Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
Jalu ....heem cerianya unik.klau baca cerita ini jadi keringat film Wiro sableng
 
Lapor gan!!! Saya jilid II sudah tamat..silahkan lanjutkan ke jilid III..laporan selesai..
 
Ceritanya mantap..
Yg bikin sedih, kata TS ni cersil ga dilanjutin sm pengarangnya..
Pengen tau kelanjutan kisah Jalu.. bakal threesome sm Rani n Beda apa ga..
 
Lapor cerbung suhu serphant sudah update. Sesuai janji suhu. Saya menagih Suhu update malem ini. Laporan selesai.
 
mantab jiwa
thx hu

mantap hu...... :beer:

harus nyicil nih bacanya..... :baca:
sikat ampe hbs hu

Apa ada kelanjutannya jilid 3 om
ada hu ditunngu ya

Mantep om di tunggu part.ke 3 nya,mungkin bisa ditambah ke part berikut y hasil goresan pena suhu sendiri....................
nahh lohh...:panik:

Kok kesel ya klo tamat wkwkwk
Thx buat updatenya
thx hu

Puas..puas...tapi kumala rani belum ketemu.,
ditunggu jilid 3.
siiaapp hu

Ingat cerita wiro sableng........
Pendekar tanpa tanding
yoi hu
ciaaaat.... croooot
wkwkwkwkkwk

Kalo di anime genrenya HAREM nih wkwkwkw ;) lanjut suhu kangen cersil combine cerpan
banyak cewenya ya hu

Walau terlambat, tapi tetap terpuaskan oleh alur ceritanya. Kalo boleh tau suhu,siapa nama pengarang aslinya suhu....?
Thanks..
Gilang Satria hu
 
Lanjutkah.... Mantap ceritanya
thx hu

Lanjut part III hu
siaaapp dan

menanti season 3 suhu
ditunggu hu
Mantap nich cerita:mantap:
thx hu

Ayo mas TS lanjut bagian 3 secepatnya
Penasaran sama kelanjutan kisah pemanah gadis
ditunggu lanjutannya hu

Jalu ....heem cerianya unik.klau baca cerita ini jadi keringat film Wiro sableng
kerenkan hu

Lapor gan!!! Saya jilid II sudah tamat..silahkan lanjutkan ke jilid III..laporan selesai..
laporan diterima hu...hehehehe
udah tau nyampah trus kenapa ente quote juga?
mau bantuin ngiklan?
nahhh...

Ceritanya mantap..
Yg bikin sedih, kata TS ni cersil ga dilanjutin sm pengarangnya..
Pengen tau kelanjutan kisah Jalu.. bakal threesome sm Rani n Beda apa ga..
semoga sipengarang tergugah utk ngelanjutinnya hu

Ceritanya menarik sekali sayang klo ga tamat hu
iya hu :mewek:

up
up
up
sundul sampe khilaf , wkwk
wkwkwkwkwk

Lapor cerbung suhu serphant sudah update. Sesuai janji suhu. Saya menagih Suhu update malem ini. Laporan selesai.
siiaappp kemendan :dor:
 
JILID 3 : HUJAN DARAH DI TANAH BAMBU



Prolog

Jalu Samudra atau Si Pemanah Gadis yang ditugasi mengembalikan Pasir Kujang Duta Nirwana ke Kepulauan Tanah Bambu, di tengah laut nan luas tak bertepi, kapal ditumpanginya hancur berkeping-keping dan secara tidak sengaja pula menyelamatkan seorang gadis cantik jelita yang waktu ditemukan tidak mengenakan apa-apa!
Nah ... gimana coba?
Pusing ngga, tuh!?
 
BAGIAN 1


“Akhirnya datang juga.”
Itulah kata pertama yang keluar dari mulut seorang pemuda yang duduk santai uncang-uncang kaki di atas sebuah balok kayu di sisi kiri dermaga yang cukup ramai di pagi hari kala saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru di kejauhan. Meski hanya setitik kecil di kejauhan, namun mata putih si pemuda bisa melihat dengan jelas.
“Satu pekan ditunggu-tunggu ... akhirnya nongol juga.”
Kembali terdengar suara keluar dari bibir si pemuda baju biru dengan kucir rambut ekor kuda sambil bangkit berdiri. Tangan kanan meraih tongkat hitam berlekuk di ke dua ujungnya. Ciri-ciri dengan mata putih berbaju biru laut hanya dimiliki seorang pendekar saja yang akhir-akhir ini menyandang gelar nyentrik ...
Si Pemanah Gadis!
“Lebih baik ... aku sarapan dulu. Dari kemarin cuma makan ikan laut pancingan saja. Hari ini aku mau makan besar. Pesta pora!”
Lalu dirogohnya saku celana.
“Masih ada sembilan keping uang perak dan dua keping uang emas pemberian dari Ki Gegap Gempita. Lebih dari lumayan untuk mengisi perut,” Pikirnya pula, “ ... lagian paling banter ntar sorean kapal itu juga baru sampai di dermaga ini.”
Tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah sambil berjalan ke arah sebuah warung yang letaknya tidak begitu jauh, kira-kira sepuluh tombak dari tepi dermaga.
Meski terlihat lumayan ramai, dermaga Muara Karang tidaklah seperti dermaga besar lainnya. Hanya sesekali saja dilewati kapal, itu pun belum tentu bongkar sauh disana. Namun, roda kehidupan seakan tidak pernah berhenti berputar. Ada-ada saja orang-orang yang hilir mudik di sekitar dermaga. Ada yang jual-beli hasil tangkapan ikan, barter kebutuhan pokok, bahkan ada yang membuka warung remang-remang (maksudnya buka ntar sore ampe tengah malam, bukan warung buat 'begituan' lho ... kalau sekarang namanya warung HIK alias Hidangan Istimewa Kampung). Namun tidak sedikit pula yang menunggu datangnya kapal dagang untuk mengangkut hasil bumi dan di perdagangkan di seberang pulau. Bahkan beberapa saudagar hasil bumi dari seberang acap kali singgah ke dermaga Muara Karang untuk berdagang dengan penduduk sekitar.
Langkah si pemuda bertongkat hitam akhirnya berhenti tepat di pintu masuk warung.
Semua pengunjung menoleh sekilas, lalu meneruskan kegiatan makan minum.
Apanya yang aneh dengan orang mau mengisi perut?
Nggak ada!
“Wedang Kamplung satu, Ki! Lengkap dengan nasi dan ayam panggang!” kata Jalu sambil meletakkan tongkat hitam dan pantat di atas bangku yang terletak sudut warung yang masih kosong. “Ingat Ki, lengkap dengan ayam panggang, nasi putih sama lalapan sambal. Dan satu lagi ... ga pakai lama, hehehe!”
Semua orang yang berada di dalam warung makan sontak menghentikan kegiatan makan minum secara hampir bersamaan. Mereka saling tatap satu sama lain, seolah ada yang aneh dengan pendengaran mereka.
Wedang Kamplung?
Minuman jenis apa itu?
Dengar juga baru sekarang!
Salah seorang diantara mereka yang berewokan dengan tubuh kurus pun akhirnya buka suara.
“Anak muda, kau tadi pesan apa?” tanya si brewok kurus.
“Ooo ... tadi nasi putih, a ... ”
“Bukan itu!” potong si brewok kurus, “Minuman apa tadi yang kau pesan?”
Jalu sedikit menjungkitkan alisnya sambil berkata singkat, “Wedang Kamplung.”
“Wedang Kamplung?” tanya ulang brewok kurus. “Itu sejenis ... wedang jahe?”
Ki Durba sendiri juga heran, sebab selama ia membuka bisnis perwarungan, baru kali ini ia mendengar nama 'Wedang Kamplung'!
“Nama minuman kok aneh!?”
Semua mata memandang ke sosok pemuda bermata putih dengan mata bertanya dan begitu menginginkan jawaban dengan segera.
Jalu yang dipandangi merasa risih. Seperti orang melihat tahi kerbau yang nempel di mukanya!
Mendadak saja, Jalu merasakan sesuatu yang janggal, katanya, “Ada yang aneh?”
Semua orang --termasuk Ki Durba, si empunya warung-- mengangguk.
Melihat anggukan semua orang yang hampir bersamaan, Jalu semakin heran.
“Tunggu-tunggu-tunggu! Jangan sobat semua katakan bahwa tidak ada satu pun diantara sobat yang ada disini tidak tahu dengan apa yang aku maksudkan?” katanya dengan tatapan mengedar. “Betul begitu?”
Kembali semua mengangguk pelan.
Saat itulah, Jalu Samudra merasa bahwa dirinya sebagai orang paling pinter dunia-akhirat!
Sungguh ... !
Pikirnya, “Busyet! Segini banyak orang ngga ada yang ngerti Wedang Kamplung? Kata kakek, yang namanya Wedang Kamplung sudah mendunia. Semua orang pasti tahu! Lha kok ini malah ... ” lalu katanya, “Sobat semua tidak bercanda, kan?”
“Apa tampang kami semua seperti orang bercanda?” seru si gendut di dekat pintu.
Naga-naganya memang tidak ada yang tahu, apalagi Ki Durba malah plenggang-plenggong seperti sapi ompong, Jalu segera beranjak dari tempat duduknya.
“Geser sedikit, Ki ... ”
“Silahkan, anak muda.”
Ki Durba menggeser sedikit ke kiri dari tempat biasanya ia membuat segala macam minuman, ia bisa membuat segala macam minuman kecuali ya ... itu tadi ... Wedang Kamplung. Denger juga baru kali ini!?
Aneh, ya!?
Semua orang yang ada di tempat itu semakin heran dibuatnya. Jelas-jelas orang bermata putih adalah ciri khas orang buta, namun pemuda bermata putih itu dengan seenaknya berjalan mengitari meja tanpa menyenggol barang apa pun. Bahkan tongkat hitamnya masih tergeletak begitu saja di atas meja.
“Begini cara buatnya,” kata Jalu ‘menggurui’.
Pemuda itu mengambil cangkir gerabah yang letaknya di sebelah kanannya. Berikutnya mengambil daun teh kering dua jumput kecil, seruas jahe yang sudah dimemarkan serta gula merah diikuti dengan irisan jeruk nipis tipis-tipis, semua dimasukkan ke dalam cangkir.
“Minta air panas, Ki.”
Tanpa menjawab, Ki Durba menuangkan air panas ke dalam cangkir gerabah.
Serrr!!!
Saat tiga perempat sudah terisi air panas, Jalu berkata, “Cukup, Ki. Cukup!”
Cangkir dari gerabah digoyang-goyangkan sebentar. Tak lama kemudian, bau semriwing teruar.
“Uahhhaah ... sedaaap ... !”
Suara desahan Jalu terdengar kala ia mencicipi Wedang Kamplung buatannya!
Benar-benar nikmat, coy!
“Ini yang namanya Wedang Kamplung!” cerocos Jalu sambil ngeloyor begitu saja, tak lupa ia berkata, “Jangan lupa nasi dan ayam panggangku, Ki! Ntar lupa, tuh!”
“Baik.”
Dengan cekatan Ki Durba membuat semua pesanan Jalu dan sebentar saja sudah terhidang di depan meja. Karena memang sudah lapar berat, semua hidangan langsung disikat tanpa malu-malu!
Si brewok kurus yang penasaran dengan yang namanya Wedang Kamplung, segera berkata pada Ki Durba.
“Ki, tolong buatkan Wedang Kamplung juga,” katanya, “Aku kok jadi penasaran dengan rasanya.”
“Tunggu sebentar,” sahut Ki Durba. “Aku harus minta ijin dulu pada anak muda itu. Dia ‘kan yang puny ide.”
“Sudahlah, Ki! Buatkan saja! Anggap saja ini menu spesial gratis dariku,” seru Jalu dengan mulut penuh nasi dan potongan ayam.
“Terima kasih, anak muda. Kau baik sekali.”
Ki Durba segera membuatkan pesanan sang pelanggan.
Sebentar saja, semua orang yang ada di dalam warung, mencicipi segarnya Wedang Kamplung!

--o0o--

Sore itu ...
Sesuai dengan perkiraan Jalu, kapal layar besar hijau garis-garis biru yang ditunggu-tunggunya telah merapat ke dermaga Muara Karang. Begitu merapat sempurna diikuti dengan awak kapal yang bertubuh gendut membuang jangkar, para penumpang dengan berjalan dua-dua turun lewat tanggakayu yang letaknya di sisi kiri lambung kapal, sedang di tangga satunya terlihat hilir-mudik para anak buah kapal menurunkan tong-tong kayu ukuran besar dengan cara digelindingkan dari atas dan beberapa orang menerimanya di bawah sambil menata berjajar rapi di sudut dermaga. Tong-tong kayu yang telah kosong inilah yang nantinya akan diisi air tawar sebagai persediaan di perjalanan.
Beberapa orang yang makan di warung ki durba bersama dengan Jalu segera bergegas berlarian –sebagian terlihat beradu cepat dengan sesama kawan-- menuju ke arah tong-tong kayu tersebut berjajar.
Tentu saja perbuatan ‘sobat baru’ Jalu ini si pemuda baju biru terheran-heran, dan bertanya pada laki-laki tua yang kini sedang asyik menghisap rokok kawung.
“Ki, mereka sedang apa?”
“Ooo ... mereka cuma Kuli Air,” jawab Ki Durba sambil klepas-klepus, enteng.
“Kuli Air?”
“Ya. Jika ada kapal merapat dan menurunkan tong-tong kayu seperti gentong itu, menjadi tugas mereka untuk mengisikan air tawar kedalamnya,” jelas si empunya warung. “Dan sebagai balas jasanya, mereka menerima satu keping uang perak untuk delapan tong air.”
“Wah ... banyak juga ya, Ki!”
“Begitulah kehidupan orang-orang di dermaga ini, anak muda!” tutur Ki Durba sambil mempermainkan asap rokok membentuk bulatan-bulatan tiga susun. “Jika ada tong kayu dikeluarkan, jadilah mereka Kuli Air. Namun andai yang dikeluarkan barang dagangan mereka berubah jadi Kuli Panggul. Akan tetapi jika sepi, mereka jadi Kuli Ikan alias nelayan, hehehe ... ”
“Apa mereka tidak pernah saling cakar, Ki?” tanya Jalu. “Rebutan pelanggan, maksud saya.”
“Itu dulu ... dulu sekali!” sahut ki durba dengan mulut dimonyong-monyongkan. “Namun semenjak adanya Koro Welut datang ke tempat ini, semuanya menjadi teratur. Tidak ada lgai saling jegal, saling memangsa. Dan yang pasti ... tidak ada lagi pemuda yang suka mabuk-mabukan atau main judi di tempat ini. Apalagi main perempuan ... wuihhh ... jaaauuuh ... !!”
Tentu saja Jalu Samudra paham dengan orang yang disebut-sebut dengan Koro Welut itu. Laki-laki brewok kurus yang seluruh tubuhnya licin mengkilat seperti belut sawah dengan kulit sawo matang akibat sering terpanggang teriknya sinar matahari. Namun bukan Jalu namanya jika tidak mengetahui bahwa di balik tubuh cekingnya ternyata si Koro Welut membekal ilmu silat yang tidak rendah.
“Benar-benar kehidupan yang harmonis,” kata Jalu sambil nyeruput Wedang Kamplung.
“Ya. Kehidupan damai seperti inilah yang diidam-idamkan oleh setiap orang. Rukun tanpa perselisihan dan saling membantu dalam kesulitan,” kata Ki Durba. “Masa tua yang penuh kedamaian.”
“Maaf, Ki! Dari kemarin ada yang mengganjal pikiranku,” ucap Jalu dengan hati-hati.
“Apa yang membuat pikiranmu terganjal, Jalu?”
“Emmm ... dari tadi siang tidak terlihat anak-istri Ki Durba. Pada kemana ya, Ki?” tanya Jalu sambil melirik ke arah pemilik warung yang baik hati itu.
Sekilas raut muka laki-laki itu berubah beberapa kejap, lalu mendesah, “Jika saja tidak ada ombak raksasa pada dua puluh lima tahun silam, mungkin sekarang ini anakku sudah sebesar kamu, Jalu. Mungkin aku sudah menimang dua atau tiga orang cucu malah.”
Dada Jalu sedikit bergetar.
Dua puluh lima tahun silam!
“Anak Ki Durba ... laki-laki?” Jalu coba menebak.
“Perempuan.”
“Oooo ... ” sahut Jalu sambil manggut-manggut tanpa sadar. “Lalu ... saudara-saudara Ki Durba?”
“Aku anak tunggal. Mendiang istriku juga anak tunggal,” terang Ki Durba sambil menengadah. Matanya menerawang langit-langit atap warungnya yang terbuat dari daun rumbia. “Yang aku sesalkan saat itu adalah istriku sedang hamil lima bulan kala ombak pembawa petaka itu datang. Aku menyesal tidak bisa menyelamatkan mereka.”
“Maaf, kalau saya lancing mengungkit-ungkit masa lalu Ki Durba,” kata Jalu saat melihat sudut mata laki-laki itu berkaca-kaca.
Menyesal, Broo!
“Tidak apa-apa, Jalu,” kata Ki Durba sambil menyusut sudut matanya dengan ujung lengan baju. “Sekarang, besok, atau kapan pun ... sama saja. Itu tetap menjadi kenangan bagi tubuh tua ini.”
Dua orang laki-laki beda kualitas itu terus saja bisa bicara ngalor-ngidul.
Yang pasti ... ngga ada hubungannya sama dunia persilatan babar blas!
Ada kalanya terdengar tawa tua Ki Durba mendengar lelucon-lelucon yang dilontarkan Jalu Samudra. Entah apanya yang lucu, acap kali kakek itu tertawa terpingkal-pingkal. Jelas sekali terlihat bahwa dengan adanya Jalu disana membuat kakek yang sudah uzur dimakan usia terlihat bahagia.
Lucunya lagi, Ki Durba tidak tahu bahwa saat ini dirinya dengan bercanda dengan tokoh muda top markotop rimba persilatan, menjadi buah bibir para pendekar karena kesaktiannya. Bahkan dari selentingan kabar yang sulit dipertanggungjawabkan, menjadi idola para gadis-gadis yang ngebet berat ketemu saja yang namanya si Pemanah Gadis!
Koro Welut dan teman-temannya menghentikan sejenak pekerjaan mereka mendengar suara tawa yang paling sulit didengar oleh telinga mereka. Mereka saling pandang satu sama lain.
“Kita tidak salah dengar, kan?” tanya Koro Welut.
“Itu memang suara Ki Durba. Asli!” tandas yang bernama Wangen. “Dulu waktu kecil aku pernah dengar ia tertawa lepas seperti itu. Kok bisa, ya?”
“Mungkin kesedihan akibat di tinggal anak istrinya telah pupus,” serobot Sarpo yang agak gendut.
“Mungkin juga,” kata Koro Welut, pendek. “Ayo ... kerja lagi.”
Saat merembang petang menjelma, semua tong-tong kayu telah penuh dengan air tawar. Kalau sebelumnya digelindingkan dari atas ke bawah, kini untuk menaikkan dengan cara memasukkan lima-enam tong kayu ke dalam jala besar terbuat dari tali kulit kerbau dan ditarik ke atas oleh sembilan orang lewat sebuah tuas. Seratus delapan puluh empat tong kayu sukses diangkut naik ke atas kapal. Dan itu artinya dua puluh tiga keping uang perak telah berada dalam genggaman tangan para Kuli Air!
Mereka membagi hasil kerja di dalam warung Ki Durba. Masing-masing menerima tiga keping uang perak bertujuh yang cukup untuk makan dua bulan, total yang dibagi dua puluh satu keping uang perak. Sedang sisa yang dua keping uang perak dititipkan pada Koro Welut sebagai pimpinan mereka.
“Kawan-kawan! Uang sisa kerja kita bertujuh selama tiga bulan ini jika ditambah dengan dengan pendapatan hari ini tepat tujuh keping uang perak,” ucap Kowro Welut sambil mengeluarkan lima keping uang perak dari dalam kantong hitam yang kemana-mana selalu dibawanya. “Setuju dibagi rata?”
“Setuju ... !!”
“Akur ... !”
 
BAGIAN 2


“Baik kalau begitu! Kita putuskan saja ... dibagi rata!” kata Koro Welut.
Biasanya seorang pemimpin akan mengambil bagiannya terlebih dahulu, tapi hal itu tidak berlaku untuk Koro Welut. Ia mendahulukan teman-temannya terlebih dahulu dengan masing-masing mendapatkan satu keping uang perak.
Barulah dirinya mendapat giliran terakhir!
“Lihat! Kantung ini sudah kosong!” kata Koro Welut sambil membalik bagian dalam ke luar. “Bersih?”
“Bersih!” jawab mereka serempak.
Jalu Samudra kagum dengan Koro Welut saat melihat bagaimana si brewok kurus itu menbagi adil pendapatan mereka.
“Muka boleh sangar, tapi hati berkilau seperti intan permata,” pikir murid si Dewa Pengemis. “Pemimpin panutan yang seperti ini contohnya.”
Mata Koro Welut melirik ke orang yang paling sudut sendiri. Yang sedari awal menimang-nimang uang di tangannya.
“Apa ada, Sarpo?” tanya Koro Welut. “Ada yang kurang?”
Sarpo hanya menggeleng.
“Lalu ada apa?”
“Aku hanya berpikir saja, apa dengan uang sebanyak ini cukup membayar ongkos dukun bayi dan tabib untuk dua anakku yang sedang sakit?” ucap Sarpo, masgul.
“Begitu?” ucap Koro Welut, sambungnya dengan mata sedikit menyipik, “Lalu ... kapan anak ketigamu akan lahir?”
“Menurut Nyi Ginah, kemungkinan besar menjelang malam nanti. Tadi aku sudah diberitahu Menik anaknya si Wangen, kalau istriku perutnya mulas-mulas ... ”
Tiab-tiba saja ...
Plakk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan si gendut Sarpo yang langsung membuat laki-laki berkulit lumayan hitam terpelanting ke belakang meski tidak jatuh dari kursi.
“******! Kenapa kau tidak langsung pulang menemui istrimu!?” bentak Koro Welut. “Mau menunggu sampai kapan!?”
“Tapi ... bukankah kita ... ”
“Apa?! Kau pikir dengan meninggalkan istri hamil tua sendirian di rumah, akn akan senang!? Begitu!” bentak Koro Welut. Lalu ia memandang ke sekelilingnya, “Bagaimana prinsip kita?”
“Susah senang dipikul bersama!” seru teman-teman Sarpo yang lain.
“Nah, kau dengar! Kalau situasinya seperti itu, kau tetap mendapatkan hak yang sama,” kata koro welut sedikit melembut. “Dengan catatan ... selama tidak malas bekerja! Itu saja!”
Lalu didekapnya Sarpo erat-erat.
Dekapan hangat persahabatan!
“Tamparanku tadi sebagai peringatan bahwa uang memang penting, tapi keluarga lebih penting! Paham?”
“Paham, Koro.”
“Jika kau ingin membalas tamparanku ... silahkan,” kata Koro Welut sambil melepaskan pelukan pada Sarpo diikuti mundur satu langkah sambil mengangsurkan pipinya ke depan.
“Tidak, Koro.”
“Kau kecewa karena aku tampar?”
“Tidak.”
“Marah?”
“Tidak juga.”
“Dendam?”
“Juga tidak.”
“Kalau begitu ... terima ini sebagai sumbangan dariku,” kata Koro Welut sambil mengangsurkan uang yang ada di tangan kanannya pada Sarpo.
Semuanya!
Uang yang didapatnya dengan memeras keringat dan menguras tenaga, tanpa ragu-ragu diberikan begitu saja kepada Sarpo. Disusupkannya ke dalam telapak tangan laki-laki dengan perawakan agak gendut itu.
“Tidak, Koro! Kau pun juga membutuhkannya,” kata Sarpo sambil mengangsurkan kembali uang pemberian Koro Welut.
“Aku memang butuh, tapi kebutuhanku tidak mendesak seperti kebutuhanmu,” kata Koro Welut, lalu tangannya mendorong ke depan. “Terimalah ... aku ikhlas membantu.”
“Terima kasih, Koro. Terima kasih.”
Sarpo memeluk erat Koro Welut selama beberapa saat.
“Kami juga akan membantu, Sarpo. Meski tidak banyak, semoag saja cukup meringankan bebanmu,” kata Wangen sambil mengangsurkan lima keping perak yang dikumpulkan dari teman-temannya yang lain.
“Kawan-kawan ... kalian ... ”
“Terimalah ... ”
Sarpo segera jatuh berlutut sambil meratap, “Ya Dewa! Terima kasih engkau telah mengirimkan kawan-kawan terbaik yang pernah hamba miliki.”
Jalu benar-benar terpana dibuatnya!
Drama kehidupan yang digelar nyata di depan matanya benar-benar membuat jiwanya terketuk. Belum pernah selama hidupnya menjumpai orang-orang yang memiliki ketulusan hati seperti apa yang ada didepan matanya. Tak terbersit sedikit pun kalau ia bakal menjumpai hal seperti itu.
“Ki Durba, sudah saatnya kita berpisah,” kata Jalu saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru menaikkan bendera hijau kecil. Tak lupa diraihnya tongkat kayu hitam miliknya. Menurut Ki Durba, tanda bendera kecil di dekat pintu masuk ke kapal punya arti bahwa kapal akan berangkat dalam sepeminuman teh.
“Jalu, apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Ki Durba.
Sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang, Jalu berkata, “Jika ada umur panjang ... kenapa tidak?”
“Jalu ... aku punya pesan untukmu,” kata Ki Durba lebih lanjut.
Jalu berhenti sejenak.
“Silahkan, Ki.”
“Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan,” kata Ki Durba.
Jalu sedikit mengerutkan alisnya mendengar ucapan dari si empunya warung.
Benar-benar pesan yang aneh!
Namun tanpa pikir panjang lagi, Jalu menyahut, “Baik. Akan kuturuti!”
Jalu kembali melangkahkan kakinya. Saat melewati kawan-kawan barunya, Jalu berhenti sejenak.
“Kawan-kawan ... jaga diri kalian baik-baik.”
“Hoi, Wedang Kamplung! Kau mau kemana?” tanya Koro Welut.
“Ga ngerti. Mungkin cuma mau nostalgia dengan laut.”
“Huh! Orang buta saja pakai acara nostalgia-nostalgia segala,” seloroh Wangen di sambut dengan gelak tawa yang lain.
Jalu juga ikutan tertawa, serunya, “Yach, maklumlah! Orang udik yang kemana-mana selalu ditemani dengan tongkat mana ada tempat menetap? Tul ngga?”
“Betul ... betul!” seru Koro Welut sambil menepuk-nepuk bahu kanan Jalu Samudra.
Bukan sembarang tepukan, cing!
“Meski wajah terlihat serampangan seperti tapi tenaga dalamnya boleh juga,” pikir murid si Dewa Pengemis.
“Hemm, dia bukan orang sembarangan rupanya. Jurus ‘Gunung Jugrug’ (Gunung Runtuh) rasanya seperti tenggelam ke dasar laut,” kata hati Koro Welut. “Siapa dia sebenarnya?”
“Sarpo, aku juga mau ikut menyumbang,” kata si Pemanah Gadis sambil meletakkan sesuatu di atas meja. “Anggap saja sebagai hadiah atas kelahiran anakmu.”
Tanpa menunggu jawaban, Jalu segera berlalu dari tempat itu.
Semua mata memandang dengan melotot lebar-lebar. Bahkan Wangen yang matanya sebesar jengkol itu hampir saja terlepas dalam rongga mata kala melihat sebentuk benda yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat sama sekali.
Sekeping uang emas!
Sekeping uang emas jika ditukar dengan uang perak bisa mencapai seribu keping. Semua mata beralih ke Jalu yang berjalan dengan lenggang kangkung. Sebentar saja ia sudah sampai di dekat pintu masuk kapal.
“Mau berlayar, Tuan?” tanya si penjaga pintu dengan sopan.
“Betul.”
“Kemana tujuan, Tuan?”
“Emmm ... kemana saja. Sampai kapal ini berlabuh kembali,” sahut Jalu sekenanya.
Kalau saja Jalu menjawab Kepulauan Tanah Bambu, pastilah si penjaga pintu langsung pingsan kebingungan.
Gimana ngga bingung, lha wong dengar juga belum?
“Kapal ini akan berlayar kurang lebih satu bulan beberapa hari lamanya,” tutur si penjaga pintu.
“Tak masalah,” tukas Jalu, pendek. “Berapa ongkos perjalanannya?”
Langsung pada sasaran rupanya!
Si penjaga pintu yang melihat si pemuda bermata putih, hanya tersenyum menyeringai.
“Ada mangsa tolol,” katanya dalam hati, lalu katanya pada si pemuda berbaju biru laut. “Tujuh keping perak.”
“Tidak mahal ... tidak mahal ... ” kata Jalu sambil merogoh saku celana, katanya sambil memberikan uang tujuh keping perak, “Sudah termasuk makan dan minum?”
“Sudah termasuk makan, minum dan menginap,” kata si penjaga pintu, katanya dalam hati. “Orang buta bego! Ongkos naik kapal ini cuma lima keping perak sudah lengkap semua. Lumayan-lah dapat untung dua keping perak.”
Tentu saja sorot mata licik si penjaga pintu tidak lepas dari mata putih Jalu, pikirnya, “Buaya kok dikadalin ama monyet? Tapi biarlah ... sekali-sekali membantu orang kesusahan ... ”
“Silahkan naik, Tuan! Ini nomor kamarnya,” kata si penjaga pintu sopan, sambil mengangsurkan papan kayu kecil warna merah. Disana tertera angka tujuh. “Kamar Tuan nomor tujuh dan di lantai ke tiga. Di dekat pintu ada ukiran angka tujuh.”
“Begitu?” kata Jalu sambil menerima papan kayu kecil itu.
“Apa Tuan butuh bantuan untuk mencari kamarnya?”
“Tidak perlu. Aku bisa cari sendiri,” sahut Jalu sambil memutar-mutar tongkat hitamnya pulang-balik.
Begitulah ... berturut-turut para penumpang naik ke atas kapal, satu demi satu. Saat menjelang keberangkatannya, di kejauhan terlihat serombongan iring-iringan yang mendekati kapal.
Si penjaga pintu yang hampir saja berteriak kalau penumpang sudah habis, mengurungkan niatnya. Matanya langsung hijau melihat banyaknya jumlah rombongan. Terlihat memimpin di depan seorang pemuda tampan berbaju merah terang memakai celana merah gelap dengan kumis tipis bertengger di bawah bibir sedang puluhan orang di belakangnya berbaju aneka warna dengan menyandang golok tersarung rapi di bagian punggung. Wajah-wajah mereka terlihat sedang menyiratkan sesuatu yang penting. Beberapa orang diantara tengak-tengok mengawasi keadaan sekelilingnya. Yang jelas ... semuanya rata-rata berusia antara tiga puluh hingga empat puluhan tahun.
“Hmm ... sekitar dua puluhan orang,” gumamnya. “Lumayan ... ”
“Silahkan naik, Tuan-tuan semua,” katanya sopan dengan sedikit membungkukkan badan. “Silahkan.”
Pemuda berbaju merah terang tanpa banyak kata dan tanya segera menyodorkan tiga keping uang emas.
“Cukup?” katanya singkat.
Aneh sekali nada suara pemuda ini. Suaranya terlalu merdu untuk seorang pemuda. Yang lebih menarik lagi, tidak ada jakun pada lehernya.
Si penjaga pintu yang semula membungkukkan badan, semakin membungkukkan badan kala melihat tiga keping uang emas berada tepat di ujung hidungnya.
“Cu-cu-cukup ... cukup!” katanya terbata-bata, pikirnya, “Mimpi apa aku semalam?”
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda segera mengibaskan tangannya, sambil berkata, “Kita naik.”
Si penjaga pintu segera melangkah minggir ke samping kiri, sambil menyodorkan papan kayu kecil warna merah dengan tulisan angka delapan. “Kamar Tuan di lantai ke tiga. Kamar terakhir.”
“Bagaimana dengan kami?” tanya salah seorang pengawal si pemuda yang paling depan sendiri.
“Semua kamar sudah penuh, hanya tertinggal kamar nomor tiga, empat dan lima di lantai dua,” kata si penjaga pintu, “Tapi jangan khawatir, tiga kamar terakhir ini cukup muat kalau untuk tiga puluh orang sekaligus, karena ada sepuluh ranjang di setiap kamarnya.”
“Lalu bagaimana dengan kamar lantai tiga?” tanyanya lagi.
“Seperti saya katakan sebelumnya, kamar Tuan Muda tadi adalah kamar nomor terakhir,” terang si penjaga pintu. “Kamar lantai tiga hanya ada delapan buah. Semua sudah terisi penuh dengan orang terakhir adalah Tuan Muda tadi. Lagi pula, kamar ini berukuran lebih kecil ... ”
“Jalan keluar masuk cukup mudah?” potong cepat si pengawal.
“Sangat mudah.”
“Baik. Kami ambil kamar nomor tiga dan empat,” katanya cepat.
Rombongan itu segera saja naik ke atas kapal.
Tak lama kemudian, si penjaga pintu yang bernama Arimbawa berteriak nyaring, “Angkut sauh!”
Terdengar suara bersahutan dimana-mana.
Tak lama kemudian, jangkar terangkat naik.
Layar besar di turunkan.
Brekk! Brekk!
Suara kelebatan kain tertiup angin nyaring terdengar. Pelan namun pasti, kapal mulai meninggalkan dermaga Muara Karang.
Namun baru saja sejarak lima belas tombak dari dermaga, sebuah teriakan keras terdengar.
“Hoi ... ! Tunggu aku, gimana sih kok ditinggal!” teriak seorang pemuda baju hijau dari kejauhan.
Dari jaraknya saja yang sudah begitu jauh bisa dipastikan bahwa si pemilik suara memiliki tenaga dalam kuat.
Nakhoda kapal yang saat itu berada di geladak berteriak keras, “Kalau kau bisa ... lompat sajalah! Kalau tidak bisa ... tunggu bulan depan saja!”
Semua orang yang mendengar seloroh dari Nakhoda kapal tertawa keras. Termasuk Jalu Samudra tertawa kecil mendengar suara si nakhoda kapal.
Sejenak pemuda baju hijau berdiri tegak sambil cemberut, gerutunya, “Dasar kampret! Jarak lima belas tombak disuruhnya melompat! Memangnya aku burung apa?” keluhnya. “Terpaksa deh, harus pamer dikit!”
Tanpa berkomentar lagi, ia menjejakkan kaki.
Jduk!
Dengan ringan ia melayang di atas air seperti orang berjalan saja mendekati kapal.
Jleg!
 
BAGIAN 3


Sampai juga si pemuda di atas geladak kapal. Nakhoda kapal dan beberapa anak buahnya tak bersuara menyaksikan pameran kesaktian yang jarang mereka jumpai. Kalau saja ilmunya pas-pasan, si pemuda sudah mati tenggelam kecebur laut!
“Hebat ... ” desis si pemuda baju merah terang.
“Gara-gara kekenyangan, aku malah ketiduran,” gerutu si pemuda sambil duduk di atas bangku.
Seorang laki-laki dengan tubuh kekar berotot berompi merah dengan cepat mendekatinya.
“Kau manusia, ‘kan?” ia bertanya.
“Bukan! Aku setan dari langit!” gerutu si pemuda baju hijau dengan nada kesal, “Tentu saja manusia. Liat aja kakiku! Bego amat sih!”
Seolah sudah sering mendengar suara seperti itu, si laki-laki justru mengangsurkan tangan kanan.
“Apa?” tanya si pemuda baju hijau, heran.
“Karena kau manusia, maka naik kapal ini tidak gratis,” kata si laki-laki berompi merah tanpa basa-basi. “ ... cukup dua keping perak untuk sekali jalan.”
Pemuda baju hijau merogoh saku celana, mengambil dua keping perak, lalu diberikan pada si laki-laki berompi merah.
“Terima kasih! Selamat datang di kapal layar Surya Silam,” kata si laki-laki baju merah. “Namaku ... Gandarwa. Panggil aku jika kau butuh apa-apa.”
Tanpa menunggu jawaban, Gandarwa langsung pergi begitu saja. Rupanya ia juga bertugas menarik ongkos dari semua orang yang naik kapal layar Surya Silam.

--o0o--

Seekor elang laut terbang jauh di angkasa. Dari atas ia melihat sebuah kapal berlayar dalam jarak yang tak terlalu jauh. Elang laut tadi menukik, hendak bertengger beristirahat di ujung kapal yang besar dan beristirahat sejenak. Namun ia mendadak mengurungkan niatnya.
Ia tak mau mati konyol ... !
Sebab ... nakhoda kapal keluar dari ruangannya dengan golok terhunus!
“Kemana perginya ayam sialan tadi?” pikir si Nakhoda, “Mau dibikin sate kok malah menghilang?”

--o0o--

Saat sore merembang petang ...
Rata-rata penumpang tidak langsung masuk ke dalam kamar masing-masing. Kebanyakan duduk saja sambil menikmati keindahan laut di sore hari. Termasuk pula Jalu dan si pemuda baju hijau yang duduk di sebangku.
“Indah sekali sore ini,” kata si pemuda baju hijau. “Sudah lama sekali aku tidak melihat laut. Jika dihitung-hitung ada kalau cuma lima belas tahunan.”
“Cukup lama juga,” sahut Jalu.
“Apakah kau juga sering pergi ke laut, sobat?”
“Dulunya iya ... tapi sekarang mungkin baru kali ini,” sahut Jalu dengan mata merawang ke atas. Pikirannya tertuju ke Gua Walet, tempat dimana ia dibesarkan oleh sepasang suami istri tokoh rimba persilatan yang mengasingkan diri. Dari merekalah ia mengenal apa yang namanya ilmu silat dan segala hal yang berhubungan dengan laut.
“Sobat, dari tadi kita bicara tak karuan tapi belum menyapa nama masing-masing,” kata si Pemanah Gadis. “Perkenalkan namaku ... Jalu Samudra.”
“Samudra artinya lautan luas,” desis si pemuda baju hijau. “Nama yang sesuai dengan apa yang sekarang ini kita jalani sekarang ini. Berlayar di tengah laut luas tanpa batas. Kau sudah menyebut nama, tak adil rasanya jika aku -- Adiprana -- tidak memperkenalkan diri. Tapi orang rimba persilatan memberiku julukan jelek ... si Naga Terbang.”
“Naga Terbang?” gumam Jalu Samudra.
Jalu pernah mendengar sepak terjang tokoh muda yang berjuluk Naga Terbang selama dalam pengembaraannya. Sosok pemuda yang cukup ditakuti oleh kaum sesat karena ketelengasannya dalam membantai lawan-lawannya. Meski jika ditilik dari usianya hanya selisih dua tahun lebih tua dari Jalu sendiri, namun gaya penampilannya masih seperti anak muda usia belasan tahun.
Pada intinya Adiprana bukanlah tokoh jahat, hanya saja sifatnya yang mau menang sendiri membuatnya lebih banyak memiliki lawan daripada kawan. Namun dalam sekelabatan saja, Jalu Samudra sudah bisa menyelami delapan bagian jati diri si pemuda baju hijau. Meski terlihat seenaknya, namun jelas sekali terlihat sifat-sifat seorang pendekar tulen. (Itu menurut penilaian Jalu, lho ... !)
Setelah berbasa-basi sebentar, Jalu pun berniat masuk ke dalam kamarnya di lantai tiga.
“Hemm ... si Jalu ini meski buta, tapi aku yakin dia bukan tokoh silat kelas kecoa atau setidaknya termasuk dalam golongan jago-jago kelas tiga,” pikir Adiprana sambil menatap punggung si pemuda buta yang berjalan menyusuri tangga ke atas. “Dari caranya berjalan dan bernapas, aku yakin setidaknya ia berada satu tingkat di bawahku. Entah murid siapa dia ini sebenarnya.” Tiba-tiba selintasan pikiran mampir ke dalam benaknya, “ ... atau jangan-jangan ia juga memiliki tujuan yang sama denganku?”
Tujuan yang sama?
Apa yang dimaksud dengan ‘tujuan yang sama’ oleh Adiprana?
Semua itu masih menjadi tanda tanya besar dalam benak si Naga Terbang ini!
“Hemm ... satu-satunya jalan untuk mengetahuinya adalah dengan menyelidiki lebih jelas siapa adanya si buta ini, jika perlu satu kapal aku selidiki jati diri mereka semua,” desis si Naga Terbang dengan sorot mata berkilat aneh.
Sementara itu, Jalu sendiri yang pada saat itu baru mau masuk ke kamarnya, berpapasan dengan sosok pemuda baju mentereng yang juga berkeinginan masuk ke kamar di sebelahnya. Jalu Samudra tersenyum ramah dan mengangguk sedikit dan dibalas dengan anggukan pula,
Melihat kawan sebelahnya, Jalu sedikit mengkernyitkan alis, batinnya, “Aneh, jika dilihat sekilas mirip laki-laki, tapi dari langkah kakinya jelas-jelas seorang perempuan.”
Hidungnya sedikit mengendus-endus seperri anjing membaui daging.
“Hemm, harum sekali. Aneh, masa’ laki-laki berbau harum bunga begini?” gumamnya tanpa sadar, pikirnya kemudian, “Atau ... jangan-jangan ... dia banci? Gini-gini aku ‘kan laki-laki tulen.”
“Hiii ... ” desis Jalu lirih sambil buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Tentu saja cengar-cengir Jalu tidak lepas dari pandang mata si pemuda baju merah.
“Brengsek!” maki si pemuda dalam hati. “Mata pemuda itu seolah sanggup melongok ke dalam hatiku. Uhh ... kenapa jantungku berdebar-debar kayak gini? Aneh! Tidak biasanya. Sekilas kulihat dia memiliki mata putih yang hanya dimiliki orang buta. Apa benar dia buta?” Mendadak rasa sebal berubah menjadi rasa iba. “Kasihan sekali! Ganteng-ganteng kok buta?”
Selebar wajahnya langsung merah merona.
“Sinting! Kenal saja tidak, kenapa aku bisa memikirkan dia?” gerutunya sambil membuka pintu kamar dan langsung dikunci dari dalam.
Lagak lagunya sekilas seperti gadis usia belasan tahun.

--o0o--
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd