BAGIAN 4
Bersamaan dengan tubuh Jalu yang melayang turun di tanah sejarak lima tombak, dari rerimbunan batang bambu melesat keluar dua sosok bayangan hijau meninggalkan rerimbunan batang bambu hijau yang porak poranda seperti dihantam angin puyuh. Dua sosok bayangan hijau selain menghindari lontaran pukulan jarak jauh yang dilancarkan Jalu, juga mempunyai maksud tertentu sehingga berdiri menghadang di depan.
Wutt! Wutt!
Jleg!
Dua sosok yang menghadang ternyata adalah dua gadis yang memiliki kecantikan setara. Yang sebelah kiri berambut panjang tergerai tanpa ikat kepala hingga rambut hitam panjang tersibak kesana kemari mengikuti tiupan angin. Belum lagi dengan sepasang mata yang lebar hingga terkesan galak membuat gadis cantik yang saat ini sedang merentang tali busur semakin cantik mempesona. Apalagi dengan sebuah tahi lalat di pipi kiri justru menambah kecantikannya. Kuning langsatnya kulit sangat kontras dengan baju hijau yang dipakai pada tubuh tinggi semampai tersebut.
Akan halnya gadis sebelah kanan berkulit putih bersih dengan rambut diikat pita hijau di kiri kanan, terlihat lebih tenang sarat keanggunan. Sepasang mata indahnya berbinar-binar dengan bulu mata lentik ditingkahi sebentuk hidung mancung terukir di atas bibir. Di tangan kirinya juga tergenggam busur, meski dalam keadaan tidak siaga seperti temannya.
Yang jelas, dua gadis cantik bertinggi badan hampir setara mengenakan pakaian hijau sama persis dengan yang dikenakan oleh Beda Kumala, gadis yang berada dalam panggulan Jalu Samudra.
Gadis sebelah kiri yang merentangkan anak panah berkata dalam bentakan, “Lepaskan dia!”
“Kalian kenal dengannya?” balik tanya Jalu.
“Kenal atau tidak, itu bukan urusanmu!” kata ketus gadis yang kiri.
“Kalau begitu ... aku tidak akan melepaskan dia,” kata Jalu sambil menyunggingkan senyum, pikirnya, “Cantik-cantik kok galak amat, ntar ngga dapat jodoh baru tahu rasa kau!”
“Dia ... teman kami,” kata lembut gadis sebelah kanan. “Tolong lepaskan, Beda ... ”
“Beda? Siapa yang beda?” potong Jalu dengan heran.
“Maksudku, gadis yang kau panggul itu bernama Beda Kumala, sobat,” terang gadis sebelah kanan.
“Ooo ... namanya Beda Kumala ... kukira ... ”
“Kau kira apa!?” bentak gadis sebelah kiri, “Cepat lepaskan teman kami atau tubuhmu bakal aku hiasi dengan anak panahku ini!”
“Waduh, jangan dong!” sahut Jalu dengan cengar-cengir, lalu sambungnya. “Apa kalian berdua ini teman gadis yang sedang terluka dalam ini?”
“Pemuda bego, apa matamu buta hingga kau tidak bisa melihat kami berdiri menghadang di depanmu?” bentak yang kiri dengan ketus.
“Gadis ini galak bener,” pikir Jalu, lalu ia berkata dengan tenang, “Maaf, aku memang buta sejak kecil, jadi tidak bisa membedakan kalian berdua teman gadis yang kutolong ini atau bukan?”
Gadis sebelah kiri menjungkitkan alis, matanya berusaha memastikan apa benar kata pemuda berbaju biru di hadapannya.
“Hemm ... matanya putih ... pasti benar ia pemuda buta,” gumam yang merentang busur, lalu dengan sedikit menggeser tubuh mendekati temannya, ia berbisik, “Bagaimana Ratih? Apa yang sebaiknya kita lakukan? Apa perlu kita rebut dengan kekerasan? Aku yakin lesatan anak panahku pasti tepat sasaran.”
“Jangan! Kukira pemuda buta ini tidak jahat. Buktinya ia mau menolong Beda Kumala hingga sampai ke tempat ini,” bisik gadis sebelah kanan yang ternyata bernama Ratih.
“Lalu sebaiknya bagaimana? Beda Kumala pasti sedang terluka dalam hingga terkulai pingsan seperti itu.”
“Kau tenang saja. Biar aku saja yang tangani.”
Ratih maju tiga langkah ke depan.
“Maaf ... kami berdua tidak tahu kalau ... ”
“Maaf diterima. Tidak masalah bagiku,” potong Jalu dengan agung-agungan. “Tapi yang jadi masalah, semakin lama aku ditahan disini, semakin cepat nyawa teman kalian pergi dari raganya. Dia keracunan!”
“Keracunan?”
“Benar.”
“Kalau begitu, cepat berikan Beda Kumala padaku, sobat.” kata gadis sebelah kiri, setelah mengetahui nyawa Beda Kumala berada di ujung tanduk akibat terkena racun.
Karena Jalu memang berniat mengerjai gadis galak itu, ia melanjutkan aksi jahilnya.
“Eit, tunggu dulu! Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan kalian berdua, maksudku ... kalau kalian memang satu perguruan dengan gadis ini dan memang benar-benar saudara seperguruannya.”
“Bukankah baju kami sama persis dengan baju gadis yang kau panggul itu?” kata gadis sebelah kiri sedikit kesal.
“Tinara, dia kan buta. Bagaiamana bisa melihat baju kita berdua?” sela Ratih.
Seakan baru menyadarinya, gadis galak yang bernama Tinara menepak dahinya.
“I ya juga!” katanya. “Duh, gimana nih?”
Ratih sendiri hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu harus berbuat apa. Sejenak Ratih dan Tinara terdiam. Bingung dengan apa yang harus dikerjakan oleh mereka. Di satu sisi teman mereka berada di ambang maut, di sisi lain juga bingung menghadapi kenyataan bahwa pemuda buta yang menolong temannya membutuhkan pembuktian bahwa mereka berdua benar-benar teman si gadis.
Dalam hati, Jalu tertawa ngakak.
“Rasain kalian berdua! Bingung nggak, tuh! Sekarang saatnya rencana kedua,” kata hatinya.
Sambil mengalirkan hawa murni ke dalam raga pingsan Beda Kumala untuk mencegah menjalarnya racun lebih dalam lagi, pemuda yang berjuluk Si Pemanah Gadis berkata, “Aku punya satu cara untuk membuktikan kalian satu perguruan atau tidak.”
“Bagaimana caranya?”
“Biarkan aku meraba tubuh kalian.”
“Apa!?” kata kaget Tinara dan Ratih hampir bersamaan.
“Aduh ... salah ngomong lagi, pikirannya jorok terus, sih ... ” pikirnya, lalu Jalu meralat perkataannya, “Maksudku ... biar aku meraba baju yang kalian pakai.”
“Kenapa harus meraba baju kami berdua?” tanya heran Ratih.
“Lho, katanya kalian satu perguruan!? Biasanya dalam satu perguruan kan punya lambang perguruan atau baju yang bahannya sama jenis. Jadi itu saja sebagai patokannya. Gampang khan?” sahut Jalu dengan diplomatis.
Ratih dan Tinara saling pandang satu sama lain.
“Ayolah ... waktunya tidak banyak lagi!” kata Jalu dengan nada mendesak, lalu dengan sedikit membual ia pun berkata, “Jika kalian tidak mau, biar aku bawa saja ke tabib kenalanku. Tapi aku tidak menjamin keselamatan temanmu yang bernama Beda Kumala ini, karena perjalanan bisa sampai sesorean.”
“Bagaimana, Ratih?” kata Tinara setelah mendengar bualan si Jalu.
Sambil menghela napas, Ratih pun mengambil keputusan.
“Apa boleh buat! Hanya itu caranya untuk membuat pemuda buta itu percaya pada kita.”
“Apa tidak ada cara lain?” kata Tinara.
“Apa kau punya ide lain, Tinara?”
Tinara hanya menggeleng pelan sambil berkata pelan, “Jadi memang hanya itu satu-satunya cara?”
Ratih mengangguk pasti. Gadis berkuncir dua itu tahu, bahwa meski orang buta tidak bisa melihat, tapi perasaannya lebih halus dan tajam daripada orang normal, terlebih lagi punya telinga super tajam.
Buktinya pemuda buta di depannya sanggup menghindari panah yang lepas dari busur mereka!
“Kau boleh meraba baju kami,” kata Ratih pada akhirnya.
Keduanya segera maju mendekat, sejarak satu jangkauan dengan Jalu Samudra berdiri.
Tentu saja pemuda berbaju biru itu bisa melihat dengan jelas dua sosok ramping gadis jelita yang ada di depan matanya.
“Tapi ingat, tidak boleh main-main!” ancam Tinara.
“Main-main bagaimana maksudmu?” tanya Jalu.
“Ya ... pokoknya tidak boleh main-main,” tukas Tinara, “Bodoh benar kau jadi orang?”
“Kalau salah pegang bagaimana?” tanya Jalu seolah bisa menebak ke arah mana pembicaraan gadis galak itu.
“Tanganmu bakal pisah dari badanmu!” kata Tinara sengit.
“Lho, aku kan buta, jadi untuk memegang suatu benda memang harus meraba-raba,” bela Jalu.
“Kau?”
Jalu hanya menjungkitkan alis.
“Baiklah,” dengus Tinara kesal pada akhirnya.
Jalu menjalankan aksi jahilnya dengan pura-pura memegang lengan baju Beda Kumala, lalu meremas-remas sebentar seperti merasakan tebal tipisnya kain.
“Lambang perguruan di sebelah mana?” tanyanya setelah meraba-raba bagian pundak dan lengan Beda Kumala.
“Di dada sebelah kiri,” jawab Ratih tenang. “Agak ke atas.”
Setelah meraba sana sini, akhirnya Jalu berhasil menemukan apa yang di carinya.
“Dadanya lumayan besar dan keras, meski kalah kelas dengan istriku, hi-hi-hik,” pikirnya nakal setelah tadi tangan kanannya ‘bermain’ di sekitar dada Beda Kumala.
“Sekarang giliran kalian.”
Ratih yang berada di sebelah kiri hanya diam saja saat tangan kanan Jalu menyentuh lengan, kemudian meremas-remas sebentar kain bagian lengan seperti halnya ia meremas lengan baju Beda Kumala.
“Emm ... jenis kainnya hampir sama,” kata Jalu. “Lambangnya di dada sebelah kiri, ya?”
Tanpa sadar, Ratih mengangguk pelan.
Dengan menelusuri sepanjang lengan kiri, tangan kanan Jalu bergerak pelan ke atas hingga mendekati bagian pundak. Begitu sampai disana, telapak tangan Jalu bergeser ke kanan kiri seakan mencari-cari sesuatu di atas gundukan kencang yang berada dibalik baju Ratih. Namun anehnya, pemuda itu hanya meraba-raba pulang balik di atas buah dada Ratih, seakan benda yang dicarinya memang tidak berada di sana atau memang sulit dicari keberadaannya.
“Duh ... lambangnya dimana sih? Susah amat carinya,” gerutu Jalu, padahal dalam hati ia senang tiada tara, “Wah ... dadanya masih kencang dan keras. Meski ukurannya tidak sebesar milik Beda Kumala.”
Dengan muka merah padam karena malu, tangan kanan Ratih memegang tangan Jalu, lalu meletakkan tepat di lambang Perguruan Sastra Kumala miliknya.
Plekk!
“Letaknya disini,” kata lirih Ratih.
Suara Ratih terdengar lirih, atau lebih tepatnya sedikit mendesis.
Meski cara Jalu meraba asal-asalan saja, tapi bagaimana pun juga ia seorang gadis yang belum pernah disentuh laki-laki yang tentu saja sentuhan tangan Jalu di atas dada sekalnya sebelah kiri menimbulkan desiran-desiran halus yang secara tidak sengaja membangkitkan kobaran api ragawi yang ada di dalam tubuh gadis itu. Dadanya berdebar-debar dengan kencang, bahkan degupannya makin kencang saat ia meraih tangan si pemuda buta dan meletakkannya secara langsung di atas dada kiri tepat dimana lambang perguruan yang dicari Si Pemanah Gadis.
Sett!
Seakan tanpa sengaja pula, Ratih sedikit menekan tangan nakal si Jalu!
“Ooo ... disini rupanya,” kata Jalu dengan enteng, setelah memegang-megang sebentar, “Lambang ini sama persis. Kalau begitu kau benar temannya.”
Si Pemanah Gadis mengangkat tangannya dari atas dada sekal milik Ratih.
“Sekarang giliranmu,” kata Jalu sambil menuding ke sisi kosong di kiri Ratih.
Memang disengaja sih!?
“Dia di sisi kananku,” kata Ratih semakin lirih.
“Ooo ... aku salah tunjuk kalau begitu,” kata Jalu malu-malu.
Baru saja ia berniat mengulurkan tangan, Tinara berkata, “Bukankah tadi kau sudah membuktikan kalau temanku Ratih memiliki jenis kain dan lambang yang sama persis dengan milik Beda Kumala, jadi otomatis aku pun pasti memiliki jenis kain dan lambang yang sama pula, bukan?”
“Hemm, gadis ini cerdas juga,” pikir Jalu, tapi mulutnya berkata lain, “Belum tentu juga! Bisa saja itu hanya alasanmu untuk mengelabui diriku!”
“Sudahlah, Tinara! Waktu kita tidak banyak,” kata pelan Ratih, karena ia berusaha menenangkan debaran dadanya.
“Bagaimana? Diteruskan tidak?” tanya Jalu.
“Terserah kau sajalah,” sahut Tinara sambil mengangsurkan tangan kanan dengan maksud agar si pemuda langsung menyentuh kain bajunya sehingga tidak meraba-raba seperti apa yang dilakukan pada Ratih. Namun, gerakan tangan menjulur Tinara bersamaan dengan gerakan Jalu mengarah ke dada montok sebelah kiri milik Tinara.
Plekk!
Tangan kanan Jalu tepat mendarat di dada montok Tinara!
Bukan hanya menyentuh, tapi telapak tangan Jalu sedikit menekuk membentuk mangkuk hingga menangkupi penuh di atas dada Tinara disertai dengan sedikit remasan lembut.
“Kau!?”
Hampir sama Tinara menampar jika tangan kanannya tidak dipegangi oleh Ratih.
“Ingat, nyawa adikmu ada di tangannya,” bisik Ratih.
Mendengar hal itu, Tinara mendengus kesal meski selebar wajah cantiknya merah padam karena malu. Sedang Jalu sendiri dengan lagak seperti orang buta, menjelajah kemana-mana dengan bebas. Tentu saja pemuda itu bisa melihat bagaimana tangan gadis galak itu hampir menampar tangannya, namun ditahan oleh Ratih.
“Huh, mau main-main denganku?” kata hati Jalu.
Dengan masih meraba-raba di atas dada kiri Tinara, Jalu Samudra menggunakan hawa lembut yang disalurkan lewat syaraf-syaraf jari hingga menerobos masuk ke dalam tubuh Tinara tanpa disadari oleh yang bersangkutan.
Serrr ... !
Api birahi langsung berkobar dahsyat di dalam diri Tinara hingga membuat napas gadis cantik berbaju hijau sedikit memburu disertai keringat halus dingin keluar dari dahi. Tinara kelihatan agak gelisah terlihat dengan cara berdirinya yang tidak tenang. Bahkan badannya terlihat sedikit menggeliat dan dari mulutnya terdengar desahan setiap kali tangan Jalu menggeser-geser halus seperti menyentuh dan memijit lembut dadanya.
Belum lagi dengan debaran jantung yang mengencang bagai tambur yang dipukul bertalu-talu. Meski gadis cantik itu pernah disentuh bahkan bercinta dengan laki-laki, tapi selama hidupnya belum pernah ia merasakan nikmat yang seperti dirasakan sekarang ini. Rasa nikmat terus menjalar ke seluruh tubuh, hingga syaraf-syaraf halus dalam tubuh bergetar nikmat. Bahkan matanya sedikit sayu menikmati kenakalan yang dihadirkan oleh Jalu Samudra.
“Edan! Meski cuma meraba-raba saja, aku bisa merasakan kenikmatan tiada tara,” kata hati Tinara. “Baru kali ini aku seperti hal seperti ini!”
“Hemm, dadanya lumayan padat dan kencang, kukira ukurannya tidak jauh beda dengan milik temannya yang bernama Ratih itu,” pikir Jalu dalam hati, diluarnya ia berucap, “Lambangnya sebelah mana, dari tadi kucari tidak ketemu?”
Seperti halnya Ratih, Tinara segera meraih tangan Jalu yang masih bergerilya kemana-mana sambil berkata dalam desah, “Disini ... ”
Sett!
Tanpa malu-malu lagi, Tinara justru menekan tangan Jalu agar tetap melekat di ‘masa depan’-nya yang membusung kencang!
Setelah memegang-megang sebentar seolah memastikan lambang perguruan, barulah Jalu berkata, “Lambangmu sama persis dengan milik temanmu dan Beda Kumala. Aku baru percaya sekarang bahwa kalian bertiga adalah teman satu perguruan.”
Jalu berkata sambil mengangkat tangannya dari atas dada montok Tinara.
Saat diangkat, Jalu merasakan bahwa Tinara seakan tidak rela jika tangannya dilepas dari atas dadanya.
Meski tidak terlalu kelihatan, namun Ratih melihat bahwa Tinara begitu menikmati tangan jahil pemuda buta itu.
“Silahkan kalian bawa teman kalian,” kata Jalu sambil mengangkat turun tubuh pingsan, dipondong dan sedikit diangsurkan ke depan, entah kepada Ratih atau Tinara.
Seperti satu hati, Ratih dengan sigap menerima tubuh pingsan Beda Kumala, dan diletakkan di pundak kanan.
“Tinara, aku harus secepatnya kembali ke perguruan untuk mengobati luka Beda, dan tolong kau bawakan busur panahku,” kata Ratih sambil menyerahkan busur panahnya pada Tinara dan dibalas dengan anggukan lemah sambil menerima busur milik Ratih. Tanpa menunggu jawaban dari mulut kawannya, Ratih segera melesat menggunakan jurus peringan tubuhnya, beradu cepat dengan waktu yang semakin sempit.
Blassh!
Tubuh gadis berbaju hijau langsung melesat cepat seperti anak panah lepas dari busur hingga membentuk sekelebatan bayangan hijau yang sebentar saja sudah membentuk setitik kecil hijau di kejauhan.
“Nah, karena kawan kalian sudah aku serahkan, sekarang aku mohon pamit,” ucap Jalu sambil berjalan ke arah berlawanan, tentu saja tongkat kayu hitamnya langsung berperan sebagai penunjuk jalan bagi orang buta. Kalau ia langsung ngeblas begitu saja, tentu bakalan ketahuan kalau tadi ia hanya membohongi dua gadis dari Perguruan Sastra Kumala itu.
Sudah meraba-raba dada montok dua orang gadis sekaligus, sekarang mau ngacir begitu saja?
Benar-benar pemuda berotak kancil!
Baru berjalan tiga langkah di muka, Tinara berkata pelan, “Kau harus ikut denganku.”
“Lho, memangnya kenapa?” tanya Jalu sambil menghentikan langkah.
“Kau harus mempertanggungjawabkan kenakalan tanganmu!” ujar Tinara dengan sedikit ditekan.
“Wahh ... tanggung jawab bagaimana?”
“Pokoknya kau harus tanggung jawab. Titik!”
“Apa itu harus?”
“Harus dan wajib kau ikuti!”
“Bagaimana jika ... aku tidak mau!?”
“Maka anak panahku akan menembus batok kepalamu!”
“Jadi ... mau tidak mau aku harus ikut denganmu.”
Jawaban yang diberikan Tinara adalah ... langsung merentang busur lengkap dengan anak panahnya!
Dengan muka senyum tak senyum, Jalu pun harus pasrah dengan keinginan gadis galak itu.
“Baiklah, aku ikut denganmu. Tapi ... ”
“Tidak ada tapi-tapian!”
Tali busur semakin merentang ke belakang.
“Maksudku, kalau kau tidak menunjukkan jalan mana yang harus aku lewati, mana bisa aku sampai di tempatmu?” tanya Jalu. “Kalau aku bisa melihat, tentu aku akan ikut denganmu tanpa kau suruh.”
Tinara segera mengendorkan tarikan panah.
“Ikuti langkahku!” kata Tinara sambil berkelebat pergi.
Wess!
Jalu pun mengikuti arah lesatan gadis galak itu, namun baru beberapa langkah ...
Jdukk! Brukk!
Kepalanya membentur pohon dan otomatis ia jatuh terjengkang.
“Wadaoo ... “ teriaknya kesakitan sambil tangan kiri mengelus-elus jidat.
Mendengar suara jeritan, Tinara kembali ke tempat semula. Dilihatnya pemuda bertongkat hitam terkapar di tanah sambil mengelus-elus jidat.
“Tingkah apa lagi yang dikerjakan si buta sinting ini,” pikir Tinara. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya heran.
Bukannya menjawab, malah Jalu balik berkata, “Aku jangan ditinggal begitu saja.”
“Kamu kan tinggal mengikuti aku saja? Apa susahnya!?”
“Ya begini ini susahnya jadi orang buta. Menderita melulu,” keluh Jalu. “Ngga orang cakep, ngga orang jelek. Ngga orang kaya, ngga miskin ... sama saja, memperlakukan diriku dengan seenak perutnya sendiri!”
Tinara tersenyum saja melihat gerutuan pemuda buta berbaju biru itu.
“Sudahlah! Aku minta maaf! Aku lupa kalau kau buta!” kata Tinara sambil mendekati si Jalu, membantunya bangun dari tempatnya terkapar.
“Biar aku tuntun saja.” katanya sambil meraih tangan kiri si pemuda.
“Naah ... gitu dong! Itu baru benar!” tukas Jalu cepat.
Namun baru saja ucapan terlontar dari mulut, tubuh pemuda itu langsung pontang-panting mengikuti tarikan tangan Tinara langsung mengerahkan jurus peringan tubuh untuk menyusul Ratih yang telah terlebih dahulu kembali ke perguruan.
Lapp! Lapp!
“Gadis edan! Tanpa permisi langsung lari begitu saja,” kata hati Jalu sambil pura-pura mau jatuh, namun gadis yang menyeretnya mana mau peduli dengan keadaan diri pemuda itu.
--o0o--