BAGIAN 11
“Tidak mungkin,” desis Sampurna dengan mata semakin melotot lebar. “Ini benar-benar tidak mungkin! Dia sanggup mengeliminasi efek jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’! Gila!”
“Siapa sebenarnya pemuda itu?” ucap lirih Cideng dengan mata semakin dijerengkan lebar-lebar.
Sementara itu, Hiu Jantan sendiri tidak kalah kagetnya.
“Keparat! Bagaimana bisa pemuda buta ini bisa membelokkan arah serangan golokku!? Selama ini, belum pernah satu pun lawan yang sanggup menahan jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’ yang aku gunakan!”
Jalu Samudra sendiri masih asyik dengan jurus ‘Tarian Kepiting Gila’ yang memang baru pertama kali ia gunakan. Kadang geleng-geleng, ada kalanya jingkrak-jingkrak seperti monyet minta pisang, entah ulah apa lagi yang ia lakukan, semuanya terpampang jelas.
Saking asyiknya, ia seperti orang sakit saraf yang nandak sendirian!
Dasar gendeng!
Sementara itu, Hiu Jantan sendiri merasa bahwa setiap kali serangan gulungan golok hampir menyentuh lawan, terasa sekali bahwa hawa golok seperti dicelupkan ke tempat yang sangat dalam.
Amblas begitu saja!
“Aku harus meningkatkan pola serangan!” desisnya sambil mengerahkan seantero tenaga dalam dan tenaga peringan tubuh hingga ke puncaknya. Selain jurusnya yang semakin mengganas, tubuh Hiu Jantan berkelebatan cepat.
Werr ... werr ... werr ... !!
Cess ... !! Cess ... !!
Melihat lawan meningkatkan tempo serangan, Jalu Samudra pun merubah bentuk serangan meski tetap menggunakan jurus yang sama. Jika sebelumnya ia hanya menggunakan tingkat awal dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ kini justru dinaikkan ke tingkat dua. Begitu ia mengerahkan tenaga ...
Swooosh ... !!
Sebentuk pancaran biru bening hawa panas menyengat menyeruak spontan dirasakan oleh semua khalayak yang menonton pertarungan. Beberapa diantaranya harus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pancaran hawa panas menyengat.
“Gila! Pancaran tenaganya hebat sekali,” desis pemuda baju merah dengan peluh membasahi dahi. “Tenaga dalamku sudah mentok begini belum bisa mengatasi hawa panas. Benar-benar yang luar biasa!”
Bukan hanya si pemuda baju merah saja, Cideng dan kawan-kawan pun mengalami hal yang sama. Jika yang berilmu silat tinggi saja harus mati-matian menggunakan tenaga dalamnya, bagaimana dengan yang berilmu pas-pasan?
Itu pun masih mending!
Lha bagaimana dengan Hiu Jantan!?
Sebagai orang yang langsung berhadapan dengan si Pemanah Gadis, Hiu Jantan-lah yang paling parah menerima akibatnya.
“Kampret busuk!” keluhnya. “Bagaimana caranya si buta ini memiliki tenaga begini hebat!?”
Untuk menutupi kegelisahannya, ia pun membentak keras, “Heeeaa ... !!”
Wess ... !
Trakk!!
Jika pada serangan awal Jalu Samudra lebih banyak menghindar, kali ini justru menyongsong serangan lawan secara frontal!
“Aaaagghh ... !!”
Hiu Jantan terpental deras ke belakang. Menabrak beberapa barang yang memang sudah pecah berantakan akibat pertarungan sebelumnya.
Duuessshh ... ! Crabb!
Sebuah pukulan telak menghantam punggung Hiu Jantan. Bersamaan dengan itu pula sebentuk benda tajam menembus punggung Hiu Jantan.
Krakk!
Terdengar suara berderaknya tulang patah.
Bukan tulang punggung Hiu Jantan tapi justru tulang lengan seorang anak buah Kapal Surya Silam yang bernama Kledung.
“Huaaaa ... !!” teriak Kledung sambil berguling-guling memegangi tangan kanan.
Rupanya, arah jatuh tubuh Hiu Jantan mengarah ke Kledung yang waktu itu sedang duduk manis bersama Satari menonton pertarungan terakhir. Karena kaget, Kledung spontan menggunakan jotosan tangan kanan sedang Satari dengan sigap ‘menyodorkan’ golok ke punggung.
Hiu Jantan terjengkit kaget saat ia merasakan perih dan sakit!
Saat ia menunduk, sebuah ujung golok terlihat mencuat keluar dari dada.
Dengan terhuyung-huyung, ia berusaha berdiri dengan jari telunjuk menuding ke arah hidung Satari diikuti dengan suara parau kelaur dari mulutnya, “Kau ... kau ... “
Satari yang tergugu tidak menyangka dengan perbuatannya yang asal-asalan.
“Aku ... aku ... tidak ... seng ... ngaja ... “ katanya terbata-bata. “Su ... sung ... sungguh.”
Bagaimana pun juga, wibawa Hiu Jantan sebagai salah seorang pentolan Perompak Tujuh Lautan bukanlah nama kecil. Puluhan tahun lamanya pasangan Hiu Jantan dan Hiu Betina malang melintang sebagai orang paling ditakuti sesama perompak, bahkan para perompak lain pun lebih baik menyingkir dari pada berebut jatah dengan Sepasang Hiu Baja. Hingga pada lima belas tahun silam, Jenggot Perak Mata Satu mengalahkan Sepasang Hiu Baja dalam duel sengit yang konon kabarnya berlangsung dua hari dua malam lebih beberapa jam.
Tak mau kehilangan orang-orang handal, Jenggot Perak Mata Satu merekrut Sepasang Hiu Baja menjadi salah seorang kepercayaannya. Dan di bawah naungan Perompak Tujuh Lautan-lah nama Sepasang Hiu Baja semakin berkibar kejahatannya. Sudah tidak terhitung berapa nyawa melayang akibat tebasan golok bergelangnya. Bahkan warga persilatan tidak sedikit yang harus melepas nyawa karena berani mengusik Sepasang Hiu Baja.
Kini ...
Dalam perompakan di kapal Surya Silam, tidak ada dalam benaknya akan menjadi akhir dari kisah sebuah kejahatan!
Sosoknya maju selangkah demi selangkah ke arah Satari. Jika langkah Hiu Jantan terlihat berat berdebam sarat hawa pembunuhan, justru bagi Satari setiap langkah Hiu Jantan bagai dentuman genderang pencabut nyawa. Begitu sejarak satu langkah, Hiu Jantan berhenti. Golok bergelang telah diangkat tinggi-tinggi. Bisa dipastikan dalam satu ayunan saja tubuh pemuda yang duduk ketakutan itu bakal terbelah dua bagai semangka tanpa biji dibelah pisau tajam.
Yakin!
Satari yang sudah kalah wibawa, hanya pasrah sambil memejamkan mata.
“Mati dech aku sekarang,” pikirnya sambil menutup mata rapat-rapat, “Moga-moga saja di sana aku ketemu bidadari cantik.”
Dalam kondisi ketakutan seperti itu, masih sempat-sempatnya Satari memikirkan bidadari cantik. Mana ia tahu kalau disana sudah menunggu nenek tua keriput dengan kunyahan susur di mulutnya?
Namun ... tunggu punya tunggu, tidak terjadi apa-apa padanya.
Jangankan rasa sakit, pedih pun tidak. Justru ia mencium bau tidak sedap.
“Gila! Ini ‘kan bau jengkol? Masa’ perompak kelas kakap suka makan jengkol?” pikirnya. Dengan masih takut-takut, ia membuka matanya pelan-pelan.
Dan ...
Byakk ... !!
“Huaaaa ... !!”
Satari terperanjat kaget!
Bukannya sosok Hiu Jantan yang mengayunkan golok, justru kawannya yang bernama Junjung sedang asyik meniup-niup wajahnya!
“Dasar monyet pitak!” bentak Satari sambil tangannya menepak dahi Junjung. “Kau mau kubikin mampus, apa?”
“Hahahaha!” bukannya marah, Junjung justru tertawa lebar.
Setelah hilang rasa kagetnya, pandangan mata Satari mengedar dan berhenti pada sosok yang tergeletak sejarak dua langkah darinya.
Sosok Hiu Jantan yang tergeletak tanpa nyawa!
Dari sumbulan gagang golok selain goloknya, bisa dipastikan ada orang lain yang menuntaskan riwayat Hiu Jantan dengan lemparan golok dan menancap tepat di dekat golok yang menancap sebelumnya.
Dengan takut-takut, ia tarik golok miliknya yang sedari tadi masih ngendon di tubuh Hiu Jantan.
Srett!
“Heh, mati juga dia,” gumamnya sambil membersihkan golok dari darah Hiu Jantan. “Entah apa jadinya jika setan laut ini masih hidup, hihhh!!”
Pertempuran berdarah di atas kapal di tengah laut pun akhirnya selesai sudah.
Meski perompakan kali ini bisa dikatakan gagal, namun pihak Surya Silam tetap merasa khawatir dengan ancaman Jenggot Perak Mata Satu.
“Bagaimana ini, Kakang?” tanya Gandarwa.
“Apanya yang bagaimana?” balik tanya Gautama.
“Dengan Jenggot Perak Mata Satu!” seru Gandarwa agak keras.
Dengan sedikit meringis, Gautama menjawab santai, “Yach ... bagaimana, ya? Menghindar pun rasanya tidak mungkin. Laut adalah wilayah kekuasaan mereka. Mereka adalah setan laut, yang bisa muncul kapan saja tanpa kita ketahui. Di sekitas sini tidak ada tempat untuk sembunyi. Lalu apa yang harus kita lakukan selain menghadapinya?”
Gandarwa tercenung sesaat, gumamnya, “Semoga saja para pendekar yang berada di kapal ini bisa diharapkan bantuannnya. Semoga!”
“Kalau hal itu, kau tidak perlu khawatir. Di kapal kita ini ada tokoh muda berjuluk si Naga Terbang yang tadi dengan gagah berani menerjang sendirinya kapal lawan. Belum lagi dengan tuan muda dan puluhan pengawal bergoloknya ... “
“Jangan lupa dengan pemuda buta bertongkat hitam. Yang jika tidak salah dengar bernama Jalu Samudra.”
“Benar. Dia cukup tangguh juga bisa mengalahkan Hiu Jantan dan kelompoknya sendirian,” ucap Gautama sambil memandang lepas ke tengah laut.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras, “Celaka ... !!”
“Apanya yang celaka, Satari?” tanya Gautama, heran.
“Kapal Perompak Tujuh Lautan!” sahut Satari sambil menuding ke arah selatan. “Kapalnya teseret ombak.”
“Kita harus menghancurkan kapal itu!” seru Gautama panik, sambungnya, “Daripada ketahuan Jenggot Perak Mata Satu! Bisa berabe.”
“Benar! Tapi bagaimana caranya? Jaraknya terlalu jauh. Kurang lebih seratus tombak lebih,” desis Adiprana. “Menggunakan panah api pun jelas percuma.”
“Bagaimana dengan pukulan sakti?” usul si pemuda baju merah berkumis tipis.
Semua temenung. Masing-masing sedang mengukur diri, mampukah mereka melontarkan pukulan sakti dengan jarak sebegitu sejauh itu. Orang-orang yang memiliki ilmu tinggi saling pandang satu sama lain, lalu saling angkat bahu tanda menyerah. Karena mereka tahu, belum lagi pukulan sampai sasaran, tenaga sudah habis terlebih dahulu.
“Bagaimana?” tanya kembali pemuda berbaju merah menyala. “Masa’ dari sekian banyak orang tidak ada yang sanggup?”
“Bagaimana dengan kau sendiri?” sindir Adiprana.
“Aku?” katanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. “Kalau aku ... jelas tidak bisa. Aku berilmu silat pas-pasan. Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?”
“Heeehh ... “ Adiprana menghela napas pendek, lalu katanya, “Pukulanku tidak bisa menjangkau jarak sejauh itu. Benar-benar tidak bisa!”
“Jadi ... kesimpulannya ... “
Tiba-tiba sebuah suara menyeruak, “Bagaimana dengan panah api?”
Semua mata menoleh ke sumber suara.
Terlihat sesosok pemuda baju biru laut bertongkat hitam berdiri mematung dari dekat tiang penyangga yang patah.
Siapa lagi jika bukan Jalu Samudra adanya!
“Sobat buta, kukira telingamu masih baik-baik saja, tak tahunya ... “ ejek salah seorang yang ada disitu, “Bukankah tadi sudah dikatakan tidak akan ada panah yang lesatannya sanggup mencapai jarak ratusan tombak.”
“Apa sudah dicoba?” potong Jalu Samudra.
“Belum. Karena ... “
“Kalau belum dicoba, bagaimana kita tahu hasilnya,” sambil berkata, Jalu mundur satu langkah. Tangan kanan menarik tali hitam pada tongkatnya sedang tangan kiri dengan kokoh memegang tongkat hitam yang sekarang melengkung bagai busur.
Krieeett ... !
“Mana panahnya?” tanya orang tadi dengan mimik muka heran, pikirnya, “Ni orang gila apa kena sawan, nih? Merentang busur tanpa panah? Dasar gendeng!”
Si pemuda berkumis tipis berjalan menghampirinya sambil berkata, “Apa yang kau lakukan?”
“Tentu saja melepas anak panah.”
“Anak panah?” tanya kembali si pemuda baju merah menyala, “Mana ... “
Dengan ringan Jalu menjawab, “Ini panahnya.”
Segera saja, Si Pemanah Gadis mengerahkan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat lima dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa aura api kuning keemasan bagai sinar matahari di langit disertai kilatan bunga api hijau kebiru-biruan merambat keluar melewati tangan kanan dan kiri, lalu membulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak. Jalu Samudra membuat anak panah dengan bentuk kepala burung rajawali pada ujungnya dengan tangkai yang memancarkan cahaya api emas bercampur hijau kebiru-biruan berpendar-pendar.
Hawa memadat yang dilihat semua orang dengan takjub ini adalah salah satu bagian dari ‘18 Jurus Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari mendiang Dewa Pengemis.
“Hemm, kukira dengan jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ cukup menjangkau jarak sekian jauhnya,” pikirnya sambil mengarahkan mata akan panah sedikit terangkat naik. Matanya sedikit menyipit waktu mengincar sasaran. “Emmm ... pasti pas deh.”
“Apakah tepat di bagian tengah kapal ada kumpulan tong besar berisi minyak?” tanya Jalu entah pada siapa.
Satari yang merasa dirinya yang ditanya, tanpa sadar menjawab, “Ada empat tong besar. Ada tepat di tengah.”
Bagaimanapun juga, kemampuan yang dimiliki Jalu membuat Satari dan semua orang yang ada di tempat itu bagai disihir terpana. Beberapa saat kemudian, anak panah pun terbentuk sempurna, dan dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali hitam yang direntang.
Sett! Twanggg ... !
Anak panah terlepas, melesat cepat laksana rajawali laut mengincar ikan di kejauhan. Bahkan air laut dibawahnya sampai tersibak ke kiri kanan saking cepatnya daya lesat.
Wess ... ! Wesss ... !!
“Sakti juga anak ini! Bisa membuat anak panah dari hawa saktinya,” kata hati Gandarwa. “Siapa adanya pemuda buta ini! Aku yakin kehadirannya sudah cukup dikenal di rimba persilatan.”
Ketika mencapai jarak lima puluhan tombak, panah hawa yang dilepaskan si Pemanah Gadis lewat jurus ‘Panah Ekor Rajawali’ bukannya mengendor kehabisan tenaga, tapi justru semakin cepat dan meningkat tenaganya. Semua orang di atas kapal Surya Silam yang mulanya berpikir bahwa panah yang dilepaskan Jalu pasti kandas dalam jarak lima puluh tombak, langsung menjerengkan mata melihat anak panah tetap melesat laksana rajawali terbang di atas permukaan air laut.
“Edan! Ilmu si buta ini benar-benar edan-edanan!” gumam Lembing Nakhoda Berhulu Panjang dengan kagum. “Makin kagum saja aku dengan anak ini!”
Lesatan panah kian lama mendekat ke kapal Perompak Tujuh Lautan. Dan pada akhirnya ...
Wess ... ! Jrabbb!!
Duaaarr ... ! Duaaarr ... !
Terdengar letusan keras dikala anak panah yang terbentuk dari hawa sakti yang digunakan Jalu Samudra tepat menancap pada tong yang tengah. Tentu saja karena tongnya meledak, kapalnya juga ikut-ikutan meledak, apalagi dalam tong terdapat bahan cair yang mudah meledak.
Ni kapal ga mau kalah ama tong!
“Hebat!” puji pemuda berkumis tipis. “Luar biasa! Benar-benar tepat sasaran!”
Duarrr ... duarrr ... !
Kembali terdengar dua kali letusan keras berturut-turut, bahkan kali ini lebih besar dari sebelumnya. Dari kejauhan terlihat kepingan-kepingan kayu berhamburan ke atas memenuhi angkasa seolah saling berlomba dengan lidah api raksasa yang membentuk jamur menghiasi langit.
Benar-benar indah, namun mengerikan!
“Hancur sudah,” desis Gandarwa. “Andaikata dalam kapal masih ada orangnya, tidak mungkin ia bisa selamat dari ledakan seperti itu.”
“Setidaknya dengan hancurnya satu kapal akan membuat pukulan hebat bagi Jenggot Perak Mata Satu.”
“Benar.”
“Tapi kita harus siap-siap menghadapi kemurkaan Jenggot Perak Mata Satu,” kata Adiprana, masgul. “Kita tidak tahu, apakah yang ada di kapal ini mampu menghadapi kemurkaan dari biang kejahatan di laut itu. Namun, bagaimana pun hasilnya, aku tidak akan menyerah begitu saja.”
Jari tangan Adiprana yang berjuluk si Naga Terbang terlihat tergenggam kencang hingga tedengar suara berkerotokan. Samar-samar terlihat api dendam di bias matanya.
“Setuju! Aku juga tidak bakalan diam menyerahkan leher,” desis Gandarwa. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!”
Sementara itu, Jalu yang baru saja menunjukkan kehebatannya langsung dirubung oleh anak buah kapal Surya Silam.
--o0o--