Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 31
Radio dan Majalah


POV Dani

Let’s kick it!

Gue bersemangat hari ini karena mau jalan-jalan ke pulau Bawean. So, kemarin gue browsing macam-macam website untuk melihat berbagai lokasi wisata yang bisa gue kunjungi di sana. Wisata alam ke Danau Kastoba, Diving di Pulau Noko, Sunset di Tanjung Ga’ang, Main ke penangkaran Rusa Bawean, sampai makan bakso di pelabuhan, semuanya bisa banget gue singgahi satu demi satu.

Bahkan gue sampai tau kalo pulau Bawean itu gak sekecil yang gue bayangin setelah melihat google maps. Cobalah bayangin wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat digabung, ditambah juga wilayah Kepulauan Seribu, dibentuk ulang jadi bulet, terus ditaruh di tengah-tengah Laut Jawa. Sebesar itulah luas pulau Bawean.

Bahasa lokal orang Bawean pun cukup serupa Madura, tapi sebagian besar penduduknya justru dari dulu suka merantau ke Malaysia. So, gue bisa bayangin kebudayaan di sana cukup bercampur aduk.

Kapan lagi bisa keluar dari penthouse kaya begini.

“Dani? Sadar sadar.” Tangan Laras melambai di depan mata gue.

Mata gue berkedip.

“Udah sampe nih.” Suara Laras.
“Oh? Oke.” Jawab gue singkat.
“Ngelamun mulu. Lagian ngapain ikut coba. Nugas dari pusat kan bisa.” Hari meledek.
“Kalo ke Bawean bisa sambil jalan-jalan dong.” Gue membela diri.

Kaki gue melangkah turun dari bis sambil membawa deretan koper. Sekelompok porter langsung mengerubungi ketika tahu barang bawaan kami banyak sekali. Kami semua berencana terbang pagi buta ini menuju lokasi masing-masing dari landasan pacu Soekarno-Hatta, kecuali Akmal yang harus ke Angke untuk bisa ke Pulau Harapan di Kepulauan Seribu. Akmal membawa rekan-rekan anggotanya sendiri dari wilayah operasi DKI Jakarta.

Gue, Hari, Erna, Laras, dan Pur harus terlebih dulu melalui penerbangan komersial menuju lokai masing-masing. Hari sampai melaknat-laknati Nicole karena sampai hati menepati kata-katanya waktu itu. Untungnya dia juga menepati janji untuk membuatkan kami surat pengantar pembawaan senjata dengan lisensi A.T.C.U.

Dan gue dapet penerbangan kelas bisnis. Not bad.

“Enak lu pada langsung terbang. Gue harus nunggu sampe jam 6 nih.” Pur ngomel-ngomel.
“Pake portal noh biar cepet.” Ledek gue.
“Heh!” Pur melirik ke kiri dan kanan.

Gue tertawa tipis.

Kami kemudian berpisah mulai dari sini karena berbeda boarding room. Pur harus terbang ke Pangkal Pinang agar bisa ke Belitung, Laras ke Semarang agar bisa ke Karimunjawa, serta Hari ke Ketapang agar bisa ke Pulau Bawal. Terakhir, Erna dan Gue dipasangkan berdua menuju Surabaya agar bisa ke Pulau Bawean.

Kami bukan cewek super, jadi nanti kami dibantu kepolisian kabupaten Gresik atas koneksi atasannya Akmal.

Gue dan Erna berdua berjalan melalui gate X-ray yang akhirnya menyebabkan dipanggil ke pinggir oleh banyak petugas keamanan. Keluar pulalah surat sakti bikinan Nicole yang ditandatangani beberapa orang penting negara dan A.T.C.U. Kemudian, kami berdua menuju bagasi, menuju boarding room, akhirnya menuju kabin pesawat. Semua terjadi dalam tempo waktu 30 menit. Bersiaplah kami untuk perjalanan melelahkan tanpa henti sampai lewat tengah hari nanti.

Kami duduk di kabin pesawat deretan agak tengah. Erna kebagian di samping jendela dan gue tepat di sebelahnya. Gue lebih untung duduk di pinggir lorong karena jadi bisa selonjoran kaki. Gak perlu juga mengawasi jendela sesuai prosedur keselamatan penerbangan.

Pesawat pelan-pelan berjalan ke landasan pacu. Mesin berderu kencang. Naiklah kami dari daratan menuju udara lepas.

“Berapa menit ke Surabaya tadi?” Tanya Erna
“Di tiket sih 45 menitan.” Jawab gue.
“Penerbangannya gak aman.” Erna nyeletuk ngaco.

Gue melirik menyelidik.

“Terlalu banyak sinyal yang ngeganggu.” Tanggapnya.
“Sinyal hape?” Selidik gue.

Erna menggeleng.

“Sinyal radio-radio liar.” Jawabnya pelan.

Gara-gara Erna ngomong begitu, gue jadi parno. Tapi penerbangan tetaplah penerbangan. Mau seberbahaya apapun, penumpang pesawat gak bisa berimprovisasi berteriak atau memecahkan jendela. Konon, dari situlah muncul julukan bahwa penumpang tranportasi penerbangan adalah penumpang yang paling ikhlas, karena keselamatan kami sepenuhnya dititipkan kepada pilot dan kru.

“Ngaco aja lu. Transportasi penerbangan paling aman kali, Na.” Gue merespon.

Bibir gue berkata begitu untuk menenangkan Erna, tapi kata-kata yang terlontar sejujurnya untuk menenangkan diri gue sendiri. Meski udah beberapa kali naik pesawat, semua kenyamanan yang gue dapatkan dari pengalaman langsung rusak gara-gara Erna asal ngomong.

---

POV Hari

Handphone dilarang menyala di pesawat. Gue patuhi aturan itu, jadi sekarang gue bosan. Kelas bisnis apanya, penerbangan ke Ketapang gak ada kelas bisnisnya sama sekali. Semua jadwal hanya ada kelas ekonomi dan gue harus transit juga di Pontianak.

Harusnya gue bawa beberapa buku buat buang-buang waktu. Buku-bukunya Erna kan banyak terpajang gak terbaca. Apalagi gue ntar harus berkelana jauh berjam-jam dengan angkutan darat. Bisa jadi gue baru sampai di Pulau Bawal pas udah gelap lagi.

Untungnya gue dapat tempat duduk di deretan kanan, pas di samping jendela. Gue bisa melihat lautan lepas yang bentuknya mirip hamparan agar-agar yang permukaannya gak rata. Awan-awan kebetulan sedang bagus, terwarnai jingga karena matahari baru terbit.

“Permisi mas, di depan situ ada majalah gak?” Suara perempuan menegur gue.
“Oh iya, mbak.” Gue merespon.

Tanpa melirik ke sumber suara, mata gue beralih ke kantong bangku pesawat yang biasanya terisi majalah. Itu seperti sebuah prosedur standar yang biasanya dilakukan maskapai untuk menghindarkan pelanggannya mati bosan di dalam kabin pesawat mereka. Sayangnya, majalah yang dicari nihil. Hanya ada satu selebaran petunjuk umum keadaan darurat dalam pesawat.

“Wah, kosong mbak.” Kata gue.
“Gak ada ya?” Kata dia.
“Iya nih. Mungkin diambil orang yang kurang kerjaan.” Gue berbasa-basi.

Kemudian, dia mengucapkan terima kasih. Kemudian, dia diam lagi. Kemudian, gue melihat ke luar jendela lagi.

Gue gak punya tendensi untuk berkenalan dengan orang baru dalam pesawat ini. Gue gak peduli apakah orang di sebelah gue itu om-om gendut, MILF, atau anak kecil. Biarkan mereka dengan urusan mereka sendiri, dan gue dengan urusan gue sendiri.

Lagipula ini cuma perjalanan domestik. Gak butuh waktu berjam-jam lamanya dari take off sampai landing di bandara tujuan. Jadi, bersosialisasi dengan orang baru adalah bumbu paling terakhir yang mau gue nikmati dari perjalanan bermisi ini.

“Sendirian ya mas?” Suara dia lagi.
“Iya mbak.” Gue tersenyum tipis.
“Jalan-jalan?” Tanyanya.

Oke, rasanya gue mau terperangkap dalam obrolan panjang. Gue harus secepatnya mencari jalan keluar dari obrolan basa-basi yang tak akan berujung ini. Apalagi gue bisa melihat bahwa kursi penumpang di sisi satu dari cewek ini teronggok kosong. Mungkin penumpangnya sedang ke ke toilet, atau dia tertinggal dari jadwal penerbangan.

Rencana yang paling umum dilakukan orang-orang kalau lari dari keramaian adalah kabur, dan tujuan kabur yang paling nyaman untuk menyendiri adalah ke toilet. Pasti berhasil untuk sesaat meski nanti ada kemungkinan obrolan berlanjut saat kembali dari toilet.

“Kerja.” Mulut gue auto-wicara.

Ayo, gue harus cari solusi cepat.

“Ooh. Di mana?” Tanya dia.

Rencana kedua. Apa rencana kedua? Pura-pura tidur?

“Saya ikut proyek dosen konsultan AMDAL sih. Masalah vegetasi.” Gue ngasal.
“Oh ya? Di mana?” Tanya dia lagi.
“Saya Ke Ketapang ntar mau survey lahan klien.” Gue makin ngasal.
“Sawit?” Dia terus bertanya.

Gue mengangguk. Saat itu lah langsung muncul sekilas akal sehat gue. Mungkin gue terlalu parno dengan bersosialisasi di pesawat. Apa salahnya bersosialisasi sebentar. Nanti setelah mendarat pasti kami juga berpisah menuju tujuan masing-masing. Tinggal tolak aja jika dia minta nomor hape gue nanti. Masalah bisa kelar.

“Iya, sawit.” Gue mengonfirmasi, ngasal.

Hening. Benar kan, ini cuma keparnoan gue doang. Sedikit basa-basi gak berakibat buruk.

“Saya konsultan K3. Tau K3 kan?” Cewek ini mengoceh lagi.
“Ya, sedikit.” Jawab gue.

Sekarang gue menyesali jawaban barusan. Kata-kata itu jadi landasan untuk dia bercerita panjang lebar tentang definisi pekerjaan K3. Bagaimana pekerjaan tersebut bisa memberinya sesuap nasi di usianya yang masih pertengahan 20an. Bagaimana dia bisa pertama kali naik pesawat, terbang ke Pontianak sepagi ini untuk melakukan presentasi di depan beberapa pegawai pabrik sawit tentang makanan higienis.

Gue sesekali memberi respon dengan membulatkan bibir, seolah gue tertarik dengan ceritanya. Cerita-ceritanya tentang bagaimana berkuliah di jurusan keamanan dan keselamatan kerja membuat dia bertemu banyak orang baru. Ceritanya menyebabkan gue sampai tau kapan dan di mana dia pernah praktikum memegang gergaji mesin, menilai kesehatan kantin, hingga menangani tumpahan 2 liter ammonia yang baunya persis seperti endapan air kencing.

Itu bukan pengandaian yang keren ya. Air kencing banget? Tapi memang baunya air kencing ya begitu.

Satu jam. Paling lama hanya satu jam gue terjebak dengan wanita karir pemanjat pohon trembesi satu ini, sampai nanti mendarat di Pontianak. Cukup bertahan sedikit, lalu selamat tinggal ya mbak.

“Eh, anal apa itu, anal-lisis vegetasi ya? Itu ngapain sih?” Waktunya dia bertanya tentang hidup gue.
“Yaaaa.. masuk hutan, identifikasi tumbuhan, gitu-gitu deh.”

Gue jawab sekenanya.

“Gitu-gitunya gimana?”
“Panjang sih jelasinnya.” Gue mengangkat bahu.

Ini makin gak bagus ketika dia mencoba mengorek kehidupan gue. Bisa-bisa keceplosan kalau gue ini inhuman.

“Waktu kita masih banyak kan.” Dia melihat jam tangan.

Gue juga bisa melihat sedikit jam tangan di tangannya itu. Jarum pendeknya tertuju di angka 6 dan jarum panjangnya di angka 1. Masih sekitaran satu jam lagi sampai transit di Pontianak. Kayanya pura-pura tidur jadi ide yang bagus.

“Eh, sorry ya mas kalo saya malah jadi ganggu. Biasanya saya baca buku atau majalah, tapi lupa bawa, dan majalah di sini somehow gak ada.” Tuturnya sopan.

Begitu dia minta maaf, rasanya seperti gue adalah orang jahat. Mungkin tendensi gue untuk menghindari obrolan terlihat jelas. Mungkin juga akal-akalan dia doang supaya gue tampak salah. Hebat memang perempuan,

“Saya panggil stewardnya aja kali ya, minta majalah.” Katanya lagi

Cewek ini menoleh-noleh mencari pramugari. Tapi lorong kabin tampak kosong.

“Tumben kosong ya, biasanya ada yang muter-muter nawarin minuman.” Katanya
“Kan ada tombol itu mbak.” Gue menunjuk satu tombol.

telunjuk gue mengarah pada tombol yang bisa memanggil pramugari. Tapi, kayanya gak baik memanggil pramugari hanya untuk minta majalah. Itu gak lebih penting daripada setengah jam tadi saat seorang kakek yang duduk tiga baris di depan kami meminta obat. Atau juga satu anak kecil yang tiba-tiba mimisan gak jauh dari sang kakek.

Gue juga gak mau jadi kaya orang jahat di sini.

“Nggg... tapi mendingan gak usah mbak.” Kata gue.

Gue menunjuk kepada kakek yang sekarang sudah tertidur pulas. Gue bilang bahwa sekedar meminta majalah adalah hal yang sepele, meski itu hak penumpang. Siapa tau saat dia memanggil pramugari, siapa tau ada hal lebih darurat yang dibutuhkan penumpang lainnya. Solusinya, gue bisa menemani perempuan ini ngobrol.

“Ngomong-ngomong, K3 masih nyambung lho sama bidang saya.” Gue memicu obrolan lagi.
“Oh ya?” Dia antusias, bagus.

Gue mulai bercerita bahwa ketika kami masuk hutan, naik gunung, atau menyelam ke dalam laut, prinsip keselamatan harus tetap ada. Lebih rumit lagi ketika ada tumbuhan yang ditanam dalam program penghijauan di pusat-pusat kota. Ada aspek keselamatan pengguna jalan dan pengunjung taman disitu. Itulah irisan bidang gue dan bidang pekerjaan dia.

Dia, yang sama sekali gue belum tau namanya karena bukan hal penting, masih antusias menjadi pendengar. Lambat laun terjadi timbal balik respon yang positif dalam obrolan. Mulai dari obrolan yang serius tentang bidang pekerjaan kami sampai candaan-candaan intermezzo, semuanya mengalir begitu aja.

“Oh iya, kita belum kenalan, saya Irin.” Si mbak menjulurkan tangan.

Ini satu langkah kejauhan.

Tangan itu masih terjulur, menunggu tanggapan. Wajahnya menatap wajah gue dengan senyumnya yang hangat. Terlalu hangat untuk bisa gue tolak. Terlalu manis dagu lancipnya sehingga mampu menghinoptis gue.

“Hari.” Gue menyambut tangannya.
“Hari? Kaya mata-hari gitu?” Dia melucu.
“Ya, begitu.” Tawa gue renyah.

Udah sering orang meledek nama gue begitu sejak kecil, dari dulu bikin gue kesal sampai lama-lama bosan. Matahari. Hari raya idul fitri. Hari gajian yang selalu ditunggu-tunggu PNS. Pernah juga bertambah satu ledekan baru ketika Eda bernyanyi lagu anak-anak. Senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, minggu itu nama-nama hari~.

Obrolan terus muncul dan berlalu. Kebanyakan isi obrolan kami lebih berbobot ketimbang saling meledek. Tapi gak terlalu jauh sampai berbicara soal kehidupan pribadi dan keluarga. Porsinya masih pas untuk sekedar dua orang asing yang baru bertemu dan penasaran dengan kisah hidup masing-masing.

Pengumuman dari pilot akhirnya terdengar. Kami akan mendarat sebentar lagi di Pontianak. Sudah waktunya kami bersiap diri dan mengenakan sabuk pengaman. Obrolan berhenti dengan sendirinya. Gue kembali melihat ke jendela, melihat bagaimana pelan-pelan perumahan yang tadinya seukuran semut menjadi semakin besar. Kemudian pemandangan itu berubah menjadi rerumputan dan sedikit pepohonan, lalu murni rerumputan dan aspal beton di landasan pacu.

Pesawat menghentak ke daratan. Kami ikut terhentak ke depan akibat pesawat memperlambat lajunya. Secepat kilat, kecepatan pesawat menyerupai kecepatan mobil. Dari jendela, terlihat gedung bandara yang membiru karena kaca-kacanya memantulkan warna langit. Gue udah sampai di Pontianak.

Gue turun dari pesawat. Irin menghilang di tengah kerumunan orang yang berbondong-bondong keluar dari pesawat. Perpisahan yang biasa. Pun, gue harus segera menuju ke ruang boarding untuk menunggu penerbangan lanjutan ke Ketapang.

"Selamat tinggal~." Gue bergumam dengan riang gembira.

Gue berjalan pelan di lorong bandara. Tangan gue menekan tombol power hape untuk menemukan kabar dari tim di lokasi lain. Sesekali gue menoleh ke sudut-sudut lorong untuk memastikan Irin benar-benar sudah pergi.

Kepala gue beralih lagi ke hape yang mulai ribut bergetar. Ada info dari Dani tentang dirinya dan Erna yang udah sampe di Surabaya. Mereka sudah dijemput agar kemudian menuju Gresik, kemudian berkumpul dengan anggota kepolisian di sana. Akmal masih di speedboat bersama-sama dengan anggotanya. Pur dan Laras belum ada kabar. Gue curiga mereka berdua bingung caranya pake handphone.

“Hari!” Suara Irin memanggil-manggil.

Gue menoleh ke belakang.

“Tunggu sebentar dong. Belanda masih jauh.” Ledek Irin.

Irin membuka tas tangannya untuk kemudian mengeluarkan hape yang belum dinyalakan. Ini sepertinya makin jauh. Terlalu jauh buat gue yang hanya bisa sekedar berkenalan dengan Irin, karena gue tau dia pasti mau minta nomor gue.

“Tunggu sebentar.” Katanya lagi.

Seperti rencana awal. Kalau dia minta nomor hape, tolak.

“Boleh bagi nomor hape?” Irin menyodorkan hapenya.

Tolak, Har. Tolak.

“Buat jaga-jaga sih hehehe. Urusan kerjaan mungkin.” Irin menaikan bahunya.

Gak ada negosiasi. Menolak hal begini adalah harga mutlak, Har.

“Kosong delapan....” Mulut gue auto-wicara lagi.
“Kalo instagram ada?” Biji mata Irin melebar, kesenangan.
“Ada, tapi jarang update.” Gue menjawab.

Kemudian gue menyebutkan akun gue. Irin langsung mencarinya sampai ketemu. Gak perlu pikir panjang untuknya agar segera memfollow gue. Selesai. Gue berantakan.

“Makasih ya Hari. Sampai ketemu lagi.” Pamitnya.

Irin pergi. Gue melambaikan tangan sambil menyaksikannya menghilang di antara orang-orang yang searah menuju tempat pengambilan bagasi. Mata gue beralih kepada pemberitahuan baru di hape. Seseorang bernama Rindu telah mengikuti akun instagram gue. Begitu pula pertemanan baru di Line dengan nama yang sama.


Rindu

******.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Keknya Irin bakal membantu dalam misi Hari di pulau bawal, who knows? Setidaknya membantu menemani tidur...:Peace: ;)
Thanks updatenya hu
 
Wew siapa itu Harmoko? Familiar di cerita sini atau RL om?

Jadi ngeri nih kalo ada di RL wkwkwk.
 
Episode 32
Bedil


POV Hari.

“Travel kampret! Pake acara pecah ban segala.” Batin gue.

Gue mengisi waktu yang terbuang-buang ini untuk menggeser-geser layar hape, membaca chat dari tim yang terbang ke masing-masing wilayah operasi. Dani dan Erna bilang mereka udah sampai Bawean, dan sekarang sedang berkoordinasi di kantor kepolisian setempat. Akmal dan timnya sudah sampai dari tadi tadi siang. Pur juga udah berkumpul dengan tim polisi. Begitu juga Laras.

Nicole memang pantas dikutuk jadi mie goreng. Seenggaknya dia lebih berguna untuk dimakan kalo jadi mie goreng. Bisa-bisanya dia lupa meminta tim polisi setempat untuk menjemput gue dari Ketapang tadi. Setelah berkoordinasi sedikit, rupanya mobil dinas polisi di sana jumlahnya minim dan sedang rusak. Alhasil, gue terpaksa menyewa satu travel ukuran minibus untuk diri gue sendiri dan dua tas koper besar.

“Untung gue punya duit.” Gue menggerutu.

Dani mengoperasikan alatnya dari Bawean sana. Kami pun masing-masing diinstruksikan olehnya untuk mulai mengenakan earphone supaya mudah berkomunikasi. Gelombang radio yang digunakan untuk berkomunikasi diacak setiap sejam sekali untuk menghindari penyadapan. Gue akui itu langkah awal yang cermat. Terlebih, di sini sulit sinyal seluler.

“Earphone lancar. Ganti.” Suara Akmal terdengar,
“Tes tes.” Suara Laras terdengar.
“Halo?” Suara Pur terdengar.
“Oke. Diterima.” Suara Dani terdengar.

Suara Erna dan Nicole yang belum ada.

“Erna masuk. Kuping gue gatel.” Suara Erna terdengar.
“Ganti kerudung makanya. Jorok.” Ledek gue.
“Halo?” Suara Pur lagi.

Nicole masih belum muncul.

“Nicole had in.” Suara Nicole terdengar.
“HALOO??” Suara Pur makin keras.
“Berisik PUR!” Laras nyolot.
“Bentar bentar, my bad.” Dani memotong.

Rupanya itu kesalahannya Dani yang lupa mengacak saluran di radionya Pur. Akibatnya, Pur gak tersambung dengan kami. Nicole otomatis langsung menegur Dani untuk tetap fokus setiap detiknya. Kegiatan ini bukan liburan, katanya. Kegiatan ini menyangkut keamanan dunia.

“Fokus Dani. Semua sudah di posisi?” Nicole bertanya.
“Udah.” Jawab Pur.
“Udah.” Jawab Dani.
“Sudah.” Jawab Akmal.
“Udah.” Jawab Laras.
“Belum.” Jawab gue.

Jeng! Kaget nih pasti semua orang.

Mau gimana lagi. Ini kan ulahnya Nicole sampai gue terjebak di suatu sudut pulau Kalimantan sebelah mana. Mobil juga gak bergerak dan terpaksa berhenti di pinggir jalan. Sisi kiri dan kanan gue hanya berhias semak belukar dan sedikit pohon-pohon tinggi. Beberapa di antaranya gue bisa kenali, tapi yang jadi perhatian gue adalah sawit muda liar yang tumbuh gak berpola.

Rumah-rumah sangat jarang di sini. Mungkin yang terdekat jaraknya 200 meter dari lokasi mobil berhenti. Gue pun gak bisa melihat garis horizon antara langit dan air laut. Padahal harusnya jalur yang kami lewati tetap berada di pinggiran pulau mendekati garis pantai.

“Pak, gak mau minta tolong ke rumah sekitar aja?” Gue bertanya ke pak sopir.
“Saya udah hubungin temen saya, tunggu sebentar lagi ya.” Kata pak sopir diplomatis.

Tunggu sebentar apanya. Gue dari tadi bisa melihat bagaimana si bapak sopir berbicara dengan hapenya dengan cemas. Secemas gue yang takut gak sampai ke Kendawangan tepat waktu. Itu titik daratan Kalimantan terakhir tempat gue seharusnya berkumpul dengan kawan-kawan polisi sebelum ke Pulau Bawal.

Kecurigaan gue perlahan bangkit. Gue pun berjalan menjauh dari mobil, lalu berkomunikasi dengan Dani untuk melacak posisi gue dari lokasi tujuan.

“Dani.” Panggil gue.
“Ya?” Dani menanggapi.
“Tolong cek lokasi gue dong.”
“Oke, tunggu.” Dani berhemat kata.

Gue masih di pinggir jalan menunggu informasi. Sesekali gue juga menoleh ke belakang untuk mengawasi si bapak yang sedang sibuk dengan ban mobilnya. Di sana, dia berkali-kali mengeluarkan dan memasukkan hapenya kembali ke saku. Beberapa kali dia sambil mengetik-ngetik sesuatu dengan hapenya, dan kali lainnya dia bersambung telepon dengan yang diakuinya sebagai rekan.

“Har?” Dani memanggil.
“Gimana?” Tanya balik gue.
“Lu jauh dari mana-mana lho.” Kata Dani.

Ini udah di luar jalur menuju Kendawangan. katanya. Seketika, komunikasi dari Dani tadi memancing keributan di antara yang lain. Pur, Laras, Akmal, dan Nicole bolak-balik menanyakan hal-hal lain yang mungkin bisa merubah kondisi. Beberapa orang sepakat ini ulah anggota Hammer Tech. Beberapa yang lain bilang ini modus begal biasa.

Nicole sebagai pimpinan kami mengambil kendali. Gue disuruhnya mengambil banyak foto lokasi, sopir, dan apapun yang bisa menyelamatkan gue saat ini. Kemudian, dia meminta foto tersebut dikirim ke dirinya dan Dani. Nicole bilang ini bisa jadi perampokan atau pembegalan biasa. Gue diharuskan waspada kalau ada orang asing lain yang tiba-tiba muncul.

“Done.” Kata gue setelah mengirim foto.
“Belum muncul.” Kata Nicole.
“Tunggu sedikit. Sinyal susah.” Balas gue.

Satu per satu foto akhirnya dilaporkan sudah masuk. Dani juga mengonfirmasi masuknya foto ke perangkatnya. Saatnya mereka menganalisis.

Tapi tiba-tiba semak-semak berdesik. Ada goyangan-goyangan ranting dan daun yang gak serupa dengan faktor hembusan angin. Gue mendadak waspada dan teringat mobil travel terparkir itu. Gue berlari ke sana untuk mengecek barang-barang gue.

“Shit lah!” Gue memegang kepala.

Bapak sopirnya hilang, tapi mobilnya tetap di tempat. Mobil juga terkunci dan barang-barang gue masih di dalam. Gue langsung mengomunikasikan hal ini melalui earphone kepada semua orang. Keributan muncul lagi.

“Hari, tenang, oke.” Kata Nicole.
“Saya sih tenang. Yang lain berisik tuh.” Gue jadi kesel.
“Har, cari pertolongan ke rumah terdekat.” Dani berusul.

Itu murni bukan ide yang bagus. Ini lokasi asing. Kalo gue ke rumah orang, bisa jadi pelaku udah berkomplot dengan pemilik rumah. Skenario lainnya, bisa jadi penghuni rumah yang gue datangi malah ikutan jadi korban.

Gue masih sanggup mempertahankan diri sendiri. Gue inhuman dan bisa berantem. Kalo ini manusia biasa, pasti gue bisa menang dalam adu fisik. Parang, golok, panah, peluru, atau serangan fisik apapun gak akan mempan kecuali mereka pakai senjata dewa kaya pasukannya Ratu Helga kemarin.

“Gue bisa sendiri.” Kata gue.
“Hari, itu gak aman!” Sanggah Dani.
“Justru lebih aman daripada gue minta tolong.” Bantah gue.

Untungnya ini lokasi yang minim penduduk. Lebih untung lagi karena sedikit kendaraan yang dari tadi lewat jalan ini. Meski harus panas-panasan, gue bisa berkelahi dengan aman.

Suara gemerisik semak makin terdengar dari beberapa titik. Gue semakin waspada, karena jika udah begitu pasti yang ada di sana bukan hewan. Tanpa perlu basa-basi, gue meneriaki mereka yang bersembunyi di semak-semak itu.

“Keluar kalo berani!” Tantang gue.

Gemersik semak tiba-tiba berhenti. Situasi begini bukanlah hal yang aman, melainkan titik kritis. Serangan mendadak bisa terjadi sewaktu-waktu. Gue memasang kuda-kuda khas dengan tangan teracung ke dua arah. Kuda-kuda ini standar bagi gue agar bisa menyerap energi dari serangan dadakan jarak dekat atau pun jarak jauh.

“Hari!” Dani berteriak di earphone.

Peringatan dari Dani gak gue gubris. Ini bukan waktu yang bagus untuk multitasking. Ini harus dilakukan dengan satu cara, lawan aja musuh yang ada di depan.

Dan rencana gue menantang mereka berhasil. Satu per satu manusia keluar dari balik semak-semak. Pakaian mereka biasa aja, hanya kaos oblong, celana jeans, dan beberapa di antaranya menggunakan kupluk. Gak ada rompi dan alat pelindung lainnya yang mereka pakai.

Mereka berbeda dengan kelompok Hammer Tech yang gue lawan di Mangga Dua dulu. Mereka yang di Mangga Dua menggunakan perlengkapan lengkap. Mungkin benar orang-orang ini hanya begal biasa.

“Mereka cuma begal.” Gue bicara ke earphone.
“Berapa orang?” Tanya Dani.
“Empat.” Balas gue.

Mereka melangkah satu persatu, menenteng senjata tajam dan bedil. Hari gini gue kagum juga masih ada yang menyimpan bedil. Di samping itu, ada sedikit kelegaan bahwa bukan senjata alien yang mereka bawa.

Orang berperawakan buncit yang memegang bedil itu harus gue kalahkan pertama kali. Bisa repot kalau dia menembak membabi buta selagi gue malawan orang lain. Kemudian, yang bawa parang, yang bawa pisau, dan yang bawa linggis. Begitu rencananya.

Lambat laun, empat orang itu berkumpul mengurung gue. Satu mobil melintas dengan kecepatan tinggi, mengabaikan gue yang sedang disudutkan di belakang mobil travel. Perkelahian gak terelakan.

DOR! DOR!

Dua tembakan dari jarak dekat dilesatkan si pemegang bedil. Tapi sebelum menancap di dada gue, peluru itu terjatuh di aspal karena kehilangan energi kinetiknya. Kekuatan gue masih efektif, sehingga gue semakin percaya diri menghadapi mereka.

Jika latihan pagi dan sore bersama Pur diabaikan, inilah perkelahian pertama gue setelah kena tembak di Vanaheim. Pergerakan gue terasa belum luwes. Ayunan tangan masih berat untuk menghalau orang-orang ini yang menyerang sekaligus. Sulit sekali untuk menyentuh lengan masing-masing orang.

Wussh.. tebasan parang hampir mengenai kepala gue. Anginnya sampai terdengar karena dekat sekali dengan telinga kanan. Gue terpaksa harus mundur dulu untuk menarik nafas.

“Bunuh aja, biar gak ada bukti.” Kata salah seorang berkulit paling legam.

Oke, gue mengerti. Ini perkelahian sampai mati buat gue. Tapi gue gak boleh sampai gelap mata membunuh mereka semua. Gue cuma harus membela diri.

Gue memilih menghindar dan menjauh dulu dari mobil. Ini bagus untuk memberi jarak antara gue dan lawan. Kemudian, ketika menyerang lagi, gue akan mampu menangkis lengan-lengan penyerang yang menggunakan senjata tajam.

Rencana dilakukan. Berhasil. Sekarang, di perkelahian tahap dua ini cukup banyak sentuhan tangan terjadi. Ini menguntungkan gue karena menjadi kesempatan menyerap energi mereka satu per satu.

Dua tangan dan pikiran gue terlampau sibuk meladeni tiga orang. Sementara itu, si pemegang senapan gak ikut maju menyerang seperti tadi. Gue sempat melihat dia menunggu kesempatan untuk menembak gue dari jarak yang lumayan jauh. Jari si penembak sudah berada di pelatuk.

Di sisi lain, perkelahian jarak dekat sangat cepat menghabiskan tenaga gue. Tenaga mereka terlalu kuat dan terlalu banyak untuk gue serap.

Gue memilih ide jorok. Gue menarik satu lengan seorang lawan yang memegang linggis, kemudian mendorongnya sampai menabrak rekannya yang lain, si pemegang parang. Keduanya bertabrakan dan jatuh ke aspal. Satu orang sisanya gue gunakan sebagai tameng untuk menghampiri si penembak.

DOR! DOR! Dua tembakan menghujam tameng manusia yang gue pakai. Ini di luar rencana!

Tameng manusia gue ambruk. Untungnya, jarak gue dan penembak sudah dekat. Gue mampu berhadapan dengan dia satu lawan satu. Untungnya lagi, dia lebih melindungi senapannya dibanding dirinya sendiri. Ini hal baik karena gue akhirnya mampu menyerap tenaga dia lebih cepat.

CROT! CROT! Tiba-tiba punggung orang yang tertembak tadi pecah. Darahnya muncrat ke mana-mana. Di saat yang sama, si penembak melemah tenaganya karena gue serap. Senjatanya terjatuh ke aspal.

“Cabut! Cabut!” Kata salah seorang dari mereka.

Dua orang yang tersisa, si pemegang parang dan linggis lari kembali ke semak-semak. Gue berusaha mengejar mereka ke semak-semak juga. Tapi baru beberapa puluh meter, gue kehilangan mereka karena rumitnya semak ini serumit labirin. Apalagi sekarang beberapa warga udah berkumpul melihat kejadian yang gue alami tadi.

Gue kembali ke TKP, meminta beberapa orang untuk mengikat satu pelaku yang pingsan. Kemudian, warga lainnya berinisatif menutup pelaku yang tewas menggunakan kertas-kertas koran. Gue juga meminta kunci T, palu, atau apapun untuk membuka pintu mobil karena sopirnya masih hilang. Beruntung sekali warga di sini koperatif.

“Hari!” Suara Dani terdengar lagi.
“Dua orang kabur, satu pingsan, satu tewas.” Gue melapor.
“Hari!? Lu gapapa kan!?” Dani ngotot.
“Gue keringetan. Doang.”

Gue duduk di samping mobil yang bayangannya mampu menutupi gue dari terik matahari. Sembari minum, gue kembali berkomunikasi untuk memberikan gambaran detail apa yang terjadi. Termasuk dua letupan susulan dari punggung orang yang tertembak.

“Saya udah telepon polisi lokal di sana.” Sahut Nicole.
“Har? Tadi meletupnya kaya gimana?” Laras memotong.
“Meletup kaya petasan.” Jawab gue.
“Coba cek senapannya. Buruan.” Timpal Pur.

Gue mengambil bedil tadi. Bentuknya biasa aja, sama seperti senjata rakitan milik petani-petani di kampung. Kemudian gue membuka lubang tempat pengisian peluru. Bentuknya juga sama, hanya cukup untuk dua peluru untuk kemudian diisi ulang kembali. Isinya juga sudah kosong karena tadi sudah ditembakkan.

“Cek selongsongnya.” Kata Pur lagi.

Gue menyisir aspal sekitar situ untuk mencari dua benda berwarna keemasan berbentuk silinder itu. Kabar bagusnya, benda itu masih ketemu tanpa tersentuh seorang warga pun.

“Mas, orang yang tadi pingsan udah bangun.” Seorang warga menghampiri gue.

Gue juga melaporkan kabar ini melalui earphone sembari mengambil empat selongsong yang tercecer. Kemudian, gue melangkah ke seorang pelaku pemilik bedil. Pak kepala desa yang juga sudah datang terlebih dahulu menasehati gue agar gak menggunakan kekerasan. Gue mengangguk setuju.

Sayangnya, tanya jawab dengan pelaku itu alot. Apalagi sekarang kondisi semakin ramai oleh warga yang mau melihat dan merekam. Polisi belum datang, membuat gue menggerutu tentang sejauh apa kantor polisi di daerah ini. Gue pun hanya mendapat informasi bahwa mereka berempat cuma sekelompok begal dari luar daerah. Itu diamini oleh semua warga yang mengaku gak kenal dengan mereka.

“Har? Gimana selongsongnya?” Pur memotong di earphone.

Gue melihat empat selongsong yang tergenggam di tangan kiri. Jari-jari gue memutar selongsong agar terlihat dari berbagai sisi. Dua selongsong sepertinya polos dan dua sisanya memiliki semacam watermark yang tercetak permanen. Gue menajamkan mata, lalu disitulah terbaca dengan jelas watermark yang tertera.

Hammer Tech.

Mata gue melotot, beralih kembali kepada pelaku yang diikat. Tangan gue mengepal meninju tulang rawan di hidungnya. Darah langsung mengucur deras menetes membasahi kaosnya. Tanpa memaki, gue menjauh dari si pelaku dan orang-orang lainnya.

“Halo? Hari?”

Nicole, Dani, dan Erna memanggil gue satu per satu.

“Ada petunjuk?” Laras dan Pur menyusul bertanya.
“Hammer Tech. Target kita ada di sini.” Lapor gue.
“SERIUS!?” Akmal baru angkat bicara.

Semua orang terdiam. Di earphone hanya ada suara semut.

“Tadi ada yang kabur kan!!?” Akmal bertanya mendesak.
“Dua orang. Tiga kalo ternyata si sopir ikutan.” Jawab gue.
“Ini darurat. Kita harus operasi segera!” Akmal bernada tinggi.

Suara ribut terdengar dari earphone. Itu pasti dari masing-masing lokasi, Belitung, Pulau Harapan, Karimunjawa, dan Bawean. Tersisa gue yang keadannya lebih darurat. Gue jauh tertinggal dari jadwal, lalu sekarang masih menunggu jemputan polisi yang pasti alakadarnya.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Pur, Laras, Dani, dan Erna diperintahkan utk bergerak ke Pulau Bawal krn terindikasi ada gerakan Hammertech disitu... lah... kenapa dianggap cuma ada disitu..?

Moga2 hammertech segera koid
 
Thanks updatenya om

Kira-kira Tim penyambutan Hammertech di masing-masing lokasi sudah siaga ato bijimane? Rencana penyerangan keknya sudah bocor duluan ya om?
 
Hari...wellcome to the jungle bro.....berrsiap untuk yg terburuk yah.....
Jka bnat HT ada di sekitar lo dan merrka melakukan penelitian di sana......kayaknya lo masuk ke tempat yg kudunya ga sendirian....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd