--------------------------------------------
“Kawaii….” Ekspresi gemas Kyoko begitu terlihat dengan jelas saat dia menggendong Alika, anak Dian, sepupuku. Alika yang masih 3-4 bulan itupun terlihat nyaman di gendongan Kyoko. Ya, Kyoko memang juga menyukai anak-anak. Aku bisa melihatnya, selama kami berdua jalan di jepang, aku selalu memperhatikan dirinya memandang gemas ke anak-anak yang lewat.
“Udah cocok tuh” canda Dian sambil duduk santai di atas sofa, memperhatikan Kyoko yang berdiri menggendong sang bayi.
“Sayang laki lo gak ada di mari” tawaku.
“Kan gawe doi, emangnya elo, main musik dapet duit” balas Dian.
“Sembarangan”
“Udah, buruan dikawin, ntar lepas loh” lanjut Dian.
“Berisik ah elo”
“Aya… So cute…” sahut Kyoko sumringah.
“Nah tuh, pengen bocah dah pacar lo…” tawa Dian
Kyoko melirik ke arahku dengan senyum penuh arti. Ya, aku mengerti kok. Suatu saat nanti pasti kami berdua akan memilikinya juga. Nanti Kyoko pasti akan menggendong anaknya sendiri. Dan anak itu harus kupastikan ayahnya adalah aku, dan aku jadi senyum-senyum sendiri karenanya.
“Mikirin apa sih ni orang” Dian bingung melihat aku senyum-senyum sendiri.
“Engga”
“Ga jelas, pasti mikir jorok” ledeknya.
“Jorok itu kayak comberan, guling-guling disawah, muntah, gitu ya” balasku.
“Ano… sumimasen.. Dari tadi…Kyoko tida bisa berenti berpiki… Kalau Dian-san mirip sekari dengan Ai-chan” ucap Kyoko memotong candaanku dengan senyumnya yang lucu, sambil sedikit-sedikit melirik ke arah Dian.
“Kan saudara” jawabku.
“Udah sering kok saya dibilang gitu” senyum Dian. “Tapi bahasa Indonesia nya Kyoko lancar banget loh” kagumnya.
“Ahahaha… terimakasi…” senyum Kyoko, masih menggendong Alika, sepertinya tidak akan dilepas-lepas olehnya, pikirku.
“Belajar mulu dia di Jepang, katanya pengen kalo kesini Indonesianya dah bisa buat ngomong dimana-mana” aku menambahkan.
“Terus Jepang elo gimana?” tanya Dian.
“Nah itu…” aku menggaruk-garuk kepala.
“Aya kurang rajin beraja nya…” tambah Kyoko.
“Elu mah urusan musik aja ya jago, dari dulu juga pelajaran apapun nilainya jelek” ledek Dian.
“Emangnya elo, bu dokter, rangking mulu, waktu sma sombong banget situ…” balasku.
“Haha” tawa Kyoko sambil mendengar pertengkaran lucu-lucuanku antara diriku dan Dian.
“Mau denger pendapat gue? Biasanya kalo lo punya pacar dulu selalu nanya pendapat gue…” bisik Dian saat dia melihat Kyoko lebih fokus ke sang bayi.
“Hus”
“Cocok sama elo…. Udah” senyum Dian sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih itu.
“Itu mah dah pasti”
“Wek” Dian menjulurkan lidahnya. “BTW Kyoko-san…” tegur Dian.
“Hai?” Kyoko tampak kaget karena perhatian penuhnya ke Alika teralihkan.
“Bawa aja bayinya, kalo suka” canda Dian.
“Eeee?Nani?” Kyoko tampak kaget dan bingung.
“Hahaha…”
“She’s just kidding… bercanda” sahutku dengan muka datar.
Kyoko hanya nyengir malu, karena dari tadi terlihat memang Kyoko menggendong Alika dengan penuh perasaan, seperti melihat seorang ibu sedang menggendong anaknya sendiri. Dan aku dalam hati tersenyum, semakin lama aura hangat Kyoko mulai menular ke lingkunganku. At least lingkungan keluarga besarku pun pasti senang melihat Kyoko dan interaksinya dengan dunianya. She will be a good wife and mother, I think.
--------------------------------------------
“Gokil” Stefan melirik ke dalam dapur, di sela-sela latihan. Anin sedang merokok dan Bagas sedang….. entahlah, dia di dalam, tampak tidak berpindah dari singgasana di balik drum dan handphonenya ia genggam dengan erat. Cukup aneh, mengingat dia lusa menikah, wajar apabila dia meminta kita libur latihan dulu, tapi menurut Anin, dia tidak menolak ketika diajak latihan.
Stefan sedang bingung melihat Kyoko begitu cekatan di dalam dapur. Segala macam bunyi dan gerakan lincahnya mewarnai dapur dengan auranya. Stefan sepertinya sudah tidak sabar untuk menunggu masakan Kyoko selesai.
“Dia baru dua hari disini udah kayak yang punya rumah gitu masaknya” komentar Stefan.
“Yah, wajar, dia dari awal udah janji mau masak kan disini, lagian lo tau sendiri dia jago masak banget” balasku.
“Gak wajar dia sih… Rasa masakannya dah kayak dewa gitu, jadi chef bisa tu anak”
“Kan skill masaknya dapet dari sekolahan…”
“Tapi ini gila men, rasa rumahan tapi kalo dijual bisa mahal” Stefan terus berusaha menekankan pendapatnya kalau masakan Kyoko itu magical.
Anin mendadak muncul di dekat aku dan Stefan, tampaknya dia juga penasaran ada keriaan apa di dapur. "Gokil" bisiknya sambil melihat aksi Kyoko.
"Lo ngikutin gue aja komen-komen gokil" sela Stefan.
"Suka-suka dong" balas Anin dengan muka gusar.
"BTW sepupu lu kan lusa nikah? Kok masih mau latihan sih?" tanya Stefan dengan pandangan heran ke arah Anin.
"Jangan tanya gue... Gue cuma nanya ke dia kemaren, mau libur dulu gak karena lusa kawinan dia, dia bilang ga usah, sampe ketemu di studio.... Gue juga bingung, emak gue aja udah repot bantu-bantu ortunya doi" jawab Anin panjang, dengan muka yang tak kalah herannya dengan kami berdua.
"Asli ajaib banget sepupu lo, terus dia juga mau aja lagi besoknya abis kawin langsung jalan ke Bandung buat manggung?" tanyaku.
"Pas ada tawaran buat manggung malam taun baru dimanapun, gue udah nanya ke dia, mau di skip aja gak, karena dia bakal kawin, dia jawab ga usah.... Terus gue mesti apa?" jawab Anin.
"Biarin lah, emang ajaib, makin serem gue lama-lama ama kelakuannya" komentar Stefan sambil berlalu, ke teras studio sambil menyalakan rokoknya.
"Yaudah latihan lagi kita, sambil nungguin makan malem kita beres" senyumku ke arah Anin sambil ikut berjalan bersama Stefan.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
"Sah juga akhirnya" bisik Stefan dalam setelan jas nya, siang itu.
"Ssst" aku berbisik menyuruhnya diam, sambil duduk diantara para tamu undangan ijab kabul antara Bagas dan Istrinya. Kyoko duduk disebelahku dalam dress berwarna cream yang cantik, sementara aku menggunakan kemeja batik lengan panjang. Dari tadi kulihat Kyoko tampak begitu seksama memperhatikan rangkaian proses ijab kabul, sambil sedikit-sedikit berbisik bertanya kepadaku kalau ada ucapan yang terlalu sulit, terutama doa-doa yang disampaikan oleh penghulu.
"Abis ini lo ngapain? Resepsinya kan baru malem" bisik Stefan. Sementara itu sanak saudara Bagas dan Istrinya tampak mendekati mereka, memberikan selamat dan berfoto-foto setelah selesai proses ijab kabul.
"Balik paling... Gak nyaman pake baju rapih-rapih kelamaan" jawabku.
"Temenin yuk kemana gitu, gue ga ngantor kan hari ini, gue udah sengajain ga masuk hari ini" lanjut Stefan sambil berdiri.
"Mending kita foto-foto dulu ama pengantin baru"
"Serius, kita jalan kemana gitu siang ampe malem, ajak pacar elo"
"Males..." jawabku.
"Cobain ke tempatnya Cheryl yuk... Penasaran gue, Anin biarin aja, pasti dia ntar jadi seksi repot kan buat ntar resepsi"
"Mending gue balik"
"Kalo balik kasian tar cewek lo hapus make up lagi, tar pake make up lagi...."
"Eh nani?" Kyoko mendengar percakapan kami.
"Enggak, dia pengen nongkrong dimana gitu abis ini sambil nunggu resepsi" bisikku.
"Nong.. kuronggu?"
"Ano..."
"Ayo lah men, capek gue kalo bolak balik rumah atau kemana, kalo siang-siang enak katanya tempatnya Cheryl buat ngopi..." bujuk Stefan.
"Ano... Stefan wa.. tsukare chatta. Dokka de mattari koohi demo shinai?" aku menjelaskan kalau Stefan ingin bersantai and maybe grab some coffee.
"Ah hai... Okei... Ayo, demo... Suda jam segini..." Kyoko melihat ke arah jam tangannya. "Sebenta lagi Aya harus... Ano... Shora Jum-at?" senyum Kyoko, mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka-sangka.
"Haaa" aku melongo karena tanpa kusangka Kyoko mengingatkanku soal Jum'atan.
"Hah?" Stefan juga tampak kaget mendengar Kyoko berbicara soal Jum'atan.
"Ahaha... Kyoko suda baca - baca soa isuram seberum ke sini, juga... Ano, karena akan lihat penikahan cara isuram... Jadi banya' baca ano... Duru Aya birang aya Moslem but not a good one, jadi Kyoko tiba-tiba ingat soa' shora jum-at untuk moslem yang pria" jelasnya panjang.
WTF. Iya aku ingat, waktu Kyoko panik karena ada kaldu babi di salah satu makanan yang disajikan saat christmas dinner tahun lalu. Tentunya setelah dia menanyakan kenapa aku tidak pernah merayakan natal. Tunggu. Dia mempelajari Islam? Jangan bilang dia juga sudah mempelajari bagaimana tatacara menikah di Indonesia? Aku tersenyum dan menepuk kepalanya. Hal-hal semacam inilah yang membuatku semakin menyayanginya sekaligus semakin khawatir karena bisa saja dia berkorban terlalu banyak untuk melakukan hal-hal seperti ini.
--------------------------------------------
Dan sehabis jumatan, sambil menunggu resepsi nanti malam, kami sudah berada di Pondok Indah Mall 3, di tempatnya Cheryl yang baru. Interior yang kekinian, dan penaataan tempat yang lebih modern memungkinkan tempat ini bisa berfungsi sebagai restoran dan coffee shop pada siang hari dan pada malam hari ada area yang bisa digunakan sebagai dancefloor dan ada area DJ Booth nya.
Pada siang hari, karena design ruangannya yang ciamik, cahaya matahari masuk dengan sempurna dan membuat suasana lebih segar yang membuat para pengunjung dapat betah dengan nyamannya. Design yang sama juga memungkinkan hingar-bingar malam hari terlihat dari kejauhan, mengundang orang untuk datang berkunjung. Kami bertiga, aku, Kyoko dan Stefan telah duduk dengan manis dan melihat-lihat menu.
Kyoko berbisik kepadaku, memberitahukan apa yang mau ia pesan. Aku mengangguk mengerti, sementara Stefan masih membolak-balik halaman menu.
“Mbak, pesen red velvet cakenya satu slice, terus untuk minumnya caffe latte satu, cappuccino satu ya…” aku mulai memesan untuk diriku dan Kyoko.
“Aya, tida pesan makanan?” Tanya Kyoko.
“Engga, masih kenyang tadi pas di akad nikah” jawabku.
“Kalau saya, ini deh, minta Heineken aja yang botol besar”
“Siang-siang mesen bir?” aku bingung melihatnya.
“Biarin” jawab Stefan cuek. “Oh iya mbak, Cherylnya ada?” Tanya Stefan ke waitress yang melayani kami.
“Ada mas” jawabnya.
“Panggilin dong, bilang ada temennya” pinta Stefan.
‘Lagi ada tamu Mas, tapi nanti saya bilangin pasti” senyum si Waitress.
“Oke tenkyu” balas Stefan sambil mengeluarkan rokok dan membakarnya.
“Ngapain pake bilang-bilang kalo ada kita ke Cheryl?” aku berbisik ke arah Stefan. Kyoko tampak sibuk memperhatikan dan menikmati sekelilingnya.
“Knapa emang”
“Gapapa, rada agak ga nyaman aja gue kalo dia negor kita terus gue mesti ngedengerin snob-snob nya” senyumku kecut.
“Ah santai aja”
Tak berapa lama pesanan kami semua datang dan kami masing-masing sibuk mengobrol, apapun yang bisa diobrolkan. Terutama banyak pertanyaan Kyoko soal prosesi akad nikah tadi. Pertanyaan-pertanyaan seputar detail, dan bagaiman resepsi ala orang Indonesia pun menjadi bahan pertanyaannya. Tentunya sangat berbeda dengan di Jepang. Di Jepang, pernikahan tradisional sedang tidak popular di kalangan para pengantin baru. Mereka lebih suka pernikahan ala barat atau hanya di catatan sipil saja. Berbeda dengan di Indonesia, di Indonesia pernikahan baru dinyatakan sah apabila sesuai hukum agama calon mempelai dengan mendaftarkan diri di kantor urusan agama. Sedangkan di Jepang, catatan sipil lah yang menentukan sah atau tidaknya pernikaha, untuk urusan prosesi agama, tidak diwajibkan dalam hukum Jepang.
Jadi jangan disalahkan kalau lantas para mempelai melakukan prosesi suka-suka sendiri. Pernikahan ala barat, yang tentunya mengacu ke agama Kristen dan dilakukan di gereja menjadi sangat popular, walaupun jumlah orang Kristen di Jepang tidak banyak. Karena sifatnya hanyalah seremonial dan perayaan, bukan sebagai penentu sah atau tidaknya pernikahan.
Oleh karena itu muncul anekdot di Jepang, yakni “lahir dengan upacara Shinto, menikah dengan upacara Kristen, dan meninggal dengan upacara Buddha”. Karena kebanyakan orang Jepang tidak mengikat dirinya ke agama apapun, dan dalam sehari-hari mereka lebih banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan spiritual yang bersifat turun temurun dan tradisi, yang kita kenal sebagai Shinto.
Kyoko tampak antusias mendengarkan penjelasanku dan Stefan soal budaya dan prosesi pernikahan di Indonesia, terutama dari sudut pandang agama mayoritas dan persyaratan-persyaratannya. Entah kenapa perasaan khawatirku soal pengorbanan Kyoko yang tampak terlalu besar bisa sedikit demi sedikit menghilang. Mungkin karena aku merasakan perasaan nyaman Kyoko ketika bersamaku. Mungkin juga akhirnya kekhawatiran-kekhawatiran ku tidak terbukti karena melihat bahasa tubuhnya yang bisa dibilang tidak menunjukkan sedikitpun rasa tidak nyaman.
“Eh kalian, akhirnya main kesini juga, rapih amat” Mendadak Cheryl muncul entah dari mana.
“Halo sayang… Apa kabar” Stefan bangkit dan memeluk Cheryl.
“Gue ulang lagi deh, rapih amat kalian”
“Abis dari akad nikahnya si Bagas, ntar malem resepsi, males kalo balik dulu soalnya” jawab Stefan.
“Hah… nikah?” kaget Cheryl.
“Iya”
“Kaget gue, orang kayak gitu punya pacar?”
“Udah lama pacarannya tau” senyumku sambil sedikit menyapa Cheryl.
“Ih Arya sama siapa?” senyum Cheryl ke arah Kyoko.
“Kyoko…” Kyoko berusaha berkenalan ala Indonesia dengan mengulurkan tangannya untuk bersalaman sambil berdiri. Gerakannya agak sedikit awkward karena cara berkenalan orang Jepang tidak seperti itu.
“Ah… Ini pacarnya Arya ya, lagi di Indonesia nih berarti”
“Iya” jawabku seadanya.
“Gue masuk lagi ya, masih ngobrol” lanjut Cheryl.
“Siapa sih tamunya, sombong amat” ledek Stefan.
“Si Kanaya” tawa Cheryl.
“Lah ngapain dia ke mari”
“Dia ngobrol soal kemungkinan dia gawe disini, udah stress katanya disono…. Ya wajar lah, ga ada gue disana, udah pasti bangkrutnya” jelas Cheryl panjang.
“Yowis sana gih” sahut Stefan pelan.
Dan mendadak aku hening, sambil menatap ke langkah Cheryl menjauhi kami. Kanaya. Aku sampai lupa soal Kanaya. Dan sekarang mendadak ingat lagi. Perasaan awkward mendadak meliputi diriku. Kanaya. Memang mau tak mau cepat atau lambat Kyoko pasti akan bertemu Kanaya, tapi tidak secepat dan setiba-tiba ini. Super kampret. Stefan menatapku dengan muka aneh, entah muka tidak enak atau muka menahan tawa. Tidak jelas.
“Kanaya men” bisiknya.
“Iya tau” Aku meregangkan badanku. Tentunya Stefan sudah tahu soal kejadian malam itu, sehari sebelum Kyoko datang. Ledakan kecil yang bisa jadi problem. Setidaknya problem di perasaan Kanaya dan perasaanku, tapi lebih ke perasaan tidak enak pada Kanaya yang sudah selama ini kuanggap sebagai teman dekat. Tentunya situasi seperti sekarang membuatku tidak nyaman.
“Ano… Kanaya wa… Aya no tomodachi yo?” Kyoko memastikan kepadaku soal nama Kanaya yang dia dengar.
“Hai… Ano Kanaya” Ya, Kanaya yang itu. Dan selanjutnya Kyoko tersenyum.
“Jya… Suda sering dengar cerita Aya tentangg Kanaya, jadi sekarang bisa betemu rangsung ya” lanjut Kyoko dengan nada antusias. Tentunya karena aku sering menceritakan soal Kanaya dan supportnya kepada aku dan teman-temanku.
“Haha” tawa Stefan kecil sambil menatapku aneh. Mendadak Stefan mengambil handphonenya dan menendang kakiku pelan, memberiku tanda untuk melihat handphoneku. Stefan mengirimkan pesan untukku.
“Lo udah cerita sama Kyoko soal kejadian kemaren itu?”
“Ya enggak lah” jawabku.
“Terus?”
“Ga tau”
“Aneh nih pasti situasinya”
“Aneh buat gue ama Kanaya sih, buat pacar gue engga”
“Yowis telen aja lah ya wkwkwkwkwkwk”
“Mau gimana lagi”
“Dia bakal nyamper kesini gak ya?” Tanya Stefan lagi.
“Harusnya nyamper”
“Kalo engga sih gapapa, tapi aneh aja, kan kita pada kenal ama dia”
“Ah udah lah”
Dan konsentrasi kami semua terpecah ketika sosok yang familiar bagi kami datang menghampiri. Dengan jeans robek, sneakers, tank top abu-abu dan jaket kulit, Kanaya menghampiri kami.
“Hai Guys” senyumnya.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG