Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tergoda Gio

Klimaks​


Di bawah guyuran air shower yang dingin, aku berusaha meredakan api birahi yang membakarku dari dalam. Bayang-bayang kejadian kemarin dan hari ini berkelebatan di benakku. Aku pukul dinding kamar mandi ber-tile kotak putih. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa membiarkan perbuatan yang tak bermoral dan tak pantas itu terjadi. Aku merasa bersalah. Aku istri dan ibu yang buruk.

Usai mandi. Aku mengeringkan tubuhku dan memakai baju langsung di kamar mandi. Aku khawatir jika aku keluar dengan handuk, nanti Gio akan berbuat yang macam-macam. Anak itu mungkin sedang memasuki musim kawin dan ingin berkopulasi macam monyet pantat merah. Tetapi kenapa dia tertarik dengan Gempi atau aku. Sementara dia bisa mendapatkan gadis semacam Rara yang seksi dan menggairahkan.

Saat aku keluar kamar mandi, sudah kuduga, Gio ada di meja makan menyantap kacang ijo. Aku yakin ia hanya pura-pura untuk menungguku keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk untuk ia telanjangi dengan matanya. Bahkan detik ini aku dapat merasakan kedua matanya mengikutiku.

Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Kududuk di depan kaca rias dan mengelap rambutku yang basah sambil merenung. Apa sih yang Gio lihat dariku? Aku sudah tua, kulitku saja sudah mulai mengendur. Usiaku kepala 4. Mekiku, harus aku akui sudah tak sekencang waktu aku masih perawan.

“Tok! Tok! Tok!” suara pintu kamarku diketuk.

Jantungku langsung melompat dan berdebar.

“Ada apa?” tanyaku setengah berteriak dari jauh.

“Ma… boleh masuk?”

“Mau apa masuk?”

“Mau ngomong saja.”

“Ngomong apa?” tanyaku.

Diam tak ada jawaban.

“Tentang tadi siang.”

Pipiku langsung panas dan merah. Aku malu mengingatnya.

“Gak ada yang perlu dibicarain.”

“Ma… plis… Gio harus ngomong.”

“Gak ada yang harus diomongin, Gio!”

“Gio mau minta maaf, ma.”

Aku menghela nafas. Berpikir sejenak. Lalu berjalan menuju pintu. Kuputar knob dari dalam, kunci otomatis terbuka. Gio berdiri di hadapanku. Putraku hanya memakai celana pendek ketat dan kaos oblong. Tubuh atletisnya, lebar pundaknya dan wajah gantengnya membuat darahku berdesir. Padahal aku sudah sering melihatnya jutaan kali. Mengapa kali ini berbeda? Aku benci perasaan yang galau ini .

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” kataku, “kita sama-sama berbuat kesalahan. Biar ini menjadi rahasia kita berdua.” Aku usap pipinya. “Jangan ulangi lagi, ya.”

Gio hendak memegang tanganku. Tapi aku langsung menariknya. Gio menunduk, mengangguk, lalu pergi.

Aku menutup pintu. Pikiranku berputar-putar seperti tersesat. Jempolku hendak menekan tombol pengunci pintu, namun aku urung.

Aku berjalan menuju lemari pakaian. Jeduk… Kutempelkan jidatku ke pintunya dan menghela nafas. Leherku bergerak-gerak menelan ludah. Malaikat dan setan seakan sedang berbicara di telingaku dengan bahasa yang tak kupahami, namun daya bujuknya menarikku ke kiri dan ke kanan. Pintu lemari aku buka. Kuambil lingerie satin pemberian suamiku, yang sangat pendek dan terbuka itu. Kuganti pakaianku. Lalu kumatikan lampu dan berbaring menyamping di atas kasur.

Mengapa aku memakai lingerie haram ini? Ah, kau sudah tahu alasannya, jangan munafik, seolah-olah kau wanita yang polos. Aku berkelahi dengan pikiranku sendiri. Aku menggigit-gigit kuku jari telunjuk. Hati kecilku berharap sesuatu yang terlarang. Aku tak dapat memejamkan mata karena gelisah.

Satu jam berlalu, dua jam berlalu. Tidak terjadi apa-apa. Mataku mulai sayu.

Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Suara langkah kaki tanpa alas semakin mendekat. Orang itu duduk di pinggir tempat tidur. Aku kembali awas dan tegang.

“Mama dah tidur?” tanya Gio.

“Belum…,” jawabku, “Kamu ngapain di sini.”

“Gio gak bisa tidur ma, kepikiran mama.”

“Mama juga gak bisa tidur.”

“Apakah Gio boleh tidur bersama mama?”

Aku tegang memikirkan jawabannya. Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu, seolah-olah aku menginginkannya.

“Mama marah?” tanya Gio.

Aku menggeleng.

Jantungku berdebar merasakan berat tubuhnya yang merebah di belakang punggungku. Sepasang dada yang keras dan besar menekan punggungku. Jemarinya menyusuri pinggangku, melekuk ke perut, memelukku. Aku menelan ludah. Apa yang akan dia perbuat?

Tapi Gio tidak berbuat apa-apa. Mungkin karena hasil wejanganku tadi untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Memekku menggelitik, tapi tak digaruk. Aku merasa kentang

“Gio….”

“Ya, ma?”

Aku menurunkan celana dalamku setengah paha.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku gugup.

“Hah….”

“Gio lakukan sesuatu, plis,” mohonku. Aku pasti terdengar desperado.

Tak lama aku merasakan tangan Gio menjamah bokongku, meremas-remasnya, memijahnya melingkar. Lalu sesuatu mulai mendesak di antara belahan pantatku.

Ach!

“Gioh…,” desisku. Ia fingering vaginaku.

Usapannya pelan menggodaku.

“Oh ya sayang, itu rasanya nikmat….,” ujarku. Aku tak percaya aku berkata itu kepada anakku. “Gio lakukanlah dengan kasar dan cepat.”

“Seperti ini?”

“YAA! AHH! GIO! YAAA! begitu sayang.”

Gio mengaduk-aduk memekku selama 3 menit dengan kecepatan penuh. Hingga akhirnya aku tak bisa lagi menahan diri. Mekiku meledak! Tubuhku kelojotan berkali-kali. “Gioohh….!”

Sial… anakku sendiri membuatku klimaks…. unghhh! Tapi rasanya begitu nikmaaat. Apa yang harus kulakukan. Aku menginginkan ini! Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin jadi BINATANG JALANG!

Aku buka CDku, mengambil posisi dan mengangkang di depan anakku. Aku merasa aku adalah Kotak Pandora. Jika Gio membuka kuncinya, aku khawatir aku tidak akan menjadi orang tua yang sama seperti sebelumnya.

“Kamu mau entot mama?” tanyaku.

Gio melongo melihat vaginaku.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Buka semua bajumu… Mama mau lihat kamu telanjang…,” perintahku.

Setiap detik terasa bergerak slow motion saat Gio menarik lepas kaosnya, memperlihatkan setiap jenjang tubuhnya yang uuuhhh… kekar itu. Ia turunkan celana pendeknya hingga rudal kapal selam yang bulat, besar dan panjang itu melompat keluar.

Gio mendekatiku. Dag dig dug aku dibuatnya. Jemari-jemarinya menyusuri paha bagian dalamku. Kemudian dia menindihku. Aku merasakan berat tubuhnya menekanku. Kami saling pandang, sebelum ia tancapkan rudal kapal selamnya ke lubangku. Blesssss!

“AAaahh….,” lenguhku. Aku tak dapat melukiskan rasa momen-momen batang itu mendesak masuk dari ujung sampai habis, rasanya seperti wilayah yang kena takluk Kaisar Romawi. Mataku merem melek. Mekiku terasa penuh.

“Mama, jadi beginikah rasa vaginamu…,” ujar Gio.

“Apakah selama ini kamu penasaran dengan vagina mama, sayang?”

“Ya.”

Gio memompaku ganas. Dia begitu bertenaga dan perkasa.

Astaga, orang tua macam apa aku ini. Tetapi di sisi lain orang tua mana yang tidak mau dientot oleh anak seperti Gio. Setidaknya aku sih mau.

“Aaahh…ah..ahh..ahhh…,” lenguhku.

Kami bertempur hebat sampai tempat tidur berdecit-decit.

Gio sedang membawaku menuju ke langit ketujuh. Ketika tiba-tiba hapeku berdering.

Aku lihat siapa yang menelpon malam-malam begini.

Ternyata Suamiku.

“Gio mama mau angkat telpon.”

Tapi Gio tidak menghiraukanku.

Aku gapai telpon itu dan aku angkat.

“Ya… hai.. Apa kabar… kenapa menelpon?”

“Aku kangen saja,” jawab suamiku, “Hei, apakah kamu baik-baik saja. Kamu terdengar terengah-engah.”

“Ya.. aku habis berolahraga,” jawabku berusaha menahan nikmat, “Bagaimana Gempi?”

“Oh dia bersenang-senang, mewawancarai beberapa pramugari, mengamati kopilotku, dan lain-lain. Kau tahulah Gempi.”

“Baguslah.”

Gio menurunkan tali lingerie di bahuku, dan mengekspos dadaku. Ia berpegangan pada payudaraku sambil memompa tubuhku. Aku menggigit bibirku menahan rasa. Jangan sampai aku bersuara melenguh.

“Aahhhh…” Tapi aku tak kuat menahan.

“Hei… apa kamu sedang sibuk?” tanya suamiku dengan nada curiga.

“TIDAK! Oh… mmm maksudku tidak… aku hanya baru akan tidur.”

“Oh ya baiklah, kalau begitu selamat tidur sayang. Muaah.”

“Muaah,” balasku.

Aku menutup hapeku.

Setelah hape itu kututup, kami langsung berciuman panas dengan lidah. Aku mencakar-cakar punggungnya, meremas-remas seprai. Sampai akhirnya mekiku “meledak” untuk kedua kalinya. Kali ini setara dengan kekuatan kosmos. Seluruh otot tubuhku mengejang tak karuan. Aku tak dapat berpikir selama beberapa detik selain merasakan kenikmatan yang tak dapat terlukiskan ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd