Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Bimabet
Kaum sesat musnah, dunia aman.

Begitu melihat Ni Ceng-hiang yang semula merintih tiada hentinya dengan wajah merah padam mendadak mulai mengatur pemapasan, dia tahu kalau perempuan itu segera akan menggunakan ilmu im-kang untuk menghisap hawa kelakian lawan. Karena itu segera bentaknya, "Hati-hati!"
Ni Ceng-hiang tertawa dingin, dia seolah sedang mengejek, "Sudah terlambat!"

Tiba-tiba Cau-ji merasakan liang perempuan itu mulai menyusut kencang, seolah-olah seluruh kepala tombaknya terbungkus oleh dasar liang dan mulai menghisapnya kuat-kuat, begitu nikmatnya hisapan demi hisapan yang muncul membuat anak muda itu merasa sangat nikmat sehingga beberapa kali nyaris melepaskan tembakan.

Cepat dia menarik napas panjang, lalu dengan menggunakan tehnik "menghisap" dari kui-goansin-kang dia balas menghisap liang musuh.
Begitulah, untuk beberapa saat kedua orang itu saling bertahan tanpa seorang pun yang bergerak.

Bwe Si-jin merasa sangat tegang, saking paniknya nyaris dia jatuh pingsan.
Lebih kurang setengah jam kemudian terlihat sekujur tubuh Ni Ceng-hiang mulai gemetar keras, tiba-tiba jeritnya kaget, "Kau..."
Seketika itu juga paras mukanya berubah jadi pucat-pias bagaikan mayat, sekujur badannya gemetar makin keras.
Dari getaran yang muncul pada dasar liangnya, Cau-ji tahu kalau perempuan itu sudah mendekati puncaknya, tanyanya sambil tertawa, "Menyerah tidak?"
Ni Ceng-hiang sama sekali tak menyangka kalau pihak lawan meski masih muda usia namun sanggup mengendalikan dirinya.

Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, buru-buru serunya dengan gemetar, "Menyerah! Menyerah! Siauhiap, ampuni jiwaku!"
"Hahaha, kalau begitu pulihkan dulu ilmu silat Bwe-toasiok."

Dalam keadaan begini, tentu saja Ni Ceng-hiang tak berani membangkang, telapak tangan kanannya diayunkan berulang kali di udara dan membebaskan jalan darah kaku di tubuh Bwe Sijin, kemudian serunya, "Engkoh Jin, tolong mendekatlah ke tepi pembaringan!"
Bwe Si-jin menurut dan segera mendekati pembaringan.

Ni Ceng-hiang segera mengayunkan telapak tangan kanannya, dalam waktu singkat ilmu silat yang dimiliki Bwe Si-jin telah pulih kembali.
Sambil tertawa Bwe Si-jin manggut-manggut, ia segera duduk bersila sambil mengatur pemapasan.

Begitu melihat pamannya telah pulih kembali, dengan perasaan lega Cau-ji pun melanjutkan kembali tusukannya.
"Plook ... plokkkk ...." ternyata Ni Ceng-hiang mengimbangi tusukan itu dengan goyangan pinggulnya.

Desahan napas, rintihan nikmat pun berkumandang memenuhi ruangan.
Perempuan itu sadar, walaupun untuk sementara dia berhasil lolos dari bencana kematian, tapi setiap saat kemungkinan besar goan-im hawa perempuan miliknya bisa tersedot habis, oleh karena itulah dia berusaha keras mengambil hati anak muda itu.

Sementara Cau-ji sendiri pun sudah mempunyai dua cara untuk menyelesaikan masalah ini, asal Bwe-toasioknya telah sadar, maka keputusan pun bisa diambil, sebab itulah dia tidak bertindak banyak.

Sepeminuman teh kemudian Bwe Si-jin telah berdiri lagi dengan tubuh segar.
Sambil menghentikan tusukannya, Cau-ji sambil tertawa, "Toa-siok, bagaimana kita selesaikan perempuan ini?"

Menyaksikan sorot mata minta ampun yang terpancar dari mata Ni Ceng-hiang, Bwe Si-jin segera menghela napas, katanya, "Siau-hiang, bukalah suara!"

"Engkoh Jin, tolong berilah satu kesempatan kepada Siaumoay untuk hidup baru!" pinta Ni Ceng-hiang dengan suara gemetar.
Kembali Bwe Si-jin menghela napas panjang.
"Siau-hiang" katanya, "tentunya kau masih ingat bukan ketika kita sedang belajar silat kepada Suhu, coba kalau bukan dirusak Su Kiau-kiau secara diam-diam, mungkin waktu itu aku sudah meminangmu!"

Pandangan mata Ni Cing-hiang terlihat kabur, dia seolah sedang mengenang kembali kejadian di masa silam.
Kembali Bwe Si-jin berkata dengan lembut, "Siau-hiang, tentunya kau masih teringat dengan kejadian di malam Tiong-ciu waktu itu bukan? Tatkala kita sedang asyik berhubungan badan, Su Kiau-kiau telah menyingkirkan kau dengan siasat!"

"Tentu saja masih ingat," jawab Ni Ceng-hiang gemas, "sebetulnya malam itu dialah yang mendapat tugas untuk menyerahkan kegadisannya, tapi dengan siasat dia justru menyuruh akulah yang pergi menggantikan dirinya, sementara dia justru menikmati kehangatan tubuhmu!"

Perbincangan kedua orang ini seketika membuat mereka berdua terjerumus dalam kenangan lama.
Secara diam-diam Cau-ji meninggalkan tubuhnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badan.

Tatkala dia balik kembali ke dalam kamar untuk berpakaian, kedua orang itu masih berbincang dengan suara lirih.
Cau-ji segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil Pedang pembunuh naga, baru saja akan beranjak pergi, mendadak terdengar Bwe Si-jin berbisik, "Cau-ji, tetaplah tinggal di sini menjadi saksi!"

"Toasiok, Cau-ji harus menjadi saksi apa?" tanya pemuda itu tercengang.
Sembari memeluk tubuh Ni Ceng-hiang yang tertunduk malu, dengan wajah bersungguh-sungguh ujar Bwe Si-jin, "Cau-ji, Toasiok berniat mengambil seorang istri lagi, tolong kau bias menjelaskan nanti bila bertemu adikTi!"
Cau-ji sadar, pamannya demi menyelamatkan keadaan sengaja mengawini Ni Ceng-hiang, agar perempuan sesat ini dapat kembali ke jalan benar, karena itulah dengan sikap amat hormat dia menyembah tiga kali di depan ranjang.

"Toasiok, Toacim, semua masalah serahkan saja kepada keponakan!"
Saking terharunya, air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Ni Ceng-hiang, untuk beberapa saat dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Seusai berpakaian dan menyaru muka, Cau-ji pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Baru keluar dari pintu, dia segera menyaksikan Im Jit-koh sedang bersembunyi di belakang pintu sambil menggapai ke arahnya.

Dengan seksama anak muda itu memeriksa dulu sekeliling tempat itu, kemudian secepat kilat menyelinap masuk ke dalam kamarnya.
"Tongcu, bagaimana masalahnya?" tanya Im Jit-koh dengan ilmu menyampaikan suara.
"Semuanya sudah beres," jawab Cau-ji sambil tertawa, "bukan saja ilmu silat kakakku sudah pulih kembali, bahkan mereka berdua telah melupakan semua kejadian masa lampau, seterusnya tak bakal ada masalah lagi."

"Ah, bagus sekali," Im Jit-koh menghembuskan napas lega, "ulah Hu-kaucu selama ini cukup membuat hamba ketakutan setengah mati."
"Jit-koh, menyusahkan kau saja."
"Mana, Tongcu begitu baik kepada hamba, sudah sepantasnya bila aku pun berbuat untuknya!"
"Jit-koh, apakah sudah mendapat kabar tentang partai-partai besar?"
"Menurut laporan yang masuk, sepuluh tetua Bu-tong-pay sore nanti akan mengerahkan tiga empat ratusan tukang kayu untuk mulai mendirikan barak di punggung bukit Gak-li-san, tampaknya barak itu disiapkan untuk tempat menerima tamu!"

Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau Bu-tong-sip-lo yang punya kedudukan begitu terhormat ternyata bersedia menyandang gelar sebagai mandor tukang kayu, maka kembali tanyanya, "Apakah mereka telah melakukan sesuatu gerakan?"

"Tidak, mereka hanya melakukan pengamatan secara diam-diam, oleh karena Kaucu telah menurunkan instruksi bahwa sebelum terjadinya pertarungan habis-habisan awal bulan depan, semua orang dianjurkan sebisa mungkin menghindari bentrokan, daripada kerugian akan bertambah besar."

"Ehm, masuk akal, kalau begitu perintahkan orang untuk menyiapkan hidangan dan arak di dalam kamarku, aku bermaksud merayakan hari keberhasilan-ku ini."

Diloloh berulang kali oleh Cau-ji dan Bwe Si-jin, akhirnya Ni Ceng-hiang mabuk berat.
Setelah menidurkan perempuan itu di atas ranjang dan menutupinya dengan selimut, Bwe Si-jin balik kembali ke tempat duduknya dan berkata sambil tertawa, "Cau-ji, tak kusangka kau berhasil menyelesaikan semua persoalan di sini dengan lancar, terima kasih banyak!"

"Toasiok, di antara kita berdua kenapa mesti sungkan? Tapi ... benarkah Toasiok bermaksud mengawininya?'
"Benar, jangankan di masa lalu Toasiok pernah berpacaran dengannya, ditambah lagi perangai perempuan ini sebetulnya cukup baik, tentu saja Toasiok tak ingin dia terjerumus makin dalam ke jalan yang sesat."
"Toasiok, mungkin tidak dia mengacau secara diam-diam?"
"Seharusnya tidak, semisal dia menyesal, aku tetap masih bisa mengirimnya ke liang kubur.
Cau-ji, tempat ini serahkan saja kepadaku, sementara kau sendiri tak ada salahnya menciptakan suasana teror dengan identitasmu sebagai Manusia pelumat mayat!"

"Bagus sekali!" seru Cau-ji kegirangan, "Toasiok, sebetulnya aku pun berniat melemahkan semangat juang para cecunguk Jit-seng-kau dengan melakukan berbagai teror, hanya saja aku tidak tahu di manakah mereka tinggal?"

"Ayo jalan, kita cari Jit-koh, dialah yang menyambut dan mengatur tempat tinggal orang-orang itu."

Ketika kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan, Ni Ceng-hiang yang pura-pura tidur di
atas ranjang segera menangis dengan sedihnya.
"Ternyata Suheng benar-benar bersikap baik kepadaku," gumamnya, "padahal aku adalah perempuan kotor dan hina, pantaskah aku mendampinginya?"
Berpikir sampai di situ, air mata yang meleleh keluar bertambah deras.

Tengah malam telah menjelang tiba, di luar kota Tiang-sah, di dalam gedung milik Liu-wangwe. Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam meluncur masuk dari luar dinding pagar sebelah kiri dengan kecepatan bagaikan kilat, tak lama kemudian bayangan hitam itu sudah selesai mengelilingi wilayah seluas tiga li itu.

Bayangan hitam itu tak lain adalah Cau-ji yang bersiap menebar teror.
Terlihat dia melayang turun di atas sebatang pohon yang rindang di tengah halaman, ia sedang berpikir bagaimana cara untuk turun tangan.

Mendadak terdengar seseorang berkata, "Hei, Lo-ong, rupanya kau mengantuk, kalau sampai tertangkap Hiocu baru tahu rasa kau!"
"Aduh, Lo-kiu, kenapa kau mesti berteriak keras, saat ini Hiocu sedang bermain cinta dengan Siau Tho-ang, tak mungkin dia keluar kamar untuk inspeksi, tolong bantulah aku mengawasi sekitar sini, aai ... aku merasa mengantuk sekali."

"Maknya, dasar mata keranjang, begitu melihat nona kau langsung seperti orang kehilangan sukma, aku bilang, kalau kau tidak bisa mengendalikan diri, cepat atau lambat kau bakal mampus di bawah selangkangan wanita."
"Cuhhh, cuuuh ... Lo-kiu, kau jangan bicara sembarangan, siapa suruh kau berlatih ilmu Kungoan-khi-kang hingga tak berani menyentuh wanita."
"Hehehe, tahukah kau nona yang berada di Giok-hong-tong begitu menawan, bukan saja orangnya cantik, kungfunya juga hebat, apalagi ilmu ranjangnya ...."
"Maknya, kalau ingin tidur cepatlah tidur, buat apa ngaco-belo tak keruan.."

Lelaki di sebelah kanan tertawa ringan, lalu bersiap tidur.
Mendadak terasa angin dingin berhembus, tahu-tahu Cau-ji dengan senyum dikulum telah muncul di hadapannya. Terdengar pemuda itu berkata, "Hehehe, kalau ingin tidur, tidur saja selamanya."

Secepat kilat tangan kanannya melancarkan sebuah bacokan ke depan.
"Blamm!", seketika itu juga orang itu sudah terhajar hancur.
Saking takutnya, sekujur badan Lo-kiu gemetar keras, ia merasakan seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu berkutik.

Melihat orang itu ketakutan sampai terkencing-kencing, Cau-ji segera menegur sambil tertawa seram, "Lo-kiu, kau kemanakan ilmu Kun-goan-khi-kang?"

Ejekan itu seketika menyadarkan Lo-kiu dari rasa takutnya, cepat dia menjatuhkan diri bertutut dan mohonnya, "Manusia pelumat mayat Cianpwe, hamba tidak melakukan kesalahan apa-apa terhadapmu, mohon ampunilah nyawaku."
"Hehehe, siapa suruh kau bergabung dengan Jit-seng-kau?"
"Baik, baik, hamba segera akan keluar dari perkumpulan."
"Hehehe, mengingat kau tidak suka main perempuan, kali ini aku hanya minta telingamu saja sebagai peringatan, cepat enyah dari sini."
"Baik, baik!"

Terdengar suara dengusan tertahan, tahu-tahu Lo-kiu sudah merobek sepasang telinganya dan terhuyung-huyung kabur dari tempat itu.
Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau julukannya sebagai Manusia pelumat mayat dapat mendatangkan teror dan horor yang begitu dahsyat terhadap musuh-musuhnya.

Waktu itu di tengah ruang utama tampak ada dua-tiga puluhan orang sedang bersenda-gurau. Ketika mendengar jeritan ngeri Lo-ong tadi, serentak kawanan jago itu bermunculan dari dalam ruangan, betapa gusarnya orang-orang itu ketika melihat ada seorang pemuda tampan sedang tertawa mengejek di depan pintu.

Tatkala mereka semakin dekat dan melihat tubuh Lo-ong yang hancur berantakan, kawanan jago itu baru menjerit kaget, "Manusia pelumat mayat!"
 
Berarti udah dekat tamat....ya bos..!:beer:

Betul bro Yanto, paling tinggal 2 - 3 kali posting lagi selesai nich...heheehe...

Lagi cari2 apakah sudah ada yang posting karyanya 'Tabib Gila' seperti seri nya Pendekar Romantis yang Dendam Kesumat, Rahasia Lukisan Kuno dan Bidadari dari Thian San tuch....hahahaha.....
 
Betul bro Yanto, paling tinggal 2 - 3 kali posting lagi selesai nich...heheehe...

Lagi cari2 apakah sudah ada yang posting karyanya 'Tabib Gila' seperti seri nya Pendekar Romantis yang Dendam Kesumat, Rahasia Lukisan Kuno dan Bidadari dari Thian San tuch....hahahaha.....

Bagus gan, gw tunggu serial selanjutnya, krn baca disini lebiih asyik daripada diluar sana, gw slalu dukung :jempol:
 
belum ada keluar tabib gila.. Sepanjang keanggotaan disemprot.com ane belum ada baca mas bro.. Kalo bisa buka cerita tentang pendekar naga putih atau golok pembunuh naga..
 
Lanjutkan ampe tamat suhu fran...Kayak nya pendekar naga perayu gan...seru jga...di rum sblh cuma 1 episod.....penasaran
 
Betul bro Yanto, paling tinggal 2 - 3 kali posting lagi selesai nich...heheehe...

Lagi cari2 apakah sudah ada yang posting karyanya 'Tabib Gila' seperti seri nya Pendekar Romantis yang Dendam Kesumat, Rahasia Lukisan Kuno dan Bidadari dari Thian San tuch....hahahaha.....

wah...kapan di luncurkan bos....!:)
biar tambah rame perpus semprot..!:jempol:
 
bung frantines memang :mantap:
lanjutkan bro.... dengan cerita silat dan :pedang: khusus :konak:
tetap :semangat: toast spesial dariku:beer:
 
Tanpa diperintah pun serentak orang-orang itu melompat mundur.
Cau-ji berhenti tertawa, perlahan-lahan dia mencabut Pedang pembunuh naganya, lalu mengejek, "Ingat baik-baik, dalam penitisan mendatang janganlah melakukan kejahatan."

Habis berkata, pedangnya segera diayun dan menerjang ke arah kerumunan manusia itu.
Menghadapi datangnya ancaman, terpaksa kawanan jago itu menggigit bibir, melolos senjata dan melakukan pengepungan.

Di antara kilatan cahaya tajam, jeritan ngeri berkumandang silih berganti.
Di mana jaring pedang menyapu lewat, hancuran tubuh beterbangan ke empat penjuru.
Tidak sampai tiga gebrakan, sudah ada dua puluhan manusia yang kehilangan nyawa.

Melihat begitu ganas dan buasnya sepak-terjang Manusia pelumat mayat, lima-enam puluhan jago yang menyusul datang kemudian serentak mengambil Am-gi dan menimpuknya dengan gencar bagaikan hujan deras.

Dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kiri melancarkan pukulan, Cau-ji merangsek maju, begitu lolos dari timpukan senjata rahasia, dia terjang kerumunan orang banyak itu dan mulai melakukan pembantaian secara besar-besaran.

Dalam waktu singkat bangunan megah yang indah dan mewah itupun berubah jadi neraka dunia, jaring pedang yang menyebar di udara seolah utusan setan pencabut nyawa, dalam waktu singkat kembali tiga puluhan nyawa melayang.

Sedang asyik-asyiknya Cau-ji membantai kawanan jago yang sedang melarikan diri terbirit-birit, mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang santar berkumandang dari kejauhan, dia tahu bala bantuan musuh telah datang, segera pemuda itu memperdengarkan suara pekikan yang menusuk telinga.

Permainan pedangnya semakin diperketat, pembantaian pun berlangsung makin mengerikan. Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago itu hanya bisa menyesal mengapa orang tuanya hanya memberikan sepasang kaki untuk mereka, sekalipun sekuat tenaga orang-orang itu melarikan diri, namun korban yang berjatuhan di ujung pedang Cau-ji tetap banyak jumlahnya.

Selesai melakukan pembantaian, Cau-ji berdiri menanti di tengah halaman gedung, diawasinya lelaki berbaju hitam yang baru melompat turun dari kudanya itu.
Ternyata jumlah mereka mencapai tiga puluh enam orang dan masing-masing memegang golok panjang di tangan kanan dan tameng di tangan kiri.

Setelah memasuki halaman gedung, orang-orang itu melirik sekejap hancuran tubuh yang berserakan di mana-mana, kemudian secepat kilat mengepung Cau-ji dari empat penjuru. "Hehehe," Cau-ji tertawa seram, "besar juga nyali kalian, berani mengantar kematian di tempat ini!"

Seorang lelaki berbaju hitam yang berada di posisi tengah segera membentak keras, "Manusia pelumat mayat, kau jangan merasa bangga dulu, coba buktikan dulu apakah hari ini kau bisa lolos dari tangan Sah-cap-lak-thi-wi (tiga puluh enam pengawal baja)!"

"Hehehe, pengawal baja? Akan kulihat seberapa kerasnya tubuh kalian, ayo maju!"
"Serang!" mendadak orang itu membentak keras.

Serentak ketiga puluh enam orang itu bergerak maju melancarkan serangan bersama ke arah Cau-ji.
Diam-diam Cau-ji menghimpun tenaga dalamnya dengan mengalihkan perhatiannya ke ujung pedang, dia sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap orang-orang itu.
Di sinilah letak kepintaran bocah muda ini, sebab gerakan cepat barisan lawan gampang menggoyahkan pikiran orang, semakin kau perhatikan maka kepalamu akan semakin pening, pandangan matamu akan semakin berkunang.

Mendadak terdengar kawanan jago itu membentak nyaring, segera terlihat ada enam orang bergulingan di atas tanah, dengan tameng melindungi badan, golok panjangnya dipakai untuk membabat kaki Cau-ji.

Bersamaan itu ada enam orang lain melambung ke udara dan mengancam dari atas kepalanya. Sementara enam orang lagi menyerang masuk dari samping mengancam jalan darah penting di dada dan punggung lawan.

Cau-ji berpekik nyaring, tubuhnya melambung ke udara dan melesat sejauh lima tombak dari posisi semula, begitu lolos dari kepungan kedelapan belas orang itu, dia lepaskan satu tusukan ke dada seorang lelaki kekar.
Merasakan datangnya cahaya tajam, lelaki itu segera menyongsong dengan tamengnya, sementara golok panjang di tangan kanannya menyapu ke iga kanan lawan.
"Bluuukkk ...!", disusul jerit kesakitan yang memilukan.

Lelaki itu berikut tamengnya tercabik-cabik oleh jaring pedang yang mengurungnya.
"Criiing ...!", tersisa golok panjangnya yang segera jatuh ke lantai.
Para jago lainnya sama-sama menjerit kaget begitu melihat tameng pelindung badan mereka ternyata ibarat kayu lapuk yang sama sekali tak ada gunanya, kontan barisan pun jadi kalut.

Menggunakan kesempatan yang sangat baik inilah Cau-ji segera mengembangkan serangan pedang maupun pukulannya.
Jeritan ngeri pun bergema silih berganti.
Hancuran badan, ceceran darah berhamburan mengotori seluruh permukaan tanah. Dua puluhan gadis Giok-hong-tong yang semula berniat membantu rekan-rekannya yang sedang bertempur jadi ketakutan setengah mati setelah menyaksikan kehebatan ilmu silat Cau-ji, bukannya maju membantu, perempuan-perempuan itu justru bersembunyi di dalam kamar karena ketakutan.

Setengah jam kemudian jago-jago yang tersisa pun semakin tercecar hebat, tak lama kemudian mereka ikut punah dengan badan hancur-lebur.
Cau-ji tertawa seram, dengan gerakan cepat dia menerobos masuk ke dalam ruangan, kemudian dengan kejinya dia menghabisi semua perempuan anggota Giok-hong-tong yang berada di situ.

Menjelang pagi hari terlihat api berkobar dengan ganasnya membakar bangunan gedung yang megah dan mewah itu.
Dalam waktu singkat lautan api yang membara telah menyelimuti seluruh udara.
Diiringi tertawa seram, Cau-ji pergi meninggalkan tempat itu.

0oo0

Selama beberapa hari berikutnya, secara beruntun Cau-ji menyatroni gedung yang digunakan Jit-seng-kau untuk menampung anggotanya, baik fajar atau malam, pembunuhan berdarah terjadi di mana-mana.

Setiap kali habis melakukan pembunuhan, Cau-ji pun lenyap jejaknya.
Begitulah, dalam waktu singkat ada tujuh-defapan ratus orang anggota Jit-seng-kau yang menemui ajalnya.

Sebagian anggota jit-seng-kau yang melihat gelagat tidak menguntungkan, secara diam-diam kabur meninggalkan induknya.
Tengah hari itu, Su Kiau-kiau bersama Ngo-hong-tong Tongcu si dewi burung hong dengan mengajak tiga orang kakek berusia delapan puluh tahunan yang berdandan aneh tiba di rumah makan Jit-seng-ciu-lau.

Bwe Si-jin segera menemani Ni Ceng-hiang dan Im Jit-koh menyambut kedatangan kelima orang itu masuk ke dalam ruang rahasia.
Tatkala Su Kiau-kiau memperkenalkan ketiga rekan yang dibawanya, diam-diam Bwe Si-jin merasa terperanjat sekali.

Dia sama sekali tak menyangka kalau tiga siluman dari wilayah Biau ternyata masih hidup, dia lebih kuatir lagi ketika mengetahui bahwa ketiga jago itu merupakan jago yang lihai dalam menggunakan racun.

Ketika Su Kiau-kiau mendapat tahu kalau Manusia pelumat mayat telah melakukan pembunuhan secara besar-besaran, bahkan telah memusnahkan ratusan jagonya, dalam terkejut dan ngerinya dia pun segera memohon bantuan dari tiga manusia siluman itu.

Setelah tertawa seram berulang kali, terdengar siluman pertama berkata, "Kaucu, tak ada salahnya kita gunakan cara yang sama untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita habisi dulu para jago dari partai besar?"

"Hebat!" sahut Su Kiau-kiau gembira, "kalau begitu aku serahkan semua masalah ini kepada kalian bertiga dewa hidup!"
Siluman pertama tertawa terkekeh, sambil memeluk tubuh Su Kiau-kiau, katanya lagi, "Sayang, besok pagi aku akan mulai turun tangan terhadap mereka."

Sembari berkata, sepasang tangannya mulai menggerayang badan perempuan itu.
Siluman kedua segera melirik sekejap ke arah Ni Ceng-hiang, lalu sambil tertawa dia menggapai ke arahnya.
Biarpun merasa muak dalam hati, Ni Ceng-hiang berlagak seolah-olah tidak mengerti.
"Sumoay," seru Su Kiau-kiau kemudian tertawa jalang, "Lo-sinsian ingin menyayangimu, hehehe"

Baru saja Ni Ceng-hiang hendak menampik dengan alasan badannya tak sehat, tahu-tahu siluman kedua telah menggapaikan tangan kanannya, tak tahan lagi tubuhnya terhisap sehingga maju selangkah ke depan.

Menghadapi kejadian seperti ini, diam-diam dia pun menghela napas panjang, kemudian berjalan mendekat.
Bwe Si-jin yang menyaksikan kejadian itu merasa amat gusar, namun dia tak berani mengumbar hawa amarahnya, terpaksa sambil menahan rasa mendongkol dia pun mengundurkan diri dari kamar.

Berhubung Su Kiau-kiau telah balik, walaupun Bwe Si-jin masih melakukan kontak dengan Cauji, namun dia tak berani bertindak sembarangan.

Dari mana dia tahu kalau saat itu Cau-ji sedang menyamar menjadi seorang sastrawan berusia pertengahan dan duduk di atas loteng Jit-seng-ciu-lau sambil meneguk arak?

Ketika melihat kemunculan tiga siluman dari wilayah Biau, dia seketika tertarik perhatiannya oleh dandanan serta gerak-gerik ketiga orang itu, saat itu dia sedang berusaha mendekati orang-orang itu.

Berhubung identitasnya sebagai Hek Hau-wan telah disiarkan sebagai jelmaan dari Manusia pelumat mayat, saat ini dia pun kehabisan akal untuk mencari peluang itu.
Sementara dia masih pusing tujuh keliling, mendadak terlihat Im Jit-koh sedang berjalan menuju ke meja kasir, dengan perasaan girang segera bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara, "Jit-koh, aku berada di atas loteng!"

Habis berkata, dia pun berteriak keras, "Pelayan, siapkan sepoci arak lagi!"
Im Jit-koh segera menyahut, sambil membawa sepoci arak ia berjalan menghampirinya.
Sambil tersenyum Cau-ji manggut-manggut, tiba-tiba ia saksikan Im Jit-koh menjatuhkan segulung kertas ketika sedang mengambilkan mangkok baginya, kemudian menindih gulungan kertas itu dengan poci arak.
"Apakah tuan masih menghendaki sesuatu?" tanyanya nyaring.
"Cukup, kalau perlu aku akan memanggil lagi."

Menggunakan kesempatan ketika orang tidak menaruh perhatian, diam-diam Cau-ji membuka gulungan kertas itu dan membaca isinya:
"Besok pagi Jit-seng-kau akan mulai menyerang partai-partai besar!"

Diam-diam Cau-ji terkesiap, cepat dia simpan kertas itu dalam saku, lalu sambil meneguk arak dia mulai putar otak mencari akal.
Akhirnya cepat dia membayar rekening, kemudian berangkat menuju ke bukit Gak-li-san.
Gunung Gak-li-san terletak di samping sungai Leng-kang, bukan saja pemandangan sangat indah, bahkan bisa ditempuh baik lewat jalan darat maupun jalan air.
Setelah menyeberangi sungai, Cau-ji segera menelusuri jalan perbukitan dan menuju ke puncak gunung.

Sepanjang jalan seringkali ia mendengar suara kicauan burung dari balik pepohonan, Cau-ji tahu kalau suara itu bukan kicauan burung melainkan kode rahasia petugas yang berjaga di sana, karenanya sambil tersenyum kembali ia melanjutkan perjalanan.

Ketika tiba di punggung bukit, segera terlihatlah pagar kayu yang tinggi menghadang perjalanan selanjutnya, di antara pagar kayu itu terdapat sebuah pintu, di atas pintu tergantung papan nama yang berbunyi, "Khe-sim-jut-mo" (bersatu-padu membasmi iblis).

Baru saja dia akan melangkah masuk ke pintu pagar itu, tampak seorang Tosu dan seorang Hwesio muncul menghadang jalan perginya.
Tampak Hwesio berusia tiga puluh tahunan itu menegur, "Omitohud, boleh tahu siapa nama Sicu? Ada urusan apa datang kemari?"

"Aku dari marga Ong dengan julukan Manusia pelumat mayat, khusus datang kemari untuk turut serta membasmi kaum iblis!"
Begitu mendengar gelar itu, kedua orang itu nampak sangat terperanjat, dengan mata terbelalak lebar jeritnya, "Manusia pelumat mayat?"

"Benar, tolong tanya apakah It-ci Lo-siansu dan Goan-tong Ciangbunjin berada di sini juga?"
Mendengar pertanyaan ini, Hwesio itu segera tahu kalau orang ini tak lain adalah Ong-kongcu yang pernah menyelamatkan biara mereka dari bencana.
Sahutnya cepat dengan sikap hormat, "Silakan Sicu mengikuti Pinceng!"
Cau-ji diajak menelusuri bangunan rumah yang berderet-deret sepanjang jalan sebelum akhirnya tiba di sebuah bangunan yang luas.

Tampak Hwesio itu melanjutkan perjalanan ke dalam ruangan, tampaknya dia sedang memberi laporan.
Tak lama kemudian terdengar sorak-sorai bergema dari balik ruangan diikuti munculnya segerombol manusia.
 
Suhu..endingnya jgn kayak yg aslinya ya...yg aslinya cauji gak diceritain lg pas mlm pertama ama putri kaisar....pokoknya jgn ketinggalan mlm pertama dgn sang putri
 
Begitu dilihat, Cau-ji merasa amat terperanjat, ternyata orang yang berjalan paling muka tak lain adalah ayahnya, Ong Sam-kongcu.

Sesudah tertegun sejenak, akhirnya cepat dia hapus penyaruannya dan berlutut sambil memanggil, "Ayah!"
Dengan wajah berseri Ong Sam-kongcu membangunkan putranya.
"Cau-ji" katanya, "mari kukenalkan beberapa orang Cianpwe!"

Di depan pintu ruangan tampak ada puluhan orang sedang berdiri di sana sambil mengawasi ke arahnya dengan senyum dikulum, biar dia bernyali besar pun tak urung terkesiap juga dibuatnya.

Oleh Ong Sam-kongcu, dia diperkenalkan kepada Ciangbunjin sembilan partai besar, ketua Kaypang, serta kawanan jago lainnya, ketika melihat tiga bersaudara Cu serta Thian-te-sian-lu pun berada di sana, Cau-ji sempat tertegun karena kaget.

Dengan wajah memerah karena malu, Cu Bi-ih menegur sambil tersenyum, "Kongcu, mari kuperkenalkan dirimu dengan tiga puluh enam pengawal pribadi ayahku."
"Cau-ji," sambung Ong Sam-kongcu cepat, "para Cianpwe ini dulunya adalah para Enghiong Hohan kenamaan, kau tak boleh lupa adat!"

Begitulah satu per satu Cu Bi-ih memperkenalkan pengawalnya kepada Cau-ji. Ketika melihat Suto bersaudara, Siang bersaudara serta Siau-hong pun hadir di sana, pemuda itu segera menyapa, "Baik-baikkah kalian."

"Saudara-saudara sekalian," terdengar Ong Sam-kongcu berkata lagi sambil tersenyum, "kedatangan putraku hari ini pasti ada urusan penting yang hendak disampaikan kepada kalian, mari kita berbicara di dalam ruangan saja."

Semua orang mengangguk tanda setuju, maka Ong Sam-kongcu dengan memimpin para jago masuk ke dalam ruangan.
Cu bersaudara dengan statusnya sebagai tuan putri sebetulnya duduk di sisi kanan Ong Samkongcu, kini secara otomatis bergeser ke samping berhubung It-ci Taysu telah memaksa Cau-ji untuk duduk di posisi Cu Bi-ih itu.

Jelas para jago pun tahu kalau ketiga tuan putri itu telah dijodohkan kepada Cau-ji.
Terdengar Ong Sam-kongcu bertanya dengan lantang, "Cau-ji, selama beberapa hari ini ada beratus orang anggota Jit-seng-kau yang mati terbunuh, apakah semua pembantaian itu merupakan hasil karyamu?"
"Benar, mohon maafkan tindakan ananda!"
"Hahaha, membasmi kejahatan sesungguhnya merupakan suatu perbuatan mulia, hanya saja caramu turun tangan kelewat telengas dan kejam!"
"Soal ini.."
"Omitohud!" sela It-ci Taysu tiba-tiba, "Ongya, Jit-seng-kau sudah kelewat jahat dan kejam, apabila putramu tidak bertindak telengas, mungkin mereka tak akan keder."

Tertegun Cau-ji mendengar pendeta itu menyebut ayahnya sebagai Ongya.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera berlagak pilon, tampaknya dia masih ingin merahasiakan masalah ini, maka tanyanya sambil tersenyum, "Cau-ji, secara tiba-tiba kau menyusul kemari, apakah ada urusan penting yang harus dilaporkan? Bagaimana keadaan Bwe-toasiok?"

"Ayah, saat ini Bwe-toasiok masih menyusup di rumah makan Jit-seng-ciu-lau, tengah hari tadi ketua Jit-seng-kau tiba-tiba balik ke rumah makan dengan membawa tiga orang kakek berdandan aneh, menurut laporan, besok siang mereka akan melancarkan serangan ke tempat ini!"

Mendengar laporan ini, semua orang jadi terperanjat.
"Cau-ji" kata Ong Sam-kongcu kemudian, "tahukah kau akan asal-usul dari ketiga orang kakek itu?" Cau-ji menggeleng.
"Ananda tidak tahu, tapi ananda masih ingat bagaimana wajah serta dandanan mereka."

Bicara sampai di situ, dia pun segera menjelaskan secara terperinci.
Begitu mendengar penuturan bocah itu, Leng Bang segera berteriak keras, "Ah, rupanya Tiga siluman dari wilayah Biau, tak disangka mereka masih hidup di dunia ini!"

Sebagian besar jago yang hadir di tempat itu belum pernah berjumpa dengan Tiga siluman dari wilayah Biau, namun sudah sering mendengar sepak terjang serta perbuatan busuk yang mereka lakukan, ketika melihat Leng Bang menunjukkan mimik muka begitu kaget, paras muka merekapun ikut berubah.

Terdengar Leng Bang berkata dengan serius, "Sebelum Lohu suami-istri bergabung dengan istana, suatu ketika pernah bertempur sengit melawan mereka bertiga, gara-gara pertarungan itu nyaris kami berdua kehilangan nyawa."

"Berbicara soal ilmu silatnya," sambung Chin Tong, "sekalipun termasuk aliran sesat dan aneh, kemampuan kita semua masih sanggup menghadapinya, yang dikuatirkan justru ilmu racunnya."

Bagi kawanan jago dunia persilatan, "racun" merupakan musuh yang paling ditakuti, tak heran kalau hati semua orang bergetar keras mendengar ucapan itu.
Tiba-tiba Cu Bi-ih bertanya, "Congkoan, apakah pil Cay-seng-wan mampu mencegah bekerjanya pengaruh racun?"
"Bisa," jawab Chin Tong cepat, "hanya saja bukankah pil itu merupakan obat mestika miliki nona bertiga."
"Demi kepentingan umum, ambil dan cairkan ke dalam air, kemudian bagikan kepada para Cianpwe."

Betapa terharu dan terima kasihnya kawanan jago itu mendengar perkataan ini.
Setelah Thian-te-sian-lu memberi penjelasan tentang ilmu silat yang dimiliki ketiga siluman dari wilayah Biau, Ong Sam-kongcu mulai mengajak para jago memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya, sementara Chin Tong bersama para nona pergi menyiapkan air yang telah dicampuri pil Cay-seng-wan.

Selesai bersantap malam dan minum air yang bercampur pil Cay-seng-wan, para jago pun kembali ke kamar masing-masing untuk mengatur pemapasan.
Dengan susah-payah Cau-ji menunggu hingga semua orang sudah meninggalkan ruang pertemuan, ketika sekelilingnya tinggal Siang Ci-ing, Suto bersaudara serta Siau-hong, dia baru bertanya kepada ayahnya mengapa bisa menjadi Ongya.

Sambil tertawa terbahak-bahak sahut Ong Sam-kongcu, "Cau-ji, ayahmu bisa terhormat gara-gara dirimu."
"Ayah, ananda.tidak paham maksud perkataanmu itu."
"Hahaha, Cau-ji, seandainya kau tidak menolong biara Siau-lim serta menyelamatkan nyawa nona-nona dari keluarga Cu, mana mungkin mereka bisa memperjuangkan gelar kehormatan serta posisi tertinggi dalam sejarah dunia persilatan bagiku?"

Cau-ji semakin tercengang dibuatnya, buru-buru dia melirik sekejap ke arah para gadis, kemudian tanyanya, "Ayah, apakah kau mengetahui asal-usul para nona keluarga Cu?"

"Tentu saja tahu! Sungguh tak kusangka meski merupakan keturunan kaum ningrat, namun mereka sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan, bahkan pandangannya jauh ke depan.

Cau-ji, mungkin ini memang merupakan rejekimu, baik-baiklah memanfaatkan kesempatan!"
"Ayah, aku dengar ada peraturan dari kerajaan yang melarang tuan putri menikah dengan rakyat biasa, khususnya orang-orang persilatan, aku rasa hal ini kurang begitu cocok!"
"Hahaha, berkat kemurahan hati Baginda raja, ditambah lagi ketajaman mata ketiga tuan putri, begitu perkumpulan Jit-seng-kau berhasil dimusnahkan, kami keluarga Ong segera akan menyelenggarakan pesta perkawinan. Hahaha"

Merah padam wajah Cau-ji mendengar perkataan itu, begitu pula dengan Suto bersaudara sekalian berempat.
Sambil tersenyum, kembali Ong Sam-kongcu bertanya, "Cau-ji, selain anak Ing, anak Si, anak Bun serta anak Hong, apakah di luaran kau masih mempunyai nona lainnya?"

Dari sebutan yang digunakan ayahnya, Cau-ji tahu kalau nona-nona itu sudah diterima secara resmi, dengan hati gembira buru-buru sahutnya, "Ayah, mana berani ananda mencari nona lain lagi?"
"Cau-ji, baru keluar rumah beberapa hari, kau sudah mendapat tujuh orang nona, bila tidak sedikit dikendalikan, kemungkinan besar kau bisa mengalahkan rekor ayahmu."
"Ananda tidak berani, karena dipaksa keadaan ananda mendapatkan nona-nona itu, tentang keadaan yang sesungguhnya biar Bwe-toasiok yang menjelaskan kepadamu, terutama menghadapi ketiga tuan putri, ananda selalu berusaha menjaga jarak!"

Tiba-tiba Ong Sam-kongcu berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, "Cau-ji, kau memang hebat sekali, apa yang telah kau lakukan hingga ketiga tuan putri mengejar dirimu?"
Habis berkata ia segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Keempat nona itu menyangka Ong Sam-kongcu sedang menertawakan mereka, hal ini membuat mereka semakin jengah.

Cau-ji sendiri hanya termenung sambil tertawa bodoh.
Tiba-tiba tampak Leng Bang muncul dari dalam ruangan.
Ong Sam-kongcu segera menghentikan tawanya seraya bertanya, "Leng tua, kau belum beristirahat?"
"Ongya," sahut Leng Bang sambil tersenyum, "bolehkah putramu berbincang sebentar dengan ketiga tuan putri kami?"
"Hahaha, Leng tua, itu kan urusan muda-mudi, aku tidak ikut campur."

Sekalipun berkata begitu, namun dia manggut-manggut juga ke arah Cau-ji tanda setuju.
Cau-ji segera mengalihkan pandangan matanya ke wajah keempat gadis itu, melihat Siang Ci Ing maupun Suto bersaudara mengangguk sambil tersenyum, hatinya jadi lega, dia pun segera beranjak pergi mengikut di belakang Leng Bang.

Setelah keluar dari ruangan, mereka berdua menuju ke sebuah bilik di sisi kanan, setelah mengangguk kepada dua orang pengawal, mereka pun melangkah masuk ke dalam ruangan. Chin Tong serta tiga bersaudara Cu segera bangkit menyambut.
Dengan wajah merah padam Cau-ji mengambil tempat duduk, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus buka suara.
"Huma (menantu raja)!" kata Leng Bang sambil tertawa tergelak, "apakah kau yakin menghadapi pertempuran esok hari?"
"Cianpwe," sela Cau-ji dengan wajah semu merah, "kenapa kau panggil aku dengan sebutan itu?"
"Hahaha, Baginda telah menganugerahkan gelar Ongya kepada ayahmu, berarti rintangan di hadapan kalian pun sudah disingkirkan, begitu Jit-seng-kau dilenyapkan, bukankah kalian segera akan menikah di kota raja."
"Terima kasih atas bantuan Cianpwe."
"Lohu tidak berani merebut jasa ini, semuanya berjalan lancar berkat bantuan ketiga tuan putri serta permaisuri, sudah, kalian boleh berbincang-bincang, sudah menjadi orang sendiri, tak perlu sungkan."

Habis berkata, bersama Chin Tong segera ia mengundurkan diri dari ruangan.
Kini tinggal empat orang yang masih berada dalam ruangan, namun mereka semua tenggelam dalam rasa malu hingga tak seorang pun yang buka suara.

Lama kemudian akhirnya Cau-ji memberanikan diri buka suara, tiba-tiba dilihatnya Cu Bi-ih pun sedang bersiap bicara, maka buru-buru serunya, "Tuan putri, silakan bicara dulu."
"Kongcu, silakan kau dulu," jawab Cu Bi-ih jengah.

Cau-ji menarik napas panjang, setelah menenangkan hati ia berkata sambil tersenyum, "Tuan putri, terima kasih banyak karena kalian telah mengangkat derajat keluarga Ong."
"Kongcu, sepak terjang Jit-seng-kau sudah sangat meresahkan kehidupan rakyat banyak, bagaimana pun sudah sewajarnya bila Ongya menerima gelar ini atas jasa-jasanya."
"Kongcu, bukannya aku sedang mencari simpatik darimu, sejujurnya masalah gelar bukanlah sesuatu yang gampang diperoleh, karena sebelum kejadian ini memang tak pernah ada peristiwa semacam ini. Untuk menghindari perdebatan di antara para menteri, sebelum mengambil keputusan soal gelar, kami telah membicarakan dulu dengan para perdana menteri. Sejujurnya, apa yang kami lakukan selama ini tak lepas dari kepentingan kami sendiri, karena itu kami berharap Kongcu bisa menerima kehadiran kami bertiga"




Luar biasa, ungkapan perasaan secara blak-blakan!
"Cici," seru Cau-ji serius, "padahal Siaute tak mempunyai kemampuan apa-apa, tak disangka kalian bertiga bisa begitu menyayangi aku. Siapa bilang menolak? Untuk merasa senang pun Siaute tak sempat. Hanya saja Siaute perlu kemukakan terlebih dulu, dalam pandangan Siaute Cici bertiga sama seperti kelima Cici lainnya, Siaute tak akan bersikap lebih hormat hanya dikarenakan status Cici bertiga adalah tuan putri."

"Tidak berani!" buru-buru ketiga nona itu menyahut.
Dengan perasaan amat girang Cau-ji segera menggenggam tangan ketiga nona itu sambil berseru lembut, "Cici, terima kasih banyak!"

Ketiga nona itu tertegun begitu tangannya dipegang Cau-ji, mereka merasakan pergolakan perasaan yang aneh.
Cau-ji tidak tinggal diam, cepat dia peluk Cu Bi-ih dan langsung mencium bibirnya.
Ternyata Cu Bi-ih menyambut ciuman itu dengan pasrah, bahkan sambil memejamkan mata dia balas mencium pemuda itu.

Begitulah secara bergantian Cau-ji menciumi ketiga gadis itu....
Entah beberapa saat sudah lewat, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pertarungan yang berkumandang datang dari arah lapangan.

Buru-buru mereka berempat keluar dari kamar dan menyusul ke tempat kejadian.
Tampak ratusan orang berbaju hitam sedang terlibat dalam pertarungan sengit melawan para jago.

Begitu Ong Sam-kongcu melihat kemunculan Cau-ji, ia segera berseru dengan ilmu menyampaikan suara, "Cau-ji, kau jangan turun tangan dulu!"

Melihat Suto bersaudara berempat berdiri di samping Ong Sam-kongcu, Cau-ji segera mengajak tiga orang bersaudara Cu menyusul ke sana, tanyanya, "Ayah, kenapa ananda tak boleh turun tangan?"

"Cau-ji, kedatangan orang-orang itu hanya ingin menyelidiki kekuatan kita, jadi cukup diladeni para jago saja. Coba lihat, betapa kosennya ketiga puluh enam pengawal itu!"

Ketika semua orang mengalihkan pandangan mata ke tengah arena, terlihatlah ketiga puluh enam jago lihai dari istana itu, di bawah petunjuk Thian-te-sian-lu telah membentuk sebuah barisan untuk membendung datangnya serangan musuh.

Berhubung mereka merupakan jago-jago berilmu tinggi, ditambah pula ilmu barisan yang digunakan pun sangat hebat, tak sampai beberapa saat kemudian ketiga puluhan jago Jit sengkau berhasil ditumpas.

Melihat serangan musuh begitu tangguh, mendadak salah satu dari manusia berbaju hitam itu berseru, "Mundur!"

Kemudian bagaikan air bah segera mengundurkan diri dari sana.
Ketiga puluh enam jago keraton itu segera membentak nyaring, barisan mereka dibentangkan makin lebar, dalam waktu sekejap ada dua puluhan orang yang kurang cepat larinya seketika terkurung dan tak mampu melarikan diri.

Selang beberapa saat kemudian di tengah jerit kesakitan yang menyayat hati, dua puluhan jago Jit-seng-kau berhasil dimusnahkan.

Dengan buyarnya serangan musuh, ketiga puluh enam pengawal istana pun ikut mundur dari arena pertarungan, sementara Leng Bang dan istrinya berjalan mendekat sambil tertawa tergelak.

"Cianpwe, hebat sekali ilmu barisanmu!" seru Ong Sam-kongcu sambil menyongsong kedatangannya.

"Hahaha, Ongya kelewat memuji, semuanya ini merupakan hasil didikan Toakongcu!" ujar Leng Bang sambil tertawa.

"Ooh, benarkah itu anak Ih?" tanya Ong Sam-kongcu sambil berpaling ke arah Cu Bi-ih.
Tak terlukiskan rasa girang Cu Bi-ih setelah mendengar panggilan itu, buru-buru sahutnya dengan hormat, "Ayah, ananda senang mengatur barisan, hanya permainan kecil!"
"Bagus, bagus sekali," kata Ong Sam-kongcu, kemudian dia pun mengajak para jago menjenguk korban terluka.
Sementara Cu Bi-ih pun berbisik, "Adik Cau, Cici semua, mari ikut aku."

Setelah berada dalam ruangan, Cu Bi-ih kembali berkata, "Adik Cau, Cici semua, setelah menyaksikan pertarungan tadi, timbul keinginanku untuk menciptakan sebuah ilmu barisan baru, mari kita rundingkan bersama."

Habis berkata, dia pun membuat gambar barisan delapan dewa dan mulai menjelaskan seluk beluknya.
Semua orang memperhatikan dengan seksama, setengah jam kemudian semua orang sudah mengerti, maka dilakukan pembagian tugas, Cau-ji yang berilmu paling tinggi bertugas menjadi ujung tombak, sementara Siau-hong yang kungfunya paling cetek bertugas membantu mana yang perlu.

Selesai pembagian tugas, mereka berdelapan pun mulai melakukan latihan.
Setelah berlatih hampir satu setengah jam lamanya, barisan itu mulai dapat berjalan dengan lancar. Baru saja mereka hendak berhenti berlatih, mendadak terdengar Leng Bang berseru sambil tertawa, "Lihat serangan!"

Ternyata dia bersama Chin Tong dan sepuluh jago istana melancarkan serangan dari empat penjuru.
Barisan delapan dewa ternyata memang sangat luar biasa, serangan demi serangan yang dilancarkan seolah membentuk selapis dinding hawa murni yang tak berwujud, bukan saja gagal menyarangkan pukulannya, bahkan timbul tenaga pantulan yang membuat mereka kelabakan.

Dalam keadaan begini, terpaksa para jago harus berkelit kian kemari.
"Berbalik!" tiba-tiba Cau-ji membentak keras.

Di antara berkelebatnya bayangan manusia, dalam waktu singkat Leng Bang berdua belas orang malah terkepung rapat di tengah barisan.
Leng Bang sekalian segera merasakan tubuh mereka seolah diombang-ambingkan di tengah gelombang dahsyat, dari empat penjuru seakan timbul tenaga pukulan yang dahsyat, hal ini membuat kawanan jago itu kelimpungan.

Mereka merasa tenaga yang menekan datang semakin menghimpit, napas pun makin berat dan tersengal.
Cau-ji melirik sekejap ke arah para jago yang waktu itu berkumpul di sana makin banyak, serunya, "Mohon petunjuk dari Cianpwe sekalian!"

Sambil tersenyum Ong Sam-kongcu segera memberi tanda, ketua Kay-pang, Ciangbunjin dari sembilan partai serta belasan jago serentak membentak nyaring dan menerjang dalam barisan.

Dua puluhan jago itu terhitung tokoh kelas satu dalam dunia persilatan saat ini, tentu saja kekuatan mereka luar biasa hebatnya.
Dihimpit oleh kekuatan yang datang dari luar dan dalam, barisan delapan dewa mulai menunjukkan kekalutan.

Untung ilmu silat yang dimiliki Cau-ji sangat hebat, dengan menggunakan jari tangan sebagai pengganti Pedang pembunuh naga, dia mulai melawan dengan ilmu pedang andalannya itu, sepeminuman teh kemudian keadaan barisan itu makin stabil.
Menyusul kemudian daya kekuatannya pun mulai tampak.
Setengah jam berikutnya keadaan para jago mulai tercecar, dengus napas mereka pun terdengar makin berat.
"Hati-hati para Cianpwe!" tiba-tiba Cau-ji tertawa nyaring, "bubar!"

Barisan itupun segera ditarik kembali, sementara kedelapan muda-mudi itu hanya berdiri dengan tersenyum.
Sambil menjura kepada para jago, Cau-ji pun berkata, "Terima kasih banyak atas petunjuk para Cianpwe"
"Hebat, mengagumkan!" sahut para jago sambil menjura.
"Hahaha, malam sudah kelam, mari kita pergi beristirahat," sela Ong Sam-kongcu kemudian sambil tertawa tergelak.
 
Suhu..endingnya jgn kayak yg aslinya ya...yg aslinya cauji gak diceritain lg pas mlm pertama ama putri kaisar....pokoknya jgn ketinggalan mlm pertama dgn sang putri

Hahhaha.....belum berani saya ubah dech, masih sesuai dengan aslinya khan di awal sudah ditulis bahwa ini adalah karya orang lain bukan asli tulisan saya sendiri...hehhehe....
 
ending sama kayak yg asli gak masalah,terus Ada tambahan ending kayak permintaan para pembaca aja suhu pasti maklum semua pembacanya :D
 
Haduh mau tamat ya ini :hua:
Semoga ada ex 7 lwn cauji :ngarep:
 
ini sih namanya bukan salome, tapi satu batang rame rame, sabame wkwkwkwkwk
 
Tengah hari telah menjelang, angin utara berhembus kencang, awan tebal pun menyelimuti angkasa, membuat langit terasa gelap gulita.

Para jago sarapan lebih awal, kemudian mereka pun bersemedi sambil menghimpun kekuatan.
Suasana di tanah perbukitan terasa hening sekali, kecuali deru angin utara, nyaris tak terdengar suara apa pun.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seram berkumandang dari kejauhan.
Dengan wajah serius para jago serentak berlari menuju ke tengah lapangan, tampak Ong Samkongcu berdiri di posisi tengah dan dikelilingi oleh Cau-ji, ketujuh gadis serta Ciangbunjin dari partai-partai besar.

Di sayap kiri berdiri dua ratusan jago dari berbagai aliran, sementara di sayap kanan berjajar Thian-te-sian-lu serta tiga puluh enam jago istana.
Suara pekikan makin lama semakin nyaring, sepeminuman teh kemudian terdengar suara benturan keras memekakkan telinga, tahu-tahu papan nama yang tergantung di depan pagar kayu telah hancur dan berhamburan ke mana-mana.

"Sreeeet...!", enam sosok lelaki berdandan aneh, berwajah menyeramkan tahu-tahu sudah memasuki lapangan dengan langkah lebar, mereka berhenti lebih kurang lima tombak di hadapan para jago.

Suara pekikan makin lama makin bertambah nyaring, terlihat tiga buah tandu mewah muncul dari balik reruntuhan pagar kayu.
Kemudian terlihat ratusan lelaki berdandan aneh menyebar di belakang ketiga tandu itu dengan membuat posisi kipas, sedang lima ratusan lelaki berbaju hitam lainnya tersebar di kedua sisi mereka.

Bwe Si-jin dengan pakaian serba hitam serta Im Jit-koh segera tampil membuka tirai yang menutupi ketiga tandu mewah tadi, terlihat tiga siluman dari wilayah Biau sambil memeluk tubuh Su Kiau-kiau, Ni Ceng-hiang dan Un Bun melompat keluar dari balik tandu.

Ternyata mereka memang tak malu disebut siluman, biarpun sedang maju perang, tidak lupa tetap memeluk wanita cantik.
Dengan langkah genit Su Kiau-kiau segera tampil ke depan, setelah memandang sekejap kawanan jago itu, serunya, "Aduh mak, ternyata semua jago telah berkumpul di sini, hebat, hebat sekali."

"Su-kaucu" ujar Ong Sam-kongcu lantang, "dulu mengingat kau adalah seorang wanita, umat persilatan pernah mengampuni jiwamu satu kali, seharusnya kau manfaatkan kesempatan itu untuk memperbaiki diri, kenapa malah menggerakkan pasukan lagi untuk membuat keonaran?" Su Kiau-kiau tertawa seram.

"Mengampuni nyawaku? Hehehe, pembantaian berdarah yang pernah kau lakukan di masa lampau serta siksaan batin yang kualami selama puluhan tahun, membuat hatiku benar-benar amat mendendam. Hari ini, aku akan menuntut balas terhadap kalian!"

"Dasar perempuan tak tahu diri," Ong Sam-kongcu menghela napas panjang, "terpaksa kita harus menyelesaikan semua masalah dengan kekerasan."

Mendengar perkataan itu, serentak para jago melolos senjata.
Siluman pertama berpekik nyaring, kawanan siluman yang berada di belakangnya serentak melolos senjata gada gigi serigala, kemudian di bawah pimpinan keenam manusia raksasa itu, mereka menyerbu dari tiga arah.

Cau-ji berdelapan dengan barisan delapan dewanya segera mengurung ketat ketiga manusia raksasa itu, pertempuran pun berlangsung amat seru, sementara tiga puluh lelaki berbaju hitam
mengepung dari luar.

Melihat itu, tiga puluh enam jago istana serentak maju mengepung orang-orang itu dari lapisan paling luar.
Di antara kilatan cahaya senjata, pertempuran sengit pun seketika berlangsung.
Meskipun jumlah orang tidak berimbang, namun para jago dari kalangan putih bertarung dengan gagah berani, mereka sudah melupakan keselamatan sendiri.
Jerit kesakitan, teriakan gusar, desingan angin tajam bergema silih berganti.
Cau-ji dengan mengandalkan pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri bertekad menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, dia menyerang tanpa belas kasihan, tak sampai sepuluh gebrakan ketiga raksasa itu sudah dibabat kutung jadi tiga bagian.

Tiba-tiba dia mulai bersin berulang kali, sadar pihak lawan mulai menggunakan racun, segera teriaknya, "Hati-hati ada racun!"
Hawa napsu membunuhnya makin berkobar, jaring pedang pun semakin melebar.
Tak sampai setengah jam kemudian beberapa ratus orang itu secara beruntun menemui ajalnya, yang aneh tiga siluman dari wilayah Biau itu hanya tertawa seram dan sama sekali tidak mengirim orang untuk membantu.

Melihat sikap yang sangat aneh itu Ong Sam-kongcu merasa keheranan, tapi begitu mendengar teriakan Cau-ji, dia segera mengerti, rupanya pihak lawan sedang menunggu hingga lawannya mulai keracunan baru turun tangan, maka bentaknya, "Maju!"

Jauh sebelum Ong Sam-kongcu menurunkan perintah, Cau-ji sudah mendengar bisikan dari Bwe Si-jin, "Cau-ji, kau serang siluman ketiga dengan kecepatan tinggi, mari kita bekerja sama dengan Toasiok untuk melenyapkan iblis-iblis itu!"

Maka begitu mendengar perintah Ong Sam-kongcu, segera bentaknya, "Serbu!"
Dengan memimpin tujuh gadis, dia langsung menyerang tiga siluman dari wilayah Biau.
Bentakan ini disertai tenaga dalam yang amat sempurna, akibatnya kendatipun ketiga siluman tua dari wilayah Biau itu memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung tergetar juga hatinya.

Pada saat itulah mendadak Ni Ceng-hiang mencabut pisau belati dari dalam sakunya, lalu ditusukkan langsung ke jalan darah Bing-bun-hiat di tubuh siluman kedua.

Peristiwa ini terjadi sangat mendadak dan di luar dugaan, apalagi saat itu perhatian siluman kedua sedang terbelah, mimpi pun dia tak menyangka kalau Ni Ceng-hiang yang begitu binal dan menuruti semua kemauannya bisa turun tangan membokongnya.
Tak ampun lagi tusukan itu seketika bersarang telak.

Baru saja dia menjerit kesakitan, secepat kilat Ni Ceng-hiang menghadiahkan sebuah pukulan lagi ke tubuhnya.
"Kau.." baru saja ia berteriak keras, tahu-tahu napasnya sudah putus.

Pada saat itulah siluman pertama dan siluman ketiga meraung gusar, serentak mereka melancarkan pukulan dahsyat ke tubuh Ni Ceng-hiang.
Su Kiau-kiau dan Un Bun tak tinggal diam, mereka ikut mengembut juga.

Sejak memberi kisikan kepada Cau-ji, secara diam-diam Bwe Si-jin dan Im Jit-koh telah bergeser ke samping tubuh siluman ketiga, begitu melihat ada peluang, serentak mereka berdua mencabut pisau belati dan ditusukkan ke pinggul siluman ketiga.

Mendadak terdengar Ni Ceng-hiang mendengus tertahan, tubuhnya mundur dengan sempoyongan.
Siluman ketiga meraung keras, cepat tubuhnya menggelinding ke samping.
Menggunakan kesempatan itu Bwe Si-jin dan Im Jit-koh menerjang Su Kiau-kiau.

Waktu itu sebetulnya siluman pertama, Su Kiau-kiau dan Un Bun sedang mengejar Ni Cenghiang, begitu melihat Bwe Si-jin dan Im Jit-koh membokong siluman ketiga hingga terluka, mereka berdiri tertegun.

Pada saat itulah Cau-ji membentak nyaring, lalu menyerang ke depan.
Di pihak lain, kawanan jago pun sambil berusaha mengendalikan gejolak hawa murni di tubuhnya, mereka menyongsong datangnya kelima ratusan orang berbaju hitam.
Ni Ceng-hiang meski sudah terluka parah karena gencetan keempat jago lihai itu, dia tetap melanjutkan terkamannya ke arah tandu siluman pertama.

Menyaksikan hal ini, Un Bun membentak keras, satu pukulan dihantamkan ke muka.
Merasa tak mungkin menghindar lagi, sambil mengertak gigi Ni Ceng-hiang menyambut datangnya pukulan itu dengan punggungnya, menggunakan kesempatan itu dia meluncur masuk ke dalam tandu dan berusaha menemukan obat penawar racun.

Sesaat kemudian ia berhasil menemukan buli-buli berisi obat penawar racun, cepat dia menggelinding keluar dari tandu, lalu sambil mengangkat tinggi buli-buli besi itu, serunya lemah, "Obat penawar racun"

Dalam keadaan tegang, Cau-ji berdelapan telah mengurung siluman pertama, Su Kiau-kiau, Bwe Si-jin, Im Jit-koh dan Un Bun di tengah arena, tapi untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus bertindak.

Cau-ji mengalihkan pandangan matanya ke atas buli-buli besi itu, tiba-tiba tubuhnya menerjang ke sana.
Melihat itu, siluman pertama membentak gusar, dia siap menyusul ke tempat itu.
Sambil menggigit bibir Im Jit-koh menerkam juga ke depan, lalu menarik kaki kirinya dan sampai mati pun tak dilepas.

Siluman pertama meraung marah, satu pukulan langsung dibacokkan ke tubuhnya. "Aduuuh, ...!" diiringi jerit kesakitan, Im Jit-koh tewas seketika itu juga, namun jenazahnya masih tetap memegangi kaki kiri siluman pertama, membuat gembong iblis ini tidak leluasa bergerak menghalangi Cau-ji.

Dengan satu gerakan cepat Cau-ji menyambar buli-buli besi itu, melihat siluman pertama berniat memotong sepasang lengan mayat Im Jit-koh, ia pun membentak nyaring, "Tahan!" satu tusukan kilat dilontarkan ke depan.

Sementara itu Suto bersaudara yang berhasil mencabut nyawa siluman ketiga segera menubruk ke arah siluman pertama.
Waktu itu sebetulnya kelima gadis lainnya ingin bersama-sama mengembut Su Kiau-kiau, siapa tahu Bwe Si-jin dengan tongkat berkepala ularnya sedang bertarung sengit melawan perempuan siluman itu, terpaksa mereka pun menyerang Un Bun secara bersama-sama.

Dengan kepandaian silat yang dimiliki kelima gadis itu, sesungguhnya mereka dapat mengatasi Un Bun secara mudah, namun berhubung racun yang menyerang tubuh tiga bersaudara Cu dan Siau-hong mulai bekerja, tenaga dalam mereka berkurang separoh bagian, sehingga untuk sementara waktu sukar untuk menangkan pertarungan ini.

Sambil melancarkan serangan ke arah siluman pertama, diam-diam Cau-ji memperhatikan juga keadaan di sekelilingnya.
Tampak ketiga puluh enam jago dari istana serta Thian-te-sian-lu meski berhasil melukai ratusan orang, namun karena keadaan luka yang semakin bekerja, mereka dipaksa untuk menahan diri.

Ong Sam-kongcu serta para ketua partai besar yang menyaksikan kondisi para jago makin melamban, sadarlah mereka kalau racun dalam tubuh kawanan jago itu mulai bekerja, serentak
mereka pun menerjang masuk ke dalam arena.

Biarpun begitu, korban yang berjatuhan pun semakin meningkat.
Cau-ji jadi sangat gelisah, dia membentak berulang kali, serangannya terhadap siluman pertama pun semakin gencar.
Apa daya tenaga dalam yang dimiliki siluman pertama kelewat hebat, gerakan tubuhnya pun ringan dan cekatan, untuk beberapa saat dia tak mampu berbuat banyak.

Untung saja pada saat itu Cu Bi-ih berhasil menghabisi nyawa Un Bun, segera teriaknya, "Adik Cau, lemparkan obat penawar racun itu kemari!"

Sambil berkata, dia menubruk ke depan.
Diam-diam Cau-ji menyumpahi kebodohan sendiri, cepat dia lemparkan buli-buli itu ke arah Cu Bi-ih.
Begitu melihat obat penawar sudah berada di tangan Cu Bi-ih, Bwe Si-jin segera berteriak, "Cairkan dengan air, lalu diminum!"

Merasa lega dengan keadaan para jago yang keracunan, semangat Cau-ji bangkit kembali, ia segera memberi tanda, lalu bersama Siang Ci-ing sekalian melancarkan serangan kilat ke arah siluman pertama.

Dalam pada itu siluman pertama telah berhasil lolos dari cengkeraman Im Jit-koh, sepasang tangannya segera melancarkan pukulan berulang kali, angin pukulan bagaikan amukan gelombang samudra disertai percikan bubuk beracun segera menyergap tubuh keempat orang itu.

Melihat kehebatan lawan, cepat tiga bersaudara Cu serta Siau-hong mundur ke arah ruang tengah.
"Halangi mereka!" bentak siluman pertama berulang kali.

Tapi sayang kawanan iblis itu mendapat perlawanan yang begitu gigih dari para jago sehingga terpaksa hanya bisa membiarkan para gadis mundur masuk ke dalam ruangan.

Di pihak Su Kiau-kiau, meskipun dia berhasil berada di posisi di atas angin, tapi berhubung Bwe Si-jin sangat menguasai aliran ilmu silatnya, maka untuk sesaat pun dia tak sanggup meloloskan diri.

Pertarungan berjalan makin sengit, Cau-ji dengan mengandalkan Pedang pembunuh naga dan pukulan dahsyatnya, dibantu tiga gadis yang bertarung gigih mencecar siluman pertama makin gencar.

Dalam keadaan begini, biar tenaga dalam yang dimiliki siluman pertama sangat lihai pun setelah bertarung ratusan gebrakan kemudian, lengan kirinya berhasil dihajar.
Tiga puluh jurus kemudian terdengar siluman pertama menjerit ngeri, tubuhnya hancur terhajar serangan Cau-ji hingga mampus seketika.

Tak terlukiskan rasa kaget Su Kiau-kiau mengetahui kejadian ini, sedikit gerakan tangannya melambat, seketika Bwe Si-jin berhasil melepaskan diri dari kurungannya.

Terdengar lelaki itu segera berteriak keras, "Cau-ji, aku serahkan perempuan ini kepada kalian!"
Habis berkata dia langsung menggabungkan diri dengan kawanan jago lainnya.
Pada saat itulah tampak Cu Bi-ih berempat dengan masing-masing menggotong segentong air berlarian mendekat.

Bwe Si-jin segera berseru, "Lindungi gentong air, secara bergilir ambil air pemunah racun itu!" Keempat gadis itu mengangguk dan meletakkan keempat gentong air itu jadi satu, kemudian mereka berbalik menyongsong datangnya kawanan manusia berbaju hitam yang sedang menerjang tiba.

Buru-buru para ketua partai berhamburan datang, mereka membentuk satu pagar betis untuk melindungi air berisi obat pemunah racun itu.
Begitulah secara bergilir para jago dari berbagai partai mengambil air pemunah untuk membebaskan diri dari pengaruh racun, begitu segar kembali, mereka pun segera terjun kembali ke arena pertarungan.

Pada saat itulah terdengar Su Kiau-kiau menjerit ngeri dan tewas seketika.
Sementara para iblis masih terkejut bercampur ketakutan, tiba-tiba terlihat sekilas cahaya tajam berkelebat.
Ternyata Cau-ji dengan kecepatan luar biasa telah mengejar ke arah kawanan iblis, jarring pedang yang terbentuk dari pedang pembunuh naganya menyambar kian kemari, dalam waktu singkat belasan orang kembali jadi korban.

Sebetulnya kawanan iblis itu ingin memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menghabisi para jago, siapa tahu mereka bertemu dengan lawan tanding yang menakutkan, selang beberapa saat kemudian kembali puluhan orang jadi korban.
Tak sampai setengah jam kemudian tampak mayat berserakan di mana-mana, genangan darah pun menganak sungai.

Tujuh-delapan puluh orang iblis yang merasa tak sanggup melakukan perlawanan lagi segera mundur, entah siapa yang berteriak duluan, mendadak semuanya kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

Sebenarnya Cau-ji ingin mengejar, tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berseru, "Lepaskan mereka!"
Waktu itu para jago sehabis minum obat penawar telah pulih kembali kesehatannya,.
Sedang Bwe Si-jin tampak sedang memeluk jenazah Ni Ceng-hiang dan Im Jit-koh sambil menangis sesenggukan.

Cau-ji segera berjalan menghampiri, katanya, "Coba kalau tak ada kedua orang ini yang membantu, belum tentu dalam pertempuran hari ini kita bisa memperoleh kemenangan seperti ini."
"Cau-ji," ujar Bwe Si-jin dengan suara parau, "bolehkah Toasiok mengubur mereka berdua secara baik-baik?"
"Toasiok, Cau-ji yakin semua orang pasti akan menyetujui permintaanmu itu."

Setelah memandang sekejap tumpukan mayat yang berserakan memenuhi lapangan, sambil menghela napas kata Ong Sam-kongcu, "Aai ... tidak sampai empat jam ratusan nyawa telah hilang, latihan selama puluhan tahun pun menguap begitu saja ... ai, apa gunanya?"

"Omitohud!" sela It-ci Taysu, "Ongya berhati mulia dan bijaksana, bila setiap orang dapat meniru suri teladanmu, dunia persilatan pasti akan aman tenteram"

Tiba-tiba terdengar Leng Bang berkata dengan nada hormat, "Ongya, boleh tahu perkawinan dari tuan putri akan diselenggarakan di mana?"

"Urusan ini biar Baginda saja yang memutuskan," sahut Ong Sam-kongcu cepat, "tentu saja aku tak akan berebut dengan kaisar untuk menyelenggarakan pesta perkawinan ini di Perkampungan Hay-thian-it-si. Haha, aku harap sampai waktunya nanti kalian ikut menghadirinya."

Para jago serentak mengangguk sambil tersenyum.
"Ayah" seru Cu Bi-ih malu-malu, "sewaktu meninggalkan kota raja, ayah Baginda telah memberi pernyataan, katanya sudah banyak tahun dia tak pernah mendatangi tembok besar, karena itu menggunakan kesempatan saat diselenggarakannya perkawinan Ih-ji sekalian, beliau berniat pesiar ke tembok besar!"

Begitu para jago mendengar Kaisar akan memimpin sendiri upacara perkawinan di perkampungan Hay-thian-it-si, kontan semua maju memberi selamat.

Dengan penuh kegembiraan Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.

TAMAT
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd