BAGIAN 2
“Baik kalau begitu! Kita putuskan saja ... dibagi rata!” kata Koro Welut.
Biasanya seorang pemimpin akan mengambil bagiannya terlebih dahulu, tapi hal itu tidak berlaku untuk Koro Welut. Ia mendahulukan teman-temannya terlebih dahulu dengan masing-masing mendapatkan satu keping uang perak.
Barulah dirinya mendapat giliran terakhir!
“Lihat! Kantung ini sudah kosong!” kata Koro Welut sambil membalik bagian dalam ke luar. “Bersih?”
“Bersih!” jawab mereka serempak.
Jalu Samudra kagum dengan Koro Welut saat melihat bagaimana si brewok kurus itu menbagi adil pendapatan mereka.
“Muka boleh sangar, tapi hati berkilau seperti intan permata,” pikir murid si Dewa Pengemis. “Pemimpin panutan yang seperti ini contohnya.”
Mata Koro Welut melirik ke orang yang paling sudut sendiri. Yang sedari awal menimang-nimang uang di tangannya.
“Apa ada, Sarpo?” tanya Koro Welut. “Ada yang kurang?”
Sarpo hanya menggeleng.
“Lalu ada apa?”
“Aku hanya berpikir saja, apa dengan uang sebanyak ini cukup membayar ongkos dukun bayi dan tabib untuk dua anakku yang sedang sakit?” ucap Sarpo, masgul.
“Begitu?” ucap Koro Welut, sambungnya dengan mata sedikit menyipik, “Lalu ... kapan anak ketigamu akan lahir?”
“Menurut Nyi Ginah, kemungkinan besar menjelang malam nanti. Tadi aku sudah diberitahu Menik anaknya si Wangen, kalau istriku perutnya mulas-mulas ... ”
Tiab-tiba saja ...
Plakk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan si gendut Sarpo yang langsung membuat laki-laki berkulit lumayan hitam terpelanting ke belakang meski tidak jatuh dari kursi.
“******! Kenapa kau tidak langsung pulang menemui istrimu!?” bentak Koro Welut. “Mau menunggu sampai kapan!?”
“Tapi ... bukankah kita ... ”
“Apa?! Kau pikir dengan meninggalkan istri hamil tua sendirian di rumah, akn akan senang!? Begitu!” bentak Koro Welut. Lalu ia memandang ke sekelilingnya, “Bagaimana prinsip kita?”
“Susah senang dipikul bersama!” seru teman-teman Sarpo yang lain.
“Nah, kau dengar! Kalau situasinya seperti itu, kau tetap mendapatkan hak yang sama,” kata koro welut sedikit melembut. “Dengan catatan ... selama tidak malas bekerja! Itu saja!”
Lalu didekapnya Sarpo erat-erat.
Dekapan hangat persahabatan!
“Tamparanku tadi sebagai peringatan bahwa uang memang penting, tapi keluarga lebih penting! Paham?”
“Paham, Koro.”
“Jika kau ingin membalas tamparanku ... silahkan,” kata Koro Welut sambil melepaskan pelukan pada Sarpo diikuti mundur satu langkah sambil mengangsurkan pipinya ke depan.
“Tidak, Koro.”
“Kau kecewa karena aku tampar?”
“Tidak.”
“Marah?”
“Tidak juga.”
“Dendam?”
“Juga tidak.”
“Kalau begitu ... terima ini sebagai sumbangan dariku,” kata Koro Welut sambil mengangsurkan uang yang ada di tangan kanannya pada Sarpo.
Semuanya!
Uang yang didapatnya dengan memeras keringat dan menguras tenaga, tanpa ragu-ragu diberikan begitu saja kepada Sarpo. Disusupkannya ke dalam telapak tangan laki-laki dengan perawakan agak gendut itu.
“Tidak, Koro! Kau pun juga membutuhkannya,” kata Sarpo sambil mengangsurkan kembali uang pemberian Koro Welut.
“Aku memang butuh, tapi kebutuhanku tidak mendesak seperti kebutuhanmu,” kata Koro Welut, lalu tangannya mendorong ke depan. “Terimalah ... aku ikhlas membantu.”
“Terima kasih, Koro. Terima kasih.”
Sarpo memeluk erat Koro Welut selama beberapa saat.
“Kami juga akan membantu, Sarpo. Meski tidak banyak, semoag saja cukup meringankan bebanmu,” kata Wangen sambil mengangsurkan lima keping perak yang dikumpulkan dari teman-temannya yang lain.
“Kawan-kawan ... kalian ... ”
“Terimalah ... ”
Sarpo segera jatuh berlutut sambil meratap, “Ya Dewa! Terima kasih engkau telah mengirimkan kawan-kawan terbaik yang pernah hamba miliki.”
Jalu benar-benar terpana dibuatnya!
Drama kehidupan yang digelar nyata di depan matanya benar-benar membuat jiwanya terketuk. Belum pernah selama hidupnya menjumpai orang-orang yang memiliki ketulusan hati seperti apa yang ada didepan matanya. Tak terbersit sedikit pun kalau ia bakal menjumpai hal seperti itu.
“Ki Durba, sudah saatnya kita berpisah,” kata Jalu saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru menaikkan bendera hijau kecil. Tak lupa diraihnya tongkat kayu hitam miliknya. Menurut Ki Durba, tanda bendera kecil di dekat pintu masuk ke kapal punya arti bahwa kapal akan berangkat dalam sepeminuman teh.
“Jalu, apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Ki Durba.
Sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang, Jalu berkata, “Jika ada umur panjang ... kenapa tidak?”
“Jalu ... aku punya pesan untukmu,” kata Ki Durba lebih lanjut.
Jalu berhenti sejenak.
“Silahkan, Ki.”
“Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan,” kata Ki Durba.
Jalu sedikit mengerutkan alisnya mendengar ucapan dari si empunya warung.
Benar-benar pesan yang aneh!
Namun tanpa pikir panjang lagi, Jalu menyahut, “Baik. Akan kuturuti!”
Jalu kembali melangkahkan kakinya. Saat melewati kawan-kawan barunya, Jalu berhenti sejenak.
“Kawan-kawan ... jaga diri kalian baik-baik.”
“Hoi, Wedang Kamplung! Kau mau kemana?” tanya Koro Welut.
“Ga ngerti. Mungkin cuma mau nostalgia dengan laut.”
“Huh! Orang buta saja pakai acara nostalgia-nostalgia segala,” seloroh Wangen di sambut dengan gelak tawa yang lain.
Jalu juga ikutan tertawa, serunya, “Yach, maklumlah! Orang udik yang kemana-mana selalu ditemani dengan tongkat mana ada tempat menetap? Tul ngga?”
“Betul ... betul!” seru Koro Welut sambil menepuk-nepuk bahu kanan Jalu Samudra.
Bukan sembarang tepukan, cing!
“Meski wajah terlihat serampangan seperti tapi tenaga dalamnya boleh juga,” pikir murid si Dewa Pengemis.
“Hemm, dia bukan orang sembarangan rupanya. Jurus ‘Gunung Jugrug’ (Gunung Runtuh) rasanya seperti tenggelam ke dasar laut,” kata hati Koro Welut. “Siapa dia sebenarnya?”
“Sarpo, aku juga mau ikut menyumbang,” kata si Pemanah Gadis sambil meletakkan sesuatu di atas meja. “Anggap saja sebagai hadiah atas kelahiran anakmu.”
Tanpa menunggu jawaban, Jalu segera berlalu dari tempat itu.
Semua mata memandang dengan melotot lebar-lebar. Bahkan Wangen yang matanya sebesar jengkol itu hampir saja terlepas dalam rongga mata kala melihat sebentuk benda yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat sama sekali.
Sekeping uang emas!
Sekeping uang emas jika ditukar dengan uang perak bisa mencapai seribu keping. Semua mata beralih ke Jalu yang berjalan dengan lenggang kangkung. Sebentar saja ia sudah sampai di dekat pintu masuk kapal.
“Mau berlayar, Tuan?” tanya si penjaga pintu dengan sopan.
“Betul.”
“Kemana tujuan, Tuan?”
“Emmm ... kemana saja. Sampai kapal ini berlabuh kembali,” sahut Jalu sekenanya.
Kalau saja Jalu menjawab Kepulauan Tanah Bambu, pastilah si penjaga pintu langsung pingsan kebingungan.
Gimana ngga bingung, lha wong dengar juga belum?
“Kapal ini akan berlayar kurang lebih satu bulan beberapa hari lamanya,” tutur si penjaga pintu.
“Tak masalah,” tukas Jalu, pendek. “Berapa ongkos perjalanannya?”
Langsung pada sasaran rupanya!
Si penjaga pintu yang melihat si pemuda bermata putih, hanya tersenyum menyeringai.
“Ada mangsa tolol,” katanya dalam hati, lalu katanya pada si pemuda berbaju biru laut. “Tujuh keping perak.”
“Tidak mahal ... tidak mahal ... ” kata Jalu sambil merogoh saku celana, katanya sambil memberikan uang tujuh keping perak, “Sudah termasuk makan dan minum?”
“Sudah termasuk makan, minum dan menginap,” kata si penjaga pintu, katanya dalam hati. “Orang buta bego! Ongkos naik kapal ini cuma lima keping perak sudah lengkap semua. Lumayan-lah dapat untung dua keping perak.”
Tentu saja sorot mata licik si penjaga pintu tidak lepas dari mata putih Jalu, pikirnya, “Buaya kok dikadalin ama monyet? Tapi biarlah ... sekali-sekali membantu orang kesusahan ... ”
“Silahkan naik, Tuan! Ini nomor kamarnya,” kata si penjaga pintu sopan, sambil mengangsurkan papan kayu kecil warna merah. Disana tertera angka tujuh. “Kamar Tuan nomor tujuh dan di lantai ke tiga. Di dekat pintu ada ukiran angka tujuh.”
“Begitu?” kata Jalu sambil menerima papan kayu kecil itu.
“Apa Tuan butuh bantuan untuk mencari kamarnya?”
“Tidak perlu. Aku bisa cari sendiri,” sahut Jalu sambil memutar-mutar tongkat hitamnya pulang-balik.
Begitulah ... berturut-turut para penumpang naik ke atas kapal, satu demi satu. Saat menjelang keberangkatannya, di kejauhan terlihat serombongan iring-iringan yang mendekati kapal.
Si penjaga pintu yang hampir saja berteriak kalau penumpang sudah habis, mengurungkan niatnya. Matanya langsung hijau melihat banyaknya jumlah rombongan. Terlihat memimpin di depan seorang pemuda tampan berbaju merah terang memakai celana merah gelap dengan kumis tipis bertengger di bawah bibir sedang puluhan orang di belakangnya berbaju aneka warna dengan menyandang golok tersarung rapi di bagian punggung. Wajah-wajah mereka terlihat sedang menyiratkan sesuatu yang penting. Beberapa orang diantara tengak-tengok mengawasi keadaan sekelilingnya. Yang jelas ... semuanya rata-rata berusia antara tiga puluh hingga empat puluhan tahun.
“Hmm ... sekitar dua puluhan orang,” gumamnya. “Lumayan ... ”
“Silahkan naik, Tuan-tuan semua,” katanya sopan dengan sedikit membungkukkan badan. “Silahkan.”
Pemuda berbaju merah terang tanpa banyak kata dan tanya segera menyodorkan tiga keping uang emas.
“Cukup?” katanya singkat.
Aneh sekali nada suara pemuda ini. Suaranya terlalu merdu untuk seorang pemuda. Yang lebih menarik lagi, tidak ada jakun pada lehernya.
Si penjaga pintu yang semula membungkukkan badan, semakin membungkukkan badan kala melihat tiga keping uang emas berada tepat di ujung hidungnya.
“Cu-cu-cukup ... cukup!” katanya terbata-bata, pikirnya, “Mimpi apa aku semalam?”
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda segera mengibaskan tangannya, sambil berkata, “Kita naik.”
Si penjaga pintu segera melangkah minggir ke samping kiri, sambil menyodorkan papan kayu kecil warna merah dengan tulisan angka delapan. “Kamar Tuan di lantai ke tiga. Kamar terakhir.”
“Bagaimana dengan kami?” tanya salah seorang pengawal si pemuda yang paling depan sendiri.
“Semua kamar sudah penuh, hanya tertinggal kamar nomor tiga, empat dan lima di lantai dua,” kata si penjaga pintu, “Tapi jangan khawatir, tiga kamar terakhir ini cukup muat kalau untuk tiga puluh orang sekaligus, karena ada sepuluh ranjang di setiap kamarnya.”
“Lalu bagaimana dengan kamar lantai tiga?” tanyanya lagi.
“Seperti saya katakan sebelumnya, kamar Tuan Muda tadi adalah kamar nomor terakhir,” terang si penjaga pintu. “Kamar lantai tiga hanya ada delapan buah. Semua sudah terisi penuh dengan orang terakhir adalah Tuan Muda tadi. Lagi pula, kamar ini berukuran lebih kecil ... ”
“Jalan keluar masuk cukup mudah?” potong cepat si pengawal.
“Sangat mudah.”
“Baik. Kami ambil kamar nomor tiga dan empat,” katanya cepat.
Rombongan itu segera saja naik ke atas kapal.
Tak lama kemudian, si penjaga pintu yang bernama Arimbawa berteriak nyaring, “Angkut sauh!”
Terdengar suara bersahutan dimana-mana.
Tak lama kemudian, jangkar terangkat naik.
Layar besar di turunkan.
Brekk! Brekk!
Suara kelebatan kain tertiup angin nyaring terdengar. Pelan namun pasti, kapal mulai meninggalkan dermaga Muara Karang.
Namun baru saja sejarak lima belas tombak dari dermaga, sebuah teriakan keras terdengar.
“Hoi ... ! Tunggu aku, gimana sih kok ditinggal!” teriak seorang pemuda baju hijau dari kejauhan.
Dari jaraknya saja yang sudah begitu jauh bisa dipastikan bahwa si pemilik suara memiliki tenaga dalam kuat.
Nakhoda kapal yang saat itu berada di geladak berteriak keras, “Kalau kau bisa ... lompat sajalah! Kalau tidak bisa ... tunggu bulan depan saja!”
Semua orang yang mendengar seloroh dari Nakhoda kapal tertawa keras. Termasuk Jalu Samudra tertawa kecil mendengar suara si nakhoda kapal.
Sejenak pemuda baju hijau berdiri tegak sambil cemberut, gerutunya, “Dasar kampret! Jarak lima belas tombak disuruhnya melompat! Memangnya aku burung apa?” keluhnya. “Terpaksa deh, harus pamer dikit!”
Tanpa berkomentar lagi, ia menjejakkan kaki.
Jduk!
Dengan ringan ia melayang di atas air seperti orang berjalan saja mendekati kapal.
Jleg!