Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 7]

Saat itu..
di dalam ruangan utama.. tampak Subaidah dan Samirun tengah menanti hasil rencana mereka.
Subaidah tampak beberapakali mondar-mandir melongok keluar jendela dengan gelisah.

Samirun yang tetap tenang sambil mengepulkan asap rokoknya berusaha menghibur sang ’Kekasih’.
“Sabar, tenang saja. Sebentar lagi Sarkawi pulang dengan ..”

Belum lagi ucapannya berakhir.. pintu tiba-tiba terbuka.
Tampak Giran masuk dengan tubuh Sarkawi tergendong di atas bahunya.

Subaidah dan Samirun jadi ternganga dengan mata terbelalak.
Giran meletakkan tubuh Sarkawi yang lunglai itu di atas bangku panjang.

“Kasihan Sarkawi, dia pingsan tertimpa buah kelapa..”
Giran menjelaskan kepada ibunya juga kepada Samirun yang sama-sama masih tertegun.

“Tertimpa kelapa..!?” Tanya Samirun seakan-akan tak percaya dengan telinganya sendiri.
“Untung tidak pecah kepalanya. Biarlah dia beristirahat dulu untuk beberapa hari.
Paman Samirun, tolong berikan dia uang untuk berobat..”
“Ba..baik, Den..”

Tubuh Sarkawi tampak mulai bergerak, tapi matanya masih terpejam menahan rasa pening pada kepalanya.
Subaidah dengan sikap khawatir segera menuang air di gelas lalu diberikan kepada Giran.

“Sejak tadi ibu Aden selalu gelisah, karena khawatir akan keselamatan Aden.
Maklum kini banyak pencuri berkeliaran di kebun kelapa..” kata Samirun..
mencari kesempatan untuk menutupi kebusukan rencananya.

“Nyonya memanggilku untuk menyusul Aden ke kebun. Tapi ternyata Aden sudah pulang lebih dahulu.”
“Syukurlah kau tidak apa-apa..” Subaidah pura-pura menarik napas lega.

Giran tersenyum.. menaruh gelas air yang diminumnya itu di atas meja.
Ia merasa terharu melihat kekhawatiran ibunya terhadap dirinya.

“Ibu tak perlu cemas. Kebon kelapa kita itu pun tetap aman dari tangan-tangan para pencuri..” kata Giran menghibur.
Setelah mengucapkan selamat malam, Giran mengundurkan diri.

Kedua wajah orang ini segera berubah kembali menjadi kaku.
Kaki Samirun tiba-tiba melayang ke tubuh Sarkawi yang masih terlentang di atas dipan.

Tergulinglah tubuh mandor ke lantai sambil mengaduh dan merintih kesakitan.
Subaidah mengangkat poci berisi air teh panas dan dituang seluruhnya mengguyur kepala Sarkawi..
hingga mandor sial ini makin kelabakan dibuatnya.

“Waduh. Benar-benar jago jempolan lu, Wi..! Pulang juga pakai dibopong segala, kayak anak kecil habis kepicirit..!!”
Ejek Samirun dengan acungan jempolnya, sedang amarahnya makin meluap.

Kembali ditendangnya Sarkawi dengan sekuat tenaga.
Sarkawi menggeliat mengaduh lagi, memegangi pinggangnya yang terkena sasaran terompah Samirun.

“Sundel! Kenapa lu kagak mampus aja sekalian..!?” bentak Samirun makin kalap.
Tangannya mencabut pistol yang terselip di pinggangnya. “Lu bikin kucar-kacir gua punya rencana.
Lu minta dipersen biji melinjo..!?” Pistol itu ditodongkan ke kepala Sarkawi yang jadi gemetar ketakutan.
“A..a..ampun Sir..! Saya lagi ketiban sial rupanya nih..” ratapnya dengan memelas.

“Awas..! Kalau mulut lu bocor, sampai orang tahu.. Gua jeder batok kepala lu..! Lu belum kenal siapa Samirun ya..!?”
Ancam kasir ini sambil menimang-nimang pistolnya.

“Busyet dah. Masa' saya kagak kenal sama Den Kasir..! Kita kan sahabat lama, cuma nasib saja yang beda.
Maka jangan galak-galak, ah! Hi Hi..!” Bujuk Sarkawi meringis menahan sakit.

“Eh, apaan cengar-cengir? Lu kira gua main-main..!? Gua tembak, muncrat benak lu! Mau..?”
Bentak Samirun. Ujung pistolnya ditempelkan ke pelipis Sarkawi yang jadi pucat seketika.

Subaidah mendengus, merasa muak menyaksikan adegan itu.
“Sudah, sudah! Bisanya cuma ngebacot melulu. Huh sebal!” Ia melangkah ke luar ruangan dengan wajah masam.

Samirun buru-buru membujuknya. “Sabar, Baidah, kita masih punya kesempatan lain.”
Tapi Subaidah seakan-akan tidak mendengar.. terus berjalan menuju ke ruangan kamar tidurnya sendiri.

Samirun jadi semakin kebingungan.. dimakinya lagi Sarkawi habis-habisan untuk melampiaskan kedongkolannya.
Tapi dasar wataknya memang bebal.. mandor ini cuma cengengesan saja.. mirip monyet mabuk terasi.
-----ooOoo-----

Bulan purnama memancarkan cahayanya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan suasana malam itu..
dengan tembang-tembang yang membangkitkan rasa pukau manusia terhadap seluruh kegaiban alam.

Pada keheningan malam yang terasa syahdu ini, ada sepasang muda-mudi sedang memadu kasih..
di bawah sebatang pohon rindang di tepi sungai.. tidak jauh dari gubuk Ki Kewot.

Kedua insan remaja ini ialah Giran dan Ratna. Terdengar suara Giran berkata agak gemetar.
“Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Ratna..”
“Apa itu, Kak..?” Tanya Ratna perlahan..

Meskipun hatinya sudah dapat meraba.. apa yang hendak dikatakan oleh pemuda yang duduk di sisinya itu.
Namun ia menunggu dengan hati berdebar. Keheningan yang sejenak itu terasa begitu lama baginya.

“Maukah kau menjadi istriku..?” Perlahan sekali suara Giran..
Namun bagi telinga Ratna kata-kata itu terdengar sebagai gaung dari sebuah gong raksasa..
Yang seakan-akan bergema ke seluruh dunia. Begitu merdu dan menggetarkan kalbunya.

Ratna berpaling menatap wajah pemuda pujaannya dengan mata berkaca-kaca.
Giran balas menatapnya dan terkejut.. memegang kedua pipi Ratna dengan kedua lengannya.

“Ratna, kenapa kau menangis..? Apakah kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu..?” Tanya Giran hati-hati.
Ratna menggeleng, air matanya makin deras jatuh berderai. Tapi bibirnya tersenyum.

“Aku sangat bahagia, Kak..” ucapnya sambil merebahkan kepalanya di dada Giran yang bidang.
Malam semakin hening. Suara nyanyian serangga malam terdengar semakin merdu pula.

“Tapi, Kak.. kau pasti menyesal kelak. Aku hanyalah gadis desa yang miskin lagi bodoh. Apa kata orang-orang nanti..?
Terutama kedua orangtua kakak sendiri..?” Kata Ratna masih dalam haribaan Giran.

Giran membelai kepala gadis yang sangat dicintainya itu dengan lembut, lembut pula kata-katanya.
“Kau telah merupakan sebagian dari hidupku. Tanpa kau, aku tak tau apa yang akan terjadi pada diriku.
Apapun yang terjadi kelak.. aku pasti akan selalu mendampingimu dengan setia, tanpa keluh dan sesal. Percayalah, Ratna..”

Janji Giran ini membuat Ratna jadi semakin terharu.. dan tanpa kata-kata yang dapat melukiskan dan mengungkapkan..
perasaannya pada saat itu. Pemuda semacam tipe Giran memang bukanlah pemuda yang pandai merayu..
semua kata-katanya terlontar dari dasar hati nuraninya yang murni.

Ratna pun sudah menyelami watak pemuda itu.. maka ia rela menyerahkan seluruh hidupnya kepada pemuda idamannya itu.
Andaikata ia harus berkorban nyawa pun ia tak kan ragu.
Ia bersumpah di dalam hati, akan menjadi istri paling setia bagi Giran, setia sampai mati.

Malam bertambah larut. Giran mengantar Ratna sampai ke muka gubuknya.
Ia cuma berani mencium ujung rambut kekasihnya, meskipun barangkali Ratna sendiri mengharapkan lebih dari itu..
karena sesungguhnya malam itu merupakan malam paling indah yang patut dikenang selama hidupnya.

Namun sentuhan lembut hidung Giran pada rambutnya.. cukup membuat jantung Ratna berdebar dan tergetar..
Itu berlangsung lama sampai Giran meninggalkan gubuk itu, diiringi Samolo yang menunggu di kejauhan.

Getaran itu masih juga menyesakkan dadanya ketika ia berdiri tersandar di belakang pintu.
Bahkan masih terasa sampai bertahun-tahun kemudian, jika peristiwa manis itu dikenangnya.

Agak lama gadis ini tersandar di belakang pintu, menghela napas dalam-dalam dan tersenyum seorang diri.
Rasanya bagaikan tengah bermimpi. Wajahnya yang masih ranum itu dijalari warna merah jambu.

Suara batuk ayahnya yang ternyata masih belum tidur, tiba-tiba mengejutkannnya.
Ia melangkah masuk ke dalam ruangan tengah.
Dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi dekat dapur sambil melinting rokok kawungnya.

Sekali lagi orang ini mendehem penuh arti.. membuat wajah Ratna terasa panas dan makin memerah.
Ia tau ayahnya memang sengaja sedang menunggunya di situ.

“Kau tampak sangat gembira malam ini, Ratna..” kata ayahnya sambil terus asik melinting rokok kawung.
Ratna tertunduk.. menggigit bibirnya. Sambil terbatuk dan mendehem kecil ayahnya lambat-lambat berkata.

“Ayah semakin tua dan rapuh. Kadang-kadang ayah lupa bahwa kau kini sesungguhnya sudah dewasa.
Adalah wajar setiap manusia harus menemukan jodohnya masing-masing.. Ayah pun pernah muda, Nak.
Jadi ayah pun tau apa yang sedang berkecamuk di dalam hatimu itu..”

Wajah Ratna kian bertambah merah. Dengan perasaan haru ia bersimpuh di haribaan ayahnya.
Lengan tua itu begitu lembut membelai kepala sang putri yang manja ini dengan penuh kasih sayang.

“Giran seorang muda yang baik. Ayah percaya cintanya terhadapmu itu adalah suci..”
Hening sejenak.. lengan tua itu terus membelai kepala Ratna.

“Kalau saja ibumu masih ada, kau tentu akan lebih banyak memperoleh bimbingan serta nasihat-nasihat berharga..
sebagai bekal hidupmu kelak..”
Air mata Ratna berlinang-linang ke pipinya dan membasahi celana kusam ayahnya.

“Tapi pesan ayah.. batasilah pergaulanmu dengan Giran..! Kita harus tau diri, Nak. Kita miskin dan bodoh..
Satu-satunya harta yang kita miliki hanyalah harga diri dan kehormatan sebagai manusia.
Hanya itu..! Sedangkan Giran, dia dari keluarga orang berada serta berpengaruh.
Meski Giran pribadi tidak pernah mengagulkan diri karena itu. Bertaqwalah selalu kepada Tuhan..
Karena hanya Dia-lah yang menentukan jalan hidup segala makhlukNya.”

Ratna cuma bisa mengangguk kepala di haribaan Ayahnya.
-----ooOoo-----

“Apa katamu Giran..? Kau mau kawin dengan Ratna, anak si Kewot, si tua renta itu..!?”
Terbelalak mata Tuan Tanah memandang putra sulungnya dari kursi-malasnya.
Giran mengangguk dengan mantap, semantap hatinya yang sudah siap menghadapi rintangan apa pun.

“Sungguh-sungguhkah kau..?” Tanya Ayahnya dengan suara tinggi.
Sekali lagi Giran mengiyakan dengan pasti.

Tuan Tanah tersenyum memandang putranya yang sudah dewasa itu.
“Bagus. Aku lamarkan Ratna untukmu hari ini juga..! Kita rayakan pesta semeriah-meriahnya..”

Begitu mantap dan bersemangatnya suara Tuan Tanah ini.
Subaidah melirik wajah Mirta yang tersandar di ujung meja dengan wajah masam.

“Aku memang berharap bisa cepat punya mantu dan menggendong cucu. Ha ha ha..”
Gembira sekali Tuan Tanah ini. Tentu saja yang paling gembira dan bahagia ialah Giran sendiri.

Tuan Tanah tiba-tiba berpaling kepada istrinya. “Eh, kenapa diam saja, Bu..?
Kau juga tentu gembira bukan, Bu..?” Tanya Tuan Tanah kepada istri mudanya ini.

Subaidah tersipu dan menjawab dengan gugup. “S..s..sudah tentu, Pak. Siapakah yang takkan gembira..
menyambut hari bahagia itu..? Saya akan menyiapkan segalanya dengan sebaik-baiknya..”
Katanya dengan senyum amat dipaksakan.

Mirta melangkah keluar dengan wajah tak sedap dipandang.
Sementara suara Tuan Tanah masih terdengar berbicara dengan Giran, membuat Mirta bertambah mual.

Subaidah menyusul putranya keluar. Mirta berdiri di luar gedung dengan wajah cemberut.
Didekatinya putra kesayangannya ini.

“Bangsat! Dia rebut si Ratna dari tanganku..” gerutu Mirta sambil bersungut-sungut.
“Ibu tau perasaanmu, Nak. Tapi kau masih terlalu muda untuk berumah tangga..” bujuk ibunya.

“Apakah si Codot Giran itu lebih dewasa, lebih pandai dariku..? Huh..! Dasar Ayah memang selalu pilih kasih!”
Gerutunya dengan termonyong-monyong. “Anak keparat itu memang selalu menyakitkan hatiku.
Biarlah.. Ita pergi saja dari rumah ini, daripada dihina begini..!”
“Sabarlah, Mirta. Ibu ada daya..” kata ibunya mendekat dan berbisik di telinga Mirta.

Di luar kesadaran mereka, ada sepasang telinga lain yang menangkap pembicaraannya itu.
Orang ini ialah Samolo yang berada tidak jauh dari tempat itu.
-----ooOoo-----

Malam telah larut, terdengarlah bunyi bergeletak lunak di pintu gubuk Ki Kewot.
Sesaat kemudian di antara keremangan cahaya lampu teplok tampak dua sosok bayangan laki-laki menyelinap masuk.

Ketika keduanya masuk ke dalam kamar tidur Ratna, dua laki-laki ini jadi menahan napas.
Memandangi tubuh molek itu terbaring dengan nyenyaknya.

Tampak salah seorang yang bertubuh gempal itu menelan liur.
Terlihat payudara Ratna yang menyembul indah dari balik bajunya yang tersingkap.

Karena tidak memakai beha, benda itu jadi terlihat jelas sekali.. tampak masih tegar dan tidak turun.
Putingnya yang mungil dan kemerahan benar-benar menggoda.

Lelaki bertubuh gempal itu segera mengelusnya, terasa begitu mulus dan kenyal.
Ia kemudian merayap ke putingnya yang mungil dan mulai memilinnya perlahan-lahan.

Saat itulah Ratna sekonyong-konyong terbangun dan sangat kaget melihat dua laki-laki bertopeng kain sarung..
sudah berada di hadapannya.. dengan salahsatu dari mereka tengah menjamahi bulatan payudaranya.

Ia pun menjerit, tapi si tubuh gempal segera mencabut goloknya mengancam.
“Sssst.. jangan ribut. Lihat apa ini..!?” Bentaknya sambil menodongkan golok berkilat itu ke leher Ratna.

Lalu tanpa ayal lagi kedua laki-laki bertopeng ini segera meringkus tubuh Ratna dengan selimut.
Sia-sia gadis itu meronta dan menjerit, karena tubuhnya sudah dibopong dan dibawa kabur ke luar.

Mendengar kegaduhan itu, Ki Kewot pun terbangun, memburu ke kamar putrinya.
Tapi Kakek ini rubuh terjengkang diterjang dua penculik yang menerobos ke luar..
sambil membopong tubuh Ratna yang terbungkus kain selimut itu.

“Setan..! Lepaskan anakku..!!” Teriak Ki Kewot dengan panik.
Belum lagi tubuh tua ini merayap bangun, sebuah tendangan telah membuatnya terguling lagi.

“Jangan gegoakan Ki. Sudah malam nih. Mending lu molor lagi dah!” hardik salah seorang dari penculik itu.
Ki Kewot berkutat untuk bangkit, tapi ia cuma mampu merayap sambil berteriak-teriak.

“Rampok..! Rampoook..! Tolooooong..!” Pekiknya. Teriakan Ki Kewot memecahkan kesunyian malam.
Tapi apa daya, gubuk itu terpencil di tepi persawahan.

Dua penculik itu kabur dengan leluasa menembus kegelapan malam.
Ki Kewot berusaha mengejar.. tapi ia jatuh tersungkur lagi di muka gubuknya.

Dan penculik ini lari terus menerobos hutan jati dengan bungkusan berisi tubuh Ratna pada bahu salah seorang dari mereka.
Berbareng dengan berdesirnya embusan angin..
muncullah dengan tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar menghadang di hadapan mereka.

Kedua penculik ini dengan amat terkejut menghentikan langkahnya. Ditatapnya sosok tinggi besar itu.
Di bawah kesuraman cahaya bulan tampak orang ini sangat mengerikan..
seakan-akan sesosok jin penunggu hutan jati yang tiba-tiba muncul dari perut bumi.

Kedua penculik ini tersentak mundur beberapa langkah. “Siapa di situ..!?” Hardik si tubuh gempal agak gemetar.
Bulan tiba-tiba muncul dari balik awan, kedua penculik ini berseru hampir berbareng. “Samolo..!”

“Dedemit..! Lagi-lagi dia..” sambung si tubuh gempal gemas.
Ia meletakkan bungkusan berisi tubuh Ratna itu di tanah. Lengannya tiba-tiba sudah menghunus goloknya.

“Lu selalu mau usil dengan urusan orang lain. Kali ini lu pasti mampus. Serbu..!”
Teriak si tubuh gempal mengajak kawannya untuk mengeroyok penghalang itu.

Si tubuh gempal langsung menerjang dengan sebuah sabetan ke arah dada Samolo..
disusul pula dengan serangan temannya ke lambung centeng ini.

Samolo dengan gesit berkelit sedikit. Bagaikan kilat telapak tangannya berkelebat menggocoh kepala si gempal.
Menyusul pula tendangan menghantam perut si penculik yang seorang lagi.
Maka dalam satu gebrakan saja, kedua penculik itu rubuh terjungkal ke bumi untuk tak bangun lagi.

Samolo membebaskan tubuh Ratna yang pingsan itu dari bungkusan selimut.
Dengan sebuah pijatan lunak pada sisi tengkuknya, gadis ini segera menggeliat siuman.

Samolo segera beranjak ke balik pohon. Tepat pada saat itu.. cahaya-cahaya obor tampak muncul dari kejauhan.
Puluhan penduduk dengan berbagai senjata di tangan, hiruk-pikuk menyerbu masuk ke dalam hutan jati.

Tampak Ki Kewot berjalan di muka sambil berkali-kali memanggil nama putrinya.
Kemudian semuanya tertegun memandang Ratna yang terduduk, baru saja siuman dari pingsannya.

Ki Kewot segera menubruk tubuh putrinya. Keduanya berangkulan sambil bertangisan.
Kedua penculik itu pun pada saat bersamaan siuman dari semaputnya.

Sadar dengan keadaan yang tidak menguntungkan itu, keduanya langsung kabur sejadi-jadinya..
nyaris jadi perkedel diamuk orang-orang sekampung.
Dari balik pohon, Samolo mau tak mau tersenyum juga menyaksikan tingkah dua penculik yang ketakutan setengah mati.

Dengan napas ngos-ngosan Sarkawi nongol di muka pintu rumah kasir Samirun.
Subaidah, Samirun dan Mirta tanpa berkedip memandang mandor ini yang berjalan gontai..
seperti seorang hukuman yang melangkah ke tiang gnatungan.

Melihat tampang lecek mandor, Subaidah dan Samirun sudah dapat meraba dengan pasti..
bahwa rencana mereka telah gagal total lagi. Dan mereka tidak merasa heran.

Tapi Mirta dengan bernafsu menyongsongnya. “Beres, Wi? Lu simpan di mana gacoan gua?”
Tapi Mandor Sarkawi cuma tertunduk bungkam.

Mirta jadi tidak sabar, dijambaknya baju Sarkawi dan diguncangnya keras-keras.
“Lu bawa ke mana si Ratna, ha..? Budek kuping lu..?”

“Sudahlah. Macam gentong nasi begitu mana bisa beres kerjanya.
Kalau disuruh menghabiskan nasi tujuh bakul, nah baru beringas dia..” nyeletuk Subaidah dengan sinis.

Mirta betul-betul naik pitam. Dicakarnya muka Sarkawi hingga berdarah.
Kemudian anak kolokan ini menghempaskan dirinya ke atas meja sambil sesambat dengan pilunya.
“Kalau begini, lebih baik Ita bunuh diri saja.. Buat apa hidup menderita, tanpa si Ratna di sampingku..”

Samirun dan Subaidah kewalahan membujuk putra jadahnya yang rada-rada senewen ini.
Sarkawi benar-benar merasa sebal dan dongkol melihat ulah pemuda yang terlalu dimanja itu.
“Huh, kolokan banget lu..!!” Celetuknya tanpa sadar.

Mirta makin berjingkrak mendengar ucapan Sarkawi. Dengan kalap diraihnya pistol Samirun.
“Gua mampusin lu!” teriaknya sambil siap menembakkan pistol itu ke arah Sarkawi.

Mandor Sarkawi jadi pucat seketika, ia mundur ke sudut dinding dengan dengkul gemetar.
“To.. tolong Den Kasir.. Cepat ambil pistol itu..” ratapnya dengan terpatah-patah.
Tapi Samirun maupun Subaidah tetap dingin.

“Sumpah disambar geledek, saya sudah berhasil nyulik si Ratna, eh mendadak Samolo muncul..
bersama ratusan penduduk kampung mengeroyok saya berdua. Si Ucih mati dicincang kayak perkedel.
Kalau saya kurang lihai, pasti sudah jadi bangke..” kata Sarkawi megap-megap coba membela diri.

Mirta membanting-banting kaki uring-uringan.
Subaidah menghiburnya sambil membelai kepala anak kesayangannya ini.
“Sudah, sudah jangan kau sedih, Mir..! Ibu akan carikan yang sepuluhkali lebih cantik dari si Ratna.
Anak melarat itu tidak sepadan untukmu, Mirta..!”

“Hati Ita cuma diisi oleh Ratna. Kalau Ibu mau carikan yang lain enggak menjadi soal.
Yang penting Ratna harus jadi milik Ita dulu..” rengek Mirta dengan kepala terbenam di pangkuan ibunya.

Samirun menarik napas, kesal sekali nampaknya. Ia merasa sangat kecewa..
karena tidak berhasil memenuhi keinginan anak hasil hubungan gelapnya itu, yang juga amat dikasihinya secara diam-diam.
-----ooOoo-----

Tibalah hari pernikahan Giran dan Ratna. Seluruh desa Kedawung seolah-olah ikut berpesta.
Gedung Tuan Tanah terang benderang selama tujuh hari tujuh malam tanpa henti.

Segala macam hiburan tak putus-putusnya bertalu-talu menyambut para tamu yang berdatangan dari segala pelosok..
untuk memberi selamat kepada tuan rumah, terutama kepada kedua mempelai. Itulah
hari terbahagia bagi sepasang pengantin baru.

Tamu undangan masih ramai menonton pertunjukan saat Giran mengajak Ratna untuk masuk ke kamar pengantin.
Bersisian mereka duduk berdampingan di atas ranjang, Gian melingkarkan tangan kirinya ke pundak sang istri..

Sementara Ratna merebahkan kepala di dadanya. Giran meraba dengan lembut pipi gadis itu dan berkata, "Ratna..."
"Iya, Kak..?" Jawab Ratna perlahan.

"Malam ini kamu sangat cantik sekali..” Giran berkata lagi. Diangkatnya kepala gadis itu dari pundaknya..
Ratna memandanginya dengan matanya yang bulat dan berbinar-binar sayu.

Tanpa sadar, entah siapa yang mendahului..
wajah mereka tiba-tiba saling mendekat dan terasa nafas mereka yang agak memburu cepat.

Giran menyentuh pipi gadis itu dengan kedua telapak tangannya.
Ia kecup kening Ratna dan gadis itu bereaksi dengan diam, bahkan kini kedua matanya tertutup rapat..
seperti memberi jalan bagi Giran untuk berbuat lebih jauh lagi.

"Ratna, aku sayang kamu..” bisik Giran mesra.
"Iya, Kak..” jawab Ratna berbisik pula.

"Aku ingin mencium bibirmu, boleh ya..?" Giran membuat suaranya selembut mungkin.
Karena Ratna tidak bereaksi, maka dia memberanikan diri mencium kening gadis itu.

Ratna makin memejamkan matanya, menunggu Giran melaksanakan kata-katanya.. yaitu mengecup bibirnya yang sensual itu.
Setelah beberapa saat, Giran melakukannya. Dengan tangan melingkar di leher gadis itu, lembut ia kulum bibir Ratna yang tipis.

Pelan saja ia melakukannya, sambil sesekali lidahnya masuk ke dalam mulut Ratna dan bermain-main di sana.
Gadis itu tampak terkejut saat menerimanya dan langsung melepaskan bibirnya dari pagutan Giran sambil berkata pelan,

”Memang kalau ciuman mulutnya harus dibuka dan lidahnya dijulurkan ya, Kak?” tanyanya polos.
”Iya, Sayang. Coba kamu buka dan julurkan lidah kamu..” jelas Giran sabar.

”Sekarang, boleh aku cium kamu lagi?" tanyanya dengan lembut. Ratna hanya mengangguk..
dan Giran langsung mengecup lagi bibirnya sambil mempermainkan lidahnya di mulut gadis itu.

Ternyata reaksi Ratna sungguh tak bisa diduga, kini lidahnya ikut bermain dengan lidah Giran..
sambil nafasnya memburu cepat di tengah-tengah kecupan dan pagutan bibir mereka berdua.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 8]

Sementara itu..
tangan Giran mulai turun ke arah susu Ratna yang bulat padat.
Gadis itu tidak bereaksi terhadap tangan Giran yang kini sudah mengusap-usap susunya.

Benda itu terasa begitu montok, benar-benar besar dan kenyal meski umur Ratna baru 18 tahun kurang.
Nafas gadis itu semakin memburu tatkala kecupan Giran turun ke lehernya dan menggigit-gigit kecil di sana.

Rintihan halus mulai keluar juga saat tangan Giran masuk ke dalam baju pengantinnya..
setelah kancingnya berhasil dilepas satu persatu tanpa Ratna menyadarinya.

Tangan Giran terus meraba bulatan susu Ratna yang masih terbungkus beha..
yang sepertinya hanya menutupi setengahnya saja karena saking besarnya.

Benda itu terasa begitu montok dan lembut, Giran terus meremasinya sambil bibirnya tanpa henti..
mengecup serta menjilat-jilat batang leher Ratna yang jenjang.

Tak lama, ciuman itu turun dari leher ke susu..
sementara tangan Giran bergerilya ke punggung Ratna untuk melepaskan kaitan beha-nya.

Bisa dirasakannya Ratna sedikit tersentak pada saat ia berhasil melepas penutup dada itu.
"Kaak..” rintih gadis itu terengah-engah sambil menunduk melihat ke arah muka Giran..
yang hampir terbenam di antara kedua susunya yang besar dan montok.

Giran melepaskan kecupannya di pangkal susu Ratna..
sambil melihat ke arah gadis itu dengan tatapn lembut namun penuh nafsu.

Sambil tersenyum ia berkata.. "Kenapa, Sayang.. kamu takut ya..?" Tanyanya hati-hati.
"I-iya..” jawab Ratna dengan suara bergetar.. kedua tangannya masih tetap memeluk leher Giran dengan begitu kencang.

"Jangan takut, Sayang. Aku tau kamu belum pernah seperti ini, rasakan dan nikmati saja pelan-pelan.
Ini juga pengalaman pertama bagiku, kita turuti naluri saja..” jawab Giran lagi..
sambil tangannya kembali membelai susu Ratna yang putih besar..
disertai puting kecilnya yang berwarna merah muda kecoklatan.

Kain beha yang dipakai Ratna kini sudah terlepas.. menampakkan bulatan susunya yang putih montok.
Crup,,!! Giran mengecup lagi bibir gadis itu dengan lembut.

Ratna balas memeluknya dengan erat dan sepertinya gadis menyambut ciumannya dengan sedikit agak buas.
Bahkan Giran hampir kewalahan menghadapi ciumannya yang tiba-tiba saja jadi bertubi-tubi..
Hmm.. jenis ciuman wanita yang lagi birahi tinggi.

Menyadari hal tersebut, Giran akhirnya mulai memberikan respon yang tinggi juga.
Dengan segera ia menjatuhkan tubuh Ratna ke atas ranjang dan langsung menindihnya.

”Ahh.. Kak..! Auhh..” desahan kecil gadis itu mulai terdengar bersamaan dengan kecupan dan gigitan Giran..
yang turun ke arah puting susunya.

Dengan rakus Giran menjilati benda mungil yang berwarna merah muda itu, bergantian kiri dan kanan.
Desahan Ratna semakin menjadi-jadi sewaktu Giran menggigit-gigit kecil benda yang menggemaskan itu..
hingga semakin menikmatkannya.

"Aduh.. Kak.." erang Ratna sambil mencengkeram kepala Giran.
Sementara itu, penis Giran mulai memberontak di balik celana panjangnya.
Giran segera melepasnya agar benda kesayangannya itu bisa leluasa bergerak.

"Ratna, aku ingin membuat kamu jadi milikku seutuhnya. Kamu mau kan..?"
Tanya Giran sambil melepaskan kecupannya dari susu gadis itu.

Kini dipandanginya wajah cantik Ratna dengan penuh kasih dan lembut, juga dikecupnya mesra bibir gadis itu.
"Iya, Kak. Aku mau..” jawab Ratna mesra dengan nafas mulai memburu.

"Ratna, aku akan membuat kamu tidak akan melupakan hubungan kita. Aku juga mau kamu jadi wanita pertama..
yang merasakan kenikmatan dariku..” kata Giran lagi dengan lembut setengah berbisik.
Ratna hanya menanggapinya dengan mengangguk manja.

Sambil berbaring bersisian.. kembali Giran mengecup bibir istrinya.
Tangannya yang tidak berpengalaman dengan gemetar melepas baju yang tersisa di tubuh molek Ratna.

Hal ini membuat batang kemaluannya jadi semakin menegang,..
apalagi saat melihat bukit susu Ratna yang besar dan halus, yang kini tak tertutup apa-apa lagi.

Benda itu tampak begitu putih, besar, montok dan kenyal, lengkap dengan putingnya..
yang kecil berwarna merah muda kecoklatan.

Sejenak Giran memandanginya sambil perlahan-lahan tangannya menjamah, membelai..
serta mengusap-usap puting yang menggemaskan itu.

Ratna yang kegelian segera mengeluh sambil menyusupkan kepalanya ke dada Giran yang juga sudah telanjang.
"Kak.. jangan dilihat terus. Ratna kan malu!" katanya perlahan dengan nada manja.

Giran tertawa perlahan sambil memeluk tubuh gadis itu dengan mesra. "Malu sama siapa, Sayang..? Sama aku ya..?
Aku kan suamimu sekarang, masa’ masih malu..?" Ia tersenyum geli melihat kelakuan istrinya.

"Tapi tetap saja malu, soalnya Kak Giran laki-laki pertama yang melihat Ratna tidak pakai beha..” kata Ratna lagi.
Giran mengecup lagi keningnya.. lalu turun ke mata Ratna yang indah. Juga hidungnya yang bangir..

Terus turun ke sudut bibirnya yang sensual, merah merekah disertai desahan-desahan kecilnya..
yang terdengar merdu di telinga. Di sana Giran mempermainkan lidahnya dengan menggigit-gigit lembut bibir tipis itu.

Ratna menggelinjang dan dengan tidak sabar balas mengecup bibir Giran dengan buas..
sementara tangannya mulai mengusap kepala pemuda itu.

Giran pun tidak tinggal diamdengan segera tangannya turun ke susu Ratna yang menjadi kegemarannya bermain..
dan mulai meraba serta memutar-mutar putingnya yang mungil dengan begitu lembut..
hingga membuat gadis itu mengerang pelan penuh kenikmatan.

”Ahh..” tangan Giran terus turun. Kini ia berusaha menyibak kain kebaya Ratna dan membukanya secara perlahan-lahan.
Gadis itu diam saja, Giran bisa merasakan bahwa istrinya itu sudah pasrah dengan apa yang akan ia lakukan.

Segera ditariknya kain itu ke bawah sambil mulutnya terus menciumi kedua puting Ratna secara berulang-ulang..
dengan lembut sampai basah oleh air liurnya. Lalu ia turunkan kecupan ke arah pusar gadis itu.

Ratna bergerak sambil menjambak rambut Giran yang terpotong rapi. Gadis itu mendesah-desah..
disertai erangan-erangan nikmatnya yang halus saat bibir Giran berada di atas liang kemaluannya..
yang sudah basah memerah, namun masih tertutup oleh celana dalamnya.

"Sayang.. ini aku buka ya..?”
kata Giran sambil mulai menurunkan kain mungil itu hingga terlepas dari tubuh molek Ratna.

Kini di hadapannya terlihat anak gadis, perawan, telanjang..
dengan lubang kewanitaan ditumbuhi bulu-bulu halus yang teratur rapi nan cantik.
Itulah bentuk kemaluan anak perawan yang belum pernah disentuh oleh laki-laki manapun.

Giran mengecup bibir atas benda indah itu yang dengan serta merta mengeluarkan aromanya yang khas.
Ratna langsung bergerak menggelinjang disertai keluhan panjang. "Ooohhh.. Kakk..!"

Giran yakin istrinya itu sudah kehilangan kata-kata untuk menyatakan kenikmatan yang belum pernah dia alami seumur hidupnya.
Giran sendiri berusaha sekuat tenaga untuk menahan nafsunya..

Ia ingin memberikan kepuasan kepada Ratna terlebih dahulu dengan semaksimal mungkin..
sehingga gadis itu akan menyerah dengan apa yang akan mereka lakukan demi kepuasan bersama.

Kembali Giran menjilati belahan vagina itu.. sambil perlahan-lahan membuka paha Ratna..
yang sebelumnya terjepit kuat untuk menahan gejolak birahinya.
Paha putih mulus itu mulai terbuka sedikit demi sedikit sambil lidah Giran terus bermain dengan begitu lembut.

Kelentit Ratna yang mungil tampak merekah indah berwarna merah muda, membuat Giran jadi tak tahan.
Segera ia mengecup dan menggigit-gigit benda kecil itu. Hal ini membuat Ratna menggoyangkan pantatnya yang padat.
kenyal serta mulus itu dengan gila.

Kedua tangannya mencekal rambut Giran dan menekan ke arah liang vaginanya sambil berteriak kecil..
menahan rasa kenikmatannya. Basah sudah bibir, hidung dan lidah Giran oleh cairan putih bening..
yang terasa agak asin namun juga harum khas aroma liang vagina yang sedang tergoda.
Cengkraman serta jepitan paha Ratna di kepalanya kembali menguat..
memaksa Giran menjilat dan menelan habis seluruh cairan itu.

"Kak, ayo sini. Peluk aku..” rintih Ratna sendu. Giran yang sudah puas menelan cairan orgasme anak perawan..
segera bangun dan memeluk tubuh istrinya dengan begitu lembut dan mesra.

Ratna tampak kaget melihat mulut dan hidung Giran yang masih tercecer cairan kenikmatannya.
Sambil tersenyum, ia mengecup bibir..
hidung serta dagu Giran sambil menjilati sisa-sisa cairan putih bening yang masih ada di sana.

Ratna kemudian memandangi Giran dengan matanya yang indah berbinar itu. Posisi mereka rebahan berdampingan..
dengan tangan Giran menyentuh dan mengusap-usap susu Ratna yang putih montok..
dihiasi puting kecil berwarna merah muda kecoklatan.

"Kak..” desah Ratna lembut.
"Apa, Sayang..?" Jawab Giran berbisik lembut.

"Kak Giran sayang sama Ratna kan..?"
Tanyanya lagi sambil memandang serta membelai pipi Giran, menyentuh bibir pemuda itu dengan jari-jarinya.

"Tentu saja.. kalau tidak, mana mungkin aku mau menikahimu..” balas Giran lembut.
Jarinya tetap nakal bermain-main di puting susu Ratna yang mungil namun sangat menggairahkan.

"Hmm.. soalnya Ratna belum pernah begini..” kata gadis itu lagi sambil melirik ke arah mata suaminya.
Giran balas memandangnya sambil tersenyum.

Tiba-tiba Ratna tersentak saat perutnya menyentuh sesuatu yang keras di selangkangan Giran.
Secara refleks ia mencoba meregangkan tubuhnya.. tetapi dengan sigap Giran menahan..
dengan melingkarkan tangan ke pinggang gadis itu sambil berbisik..
"Jangan dilepas, Sayang.. biarkan menempel.
Aku ingin kamu merasakan milik laki-laki yang menyayangimu, menyentuh kulitmu..” katanya dengan nada pasti.

Ratna terhenyak dan tegang sesaat, namun dengan sabar dan lembut Giran segera mencium kening dan bibirnya..
hingga membuat gadis itu jadi rileks kembali.
Ia lalu melepaskan celana dalamnya secara perlahan-lahan hingga jadi sama-sama telanjang bulat.

"Kamu belum pernah melihat yang namanya penis laki-laki dewasa dalam keadaan tegang kan..? Kamu mau lihat..?"
Tanya Giran sambil menatap pasti ke arah mata istrinya yang indah itu.

Sepertinya Ratna bingung untuk sesaat, namun kemudian, dengan sikap pasrah dia mengangguk pelan.
Perlahan-lahan gadis itu menundukkan kepala mengikuti arahan Giran..
ia sapukan pandangannya ke arah pangkal paha suaminya tempat di mana sesuatu yang tak pernah dilihatnya berada.

"Ooohhh..” Ratna berteriak kecil..
tampak kaget dan serta merta memeluk leher Giran untuk menyembunyikan mukanya yang memerah.

Giran rasanya ingin tertawa melihat sikap istrinya yang lugu itu..
maklum saja anak perawan pertamakali melihat penis laki-laki dewasa lagi tegang.

"Kenapa, Sayang..? Lihat saja, indah kan..?" Katanya menggoda.
"Tidak mau.. Ratna malu!!" jawab gadis itu tanpa melepaskan wajahnya dari leher Giran.

Dengan sigap Giran memeluk pinggang istrinya yang ramping..
hingga berakibat batang kemaluannya yang masih tegang itu menempel di antara vagina Ratna yang lembut.

Gadis itu kaget dan berusaha melepaskan diri, tapi Giran menahan pinggangnya kuat-kuat.
Akibatnya, nafas Ratna jadi semakin terengah-engah.

Giran bahkan bisa merasakan ada sebentuk cairan hangat yang mulai mengalir pelan menyentuh ujung kemaluannya.
Perlahan-lahan ia juga merasakan ketegangan di tubuh sang istri mulai agak sedikit mengendur.

"Ratna.. aah.. geli.. tapi enak..!!" Desah Giran terengah-engah.. pelukan di pinggang gadis itu ia kendurkan..
sambil menatap mata Ratna yang agak redup. Namun kali ini istrinya itu tidak berusaha untuk menghindar.

"Sayang.. ini bagian dari perasaan cinta dan kasih sayang, ayo lihat..!!"
Giran mengambil tangan kiri Ratna dan diarahkan ke batang penisnya.
Gadis itu mengikuti gerakannya sambil pelan-pelan menundukkan kepala.

Giran mengusap-usapkan tangan itu ke atas batang penisnya... sambil menyuruh Ratna..
untuk menggenggamnya dengan lembut. Ia bisa merasakan nafas istrinya yang mulai memburu.

Terus diajarinya Ratna menggengam dan mengurut-urut..
sementara tangannya sendiri juga menyentuh vagina gadis itu dengan lembut..
dan mulai mengelus-elus bibir hangatnya dengan penuh rasa cinta.

Mereka terus saling merangsang seperti itu sambil bibir keduanya bertaut erat..
dan melumat serta mengisap satu sama lain.

Beberapa saat kemudian, Giran mulai tak tahan dengan keadaan seperti itu.. batang penisnya..
terasa semakin keras dan tegak di dalam genggaman Ratna, sementara bibir vagina sang istri juga jadi bertambah becek akibat gesekan jari-jarinya.

Segera ia berniat untuk melakukan penetrasi.
Giran menggeser tubuh mulus Ratna perlahan-lahan,.. sehingga gadis itu kini telentang di atas ranjang.

Sambil menindih di atasnya, Giran berbisik, "Ratna, aku ingin kamu merasakan kenikmatan orang menikah.. kamu mau kan?"
Ia berkata sambil menatap wajah sang istri yang terlihat pasrah dan bertambah cantik dengan sebagian keringat menitik di dahinya.

"Kak, semua milik Ratna kuberikan untuk kakak..” jawab gadis itu lembut setengah tersenyum juga dengan nafas mulai memburu.
Girang mengangguk sambil mengecup bibir tipis Ratna yang menggemaskan.

Dengan sabar dan lembut tanpa melepaskan pandangan matanya dari Ratna yang mulai setengah terpejam..
Ia renggangkan paha gadis itu.. lalu mulai mengarahkan batang penisnya yang sudah tegang sedaritadi..
ke lubang vagina basah yang terasa saat diraba dengan jari tengahnya.

Benda itu sudah merekah terbuka, hangat, lembab dan juga begitu lembut.
Perlahan-lahan Giran mengusap-usapkan ujung kemaluannya ke sana sambil mengecup bibir gadis itu..

Tak ;upa juga puting susu, leher dan daun telinganya. Ia jilati mesra seluruh wajah gadis itu..
yang segera dibalas Ratna dengan memegangi serta meremas-remas rambut kepalanya.

Saat tangan kanan gadis itu membelai punggungnya dengan mesra..
seolah-olah mulai merasakan kenikmatan, perlahan-lahan Giran mendorong batang penisnya..
memasuki kira-kira setengahnya ke liang kewanitaan sang istri.

"Kak.. pelan-pelan.. periih..!!” jerit Ratna tiba-tiba.
Giran yang agak kaget langsung berhenti bergerak karena meskipun ia sudah tidak tahan ingin penetrasi penuh..

Tetapi masih sadar bahwa ini adalah persetubuhan pertamanya dengan sang istri yang anak perawan 17 tahun..
yang amat ia sayangi, jadi Giran harus sabar dan penuh rasa kasih serta cinta yang lembut saat melakukannya.

"Maaf, Sayang.. sedikit lagi.. pelan-pelan ya.. atau dicabut aja..?"
Tanya Giran tanpa sadar, bimbang antara mau terus tapi takut istrinya kesakitan.
"Jangan.. pelan-pelan saja..” jawab Ratna lirih.

Setelah mendengar jawaban itu, Giran meneruskan tusukannya yang sudah masuk setengah dengan amat perlahan.
Ratna menerimanya dengan keluhan yang terdengar lirih.

Nafas gadis itu juga memburu cepat, terasa liangnya yang sempit basah melumasi kemaluan Giran..
yang sudah masuk dan menyentuh suatu batas, sebuah selaput dara.

Giran tampak bingung sejenak, berusaha untuk menguasai diri. Sambil mengatur nafas, ia diam beberapa saat..
sambil memandangi gadis perawan yang cantik ini. "Sayang, kamu apa sudah siap...?" Giran berbisik di telinga Ratna.

Reaksi gadis itu membuat Giran tertegun. Ratna mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dengan tiba-tiba,..
sehingga tanpa bisa dicegah, batang kemaluan Giran yang sudah masuk penuh langsung amblas terbenam.

Sekat yang menghalangi tautan alat kelamin mereka robek saat penis Giran menghujam.
Ratna memang sempat memekik lirih..
namun segera melingkarkan kedua kakinya ke pinggang sang suami dan sekaligus menjepitnya kuat-kuat.

"Ayo, Kak. Goyang..!” Ia meminta. Tanpa membuang waktu..
Giran langsung menggoyangkan pantatnya maju mundur secara perlahan-lahan tetapi pasti.

Makin lama makin cepat sambil ia kecup sudut bibir sang istri, juga ujung dagunya.
Nafas mereka sudah tidak karuan lagi. Erangan Ratna terdengar semakin keras.
Gerakan pantatnya yang bulat juga semakin menjadi-jadi.

Giran memeluk tubuh istrinya dengan begitu mesra.. karena mulai merasakan denyut-denyut gila di batang penisnya.
Terutama di bagian kepalanya yang bersentuhan langsung dengan otot-otot vagina Ratna yang terasa seperti mengisap.

Setiap gerakan benar-benar membuat Giran jadi tak tahan.
Rasanya belum lama ia menggoyang saat tidak bisa lagi menahan kenikmatan badaniah ini.

Dengan seluruh batang kemaluannya terbenam di liang kewanitaan Ratna yang sempit..
Giran pun menggeram saat mengalami orgasme terhebat sepanjang hidupnya. Cratt.. cratt.. crattt
..
Spermanya keluar menyemprot di dalam vagina Ratna yang lembut..
bersamaan dengan paha perempuan itu yang menjepit kuat pinggangnya.

Rupanya Ratna juga mengalami hal yang sama. Mereka berpagutan, berkecup..
berpelukan.. tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh-tubuh telanjang keduanya.

Beberapa saat mereka terus berpelukan seolah-olah tidak akan melepaskan satu sama lain.
Peluh keduanya mengalir membasahi punggung..
leher, dada dan perut, bahkan hingga hampir ke seluruh tubuh.

"Kak..?" Suara Ratna terdengar lembut sambil jarinya mengusap pipi dan bibir Giran.
Perlahan-lahan mereka saling melepaskan diri dan secara refleks melirik ke arah pangkal paha masing-masing.

Mereka termenung sejenak melihat seprei tempat tidur yang basah oleh bercak darah merah.
"Kak, apa ini? Ratna takut.. ada darah di..” Ratna berkata dengan ekspresi wajah khawatir.

Segera Giran memegangi kedua pipi gadis itu dan melekatkan pandangannya.
"Jangan takut, Sayang.. itu tandanya kamu masih suci. Aku yang pertama melakukannya, mengambil perawanmu..!"
jawabnya dengan tenang dan pasti dan langsung kembali memeluk istrinya itu sambil mengecup keningnya.
Ratna membalas pelukannya.

Giran meraih bajunya dari lantai dan segera membersihkan ceceran darah yang membasahi pangkal paha istrinya..
juga di liang vaginanya sambil memandanginya dengan tersenyum puas.

Ratna ikut bangun dan membereskan bajunya yang berserakan di atas lantai.
Mereka berdiri berhadapan, saling berpandangan mesra dengan tubuh masih sama-sama telanjang.

Setelah itu mereka saling memeluk dan selang beberapa menit kemudian..
keduanya kembali terlibat dalam percintaan yang begitu memabukkan. Mereka melakukannya sampai pagi tiba.

Tak terhitung berapakali Ratna lemas di dalam pelukan Giran..
sementara Giran sendiri limakali memenuhi rahim sang istri dengan benih-benih cintanya yang hangat dan kental.
-----ooOoo-----

Giran dan Ratna seakan-akan hidup di dalam dunia khayal 1001 malam.
Mereguk segala kenikmatan cumbuan kasih surgawi yang dapat membuat iri pada dewa-dewi khayangan sekalipun.

Namun itu tidak berlangsung lama. Karena pada hari ketujuh, datanglah musibah menimpa Tuan Tanah.
Pada pesta terakhir yang naas itu, Tuan Tanah yang mulanya sangat gembira itu, sekonyong-konyong muntah-muntah darah.

Paniklah seluruh isi gedung itu. Tuan Tanah segera digotong ke dalam kamarnya.
Sementara beberapa orang diperintahkan oleh Subaidah yang kelihatan sangat panik itu untuk mencari obat.
Dan Samolo disuruhnya memanggil Giran dan Ratna yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah Ki Kewot.

Tuan Tanah masih saja memuntahkan darah segar dari mulutnya. Wajahnya jadi pucat-pasi.
Namun ia masih nampak kuat bertahan. Kini di dalam kamar itu cuma ada Subaidah, Samirun, Mirta dan Sarkawi.

Subaidah masih terus mengurut dada suaminya. “Pak, kenapa kau, Pak? Oh Gusti..!” ratap perempuan ini.
Samirun mendekat ke tepi pembaringan. “Den Besar..!?”
“Uh..!?”

“Tolong tanda-tangani surat ini, Den..”
Samirun menyodorkan pulpen dan secarik kertas yang bertempelkan materai kepada majikannya.

Tuan Tanah memicingkan matanya meneliti isi surat tersebut.
Tiba-tiba wajahnya yang pucat itu berubah jadi merah padam seketika.

Ia terbatuk dan segumpal darah segar pun tersembur dari mulutnya, membasahi seluruh kertas tersebut.
Samirun mundur. Melempar kertas yang berlumur darah itu. Matanya tiba-tiba jadi liar mengerikan.

Sekonyong-konyong ia meraih sebuah bantal lalu dibekapkan ke wajah Tuan Tanah..
yang segera meronta-ronta dengan seluruh sisa tenaganya.
Samirun mengerahkan seluruh kekuatannya menekan bantal itu. Tapi tak berhasil.

“Pegang tangannya. Cepat..!” Teriak Samirun setengah tertahan kepada Subaidah.
Subaidah yang sejak tadi tertegun dengan wajah pucat, segera menuruti perintah Samirun.
Lalu Sarkawi pun disuruhnya untuk membantu.

Tinggal Mirta memandangi pergumulan mengerikan itu dengan tubuh menggigil seperti diserang demam.
Pergumulan itu tidak berlangsung terlalu lama..
karena Tuan Tanah kini telah terkulai tak berkutik lagi di bawah dekapan bantalnya sendiri.

Semua tertegun terengah-engah. Mirta menggigil di kolong meja.
“Kenapa pada bengong..? Ayo siapkan rencana kita berikutnya..!” Seru Samirun dengan suara di kerongkongan.

Subaidah dan Sarkawi segera bergerak menghapus semua bekas tindakan mereka.
Jenazah Tuan Tanah dibaringkan dengan rapi di pembaringan.
Seakan-akan kematian Tuan Tanah itu disebabkan penyakit yang sudah lama diidapnya.

Sesaat kemudian, Giran dan Ratna yang dipanggil oleh Samolo..
tiba di gedung yang masih dipajang janur-janur pesta itu.
Mereka terpaku di ambang pintu. Tangisan memilukan menggema di ruangan gedung tersebut.

Tampak Subaidah tengah terisak memeluki tubuh Tuan Tanah yang terbujur kaku di atas dipan..
tepat di tengah ruangan utama itu.

“Aduh, Pak. Tega benar kau meninggalkan aku serta anak-anak..! Bawalah Subaidah, Pak.
Apa artinya hidup ini tanpa kau di sisiku, Pak..! Aduuuuh.. perih hatiku, Pak.. Hu hu hu..”
Tangis Subaidah melolong-lolong, sangat memilukan.

Mirta pun tampak menggerung-gerung bersimpuh di sisi dipan.
Giran berlutut di sisi tubuh ayahnya yang mulai dingin itu, dibukanya kain penutup jenazah..
lalu dipandangnya wajah ayahnya yang membiru.

“Ayah..!?” Cuma itu yang sanggup terlontar dari mulut Giran.. kemudian ia duduk tafakur di sisi jenazah.
Tampak bahunya terguncang-guncang. Namun tak terdengar isak tangisnya.
Ratna menepis air mata, ikut berlutut di sampingnya.

Samirun tertunduk dengan wajah pura-pura sedih. Matanya berkali-kali melirik ke arah Sarkawi.
Mandor ini sedang asik mengunyah kue yang terletak di meja.

Kasir ini mendehem, tapi Sarkawi tak mengerti dengan tanda isyarat tersebut.
Samirun terpaksa mendekatinya lalu menginjak kaki Mandor bego ini.

Sarkawi mengaduh kesakitan dengan mulut penuh tersumpel kue.
Di sudut ruangan tampak Nyi Londe terisak-isak menepis air mata dengan ujung kebayanya.

Di luar pintu terlihat Samolo tertunduk dalam-dalam. Tampak matanya merah berkaca-kaca.
Betapa sedih ia mengingat semua kebaikan majikannya itu, yang kematiannya kini terasa tidak wajar.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 9]

Upacara pemakaman Tuan Tanah Kedawung telah berlalu.
Namun suasana duka masih melekat di setiap hati para penduduk desa.
Desa itu terasa seakan-akan telah kehilangan sebagian sinar matahari, suram dan beku.

Terutama bagi gedung besar dan megah itu, dari luar terlihat sunyi.
Apalagi pintu utama tak pernah lagi dibuka semenjak wafatnya Tuan Tanah.

Giran dan Ratna lebih banyak mengurung diri. Kematian ayahnya nyaris menghancurkan gairah hidup Giran.
Untung saja kini di sisinya selalu ada Ratna, yang menghiburnya dan memberikan semua kesejukan pada dasar jiwanya.

Samolo kini merasa dibebankan kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga generasi penerus sang majikan.
Tanggungjawab serta kewajiban yang diembannya tanpa pamrih.

Karena budi sang Tuan Tanah baginya tak dapat dibanding-ukur oleh apapun di dalam kehidupan ini.
Kecuali Subaidah dan Samirun-lah yang merasa lega dengan meninggalnya perintang utama bagi hasrat mereka itu.

“Kini harta warisan itu berada di tangan si bocah bedebah.
Kalau dia dan anjing Samolo itu sudah disingkirkan, kitalah raja dan ratu di gedung ini. He he he..!”

Mengkhayallah Kasir Samirun dan itu diutarakannya kepada Subaidah..
ketika mereka pada kesempatan tertentu mengadakan pertemuan rahasianya secara rutin.

“Aku ada jalan yang paling lunak untuk melenyapkan anak itu. Lenyap untuk selama-lamanya..”
Kata Subaidah sambil tersenyum iblis di dekapan kekasih gelapnya.

Esok harinya, pagi-pagi sekali Subaidah sudah memanggil Giran ke hadapannya.
Mata ibu-tirinya terlihat berkaca-kaca dan sembab. Giran tertunduk terharu.

“Giran..” terisak-isak Subaidah dan berkali-kali menepis air matanya.
“Ya, Bu.”
“Sebenarnya sangat berat ibu mengatakannya kepadamu, Nak.”
“Katakanlah, Bu..!”

“Tapi hati ibu lebih tidak tentram dan selalu gelisah bila belum menyampaikan pesan almarhum ayahmu..!”
“Pesan apa, Bu?” tanya Giran ingin tahu.

“Pada akhir hayatnya, ayahmu berpesan, agar aku mengirim kau ke Borneo, untuk mengurus kebun karetnya di sana.”
“Ke Borneo..?” Ulang Giran sambil tercenung. Subaidah mengangguk.. isaknya terus berkepanjangan.

“Itulah beratnya. Ibu maklum kau masih pengantin baru.”
“Tidak apa, Bu. Saya pasti akan melaksanakan pesan ayah itu..” kata Giran pasti.

“Berangkatlah besok pagi-pagi, agar cepat pula pulang. Ibu telah mempersiapkan segala sesuatunya untukmu..”
“Baiklah, Bu..” angguk Giran, lalu bangkit melangkah ke luar.

Subaidah menutup mulutnya dengan sapu tangan untuk menahan tawanya.
Samirun yang sejak tadi pura-pura sibuk menulis, kini ikut menekap mulutnya menahan geli.
Di luar jendela, Nyi Londe diam-diam memperhatikan tingkah aneh kedua orang itu.

Malam itu.. bagaikan kisah Remeo dan Juliet, Giran dan Ratna berdekapan dengan perasaan sukar dilukiskan..
menanti fajar yang begitu cepat dan juga menakutkan.

Karena pada dinihari sang Romeo akan berangkat meninggalkan Juliet-nya menuju Borneo..
Demi melaksanakan pesan almarhum ayahnya yang disampaikan melalui ibu tirinya yang amat ’bijak’ itu.

“Berapa lamakah aku harus menanggung rindu ini, Kak..?
Aku takut, kalau-kalau terjadi sesuatu padamu di negeri yang amat jauh itu..”
Bisik Ratna sambil memeluk suaminya erat-erat, takut kehilangan dan terlalu berat untuk dilepaskan kepergiannya.

“Tabahkan hatimu, sayang. Aku akan cepat kembali. Berat hatiku meninggalkan kau.
Tapi demi baktiku terhadap orang tua, apa boleh buat!” gemetar suara Giran.

Apalagi saat dilihatnya sang istri mulai membuka semua gaun tidurnya..
kemudian menarik tangan Giran agar mendekap bulatan payudaranya yang bulat dan besar.

”Ratna..?” Giran memanggil dengan senyum terkulum di bibir.
Sementara Ratna hanya menanggapi sambil membuka celana dalamnya.
Terlihat di sekitar kemaluannya banyak ditumbuhi bulu yang sangat lebat.

"Sudah, Kakak tenang saja! Pokoknya kakak aku puaskan malam ini, kalau perlu sampai pagi..” bisiknya mesra.
Karena Giran juga ingin merasakan tubuhnya, maka tanpa basa-basi ia ciumi istrinya itu.
Mulai dari bibir hingga bulatan buah dadanya.

Giran mencucup dan mengisap-isap putingnya yang mungil hingga membuat Ratna merasa kegelian.
Kemudian ia membuka pakaiannya sendiri hingga jadi jadi sama-sama telanjang bulat.

Ratna memekik gembira saat melihat batang kejantanan Giran yang sudah mengacung tegak menantang di hadapannya.
"Oh, Kak. Sangat besar dan panjang sekali..!"
Katanya terpukau dan langsung mengulum penis itu hingga ke biji kemaluannya.

"Ahh.. Ratna, enak sekali… terus..! Ahh…" desah Giran penuh kenikmatan.
Karena dipuji, Ratna pun terus semangat memaju-mundurkan mulutnya.

Giran hanya bisa membalas dengan meremas-remas terus buah dada gadis itu. Sungguh sangat nikmat sekali rasanya.
Kemudian ia mengajak sang istri untuk mengubah posisi karena Giran juga ingin mencicipi kemaluan Ratna yang terasa gurih.

Kini mereka saling menjilat dengan tangan Giran sesekali masuk menusuk celah vagina Ratna yang sudah sangat-sangat basah.
Giran mengocoknya lembut hingga membuat Ratna jadi merintih nikmat karenanya.

"Ahh.. Kak, aku sudah tidak kuat lagi! Cepat masukkan punyamu!" kata gadis itu.
"Baik, Sayang.." jawab Giran sambil mengubah posisi..
mencoba memasukkan batang kemaluannya ke liang senggama sang istri.

"Ahh… dipakai berapakalipun, punyamu selalu terasa sempit..” bisiknya.
"Ini semua buat Kakak..” jawab Ratna..
sebelum kemudian menggelinjang-gelinjang karena Giran mulai menggenjotnya semakin cepat.

"Ohh.. Kak, besar sekali punyamu, rasanya milik Ratna jadi penuh..”
"Kamu suka..?" Tanya Giran sambil terus berusaha memasukkan batang penisnya semakin dalam.

Ratna hanya bisa mengangguk.. sama sekali tidak sanggup untuk berkata apa-apa..
karena sedetik sebelumnya Giran sudah melonggarkan lubang kemaluannya dengan memutar-mutar..
serta mengocok-ngocok batang penisnya sedikit lebih kasar.

Sesuai harapan.. lubang senggama Ratna yang sempit kini mulai membuka..
hingga batang kejantanan Giran bisa masuk dengan lebih leluasa.

"Ohh.. terus, Kak.. Masukkan terus.. Jangan ragu.." kata gadis itu memohon.
"Ooh.. ahh.. hhh.." desah Giran yang diikuti dengan mengocok batang kemaluannya semakin cepat.

Tidak sampai semenit kemudian.. Ratna sudah mengeluarkan cairan kenikmatannya.
"Ohh.. Kak, aku keluar..!!" Kata gadis itu mendesah.. lalu menjerit penuh nikmat. Srrr.. srrrr.. srrrr..!

Terasa sebentuk cairan hangat dan kental mengguyur batang penis Giran..
hingga semakin memudahkannya untuk terus memaju-mundurkan pinggul.

Karena cairan yang dikeluarkan Ratna begitu banyak hingga beberapa ada yang meluber keluar..
bahkan sampai terdengar bunyi.. clepp-clepp-clebb-clebb.. serta cplok-cplek-cplok-cplok-cplek-cplek..!
Sangat keras setiapkali alat kelamin mereka beradu.

Ratna meremas-remas payudaranya sendiri.. karena terlalu bernafsu merasakan permainan cinta itu.
Oh.. betapa bahagianya dirinya bisa memiliki suami seperkasa Giran..
yang selalu bisa memuaskan serta melayani nafsu birahinya yang mengebu-gebu.

Setelah 15 menit bertarung dengan posisi Giran berada di atas.. kemudian mereka berganti posisi.
Kini Ratna yang berada di atas..
Mengendalikan permainan itu dengan goyangan pinggulnya yang begitu dahsyat dan menggoda.

"Ahh.. hah.. hhh..” rintih gadis di atas tubuh Giran.
Bokongnya bergerak cepat seperti sedang menunggangi kuda dengan penis sang suami sebagai porosnya.

"Ohh.. pelan-pelan, Sayang.." bisik Giran yang begitu keenakan.
Tangannya menggapai-gapai untuk menjamah buah dada Ratna yang menggantung indah.

Setelah dapat, segera ia mengusap-usapnya kasar dengan penuh nafsu..
sampai membuat istrinya itu menggelinjang-gelinjang kegelian.

Sebagai balasan, Ratna menggerakkan pinggulnya semakin cepat hingga akhirnya..
"Ohh.. Sayang, aku mau keluar.." bisik Giran dengan kepala penis terasa begitu penuh.

Tanpa sanggup untuk menahan.. crrttt.. crrrtt.. crrtt.. crrtt..!!
Segera ia keluarkan semua lahar panasnya di dalam rahim sang istri sambil mengusap-usap dadanya lembut.

"Ohh.. Kak..” bisik Ratna dengan tubuh kelelahan.. ia lalu terkulai lemas di atas tubuh Giran.
Mereka terus berpelukan seperti itu sampai nafas mereka yang memburu perlahan berubah menjadi sedikit tenang.

Giran yang kembali bergairah segera berbisik di telinga sang istri. ”Mau lagi..?”
Ratna menjawab dengan anggukan mantab..
sambil langsung menindih serta memasukkan alat kelamin Giran ke dalam lubang kemaluannya.

Mereka bermain lagi sekitar 30 menit.. dan tampaknya itu bukan yang terakhir..
karena beberapa menit kemudian.. Giran kembali meminta jatahnya yang ketiga.
Mereka benar-benar habis-habisan malam ini.

Dengan penuh nafsu keduanya terus mengayuh dan menaiki bahtera cinta yang begitu melelahkan,
Namun juga sangat-sangat nikmat itu..
Hingga tak terasa nun jauh di pojok kampung.. kokok ayam mulai sayup-sayup terdengar.

Setelah orgasmenya yang terakhir.. Ratna terlihat semakin erat memeluk suaminya..
yang sangat ia cintai dengan segenap jiwa-raganya itu.

Giran sendiri bangkit perlahan-lahan, membuka jendela. Tampak fajar mulai terbayang di ufuk timur.
Ia menghela napas.
“Betapa cepat waktu ini berlalu. Tanpa terasa saat keberangkatanku sudah tiba..” gumamnya.

Ratna turun dari pembaringan, menubruk suaminya dan dipeluknya semakin erat.
Air matanya terasa hangat membasahi punggung Giran.

“Tidak..! Tidak..! Jangan tinggalkan aku.. Aku tidak peduli betapa dunia ini akan kiamat sekali pun..”
Ratap Ratna dengan hati luluh, namun tetap saja mereka harus berpisah.
-----ooOoo-----

Roda kereta itu bergerak membawa Giran ke Batavia, lalu dengan kapal laut akan bertolak ke Borneo.
Mata Ratna berkaca-kaca mengiringi kepergian suaminya sampai jauh menjadi titik kecil di kaki langit.

Ia masih berdiri terpaku di ujung jembatan itu, seakan-akan sebagian sukmanya telah ikut terbawa pergi.
Belum dua minggu madu kasih itu direguknya, kini harus direnggut dari sisinya.
Ia masih termenung di situ, sampai lengan Nyi Londe merangkulnya dan membawanya pulang.


Di sebuah persimpangan jalan yang akan dilalui kereta berkuda itu..
tampak seorang laki-laki berbaju hitam-hitam dan kaos loreng.. duduk menunggu sejak Subuh.

Matanya yang setajam mata elang itu hampir tak berkedip menatap lurus-lurus ke ujung jalan.
Sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba sudah tegak di belakangnya.

“Hmm, Mat Gerong..” suaranya berat mengejutkan.
Si mata elang tersentak berpaling. “Oh, Bang Samolo..”

“Rupanya kau yang dapat kehormatan untuk memberi salam dan selamat jalan kepada putra majikanku..”
tukas Samolo dengan nada kalem.

Mat Gerong bangkit.. sebuah tanda goresan bekas luka bacokan pada pipi kirinya..
menambah seramnya wajah pentolan penjahat yang sangat ditakuti ini.
Keduanya berhadapan dengan waspada.

“Rejeki ini adalah pemberian nyonya besarmu sendiri, Bang. Tujuh Ringgit uang emas..
upah memetik batok kepala bocah ini cukup menarik, bukan..? Kita bagi berdua. Setuju..!?”

“Sebaiknya kau tau.. Mat Gerong. Setiap helai rambut di tubuh pemuda itu, jauh lebih berharga..
dari nyawa tujuh-turunan manusia macam kau..! Karena itu mana mungkin aku tinggal berpeluk tangan saja..”
Tegas Samolo dengan suara tenang dan mantap.

Sementara itu.. di ujung jalan tampak debu mengepul dan kereta kuda itu berderap mendatangi..
Mat Gerong jadi gelisah dan geram. “Sialan..! Kau mau bikin tumplek bakul nasi gua..?”

Dengan sebuah gerakan kilat Mat Gerong mencabut golok Cibatunya, langsung menerjang ke arah Samolo.
Pembunuh bayaran ini benar-benar ingin memburu waktu.

Tanpa gentar sedikit pun Samolo menyambut serangan itu dengan kibasan lengan kosongnya.
Golok yang menderu itu terlempar ke udara.
Bersamaan dengan itu telapak tangan kanan Samolo menyapu leher Mat Gerong.

Tapi ternyata nama besar pentolan penjahat ini memang bukan omong kosong.
Gerakannya serba kilat dan tangguh. la menangkis serta menyerang dengan tipu-tipu pukulan yang mematikan.

Kedua Jawara ini nyaris seimbang. Pertarungan berlangsung cepat dan sengit.
Sementara itu, kereta kuda yang membawa Giran sudah semakin dekat.

Mat Gerong jadi nekat, tujuh Ringgit uang emas terlalu berharga baginya untuk dibiarkan lewat begitu saja.
Ia merangsak dengan tendangan berantai. Samolo memapaknya dengan tebasan lengannya.

Mat Gerong terpekik, betis kananya remuk terbabat telapak tangan Samolo.
Ia berguling untuk menyambar golok Cibatunya yang tergeletak di tanah.

Dengan masih berguling ia langsung menyerang lawannya dengan tebas-tebasan beruntun yang sangat berbahaya.
Samolo berkelit dan melompat dengan sebuah tendangan keras pada kepala Mat Gerong, yang segera tersungkur mencium bumi.

Golok Cibatunya terlotar berputar ke udara. Cepat sekali tubuh Mat Gerong berguling-guling ke arah jalan raya..
dengan maksud untuk mencegat buruannya yang berada di kereta kuda yang semakin dekat itu.

Samolo lompat memetik golok Cibatu yang masih berputar di udara..
lalu lompat turun langsung menebang kedua kaki pembunuh bayaran yang rakus itu.

Dengan pekikan yang sangat memilukan tubuh Mat Gerong tersentak ambruk ke bumi.
Sepasang kakinya terlontar masuk saluran irigasi.

Detik itu gemuruh roda kereta serta derap kaki-kaki kuda melintas dengan cepatnya di jalan itu.
Samolo lompat berlari ke tepi jalan untuk mengejar kereta yang ditumpangi Giran itu.

Tapi mana mungkin ia mampu mengimbangi kecepatan larinya dua ekor kuda putih yang tangkas itu.
Dalam sekejap saja kereta itu sudah hilang dari pandangannya.
Dengan napas masih memburuh serta perasaan kecewa, Samolo berdiri memandangi ujung jalan yang sunyi itu.

“Den Giran, semoga Tuhan memberi firasat padamu, akan kebusukan tipu muslihat ibu-tirimu.
Menyesal sekali aku terlambat mengetahui dan tidak sempat pula memberi tau kepadamu..
bahwa kebon karet milik ayahmu di Borneo itu cuma isapan jempol ibu tirimu dan Samirun.
Apa boleh buat. Semoga Tuhan melindungimu selalu..” keluh Centeng setia ini dengan pedih.

Dengan perasaan sedih dan kecewa Samolo berjalan pulang ke Kedawung..
meninggalkan tempat pertarungan yang telah tersimbah darah seorang jawara..
yang sangat ditakuti sebagai pembunuh berdarah dingin.

Mat Gerong masih merintih dan terkapar kehilangan Rejeki Tujuh Ringgit Uang Emas berikut sepasang kakinya.
Pada kemudian hari, jago dari daerah Sepatan yang ganas ini..
akan muncul malang-melintang lagi dengan julukan Si Buntung dari Cisadane.

Iblis penyebar maut yang sukar ditaklukkan ini, telah berhasil membuat lembaran sejarah hitam pada zamannya.
Dendamnya kepada Samolo terbawa sampai mautnya.

Peristiwa penghadangan yang gagal itu akhirnya diketahui juga oleh nyonya besar Subaidah dan kasir Samirun.
Karena Mat Gerong tidak pernah muncul lagi meminta upahnya, kecuali uang muka itu.

Juga berdasarkan laporan Mandor Sarkawi yang diperintah untuk memata-matai..
pelaksanaan tugas pembunuh bayaran itu secara diam-diam dari kejauhan.

“Lagi-lagi Samolo..! Anjing itu pun mesti segera disingkirkan.
Dia pasti sudah terlalu banyak mencium rencana kita..” bisik Subaidah dengan wajah kecut.

“Ya.. bila tidak, kitalah yang akan disingkirkan olehnya..” kata Samirun serius.
Suaranya terdengar agak gemetar.. membuat wajah Subaidah makin kecut dan pias.

“Duri utama telah lenyap, duri kedua meski belum berhasil dimusnahkan..
tapi setidaknya sudah tidak jadi penghalang lagi. Kini muncul duri ketiga yang cukup berbahaya.
Dia tidak bisa disingkirkan dengan cara keras, melainkan harus dengan cara halus..” bisik Samirun dengan hati-hati.

Agaknya kini kehadiran si centeng yang satu ini.. memang harus diperhitungkan matang-matang oleh mereka.
Karena merasa takut kepada Samolo.. niatnya untuk segera menguasai harta warisan Tuan Tanah..
terpaksa harus ditangguhkan, sampai keadaan benar-benar tepat.

Namun semenjak perginya Giran, kegelapan mulai menelungkupi kehidupan Ratna.
Caci maki serta siksaan lahir batin dirasakannya setiap hari dari ibu mertuanya yang telah berubah dalam wujud aslinya.

Persoalan kecil dan sepele saja telah cukup membuatnya jadi sasaran caci maki serta sindiran yang amat menyakitkan.
Ratna pun tidak diperbolehkan lagi tidur di kamar Giran di dalam gedung utama..
tapi ia harus tidur bersama Nyi Londe di emper belakang.

Ratna menerima semua itu tanpa pernah mengeluh apalagi protes..
karena sadar, ia cuma berasal dari keluarga petani miskin lagi bodoh.

Ia cukup tau diri.. sebagai orang yang menumpang meski statusnya sebagai menantu keluarga Tuan Tanah..
yang sangat terpandang di Desa Kedawung dan sekitarnya.
Ia cuma bisa berdoa dan mengharap, semoga suaminya bisa cepat pulang.

Sudah selusin pembantu pria dan wanita yang diberhentikan oleh Subaidah.
Akibatnya semua pekerjaan yang ada di gedung itu harus ditangani oleh Ratna..
yang kadang-kadang dibantu oleh Nyi Londe yang tak sampai hati melihat Ratna..
bekerja membanting tulang sejak subuh sampai jauh malam.

Namun masih saja datang omelan dan celaan dari ibu mertuanya yang sadis itu.
“Matamu buta..!?” Maki Subaidah seperti geledek sambil menjitak kepala Ratna..
yang baru saja menjatuhkan sebuah cangkir berisi kopi panas buat sang mertua ini.

“Huh, dasar si buta baru melek. Kerja sebegitu saja ogah-ogahan. Bertingkah..!”
“Maafkan dia, Nya Besar. Neng Ratna tidak sengaja..”
kata Nyi Londe yang baru datang bantu memunguti pecahan cangkir kopi itu.

“Hmm, siapa tau..? Dia memang sengaja mau merongrongku agar aku cepat mati.
Dan dia jadi nyonya besar di gedung ini. Mentang-mentang jadi menantu Tuan Tanah sudah gede kepala.
Lupa waktu melarat dulu, mau gegares juga susah..!” Gerutu Subaidah dengan nada sinis yang sangat menyakitkan hati.

Ratna tertunduk, memunguti pecahan beling dan mengelap tumpahan air kopi yang telah tercampur dengan air matanya.
Nyi Londe menghiburnya sambil menghela napas panjang-pendek.

Secara rutin, dua hari sekali Ratna harus menggiling kacang kedelai berbakul-bakul banyaknya..
untuk kemudian dibuat tempe dan tahu.
Sebuah pekerjaan berat yang biasa dikerjakan laki-laki itu sungguh meletihkan dan menguras tenaga Ratna.

“Sudah hampir sebulan ini, Samolo tiap hari disuruh mengirim kelapa dengan gerobak ke Selapanjang.
Kadang-kadang dua hari baru pulang, itu pun selalu tengah malam..” kata Nyi Londe..
ketika membantu Ratna mendorong batu gilingan kedelai yang besar dan berat itu.

Sang Nyonya besar Subaidah tiba-tiba sudah muncul di pintu, bertolak pinggang dengan wajah masam.
“Eh.. eh.. eh.. Londe..! Siapa sih majikanmu, aku atau dia..!? Kenapa kau begitu repot kalau dia mengerjakan sesuatu..?
Dasar kau juga yang membuat dia jadi kolokan, pemalas, sok kaya.
Sudah. Tak perlu kau temani dia. Cucian masih numpuk sebakul tuh..!” Katanya dengan ketus.

Nyi Londe terpaksa meninggalkan Ratna mengerjakan tugas berat itu seorang diri, seperti kuda beban.
Waktu berlalu bagaikan melata dengan lambatnya.

Bila malam tiba kedua perempuan ini dengan perasaan letih baru bisa istirahat di emper usangnya.
Dan gejala-gejala keletihan yang disertai muntah-muntah mulai terlihat pada diri Ratna.

“Beberapa hari ini kelihatannya Neng kurang sehat badan. Selalu muntah dan senang makan yang asam-asam.
Jangan-jangan sedang ngidam. Sudah berapa bulan..?”
Tanya Nyi Londe perhatian sambil memijat kaki Ratna yang tergolek dengan wajah pucat.

“Entahlah Nyi. Barangkali baru dua bulan..” jawab Ratna malu-malu.
Nyi Londe tersenyum campur haru memandangi wajah sayu.

Dan bayangan Giran pun selalu muncul di depan pelupuk pengasuh ini.
-----ooOoo-----

Pada suatu hari, Ratna dipanggil oleh mertuanya, yang menyongsongnya dengan wajah ramai..
dihiasi senyum yang sangat ramah. Membuat Ratna jadi agak tertegun keheranan.

“Ai, aih.. Ratna, sini nak, sini dekat ibu! Sini. Ibu mau tanya kau..”
Kata Subaidah sambil menggamit lengan Ratna yang masih kebingungan serta takut-takut.

“Aih, nih anak. Kenapa kau enggak mau bilang-bilang pada ibu. Kata Nyi Londe kau sedang mengandung. Benarkah itu..?”
Tanya Subaidah sambil memandang perut Ratna, suaranya lembut penuh kasih sayang keibuan.
Ratna mengangguk sambil tertunduk.

“Waduh, hati ibu jadi gembira mendengarnya. Ibu bakal punya cucu, bukan..? Hi hi hi..
Ingat, mulai sekarang kau tidak boleh kerja yang berat-berat! Harus bisa menjaga diri. Ingat pesan itu ya, Nak..”

“Terimakasih, Bu. Tapi saya masih bisa bekerja..”
Jawab Ratna masih diliputi keraguan terhadap sikap mertuanya yang sangat berbeda dari biasanya.

“Ah, jangan suka bandel ya. Nanti ibu jewer kupingmu ini. Hi hi hi.. Ngerti kau..!?”
Kata Subaidah sambil benar-benar menjewer telinga Ratna dengan lembut, seakan-akan kepada anak kesayangannya.

“Nah, istirahatlah sono..” bujuknya lagi sambil menepuk pantat Ratna.
Samirun yang pura-pura sibuk menulis jadi tertawa geli menyaksikan adegan mesra tersebut.

Ratna dengan wajah merah serta dengan perasaan aneh melangkah luar dari ruangan itu.
“Oh ya, Ratna, tunggu dulu..!” Panggil Subaidah tiba-tiba. Ratna menghentikan langkahnya di pintu.

“Hampir ibu lupa. Coba kau bawa kotak yang berisikan surat-surat itu ke sini.
Karena perlu dicatat oleh paman Samirun. Ng.. kau ada menyimpan kotak itu, bukan..!?”
Tanya Subaidah, dengan lagak setengah acuh tak acuh.

“Ya, Bu..” jawab Ratna tanpa curiga.
“Bagus. Cepat bawa ke sini, ya..!” Perintah Subaidah masih berlagak acuh dan tak acuh.
Seolah-olah kotak yang disebutnya itu tak terlalu penting.

Ratna keluar dengan masih diliputi tanda tanya akan sifat sang mertua yang tiba-tiba berubah jadi manis terhadapnya.
Sekonyong-konyong ia tersentak kaget, ketika seseorang muncul dari balik tiang dan menegurnya.

“Neng.. Neng Ratna..!” Panggilnya dengan suara berbisik.
“Siapa..!? Oh, Bang Samolo..” kata Ratna perlahan..
karena melihat sikap Samolo yang sembunyi-sembunyi dan memberi tanda dengan gerakan jarinya agar ia mendekat.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 10]

Rupanya Samolo
yang selalu waspada ini mengetahui dan menangkap percakapan itu tadi.
Demi meyakinkan rencana busuk mertuanya yang berkomplot dengan Samirun..

Samolo terpaksa menceriterakan semua kejadian yang hampir saja merenggut nyawa Giran itu kepadanya.
Ratna jadi pucat dan terkejut setelah mendengar cerita singkat tersebut.

Peluh dinginnya tanpa terasa membasahi pori-porinya. “Ya Allah, tidak kusangka..” keluhnya.
“Maka janganlah kau tertipu oleh kata-kata manis dari mertuamu yang berhati ular itu..!” Bisik Samolo tegas.

Lama Ratna termenung di dalam kamarnya. Hatinya gelisah, pedih dan bingung.
Tiba-tiba darahnya tersirap, ketika selembar wajah penuh senyum licik itu tersembul di pintu.

“Hei, Ratna. Kenapa kau..!? Sakit..!?” Tanya Subaidah sambil tersenyum.
“Ti.. tidak apa-apa, Bu..” jawab Ratna gugup.

“Mana kotak warisan.. eh.. ng.. Kotak surat-surat itu, Ratna..!?” Tanya lagi Subaidah dengan nada seramah mungkin.
“Maaf, Bu. Kak Giran berpesan ..”

“Ah.. anak tolol.. kau salah paham, Ratna. Pesan Giran itu memang benar bahwa kotak tersebut..
tidak boleh diberikan kepada orang lain. Tapi ibu kan bukan orang lain, bukan..?”
Potong Subaidah dengan senyum yang mulai terlihat dipaksakan.

“Tapi, Bu ..” kata Ratna amat perlahan karena bingung dan takut.
“Tapi..! Tapi apalagi..!? Akulah ibunya, berhak mengambil kotak itu. Paham kau..!?
Cepat ambil kotak itu..!” hardik Subaidah dengan mata mendelik.

“Maafkanlah, Bu.. Saya tidak berani melanggar pesan kak Giran..” kata Ratna gemetar.
“Setan..! Berani kau membangkang perintahku..!? Ambil kotak itu.. atau kupotes batang lehermu. Cepat..!”
Bentak Subaidah menjambak rambut Ratna.
“Ampun, Bu..” ratap Ratna gemetar.

Subaidah sudah tidak sanggup bersandiwara lagi. Dicopotnya sabuknya lalu dideranya Ratna tanpa kenal ampun.
Ratna menjerit dan merintih menahan sakit. Sabuk kulit itu terus menghantam tubuhnya bertubi-tubi.
Kulitnya matang-biru tergores kepala sabuk yang keras itu.

Nyi Londe datang untuk menolong wanita muda yang malang ini..
tapi ia dihalang-halangi oleh Samirun yang berdiri di pintu kamar.
Untunglah pada saat itu, Samolo melongok di jendela.

Terkesiaplah hati Subaidah dan Samirun yang segera ngeloyor meninggalkan kamar itu.
Nyi Londe segera memapah Ratna yang terisak-isak di lantai.

“Aduh Neng.. Tuhan tidak buta Neng. Siapa yang dosa, dia pasti dapat ganjaran yang setimpal..”
Kata Nyi Londe ikut terisak-isak dengan pilunya.

Samolo mengatupkan gerahamnya hingga bunyi bergemelutuk.
-----ooOoo-----

Hari dan bulan silih berganti.. beterbangan bagaikan awan-gemawan yang melayang-layang diembus angin..
seperti yang selalu dipandang Ratna dari jendela emper penggilingan kacang kedelai setiap hari.

Bagaikan jendela penjara yang mengurung dirinya. Air mata Ratna hampir mengering..
terkuras oleh deraan siksa dan dendam rindu yang mencekam di dadanya.

Namun Giran tak kunjung pulang, meski hanya secarik kertas beritanya dari Negeri seberang.
Kak Giran.. Bilakah kau kembali, Kak..? Mengapa kau tinggalkan Ratna begitu lama..? Ratapnya di dalam hati.

Dinding-dinding gedung besar itu laksana penjara yang mengungkungnya.
Kerinduannya terhadap ayahnya pun terus menyiksanya.

Didengarnya dari Samolo, bahwa orang tua itu sedang menderita sakit.
Seorang diri tinggal di gubuknya, tiada yang merawat dan memasaki makanannya.

Betapa pedih dan sedih hati Ratna memikirkan keadaan ayahnya yang sudah tua itu.
Sulit baginya untuk pergi menengoknya, karena mata mandor Sarkawi terutama tatapan mata Mirta..
yang sejalang mata serigala itu sungguh menakutkan hatinya.

Pemuda sinting itu selalu mencari kesempatan untuk menerkam dirinya.
Ratna selalu bergidik ketakutan bila mengingat hal itu.
Ia selalu was-was bila berada seorang diri di tempat kerjanya maupun di emper tempat tidurnya.

Sebelum sakit, ayahnya memang pernah sekali mengunjunginya.
Itu pun dilakukan karena terlalu rindu kepada putri tunggalnya ini.

Petani tua itu hampir seharian duduk menunggu di muka pintu gerbang..
karena tak berani masuk ke dalam gedung sang besan yang terlalu megah itu.

Untunglah Samolo kebetulan keluar dan membawanya masuk untuk dipertemukan dengan Ratna.
Dan untuk pertamakali dalam hidupnya, Ratna terpaksa harus bersandiwara di depan ayahnya.

Seakan-akan hidupnya benar-benar penuh gelimang tawa ceria serta kebahagiaan..
sebagai seorang menantu Tuan Tanah yang kaya raya.
Tapi sesungguhnya hatinya ketika itu sedang menangis dan meratap.

Ia tidak tau apakah ayahnya bisa dikelabui oleh sandiwaranya itu.
Ia ragu, karena ia tau bahwasanya mata seorang ayah maupun pandangan mata seorang ibu..
sanggup menembus sampai ke dasar kalbu anak-anaknya.

Yang pasti sejak kunjungan itu, ayahnya tak pernah lagi datang menengoknya.
Bukan disebabkan oleh sambutan dingin oleh nyonya besannya yang angkuh dan sombong itu.

Kini didengarnya kabar tentang sakitnya sang ayah. Hal ini benar-benar menambah beban penderitaannya.
Ia cuma bisa berdoa dan meminta Nyi Londe atau Samolo kalau kebetulan sedang sempat..
untuk pergi menengok orang tuanya sekalian membawakan makanan secara sembunyi-sembunyi buat ayahnya itu.

Sementara itu, kandungannya pun tampak sudah semakin besar.
Sampai pada suatu sore dandang nasi yang masih mendidih itu nyaris menimpa dirinya..
ketika sedang diangkat oleh Ratna.

Nyi Londe menjerit sambil menubruk tubuh Ratna yang terkulai pingsan.
Caci-maki Subaidah sudah tak dihiraukan lagi oleh Nyi Londe..
yang sedang sibuk menggotong tubuh Ratna ke dalam empernya.

Sepanjang malam itu terdengar Ratna merintih. Tampak Nyi Londe sibuk menyiapkan segala keperluan untuk melahirkan.
Malam itu terasa begitu hening namun menegangkan bagi Nyi Londe..
yang terus mendampingi Ratna yang terbaring dengan pucat bermandikan peluh.
Kadang-kadang merintih sambil menggeliat merasakan sakit pada perutnya.

“Kuatkan hatimu, Neng. Pasrahkan segalanya kepada Tuhan. Semuanya pasti akan beres..”
hibur Nyi Londe sambil terus mengurut perut Ratna serta menghapus peluhnya.

Samolo duduk di luar emper itu sambil melinting rokok kawung.
Wajah centeng ini belum pernah tampak setegang seperti malam itu, meski ia berusaha untuk bersikap tenang.
Nampak gulungan rokok di jari-jarinya itu gemetar dan sering gagal.

Selang sesaat sebelum fajar, berbarengan dengan kokok ayam..
keheningan yang mencekam itu dikoyak oleh jerit lengking tangisan seorang anak manusia yang baru lahir.

Samolo menengadah sambil mendesahkan pujian kebesaran Allah Sang Maha Pencipta.
Matanya berkaca-kaca. Setelah detik-detik penuh ketegangan itu berlalu..

Wajah pucat-sayu si ibu-muda yang banyak menderita ini, akhirnya dihias juga oleh segores senyum kebanggaan..
ketika Nyi Londe menyodorkan sang bayi yang terbungkus kain itu kepadanya.

“Lihatlah, jagoan cilik kita ini, suaranya saja sudah bisa menyaingi bahkan lebih nyaring..
dari semua ayam-ayam jantan yang paling perkasa di seluruh daerah Kedawung ini. Hmm, kau lihat, Neng.
Wajahnya mirip benar dengan bapaknya..” kata Nyi Londe..
bangga dan bahagia seakan-akan menimang cucu kandungnya sendiri.

Ratna tersenyum. Semua derita seakan menjadi tak berarti pada saat-saat seperti itu.
Kalau saja kak Giran berada di sisiku saat ini..

Cuma itulah yang menjadi pemikiran di hatinya, suatu perasaan yang berbaur antara kesedihan dan kebanggaan.
-----ooOoo-----

Seminggu kemudian.. komplotan manusia tamak mulai lagi merencanakan suatu tindakan keji.
“Sekarang ini Samolo sedang disuruh mengirim gerobak padi ke Mauk.
Kalau kali ini lu gagal lagi, pokoknya kepala lu sebagai gantinya!” tegas Samirun berkata kepada Mandor Sarkawi.

“Jangan khawatir, Sir. Kali ini pasti beres dah. Masak iya sih, rejeki saya nyeplos melulu..?
Yang benar saja..” jawab si Mandor yang banyak lagak ini.

Mirta serta ibunya yang juga berada di situ jadi sengit. “Jangan banyak cing-cong lu, gendut..!
Pokoknya, gagal-modar..!” Ancam Mirta sambil menimang-nimang pistol Samirun.
Wajah Sarkawi jadi pias, melirik pistol itu lalu melangkah ke luar.

Dengan mengendap-endap bagaikan pancalongok, Sarkawi mengintai ke dalam kamar emper Ratna.
Dilihatnya ibu muda itu sedang menyusui bayinya. Buah dadanya yang memang aslinya sudah besar..
kini tampak semakin membusung, terlihat mulus dan putih sekali dengan serabut urat kebiruan..
tersebar merata di permukaannya yang halus bak pualam.
Putingnya yang kini tampak menghitam sedang diisap oleh si bayi.

Busyet..! Sudah punya anak malah tambah botoh. Pantes si Mirta, bocah cecurut itu begitu tergila-gila..
Gumam Sarkawi di dalam hati sambil menelan air liurnya. Didorongnya pintu emper tersebut dan langsung masuk.

Ratna kaget dan buru-buru merapikan bajunya. “Bang Sarkawi..!? Ada apa..?”
Tanyanya gugup sambil berusaha menutupi tonjolan buah dadanya yang setengah terburai.

“Astaga..! Botoh banget bocahnya, Neng. Siapa sih bapaknya..?”
Kata Sarkawi dengan senyum serta tatapan mata kurang ajar.
“Apa maksudmu..? Sudah tentu Den Giran-lah ayahnya. Kenapa..!?” Ratna tersinggung.

Sekonyong-konyong Sarkawi merebut bayi itu dari gendongan Ratna.
“Sarkawi..! Anakku..!” Jerit Ratna berusaha merebut kembali anaknya itu.

“Kalau ini memang anak Den Giran, neneknya mau melihat, masak kagak boleh..”
kata Sarkawi sambil mendekap bayi itu, lalu melompat keluar.

“Anakku..! Anakku..! Jangan kau bawa anakku, Sarkawi..!” Ratna mengejar ke luar.
“Sarkawi, tinggalkan anakku..!!”
Jerit Ratna histeris sambil terus mengejar Sarkawi yang kabur mendekap bayi itu ke luar gedung.

Ratna semakin nekat dan terus mengejar sambil menjerit-jerit.
Sementara itu bayinya pun terdengar menangis di dalam dekapan Sarkawi yang berlari semakin kencang..
menuju jalan desa yang sudah sunyi dan gelap itu.

Ratna terus mengejarnya. Sarkawi menuju rumah Samirun dan langsung masuk.
Ratna memburu tapi terlambat, pintu itu sudah tertutup rapat-rapat.
Ia memekik dan melolong sambil menggedor daun pintu dengan kalapnya.

“Buka! Kembalikan anakku! Anakku..!”
Jerit Ratna sambil menangis histeris, karena ia tau akan kebusukan komplotan mertuanya itu.
“Bagus kerja lu, Wi. Biar dia ngegoser di luar jangan lu buka pintu itu..” kata Samirun dengan senyum iblisnya.

Sarkawi meletakkan bayi yang menangis kencang itu di atas meja, di hadapan Subaidah dan Mirta..
yang tak punya perasaan iba sedikitpun terhadap anak itu.

Sementara suara gedoran pintu serta tangisan Ratna di luar, menambah gaduhnya suasana di rumah tersebut.
Namun hati orang-orang berjiwa iblis ini sedikitpun tak tersentuh, wajah mereka tetap dingin.

Sarkawi menghapus peluh dengan kain pengikat kepalanya.
“Saya jadi ingat waktu disuruh Den Kasir nyolong anak babinya babah Tiong-Cit tempo hari.
Perut saya hampir ambrol diserobot biangnya. Nah, yang ini juga persis, kalau enggak lihai..
saya pasti sudah ko’it diterjang sama dia. Busyet, galaknya enggak ketulungan, kayak kesetanan, Den..”
Desahnya sambil mengipas-ngipas. “Mana upahnya, Den..?” Sambungnya.

“Apa..? Upah..!?” Tanya Samirun, mengambil pistol dari tangan Mirta.
“Nih upah..! Ayo lu celangap lagi, gua upahin biji melinjo, baru nyahu, lu..!”
Kata Samirun ketus dengan menekan ujung pistolnya ke batang hidung Sarkawi.

“Sialan! Kerjaan belum beres sudah minta upah. Mau mampus, lu?”
Mata Sarkawi jadi juling menatap laras pistol yang sangat ditakutinya itu. Ia meringis.
“Ah, Den Kasir.. segitu aja pakai marah. Saya kan cuman bercanda.. simpan ah si bongkoknya..”
katanya sambil melangkah mundur dan berusaha tertawa.

Tangisan bayi dan suara gedoran pintu serta jeritan Ratna yang meminta anaknya itu..
membuat Sarkawi semakin uring-uringan. Ditendangnya pintu itu berkali-kali sambil memaki.
“Hei, berisik! Jangan gegoakan melulu, lu..! Diam! Eh, Bandel..!”

Dasar wataknya pandai menjilat, ia berlagak mau jadi jagoan tak kepalang tanggung.
“Perempuan itu bandel banget dah. Bagaimana, Den. Saya beresin saja nih..?” Tanyanya kepada Samirun.

Tapi Kasir ini mendorong tubuhnya. “Minggir lu! Nanti rusak pintu gua digedor-gedor..” katanya ketus.
Kemudian ia berkata kepada Ratna yang masih meratap di luar.

“Hei, Ratna. Kalau kau ingin anakmu ini kembali dan selamat, itu gampang, asal kau bersedia meluluskan sebuah syarat..”
“Syarat apa..?” Tanya Ratna dalam isak tangisnya.

“Serahkan kotak itu kepadaku! Anakmu ini pasti kuserahkan kepadamu hidup-hidup! Bila tidak, huh..!”
Samirun menjelaskan syaratnya.

Tidak pernah ada seorang ibu pun yang benar-benar mencintai anaknya..
rela mengorbankan buah hatinya hanya demi harta dunia. Begitu pun Ratna.

Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyanggupi persyaratan yang diajukan oleh Samirun tersebut.
“Baik, berjanjilah, kau harus menyerahkan anakku..” isak Ratna minta kepastian dari luar pintu.

“Cepat..! Aku beri waktu sepuluh menit. Terlambat, jangan kau sesalkan aku terlalu kejam..!”
Jawab Samirun dengan suara dingin.

Ratna lari pontang-panting menembus kegelapan malam menuju gedung besar.
Setibanya di dalam kamar empernya, ia segera membongkar tempat penyimpanan kotak pusaka tersebut..
dengan lengan-lengan gemetar serta perasaan panik luar biasa.

Ia seakan-akan tengah berlomba dengan Malaikat El-Maut yang segera akan merenggut nyawa bayinya.
Nyi Londe hanya tertegun tanpa daya.
Kedua wanita itu bagaikan makhluk-makhluk lemah yang tak berdaya menghadapi segala kekejaman dunia ini.

Ratna hampir tak membuang waktu sedetikpun, segera meraih peti berharga itu dan dibawa lari ke rumah kasir Samirun.
Setibanya di depan rumah Samirun, dengan napas masih memburu, Ratna langsung berteriak.

“Ini peti warisannya.. cepat buka pintu, aku mau mengambil anakku..!”
“Bagus..! Coba kau bawa masuk petinya..!” Jawab Samirun, membuka daun pintu itu sedikit.

Ratna menyodorkan peti itu melalui celah pintu yang segera disambar oleh Samirun.
Ratna mendorong pintu, tapi pintu itu telah ditutup lagi oleh sang kasir yang licik.

Ratna menjerit sambil berusaha mendorong pintu itu dengan sekuat tenaganya..
dan memaksakan tubuhnya masuk ke dalam. Dorong-mendorong terjadi.

Samirun dengan dibantu oleh Sarkawi mendorong pintu itu kuat-kuat, membuat tubuh Ratna terjepit dan tak bisa bernapas.
Ibu muda itu tak kuat lagi menorong pintu, sebab selain kesehatan fisiknya belum pulih benar akibat melahirkan..
juga akibat kerja tanpa istirahat sepanjang hari.

Akhirnya ia jatuh terkulai di depan pintu. Samirun mengunci pintu itu rapat-rapat.
Mereka memeriksa peti pusaka yang sangat didambakannya itu dengan seksama.

“Periksa, siapa tau peti ini palsu..!” Perintah Subaidah.
“Palsu..? Perempuan setolol dia mana mungkin berpikir sejauh itu..” sela Samirun, berusaha membuka peti warisan.
Diperiksanya semua surat-surat berharga yang berada di dalam kotak berukir indah itu.

Serenceng kunci-kunci brankas penyimpanan uang emas ringgitan berkantong-kantong banyaknya..
yang pernah dilihat Subaidah ada disimpan suaminya.

Yang paling membuatnya bernafsu, adalah berkotak-kotak emas permata yang pernah dilihatnya..
tersimpan di salah sebuah peti besi di ruangan khusus gedung itu.

Kini kunci-kunci dari seluruh harta warisan tersebut berhasil dikuasainya.
Wajah Subaidah masih tetap dingin, ia mendekat ke arah si bayi yang masih tetap menangis.

“Bapak bayi ini telah luput dari tangan kita. Pada suatu hari dia pasti akan kembali..” katanya dingin.
“Kalau seluruh harta sudah di tangan kita, apalagi yang kita takuti di dunia ini..? Semuanya bisa diatur..”
kata Samirun dengan sombongnya.

“Lihatlah, tua bangka itu tidak memasukkan namamu atau Mirta barang secuil pun ke dalam surat ini..”
Suara Samirun gemas.. setelah meneliti surat warisan yang disegel dengan lak, yang tersimpan rapi di amplop khusus.

“Aku sudah menduganya. Jika aku sudah pasti mendapat warisan, buat apa aku ribut-ribut..” Jawab Subaidah tenang.
“Kelak bayi ini pun pasti akan jadi duri yang tumbuh di daging kita. Maka dia juga harus disingkirkan..!”
Dingin dan tajam kata-katanya itu.

Ratna yang lapat-lapat mendengar kata-kata Subaidah itu langsung jatuh pingsan.
“Kalau begitu, tua bangka itu sudah tau tentang hubungan kita..?” Bisik Samirun di sisi Subaidah.
“Mungkin saja. Tapi cuma disimpan di dalam hatinya..” kata Subaidah sambil senyum sinis bercampur rasa jengah.

“Dan dia pun tau.. Mirta sesungguhnya bukan anaknya..!?”
“Surat itu sudah menjawabnya..” kata Subaidah tertunduk.

Samirun tercenung sejenak. Ada perasaan tidak enak menyelinap di dasar hatinya.
Bagaimanapun ia merasa malu-hati terhadap majikannya almarhum.

Subaidah melirik memperhatikan sikap Samirun.
“Alaaah.. buat apa dipikirkan, orangnya pun sudah jadi tanah di liang kubur..” nyeletuk Subaidah..
Juga seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.

Tubuh Ratna terbaring tak sadarkan diri di muka pintu. Nampak kepala Mirta nongol dari pintu..
dan matanya tiba-tiba jadi nanar memandang tubuh yang tergeletak seenaknya itu.

Ia melangkah mendekat dan berlutut di sisi tubuh Ratna. Tampak mata pemuda ini makin liar..
menjalari setiap lekuk tubuh yang sangat diimpikannya setiap detik.

Napasnya makin memburu menyesakkan dada. Lengannya gemetar mulai mengerayangi tubuh molek itu.
“Ratna, kau akan kujadikan milikku untuk selama-lamanya..” desis Mirta.

Pada detik itu tiba-tiba Ratna tersadar dari pingsannya. Matanya terbelalak kaget memandang wajah Mirta..
yang begitu dekat di hadapannya itu.
Ratna meronta seketika dan mendorong tubuh pemuda sinting ini, ia beringsut menjauh dengan bulu kuduk merinding.

“Apa yang kau lakukan, Mirta?” pekik Ratna. Mirta mendekat lagi, matanya begitu liar..
membuat Ratna tersentak mundur lalu lari ke pekarangan. Mirta mengejarnya.

“Kau.. kau sudah gila, Mirta. Jangan sentuh aku..! Ingatlah aku adalah istri kakakmu..” jerit Ratna ketakutan.
“Giran si keparat itu sudah jadi bangke, Ratna. Itulah upahnya tukang serobot. Heh heh heh..!”

Lalu pemuda ini lompat menerkam. Ratna menghindar dan si tukang serobot ini terpaksa mencium pohon..
hingga hidungnya mengucurkan darah.

Ratna makin ketakutan, ia lari ke luar sambil menagis tersenggak-senggak.
Mirta mendengus sambil menekap hidungnya yang berdarah itu.

Mandor Sarkawi yang sejak tadi menonton adegan tersebut tak kuasa menahan tawanya.
Mata Mirta jadi melotot, serta-merta meninju pelipis si mandor yang sedang tertawa terbahak-bahak itu..
hingga terjengkang ke batang pohon.

“Sialan..! Ngeledek lu, ya..!? Gua mampusin lu..!!” Bentak Mirta dengan suara sengau.
Sarkawi mengusap pipinya sambil tersandar di pohon. Mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya.

Dunia ini terasa makin gelap bagi Ratna. Ia sudah tak kuat lagi untuk hidup terus.
Ia lari tersuruk-suruk dalam kepekatan malam dan telah nekat untuk mengakhiri nyawanya..
dengan sebuah gunting yang dilihatnya tergeletak di atas meja di kamar empernya itu.

UntungIah Nyi Londe cepat mencegahnya.
“Ya Allah..! Apa-apaan Neng..!? Aduh, kuatkanlah hatimu, Neng..! Ingat..!”
Seru Nyi Londe sambil merebut gunting yang hampir ditusukkan Ratna ke lehernya itu.

Kedua perempuan ini saling bertangisan.
Ratna menangis dengan pedihnya di pelukan pengasuh itu yang terus membesarkan hatinya.

“Tawakal-lah kepada Yang Maha Kuasa, Neng! Tuhan tidak buta, Neng. Tidak buta..”
Bujuknya sambil ikut terisak-isak.

“Kalau saja sekarang Samolo berada di sini, pasti tidak akan terjadi sampai begini..” katanya lagi sambil menghela napas.
-----ooOoo-----

Sejak kotak wasiat jatuh ke tangan Subaidah dan Samirun, Mirta anak mereka yang terlalu dimanja..
kini hidupnya setiap hari cuma berfoya-foya bergelimang di dalam kemaksiatan. Pelesir dengan para pelacur dan berjudi.

Mandor Sarkawi yang punya kegemaran sama makin setia mendampingi sang pangeran sinting itu.
Lebih-lebih kasir Samirun yang jadi kaya mendadak dan mengikrarkan dirinya sebagai Tuan Tanah baru di wilayah Kedawung.

Galaknya melebihi macan kebelet. Penduduk menjadi resah dan makin sengsara diperasnya.
Untuk menjaga posisinya Samirun senantiasa berlaku royal..
bahkan pandai menjilat para amtenar Belanda yang berkuasa di wilayah Jawa Barat.

Pada hari pertama saja sebagai Tuan Tanah baru..
ia sudah mengantar upeti yang cukup lumayan kepada Tuan Residen sampai pada para Pamong Desa.
Maka sebentar saja ia sudah memperoleh pengaruh di desa kecil itu.

Kadang-kadang Samirun dan Subaidah terlibat pertengkaran yang cukup sengit..
karena nyonya Tuan Tanah ini mendengar selentingan dari Sarkawi..
bahwa sang ’suami’ mempunyai beberapa simpanan di kampung.

Sarkawi yang mendapat tugas khusus dari sang Nyonya..
untuk memata-matai sepak terjang Don Juan kampungan ini di luaran..
sering memberi laporan kepada nyonya majikannya hanya semata-mata demi mendapatkan upah.

Lebih-lebih jika ia dalam keadaan pailit akibat kalah taruhan mengadu ayam atau judi sintir.
Persoalan lainnya ia sangat sakit hati atas kepelitan Samirun yang tidak pernah mau lagi memberi persen kepadanya..
tapi eks kasir itu selalu bermurah hati kepada para tukang pukul dan beberapa orang tertentu.

Bahkan kini Samirun telah menggaji beberapa belas tukang pukul dan centeng yang rata-rata berkelakuan brutal.
Dengan tumpleknya para begundal baru itu membuat mandor Sarkawi benar-benar merasa tersisih dan iri hati.

Itulah sebabnya ia selalu mengarang ceritera, tentang kebrengsekan Samirun di luaran.
Samirun memang paling senang ngibing doger. Persenanannya pun tak kepalang tanggung.

Ada seorang primadona doger yang dibelikan seperangkat pakaian yang mahal-mahal serta perhiasan yang berkilauan.
Hal itu sampai di telinga Subaidah. Perang pun terjadi di rumah Samirun.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 11]


Gedung besar itu tetap sunyi..

kadang-kadang saja Subaidah pulang untuk ber-‘week end’ di tempat tersebut.

Samirun telah mendandani rumahnya sendiri..
hingga tak kalah mewah dan lengkapnya dengan Gedung Tuan Tanah, ayah Giran itu.

Bukan Samirun tidak ingin menguasai juga gedung megah itu..
tapi ia merasa khawatir bila kelak Samolo atau Giran muncul secara tiba-tiba.

Pada suatu malam Samolo tiba-tiba muncul di kamar emper Nyi Londe dan Ratna.
Sinar mata centeng ini menjadi sayu..
ketika memandang tubuh Ratna yang kurus dan pucat tengah terbaring di balai-balai itu.

Nyi Londe pun tampak kuyu menyedihkan. “Kenapa kau, Neng..? Sakit..? Oh ya, ke manakah si bayi..?”
Tanya Samolo dengan hati serta perasaan tidak enak. Ratna tidak sanggup menjawab.
Hanya air matanya saja yang tercurah ke atas bantal.

Nyi Londe memandang Samolo seakan-akan menyesali kepergiannya yang begitu lama.
“Samolo, kenapa kau baru kembali..?” Tanya Nyi Londe. “Ke mana saja kau selama ini..?”

Samolo melepaskan buntalannya yang tergemblok di punggungnya.
Ia duduk dan menuang air dari kendi, lalu diminumnya.

“Ketika aku membawa segerobak padi ke Mauk, di tengah jalan tiba-tiba aku disergap Opas Kompani..
dituduh mencuri padi. Tanpa mau mendengar penjelasanku mereka langsung saja menjebloskan aku ke dalam bui..”
Cerita Samolo dengan suara berat.

“Dua minggu lamanya aku disekap di balik terali besi. Dari ceritera bisik-bisik para opas itu aku baru tau..
bahwa sesungguhnya penangkapan atas diriku itu memang telah diatur oleh Samirun.
Kemudian aku pun tau ternyata pintu sel penjara itu sengaja tidak dikunci..
untuk memancingku kabur dan mereka punya alasan untuk menembakku..”

“Lalu bagaimana kau bisa keluar..?” Tanya Nyi Londe ingin tau.
“Berdiam di dalam sel atau kabur sama saja.. mereka memang sengaja ingin membunuhku dengan cara apa saja.
Dipancing untuk kabur, ya aku kabur..”

“Opas-opas itu tidak menembakmu..?” Suara Nyi Londe terdengar berdebar.
“Tidak sempat. Karena aku lebih dahulu melabrak mereka..” kata Samolo tenang.

“Tapi para hamba wet itu pasti mencarimu..” ujar Nyi Londe khawatir.
“Dari dulu pun aku memang orang buronan. Berkat perlindungan dan wibawa Den Besar, mereka tidak dapat berbuat apa-apa..”

“Tapi kini keadaan sudah lain, Samolo..” tukas Nyi Londe penuh emosi.
“Sejak aku melangkah masuk ke mulut desa ini aku sudah dapat menduganya.
Telah terjadi sesuatu di sini. Tiga sosok mayat secara berturut-turut kulihat tergantung di pohon.
Hal ini belum pernah terjadi, aku tau benar penduduk desa ini bukanlah orang-orang yang mudah putus asa..” kata Samolo geram.

Bergidik bulu kuduk Nyi Londe dan Ratna mendengar ceritera Samolo itu.
Lalu Nyi Londe pun menceritakan peristiwa diculiknya bayi Ratna oleh komplotan Samirun untuk memperoleh kotak warisan.

“Si bayi harus cepat ditolong. Semoga dia masih selamat..” kata Samolo tegas.
“Tolonglah anak saya, Bang. Tolonglah..!” Ratap Ratna memohon dengan setengah menangis.
“Pasti, Neng..” tegas Samolo seraya bangkit.

“Berdo’alah kepada Yang Maha Kuasa, semoga orang-orang sesat itu diberi kesadaran..”
Katanya tenang.. namun mengandung rasa geram dan sesal yang dalam.

“Mereka lebih berbahaya dari segala ular berbisa. Maka lebih aman kalau kalian mengungsi dahulu ke rumah ayahmu..”
Nyi Londe dan Ratna setuju dengan usul tersebut.

Malam itu juga Samolo mengantar Ratna dan Nyi Londe ke rumah Ki Kewot.
Lengan tua kakek tersebut jadi gemetar memapah tubuh putrinya yang menangis tersedu-sedu di haribaannya.

“Kuatkan hatimu, Nak. Tuhan selalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah..”
hibur Ki Kewot dengan mata berkaca-kaca. Hati orang tua ini rasa teriris-iris.

Meskipun hidup dalam serba sederhana, di gubuk yang reyot itu, Ratna tidak pernah menderita seperti sekarang ini.
Ia selalu melimpahkan kasih sayang yang tak terbatas kepada putri tunggalnya.

Ia tak pernah membiarkan putrinya menangis barang sejenak, apalagi bekerja keras, kedinginan atau kelaparan atau derita lainnya.
Seekor nyamuk saja yang hinggap dan mengganggu tidur Ratna sudah cukup membuat Ki Kewot jadi geram dan kalap.

Kini betapa tidak akan terenyuh hati orang tua ini melihat keadaan serta penderiataan putrinya.
Bahkan cucunya yang masih tak mengenal dosa itu pun ikut jadi korban kerakusan orang-orang tak beriman itu.

Malam itu bulan dan bintang lenyap, tak tampak cahayanya setitik pun.
Langit gelap-gulita bagaikan selembar kain hitam raksasa yang menelungkupi seluruh desa Kedawung.

Angin berembus membawa hujan rintik-rintik disertai bunyi guruh yang lapat-lapat terdengar di kejauhan.
Tepat pada saat itu tampak sesosok bayangan melesat ke atas wuwungan rumah Samirun.

Dengan gerakan seperti seekor kucing, sosok bayangan itu melompat turun dari lubang genting..
yang dibongkarnya tanpa suara. Ia tepat berada di kamar Samirun yang sedang tertidur pulas.

Di antara cahaya lampu yang remang-remang itu terlihat sosok bayangan tinggi besar yang ternyata Samolo.
Dengan hati-hati ia melangkah ke sebuah lemari. Dengan sekali sentuh terbukalah lemari tersebut.

Dugaannya sangat tepat, ia mendapatkan kotak wasiat itu berada di dalam lemari itu.
Dengan kotak terkempit di lengan, Samolo lompat kembali ke atas wuwungan.

Sekeping pecahan genting jatuh meluruk menimpa kepala Samirun yang segera tersadar dengan tiba-tiba.
Ia masih sempat melihat ujung kaki pencuri itu lenyap di lubang plafon kamarnya.

Ia lompat ke lemari dan langsung berteriak sambil meraih pistolnya dari bawah bantal.
“Maling..! Tangkap pencuri..!” Teriaknya sambil melompat ke luar kamar.

Di halaman belakang ia melihat sesosok bayangan berkelebat di atas wuwungan.
Ia menembak secara beruntun ke arah bayangan tadi.

Tapi sosok bayangan itu telah lenyap melompat ke sisi depan gedung. Samirun jadi kalap.
“Pencuri..! Pencuri..!” Teriaknya sambil berlari ke luar.

Sesaat kemudian tampak belasan centeng muncul berserabutan dengan obor serta senjata-senjata terhunus di tangan.
Semuanya bergerak ke arah luar gedung untuk mengejar si pencuri yang amat tangkas tadi.

Namun yang didapati mereka di luar gedung itu cuma deru angin dan suara lolongan anjing Samirun yang menyalak tanpa henti.
Samirun membanting kakinya dengan penuh luapan amarah. Dimakinya para centeng itu habis-habisan.

Sesaat kemudian Samirun tersentak karena mengingat sesuatu. “Si bayi..!” Teriaknya..
Lalu langsung berlari masuk ke dalam rumahnya lagi diikuti oleh derap belasan pasang kaki para centengnya.

Mereka langsung pula menerobos masuk ke dalam sebuah kamar.
Tampak seorang pengasuh sedang berdiri menggigil ketakutan di sisi ranjang bayi yang sudah kosong.

“Bangsat..! Tidak salah lagi ini pasti perbuatan Samolo..!!” Teriak Samirun sambil membalikkan ranjang bayi dengan marahnya.
“Sosok bayangan itu jelas mirip si keparat sialan itu..” sambungnya.

Lalu matanya mendelik ke arah para centengnya yang jadi tertunduk mengkerat. “Bakul-bakul nasi..!
Aku gaji kalian bukan untuk tidur ngorok, tau..!?” Semprot Samirun belum hilang kalapnya.

Sementara itu Samolo telah menyerahkan si bayi ke dalam pelukaan ibunya.
Ratna mendekap bayinya yang dikiranya sudah tidak ada lagi di dunia ini dengan ledakan tangis.

Kotak wasiat itu pun diberikan kepada Ki Kewot untuk disimpannya.
“Terimakasih, Samolo..” cuma itu yang keluar dari mulut Ki Kewot.. karena suaranya terasa menyangkut di kerongkongannya.

“Bersyukurlah kepada Tuhan, Ki..” jawab Samolo sambil meminum air kendi.
“Aku pikir sebaiknya kita segera meninggalkan rumah ini. Samirun pasti tidak tinggal diam..” sambung Samolo.

Perhitungan Samolo memang tepat. Karena menjelang fajar, gubuk kecil itu telah dikepung oleh orang-orang Samirun..
dan beberapa opas dengan senjata-senjata terhunus.
Samirun berteriak memerintahkan Samolo menyerahkan diri atau gubuk itu akan dibakar ludes.

Detik itu orang-orang di dalam justru sedang siap-siap untuk pergi mengungsi.
Demi keamanan dan keselamatan yang lain, Samolo terpaksa pasrah diborgol dan diseret pergi.

"Kalau dia berani kabur lagi, bikin tubuhnya jadi santapan buaya-buaya Cisadane..” perintah Samirun kepada orang-orangnya.
Seperginya gerombolan yang menggiring Samolo, Samirun bersama tiga orang centengnya..
termasuk mandor Sarkawi menerobos masuk ke dalam gubuk Ki Kewot.

“Geledah seluruh sudut gubuk reyot ini..!”
Perintah Samirun kepada tiga orang upahannya sambil bertolak pinggang dengan sombongnya.

Tiga begundal itu segera mengobrak-abrik seluruh isi pondok untuk mencari kotak wasiat.
Melihat ulah orang-orang ini, Ki Kewot tak dapat menahan diri lagi.

“Setan neraka jahanam. Keluar kalian..!” Tudingnya kepada Samirun yang tersenyum iblis.
“Hei, tua bangka pikun..! Mana mungkin aku keluar dari kandang babi ini, sebelum kotak itu berada di tanganku. Mengerti kau..!?”
Kata Samirun, balas menuding Ki Kewot dengan tongkatnya.

“Kotak apa..!? Kalian memang sengaja cuma mau mengacau..” bentak Ki Kewot.
“Kau sembunyikan di mana kotak itu..!?” Bentak Samirun setelah melihat orang-orangnya tak berhasil menemukan kotak wasiat itu.

"Ayo katakan..! Sebelum peluruku ini mengoyak dada keriputmu..” katanya sambil mengokang pistolnya ke arah dada Ki Kewot.
Sungguh di luar dugaan, kakek ini malah maju sambil membuka bajunya dan membusungkan dadanya.

“Silakan..! Ayo pilihlah yang paling empuk, kasir keparat..!” Katanya mantap dan nekat.
Dorr..!! Meletuslah pistol Samirun diiringi jeritan Ratna dan Nyi Londe.

“Ayah..!” Jerit Ratna sambil menubruk tubuh ayahnya yang limbung dengan darah tersembur dari dadanya.
Sarkawi menarik lengan Ratna yang meronta dan menjerit seperti gila.

Samirun memerintahkan Sarkawi menyeret Ratna keluar..
sementara pistolnya sekali lagi ’memakan’ tubuh Ki Kewot yang langsung tersungkur ke lantai gubuk.

Nyi Londe berusaha menolong kakek ini, tapi ia jatuh tersungkur juga digetok gagang pistol Samirun pada keningnya.
Ratna terus diseret Sarkawi ke luar gubuk, yang meronta dan menjerit dengan kalap.

Gagal menemukan kotak wasiat itu, Samirun jadi buas.
Setibanya di luar ia menyambar obor dan menyulut atap gubuk kemudian melemparnya ke atas atap.

Dalam sekejap saja api pun berkobar.
Ratna makin panik dan meronta dengan kalap di dalam dekapan tiga begundal itu.

“Anakku..! Anakku..!” Jerit Ratna seperti gila. Tapi Samirun dan tiga begundalnya terus menyeretnya pergi.
Suaranya semakin jauh kemudian tertindih oleh gemuruh api yang makin besar melahap seluruh gubuk itu.

Nyi Londe berusaha bangkit namun kepalanya terasa berat dan pening.
Dengan terbatuk-batuk ia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk merangkak ke kamar..
karena dari sana terdengar suara tangisan si bayi.

Sementara api dengan cepat menjilat dan melahap rumah bilik itu.
Sang pengasuh merangkak menembus asap yang menyesakkan napas.

“Cepat tolong cucuku, Nyi..! Cepat..!” Dengus Ki Kewot dengan napas satu-satu..
sambil mencoba bergerak dan beringsut ke arah kamar di mana cucunya berada.
Darah mengalir semakin deras dari luka di dada dan perutnya, berceceran membasahi lantai.

Api semakin besar dan ganas melahap seluruh isi gubuk. Balok-balok berapi pun berjatuhan dari atas.
Nyaris menimpa Nyi Londe yang terus berkutet merangkak menembus asap, menggapai-gapai mencari pintu kamar tidur si bayi.

“Cepat selamatkan cucuku, Nyi. Cucuku..!” Terdengar suara Ki Kewot megap-megap di tengah gulungan asap yang makin tebal.
Nyi Londe berhasil mencapai kamar dan langsung meraih tubuh bayi yang menangis kepanasan.

Darah tampak mengalir dari kening Nyi Londe tapi tak dihiraukan.
Ia mendekap tubuh si bayi erat-erat sambil berdo’a karena api telah mengurung semua jalan keluar.
“Oh Tuhan, lindungilah makhluk-Mu yang tak berdosa ini..!” Ratap Nyi Londe dalam do’anya.

Sementara itu, Samolo sedang digiring oleh para begundal dan opas menuju Tangsi.
Dari atas tanggul yang dilaluinya, terlihat olehnya cahaya api dari arah gubuk Ki Kewot.

Hati centeng ini jadi tercekat, ia tau itu pasti perbuatan Samirun dan begundal-begundalnya.
Ia benar-benar merasa khawatir akan keselamatan Ratna dan bayinya..
juga Nyi Londe dan Ki Kewot yang berada di dalam gubuk.

Sekonyong-konyong Samolo menggentak rantai borgolnya hingga putus.
Berbareng dengan itu..
dua begundal yang berjalan di depannya terjungkal ke dalam sungai dengan kepala remuk dibabat lengan Samolo.

Dua opas yang berjalan mengiringinya itu terkejut namun sebelum kedua hamba wet ini siap mengayun kelewangnya,
Samolo telah lebih dahulu menyapunya dengan sebuah tendangan berantai yang sangat dahsyat..
hingga kedua opas itu terpental saling susul ke bawah tanggul.
Sisanya menjadi ciut lalu kabur terbirit-birit dari atas tanggul.

Samolo pun memang tidak ada waktu lagi untuk berurusan dengan mereka..
karena ia dengan kecepatan penuh berlari ke arah gubuk yang sedang terbakar itu.

Api sedang mengamuk dengan dahsyatnya..
ketika Samolo tiba di muka gubuk yang hampir musnah ditelan lidah-lidah api yang mengganas.

Tak terasa peluh dingin Samolo membasahi tubuhnya yang panas terpanggang.
Ia berteriak memanggil nama Ki Kewot dan Nyi Londe, tapi suaranya sirna ditelan gemuruh api.
Juga Ratna yang dipanggilnya tak ada jawaban.

Maka dengan nekat ia lompat menerjang gumpalan asap dan api itu dan menerobos masuk.
Samar-samar dilihatnya Ki Kewot sedang merangkak-rangkak menuju kamar.

“Ki Kewot, mana Ratna dan bayinya..? Juga Nyi Londe..!?” Teriak Samolo..
sambil menghindar dari balok berapi yang berjatuhan. Ia melompati lidah-lidah api..
yang bergejolak itu langsung menyambar tubuh kakek yang terluka parah ini lalu dibawa lompat ke luar.

“Jangan hiraukan aku, Samolo. Tolonglah cucuku dan Nyi Londe..!” kata Ki Kewot megap-megap di kempitan Samolo.
Samolo meletakkan tubuh tua yang bersimbah darah itu di pekarangan. “Kotak itu berada di bilik kamar itu..!”
Ujar Ki Kewot dengan napas makin memburu.

Samolo tanpa membuang waktu sedikit pun sudah melompat masuk lagi melalui jendela yang dijebol jerujinya..
dengan sekali babatan telapak tangannya. “Nyi Londe, tetaplah di situ..!”
Serunya kepada Nyi Londe yang terpaku di sudut bilik sambil mendekap si bayi.

Samolo membungkus tubuh si Bayi dengan selimut yang dibasahkan lebih dahulu.
“Kau keluar dulu melalui jendela itu, Nyi! Aku mau mencari kotak. Cepat!”

Nyi Londe agak ragu karena merasa khawatir dengan keselamatan bayi itu..
namun ia keluar juga melalui jendela yang sudah dijebol oleh Samolo.

Setibanya di luar Nyi Londe dan Ki Kewot menunggu munculnya Samolo dengan jantung berdebar-debar.
Ketegangan serta rasa khawatir seolah telah melumpuhkan seluruh sendi tulang dan syaraf mereka.

Bagian samping gubuk itu tiba-tiba runtuh. Nyi Londe dan Ki Kewot tampak makin pucat menggigil.
“Samolo..! Samolo cepat keluar..!” Teriak Nyi Londe tak sabar.

“Cucuku.. Oh, bagaimana dengan cucuku..!?” Ratap Ki Kewot tersendat-sendat.
Tiba-tiba tampaklah Samolo di tengah gejolak api. Kini tiang-tiang bangunan itu mulai berderak bergoyang.

Pada detik terakhir itu, Samolo melesat keluar melalui jendela..
dan tepat pada detik itu pula ambruklah seluruh bangunan tersebut menjelma jadi tumpukan api unggun raksasa.

Samolo berguling dengan sang bayi dalam pelukannya dan kotak wasiat tergemblok di punggungnya..
dalam buntalan kain sarung.
Tampak beberapa bagian baju centeng perkasa ini hangus terbakar.

Nyi Londe segera menggendong si bayi yang terus menangis itu..
Samolo berlutut di sisi tubuh Ki Kewot untuk memberi pertolongan selanjutnya.

Tapi kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan lemah. “Jagalah Ratna dan cucuku.. Samolo..” pesannya.
“Tenanglah, Ki. Aku pasti akan selalu melindungi mereka..” janji Samolo dengan suara haru.

Kepala Ki Kewot tergolek ke sisi, wafatlah orang tua yang telah banyak menderita itu.
Samolo tertunduk dengan hati pilu.

Setelah Nyi Londe menceriterakan diculiknya Ratna oleh Samirun..
Samolo segera mengubur jenazah Ki Kewot di dekat puing gubuknya.

Samolo dan Nyi Londe lama termenung..
semua peristiwa itu seakan-akan sebuah mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi mereka.
-----ooOoo-----

Nyi Londe membawa si bayi dan Samolo ke sebuah rumah bilik yang terletak terpencil di tepi sungai..
setelah berjalan menembus hutan jati yang cukup lebat.

Rumah bilik itu tampak masih cukup kuat biarpun sudah banyak yang bocor dan bolong di sana-sini..
namun masih bisa untuk mereka berteduh.
Di sini mereka merasa lebih aman karena agaknya tempat itu jarang dilalui orang.

“Rumah ini sudah lama kosong sejak ayahku meninggal dunia!” kata Nyi Londe sambil menidurkan si bayi.
“Mudah-mudahan nasib Girin tidak akan seburuk aku..” sambungnya dengan suara pelan penuh haru.

“Girin..!?” Tanya Samolo heran mendengar nama itu.
“Agaknya untuk selalu mengingat nama Den Giran, Ratna memberi nama Girin kepada putranya ini..”
Nyi Londe menjelaskan dengan tersenyum. Samolo termenung memandang keluar jendela.

“Entah bagaimana dengan nasib Neng Ratna sekarang. Dia pasti dibawa ke rumah Samirun.
Nanti malam akan kucoba ke sana..”

“Hati-hatilah, mereka makhluk-makhluk busuk yang banyak akalnya!” kata Nyi Londe khawatir.
“Aku tau mereka akan menggunakan Neng Ratna untuk ditukar dengan kotak warisan..”

Malamnya Samolo berangkat ke rumah Samirun.. karena ia yakin Ratna pasti disekap di rumah itu.
Dengan gerakan ringan ia menyelinap ke dalam pekarangan dan segera bersembunyi di balik pilar.

Sunyi. Aku yakin Neng Ratna berada di sarang setan ini.. pikirnya dengan penuh waspada.
Keadaan di rumah itu terasa sunyi mencekam. Samolo pun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sekonyong-konyong sambaran angin mendesing ke arahnya.
Samolo berkelit tepat ketika sebatang tombak menancap di pilar hanya beberapa inci dari kepalanya.
Berbarengan dengan itu, berlompatanlah belasan orang bersenjata dari berbagai sudut, mengepung Samolo.

Samolo sadar bahwa ia telah masuk perangkap. Namun sedikitpun ia tidak gentar.
Dengan sikap tenang namun waspada ia tegak di tengah pekarangan.
Sementara orang-orang bersenjata itu semakin rapat mengurungnya.

“Ha ha ha ha..! Sekarang kau tak mungkin bisa lolos lagi, anjing..!”
Terdengar suara gelak tawa Samirun dari tengah kerumunan para begundalnya.

“Sebaiknya kau menyerah saja. Nyawa Ratna dan kau sendiri sudah berada di telapak tanganku.
Serahkan kotak itu, kalian pasti selamat..!” Serunya lagi.
“Carilah sendiri di tumpukan puing gubuk yang sudah jadi arang itu..!” Ejek Samolo.

Mata Samolo tajam mencari Samirun di antara para pengepungnya itu.
Dia berpikir, jika ingin membunuh ular haruslah kepalanya lebih dulu.
Ia sudah mengambil keputusan untuk menghabisi si biang kerok itu.

Maka ketika matanya menangkap sesosok tubuh jangkung berdiri di belakang para centeng itu..
Samolo tiba-tiba melejit seperti pantulan bola lalu lompat melesat ke arah Samirun.

Gerakannya begitu cepat dan sukar diduga.. membuat para centeng sewaan jadi tersentak..
dan bergerak serentak untuk menghalangi terjangan Samolo.

Samirun terkejut tak alang-kepalang ketika sosok tubuh tinggi besar itu..
tiba-tiba saja sudah berada dekat di hadapannya, menerjang bagaikan seekor burung rajawali yang sangat tangkas.

Samirun dengan gugup lompat mundur sambil menembak dengan pistolnya.
Dua letusan terdengar disusul oleh jeritan mengaduh dua orang centengnya sendiri..
yang segera rubuh bergelimpangan ke tanah terkena peluru nyasar.

Detik itu Samolo sudah melompat lagi setelah berguling menghindar dari desingan peluru.
Sasarannya selalu terarah kepada Samirun..
membuat kasir ini jadi kelabakan dan menembak membabi-buta karena paniknya.

Setiap butir peluru yang dimuntahkan dari moncong pistolnya itu selalu saja merenggut satu..
atau dua nyawa orang-orang sendiri.
Keadaan menjadi kacau-balau. Para centeng lari serabutan atau tiarap karena takut terkena peluru nyasar.

Hal ini tentu saja tidak pernah direncanakan oleh Samirun.
Keadaan kembali sunyi mencekam. Masing-masing berdiam diri di tempatnya.

Gelap di sekitarnya.. membuat mata Samirun jadi jalang dengan pistol siap tembak di tangannya yang makin gemetar.
Ia tersandar di pilar dengan napas tersengal-sengal, karena penyakit asmanya yang kronis itu tiba-tiba kambuh.

Mendadak sesosok tubuh melayang ke arahnya, Samirun dengan gugup menembak.
Tubuh itu ambruk tepat di bawah kakinya dan ternyata korban pelurunya itu adalah orangnya sendiri..
yang sudah jadi mayat. Rupanya Samolo yang melemparkan tubuh itu kepada si kasir yang sedang panik ini.

Kini Samolo berdiri tegak di hadapan Samirun yang segera menembak dengan pistolnya.
Namun yang terdengar hanya bunyi berjetrek karena telah kehabisan peluru.
Samolo sudah memperhitungkan semua itu.

Samirun jadi panik dan melempar pistol kosong itu ke arah Samolo..
tapi melenceng menghantam kepala seorang centeng yang sedang tiarap hingga langsung ’tidur pulas’ di tanah.

“Kepung dia..! Bunuh cepat..!” Teriak Samirun kepada para tukang pukulnya dengan gugup.
Kini belasan centeng kembali mengepung Samolo. Tiga orang serentak menerjang dengan tombak dan golok.
Samolo berkelit dari sambaran senjata-senjata itu sekaligus membalas hingga mereka terjungkal dan menggelepar di atas bumi.

CONTIECROTT..!!
 
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------

Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 12]

Kembali serangan meluruk ke arah Samolo yang ditangkisnya dengan sebatang tombak yang direbutnya tadi.
Kali ini pertarungan menjadi seru..
senjata-senjata berkelebatan mengurung dan menyambar-nyambar ke arah Samolo bagaikan badai.
Setiap tombak Samolo meluncur dan menikam selalu dibarengi oleh pekikan menyayat seorang pengeroyok.

Samolo sambil bertempur terus mundur masuk ke dalam rumah.
Para centeng yang agaknya dijanjikan upah yang sangat besar oleh Samirun.

Mereka terus mengejarnya dan perkelahian berlangsung semakin dahsyat.
Dengan mengandalkan kehebatan ilmu tangan kosongnya..
Samolo berkelahi bagaikan seekor banteng yang tak kenal takut.

Babatan maupun pukulan telapak tangannya selalu melumatkan apa saja yang terkena.
Satu demi satu para tukang pukul itu rubuh bergelimpangan dengan kepala atau dada remuk.
Seluruh perabotan rumah Samirun menjadi berantakan seperti diamuk topan yang amat dahsyat.

Anehnya tak seorang pun dari tukang pukul itu yang gentar.. malah makin merangsak dengan bernafsu.
Samolo pun sadar bahwa orang-orang sewaan ini hampir semuanya terdiri muka-muka baru..
dan rata-rata berkepandaian ilmu silat cukup lumayan.

Maka tidaklah heran sifat pantang mundur itu dipegang teguh oleh mereka.
Suatu sikap yang rata-rata dimiliki para pendekar silat.

Begitu pun sikap Samolo.. ia rela hancur dan pantang mundur setapak pun demi kehormatan nama besar perguruannya.
Meskipun dikeroyok oleh belasan jago-jago silat yang rata-rata cukup tangguh, Samolo sama sekali tidak bergeming.

Senjata-senjata lawan yang bertubi-tubi menyambarnya tak sepotong pun yang bisa menggores tubuhnya.
Paling-paling bajunya saja yang koyak tertikam atau terbabat senjata-senjata tajam itu.
Semuanya sudah sama-sama nekat seperti kesetanan.

Arena pertarungan itu sekejap saja sudah menjadi porak-poranda.
Dinding-dinding pun jebol hingga ke atap dan para-para.

Lama-lama semuanya merasa letih namun tak seorang pun mau menyerah.
Mayat-mayat mulai bertumpang-tindih di lantai rumah Samirun. Suatu pemandangan yang mengerikan.

Mata Samolo terus mencari Samirun, tapi kasir licik sudah tidak terlihat lagi di situ.
Taulah Samolo bahwa rumah itu telah dijadikan alat perangkap baginya..
Karena tenyata seluruh kamar sudah kosong dan tak terlihat Ratna berada di situ.

Samolo benar-benar menjadi geram. Ia tau pasti ke mana larinya Samirun.
Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuannya digempurlah sisa pengeroyoknya yang tinggal tiga orang lagi..
yang tampaknya paling tangguh dari seluruh para pengeroyok.

Samolo tiba-tiba jadi sadar siapakah tiga orang ini. Melalui jurus-jurus silat mereka itu..
Samolo tau bahwa tiga pemuda ini pasti ada hubungannya dengan Mat Gerong.
Pentolan kepala Garong yang telah dibikin buntung kakinya.

“Kalian apanya Mat Gerong..!?” Tanya Samolo sambil bertempur.
“Kau harus membayar utang kaki guruku yang kau bikin buntung itu, Samolo!” jawab seorang.
“Pulang tanpa membawa sepasang kakimu itu berarti mati bagi kami bertiga..” kata yang seorang lagi.

“Kenapa kalian begitu bodoh..? Potong saja sepasang kaki mayat itu..
Lalu katakan kepada guru kalian bahwa dua kaki itu adalah milikku.
Setelah itu kalian menyingkir jauh-jauh dari dia untuk selama-lamanya..” kata Samolo memandang tajam..
ke tiga pemuda yang agaknya bersaudara karena rupa mereka tampak sangat mirip satu dengan yang lainnya.

Ketiga pemuda murid Mat Gerong saling pandang sejenak lalu sama-sama lompat mundur.
“Suatu pikiran yang baik.
Demi ibuku yang sudah tua dan kini sedang terbaring sakit, kami terima usulmu itu..” kata yang lebih tua.

“Bagus! Kalian masih sangat muda. Berbakti kepada orangtua pahalanya sangat besar..” kata Samolo tersenyum.
Dan tanpa menunggu lagi untuk melihat tiga pemuda itu melaksanakan usulnya tadi..
Samolo segera lompat keluar rumah yang telah porak poranda dan lenyap di kepekatan malam.

Tanpa membuang waktu sedetik pun Samolo terus berlari langsung ke gedung Tuan Tanah.
Ia melangkah masuk ke pekarangan yang sunyi dan gelap itu.

“Hei, Samirun, keluar kau..! Sudah cukup kau bikin kotor gedung Den Besar ini.
Jangan dikotori lagi oleh darahmu yang busuk itu. Keluar, keparat..!” Teriak Samolo seperti guntur.

Tak ada jawaban dari gedung induk yang terkunci rapat itu. “Baik, aku akan masuk menyeret kau..!”
Samolo melangkah masuk untuk menjebol pintu utama yang terpaksa harus dilakukannya..
karena ia tau tidak ada jalan lain untuk masuk ke ruangan utama.

Pintu yang menuju ke belakang itu pun pasti sudah dikunci oleh Samirun.
Samolo sendiri sejak dulu belum pernah berani masuk melalui pintu utama itu.

Biasanya ia selalu masuk melalui pintu samping. Hari ini ia terpaksa harus melanggar kebiasaannya itu.
Namun sebelum ia lakukan..
pintu itu terkuak dan terlihat Samirun muncul sambil mengancam Ratna dengan pisau pada lehernya.

“Bawa ke sini kotak warisan itu, atau dia akan mati..!” Ancam Samirun dengan beringas.
Wajah Ratna tampak pucat tapi ia tetap tabah dan tenang. Samolo melangkah maju.
Samirun segera menekan pisau itu pada leher Ratna. Tampak mandor Sarkawi mengintai di balik pintu.

“Den Giran akan segera pulang, kau dan komplotanmu itu akan digulung oleh hukum..
karena telah merampas semua hak milik majikanmu..” Samolo balas mengancam.

“Huh, dengan harta sebanyak itu di tanganku, hukum pun berada di pihakku..” kata Samirun sinis.
“Setan sudah menutup matamu, Samirun. Hukum dunia kau dapat hindari tapi tidak hukum akhirat!”

“Tutup mulutmu..! Kotak itu atau perempuan ini binasa..!” Bentak Samirun makin kalap.
“Baik. Tapi selembar saja rambut Neng Ratna kau ganggu, hanya Tuhan saja yang bisa menolongmu..
juga para begundalmu itu, Samirun..!” Ancam Samolo sambil beranjak pergi.

Samolo melesat seperti angin ke luar pintu gerbang, berlari ke arah jalan lalu lenyap di kegelapan malam.
Samirun menyeret kembali Ratna ke dalam gedung lalu diikatnya di atas kursi.
Sementara ia dan Sarkawi duduk di dekatnya untuk menunggu Samolo.

Tapi ternyata Samolo tidak pulang mengambil kotak wasiat itu.. ia memutar ke belakang gedung.
Kemudian memanjat dinding.. lalu melompat masuk ke halaman belakang.

Ia mengintai melalui jendela, tampak olehnya Subaidah dan Mirta sedang sibuk mengurus isi sebuah peti..
dipindahkan ke dalam koper-koper. Rupanya mereka sudah siap-siap angkat kaki dari gedung itu.

Agaknya cuma peti besi itulah yang sempat dibukanya..
karena kunci-kunci lainnya yang berada di dalam kotak wasiat keburu dicuri oleh Samolo.
Namun harta yang dikurasnya itu sudah cukup membuat mereka kaya-raya selama tujuh turunan.

Namun karena jiwa mereka memang terlalu tamak.. masih juga menuntut seluruh harta warisan..
yang ada di gedung Tuan Tanah berikut segenap kekayaan yang ada.
Dengan memiliki surat-surat sah atas pemilikan harta peninggalan tersebut, mereka akan merasa lega.

Sesungguhnya Samirun pun cukup bertindak hati-hati serta penuh perhitungan.
Agar tidak menimbulkan perkara dan sanksi hukum, maka ia tidak segera membunuh Ratna dan anaknya..
yang tercantum sebagai ahli waris dari harta peninggalan Tuan Tanah itu.

Kecuali jika seluruh surat-surat berharga itu sudah berada di tangannya.. semuanya bisa diatur dengan mudah.
Demikian pertimbangan si kasir yang cerdik ini.

Bahkan dengan menyandera Ratna, ia masih berharap untuk memperoleh seluruh isi kotak wasiat..
yang ia yakin masih disimpan oleh Samolo di suatu tempat.
Ia tau benar centeng itu pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan harta benda majikannya.

Sikap kesetiaan yang luar biasa dari si centeng terhadap majikannya..
sangat menggagumkan hatinya juga sekaligus membencinya.

Tapi kali ini perkiraan Samirun terhadap Samolo meleset..
karena ternyata centeng ini tidak pulang mengambiI kotak wasiat yang akan ditukar dengan nyawa Ratna.
Ia lupa Samolo bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi kalau diancam.

Maka Samirun tidak sadar kalau pihaknya sendiri yang terancam sekarang ini.
Karena macan dari Gunung Krakatau ini sudah siap menerkam Subaidah dan Mirta..
yang sedang berada di dalam kamar penyimpanan peti-peti harta itu.

Dengan beberapakali gempuran tangan Samolo.. jebollah jeruji-jeruji besi jendela kamar itu.
Ia melompat masuk disambut jeritan Subaidah dan Mirta yang terkejut setengah mati.

Kedua ibu dan anak ini segera lari ke sudut kamar dengan tubuh menggigil..
tak menghiraukan lagi isi koper-koper mereka yang berceceran di lantai.
Samirun dan Sarkawi yang berada di ruangan depan terkejut mendengar jeritan Subaidah dan Mirta.

“Tunggu di sini, Wi..!” Perintah Samirun kepada Sarkawi.. maksudnya untuk menjaga Ratna yang terikat di kursi.
Ia sendiri masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi dengan Subaidah dan Mirta.

Dilihatnya Subaidah dan Mirta sedang berdiri ketakutan di sudut ruangan..
sinar matanya menunjukkan kepadanya akan adanya bahaya di ruangan itu.

Samirun mundur sambil meraih sebatang tancapan lilin bercabang tiga yang sangat runcing dari atas meja.
Sekonyong-konyong sebuah lengan dengan kuat mencengkeram leher bajunya dari belakang.

Samirun berbalik langsung menikamkan tancapan lilin itu..
namun senjata darurat itu tiba-tiba pindah tangan dan tiba-tiba pula terhunjam ke dadanya sendiri.

Dengan jeritan yang sangat menyayat.. tubuh Samirun tergetar terhuyung-huyung.
Darah segar pun tersembur dari dadanya itu ketika tancapan lilin tersebut dicabut.

Ia mendekap dadanya..
menatap Samolo yang masih menggenggam tancapan lilin itu dengan sorot mata garang seekor serigala.
Tubuhnya semakin limbung lalu ambruk ke lantai menggapai dan meraup emas permata yang berserakan itu..
dengan lengan gemetar berlumur darah.

Namun hanya sekejap karena sejenak kemudian ia menggeliat lalu tersungkur lagi..
dengan mata tetap terbelalak mengerikan.

Subaidah terpekik histeris merangkul Mirta yang menggigil seperti demam. Samirun tewas penuh penasaran.
Konon menurut ceritera penduduk setempat.. hantunya acapkali terlihat bergentayangan di gedung itu..
sampai bertahun-tahun kemudian.

Samolo melangkah mendekat ke arah Subaidah dan Mirta yang masih menggigil dengan wajah seperti tidak dialiri darah lagi.
“Ular betina berkepala dua..! Penyebab dari segala bencana terkutuk. Inilah hari terakhir bagimu..!”
Ancam Samolo dengan suara dalam. Lengannya menuding dengan ujung tancapan lilin yang masih meneteskan darah Samirun.

“A..a..ampun Bang Sssamolo.. Ampuni saya dan Mirta. Saya mengaku salah..”
Ratap Subaidah gemetar sambil semakin ketat memeluk putranya.
Mirta menggumam tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Mata pemuda itu merah dan nampak liar.

Tapi ujung tancapan lilin yang sangat runcing dan masih berteteskan darah itu..
terus terarah kepada nyonya Tuan Tanah tak bermoral yang meratap mengiba-iba dengan air mata bercucuran.

Lenyaplah segala keangkuhan serta kecongkakannya sebagai sang Nyonya Besar yang terlalu berambisi ingin meraih bintang.
Tapi kini semua impiannya telah pudar menjadi debu.

“Ampun, Bang.. Kasihanilah saya dan Mirta.. Ambillah semua harta itu tapi jangan bunuh kami.. Ampuun.. Bang..”
Subaidah terus menatap ngeri melihat ujung tancapan lilin berdarah itu.

“Minta ampunlah kepada arwah Den Besar bila kalian jumpa di akhirat nanti.
Kalian sudah terlalu menghina serta menyiksanya.. padahal kalian telah dilimpahkan harta benda serta kasih sayangnya.
Mau apa lagi..!?” Bentak Samolo dengan suara dalam menahan haru dan kepedihan hatinya.

Subaidah menangis terisak-isak, entah menyesal atau entah karena takut mati.
Sekonyong-konyong Mirta menjerit kalap dan langsung menerjang Samolo seperti celeng liar.

Samolo menyambar rambut pemuda itu, namun ketika ia hendak menikamnya dengan tancapan lilin tersebut..
terlintaslah bayangan Den Besarnya sedang membelai dan memangku Mirta kecil.
Suatu kenangan yang begitu melekat di benaknya.

Sesungguhnya Den Besarnya sangat mengasihi anak itu meskipun mungkin majikannya itu akhirnya tau..
bahwa anak itu sebetulnya bukan darah dagingnya sendiri.

Karena sampai pada menjelang ajalnya.. sikap Den Besar terhadap Mirta tak pernah berubah.
Betapa pedih hati Samolo bila mengingat nasib Den Besarnya yang begitu tragis.

Namun itu bukan kesalahan Mirta, ia cuma hasil dari penyelewengan dan ketidaksetiaan orang-orang tak berbudi.
Kedua ayah-ibunya.. ialah Samirun dan Subaidah.
Biang keladi dari kehancuran keluarga serta kharisma Tuan Tanah yang sangat bijaksana itu.
Samolo jadi tercenung sementara Mirta masih meronta di cengkeramannya.

Melihat anak kesayangannya itu terancam nyawanya.. Subaidah jadi nekat.
Ia segera menyerang Samolo dengan kekalapannya sambil menjerit histeris.

Samolo melepas cengkeramannya pada Mirta dan menyambut terjangan Subaidah yang kalap itu..
dengan hempasan lengannya, membuat tubuh Nyonya Besar ini terlontar ke arah sebuah cermin dinding berbingkai antik.
Wajah Subaidah tepat menghantam cermin hingga cermin tersebut hancur berkeping-keping.

Dengan pekikan yang amat menyayat Subaidah tersentak membalikkan tubuhnya..
tampak wajah serta matanya berlumur darah tercacah serpihan kaca.

Lengannya menggigil berusaha mencabuti pecahan kaca yang menancap di wajah dan matanya.
Ia merintih kesakitan. “Mirta.. Mirtaaa.. Tolong ibu, Nak..” rintihnya.

Tapi Mirta mundur ngeri memandang keadaan ibunya. Lengannya mendekap matanya..
dengan napas tersengal-sengal, ia melangkah mundur lalu berbalik lari keluar ruangan.

Samolo yang ikut tertegun tiba-tiba jadi geram..
lalu melempar tancapan lilin itu yang telak menghantam kepala pemuda itu hingga jatuh tersungkur.

Namun setelah menggelepar sejenak ia cepat bangkit dan terhuyung-huyung..
lari ke luar sambil berteriak-teriak seperti orang gila.

Subaidah jatuh tersandar ke dinding, merintih terus dengan tubuh gemetar.
Seluruh wajah dan baju kebaya rendanya yang berwarna putih itu penuh tersimbah darah.

Samolo tak mau melihat lebih lama lagi penderitaan nyonya majikannya..
yang telah menerima hukuman akibat perbuatannya. Ia berbalik hendak beranjak dari situ.

Tepat pada saat ia berbalik itulah..
sebuah tikaman ujung tancapan lilin menghantam dan menancap tepat di kedua matanya.

Samolo terpekik sambil menepis tancapan lilin yang sudah terlanjur melukai kedua matanya..
seraya menghantam si pembokong pengecut itu.

Sebuah teriakan mengiriskan terdengar disusul oleh robohnya tubuh gemuk itu ke lantai.
“Sarkawi..!” Dengus Samolo sambil tangannya mendekap matanya yang mengucurkan darah.
Rasa sakit terasa menyayat-nyayat seluruh sendi syaraf dan tulang sumsumnya.

Dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar, meninggalkan ceceran darah yang menetes terus dari kedua matanya.
Tampak tubuh Sarkawi menggeliat-geliat. Kepalanya pecah terkena gempuran tangan Samolo yang sekeras godam baja itu.

Tapi mandor ini masih berusaha merangkak ke arah Subaidah yang merintih-rintih terkapar di dinding.
“Mana upah saya, Nya Besar..? Upah.. sssa..ya..” katanya sambil menggapai menengadahkan tangannya.
Lalu kepalanya tersungkur ke lantai, diam tak berkutik lagi.

Dengan langkah tersuruk-suruk Samolo berjalan ke ruangan utama.
Ratna yang duduk terikat di kursi jadi terkejut melihat kemunculan Samolo dengan keadaan yang sangat mengerikan itu.

“Bang Samolo..!?” Jerit Ratna. “Kenapa mata Abang..?” Tanyanya dengan iba bercampur ngeri.
“Biarlah, semuanya sudah lunas ditebus oleh kedua mataku ini..”
kata Samolo menahan sakit yang sangat hebat pada kedua matanya yang sudah buta itu.

Lengannya yang nampak gemetar meraba-raba tambang yang mengikat tubuh Ratna..
Namun saat itulah ia tanpa sengaja memegang sesuatu yang membuatnya langsung terdiam.

”Bang!” pekik Ratna malu-malu saat Samolo menangkup salahsatu bulatan payudaranya.
Tidak menjawab, laki-laki tinggi besar yang baru saja buta itu tidak berusaha untuk melepaskan pegangan tangannya..
malah kini ia berusaha untuk merobek baju Ratna agar bisa menelanjanginya.

Ia hentakkan kutang Ratna yang masih menghalangi..
hingga terlepas dan digunakan untuk menyumpal mulut gadis itu.

Kemudian dengan nafsu yang entah datang darimana..
ia telusurkan mukanya yang belepotan darah ke belahan payudara gadis itu.

Samolo membenamkan wajahnya ke tonjolan buah dada Ratna..
sambil berusaha untuk menciumi, mengecup dan menjilati putingnya yang mungil memerah.
Merah karena rasa malu sekaligus cipratan darah Samolo.

”Hem.. hmm..” dengan penuh nafsu Samolo terus menggumulinya, dari sebelah kanan kemudian pindah ke yang kiri.
Yang bisa dirasakan Ratna hanyalah perasaan risih yang tak terhingga.

Suatu perasaan yang terjadi karena laki-laki yang dulu dikenalnya berhati baik ini..
tiba-tiba saja berubah menjadi setan laknat yang berusaha merangseki tubuh indahnya..
meski keduanya matanya telah buta. Ratna benar-benar tidak menyangka akan mengalami semua ini.

Tangan Samolo terus menjamah di sana-sini..
bahkan kini berusaha menelusup mengelusi pinggul dan bokong Ratna yang masih terikat erat di atas kursi.

Ia juga meremas-remas dada perempuan cantik itu sambil tak henti-henti menyusu di sana.
Dengan jari-jarinya dia memilin-milin puting susu Ratna penuh perasaan. Benar-benar kurang ajar..!

Ratna sendiri terus memberontak dan menggeliat.
Tetapi bagai kijang yang telah lumpuh dalam terkaman singa, ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

Yang ada ia kini malah sudah direbahkan ke lantai..
dengan cakar-cakar Samolo menghunjam kuat di atas kulitnya yang putih mulus.
Ratna bagai seonggok daging yang disantap oleh laki-laki tua itu.

“Hiks.. hiks..” gadis itu sesenggukan melampiaskan tangisnya dalam sepi.
Tak ada suara dari mulutnya yang tersumpal. Yang ada hanya air matanya yang meleleh deras.

Samolo segera menciumi pipinya dan menjilati air mata itu.
”Jangan menangis, Neng. Maaf, saya juga tidak tau kenapa bisa berlaku seperti ini..”
bisiknya dengan nafas mendengus kencang.

Samolo kini menciumi tepian bibir Ratna yang tersumpal.
Tangannya juga dengan sigap menyibakkan gaun penutup wilayah rahasia gadis itu.

Sementara tangan lainnya mencapai paha Ratna dan mulai meraba-raba kulit yang sangat halus dan mulus itu.
Samolo mengelusnya dengan perlahan, juga memijitnya dengan begitu lembut.

Uhh.. Ratna yang merasakannya jadi dilanda perasaan malu yang amat sangat.

Ia yang selama ini tidak pernah menunjukkan auratnya kepada laki-laki lain selain suaminya..
tiba-tiba saja ada seorang lelaki asing yang demikian saja meraba serta menyingkap segala rahasianya..
meski itu adalah Samolo yang kini telah buta.

Laki-laki itu kini melanjutkan kebiadabannya, dia merenggut dan merobek baju Ratna yang tersisa.
Ditariknya cepat dan dicampakkannya ke lantai.

Kini Ratna hanyalah perempuan hina yang berbaring setengah telanjang di lantai..
dengan tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu Samolo melumat tubuh sintalnya.

Ia merasakan betis, paha dan kemudian gumpalan bokongnya dirambati oleh tangan-tangan Samolo.
Gadis itu kembali berusaha untuk memberontak, namun sekali lagi tetap sia-sia belaka.

Samolo kini sudah menindihnya dengan wajah mendekat ke arah bibir kemaluannya.
Bisa ia rasakan nafas laki-laki itu yang meniupkan angin ke arah selangkangannya.

Samolo mulai menenggelamkan wajahnya ke celah selangkangan Ratna.
Bukan main.. belum pernah ada seorangpun berbuat macam ini kepadanya, kecuali Giran, suaminya.

Edan. Benar-benar edan..! Ratna memaki dalam hati..
Namun sama sekali tak kuasa menolak semua ini. Segala upaya berontaknya kandas.

Sampai akhirnya ia merasakan lidah basah Samolo mulai menyapu pori-pori selangkangannya.
Ughh..!! Lidah itu dengan sangat perlahan bergerak, menyapu dengan begitu lembut.

Sesaat Ratna sepertinya berada di persimpangan jalan. Jilatan Giran tidak pernah senikmat ini.
Di depan matanya kini ada dua potret, gambar suaminya dan juga gambar Samolo.

Entah dia mau memilih yang mana. Kepala Ratna pusing.
Dunianya seakan-akan berputar.. saat ia tergiring secara perlahan-lahan..
pada tepian samudra yang sangat mungkin akan menelan dan menenggelamkannya.

Ratna benar-benar tidak sanggup untuk melawan, seiring jilatan Samolo yang berubah menjadi cepat.
Ia juga semakin jauh terseret dalam arus yang sangat tidak mungkin untuk dilawan.

Serbuan lidah laki-laki ini pada lubang senggamanya begitu menerkam, membuat peluhnya jadi mengucur deras.
Memang sempat terlintas bayangan kengerian akan ingkarnya kesetiaan seorang istri pada pikiran gadis itu.

Namun Ratna juga tak bisa memungkiri kalau ia juga sedang jatuh ke dalam lembah nikmat yang sangat dalam.
Dirinya sedang diseret oleh Samolo untuk ditenggelamkan dalam samudra nafsu birahi yang penuh oleh gelombang syahwat.

Dan saat kombinasi bibir dan lidah Samolo dipadukan dengan tangan yang mengelusi paha mulusnya..
Ratna pun meluncur jatuh seutuhnya. Ia sudah tidak mampu lagi menyembunyikan rasa nikmatnya.

Isak tangisnya kini sudah tidak terdengar lagi, berganti dengan desahan dari balik kain yang menyumpal mulut manisnya.
Ia sudah benar-benar tenggelam sekarang.
Bahkan lama-lama desahannya berubah menjadi rintihan pelan penuh nikmat.

Begitu pintarnya Samolo menggiring nafsu gadis itu hingga Ratna yang tadinya diam, kini mulai menggoyangkan pantatnya.
Ia menggelinjang.
Sementara dari mulutnya yang tersumpal sudah terdengar teriakan-teriakan pilu minta dilepaskan.

Samolo segera merenggut lepas sumpal mulut itu. "Ayo, Neng.. teguk haus birahimu..” bisiknya.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd