Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

biasanya kalo dah berbalas pantun gini pasti update... siapin kopi dulu ah.....
bisa ae nih si om,
thx dah mampir dimari

:baca: baca dolo...
monggo om,
thx dah mampir dimari

Thanks updatenya suhuu
sama2 om,
thx dah mampir dimari

Luar biasa suhu apdetannya
sama2 om,
cuma share doank kok om,
thx dah mampir dimari

Petromax.....:pandaketawa:
mantab kk,
thx dah mampir dimari

Makasih updatenya om :beer:
sama2 om,
thx dah mampir dimari

Baru part 6 om, :aduh:
Makin lama, makin seru....
Maacih updetnya..:ampun:
maacih jg dah mampir dimari

Hati2 ntat ada yang ngejar
siapa om?
jin kura kura kah hehehe

Petromaxxx agi...
ckckckck.... mantab kali

Keren hu..mantul cerita nya
Semoga sampe tamat hu...
makasih om

Lagi om..
Makin kesini makin seru:jempol:
mau tamatkah?
tinggal beberapa bab lg om

Cukup om, eneng belom sampe situ...
Tar maleman cicil baca marathon agi...
Imaacih banya updatenya..
buru neng ntar kesalip jin kura kura

Makasih suhu apdetannya
makasih jg dah mampir om

Horor selangkangan, suhu ;) Wow masih panjang yak ceritanya.... kek cerita satunya lagi, yang Si Pemanah Janda :Peace:
lahhh kok memanah janda sih om
Mantap ceritanya seperti baca cersil nya khopinghoo... ijin ninggalin jejak suhu
monggo om
makasih dah mampir

jir yg terakhir kena sensor KPI:bata:

makasih suhu telah berbagi
sama2 om
makasih om masih betah dimari

maksi updatenya hu
sama2 om
makasih dah mampir dimari

Menunggu update..
bentar lg om

ditunggu kelanjutannya suhuu
siap dan

We want more .... We want moreeeee
yeeaahh kok berasa lg nonton konser yak

Mantap hu...mohon dilanjuti...
siap kemendan

seruuu bgt ceritanya hu..mantebb..!!
makasih om dah mampir dimari

Kalo mau di up kudu di up om,jan di tunda2 :pandajahat:
dih... bisa gitu yak

Mulai dateng nih cinta....lanjut
iya om
cinta yg kepepet

lanjuutttt
siap om

Mantab hu baru kelar marathon di tunggu kelanjutannya sehat selalu dan lancar RLnya biar lancar juga update
makasih banyak om,
hal yg sama jg saya ucapkan utkmu
 
Bab 41

Paksi Jaladara dan Retno Palupi duduk berdekatan batu besar, bahkan berdempetan dengan tangan kanan kiri berpegangan.

Dilihat sekilas saja orang sudah bisa menduga sejauh mana hubungan mereka berdua. Meski keduanya baru bertemu kemarin dan situasi yang cukup rumit dan membingungkan, tapi rupanya dewa asmara begitu cepat melepaskan panah-panah asmara sehingga tepat menghunjam ke relung hati dua insan yang paling dalam.

Dua kaki mereka masuk ke dalam air saling senggol-senggolan, mengagetkan serombongan ikan kecil yang berlalu lalang di bawah bebatuan.
Gadis Naga Biru menyandarkan kepala di pundak kanan si Elang Salju.
Mulutnya bersenandung lirih, mengiringi irama cinta mereka berdua.

Bahkan angin yang semula bertiup sedikit kencang, mulai bergerak melemah, terhanyut alunan senandung lembut dari bibir merah merekah gadis berbaju biru laut itu.

"Apa kau selalu begitu?" tanya Paksi.

"Selalu apa?"

"Selalu bersenandung kecil saat gembira."

"Aku selalu begitu. Sejak dulu." ucap Retno Palupi sambil menggeser kepala ke bawah, turun ke atas pangkuan pemuda berbaju putih-putih itu. Setelah itu gadis berbaju biru-biru tampak memejamkan mata.
Sebentar kemudian ia terlelap

Paksi Jaladara membusai anak rambut yang ada di dahi Angin pagi segar berhembus membawa keharuman bunga-bunga rumput, bercampur wangi tubuh gadis yang tertidur di pangkuannya.

"Mungkin ia kecapaian karena semalam melakukan pengintaian," pikir Paksi Jaladara sambil memandangi seraut wajah cantik. "Cantik juga dia."

Tiga peminuman teh telah berlalu ...
Retno menggeliat bangun dan sejenak tersentak sadar bahwa tubuhnya terlelap di pangkuan Paksi Jaladara.

Walau bagaimana pun, ia malu membiarkan dirinya tertidur di pangkuan pemuda tampan yang sedang ditaksir ini.

Malu sekaligus senang. Sekaligus penasaran, kenapa dirinya begitu mudah tertarik pada seorang pemuda yang baru satu hari dikenalnya.
Aneh!

“Selamat pagi menjelang siang,” kata Paksi Jaladara sambil membiarkan Retno melepaskan diri.

“Hmmm ... “ gadis itu menggumam sambil menguap dan menggeliat, membuat gerakan sensual dengan tangan terentang di atas kepala.

Sejenak darah Paksi Jaladara berdesir melihat dada membusung penuh dan tentu saja, kepala sekaligus leher masih tetap di atas pangkuan sehingga belahan dada membusung sedikit mengintip dari celah-celah baju.

Memang begitulah rumusan alam bahwa wanita tampak sangat cantik dan menawan sesaat setelah bangun dari tidurnya.

Retno Palupi menjadi bukti nyata dari rumus itu.

Dengan latar belakang langit yang mulai menyejuk, dan pohon-pohon di hutan yang tidak begitu jauh, Retno adalah pemandangan indah bagai lukisan para dewa!

Gadis itu bangun dari posisi sebelumnya.

“Enak tidurnya?” Tanya Paksi Jaladara sambil bangkit untuk meluruskan pinggangnya yang mulai terasa kaku akibat duduk diam.

Retno tidak menjawab, melihat sekeliling dan mengernyitkan dahinya,

“Apakah sudah siang?”

“Belum, masih terhitung pagi,” sahut Paksi Jaladara sambil menawarkan tangannya untuk menarik Retno berdiri.

Gadis itu membiarkan tubuhnya ditarik ke atas.

Kedua matanya masih mengantuk, dan berdirinya pun masih terhuyung.
Dia membiarkan Paksi Jaladara merangkul pundaknya, mengajaknya berjalan menjauh dari batu besar tempat mereka tadi duduk beristirahat.

Angin semakin sejuk membelai rambut Retno yang panjang bergelombang, membuat gadis itu merasakan kesegaran baru yang luar biasa.

Berdua, bergandengan tangan, mereka menuju ke bagian tengah hutan terbelah, kemudian sedikit naik ke puncak bukit menuju sebuah lembah lapang yang di sana-sini dihiasi semak dan perdu lengkap dengan bunga-bunga bermekaran yang menjaga keseragaman akibat siraman cahaya langit yang mendominasi alam.

“Bagaimana kalau kita duduk disana?” Tanya Paksi Jaladara sambil menunjuk ke sebuah gundukan yang agak menjulang di seberang lembah.

" ... sekalian melakukan pengawasan. Siapa tahu ada penyusup yang masuk."

Retno merasa tidak punya pilihan.

Dipandangnya Paksi Jaladara yang juga sedang memandangnya.

Tangan mereka berdua bergandengan.

Kedua mata pemuda itu menatap polos, dan Retno tak menemukan apa-apa di sana selain sebuah ajakan tak berprasangka.

Lalu juga ada senyum yang mengembang samar mengungkapkan keramahan.
Sebetulnya Retno ingin melihat kenakalan di wajah pemuda itu, tapi tidak terlihat sama sekali.

“Baik,” kata Retno pelan,

“Tetapi kakang Paksi harus janji ... “

Paksi Jaladara mengernyitkan dahinya,

“Janji apa?”

“Janji tidak akan macam-macam di sana,” kata Retno.

Tabiat seorang putri Wisma Samudera yang selalu memberi perintah secara otomatis langsung terlihat keluar.
Ia terbiasa menjaga jarak terhadap siapa pun, walau dalam hati sudah ingin merapat.

Paksi Jaladara tersenyum lebar,
“Aku tidak mengerti ... apa yang kamu maksud dengan 'macam-macam' itu?”

Mereka mulai melangkah berjalan berdampingan, bergandengan menuju gundukan yang agak menjulang.

“Jangan pura-pura tidak mengerti, lah!” sergah Retno sambil menyentak tangan Paksi Jaladara.

“Aku memang mau melakukan pengawasan disana,” kata Paksi Jaladara sambil mengiringi langkah Retno yang masil lunglai karena baru bangun tidur,
“ ... setelah itu soal lain.”

“Setelah itu apa?” Desak Retno, membiarkan tangannya diayun-ayun seperti anak kecil digandeng orangtuanya.

“Kamu cantik kalau baru bangun,” sahut Paksi Jaladara seperti tak peduli pertanyaan Retno.

“Setelah itu apa?” desak Retno, sama tak pedulinya.

“Aku senang menjadi pangkuan tidurmu,” kata Paksi Jaladara.

“Setelah disana, apa yang akan kakang lakukan?” suara Retno, sedikit meninggi.

“Apakah kamu mimpi indah?” tanya Paksi Jaladara.

Langkah mereka berdua tak terganggu oleh percakapan yang simpang siur ini.

“Kakang mengajakku di atas sana,” kata Retno berubah normal lagi,
“ ... setelah itu, apa yang akan kakang lakukan?”

“Biasanya mimpi di hari terang selalu indah,” kata Paksi Jaladara sambil memetik bunga rumput yang mereka lintasi, lalu diselipkan di bibir.

“Kakang!” Sergah Retno sambil berhenti melangkah.

Terpaksa Paksi Jaladara ikut berhenti melangkah, memutar tubuhnya menghadap gadis itu yang sedang menatap tajam kepadanya.
Pemuda itu tersenyum.
Sedikit nakal!

"Nah," seru Retno dalam hati, "sekarang mulai terlihat sinar nakal di matanya!"

“Apa yang akan kamu lakukan setelah kita sampai disana?” tanya Retno sambil terus menatap tajam.
Tangannya masih terayun-ayun perlahan dalam genggaman tangan pemuda itu.

“Aku akan ... menciummu,” sahut Paksi Jaladara tenang, dengan senyum samar, dan dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan kenakalan, sedikit keliaran, berganti-ganti dengan semburat kecil birahi.

Semua terbuka terpampang di kedua mata yang tak berkedip itu.

Retno membuka mulutnya.
Tetapi ia menutupnya lagi, karena tak tahu apa yang bisa ia ucapkan!
"Berani juga dia!" pikirnya.

Lalu Paksi Jaladara melangkah mendekat, justru Retno Palupi mundur selangkah, lalu berhenti karena bagian punggung membentur batang pohon.

Mereka berada di sebuah jalan setapak yang sedikit menikung ke kiri.
Lengang, tak ada orang di sekeliling.
Sepi, kecuali oleh suara burung yang pulang kandang dari mencari nafkah sepanjang hari.

Lalu Paksi Jaladara melangkah lebih dekat lagi.

Retno sejenak ragu, tetapi lalu tersenyum.
"Aku ingin tahu seberapa pandai ia merayu gadis, meski ini untuk pertama kalinya untukku," ucapnya dalam hati.

Lalu Paksi Jaladara mendekatkan wajah.
Mulut membuka sebentar, lalu segera menempel lembut di mulut Retno yang telah siap menerima lumatan pemuda itu.

Dengan sepenuh hati pemuda itu mengulum bibir Gadis Naga Biru yang merah merona penuh gairah, basah mengundang seperti semangka matang.
Paksi menikmati bibir itu, seperti seorang petualang menikmati temuan barunya!

Ciuman mereka berlangsung cukup lama, dan baru berhenti setelah terdengar lenguhan kecil dari dalam mulut Retno Palupi.

Retno menyeka bibirnya yang basah dengan punggung tangan, sedang Paksi Jaladara masih sibuk mengatur nafasnya.

"Kakang benar-benar nakal."

“Aku memang nakal, sejak dulu,” kata Paksi Jaladara sambil tersenyum setelah nafasnya reda.

Mereka berdua mulai melangkah lagi.
Tetapi kini sudah tidak bergandengan, tapi tangan paksi melingkar mesra di pinggang gadis itu.

“Aku suka menciummu,” kata Paksi Jaladara. "Mulutmu harum sekali."

Retno tertawa, mengeluarkan jurus 'apa-peduliku?' dengan muka yang sengaja memiaskan ketenangan, seperti menguap dan menggeliat sehabis tidur panjang.
Tidak istimewa!

“Kamu tidak menikmatinya?” Kata Paksi Jaladara menyimpulkan sendiri.

Tadinya Retno menyangka akan mendengar nada kecewa.
Ternyata tidak!

Paksi Jaladara mengucapkan kalimat itu seperti menyampaikan berita kematian.
Walaupun yang diberitakan sebetulnya mengerikan, berita kematian selalu bernada datar.
Seperti itulah nada suara Paksi Jaladara!

-o0o-
 
Terakhir diubah:
Bab 42

“Kita bisa ulangi lagi,” ucap Retno dengan nada datar pula.
"Kakang mau?"

Paksi Jaladara tersenyum sambil hendak meraih tangan Retno, tetapi Retno menolak dengan halus.
Lalu ia tiba-tiba berlari ke depan dan berseru,

“Ayo! Kejar aku!”

Terpaksalah Paksi Jaladara ikut berlari mengejar si burung centil yang cantik itu!

Ketika mereka berdua sampai di atas gundukan, Retno menengadahkan mukanya dan berbisik,

“Ayo, cium lagi. Itu kalau kakang benar-benar berani.”

“Tidak masalah selama kau yang menyuruhnya!” sahut Paksi sambil menahan senyum.
Tak peduli apakah 'perintah' itu patut atau tidak, Paksi menarik leher Retno lebih dekat lagi.

Dengan gerakan perlahan tetapi penuh kepastian, pemuda itu mengulum lembut bibir merah merekah yang tersedia.
Ciumannya kali ini sedikit lebih bernafsu dibanding sebelumnya.
Paksi Jaladara tidak hanya mengulum, tetapi juga menjelajahi ruang dalam yang penuh harum nafas Retno itu dengan ujung lidah.

Dan Retno juga meladeninya dengan semangat membara.
Ia bahkan membiarkan raganya terbawa arus kencang yang membuat jantungnya berdegup lebih keras.
Ia membuka mulutnya lebih lebar, ikut menerima lidah Paksi yang meronta-ronta liar di dalam.
Seperti tuan rumah yang ramah, menyambut tamu yang memang diundang!

Retno bahkan memeluk leher pemuda itu, menempelkan dada padat membusung miliknya ke dada Paksi yang bidang dan kekar.
Ia membiarkan ujung-ujung bukit kembarnya bergeletar samar ketika bergesekan dengan tubuh tegap itu.
Ribuan rasa geli serentak menyebar langsung ke seluruh tubuh.
Retno pun mendesahkan apa yang dirasakannya.
Ia merasa lebih baik menyerah!

Dan Paksi menjadi lebih berani.
Ia meraih tubuh gadis semampai itu lebih dekat lagi.
Ia menelusuri punggung gadis itu, membawa kedua tangannya yang nakal ke bagian belakang tubuh yang sintal padat terbalut celana panjang itu dan disana ... ia meremas-remas dengan mesra disana.

Dan Retno Palupi kembali mendesah, kini seperti ingin menyatukan saja seluruh tubuhnya ke tubuh tegap itu.
Saat Retno mencoba melepaskan diri, Paksi justru menahannya ... dan Retno Palupi membiarkan lagi Paksi Jaladara memagut bibirnya.
Rasanya tubuh Paksi bagai besi sembrani yang terus menarik tubuhnya untuk menempel semakin erat.
Gerakan meronta yang ia coba lakukan tadi justru menambah gesekan-gesekan tak sengaja yang penuh kenikmatan.
Retno justru merasa ingin lebih kuat dipeluk dan diremas!

“Hmmmmm ... “ Retno menggumam, mencoba mendorong dada Paksi tetapi dengan setengah hati.

Setelah memagut bibir gadis itu dan meremas pinggulnya sekali lagi, akhirnya Paksi melepaskan ciumannya.

“Kakang betul-betul nakal ... “ desah Retno sambil melangkah mundur.

Dalam hati Retno berteriak, "akhirnya aku bisa menjerat elang liar itu!"
Nafasnya terdengar jelas terengah-engah.
Wajahnya merah merona, dan Paksi bisa melihat sinar matanya yang berbinar menggairahkan.

“Sama denganmu ... “ jawab Paksi, pendek.
saat kedua sedang dalam proses pemulihan diri, terdengar pekikan nyaring dari atas.

Awwkkk! Awwkk ... !

Paksi mendongak ke atas. terlihat sesosok bayangan putih keperakan berputaran di langit.

"Benar dugaanku," gumamnya.

"Dugaan apa, kakang?"

"Ada penyusup!"

"Bukankah tempat ini sudah diberi pagar gaib oleh Kakang Wanengpati?"

"Benar! Tapi dengan Ilmu ‘Kelambu Gaib’, pagar itu bisa ditembus siapa saja tanpa menjebol hancur pagar itu," kata Paksi,

"kita kesana!"

Pemuda itu berkelebat cepat ke arah selatan, diikuti dengan Gadis Naga Biru yang langsung mengerahkan ilmu lari cepat.

Lapp! Blass!

Sebentar kemudian sudah terlihat dua titik putih dan biru yang berlari berdampingan.

"Hebat juga ilmu larinya," pikir Paksi Jaladara sambil mengurangi sedikit tenaga agar bisa berlari sejajar dengan si gadis cantik.

"Kita intai dari atas sana," kata Paksi sambil berkelebat cepat ke atas pucuk cemara, diikuti dengan Retno Palupi yang melayang ringan dan hinggap di pucuk cemara sebelahnya.

Mata elang Paksi mengedar ke sekeliling, tapi tidak diketemukan penyusup yang dimaksud si perak.
"Lebih baik kugunakan saja kekuatan Rajah Elang Putih," pikir Paksi sambil mengusap dahi dengan tangan kanan.

Tentu saja perbuatan pemuda kekasihnya itu cukup aneh dalam sudut mata Retno Palupi.
"Apa yang dilakukannya?" pikirnya.

Setelah diusap tiga kali, terlihat cahaya putih temaram karena tertutup ikat kepala merah di dahi Ketua Muda Istana Elang.

Kemudian ia kembali mengedarkan pandangan dan akhirnya berhasil menangkap enam titik hitam di kejauhan.

"Ada enam orang yang menyusup ke tempat kita, Retno."

"Enam orang? Disebelah mana, aku tidak melihat mereka, kakang." kata Retno Palupi celingak-celinguk seperti monyet.

Paksi tersenyum kecil melihat gaya Retno.

"Tentu saja tidak terlihat, karena mereka masih menggunakan Ilmu ‘Kelambu Gaib’ untuk menutupi sosok jati diri mereka." ucap Paksi,

" ... lebih baik kita turun ke bawah. Aku yakin mereka akan lewat di tempat ini."

"Baiklah!"

Mereka berdua lalu turun dari atas pohon.

Jika Retno Palupi langsung menginjak tanah setelah berjumpalitan beberapa kali, justru Paksi melayang turun bagai segumpal asap.
Tubuhnya seringan daun, bagai angin yang berhembus.
Itulah jurus ‘Ribuan Li Selaksa Ombak’ yang dulu diajarkan Tabib Sakti Berjari Sebelas digabungkan dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai’ sehingga pemuda itu bisa melayang-layang di udara dengan bebas.

"Edan! Jurus apa yang digunakannya?

Ayah saja tidak bakalan mampu melakukan ilmu melayang bebas seperti yang dilakukan Kakang Paksi." batin Retno Palupi sambil memandangi tubuh tegap yang kini telah berdiri kokoh dihadapannya.

"Bagaimana dengan mereka kakang?"

"Sebentar lagi sampai di tempat ini."

"Tapi aku tidak bisa melihat mereka jika Ilmu ‘Kelambu Gaib’ belum dilepas."

Paksi Jaladara tidak menjawab pertanyaan gadis itu, tapi malah melangkah mendekat.
Retno diam tanpa gerak.

Tangan si Elang Salju meraih kepala Gadis Naga Biru dengan gerakan pelan penuh kelembutan.

"Wah ... mau dicium lagi nih? Gimana ya? Aku khan tidak bisa menolak kalau begini caranya," pikir Retno Palupi.

Buhh!

Paksi justru meniup mata gadis itu yang langsung terpejam.

Segumpal udara hangat langsung menerpa sepasang mata indah si gadis.
Pedas!

"Aduuh .. apa yang Kakang Paksi lakukan," pekik Retno Palupi sambil menyusut sudut mata yang berair.

“Perih, nih!”

"Nanti kau akan tahu sendiri."

Sementara Retno Palupi cemberut karena matanya pedas, enam sosok yang diselimuti Ilmu ‘Kelambu Gaib’ telah sampai di tempat itu.

Mereka berenam berjalan dengan tenang.
Tidak ada satu suara pun keluar dari bibir.
Enam orang itu mengenakan baju warna-warni, tiap satu orang menggunakan pakaian yang serba seragamAda yang seluruh tubuhnya merah semua, jika kuning maka semuanya kuning, kecuali bagian mata tentunya.
Bahkan salah seorang diantaranya memakai baju-celana hitam-hitam bermata juling dengan rambut jabrik mengeluarkan bau apek menyengat.
Mungkin sudah tahunan tidak pernah mandi dan lebih parahnya lagi ... sudah jelek, hitam, muka penuh hiasan panu dimana-mana, gigi atas keluar dari peredaran alias nongol.
Lengkap sudah kejelekan yang ada mahkluk satu ini!

Mereka berenam biasa disebut Enam Tikus Gila, terdiri atas Tikus Muka Merah, Tikus Gigi Hitam, Tikus Kaki Biru, Tikus Mata Hijau, Tikus Tangan Kuning dan Tikus Bayangan Coklat. Walau ilmu silat mereka biasa-biasa saja, tapi sebagai tokoh persilatan papan atas (itu menurut mereka), Enam Tikus Gila patut diperhitungkan.

Tentu saja yang diperhitungkan adalah kejahatannya.

Jika ada pembunuhan massal dimana-mana, maka orang-orang akan segera menunjuk Enam Tikus Gila, yang dengan bangganya akan langsung mengakui perbuatan itu adalah hasil karya mereka, meski pada kenyataan tidak sama sekali.

Jika ada gegeran yang melibatkan orang banyak, pasti Enam Tikus Gila ikut nimbrung di dalamnya, meski cuma sekedar setor muka dan adu debat.

Beberapa tokoh persilatan akan berpikir puluhan kali jika ingin bersinggungan dengan mereka. Bukannya takut dengan ilmu pas-pasan Enam Tikus Gila, atau gurunya sekalipun si Kumis Tikus, tapi yang ditakuti adalah kelicinan dan kelicikan yang dimiliki Enam Tikus Gila.

Mereka seakan satu hati jika ada salah satu dari anggota mereka yang tertimpa musibah.

Meski mereka saudara seperguruan tapi bukan saudara kembar, tapi yang jelas mereka kembar disatu tempat.
Kembar jeleknya!

Yang paling menakutkan adalah justru bubuk bius yang dimiliki Enam Tikus Gila yang tidak berbau, tidak berwarna serta tidak berasa sama sekali, hanya tiba-tiba lawan menjadi lemas kemudian jatuh tertidur pulas.

Andai tidak mati duluan, lawan yang terkena bubuk bius akan bangun enam hari kemudian.

Benda itulah yang sebenarnya disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.
Bukan main!

Enam Tikus Gila memberikan nama mentereng Bubuk Sukma Merana pada senjata andalannya.

Setiap ada Enam Tikus Gila tentu ada Empat Macan Bengis, sobat sekaligus saingan mereka dalam mengarungi dunia hitam.

Hanya kebetulan saja Empat Macan Bengis harus melakukan suatu tugas rahasia, sama seperti apa yang ditugaskan pada Enam Tikus Gila.

Seperti halnya saat ini, Tikus Gigi Hitam matanya langsung hijau saat melihat gadis cantik dengan kulit putih mulus sedang berdiri sejajar dengan pemuda berbaju putih.

"Tampaknya si cantik sedang ada masalah dengan pemuda jelek itu," bisiknya pada Tikus Kaki Biru, yang ada didekatnya,
"Lihat saja, dia menangis."

"Monyong tonggos, jangan kau main belakang! Ingat tugas yang diberikan pada Ketua Topeng Tengkorak Emas pada kita," sahut Tikus Kaki Biru mengingatkan Tikus Gigi Hitam, " ... salah-salah nyawamu bisa terbang meninggalkan badan busukmu."

"Alaaaahhh .... ini juga dalam rangka menjalankan tugas," elak si Tikus Gigi Hitam dengan jakun naik turun memandangi kemontokan tubuh gadis berbaju biru yang sedang mengusap-usap mata.

"Kugoda aaah ... " katanya sambil mendekati gadis cantik itu.

"Hoi, jangan macam-macam!" bisik kawannya sedikit lebih keras.
Kali ini Tikus Bayangan Coklat yang berkata, meski matanya juga jelalatan melihat pemandangan indah yang tersedia di depan mata.

Meski berkata jangan macam-macam, justru dirinya ikut menyusul Tikus Gigi Hitam.
Benar-benar hidung belang!

Dua dari Enam Tikus Gila yang merasa bahwa Ilmu ‘Kelambu Gaib’ masih digunakan berjalan dengan cengar-cengir, sedang empat kawannya yang sama bejatnya, hanya meringis kesenangan sambil membayangkan gadis itu 'dikerjain' tanpa diketahui siapa orang yang mengerjainya.

Namun, dua tikus itu tidak sadar bahwa mereka seperti mendatangi sarang harimau.

Setelah rasa pedas di matanya menghilang, barulah Retno Palupi bisa melihat kembali dengan jelas.
Dan justru yang pertama kali dilihatnya adalah Tikus Gigi Hitam yang berjalan mendekatinya.

"Hi-hi, kakang ... lihat ada tikus ginong kesini.
Mungkin minta diracun biar cepat mampus," kata Retno Palupi.

Suara yang terdengar merdu di telinga hingga membuat Tikus Gigi Hitam bagai dipuji sebagai orang tertampan di dunia.
Kebagusan amat!

"Tikus ginong?" tanya Paksi heran sambil menahan senyum.

"Iya, ginong alias gigi nongol. Hi-hi-hik!"
Kali ini suara merdu Retno Palupi agak sedikit keras.

Tentu saja Paksi tertawa keras mendengar gaya berkata Retno Palupi yang memutar-mutarkan tangan di depan mulutnya.

Yang paling kaget justru Tikus Gigi Hitam!

"Apa si cantik itu membicarakan aku?" tanya pada Tikus Bayangan Coklat.

"Ya .. iya, lah! Siapa lagi coba?"

"Tapi kok dia tahu aku, sih? Bukankah ilmu pemberian ketua bisa membuat diri kita tidak kelihatan oleh siapa pun?"

"Aku sendiri juga bingung, kenapa gadis itu bisa mengetahui keberadaan kita." kata Tikus Bayangan Coklat sambil tetap berjalan mendekat,

" ... jangan-jangan ... "

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan dia tahu keberadaan kita karena mencium bau harum tubuh kita berdua.

Ilmu pemberian ketua pastilah ilmu sakti. Ilmu hebat. Tanpa tanding." seru Tikus Bayangan Coklat menyombongkan ilmu pemberian Topeng Tengkorak Emas.

Tikus Gigi Hitam mencium-cium lengan, ketiak dan sekitar tubuhnya.
"Iya juga sih! Sudah lama sekali aku tidak mandi." katanya,

"Mandi terakhir kira-kira empat bulan yang lalu, itu pun terpeleset saat mengejar musuh tangguh, dan nyungsep di kubangan tahi kerbau."

"Musuh tangguh apa'an? Wong cuma mengejar ayam hutan buat sarapan kok dibilang musuh tangguh?" kata heran si Tikus Bayangan Coklat.

Tentu saja Paksi Jaladara dan Retno Palupi saling pandang, kemudian suara tawa mereka meledak keras, membelah suasana pagi yang bersinar cerah itu.

"Hua-hah-ha-ha! Rupanya pembual berteman dengan penipu! Alias sama-sama tukang bo'ong!" seloroh Paksi Jaladara.

"Brengsek! Mulut pemuda itu harus disumpal dengan batu!" maki Tikus Bayangan Coklat.

"Kalau yang gadis disumpal pakai bibir saja, kalau dengan batu kasihan." timpal Tikus Gigi Hitam.

Sejarak satu tombak dari tempat berdirinya Paksi Jaladara dan Retno Palupi, dua tikus itu berhenti.

"Kau yang kanan dan aku yang kiri," kata si Tikus Bayangan Coklat dengan tangan siap-siap menubruk mangsa.

"Enak saja! Bagian gadis cantik kau embat duluan."

"Ngga bisa! Aku kan yang paling tua!" tukas Tikus Bayangan Coklat.

"Tapi aku yang melihat duluan! Jadi mestinya aku dulu!"

"Tapi anuku sudah sampai di ubun-ubun!" bentak Tikus Bayangan Coklat, menggunakan kata 'anu' untuk mengungkapkan sesuatu jika diajak debat cepat.

"Anu apa?"

"Maksudku ... nafsuku sudah menthok butuh penyaluran."

"Setan brengsek, memangnya cuma anumu saja, aku juga!"

Akhirnya mereka berdua malah saling buka mulut tanpa ada yang mau mengalah!

-o0o-
 
Terakhir diubah:
Bab 43

"Retno, merekalah yang disebut Enam Tikus Gila! Ilmunya tidak seberapa tinggi, tapi mereka pandai menggunakan racun penidur," bisik Paksi Jaladara setelah mengenali siapa adanya enam orang penyusup tersebut.

"Tenang saja, kakang!
Darah dalam tubuhku sudah mengalir penawar segala macam racun!
Tak bakalan aku tumbang melawan mereka," bisik Retno pula sambil melihat adu mulut antara dua orang didepan mereka.

"Terus, apa yang harus kita lakukan? Apa perlu kita tawan?"

"Tidak perlu kita tawan, lebih baik mereka dibereskan secepatnya!
Sebentar lagi Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi ... " bisik si Elang Salju,

" ... sedang tugas kita melindungi pemilik Mutiara Langit Merah masih menunggu.

Tidak ada waktu untuk bersilang pendapat dengan mereka."

"Kita bunuh maksudnya?"

"Benar! Kita bunuh mereka sebelum memberi laporan pada ketuanya.

Aku yakin tujuan mereka kemari untuk menyelidiki seberapa besar kekuatan yang ada di padukuhan ini dan itu tidak bisa dibiarkan," bisik Paksi Jaladara, " ... ini terpaksa! Sebab dunia persilatan dipertaruhkan disini!"

"Baik! Kita bunuh habis!" desis Gadis Naga Biru.

Gadis itu berjalan satu tindak ke depan, sambil membentak,

"Kalian sudah selesai pentang bacot belum?"

Suara itu langsung menyadarkan dua orang yang sedari tadi adu mulut.

"Jika sudah, kau mau apa gadis cantik?" kata Tikus Gigi Hitam sambil tersenyum.

Justru melihat senyuman itu, membuat Retno Palupi mau muntah.

"Jadi ... kalian sudah puas pentang bacot didepanku?"

"Benar!"

"Kalau begitu ... bersiaplah pentang bacot di neraka!" seru Gadis Naga Biru sambil melancarkan jurus serangan bertenaga dalam tinggi ke arah dua orang itu.

Wutt! Wutt ... !

Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat terperanjat kaget.
Sebisa mungkin menghindari serangan gadis cantik yang ternyata tidak kalah galaknya dengan kucing beranak.

Wutt! Wuss ... !

Mereka berjumpalitan ke belakang, sehingga serangan dadakan Gadis Naga Biru kandas ditengah jalan.

Melihat serangan pertama gagal, putri tunggal Wisma Samudera berganti jurus dengan cepat.
Tangan kiri menebas cepat bagai merobek-robek angin dimana serangan tapak mengalir bagai anak sungai, rapat bagai jaring-jaring ikan yang menebar.

Kali ini jurus 'Selaksa Tapak Membelah Laut' dikerahkan, dimana jurus ini merupakan rangkaian jurus pertama dari ‘Tiga Belas Pukulan Telapak Kosong’!

Wuss! Wutt ... !

Tiga empat serangan tapak bisa dihindari, tapi selebihnya, tubuh Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat langsung menjadi bulan-bulanan bayangan tapak yang mengurung rapat.

Menjerit kesakitan saja sudah tidak sempat, apalagi mempertahankan diri.

Prak! Brakk! Prookk!

Karena memang bertujuan membunuh, Retno Palupi mengerahkan setengah dari kekuatan hawa tenaga dalam yang dimilikinya.

Tentu saja pendekar kelas kambing macam dua tikus itu tidak berarti apa-apa dihadapan putri tunggal Majikan Wisma Samudera, Ki Dirga Tirta.

Sambil memutar tubuh bagai baling-baling, jurus tapak datang bagai gelombang laut yang menerpa silih berganti.

Prakk! Prakk! Krakk!

Kembali terdengar suaranya berderak tulang patah mengiringi hujan serangan yang tanpa henti.

Brughh!

Dua onggok tubuh terpuruk saat Retno Palupi menarik pulang serangannya.
Seluruh tulang Tikus Gigi Hitam dan Tikus Bayangan Coklat hancur lumat.

Dan tentu saja seperti apa yang dikatakan Retno Palupi, kemungkinan besar mereka akan melanjutkan perang mulut di akhirat!

Empat orang rekan mereka begitu terkesima melihat kejadian yang berlangsung cepat di depan mata.

"Gila!"

"Gadis kejam!"

"Kurang ajar!"

"Apa ya?"

Plakk!

"Brengsek! Mengumpat tidak perlu kata-kata bagus, langsung saja kenapa, sih!?" bentak Tikus Muka Merah sambil menampar telinga kanan Tikus Mata Hijau.

"Oh ... dasar korong bekicot, kau!" bentak Tikus Mata Hijau, sambil matanya dipelototkan lebar-lebar.

“Huh ... makian telat!” bentak Tikus Kaki Biru.

“Biarin!”

"Gadis busuk! Berani sekali kau membunuh mati teman kami? Apa kau tidak tahu siapa kami, hah!" bentak si Tikus Muka Merah.
Jika marah begitu, mukanya semakin merah saja!


"Aku tidak perlu tahu siapa kalian!" sahut Paksi Jaladara sambil melenting ke atas, berputar setengah lingkaran, lalu sepasang kakinya silih berganti melakukan tendangan berantai 'Elang Menapak Di Salju'.

Pancaran hawa sedingin salju mengiringi jurus tendangan 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan Paksi Jaladara.

Meski hanya menggunakan setengah bagian dari tahap pertama dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ yang bernama 'Temaram Sinar Rembulan' sudah membuat empat orang yang tersisa menggigil kedinginan.

"Ini jurus berhawa dingin! Satukan ‘Tenaga Sakti Tikus Api’, cepat!" bentak Tikus Muka Merah sambil memasang kuda-kuda kokoh.

Berturut-turut tiga orang tersebut melakukan hal yang sama.

Tikus Kaki Biru, Tikus Mata Hijau dan Tikus Tangan Kuning sambil menempelkan kepalan tangan mereka membentuk setengah lingkaran untuk mengerahkan ‘Tenaga Sakti Tikus Api’.
Ilmu ini diciptakan oleh mereka berenam menjadi satu ilmu khas tersendiri.
Si Kumis Tikus pun tidak kuat menahan gabungan tenaga mereka berenam.

"Hantam!"

Begitu mendengar aba-aba 'hantam', enam pasang tangan langsung menghantam bagian punggung Tikus Muka Merah.

Bukk! Bukk! Bukk!

Memang ilmu ini cukup aneh, seharusnya mereka menempelkan tangan untuk mengirimkan tenaga dalam ke tubuh kawannya, tapi justru menghantam dengan sepenuh tenaga.

Begitu menerima limpahan tenaga dari tiga kawannya, tubuh Tikus Muka Merah bagai diselimuti kobaran api.

"Heaaa ... !"

Teriakan keras terdengar saat sepasang tinju Tikus Muka Merah menerjang ganas.
Jurus yang sederhana tanpa tipu daya!

Plakk! Plakk!

Blarr! Dhuuar ... !!!

Bertemunya sepasang tinju dengan sepasang kaki menimbulkan ledakan kecil, diikuti dengan terpentalnya empat sosok tubuh ke segala arah.

Brugh!

Ternyata, mereka adalah anggota Enam Tikus Gila yang tersisa.

Rupanya jurus 'Elang Menapak Di Salju' yang dilancarkan berhasil menembus benteng pertahanan dari ‘Tenaga Sakti Tikus Api’, sehingga Ketua Muda Istana Elang pun langsung membagi-bagikan tendangan maut dengan kecepatan kilat.

Tiga orang langsung tewas seketika.
Kepala Tikus Kaki Biru pecah,
Dada kiri Tikus Mata Hijau jebol dan
Ulu hati Tikus Tangan Kuning melesak ke dalam membentuk tapak kaki.

Yang sedikit lebih baik hanyalah Tikus Muka Merah.
Tubuhnya bengkak-bengkak disana-sini tak karuan.
Darah kental kehitaman mengalir deras menganak sungai.
Tangannya berusaha meremas sesuatu.

Tapi sorot mata tajam Paksi melihatnya.
Sebuah kerikil kecil ditendang dan melayang cepat menghantam pergelangan tangan.

Wutt! Plakk!

Tangan itu langsung terkulai lemas.

"Kau tidak perlu membuang racun, Tikus Muka Merah," kata Paksi Jaladara berjalan mendekat.

"Khhau ... ssshh ... sshiiaa ... phhaa ... ?"

"Aku pelindung padukuhan ini," ucap Paksi pendek.

"Selamat tinggal, tikus jelek!" lanjutnya, sebab pemuda itu sudah berketetapan tidak akan melakukan negosiasi dengan lawan, karena taruhannya terlalu besar.

"Thungg ... ghuu ... "

Terlambat!

Kaki Paksi sudah berkelebat cepat.

Prakk!

Dada kiri Tikus Muka Merah langsung jebol terhantam hawa maut sedingin salju!

"Aku tahu kau akan memohon pengampunan atau apa saja untuk mempertahankan hidupmu.

Tapi aku tidak bisa mengabulkannya, maaf!" ucap Paksi setelah mengakhiri hidup Tikus Muka Merah.

"Simpan saja pengampunanmu di alam keabadian."

Gadis Naga Biru segera menghampiri si Elang Salju.

Pemuda itu justru mendongak ke langit."Gerhana Matahari Kegelapan sebentar lagi terjadi.
Kita harus secepatnya kembali ke padukuhan." kata Paksi Jaladara.

"Benar, kakang!"

Keduanya langsung berkelebat cepat.

Karena tidak mau ketinggalan, Paksi langsung menyambar pinggang Retno Palupi, dan bagai lesatan angin langsung berkelebat cepat, lima kali lebih cepat dari saat mereka berkejar-kejaran.

Lapp! Lapp!

Angin bagai menampar-nampar wajah cantik Retno Palupi.
"Cepat sekali dia berlari," pikir gadis itu sambil merangkul erat Paksi.

-o0o-
 
Terakhir diubah:
Bab 44

"Kita kedatangan penyusup," kata Paksi sesampainya di rumah Ki Dalang Kandha Buwana.

"Kalau begitu, sama dengan yang dijumpai Rintani dan Seto Kumolo," sahut Wanengpati.

"Siapa mereka?"

"Empat Macan Bengis!"

"Dimana mereka sekarang? Apa tertawan?" tanya Paksi lagi.

"Mereka tewas semua."

"Bagus!"

"Kenapa kau katakan bagus?" balik tanya Nawala dengan heran.

"Bukankah lebih baik kita tawan agar bisa kita mintai keterangan?"

"Untuk apa menawan mereka? Percuma! Resiko yang kita tanggung terlalu besar hanya untuk mengorek keterangan yang tidak perlu." tutur Paksi Jaladara, mengemukakan pendapatnya.

"Lagi pula, aku bersama Retno Palupi telah menamatkan riwayat Enam Tikus Gila di dekat hutan sana."

"Retno Palupi?" tanya Wanengpati heran. “Siapa dia?”

"Aku!" seru Gadis Naga Biru dari luar.
Saat itu ia sedang bercakap-cakap dengan Rintani, Ayu Parameswari, dan Nawara.
Bahkan dengan Nawara, Retno Palupi seperti bertemu dengan seorang kakak perempuan, meski usia mereka tidak terpaut jauh, lebih tua Nawara sedikit.

Begitu mendengar suara khas lengkap dengan kecentilannya, tahulah mereka siapa yang bernama Retno Palupi.

"Tidak lama lagi, Gerhana Matahari Kegelapan akan terjadi.

Kita harus tetap pada rencana yang telah kita susun rapi," ujar Paksi Jaladara memimpin rapat, sebab pemuda itu telah disepakati memimpin garis pertahanan di Padukuhan Songsong Bayu, " ... tapi kita ada sedikit perubahan rencana."

"Perubahan rencana? Bukankah rencana kita sudah matang? Kenapa perlu dirubah lagi?" tanya Raja Pemalas.

"Begini ... sewaktu terjadi penyusupan yang dilakukan oleh Enam Tikus Gila, mereka menggunakan Ilmu ‘Kelambu Gaib’ ... "

"Apa?" seru Ki Dalang Kandha Buwana dan Juragan Padmanaba bersamaan, sebab mereka tahu betul kehebatan Ilmu ‘Kelambu Gaib’ yang bisa menembus pagar gaib sehebat apa pun.

"Benar, paman! Ilmu ‘Kelambu Gaib’ dan kemungkinan besar, para pengikut Si Topeng Tengkorak Emas serta para pemilik Rajah Penerus Iblis akan menggunakannya untuk mengelabui mata kita," tutur Paksi Jaladara.

"Dan satu-satunya cara untuk mematahkan ilmu ini adalah dengan mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ yang Paman Kandha miliki atau ilmu-ilmu lain yang sejenis."

"Setahuku mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ justru memperkuat daya kesaktian Ilmu ‘Kelambu Gaib’ ... " tanya heran Ki Dalang Kandha Buwana. " ... dengan cara bagaimana Ilmu ‘Kelambu Gaib’ bisa dilunturkan kekuatannya?"

"Dengan cara dibalik membaca mantra dan naik ke tempat yang tinggi, misalnya di atas pohon."

"Benar!" kata Wanengpati tiba-tiba,

"Ayah, bukankah mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ akan semakin menguatkan Ilmu ‘Kelambu Gaib’ jika di rapal di atas tanah, kenapa kita tidak membuat kebalikannya, dengan merapal mantra dalam susunan terbalik dan berada di atas ketinggian?"

"Betul katamu, Waneng! Kita bisa mencobanya, siapa tahu berhasil.

Kurasa dengan bantuan Sepasang Raja Tua, rencana ini bisa berhasil dengan gemilang."

"Dengan senang hati kami akan membantu."

"Hanya itu saja perubahan yang kita lakukan, selebihnya semua sesuai dengan rencana. Ada pertanyaan?"

"Kapan mantra terbalik ini harus dirapal?" tanya Ki Dalang Kandha Buwana.

"Sesaat setelah Gerhana Matahari Kegelapan terjadi."

Semuanya mengangguk pelan tanda mengerti.

"Baiklah, semuanya siap di posisi masing-masing." kata Paksi membubarkan pertemuan singkat itu.

-o0o-

Nawara berjalan lambat-lambat dengan kepala tertunduk, memandangi daun-daun yang berserakan, seperti hati dan pikirannya yang gundah.
"Aaah ... kenapa aku harus jatuh cinta pada pemuda yang sudah punya pilihan sendiri," pikir gadis bersulam rajawali.

“Betul-betul cinta yang salah tempat!”

Tentu saja tingkah laku Nawara tidak luput dari tatap pandang Retno Palupi dan Paksi Jaladara.
Keduanya saling pandang.
Retno Palupi menganggukkan kepala melihat tatapan permohonan dari Paksi.

"Lebih baik Kakang Paksi temani Nawara, kasihan dia.
Mungkin sedang mengalami masalah pelik."

"Kau tidak marah?"

"Kenapa harus marah padamu? Toh tambah satu lagi aku juga tidak keberatan," kata Retno Palupi sambil mengedipkan mata.

"Tambah satu lagi? Apa maksudmu?" tanya Paksi Jaladara, heran.

"Nanti kakang akan mengetahuinya.
Cepat temani dia!" kata Retno Palupi sambil mendorong-dorong Paksi untuk menyusul Nawara,
"Lagian tempat kalian berdua juga berdekatan.
Nanti aku menyusul."

Kali ini Paksi lebih baik menyerah, menuruti kehendak sang Tuan Putri!

Baru berjalan beberapa langkah, Retno Palupi mengirimkan bisikan jarak jauh, yang hanya bisa didengar oleh Paksi seorang.

"Kakang ... aku mencintaimu."

Paksi tersenyum kecil, sambil menoleh, bibirnya berkemik-kemik mengucapkan sesuatu.
Dari gerak bibir Paksi, Retno Palupi bisa membaca dengan jelas bahwa ucapan itu adalah 'Aku juga mencintaimu, Nimas Retno'!
Keduanya saling melempar senyum kemudian Paksi balik badan, menyusul ke arah Nawara.

"Nawara ... tunggu!"

Nawara berhenti. Jantungnya berdebar kencang, bagai saling berlari mendahului di dalam dada.

"Kakang Paksi ... " desis Nawara.

"Boleh jalan bareng?" tanya Paksi setelah ia sampai di sebelah gadis berpedang kepala rajawali bertolak belakang itu.

Gadis itu hanya mengangguk pelan meng-iya-kan.
Keduanya berjalan lambat-lambat dalam keheningan.

Tidak ada kata. Serba membisu. Dan yang pasti ...
Seperti dua patung hidup yang berjalan!

"Apa ... kau sakit?" tanya Paksi melihat wajah gadis itu pucat pasi.

"Tii ... tidak, Aku sehat-sehat saja."

"Tapi wajahmu pucat begitu. Kau pasti sakit," kejar Paksi dengan cepat. “Lebih baik kau beristirahat saja di dalam.”

"Aku tidak apa-apa.” jawab Nawara, lalu berdiam diri.

Paksi berupaya melanjutkan pembicaraan, “Pertarungan hidup mati akan segera terjadi di tempat ini ... kau sudah siap?”

Nawara menunduk, “He’eh ... “

Entah kenapa, Paksi sulit sekali menyusun kata-kata yang bisa mengungkapkan apa yang ingin dikatakannya pada Nawara.
"Brengsek! Kenapa aku jadi orang bego sih? Lain sekali jika bersama Retno Palupi," pikir Paksi.
“Begitu,” kata Paksi Jaladara, tanpa sepenuhnya tahu apa yang ia maksud sepotong kata ‘begitu’.
Bah, apanya yang ‘begitu’?

“Yaa ... begitulah,” jawab Nawara tetap menunduk.

“Bagaimana perjalananmu tadi pagi ke hutan dengan Retno? Menyenangkan?” tanya Nawara memecah kesunyian, terdengar nada bergetar di dalam sana.

Paksi sejenak tertegun, lalu menyahut cepat, “Tidak ada yang istimewa sama sekali ... biasa saja ... ”

“Hi-hi-hik ... “ tiba-tiba Nawara tertawa kecil, sadar dengan tanya jawab konyol mereka berdua.

Paksi juga tertawa, menyadari bahwa Nawara dan ia sendiri dalam situasi yang aneh.

Seonggok daun asem kering bergemerisik terbang terbawa angin, melewati jarak antara Paksi dan Nawara yang berdiri berhadapan di bawah pohon asem yang sebagian besar daunnya telah rontok.

“Kulihat kau terlihat bersedih belakangan ini?”
Akhirnya Elang Salju berhasil mengeluarkan pertanyaan penting.

Nawara mengangkat muka.
Kedua matanya yang bening sejenak menyiratkan sinar mesra, tetapi lalu segera meredup menghilang kembali.

“Masih sedih?” desak Paksi karena Nawara tak menjawab.

“Lumayan,” jawab Nawara pendek, kedua matanya menatap langsung ke Paksi, terlihat binar kemesraan yang terpancar samar.

“Maaf,” kata Paksi pendek, menatap pandang gadis di depannya, mencoba menyampaikan pesan bahwa ucapannya itu adalah ungkapan langsung dari dalam lubuk hati.

“Untuk apa minta maaf?” Kata Nawara, jernih bening seperti mata pedang yang baru terasah.

“Karena aku mengungkapkan kesedihanmu, mungkin?”

Nawara menggeleng perlahan.
“Aku sudah tidak sedih lagi ... sekarang ini.”

“Benar?

”Gadis itu mengangguk, sambil tersenyum kecil.

“Lalu, kenapa kau bersedih?” tanya Paksi semakin heran.

“Peduli apa kakang mengetahui aku sedang sedih atau tidak?” Nawara balik bertanya.

“Karena aku dan Retno pikir kamu sedang susah hati, maka aku berusaha menghiburmu,” sahut Paksi cepat. Apa-apaan ini? sergah hatinya.

Nawara mendengus pelan, nyaris tak jelas, “Dasar tak punya perasaan!”

Pemuda itu terpana.
“Lho ... siapa yang tak punya perasaan?” sergahnya membalas. “Aku!?”

“Kakang cuma peduli pada apa yang terjadi pada diri kakang sendiri!” sahut Nawara ketus.

“Lho kok ... “ kata Paksi terputus.

“Kakang Paksi tidak peduli sama sekali terhadap apa yang aku rasakan sekarang.
Sedih,senang atau marah, apa peduli kakang padaku ... !” Kata Nawara, menerobos kuat di antara relung-relung kerikuhan.

“Lho ... apa maksudmu?” Ucap Paksi sungguh tak mengerti, pikirnya, “Ketemu saja baru dua hari, gadis ini kok ngomongnya bikin sengsara hati?”

“Ah ... sudah, lah!” sergah Nawara.

Paksi menghela nafas panjang dan menghempaskannya kuat-kuat.

Gadis di depannya ini menawarkan teka-teki yang sulit diterjemahkan oleh otak pintarnya.

“Bahkan Kakang Paksi tidak usah peduli pada perasaan yang kurasakan saat ini!” lanjut Nawara
seperti seseorang yang tiba-tiba menemukan cara terbaik untuk mengungkapkan pendapat dengan baik.

“Nawara ... aku tak mengerti apa maksudmu! Kau membuatku semakin bingung,” potong Paksi, cepat.

Nawara menyela cepat dan lebih keras dari sebelumnya, seperti seorang hakim kerajaan menuntut seorang penjahat rimba persilatan golongan hitam kelas kakap yang menghadapi risiko hukuman mati.

“Kakang Paksi tidak pernah mengerti perasaanku. Tidak mau tahu!”

Paksi terpana. "Sinting!" sergahnya dalam hati. "Kenapa gadis cantik ini jadi marah-marah di depanku, padahal sebelumnya ia seperti anak kucing yang manis?"

“Aku sudah berusaha, tapi ... “ ucapan Paksi terhenti sendiri.
"Sebenarnya ... apa maksudnya, kok aku jadi bingung sendiri? Dari tadi kata 'perasaan' diulang-ulang terus?" pikirnya.

Nawara menunggu sejenak, lalu karena tak ada kelanjutannya gadis itu menyambung,
“Tapi Kakang tidak betul-betul berusaha.
Tidak pernah sungguh-sungguh ingin mengetahui perasaanku!”

Paksi terdiam.
Daun-daun ikut diam.
Pohon asem pun ikut diam.

Nafas Nawara terdengar sedikit memburu.
Gadis itu seperti mengeluarkan tenaga berlipat ganda untuk mengungkapkan semua yang barusan ia ungkapkan.
Sesungguhnyalah Nawara merasakan jantungnya berdebur sangat kuat dan emosinya seperti air sungai yang banjir bandang hendak meluap menerjang ke tepian.

“Aku tak mau diganggu! Aku mau sendirian,” bisik Nawara tiba-tiba.
Tanpa menunggu reaksi Paksi, gadis itu balik badan dan melangkah cepat ke lokasi penjagaan yang memang cuma terletak beberapa tombak saja dari tempat mereka berdiri.
Dia di sudut utara, bersama dengan Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api.

“Aku ikut!”
Tahu-tahu Paksi sudah berkata begitu sambil menyusul Nawara.

“Aku ngga mau kakang ikut ... !” sergah Nawara ketus sambil terus melangkah, bahkan langkah kakinya semakin melebar, “Aku mau sendiri!”

“Nawara ... “ bujuk Paksi lembut, “ ... aku masih ingin bicara denganmu.”

“Aku capek!” sahut gadis yang memang bisa sekeras baja dan setajam pedang itu.

Paksi terdiam. Dengan lesu ia membiarkan Nawara pergi, memandangnya menghilang di balik gerbang padukuhan.

Setelah sekitar dua helaan napas, pemuda itu berbalik menuju tempatnya yang memang juga cuma beberapa langkah dari situ.

Namun, walaupun secara fisik jarak itu dekat, tapi terasa seperti beribu-ribu tombak dalam pikiran Paksi.
Letih sekali ia menjalaninya!
"Sebenarnya apa yang terjadi?" gumam Paksi pada diri sendiri.

"Masak pemuda romantis seperti Kakang tidak mengerti juga?" sebuah suara merdu menyeruak.

"Nimas Retno ... "

"Apa Kakang paham yang aku maksudkan?" tanya Retno sambil duduk bersebelahan dengan Paksi di sebuah dipan panjang.

Paksi hanya menghela napas panjang sambil menggeleng lemah.

"Nawara juga ... menyukaimu, Kang!"

"Heh?" pemuda itu terlonjak kaget. "Apa kau bilang?"

"Nawara juga mencintaimu, seperti halnya aku mencintaimu." tutur Retno Palupi, tidak ada nada kecemburuan yang keluar bibir dan sinar matanya. “Dari sinar matanya saja aku bisa melihat, mungkin cintanya kepadamu lebih besar dari cintaku kepadamu."
Benar-benar gadis luar biasa!
 
Bab 45

Seorang gadis, apalagi termasuk dalam kategori cantik, tentu akan sangat memuja pasangannya setinggi langit dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.

Jika ada gadis lain yang menyukai pemuda yang disukainya, rasa panas pasti menggelayuti seluruh pori-pori dalam tubuhnya.
Dalam arti luas ... cemburu buta!

Justru Retno Palupi melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan seorang gadis yang mempunyai pasangan tampan dan rupawan.
Dia membiarkan saja gadis itu ikut pula menyukai pemuda disukainya tanpa ada rasa cemburu atau iri hati. Malahan ia bangga, pemuda pilihannya ternyata bisa menarik minat gadis lain, yang berusaha mencoba masuk dalam kehidupan mereka berdua.

"Tunggu ... tunggu dulu ... jadi yang kau maksud dengan 'tambah satu lagi' adalah ini?" tanya Paksi dengan tatap pandang menusuk ke dalam mata Retno Palupi.

"Aduh ... Kakangku ini pinter deh." kata gadis itu dengan senyuman manis terukir.

"Dan aku yakin, Kakang Paksi tidak akan menolak gadis secantik Nawara."

"Bagaimana Nimas bisa berkata seperti itu?"

"Berarti Kakang orang tolol bin bego! Karena aku juga seorang gadis.

Tahu betul bagaimana watak seorang laki-laki terhadap seorang wanita, apalagi dia cantik jelita," urai Retno Palupi panjang lebar.

"Jika aku menerimanya, bukankah itu tidak adil untukmu, Nimas."

"Tidak juga!" kata Retno Palupi, enteng, " ... selama Kakang bisa membagi diri dengan adil antara kami berdua, aku tidak keberatan." lalu berdiri lambat-lambat, berjalan ke arah bagian belakang Paksi.

"Kami berdua ... kami berdua ... ! Memangnya aku sudah pasti setuju apa dengan usul gilamu itu," sungut Paksi Jaladara sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, walau dalam hati ia merasa senang juga dipuji seperti itu.
Yang jadi masalah adalah prakteknya, itu yang sulit!

Sambil memeluk mesra Paksi dari belakang, yang tentu saja, langsung merasakan kekenyalan gumpalan padat menghangati sekitar punggung si pemuda.
Retno Palupi merebahkan kepala di punggung Paksi.
Sebentuk perasaan sayang tiba-tiba saja menyeruak keluar dari dalam dada, menyebabkan Gadis Naga Biru memejamkan mata.

"Kakang harus bisa menerimanya, seperti halnya menerima diriku," suara berbisik terdengar lirih di telinga kiri Paksi.

Bulu kuduk pemuda itu langsung meremang karena geli.

"He-he-he ... "

"Apa yang Kakang tertawakan?" tanya heran Retno Palupi.

"Biasanya para laki-laki yang merayu gadisnya agar ia bisa mendua, tapi kini justru terbalik! Nimas merayuku agar menduakan dirimu! Benar-benar kekasih ajaib kau ini," kata Paksi sambil mencubit pelan hidung mancung Retno.

"Yah ... aku hanya berbagi kebahagiaan saja dengan orang lain, masak tidak boleh?" kata Retno, manja.

"Tentu saja boleh! " kata Paksi menggantung. “Tapi ngomong-ngomong ... “

"Apa?"

Sambil menarik kepala Retno sedikit ke samping, tepat pada telinga gadis, ia berbisik mesra,

"Milikmu besar juga."
Dan tanpa permisi ...

Cupp!

Sebuah ciuman cinta mendarat di pipi halus gadis itu.

"Iihh ... Kakang curang!" katanya sambil melepaskan pelukan.

Mereka bercanda ria dan tertawa-tawa lepas di sebuah bangku kecil yang memang cukup untuk mereka berdua, itu pun harus duduk berdempetan.

Tanpa terasa, waktu sudah semakin siang.

Saat-saat Gerhana Matahari Kegelapan sudah menunjukkan tanda-tanda bakal terjadi.

Si Elang Salju langsung menyadari perubahan alam yang masih samar itu.

"Retno, apa kau merasakan sesuatu?' tanya Paksi, masih memeluk Gadis Naga Biru.

"Aku merasakannya Kakang.
Hawa berubah menjadi sedikit dingin, dan angin ... seperti berhenti berhembus saat ini," ucap Retno Palupi,
" ... apa tanda-tanda bencana bakal terjadi sekarang?"

"Mungkin saja," pemuda itu berkata sambil melepas pelukan, lalu bangkit berdiri, "Nimas, kembalilah ke posisimu."

"Baiklah, Kakang! Berhati-hatilah," kata Retno sambil menggenggam erat tangan pemuda itu, dan menghadiahkan ciuman hangat di bibir pemuda berbaju putih-putih, yang langsung dibalas dengan lumatan mesra.

"Kau juga harus hati-hati, Nimas," kata Paksi, lalu sambungnya, " ... Kakang ada sesuatu untukmu. Kau tunggulah sebentar disini."

Tanpa menunggu jawaban, Si Elang Salju berkelebat pergi, dan bagai angin pula, ia telah kembali ke tempat itu.
Di tangannya tergenggam dua buah benda yang panjangnya bertolak belakang.

"Aku tahu Nimas tidak membawa senjata ... "

"Aku biasa tidak bersenjata, Kakang." ralat Retno Palupi.

"Tidak ada salahnya memiliki senjata.
Disini ada Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan dan Pedang Samurai Kazebito ... " kata Paksi sambil mengangsurkan dua senjata anehnya.

"Silahkan Nimas pilih salah satu."

"Tapi Kakang ... ini kan pedang dan golok milikmu."

"Aku tidak keberatan, Nimas."

Retno tahu, waktu yang mereka miliki tidaklah banyak, ia harus segera mengambil keputusan saat itu juga.
Tangannya mengarah ke Sepasang Golok Terbang Mengejar Bulan, tapi ia urungkan.
Justru tangan halus itu mengarah ke Pedang Samurai Kazebito.

"Bagaimana jika pedang panjangmu yang kupilih?"

"Aku setuju! Sebenarnya sudah kutetapkan Nimas memegang pedang ini," kata pemuda itu sambil mengangsurkan Pedang Samurai Kazebito pada gadis itu.

"Nimas bisa jurus pedang?"

"Jelek-jelek begini aku handal menggunakan Ilmu ‘Pedang Naga Laut’ warisan kakekku," sahut Retno Palupi.

"Syukurlah kalau begitu."

"Dengan senjata sekecil itu apa Kakang yakin bisa menggunakannya." kata Gadis Naga Biru, melihat sepasang senjata yang disebut golok itu.

"Sangat yakin!"

"Sangat yakin?"

Pemuda itu hanya mengangguk pelan.
Tak lama, keduanya segera berpisah, tentu saja sebelumnya ciuman hangat bertaut di bibir pasangan kekasih itu.

Tiba-tiba terdengar pekikan nyaring di angkasa.

Awwwk ... awwwkk ... !

Pekikan elang yang panjang nyaring melengking, sebagai pertanda bahwa musuh telah menembus pagar gaib 'Delapan Roh Penjuru Angin' yang dibuat dari Mutiara Hastarupa Hastawarna yang diletakkan di delapan sudut Padukuhan Songsong Bayu.

Semua orang yang memiliki Bintang Penakluk Iblis langsung memposisikan diri masing-masing di delapan sudut arah mata angin.

Pemilik bintang satu, Si Elang Salju sebagai Pewaris Sang Angin menduduki posisi timur.

Pemilik bintang dua, Jin Kura-kura sebagai Pewaris Sang Air menduduki posisi tenggara.

Pemilik bintang tiga, Rintani yang juga murid Kutu Buku Berbambu Ungu bersama dengan Seto Kumolo alias Sabuk Hitam Macan Loreng yang juga Ketua Perguruan Gerbang Bumi menduduki posisi selatan.

Pemilik bintang empat, Simo Bangak sebagai Pewaris Sang Tanah menduduki posisi barat daya dan barat, meski cukup berat, tapi bocah sableng itu justru menikmati tugas gandanya, karena bintang ke lima juga tertera rapi di tubuhnya.

Pemilik bintang enam, Gadis Naga Biru putri tunggal Majikan Wisma Samudera menduduki posisi barat laut, lengkap dengan Pedang Samurai Kazebito yang masih berada dalam sarung.

Pemilik bintang tujuh, Ayu Parameswari sebagai Pewaris Sang Api menduduki posisi utara bersama dengan Nawara.

Pemilik bintang delapan, anak Wanengpati yang masih dalam kandungan ditempatkan di posisi timur laut.

Dikarenakan bintang ke delapan masih dalam kandungan maka diletakkan pada sudut yang berdekatan dengan posisi timur agar mudah diawasi, selain itu masih dijaga ketat Sepasang Raja Tua, Juragan Padmanaba dan Nawala,

Sedangkan Ki Dalang Kandha Buwana dan suami Dhandhang Gendhis yaitu Wanengpati berdiri tegak di atas pucuk-pucuk pohon.
Mereka berdua berkedudukan paling diandalkan untuk melumpuhkan Ilmu 'Kelambu Gaib' yang kemungkinan besar digunakan pihak lawan.

Beberapa saaat kemudian, desiran angin terhenti dengan tiba-tiba.
Suasana terang benderang menjadi sedikit redup, seperti pada petang hari.
Semua orang yang ada ditempat itu langsung bersiaga penuh mengetahui tanda-tanda bencana telah muncul.

Tiba-tiba tubuh Paksi bergetar, bulu kuduknya merinding,

"Ada hawa pembunuh yang sangat kuat dari beberapa orang di depanku."Jarak sepuluh tombak dari arah pemuda itu kembali terasa hawa pembunuh yang semakin dahsyat!
"Gila," pikirnya, "Rasanya selama ini belum pernah aku bertemu dengan hawa pembunuh sekuat ini! Aku harus memberitahu Paman Kandha."

Dengan ilmunya yang sudah tinggi, Paksi segera mengirimkan suara jarak jauh yang ditujukan pada Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
"Paman Kandha, lantunkan mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’, sebab mereka ada sejarak sepuluh tombak dari tempat kita berdiri." kata si Elang Salju.

Dua orang itu segera saling pandang, dan mengangguk hampir bersamaan.

Sebentar kemudian, terndengar lantunan mantra yang aneh.
Tidak umum.
Tidak sebagaimana mestinya.
Mantra sakti yang terbalik!

Bersamaan dengan gaung mantra ‘Rajah Kalacakra Pangruwating Diyu’ mengalun, terjadilah kehebohan di delapan sudut penjuru mata angin.

Bushh ... buussh ... !

Kepulan asap warna-warni membumbung ke atas dengan cepat, lalu hilang di udara.
Begitu kepulan asap menghilang, tampak sepasukan makhluk gaib yang telah mengepung tempat itu!

Semua orang yang berada di wilayah itu mengalami keterkejutan yang teramat sangat, diantaranya sampai mengeluarkan keringat dingin tanpa mereka sadari.

Jumlah pasukan makhluk gaib terlalu banyak sehingga Paksi Jaladara dan kawan-kawan sulit mengetahui jumlah pasti makhluk-makhluk negeri siluman itu.

"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jika begini caranya sulit sekali menumpas mereka," pikir Paksi Jaladara.

Pemuda itu berusaha setenang mungkin dalam menghadapi bahaya yang ada didepan mata!
Benar-benar pemuda pilihan!

Didepan Si Elang Salju sendiri berdiri puluhan bahkan mungkin ratusan siluman kera dengan beraneka ragam bentuk dan jenis yang berteriak-teriak, jingkrak-jingkrak tak karuan.

Paling depan sendiri berdiri kokoh sesosok tubuh kekar dengan gada besar di atas pundak.
Tubuhnya memang seperti sosok manusia, tapi tarikan bibir dan selebar wajahnya berbulu lebat dengan mata menyala kuning kemerahan bagai mutiara.
Yang lebih menggidikkan, ternyata makhluk itu memiliki sebentuk ekor panjang yang ujungnya memiliki gaetan dari besi hitam.
Dialah Senopati Monyet Plangon!

Sementara itu, di depan Jin Kura-kura yang berada di posisi tenggara, tersebar ribuan jenis hewan berbisa berbentuk kalajengking yang dipimpin tiga siluman kalajengking berkepala manusia, terdiri dari kala kuning yang kehilangan tangan kiri, kala hijau dan kala biru.
Merekalah yang disebut sebagai Kelompok Kala Maut pimpinan Senopati Kala Hitam, orang yang berdiri berkacak pinggang berpakaian hitam-hitam dengan sebuah cambuk aneh ekor kalajengking melilit pinggang.
Wajah tirusnya sebentar-sebentar menyeringai menampakkan seribu kelicikan.

Sedang Rintani murid Kutu Buku Berbambu Ungu dan Seto Kumolo Ketua Perguruan Gerbang Bumi juga tak kalah kagetnya.
Sebab dihadapan mereka berdiri ratusan siluman beraneka ragam bentuk.
Ada tuyul, jin kecil-kecil, setan berkepala besar, tengkorak berjalan dan sebagainya.

"Kakang, bagaimana menghadapi siluman seperti mereka? Apa ilmu-ilmu kita mempan pada mereka?" tanya lirih Rintani dengan rasa khawatir.

"Aku sendiri juga tidak tahu, Rintani! Ini adalah pertarungan teranehku yang pertama," bisik pula Seto Kumolo, sambil menggenggam erat tangan kekasihnya, seolah berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman. “Kita serahkan saja pada Hyang Widhi!”
Rintani pun semakin erat menggenggam tangan Seto Kumolo, seakan tidak mau dipisahkan.

Justru yang paling bahagia adalah Simo Bangak kali ini!
Lho, kok bisa?
Tentu saja bisa, sebab di hadapan bocah sableng itu berdiri seorang wanita cantik berambut panjang dengan tubuh manusia dari kepala hingga sebatas pusar, sedang dari pusar kebawah seluruhnya bertubuh ular.
Tentu saja bocah gendeng itu gembira, karena lawan yang dihadapinya meski termasuk jenis siluman ular berbadan manusia, tapi Senopati Taksaka Sunti, si wanita siluman ular hadir dalam keadaan telanjang bulat sehingga menampakkan segala kemolekan tubuh sintal dan montok miliknya.
Rambut panjangnya menutupi sebentuk gumpalan padat menggelembung yang ada di depan dada, sedang di belakangnya ribuan jenis ular melata sambil menjulur-julurkan lidah merah bercabang dua.
Kali ini, Senopati Taksaka Sunti datang lengkap dengan Barisan Ular Setan andalannya!

Sedang di bagian barat, entah darimana datangnya, seorang pemuda berbaju coklat buntung tanpa kancing bercelana pangsi hitam sudah berada ditempat itu.
Sepasang pisau panjang telanjang bercahaya biru keemasan tergenggam erat di tangan.
Meski tidak cukup tampan, tapi sinar matanya teduh mententramkan hati.

Semua orang yang ada disitu bertanya-tanya dalam hati tentang siapa adanya si pemuda berpisau panjang yang datang tak diundang.

Tanpa menoleh, pemuda itu berkata pelan, namun jelas,
"Den Paksi! Semoga kedatanganku ke tempat ini belum terlambat."

Kata 'Den Paksi' mengagetkan si Elang Salju, sontak ia menoleh ke sumber suara yang sangat akrab ditelinganya.

"Kakang Gineng?"

"Apa kabar Den Paksi," kata si pemuda yang ternyata Gineng adanya,
"Saya diutus guru untuk membantu ke sini."

"Guru? Maksudmu ayahanda ... "

"Bukan, Den Paksi! Tabib Sakti Berjari Sebelas adalah guru kedua saya, setelah Ki Ragil Kuniran tentunya." kata Gineng, "Cerita selengkapnya lebih baik nanti saja."

Paksi Jaladara hanya mengangguk pelan, pikirnya, "Yang dimaksud Si Perak sebagai utusan dari istana mungkin Kakang Gineng.
Entah bagaimana caranya Kakang Gineng bisa menjadi murid kakek tabib." lalu lanjutnya, " ... syukurlah kekosongan di posisi barat terisi juga.
Biarlah babi raksasa itu dihadapi Kakang Gineng."

Kali ini Senopati Babi Angot, si siluman babi yang berbentuk babi raksasa berhadapan muka dengan Gineng, murid Tabib Sakti Berjari Sebelas dari Pulau Khayangan.
-o0o-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd