---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------
Cerita 192 – Wasiat Harta Warisan [Part 2]
“Hmm.. Samolo..! Kebetulan, aku memang sedang mencarimu..!” Mendengar suara sang pemuda..
wajah centeng tua yang angker itu jadi berubah kaget kemudian tampak berseri-seri.
“Oh.. Den Giran..! Aden sudah pulang..!” sapa Samolo gembira.
“Jangan berpura-pura..! Aku tau kalian justru mengharapkan aku tidak akan pulang selama-lamanya..!”
Tukas Giran dengan geram.
Samolo tertunduk, sikapnya tetap tenang penuh hormat. “Kami selalu menanti kembalinya Aden.
Banyak peristiwa telah terjadi. Aku ingin menjelaskan kepadamu, Den..”
“Tidak perlu..! Aku sudah cukup tau tentang kebusukan kalian berdua..!
Arwah ayahku pasti akan bangkit dari liang kubur kalau saja beliau tau..
Bahwa kau yang sangat dipercayainya sepenuh hatinya, ternyata seekor serigala berbulu domba..!”
Samolo menghela napas, suaranya jadi terdengar lebih dalam dan pedih.
“Telah kuduga, engkau telah didului oleh perempuan tua celaka itu dan terhasut oleh mulutnya yang berbisa..”
Mata Giran mendelik. “Bangsat..! Berani kau berkata sekeji itu terhadap ibuku..!?”
Lengannya meraba bungkusan kain putih di pinggangnya.
“Aku kagum akan rasa baktimu terhadap orangtua, Den. Tapi ibumu itu.. begitu rendah martabatnya..
Dan tak patut menerima sujud bakti seorang anak seperti kau, Den..”
Giran melompat seraya mencabut pisau pusakanya yang terbungkus kain putih itu.
Ia menggeram dengan luapan amarahnya. “Tutup mulutmu..! Kau sudah melampaui batas, Samolo..!”
Ia melangkah maju sambil menghunus pisau pusakanya yang beracun itu. “Kau harus menebus dosa-dosamu..!
Kau telah melempar keluargaku ke dasar neraka penderitaan paling nista..! Kau jadikan ibuku sebagai mayat hidup..
bergentayangan di kegelapan sepanjang hidupnya..! Benar-benar keji kau, Samolo..!”
“Dengarlah, Den..” Samolo berusaha menenangkan Giran. “Kekerasan tidak mungkin dapat menjernihkan air yang keruh..!
Tenang dan bersabarlah, akan kujelaskan persoalan yang sangat pelik ini. Tenanglah, Den..” bujuknya.
Tapi amarah Giran sudah tidak bisa dikekang lagi.
Bayangan penderitaan ibu dan adiknya benar-benar membuatnya menjadi kalap.
Tiba-tiba saja ia melompat menerjang dengan tikaman pisau pusakanya tepat ke arah jantung Samolo.
Centeng tua yang masih tangkas ini melompat mundur untuk menghindar dari ujung belati yang meluncur bagaikan kilat itu.
Giran terus mengejarnya sambil melancarkan tikaman-tikaman yang mematikan.
Ratna jadi panik berusaha mencegah kekalapan suaminya. “Jangan, Kak..! Bang Samolo tidak bersalah..! Jangan..!”
Jerit Ratna. Tapi Giran tak menghiraukan jerit-tangis anak istrinya.
Ia merangsek terus centeng tua yang selalu berusaha menghindar.
Sekali-kali tongkat bambunya itu menangkis atau menyampok mental hunjaman ujung pisau Giran.
Hujan masih terus turun dengan lebatnya.. guntur menggelegar memekakkan telinga.
Ratna menggigil mendekap Girin yang terus menangis kedinginan, juga ketakutan.
Dua buah serangan berantai Giran dengan beruntun pula dapat dipunahkan oleh Samolo. Giran semakin penasaran..
Ia menggeram seraya lompat melancarkan tendangan berantai. Tubuh tua Samolo segera terguling.
Sembuah tendangan dengan telak menghantam dadanya. Giran lompat sambil mengangkat pisaunya..
untuk menghabisi nyawa centeng yang dianggapnya telah menghancurkan keluarganya.
Ratna menjerit, dilepaskannya Girin dari dekapannya dan lari menghambur memeluk kaki suaminya.
“Kau salah paham, Kak..! Sadarlah. Kau bertindak terlalu kejam terhadap orang yang tak berdosa..! Kau pasti menyesa..”
Ratap Ratna mengiba sambil memeluk kaki Giran.
“Tak berdosa..!? Air tujuh samudra pun tidak akan cukup mencuci bersih noda dan dosa kalian..!”
Geram Giran sambil menyepakkan kakinya,.. sehingga tubuh Ratna pun terpelanting di atas tanah becek itu.
Putra sulung Tuan Tanah ini semakin mendidih darahnya. Ia mengumpat kepada Samolo yang berlutut..
menggapai-gapai mencari tongkatnya. Untuk sesaat Giran jadi tertegun.
Ia baru mengetahui mata centeng ini sudah tidak berfungsi lagi. “Dia sudah buta..” gumamnya.
Saat itu terlintas kenangan masa lalu ketika ia masih kecil dulu.
Sering ia nangkring di punggung laki-laki tua ini yang merangkak-rangkak di halaman main kuda-kudaan.
Dia telah mengasuh dirinya dengan penuh telaten serta kasih sayang sebagai anaknya sendiri.
Samolo sesungguhnya abdi yang sangat setia ketika itu.
Betapa kecewa hatinya, ternyata watak manusia begitu mudah goyah.
Darahnya kembali mendidih ketika bayangan wajah ibunya yang menderita buta dan Mirta yang terganggu jiwanya..
akibat perbuatan centeng ini. Dadanya terasa terbakar kembali.
Kini Samolo telah bangkit lagi, berdiri agak limbung di tengah derahan hujan lebat.
Tampak darah menetes dari mulutnya, memerahi kumis dan janggutnya yang putih.
Darah itu terus menetes, memerahi genangan air di bawah kakinya.
Melihat penderitaan centeng tua itu, hati Ratna terasa ikut tersayat. Ia meratap mengiba-iba kepada suaminya.
“Kak Giran, jangan kau terpedaya oleh hasutan Ibu dan Mirta..!
Merekalah sesungguhnya yang menjadi biang keladi dari semua malapetaka ini..!”
Samolo terbatuk-batuk.. bicara dengan napas memburu. “Biarlah Neng Ratna. Suamimu telah begitu dendam kepadaku..!
Ya, memang akulah yang telah membutakan mata ibumu. Kalau itu satu dosa, aku bersedia menerima hukuman darimu, Den Giran!”
“Kalau begitu, kau memang harus mati Samolo..!” Teriak Giran, seraya menerjang dengan sabetan-sabetan pisaunya.
Samolo berkelit dan menangkis dengan tongkat bambunya.
Bunyi benturan senjata seakan-akan bersahutan dengan bunyi guntur di angkasa.
Pertarungan berlangsung dengan serunya di bawah curahan hujan lebat.
Ratna menggigil sambil mendekap Girin.. menahan ketegangan jiwanya.
Betapa tidak.. karena kedua laki-laki itu adalah orang-orang yang paling dikasihinya dalam hidup ini.
Hatinya menjerit dan meratap, namun apa daya..!? Ia cuma bisa terisak menangis sambil memeluk anaknya.
Karena faktor usia serta kondisi tubuh yang sudah tak berimbang lagi.. Samolo tersungkur tak berdaya.
Kepalanya terbentur tiang emper.. lalu rebah tak berkutik lagi.
Ratna menjerit, menubruk tubuh yang nampak masih tegar itu. Diguncang-guncangnya sambil memanggil nama sang centeng.
Tapi Samolo cuma merintih sejenak lalu diam terkapar dengan keadaan sangat menyedihkan.
Giran menarik lengan Ratna lalu ditariknya. “Biarkan jahanam itu mendapatkan bagiannya! Kini giliranmu..!”
“Kau.. kau kejam..!” Ratna menjerit dan meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi Giran tak mempedulikannya, terus menyeretnya ke luar halaman belakang gedung itu.
Ratna terus meronta, tubuhnya terseret di tanah becek tersiram hujan yang tak kunjung henti.
Girin menjerit-jerit mengikuti sambil memanggil ibunya.
Tapi Giran yang sudah gelap mata ini..
dengan tidak mengenal ampun menyeret tubuh istrinya sepanjang sisi gedung terus menuju keluar.
“Tidak! Tidak! Aku tidak sudi lagi melihat iblis itu! Lepaskan..!
Lebih baik kau bunuh saja aku di sini..! Lepaskan..!” Jerit Ratna sepanjang jalanan.
Tubuh Ratna tergusur melewati pintu gerbang dan melintasi jembatan yang melintang di atas parit besar..
yang ada di muka gerbang itu. Girin mengikuti terus sambil menangis memanggil-manggil ibunya.
Tepat di tengah jembatan batu yang licin itu anak ini terjatuh tergelincir dan tubuhnya berguling ke bawah jembatan itu.
Melihat itu, Ratna menjerit histeris. “Ya Allah, Anakku! Girrriiinnn.. Anakku..”
Tapi ia tak kuasa menolong anaknya itu, tubuhnya jatuh bangun diseret Giran yang sedang kalap.
Girin megap-megap dihanyut air yang mengalir deras itu. Teriakan ibunya kian menjauh..
kemudian sirna ditelan gemuruh hujan dan guntur yang masih menggila.
Sementara itu, tubuh Samolo mulai bergerak, perlahan-lahan siuman dari pingsannya.
Kemudian ia sadar dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Dengan seluruh sisa tenaganya ia berusaha bangkit.
Lalu dengan langkah terhuyung-huyung ia mengejar ke muka pintu gerbang, sambil memanggil-manggil Ratna dan Girin.
Tongkatnya menyusuri jembatan batu itu. Tepat pada saat itu, telingannya mendengar sesuatu di bawah jembatan itu.
Wajahnya jadi semakin tegang dan beringas. “Tangisan Girin..” desisnya cemas.
Suara megap-megap di kolong jembatan itu terdengar samar-samar, kemudian lenyap ditelan deru hujan.
Samolo mengerahkan daya pendengarannya yang menjadi andalannya selama ini untuk mencari anak kecil itu.
Syukurlah Girin yang baru berusia empat tahun ini cukup cerdik untuk menolong dirinya.
Ia bergelayutan erat-erat pada akar pohon yang kebetulan tumbuh di tepi parit itu.
Samolo pun segera mengetahui di mana anak itu berada.
Dengan meraba-raba ia turun ke dalam parit yang sedang pasang dan dengan air yang mengalir amat deras.
Tubuhnya bergerak dan menggapai-gapai ke arah Girin yang berpegangan erat pada akar pohon.
Arus air yang deras itu menghempas dan menarik tubuh centeng tua ini.
Namun dengan sekuat tenaga ia maju terus mendekat ke arah cucu majikannya.
“Tenanglah, Nak..! Berpeganglah erat-erat. Embah akan menolongmu..!”
Kata Samolo memberi semangat kepada bocah kecil itu.
Sesaat kemudian lengannya berhasil meraih tubuh anak itu dan langsung dipeluknya.
Girin pun merangkul dengan erat. “Tenanglah, Nak. Kau sudah selamat kini..”
hibur Samolo sambil berusaha menggapai tepi parit. Girin menangis terisak-isak memeluk leher ’Si Embah’ ini.
Keduanya berhasil naik ke atas parit dan berdiri di atas jembatan.
Samolo menggendong Girin yang masih terus menangis, menunjuk ke arah jalanan.
“Ibu dicelet ke cono..” rengeknya.
“Diam, Nak, jangan menangis. Mari kita susul ibu..”
Sambil menggendong Girin, Samolo berjalan menuju jalanan besar itu dengan tuntunan tongkatnya.
-----ooOoo-----
GIRAN menghempaskan tubuh Ratna ke lantai. Ratna menjerit dan mengumpat dengan kalap dan pedih.
“Kau telah membunuh anakku..! Kau ayah yang tak punya perasaan..! Kejam..! Oh.. Girin.. anakku..!”
Ratap Ratna sambil menelungkup di lantai berdebu itu.
Giran berteriak memanggil ibunya, “Ibu..! Aku sudah menyeret perempuan keparat itu ke sini..!”
Dari balik dinding papan muncullah dua wajah yang diliputi rasa was-was dan curiga.
“Keluarlah, Bu.. Inilah perempuan yang telah membuat Ibu menderita.
Kuserahkan dia agar Ibu menghukumnya..!” Teriak Giran lagi.
Bagai dua sosok makhluk ganjil, ibu dan anaknya keluar dari tempat persembunyiannya.
Bunyi ketukan tongkat si nenek sudah cukup membuat bulu kuduk Ratna merinding.
Wajah Ratna jadi pucat seketika, darahnya seakan-akan berhenti mengalir.
Dia merangkak mendekap kaki Giran, meratap dengan suara gemetar.
“Jangan..! Jangan biarkan dia membunuhku, Kak. Oh.. Tolonglah aku, Kak..! Tolonglah..!”
Wajah si nenek menyeringai mengerikan. Biji matanya yang luka bernanah itu bergerak-gerak.
Mata Mirta pun ikut liar menatap istri kakaknya itu. Ratna semakin ketakutan.
“Bunuh dia, Mirta..! Bunuh..! Cepat Mirta..!” Teriak nenek ini tiba-tiba. Mirta memungut sepotong kayu.
Melangkah mendekat ke arah Ratna denga wajah menyeringai. Si Nenek pun siap dengan tongkatnya.
Ratna menjerit dan bersembunyi di belakang tubuh Giran yang berdiri beku seperti patung.
Dengan teriakan mirip orang hutan, Mirta tiba-tiba lompat mengayun pentungannya ke arah Ratna.
Ratna mengelak dan lari ke arah pintu. Tapi si nenek sudah mencegatnya di situ..
sambil mengangkat tongkatnya dan langsung dipukulkan ke arah Ratna.
Untunglah bagi Ratna, karena tidak bisa melihat, pukulan mertuanya itu menjadi ngawur.
Tapi teriakannya yang melengking memberi komando kepada Mirta..
benar-benar membuat Ratna semakin panik ketakutan.
“Cepat, Mirta, bunuh setan ini..! Bunuh..! Ayo cepat. Jangan kasih ampun padanya..!”
Ratna pontang-panting berlarian di dalam ruangan rumah usang itu.
Ia berusaha menyelamatkan diri dari keroyokan adik-ipar serta mertuanya yang sudah seperti kerasukan setan itu.
Sementara itu Giran hanya berdiri mematung di sisi jendela..
seakan-akan tidak mendengar jeritan Ratna yang mengiba-iba minta tolong kepadanya.
Benarkah ia sudah kehilangan perasaan kasih sayang kepada istrinya.. sampai hati pula membiarkan..
istrinya disiksa dengan cara kucing mengeroyok seekor tikus..? Entahlah.
Tapi yang jelas, ada butiran-butiran air jernih dan hangat jatuh menetes di atas lengannya..
Ratna semakin letih dan putus asa. Ia jatuh terjerembab tak berdaya lagi.
Dua orang pengeroyoknya itu segera tertegun mengatur napas. Mirta mendengus dengan napas memburu.
“Dia sudah kepayahan, Bu, tidak bisa lari lagi..!”
“Bagus. Ayo cepat, Mirta..! Habisi dia..!” Teriak si nenek bernafsu.
Mirta sambil tertawa ganas mendekat, mengangkat pentungannya tinggi-tinggi.
“Kepalanya, Mirta. Kepalanya..!” Teriak si Nenek memberi petunjuk.
Mirta mengangkat pentungan kayunya tinggi-tinggi dengan sasaran kepala Ratna. Ratna memejamkan matanya.
Tepat pada detik kritis itu.. sebuah tongkat bambu tiba-tiba berkelebat menghantam lengan Mirta.
Dengan teriak kesakitan pemuda sinting ini terpelanting ke dinding dan dengan pentungan kayu itu melayang..
menghantam kepala si nenek yang segera menjerit melengking-lengking.
“Sssamolo..!” Teriak Mirta ketakutan menatap ke pintu. Si nenek terkejut, ia menyuruk-nyuruk ke arah putranya.
Keduanya ketakutan seperti melihat Malaikat El-Maut. Samolo tegak di ambang pintu dengan muka angker penuh kebencian.
Ratna segera menubruk tubuh Girin dan mendekapnya erat-erat.
“Setan dedemit..! Masih belum puas juga kalian menghirup darah kami..? Iblis..!”
Hardik Samolo sambil menuding kedua orang itu dengan tongkatnya..
membuat si nenek dan Mirta makin mepet ke sudut dinding.
Samolo melangkah maju.. tongkatnya dikibaskan dan tongkat si nenek pun terlontar ke lantai.
Perempuan tua ini menjerit dan merangkul putranya yang sama paniknya.
Samolo dengan suara berat dan parau terus memakinya.
“Aku menyesal membiarkan kalian hidup dan tidak mencabut nyawa kalian ketika itu.
Bila tidak, kalian tentu tidak akan jadi biang penyakit di kemudian hari, seperti sekarang ini.”
Si nenek menjerit memanggil Giran. “Kau dengar, Giran..!? Kau dengar..!
Di hadapanmu dia masih berani berlaku kurang ajar dan menghinaku..!” Si nenek menangis dengan pilunya.
Samolo menghela napas, menghampiri Ratna.
“Mari, Neng. Rumah hantu ini mulai pengap oleh racun yang tersebar dari mulut berbisa perempuan iblis itu.
Hati suamimu pun sudah mati terbius..”
Dengan hati pedih, Ratna sambil menggendong putranya keluar dari rumah itu..
diiringi oleh Samolo yang tetap waspada melindungi nyonya majikan mudanya itu.
Si nenek melangkah ke dekat Giran yang masih berdiri termangu dan membisu.
Ia merengek mengiba-iba di belakang tubuh anak-tirinya ini.
“Mau tunggu apa lagi, Giran..? Merekalah yang menjadikan kita sengsara begini..!
Mana baktimu terhadap orang tuamu, Giran?”
Tiba-tiba Giran melesat keluar pintu, menghadang di hadapan Ratna dan Samolo.
Wajahnya merah dan muram. “Tunggu..! Kalian kira dengan semudah ini persoalan jadi beres..?
Hmm.. jangan mimpi..!” Gertaknya dengan suara murka.
Samolo maju ke muka, dengan suara dalam ia berkata.. “Kalau boleh aku memperingatkan kau, Den Giran.
Engkaulah yang harus sadar dari mimpimu. Tuhan Maha Tau.. siapa sesungguhnya yang bersalah..”
Tiba-tiba wajah centeng tua ini berubah.. serta-merta menarik tubuh Ratna ke sisi.
Berbarengan dengan itu, tongkatnya membabat ke belakang. Maka terdengarlah teriakan melengking.
Mirta terpelanting ke tiang rumah.
Darah mengucur dari goresan luka di lengannya. Samolo mendengus dengan perasaan muak.
“Aku sudah kenal benar dengan watak Orai-Kadud-mu yang licik itu.. yang tak segan-segan membokong dari belakang.
Seperti beberapakali kau lakukan terhadap kakakmu, tapi selalu gagal, bukan.?”
Mendengar kata-kata Samolo itu, Giran agak tersentak.. lalu memandang ke arah Mirta..
yang tersandar di tiang memegangi lengannya yang berdarah.
“Bohong..! Itu bohong..!” Mirta membela diri dengan gugup.
“Aku benar-benar sedih, sejak Den-Besar wafat.. anak-anaknya telah jadi murtad.
Lebih sedih lagi hatiku, Den Muda yang kuharapkan bisa mewarisi martabat ayahnya..
ternyata sama piciknya dengan ibu dan adik-tirinya yang tamak, licik dan dengki itu.
Kasihan, arwah Den-Besar tentu tak tentram di alam baka..” kata Samolo dengan pedihnya.
Giran tertunduk. Kata-kata Samolo bagaikan menusuk-nusuk ulu hatinya.. terasa pedih menyakitkan.
Namun mendengar cerita ibunya tentang perbuatan centeng itu terhadap keluarganya lebih menyakitkan lagi.
Tak mungkin ia bisa memaafkannya, meski ia tau Samolo telah mengabdi berpuluh tahun pada keluarganya.
Ayahnya adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi norma-norma adat istiadat.
Terutama perihal kebajikan, hormat dan patuh serta bakti terhadap orangtua, adalah paling diutamakan..
dan kerap dijejalkan ke dalam hati sanubari serta jiwa Giran melalui nasihat dan petuahnya.
Sifat itu benar-benar sudah melekat sampai ke setiap sendi tulang sumsumnya.
Maka itulah sebabnya, sikap kukuh Giran yang sukar dilunakkan oleh siapapun.
Samolo sangat paham akan sikap tuan mudahnya ini.
Dalam hal lain, Giran sesungguhnya adalah seorang yang sangat lembut dan penuh belas kasih.
Namun dalam hal kebajikan dan bakti.. pendirian Giran tak bisa ditawar-tawar lagi.
Setiap penyelewengan norma-norma itu merupakan aib besar yang tak terampunkan baginya.
Karena memahami watak putra majikannya itu, maka Samolo pun merasa tak perlu lagi banyak bicara.
Ia berbisik kepada Ratna, “Neng, bawalah Girin, menyingkir secepatnya dari sini. Pergilah ke pondoknya Nyi Londe..!
Bila ada umur panjang, aku pasti akan menyusul ke sana, Cepat..!”
Dengan menahan tangis, Ratna lari menuju hutan jati. Didekapnya Girin erat-erat.
Sayup-sayup didengarnya pertarungan antara Samolo dan Giran mulai berlangsung dengan sengitnya.
Bunyi dentingan pisau beradu dengan tongkat bambu itu.. seakan-akan menyayat jantung Ratna.
Ia berlari terus, hujan dan guntur masih saja merajai suasana. Angin menderu-deru mengembus hutan jati.
Dan lebih mengerikan lagi.. ada sepasang mata yang terus mengintai..
dan mengikuti langkah Ratna serta anaknya itu dari balik pohon.
Bagaikan seekor Serigala lapar mengintai mangsa..
bayangan itu menyelinap dari balik pohon ke pohon lain dengan napas berdengus.
Matanya liar mencari kesempatan untuk menerkam kedua insan yang sedang dilanda ketakutan ini.
Keadaan di hutan jati itu benar-benar menakutkan Ratna.
Gelap mengerikan, hanya kadang-kadang diterangi oleh cahaya kilatan halilintar yang menggeletar di angkasa.
Ratna mulai kehilangan arah. Ia berhenti sejenak untuk mengatur napasanya yang memburu.
Lengannya tak pernah kendor mendekap Girin yang gemetar kedinginan dan basah kuyup terguyur air hujan.
Tepat pada saat itu, bersamaan dengan bunyi menggelegarnya halilintar dan kilatan cahaya yang menyilaukan..
melompatlah sesosok tubuh dari balik pohon ke hadapan Ratna.. membuat Ratna terkejut tak alang kepalang.
Tubuh Ratna jadi gemetar dan mulutnya pun terasa kelu.
Karena ia melihat dengan jelas, sosok bayangan yang tiba-tiba menghadang di hadapannya itu adalah Mirta.
Pemuda sinting ini dengan wajah cengar-cengir dan terkekeh-kekeh melangkah ke arah Ratna.
Matanya jalang menatap tajam ke arah ibu muda yang ketakutan ini.
Kaki Ratna terasa lumpuh. Ia memaksakan diri untuk melangkah mundur..
Lalu berbalik dan kabur sekencang-kencangnya dari situ. Mirta tersentak kemudian lari mengejar.
Ratna pontang-panting menerobos hutan jati yang amat lebat itu.
Mirta pun terus mengejarnya dengan berlompat-lompat seperti kera sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Pentungan kayu di tangannya diacung-acungkan.
Ratna makin erat mendekap tubuh Girin, lari tak tentu arahnya.
Sungguh malang ia jatuh tergelincir dan terguling-guling ke bawah tebing yang cukup curam.
Girin terlontar dari dekapannya dan tersangkut di tepi tebing itu.
Sementara Mirta sudah tiba di situ. Ratna kaget bukan main.
Tanpa menghiraukan rasa sakit pada tubuhnya, ia bergegas merayap naik ke atas tebing.
Tapi Mirta dengan sebelah kakinya telah menginjak tubuh Girin dengan terkekeh-kekeh di atas tebing itu.
Sedikit pun tidak ada rasa iba kepada bocah yang meronta dan menjerit-jerit di bawah kakinya itu.
Ratna menjerit sejadi-jadinya. Jantungnya terasa terhenti saat itu.
“Mirtaaa! Lepaskan anakku..!” Jerit Ratna sambil merangkak naik.
Tapi jatuh tergelincir lagi karena tebing tanah merah itu amat licin.
Mirta tertawa terbahak-bahak.
Lalu matanya berkilat-kilat menakutkan menatap Girin yang meronta-ronta di bawah pijakan kakinya.
Ia menyeringai dengan mulut berbusa. “Jahanam cilik ini pun akan jadi pewaris harta bapakku..!
Maka dia juga tidak boleh hidup lama-lama di dunia ini..”
Pentungan kayu itu diangkatnya tinggi-tinggi untuk dipukulkan ke kepala Girin.
Detik itu darah Ratna seperti membeku. Ia jadi histeris dan menjerit-jerit sejadinya.
Tepat pada detik itu.. tanah yang dipijak oleh Mirta tiba-tiba longsor dan tergulinglah ia ke dasar tebing itu.
Girin pun ikut terbawa longsor ke bawah.
Ratna bangkit dan meraih tubuh anaknya itu kemudian langsung dibawa kabur dari situ.
Mirta menggelepar sesaat lalu bangkit dan mengerang seperti hewan luka.
Matanya membara dan semakin liar. Kemudiaan ia lompat mengejar lagi.
Ratna sambil mendekap putranya menyelusup di antara pohon-pohon jati dengan napas terengah-engah.
Duri dan ranting-ranting tajam sudah tak dihiraukannya lagi.
Hujan masih turun dengan lebat. Halilintar sambung menyambung dengan hebatnya.
Hutan jati seakan-akan menjelma jadi sebuah alam khayal yang serba misterius dan menakutkan.
Ratna mengeluh di dalam hati, karena ia tersesat.. kehilangan arah ke pondok Nyi Londe.
Ya, Allah, ya Gusti..! Tolonglah kami..!” Ratap doanya di dalam hati.
Angin menderu-deru bagaikan suara rintihan setan-setan di neraka. Rasa takut mencengkeram Ratna.
Sambil menangis tersengguk-sengguh ia lari tak tentu arah lagi.
Tiba-tiba ia malah terserobok dengan Mirta yang sedang mencarinya. Pemuda kurang waras ini tertawa cekikikan.
“Baaaa! Kau balik lagi mau mencariku, Ratna..!? Hi.. hi.. hi..”
Ratna tersentak mundur. Dengan tatapan menakutkan Mirta melangkah mendekat..
Ratna tersandung akar pohon dan jatuh terjerembab. Mirta berlulut di sisinya.
Lengannya mencoba membelai rambut Ratna, tapi ditepis dengan perasan jijik oleh Ratna.
Mirta tertunduk, lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri.
“Kau masih secantik dulu.. Cintaku tak pernah padam, Ratna..! Meski kau selalu menolakku.
Aku memang tidak seberuntung si Giran keparat itu..!”
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------