Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Tergoda Gio

Jurnal yang Mengejutkan​

Apa rasanya bangun di kasur, telanjang, tanpa sehelai benang pun, dengan anak sendiri yang juga bugil di sebelahmu. Bencana! Rasanya seperti bencana tsunami, gempa, gunung meletus, longsor, hujan meteor dan ratusan planet meledak dalam skala kosmik terjadi pada saat bersamaan, dan… dan…

“Apa yang telah kita lakukan, Gio!!!!!!” Ini tidak mungkin terjadi. Ini gila!

“Kenapa ma? Semalam itu indah.”

Gio menyingkirkan selimutnya, memperlihatkan batangnya yang tegak menjulang bak menara Burj Khalifa.

Yang kutahu, 5 menit kemudian aku mendesah-desah, di kamar mandi di bawah pancuran shower, dengan posisi aku menungging dan dia mendoggy-ku.

Aku sudah tak bisa lepas dari Gio. Rasanya dia sudah seperti candu. Ini kesalahan besar dan aku mengulanginya lagi dan lagi. Bagaimana semuanya bisa terjadi?

Sore hari suamiku dan Gempi pulang. Mereka berdua menumpang taxi burung biru , perusahaan yang akhir-akhir ini tercekik membiru oleh serangan transportasi online.

Aku dan Gio menyambut mereka di pintu gerbang. Ada perasaan bersalah di hatiku ketika melihat suamiku. Karena aku telah berselingkuh dengan anak kami. Sementara Gio, ia tampak ringan, biasa-biasa saja. Anak sial. Dia seharusnya merasakan perasaan yang sama. Dia yang menggodaku!

“Mama…,” panggil Gempi. Kami saling mengulurkan tangan, berpeluk kangen.

“Baru berpisah 3 hari sepertinya kamu sudah bertambah tinggi saja,” komenku.

Kami cipika-cipiki..

“Apa kabar, ma?” tanyanya tersenyum.

“Mama, baik. Bagaimana hasil observasinya?”

“Luar biasa, aku mendapatkan banyak data.”

“Sukses donk?”

“Iya donk.”

Gio datang hendak memeluk Gempi. Tapi Gempi melangkah ke samping cepat, menghindar dengan elegan, sambil mengangkat kepalanya, memberikan tampang sombong seperti seorang bangsawan enggan bersentuhan dengan rakyat jelata miskin nan kotor, kemudian ia berjalan melewati Gio.

Sikap itu bukan tanpa konsekuensi. Gio memutar lengannya satu putaran sebelum, “Ceplak!” menabok pantat adiknya. Gempi melompat terkejut, lalu berbalik ½ badan dan memicingkan matanya, memasang wajah yang berkata, “Awas nanti, akan kubalas.” Sementara Gio tertawa melihat tampang adiknya. Karena berhasil memancing reaksi yang dia inginkan.

Gio berjingkat-jingkat, bahunya jungkat-jungkit, dengan dua jari telunjuknya mengayun-ayun tepat di depan wajah Gempi, seakan menantang, “Kejar aku, kejar aku.” Gempi terpancing dan mengejar kakaknya masuk ke dalam, meski dengan susah payah, karena ia sedang menggondol dua tas yang kelihatannya cukup merepotkan.

Aku memeluk suamiku. Lalu membawakan sebagian dari barang-barangnya. Kupeluk lengannya dan kubawa dia masuk.

“Bagaimana perjalanannya?” tanyaku.

“Luar biasa seperti biasa. Dan dengan Gempi, menjadi tambah luar biasa.”

“Syukurlah.”

Kami berdua duduk di sofa. Kami melepas kangen. Aku sudah menanti-nanti kenakalan suamiku setiap kali pulang kerja. Namun kali ini ia seperti api yang padam. Kuraba pahanya naik menuju penisnya.

“Jangan,” cegah suamiku.

“Kenapa, ada apa?”

“Aku sedang tidak mood.”

“Tiga hari kita berpisah, kamu tidak mood?”

“Ya. Aku tak tahu, tapi aku merasa seperti baterai yang kehabisan catu daya. Benar-benar low.”

“O. Mungkin kamu terlalu capek bekerja. Apalagi harus extra menjaga Gempi.”

“Ya..mungkin juga. Aku akan mandi, makan malam, dan langsung istirahat.”

“Ok.”


Keesokannya. Burung gereja berciap-ciap di luar. Lebih tepatnya dari plafon luar dekat kamar Gempi. Mereka melubanginya dan beranak-pinak tanpa bayar sewa di sana.

Kamar Gempi masih gelap, meski di luar sudah siang. Gorden jendelanya masih tertutup rapat.

Gempi terkapar di depan laptop di meja belajarnya. Kepalanya tergeletak di atas lengan kanan. Tidak lupa ilernya ngeces dari sudut bibir. Dia pasti mengetik semalaman lagi. Tak heran dia sukar dibangunkan. Kudorong kursi direkturnya bersama dengan dirinya ke pinggir tempat tidur. Lalu kumiringkan seperti kuli menuang adukan semen dari kereta sorong. Tubuhnya terhempas sebagian ke kasur. Sisanya harus kuangkat naik. Untunglah Gempi tak begitu berat.

Kulihat laptopnya masih menyala. Aku kembali ke meja, hendak kumatikan. Tapi hemm… dia belum menutup file-nya. Mungkin aku bisa melihat sedikit isinya. Tidak apa-apa bukan? Aku kepo, kira-kira dia mengetik apa. Hemm… di sudut kiri atas terdapat judulnya, “Jurnal” beserta tanggal saat dia sedang pergi bersama papanya. Aku scroll, scroll. Kukira isinya akan seperti novel dan ada penggalan paragraf yang menarik untuk kubaca. Ternyata Hoammm…hanya data-data hasil observasi. Mataku langsung terasa berat. Memang hanya si walang kekek yang mampu menikmati data-data semacam ini dan mengolahnya menjadi sebuah rangkaian cerita yang seru.

Aku scroll sampai bawah, tidak ada yang spesial. Sisanya hanya halaman kosong, halaman kosong, halaman kosong lagi. Hemm… tapi kok di scrollbar menunjukkan masih ada beberapa halaman lain. Ah, mungkin hanya spasi yang kebanyakan. Iseng, aku lihat lebih ke bawah lagi.

Aku terkejut. Masih ada tulisan. Lebih terkejut lagi saat mataku membaca:

Papa mengambil keperawananku di ruangan Crew Rest Compartments atau CRCs.

Ruangan itu dipakai untuk para awak pesawat untuk beristirahat. Ruangan yang memiliki delapan kompartemen lengkap dengan matras, empat di kiri dan empat di kanan. Kedua sisi terpisah oleh satu jalur lalu lalang, selebar satu setengah panjang lutut orang dewasa. Ruangan ini berada di dibalik sebuah pintu kecil terhubung dengan anak tangga memutar ke atas. Lebarnya hanya muat untuk satu orang dewasa. Bisa dibilang mirip ruang rahasia.

Papa mengajakku tiduran di salah satu kompartemen untuk mengalami rasanya tidur di sana. Kompartemen itu sederhana dan compact, bahannya terbuat dari plastik atau mungkin fiber bermutu tinggi. Ada satu lampu bulat kecil yang terang di langit-langit, bisa sebagai lampu baca, Bantal dan guling juga tersedia. Ukuran kompartemen itu cukup untuk dua orang dewasa kalau mau diempet-empetin seperti sardin.

Awalnya papa menjelaskan fungsi ruangan itu dan lain-lain. Kemudian ia menarik sebuah gorden tebal, menutup kompartmen kami, saat tertutup full, suara dari luar tidak lagi begitu kedengaran.

Awalnya papa menyentuh lututku sambil ia terus bicara ini dan itu. Aku tak berpikir macam-macam. Namun tangannya perlahan naik,menyingkap rokku. Ia meraba-raba paha sisi dalamku. Aku bertanya, “Papa ngapain?” Perasaanku tidak karuan. Aku bisa menebak ini arahnya kemana. Ia tak menjawab dan menyentuh ituku. Aku bingung. Jadinya aku terdiam dan membiarkan papa mengusap-usap milikku. Rasa itu mulai menguasaiku. Terlebih ketika jemari papa bergerak semakin cepat. Aku berusaha mengingatkannya, "Papa, jangan…." tapi dia mengindahkanku dan malah menjenjangi leherku, merangsangiku. Aku hanya bisa mengalah dan melenguh. Posisinya sebagai papaku membuatku tak berani untuk melawannya. Apalagi ketika dia memasukkan tangannya kedalam celana dalamku. Mekiku bergesekan dengan jemari papa, kulit bertemu kulit. "Papa… ingat mama…" Aku mencoba memberikan perlawanan terakhir. Namun yang ada ia semakin merapatkan tubuhnya. Ia mendominasiku dengan kelaki-lakiannya. Dan akhirnya…. seluruh otot dan sediku menegang, tubuhku terpaksa mencapai klimaks…. Kepalaku terasa ringan. Saat aku berada di puncak, papa terus memijat mekiku sampai pantatku terangkat. Aku tak dapat menahan rasanya yang mengalir di lubang kewanitaanku. Parahnya ia tidak berhenti sampai di situ. Papa mengeluarkan batangnya. Aku melihatnya tepat di depan mataku. Ia memerawaniku.


Membaca jurnal Gempi aku menjadi sangat marah. DUASAAAARRRRR PREDATORRRRRR! Akan kuporak-porandakan, luluh-lantakkan, binasakan laki-laki itu. Pantas pas pulang dia tidak mood denganku. Ternyata di indehoi dengan putriku tersayangku.

Saat aku hendak keluar kamar, Gio masuk ke dalam kamar. Dia menghalangi pintu.

Gio, mama sedang tidak mood. Jangan macam-macam. Mama ada urusan dengan papamu.

“Mama, jangan marah seperti itu… nanti cantiknya hilang,” gombal Gio.

“Apa sih, jangan merayu mama. GAK MOOD! Sekarang MINGGIR!” ujarku setengah berteriak.

Shhhhhtt… Gio menaruh telunjuknya di bibirku. “Jangan berkata begitu.”

Aku tepis telunjuknya. “Apaan sih!” Aku paksa untuk meraih gagang pintu. Tapi Gio langsung menghalangi gagang itu dengan badannya.

“Sabar dulu ma, sabar. Kayak Gio si bayi besar,” candanya. Gemas aku dibuatnya. Sedetik sempat aku berpikir untuk menendang anunya. Tapi khawatir kalau itunya terluka, bahkan patah mungkin. Lalu aku bagaimana?

Tiba-tiba suamiku masuk kamar.

Nah ini dia! Hari ini akan kukuliti kulitmu hai buaya darat!

“Papa keterlaluan!!!” bentakku sambil menunjuk mukanya.

“Sabar ma, ih!” Gio menurunkan tanganku dan memegang lenganku, mencoba memisahkanku dengan papanya.

“Papa keterlaluan kenapa!?” tanyanya dengan tampang inosen.

“Masih nanya lagi!” Jengkel banget aku. Kayak Gio saja, sudah bersalah tapi sok seperti orang tak salah. “Kamu… kamu…. fuck Gempi! Kamu nodai Gempi!”

Aku terobos badan Gio, kuinjak kakinya, dan kudorong ke samping. Gio pun kehilangan keseimbangan dan menabrak tembok.

Aku pukul-pukul dada suamiku dengan keras, sampai bunyi dag dug dag dug. “Kamu tega! Kamu fuck Gempi!” teriakku, tak dapat menahan emosi. ”

“Hei, hei, stop.” kata suamiku.

“Ma, ma udah ma…,” tiba-tiba Gempi memeluk pinggangku.

“Gempi! Kamu tak apa-apa sayang.” Aku membungkuk dan mengusap wajah buah hatiku. “Gempi… benarkan papamu sudah berbuat tidak senonoh ke kamu,” tanyaku langsung. Biar korban langsung bersaksi. Dan terdakwa tidak dapat lagi beralasan macam-macam.

“Gak, papa, gak apa-apain Gempi.”

“Hah!? Gempi, jujur sama mama. Jangan takut. Apakah papamu mengancammu?”

Tanpa menunggu jawaban Gempi, aku pandang suamiku. “Berani kamu mengancam Gempi!!!”

Belum tahu dia, kalau induk betina sudah marah. Aku keluar kamar, pergi ke dapur dan mengambil Golok Pemutus Terong. Aku balik lagi dan mengayun-ayunkan golok itu ke suamiku.

“E..e.e.e.e.e.ee… sabar ma, sabar,” kata suamiku. “Ma! Dengarkan dulu penjelasanku!”
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd