiap diri” Kiang Hong bergumam.

“Hujin, apa saranmu saat ini” Ciu Sian yang sangat mengagumi kecerdasan Bi Hiong bertanya.
Bi Hiong berpikir sejenak pada saat semua mata mengarah kedirinya, dan kemudian dengan tenang dia berkata:

“Kita menghadapi persoalan di banyak medan. Persoalan di Lembah Pualam hijau sudah ada yang ditugasi dan cukup bisa diandalkan. Kedua, masalah kedalam Kay Pang, nampaknya sudah sedang ditangani oleh Kay Pangcu sendiri, semestinya sudah cukup memadai.

Tetapi, mesti ada yang menjelaskan kepada Pangcu atas nama Bengcu bahwa persoalan tidak semudah melihat keadaan Kay Pang sebagai persoalan Kay Pang semata. Bahwa ada keterkaitannya dengan pergolakan Dunia Persilatan secara keseluruhan. Maka, harus ada yang cukup sepuh dan terpandang untuk menyusul Kay Pangcu dan rombongan untuk menjelaskan kondisi ini sekaligus sebagai tenaga bantuan cadangan.

Hal ini bisa diserahkan kepada Hu Pangcu entah Kho Tian Ceng atau Pengemis Tawa Gila. Tetapi, markas Kay Pang tidak boleh dibiarkan kosong dan tidak terjaga secukupnya. Karena itu, sebaiknya kekuatan utama Kay Pang tersisa dibawah Hu Pangcu melakukan persiapan. Selanjutnya, kami akan berjalan menuju Siauw Lim Sie, baik untuk membahas kondisi ini sekaligus mengingatkan Siauw Lim Sie akan bahaya gangguan semacam ini, juga untuk membicarakan maksud Kiang Bengcu untuk menuju Lam Hay bertanya langsung kepada Ketua Lam Hay Bun.

Seharusnya kami akan juga menuju Bu Tong Pay, tetapi nampaknya hal ini butuh waktu panjang, karena itu, bila diperkenankan, tugas ini diberikan kepada Ciu Sian Sin Kay, karena Ciangbunjin Bu Tong Pay juga masih rekan seangkatan Ciu Sian, sehingga penjelasan Ciu Sian juga akan mudah dicerna Ciangbunjin Bu Tong Pay” Demikian Bi Hiong dengan sangat rinci menjelaskan usulannya.

“Hahahaha, tidak percuma lohu memujimu sangat cemerlang. Usulanmu malah sangat teliti dan nampaknya sudah kau hitung dengan sangat cermat dan detail sehingga menunjuk orang dengan sangat tepat dan cermat. Baiklah, lohu bersedia ke Bu Tong Pay mengemban tugas dari Bengcu, dan sebaiknya Pengemis Tawa Gila menuju ke utara Yang Ce memberitahu keadaan kepada Kay Pang Pangcu” Tegas Pengemis Ciu Sian Sin Kay.

“Hiongcu, bagaimana dengan markas besar kita? Apabila tinggal lohu ditambah dengan sembilan duta, apakah memadai untuk menghempang serangan dari luar”? Kho Tian Ceng menyela khawatir. Bukan karena takut, tetapi betapapun dalam keadaan yang tidak menentu, membiarkan markas pusat kosong seakan tidak terjaga, akan sangat berbahaya.

“Menilik keadaan genting bagi kita, baiklah untuk sementara kuserahkan medali tanda kepercayaan suhu kepadamu. Di Daerah Terlarang kita ada sebuah gua tempat Sai-cu Lo-Kay (Pengemis Tua Bermuka Singa) sute dihukum oleh suhu. Apabila sangat terpaksa, undang Sai Cu sute dengan medali tersebut dan katakan bahwa ada perintah suhu melalui medali ini untuk menjaga markas besar.

Tapi ingat, jangan sekali-kali bertanya sebab Sai Cu Sute dihukum, karena akibatnya bisa sangat merugikan kalian dan juga jangan sebutkan kalau medali ini berasal dari lohu. Katakan berasal dari suhu dan digunakan bila sangat mendesak sesuai pesan suhu” Demikian Ciu Sian sambil menyerahkan sebuah medali perak yang matanya berukiran naga melingkar, sebuah tanda pengenal dari Kiong Siang Han.

“Dan sekarang, biarkan lohu pergi, sudah cukup lama berdiskusi dengan Kiang Bengcu dan hujin, biarlah kita bertemu lagi sebelum ke Lam Hay, lohu akan menemani kalian menemui si tua Ouwyang di Lautan Selatan” Selesai bicara Ciu Sian Sin Kay berjalan keluar diiringi tatapan bingung dari kedua hu-pangcu.

“Tapi Hiongcu, mengapa tidak menunggu kita bersantap bersama”? Belum habis upaya Kho Tian Ceng menahan Ciu Sian tubuhnya sudah berkelabat lenyap.
 
BAB 5 teka-teki di siauw lin sie
1 duta agung di siauw lin sie



Kuil Siauw Lim Sie dalam sejarahnya didirikan oleh seorang Pendeta Budha yang berasal dari India, seorang Pendeta Sakti yang kemudian dikenal dengan nama Tat Mo Couwsu. Pendeta Sakti inilah yang dipercaya sebagai pendiri Kuil Siauw Lim Sie di Gunung Siong San dan sudah memiliki sejarah yang sangat panjang dalam dunia persilatan.

Nama besarnyapun sudah mengangkasa, bahkan mendahului menjulangnya nama Lembah Pualam Hijau dan Bu Tong Pay. Meskipun kejayaannya turun naik di dunia persilatan, tergantung bakat dan pengembangan ilmu silat dari murid-muridnya, tetapi soal kedudukan kuil itu sendiri sudah merasuk kuat sebagai sebuah kuil Budha yang keramat.

Salah satu puncak keemasan Siauw Lim Pay adalah ketika dipimpin oleh Pendeta Sakti Kian Ti Hosiang, salah satu Pendeta Sakti yang sanggup meyakini Ih Kin Keng secara sempurna. Kesempurnaannya itulah yang kemudian membuat Ilmu Berat Siauw Lim Pay lainnya seperti Tay Lo Kim Kong Ciang dan Tay Lo Kim Kong Sin Kiam, Ilmu Jari Kim Kong Ci, Ilmu Berat Budha lainnya yakni Selaksa Tangan Budha, bisa disempurnakannya.

Bahkan, meski hampir tidak diketahui banyak tokoh Siauw Lim, Kian Ti Hosiang juga mampu mengerahkan tenaga sakti menuruti Ilmu Sai Cu Ho Kang, yang sudah sarat kekuatan Batin saking sempurnanya Tenaga Dalamnya. Di puncak kesempurnaannya, Sai Cu Ho Kang bisa digunakan untuk menangkal dan bahkan menusuk langsung sasaran penyerang yang menggunakan Ilmu Hitam, terutama yang menggunakan kekuatan suara untuk menyerang dan mengelabui.

Ke-4 tokoh gaib yang dianggap dewa dunia persilatan tetapi sudah lenyap dewasa ini, tahu belaka kemampuan-kemampuan gaib yang dimiliki Pendeta Sakti Siauw Lim ini. Untuk diketahui, tidak semua Ketua Siauw Lim Sie mampu meyakini dan mendalami Ih Kin Keng hingga ke puncak kesempurnaan dan kematangannya, bahkan ada beberapa yang tidak mampu meyakini ilmu tenaga sakti yang satu ini.

Padahal, kesempurnaan Ilmu Siauw Lim Sie dan bahkan jamak dikenal Gudang Ilmu di Tionggoan, tergantung penguasaan Tenaga Sakti yang dipupuk perlahan-lahan ini.

Salah satu keistimewaan Siauw Lim Sie adalah semakin terkoleksinya kumpulan Ilmu Saktinya di Kamar Penyimpan Pusaka yang khusus dijaga oleh Hwesio Tingkat tinggi. Kumpulan buku pusaka Siauw Lim Sie terus bertambah karena pendalaman Pendeta-Pendeta Sakti yang mampu menembus kesempurnaan ilmu dari generasi ke generasi.

Karena itu, selain Ih Kin Keng yang mujijat, di perpustakaan Siauw Lim Sie juga sudah ada buku-buku pusaka lain yang memuat Ilmu semisal Lo Han Kun, Kim Kong Ci, Tay Lo Kim Kong Ciang dan sejumlah besar Ilmu Rahasia Siauw Lim Sie lainnya. Bahkan paling akhir, gubahan praktis mempelajari Tay Lo Kim Kong Sin Kiam sudah ditulis dan disumbangkan oleh Kian Ti Hosiang kira-kira 40 tahun sebelumnya.

Perpustakaan Siauw Lim Sie memang terbagi atas buku-buku keagamaan, buku sejarah, buku pengobatan dan kitab Ilmu Silat yang tentu banyak diidam-idamkan kaum persilatan. Hanya saja, dari generasi ke genarasi, penjaga kamar penyimpan pusaka pastilah seorang Pendeta Sakti yang sudah sepuh di kuil tersebut.

Dan dengan adanya penjaga yang demikian sakti, maka ciut jugalah nyali banyak orang untuk menyatroni ataupun menyusup ke kuil untuk mencuri buku silat tersebut.

Pada generasi cerita ini, penjaga ruang penyimpan kitab adalah dari generasi Thian, masih satu generasi di atas angkatan Kong yang dewasa ini menjadi generasi Ketua Siuaw Lim Sie. Bahkan penjaga Ruang Kitab masih terhitung Susiok (Paman Guru) dari Ketua Siauw Lim Sie yang menjabat saat ini.

Pendeta Sakti penjaga kitab saat ini bernama Thian Ki Hwesio yang merupakan adik seperguruan dari Thian Ho Hwesio guru dari Kong Hian Hwesio yang muncul menolong Pangeran Liong pada awal cerita ini dan sutenya Kong Sian Hwesio yang sekarang menjabat Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

Hwesio Pengembara Kong Hian Hwesio merupakan salah satu Pendeta terkenal yang dimiliki oleh Siauw Lim Sie karena gemar bertualang dan membaktikan ilmunya baik agama maupun ilmu silat. Namanya ikut mengharumkan kebesaran Kuil Siauw Lim Sie karena perbuatan-perbuatannya yang mulia dalam enolong banyak sesamanya. Meskipun berkali-kali Kong Sian Hwesio memanggilnya membantu di kuil, tetapi Kong Hian Hwesio lebih tertarik untuk berkelana.

Selain tempat penyimpan pusaka, Siauw Lim Sie juga memiliki ruangan rahasia lainnya yang terpisah dari kuil, tetapi berada di belakang gunung, dan hanya mungkin dicapai dengan melewati Kuil Siauw Lim Sie. Tempat ini adalah tempat terlarang bahkan bagi para murid Siauw Lim Sie dan biasanya hanya Ketua Kuil yang memiliki wewenang, itupun bila dengan sangat terpaksa, untuk memasuki tempat terlarang tersebut.

Dan dalam 30 tahun terakhir, bahkan Ketua Siuaw Lim Sie tidak pernah menginjak tempat terlarang ini. Disinilah terdapat 2 ruangan terpisah yang tidak terhubungkan kecuali melalui mulut ruang terlarang. Ruangan-ruangan sebelah kiri adalah ruang penyesalan yang merupakan tempat menyiksa diri ataupun tempat menyesali diri dan diperuntukkan bagi para tokoh besar Siauw Lim Sie yang dihukum karena melakukan pelanggaran.

Dewasa ini, bahkan Ketua Siauw Lim Sie tidak tahu apakah ada penghuninya atau tidak, karena dijamannya hampir tidak ada petinggi Siauw Lim Sie yang melakukan pelanggaran serius. Tapi entah kalau generasi sebelumnya. Sementara ruangan lainnya adalah ruangan menyepi atau ruangan menyucikan diri bagi tokoh besar Siauw Lim Sie yang telah memilih untuk mengasingkan diri.

Ruangan-ruangan ini biasanya tembus ke tebing tak berdasar di belakang gunung Siong San dan karenanya mustahil untuk memasuki dunia ramai jika melalui tebing nan tinggi tersebut. Di salah satu ruangan ini, seingat Kong Sian Hwesio tinggal dan mengasingkan diri beberapa tetua dan sesepuh Siauw Lim Sie, diantaranya adalah Generasi Ketua Siauw Lim Sie di atas Kong Sian Hwesio yakni Thian Kok Hwesio dan 2 orang lainnya dari generasi Thian yang salah satunya adalah murid Kian Ti Hosiang yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia luar.

Murid tersebut adalah keturunan keluarga Kiang di lembah pualam hijau yang sejak menjadi pendeta memilih untuk menyucikan diri di ruangan terlarang tersebut mengikuti Kian Ti Hosiang, dan sampai puluhan tahun tidak pernah ada yang melihatnya keluar dari ruangan tersebut.

Bahkan Ketua Siauw Lim Sie dewasa ini tidak tahu dan tidak lagi pernah bertemu Kian Ti Hosiang sejak Pendeta Sakti tersebut mengasingkan diri di ruangan terlarang tersebut, seperti juga tidak lagi pernah mendengar dan bersua dengan kedua sesepuh lain dari generasi Thian kecuali Thian Kok Hwesio.

Siang itu gunung Siong San sedang cerah-cerahnya, pemandangan alamnyapun sedang dalam waktu yang tepat untuk menikmati keindahannya. Barisan pohon yang menjaga kerindangan dan kesenyapan sekitar Kuil Siauw Lim Sie nampak kokoh ditempatnya dan menghasilkan semilir angin yang meniup kearah kuil.

Kuil Siauw Lim Sie sendiri nampak berdiri kokoh dan kuat di Gunung Siong San, dan tangganya yang meliuk-liuk mulai dari tatakan tangga terbawah, hingga memasuki pertengahan yang sudah dipasangi pegangan dan pagar karena semakin curam, menghasilkan pemandangan bagaikan ular meliuk melingkari bumi dari bawah. Di beberapa tempat nampak beberapa bhiksu yang menjadi penjaga jalan masuk berada di postnya masing-masing, tetapi di beberapa tempat, meski kelihatan lengang, meskipun sebetulnya juga dijaga oleh Pendeta Siuaw Lim dari tingkatan yang lebih tinggi.

Semakin ke atas, semakin kuat penjagaannya tetapi semakin tidak kelihatan penjaganya karena semakin tinggi ilmu dan tingkatan pendeta Siauw Lim yang menjaganya. Demikian seterusnya sampai ke pintu masuk kuil Siauw Lim Sie, berjejer penjagaan dari murid terbawah sampai ketingkat yang lebih tinggi.

Udara yang cerah dan kebisuan yang melenakan itu tiba-tiba dipecahkan oleh bunyi genta dari Puncak Gunung, tepat dari Kuil Siauw Lim Sie. Genta dipukul 2 kali dan diselingi jedah beberapa detik untuk kemudian terdengar lagi dengan nada dan ketukan yang sama 2 kali. Apabila genta dibunyikan dengan nada dan irama yang demikian, itu adalah pertanda bahwa Siauw Lim Sie sedang kedatangan tamu terhormat.

Menjadi tradisi bagi Siauw Lim Sie, apabila kedatangan tamu kehormatan atau tamu terhormat, maka Ciangbunjin sendiri yang harus menyambut di pintu masuk utama kuil. Tetapi pada saat itu Ketua Siauw Lim Sie sedang bersemadhi dan menutup diri, dan oleh karena itu yang menyambut kedepan adalah wakil ciangbunjin Kong Him Hwesio, sute Kong Sian Hwesio sendiri.

Kong Him Hwesio menyambut tamu tersebut bersama beberapa sesepuh dari Siauw Lim Sie, 3 orang Pendeta Tua dari angkatan Kong, serta beberapa murid utama dari angkatan di bawah angkatan Kong yakni murid angkatan “Pek”, yang bila tradisi berjalan normal akan mewarisi kedudukan Ketua Siauw Lim Sie nantinya. Mereka nampak bergegas menyambut tamu tersebut di pintu masuk kuil untuk selanjutnya dipersilahkan memasuki kuil utama.

“Omitohud, Siauw Lim Sie sungguh beruntung menerima kedatangan Kiang Bengcu. Mari, mari Kiang Bengcu, maafkan Kong Sian Ciangbunjin suheng yang sedang menutup diri dan maaf pinto yang kemudian menyambut Kiang Bengcu dan rombongan” Kong Him Hwesio menyambut dengan suara lembut diikuti rombongan penyambut tamu mereka.

Meskipun hanya sebagai wakil Ciangbunjin, tetapi kong Him Hwesio nampak sangat berwibawa, karena sudah terbiasa dengan tugasnya untuk menggantikan Ciangbunjin Suhengnya ketika berhalangan.

“Sungguh merepotkan Siauw Lim Sie yang sedang menikmati ketenangan yang menyatu dengan keindahan alam Siong San” Kiang Hong membalas penghormatan Kong Sim Hwesio bersama-sama dengan Istrinya Bi Hiong, Duta Dalam Lembah Pualam Hijau dan salah seorang Duta Hukum Lembah Pualam Hijau yang ikut bersamanya.

“Sudah lama Siauw Lim tidak menerima kunjungan Bengcu dari Lembah Pualam Hijau, jika hari ini kebetulan Bengcu bertamu, bukankah sungguh menjadi hari yang gembira bagi Siauw Lim”? Kong Him Hwesio pandai berbasa-basi, tetapi selebihnya memang benar.

Bahkan sebelum Kiang Hong menjadi Bengcu dan Duta Agung Lembah, Kiang Cun Le sendiri sudah lebih dari 5 tahun tidak datang mengunjungi Siauw Lim Sie secara resmi. Karena itu, terhitung sudah lebih 10 tahun dan sudah cukup lama Siauw Lim Sie tidak menerima kunjungan dari Lembah Pualam Hijau, tepatnya tidak menerima kunjungan Bengcu dari Lembah Pualam Hijau.

“Mari Kiang Bengcu, kita sebaiknya melanjutkan percakapan di dalam” Undang Kong Him Hwesio yang kemudian mengarahkan rombongan tamu untuk memasuki ruangan penerima tamu Siauw Lim Sie.

“Mari” Kiang Hong juga beranjak memenuhi ajakan dan undangan tuan rumah dan bersama Duta Dalam dan Duta Hukum Lembah Pualam Hijau memasuki Kuil Siauw Lim Sie.

Kuil Siauw Lim Sie sendiri sudah banyak mengalami penyesuaian, meskipun bagian dalam kuil masih tetap terlarang bagi wanita. Tetapi untuk mengatasi kerumitan tersebut, Siauw Lim Sie sudah membangun Ruang Pertemuan lain yang terpisah dari bagian utama yang tetap terlarang bagi wanita.

Bi Hiongpun sudah sangat maklum atas aturan ini, dan karena mengenal aturan ini serta menghormati Siauw Lim, maka Bi Hiong menurut saja. Dan seperti dugaannya, ke ruangan pertemuan itulah mereka diajak masuk bersama dengan Kong Him Hwesio dan 3 sesepuh lainnya dari angkatan Kong yang mendampingi Kong Him Hwesio, yakni masing-masing Kong Tim Hwesio, Kong Si Hwesio dan Kong Ci Hwesio.

Ruangan pertemuan yang dibangun untuk menyesuaikan dengan keadaan rimba persilatan yang terus berubah, dibangun berdekatan dengan ruangan untuk menginap bagi para tamu, termasuk ruangan khusus bagi tamu kehormatan. Dan ruangan tamu inipun, dibangun tidak berbeda dengan ruangan tamu lainnya, yang dulunya sering digunakan untuk menyambut tamu-tamu Siauw Lim Sie.

“Kiang Bengcu, atas nama Ciangbunjin pinto mohon maaf karena Ciangbunjin masih menutup diri, dan sesuai pesannya masih 2 ada hari lagi waktu yang dibutuhkan beliau untuk kemudian menyelesaikan samadinya” Demikian Kong Him Hwesio memulai percakapan. Dan memang akhir-akhir ini, Ciangbunjin Siauw Lim Sie lebih banyak menutup diri bersamadhi dan lebih banyak menyerahkan urusan-urusan kuil kepada sutenya, sekaligus wakil Ciangbunjin Kong Him Hwesio ini.

“Ah tidak mengapa Losuhu, kami bisa menunggu. Sebagaimana losuhu ketahui, rimba persilatan sudah semakin bergolak, dan karena itu siauwte datang memberanikan diri berkunjung kepada Kong Sian Hwesio untuk mohon petunjuk dan berunding soal bagaimana menanganinya. Nampaknya Lembah Pualam Hijau tidak mungkin sendirian menanganinya” Jawab Kiang Hong.

“Ah, ya, pinto sudah mendengarnya. Bila menilik keseriusan Kiang Bengcu, nampaknya persoalan ini menjadi semakin serius” Kong Him Hwesio menarik nafas panjang, karena betapapun dari jaringan murid Siauw Lim Sie, Jong Him Hwesio sudah mendengar kejadian-kejadian terakhir yang sangat merisaukan dan sangat mengganggu itu.

“Benar losuhu, Kun Lun Pay sudah menjadi korban, dan beruntung kami masih sempat memberi bantuan pada saat terakhir. Tetapi, korban puluhan anak murid Kun Lun Pay tidak terhindarkan. Go Bie Pay malah lebih buruk lagi, hampir semua tokoh utamanya terbinasakan, dan hanya ada beberapa orang dari mereka yang sempat menyelamatkan diri, dan ada puluhan murid yang turun dari gunung melarikan diri” Jelas Kiang Hong

“Jika demikian, masalahnya memang sudah sangat serius. Adakah Kiang Bengcu sudah menemukan titik terang dari persoalan ini”? Tanya Kong Him Hwesio yang menampakkan roman yang semakin prihatin atas keadaan dunia persilatan Tionggoan.

Kiang Hong melirik istrinya untuk memberi penjelasan lebih jauh terhadap masalah dunia persilatan, dan memang dalam menjelaskan dan menganalisis keadaan, Bi Hiong adalah ahlinya:

“Losuhu, rangkaian kejadian yang kita alami demikian aneh dan banyak sisinya yang sangat mencurigakan. Baik kejadian penyusupan di Lembah Pualam Hijau, penyerangan ke Kun Lun Pay, hilangnya dan terbunuhnya banyak pesilat Tionggoan, perpecahan di Kay Pang, maupun kejadian lainnya, nampak seperti rentetan berurutan yang tidak teratur. Tetapi, bila diteliti lebih jauh, mulai dari dasar silat perusuh, symbol Lam Hay Bun yang digunakan, memecah Kay Pang, menyerang Lembah Pualam Hijau, menjadi sangat mungkin bahwa semuanya bukan kejadian yang masing-masing yang berdiri sendiri. Jauh lebih mungkin semuanya diatur dengan siasat jangka panjang yang sangat lihay. Karena itu, sebelum bertemu Ciangbunjin Siauw Lim Sie, kamipun ingin mengingatkan Siauw Lim Sie untuk agak berhati-hati, sebab bila perhitungan kami tidak keliru, Siauw Lim Sie juga bakal mengalami gangguan, juga termasuk Bu Tong Pay. Bukan untuk merusak dan menyerbu Siauw Lim Sie, karena mereka nampaknya masih cukup tahu diri untuk berlaku demikian, tetapi untuk menenggelamkan pamor Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie, Kay Pang dan Bu Tong Pay” jelas Bi Hiong.

“Apa maksud mereka jika demikian”? Kong Him Hwesio bertanya lagi dan menjadi semakin tertarik.

“Mudah ditebak. Untuk memerosotkan semangat perjuangan pendekar Tionggoan adalah dengan merusak repuitasi 4 tempat utama yang selama ini dianggap tulang punggung dunia persilatan. Dan apabila 4 tempat itu bisa diganggu, diserang dan dicederai, maka semangat kaum persilatan Tionggoan akan banyak merosot” jawab Bi Hiong singkat dan tegas. Hal yang membuat Kong Him Hwesio jadi mengangguk-angguk mengerti.

“Masuk akal, dan sangat mungkin demikian. Pinto tidak bisa menarik keputusan dalam hal ini, sangat baik bila Kiang Bengcu dan rombongan menanti di Siauw Lim Sie sampai Ciangbunjin Suheng menyelesaikan semedinya dan kita membahas lebih cermat langkah-langkah kedepan yang perlu kita ambil dan kerjakan” Saran Kong Him Hwesio.

“Baiklah, kita tetapkan demikian Losuhu. Kebetulan, kamipun agak penat mengejar ke Siauw Lim Sie dari Kay Pang” Sambut Kiang Hong atas tawaran tersebut yang berarti mereka harus menunggu waktu lebih 2 hari lagi di Siauw Lim Sie.

Kong Him Hwesio mengatur ketiga tamunya menginap di sebelah selatan ruangan utama yang memang menjadi tempat menginap tamu utama Siauw Lim Sie dengan menempatkan 2 orang pendeta muda untuk melayani kebutuhan tamu-tamunya tersebut.

Sementara Kiang Hong dan Bi Hiong sendiri lebih memanfaatkan waktu luang mereka untuk memperdalam ilmunya masing-masing. Terlebih karena suasana yang tenang dan sepi di Siauw Lim Sie memang sangat menunjang pemusatan pikiran mereka. Kiang Hong sebagaimana disarankan ayahnya Kiang Cun Le diharuskan banyak memperdalam dan meningkatkan tenaga murninya guna meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan semua ilmu keluarganya, termasuk yang terbaru Khong in loh Thian.

Kiang Hong juga mencoba untuk memetik banyak keuntungan dari pertarungannya dengan Ciu Sian Sin Kay, terutama dalam upaya mencari cela memancing lawan menyerang dan melepaskan Khong in loh Thian. Selain juga dia berupaya untuk memperdalamn jurus “Dewa Menunjukkan Jalan”, yang menurutnya masih harus terus diperdalam karena belum sepenuhnya dipahaminya. Selebihnya Koang Hong melakukan siulian (Samadhi) untuk memperkuat tenaga iweekangnya.
 
2 pencurian



Sementara itu, kerja lebih keras dilakukan oleh Bi Hiong. Di Laut Timur, dia memperoleh banyak sekali kemajuan setelah ditempa dengan sangat serius oleh adik dari mertuanya yang menjadi Pertapa Wanita Sakti di Timur. Ilmu ginkang Te Hun Thian boleh dikata merupakan ilmu yang paling mudah dimanfaatkannya, karena berupa ilmu peringan tubuh yang rahasianya dibuka seluasnya oleh wanita sakti dari timur tersebut.

Sementara Hue Hong Bu Liu Kiam, meskipun baru tetapi banyak kemiripan dengan Toa Hong Kiamsut yang sudah dikuasainya dan juga senafas dengan kelemasan yang dilatihnya sejak kecil di Bu Tong Pay. Karena itu, dengan ilmu ini Bi Hiong juga tidak mengalami banyak kesulitan dalam menguasai dan mengembangkannya, meskipun setiap mencobanya, terutama ketika melatihnya dengan Ciu Sian di Kay Pang, bukan sedikit perkembangan baru yang dilihatnya dan kemudian diperdalamnya di Siauw Lim Sie.

Dan yang paling berat untuk dilakukannya adalah Hun-kong-ciok-eng (atau menembus sinar menangkap bayangan), sebuah ilmu yang sarat kekuatan batin dan harus dilakukan dengan tingkat kematangan Iweekang yang cukup.

Ilmu ini tidak akan menunjukkan perbawa berarti tanpa dilambari kekuatan iweekang dan kekuatan batin yang memadai. Untungnya, Bi Hiong sendiri sudah pernah menggembleng dirinya di pembaringan Giok Hijau di Lembah Pualam Hijau selama 3 tahun terakhir menjadi istri Kiang Hong. Dan meskipun belum sematang Kiang Hong, tetapi tenaga Giok Ceng yang berbasis “Im” dan “lemas” yang mirip Bu Tong Sin Kang yang dihimpun dengan alrus hawa Liang Gie Sim Hwat membuatnya tidak kesulitan dalam memperdalam dan meningkatkan iweekangnya di Lembah Puakam Hijau.

lmunya yang terakhir dari Pertapa Wanita Sakti dari Timur tersebut memadukan kekuatan batin, kekuatan iweekang dan ginkang Te hun Thian, untuk menerobos dan menembus langsung sumber serangan, baik serangan Ilmu Silat maupun ilmu Sihir. Pendeta Wanita dari timurpun mewanti-wanti Bi Hiong untuk terus menyempurnakan ilmu ini dan tidak sembarangan mempergunakannya.

“Perbawanya kuperhitungkan tidak berada di bawah Khong in loh Thian, dan terpaksa kuwariskan kepadamu karena persoalan yang akan kalian hadapi” demikian pesan Liong-i-Sinni kepadanya. Karena itu, Bi Hiong mencurahkan banyak perhatiannya akhir-akhir ini untuk memperdalam ilmu tersebut.

Dan sangat kebetulan, mereka memperoleh waktu 2 hari yang cukup luang untuk dimanfaatkan mematangkan dan mengendapkan ilmu-ilmu tersebut.

Demikianlah, kedua suami istri sakti tersebut terus menggembleng diri dengan ilmu masing-masing selama 2 hari di Siauw Lim Sie. Untuk sementara mereka melupakan suasana Siauw Lim Sie, juga tidak tertarik untuk menikmati keindahan alam Siong San, tetapi terus tenggelam dalam pendalaman ilmu masing-masing.

Terlebih, karena mereka merencanakan untuk mengunjungi Lam Hay Bun, sesuatu yang bahkan belum pernah dilakukan oleh pendahulu mereka, bahkan oleh Kiang Cun Le sekalipun. Karena keseriusan mereka, tidak sedikit kemajuan yang diperoleh mereka masing-masing, terutama karena keduanya sudah sempat mencoba ilmu baru mereka menghadapi seorang sakti seperti Ciu Sian Sin Kay.

Diam-diam keduanya berterima kasih kepada Ciu Sian Sin Kay, karena menghadapi Hang Liong Sip Pat Ciang, Tah Kau Pang Hoat, Ciu Sian Cap Pik Ciang, sungguh pengalaman luar biasa yang membuka cakrawala baru Ilmu Silat mereka berdua. Dari pertarungan tersebut mereka memperoleh banyak gambaran mengenai kelemahan mereka dan mampu melihat cela dari kematangan ilmu masing-masing.

Karena itu mereka sadar, bahwa bukan tanpa maksud Ciu Sian Sin Kay yang demikian sakti “memaksa” mereka berlatih dan bertanding. Meskipun cara yang dilakukannya terkesan sangat aneh dan terkesan memaksa, tetapi pada akhirnya mereka melihat ketajaman mata Ciu Sian Sin Kay.

Siauw Lim Sie sendiri larut dalam aktifitas sehari-hari mereka dan nyaris tiada sesuatu yang penting terjadi dalam 2 hari terakhir. Kong Sian Hwesio masih bersemadi dan akan menyelesaikannya baru besok pagi, Kong Him Hwesio menjalankan tugas sebagai pelaksana Ciangbunjin dan menangani tugas-tugas sehari-hari.

Baik menyapa Kiang Hong dan Bi Hiong, maupun tugas-tugas peribadatan lainnya, selain meninjau latihan ilmu silat murid-muridnya dan tugas-tugas lain di kuil. Semuanya berjalan lancar dan seperti biasanya sampai malam kedua, dan nampaknya tidak ada orang yang menyadari bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi di Siauw Lim Sie, di depan hidung Kiang Bengcu dan yang ikut mempengaruhi kejadian di dunia persilatan kelak.

Bahkan kejadian tersebut meninggalkan tanda-tanya yang sulit dipecahkan, bahkanpun oleh Kiang Bengcu dan istrinya yang sangat cerdas itu. Karena kejadian itu, justru seperti membuat mereka “serba salah”

Malam itu, malam terakhir Kong Sian Hwesio, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menutup diri, sudah beberapa waktu lepas dari tengah malam. Tetapi telinga tajam Kiang Hong dan Bi Hiong sayup-sayup mendengar suara-suara yang tidak biasanya. Agak ramai dan seperti sedang terjadi sesuatu yang tidak lazim terjadi di Kuil Siauw Lim Sie, gudangnya Ilmu Silat Tionggoan.

Tetapi, karena berada di Kuil Siauw Lim Sie, serta menghormati tuan rumah, maka keduanya hanya saling memandang, karena keduanya sebetulnya sedang dipuncak pengerahan ilmu masing-masing. Tetapi ketika mendengar genta dibunyikan bertalu-talu sebagai tanda ada kejadian luar biasa, dan bahkan diikuti dengan teriakan-teriakan beberapa Pendeta, Kiang Hong dan Bi Hiong dengan cepat mencelat keluar kamar, dan hanya sepersekian detik, Duta Hukum juga sudah berdiri disamping mereka berdua. Mereka segera sadar, sesuatu yang luar biasa pasti sedang terjadi di Siauw Lim Sie.

Menyadari keadaan tersebut, dengan cepat Kiang Hong mengambil keputusan dan mengeluarkan perintah:
“Duta dalam, segera lakukan penyisiran di luar kuil, Duta Hukum dampingi Duta dalam, aku akan memasuki ruangan dalam Siauw Lim Sie. Cepat bertindak” Secepat mengeluarkan perintah, secepat itu pula Kiang Hong bertindak memasuki Kuil Siauw Lim Sie yang nampak sedang sibuk.

Sangat tepat, karena dia memperhitungkan Bi Hiong tidak mungkin memasuki ruangan dalam tanpa ijin, karena itu dia memerintahkan untuk memeriksa bahagian luar dari bangunan Kuil. Dan Bi Hiongpun bersama Duta Hukum dengan cepat melesat keluar kuil untuk melakukan penyelidikan dan penyisiran dari luar, sebab Kiang Hong memperhitungkan penyusupan dari luar.

Bi Hiong dengan cepat menangkap perintah suaminya sebagai Duta Agung Lembah yang sedang bertugas sebagai Bengcu dan karena itu akalnya yang panjang segera menuntunnya kearah yang mungkin sebagai tempat larinya seorang penyusup. Jikapun benar ada penyusup dalam kuil Siauw Lim Sie.

Sementara itu Kiang Hong dengan cepat memasuki ruangan dalam dan mengikuti arus para pendeta yang berlarian, dia segera tiba di tempat kejadian yang ternyata adalah Ruang Penyimpan Kitab. Di sana sudah berkumpul para tetua Siauw Lim Sie, bahkan pelaksana Ketua Siauw Lim Sie, Kong Him Hwesio sudah juga berada disana dan sedang mendekati tubuh Thian Ki Hwesio yang nampaknya terluka.

Sekali pandang, meski dari jarak yang cukup jauh, Kiang Hong menyadari bahwa luka Thian Ki Hwesio nampaknya agak parah, tetapi ketika melihat raut wajah Thian Ki Hwesio, Kiang Hong menjadi sangat tercekat. Nampaknya Thian Ki Hwesio seperti tergetar luka oleh sinkang khas keluarganya, nampak dari seri wajah Hwesio itu yang bersemu kehijauan.

Saking kagetnya, Kiang Hong ikut meloncat mendekati Thian Ki Hwesio dan berdiri disamping Kong Him Hwesio yang sedang meneliti keadaan Thian Ki Hwesio. Kong Him hanya memandang sekilas kepadanya dan beberapa saat kemudian sambil menarik nafas panjang dia memandang Kiang Hong yang juga menjadi tegang karena keadaan yang sangat ganjil ini.

Bagaimana mungkin Hwesio sakti ini bisa terluka di tangan Giok Ceng Sinkang? Dan lebih terkejut lagi, ketika memeriksa keadaan Thian Ki Hwesio, dia sadar Hwesio ini nampaknya tergetar tanpa persiapan menangkis dengan hawa murni yang memadai.

“Kiang Bengcu, sebaiknya Kiang Bengcu melakukan pemeriksaan sendiri lebih dalam atas luka Susiok Thian Ki Hwesio” ujar Kong Him Hwesio dengan wajah murung, sangat murung malah.

“Tidak perlu Losuhu, sekali lihat saja bisa dipastikan Thian Ki Suhu tergetar luka oleh sebuah pukulan Giok Ceng Sinkang, dan bila tidak salah maka jika tidak didada sebelah kiri, maka pinggang sebelah kirinya pasti terdapat sebuah bekas pukulan” Desis Kiang Hong.

“Tepat sekali Kiang Bengcu, dada sebelah kiri terpukul oleh pukulan sakti dari Lembah Pualam Hijau, sungguh aneh karena bersamaan dengan kedatangan Bengcu” Keluh Kong Him Hwesio ragu.
Kiang Hong maklum dengan keadaan yang ganjil ini, terlalu ganjil malah, dan justru karena itu sambil menarik nafas panjang dan dengan wajah kebingungan dia berujar:

“Losuhu, sudah dua hari ini kami bertiga mengurung diri di kamar sambil bersiaga. Duta Dalam, Bi Hiong sudah ditugaskan untuk menyisir bagian luar kuil bersama duta hukum, sungguh akupun bingung dengan keadaan ini” Desis Kiang Hong.

“Suhu, hanya sebuah kitab pusaka yang sempat tercuri, nampaknya Tay Lo Kim Kong Sin Kiam yang ditulis sucouw telah lenyap dibawa orang” Seorang pendeta yang biasa bertugas membantu Thian Ki Hwesio tiba-tiba memberi laporan setelah keluar dari ruangan penyimpan kitab.

“Apakah sudah bisa dipastikan hanya kitab rahasia itu yang diambil” bertanya Kong Him Hwesio

“Sudah suhu, hanya kitab itu yang lenyap. Bahkan dalam ruangan tidak ada tanda-tanda membuka secara paksa ataupun jejak kaki orang. Pencurinya seperti hafal betul akan ruangan penyimpan kitab, dan dia tidak sedikitpun meninggalkan jejak maupun tanda yang mengarah kepadanya.

“Ya sudahlah, biar kita menunggu Susiok Thian Ki sembuh untuk mendengarkan kejadiannya” timpal Kong him Hwesio.

Belum lagi tubuh Thian Ki yang terluka digotong masuk keruangan dalam, dan belum lagi Kiang Hong bereaksi untuk membantu menyembuhkan Hwesio itu, tiba-tiba sebuah suara kembali berseru sambil kemudian menyampaikan laporan:

“Susiok” salah seorang keponakan Kong Him nampaknya yang memberi laporan sambil ditemani Duta Hukum Lembah Pualam Hijau dan memondong tubuh seorang pendeta lainnya

“Duta Dalam dan Duta Hukum Lembah pualam hijau bersama tecu menemukan Pek Khun Suheng di pintu luar bagian tenggara” Demikian lapor seorang murid dari angkatan Pek lainnya yang kebetulan bertugas meronda di bagian tenggara pada malam itu.

“Coba letakkan di lantai, dan apakah sudah diperiksa keadaannya”? Tanya Kong Him Hwesio

“Duta Dalam sudah memeriksanya dan nampaknya menurutnya sangat mencurigakan. Karena itu Duta Dalam melanjutkan usaha pemeriksaan dan mengutus tecu bersama Duta Hukum untuk memberi laporan. Menurut Kiang Hujin, Duta Dalam, Kong Him Susiok dan Kiang Bengcu akan bisa membicarakan keadaan dari Pek Khun Suheng” Demikian laporan dari Pek Bin Hwesio.

“Duta Hukum, apa yang kalian temukan” Tegur Kiang Hong

“Sungguh aneh Bengcu, pendeta ini tertotok dengan totokan khas Ilmu Tiam Hoat Pualam Hijau” Desis Duta Hukum masih kaget dan kebingungan menghadapi kenyataan yang sangat tak terduga ini.

“Sudah kuduga” Kiang Hong juga berdesis dan maklum mengapa istrinya mengirim tubuh Pek Khun Hwesio kedalam tanpa menyentuhnya sama sekali. Ketelitian istrinya sungguh mengagumkan.

“Kiang Bengcu, bisakah totokan muridku dibuka sekarang”? Kong Him Hwesio menatap Kiang Hong sambil bertanya dan meminta.

“Tentu Losuhu” Kiang Hong menghampiri tubuh Pek Khun Hwesio dan menepuk beberapa kali di jalan bagian tengkuk dan pinggang, dan dengan segera tubuh Pek Khun memberi reaksi. Tidak seberapa lama, Pek Khun Hwesio sadar dan dengan bingung memandang sekelilingnya, dan ketika melihat berkeliling dan menyadari kehadiran Kong Him Hwesio dihadapannya dengan segera dia memberi hormat dan bertanya:

“Suhu, ada apa gerangan, apa yang terjadi denganku”? Gumamnya kebingungan, seperti tidak mengerti mengapa dia berada di tengah kerumunan orang banyak.

“Pek Khun, hanya engkau seseorang nampaknya yang bisa menceritakan apa yang terjadi selain Thian Ki Supek yang terluka berat oleh sebuah ilmu pukulan” Sahut Kong Him Hwesio.

“Maksud suhu”? Pek Khun tetap bingung.

“Kuil kita baru saja kehilangan sebuah pusaka peninggalan sesepuh kita. Di luar kamar penyimpan pusaka, Susiok Thian Ki ditemukan terluka parah, dan terakhir Duta Dalam Pualam Hijau menemukanmu di luar dalam keadaan tertotok pula. Nah, apakah engkau bisa menceritakan apa yang terjadi atas dirimu”?

“Losuhu, bisakah kita menunda percakapan ini sebentar”? Suhu Thian Ki membutuhkan pertolongan segera. Jauh lebih baik kita menyembuhkan suhu Thian Ki untuk kemudian bertanya kepadanya dan juga kepada suhu Pek Khun” Saran Kiang Hong.

Dan Kong Him Hwesio tiba-tiba sadar bahwa Thian Ki Hwesio sedang terluka dan butuh penanganan secepatnya untuk tidak kehilangan jejak dan ketika. Karena itu dia segera menyetujui saran Kiang Hong dan memerintahkan anak muridnya untuk menggotong tubuh Thian Ki Hwesio yang terluka ke sebuah kamar perawatan, dan bergegas dengan Kiang Hong mereka menyusul ke kamar tersebut.

“Silahkan Kiang Bengcu, nampaknya pengobatan atas luka dalam susiok akan mengandalkan tenaga Kiang Bengcu” Demikian Kong Him Hwesio mempersilahkan Kiang Hong.

“Mari suhu” demikian, kemudian keduanya ikut menyusul untuk memasuki ruangan perawatan. Sementara hari sudah menjelang subuh, bahkan sinar di timur mulai merekah, tanda sebentar lagi matahari akan terbit.
Kiang Hong kemudian berinisiatif untuk kembali mendekati tubuh Thian Ki Hwesio yang telah diberi sebuah pil penguat badan yang berguna dan bermafaat bagi pengobatan luka dalam dari Siauw Lim Sie. Beberapa saat kemudian Kiang Hong berkata kepada Kong Him Hwesio,

“Jika tidak keberatan, biarkan siauwte untuk melakukan pengobatan yang cepat bagi Thian Ki suhu. Tetapi pengobatan ini bakal menyita waktu dan tenaga, jika boleh selain suhu Kong Him, mungkin yang lain boleh melanjutkan tugasnya. Duta Hukum, tolong ikut membantu menjaga di luar kamar ini” Demikian Kiang Hong.

Dan Kong Him Hwesio mengerti, bahwa memang dibutuhkan keleluasaan guna menunjang konsentrasi dan penyaluran tenaga yang akan dilakukan Kiang Hong untuk mengobati luka Thian Ki Hwesio. Karena itu, dia segera mengeluarkan perintah bagi pendeta lainnya untuk berada di luar kamar dan melanjutkan pekerjaan masing-masing karena hari sudah semakin terang. Setelah semuanya bergerak keluar, Kong Him Hwesio kemudian mempersilahkan Kiang Hong untuk memulai pengobatannya.

“Silahkan Kiang bengcu, pinto juga tidak akan berdiam lama disini karena harus menyambut Ciangbunjin Suheng dari semadinya” Berkata Kong Him Hwesio.

“Baik suhu” Kiang Hong kemudian mendekati tubuh Thian Ki dan melancarkan beberapa totokan di tubuhnya untuk memperlancar jalan darah dan menyumbat pendarahan diseputar jantung. Beberapa saat kemudian dia meminta bantuan Kong Him Hwesio untuk menegakkan duduk Thian Ki yang masih lemas dan belum sadarkan diri.

Dan dari belakang kemudian Kiang Hong memulai penyaluran Tenaga Dalam jenis Im dari Giok Ceng Sin Kang untuk melancarkan pernafasan Thian Ki Hwesio dan kemudian memperkuat Sinkang Thian Ki guna menerima pengobatan melalui penyaluran Tenaga Dalam Giok Ceng. Untungnya, selama ini Kiang Hong tidak melalaikan latihan sinkang Giok Cengnya, sehingga dia memiliki kesanggupan untuk mengobati Thian Ki Hwesio, si penjaga ruang kitab Siauw Lim Sie.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd