Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Istri tergoda

Lanjut suhu ..
Pengen ngerasain juga ni..
Andai aq jadi bima hhmm
 
RASANYA aku pantas mendapat pujian atas aktingku yang sekuat tenaga bersikap biasa-biasa saja setelah peristiwa malam itu. Keeseokan harinya, kami bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Malah terlalu biasa sampai-sampai aku sedikit kesal dengan "amnesia" nya Mas Bima karena menganggap peristiwa yang bagiku sangat penting itu terlihat tak istimewa baginya.

Hatiku sedikit terluka. Mungkin bagi Mas Bima, yang kami lakukan semalam hanyalah sebatas seks belaka. Sebuah pelampiasan nafsu.

Setelah beberapa hari setelah kejadian itu, kenapa aku selalu memikirkan mas bima?? Aku selalu mengecek media sosial mas bima dan mbak tika mereka mesra sekali

Dan kenapa aku ada rasa cemburu dengan mereka??

Suatu hari aku dalam keadaan bosan sekali dirumah, anakku sedang berada dirumah neneknya sedangkan suamiku sedang berada di luar kota dalam beberapa minggu.

Aku masih menekan-nekan remote televisi tak tahu acara apa yang akan aku tonton. Pikiranku sedang melayang ke mana-mana. Di satu sisi, aku sangat merindukan Mas Bima. Sisi lainnya mengusikku bahwa aku seharusnya tak menghubunginya lagi jika masih sayang dengan Mbak Tika. Tapi.. bagaimana kalau misalnya Mas Bima ternyata mencari 'tambatan lain' untuk melabuhkan penisnya. "Aaarrrghh...." aku mengacak-acak rambutku sendiri ogah membayangkan Mas Bima bersama perempuan lain. Cemburu! sangat cemburu.

Tak lama terdengar ketukan pintu. Aku melirik jam dinding, sudah hampir jam 11 malam. Siapa yang datang selarut ini? apakah Mas Bima?

Dugaanku memang benar. Mas Bima sudah ada di depan kamarku. Memakai kaus hitam ketat dan jaket kulit serta celana seragamnya lengkap dengan ikat pinggang senjatanya dan tak ketinggalan sepatu lars berat hitam miliknya. Aku tak bisa menebak apakah Mas Bima yang tampak gagah ini sedang bertugas atau tidak.

"Oh, Mas.. masuk, Mas..." aku mempersilakan masuk Mas Bima dengan kalimat yang sangat tidak antusias. Mas Bima pun merasakan itu.

"Ada apa mas malam malam kesini" aku

"Ahh tidak, lagi pengen kesini aja?" Mas bima

"Loh...mbak tika tau klo mas mau kesini??" Aku

"Gak tau, tenang aja kamu, aku kangen banget sama kamu fin, semenjak kejadian kemarin aku tidak bisa melupakanmu" mas bima

Mas bima sambil mendekatiku dan berusaha menciumku, tapu aku tolak

"Sudah mas, hentikan. Aku merasa tidak enak dengan mbak tika mas, mas ini kan suami mbak tika" aku

"Tapi...entah kenapa aku kepikiran terus makanya aku kesini" mas bima

Dengan wajah ku yang sedikit kesal, dia berusaha membuatku tersenyum lagi.

"Kita pergi yuk fin" mas bima
"Kemana mas malam malam gini?" Aku
"Udah ikut aja" mas bima

Aku pun menurut saja apa yang dikatakan mas bima.

Selama hampir sejam, Mas Bima memacu motornya ke daerah yang belum pernah aku kunjungi. Kurasakan jalanan semakin menanjak dan rumah-rumah semakin jarang. Udara dingin mulai menggigit sehingga aku merapatkan jaketku. Mas Bima semakin memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi sehingga mau tak mau aku memeluk pinggannya untuk berpegangan.

Tak lama, motor Mas Bima berhenti pada sebuah kedai gubuk di pinggir jalan. Aku mencium bau jagung bakar mentega menguar dari salah satu panggangan yang sedang dikipasi oleh seorang bapak tua.

Mas Bima berseru pada bapak tua itu. "Pak! jagung bakar dua, sama kopi.. ng.. kamu mau kopi?" tanya Mas Bima padaku.

Aku menggeleng. Aku bukan seorang penikmat kopi, tapi tadi kulihat ada kalimat "bandrek" pada sebuah papan berisi tulisan menu yang disediakan. Jadilah aku memilih bandrek.

"Bandreknya satu, pak!" ujar Mas Bima.

Si Bapak tua itu mengangguk. Entah mengapa ada wajahnya seperti sedikit cemas. Dari tadi dia mencuri-curi pandang padaku

Yuk!" ajak Mas Bima. Aku mengikutinya yang berjalan masuk ke dalam pondok bambu itu.

Rupanya di dalam pondok bambu itu terdapat tempat lesehan memanjang yang langsung berbatasan dengan tebing curam. Dengan bukaan jendela yang juga memanjang, pembeli jagung bakar yang menikmati hidangannya mendapatkan pemandangan menakjubkan: kelap-kelip lampu kota di kejauhan. Aku pun mau tak mau menarik nafas melihat pemandangan indah itu. Ah, Mas Bima.. bisa saja dia mengajakku ke tempat romantis seperti ini.

Di dalam tempat lesehan itu ada empat buah meja. Dua di antaranya ditempati oleh sepasang kekasih, dan tiga orang pria pengendara yang sepertinya beristirahat dari perjalanan panjang.

Aku benar-benar terpesona oleh pemandangan kota di lembah bukit kejauhan sehingga aku mengabaikan keberadaan Mas Bima selama beberapa saat sampai dia menegurku.

"Jadi, kenapa telepon saya enggak pernah kamu angkat?" tanya Mas Bima.

Aku pun teralihkan dan menoleh pada Mas Bima dan kembali menunduk murung.

"Kemarin itu.. waktu Mbak Tika nelepon, aku bener-bener merasa enggak enak Mas..." ujarku.

Mas Bima mendengus sambil tersenyum.

"Fin... Mas kasih tahu, ya. Yang namanya berkeluarga itu selalu seperti itu. Kadang ada drama, tertawa, sedih, bahagia, termasuk anak sakit. Harusnya kamu enggak usah ngerasa bersalah sampai segitunya," jelas Mas Bima sambil terkekeh.

Nah, sekarang jadinya gimana? kamu enggak mau ketemu Mas lagi? bener?" tanya Mas Bima mengembalikan topik pembicaraan.

Aku menunduk kembali. Sebenarnya aku masih ingin terus bersama Mas Bima, tetapi pertentangan batin ini terus terjadi di otakku. Aku meliriknya. Dia tampak lahap sekali menyantap jagung bakarnya sambil sesekali mengirup kopinya. Mas Bima tampak tenang-tenang saja seolah kejadian kemarin tak memengaruhinya sama sekali.

"Mas..." panggilku.

"Makan jagungnya Fin, bandreknya juga jangan sampai dingin. Anget-anget di gunung gini enaknya minum selagi panas," saran Mas Bima.

Aku pun membatalkan pertanyaanku dan menyeruput bandrek di hadapanku. Hangat.. Nikmat sekali.

"Jadi gimana?" tanya Mas Bima lagi.

"Yaudah, kalau Mas Bima enggak keberatan, ya... aku mau terus ketemu Mas..." ujarku sambil berusaha menahan senyum.

"Gitu dong, mas kan bakalan kangen sama kamu kalau kamu enggak mau lagi sama Mas," ledek Mas Bima.

Aku tersenyum lebar. Mendadak perutku lapar karena bahagia. Aku pun menyantap jagung bakarku. Enaak...

"Ssst.. Fin, sini.." kata Mas Bima memberi kode padaku agar mendekat.

"Ada apa Mas?" tanyaku heran.

"Mas lagi kepingin nih..." bisik Mas Bima pelan.

"Ih! jadi gimana? mau pulang sekarang?" tanyaku.

"Enggak usah, di sini aja..." kata Mas Bima.

"Hah?" aku heran sambil melihat ke sekeliling. Baru aku sadari, ada beberapa pasang muda-mudi yang masuk ke sebuah pintu di dekat meja lesehan. Aku melongok mencoba mengintip. Rupanya ada beberapa kamar dari bangunan dinding permanen beberapa puluh meter dari pondok itu.

"Ada kamar? serius Mas? Aman?" tanyaku khawatir.

Mas Bima mengangguk mantap "Mas udah tau tempat kayak apa di sini, yuk, kita keluar dulu," ajak Mas Bima. Aku pun mengikutinya bangkit dari lesehan menuju halaman luar.

Sori Fin," bisik Mas Bima. +

Sebelum aku sadar akan apa yang hendak Mas Bima perbuat, tiba-tiba dia menekan telapak tangannya tepat pada lambungku hingga aku tiba-tiba merasa mual.

"Hoeeeeek... apa-apaan sih, Mas?" protesku sambil memegangi perutku yang sakit. Untung saja makanan dan minuman yang tadi kumakan tidak sampai keluar.

"Pak! Istri saya ini kayaknya masuk angin, kalau saya bawa turun nanti dia bisa tambah parah. Saya pakai kamar satu di sini ya?" sahut Mas Bima pada bapak tua curigaan yang kini semakin tampak khawatir.

"Eh, ehm.. ehm... masih ada kamar kosong gak ya?" gumamnya ragu seolah tak rela Mas Bima menyewa kamarnya.

"Saya yakin masih ada, dan aman sampai pagi," sahut Mas Bima sambil bertolak pinggang sehingga menyingkap jaketnya dan memperlihatkan sabuk senjatanya.

Melihat itu si bapak tua langsung menghampiri Mas Bima. "Ooh.. ada-ada mas, mari saya antar," ujarnya gugup sambil berusaha ramah.

Mas Bima melirikku dengan senyum licik penuh kemenangan. Aku memalingkan wajah berusaha menyembunyikan tawa.

"Mari, saya antar..." ujar si bapak tua. Kamipun mengikutinya dari belakang.

Bapak itu mengantar kami pada kamar paling ujung. Mas Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil dua lembar seratus ribuan dan menyerahkannya pada si bapak.

"Oooh, santai aja Mas, tenang aja, enggak usah.. enggak usah.." tolak si bapak ketakutan.

"Ambil pak. Sekalian bayar jagung bakar tadi," kata Mas Bima sambil menyodorkan uangnya.

"Enggak usah Mas..." tolak si bapak makin memaksa.

"Udah ambil..." Mas Bima yang gemas menarik tangan si Bapak dan menyumpalkan uang itu pada genggamannya.

"Ma.. makasih Mas..." kata si bapak itu sambil membungkuk-bungkuk.

"Jagain motor saya ya!" sahut Mas Bima. Bapak tua itu mengangguk-angguk sambil pergi.

Mas Bima mengajakku masuk. Kamar itu letaknya agak tersembunyi dari kamar lain, tapi tampaknya kamar itu paling luas dan paling bagus di antara kamar lainnya. Entah apa penyebabnya, tapi udara di dalam kamar lebih hangat dari udara dingin pegunungan di luar. Ada sebuah ranjang ukuran queen size dengan sprei putih bersih dan sebuah meja berisi dua botol air mineral dan cermin. Aku pun melepas jaketku.

Mas Bima menutup pintu dan menguncinya. Kemudian dia menghampiriku dan mencium bibirku dengan bernafsu. Aku serasa meleleh menerima ciumannya. Mas Bima melepas jaketnya dan merangkul pinggangku.

"Aku kangen Mas..." bisikku lirih.

Mas Bima tak menjawab. Dia menatapku sayu, bibirnya terbuka seolah tak sabar ingin melahapku. Tak lama dia kembali mencium bibirku. Lidahnya dia masukkan ke dalam mulutku dan menggumul lidahku.

Aku menarik kausnya sehingga Mas Bima bertelanjang dada. "Mas, badannya makin jadi aja..." gumamku lirih memuji tubuh Mas Bima yang semakin berotot karena rajin berlatih di pusat kebugaran.

"Suka?" goda Mas Bima.

Aku mengangguk. Tanpa menunggu lama, aku membuka kaus lengan panjangku dan mulai melumat puting Mas Bima yang menonjol berwarna coklat agak gelap itu.

"Ouw.. shit..." desis Mas Bima sambil menengadahkan kepalanya ke atas ketika merasa keenakan dengan isapan mulutku.

Aku melanjutkan aksiku dan menurunkan risleting celana Mas Bima tanpa melepas sabuknya. Kuturunkan celana dalamnya sehingga penisnya menyembul keluar dari balik risletingnya. Posisi yang agak berbahaya sebenarnya, aku tak ingin penis Mas Bima terjepit risleting, oleh karena itu aku berhati-hati meraihnya.

"Isap Fin..." perintah Mas Bima.

Tanpa dia suruhpun aku memang berniat melahap penisnya yang mulai tegang itu. Dengan sekali gerakan kulumat penis Mas Bima, kukulum, kuhisap, kugigit lembut beberapa kali.

"Aaaah.. Fina..." gumam Mas Bima. Dia pun membuka kaitan celananya dan melepasnya hingga telanjang bulat.

"Mas malam ini mau langsung ngentotin kamu Fin..." pintanya. Rupanya Mas Bima ingin langsung ke menu utama tanpa pemanasan berlebihan. Aku mengangguk.

Mas Bima merebahkanku ke atas ranjang dan membiarkan kedua kakiku tergantung ke lantai sedangkan vaginaku berada tepat di pinggiran ranjang.

Mas Bima menarik celana panjangku dan membuat aku telanjang bulat. Dia kemudian menunduk dan menghilang dari pandanganku.Mas Bima menggosok-gosokan dua telapak tangannya dan menunduk di hadapanku dan mulai meremas-remas payudaraku dan memelintir-melintir putingku dengan tangannya yang basah dan dingin.Aku merinding keenakan sambil mendesah.

Mas Bima tak lama melakukan itu. Lalu dia menghilang lagi dari hadapannku karena dia berlutut. Aku merasa tangan Mas Bima mendorong kakiku hingga terangkat dan lubang vaginaku terekspos. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya pada belahan vaginaku.

"Mas Bimaaa..." aku memekik sambil menggelinjang saat Mas Bima menjilat vaginaku dengan lidahnya yang basah. Lubang vaginaku langsung berdenyut-denyut menerima rangsangan seperti itu. Perlahan Mas Bima menyapu belahan vaginaku dan menekan-nekan ujung lidahnya tepat di lubang vaginaku hingga aku memekik berkali-kali keenakan.

"Mas Bimaaaaa......" ujarku gemetar. Aku mencoba meraih tubuhnya, tapi tangannya yang kokoh tetap memegangi lututku hingga aku tak kuasa melawan perbuatannya.

"Oouuwww.. Mas... Mas..." ujarku sambil terus menikmati goyangan lidah pada vaginaku sehingga aku menjadi gila dan sangat terangsang hingga pada satu titik vaginaku seolah meronta dan memohon tak tahan ingin segera diisi oleh batang penis kokoh milik Mas Bima.

"Mas... masukin mas.. masukin..." rintihku tak tahan. Mas Bima bangkit dan meletakkan kedua kakiku pada bahunya. Tanpa ampun dan tanpa proses perlahan-lahan, Mas Bima menghujamkan penisnya tiba-tiba pada vaginaku. Mendadak perutku terasa penuh. Penuh terisi batang penis yang langsung membungkam vaginaku yang sedari tadi seolah menjerit memohon untuk dihajar oleh kontol Mas Bima.

"Aaaaaakkh..." erangku sambil berusaha membiasakan diri dengan batang penis Mas Bima pada vaginaku yang berdenyut-denyut gembira telah dirojok batang sekokoh itu.

Mas Bima mulai melakukan gerakan penetrasi dan menusuk vaginaku berkali-kali hingga ranjang itu berkeriat-keriut bergerak-gerak seiring dengan tubuhku yang bergerak juga.

"Hhh... hhh.... hhhh... kontol mas..." desahku menikmati tusukan penis mas Bima hingga aku tak bisa lagi menyebutkan kata-kata untuk mengungkapkan pujianku.

Plok! plok! plok! paha Mas Bima beradu dengan vaginaku dan saling memukul hingga menimbulkan bunyi. Kurasakan zakar Mas Bima juga memukul-mukul tepat pada belahan vaginaku. Aku terengah-engah saat Mas Bima mengangkat kakiku tinggi-tinggi dan terus menghajar vaginaku dengan penisnya.

"Ahh.. ah.. ah..." erang Mas Bima. Keringat mulai mengucur dari leher dan dadanya hingga membuatnya terlihat makin seksi dan mengilap. "Memek kamu emang enak banget Fin..." racaunya.

Aku merintih saat Mas Bima meletakkan dua telapak tangannya pada payudaraku,meremasnya berkali-kali dan menghisapnya. Jarinya sesekali mencubit putingku dan menekannya dengan ibu jari sementara penisnya maasih terus menghajar vaginaku. Mas Bima membungkuk. jari telunjuknya dia masukkan pada mulutku. Aku kemudian mengulumnya seolah itu adalah penis Mas Bima. "mm.. mmm...."

Lalu Mas Bima membungkuk. Dengan tangannya dia membuka mulutku paksa dan wajahnya tepat berada di atasku. Setelah berhasil membuka mulutku, Mas Bima mengerucutkan bibirnya dan meneteskan air liur tepat masuk ke mulutku. Kurasakan ludah Mas Bima menetes pada lidahku dan mengalir hingga ke kerongkonganku. Dengan gemas Mas Bima menjilat bibirku.

Entah mengapa perbuatan kinky Mas Bima yang memaksaku mencicipi liurnya membuatku semakin terangsang. Mas Bima pun demikian. Dia menggenggam bahuku dan tanpa ampun gerakan mengentotnya semakin cepat dan ganas. Aku berteriak-teriak kesakitan sekaligus menikmati rojokan penisnya.

"Fin.. memek kamu enak banget... argh.." erang Mas Bima berkali-kali.

"Mas... aku mau keluar..." rintihku ketika tak tahan lagi untuk mencapai klimaks.

Mas Bima rupanya belum selesai. Dia membalik badanku hingga aku memunggunginya. Tanpa menunggu lama, dia kembali menyodok vaginaku dan menghajarnya kembali dengan cepat. Tangan Mas Bima memegangi punggungku sementara tangan satunya menarik rambutku ke belakang. Kasar sekaligus seksi.

"Akh..." aku memekik saat Mas Bima menjambak rambutku dan menarik kepalaku ke belakang.

"Aaaaaaaaarrrrrggh...." erang Mas Bima saat dengan bernafsu dia menghujamkan penisnya berkali-kali hingga aku lemas menggapai-gapai sprei dan pinggiran ranjang untuk berpegangan.

Mas Bima mencondongkan tubuhnya dan menciumi punggungku yang sudah basah oleh keringat. Wajahhnya dia dekatkan pada kepalaku.

"Terus Mas... terus... lebih kenceng..." ujarku lirih memberinya semangat.

"Mas keluarin di dalam?" tawarnya sambil terus menggoyangkan pinggangnya. Tangannya merangkul dadaku dan meremas-remasnya.

"Yaa masss ahhh..." ujarku nakal.

"Yakin?" Mas Bima bertanya sambil mencium pipiku dan menjilat telingaku.

Aku mengangguk.

"Ouw...!! aku udah mau keluar Fin...." desah Mas Bima.

Semakin keras sodokan mas bima, semakin dalam hingga menyentuh rahimku

"Ahhh finnnn mass keluarrr...." mas bima pun mengerang "crooottt....crooottt....crooootttttt...crooottt" semburan lahar panas yang kental masuk ke rahimku.

Rasanya hangat sekali, hingga menyentuh rahimku, penuh sekali rasanya rahim ku berisi benih benuh cinta ku dengan mas bima, dan baru aku sadari aku sedang mengalami masa subur saat ini.

Mas bima pun hambruk sambil mengatur nafasnya, Aku beringsut dan berbaring di sebelahnya sambil memeluk tubuhnya yang berkeringat. Aku menciumi lembut dadanya beberapa kali "Mas Bima emang hebat," aku memujinya.

Mas Bima tersenyum. Dia menarik tubuhku dan memelukku sambil memberikan kecupan sayang dan terima kasih pada pipiku.

"Kamu juga hebat, bikin Mas bener-bener puas," pujinya.

Aku tersenyum malu. Kumainkan jari-jariku pada dada bidangnya sambil sesekali memainkan putingnya.

Kami pun tertidur pulang, aku tidur di pelukan mas bima.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd