Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Selamat sore juga suhu...
Siap2 nih
 
Episode 33
Karma


POV Eda

Pernah gak ya seorang laki-laki merasa harga dirinya jatuh karena ditembak duluan oleh perempuan? Atau malah dia merasa bangga karena beranggapan terlalu tampan? Gue mencari jawaban itu di google. Gak ada.

Gue membuka-buka layar hape, mencari-cari kontak yang seenggaknya bisa gue ajak cerita untuk malam ini. Persetan besok harus lembur. Kepala gue lebih punya prioritas untuk dijernihkan dengan opini orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Hari sama Dani sedang sibuk pasti. Mereka mungkin sedang sibuk mencari alien-alien yang sekarang berpencar di belahan bumi sebelah mana.

Jamet adalah opsi paling realistis saat ini. Gue tau dia sedang menetap di Depok untuk berbisnis lele. Lagipula malam hari dia mau ke mana memangnya. Dia kan bukan anak yang suka keluyuran malam.

Gue pun mengulik hape, mencari kontak wa atas nama Jamet.

Gue: Met, ntar malem gue ke tempat lu ya
Jamet: Aku aja deh ke apartemenmu ya
Gue: Oke

Sesimpel itu chat sama Jamet. Dia memang paling mengerti temen deh.

Gue pulang dengan laju motor rendah, membelah kemacetan Jakarta yang sudah mulai jadi santapan harian. Siapa yang menyangka pertemuan gue dengan Samuel dan teman-temannya akan jadi begini.

Beberapa minggu lalu gue ditembak Alis dengan kondisi dia tau gue sudah berpacar. Hari-hari selanjutnya, Samuel mengulik gue supaya mau bertemu lagi dengan Alis. Ada masa-masa gue dengan gobloknya mengiyakan pertemuan dengan Alis di restoran mana lagi. Ada juga masa gue mampu menolak Samuel karena satu dan lain alasan yang lebih penting, misalnya lembur.

Pernah di suatu ketika, Alis pagi-pagi sekali udah menunggu gue di lobby apartemen. Waktu itu due gak begitu denger apa maunya karena lagi asik dengerin Charlie Puth sambil ketutupan helm. Pagi itu gue udah hampir telat sehingga beruntung bisa meluncur jauh ke jalan raya meninggalkan Alis.

Jahat ya, tapi Alis emang lama-lama serem. Kaya stalker.

Gue sekarang sedang berhenti di lampu merah bertepatan dengan hape bergetar. Ada beberapa pesan wa yang penting dan gak penting. Satu diantaranya adalah dari Jamet yang bilang dia udah nunggu di lobby apartemen.

Ada juga pesan wa grup kantor yang masih rame, padahal udah lewat dari jam kerja. Ada juga pesan wa dari Alis dan Samuel yang udah gue senyapkan pemberitahuannya seusai dari Bottega waktu itu.

Gue pengen banget menjauh dari makhluk-makhluk gila party kaya mereka. Sayangnya belum ada solusi yang baik sama sekali. Keluar dari tempat kerja supaya gak ketemu Samuel sangat jelas bukanlah hal yang baik, karena gue baru bekerja masuk dua bulan. Minta pindah divisi apalagi, gak akan bisa.

Sejam kemudian, barulah gue sampai di basement.

Eh, siapa itu perempuan yang sama Jamet?

“Loh?” Gue menunjuk perempuan yang bareng Jamet itu.

Si cewek tersenyum. Dari dekat, barulah gue tau kalau dia adalah Jennifer. Gue balas tersenyum padanya. Kemudian, gue menoleh ke Jamet yang tersenyum dengan paras muka pengen banget ditampol. Lucu sekaligus ngeseselin.

“Gue balik ya.” Kata Jennifer.
“Eh ntar dulu. Enak aja.” Ledek gue.

Seru nih menginterogasi mereka berdua. Permasalahan gue bisa dikesampingkan dahulu buat seru-seruan sebentar.

Gue mengajak Jennifer ikut sama gue dan Jamet naik ke kamar. Gak boleh ada malu-malu kucing, izin mau ini itu, segala macem. Ini perlu diklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi setelah momen di stasiun Malang tempo dulu.

Pintu kamar gue buka. Minuman ringan gue sediakan. Tivi juga gue nyalakan biar gak sepi.

“Kak Rivin ke mana?” Jamet bertanya.
“Itu ntar gue ceritain. Lu dulu lah.” Gue meneguk segelas soda.
“Kok aku?” Jamet sok polos.
“Kok aku, kok aku.” Gue ngakak sendiri.

Jennifer mukanya ditekuk dan kepalanya tertunduk. Gue cukup berpengalaman untuk tau kalo dia pura-pura malu. Semua ini pasti akibat dari tindak tanduk Jennifer sendiri yang agresif. Mana mungkin Jamet yang bergerak duluan dalam hubungan kaya begini.

“Sejak kapan?” Gue langsung tembak.
“Sejak kapan apa?” Jamet masih sok polos.
“Yaelah, masih mau ngumpet juga? Gue share di grup angkatan nih.”

Jamet gak mungkin bergerak aktif untuk meraih Jennifer. Dia anak baik-baik dan pemalu kalo deket sama cewek. Kecuali sama Janiar karena mereka punya sejarah panjang di kampungnya. Dani sendiri mungkin ada di luar definisi cewek buat Jamet, jadi Dani di luar hitungan kedekatan Jamet sama cewek hingga sekarang.

“Hoi? Jennifer diem aje nih?” Ledek gue.
“Eda apa siiiih.” Katanya.

Nah kan pada salah tingkah. Semakin kuat dugaan gue kalo mereka ada apa-apa.

“Aku nggak ada apa-apa lho ya.” Jamet membela diri.
“Kalo gak ada apa-apa boleh dong gue bilang di grup.” Tektok mantap.
“Yaaa.. Jangan lhaa.” Sambungnya lagi.

Gue tersenyum penuh kemenangan.

“Naaaaah.... Jamet yaaa....” Gue berseru.

Setelah beberapa trik bongkar-bongkar rahasia yang Jamet gak akan bisa ngumpet, termasuk ancaman bertanya ke Janiar sendiri, akhirnya dia kalah.

Jamet dan Jennifer mengaku ini telah berjalan sebulan lebih. Semua dimulai saat Jennifer menjemputnya di stasiun saat tiba di Jakarta. Atau Jamet yang meminta dijemput daro versi ceritanyanya Jennifer. Whatever versi mana, gue gak butuh gengsi-gengsian. Intinya mereka kembali bertemu sejak di stasiun.

“Si itu gimana?” Kepala gue bergedik ke kiri.

Maksud gue soal si itu adalah Janiar.

Jamet gak langsung menjawab. Dia melirik dulu ke Jennifer yang lebih banyak diam malam ini sambil main hape. Dari sini gue bisa paham bahwa mereka melakukannya diam-diam. Main gila rupanya mereka.

“Oh, I see. Gak usah dijawab.” Gue mengangguk-ngangguk.

Sudah cukup. Gue sebaiknya jangan membongkar lebih dalam lagi. Ini sudah ranah personal. Nanti kalo Jennifer tiba-tiba marah kan bahaya. Barang-barang di kamar gue mungkin bisa diobrak-abrik sama dia. Apalagi kalo sampe berisik dan kedengeran tetangga. Jadi gue mendingan mengalihkan pembicaraan.

“Bryophyte apa kabar?” Isu pengalihan gue.
“Bubar, Da.” Jawab Jamet.
“Gue gak nanya elu. Kan, makin ketauan ada apa-apanya.”

Gue malah balik ngeledek lagi. Minta banget diledek sih Jamet ini.

“Udah dooong. Malu gue niiiih.” Jennifer buka suara.
“Tumben punya malu.” Balas gue.

Jennifer langsung mengalihkan topik kembali ke band Bryophyte. Dia bilang Bryophyte sekarang sedang vakum. Malah hampir mendekati bubar seperti kata Jamet. Inti permasalahannya, Anwar butuh pekerjaan tetap dan dia mau membawa band itu menuju ranah komersil. Tika sama Jennifer gak setuju dengan proposal Anwar. Ditambah lagi Erna yang makin sibuk kerja di luar sana tanpa jadwal istirahat yang tetap.

“Iya sih Erna sibuk banget, sama kaya Hari sama Dani.” Gumam gue.
“Emang Erna kerjanya bareng Hari sama Dani??” Jennifer mendadak antusias.
“E-eh? Yaa kagak tau gue.”

Waduh, hampir aja ketahuan. Ini rahasia banget kan ya kalo Hari, Dani, sama Erna jadi agen rahasia internasional. Kalo keceplosan, nyawa gue bisa-bisa gawat kaya di film James Bond atau Kingsman. Ngebayanginnya aja udah ngeri, organ tubuh berceceran dimana-mana. Khususnya kalo itu otak gue.

“Met, gue ada masalah nih.” Gue beralih topik.
“Kenapa, Da?” Jamet nanya balik.
“Ini makanya gue ngajak lu ke sini. Gue sama Rivin bubar.”

Jamet belum menanggapi. Jadi, gue terus membeberkan masalah gue sejak dimulai saat pertemuan dengan bernama Samuel. Lalu, berujung pada rapuhnya hubungan gue dengan Rivin akibat salah satu teman Samuel yang bernama Alis mulai sinting. Dia mengejar-ngejar dengan cara yang menyeramkan dan ada kemungkinan sempat menghasut Rivin juga.

“Rumit ya. Aku gak ngerti.” Tanggapan Jamet.
“Yaelah, Met. Gue cerita panjang-panjang juga.” Keluh gue.
“Aku gak paham perempuan. Tanya Jennifer aja.” Balas Jamet lagi.

Benar juga.

Gue salah kalo curhat sama Jamet yang kurang berpengalaman. Sekenal-kenalnya gue sama Jamet, dia dari dulu selalu nyangkut sama Janiar. Berhubungan gelap sama Jennifer pasti bukan idenya dari awal. Jennifer menurut gue cewek yang agresif kepada Jamet dan pastilah dia yang mengendalikan permainan sekarang.

Agresif! Itu dia kata kuncinya. Alis juga agresif. Jennifer pasti bisa membantu masuk ke dalam pola pikir Alis pastinya. Dia juga tampaknya gak cuek dengan masalah gue. Ide bagus membiarkan Jennifer tetap ikut dalam cerita gue barusan.

“Ehmm.. Jenn...” Gue berkode.
“Iya, bentar gue lagi mikir.” Balasnya.

Gue merinding menunggu jawaban Jennifer. Jawaban seperti apa yang dipikirkan dia. Gue harus bersikap seperti apa kalau Jennifer justru menyalahkan gue.

“Oke gini...” Jennifer mulai bicara.

Gue pasang kuping baik-baik.

“Kondisi lu kan beda ya sama Jamet. Dia kan mauan orangnya nih, tapi sok malu-malu.” Jennifer menunjuk Jamet.
“Seriusan ih.” Jamet kesel sendiri.

Gue gak terpengaruh. Gue masih mendengarkan.

“Kak Rivin belum mau diajak ketemu kan? Alis masih ngejar-ngejar juga kan?” Tanya dia.
“Iya dan iya.” Jawab gue.
“Kenapa gak lu minta Alis buat nyariin Kak Rivin aja.” Saran Jennifer.

Solusi itu pernah gue lakukan. Pertama kali malah. Gue udah meminta Alis untuk membantu mencari Rivin, tapi hasilnya nihil karena dia gak betul-betul mau membantu gue. Di kepalanya mungkin hanya ada akal tentang 1001 cara mendapatkan Eda. Gak ada akal sehat lain yang dipikirkan.

“Udah, Jen. Gak ngebantu.” Jawab gue.
“Bukan yang begitu caranya.” Kata Jennifer.

Jennifer kemudian memberikan nasihatnya yang lebih menyerupai taktik. Dia memberi ide untuk memanfaatkan Alis yang masih tergila-gila kepada gue. Alis harus mencari Rivin terlebih dulu sebelum bisa berpacaran sama gue. Kemudian, gue bisa meminta Alis mempertemukan gue sama Rivin supaya kami bisa mendeklarasikan kata putus, yang mana itu belum terjadi secara verbal.

Itu rencana bohong tentunya.

Kuncinya, nanti adalah saat gue bertemu Rivin. Gue harus menggunakan kata-kata yang baik dan bijak. Kalau bisa, harus dengan bujuk rayu. Alis juga harus ada di situ supaya gue bisa mempermalukan dia. Dengan begitu, Rivin kembali kepada gue dan selamat tinggal buat Alis.

“Waw.” Begitu respon gue.
“Jahat banget.” Kata Jamet.
“Jahat buat Alis? Iya. Buat Kak Rivin? Nggak dong.” Bela Jennifer.

Jamet manggut-manggut. Gue manggut-manggut. Gue menemui semua jalan buntu untuk bisa bertemu Rivin. Dengan kepala yang kurang jernih begini, ide Jennifer memang patut dicoba. Tapi gue harus memastikan lagi gak ada celah dalam ide gila ini.

“Kalo Alis tetep gak mau nyariin gimana?” Tanya gue.
“Simpel. Langsung tolak Alis. Blok kontaknya. Kelar.” Kata Jennifer
“Rivin gimana?” Tanya gue lagi.
“Kalo udah gitu baru kita bantu cariin.” Solusi lainnya dari Jennifer.

Geblek. Kenapa gak dari awal aja Jennifer sama Jamet bantu nyariin Rivin. Lagipula Rivin kan gak hilang. Dia cuma gak mau ketemu karena gue dianggap berselingkuh.

Damn! Padahal dulu dia yang selingkuh sama Putra sampai lendir mereka berceceran di mana-mana. Gue gak sampe hati ninggalin Rivin waktu itu karena paham dia cuma korban pelecehan. Sekarang apa bedanya sama gue yang jadi korban fitnahnya Alis. Sependek itukah sumbu kelogisan Rivin untuk memahami situasi saat ini.

“Hey, Da? Jangan ngelamun.” Jamet menjentikkan jari.
“Kenapa gak dari sekarang aja sih bantu gue manggil Rivin?” Gue mengusap kepala.

Jennifer memajukan kepalanya. Lalu dia bilang...

“Eda, ini masalah personal. Orang lain gak bisa ikut campur jauh-jauh.”

Telak dan dalam. Itu mengartikan bahwa gue sendirian di sini. Soal pacar-memacar ini sangat rumit dan jauh dari gambaran. Harusnya pacar-memacar itu untuk memenuhi kebutuhan hati satu sama lain yang tadinya dirasa kosong, dan tentunya sama-sama berpikir logis demi masa depan yang serius. Hubungan itu akhirnya diikat dengan status yang jelas dari masa berpacaran sampai menuju jenjang yang resmi.

Gak pernah terpikir oleh gue akan terjadi aksi tikung-menikung begini. Akhirnya, jadi berujung pada saling tipu-menipu. Rencana dan harapan yang telah ditentukan supaya bisa ditempuh bersama-sama itu musnah. Hilang seperti gak pernah tertulis di lembaran. Lupa seperti gak pernah terucap.

Pusing gue. Pusing.

“Gue mau mandi dulu deh. Kalian santai-santai aja, itu tivi ditonton juga boleh.” Kata gue yang semakin lunglai.

Gue berjalan ke lemari, mengambil pakaian ganti yang harus dipakai nanti. Kemudian gue masuk ke kamar mandi. Bershowerlah gue seperti orang-orang gamang lainnya. Gue larut dalam renungan orang-orang di media sosial yang beristilah merasakan sakit tapi tak berdarah.

Mungkin ini karma. Pasti ini karma. Gue pergi secara tiba-tiba dari Dani demi Rivin. Sekarang Rivin yang berbalik pergi. Kalau benar ini karma, mungkin juga Rivin berpaling dari gue sekarang dengan alasan yang sama. Dia mungkin pergi demi laki-laki lain yang menjanjikan sesuatu. Siapa laki-laki lain? Teman Kantornya? Putra? Bisa jadi...

Banyak alasan Putra lebih baik dari gue. Dia lebih tua dari Rivin. Dia bisa jadi pemimpin yang baik kalau lagi gak brengsek. Mungkin juga dia udah melamar Rivin baik-baik. Mungkin Rivin menerima lamarannya karena gue tertangkap basah sedang mabuk. Lalu Alis hanya digunakan sebagai alasan agar dia bisa pergi tanpa dianggap bersalah.

Fokus! Tapi gue gak bisa fokus! Apa dan siapa yang harus gue percaya? Semuanya bias. Kabur.

Gue keluar dari kamar mandi dengan gontai, menatap Jamet dan Jennifer yang sedang ditonton tivi karena mereka asik berciuman dan saling raba. Gue gak peduli asal mereka belum sampai buka baju di kamar gue.

“Ehm..” Gue batuk formalitas.

Mereka mendadak salah tingkah. Gue tetap cuek berjalan ke ember baju kotor. Kemudian gue menuju balkon untuk menjemur handuk.

“Ada yang ngeganggu lagi nih.” Gue kembali curhat
“Kenapa lagi, Da?” Jamet bersuara.
“Gue kepikiran kalo Rivin punya selingkuhan. Gue curiga sama....”
“Oke kita bantu. Jangan pusing lagi.” Jamet memotong.

---

POV Jennifer

Gue selalu membayangkan bagaimana kami bertengkar ketika masih sembunyi-bunyi, atau saat kami go publik. Gue punya harapan pertengkaran yang kami lalui bisa berujung seks yang membuat Jamet semakin liar. Sayangnya itu gak bisa terjadi cepat-cepat karena kami masih di mobil.

“Udah, ya sayang. Jangan cemberut terus, ntar aku meleleh karena kamu lucu lho.” Jamet merayu.

Siapa yang gak ketawa kalo suara medok tercampur dalam rayuannya begitu. Kesannya, Jamet bersalah banget dan patut diampuni. Padahal ya biasa aja sih. Tapi gue sebagai perempuan tetap harus berkelas. Caranya ya jual mahal dong.

“Kamu duluan sih.” Sergah gue.
“Ya abis gimana, Eda temenku. Kasihan dia galau terus sendirian.” Kata si ngeselin Jamet.

Berantem sambil nyetir sebenernya gak bagus juga. Gue gak fokus memerhatikan jalanan. Apalagi sekarang udah hampir tengah malam. Jalanan memang gak seramai waktu prime time tadi, tapi justru di sini lah bahayanya. Gue bisa menabrak orang tanpa sadar seolah nabrak babi hutan.

“Gimana kita nyelidikinnya?” Tanya gue.
“Kita main ngumpet-ngumpet lagi, kaya waktu bapakku sama Janiar main ke Depok.” Jamet mengangkat keningnya.

Emang bener ngeselin kan ini anak. Pake acara ngungkit-ngungkit waktu Janiar main ke kontrakannya pula. Bikin gue gak bisa ketemuan satu minggu kan itu. Gue ajak ngebut aja kali ya ini mobil biar Jamet tau rasa.

Pedal gas langsung gue injak lebih kuat daripada tadi. Punggung Jamet seketika terhempas ke sandarannya.

“Eeeh... Jangan ngebut! Heeeeh!” Jamet teriak.

Sukurin.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Ngomong-ngomong soal AoS season 5, kan mereka ke masa depan ya. So, kisah ini bisa lebih dieksplorasi lagi tanpa bergantung AoS kaya premis awal.

Lagipula serial mcu yang tayang tahun ini masih ada inhuman, the punisher, sama runaways. Tunggu aja kejutannya ya hehe. Selamat membaca.
 
Episode 34
Nama Sandi: Jomblo


POV Akmal

Hari sudah gelap ketika kami menyisir Pulau Bira yang sepi penghuni, lokasinya ada di sebelah utara Pulau Harapan. Disitulah aku dan tim akhirnya menemukan lokasi Hammer Tech. Ada gubuk-gubuk kayu seukuran rumah yang sepertinya baru dibangun. Mungkin untuk menyimpan senjata, mungkin juga untuk mereka beristirahat.

Beberapa orang berkeliling, keluar-masuk, ada juga yang bersenda gurau sambil menenteng senjata rakitan. Kondisi macam begini sering kudengar dari teman-teman di tentara nasional yang pernah ikut misi kemanusiaan ke Afganistan dan Irak. Aku gak paham betul persamaan di sini dan di Irak, tapi ini tetap menegangkan.

“Bakso ke Jomblo. Masuk.” Alat komunikasiku berbunyi.
“Jomblo aktif. Ganti.” Balas gue.

Jomblo itu asik kan. Aku yang minta sendiri nama sandi Jomblo tadi siang. Itulah sedikit kebebasan yang aku miliki dalam misi berpotensi mengerikan yang satu ini. lagipula kami gak saling kenal dalam misi ini untuk menghindari hal yang lebih berbahaya.

“Semua sudah di posisi.” Lapor si Bakso, pemimpin kami di sini.
“Oke tunggu sedikit lagi.” Sahut gue.

Gue kemudian beralih saluran menuju sambungan kepada Dani. Dia menjadi mata utama bagi kami dengan perangkat milik A.T.C.U. meski tampilan kamera lebah juga diberikan kepada masing-masing daerah. Pimpinan kami tetaplah dari kepolisian, tapi peran A.T.C.U. juga penting. Mereka telah menjadi konsultan supaya strategi penyergapan bisa dilakukan bersama-sama di setiap daerah.

“Gue alihkan ke masing-masing tim ya. Tim Bawean udah mau jalan nih.” Dani memberi laporan terakhir.
“Tim dari Kendawangan sebentar lagi sampai Pulau Bawal. Maaf jadi kacau.” Sambung Hari.

Hari menceritakan kalau dia dan beberapa orang dari tim harus menyisir di tempat terjadi perkelahian tadi siang. Hasilnya, dua orang begal dan sopir travelnya berhasil ditemukan beberapa kilometer mendekati Kendawangan. Itu katanya penting untuk memastikan bahwa info kedatangan A.T.C.U. gak bocor ke daerah lainnya.

Keberuntungan lainnya yang disampaikan Hari adalah identitas pelaku yang menyerangnya. Mereka rupanya hanyalah kelompok begal jalanan dengan membeli senjata ke penyedia di daerah Pulau Bawal. Penyedia itu gak salah lagi adalah Hammer Tech.

Cerita Hari tadi cukup untuk menghabiskan waktunya di sisa perjalanan. Kini kami semua sudah bersiap di posisi masing-masing. Aku dan tim di Kepulauan seribu. Pur dan tim polisinya di garis pantai pulau Ajermasin, sebelah timur Pulau Belitung. Laras dan tim polisinya di sudut pulau di Karimunjawa. Dani, Erna, dan tim polisinya di wilayah hutan jati pulau Bawean. Terakhir, Hari dan tim polisinya sudah di kebun kelapa di Pulau Bawal.

“Semua bisa jalan.” Nicole mengucapkan kalimat sakti.
“Oke. Semua bisa jalan.” Pimpinan kepolisian di pusat mengikuti kalimat Nicole.

Kini timku dipimpin si Bakso. Dia mengatakan kami bisa masuk melalui pantai berlumpur di sebelah selatan. Kami harus menyergap orang-orang mereka satu demi satu, dimulai dari orang yang berjaga di garis paling luar.

Aku sebagai sersan di lapangan membagi tim menjadi dua. Satu masuk lewat selatan sesuai jalur yang berlumpur, satu lagi lewat belakang dari deretan pohon cemara laut. Hanya tiga orang ditunjuk agar menyusup tanpa bersuara lewat deretan pohon itu

“Jomblo, kamu ikut.” Perintah Bakso.
“Siap 86.” Jawabku.

Aku dan dua orang rekan melangkah di antara pepohonan, menginjak pasir-pasir basah yang membuat kaki jadi lebih berat. Laser-laser dari laras panjang masih kami matikan untuk dapat menyelinap lebih jauh.

Ada dua orang dari kelompok Hammer Tech yang berjaga di barisan paling luar. Sepertinya mereka mengantuk. Ini kesempatan yang baik untuk membuka jalur dan melakukan penetrasi lebih dalam. Tapi sebelumnya mereka berdua harus dilumpuhkan dahulu.

Aku memberi sinyal tangan berupa kepalan tangan dengan jari jempol yang diapit telunjuk, tengah, dan manis. Itu artinya huruf M, agar dia segera mengeluarkan madu dari tasnya. Madu yang dimaksud bukanlah madu dari lebah. Bukan madu yang mengandung fruktosa, yang katanya ampuh mengatasi segala penyakit. Madu hanyalah istilah yang kami gunakan untuk menyarukan nama obat pembius aromatik.

Aku kembali memberi sinyal tangan untuk menanyakan kesiapan. Rekanku memberi jawaban bahwa dia siap. Dua sapu tangan yang basah dengan madu sudah dalam genggaman dua rekan. Sementara itu, aku berjaga untuk mengawasi sekitar.

Serangan mendadak dilancarkan. Dua orang lawan kami ambruk seketika setelah menghirup madu dengan terpaksa.

“Pintu belakang aman.” Aku bicara kepada earphone.

Aku memeriksa senjata rakitan yang tergeletak ditinggal pingsan sang pemilik. Di dalamnya ada selusin peluru polos tanpa label, apalagi cetakan tulisan Hammer Tech. Masih sulit mencari barang bukti keberadaan Hammer Tech di Kepulauan Seribu. Kami harus menusuk lebih jauh lagi.

Seorang rekan menepuk bahuku. Dia menunjuk seorang musuh yang sedang pipis di bawah pohon. Kami bertiga pun berjalan merunduk agar tak terlihat. Madu disiapkan lagi, lalu lawan pun ambruk.

Sampai sejauh ini situasi masih aman terkendali.

DEP! Sebuah lesatan peluru terdengar meski menggunakan peredam. Itu bukan berasal dari lokasi kami bertiga dan bukan kami pula korbannya. Aku pun berasumsi bahwa suara itu berasal dari kelompok sebelah.

“Jomblo masuk.” Kataku ke earphone.

Kosong. Hanya suara frekeuensi radio yang krasak-krusuk.

“Jomblo masuk.” Aku mengulang.

Masih tak terjawab. Kami bertiga saling menoleh, saling bertanya apa yang terjadi barusan.

“Jomblo masuk.”
“Bakso di sini. Ganti.” Akhirnya ada jawaban.
“Tadi suara apa? Ganti.” Tanyaku.
“Tindakan tanggap.” Balasnya.

Ini semakin bahaya. Tindakan tanggap sudah dilakukan. Lesatan senapan tadi mungkin masih cukup terdengar sampai sini akibat terlalu heningnya situasi malam hari. Ada kemungkinan lawan kami juga mendengar suara yang sama. Oleh karena itu kami harus semakin sigap dan fokus untuk menyelesaikan misi tanpa keributan.

Tanpa pikir lebih panjang lagi, kami bertiga masuk wilayah mereka semakin dalam. Beberapa orang lainnya sudah terlihat sedang bersenda gurau di sekeliling perapian. Senjata mereka tergeletak gak begitu jauh. Tapi tetap saja akan berakibat fatal kalau keputusan diambil secara gegabah.

Rekanku menepuk bahu. Dia menunjuk ke arah yang jauh melewati lingkaran perapian. Disitulah tim lainnya terlihat samar-samar. Mereka bersembunyi di balik pepohonan, sama seperti kami.

“Bakso masuk.” Suara dari radio.
“Jomblo di sini. Ganti.” Jawabku.

Kami di sini bisa menatap samar-samar Bakso dan timnya di seberang sana. Itu pertanda bagus dan bukanlah sebuah tipuan.

“Total ada tiga gubuk. Kalian masuk ke gubuk di sebelah kanan kalian. Ganti.” si Bakso memberi instruksi.
“Apa selanjutnya? Ganti.” Tanyaku.
“Tetap lumpuhkan tanpa suara.” Perintahnya.

Aku dan tiga rekan lainnya berjalan mengendap dari pohon satu ke pohon lainnya. Lalu kami sampai di sisi gelap tembok gubuk, tak terlihat dari arah perapian.

Seseorang keluar dari gubuk bertelanjang dada. Waktunya pas sekali. Rekanku mampu melumpuhkan dia diam-diam dengan madu. Kesempatan itu kami gunakan untuk masuk ke gubuk, dijaga seorang rekan yang tetap tinggal di luar

“Apa ini?” Gumamku.

Ada dua ruangan di dalam gubuk, terbagi menjadi ruang depan dan ruang belakang. Tapi yang kukagetkan adalah ruangan ini kosong. Gak ada apa-apa kecuali lantai, tembok, jendela, dan satu senjata rakitan yang sama saja.

Aku melangkah masuk ke ruang belakang. Rupanya ada perempuan tertidur lelap di sana. Tanpa busana.

“Cakep.” Kata rekanku yang ikut masuk.
“Fokus. Itu cewek bayaran.” Kataku setelah memeriksa tas si perempuan.

Ada alat kosmetik di dalam tas perempuan itu. Ada juga alat-alat kontrasepsi dan sebuah gadget tanpa terkunci layar. Dari situ aku bisa mengetahui komunikasi dan transaksi-transaksi yang dia lakukan. Transaksi imbal jasa selangkangan tentunya. Gak ada transaksi atau obrolan lain yang mencurigakan selain itu.

“Maho.” Ledeknya.

Aku mendengus untuk tertawa, lalu kuajak rekanku yang mulai terangsang itu untuk segera keluar. Gubuk yang satu ini tanpa hasil. Sementara itu, kami melihat perapian sudah ditinggal pergi orang-orang yang bersenda gurau tadi.

Setelah kami cek, ternyata wilayah depan telah disisir oleh kelompok si Bakso.

Selang beberapa lama kemudian, tim Bakso sudah selesai menggeledah semua gubuk yang terletak di sana secara keseluruhan. Coba tebak, di gubuk itu hanya ada perempuan-perempuan bayaran yang sedang disewa untuk menemani malam para kelompok bersenjata ini. Bukti keberadaan Hammer Tech berupa senjata alien, amunisi, atau logo sekali pun gak terdeteksi.

Bakso memerintahkan kami mengumpulkan semua orang yang kami tangkap ke sebelah perapian. Pertanyaan pun satu per satu diajukan dengan intimidasi beberapa petugas lainnya. Peran yang bagus, bermain good cop bad cop. Para perempuan penyedia jasa selangkangan itu juga turut kami interogasi secara terpisah.

Tiga puluh menit berjalan.

Mereka selalu memberi keterangan berbelit. Gak ada satupun juga kalimat dari jawaban pasukan bersenjata itu yang bisa mengarah pada keberadaan Hammer Tech. Kejanggalan telah terjadi sepertinya.

“Kamu yakin mereka Hammer Tech?” si Bakso berbisik padaku.
“Harusnya begitu.”

Aku jauh dari kata puas. Penyelidikan bersama Dani selama tiga bulan gak mungkin salah begitu saja. Pasti ada yang gak beres dalam hal ini. Itu bisa dibuktikan karena sudah ada tanda-tanda perdagangan senjata dari Hammer Tech di Pulau Bawal, tempat Hari diserang dan menyerang balik sejak tadi siang.

“Gapapa, mereka tetap teroris. Ini tetap tangkapan bagus kalo kamu mau naik pangkat.” Bakso sang pimpinan memuji.
“Saya belum puas.” Responku.

Si Bakso kemudian bilang bahwa kami tetap berhasil menangkap kelompok kriminal bersenjata, meski bukan Hammer Tech. Lebih beruntung lagi bahwa gak ada korban jiwa dari pihak kami selama penyergapan berjalan tadi.

Aku melangkah menjauh dari kerumunan. Udara dingin dan kesunyian biasanya mampu membuatku berpikir jernih. Harus ada jalan keluar cepat dari kejanggalan ini, karena nyatanya kemarin malam masih ada tanda-tanda Hammer Tech di Pulau Harapan dan sekitarnya. Mereka memang seringkali berputar-putar di sekeliling zona inti Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk menjauhi petugas, tapi gak sampai menghilang seperti sekarang.

“Halo halo.” Suara Pur terdengar di radio.
“Kenapa Pur?” Aku menjawab.
“No offense ya. Kan gue einherjar, gampang banget nih ngelawan manusia...”

Pur sering sekali mengoceh gak jelas. Mungkin dia punya gejala charming syndrome, suka melucu, dan sebagainya. Sayangnya dia mengoceh di waktu yang kurang tepat sampai aku terganggu dengan obrolannya yang terbiasa tanpa makna. Harus kumatikan sejenak radio supaya bisa berpikir dalam tenang.

“Langsung intinya Pur.” Aku memotong.
“Ini terlalu gampang, apalagi buat polisi. Gak ada tanda Hammer Tech di sini.” Jawab Pur.

Jempolku berhenti sesaat sebelum mematikan radio. Aku tersentak dengan pernyaaan Pur. Kasus serupa ternyata dialaminya juga di Belitung sana.

“Pur, tolong jelasin lebih detail.” Aku masuk dalam obrolan.
“Ini Akmal?” Tanya Pur.
“Iya. Tolong jelasin detailnya.” Pintaku.

Pur mulai menjelaskan kronologi penyerangan yang dilakukan olehnya dan tim kepolisian. Mereka menyisir Pulau Ayer di sebelah timur Belitung. Situasi saat itu sunyi senyap saat mereka masuk ke tegalan.

Mereka juga menemukan gubuk yang dicurigai menjadi tempat tinggal teroris. Tapi jumlah orang-orang di sana tidak sama banyaknya saat Dani melaporkan kepadaku. Terdapat banyak sekali pengurangan personil, dan tentunya barang bukti Hammer Tech. Logo di dekat gubuk yang telah berhasil difoto melalui kamera lebah pun juga sudah hilang.

“Kamu nangkap berapa orang Pur?” Tanyaku.
“Gak banyak, 12 orang.” Jawab Pur.
“Apa kata mereka?”
“Mereka gak mau bicara.” Jawab Pur lagi.

Gak lama setelah itu, Laras ikut melapor dari Kepulauan Karimunjawa. Kasusnya juga serupa denganku dan Pur. Bukti-bukti mengenai keberadaan Hammer Tech lenyap tak berbekas. Orang-orang yang tertangkap di sana juga gak mau bicara banyak.

“Ini janggal.” Aku memberi laporan universal.
“Banget.” Sahut Pur.

Ada sambungan dari Nicole.

“Saya juga yakin ini janggal. Sekarang saya di sini sedang diskusi dengan pimpinan kamu untuk cari jalan keluarnya.” Nicole memberi pengarahan dari pusat.

Tersisa kelompok Dani dan Hari yang belum memberi kabar. Kalau mereka juga mendapatkan fakta serupa, bisa dipastikan kami gagal mendapatkan Hammer Tech. Pencarian betul-betul harus kembali dilakukan dari ulang. Mungkin butuh berbulan-bulan lagi untuk mengintai mereka.

Kenapa harus begini. Aku dan Dani sudah merencanakan ini matang-matang. Celah macam apa yang kami tinggalkan sampai-sampai bisa kecolongan.

“Hari masuk. Pulau Bawal aman.” Hari masuk ke radio.
“Aman kaya apa?” Tanyaku.
“Aman. Kosong. Gak ada tanda Hammer Tech kecuali dari begal yang tadi siang.” Jelasnya.

Kondisi semakin janggal. Aku gak bisa menyembunyikan kekhawatiran akan kehilangan jejak Hammer Tech. Padahal tanda-tanda Hammer Tech sudah ditemukan oleh Hari tadi siang di pantai barat Kalimantan itu. Tapi nyatanya di Pulau Bawal tidak ada apa-apa.

“Kosong. Gak ada kelompok bersenjata kaya di tempat kalian.” Hari mengulang.
“Coba kamu interogasi orang yang ditangkap itu.” Aku menyuruh Hari.

Paling juga nanti orang polisi yang menginterogasi begal itu. Aku hanya mengingatkan agar Hari jangan lupa mengawasi. Siapa sangka nanti kami bisa menemukan petunjuk yang bisa mencerahkan. Karena semuanya menjadi gelap sekarang, mulai dari perihal informasi, barang bukti, hingga saksi.

“Kalian coba dengar.” Nicole masuk lagi.
“Kenapa?” Aku menyahut.
“Dani? Erna? Mana mereka?” Nicole bertanya.
“Masih penyergapan mungkin.” Jawab Pur.

Nicole menghela nafas sebentar. Sepertinya ada infomasi penting dan buruk yang hendak disampaikan Nicole.

“Apa kalian udah ngecek kamera lebah atau satelit sejak 24 jam terakhir?” Niole bertanya lagi.
“Belum. Cuma Dani dan anda yang berhak kan.” Jawabku.

Nicole kemudian menyampaikan hal yang menjadi penerang. Menurutnya, satelit mendapatkan gambar ada tiga kapal cepat yang sudah mendekati Pulau Bawean. Itu hasil foto sekitar beberapa jam lalu. Jika ditelusuri arahnya, mereka berasal dari wiayah barat. Mungkin berasal dari Kepulauan Seribu atau Belitung.

Tim polisi kami di pusat turut membantu Nicole menyusun hipotesis dengan foto-foto satelit itu. Perlahan mereka menyusun skenario yang telah terjadi beberapa jam belakangan.

Dua belas jam lalu, satu kapal cepat berangkat dari Belitung dan Karimunjawa. Sebelas jam lalu, satu kapal cepat berangkat dari Pulau Bawal dan Kepulauan Seribu. Empat jam kemudian, kapal dari Karimunjawa sudah merapat di Bawean. Foto terakhir mendapatkan bahwa tiga kapal lainnya akan sampai di Bawean beberapa menit lagi.

Belum ada bukti bahwa kapal itu kapal wisata, kapal angkut umum, atau kapal milik Hammer Tech. Gak ada bukti Hammer Tech berada di kapal itu. Tapi lokasi keberangkatan dan tujuannya sangat memberi dugaan bahwa itu Hammer Tech.

“Dani. Masuk.” Panggil Laras di radio.
“Dani?” Pur memanggil juga.
“Halo? Dani!? Erna!!? JAWAB!” Hari meninggi.

Orang-orang dari A.T.C.U. ini mulai panik dan ribut sendiri di radio.

“Tohar! Masuk, Tohar! Waru! Siapa aja yang dengar dari Bawean, Masuk!??” Pimpinan di pusat juga ikut ribut.

Semua ribut di radio. Sayangnya belum ada jawaban apa-apa dari Dani, Erna, Parwo, atau siapapun yang dipanggil barusan.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Thx updatenya hu

Dani dan Erna terkepung Hammertech di Bawean keknya...
Apa yang akan dilakukan Hari dan kawan-kawan?
 
Bimabet
Selalu penasaran deh berapa jumlah SR yang berkeliaran hehehe.
Persentase bisa mungkin skitar 90-95 persen Hu dr total views di sebuah thread. Krena sjalan dengan teory bystander dan influencer. Dalam sbuah komunitas sosial, ada 1-5 persen influencer sdh bs mngubah atau mengarahkan komunitas sosial trsebut sjalan dgn keinginan dr si influencer.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd