Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Wew apa yang terjadi antara eda dan rivin ya...????
 
Konfliknya makin berkembang.. makin seru nih kayanya....
1. Konflik Eda vs Rivin
2. Konflik Erna dan Bryofit
3. Konflik (mungkin?) dlm inhuman soalnya Erna dpt telpon mendadak...
 
nah suhu di atas ane boleh jga theory nya tuh, mungkin aja alicia dkk tuh bukan jga dari hammer tech/roxxon, tapi punya misi sendiri buat ngehancurin hari dkk. waahh wahh.. ayo hu, kapan update nya nih?
ane ada di pojokkan hu, klau ud update panggil aja yak... :ngeteh:
 
Episode 27
Lampu Warna Kuning


POV Erna

Mantap sekali Nicole, menelepon gue di saat yang tepat ketika diskusi dengan Anwar menemui jalan buntu. Gue mengerti Anwar butuh uang karena dia udah selesai dengan kuliahnya dan gak perlu-perlu banget buat lanjut S2. Tika juga butuh uang, Jennifer juga butuh uang, semua butuh uang.

Gue punya uang lebih banyak daripada Anwar karena kemarin honor sebagai agen baru aja turun. Sayangnya, gue gak bisa menyuarakan kalo gue bisa patungan karena biaya rumah sakit bokap gede banget. Hari pernah bilang honornya bisa buat menghidupi tiga orang dengan layak selama delapan bulan. Segitu pula harga rumah sakit bokap setiap bulan.

Jadi gue sekarang udah kembali bermalam di tengah jalan ditemani skuter matic kesayangan. Bolak-balik dari Depok, ke Jakarta Pusat, balik lagi Depok.

Sesampainya kembali di Penthouse, cuma ada Hari, Laras, dan Pur yang berkumpul di ruang rapat, diketuai Nicole dalam perkumpulan tengah malam saat ini. Kami berempat makin terikat setelah dibentuk menjadi tim Alien oleh Nicole, artinya kami bertanggung jawab menangani perihal yang mengganggu kemaslahatan umat akibat makhluk non-bumi. Laporan-laporan mengenai inhuman termasuk di dalam tugas dasar kami itu.

“Dari mana?” Tanya Nicole dalam bahasa Indonesia yang fasih.​
“Emang gak ada yang bilang?” Tanya balik gue.

Nicole menatap gue keras.

“Ketemu sama temen, agenda penting tadi.” Gue menjawab singkat.
"Saya mau pertimbangkan izin ke luar kalian." Nicole bicara tegas.

Nicole adalah perempuan perwakilan dari A.T.C.U. yang mendadak datang ketika kami baru kembali dari Vanaheim bulan lalu. Dialah yang sempat berantem sama Laras dan Pur, lalu lanjut menanya-nanyai kami. Lebih tepatnya menginterogasi selama empat jam. Kakak gue sampe kena getahnya sampai kami gak bisa langsung pergi ke rumah sakit malam itu.

Nicole ini orang Anglo-Amerika dan manusia biasa. Dia bukan inhuman, meski bisa terbilang awet muda meski memasuki akhir usia kepala tiga. Dia bisa berbahasa Indonesia meski bukan karena ada darah keturunan, melainkan mengikuti kelas budaya sejak pendidikan dasar. Sampai sini, gue heran kenapa bisa menghafal detail data diri Nicole.

Dari kepribadiannya yang gue amati sebulan ini, dia masuk kategori antitesis dari Lina. Lina itu anak muda lulusan akademi S.H.I.E.L.D., agen lapangan yang supel, suka ngobrol, dan fleksibel, tapi juga kurang berpengalaman dalam keputusan. Bandingkan sekarang dengan Nicole yang tegas, keras, gak neko-neko, gak mau basa-basi, dan bicara seperlunya.

Nicole adalah atasan kami yang baru. Tugasnya yaitu sebagai narahubung petinggi A.T.C.U. dan kami agen lapangan di Indonesia. Jika benar-benar diperlukan, barulah dia boleh terjun ke lapangan. Dia jugalah yang dengan hak otoritasnya langsung membentuk dua tim tanggap di sini. Tim teknologi dan tim alien.

“Karena tim alien sudah kumpul semua, saya harus menyampaikan seuatu.”

Menurut Nicole bulan lalu, tim alien dibentuk atas dasar anggotanya yang merupakan alien, setengah alien, atau makhluk mistik. Tim satu lagi, tim teknologi, dibentuk sesuai kemampuannya untuk menggunakan teknologi dan persenjataan. Dari definisi itu, sudah tertebak siapa aja anggota tim dan tugasnya.

Kami, tim alien, sedang semua duduk dengan serius di kursi empuk masing-masing. Kursi yang dua minggu lalu didatangkan untuk rapat di ruangan ini beserta dengan meja besar yang desainnya layak ditempatkan di ruang rapat. Semua perabot baru ini diletakkan di satu ruangan bekas kamar Hari, dan akhirnya dia kehilangan kamar.

Kami semua kehilangan kamar satu demi satu. Kamar Hari jadi ruang rapat, kamar Dani jadi ruang komputer dan segala perangkatnya, dan kamar gue jadi sarang latihan fisik. Cuma satu petak di pojokan ruang tengah yang tetap dibiarkan sebagai tempat santai. Sebagai gantinya, satu lantai di bawah penthouse ini disewa kamar satu-satu supaya penthouse hanya murni berfungsi sebagai kantor. Gue penasaran gimana caranya A.T.C.U. bisa melobi pengelola gedung.

“Saya lihat belakangan Laras dan Pur suka merenung. Ada yang mau diceritakan?” Nicole melanjutkan bicaranya.

Gue dan Hari langsung menatap Pur dan Laras. Mereka berdua kaget, entah kaget karena ketahuan merenung atau karena ditatap penuh rasa ingin tau oleh orang-orang seisi ruangan.

Berceritalah Laras tentang beban pikiran mereka yang kalut dengan berita-berita dari Asgard, yang dikirim oleh burung dara dari Vanaheim. Asgard sedang kacau balau dan beberapa definisi lainnya yang gak bagus. Sudah begitu, mereka gak diizinkan pulang ke Asgard. Satu-satunya jembatan pelangi atas penjagaan Heimdall sedang gak bisa dibuka juga.

Nicole mendengarkan sampai cerita selesai, lalu dia bicara.

“Kalian ingat tugas kalian dari Asgard?” Tanya Nicole.
“Makhluk Jotun, oke, kami tau.” Pur yan menjawab.
“Kalo gitu laksanakanlah. Kalian kan prajurit.” Nicole datar.

Nicole punya masalah serius. Ini bukan tim yang baik untuk dibentuk jika dia terus begini. Kalo bukan karena Laras dan Pur diancam ditangkap A.T.CU. karena mereka adalah alien ilegal, malam ini pasti udah terjadi perkelahian lagi yang kesekian kalinya.

“Oke, pindah ke masalah lain. Ini lebih penting.” Nicole berkata lagi.

Seriusan? Topik Laras dan Pur ditutup dengan solusi yang diucapkan tanpa rasa simpati? Kenapa gak mati aja Nicole ini ditembak pasukan Chitauri. Lalu kami bisa menjalankan misi kaya biasanya sebelum dia datang.

“Banyak inhuman yang diburu sama organisasi lain.” Kata Nicole.
“Roxxon??” Tanya Hari.

Hari mendadak antusias.

“Banyak, bukan cuma Roxxon. Kami juga mewaspadai organisasi yang ada di Hawaii. Tapi ingatlah, yang jadi kekhawatiran kita sekarang adalah wilayah kepulauan ini. Asia Tenggara.” Nicole tegas.

Ucapan Nicole adalah Keniscayaan. Dengan ucapan tadi, resmilah kami jadi penjaga seantero Asia Tenggara. Asia Tenggara secara harfiah menurut Nicole adalah apa yang ditetapkan di peta dunia, termasuk Malaysia, Vietnam sampai Filipina. Luar biasa, sementara kami hanya berempat tanpa bantuan orang lokal di masing-masing lokasi.

Gue akhirnya geregetan untuk buka suara.

“Sorry, Nicole? Asia Tenggara?” Gue mencoba mengoreksi.
“Panggil saya Miss Richards. Ada masalah?” Nicole malah bertanya balik.

Gue menarik nafas panjang dulu. Segala macam hal bisa salah di mata Nicole Agatha Richards yang super sempurna. Kampret kan gue bisa hafal nama lengkapnya.


Nicole Agatha Richards

“Kita ngejaga satu Indonesia aja udah payah. Transportasi supaya sampai ke lokasi masih sulit. Anda yang bilang sendiri kita susah ngerekrut pilot quinjet. Mereka cuma tertarik jadi tenaga bantu Avengers. Sekarang haruskah se-Asia Tenggara?” Papar gue.

Gue menyampaikan pendapat yang logis dan realistis buat Nicole. Saat ini A.T.C.U. masih kekurangan sumber daya manusia, lalu dia ingin memberi kami kerja rodi. Memang gaji kami besar, tapi keliling Asia Tenggara dalam waktu singkat itu di luar nalar manusia dan inhuman.

Gue menoleh ke Hari untuk mencari dukungan. Dengan pengalaman dan pendapat dia juga, pasti debat ini bisa kami menangkan. Tapi sayangnya, dia telanjur terdistraksi dengan bayang-bayang Roxxon yang tadi dia tanyakan. Gue jadi semakin yakin kalau Roxxon dan Hammer Tech udah jadi parasit dalam akal sehat Hari. Gue seperti bisa membaca sinar matanya yang penuh hasrat dan dendam.

“Kamu harus efektif. Kita harus efektif. Kalo perlu, kamu pakailah penerbangan komersial. Nanti saya bisa buat surat untuk izin angkut alat-alat agensi kalian ke dalam penerbangan.” Nicole balas berpendapat.

Nah kan, ini solusi gila macam apa lagi.

Gue masih mau bersitegang lagi dengan Nicole. Dia harusnya tau kalkulasi jarak dan waktu tempuh. Mari ambil satu contoh dua lokasi beda negara, seperti Jakarta ke Manila yang jaraknya hampir tiga ribuan kilometer. Rata-rata waktu penerbangan komersialnya adalah lima jam. Itu pun perlu satu kali transit di Kuala Lumpur atau Singapura.

Kalo ada panggilan terrigenesis dari Manila, bisa-bisa kami cuma kebagian remahan sekam inhuman doang. Orangnya udah diculik organisasi lain ke lokasi antah berantah. Dan kalau itu benar terjadi, gue yakin Nicole cuma punya hasrat untuk nyalah-nyalahin kami.

“Sementara itu, saya bisa ricek lagi rekrutmen pilot untuk A.T.C.U.” Nicole sedikit membenarkan opininya.

Bagus, lebih baik dia begitu. Kalo dia masih bersikeras, gue sanggup dan mau banget ngelempar semua bangku di sini ke mukanya sekarang juga. Lalu gue dengan senang hati pensiun dan gabung ke salah satu organisasi pencari inhuman itu.

Nicole selanjutnya meminta kami untuk siap siaga atas segala panggilan inhuman atau makhluk non-bumi lainnya yang muncul. Itulah kalimat penutupnya sebelum kami dipersilahkan bubar. Gue pikir-pikir, sebenarnya gak ada yang penting dari pertemuan tengah malam ini. Nicole Super Kampret Agatha Richards Sialan. Miss Sialan.

Tapi panggilan ini lumayan bagus sebagai alasan untuk pergi dari debat sama Anwar.

"Oh iya, kalian mulai sekarang gak boleh keluar dari penthouse." Nicole berbalik badan.

Kami kemudian bubar, naik lift untuk turun satu lantai, lalu berjalan di lorong menuju kamar masing-masing. Gak ada diskusi yang terjadi sepanjang kami bersama-sama di lift atau pun di lorong. Gue bahkan baru berani menghampiri Hari tepat di depan pintu kamarnya.

“Hari, are you okey?” Tanya gue.
“Nggak.” Jawab Hari.
“C’mon, kita nanti bisa hajar Roxxon setelah ini selesai.” Bujuk gue.

Ini benar-benar upaya gue yang tulus untuk menghibur Hari. Dia menjadi pendendam yang hebat kepada organisasi pembunuh ibu dan adiknya itu, apalagi setelah kedatangan Nicole yang menyebabkan dia gak boleh berurusan sama organisasi berteknologi.

“Kapan selesainya, Na? Sampai Nicole mati? Gue balik dari Vanaheim punya harapan bisa ngejar itu Roxxon Sama Hammer Tech. Tapi sekarang tugas gue dibatasin cuma nyari-nyari inhuman sama makhluk Jotun itu.”

Gue melotot, lalu menoleh ke ujung lorong lain untuk mengetahui apakah Laras dan Pur sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Gue menghela nafas lagi setelah tahu udah gak ada siapa-siapa di lorong.

“Coba lu cek Dani sekali-sekali. Dia di kamarnya pasti kurang tidur karena terus ditugasin di depan komputer.” Kata Hari lagi.

Oke, gue jarang ketemu Dani belakangan ini. Kerjanya pasti lebih berat daripada kami.

“Nicole itu punya otak atau nggak sih? Tim teknologi sekarang anggotanya cuma Dani sama Akmal. Coba lu cek Akmal di kamarnya. Gak bakal ada, dia punya kerjaan normal jadi polisi. Mana bisa fokus sama agen-agen begini.” Hari terus bicara.

Gue geregetan. PLAK! Gue tampar Hari sekencang-kencangnya.

“Mikir! Lu sama Akmal lama-lama sama aja. Sama-sama penuh dendam. Emangnya kalo lu begitu bisa ngebantu tugas kita?” Bentak gue.

Hari gak ngebales. Dia malah langsung masuk ke kamar, ngebanting pintu, dan menguncinya dengan kunci slop sekaligus kunci utama pintu. Hebat Erna, lu bikin konflik lagi.

Hari, asal lu tau, meski gue jarang ketemu Dani belakangan ini, gue tau dia kerja keras demi lu. Dani di depan komputer dari siang sampe siang lagi dengan kamera-kamera pengintainya yang udah tersebar di hampir seluruh Indonesia cuma untuk menemukan Roxxon dan Hammer Tech. Buat siapa lagi kalo bukan buat lu, Hari.

Ini gak bagus. Gue di sini malah menampar Hari lih-alih menenangkan. Padahal, niat gue semata karena gue khawatir. Gue dan Hari sama. Sama-sama memiliki kode genetik yang membuat kami mirip, sebagai inhuman. Tapi rupanya lama-lama kemiripan yang ada di benak gue itu membuat kekhawatiran yang berlebih. Khawatir kalau dia sampai kenapa-kenapa seperti anggota keluarganya yang lain.

Ini gak bagus. Jatuh cinta? Nggak. Itu cuma buat anak labil. Orang seperti gue harus profesional dengan pekerjaannya, seperti kata bokap sejak gue kecil.

Gue menghela nafas dan berjalan lunglai ke kamar sendiri. Gue berbaring di kasur dengan sepatu sneakers yang belum terlepas. Lampu remang berwarna kuning menemani pikiran gue yang macam-macam selama sebulan ke belakang. Lampu remang berwarna kuning membuat mata gue berair karena panjang gelombang serta frekuensinya membuat mata gue lelah. Lampu remang berwarna kuning menemani gue tidur di kamar ini sejak pindah dari lantai penthouse di atas.

---

POV Dani

Kayanya ada suara Hari sama Erna di lorong. Perlu gak ya gue ke sana. Pantat gue udah panas duduk di bangku empuk ini dari jam berapa tadi. Gue juga belum keluar kamar dari jam berapa tadi. Gue menoleh ke jendela, udah gelap. Gue menoleh ke jam dinding, udah lewat tengah malam. Gue hilang waktu.

Pas gue mau berdiri, ada telepon dari Akmal.

“Halo, Mal?” Sapa gue
“Bisa tolong cek lokasi di Belitung gak, Dan?” Pinta Akmal langsung.
“Oke. Ada info apa emang?”

Gue mengetuk-ngetuk Keyboard dan menggeser mouse ke sana ke mari.

“Ada info dari temen di pelabuhan dekat sana kalau kedatangan kelompok teroris aneh gitu.” Akmal menjelaskan.

Gue menggunakan headset sambil terus bermain dengan keyboard serta menatap tiga layar komputer ukuran 27 inch secara bergantian. Sementara itu, Akmal bercerita dan gue mendengarkan. Ada sebungkus biskuit keju yang sedikit-sedikit gue comot untuk mengisi perut. Gila, enam bulan menjadi agen, lalu gue berubah jadi freak begini.

Awalnya gue cuma sekedar bertugas mengoperasikan kamera lebah. It’s okay karena gue suka banget sama kamera, apalagi buat selfie. Beberapa minggu kemudian, gue harus mengoperasikan satu laptop dengan spesifikasinya yang lebih cocok buat koleksi sekaligus main game online.

Sekarang, gue dipaksa berdiam diri di dua kamar. Satu di kamar gue dan satu di penthouse untuk melihat-lihat bahasa komputer yang secara harfiah cuma dua nomor sepanjang hidup. 0 dan 1. Nicole benar-benar punya otoritas yang super hebat sampai bisa mengobrak-abrik kehidupan gue.

“Mereka bawa senjata rakitan gitu, mengkilap.” Jelas Akmal lagi.

Lamunan gue terbuyarkan karena suara Akmal yang terakhir tadi. Oke, senjata mengkilap itu definisi yang cukup jelas. Hari pernah ngelihat senjata rakitan dengan warna mengkilap juga, dan itu kejadian di Mangga Dua yang menewaskan Kenia.

Gue kemudian berfokus pada layar paling kiri. Layar itulah yang menampilkan tayangan dari anak-anak gue. Freak banget ya gue mulai bilang kamera lebah sebagai anak-anak. Kamera-kamera itu gue kondisikan supaya inspeksi ke berbagai penjuru di Indonesia.

Beruntung lokasi yang dicari kali ini di Belitung, karena udah ada satu lusin kamera yang telah gue tempatkan di situ tiga hari lalu. Gue punya masalah menempatkan kamera di beberapa wilayah di Indonesia timur karena akses sinyalnya masih sulit. Pernah ada dua lusin kamera yang gue taruh di Pulau Seram dan dan Taman Nasional Lorentz. Sayangnya, semua kamera kehilangan sinyal di sana.

Gue masih melihat-lihat layar layaknya melihat kumpulan CCTV. Gue mengklik satu-satu setiap tampilan dengan mode inframerah. Gue juga terus berbincang dengan Akmal untuk memahami keterangan lokasi yang disampaikan informannya itu.

“Got it, Mal! Ada satu kelompok di Belitung.” Tambah gue.
“Di sebelah mana?” Tanya Akmal.
“Bukan pas di Belitung, tapi di Pulau Ajermasin. Sebelah timurnya Belitung.” Gue beralih ke layar satelit.
“Organisasi apa?” Tanya dia lagi.

Gue kembali beralih layar kamera agar tepat mengendalikan kamera lebah. Kamera itu gue putar-putarkan di sekitar markas tersebut demi mencari sebuah nama organisasi. Akhirnya, nama organisasi yang dicari bisa ketemu pada watermark di senjata rakitan mereka.

“Ha-mmer-Tech.” Sahut gue sambil mengeja.
“Oke, simpan dulu. Terus jaga.” Kata Akmal.

Dengan ketemunya satu lagi kelompok Hammer Tech, kami berdua udah menemukan tiga kelompok Hammer Tech yang terpisah di tiga lokasi. Dua lokasi sebelumnya ada di Kepulauan Seribu yang berpindah-pindah, dan satu lagi di Kepulauan Karimunjawa. Tiga lokasi Hammer Tech ketemu dengan pengorbanan kehidupan normal gue. Sebanding kan ya?

By the way, Akmal sangat pandai memprediksi. Menurutnya, Hammer Tech sulit ditemukan bukan karena mereka bermain dari hutan ke hutan, melainkan dari pulau ke pulau. Kemudian, awalnya kami mengira mereka bermain di sebelah Timur Indonesia, tapi nyatanya seluruh kelompoknya ketemu di perairan laut Jawa.

Nicole harus diberitahu hasil perkembangan malam ini, sesuai SOP baru sialan darinya itu. Gue membuka handphone, lalu layar background yang silau membuat gue lebih tenang dari kehidupan dalam ruangan ini.

Gue pandangi background itu sebentar supaya tenang, isinya foto kami berempat saat masih bareng-bareng. Gue, Hari, Eda, dan Jamet. Kehidupan telah berubah.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Kenapa nicole gak dibantai aja kalo ganghu Hari cs...? Hari cs pasti menang secara nicole bukan inhuman
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Selamat pagi.

Ayo pilih Erna/Hari atau Dani/Hari hahaha. Btw, di episode ini ada yg bisa tebak gak kasus di Hawaii itu apa?
 
pilih dani hari
lebi hottt
n pengorbanan dani tuh ruarrt biasa buat hari
 
Selamat pagi.

Ayo pilih Erna/Hari atau Dani/Hari hahaha. Btw, di episode ini ada yg bisa tebak gak kasus di Hawaii itu apa?

Tetep Dani Harri sih. Chemistry Erna krg masuk sih
Harri aj yg msh trauma soal prasaan hahaha. Dani dpt tu chemistrynya suhu.

Erna cocok utk tokoh lain. Sapa tau dia akhirnya sama yg di Hawaii,... Namor mungkin.. Akan clash with Royal Inhuman Family gara2 krjaan Maximus, saudara BBolt yg emang super ambisius n srakah kuasa #tebakasal
 
Terakhir diubah:
Episode 28
I Hate Monday


POV Eda

Putus asa adalah dampak terakhir ketika segala daya yang telah diupayakan gak pernah berhasil. Banyak kasus kelanjutan dari putus asa adalah pembunuhan, bunuh diri, atau menjadi orang gila. Tempat terakhir bagi mereka cuma tiga. Penjara, kuburan, atau rumah sakit jiwa.

Bayangkan Thomas Alva Edison jika dia putus asa saat mendapat nilai jelek waktu di sekolah, atau saat dia melakukan percobaannya yang pertama, atau saat dia bersaing dengan Nikola Tesla. Dia tentu gak akan tiba pada pencapaiannya berinovasi dalam perangkat quadruplex telegraf, mendirikan Edison Machine Works hingga General Electric Company, menemukan alat hukuman mati melalui arus listrik AC, hingga berlomba menerangi jalan-jalan Manhattan dengan pembangkit listrik pertama di kota itu.

BRAK!

Gue menggebrak meja, menyebabkan laptop gue sedikit bergejolak. Untungnya gak rusak. Semalaman ini gue bekerja lembur di kamar untuk membuat presentasi proposal besok di depan bapak-bapak manajer. Nyatanya, baru 5 layout tercipta, gue udah gak fokus. Alhasil gue melakukan browsing acak di internet, mencari gol-gol EPL yang gue lewatkan hingga sampai pada biografi Thomas Alva Edison.

Tapi barusan gue teringat lagi dengan kegoblokan gue kepada Rivin. Random sekali isi otak ini.

Gue gak mau putus asa, tapi gue kayanya sudah mencapai tahap itu. Rivin udah menghilang dan gue gak bisa menemuinya bahkan saat di tempat kerjanya. Apalagi sekarang gue udah dua minggu bekerja dalam program akselerasi karir ini. Gue sibuk setengah mati, tapi Rivin belum bisa ketemu juga.

Alis juga gak membantu sama sekali. Penjelasannya sesaat setelah Rivin pergi terlalu berbelit. Pun, dia berdalih ikut mencoba mencari Rivin sebisanya, tapi nyatanya nggak sama sekali. Dia malah berkali-kali mencoba tetap menghubungi gue mesti obrolannya gak berbobot. Dan bodohnya gue selalu yakin ada informasi penting setiap chatnya mulai menggetarkan hape.

Samuel di tempat kerja juga gak ngebantu sama sekali. Sudah dua akhir pekan, dan dia belum lelah mecoba mengajak gue pesta mengikuti gaya hidupnya.

“Anjir udah jam dua!” Gue melihat jam di pojok kanan bawah laptop..

Gue mengusap wajah. Gue harus fokus membuat presentasi.

---

POV Jamet

“Sayang, bangun.” Suara Jennifer.
“Hemmm.” Aku menggeliat.

Mataku mengejap-ngejap. Jennifer mengecup pipi gue lembut dan basah.

Sudah pagi dan ini hari Senin. Hari ini artinya aku harus mulai rutinitas seperti kemarin-kemarin lagi, dan ditambah melakukan riset mandiri di belakang rumah kontrakan ini.

“Lele mulu yang dipikirin.” Jennifer menyambar gue.
“Ngecek aja sebentar.” Kataku.

Jennifer mendadak memelukku dari belakang. Itu saat aku membuka pintu belakang rumah untuk mengecek kultivasi mikroalga yang udah membludak di akuarium besar. Warna airnya sudah hijau kebiruan dan pekat. Sudah waktunya dipanen, lalu nanti dibuat endapan, ditambahkan bahan-bahan lain seperti dedak, kemudian dibentuk menjadi pelet.

Selain itu, lele di 4 kolam terpal di lahan sebelah rumah sudah berusia satu bulan. Tinggal satu bulan lagi untuk bisa dipanen dan distribusikan ke restoran dan kaki lima yang sebelumnya sudah kucari-cari. Banyak diantaranya adalah pedagang baru.

“Pacaran aja sana sama lele gih.” Ledek Jennifer.

Aku diam gak menanggapi. Kata pacaran itu terlalu sensitif. Aku gak bisa berpacaran dengan lele, dan gak bisa juga dengan Jennifer. Ini hubungan tersembunyi. Ada satu penghalang untuk kami bisa bersama, dan itu adalah soal agama. Lebih baik buru-buru mencari topik baru.

“Sarapan yuk.” Ajakku.
“Oke. Aku masakin apa?”
“Apa aja deh.” Jawabku.

Bukanlah makanan, susu, atau cemilan yang dihidangkan Jennifer untuk sarapan, melainkan dirinya sendiri. Aku ditarik olehnya kembali ke kamar, lalu kami dengan secepat kilat bersama-sama saling menelanjangi.

“Tapi sebentar lagi morning call.” Kataku.

Gak dijawab. Jennifer langsung berlutut di depanku. Dia mulai melumat kejantananku perlahan, senti demi senti. Pandangannya selalu nakal menatap mataku sambil mulutnya sibuk di bawah situ. Kemudian, kenikmatanlah yang terasa jika Jennifer sudah begini. Dia milikku sekarang, atau bisa jadi akulah yang dimiliknya.

Tangannya ikut bermain meremas bola-bola produsen spermaku. Dia menyengkramnya dengan kekuatan yang pas, gak kuat dan gak juga lemah. Itu memang kurang berpengaruh untuk memberi respon langsung. Tapi buatku, Jennifer makin menggairahkan kalau begitu.

“Nghhh.. sayanghh...” Aku melenguh.

Jennifer semakin memberi tatapan nakal.

“Jangan kelamaan.” Kataku.

Bibirnya tersungging manja.

Jennifer kemudian berganti posisi. Dia mengangkang, memintaku menjilati liang kenikmatannya seperti yang diajarkan kemarin-kemarin. Katanya, oral seks itu wajib dalam foreplay supaya memberi rangsangan yang tepat di organ yang tepat. Semua gerayangan tangan dan kecupan di bagian lain selain kelamin adalah rangsangan sekunder untuk mengaktifkan syaraf.

Aku amatir dan Jenniferlah guruku. Makanya seks yang terjadi adalah seperti kegiatan praktik privat. Semakin banyak aku tau, semakin sering pula Jennifer meminta improvisasi dariku.

“Ribet ya, padahal reproduksi udah instingnya makhluk hidup lho.” Kataku satu bulan lalu, saat Jennifer memintaku mengoralnya pertama kali.
“Itu kan fungsi reproduksi. Sekarang ini fungsi rekreasi, sayang. Ayo dong buruan...” Jawab Jennifer persuasif.

Sekarang aku di bawah sini, menjilati celah selangkangan Jennifer yang membanjir. Jari-jari tangan kiriku turut membantu memberi sensasi padanya. Dua jari kumasukkan ke dalam lubangnya supaya lebih menambah kenikmatan.

Siapa sangka vagina itu rasanya amis, tapi bukan amis seperti bau air laut. Banyak juga lendir putih yang keluar sampai membasahi sprei, yang mirip ciri-ciri keputihan tapi lebih bening. Itu linear dengan masa subur perempuan. Yang aku tahu, buat primata selain manusia, itulah tanda-tanda positif fisiologis yang ditangkap sang jantan untuk membuahi betinanya.

Selain perilaku primata barusan, semua yang kuketahui itu adalah hasil bahan ajar Jennifer.

“Sayangh... hh... hhh...” Jennifer mulai mendesah.

Lama-lama, aksi oral seks membuatku ikut terangsang juga. Aku beranjak meninggalkan Jennifer untuk mengambil sebungkus kondom di laci.

“Safety, kan?” Tanyaku menggoda.
“He-eh.” Respon Jennifer.

Kupasang kondomku, lalu kuarahkan batang penisku lurus-lurus menuju tujuannya. Jennifer membantuku dengan membuka kakinya selebar mungkin. Ini yang paling aku suka karena aku bisa menikmati tubuh Jennifer di depan mataku

“Ahhh..” Suaraku.
“Nghhh...” Suara Jennifer.

Kami melenguh bersama-sama saat alat kelamin kami saling memberi kenikmatan. Aku melumat bibirnya lebih ganas lagi. Lalu kugoyang sesuai perintahnya. Gak terlalu cepat, tapi gak juga pelan. Semuanya harus pas pada porsinya supaya kami sama-sama puas.

“Sayang.. enak...” Rangsang Jennifer.
“Aku juga enak...” Balasku.

Kami bermain dengan cara yang umum. Saling merangsang satu sama lain ketika yang dibawah situ bekerja juga. Ciuman demi ciuman, usapan tangan di puting, semua kulakukan sesuai yang diajarkan.

Tiba-tiba telepon handphoneku bergetar. Morning call, istilah Jennifer, dan dia benci moring call yang selalu terjadi ini. Sebagai ganti kebecian Jennifer dengan morning call, dia selalu pergi ke sudut rumah yang lain untuk memencet-mencet gadgetnya tanpa alasan. Aku pun pergi ke teras rumah untuk mendapat sinyal yang lebih baik dan juga menghindar dari Jennifer.

Tapi nggak kali ini. Jennifer berbalik bergerak menggeliat di bawah tubuhku. Vaginanya mengurut-ngurut penisku. Dia juga meminta agar aku tetap menerima telepon dalam keadaan begini. Mau gimana lagi.

“Halo, sayang.” Sapaku.
“Halo, lagi apa?” Tanya dia di seberang telepon.

Dia. Janiar.

“Aku lagi...” Aku melihat Jennifer sebentar.
“Nghhh...” Jennifer mendadak melenguh.
“Suara apa tuh?” Selidik Janiar

Mampus.

“Aku lagi... nonton.. b-bokep...” Aku meringis malu.
“Nonton APA!??” Janiar pasti lagi kaget.
“Abisnya gak tahan, butuh pelampiasan.” Kataku, bohong.

Janiar mengomel panjang. Menyalah-nyalahkan aku karena nonton bokep itu gak baik. Apalagi menonton itu di pagi hari yang harusnya menjadi waktu yang produktif. Dia juga mengingatkanku bahwa banyak kegiatan yang harus kulakukan di sini dalam usaha pengembangan lele.

Di samping itu, aku dalam hati mengaku bersalah kepada Janiar. Bukan salah karena aku nonton bokep, tapi karena bersalah telah punya hubungan lain di belakang Janiar. Bukan maksudku jadi begini, tapi ada hati lain yang bisa memberikan apa yang tidak bisa dia berikan.

“Ngghhh...” Suara Jennifer lagi.
“Matiin kenapa sih.” Janiar sewot.
“L-Lagi nanggung...” Jawabku panik.

Kutambahkan juga suara desahanku yang dibuat-buat, supaya Janiar percaya aku sedang bermasturbasi.

“Mending kamu bantuin aku.” Aku memberanikan diri.
“Bantuin apa?” Tanya Janiar.
“Phonesex, please?.” Kataku.

Telepon ditutup. Janiar marah beneran.

Jennifer mendadak menyambarku. Dia bangkit dari tidurnya untuk membalik posisi kami. Ini seperti sebelum-sebelumya ketika Jennifer ingin menjadi dominan. Aku pun mengalah karena memang enak juga.

Jenifer bergerak semaunya dia, dan dengan cara yanggalak. Aku pun gak sanggup menahan serangannya yang jahat itu. Belum lagi kecupan-kecupan yang dia lakukan di kedua leher dan bahuku. Aku belum sampai ke tahap sejago itu untuk mengimbangi Jennifer.

“Aku gak kuat... ahhh gila..” Desahku.
“Keluarin aja..” Kata Jennifer.

Jennifer gak menambah apa-apa dalam permainannya. Hanya aku yang gak mampu menahan rasa geli yang udah di ujung. Ini harus dikeluarkan. Badanku melengkung sambil tanganku merengkuh kedua belah pinggang Jennifer yang kecil itu. Kutekan dalam-dalam pinggangku ke dalam kedua celah pahanya.

“Sayang.. Mau keluarhh....” Aku menggeram.

Selesai sudah. Kondomku terisi penuh.

Kami berciuman sebentar, berpelukan, lalu mengambil baju masing-masing. Aku kemudian memilih mandi, sementara Jennifer kali ini benar-benar memasak telur dadar untuk sarapan kami berdua.

Selesai mandi, aku mengambil hape untuk memeriksa info-info penting. Mungkin saja ada pelanggan baru, ada info baru soal bisnis leleku, atau ada love baru untuk postingan terakhir instagramku tiga hari lalu. Ada beberapa pesan wa yang kurang penting dari grup, yang berisikan ucapan ulang tahun, info lowongan kerja, dan pengumuman panjang lainnya.

Ada juga wa personal dari Janiar.

‘Minggu depan aku ke kontrakan kamu’. Itu isi pesannya.

Tiba-tiba bapakku menelepon.

“Halo, Zak, Janiar tadi lapor ke bapak kalo kamu jadi gak bener di sana ya?” Bapak langsung nembak begitu saja.
“Hah?”

Aku kaget dong. Janiar sebegitu niatnya sampai lapor ke

“Uang bapak jangan dibuat yang bukan-bukan, Zak.” Kata bapak.
“Beneran pak. Semua aman.” Aku membela diri.

Aku turut menjelaskan progress bibit lele yang sedang kutumbuhkembangkan. Kuceritakan juga risetku tentang mikroalga yang hari ini sudah siap untuk diolah. Dua lusin ekor bibit lele pun kusisihkan untuk riset ini, untuk diberikan perlakuan dan dilakukan pencatatan selama dua bulan ke depan. Semua aman.

“Minggu depan bapak cek yo ke sana.” Respon bokap.
“Y-yowis pak.” Reaksiku gagap.

Telepon ditutup. Janiar pasti niat ikut bapak untuk ikut ke sini. Bahaya ini Janiar kalo ketemu Jennifer. Apalagi bareng bapak.

---

POV Eda

Presentasi kelar. Hasilnya yang bagus meski gue mnegorbankan waktu tidur. Tapi pekerjaan gue belum kelar untuk hari ini. Nanti jam setengah dua ada studi kasus peninjauan pembelian obat untuk rumah sakit di wilayah Jakarta Pusat. Sekarang ini kami diberi jeda istirahat dari jam 11 hingga selesai waktu makan siang.

“Eda mamen.” Samuel menghampiri.
“Hoi.” Sahut gue.

Gue males banget ketemu Samuel sebenarnya. Dua minggu kami ditempatkan di divisi berbeda aja udah syukur. Tapi minggu ini kami dipindah lagi dan jadilah bersama-sama. Ini namanya neraka dunia v2.0.

“Makan di mana kita?” Samuel sok-sok merangkul.

Samuel berubah sejak pertama kali kami bertemu di stasiun. Waktu pertama bertemu gue, dia begitu sopan dan tutur katanya baik. Tapi makin lama kaya minta gue tonjok. Tentu tonjokan gue gak akan berasa apa-apa. Sepuluh kali kena tonjok pun Samuel belum tentu tumbang. Sedangkan gue ngeri kalau dia mau membalas meski hanya sekali tonjok.

“Bentar bentar.” Samuel memegang hapenya.

Seseorang menelepon Samuel. Lalu, gue dengan tololnya mau aja berhenti menunggu dia. Semua tampak normal dan gak penting buat gue, sampai Samuel menyebut-nyebut nama gue dalam obrolannya dengan seseorang di seberang telepon.

“Siapa? Kok bawa-bawa nama gue?” Gue penasaran.
“Pacar lu nih si Alis.” Samuel tersenyum.
“Gak lucu coy.”

Gue mengerutkan jidat.

“Dia ngajakin makan siang di Bottega. Yuk.” Samuel bersemangat.
“Gak ada duit.” Gue beralasan.
“Udeh jangan alesan, ditraktir Alis.”

Ditariklah gue sama Samuel menuju lift. Karena males menimbulkan kegaduhan, gue iyakan aja ajakannya untuk kali ini. Lagipula ini masih siang, dan sedang office hour, dan hari Senin. Samuel gak mungkin macem-macem.

Lima belas menit kemudian, tibalah kami di tempat makan mewah itu. Alis menunggu di pojok dekat jendela. Sementara, mata gue jelalatan melihat isi ruangan yang penuh dengan nuansa glamour. Sofanya, kursinya, mejanya, lampunya, semuanya terasa asing. Meski bokap gue termasuk gila, dia gak pernah ngajak gue ke tempat begini.

Samuel sekonyong-konyong melakukan tos dengan Alis, lalu dia duduk di sofa. Gue cukup bertegur sapa dengan formal. Lalu, cepat-cepat beralih ke menu yang terpajang di atas meja.

“Ini makanan seratus ribuan semua gila!” Gue melotot.
“I’ll pay it all.” Alis tersenyum.
“Denger kan.” Samuel mendelik kegirangan.

Gue jadi curiga Alis ada pamrihnya dan Samuel turut andil dalam hal ini.

“Gue gak bisa. Gue gak mau punya hutang ya.” Kata gue.

Gue meletakkan menu di atas meja. Kemudian, gue bersiap pergi dari restoran ini. Lebih enak makan di kantin kantor. Murah dan gak perlu merasakan punya hutang materi, apalagi hutang budi.

“Ini reserved seatnya dari minggu lalu lho.” Alis bereaksi.
“C’mon Eda, Alis cuma mau minta maaf. Duduklah dulu.” Sahut Samuel.

Gue terdiam. Mungkin duduk dulu di sini ada baiknya. Kasihan Alis udah mereservasi tempat ini dari minggu lalu untuk meminta maaf sama gue.

“Semuanya kan?” Tanya gue soal ditraktir ini, karena gue gak sanggup bayar.
“All of them.” Kata Alis.
“All of them.” Samuel mengulang.

Gue melihat-lihat menu yang semuanya berbahasa Inggris. Meski di setiap daftar menu ada penjelasan singkat dari campuran makanannya, tetep aja gue gak bisa membayangkan apa yang akan muncul di meja.

Gue punya pengalaman jelek makan di restoran dengan menu berbahasa asing. Ketika jalan berdua sama Dani, gue pernah memesan menu apa, lalu yang keluar adalah nasi goreng kambing pedas. Pernah juga gue makan bertiga sama Hari dan Jamet karena Dani sedang sibuk sakit perut. Waktu itu gue pesan apa, lalu yang keluar adalah telor mata sapi setengah matang.

Dua-duanya di bawah ekspektasi. Salah gue juga karena gak browsing dulu sebelum datang ke tempat makan itu sih.

Gak ada menu nasi di sini, jadi gue melihat-lihat daftar yang masih punya kandungan tepungnya. Pilihan gue jatuh kepada salah satu menu pasta. Untuk minum, gue menghindari alkohol yang daftarnya bejibun kaya daftar barang belanjaan bulanan.

“Gue ke toilet dulu ya.” Samuel menginterupsi.

Gue ditinggalkan bersama Alis. Kemudian Hening.

“So, Eda, gue minta maaf.” Alis memecah sepi.

Gue membuka kedua telapak tangan, pertanda bahwa gue bingung harus menanggapi apa kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan. Rivin beneran hilang dari jangkauan gue gara-gara Alis dalam sekejap.

Rivin memang masih bekerja di tempatnya. Dia Gak ke mana-mana, tapi gue gak bisa menemuinya sama sekali. Setiap pulang kerja, dia memilih naik angkutan online ketimbang menunggu angkot dengan resiko dihampiri gue. Begitulah gue yang cuma bisa melihatnya dari jauh.

“Actually, I like you at the first sight.” Alis menatap gue serius.
“Maksudnya?” Tanya gue.
“Ya.. gue suka sama lo.”

What the hell. What kind of Monday it is!

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Wew up date pagi...

Seru juga konflik antara eda dengan teman2 barunya. Sepertinya ada suatu yang membuat samuel and the genk mendekati eda
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd