BAGIAN 7
“Jika memang seperti itu keadaannya, berarti dia pencuri paling ****** yang pernah kutahu,” kata Jalu.
“Apa sebabnya?”
“Dimana pun seorang pencuri, ia pasti dengan serapat mungkin menyembunyikan jati dirinya yang asli agar tidak diketahui oleh pihak yang menjadi korbannya dari awal hingga akhir kejadian!” ucap Jalu.
“Benar sekali.”
“Jadi ... pencurian kitab di tempat kalian adalah disengaja dan hal itu seperti orang berniat lempar batu sembunyi tangan!”
Deg!
Jantung Wulan dan Sari seperti dipantek dengan paku baja!
Dalam otak mereka tidak pernah terlintas sama sekali bahwa ada kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Jalu.
“Kau benar, Jalu ... kau benar! Kami tidak sempat berpikir seperti itu!” kata Sari Kumala dengan raut muka tegang.
“Jadi ... ada kemungkinan kalau kita ini ... ”
“Masuk perangkap!” potong Jalu Samudra mantap.
Dua murid teratas dari Perguruan Sastra Kumala saling pandang tidak percaya. Sulit sekali menerima kenyataan bahwa mereka bisa masuk perangkap orang lain tanpa mereka sadari.
“Dan kejanggalan yang ketiga ... ”
“Masih ada lagi?” tanya Wulan dan Sari hampir bersamaan.
Jalu mengangguk pasti.
“Dengan adanya kerudung hitam yang dipakai si pencuri, hanya ada dua jawaban yang pasti.”
“Hanya dua jawaban?” tanya Wulan Kumala. “Apa itu?”
“Pertama, si pencuri adalah orang yang kalian kenal sebelumnya sehingga perlu menyembunyikan jati dirinya dan yang kedua adalah si pencuri kenal dengan dua guru masing-masing perguruan sehingga ia perlu menutupi identitasnya,” terang Jalu pada dua gadis cantik yang semakin terpana dengan penjelasan murid Dewa Pengemis ini.
Kembali dua gadis cantik yang memiliki pesona kecantikan hampir setara terhenyak!
“Semua yang kuutarakan tadi hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi ... ”
“Tidak, Jalu! Semuanya sudah pasti!” tutur Wulan Kumala, “Dan aku sudah yakin bahwa memang ada pihak ketiga yang bermaksud menarik keuntungan dari pertikaian yang mereka ciptakan sendiri.”
“Kalau begitu, kepergian Nyai Guru ke Aliran Danau Utara satu setengah tahun lalu untuk mengunjungi Aliran Danau Utara adalah juga perangkap yang dibuat oleh mereka yang kita anggap saja sebagai pihak ketiga?” kata Sari Kumala mengkhawatirkan keadaan gurunya jika benar-benar Perguruan Sastra Kumala dijebak agar berseteru dengan Aliran Danau Utara.
“Kemungkinan besar hal itu terjadi,” tukas Si Pemanah Gadis. “Dan aku yakin hal itulah yang diinginkan oleh pihak ketiga.”
Kembali Sari Kumala dan Wulan Kumala tercenung. Meski percakapan mereka dengan Jalu Samudra masih sebatas dugaan saja, tapi melihat situasi yang terjadi saat ini besar kemungkinan dugaan mereka bertiga tidaklah meleset jauh.
“Sejak mulai kapan Istana Jagat Abadi menjadi penengah?” tanya Jalu Samudra tiba-tiba.
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Aku hanya ingin tahu saja.”
“Tepatnya, satu pekan sejak kepergian Nyai Guru, Ki Harsa Banabatta datang ke perguruan kami.”
“Siapa itu Ki Harsa Banabatta?”
“Ki Harsa Banabatta adalah Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si Tangan Golok,” jawab Sari Kumala.
“Dengan tujuan apa Si Tangan Golok datang ke tempat ini?”
“Si Tangan Golok mengatakan bahwa ia membawa pesan dari guru untuk membantu menengahi pertikaian yang terjadi antara perguruan kami dengan Aliran Danau Utara ... ”
“Tunggu dulu ... menengahi katamu?” tanya Jalu heran.
“Menengahi tentang silang sengketa tentang pencurian kitab perguruan kami,” jawab Wulan Kumala. “Memangnya kenapa? Ada yang aneh?”
“Hanya heran saja, darimana ia tahu tentang permasalahan ini?”
“Ia bertemu Nyai Guru Tirta Kumala di tengah perjalanan dan Ki Harsa Banabatta bersedia membantu pihak Perguruan Sastra Kumala sebagai pihak yang dirugikan oleh pihak ketiga, yang kami duga ia berasal dari Aliran Danau Utara.”
“Dan kalian percaya begitu saja?”
“Benar.”
“Dengan alasan apa kalian bisa mempercayai ucapan Si Tangan Golok?”
“Karena Si Tangan Golok membawa ini!” kata Sari Kumala sambil meletakkan sesuatu di hadapan Jalu.
Dengan meraba-raba, Jalu memungut benda hijau muda segi delapan yang ada di depannya. Memegang-megang beberapa saat sambil membolak-balik benda hijau muda di tangannya.
“Hemm ... terbuat dari batu giok murni yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Pahatannya halus, teramat halus malah. Jarang sekali dijumpai tukang pahat yang bisa memahat sebaik dan sebagus ini,” gumam Jalu Samudra.
“Hebat! Hanya dengan meraba saja kau sudah bisa menebak tepat sembilan bagian dari Lencana Ketua,” puji Wulan Kumala mendengar penilaian dari pemuda berbaju biru yang sebelum telah membuatnya kagum dengan analisisnya.
“Jika kau tahu kau kalau aku bisa melihat benda ini, bakalan pingsan kau, Cah Ayu!” kata hati Jalu, tapi luarnya ia berkata lain, “Jangan terlalu memujiku, nanti aku besar kepala, Wulan.”
Sambil menyerahkan Lencana Ketua, Jalu berkata, “Apa kau yakin bahwa benda itu asli?”
“Aku yakin benda itu asli.”
“Seberapa yakin?”
“Sepuluh bagian.”
“Bagaimana kau yakin?”
“Karena kami berdua pernah melihatnya.”
“Pernah memegangnya?”
“Belum! Sama sekali belum pernah.”
“Pernah melihat sisi belakang dari lencana itu?”
“Sama sekali belum!” sahut dua gadis bersamaan, dalam hati mereka berpikir sama, “Kenapa pertanyaannya semakin lama semakin aneh?”
Si Jalu bangkit berdiri sambil menggendong tangan di belakang punggung dan berbalik membelakangi dua gadis teratas dari Perguruan Sastra Kumala.
“Kalian pernah lihat ayam betina?” tanya Jalu kemudian.
Dengan mulut tersenyum simpul menahan tawa karena pertanyaan Jalu yang lucu, Sari Kumala menjawab, “Tentu saja pernah. Makan ayam betina saja aku juga pernah. Digoreng atau dibakar, bahkan teramat sering malah.”
“Kalau begitu ... kalian pernah melihat ayam bertelur, bukan?”
“Di belakang pondok kami, ada kandang ayam. Bahkan beberapa diantaranya sedang mengerami telurnya. Memangnya ada apa sih kau tanya perkara ayam dan telur pada kami?” seloroh Wulan Kumala, hingga akhirnya ia tertawa lepas.
Sambil membalik badan menghadap ke arah dua gadis itu, Jalu bertanya, “Kalau begitu ... tentu kalian pernah memasukkan jari ke dalam brutu?” (brutu = lubang telur ayam, bahasa jawa).
Mendengar pertanyaan kali ini, dua gadis itu semakin tertawa lepas saja.
“Hi-hi-hik ... kau ini aneh-aneh saja, Jalu! Buat apa ... ”
“Disitulah masalahnya!” potong Jalu dengan cepat.
Sontak, tawa lepas Wulan dan Sari Kumala lenyap bagai digondol setan!
“Masalahnya?”
“Ya, disitulah masalahnya! Masalah sepele yang terlewatkan oleh kalian semua!” kata Jalu dengan tegas.
“Bisa kau jelaskan pada kami, Jalu?” pinta Sari Kumala.
“Dengan senang hati!” kata Jalu, lalu ia kembali duduk ke tempat semula, lalu katanya dengan mimik muka serius, “Jika kalian tidak pernah memasukkan jari ke dalam lubang telur ayam untuk mengetahui apakah ayam betina itu mau bertelur atau tidak, bukankah itu sama artinya dengan kalian yang belum pernah menyentuh sama sekali Lencana Ketua. Hanya dengan melihat bentuk luarnya saja kalian berdua lantas begitu yakin bahwa benda itu adalah asli.”
“Lalu?”
“Dalam hal ini, perangkap orang ketiga telah berhasil untuk ke sekian kalinya.”
Jika orang menggali lubang dan si penggali terperosok ke dalamnya tanpa disadari adalah suatu kemungkinan yang wajar, tapi jika berkali-kali terperosok ke dalam lubang sama, sulit sekali menerima kenyataan itu dalam suatu kewajaran!
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang dengan tatapan tak percaya!
Bersamaan dengan itu, dua gadis cantik itu memandang Jalu dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Pernahkah kalian memberikan barang kesayangan atau milik pribadi yang paling kalian sayangi kepada orang lain?”
“Tidak pernah!” sahutnya bersamaan.
“Bukankah itu sama halnya dengan Lencana Ketua yang kalian bawa,” kata Jalu Samudra, “Tidak mungkin Nyai Guru kalian memberikan begitu saja lencana lambang Ketua Perguruan Sastra Kumala pada sembarang orang. Jika hal itu sampai terjadi, bukankah itu sama artinya bahwa ... ia memberikan tampuk pimpinan tertinggi perguruan kepada si Pemegang Lencana!?”
Deg!
Kembali jantung dua gadis itu berdetak kencang, mungkin lebih kencang dari larinya kuda yang dikejar macan!
“Kalau begitu ... ”
“Ada kemungkinan bahwa Lencana Ketua kalian dipalsukan dan delapan bagian aku yakin, bahwa Ketua kalian saat ini dalam tawanan pihak ketiga yang memasang perangkap.” tandas Si Pemanah Gadis.
Deg!
Kembali jantung mereka berdetak lebih kencang lagi.
“Kalau begitu, apakah artinya bahwa Istana Jagat Abadi adalah dalang dari semua ini? Lalu apa tujuan mereka melakukan semua ini?” desah Sari Kumala sambil matanya menerawang ke atas.
“Belum tentu!”
“Belum tentu? Apa maksudmu?” tanya Wulan Kumala, heran.
“Aku sendiri juga belum yakin dengan dugaanku, tapi kalian perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang masalah ini.”
“Apa harus kami?”
“Mungkin salah seorang dari teman kalian juga bisa.” kata Jalu.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin?” tanya Si Pemanah Gadis heran.
“Jika dilihat dari tataran ilmu, rata-rata kami bersaudari selain aku dan Wulan, masih dalam tahap pematangan ilmu tahap ke dua,” kata Sari Kumala, “ ... dan itu bisa membuat mereka kehilangan kontrol hawa murni sewaktu-waktu.”
“Tenaga kalian buyar?” tanya Jalu heran.
“Bukan buyar, tapi kadangkala meluap tanpa kendali!”
“Heran, kenapa ada ilmu semacam itu?” gumam Jalu Samudra.
“Menurut Kitab ‘Bunga Matahari’ milik Nyai Guru, untuk sanggup mengendalikan luapan hawa murni, minimal harus bisa melewati tahap ke tiga dari daya inti 'Air Panas Tenaga Surya'!”
Jalu Samudra manggut-manggut.
“Kalian sendiri sampai tahap berapa?”
“Aku tahap ke empat dan Wulan mendekati tahap ke lima,” kata Sari Kumala. “ ... dan itu artinya kami berdua harus membimbing saudari-saudari kami hingga mencapai tahap ketiga.”
“Butuh waktu berapa lama?”
“Kira-kira butuh waktu dua minggu ke depan.”
“Bagaimana dengan Nyai Guru Tirta Kumala?”
“Beliau sudah mencapai tahap tujuh. Tahap pamungkas sempurna!” kata Sari Kumala dengan nada bangga, sambungnya, “Saat tahap tujuh terlampaui, barulah jurus Pukulan 'Jambu Surya' bisa dipelajari dengan tuntas.”
“Wulan, bukankah beberapa hari yang lalu, Beda Kumala sudah menyelesaikan tahap ke tiga?”
Seperti diingatkan oleh sesuatu, Sari Kumala berkata, “Benar! Jika begitu tidak ada halangan baginya untuk melakukan penyelidikan ke Aliran Danau Utara maupun Istana Jagat Abadi.”
“Betul sekali, Wulan! Tengah malam nanti kemungkinan besar Beda Kumala akan pulih kembali.”
“Tapi ... ”
“Tapi apa?” tanya Sari Kumala.
“Kondisinya baru saja pulih dari cedera keracunan. Apa tidak berbahaya jika ia berangkat sendirian?”
“Mungkin salah seorang dari kalian bisa menemaninya.” usul si pemuda bertongkat hitam.
Keduanya menggeleng lemah.
Mendadak, Wulan Kumala berkata dengan lirih, “Bagaimana jika kau yang menemaninya, Jalu?”
Meski lirih, namun karena suasana yang cukup sepi dan cuma ada mereka bertiga, suara lirih pun menjadi cukup jelas di dengar oleh telinga siapapun yang ada di tempat itu.
“Aku?” sahut Jalu sambil menunjuk dirinya. “Kenapa harus aku?”
“Karena kau adalah orang luar, Jalu!”
“Bukankah justru karena aku orang luar perguruan, maka seharusnya aku tidak boleh ikut campur?”
“Istana Jagat Abadi juga pihak luar, tapi mereka juga mencampuri urusan dalam perguruan kami. Jadi ... tidak ada salahnya kami juga meminta bantuan pihak luar untuk menuntaskan silang sengketa kitab perguruan kami,” tutur Sari Kumala.
“Walah ...”
“Jalu, kami mohon ... ”
“ ... dengan sangat!” imbuh Sari Kumala.
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga jadi serba salah. Membantu salah, tidak membantu juga tidak enak hati!
“Aduh, bagaimana ya?” gumam Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis sambil garuk-garuk kepala.
“Ayolah ... kumohon ... ” pinta Sari Kumala, padahal dalam hati ia merutuki dirinya, “Heran! Kenapa aku begitu ingin sekali pemuda buta di depanku ini membantu kami! Kenal juga baru hari ini. Benar-benar aneh apa yang aku alami hari ini, seolah pemuda didepanku ini memiliki daya tarik tersendiri dalam pandangan mataku. Entah di bagian mana, aku sendiri tidak tahu.”
Apa yang dirasakan Sari Kumala tidak jauh beda dengan apa yang dirasakan Wulan Kumala.
“Setiap tutur kata dan senyumannya seperti memiliki daya magis yang sanggup meruntuhkan dindinng hati setebal apa pun,” pikirnya, “ ... atau jangan-jangan pemuda buta ini memiliki sejenis ilmu pelet yang bisa membuat para gadis tergila-gila padanya?”
Justru apa yang dipikirkan Jalu berbeda jauh bagai siang dan malam!
“Jika kubantu mereka, naga-naganya bisa menghabiskan waktu enam tujuh hari di depan,” kata hatinya, “Tapi jika tidak kubantu, kasihan sekali mereka. Bisa-bisa mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Andai dua puluh orang gadis berilmu tinggi seperti mereka jika digunakan untuk menghancurkan keangkaramurkaan tidak masalah, tapi kalau disetir supaya mengumbar angkara murka? Hiih ... amit-amit deh ... !”
Setelah menimbang, mengingat dan melihat, akhirnya Jalu mengambil keputusan.
“Baik! Aku terima permohonan bantuan kalian berdua.”
“Terima kasih, Jalu!”
“Tapi dengan syarat.”
“Apa pun syaratnya, kami akan penuhi,” kata Sari Kumala tanpa sadar.
Seulas senyum terukir di sudut bibir si pemuda.
“Apa pun?” tanya Jalu Samudra menegaskan.
“Ya! Apa pun ... ”
Tiba-tiba suara Sari Kumala tercekat di leher. Gadis cantik itu menyadari sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan ‘apa pun’. Perkataan ‘apa pun’ bukankah sama artinya dengan ‘apa saja yang kau minta dari kami, tentu kami akan mengabulkan semua?’
Seraut wajah Sari Kumala langsung pucat pasi!
“Aku terima!” kata Jalu, pendek.
“Maksudku adalah ... ”
“ ... apa pun permintaanku selama tidak menentang kebenaran, menentang hukum rimba persilatan dan hati nurani akan kalian kabulkan,” kata Si Pemanah Gadis, “Begitu bukan, maksudmu?”
Sari Kumala mengangguk pelan, pikirnya, “Untung dia tidak minta macam-macam.”
“Kalau begitu, permintaan pertama ... ”
“Lho, kerja saja belum kok sudah ada permintaan?” protes Wulan Kumala. “Ngga bisa!”
“Tapi ini wajib kalian penuhi!”
“Apa itu harus? Dan kapan?”
“Harus dan sekarang juga!”
Dua gadis itu kembali saling pandang.
“Baiklah ... apa permintaanmu?” tanya Sari Kumala dengan lesu.
Jalu Samudra tersenyum kecil melihat lagak-lagu gadis didepannya itu.
“Aku minta kalian menemaniku ... ”
“Apa!? Tidak mau!”
“ ... makan malam!” lanjut Jalu sambil tertawa lebar.
Dua gadis itu langsung menghembuskan napas lega.
“Cuma itu saja?”
“Dari tadi pagi aku belum makan sesuap nasi pun! Dan kalian sebagai tuan rumah juga tidak menyediakan minuman sedikit pun pada tamu seperti aku ini.” Pikirnya, “Kena juga kalian aku kadali!”
Dua gadis cantik itu kembali menarik napas lega.
“Kukira kau minta apa?” sahut Wulan Kumala sambil bangkit berdiri.
“Lho, memangnya dalam kepalamu apa yang terlintas?” tanya Jalu menggoda.
“Tidak ada!” ucap Sari Kumala ketus.
Sore itu pula ...
Jalu Samudra menjadi tamu kehomatan Perguruan Sastra Kumala. Tentu saja sebagai tamu harus menurut dengan apa kehendak tuan rumah yang notabene seluruh penghuninya adalah para gadis yang rata-rata cantik molek. Beruntunglah Jalu karena ia buta (itu menurut anggapan mereka), meski ia sepuluh bagian adalah laki-laki tampan yang menarik dengan postur tubuh tinggi tegak, yang seharusnya tidak bisa masuk seenak perutnya sendiri ke dalam ruang mana pun di dalam perguruan itu.
Dua hari kemudian ...
Dua sosok bayangan terlihat berlompatan dari pohon ke pohon. Jika dilihat dengan teliti, terlihat sekali bayangan hijau yang di depan membimbing sesosok bayangan biru yang tepat berlari di belakangnya. Beberapa kali terlihat si bayangan biru hampir saja terperosok jatuh dari atas pepohonan, namun dengan sigap pula si bayangan hijau menolongnya.
Siapakah dua sosok bayangan yang sedang berkelebatan menuju utara itu?
Mereka tak lain dan tak bukan adalah Si Pemanah Gadis atau Jalu Samudra dan Beda Kumala adanya!
Setelah sembuh dari Racun ‘Ular Karang’, Beda Kumala berniat menyelidiki Aliran Danau Utara yang dicurigai oleh pihak Perguruan Sastra Kumala telah mencuri kitab milik perguruan yang bernama Kitab ‘Bunga Matahari’ sekaligus mencari keberadaan Nyai Guru Tirta Kumala yang menghilang sekian waktu lamanya. Mulanya Tinara dan beberapa murid berniat menyelidiki sendiri, namun oleh Sari Kumala dan Wulan Kumala dilarang keras, sebab jika semua orang pergi ke Aliran Danau Utara, lalu siapa yang menjaga perguruan?
Dan yang paling utama, tingkat ilmu mereka harus dimatangkan terlebih dahulu!
Akhirnya diputuskan, bahwa pihak Perguruan Sastra Kumala meminta bantuan pada Jalu Samudra yang memang benar-benar orang luar perguruan dan mengutus Beda Kumala mendampingi si pemuda berbaju biru. Mulanya hal ini diprotes oleh Ratih Kumala dan Tinara Kumala yang diam-diam naksir sang pendekar, tapi dengan pertimbangan bahwa Beda Kumala sebagai saksi hidup terbunuhnya Garan Arit alias Si Pendekar Dari Utara, mau tidak mau mereka harus mengalah. Padahal sebenarnya mereka ingin mengikuti Jalu karena rasa ketertarikan pada diri si pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga. Entah pada bagian mana yang membuat dua gadis cantik dari Perguruan Sastra Kumala tertarik pada sosok Jalu Samudra ini.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari bahwa pemuda yang mereka anggap sebagai orang buta dan berilmu pas-pasan itu memiliki kesaktian tanpa tanding. Kesaktian paling langka dan paling dicari para pendekar dunia persilatan masa silam dan masa kini yang justru berada di dalam genggaman tangan si pemuda buta yang di kalangan persilatan mendapat julukan sebagai Si Pemanah Gadis. Andai mereka mengetahui jati diri sesungguhnya dari Jalu Samudra, mungkin bukan hanya dua atau tiga orang yang ikut meluruk ke Aliran Danau Utara, tapi dua puluh orang gadis cantik bakal berada di belakang si pemuda tangguh ini!
Celakanya lagi, tanpa Jalu sadari pula, bahwa dalam dirinya telah muncul sebentuk kekuatan aneh yang bisa membuat gadis mana pun menaruh perhatian pada dirinya luar dalam. Sejenis kekuatan pemikat atau penakluk lawan jenis yang mendarah daging dalam diri si pemuda. Hal ini terjadi sejak ia menelan buah Naga Kilat dan Bibit Matahari pada dua belas tahun silam, hingga secara tidak langsung pula si pemuda selain memiliki tenaga dalam langka tingkat tinggi bernama Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari' tingkat sembilan yang di kalangan pendekar disebut-sebut sebagai Ilmu Sakti 'Mata Malaikat', juga kebal terhadap segala jenis racun baik yang berwarna, berbau dan tanpa warna tanpa bau, bahkan dalam Kitab ‘Kembang Perawan’ milik istrinya Kumala Rani di bagian tengah dibeberkan sedikit mengenai beberapa jenis racun berbahaya yang beredar di dunia persilatan.
Kali ini dalam pengembaraannya Jalu Samudra, dengan terpaksa membantu pihak Perguruan Sastra Kumala (meski tidak ada yang maksa sih).
--o0o--