Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sengsara Membawa Nikmat

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
540
Like diterima
9.112
Bimabet


Sengsara Membawa Nikmat


HARI terakhir kemping aku merasa di bagian bawah testis atau zakarku gatal-gatal. Barangkali digigit serangga atau semut, pikirku santai saja.

Bisa saja terjadi, karena selama 3 hari 2 malam aku ikut beberapa mahasiswa pencinta alam kemping, kami kemping di hutan lindung. Tidur di alam terbuka meski kami tidur di dalam tenda dan memakai sleepingbag, tetapi kami tidak kebal terhadap gigitan serangga atau semut.

Pulang ke rumah, selesai mandi aku oleskan sedikit minyak kayu putih di tempat yang gatal itu, seperti yang sering dilakukan Mama kalau gatal-gatal digigit semut atau nyamuk, lalu aku pergi istirahat. Pada sore harinya aku bangun tidur, testisku sudah tidak terasa gatal lagi.

Aman, pikirku saat itu.

Tetapi di tengah malam, gatal itu muncul lagi. Antara mengantuk dan kesadaran yang tidak sepenuhnya pulih, aku garuk-garuk gatal itu dengan kuku jari tanganku.

Garukanku ternyata tidak menghilangkan gatal tersebut, malahan semakin gatal dan semakin gatal saja sehingga membuat aku menggaruk dan menggaruknya lagi.

Paginya bukan membaik, melainkan pedih dan berair karena tempat gatal itu sudah berubah menjadi lecet.

Aku mulai takut, bagaimana seandainya terjadi infeksi, di alat vitalku pula.

Mau pergi ke dokter aku bingung, karena sekali pergi ke dokter biayanya bukan murah, aku harus minta duit dengan orangtuaku dan orangtuaku pasti akan bertanya sakit apa sampai harus pergi ke dokter, apalagi pergi ke dokter spesialis penyakit kelamin.

Wahh... bisa-bisa aku dicurigai pergi ke tempat esek-esek oleh orangtuaku.

●●●●●
 

Tetapi mau tidak mau aku harus mengatakannya supaya gatal-gatalku ini tidak semakin parah, karena sekarang aku hanya bisa memakai sarung, tidak bisa memakai celana.

“Tumben Ries... kamu makai sarung?” tanya Mama sewaktu aku mau pergi ke kamar mandi.

Mama sedang berjongkok mencuci pakaian, karena meskipun kami mempunyai mesin cuci, untuk pakaian tertentu Mama masih mencuci secara manual, tetapi ohh... selangkangan Mama....

Aku buru-buru mengalihkan padangan mataku ke tempat lain dengan malu dan jantung berdebar-debar, karena saat itu terlihat olehku ‘tempat lahir’ku sendiri dari selangkangan Mama yang terbuka lebar.

Mama tidak memakai celana dalam dibalik dasternya yang kependekan selesai mandi, Mama mencuci pakaian dulu.

“I....i...itu, Mah...” jawabku dengan suara tersendat-sendat.

“Itu apa?! Ngomong nggak jelas...!” bentak Mama. “O... itumu...?” kata Mama kemudian sadar sewaktu melihat aku memegang kemaluanku dari luar sarung yang kupakai. “Itumu kenapa? Ayo...”

“Belum apa-apa Mama sudah curiga, bukannya mendengarkan penjelasanku dulu...” kataku sewot.

“Iyaa...! Iyaa...! Iya...!” jawab Mama bangun dari jongkoknya sehingga pemandangan indah yang berada di selangkangannya itupun lenyap dari pandangan mataku. “Memang ada apa dengan itumu...?” tanya Mama.

“Gatel di bagian bawah zakarku, barangkali digigit semut atau serangga di tempat kemping...”

“Nggak pernah dibersihkan sih, ya gitu jadinya...! Kayak papamu juga, habis kencing kabur, WC nggak disiram...! Habis gituan, langsung ngorok...!” aku menjadi tempat curhat Mama jadinya. “Lalu sekarang bagaimana...?”

“Lecet, Mah... berair... dan pedih...”

“Apa...??? Mana Mama lihat...!!!" kata Mama panik spontan, spontan panik.

“Nggak! Masa Mama mau lihat kemaluanku sih, aku kan sudah bukan anak kecil lagi, Ma...?” jawabku.

"Kalau gitu Mama antar kamu ke dokter, ya?” kata Mama.

"Nggak..."

"Mama lihat nggak boleh, pergi ke dokter nggak mau... jangan bikin Mama bingung dong, sayang. Nanti infeksi, tambah bahaya...!!” kata Mama gelisah. “Gini aja deh, bagaimana kalau Mama tanyain sama bidan Menik... tapi mana, coba Mama lihat...”

“Nggak...! Aku bilang nggak ya, nggak Ma!”

“Malu apa sih sama Mama ini... nggak ada orang lain juga disini hanya kita berdua...” kata Mama. “Ayo, sini Mama lihat... bagaimana lecet berairnya biar Mama bisa jelasin sama bidan Menik, gitu loh...!”

Ya sudah, aku mengalah saja mendengar nama bidan cantik ini disebut Mama daripada penderitaanku menjadi panjang.

Lalu aku mengangkat sarungku pelan-pelan.

Terpajanglah di depan Mama penisku yang telanjang. Entah bagaimana perasaan Mama melihat penis anak lelakinya yang sudah dewasa berbulu keriting kasar dan lebat itu.

Untung penisku anteng-anteng saja tidak tegang karena tadi aku sempat melihat vagina Mama dengan cukup jelas dan lama, tetapi penisku hanya menggantung tertunduk lesuh berukuran panjang kira-kira 11 sentimeter dan berdiameter 2,5 sentimeter, tanpa kulup karena sudah disunat, sehingga kepala penisku tampak membulat dengan ujung sedikit runcing di daerah lubang kencingnya.

Penisku ini kira-kira tidak dilihat Mama sudah 9 tahun, sejak aku masuk SMP, karena sekarang aku sudah berumur 21 tahun

Kemudian aku naikkan penisku dengan tangan supaya Mama gampang melihat tempat lecet di bawah zakarku.

Mama membungkuk.

Oo...allaaa... dari leher daster Mama yang longgar bisa kulihat kedua payudara Mama yang montok bergelantungan melambai-lambai... ohh... astagaaa... sengsara membawa nikmat, batinku.

●●●●●
 
Apa yang mau Mama sembunyikan lagi kalau begitu? Vaginanya, barang yang paling 'langkah' dan paling 'dirahasiakan' itu sudah kulihat tadi!

Payudaranya... nggak usah diomong... Mama suka gak pakai BH, setiap hari bisa kulihat dari pagi sampai malam, lalu dari pagi sampai malam lagi kalau aku tidak pergi kuliah!

Mama lalu mengulurkan tangannya memegang bagian atas zakarku dan ditariknya sedikit ke atas supaya ia gampang melihatnya.

“Iya, Ries... duhh... ini harus ke dokter nih, Ries...” kata Mama khawatir menegakkan tubuhnya berdiri.

“Tadi Mama bilang mau nanya bidan Menik...” balasku.

“Kondisinya begitu, Mama khawatir, Ries... ini alat vital, jika bukan orang yang ahli menanganinya bisa fatal...!" kata Mama. "Atau... Mama ngomong sama Papa, ya... dengar bagaimana pendapat Papa...?"

"Nggak, nanti Papah nuduh aku yang nggak-nggak, kayak Mama tadi..."

"Lalu... mau bagaimana Mama ini, Ries...?" tanya Mama. "Mama jadi bingung, itu salah ini salah..."

"Mama tanya bidan Menik dulu aja deh..." jawabku.

"Sudah jam segini bidan Menik sudah berangkat ke puskesmas belum, ya? Mama pergi ke rumahnya aja deh sekarang," kata Mama.

Aku pergi ke kamar mandi ingin kencing. Selesai kencing, Mama sudah tidak kelihatan di rumah.


●●●●●
 

Rumah bidan Menik tidak sangat jauh dari rumahku, hanya berjarak 5 rumah dari rumahku.

Aku kembali ke kamar. Di tempat tidur aku berbaring membayangkan vagina Mama yang tadi kulihat sewaktu Mama berjongkok mencuci pakaian tidak memakai celana dalam. Begitu jelasnya kulihat vagina Mama...

Vagina Mama berbeda dengan vagina wanita di video porno yang pernah kutonton. Vagina wanita di video porno mulus-mulus tidak ada bulunya, sedangkan vagina Mama bibir vaginanya sudah menonjol keluar berkerut-kerut seperti jamur kuping dan di sekelilingnya terdapat bulu hitam yang pekat.

Tak lama kemudian Mama yang sudah pulang dari rumah bidan Menik masuk ke kamarku membawa sarapan seperti aku lagi sakit serius saja. "Mamah jangan tegang seperti ini kenapa sih..." kataku. "Sampai membawakan makanan segala untukku..."

Mama kelihatan rapi, memakai celana longgar selutut dan bajunya motif bunga-bunga kecil berwarna biru.

Mama sebenarnya cantik putih, cuma tidak terurus badannya, suruh senam tidak mau, sehingga Mama kelihatan lecek dan kusut.

“Bidan Menik kasih salep sama Mama untuk dioleskan 3 kali sehari, tetapi kalau sampai 2 hari masih basah, terpaksa kamu harus ke dokter...” kata Mama menaruh piring berisi mie goreng di atas meja belajarku. “Mau dioleskan sekarang, atau nanti sesudah mandi...?” tanya Mama.

Kalau hanya salep oles saja, bisa aku lakukan sendiri. Tetapi aku 'sengaja' mau Mama yang mengoleskan untuk aku supaya Mama bisa memegang penisku. He.. he.. sebenarnya pikiranku seperti itu sudah sesat. Tetapi biarlah, tidak ada orang yang tau ini.

(sebelum kisah ini kupublikasikan di sini, he..he..)

Kali ini aku tidak mengangkat sarung yang kupakai, melainkan aku melepaskannya hingga tubuhku separuh telanjang. Mama tidak protes.

Mama mengeluarkan sedikit salep berwarna bening dari tube yang ukurannya tidak lebih besar dari jempol.

Dan kemudian...

Mama memegang penisku menaikkannya ke atas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya mengoleskan salep ke zakarku.

Sebentar saja Mama sudah selesai mengoleskan salep ke zakarku.

"Makan, ya..." kata Mama sambil menutup tube salep.

"Mau makan gimana Mah, salepnya belum kering, nanti aku duduk salepnya kena seprei." jawabku.

"Ya sudah, Mama yang suapin..." kata Mama menarik bangku mendekatkan ke tempat tidurku, lalu mengambil piring berisi mie goreng di atas meja belajarku, dan aku juga masih setengah telanjang sewaktu Mama menyuap aku makan.

Tiba-tiba Iin, adikku masuk ke kamar. "Eh... kenapa Kak Aries, Mah...?!"

Aku kaget, tetapi berusaha untuk tenang, karena wajahku tidak kelihatan terhalang oleh badan Mama. Aku tidak bisa melihat wajah Iin, Iin juga tidak bisa melihat wajahku, tetapi Iin bisa melihat penisku yang telanjang.

Aku pikir, Mama akan menyuruh Iin pergi dari kamar, tetapi Mama menjawab Iin. "Lagi sakit... gatel, barangkali digigit serangga di tempat kemping... Mama baru olesin salep dikasih sama bidan Menik, nih lihat..." kata Mama menjulurkan tangannya memegang penisku bersama zakarku, lalu zakarku didongakkan sedikit.

Iin yang sudah berdiri didekat tempat tidurku membungkuk mendekatkan matanya ke kemaluanku. "Ih... iya, Mah...! Nggak ke dokter, Mah...?" kata Iin panik.

"Kakakmu nggak mau... maka itu..." hardik Mama. "Habis kencing, cebok! Jangan jadi kebiasaan.... celana dalam kotor juga nggak diganti setiap kali mandi, tetapi masih dipakai juga sampai keesokan harinya..." omel Mama. "Memekmu kalau digigit semut jadi kayak gini nih, baru tau rasa kamu..."

"He... he..." Iin hanya tertawa.

"Sudah selesai Ujian Nasionalnya hari ini?" tanya Mama sambil menyuap aku makan.

"Iya, sudah Mah..." jawab Iin.

"Kira-kira lulus nggak kamu?"

"Ya... luluslah, Mah... setiap tahun kita lulus 100%..." jawab Iin yakin.

"Lalu sudah kamu mendaftar, katanya mau sekolah di Akademi Keperawatan..."

"Nggak jadi Mah, aku daftar di S1 jurusan Hubungan Masyarakat..."

"Sudah, makan sana..." suruh Mama.

"Iya Mah..." jawab Iin gembira seperti tanpa beban, ia berlari keluar dari kamarku lincah seperti seekor kijang, tetapi menurutku ia lugu dan polos, melihat penisku ia tidak risih atau malu.

Selesai makan, karena aku selalu menyediakan air minum di kamar, Mama memberikan aku minum dengan sedotan. Setelah itu Mama menutupi tubuhku yang telanjang dengan sarung.

"Mama tutup dulu ya..." kata Mama. "Sudah kering sih salepnya... nanti siang baru diolesin lagi..."

Mama lalu pergi dari kamarku membawa piring kosong. Aku memandang bongkahan pantat mamaku yang kalau berjalan berkedut-kedut.

Aku membayangkan anus Mama kalau lagi duduk di toilet buang kotoran dan apakah Mama sudah pernah 'anal sex' dengan Papa, penisku menjadi tegang sehingga berbentuk tenda kecil di atas sarungku.

●●●●●
 

Iin masuk ke kamarku sambil membawa hapenya. Ia sudah melepaskan seragam putih abu-abunya (sebentar lagi seragam ini akan menjadi kenang-kenangan, atau akan menjadi barang antik).

Celana pendek olahraganya tidak diganti dan yang diganti hanya baju putihnya diganti dengan kaos tipis berwarna kuning muda tanpa lengan, sehingga BH-nya tampak membayang.

Tetek Iin seperti tetek anak gadis zaman gen Z sekarang; kecil, tidak seperti tetek perempuan zaman 'orba' dulu. Tetek Mama besar, tetek tante-tanteku besar, tetek nenek juga besar.

Aku sengaja menyingkirkan sarung yang menutupi selangkanganku. "Ih... kok berdiri sih, Kak Aries...?" tanya Iin heran. "Kalau lagi tegang begitu, ya...?"

"Iya, kocokin dong..." suruhku.

"Kenapa dikocok?"

"Buat hilangin stress. Tapi sudah, jangan tanya terus, kocok dulu, kalau sudah selesai nanti aku jelasin..." kataku.

"Nggak bisa...!"

"Sini tanganmu..."

Aku bangun meraih tangan Iin yang berdiri di depan tempat tidur. Ia menurut dan membungkuk menuruti instruksiku.

Ia genggam batang penisku yang tegang, lalu aku bantu tangannya naik-turun... naik-turun... naik-turun... sampai ia bisa sendiri meskipun masih kaku.

"Hi..hi.. makin keras, Kak..." kata Iin tertawa heran, berarti ia benar-benar masih polos, seperti selembar kertas HVS yang belum ditulis.

Lalu aku membuka pengait BH-nya, ingin tau ia protes atau tidak. Thess... oh, Iin terus mengocok penisku. Tangankupun menyelusup masuk ke balik kaosnya.

Upss...

Kugeggam tetek Iin yang bulat setengah lingkaran dan keras serta putingnya yang berdiri mencuat itu, tetapi aku tidak lama-lama memegang tetek Iin. Kutarik keluar tanganku dari kaosnya, lalu kutarik Iin ke kasur. Ia berbaring, aku menindihnya.

Matanya sayu. "Kakak sayang sama kamu..." kataku. "Kamu sudah punya pacar belum sih..."

"Kak Aries bertanya begitu, apa Kak Aries mau jadi pacar Iin...?" balas Iin, adikku menatapku.

Kudekatkan bibirku... pelan... pelan... pelan... Iin mengatupkan kelopak matanya... cupp... kukecup bibir Iin. Tetapi sewaktu aku mau menarik bibirku, Iin seperti mengangkat kepalanya dari bantal mengejar bibirku. Sekalian kucium bibir Iin.

Selanjutnya aku dan Iin adikku, saling melumat bibir, menyedot... menghisap... dan bertukar ludah... aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Segera tanganku merogoh celana olahraga Iin dari atas.

Sewaktu Iin tidak menolak, mungkin ia sudah melayang ke awang-awang, segera kususupkan tanganku lebih jauh masuk ke balik celana dalamnya... bibir memeknya masih rapi, mulus dan kencang (|| = dua garis rapat) dan justru bulu jembutnya yang lebat seperti semak belukar di hutan lindung.

Kugesek-gesek itilnya yang sebesar kacang tanah itu dengan jari. Iin menggigit bibir bawahku... dan zakarku yang gatalpun rasanya sembuh total sewaktu Iin mengangkat kaos dan BH-nya ke atas.

"Tetekku dihisap, Kak..." mohonnya. "Memek aku seperti ada yang mau keluar... ayo, dihisap tetek aku, Kak... biar cepat keluar, aku gak tahan, Kak... oh.. ohh..." rintihnya saat pentil teteknya kujilat. "Ohh... ohh.." sambil pantatnya diangkat-angkat.

"Oooo...oooo...ooooo...ooooohhhhh..." rintihnya sangat panjang saat ia orgasme. Untuk sejenak tubuhnya tegang, lalu kemudian terkulai lemas.

"In... sini bantu, Mama..." teriak Mama dari dapur.

Aku melepaskan Iin bangun dari kasur. "BH-mu belum dikait..." kataku.

Iin malah melepaskan kaosnya, lalu menanggalkan BH-nya. Ia pakai kaosnya lagi, lalu pergi meninggalkan BH-nya yang berwarna merah itu untukku.

Kulihat label BH Iin, nomor 34A. Kucium BH Iin yang wangi keringat bercampur parfum body splash, "Ohh... Iinku sayang..." desahku. "Kakak mencintaimu..."

●●●●●
 

.
Sewaktu aku mendengar langkah kaki Mama, cepat-cepat kusembunyikan BH Iin di bawah bantal.

Mama masuk ke kamarku dengan telanjang kaki. "Bagaimana? Masih gatal nggak?" tanya Mama.

Kusingkirkan sarung yang menutupi bagian bawah tubuhku dengan jantung berdebar.

Seandainya Iin bercerita pada Mama pengalamannya tadi, matilah aku... jeritku dalam hati sembari kulihat Mama memegang penisku dan menunduk memeriksa zakarku.

"Kering, Ries..." kata Mama dengan wajah gembira.

"Ya, sudah nggak gitu gatal sih. Pegang lagi, Mah..."

Mama duduk di tepi tempat tidurku. Mama mengelus batang penisku seperti mengelus bulu anak kucing.

"Enak Mah... kocok boleh, Mah...?" kataku kemudian.

Mama memandangku. "Belum sembuh benar lho... jangan dulu ya. Nanti kalau sudah sembuh kamu mau apapun juga boleh..." kata Mama.

"Sekarang aja Ma, supaya tau bisa keluar apa nggak..." alasanku.

"Kamu kan bisa sendiri, kenapa nggak mau ngocok sendiri sih...? Iin lagi kupas kentang, nggak Mama bantu nanti kupasnya jadi nggak bersih..." kata Mama tapi digenggamnya juga penisku yang mulai tegang.

Sewaktu penisku sudah tegang sekali, Mama bangun dari duduknya menarik beberapa lembar tissu di meja belajarku.

Mama menaruh tissu di perutku. Kemudian Mama mengocok lagi penisku. Sekarang Mama mengocok penisku dengan berdiri di depan tempat tidurku. Moncong penisku dicondongkan ke tissu...

Kancing bajunya kulihat terbuka satu.

Aku tidak mau menunggu lama. Aku bangun menjulurkan tanganku ke kancing baju Mama yang kedua. "Mau ngapain sih dibuka semua?" tanya Mama melepaskan penisku yang dikocoknya.

"Mama lihat sebentar Iin kupas kentang..." kata Mama, lalu Mama pergi dari kamarku sambil pintu kamarku ditutupnya.

Mama hanya beralasan saja ingin melihat Iin mengupas kentang, padahal sebenarnya Mama ingin menutup pintu kamar. Mungkin secara terang-terangan ia malu dan membuat harga dirinya anjlok.

Dengan keluar sebentar lalu masuk lagi kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam membuat tingkah lakunya kelihatan alami.

Dan selain itu tadi kulihat di dalam bajunya masih ada BH, sekarang BH itu sudah tidak ada.

Mama kembali mengocok penisku. "Sudah selesai Ma, Iin kupas kentang?"

"Sudah, Mama mau masak semur biar bisa dibagi ke bidan Menik juga..." kata Mama sambil aku buka kancing bajunya satu persatu.

Ia tidak menegurku, tetapi sewaktu bajunya terbuka dan payudaranya terpajang di depan mataku, aku mencium belahan payudaranya, ia baru bilang, "Keringatan..."

Aku jilat keringat di belahan dada Mama yang tampak berbutir-butir itu sambil memandang putingnya yang besar berwarna hitam sebesar anggur black autumn yang segar dan masih dikelilingi areola yang lebar berwarna gelap, air maniku rasanya sudah berkumpul di pangkal penisku, tiba-tiba, "Tok... tok... tok... Maaa... bidan Menik datang, Mah..." panggil Iin mengetuk pintu kamarku.

Mama kalang kabut kocar kacir, entah apa yang harus dilakukannya, karena di wajah Mama terlihat jelas ia sudah napsu. Bajunya buru-buru dikancinginya.

Setelah rapi, Mama keluar dari kamarku. Tadinya aku membiarkan penisku telanjang mengharap Mama nanti setelah bertemu dengan bidan Menik, Mama kembali mengocok penisku.

Tetapi kemudian aku mendengar derap langkah-langkah kaki dan suara yang sedang berbicara menuju ke arah kamarku, aku buru-buru menutup penisku yang telanjang dengan sarung.

Benar saja, Mama bersama bidan Menik dan seorang asisten bidan Menik masuk ke kamar.

"Hai... Aries... gimana sekarang keadaanmu? Setelah pakai salep, sudah lebih baik nggak? Sudah nggak gatal…? Sudah nggak perih lagi...?" tanya bidan Menik tersenyum manis memandangku. Dari tubuhnya yang langsing menyebarkan bau wangi parfum yang lembut.

"Iya..." jawabku.

"Mana aku lihat," kata bidan Menik.

"Aduhh..." seruku dalam hati lebih kocar kacir dari Mama tadi.

Mama pula, langsung menyingkirkan sarungku saat bidan Menik sedang memakai sarung tangan, sedangkan asistennya yang kira-kira berumur sekitar 35 tahun itu mencoba melirik penisku yang telanjang, disangkanya aku tidak tahu.

Setelah memakai sarung tangan, bidan Menik memegang penisku, "Maaf..." katanya disaksikan oleh Mama yang berdiri di sebelah kiri dan asistennya berdiri di sebelah kanan, bidan Menik menunduk memeriksa bagian di zakarku gatal dan aku melihat payudaranya yang montok menggantung di dalam bajunya, apalagi bidan Menik itu cantik...

Aduh... aduh... aduh... penisku berdenyut-denyut mengharapkan bidan Menik cepat selesai memeriksa zakarku, malah Mama pergi dari kamar dan bidan Menik tersenyum manis melepaskan penisku yang dipegangnya dan sudah memanjang tetapi belum maksimal.

Malunya aku sewaktu tinggal aku dan bidan Menik saja di kamar, karena asistennya pergi dari kamar membuang sarung tangan bekas pakai bidan Menik.

"Jangan tegang gitu, ah..." katanya tersenyum. "Sudah baik, ya...? Besok sudah bisa pakai celana dalam, jangan diote-ote terus gitu, ya... nanti masuk angin, lho..."

Untung Mama cepat masuk ke kamar. "Sudah kering, Bu Anie..." kata bidan Menik pada Mama. "Besok pakai celana dalam sudah gak apa-apa... kita pamit dulu ya... Riel, cepat sembuh..."

Asisten bidan Menik, yang sudah mau keluar dari pintu kamarku, ia masih sempatkan melirik aku...

●●●●●
 
Bimabet


Mama kembali ke kamarku setelah mengantar bidan Menik, wajah Mama kelihatan sangat senang dan gembira sehingga membuat Mama lupa diri.

Mama menyingkirkan sarungku, lalu memegang penisku... aku membiarkan saja, pikirku Mama akan mengocok penisku lagi, tetapi penisku dicium-cium Mama. "Emmm.... mmmm... emmmhh..." gumamnya sambil batang penisku diusap-usapkan ke depan lubang hidungnya.

Iin masuk ke kamarku, Mama tidak tampak kaget dan canggung dengan Iin, Mama tetap memegang penisku yang lagi tegang. "Kata bidan Menik, kakakmu sudah sembuh." ujar Mama pada Iin. "Mama senang banget, tapi gak usah bilang sama Papa, ya..."

"Ya Ma, he... he..." jawab Iin ikut senang.

Iin pergi.

Mama naik ke tempat tidurku. Aku tidak perlu segan lagi dengan Mama. Untuk apa aku segan? Bukankah tadi Mama sudah mencium-cium penisku seperti penisku itu mengandung wewangian?

Segera kupeluk Mama dan kucium bibirnya dengan jantung berdebar takut Mama menolak.

Tetapi tidak. Bibir kami langsung melumat dan berpagut lupa diri. Mama memasukkan lidahnya ke mulutku. Lidah Mama aku kulum dan aku hisap dan pada kesempatan yang sama aku menarik turun celana longgar selutut Mama, Mama melepaskan ciumannya. "Itu pintu... terbuka gitu...” kata Mama. “...asal buka aja... kalau kelihatan Iin bagaimana?"

Mama kemudian turun dari tempat tidur pergi mengunci pintu kamar. Setelah itu Mama kembali ke tempat tidur.

Aku mengalami suatu 'priode baru' dalam hidupku ketika penisku dimasukkan Mama ke dalam mulutnya.

Mama mengulum penisku. Tidak hanya itu, tetapi Mama juga menghisapnya sampai pipi Mama kempot dan bibirnya monyong kepalanya naik-turun, naik-turun sehingga batang penisku serasa diurut-urut Mama dengan mulut dan bibirnya.

Adegan seperti ini biasanya aku temukan di video esek-esek, tetapi sekarang aku alami sendiri, dilakukan oleh mamaku sendiri pula. Aku seperti mendapat kehormatan dari Mama.

Selain penisku dihisap, Mama juga menjilat penisku. Batang penisku disandarkannya di telapak tangannya, baru dijilatnya naik-turun. Ohh... setelah itu biji pelerku dimasukkan ke dalam mulutnya, wawww...

Tak tahan lagi, aku copot celana Mama. Mama yang tidak memakai celana dalam, vagina dan anusnya yang hangat langsung terhidang di depanku. Anus Mama bentuknya berkerut-kerut berwarna coklat tua, langsung kujilat.

Aku tidak pernah memikirkan tempat itu lagi tempat mengeluarkan kotoran dan anus Mama memang bau kot**an dan agak lembab. Mama membiarkan aku menjilat sambil nungging di depanku. Tak berapa lama kujilat, lalu aku berpindah menjilat vagina Mama.

Sekali lagi, adegan ini sering kulihat di video esek-esek ini, kini kulakukan sendiri terhadap vagina mamaku yang yang tertutup kumpulan bulu hitam dan berbau amis.

Tidak lama kujilat, aku membalik Mama terlentang di kasur. Kembali kujilat vagina Mama. "Nakal...! Ohhh... oohhh..." desahan menghiasi cumbuanku dengan Mama, masih kujilat, kini desahan Mama berubah menjadi lenguhan dan jeritan kecil yang menandakan kenikmatan luar biasa yang sedang dirasakan oleh Mama.

Semakin lama semakin banyak lendir yang keluar dari kemaluannya yang membuatku lebih bergairah lagi, tiba-tiba seluruh tubuh Mama mengejang, sedangkan kedua tangannya meremas kuat kasurnya. Dengan diiringi lenguhan panjang.

“Ooooooooooohhh....” Mama mencapai orgasme, tubuhnya bergerak tidak beraturan dan aku lihat sepasang teteknya mengeras sehingga membuatku ingin meremasnya dengan kuat.

Setelah tenaga Mama habis terkuras membuat tubuhnya yang bugil menjadi lunglai, dengan kepasrahannya aku menjadi sangat ingin segera menembus vaginanya dengan penisku yang sedari tadi sudah tegang.

"Mau ngapain sih...?"

"Ngentot...!" jawabku.

"Memang sudah pernah?"

"Belum..."

"Vagina Mama sudah gak enak, jangan ya..." jawab Mama. "Mama sayang sama penismu, masih muda dan gagah dimasukin ke vagina yang sudah keriput dan longgar..."

"Biar aku nggak penasaran Ma... boleh ya, Ma...?" rayuku tidak putus asa.

Sebenarnya Mama juga pengen, tapi ia tahan harga dulu, supaya memeknya tidak seperti diobral bebas, karena kemudian Mama memegang penisku juga. "Ini rahasia kita ya..." katanya. "Jangan cerita-cerita... jangan tampilkan yang nggak-nggak bikin papamu curiga..."

"Ya Ma, aku janji..." jawabku, lalu Mamapun menekan penisku ke lubang vaginanya. "Masukin pelan-pelan..." suruhnya.

"Ahhh... ahhh... ahhh..." desahnya saat kudorong masuk penisku ke lubang vaginanya yang basah dan sempit berwarna kemerahan itu.

Kuayunkan penisku keluar-masuk pelan-pelan untuk menguak lubang vagina Mama lebih lebar sehingga dengan demikian penisku semakin masuk, "...ahh... ahhh... ahhh..." Mama terus mendesah.

Penasaran, kemudian sekaligus kudorong kuat, jlebbb... blleeessss.... awwwhh... jerit Mama. "Suruh pelan..." kata Mama.

"Penasaran..." jawabku.

“Kalau robek gimana, nanti kamu nggak bisa pakai lagi deh...” kata Mama lalu Mama merangkul pantatku dengan kedua kakinya, terus digoyang-goyangnya pantatku.

"Enak, sayang... ayo, gesek-gesek truss... oohh... enaknyaaaa.... emmmhh..." desah Mama saat penisku mulai memompa lubang yang pernah melahirkan aku itu.

Memang sangat nikmat saat penisku hilir mudik keluar-masuk menggesek-gesek dinding vagina Mama yang terasa menggerinjel.

Lubang vagina Mama menjadi sangat basah licin, dan mulai terasa longgar sehingga saking semangatnya kusodok lubang itu, penisku tergelincir keluar beberapa kali, Mama masukkannya lagi, kukayuh lagi hingga beberapa menit ke depan, "Ohhhh... aku kekk... luarrr, Maaa..." erangku sambil kudorong penisku sejauh mungkin masuk ke dalam lubang vagina Mama, lalu...

Crrrooottt... crrooottt... crrooottt... crrooottt...

"Ooohhh... oohhh... oohhh...." rintih Mama merasa nikmat rahimnya disembur lahar panas yang keluar kencang dari penisku.

Crrrooottt... crrooottt... crrooottt... crrooottt...

Setelah itu, aku terkulai lemas di atas tubuh Mama, antara puas dan menyesalinya.

Kalau saja testisku tidak digigit serangga, bisa jadi tidak terjadi hubungan incest ini antara aku dan Mama. Aku sudah mencemari kesucian rahim Mama dengan air maniku yang sebenarnya bukan hakku.


Maka itu, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah dalam hidupku dimana perjakaku, tidak kuberikan pada wanita lain, tetapi pada Mama yang melahirkan aku.

“Jangan dicabut...” kata Mama dengan kedua kakinya masih merangkul pantatku.

Kami masih terus melakukannya kalau ada kesempatan. Mama minum pil supaya tidak hamil. Karena keseringan berhubungan seks, aku jadi mencintai mamaku sendiri.

Selain itu aku juga punya obsesi ingin mencabuli bidan Menik yang cantik.

Berhubung suaminya jarang pulang kerja di tongkang pengangkut BBM, pasti bidan Menik kesepian, tetapi aku tidak tau bagaimana caranya untuk memulai. (copyright@bc_januari2024)
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd