Frantines
Kakak Semprot
Kaum sesat musnah, dunia aman.
Begitu melihat Ni Ceng-hiang yang semula merintih tiada hentinya dengan wajah merah padam mendadak mulai mengatur pemapasan, dia tahu kalau perempuan itu segera akan menggunakan ilmu im-kang untuk menghisap hawa kelakian lawan. Karena itu segera bentaknya, "Hati-hati!"
Ni Ceng-hiang tertawa dingin, dia seolah sedang mengejek, "Sudah terlambat!"
Tiba-tiba Cau-ji merasakan liang perempuan itu mulai menyusut kencang, seolah-olah seluruh kepala tombaknya terbungkus oleh dasar liang dan mulai menghisapnya kuat-kuat, begitu nikmatnya hisapan demi hisapan yang muncul membuat anak muda itu merasa sangat nikmat sehingga beberapa kali nyaris melepaskan tembakan.
Cepat dia menarik napas panjang, lalu dengan menggunakan tehnik "menghisap" dari kui-goansin-kang dia balas menghisap liang musuh.
Begitulah, untuk beberapa saat kedua orang itu saling bertahan tanpa seorang pun yang bergerak.
Bwe Si-jin merasa sangat tegang, saking paniknya nyaris dia jatuh pingsan.
Lebih kurang setengah jam kemudian terlihat sekujur tubuh Ni Ceng-hiang mulai gemetar keras, tiba-tiba jeritnya kaget, "Kau..."
Seketika itu juga paras mukanya berubah jadi pucat-pias bagaikan mayat, sekujur badannya gemetar makin keras.
Dari getaran yang muncul pada dasar liangnya, Cau-ji tahu kalau perempuan itu sudah mendekati puncaknya, tanyanya sambil tertawa, "Menyerah tidak?"
Ni Ceng-hiang sama sekali tak menyangka kalau pihak lawan meski masih muda usia namun sanggup mengendalikan dirinya.
Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, buru-buru serunya dengan gemetar, "Menyerah! Menyerah! Siauhiap, ampuni jiwaku!"
"Hahaha, kalau begitu pulihkan dulu ilmu silat Bwe-toasiok."
Dalam keadaan begini, tentu saja Ni Ceng-hiang tak berani membangkang, telapak tangan kanannya diayunkan berulang kali di udara dan membebaskan jalan darah kaku di tubuh Bwe Sijin, kemudian serunya, "Engkoh Jin, tolong mendekatlah ke tepi pembaringan!"
Bwe Si-jin menurut dan segera mendekati pembaringan.
Ni Ceng-hiang segera mengayunkan telapak tangan kanannya, dalam waktu singkat ilmu silat yang dimiliki Bwe Si-jin telah pulih kembali.
Sambil tertawa Bwe Si-jin manggut-manggut, ia segera duduk bersila sambil mengatur pemapasan.
Begitu melihat pamannya telah pulih kembali, dengan perasaan lega Cau-ji pun melanjutkan kembali tusukannya.
"Plook ... plokkkk ...." ternyata Ni Ceng-hiang mengimbangi tusukan itu dengan goyangan pinggulnya.
Desahan napas, rintihan nikmat pun berkumandang memenuhi ruangan.
Perempuan itu sadar, walaupun untuk sementara dia berhasil lolos dari bencana kematian, tapi setiap saat kemungkinan besar goan-im hawa perempuan miliknya bisa tersedot habis, oleh karena itulah dia berusaha keras mengambil hati anak muda itu.
Sementara Cau-ji sendiri pun sudah mempunyai dua cara untuk menyelesaikan masalah ini, asal Bwe-toasioknya telah sadar, maka keputusan pun bisa diambil, sebab itulah dia tidak bertindak banyak.
Sepeminuman teh kemudian Bwe Si-jin telah berdiri lagi dengan tubuh segar.
Sambil menghentikan tusukannya, Cau-ji sambil tertawa, "Toa-siok, bagaimana kita selesaikan perempuan ini?"
Menyaksikan sorot mata minta ampun yang terpancar dari mata Ni Ceng-hiang, Bwe Si-jin segera menghela napas, katanya, "Siau-hiang, bukalah suara!"
"Engkoh Jin, tolong berilah satu kesempatan kepada Siaumoay untuk hidup baru!" pinta Ni Ceng-hiang dengan suara gemetar.
Kembali Bwe Si-jin menghela napas panjang.
"Siau-hiang" katanya, "tentunya kau masih ingat bukan ketika kita sedang belajar silat kepada Suhu, coba kalau bukan dirusak Su Kiau-kiau secara diam-diam, mungkin waktu itu aku sudah meminangmu!"
Pandangan mata Ni Cing-hiang terlihat kabur, dia seolah sedang mengenang kembali kejadian di masa silam.
Kembali Bwe Si-jin berkata dengan lembut, "Siau-hiang, tentunya kau masih teringat dengan kejadian di malam Tiong-ciu waktu itu bukan? Tatkala kita sedang asyik berhubungan badan, Su Kiau-kiau telah menyingkirkan kau dengan siasat!"
"Tentu saja masih ingat," jawab Ni Ceng-hiang gemas, "sebetulnya malam itu dialah yang mendapat tugas untuk menyerahkan kegadisannya, tapi dengan siasat dia justru menyuruh akulah yang pergi menggantikan dirinya, sementara dia justru menikmati kehangatan tubuhmu!"
Perbincangan kedua orang ini seketika membuat mereka berdua terjerumus dalam kenangan lama.
Secara diam-diam Cau-ji meninggalkan tubuhnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
Tatkala dia balik kembali ke dalam kamar untuk berpakaian, kedua orang itu masih berbincang dengan suara lirih.
Cau-ji segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil Pedang pembunuh naga, baru saja akan beranjak pergi, mendadak terdengar Bwe Si-jin berbisik, "Cau-ji, tetaplah tinggal di sini menjadi saksi!"
"Toasiok, Cau-ji harus menjadi saksi apa?" tanya pemuda itu tercengang.
Sembari memeluk tubuh Ni Ceng-hiang yang tertunduk malu, dengan wajah bersungguh-sungguh ujar Bwe Si-jin, "Cau-ji, Toasiok berniat mengambil seorang istri lagi, tolong kau bias menjelaskan nanti bila bertemu adikTi!"
Cau-ji sadar, pamannya demi menyelamatkan keadaan sengaja mengawini Ni Ceng-hiang, agar perempuan sesat ini dapat kembali ke jalan benar, karena itulah dengan sikap amat hormat dia menyembah tiga kali di depan ranjang.
"Toasiok, Toacim, semua masalah serahkan saja kepada keponakan!"
Saking terharunya, air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Ni Ceng-hiang, untuk beberapa saat dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Seusai berpakaian dan menyaru muka, Cau-ji pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Baru keluar dari pintu, dia segera menyaksikan Im Jit-koh sedang bersembunyi di belakang pintu sambil menggapai ke arahnya.
Dengan seksama anak muda itu memeriksa dulu sekeliling tempat itu, kemudian secepat kilat menyelinap masuk ke dalam kamarnya.
"Tongcu, bagaimana masalahnya?" tanya Im Jit-koh dengan ilmu menyampaikan suara.
"Semuanya sudah beres," jawab Cau-ji sambil tertawa, "bukan saja ilmu silat kakakku sudah pulih kembali, bahkan mereka berdua telah melupakan semua kejadian masa lampau, seterusnya tak bakal ada masalah lagi."
"Ah, bagus sekali," Im Jit-koh menghembuskan napas lega, "ulah Hu-kaucu selama ini cukup membuat hamba ketakutan setengah mati."
"Jit-koh, menyusahkan kau saja."
"Mana, Tongcu begitu baik kepada hamba, sudah sepantasnya bila aku pun berbuat untuknya!"
"Jit-koh, apakah sudah mendapat kabar tentang partai-partai besar?"
"Menurut laporan yang masuk, sepuluh tetua Bu-tong-pay sore nanti akan mengerahkan tiga empat ratusan tukang kayu untuk mulai mendirikan barak di punggung bukit Gak-li-san, tampaknya barak itu disiapkan untuk tempat menerima tamu!"
Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau Bu-tong-sip-lo yang punya kedudukan begitu terhormat ternyata bersedia menyandang gelar sebagai mandor tukang kayu, maka kembali tanyanya, "Apakah mereka telah melakukan sesuatu gerakan?"
"Tidak, mereka hanya melakukan pengamatan secara diam-diam, oleh karena Kaucu telah menurunkan instruksi bahwa sebelum terjadinya pertarungan habis-habisan awal bulan depan, semua orang dianjurkan sebisa mungkin menghindari bentrokan, daripada kerugian akan bertambah besar."
"Ehm, masuk akal, kalau begitu perintahkan orang untuk menyiapkan hidangan dan arak di dalam kamarku, aku bermaksud merayakan hari keberhasilan-ku ini."
Diloloh berulang kali oleh Cau-ji dan Bwe Si-jin, akhirnya Ni Ceng-hiang mabuk berat.
Setelah menidurkan perempuan itu di atas ranjang dan menutupinya dengan selimut, Bwe Si-jin balik kembali ke tempat duduknya dan berkata sambil tertawa, "Cau-ji, tak kusangka kau berhasil menyelesaikan semua persoalan di sini dengan lancar, terima kasih banyak!"
"Toasiok, di antara kita berdua kenapa mesti sungkan? Tapi ... benarkah Toasiok bermaksud mengawininya?'
"Benar, jangankan di masa lalu Toasiok pernah berpacaran dengannya, ditambah lagi perangai perempuan ini sebetulnya cukup baik, tentu saja Toasiok tak ingin dia terjerumus makin dalam ke jalan yang sesat."
"Toasiok, mungkin tidak dia mengacau secara diam-diam?"
"Seharusnya tidak, semisal dia menyesal, aku tetap masih bisa mengirimnya ke liang kubur.
Cau-ji, tempat ini serahkan saja kepadaku, sementara kau sendiri tak ada salahnya menciptakan suasana teror dengan identitasmu sebagai Manusia pelumat mayat!"
"Bagus sekali!" seru Cau-ji kegirangan, "Toasiok, sebetulnya aku pun berniat melemahkan semangat juang para cecunguk Jit-seng-kau dengan melakukan berbagai teror, hanya saja aku tidak tahu di manakah mereka tinggal?"
"Ayo jalan, kita cari Jit-koh, dialah yang menyambut dan mengatur tempat tinggal orang-orang itu."
Ketika kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan, Ni Ceng-hiang yang pura-pura tidur di
atas ranjang segera menangis dengan sedihnya.
"Ternyata Suheng benar-benar bersikap baik kepadaku," gumamnya, "padahal aku adalah perempuan kotor dan hina, pantaskah aku mendampinginya?"
Berpikir sampai di situ, air mata yang meleleh keluar bertambah deras.
Tengah malam telah menjelang tiba, di luar kota Tiang-sah, di dalam gedung milik Liu-wangwe. Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam meluncur masuk dari luar dinding pagar sebelah kiri dengan kecepatan bagaikan kilat, tak lama kemudian bayangan hitam itu sudah selesai mengelilingi wilayah seluas tiga li itu.
Bayangan hitam itu tak lain adalah Cau-ji yang bersiap menebar teror.
Terlihat dia melayang turun di atas sebatang pohon yang rindang di tengah halaman, ia sedang berpikir bagaimana cara untuk turun tangan.
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Hei, Lo-ong, rupanya kau mengantuk, kalau sampai tertangkap Hiocu baru tahu rasa kau!"
"Aduh, Lo-kiu, kenapa kau mesti berteriak keras, saat ini Hiocu sedang bermain cinta dengan Siau Tho-ang, tak mungkin dia keluar kamar untuk inspeksi, tolong bantulah aku mengawasi sekitar sini, aai ... aku merasa mengantuk sekali."
"Maknya, dasar mata keranjang, begitu melihat nona kau langsung seperti orang kehilangan sukma, aku bilang, kalau kau tidak bisa mengendalikan diri, cepat atau lambat kau bakal mampus di bawah selangkangan wanita."
"Cuhhh, cuuuh ... Lo-kiu, kau jangan bicara sembarangan, siapa suruh kau berlatih ilmu Kungoan-khi-kang hingga tak berani menyentuh wanita."
"Hehehe, tahukah kau nona yang berada di Giok-hong-tong begitu menawan, bukan saja orangnya cantik, kungfunya juga hebat, apalagi ilmu ranjangnya ...."
"Maknya, kalau ingin tidur cepatlah tidur, buat apa ngaco-belo tak keruan.."
Lelaki di sebelah kanan tertawa ringan, lalu bersiap tidur.
Mendadak terasa angin dingin berhembus, tahu-tahu Cau-ji dengan senyum dikulum telah muncul di hadapannya. Terdengar pemuda itu berkata, "Hehehe, kalau ingin tidur, tidur saja selamanya."
Secepat kilat tangan kanannya melancarkan sebuah bacokan ke depan.
"Blamm!", seketika itu juga orang itu sudah terhajar hancur.
Saking takutnya, sekujur badan Lo-kiu gemetar keras, ia merasakan seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu berkutik.
Melihat orang itu ketakutan sampai terkencing-kencing, Cau-ji segera menegur sambil tertawa seram, "Lo-kiu, kau kemanakan ilmu Kun-goan-khi-kang?"
Ejekan itu seketika menyadarkan Lo-kiu dari rasa takutnya, cepat dia menjatuhkan diri bertutut dan mohonnya, "Manusia pelumat mayat Cianpwe, hamba tidak melakukan kesalahan apa-apa terhadapmu, mohon ampunilah nyawaku."
"Hehehe, siapa suruh kau bergabung dengan Jit-seng-kau?"
"Baik, baik, hamba segera akan keluar dari perkumpulan."
"Hehehe, mengingat kau tidak suka main perempuan, kali ini aku hanya minta telingamu saja sebagai peringatan, cepat enyah dari sini."
"Baik, baik!"
Terdengar suara dengusan tertahan, tahu-tahu Lo-kiu sudah merobek sepasang telinganya dan terhuyung-huyung kabur dari tempat itu.
Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau julukannya sebagai Manusia pelumat mayat dapat mendatangkan teror dan horor yang begitu dahsyat terhadap musuh-musuhnya.
Waktu itu di tengah ruang utama tampak ada dua-tiga puluhan orang sedang bersenda-gurau. Ketika mendengar jeritan ngeri Lo-ong tadi, serentak kawanan jago itu bermunculan dari dalam ruangan, betapa gusarnya orang-orang itu ketika melihat ada seorang pemuda tampan sedang tertawa mengejek di depan pintu.
Tatkala mereka semakin dekat dan melihat tubuh Lo-ong yang hancur berantakan, kawanan jago itu baru menjerit kaget, "Manusia pelumat mayat!"
Begitu melihat Ni Ceng-hiang yang semula merintih tiada hentinya dengan wajah merah padam mendadak mulai mengatur pemapasan, dia tahu kalau perempuan itu segera akan menggunakan ilmu im-kang untuk menghisap hawa kelakian lawan. Karena itu segera bentaknya, "Hati-hati!"
Ni Ceng-hiang tertawa dingin, dia seolah sedang mengejek, "Sudah terlambat!"
Tiba-tiba Cau-ji merasakan liang perempuan itu mulai menyusut kencang, seolah-olah seluruh kepala tombaknya terbungkus oleh dasar liang dan mulai menghisapnya kuat-kuat, begitu nikmatnya hisapan demi hisapan yang muncul membuat anak muda itu merasa sangat nikmat sehingga beberapa kali nyaris melepaskan tembakan.
Cepat dia menarik napas panjang, lalu dengan menggunakan tehnik "menghisap" dari kui-goansin-kang dia balas menghisap liang musuh.
Begitulah, untuk beberapa saat kedua orang itu saling bertahan tanpa seorang pun yang bergerak.
Bwe Si-jin merasa sangat tegang, saking paniknya nyaris dia jatuh pingsan.
Lebih kurang setengah jam kemudian terlihat sekujur tubuh Ni Ceng-hiang mulai gemetar keras, tiba-tiba jeritnya kaget, "Kau..."
Seketika itu juga paras mukanya berubah jadi pucat-pias bagaikan mayat, sekujur badannya gemetar makin keras.
Dari getaran yang muncul pada dasar liangnya, Cau-ji tahu kalau perempuan itu sudah mendekati puncaknya, tanyanya sambil tertawa, "Menyerah tidak?"
Ni Ceng-hiang sama sekali tak menyangka kalau pihak lawan meski masih muda usia namun sanggup mengendalikan dirinya.
Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, buru-buru serunya dengan gemetar, "Menyerah! Menyerah! Siauhiap, ampuni jiwaku!"
"Hahaha, kalau begitu pulihkan dulu ilmu silat Bwe-toasiok."
Dalam keadaan begini, tentu saja Ni Ceng-hiang tak berani membangkang, telapak tangan kanannya diayunkan berulang kali di udara dan membebaskan jalan darah kaku di tubuh Bwe Sijin, kemudian serunya, "Engkoh Jin, tolong mendekatlah ke tepi pembaringan!"
Bwe Si-jin menurut dan segera mendekati pembaringan.
Ni Ceng-hiang segera mengayunkan telapak tangan kanannya, dalam waktu singkat ilmu silat yang dimiliki Bwe Si-jin telah pulih kembali.
Sambil tertawa Bwe Si-jin manggut-manggut, ia segera duduk bersila sambil mengatur pemapasan.
Begitu melihat pamannya telah pulih kembali, dengan perasaan lega Cau-ji pun melanjutkan kembali tusukannya.
"Plook ... plokkkk ...." ternyata Ni Ceng-hiang mengimbangi tusukan itu dengan goyangan pinggulnya.
Desahan napas, rintihan nikmat pun berkumandang memenuhi ruangan.
Perempuan itu sadar, walaupun untuk sementara dia berhasil lolos dari bencana kematian, tapi setiap saat kemungkinan besar goan-im hawa perempuan miliknya bisa tersedot habis, oleh karena itulah dia berusaha keras mengambil hati anak muda itu.
Sementara Cau-ji sendiri pun sudah mempunyai dua cara untuk menyelesaikan masalah ini, asal Bwe-toasioknya telah sadar, maka keputusan pun bisa diambil, sebab itulah dia tidak bertindak banyak.
Sepeminuman teh kemudian Bwe Si-jin telah berdiri lagi dengan tubuh segar.
Sambil menghentikan tusukannya, Cau-ji sambil tertawa, "Toa-siok, bagaimana kita selesaikan perempuan ini?"
Menyaksikan sorot mata minta ampun yang terpancar dari mata Ni Ceng-hiang, Bwe Si-jin segera menghela napas, katanya, "Siau-hiang, bukalah suara!"
"Engkoh Jin, tolong berilah satu kesempatan kepada Siaumoay untuk hidup baru!" pinta Ni Ceng-hiang dengan suara gemetar.
Kembali Bwe Si-jin menghela napas panjang.
"Siau-hiang" katanya, "tentunya kau masih ingat bukan ketika kita sedang belajar silat kepada Suhu, coba kalau bukan dirusak Su Kiau-kiau secara diam-diam, mungkin waktu itu aku sudah meminangmu!"
Pandangan mata Ni Cing-hiang terlihat kabur, dia seolah sedang mengenang kembali kejadian di masa silam.
Kembali Bwe Si-jin berkata dengan lembut, "Siau-hiang, tentunya kau masih teringat dengan kejadian di malam Tiong-ciu waktu itu bukan? Tatkala kita sedang asyik berhubungan badan, Su Kiau-kiau telah menyingkirkan kau dengan siasat!"
"Tentu saja masih ingat," jawab Ni Ceng-hiang gemas, "sebetulnya malam itu dialah yang mendapat tugas untuk menyerahkan kegadisannya, tapi dengan siasat dia justru menyuruh akulah yang pergi menggantikan dirinya, sementara dia justru menikmati kehangatan tubuhmu!"
Perbincangan kedua orang ini seketika membuat mereka berdua terjerumus dalam kenangan lama.
Secara diam-diam Cau-ji meninggalkan tubuhnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
Tatkala dia balik kembali ke dalam kamar untuk berpakaian, kedua orang itu masih berbincang dengan suara lirih.
Cau-ji segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil Pedang pembunuh naga, baru saja akan beranjak pergi, mendadak terdengar Bwe Si-jin berbisik, "Cau-ji, tetaplah tinggal di sini menjadi saksi!"
"Toasiok, Cau-ji harus menjadi saksi apa?" tanya pemuda itu tercengang.
Sembari memeluk tubuh Ni Ceng-hiang yang tertunduk malu, dengan wajah bersungguh-sungguh ujar Bwe Si-jin, "Cau-ji, Toasiok berniat mengambil seorang istri lagi, tolong kau bias menjelaskan nanti bila bertemu adikTi!"
Cau-ji sadar, pamannya demi menyelamatkan keadaan sengaja mengawini Ni Ceng-hiang, agar perempuan sesat ini dapat kembali ke jalan benar, karena itulah dengan sikap amat hormat dia menyembah tiga kali di depan ranjang.
"Toasiok, Toacim, semua masalah serahkan saja kepada keponakan!"
Saking terharunya, air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Ni Ceng-hiang, untuk beberapa saat dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Seusai berpakaian dan menyaru muka, Cau-ji pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Baru keluar dari pintu, dia segera menyaksikan Im Jit-koh sedang bersembunyi di belakang pintu sambil menggapai ke arahnya.
Dengan seksama anak muda itu memeriksa dulu sekeliling tempat itu, kemudian secepat kilat menyelinap masuk ke dalam kamarnya.
"Tongcu, bagaimana masalahnya?" tanya Im Jit-koh dengan ilmu menyampaikan suara.
"Semuanya sudah beres," jawab Cau-ji sambil tertawa, "bukan saja ilmu silat kakakku sudah pulih kembali, bahkan mereka berdua telah melupakan semua kejadian masa lampau, seterusnya tak bakal ada masalah lagi."
"Ah, bagus sekali," Im Jit-koh menghembuskan napas lega, "ulah Hu-kaucu selama ini cukup membuat hamba ketakutan setengah mati."
"Jit-koh, menyusahkan kau saja."
"Mana, Tongcu begitu baik kepada hamba, sudah sepantasnya bila aku pun berbuat untuknya!"
"Jit-koh, apakah sudah mendapat kabar tentang partai-partai besar?"
"Menurut laporan yang masuk, sepuluh tetua Bu-tong-pay sore nanti akan mengerahkan tiga empat ratusan tukang kayu untuk mulai mendirikan barak di punggung bukit Gak-li-san, tampaknya barak itu disiapkan untuk tempat menerima tamu!"
Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau Bu-tong-sip-lo yang punya kedudukan begitu terhormat ternyata bersedia menyandang gelar sebagai mandor tukang kayu, maka kembali tanyanya, "Apakah mereka telah melakukan sesuatu gerakan?"
"Tidak, mereka hanya melakukan pengamatan secara diam-diam, oleh karena Kaucu telah menurunkan instruksi bahwa sebelum terjadinya pertarungan habis-habisan awal bulan depan, semua orang dianjurkan sebisa mungkin menghindari bentrokan, daripada kerugian akan bertambah besar."
"Ehm, masuk akal, kalau begitu perintahkan orang untuk menyiapkan hidangan dan arak di dalam kamarku, aku bermaksud merayakan hari keberhasilan-ku ini."
Diloloh berulang kali oleh Cau-ji dan Bwe Si-jin, akhirnya Ni Ceng-hiang mabuk berat.
Setelah menidurkan perempuan itu di atas ranjang dan menutupinya dengan selimut, Bwe Si-jin balik kembali ke tempat duduknya dan berkata sambil tertawa, "Cau-ji, tak kusangka kau berhasil menyelesaikan semua persoalan di sini dengan lancar, terima kasih banyak!"
"Toasiok, di antara kita berdua kenapa mesti sungkan? Tapi ... benarkah Toasiok bermaksud mengawininya?'
"Benar, jangankan di masa lalu Toasiok pernah berpacaran dengannya, ditambah lagi perangai perempuan ini sebetulnya cukup baik, tentu saja Toasiok tak ingin dia terjerumus makin dalam ke jalan yang sesat."
"Toasiok, mungkin tidak dia mengacau secara diam-diam?"
"Seharusnya tidak, semisal dia menyesal, aku tetap masih bisa mengirimnya ke liang kubur.
Cau-ji, tempat ini serahkan saja kepadaku, sementara kau sendiri tak ada salahnya menciptakan suasana teror dengan identitasmu sebagai Manusia pelumat mayat!"
"Bagus sekali!" seru Cau-ji kegirangan, "Toasiok, sebetulnya aku pun berniat melemahkan semangat juang para cecunguk Jit-seng-kau dengan melakukan berbagai teror, hanya saja aku tidak tahu di manakah mereka tinggal?"
"Ayo jalan, kita cari Jit-koh, dialah yang menyambut dan mengatur tempat tinggal orang-orang itu."
Ketika kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan, Ni Ceng-hiang yang pura-pura tidur di
atas ranjang segera menangis dengan sedihnya.
"Ternyata Suheng benar-benar bersikap baik kepadaku," gumamnya, "padahal aku adalah perempuan kotor dan hina, pantaskah aku mendampinginya?"
Berpikir sampai di situ, air mata yang meleleh keluar bertambah deras.
Tengah malam telah menjelang tiba, di luar kota Tiang-sah, di dalam gedung milik Liu-wangwe. Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam meluncur masuk dari luar dinding pagar sebelah kiri dengan kecepatan bagaikan kilat, tak lama kemudian bayangan hitam itu sudah selesai mengelilingi wilayah seluas tiga li itu.
Bayangan hitam itu tak lain adalah Cau-ji yang bersiap menebar teror.
Terlihat dia melayang turun di atas sebatang pohon yang rindang di tengah halaman, ia sedang berpikir bagaimana cara untuk turun tangan.
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Hei, Lo-ong, rupanya kau mengantuk, kalau sampai tertangkap Hiocu baru tahu rasa kau!"
"Aduh, Lo-kiu, kenapa kau mesti berteriak keras, saat ini Hiocu sedang bermain cinta dengan Siau Tho-ang, tak mungkin dia keluar kamar untuk inspeksi, tolong bantulah aku mengawasi sekitar sini, aai ... aku merasa mengantuk sekali."
"Maknya, dasar mata keranjang, begitu melihat nona kau langsung seperti orang kehilangan sukma, aku bilang, kalau kau tidak bisa mengendalikan diri, cepat atau lambat kau bakal mampus di bawah selangkangan wanita."
"Cuhhh, cuuuh ... Lo-kiu, kau jangan bicara sembarangan, siapa suruh kau berlatih ilmu Kungoan-khi-kang hingga tak berani menyentuh wanita."
"Hehehe, tahukah kau nona yang berada di Giok-hong-tong begitu menawan, bukan saja orangnya cantik, kungfunya juga hebat, apalagi ilmu ranjangnya ...."
"Maknya, kalau ingin tidur cepatlah tidur, buat apa ngaco-belo tak keruan.."
Lelaki di sebelah kanan tertawa ringan, lalu bersiap tidur.
Mendadak terasa angin dingin berhembus, tahu-tahu Cau-ji dengan senyum dikulum telah muncul di hadapannya. Terdengar pemuda itu berkata, "Hehehe, kalau ingin tidur, tidur saja selamanya."
Secepat kilat tangan kanannya melancarkan sebuah bacokan ke depan.
"Blamm!", seketika itu juga orang itu sudah terhajar hancur.
Saking takutnya, sekujur badan Lo-kiu gemetar keras, ia merasakan seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu berkutik.
Melihat orang itu ketakutan sampai terkencing-kencing, Cau-ji segera menegur sambil tertawa seram, "Lo-kiu, kau kemanakan ilmu Kun-goan-khi-kang?"
Ejekan itu seketika menyadarkan Lo-kiu dari rasa takutnya, cepat dia menjatuhkan diri bertutut dan mohonnya, "Manusia pelumat mayat Cianpwe, hamba tidak melakukan kesalahan apa-apa terhadapmu, mohon ampunilah nyawaku."
"Hehehe, siapa suruh kau bergabung dengan Jit-seng-kau?"
"Baik, baik, hamba segera akan keluar dari perkumpulan."
"Hehehe, mengingat kau tidak suka main perempuan, kali ini aku hanya minta telingamu saja sebagai peringatan, cepat enyah dari sini."
"Baik, baik!"
Terdengar suara dengusan tertahan, tahu-tahu Lo-kiu sudah merobek sepasang telinganya dan terhuyung-huyung kabur dari tempat itu.
Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau julukannya sebagai Manusia pelumat mayat dapat mendatangkan teror dan horor yang begitu dahsyat terhadap musuh-musuhnya.
Waktu itu di tengah ruang utama tampak ada dua-tiga puluhan orang sedang bersenda-gurau. Ketika mendengar jeritan ngeri Lo-ong tadi, serentak kawanan jago itu bermunculan dari dalam ruangan, betapa gusarnya orang-orang itu ketika melihat ada seorang pemuda tampan sedang tertawa mengejek di depan pintu.
Tatkala mereka semakin dekat dan melihat tubuh Lo-ong yang hancur berantakan, kawanan jago itu baru menjerit kaget, "Manusia pelumat mayat!"