Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Berarti komentator thread cuma sebagian kecil dari jumlah populasi pembaca sebenarnya ya?
Jadi seneng banyak juga yang doyan dan ngerti Marvel sampe ke akar-akarnya.

Okeh om penjelasannya.
 
Ak ga ikutin marvel, but this.makes me a bit interested in MCU, and maybe in future i want to see MCU vs DCU collab
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Episode 35
Jetlag


POV Hari

Ah, gila. Kami terkecoh dengan pergerakan Hammer Tech. Mereka melakukan manuver di waktu-waktu terakhir sebelum kami berhasil menyergap mereka. Gue memaki situasi yang berjalan saat ini. Bagaimana mungkin organisasi teknologi keparat itu bisa lepas. Padahal mereka sudah berada di ujung batang hidung.

Harusnya tinggal menunggu waktu untuk gue supaya bisa menghajar mereka. Memukul bos mereka yang melakukan jual beli senjata alien.

Dan, orang-orang Hammer Tech sekarang sudah sampai di tempat operasi Dani dan Erna. Siapa yang tau jumlah mereka sekarang. Mungkin sepuluh, mungkin seratus, mungkin seribu. Berapa jumlah senjata rakitan mereka. Berapa amunisi alien yang mereka punya. Ancaman besar benar-benar menunggu tim yang ada di sana.

“Ini bukan soal tim aja. Penduduk juga, Har.” Kata Akmal di radio.

Ya, itu juga. Penduduk. Semua yang gue pikirkan hanyalah menghajar Hammer Tech. Sedikit teringat dengan orang-orang terdekat, tapi sepenuhnya lupa dengan masyarakat luas.

Masyarakat itu penting. Mereka lah yang membangun peradaban sejak zaman dahulu. Masyarakat itu penting. Karena kalau gak ada mereka, negara kekurangan syarat de facto untuk berdaulat. Masyarakat itu penting. Karena kalau terjadi bencana, berita bisa viral sehingga hidup kami gak akan sama lagi.

Masyarakat itu penting. Tapi lebih penting Dani dan Erna. Dan pembalasan atas Kenia. Masyarakat biar jadi tugas polisi.

“Kita harus ke Bawean!” Gue memaksa.
“Hari, tenang.” Bujuk Akmal.
“Tenang apa?! Dani sama Erna gak ada kabar!” Gue membela diri.
“Mereka bareng tim tanggap.” Kata Akmal.

Apa iya mereka masih bersama-sama tim tanggap. Kemungkinan yang ada sekarang sama tak terbatasnya dengan teori peluangnya logika matematika. Bawean itu luas, kata Dani. Tapi terasa kecil dalam pikiran gue. Itu cuma pulau kan. Pulau tetaplah pulau, ada batasan wilayah untuk bisa bersembunyi.

Percuma Akmal membujuk gue untuk tetap tenang dan rasional. Kemenangan adalah hal yang paling rasional buat gue. Dan supaya menang itu kami semua harus secepatnya bisa ke Bawean serta menolong Dani dan Erna. Tim tanggap memang ada, tapi gue gak yakin mereka cepat tanggap menghadapi senjata alien mengingat kegagalan di Mangga Dua lalu.

“Nicole, kita butuh quinjet sekarang.” Laras bicara.
“Saya sedang usahakan.” Katanya.

Di sini, di Pulau Bawal, di pinggir pantai, aku terduduk lemas menatap laut yang gelap. Ada garis horizon tipis yang membuat gue bisa membedakan langit dan air laut itu. Seorang berpangkat AKP menemani, tapi dia seperti sungkan untuk mengajak gue bicara. Dia seolah melampiaskan pembicaraan itu melalui walky talky kepada anggota-anggotanya.

Tadi, beberapa anggota polisi berpencar menyisir pulau yang gak terlalu luas ini. Sekarang, deru suara motor trail semakin keras pertanda para anggota polisi telah kembali. Keberadaan Hammer Tech memang dilaporkan hilang dari Pulau Bawal.

“Mas Hari.” Panggil AKP itu.
“Iya?” Sahut gue.
“Kami menemukan sisa-sisa gubuk yang dibongkar. Tapi gak ada tanda-tanda Hammer Tech.” Katanya.

Gue mengangguk. Hammer Tech memang dipastikan udah pergi dari sini, jadi gak perlu kaget lagi.

Belum ada komunikasi lanjutan dari pusat. Nicole kayanya sedang sibuk dengan tim polisi di pusat. Belum lagi harus berkomunikasi dengan A.T.C.U di seberang benua. Gue benar-benar merasakan gimana gak punya kuasa untuk berbuat apa-apa. Gue gamang. Marah, kecewa, putus asa, semua jadi satu.

“Nicole, gimana quinjet?” Laras bertanya lagi.
“Sabar.” Balas Nicole.

Laras sedang memerjuangkan quinjet untuk kami. Dia begitu ngototnya supaya Nicole terus berkomunikasi dengan pimpinan A.T.C.U agar memerjuangkan quinjet.

Seandainya Sigit ada di sini, dia pasti udah mengantarkan kami secepat kilat. Apalagi cuma ke Bawean atau Surabaya, secara itu memang daerah dekat rumahnya. Oh, gue merindukan cincin dan portal yang bisa dia buat.

Portal! Itu dia! Sigit memang gak ada di sini, tapi Laras punya batu rune yang bisa dijadikan portal. Dia bisa membuatkan portal dan menjemput kami di masing-masing tempat. Atau dia dahulu ke Bawean, lalu membukakan portal untuk kami dari sana. Banyak opsi, tapi yang jelas gue bisa ke Bawean dalam waktu singkat.

"Lar..." Satu suku kata terucap.

Gue baru aja mau membuka mulut sesaat sebelum teringat sesuatu. Laras dan Pur merahasiakan batu rune itu dari A.T.C.U., khususnya Nicole. Meminta Laras untuk menggunakan rune itu sama saja membunuh mereka.

Gue benar-benar gamang. Kepala gue penat dengan banyak hal. Ditambah lagi angin laut yang kencang, membuat gue lambat laun masuk angin. Sedikit-sedikit gue mencoba memikirkan keputusan yang baik. Baik untuk gue, para einherjar itu, dan terlebih Dani dan Erna.

Memang sepertinya menunggu quinjet paling terbaik.

“Quinjet tidak ada.” Kata Nicole.
“Apa?” Laras langsung menyahut.
“Pilot terakhir tewas di atmosfer dekat Madagaskar.” Balas Nicole.

ANJIR! Baru aja gue berpikir quinjet adalah opsi terbaik. Tapi rupaya Nicole malah memberi kabar buruk. Itu memang bukan salah Nicole. Tapi gue tetap aja kesal dengan manajemen A.T.C.U. yang buruk.

“Kami bisa kirim helikopter.” Kata pimpinan polisi di pusat.
“Iya, tolong.” Pinta Nicole.

Nada bicara Nicole berubah. Dia terdengar lemah dan putus asa. Sementara kami di sini cuma menunggu. Oleh karena itu gue harus tetap ada di pantai, supaya bisa terlihat dari langit dan dijemput sewaktu-waktu.

Pimpinan di pusat ikut memerintahkan anggota tim dari masing-masing wilayah untuk juga berangkat ke Bawean. Merekalah yang paling siap, dan jumlahnya mencapai seratus orang jika digabung dalam satu tempat. Jumlah yang cukup untuk memulai perang dengan Hammer Tech.

“Helikopter ya?” AKP bertanya ke gue.
“Iya pak.” Jawab gue singkat.

Highlightnya adalah perang. Kata itu cukup familiar dengan gue beberapa bulan lalu. Sewaktu perang di Vanaheim, Dani dan Erna lah yang menyelamatkan gue. Mereka memenangkan perang. Kalau ini tepat disebut perang, gue harus bisa sekaligus membalas budi Dani dan Erna.

Kalau begitu biarlah terjadi perang.

“Dengan segala hormat. Saya tidak menginginkan perang pak.” Akmal angkat bicara.
“Perang adalah opsi terakhir. Tugas kalian di sana mengamankan masyarakat.” Kata pimpinan.

Tetap ada kemungkinan perang. Tunggu aja sampai Jenderal Polisi datang.

“Helikopter akan sampai kurang lebih satu jam lagi. Kalian siapkan helipad.” Komandan berujar lagi.

What the hell! Satu jam itu terlalu lama! Satu jam hanya untuk menjemput kami di masing-masing wilayah. Kemudian butuh berapa jam lagi untuk sampai ke Bawean. Bisa-bisa kami sampai setelah matahari terbit. Benar-benar terlalu lama.

“Satu jam?” Kata gue.
“Mohon maaf, itu sudah paling cepat.” Balas sang komandan.

Ohh gila gila gila... Portal punya Laras harus dibicarakan sekarang. Itu opsi paling terakhir terbodoh yang harus dilempar ke semua orang. Dan taruhannya adalah kepercayaan dua einherjar itu kepada gue. Tapi taruhannya juga keselamatan Dani dan Erna kalau kami telat ke Bawean.

Sekarang siapa yang lebih penting? SIAPA??

“Kita punya opsi lain.” Laras bicara.
“Laras. Nggak.” Potong Pur.
“Kita punya opsi lain.”
“Laras!” Bentak Pur.

Rupanya dua einherjar itu juga sejak tadi memikirkan batu rune.

Laras membentak balik Pur dengan penuh kepercayaan diri. Dia berkata bahwa sekarang waktunya bertindak serius. Laras meyakinkan juga tentang loyalitas dan janji mereka menolong midgard melewati konflik ini. Bagi Nicole dan Akmal, ini pasti semacam obrolan rahasia yang gak mereka mengerti.

Butuh beberapa waktu untuk Laras supaya bisa meyakinkan Pur. Gue bisa memahami itu. Batu rune mereka mungkin bisa aja disita, dihancurkan, atau lebih parah lagi. Pur dan Laras bisa dianggap sebagai ancaman selanjutnya bagi bumi.

“Apa kalian menyembunyikan sesuatu?” Tanya Nicole dengan formalnya.
“Iya.” Jawab Laras tegas.

Laras mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang dicecar oleh Nicole melalui radio. Suara yang terdengar kemudian adalah suara gesekan benda berlogam. Itu pasti Laras sedang menggosok batu rune dengan pedang besarnya.

Gak lama kemudian, Laras dan yang tadinya ada di Karimunjawa berkata bahwa dia udah berada di Bawean. Lalu, satu per satu portal dibuka untuk kami. Mulai dari Pur dan timnya di Belitung, Akmal dan timnya di Pulau Seribu, dan terakhir gue dan tim di Pulau Bawal. Kami semua berpindah dari hutan satu ke hutan yang lain.

Gue bisa mengamati wajah-wajah takjub para polisi. Mereka baru aja merasakan lubang cacing. Itu mempercepat waktu tempuh dari dua lokasi yang jaraknya ratusan kilometer. Beberapa orang sangat ekspresif dan yang lainnya berusaha menahan kewarasan mereka. Salah satu yang berusaha biasa aja adalah Akmal.

“Oke, kalian udah lihat yang tadi. Jadi tolong dirahasiakan.” Pur memberi pengumuman.

Pur diacuhkan. Orang-orang ini masih mengalami semacam jetlag lubang cacing.

“I can’t see you guys. Apa yang terjadi?!!” Nicole mulai bersungut-sungut.
“Nicole, kita semua udah di Bawean.” Lapor Laras.
“Kalian serius?” Sang pimpinan pusat ikut bertanya.

Laras akhirnya mengungkap dengan jelas rahasia yang mereka miliki. Dia buka mulut soal batu berkekuatan sihir yang bisa membuka portal. Bisa ditebak apa yang kemudian terjadi, Nicole jadi marah-marah di waktu yang gak tepat.

Menurutnya kedisiplinan lebih penting dibandingkan respon tanggap. Menjaga rahasia bukan hal yang baiklah, ini lah, itu lah, tipikal ngelantur yang sama ketika emak-emak marah gak beraturan kepada orang asing. Jika gak ada pimpinan yang menengahi, kegiatan kami selama satu jam ke depan adalah mendengarkan ocehan Nicole.

Kalau kami mau lebih buruk, bisa aja radio kami matikan sementara. Tapi itu gak kami lakukan mengingat ada tim kepolisian yang ikut.

“Kita ke mana sekarang?” Tanya Akmal.
“Insting.” Sahut Pur.

Pur membuka genggaman tangannya. Ada sebuah kamera lebah rusak yang ditunjukkannya. Itu berarti tadi Dani dan timnya melewati jalur tunggal yang ada di hutan ini.

Nicole sudah cukup tenang meski dengusan nafasnya masih terdengar ditahan-tahan. Dia kembali mengamati titik GPS dan memberi tahu bahwa lokasi kami sekarang berada di tengah hutan Pulau Bawean, sebelah timur dari Danau Kastoba. Rumah terdekat jaraknya kurang lebih 2 kilometer.

Gue pernah dengar soal Danau Kastoba dari Dani. Itu dia bicarakan beberapa jam sebelum kami berangkat ke bandara tadi pagi. Danau Kastoba itu salah satu lokasi wisata yang mau dia kunjungi di Bawean. Katanya, Danau tu gak begitu luas, tapi sejarah pembentukannya yang menarik. Bla bla bla...

Gue gak begitu ingat lagi apa cerita Dani selanjutnya. Yang gue pikirkan sekarang adalah bagaimana mencari Dani dalam kegelapan malam. Apalagi jalan setapak yang kami lalui ini hanya cukup dilalui satu baris orang. Sebelah kanan kami adalah jurang dengan suara desiran sungai dan di sebelah kiri terlalu banyak rotan untuk dihindari.

"Ayo jalan." Perintah Akmal.

Kami mulai berjalan menyusuri jalur setapak. Gak ada suara motor, suara televisi, atau suara berisik manusia di sekitar sini. Itu menandakan kami jauh dari pemukiman. Kami jauh dari mana-mana, seenggaknya dalam jarak dua atau tiga kilometer, kata Nicole tadi.

Tim dipecah menjadi dua. Satu tim diperintahkan kapten mereka agar membuka jalur baru untuk penjelajahan. Pur dan Laras ikut tim tersebut naik menuju salah satu bukit. Kemampuan mereka dibutuhkan untuk menaiki daerah-daerah terjal. Sementara itu, Akmal dan gue terus menyusuri jalur setapak.

Tiba-tiba terdengar bunyi deru senapan dari tim di atas bukit.

“Pur, masuk. Kenapa?” Akmal bicara ke radionya.
“Musuh!” Balas Pur.

Seketika Laras melompat dari atas bukit ke depan orang terdepan di barisan kami. Itu yang dilakukan Laras sangat bahaya karena sekarang begitu gelap. Hanya senter yang menjadi penerang.

“Ada cahaya dari Danau di sebelah timur.” Kata Laras.
“Itu Danau Kastoba.” Sahut gue.
“Terserah namanya apa. Kita ke sana sekarang.”

Laras kembali membuka portalnya.

Sekarang, gak terlalu jauh di depan kami, terdapat pertunjukan manusia yang berdiri di pinggir Danau. Ada dua kelompok orang berbeda seragam di sana. Kelompok satu berdiri berjejer dengan gagah, ditemani api-api unggun kecil yang menerangi mereka. Cahaya terang dari api itu mengalahkan lampu-lampu senter yang menempel di kepala orang-orang tersebut.

Kelompok yang lainnya berderet berlutut. Tangan mereka ditekuk di belakang kepala. Itu adalah kelompok kepolisian, karena semua orang bisa langsung tau dari seragam yang mereka kenakan.

Seseorang dari kelompok yang berdiri mulai bicara soal suara rentetan senapan yang tadi terdengar. Mereka ingin tau jawaban dari apa yang gak mereka ketahui. Sebagai gantinya, dia mau mengampuni nyawa mereka yang berlutut. Sebentar lagi mereka akan dieksekusi.

“Gak ada negosiasi. Oke? Mereka gak mau negosiasi. Kita serang.” Gue betitah.

Laras langsung setuju. Serangan tiba-tiba langsung dia lancarkan dengan kecepatannya yang luar biasa. Dia menusuk jatuh si orator demi memberi efek kejut. Akmal dan beberapa orang polisi lainnya membidik cepat, lalu melakukan tembakan tepat ke kepala orang-orang yang siap mengeksekusi rekan mereka.

Gue langsung berlari maju ke barisan terdepan ke arah Laras. Gue menjadi tameng untuk melindungi para sandera agar bisa segera mengamankan diri. Baku tembak kini terjadi. Beberapa polisi mulai bersembunyi di balik batu dan pepohonan, sedangkan yang kurang tanggap menjadi korban seketika.

"Hati-hati. Tanah di sini gak rata!" Laras berteriak.

Tunggu. Mereka yang kami tolong itu sudah tanpa helm. Tapi gue gak bisa mencari di mana Dani dan Erna.

“Dani sama Erna gak ada!” Gue teriak.
“Kita cari nanti! Gue lagi sibuk!” Laras balas berteriak.

Lesatan peluru mengeluarkan suara yang kebih bising dari pita suara kami. Radio pun kurang bisa didengar. Situasi menjadi sangat menegangkan dengan suara desingan senapan yang silih berganti.

Gue maju lagi setelah mengamankan para sandera. Nekat. Tangan gue teracung ke depan, lalu gue melangkah satu demi satu tapak. Tanah di sini benar-benar gak rata sehingga gue harus berhati-hati. Sekali gue terpeleset, habislah kami semua.

Gak ada satupun peluru yang mampu menembus saat gue fokus seperti ini. Semua energi kinetiknya terserap dari jarak 3 meter, lalu jatuh begitu saja. Itu gak terkecuali dengan peluru-peluru alien yang disebut sebagai Judas Bullet. Peluru itulah yang dikatakan Pur bisa berputar seperti gasing dan meletup seperti petasan.

Di depan gue, Laras udah berubah penampilan. Dia kembali dalam wujud layaknya orang Asgard. Baju zirah emas, helm bertanduk, dan jubah hijau. Pedangnya pun terayun ke sana ke mari menebas senapan-senapan laras penjang menjadi dua bagian. Gue tau dia gak sampai hati membunuh orang lain, selain orator tadi.

Akmal dan tim polisi lainnya masih beradu tembak dari balik pepohonan. Gue gak tau udah berapa orang yang berhasil dia lumpuhkan. Tapi, dibanding dengan gue, jumlah lawan yang jatuh mungkin masih menang gue.

“Lima menit, gue dapet 10 orang.” Batin gue.

Gue berpikir begitu sebelum kembali menengok kepada Laras. Dia baru saja menggetok leher belakang musuh ke sekian menggunakan sisi tumpul pedangnya. Di sekelilingnya, udah terjatuh lebih banyak musuh dibanding yang gue lawan.

Baku tembak terakhir terjadi selang beberapa detik kemudian. Selanjutnya, musuh yang tersisa gak lebih banyak dari selusin jumlahnya. Mereka menyerahkan diri ketimbang mati konyol di pinggir danau atau jatuh ke jurang.

Gue pun menghampiri satu demi satu musuh yang menyerah.

“MANA PARA PEREMPUAN YANG KALIAN TANGKAP HAH!!?”

Gue memukul semua orang yang gue tanyai, tapi tetap mereka gak mau bicara.

“Hari, cukup. Dani sama Erna ketemu.” Pur bicara di radio.

Pur meminta Laras membuka portal. Kemudian, sampailah kami di suatu rumah permanen yang di dalamnya berhawa dingin. Ini sangat berbeda dengan kondisi di luar rumah. Kabut putih melayang di mana-mana. Ada sejumlah manekin, sebagian hampir tanpa pakaian, terdiam kaku dalam balutan bunga es. Mungkin jumlahnya 40 orang lebih.

Permukaan kulit mereka agak biru. Laras mencoba menyentuh satu jari salah seorang dari mereka, namun tiba-tiba jari itu putus. Itu bukan manekin, melainkan orang sungguhan. Mereka manusia yang mati beku!

Pur memimpin gue dan Laras. Kami masuk ke suatu kamar yang pintunya terbuka. Ada lampu neon 15 watt yang berkedip-kedip sebagai penerangan kamar itu. Kabut putih dan hawa dingin masih menyarukan pandangan kami. Kami menjelajah perlahan melewati beberapa mayat beku lainnya.

Kami memukan mereka di pojokan kamar...

Dani dan Erna...

Mereka....

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Semoga Dani dan Erna masih hidup dan gak beku....
BTW siapa yg bisa membuat hawa sangat dingin dan membekukan manusia???
 
Oh iya hari selasa break dulu ya. Dan ini menuju akhir cerita lho, sama kaya season sebelumnya, 50 episode. Jadi kira-kira Januari atau awal Februari akan tamat.

Ditunggu tanggapannya ya selama 35 episode ini hehehe.
 
Gw bilang sih mantep critanya
Pliss jgn buat dani matii
Biar dani bisa sama hari
 
Kalau Dani and Erna mati... kayaknya masih 15 episode terlalu cepat kalau mati. Dan Dani sepertinya menemukan kalau dirinya ternyata juga inhuman. :pandaketawa:

Yg jelas di 15 episode terakhir. Hari akan terlihat memunculkan kekuatan aslinya, yang mungkin yahh setara Dark Phoenix level awal atau mutan level 5 , atau setara Thor the Movie yang pertama...wakakakaka. ngelantur beneran ini. :D :D :D
 
Dari awal sampe akhir episode di pejwan ini yg saya baca, padahal bagus ceritanya banget malah, tapi sayang respon reader kurang begitu banyak,,,
tapi jangan menurunkan semangat y hu, untuk terus up ampe tamat...
Good croot & optimis hu :)
 
Episode 36
Tindakan Busuk


POV Dani

Sesaat setelah semua bergerak dalam operasi masing-masing, gue sama Erna malah. gak diizinkan turun ke lapangan karena kami perempuan. Apalagi sekarang tengah malam. Jadilah gue dan Erna menjadi tim ronda bersama satu orang polisi paruh baya bernama Pak Tohar.

“Kopi.” Pak Tohar menawarkan.
“Iya pak.” Jawab gue basa-basi.

Pak Tohar tetaplah polisi. Meski dia udah lewat empat puluhan dan perutnya kelihatan buncit, gue tau dia siap dengan situasi yang gak diharapkan. Di dekat ikat pinggangnya tersimpan satu pistol siap guna. Mungkin itulah pegangan standarnya setiap polisi.

“Kita ke mana lagi?” Seorang polisi memanggil di radio.
“Coba ke pelabuhan pak. Ada kapal dateng kayanya.” Gue menyahut.

Bawean itu luas, beruntung ada kamera lebah yang bisa mengintai terlebih dulu. Itu sangat menguntungkan sehingga tim gak perlu keliling pulau sampai pagi.

Kamera gue menjelajahi wilayah pelabuhan di kecamatan Sangkapura dan Tambak, yang mana itu wilayah ramai. Di wilayah yang sepi, kamera gue menjelajahi wilayah kandang penangkaran rusa bawean, kawasan nipah, Pulau Selayar, sampai Danau Kastoba.

Erna sedang dalam keadaan stagnan. Dia berdiri tegap di lahan parkir, diam, dengan kepala menengadah ke atas. Erna sedang mencari frekuensi-frekuensi aneh yang mungkin berisi petunjuk. Telinganya pun gak boleh diganggu dengan suara ribut kami.

Tapi gue harus tetap bertanya pada Erna.

“Liat yang aneh, Na?” Gue ke Erna
“Biasa aja.” Jawab Erna singkat.

Gue kembali ke monitor. Pecahan tim polisi yang sedang menyisir pulau sedang menuju pelabuhan. Mereka telat karena proses bongkar muat beberapa kapal yang baru datang itu hampir selesai.

Kamera lebah adalah benda yang paling gue percaya sekarang. Maka gue percaya apa yang gue lihat sekarang. Barang yang dibongkar muat itu adalah senjata-senjata berlabel Hammer Tech.

Tiba-tiba Erna berlari dari luar pos.

“Ada yang dateng ke sini!” Teriaknya.

Itu Erna berbicara berdasarkan pengamatan frekuensinya. Jadi hal baiknya adalah kami bisa bersiap-siap dahulu sebelum kedatangan lawan pada saat yang sebenarnya. Gue dan Erna dengan cepat membongkar barang-barang dari tas perlengkapan. ICER, pistol biasa, hingga granat neon yang bisa memburamkan mata sudah kami kantongi masing-masing.

Pak Tohar buru-buru meninggalkan kopi panasnya. Dia menutup pintu, menutup korden, dan mematikan semua lampu. Kami bersiaga di ruang tengah.

Suara mobil bermesin diesel berderu di tempat parkir. Mereka datang.

“Hammer Tech di pos polisi! Ganti!” Gue bicara ke radio.

Gak ada jawaban.

“Kami butuh back up!” Pinta gue.

Suara grasak-grusuk lawan terdengar di luar pos. Lalu, tiba-tiba datanglah gas air mata yang dilempar hingga memcahkan jendela. Asap menyebar dalam waktu cepat sehingga mata gue mulai terasa perih. Pak Tohar segera mengajak kami mundur ke ruang belakang untuk bersembunyi di sebuah ruangan kantor.

Gue gak lupa menarik laptop yang terhubung ke kamera lebah, karena itu merupakan mata dari operasi kami.

Taktik sang ketua menugaskan semua anggota keluar dari pos selain Pak Tohar adalah salah. Dia, dalam penilaian gue, agak arogan dan mengira operasi ini akan mudah. Atas dasar prediksinya, aksi akan terjadi di luar sana. Nyatanya sekarang kami dikurung di pos sendiri.

“Gue bisa ngitung ada 6 gelombang radio. Mungkin ada 6 orang atau lebih.” Kata Erna.

Enam orang atau lebih menjadi lawan kami sekarang. Kami gak tau mereka membawa senjata selengkap apa. Apalagi mereka pasti memanfaatkan teknologi alien. Kami di sini hanya punya ICER sebagai teknologi paling canggih, tapi tetap masih kurang ampuh melawan orang sebanyak itu.

Suara pintu didobrak dan tapak kaki mulai terdengar satu-satu. Mereka kayanya udah masuk ke dalam pos.

BRAK! Pintu tempat kami bersembunyi didobrak. Kami ditemukan.

Pak Tohar menembak terlebih dulu, tapi itu langkah yang salah. Dia mungkin punya idealisne tentang lelaki yang seharusnya melindungi wanita. Tentang orang tua yang seharusnya melindungi anak muda. Tapi itu benar-benar salah. Kami bisa melindungi diri sendiri.

Pak Tohar sekarang justru kena tembak di bahu sebelah kirinya, mungkin sampai menembus paru-paru bagian atas. Dia pun jatuh tersungkur dan mengerang kesakitan.

Gue mencoba membalas tembakan mereka dengan ICER. Satu orang terdepan langsung terpaku, terdiam di tempat. Erna ikut membantu menembak, lalu satu orang lainnya ikut terdiam.

“Maju, Na!” Gue nekad.

Memangnya mau bagaimana lagi, cepat atau lambat kami harus keluar dari sini dan mencari pertolongan. Pak Tohar juga harus segera dibawa ke rumah sakit sebelum pendarahannya makin parah.

Gue dan Erna berjalan dengan hati-hati, melewati dua orang yang terdiam akibat terkena ICER. Masih ada sekitar empat orang lebih di luar sana. Mungkin mereka tepat di balik tembok ruangan ini.

DUG! Erna tersandung meja kayu.

“Aw...” Erna meringis pelan.

Seketika itu lawan menembakan sesuatu ke arah kami. Awalnya kami kira itu semacam bazooka. Tapi rupanya bukan, karena kami kini melayang-layang di udara tanpa pijakan. Senjata alien yang mereka pegang itu tiada tandingan.

“Bikin mereka pingsan dulu biar gak berisik.” Seorang dari mereka memberi perintah.
“Anjing!” maki gue.
“Yang kacamata ini punya nyali juga.” Balasnya.

Erna disuntik sesuatu terlebih dulu. Kemudian gue menjadi orang kedua. Gak ada kesempatan untuk berontak karena kami sedang melayang di udara. Pelan-pelan mata gue meredup. Gue pasti mau pingsan.

---

Gue samar-samar mendengar percakapan beberapa orang. Tapi gue gak bisa melihat apa-apa. Kayanya gue ada di sebuah mobil.

Gue masih ngantuk.

---

Semuanya gelap. Nafas gue panas. Penutup kepala ini bener-bener bikin gue susah nafas.

“Dani? Dani?” Itu suara Erna.
“Erna? Kita di mana?” Gue mendengus.
“Gue gak tau, tapi sekarang kita jauh dari mana-mana.” Jawabnya.

Erna juga gak tau keberadaan Pak Tohar. Mungkin dia ditinggalkan dalam keadaan sekarat di pos polisi sana.

Begitu gue sepenuhnya terbangun, barulah terasa kalo ternyata tangan gue diikat di belakang, ke sebuah balok panjang. Gue juga merasakan sedang duduk di sebuah kasur kapuk. Mungkin tanpa ranjang karena gak ada bunyi berdenyit ketika gue bergerak.

Sarung kepala gue dibuka. Cahaya lampu mendadak menyilaukan, membuat mata gue mengejap-ngejap. Beberapa siluet orang berdiri tepat di depan gue. Di sisi kiri ada Erna yang kepalanya masih tertutup kain hitam.

Alat komunikasi gue lenyap. Laptop lenyap. Begitu juga barang-barang milik Erna. Kami sendirian di sini tanpa bantuan.

“Persadani Putri.” Orang itu membaca KTP gue.
“...”
“Ernawati Yunaz Mursala.” Bacanya lagi.

Laki-laki itu mendengus. Kemudian, dia menatap wajah kami masing-masing. Garis mukanya sudah cukup menunjukkan akan ada suatu rencana buruk untuk kami berdua. Janggut ikalnya tebal menunggu untuk ditarik-tarik. Lebih dari itu, badannya bau seperti gak mandi berhari-hari.

Laki-laki itu menekuk lutut untuk menyejajarkan posisi wajahnya dengan Erna. Tangan kanannya maju menekan kedua belah pipi Erna kencang-kencang. Gue bisa merasakan ketakutan Erna begitu besarnya sampai-sampai dia mulai menangis.

Mau tak mau, terjadilah. Bibir Erna diciumnya dengan kasar. Cukup lama sampai laki-laki itu akhirnya berhenti melumat. Lalu dia pergi dari ruangan meninggalkan Erna yang menangis terisak. Erna memohon dan meminta gue menolongnya. Tapi gue bisa apa dengan tangan terikat begini.

Si laki-laki itu masuk lagi. Kali ini dengan empat orang lainnya.

“Hehehe.. kalo boleh nih, yang kerudung buat saya ya. Dia yang nembak saya tadi.”

Gue gak mau mengingat apa-apa lagi tentang detail diri mereka, seperti apa wajahnya, atau bagaimana gesturnya. Yang jelas mereka punya niat jahat. Dari kata-kata orang itu barusan, gue punya tebakan kalau kami akan mengalami pemerkosaan. Pemerkosaan pun akan berujung pembunuhan dan mutilasi pada akhirnya.

Tiga orang mendekati Erna, dan dua orang lainnya mendekati gue. Kemudian mereka menyodorkan kemaluan-kemaluan mereka. Menjijikan melihat rambut-rambut keriting yang gak tercukur itu.

“Kalo berani gigit, gue dor kepala kalian.” Ancam seseorang.
“Dani... tolong... tol...” Erna seketika tersedak.

Gue bahkan gak sampai hati melihat mulut Erna dijejalkan satu demi satu batang penis mereka. Mata gue terpejam berusaha memberi halusinasi bahwa ini cuma mimpi. Tapi ini nyata, apalagi ketika gue juga harus mulai memberikan mereka kepuasan oral.

Dua orang harus Erna layani. Sementara itu, dua orang lagi harus gue layani. Satu orang lainnya menggunting pakaian kami berdua hingga polos. Sembari terjadi kegiatan oral ini, paha gue dibuka lebar-lebar secara paksa. Putus asa adalah dua kata yang cocok digambarkan untuk gue dan Erna sekarang.

Gak nikmat sama sekali ketika mengoral penis lelaki selain karena keinginan sendiri. Gue gak bisa bernafas. Ketika bisa sekali-sekali menarik nafas pun, aroma lumut nan busuk ikut terhirup dari kelamin-kelamin mereka. Sangat bau, seperti gelandangan yang gak pernah mandi.

“Nah, yang ini udah gak perawan.” Seorang lelaki berkata begitu setelah memasukan dua jarinya ke dalam vagina gue.

Pemerkosaan kami berdua tinggal menunggu waktu. Apalagi buat gue yang udah gak perawan. Cairan lendir bisa dengan mudahnya keluar meski diberi sedikit sentuhan. Itu bukan karena gue mau, tapi begitulah reaksi fisiologis manusia agar siap melakukan reproduksi.

Tubuh gue dijilat dan digigit di mana-mana. Puting dada gue ditarik seperti agar-agar. Kenyal kata mereka. Sumpah, itu sama sekali bukan pujian, melainkan pelecehan yang semakin sakit terdengar di telinga dan batin.

“Yang ini harus belah duren dulu.” Kata seorang yang sedang melecehkan Erna.

Gue gak tau harus menganggap Erna beruntung atau nggak. Seenggaknya butuh waktu lebih lama untuk menembus kesucian Erna karena memang masih rapat. Semoga para pria brengsek itu berubah pikiran sebelum berhasil merusak Erna.

Tapi ketika nanti berhasil ditembus, Erna pasti akan merasakan sakit yang luar biasa. Belum lagi dia mungkin akan mengalami trauma karena ini tindakan yang diluar kemauannya. Masa depan akan berubah buat Erna setelah ini.

Mulut gue dipaksa penuh dengan batangan mereka. Begitu juga dengan satu tangan dan selangkangan gue yang akhirnya mulai dipermainkan menggunakan kemaluan salah seorang dari mereka. Sebisa mungkin gue berusaha gak mengeluarkan suara agar mereka gak berpikir lebih aneh lagi.

“Eeeek!” Erna mengejang
“Agghh...” Desah seseorang.
“Dani... tolong... gue mau mati aja...” Suara Erna melemah.

Gue gak sanggup mendengarnya ketika Erna terus-menerus kesakitan. Kesuciannya baru aja direnggut dengan kasar dan tanpa jeda. Sekasar itu pula gerakan mereka membolak-balik badannya. Siapa yang gak menangis menghadapi kenyataan ini. Tapi gue berusaha tegar untuk mengimbangi kesedihan Erna.

Erna terus menangis tanpa henti. Sedikit aliran darah sudah mengalir sampai betisnya. Badannya bergoyang ke depan dan ke belakang dihujam dari dua arah.

“Gue mau ngecrot.” Kata seseorang.
“Hajar aja. Sadis hahaha.” Seorang yang lain sangat sumringah.

Satu batang penis lepas dari vagina gue, lalu dia menghampiri wajah gue. Sekejap kemudian muntahlah lendir putihnya. Pada akhirnya gue dan Erna digilir tanpa jeda bersama orang-orang selanjutnya yang masuk ke ruangan satu demi satu.

Entah berapa lama kami melalui waktu, tapi sepertinya Erna hampir pingsan. Hanya tersisa hembusan nafasnya yang terdengar. Begitu pun gue yang gak sanggup lagi bicara banyak. Sudah banyak penis yang memuntahkan spermanya di sekujur badan kami berdua. Ditambah kami dipaksa saling berciuman sambil menelan tetes demi tetes lendir lengket itu.

Itu belum termasuk sperma-sperma yang dikeluarkan di dalam vagina.

Rasa sakitnya dikali lima ratus ribu ketika lubang anus harus mereka tembus juga. Perih sekali.

“Erna..” panggil gue.

Mata Erna terbuka, menatap kosong ke langit-langit ruangan. Dia gak menjawab panggilan gue. Lalu, kami masih harus meladeni nafsu beberapa orang lagi yang baru saja masuk ruangan.

Tiga orang yang harus merasa puas kali ini. Satu orang mencoba menikmati gue dan dua orang ingin menikmati Erna. Cerita rakyat yang tersebar tentang nikmatnya belah duren membuat otak mereka sudah bergeser ke selangkangan.

Sampai suatu ketika, gue seperti mendengar teriakan keras seorang lelaki di luar sana. Suaranya menggema, lalu kemudian menghilang. Para pemerkosa yang sedang menikmati tubuh kami bersikap gak acuh. Mereka terus bergoyang dan meraba tubuh gue dan Erna.

Hingga kali keempat, suara teriakan semakin keras dan sepertinya mendekat.

“BRAK! Pintu didobrak.

Gue pasti berkhayal. Bukan manusia yang datang, melainkan raksasa. Tubuhnya berwarna biru dan mengeluarkan uap putih. Dia bahkan harus menunduk untuk melewati pintu.

Gak ada lagi ampun. Tiga orang yang tadinya sedang menikmati tubuh gue dan Erna mendadak panik. Mereka gak sempat berpakaian atau mengambil senjatanya saat si raksasa biru itu tiba-tiba menjadikan mereka patung es.

Ruangan ini langsung berhawa dingin tanpa melalui proses transisi. Bahkan hawa ini lebih dingin dibanding suhu malam di Papandayan. Dan kami gak sedang pakaian. Dan tangan kami terikat.

“Saya nolong kalian karena kita sama-sama perempuan. Bilang ke para einherjar itu untuk gak mengejar saya lagi.”

Itu suara perempuan..

“Mereka, teman kalian, ada di dekat sini. Tunggu sebentar lagi.” Katanya.

Dia pergi begitu aja. Gak ada pertolongan lanjutan. Gak ada memotong tali atau memberikan pakaian. Kami ditinggalkan dalam keadaan kedinginan dan cenderung mulai membeku. Entah kami masih bisa hidup atau nggak sampai besok.

---

POV Hari

Pelaku Hammer Tech dititipkan kepada Akmal dan tim. Sementara itu, gue, Laras, dan Pur menembus portal lainnya ke sebuah rumah. Ini masih di Bawean, tapi entah di sudut sebelah mana lagi.

Setelah melihat banyak mayat berbalu bunga es. Akhirnya Dani dan Erna ditemukan dalam kondisi yang.... menyedihkan.

Dani dan Erna... Mereka menggigil kedinginan dan mereka tanpa busana sama sekali. Baru kali ini gue melihat Erna... Enggak boleh berpikiran macem-macem! Ini musibah!

“Erna!” Laras menjerit.

Laras menyobek jubahnya untuk kemudian dibalut menutupi badan dan rambut Erna. Begitu juga Pur yang ikut menyobek jubahnya untuk diberikan kepada Dani. Gue bisa apa melihat mereka begini.

“Dia di sini tadi.. nolongin kita.” Dani menggigil.
“Ada inhuman di sekitar sini?” Gue bergumam.
“Bukan. Gue kenal satu makhluk yang bisa begini.” Bantah Pur.
“Ya. Si makhluk jotun itu.” Timpal Laras.

Gue menatap mengiba kepada mereka sembari penuh kecewa kepada diri sendiri. Gue gagal melindungi mereka berdua. Itu mengantarkan gue pada banyak renungan. Sebenarnya hal seperti apa yang kami lalui sekarang ini? Apa gunanya gue di sini kalo gak bisa bertindak tepat?

Lina mati, Puri mati, nyokap gue mati, Kenia pun... mati. Penduduk desa di pasifik waktu itu pun mati. Semuanya gak masuk akal.

Sekarang Dani dan Erna... entah apa definisi yang tepat untuk kejadian yang mereka alami sekarang.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd