Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
kasian sama erna suhu.. harusnya hari yg dpt priwi nya..

kok si juton nya baik ya?
 
Waduh erna,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bang ts sungguh kejam dikau
 
anjriitt.. berani2nya mereka ngegarap erna. kaga rela gw..
har, elu musti balesin dendamnya erna.
harus Har...
 
Thx updatenya hu
Waduh segelnya Erna diambil bajingan-bajingan Hammertech... Ayo balas Har jangan kasih ampun...
 
Sampai sekarang masih gak rela kalau Erna harus diperkosa sama Jotun. Pasti Erna trauma banget itu.
Semoga hari bisa membuat Erna bangkit dari trumanya dan mereka hidup bersama.
Dani biar sama eda aja...
 
kejam,dulu erna mo diperkosa hari,dislametin,tp ini malah diumpan ke teroris,kejam kau bang robby
 
Episode 37
Makhluk Jotunheim Itu


POV Laras

Musuh lama telah kembali. Ini seperti Surtur yang jadi musuh lama Odin. Bisa juga itu untuk dijadikan istilah. Odin memang punya banyak musuh lama yang belakangan sering muncul lagi. Lihat akibatnya kepada Asgard. Bertahun-tahun pula makhluk Jotun itu jadi musuh kami, tiba-tiba dia muncul begitu aja di pulau ini, malam ini. Siapa tau apa yang dilakukannya di tempat lain di lain hari.

Laporan tertulis yang kami bawa pulang dari Vanaheim memang menunjukkan bahwa dia bisa menyamar. Tampaknya bukan hanya anak-anak Loki yang mampu, tapi dia juga. Itu semakin mempersulit pencarian selama ini.

Kemudian dia muncul, datang, menolong, atau tepatnya membunuhi manusia-manusia pasukan Hammer Tech. Dia pikir dia pahlawan, tapi bukan, karena dia hanya seorang pembunuh. Pahlawan gak akan berniat meninggalkan orang yang ditolongnya menggigil kedinginan.

Lalu, gue putuskan mengejar makhluk Jotun itu setelah meminta senter kepada Hari.

“Gue yang kejar dia. Kalian tolong Dani sama Erna. Pinjem senter.” Gue memberi perintah.

Hari meminjamkan senternya.

"Ras, enggak sekarang." Cegah Pur.
"Harus sekarang." Gue langsung melengos pergi.

Makhluk jotun itu gak boleh kabur jauh dari sini. Ini hanya pulau. Akan sangat gak bagus buat reputasi gue kalau kembali gagal menangkap dia.

Gue buru-buru melangkah keluar rumah, menoleh ke kiri dan ke kanan tanpa petunjuk bagus. Analisis pertama yang gue dapatkan adalah bahwa lokasi rumah ini ada di paling ujung desa. Jauh dari mana-mana selain sawah dan hutan. Selagi kepala gue menoleh-noleh mencari petunjuk, terlihatlah uap putih dari tanah.

Bentuk jejak itu menyerupai tapak kaki manusia raksasa, sangat berbeda daripada jejak yang biasanya. Itu jelas sekali jejak kaki si makhluk jotun karena menghasilkan es. Gue tebak, apa yang dilakukannya tadi di dalam rumah masih berefek pada dirinya sekarang. Itu sepertinya bukan kekuatan yang bisa disimpan dan dikeluarkan secara instan.

“Gak akan lolos lagi kali ini.” Gumam gue.

Gue mengikuti tapak kaki ini yang menjauhi desa, masuk menuju hutan, hingga menuntun ke antah berantah. Semakin lama, semakin mengecil pula jejak ini. Ukurannya semakin mendekati kaki manusia normal.

Sepertinya sebentar lagi jejak kaki es ini menghilang. Di depan sana, kekuatannya pasti sedang memudar. Ini sudah dini hari, mungkin mendekati jam 3 pagi. Kalau lebih lama gue melakukan pencarian, dia benar-benar akan menghilang lagi. Gue panik

Ketakutan gue terwujud. Gue akhirnya sampai pada tapak kaki es terakhir yang ukurannya serupa kaki manusia. Uap esnya gak sebanyak apa yang gue temui di depan rumah. Gue dengan putus asanya berusaha mencari jejak-jejak kaki lainnya. Memang, beberapa langkah ke depan masih bisa gue temukan jejak kaki manusia normal. Tapi sangat sulit mencarinya dalam gelap. Dimana pula posisi gue sekarang.

Tanah semkain becek. Ada suara deru air sungai di sebelah kanan. Semak di sana sini.

"Gue harus bisa." Gue putus asa dan bicara sendiri.

Gue terus berkata dalam hati bahwa gue adalah einherjar dan sering menghadapi keadaan lebih buruk dibanding hari ini. Gue harus terus maju apapun yang terjadi. Sampai suatu waktu selagi terus melangkah, gue melihat sesosok siluet manusia yang berjalan tertatih. Dia memakaian pakaian terusan. Oh, ini jelas bukan kuntilanak. Gue yakin dialah makhluk jotun itu.

“Stop. Jangan bergerak.” Gue memberi peringatan.

Perlahan gue maju mendahului si tersangka Jotun. Gak lama kemudian, dia memberi reaksi dengan tertawa dengan nada terseret-seret.

Oh, pastinya dia bukan setan. Kuntilanak gak tertawa seperti itu. Lagipula banyak makhluk yang lebih mengerikan di sembilan dunia. Mereka jelas lebih seram daripada mitos urban yang muncul akibat korban pemerkosaan sekaligus pembunuhan. Gue tetap yakin dialah sang makhluk jotun.

“Heheh.” Tawanya cuek.

Jelas kan? Tertawanya ini pendek dan terkesan cuek, bukan tawa melengking dan panjang seperti kuntilanak dalam cerita-cerita horor lokal.

“Jangan bergerak.” Gue mengulangi perintah.
“Bla bla bla.” Katanya.

Gue menemukan wajah yang tertunduk. Matanya terpejam tapi bibirnya tersenyum. Dia setengah menangis dan setengahnya lagi tertawa.

“Oh, einherjar. Coba saya tebak, mati terhormat? Masuk Valhalla? Jadi pasukan elit Odin?” Bicaranya mirip orang mabuk.

Gue terdiam sejenak saat dia mendeskripsikan asal mula kami pasukan Einherjar. Gue gak mau mengingat masa-masa itu. Masa saat gue mati... Lupakan.

“Sekarang mau apa? Menangkap saya meski barusan saya menolong teman kalian itu?” Dia terus meracau.

Makhluk Jotun ini makin meracau soal Thor yang anarkis dengan intonasi yang terseret-seret. Dia menyalahkan Thor karena waktu itu meluluhlantakan Jotunheim hingga menjadi gak layak huni. Katanya, yang tersisa di sana tinggal segelintir orang. Lebih banyak Frost Beast yang kini menjadi puncak rantai makanan.

Gue kemudian membantah kalau itu bukan kesalahan Thor. Itu ulah Loki yang punya hasrat ingin diakui sebagai penerus Asgard.

“Konflik keluarga, Heh?” Ledeknya.

Gue mencoba mengacuhkannya.

“Sekarang anda ditangkap atas tuduhan...” Kata gue.
“Saya bahkan gak tinggal di sana saat Jotun dirusak orang-orang Asgard. Setelah itu kalian seenaknya juga bikin aturan wajib lapor bla bla bla. Diktator.” Racaunya terus.

Oke, sampai sini dia ada benarnya.

“Sekarang mau ngurung saya di Asgard? Hah?” Katanya.

Cewek jotun ini sepertinya ketinggalan berita kalau Asgard udah hancur.

Dia memaki dan mencela tanpa henti. Dia berkata bahwa Odin, Thor, dan semua dewa-dewi di dunia ini merasa dirinya berkuasa atas segala hal sehingga bangga menjadi diktator. Menurutnya, dewa-dewi itu hanyalah sesuatu yang lain yang berumur panjang, namun tanpa makna.

Gue paham semua mitos dewa-dewi itu tercipta di Midgard disebabkan karena makhluk di langit kosmik sana lebih kuat dan berumur panjang. Beberapa mitos diantaranya bahkan bertahan selama ratusan hingga ribuan tahun. Kemudian, mitos itu mengendap menjadi legenda. Mereka pada akhirnya menjadi tokoh yang akhirnya disembah sekelompok orang.

Sebagaimana cerita gue dibawa kuda terbang itu... Lupakan.

“Saya cuma mencoba bertahan hidup. Saya bahkan gak pernah bunuh orang sebelum Jotun dirusak kalian.” Katanya.
“Anda tetap ditangkap.” Gue bersikeras.

Gue bersikeras karena gue penegak hukum. Apapun kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan urusan yang harus gue pikirkan. Semua terserah pengadilan nanti.

“Denger, saya gak mau berantem...” Katanya

Gue menyentuh pundaknya untuk tindakan lanjut. Tapi tiba-tiba tangan gue ditumbuhi bunga es. Seketika itu juga sang makhluk jotun menunjukkan bentuk aslinya. Makhluk setinggi tiga meter, berkulit biru, dengan beberapa garis mirip ukiran di kedua sisi kepalanya yang memanjang sampai ke dagu.

“Kalo gitu ayo berantem.” Ajak gue.

Senter gue terjatuh jatuh karena kaget akibat kemunculan bunga es ini. Kami pun mendadak berkelahi dalam kelam malam. Gue memunculkan pedang gue sendiri, disusul dia membuat pedangnya sendiri dari bunga es. Kami gak sepenuhnya kontak fisik, melainkan terlalu fokus dalam mengambil langkah.

“Tinggalin saya sendiri.” Pintanya.
“Jangan harap.” Balas gue.

Perkelahian saat gelap adalah satu keputusan yang gue sesali karena pedang gue terjatuh ketika beradu dentingan dengan pedang es buatannya. Pedang gue gak terlihat jatuhnya ke mana sehingga kini gue hanya dengan tangan kosong. Setelah pedang gue jatuh, sang makhluk jotun gak sama sekali menyerang. Dia hanya mengambil kuda-kuda. Gak ada gerakan mengintimidasi atau pun gertakan sekali pun gue terpojok. Dia seolah meremehkan.

“Denger, saya yakin anda orang baik. Saya gak mau ngebunuh orang baik.”

Sang makhluk jotun menjatuhkan pedang esnya. Kemudian, dia berbalik, berjalan menjauh meninggalkan gue. Wujudnya pelan-pelan mengecil kembali menjadi ukuran manusia.

Tentunya gak akan gue biarkan. Dia lengah sehingga kini kami seimbang tanpa pedang. Gue buru-buru melompat ke arah punggungnya. Kami berguling di tanah yang becek. Gue mengambil keuntungan saat gulingan kami berhenti dalam keadaan tubuh gue berada di atasnya. Pukulan telak gue layangkan ke arah hidung dan wajahnya beberapa kali. Darah pun mengucur. Sebaliknya, sentuhan demi sentuhan tubuh gue dan tubuhnya menyebabkan bunga es tumbuh di badan gue.

Gue berpacu dengan waktu untuk melumpuhkan dia sebelum gue menjadi seutuhnya patung es.

“Minggir...” Dia terus berontak.
“Gak akan!” Gue penuh percaya diri.
"Kamu bisa mati." Katanya.

Gue gak peduli. Proses pembekuan tubuh gue mulai terasa menyebar dari pinggang menuju kaki dan dada. Rasa dingin ikut menjalar ke sekujur tubuh. Dingin ini gak pernah gue rasakan sebelumnya. Bahkan di Antartika atau di Jotunheim sekalipun gak sedingin ini. Tapi gue gak peduli kalo ini sebanding dengan keberhasilan menangkap dia sekarang.

“Minggir..” Teriakannya melemah seiring pukulan gue barusan.

Gue sebentar lagi menang. Masa bodo dengan bunga es ini. Poin pentingnya adalah makhluk jotun yang kami cari bertahun-tahun bisa tertangkap hari ini.

Tapi tiba-tiba badan gue didorong seseorang lain ke samping hingga terguling di tanah beberapa kali.

“Jangan gila!”

Itu suara Pur. Nafasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh. Gue kedinginan dan semuanya gelap...

---

POV Hari

Pagi menjelang...

Tinggal menunggu waktu sampai berita ini menjadi konsumsi publik...

Gue bisa apa...

Gue gak bisa apa-apa...

---

POV Akmal

“Helikopter sebentar lagi dateng. Kita gak boleh pamer lubang cacing ke media.” Kataku.

Hari mengangguk. Gak satu kata pun keluar dari mulutnya. Aku paham dia terpukul dengan apa yang terjadi dengan sahabat-sahabatnya. Aku hanya bisa menolong secara teknis semampunya agar dia bisa sedikit tenang.

Media udah banyak berkumpul di depan pos polisi yang diserang Hammer Tech tadi malam.

Berita yang akan terlempar ke masyarakat mungkin isinya memuji-muji polisi atas tertangkapnya teroris atas nama Hammer Tech. Tapi sejujurnya kami sangat jauh dari bangga atas berita tersebut. Tunggu sampai konferensi dilakukan dan jenderal polisi menyebutkan jumlah korban di pihak kami.

Dari empat tim polisi Bawean yang terpecah semalam, kami hanya mampu menyelamatkan satu tim polisi di Danau Kastoba itu. Lebih banyak polisi tewas di lokasi lain, termasuk Pak Tohar dan polisi yang terpecah formasinya saat tim Bawean menyisir lokasi. Mereka tewas terlebih dulu sebelum kami sampai menolong mereka di pelabuhan, di penangkaran rusa, dan hutan jati. Proses penjemputan jenazah dari lokasi kejadian pun belum selesai karena jumlah ambulans di sini sangat terbatas.

“Jangan kelamaan meratap ya. Gak bagus.” Aku menepuk bahu Hari.

Deru baling-baling perlahan terdengar, kemudian anginnya berhembus menyapu daun-daun, pasir, dan sampah plastik. Helikopter udah datang, tapi lokasi di sini gak ada yang cukup lebar untuk dijadikan helipad.

Para koordinator mengambil inisiatif mengangkut Dani dan Erna lewat tandu. Mereka kemudian diangkat naik ke atas melalui katrol. Hari pun ikut dengan mereka. Tapi gak begitu dengan Pur dan Laras. Mereka sedang ada urusan pribadinya sendiri.

“Salam buat Nicole!” Aku berseru ke arah helikopter.

Tanganku melambai ke atas, kepada Hari. Helikopter beranjak pergi menjauh.

Aku kemudian masuk ke dalam pos polisi. Interiornya masih berantakan. Oleh karena itu tenda pleton yang didirikan di halaman untuk menampung tim polisi, menunggu jemputan. Mereka berangkat lewat lubang cacingnya Laras, namun sekarang harus menunggu jemputan lain untuk pulang ke Pulau masing-masing.

Sekali lagi, itu karena lubang cacing gak boleh terekspos media.

Sementara itu, pimpinan kami sedang sibuk menahan media dengan wawancara panjangnya di pinggir jalan agar gak ada tindakan macam-macam, seperti mengambil gambar bagian dalam pos polisi. Itu karena di dalam sedang ada Laras, Pur, dan perempuan cantik nan dingin. Kata Pur, itulah makhluk jotun yang mereka kejar-kejar sejak lama.

Aku bisa gila mendengar teori dewa-dewi mereka.

Aku bagaimana pun tetap harus masuk ke dalam pos, mengambil satu gelas plastik, dan mengambil minum dari dispenser di sebelah Pur yang sedang duduk. Makhluk jotun itu sedang tidur dalam ikatan borgolnya, meski gue ragu apakah borgol bisa menahan kekuatan alien. Sementara itu, Laras mungkin masih berusaha mencairkan es dari kakinya di kamar mandi.

“Mereka udah pergi.” Kataku.
“Iya.” Pur menjawab singkat.
“Yang ini mau diapain?”

Aku menunjuk si makhluk jotun.

“Namanya Sherly, kaum Frost Giant.” Pur mengamati si makhluk Jotun.


Sherly


“Sekarang punya nama?” Gue menaikan alis.
“Dibacanya semacam Sherly, tapi kalo ditulis sebenernya S O R L I. Huruf O-nya dicoret miring.”

Aku lebih penasaran bagaimana Pur bisa mengetahui nama si orang jotun in dibading penulisan nama Sherly. Tapi gue enggan menanyainya lebih lanjut. Biarkan aku berandai-andai, seperti misalnya Pur sempat genit-genitan sama makhluk itu.

Kalo dilihat saat wujud manusia, si Sherly ini memang sebenarnya cukup cantik. Tapi ali lebih dulu mundur jauh-jauh karena udah tau wujud aslinya. Akan menyeramkan ketika nanti dia menjadi wujud asli dalam kulit yang warnanya biru.

Kemudian terdengar bunyi kunci slot pintu yang dibuka. Laras akhirnya keluar dari kamar mandi.

“Berapa jam tuh nyiram-nyiram?” Tanya Pur.
“Gue gak pegang jam.” Laras kesal.

Tadi pagi menjelang subuh, ketika semua ini baru selesai, Aku kaget ketika Pur datang dari lubang cacing sambil menggotong Laras dalam keadaan setengah beku. Di belakangnya ada perempuan mengikuti, lebih serupa diseret, karena kedua tangannya diikat semacam tali berkilauan.

Kami semakin kaget ketika diberitahu bahwa perempuan itu membunuh sebagian besar anggota Hammer Tech sekaligus merubah satu rumah menjadi freezer. Info lainnya, kini gantian Pur yang harus membuat lubang cacing dengan batu keramat dan sebuah benang yang diputar-putar seperti lasso. Sebentar kemudian, kami udah berpindah dari Danau Kastoba, ke rumah freezer, lalu ke pos polisi.

Kejutan bahwa si perempuan itu adalah sejenis alien menjadi klimaks bagi kami orang-orang polisi. Seaneh-anehnya kesaksian, belum pernah orang-orang kami menjumpai yang seperti ini. Kasus-kasus inhuman pun tampak sepele dengan keberadaan alien sekarang.

Aku yakin di dalam tenda pleton sekarang, beberapa orang polisi masih berdiskusi bagaimana caranya supaya bisa menikahi si Sherly ini.

“Batu rune gue mana.” Laras menagih ke Pur.
“Istirahat dulu.” Balas Pur.
“Gue udah mendingan. Kita harus bawa makhluk ini pulang.”

Baru kali ini aku mendengar Pur gak sejalan dengan pendapat Laras.

“Kita jenguk Erna, tanggung jawab ke Nicole, baru kita pergi.” Solusi dari Pur.
“Jenguk Erna nanti pasti, Nicole gak usah....”
“ASGARD UDAH HANCUR, RAS!” Bentak Pur.

Suara Pur menggelegar. Pasti ini kedengeran sampai di luar.

Kan, beberapa orang mulai masuk untuk memastikan kami baik-baik aja. Aku pun cukup susah mengembalikan mereka ke luar. Belum lagi tiba-tiba si Sherly yang ikut kebangun gara-gara berisik.

“Heh, Asgard hancur? Coba saya tebak? Surtur?” Gumam Sherly.
“...”
“Ragnarok, heh?” Ledeknya.

Nada bicaranya diseret dan bibirnya tersenyum, tapi bukan seperti senyum kemenangan. Itu lebih seperti senyum yang bikin orang bisa jengkel. Mungkin sikapnya itu karena nyawanya belum terkumpul setelah baru bangun tidur. Atau mungkin juga sifatnya yang memang seperti itu.

“Vanaheim punya hak...” Sahut laras.
“Bla bla Vanaheim. Siapa? Nenek Helga itu? Atau Julia udah menang perang?” Kata Sherly lagi.

Sampai sini aku makin gak tau apa-apa. Siapa itu Nenek apa? Di mana ada perang? Semua obrolan setingkat dunia fiktif ini gak masuk di akal. Aku hanya mampu duduk bersandar di sofa yang setengah rusak.

“Oke, cukup bicaranya.” Potong Pur.
“Oh, so sweet~” Sherly menggoda Pur.
“Biar Rosi yang ke sini.” Kata Pur tegas.

Pur membuka lubang cacingnya. DI seberang lubang cacing itu bukan lokasi yang familiar, melainkan ke sesuatu yang memiliki matahari cerah. Dari dalam lubang cacing itu keluarlah perempuan berambut Dora dengan gaya selebor. Pakaiannya terlalu ketat dan seksi. Dia bisa jadi target baru buat polisi-polisi di tenda sana yang kebelet kawin itu.

Tanpa satu kata yang terlontar, tiba-tiba perempuan itu mengacungkan senjata tepat ke jidat Sherly.

“Wow wow! Tunggu dulu! Gak ada tembak-tembakan di sini.” Aku loncat dari sofa.

Si perempuan Dora heran melihatku. Tapi selanjutnya dia cuek dan memilih berbicara dengan Pur.

Selanjutnya, perempuan yang kemudian dikenalkan oleh Pur sebagai Rosi ini membacakan semacam dakwaan. Dia menyebutkan semua rekam jejak Sherly yang bekerja di mana, sedang apa saat kerusakan dunia bernama Jotunheim, dan aksi kabur-kaburannya dari petugas anak-anak Loki.

Aku memang gak ngerti apa yang disebutkan, tapi tetep bisa denger kan.

Akhirnya, Sherly digelandang ke dalam lubang cacing kembali oleh Rosi. Lubang cacingdengan cepat menghilang hilang tanpa menghirukan kicauan Laras yang tampaknya protes panjang lebar.

“Pur! Balikin batu rune gue!” Bentak Laras.
“Batu ini gue balikin kalo lu udah gak marah-marah, oke?” Jawab Pur.
“Kita harus ngawal Sherly sampai pengadilan!”
“Kita harus nemenin Erna.” Sanggah pur.

Nah, berantem lagi.

Laras terdiam. Dia kehabisan alasan buat Pur. Sebagai gantinya, dia mulai menitikan air mata dan tersedu-sedu. Dengan sedikit sisa-sisa nafas, dia berkata bahwa mengejar makhluk jotun adalah tugas terakhir mereka dalam pengabdian bersama Asgard. Tapi di sisi lain itu semakin mengingatkan Laras bahwa dia sudah kehilangan tempat untuk pulang.

“Laras. Kita udah pulang.” Sahut Pur.
“Aku.. gak sampai pikir kalau kita harus tinggal di bumi lagi...”

Laras memeluk Pur.

Waktunya gue pergi mencari angin segar.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd