Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 73

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka

Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -

Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

50929510.jpg

“Ini gak salah kan kalo gue merinding” aku jujur soal perasaanku ke Stefan.
“Gak salah”

“Elu sih pake manggil-manggil dia lagi” kesalku, tetap sambil merinding.
“Jangan nyalahin gue dong”

Angin dingin berhembus mendadak, mematikan korek api yang Stefan coba nyalakan untuk membakar rokok baru di mulutnya. Kami berdua saling bertatapan.

“Abisan lo bikin baper”
“Bukan cuman dia cewek yang pernah baper ama gue, tapi sekalinya gue bilang udah, kita sampe disini aja, gue ga mau berkomitmen, biasanya mempan… Dan mereka either bilang gue brengsek dan marah, atau mewek, tapi udah pasti pergi…” bingung Stefan.
“Berarti lo yang salah pilih cewek”

“Kayaknya” Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam setelah ia berhasil menyalakan rokok di tangannya dengan susah payah itu. Angin kencang, seperti ingin menerbangkan kami ke langit Osaka. Karena kami dengan tololnya terjebak pada situasi aneh Stefan.
“Terus dia dimana sekarang?” tanyaku.
“Mana gue tau”

“Kalo dia nginep di love hotel mahal lho… Dan kayaknya tiket bis kesini juga ga murah” aku mengira-ngira berapa harganya.
“Makanya anjir” Stefan lalu terlihat bergidik, dia seperti habis ketemu hantu lokal yang membuatnya gemetaran semalaman ini. Tampaknya Stefan akan sulit tidur.

Sebenarnya bukan sekali dua kali ini Stefan berurusan dengan perempuan yang menganggap koneksi seks diantara diri mereka dan Stefan itu spesial. Tapi kalau kasus seperti Chiaki ini, ini baru sekali. Baru sekali Stefan dikuntit dan sampai orangnya ketakutan seperti ini. Tapi takut apa? Bukankah Chiaki tidak berbahaya.

“Eh, kalo Chiaki emang beneran kesengsem sama elo, terus dia beneran suka gimana? Kayaknya dia gak bahaya” bisikku.
“Gak bahaya? Lo ga pernah denger cerita soal Stalker ya? Dia baru aja tadi ngaku-ngaku jadi cewek gue, kalo dia bikin masalah terus gue kebawa-bawa gimana? Kalo dia mendadak nyayat-nyayat tangan di depan gue karena gue tolakin terus gimana? Ngeri gue tau gak?” bentaknya pelan, sambil menyemburkan asap rokoknya dari hidung, serupa naga.

“Ini jangan-jangan dia tau dimana kita nginep, terus dia cariin elo” bisikku.
“Makanya gue tadi ngumpet, soalnya dia Cuma nyari gue, dia kan ga nyapa elo semua sama sekali!!” jawab Stefan.

“Fan sumpah, ntar di Quattro lusa gimana?” tanyaku.
“Bingung gue, takut gue”
“Tapi jangan keliatan takut banget, ntar dia bertindak makin jauh, coba lo deketin lagi sambil kasih pengertian terus” jawabku panjang.

“Lo gila ya gue disuruh nego sama orang freak?!?!?!”
“Kan elo yang awalnya ngundang orang freak ke hidup elo” aku mengangkat tangan sambil meregangkan badan.
“Kok gue lagi yang salah?”

“Emang elo yang salah kok, kebiasaan, suka bandel sih”
“Emang lo pikir gue bisa diem tanpa vagina?”
“Pilih-pilih dong orangnya, yang gak potensi jadi freak kayak gini”
“Emang gue bisa tau dia freak apa kagak?” Stefan terlihat bingung, panik, takut, dan bingungpaniktakut dalam ekspresinya.

“Haiyaa…..” aku menghela nafas, masa aku harus membantu menyingkirkan Chiaki. “Kalo kita mutilasi buang ke sungai aja gimana Fan?”
“Ga lucu” Stefan melempar puntung rokoknya entah kenapa. Dan angin dingin malam sukses membuat kami merinding, dan mendadak bergidik soal hal-hal apa saja yang mungkin Chiaki lakukan.

Mulai dari mengejar Stefan terus. Lalu menjebak Stefan menikahinya dengan menghamilkan diri, bisa dengan sabotase kondom. Lalu bisa juga melukai diri sendiri di depan Stefan, bisa juga merusak acara kami jika Stefan mengusirnya.

Gila. Cari penyakit. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Tapi aku tak tau ternyata si tupai yang satu ini jatuhnya lantas kegiles mobil atau masuk ke lubang batubara panas.

“Entahlah Fan… sambil mikir aja” ucapku pasrah, sambil melempar kaleng kopiku dengan sok jago ke arah tong sampah yang tak jauh. Dan tak masuk.

Sialan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

osaka-10.jpg

“Cheese” teriak Ilham, mengambil foto kami berempat. Aku, Bagas, Anin dan Stefan. Aku, Anin dan Stefan berfoto dengan menggunakan kostum samurai. Di Osaka castle kita bisa menyewa baju zirah samurai untuk foto-foto dengan teman kita. Dan Bagas, tentunya tidak mau. Dia hanya berdiri di tengah kami dengan sweater tebal dan muka dinginnya yang tak kalah tebal.

Ya itu salah satu kelamahan Bagas selain tidak komunikatif. Susah difoto, kalau ada pemotretan, sang fotografer selalu pusing menata gaya Bagas. “Ya, masnya tolong gayanya kayak lagi marah” datar. “Lagi sedih” datar”. “Sok keren gitu mas coba gayanya” datar. Mampus gak?

Zee tampak agak bosan melihat-lihat ke sekeliling. Keramaian yang damai, tidak grasa-grusu seperti Tokyo dan pakaian orang-orangnya pun tidak terlalu berwarna seperti Tokyo. Kata Anin pun, logat mereka berbeda dengan Tokyo. Aku sih bingung, karena memang tidak bisa membedakan logat Osaka dan Tokyo.

Pagi ini, sebelum makan siang, kami semua ke Osaka Castle. Aku, Zee, Ilham, Stefan, Bagas, Anin dan Sena, kecuali Shigeo yang memang dia terlihat sibuk, mengirim email, laporan, dan lala lili lainnya untuk diemailkan ke kantor. Jadi kami bertamasya tanpa Shigeo. Tapi kami berjanji, malam, jam 9 malam kami akan bertemu dengan dirinya, di studio tempat kami akan latihan nanti malam. Alat-alat musik kami katanya akan diangkut kesana, biarkan Shigeo yang mengaturnya.

“Berat juga kostum samurai” tawa Stefan sambil melepas helmnya dan mengembalikannya ke petugas.
“Kok bisa ya orang jaman dulu perang pake ginian” bingungku juga.
“Latian dong” tawa Anin.
Bagas diam saja.

Selesai mengembalikan baju zirah tersebut, aku mengirim foto-foto yang tadi kuambil ke Kyoko. Foto-foto diorama perang di musium Osaka Castle, foto-foto selfie konyol, dan tak lupa foto-foto pemandangan disana. Nambah lagi satu tempat yang wajib kukunjungi dengan Kyoko berdua. Osaka Castle.

“Asik juga disini, sayang gue ga tau ceritanya tentang apa” aku memperhatikan landscape, dan mengagumi arsitektur kastilnya. Gila, orang jaman dulu bikin ginian, rapih dan luar biasa kerennya.
"Jadi ceritanya ya, waktu dulu Hideyoshi Toyotomi pengen..."
"Stop!" Stefan langsung menghentikan cerita Anin. Dia paham kalau Anin sudah bicara hal-hal yang berbau jepang, bisa tahun depan baru selesai.

Aku tertawa saja tanpa suara, sambil memperhatikan keramaian di sekitarku yang semuanya tampak tentram di udara dingin. Well, tinggal di Jepang memang tidak buruk buatku dan Kyoko. Tapi Kyoko sudah pasti akan ikut hidup denganku di Indonesia. Visa sudah selesai dia urus katanya. Visa untuk tinggal di Indonesia. Berarti habis menikah, tinggal mengurus KITAS saja.

Perkataan Kyou-Kun yang memohon kepadaku agar memikirkan soal nasib cafe mereka masih mengganggu pikiranku. Itu hidup dan matinya sepertinya, namun dia juga tidak kuasa untuk menahan keinginan Kyoko yang ingin pindah ke Indonesia. Berarti dia harus cari pegawai baru? Siapa ya? Chiaki? Jangan. Freak... Dan tidak mungkin juga mendadak dia ditawari pekerjaan seperti itu, nanti makin attach dengan Stefan. Ah.. memusingkan. Aku jadi ingat perkataan Kyoko soal kasus itu.

"Aya jangan pikirkan, biar Kyoko yang pikirkan, itu masalah Nii-san nya Kyoko" senyumnya malam itu, sambil memelukku yang terlihat pusing di tempat tidur. Dan seperti yang Kyou-Kun bilang, dia bukannya belum mencoba untuk mencari pengganti Kyoko, tapi sulit. Memang sulit. Bisa dibayangkan, di Indonesia saja yang tenaga kerjanya melimpah, pasti sulit mencari yang cocok. Apalagi di Jepang yang jumlah tenaga kerjanya sedikit. Tapi apa Kyoko tidak ada teman yang butuh kerjaan? Dari sekolah tata boganya?

"Woi liat sini" Ilham mendadak mengagetkanku, yang sedang berjalan dengan rombongan di taman, ingin menuju ke stasiun, untuk menuju ke pemberhentian berikutnya untuk makan siang. Ilham lalu mengabadikan ekspresi candid kagetku.

Nishinomaru Garden, taman yang benar-benar indah karena memang ditata dengan sangat baik. Entah kenapa mengingatkanku kepada Mitaka, mengingatkanku betapa sebenarnya aku kangen dan rindu akan Mitaka. Dan dalam lubuk hati, aku ingin sekali tinggal di Mitaka, berhari tua bersama Kyoko disana. Tapi bagaimana? Hantaman pasti sangat membutuhkanku? Bagaimana pekerjaanku di Indonesia. Dan masalah ini tidak sesederhana itu.

"Ini sekarang jalan kemana?" tanya Stefan penasaran.
"Gue mau liat Kuil Hokoku, ada di selatan nya Castle" jawab Anin.
"Selatan... Macem orang jogja aja pake mata angin"
"Gue selalu suka ama kuil Jepang, rasanya gimana gitu" lanjut Anin.

"Musyrik lo" ledek Stefan.
"Gue kan kagak doa disana yee"
"Eh kalo pas musim semi cakep loh disini" potong Ilham, yang melihat dunia melalui lensa kameranya.

"Pasti" jawabku. Aku melirik ke Zee yang terlihat cuek, dan dia tampak gatal ingin merokok, karena gerakan mulutnya seperti butuh sesuatu yang mendamaikan dirinya.
"I prefer pray at shrine" mendadak Zee nyeletuk, dengan muka cueknya. Senyum tipisnya yang agak terkesan sombong itu menghiasi mukanya.
"Kenapa?" tanya Anin sok antusias.
"Lebih peaceful" senyumnya ke Anin. Buset. Senyum. Itu pasti bisa bikin muka Anin panas. Bisa bikin dia ancur-ancuran. Dan terlihat, mendadak jalannya jadi lebih kikuk, dan mukanya tampak berusaha menahan senyum-senyum tolol ala Anin yang selalu diperlihatkan di depan perempuan yang ia suka.

--------------------------------------------

tsuten10.jpg

Aku masih ingat tadi, dengan tololnya Anin memperhatikan Zee yang berdoa di kuil dari jauh. Dia memperhatikannya seakan-akan Zee adalah kijang, dan dia adalah macan yang lapar. Matanya tidak bisa berhenti berkedip saat perempuan asal Singapura yang cantik itu menangkupkan tangannya di kuil, memberi uang persembahan dan sebagai-bagainya. Entah apa yang ia doakan, dan untuk siapa. Yang pasti aku tadi sibuk mengambil foto kuil Hokoku yang menurutku indah.

Dan perjalanan kereta selama 40 menit sudah membawa kami ke Tsutenkaku, dimana kami berdebat soal makanan, dibawah menara besar yang menjadi landmark Osaka itu.

"Ramen" Stefan menekankan kalimatnya.
"Gue ga mau ketemu ramen lagi, bosen" aku juga menekankan kalimatku.
"Tapi ramen, enak Ya, dingin begini bikin anget" Anin mendukung Stefan.

"Lo kagak inget apa terakhir di Naeba kita mabok ramen, ga mau pokoknya"
"Yaudah lo cari makan ndiri aja sana"Stefan menyuruhku mencari makan sendiri dengan nada cuek.

"Yaudah sana yang mau ngeramen, ngeramen, gue males ramen" aku tetap pada pendirianku, dan berharap yang ingin ramen hanya Stefan dan Anin, jadi aku tak kalah suara.
"Yowis, sini tim ramen" teriak Stefan sambil mulai jalan ke arah yang berlawanan dengan posisinya berdiri.

Dan.

Semuanya pergi mengikuti Stefan. Bahkan Bagas sekalipun. Aku garuk-garuk kepala karena sekarang aku jadi bingung. Makan apa ya?
"Gansokushikatsu Daruma?" suara perempuan itu memecah kebingunganku.

Zee.

"Apaan tuh?" tanyaku.
"Fried Skewer... Sate Goreng dengan Flour... Tepung" ucapnya pelan sambil melihat ke handphonenya. "Near here ada yang enak" Dan aku celingukan. Kami benar-benar tinggal berdua.

"Makanan asli Osaka. The rest can have their ramen sampai kenyang" dia melirikku masih dengan muka datar, muka santai dan mata yang terlihat mengantuk. "Right There" dia menunjuk ke salah satu sudut di Tsutentaku, dan lekas berjalan. Aku mengikutinya dari belakang. Langkahnya sangat cepat dan lurus. Singapur ketemu Jepang. Pantas jalannya seperti tikus dikejar motor.

Tak berapa lama kami sampai di depan restoran Gansokushikatsu Daruma. Tanpa banyak bicara, Zee langsung masuk dan kami disambut.
"Irrashaimaseee" Zee dan aku menunduk, ke arah para koki yang sedang menggoreng dedagingan dalam tusukan sate.

Setelah duduk aku menyelidiki, makanan apa itu sebenarnya. Ternyata Gansokushikatsu Daruma adalah sate daging, seafood, dan sayuran yang digoreng tepung dan dimakan dengan pilihan saus yang khas. Ini masakan asli Osaka. Perutku pun berbunyi dengan kencang dan Zee tersenyum mendengarnya.

"Saya pesan saja buat kamu biar tidak bingung" ucapnya dengan logat melayunya yang mendadak jadi kental. Karena kalau dia bicara bahasa inggris, logatnya terdengar agak kebule-bulean walaupun singlishnya masih terasa. Mendadak dia memesankan ini dan itu untukku. Aku hanya diam saja dan siap untuk makan.

--------------------------------------------

Kenyang. Walaupun kecil-kecil, tapi kalau banyak kenyang juga. Apalagi kalo dimakan pake nasi.

"Namanya Kushiage" Zee memberitahuku, sambil dia mengambil uang kembaliannya tadi. Kami pun beranjak, dan dia ingin mencari sudut yang boleh merokok, sambil menunggu teman-temanku beres makan ramen. Dia berjalan dengan cepat ke sebuah sudut, dan menyalakan rokoknya dengan cepat juga. Ada beberapa orang yang merokok juga di tempat itu.

"So, kapan beres kuliah?" aku berbasa-basi dengannya, karena tidak mungkin aku diam saja menonton dia merokok.
"Next Year" jawabnya.
"Lanjut S3?" tawaku.
"Nope, going back home to S'pore" mukanya terlihat agak kesal karena aku mengusik pemikirannya yang sempurna soal Jepang.

"Enak disini ya"
"No shit" balasnya.

"Emang enak sih disini, apalagi kalo berkeluarga disini kayaknya enak banget"
"Japanese tapi not really into marriage, not like us, South East Asians"
"Emang situ kepikiran buat kawin?" aku agak heran, karena perempuan cuek seperti Zee kok bisa-bisanya memikirkan pernikahan dalam waktu cepat.
"Why not?" dia tersenyum tipis dengan muka datarnya.

"Sama Anin?" tawaku, bercanda berusaha memecah suasana yang memang agak awkward. Tentu saja, kami tidak akrab, apalagi setelah ada kejadian heboh, dimana dia mabuk dan bertingkah aneh.

"Ahaha... He's nice... But not my type" jawabnya.
"Kenapa gak not your type?" candaku.
"Hmm... too nice, maybe, and... He's trying too hard to get someone's attention" dia mengeluarkan asap dari hidungnya dan menyisir rambutnya dengan tangannya.

"Haha" aku tersenyum getir dan mendadak jadi tidak tega kepada Anin.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

dotonb10.jpg

"Terus, ngapain kita dimari?" tanyaku ketika kami semua habis makan malam di daerah Dotonbori. Rencananya kami akan pergi ke studio yang sudah disewakan oleh Shigeo setelah makan malam. Tapi Stefan penasaran soal Dotonbori.

"Disini katanya Red Light Districtnya Osaka men" seringainya.
"Dan ini udah jam 7" jawab Anin.
"Bentar aja, liat-liat, sapa tau bisa ngewe 15 menit" tawanya.
"Kayak gini aja, dikejar cewek langsung takut" ledekku.

"Bangsat" keluhnya sambil melihat-lihat handphonenya, mungkin dia mencari peta dan informasi soal daerah Dotonbori.

Menurut Ilham, Dotonbori, daerah yang ramai oleh tempat makan dan pusat perbelanjaan ini terbagi menjadi dua, oleh sebuah kanal atau sungai kecil. Satu daerah penuh dengan area perbelanjaan. Dan satu daerah lagi banyak tempat yang... Disebutnya sih Hostess Club. Dimana kita bisa minum-minum di bar dengan ditemani oleh perempuan-perempuan yang seksi dan menarik hati, atau malah dalam kasus Stefan, menarik penis.

Dan ada beberapa tempat yang secara diam-diam katanya juga bisa dipakai buat... Yah, apalagi, prostitusi. Tapi Stefan berjanji tidak akan bermain main disana, hanya ingin lihat saja. Karena memang mepet ke waktu latihan. Dua jam lagi, dan perjalanan bisa memakan waktu setengah jam dari Dotonbori ke tempat latihan tersebut.

"Yuk" Kami terpaksa mengekor mengikuti Stefan, sambil menikmati pemandangan lampu yang warna warni dan gemerlap Osaka yang Osaka sekali. Baju orang-orang sudah mulai warna warni, agak mirip Harajuku, tapi lebih sedikit populasinya. Kami mengikuti Stefan, melewati deretan Pachinko, minimarket, dan beberapa toko yang menjual entah apalah. Aku sibuk mengobrol dengan Kyoko, dan kami sedang bercanda soal Zee dan Anin. Kami sedang berkhayal situasi apa saja yang memungkinkan merubah Zee, agar tertarik pada Anin.

"Pura-pura jadi penjahat, Aya, lalu Anin menolong seperti Kamen Rider" canda Kyoko yang kuingat. Ah betapa kangennya pada Kyoko. Makan siang berdua dengan Zee tadi entah kenapa malah membuat aku makin kangen pada Kyoko. Masih ingat, di kejadian yang sama ketika mereka berdua mabuk, Kyoko benar-benar melindungiku dalam kemabukannya.

Perlahan kami sudah mulai berbaur dengan keramaian, menjadi satu dengan sungai manusia malam itu di Dotonbori. Sebagian besar adalah pekerja kantoran y ang ingin melepas penatnya dengan makan malam, minum-minum, ataupun sekedar berkumpul di bar dengan teman-teman mereka.

"Wih apa tuh" Sena tampak melihat beberapa perempuan cantik dengan gaun mereka yang seksi di pinggir jalan, berusaha menarik perhatian beberapa orang yang lewat.

"Itu yang gue maksud" Stefan tampak senang melihat perempuan-perempuan seksi itu.
"Yaelah gitu doang" kesal Anin.
"Kita harus eksplor lagi tapi, cari yang lebih seksi dan lebih ngaco" balas Stefan.
"Ngapain sih" kesal Anin lagi.
"Kalo ga mau tunggu aja deket sini" seringai Stefan.

"Kayaknya mendingan gitu, daripada kita rame-rame kayak rombongan haji"aku berusaha menengahi.
"Eh kok itu ada cowok-cowok yang gitu-gitu juga?" tanya Sena. Dia menunjuk ke arah satu-dua orang lelaki yang rambutnya seperti band visual kei, dan memakai jas yang slim fit, tampak berusaha menarik perhatian beberapa perempuan yang lewat.

"Kalau itu dari host club, yang cewek hostess club" jawab Ilham.
"Maksudnya?"
"Mereka narik pelanggan untuk minum di bar yang memperkerjakan mereka, terus mereka nemenin si pelanggan itu minum, ngobrol, curhat" Ilham berusaha menjelaskan.
"Ngewe?" seringai Stefan bercanda.

"Gak sampe sana sih, tapi katanya ada yang bisa, dan itu gue ga tau bedainnya gimana" jawab Ilham, dengan muka menyerah. Menyerah oleh kepenasaranan Stefan.
"Gue ga mau liat-liat gituan" celetuk Anin malas. "Lagian ntar mepet ke waktu latihan juga"
"Iya makanya mendingan kita misah aja, kan ada handphone juga, Stefan juga ga bego-bego amat kan, bisa jalan sendiri kemana-mana, kita tungguin aja di studio, gimana? Kecuali kalo ada yang mau ngikut Stefan, ayo coba yang mau ngikut Stefan ngacung" aku melanjutkan kalimatku.

Tidak ada. Semua menaruh tangannya dibawah.

"Ga setia kawan lo pada" umpat Stefan.
"Yang ga setia kawan siapa coba" balas Anin.

"Haha, makanya misah udah paling bener kan, daripada kita ngomel-ngomel ikut Stefan nyari tempat-tempat ga jelas, mendingan kita tungguin studio, ntar kita shareloc, oke?" Aku juga sudah gatal ingin pergi dari rencana Stefan yang lebih banyak melibatkan proses masuknya darah ke penis, daripada otak yang bekerja untuk berpikir.

"Yaudah sana gih lo pada ke studio sana" Stefan mengusir kami dengan muka mesumnya. "Kan gue jadi bebas... Sampe ketemu dua jam lagi" tawanya.

--------------------------------------------

dsc09710.jpg

"Kamu main Jazz?" tanya Zee ketika dia habis mengambil gambarku yang sedang melemaskan jari-jariku di dalam studio dengan gitarku. Tentunya lick-lick khas Jazz yang terdengar di dalam studio.
"Yep" jawabku ringan sambil terus fokus memainkan nada-nada yang miring dengan gitarku, menunggu kedatangan si setan horny di studio. Anin sedang merokok di ruang tunggu, Bagas sedang menyetel drumset, Sena sedang berbincang-bincang dengan Shigeo dan operator studio dengan bahasa Inggris seadanya di ruang kontrol. Ilham tampak mengobrol dengan Anin di luar.

"Nice" puji Zee pelan sambil mengambil gambarku lagi.
"BTW Stefan mana ya?" aku melihat ke jam tanganku. Sudah jam 9 kurang sedikit, dan tidak ada pesan yang dibalas oleh Stefan.
"Maybe he's enjoying himself" jawab Zee dan dia duduk di kursi di depanku.

"Awas kalo sampe gak dateng"

--------------------------------------------

Studio musik berdentum, bergema oleh musik yang kami mainkan. Keringat sudah muncul di mukaku, dan aku duduk sejenak di kursi, mengambil botol berisi air dingin untuk membasahi kerongkonganku.

"Si anjing mana" bisik Anin di microphone. Sudah jam 10 malam. Dan Stefan tidak kelihatan batang hidungnya. Kami hanya berlatih bertiga, seakan-akan kami adalah band rock instrumental.
"Ga tau, dari tadi gak ada balesan... Ditelpon mah kagak bisa ya... wong simcardnya simcard data..."
"Ditelpon pake line dan whatsapp call juga ga nyambung" Anin memotong lagi ucapanku.

"Guys?" mendadak kepala Shigeo muncul di celah pintu studio.
"Yes?"
"Any news? Stefan?" tanyanya dengan muka bingung.
"Nope"

"Still Dotonbori?" tanya Shigeo.

Aku menjawab dengan menaikkan bahuku. Dan Anin juga. Bagas hanya diam.

"Do you think we find him?" tanya Shigeo lagi dengan grammar yang acak acakan.

Aku menjawab dengan menaikkan bahuku. Dan Anin juga. Bagas hanya diam.

"Harus kita cariin gak ya?" tanya Anin di microphone.
"Ga tau"
"Abis dia jadi ngeselin sih akhir-akhir ini, gara-gara elo mau kawin tuh" Anin malah bercanda.
"Ya salah sendiri"
"Jangan-jangan distalkingin Chiaki terus dibunuh" canda Anin.
"Masak, jangan-jangan dimabokin ama hostess terus duitnya diporotin" candaku.

"Teman hilang harusnya dicari, bukan dibecandain" mendadak Bagas bangkit dan keluar dari studio. Aku dan Anin hanya melongo.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gila bener sekali dibuka MDT update 7 part.

Terima kasih Om @racebannon, updatenya banyak sekali.
Sukses selalu menyertaimu dalam bekerja dan berkarya.
Tetap semangat Om dan selalu sehat. :top:
 
MDT SEASON 1 - PART 74

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka

Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda

Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

"Stefan hilang?" tanya Kyoko di media sosial.
"Tebakanku sama Anin sih dia mabok di satu tempat, makanya kita males nyariin, udah tau tabiatnya kayak apa, tapi si Bagas mendadak nyariin" jawabku.
"A... Mudah-mudahan cepat bertemu Stefan"
"Amin"

Aku menggaruk kepalaku di dalam kereta yang membawa kami ke Dotonbori. Sebentar lagi kami sampai sana. Yang mencari hanya Aku, Anin, Bagas dan Shigeo. Ilham dan Zee kami suruh pulang ke penginapan saja. Jujur, aku dan Anin tidak begitu mempedulikannya, karena kami tahu tabiat Stefan. Tapi lama-lama jadi khawatir juga, karena Bagas yang mendadak ingin mencari Stefan. Biasanya insting Bagas sangat baik, seperti hewan pemburu.

"Where the last time you meet?" tanya Shigeo.
"Forgot, but we should search him in Hostess clubs" jawabku, sambil menghayalkan Stefan sedang tenggelam di lautan buah dada dalam kemabukannya.

Kereta pun berhenti dan kami turun ke Stasiun, berjalan ke arah pintu keluar untuk kembali ke keramaian. Hari sudah semakin malam tapi tampaknya tempat ini masih ramai saja. Aku dan Anin berpandangan, dan kami berdua sepertinya sepemikiran.

Pertama.

Soal latihan, kami pikir tidak perlu dijadwalkan seketat itu, tapi pada saat briefing, itu sudah ditentukan dan ditekankan oleh Kairi, bahwa dia yang akan mengatur dan betapa pentingnya latihan sehari sebelum acara, menurut dia, jadi kami setuju-setuju saja. Dan menurut kami tidak ada salahnya untuk berkumpul dan mencoba studio-studio musik di Jepang ini. Tapi kalau tidak latihan, tidak masalah bagi kami, setiap Senin Rabu dan Jumat, seminggu sekali kami selalu rutin latihan, dan itu membuat kerjasama kami di atas panggung terjaga kualitasnya.

Kedua.

Soal Stefan yang menghilang. Ini bukan cerita baru, dia pernah hilang di Jogja dan di Bali setelah show. Besoknya dia muncul, teler, atau dia minta dijemput, nyungsep di kosan cewek entah mana. Itu memang gak biasa, tapi ini Stefan. Kita paham kalau dia menghilang, dia pasti sedang mabuk. Dan Bagas sepertinya tadi berpikir untuk melindungi Stefan, karena akhir-akhir ini, semenjak kepergianku ke Jepang pertama kali, dia terlihat semakin fragile. Ya, yang melindungi Stefan dari perkelahian melawan DIMH ya Bagas. Mungkin dia berpikir untuk berbuat hal yang sama kali ini.

dotonb10.jpg

Kami berkeliling di Dotonbori, dan dari tadi beberapa kali Shigeo bertanya kepada Hostess-hostess yang berkeliaran di jalan, sambil menunjukkan foto Stefan ke mereka, menanyakan, apakah lihat orang ini.

Orang yang agak liar itu, dengan segudang trik untuk mengelabui wanita. Tapi memang agak seram juga, jika mengingat kejadian Chiaki. Kalau dia ketemu Chiaki lalu terjadi hal-hal aneh bagaimana?

“Ano sumimasen” mendadak ada yang mencolek punggungku.
“Ah hai… Nan desuka?” tanyaku dengan kaget. Seseorang perempuan dengan jaket tebal, dan muka yang tampak masih tebal make upnya berdiri di belakangku.

“Ano hito wa… Miuketta…” Dia menunjuk Shigeo. Lebih tepatnya handphone Shigeo.
“Hountou? Doko?” tanyaku ke orang itu, menanyakan dimana dia melihat Stefan.
“Ano…. Asoko… Akai doa de…” dia menunjuk sebuah Club yang terlihat tertutup, dan memiliki pintu merah. Tempatnya didominasi oleh warna merah dan hitam.

“Ah… Arigato.. domo..” aku lalu bergegas ke tempat tersebut, dan teman-temanku serta Shigeo mengikutiku.

“Ini pasti Hostess club deh, dari luar keliatan remang-remang…” bisik Anin.
“Udah masuk dulu” jawabku.
“Gue ga ikutan deh, males”
“Yaudah apa suruh yang belakang lo aja?” maksudnya antara Bagas dan Shigeo.

“Jangan, elo lah, kan elo yang nanyain tadi….”
“Ah yaudah” aku menggaruk kepala dan jalan ke dalam, sambil membuka pintu.

Mendadak ada sebuah tangan yang menghentikanku dari belakang. Aku memang tidak memperhatikan sama sekali keberadaan manusia di sekitar pintu merah itu.
“Sumimasen, No Gaijin” ujar suara di belakangku. Aku berbalik dan melihat seseorang yang berpakaian rapih, dan bertubuh besar. Mukanya menunjukkan ekspresi tidak ramah.

“Ah Ano… Gomen… Watashi no tomodachi o sagashiteimasu…” Aku mencari temanku, ucapku dengan sedikit kaget.
“Nihonjinka? Gaijinka?” dia berusaha memastikan apakah temanku itu adalah orang Jepang ataukah orang Asing.

“Gaijin” jawabku.
“Sumimasen, No Gaijin”
“Demo….” aku segera membuka handphoneku dan menunjukkan muka Stefan kepada orang yang sepertinya satpam itu. “Kono hito miteimasuka?” tanyaku apakah dia melihat orang di foto ini.
“Sumimasen, No Gaijin” tangannya memegang pundakku, walau tanpa menarik atau mendorong, kurasakan aura penolakan yang cukup kuat dari matanya. Aku menelan ludah, dan walaupun aku ingin sekali memeriksa ke dalam, tapi kuurungkan niatku dan menurut. Aku mundur dan melangkah mendekat ke Shigeo, Anin dan Bagas.

“He said no Gaijin” aku memberitahu ke Shigeo.
“Many club here no gaijin enter” jawab Shigeo dengan muka tidak enak kepada kami dengan grammar yang seadanya. Iya, aku pernah dengar kalau club atau diskotik di tempat-tempat seperti ini tidak mengizinkan orang asing untuk masuk, entah kenapa. Tadinya aku tidak percaya, tapi sekarang aku mengalaminya sendiri. Sial.

“Maybe we find in regular bar” Shigeo memberi ide.
“No” mendadak Bagas membuka suara. “Kita balik ke tempat tadi kita pisah sama Stefan….” lanjutnya sambil berjalan tanpa memberi aba-aba. Kami terpaksa mengikuti langkahnya yang cepat dan tegas. Tampaknya hanya Shigeo yang bisa mengikuti langkah Bagas.

Kami dengan tergopoh-gopoh mengikutinya, dan akhirnya kami sampai di tempat yang dia maksud. Titik dimana kami semua berpisah dengan Stefan. Aku dan Anin celingukan, berharap Bagas bersuara lebih banyak lagi. Karena gerak-geriknya mendadak aneh, seperti pemburu sedang mencari buruannya.

“Terus?” tanya Anin yang mungkin juga sama denganku, heran karena mendengar Bagas bicara banyak.
“Sebentar” Bagas tampak memperhatikan layar handphonenya. Dan dia tampak celingukan.
“Terus?”

“Kalo kita jalan ke selatan, disana makin banyak Hostess Club, kita jalan ke selatan….” Bagas tanpa memberi aba-aba, langsung jalan ke selatan. Aku dan Anin serta Shigeo mengikutinya lagi.
“What happen?” tanya Shigeo.
“We don’t know yet” jawabku. Anin tampak sudah malas menjawab dalam bahasa Jepang karena dia lebih tertarik kepada pergerakan sepupunya yang tampak aneh ini. Bagas memang aneh dan unik, tapi malam ini dia jauh lebih aneh lagi. Selain karena tingkahnya seperti sedang mencari hewan buruan, dia malam ini bicara terlalu banyak untuk seorang Bagas.

“Dia handphonenya iPhone, dan penggunaannya boros, dan dia tidak pernah bawa power bank” lanjut Bagas.
“Apa?”
“Berarti perkiraan kalau terakhir kali dia charge handphone pagi sebelum berangkat ke Osaka Castle, tadi pas pisah batrenya tinggal 30 persen. Terakhir kali seen itu sekitar jam segitu. Berarti dia tidak buka handphonenya… Atau dia terlalu sibuk membuka google map. Dan artinya, kemungkinan sekarang handphonenya sudah mati… Kita tinggal ikuti arah ke Selatan dan perkirakan waktu handphonenya mati atau kalau beruntung kita bisa lihat dia”

Dan ini, ini yang kami bingung. Bagas bicara sepanjang itu walaupun tetap dengan muka yang datar dan intonasi yang tanpa ekspresi. Gila, apa-apaan ini, demi mencari seorang Stefan, Bagas bicara terlalu banyak. Dan kami sebenarnya masih tidak percaya, kalau kami bisa menemuka Stefan di tempat yang Bagas cari, namun Bagas bergerak begitu cepat tanpa mengindahkan sekelilingnya. Dan kami tidak mau mendapat resiko kehilangan personil lagi, jadi kami terpaksa mengikutinya.

Kami menyusuri jalanan Dotonbori, dan makin lama makin menjauhi keramaian. Memang di selatan padat dengan Hostess Club, tapi rata-rata sama, No Gaijin. Kami dengan muka tebal mencoba memeriksanya satu-satu. Ada club yang melarang orang bertato masuk, dan lebih banyak lagi yang melarang orang asing masuk. Dan kami pun mencapai suatu daerah yang agak sepi. Disana ada beberapa bar tradisional dan tempat makan yang tampaknya buka sampai subuh.

21192a10.jpg

“Ini gak mungkin ke tempat model gini si Stefan, kalo ga ada pemandangan cewek-cewek, dia ga mau” ucapku.
“Selain suka perempuan Stefan juga suka minuman keras. Dan minuman keras murah dan tidak butuh Bahasa Jepang untuk bisa beli adanya disana” Bagas menunjuk ke suatu tempat yang tampaknya mengarah ke area pemukiman.
“Ngaco lu, kesana mah rumah-rumah orang” tegur Anin. Shigeo tampak bingung mendengarkan kami dengan leluasanya bicara Bahasa Indonesia.
“Dan di titik ini, perkiraan batre Stefan mati”

“Ngaco gila”
“Kalau dihitung rata-rata plus pemakaian Google map wajar, ini sudah jauh dari tempat pertama kali pisah, dan ke selatan lagi, agak belok-belok ada stasiun kereta, jadi Stefan karena menyerah dia kejar Stasiun Keretanya, dan handphonenya mati, terus dia menyerah karena bingung tanpa peta. Dan dia pergi kesana” Bagas menunjuk kembali ke sudut yang sepi, tanpa bar, tanpa restoran, tanpa wanita.

“Lu sinting ya” bingung Anin.
“Disitu ada minimarket”
“Lo gila? Itu kosong bego, Cuma jalan ke rumah orang”
“Itu di balik gedung yang itu, ada lampu keliatan terang, itu pasti minimarket” lanjut Bagas, tidak peduli dengan muka heran dan bingung kami semua.

“Emang keliatan ada cahaya terang di balik sono sih Nin” aku penasaran dan mencoba jalan kesana. Dingin sekali malam ini, mudah mudahan Stefan benar ada di sekitar sana, dan kami tidak membuang waktu kami percuma dengan Bagas.

Kami semua berjalan ke titik yang ditunjuk oleh Bagas dan benar. Di balik gedung ada minimarket. Tapi di minimarket yang terlihat sampai ke dalamnya itu, tidak ada Stefan sama sekali.
“Lo ngaco, mana Stefan” dan Bagas tak menjawab. Mukanya tetap tenang dan kaku.
“Please tell me, what happen” Shigeo tampak bingung melihat Bagas yang dari tadi bergerak tanpa mempedulikan sekitarnya.

“He said, Stefan is near, and even go to this place” aku menunjuk ke arah minimarket. Dan Shigeo pun hanya menekuk wajahnya, melihatku dengan heran, lalu melihat Bagas juga dengan herannya.
“What?” tanyanya bingung.
“Don’t ask me, I’m also confused” jawabku sambil melambaikan tanganku.

“Ask the cashier” ucap Bagas mendadak dengan jelas kepada Shigeo.
“Me?” tanya Shigeo bingung.
“Or Anin” Bagas menatap Anin dengan tajam, seakan-akan matanya adalah keris yang menghunus dan siap menembus jantung jendral Belanda yang terjebak oleh para gerilyawan di hutan-hutan tanah Jawa.

800px-10.jpg

“Chotto…” Shigeo lalu bergegas masuk, dan terlihat bertanya dengan intens ke kasir, sambil menunjukkan foto si setan alas itu. Dan jawabannya tidak kami duga sama sekali. Sang kasir menunjuk ke arah luar, dengan pasti. Kami melihat ke arah yang ia tunjuk. Dan disana ada sebuah taman. Taman kecil, dengan lampu taman besar di tengahnya. Beberapa bangku tampak melingkari lampu taman itu, dan banyak semak-semak yang dlipotong dengan rapih di sekelilingnya. Aku yang penasaran, lari kesana dengan buru-buru, menerjang angin Osaka yang agak galak karena sudah malam, diikuti oleh Anin yang sama penasarannya.

1104cd10.jpg

“Kampret!” umpat Anin, saat kami berdua melihat seonggok tubuh manusia yang duduk dengan bodohnya di atas kursi taman. Mukanya merah, dia tertidur di tengah dingin. Jaketnya ia kancingkan erat-erat, hoodie dan kupluk ia pakai dengan ketat. Ada puntung rokok yang sudah mati di tangannya. Sedangkan di sampingnya ada botol sake kosong, botol besar, dan beberapa kaleng bir.

“Si anjing, bangun woi” bentakku sambil menendang kakinya dengan kakiku.
“Mmm” jawabnya enggan bangun, dan karena mukanya juga tampak kaku.
“Dari kapan lo disini, kalo sakit gimana?” tanyaku sambil menyentuh pipinya yang terasa begitu dingin.
“Berisik” jawab Stefan, yang sekarang lebih tampak seperti gelandangan, daripada pimpinan redaksi sebuah majalah gaya hidup pria yang juga berprofesi sebagai vokalis band rock.

“Dicariin anjing” sahut Anin sambil berusaha menarik Stefan untuk berdiri. Gagal. Karena Stefan tampak kaku dan dia mabuk. Seorang diri menghabiskan satu botol besar sake dan beberapa kaleng bir. Apalagi kadar alkohol di bir Jepang lebih tinggi daripada kada alkohol bir lokal Indonesia.
“Mmmm” jawab Stefan, menolak Anin yang tampak menghampirinya.
“Woi, bangun, pulang”
“Anjing kontol kalian semua” ucapnya lemah.

“Siapa yang kontol” jawab Anin.
“Itu semua klub bajingan, ga mau sama orang asing, ga mau duit kali ya. Padahal udah pengen gue tusuk itu memek cewek-ceweknya pake jari gue…. Awas kalo ketemu, gue sodomi semua sampe nangis darah” marahnya dengan lemas, dan matanya pun tidak terbuka dari tadi.
“Terus gimana caranya lo bisa ada disini?” tanya Anin.
“Caranya dengan ngejilat memeknya Zee, Kontol” jawab Stefan yang tampak enggan ditolong.

Di belakang kami, terdengar suara langkah kaki Bagas dan Shigeo.
“He’s drunk, big time” ucapku ke Shigeo yang mendekat.

“Kayaknya udah agak lama disini, setelah gagal masuk club dan dia bingung mau mesen apa di bar-bar kecil yang udah pasti kebingungan ngelayanin orang asing, makanya dia beli minuman di tempat paling gampang, yaitu minimarket” Bagas memberi kesimpulan jeniusnya. Gila, jangan-jangan Bagas bisa diandalkan untuk mencari tersangka terorisme yang bersembunyi di gunung oleh kepolisian kita.

“Kok lo bisa nebak semua dengan tepat sih” tanyaku bingung.
“Kalian manusia mudah ditebak. Sikap dan sifat kalian menentukan cara kalian berperilaku tiap detiknya….” Jawab Bagas dengan menyeramkannya. Mukanya datar dan menatap dengan kosongnya ke arah Stefan.

“Angkatin nih si kontol” teriak Anin ke diriku, dia tampak sulit mengangkut dan memapah Stefan. Tak diduga mendadak Bagas maju, dan merebut Stefan dari Anin. Dengan mudahnya ia mengangkat bahu Stefan, dan menumpukan badan lunglai tersebut di badannya. Perlahan Bagas membantu Stefan berjalan, sedangkan aku dan Anin bingung, entah bagaimana triknya supaya dia bisa membawa tubuh Stefan dengan mudah?

“Kita naik taksi?” tanya Bagas.
“We find taxi?” tanyaku ke Shigeo.
“Ah, yes, I will call taxi company” jawabnya.
“Mahal nih anjing pasti taksinya” keluh Anin sambil menatap Bagas dengan herannya.
“Ntar gue gantiin, kalian udunan dulu, kalo gue ga ada duit bole juga gue coliin kalian satu per satu” jawab Stefan dengan super tololnya.

“Lo bisa gak diem dulu, lo tuh lagi mabok” tegurku.
“Lo bisa gak sih, gak bikin cewek-cewek suka ama elo” tawa Stefan. “Ntar sebelom kawin lo cobain aja dulu tunggangin si Arwen ya, lo tembak peju lo di mukanya pasti makin cantik”

“Diem napa sih” keluh Anin.
“Atau gak abis lo kawin lo tidurin aja si Arwen biar lo kayak bokap lo, nurun gitu” tawanya. Mendadak kepalaku terasa panas.
“Udah Fan, lagi mabok jangan ngomong apapun, daripada salah” jawabku dengan menelan ludah.
“Pertama lo jadi gak asik, terus lo bakal stres sendiri, akhirnya nakal sendiri….. Udah kayak gitu larinya gak ke gue, tapi ke cewek-cewek yang selalu ada di sekitar lo, kayaknya ntar Kanaya lo entot lagi gue rasa” tawa Stefan, dalam mabuknya.

“Diem Fan”
“Lu suruh gue diem? Lo suruh tuh si memek jepang nyeremin si Chiaki itu untuk diem aja, brenti kejar gue… Kita perkosa aja, lo pake memeknya gue entot pantatnya, kita bikin dia nangis-nangis” tawanya, dengan kesadarannya yang menghilang.

“Lo bisa diem gak”
“Percuma lo kawin Ya, ntar ujungnya jadi kayak bokap lo juga”
“Lo bisa diem gak”
“Percuma”
“Diem”
“Percuma anjing, bokap-bokap dimana mana kayak gitu, lo tau gak kenapa bokap gue se saleh itu? Karena dulu pernah kayak gitu kegep ama emak gue, terus orang Katolik kan gak boleh cerai, abis tuh dia ama Pastur, dinasehatin… Percuma Ya, kita laki-laki udah kodratnya ngentotin semua memek yang ada, daripada lo kawin, terpaksa sama satu memek doang, terus pas lo cobain memek lain ke gep, terus lo terpaksa jadi orang saleh karena lo nyesel, mending ga usah kawin, biar ga nyesel…. Bisa jilat semua memek yang ada di dunia” tawanya sambil bersandar ke Bagas.

“Diem Fan, lo ngomong udah ngaco banget” Anin menegurnya, sambil memegang bahuku yang sepertinya sudah kaku. Aku menahan hal-hal yang tak diinginkan terjadi, mendadak.
“Kagak bisa diem, ini truth…”
“Kagak, bokap nyokap gue baik baik aja kok” potong Anin.
“Palsu, masa bokap lo gak nafsu liat pantat cewek SMA lewat? Kalo gue mah udah pengen gue anal” tawa Stefan.

“Fan, kita gak bisa kayak gitu terus, kita suatu saat pasti bakal ada keturunan, bakal bikin keluarga, nerusin masyarakat, dan sebagainya, udah lah, gak baik lo ngejudge kayak gitu” lanjut Anin.
“Buat apa, idup lo cuman sekali Nin, dan lo bahkan masih perawan, belom ngerasain memek ngomongnya udah kayak siapa tau….. Hahaha…. Cepet tuh lo garap si Zee, sebelom memeknya jadi tempat Arya buang peju lagi” tawanya.

“Udah Fan” aku berusaha tersenyum dengan terpaksa ke Stefan. Ingat, dia lagi mabuk, dan dia lagi kacau. Sudah berapa lama ini dia kacau. Tapi aku tidak tahu kalau lukanya sedalam ini. Dia ternyata anti sekali dengan komitmen gara-gara itu.

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia… Matius 19:6” lanjut Stefan.
“Fan, udah”
“Itu Bible men yang bilang, lo gak boleh cerai… Even lo udah ngememekin banyak memek di dunia penuh memek ini….. Terus lo bikin keluarga palsu lo itu pura-pura bahagia… Terus kalo gue mau kabur dari dunia kayak gitu, lo semua mau apa?? Mau jodohin gue terus sama adik lo itu Ya?”

“Stefan, udah, jangan bawa-bawa Ai ya” aku berusaha senyum terus.
“Arya, atau gue panggil nama asli lo deh, Achmad, ga usah sok baik jodohin gue ama Aisyah terus-terusan… Gue gak mau… Gue hindarin, serusak-rusaknya gue ga mau ngerusak adek elo… Makanya lo juga jangan lah kawin, ntar lo juga ngerusak kayak bokap lo”

“Udah….”
“Makin stres nih si anak, Anjing banget” bingung Anin.
“Jadi, kapan si Arwen itu mau digarap, gue sih mau-mau aja ngevideoin….” Senyum Stefan tanpa membuka matanya.
“Fan”

“Gila tapi, bokap gue baru Cuma ama satu orang aja langsung ciut, bokap lo udah berapa memek… hahahahahaha… HAGH” mendadak Stefan tercekat. Bagas tiba-tiba mencekiknya dengan tangannya.
“WOI!!” aku dan Anin kaget, melihat adegan itu. Dan dalam gerakan cepat, Bagas menekan beberapa titik di leher Stefan, dan diikuti oleh mata Stefan yang mendadak melotot. Dan Stefan pun dengan lunglainya terjatuh di tanah.

“Lo apain dia?” tanya Anin kaget.
“Pingsanin. Biar kalian gak berkelahi” Dan dengan dinginnya dia mengangkat tubuh Stefan, dia bopong sedemikian rupa dan ia berjalan dengan santai ke arah taksi yang mendekat. Sesaat kemudian setelah Shigeo berdialog dengan supir taksi, Bagas melempar tubuh Stefan ke dalam taksi. Aku dan Anin masih melongo.

Masih melongo.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Sori men” Stefan yang tampak letih dan lesu, duduk di depanku dan Anin.
“Lo gila, hampir aja gue tonjok” balasku.
“Itu gak bener men, gue ngaco”
“Itu jadi jujurnya begitu ya soal gue dan bokap gue” balasku.

“Engga, itu gue nya aja inget soal diri gue sendiri dan sangkut-sangkutin ke elo, Sori men.. Sumpah” Stefan terlihat hancur berkeping-keping.
“Egois lo” lanjut Anin.
“Jangan karena lo pikir Cuma elo yang lagi pusing banget, terus elo berhak jalan kabur sendiri, mabok di tempat kayak gitu, kalo lo hipotermia gimana?” tegurku.
“Gak lagi-lagi”

“Ini bukan Bali bego, kalo ini Bali mah gak bakal lo hipotermia, lo Cuma masuk angin kalo ini Bali… Ini Jepang, musim dingin, tidur di taman? Mabok? Semalem lo masih idup juga itu mukjizat kayaknya, Haleluya” sindirku.
“Engga men, udah, gue lo tau sendiri kenapa stressnya kan?”

“Cuma jangan bahayain band kita!!! Lo kalo sakit gimana Anjing” bentakku.
“Iya”
“Dan Kairi ntar bakal dateng, dan dia pasti denger ini dari Shigeo. Lo dah tau kan kalo dari Live yang Osaka terakhir ini dia ikut kita sekali ke Kyoko, dan dia bakal bawa beberapa orang penting buat ntar malem? Kalo dia marah gimana? Kalo dia mendadak putus kontrak kita gimana? Se amrik-amriknya Kairi, kalo dia denger ini dia pasti marah tolol” aku menggaruk kepalaku. “Dan lo kasar banget semalem, untung lo gak sampahin adek gue, kalo iya, lo gue abisin malem itu juga”

“Sori men”
“Sejam lagi Kairi dateng, mending lo cepet abisi kopi lo”

Ya, kami ada di sebuah tempat, entah café atau coffee shop, bertiga, dengan kondisi aku dan Anin super kesal kepada Stefan.
“Sekali lagi lo kayak gini di tur Jepang ini, gue ga tau harus ngapain Fan, dulu lo bilang gue egois, sekarang lo gak kalah egoisnya, pake mabok sendirian, lo bukan anak Mahasiswa bego, lo udah 31 taun, lo udah harusnya jadi panutan buat musisi-musisi di Indonesia sana sekarang…. Apalagi yang muda-muda… Jangan karena lo lagi galau karena lo bakal ditinggal temen lo kawin, dan lo jenuh ama keluarga elo, dan lo lagi takut ama Chiaki, lo nyampah di luar sana….”
“Iya”
“Saran gue, abis balik ke Indonesia, lo beli apartemen kek, ngekos kek, kayaknya lo butuh tinggal sendiri” kesalku.

“Udah Fan, inget, jangan sampe gagal, dan ini baru minggu pertama, kita baru ngejalanin perkenalan ama satu show doang, kalo gagal, gila, kita masih punya dua minggu lagi, dan itu harus perfect” tegur Anin.
“Siap”

“Janji?” tanyaku.
“Demi Tuhan”
“Ayatnya aja lo kangkangin tadi malem”
“Udah anjir”

“Udah, pokoknya gue ama Arya ga mau tau, lo mesti benerin kepala lo, ga tau gimana caranya, entah, yang penting jangan singgung perasaan kita, dan jangan egois lagi. Gila lo”
“Iya Nin”

Stefan mengusap muka kacau hangovernya, dan kami semua berharap Kairi tidak kecewa kepada kami.

--------------------------------------------

50929510.jpg

Kairi duduk di taman, menghadapi Aku, Anin, Bagas dan Stefan. Stefan tampak lemah, tampak tak bertenaga. Sedangkan aku dan Anin memasang ekspresi kesal, dan Bagas? Jangan kau harapkan ia akan berekspresi.

Kairi baru saja sampai di tempat kami, dan dia sedang merokok di taman, dan dia ingin bicara serius kepada kami. Dia melihat wajah kami satu-satu dengan tajamnya. Aku dan Anin pasrah, Stefan terlihat begitu tak berdaya. Dia bahkan tidak berani merokok.

“Stefan” Kairi membuka mulutnya setelah ia membuka kacamata hitamnya.
“Yes?” jawab Stefan lemah.

“You’re not gonna like this”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd