Episode 27
Lampu Warna Kuning
POV Erna
Mantap sekali Nicole, menelepon gue di saat yang tepat ketika diskusi dengan Anwar menemui jalan buntu. Gue mengerti Anwar butuh uang karena dia udah selesai dengan kuliahnya dan gak perlu-perlu banget buat lanjut S2. Tika juga butuh uang, Jennifer juga butuh uang, semua butuh uang.
Gue punya uang lebih banyak daripada Anwar karena kemarin honor sebagai agen baru aja turun. Sayangnya, gue gak bisa menyuarakan kalo gue bisa patungan karena biaya rumah sakit bokap gede banget. Hari pernah bilang honornya bisa buat menghidupi tiga orang dengan layak selama delapan bulan. Segitu pula harga rumah sakit bokap setiap bulan.
Jadi gue sekarang udah kembali bermalam di tengah jalan ditemani skuter matic kesayangan. Bolak-balik dari Depok, ke Jakarta Pusat, balik lagi Depok.
Sesampainya kembali di Penthouse, cuma ada Hari, Laras, dan Pur yang berkumpul di ruang rapat, diketuai Nicole dalam perkumpulan tengah malam saat ini. Kami berempat makin terikat setelah dibentuk menjadi tim Alien oleh Nicole, artinya kami bertanggung jawab menangani perihal yang mengganggu kemaslahatan umat akibat makhluk non-bumi. Laporan-laporan mengenai inhuman termasuk di dalam tugas dasar kami itu.
“Dari mana?” Tanya Nicole dalam bahasa Indonesia yang fasih.
“Emang gak ada yang bilang?” Tanya balik gue.
Nicole menatap gue keras.
“Ketemu sama temen, agenda penting tadi.” Gue menjawab singkat.
"Saya mau pertimbangkan izin ke luar kalian." Nicole bicara tegas.
Nicole adalah perempuan perwakilan dari A.T.C.U. yang mendadak datang ketika kami baru kembali dari Vanaheim bulan lalu. Dialah yang sempat berantem sama Laras dan Pur, lalu lanjut menanya-nanyai kami. Lebih tepatnya menginterogasi selama empat jam. Kakak gue sampe kena getahnya sampai kami gak bisa langsung pergi ke rumah sakit malam itu.
Nicole ini orang Anglo-Amerika dan manusia biasa. Dia bukan inhuman, meski bisa terbilang awet muda meski memasuki akhir usia kepala tiga. Dia bisa berbahasa Indonesia meski bukan karena ada darah keturunan, melainkan mengikuti kelas budaya sejak pendidikan dasar. Sampai sini, gue heran kenapa bisa menghafal detail data diri Nicole.
Dari kepribadiannya yang gue amati sebulan ini, dia masuk kategori antitesis dari Lina. Lina itu anak muda lulusan akademi S.H.I.E.L.D., agen lapangan yang supel, suka ngobrol, dan fleksibel, tapi juga kurang berpengalaman dalam keputusan. Bandingkan sekarang dengan Nicole yang tegas, keras, gak neko-neko, gak mau basa-basi, dan bicara seperlunya.
Nicole adalah atasan kami yang baru. Tugasnya yaitu sebagai narahubung petinggi A.T.C.U. dan kami agen lapangan di Indonesia. Jika benar-benar diperlukan, barulah dia boleh terjun ke lapangan. Dia jugalah yang dengan hak otoritasnya langsung membentuk dua tim tanggap di sini. Tim teknologi dan tim alien.
“Karena tim alien sudah kumpul semua, saya harus menyampaikan seuatu.”
Menurut Nicole bulan lalu, tim alien dibentuk atas dasar anggotanya yang merupakan alien, setengah alien, atau makhluk mistik. Tim satu lagi, tim teknologi, dibentuk sesuai kemampuannya untuk menggunakan teknologi dan persenjataan. Dari definisi itu, sudah tertebak siapa aja anggota tim dan tugasnya.
Kami, tim alien, sedang semua duduk dengan serius di kursi empuk masing-masing. Kursi yang dua minggu lalu didatangkan untuk rapat di ruangan ini beserta dengan meja besar yang desainnya layak ditempatkan di ruang rapat. Semua perabot baru ini diletakkan di satu ruangan bekas kamar Hari, dan akhirnya dia kehilangan kamar.
Kami semua kehilangan kamar satu demi satu. Kamar Hari jadi ruang rapat, kamar Dani jadi ruang komputer dan segala perangkatnya, dan kamar gue jadi sarang latihan fisik. Cuma satu petak di pojokan ruang tengah yang tetap dibiarkan sebagai tempat santai. Sebagai gantinya, satu lantai di bawah penthouse ini disewa kamar satu-satu supaya penthouse hanya murni berfungsi sebagai kantor. Gue penasaran gimana caranya A.T.C.U. bisa melobi pengelola gedung.
“Saya lihat belakangan Laras dan Pur suka merenung. Ada yang mau diceritakan?” Nicole melanjutkan bicaranya.
Gue dan Hari langsung menatap Pur dan Laras. Mereka berdua kaget, entah kaget karena ketahuan merenung atau karena ditatap penuh rasa ingin tau oleh orang-orang seisi ruangan.
Berceritalah Laras tentang beban pikiran mereka yang kalut dengan berita-berita dari Asgard, yang dikirim oleh burung dara dari Vanaheim. Asgard sedang kacau balau dan beberapa definisi lainnya yang gak bagus. Sudah begitu, mereka gak diizinkan pulang ke Asgard. Satu-satunya jembatan pelangi atas penjagaan Heimdall sedang gak bisa dibuka juga.
Nicole mendengarkan sampai cerita selesai, lalu dia bicara.
“Kalian ingat tugas kalian dari Asgard?” Tanya Nicole.
“Makhluk Jotun, oke, kami tau.” Pur yan menjawab.
“Kalo gitu laksanakanlah. Kalian kan prajurit.” Nicole datar.
Nicole punya masalah serius. Ini bukan tim yang baik untuk dibentuk jika dia terus begini. Kalo bukan karena Laras dan Pur diancam ditangkap A.T.CU. karena mereka adalah alien ilegal, malam ini pasti udah terjadi perkelahian lagi yang kesekian kalinya.
“Oke, pindah ke masalah lain. Ini lebih penting.” Nicole berkata lagi.
Seriusan? Topik Laras dan Pur ditutup dengan solusi yang diucapkan tanpa rasa simpati? Kenapa gak mati aja Nicole ini ditembak pasukan Chitauri. Lalu kami bisa menjalankan misi kaya biasanya sebelum dia datang.
“Banyak inhuman yang diburu sama organisasi lain.” Kata Nicole.
“Roxxon??” Tanya Hari.
Hari mendadak antusias.
“Banyak, bukan cuma Roxxon. Kami juga mewaspadai organisasi yang ada di Hawaii. Tapi ingatlah, yang jadi kekhawatiran kita sekarang adalah wilayah kepulauan ini. Asia Tenggara.” Nicole tegas.
Ucapan Nicole adalah Keniscayaan. Dengan ucapan tadi, resmilah kami jadi penjaga seantero Asia Tenggara. Asia Tenggara secara harfiah menurut Nicole adalah apa yang ditetapkan di peta dunia, termasuk Malaysia, Vietnam sampai Filipina. Luar biasa, sementara kami hanya berempat tanpa bantuan orang lokal di masing-masing lokasi.
Gue akhirnya geregetan untuk buka suara.
“Sorry, Nicole? Asia Tenggara?” Gue mencoba mengoreksi.
“Panggil saya Miss Richards. Ada masalah?” Nicole malah bertanya balik.
Gue menarik nafas panjang dulu. Segala macam hal bisa salah di mata Nicole Agatha Richards yang super sempurna. Kampret kan gue bisa hafal nama lengkapnya.
Nicole Agatha Richards
“Kita ngejaga satu Indonesia aja udah payah. Transportasi supaya sampai ke lokasi masih sulit. Anda yang bilang sendiri kita susah ngerekrut pilot quinjet. Mereka cuma tertarik jadi tenaga bantu Avengers. Sekarang haruskah se-Asia Tenggara?” Papar gue.
Gue menyampaikan pendapat yang logis dan realistis buat Nicole. Saat ini A.T.C.U. masih kekurangan sumber daya manusia, lalu dia ingin memberi kami kerja rodi. Memang gaji kami besar, tapi keliling Asia Tenggara dalam waktu singkat itu di luar nalar manusia dan inhuman.
Gue menoleh ke Hari untuk mencari dukungan. Dengan pengalaman dan pendapat dia juga, pasti debat ini bisa kami menangkan. Tapi sayangnya, dia telanjur terdistraksi dengan bayang-bayang Roxxon yang tadi dia tanyakan. Gue jadi semakin yakin kalau Roxxon dan Hammer Tech udah jadi parasit dalam akal sehat Hari. Gue seperti bisa membaca sinar matanya yang penuh hasrat dan dendam.
“Kamu harus efektif. Kita harus efektif. Kalo perlu, kamu pakailah penerbangan komersial. Nanti saya bisa buat surat untuk izin angkut alat-alat agensi kalian ke dalam penerbangan.” Nicole balas berpendapat.
Nah kan, ini solusi gila macam apa lagi.
Gue masih mau bersitegang lagi dengan Nicole. Dia harusnya tau kalkulasi jarak dan waktu tempuh. Mari ambil satu contoh dua lokasi beda negara, seperti Jakarta ke Manila yang jaraknya hampir tiga ribuan kilometer. Rata-rata waktu penerbangan komersialnya adalah lima jam. Itu pun perlu satu kali transit di Kuala Lumpur atau Singapura.
Kalo ada panggilan terrigenesis dari Manila, bisa-bisa kami cuma kebagian remahan sekam inhuman doang. Orangnya udah diculik organisasi lain ke lokasi antah berantah. Dan kalau itu benar terjadi, gue yakin Nicole cuma punya hasrat untuk nyalah-nyalahin kami.
“Sementara itu, saya bisa ricek lagi rekrutmen pilot untuk A.T.C.U.” Nicole sedikit membenarkan opininya.
Bagus, lebih baik dia begitu. Kalo dia masih bersikeras, gue sanggup dan mau banget ngelempar semua bangku di sini ke mukanya sekarang juga. Lalu gue dengan senang hati pensiun dan gabung ke salah satu organisasi pencari inhuman itu.
Nicole selanjutnya meminta kami untuk siap siaga atas segala panggilan inhuman atau makhluk non-bumi lainnya yang muncul. Itulah kalimat penutupnya sebelum kami dipersilahkan bubar. Gue pikir-pikir, sebenarnya gak ada yang penting dari pertemuan tengah malam ini. Nicole Super Kampret Agatha Richards Sialan. Miss Sialan.
Tapi panggilan ini lumayan bagus sebagai alasan untuk pergi dari debat sama Anwar.
"Oh iya, kalian mulai sekarang gak boleh keluar dari penthouse." Nicole berbalik badan.
Kami kemudian bubar, naik lift untuk turun satu lantai, lalu berjalan di lorong menuju kamar masing-masing. Gak ada diskusi yang terjadi sepanjang kami bersama-sama di lift atau pun di lorong. Gue bahkan baru berani menghampiri Hari tepat di depan pintu kamarnya.
“Hari, are you okey?” Tanya gue.
“Nggak.” Jawab Hari.
“C’mon, kita nanti bisa hajar Roxxon setelah ini selesai.” Bujuk gue.
Ini benar-benar upaya gue yang tulus untuk menghibur Hari. Dia menjadi pendendam yang hebat kepada organisasi pembunuh ibu dan adiknya itu, apalagi setelah kedatangan Nicole yang menyebabkan dia gak boleh berurusan sama organisasi berteknologi.
“Kapan selesainya, Na? Sampai Nicole mati? Gue balik dari Vanaheim punya harapan bisa ngejar itu Roxxon Sama Hammer Tech. Tapi sekarang tugas gue dibatasin cuma nyari-nyari inhuman sama makhluk Jotun itu.”
Gue melotot, lalu menoleh ke ujung lorong lain untuk mengetahui apakah Laras dan Pur sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Gue menghela nafas lagi setelah tahu udah gak ada siapa-siapa di lorong.
“Coba lu cek Dani sekali-sekali. Dia di kamarnya pasti kurang tidur karena terus ditugasin di depan komputer.” Kata Hari lagi.
Oke, gue jarang ketemu Dani belakangan ini. Kerjanya pasti lebih berat daripada kami.
“Nicole itu punya otak atau nggak sih? Tim teknologi sekarang anggotanya cuma Dani sama Akmal. Coba lu cek Akmal di kamarnya. Gak bakal ada, dia punya kerjaan normal jadi polisi. Mana bisa fokus sama agen-agen begini.” Hari terus bicara.
Gue geregetan. PLAK! Gue tampar Hari sekencang-kencangnya.
“Mikir! Lu sama Akmal lama-lama sama aja. Sama-sama penuh dendam. Emangnya kalo lu begitu bisa ngebantu tugas kita?” Bentak gue.
Hari gak ngebales. Dia malah langsung masuk ke kamar, ngebanting pintu, dan menguncinya dengan kunci slop sekaligus kunci utama pintu. Hebat Erna, lu bikin konflik lagi.
Hari, asal lu tau, meski gue jarang ketemu Dani belakangan ini, gue tau dia kerja keras demi lu. Dani di depan komputer dari siang sampe siang lagi dengan kamera-kamera pengintainya yang udah tersebar di hampir seluruh Indonesia cuma untuk menemukan Roxxon dan Hammer Tech. Buat siapa lagi kalo bukan buat lu, Hari.
Ini gak bagus. Gue di sini malah menampar Hari lih-alih menenangkan. Padahal, niat gue semata karena gue khawatir. Gue dan Hari sama. Sama-sama memiliki kode genetik yang membuat kami mirip, sebagai inhuman. Tapi rupanya lama-lama kemiripan yang ada di benak gue itu membuat kekhawatiran yang berlebih. Khawatir kalau dia sampai kenapa-kenapa seperti anggota keluarganya yang lain.
Ini gak bagus. Jatuh cinta? Nggak. Itu cuma buat anak labil. Orang seperti gue harus profesional dengan pekerjaannya, seperti kata bokap sejak gue kecil.
Gue menghela nafas dan berjalan lunglai ke kamar sendiri. Gue berbaring di kasur dengan sepatu sneakers yang belum terlepas. Lampu remang berwarna kuning menemani pikiran gue yang macam-macam selama sebulan ke belakang. Lampu remang berwarna kuning membuat mata gue berair karena panjang gelombang serta frekuensinya membuat mata gue lelah. Lampu remang berwarna kuning menemani gue tidur di kamar ini sejak pindah dari lantai penthouse di atas.
---
POV Dani
Kayanya ada suara Hari sama Erna di lorong. Perlu gak ya gue ke sana. Pantat gue udah panas duduk di bangku empuk ini dari jam berapa tadi. Gue juga belum keluar kamar dari jam berapa tadi. Gue menoleh ke jendela, udah gelap. Gue menoleh ke jam dinding, udah lewat tengah malam. Gue hilang waktu.
Pas gue mau berdiri, ada telepon dari Akmal.
“Halo, Mal?” Sapa gue
“Bisa tolong cek lokasi di Belitung gak, Dan?” Pinta Akmal langsung.
“Oke. Ada info apa emang?”
Gue mengetuk-ngetuk Keyboard dan menggeser mouse ke sana ke mari.
“Ada info dari temen di pelabuhan dekat sana kalau kedatangan kelompok teroris aneh gitu.” Akmal menjelaskan.
Gue menggunakan headset sambil terus bermain dengan keyboard serta menatap tiga layar komputer ukuran 27 inch secara bergantian. Sementara itu, Akmal bercerita dan gue mendengarkan. Ada sebungkus biskuit keju yang sedikit-sedikit gue comot untuk mengisi perut. Gila, enam bulan menjadi agen, lalu gue berubah jadi freak begini.
Awalnya gue cuma sekedar bertugas mengoperasikan kamera lebah. It’s okay karena gue suka banget sama kamera, apalagi buat selfie. Beberapa minggu kemudian, gue harus mengoperasikan satu laptop dengan spesifikasinya yang lebih cocok buat koleksi sekaligus main game online.
Sekarang, gue dipaksa berdiam diri di dua kamar. Satu di kamar gue dan satu di penthouse untuk melihat-lihat bahasa komputer yang secara harfiah cuma dua nomor sepanjang hidup. 0 dan 1. Nicole benar-benar punya otoritas yang super hebat sampai bisa mengobrak-abrik kehidupan gue.
“Mereka bawa senjata rakitan gitu, mengkilap.” Jelas Akmal lagi.
Lamunan gue terbuyarkan karena suara Akmal yang terakhir tadi. Oke, senjata mengkilap itu definisi yang cukup jelas. Hari pernah ngelihat senjata rakitan dengan warna mengkilap juga, dan itu kejadian di Mangga Dua yang menewaskan Kenia.
Gue kemudian berfokus pada layar paling kiri. Layar itulah yang menampilkan tayangan dari anak-anak gue. Freak banget ya gue mulai bilang kamera lebah sebagai anak-anak. Kamera-kamera itu gue kondisikan supaya inspeksi ke berbagai penjuru di Indonesia.
Beruntung lokasi yang dicari kali ini di Belitung, karena udah ada satu lusin kamera yang telah gue tempatkan di situ tiga hari lalu. Gue punya masalah menempatkan kamera di beberapa wilayah di Indonesia timur karena akses sinyalnya masih sulit. Pernah ada dua lusin kamera yang gue taruh di Pulau Seram dan dan Taman Nasional Lorentz. Sayangnya, semua kamera kehilangan sinyal di sana.
Gue masih melihat-lihat layar layaknya melihat kumpulan CCTV. Gue mengklik satu-satu setiap tampilan dengan mode inframerah. Gue juga terus berbincang dengan Akmal untuk memahami keterangan lokasi yang disampaikan informannya itu.
“Got it, Mal! Ada satu kelompok di Belitung.” Tambah gue.
“Di sebelah mana?” Tanya Akmal.
“Bukan pas di Belitung, tapi di Pulau Ajermasin. Sebelah timurnya Belitung.” Gue beralih ke layar satelit.
“Organisasi apa?” Tanya dia lagi.
Gue kembali beralih layar kamera agar tepat mengendalikan kamera lebah. Kamera itu gue putar-putarkan di sekitar markas tersebut demi mencari sebuah nama organisasi. Akhirnya, nama organisasi yang dicari bisa ketemu pada watermark di senjata rakitan mereka.
“Ha-mmer-Tech.” Sahut gue sambil mengeja.
“Oke, simpan dulu. Terus jaga.” Kata Akmal.
Dengan ketemunya satu lagi kelompok Hammer Tech, kami berdua udah menemukan tiga kelompok Hammer Tech yang terpisah di tiga lokasi. Dua lokasi sebelumnya ada di Kepulauan Seribu yang berpindah-pindah, dan satu lagi di Kepulauan Karimunjawa. Tiga lokasi Hammer Tech ketemu dengan pengorbanan kehidupan normal gue. Sebanding kan ya?
By the way, Akmal sangat pandai memprediksi. Menurutnya, Hammer Tech sulit ditemukan bukan karena mereka bermain dari hutan ke hutan, melainkan dari pulau ke pulau. Kemudian, awalnya kami mengira mereka bermain di sebelah Timur Indonesia, tapi nyatanya seluruh kelompoknya ketemu di perairan laut Jawa.
Nicole harus diberitahu hasil perkembangan malam ini, sesuai SOP baru sialan darinya itu. Gue membuka handphone, lalu layar background yang silau membuat gue lebih tenang dari kehidupan dalam ruangan ini.
Gue pandangi background itu sebentar supaya tenang, isinya foto kami berempat saat masih bareng-bareng. Gue, Hari, Eda, dan Jamet. Kehidupan telah berubah.
BERSAMBUNG