Episode 29
Mimpi Sadar
POV Hari
Kadang gue kangen rumah karena di sana bisa santai dengan rutinitas harian yang selalu beda. Apalagi hari minggu. Waktu kecil, gue selalu menanti siaran-siaran di tivi itu dari pagi sampai siang. Siapa generasi 90an yang gak tau acara balapan tamiya yang judulnya Let’s & Go, pahlawan super bocah P-man, kucing robot Doraemon, sampe permainan kartu monsternya Yu-Gi-Oh.
Lalu, siangnya gue bisa main sepeda keluar rumah sama temen-temen sampe Maghrib. Kami boleh main apa aja tergantung musimnya. Kalo lagi musim layangan, kami bisa juga ngejar layangan. Dulu ada temen gue yang baru pindah ke sebelah rumah, waktu itu dia ngaku pernah ngejar layangan dari Jalan Jati Baru di Tanah Abang sampe Tugu Tani. Pas gue masuk SMA, akhirnya dia ngaku sambil cengengesan kalo kata-katanya itu bohong supaya bisa dianggap keren.
Kalo lagi musim rambutan, kami dikasih kerjaan manjat pohon rambutannya Pak Haji Aris di kebonnya. Dari sekali manjat, ada gratisan satu sampai dua ikat rambutan tergantung jumlah yang bisa dipetik. Siapa yang sangka lima tahun lalu pohon-pohon rambutan itu ditebang. Kebon Pak Haji Aris pun dirombak jadi lokasi parkir. Beliau lebih tertarik jumlah nominal uang parkir yang lebih menggirukan ketimbang jualan rambutan yang setahun cuma panen satu kali.
“Ah, udah pagi lagi.” Gumam gue.
Kembali ke realitas.
Gue bangun pagi-pagi dengan lesu, karena hari ini akan sama seperti kemarin-kemarin. Gue nanti harus mandi, naik ke penthouse, latihan fisik pagi, sarapan, pengecekan rutin laporan terrigenesis, makan siang, kerja apapun di depan laptop supaya kelihatan produktif buat Nicole, latihan fisik sore, mandi, makan malam, lalu tidur.
Perbedaan rutinitas akan terjadi ketika gue mendapatkan panggilan terrigenesis, dan itu gak pernah terjadi sejak kami menjadi tim alien. Sekarang udah masuk bulan Oktober dan gue lebih banyak terkurung daripada turun ke lapangan. Laras dan Pur juga makin berasa kaya tahanan, padahal mereka bisa berontak kalo mau.
“Pagi.” Sapa gue.
“Pagi.” Sapa Dani.
Kami berdua bertemu di depan lift.
“Ke atas?” Tanya gue.
Gue berasa kaya lagi beradegan akting ketidakfokusan karena kurang minum air putih. Udah jelas Dani itu mau ke atas, bego. Kami ini kan tahanan apartemennya Nicole.
Setelah jawaban ‘iya’ yang datar dari Dani, gak ada diskusi lagi yang terlontar sampai kami tiba di penthouse. Laras dan Pur di sofa sedang sarapan dalam diam. Erna belum muncul. Nicole kayanya ada di ruang rapat sedang bervideo call dengan pimpinan yang lebih tinggi nun jauh di seberang benua sana.
Sarapan berlangsung dalam keheningan. Setelah itu, Nicole memberi kami instruksi untuk latihan fisik pagi. Dani absen seperti biasanya. Ini gak bagus, tapi tetap ditoleransi oleh Nicole. Baguskah? Jelas Nggak, karena dia membiarkan Dani dalam rutinitasnya seharian di kamar untuk duduk bersama jejeran laptop.
Gue pernah sekali membuka-buka artikel kedokteran tepat di depan Nicole, semata-mata untuk menyindir dia. Judul artikel itu sangat jelas menunjukkan bahwa ketidakefektifan bekerja berlama-lama. Ada juga artikel tentang kehidupan bersosialisasi, artikel tentang pentingnya liburan, dan lain-lain yang mirip.
“Pagi.” Sapa Erna.
Dia baru datang.
“Dari mana?” Nicole mau berulah lagi.
“Buang air tadi.” Erna cuek.
“Telat 45 menit. Disiplin bisa kan?” Tegas Nicole.
“Sejak kapan buang air jadi masalah?” Erna jadi ngegas.
Gue, Laras, dan Pur menatap peperangan mulut mereka berdua. Situasi mendadak panas. Lalu senyap sebentar.
“PMS?” Bisik Pur.
“Kayanya.” Jawab gue.
Erna kemudian melengos begitu aja untuk sarapan. Cecaran beberapa kalimat nasihat meluncur dari mulut Nicole, tapi gak mempan. Erna terus berjalan mengambil menu makanan pagi. Dia lalu menuju ke depan tivi dan mencari-cari channel yang tepat buat tontonannya.
“Hey!!? Saya lagi bicara!” Nicole diacuhkan.
Hebat juga Dani gak keganggu di kamar kerjanya dengan keributan ini. Mungkin di ruangannya sekarang dipasang set pengedap suara semacam karpet atau apa lah namanya. Harusnya keributan Nicole yang gak diacuhkan Erna ini bisa fenomenal kalo Dani tau.
Nicole terus mengomel, sementara Erna terus memutar-mutar channel. Dia akhirnya berhenti ke salah satu berita yang tampil. Nicole masih mengomel.
“Nicole.” Panggil gue.
“Panggil saya Miss Richards.” Nicole menoleh ke gue.
Nicole masih mode cerewet dan sempat-sempatnya mengoreksi panggilan. Bodo amat dia mau dipanggil apa. Lebih mending manggil dia Nicole, karena gue gak mau ngasih rasa hormat hanya untuk manggil dia ‘Miss’ dan disandingi sama nama belakangnya.
“Nicole, liat itu di tivi.” Tunjuk gue.
“Miss Richards. Paham kan!?” Tanggapan Nicole.
“Liat tivi sekarang.” Tunjuk gue.
Nicole kemudian menoleh ke tivi. Erna cuek dengan sarapannya seolah itu bukan berita penting. Pur dan Erna masih berwajah lesu, tapi ikut mengikuti berita yang ditayangkan. Kami semua lalu menjadi diam.
“Bukannya sekarang kita harus bergerak?” Erna memecah sunyi.
“Nunggu perintah kan?” Sahut gue.
“O-oke.. Ayo, ayo, sekarang kalian bergerak!” Respon Nicole.
Nicole bertepuk tangan, seolah itu mampu membangkitkan semangat kami semua. Nyatanya kami semua tetap mengikuti prosedur keselamatan tanpa menjadi lebih cepat. Buru-buru itu kan gak baik, apalagi mengenai keselamatan.
Kami semua akhirnya bisa keluar dari apartemen sepuluh menit kemudian. Kami masing-masing berkendara motor layaknya orang kebanyakan. Kami masing-masing juga bermacet-macet seperti orang kebanyakan. Kami menuju lokasi orang yang dikabarkan mengalami terrigenesis di Tanah Abang. Lokasinya deket banget sama rumah gue.
Dani pun ditugaskan Nicole untuk membimbing kami selama beraksi di lapangan. Kami semua berkomunikasi lewat earphone masing-masing.
“Guys, kalem.” Suara Dani kedengeran.
“Udah?” Sahut Erna
“Udah, Na.” Sahut Dani lagi.
“Makasih ya.” Sahut Erna lagi.
Erna memberi aba-aba untuk kami supaya meminggirkan motor masing-masing. Dia kemudian turun dari motornya, membuka helm, lalu membetulkan lipatan-lipatan jilbabnya. Kami semua berkumpul di trotoar, berdiri layaknya orang bodoh yang gak peduli ada tanda dilarang parkir gak jauh dari sini.
“Ada apa ini?” Tanya gue.
“Kenapa berhenti?” Tanya Pur juga.
“Gue kok nyium ada konspirasi ya.” Sambung Laras.
Erna menatap seolah kami orang terbodoh sedunia. Raut mukanya menyimpan kesenangan tersendiri. Senyumnya sama seperti dulu Eda sukses mengakali laporan praktikum mingguan supaya bisa dapat nilai bonus dari asisten laboratorium.
“Gue sama Dani abis ngibulin Miss Richards kampret itu. Mantep kan??” Erna mengacungkan jempolnya.
Erna kemudian menjelaskan bahwa pagi tadi dia dan Dani berencana membuat berita kemunculan terrigenesis palsu. Dani meretas tivi di penthouse, lalu dia siarkan berita heboh penemuan terrigenesis bulan lalu. Segala detail kecil seperti tanggal dan lokasi berita dimanipulasi supaya Nicole percaya. Erna kemudian mengumpulkan adrenalin untuk menantang Nicole, maka itu dia telat naik ke penthouse.
Erna juga menitipkan salam dari Dani. Dia kasihan melihat kami terkurung di pentohuse 24 jam selama lebih dari satu bulan ini. Dampaknya, Erna gak sempet berkunjung ke rumah sakit tempat bapaknya dirawat. Pur dan Laras gak sempat berkelana atau kembali ke tempat tinggalnya di dunia lain.
Apalagi gue. Gue gak sempat keluar berziarah ke tempat nyokap atau pun Kenia. Gue keterlaluan, memang, karena gak cukup kuat memperjuangkan hak agar bisa meluangkan waktu. Gue juga belum sempat ketemu Jamet yang katanya sekarang sewa kontrakan di Sawangan atau Pondok Labu gitu. Gue juga belum ketemu Eda yang katanya udah dapet pekerjaan. Banyak hal yang udah gue lewatkan.
“Dani gak ikut?” Tanya Laras.
“Dia sibuk beneran.” Jawab Erna.
“Weekend juga sibuk?” Tanya Pur.
“Weekend dia lebih milih tidur.” Jawab Erna lagi.
Erna gila. Ini di luar batas wajar. Kalau kami ketahuan bohong, musnah sudah pekerjaan kami sebagai agen. Status dari Sokovia Accords untuk kami bisa ditarik. Lalu kami harus berpura-pura jadi manusia biasa dengan pengekangan kekuatan. Lebih parah lagi, Pur dan Laras mungkin bisa ditangkap.
“Na, ini bahaya sumpah.” Kata gue.
“Gak bahaya kalo kita balik tepat waktu.” Respon Erna.
“Gue gak ikut.” Gue angkat tangan.
“Lu emang gak kepikiran mau ziarah? ketemu Jamet di luar sana?” Erna terasa menekan.
Gue menggeleng. Entahlah, apa yang lebih penting buat gue sekarang. Mungkin lebih tepatnya apa yang lebih berani gue pilih sekarang. Dua pilihan yang ada adalah hanya ikut aturan atau berontak. Kalo gue berontak hari ini, semua alur kehidupan gue berantakan. No job, no money, no safety and security.
Kalo gue tetap dalam aturan, meski jengah, ada jaminan gue bisa bertemu tatap pimpinan Hammer Tech dan Roxxon keparat itu. Gue bisa membalaskan keadilan atas nama nyokap dan Kenia. Keamanan dunia bisa stabil kembali.
“Har.” Panggil Erna.
“Apa??” Gue tersulut.
“Gue belom sempet jenguk bokap.” Erna menatap nanar kepada gue.
“Gapapa, gue bisa tutup mulut.” Jawaban gue.
Biarkan saja, ini kan keputusan Erna sepihak. Gue berbalik badan dan mulai berjalan ke motor gue sendiri. Tapi seketika lengan gue ditarik Pur. Situasi memanas pagi ini, di samping matahari memang bersinar cerah.
“Lu mikir. Kalo lu balik sendirian apa kata Nicole? Kita semua bakal tetep kena konsekuensinya. Mikir!” Pur menunjuk kepalanya sendiri berkali-kali.
“Pur, cukup.” Laras menengahi.
“Dia ini otaknya udah rusak gara-gara kelamaan punya dendam.” Balas Pur.
Gue melotot. Gue benar-benar tersulut. Semua orang yang gue kenal hari ini rasanya seperti musuh. Semesta menolak gue dan kenalaran gue. Ini gak adil. Seandainya gue gak punya rasa malu, gue bisa megajak berkelahi Pur di sini meski dilihat banyak orang. Sayangnya gue masih punya rasa malu.
“Kita punya waktu sampe jam dua.” Kata Erna.
“Kita mau ke mana aja?” Laras menoleh.
“Ke rumah sakit, pasti. Sisanya terserah.” Balas Erna.
“Kita ziarah ikut Hari kalo gitu.” Usul Laras.
Gue menghela nafas, lalu terpaksa setuju. Menuju rumah sakit.
---
POV Erna
Hari, ada apa sama elu?
Begitulah yang tersirat di benak gue setelah debat kusir tadi. Gue udah memperbaiki komunikasi sama Dani. Gue akui dia memang super sibuk dengan segala perangkat komputer canggihnya. Tapi itu murni karena tuntutan pekerjaan.
Dia bukan maniak yang rela mengorbankan kesehatan demi pengembangan diri di bidang teknologi informatika dan segala tetek bengeknya. Dia butuh mencari Hammer Tech yang sekarang katanya udah di ujung tumit untuk diinjak. Dia butuh mencari Roxxon yang masih tanpa hasil. Dia butuh kebahagiaan bagi orang-orang terdekatnya.
Gue juga bersekongkol sama Dani supaya kita bisa menikmati kebebasan meski sebentar. Dani sadar betapa pentingnya keluarga, maka itu dia membiarkan gue memberontak supaya bisa bertemu bokap. Dia juga memberi kesempatan Hari pergi supaya bisa ziarah.
Kemana akal sehatnya?
Semua rasa bagi diri Hari semakin berubah, tapi perlahan-lahan, seperti bahaya laten logam berat yang menumpuk di ginjal. Efeknya baru terasa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun nanti jika terus memberi asupan yang gak bagus ke tubuh. Sama seperti yang ada di kepala Hari sekarang. Di kepalanya saat ini mungkin isinya cuma Hammer Tech dan Roxxon. Isinya tentang bagaimana mengalahkan mereka. Atau mungkin gimana caranya memusnahkan mereka sampai tuntas.
Gak terasa semua pikiran rumit tadi mampu mengalihkan dari macetnya jalanan Jakarta. Kami tiba di rumah sakit satu jam kemudian. Gue bertemu sapa dengan nyokap dan abang gue sejenak sambil menunggu waktunya untuk jam besuk.
“Ada yang harus ibu ceritain.” Kata nyokap.
“Iya, kenapa?” Gue malah khawatir.
“Kemarin sore bapak bangun, tapi cuma sebentar.”
Nyokap berkata bahwa ada perkembangan yang cukup bagus dari kesembuhan bokap. Tapi ada hal gak wajar saat bokap bangun kemarin sore. Mata merah mungkin bisa dianggap wajar untuk orang yang sedang berpenyakit. Tapi kata nyokap, bagian yang memerah adalah iris mata. Kemudian dokter yang merawat bokap mengindikasikan adanya perubahan pigmen mata.
“Bapak inhuman?” Itu kecurigaan gue.
Nyokap menggeleng, sehingga menyebabkan gue gak begitu paham maksudnya. Banyak maksud seseorang dari menggeleng. Kebanyakan memang menggeleng untuk bilang nggak. Tapi gue pernah baca sekilas sebuah halaman di buku psikologi perilaku yang dijajakan di toko buku-buku bekas. Gue lupa siapa penulisnya karena gak penting. Dalam paragrafnya terdapat penjelasan maksud seseorang menggeleng dalam beberapa paragraf.
Menggeleng bisa berarti berkata nggak, nggak tau, nggak mau, nggak mau tau, sedang galau hatinya, dan macam-macam. Gue berpikir terlalu keras untuk perilaku menggeleng nyokap, tapi tetap gak gue pahami maksudnya. Jadi lebih baik terus mendengarkan.
“Bapak kamu juga bilang sesuatu yang gak ibu ngerti.” Nyokap masih melanjutkan.
“Bilang apa?” Gue makin khawatir.
“Bapak bilang dia butuh waktu lebih lama.”
Nyokap kemudian berkata bahwa gak lama setelah itu bokap tertidur lagi. Jadi, sekarang ada dua misteri yang masuk ke kehidupan gue. Satu, maksud nyokap menggeleng. Dua, maksud kata-kata bokap.
Kakak gue memanggil. Sudah waktunya jam besuk. Kemudian, gue masuk bersama nyokap ke dalam ruang ICU. Di luar sana, Kakak gue bertugas menemani Hari, Laras dan Pur untuk bersenda gurau. Mereka harus antri untuk menunggu giliran masuk, itu juga kalo mereka mau masuk.
Bokap masih seperti yang udah gue lihat sebelumnya. Masih ada selang infus di kedua lengannya, masih ada alat bantu nafas, masih ada juga kabel-kabel yang melintang dan tertempel di kepala dan dada bokap.
Gue mau sekali mengucapkan selamat pagi pada bokap gue. Gue mau seperti anak-anak gadis lainnya yang kemudian curhat tentang hidup yang telah dilaluinya. Lalu menangis dengan air mata yang membanjir dari pipi sampai kain sprei. Tapi gue gak bisa seperti itu. Dari dulu gue gak bisa. Jadi, hal baik yang masih sanggup gue lakukan hanya berdoa.
“Selamat pagi Ibu Mursala.” Seorang dokter masuk.
“Pagi, dok.” Sapa nyokap gue.
“Kamu Erna kan? Kok baru keliatan lagi?” Dokter itu bertanya pada gue.
Gue cuma bisa nyengir. Kami kemudian bersalaman dengan senyum yang formal.
Pak Dokter itu namanya Dokter Rahman. Gue pernah beberapa kali bertemu Dokter Rahman sebelum dikurung Nicole di apartemen. Sebagai dokter yang merawat bokap, Dokter Rahman memang udah saling kenal dengan gue dan nyokap.
Dokter Rahman lumayan tua, mungkin usianya 40an akhir atau udah lewat 50an. Biasanya di usia segitu, bapak-bapak udah berbangga dengan perut buncitnya. Tapi beliau terlihat berkebalikan dengan teori gue. Pak Dokter Rahman lebih kurus dari orang kebanyakan dan cenderung bungkuk. Rambutnya yang beruban selalu tersisir rapi ke kanan, semakin menunjukkan bahwa beliau terkesan nyentrik.
Dia membawa sebuah papan jalan dan ditemani seorang perawat cewek. Kemudian, banyak rutinitas pagi yang dilakukan Dokter Rahman untuk memeriksa bokap. Beliau kemudian memberi diagnosis harian kepada nyokap. Selalu sama, kecuali saat Pak Dokter sedang ada jadwal simposium hingga terpaksa digantikan dokter jaga.
“Saya punya indikasi serius.” Dokter Rahman membuka diagnosisnya.
“Gimana, Dok?” Tanya nyokap.
“Sebelumnya saya minta maaf terlambat mendiagnosis....”
Diagnosis bokap wajar terlambat. Bokap dateng dalam keadaan minim informasi soal penyakitnya, kecuali darah tinggi dan beberapa penyakit tua lainnya. Selain itu, hal yang menyebabkan bokap gue terpaksa dilarikan ke rumah sakit sangat misterius. Banyak saudara dan tetangga yang sampe percaya bokap kena guna-guna.
“Jadi, kami kira awalnya Bapak Mursala sedang koma sepanjang dirawat di sini. Sampai kemarin beliau bangun, kami akhirnya punya indikasi bahwa Bapak Mursala mengalami mimpi sadar yang berkepanjangan. Istilahnya lucid dream.” Dokter Rahman menjelaskan.
Gue menoleh ke nyokap. Apa bokap benar-benar inhuman? Kenapa nyokap ngerahasiain ini?
“Yang belum kami pahami adalah bagaimana iris matanya bisa berubah. Sebaiknya beliau dialihkan ke spesialis gangguan tidur secepatnya.” Lanjut Dokter Rahman.
Kepala gue penuh dengan informasi baru. Apa itu lucid dream?
BERSAMBUNG