begawan_cinta
Guru Semprot
- Daftar
- 27 Oct 2023
- Post
- 565
- Like diterima
- 9.698
"Mau minum kopi apa teh, sayang...?" tanya bidan Menik padaku membuat aku tersadar dari lamunanku. "Awas lho, jangan minta yang macem-macem ya, nggak ada susu, aku sudah nggak menghasilkan susu..." katanya mencandai aku.
"Hiks..." aku melemparkan pantatku duduk di sofa panjang yang terdapat di ruang tengah menghadap ke sebuah layar televisi LED berukuran 90 inci.
Sebentar kemudian bidan Menik yang sudah melepaskan kerudungnya sudah menghidangkan aku segelas kopi hitam dengan sepiring kue berisi macam-macam kue dan ia sendiri minum air biasa.
"Ayo dimakan, jangan dilihat saja..." katanya duduk di sampingku.
"Aku ingin memandang Bu Bidan saja," kataku. "Seandainya nanti aku mendapat istri seperti Bu Bidan..."
"Ada kamu, rumahku jadi ramai, ada yang ngajak aku bicara, ada yang menggoda aku..." jawab bidan Menik.
Tiba-tiba aku menggenggam tangan bidan Menik, sewaktu aku sadar, buru-buru aku melepaskannya. "Maaf..." kataku. "Aku terharu dan ikut prihatin, seandainya aku diberi kesempatan oleh Bu Bidan untuk menemani Bu Bidan..."
"Hii... ngurus orang sakit...?" godanya. "Boleh..."
Saat itu rasanya ingin aku peluk bidan Menik, tetapi aku tidak mempunyai keberanian.
Kuhirup kopi seteguk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. "Ah... Bu Bidan menggoda aku..." kataku.
"Ya kan?" jawabnya. "Kalo kamu mau mendampingi aku hidup, bisa apa lagi aku, aku sudah tua... sebentar lagi umurku sudah 45 tahun..."
"Nggak kok..." jawabku. "Bu Bidan cantik..."
"Ha.. haa..." tawanya berderai mengisi ruang rumahnya yang sepi sesepi dirinya.
Kupeluk bidan Menik. "Nanti pacarmu cemburu..." katanya.
"Aku belum punya pacar, Bu Bidan... sungguh, aku tidak bohong..."
"Ayo, cium aku..." suruhnya.
"Aku tidak berani, Bu Bidan..."
Tiba-tiba bidan Menik merangkul aku, payudaranya tergencet di dadaku. Dadaku rasanya sampai sesak. Ia menangis.
Aku menghadapkan wajahnya yang cantik padaku, kuhapus air matanya dengan punggung tanganku.
"Jangan panggil aku Bu Bidan, aku Menik..." katanya berusaha tersenyum. "Kamu baik." katanya lagi. "Jangan cerita di luar ya...?"
Kami berpelukan. Jantungku berdebar-debar merasakan tubuh hangat dan bau badan bidan Menik yang membuat libidoku bangun bergelora.
"Kamu tegang?" ia bertanya.
PASTI...! Tetapi aku tidak berani menjawab.
"Keluarkan, aku tidak pakai sarung tangan memegangmu..." katanya.
Tiba-tiba handphone bidan Menik berbunyi. Entah ia berbicara dengan siapa, ia pergi dari ruang tengah.
Sebentar kemudian bidan Menik membawa seseorang masuk ke ruang tengah.
•••••