Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Di Kamar Hotel Itu

Taksi, sebutan orang Palembang untuk mobil angkutan umum, yang kami naiki memasuki Terminal Lemabang. Terminal Lemabang adalah terminal antara. Dari terminal ini tinggal satu kali lagi naik taksi menuju rumahku.

Hari ini aku menemani Akhyar membeli perhiasan emas berupa satu buah kalung emas dan dua buah cincin untuk keperluan hantaran pengantinnya. Hanya itu. Padahal hari masih siang. Kami meninggalkan rumah sekitar jam sembilan pagi dan menjelang tengah hari ini, kami sudah hendak pulang ke rumah.

Kemarin sore Akhyar meminta izin pada suamiku untuk mengajak aku membeli kebutuhan pernikahannya dan suamiku mengizinkannya. Hanya kami berdua yang pergi karena itu permintaan Akhyar. Neng aku titipkan ke Juju. Kasihan Neng-nya kalau diajak berbelanja, itu alasan Akhyar. Kecapekan dia nantinya.

Taksi berhenti. Para penumpang pun turun. Kutunggu Akhyar yang sedang antri untuk menyerahkan uang pembayaran kepada sopir. Setelah melakukan pembayaran, tanpa bicara, Akhyar berjalan. Kuikuti dia.

Heranku timbul. Seharusnya kami menaiki taksi yang sedang mengetem di jalur sebelah, jalur menuju rumahku, bukannya malah keluar dari terminal. Kujajari langkahnya, lantas bertanya."Mau kemana?"​

"Aku mau ketemu kawan."

"Dekat dari sini?"tanyaku lagi.

"Dekat. Tinggal jalan saja."

Sambil menutupi wajah dari terpaan sinar matahari, dengan diam kuikuti langkahnya. Matahari bersinar cerah. Peluh pun mulai membasah. Tanpa terasa kami telah menjauh dari Terminal Lemabang dan terus berjalan.

Tiba kami di depan warung pempek langganan Amir, tempat dulu aku ditraktir oleh Amir. Mau mampir untuk mentraktir akukah dia? Terkaku dalam hati. Tapi ternyata tidak. Akhyar memasuki lorong disamping warung pempek itu dan aku pun menyusulnya. Dapat aku baca plang nama hotel yang menempel di dinding warung pempek itu. Itu hotel tempat aku dan Amir pernah memadu kasih.​

"Didalam sini rumahnya?"

Tidak menjawab dia. Wajahnya tegang. Tapi dia terus melangkah. Rumah panjang itu sudah terlihat, rumah yang berfungsi sebagai hotel tempat aku dan Amir pernah berkencan.

Semakin mendekati hotel kenangan itu, langkah Akhyar memberat. Ragu-ragu dia. Begitu pula denganku. Tidak beraturan detak jantungku. Instingku mulai bermain. Ada yang tidak beres dengan lelaki disampingku ini. Aku takut dia akan mengajak aku ke hotel itu.

Dan benar dugaanku. Begitu tiba didepan hotel itu, Akhyar meraih tanganku dan ditariknya aku membelok masuk. Aku pandang lorong yang tadi kami lewati, khawatir ada seseorang yang aku kenal, yang mengamati kami.

Di depan pintu hotel, sebelum masuk, Akhyar memandang ke belakang. Sepertinya dia mencari sesuatu atau menunggu seseorang. Entahlah.

"Eceu tunggu di sini."Akhyar menyuruh aku duduk di sofa yang ada di lobi hotel itu.

Aku pun duduk. Majalah yang berada di bawah meja, aku ambil. Majalah ini dapat aku pergunakan untuk menyembunyikan wajahku dari tatapan orang-orang yang ada di lobi ini. Sambil meninggikan majalah didepan wajahku, kucoba menenangkan debaran jantungku.

Dari balik majalah, aku lihat Amir berbincang dengan lelaki dibalik meja resepsionis itu. Mau apa dia? Didalam hati aku bertanya. Apakah teman Akhyar pemilik rumah yang difungsikan sebagai hotel ini?

Dari balik majalah itu pula bebas mataku melirik ke arah pintu masuk hotel. Menunggu seseorang yang ditunggu oleh Akhyar. Aku curiga Akhyar hendak menjebakku, tapi, meskipun banyak orang yang masuk-keluar hotel, tidak ada satu orang pun yang patut aku curigai, baik perempuan maupun lelaki.

"Ayo, Ceu,"suara Akhyar mengejutkan aku yang sedang memandang pintu masuk hotel.​

"Kemana?"tanyaku.

"Kita ke dalam."

Majalah yang sedari tadi aku pegang, aku letakkan kembali di meja, lalu berdiri aku. Kususul Akhyar yang sudah menjauh.

Tanpa bantuan bell boy, kami menelusuri selasar memanjang yang kiri kanannya berbaris pintu-pintu. Persis dulu saat Amir mengajak aku masuk ke salah satu kamar di hotel ini.

Akhyar berhenti didepan salah satu pintu kamar dan aku ikut berhenti. Dia keluarkan kunci dari saku celananya. Pintu pun dia buka dan dibawanya aku masuk.

Kosong kamarnya. Tidak ada orang. Didalam kamar hanya ada cermin besar yang menempel di dindingnya, ada kipas besar disalah satu sudutnya, ada nakas dimana ada nampan berisi dua buah gelas dan teko minum di atasnya, dan kamar mandi. Aku ingat. Ini adalah kamar yang dulu aku dan Amir pernah bergumul panas.

Duduk aku di pinggiran tempat tidur. Masih empuk tempat tidurnya, masih sama seprainya, seperti dulu aku dan Amir pernah berbaring bersama, menyatu dalam birahi.

Akhyar menghidupkan kipas angin. Kamar pun menjadi tidak begitu panas.

"Di mana kawannya?"tanyaku kemudian. Basa-basi karena aku tahu ini permainan Akhyar untuk mengajak aku masuk ke kamar ini.

Dan memang benar. Tersenyum lebar lelaki yang berdiri didepanku itu. Dia lepaskan kaosnya, dia turunkan celana panjangnya. Hanya bercelana pendek dia.

Sambil merentangkan tangannya, tertawa lepas dia. Bahagia sekali dia. Lalu,"Akhirnya berhasil aku menyekap Eceu di hotel ini."​

"Awas, kualat sudah membohongi Aa-mu,"gurauku.

Dari ranjang, dari tempat aku duduk, kutatap bayangan diri di cermin itu. Rambutku yang aku ikat kuda tampak berantakan, meski tetap cantik aku.

"Aku tidak bohong,"elaknya,"aku 'kan memang mengajak Eceu berbelanja untuk keperluan menikahku. Dimana bohongnya?"

"Biar pun cuma membeli kalung dan cincin?"Berbaring memiring aku di tempat tidur. Kugunakan tanganku untuk menumpu kepalaku.

"'Kan nanti ada alasan untuk mengajak Eceu keluar lagi,"ringan ucapannya dan kembali tertawa dia.

"Ada alasan untuk ke hotel ini lagi,"susulnya lagi setelah selesai tawanya.

Memonyong mulutku, mencibir kepada Akhyar. Tertawa lagi dia. Berlenggak-lenggok dia. Mendekati ranjang.

Dan, hap, loncat dia ke atas kasur yang empuk, tepat disamping aku. Didudukinya aku yang masih memiring tidurku. Dengan tangannya yang jatuh di sisi-sisi tubuhku, merunduk dia, mencium rambutku. Kupasangkan bibirku dan bertemu bibir-bibir kami. Saling kulum, saling sedot.

Saat dia hendak merengkuh payudaraku, kutahan tangannya. Kulepaskan bibirnya dan lalu,"Saya mau pipis."

Terlihat rasa kecewa di wajahnya, tapi tetap aku dorong dia turun. Dengan cepat aku bangun dan bergeser mendekati pinggiran tempat tidur. Melangkah aku menuju kamar mandi dan masuk. Bak mandi penuh air. Ada setumpuk handuk putih di rak kecil yang menempel di dindingnya dan dua buah sabun kecil di wastafel.​

Setelah berkaca sebentar di cermin yang berada di atas wastafel, kuangkat rok yang aku pakai, kuturunkan celana dalam, lalu berjongkok. Mulai pipis.

"Yang bersih, ya, Ceu. Biar harum memeknya!"Amir berteriak dari luar kamar mandi.

Sialan! Makiku dalam hati. Kalau ada yang mendengarnya, kan malu. Lagipula aku pasti cebok. Tidak mungkin aku membiarkan memekku berkeringat tidak sedap. Memekku harus wangi karena sebentar lagi akan dinikmati oleh lelaki itu.

Selesai pipis, aku berdiri. Kupasang kembali celana dalam dan kurapikan bawahan pakaianku. Setelah itu, aku pilih merapikan diri dulu didepan cermin. Dua buah kancing pakaianku yang paling atas, aku buka. Aku kuakkan bagian atas pakaianku. Masuk tanganku ke dalam cup beha dan menarik gumpalan kain dari dalamnya. Inilah resiko bila perempuan mempunyai payudara mungil. Agar terlihat mengembung seksi, beha pun harus disumpal. Kasihan.

Kusembunyikan kedua gumpalan kain tadi ke dalam saku pakaianku. Malu kalau Akhyar melihatnya. Setelah itu, cuci muka aku. Biar segar wajahku. Sebenarnya aku ingin mandi. Cuaca kota Palembang yang terik membuat gerah diri ini. Tapi Akhyar menunggu aku di tempat tidur itu. Pasti ribut dia kalau aku tidak muncul-muncul.

Klik! Kemudian dapat aku dengar pintu diluar sana membuka. Terdengar Akhyar bercakap-cakap pelan dengan seseorang. Suara seorang lelaki. Inikah orang yang ditunggu oleh Akhyar? Menjadi tidak karuan detak jantungku. Dadaku berdebar kuat. Apakah Akhyar mengundang orang ketiga ke kamar ini agar bisa menyetubuhi aku bersama dia seperti keinginan malam itu?

Gemetar jadinya tubuh ini. Kutajamkan pendengaranku. Aku ingin mengenali suaranya. Siapa tahu aku mengenalinya. Siapa tahu itu Amir. Siapa tahu Akhyar sengaja mengajak Amir untuk kami bermain bertiga. Berpegangan aku pada wastafel. Hilang kekuatanku membayangkan sebentar lagi aku akan dikeroyok oleh dua orang lelaki. Tapi semoga itu Amir, pintaku.

Tok-tok-tok! Ada ketukan di pintu kamar mandi.

"Lama sekali pipisnya,"Akhyar berteriak dari luar kamar mandi."Gantian. Aku juga mau kencing."

Padahal pintu kamar mandi tidak aku kunci. Kalau dia mau, dia tinggal dorong pintu itu. Aku kuatkan kakiku. Melangkah aku mendekati pintu. Kubuka pintu lebar-lebar. Kucoba memandang ke tempat tidur, tapi terhalang oleh tubuh Akhyar yang berdiri di ambang pintu.

Ketika aku hendak melangkah keluar kamar mandi, dia tahan aku. Didorongnya aku kembali ke dalam kamar mandi.

"Mau apa?"berpura-pura marah aku ketika kami sudah berada di dalam kamar mandi.

Tanpa menjawab, dia balikkan aku menghadap ke cermin. Hanya ada bayangan aku dan dia di sana.

Retsleting pakaianku dia turunkan. Lalu,"Buka bajunya, Ceu."

Dengan hati-hati aku lepaskan pakaianku. Hati-hati karena aku takut pakaianku basah. Maklum di kamar mandi. Akhyar mengambil pakaian itu dari tanganku. Dia sangkutkan pakaian itu pada hanger.

Setelah pakaian aman tergantung, kembali dia berdiri dibelakangku. Melalui cermin yang ada didepan kami, dia pandang aku yang hanya mengenakan beha dan celana dalam. Kemudian matanya tertuju kepada payudaraku yang mengintip dari balik beha.

"Apa itu?"Dengan penuh curiga tangan Akhyar menyentuh payudaraku, tepat ditanda merahnya."Siapa yang buat cupangnya?"

Siapa yang buat cupangnya? Aku tidak tahu. Soalnya semalam aku digilir oleh dua orang lelaki, oleh suamiku, lalu oleh Amir. Pasti suamiku yang lebih dulu membuatnya, lalu berikutnya Amir menambahinya.

Wajarlah bila payudara-payudaraku selalu menjadi incaran. Biar pun sudah lima mulut anak-anakku yang menyusuinya, biar pun ditambah lagi dengan mulut-mulut pria dewasa ikut menyusu, masih kencang payudara-payudaraku. Bak payudara anak yang baru meranjak, abg istilah anak sekarang. Mengkal dan imut.

"Tapi, Eceu tidak main bareng, kan?"Ada rasa penasaran di nada suaranya.

"Tidaklah."Dengan gemas, aku cubit lengannya.

"Oh, aku kira Eceu sudah mau ngentot bertiga."Suara Akhyar tersendat-sendat berat, sementara matanya, dari cermin itu, berbinar-binar. Mata itu penuh birahi. Dapat pula aku rasakan detak jantungnya yang mengencang di kulit punggungku.

Lantas, bibir Akhyar jatuh di pundakku. Diciumi dan sesekali digigitinya, sementara bergerilya tangannya untuk mengelusi kulit tubuh ini. Nafasnya makin berat dan terburu-buru.

Sekarang dia lepaskan pengait behaku. Dia pelorotkan behaku, yang meninggalkan gundukan daging milikku. Aku biarkan mata itu, melalui cermin, memandangi dua payudaraku yang menggantung indah, meskipun ada bercak merah.

Dua tangan Akhyar tiba di dua gundukan gunung itu. Bak adonan makanan, jari-jari tangan Akhyar meremas payudaraku. Ke atas, ke bawah, ke samping, berulang-ulang diunyel-unyelnya. Sakit bercampur geli.

Satu tangan Akhyar meninggalkan payudaraku, berpindah ke selangkangan yang masih tertutup celana dalam. Dielusnya celana dalam itu, tepat dibelahan memanjangnya, belahan memanjang kemaluan yang sudah membasah.

"Aku buka baju dulu."Akhyar mundur meninggalkan aku. Ketika Dia lepaskan kaosnya, aku pun menyangkutkan beha yang sejak tadi aku pegang di hangger, berdampingan dengan pakaian.

Dengan kaos dan celana pendek di tangannya, Akhyar yang sudah bugil mundur mendekati pintu kamar mandi, lalu keluar. Melalui cermin, mataku memandang keluar kamar mandi, mencari seseorang di luar sana. Rasa penasaran memenuhi dadaku. Ingin tahu sosok lelaki itu.

Kekecewaan menangkup hati karena, melalui cermin yang ada didepanku, aku lihat Akhyar sendirian masuk ke kamar mandi. Tidak ada seseorang di belakangnya. Hei, kenapa aku ini? Kenapa aku bisa begitu kecewanya. Apakah aku begitu mengharapkan ada lelaki lain di kamar ini? Apakah aku memang berkeinginan dapat bermain gila bersama dua lelaki saat ini?

Yang terang aku ingin tahu keberadaan tamu tadi, tapi tidak mungkin aku bertanya. Biarlah Akhyar sendiri yang akan menceritakannya.

Yang pasti, saat ini birahiku begitu menggejolak liar. Membayangkan sebentar lagi aku akan digagahi oleh dua lelaki, membuat fantasiku menjadi tak terkendali. Gila kamu, Ningsih, lirih umpatku, senang didalam hati.

"Hei,"berteriak aku karena disiramnya aku dan kembali disiramnya aku. Basah kuyup aku.

Melalui cermin, tertawa dia melihat aku yang kelabakan. Ingin aku protes, tapi dia malah berjongkok dibelakang pantatku. Dia remas pantatku, diperosotkannya celana dalamku.

Dengan pantatku yang tanpa penutup lagi, bibir Ahyar menciuminya. Sambil tangannya merabai kedua pahaku, dijilatinya kedua belahan pantatku bergantian, bahkan digigitinya gemas. Naik tangan Akhyar mencapai pantat, meremasi dan menepuk-nepuknya.

Berpegangan aku pada wastafel ketika jari-jari tangan Akhyar masuk ke belahan pantat untuk merabainya. Menungging pantatku ketika dia lebarkan belahan pantatku dan menjengit aku karena lidah Akhyar yang kasar menjilatinya. Lidah itu mengutili lubang anusku. Ah, belum pernah pantatku diperlakukan sedemikian rupa.

Akhyar meninggalkan pantatku. Berdiri dia. Dari belakang, dipeluknya aku."Eceu sudah pernah ngewe di kamar mandi?"

Melalui cermin, kutatap dia, menggelengkan kepala, lalu melengos. Pura-pura tersipu malu. Ah, betapa hebatnya aktingku. Padahal, bersama Amir, setiap kali kencan di hotel, kamar mandi adalah tempat favorit kami untuk saling memuaskan birahi.

Gemas dia peluk aku. Batang kontol itu menempel hangat di pantatku. Detak jantungnya deras menerpa punggungku. Begitu pula dengan nafasnya yang bertubi-tubi mengelus leher, membangunkan bulu-bulu halus yang ada. Kembali aku intip keluar pintu kamar mandi. Sepi. Dimana lelaki itu berada? Kapan dia mulai ikut bergabung?

Terlepas pelukannya. Kesempatan itu aku ambil untuk memungut celana dalamku yang menyangkut di tumit kaki. Sudah basah celana dalamku. Belum sempat menyimpan celana dalam itu, Akhyar kembali menyiram aku. Disabuninya aku.

Aroma sabun menyergap hidung, semerbak memenuhi kamar mandi, menyegarkan. Ditelusurinya tubuhku, menyentuh sudut-sudut tubuh.

Hilang payudaraku karena busa yang menutupinya. Berlama-lama dia sabuni gundukan bukit kenyal itu sambil sesekali meremasnya gemas. Pun disabuninya butir kecoklatan yang ada di puncaknya. Geli tapi aku suka.

Akhyar membalikkan aku. Berhadapan kami, tapi, meskipun sudah basah, Akhyar belum bersabun. Curang dia. Maka, aku rebut sabun dari tangannya. Aku gosok-gosokkan sabun tadi ke dada bidangnya, ke perutnya yang rata. Sengaja aku tempelkan payudaraku ke perutnya ketika aku sabuni punggungnya.
Hal yang paling mendebarkan adalah saat aku sabuni pantatnya yang berisi itu. Saat jari-jari tanganku masuk ke belahan pantatnya, menyabuninya, sengaja aku gesek-gesekkan gundukan daging kenyal itu, menggelinjang dia.

"Burungnya juga disabuni, Ceu."Akhyar mendorong aku menjauh. Dengan genit dia majukan selangkangannya, hingga kepala kontolnya yang membulat itu menempel di perutku.

Tersenyum aku melihat kontol Amir yang sudah mengaceng panjang itu. Lucu saja melihat batang kontolnya yang tidak melurus itu. Sedikit mengarah ke kiri dan mengacung ke atas. Segera aku sabuni batang bulat gemuk itu. Kontolnya aku remas-remas lembut, aku kocok-kocok pelan. Meliuk-liuk dia, keenakan.

"Sudah, Ceu."Ditahannya tanganku.

Maka aku lepaskan peganganku dari batang panjang gemuk itu. Gantian Akhyar yang menyabuni kemaluanku, dan,"Jembutnya di cukur, ya, Ceu? Licin. Tidak ada bulu memeknya."

Hanya tersenyum aku, tanpa mengiyakannya. Memang, pagi tadi, ketika mandi, aku sempat membabat bulu-bulu kemaluanku yang sudah menyemak. Awalnya karena suamiku sering tersedak oleh bulu jembutku yang rontok ketika suami menyedoti kemaluanku, maka aku selalu mencukur bulu jembutku, hingga akhirnya menjadi risih bagiku melihat bulu jembut yang memanjang.

Terus saja dia mengelus-elus memekku, meraba dan mencubiti pelan kedua bibir memekku. Berpegangan aku pada pundaknya manakala masuk dua jari tangan Akhyar ke belahan memanjangnya. Terpejam mata ini karena gesek-geseknya gumpalan daging mungil yang tersembunyi di sana, membuat pantatku bergoyang-goyang nikmat.

Kemudian aku kuatkan pegangan tanganku pada pundaknya karena paha kiriku dia naikkan tinggi. Bergoyang-goyang pantatnya ketika kontolnya mencari lubang kemaluanku. Dan, Ah, menegang tubuhku begitu batang bulat gemuk yang sudah menegang kuat itu menempel di ambang lubang kemaluanku. Bergoyang-goyang kepala kontol itu, lalu menusuk masuk. Mulai penuh lubang kemaluanku. Mulai sesak lubang kemaluanku dengan makin dalamnya batang bulat besar itu menyerbu masuk.

Kubuang nafas panjang ketika selangkangan Akhyar menempel di area kemaluanku. Sempurna sudah kontol Akhyar masuk. Sambil tangannya memegangi paha kiriku, kontol itu memutari kemaluanku. Tanpa sadar mencengkeram erat jari-jari tanganku dipundaknya, menahan kenikmatan yang menyebar, yang berpusat dari selangkanganku.

Setelah beberapa kali kontol itu memutari memekku, dengan paha kiri masih dia cekal, batang bulat gemuk itu mulai dia mundurkan untuk kemudian ditekannya maju. Berulang-ulang dia maju mundurkan kontolnya, sehingga dengan perlahan desahan mulai terdengar keluar, berirama.

"Ah!"teriakku karena tercabut batang bulat gemuk itu dari memekku.

Dia lepaskan pegangan tangannya di pahaku. Maka dengan leluasa aku turunkan kaki kiriku, berpijak normal aku.

"Eceu kenapa?"Dua tangan Akhyar memegang lenganku."Eceu tidak suka ngentot di kamar mandi?"

Bukannya aku tidak suka bersenggama di kamar mandi seperti yang dituduhkan Akhyar. Bersama Amir sudah sering aku melakukannya dan aku menikmatinya. Rupanya Akhyar tahu kalau aku tidak menikmati permainan kami ini. Tapi, bukannya aku tidak menikmatinya. Bukan. Aku hanya ingin lelaki yang tadi mengetuk pintu kamar, segera menampakkan diri dan secepatnya bergabung bersama kami. Hanya itu, tapi itu merusak mood-ku dalam permainan kali ini.

Handuk yang berada di rak, dia ambil. Oleh Akhyar, handuk itu dia sampirkan ke pundakku. Kuangkat kedua tanganku meninggi dan handuk pun dia lilitkan ke tubuh telanjangku. Setelah itu, dia ambil lagi satu handuk, lalu dia letakkan di kepalaku. Dipakainya untuk mengeringkan rambutku.

"Kita keluar saja."Dari arah belakang, tubuh mungilku dia dorong. Berbaris kami keluar kamar mandi. Tapi tidak ada siapa pun. Kutengok ke segala sudut, tetap saja hanya ada kami berdua di kamar ini.​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd