Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Tetap yahud gan :jempol:
Mari di mari lanjut gan :banzai:
 
Habis berkata dia pun segera beranjak pergi.
"Kongcu," ujar Leng Bang kemudian sambil tersenyum, "setelah mengalami serbuan yang berakibat fatal, pihak biara Siau-lim pasti sangat membenci orang-orang Jit-seng-kau, dengan dasar musuh bersama, seluruh partai besar pasti akan mendukung ayahmu menjadi pemimpin dunia persilatan."

Cau-ji ikut tertawa.
"Ayahku sudah lama hidup mengasingkan diri, aku pribadi berharap dalam dua-tiga hari mendatang sudah bisa melenyapkan Su Kiau-kiau dari muka bumi, sehingga tak perlu merepotkan ayahku lagi!"
"Hahaha, ternyata Kongcu sangat berbakti kepada orang tua, sungguh mengagumkan."

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah biara berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalu-talu, kedua orang itu sadar, pasti sudah terjadi sesuatu yang gawat, serentak mereka bangkit.
Tampak It-ci Taysu berlari masuk ke dalam ruangan sambil berseru, "Sudah pasti pihak Jitseng-
kau melancarkan serangan lagi, kalian berdua.."
"Hahaha, bagus sekali!" sela Cau-ji sambil mengenakan kembali topengnya, "akan kusuruh mereka bisa datang tak bisa pergi, ayo kita ke sana!"

Baru saja mereka tiba di lapangan depan biara, terlihat ada lima puluhan padri Siau-lim dengan senjata terhunus dan wajah serius sedang saling berhadapan dengan ratusan lelaki berbaju hitam.

"Omitohud!" seru It-ci Taysu dengan suara dalam, "ada urusan apa kalian datang ke biara kami?"
Seorang kakek berusia enam puluh tahunan tertawa seram, sahutnya, "Hehehe, Lohu mendapat perintah dari Kaucu untuk membantu kalian kawanan keledai gundul secepatnya pulang ke nirwana!"

Sambil berkata, dia mengayunkan tangan kanannya ke atas.
"Criiing, criiing, criiing..."pedang segera dilolos dari sarungnya, suasana tegang penuh hawa membunuh pun seketika menyelimuti arena.

Para padri Siau-lim serentak memuji keagungan Buddha, mereka pun sudah siap melancarkan serangan.
Mendadak terdengar Cau-ji tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras dan nyaring, kontan kawanan iblis itu dibuat terkesiap.
"Mana Su Kiau-kiau?" hardiknya nyaring, "apakah dia belum datang?"
"Kurang-ajar," umpat kakek itu gusar, "besar amat nyalimu, berani menyebut nama Kaucu kami seenak hati."
"Hahaha, Su Kiau-kiau lonte busuk, kalau memang ia tak berani datang kemari, biar Toaya yang menghabisi dulu kalian anak setan cucu kura-kura.."

Habis berkata dia langsung melangkah maju dengan tindakan lebar.
Takabur amat ucapannya, jumawa amat penampilannya, ternyata dia berani memaki ketua Jitseng-kau dengan kata sekasar itu.


Kontan suara geram dan teriakan gusar bergema dari empat penjuru, tampak empat lelaki berwajah bengis dengan senjata gada bergigi serigala langsung merangsek maju, gerak-geriknya buas dan menyeramkan, seakan setan iblis yang datang dari neraka saja.

"Kongcu, hati-hati, terutama dengan senjata gada pengait sukmanya, mereka adalah Im-sansu-kui (empat setan dari lm-san)!" seru Leng Bang memperingatkan.
"Hahaha, bagus, bagus sekali! Kalau begitu biar Toaya mengubah kalian jadi setan betulan!"
Selesai berkata dia segera menyelinap maju dan mengayunkan sepasang tangannya berulang kali.
"Blam"
"Ah..."
Hancuran daging beterbangan ke angkasa, percikan darah segar menganak sungai.
Betul-betul sebuah pukulan maut yang sangat mematikan.

Seketika itu juga semua orang menahan napas karena terkena tekanan udara yang sangat panas.
Hawa napsu membunuh benar-benar sudah berkobar dalam hati Cau-ji, dia lolos pedang pembunuh naga, "Criiing!" Begitu pedang itu terhunus, cahaya tajam pun memancar ke empat
penjuru.

Sambil mengangkat tinggi pedangnya, kembali pemuda itu berseru, "Para Suhu Siau-lim yang tertimpa musibah, roh kalian tak akan buyar di alam baka, hari ini saksikan bagaimana cara Wanpwe membalaskan dendam sakit hati kalian. Lihat pedang!"

Terlihat sekilas cahaya terang melesat ke tengah gerombolan orang-orang Jit-seng-kau, jeritan ngeri yang memilukan pun bergema.
Cahaya tajam memancar sampai beberapa kaki jauhnya dan lambat-laun membentuk sebuah jaring pedang yang bergeser mengikuti gerakan tubuh Cau-ji, di mana pemuda itu bergeser, di sanalah terjadi pembantaian besar-besaran.

Kawanan jago Jit-seng-kau serentak mengayun senjata masing-masing melakukan perlawanan, serangan maut hampir semuanya ditujukan ke tubuh Cau-ji.
Sayang senjata yang mereka hadapi adalah pedang pembunuh naga yang amat tajam dan luar biasa, apalagi Cau-ji telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan mematikan serangan itu.
Terdengar jeritan ngeri yang memilukan bergema silih berganti.

Tampak hancuran daging berserakan di mana-mana, darah segar pun menggenangi permukaan tanah, keadaan waktu itu benar-benar sangat mengerikan.
Apalagi mendekati senja, suasana di seputar bukit terasa lebih menyeramkan.

Pertarungan semacam ini boleh dibilang bukan pertarungan antara manusia melawan manusia, lebih cocok kalau dibilang pertarungan antara petugas pencabut nyawa dari neraka dengan manusia, karena setiap kali Cau-ji mengayunkan pedangnya, paling tidak ada lima orang musuh
yang mati secara mengenaskan.



Sedangkan tangan kirinya setiap kali diayunkan, pasti ada tiga orang lawan bersimbah darah.
Pertarungan kali ini benar-benar sebuah pertarungan yang tidak seimbang.
Kawanan jago Jit-seng-kau yang sudah banyak melakukan kejahatan ini benar-benar mendapat pembalasan yang setimbal, lapangan di depan biara suci Siau-lim pun kini berubah jadi tempat pembantaian yang paling mengerikan.

Menyaksikan semua itu, kawanan padri Siau-lim hanya bisa memejamkan mata sambil membaca doa.
Bahkan Leng Bang yang sepanjang hidupnya malang melintang di dunia persilatan, bahkan entah sudah berapa banyak pertarungan yang dialami, belum pernah menyaksikan adegan mengerikan seperti saat ini.

Dengan wajah serius dia mengawasi ilmu silat Cau-ji yang begitu mengerikan.
Setelah melalui sebuah pembantaian yang sadis, tak sampai satu jam kemudian ratusan orang lelaki berbaju hitam itu telah hancur dan punah, tumpukan mayat pun membukit di tengah lapangan.

Cau-ji memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menghembuskan napas lega dia sarungkan kembali pedangnnya, kepada It-ci Taysu ujarnya perlahan, "Taysu, sekujur badan Wanpwe sudah basah oleh darah, tak baik bagiku untuk masuk lagi ke dalam biara, selamat tinggal!"

Perkataan itu seketika menyadarkan kembali It-ci Taysu dari lamunannya, cepat ujarnya, "Siausicu, kau telah membantu biara kami lolos dari pembantaian, mana boleh kau pergi begitu
saja?"
"Lagi pula sejak semalam biara kami sudah dinodai ceceran darah, tempat ini sudah tidak pantang lagi menerima orang yang berdarah, bila Siausicu berlalu begitu saja, bagaimana cara Lolap memberikan pertanggung-jawaban terhadap Ciangbunjin?"

Pada saat itulah terdengar seseorang berseru memuji keagungan sang Buddha. Dengan girang It-ci Taysu segera berseru, "Siausicu, Ciangbunjin kami telah keluar!"
Benar saja, diiringi empat Hwesio cilik, Goan-tong Taysu telah muncul dari balik pintu gerbang.
Setelah semua orang memberi hormat, terdengar Goan-tong Taysu berkata dengan penuh rasa terima kasih, "Omitohud, kehadiran Sicu berdua bukan saja telah mengantar obat mujarab, bahkan membantu juga biara kami terhindar dari pembantaian, budi kebaikan ini sungguh luar biasa, terimalah salam terima kasihku mewakili seluruh anggota biara."
Habis berkata, dia menjura.

Tergopoh-gopoh Cau-ji balas memberi hormat, serunya, "Ciangbunjin kelewat sungkan, Jitseng- kau sudah terlalu sering melakukan kajahatan, perbuatan mereka dikutuk setiap orang, sudah menjadi kewajibanku membantainya.

"Ciangbunjin, yang Wanpwe kuatirkan justru bila Jit-seng-kau sengaja membagi pasukannya jadi dua rombongan, satu rombongan menyerang kemari sedang pasukan yang lain memanfaatkan kesempatan ini menyergap gedung Liong-ing-hong. Oleh sebab itu Wanpwe ingin mohon diri terlebih dulu, biar lain kali berkunjung lagi!"
"Kalau memang begitu, Pinceng akan mengantar Sicu berdua!" ucap Goan-tong Taysu.
"Tidak berani."
Di tengah bunyi genta yang bertalu-talu, Cau-ji berdua menuruni bukit Siong-san dan langsung menuju ke kota Lok-yang dengan kecepatan tinggi.
Menjelang malam, kedua orang itu sudah tiba di kota Lok-yang, tampak rakyat di kota itu menunjukkan wajah panik bercampur cemas, seolah suatu bencana besar telah terjadi.

Sekilas firasat tak baik segera melintas dalam hati kedua orang itu.
"Minggir!" bentak Cau-ji dengan suara keras.
Suara bentakan yang menggelegar ini kontan membuat penduduk kota ketakutan, buru-buru mereka menyingkir ke samping memberi jalan lewat untuk Cau-ji.

Belum tiba di depan gedung Liong-ing-hong, Cau-ji berdua sudah melihat pintu gerbang gedung itu telah dikepung dua puluhan manusia berbaju hitam, sementara darah berceceran membasahi lantai, sudah ada belasan orang penjaga yang tergeletak tak bergerak.

Betapa gusarnya Cau-ji menyaksikan jago-jago Jit-seng-kau benar-benar telah melakukan penyerangan di Liong-ing-hong, bahkan petugas negara pun dibantai tanpa ampun.

Sambil membentak nyaring dia melompat turun dari punggung kudanya dan langsung menerkam ke depan.
Leng Bang pun sangat menguatirkan keselamatan junjungannya, dengan gerakan cepat dia menerjang pula ke depan.

Begitu mendengar ada suara derap kaki kuda yang bergerak mendekat, kawanan manusia berbaju hitam segera melakukan pengepungan dengan ketat, maka begitu Cau-ji berdua menerjang ke depan, serentak lemparan Am-gi dan pukulan dahsyat dilontarkan berbarengan.

Cau-ji mengayunkan telapak tangannya berulang kali, begitu berhasil merontokkan sambitan senjata rahasia dan memunahkan angin pukulan, segera hardiknya, "Siapa berani menghalangi aku, mampus!"

Sepasang tangannya melontarkan pukulan berulang kali.
"Aduuuh.." di tengah jeritan ngeri, ada tiga lelaki berbaju hitam yang mencelat dengan tubuh hancur.
"Manusia penghancur mayat!" entah siapa yang menjerit kaget lebih dulu, serentak kawanan manusia berbaju hitam itu mundur sejauh beberapa langkah.

Sambil mencabut pedang pembunuh naganya, kembali Cau-ji membentak, "Cianpwe, kuserahkan tempat ini kepadamu!"
Selesai berkata, pedangnya dibabatkan kian kemari membuka sebuah jalan tembus dan langsung menuju ke arah pintu gerbang.

Dalam waktu singkat lagi-lagi ada empat lelaki berbaju hitam yang dibabat hingga hancur berkeping.
Ketika tiba di halaman tengah, ia saksikan ada enam lelaki berbaju hitam bersenjatakan pentungan langsung melancarkan serangan ke tubuhnya.
"Bangsat, cari mampus!" teriak Cau-ji gusar.
Dia sambut datangnya serangan itu dengan babatan pedang.
Tak sampai tiga gebrakan, keenam orang itu kembali dibabat mampus.
Kegaduhan segera melanda seluruh halaman. Menggunakan kesempatan itu Cau-ji memeriksa sekejap keadaan sekeliling sana.

Tampak dua bersaudara Suto telah terkepung oleh delapan belas lelaki bersenjatakan pedang, walaupun tidak menunjukkan tanda bakal kalah, namun peluh telah membasahi tubuh mereka, jelas kedua gadis ini gagal untuk meloloskan diri dari kepungan.

Sementara Siang Ci-liong dan Siang Ci-ing dikepung juga oleh delapan belas jago berpedang, tubuh mereka pun telah basah kuyup oleh keringat, tampak sekali mereka sudah sangat kepayahan.

Sebaliknya tiga bersaudara Cu dengan mengembangkan barisan Sam-cay-tin bertarung melawan delapan belas jago berpedang lainnya, posisi mereka tampak berada di atas angin.
Chin Tong dengan mengandalkan sepasang telapak tangannya melayani serbuan lawan yang bertubi-tubi, wajahnya sama sekali tak nampak jeri.

Selain itu terdapat pula belasan muda-mudi bersenjatakan pedang mati-matian mempertahankan pintu masuk menuju ke ruang utama.
Di samping itu terdapat pula dua puluhan kakek berbaju hitam yang berdiri di sisi arena dengan senyuman dingin dikulum, tapi sejak kemunculan Cau-ji, wajah mereka segera menunjukkan perasaan kaget bercampur panik.

Tidak menunggu pihak musuh maju menyerang, Cau-ji sudah menerjang maju lebih dulu ke arah Siang Ci-Liong bersaudara yang terkurung, belum lagi tubuhnya sampai, pedang pembunuh naganya bagaikan jaring pedang telah membacok tiba lebih dahulu.

Dua puluh lelaki yang menerjang lebih duluan tak sempat menghindar, seketika tubuh mereka terbacok.
Dua puluhan kakek berbaju hitam lainnya segera mengerang gusar, serentak mereka menyerbu maju.
Menggunakan kesempatan yang amat singkat inilah Cau-ji kembali berhasil melampaui tiga lelaki. Kehadiran Cau-ji seketika membuat semangat Siang Ci-liong kakak-beradik makin berkobar, begitu tekanan berkurang, mereka pun mundur ke arah pintu ruangan.

Cau-ji betul-betul memamerkan kehebatannya, pukulan dan ayunan pedang bergerak silih berganti, dia sambut datangnya serbuan dari dua-tiga puluhan jago Jit-seng-kau dengan gagah
perkasa.

Sesungguhnya dua-tiga puluhan jago itu merupakan jago-jago pilihan berilmu tinggi, tapi sayang musuh mereka adalah Cau-ji, ditambah lagi mereka sudah dibuat keder terlebih dahulu akan kehebatan ilmu silat "Manusia penghancur mayat", jadi sebelum bertarung kekuatan mereka sudah jauh terpengaruh.

Cau-ji tidak berpikir panjang lagi, setiap kali melancarkan serangan, dia selalu menggempur dengan sepenuh tenaga, hatinya tidak menjadi lunak hanya dikarenakan suara jeritan ngeri dari
korbannya.

Sepeminuman teh kemudian situasi di tengah arena telah terjadi perubahan besar, pihak Jitseng-kau telah berada di posisi bawah angin.

Kembali angin pukulan menggelegar, hawa pedang menyayat badan.
Hancuran daging dan potongan badan berhamburan ke mana-mana, darah segar bercucuran membasahi seluruh tanah.

Dari dua-tiga puluhan kakek berbaju hitam itu, kini tersisa lima orang saja yang masih hidup.
Kesombongan dan kejumawaan mereka saat ini sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya perasaan ngeri, takut, dan kaget mencekam hati mereka, kini orang-orang itu sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan.

Cau-ji seakan sudah lupa diri, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan menggila, terhadap sambitan Am-gi maupun pukulan yang tertuju ke arahnya dia seakan tidak merasa dan tidak melihatnya, karena dia berpendapat, bagaimanapun juga keselamatan tubuhnya sudah terlindung oleh hawa murni Im-yang-khi-kang.

Kawanan berbaju hitam itu semakin ketakutan, apalagi menyaksikan anak muda itu bukan saja melancarkan serangan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, bahkan tubuhnya seolah kebal terhadap sambitan senjata rahasia maupun angin pukulan.

Entah siapa yang berteriak duluan, "Kabur!" tak lama kemudian keempat-lima puluhan jago Jitseng-kau yang tersisa sudah melarikan diri dari situ.
Cau-ji membentak gusar, sambil menghadang di depan pintu gerbang, serangan pedang dan pukulannya dilontarkan berulang kali.

Waktu itu yang berada dalam benak kawanan berbaju hitam itu hanya melarikan diri dari tempat pembantaian, begitu ada kesempatan menerobos, segera mereka gunakan dengan sebaik-baiknya.
Tak selang beberapa saat kemudian, kecuali dua puluhan jago yang termasuk golongan agak lemah, sisanya sudah habis melarikan diri dari situ.
Bahkan delapan-sembilan orang yang sedang bertarung melawan Leng Bang di depan pintu pun ikut kabur terbirit-birit.

Seakan baru terbebas dari beban berat, Siang Ci-liong berdua segera berjalan menghampiri Cau-ji.
Dua bersaudara Suto serta Siang Ci-ing seakan baru bertemu dengan kekasih yang sudah berpisah lama, serentak berlari dan menubruk ke dalam pelukan Cau-ji sambil berseru, "Adik Cau!"

Pada saat itulah mendadak dari balik semak di sisi kanan tembok terdengar seseorang menjerit
kaget, "Ternyata dia!"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cau-ji, tanpa banyak pikir lagi pedang pembunuh naga yang berada dalam genggaman tangan kanannya langsung dilontarkan ke depan.
Sementara ketiga gadis itu tergopoh-gopoh menghentikan langkahnya setelah menyaksikan kejadian ini.
Sesosok bayangan orang segera menyelinap keluar dari balik kerumunan semak seraya berseru, "Kongcu, aku Siau-hong!"
Pedang pembunuh naga yang sudah dilontarkan ke arah semak itu seakan memiliki kekuatan yang terkendali, tiba-tiba saja sebelum mengenai tubuh orang itu, gerakan pedang telah berputar arah dan meluncur balik ke tangan Cau-ji.

Dengan satu gerakan, Cau-ji menangkap kembali senjatanya kemudian disarungkan.
Tampak Siau-hong yang berpakaian serba hitam segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cau-ji sambil teriaknya kegirangan, "Budak menjumpai Kongcu!"

Cau-ji segera maju membangunkan dayang itu, tegurnya sambil tertawa, "Siau-hong, mengapa secara tiba-tiba kau datang kemari? Dari mana kau bisa mengenali aku?"

Sambil melepaskan topeng yang dikenakan dan tampil dengan wajah aslinya, sahut Siau-hong kegirangan, "Kongcu, Im-congkoan yang memberitahukan nama besarmu kepada budak, ia berpesan agar budak mengikuti mereka datang kemari mencarimu!"

Mendengar itu, Cau-ji jadi amat terperanjat, buru-buru tanyanya, "Siau-hong, apakah di Jitseng-kau sudah terjadi sesuatu?"

Sebagaimana diketahui, Im Jit-koh sama sekali tidak mengetahui identitas Cau-ji dan Bwe Si-jin yang sebenarnya, bila Im Jit-koh tahu akan nama Cau-ji, berarti Bwe Si-jin yang memberitahukan kepadanya, hal ini menunjukkan pula kalau ia sedang menghadapi ancaman bahaya.
Ternyata dugaannya tak salah, terdengar Siau-hong menyahut,
"Kongcu, Bwe-cianpwe telah ditangkap!"

Berubah paras muka Cau-ji, sambil mencengkeram bahu Siau-hong, serunya tanpa sadar, "Sungguh?"
"Be ... benar ...." Siau-hong mengangguk sambil menahan rasa sakit di bahunya.
"Adik Cau, tak usah emosi," buru-buru Suto Si menghibur.
Teguran itu segera menyadarkan Cau-ji, melihat Siau-hong sudah dibuat ketakutan hingga bermandikan peluh dingin, buru-buru dia kendorkan tangannya dan berkata dengan nada minta maaf, "Siau-hong, maaf! Mari kita berbicara di dalam."
 
akhirnya! Muncul lagi pertarungan seru! Untung ditanah china ceritanya..kalo sempat terjadi ditanah air tercinta ini bakal terjadi dibantu ma wiro sableng,sibuta dari goa hantu,pendekar tapak sakti,jago silat dari tanah andalas,dll.. Haha..tapi kayaknya ngak akan terjadi.
 
Hebat2 .. , semakin lama cau ji semakin hebat .. , semoga besok ada ap det lg he he ..
 
Sambil berkata ia menyapa semua orang, lalu mengajak dua bersaudara Suto dan Siau-hong masuk ke dalam ruangan.

Ternyata semenjak Cau-ji mengajak Suto bersaudara pergi meninggalkan Jit-seng-lau, para jago Jit-seng-kau yang dibuat heboh akan kemunculan Manusia pelumat mayat pun berbondong-bondong mendatangi rumah makan itu.

Untuk menampung kedatangan kawanan jago, terpaksa Im Jit-koh menyiapkan kamar di seluruh rumah penginapan yang ada di kota itu dan menyebar semua kekuatan yang ada di seluruh kota.

Bwe Si-jin dengan status sebagai He Hau-ti didampingi Im Jit-kou pun mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut kedatangan para Hiocu Jit-seng-kau.
Berhubung Im Jit-koh mempunyai pergaulan luas dan supel orangnya, boleh dibilang dia sangat mengenali setiap Hiocu yang hadir, karena itulah penyaruan Bwe Si-jin tidak terbongkar.

Sekalipun begitu diam-diam ia merasa terkejut juga oleh kehebatan dan begitu kuatnya kawanan jago di bawah pimpinan Su Kiau-kiau.
Jangan dilihat orang-orang itu hanya seorang Hiocu dalam perkumpulan Jit-seng-kau, padahal kebanyakan merupakan tokoh silat yang mempunyai asal-usul luar biasa, kalau bukan seorang jagoan di suatu daerah, paling tidak merupakan seorang jagoan yang punya nama besar di dunia persilatan.

Apalagi setelah partai-partai besar melancarkan pembersihan secara besar-besaran, kebanyakan jagoan dari kalangan Hek-to kabur dan bergabung dengan perkumpulan Jit-seng-kau, hal ini membuat kekuatan perkumpulan ini jadi semakin berkembang.

Sore itu, baru saja Bwe Si-jin selesai bersemedi dan sedang putar otak mencari akal bagaimana caranya menghimpun seluruh kekuatan partai besar untuk bersama-sama menumpas kekuatan Jitseng-kau, mendadak terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.

la tahu orang itu pasti Im Jit-koh, karenanya ia segera bangkit untuk membukakan pintu.
Siapa tahu begitu pintu kamar dibuka, tampak Im Jit-koh sedang berdiri hormat di sisi kiri seorang perempuan cantik setengah umur yang tampak begitu matang dan genit. Kenyataan ini
membuatnya tertegun.

Terdengar nyonya cantik setengah baya itu menyapa sambil tertawa genit, "Hek tua, kau tak menyangka aku bakal kemari bukan?"
Begitu bertemu nyonya cantik setengah umur itu, Bwe Si-jin segera mengenalinya sebagai adik seperguruan sendiri, yakni wakil ketua perkumpulan Jit-seng-kau saat ini, Ni Ceng-hiang, tak urung tertegun juga dibuatnya.

Begitu mendengar rayuan genitnya, dia segera sadar kalau perempuan ini memang Ni Cenghiang, buru-buru katanya dengan hormat,
"Ooh, rupanya wakil ketua, silakan masuk!"

Ni Ceng-hiang segera berpaling ke arah Im Jit-koh sambil mengangguk, tanpa banyak bicara Im Jit-koh segera mengundurkan diri dari sana.
Baru saja Bwe Si-jin menutup pintu, terdengar Ni Ceng-hiang telah berseru sambil tertawa jalang, "Hek tua, tak aneh kalau kau enggan meninggalkan tempat ini!"

Habis berkata dia pun langsung menduduki bangku "Biau-biau-ki".
Bukan hanya duduk, bahkan perempuan itu segera membuka pahanya lebar-lebar sambil memperlihatkan gaya menantang.
Menyaksikan itu, kontan Bwe Si-jin terangsang, pikirnya, "Benar-benar tak kusangka kalau perempuan iblis ini begini merangsang!"

Satu ingatan segera melintas, pikirnya lagi dengan perasaan terperanjat, "Celaka, kelihatannya di masa lalu Hek Hau-ti sering bermain serong dengan perempuan iblis ini, berarti hari ini aku tak bisa lolos dari cengkeramannya, satu pertempuran ranjang pasti akan berlangsung amat seru."
"Lebih celaka lagi begitu aku bugil, maka segala sesuatunya tak bisa disembunyikan lagi, andaikata barang Hek Hau-ti tidak sepanjang dan sebesar milikku, urusan bisa berabe!"

Biarpun hatinya sangat gelisah, namun penampilannya tetap penuh senyum cabul, sembari menghampiri perempuan itu dia rangkul bahu kanannya sembari membelai dengan penuh rayuan.

Di sinilah letak kepintarannya, sebab dia hingga kini tak tahu bagaimana kedua orang itu saling menyebut di masa lalu, karenanya dia menggantikannya dengan suara tertawa.
Tampak Ni Ceng-hiang menggeliat geli dan berseru sambil tertawa jalang, "Ah ... engkoh Ti, memang kau belum puas dengan permainanmu di sini? Masa baru bertemu tanganmu sudah begitu jahil?"

Betapa lega Bwe Si-jin mendengar perkataan itu, katanya lagi sambil tertawa terkekeh, "Adik
Hiang, siapa suruh wajahmu merangsang napsu birahi orang?"
Sambil berkata tangannya langsung dimasukkan ke balik baju dan mulai meremas sepasang payudaranya.

Ni Ceng-hiang tertawa geli, tubuhnya menggeliat kian kemari sambil tertawa senang.
Diam-diam Bwe Si-jin memperhatikan perubahan mimik wajah perempuan itu, melihat ia sama sekali tidak curiga, sadarlah dia kalau di masa lalu perempuan ini memang paling suka serangan ganas semacam ini.

Maka tanpa sungkan lagi dia langsung melepas kancing bajunya dan membetot pakaian dalamnya dengan kasar.
"Breeeet...!", pakaian dalamnya yang terbuat dari bahan mahal itu langsung robek dan terlepas, sepasang payudaranya yang montok berisi pun langsung melompat keluar.

Ni Ceng-hiang sama sekali tak mengira kalau dia menunjukkan perbuatan sebuas dan sekasar itu, jeritnya tertahan, "Kau.."
Belum selesai dia bicara, tiba-tiba Bwe Si-jin memeluk badannya lalu mencium bibirnya dengan buas, bukan hanya mencium, dia pun mulai menghisap ujung lidahnya dengan penuh napsu.

Ni Ceng-hiang mendesis lirih dan segera balas mencium dengan penuh napsu.
Begitu melihat reaksi yang ditunjukkan perempuan itu, Bwe Si-jin semakin sadar kalau jalan yang ditempuh sudah benar, maka sambil menciuminya dengan buas, tangannya mulai bergerak cepat melucuti semua pakaian yang dikenakan, tak lama kemudian perempuan itu sudah berada dalam keadaan telanjang bulat.

Tangannya tak tinggal diam, dari payudara dia mulai menggerayangi seluruh tubuh perempuan itu.
Dia tahu selama ini Ni Ceng-hiang pasti selalu berperan sebagai "perempuan yang diperkosa", karena itu tangannya bukan hanya meremas payudaranya, bahkan mulai memilir puting susunya.

Selang beberapa saat kemudian dia mulai menghisap puting susu perempuan itu dan menggigitnya periahan, tak ampun perempuan itu mulai mendesah kenikmatan.
Tangan kanannya tidak tinggal diam, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dia mulai meraba hutan belukar dan menelusuri gua lembab yang sempit dan hangat.

"Ah ... ooh ... engkoh Ti... sejak kapan kau ... kau mempelajari jurus semacam ini ... aduh ...aduh nikmatnya ... aduh ... sayang ... aduh.."
Sepeminuman teh kemudian terlihat tubuhnya gemetar keras, Bwe Si-jin segera merasakan jari tangannya terkena cairan lengket yang hangat, tahulah dia kalau perempuan itu sudah mencapai puncaknya.

Maka tanpa pikir panjang dia masukkan jari tengahnya ke dalam barisan pencari harta, congkelan demi congkelan seketika membuat tubuh Ni Ceng-hiang mengejang keras dan merintih minta ampun.

Bwe Si-jin tahu perempuan ini sangat cabul, tapi memiliki daya tahan yang luar biasa, dalam sekali kerja ia sanggup mencapai puncak belasan kali, maka tak ampun penggalian harta karun
pun dilanjutkan makin ganas.

Akhirnya secara beruntun dia melepaskan tiga kali dan tergeletak dengan mata sayup dan mulut merintih.
Karena kuatir rahasianya terbongkar, begitu Bwe Si-jin selesai melepaskan pakaian sendiri, cepat dia merangkak naik ke atas tubuhnya dan menghujamkan tombak raksasanya langsung ke dalam gua harta.
"Aduh mak, nikmat!" keluh perempuan itu, dengan cepat tubuhnya mulai digoyangkan keras.
Berulang kali Bwe Si-jin menekan tubuhnya ke bawah, kemudian dia tekan bangku ajaibnya hingga kini berubah jadi sebuah pembaringan datar yang dapat bergoyang tiada hentinya.

Berkobarlah pertempuran sengit antara kedua orang itu di atas ranjang bergoyang.
Bwe Si-jin tiada hentinya menghisap puting susunya, sementara tubuh bagian bawahnya menggenjot tak ada putusnya.
Ni Ceng-hiang segera menjepit pinggang lelaki itu dengan sepasang kakinya sementara pinggulnya bagaikan batu gilingan berputar dan bergoyang terus tiada hentinya, sambil bergoyang dia mendesis tenis menerus.

Dalam waktu singkat Bwe Si-jin telah menggenjot hampir tiga ratusan kali, yang membuat perempuan itu melepas tiga kali. Bisiknya kemudian sambil tertawa cabul, "Adik Hiang, sekarang tiba giliranmu!"

Sambil berkata dia segera merangkul tubuhnya sambil tiba-tiba berbalik badan, dia biarkan perempuan itu menindihnya dari atas.

Setelah Ni Ceng-hiang berada di atas, dia pun kembali menekan tombol di bangku ajaibnya, maka bangku Biau-biau-ki pun balik kembali seperti posisi semula.
"Hahaha ... permainan yang menarik," seru Ni Ceng-hiang kegirangan.

Sambil berkata dia segera mengaitkan ujung kakinya pada bangku itu, kemudian bergoyang lagi pinggulnya kencang-kencang.
Perempuan ini memang tak malu disebut perempuan siluman yang hebat, sekalipun sudah lepas enam kali, namun napsunya masih tetap berkobar.
Sejak dulu Bwe Si-jin sudah puluhan kali "bertempur" melawan dia, oleh sebab itu meski harus bertarung sengit, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau ngeri.

Kini yang terdengar hanya suara mencicit yang bergema dari bangku kenikmatan.
Setiap kali Bwe Si-jin menekan bangkunya, maka punggung bangku akan naik satu tingkat,
hingga akhirnya panggung bangku itu membuat kepalanya persis berada sejajar dengan sepasang payudaranya.

Dengan mulutnya kembali dia menghisap pusing susu sebelah kanan sementara tangannya meremas puting susu sebelah kiri, begitu asyiknya hingga kerepotan sendiri.
Mendapat rangsangan semacam ini, Ni Ceng-hiang makin terangsang, tubuh bagian bawahnya pun menggeliat semakin keras.
Jangan dilihat perempuan itu memutar pinggulnya begitu kuat, begitu berat, namun gerakannya sama sekali tidak kalut.

Tampak perempuan itu sebentar memutar ke kiri kanan, sebentar lagi membiarkan ujung tombak menggesek dasar liangnya, bahkan terkadang menghisap tombak musuh berulang kali, ia tunjukkan keahlian dan kepiawiannya sebagai seorang jago perang yang sudah banyak pengalaman di medan laga.

Perempuan ini membutuhkan waktu hampir setengah jam lamanya untuk melepas empat kali, dengus napasnya mulai kasar dan terengah-engah, tapi dia masih berusaha mati-matian menggesek bagian bawahnya.

Pemandangan saat itu persis seperti seorang pengemis yang sudah puluhan tahun tak pernah makan daging, ketika secara tiba-tiba menemukan sekerat daging, dia pun memakannya dengan lahap, memakannya dengan sepenuh tenaga.

Bwe Si-jin sendiri sembari menikmati permainan itu, diam-diam ia mulai berpikir menyusun rencana untuk menghadapi keadaan selanjutnya.
Tatkala dia mulai mengendus bau amis yang lamat-lamat memancar keluar dari tubuh perempuan itu, dia tahu Ni Ceng-hiang sudah memasuki tahap yang paling puncak, maka dia pun menghisap lebih kuat lagi.
Keringat bercucuran seperti hujan gerimis, bau anyir pun makin lama semakin menebal. Sambil tertawa terkekeh kata Bwe Si-jin kemudian, "Adik Hiang, kau sudah siap merasakan kenikmatan
yang luar biasa?"

Sambil berkata dia bopong tubuh perempuan itu turun dari bangku ajaibnya kemudian melompat naik ke atas pembaringan.
Mula-mula dia baringkan dulu tubuh perempuan itu di tepi pembaringan, kemudian sepasang kakinya diangkat tinggi-tinggi, diletakkan di atas bahu, setelah itu tombaknya langsung dihujamkan ke dalam liang gua yang menganga lebar....
"Plook ...!", suara tusukan bergema diiringi jeritan jalang.
"Creeep... creeep suara gesekan makin nyaring, bau amis pun makin menebal.

Dalam waktu singkat dia lancarkan tiga ratusan tusukan, membuat perempuan itu bermandikan keringat dan lemas sekujur tubuhnya.
Baru saja tubuhnya merinding karena kenikmatan, semburan cairan panas tahu-tahu telah ditembakkan langsung menembus dasar liangnya, hal ini kontan membuat perempuan itu berlinang air mata saking nikmatnya.
"Siapa kau sebenarnya ...?" ia berbisik.

Melihat perempuan itu tak ada maksud permusuhan, diam-diam Bwe Si-jin mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi badan, sahutnya lembut, "Siau-hiang, masa kau sudah melupakan aku?"

Gemetar keras sekujur badan Ni Ceng-hiang sesudah mendengar bisikan itu, sambil membelalakkan matanya lebar-lebar, jeritnya kaget, "Kau ... kau ... apakah kau engkoh Jin?"
Bwe Si-jin menghela napas panjang, sahutnya, "Siau-hiang, Thian memang maha pengasih, akhirnya Siauheng berhasil juga menemukan dirimu!"

Habis berkata dia pun berniat menurunkan sepasang kakinya.
"Tunggu dulu!" buru-buru Ni Ceng-hiang mencegah, "engkoh Jin, biarlah Siaumoay merasakan kehangatan lebih lama, ai! Sungguh tak disangka setelah berpisah belasan tahun, akhirnya hari ini Siaumoay berhasil menjumpai dirimu lagi!"

Habis bicara dia pun menangis tersedu-sedu.
Bwe Si-jin tahu, di antara empat gembong iblis, dialah yang wataknya paling baik, sikapnya terhadap dirinya pun paling bersahabat, oleh sebab itu dia berniat menggunakan siasat lelaki tampan untuk menaklukkan wanita.

Terdengar dia berkata lagi setelah menghela napas, "Siau-hiang, tahukah kau berapa besar kekuatan yang harus kugunakan untuk menyingkirkan Hek Hau-ti? Tahukah kau apa tujuanku menyamar sebagai dirinya dan menanti di sini?"

Mendengar perkataan itu, Ni Ceng-hiang seketika teringat kembali bagaimana lelaki itu tersekap dalam gua, dia sangka Bwe Si-jin berniat akan membalas dendam kepadanya, tanpa terasa dia meningkatkan kewaspadaan hingga otot tubuhnya ikut mengencang.
"Siau-hiang," kembali Bwe Si-jin berkata lembut, "kalau ingin menagih hutang, haruslah mencari yang berhutang. Aku hanya akan mencari Cicimu serta Su Kiau-kiau untuk membuat
perhitungan, sementara dengan dirimu sama sekali tak ada sangkut-pautnya!"
Perlahan-lahan Ni Ceng-hiang menghembuskan napas lega, setelah membuyarkan tenaga dalamnya, ia berkata lagi, "Engkoh Jin, kekuatan Jit-seng-kau saat ini ibarat matahari di tengah hari, kau tak boleh telur membentur batu, mencari penyakit buat diri sendiri!"

Perlahan-lahan Bwe Si-jin menurunkan kembali sepasang kakinya, kemudian sekali lagi dia bopong tubuh perempuan itu menuju ke bangku ajaibnya.
"Siau-hiang, kau pasti pernah mendengar tentang Manusia pelumat mayat bukan?" katanya lembut.
Tak terlukiskan rasa kaget Ni Ceng-hiang mendengar pertanyaan itu.
"Engkoh Jin, jadi kaulah Manusia pelumat mayat?" tanyanya gemetar.
Cepat Bwe Si-jin menggeleng, sahutnya sambil tersenyum, "Mana mungkin aku memiliki kekuatan semacam itu, justru berkat pertolongan dari Manusia pelumat mayat aku berhasil lolos
dari dalam gua dengan selamat!"
"Benarkah itu?" jerit Ni Ceng-hiang kaget. "Hahaha, Siau-hiang, kau masih ingat peristiwa Ceng Giok-peng yang dimusnahkan di luar kota? Itulah hasil karya Manusia pelumat mayat untuk membalaskan dendam sakit hatiku!"
"Engkoh Jin, tahukah kau saat ini Manusia pelumat mayat berada di mana?" tanya Ni Cenghiang tegang.
"Hahaha, tak usah kuatir Siau-hiang, aku tidak memasukkan namamu dalam daftar hitam, tentu saja dia tak akan mencarimu!"

Ni Ceng-hiang menghembuskan napas lega, setelah termenung sejenak, katanya, "Engkoh Jin, biarpun harimau ganas namun tak akan sanggup melawan kerubutan monyet. Mana mungkin Manusia pelumat mayat sanggup menghadapi perkumpulan kita."

Bicara sampai di situ, mendadak ia totok jalan darah kakunya.
Mimpi pun Bwe Si-jin tidak menyangka kalau dia bakal turun tangan secara tiba-tiba, dengan perasaan terperanjat jeritnya, "Siau-hiang, kau.."
"Engkoh Jin, kau tak usah kuatir," tukas Ni Ceng-hiang sambil tertawa, "Siaumoay tak akan membocorkan rahasia kehadiranmu kepada siapa pun, aku harap kau bisa berada di sini dengan tenteram."
"Ai ... Siau-hiang, kau kelewat bodoh, cepat bebaskan totokan jalan darahku!"
"Engkoh Jin, saat ini Jit-seng-kau sudah terwujud sebagai kekuatan luar biasa, tak seorang pun dapat menghalanginya, ketika Jit-seng-kau berhasil menguasai seluruh dunia nanti, Siaumoay pasti akan hidup bahagia denganmu."
"Siau-hiang, kau jangan pandang enteng kekuatan sembilan partai besar"

"Hahaha, sembilan partai besar sedang kerepotan dengan masalah rumah tangga sendiri, tak sampai tiga bulan kemudian mereka bakal musnah dengan sendirinya, engkoh Jin, tunggulah dengan sabar, tak sampai sepekan, biara Siau-lim pasti akan musnah!"

Bicara sampai di situ, kembali tangannya menabok beberapa tempat di tubuhnya.
"Siau-hiang, kau sumbat seluruh tenaga dalamku?" jerit Bwe Si-jin terkesiap.
"Hehehe, engkoh Jin, hiduplah bersenang-senang di tempat ini, urusan lain kau tak periu memikirkan lagi!"
 
Bimabet
Update nya mana gan hehehe :D
:mancing: dulu biar update :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd