Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 38
Makan Wagyu


POV Hari

Sejauh-jauhnya helikopter bisa terbang sekali jalan, paling lama hanya satu jam. Itulah yang mendaratkan kami di satu rumah sakit besar di Surabaya, bukan Jakarta.

Dani dan Erna dilarikan menggunakan kasur tempat tidur pasien sesampainya di heliped. Mereka berdua nanti disusul polisi lainnya yang terluka. Dani dan Erna menjadi salah satu prioritas karena luka yang mereka alami bukan hanya fisik, tapi juga psikis.

“Halo, Erwan, ini Hari....” Gue bicara di telepon.

Nicole pasti udah tau info ini meski gak gue kabari berkelanjutan. Selebihnya, gue menelepon semua orang yang penting, mulai dari Erwan si kakaknya Erna. Katanya, dia akan terbang secepatnya supaya bisa sampai Surabaya.

Jamet dan Eda tak luput gue hubungi, tapi gue ragu apa mereka sanggup ke Surabaya secepat kilat.

Satu pihak yang gak boleh gue hubungi adalah orang tuanya Dani. Dani sendiri yang melarang gue menghubungi siapa-siapa. Melarang keras. Oleh karena itu dia hanya meminta gue untuk diandalkan kalau ada keperluan apa-apa. Gue langsung menurutinya karena terlanjur gak sampai hati bertanya kenapa.

Di halaman rumah sakit, media udah banyak berkeliaran. Mereka pasti udah dapat kabar kalau korban-korban dari Bawean dilarikan ke Surabaya. Bukan salah siapa-siapa berita ini menjadi viral. Hal terpenting adalah Dani dan Erna gak boleh sampai terekspos. Apalagi gue. Apalagi dua orang einherjar itu.

“Gue gak boleh kalut. Gak boleh.” Gue bicara sendiri.

Nyatanya gue kalut. Dani dan Erna masuk IGD, sementara gue cuma bisa mondar mandir panik di depan ruangan. Gue gak bisa terima apa yang terjadi. Rasanya seperti remuk redam di dada, tapi kehabisan tenaga untuk bisa berbuat sesuatu.

Salahkan semesta. Semesta telah berbuat semena-mena terhadap gue. Belum cukup dengan Puri, dia merenggut nyokap dan Kenia juga. Sekarang Dani dan Erna ikut menderita.

Menjadi agen rahasia ternyata penuh kesengsaraan. Bukan, jangan-jangan menjadi inhuman yang penuh kesengsaraan. Dulu hidup gue biasa-biasa aja, tapi sekarang runyam ke mana-mana. Gue gak bicara soal uang. Gue bicara kebahagiaan dan ketenangan hidup. Orang normal juga bisa cari uang meski gak sebanyak menjadi agen rahasia, tapi mereka tetap bisa bahagia.

“Mas Hari?” Seorang polisi menyapa.
“Ya?” Sahut gue.

Gue mengantongkan hape.

“Di luar banyak media, Mas Hari gak boleh keluar. Kalo butuh apa-apa bisa minta tolong saya atau teman saya yang lain ya.”

Oh, terima kasih masih ada yang berbaik hati sama gue. Meskipun itu sepertinya udah protokolnya mereka.

Beberapa waktu kemudian, gue akhirnya diperbolehkaan masuk ruangan. Secepat itu pula gue meminta pindah ke ruang kelas satu untuk rawat inap. Itu supaya Dani dan Erna bisa dirawat bersama-sama dan gak sendirian menghadapi realitas. Apalagi kalo melihat Erna sekarang yang penuh dengan tatapan kosong. Lebih kosong dibanding dulu.

“Erna. Kita pindah ruangan ya.” Ajak gue.

Erna hanya menoleh sesaat dan sekali menangguk, lalu kembali tenggelam dalam lamunannya.

Kenapa semesta terlalu jahat buat Erna. Dia anak baik. Sekalipun dia gak pernah tinggal dalam kehidupan malam selain karena hobi fotografinya. Sekarang dia harus menghadapi sesuatu yang mungkin, atau pastinya, berat untuk dilalui.

“Dani.” Panggil oke.
“I’m fine.” Katanya.

Dani memajukan satu telapak tangannya. Itu semacam isyarat untuk gak mengkhawatirkan dia lebih jauh. Dani lebih tegar dari yang gue bayangin. Atau mungkin terpaksa tegar untuk Erna.

Sekarang di benak gue penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang gak terbatas. Semuanya serba mungkin. Mungkin positif, mungkin juga negatif. Entah itu hanya pikiran atau sampai pada tindakan-tindakan yang harus gue lakukan demi mereka berdua.

---

POV Eda

Dua hari berlalu sejak Hari memberi kabar kalau Dani dan Erna masuk rumah sakit di Surabaya. Gue membayangkan tugas macam apa lagi yang membawa mereka sampai ke Surabaya. Sekarang terjadi pula kekhawatiran gue soal keselamatan mereka.

Untungnya hari ini gue mendengar kabar yang lebih baik. Hari, Dani, dan Erna udah pulang ke Jakarta. Erna jelas pulang ke rumahnya, sedangkan Dani memilih ditemani Hari. Hari bilang dia sama sekali gak perlu bantuan orang tuanya, dan mereka gak dikabari soal kejadian ini.

Dani, sebesar apa sebenarnya jarak yang ada sama lu dan orang tua lu.

Sebaiknya gue juga mengabari Jamet soal kepulangan ketiga bocah gila itu. Mumpung sekarang jam istirahat kerja.

“Halo, Met? Udah ditelepon Hari lagi?” Tanya gue lewat telepon.
“Udah. Mau jenguk?” Jamet dan logat Jawanya.

Berbeda dengan Jamet, gue sendiri mengambil solusi untuk gak menjenguk ke sana. Sudah cukup untuk berkabar sama Jamet. Gue gak mau nambah masalah lain. Selain karena gue belom boleh ambil cuti, pikiran gue juga masih kalut. Kalo gue ketemu Dani di sana, yang ada malah bikin gak tenang semua orang.

Apalagi di sana udah ada si Hari. Gue sebaiknya gak perlu khawatir apa yang akan terjadi kemudian. Pikiran gue udah penuh dengan macam-macam hal. Bagaimana soal gue dan Rivin, target kinerja mingguan, presentasi, menghadapi Samuel, sampai rencana mengecoh Alis. Cukup itu aja dan gak mau gue tambah lagi.

“Ada kabar soal Rivin?” Tanya gue.
“Biasa aja sih. Dia pindah kosan deket tempat kantornya. Putra punya jarak minimal ke Rivin. Baru itu yang ku tau.” Kata Jamet.

Gue merenung memikirkan Rivin.

“Nghh...” Itu suara Jennifer terdengar dari telepon.
“Heh lagi ngapain lu berdua?” Gue ngeledek.
“Udah dulu ya, ntar malam aku telepon balik.” Jamet memotong.

Telepon ditutup. Makin parah kelakukan main belakang Jamet dan Jennifer dari Janiar. Ridiculous tripel J conflict.

Ngomong-ngomong, nanti malam Alis ngajak gue jalan. Dia kali ini mencoba menghindari yang mewah dan glamor semisal restoran barat atau bar. Sebagai gantinya, dia menawarkan makan di kafe kekinian yang harganya masih relevan sama kantong karyawan baru.

Jadi, gue sekarang lebih baik menikmati sisa pekerjaan hari ini.

Sampai menjelang malam.

Alis datang menjemput ke tempat kerjaan gue tanpa mobilnya. Katanya biar lebih banyak waktu berdua di atas motor nanti. Itu gebrakan baru dari cewek kecil ini, meski di motor nanti sebenernya gue gak yakin bakal ngobrol banyak.

Sejenak gue melihat Alis dari kepala sampai kaki. Tampilannya juga berbeda dibanding yang lalu-lalu. Gak ada kacamata gelap di atas kepala kepalanya, dress terusan, atau tas hermes mahal. Kini kakinya berbalut jeans panjang, dia memakai blus biru terang, meski tanktopnya masih tampak tembus pandang. Poinnya, dia sedang berusaha mendekati selera gue.

“Ke mana sekarang kita?” Gue bertanya.
“Elo yang lebih tau.” Dia membalikkan kata-kata gue.

Tempat makan yang gue tau kebanyakan ada di Depok. Banyak tempat yang sering gue datangi dengan trio nongkrong gokil Hari, Jamet, dan Dani sewaktu masih mahasiswa. Tapi, kalo sekarang ke Depok pasti memakan waktu lama. Alis juga lebih jauh untuk pulang ke rumah. Jadi, gue dan dia sama-sama gak tau lokasi tempat makan yang pas.

“Di Depok gapapa kok.” Katanya.
“Nanti lu baliknya jauh.” Balas gue.
“Apa gunanya ada aplikasi online sekarang Eda..”

Alis memajukan dagunya. Itu hal sangat menggemaskan karena dia mungil.

Fokus. Gue harus membujuk Alis agar masuk ke rencana.

“Oke di Depok nih ya.” Gue mengonfirmasi.
“Ecie.. mau jalan nih ya. Sukses, sukses. Gue gak mau ganggu. Bye!” Samuel datang.

Tiba-tiba muncul Samuel. Dia baru aja keluar gedung, lalu sekedar bicara sebentar untuk kemudian pergi ke parkiran motornya. Gue rasa dia mulai paham dengan tingkah laku gue yang jengah. Itu bagus.

“Sebentar, Alis gak bawa helm kan. Ini gue pinjemin deh. Bye!” Samuel balik lagi.

Samuel tumben jadi orang berguna lagi.

Lupakan.

Sekarang, motor gue melaju di macetnya sore Jakarta Selatan. Sejak dulu gak ada yang berkesan di jalanan ibu kota, seenggaknya buat gue. Apalagi sekarang gue mulai penat berangkat pagi dan pulang hampir gelap.

Keberadaan Alis di belakang gue juga gak merubah apa-apa. Terlebih ini cuma motor matic, bukan motor gede 250 cc atau semacamnya. Bukan juga motor antik Zundapp atau BSA yang bisa memberi kesan romantis kala dua sejoli naik di atasnya. Yang ada malah gue dilirik banyak orang sepanjang jalan karena dianggap gak modal.

Sekalipun Alis memeluk dari belakang, kesannya ya biasa aja.

Lebih baik Rivin yang gue bonceng di belakang situ.

Kami sampai di Margonda selepas matahari terbenam. Sekitar jam setengah tujuh. Satu restoran kekinian di sana menjadi lokasi makan untuk kami berdua. Rasa gerah gak menurunkan semangat Alis untuk tetap bersama gue. Itu terpancar dari senyumnya yang terus menerus terlontar, seolah bibirnya begitu lebar untuk bisa disumpal.

Kami memesan, mengobrol banyak, lalu makanan datang. Gak ada obrolan yang aneh-aneh kali ini, gak kaya di Bottega waktu itu. Sekarang kami hanya saling cerita soal pekerjaan dan kehidupan sehari-hari yang serba normal.

“Gue cuci tangan dulu ya.” Kata gue.
“Oke, nanti gantian.” Balas Alis.

Obrolan kami menjadi sedikit merenggang frekuensinya karena diinterupsi kunyahan nasi dan potongan wagyu. Selebihnya, hanya interupsi dan sedikit tawa santai yang membuat kami terus saling menanggapi satu sama lain.

“Enak juga makanannya.” Kata Alis.
“Lebih enak tempat-tempat rekomendasi lu kali.” Kata gue.
“Ya tapi bukan gaya lo kan.”

Alis benar-benar terasa punya usaha besar untuk mendekati gue. Harusnya hal-hal seperti ini wajar dilakukan cowok saat mengejar gebetan. Kali ini berbalik, gue yang dikejar-kejar cewek. Terkahir gue ngaca, masih ada jerawat batu yang nongol di pipi kiri. Jadi harusnya gue gak ganteng-ganteng amat sih buat tipe cowok ideal sekelas Alis.

Itu memberi gue sedikit pertanyaan tentang apa yang Alis sukai dari gue.

Lupakan dulu. Setelah makan, saatnya pebicaraan yang lebih serius. Masuk ke rencana.

“Lis, gue mau nanya serius nih.” Gue membuka topik.
“Kenapa?” Tanya Alis.
“Lu, kenapa bisa suka sama gue?”

Ini pertanyaan wajar dan kebetulan pas sama isi hati gue barusan. Tapi, damn! Gue bener-bener kaya ada di posisi cewek yang digebet dan Alis yang jadi cowoknya. Konyol banget rasanya. Aneh.

Kemudian, seperti cowok kebanyakan, Alis mikir dulu sebelum bisa menjawab pertanyaan gue. Dia melirik ke kanan, kiri, dan ke bawah. Hitam matanya membesar dan mulutnya terbata. Itu benar-benar sama kaya cowok manapun, termasuk gue dahulu.

“Kalo suka harus ada alasannyakah?” Alis justru bertanya balik.

Itu satu respon yang menurut gue salah dalam memulai hubungan. Pasti ada sesuatu alasan seseroang bisa suka dengan partnernya. Rasa suka itu bisa berasal dari hobi, kesamaan visi hidup, fetish, atau sekedar karena ganteng atau cantik. Alasan itu penting untuk menghubungkan dua pikiran dan bertumbuh.

Gue yakin Alis juga punya alasan itu, hanya saja mungkin terlalu konyol untuk dinyatakan. Dalam banyak hubungan, sekedar alasan fisik dianggap banyak orang adalah hal bodoh. Kemudian, pernyataan itu juga diamini oleh pasangannya, lalu terjadilah ketidakcocokan sejak saat itu.

“Pasti ada alasannya lah. Gue ganteng ya?” Gue ngasal.
“Idih kepedean.” Alis meledek.

Yap, mungkin gue ganteng buat dia. Tapi masa bodo. Begitu tau Alis benar-benar suka sama gue, rencana harus berjalan.

“Ini hubungan kita mau di bawa ke mana sih? Secara elu agresif banget.” Gue terus bertanya.

Alis gak menjawab. Dia hanya tertunduk, mungkin malu. Inilah saatnya gue mengutarakan apa yang direncanakan beberapa waktu sebelumnya. Jamet dan Jennifer pasti menagcungkan jempol kalau mereka bisa melihat tindak-tanduk gue sekarang.

Gue menyampaikan bahwa kami berdua bisa menjadi dekat lebih dari sekarang. Tapi hubungan gue dengan Rivin belum selesai. Seandainya Alis mau membantu mempertemukan gue dengan Rivin, maka masalah bisa diselesaikan dan hubungan ini bisa berlanjut.

Gue ngibul dong tentunya.

“Oke, kita lakuin. Kapan?” Alis percaya diri.

Wow, gue pikir ini bakal sulit. Nyatanya, mudah sekali meyakinkan Alis. Pasti dia sangat sangat ingin bersama gue. Tapi santai, gue tetep gak mau sama Alis. Kalaupun kami berdua menjadi kekasih, Alis pasti bakal mencampakkan gue beberapa minggu kemudian. Dia punya banyak cowok kan kata si Tania waktu itu.

Gue berkata kepada Alis kalo kita bisa mulai minggu ini. Tapi Alis lebih yakin lagi dengan menyatakan kesiapannya besok. Alis yang masih pengangguran masih punya banyak waktu luang untuk dimanfaatkan. Ini makin bagus.

“Tapi, gue main ke tempat lu malem ini. Itu syaratnya.” Mata Alis membulat.
“Oke.” Gue menjawab.

Alis sangat-sangat manis kalau dia lagi senang, dan hampir tiap saat dia merasa senang. Dia mungil dan... Ini gak baik. Gue gak seharusnya menatap dia begitu dalam. Gak boleh ada cinta lain lagi dengan cara yang aneh-aneh.

"Oke, ayo berangkat sekarang." Ajaknya.

Kami menyelesaikan makan malam, kembali ke parkiran motor, lalu melaju sedikit lagi hingga sampai apartemen gue. Apartemen yang rasa-rasanya makin mahal sejak udah gak dibayarin bokap dan gak berbagi pengeluaran lagi bareng Rivin. Untungnya kerjaan gue sekarang ngasih take home pay yang lumayan. Sebagai gantinya gue harus kerja keras.

Gue membuka pintu kamar.

“Gue belom pernah masuk sini.” Kata Alis, sambil melihat-lihat isi kamar.
“Sorry berantakan.” Gue menyahut.

Gue beberes sedikit karena banyak barang-barang masih bergeletakan di lantai. Mayoritas benda di lantai adalah sampah bungkus makanan. Gak ada Rivin semakin berasa buat gue karena gak ada yang beresin kamar. Jadi sekarang gue harus membungkuk untuk mengambil sampah-sampah di lantai.

“Hey ganteng.” Alis memanggil.
“Yap?” sahut gue.

Gue masih sibuk ngambilin sampah.

“Tengok sini ganteng.” Panggil Alis lagi.

Gue menoleh. Dan dengan begonya gue melongo. Alis di hadapan gue udah melepas blus dan celana jeansnya. Kini dia makin mungil dalam balutan tanktop hitam dan legging super pendek sepanjang seperempat pahanya aja.

Gue ******. ****** banget. Kenapa bisa-bisanya mau menuruti Alis yang pengen ke sini. Kenapa baru kepikiran sekarang kalau bakal kejadian kaya gini.

“Nggg...” Gue masih cengo.
“Gimana?” Alis mulai menggoda.

Gue terbangun dari lamunan karena suara Alis. Ini bener-bener gak bagus. Gue gak mau nambah masalah lagi karena hal macem begini. Gue ingat masalah pertama dengan Dani dimulai saat kejadian pesta seks bareng Rivin dan Sesil. Kalau gue berbuat aneh-aneh sama Alis, masalah baru pasti bakal muncul.

Jennifer juga gak mengantisipasi ada rencana macem begini. Gue harus telepon dia sekarang.

Tapi, nggak. Nggak akan bisa bener kalo konsul hal begini ke Jennifer. Apalagi ngeliat kelakuannya ke Jamet. Jennifer pasti ngasih solusi untuk nikmatin aja malem ini karena gak ada hati yang bermain. Konyol.

Sekarang gue harus ambil solusi cepat. Begini, gue harus menyuruh dia pulang sekarang. Kalo perlu gue anter. Masalah yang mengekor akibat malam ini bisa gue tanggung besok-besok.

“Alis, alis, ini gak bener ya. Elu pulang sekarang.” Gue membujuk.
“Uh, masa sih gak mau ini?”

Alis memegang dua dadanya yang hampir rata itu. Dasar gila.

“Nggak sekarang ya.” Gue berusaha membela diri.

Gue berusaha dengan bujuk rayu sekuat hati agar Alis mau memakai pakaiannya kembali. Kemudian, gue bisa mengantarnya pulang kalau mau. Yang jelas dia gak boleh lama-lama di kamar gue.

“Eda, temenin gue malem ini. Harus nurut lho.” Alis menyanggah.

Kata-kata Alis tadi kedengeran seperti perintah. Kepala gue mendadak jadi muter-muter. Gue menghentakan kepala beberapa kali hingga akhirnya menyadari bahwa ini gak beres. Bener-bener gak beres secara harfiah. Gue biasanya kena vertigo atau sakit kepala kalo abis kerja berat atau telat makan.

Tapi tadi gue baru makan malem.

Efek macem apa kalo begini. Makanankah? Oh, Alis ngasih apaan di makanan gue tadi. Kok bisa-bisanya efeknya baru terasa sekarang. Alis, lemari gue, jendela, semuanya keliatan jadi ada dua. Rasanya kaya lagi mabok waktu itu.

Dan, Alis mendekat.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Wah kok jadi senjata makan tuan, Eda? Keknya Alis sudah sering modusin cowok dan Eda masuk dengan mudahnya, ato kemampuan inhuman yang bikin Eda nurut?
Thx updatenya hu
 
Nanti Erna bikin jadian aja sama Hery.. kemudian mereka 3some bareng dani haha.. tapi msh sedih euy sama nasib Erna
 
Maaf nih, pov tokoh kayak eda, jamet kayaknya mending dihilangkan saja deh. Sampe sejauh ini ceritanya gk ketemu benang merahnya sama petualangan hari dkk. mungkin lebih baik fokus ke hari dkk saja deh, biar ceritanya gk melebar kemana2. Baca pov eda dan jamet itu kayak baca cerita lain yg lepas dari cerita ini. Ok-lah mereka sahabat hari tp peranan mereka dicerita ini apa?
 
Episode 39
Firasat Buruk


POV Eda

Alis begitu cantik. Bibirnya yang terlapis lip balm menjadi merah muda dan basah. Dia pelan-pelan mendekatkan bibirnya ke arah bibir gue. Awalnya penuh kehati-hatian, tapi menjadi liar begitu kami bersentuhan.

Hanya sekian detik pertama bibir kami bertemu. Selebihnya, Alis memainkan lidahnya menjelajah lebih dalam. Lidah gue gak diizinkan masuk ke mulutnya barang sesaat pun. Ini sungguh berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah bergumul dengan gue.

Tangan Alis gak serta merta diam. Jemarinya menjelajahi lengan atas hingga rambut bagian belakang gue. Itu benar-benar memberi rangsangan lebih dan membuat merinding. Sentuhannya ajaib.

Gue mau bersamanya malam ini apapun yang terjadi. Gue mau dia menikmati gue dan menikmati malam ini seperti katanya sendiri. Dan untuk pertama kalinya gue senang berlama-lama dengan Alis.

Dan kami sekarang ada di kamar gue, berdua, setengah berpakaian.

“Touch me.” Alis merayu.

Tentunya. Pasti. Gue nanti akan menyentuh Alis. Sekarang gue mau merasakan sensasi french kissnya dulu. Tapi rupanya Alis gak begitu sabar. Dia memutar badan, kemudian rebah di kasur. Bibirnya lepas, meninggalkan efek candu yang secepatnya harus dinikmati lagi.

Gue menuruti mau Alis. Tank top hitam dan mangkuk kembarnya gue lepaskan satu demi satu.

Kecupan basah gue daratkan di sekujur kulit Alis. Jemari gue mulai bermain di titik-titik rangsangnya. Gak terkecuali dua bukit yang hampir rata itu. Putingnya mencuat, lebih kencang dari puting-puting yang pernah gue pegang sebelumnya.

“Nghh..” Alis melenguh keras.ges

Liar banget cewek ini. Gue semakin cepat mengeras di bawah sana karena suaranya. Gue gesek penis gue di depan celana dalamnya yang cepat sekali basah. Terasa lengket di sana karena lendir gue dan lendir darinya menyatu.

Kali ini gue gak sabar. Tangan gue beranjak turun dari dada Alis menuju rambut kemaluannya. Kedua tangan gue bergeser dari tengah ke kedua sisi pinggulnya. Perlahan dan seksi, gue turunkan celana dalamnya yang model thong itu. Gue lempar jauh-jauh.

Lidah gue beraksi sebagaimana mestinya laki-laki memuaskan wanitanya. Di tengah-tengah lubang kenikmatan Alis yang makin basah itu lidah gue menyentuhnya. Bau dan rasanya amis, namun gak menjijikan.

“Eda... nghh..” Alis mendesah.

Lidah gue menyapu ke atas, ke ujung saluran kencingnya. Kemudian terus ke atas hingga ke kelentitnya yang menonjol.

“Nggaahh...” Alis sekarang teriak.

Gue menguasai Alis sepenuhnya. Sekarang tinggal menjaga agar permainan gue dalam ritme yang konsisten.

Memang gak ada kenikmatan fisik yang gue dapatkan, tapi mendengar wanita mendesah itu suatu berkah. Itu membuat gue terasa perkasa sebagai laki-laki. Apalagi kalau permainan gue berhasil membawanya menuju puncak.

Bosan dengan ritme yang sama, gue ikut memainkan jari-jari. Satu jari tengah gue gesek pelan-pelan. Kemudian berlanjut makin cepat, hingga akhirnya gue coba terobos lubang vaginanya. Alis mengerang lebih keras lagi.

Oke, Alis bukan perawan. Bisa mudah.

Setelah tau ini bukan kali pertama Alis bermain cinta, gue lebih memberanikan diri. Dua jari gue langsung hujam ke dalam vaginanya. Gue tekan ke sisi depan berkali-kali seirama dengan hembusan nafasnya yang pendek-pendek. Lambat laun pinggul Alis ikut bergerak sambil berkedut.

Belum saatnya Alis orgasme. Gue keluarkan jari gue cepat-cepat.

“Mau lama-lama kan?” Goda gue.

Mata Alis sayu, gue tebak karena dia sudah diujung menuju puncaknya. Itu semakin membuat gue percaya diri. Maka, gue naiki tubuh Alis, meraba kedua dadanya, lalu gue terjang sisi kiri lehernya. Kulit lehernya gue hisap kuat-kuat sehingga membuat dia menggelinjang hebat. Tangan Alis meronta dan pinggulnya naik tinggi-tinggi menekan batang penis gue.

Lama gue bermain dengan sekujur permukaan tubuh Alis. Mulai dari sini gue yakin Alis itu submissive. Gak ada intensinya sama sekali untuk berbalik menyentuh gue.

“Masukin...” Pinta Alis.

Gue mengangguk dan mengigit dadanya sekali lagi. Terlalu lama Alis menikmati foreplay. Udah waktunya gue memanjakan diri. Jadi, gue turuti lagi maunya.

Alis mengangkang lebar dan mengarahkan sendiri penis gue ke lubang kenikmatannya. Begitu dirasa pas, gue dorong pelan-pelan hingga terasa hangat. Penis gue masuk sedikit-sedikit hingga akhirnya terbenam.

Sensasi masuk ke dalam vagina selalu gak tergantikan dengan foreplay macam apapun. Ada rasa hangat, rapat, dan gesekan yang agak mengiris namun nikmat. Itu pun hanya terasa tanpa memakai kondom.

“Lupa pake kondom.” Kata gue.
“Gapapa. Hari ini aman.” Balas Alis.

Kata-kata Alis barusan memberi rangsangan tambahan. Gue kemudian memulai ayunan demi ayunan pinggul. Kenikmatan terasa menjalar di seluruh tubuh gue dengan posisi yang terlalu pasaran ini.

Kaki Alis membelit ke betis gue. Dia mengunci dan membalas dengan merapatkan jepitan vaginanya. Badannya yang kecil dan vagina yang rapat, ini sensasi yang baru buat gue. Terlalu sempit dan enak bagi seorang Eda.

“Ahh.. Mau keluar...” Gue gak tahan.

Rasanya udah di ujung kepala penis. Gue harus melepas penis gue hingga akhirnya lepaslah semua sperma di atas perut Alis. Baru kali ini gue cepat sekali keluar selain saat hari pertama melepas perjaka.

“Sempit banget sih...” Gue sambil mengatur nafas.
“Enak banget yah??” Godanya.

Gue tersenyum dan merasakan ketertarikan yang luar biasa kepada apa yang dimiliki Alis saat ini. Senyumnya, wajahnya, tubuhnya, dan yang pasti liang surganya. Terlalu surga liang itu untuk gue, untuk seorang Eda.

“Ini masih belum turun.” Alis mengelus kepala penis gue.

Hormon-hormon dalam aliran darah gue juga mengetahui hal ini. Tesosteron, adrenalin, oksitosin, endorfin, dan segala macam hormon terproduksi dengan baik malam ini. Gue sangat tertarik kepada Alis. Kalau ada cermin, sekarang juga pasti gue bisa melihat pupil mata gue membesar setiap bertatap mata dengan Alis.

Gue balikkan badan Alis. Penis gue mengarah lagi ke vaginanya. Kali ini hujaman lembut dan bertempo agak lambat menjadi permainan awal yang santai. Gue gak boleh keluar cepat kali ini.

“Ahhh... Edaaa... Ahhh...!!” Alis lagi-lagi berteriak.

Alis berteriak. Bukan lagi mendesah.

Kenikmatan yang gue rasakan dari Alis sangat luar biasa. Gesekan dinding vaginanya menjadi pusat pemberi sensasi yang begitu nikmat. Pantatnya yang ranum menjadi pemandangan yang mubazir kalau dilewatkan. Aroma parfumnya semerbak. Belum lagi teriakannya yang terdengar tanpa henti. Semuanya bersekongkol merangsang keempat indra gue.

“Cepetinhh!! Cepet.... Ahhh!!” Alis terus teriak.

Mau gak mau gue ikutan teriak.

“Mau keluaar...” Kata Alis.

Ini hela nafas-nafas terakhir gue. Gue rela bergerak makin cepat untuk mengejar puncak bagi kami berdua. Ini harus selesai dengan sempurnya.

Kepala Alis rebah di bantal, membuat gue lebih leluasa bermain dari belakang. Hujaman pendek dan cepat terus gue lancarkan, sampai suatu waktu terasa sekali kalau vagina Alis berkedut. Waktunya tepat karena gue mau keluar.

“Bentar lagi.. hhh...” Kata gue.
“Jangan berhentih... nghhh..” Kata Alis.

Enak. Enak banget.

Ahh.

Gue keluar.

---

POV Jamet

Kayanya kerja di posisinya Eda itu capek banget. Semalem aku udah nelpon dia berkali-kali, tapi gak diangkat sama sekali. Padahal masih jam 10, belum larut-larut banget kalo mau disebut malam.

Tadi malam aku mau ngasih tau kalau tiga hari ini Kak Rivin bertingkah biasa aja. Memang terlalu awal untuk menyimpulkan, tapi rasanya bukti yang ada udah lengkap. Kak Rivin selalu langsung pulang ke kosnya setelah kerja. Orang yang namanya Putra juga gak berani deket-deket ke Kak Rivin. Gak ada yang aneh.

“Lewat chat wa aja kenapa?” Tanya Jennifer.

Aku berjalan ke halaman belakang.

“Ini gak bisa sekedar chat. Harus dikasih tau langsung.” Kataku.

Aku mengamati bak-bak penampungan lele untuk percobaanku. Ini masa awal uji eksperimental pemberian pakan lele dengan campuran mikroalga. Pelet-pelet brewarna hijau baru selesai dikeringkan kemarin. Hari ini jadwalnya memberi pakan itu sampai dua bulan ke depan.

Pak Slamet nanti baru datang jam 8. Beliau adalah seorang pekerja baru yang aku tugaskan membantu merawat lele selagi aku pergi. Sejujurnya, aku justru lebih sering pergi setelah Eda minta bantuan. Jadi sekarang Pak Slamet punya beban kerja lebih besar.

Mungkin nanti kalo udah panen pertama, aku rekrut lebih banyak orang.

“Lelenya masih sebulan lagi kan bisa dijual?” Jennifer ikut ke halaman belakang.
“Yang di kolam sana, iya.” Aku menjawab.

Jennifer lebih sering tinggal di kontrakanku ketimbang di rumahnya sendiri. Apalagi ketimbang ngumpul bareng Bryophyte. Terakhir aku dengar darinya kalau band itu udah bubar, namun aku gak tau dia lagi becanda apa nggak. Sekali-kalinya dia pulang cuma kalo baju udah abis atau mau berangkat ngajar piano.

“Aku mau nyamperin Eda ntar sore.” Kataku.

Jennifer mengangguk. Dia setuju dan mau ikut.

Menjelang siang aku menyelesaikan tugasku bersama Lele dan menyerahkan sisanya ke Pak Slamet. Aku mengeluarkan motor untuk mengantar Jennifer pulang dahulu, lalu nanti menghampiri Eda setelah sore.

Rumah Jennifer seperti biasanya, lumayan luas dan sepi. Mbak siapa namanya itu, asisten rumah tangga keluarga Jennifer yang baru, sedang sibuk nyeterika baju di ruang belakang. Maka, bisa ditebak apa yang terjadi kalau kami ditinggal berdua.

“Tiduran cepet.” Perintah Jennifer.
“Sabar.” Kataku.

Aku dan Jennifer udah di kamar tidur. Kami mau dan mau lagi menikmati cinta kami berdua. Yang membuat berbeda adalah kali ini harus bermain cepat. Kami berburu dengan waktunya menuju tempat kerja Eda.

Kami hanya menurunkan celana, lalu Jennifer naik ke atasku. Dia menggesekkan celah pahanya di celah pahaku sebagai permulaan yang begitu buru-buru. Dia adu kuat-kuat sampai yang menempel bukan lagi kelamin kami, tapi tulang pubis.

Hapeku tiba-tiba bergetar lama. Itu panggilan telepon.

“Ntar aja.” Jennifer menginterupsi.

Aku juga udah kepalang tanggung. Pelumas yang keluar dari kemaluan Jennifer udah membanjir di batang penis. Semakin basah, maka semakin licin, maka semakin enak gesekan yang terasa di ujung-ujung syaraf sensorik.

“Masukin sekarang.” Pintaku.

Jennifer mengarahkan batang penisku, lalu dia bergerak turun perlahan. Kelaminku amblas dalam vaginanya yang membanjir.

“Mbak Jennifer, saya naro baju.. nya...”

Asisten rumah tangga Jennifer mendadak membuka pintu, membawa baju-baju hasil seterikaannya masuk ke kamar. Dia melongo dan kami berdua panik. Refleks aku dan Jennifer adalah masuk ke dalam selimut, dan itu bodoh. Kemudian kami menyadari kesalahan ini untuk kemudian buru-buru membetulkan celana. Masih beruntung sedari tadi belum ada yang melepas baju sama sekali.

Di depan pintu sana, mbak ‘siapa-namanya-itu’ gak memberi respon apa-apa. Dia tetap berdiri di depan pintu dengan mata menutup.

“Ehm..” Jennifer batuk formalitas.
“Eh, maaf, aduh... saya datang lagi nanti... ya..” Mbak itu panik.

Reaksi konyol mbak 'siapa-namanya-itu' menghasilkan gelak tawa tertahan untukku dan Jennifer. Tapi mengingat resiko pengaduan yang terjadi, tawaku hilang.

Jennifer lanjut menyuruh asisten rumah tangganya untuk menyelesaikan pekerjaan. Selagi itu, dia mengajak aku pergi ke luar kamar untuk makan. Gak lama setelah makan, kami akhirnya pergi dengan mobil untuk berangkat lebih awal.

“Pembantu kamu tadi kenapa reaksinya begitu deh?” Tanyaku.
“Maklumin aja hahaha, ABG tanggung.” Jennifer terbahak.

Harusnya tindakan kami gak bisa dimaklumin, apalagi sampai dilihat ABG yang belum ngerti apa-apa.

Melihat Jennifer yang kemudian harus fokus melihat aspal, aku terpaksa sibuk main hape sendiri. Di situlah aku jadi teringat bahwa ada telepon dari seseorang. Aku lantas membuka hapeku hingga akhirnya melihat ada nama Eda di sana. Ada juga pesan wa darinya.

Eda: Ada yang aneh hari ini.
Eda: Semalem gue ngerasa aneh.
Eda: Rencana kita apa sih kemarin?

Waduh mabuk ini anak, kebanyakan kerja kayanya.

Eda: Gue di ajak ke rumah Alis hari ini.
Eda: Perasaan gue gak enak
Eda: Tolong ikutin gue diem-diem

Aku memberitahu Jennifer chat Eda yang gak biasa itu. Kami memang punya rencana kepada Alis, makanya dia deketin cewek itu. Tapi aku juga punya semacam firasat yang gak kalah aneh dengan pesan Eda ini.

Aku mencoba menelepon balik Eda karena super khawatir. Apa yang terjadi sejak kemarin padanya, katanya, mendadak merubah kondisi kami semua. Tapi, sayangnya Eda gak mengangkat teleponku meski telah diulang lima kali.

“Aku khawatir.” Kataku.
“Tenang, mungkin Eda lagi kerja.” Balas Jennifer.

Aku melihat jam di hape. Ini udah jam dua siang lewat sedikit. Bisa jadi Eda memang sibuk bekerja.

Mobil kami parkir di satu lahan parkir dekat tempat kerja Eda. Rencana yang tadinya untuk menemui Eda berubah menjadi pengintaian untuk dirinya sendiri. Waktu-waktu selanjutnya, aku dan Jennifer berkeliling sebentar untuk mencari posisi pengamatan strategis. Akhirnya kami berhenti di satu tempat makan.

Beberapa gelas capuccino dan satu ayam bakar habis kumakan untuk membuang-buang waktu. Padahal baru aja aku makan siang di rumah Jennifer. Bener-bener gak baik buat kesehatan.

"Harus ada ide penyamaran lain nih sebelum aku jadi berubah jadi om-om buncit." Aku bercanda kepada Jennifer.

Dia tersenyum garing.

Lama mengintai, firasat burukku terus memuncak. Hingga suatu waktu, ada satu mobil warna putih keluaran jepang yang membuatku terus mengamatinya. Dibanding banyak mobil yang masuk ke kantornya Eda, satu mobil itu membuatku terus mengamatinya semenjak lewat depan tempat makan kami.

Entahlah. Firasat. Atau apa. Rasanya seperti ada gambaran melintas di kepalaku tentang Eda disambut perempuan dengan sebuah mobil, dan Eda masuk ke mobil itu.

“Aku curiga sama mobil itu.” Kataku ke Jennifer.
“Kenapa bisa?” Jennifer bertanya balik.

Hal yang lebih penting dibanding debat sama Jennifer adalah mengamati mobil itu lebih dekat, apalagi mobil itu sekarang berhenti di lobi depan. Persis seperti yang aku pikirkan barusan.

Kemudian, ada pesan wa dari Eda di saat yang sama.

Eda: Ikutin gue di mobil putih yang parkir di depan lobi. Gue bisa gak sadar sewaktu-waktu.

Mobil yang ditunjuk Eda sama dengan yang aku curigai sejak tadi. Benar aja, Eda muncul dari dalam kantor. Kemudian dia disambut seorang cewek serba kecil dengan penampilan borjuis. Bisa jadi itulah yang namanya Alis.

“Ambil mobil. Ambil mobil.” Aku berbisik ke Jennifer.

Jennifer berjalan meninggalkanku untuk mengambil mobilnya. Sementara itu, aku bertindak cepat untuk mengambil beberapa foto. Butuh nomor plat mobil itu agar kami gak kehilangan jejaknya nanti.

Mobil putih itu melaju menuju jalan Bangka, berbelok ke Kemang dengan jalur yang kecil dan macet. Mobil itu ada di depan kami, terpisah 3 hingga 4 mobil di depan. Ini situasi yang rawan karena kalau lengah sedikit, Eda bisa hilang dari pantauan. Aku pun mencoba cara lain dengan memberi pesan padanya untuk memberi lokasi terbaru sebisa mungkin.

Kami mengikuti mobil itu ke sebuah perumahan di Pejaten. Eda masih belum membalas satu pun pesanku. Aku curiga inilah yang disebut dia sebagai ‘gak sadar sewaktu-waktu’. Mungkin gak sih Eda kena hipnotis.

“Itu Eda.” Kata Jennifer.

Mobil yang kami ikuti berhenti di sebuah rumah besar. Eda kemudian keluar terlebih dulu. Dia membuka gembok dan mendorong pagar agar mobil bisa masuk. Dari sini aku dan Jennifer sepakat bahwa rumah itu sedang kosong.

“Kenapa harus ngikutin sih? Mungkin mereka cuma mau ML.” Jennifer ngedumel.
“Gak mungkin. Rencana Eda bukan begitu.” Bantahku.
“Mungkin aja.”
“Firasatku gak mungkin.” Aku membantah lagi.

Kami kemudian bingung harus apa setelah ini, selain berdiam di dalam mobil menunggu Eda keluar.

Selang belasan menit kemudian, ada mobil dan motor lainnya yang datang ke rumah besar tempat Eda berada itu . Cukup banyak orang yang kini berdatangan. Mereka seusia dewasa muda, dan kuhitung udah ada sekitar 6 hingga 8 orang.

“Gila, mau pesta seks.” Jennifer ngasal.
“Ra mungkin Jen.” Kataku medok.

Tiba-tiba ada pesan wa masuk. Eda membalas pesanku dua kali. Pesan pertama adalah lokasinya sekarang, yang mana itu cocok dengan posisi kami sekarang. Kemudian, pesan kedua adalah foto suatu obat kapsul berwarna kuning. Obat itu lumayan besar jika diukur dengan kuku jari telunjuk Eda yang ikut terfoto.

“Liat ini.” Aku menunjukkan foto itu ke Jennifer.

Kami mengamati bentuk obat itu bersama-sama.

“Eda di kamar mandi.” Aku melihat latar fotonya.
“Tulisan apa sih itu di kapsul?” Jennifer bertanya
“Emm, X.. apa sih ini.” Aku mengeja.

Tulisan itu menyaru dengan warna kapsul yang serupa. Pastinya tulisan itu adalah nama pabrik atau distributor produsen obat. Sayangnya, aku gak hapal nama semua produsen atau distributor obat di Indonesia.

Aku dan Jennifer lantas menyerah menebak-nebak. Kami butuh opini lain untuk membaca nama produk atau apapun tulisan yang tertera di kapsul ini.

“Tanya orang lain coba.” Suruh Jennifer.
“Siapa?” Aku bingung.
“Oh, Erna wawasannya luas kan. Kita tanya dia.” Sahut Jennifer.

Jennifer bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri, dan aku kena getahnya. Sekarang aku yang harus memforward foto itu ke nomor wa Erna, mengenyampingkan kabar terakhir dari Hari kalau Erna sedang sakit.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Eda jadi korban juga... Semoga Jamet dan Jenifer bisa membantu Eda
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd