Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sengsara Membawa Nikmat

Bimabet

"Mau minum kopi apa teh, sayang...?" tanya bidan Menik padaku membuat aku tersadar dari lamunanku. "Awas lho, jangan minta yang macem-macem ya, nggak ada susu, aku sudah nggak menghasilkan susu..." katanya mencandai aku.

"Hiks..." aku melemparkan pantatku duduk di sofa panjang yang terdapat di ruang tengah menghadap ke sebuah layar televisi LED berukuran 90 inci.

Sebentar kemudian bidan Menik yang sudah melepaskan kerudungnya sudah menghidangkan aku segelas kopi hitam dengan sepiring kue berisi macam-macam kue dan ia sendiri minum air biasa.

"Ayo dimakan, jangan dilihat saja..." katanya duduk di sampingku.

"Aku ingin memandang Bu Bidan saja," kataku. "Seandainya nanti aku mendapat istri seperti Bu Bidan..."

"Ada kamu, rumahku jadi ramai, ada yang ngajak aku bicara, ada yang menggoda aku..." jawab bidan Menik.

Tiba-tiba aku menggenggam tangan bidan Menik, sewaktu aku sadar, buru-buru aku melepaskannya. "Maaf..." kataku. "Aku terharu dan ikut prihatin, seandainya aku diberi kesempatan oleh Bu Bidan untuk menemani Bu Bidan..."

"Hii... ngurus orang sakit...?" godanya. "Boleh..."

Saat itu rasanya ingin aku peluk bidan Menik, tetapi aku tidak mempunyai keberanian.

Kuhirup kopi seteguk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. "Ah... Bu Bidan menggoda aku..." kataku.

"Ya kan?" jawabnya. "Kalo kamu mau mendampingi aku hidup, bisa apa lagi aku, aku sudah tua... sebentar lagi umurku sudah 45 tahun..."

"Nggak kok..." jawabku. "Bu Bidan cantik..."

"Ha.. haa..." tawanya berderai mengisi ruang rumahnya yang sepi sesepi dirinya.

Kupeluk bidan Menik. "Nanti pacarmu cemburu..." katanya.

"Aku belum punya pacar, Bu Bidan... sungguh, aku tidak bohong..."

"Ayo, cium aku..." suruhnya.

"Aku tidak berani, Bu Bidan..."

Tiba-tiba bidan Menik merangkul aku, payudaranya tergencet di dadaku. Dadaku rasanya sampai sesak. Ia menangis.

Aku menghadapkan wajahnya yang cantik padaku, kuhapus air matanya dengan punggung tanganku.

"Jangan panggil aku Bu Bidan, aku Menik..." katanya berusaha tersenyum. "Kamu baik." katanya lagi. "Jangan cerita di luar ya...?"

Kami berpelukan. Jantungku berdebar-debar merasakan tubuh hangat dan bau badan bidan Menik yang membuat libidoku bangun bergelora.

"Kamu tegang?" ia bertanya.

PASTI...! Tetapi aku tidak berani menjawab.

"Keluarkan, aku tidak pakai sarung tangan memegangmu..." katanya.

Tiba-tiba handphone bidan Menik berbunyi. Entah ia berbicara dengan siapa, ia pergi dari ruang tengah.

Sebentar kemudian bidan Menik membawa seseorang masuk ke ruang tengah.

•••••
 


Asistennya.

"Sudah kenal kan, ini Aries...?" kata bidan Menik pada asistennya. "Ia mau berkenalan dengan kamu. Tadi sudah Ibu ceritakan statusmu padanya. Aku serahkan MUTHIA padamu ya, sayang..." ujar bidan Menik padaku.

"Duduk, say..." kataku pada Muthia yang mengenakan kaos ketat setengah menggantung sehingga kelihatan pusernya dipadu dengan jeans biru longgar.

Bentuk BH-nya tampak menjiblak di kaosnya, tetapi bau parfumnya terlalu menyengat hidung, tidak seperti bau parfum bidan Menik yang wangi melambungkan darah mudaku dan menggetarkan jiwa ragaku.

Muthia duduk di sebelahku, sedangkan bidan Menik tidak bersama kami. Bidan Menik berada di kamar.

"Aku janda," kata Muthia memandangku, kuperkirakan usianya sekitar 30 tahun.

"Aku tau..." jawabku. "Emang kenapa kalau kamu janda? Terlihat kok dari cara matamu memandang ote-ku dulu itu..." kataku.

"Hikss..." Muthia tertawa malu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Kutunduk mencium perutnya yang telanjang. "Oh... jangan, sayang..."

Aku tidak menggubris penolakan Muthia, karena ia bersandar di sofa seolah pasrah. Lalu aku menjilat pusernya.

"Ohh... ohh... jangan, ohh... aku nanti keluar, sayang... aku cepat keluar kalo lagi subur..." kata Muthia, baru kemudian aku melepaskannya diganti dengan ciuman bibir.

(Seorang gadis anak SMP yang masih memakai seragam duduk di sebelahku saat aku sedang menulis cerita ini, "Ih, najis...!" katanya.)

Gincu merah di bibir Muthia kulumat habis. Ia menyodorkan lidahnya untuk kuhisap.

Sambil kuhisap lidah Muthia, Muthia memejamkan matanya, tangankupun bekerja. Kubuka pengait BH-nya.

Mungkin napsu Muthia sudah menggelegak sama seperti aku, ia tidak peduli lagi aku meremas teteknya yang berukuran medium dan sudah menggantung, tetapi masih kenyal berisi, putingnya juga besar.

Aku memelintir putingnya dengan jari, ia menggigit bibir bawahku, sambil menggeliat seperti cacing kepanasan.

Adegan yang menegangkan ini terpaksa harus terhenti karena bidan Menik keluar dari kamar. Bidan Menik sudah rapi mengganti pakaian, mungkin juga sudah mandi.

Parfumnya yang lembut sungguh menggetarkan jiwaku dan merontokkan imanku.

"Ibu pergi sebentar ya, Thia..." kata bidan Menik pada Muthia.

"Ya, Bu..."

"Nanti dapur diberesin. Kalau kamu mau pulang, kunci taroh di tempat biasa, ya..."

Lalu bidan Menik beralih memandang aku. Ia tersenyum. "Aku tinggal ya, sayang..." katanya padaku.

Lalu cupp... bidan Menik menunduk mengecup pipiku.

Ingin rasanya aku tidak membersihkan wajahku sesampai di rumah biar ciuman bidan Menik terus membekas di pipiku.

•••••

"Dari mana saja kamu, sayang... hanya melayat kok berjam-jam ya..." kata Mama entah dari mana datangnya, tadi tidak kelihatan batang hidungnya, tiba-tiba sudah berdiri di depanku saat aku keluar dari kamar mandi.
 
Terakhir diubah:

"Diajak bidan Menik ngobrol, Ma... ih, Mama... curiga aja nih..."

"Telepon pulang gitu lho... masa curiga sih, Mama... kamu sudah besar, mana bisa Mama pegang ekormu terus kemana-mana...?"

"Eh... Ma... masih ingat gak Mama... yang datang sama bidan Menik sewaktu zakarku gatel itu..."

"Ya, tau... awas ya, ia tuh sudah janda lho..."

"Tuh apa kubilang, curiga kan Mama... Mama sudah menjadi milik Aries, Mah... nggak usah khawatir deh Mama, Aries pindah ke lain hati."

"He... aduh... aduh... aduh... jangan ngomong kenceng-kencee..eeng... nanti kedengaran tetangga... mau lari kemana kalau tetangga tau kita gituuu..."

"Maaf, Ma..." ujarku memeluk Mama dan mencium lehernya.

"Kamu sudah mandi, Mama belum..." kata Mama.

"Biarin... wangi kok Mama..." kataku mencium payudaranya yang masih berbalut daster.

"Jangan di sini, Iin ada di kamar..." kata Mama.

Aku menarik Mama ke kamarku. "Mama mandi dulu apa?" kata Mama.

"Nggak usah, kayak gini aja..." jawabku tak sabar.

"Maksud Mama, kalau sudah mandi, mainnya kan enak..." kata Mama sambil melepaskan dasternya.

Penisku sudah berdiri mengacung sebelum Mama melepaskan celana dalamnya. Sewaktu Mama melepaskan celana dalamnya, terlihat selembar pembalut yang sudah keriput menempel di celana dalam Mama.

"Mama haid...?" aku bertanya.

"Sepertinya mau, sudah waktunya sih, maka itu Mama siap-siap biar nggak bocor kemana-mana..." jawab Mama sambil naik ke tempat tidur.

Karena Mama naik ke tempat tidur dengan posisi nungging, aku mencium belahan pantatnya.

Aku tidak peduli lagi dengan bau pantat Mama berhubung lagi napsu, apalagi kemudian Mama nungging pasrah menyerahkan pantatnya untukku.

Kusapu-sapu anus Mama yang mengeriput berwarna coklat tua itu dengan lidahku dan di sekelilingnya berkerut-kerut.

Tubuh Mama sudah seperti menjadi kepunyaanku, bukan hanya kepunyaan Papa saja.

Mama kemudian terlentang membentangkan pahanya seluas-luasnya menyerahkan vaginanya untuk kujilat.

Bau amis dan anyir vagina Mama sudah kuanggap sebagai penyedap rasa untuk membangkitkan napsu lelakiku.

Vagina tanpa bau tersebut, serasa langit gelap tak berbintang, atau sayur hambar tanpa penyedap rasa.

Mama berbaring diam menikmati. Dari depan vaginanya, lidahku menyelinap masuk ke lubang vaginanya yang terasa penuh dengan lendir yang terasa hambar.

Kuputar-putar lidahku seperti mengebor hingga ujung lidahku menyentuh rahimnya, Mama menggelinjang. Pinggang Mama meliuk, pantatnya terangkat-angkat.

"Shheee....eett... ahhh..." desis Mama sambil tangannya meremas-remas payudaranya. "Sebentar lagi, sayang... Mama keluar... jilat kelentitnya... shhee... ooohh... ahhh... truuss... sayanggg... ooohh..."

Biji kelentit Mama terus kujilat, kadang kuemut dan kugigit kecil-kecil sehingga membuat Mama semakin kelimpungan.

Akhirnya napas Mama megap-megap, bola matanya hanya terlihat putihnya saja, kedua tangannya menggapai kain seprei, lalu ia pun menjerit melampiaskan orgasmenya yang nikmat.

Hanya sebentar tubuhnya mengejang, kemudian merenggang, lalu terkapar tak bertenaga.

Entah sudah berapa kali aku membuat Mama orgasme seperti ini, sedang dengan Papa, Mama belum pernah.

Tanpa menunggu lama lagi kemudian kumasukkan penisku ke lubang vagina Mama untuk menyetubuhi Mama.

Penisku keluar-masuk di lubang vagina Mama yang licin dan basah, tetapi minta maaf, aku seperti bukan menyetubuhi Mama, pikiranku melayang ke tubuh bidan Menik.

Mama hanya sebagai sarana pelampiasan napsuku. Tapi Mama melayani aku seperti ia melayani suaminya. Seberapapun air maniku yang tumpah di lubang vaginanya Mama tidak pernah mengeluh.

•••••

Lewat beberapa hari sejak pertemuan pertamaku dengan Muthia, ia meneleponku mengajak aku pergi ke mall.

 

Aku bilang pada Mama bahwa aku mau pergi ke rumah temanku, tetapi sepeda motorku kuparkir di depan kontrakan Muthia.

Anaknya masih tergolek tidur di kasur yang digeletakkan di lantai.

Kontrakan Muthia kecil hanya terdiri 2 kamar. Kamar depan ruang tamu dijadikan kamar tidur kalau sudah malam, sedangkan kamar belakang terdiri dari dapur dan kamar mandi.

"Tunggu ia bangun, ya..." kata Muthia yang belum tukar pakaian dan rambutnya masih digulung roll rambut.

Ini asli Muthia yang tidak berdandan tidak seperti pertama kali aku bertemu dengannya di rumah bidan Menik.

"Anakmu anakku juga," jawabku.

"Aku tidak tega Ries, menerima cintamu yang tulus, aku bukan wanita baik-baik, tubuhku sudah menjadi mainan 3 laki-laki, aku harap kamu tau saja... aku tidak pernah cerita pada siapapun kecuali kamu... karena aku cinta padamu..." balasnya.

Anaknya menggeliat, mungkin mendengar suara kami, Muthia mencoba menenangkannya hingga anaknya yang berjenis kelamin perempuan itu tidur lagi.

Saat itulah aku merobohkan Muthia di kasur dan menindihnya. "Sebodo amat..." kataku. "Mau tiga atau empat laki-laki..."

"Jangan sekarang, Ries... ada anakku..." ujar Muthia.

Tetapi sewaktu bibirku menggapai bibirnya, ciuman kami sudah tidak bisa dihentikan lagi. Aku meremas teteknya yang tanpa BH itu sudah tidak dihiraukannya.

Aku melepaskan tanktopnya dan mulutku kemudian beralih menghisap puting susunya, ah... puting susu Muthia keluar ASI, tidak banyak, hanya setetes dua tetes justru membuat napsuku semakin tak menentu, sehingga akupun menarik lepas celana pendeknya, dan Muthia seketika itu juga telanjang bulat di depan aku.

"Belum puas ya sebelum kamu ngentot aku di depan anakku?" tanya Muthia marah.

"Maaf, aku terlalu napsu padamu..." kataku.

Agghh... ia memeluk aku seraya bibirnya menggapai bibirku. Ketika bibir kami sudah bergelut liar lagi, tangan Muthia meremas penisku yang tegang dan seolah tak sabar ia menuntut penisku ke selangkangannya.

Aku menyetubuhi Muthia. Penisku yang sering kumasukan ke lubang vagina Mama, kini beralih ke lubang vagina wanita lain, dibilang aku mencintainya, juga tidak, mungkin aku hanya ingin menaklukkannya dengan seks.

Ternyata aku berhasil. Kini penisku mondar mandir di lobang vagina Muthia yang basah mengeluarkan bau amis sambil buah dadanya kugenggam dalam mulut dan kuhisap ASI-nya.

"Akkhh... ooogghh... aaskhh... aakhh..." rintih Muthia.

Kupendamkan penisku dalam-dalam di lobang vagina Muthia yang sudah tidak erat menggenggam penisku. Kutarik sedikit dan kuhujamkan, kutarik lagi terus kuhujamkan, begitu berturut-turut.

"Ohh... jangan lama-lama, Ries... aku gak tahan, memekku ngilu..." kata Muthia.

"Sabar, pasti keluar..." kataku yang sudah biasa menyetubuhi Mama sehingga aku bisa mengatur irama permainanku.

Lubang vagina Muthia bukan lagi becek, tapi sudah longgar, dan payudaranya sudah penuh dengan cap bibirku, aku masih terus bertahan.

"Ayo, Ries... ayooo... keluarkan..."

Mungkin sudah tiba waktunya. "Aku keluar, Ries... keluarkan punya kamu..." mohon Muthia.

"Rasakan...!!" kataku. "Aku ingin kamu hamil anakku... arrghhh...."

Crroottt... crrrroott... crroottt.... crroott... rentetan air maniku seperti menggempur rahim Muthia, ccrroott... crroottt... crrrtooottt... Muthia pasrah menerima siraman air maniku di rahimnya.

Aku mencabut penisku. Entah kebetulan atau sudah waktunya anak Muthia bangun, anaknya merengek, Muthia yang masih telanjang dan air maniku masih mendekam di lobang vaginanya, ia menyodorkan susunya ke mulut anaknya.

Aku iba juga melihat Muthia, sebagai 'single parent' hidup tanpa suami, tetapi cintanya tidak sampai menembus jantungku.

Itu masalahnya!

Nikmat vaginanya masih jauh lebih nikmat vagina Mama.

Sore itu kami tidak jadi pergi ke mall. Setelah anaknya diteteki dan tidur lagi, Muthia pergi membersihkan tubuhnya di kamar mandi, lalu kami kembali bercumbu untuk yang kedua kalinya, sampai 3 kali.

•••••

Setelah lewat satu minggu setelah aku bercumbu dengan Muthia, dan ditengah-tengahnya aku juga bersetubuh dengan Mama, Mama mengajak aku ke rumah bidan Menik siang itu.

"Pengen periksa, Bu." kata Mama.

"Aries mau punya adik lagi...? tanya bidan Menik.
 

"Nggak tau nih, aku sudah tua, masa hamil lagi, Bu? Mudah-mudahan bukan, mungkin aku mau menopause kali, jadi haid gak lancar." kata Mama.

"Mari saya periksa, Bu... Aries tunggu, ya...?" kata bidan Menik padaku.

Mama berjalan pulang dari rumah bidan Menik, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya yang ludahnya sudah kutelan entah berapa banyak selama aku bercinta dengan Mama.

Hingga pada suatu hari bidan Menik telepon aku, katanya kakinya terkilir.

Akupun sibuk mengantar bidan Menik bolak balik ke tukang urut yang kebetulan aku kenal tukang urut itu.

Dengan demikian tidak bisa disangkal membuat aku semakin menempel pada bidan Menik.

Tidak hanya tangannya saja yang bisa kupegang, tetapi aku bisa merasakan kekenyalan teteknya yang membusung itu karena kerap menekan ke lenganku saat ia turun dari mobil menggandeng tanganku terpincang-pincang berjalan masuk ke rumah tukang urut, atau selesai diurut aku membawanya ke mobil.

Sebab itu, akupun berani mencium kaki bidan Menik sewaktu ia menunjukkan padaku kakinya yang terkilir itu sudah sembuh.

"Agghh.... sayang, mmmhh..." desahnya memejamkan mata.

"Aku menahan rindu pada Bu Bidan sudah sekian lama..." kataku.

"Aku tau kok, Ries..." jawab bidan Menik.

"Apakah Bu Bidan mau terima rinduku?"

"Nggak ah..." jawabnya menggodaku.

Aku seperti bunuh diri jika bidan Menik berteriak sewaktu aku memeluknya. Tetapi sekarang bibir bidan Menik dengan lincahnya melumat bibirku. Aku menelan ludahnya. Aku membuka pengait BH-nya.

Bidan Menik menarik lepas bibirnya. Plops...

"Suamiku seperti sedang mengamati aku, Ries... kita sudahi aja ya, sampai di sini..." kata bidan Menik dengan napas tidak teratur. "Memang aku sangat pengen, Ries... tapi suamiku seperti mengikutiku..."

"Ya sudah, Bu Bidan... aku tidak memaksa kok..."

"Aku tau, Ries... kamu tulus, itu yang aku suka... jika kamu mau memperkosa aku bisa, kan...?"

Bidan Menik memeluk aku. Kami jatuh ke kasur bersama. Bidan Menik menindihku, lalu ia membuka ritsleting celanaku, ia mengeluarkan penisku.

Setelah itu, masih memakai pakaian, bidan Menik merangkak naik ke tubuhku. Aku pura-pura bodoh, padahal gaya itu sering aku lakukan dengan Mama, tetapi entah kapan bidan Menik melepaskan celana dalamnya.

 

Bleesssss... ketika bidan Menik menduduki pangkal pahaku, terasa penisku memenuhi lobang memek bidan Menik yang ketat dan mengcengkeram penisku yang terperangkap di dalamnya.

Aku melayang bebas ke udara disaat bidan Menik mulai menggenjot penisku naik-turun, satu persatu pakaiannya dilepaskan hingga wanita cantik itupun bugil telanjang bulat di depan aku.

Pigura putih yang merangkai foto dirinya dan suaminya seperti terkoyak ketika bidan Menik memberikan lobang memeknya untuk kutikam-tikam dari bawah dengan penisku, kedua tetek bidan Menik yang besar dan menggantung itu bergoyang berkelimpungan dan bertabrakan satu dengan yang lain.

Aku benar-benar bergairah melihatnya, lalu aku mengulurkan kedua tanganku menjangkau kedua tetek bidan Menik.

Aku meremas-remasnya kedua gunung kembar itu dengan kedua tanganku. Kemudian aku balik bidan Menik ke bawah dengan masih penis tertancap di lobang memeknya yang kesat, aku kembali menggenjot lobang memek bidan Menik dari atas.

"Ohh... enak memekmu, Menik..." rintihku nikmat, mulutku pun menghisap putingnya dan kugigit kecil-kecil puting yang keras itu hingga membuat bidan Menik merintih.

"Ohhh..."

Masih lama air maniku keluar, aku mencium bibir bidan Menik, "Ohhh... oohhh..." bidan Menik terus merintih.

"Sedap ya kontolku, Menik...?" tanyaku.

"Shheee... ooohh, sayang... sheee... ooohhh..."

"Masih ingat suamimu...?"

"Oohhh... aaahhh... ooohh..."

Aku menyergap lehernya yang telah basah berkeringat. "Kamu sudah menjadi milikku, sayang... bukan milik suamimu lagi..." kataku.

"Oohhh... aahhh... aahhh... keluarkan, sayang... ooohh.... jangan kelamaan..."

"Aku mau menggenjot memekmu yang nikmat ini sampai satu jam..." kataku.

Tetapi belum satu jam, aku merasakan air maniku sudah mau keluar. Akupun menikam lobang memek bidan Menik semakin cepat hingga kedua teteknya pontang panting.

Tak kuat lagi, bidan Menik memegang kedua teteknya. Ia merintih dan menjerit. "OOOHHH... OOHHHH... AAAAHHH.... OOOHHH.... AAAAHHH..."

Aku segera mendorong dalam-dalam penisku ke dalam lobang memek bidan Menik, lalu kucurahkan cairan hangat nan nikmat milikku di depan rahimnya.

Crroottt... crrrooott... crrrooottt.... crrroottt....

Luar biasa nikmatnya...

Crroottt... crrrooott... crrrooottt.... crrroottt.... aku seperti tidak ingin berhenti melepaskan air maniku di dalam lobang memek bidan Menik, tetapi aku sudah terkulai di atas tubuhnya.

Bidan Menik mengusap-usap punggungku, lalu aku mencabut penisku dan melihat lobang memek bidan Menik yang ternganga itu berisi penuh air maniku sampai meluber keluar.

Bidan Menik tidak segera membersihkan memeknya, tetapi ia bangun menjilat penisku. Sisa air maniku yang telah bercampur dengan lendir memeknya dijilat dan dibersihkannya.

Setelah itu ia memelukku. "Aku benci kamu," katanya.

Bidan Menik hanya menggoda aku. Dua kali aku menyetubuhinya.

Sambil aku berjalan pulang, aku mencoba menilai ketiga wanita yang sudah kusetubuhi itu, tetapi secantik-cantiknya dan seanggun-anggunnya bidan Menik, ia tetap sama dengan Mama dan Muthia.

MEMEKNYA SAMA-SAMA BAU AMIS!

Setiba di rumahku, Mama memanggil aku. "Mama mau ngomong," kata Mama padaku.

•••••

"Mau ngomong apa, Ma?" tanyaku.
 
Bimabet

"Mama mau minta kamu jangan setubuhi Mama lagi, ya...?"

"Kenapa, Ma...?"

"Mama lagi mengandung anak kita..."

"Apa...?" tanyaku kaget.

"Sudah 6 minggu Mama hamil..."

"Apakah Papa tau...?"

"Taulah...!" jawab Mama. "Kan papamu juga punya andil... papamu juga masih setubuhi Mama kok..."

Aku rela berkorban tidak menyetubuhi Mama demi anakku yang berada di dalam rahimnya.

Akupun ingat dengan Muthia. Ia tidak telepon aku. Bukan aku tidak mau telepon Muthia, tetapi aku lupa.

Setiba sepeda motorku di depan sebuah pasar, sekelebat aku melihat seorang wanita mirip Muthia, sedang berjalan keluar dari sebuah toko pakaian menggandeng seorang laki-laki berperut gendut.

Aku mencoba menghentikan sepeda motorku. Sewaktu ia mau memasuki mobil, aku memanggilnya. "Muthia..."

"Aku bukan Muthia..." jawabnya.

Tetapi jelas-jelas ia adalah MUTHIA. Apakah aku sudah lupa dengan wanita yang pernah kusetubuhi?

Muthia menyangkali dirinya.

Hape bidan Menik juga tidak nyambung. Lalu aku memacu sepeda motorku ke rumah bidan Menik.

Di depan pagar rumah bidan Menik tergantung selembar spanduk berwarna kuning dengan tulisan "RUMAH INI MAU DIJUAL. TANPA PERANTARA. Hubungi nomor 081388xxxxxx

Kenapa begitu cepat peristiwa ini terjadi? Bukankah rasanya baru kemarin aku dan bidan Menik bercumbu?

"Kan kamu dekat dengan bidan Menik?" kata Mama yang perutnya kelihatan sudah mulai membesar. "Kenapa kamu tidak tau bidan Menik dibawa pergi sama suaminya? Katanya sih ia hamil. Kok nggak ada suaminya di sini bisa hamil, ya? He.. he.."

"Kenapa tertawa, Ma?"

"Mama sangka Mama saja yang nakal, ternyata bidan Menik juga nakal...!!!"

Aku sedikit terhibur, ketika Iin pulang sekolah, ia bilang ia lulus.

•••••



 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd