Bab 3
“Bagaimana Nyi? Sudah mau keluar?!”
tanya seorang laki-laki berpakaian hitam bercelana hitam komprang dengan ikat pinggang merah menyala, saat melihat seorang wanita tua keluar dari biliknya.
Laki-laki berwajah bersih berbadan kekar itu tak lain adalah Ki Ragil Kuniran, kepala desa Watu Belah.
“Entahlah Ki! Aku sendiri juga dibuat bingung oleh anakmu!
Seharusnya sudah keluar dari tadi, tapi sampai menjelang tengah malam begini, tidak keluar-keluar juga.
Padahal air ketuban istrimu sudah pecah dari tadi.
Aku takut terjadi apa pada bayimu.
Ilmu pengobatan yang kumiliki juga tidak ada gunanya,” keluh Nyi Cendani.
Semua orang yang berada di ruangan itu terdiam, dengan pikiran berkecamuk.
Ki Ragil Kuniran kembali duduk di kursi tempat biasanya ia bersantai.
Matanya menerawang jauh, entah apa yang dipikirnya.
“Pasti ada hubungannya dengan mimpi itu,” gumamnya lirih.
Walaupun lirih, telinga semua orang yang berada di situ, mendengar jelas gumaman laki-laki nomor satu di desa Watu Belah.
Seorang laki-laki berbaju lurik dengan blangkon bertengger di kepala, mendekat dengan kening berkerut. Dialah yang bernama Ki Sampar Angin, kepala desa Cluwak Bodas.
“Mimpi apa, Adi Kuniran?” tanya Ki Sampar Angin, sambil duduk di depan kursi sahabatnya.
“Cuma mimpi biasa saja, Kakang Sampar Angin,” kata Ki Ragil Kuniran, pendek.
“Kalau Adi Kuniran tidak keberatan, apa boleh saya tahu mimpi apa yang Adi Kuniran temui,” ucap Ki Sampar Angin, meyakinkan,
“mungkin saja itu bukan mimpi biasa.”
Semua orang yang ada disitu memandang laki-laki berbaju hitam itu dengan pandangan memohon.
“Baiklah,” kata Ki Ragil Kuniran setelah menimbang-nimbang beberapa saat. “Akhir-akhir ini, aku sering mimpi aneh, Kakang Sampar Angin!
Dalam mimpiku, aku ditemui seorang kakek yang sudah sangat tua sekali, berjubah putih berbulu, seperti bulu burung berwarna putih keperakan.
Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya keperakan, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Kakek itu mengatakan sesuatu padaku, seperti sebuah syair atau sebuah pesan, tapi aku sendiri tidak begitu paham artinya.”
“Apa isi dari sesuatu yang Adi sebut sebagai ‘syair’ itu tadi?”
Setelah termenung beberapa saat, Ki Ragil Kuniran menjawab pertanyaan itu.
“Isi seperti ini :
‘Cucuku, aku adalah Sang Angin!
Aku memilih anakmu sebagai Pewaris Tahta Angin, yang akan membersihkan seluruh duri di muka bumi.
Angin kecil-lah yang akan mewarisi kekuatan Sang Angin.
Penunggang Angin akan menjadi pertanda kelahiran Pewaris Tahta Angin di dunia pada bulan ke tiga belas purnama sidhi.
Jagalah dia baik-baik.
Aku hanya bisa memberikan Telapak Tangan Bangsawan sebagai rasa terima kasihku padamu, yang akan kuberikan bersamaan dengan munculnya si angin kecil dan Penunggang Angin’.
Itulah yang dikatakan kakek itu dalam mimpiku,” kata Ki Ragil Kuniran, lalu lanjutnya,
“Setelah itu, kakek berjubah bulu burung itu seperti melemparkan cahaya putih keperakan dari tangan kanannya ke arah perut istriku, diiringi dengan suara deru angin membadai dan suara gelegar petir, mirip dengan deru badai yang pernah kita lihat di Pantai Selatan.
Mimpi itu selalu datang padaku berturut-turut. Itulah mimpi yang kualami, Kakang Sampar Angin!
Pada mulanya aku berpikir itu cuma kembang tidur saja, tapi setelah kejadian tadi siang, aku mulai memikirkan kebenaran dari mimpiku itu.”
“Kejadian? Kejadian apa Adi?” desak Ki Sampar Angin.
“Perkelahian antara kawanan burung dengan kawanan ular.”
“Burung apa? Ular apa? Jelaskan yang benar, Ki lurah,” Nyi Cendani kini yang bertanya.
“Pertarungan ganjil antara elang putih keperakan dengan ular hijau lumut.” jawab Ki Ragil Kuniran.
Semua orang yang mendengar cerita tentang mimpi itu terkesima, seolah terhipnotis.
Sungguh aneh dan sulit dimengerti apa arti dari mimpi Ki Ragil Kuniran itu.
Semua tercenung memikirkan arti mimpi itu.
Gineng yang sedari tadi duduk di pojok ruangan sambil mendengarkan cerita Ki Ragil Kuniran, manggut-manggut.
Tahulah ia bahwa bulu-bulu yang ditemuinya berserakan itu adalah bulu elang, sedangkan bangkai ular yang telah dikuburkan tadi adalah bangkai ular hijau lumut!
“Oh ... bulu burung elang to.
Kukira tadi bulu ayam, he-he-he ... ” gumam Gineng.
“Apa ada to, Gin, kok ndremimil kayak begitu,” ucap simboknya, lirih.
Yang ditanya hanya tertawa cengengesan saja.
Nyi Cendani mendengar disebutnya Ular Hijau Lumut, melengak kaget!
Ular Hijau Lumut adalah ular yang selalu hidup berkelompok, jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu dalam satu kelompok.
Setiap kelompok akan memiliki seekor ular bermahkota dengan panjang kurang lebih empat hingga lima tombak.
Seluruh tubuh ular itu beracun ganas dan mematikan.
Satu tetes racun ular hijau lumut bisa membunuh orang dalam waktu sekian detik.
Apabila ular itu berada di sungai atau danau, bisa dipastikan hewan-hewan air akan mati keracunan!
Untunglah gurunya, si Iblis Botak, telah membuat semacam obat pemunah untuk mengatasi ganasnya racun Ular Hijau Lumut, yang bahan utamanya dari Empedu Beruang Salju yang dikeringkan.
Bahkan mustika ular yang ada di kepala ular bermahkota itu, menurut gurunya bisa menaklukkan ular dari jenis apa pun.
“Apa Ki Ragil selalu membawa obat pemunah racun yang saya berikan tempo hari?” tanya Nyi Cendani, dengan mimik serius.
“I ... ya, Nyi! Bahkan aku telah menelannya dua butir saat bertarung dengan ular yang bermahkota,” kata Ki Ragil Kuniran.
“Ular bermahkota juga ada?
Dimana sekarang?
Apa masih hidup?” seru Nyi Cendani, dengan wajah berbinar-binar.
“Sudah mati.”
“Bangkainya dimana?” kejar Nyi Cendani, seraya melangkah mendekat.
“Sebagian besar dari bangkai ular sudah dibawa pergi oleh elang-elang itu, termasuk juga ular bermahkota itu,” kata Ki Ragil Kuniran.
“Uh ... sayang sekali!” keluh Nyi Cendani.
Nenek itu terdiam. Suasana di ruangan itu kembali lengang, yang terdengar hanyalah helaan napas dalam-dalam.
Ki Ragil Kuniran kembali tenggelam dalam lamunan, demikian juga dengan Ki Sampar Angin, pikirannya mengembara mencari tahu siapa gerangan kakek berjubah putih berbulu burung yang diceritakan oleh sahabat karibnya itu.
“Rasa-rasanya, aku pernah mendengar ciri-ciri itu.
Kakek berjubah putih berbulu burung, dengan tubuh memancarkan cahaya keperakan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki!?
Aku yakin pernah mendengarnya.
Tapi kapan dan dimana?
Andaikata guruku atau ayahku masih hidup, tentu tahu siapa tokoh yang memancarkan cahaya keperakan itu. Áh ... pusing aku!” pikirnya.
Di saat semua orang sedang berkecamuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba dari luar terdengar desau angin yang ganjil.
Malam itu sedang bulan bulat penuh, yang semula sunyi sepi hanya terdengar suara jengkrik dan serangga lain, kini berubah suara dengan lirih dan akhirnya berhenti sama sekali. Angin malam semakin lama semakin meningkatkan alirannya.
Suara desir yang tidak seperti biasanya, menggugah Ki Ragil Kuniran dari lamunan panjang.
“Angin ini ... sama persis dengan suara angin yang kurasakan dalam mimpiku,” desisnya lirih.
Semua orang tercenung mendengar desisan lirih itu.
Tiba-tiba saja, terdengar pekikan nyaring dari atas wuwungan rumah ...
Awwkkk! Awwkkk!
“Pekikan elang!” gumam Ki Sampar Angin, mengenali suara nyaring melengking yang meningkahi desiran angin yang semakin meningkat tajam.
Ki Ragil Kuniran segera bergegas keluar, diikuti dengan yang lain, kecuali Gineng yang sudah terlelap tidur di atas dipan.
Lurah desa Watu Belah itu sampai di halaman, lalu memandang ke atas wuwungan rumah.
Semua orang melihat sebentuk makhluk yang memancarkan cahaya putih keperakan karena tertimpa cahaya bulan purnama, yaitu satwa penguasa angkasa, burung elang yang berbulu putih keperakan!
“Itulah elang yang kuceritakan tadi, Kakang Sampar Angin,” kata Ki Ragil Kuniran. “Elang putih keperakan yang bertarung dengan ular bermahkota tadi siang.”
Elang berbulu putih keperakan itu bertengger di atas wuwungan rumah dengan gagah.
Tidak seperti tadi siang yang memimpin kawanan elang saat bertarung dengan gerombolan ular, sekarang elang itu datang sendirian.
Bulu putih berkilauan terkena pantulan cahaya bulan purnama.
Angin yang semula meningkat tajam, sontak hilang dan berganti dengan hawa dingin menusuk tulang. hawa ini terlalu dingin untuk ukuran desa yang letaknya memang berada di kaki gunung.
“Kenapa hawa jadi dingin membeku begini,” gumam kepala desa Cluwak Bodas, Ki Sampar Angin.
Tanpa diperintah, seluruh hawa tenaga dalam yang dmilikinya perlahan mengaliri seluruh tubuh, mendesak hawa dingin yang semakin pekat.
Sedikit demi sedikit hawa dingin membeku dapat ditekan seminimal mungkin.
Tindakan Ki Sampar Angin diikuti semua khalayak yang hadir disitu.
Nyi Cendani, Ki Ragil Kuniran dan dua orang Jagabaya melakukan hal yang sama.
Hanya dua orang Jagabaya yang tenaga dalamnya agak rendah.
Tubuh mereka berdua langsung menggigil kedinginan.
Gigi berkerotokan, seluruh tulang rasanya menciut, wajahnya pias memucat.
Nyi Cendani beringsut ke belakang dua Jagabaya, lalu menempelkan dua tapak tangannya ke punggung dan mengalirkan hawa panas ke dalam tubuh mereka berdua.
Tak berapa lama, dua orang itu sudah bisa mengatasi hawa dingin membeku.
“Terima kasih, Nyi Cendani,” ucap salah seorang diantara Jagabaya yang bertubuh gempal.
Nenek dukun bayi itu hanya mengangguk pelan.
Mata tuanya memandang burung elang berbulu putih itu dengan seksama, termasuk juga orang-orang yang ada di pelataran rumah.
Ki Sampar Angin manggut-manggut, sambil mengelus-elus jenggot kelabunya yang panjang.
“Menurutku, mungkin burung itu yang dimaksud dengan ‘Penunggang Angin’, Adi Kuniran,” kata Ki Sampar Angin tanpa menoleh ke arah Ki Ragil Kuniran yang berdiri di sampingnya.
“Betul Kakang.
Aku juga berpikir sama! Aku yakin bahwa yang dimaksud dengan Penunggang Angin adalah elang putih keperakan itu,” sahut Ki Ragil Kuniran.
Tiba-tiba, terdengar sebuah suara tanpa wujud yang menggema di tempat itu. Suara seorang kakek!
“Cucuku, Ragil Kuniran!
Sudah tiba saatnya anakmu lahir ke dunia!
Aku telah memilihnya sebagai pewaris Tahta Angin.
Sebagai seorang pewaris, maka seluruh apa yang kumiliki akan menjadi milik anakmu.
Aku minta kepadamu, jagalah pewarisku dengan sebaik-baiknya.
Selain kau dan istrimu,
Si Perak juga akan menjaga dan mengasuh anakmu!
Dan aku minta, berilah nama anakmu Paksi Jaladara.”
Suara itu menggema di seantero tempat itu.
Ki ragil kuniran yang selama ini diliputi dengan rasa penasaran terhadap mimpinya, tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
“Maaf, jika boleh saya tahu, siapa Andika ini sebenarnya?
Dan mengapa memilih anakku sebagai pewaris?” tanya Ki Ragil Kuniran, dengan rasa ingin tahu yang menyala-nyala.
“Ha-ha-ha-ha ... !
Sebenarnya aku malu mengatakan siapa diriku.
Baiklah, karena kau yang meminta, kau boleh menyebutku Si Elang Berjubah Perak!
Perkara aku memilih anakmu sebagai pewaris, hanya Hyang Widhi yang tahu!
Biarlah nanti waktu yang akan menjawabnya! Sudahlah, waktuku tidak banyak!
Sebagaimana janjiku padamu, terimalah ‘Telapak Tangan Bangsawan’ sebagai rasa terima kasihku.
Selamat tinggal ... !”
Suara tanpa rupa, yang menyebut dirinya Si Elang Berjubah Perak, menghilang.
Seolah tertelan kegelapan malam dan terangnya rembulan.
Suasana kembali menjadi sunyi.
Udara kembali normal, tidak dingin membeku seperti sebelumnya.
“Si Elang Berjubah Perak,” gumam Nyi Cendani.
“Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama tokoh itu dari guruku, tapi siapa dia?
Tapi aku yakin, dia adalah tokoh golongan putih.
Ki Ragil, apa kau tahu siapa dia?”
Yang ditanya hanya diam saja.
Matanya terpejam dengan kepala tertunduk.
Telapak tangannya menegang kencang terselimuti cahaya tipis kuning keemasan.
Semua yang hadir di situ menjauhi Ki Ragil Kuniran sambil memandang heran.
“Apa ini yang namanya ‘Telapak Tangan Bangsawan’?” gumam Nyi Cendani, lirih.
Semua orang juga bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dialami oleh Ki Ragil Kuniran saat ini?
Dalam pada itu, Ki Ragil Kuniran merasakan hawa panas menyengat menjalar melalui telapak kakinya.
Seolah-olah di bawahnya adalah tungku pembakaran yang panas membara.
Tangan terkepal mengencang keras, dimana cahaya tipis kuning keemasan semakin lama semakin menebal hingga menjalar sampai pergelangan tangan dan naik sampai siku.
Di dalam daya nalarnya, terngiang sebuah suara yang bernada memerintah, suara Si Elang Berjubah Perak.
Rupanya Si Elang Berrjubah Perak tidak benar-benar pergi dari tempat itu, dan suaranya cuma Ki Ragil Kuniran saja yang mendengar!
“Cucuku, serap hawa ‘Gaib Inti Panas Bumi’ itu dan alirkan menuju telapak tanganmu. Satukan dengan hawa sakti yang ada di pusar.
Tarik terus ke atas hingga semua berkumpul di telapak tanganmu!
Bagus, bagus! Ya, seperti itu!”
Ki Ragil Kuniran mengikuti perintah Si Elang Berjubah Perak.
Kekuatan gaib ‘Inti Panas Bumi’ terus menjalar dari pusar terus ke sekujur tubuh dan akhirnya mengalir ke telapak tangan, sehingga cahaya kuning keemasan tampak semakin jelas terlihat.
“Bagus! Geser kaki kiri ke belakang dan tarik kedua tangan sampai di samping pinggang.
Sekarang ... hentakkan kaki kanan ke bumi dan dorong kedua telapak tanganmu ke arah pohon yang ada di depanmu!”
Ki Ragil Kuniran segera saja menggeser kaki kiri ke belakang, kedua tangan di tarik ke samping pinggang.
Lalu didorongkan ke depan dengan mantap, diikuti dengan hentakan kaki kanan ke bumi.
Wuushh! Srakk! Srakkk ... !!!
Terlihat bayangan sepasang telapak tangan raksasa berwarna kuning keemasan menebarkan hawa panas membara melesat cepat bagai kilat dan menghantam pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa hingga hancur lebur berkeping-keping.
Tanah yang dilewati bayangan itu seolah diaduk dengan bajak yang ditarik sepuluh ekor kerbau!
Blarrrr ... !!
Suara benturan itu mengguncangkan seluruh penjuru desa, guncangan itu begitu keras, seakan-akan sekitar tempat itu terkena gempa bumi yang dahsyat.
Ki Ragil Kuniran terpana melihat hasil pukulannya, lalu melihat kedua telapak tangannya berganti-ganti yang masih menyisakan cahaya tipis kuning keemasan.
Beberapa saat kemudian, cahaya kuning keemasan itu lenyap dari tangannya dan berganti menjadi semacam gambar atau rajah berbentuk telapak tangan berwarna kuning emas di masing-masing telapak tangan!
Tiba-tiba, telinganya mendengar suara Si Elang Berjubah Perak.
“He-he-he-he! Bagus, cucuku!
Nah, jika kau ingin menggunakannya, gosoklah kedua telapak tanganmu tiga kali untuk menarik hawa ‘Gaib Inti Panas Bumi’, lalu alirkan hawa ‘Gaib Inti Panas Bumi’ ke telapak tanganmu.
Satukan dengan hawa sakti yang ada di pusar.
Tarik terus ke atas hingga semua berkumpul di telapak tanganmu!
Kau pun kuijinkan mewariskan ilmu ‘Telapak Tangan Bangsawan’ pada anakmu, atau pada siapa saja dengan syarat harus digunakan untuk membela kebenaran dan keadilan!
Nah, cucuku, selamat tinggal!”
Semua khalayak yang hadir memandang takjub.
Tontonan yang mungkin pertama kali mereka saksikan, yang biasanya hanya mendengar saja tentang kehebatan tokoh-tokoh legendaris rimba persilatan atau mungkin hanya cerita mambang tentang kesaktian para dewa.
Kini, mereka berempat seolah sebagai saksi tentang munculnya sebuah ilmu pukulan yang dahsyat luar biasa sekaligus menakutkan, pukulan ‘Telapak Tangan Bangsawan’!
Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, bergidik ngeri dan membayangkan bagaimana jadinya jika pukulan maut berbentuk bayangan telapak tangan raksasa itu mengenai tubuh manusia, pastilah tubuh hancur lebur menjadi bubur daging.
Sedangkan dua Jagabaya sampai gemetar saking kaget dan takut.
Tubuh mereka menggigil seperti orang kedinginan, saat menyaksikan tumpahan ilmu olah kanuragan yang baru pertama kali mereka lihat.
Akhirnya mereka berdua jatuh pingsan karena ketakutan yang mendera batin.
Beberapa saat kemudian, dari atas langit melesat cahaya terang berwarna putih keperakan.
Weessshh!
Cahaya putih keperakan itu langsung menabrak burung elang putih keperakan yang sejak tadi bertengger di atas wuwungan dan melihat setiap kejadian di pelataran dengan matanya yang merah saga, dibalut bulatan coklat ditengahnya.
Blasssh!
Aneh, cahaya itu seakan-akan menembus tubuh elang dan langsung masuk ke dalam rumah.
Tepatnya di bilik, dimana Nyi Salindri dan Mbok Inah berada.
“Istriku!” seru Ki Ragil Kuniran, saat teringat bahwa di dalam bilik itu istrinya yang hamil tua berada.
Blasss!
Tubuh laki-laki berbaju hitam itu berkelebat cepat, diikuti dengan yang lain. Ada yang lain dari kelebatan laki-laki itu, lebih cepat dan lebih ringan dari pada biasanya.
Namun karena semua diliputi ketegangan yang semakin memuncak, mereka semua tidak ambil dengan perubahan diri Ki Ragil Kuniran.
Zlapp!
Ketika sampai di depan pintu bilik kamar tidurnya, terdengar suara nyaring yang selama ini sangat dirindukan Ki Ragil Kuniran, suara tangis bayi!
“Ooeeekhh! Ooeeekhh ... !”
Mendengar tangis bayi, Nyi Cendani bergegas masuk ke dalam bilik.
“Laki-laki tidak boleh masuk,” katanya dengan suara cempreng, lalu menutup pintu bilik.
Nyi Cendani membalikkan badan, dan saat itu matanya melotot melihat pemandangan di depannya.
Sebuah kejadian ganjil kembali disaksikan untuk kedua kalinya, sedangkan Mbok Inah berdiri menggigil ketakutan, karena Nyi lurah melahirkan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki!
Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat Mbok Inah ketakutan, bukan karena Nyi Salindri yang melahirkan tanpa bantuan seorang dukun bayi, tetapi karena keanehan yang terjadi pada bayi merah itu.
Bayi montok berkulit putih bersih itu ternyata yang sudah bisa duduk, seperti bayi berumur lima enam bulan!
Dan lebih anehnya lagi, tali pusarnya sudah hilang entah kemana dan tidak ada noda darah sedikitpun di sekujur badannya.
Betul-betul keajaiban yang sulit di nalar dengan akal sehat.
Anak Ki Ragil Kuniran memiliki mata bening, sebagaimana layaknya mata seorang bayi, namun pandangan mata bocah itu sangat tajam seperti mata orang dewasa atau setidaknya orang yang memiliki ilmu kanuragan tinggi.
Sedangkan kondisi Nyi Salindri pun bukan seperti wanita yang habis melahirkan, yang tergolek lemah kehabisan tenaga sehabis melahirkan.
Wajah Nyi lurah berbinar-binar penuh kegembiraan.
Kemudian tangan kanannya melambai ke arah sang anak.
“Sini, sayang ... dekat sama Ibu ... ”
Bayi montok itu merangkak ke arah ibunya, dan akhirnya sampai di pelukan sang ibu.
Nyi Salindri mencium anaknya dengan gemas.
Nyi Cendani hanya terlongong bengong seperti sapi ompong.
Peristiwa yang dialaminya hari ini, betul-betul mengejutkan.
Nyi Cendani mendekati ranjang Nyi Salindri.
“Nyi lurah, bagaimana keadaanmu?” tanya Nyi Cendani.
“Entahlah, Nyi Cendani, aku sendiri juga bingung dengan kejadian yang baru saja kualami,” kata Nyi Salindri masih memeluk bocah itu.
Nyi Cendani hanya manggut-manggut saja.
Tiba-tiba saja, daun pintu diketuk dari luar.
Tok! Tok! Tok!
“Nyi Cendani, bagaimana keadaan istri dan anakku? Apa baik-baik saja? Tolong buka pintunya, aku ingin masuk.”
Nyi Cendani bergegas membuka pintu, dan tampaklah Ki Ragil Kuniran dengan wajah harap-harap cemas. Laki-laki itu masuk diiringi Ki Sampar Angin.
“Silahkan masuk, Ki Ragil! Istri dan anakmu tidak apa-apa,” kata Nyi Cendani, sambil menunjuk ke arah Nyi Salindri.
“Nyi, bagaimana kea ... ”
Suara Ki Ragil tercekat di tenggorokan melihat pemandangan yang terpampang di depan mata, melihat istrinya sedang menyusui anaknya yang baru saja lahir ke dunia.
Matanya di kucal-kucal untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan mimpi.
Ki Sampar Angin juga mengkerutkan kening, dengan pandangan tidak percaya.
“Apa benar yang kulihat ini,” pikirnya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah Nyi Cendani dengan pandangan mata bertanya.
“Jangan tanya aku, Ki!
Aku sendiri juga bingung dan heran melihat kelahiran anakmu!
Anak baru saja lahir sudah bisa merangkak.
Ini sudah diluar nalarku sebagai manusia!” kata Nyi Cendani, menjawab pandangan mata laki-laki itu.
Sementara itu, Mbok Inah sudah mulai bisa menenangkan diri.
Dirinya tidak ketakutan seperti sebelumnya.
Bibi tua itu segera mendekati majikannya, dengan takut-takut.
“Maaf ... Ki lurah, saya ... saya ... ”
“Tidak apa-apa Mbok! Terima kasih simbok telah menjaga istriku dengan baik.
Oh ya ... Mbok, mungkin Mbok Inah bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya,” tanya Ki Ragil Kuniran.
Laki-laki itu duduk di sebelah kiri ranjang dan mulai mengelus-elus kepala anaknya.
Bocah kecil itu hanya menoleh sekilas, sambil tertawa riang memamerkan mulutnya yang bergigi dua.
Ki Ragil Kuniran membalas dengan senyuman.
“Begini Ki Lurah, waktu itu saya dan Nyi Lurah sedang ngobrol.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras seperti suara petir yang menggelegar.
Entah suara apa saya tidak tahu.
Terus rumah ini seperti dilanda gempa bumi, seperti mau kiamat.
Setelah guncangan itu reda, tiba-tiba melesat cahaya putih dari atas.
Cahaya itu berputar-putar di dalam bilik ini.
Lama-kelamaan seperti membentuk bayangan burung, entah burung apa saya tidak tahu.
Lalu bayangan itu melesat masuk ke dalam perut Nyi lurah yang sedang tiduran di ranjang. Nyi lurah tidak bisa menghindar karena gerakan cahaya itu cepat sekali.
Setelah cahaya itu masuk, tiba-tiba Nyi lurah merasakan perutnya mules, mungkin karena kemasukan cahaya itu.
Baru saja saya akan menyentuh perutnya, tiba-tiba ... tiba-tiba ... “
“Tiba-tiba apa Mbok?” potong Nyi Cendani dengan cepat.
“Tiba-tiba bayi itu ... keluar sen ... diri, Ki Lurah,” ucap Mbok Inah dengan terbata-bata.
“Hahhh!?” kali ini Ki Sampar Angin yang kaget.
“Ngomong yang benar, Mbok!”
Mbok Inah sampai terlonjak kaget!
“Be ... benar, Ki Sampar Angin, saya tidak bohong.
Tanya saja Nyi lurah, kalau tidak percaya,” kata Mbok Inah, sambil mengelus dada karena dibentak Ki Sampar Angin.
Semua mata memandang ke arah Nyi Salindri.
Bayi ajaib itu kini tertidur pulas di pelukan ibunya setelah kenyang.
“Betul kata Mbok Inah,” sahut Nyi Salindri, pendek.
“Mbok, lebih baik simbok istirahat saja di kamar.”
“Tapi, Nyi ... ”
“Nggak apa-apa, saya sudah baikan,” kata Nyi Salindri dengan halus.
Mbok Inah hanya mengangguk pelan, lalu keluar dari bilik Nyi Salindri.
Sementara itu, Ki Ragil Kuniran masih mengelus-elus kepala anaknya dengan rasa sayang sebagai seorang ayah.
Kepalanya manggut-manggut mendengar cerita Mbok Inah.
“Persis dengan apa yang kulihat dalam mimpiku,” pikirnya.
Memang Ki Ragil Kuniran sengaja tidak menceritakan mimpinya secara lengkap, takut jika mimpi itu hanya kembang tidur saja atau malah takut perkataan dianggap cerita bohong.
Sekarang mimpi itu telah menjadi sebuah kenyataan yang memang harus diterimanya dengan ikhlas.
Kini lengkap sudah kebahagiaan yang selama ini diimpikan.
Meski kebahagiaan itu diikuti dengan beban berat yang belum terjawab dengan kelahiran anak laki-lakinya itu.
Tiba-tiba tangan yang mengelus itu menyentuh sesuatu yang aneh di bagian dahi.
“Apa ini?”
Ki Ragil Kuniran menyibak rambut anaknya dengan pelan, supaya bocah itu tidak terjaga dari tidurnya.
Matanya yang tajam mengamati sebentuk gambar yang tertera di dahi anaknya.
“Rajah kepala elang,” gumamnya.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin beranjak dari tempatnya semula, mendekati Ki Ragil Kuniran dari sisi kiri.
Nyi Salindri juga melihat gambar yang diraba oleh suaminya.
“Ada apa, Adi?” tanya Ki Sampar Angin.
“Coba Kakang Sampar Angin lihat, apa ini benar rajah bergambar kepala elang atau tanda lahir anakku?” kata Ki Ragil Kuniran.
Nyi Cendani dan Ki Sampar Angin mengamati gambar itu dengan seksama.
“Itu rajah, bukan tanda lahir,” kata Nyi Cendani dengan yakin.
“Apa Nyi Cendani yakin?”
“Yakin sekali! Kalau tanda lahir biasanya berwarna hijau keabu-abuan atau coklat, sedangkan yang dimiliki anakmu berwarna putih.
Itu hal yang tidak lazim sebagai tanda lahir.
Dan saya yakin bahwa tanda itu memilki arti tertentu,” terang Nyi Cendani.
Semua khalayak mengangguk-anggukkan kepala.
Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, dan duduk di kursi yang ada di pendapa, sedangkan Nyi Salindri sudah memeluk anaknya dengan kasih sayang seorang ibu.
“Hemmm, pusing kepalaku,” desah Ki Sampar Angin, sambil meletakkan pantatnya di kursi.
Laki-laki parobaya yang usianya sepantaran dengan Ki Ragil Kuniran itu melepas blangkon, kemudian mengusap-usap kepalanya untuk mengurangi rasa pening.
“Pusing kenapa, Ki Sampar Angin?’ tanya dukun bayi itu, heran.
“Bagaimana tidak pusing, semua kejadian malam ini sungguh di luar dugaanku!
Luar biasa! Saat aku diberitahu Gineng bahwa istri sahabatku ini mau melahirkan, aku tidak berpikir bahwa peristiwanya akan menjadi seperti ini.
Munculnya suara gaib si Elang Berjubah Perak, lalu Adi Ragil yang kinayungan pukulan ‘Telapak Tangan Bangsawan’, sampai cerita si kecil keluar sendiri dari rahim ibunya.
Lalu rajah putih berbentuk kepala elang di dahi.
Semua itu tidak bisa diterima oleh otakku yang sudah karatan ini,” cerocos Ki Sampar Angin, sambil geleng-geleng kepala.
“Hi-hi-hi-hik, kau kira hanya kau yang pusing!
Aku pun juga mumet!
Masa’ bayi yang seharusnya kutangani kelahirannya, malah keluar dengan sendirinya,” ucap Nyi Cendani dengan terkekeh-kekeh.
“Ha-ha-ha-ha!”
Tawa Ki Ragil Kuniran dan Ki Sampar Angin hampir bersamaan.
“Yahhh, memang begitulah kalau Yang Di Atas sudah berkehendak, kita sebagai manusia hanya bisa menerima saja, bukankah begitu, Kang?” ucap Ki Ragil Kuniran menimpali.
“Betul ... betul sekali, Adi! Aku setuju dengan pendapatmu!”
Nyi Salindri berjalan mendekat tiga orang yang sedang ngobrol sambil menggendong bayinya, lalu duduk di sebelah suaminya.
Ki Ragil Kuniran menggeser duduknya ke kanan.
Nyi Salindri mengulurkan tangan yang menggendong bayi ke arah suaminya.
Ki Ragil Kuniran menerima lalu menimang-nimang bocah yang lahir dengan segudang keanehan itu.
“Tapi, ngomong-ngomong, anak laki-lakimu ini kau beri nama siapa, Kakang?” tanya Nyi Salindri, setelah duduk di samping suaminya.
Ki Ragil Kuniran menoleh ke arah istrinya, lalu menoleh pada Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani. Kedua orang itu hanya mengangguk saja.
“Nyi Cendani dan Kakang Sampar Angin, biarlah kalian berdua sebagai saksinya.
Mulai hari ini, saat ini juga, anakku ini aku beri nama ... Paksi Jaladara!” kata Ki Ragil Kuniran.
Sekejab setelah kata-kata Ki Ragil Kuniran selesai, dari dahi bayi mungil yang kini bernama Paksi Jaladara itu memancarkan cahaya putih terang keperakan, seperti pertanda bahwa dirinya menerima nama yang kini disandangnya.
Paksi Jaladara!
Yang melihat hanya berdecak kagum melihat keanehan pada diri putra Ki Ragil Kuniran.
Bersamaan itu pula, elang putih keperakan yang sedari tadi bertengger di atas wuwungan, terbang berputaran di atas rumah dengan suara melengking nyaring.
Aawwwkkk! Aawwwkkk!
Semua khalayak yang ada disitu hanya memandang burung elang yang berputaran itu.
“Elang siapa itu, kakang?” tanya Nyi Salindri, heran. “ ... setahuku, di desa kita tidak ada burung elang, sarangnya pun juga tidak ada.”
“Oooh ... itu miliknya Paksi, anakmu,” sahutnya Ki Ragil Kuniran, pendek.
Tangannya masih menimang-nimang Paksi Jaladara dengan pelan, sementara bocah mungil itu tertidur lelap dalam buaian sang ayah.
Dahi Paksi Jaladara sudah tidak lagi memancarkan cahaya terang.
Bocah itu tertidur pulas ditimang-timang oleh ayahnya.
“Milik Paksi?”
“Iya ... milik Paksi!”
“Kok bisa? Kapan kakang memeliharanya?”
Kemudian, Ki Ragil Kuniran menceritakan seluruh rentetan peristiwa yang terjadi hari ini, dari awal pertarungannya dengan ular hijau lumut sampai terjadinya guncangan hebat akibat pukulan yang dilontarkannya, yang diterimanya langsung dari si Elang Berjubah Perak secara gaib. Bahkan sampai mimpi yang dialaminya, semua diceritakan dengan lengkap, tidak ada yang tercecer sedikitpun.
Sebagian mimpi yang pernah didengar Ki Sampar Angin dan Nyi Cendani, dilengkapi oleh Ki Ragil Kuniran sampai sedetail-detailnya.
Semua yang mendengar uraian mengangguk-angguk pelan.
Sekarang pahamlah mereka tentang segala rentetan peristiwa yang terjadi.
“Bukan main, aku yakin putramu kelak akan menjadi seorang tokoh besar, Adi.” ucap Ki Sampar Angin, sembari menoleh pada Paksi Jaladara yang kini tertidur.
“Dengan patokan serentetan kejadian yang kalian alami, aku bisa menyimpulkan bahwa anakmu mengemban tugas khusus.
Tugas yang mulia. Entah tugas seperti apa yang dibebankan pada Paksi Jaladara oleh kakek berjubah yang mengaku si Elang Berjubah Perak itu.”
Semua khalayak tercenung mendengar uraian Ki Sampar Angin, orang nomor satu dari desa Cluwak Bodas.
Memang laki-laki yang selalu memakai blangkon itu patut diacungi jempol, otak encernya dalam menganalisa setiap masalah, selalu memberikan pikiran atau ide-ide cemerlang dan sukar dibantah kebenarannya.
“Kakang Ragil, bagaimana kalau kita bertanya pada ayah atau Kakang Jalu? Mungkin beliau tahu siapa adanya si Elang Berjubah Perak itu,” usul Nyi Salindri, menimpali.
“Iya ... betul! Kenapa aku sampai lupa pada ayah?!” seru Ki Ragil Kuniran sambil menepak jidat dengan keras.
“Iya ... ya, kenapa kita tidak berpikir ke sana! Mungkin Ki Ageng Singaranu mengetahui siapa tokoh misterius yang bernama si Elang Berjubah Perak itu,” kata Nyi Cendani manggut-manggut.
“Baiklah, aku akan bertanya pada ayah,” kata Ki Ragil Kuniran, memutuskan.
“Kira-kira kapan kakang akan berangkat?’
“Yahhh ... mungkin kalau umur Paksi sudah cukup, sekalian saja diajak.
Hitung-hitung ... biar Paksi tahu kakeknya,” kata Ki Ragil Kuniran sambil menimang-nimang anaknya itu.
Paksi Jaladara menggeliat lucu.
Tangannya diangkat tinggi-tinggi sambil menguap.
Semua mata memandang bocah ajaib ini dengan pandangan penuh misteri.
Pandangan yang menorehkan harapan besar pada bocah yang memiliki rajah kepala elang!
-o0o-