Episode 31
Radio dan Majalah
POV Dani
Let’s kick it!
Gue bersemangat hari ini karena mau jalan-jalan ke pulau Bawean. So, kemarin gue browsing macam-macam website untuk melihat berbagai lokasi wisata yang bisa gue kunjungi di sana. Wisata alam ke Danau Kastoba, Diving di Pulau Noko, Sunset di Tanjung Ga’ang, Main ke penangkaran Rusa Bawean, sampai makan bakso di pelabuhan, semuanya bisa banget gue singgahi satu demi satu.
Bahkan gue sampai tau kalo pulau Bawean itu gak sekecil yang gue bayangin setelah melihat google maps. Cobalah bayangin wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat digabung, ditambah juga wilayah Kepulauan Seribu, dibentuk ulang jadi bulet, terus ditaruh di tengah-tengah Laut Jawa. Sebesar itulah luas pulau Bawean.
Bahasa lokal orang Bawean pun cukup serupa Madura, tapi sebagian besar penduduknya justru dari dulu suka merantau ke Malaysia. So, gue bisa bayangin kebudayaan di sana cukup bercampur aduk.
Kapan lagi bisa keluar dari penthouse kaya begini.
“Dani? Sadar sadar.” Tangan Laras melambai di depan mata gue.
Mata gue berkedip.
“Udah sampe nih.” Suara Laras.
“Oh? Oke.” Jawab gue singkat.
“Ngelamun mulu. Lagian ngapain ikut coba. Nugas dari pusat kan bisa.” Hari meledek.
“Kalo ke Bawean bisa sambil jalan-jalan dong.” Gue membela diri.
Kaki gue melangkah turun dari bis sambil membawa deretan koper. Sekelompok porter langsung mengerubungi ketika tahu barang bawaan kami banyak sekali. Kami semua berencana terbang pagi buta ini menuju lokasi masing-masing dari landasan pacu Soekarno-Hatta, kecuali Akmal yang harus ke Angke untuk bisa ke Pulau Harapan di Kepulauan Seribu. Akmal membawa rekan-rekan anggotanya sendiri dari wilayah operasi DKI Jakarta.
Gue, Hari, Erna, Laras, dan Pur harus terlebih dulu melalui penerbangan komersial menuju lokai masing-masing. Hari sampai melaknat-laknati Nicole karena sampai hati menepati kata-katanya waktu itu. Untungnya dia juga menepati janji untuk membuatkan kami surat pengantar pembawaan senjata dengan lisensi A.T.C.U.
Dan gue dapet penerbangan kelas bisnis. Not bad.
“Enak lu pada langsung terbang. Gue harus nunggu sampe jam 6 nih.” Pur ngomel-ngomel.
“Pake portal noh biar cepet.” Ledek gue.
“Heh!” Pur melirik ke kiri dan kanan.
Gue tertawa tipis.
Kami kemudian berpisah mulai dari sini karena berbeda boarding room. Pur harus terbang ke Pangkal Pinang agar bisa ke Belitung, Laras ke Semarang agar bisa ke Karimunjawa, serta Hari ke Ketapang agar bisa ke Pulau Bawal. Terakhir, Erna dan Gue dipasangkan berdua menuju Surabaya agar bisa ke Pulau Bawean.
Kami bukan cewek super, jadi nanti kami dibantu kepolisian kabupaten Gresik atas koneksi atasannya Akmal.
Gue dan Erna berdua berjalan melalui gate X-ray yang akhirnya menyebabkan dipanggil ke pinggir oleh banyak petugas keamanan. Keluar pulalah surat sakti bikinan Nicole yang ditandatangani beberapa orang penting negara dan A.T.C.U. Kemudian, kami berdua menuju bagasi, menuju boarding room, akhirnya menuju kabin pesawat. Semua terjadi dalam tempo waktu 30 menit. Bersiaplah kami untuk perjalanan melelahkan tanpa henti sampai lewat tengah hari nanti.
Kami duduk di kabin pesawat deretan agak tengah. Erna kebagian di samping jendela dan gue tepat di sebelahnya. Gue lebih untung duduk di pinggir lorong karena jadi bisa selonjoran kaki. Gak perlu juga mengawasi jendela sesuai prosedur keselamatan penerbangan.
Pesawat pelan-pelan berjalan ke landasan pacu. Mesin berderu kencang. Naiklah kami dari daratan menuju udara lepas.
“Berapa menit ke Surabaya tadi?” Tanya Erna
“Di tiket sih 45 menitan.” Jawab gue.
“Penerbangannya gak aman.” Erna nyeletuk ngaco.
Gue melirik menyelidik.
“Terlalu banyak sinyal yang ngeganggu.” Tanggapnya.
“Sinyal hape?” Selidik gue.
Erna menggeleng.
“Sinyal radio-radio liar.” Jawabnya pelan.
Gara-gara Erna ngomong begitu, gue jadi parno. Tapi penerbangan tetaplah penerbangan. Mau seberbahaya apapun, penumpang pesawat gak bisa berimprovisasi berteriak atau memecahkan jendela. Konon, dari situlah muncul julukan bahwa penumpang tranportasi penerbangan adalah penumpang yang paling ikhlas, karena keselamatan kami sepenuhnya dititipkan kepada pilot dan kru.
“Ngaco aja lu. Transportasi penerbangan paling aman kali, Na.” Gue merespon.
Bibir gue berkata begitu untuk menenangkan Erna, tapi kata-kata yang terlontar sejujurnya untuk menenangkan diri gue sendiri. Meski udah beberapa kali naik pesawat, semua kenyamanan yang gue dapatkan dari pengalaman langsung rusak gara-gara Erna asal ngomong.
---
POV Hari
Handphone dilarang menyala di pesawat. Gue patuhi aturan itu, jadi sekarang gue bosan. Kelas bisnis apanya, penerbangan ke Ketapang gak ada kelas bisnisnya sama sekali. Semua jadwal hanya ada kelas ekonomi dan gue harus transit juga di Pontianak.
Harusnya gue bawa beberapa buku buat buang-buang waktu. Buku-bukunya Erna kan banyak terpajang gak terbaca. Apalagi gue ntar harus berkelana jauh berjam-jam dengan angkutan darat. Bisa jadi gue baru sampai di Pulau Bawal pas udah gelap lagi.
Untungnya gue dapat tempat duduk di deretan kanan, pas di samping jendela. Gue bisa melihat lautan lepas yang bentuknya mirip hamparan agar-agar yang permukaannya gak rata. Awan-awan kebetulan sedang bagus, terwarnai jingga karena matahari baru terbit.
“Permisi mas, di depan situ ada majalah gak?” Suara perempuan menegur gue.
“Oh iya, mbak.” Gue merespon.
Tanpa melirik ke sumber suara, mata gue beralih ke kantong bangku pesawat yang biasanya terisi majalah. Itu seperti sebuah prosedur standar yang biasanya dilakukan maskapai untuk menghindarkan pelanggannya mati bosan di dalam kabin pesawat mereka. Sayangnya, majalah yang dicari nihil. Hanya ada satu selebaran petunjuk umum keadaan darurat dalam pesawat.
“Wah, kosong mbak.” Kata gue.
“Gak ada ya?” Kata dia.
“Iya nih. Mungkin diambil orang yang kurang kerjaan.” Gue berbasa-basi.
Kemudian, dia mengucapkan terima kasih. Kemudian, dia diam lagi. Kemudian, gue melihat ke luar jendela lagi.
Gue gak punya tendensi untuk berkenalan dengan orang baru dalam pesawat ini. Gue gak peduli apakah orang di sebelah gue itu om-om gendut, MILF, atau anak kecil. Biarkan mereka dengan urusan mereka sendiri, dan gue dengan urusan gue sendiri.
Lagipula ini cuma perjalanan domestik. Gak butuh waktu berjam-jam lamanya dari take off sampai landing di bandara tujuan. Jadi, bersosialisasi dengan orang baru adalah bumbu paling terakhir yang mau gue nikmati dari perjalanan bermisi ini.
“Sendirian ya mas?” Suara dia lagi.
“Iya mbak.” Gue tersenyum tipis.
“Jalan-jalan?” Tanyanya.
Oke, rasanya gue mau terperangkap dalam obrolan panjang. Gue harus secepatnya mencari jalan keluar dari obrolan basa-basi yang tak akan berujung ini. Apalagi gue bisa melihat bahwa kursi penumpang di sisi satu dari cewek ini teronggok kosong. Mungkin penumpangnya sedang ke ke toilet, atau dia tertinggal dari jadwal penerbangan.
Rencana yang paling umum dilakukan orang-orang kalau lari dari keramaian adalah kabur, dan tujuan kabur yang paling nyaman untuk menyendiri adalah ke toilet. Pasti berhasil untuk sesaat meski nanti ada kemungkinan obrolan berlanjut saat kembali dari toilet.
“Kerja.” Mulut gue auto-wicara.
Ayo, gue harus cari solusi cepat.
“Ooh. Di mana?” Tanya dia.
Rencana kedua. Apa rencana kedua? Pura-pura tidur?
“Saya ikut proyek dosen konsultan AMDAL sih. Masalah vegetasi.” Gue ngasal.
“Oh ya? Di mana?” Tanya dia lagi.
“Saya Ke Ketapang ntar mau survey lahan klien.” Gue makin ngasal.
“Sawit?” Dia terus bertanya.
Gue mengangguk. Saat itu lah langsung muncul sekilas akal sehat gue. Mungkin gue terlalu parno dengan bersosialisasi di pesawat. Apa salahnya bersosialisasi sebentar. Nanti setelah mendarat pasti kami juga berpisah menuju tujuan masing-masing. Tinggal tolak aja jika dia minta nomor hape gue nanti. Masalah bisa kelar.
“Iya, sawit.” Gue mengonfirmasi, ngasal.
Hening. Benar kan, ini cuma keparnoan gue doang. Sedikit basa-basi gak berakibat buruk.
“Saya konsultan K3. Tau K3 kan?” Cewek ini mengoceh lagi.
“Ya, sedikit.” Jawab gue.
Sekarang gue menyesali jawaban barusan. Kata-kata itu jadi landasan untuk dia bercerita panjang lebar tentang definisi pekerjaan K3. Bagaimana pekerjaan tersebut bisa memberinya sesuap nasi di usianya yang masih pertengahan 20an. Bagaimana dia bisa pertama kali naik pesawat, terbang ke Pontianak sepagi ini untuk melakukan presentasi di depan beberapa pegawai pabrik sawit tentang makanan higienis.
Gue sesekali memberi respon dengan membulatkan bibir, seolah gue tertarik dengan ceritanya. Cerita-ceritanya tentang bagaimana berkuliah di jurusan keamanan dan keselamatan kerja membuat dia bertemu banyak orang baru. Ceritanya menyebabkan gue sampai tau kapan dan di mana dia pernah praktikum memegang gergaji mesin, menilai kesehatan kantin, hingga menangani tumpahan 2 liter ammonia yang baunya persis seperti endapan air kencing.
Itu bukan pengandaian yang keren ya. Air kencing banget? Tapi memang baunya air kencing ya begitu.
Satu jam. Paling lama hanya satu jam gue terjebak dengan wanita karir pemanjat pohon trembesi satu ini, sampai nanti mendarat di Pontianak. Cukup bertahan sedikit, lalu selamat tinggal ya mbak.
“Eh, anal apa itu, anal-lisis vegetasi ya? Itu ngapain sih?” Waktunya dia bertanya tentang hidup gue.
“Yaaaa.. masuk hutan, identifikasi tumbuhan, gitu-gitu deh.”
Gue jawab sekenanya.
“Gitu-gitunya gimana?”
“Panjang sih jelasinnya.” Gue mengangkat bahu.
Ini makin gak bagus ketika dia mencoba mengorek kehidupan gue. Bisa-bisa keceplosan kalau gue ini inhuman.
“Waktu kita masih banyak kan.” Dia melihat jam tangan.
Gue juga bisa melihat sedikit jam tangan di tangannya itu. Jarum pendeknya tertuju di angka 6 dan jarum panjangnya di angka 1. Masih sekitaran satu jam lagi sampai transit di Pontianak. Kayanya pura-pura tidur jadi ide yang bagus.
“Eh, sorry ya mas kalo saya malah jadi ganggu. Biasanya saya baca buku atau majalah, tapi lupa bawa, dan majalah di sini somehow gak ada.” Tuturnya sopan.
Begitu dia minta maaf, rasanya seperti gue adalah orang jahat. Mungkin tendensi gue untuk menghindari obrolan terlihat jelas. Mungkin juga akal-akalan dia doang supaya gue tampak salah. Hebat memang perempuan,
“Saya panggil stewardnya aja kali ya, minta majalah.” Katanya lagi
Cewek ini menoleh-noleh mencari pramugari. Tapi lorong kabin tampak kosong.
“Tumben kosong ya, biasanya ada yang muter-muter nawarin minuman.” Katanya
“Kan ada tombol itu mbak.” Gue menunjuk satu tombol.
telunjuk gue mengarah pada tombol yang bisa memanggil pramugari. Tapi, kayanya gak baik memanggil pramugari hanya untuk minta majalah. Itu gak lebih penting daripada setengah jam tadi saat seorang kakek yang duduk tiga baris di depan kami meminta obat. Atau juga satu anak kecil yang tiba-tiba mimisan gak jauh dari sang kakek.
Gue juga gak mau jadi kaya orang jahat di sini.
“Nggg... tapi mendingan gak usah mbak.” Kata gue.
Gue menunjuk kepada kakek yang sekarang sudah tertidur pulas. Gue bilang bahwa sekedar meminta majalah adalah hal yang sepele, meski itu hak penumpang. Siapa tau saat dia memanggil pramugari, siapa tau ada hal lebih darurat yang dibutuhkan penumpang lainnya. Solusinya, gue bisa menemani perempuan ini ngobrol.
“Ngomong-ngomong, K3 masih nyambung lho sama bidang saya.” Gue memicu obrolan lagi.
“Oh ya?” Dia antusias, bagus.
Gue mulai bercerita bahwa ketika kami masuk hutan, naik gunung, atau menyelam ke dalam laut, prinsip keselamatan harus tetap ada. Lebih rumit lagi ketika ada tumbuhan yang ditanam dalam program penghijauan di pusat-pusat kota. Ada aspek keselamatan pengguna jalan dan pengunjung taman disitu. Itulah irisan bidang gue dan bidang pekerjaan dia.
Dia, yang sama sekali gue belum tau namanya karena bukan hal penting, masih antusias menjadi pendengar. Lambat laun terjadi timbal balik respon yang positif dalam obrolan. Mulai dari obrolan yang serius tentang bidang pekerjaan kami sampai candaan-candaan intermezzo, semuanya mengalir begitu aja.
“Oh iya, kita belum kenalan, saya Irin.” Si mbak menjulurkan tangan.
Ini satu langkah kejauhan.
Tangan itu masih terjulur, menunggu tanggapan. Wajahnya menatap wajah gue dengan senyumnya yang hangat. Terlalu hangat untuk bisa gue tolak. Terlalu manis dagu lancipnya sehingga mampu menghinoptis gue.
“Hari.” Gue menyambut tangannya.
“Hari? Kaya mata-hari gitu?” Dia melucu.
“Ya, begitu.” Tawa gue renyah.
Udah sering orang meledek nama gue begitu sejak kecil, dari dulu bikin gue kesal sampai lama-lama bosan. Matahari. Hari raya idul fitri. Hari gajian yang selalu ditunggu-tunggu PNS. Pernah juga bertambah satu ledekan baru ketika Eda bernyanyi lagu anak-anak. Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu itu nama-nama hari~.
Obrolan terus muncul dan berlalu. Kebanyakan isi obrolan kami lebih berbobot ketimbang saling meledek. Tapi gak terlalu jauh sampai berbicara soal kehidupan pribadi dan keluarga. Porsinya masih pas untuk sekedar dua orang asing yang baru bertemu dan penasaran dengan kisah hidup masing-masing.
Pengumuman dari pilot akhirnya terdengar. Kami akan mendarat sebentar lagi di Pontianak. Sudah waktunya kami bersiap diri dan mengenakan sabuk pengaman. Obrolan berhenti dengan sendirinya. Gue kembali melihat ke jendela, melihat bagaimana pelan-pelan perumahan yang tadinya seukuran semut menjadi semakin besar. Kemudian pemandangan itu berubah menjadi rerumputan dan sedikit pepohonan, lalu murni rerumputan dan aspal beton di landasan pacu.
Pesawat menghentak ke daratan. Kami ikut terhentak ke depan akibat pesawat memperlambat lajunya. Secepat kilat, kecepatan pesawat menyerupai kecepatan mobil. Dari jendela, terlihat gedung bandara yang membiru karena kaca-kacanya memantulkan warna langit. Gue udah sampai di Pontianak.
Gue turun dari pesawat. Irin menghilang di tengah kerumunan orang yang berbondong-bondong keluar dari pesawat. Perpisahan yang biasa. Pun, gue harus segera menuju ke ruang boarding untuk menunggu penerbangan lanjutan ke Ketapang.
"Selamat tinggal~." Gue bergumam dengan riang gembira.
Gue berjalan pelan di lorong bandara. Tangan gue menekan tombol power hape untuk menemukan kabar dari tim di lokasi lain. Sesekali gue menoleh ke sudut-sudut lorong untuk memastikan Irin benar-benar sudah pergi.
Kepala gue beralih lagi ke hape yang mulai ribut bergetar. Ada info dari Dani tentang dirinya dan Erna yang udah sampe di Surabaya. Mereka sudah dijemput agar kemudian menuju Gresik, kemudian berkumpul dengan anggota kepolisian di sana. Akmal masih di speedboat bersama-sama dengan anggotanya. Pur dan Laras belum ada kabar. Gue curiga mereka berdua bingung caranya pake handphone.
“Hari!” Suara Irin memanggil-manggil.
Gue menoleh ke belakang.
“Tunggu sebentar dong. Belanda masih jauh.” Ledek Irin.
Irin membuka tas tangannya untuk kemudian mengeluarkan hape yang belum dinyalakan. Ini sepertinya makin jauh. Terlalu jauh buat gue yang hanya bisa sekedar berkenalan dengan Irin, karena gue tau dia pasti mau minta nomor gue.
“Tunggu sebentar.” Katanya lagi.
Seperti rencana awal. Kalau dia minta nomor hape, tolak.
“Boleh bagi nomor hape?” Irin menyodorkan hapenya.
Tolak, Har. Tolak.
“Buat jaga-jaga sih hehehe. Urusan kerjaan mungkin.” Irin menaikan bahunya.
Gak ada negosiasi. Menolak hal begini adalah harga mutlak, Har.
“Kosong delapan....” Mulut gue auto-wicara lagi.
“Kalo instagram ada?” Biji mata Irin melebar, kesenangan.
“Ada, tapi jarang update.” Gue menjawab.
Kemudian gue menyebutkan akun gue. Irin langsung mencarinya sampai ketemu. Gak perlu pikir panjang untuknya agar segera memfollow gue. Selesai. Gue berantakan.
“Makasih ya Hari. Sampai ketemu lagi.” Pamitnya.
Irin pergi. Gue melambaikan tangan sambil menyaksikannya menghilang di antara orang-orang yang searah menuju tempat pengambilan bagasi. Mata gue beralih kepada pemberitahuan baru di hape. Seseorang bernama Rindu telah mengikuti akun instagram gue. Begitu pula pertemanan baru di Line dengan nama yang sama.
Rindu
******.
BERSAMBUNG