Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Pendekar Elang Salju

mohon maaf kisanak blm sempet lanjut postingnya,
insyaallah ntar malem dilanjut lg
:ampun:
 
semakin seru aja, lanjuuuttt...:semangat:

Waduh......
Lurah mesum dikampung lendir kali om....hehehe

betalah om yang penting sampai selesai :baca:

makin seru mudah mudahan ada resi baru buat peksi makin joss :pandajahat:

Ciatttttttt....ciattttt
Jurus memeluk gunung membelah hutan.....ciattttt
Matursuwun om

makasih updetanya begawan,,,, :pandajahat:

Om Bilang ke Gilang untuk up date cerita ini dan "Si Pemanah Gadis"

ya sip makasih begawan :ampun:

kalo elang sama rajawali dikawinin anaknya jadi alap-alap kali yaa:bata::bata:...

wuiiihhhh ilmu yg tak terduga dr nawara.. ckckck bisa terbang juga kaya paksi keren... cocok deh

paksi 2 udah cukup belom :mindik:

makasih apdetnya suhu :mantap:

:aduh:tega2nya...tega2nya...passs bener motongnya...:hua:

:pandatakut: O...o... ketinggalan 7 episode! Alamak kudu ngebut ....:ngacir: THANKS SUHU!!!!

Thanks suhuu atas updatenya
Dinantikan kelanjutannya
Sehat dan lancar selalu....

:semangat:Thanks suhu update

Makasih updatenya kisanak:beer:

Kagak ada bosennya mantengin cerita ini:semangat:

Anjir... Smlm update trnyata
...telat baca ...
Makin seru nih....
...
Jadi yg dimaksud istri elang ada 2 tuh..si nawara n retno ya om ts ?

Mantabs di tunggu updatenya hu..?

Luar biasa cerita gak kalah dengan wiro sableng..Bravo Suhu...

iuar

Makasih ki...makin penasaran

Lanjutkan ... abdetannya kisanak

Lanjutkan ... abdetannya kisanak

nitip sendal ya hu

Sundul ahhh ... biar cepat update

tambahin SS yg detail mungkin bs jd bumbu penyedap lain suhu.. Karna ini kan forum semprot, jd boleh lah ditambahin..

Aihh banya bingit..:mati:

Hiaattttttt ya... nanggung banget ya,

Genre cerita yg ditunggu tunggu ni

:mantap::mantap::mantap:


lanjutken suhu

Waaahh... Bikin nyandu nih cerita

Full action...

Dasyaat tenan...

Benar-benar terobati akan rindunya cersilnya..... :mantap::ampun::ampun::ampun: beribu terima kasih kami haturkan kepada kisanak.....

ketok arep jedul neng wuwungan wanca warna gek gek gek glodak glodak pyar opo kwi? jebuli kucing gandek guakakaka

Ayo lurahe' tak enteni updatene....
Wes tak cepakne udud ro kopine .....

Cepatlah update kisanak..

makasi update nya hu
di tunggu kelanjutannya

Akankah malam ini update suhu?
:bingung:

Wah tumben belum update

Mantap surantab Om

Kita lempar jurus Kunyuk Melempar BH biar semangat update

Mantap hu.....
Ane suka cerita silat kaya gini

nunggu pendekar elang salju jilid 2 nya hahahaha...dah nyari gak ketemu

Updatenya ditunggu suhu..

Kapan update lg hu ??
Selalu dinanti updatenya

Ditunggu
Selalu menunggu


durung jedul ki bawa lingsir wengi

Makasih suhu... Apdetan yang luarrrrr biasa

semoga bisa dilanjutkan....

Lanjutken Kisanak.....

Apa kah sudah sampai di sini saja ???
Seperti si pemanah gadissss???

Luar biasa hu,sampe kebawa mimpi

Santai Om Suhu... Kami setia menanti..
;)

RL dulu suhu...
Siap menanti jurus selanjutnya



Sehat selalu suhu

TOLONG DONG HU TAMATIN KISAH INI SEGERA:ampun::ampun::ampun:
makasih banyak jenengan semua masih betah dimari,
mohon maaf ga bisa bales satu satu
:ampun::Peace:
 
Bab 53

Sebuah suara teguran keluar dari mulut Nawara,
tapi bukan suara merdu Nawara yang terdengar justru suara berat seorang laki-laki yang berat berwibawa.

Mendengar suara berat itu, selebar wajah Senopati Jaran Panoleh langsung memucat!
Dirinya tahu betul yang mengetahui nama aslinya hanya dua orang.
Yang pertama tentulah Sang Maharaja Agung Kerajaan Iblis Dasar Langit tempat ia mengabdi selama ratusan tahun, dan yang kedua adalah Ketua Padepokan Sangga Buana yang bergelar Dewa Rajawali Sakti yang telah mengalahkannya tewat pertarungan tiga hari tiga malam.

"Ampunkan hamba ... Ketua ... !" kata Senopati Jaran Panoleh sambil duduk menyembah.
"Kali ini saya akan menepati janji!"

"Tidak! Satu kali ampunan sudah cukup bagimu!" bentak suara berat dari mulut Nawara.

Tentu saja perbuatan Senopati Jaran Panoleh dan apa saja yang terjadi di arena maut tersebut bisa diketahui semua orang yang ada di tempat itu.

"Kali ini hamba benar-benar akan meninggalkan Istana Iblis Dasar Langit untuk selamanya, ketua!" janji sang senopati dengan kepala menunduk.

"Aku sudah menetapkan hukuman, tidak bisa ditarik begitu saja, Kuda Randana!"

Suara berat Nawara yang diduga adalah roh gaib dari Dewa Rajawali Sakti yang masih melayang-layang di udara, terlihat merangkap tangan di depan dada, sedang Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib terlihat berdiri tegak lurus dengan ujung mata pedang menghadap ke bawah sejarak satu jangkauan tangan.

Woshh ... swirrr ... wuuungg ... !

Terdengar desau angin tajam saat sepasang telapak tangan yang merangkap di depan dada sang dara.
Bersamaan dengan suara desiran angin, seluruh tubuh murid Rajawali Alis Merah terlihat diselimuti cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, lalu diikuti dua telapak tangan yang semula merapat sedikit merenggang satu jengkal.
Akan tetapi, yang terlihat cukup tebal cahaya bening hijau kekuning-kuningan terletak bagian tengah telapak tangan yang sedikit merenggang yang perlahan namun pasti membentuk bola cahaya bening hijau kekuning-kuningan.

Senopati Jaran Panoleh yang duduk menyembah langsung pucat pasi melihat tata ilmu yang sedang digelar di depan matanya.
Dengan ilmu itu pulalah, yang memaksanya berjanji selama hidup pada Dewa Rajawali Sakti untuk berbuat kebaikan, tapi justru ia ingkari semenjak tokoh utama dari Padepokan Sangga Buana meninggal dunia.
Ilmu ‘Pukulan Terakhir Penentu Takdir’!

"Celaka dua belas! Kali ini aku benar-benar akan mati mengenaskan!" batin Senopati Jaran Panoleh dengan muka pias.

Jika sebelumnya tarian kemenangan sudah berada dalam genggaman, dalam waktu sekedipan mata saja sudah berubah menjadi panggilan kematian!

Sementara itu, Ayu Parameswari yang sebelumnya gagal lewat tendangan 'Naga Bayangan Membuka Pintu', kini juga sudah bersiap-siap menggunakan jurus pamungkasnya.
Belum sampai ia merapal ilmu itu, sebuah suara berat menahan langkahnya.

"Murid Nini Naga Bara Merah!" kata Nawara.
"Biarkan aku saja yang mengantarnya ke alam kelanggengan!"

Ayu parameswari tertegun.
Namun melihat sorot mata berwibawa dari Nawara yang sedang mengerahkan ilmu kesaktiannya terlihat memerintah, membuatnya tanpa sadar melepas kembali jurus pamungkasnya.

"Kenapa aku ini?
Suara itu ... terdengar sangat agung dan tak bisa dibantah," pikir si gadis berbaju merah.
"Lebih baik aku lihat dulu apa yang terjadi, baru bertindak," lanjutnya membuat keputusan.

Dalam pada itu, Senopati Jaran Panoleh yang dalam kondisi patah semangat, seperti mendapat kekuatan tambahan, mendadak ia bangkit berdiri, meski cuma dengan kaki kiri.

"Dewa Rajawali Sakti! Aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Kuda Randana atau Senopati Jaran Panoleh.

"Bagus! Itu lebih baik daripada kau menunggu kematian!"

Kemudian senopati bermuka kuda mengerahkan semua ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Setelah kalah dari ketua padepokan sangga buana dan sembuh dari luka-lukanya, Kuda Randana mulai mencoba menggabungkan seluruh ilmu dan jurus siluman yang dimilikinya yang pada akhirnya terciptalah satu jurus pukulan yang bernama 'Pukulan Tapak Kuda' dan satu jurus tendangan yang dinamai 'Tendangan Kaki Kuda', dimana ilmu ini merupakan gabungan antara ‘Ilmu Baju Besi Iblis’ tingkat emas, 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat akhir, Ilmu Silat 'Kuda Iblis' dan daya gaib dari Permata Setan yang diberikan oleh Sang Maharaja Agung padanya setelah ia mengalami kekalahan pada masa ratusan tahun silam.

Jrasss .... srasss ... !!

Begitu ia menghimpun tenaga silumannya, seluruh tubuh Senopati Jaran Panoleh dilingkupi sinar kuning keemasan berbentuk kuda emas raksasa dan sinarnya memancar ke segala arah.

Pyarrr ... !

Sinar itu begitu menyilaukan mata sehingga Ayu Parameswari harus menutup kelopak matanya dengan segera.

"Ilmumu telah maju pesat, Kuda Randana!" kata Nawara yang disusupi roh gaib Dewa Rajawali Sakti, dimana saat itu himpunan hawa sakti dari Ilmu ‘Pukulan Terakhir Penentu Takdir’ sudah pada tataran puncak.

"Sekarang ... terimalah ajalmu!" bentak Nawara sambil mendorong bola cahaya seukuran buah kelapa dan dibelakangnya masih diikuti dengan luncuran Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib melayang cepat seakan mendorong maju bola sinar itu ke arah Senopati Jaran Panoleh.

Wutt! Woooshh ... !!

Pusaran badai angin menderu-deru langsung menerjang maju ke arah lawan yang dengan sigap pula langsung membalas dengan melakukan rentetan serangan mematikan.

Plakk! Plakk! Duess!!

Ratusan bentuk tapak dan tendangan kuda berusaha membendung laju bola sinar dari Ilmu ‘Pukulan Terakhir Penentu Takdir’, namun semuanya kandas, bahkan ada dari beberapa bayangan tapak dan tendangan lawan yang justru menyerang balik pemiliknya sendiri.

Plakk! Drakk! Brakk!!

"Heeigghhh ... !"

Senopati Jaran Panoleh meringkik nyaring dan bersamaan dengan suara ringkikan, di antara celah bayangan tapak dan tendangan, sebentuk tapak kuda raksasa dan tendangan kuda raksasa menerobos masuk ke dalam kepungan.

Wutt! Wutt! Blammm .... !

Akhirnya, bola sinar hijau kekuning-kuningan yang berasal dari Ilmu ‘Pukulan Terakhir Penentu Takdir’ dikeroyok dua jenis ilmu siluman tingkat tinggi yaitu 'Pukulan Tapak Kuda' dan 'Tendangan Kaki Kuda' yang digunakan oleh Senopati Jaran Panoleh dalam usaha mempertahankan selembar nyawanya.
Gesekan keras membahana membuat guncangan hebat di atas bumi. akibatnya, semua tapak dan tendangan hancur musnah.
Senopati Jaran Panoleh terkesima melihat ilmu pamungkasnya tidak bisa menahan luncuran serangan Dewa Rajawali Sakti.

Bleegarrr ... !

Kembali terdengar suara keras bagai guntur memecah langit di saat bola cahaya hijau kekuning-kuningan berhasil menembus dinding pertahanan yang dibangun siluman bermuda kuda dan pada akhirnya layaknya bor langsung melesak masuk ke dalam dada lawan dan tembus hingga ke punggung.

Brassh ... !

Senopati Jaran Panoleh hanya bisa ternganga saat melihat dinding pertahanannya jebol dan tidak ada teriakan kesakitan sedikit pun saat dadanya ditembus bor cahaya.
Bersamaan dengan melesak masuknya bor cahaya, mulut kuda randana terlihat meruncing cepat dan ...

Cuhh!

Sebentuk ludah kental kuning kusam dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' meluncur cepat ke arah Nawara.

Cesss!

Saat bersentuhan dengan selubung cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan, ludah langsung mendidih pertanda adanya racun yang disertakan dalam ludah tersebut.
Bersamaan dengan itu gagalnya serangan ludah, tubuh senopati jaran panoleh langsung ambruk ke tanah dengan dada berlubang sebesar buah kelapa!

Brughh! Blushhh ... !

Begitu menyentuh tanah, langsung mengeluarkan kepulan asap hitam berbau bangkai menyengat hidung.
Akhirnya senopati paling tangguh dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kalah di tangan musuhnya ratusan tahun silam yang merasuk ke dalam raga Nawara.

Begitu melihat Kuda Randana tewas, roh gaib yang bersemayam ke dalam raga Nawara segera keluar dan masuk kembali ke dalam pedang yang kini tertancap di tanah, tempat dimana sebelumnya Senopati Jaran Panoleh mempertahankan diri.

Srepp!!

Nawara langsung lemas dan jatuh dari ketinggian dalam keadaan pingsan.

Brughh!

Celakanya, punggung dara cantik murid Rajawali Alis Merah justru tepat menimpa ceceran ludah yang sebelumnya gagal mengenai dirinya akibat terlindung oleh roh gaib Dewa Rajawali Sakti.
Begitu menyentuh punggung, cairan ludah langsung meresap masuk tubuh dan akibatnya, tubuh gadis itu langsung merah membara seperti kepiting rebus serta sekujur tubuhnya laksana diamuk birahi tinggi dan dengus napas yang panas.

Memang jurus 'Air Liur Kuda Binal' merupakan senjata gelap beracun yang acapkali digunakan Kuda Randana untuk menjebak lawan tangguh terutama sekali jika lawannya seorang gadis cantik, tentulah akan langsung bereaksi dengan cepat.

Tidak ada obat yang bisa menawarkan racun birahi ini selain kematian yang mengenaskan!

Ayu Parameswari yang melihat Nawara pingsan, langsung memburu ke arah gadis itu sambil menyambar pedang Nawara.
"Celaka! Dia keracunan!" gumam Ayu Parameswari setelah memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya.
“Kampret juga dia! Sudah mau mati saja, masih bisa mencelakai orang lain!”

Saking bingungnya, ia berteriak ke arah Nawala,
"Nawala, cepat kesini!"

Tentu saja Nawala yang semula melihat hal menakjubkan terjadi di depan matanya yang membuatnya terpesona, langsung sadar diri saat melihat tubuh saudara kembarnya jatuh terkulai di tanah.
Saat Ayu memanggil dirinya, ia sudah berjarak dua langkah dri tempat gadis itu berjongkok.

"Nawara kenapa, Ayu?" tanya Nawala dengan cemas.

"Dia keracunan!"

"Kita bawa saja ke tempat Paksi! Biar dia yang mengobati!"

Tanpa menunggu jawaban, Nawala langsung mengangkat Nawara dan berkelebat ke arah teman-temannya berkumpul, dan segera saja Si Elang Salju memasukkan satu Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ke dalam mulut Nawara.

Karena dalam keadaan pingsan, Paksi menotok beberapa urat leher si gadis agar buah obat tersebut bisa masuk ke dalam perut.
Nawala yang pernah melihat benda putih berbau harum itu hanya diam saja, sebab dirinya sendiri pernah mencicipi air rendaman Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka saat Jin Kura-Kura mengobati teman-temannya yang terluka sebelumnya.
Satu helaan napas berlalu.

Dua ... tiga ... hingga sepuluh helaan napas telah terlampaui, tapi kondisi Nawara tetap pingsan seperti sebelumnya, hanya kali ini hawa panas yang merasuk ke dalam tubuh gadis itu telah turun drastis, tapi rona merah pucat tetap terlihat di seluruh tubuhnya.
Yang lebih aneh lagi, dalam kondisi pingsan akibat keracunan jurus ‘Air Liur Kuda Binal’ justru dara berbaju putih itu terlihat lebih menarik, lebih cantik dan menawan hati.

"Aneh, kenapa tidak ada reaksi sama sekali," gumam Paksi sambil matanya tak lepas memandang seraut wajah cantik Nawala.

Retno Palupi yang duduk berjongkok di sebelah pemuda itu bukannya tidak tahu tatapan mata Paksi tidak lepas dari wajah Nawala, bahkan Gadis Naga Biru tersenyum tipis melihatnya.

"Akhirnya, Kakang Paksi sadar juga bahwa Nawala juga bisa mencuri sebagian dari hatinya," pikir Retno Palupi,
"Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot merayu kekasihku ini agar bisa menerima kehadiran Nawala di hatinya.
Semoga saja, hubungan kami bertiga baik-baik saja," pikir si gadis kemudian, " ... dan yang pasti, semoga Kakang Paksi bisa bersikap adil terhadap kami berdua."

Dasar gadis aneh!
Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu di saat kondisi menegangkan seperti sekarang ini.

Tiba-tiba, Gineng memecah kesunyian.
"Den Paksi, racun itu tidak akan bisa diobati dengan satu cara," tutur Gineng, sambungnya,
"Namun, untuk sementara, racun ini tidak akan membahayakan nyawa gadis ini."

"Ya, aku juga tahu, Kakang Gineng!" kata Paksi sambil bangkit berdiri,
"Retno, tolong kau jaga Nawara!"

"Beres!"

-o0o-
 
Bab 54

Sementara itu, peta pertarungan yang tersisa hanyalah Pasukan Kuda Iblis yang diserang membabi buta oleh Pasukan Manusia Rawa dan Senopati Kala Hitam yang masih beradu nyawa dengan sengit melawan Jin Kura-Kura, murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan.

Pasukan Kuda Iblis yang melihat bahwa pimpinannya telah tewas, langsung mengerahkan kemampuan tertinggi masing-masing.

“Hieghh ... hieghhh ... !”

Pasukan siluman yang pada awalnya berjumlah belasan kini tinggal lima siluman kuda berbadan manusia langsung mengerahkan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' secara serempak.

“Hieghh ... hieghhh ... !”

Disertai ringkikan kuda, lima siluman kuda berbadan manusia langsung menerjang cepat ke arah Pasukan Manusia Rawa.

Brakk! Brakk! Craaak! Crakk! Jdderr ... !

Jika Manusia Rawa punya dua kaki, maka siluman kuda justru punya empat kaki yang kokoh.
Begitu dua puluh kaki bergerak menendang secara hampir bersamaan, puluhan Manusia Rawa langsung terlempar dengan tubuh tercerai berai dengan tubuh hancur membentuk serpihan.
Begitu membentuk serpihan dan jatuh ke tanah, cacahan tubuh Manusia Rawa mengeluarkan asap hijau bergulung-gulung.

Blabb!

Begitu asap hijau menghilang, terlihat belasan Manusia Rawa sudah berdiri kokoh menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando, langsung menyerang Pasukan Kuda Iblis yang tersisa.
Tanpa bisa dicegah lagi, mereka berlima menjadi sasaran keberingasan dari Pasukan Manusia Rawa ini, sehingga pertarungan menjadi lebih mengerikan karena diiringi dengusan kuda yang sekarat dan ringkikan kematian yang menyayat.

“Hieghh ... mbrrrr ... !”

Blubb! Blusshh ... !

Jika dilihat sekilas, pertarungan yang tersisa ini seperti ajang pembantaian saja.
Saling banting, saling cakar, saling cekik bahkan ada yang saling hantam dengan jurus-jurus maut yang dilakukan Pasukan Kuda Iblis. Akibatnya, berulang kali terdengar dentuman keras yang memekakkan telinga.

Dharr, dharr, jldarrr ... !

Kembali Pasukan Manusia Rawa terbantai, dan kembali pula jumlah Manusia Rawa bertambah empat kali lipat banyaknya.
Tak pelak lagi, nyali Pasukan Kuda Iblis semakin kuncup.
Satu demi satu mereka meregang nyawa dan kemudian tewas diikuti dengan kepulan asap berbau bangkai, hingga pada siluman terakhir yang langsung terbantai ramai-ramai.

Blubbb! Blushh ... !

Pertarungan mengerikan pun telah usai.
Kini yang tersisa dari hanyalah sekitar empat ratusan Pasukan Manusia Rawa yang tegak mematung seperti menunggu sesuatu.
Tidak ada gerakan apa pun dari mereka, bahkan yang terdekat dari Wiratsoko sejarak dua tombak tidak melakukan apa-apa.

Di sela-sela pertarungan, Joko Keling masih sempat melirik pasukan andalannya.
Begitu tidak ada lagi sisa para penyerang, pemuda berkulit hitam langsung berteriak keras,
“Pasukan Manusia Rawa! Kembali ke asal!”

Begitu mendengar perintah, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung menjatuhkan diri dengan posisi kura-kura merangkak.

Brughh! Brughh!

Bushh ... bushh ... !

Kembali bekas arena pertarungan dibuncahi gumpalan asap pekat.
Kalau sebelumnya adalah warna hitam dengan segala macam bau busuk yang menyengat hidung, kali ini justru gumpalan asap hijau disertai bau daging bakar yang diberi bumbu masak atau rempah-rempah.

Begitu asap dan bau menghilang, yang tersisa hanyalah medan pertarungan terakhir antara Senopati Kala Hitam yang bertarung ketat dengan Jin Kura-Kura.
Pertarungan mereka inilah yang paling lama dan paling seru, bahkan acapkali terdengar suara beradunya tenaga dalam yang dimiliki masing-masing pihak.

Jldarr! Jdlarr!

Senopati Kala Hitam dengan bersenjatakan Cambuk Ekor Kalajengking yang mengandung racun mematikan dan 'Tenaga Gaib Siluman Kalajengking' yang sudah dikerahkan hingga tingkat paling tinggi seolah-olah tidak berguna sama sekali saat berulang kali menyentuh sosok gemuk hitam yang menjadi lawannya.

Tarr! Tarrr!

“Cambuk bututmu tidak akan mempan terhadapku, siluman jelek!” oceh Arjuna Sasrabahu sambil membiarkan senjata lawan mencicipi kehebatan Ilmu ’Jubah Kura-Kura Sakti’ yang menjadi andalannya.
“Lihat sekellilingmu, sobat! Semua teman-temanmu sudah duluan berangkat ke neraka, dan tak lama lagi ... giliranmu pun akan tiba!”

Senopati Kala Hitam yang sedang konsentrasi melakukan serangan-serangan berbahaya, tidak terpengaruh sedikit pun dengan pancingan yang dilakukan oleh lawan, bahkan lewat jurus 'Kalajengking Menyabetkan Ekor' kaki kanan Senopati Kala Hitam berhasil masuk ke dalam daerah pertahanan Jin Kura-Kura di bagian dada saat lawan sedang berusaha memecah konsentrasinya.

Dhess ... ! Duarrr!

Senyum seringai kemenangan sudah terpatri di sudut bibirnya saat melihat serangannya masuk, lalu berkata,
“Dasar manusia bego! Justru kau sendirilah yang akan menyusul teman-temanku ke neraka!”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari bawah yang dengan serta merta membuat Senopati Kala Hitam terlonjak kaget!
“Benarkah?”

Rupanya di saat yang tepat, Arjuna yang mengetahui arah serangan lawan, segera menurunkan tubuhnya ke bawah sambil tinju kirinya menghantam ke kaki lawan.
Tentu saja tinjunya bukan sembarang tinju, tapi tinju yang didalamnya sarat dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ yang dirangkum lewat jurus ’Tinju Kura-Kura Berantai’!

Jadi, suara ledakan yang terakhir adalah saat dimana jurus ’Tinju Kura-Kura Berantai’ menghantam kaki kanan lawan.
Begitu lawan terkesima sesaat, Arjuna Sasrabahu langsung memanfaatkan kesempatan emas dengan melayangkan puluhan bahkan ratusan bayangan tinju ke seantero tubuh Senopati Kala Hitam.

Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh!

Tubuh Senopati Kala Hitam terhajar dengan telak, bahkan untuk bernapas saja sudah kesulitan, apalagi harus menangkis bayangan tinju yang datangnya bagai hujan. Pada tinju terakhir paling keras, tubuh Senopati Kala Hitam langsung melayang ke atas bagai layang-layang putus tali.

Dhess!

Darah kental kehitaman sontak keluar dari sembilan lubang hawa di tubuhnya.

Arjuna yang melihat kesempatan emas ternyata datang untuk kedua kalinya, langsung mengejar sambil berteriak nyaring,
“Sekarang, silahkan cicipi ’Tinju Dewa Api’ milikku!”
Begitu selesai berkata, sebentuk hawa api merah kekuning-kuningan membentuk sosok semu kepala kura-kura yang berasal dari ’Tinju Dewa Api’ yang dengan ditopang dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api’ tingkat tujuh terhampar.

Whusss!!

Begitu cepat datangnya serangan, sehingga membuat Senopati Kala Hitam yang terluka parah tidak bisa berbuat apa-apa.
“Tamat sudah riwayatku ditempat ini!”

Blamm ... blamm ... glarrr ... !

Terdengar suara dentuman bertalu-talu disertai kepulan asap kuning kemerahan saat 'Tinju Dewa Api' yang dilepas Jin Kura-Kura menyentuh raga lunglai Senopati Kala Hitam yang sedang melayang jatuh.

Whuss!

Akan tapi justru yang terpental adalah Jin Kura-Kura dengan kondisi luka cukup parah!

Melihat arah luncuran tubuh Jin Kura-Kura ke posisi ayah dan anak yang saat ini sedang mengawasi keadaan disekeliling arena pertempuran, membuat Wanengpati tanpa diperintah langsung melesat cepat menyongsong luncuran tubuh Joko Keling.

Tapp!

Begitu menyentuh cangkang kura-kura, pemuda itu langsung memutar tangan setengah lingkaran untuk mengurangi daya luncur akibat benturan sambil melayang ringan ke bawah bagai burung walet kembali ke sarang, diikuti dengan Ki Dalang Kandha Buwana yang bergerak lincah ke bawah dengan jurus peringan tubuh yang bernama Ilmu ‘Menjangan Punguh’!

Wuss ... ! Tapp!

“Kenapa kau turun, Kandha?” tanya Juragan Padmanaba saat melihat sang besan berdiri tepat di sampingnya.

“Karena yang kita tunggu selama ini telah hadir disini,” kata lirih Ki Dalang Kandha Buwana dengan mata tetap menatap lurus ke depan, ke arah satu sosok yang sedang melayang turun sambil memondong tubuh Senopati Kala Hitam.

Rupanya pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan perak menghadang serangan pamungkas yang dilancarkan oleh murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan sejarak sejengkal dari tubuh Senopati Kala Hitam dengan lima jari tangan kiri terkembang. Itulah ilmu pertahanan yang paling terkenal di jagad persilatan, ilmu yang juga terdapat dalam Kitab Hitam ‘Bhirawa Tantra’.
Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai'!

Sosok itu berdiri gagah dengan tangan kiri masih diselimuti cahaya tipis keemasan dikarenakan mengerahkan Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai' yang cahayanya semakin lama semakin memudar, sedang tangan kanan disembunyikan di balik punggung. Baju putih keperakan yang dipakainya bagaikan lentera di dalam kegelapan malam, meski glapnya suasana akibat Gerhana Matahari Kegelapan yang diterangi dengan puluhan cahaya obor, tapi masih kalah terang dengan pancaran sinar perak yang berasal dari baju yang dikenakan sosok yang telah menyelamatkan Senopati Kala Hitam.

Yang cukup mengejutkan adalah, sosok berbaju perak itu mengenakan sebuah topeng tengkorak dari baja murni yang bentuk dan wujudnya sama persis dengan topeng tengkorak yang dimiliki oleh Si Topeng Tengkorak Emas.

Sementara dibelakangnya, berdiri ribuan siluman, jin, biang setan dan segala macam penghuni alam gaib lainnya.
Namun anehnya, semua tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri sekarang ini, tidak seperti sebelumnya saat dipimpin Enam Senopati yang begitu riuh dan semarak.

Sementara itu, sosok bertopeng tengkorak terlihat berdiri tenang hingga aura keagungan terpancar keluar dari sosok tubuh tinggi kekar ini.
Namun dibalik aura keagungan itu pula, ternyata tersembunyi satu bentuk aura kegelapan yang bisa menghancurlumatkan apa saja.
Bahkan orang-orang yang ada ditempat itu sampai merinding mana kala ujung-ujung syaraf-syaraf mereka bersentuhan dengan sebentuk kekuatan kasat mata.

Begitu melihat sosok orang yang menyelamatkannya, Senopati Kala Hitam langsung duduk menyembah!
“Maharaja Agung!” kata Senopati Kala Hitam.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, sosok yang disebut sebagai Maharaja Agung justru melangkah maju ke arah tempat Paksi Jaladara dan kawan-kawan berkumpul.

“Tak kusangka, ternyata Mutiara Langit Merah sendiri juga memiliki daya pelindung yang tangguh dan mumpuni,” kata pelan Sang Maharaja Agung, “Aku telah salah perhitungan kali ini!”

Tentu saja laki-laki yang ternyata adalah Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit sendiri yang datang ke tempat itu.
Matanya tidak lepas dari gumpalan cahaya kunang-kunang yang menyelimuti sosok majikan Mutiara Langit Merah dan ibunya.
Laki-laki itu tahu betul, bahwa dirinya tidak akan mampu mendekat apalagi sampai mengambil benda yang sangat diinginkannya tersebut.
Satu-satunya orang yang bisa mengambil Sepasang Mutiara Langit tanpa terhalang pancaran sinar maut hanya majikannya sendiri dan juga sejenis manusia setengah setan separuh iblis, dan satu-satunya manusia jenis ini yang diketahui hanyalah anaknya seorang.
Pangeran Nawa Prabancana!

“Seharusnya Nawa Prabancana yang aku suruh datang kemari,” pikir Sang Maharaja Agung atau Topeng Tengkorak Baja.
“Namun menurut hematku, kusingkirkan saja dulu penghalang yang ada didepan mataku ini!
Jika mereka semua sudah mampus, urusan mengambil Sepasang Mutiara Langit sama mudahnya dengan membalik telapak tangan.”

“Siapa kau?” tanya Paksi Jaladara sambil maju ke depan, berdiri sejarak dua tombak dari sosok berbaju putih perak.

Belum sampai terdengar jawaban, dari arah kejauhan terdengar suara sahutan nyaring,
“Dialah yang merencanakan semua ini, Ketua!”

Belum sampai suara bernada aneh itu hilang dari pendengaran, sesosok bayangan kelabu telah berdiri dengan kokoh di hadapan Paksi Jaladara sambil memberi hormat!

Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahunan dengan postur tinggi besar kekar berotot.
Kulit tubuhnya yang kuning pucat dipadu dengan celana dan baju yang serba abu-abu, termasuk pula sebentuk sabuk kulit dari sejenis beruang yang juga berwarna abu-abu.
Jika tubuhnya kekar berotot, justru matanya cenderung kecil memanjang alias sipit.
Yang aneh dari sosok ini adalah di bagian kepalanya terdapat sebentuk benda bulat warna hitam legam yang terbuat dari batu cadas hitam.
Benda itu mirip sekali dengan topi gembala yang biasa digunakan oleh orang-orang dari Daratan Mongolia.
Yang cukup mengejutkan, laki-laki berwajah asing ini pada bagian punggungnya tergantung sebentuk kapak raksasa bermata satu yang telanjang mengkilat dengan gagang panjang terbuat dari gading gajah purba.
Itulah yang dinamakan Kapak Batu Sembilan Langit!

“Hamba Xiangzi Shang, Pewaris Sang Batu, menghadap Ketua!” laki-laki yang mengaku bernama Xiangzi Shang mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan badan sedikit membungkuk. Logat bahasanya terdengar aneh di telinga, meski ia lancar menggunakan logat jawa.

“Penghormatanmu kuterima, Pewaris Sang Batu!” kata paksi jaladara dengan tenang.
“Siapa tadi namamu?”

“Hamba Xiangzi Shang, Ketua!”

Telinga Paksi agak aneh mendengar sebuah nama yang pertama kali didengarnya itu.

“Apa ada nama lain yang bisa memudahkanku dalam memanggilmu, Pewaris Sang Batu?”

“Guru hamba memberi julukan Dewa Cadas Pangeran, Ketua!”

Guru yang dimaksud oleh Dewa Cadas Pangeran tentulah Pengawal Gerbang Utara dari Istana Elang yang dijuluki sebagai Si Kapak Batu Sembilan Langit yang dulu kala terkenal dengan jurus 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' dan Ilmu 'Sembilan Pukulan Titah Penghancur Langit'.
 
Bab 55

"Bagus! Kali ini bertambah satu lagi calon penghuni neraka di tempat ini, ha-ha-ha!"

Suara tawa keras yang dilambari dengan kekuatan hawa perusak segera menggema tinggi rendah ke seantero Padukuhan Songsong Bayu.
Orang-orang yang ada disekitar itu yang sebelumnya sudah siap sedia dengan segala kemungkinan yang terjadi,
mau tidak mau harus menderita juga.

Gendang telinga mereka bagai ditusuk dengan ribuan jarum.

Yang paling tersiksa justru Paksi, dimana tubuh Si Elang Salju yang berada dalam jarak dekat dari Sang Maharaja Agung.
Meski sedikit terlambat, pemuda sakti dari Lembah Badai yang juga Ketua Muda Istana Elang itu langsung mengerahkan 'Tenaga Sakti Hawa Rembulan Murni' tingkat ke dua.

Sett! Swwoshh ... !

Sinar putih keperakan langsung menyelimuti tubuh Si Elang Salju dan pada saat yang bersamaan pula, Dewa Cadas Pangeran langsung menarik keluar kapak raksasa yang ada di balik punggung, kemudian diayunkan dengan mantap ke tanah.

Wutt! Crakkk! Dhuarrr ... !

Jurus pertama dari Ilmu 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' yang bernama jurus 'Tanah Meledak Di Kaki' langsung terdengar membuncah ke atas sehingga membentuk dinding tanah yang menghalangi gelombang suara dari jurus 'Irama Maut' yang dilancarkan lawan.

Prakk! Prakk!

Begitu melihat bahwa dinding tanah yang dibuatnya retak-retak karena tidak kuat menahan daya gempur ilmu lawan, Dewa Cadas Pangeran segera menghempos keluar 'Tenaga Sakti Dewa Batu' disertai dengan gerakan mengibaskan kapak dari ke kiri ke kanan sambil memutar tubuh dengan cepat.

Wutt! Wuuuungg ... ! Crasss ... !

Begitu jurus 'Lempar Batu Sembunyi Tangan' dikerahkan, dinding tanah sontak pecah berhamburan serta menerjang bagai anak panah dengan kecepatan kilat.

Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang tertawa keras karena mengerahkan jurus 'Irama Maut' langsung menarik diri sambil mengerahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu, tingkat paling akhir!

Srasshh ... !

Begitu cahaya ungu menyelimuti dirinya, puluhan mata anak panah dari tanah langsung menghantam dengan ganas.

Crookk, crakk, deeerr, dhuass ... !

Meski bisa melindungi diri, namun anak buahnya yang berada dibelakang dirinya langsung menjadi korban.

"Kurang ajar!" bentak Si Topeng Tengkorak Baja, "Terima ini!"

Jurus 'Hantaman Kuali Tembaga' langsung dikerahkan begitu Dewa Cadas Pangeran baru selesai merapal jurus.
Wutt!

Melihat tidak ada waktu untuk menghindari serangan maut lawan, Xiangzi Shang melintangkan kapak yang ada di tangannya di depan dada

Blangg!

Terdengar suara besi ketemu baja saat Kapak Batu Sembilan Langit beradu keras dengan sepasang kepalan tangan yang sarat kekuatan sakti menghantam kapak batu yang digunakan Dewa Cadas Pangeran untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tubuh laki-laki bermata sipit itu langsung terlempar jauh disertai muncratan darah segar dari mulut.

Brughh!

Sambil menyeka mulutnya yang berdarah, ia berkata,
"Ketua, untuk mengalahkannya, Delapan Bintang Penakluk Iblis harus bersatu. Hanya itu caranya!"

Paksi yang melihat Dewa Cadas Pangeran terluka dalam akibat baku hantam dengan Si Topeng Tengkorak Baja, langsung memberikan perintah.

"Delapan Bintang Penakluk Iblis, serang!"

Begitu mendengar perintah untuk menyerang dari Paksi Jaladara, maka Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru, dan Ayu Parameswari langsung merangsek maju, mengerubuti Si Topeng Tengkorak Baja.

"Heeaa ... Heeaat ... Ciaattt ... !!"

Drakk! Prakk! Krakk!

Dhuarr, jeddeerr, glarrr ... !

Ramai sekali pertarungan kali ini, karena kumpulan anak-anak muda sakti yang masih berdarah panas langsung mengerahkan ilmu-ilmu pamungkas masing-masing.
Bahkan Sepasang Raja Tua yang melihat jalannya pertarungan ikut nimbrung meramaikan pertarungan maut ini.

Glarrr, gleerr ... !

Sinar-sinar maut dari jurus dan pukulan sakti datang bagai banjir bandang menerjang ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang berdiri kokoh sambil tetap mengerahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu.

Klaangg, crangg, criing ... !

Pedang Samurai Kazebito dan Golok Hitam Taring Harimau tidak bisa menorehkan jejak luka, tapi justru terpental balik dengan pemiliknya mengalami luka dalam.

Sedang Ayu Parameswari langsung menggunakan jurus pamungkas ‘Telapak Naga Turun Dari Langit’ dengan kekuatan hawa tenaga dalam sepuluh bagian, sehingga seberkas hawa naga berwarrna merah pekat keluar dari sepasang telapak tangan yang terbuka lebar itu.

"Hoargghh ... !"

Terdengar raungan naga yang membuncah disertai pekikan nyaring yang membahana memenuhi angkasa, bahkan arena pertarungan berguncang tatkala sepasang hawa naga itu terlihat meraung keras memperlihatkan deretan gigi tajam sambil badannya meliuk-liuk di angkasa turun ke bumi.

Sepasang tangan Ayu Parameswari yang mengerahkan jurus ‘Telapak Naga Turun Dari Langit’ berulangkali berputar-putar saling susul menyusul sehingga membentuk gulungan hawa naga menjadi semakin pekat diiringi suara desisan menyelingi raungan naga yang semakin mengangkasa.

Woshhh ... Cwozz ... !!

Blarrr ... Blarrr ... !

Begitu sepasang hawa naga menerkam ke arah pancaran sinar ungu bening yang melingkupi Si Topeng Tengkorak Baja, hawa naga kontan meledak hancur.

Glarr ... !

Tubuh murid Nini Naga Bara Merah langsung terhumbalang jatuh menyusul dua rekannya.

Brughh!

Mukanya pucat pasi seperti kehilangan darah, pertanda terjadi pembalikan aliran darah dalam tubuh sang dara.

Melihat rekan-rekannya tumbang satu persatu, selain Ki Dalang Kandha Buwana yang telah siaga dengan Gunungan Emasnya dan Wanengpati yang telah meloloskan Keris Kiai Wisa Geni serta Pancasaka yang telah kehilangan sepasang kaki, semua yang langsung meluruk ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang dengan santainya menadahi setiap serangan maut yang dilancarkan oleh lawan-lawan.

Meski dikeroyok begitu rupa, Sang Maharaja Agung masih tetap dalam posisi semula.
Tegak kokoh bagai batu karang di laut yang diterjang air berulang kali.
Ibarat kata, seperti capung mengeroyok gajah!

Paksi Jaladara yang saat itu bersiap-siap mengerahkan Pukulan ‘Telapak Tangan Bangsawan’ dan 'Tapak Rembulan Perak' dilontarkan bersamaan dengan menggunakan hawa tenaga dalam tingkat ke tiga dari Kitab Sakti ‘Hawa Rembulan Murni’ yang bernama ’Di Bawah Sinar Bulan Purnama’. Pemuda didikan dari Lembah Badai ini sebenarnya berniat menggunakan ‘Tapak Rembulan Perak’ tingkat ke empat, namun melihat situasi yang tidak memungkinkan, pemuda itu menetapkan hati untuk mengerahkan 'Tapak Rembulan Perak' tingkat ke tiga saja.
Sebab dirinya tidak yakin bisa mengontrol muntahan hawa salju yang datang bagai gelombang dan bisa memancar ke segala arah.
Dan yang pasti, ia tidak mau teman-temannya menjadi korban dari ilmu yang dikerahkannya!

Namun sebelum niatnya terlaksana, Si Topeng Tengkorak Baja telah melakukan gerakan yang membuat mereka semua terlempar ke segala arah diiringi bentakan keras.

"Kalian benar-benar tak berguna! Semuanya sampah!"

Bersamaan dengan kata-katanya, Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit segera merentangkan ke dua belah tangan dari dalam kubah ungu bening dan tanpa perlu tempo lama, dari dalam kubah ungu bening yang tercipta dari Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu keluar sebentuk tenaga hitam keunguan berpendar-pendar.

Sriiing, sriiing ... !

Jurus ‘Amarah Raja Kegelapan’ yang digunakan oleh orang tertinggi dari alam gaib langsung menghancurkan kepungan.
Dalam satu jurus saja, puluhan jago-jago kosen yang ada di tempat itu tumbang bersamaan.

Dhess, ddheerr ... !

Brugh! Buughh!

Si Elang Salju yang saat itu dalam pertengahan pengerahan dua ilmu saktinya, langsung terseret enam tujuh tombak jauhnya saat pancaran hawa hitam keunguan bersentuhan dengan pancaran sinar putih keperakan dan keemasan miliknya.
Meski tidak jatuh terpuruk seperti teman-temannya, namun bisa dipastikanj ia mengalami luka dalam yang cukup serius.

"Gila! Ilmu macam apa yang dimiliki orang ini?" batin Paksi Jaladara sambil mengerahkan hawa penyembuh,
"Kesaktiannya enam kali lipat dari Si Topeng Tengkorak Emas!"
Dadanya yang semula panas bagai digodok dalam tungku api, kini terasa dingin sejuk.

Bersamaan dengan jatuhnya para jago kosen persilatan, Si Topeng Tengkorak Baja berkelebat cepat dengan dua tangan masih terpancar cahaya hitam keunguan.

"Kalian berdualah yang menjadi korban pertamaku, ha-ha-ha!" bentak Si Topeng Tengkorak Baja ke arah Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.

Tentu saja ayah anak dalang itu terkejut bukan main, namun keterkejutan mereka berdua tidak membuatnya lengah, terutama sekali Ki Dalang Kandha Buwana, sebab sebagai tokoh yang pernah mengukir nama besar dengan julukan Kakek Pemikul Gunung dan termasuk pula sebagai jajaran tokoh yang paling disegani oleh kalangan pendekar setiap aliran.
Kakek itu segera bersiap diri mengerahkan pukulan sakti tanpa wujud yang dulunya pernah dipakai dalam perebutan gelar Pendekar Rimba Persilatan pada masa tiga puluh tahun silam.
‘Pukulan Tanpa Bayangan’!

Namun, belum lagi Kakek Pemikul Gunung melontarkan ‘Pukulan Tanpa Bayangan’, dua kelebatan bayangan mendahului menerjang dari belakang ke depan.

"Biar kami saja yang menghadapinya!" bentak yang sebelah kanan.

Yang sebelah kiri terlihat tangan kiri dan kanannya keluar cahaya putih menyilaukan mata dan sebelah kanan terlihat asap hitam pekat keungu-unguan yang langsung menyongsong serangan kilat dari Topeng Tengkorak Baja.
Siapa lagi yang memiliki dua pukulan sakti seperti itu diantara mereka jika bukan Sepasang Raja Tua yaitu Raja Pemalas dan Raja Penidur adanya. Tanpa bisa dihindari lagi, jurus ‘Amarah Raja Kegelapan’ di tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja beradu dengan dua tangan Raja Pemalas yang sarat dengan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dan Ilmu Gaib ‘Sangkakala Braja', sedangkan tangan kanan disambut pula oleh Ilmu 'Tapak Inti Ungu' tingkat ke dua belas dan ‘Kidung Sang Baka’ secara bersamaan.
Dan akhirnya ... bentrok ilmu-ilmu tingkat tinggi terjadi di tengah udara kosong!

Plakk! Pplakk!

Bleegaarr ... ! Glarrr ... ! Jedderr ... !

Beberapa kali suara letupan keras terdengar disertai kepulan asap hitam, ungu dan putih menutupi tiga tokoh sakti berbeda alam ini.
Akan tetapi ledakan yang terdengar ini mendadak berhenti begitu saja, namun karena kepulan asap tiga warna membuat semua orang yang ada di tempat itu tidak biasa melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Wuss ... !

Begitu asap tiga warna sirna, terlihatlah siapa yang menang siapa yang tumbang dari adu kesaktian tersebut.
Terlihat dengan jelas, bagaimana kondisi dari Sepasang Raja Tua yang tergeletak di tanah dan Si Topeng Tengkorak Baja yang masih berdiri dengan gagah!

Kepala Raja Pemalas retak saat tapak tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja berhasil menembus dinding pelindung kakek pemalas itu, sehingga terlihat darah kental keluar dari bekas lekukan tapak yang ada di ubun-ubun, sedang kondisi Raja Penidur sendiri tidak kalah mengenaskan dari sobatnya Raja Pemalas.
Di dada kiri tepat pada bagian jantung terlihat melesak dalam-dalam membentuk tapak tangan.
Jelas sekali Raja Penidur yang memiliki tabiat tidur seenaknya ini, akhirnya benar-benar tidur untuk selamanya.

Raja Pemalas dan Raja Penidur, dua orang sahabat karib yang lahir pada waktu, hari, bulan dan tahun yang berbeda, justru tewas pada waktu, hari, bulan dan tahun yang sama!

"Kalian berdua benar-benar hebat!" kata Si Topeng Tengkorak Baja sambil menyusut darah yang meleleh di sudut bibirnya.
"Darahku sedikit bergolak akibat serangan gabungan kalian dan kini menetes keluar, dan itu artinya ... raga kalian harus dimusnahkan dari muka bumi!"
Suara yang datar tanpa tekanan, tapi justru terdengar menakutkan bagi siapa saja!

Nawala yang tergeletak tak jauh dari Sepasang Raja Tua, bibirnya sedikit bergetar saat mengucapkan sepatah kata lirih, "Guru ... "
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd