---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 10]
Rupanya Samolo yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu tadi.
Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan Samirun..
Samolo terpaksa menceriterakan semua kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya.
Ratna jadi pucat dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut.
Peluh dinginnya tanpa terasa membasahi pori-porinya. “Ya Allah, tidak kusangka..” keluhnya.
“Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular itu..!” Bisik Samolo tegas.
Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung.
Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu tersembul di pintu.
“Hei, Ratna. Kenapa kau..!? Sakit..!?” Tanya Subaidah sambil tersenyum.
“Ti.. tidak apa-apa, Bu..” jawab Ratna gugup.
“Mana kotak warisan.. eh.. ng.. Kotak surat-surat itu, Ratna..!?” Tanya lagi Subaidah dengan nada seramah mungkin.
“Maaf, Bu. Kak Giran berpesan ..”
“Ah.. anak tolol.. kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa kotak tersebut..
tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang lain, bukan..?”
Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan.
“Tapi, Bu ..” kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut.
“Tapi..! Tapi apalagi..!? Akulah ibunya, berhak mengambil kotak itu. Paham kau..!?
Cepat ambil kotak itu..!” hardik Subaidah dengan mata mendelik.
“Maafkanlah, Bu.. Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran..” kata Ratna gemetar.
“Setan..! Berani kau membangkang perintahku..!? Ambil kotak itu.. atau kupotes batang lehermu. Cepat..!”
Bentak Subaidah menjambak rambut Ratna.
“Ampun, Bu..” ratap Ratna gemetar.
Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi. Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun.
Ratna menjerit dan merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi.
Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu.
Nyi Londe datang untuk menolong wanita muda yang malang ini..
tapi ia dihalang-halangi oleh Samirun yang berdiri di pintu kamar.
Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela.
Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar itu.
Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai.
“Aduh Neng.. Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran yang setimpal..”
Kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya.
Samolo mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk.
-----ooOoo-----
Hari dan bulan silih berganti.. beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayang-layang diembus angin..
seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper penggilingan kacang kedelai setiap hari.
Bagaikan jendela penjara yang mengurung dirinya. Air mata Ratna hampir mengering..
terkuras oleh deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di dadanya.
Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya dari Negeri seberang.
Kak Giran.. Bilakah kau kembali, Kak..? Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu lama..? Ratapnya di dalam hati.
Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya.
Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya.
Didengarnya dari Samolo, bahwa orang tua itu sedang menderita sakit.
Seorang diri tinggal di gubuknya, tiada yang merawat dan memasaki makanannya.
Betapa pedih dan sedih hati Ratna memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu.
Sulit baginya untuk pergi menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta..
yang sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya.
Pemuda sinting itu selalu mencari kesempatan untuk menerkam dirinya.
Ratna selalu bergidik ketakutan bila mengingat hal itu.
Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya maupun di emper tempat tidurnya.
Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali mengunjunginya.
Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya ini.
Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang..
karena tak berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu.
Untunglah Samolo kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna.
Dan untuk pertamakali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya.
Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan..
sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya.
Tapi sesungguhnya hatinya ketika itu sedang menangis dan meratap.
Ia tidak tau apakah ayahnya bisa dikelabui oleh sandiwaranya itu.
Ia ragu, karena ia tau bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan mata seorang ibu..
sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya.
Yang pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya.
Bukan disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong itu.
Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar menambah beban penderitaannya.
Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau Samolo kalau kebetulan sedang sempat..
untuk pergi menengok orang tuanya sekalian membawakan makanan secara sembunyi-sembunyi buat ayahnya itu.
Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah semakin besar.
Sampai pada suatu sore dandang nasi yang masih mendidih itu nyaris menimpa dirinya..
ketika sedang diangkat oleh Ratna.
Nyi Londe menjerit sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan.
Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe..
yang sedang sibuk menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya.
Sepanjang malam itu terdengar Ratna merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan.
Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe..
yang terus mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh.
Kadang-kadang merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya.
“Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan beres..”
hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus peluhnya.
Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung.
Wajah centeng ini belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang.
Nampak gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal.
Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam..
keheningan yang mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru lahir.
Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha Pencipta.
Matanya berkaca-kaca. Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu..
Wajah pucat-sayu si ibu-muda yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan..
ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang terbungkus kain itu kepadanya.
“Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan lebih nyaring..
dari semua ayam-ayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng.
Wajahnya mirip benar dengan bapaknya..” kata Nyi Londe..
bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya sendiri.
Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat seperti itu.
Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini..
Cuma itulah yang menjadi pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan kebanggaan.
-----ooOoo-----
Seminggu kemudian.. komplotan manusia tamak mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji.
“Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim gerobak padi ke Mauk.
Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai gantinya!” tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi.
“Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya nyeplos melulu..?
Yang benar saja..” jawab si Mandor yang banyak lagak ini.
Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit. “Jangan banyak cing-cong lu, gendut..!
Pokoknya, gagal-modar..!” Ancam Mirta sambil menimang-nimang pistol Samirun.
Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu melangkah ke luar.
Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar emper Ratna.
Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya. Buah dadanya yang memang aslinya sudah besar..
kini tampak semakin membusung, terlihat mulus dan putih sekali dengan serabut urat kebiruan..
tersebar merata di permukaannya yang halus bak pualam.
Putingnya yang kini tampak menghitam sedang diisap oleh si bayi.
Busyet..! Sudah punya anak malah tambah botoh. Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila..
Gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liurnya. Didorongnya pintu emper tersebut dan langsung masuk.
Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya. “Bang Sarkawi..!? Ada apa..?”
Tanyanya gugup sambil berusaha menutupi tonjolan buah dadanya yang setengah terburai.
“Astaga..! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya..?”
Kata Sarkawi dengan senyum serta tatapan mata kurang ajar.
“Apa maksudmu..? Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya. Kenapa..!?” Ratna tersinggung.
Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna.
“Sarkawi..! Anakku..!” Jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu.
“Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau melihat, masak kagak boleh..”
kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, lalu melompat keluar.
“Anakku..! Anakku..! Jangan kau bawa anakku, Sarkawi..!” Ratna mengejar ke luar.
“Sarkawi, tinggalkan anakku..!!”
Jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung.
Ratna semakin nekat dan terus mengejar sambil menjerit-jerit.
Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang..
menuju jalan desa yang sudah sunyi dan gelap itu.
Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun dan langsung masuk.
Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapat-rapat.
Ia memekik dan melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya.
“Buka! Kembalikan anakku! Anakku..!”
Jerit Ratna sambil menangis histeris, karena ia tau akan kebusukan komplotan mertuanya itu.
“Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu..” kata Samirun dengan senyum iblisnya.
Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan Subaidah dan Mirta..
yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu.
Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya suasana di rumah tersebut.
Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka tetap dingin.
Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat kepalanya.
“Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit tempo hari.
Perut saya hampir ambrol diserobot biangnya. Nah, yang ini juga persis, kalau enggak lihai..
saya pasti sudah ko’it diterjang sama dia. Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den..”
Desahnya sambil mengipas-ngipas. “Mana upahnya, Den..?” Sambungnya.
“Apa..? Upah..!?” Tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta.
“Nih upah..! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu..!”
Kata Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi.
“Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?”
Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia meringis.
“Ah, Den Kasir.. segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda.. simpan ah si bongkoknya..”
katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa.
Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya itu..
membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkali-kali sambil memaki.
“Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu..! Diam! Eh, Bandel..!”
Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang tanggung.
“Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den. Saya beresin saja nih..?” Tanyanya kepada Samirun.
Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya. “Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor..” katanya ketus.
Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar.
“Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal kau bersedia meluluskan sebuah syarat..”
“Syarat apa..?” Tanya Ratna dalam isak tangisnya.
“Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh..!”
Samirun menjelaskan syaratnya.
Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya..
rela mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna.
Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Samirun tersebut.
“Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku..” isak Ratna minta kepastian dari luar pintu.
“Cepat..! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu kejam..!”
Jawab Samirun dengan suara dingin.
Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan malam menuju gedung besar.
Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut..
dengan lengan-lengan gemetar serta perasaan panik luar biasa.
Ia seakan-akan tengah berlomba dengan Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya.
Nyi Londe hanya tertegun tanpa daya.
Kedua wanita itu bagaikan makhluk-makhluk lemah yang tak berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini.
Ratna hampir tak membuang waktu sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir Samirun.
Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas masih memburu, Ratna langsung berteriak.
“Ini peti warisannya.. cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku..!”
“Bagus..! Coba kau bawa masuk petinya..!” Jawab Samirun, membuka daun pintu itu sedikit.
Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh Samirun.
Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang kasir yang licik.
Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya..
dan memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi.
Samirun dengan dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuat-kuat, membuat tubuh Ratna terjepit dan tak bisa bernapas.
Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan..
juga akibat kerja tanpa istirahat sepanjang hari.
Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun mengunci pintu itu rapat-rapat.
Mereka memeriksa peti pusaka yang sangat didambakannya itu dengan seksama.
“Periksa, siapa tau peti ini palsu..!” Perintah Subaidah.
“Palsu..? Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu..” sela Samirun, berusaha membuka peti warisan.
Diperiksanya semua surat-surat berharga yang berada di dalam kotak berukir indah itu.
Serenceng kunci-kunci brankas penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya..
yang pernah dilihat Subaidah ada disimpan suaminya.
Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotak-kotak emas permata yang pernah dilihatnya..
tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu.
Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya.
Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap menangis.
“Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan kembali..” katanya dingin.
“Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia ini..? Semuanya bisa diatur..”
kata Samirun dengan sombongnya.
“Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun ke dalam surat ini..”
Suara Samirun gemas.. setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak, yang tersimpan rapi di amplop khusus.
“Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut..” Jawab Subaidah tenang.
“Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia juga harus disingkirkan..!”
Dingin dan tajam kata-katanya itu.
Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan.
“Kalau begitu, tua bangka itu sudah tau tentang hubungan kita..?” Bisik Samirun di sisi Subaidah.
“Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya..” kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah.
“Dan dia pun tau.. Mirta sesungguhnya bukan anaknya..!?”
“Surat itu sudah menjawabnya..” kata Subaidah tertunduk.
Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya.
Bagaimanapun ia merasa malu-hati terhadap majikannya almarhum.
Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun.
“Alaaah.. buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur..” nyeletuk Subaidah..
Juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta nongol dari pintu..
dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang tergeletak seenaknya itu.
Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh Ratna. Tampak mata pemuda ini makin liar..
menjalari setiap lekuk tubuh yang sangat diimpikannya setiap detik.
Napasnya makin memburu menyesakkan dada. Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu.
“Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selama-lamanya..” desis Mirta.
Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta..
yang begitu dekat di hadapannya itu.
Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini, ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding.
“Apa yang kau lakukan, Mirta?” pekik Ratna. Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar..
membuat Ratna tersentak mundur lalu lari ke pekarangan. Mirta mengejarnya.
“Kau.. kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku..! Ingatlah aku adalah istri kakakmu..” jerit Ratna ketakutan.
“Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot. Heh heh heh..!”
Lalu pemuda ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan si tukang serobot ini terpaksa mencium pohon..
hingga hidungnya mengucurkan darah.
Ratna makin ketakutan, ia lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak.
Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang berdarah itu.
Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa menahan tawanya.
Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor yang sedang tertawa terbahak-bahak itu..
hingga terjengkang ke batang pohon.
“Sialan..! Ngeledek lu, ya..!? Gua mampusin lu..!!” Bentak Mirta dengan suara sengau.
Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon. Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya.
Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup terus.
Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk mengakhiri nyawanya..
dengan sebuah gunting yang dilihatnya tergeletak di atas meja di kamar empernya itu.
UntungIah Nyi Londe cepat mencegahnya.
“Ya Allah..! Apa-apaan Neng..!? Aduh, kuatkanlah hatimu, Neng..! Ingat..!”
Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir ditusukkan Ratna ke lehernya itu.
Kedua perempuan ini saling bertangisan.
Ratna menangis dengan pedihnya di pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya.
“Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta..”
Bujuknya sambil ikut terisak-isak.
“Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai begini..” katanya lagi sambil menghela napas.
-----ooOoo-----
Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang terlalu dimanja..
kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi.
Mandor Sarkawi yang punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang pangeran sinting itu.
Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung.
Galaknya melebihi macan kebelet. Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya.
Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal..
bahkan pandai menjilat para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat.
Pada hari pertama saja sebagai Tuan Tanah baru..
ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan Residen sampai pada para Pamong Desa.
Maka sebentar saja ia sudah memperoleh pengaruh di desa kecil itu.
Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat pertengkaran yang cukup sengit..
karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar selentingan dari Sarkawi..
bahwa sang ’suami’ mempunyai beberapa simpanan di kampung.
Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya..
untuk memata-matai sepak terjang Don Juan kampungan ini di luaran..
sering memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya semata-mata demi mendapatkan upah.
Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir.
Persoalan lainnya ia sangat sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen kepadanya..
tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan beberapa orang tertentu.
Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal.
Dengan tumpleknya para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan iri hati.
Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan Samirun di luaran.
Samirun memang paling senang ngibing doger. Persenanannya pun tak kepalang tanggung.
Ada seorang primadona doger yang dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan.
Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun.
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------