Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Slowly, Din! × updt. 20/2/24

se.pu.luh (10) - One Big Step


Perkampunganku tak jarang menyaksikan pemudanya satu per satu meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi dengan membawa harapan dan impian, jauh di tanah orang untuk membangun masa depan, berbanding lurus dengan besarnya rintangan.

Merantau, satu kata yang mungkin tak pernah terlintas sebelumnya dalam bayanganku, setidaknya tidak pernah benar-benar aku pikirkan, hanya sekedar bayangan tak signifikan beberapa tahun hidupku ini. Tak pernah terbayang kalau hari ini aku, Dini si anak rumahan, yang selalu bermanja-manja dengan Ibu, mengganggu adik kecilku Hera dan Ipul, bermain dengan Risa dan teman-temanku yang lain, ternyata harus menjalani masa-masa yang kudengar penuh dengan ketidaknyamanan, tapi juga kesempatan.

Aku cukup sering mendengar cerita-cerita tentang bagaimana kehidupan mereka yang hidup jauh dari empuknya kasur kapas, hangatnya teh buatan Ibu, segarnya udara pagi bersama dingin yang seolah menggerogoti tulang. Meskipun begitu, banyaknya cerita, pengalaman, bahkan tips bertahan hidup yang kadangkala mereka juga bagikan, tak berpengaruh banyak terhadap ketakutan dan kekhawatiran yang membuatku terjaga semalaman ini. Tak dapat kupungkiri ada sepercik rasa penasaran terhadap pengalaman baru yang tak lama lagi akan aku rasakan, namun tetap saja, aku takut.

Beberapa bulan terakhir semenjak kejadian dengan Rehan, aku banyak menjaga jarak dengannya. Bukan, bukan sepenuhnya karena peristiwa memalukan waktu itu. Aku hanya menyadari beberapa hal, sebagai anak pertama, keluargaku banyak menggantungkan harapan pada pundak ku, aku harus mengambil langkah berat untuk bisa membahagiakan mereka, salah satu langkah awalnya adalah dengan memiliki pendidikan yang baik, supaya aku bisa berkarir dan sukses, mengambil alih beban kedua orangtuaku dan menggantikan tugas mereka menghidupi keluarga, terutama adik-adikku. Semenjak itu aku pun hanya punya satu fokus, belajar menuju ujian akhir supaya aku bisa masuk ke perguruan tinggi ternama di kota besar. Tak ayal aku pun mengurangi aktivitas bersama teman-teman secara drastis, termasuk pula Risa dan Wawan, apalagi Rehan. Untungnya mereka maklum dan mengerti, salah satu alasan aku menyayangi teman-temanku itu. Saling support-nya tak ada lawan, deh!.

Ngomong-ngomong soal Rehan, hubungan di antara kami tak banyak perubahan berarti, aku yang selalu disibukkan dengan belajar, begitu pula dia yang berusaha keras ingin lulus dan masuk di perguruan tinggi kedokteran ternama di pulau Jawa. Kami tak banyak bertemu, apalagi ngobrol. Lagipula, semenjak kejadian memalukan waktu itu, aku semakin malu untuk berbicara dengannya. Mungkin dia hanya sedikit penghias di penghujung masa sekolahku. Mungkin.

Kembali ke pagi ini, setelah banyak air mata saat berpamitan dengan keluargaku, utamanya Ayah dan Ibuku yang semakin dekat dengan kepergian ku, maka semakin berat pula mereka melepas aku anak sulung mereka. Cukup lama berpelukan, kami kemudian saling menguatkan diri untuk berpisah sementara.

Adik bungsuku Hera menangis histeris memeluk kakiku, melarangku pergi, karena setelah kepergianku, di rumah ini hanya ada dia dan adik keduaku Ipul yang kulihat masih gengsi untuk menunjukkan kesedihannya, mereka tak pernah bisa akur sedikitpun, jadi Hera kehilangan teman bermainnya di rumah ini. Namun aku berpesan kepada Ipul untuk bisa belajar lebih dewasa, mengangkat harga dirinya sebagai laki-laki.

"Kamu udah gede sayang, jaga diri kamu ya, Ibu sama Ayah, sama adik-adik kamu bakal doain kamu terus, ka-kamu sehat-sehat disana, jaga sholatnya", nasehat Ibu, sambil terus menangis.

Ayah sedari tadi hanya terdiam memperhatikanku, mencoba tersenyum sambil memegangi tangan dan memelukku, namun matanya yang basah tak dapat membohongiku, ia hanya berpura-pura gagah di depan putra-putrinya. Lalu kemudian menyalakan motor tuanya, dengan itu Ia akan mengantarku ke bandara terdekat dari perkampungan kami yang berjarak hampir 2 jam perjalanan, hanya sebuah bandara kecil yang sangat sederhana, bahkan seadanya.

"Dini, Bu, udah jam berapa ini, nanti ketinggalan pesawatnya loh", ucap Ayah mengingatkan

"Aku pamit ya Bu, Ibu sehat-sehat, nanti aku bakal sering telfon", pamitku pada Ibu
"Hera jangan nangis terus, jangan nakal",
"Kamu juga Ipul, jangan gangguin Hera terus," ucapku pada kedua adikku sambil melepaskan pelukan Ibu

Aku kemudian menyusul Ayah di motornya, lalu pelan-pelan meninggalkan halaman rumahku, halaman yang akan sangat aku rindukan, orang-orangnya, suasananya.

"Aku akan kembali, kembali sebagai orang sukses di tanah ini", yakinku dalam hati.

Selama di perjalanan, Ayah tak mengucapkan sepatah kata pun, melainkan hanya fokus mengendarai motor tuanya ini. Setelah sampai di bandara kami langsung menuju area keberangkatan, sambil mengecek jadwal pesawatku yang nanti kutumpangi.

Sesaat sebelum memberikan aku barang-barang yang dibawanya, Ayah menundukkan kepalanya dan tangannya mencengkram erat handle koperku.

"Kenapa, Ayah?", tanyaku sambil mencoba melihat wajahnya, wajah orang yang berdarah dan berkeringat demi menghidupi keluarganya

Saat itulah akhirnya tangisnya tumpah, Ayahku tak sanggup lagi menahan air matanya yang ia tahan sejak tadi. Seingatku, aku hanya pernah melihatnya menangis sebanyak dua kali, yang pertama saat pamanku yang merupakan saudaranya meninggal, yang kedua yakni saat kakekku atau ayahnya meninggal. Sekarang, jumlah itu bertambah satu, saat melepasku di tanah perantauan.

"Maafin Ayah, kalo saja Ayah ngga gagal, kalo saja Ayah orang sukses, kamu ga perlu nanggung beban keluarga, kamu ngga harus pergi buat perjuangin keluarga kita...",
"Kamu sama adik-adik kamu harusnya bisa hidup enak, tenang, ngga perlu jauh-jauh kalo Ayah suks-", tangisnya pecah, raut mukanya mengeras

"Apa sih Ayah?!", potongku
"Ngomong sembarangan, aku ga pernah nganggep ini beban, sama sekali engga.",
"Ayah itu orang yang paling gigih yang aku kenal, paling kuat, paling hebat, Ayah ngga gagal..."
"Dunia ini yang ga adil", jelasku sambil memegang tangannya, juga sambil menangis

Ia lalu memelukku erat, membenamkan wajahnya di pundakku, lama sampai ia kemudian mencium kening dan kedua pipiku, seperti saat aku masih kecil dulu.

Setelah beberapa saat, kami berdua akhirnya tenang dan menyudahi tangisan yang tertahan sejak pagi, khususnya Ayah.

"Inget pesan Ibu, Ayah percaya sama kamu, kamu itu perempuan kuat, sama kayak Ibunya", ucap Ayah sambil memegang pipiku.

"Ayah sehat-sehat ya, doain aku terus, semoga aku bisa jadi kebanggaan keluarga kita, bisa bantu Ayah sama Ibu nantinya", balasku

Lalu kami berpelukan sekali lagi, lebih erat, seolah-olah Ayah ingin memberikan kekuatan hatinya untukku.

Terhitung hari itu, dengan satu langkah besar yang kuambil, aku resmi hidup sendiri di perantauan, siap dengan kesempatan dan
pengalaman baru, untuk jadi wanita sesungguhnya, semoga.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd