Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 29
Mimpi Sadar


POV Hari

Kadang gue kangen rumah karena di sana bisa santai dengan rutinitas harian yang selalu beda. Apalagi hari minggu. Waktu kecil, gue selalu menanti siaran-siaran di tivi itu dari pagi sampai siang. Siapa generasi 90an yang gak tau acara balapan tamiya yang judulnya Let’s & Go, pahlawan super bocah P-man, kucing robot Doraemon, sampe permainan kartu monsternya Yu-Gi-Oh.

Lalu, siangnya gue bisa main sepeda keluar rumah sama temen-temen sampe Maghrib. Kami boleh main apa aja tergantung musimnya. Kalo lagi musim layangan, kami bisa juga ngejar layangan. Dulu ada temen gue yang baru pindah ke sebelah rumah, waktu itu dia ngaku pernah ngejar layangan dari Jalan Jati Baru di Tanah Abang sampe Tugu Tani. Pas gue masuk SMA, akhirnya dia ngaku sambil cengengesan kalo kata-katanya itu bohong supaya bisa dianggap keren.

Kalo lagi musim rambutan, kami dikasih kerjaan manjat pohon rambutannya Pak Haji Aris di kebonnya. Dari sekali manjat, ada gratisan satu sampai dua ikat rambutan tergantung jumlah yang bisa dipetik. Siapa yang sangka lima tahun lalu pohon-pohon rambutan itu ditebang. Kebon Pak Haji Aris pun dirombak jadi lokasi parkir. Beliau lebih tertarik jumlah nominal uang parkir yang lebih menggirukan ketimbang jualan rambutan yang setahun cuma panen satu kali.

“Ah, udah pagi lagi.” Gumam gue.

Kembali ke realitas.

Gue bangun pagi-pagi dengan lesu, karena hari ini akan sama seperti kemarin-kemarin. Gue nanti harus mandi, naik ke penthouse, latihan fisik pagi, sarapan, pengecekan rutin laporan terrigenesis, makan siang, kerja apapun di depan laptop supaya kelihatan produktif buat Nicole, latihan fisik sore, mandi, makan malam, lalu tidur.

Perbedaan rutinitas akan terjadi ketika gue mendapatkan panggilan terrigenesis, dan itu gak pernah terjadi sejak kami menjadi tim alien. Sekarang udah masuk bulan Oktober dan gue lebih banyak terkurung daripada turun ke lapangan. Laras dan Pur juga makin berasa kaya tahanan, padahal mereka bisa berontak kalo mau.

“Pagi.” Sapa gue.
“Pagi.” Sapa Dani.

Kami berdua bertemu di depan lift.

“Ke atas?” Tanya gue.

Gue berasa kaya lagi beradegan akting ketidakfokusan karena kurang minum air putih. Udah jelas Dani itu mau ke atas, bego. Kami ini kan tahanan apartemennya Nicole.

Setelah jawaban ‘iya’ yang datar dari Dani, gak ada diskusi lagi yang terlontar sampai kami tiba di penthouse. Laras dan Pur di sofa sedang sarapan dalam diam. Erna belum muncul. Nicole kayanya ada di ruang rapat sedang bervideo call dengan pimpinan yang lebih tinggi nun jauh di seberang benua sana.

Sarapan berlangsung dalam keheningan. Setelah itu, Nicole memberi kami instruksi untuk latihan fisik pagi. Dani absen seperti biasanya. Ini gak bagus, tapi tetap ditoleransi oleh Nicole. Baguskah? Jelas Nggak, karena dia membiarkan Dani dalam rutinitasnya seharian di kamar untuk duduk bersama jejeran laptop.

Gue pernah sekali membuka-buka artikel kedokteran tepat di depan Nicole, semata-mata untuk menyindir dia. Judul artikel itu sangat jelas menunjukkan bahwa ketidakefektifan bekerja berlama-lama. Ada juga artikel tentang kehidupan bersosialisasi, artikel tentang pentingnya liburan, dan lain-lain yang mirip.

“Pagi.” Sapa Erna.

Dia baru datang.

“Dari mana?” Nicole mau berulah lagi.
“Buang air tadi.” Erna cuek.
“Telat 45 menit. Disiplin bisa kan?” Tegas Nicole.
“Sejak kapan buang air jadi masalah?” Erna jadi ngegas.

Gue, Laras, dan Pur menatap peperangan mulut mereka berdua. Situasi mendadak panas. Lalu senyap sebentar.

“PMS?” Bisik Pur.
“Kayanya.” Jawab gue.

Erna kemudian melengos begitu aja untuk sarapan. Cecaran beberapa kalimat nasihat meluncur dari mulut Nicole, tapi gak mempan. Erna terus berjalan mengambil menu makanan pagi. Dia lalu menuju ke depan tivi dan mencari-cari channel yang tepat buat tontonannya.

“Hey!!? Saya lagi bicara!” Nicole diacuhkan.

Hebat juga Dani gak keganggu di kamar kerjanya dengan keributan ini. Mungkin di ruangannya sekarang dipasang set pengedap suara semacam karpet atau apa lah namanya. Harusnya keributan Nicole yang gak diacuhkan Erna ini bisa fenomenal kalo Dani tau.

Nicole terus mengomel, sementara Erna terus memutar-mutar channel. Dia akhirnya berhenti ke salah satu berita yang tampil. Nicole masih mengomel.

“Nicole.” Panggil gue.
“Panggil saya Miss Richards.” Nicole menoleh ke gue.

Nicole masih mode cerewet dan sempat-sempatnya mengoreksi panggilan. Bodo amat dia mau dipanggil apa. Lebih mending manggil dia Nicole, karena gue gak mau ngasih rasa hormat hanya untuk manggil dia ‘Miss’ dan disandingi sama nama belakangnya.

“Nicole, liat itu di tivi.” Tunjuk gue.
“Miss Richards. Paham kan!?” Tanggapan Nicole.
“Liat tivi sekarang.” Tunjuk gue.

Nicole kemudian menoleh ke tivi. Erna cuek dengan sarapannya seolah itu bukan berita penting. Pur dan Erna masih berwajah lesu, tapi ikut mengikuti berita yang ditayangkan. Kami semua lalu menjadi diam.

“Bukannya sekarang kita harus bergerak?” Erna memecah sunyi.
“Nunggu perintah kan?” Sahut gue.
“O-oke.. Ayo, ayo, sekarang kalian bergerak!” Respon Nicole.

Nicole bertepuk tangan, seolah itu mampu membangkitkan semangat kami semua. Nyatanya kami semua tetap mengikuti prosedur keselamatan tanpa menjadi lebih cepat. Buru-buru itu kan gak baik, apalagi mengenai keselamatan.

Kami semua akhirnya bisa keluar dari apartemen sepuluh menit kemudian. Kami masing-masing berkendara motor layaknya orang kebanyakan. Kami masing-masing juga bermacet-macet seperti orang kebanyakan. Kami menuju lokasi orang yang dikabarkan mengalami terrigenesis di Tanah Abang. Lokasinya deket banget sama rumah gue.

Dani pun ditugaskan Nicole untuk membimbing kami selama beraksi di lapangan. Kami semua berkomunikasi lewat earphone masing-masing.

“Guys, kalem.” Suara Dani kedengeran.
“Udah?” Sahut Erna
“Udah, Na.” Sahut Dani lagi.
“Makasih ya.” Sahut Erna lagi.

Erna memberi aba-aba untuk kami supaya meminggirkan motor masing-masing. Dia kemudian turun dari motornya, membuka helm, lalu membetulkan lipatan-lipatan jilbabnya. Kami semua berkumpul di trotoar, berdiri layaknya orang bodoh yang gak peduli ada tanda dilarang parkir gak jauh dari sini.

“Ada apa ini?” Tanya gue.
“Kenapa berhenti?” Tanya Pur juga.
“Gue kok nyium ada konspirasi ya.” Sambung Laras.

Erna menatap seolah kami orang terbodoh sedunia. Raut mukanya menyimpan kesenangan tersendiri. Senyumnya sama seperti dulu Eda sukses mengakali laporan praktikum mingguan supaya bisa dapat nilai bonus dari asisten laboratorium.

“Gue sama Dani abis ngibulin Miss Richards kampret itu. Mantep kan??” Erna mengacungkan jempolnya.

Erna kemudian menjelaskan bahwa pagi tadi dia dan Dani berencana membuat berita kemunculan terrigenesis palsu. Dani meretas tivi di penthouse, lalu dia siarkan berita heboh penemuan terrigenesis bulan lalu. Segala detail kecil seperti tanggal dan lokasi berita dimanipulasi supaya Nicole percaya. Erna kemudian mengumpulkan adrenalin untuk menantang Nicole, maka itu dia telat naik ke penthouse.

Erna juga menitipkan salam dari Dani. Dia kasihan melihat kami terkurung di pentohuse 24 jam selama lebih dari satu bulan ini. Dampaknya, Erna gak sempet berkunjung ke rumah sakit tempat bapaknya dirawat. Pur dan Laras gak sempat berkelana atau kembali ke tempat tinggalnya di dunia lain.

Apalagi gue. Gue gak sempat keluar berziarah ke tempat nyokap atau pun Kenia. Gue keterlaluan, memang, karena gak cukup kuat memperjuangkan hak agar bisa meluangkan waktu. Gue juga belum sempat ketemu Jamet yang katanya sekarang sewa kontrakan di Sawangan atau Pondok Labu gitu. Gue juga belum ketemu Eda yang katanya udah dapet pekerjaan. Banyak hal yang udah gue lewatkan.

“Dani gak ikut?” Tanya Laras.
“Dia sibuk beneran.” Jawab Erna.
“Weekend juga sibuk?” Tanya Pur.
“Weekend dia lebih milih tidur.” Jawab Erna lagi.

Erna gila. Ini di luar batas wajar. Kalau kami ketahuan bohong, musnah sudah pekerjaan kami sebagai agen. Status dari Sokovia Accords untuk kami bisa ditarik. Lalu kami harus berpura-pura jadi manusia biasa dengan pengekangan kekuatan. Lebih parah lagi, Pur dan Laras mungkin bisa ditangkap.

“Na, ini bahaya sumpah.” Kata gue.
“Gak bahaya kalo kita balik tepat waktu.” Respon Erna.
“Gue gak ikut.” Gue angkat tangan.
“Lu emang gak kepikiran mau ziarah? ketemu Jamet di luar sana?” Erna terasa menekan.

Gue menggeleng. Entahlah, apa yang lebih penting buat gue sekarang. Mungkin lebih tepatnya apa yang lebih berani gue pilih sekarang. Dua pilihan yang ada adalah hanya ikut aturan atau berontak. Kalo gue berontak hari ini, semua alur kehidupan gue berantakan. No job, no money, no safety and security.

Kalo gue tetap dalam aturan, meski jengah, ada jaminan gue bisa bertemu tatap pimpinan Hammer Tech dan Roxxon keparat itu. Gue bisa membalaskan keadilan atas nama nyokap dan Kenia. Keamanan dunia bisa stabil kembali.

“Har.” Panggil Erna.
“Apa??” Gue tersulut.
“Gue belom sempet jenguk bokap.” Erna menatap nanar kepada gue.
“Gapapa, gue bisa tutup mulut.” Jawaban gue.

Biarkan saja, ini kan keputusan Erna sepihak. Gue berbalik badan dan mulai berjalan ke motor gue sendiri. Tapi seketika lengan gue ditarik Pur. Situasi memanas pagi ini, di samping matahari memang bersinar cerah.

“Lu mikir. Kalo lu balik sendirian apa kata Nicole? Kita semua bakal tetep kena konsekuensinya. Mikir!” Pur menunjuk kepalanya sendiri berkali-kali.

“Pur, cukup.” Laras menengahi.
“Dia ini otaknya udah rusak gara-gara kelamaan punya dendam.” Balas Pur.

Gue melotot. Gue benar-benar tersulut. Semua orang yang gue kenal hari ini rasanya seperti musuh. Semesta menolak gue dan kenalaran gue. Ini gak adil. Seandainya gue gak punya rasa malu, gue bisa megajak berkelahi Pur di sini meski dilihat banyak orang. Sayangnya gue masih punya rasa malu.

“Kita punya waktu sampe jam dua.” Kata Erna.
“Kita mau ke mana aja?” Laras menoleh.
“Ke rumah sakit, pasti. Sisanya terserah.” Balas Erna.
“Kita ziarah ikut Hari kalo gitu.” Usul Laras.

Gue menghela nafas, lalu terpaksa setuju. Menuju rumah sakit.

---

POV Erna

Hari, ada apa sama elu?

Begitulah yang tersirat di benak gue setelah debat kusir tadi. Gue udah memperbaiki komunikasi sama Dani. Gue akui dia memang super sibuk dengan segala perangkat komputer canggihnya. Tapi itu murni karena tuntutan pekerjaan.

Dia bukan maniak yang rela mengorbankan kesehatan demi pengembangan diri di bidang teknologi informatika dan segala tetek bengeknya. Dia butuh mencari Hammer Tech yang sekarang katanya udah di ujung tumit untuk diinjak. Dia butuh mencari Roxxon yang masih tanpa hasil. Dia butuh kebahagiaan bagi orang-orang terdekatnya.

Gue juga bersekongkol sama Dani supaya kita bisa menikmati kebebasan meski sebentar. Dani sadar betapa pentingnya keluarga, maka itu dia membiarkan gue memberontak supaya bisa bertemu bokap. Dia juga memberi kesempatan Hari pergi supaya bisa ziarah.

Kemana akal sehatnya?

Semua rasa bagi diri Hari semakin berubah, tapi perlahan-lahan, seperti bahaya laten logam berat yang menumpuk di ginjal. Efeknya baru terasa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun nanti jika terus memberi asupan yang gak bagus ke tubuh. Sama seperti yang ada di kepala Hari sekarang. Di kepalanya saat ini mungkin isinya cuma Hammer Tech dan Roxxon. Isinya tentang bagaimana mengalahkan mereka. Atau mungkin gimana caranya memusnahkan mereka sampai tuntas.

Gak terasa semua pikiran rumit tadi mampu mengalihkan dari macetnya jalanan Jakarta. Kami tiba di rumah sakit satu jam kemudian. Gue bertemu sapa dengan nyokap dan abang gue sejenak sambil menunggu waktunya untuk jam besuk.

“Ada yang harus ibu ceritain.” Kata nyokap.
“Iya, kenapa?” Gue malah khawatir.
“Kemarin sore bapak bangun, tapi cuma sebentar.”

Nyokap berkata bahwa ada perkembangan yang cukup bagus dari kesembuhan bokap. Tapi ada hal gak wajar saat bokap bangun kemarin sore. Mata merah mungkin bisa dianggap wajar untuk orang yang sedang berpenyakit. Tapi kata nyokap, bagian yang memerah adalah iris mata. Kemudian dokter yang merawat bokap mengindikasikan adanya perubahan pigmen mata.

“Bapak inhuman?” Itu kecurigaan gue.

Nyokap menggeleng, sehingga menyebabkan gue gak begitu paham maksudnya. Banyak maksud seseorang dari menggeleng. Kebanyakan memang menggeleng untuk bilang nggak. Tapi gue pernah baca sekilas sebuah halaman di buku psikologi perilaku yang dijajakan di toko buku-buku bekas. Gue lupa siapa penulisnya karena gak penting. Dalam paragrafnya terdapat penjelasan maksud seseorang menggeleng dalam beberapa paragraf.

Menggeleng bisa berarti berkata nggak, nggak tau, nggak mau, nggak mau tau, sedang galau hatinya, dan macam-macam. Gue berpikir terlalu keras untuk perilaku menggeleng nyokap, tapi tetap gak gue pahami maksudnya. Jadi lebih baik terus mendengarkan.

“Bapak kamu juga bilang sesuatu yang gak ibu ngerti.” Nyokap masih melanjutkan.
“Bilang apa?” Gue makin khawatir.
“Bapak bilang dia butuh waktu lebih lama.”

Nyokap kemudian berkata bahwa gak lama setelah itu bokap tertidur lagi. Jadi, sekarang ada dua misteri yang masuk ke kehidupan gue. Satu, maksud nyokap menggeleng. Dua, maksud kata-kata bokap.

Kakak gue memanggil. Sudah waktunya jam besuk. Kemudian, gue masuk bersama nyokap ke dalam ruang ICU. Di luar sana, Kakak gue bertugas menemani Hari, Laras dan Pur untuk bersenda gurau. Mereka harus antri untuk menunggu giliran masuk, itu juga kalo mereka mau masuk.

Bokap masih seperti yang udah gue lihat sebelumnya. Masih ada selang infus di kedua lengannya, masih ada alat bantu nafas, masih ada juga kabel-kabel yang melintang dan tertempel di kepala dan dada bokap.

Gue mau sekali mengucapkan selamat pagi pada bokap gue. Gue mau seperti anak-anak gadis lainnya yang kemudian curhat tentang hidup yang telah dilaluinya. Lalu menangis dengan air mata yang membanjir dari pipi sampai kain sprei. Tapi gue gak bisa seperti itu. Dari dulu gue gak bisa. Jadi, hal baik yang masih sanggup gue lakukan hanya berdoa.

“Selamat pagi Ibu Mursala.” Seorang dokter masuk.
“Pagi, dok.” Sapa nyokap gue.
“Kamu Erna kan? Kok baru keliatan lagi?” Dokter itu bertanya pada gue.

Gue cuma bisa nyengir. Kami kemudian bersalaman dengan senyum yang formal.

Pak Dokter itu namanya Dokter Rahman. Gue pernah beberapa kali bertemu Dokter Rahman sebelum dikurung Nicole di apartemen. Sebagai dokter yang merawat bokap, Dokter Rahman memang udah saling kenal dengan gue dan nyokap.

Dokter Rahman lumayan tua, mungkin usianya 40an akhir atau udah lewat 50an. Biasanya di usia segitu, bapak-bapak udah berbangga dengan perut buncitnya. Tapi beliau terlihat berkebalikan dengan teori gue. Pak Dokter Rahman lebih kurus dari orang kebanyakan dan cenderung bungkuk. Rambutnya yang beruban selalu tersisir rapi ke kanan, semakin menunjukkan bahwa beliau terkesan nyentrik.

Dia membawa sebuah papan jalan dan ditemani seorang perawat cewek. Kemudian, banyak rutinitas pagi yang dilakukan Dokter Rahman untuk memeriksa bokap. Beliau kemudian memberi diagnosis harian kepada nyokap. Selalu sama, kecuali saat Pak Dokter sedang ada jadwal simposium hingga terpaksa digantikan dokter jaga.

“Saya punya indikasi serius.” Dokter Rahman membuka diagnosisnya.
“Gimana, Dok?” Tanya nyokap.
“Sebelumnya saya minta maaf terlambat mendiagnosis....”

Diagnosis bokap wajar terlambat. Bokap dateng dalam keadaan minim informasi soal penyakitnya, kecuali darah tinggi dan beberapa penyakit tua lainnya. Selain itu, hal yang menyebabkan bokap gue terpaksa dilarikan ke rumah sakit sangat misterius. Banyak saudara dan tetangga yang sampe percaya bokap kena guna-guna.

“Jadi, kami kira awalnya Bapak Mursala sedang koma sepanjang dirawat di sini. Sampai kemarin beliau bangun, kami akhirnya punya indikasi bahwa Bapak Mursala mengalami mimpi sadar yang berkepanjangan. Istilahnya lucid dream.” Dokter Rahman menjelaskan.

Gue menoleh ke nyokap. Apa bokap benar-benar inhuman? Kenapa nyokap ngerahasiain ini?

“Yang belum kami pahami adalah bagaimana iris matanya bisa berubah. Sebaiknya beliau dialihkan ke spesialis gangguan tidur secepatnya.” Lanjut Dokter Rahman.

Kepala gue penuh dengan informasi baru. Apa itu lucid dream?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Selamat siang, sorry telat update sampe dini hari tadi.

Sudah nonton The Punisher di Netflix? Serialnya bagus dan ratingnya tinggi lho.
 
soundtracknya PMan itu yg ini bukan?
"pman pman pman.. ku panggil dia pman.."
hihihi, sorry oot :ampun:
 
Episode 30
Pemeran Wanita Terpuji


POV Hari

Menurut gue, warga Jakarta terbagi menjadi dua kelompok pengendara kendaraan bermotor. Kelompok pertama adalah orang-orang yang sabar menghadapi panas dan kemacetan Jakarta. Mereka-mereka itulah yang biasanya taat aturan, marka, dan rambu-rambu lalu lintas. Golongan ini rata-rata punya pendidikan menengah ke atas, atau seenggaknya mereka adalah driver dari sang pemilik kendaraan yang seorang profesor atau direktur perusahaan. Puja mereka yang taat aturan.

Kelompok kedua adalah mereka yang suka seenaknya sendiri dan ugal-ugalan di jalanan. Buat pengendara motor, merekalah yang juga suka naik ke atas trotoar untuk menyintas kemacetan. Gak gue pungkiri beberapa tetangga gue yang berprofesi jadi tukang ojek yang mangkal di sekitar Pasar Tanah Abang juga begitu. Ada juga sopir angkot yang kejar setoran. Mereka-merekalah yang jadi biang kerok sampai 30% dari total penyebab kemacetan Jakarta.

Kemacetan dari Benhil sampai Antasari ini bangsat sekali. Dan ini weekdays. Motor-motor kami melaju lambat dalam kepenatan jalanan, mengantar kami pulang dari tempat pemakaman umum tempat nyokap gue dan Kenia dimakamkan.

Pur menyempatkan waktu untuk tolah-toleh mumpung macet. Termasuk juga kepada gue yang ada di belakang dia.

“Har!” Teriak Pur ke gue.
“Apa?!” Sahut gue

Pur menggedikkan kepala ke motor di depannya. Disitulah posisi Erna.

Erna mengalami apa yang namanya mood swing, istilah yang gue pake bareng Eda kalo di antara kami berubah suasana hatinya tiba-tiba. Itu karena Erna mengalami hal yang gak terduga di rumah sakit tadi.

Selepas Erna dan nyokapnya keluar dari ruang ICU, perdebatan seketika terjadi. Gue sempat mendengar bahwa dia meminta kejelasan kepada nyokap soal keadaan bokapnya.

Yang terjadi saat itu adalah masalah keluarga. Maka gue, Laras, dan Pur lebih memilih diam dan mendengarkan.

Erna berkata bahwa ada kemungkinan bapaknya sendiri adalah inhuman. Memang belum ada buktinya. Nyokapnya sendiri ngebantah hal itu dengan berbagai alasan. Absennya sekam inhuman saat bokap Erna jatuh dan gak sadarkan diri adalah salah satunya. Gak baik berdebat dengan Erna dengan keadaannya yang kacau.

Motor pelan-pelan melaju hingga apartemen tempat penthouse kami berada. Kami pun tiba di basement. Motor diparkir berderet. Stang dikunci. Kami pergi bersama-sama menuju lift. Dan Erna masih diam.

“Na.” Panggil gue.
“Ya?” Sahutnya singkat.
“Thanks.” Kata gue.

Semua orang jadi labil setelah pulang dari Vanaheim, termasuk gue kayanya. Gue bahkan gak tau lagi siapa yang waras dan siapa yang nggak. Terlebih ;agi, harus dilihat dari sudut pandang siapa seseorang dinilai waras atau nggak.

Buat gue, waras adalah saat keadilan didirikan, yaitu saat Hammer Tech dan Roxxon musnah. Buat Pur dan Laras, mungkin waras adalah saat diri mereka masih memiliki Asgard untuk pulang. Buat Erna, mungkin waras adalah saat dirinya gak pusing mikirin bokapnya. Buat Dani, mungkin waras adalah saat dia kembali menikmati dunia luar.

Kami bersama-sama gak waras.

“Laporan?” Tagih Nicole.

Nicole tanpa basa-basi, berlipat tangan, dan itu terjadi saat kami baru masuk penthouse.
“Tunggu sebentar, butuh minum.” Sahut Laras.

Belum ada dua menit kami duduk, Nicole bersuara lagi.

“Kenapa gak ada info? Inhuman tadi gimana kabarnya?” Kata Nicole.
“Itu palsu. Oke?” Gue menjawab secukupnya.
“Palsu?” Tanya balik Nicole.
“Palsu.” Gue mengangguk.

Nicole masih gak paham apa yang gue katakan. Kemudian, Laras dengan sabarnya menjelaskan bahwa laporan terrigenesis yang diberitakan adalah akibat kenakalan anak-anak untuk mendapatkan sensasi. Tentunya itu bohong. Laras cuma mengikuti alasan paling logis yang gue katakan kepada dia saat di pemakaman tadi, berdasarkan pengalaman gue dan Dani beberapa bulan lalu.

Erna gak bersuara dari tadi. Dia memilih untuk berganti baju, lalu masuk ke ruang latihan fisik. Terdengarlah bunyi jedag-jedug samsak tinju yang terpukul bertubi-tubi. Gue, Laras, dan Pur gak berani ganggu dia. Kecuali Nicole yang belum tau apa-apa.

“Erna kenapa?” Nicole mau beranjak masuk ke ruangan.

Laras menarik lengan Nicole sembari menggeleng. Itu pesan tersirat yang artinya supaya Erna jangan diganggu dulu. Tapi sepertinya Nicole gak peduli dengan pesan Laras itu.

“Kenapa memangnya?” Nicole bertanya lagi.
“Cuma masalah sepele di jalanan. Tapi sekarang jangan diganggu dulu.” Pur menimpali.
“Itu sepele kan. Gak boleh...” Kata si Nicole kampret tukang ngeyel ini.

Laras mencoba berbisik kepada Nicole. Dia berbisik tapi suaranya masih bisa terdengar di telinga gue. Laras berbisik seolah ini hal yang kritis, padahal sih nggak. Pre-Menstruasi Syndrome bisiknya barusan, alias PMS.

“Sekarang kalian boleh istirahat dulu.” Kata Nicole
“Serius?” Pur pastilah heran.
“Jam 5 kita rapat. Penting.” Nicole menghilang ke ruangan kerja Dani.

Kami sesaat heran dengan keputusan Nicole. Tapi, akhirnya kami paham maksudnya. Istirahat kata Nicole bukanlah maksudnya kami boleh berleha-leha, melainkan untuk menyimpan tenaga supaya kuat melotot sampai tengah malam lewat.

Rapat adalah hal yang paling disukai Nicole. Artinya, kami harus duduk tanpa henti di balik meja, di dalam ruang rapat. Jeda yang diizinkan hanya 90 menit saat jam 6 sampai setengah 8 malam karena dia masih menghormati gue, Dani, dan Erna yang muslim. Ditambah juga kami tetap harus makan malam yang hampir tiap hari diorder dari rumah makan.

Istirahat bukan berarti hal baik. Nicole menerjemahkan bahwa istirahat 90 menit adalah rapat 90 menit yang tertunda. Dia kemudian mengompensasi waktu tersebut hingga tengah malam kemudian. Belum lagi kalau ada keputusan untuk melakukan video call dengan pimpinan di seberang benua. Inilah salah satu bencana lainnya yang rutin terjadi.

Kami sangat bersyukur kalau Nicole mengadakan rapat gak penting seperti beberapa hari lalu.

“Har, mau ngapain?” Pur menepuk pundak gue.

Gue menoleh ke Pur, tapi belum sempat menjawab apa-apa.

“Ke kamar gue yuk.” Katanya lagi.
“Berdua doang?” Gue mengangkat alis.
“Sama Laras lah.”

Mulut gue membulat tanpa suara.

Kami turun satu lantai, lalu berbelok mengikuti lorong apartemen menuju kamar Pur. Sesaat kemudian, duduklah kami di dalam kamar Pur yang normal ini. Kamar yang bentuknya sama aja dengan kamar gue, dengan jendela lebar dan dilengkapi sepetak balkon. Westafel masih ada di dekat pintu masuk, di depan pintu kamar mandi. Gak ada arsitektur interior yang diubah-ubah olehnya.

“Bagi minum ya.” Gue membuka kulkas.
“Bebas.” Katanya.

Gue membuka kulkas, lalu disitulah gue menyadari apa yang beda dari kamar Pur. What the hell, isi kulkasnya penuh. Ada buah-buahan, ada cokelat, ada jus, ada susu, dan berbagai makanan instan lain yang memang semestinya disimpan di kulkas. Gue curiga ada setumpuk mi goreng instan juga di sebelah rak piring di atas westafel.

Benar kan, ada juga mi goreng!

“Anjir anjir anjir ANJIR ANJIR!” Gue memaki.
“Sssst...”

Pur menutup mulutnya dengan jari telunjuk. Laras tersenyum tersipu, tapi gue yakin di dalam hatinya itu bermaksud ketawa terbahak-bahak.

“Dapet darimana?” Gue berbisik penasaran.
“Itu dia yang mau kita omongin.” Balas Pur.
“Ada apaan gila!?”

Rasa penasaran gue tertumpuk seketika. Kenapa bisa Pur membeli makanan sebanyak itu. Kami semua kan sekarang jadi tahanan apartemen. Kenapa pula setiap orang jadi pada main rahasia-rahasiaan begini.

"Dengerin ya. Jangan dipotong." Kata Pur.

Pur pun kemudian bercerita bahwa awalnya setiap minggu dia dan Laras berbalas surat ke Vanaheim menggunakan burung dara. Kemudian, beberapa minggu lalu mereka dikirimkan satu batu rune berukir bentuk mirip gapura. Batu itu sama persis dengan kumpulan batu rune punya Julia, dan salah satu batunya itu sempat membuat gue menggagahi Dani dalam keadaan liar.

Pur menyodorkan batunya ke gue.

“Weey! Jauh-jauh dari gue!” Gue mundur pelan-pelan.
“Santai, santai.” Balas Pur.

Gantian Laras yang menjelaskan ceritanya kepada gue. Dia bilang batu itu berfungsi sebagai portal untuk pergi kemana-mana. Awalnya, Laras menulis surat kepada Julia bahwa mereka terkurung di penthouse. Kemudian balasan surat yang datang disertai paket satu batu rune berukir gapura.

Laras kemudian mendemonstrasikan kekuatan batu runenya. Laras memunculkan pedang besar miliknya dari kekosongan. Kemudian, batu rune itu digosok searah dari pangkal hingga ke ujung. Muncullah percikan api layaknya besi yang digosok dengan besi. Tapi yang terjadi kemudian sangat familiar, ujung pedang Laras dihunuskan ke depan. Dia membuat lingkaran dari atas ke bawah, lalu naik ke atas lagi.

De javu. Mirip portal yang dibuat Sigit pakai cincinnya.

Dari dalam lingkaran terlihat sebuah pantai indah di entah wilayah mana. Hal yang dilakukan Laras mirip seperti Sigit dengan sihir. Bedanya, Laras cuma sekali memutar pedangnya, dan percikan api semata-mata muncul seperti kegiatan menggores ukiran di dinding.

“Engg... Gue pernah liat yang kaya gini sih.” Gue setengah bengong.
“Erna udah pernah liat kok.” Kata Laras.
“Erna juga pernah liat yang begini?” Sahut gue.
“Erna pernah liat gue buka portal begini." Laras mengoreksi.

Gue menoleh dalam kebingungan, tapi Laras terus melanjutkan kata-katanya. Dia berkata bahwa Erna, Erwan, dan ibunya pernah melihat portal begini waktu menangkap Rosi di rumah sakit. Waktu itu Pur dan Laras hendak pamit ke Asgard.

“Oke....” Gue masih bengong.
“Kita nyari makhluk Jotun pake ini.” Kata Laras lagi.
“Jajan juga.” Pur menanggapi.

Gue berusaha mencari fokus dalam informasi yang sekelebat ini. Pur dan Laras bilang mereka udah mencari makhluk Jotun sejak beberapa minggu lalu. Sementara, gue yang juga tergabung dalam tim alien gak tau apa-apa.

Apa gunanya gue dong.

“Gila. Gila lu semua.” Gue stress.
“Gila gimana?” Pur menanggapi heran.
“Y-ya.. Dani... sendirian nyari semuanya... Gue di sini....”

Gue terbata-bata menjelaskan kemarahan gue. Mood swing super hebat terjadi kepada gue. Tadi pagi Erna bikin gue marah-marah. Lalu terjadilah yang telah terjadi di rumah sakit. Kemudian, gue sedikit tenang setelah ziarah. Sekarang, terayun-ayun lagi oleh kejujuran yang dikatakan Pur dan Laras kali ini.

“Gue di sini... rasanya... kaya sendirian...” Gue kalap.
“Selow, selow.” Pur mendorong telapak tangannya ke bawah.

Dia mengajak gue menenangkan emosi. Ya kali gue bisa selow. Gue dibohongi terus sama rekan kerja sendiri.

“Selow apa!?” Gue rasanya mau darah tinggi.
“Dani tau kok.” Kata Pur.
“DANI TAU???”

---

POV Dani

Untungnya Nicole gampang sekali dikibulin.

Semua berkat pendekatan dan pekerjaan gue yang serius di sini. Laporan-laporan tentang pengintaian Hammer Tech yang tepat waktu, disiplin selama di penthouse, dan mengikuti segala aturan ketat gak jelas dari Nicole. Itulah kunci sukses gue merebut hati Nicole.

Perlu ada penghargaan akting terpuji buat gue, seperti penghargaannya Festival Film Bandung. Penghargaan yang cocok buat gue mungkin kategori Pemeran Utama Wanita Terpuji. Sama seperti yang didapatkan Chelsea Islan tahun lalu, Laudya Cintya Bella dua tahun lalu, Pevita Pearce tiga tahun lalu, sampai Ira Wibowo di tahun 1988. Kalo ada penghargaan itu, gue akan sangat merasa sempurna untuk setara seperti mereka.

Sayangnya akting ini harus tersembunyi dan gak boleh ada yang voting. Pura-pura menjadi anak baik dan gak pernah neko-neko di depan Nicole padahal susah ya. Tadi pagi gue bersepakat untuk membantu Erna dan timnya kabur sejenak dari penthouse. Ada juga rahasia Pur dan Laras yang gue jaga baik-baik.

Hape gue bergetar. Ada telepon dari Akmal.

“Halo.” Sapa gue.
“Saya otw sebentar lagi.” Akmal berkata singkat.
“Oke.”

Kalo mengingat lagi gimana gue bisa tau Pur dan Laras rahasia, itu lucu. Pur dan Laras kira mereka bisa keluar dari penthouse tanpa sepengetahuan gue. No way.

Nicole punya pelacak internal untuk kami, dipasang menjadi gelang di tangan kiri layaknya orang-orang berkekuatan yang teregistrasi Sokovia Accords. Gelang pelacak itu gak bisa dilepas. Tapi hal menariknya bukanlah di bagian gelang-gelangan, melainkan kepercayaan Nicole kepada gue untuk mengawasinya.

Hebat kan.

Tiga minggu lalu, Pur dan Laras bisa pindah tempat dari penthouse ini ke Taman Monas secara tiba-tiba. Impresif, tapi tetap ketahuan sama gue. Kemudian, terciptalah rahasia hebat di antara kami bertiga tentang sebuah batu rune. Sebagai gantinya, Pur dan Laras harus beliin gue sesuatu setiap mereka baru pulang dari mana.

Sekarang, di lemari gue ada tas hermes kulit buaya edisi terbatas waktu menyelidik ke Singapura. Ada juga dress hitam, sepatu hak mahal entah buatan siapa, dan tiga barang lain yang masing-masing dari negara di benua berbeda. Buat sekarang mungkin barang-barang itu gak penting, tapi nanti setelah semua ini selesai, gue bisa tampil glamour pas jalan-jalan.

TOK! TOK!

“Siapa??” Tanya gue ke luar.
“Nicole.”

Oke, gue kayanya lupa waktu. Ini saatnya rapat. Lalu gue keluar ruang kerja untuk berkumpul ke ruang rapat. Gue membantu Nicole menyalakan LCD dan sambungan koneksi internet. Tampaknya kami harus melalui rapat melalui telekonferensi. Pasti makan waktu lama.

“Akmal mana?” Tanya Nicole.
“On the way.” Gue sibuk mengecek mikrofon.

Nicole dan gue tetap sibuk dengan persiapan ini. Hebat ya gue bisa mencari muka, padahal niatannya bukan begitu. Gue dari awal sama kesalnya seperti Hari dan yang lainnya kepada Nicole. Tapi kerjaan gue lebih penting daripada main kesal-kesalan. Pencarian Hammer Tech dan Roxxon sangat penting dan menyangkut dendam dua lelaki labil, Hari dan Akmal.

Akmal, karena ada di tim gue, dia lah yang selalu menekan untuk tetap fokus.

Akmal yang mengingatkan. Tapi gue justru selalu terngiang sama Hari. Jadi, motivasi kami berbeda meski punya tujuan sama.

“Sore.” Pur masuk ruang rapat.

Laras mengikuti di belakangnya, lalu Erna, lalu Hari. Coba lihat wajah itu. Wajah bosan setengah mati karena terkurung di sini. Coba lihat mata itu. Mata itu berbalas melihat gue dengan matanya yang penuh benci dan dendam. Gue bersyukur bisa membebaskan dia ke luar penthouse sebentar tadi.

Gue janji akan selesaikan semuanya dengan cepat. Nicole sempat membocorkan kalau dua hari lagi kami akan menyergap Hammer Tech di lima lokasi berbeda dalam satu waktu.

“Sorry telat. Huft...” Akmal terengah-engah.

Kedatangan Akmal cukup untuk menyadarkan gue dari lamunan karena menatap Hari begitu lama.

“Kenapa itu nafas?” Tanya gue, salah tingkah.
“Macet banget.”
“Yaelah klasik.” Sahut Pur.

Rapat dibuka. Telekonferensi dimulai dengan pimpinan di seberang benua. Strategi pun dibicarakan mengenai bagaimana kami bisa sampai pada saat bersamaan di Belitung, Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Bawean, dan Kendawangan.

“Saya rasa kita harus kerja sama dengan kepolisian. Anggota kami cukup banyak untuk terjun ke lapangan. Kita bisa menang jumlah dibanding mereka.” Tanggapan Akmal.
“Oke. Ada ide lain?” Tanya pimpinan di seberang layar.

Akmal melihat wajah anggota rapat satu-satu. Dia seperti ingin memastikan ini adalah ide yang paling baik. Sejujurnya, resiko terjun ke lima tempat berbeda dengan jumlah kami yang cuma bertujuh sangat berbahaya. Gue menghitung sendiri, kira-kira jumlah mereka di setiap tempat ada sekitar 30 sampai 70 orang.

“Menurut saya itu saran paling masuk akal.” Gue merespon pertama.

Pur menggangguk dengan kepalanya yang masih tertunduk. Dia sok berpikir, seandainya memang mau berpikir. Buat dia pasti ide ini kurang penting karena einherjar pasti bisa melawan mereka semua sekaligus. Sayangnya sekarang cuma ada dua einherjar. Seandainya ada lima einherjar sekarang, pasti ide pak polisi di sebelah gue bisa dikesampingkan.

“Any ideas? Guys?” Tanya Nicole.
“Nope.” Hari menggeleng.

Oke. Deal. Bekerja sama dengan kepolisian.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Kok gw lbh tertarik ke Nicole ya......
Iya dia agent.....ketat....tp sperti punya sesuatu yg tersembunnyi di balik smua sikap tegas n bossy........smoga cuma kecurigaan gw aja si....heheheh

Thx suhu buat updatenya....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd