Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

thx suhu semua atas apresiasinya di cersil ini
dan thx jg masih sabar menunggu lanjutannya
saya berharap suhu2 ga bosen baca nih cersil :ampun:
 
lanjuuuttt lg hu...
semangat bacanya ya :semangat:
 
BAGIAN 12


Sudah dua hari lamanya Kapal Surya Silam mengarungi lautan sejak kejadian gagalnya perompakan Kapal Tujuh Lautan. Dalam dua hari ini, keadaan benar-benar mencekam menegangkan. Semua yang ada di kapal hilir mudik dengan senjata terhunus. Tidak ada satupun dari mereka yang mengendorkan kewaspadaan.
Semuanya serba menegangkan!
Pemuda baju merah menyala dengan kumis tipis yang bernama Trihasta Prasaja kini semakin akrab dengan Jalu Samudra. Bahkan si Naga Terbang pun ada kalanya ikut nimbrung ngobrol dengan mereka.
“Jurus-jurusmu kemarin benar-benar luar biasa, Jalu.” kata Trihasta Prasaja.
Si Pemanah Gadis hanya meringis saja.
“Masa’ sih? Perasaan biasa-biasa saja, deh.”
“Eh, bener kok! Tanya saja sama si Adiprana.”
“Benar, Jalu. Aku sendiri yang sudah cukup lama berkecimpung di rimba persilatan dengan mengangkat nama besar Naga Terbang, merasa kagum dengan kemampuanmu,” tutur Adiprana, tulus. Sambungnya, “... namun, jika boleh aku tahu, kau berasal dari perguruan mana? Atau setidaknya nama besar dari gurumu.”
“Aku sendiri saja berasal dari Perguruan Tongkat Hijau di wilayah selatan,” tutur Trihasta Prasaja memperkenalkan diri terlebih dahulu.
“Aku dari Persilatan Naga Lahar,” tutur Adiprana memperkenalkan perguruannya dengan nada bangga. “Bisa dibilang aku adalah murid utamanya.”
“Wah, ternyata kalian berasal dari perguruan silat ternama. Aku tahu Perguruan Tongkat Hijau yang dipimpin oleh tokoh tua berjuluk Tongkat Kayu Baka dan juga Persilatan Naga Lahar di lereng Gunung Lahar,” sahut Jalu sambil tersenyum.
“Lalu ... kau sendiri dari perguruan mana, Jalu?”
“Sebenarnya aku tidak punya perguruan, jadi bisa dibilang tidak dari perguruan silat mana pun. Tapi ... “
“Masa’?” potong Trihasta Prasaja. “Lalu yang mengajarimu ilmu silat siapa?”
“Yang mengajari ilmu silat adalah sepasang kakek-nenek nelayan yang mengasuhku sejak kecil. Aku sendiri tidak tahu siapa namanya. Tapi mereka digelari sebagai Tombak Utara Tongkat Selatan.”
Jalu pun mengisahkan sedikit tentang dua orang yang mengasuhnya sejak ia masih bayi dan memberinya nama Jalu Samudra. Tentu saja tentang Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga serta Kumala Rani tidak ikut ia sertakan.
“Apa!?” seru Trihasta Prasaja kaget setelah mendengar penuturan dari pemuda mata putih. “Kau berkata yang sebenarnya, kan!?”
Jalu sendiri justru terkaget-kaget melihat keterkejutan dari pemuda berkumis yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki itu.
“Memangnya kenapa? Ada yang aneh dengan nama itu?” tanya Jalu dengan alis berkerut.
“Bukan begitu! Jika memang yang mengasuhmu adalah pasangan pendekar berjuluk Tombak Utara Tongkat Selatan, maka kita masih terhitung saudara seperguruan.”
Kini gantian Jalu yang kaget, “Ahh ... yang bener?”
“Sungguh!” kata Trihasta Prasaja dengan mimik muka serius.
“Bisa kau katakan alasannya, sobat Trihasta?” kali ini Adiprana yang bertanya.
“Begini ... “ sahut Trihasta Prasaja sambil memperbaiki duduknya, “Sebenarnya aku ditugaskan oleh Nini Guru Parikesit untuk ... “
“Tunggu-tunggu-tunggu!” cegah Adiprana.
“Ada apa?”
“Kau katakan Nini Parikesit adalah gurumu?”
“Benar.”
“Maksudmu Nini Parikesit yang digelari orang Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal itu?”
“Iya, kau benar lagi.”
“Lhooo ... katamu kau dari Perguruan Tongkat Hijau, kok ... “
“Itu juga benar.”
“Kok aku jadi bingung, ya?” potong Adiprana sambil garuk-garuk kepala. “Dari Perguruan Tongkat Hijau kok gurunya orang luar? Aneh!”
“Ooohh ... itu,” ucap Trihasta Prasaja sambil menepuk pelan dahinya. “Begini ceritanya. Ayahku bersahabat dengan Nini Guru Parikesit dan ayah menginginkan aku belajar jurus cambuk milik Nini Guru dengan syarat setelah empat tahun, ayah atau aku harus membantu Nini Guru membantunya melakukan satu buah pekerjaan. Aku dan ayah telah berjanji, seberapa pun ilmu cambuk yang bisa kukuasai dari Nini Guru Parikesit, asal tidak bertentangan dengan kebenaran, kami siap membantunya.”
“Memangnya harus membantu apa?” tanya Jalu.
“Membantunya mencari kakak kandungnya yang bernama Aki Dangdang dan istrinya Nini Dungdung.”
“Wah, siapa lagi itu?” ucap Adiprana sambil tersenyum geli saat mendengar nama aneh.
“Teruskan ... “ pinta Jalu sambil menahan tawa.
“Menurut penuturan Nini Guru Parikesit, nama Nini Dungdung dan Aki Dangdang tidak bakalan dikenal orang. Namun jika menyebut gelar mereka, maka semua orang pasti kenal,” sambung Trihasta Prasaja.
“Memangnya siapa gelar mereka?”
“Tombak Utara Tongkat Selatan, itulah gelarnya.”
Jalu Samudra langsung melengak kaget!
Saat Trihasta Prasaja berceloteh macam burung berkicau, Jalu Samudra semakin terperangah saja. Ternyata, kisah petualangan dari orang yang sudah dianggap sebagai pengganti orang tua sekaligus gurunya begitu heroik dan penuh dengan pernak-pernik dunia persilatan. Tentang jiwa kependekaran dari Tombak Utara Tongkat Selatan diuraikan panjang lebar oleh Trihasta Prasaja secara gamblang.
“Tidak menyesal aku dididik dan diasuh oleh kakek dan nenek,” kata hati Jalu Samudra sambil berusaha membayangkan wajah sepasang tua renta yang menemukannya di tengah laut dan mengasuhnya di Gua Walet. Masa kecilnya yang dipenuhi dengan kegelapan karena kebutaan sehingga Jalu harus mereka-reka seperti apa bentuk wajah dari pasangan tua itu.
“Kek, Nek! Semoga kalian tenang di alam sana,” batinnya. “Lihatlah sekarang cucumu sudah dewasa dan bisa hidup sesuai dengan jalan yang kakek dan nenek tempuh. Jalan kependekaran aliran putih.”
Kedua pemuda itu menyimak setiap jengkal kata dari Trihasta Prasaja, bahkan dari A sampai Z. Hampir tak satu kata pun terlewatkan oleh mereka berdua.
“Kalau melihat bocah ini berkicau, kok lama-lama mirip dengan perempuan, ya?” pikir Adiprana. Sebentar matanya sesekali melirik ke bagian dada Trihasta Prasaja. “Hemm, dadanya datar-datar saja. Tidak ada tonjolannya.”
“ ... itulah sebabnya tadi aku katakan kalau sebenarnya kita masih saudara perguruan, Jalu.” kata Trihasta Prasaja menutup ceritanya. “Gimana, paham ga?”
Namun melihat tampang bego dua pemuda di depannya, Trihasta Prasaja malah tertawa geli.
“Sebenarnya, kalian mendengar ceritaku ga’, sih?”
“Denger-denger,” jawab Jalu dan Adiprana bersamaan.
Namun melihat cara dua pemuda itu menjawab, Trihasta Prasaja malah menjadi cemberut. Apalagi dengan cara memandang keduanya seperti orang kena hipnotis itu --terutama sekali sorot mata Adiprana sedang untuk Jalu dia menganggapnya pemuda buta biasa-- membuat pipi Trihasta Prasaja bersemu merah.
“Huh, kalian benar-benar menjengkelkan.”
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda berkumis tipis bangkit berdiri, lalu pergi begitu saja tanpa pamit.
Kepergiannya tentu saja diikuti dengan tatapan aneh Jalu dan Adiprana. Setelah menghilang di kelokan tangga, barulah keduanya menghela napas lega.
“Jalu, kau tahu apa yang ada di kepalaku?”
“Kukira tidak jauh beda dengan apa yang ada di kepalaku.”
Keduanya sambil pandang, lalu sama-sama berucap, “Dia ... banci!”
Keduanya langsung melepas ledakan tawa setelah mengucapkan kata-kata ‘sakti’ barusan.
“Seumur-umur, baru kali ini aku liat pemuda berwajah cantik,” kata Adiprana sambil terus tertawa berderai.
“Aku sendiri juga sama,” sahut Jalu. “Bahkan aku sempat berpikir kalau dia seorang gadis yang tengah menyamar. Dari tadi kuliat-liat di bagian dada, ga ada tonjolan sama sekali. Kecil pun juga tidak.”
Keduanya kembali tertawa berderai.
“Ngomong-ngomong, kau ini benar-benar buta atau ... pura-pura buta?” serobot Adiprana di sela-sela tawanya.
“Menurutmu, gimana?” tukas Jalu sambil menjerengkan sepasang mata putihnya, yang memang cukup sering mengecoh lawan mau pun kawan.
“Menurutku, kau ini ... orang buta yang punya banyak otak mesum, hahahaha!!”
Kembali keduanya tertawa keras. Bahkan saking kerasnya, air mata keduanya sampai keluar dari sudut mata.
Selebihnya, cuma tawa dan tawa saja yang terdengar dari keduanya.
Tiba-tiba saja ...
“Ada orang datang! Ada orang datang ... !!”
Sebuah teriakan keras terdengar.
Tentu saja semua orang yang sudah siaga dari dua hari yang lalu, langsung sigap mencari-cari ke segala arah. Walau bagaimana pun juga, tentu saja mereka merasa aneh mendengar teriakan barusan.
Orang datang?
Bukannya lebih tepat ... kapal datang?
Namun, keanehan yang merambati mereka akhirnya tersunat kala di kejauhan terlihat dua orang sedang berdiri di atas permukaan air laut!
Berdiri ... benar-benar berdiri di atas air!
Jika bukan orang berilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa melakukan hal itu!?
Semua orang di kapal Surya Silam menjerengkan mata lebar-lebar.
“Berikan teropong kaca laut!” seru Gandarwa pada salah seorang anak buahnya yang dengan sigap memberikan sebentuk benda bulat yang bisa memanjang jika ditarik ujungnya. Benda itu dibeli Gandarwa dari pedagang Daratan Tiongkok yang menumpang di kapal mereka. Benda itu di kedua ujung terdapat cermin bulat yang bisa membesar dan mengecil jika di putar di bagian ujung depan.
“Heeemm ... mereka tidak berdiri di atas air, tapi ... menunggang seekor ikan besar berbentuk pipih selebar tiga kali layar kapal,” desis Gandarwa.
Mendengar ukuran ikan tersebut, Jalu langsung memotong cepat, “Apa bukannya ikan pari raksasa?”
“Ikan pari raksasa?” gumam Gandarwa sambil sesekali memutar-mutar ujung teropong. Lalu sahutnya, “Yang kau maksud dengan ikan pari adalah ikan pipih besar dengan ekor panjang serta dua tanduk depannya, mungkin juga benar.”
“Benar! Itulah ikan pari raksasa,” kata Jalu. Namun dalam hatinya ia berkata lain, “Berarti perairan laut air tawar sudah dekat. Tapi di sebelah mana letaknya? Apa harus menunggu kemunculan ikan gajah putih terlebih dahulu baru diketahui letaknya?”
Saat Jalu asyik berkutat dengan kata hatinya, terdengar seruan kaget dari mulut Gandarwa.
“Itu ... Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil!” katanya kembali.
Mendengar nama Raksasa Laut Hitam saja sudah membuat yang ada di situ terkaget-kaget dengan jantung berdetak kencang, namun di tambah dengan nama keren Demit Mungil semakin membuat senam jantung saja. Sebab belasan tahun lamanya nama seram Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil tidak terdengar. Entah menyembunyikan diri, entah pergi kemana tidak ada satu pun warga persilatan yang tahu.
Yang gelarnya Raksasa Laut Hitam tidak seperti yang dibayangkan orang. Meski menggunakan nama raksasa, namun sosoknya benar-benar jauh berbeda dengan gelarnya. Sosok Raksasa Laut Hitam kecil-mungil saja. Ga’ tinggi-tinggi amat, yah ... satu tombak lewat satu jengkal lebih beberapa helai rambut gitu-lah. Gemuk-gemuk amat juga tidak meski berperut sedikit buncit karena kelebihan lemak (kurang olah raga ‘kali). Kulitnya juga lumayan hitam meski tidak sehitam jelaga. Yang luar biasa justru hidungnya, besar menggelembung menggantung macam paruh kakatua.
Baju putih doreng-doreng antara hijau-merah tidak dikancingkan hingga berkibar-kibar macam sayap kelelawar memperlihatkan gambar tato entong bersayap di bagian dada. Entah apa maksudnya menggambar tato selucu itu, mungkin juga untuk menakuti-nakuti lawan atau cuma salah cetak, hanya Raksasa Laut Hitam yang tahu. Namun yang jelas, Raksasa Laut Hitam terkenal dengan jurus silatnya yang bernama Jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ yang konon kabarnya di wilayah Laut Hitam nun jauh disana tidak ada satu pun yang sanggup membendungnya.
Akan halnya Demit Mungil justru bertolak belakang dengan sang kawan. Meski menggunakan embel-embel ‘mungil’ biar berkesan manis, namun sosoknya yang tinggi besar macam pohon beringin benar-benar tidak ada manisnya sama sekali.
Bener-bener ga’ match gitu-loh!
Demit Mungil terlihat tinggi menjulai dengan kulit putih bersih sehingga saking bersihnya, tidak ada tahi lalat -- apalagi tahi kebo, hihih ... amit-amit deh -- yang ada di tubuhnya. Gambar panu pun tidak ada. Meski bertubuh tinggi besar dengan otot-otot bersumbulan, raut mukanya yang oval justru terlihat kalem-kalem saja lengkap dengan rambut tersisir rapi. Tidak ada cambang atau pun kumis, bahkan bibirnya merah membasah seperti bibir perempuan usia belasan tahun.
Baju dan celananya pun bersih, beda jauh dengan Raksasa Laut Hitam yang bercelana hitam dekil. Meski semua terlihat bersih dan rapi, tapi … nah ada tapinya, matanya itu lho.
Gede-gede macam jengkol!
Di setiap tangan kiri-kanan terdapat tiga besi panjang kuning emas macam cakar yang diselipkan. Itulah senjata andalan Demit Mungil yang bernama Tanduk Singa. Meski masing-masing cuma sepanjang dua jengkal, jangan dianggap remeh. Senjatanya sih tidak seberapa hebat, namun racun yang melumuri seluruh Tanduk Singa yang wajib diwaspadai. Cukup kena tusuk dikit aja, sebesar jarum sajalah, dalam waktu dua helaan napas sudah bisa mengirim orang ke rumah masa depan alias kuburan!
Hebat, ‘kan?
Ngomong-ngomong jurus andalan, ni orang juga punya. Namanya Ilmu Silat ‘Singa Laut’. Entah sehebat apa, tidak ada yang tahu, barangkali kalah pamor dengan Tanduk Singanya.
Konon kabarnya, Demit Mungil ini juga memiliki pukulan sakti yang namanya Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’. Nah, kayak apa sih pukulannya?
Ntar liat aja, gitu aja kok repot!
Sebentar saja, lesatannya telah berada sejarak delapan tombak dari kapal Surya Silam.
 
BAGIAN 13


“Hahahahahah!” sebuah tawa keras terdengar berkumandang dari kejauhan, namun getarannya sampai membuat membuat berdebar-debar orang-orang yang ada di kapal Surya Silam.
“Mana keparat-keparat yang menggagalkan pekerjaan Sepasang Hiu Baja? Mana!?” bentak si tinggi besar Demit Mungil.
“Aku!” balas Gautama, lalu ia menudingkan lembingnya sambil berseru keras, “Jika kalian berdua ingin mencari siapa orangnya, akulah orang kau cari!”
“Huh, cuma Lembing Nakhoda Berhulu Panjang apa hebatnya?” bentak Demit Mungil. “Mana yang lain? Biar sekalian aku bereskan!”
“Aku!” bentak Gandarwa.
“Si Kapak Pencabut Nyawa! Bagus, bagus!” seru Raksasa Laut Hitam dengan suara cempreng. “Pantas berani unjuk gigi di hadapan kami!”
“Sudah tahu Kapak Pencabut Nyawa dan Lembing Nakhoda Berhulu Panjang ada di kapal ini, kalian masih berani mengganggu kami!” gertak Gandarwa yang bergelar Kapak Pencabut Nyawa. “Benar-benar tidak memandang sebelah mata pada kami.”
“Cuih!” Demit Mungil meludah. “Apa hebatnya? Perompak Tujuh Lautan tidak pernah takut pada siapapun! Jika berani, silahkan turun kemari!”
Selebar muka Kapak Pencabut Nyawa merah padam dihina seperti itu.
“Bangsat! Kuterima tantanganmu!” bentak Gandarwa.
Namun, sebelum niat Gandarwa terlaksana, sesosok bayangan hijau melesat cepat diiringi teriakan mengguntur, “Heeaaahh ... !”
Lalu, dua hawa berbentuk bayangan naga hijau terlihat meliuk cepat ke arah Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam.
Wuss ... wusss ... !!
Demit Mungil menghentak kaki pelan, lalu tubuhnya meluruk maju ke depan dengan sepasang tangan mengeluarkan sinar kuning emas menadahi hawa naga hijau.
Bummm! Bummm ... !!
Dua dentuman terdengar keras.
Sosok Demit Mungil berjumpalitan di udara tiga kali, lalu melayang turun dan tepat berdiri di atas hewan tunggangannya. Sedang lawan melakukan hal yang sama, berjumpalitan tiga kali dan melayang turun kemudian berdiri tegak di atas air!
Sosok pemuda baju hijau berdiri kokoh di atas air membuat sepasang mata Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam membelalakkan mata. Namun setelah melihat sepasang caping di bawah kaki si pemuda, keduanya tertawa terbahak-bahak, meski dalam hati mereka mengakui kehebatan jurus peringan tubuh lawan cukup tinggi. Jarang dijumpai tokoh muda yang sanggup berdiri di atas air dengan caping kecil seperti itu.
“Kukira siapa, tak tahunya bocah ingusan yang tak tahu tingginya langit dalamnya samudra!” ejek Demit Mungil. “Bocah, siapa kau?”
“Aku adalah bocah ingusan yang tak tahu tingginya langit dalamnya samudra!” balas mengejek si pemuda baju hijau yang ternyata Adiprana atau si Naga Terbang. “Jelas?”
“Buaaangsaatt ... !” amarah Demit Mungil meninggi cara menjawab Adiprana. “Jangan bilang kalau Demit Mungil membunuhmu tanpa sempat menanyakan nama, anak muda keparat!!”
“Buat apa namaku dikenalkan padamu! Lagian, gelar Demit Sinting Kurang Sajen lebih bagus daripada Demit Tengil,” lagi-lagi Adiprana mengejek.
“Kurang ajar!”
Selebar muka Demit Mungil merah-padam penuh kemarahan. Benar-benar diejek luar-dalam dia!
“Sobat, jika melihat jurusnya, tampaknya aku tahu dia berasal darimana,” bisik Raksasa Laut Hitam.
“Teruskan,” desisnya sambil menahan geram. “Siapa setan baju hijau itu hingga mulutnya berani pentang bacot di depan kita!”
“Kau tahu Persilatan Naga Lahar di lereng Gunung Lahar? Kurasa dia dari sana,” jawab Raksasa Laut Hitam. “Jelasnya ... murid Naga Terkutuk Dari Neraka!”
“Ooo ... murid manusia keparat yang berjuluk Naga Terkutuk Dari Neraka rupanya,” kata Demit Mungil dengan geram. “Pantas berani petentang-petenteng di hadapanku!”
Mendengar nama Naga Terkutuk Dari Neraka disebut-sebut, Naga Terbang teperanjat!
“Dia tahu jatidiriku sebagai murid Naga Terkutuk Dari Neraka,” pikir si Naga Terbang. “Celaka! Aku harus berhati-hati menghadapinya.”
“Hahahaha! Cuma murid ingusan Naga Terkutuk Dari Neraka apa bagusnya!? Juehh ... !!” Demit Mungil meludah. “Kukira Ilmu Silat ‘Naga Hijau’-mu belum sehebat gurumu yang murtad dari aliran hitam! Siap-siaplah kau kurencah dan kulemparkan mayatmu ke depan hidung manusia busuk itu!”
“Setan laknat!” balas memaki Adiprana, sebab guru yang sangat dihormati di caci-maki lawan di depam hidungnya. “Sudah bosan hidup kau rupanya!”
Prinsip si Naga Terbang, siapa saja boleh mencaci-maki dirinya, tapi jangan sekali-sekali menyinggung nama Naga Terkutuk Dari Neraka di hadapannya!
Naga Terkutuk Dari Neraka memang awalnya termasuk gembong sesat kelas kakap, bahkan sudah malang melintang sejak usia muda. Jaman itu, siapa yang tidak kenal dengan gelar seram Naga Terkutuk Dari Neraka?
Hanya orang tuli saja yang ga’ kenal!
Namun semenjak usianya mendekati lima puluhan tahun, dia insyaf dari kesesatannya lalu memutuskan mengasingkan diri di Gunung Lahar serta tidak mau lagi turut campur di rimba persilatan. Laki-laki parobaya ini berniat mengubur dalam-dalam nama jahatnya dan menggunakan nama asli : Ki Mandira.
Setelah lima tahun mengasingkan diri timbul niat diri Ki Mandira untuk mewariskan segala ilmu silat dan kesaktian yang dimilikinya agar tidak musnah dimakan usia, lalu didirikanlah Persilatan Naga Lahar. Diawal pendirian, Ki Mandira menerima tiga murid yang rata-rata berusia dua puluhan tahun. Namun setelah tahu gelagat bahwa ketiga muridnya cenderung berada di jalan sesat meniru dirinya, mantan tokoh sesat yang ditakuti ini mengeluarkan ketiga orang muridnya dari perguruan dan dijanjikan diterima kembali jika hatinya sudah bersih.
Meski terjadi pertentangan dengan sang guru, namun ketiga murid Persilatan Naga Lahar tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi mereka tahu nama besar dari Naga Terkutuk Dari Neraka!
Jelas, belum apa-apa sudah nge-peer duluan!
Dua tahun berselang, bertemulah si tua dengan bocah usia enam tahun yang saat itu sedang sekarat karena gigitan ular kobra. Diselamatkanlah anak itu dan diangkatnya menjadi murid tunggalnya setelah melihat bakat dan kecerdasan si bocah.
Dialah Adiprana yang sekarang berjuluk si Naga Terbang!
Dididiknya Adiprana dengan kasih sayang dan budi pekerti luhur. Meski ia bekas tokoh sesat namun ia tidak malu dicela muridnya jika melakukan kesalahan. Hingga tiga tahun kemudian, jumlah murid Ki Mandira menjadi lima orang termasuk Adiprana sebagai saudara seperguruan yang paling tua. Saat usianya mencapai enam puluh lima tahun, jumlah muridnya mencapai dua belas orang dan Ki Mandira berketetapan tidak menerima murid lagi.
Pada Adiprana seorang ia menceritakan siapa jati dirinya. Karena sebab itu si Naga Terbang ini langsung memuncak amarah ketika nama Naga Terkutuk Dari Neraka disinggung dan dijelek-jelekkan lawan.
Semua orang mendengar dengan jelas percakapan mereka. Tidak disangka sama sekali kalau Adiprana ternyata murid dari Naga Terkutuk Dari Neraka. Bahkan Gautama sampai terperanjat mendengarnya.
“Pantas dia begitu kejam! Membunuh orang seperti membunuh lalat saja ... “ gumam Gautama saat teringat melihat gebrakan pemuda baju hijau saat pertempuran kemarin. “Belum apa-apa beberapa nyawa melayang di tangannya. Kejadian kemarin masih membekas dalam ingatanku.”
Bahkan ia masíh ingat sosok tubuh hancur lebur karena pukulan maut yang dilancarkan si Naga Terbang.
Hiih, ngeri deh!
“Kukira Adiprana tidaklah kejam, Paman. Hanya sifat ilmunya saja yang masih memiliki keganasan. Setidaknya ia tidak tersesat seperti gurunya,” sahut Jalu Samudra, lalu imbuhnya, “ ... lagi pula, sedikitnya kita tahu semua tentang Persilatan Naga Lahar. Ki Mandira memang benar-benar telah bertobat dari jalan kesesatan. Coba Paman pikirkan lebih dalam, meski ilmu aliran putih namun jika digunakan untuk kesesatan, apa bedanya? Demikian pula sebaliknya. Setiap ilmu apa pun bentuknya, tergantung dari siapa pemakainya.”
Si Pemanah Gadis masih ingat betul dengan laki-laki tua pendiam berambut putih dengan raut muka terkesan kalem-kalem sadis waktu kasus Perguruan Sastra Kumala dengan Aliran Danau Utara. Dari Ki Gegap Gempita pula, ia tahu nama Ki Mandira yang adalah Ketua Persilatan Naga Lahar. Hanya saja Ki Mandira pergi begitu saja setelah lolos dari penjara bawah tanah.
“Yah, ucapanmu memang benar, Anak Muda!” sahut Gautama kembali. “Jika saja Naga Terkutuk Dari Neraka masih seperti waktu masa mudanya, entah jadi apa rimba persilatan ini!?”
“Semoga saja muridnya ini bisa mengharumkan nama Persilatan Naga Lahar,” kata Gandarwa.
“Semoga.”
Sementara itu, Demit Mungil sudah saling gebrak dengan si Naga Terbang hingga puluhan jurus. Pun tubuh keduanya melesat kesana-kemari sambil mengirimkan pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Bahkan beberapa kali sepasang Tanduk Singa di tangan Demit Mungil berulang kali nyaris menggores kulit Adiprana. Belum lagi kepiawaian Demit Mungil mengendalikan satwa pipih lebar patut diacungi jempol. Setiap kali menghentak, maka dengan sigap si hewan air langsung bergeser sesuai arah yang diinginkan Demit Mungil.
Namun ilmu silat Adiprana juga tidak bisa dipandang rendah. Beberapa kali serangan hawa tapak Adiprana dengan sengit mendesak lawan. Belum lagi dengan jurus peringan tubuh handal khas Persilatan Naga Lahar yang unik. Alur gerak langkah sulit ditebak. Meski pertarungan berada di atas air, seolah tidak mengurangi kelincahan kaki si Naga Terbang melesat kesana-kemari menghindari sergapan lawan mau pun mengirimkan serangan-serangan mematikan.
Meski begitu, ada satu hal yang dilupakan oleh Adiprana.
Tempat dimana ia bertarung yaitu ... di atas air!
Meski si Naga Terbang bisa mengimbangi serangan lawan selama puluhan jurus, namun lama-kelamaan keteteran juga. Air adalah hal baru baginya, sedang bagi Demit Mungil, air adalah sahabat karib yang kemana-mana selalu menemaninya dengan setia.
Akibatnya, pelan namun pasti, Demit Mungil berada di atas angin!
Suatu saat, sebongkah hawa padat Demit Mungil tepat mengenai bahu kiri lawan saat berkelit ke kanan menghindari sergapan Tanduk Singa.
Bukk!
Akan tetapi arah gerak lawan sudah bisa terbaca oleh lawan hingga tangan kirinya menyusul bergerak mendorong secepat kilat menerbitkan angin padat menghajar dada.
Dess!!
Akibatnya ... Adiprana yang kehilangan daya keseimbangan langsung masuk ke air tanpa malu-malu lagi.
Byurr!
Bagaimanapun juga, pemuda baju hijau ini adalah murid tokoh kosen yang pernah malang melintang dengan segala kesaktian dan kejahatannya tentu tidak hanya dengan sekali pukul langsung keok. Kesadarannya cukup tinggi, meski sergapan rasa sakit mendera di bahu dan dada. Begitu mencapai kedalaman enam tujuh tombak Adiprana segera memutar tubuh, lalu menghimpun tenaga dalam tingkat tinggi di dalam air hingga telapak tangan sebatas siku berpijar hijau. Selang beberapa saat, tangan berubah menjadi cakar kokoh yang digerakkan membeset air silih berganti.
“Hewan keparat itu harus aku hancurkan terlebih dahulu,” pikir Adiprana sambil terus membeser-beset air yang semakin lama semakin cepat.
Srett! Srett!
Jurus ‘Pisau Naga Merobek Langit’ paling afdol digunakan di udara terbuka namun sekarang justru dikerahkan dalam air, yang meski kehilangan sebagian kekuatan karena tekanan air yang kuat namun keganasannya tidak bisa dipandang ringan.
Werrr ... ! Werrr ... !
Di atas permukaan air, Demit Mungil yang masih mengatur napas mendengar suara gemuruh dari bawah air.
“Suara apa itu?” desisnya.
Namun kepanikan justru terlihat pada ikan pari raksasa tunggangannya. Hewan itu terlihat gelisah dengan mengibaskan ekor berulang kali dan pada akhirnya, tanpa diberi perintah oleh Demit Mungil mau pun Raksasa Laut Hitam lagi, dua hewan raksasa itu telah memisah ke kiri kanan dengan cepat.
Bersamaan dengan itu, puluhan pisau air menerjang cepat!
Srakk! Srakk!
Daaarr ... darrr ... !
Namun, serangan pisau air yang semakin banyak terus saja mengejar ikan pari raksasa yang sibuk menghindar kesana-kemari. Bagaimana pun juga, naluri hewani ke dua binatang lebih tajam dari sekedar perintah-perintah yang diberikan manusia. Apalagi jika untuk mempertahankan selembar nyawa. Meski Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam berulang kali memaki hewan tunggangannya agar tenang, namun tetap saja gagal.
“Keparat!” bentak Raksasa Laut Hitam sambil menghentakkan sepasang tangannya ke depan. “Ini tidak bisa dibiarkan!”
Wutt!
Jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ tingkat tiga milik Raksasa Laut Hitam langsung menggebah maju membentuk gulungan-gulungan ombak besar.
Duarr! Duarrr! Duarrr!
 
BAGIAN 14


Meski tingkat tiga saja, namun bunyi dentuman yang terjadi cukup keras. Bahkan Adiprana yang berada di bawah air merasakan dadanya semakin tertekan sakit. Selain bagian dalam dada yang seperti meledak karena terlalu lama menahan napas, suara gema ledakan begitu memekakkan saat berada dalam air.
Tiba-tiba saja, tubuhnya meluncur cepat ke atas.
Byarrr!!
Tubuh basah pemuda itu melesat keluar dari bawah air dan saat sejarak tiga tombak, sepasang tapak tangannya digerakkan cepat ke delapan penjuru. Sebuah jurus maut yang sebelumnya meluluh-lantakkan tubuh para Perompak Tujuh Lautan.
Jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’!
“Jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’!” seru Demit Mungil. “Kita lihat mana yang hebat, jurusmu atau jurus ‘Singa Laut Membelah Angkasa’ milikku!”
Sepasang Tanduk Singa digesekkan satu sama lain hingga menimbulkan bunyi nyaring laksana dengkingan suara singa laut dan bersamaan itu pula terlihat larikan-larikan sinar kuning emas berhamburan keluar.
Weess! Weess!
Blamm! Blamm! Blamm!
Benturan antara bayangan tapak dari jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’ dengan larikan sinar kuning emas jurus ‘Singa Laut Membelah Angkasa’ lagi-lagi membuncah angkasa. Air laut pun sampai bergolak membentuk gelombang tinggi. Bahkan getaran ledakan yang merambat di air sampai ke kapal Surya Silam.
Kembali, Adiprana terpelanting dan jatuh ke dalam air. Namun kali ini, karena akibat daya benturan yang sangat keras membuatnya pingsan diikuti semburan darah kental waktu melayang jatuh.
Byurr!
Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah tenggelam ke dalam air.
“Celaka! Dia bisa mati kehabisan napas,” kata Jalu Samudra, cemas.
Melihat Adiprana tenggelam, si Pemanah Gadis yang sedari awal pertarungan sudah menduga kalau sobat barunya bakalan dikeroyok, langsung melesat cepat.
Wutt!
“Jalu, jangan ... !” cegah Gautama, namun terlambat.
Byurr!!
Tubuh pemuda baju biru laut langsung amblas ke dalam air!
Begitu merasakan dinginnya air, Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ yang diberikan Dewi Binal Bertangan Naga kepadanya bereaksi secara alamiah. Sebuah ilmu sakti yang membuat Jalu Samudra bisa bernapas dalam air sesuka hatinya. Tubuhnya meliuk cepat laksana ikan terbang, tangan kiri menyambar tubuh pemuda baju hijau dan dengan ayunan kaki ringan dibawanya naik ke permukaan air.
Byarr! Jligg!
Jalu Samudra berpijak di atas air. Berdiri tegak-kokoh sambil memondong sosok pingsan Adiprana. Lalu dengan seenaknya ia berjalan di atas air seperti berjalan di atas tanah. Begitu berada tepat di bawah kapal Surya Silam, ia pun berteriak, “Paman, tolong obati Adiprana! Biar dua ikan kesiangan ini aku yang urus!”
Tangan Jalu menyentak sedikit ke atas, lalu tubuh Adiprana melambung ke atas dengan cepat.
Wutt!
Tapp!
Sigap, Cideng menerima tubuh pingsan Adiprana.
Begitu Adiprana sudah berada di tangan yang aman, Jalu kembali berjalan lenggang kangkung. Dan anehnya, gerakan tongkat mengetuk tidak pernah terlupa sedikit pun.
Tentu saja perbuatan Jalu yang luar biasa itu semakin membuat mata terbelalak. Bagaimana mungkin orang bisa berjalan diatas air seperti berjalan di atas tanah, dengan tongkat pula!?
“Jika bukan orang berilmu tinggi, tidak mungkin orang bisa berjalan di atas air seperti itu,” desis Trihasta Prasaja yang keluar dari kamarnya saat mendengar suara ledakan keras pertama kali. “Tapi apa benar dia murid dari Tombak Utara Tongkat Selatan? Setahuku Nini Guru Parikesit tidak pernah menceritakan tentang ilmu kesaktian kakak kandungnya ada yang seperti itu!?”
“Kakang Cideng, apa itu yang namanya jurus ‘Menapak Di Air’?” tanya Sampurna, heran.
“Kemungkinan besar ... tidak, Adi! Sebab jurus ‘Menapak Di Air’ tidak bisa digunakan untuk berjalan biasa, tapi harus berlari cepat. Itu pun harus menguasai tenaga peringan tubuh tinggi. Meleset sedikit saja, pasti tercebur,” terang Cideng sambil menyalurkan tenaga dalamnya ke punggung Adiprana. “Jelas sekali kalau terlihat Jalu Samudra berjalan, bukan berlari.”
“Benar-benar edan tuh orang!” kata Satari tidak sadar.
“Edan?”
“Maksudku ... ilmunya benar-benar edan!” sahut Satari.
Tiba-tiba saja, Gandarwa mengernyitkan alis sambil mendesis pelan, “Apa jangan-jangan dia orangnya?”
“Ada apa, Paman? Siapa yang dimaksud dengan ‘dia’?” tanya Sampurna.
“Dua tahun belakangan ini rimba persilatan dihebohkan dengan kemunculan seorang pendekar muda bermata buta yang konon kabarnya telah mewarisi Ilmu Sakti ‘Mata Malaikat’ ... ” terang Gandarwa. “ ... dan dari ciri-ciri yang dimiliki Jalu, kuat dugaan dialah orangnya.”
“Pewaris Ilmu Sakti ‘Mata Malaikat’!?” terperanjat Sampurna mendengar hal itu. “Maksud Paman, dia itu ... murid mendiang Dewa Pengemis? Tapi itu tidak mungkin!”
“Kemungkinan itu bisa saja terjadi,” sahut Gandarwa diplomatis sambil terus memperhatikan langkah Jalu yang lambat namun pasti mendekat ke arah Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil. “Ilmu orang-orang sakti tidak akan musnah begitu saja ketika mati, tapi menggumpal dalam wujud-wujud tertentu. Bisa berupa pedang, golok atau apa saja. Bahkan ilmu-ilmu titisan bisa berwujud gumpalan cahaya atau sebentuk mimpi yang selalu hadir kala yang bersangkutan tertidur. Sebagai contoh nyata adalah pemilihan Ketua Istana Elang yang dari generasi ke generasi selalu berbeda-beda namun cara penurunan ilmu kesaktian cenderung sama. Semua calon Ketua Istana Elang harus digodok di Lembah Badai yang konon kabarnya hanya Ketua dan Empat Pengawal Gerbang yang sanggup menembusnya.”
Sampurna yang mendengarnya manggut-manggut. Meski belum pernah bertemu dengan tokoh selegendaris Ketua Istana Elang dan Empat Pengawal Gerbangnya, namun Sampurna meyakini betul kebenaran ucapan Gandarwa.
Gautama yang sedari tadi tercengang dengan pamer kesaktian (kalau sekarang namanya ‘show of power’ gitu-lah) yang ditunjukkan Jalu Samudra, dan saat mendengar ucapan Gandarwa, mendadak saja teringat pada satu nama yang akhir-akhir ini menjulang tinggi karena kesaktiannya.
“Jangan-jangan ... dia ... “
“Dia siapa, Paman?” tanya Sampurna sambil memandang Gautama dengan sorot mata ingin tahu.
“Dia itu pemuda yang berjuluk ... si Pemanah ... “ kata Gautama dengan sedikit merendahkan kata terakhir bahkan cenderung di telan. “ ... Gadis ... “
Gautama takut kalau salah ucap. Jika hanya dirinya saja yang tahu tidak menjadi masalah, namun jika semua orang tahu ia memberi julukan asal saja pada seseorang dan yang bersangkutan tidak terima, bisa panjang buntutnya.
“Si Pemanah ... siapa?” tanya Sampurna dengan mimik muka heran. “ ... Gadis?”
Gautama hanya memandang dengan senyum-tak senyum saja. Antara meng-iya-kan dan tidak.
Pokoknya serba nanggung, deh!
“Jadi Jalu Samudra itu yang berjuluk si Pemanah Gadis?” sahut Sampurna agak keras, membuat semua orang menoleh ke arahnya.
“Brengsek, kau! Kenapa dikeras-kerasin!?” seru Gautama dengan suara agak ditekan plus mata melotot, “Ntar semua orang denger gimana? Iya kalau bener ... lha kalau salah!?”
“Lho, tadi ‘kan Paman yang bilang sendiri,” elak Sampurna tidak mau disalahkan. “Kok malah aku yang dibentak-bentak?”
Muka Gautama merah padam karena malu.
“Sudah! Aku tidak mau bicara lagi!” kata Gautama sambil pergi menjauh.
Tentu saja debat antara Sampurna dengan Gautama tadi sedikit banyak terdengar oleh orang-orang yang berada di kapal Surya Silam. Suara gemuruh macam lebah kawin terdengar.
“Yang bener aja? Masa’ julukan kok si Pemanah Gadis?” tukas yang di pojok kanan.
“Lha, emang bagusnya apa. Mbul?”
“Julukan tuh yang heboh, kalau perlu mengerikan. Biar lawan pada takut!” terang yang di pojok kanan yang disebut ‘Mbul’, lengkapnya : Jumbul.
“Misalnya?”
“Si Pemanah Sakti Bertangan Maut bisa, Dewa Panah Berwajah Tampan juga tidak jelek, Pemanah Buta juga cocok. Pemanah Baju Biru tak buruk-buruk amat ... “
“Wah, kalau aku lebih setuju disebut si Pemanah Gadis,” sahut kawannya yang bernama Junta.
“Kamu?”
“Bukan! Ya ... si Jalu itu, ******! Liat aja! Jalu itu ganteng, kulitnya bersih, badannya tegap, berilmu tinggi. Gelar si Pemanah Gadis cocoklah buat dia, klop gitu looh! Dari pada si Pemanah Janda atau malah si Pemanah Nenek, kan bagusan si Pemanah Gadis,” cerocos Junta panjang lebar. Sambungnya, “Lagian, jika disejajarkan dengan aku, nilai ketampanan Jalu dan diriku pastilah bernilai sembilan.”
“Lho ... kok bisa?” tanya heran Jumbul sambil memandang pulang balik wajah Junta. “Dilihat dari segi mana pun, wajahmu ga ada nilai sembilan, tuh! Empat aja juga engga!”
“Maksudku ... kalau si Jalu nilainya sembilan di atas nol, kalau aku sih ... sembilan di bawah nol, hehehehe!” kata Junta sambil meringis.
“Ahhh ... kampret loe!”
Sementara itu, yang dibicarakan malah justru sedang tantang-tantangan adu mulut. Yach, maklum ajalah, namanya juga baru kenal. Saling menantang dulu, boleh dong!
”Siapa kau, Anak Muda?” tanya Raksasa Laut Hitam. ”Mau apa kau? Kau mau apa? Apa mau kau?”
Karena bentakan yang serak-serak sember itu, tentu saja membuat Demit Mungil gaplok kepala sang teman.
Plok!
”Kalau bentak yang bener, bego!!” bentaknya dengan mata melotot, lalu bisiknya, ”Kalau keder jangan diperlihatkan, malu-maluin nama besar kita.”
”Aku sih maunya juga begitu,” balas bisik Raksasa Laut Hitam.
Tentu saja melihat pameran tenaga dalam si pemuda baju biru laut berambut kuncir ekor kuda yang diikat robekan kain warna biru laut sudah membuat Raksasa Laut Hitam menduga seberapa tinggi kesaktian lawan.
”Buat apa kalian perlu tahu siapa aku?” sahut Jalu dengan gaya menjengkelkan.
Bagaimana tidak menjengkelkan, dia justru duduk berjongkok sambil tangan kanan yang memegang tongkat memukul-mukul air laut, menggoda hewan tunggangan dua kaki tangan Jenggot Perak Mata Satu. Jika orang lain berpikir ribuan kali untuk bisa duduk di atas air, justru si pemuda murid Dewa Pengemis ini dengan seenaknya melakukan hal yang dianggap mustahil semua orang!
Benar-benar menghina dia!
Dengan jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dan tenaga dalam super tinggi bukanlah hal yang mustahil dilakukan anak didik Tombak Utara Tongkat Selatan ini. Jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ bukan hanya berlari secepat kilat tapi bisa membuat pemiliknya seringan kapas seenteng bulu.
”Bangsat! Jangan dikira dengan kau bisa nangkring di atas air sudah membuat kami menjadi keder!” bentak Raksasa Laut Hitam menutupi rasa gentarnya, padahal dalam hatinya ia sudah nge-peer duluan, ”Brengsek! Kenapa aku jadi gelisah begini!?”
”Memangnya kau bisa!?” ledek si Pemanah Gadis sambil terus menusuk-nusuk ‘mainan barunya’.
Tentu saja ikan pari jadi gelisah. Sebentar-sebentar menggeser ke kiri kanan, adakalanya sedikit menenggelamkan diri hingga sebatas pinggang Raksasa Laut Hitam yang notabene membuat panik sang penunggang.
”Sini kau!” ledek Jalu semakin keterlaluan.
Selebar muka Raksasa Laut Hitam mengelam. Marah. Bahkan terlihat dari ubun-ubunnya keluar asap tipis.
Marah tingkat tinggi, bro!
”Ini tidak bisa dibiarkan! Mau dibawa kemana nama besar kita jika hanya melawan bocah ingusan sepertimu saja sudah membuat gentar!” bentak Demit Mungil sambil pasang kuda-kuda.
”Melawan? Emangnya kita sudah bertarung!?” tanya Jalu, heran. ”Boro-boro bertarung, lha wong dari tadi kalian cuma pentang bacot buang kentut saja! Sudah! Lebih baik kalian pulang saja!! Hush ... hush ... hushh ... !”
Sambil berkata begitu, Jalu Samudra memukul-mukul air didepannya membuat percikan-percikan air hingga sepasang ikan pari menggoyang ekor sambil mundur perlahan sedang tangan kirinya bergerak seperti menggusah ayam yang mau dimasukkan kandang.
”Setan keparat!”
Demit Mungil langsung menerjang lawan dengan sebat. Tubuh kekar itu bergerak cepat di atas air. Meski tidak bisa seperti yang dilakukan Jalu Samudra, namun langkah kaki yang dilakukan oleh Demit Mungil tergolong ringan. Sebab, bagaimana pun juga, laut adalah kampung halamannya.
Sepasang Tanduk Singa mencecar lawan dengan sabetan dan tusukan cepat membawa hawa maut.
Wuss!!
Harapan Demit Mungil adalah Jalu Samudra bersalto ke belakang menghindari serangannya sehingga ia bisa melakukan serangan susulan yang lebih mematikan. Namun harapan tinggal harapan. Bukannya Jalu menghindar, tapi justru melepas tenaga peringan tubuh jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dan akibatnya ...
Blungg ... !
Langsung amblas ke dalam air dan tahu-tahu sudah muncul di belakang Raksasa Laut Hitam.
Took!
Tongkat di tangannya langsung menggetok kepala Raksasa Laut Hitam dengan sukses tanpa halangan.
Raksasa Laut Hitam serasa terbang nyawanya!
”Laknat!” bentaknya sambil mengelebatkan tangan kanan ke belakang.
Wutt!
Namun, lagi-lagi Jalu menjatuhkan diri ke air dan tahu-tahu telah muncul di belakang Demit Mungil yang matanya masih nyalang mencermati air di depannya.
Took!
Jalu menggetok kepala Demit Mungil, sama halnya yang dilakukan terhadap Raksasa Laut Hitam.
”Buuuaaaajingannn ... !!” seru Demit Mungil sambil memutar tubuh, namun sosok Jalu Samudra kembali menyelam ke dalam air.
Begitu berturut-turut hingga masing-masing mendapat lima ketokan!
Saking jengkelnya, Raksasa Laut Hitam mengumbar pukulan-pukulan sakti sehingga berulang kali terdengar deburan keras, termasuk pula jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ tingkat enam berceceran dimana-mana. Akan tetapi sosok Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis seakan bisa muncul dimana saja. Meliuk-liuk bagai bulu ayam terbawa angin diantara celah-celah sempit yang bisa dimasuki.
Bahkan kata-kata sakti dari kebun binatang lebih lancar mengalir mulut Demit Mungil sembari Sepasang Tanduk Singanya berulang kali melontarkan larikan-larikan sinar kuning emas yang menyebar ke segala penjuru. Tentu saja larikan bukan sembarangan larikan sinar tapi sarat tenaga dalam tinggi.
Tentu saja yang dilakukan si Pemanah Gadis membuat panas dingin bulu kuduk Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam. Belum pernah dalam sejarah hidup mereka dipermalukan seperti itu. Puluhan tahun mengangkat nama seram di rimba hitam, toh pada akhirnya hanya jadi mainan pemuda tak dikenal yang dengan dengan seenak perutnya menggetok kepala atau ubun-ubun tanpa diketahui bagaimana ia muncul, tahu-tahu ada telur bundar tercetak rapi di kepala!
Jika diitung-itung, dah koit lima kali ‘tuh!
 
BAGIAN 15


Namun karena pada dasarnya mereka adalah tokoh sesat yang selalu memandang tinggi diri sendiri dan meremehkan orang lain, tidak bisa menerima begitu saja perlakuan lawan. Tindakan si pemuda yang seperti mempermainkan mereka sebagai tokoh hitam kelas kakap jelas laksana menyiram api dengan minyak.
”Anak muda keparat! Jika kau laki-laki, bertarunglah secara jantan!” seru Demit Mungil. Jelas sekali ia berkeinginan menohok harga diri Jalu Samudra.
”Ahhh ... yang beneerrr ... !?!?! Yakin nih ... ?” sebuah suara terdengar menggema di seantero lautan, bahkan semua orang yang berada di kapal Surya Silam mendengarnya dengan jelas. Namun batang hidung si pemuda tidak kelihatan di mana pun. ”Jangan-jangan itu cuma kilah kalian saja supaya aku tidak menambah jumlah telur busuk di kepala kalian.”
”Bangsat! Tunjukkan dirimu!” bentak Raksasa Laut Hitam sambil memutar tubuh mencari asal suara.
”Betul, tunjukkan dirimu!” kata latah Demit Mungil.
Senyap kembali meraja di tempat itu.
Namun, beberapa saat kemudian, dari bawah air sebelah kanan perlahan namun pasti keluar sebentuk kepala, terus ke bawah hingga air sebatas leher, dada, perut terlihat jelas. Naik terus ke atas, hingga pada akhirnya... terlihat sosok pemuda baju biru laut dengan senyum cengar-cengir dengan mata putihnya terbuka lebar. Tak lama kemudian, sebentuk sosok tubuh berdiri tegak sambil menggendong tangan di belakang.
Dan lagi-lagi, berdiri di atas pemukaan air laut!
Tentu saja, cara keluar dari air yang spektakuler itu mengundang decak kagum semua orang yang ada di kapal Surya Silam. Bahkan Satari dan kawan-kawan sampai bertepuk tangan saking senangnya.
Jelas sekali permainan tenaga dalam Jalu Samudra atau si Pemanah Gadis tidak bisa dianggap main-main lagi!
”Benar-benar sinting tu orang,” cerocos Junta. ”Kayak setan laut aja.”
”Ho’oh! Bisa nongol dimana-mana,” sahut sang kawan. ”Apa dia keturunan ikan, ya?”
”I ya, ‘kali!”
Sementara itu, Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam terkesiap!
”Brengsek! Anak muda ini membuatku makin keder saja,” Raksasa Laut Hitam berkata dalam hati. ”Kurasa ... Ketua hanya yang sanggup menandinginya.”
Kegentaran demi kegentaran terus membumi dalam diri anak buah Jenggot Perak Mata Satu yang paling diandalkan untuk sesi gertak menggertak. Namun justru kali ini malah mereka kena gertak!
”Ayoh, kalau kau mau menunjukkan kelaki-lakianmu,” ucap Jalu, ringan.
Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam yang sudah diamuk kemarahan langsung pasang kuda-kuda. Tarik napas dalam-dalam, siap melontarkan jurus atau pukulan maut kalau perlu.
”Eee ... ee-ee ... eee ... tunggu dulu!” kata Jalu sambil menggoyang-goyangkan tangan kiri.
”Apalagi!?” bentak Raksasa Laut Hitam jengkel. Kulitnya yang sehitam jelaga semakin menghitam saja karena kemarahan yang memuncak.
”Lho ... bukankah tadi kau bilang mau menunjukkan kejantanan kalian? Nah, sekarang lorotkan celana dan tunjukkan kejantanan kalian. Ayo ... ayo ... !!”
”Diamput!” entah kata ajaib darimana keluar dari mulut Demit Mungil. Mungkin saking mendongkolnya sampai-sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.
Raksasa Laut Hitam yang sudah terpancing hawa amarahnya, sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Tanpa ba-bi-bu, diterjangnya pemuda baju biru laut dengan cepat.
Wutt! Wutt!
Dua hawa pukulan beruntun sarat tenaga dalam maju terlebih dahulu sebelum tinju Raksasa Laut Hitam mencapai sasaran.
Terpaan angin yang lebih dahulu sampai membuat Jalu Samudra sadar bahwa lawan menggunakan jurus silat tingkat tinggi dalam pertarungan kali ini. Namun belum lagi melakukan gerak hindar, seleret sinar kuning sampai lebih dahulu.
Rett!
”Edan!” gerutu si pemuda sambil melayang mundur.
Pada awalnya, si Pemanah Gadis berpikir dua lawannya akan tetap berada di atas tunggangan masing-masing. Namun kenyataan sungguh berbeda dengan apa yang ada dibenaknya. Tubuh Raksasa Laut Hitam dan Demit Mungil sanggup berloncatan ringan di atas air sembari melancarkan serangan-serangan mematikan. Jelas sekali ilmu ringan tubuhnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Debb ... debb ... !
Werrr!!
Tanpa terasa sepuluh jurus berlangsung dengan cepat, namun selama pertarungan berlangsung Jalu Samudra lebih banyak menghindar dengan gerak miring-miring ala kepiting meski sesekali melakukan serangan-serangan kilat ke arah lawan.
Apa lagi jika bukan Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ andalannya?
Namun, yang dilakukan oleh Jalu Samudra bukan semata-mata memancing kemarahan lawan. Hanya saja ia ingin melihat sejauh mana dua lawannya sanggup bertarung di atas permukaan air. Namun sampai pada jurus ke lima puluh, gerakan dua lawan beda kualitas itu tetap berbahaya, seakan tidak terpengaruh dengan kondisi sekitar.
Mereka bertarung layaknya berada di atas tanah!
Akal halnya tokoh silat hitam andalan Jenggot Perak Mata Satu ini semakin terkaget-kaget saja. Lawan mereka yang masih muda selain sanggup membuat keder keduanya yang notabene tokoh silat kelas tinggi yang jika dihitung-hitung lebih lama berkecimpung di rimba persilatan ternyata tidak sanggup menekan lawan, menyentuh seujung rambutnya saja sulit.
Belum lagi dengan hawa sakti yang dimiliki lawan yang menurut sanggup menerobos hawa pelindung yang dimiliki oleh Demit Mungil dan Raksasa Laut Hitam. Belum lagi dengan cara bertempur Jalu Samudra yang miring-miring seperti gaya kepiting berjalan membuat serangan-serangan yang dilancarkan bisa dinetralisir dengan mudah. Belum lagi dengan setiap terjadi benturan tenaga mau pun dengan tongkat, tubuh mereka serasa dimasukkan ke dalam tungku membara malah kadang kala disertai rasa seperti disambar ratusan petir.
Demit Mungil dengan Sepasang Tanduk Singa pun tidak sanggup menembus daya pelindung yang dimiliki lawan. Bahkan kala Sepasang Tanduk Singa saling bentrok dengan tongkat hitam di tangan si pemuda buta, rasanya seperti tersengat belut api.
Panas membara dan aliran darah terasa menggeletar!
Ilmu Silat ‘Singa Laut’ yang terdiri dari dua puluh jurus sampai diulang untuk ke dua kalinya, namun hasilnya ... nihil!
Paras mukanya yang bersih terlihat pucat pasi. Bukan karena gentar, namun karena berulang kali tersengat hawa panas yang berasal dari tongkat hitam si Pemanah Gadis membuat aliran darahnya makin lama makin kacau balau.
”Brengsek! Apa pemuda ini pernah menelan hewan langka yang bernama Belut Api? Hawa tenaga dalamnya begitu panas seperti dipanggang api. Darahku rasanya seperti mendidih jika bersentuhan dengan tongkatnya,” Demit Mungil berkata dalam hati sambil mengelebatkan Tanduk Singa di tangan kanan.
Werr!
Trakk!
”Uughh ... !!” Demit Mungil mengeluh saat kembali merasakan sengatan panas.
Sementara itu, Raksasa Laut Hitam yang terus membangun serangan-serangan cepat, mengalami nasib yang tidak jauh beda dengan sang kawan karib.
”Gila!” desisnya, ”Ilmu apa yang dimiliki pemuda buta ini? Jurus ‘Pukulan Gelombang Laut’ seperti tidak berarti apa-apa padanya. Jika seperti ini terus-menerus, mau ditaruh mana nama besar Raksasa Laut Hitam, hah!?”
Sementara itu, para penonton yang ada di atas kapal Surya Silam saling kasak-kusuk melihat ajang pertarungan tingkat tinggi yang mungkin belum pernah seumur hidup dilihatnya.
Jika pertarungan di darat sudah pasti biasa, tapi di atas air laut?
Ini baru ... luar biasa!
Namun yang luar biasa lagi, justru pertarungan yang terjadi adalah antara orang buta melawan orang bermata normal!
”Duuh ... bener-bener hebat nih orang buta, lama-lama gua kawinin dia ... ” pikir Trihasta Prasaja tanpa sadar.
Aneh, masa’ laki-laki doyan laki-laki?
Apa mau main pedang-pedangan di atas ranjang?
”Di atas kapal saja sudah hebat ... ternyata di atas air lebih hebat lagi!” desis Gandarwa semakin menjerengkan mata lebar-lebar. ”Benar-benar pemuda luar biasa.”
Di arena pertarungan ...
Wutt! Wutt!
Dua rangkum hawa padat warna kuning keemasan melesat cepat bagai taring-taring singa laut siap menelan mangsa. Jurus ‘Singa Laut Bertaring Emas’ dikerahkan Demit Mungil dengan seluruh muatan tenaga dalam yang dimilikinya. Akibatnya, air laut tersibak tepat di bawah lesatan dua rangkum pukulan milik Demit Mungil.
Si Pemanah Gadis pun sudah tidak mau tanggung-tanggung lagi dalam menghadapi lawan.
”Dari pada menjadi bibit penyakit berilmu tinggi, mending ditamatkan saja riwayat hidup mereka,” gumam Jalu Samudra.
Sontak, dibangkitkannya kesaktian terpendam yang didapatkannya secara tidak sengaja waktu terjatuh di lobang ular dan pada akhirnya terkurung di Istana Bawah Tanah. Sebentar saja, Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ yang dikerahkan pada tingkat dua serta merta membuat seluruh tubuh si pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga diselubungi percikan-percikan sinar biru bening.
Lalu, tongkat kayu hitamnya berkelebat menyamping.
Akibatnya ...
Dhuarr ... ! Dhuuaarr ... !
Dua dentuman keras terdengar memekakkan telinga.
Sosok Demit Mungil terpental jauh disertai semburan darah kental dari mulutnya. Saat tubuhnya hampir melayang jatuh ke air, terdengar suitan kecil dari mulut laki-laki ini.
”Suuiiitt ... !”
Dari bawah air, sesosok bayangan besar terlihat dan mengapung di atas air.
Plukk!
Tubuh Demit Mungil tepat jatuh di atas tubuh lunak htam kecoklatan. Apa lagi sosok besar itu jika bukan ikan pari raksasa tunggangannnya?
Melihat sang kawan karib terluka parah, Raksasa Laut Hitam langsung menggeram marah, ”Pemuda keparat! Rasakan pembalasanku!”
Raksasa Laut Hitam menarik napas dalam-dalam sambil sepasang telapak tangannya di buka lebar-lebar di samping pinggang. Beberapa saat kemudian, terlihat pancaran sinar biru pucat yang menggumpal di tapak tangannya.
”Heeaaa ... !”
Dan diiringi teriakan mengguntur seolah menyaingi suara salakan petir, Ilmu ‘Tapak Gelombang Laut’ yang paling diandalkan dan jarang digunakan Raksasa Laut Hitam pada akhirnya dikeluarkan juga. Menurut perhitungannya, tidak ada satu pun manusia yang sanggup menahan ilmu saktinya yang satu ini, kecuali Jenggot Perak Mata Satu yang kini menjadi atasannya.
Wurrrsss ... !! Durrr ... !!
Hawa sakti berbentuk tapak tangan raksasa menggebah maju diiringi suara gemuruh bagai badai topan di laut, bahkan air laut sampai terseret mengikutinya.
”Wah, serangan mematikan, nih,” gumam Jalu Samudra. ”Naga-naganya memang jurus ’Penjara Petir Tersembunyi’ harus kugunakan.”
Si Pemanah Gadis segera menarik tali pada tongkat kayu hitam hingga membentuk busur terentang disertai Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat dua yang semula sudah dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar kembali siap digunakan.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya biru bening merambat keluar melewati tangan kanan-kiri, lalu membentuk dua buah benda bulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak dengan mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya biru bening. Jurus ’Penjara Petir Tersembunyi’ adalah salah satu rangkaian dari ’18 Jurus Panah Hawa’ dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis dan merupakan jurus paling favorit murid ganteng Dewa Pengemis ini meski untuk pertama kalinya digunakan. Karena di dalam jurus ’Penjara Petir Tersembunyi’ berprinsip di dalam jurus ada jurus.
Begitu dua anak panah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang.
Sasarannya adalah ... dua hawa tapak tangan raksasa yang tercipta dari Ilmu ‘Tapak Gelombang Laut’ yang semakin mendekat ke arahnya!
Srett! Twanggg!
Dua anak panah terlepas dari busur bagaikan lesatan rajawali terbang.
Bummm ... ! Bummm ... !
Sepasang hawa tapak tangan yang tercipta dari Ilmu ‘Tapak Gelombang Laut’ buyar diiringi dentuman keras serta muncratan air membentuk menara air raksasa setinggi puluhan tombak.
Akibatnya, tubuh Raksasa Laut Hitam terpental deras ke belakang disertai muncratan darah kental kehitaman. Jelas sekali, luka dalam yang dideritanya teramat parah terutama bagian dalam dada serasa rontok, mungkin butuh waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya.
Seperti halnya tunggangan Demit Mungil, ikan pari raksasa tunggangan Raksasa Laut Hitam dengan sigap mengejar maju menyambut tubuh sang majikan. Namun belum lagi tubuh Raksasa Laut Hitam mendarat di punggung ikan pari raksasa, dari balik menara air melesat cepat sebentuk benda yang memancarkan sinar biru bening. Lesatannya disertai suara mendesis seperti api bertemu air.
Werrr ... !
”Awaassss ... !” Demit Mungil yang melihatnya berteriak ngeri.
Namun terlambat!
 
BAGIAN 16


Peringatan sang kawan memang didengarnya, namun saat itu kondisi Raksasa Laut Hitam dalam posisi melayang, tidak ada tempat untuk berpijak untuk menghindar.
Dan akhirnya ...
Jrabbb!
Jderrr ... !!
Tubuh Raksasa Laut Hitam hancur berkeping-keping!
Demit Mungil sampai tergugu tidak bisa bergerak melihat nasib naas Raksasa Laut Hitam. Sedih sekali melihat kawan karibnya tewas dengan tubuh jadi cuilan-cuilan kecil seperti itu.
Dari kesedihan berubah menjadi kemarahan!
”Keparat!” bentaknya. ”Kau harus mati di tanganku pemuda keparat! Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’ tidak cukup pantas untukmu!”
Tangan Demit Mungil berubah bercahaya kuning keemasan hingga sebatas siku.
Akan tetapi sebelum pukulan maut ‘Pukulan Pasak Bumi’ dilontarkan, sosok pemuda berpakaian biru laut itu tiba-tiba melesat cepat laksana sambaran kilat di atas air dengan kecepatan tinggi.
”Eh ... !?”
Demit Mungil terlonjak kaget!
Namun belum lagi kekagetan tokoh sesat ini sirna, sejarak kurang dari satu tombak dari Demit Mungil, si Pemanah Gadis justru melompat tinggi ke atas secara tegak lurus.
Wuut ... !
Saat mencapai ketinggian enam tombak, dengan gerakan manis tubuh si pemuda baju biru laut berbalik menukik dengan posisi kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Tangan kanan yang menggenggam tongkat kayu hitam terjulur lurus ke bawah, sehingga kedudukan tubuh si Pemanah Gadis tepat tegak lurus di atas lawan. Dalam kedudukan seperti itu, tubuhnya meluncur turun ke arah Demit Mungil yang tepat berada di bawahnya. Yang lebih mengerikan lagi, dalam keadaan seperti itu tubuh si Pemanah Gadis justru berputar cepat laksana gasing disertai percikan-percikan sinar biru bening yang menyambar laksana kilat.
Jalu Samudra mengerahkan jurus ‘Kepiting Terjun Dari Langit Sambil Berputar’ dimana jurus ini digelar murid tunggal Dewa Pengemis ini dengan mengerahkan tingkat dua dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’!
”Makan pukulanku!” seru Demit Mungil sambil mendorongkan sepasang tangan yang sarat dengan Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’!
Dubb ... dubb ... !
Clarrr, clarrr ... !
Lesatan sinar kuning keemasan yang menggumpal sebesar bola sepak langsung tersibak bagai dikibaskan tangan-tangan tak kasat mata. Demit Mungil sendiri sampai terlonjak kaget mengetahui Ilmu ‘Pukulan Pasak Bumi’ melenceng saat mendekati ujung pusaran.
Benar-benar sulit dipercaya!
Sedangkan serangan berputar si Pemanah Gadis sudah semakin dekat ke arah Demit Mungil berdiri.
Rett! Rettt ... ! Rett ... !!
Si tokoh sesat berjuluk Demit Mungil menyadari betul serangan pemuda buta bertongkat hitam sangat berbahaya bagi selembar nyawanya. Ingin mengelak pun rasanya sudah tidak memungkinkan karena hawa serangan seperti menekannya dari atas.
Namun, kehebatannya sebagai tokoh sesat memang patut diacungi jempol. Ia tidak gugup meski serangan lawan begitu mengerikan, bahkan semakin mengempos seluruh hawa sakti yang ada dalam dirinya. Berikutnya ... sepasang tangannya yang sudah terangkum hawa kuning keemasan yang semakin cemerlang dihantamkan ke arah lawan.
Wutt! Wutt!
Jderrr! Jderrr! Jderrr!!
Kali ini terjadi ledakan keras hingga berulang kali, bahkan kapal Surya Silam yang jaraknya cukup jauh merasakan getaran tersebut. Namun yang jelas, sebagian besar bongkahan sinar kuning keemasan terbuang keluar begitu saja.
Mendadak saja, terdengar suara mendesis pelan.
Cesss ... !
Dan putaran tubuh Jalu Samudra berhenti mendadak.
Hingga terlihat sebentuk posisi tubuh yang benar-benar spektakuler!
Sosok tubuh Jalu Samudra yang bergelar si Pemanah Gadis sekarang dalam posisi tegak lurus dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Namun yang lebih luar biasa lagi, justru ia berdiri di atas ujung tongkat hitam yang tergenggam di tangan kanan dan ujung tongkatnya menempel di kepala Demit Mungil.
Tepatnya ... di ubun-ubun!
”Am ... pun ... tuan pendekar ... ” ratap Demit Mungil. Ia tahu betul, menambah tenaga dalam sedikit saja, ujung tongkat lawan pasti tembus ke batok kepala.
”Telat!” sahut Jalu Samudra pendek sambil jungkir balik, dan ...
Tep!
Berdiri di atas air.
Lalu dengan santai, ia berjalan ke arah kapal Surya Silam berada. Sejarak satu tombak, ia berbalik badan dan melambaikan tangan!
”Dadaaahh ... ” kata Jalu Samudra.
”Terima ka ... ” belum lagi suara Demit Mungil terucap, mendadak saja seluruh tubuhnya memancarkan cahaya biru bening, ”Eh ... apa yang ... ”
Dhuaarrr ... !
Tubuh Demit Mungil langsung hancur berantakan. Tentu saja nyawanya ga mau bertahan karena tubuhnya ancur-ancuran begitu.
Sebenarnya ... apa yang terjadi?
Dalam jurus yang digunakan Jalu Samudra yaitu jurus ‘Kepiting Terjun Dari Langit Sambil Berputar’ terkandung daya penghancur raga dari dalam dimana terjadi kala Jalu Samudra menempelkan ujung tongkat ke ubun-ubun Demit Mungil. Tersalurnya tenaga sakti memang tidak begitu terasa oleh lawan, paling juga griming-griming kayak digigit semut, akan tetapi begitu ujung tongkat sebagai sumbu utama penyalur energi dilepas, maka hawa sakti yang tertanam dalam tubuh lawan langsung bergolak mencari jalan keluar.
Dan akibatnya ... seperti yang terjadi pada Demit Mungil!
Bahkan ikan pari raksasa tunggangan si tokoh sesat yang kini jadi makan ikan juga mengalami nasib yang sama dengan tuannya.
Maksudnya ... sama-sama kehilangan nyawa, gitu loh!
Tentu saja pertarungan yang ditunjukkan oleh si Pemanah Gadis ini benar-benar pertarungan yang luar biasa bagi penonton yang berada dia atas kapal Surya Silam.
Bahkan saat Jalu melenting tinggi dan melayang turun dekat geladak dimana semua orang berkumpul dengan mulut melongo tanpa mengucakan sepatah kata pun.
”Hai ... ” Jalu Samudra berkata memecahkan kesunyian.

--o0o--

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 17


Wutt! Wutt!
Dua sosok bayangan berloncatan di atas atap bangunan yang memanjang bagai ular. Gerakan kaki yang ringan dan tidak terdengar suara saat menginjak genting, membuat suatu keyakinan bahwa dua sosok bayangan yang sulit ditentukan laki-perempuannya tergolong pesilat kelas wahid. Setidaknya memiliki tataran ilmu ringan tubuh handal.
Saat berada di bagian paling tengah, kedua berhenti sebentar. Lalu saling tatap. Di malam gelap tanpa cahaya bulan dan bintang terlihat sorot mata kuning kehijauan dari keduanya dari balik kedok hitam yang dikenakannya seolah takut dikenali orang.
”Disini tempatnya?” bisik yang kiri.
Yang kanan mengangguk.
”Kau jaga dan aku yang masuk?”
Kembali yang kanan menganggukkan kepala.
”Yakin aman?”
Yang ditanya hanya mengacungkan jempol kanan.
Sosok yang kiri membuka genting.
Srekk!
Empat genting terkuak lebar, cukup untuk masuk tubuh manusia. Lalu dengan gerakan ringan, ia melayang turun ke bawah.
Tepp!
Tubuhnya menyentuh dinginnya lantai. Namun belum lagi ia bernapas lega, terdengar desingan halus.
Serr ... serr ... !
Tubuhnya langsung dijatuhkan sejajar lantai.
Creb! Crebb!
Lima pisau terbang menancap di tiang penglari.
Namun, belum lagi ia bernapas lagi untuk kedua kalinya, dari kiri kanan kembali terdengar suara mendesis pelan.
Sirr ... sirr ... sirr ... !
Kali ini ratusan jarum terbang menyala kuning menerjang dari kiri-kanan. Tidak ada waktu bagi penyusup ini melenting menghindar dari situ.
”Brengsek!” desisnya. Tiba-tiba saja sekujur tubuh si penyusup gelap dilapisi hawa padat dingin hitam pekat.
Ilmu ’Baju Es Hitam’!
Criing! Criiing! Triing!
Ratusan jarum terbang langsung rontok.
”Laknat! Kenapa dia tidak bilang kalau tempat ini penuh dengan jebakan!?” desisnya.
Seperti sudah mengenal tempat itu sebelumnya, dia langsung berjalan ke arah kiri. Di sana tergantung rapi papan nama sebuah perguruan yang tertulis : ’PERGURUAN TANAH BAMBU’. Di bagian kiri terdapat rak senjata namun tidak ada satu pun senjata di sana kecuali sebatang tombak panjang yang bersandar di pojok ruangan. Sedang sebelah kanan berjajar puluhan kitab berbagai jenis. Namun agaknya si penyusup tidak tertarik pada kitab atau tombak panjang tersebut, justru ia memandang lekat-lekat pada papan nama Perguruan Tanah Bambu.
”Hehehe, siapa pun tidak akan menyangka kalau pemilik tempat ini menyimpan barang pusaka di dalam sebuah papan nama,” desisnya lirih. ”Benar-benar naif.”
Diturunkannya papan nama yang terbuat dari kayu jati tua, lalu dengan satu sentuhan ringan ...
Krakk ... prusss ... !
Papan nama hancur berantakan menjadi bubuk halus.
Plekk!
Tiga buah benda jatuh ke lantai secara bersamaan.
Ternyata ... kitab!
Rupanya di dalam papan nama Perguruan Tanah Bambu tersimpan tiga buah kitab bersampul tebal dari kulit beruang coklat yang selama ini diidam-idamkan oleh kaum rimba pendekar.
Si penyusup tersenyum menyeringai di balik kedok hitamnya, lalu memungut ke tiga kitab yang terjauh ke lantai. Meski gelap gulita, sosok itu masih sanggup membaca tulisan yang tertera pada sampul kitab.
”Hemm ... yang ini Kitab Ilmu ‘Bayu Buana’ dan yang ini Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’ dan yang ketiga ... oohhh ... Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’!” desisnya dengan mata berbinar-binar. ”Benar-benar keberuntungan yang luar biasa!”
Lalu dimasukkannya ke tiga kitab ke balik bajunya. Mendadak saja, ia menghentikan gumaman kegembiraan.
”Keparat! Dimana beradanya Kitab Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’?” desisnya dengan mata mengedar ke seliling.
Bahkan dijelajahinya seantero ruangan hingga saking gemasnya ia mengobrak-abrik seluruh ruangan, namun keberadaan kitab yang dicarinya tidak ada.
Lagi asyik-asyiknya mengobrak-abrik ruangan, terdengar suara aneh dari atas.
”Kuuukkk ... kuuukkk ... !!”
Suara burung hantu!
Cukup dua kali, tapi sudah membuat si penyusup kaget!
”Brengsek!” rutuknya saat tahu arti kode tersebut bahwa ada seseorang yang mendekat ke tempat itu.
Tubuhnya segera melayang naik ke arah dimana tadi ia masuk.
Wutt!
Tepp!
”Ada apa?” bisiknya dengan nada jengkel.
”Tabir Mentari datang!” kata pelan sang kawan yang berada diluar. ”Kita harus segera pergi.”
”Huh, biar bandot tua aku selesaikan saja sekalian,” ketus suara si pencuri kitab saat melihat ke utara. Di kejauhan terlihat satu bayangan kuning keemasan melesat cepat.
”Kau tinggal pilih! Mempelajari kitab yang kau curi atau mengurusi bola bekel itu?” tanpa menunggu jawaban dari si pencuri kitab, ia langsung berkelebat cepat ke arah selatan.
Zlappp!
Pencuri kitab berkedok hitam menggerutu tidak jelas, toh pada akhirnya ia mengikuti jejak langkah sang kawan yang lebih dulu berkelebat.
Sementara itu di bawah ...
”Setan laknat!”
Suara keras laksana auman singa itu terdengar hingga ke delapan penjuru. Bahkan setiap dinding sampai tergetar saking kerasnya luapan amarah si pemilik suara.
”Ada apa, Barka Satya?”
Terdengar teguran halus menggema meski tidak ketahuan keberadaan si pemilik suara. Namun belum lagi suara gema menghilang, satu sosok tubuh telah berada di tempat itu seperti baru saja keluar dari alam gaib. Jelas sekali, ilmu kepandaian yang dimiliki sosok tinggi kurus berjenggot putih dan berpakaian serba putih tidak bisa dianggap enteng. Tangan kirinya yang disembunyikan di belakang tidak bisa menutupi gagang pedang yang tergenggam.
Sosok tua penuh wibawa memakai topi tinggi keperakan seperti pejabat istana ini sulit sekali diterka berapa usianya, karena meski bersosok tua namun paras wajah tampannya seperti pemuda usia puluhan tahun.
Dialah yang disebut ... Tua Raja Pedang Bintang!
Namun belum lagi teguran Tua Raja Pedang Bintang terjawab, dari kejauhan terdengar hembusan angin membadai dan belum lagi tiupan angin hilang di tempat itu telah bertambah dua orang.
Mereka adalah ... Tua Raja Bedah Bumi dan Tua Raja Tinju Kayangan!
Empat Tua Raja Tanah Bambu telah berkumpul karena teriakan kemarahan Tua Raja Tabir Mentari.
Tua Raja Bedah Bumi sendiri seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan raut muka menunjukkan ketegasan dan kejujuran dalam bertindak. Yang luar biasa adalah tinggi tubuhnya di atas manusia normal hingga tinggi tubuh Tua Raja Pedang Bintang cuma sebatas pinggang Tua Raja Bedah Bumi.
Belum lagi balutan rompi dari kulit beruang putih seolah tidak sanggup menutupi dada bidang kekar berotot. Tua Raja Bedah Bumi tidak memiliki senjata pusaka atau sejenisnya karena dia beranggapan setiap anggota tubuhnya adalah senjata. Yang jelas, sepasang kepalan tangannya sanggup membuat tanah rengkah seperti membuat kubangan kerbau.
Itulah sebabnya ia dijuluki Tua Raja Bedah Bumi!
Akan halnya Tua Raja Tabir Mentari justru kebalikannya dengan Tua Raja Pedang Bintang dan Tua Raja Bedah Bumi. Tubuh gemuk dengan perut membuncit seperti di dalamnya berisi bakul nasi, belum lagi dengan lengan dan kaki penuh dengan lemak hingga terlihat begitu subur. Seluruh kulit Tua Raja Tabir Mentari dibalut pakaian kuning keemasan termasuk pula celana pun kuning keemasan. Bahkan rambut dan alis serta kulitnya juga berwarna kuning keemasan. Hanya mata saja yang hitam dan cuma giginya putih bersih.
Coba kalau gigi ikut kuning keemasan, bisa dikilo’in deh!
Tentu saja kulit kuning emas Tua Raja Tabir Mentari bukan bawaan sejak lahir, tapi karena si gemuk ini menguasai satu jenis ilmu yang bernama Ilmu Sakti ’Iblis Matahari’!
Lain Tua Raja Tabir Mentari, lain pula Tua Raja Tinju Kayangan. Sosoknya biasa-biasa saja. Tidak yang istimewa darinya.
Kalau tua, jelas ... !
Orang berilmu tinggi, apalagi ... !
Kalau urusan ketampanan, jelas kalah sama Tua Raja Pedang Bintang.
Lha wong wajahnya di bawah standar, jeee ... !
Muka aja pake codet menyilang dari pipi kiri ke pelipis kanan dan dari pelipis kiri menyilang sampai pipi kanan, mana bisa disebut ganteng!?
Tapi di antara Empat Tua Raja Tanah Bambu yang memang rata-rata suda tidak muda lagi, dialah yang paling menonjol sendiri.
Maksudnya ... menonjol keberangasannya!
Apalagi jika kesenangan pribadinya di utik-utik ... wuihhhh ... harimau betina beranak aja kalah seram, cing!?
”Dasar bola bekel Barka Satya! Buat apa kau teriak-teriak tengah malam seperti ini?” bentaknya sambil menyebut nama asli Tua Raja Tabir Mentari. ”Ini saatnya orang tidur, tahu!”
”Hei, Kakang Bayu Rakta!” bentak Tua Raja Tabir Mentari menyebut nama asli Tua Raja Tinju Kayangan. ”Jaga bicaramu!”
”Huh!” Tua Raja Tinju Kayangan hanya mendengus saja.
”Buka matamu! Apa kau tidak melihat tempat kediaman Tuan Majikan porak poranda seperti ini, hah!” ucap Tua Raja Tabir Mentari dengan nada jengkel. ”Pasti ada seseorang yang telah masuk kemari.”
”Bagaimana bisa seperti ini?” desis Tua Raja Bedah Bumi. ”Jangan-jangan ... ”
Tua Raja Pedang Bintang yang paling tenang mengamati sekelilingnya, lalu gumamnya sambil mengusap-usap jenggot putihnya, ”Hemmm ... tempat ini seperti bekas diobrak-abrik tikus kepala hitam. Pasti ada sesuatu yang dicari di tempat ini.”
”Tikus ... kepala hitam?” tanya Tua Raja Tinju Kayangan, heran. ”Maksud Kakang Bramageni ... maling begitu!?”
Tua Raja Pedang Bintang tidak menjawab, tapi justru melangkah semakin masuk ke dalam ruangan.
”Nyalakan obor,” katanya kemudian.
Tua Raja Tabir Mentari segera menjentikkan jari kelingking beberapa kali.
Ctiik! Ctikk!
Sinar kuning sebesar lidi melesat ke empat penjuru. Dan ...
Blub, blub, bluuub!
Empat obor di sudut ruangan langsung menyala terang.
Ke Empat Tua Raja Tanah Bambu saling membelalakkan mata melihat keadaan ruangan.
Dipan terbalik tak tentu arah.
Kitab-kitab berserakan dimana-mana.
Meja kursi sudah bergeser dari tempat semula.
Pokoknya mirip kapal pecah, dech!
Tua Raja Bedah Bumi berjongkok sambil mengamati bubuk-bubuk halus di lantai.
”Bubuk apa ini?” gumamnya sambil menyentuh serbuk di lantai. Lalu jari-jari tangannya saling menggesek pelan. ”Ini ... serbuk kayu.”
”Dimas Dahana Lungit,” kata Tua Raja Pedang Bintang menyebut nama asli Tua Raja Bedah Bumi. ”Apa yang kau temukan?”
”Hanya serbuk kayu biasa,” sahut Dahana Lungit alias Tua Raja Bedah Bumi sambil bangkit berdiri. Matanya mengedar berkeliling, hingga pada akhirnya terpaku di tengah ruangan. Didekatinya tempat bekas papan nama Perguruan Tanah Bambu yang semula memang ada di tempat itu.
”Hemmm, dari papan nama perguruan rupanya,” ujarnya membuat kesimpulan. ”Lalu ... dengan maksud apa papan nama perguruan dihancurkan menjadi serbuk halus begini? Tidak ada untungnya.”
Tiga Tua Raja yang lain pun memeriksa seluruh ruangan yang biasa ditempati Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu. Namun sejauh ini mereka tidak menemukan kejanggalan apa pun selain ruangan yang tetap berantakan dan puluhan senjata rahasia yang menancap di dinding. Jelas jika si penyusup berilmu tinggi karena bisa menghindari sergapan senjata gelap, setidaknya memiliki peringan tubuh handal.
Tua Raja Pedang Bintang berjalan mendekati Tua Raja Bedah Bumi.
”Apa yang kau temukan, Adi?” tanyanya.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 18


Tua Raja Bedah Bumi tidak menjawab, tapi justru memandang tajam-tajam pada serbuk-serbuk halus yang berserakan di lantai. Mata tajamnya melihat sesuatu yang janggal disana.
Lalu ia berjalan kembali ke tempat serbuk-serbuk halus bertebaran, lalu berjongkok dengan mata tetap terpapaku di satu tempat.
”Emm ... sepertinya posisi serbuk-sebuk ini agak aneh.”
”Aneh gimana?”
”Coba Kakang Bramageni perhatikan!” kata dahana lungit sambil tangannya menunjuk ke arah serbuk halus. ”Seharusnya serbuk ini berada dalam tempat yang berdekatan. Anggaplah satu wilayah. Tapi disini justru terdapat keanehan. Serbuk-serbuk ini seperti menyibak atau menepi ke sisi-sisi di sebelahnya membentuk sudut-sudut tertentu hingga bagian tengah tetap bersih.”
Bramageni menganggukkan kepala tanda setuju.
”Lalu?”
”Disini ada beberapa kemungkinan. Tapi aku cuma punya satu.”
”Apa itu?” sela Barka Satya alias Tua Raja Tabir Mentari yang tertarik dengan percakapan dua Tua Raja.
”Ada benda yang terjatuh dari dalam papan nama perguruan,” tutur Tua Raja Bedah Bumi. ”Dan menurut dugaanku, jika dilihat dari banyak sudut luang yang ada, kemungkinan ada dua atau tiga kitab yang terjatuh.”
”Kitab!?” tanya heran Barka Satya.
”Tidak hanya kitab. Bisa saja lempengan besi yang berbentuk kotak atau benda-benda sejenisnya yang mempunyai empat sudut,” ujar Dahana Lungit sambil bangkit berdiri.
”Jika yang Kakang Dahana katakan benar, aku berani bertaruh bahwa yang hilang di tempat ini adalah kitab pusaka perguruan kita,” sahut Tua Raja Tabir Mentari.
”Kemungkinan itu juga ada, tapi ... ”
Mendadak saja, langkah Tua Raja Bedah Bumi terhenti.
”Apa ada, Adi?”
Bukannya menjawab, justru ia memandang ke arah Tua Raja Tabir Mentari.
Tentu saja dipandang langsung mengerutkan alis kuningnya sambil berkata, ”Apa?”
”Kau menguasai Ilmu ’Iblis Matahari’ hingga tingkat terakhir, masakan tidak merasakan sesuatu?” balik tanya Tua Raja Bedah Bumi.
”Memangnya ada-apa dengan ilmuku?” tanya heran Barka Satya.
”Coba kau rasakan lantai yang kau pijak,” ujar Dahana Lungit berteka-teki.
Semakin bingung saja semua orang yang ada di tempat itu. Bahkan Tua Raja Tinju Kayangan yang biasanya berangasan justru lebih pendiam dari biasanya.
Beberapa saat kemudian ...
”Aaaahh ... brengsek kau!” bentak Tua Raja Tinju Kayangan. ”aku tidak merasakan apa-apa di sini.”
Dahana Lungit memandang Bramageni dan Barka Satya bergantian. Namun jawaban yang diberikan hanyalah gelengan kepala tanda tidak tahu.
”Coba kalian bertiga melangkah ke tempatku berdiri, lalu kembali ke tempat semula.”
”Kurang ajar! Katakan saja terus terang! Buat apa berteka-teki!” keras juga sentakan Tua Raja Tinju Kayangan, namun ia menurut juga pada perintah Dahana Lungit.
Berturut-turut ketiganya melakukan apa yang diperintahkan sang kawan.
”Bagaimana?”
Ketiganya saling pandang satu sama lain.
”Aku merasakan hawa dingin di lantai yang kau pijak,” jawab Tua Raja Pedang Bintang.
”Sama,” sahut Tua Raja Tinju Kayangan dan Tua Raja Tabir Mentari bersamaan.
Tua Raja Bedah Bumi tersenyum simpul lalu berkata, ”Adi Barka Satya! Bisa kau membantuku?”
”Apa yang bisa kubantu?”
”Uapkan hawa dingin ini dengan jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’! Tepat di depanku!”
Tua Raja Tabir Mentari terperanjat kaget!
Jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’ adalah jurus ke tiga dari Ilmu ’Iblis Matahari’ dimana jurus ini sanggup membumihanguskan wilayah sejarak empat tombak bahkan lebih. Semua area yang dirambati hawa sepanas matahari akan langsung terbakar hangus.
”Apa kau sudah gila!?” bentak Tua Raja Tinju Kayangan.
”Memangnya Kakang mau aku menghancurkan tempat tinggal Tuan Majikan? Aku tidak mau!” tolak mentah-mentah Tua Raja Tabir Mentari.
Tua Raja Pedang Bintang yang lebih bijaksana paham maksud perkataan Tua Raja Bedah Bumi.
”Lebih baik ... kau lakukan saja,” tuturnya lembut.
”Tapi Kakang ... ”
”Gunakan saja tenaga jari ... ” katanya lagi. ”Bisa, ’kan?”
Tua Raja Tabir Mentari hanya mendengus saja sambil berkata, ”Baiklah! Cuma dengan tenaga jari.”
Tua Raja Tabir Mentari menghela napas beberapa saat, lalu jari manisnya terlihat bersinar kuning terang.
Cusss .... !
Sinar kuning terang sebesar ikan teri melesat dan menghantam tepat di depan Tua Raja Bedah Bumi berdiri kokoh.
Blubb!
”Eh ... !?” Tua Raja Tabir Mentari melengak kaget.
Tidak ada lidah api yang membakar lantai kayu, tapi justru padam seketika seperti api disiram air.
Sontak, selebar muka Tua Raja Tabir Mentari memerah saga. Kembali jari manisnya diacungkan. Kali ini dengan pelipatan tenaga dalam hingga tiga kali sebelumnya.
Cusss ... !
Blubb!
”Setan!” makinya gusar, lalu terlihat sekujur tangan kanan menguning terang.
”Cukup, Adi! Cukup!” kata Tua Raja Bedah Bumi.
”Tapi ... ”
”Aku tahu! Kau tidak terima bukan?” tebak Dahana Lungit.
”Huhh!” dengus sang adik. Sambungnya, ”Apa kau meremehkan kesaktianku?”
”Bukan begitu maksudku ... ”
”Lalu apa maksud Kakang sebenarnya? Mau coba-coba denganku, hah?” tantang Tua Raja Tabir Mentari.
Tentu saja Tua Raja Bedah Bumi tidak bermaksud meremehkan saudara mudanya. Dalam kepalanya terlintas pun tidak. Namun, jika ada orang berani menantang dirinya, pantang ditolak!
Namun kali ini ia harus membuat pengecualian, jika tidak pertikaian akan semakin meruncing.
Sambil menghela napas dalam untuk meredakan gelojak amarah, dia pun berkata, ”Adi Barka Satya! Coba pikirkan masak-masak? Apa mungkin lantai kayu yang notabene dari kayu kering bisa tahan terhadap api, tidak bukan!?”
Tiga Tua Raja saling pandang satu sama lain. Dalam hati membenarkan ucapan Tua Raja Bedah Bumi.
Mana ada kayu kering bisa tahan terhadap amukan api, kecuali ada apa-apanya!
Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing saudaranya, kembali Tua Raja Bedah Bumi melanjutkan perkataannya.
”Satu-satunya musuh utama api adalah sesuatu benda yang bisa mencair. Air, salju dan es misalnya ... ”
”Es ... !?” gumam Tua Raja Pedang Bintang seolah bisa menebak jalan pikiran Dahana Lungit. ”Jangan-jangan ... ”
Bayu Rakta dan Barka Satya mengangguk membenarkan.
Kembali ketiganya dengan tenang mendengarkan apa yang ingin dilontarkan oleh Dahana Lungit.
”Setahuku, jurus silat yang memanfaatkan unsur-unsur air tidaklah banyak. Misalnya Kuil Air yang terkenal dengan jurus ’Pukulan Es Neraka’ serta para penghuni Lembah Es dengan jurus ’Kristal Es’. Demikian juga dengan Penghuni Gerbang Surga yang salah satu ilmu andalannya adalah Ilmu ’Baju Es Hitam’!” ucap Tua Raja Bedah Bumi sambil berjalan melingkari ruangan dan pada akhirnya berhenti pada sekumpulan jarum yang menancap di tiang penglari.
Mata tajamnya mengamati jarum-jarum itu dengan seksama.
”Barka Satya! Menurutmu, dari ketiga tempat yang aku sebutkan tadi, mana yang sekiranya setara dengan jurus ’Sinar Matahari Menembus Bumi’?”
Barka Satya yang di tanya terdiam sesaat. Lalu ia menjawab, ”Heeeehh ... ! Kau benar-benar membuatku mati kutu, Kakang Dahana Lungit! Nama-nama perkumpulan persilatan besar seperti Kuil Air, Lembah Es dan Penghuni Gerbang Surga adalah nama perkumpulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai satria. Meski mereka berada di tempat yang jauh dari kita di seberang laut, namun nama harum mereka bukanlah isapan jempol saja. Bisa dikatakan jika bertarung dengan mereka satu lawan satu, aku pun belum tentu menang dan belum tentu kalah. Bisa dikatakan seimbang. Itu menurut perkiraanku, karena selama ini kita mengikat tali persahabatan dengan mereka, bukan tali permusuhan.”
”Tepat sekali!” sahut Tua Raja Bedah Bumi. ”Ilmu ’Iblis Matahari’ yang kau kuasai bisa dikatakan mendekati setara dengan mereka. Bisa dikatakan ... kau unggul setingkat!”
Tua Raja Tabir Mentari hanya tersenyum kecil, terlihat rona kebanggaan diwajahnya.
”Diantara ketiganya, manakah yang menggunakan sifat udara dan mengubahkan menjadi benda padat?” tanya Tua Raja Bedah Bumi sambil tetap dalam posisi berjongkok membelakangi ketiga tua raja lainnya. Matanya terus mengamati dengan teliti rentetan jarum yang menancap di tiang penglari, bahkan kadang kala jari tangan menyentuh ujung-ujung jarum yang berada di posisi luar.
”Jika menurutku ... hanya Penghuni Gerbang Surga saja yang sanggup melakukannya. Akan halnya Kuil Air dan Lembah Es lebih cenderung menggunakan Inti Es Bumi dari pada sifat udara atau angin,” tutur Tua Raja Pedang Bintang.
”Sebenarnya ... apa maksud dari perkataanmu, Adi Dahana?” tanya Tua Raja Tinju Kayangan sambil duduk di kursi yang ada di pojok setelah sebelumnya ia letakkan pada tempat yang semestinya.
”Baiklah! Aku akan langsung mengatakan hasil penyelidikan,” jawab Tua Raja Bedah Bumi sambil bangkit berdiri. Ditangannya terdapat satu jarum yang dicabutnya dari tiang penglari.
”Jarum ini tetap dingin meski sudah beberapa lama menancap di tiang penglari,” ucap Tua Raja Bedah Bumi. ”Kita semua tahu berada lama benda dalam kondisi tertentu menjadi beku. Dan jarum ini seharusnya sudah sedari tadi hilang dari sifat beku. Dan itu artinya, hanya ilmu dengan sifat udara saja yang sanggup membekukan benda dalam waktu yang cukup lama. Paling sedikit sehari semalam barulah kembali ke sifat besi yang sebenarnya.”
Ketiga orang itu terperanjat kaget!
”Coba lihat baik-baik jarum ini!” kata Dahana Lungit sambil mengacungkan jarum di tangan kanan.
Terlihat seluruh jarum diselimuti asap putih tipis bernuansa dingin, bahkan beberapa bagian tampak bercak-bercak putih bening seperti es.
”Satu-satunya kesimpulanku adalah ... jarum ini terkena Ilmu ’Baju Es Hitam’!”

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 19


Ketiga Tua Raja menarik alis masing-masing hingga nyaris bertaut. Jelas dalam hati dirambati sebentuk keraguan mendengar penuturan Tua Raja Bedah Bumi yang meski bertubuh bongsor tapi justru otaknya seencer bubur bayi.
Bramageni atau Tua Raja Pedang Bintang membuka suara, ”Dengan alasan apa kau mengatakan jarum itu terkena jurus ’Baju Es Hitam’?
Sambil tersenyum kecil, Dahana Lungit menjawab, ”Mudah saja. Jawabnya adalah ... uap air!”
”Uap air?” tanya heran Tua Raja Tinju Kayangan. ”Kok bisa?”
Sambil menimang-nimang jarum di tangan, ia pun berkata dengan tenang.
”Air memiliki kadar tertentu terhadap penguapan --dalam hal ini disebabkan oleh panas-- namun ada kalanya air tidak bisa menguap begitu saja jika meski terkena sengatan panas. Air perlu proses menguraikan diri dengan menurunkan suhu dan barulah mencair,” tutur Tua Raja Bedah Bumi. ”Sehingga proses menjadi air sendiri memerlukan waktu yang cukup lama.”
”Jadi, dengan kata lain, jarum yang kau pegang itu dipengaruhi suhu udara yang mendadak menurun drastis dengan tidak alami seperti umumnya air embun di pagi hari, begitu?” terabas Tua Raja Tabir Mentari.
”Pintar!” kata Tua Raja Bedah Bumi.
”Dan satu-satunya ilmu unik di rimba pendekar yang sanggup melakukan hal mustahil itu hanya dimiliki orang-orang dari Penghuni Gerbang Surga?” tebak Tua Raja Tinju Kayangan.
”Yap,” kata Tua Raja Bedah Bumi sambil menjentikkan jarum di tangan kanan.
Tiiik!
Splashh!
Jarum menembus masuk tiang penglari hingga terbenam keseluruhan. Dari sini saja sudah bisa diraba seberapa tinggi kesaktian dari sosok tinggi besar ini.
”Yang jadi pertanyaan adalah ... apa yang dilakukan si pencuri di tempat ini? Semua barang-barang disini masih lengkap semua. Tidak hilang satu pun juga,” ucap Tua Raja Tabir Mentari, lalu dilanjutkan dengan desahan pelan. ” ... entah yang dilakukan Tuan Majikan jika papan nama Perguruan Tanah Bambu menjadi serpihan seperti ini? Beliau pasti marah besar!”
”Benar. Apa yang mau dicuri dalam ruangan ini?” kata Tua Raja Tinju Kayangan sambil memunguti kitab yang berserakan dan ditata kembali di rak.
Tua Raja Tabir Mentari menata dipan serta meja kursi yang terbalik.
”Sebenarnya ... ada yang hilang di tempat ini ... ” desis Tua Raja Pedang Bintang.
”Hah!?” ketiga Tua Raja terperanjat kaget.
”Ada yang hilang!?” sentak Tua Raja Bedah Bumi dan Tua Raja Tabir Mentari hampir bersamaan. ”Apa!?”
”Tiga kitab pusaka ... telah hilang!” desis Tua Raja Pedang Bintang dengan tatapan berapi-api.
”Kitab pusaka apa?” bentak Tua Raja Tinju Kayangan dengan tidak sabar.
”Kitab pusaka yang berisi catatan ilmu sakti yang paling dicari di rimba persilatan hingga sekarang ini ... ”
”Maksud Kakang Bramageni ... Kitab Ilmu ’Bayu Buana’?” tebak Tua Raja Bedah Bumi.
Tua Raja Pedang Bintang mengangguk pelan sambil berkata, ”Bukan hanya itu saja, termasuk pula Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’ dan Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ ikut lenyap dari tempat penyimpanan.”
”Apaaa!”
Jika mendengar suara geledek mungkin cukup membuat orang terkejut. Tapi kejutan kali ini bukan hanya sekedar sambaran geledek. Tapi masih ditambah dengan salakan petir, guncangan bumi dan letusan gunung berapi. (weleeh ... banyak amir!?)
Dengan ringkas, Tua Raja Pedang Bintang mengatakan sebuah rahasia yang disimpan rapat-rapat selama ini atas perintah Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu meski perintah yang datang lewat sebuah mimpi.
Ya, sebuah mimpi!
Tapi meski cuma sebuah, tapi mimpi ini betah sekali datang berulang kali dalam tidur nyenyak Tua Raja Pedang Bintang yang pada mulanya dianggap sebagai bunga tidur saja. Namun ternyata ’bunga tidur’ yang ini lain, karena merasa dicuekin terus sama si Bramageni, akhirnya justru menteror sepanjang malam. Hingga pada akhirnya, Bramageni harus percaya pada mimpinya.
Gimana ga mau percaya, lha wong bunga tidurnya cuma itu-itu aja, kok?
Dalam mimpinya pula, Bramageni berada di Ruang Pribadi Tuan Majikan dan di sana muncul sesosok bayangan hitam yang tidak di ketahui bagaimana sosok aslinya, mengatakan tempat penyimpanan tiga buah catatan ilmu sakti yang awalnya memang diturunkan dari mulut ke mulut antar sesama Ketua Perguruan Tanah Bambu yang biasa disebut Tuan Majikan. Tuan Majikan yang terakhir membuat keputusan paling heroik dari sepanjang sejarah Kepulauan Tanah Bambu.
Tiga ilmu sakti andalannya ditulis dalam bentuk catatan!
Dan dalam mimpi itu pula, Tua Raja Pedang Bintang ditunjukkan tempat penyimpanan dari tiga kitab catatan ilmu sakti yang ternyata berada di dalam papan nama Perguruan Tanah Bambu.
Tiga Tua Raja Kepulauan Tanah Bambu terdiam dalam keterpanaan!
Tidak disangka sama sekali bahwa Tuan Majikan berani mengambil keputusan seperti itu. Padahal mereka tahu seberapa berbahaya Empat Pusaka Perguruan Tanah Bambu jika terjatuh ke tangan tokoh sesat. Jika itu sampai terjadi, apa bukan berarti Tuan Majikan telah menciptakan bibit bencana di kelak kemudian hari.
Ketiganya terdiam membisu mendengarkan penuturan orang tertua dari Empat Tua Raja. Setelah sepenanakan nasi lamanya Tua Raja Pedang Bintang berceloteh panjang lebar, barulah mereka paham apa maksud dan tujuan dari Tuan Majikan menuliskan ilmu saktinya ke dalam bentuk kitab ilmu silat.
Yang jadi pertanyaan adalah ... bagaimana dengan ilmu ke empat?
Ilmu yang paling mengerikan sepanjang sejarah dunia persilatan apakah juga ditulis dalam lembaran kitab?
Jika benar, maka jelas kali ini wilayah Kepulauan Tanah Bambu khususnya dan jagat persilatan pada umumnya akan banjir darah!
Sebab, yang paling tahu seberapa mengerikan dan dahsyatnya Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ adalah orang-orang Kepulauan Tanah Bambu, itu pun andaikata kitab ke empat ikut pula tercuri ... !
Selepasnya, hanya terdengar desahan napas pelan dalam Ruang Pribadi Tuan Majikan.
Tua Raja Pedang Bintang-lah yang pertama kali memecah keheningan.
”Malam ini juga, kita harus mengumpulkan semua Penguasa Tapal Batas,” katanya sambil melangkah keluar dari ruangan, lalu gumamnya seolah pada dirinya sendiri, ”Aku yakin, pasti ada musuh dalam selimut di tempat kita ini.”
Ke Tiga Tua Raja saling pandang satu sama lain.
”Kita berkumpul di Balairung Ranting Bambu!”

--o0o---

Malam itu pula, Empat Tua Raja dan Tiga Penguasa Tapal Batas hadir di Balairung Ranting Bambu, termasuk pula pemuda berperiuk Riung Gunung dan si cantik manis Kaswari juga hadir diantara para tokoh sentral Perguruan Tanah Bambu. Awalnya Ki Ajar Lembah Halimun dari Lembah Halimun Kegelapan turut di undang, namun laki-laki yang sudah teramat sepuh ini menolak dengan halus dan mewakilkan pada Riung Gunung, murid sekaligus putra dari mendiang Pemulung Nyawa.
Mereka duduk melingkar meja bundar dari kayu jati yang sudah tua di makan usia. Secara berurutan dari kiri ke kanan adalah Dewa Periang, Contreng Nyawa, Gayam Dompo yang bergelar Kakek Kocak dari Gunung Tugel dan Dedengkot Dewa yang juga pimpinan dari empat penguasa Tapal Batas. Sedangkan Riung Gunung dan Kaswari duduk bersebelahan di belakang Gayam Dompo sambil kasak-kusuk ala anak muda.
Akan halnya Empat Tua Raja Kepulauan Tanah Bambu yang telah datang terlebih dahulu.
”Siapa yang belum datang?” tanya Bramageni dengan pandangan mengedar.
”Hanya tinggal Nini Cemara Putih, Paman Sepuh,” sahut Riung Gunung dari belakang.
”Hemmm ... kita tunggu sebentar ... ”
Tiba-tiba, sebuah suara menyahut halus, namun terdengar menggema di setiap sudut Balairung Ranting Bambu.
”Tidak perlu! Aku sudah datang!”
Belum lagi suaranya lenyap, sesosok bayangan putih yang entah bagaimana caranya, tahu-tahu sudah berada di tempat itu.
”Aku belum terlambat, bukan?”
”Belum, Nini.” sahut Bramageni dengan suara halus.
Biasanya, orang yang bergelar ’Nini’ pastilah berwajah keriput, jalan sempoyongan kayak orang mabuk meski sudah bertumpu pada tongkat, tubuh bongkok kayak udang goreng dan yang jelas terdengar adalah suara batuk yang memiliki nada beraneka ragam. Belum lagi dengan kunyahan susur yang kadangkala sering nyungsep di bibir peotnya.
Tapi yang namanya Nini Cemara Putih ini ... lain daripada yang lain, bro!
Nini Cemara Putih ternyata masih seorang gadis muda, cantik lagi!
Swearrr ... sumpah ditabrak nyamuk deh kalau ga cakep!
Kulit tubuhnya sangat putih, bisa dikatakan seputih pualam tanpa cela sedikit pun ditingkahi mata jeli, hidung bangir dan bibir memerah segar alami dan yang jelas ... tinggi langsing!
Masa’ cewek cakep bodynya kayak gajah bengkak!?
Mahkota hitam di atas kepala alias rambut hitam sebahu tergerai menguarkan bau harum semerbak. Selain anugerahi wajah cantik jelita plus bongkahan dada padat menantang ditambah pantat yahud menggoda karena si gadis memang mengenakan pakaian putih super ketat. Nini Cemara Putih paling suka pake baju yang ketat-ketat untuk membalut tubuh mulus super indahnya, itu pun harus warna putih agak sedikit tipis hingga sanggup mengekspos bentuk tubuh ramping si pemilik.
Riung Gunung sendiri seringkali curi-curi pandang jika bertemu dengan Nini Cemara Putih apalagi jika sedang mengenakan pakaian super seksinya. Bahkan saking terpesonanya ketika gadis itu memandang dirinya meski cuma sekejap, seperti mau copot saja jantung Riung Gunung waktu diliat kayak gitu.
Mereka mulai berbasa-basi tanpa melepas pandangannya dari gadis itu. Laki-laki normal mana yang tidak tergiur melihat gadis cantik berambut sebahu dan bermata bening yang menawan, apalagi ni cewek pake baju yang potongan dadanya dibuat sedikit rendah hingga memperlihatkan belahan dadanya yang ’wooow’ banget.
Belum lagi dengan tongkrongan yang agak judes-judes manja bisa membuat laki-laki mana pun gemas setengah mampus!
Yakin!
Yang jadi pertanyaan ... kenapa gadis cantik semlohai bin montok seperti itu dipanggil Nini?
Begitu ceritanya!
Waktu dulu, kira-kira seratus tahun silam (wuih ... lama ya!?), saat gadis cantik yang bernama asli Wikataksini berhasil menguasai Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’ yang diajarkan oleh Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu. Saat Wikataksini mempelajari kitab sakti itu usianya baru sembilan tahun dan berhasil dengan sempurna menguasai isi kitab tepat berusia delapan belas tahun. Kontan Ilmu ‘Seribu Bulan’ berhasil ditelan dalam waktu sembilan tahun saja.
Sebenarnya, apa yang diajarkan oleh Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu bersifat untung-untungan semata mengingat sifat ilmu yang hanya bisa dikuasai oleh mereka yang memiliki tautan darah dengannya. Berhasilnya uji coba Ilmu ‘Seribu Bulan’ pada Wikataksini membuat Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu semakin penasaran. Dicobanya pada bocah perempuan dan laki-laki usia sembilan, sepuluh, sebelas dan dua belas tahun dengan rentang waktu yang sama dengan Wikataksini. Namun hasilnya, setelah lima puluh tahun kemudian, bocah yang diajar belakangan tetap mengalami penuaan sedang Wikataksini justru tetap awet muda.
Tentu saja Tuan Majikan semakin penasaran!
Kok bisa?
Akhirnya ... setelah usut punya usut ketahuan penyebab utama keberhasilan Wikataksini. Ternyata bocah Wikataksini terlahir tepat saat terjadinya gerhana bulan dan Tuan Majikan beranggapan faktor itulah yang membuat Wikataksini berhasil menguasai sifat Ilmu ‘Seribu Bulan’.
Jika umur Tua Raja Pedang Bintang --orang tertua dari Empat Tua Raja-- sudah mendekati sembilan puluh lima tahun, padahal saat bergabung dengan dengan Perguruan Tanah Bambu, Nini Cemara Putih sudah berusia lima puluh tahunan dan waktu itu pun Bramageni justru menganggap si gadis berusia delapan belas tahun. Namun seiring waktu berjalan, Tua Raja Pedang Bintang makin tua tapi Nini Cemara Putih tetap awet muda.
Bisa dibayangkan usia Nini Cemara Putih sekarang ini!
Dengan langkah lambat-lambat penuh keagungan, Nini Cemara Putih lantas duduk di kursi yang memang disediakan khusus untuknya.
”Ada perlu apa Bramageni, hingga kau kirim utusan ke Wisma Tanah Cemara dan memintaku kemari?” tutur kata Nini Cemara Putih halus.
Dengan sedikit menundukkan kepala, Bramageni membuka mulut.
”Kita kecolongan, Nini.”
”Apa maksudmu dengan ’kita kecolongan’?”
”Tiga kitab pusaka perguruan hilang.”
”Hilang bagaimana?”
”Tepatnya ... dicuri orang, Nini.”
Nini Cemara Putih sedikit mengangkat alis kirinya, lalu berkata, ”Maksudmu ... di tempat kediaman Tuan Majikan, begitu?”
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Bramageni mengangguk pelan.
Anggukan Tua Raja Pedang Bintang sudah cukup mewakili semua rentetan pertanyaan yang ada dalam benak Nini Cemara Putih.
”Ke tiga kitab yang dicuri adalah kitab sakti paling berbahaya yang pernah ada di jagat persilatan sekarang ini. Jika semudah itu dipelajari oleh orang, bukan kitab sakti namanya,” tutur Nini Cemara Putih dengan pandangan mengedar. ”Kurasa, Pencuri Kitab belum mengetahui bahaya yang terkandung dalam ke tiga kitab itu.”
”Maksud, Nini?” sela Tua Raja Tinju Kayangan.
”Dalam setiap lembar kitab telah diolesi dengan racun paling mematikan.”
”Racun?” desis Dedengkot Dewa. Matanya sedikit mengernyit, lalu berkata, ”Maaf, Nini. Jika boleh saya bertanya.”
”Silahkan, Dedengkot Dewa.”
Setelah memperbaiki duduknya, ia pun bertanya, ”Darimana Nini mengetahui kalau ke tiga kitab tersebut beracun?”
”Karena aku yang meletakkan racun itu,” sahut Nini Cemara Putih, enteng.
”Nini yang meletakkannya?” tanya heran Dedengkot Dewa.
”Benar.”
Semua mata saling pandang satu sama lain.
”Kenapa kalian heran?” ucap Nini Cemara Putih sambil memandang satu persatu semua yang hadir di tempat itu. Tanpa menunggu siapa yang membuka pertanyaan, Nini Cemara Putih pun melanjutkan ucapannya, ”Karena ke tiga kitab itu ... aku yang menulisnya atas permintaan Tuan Majikan dan aku pula yang meletakkannya di balik papan nama perguruan kita.”
Semua khalayak terhenyak di tempat!
”Jika empat ilmu sakti dari Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’ yang tiga sudah hilang dari tempat penyimpanan, besar kemungkinan si pencuri ilmu juga mengincar ilmu ke empat,” gumam Dewa Periang seolah pada dirinya sendiri.
”Kemungkinan itu ada, hanya ... ”
”Hanya apa, Nini?” tanya Tua Raja Tinju Kayangan.
”Rapalan dari Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ belum sempat aku tulis,” tutur Nini Cemara Putih sambil matanya melirik langit-langit ruangan. Pikirnya, ”Seperti ada yang mencuri dengar pembicaraan ini.”
”Apa Nini Cemara Putih juga mendapatkan rapalan dari ilmu ke empat?” tanya Gayam Dompo. Tidak ada raut kocak seperti biasanya.

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
BAGIAN 20


“Kebetulan sekali ... tidak,” jawab nini cantik berbodi semlohai ini. “Tuan Majikan belum sempat memberikan rapalan ilmu tersebut dengan alasan yang aku sendiri tidak tahu, tapi beliau terlanjur pergi tanpa memberikan alasan apa pun ... kecuali sebuah pesan.”
Semua yang berada di tempat itu terdiam. Tidak ada satu pun yang memotong perkataan dari Nini Cemara Putih, orang paling dihormati dari Perguruan Tanah Bambu.
“Tuan Majikan hanya berpesan, yang memimpin selanjutnya wilayah Kepulauan Tanah Bambu dan Perguruan Tanah Bambu adalah orang yang membawa Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana.”
“Medali Tiga Dewa!” seru semua orang yang ada di tempat itu. “ ... dan Pasir Kujang Duta Nirwana!”
Pada dasarnya, Perguruan Tanah Bambu tidak seperti perguruan silat pada umumnya yang menerima murid untuk belajar silat. Meski menggunakan embel-embel perguruan, Perguruan Tanah Bambu justru condong ke arah perkumpulan yang memiliki keanekaragaman ilmu silat pengikutnya, yang artinya tidak ada ilmsu silat baku atau andalan dari perguruan yang tempatnya selalu tertutup kabut gaib ini. Di mana dalam perguruan sendiri selain dibagi menjadi beberapa wilayah yang bernama Tapal Batas, juga setiap Tapal Batas memiliki pasukan tersendiri yang siap berani mati membela majikan masing-masing. Itulah sebabnya di Perguruan Tanah Bambu tidak ada istilah ’Guru’ yang ada hanya ’Tuan Majikan’!
Selain itu Kepulauan Tanah Bambu --tempat berdirinya Perguruan Tanah Bambu-- memiliki dua benda pusaka dan sebuah kitab sakti yang dijunjung tinggi. Yaitu pusaka Medali Tiga Dewa dan pusaka Pasir Kujang Duta Nirwana sedangkan kitabnya bernama Kitab Pusaka Ilmu ‘Seribu Indera’ yang didalamnya di bagi menjadi empat bab.
Tentu saja mereka semua tahu tentang Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana, dua benda pusaka warisan leluhur dari Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu yang konon moksa dan kabarnya tinggal di alam gaib. Medali Tiga Dewa adalah medali segi delapan yang sanggup menyerap Delapan Unsur Penggerak Bumi dimana medali ini terbuat dari lempengan besi hitam berukiran naga, rajawali dan harimau yang disebut Tiga Petinggi Satwa Gaib oleh orang-orang Perguruan Tanah Bambu.
Akan halnya senjata sakti yang bernama Pasir Kujang Duta Nirwana dulunya pernah dilarikan oleh Iblis Mara Kahyangan ratusan tahun silam dari alam gaib. Dan pada akhirnya justru sang iblis sendiri bersatu raga dengan kujang sakti saat menjelang ajal dan kembali hidup di dunia serta mengganti nama : Raja Iblis Pulau Nirwana yang merajalela dengan segala keangkaramurkaannya. Pada akhirnya kujang sakti berhasil dimurnikan kembali oleh seorang pemuda sakti bernama Jalu Samudra yang dijuluki si Pemanah Gadis (mau tahu kisahnya, coba liat ke jilid 2 dech ...!)
Riung Gunung yang berada di belakang sendiri berbisik pada Kaswari.
“Wah, kalau begitu kebetulan dong.”
“Apanya yang kebetulan, Kang?” bisik Kaswari.
“Jika Nini Cemara Putih benar-benar penulis kitab sakti yang hilang, bukankah sama artinya dia adalah kitab sakti berjalan,” ucap Riung Gunung lirih.
“Maksudmu?”
“Yahh ... minta diajari satu-dua ilmu bolehlah, hihihi!!”
“Aaahh .. paling-paling juga Kakang maunya nggodain nini cantik itu,” sungut Kaswari dengan mulut meruncing.
“Ahhh ... tau aja kau!” gerutu Riung Gunung ketahuan belangnya. “Memangnya kau ini cacing di perutku apa?”
“Justru Kakang ini yang cacing kegatelan! Liat jidat mulus dikit aja sudah blingsatan kayak mata maling,” bisik gemas Kaswari sambil mencubit paha pemuda berperiuk. “Dasar pemuda mata bongsang ... !”
Dasar pemuda rada gendeng, justru ia malah berkata, “Wadaoww ... !! Jangan ... jangan ... jangan ... “
“Jangan apa!?” potong Kaswari cepat.
“Jangan hanya disitu saja, naikin dikit dech ... “ desis Riung Gunung.
Bukannya mengerang kesakitan, wajahnya malah terlihat mupeng!
“Gayam Dompo!” panggil Nini Cemara Putih.
“Iya, Nini?”
Suara sember Gayam Dompo yang lumayan keras membuat semua orang kaget.
Tidak terdengar suara apa pun terlontar dari bibir sexy Nini Cemara Putih, namun mengapa Kakek Kocak dari Gunung Tugel ini berkata seolah menjawab sebuah pertanyaan. Namun sedetik kemudian, semua orang yang ada di situ maklum, kalau nini cantik berbody semok ini menggunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.
“Jika murid cantikmu sudah pengin kawin, kawinkan saja. Daripada kasak-kusuk di belakang seperti orang sinting kebelet kawin,” ucap Nini Cemara Putih yang hanya bisa didengar oleh orang yang dituju. Di wajahnya tidak terlihat nada marah, hanya seulas senyum kecil saja.
Gayam Dompo sekejap melirik ke belakang, lalu kepalanya mengangguk meng-iya-kan.
“Baik, Nini. Baik.”
“Baiklah. Kita kembali ke topik semula,” kata Nini Cemara Putih sambil bangkit berdiri. “Beberapa hari yang lalu aku sempat mendengar adanya pihak-pihak luar yang berhasil menyusup kemari. Perlu diketahui, orang-orang yang bisa menyusup ke tempat kita ini pasti ada hubungannya dengan orang-orang yang ada Kepulauan Tanah Bambu. Sebab tidak mungkin mereka bisa keluar masuk seenaknya jika tidak mengetahui jalan masuk. Ingat! Tuan Majikan yang pertama kali menemukan pulau ini telah menanam pagar gaib yang tidak bisa ditembus dengan cara apa pun. Jangankan senjata sakti, ilmu-ilmu kesaktian dan ilmu gaib apa pun tidak bisa menembusnya.”
“Lalu bagaimana dengan pertarungan akbar yang terjadi dahulu kala antara Matahari Sabit dengan Biksu Shaolin, Nini?” potong Tua Raja Tabir Mentari.
“Itu adalah lain hal,” tukas Nini Cemara Putih. “Pertarungan itu terjadi karena Biksu Shaolin selain memiliki kesaktian tinggi, juga berhasil menemukan jalan tembus masuk ke wilayah Tanah Bambu. Namun, toh mereka sudah berkalang tanah dan rahasia itu pun ikut terbawa ke alam kematian ... “
Semua orang yang ada di tempat itu diam membisu seribu bahasa.
Nini Cemara Putih kembali berkata memecah kesunyian.
“ ... dan rupanya, ada pihak luar yang berkepentingan masuk ke tempat ini. Selain mencuri kitab, aku yakin mereka pasti punya tujuan lain.”
Tua Raja Pedang Bintang yang sedari tadi diam saja, menyeruak membuka kata.
“Lalu ... apa yang seharusnya kita lakukan, Nini?”
“Kita harus menyusun rencana untuk menghadapi setiap kemungkinan yang ada. Tepatnya ... menghadang orang-orang yang berniat makar!”
“Baik!” sahut Tua Raja Bedah Bumi, “Aku akan mem ... “
“Kurang ajar! Ada yang menguping pertemuan kita!” bentak Nini Cemara Putih setelah yakin bahwa atas langit-langit mendekam sosok yang mencuri dengar pembicaraan mereka.
Sontak tangan kirinya mengibas ke atas.
Wutt!
Sinar putih sebesar kepala melesat cepat dan melabrak atap.
Brakk!
Bersamaan dengan itu, Dedengkot Dewa berseru, “Biar saya yang menangani, Nini!”
Sosok laki-laki tampan berkumis tipis yang sekarang mengenakan baju biru gelap langsung melesat naik.
Wusss!
Menerobos langit-langit yang jebol, bersalto beberapa kali dan akhirnya melesat cepat mengejar si pengintip.
Tua Raja Tinju Kayangan bangkit berdiri sambil berkata, “Nini Cemara Putih! Saya rasa dua orang lebih baik dari pada satu orang. Mohon ijin!”
“Silahkan!”
Begitu kata-kata si nini cantik berbaju sedikit menerawang ini selesai, Tua Raja Tinju Kayangan sudah berkelebat cepat. Sebagai salah seorang dari Empat Tua Raja Tanah Bambu, tidak sopan rasanya jika harus pamer ilmu di depan pakarnya. Akhirnya ia melesat ke pintu depan dan menyusul kelebatan Dedengkot Dewa yang lebih dahulu mengejar.
“Riung! Kaswari!” perintah Dewa Periang. “Kalian selidiki sekitar tempat ini!”
“Siap, Paman!”
Pemuda berperiuk dan gadis baju kuning segera menjura, lalu berkelebat cepat. Namun tak lama kemudian, mereka berdua kembali ke tempat pertemuan.
Riung Gunung berkata, “Aman, Paman!”
“Yakin!?”
Murid Ki Ajar Lembah Halimun menganggukkan kepala.
Belum sampai rapat dimulai, terdengar dentuman keras yang sanggup menggetarkan meja kursi yang ada di tempat itu.
“Hemmm ... pakai kekerasan! Pasti ini ulah Kakang Bayu Rakta,” desis Barka Satya.
“Benar, Tua Raja Tabir Mentari!” Contreng Nyawa mendesis. “Dari getarannya, tukang marah itu tengah mengumbar kesaktian.”
“Aku setuju dengan perkataanmu! Si tukang marah lagi beraksi,” sahut Tua Raja Tabir Mentari sambil kembali duduk. “Entah bagaimana nasib si pengintip.”
“Paling juga jadi dendeng manusia,” seloroh Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
“Baiklah! Biar penyusup itu di urus oleh mereka berdua,” kata Nini Cemara Putih mengalihkan pembicaraan. “Kita bahas langkah-langkah yang perlu diambil.”
Sementara itu ...
Di sebelah selatan sejarak ratusan tombak dari tempat pertemuan, tepatnya di sebuah hutan Bambu Hitam yang notabene berada di daerah kekuasaan pimpinan tertinggi dari Empat Penguasa Tapal Batas yaitu Dedengkot Dewa, tampak dua sosok tubuh berdiri berhadapan.
Tidak ada posisi serang atau jurus yang digelar, tapi justru percakapan yang terasa akrab!
Yang berbaju biru gelap jelas Dedengkot Dewa adanya, sedang lawan bicara ternyata seorang perempuan bertubuh tinggi semampai berambut digelung sedemikian rupa dengan menyisakan juntaian rambut di pelipis kiri kanan yang berkibar lembut tertiup angin malam. Sosok perempuan yang memakai baju ketat tanpa dalaman dari bahan jaring rapat yang membungkus tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki hingga mencetak setiap lekuk lengkung tubuhnya. Namun yang paling menonjol adalah sepasang bukit kembar tercetak rapi sesuai bentuknya. Yang jelas, baju jaring hitamnya tidak sanggup menutupi sosok kulit putih bersih si pemakai baju jaring hitam.
Jelas, tongkrongan wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahunan dengan raut muka cantik jelita ini sangat menggiurkan setiap laki-laki yang memandang. Terlebih lagi dengan baju jaring super ketat menerawang sudah lebih dari cukup untuk membuat mata laki-laki jadi hijau.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam.
Nyai Kembang Hitam!
“Buat apa kau datang malam-malam begini?” bentak halus Dedengkot Dewa, namun hatinya sedikit bergetar melihat tongkrongan Nyai Kembang Hitam yang wooow sekali.
Gimana ga gemetar, wong serba keliatan semua. Karena jelas-jelas di balik baju jaring hitamnya, Nyai Kembang Hitam tidak memakai apa-apa!
“Jangan marah dulu, Kakang Yama Lumaksa!” bisik Nyai Kembang Hitam dengan dua tangan terkembang. “Aku sudah kangen denganmu!”
Lalu tanpa permisi, dipeluknya Dedengkot Dewa yang bernama asli Yama Lumaksa sambil bibirnya menutup bibir Dedengkot Dewa.
Waahhh ... rujak bibir nih!
Setelah beberapa saat, Dedengkot Dewa atau Yama Lumaksa melepaskan diri dari sergapan bibir Nyai Kembang Hitam.
“Bagaimana dengan Dedengkot Dewa?”
“Beres! Panji Tilar telah men-sukabumi-kan musuh bebuyutannya,” kata Nyai Kembang Hitam sambil menggelendot manja.
“Bagus!”
Aneh, jika memang Dedengkot Dewa sudah di-sukabumi-kan alias di bunuh oleh Panji Tilar alias Pawang Racun Kecil, lalu siapa Dedengkot Dewa yang sekarang bertemu dengan Nyai Kembang Hitam?
“Kita pergi sekarang?” tanya Nyai Kembang Hitam kepada Yama Lumaksa. “Sudah ga tahan, nih ... “
“Sebentar,” kata Yama Lumaksa sambil meraih ke tubuh sang Nyai, tangan kanan meluncur ke bawah seperti ular menelusuri belahan dada membusung, terus turun ke perut ramping dan akhirnya sedikit bermain di tempat paling ujung di bawah pusar. Dengan cuek-bebek jari tangan Dedengkot Dewa merobek sebagian baju ketat yang tepat menutupi gerbang istana kenikmatan yang kini sedikit basah.
Srett!
“Nah, ini lebih baik ... “ kata Yama Lumaksa sambil memasukkan jari tangan sedikit ke dalam yang tentu saja membuat Nyai Kembang Hitam semakin mendesah-menggelinjang kenikmatan. Namun, belum lagi meneruskan pekerjaannya, sesosok bayangan telah berkelebat mendekat.
Jleg!
“Brengsek kalian!” bentaknya dengan suara sedikit di tekan.
“Apa ada Tua Raja Tinju Kayangan?” sindir Dedengkot Dewa. “Kau mau?”
“Heh, ini bukan tempatnya, bangsat!” kembali Tua Raja Tinju Kayangan membentak. “Kalian harus pergi dari tempat ini secepatnya! Jangan membantah!”
Dengan bahu sedikit diangkat, entah karena nikmat atau meng-iya-kan perkataan Tua Raja Tinju Kayangan, Nyai Kembang Hitam langsung berkelebat pergi diikuti Dedengkot Dewa yang sambil berulang kali mengendus-endus jari tangannya.
Wuss ... !!
Di tinggal sendirinya, tentu saja Bayu Rakta semakin meradang, gerutunya, “Dua bangsat itu jika sudah saling sosor tidak ingat tempat dan waktu. Hemmm ... aku harus segera menyusul mereka.”
Baru satu tindak melangkah, kembali Bayu Rakta berdiam diri.
“Jika langsung pergi begitu saja, pasti orang-orang ****** itu akan curiga. Aku harus menghilangkan jejak.”
Dua tangan Tua Raja Tinju Kayangan mengepal kencang. Tenaga dalam di hempos sampai seperempat bagian hingga terbersit sinar terang berkilauan. Diirngi dengusan napas terbuang, dua tangannya berkelebat saling susul-menyusul ke empat penjuru.
Wurr ... wuss .... !!
Blamm! Blammm ... !
Jajaran Bambu Hitam sontak terdongkel disertai bau hangus menyengat.
Suara ledakan inilah yang terdengar hingga ruang pertemuan dan orang-orang disana beranggapan kalau terjadi pertarungan sengit dengan si pencuri dengar.
“Aku harus menyusul mereka. Sepenanakan nasi baru kembali ke tempat pertemuan,” desisnya. “Jika Dedengkot Dewa tidak mau juga melepas dari dekapan wanita genit itu, biar aku seret saja dia!”
Laki-laki muka codet itu segera berkelebat menghilang dari pandangan.
Keesokan harinya ...
Dua sosok bayangan tampak berkejar-kejaran di balik rimbunnya jajaran Bambu Hitam yang berada di daerah kekuasaan Dedengkot Dewa. Salah seorang diantaranya seorang pemuda baju buntung coklat tua dipadu dengan celana putih. Yang sedikit mencolok adalah sebuah periuk besar bertengger di punggung. Sedang satunya seorang gadis yang bisa dibilang cantik rupawan berbaju kuning ketat tanpa lengan dengan balutan baju dalam merah tua. Di punggungnya tersoren sebilah pedang dengan rumbai-rumbai tali biru.
Siapa lagi jika bukan Riung Gunung dan Kaswari!
Wutt! Wuutt!
Sosok Riung Gunung tiba lebih dulu diikuti tubuh ramping Kaswari.
“Ilmu ringan tubuh Kakang Riung makin hebat,” puji si gadis dengan senyum menghias bibir.
“Masa’ sih? Perasaan biasa-biasa tuh,” elak Riung Gunung sambil mengamati seantero batang-batang bambu hitam yang semakin hitam menghangus seperti bekas habis terbakar.
“Kakang, memangnya Paman Contreng Nyawa menyuruh kita menyelidik tempat ini ada tujuannya?” tanya Kaswari sambil menyeka peluh di dahinya. “Disini tidak ada apa-apa selain kumpulan batang bambu hangus.”
“Tentu saja ada, dong ... “ sahut murid Ki Ajar Lembah Halimun sambil matanya terus mengedar seakan sedang mencari-cari sesuatu.
“Lalu apa yang kita cari disini?”
“Entahlah ... “ ujar Riung Gunung sambil berjalan berkeliling. “Mungkin sebuah petunjuk barangkali ... “
“Petunjuk apa?”
“Biasanya, benda mati bisa juga menjadi petunjuk berharga.”
“Lha ... iya! Tapi mana buktinya?” tukas Kaswari jengkel karena sedari tadi pemuda berperiuk itu hanya memandang berkeliling saja tanpa melakukan apa-apa.
“Ada,” sahut Riung Gunung, pendek.
“Mana?” kembali gadis murid Kakek Kocak dari Gunung Tugel berucap dengan sedikit jengkel. Lalu sambil memandang berkeliling, ia tidak menemukan apa-apa. “Ga ada apa-apa di tempat ini.”
“Coba kau liat arah tumbangnya batang bambu di tempat ini,” kata Riung Gunung berteka-teki. “Kau merasakan sesuatu yang aneh?”
Kaswari diam sesaat, lalu kembali memandang berkeliling, lalu menggelengkan kepala dengan cepat.
“Ga ada yang aneh, tuh.”
“Heeeh! Punya otak kok ga pernah dicuci,” kata Riung Gunung sekenanya. Lalu berjalan ke depan sepuluh langkah, lalu duduk di atas batu datar seukuran anak kerbau.
“Brengsek! Kakang mengejek, ya?” sungut Kaswari mendekati Riung Gunung dan duduk menyebelahi si pemuda. “Mau kucubit apa!?!”
“Jangan aaah ... “
“Cepat katakan, apa yang Kakang temukan!”
“Baik-baik-baik!” kata Riung Gunung sambil meringis melihat mata bundar Kaswari yang semakin bundar kalau melotot.
Sumpah, makin cakep lho!
“Kau liat bambu-bambu hangus itu?”
“Tentu saja liat! Emangnya aku buta apa!?”
“Lalu batang bambu itu tumbang kena apa?”
“Tentu saja disini semalam terjadi pertarungan hebat dan bambu-bambu itu hangus akibat terkena pukulan sakti yang nyasar! Jelas!?” tukas Kaswari, lalu sambungnya, “Kakang ini makin lama makin bego aja, deh!”
Riung Gunung hanya tersenyum.
“Jika benar perkataanmu, Kakang mau tanya,” jawab Riung Gunung. “Pertarungan hebat yang mana yang kau katakan?”
Mendapat pertanyaan ini, sontak Kaswari terjengkit bagai disengat kalajengking!
Benar!
Pertarungan hebat yang mana?
Kembali mata Kaswari mengedar. Kali ini diamati setiap jengkal tanah, tumpukan daun bambu kering serta posisi batu-batu besar tetap seperti tidak tersentuh tangan sama sekali. Bahkan di bagian pojok agak sedikit ke ujung, sarang laba-laba pun masih ada, tidak koyak sedikit pun. Jelas aneh jika memang ada pertarungan, posisi runtuhan daun bambu kering dan batu-batu sekitarnya tidak ada yang bergeser meski sedikit.
“Eemm ... benar juga!” gumam Kaswari kemudian. “Ada yang aneh disini.”
“Bagaimana?”
“Kakang Riung benar. Jangan-jangan ... “
“Jangan menduga-duga yang jelek. Paling-paling juga ... “ ucapan Riung Gunung terhenti saat matanya melihat sesuatu warna hitam di dekat kakinya, lalu diambil dan diamati dengan seksama.
Secuil kain bentuk jaring warna hitam yang lebarnya sepanjang jari telunjuk saja.
“Kain apa ini?” desis Riung Gunung mengamati kain hitam ditangannya. Direntang dikit, dilepas, direntang-dilepas, lalu dibolak-balik.
“Apa yang Kakang temukan? Petunjuk lagi?”
“Cuma sobekan kain,” jawab Riung Gunung pendek. “Tapi aneh juga, kenapa bisa berada di tempat ini? Atau jangan-jangan ini sobekan baju atau sapu tangan yang tersangkut ranting pohon barangkali? Tapi di sekitar sini ga ada pohon, cuma bambu hitam melulu.”
Lalu sobekan kain hitam didekatkan hidung. Tercium aroma aneh di sana.
Sniiff ... snifff ... ! (ini suara hidung mengendus, heheheh!!)
Karena penasaran, sobekan kain semakin didekatkan dan pada akhirnya menempel di ujung hidung Riung Gunung. Andaikata Riung Gunung tahu itu sobekan kain apa, asalnya darimana dan posisi awalnya dimana, pasti selebar mukanya sudah merah padam!
Karena itu sama artinya dia mencium ... (tebak sendiri deh ...!)
“Baunya aneh,” gumam Riung Gunung sambil berulang kali mengendus. “ ... tapi ... emmm ... aneh-aneh harum ... gimana ya ... “
“Coba kesinikan,” kata Kaswari penasaran sambil merebut sobekan kain di tangan si pemuda. Lalu diendusnya beberapa saat.
Sebentar kemudian, selebar muka Kaswari langsung merah padam!
“Apa yang kau temukan!?” tanya Riung Gunung melihat raut muka Kaswari merona merah mendadak.
“Dasar jorok! Kakang Riung benar-benar jorok!”
“Jorok gimana?” tanya Riung Gunung, heran. Bahkan tangan bekas memegang sobekan kain kembali diendusi. “Baunya sedap. Ga busuk, kok! Coba dech sekali lagi!”
Kembali selebar muka Kaswari merah padam melihat tingkah laku si pemuda yang pulang-balik menciumi jari-jari tangannya. Wajahnya semakin merah dari sebelumnya.
Benar-benar persis udang goreng tanpa tepung!
“Pokoknya jorok, ya ... jorok! Titik!” sentak Kaswari sambil melempar sobekan kain ke tanah. “Sudah! Aku mau pulang!”
Tanpa banyak kata, Kaswari langsung melesat pergi.
“Ooooiii ... Wari! Apanya yang jorok!?” teriak Riung Gunung. “Pegang tahi ayam juga kaga’!”
Dipungutnya kembali sobekan kain hitam, diamati sesaat, kembali didekatkan ke hidung, diendus sebentar, lalu bergumam, “Heran ... joroknya dimana sih?”
Riung Gunung melangkah pergi dan tanpa ia sadari berulang kali menciumi sobekan kain di tangannya.
Tentu saja Kaswari mengatakan perbuatan Riung Gunung ‘jorok’ karena ia tahu bau yang keluar dari sobekan kain adalah bau khas cairan kenikmatan seorang perempuan!
Kegemparan yang diciptakan si Pencuri Kitab membuat kesiapsiagaan Perguruan Tanah Bambu meningkat tajam, bahkan Nini Cemara Putih sendiri yang memimpin penyelidikan dibantu Empat Tua Raja Tanah Bambu. Namun, hingga tiga berselang tidak juga menemukan petunjuk yang berarti. Kecuali sebuah petunjuk sementara yang diberikan Tua Raja Bedah Bumi bahwa si pencuri menguasai Ilmu ‘Baju Es Hitam’ yang hanya dimiliki para Penghuni Gerbang Surga.

--o0o--

PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!

ttd

GILANG SATRIA
 
segini dulu hu utk malem ini :Peace:
mohon maaf blm sempat ngereply komen2nya suhu :ampun:
 
wah suhu sekali update byk mulu, mantap suhu
 
Bimabet
Hu,, emang ini ada kelanjutannya,, kan jilid 3 mentoknya ampe 34 aja
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd