Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Bimabet
Permintaan Amir

Amir sudah pulang. Kemarin dia datang. Banyak oleh-oleh yang dia bawa dari Medan. Sayangnya dia tidak langsung mendatangi aku. Pasti dia menghabiskan malamnya bersama Juju, istrinya. Kasihan aku yang kedua, batinku.

Dan malam ini tidak ada lelaki yang menemaniku. Hanya guling yang aku peluk sementara birahi telah memenuhi otakku. Ingin aku membayangkan kehadiran Amir di kamar tidurku, tapi aku takut lelaki lain yang datang. Seperti beberapa malam yang lalu, saat aku membutuhkan kehangatan Amir, ternyata Akhyar yang memuaskan aku.

Tok-tok, tok-tok! Mendadak, dari arah luar, ada ketukan di dinding kamar tidur. Rasa terkejut menyebabkan terbangun aku dari berbaringku. Itu kode dari Amir. Benarkah Amir mendatangiku malam ini?

Kupasang telingaku. Kutunggu kode itu terulang, tapi nyatanya tidak juga hadir. Karena lama tidak terdengar, bergeser aku duduk di pinggir tempat tidur dan,"E-hem, e-hem..."

Dapat aku rasakan ada orang di luar kamar tidurku. Bereaksi dia karena mendengar suaraku. Menjadi cepat nafasnya menderu. Sepertinya birahi sudah mendekap orang itu. Tak lama kemudian,"Tok-tok, tok-tok."

Bahagia menyerbu. Benar itu Amir. Cepat aku turun dari ranjang. Buru-buru keluar dari kamar tidur. Kuhidupkan lampu di ruang belakang. Setengah berlari aku tuju pintu luar. Kubuka pintunya. Angin malam menyergap. Tapi tidak ada Amir di teras belakang rumahku. Mimpikah aku?

Ada kesal di dada, bercampur kecewa. Kututup pintu, tapi terdengar langkah di kejauhan. Pintu sedikit aku buka dan mengintip keluar, tapi tidak tampak apa-apa. Lampu teras memang tidak ada. Suasana gelap. Kembali kudorong pintu menutup. Takut orang lain yang datang, bukannya Amir.

Belum sempat aku mengunci pintu, teras belakang rumah berderit. Ada yang naik ke atas teras rumahku yang terbangun dari kayu. Berdetak kencang jantungku. Bahagia membuncah di dada. Naluriku berkata itu Amir.

Melalui pintu yang aku buka sedikit, kucoba mengintip keluar. Dan benar. Meski pun teras belakang gelap, aku tahu bayangan hitam yang mendekat itu adalah Amir. Tinggi menjulang dia. Langsing tubuhnya. Ada bungkusan di tangannya, seperti kebiasaan Amir jika dia mendatangiku. Maka, kubuka lebar pintu rumah. Langsung sinar lampu ruang belakang menyambar sosok itu. Senyumku mengembang. Memang itu Amir. Tidak berlemak perutnya.

Ingin aku berlari untuk memeluknya, menjatuhkan diri dalam pelukannya yang hangat, atau dibopong olehnya untuk dibawanya masuk ke kamar tidur. Tapi itu tidak mungkin. Akan terbangun para tetangga dengan kehebohan yang kami buat. Hihihi...

Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin menghabiskan malam bersama kekasihku untuk melampiaskan semua rindu. Mereguk manisnya kebersamaan setelah lama tidak bertemu. Sabar aku tunggu Amir mendatangiku. Sabar kutunggu dia yang menutup pintu.

Gagah sekali Amir malam ini. Dihadapanku dia kenakan kaos putih berbalut jaket kulit hitam dengan celana training panjang yang sama hitamnya. Hei, ada kumis di atas bibirnya. Mau tampil beda dia? Atau ingin memberi sensasi lain untukku? Tidak usah ge-er, batinku senang.

Khayalanku buyar karena tubuh mungilku terangkat meninggi, lalu digendongnya aku. Kukalungkan kedua tanganku di lehernya dan aku eratkan pelukanku, coba menyalurkan rasa rindu. Kusedot aroma tubuhnya. Sungguh aku merindukan aroma itu.

Bertatapan kami. Aku pegang kedua pipinya, lalu kumiringkan wajahku, mengejar bibirnya. Bibir-bibir kami pun bertaut. Sama buasnya bibir-bibir kami saling kulum, saling sedot. Kecipak bibir-bibir kami terdengar keras, begitu pula nafas birahi kami.

Menjauh wajahnya dari kejaran bibirku. Diturunkannya aku. Mendongak aku agar dapat menemukan wajahnya yang begitu jauh di atasku. Dengan tubuhku yang hanya 150 sentimeter, Amir terlihat meraksasa didepanku. Tinggi Amir melebihi 170 saat aku bertanya padanya. Tapi, biar pun timpang tinggi kami, aku dapat dia puaskan dan semoga saja Amir pun puas dengan layananku. Kalau tidak puas, dia pasti tidak akan rajin mendatangiku untuk menyetubuhiku. Iya 'kan?

"Aku bawa oleh-oleh untuk Eceu."Dia tunjukkan asoy yang dibawanya. Asoy adalah sebutan kresek untuk orang Palembang.

"Makasih sudah ingat ke saya,"sambil tersenyum penuh terima kasih padanya, aku berucap. Padahal aku tidak butuh oleh-oleh darinya. Yang aku butuhkan adalah kehadirannya sebab aku rindu dia.

"Apa ini?"Aku mengintip ke dalam asoy. Beragam oleh-olehnya.

Aku letakkan asoy oleh-oleh di meja makan. Ketika hendak mengeluarkan isinya, dari belakang, dipeluknya aku. Saat dia ciumi rambutku, aku elus tangannya yang melintang di atas payudara.

"Aku kangen Eceu,"bisiknya lembut di telingaku, membuat aku serasa melayang.

Aku juga rindu kamu, batinku. Kucekal lembut tangannya untuk memberitahu padanya bahwa aku juga rindu. Sebagai seorang perempuan, hanya itu yang bisa aku lakukan.

Lengan Amir yang mendekap tubuhku, pelan aku singkirkan. Kulepaskan diri ini dari pelukannya. Lalu berbalik aku, menghadap kepadanya, dan,"Amir mau tunggu sebentar?"

Heran dia memandang aku. Akhirnya mengangguk dia. Dibiarkannya aku berjalan menuju pintu kamar tidurku.

Setiba di dalam kamar tidur, kubuka lemari pakaian. Setelah memindahkan sebagian pakaian keluar lemari, aku ambil kotak kecil yang menyelip di ujung lemari, paling bawah.

Kubuka kotak kecil itu. Isinya koleksi perhiasan yang aku miliki. Kuambil kalung dan aku pasang di leherku. Ada tiga buah kalung yang menghiasi leherku dengan panjang yang bervariasi. Kuambil beberapa gelang emas dan aku kenakan di kedua lenganku. Seimbang tiga di lengan kanan dan tiga di lengan kiri. Aku pilah-pilih koleksi cincin emas yang ada di kotak itu. Tidak mungkin aku pakai semuanya. Tidak akan cukup di kesepuluh jariku. Maka kuambil dua yang terbesar. Ada berlian di atasnya. Kususup cincin emasnya di dua jari manis tanganku.

Sebenarnya malu saat aku tatap bayanganku yang ada di cermin meja hias. Bersinar-sinar tubuhku yang dipenuhi emas itu akibat terpaan sinar lampu. Tapi, malam ini, aku ingin pamer semua koleksi emasku yang aku beli dari uang yang diberikan Amir.

Setelah puas mematut-matut diri, aku ambil pakaian dalam pemberian Amir yang sengaja aku sembunyikan dalam-dalam di dalam lemari. Ada banyak celana dalam dan beha pemberian Amir. Jadi aku pilih celana dalam dan beha yang sama warnanya, yang sama seksinya. Aku pilih yang merah. Biar banteng itu cepat menyeruduk aku. Hihihi...

Setelah memastikan Amir tidak mengintip dari luar pintu kamar, daster yang aku pakai, aku lepaskan. Kulepaskan pula celana dalamnya. Didepan cermin meja hias, bergoyang-goyang tubuh telanjangku. Tetap menarik.

Tapi aku ingat Amir yang menunggu aku di ruang belakang itu. Cepat aku kenakan celana dalam. Wih, menyala selangkanganku. Merah membara. Kemudian kupakai beha yang juga merah itu. Beha dengan belahan yang sangat rendah itu mampu membuat payudara mungilku terlihat menonjol, meskipun tidak meluap keluar.

Kuambil kaos putih dari lemari. Kaos putih milik Amir yang tertinggal. Kupakai kaosnya. Hahaha... tertawa aku melihat tubuh mungilku yang tenggelam dalam kaos putih itu. Terlalu kebesaran di tubuhku. Tapi aku tetap memakainya.

Karena kebesaran, kaosnya melorot sehingga tali beha menyembul dari pundakku; karena putih warnanya, beha dan celana dalam menerawang merah dari balik kaosnya; karena kepanjangan, kaosnya jatuh dibawah pahaku, sehingga tidak perlu lagi aku bercelana. Berputar aku didepan cermin meja hias. Menikmati tubuh indahku.

Amir batuk di belakang sana. Menyadarkan aku. Kugincu bibirku dengan warna pink sebab hanya itu lipstik yang aku miliki. Setelah menggelung rambutku meninggi, setelah memastikan cantik wajahku, aku melangkah keluar kamar tidur.

Kudapati Amir duduk di kursi meja makan. Sudah lepas jaketnya, sedang menikmati oleh-oleh yang tadi dia bawa. Dengan hanya mengenakan kaos putih ketat, gagah sekali dia.

Bak peragawati, berlenggak-lenggok aku mendekat. Membelalak matanya menatap aku. Pasti terpesona dia dengan penampilanku malam ini. Terpesona dengan kaos putih yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuh mungilku, dengan beha dan celana dalam merah menyala itu.

Tiba didepannya, tersenyum aku. Setelah meletakkan kain sarung suamiku di meja makan, berputar aku didepannya. Meliuk-liuk erotis aku. Senang melihat birahi yang membayang di wajahnya. Senang karena matanya yang jelalatan merambahi tubuhku, seperti ingin melahap aku.

Amir menggeser ke belakang kursi yang dia duduki, kemudian menggeser ke samping duduknya. Kini menghadap dia ke arahku.

Sambil menyengir, dia berdiri dan berkata,"Sakit."

Tangan Amir menghilang masuk ke dalam celana trainingnya. Dia keluarkan senjatanya. Kututupi mulutku menahan tawa karena sudah panjang senjata itu, sudah mengembung. Siap mengobok-obok memekku.

Tapi, kembali duduk dia. Duduk dengan kontolnya yang sudah mengaceng panjang. Mendekat aku. Pelan aku tampar batang bulat panjang itu dan menyeringai dia.

Pinggangku dia rengkuh. Setelah mengangkat kaosku meninggi, hingga terlihat pahaku, dibawanya aku duduk dipangkuannya. Mengangkang. Kutahan senyumku karena rudal panjang itu menempel di pantatku. Hangat.

Mengalung tanganku di lehernya. Kutegakkan wajahku, kuberikan satu senyuman kepadanya, lalu aku pasang bibirku. Setengah membuka mulutku. Cepat dikejarnya bibirku. Saling kulum bibir-bibir kami, saling sedot bibir-bibir kami.

Kutarik menjauh bibirku. Bertatapan kami. Membuka mulutku dan aku julurkan keluar lidahku. Amir mengambil lidahku. Lidah kami saling lipat, saling pilin. Ditariknya lidahku masuk ke mulutnya untuk kembali saling pilin, saling lipat. Kutarik lidahku keluar dari mulutnya, tapi dia kejar. Kali ini lidah-lidah kami saling pilin, saling lipat, di dalam mulutku. Berkali-kali lidah kami berpindah tempat. Di dalam mulutku dan di dalam mulut Amir. Basah mulut kami.

Setelah berpisah lidah-lidah kami, setelah menyeka bibir-bibir kami yang basah, Amir menarik kaosku meninggi yang memaksa aku untuk meluruskan kedua tanganku memanjang ke atas agar mudah kaos itu melewati kepalaku.

Terbebas tubuhku dari kaos itu. Setelah membuang kaosnya, kedua tangannya melingkar ke belakang tubuhku, mencari pengait beha. Beha pun terlepas. Terbebas payudaraku. Menggelendot manja payudara mungilku dihadapan lelaki itu.

Sambil tersenyum mesum, lelaki itu menempelkan telapak tangannya di perutku, lalu beranjak naik untuk menyentuh lereng kedua gunung milikku, lalu meremasnya. Sakit dadaku karena keras remasannya, tapi aku biarkan. Mungkin karena terlalu lama tidak bertemu atau karena sudah rindu dia dengan payudaraku.

Begitu merunduk wajah Amir, maka aku majukan payudaraku. Aku persilakan dia emut bola kecoklatan di atas gundukan daging itu.

"Jangan buat merah,"ingatku pada Amir ketika bibirnya mengecupi lereng-lereng gunung itu.

Berhenti dia mengecupi payudaraku. Diturunkannya aku dari pangkuannya. Berdiri aku, menunggu dia yang juga berdiri. Kaosnya aku cekal. Terangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ketika kaos itu aku tarik ke atas. Terlepas kaos itu. Tubuh Amir masih langsing. Perutnya tidak berlemak. Tidak ada pula bulu-bulu di dadanya.

Mundur aku menjauh. Kuambil kain sarung dari atas meja makan. Melangkah aku ke sudut ruang belakang, tepat didepan pintu gudang. Aman disini. Terhalang dari pandangan.

Kutebar kain sarung di lantai. Biarlah kami habiskan malam ini di sini, di ruang belakang ini. Berbeda dengan rumah kekinian yang minimalis, rumah-rumah zaman 70-an besar-besar. Ruang belakang rumahku pun besar. Meskipun sudah dipecah tiga menjadi dapur dan gudang, ruang belakang yang kami tempati saat ini masih luas.

Belum selesai kain sarung melebar sempurna, Amir sudah duduk di kain sarungnya. Belum sempat aku protes, dia sudah dorong aku jatuh di lantai. Sudah telanjang dia.

"Sudah tidak tahan lagi, Ceu,"ucapnya.

Dia pun masuk di antara dua pahaku. Aku angkat pantatku begitu ditariknya celana dalamku. Telanjang pula aku.

"Sudah basah,"ucapnya lagi setelah telapak tangannya mengelus belahan memanjang di selangkanganku.

Bersiap aku. Kontol Amir sudah mendatangi memekku, menempel kepala kontolnya. Kutahan nafasku manakala kepala kontol itu terdorong masuk. Menjadi penuh memekku. Perlahan makin sesak lubang kemaluanku. Enak.

Amir memegang dengkulku. Dikuakkannya pahaku, hingga melebar selangkanganku, lalu batang bulat panjang itu mulai beraksi. Maju mundur kontol itu. Kupejamkan mata ini untuk menikmati tusukan batang bulat panjang milik Amir.

Sebenarnya ingin aku mengulum kontol itu, mengelus dan mengocoknya, tapi Amir tidak menyuruhku untuk itu. Sebagai wanita timur, pamali untuk menunjukkan keinginannya. Seorang perempuan harus mengikuti apa maunya pasangannya. Kasihan.

Heg, Amir menindihku. Kontolnya tetap menggagahi kemaluanku. Melingkar tangannya memeluk aku dan aku pun melingkarkan tanganku ke tubuhnya yang mulai basah. Sambil terus menggagahi aku, diciuminya aku. Dikecupinya leherku, disedot dan dijilatinya telingaku, dan aku hanya bisa menggeliat nikmat.

Desahanku mulai keluar. Tersendat-tersendat, seirama maju mundurnya kontol Amir di lubang kemaluanku. Kian menggebu batang bulat panjang itu menusuki lubang kemaluanku, membuat dua kakiku yang dihimpit oleh tubuhnya bergerak tidak karuan.

Nafas birahi Amir mulai keluar, bersaing dengan desahanku yang mulai mengeras."Ah-uh, ah-uh, ah-uh..."

"Ah!"teriakanku tertahan karena tercabut kontol itu dari lubang kemaluanku.

Amir meninggalkan aku. Dibalikkannya aku menelungkup. Diremasnya pantatku. Oleh Amir pantatku dia naikkan meninggi, hingga menungging posisiku.

"Plok-plok! Plok-plok!"Beberapa kali pantatku dia tepuk. Selesai pantatku dia remas-remas, menempel kepala kontolnya yang tumpul itu di belahan memanjang kemaluanku, menyelusup turun menuju lubang kemaluanku. Cepat aku cekal batang bulat panjang itu dan aku tusukkan kepala kontolnya ke lubang kemaluan yang sudah siap menerima hujamannya.

Menjengit aku begitu kepala kontol itu masuk ke lubang kemaluanku. Membuka mulutku menahan rasa, menikmati sensasi lain kala batang bulat panjang itu mulai memenuhi lubang kemaluanku.

Bergerak maju mundur tubuhku yang menungging begitu kontol Amir mulai menyerang. Karena makin kencang tusukan kontol itu, maka kuat-kuat aku pancangkan tanganku di lantai kayu rumahku.

Makin kuat tubuhku bergoyang karena bernafsu sekali Amir menyetubuhi aku. Gerakan kontolnya yang maju mundur itu terasa tanpa irama, membuat desahanku pun menjadi aneh, tapi aku nikmati saja. Menikmati elusan tangannya di punggungku, menikmati remasan tangannya di payudaraku yang menyakitkan, menikmati hembusan nafas birahinya di leherku, menikmati gigitan sayangnya di pundakku.

"Ah,"kembali aku menjerit. Amir mencabut kontolnya. Tidak aku ubah posisi menunggingku. Sambil mengatur nafasku, aku tunggu serangan berikutnya dari pasangan mainku itu. Entah gaya apa lagi yang hendak dia pamerkan.

Kembali ditepuknya pantatku, kembali disodorkannya kepala kontolnya pada lubang kemaluanku, kembali aku cekal batang kontol itu dan aku tempelkan di ambang lubang kemaluan, dan kembali aku melenguh panjang karena batang bulat panjang itu mulai mendesak masuk, mulai memenuhi lubang kemaluanku.

Ah-ah, plok-plok, ah-ah, plok-plok, ah-ah, plok-plok! Desahanku yang memenuhi ruang belakang terdengar seirama dengan bertemunya selangkangannya dengan pantatku. Bergoyang-goyang tubuhku maju mundur akibat serangan batang bulat panjang itu.

Dengus birahi Amir mulai terdengar. Nafasnya mulai memberat. Erat sekali cengkeraman kesepuluh jari tangan Amir di pingganggangku sementara rudalnya makin cepat menggagahi memekku.

"Ah!"Terdengar erangan Amir. Mendadak terhenti tusukan kontol Amir. Terhujam dalam-dalam batang kontol itu. Diam tidak bergerak. Otomatis tubuhku pun menjadi diam meski tetap menungging pasrah. Dapat aku rasakan batang kontol itu berdenyut-denyut didalam lubang kemaluanku.

Amir menghujamkan kembali kontolnya yang sudah dalam berada di dalam lubang kemaluanku itu dan lalu percikan-percikan air menyembur di dalam lubang kemaluanku. Hangat dan sangat banyak.

Ketika percikan terhenti, lemas tanganku. Terkulai kepalaku di lantai kayu. Dengan posisi pantat yang masih menungging, dengan kontol Amir yang masih menusuk masuk di lubang kemaluanku, dengan jari tangannya yang masih berpegangan di pantatku, aku atur nafasku yang masih belum normal.

Lubang kemaluanku mulai hilang sesaknya. Batang kontol Amir mulai mengecil. Maka aku majukan pantatku dan terlepas kontol Amir dari lubang kemaluanku. Berbaring aku. Memanjang tubuhku, tertelungkup aku. Kuluruskan kaki sementara Amir masih bersimpuh diatas tubuhku.

"Berat,"ucapku ketika lelaki itu menindih aku."Ini bukan di kasur."

Menurun dia ke samping aku. Menelentang. Dipakainya tangannya untuk dijadikan bantal kepalanya. Maka menggeser aku mendekati dia. Kutinggikan kepalaku dan aku jatuhkan di atas dadanya. Kulingkarkan tanganku ke badannya yang masih basah. Kurasakan detak jantungnya di telingaku.​

Dia elus rambutku. Lalu "Ceu."

"Apa?"kudongakkan kepalaku, menatap dia.

"Ada apa? Ngomong saja,"ucapku karena kulihat ada kebimbangan di matanya.

Dia elus punggungku yang masih basah oleh keringat . Masih bimbang dia untuk berbicara. Aku cium dadanya, aku sedot puting susunya, sementara tanganku mengelusi perutnya. Lantas bergeser aku naik, aku cium pipinya dan tersenyum dia.

"Amir mau bicara apa? Bikin penasaran saja,"genit aku berbicara.

Setelah menarik napas panjang dan menghelanya, dia mulai berbicara."Eceu jangan marah, ya?"

Bangun aku dari baringku. Bersila aku didepan dia yang masih berbaring. Kuambil tangannya dan kucium. Untuk meyakinkan dia.​

Dia tatap aku, lalu,"Mau tidak kalau kita main bertiga?"

Seperti ada geledek di waktu yang cerah, sungguh terkejut aku. Berdebar dadaku mendengarnya. Ini permintaan yang sama yang pernah diajukan oleh Akhyar. Apa semua lelaki punya fantasi yang sama? Apa suamiku juga punya keinginan mengajak aku bersenggama dengan lelaki lain?

"Main bertiga? Apa maksudnya?"Aku berpura-pura tidak memahami ucapan Amir.

Bangkit Amir dari tidurnya. Sama bersila dia dihadapanku. Dengkul kami bertemu. Saling bertatapan. Tangannya jatuh di pahaku, mengelusnya lembut.​

"Main bertiga itu ... Eceu, aku, dan pria lain ngentot bareng-bareng atau bisa juga Eceu, aku dan wanita lain,"hati-hati Amir berucap.

"Artinya saya disuruh melayani Amir dan lelaki lain? Di atas ranjang?"tanyaku pelan.

Mengangguk dia. Kutatap dia, coba mencari kebenaran di matanya. Benarkah dia menginginkannya?

Dia ambil tanganku. Menyelusup jari tangannya masuk di antara jari-jari tanganku, meremasnya lembut dan aku balik membalasnya, juga sama lembut. Lalu, dengan suara lirih, nyaris berbisik, dia berucap,"Kalau Eceu keberatan, ya tidak apa-apa. Tidak usah difikirkan."

Hanya diam aku. Pandanganku aku alihkan pada jemari tangan kami yang masih saling remas. Sepi suasana.

"Suami Eceu tidak pernah meminta untuk main bertiga?"Akhirnya terdengar suara Amir.

Menggeleng aku. Selama menjalani bahtera rumah tangga, belum pernah suamiku membahas urusan ranjang kami. Belum pernah dia mengeluh tentang kekuranganku dalam melayaninya.

"Amir sudah minta ke Juju?"Aku balik bertanya.

Mengangguk dia. Juju adalah istri Amir. Ibu dari lima anak hasil dari pembuahan Amir.

"Terus apa tanggapan Juju?"tanyaku lagi.

"Awalnya menolak. Marah-marah dia,"cerita Amir,"tapi karena aku terus-terusan meminta, akhirnya dia setuju. Dia mau."

"Sudah terlaksana permainannya?" tanyaku memastikan."Amir dan Juju, yang ketiganya siapa?"

Menggeleng lemah dia."Belum terwujud."​

"Kenapa?"kejarku.

"Aku sedang mencari orang ketiganya. Belum ketemu."

"Memang susah mencari orang yang mau diajak itu?"tanyaku lagi."Atau orangnya menolak, barangkali?"

"Susah mencarinya,"setengah mengeluh dia.​

"Oh... susah, ya?"sindirku.

"Kalau Eceu, ada tidak yang bisa diajak?"​

"Dengan suami saya?"tawarku.

"Tidak mungkinlah."

Tersenyum aku. Syukurlah kalau dia tidak setuju.​

"Ada tidak selain Akang?"

Sepertinya aku ingin usulkan nama Akhyar, tapi aku ragu. Aku masih ragu apakah mampu aku melakukan seks secara beramai-ramai? Tidak bisa aku bayangkan aku telanjang di dalam satu kamar bersama lelaki-lelaki lain yang juga sama telanjang. Apakah bisa bangkit birahiku ketika memekku yang satu digilir oleh dua lelaki?​

"Eh, ngomong-ngomong Eceu mau 'kan melakukannya?"Pertanyaan Amir menghancurkan lamunanku.

Tidak mengangguk aku, juga tidak menggeleng. Hanya tersenyum. Sebagai seorang laki-laki, dia pasti faham bahwa seorang perempuan tidak akan berbicara terus terang. Apalagi ketika aku tahu Juju bersedia melakukannya. Kalau Juju mampu, kenapa aku tidak?​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd